array(18) {
  [0]=>
  object(stdClass)#117 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3834086"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#118 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/130-sepotong-jari-dalam-lipatan-20230829120715.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#119 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(135) "Sekelompok patung orang kudus dicuri dari sebuah kapel kecil di Austria. Penyelidikan menuntun polisi pada penemuan potongan jari kayu."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#120 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/130-sepotong-jari-dalam-lipatan-20230829120715.jpg"
      ["title"]=>
      string(39) "Sepotong Jari Dalam Lipatan Kaki Celana"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-29 12:07:28"
      ["content"]=>
      string(21884) "

Intisari Plus - Sekelompok patung orang kudus dicuri dari sebuah kapel kecil di Austria. Penyelidikan menuntun polisi pada penemuan potongan jari kayu dalam lipatan celana seseorang. Ia adalah pekerja yang pernah memperbaiki patung-patung kapel sebelumnya.

----------

Pada malam antara 3 dan 4 April 1961 Kapel Rosalie kemasukan pencuri. Itu adalah sebuah gereja kecil yang banyak diziarahi di tapal batas Austria bawah dan Burgenland. Hal ini awalnya diketahui oleh koster yang pagi-pagi sekali selesai membuka pintu-pintu kapel. Yang tidak ada di tempatnya masing-masing ialah patung Bunda Maria besar di altar, empat patung bergaya barok dari orang kudus yang mengelilingi patung Bunda Maria, dan beberapa patung malaikat kecil-kecil.

Tanpa pikir panjang, koster lari keluar dari kapel untuk melaporkan hilangnya sekelompok patung itu pada pastor. Tanpa memeriksa ulang laporan koster di tempat kejadian, pastor langsung melaporkan pencurian itu pada polisi. Tetapi baru beberapa lamanya kemudian polisi sempat mendatangi kapel yang letaknya tinggi di atas pegunungan. 

Sementara itu pastor dan koster mengadakan penyelidikan sendiri. Tak terbayangkan oleh mereka bagaimana pencuri bisa masuk ke dalam kapel. Tak sebuah pintu atau jendela pun terlihat rusak.

“Gila benar!” guman petugas kapel yang baru saja tiba dari rumahnya di desa sebelah. “Jangan-jangan mereka menggunakan kunci palsu.”

Petugas kapel tahu benar apa yang harus dilakukan dalam situasi demikian. Usulnya, “Jangan seorang pun boleh masuk ke dalam gereja sampai polisi datang. Salah-salah kita kehilangan sisik melik yang penting.”

Ketika akhirnya polisi muncul, pastor hampir tidak sabar lagi menceritakan masalahnya. “Kami kecurian. Satu kelompok patung di altar hilang seluruhnya.”

“Anda sudah menemukan sesuatu, seperti jendela rusak misalnya?” tanya polisi. Pastor, petugas kapel S, dan koster serentak membantah dengan menggeleng-gelengkan kepala.

Semuanya lalu berjalan menuju pintu belakang kapel. Polisi mengenakan sarung tangan lalu membuka pintu. Kuncinya juga tidak rusak.

“Siapa yang masih memasuki kapel kecuali koster dan pastor?” tanya polisi. 

“Petugas kapel saya mengusulkan agar jangan seorang pun masuk lagi ke dalam gereja,” kata pastor. 

“Bagus sekali, bagus sekali”, kata polisi. “Masalahnya bisa menjadi makin sulit, kalau ..., tetapi saya sudah memberitahukan dinas reserse di Wiener Neustadt. Kita keliling-keliling saja sekarang.”

Mata ahli dari petugas polisi itu pun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

“Sudah hampir dapat dipastikan bahwa pencuri masuk lewat salah satu pintu dengan kunci yang cocok,” kata polisi.

“Saya pun berpendapat demikian,” kata petugas kapel. “Menurut koster, dia yakin semua pintu sudah dia kunci dengan baik. Saya kira pencurinya lewat pintu belakang sebab antara altar dan ruang jemaat ada pagar besi yang tinggi dan kuat. Pencurinya harus mendobrak pagar besi itu dulu. Tapi pagar besi itu tampaknya baik-baik saja.”

“Jadi, Tuan petugas kapel,” kata polisi, “Anda mengira pintu belakang itu satu-satunya jalan bagi pencuri untuk masuk ke gereja? Kalau demikian pekerjaan kita menjadi terbatas sekali. Tapi, siapa sebenarnya yang membawa kunci-kunci gereja?”

“Dua set kunci lengkap ada di pastoran dan satu set lengkap dibawa koster.”

Pembicaraan terhenti ketika beberapa orang tampak memasuki ruang di sekitar altar. “Pejabat-pejabat reserse,” kata polisi.

“Saya komisaris polisi dr. K.,” kata seorang sambil menyalami tangan pastor. “Sebenarnya dari hopbiro di Wina, tapi kebetulan dinas di Wiener Neuatadt. Maka saya lalu ikut ke sini.”

Petugas-petugas reserse itu segera memulai kerja mereka. Kunci-kunci pintu dan keling-keling disemprot dengan larutan grafit. Sidik jari pastor, petugas kapel, dan koster juga diambil. Tetapi di tempat di sekitar pintu belakang hanya ada bekas sidik jari pastor, petugas kapel, dan koster. Tidak ditemukan sidik jari orang lain.

“Pandai juga anak-anak bengal ini,” kata kompol, “Mereka rupanya mengenakan sarung tangan, lalu dengan saksama menghilangkan semua jejak.”

Resersir-resersir itu lalu menempeli seluruh permukaan dan sisi altar dengan potongan-potongan pita perekat seluloid. Pita perekat itu kemudian dipilih dan ditempelkan pada lembaran-lembaran plastik yang tembus pandang. Altar juga diambil fotonya dari jarak dekat.

Pada foto, nantinya dibuat garis-garis membujur dan mendatar sehingga membentuk bujur sangkar. Bujur sangkar itu kemudian akan diberi nomor urut. Pita perekat yang menempel pada lembaran plastik juga diberi nomor, sesuai dengan nomor-nomor pada foto altar dari jarak dekat. 

“Anda harus membayangkan,” kata kompol pada petugas kapel yang terus-menerus mengikuti jalannya penyelidikan, “pelaku pencurian ketika mereka mengambil patung dari altar, pakaian mereka bergesekan dengan bagian-bagian altar yang kasar atau menonjol. Karena pergesekan itu, kemungkinan besar bagian-bagian kecil dari pakaian mereka tertinggal. Ini nanti bisa kita cocokkan dengan pakaian tersangka — pelaku pencurian. Kalau cocok, pelakunya pasti tidak dapat menyangkal, bahwa dia atau mereka pernah berada di tempat kejadian.”

Petugas kapel mendengarkan dengan penuh perhatian.

Kompol melanjutkan kata-katanya. “Tetapi sekarang ada hal lain. Menurut Anda, ada tiga set kunci lengkap. Andai kata pintu gereja itu dibuka dengan kuncinya, pasti salah satu pemegang kunci itu pencurinya. Atau ada kunci yang dicuri dari set itu. Dapatkah Anda membawakan kunci-kunci itu dari pastoran? Saya sendiri akan mengamati kunci milik koster. “

Set kunci dari koster ternyata masih lengkap. Terdiri dari delapan buah anak kunci. Ketika kunci-kunci koster diperiksa dengan saksama, tidak sebuah pun memberi kesan pernah dibuatkan cetakannya dari malam atau lilin. Kesimpulannya, tidak sebuah pun kunci koster dibuatkan tiruannya.

Petugas kapel datang dengan dua set kunci dari pastoran. “Satu ikat”, katanya, “selalu tergantung di serambi pastoran. Lainnya selalu disimpan pastor di laci meja tulisnya yang selalu terkunci.”

Ternyata kunci dari serambi pastoran juga lengkap, yaitu delapan buah anak kunci. Tapi set kunci dari laci meja tulis pastor hanya berisi tujuh buah anak kunci. Ketika dicocokkan, anak kunci yang hilang ternyata anak kunci pintu belakang.

Pastor yang juga datang menyertai ikat kuncinya tampak terkejut sekali.

“Pernahkah Anda meminjamkan kunci-kunci itu pada seseorang?” tanya kompol, “atau orang lain bisa mengusik laci meja Anda?”

Pastor mencoba mengingat-ingat. Lalu, tiba-tiba katanya, “Ya, saya ingat sekarang. Tahun lalu kunci-kunci itu saya pinjamkan pada pembantu rumah tangga pastoran. Ada yang perlu diperbaiki di kapel saat itu. Berkali-kali pintu belakang itu harus dibuka agar pekerja-pekerja bisa keluar masuk dengan leluasa. Tetapi Anda toh tidak sampai menuduh ibu tua itu. Dia sudah belasan tahun bekerja pada saya.”

“Tidak, tidak,” jawab kompol sambil tertawa. “Saya tidak percaya ibu tua itu pencurinya. Tapi, seperti Anda katakan tentang pekerja-pekerja perbaikan. Mungkin salah satu dari mereka dengan sengaja menyimpan kunci pintu belakang itu untuk digunakan pada kesempatan lain.”

“Tapi, barangkali Anda masih mempunyai daftar perusahaan atau pemborong apa saja yang turut serta dalam perbaikan kapel itu. Barangkali juga ibu tua itu masih ingat, pada siapa dia pernah menyerahkan kunci-kunci itu untuk membuka pintu gereja.”

Komisaris polisi lalu memandangi bagian depan kapel. Selanjutnya dia melakukan suatu hal yang membuatnya dijuluki “Winnetou” oleh anak buahnya. Kompol itu berjalan berkeliling di sekitar altar yang kehilangan patung-patungnya itu. Ia berkeliling membentuk lingkaran yang makin lama makin besar, seperti Winnetou dalam buku-buku Karl May. Dengan berbuat demikian, penyelidik tidak melewatkan sejengkal pun area di sekeliling tempat kejadian. Cara itu juga sekaligus untuk membayangkan, bagaimana kira-kira si pencuri bekerja.

Bisa jadi tidak ada mobil yang digunakan dalam pencurian karena tidak ditemukan bekas ban mobil di seputar kapel. Atau andai kata dengan mobil, mengapa mereka tidak sekaligus saja mengambil dua patung lainnya yang juga mahal harganya? Kemungkinan besar mereka berjalan kaki.

Kalau pencurinya berjalan kaki, mereka bisa lewat jalan yang cukup lebar di depan kapel, lalu belok ke kanan menuruni tataran-tataran kecil di halaman untuk mencapai pintu belakang kapel. Kompol yang juga menuruni tataran-tataran kecil di belakang kapel tidak menemukan apa-apa. Tetapi ketika penyelidikan dengan mengitari kapel itu diteruskan dengan memperbesar lingkarannya, pandangannya tertumbuk pada secarik kertas kekuning-kuningan. Tempatnya di titik di mana jalan menuju kapel meninggalkan hutan.

Ternyata kertas pembungkus permen cokelat berisi kacang. Tertera Nuts Chocoladefabriek N.V. Holland di pembungkusnya. Secuil masih melekat pada kertas bekas pembungkus itu, dengan bekas-bekas gigitan. Karena kertas itu kering, dapat dipastikan bahwa kertas itu belum terlalu lama berada di sana. Kertas bekas itu diambil juga oleh kompol karena bisa digunakan untuk mencari penjual cokelatnya. Selain itu, setidaknya bekas-bekas gigitan pada cokelatnya dapat dibuat menjadi cetakan untuk merekonstruksi bentuk gigi pemakan cokelatnya. Dari bentuk gigi dan menempelnya pada rahang, orang bisa melukiskan bagaimana kira-kira bentuk wajah si empunya gigi, misalnya persegi atau lonjong.

Dari catatan pastor, sedikitnya 20 orang terlibat dalam kerja borongan memperbaiki kapel, salah satunya adalah seorang ahli cat emas Arthur dari Wina. Ketika dicari, Arthur ternyata sedang mengerjakan sesuatu di Tirol. Saat pembantu rumah tangga pastor diperlihatkan foto Arthur, ia mengatakan tidak lagi ingat, apakah dia orang yang pernah dipinjami kunci olehnya.

Arthur yang tinggal bersama ibunya digeledah kamarnya. Pakaiannya yang dikenakan di Tirol juga diperiksa. Ternyata benang pada pakaiannya dengan benang-benang yang ada di pita perekat dari kapel tidak ada yang sama. Tetapi di dalam lipatan kaki celana Arthur yang belum dicuci di rumah ditemukan beberapa miligram serbuk cat emas dan sepotong ujung jari yang mungkin berasal dari patung kayu. 

Ditanya mengenai serbuk emas dan potongan jari kayu itu Arthur menjawab dengan tenang. Ia mengatakan bahwa pekerjaannya memang memperbaiki patung dari kayu maupun gips. Biasanya patung-patung itu ada di gereja-gereja atau rumah-rumah orang Katolik. Pokoknya dia memang ahli reparasi patung. Jadi bukan hal aneh kalau benda seperti serbuk emas dan potongan kayu menyangkut pada pakaiannya.

Kompol yang mendengarkan keterangan ahli reparasi patung itu berpendapat bahwa keterangannya masuk akal. Arthur diperbolehkan kembali ke Tirol setelah hasil pemeriksaan gigi tidak sesuai. Wajah Arthur ciut, sedangkan pemakan cokelat diperkirakan berwajah agak lebar. Mengenai permen cokelat juga tidak berhasil ditemukan siapa penjualnya.

Penyelidikan tentang siapa yang dipinjami kunci pastor oleh pembantu rumah tangga juga tidak menghasilkan apa-apa. Polisi dikerahkan untuk menanyai pencuri-pencuri di penjara maupun bekas-bekas pencuri. Namun tidak seorang pun memberikan sisik melik tentang siapa kiranya yang sampai hati mencuri benda keramat dari suatu tempat peziarahan. 

Kompol pun berpikir lebih keras. Jangan-jangan memang jalan penyelidikannya tidak tepat.

Potongan jari kayu yang ditemukan dalam lipatan kaki celana Arthur ditimang-timang. Pernyataan tertulis Arthur dibaca sekali lagi. “Saya (Arthur S) melakukan perbaikan-perbaikan di Kapel Rosalie atas perintah Prof. F dari Salzburg. Saya hanya mengerjakan cat emas. Sedangkan yang lainnya, seperti menempelkan lak dan mengganti serta memperbaiki bagian-bagian yang rusak dikerjakan oleh Prof. F sendiri.”

Dengan demikian jelas Arthur tidak turut campur dalam reparasi atau pekerjaan perbaikan yang kecil dan rumit di kapel Rosalie. Potongan jari patung merupakan bagian yang kecil yang sudah barang tentu tidak terlalu kuat menempelnya pada anggota badan patung.

Kalau potongan jari kayu itu sampai masuk ke dalam lipatan kaki celana Arthur, pastilah pada kesempatan lain ia turut serta dalam pekerjaan perbaikan Kapel Rosalie. Namun harus dicari tahu apakah potongan jari kayu itu berasal dari patung yang hilang dari Kapel Rosalie. Tetapi tampaknya harus menemui Prof. F dulu, pikir kompol.

“Ya, benar,” kata Prof. F yang ditemui oleh kompol. “Itu memang ujung jari patung yang saya perbaiki sendiri di Kapel Rosalie.”

“Bagaimana Anda dapat memastikan bahwa itu berasal dari patung di Kapel Rosalie?” tanya Kompol.

“Lihat catatan perhitungan ongkos-ongkos ini,” kata Prof. F sambil memperlihatkan seberkas kuitansi. “Apa saja yang saya lakukan untuk reparasi itu, saya catat. Itu untuk menentukan biaya-biayanya. Ini catatan biaya untuk perbaikan jari patung kayu.”

“Anda memang memperbaiki jari patung kayu itu. Tetapi bukankah potongan jari ini dapat juga berasal dari patung lain, bukan dari Kapel Rosalie?” tanya kompol lagi.

“Itu bisa dibuktikan ketika patung sudah ditemukan nanti. Tapi, setidaknya sekarang saya sudah dapat memastikan bahwa potongan jari kayu ini berasal dari patung yang saya perbaiki. Lihat… di sini ada sisa kawat perak. Teknik saya untuk menempelkan potongan ujung jari sekecil ini ialah dengan mencoblosnya dengan kawat perak. Ujung kawat yang lain saya cobloskan pada bagian jari berikutnya. Kawat perak selembut itu masih ada sisanya pada saya sekarang.”

Ketika sisa kawat perak pada potongan jari patung kayu dibawa oleh kompol dan diperiksa, ternyata sama kandungan peraknya dengan sisa kawat perak yang masih ada pada Prof. F. Perhatian penyelidikan kembali ke Arthur.

“Mungkinkah bahwa potongan kayu itu jatuh ke dalam lipatan kaki celana Arthur ketika pekerjaan reparasi itu selesai?” tanya kompol?

“Saya rasa memang demikian,” kata Prof. F., “Tetapi pasti itu tidak terjadi ketika pekerjaan reparasi itu baru selesai. Setelah semuanya beres, saya masih memeriksanya sekali lagi dengan teliti, tentu saja untuk memeriksa daftar perbaikan dan biayanya. Setelah itu pun saya pernah ke sana lagi dan ternyata ujung jari patung kayu itu masih menempel kuat ditempatnya.”

“Barangkali ketika patung itu diangkat orang dari tempatnya?” tanya kompol lagi.

“Saya rasa ketika patung dicuri,” sahut Prof. F.

Segera dikirim berita ke Tirol untuk menangkap Arthur. Tetapi ternyata Arthur sudah kabur dari Tirol, entah ke mana lagi.

Bulan April hampir berakhir ketika diketahui bahwa Arthur ada di Stuttgart. Kompol itu bergegas pula ke Stuttgart.

Pada hari pertama pertemuannya dengan Arthur ditahan polisi di Stuttgart, kompol tidak langsung menuduh Arthur sebagai pelaku pencurian di Kapel Rosalie. Kompol meletakkan sebuah bungkusan di meja di depan Arthur. Bungkusan itu ternyata berisi celana Arthur yang diperoleh kompol dari ibu Arthur.

Setelah beberapa lama berpandang-pandangan, Kompol bertanya, “Bagaimana Anda bisa sampai berbuat demikian. Sebagai seniman tentunya Anda mengetahui, bahwa patung itu tidak akan terjual. Untuk memilikinya, Anda tidak perlu mencuri dari kapel itu. Tetapi mungkin ada orang lain yang menyarankan pekerjaan gila itu pada Anda. Bukan begitu?

Arthur diam. Kompol diam pula, tetapi jelas memberi kesan “kalau Anda membantu, saya pun akan menolong Anda”.

Arthur mengembuskan kepulan asap rokok. Lalu katanya, “Memang benar. Saya tidak melakukannya sendiri. Juga bukan saya yang mula-mula mempunyai gagasan itu.”

Arthur diam kembali. Mungkin dalam pikirannya terbayang “membantu atau tidak membantu polisi, saya toh pasti dihukum juga. Jadi mengapa mesti buka mulut, yang akhirnya menyulut perselisihan dengan kawan.”

Kompol berdiri sambil berkata, “Saya tunggu sampai besok. Siapa pun kawan-kawan Anda, pasti dapat kami ketahui.”

Hari berikutnya Arthur memang menyatakan kesediaannya membantu polisi. Bukan mengatakan siapa kawan-kawannya, melainkan menunjukkan tempat di mana patung-patung curian itu dikubur.

“Kami menyimpan barang-barang itu di dekat Deutsch-Wagraun, di utara Wina,” kata Arthur. “Tempatnya saya tidak ingat, karena saya pun asing di sana. Seingat saya, di sana ada parit atau selokan, di jalan dari Wina ke Deutsch-Wagram, belok ke kanan. Kalau tidak salah di sana ada papan penunjuk jalan ke Porbersdorf atau Perbasdorf. Nama tempatnya saya tidak tahu, tetapi saya dapat menunjukkannya.”

“Menurut Anda,” tanya kompol, “berapa jauhnya dari Porbersdorf?” 

“Mungkin 1 kilometer, mungkin juga kurang dari itu,” kata Arthur.

“Masih ingat keadaan di sekitarnya?” 

“Ya, patung-patung itu kami kubur di tanggul di antara jalan dan parit. Ada semak-semaknya di sana, belukarnya melingkar membentuk setengah lingkaran, kalau tidak salah, membuka ke arah jalan.”

Tempat yang ditunjukkan oleh Arthur dicari. Nama desanya bukan Porbersdorf, bukan Penbasdorf, Parbasdorf. Tetapi tanggul yang disebut-sebut oleh Arthur tidak menunjukkan sebuah gundukan pun di tanah. Tampaknya rata, bahkan kompol memeriksanya dengan berbaring sendiri di tanah.

“Jangan-jangan air parit itu pernah naik sampai atas tanggul dan menyapu segala yang menonjol di atas tanggul,” pikir kompol. Belukar yang membentuk setengah lingkaran yang membuka ke arah jalan juga tidak ada.

Beberapa tempat di atas tanggul diperiksa. Akhirnya kompol menemukan bagian permukaan tanggul yang tanahnya gembur.

Benar. Patung-patung dari Kapel Rosalie itu dikubur di situ, dalam sebuah peti yang dikubur tegak. Masih utuh patung Bunda Maria dengan Bayi Yesus, empat patung orang kudus, dan dua patung malaikat gaya barok. Lengkap, kecuali ujung jari sebuah patung orang kudus.


Baca Juga: Petunjuknya Uang Lembaran Baru

 

" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834086/sepotong-jari-dalam-lipatan-kaki-celana" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310848000) } } [1]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3822813" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(89) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/mafiajpg-20230829120424.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Sebelum 1969, kasus penculikan jarang terjadi di Inggris. Namun di akhir tahun itu, ada kasus salah culik yang tidak pernah ditemukan oleh polisi." ["section"]=> object(stdClass)#124 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(89) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/mafiajpg-20230829120424.jpg" ["title"]=> string(9) "M.3-Mafia" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:04:40" ["content"]=> string(15062) "

Intisari Plus - Sebelum tahun 1969, kasus penculikan jarang terjadi di Inggris. Namun di akhir tahun itu, ada kasus salah culik. Dan hingga proses pengadilan selesai, korban tidak pernah ditemukan oleh polisi.

----------

Melarikan diri dan menyandera seseorang untuk memperoleh sesuatu atau yang lazim disebut menculik, tampaknya tidak terlalu banyak penggemarnya di kalangan penjahat Inggris. Itu mungkin karena karakter orang Inggris pada umumnya, mereka terlalu perhitungan. Ini termasuk para penjahat. Alih-alih menculik, mereka itu lebih suka menodong, merampok bank, atau mencegat kiriman uang. Besar kecilnya hasil operasi lebih mudah diperhitungkan dan dipastikan jauh-jauh hari dengan saksama. 

Dalam hal penculikan, pertama dan terpenting adalah masyarakat mengutuk para penculik. Ini sudah menjadi momok tersendiri dan kerap menghantui perencanaan penculikan. Lalu yang kedua, penculikan dengan tujuan memeras uang tebusan merupakan tindakan kriminal yang sulit pelaksanaannya. Meski sudah diperhitungkan dengan cermat, ini hampir selalu bermasalah. Tawar-menawar besarnya tebusan membuat urusan semakin berlarut-larut. Sementara itu penculik selalu melarang polisi turut campur. Lalu jika negosiasi gagal, penculik akan dihadapkan pada pilihan terakhir yaitu membunuh. Hal itu merupakan suatu keterpaksaan yang tidak mudah dihindari.

Setelah sekian lama tidak pernah terjadi, pada tanggal 29 Desember 1969 kasus penculikan pun muncul lagi di Inggris. Namun ada dua hal yang berbeda. Pertama, korban bukan orang yang seharusnya diculik. Dengan kata lain, si penjahat salah menculik orang. Kedua, penculik bukanlah orang Inggris. Hal buruk pun terjadi. Rasa keadilan masyarakat Inggris dihadapkan pada soal yang rumit sekali. Pelaku-pelakunya ditemukan dan diadili. Para saksi hadir dalam persidangan. Namun sayangnya korban tidak pernah ditemukan.

Pada tanggal 29 Desember 1969 itu Nyonya Muriel MacKay dibawa orang dari rumahnya di Wimbledon. Ketika Alick MacKay pulang dari kantornya di The News of the World di Bouverie Street, dia tidak menemukan istrinya. Ada tanda-tanda perkelahian, seperti meja dan kursi yang jungkir-balik, pesawat telepon yang tergeletak di lantai.

Beberapa jam kemudian telepon di rumah keluarga MacKay berdering. Rupanya itu telepon dari si penculik yang minta uang tebusan sebesar satu juta pounds. “Kalau tidak, dia mati!” kata suara di seberang sana. Saat itu keluarga MacKay dan polisi merasa putus asa. Namun apa yang tidak diketahui oleh keluarga MacKay adalah si penculik salah menculik orang.

Alick MacKay adalah wakil ketua perhimpunan The News of the World. Dia dan istrinya adalah warga Australia, tetapi sejak bertahun-tahun tinggal di St. Mary's House di Arthur Road, Wimbledon. Penculik sebenarnya bermaksud menculik istri Rupert Murdoch. Ia berasal dari Australia juga dan ketua perhimpunan The News of the World. Tentu saja, suami istri itu juga kaya raya.

Mayat Nyonya MacKay tidak pernah ditemukan. Suatu ketika muncul pendapat bahwa tanpa mayat, tuduhan pembunuhan tidak dapat dikenakan pada tersangka mana pun. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Memang pada kebanyakan kasus, mayat merupakan bukti yang paling meyakinkan. Luka bekas peluru di kepala atau racun dalam perut bisa membuktikan terjadinya pembunuhan, sekali pun bukti-bukti itu belum menunjukkan siapa pembunuhnya.

Menghadapi aspek khas dalam kasus penculikan Nyonya MacKay ini, pihak berwajib di Inggris benar-benar menghadapi hal yang tidak mengenakkan. Mungkin agar penuntutan perkara dapat berlangsung seefektif mungkin, Jaksa Agung Sir Peter Rawlinson turun tangan. 

Ketika penyelidikan dimulai, polisi sebenarnya sama sekali tidak mengetahui dari mana harus memulainya. Untunglah ada peristiwa lain, sebelum 29 Desember 1969, yang ternyata ada hubungannya dengan penculikan “Nyonya Murdoch”. Pada tanggal 19 Desember 1969, seorang laki-laki yang mengaku bernama Sharif Mustapha dari Norbury Road-Streatham, melapor ke balai desa. Ia mengaku baru saja terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Mobilnya menabrak sebuah Rolls-Royce. Dia ingin mengetahui alamat pemilik Rolls-Royce itu. Alamat yang diterima laki-laki itu ialah kantor The News of the World di Bouverie Street. Itu adalah alamat bersama Murdoch dan MacKay.

Dalam bulan Desember 1969 itu sebenarnya Murdoch dan istrinya sedang berada di luar negeri. Rolls-Royce Murdoch berulang kali bolak-balik antara St. Mary's House di Wimbledon dan kantor di Bouverie Street. Jadi kalau penculik menguntit Rolls-Royce, pastilah St. Mary's House dikira kediaman Murdoch. Tampaknya hal ini yang menyebabkan kesalahan tragis yang mengakibatkan diculiknya Nyonya Mackay

Dari sinilah polisi memiliki formulir isian yang diisi oleh Sharif Mustapha di balai desa saat ia melapor soal kecelakaan lalu lintas itu. Menurut ahli tulisan tangan, tulisan Sharif Mustapha sengaja dibuat sedemikian rupa. Tujuannya agar tidak mirip dengan tulisan tangan yang sebenarnya milik si pelapor. Lalu mengapa nama Sharif Mustapha yang dipilihnya?

Pengejaan Sharif Mustapha agak aneh, menurut polisi. Ini memberikan kesan bahwa Sharif Mustapha hanyalah nama palsu. Pilihan nama itu sendiri menyiratkan bahwa si pengguna nama adalah orang Pakistan atau daerah sekitarnya. Pilihan polisi pada orang Pakistan karena kebanyakan orang Pakistanlah yang namanya mirip-mirip nama Arab atau Persi seperti Sharif Mustapha.

Berpegang pada dugaan itu mulailah polisi mencari laki-laki asal Pakistan. Berapa orang? Paling sedikit dua. Menurut perhitungan polisi, satu menguasai korban, lainnya mengemudikan mobil. Dugaan polisi mengenai jumlah dua orang itu juga berdasarkan keterangan seseorang yang mengaku bernama Anderson. Anderson pada tanggal 29 Desember itu, jam 4.35 sore mengendarai mobilnya melalui Wimbledon Common menuju Putney. Di depannya sebuah mobil Volvo berjalan lambat-lambat. Anderson lalu menyalipnya. Saat melewati mobil itu, dilihatnya dua orang 'seperti Arab', tepatnya berkulit kehitaman.

Anderson rupanya memang pengamat yang cermat. Sebab 10 menit kemudian saat kembali menuju Wimbledon, dia terkejut karena melihat Volvo itu lagi. Penumpangnya masih sama. Saat itu mereka berbelok ke Church Road yang menuju St. Mary's Road. Tambahan keterangan diberikan oleh seorang wanita yang pada hari yang sama lewat di depan rumah keluarga MacKay. Katanya, dia sekitar jam 6 sore melihat rumah itu lampunya menyala dan pintu depannya tertutup. Di jalan halaman ada mobil “salon bercat gelap”.

Menurut orang-orang yang mengenal Nyonya MacKay, pintu depan rumah selalu dipalang apabila ia berada di rumah seorang diri. Kalau sampai ada tamu yang dipersilahkan masuk rumah, tentunya tamu itu dapat meyakinkan ia bahwa alasan kunjungannya benar-benar penting dan mendesak.

Ketika Alick MacKay tiba di rumahnya pada tanggal 29 Desember malam itu, dengan Rolls-Royce yang dikemudikan sopir Murdoch, dia harus membunyikan bel pintu. Tetapi tidak ada jawaban. Pintu depan pun ternyata hanya tertutup namun tidak terpalang. Alick MacKay segera ke tingkat atas mencari istrinya. Namun istrinya tidak ada di atas. Ia mencoba menghubungi polisi dengan telepon tapi ternyata kabelnya tercabut. Ketika memeriksa lebih lanjut, ia menyadari bahwa perhiasan istrinya yang seharga 600 pounds hilang. Jas hangatnya bisa digunakan bolak-balik pun ikut raib.

Di lantai ruang duduk bertebaran beberapa lembar koran The People. Salah satu dari lembaran koran tersebut memperlihatkan bekas telapak tangan manusia. Ketika diperiksa, salah satu bekas sidik jarinya ternyata sama dengan bekas sidik jari yang kemudian ditemukan pada surat Nyonya MacKay dari tempat penculikannya. 

Alick MacKay masih sempat memberitahukan putrinya, Diane Dyer, bahwa sang ibu mungkin diculik. Ketika Diane tiba bersama suaminya dari Sussex, Alick MacKay terbaring di tempat tidur. Itu dilakukan atas nasihat dokter pribadinya karena kondisi jantungnya yang tidak baik. Pesan yang diterima oleh David Dyer lewat ditelepon berbunyi, “Katakan kepada Tuan MacKay, di sini M.3, Mafia. Kami minta 1 juta pounds.” Menurut David dan polisi yang menyadap telepon, bahasa Inggris penculik tidak terlalu baik. 

Pihak polisi lalu mengusulkan agar penculik diberi saja uang palsu sebanyak yang dimintanya dan disimpan dalam sebuah tas. Tetapi sebuah mobil Volvo yang pengemudinya tidak mudah dikenal ternyata tidak mau berhenti untuk mengambil tas yang berisi uang palsu itu. Sementara itu petugas polisi lainnya yang juga menyelidiki sisik melik dari polisi lain yang pergi ke pertanian Rook. Terletak di tempat terpencil di Stocking Pelgam, pertanian itu merupakan kediaman dua bersaudara Arthur Hosein dan Nizammodeen Hosein. Keduanya ditangkap dengan tuduhan menculiknya dan membunuh Nyonya MacKay. Berminggu-minggu setelah penangkapan itu, polisi memeriksa tiap jengkal tanah pertanian yang luasnya 122.160 meter persegi. Namun tidak ditemukan mayat atau potongan tubuh satu pun. 

Pengadilan yang dipimpin Hakim Sebag Shaw berakhir dengan dinyatakannya kedua bersaudara Hosein bersalah. Mereka mendapat vonis hukuman penjara. Berapa tahun tidak penting bagi kasus penculikan Nyonya MacKay ini. Yang paling menarik ialah kenyataannya bahwa kasus tersebut sebenarnya tidak pernah terselesaikan. Banyak kritik dilontarkan pada yang berwajib yang menangani soal itu.

Begitu perbuatan kriminal itu terjadi, Detektif Wilfred Smith segera membentuk tim anti pembunuhan yang diwakili oleh Detektif John Minors dan Detektif Jim Parker. Keduanya ini masing-masing memimpin belasan bintara dan hampir 100 agen. Berkat ketekunan petugas-petugas polisi itulah, dan bantuan masyarakat, Hosein bersaudara berhasil ditangkap dan dikenakan tuduhan penculikan dan pembunuhan. Segala macam cara ditempuh polisi untuk menjebak penculik Nyonya MacKay. Misalnya, Detektif Roger Street yang perawakan dan tampaknya mirip Ian MacKay, anak laki-laki Alick MacKay, menyamar sebagai Ian MacKay. Detektif Street lalu membawa uang tebusan ke tempat yang disetujui. Di saat yang sama, sekitar 50 petugas polisi lainnya mengepung tempat tersebut. Tujuannya agar mereka dapat segera menangkap penculik dan menyelamatkan Nyonya MacKay. 

Polisi lainnya bersiap-siap di dalam mobil preman, agar sewaktu-waktu dapat menyerbu ke tempat uang tebusan harus diletakkan. Beberapa petugas polisi lainnya diberi motor preman dan berpakaian seperti lazimnya anak-anak brandalan anggota Klub Pengebut Maut. Mereka mengenakan jaket kulit dan helm yang berlambang swastika. Sayangnya, ide unik yang terakhir itu malahan menjauhkan penculik dari perangkap polisi. Sebab mana ada tukang ngebut yang memperhatikan rambu-rambu lalu lintas atau berperawakan gagah.

Polisi juga menggunakan metode rumit untuk mengidentifikasikan suara yang muncul dalam pembicaraan-pembicaraan antara penculik dan keluarga korban. Suara-suara lewat telepon direkam. Suara itu diputar ulang dengan alat-alat elektronik yang juga menghasilkan grafik, sesuai dengan logat pembicaraan. Dengan cara inilah pula diperkuat dugaan bahwa penculik Nyonya MacKay bukan orang Inggris asli, sekalipun bahasa Inggrisnya cukup baik. Dari suaranya, diperkirakan para penculik adalah orang Pakistan atau Hindia Barat.

Sekalipun penangkapan sudah dilakukan, pernyataan salah sudah dijatuhkan, namun banyak hal sebenarnya belum terjawab dalam pengadilan kasus penculikan Nyonya MacKay. 

Tidak terbukti bahwa Nyonya MacKay langsung dibawa ke rumah pertanian Rook setelah diculik. Mungkin Nyonya MacKay pernah disekap di kediaman Hosein bersaudara itu. Apakah dia dibawa, misalnya, ke salah satu rumah di Streatham di mana memang banyak orang Hindia Barat? Kalau dibunuh, siapa yang sebenarnya membunuh dan bagaimana caranya? Hosein bersaudara dinyatakan bersalah, tetapi benarkah keduanya yang membunuh Nyonya MacKay? Mungkinkah salah satu dari mereka yang membunuh atau jangan-jangan ada pihak lain? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah terjawab dengan jawaban yang menyelesaikan persoalan. Lalu di mana mayat Nyonya Mackay? Mungkinkah dimasukkan ke dalam tembok ruang bawah tanah yang biasa dimiliki oleh sebagian besar rumah?

Banyak orang yang mengikuti sidang pengadilan kasus itu meragukan ketepatan tindakan polisi dalam mencari penculik. Tidakkah usaha polisi mengepung tempat uang tebusan justru menimbulkan kepanikan penculik? Mungkin karena itu penculik akhirnya memutuskan untuk membunuh si korban saja.

Banyak orang menganggap keliru prioritas yang diberikan oleh polisi pada pembunuhan, sedangkan soal penculikan malahan dinomor duakan. Soal prioritas ini menyebabkan polisi berusaha mati-matian untuk mencegah pembunuhan. Bahkan niat pihak keluarga untuk berusaha membayar uang tebusan dan mengeluarkan polisi dari urusan dengan penculik, justru dianggap oleh polisi sebagai keengganan keluarga untuk bekerja sama dengan polisi. Polisi menganggap keluarga takut jangan-jangan ancaman penculik itu dilaksanakan.

Masih ada pertanyaan besar yang juga tidak terjawab dengan tepat. Pengadilan menyatakan, “Oknum-oknum ini menculik Nyonya MacKay. Mereka menguasai korban. Karena kini korban hilang, pastilah mereka yang membunuhnya.” Banyak orang yang mengikuti jalannya sidang meragukan kebenaran pernyataan itu. Benarkah untuk menculik, seseorang juga harus membunuh?

(Gerald Sparrow)

Baca Juga: Penculiknya Mirip Tsar Nikolas II

 

" ["url"]=> string(53) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822813/m3-mafia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310680000) } } [2]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835263" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/informasi-melimpah-yang-membuat-20230804052613.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Edwin L. Burdick tinggal di rumah mewah. Setelah peristiwa tragis, muncul kesaksian yang mengungkapkan kehidupannya yang penuh skandal dan amoralitas." ["section"]=> object(stdClass)#128 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/informasi-melimpah-yang-membuat-20230804052613.jpg" ["title"]=> string(48) "Informasi Melimpah yang Membuat Polisi Kewalahan" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:26:22" ["content"]=> string(24305) "

Intisari Plus - Edwin L. Burdick, usahawan sukses di Buffalo, New York tinggal di sebuah rumah mewah dan menjadi anggota klub-klub sosial terkemuka. Setelah peristiwa tragis, muncul laporan dan kesaksian yang mengungkapkan kehidupannya yang penuh skandal dan amoralitas.

----------

Edwin L. Burdick terkenal di kalangan atas di kota Buffalo, New York. Ia seorang usahawan yang mempunyai karier cukup gemilang.

Burdick memulai usahanya pada usia 18 tahun. Tak lama kemudian ia telah dapat mengambil oper dan memiliki sebuah badan penerbit majalah perdagangan The Roller Mill. Setelah itu ia mendirikan “The Buffalo Envelope Company” yang mempekerjakan tak kurang dari 10 orang, dan memproduksi paling sedikit 400.000 sampul tiap hari.

Dalam resepsi-resepsi kalangan terkemuka ia dan istrinya yang cantik, Alice HulI, hampir selalu diundang. Sebaliknya Mr. dan Mrs. Burdick kerap kali mengadakan pesta ramah tamah di tempat kediaman mereka di Ashland Avenue, sebuah rumah yang mewah dengan 14 kamar. Dan Burdick menjadi anggota berbagai club untuk memperluas hubungan sosial, di antaranya Elmwood Dancing Club dan Red Jacket Golf Club.

Selama 17 tahun suami istri Burdick tampaknya hidup bahagia. Sampai akhirnya pada hari Jumat tanggal 27 Februari 1903 Burdick mati terbunuh di kamarnya.

Begitu berita tentang kematiannya tersiar, banyak laporan, kesaksian-kesaksian, dan perkiraan-perkiraan disampaikan kepada polisi. Hampir semua keterangan-keterangan itu memberi gambaran bahwa kehidupan Burdick dan kawan-kawan di sekelilingnya penuh skandal dan amoralitas.

Koran-koran mengungkapkan aneka macam praktik yang menurut mereka terjadi di belakang pintu Elmwood Dancing Club dengan anggotanya terpilih dan terbatas. Para pria dan wanita yang telah kawin, berkumpul di situ untuk melewatkan waktu dalam suasana romantis, bemesra-mesraan tapi tidak perlu dengan suami atau istri mereka sendiri.

Masuknya informasi-informasi ini barangkali untuk sebagian dirangsang oleh situasi terbunuhnya Edwin L. Burdick.

Mayat Burdick ditemukan pada jam 8.30 pagi oleh ibu mertuanya, Mrs. Maria Hull yang tinggal di rumah menantunya. Segera wanita itu mengundang dokter keluarga untuk memeriksa mayat. Kemudian memberitahukan kejadian pembunuhan itu kepada polisi. Petugas resmi yang datang adalah komandan detektif Patrick V. Cusack, anak buahnya James Sullivan dan seorang dokter, Dr. John Howland.

Burdick hanya memakai hem dan celana dalam. Kepala dan mukanya menunjukkan bekas-bekas penganiayaan berat. Setelah memeriksa mayat, Dr. Howland menyatakan sebagai berikut: “Korban meninggal akibat pukulan pada kepalanya. Senjata pembunuh berupa benda pipih yang cukup berat. Saat kematian kira-kira jam 12 atau 1 malam.”

Beberapa hal dalam kamar tempat terjadinya pembunuhan menarik perhatian polisi. Di atas meja terletak dua gelas yang telah diminum, sebuah botol alkohol setengah kosong dan beberapa potong keju Camembert.

Jas dan celana Burdick terletak di atas sandaran kursi. Dalam sakunya terdapat sebuah revolver terisi peluru sedangkan dalam saku lain ditemukan sebuah dompet, yang padat berisi uang. Polisi memperoleh kesan bahwa Burdick sebelumnya sudah merasa dirinya terancam hingga merasa perlu membawa senjata api. 

Dua orang wanita pembantu rumah tangga Burdick, tak dapat memberi keterangan apapun yang berharga bagi polisi. Mereka tak tahu apakah majikannya malam itu menerima tamu di kamarnya. Ditanya soal dua gelas, minuman keras dan keju di atas meja, mereka hanya bisa menjawab, bahwa Burdick rupanya mengambil sendiri makanan itu dari dapur.

Sementara itu polisi, dapat memperoleh keterangan yang berharga dari ibu mertua korban walaupun sedikit saja. Menurut Mrs. Hull adanya gelas dan keju itu berarti bahwa Burdick malam itu pasti menerima tamu. Sebab Burdick tak pernah minum sendirian lagi pula sama sekali tak suka keju Camembert.

“Di mana Mrs, Burdick? Mengapa ia tak ada di rumah?”, tanya detektif Sullivan tanpa pikir panjang bahwa pertanyaan ini bisa menyinggung perasaan Mis. Hull.

Jawab wanita itu, sudah sejak kira-kira dua bulan Mrs. Burdick singgah di Atlantic City dan menginap di hotel Traymore. Mrs. Hull telah memberitahukan kematian Burdick kepada istrinya, yang ia harapkan segera akan datang.

Komandan Cusack tertarik pada jawaban ini, mengingat bahwa mayat Burdick ditemukan hanya dengan pakaian dalam dan di kamar terdapat minuman keras dengan dua gelas saja. Dan pertemuan berduaan ini terjadi di kamar tidur. Maka ia bertanya, mengapa Mrs. Burdick pergi. Apakah ia telah atau berniat bercerai dari suaminya, barangkali karena Burdick mempunyai seorang kekasih.

Mrs. Hull sama sekali tak memperlihatkan perasaan tersinggung mendapat pertanyaan demikian. Ia hanya menjawab tak tahu menahu soal itu dan mempersilahkan para detektif menghubungi pengacara anaknya perempuan, yaitu Mr. Arthur Reed Penneli.

Keyakinan Cusack bahwa dalam perkara pembunuhan itu pasti soal percintaan, semakin kuat karena di seluruh rumah sama sekali tak terdapat tanda-tanda yang menunjuk ke arah pencurian atau perampokan.

Apalagi Cusack menemukan sebuah foto seorang wanita molek umur tiga puluhan dengan tulisan ”Dengan iringan cinta, Gertrude". Di samping foto yang ditemukan dalam laci meja Burdick itu, para detektif menemukan pula guntingan koran terbitan beberapa minggu yang lalu berisi berita tentang perceraian seorang pengusaha kaya di Cleveland, George Warren, dari istrinya. Helen. Berita itu berakhir dengan sebuah kalimat yang menyatakan bahwa Mrs. Warren akan segera pulang ke kota asalnya, Buffalo.

Kini Cusack dan Sullivan kembali ke markas. Di sana segera menghubungi rumah Mr. Arthur Reed Pennell lewat telepon. Istrinya mengatakan bahwa Mr. Pennell sedang ke air terjun Niagara dengan mobilnya yang baru, dan barangkali menginap di Prospect Hotel. Dengan alamat hotel ini polisi kirim telegram agar Pennell pulang secepat mungkin.

Sementara itu Cusack mencari keterangan pada Charles Park, kompanyon Burdick dalam usahanya dengan “Buffalo Envelope Company”. Charles Park dengan nada penuh kejujuran menyatakan bahwa pembunuhan Burdick jelas tak ada sangkut pautnya dengan perusahaannya.

Tentang keadaan keluarga Burdick ia tak tahu banyak karena hubungan antara dia dan keluarga itu bersifat hubungan sebagai kompanyon perusahaan. Hanya ia mendengar bahwa Burdick dan istrinya akhir-akhir ini tampaknya tak begitu baik.

Lebih jauh Park menyatakan bahwa Burdick di kantornya sering mendapat kunjungan dari seorang laki-laki bernama Boland. Burdick pernah mengatakan kepada Park, bahwa hubungannya dengan Boland sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan perusahaan. “Soal pribadi, bahkan sangat pribadi”, Burdick menambahkan.

Dari rumah Park, para detektif mampir sebentar di kantor Dr. Howland untuk menanyakan, apakah pukulan keras yang mematikan Burdick itu, bisa dilakukan oleh seorang wanita. Jawab sang dokter: Tidak mustahil, sebab tulang tengkorak Burdick ternyata tak begitu keras.

Jumat sore Arthur Reed Pennell, pengacara Mrs. Burdick telah sampai di Buffalo dan segera datang di kantor polisi. Orangnya tampan, umur empat puluhan, berkumis, dagunya kokoh. Tingkah lakunya penuh kepercayaan diri, pandai bicara. Bukan tanpa sebab ia dipandang sebagai salah seorang ahli hukum yang paling cemerlang di Buffalo. 

“Saya telah mendengar tentang nasib tragis yang menimpa Burdick itu. Bantuan apa yang dapat saya berikan kepada Anda?", tanya Pennell kepada Cusack.

“Dari percakapan dengan Mrs. HulI, saya mendapat kesan bahwa hubungan antara Burdick dengan istrinya akhir-akhir ini begitu baik. Tentang soal ini, Mrs. HulI menyarankan agar saya mencari keterangan dari Anda?”, Cusack menjawab.

“Baiklah. Tapi sebetulnya saya ragu, apakah persoalan-persoalan pribadi yang dipertanyakan Mrs. Burdick kepada saya sebagai pengacaranya, dapat begitu saja saya buka di hadapan Anda”, kata Pennell.

“Persoalannya bisa kita pandang dari segi lain”, Cusack menjelaskan, “Kiranya anda tak akan berkeberatan untuk memberi keterangan apakah dalam perkara pembunuhan ini ada soal wanita".

Argumen ini rupanya berhasil meyakinkan Pennell. “Memang", kata pengacara itu. “Demi tegaknya keadilan dan lancarnya pengusutan perkara pembunuhan ini, baiklah saya katakan, bahwa Mrs. Burdick minta jasa saya agar dapat bercerai dari suaminya atas dasar-dasar hukum. Saya bisa menyebut nama 3 orang wanita yang berhubungan dengan Burdick”.

“Apakah salah satu di antaranya bernama Gertrude?”

“Anda telah tahu?”, kata Pennell keheranan. “Memang. Nama lengkapnya Gertrude Paine, seorang janda yang telah bercerai dari suaminya. Ia piaraan Burdick".

“Lalu siapa itu Helen Warren dari Cleveland?"

Pennell lebih terheran lagi, “Banyak juga yang telah anda ketahui! Ya, dia juga. Dan karena Burdick- lah wanita itu bercerai dari suaminya”.

Lalu Pennell menambahkan nama wanita ketiga, Marian Hutchinson yang biasa membantu Burdick pada perusahaan sampul. Tapi di mana alamat ketiga wanita itu, Pennell tidak tahu. Tetapi ia yakin, mereka pasti masih di Buffalo.

“Mereka akan saya temukan”, Cusack menggumam, untuk kemudian berpamitan dari Pennell sambil mengucapkan terima kasih.

Memang, hari berikutnya polisi telah menemukan alamat wanita-wanita itu — setidak-tidaknya dua di antara mereka, ialah Mrs. Helen Warren dan Mrs. Gertrude Paine.

Melihat Mrs. Warren para detektif terpesona. Selera Burdick sungguh tidak murahan sejauh menyangkut segi fisik wanita pilihannya. Mrs. Helen yang berambut keemasan dan bertubuh mungil itu, memang memiliki kecantikan yang luar biasa. Demikian pula Mrs. Gertrude Paine, yang tinggal dalam sebuah apartemen, tak jauh dari hotel tempat Mrs. Warren menginap.

Tetapi kedua-duanya menyangkal keras sangkaan polisi terhadap diri mereka. Cusack dan Sullivan dicaci maki habis-habisan oleh kedua wanita itu. Mereka menyangkal pernah menjadi kekasih Burdick. Tetapi yang lebih penting lagi, baik Mrs. Helen maupun Mrs. Gertrude dapat memberikan alibi yang tak tergoyahkan. Sejumlah saksi menguatkan pernyataan mereka, bahwa pada saat pembunuhan Burdick, mereka berada di tempat yang letaknya beberapa kilometer dari Buffalo menghadiri sebuah party.

Masih ada satu harapan, barang kali wanita yang bernama Marian Hutchinson dapat memberi penjelasan tentang pembunuhan Burdick. Kebetulan hari itu juga — Sabtu, sehari setelah terjadinya pembununuhan — datang seorang bernama Henry Jeddo di kantcr polisi. Pekerjaannya menyewakan kereta yang ditarik kuda itu. Ia mengatakan bahwa pada hari Jumat malam, keretanya ditumpangi seorang wanita yang pernah bekerja pada Buffalo Envelope Company dan ciri-cirinya cocok dengan gambaran yang diberikan oleh Arthur Reed Pennell kepada polisi. Ia menyatakan kesediaannya membantu polisi mencarinya.

Sementara itu lebih banyak informasi-informasi yang masuk di markas polisi. Lebih-lebih setelah pada hari Sabtu acara-acar memuat berbagai skandal yang pernah terjadi dj Elmwood Dancing Club dan pada hari Minggu para pendeta di gereja mengucapkan khotbah yang berapi-api tentang kebejatan moral kaum lelaki di kota Buffalo.

Akibatnya, pada hari Senin kantor Cusack kebanjiran laporan yang berisi aneka macam cerita tentang penyelewengan suami A atau istri B. Sampai Cusack mengeluh karena kantornya menjadi seperti kantor penasehat perkawinan saja. Namun sebagian besar cerita-cerita itu banyak sedikit ada hubungannya dengan tingkah laku almarhum Burdick.

Dalam pada itu Mrs. Burdick telah kembali dari Atlantic City. Wanita yang baru saja menjadi janda itu, perawakannya ramping, bahkan agak kurus. Sepasang mata berwarna hitam bersinar dari wajahnya yang cantik. Mrs. Burdick mengenakan pakaian hitam tanda berkabung. Ia menerima Cusack dan Sullivan dengan sikap serius dan muka sedih yang membuat kedua petugas itu merasa terharu.

“Saya dengan senang hati ingin membantu Anda. Tetapi lebih baik lain kali, jika hati saya sudah agak reda. Hubungi saja Mr. Pennell. Keterangan-keterangan yang dapat saya berikan kepada Anda, dia pun dapat memberikannya. Dan ia pasti bersedia memberi segala bantuan”.

Sementara itu, pada hari Senin itu juga, pemilik kereta berkuda, Henry Jeddo bersama dengan seorang anak buah Cusack mencari Marian Hutchinson di pinggiran kota Buffalo. Dan' berhasil.

Seperti halnya dengan Mrs, Helen dan Gertrude, Marian Hutchinson pun seorang wanita cantik. Rambutnya merah, tubuhya padat, berisi, kepribadiannya memancarkan kewanitaan buas yang penuh gairah.

Kata-kata pertama yang diucap oleh wanita itu di hadapan Cusack adalah dampratan ganas karena merasa terhina ditahan seperti seorang penjahat. Tetapi polisi berhasil meredakannya. Dan Marian Hutchinson memberikan keterangan dengan jujur.

Memang ia pernah bekerja pada Buffalo Envelope Company, katanya. Tetapi kemudian ia keluar setelah berhasil mengumpulkan sejumlah modal. Dengan uang yang ia kumpulkan dengan susah payah itu, ia bermaksud menempuh karir sebagai penjanji.

Kadang ia memang berhubungan dengan Burdick sewaktu bekerja di perusahaannya. Tetapi hubungan itu sama sekali tak mempunyai corak romantis. Pertemuan-pertemuannya dengan Burdick selalu berlangsung di tempat terbuka, dihadapan umum.

Desas-desus seolah-olah ia pernah menerima bantuan finansial dari Burdick adalah omong kosong. Ia memiliki cukup harta dan tak memerlukan bantuan dari siapa pun juga.

Memang, pada hari Jumat malam ia menumpang kereta Henry Jeddo, “Adakah undang-undang yang melarang seseorang naik kereta ke Ashland Avenue?”, ia bertanya dengan nada mengejek. “Ketika itu saya dan rekan-rekan saya menjanji di rumah seorang teman. Jam satu malam saya telah sampai di rumah. Saya bisa mengajukan sekarang suami-istri sebagai saksi mata. Toh bukan salah saya jika latihan nyanyi itu berlangsung di sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari rumah Burdick.

Lalu wanita itu menyebutkan sejumlah nama orang-orang yang dapat diminta kesaksiannya tentang apa yang ia katakan kepada polisi. Menjelang sore jelaslah sudah  bahwa alibi yang diajukan oleh Marian Hutchinson tak bisa diganggu gugat.

Selasa berlalu tanpa dipanen keterangan-keterangan baru yang berharga. Tapi Rabu sore jalannya pengusutan mengalami perkembangan baru berkat informasi dari Charles Parks kompanyon Burdick yang telah disebutkan di atas.

Ia menelepon polisi. Katanya: “Anda masih ingat itu orang bersama Boland yang beberapa kali mengunjungi Burdick di kantonya? Nah, kini saya tahu siapa dia sebenarnya. Sore ini di kantor datang beberapa cek dari bank, yaitu cek Burdick dari bulan Februari. Sekalipun tak berhak, saya memberanikan diri untuk memeriksanya. Salah satu cek itu, dikeluarkan tiga minggu yang lalu dan dialamatkan kepada Agen Detektif Boland, dengan catatan, untuk pembayaran penuh jasa-jasa yang telah diberikan. Cek itu dikirimkan ke New York City Bank".

Informasi ini menimbulkan teka-teki di benak komandan Cusack. Menurut keterangan-keterangan yang diperoleh sampai kini. Burdick tampaknya lebih cocok menjadi sasaran penyelidikan seorang detektif. Tetapi menurut informasi dari Charles Parks,  Burdick malahan menyewa detektif untuk menyelidiki sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?

Segera Cusack kirim kawat ke Broadway 220, alamat Boland Detective Agency, untuk minta keterangan tentang jasa yang diminta almarhum Burdick. Jawaban dengan telegram datang hari berikutnya. Bunyinya: Burdick minta penyelidikan alasan-alasan untuk perceraian, harap kirim orang ke New York untuk peroleh detail-detail.

Kamis malam detektif Sullivan telah sampai di New York dan hari berikutnya langsung menemui James Boland. Sullivan merasa seperti seorang petinju yang mendapat pukulan knock out ketika mendengar keterangan dari detektif swasta itu. Keterangan itu menghancurkan semua teori yang ia susun dengan Cusack sampai saat itu.

Lebih dari tiga bulan yang lalu demikian Boland. “Burdick datang di kantor saya membawa seberkas surat-surat yang ia temukan di rumahnya. Surat-surat itu tertuju kepada istrinya dan berasal dari seorang ahli hukum di Buffalo bernama Arthur Reed Pennell. Dari surat-surat itu jelas bahwa sejak beberapa waktu Pennel dan Mrs. Burdick menjaiin hubungan cinta gelap. Burdick minta kepada saya untuk mencari bukti-bukti yang kokoh tentang hal itu agar ia dapat menceraikan istrinya'’.

Boland berhasil mengumpulkan data-data tanpa banyak kesukaran. Alice Hull Burdick memang kekasih Pennell. Pernah Boland menguntit Pennell dan Alice sampai ke sarang percintaan mereka di Buffalo. Kira-kira akhir Desember 1902, dua bulan sebelum terbunuh, Burdick secara terang-terangan menuduh istrinya berzina. Inilah sebabnya maka Mrs. Burdick lalu pergi ke Atlantik City.

Burdick minta agar Boland meneruskan menguntit istrinya. Hasilnya sama. Beberapa kali Boland membayangi perjalanan Mrs. Burdick ke New York, di mana wanita Itu berkencan dengan Pennell di beberapa hotel.

Pada suatu malam Boland  berdiri di dekat Pennell yang sedang pesan minuman di sebuah bar. Dalam keadaan mabuk, Pennell berkata kepada pelayan bar, “Ada seorang musuh yang hendak kubunuh di Buffalo; biar aku kemudian digantung”.

Hal ini diberitahukan oleh Boland kepada Burdick, yang sejak itu senantiasa membawa senjata.

Beberapa minggu yang lalu, Burdick kirim cek kepada Boland, dengan sepucuk surat yang menyatakan bahwa ia (Burdick) sudah siap untuk menyerahkan seluruh persoalan kepada pengacaranya. Istri saya dan Pennell sudah mengetahui maksud saya”, Burdick mengakhiri suratnya.

Informasi ini membuat persoalan menjadi jelas. Rupanya Pennell sebagai seorang pengacara terhormat di Buffalo, takut namanya menjadi tercemar di mata umum jika Burdick melaksanakan niatnya. Inilah yang mendorong Pennell untuk mendatangi Burdick, entah dengan maksud agar Burdick mengurungkan proses perceraian dengan istrinya, entah untuk membunuhnya. Bagaimana pun berakhir dengan terbunuhnya Burdick.

Untuk mengelabui polisi, Pennell rupanya lalu meletakkan botol minuman keras, dua gelas dan keju Camembert tanpa mengetahui bahwa Burdick sama sekali tak suka makan keju jenis itu.

Untuk lebih menyesatkan penyelidikan polisi, kemudian Pennell masih menyebutkan nama-nama tiga orang wanita sambil memberi kesan kepada polisj bahwa wanita-wanita itu mempunyai hubungan gelap dengan Burdick.

Sullivan segera mengawatkan informasi baru ini kepada komandannya, Cusack. Sementara itu yang terakhir ini telah menyelidiki Pennell dan menanyakan alibi. Ternyata alibi yang dikemukakan pengacara itu amat lemah. Satu-satunya saksi yang menyatakan bahwa Pennell pada saat kejadian berada di tempat lain, nanyalah istrinya sendiri yang tampak gugup.

Cusack sebenarnya bermaksud seketika itu juga menahan Pennell. Tapi ia dicegah oleh atasannya yang belum begitu yakin akan keterlibatan pengacara terhormat itu dalam pem- bunuhan Burdick.

Atasan yang masih ragu-ragu itu, berjanji akan menjatuhkan keputusannya pada hari Senin 9 Maret. Dan keputusan itu berbunyi: Setuju Pennell ditahan.

Cusack dan Sullilvan buru-buru pergi ke kantor sang pengacara. Ternyata ia tidak ada. Di rumahnya juga tak ditemukan.

Ternyata satu jam sebelum Cusack dan Sullivan datang, Arthur Reed Pennell dan istrinya pergi naik mobil mereka yang baru. Menurut saksi-saksi mata, ketika sampai di sebuah tempat dengan jurang di sisi jalan, mobil Pennell menyerong ke kanan denga tajamanya dan mencebur ke dalam jurang Gehres Quarry. Suami-istri Pennell mati seketika.

Bahwa kejadian ini adalah peristiwa bunuh diri, tampaknya tak dapat diragukan. Pengacara terhormat itu rupanya merasa tak kuat menanggung aib jika percintaannya dengan Mrs. Burdick sampai tersingkap lewat pengadilan.

Beberapa orang saksi, di bawah sumpah menyatakan bahwa sehari sebelum terjadjnya “keceakaan”, mereka melihat Pennell berjalan kaki, menyelidiki tempat “kecelakaan" itu dengan teliti. Dan dalam saku Pennell ditemukan guntingan halaman dari majalah-majalah —semuanya memuat sajak-sajak tentang bunuh diri.

Sebuah kalimat dari salah satu di antara sajak-sajak itu dicoret tebal bawahnya. Kalimat itu berbunyi: Tertegun sering aku, melihat lelaki kuat dan wanita-wanita lembut hati dengan hati tabah tanpa ketakutan menyongsong Maut Agung.

(Charles Boswell & Lewis Thomson)

Baca Juga: Kaleng 'Hamil'

 

" ["url"]=> string(93) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835263/informasi-melimpah-yang-membuat-polisi-kewalahan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169982000) } } [3]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3805143" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/mengejar-setan-apijpg-20230728054025.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(144) "Gruezi-Falschmelder kerap membuat ulah di Swiss. Ia membakar beberapa tempat dan memberi laporan palsu kepada polisi mengenai lokasi kebakaran. " ["section"]=> object(stdClass)#132 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/mengejar-setan-apijpg-20230728054025.jpg" ["title"]=> string(18) "Mengejar Setan Api" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:40:33" ["content"]=> string(23699) "

Intisari Plus - Gruezi-Falschmelder kerap membuat ulah di Swiss. Ia membakar beberapa tempat dan memberi laporan palsu kepada polisi mengenai lokasi kebakaran. Selama beberapa tahun polisi dibuat pusing oleh ulahnya.

----------

Selama bulan-bulan terakhir itu di Indonesia terjadi beberapa kebakaran hebat secara berturut-turut. Tiga yang paling besar antara lain: kebakaran di Tanjung Priok tanggal 24 Mei dengan korban jiwa 73 orang dan kerugian sebesar kurang lebih 500 juta rupiah; kebakaran di PLTU Ujung Pandang dengan kerugian 200.000 USD pada tanggal 21 Juni; kebakaran Markas Komdak XVIII Ujung Pandang tanggal 1 Agustus dengan kerugian 100 juta rupiah.

Masih belum jelas apakah kebakaran beruntun itu hanya suatu kebetulan atau ada unsur kesengajaan, misalnya kejahatan atau subversi.

Perkara kriminal berikut ini menyangkut bencana kebakaran di Swiss antara tahun 1958 sampai 1960. Pelakunya yang terkenal dengan nama Gruezi-Falschmelder atau juga si setan api. Ia bak hantu yang selalu saja berhasil lolos dari kejaran polisi.

Gruezi adalah ucapan salam yang lazim di Swiss. Falschmelder berarti pelapor palsu. Penyebar kebakaran yang misterius itu disebut “Gruezi-Falschmelder” karena ia selalu mulai dengan salam gruezi bila melaporkan peristiwa kebakaran kepada polisi. Dan laporannya palsu. Artinya, ia mengatakan kepada polisi lewat telepon bahwa di tempat X terjadi kebakaran. Padahal si jago marah sedang melalap tempat lain.

Dengan laporannya yang palsu itu ia memancing barisan pemadam kebakaran ke suatu tempat. Ini membuat mereka tidak bisa bergerak cepat untuk memadamkan api yang mengamuk di tempat di mana oknum misterius itu mengobarkan api.

Si setan api mulai beraksi bulan September 1958. Sasarannya adalah sebuah rumah taman di perkampungan 11 di Zurich. Itu terjadi pada 18 September, di tengah hari siang hari bolong. 2 hari kemudian, tanggal 20 September terjadi kebakaran di tiga tempat. Salah satunya adalah bangunan di lapangan Stasiun Oerlikon. Untung, kebakaran lekas diketahui hingga akibatnya tidak seberapa.

Polisi meningkatkan kewaspadaan. Tapi akhirnya kebakaran terjadi lagi. Selanjutnya adalah di peron Stasiun Oerlikon. Untuk mempermainkan dinas kebakaran, si Gruezi-Falschmelder mengatakan kepada polisi bahwa ada kebakaran di sebuah gedung bioskop di bagian lain Kota Zurich.

Setelah itu keadaan reda sampai bulan Februari 1959. Di bulan Februari, setan api berulah lagi. Beberapa kebakaran melanda rumah di berbagai penjuru kota. Bulan April 1959, pada suatu malam 3 bangunan menjadi mangsa api, dua di dekat stasiun utama Zurich, satu di pinggiran kota. Pada peristiwa yang terakhir itu, seorang petani menjadi korban; gudangnya tempat menyimpan produksi dan alat-alat pertanian terbakar. Untung usaha menahan api bisa cepat dilakukan. Terlambat sedikit saja, seluruh rumah petani itu pasti akan habis terbakar.

Seakan-akan masih belum puas dengan perbuatan biadabnya, setan api malam itu juga masih menerjang sebuah barak penyimpan bahan-bahan bangunan di perkampungan yang sama.

Polisi melakukan beberapa upaya untuk menangkap si setan api. Mereka menyadap telepon di kantor dinas kebakaran. Dengan cara ini polisi bermaksud untuk merekam suara Gruezi-Falschmelder. Rekaman suara itu akan digunakan sebagai bukti apabila mereka nanti berhasil menangkapnya.

Selain itu, pimpinan dinas kebakaran mengeluarkan instruksi kepada para anak buahnya agar tidak memberi reaksi apa pun kepada si setan api. Cukup menyatakan terima kasih sambil mengajaknya bicara selama mungkin. Ini untuk memberi kesempatan pada bagian kontrol agar bisa mengambil tindakan.

Tetapi rupanya penyebar kebakaran itu sudah curiga. Dia selalu waspada. Kebanyakan si setan api bicara singkat saja. Begitu selesai menyampaikan laporan palsunya, langsung ia meletakkan gagang telepon.

Satu kali polisi hampir berhasil menangkapnya, yaitu pada tanggal 2 April 1959. 

Gruezi, di sini Notzli dari firma Nageli-Eschmann,” ujar setan api lewat telepon. “Di perkampungan kami ada kebakaran. Di Siewerdstrasse 7. Terjadi ledakan dalam sebuah laboratorium. Jatuh korban satu orang, ia terluka. Dapatkah saudara menelepon rumah sakit? Atau saya saja yang menelepon kesana?”

Telepon datang dari sebuah kedai minum di Bahnhofstrasse. Sebuah mobil patroli segera menuju ke sana. Sayang, ketika para petugas sampai di kedai minum tersebut, ternyata si setan api sudah kabur.

Tapi gadis pelayan kedai minum itu masih ingat orangnya. Baru saja ia menggunakan telepon di situ. Oknum itu adalah seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun, bertubuh ramping, tingginya 1,75 m. Pakaiannya berwarna gelap. Pelayan kedai melihatnya jelas ketika pemuda itu membayar biaya telepon. Sehabis membayar, pemuda itu segera berlari ke halte trem di depan kedai tersebut. Ia langsung meloncat masuk ke dalam trem nomor 7 yang saat itu kebetulan lewat. 

Polisi mengajak gadis pelayan kedai itu masuk ke dalam mobil patroli untuk mengejar trem itu. Pada halte yang ketiga setelah halte stasiun, trem sudah terkejar. Pelayan kedai mencari-cari wajah anak muda yang dilihatnya. Tapi orangnya sudah tidak ada. Barangkali ia sudah turun di salah satu halte yang sebelumnya.

Pengejaran gagal. Tapi paling tidak polisi sekarang sudah mempunyai sekadar gambaran bagaimana kira-kira rupa dan wujud buronan mereka.

Oknum penyebar kebakaran ini tampaknya penderita kelainan jiwa. Orang seperti itu disebut piromania, yaitu orang yang tergila-gila pada api. Seorang kleptomania merasakan dorongan yang tak tertahankan untuk mencuri. Sedangkan piromania, dia keranjingan api. la menikmati pemandangan nyala api yang dikobarkannya.

Jadi, pikir polisi, oknum misterius itu kemungkinan besar akan menyelinap di tengah-tengah keramaian yang berkerumun melihat kebakaran. Itu dilakukan untuk menikmati pemandangan api yang berkobar-kobar. Maka setelah pemergokan setan api di Bahnhofstrasse, tiap kali ada kebakaran, polisi menyebar orang-orangnya untuk mencari Gruezi-Falschmelder di tengah-tengah kerumunan. Namun ternyata upaya itu tidak membuahkan hasil. 

Kini polisi lebih teliti mempelajari cara-cara setan api melakukan kegiatan biadabnya. Satu hal yang menarik perhatian. Oknum itu tidak pernah menggunakan bahan bakar seperti bensin atau minyak tanah. la memilih cara yang lebih ia sukai dan menuntut kesabaran. Diketahui kemudian, si setan api menggunakan koran yang dibakar dengan korek api biasa. Ia memulainya dari tempat yang mudah dilalap api, misalnya gudang yang terbuat dari papan atau bagian rumah yang berdinding kayu.

Cara yang dipraktikkannya ini memang lebih aman dan menjamin kerahasiaan. Koran dan korek api mudah disimpan dan dibawa ke mana-mana tanpa menarik perhatian. Lain halnya jika orang menggunakan bensin atau jenis minyak lain. Ia harus membawa kaleng, botol, atau jeriken yang mudah dilihat orang. Lagi pula barang ini bisa tertinggal di tempat kejadian. Ini berarti bahwa pelakunya meninggalkan jejak yang dapat ditelusuri. 

Karena tak ada jejak lain maka polisi terpaksa hanya berpegang pada suara si setan api. Suara itu, seperti telah disebutkan diatas, sudah sejak lama direkam dengan tape recorder.

Akan tetapi suara rekaman itu tidak dapat memberi petunjuk yang pasti. Memang, setan api mempunyai logat dari daerah tertentu di Swiss. Tapi ada puluhan anak muda seusia dia, yang memiliki logat yang sama, mempunyai suara seperti oknum tersebut. Lagi pula, siapa tahu, pemuda itu menutup mulutnya atau gagang telepon dengan kain ketika berbicara dengan polisi. Hingga suaranya berubah dan sukar dikenali seandainya nanti setan api itu tertangkap dan diperiksa suara aslinya.

Begitulah waktu berlalu tanpa polisi bisa berbuat banyak. Sampai akhirnya seorang anggota kepolisian Zurich menemukan sebuah artikel dalam sebuah majalah Amerika.

Artikel itu membahas soal sebuah alat modern yang ditemukan di Amerika Serikat dan dapat merekam suara dalam bentuk gambar.

Alat ini bukan sekadar “pemotret suara” manusia. Lebih dari itu, pesawat tersebut dapat mengurai kata-kata yang diucapkan, menganalisa unsur-unsur vokal dan konsonannya, serta merekam unsur itu dalam bentuk gambar getaran suara.

Para ahli yang mengembangkan sistem analisa suara ini bertolak dari kenyataan bahwa suara setiap orang mempunyai ciri khas yang ditentukan oleh mulut, rongga hidung, serta tenggorokannya. Setiap orang mempunyai suara dengan nada dan warnanya yang khas yang dapat dibedakan dengan suara orang lain.

Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa ciri khas suara ini tidak berubah jika orang yang bersangkutan bicara pelan atau cepat, dengan nada tinggi atau rendah. la boleh berbisik atau berteriak, berbicara dibuat-buat, menirukan cara bicara orang lain. Namun ciri khas suaranya tetap tidak dapat berubah.

Jika ia berbicara dengan mulut yang ditutup dengan sapu tangan, ciri-ciri suaranya tidak dapat dihilangkan. Bahkan jika orang yang bersangkutan kehilangan gigi atau diambil amandelnya, perubahan suaranya tidak begitu berarti hingga masih dapat dikenali dengan spektograf suara tadi.

Maka atas dasar sifat-sifatnya yang khas, rekaman suara dengan alat modern itu disebut sebagai “sidik jari suara manusia”.

Untuk mengenali suara orang dengan sistem ini, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu harus tersedia dua kata yang sama, yang diucapkan oleh orang yang bersangkutan. Tujuannya agar keduanya dapat dibandingkan satu sama lain dengan spektogram suara tersebut.

Mengenai si setan api, kata-kata yang sama itu sudah tersedia dalam pita rekam. Itu adalah kata “gruezi” yang setiap kali diucapkannya jika ia menyampaikan laporan palsu tentang kebakaran lewat telepon.

Mungkin alat modern penganalisa suara itu bisa membantu menyediakan bukti kesalahan si setan api. Maka polisi Zurich meminta bantuan FBI di Amerika untuk mendapatkan alat tersebut. Dan segera alat ini berhasil diperoleh, dikirim ke Bern lewat dinas luar negeri, lengkap dengan ahli yang dapat menggunakan alat tersebut.

Satu tahun berlalu tanpa ada kegiatan apa-apa dari setan api. Tapi tiba-tiba tanggal 8 Oktober 1960, ia muncul lagi jam 23.00 malam. Saat itu terjadi kebakaran di rumah bertingkat tiga di Schlossgasse 1, namun api dengan cepat dapat dikuasai oleh dinas kebakaran. Setengah jam kemudian api berkobar di Ankengasse 4 di rumah bertingkat 5. Kali ini dinas kebakaran juga berhasil mengatasinya. 

Polisi segera membawa spektograf ke markas dinas kebakaran dan menghubungkannya dengan telepon di sana. 14 hari berlalu sebelum Gruezi-Falschmelder muncul lagi. Jago merah kini menyerang rumah bertingkat empat di Oberen Zaune 8. Api baru diketahui setelah menyala tinggi sampai ke atap. Untung tuan rumah sedang keluar, hingga bisa terhindar dari maut.

Jelas setan api kini semakin nekat. Ia memilih rumah tinggal sebagai sasaran. Masyarakat gelisah. Sementara itu spektograf suara sudah berhasil merekam percakapan setan api lewat telepon. Ternyata oknumnya sama dengan orang yang sudah beroperasi sejak tahun 1958.

Akhirnya tanggal 22 Oktober 1960, suatu kebetulan menolong usaha polisi. Hari itu jam 23.00 malam, seorang anak muda umur 18 tahun bernama Reto M pulang. Ketika sedang menaiki tangga yang menuju ke rumahnya di Krebsgasse 7, Reto berpapasan dengan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

Rupanya pemuda ini terkejut melihat Reto. Ia tampak gelagapan ketika ditanya hendak mencari siapa. Pemuda yang tidak dikenal itu kemudian menjawab jika ia mencari rumah Robert Muller yang katanya tinggal di situ. Reto dengan tegas menyatakan tidak ada orang dengan nama itu. Baru saja Reto hendak mempersilahkan pemuda asing itu pergi, tiba-tiba ia melihat asap keluar dari balik sebuah pintu. Tanpa pikir panjang, Reto lari ke pos polisi terdekat. Karena gugup, ia lupa mencegah pemuda asing itu lari.

Setelah memberitahu dinas kebakaran, Reto melapor kepada polisi sambil melukiskan rupa pemuda yang mencurigakan itu. Mobil polisi bergerak mencarinya. Sementara itu Reto lari kembali ke rumahnya, dengan dua orang polisi, untuk mencegah meluasnya api. Ketika mobil pemadam kebakaran datang, ternyata ada dua rumah lain di situ yang mulai dilahap api.

Setelah mobil pemadam kebakaran beraksi, Reto dan beberapa polisi mengawasi daerah sekitar. Mereka berjaga-jaga kalau si setan api menyelinap di tengah-tengah orang yang berkerumun di sekitar tempat kejadian. 

Menurut Reto, pemuda yang mencurigakan itu tingginya sekitar 1,75 m, umurnya sekitar 20 tahun, perawakan langsing, rambutnya hitam, agak berombak dan tersisir ke belakang. Pakaiannya setelan abu-abu muda. Ia mengenakan kemeja putih tanpa dasi.

“Kalau saya melihatnya, pasti saya dapat mengenalinya,” kata Reto. Lama ia berjalan kian kemari, mencari-cari. Akhirnya Reto melihat pemuda misterius itu. “Itu orangnya,” ia berbisik kepada polisi.

“Jangan sampai orang itu melihat Anda. Nanti dia curiga. Tinggal di sini saja. Saya yang mendekatinya,” kata polisi.

Dengan sangat hati-hati polisi menyelinap mendekati pemuda itu, yang berdiri di deretan paling akhir, di belakang orang-orang yang mengerumuni tempat kebakaran.

Pergerakan polisi mula-mula berjalan seperti diharapkan. Tapi si setan api seolah-olah mempunyai indra yang tajam saat bahaya mengancamnya. Ketika jarak antara polisi dan dia tinggal beberapa meter, tiba-tiba pemuda itu menengok ke belakang dan melihat polisi. Dengan cepat ia menerobos orang yang berdesakan dan berlari ke seberang jalan.

Kini Reto meninggalkan tempat di mana ia mengawasi gerak-gerik pemuda yang mencurigakan itu. Ia melihat pemuda itu masuk ke dalam kafe di dekat situ dan menghilang. 

“Di kafe itu ada dua pintu keluar,” kata Reto. “Ayo, ikut saya. Nanti saya tunjukkan,” katanya kepada polisi yang menemani. 

Saat Reto dan polisi berada di pintu keluar yang satunya, pemuda itu misterius itu keluar.

“Berhenti atau saya tembak!” teriak polisi. 

Mulanya pemuda itu berhenti dengan ragu-ragu. Lalu ia mencoba untuk melarikan diri. Polisi mengacungkan pistolnya. Pada saat itu, Reto meloncat dan menubruk pemuda itu. Keduanya jatuh dan bergumul di taman. Sebelum dapat berdiri lagi, pemuda misterius itu sudah tertangkap oleh polisi.

Sampai di pos polisi, pemuda itu digeledah dan diperiksa. Ia mengaku bernama Paul K dan menyangkal pernah bertemu dengan Reto.

“Ia pasti salah lihat,” kata Paul K. 

“Kenapa kamu lari?” tanya polisi.

“Saya tidak mau ribut karena urusan yang bukan-bukan.”

Saku Paul K digeledah dan polisi menemukan satu kotak korek api. Semua berjumlah 32 korek api dan beberapa batang telah digunakan untuk menyulut api.

“Apa salahnya mengantongi satu kotak korek api?” tanya Paul K ketus.

Sementara itu para ahli dari dinas kebakaran memeriksa tempat kejadian dan dua rumah lain di dekatnya yang malam itu juga mengalami kebakaran. Di ketiga tempat kebakaran itu, mereka menemukan beberapa batang korek api yang sudah digunakan. Ketika batang korek api ini diperiksa, tangkainya ternyata cocok dengan korek api yang ditemukan di saku Paul K. Tidak diragukan lagi bahwa ialah penyebab kebakaran.

Selain itu, polisi melihat bahwa tangga menuju rumah yang terbakar itu baru saja di cat dan catnya berwarna hijau muda. Ternyata pada telapak sepatu Paul K terdapat noda-noda cat hijau muda, yang pasti berasal dari tangga yang baru dicat itu.

Bukti ini diajukan kepada Paul K. Tapi ia tetap menyangkal telah mengobarkan api. Setelah didesak-desak terus, akhirnya ia hanya mengakui pembakaran di Krebsgasse 7 saja. Lainnya tidak. 

Paul K tidak tahu bahwa polisi masih punya “senjata” lain untuk memaksanya mengakui semua perbuatannya. Itu adalah bukti rekaman suaranya melalui telepon.

Polisi tinggal memancing keluarnya salam gruezi dari mulut Paul K dan merekam salam itu dengan spektograf suara. Setelah itu, semua bukti telah terkumpul. Dan pancingan itu memang berhasil.

Paul K akhirnya mengakui bahwa ia bertanggung jawab atas kebakaran di Krebsgasse 7. Tapi polisi menghendaki pengakuan atas semua kebakaran yang dilakukan oleh Gruezi-Falschmelder sejak tahun 1958. Untuk mendapatkan pengakuan itu, polisi berusaha menelusuri sejauh mungkin masa lalu Paul K.

Sejak kecil pemuda ini ternyata menunjukkan kecenderungan gemar berbuat kejahatan. Di sekolah dasar, ia sering mencuri barang-barang temannya. Ia juga kerap kali mengambil barang dagangan dari toko milik ayahnya dan menjualnya lewat iklan. Uang hasil penjualan digunakannya sendiri.

Paul K kemudian menjadi murid seorang pelukis. Kadang-kadang ia membantu membuat lukisan di rumah para pemesan. Kesempatan ini ia gunakan untuk mencuri pula. Bulan Agustus 1958 ia beberapa kali mencuri sepeda, buku tabungan serta uang di berbagai rumah. Karena itu, ia berurusan dengan pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara. Ini terjadi pada tanggal 1 Oktober 1958. Tentunya inilah sebabnya maka sekitar waktu itu, kegiatan si penyebar kebakaran tidak terasa.

Paul K keluar dari penjara tanggal 26 Januari 1959. Seperti disebutkan diatas, bulan Februari 1959 Gruezi-Falschmelder muncul lagi. Tanggal 4 April, tahun yang sama, Paul K ditangkap polisi lagi karena kasus pencurian. Kali ini ia agak lama meringkuk di penjara. Tahun 1960 ia keluar. Dan bulan Oktober tahun itu, wabah kebakaran di Zurich kembali merajalela dan kini rumah penduduk menjadi sasarannya.

Data-data tentang riwayat hidup hidup Paul K cocok dengan hilang dan munculnya si setan api. Tapi kecocokan itu tidak bisa dijadikan bukti utama bahwa dialah setan api itu. Namun itu bisa menjadi satu bukti kuat. Dan petunjuk-petunjuk ini disangkal tegas oleh terdakwa. Harus dicari jalan agar Paul K mengakui sendiri seluruh perbuatannya. 

Untuk memaksanya mengaku, polisi memutuskan untuk menghadapkan Paul K dengan rekaman suaranya sendiri dalam pemeriksaan berikutnya.

“Kami punya bukti-bukti bahwa Anda selalu menelepon polisi dan memberi informasi palsu setiap kali ada kebakaran,” polisi membuka serangan.

Paul K masih bisa tertawa mendengar kata polisi ini. “Sungguh, saya tidak tahu apa yang Anda maksud. Tidak masuk akal jika mengaitkan saya dengan penelepon itu,” katanya.

“Terserah,” jawab polisi sambil mengeluarkan tape recorder dari laci mejanya. “Anda bisa mendengar suara Anda sendiri tiap kali ada kebakaran selama 2 tahun terakhir ini.”

Pesawat perekam diputar dan terdengarlah berkali-kali suara Gruezi-Falschmelder.

Paul K sesaat tampak tertegun, tapi masih bisa menguasai dirinya. Ia hanya angkat bahu dan menggerak-gerakkan tangannya seperti orang menangkis pukulan.

Polisi tidak memberikan kesempatan berpikir tenang, tapi langsung menyerangnya dengan bukti yang terakhir.

“Ini belum semua. Kami masih ada simpanan bukti satu lagi. Kami telah menganalisa suara Anda secara ilmiah. Lihatlah gambar-gambar ini yang mencerminkan suara Anda setelah dianalisa unsur-unsurnya. Selalu persis sama, bukan?”

Sekarang Paul K sudah tidak bisa berkutik lagi. Dengan air muka kaget, ia memandangi gambar-gambar yang disodorkan di bawah matanya. Ia hanya bisa bergumam, “Saya tidak tahu... Saya belum pernah mendengar tentang ini ... Lebih baik saya mengakui semua dengan terus terang.”

(Hanns Walther)

Baca Juga: Manusia-manusia Kebal Api

 

" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553805143/mengejar-setan-api" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690566033000) } } [4]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799249" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/mencari-alibi-sebagai-almarhumj-20230728053857.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Suami istri Featon ditemukan tewas. Keduanya tampak seperti telah melakukan bunuh diri, namun polisi menduga mereka adalah korban pembunuhan." ["section"]=> object(stdClass)#136 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/mencari-alibi-sebagai-almarhumj-20230728053857.jpg" ["title"]=> string(30) "Mencari Alibi sebagai Almarhum" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:39:07" ["content"]=> string(25259) "

Intisari Plus - Suami istri Featon ditemukan tewas. Keduanya tampak seperti telah melakukan bunuh diri, namun polisi menduga mereka adalah korban pembunuhan.

----------

Pagi hari tanggal 12 Februari 1962, Kepolisian Melbourne bagian perkara pembunuhan mendapat laporan. Di Hillstreet 17 Blackborn sepasang suami istri ditemukan tewas di kamarnya. Regu penyelidik segera datang, dipimpin oleh Inspektur Kepala Anthony Forrester.

Tampaknya kejadian di Hillstreet itu merupakan peristiwa bunuh diri. Nyonya rumah tergeletak di tempat tidur, pelipisnya tertembus peluru revolver kaliber 7.65. Suaminya menggantung diri di kamar itu juga, setelah sebelumnya mencoba mengakhiri hidupnya dengan tembakan. Revolvernya sudah kosong, tanpa peluru — masih terletak di lantai dekat tangga yang rupanya digunakan untuk memanjat ketika lelaki itu hendak menggantung diri.

Kamar diperiksa. Di atas meja dekat tempat tidur ditemukan sepucuk surat. Dalam surat itu tertulis kata-kata, “Even in the death we will be together.” (Meski dalam kematian, kita akan selalu bersama.)

Inspektur Forrester memerintahkan supaya sidik jari para korban diambil. “Periksa juga bekas-bekas sidik jari pada revolver, untuk mengetahui siapa menembak siapa,” tambahnya.

Seluruh isi kamar kini diteliti. Dalam laci meja dekat ranjang ditemukan sepucuk revolver FN. Dengan saputangan Forrester mengambil senjata itu. Revolver yang satu ini ternyata masih penuh dengan peluru. Pelatuknya terkunci. 

Aneh, pikir Forrester, bahwa tuan rumah tidak menggunakan revolver yang masih penuh ini untuk mengakhiri hidupnya. Tadinya Forrester mengira lelaki itu menggantung diri karena peluru revolvernya (yang lain) telah habis. 

Kini sang inspektur menjadi curiga. Sekali lagi ia mengamati surat yang ditinggalkan almarhum. Kertasnya bergaris, sobekan dari bloknot surat. Tulisannya canggung.

Forrester mencari contoh tulisan lain dari almarhum. Dilihatnya jas tersampir pada sandaran kursi. Dalam salah satu kantongnya ia temukan dompet. Isinya beberapa lembar uang kertas dan surat identitas dengan foto almarhum. Berdasarkan surat identitas ini diketahui bahwa lelaki yang meninggal tergantung itu bernama Robert J. Featon. Lahir tanggal 28 Mei 1925 di London. Pekerjaan insinyur. Tanda tangan di bawah foto ditulis dengan gerak tangan yang lancar — tulisan orang yang terpelajar.

Jelas bahwa tulisan tangan ini berbeda dengan tulisan pada surat yang ditemukan di atas meja dekat ranjang. Tulisan pada “surat wasiat” itu menunjukkan ciri-ciri berikut. Rupanya penulis tadinya bermaksud menulis dengan huruf cetak. Huruf e pertama dalam kata “Even” ditulis dengan huruf besar cetak, tapi disusul oleh “ven” yang dengan huruf tulis. Setelah itu semua huruf-huruf adalah huruf tulis. Selanjutnya huruf t ditulis dengan coretan horisontal yang berciri khas dan sama sekali berbeda dengan huruf t pada kata-kata “Robert Featon” dalam surat identitas almarhum. 

Mungkinkah surat itu ditulis oleh isteri almarhum? Lemari dalam kamar digeledah. Ditemukan beberapa tas tangan wanita. Di dalam salah satu tas tangan, Inspektur Forrester berhasil menemukan surat identitas nyonya rumah. Tanda tangan di bawah fotonya “Fritia Featon Dierck”.  Tanda tangan itu juga menunjukkan jenis tulisan yang berbeda dengan tulisan pada “surat wasiat”. 

Timbul dugaan kuat bahwa suami istri itu tidak bunuh diri, melainkan dibunuh oleh seseorang. Sekali lagi Forrester memeriksa luka tembakan pada Robert Featon. Rupanya peluru hanya menyerempet saja. Barangkali tembakan ini hanya membuat Featon pingsan? Dan kemudian mengatur keadaan sedemikian rupa hingga timbul kesan seolah-olah Featon dan istrinya bunuh diri?

“Nicols,” kata Inspektur Forrester kepada anak buahnya, “Pergilah ke toko dan beli lakban ukuran 2,5 cm.” Dengan ini, inspektur polisi berniat mempraktikkan suatu cara penyelidikan baru yang belum pernah dicoba di Australia saat itu.

Forrester mengetahuinya dari sebuah artikel yang ditulis Wolfson, seorang ahli kriminologi dari Universitas Cambridge. Dalam artikel itu, Wolfson mengulas suatu metode yang dikembangkan oleh orang Swiss yang bernama Frei dan Dr. Berg dari Jerman. Itu adalah metode untuk mendapatkan bukti-bukti di tempat kejadian.

Dasar pemikiran dan cara-caranya sebetulnya sederhana. Di tempat kejadian, pelaku dapat meninggalkan bekas-bekas berupa serat-serat halus yang berasal dari pakaiannya. Gesekan pakaian dengan benda-benda tertentu dapat mengakibatkan tertinggalnya serat-serat halus pada benda-benda tersebut. Serat-serat halus yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang itu dapat dikumpulkan dengan lakban. Caranya dengan menempelkan pita plastik yang berperekat pada benda-benda yang ada di tempat kejadian. Serat-serat halus itu akan menempel pada lakban dan kemudian bisa diperiksa dengan mikroskop di laboratorium.

Dalam penyelidikan kematian di Hillstreet 17, Inspektur Forrester berpendapat sebagai berikut. Apabila benar Robert Featon menggantung diri, maka di tangannya yang menyentuh tali gantung, seharusnya ditemukan serat-serat halus tali tersebut. Bila ia digantung oleh orang lain, maka di tangannya tidak akan ditemukan serat-serat halus tali tersebut.

Setelah Nicols kembali, Forrester melakukan pengambilan serat-serat halus yang mungkin tertempel pada tangan Featon dengan sistem lakban itu.

Pengambilan dilakukan secara sistematis. lakban ditempel pada jari kelingking tangan kanan, dilepaskan lagi, kemudian dilipat hingga serat2 halus (jika ini ada) tersimpan aman di dalam lipatan. Itu dilakukan pada semua jari hingga telapak tangan. Tiap potongan lakban ditandai, misalnya tangan kanan, jari kelingking, dan sebagainya.

Pencarian bukti-bukti dengan sistem lakban ini juga dilakukan pada lengan dan bagian muka piama yang dipakai korban. Tindakan ini dilakukan oleh Inspektur Forrester atas dasar pemikiran berikut. Jika Featon mati terbunuh, mungkin sebelumnya ia terlibat dalam perkelahian dengan pembunuhnya. Sehingga ia mungkin sekali ia bergumul dan bersentuhan dengan pembunuh itu. Sesuatu yang tertempel pada piama Featon kelak akan berguna dalam pembuktian, bila pembunuhnya ditemukan.

Kemudian Forrester menggarap soal tangga. Tangga ini tergeletak di lantai. Dari posisinya diperoleh kesan seolah-olah Featon menggunakan tangga tersebut untuk naik ke atas guna menggantung diri, kemudian menendangnya hingga tangga itu terjatuh di lantai.

Inspektur membayangkan apa saja yang diperbuat orang yang menggunakan tangga itu untuk gantung diri atau untuk menggantung seseorang. Ia bayangkan bagian-bagian mana dari tangga itu yang bersentuhan dengan orang yang bersangkutan dan pakaiannya. Berdasarkan perkiraan itu, kemudian Forrester melakukan sistem lakban.

Kini perlu diselidiki pula, dari mana masuknya pembunuh ke dalam kamar. Tidak ada jendela yang terbuka, yang dapat dilalui orang dari luar untuk menyelinap ke dalam kamar.

Selanjutnya, kebun dan pekarangan diperiksa. Terlihat jejak-jejak sepatu Iaki-laki. Polisi membuat tiruan dari jejak-jejak itu untuk diselidiki. Semua pintu-pintu diteliti. Ternyata pintu garasi tidak terkunci. Di dalamnya ada sebuah mobil milik tuan rumah, mereknya Morrison. Pintu yang terdapat pada tembok belakang garasi juga tidak terkunci. Pintu ini menuju ke garasi di depan dapur. Pintu dapur jarang dikunci. Melalui pintu garasi itulah rupanya pembunuh masuk ke dalam rumah.

Selesai memeriksa semua pintu rumah, Forrester menganggap perlu mengadakan penelitian sekali lagi. Yang menjadi sasarannya kini kamar kerja Robert Featon. Laci-laci dan kotak pada meja tulis almarhum semua terkunci. Forrester teringat bahwa di atas meja dekat ranjang di kamar tidur terdapat satu set kunci. Ia mengambil dan mencobanya. Ternyata cocok.

Di laci tengah tidak ditemukan hal-hal yang istimewa. Buku cek, buku kas, dan beberapa rekening bank — itulah beberapa isinya. Rekening-rekening bank itu memberi gambaran bahwa suami istri Featon orang yang berada. Sama sekali tak ada petunjuk bahwa Featon dan istrinya bunuh diri karena kesulitan finansial.

Forrester meneruskan penyelidikannya. Dibukanya semua laci dan Iemari kecil di bawah laci. Sampai akhirnya ia menemukan map besar berisi guntingan-guntingan koran yang jumlahnya banyak sekali. 

Guntingan koran yang terletak paling atas mengejutkannya. Isinya tentang berita pembunuhan. Korbannya adalah seorang gadis umur 19 tahun, bernama Veronica Kriek dari Amsterdam. Veronica — demikian ditulis dalam guntingan koran itu — berkunjung ke rumah sahabatnya Fritia Dierck. Kemudian ia menghilang dan mayatnya ditemukan pada tanggal 18 Mei 1955 di dekat sebuah rumah sakit di Shotfield di Bedfordshire.

Membaca nama Fritia Dierck, Inspektur Forrester tersentak. Itu nama Nyonya Featon semasa gadis. Berita dalam guntingan koran itu dengan sensasional melukiskan peristiwa pembunuhan Veronica Kriek. Serba misterius. Pelakunya tidak pernah ditemukan. Juga senjata yang digunakan untuk membunuhnya. “Senjata tajam tidak pernah ditemukan, sekalipun para penyelidik telah menjelajahi tempat kejadian dengan detektor ranjau.”

Apa hubungan Fritia Dierck yang sekarang jenazahnya terbaring di kamar sebelah, dengan peristiwa pembunuhan dari tahun 1955 itu? Mungkin sama sekali tidak ada kecuali bahwa Veronica Kriek adalah sahabatnya. Bagaimanapun juga Inspektur Forrester merasa perlu menghubungi Scotland Yard untuk mengetahui duduk persoalan peristiwa pembunuhan Veronica Kriek.

Hanya beberapa hari kemudian laporan Scotland Yard telah sampai di meja Forrester. Dan memang ternyata mengandung beberapa unsur yang mungkin dapat memberikan titik terang.

Menurut laporan Scotland Yard, awalnya Robert Featon beristrikan seorang wanita bernama Gwen Hillier. Perkawinan mereka bertahan sampai tahun 1955 bulan Februari. Gwen Hillier kaya. Maka keluarga Featon dapat mempekerjakan seorang gadis pengasuh ketika anak perempuan mereka lahir tahun 1953. Gadis pengasuh itu bernama Fritia Dierck, berasal dari Belanda. Fritia gadis umur 19  tahun dari Amsterdam itu datang ke London untuk belajar bahasa Inggris.

Nyonya Hillier Featon segera melihat bahwa hubungan suaminya dengan Fritia itu lebih dari sekadar hubungan antara majikan dan pekerjanya. la tidak dapat membiarkan keadaan ini dan mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk bercerai. Sebelum sidang dimulai, Fritia Dierck pulang ke Belanda, atas saran pengacara Tuan Featon. Tujuannya agar ia dapat menghindari keharusan tampil di depan pengadilan sebagai saksi.

Setelah permohonan cerai dikabulkan, Fritia kembali lagi ke London, dengan membawa sahabatnya yang sebaya dengannya. Ia adalah Veronica Kriek. Veronica Kriek baru saja memutuskan pertunangannya dengan seorang pemuda bernama Henrick van der Louse setelah bertengkar dengannya. Lalu, dengan seizin orang tuanya, Veronica Kriek mengikuti Fritia Dierck ke London. Tujuannya adalah untuk menghindari kesempatan bertemu dengan bekas tunangannya.

Sementara itu Tuan Featon setelah bercerai, terpaksa meninggalkan rumah mantan istrinya. la mendapatkan pekerjaan sebagai insinyur elektronik di Shotfield. Fritia dan Veronica datang padanya. Ketiganya kemudian mencari sebuah rumah untuk ditinggali bersama. Featon dan Fritia Dierck yang berencana untuk menikah, mengaku sebagai suami istri.

Itulah situasi sebelum hilangnya Veronica Krieck yang jenazahnya kemudian ditemukan di dekat rumah sakit Shotfield pada tanggal 18 Mei 1955.

Sebagai orang yang dekat hubungannya dengan Veronica, Featon dan Fritia Dierck menimbulkan kecurigaan bagi polisi. Apakah mungkin Featon (yang ketika itu umur 30 tahun) merasa lebih tertarik kepada Veronica karena gadis ini wataknya lebih tenang daripada Fritia yang agak banyak tingkah? Dan hal ini membuat Fritia cemburu dan kalap hingga membunuh Veronica? Atau mungkin Featon dan Fritia bersekongkol untuk menyingkirkan Veronica karena motif ingin merampas harta miliknya? Itulah beberapa teori yang pernah muncul dalam pikiran pihak kepolisian Inggris

Dengan latar belakang teori itu, Featon dan Fritia diinterogasi polisi. Tetapi mereka memiliki alibi yang tidak dapat dibantah, hingga polisi mengeluarkan mereka dari daftar orang-orang yang dicurigai. 

Orang lain yang rnenarik perhatian polisi ialah Henrick van der Louse, bekas tunangan Veronica. Mungkin saja lelaki ini patah hati, lalu mengikuti bekas tunangannya ke Inggris untuk mengajaknya berdamai kembali. Kemudian bertengkar dengan akhirnya Henrick membunuh Veronica. Tapi sangkaan ini pun tidak terbukti kebenarannya. Sebab Henrick van der Louse ialah seorang pelaut. Setelah putus pertunangannya dengan Veronica, ia pergi berlayar dengan sebuah kapal muatan. Pada waktu Veronica terbunuh di Shotfield, Henrick van der Louse berada di tengah lautan Atlantik.

Inspektur Forrester merenungkan keterangan-keterangan dari Scotland Yard itu. Mungkinkah Scotland Yard keliru? Mengapa Featon dan istrinya kemudian pindah ke Australia? Tidak mustahil bahwa van der Louse tetap mengira bahwa suami istri Featon telah membunuh bekas tunangannya dan kemudian ia membalas dendam.

Masuk akal bila van der Louse menaruh dendam terhadap Fritia Dierck karena wanita ini telah membujuk bekas tunangannya untuk mengikutinya ke Inggris. Seandainya Veronica tidak pergi ke London, barangkali pemuda itu masih bisa memperbaiki hubungannya dengan Veronica. Seandainya Veronica tidak pergi ke Inggris, ia tidak akan mati terbunuh.

Gagasan-gagasan seperti itu dapat mendorong van der Louse untuk merencanakan pembunuhan terhadap suami istri Featon. Namun semua itu masih berupa teori yang mengambang di awang-awang….

Inspektur Forrester kini menulis surat ke Kepolisian Amsterdam untuk minta keterangan tentang Henrick van der Louse. Di mana dia? Apakah mungkin sebagai pelaut sedang berlayar? Apakah ia bekerja pada kapal yang dalam pelayarannya mampir di Australia? Itulah beberapa pertanyaan yang dikemukakan oleh Forrester kepada polisi Amsterdam.

Sementara itu penelitian di laboratorium untuk meneliti serat-serat halus yang ditemukan di tempat kejadian sudah memberikan hasil.

Pertama, jelas bahwa di tangan Tuan Featon sama sekali tidak ditemukan serat yang berasal dari tali gantung yang mengakhiri hidupnya. Dengan ini diketahui bahwa lelaki itu pasti tidak menggantung dirinya sendiri. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil pemeriksaan dokter terhadap jenazah Tuan Featon. Luka tembakan yang menyerempet pelipisnya, bukan luka yang mematikan, tapi hanya luka yang membuat orang pingsan. Rupanya Featon tewas akibat digantung oleh pembunuhnya. 

Kedua, pada piama dan tangga yang digunakan untuk menggantung Featon ditemukan serat dengan ukuran, jenis, dan warna yang sama. Serat-serat halus itu ditemukan pula pada pagar, tak jauh dari tempat ditemukannya jejak sepatu Iaki-laki di pekarangan. Data ini diperoleh dari pemeriksaan laboratorium yang saksama, dengan menggunakan mikroskop yang memperbesar gambar serat halus itu sampai 500 kali ukuran yang sebenarnya.

“Jika Henrick van der Louse berhasil ditemukan, mudah-mudahan persoalannya menjadi jelas,” kata Forrester kepada asistennya, Nicols. Pada tahap penyelidikan ini diperoleh keterangan tambahan. Beberapa tetangga korban menyatakan bahwa seorang Iaki-laki asing terlihat mondar-mandir di sekitar rumah suami istri Featon. Tingkah lakunya mencurigakan. Forrester berniat menunjukkan foto Henrich van der Louse kepada tetangga-tetangga korban itu, jika foto tersebut sudah dikirim dari Amsterdam.

Foto berikut keterangan-keterangan polisi Amsterdam memang datang tidak lama kemudian. Tapi informasi baru ini malah menggoyahkan teori Inspektur Forrester.

Foto tersebut ialah foto Henrick van der Louse 8 tahun yang lalu. la dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1932 di Amsterdam. Jadi pada tahun 1962, saat terjadinya pembunuhan suami istri Featon ia berusia 30 tahun.

Tanggal 3 Agustus 1955 — demikian keterangan polisi Amsterdam selanjutnya — ia kembali dari pelayaran ke Amerika Utara. Lalu berlayar dengan sebuah kapal muatan ke Hongkong. Di Singapura ia secara diam-diam meninggalkan kapal muatan itu dan berpindah ke kapal pesiar Joyita, milik seorang Inggris T.H. Miller dari Cardiff. Kapal ini hanya berukuran 70 ton tapi perlengkapannya modern. Joyita berlayar ke Kepulauan Samoa dan pada tanggal 3 Oktober 1955 singgah di Pelabuhan Apia. Setelah itu terjadi sesuatu yang menarik perhatian dunia pelayaran saat itu. Joyita tidak pernah sampai ke Pulau Tokelau, tujuan akhirnya.

5 minggu lamanya dilakukan pencarian, tetapi sia-sia. Usaha pencarian dihentikan dan kapal Joyita dianggap telah hilang. Tapi kemudian sebuah kapal muatan bernama Tuvala menemukan sisa-sisa kapal Joyita. Sudah kosong, beberapa balok dipotong dan dilepas dari kapal. Semua alat-alat, kompas, radio, dan buku log semuanya tidak ada. Bekal-bekal makanan tidak ada pula. Bangkai kapal itu masih terapung, berkat beberapa drum bensin yang sudah kosong di ruang bagasi.

Keadaan bangkai kapal ini awalnya menimbulkan pertanyaan. Apakah kapal ini sengaja dimusnahkan untuk memperoleh ganti rugi asuransi? Tapi ternyata tidak ada permohonan ganti rugi. Apakah barangkali kapal ini dibajak di tengah laut? Tapi tidak ada tanda-tanda terjadinya perkelahian atau pertempuran. Awak kapal Joyita yang berjumlah 25 orang pun menghilang. Delapan orang kulit putih, termasuk Henrick van der Louse. Apakah mereka berpetualang, mendarat di suatu pulau yang tidak dikenal untuk mencari sesuatu?

Pertanyaan-pertanyaan itu semua tidak terjawab. Dan sudah 7 tahun berlalu sejak peristiwa karamnya Joyita itu terjadi. Para awak kapal mungkin sudah meninggal semua. Jadi menyangka Henrick van der Louse sebagai pembunuh suami istri Featon berarti sama dengan berteori bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh orang yang telah almarhum!

Forrester seperti dihadapkan pada jalan buntu. Tetapi naluri detektifnya tidak juga mau menyerah. la tetap tergoda untuk terus mengikuti teori yang telah disusunnya.

Inspektur itu mendapat keterangan dari Scotland Yard bahwa suami istri Featon pada tanggal 22 Juli 1955 beremigrasi ke Australia. Bayangkan jika Henrick van der Louse, yang keranjingan nafsu balas dendam gara-gara kematian bekas tunangannya, mendengar hal itu. Sangat masuk akal bahwa pemuda itu lantas berusaha mengejar mereka. Demikian pikir Forrester yang — sebagai detektif tulen — berusaha menempatkan diri pada situasi tersangka.

Maka berangkat pulalah van der Louse ke Australia. Ini bukan suatu petualangan yang terlalu sulit baginya, mengingat ia seorang pelaut. la berpindah-pindah kapal dan akhirnya menumpang kapal pesiar Joyita yang menuju ke Kepulauan Tokelau. Di tengah jalan, kapal ini karam atau rusak. Atau barangkali Joyita sengaja dihancurkan karena motif tertentu? Bagaimanapun juga, setelah itu mungkin van der Louse berusaha menghilang dan menghapus identitasnya. Barangkali bersama semua rekan pelautnya, ia menuju ke salah satu dari sekian banyak pulau yang bertebaran di daerah sekitar. Setelah beberapa tahun, akhirnya van der Louse berhasil meninggalkan pulau tersebut dan mendarat di Australia. Barangkali sambil mengantongi surat identitas salah seorang rekannya. 

Demikian Inspektur Forrester membayangkan. Dan berdasarkan gagasan-gagasan itu, ia mengeluarkan perintah untuk menangkap Henrick van der Louse. Fotonya yang berasal dari tahun 1955 disebarkan dengan beberapa keterangan bahwa buronan itu sekarang sudah tidak semuda fotonya. Kini ia berumur sekitar 30 tahun. 

Dan benar! 4 hari kemudian, tanggal 28 Februari 1962 di Wollongong, polisi berhasil menahan seorang laki-laki yang wajah dan ciri-cirinya seperti terlihat dalam foto.

Laki-laki itu mengaku bernama Fred Soran, lahir tanggal 18 April 1924 di Helensville dekat Auckland, Selandia Baru. Tetapi malang baginya. Polisi pertama di Australia yang memeriksanya adalah orang yang saat Perang Dunia II pernah ditempatkan di Helensville. Hingga langsung saja bisa diketahui bahwa Fred Soran ternyata sama sekali tidak mengenal kota kelahirannya.

Henrick van der Louse belum pernah berurusan dengan polisi. Maka tidak tersedia sidik jarinya. Polisi tidak dapat membuktikan bahwa Fred Soran sama dengan Henrick van der Louse berdasarkan sidik jari.

“Anda mengira sudah aman dan terlindung dari kejaran petugas hukum dengan siasat Anda yang lihai. Rupanya di tempat kejadian Anda telah menggunakan sarung tangan hingga tidak terdapat bekas-bekas sidik jari. Tapi kami punya bukti-bukti lain,” kata Inspektur Forrester. Lalu bukti-bukti itu dikeluarkannya satu per satu.

Pertama, jejak sepatu laki-laki yang ditemukan di pekarangan keluarga Featon. Jejak ini persis sama dengan jejak sepatu yang dipakai Fred Soran, walaupun sepatu itu kini sudah agak aus.

Kedua, serat-serat tekstil yang dikumpulkan oleh Forrester di tempat kejadian dengan lakban. Pada waktu tertangkap, Fred Soran kebetulan mengenakan celana cokelat. Serat-serat celananya diperiksa di laboratorium. Ternyata tidak 100 persen terdiri dari katun. Ada campurannya berupa serat sintetis. Jenis, kekuatan, warna, dan susunan kimia serat-serat celana cokelat itu ternyata persis sama dengan serat-serat yang ditemukan oleh Forrester pada piama Robert Featon, tangga, pagar pekarangan, dan beberapa benda lainnya di kamar almarhum. 

Akhirnya bukti ketiga adalah tulisan tangan Fred Soran ternyata persis sama dengan tulisan “Even in the death we will be together” di atas secarik kertas yang ditemukan di tempat pembunuhan ganda di Hillstreet 17, Blackborn itu.

Demikian pembunuh suami istri Featon berhasil diringkus. Siasatnya dengan mencari alibi sebagai almarhum tidak dapat bertahan terhadap pembuktian dari ruang laboratorium.

(Hanns Walther)

Baca Juga: Rahasia Sebuah Kapal

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799249/mencari-alibi-sebagai-almarhum" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565947000) } } [5]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3834047" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/105-petunjuk-pertama-hanya-secui-20230728053811.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Serangkaian pembunuhan terjadi di Amerika Serikat. Polisi mulai mengumpulkan petunjuk mulai dari jenis kuku hingga jejak ban mobil yang digunakan." ["section"]=> object(stdClass)#140 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/105-petunjuk-pertama-hanya-secui-20230728053811.jpg" ["title"]=> string(34) "Petunjuk Pertama hanya Secuil Kuku" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:38:21" ["content"]=> string(28563) "

Intisari Plus - Serangkaian pembunuhan terjadi di Amerika Serikat, dimulai pada tahun 1963. Polisi mulai mengumpulkan petunjuk mulai dari jenis kuku hingga jejak ban mobil yang digunakan pembunuh.

----------

Pembunuhan beruntun yang terjadi di Amerika Serikat 9 tahun yang lalu ini, mulai pada hari Senin tanggal 15 Juli 1963. John Toye, seorang pengantar susu, pagi itu dengan kendaraan- bestelannya menuju Forest Hill dari arah Los Angeles. Pada suatu ketika, setelah mendaki suatu tanjakan, di tempat yang sepi ia melihat sesosok tubuh tengkurap di pinggir jalan sebelah kiri.

Mungkin seorang pemabuk yang tertidur di tengah jalan, pikir Toye. Pandangan seperti itu tak jarang dijumpai pada hari pertama setelah akhir pekan. Tapi Toye toh berhenti untuk melihat orang itu.

Toye menjumpai pandangan yang menakutkan. Dengan matanya yang terbelalak, orang di pinggir jalan itu sudah tak bernyawa. Pada lehernya tampak bekas jari-jari pembunuh yang mencekiknya. Beberapa tempat sekitar leher berwarna biru lebam, menandakan perdarahan di bawah permukaan kulit.

Di sekitar tempat itu tak ada telepon umum dan pos polisi yang terdekat kira-kira 12 km. Maka dicegatnya sebuah mobil yang kebetulan lewat, Kepada pengendaranya, Toye minta supaya menelepon polisi di pompa bensin terdekat, sementara ia sendiri, Toye, akan menunggui korban.

Tak lama kemudian polisi sudah datang di tempat kejadian. Keadaan korban diteliti dengan saksama. Bekas-bekas pencekikan menunjukkan bahwa pembunuh mempunyai jari-jari yang ramping. Leher korban diperiksa dengan kaca-pembesar. Ternyata pada bekas jari-jari pembunuh itu tertinggal cuilan kuku berlapis lak. Rupanya si pembunuh adalah seorang wanita.

Patahan kuku yang hanya secuil itu dikirim ke laboratorium FBI. Penelitian menunjukkan bahwa kuku itu berlapis lak yang dikenal dengan nama ”Opale Rose’’ dan banyak beredar di pasaran Amerika.

Kesimpulan ini dapat dijumpai berkat suatu teknik penelitian yang disebut “pyrolysa", yaitu penguraian sistem api. Teknik ini dikembangkan khusus untuk meneliti susunan bekas-bekas cat dalam jumlah yang kecil sekali.

Caranya: bahan yang hendak diselidiki, dengan pesawat-pyolysa diurai di atas lempeng logam yang dipanasi. Pemanasan menyebabkan penguapan. Bahan yang terlepas dalam bentuk uap itu dengan alat tertentu disemprotkan di atas selembar kaca, di mana uap itu mengendap.

Pelat kaca diputar dan secara teratur pada saat-saat tertentu dihentikan. Bila pelat kaca berhenti, lempeng logam diukur suhunya. Sistem pemanasan dengan berbagai suhu yang menyebabkan berbagai penguapan bahan cat itu, memungkinkan analisa yang amat cermat, walaupun bahan cat itu hanya tersedia dalam jumlah kecil sekali. Tentu pengamatan bahan-bahan ini harus dilakukan dengan mikroskop.

Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan berbagai data. Dan berkat perbandingan-perbandingan ini lak yang ditemukan pada patahan kuku itu dapat diketahui secara lebih persis lagi. Lak itu ialah “Opale Rose’’ nomor 53, buatan firma Northam Warren di New York.

Pengetahuan tentang jenis lak kuku ini tentu saja tidak dapat secara langsung menunjukkan jejak pembunuh. Sebab lak kuku itu dijual di mana-mana di seluruh Amerika Serikat. Tetapi dalam pengusutan selanjutnya, data tentang lak kuku ini ternyata merupakan mata-rantai penting dalam usaha menemukan pelaku pembunuhan tersebut. 

Pemeriksaan mayat memberikan data tambahan yang menarik. Dalam tubuh korban ditemukan suatu jenis zat pembius. Sekali lagi di sini diperoleh petunjuk bahwa si pembunuh rupanya seorang wanita. Karena secara fisik kalah kuat dengan calon korbannya, maka si penjahat terlebih dahulu harus membuatnya tak berdaya sebelum dapat mencekiknya.

Pembunuh ini cukup cerdik. Ia tidak menggunakan “tetesan-tetesan knock-out” yang kebanyakan hanya membuat korban tidur lelap. Pemeriksaan air seni terbunuh, menunjukkan bahwa wanita itu mempergunakan scopolamine yang dimasukkan ke dalam kopi. Efek zat pembius ini ialah: tangan dan kaki korban menjadi seperti lumpuh. Hingga seandainya pada saat dicekik, korban terbangun, ia tak dapat membela diri.

Zat ini masih mempunyai ciri khusus lain. Yaitu 6 sampai 8 jam setelah ditelan, zat itu tidak terdapat lagi dalam air-seni orang yang bersangkutan. Untung, korban pembunuhan tanggal 15 Juli 1963 itu ditemukan oleh Toye sebelum masa 6 sampai 8 jam itu lewat. Data tentang obat bius ini nantinya juga memegang peranan penting dalam pencarian penjahat.

Mengenai identitas korban, dengan memanfaatkan dokumentasi sidik jari pada FBI di Washington berhasil diketahui bahwa ia bernama James F. O’Hara. Ia bekas opsir angkatan laut. Pada waktu terbunuh, O’Hara bekerja sebagai wakil sebuah firma obat-obatan di San Francisco dan berada di Los Angeles dalam rangka dinas.

Kira-kira 4 minggu setelah matinya James O'Hara, terjadi lagi pembunuhan yang rupanya dilakukan oleh orang yang sama. Korban kali ini seorang laki-laki dari kalangan film Hollywood. Namanya Robert S. Merwin, seorang pemain figuran.

Merwin rupanya terbunuh Sabtu malam tanggal 10 Agustus 1963. Mayatnya ditemukan keesokan harinya di depan pagar sebuah rumah peristirahatan, tak jauh dari jalan besar L’Arroya — Seco, masih dalam kawasan Los Angeles. Mayat Merwin berlumuran darah. Ia tidak hanya dicekik sampai meninggal, tapi masih dianiaya. Para ahli jiwa dari dinas kepolisian menduga, bahwa pelaku pembunuhan ini seorang wanita yang jiwanya tak normal atau terganggu. Mungkin ini akibat pengalaman pahit dalam percintaan hingga ia menaruh benci yang mendalam terhadap kaum lelaki.

Pembunuh kali ini meninggalkan jejak lain. Ia membawa korbannya ke tempat yang sepi itu dengan mobil. Kebetulan sehari sebelumnya, di daerah itu turun hujan. Tanah lunak dan becek dengan akibat bahwa mobilnya meninggalkan bekas, yaitu jejak ban kiri depan dan belakang, tak jauh dari tempat korban ditemukan.

Dilihat dari jalur jejaknya, ban itu agaknya masih baru. Belum lagi jalan 4.000 km. Ban itu ukuran menengah. Bagi seorang pengamat yang ahli, bukan saja ban lama, tapi juga setiap ban baru mempunyai “wajah” dengan ciri-ciri khusus yang tidak terdapat pada ban baru lainnya dari pabrik yang sama. Ciri individual itu antara lain terdapat pada jalur-jalur berlekuk-lekuk atau bergerigi. Juga jejak ban ini nantinya akan membantu polisi.

Seperti dikatakan di atas, Merwin menerima ajalnya pada tanggal 10 Agustus 1963. Menurut hasil penyelidikan, Sabtu malam Minggu itu, Merwin berkencan dengan seorang wanita muda yang tinggal di hotel Monarch.

Wanita ini dibayangi polisi. Ternyata ia berkendaraan Chevrolet 1961. Tapi ban mobil ini tidak cocok dengan jejak ban di tempat pembunuhan. Dan nona itu mempergunakan lak kuku jenis dan merek lain. Lagi pula jelas bahwa ia tidak meninggalkan hotel setelah sia-sia menunggu kedatangan Merwin yang telah berjanji sore itu akan menemuinya. Alibi ini diperoleh polisi dari kesaksian suami-istri pemilik hotel, yang malam itu makan semeja dengan nona tersebut.

Baru saja seminggu berlalu telah terjadi lagi pembunuhan ketiga korbannya seorang laki-laki yang menginap di hotel Monarch. Namanya James Tool bright, kuasa sebuah perusahaan dagang. Tanggal 18 Agustus ia keluar dari hotel dan berjalan hanya beberapa puluh meter ke Garasi-Baltimore yang terletak di pinggir jalan yang sama, untuk mengambil mobilnya. Menurut rencana, ia akan pergi ke Illinois.

Memang ia jadi pergi dengan mobilnya. Tapi keesokan harinya, tanggal 19 Agustus, Toolbright sudah almarhum. Mayatnya tersembunyi dalam ruang bagasi mobilnya sendiri yang ditemukan di jalan buntu dalam hutan sepi. kira-kira 40 km dari Hollywood. Penemunya seorang pengawas hutan yang melihat mobil Toolbright diparkir seharian di tempat yang sunyi itu.

Mobil diperiksa oleh polisi. Setir, hendel ruang bagasi, tempat kunci kontak dan bagian-bagian lain, semuanya diteliti. Tapi tak ditemukan sidik jari ataupun tanda-tanda yang dapat memberi petunjuk tentang si pembunuh.

Komandan polisi, Inspektur James R. Cramer kini memerintahkan agar hotel Monarch diawasi secara ketat. Semua penghuni hotel diwawancara. Di antara para penghuni hotel terdapat seorang wanita bernama Helen Scharper, direktris sebuah toko. Sudah sejak beberapa tahun ia mengenal James Toolbright. 

“James seorang pembujang. Ia sering diejek teman-temannya, karena masih saja ia belum mau kawin”, kata Helen Scharper.  

Lalu wanita ini mengisahkan, bahwa ia merasa heran ketika beberapa waktu yang lalu, melihat James Toolbright bersama-sama dengan seorang wanita berambut pirang. Karena hal ini baginya luar biasa, maka Helen Scharper memperhatikan wanita itu. 

Untung bagi polisi bahwa saksi yang satu ini pandai menggambar Helen Scharper yang pernah bekerja sebagai pelukis mode, membuat lukisan wanita yang dilihatnya bersama James Toolbright itu. Tentu saja berdasarkan ingatannya.

Menurut Miss Helen, wanita itu tingginya kira-kira 1.70 m. Tangan dan telapak kakinya agak besar, melebihi ukuran normal. Rambutnya dirias dengan belahan di tengah. 

Berdasarkan petunjuk berupa lukisan ini, sekali lagi polisi melakukan operasi di hotel-hotel dan di stasiun-stasiun pompa bensin. Tapi hasilnya nol. 

Petunjuk yang hingga kini oleh polisi belum dimanfaatkan penuh-penuh, adalah zat pembius yang tiap kali ditemukan dalam air seni korban. Timbul pikiran Inspektur James Cramer untuk menanyai apotek-apotek dan toko-toko obat, sambil memperlihatkan lukisan yang dibuat oleh Miss Helen Scharper.

Sebelum memulai operasi ini. Cramer mengunjungi ahli kimia yang memeriksa zat-zat yang ditemukan dalam tubuh para korban. Dan spesialis itu memberikan nama beberapa obat yang mengandung scopolamine. 

Dalam operasi ini Inspektur Cramer bertolak dari pemikiran berikut. James Toolbright diterkam si pembunuh ketika ia meninggalkan hotel Monarch tanggal 18 Agustus dan mengambil mobilnya di Garasi Baltimore. Rupanya pembunuh menemui Toolbright ketika lelaki ini sedang berjalan kaki dari hotel ke garasi tersebut.

Korban kedua, pemain film Merwin, rupanya juga ditemui oleh pembunuh di sekitar hotel. Seperti dikatakan di atas, Merwin menjelang kematiannya bermaksud mengunjungi seorang kenalan wanita yang menginap di hotel Monarch. Tapi pada hari yang naas itu Merwin tidak muncul di hotel tersebut. Rupanya dalam perjalanan ke hotel itu ia dicegat oleh pembunuhnya.

Jadi, demikian pikir inspektur Cramer, barangkali pembunuh bertempat tinggal tak jauh dari hotel Monarch. Atau sedikitnya, mungkin ia membeli zat pembius ini di salah satu toko obat atau apotek yang letaknya tak begitu jauh dari hotel tersebut.

Maka Inspektur Cramer menginstruksikan kepada semua anak buahnya untuk menjelajahi semua apotek dan toko-toko obat sekitar, sambil membawa lukisan tersangka seperti digambar oleh Helen Scharper.

Cramer sendiri ikut serta dalam operasi ini. Dan ia beruntung. Baru kira-kira setengah jam keluar, ia memperoleh keterangan berharga dari seorang wanita, penjaga toko obat-obatan yang letaknya tak jauh dari hotel Monarch, bahkan masih di jalan yang sama, tapi sebelah ujung.

+ "Kalau tak salah, saya pernah melihat wanita itu”, kata penjaga toko ketika Cramer memperlihatkan lukisan tersangka kepadanya.

- ’’ Ia beli apa di sini?’’

+ “Wah, saya sudah lupa. Coba, sebentar O, ya, pada suatu hari ia beli arak untuk campuran kopi. Dan beli alat kecantikan. Kalau tak salah, ini”, kata penjaga toko obat itu sambil menunjuk salah satu botol kecil dengan tutup yang panjang.

Terbaca oleh Cramer tulisan di atas etikat pada botol itu: Pearl Cutex. Di atasnya, dengan huruf-huruf yang lebih kecil tertulis: Opale Rose 53. Pembuatnya: firma Northam Warren, New York.

Cramer membeli lak kuku ini, sambil bertanya, apakah wanita yang beli Cutex itu juga beli sesuatu obat tidur, misalnya scopolamine atau Bellergal. Penjaga toko obat itu geleng kepala. Ia pun menyatakan tidak tahu siapa nama wanita itu dan di mana alamatnya.

Tapi penjaga toko itu masih menambahkan suatu keterangan berharga. Wanita itu naik mobil besar berwarna putih. Ia berhenti di lapangan seberang jalan, walaupun sebetulnya mobil tidak boleh parkir di situ. Pernah pada suatu hari, wanita itu berurusan dengan polisi akibat pelanggaran peraturan lalu lintas ini.

- Apakah ia kena denda?

+ Saya tidak tahu. Saya hanya: melihat polisi memberikan selembar kertas lewat jendela mobil.

- Kapan itu terjadi?”, Cramer bertanya.

Dijawab oleh penjaga toko obat: “Kira-kira 3 minggu yang lalu”.

Jadi jika ingatan penjaga toko tidak salah, wanita yang berkendaraan mobil putih itu berurusan dengan polisi sebelum tanggal 10 Agustus. Dengan lain perkataan, menjelang pembunuhan Merwin. 

Setelah mengucapkan terima kasih, Cramer langsung menuju ke markas kepolisian bagian lalu lintas dan memang dokumen pendendaan mobil putih itu berhasil ditemukan. Proses verbal polisi lalu lintas dibuat pada tanggal 8 Agustus 1963. Nomor mobilnya pun tercantum di situ: 692—573. Nomor polisi ini dikeluarkan di negara bagian Iowa.

Soal uang denda diselesaikan lewat telepon. Kuitansi tanda bukti penerimaannya pun ditemukan di bagian kas. Dan menurut kasir, orang yang menyetorkan uang denda itu seorang wanita.

Setelah mendapat keterangan ini, Inspektur Cramer menghubungi kantor bagian pengeluaran nomor polisi di Des Moines, lowa.

Instansi ini memberikan keterangan berikut. Nomor polisi 692—573 diberikan kepada sebuah mobil yang masih baru, merek Chevrolet, berwarna putih. Dan nomor itu dikeluarkan pada tanggal 6 Agustus 1963, atas nama Mr. James O’Hara.

Keterangan terakhir ini aneh sekali. Sebab korban pertama dalam rentetan pembunuhan misterius ini bernama James F. O’Hara. Dan pada tanggal 6 Agustus 1963, lelaki itu sudah 3 minggu almarhum. Seperti disebutkan di atas, ia terbunuh Minggu malam menjelang Senin tanggal 15 Juli 1963.

Pada pihak kepolisian jelas tak terjadi salah tulis. Lantas siapa yang mengurus nomor polisi tersebut atas nama almarhum? Yang jelas, untuk pengurusan ini diperlukan surat kuasa dari pemilik yang bersangkutan. Surat kuasa semacam itu memang sering diberikan oleh pembeli mobil kepada perusahaan yang menjualnya.

Masih ada hal lain yang menimbulkan tanda tanya  di benak Inspektur Cramer. Nomor mobil dikeluarkan di Des Moines. Dari tempat ini ke Los Angeles terbentang jarak sepanjang 3.000 km. Sudah diketahui, bahwa ban mobil yang jejaknya, ditemukan di dekat tempat terbunuhnya Robert Merwin, baru berjalan kira-kira 4.000 km.

Jadi, apabila benar bahwa Chevrolet nomor 692—573 itu adalah kendaraan yang digunakan pembunuh untuk melakukan operasinya, maka terasa ada kejanggalan. Sebab hal itu berarti bahwa untuk melakukan pembunuhan kedua ini, penjahat bersusah payah menempuh jarak sepanjang 3.000 km! Secara teoritis, seseorang memang mungkin saja berbuat aneh seperti itu. Tapi untuk apa? Apa motifnya? 

Yang jelas, sukar diterima dugaan bahwa pembunuh didorong oleh keinginan memperoleh kekayaan. Sebab bintang film Robert Merwin yang hanya pemain figuran itu, jelas tidak kaya seperti terbukti dari penyelidikan.

Di sini ada sesuatu yang tidak beres, pikir Cramer. Dan ia memutuskan, lebih baik sesegera mungkin terbang ke Des Moines untuk mendapat kejelasan tentang teka-teki ini.

Sebelum berangkat, Cramer memerintahkan mencari Chevrolet putih nomor 692—573 tersebut. Juga kegiatan menjelajahi toko-toko obat dan apotek-apotek diteruskan, untuk menemukan wanita berambut pirang yang membeli scopolamine.

Pada tahap ini pencarian pera bunuh mengalami perkembangan yang tak terduga-duga. Di lapangan terbang Des Moines Inspektur Cramer sudah ditunggu oleh rekannya. Inspektur Kerkins.

“Asisten Anda, Newman, minta kepada saya untuk menyampaikan pesan, bahwa Highway Patrol telah menemukan Chevrolet putih dengan nomor yang Anda sebutkan. Mobil itu ditemukan di jalan raya 40 sekitar Denver.

“Polisi berhasil memergoki mobil itu yang kebetulan tertahan oleh lampu merah’’.

“Mudah-mudahan ia dalam perjalanan kemari,” jawab Cramer.

Harapan ini ternyata menjadi kenyataan. Tak lama setelah Inspektur Cramer bersama Inspektur Kerkins meninggalkan lapangan terbang menuju markas polisi, dalam mobil mereka terdengar pesan radio dari para anak buah.

“P-21, Inspektur Kerkins. Harap bicara”.

Setelah Kerkins menjawab, radio meneruskan pesannya: “Berita penting untuk Inspektur Cramer dari Los Angeles. Chevrolet putih dengan nomor lowa 692—573 diparkir di depan hotel Kirkwood di Mainstreet. Mobil kami awasi terus. Minta jawaban. Selesai’’.

“Kami langsung ke sana’’, jawab Cramer singkat dan ini diteruskan oleh Kerkins ke markas pusat.

Sepuluh menit kemudian kedua detektif sudah tiba di Mainstreet. Memang, Chevrolet putih terhenti di seberang Hotel Kirkwood. Cramer dan Kerkins memarkir mobil mereka dekat pompa bensin tak jauh dari hotel. Setelah mereka turun, seorang anak buah mendekat. “Chevrolet putih sudah di situ kira-kira 20 menit yang lalu. Waktu parkir sudah habis. Mungkin pemiliknya segera datang”, katanya. 

Mobil terus diawasi. Tapi pemiliknya belum juga muncul. Hujan turun dan kegelapan pun tiba. Di mana gerangan pemilik Chevrolet itu? Di Sekitar tempat itu ada 3 buah hotel: Hotel Kirkwood, Savery dan Brown. Kerkins memasuki ketiga hotel sambil membawa lukisan tersangka. Tapi tak ada petugas hotel yang mengenalnya.

Menit demi menit berlalu, Cramer sudah tidak sabar hanya mengawasi mobil saja. Akhirnya ia mengambil risiko menyelinap mendekati Chevrolet putih tersebut untuk melihat apakah bannya cocok dengan jejak ban yang ditemukan dekat tempat terbunuhnya Merwin. Ternyata mirip sekali. Tapi kepastian tidak ada. Untuk itu perlu dilakukan penyelidikan di laboratorium.

Lebih dari satu jam para detektif menunggu buronannya yang belum juga muncul. Akhirnya Cramer mengatakan kepada rekannya, ingin pergi sebentar melihat-lihat apakah di sekitar tempat itu ada toko obat atau apotek. Barangkali buronan mereka membeli obat pembius di situ.

Ditemukannya sebuah toko obat di jalan simpang. Ketika Cramer memperlihatkan lukisan wanita yang dicarinya kepada penjaga toko, ia mendapat jawaban: “ Ya, saya mengenalnya. Baru saja ia kemari’'.

- “Kapan?’’       

+ “Kira-kira 2 jam yang lalu".

- “Ia beli apa?”

+  “Obat tidur Ballergal yang dalam jumlah kecil sering juga digunakan sebagai obat penenang. 

- “Apakah ia sudah sering kemari?

+ “Tidak. Baru sekali ini saya melihatnya’’.

Setelah mengucapkan terima kasih, cepat-cepat Cramer kembali ke tempat rekannya. “Rupanya buronan kita sedang merencanakan lagi suatu pembunuhan. Kita harus menangkapnya sebelum jatuh seorang korban lagi’’, kata Cramer kepada rekannya.

Kini Inspektur Kerkins menyarankan untuk meneliti soal nomor polisi Chevrolet putih. Perlu diketahui, siapa yang mengurus nomor mobil itu atas nama James O’Hara. Berdasarkan pengetahuan ini, barangkali dapat diperoleh petunjuk baru. Sementara itu tentu saja pengawasan atas Chevrolet putih terus dilakukan.

Orang yang mengurus soal nomor polisi atas nama O’Hara ternyata bernama Fred Leighton, seorang pedagang mobil. Nyonya Leighton dihubungi. Diperoleh jawaban bahwa Mr. Leighton, tidak ada di rumah. Ini di luar kebiasaan. Sudah malam, belum juga pulang.

Suatu dugaan melintas di benak Cramer. Barangkali belum pulangnya Mr. Leighton ini ada hubungannya dengan kegiatan wanita pembunuh. Mungkin Fred Leighton yang atas nama James O’Hara menguruskan nomor polisi Chevrolet putih itu, tahu siapa yang mencekik lelaki malang ini. Dan kini wanita itu berniat menyingkirkan pula Fred Leighton. Bahkan mungkin niat itu sudah terlaksana. ketika itu sudah lewat tengah malam. Tetapi polisi tidak dapat menunggu. Mereka harus cepat bertindak. 

Kebetulan Inspektur Kerkins mengenal Leighton secara pribadi. Segera ia menyiarkan pesan radio kepada anak buahnya: “Untuk semua! Perhatian! Dicari pedagang mobil Fred John Leighton. Tinggi 1,75 m, gemuk, agak botak, pakai kacamata. Umur kira-kira 45 tahun. Ciri-ciri khusus: bekas luka lebar pada leher sebelah kiri. Periksa semua hotel dan losmen. Jawaban ditunggu secepatnya”. 

Polisi serentak bergerak. Dan beberapa menit kemudian sudah datang jawaban dari salah satu mobil patroli: Di hotel Genesee di sekitar stasiun kereta api ada seorang tamu yang mempunyai ciri-ciri yang disebutkan. Ia menginap dengan seorang wanita. Nama mereka tercatat sebagai Mr. dan Mrs. Smith. Penerima tamu yang berjaga malam itu di hotel Genesee tak dapat menyebutkan ciri-ciri Mers. Smith karena yang mengurus penginapan adalah Mr. Smith.

“Jaga semua jalan-jalan keluar. Tunggu instruksi”, perintah Kerkins, sambil menambah bahwa ia segera menuju hotel Genesee.

Mobil-mobil patroli ditambah untuk mengepung hotel. Para detektif merasa jengkel ketika ternyata bahwa beberapa wartawan telah siap mengikuti operasi tengah malam ini. Rupanya para nyamuk pers mendengarkan radio polisi. 

Inspektur Cramer dan Kerkins di lift menuju ke tingkat 15. Di gang di depan kamar nomor 307 sudah siap seorang anggota polisi. 

Cramer mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban dari dalam. Kerkins memberi isyarat kepada portir hotel yang ikut ke atas untuk membuka pintu dengan kunci cadangan. Ketika pintu terbuka, terdengar samar-samar suara ngantuk seorang lelaki. Para detektif merasa lega bahwa lelaki itu masih hidup. 

Cramer, Kerkins dan anak buah menyerbu masuk. Di ranjang hanya terbaring seorang laki-laki. Wanita yang dicari tidak ada.

Kamar diperiksa. Salah satu jendela kamar ternyata terbuka. Cramer mendekat dan menjenguk keluar. Pada saat itu juga ia melihat kelebat bayangan tubuh seorang wanita loncat dari tonjolan tembok dekat sebuah pilar – hanya kira-kira sedepa dari jendela. Terdengar jeritan seorang wanita dan kemudian bunyi sesuatu jatuh di tanah. Sunyi senyap.

“Ia bunuh diri”, Cramer nyeletuk dengan nada kecewa. “Tak dapat kita tangkap hidup-hidup”.

Lelaki dalam ranjang memang ternyata Fred Leighton. Dengan pandangan yang kosong dan loyo, matannya terarah ke langit-langit. Rupanya ia tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekelilingnya.  Ia hanya bergumam seperti orang mengigau: “Oh, oh, tanganku seperti lumpuh”. “ Anda segera kami bawa ke rumah sakit”’ Kerkins menenangkannya. “Untung pada saat terakhir kita masih menyelamatkannya”, Cramer mengomentari.

Di atas meja dekat ranjang, Inspektur Cramer menemukan botol Whisky yang sudah setengah kosong. Di sampingnya terletak sebuah tas wanita. Di dalamnya tersimpan alat-alat kecantikan di antarannya lak kuku “Opale Rose” no.53 dan bungkusan kecil yang sudah terbuka, isinya Bellergal. 

Sayang, pada almarhumah tak ditemukan paspor atau kartu identitas lain. Sementara itu, Fred Leighton ternyata tidak tahu menahu tentang pembunuhan-pembunuhan kejam yang pernah dilakukan oleh wanita misterius itu.

(Hans Walther)

Baca Juga: Pakaian Korbannya Selalu Dicabik-cabik

 

" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834047/petunjuk-pertama-hanya-secuil-kuku" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565901000) } } [6]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3834056" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/104-menggulung-komplotan-heroin-20230728053734.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(125) "Sepasang kekasih dari Amerika ditangkap karena menjual obat bius heroin. Polisi sampai harus menyamar sebagai pedagang gelap." ["section"]=> object(stdClass)#144 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/104-menggulung-komplotan-heroin-20230728053734.jpg" ["title"]=> string(57) "Menggulung Komplotan Heroin dari New York sampai Istanbul" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:37:43" ["content"]=> string(24168) "

Intisari Plus - Sepasang kekasih dari Amerika ditangkap karena menjual obat bius heroin. Polisi sampai harus menyamar sebagai pedagang gelap dan harus mengimpor heroin sendiri.

----------

Kisahnya bermula di Los Angeles. Tanggal 11 Januari 1965 seorang warga negara Amerika bernama Louis Berteloni dan pacarnya Sheila Ann Greenlee, ditangkap karena kedapatan menjual obat bius jenis heroin. 

Pemeriksaan oleh polisi membuktikan bahwa Sheila Greenlee selama bulan-bulan terakhir seringkali mondar-mandir ke Detroit. Gadis itu memang lama tinggal di kota terakhir ini. Ia anak perempuan seorang imigran Arab. Umur 18 tahun Sheila pindah ke Los Angeles. Sementara itu orang tuanya sudah meninggal dan Sheila sudah tidak punya sanak saudara lagi di Detroit.

Lalu siapa yang dikunjungi gadis itu dalam perjalanan berkali-kali ke kota tersebut? Mungkin agen-agen kecil obat bius? Polisi Bagian Narkotika bertekad membekuk mata rantai mata rantai berikutnya dalam deretan pedagang-pedagang obat bius. Untuk itu mereka minta bantuan seorang spesialis obat bius, Buck Burhan.

Detektif ini berdarah Timur, lancar berbahasa Turki dan Arab disamping fasih pula bahasa Perancis dan Spanyol. Maka ia dianggap orang yang paling tepat untuk pekerjaan pengusutan yang mungkin memerlukan pergaulan erat dengan berbagai pendatang asing.

Bagi “B.B.” — demikian Buck Burhan biasa disebut oleh rekan-rekannya — bukan tugas sederhana menemukan relasi Sheila di antara 2 juta penduduk Detroit. Sementara itu polisi berhasil menemukan sedikit madat (opium) pada salah satu kenalan Louis Berteloni yang bernama Chris Forbes. Madat dikirim ke laboratorium untuk diteliti bagaimana perbandingan bahan-bahan yang disebut alkaloide di dalamnya — yaitu codein, morfin, narkotin dan thebain. Dari susunan alkaloide itu bisa ditarik kesimpulan dari mana asal madat, dari Asia ataukah Amerika.

Mengenai madat yang ditemukan pada Chris Forbes, jelas bahwa itu berasal dari Timur Dekat. Mungkin sekali obat bius  itu masuk Amerika lewat orang-orang Arab, kenalan dan sahabat Sheila Greenlee di Detroit.

Di ibukota industri mobil di dunia itu terdapat 470.000 buruh, di antaranya 13.000 orang adalah imigran-imigran dari Timur Dekat yang masuk Amerika Serikat sesudah perang dunia. Hampir semua imigran-imigran ini tinggal di bagian kota yang disebut perkampungan Armenia. Buck Burhan menyewa sebuah kamar di daerah itu. Dengan menjelajahi restoran-restoran sekitar, segera ia memperoleh gambaran tentang orang-orang yang perlu ia amati.

B.B. berusaha mendapat kepercayaan mereka dengan berlagak sebagai pedagang gelap penadah barang-barang curian, dengan sikapnya yang ramah dan pemurah, serta dengan kepandaiannya berbahasa Arab dan Turki.

Setelah beberapa waktu, Burhan melihat bahwa kenalan-kenalan yang menurut dugaannya adalah pecandu-pecandu obat bius, kerap kali keluar masuk sebuah toko kecil milik seorang Arab bernama Hussein Haider. Pada suatu hari salah seorang kenalan itu membuang secuil kertas, rupanya bekas pembungkus. Secara diam-diam Burhan memungut kertas itu. Ternyata ada sisa-sisa heroin.

Melalui salah seorang kenalannya, seorang pecandu obat bius yang sering ditolongnya (kenalan ini, seperti umumnya para pecandu obat bius, selalu kekurangan uang). Burhan berhasil berkenalan dengan Hussein Haider dan beli heroin darinya.

“Saya perlu heroin, bukan untuk saya sendiri, tapi untuk pacar saya di Chicago”, kata B.B. yang di perkampungan Armenia itu sudah dikenal sebagai orang yang punya banyak sahabat di kalangan dunia bawah tanah Chicago. “Pacar saya lebih mudah saya dekati bila saya membawa “stuff” itu”, Burhan menambahkan. Selanjutnya B.B. menyatakan ingin mencoba-coba menjadi pengedar. Hussein Haider hati-hati, karena ia tahu benar risiko-risiko usahanya. Tapi tawaran B.B. terlalu menarik untuk ditolaknya.

Burhan bayar tunai, lalu pergi ke Chicago. Beberapa hari kemudian ia kembali lagi di toko Hussein. “Tak mengira, akan laku demikian cepat”, katanya antusias. “Dapatkah saya beli lebih banyak?”

Demikianlah jual beli antara Burhan dan Hussein berlangsung selama beberapa waktu, hingga menjengkelkan kasir Kepolisian Bagian Narkotika yang harus mengeluarkan uang begitu banyak. “Buset, kenapa kita mesti menghidupi gengster-gengster itu!”, ia mengumpat.

Tapi B.B. yakin bahwa ini satu-satunya jalan untuk berhasil ia tahu betul sikap hati-hati dan penuh kecurigaan para pedagang obat bius. Syarat mutlak untuk dapat masuk lebih dalam di lingkungan mereka ialah menanamkan keyakinan, bahwa ia adalah seorang “langganan yang baik”.

Burhan berlagak “makin laris”. Dan pada suatu saat minta kepada Hussein heroin dalam jumlah yang pasti tidak akan dapat dipenuhi oleh pedagang gelap itu. Hussein minta waktu untuk membicarakan soalnya dengan seorang relasinya. Mulai saat itu gerak-gerik Hussein selalu diawasi oleh polisi. Telepon dan korespondensinya dibayangi terus menerus.

Hari berikutnya pedagang obat bius itu pergi ke Washington, di stasiun telepon seseorang, lalu naik taksi. Ia masuk sebuah restoran yang bernama “Hubbard House”. Tak lama kemudian masuk orang lain juga orang Timur. Berdua mereka omong-omong kesemuanya itu diamati oleh polisi dengan teropong dari sebuah gedung di seberang jalan.

Kenalan Hussein Haider kemudian memberikan sebuah amplop kepada pedagang obat bius dari Detroit ini. Lalu pergi. Ia terus dibuntuti. Ternyata orang ini tidak bertempat tinggal di Washington. Ia terbang kembali ke New York. Menurut daftar penumpang kapal terbang, ia bernama Hassib Hamel.

Penguntitan selanjutnya memberikan hasil berikut, Hassib Hamel tinggal di Brooklyn. Ia mempunyai sebuah toko yang menjual barang-barang keperluan pelaut dan kapal-kapal kecil. Letak toko itu tak jauh dari tempat perbaikan kapal-kapal. Pandai juga orang ini menyamar, pikir Burhan setelah mendapat laporan ini dari rekan-rekannya di New York. Pengawasan terhadap Hassib Hamel makin diperketat.

Buck Burhan kini terbang kembali ke Detroit untuk menemui Hussein Haider.

“Permintaanmu sudah saya bicarakan dengan teman saya”, Hussein melapor. “Karena kau secara teratur memerlukan heroin dalam jumlah banyak, risiko transportasi bagi kami terlalu berbahaya. Baru saja salah seorang anggota kami tertangkap ketika memasukkan heroin. Itu bukan saja kerugian finansial. Yang lebih kami takutkan ialah bila ia sampai membocorkan rahasia”.

Orang yang tertangkap yang dimaksudkan oleh Hussein Haider adalah Martin Forbes. Burhan tahu Martin Forbes ini dan ia merasa lega mendengar dari Hussein, bahwa Martin termasuk komplotannya.

Karena takut akan risikonya, maka akhirnya Hussein Haider menyarankan kepada Burhan agar mengimpor sendiri heroin. Mendengar tawaran ini, Burhan pura-pura kecewa dan ragu-ragu. Sebab kecuali banyak risiko, mengimpor sendiri juga berarti harus mengeluarkan biaya-biaya ekstra, katanya. “Jika saya mesti mengimpornya sendiri, tentu saja saya tidak dapat membeli dengan harga yang kita sepakati sejauh ini”.

“Tentu saja”, jawab Hussein. “Tapi kami juga ingin mendapat keuntungan pula sekedarnya. Dan yang lebih penting lagi kami  menginginkan jangan sampai hubungan perdagangan kita terputus”.

Kini tak boleh terjadi salah langkah, pikir Burhan. Seluruh hasil susah payahnya tergantung dari tindakannya saat ini.

“Bukan maksud saya untuk memotong perdaganganmu. Kalau kau setuju, saya bersedia memberikan semacam uang jaminan”, Burhan menjawab.

Sambil mengangkat tangannya, Hussein berkata: “Oh, untuk sementara ini tidak perlu, apabila segala sesuatu berjalan dengan baik. Saya terpaksa membicarakan soal ini hanya karena saya memang diinstruksikan berbuat demikian”.

Hussein Haider merogoh sakunya, lalu mengeluarkan sebuah amplop. Isinya ia keluarkan selembar sobekan kertas berwarna hijau yang ditandai dengan garis-garis dengan cara khas. “Lihat, kertas ini dengan sengaja disobek menurut garis yang tidak teratur. Sobekannya yang cocok dengan sobekan ini, berada di tangan seorang penghubung kami di Izmir. Kau dapat menemuinya di hotel Ephesus, di bangsal penerimaan tamu, menjelang jam 10 pagi. Isyarat-isyarat pengenalnya: orang itu akan duduk pada sebuah meja. Di atas meja itu terletak sebuah amplop besar berwarna coklat dan sebuah buku merah. Tunjukkan kepadanya sobekan kertas ini. Selanjutnya kau dapat memulai perundingan.

Sudah sehari sebelum tanggal yang ditentukan (sayang, sumber tulisan ini tidak menyebutkan secara tepat tanggal itu — redaksi). Buck Burhan sudah tiba di hotel Ephesus di Izmir. Hari pertama di hotel yang mewah ini, dilewatkan Burhan di kolam renang untuk mengasokan badannya yang letih karena penerbangan. Hari berikutnya, tepat jam 10 pagi itu memasuki bangsal penerimaan tamu. Orang yang dimaksudkan oleh Hussein Haider, telah menunggunya, duduk di sebuah sudut, di atas meja di hadapannya terletak amplop coklat dan sebuah buku merah.

Burhan menghampirinya, pura-pura cari tempat, duduk. Dikeluarkannya amplop pemberian Hussein dari sakunya. Lalu ia letakkan di atas meja, demikian rupa hingga sobekan kertas hijau sedikit menonjol keluar dari amplop.

Orang itu segera menanggapi isyarat Burhan. Ia mengeluarkan sobekan kertas hijau dari buku merahnya dan menyodorkan kertas itu kepada Burhan. “Ini persis cocok dengan sobekan itu”, katanya dalam bahasa Perancis, “Silahkan mengontrolnya”.

Burhan mencocokkan sobekan kertasnya dengan sobekan yang diberikan orang itu. Memang ternyata persis cocok. “Masih capai?”, orang itu melanjutkan. “Anda tiba di sini kemarin, bukan?”

Jadi saya sudah diamati sejak kemarin, pikir Burhan mendengar pertanyaan itu. Untung sejak kedatangannya, ia belum pernah berusaha menghubungi pihak kepolisian. Memang para pedagang obat bius amat hati-hati sekali dan dalam segala tingkah laku mereka tak pernah melupakan tindakan-tindakan pengamanan.

“Apa dan berapa banyak yang anda perlukan?”

“Yang paling kami perlukan di Amerika Serikat adalah heroin. Berapa  saja banyaknya, saya mau”, jawab Burhan sambil memegang tasnya, seolah-olah ia sudah siap membayar tunai pada saat itu juga.

“Sayang, saya tak punya heroin. Hanya ada opium. Tapi di Istanbul kami punya sebuah laboratorium untuk mengolah heroin dari opium. Saya kira, lebih baik Anda langsung ke sana saja”.

“Harus bepergian lagi”, Burhan pura-pura mengeluh dengah nada jengkel. Dalam hati tentu ia gembira sekali  dapat menerobos lagi lebih jauh ke dalam jaringan komplotan ini. 

Barangkali pertemuan antara Burhan dan “petugas penghubung” di hotel Ephesus di Izmir itu, oleh pihak gangster hanya dimaksud sebagai tindakan pengamanan. Yaitu untuk sekali lagi menguji, apakah Burhan bukan orang yang membahayakan.

Tapi, walaupun sudah sangat hati-hati, ada satu hal yang tidak diketahui oleh komplotan internasional obat bius ini. Yaitu, bahwa seorang rekan detektif dari Bagian Narkotika diam-diam mendampingi Burhan. Rekan itu sudah tiba di Izmir beberapa hari sebelum Burhan sendiri datang di kota ini dan sudah menghubungi polisi Turki. Secara diam-diam rekan itu telah pula berhasil memotret orang yang bercakap-cakap dengan Burhan di bangsal penerimaan tamu di hotel Ephesus. Orang misterius itu bernama Munib el Gurayeb, seorang warga negara Libanon yang tinggal di kota Beirut.

Di hotel Ephesus Gurayeb memberikan instruksi berikut kepada Burhan. Hari berikutnya Burhan harus terbang ke Istanbul, mengunjungi sebuah cafe kecil di jalan Sahaflar dan di situ bestel nescafe (minuman dari sari kopi). Di situ seseorang akan menemuinya. Sebagai isyarat Gurayeb memberikan kartu hotel Ephesus yang kata-katanya ada dua patah yang ia coret.

Keesokan harinya detektif itu terbang ke Istanbul. Ia menginap di hotel Divan. Cafe termaksud tanpa banyak kesukaran ia temukan. Untuk masuk ke dalam cafe tersebut Burhan harus menaiki sebuah tangga sempit. Sesuai dengan perjanjian, ia pesan nescafe. Tak lama kemudian seorang Iaki-laki umur 50-an menghampiri.

“Tuan mempunyai tanda pengenal?”, orang itu langsung bertanya, Burhan mengeluarkan kartu hotel yang telah disetujui sebagai isyarat.

“Beres”, kata orang itu setelah mengamati kartu tersebut. “Mari ikuti saya”.

Berdua mereka keluar cafe, masuk gang-gang yang berliku-liku dan penuh pedagang yang menjajakan jualannya. Burhan berpikir, jangan-jangan rekan-rekannya polisi Turki bagian narkotik tidak dapat mengikutinya. Apalagi karena penuntunnya tiap kali menerobos pintu-pintu sempit untuk menempuh jalan terdekat ke deretan-deretan tempat berjualan lainnya.

Spontan tangan kanan Burhan merogoh saku kanannya untuk meraba pemancar mini yang selalu menemaninya. Dalam keadaan darurat ia dapat memanfaatkan alat itu, dengan menekan tombol kontak yang tersembunyi di dalam sakunya sebelah kiri. Alat itu dapat menyampaikan isyarat-isyarat yang tak dapat terdengar kepada rekan-rekannya hingga mereka dapat mengetahui di mana Burhan berada pada saat itu.

Sekali lagi Burhan dan penuntunnya sampai pada sebuah pintu. Mereka harus menuruni tangga, melewati sebuah gang untuk kemudian menaiki lagi beberapa anak tangga. Sampailah mereka di pinggir sebuah mobil. “Silahkan masuk” kata penuntunnya sambil membukakan pintu. 

Saat yang baik ini digunakan pemancarnya. Mudah-mudahan rekan-rekannya dapat mengetahui posisinya dan mengikutinya.

Dengan kecepatan yang tinggi sekali, mobil mengebut lewat jalan-jalan simpang menuju ke jembatan Attaturk. Setelah melewat beberapa jalan kecil, mobil berhenti didepan bangunan yang mirip sebuah gudang.

“Kita mesti ganti mobil. Yang ini agaknya kurang beres”, kata penuntunnya, Burhan tahu bahwa kata-kata ini tidak benar. Ia menduga bahwa pergantian mobil hanya dimaksud oleh komplotan sebagai tindakan pengamanan.

Dan ternyata, bahwa dengan mobil baru ini, penuntunnya membawa Burhan kembali ke Bosporus. Kendaraan meluncur dengan cepatnya. Mereka kini harus melintasi lagi jembatan Galata. Lalu lintas amat ramai hingga jalan macet. Setapak demi setapak mobil maju. Tiba-tiba Burhan melihat rekan-rekannya polisi Turki. Tentu saja Burhan tak mau memperhatikan mereka. Ia pura-pura memandang kejurusan sebuah truk yang maju selangkah lagi setelah lama macet.

Burhan kini merasa lega karena ia tahu pasti bahwa rekan polisi Turki tak kehilangan jejaknya, dan terus mengikutinya.

Mobil yang ditumpangi Burhan kini belok kanan, menuju “Pintu Gerbang Indah”. Setelah melewati gapura ini, Burhan dan penuntunnya sampai di jalan yang menuju ke Laut Marmora. Pengemudi mempercepat jalannya mobil.

Sepanjang jalan, tiap-tiap kali terlihat papan penunjuk jalan dengan kata Edenir. Bukankah ini kota kecil di perbatasan Bulgaria, Burhan berpikir.

Tapi pada suatu ketika, yaitu di belakang sebuah perkemahan militer, mobil ternyata belok kiri dan mengambil jalan simpang.

Tak lama kemudian laut kelihatan. Jalan makin lama makin jelek. Akhirnya di tengah padang sepi, mobil masuk jalan kecil yang langsung menuju pantai.

Mereka menunjuk ke sebuah  vila yang letaknya terpencil dan dikelilingi oleh tembok tinggi. Sejauh mata memandang tak kelihatan perumahan. Sekeliling yang tampak hanya padang tandus. Dekat bangunan vila tampak sebuah menara rupanya tempat penyimpanan air.

Mobil masuk pintu gerbang. Pada saat itu Burhan melihat bahwa di atas menara air ada orang berdiri dengan sebuah teropong. Rupanya menara air itu juga berfungsi sebagai tempat pengamat, untuk mengawasi keadaan sekeliling. Burhan teringat pada rekan-rekannya. Bagaimana mungkin mereka bisa mendekat tanpa diketahui penjaga menara. Padahal menurut rencana mereka akan menggerebeg pusat organisasi gelap ini.

Begitu mobil masuk halaman vila, pintu gerbang ditutup. Burhan merasa seperti seekor tikus yang masuk perangkap.

Detektif itu dibawa ke sebuah kamar besar yang mirip sebuah kantor. Sepanjang dinding tampak almari-almari dengan laci-laci dan rak-rak penuh ordner. Rupanya organisasi penjual obat bius ini bekerja rapi seperti suatu perusahaan dagang.

Di belakang sebuah media tulis duduk seorang laki-laki pendek tegap, kira-kira umur 50 tahun. Begitu melihat Burhan datang, orang itu segera berdiri dan melangkah maju untuk menyambutnya. “Amir”, orang itu memperkenalkan diri, sambil mempersilahkan Burhan mengambil tempat di kursi di depan meja tulisnya.

Lama lelaki itu memandangi Burhan, seolah-olah ingin menjajaginya dalam-dalam sebelum memulai pembicaraan bisnis. Burhan pun diam. Inilah otak komplotan perdagangan obat bius yang selama berbulan-bulan dicari.

“Saya menerima laporan, bahwa tuan bermaksud beli heroin dalam jumlah banyak. Tuan dapat beli 50 kilo, tentu saja harus bayar tunai. Harganya......”.

Kalimat ini belum terselesaikan, tiba-tiba telepon di mejanya berdering. Amir mengangkat gagang telepon dan mendadak mukanya menjadi tegang. Lalu pemimpin komplotan itu menjulurkan tangannya hendak menarik laci kanan media tulisnya. Cepat-cepat Burhan meloncat sambil menarik pestolnya. “jangan bergerak”, detektif itu berteriak sambil menodongkan moncong pistolnya. 

Burhan mengambil tindakan ini  karena secara insting ia menduga apa yang terjadi: Penjaga menara melihat polisi datang dan langsung menelepon Amir tentang bahaya yang mengancamnya.

Ada kemungkinan kini akan masuk seorang atau beberapa anggota komplotan untuk menyelamatkan pemimpin mereka. Burhan bersiap-siap menghadapi bahaya ini dengan mengambil posisi yang paling menguntungkan baginya, yaitu di belakang Amir dengan punggung membelakangi tembok. Dalam posisi ini ia dapat pula mengawasi pintu kamar dan melihat siapa yang masuk.

Dalam keadaan gawat ini, Burhan menekan tombol khusus pemancar hingga alat ini terus menerus memberikan isyarat. Ini berarti, bahwa rekan-rekanya harus secepat mungkin datang dan bahwa Burhan terancam bahaya maut.

Anak buah Amir membunyikan tanda bahaya. Sirene meraung-raung. Kemudian terdengar tembak-menembak. Tapi tak seorang pun datang untuk memberi pertolongan kepada Amir. Apakah  anak buahnya mengira bahwa pemimpin mereka sudah lolos?

Tembak-menembak di luar makin gencar. Burhan tegang menunggu. Dalam keadaan ini detektif itu hanya bisa bertekad untuk menjual nyawanya semahal mungkin.

Terdengar langkah-langkah kaki mendekat. Burhan siap menembakkan pistolnya. Pintu dibuka dengari kasar. Dan Burhan mendengar namanya dipanggil: “Burhan, di mana kau? Ternyata suara rekannya sendiri. 

“Masuk! Semuanya, sudah beres”. Burhan menjawab singkat.

Demikian pemimpin perdagangan gelap obat bius ini berhasil diringkus. Ternyata “Amir” adalah nama samaran. Namanya yang sebenarnya Abdullah Ozyrek. Vilanya digeledah dan ditemukan 320 kg opium dan heroin, laboratorium pengolah heroin, di ruang yang terletak di bawah.

Di Turki, perdagangan obat bius dilarang dan sangsinya bisa berupa hukuman mati. Untuk menyelamatkan jiwanya, Ozyrek bersedia buka mulut dan menyingkapkan rahasia-rahasia organisasi gelapnya. Maka seluruh jaringan komplotan gengster di Iran, Prancis, Italia dan beberapa negara lain dapat digulung. 

Ozyrek juga mengakui, bahwa beberapa kali sebelum penangkapannya, ia mengirim heroin ke New York untuk Hassib Hamel. Obat bius selundupan ini berhasil disita di tempat dok-dok di Hudson.

Operasi ini oleh Buck Burhan diatur secara cermat. Sehari sebelum kapal muatan tiba, detektif itu sudah sampai ditempat tujuan kapal. Demikian Buck Burhan Berhasil menangkap basah Hassib Hamel tepat pada waktu ia sedang menerima kiriman heroin dari Abdullah Ozyrek.

(Hanns Walther)

Baca Juga: Suatu Tragedi Keluarga

 

" ["url"]=> string(102) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834056/menggulung-komplotan-heroin-dari-new-york-sampai-istanbul" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565863000) } } [7]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835187" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/74-kilasan-romansa-seorang-janda-20230728051141.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Seorang pedagang roti melaporkan penemuan mayat wanita berlumuran darah. Polisi menemukan bukti yang mengarah kepada seorang janda yang hilang." ["section"]=> object(stdClass)#148 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/74-kilasan-romansa-seorang-janda-20230728051141.jpg" ["title"]=> string(37) "Kilasan Romansa Seorang Janda Berumur" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:11:54" ["content"]=> string(32274) "

Intisari Plus -  Seorang pedagang roti melaporkan penemuan mayat wanita berlumuran darah di Pawnee Road, Cranford, Amerika Serikat. Polisi melakukan penyelidikan dan menemukan bukti yang mengarah kepada seorang janda yang hilang, dan surat-surat dari seorang pria yang mengaku sebagai suaminya.

----------

Tanggal 23 Februari 1929 pagi hari pada saat kebanyakan orang baru bangun tidur, di kantor polisi kota Cranford Amerika Serikat, masuk sebuah laporan yang cukup mengejutkan. Pelapor adalah John Boyle, pedagang roti dari Ward Baking Company.

Seperti biasa pagi itu ia dengan sebuah mobil mengantarkan roti-roti ke rumah para langganan. Ketika sampai di Pawnee Road, demikian laporannya, ia melihat sesuatu yang menyala di pinggir jalan. Setelah mobil lewat dekat tempat tersebut, yang menyala itu ternyata mayat seorang wanita. Bibir, pipi dan mata korban berlumuran darah. “Tanpa berhenti, saya terus tancap gas lari kemari”, John Boyle mengakhiri ceritanya.

Polisi segera mengerahkan regu pemadam kebakaran dan bersama mereka bergegas-gegas menuju tempat kejadian. Sementara petugas pemadam kebakaran berusaha menguasai api yang masih mengganas, komandan polisi James Hennessy mengirim seorang anak buahnya untuk memanggil dokter dan jaksa setempat.

Bau bensin menusuk hidung. “Saya kira bukan peristiwa kecelakaan atau bunuh diri”, gumam James Hennessy sambil memandangi kepala korban yang berlumuran darah itu.

Tak lama kemudian Dr. Horre datang dan segera ia meIakukan pemeriksaan. Semua perhatian tertuju padanya ketika dokter itu memberikan kesimpulannya. Belum ada setengah jam wanita ini meninggaI, kata Dr. Horre. Dan ia tidak mati akibat terbakar, melainkan karena sebuah peluru yang menembus ubun-ubunnya, terus turun ke bawah lewat belakang hidung dan mulut, menerobos tengkuk, dan akhirnya bersarang di dalam tubuh entah di bagian mana.

“Peluru itu kaliber kecil”, dokter itu meneruskan. “Melihat jalannya peluru, ketika ditembak rupanya korban sedang duduk atau berbaring. Gambaran saya tentang jalannya peristiwa adalah sebagai berikut. Barangkali wanita ini ditembak di dalam mobil lalu diangkat keluar. Kemudian si pembunuh menyiramnya dengan bensin dan membakarnya—untuk mencegah jangan sampai korban dapat dikenali."

Lepas dari benar tidaknya teori yang dikemukakan Dr. Horre di atas, adalah jelas bahwa korban tak mungkin lagi dikenali berdasarkan garis-garis wajahnya yang telah hangus dan rusak termakan api. Para petugas harus mendasarkan identifikasi pada data-data yang lain.

Korban itu gemuk dan berperawakan tegap. Menurut perkiraan, umurnya sekitar 50 tahun. Pangkal rambutnya yang di sana-sini belum termakan api, berwarna coklat kemerah-merahan. Di beberapa tempat ada helai-helai yang telah memutih.

Pakaiannya sebagian besar telah menjadi abu. Namun masih bisa diambil kesimpulan bahwa wanita itu memakai kerudung bersulam benang emas, mantel coklat tua dengan pinggiran dari kulit berbulu hitam sedang gaunnya dari satin hitam.

Tak ditemukan hantas. Beberapa benda yang masih utuh ialah sepatu kulit berwarna hitam, sebuah cincin kawin, dua cincin bermata dan sebuah kalung. Di jalan yang bersalju itu tak dapat ditemukan jejak kaki ataupun ban mobil, karena salju sekeliling mayat korban telah meleleh karena panasnya api, sedangkan salju di jalan telah diinjak-injak oleh regu pemadam kebakaran.

Jenazah diangkut ke laboratorium dan para petugas kembali ke kantor masing-masing.

Menjelang tengah hari komandan Hennessy dan Jaksa David yang sedang berusaha memecahkan persoalan, menerima laporan tambahan dari seorang pedagang roti lain, Henry Denner.

Katanya hari itu, ia lebih pagi berangkat ke Cranford daripada John Boyle, kira-kira seperempat jam lebih dulu. Dan ia melihat sebuah mobil Cabriolet biru model lama sedang berparkir dekat tempat ditemukannya mayat. Denner tidak memperhatikan merk mobil ataupun nomor polisinya.

“Saya hanya ingat bahwa mobil itu dikemudikan oleh seorang lelaki. Saya tak dapat mengatakan apakah di dalamnya duduk seorang wanita. Tapi saya ingat benar apa yang saya lihat. Pagi itu jalanan penuh salju, maka saya tajam-tajam pasang mata karena takut kalau-kalau selip masuk selokan”

Kini polisi menemui Dr. Horre di ruang  pemeriksaan mayat. Ketika mereka sampai di sana, baru saja dokter itu mengeluarkan sebuah peluru dari paru-paru sebelah kanan korban. Peluru itu berukuran 32, berlapis baja dan menunjukkan tanda-tanda ditembakkan dengan sebuah pistol Colt otomatis.

Selanjutnya almarhumah ternyata mempunyai beberapa gigi palsu pada rahang atasnya sebelah kiri. Gigi palsu itu belum lama terpasang.

Sebuah data kecil yang lain tak luput dari perhatian dokter Horre: jari telunjuk tangan kanan korban bengkok secara tak normal. “Ini bukan akibat hangus oleh api”, komentarnya. “Ketika wanita ini masih hidup, keadaannya telah demikian. Tulang-tulang jari itu menunjukkan bekas-bekas lama keretakan. Saya berani bertaruh bahwa jari ini telah bertahun-tahun bengkok.”

Sekilas harapan untuk dapat menentukan identitas korban timbul ketika para petugas memeriksa sepatunya.  di dalam sepatu sebelah kanan terdapat ganjal penyangga lengkung telapak kaki. Baik sepatu maupun alat penyangga itu ditandai dengan merek dan nama pabrik pembuatnya:  the Friedman-Shelby Company, St.Louis, Missouri. Ukurannya 5 1/2 -C, nomor seri 85985-H.

Jaksa David kirim kawat ke St. Louis, tapi ternyata pabrik sepatu tersebut hanya dapat menelusuri nomor seri sepatu sampai pada beberapa agen besar. Sedangkan sebuah agen besar di Pittsburgh  yang menerima sepatu dengan nomor seri tersebut di atas, kebetulan melayani separuh daerah Pennsylvania dan ………  tak pernah mencatat nomor seri sepatu-sepatu yang dikirimkannya ke agen-agen pengecer.

Pada perhiasan-perhiasan almarhumah pun tak ditemukan petunjuk-petunjuk yang bisa menolong memecahkan persoalan.  Juga pada cincin kawinnya yang terbuat dari platina tidak tertera sesuatu nama.

Dalam keadaan demikian,  di samping mencari-cari sebuah mobil Cabriolet biru model lama yang  bisa dilakukan polisi ialah: 1) meneliti dengan seksama semua berita-berita atau iklan-iklan koran dan surat-surat edaran tentang seseorang yang hilang; 2) melalui koran-koran dan dengan surat edaran menanyakan siapa yang merasa kehilangan anggota keluarga, seorang wanita, dengan ciri-ciri seperti terdapat pada korban dari Pawnee Road itu. Surat edaran mereka kirimkan tidak saja ke markas polisi di kota-kota besar di seluruh Amerika, tapi juga kepada setiap sheriff dan komandan polisi kota-kota kecil di seluruh bagian barat Pennsylvania.

Bulan Februari dan juga seluruh bulan Maret berlalu tanpa ada perkembangan baru dalam pengusutan.

Akhirnya dalam bulan April Jaksa David menerima Sepucuk Surat Dari komandan polisi Greenville, sebuah kota tambang batubara di Pennsylvania.  Harry Barber –  demikian nama komandan polisi itu –  pada tanggal 6 April kedatangan tamu dua orang wanita, Nyonya Staub dan Dodds. Kedua wanita ini ke kantor Polisi untuk menyatakan kegelisahan mereka tentang nasib seorang sahabat wanita yang bernama Mildred Small Mowry.

Mrs. Mowry adalah seorang janda. Almarhum suaminya, Benjamin Mowry, seorang pekerja tambang batubara meninggal 10 tahun yang lalu. Sejak kematian suaminya, Mrs. Mowry  bekerja sebagai pengasuh anak pada keluarga-keluarga setempat. Ia hidup dengan hematnya  dan berlaku sebagaimana layaknya seorang wanita yang telah mendekati usia 50 tahun.  Paling sedikit demikianlah keadaannya sampai awal tahun lalu, 1928.

“Ketika itu tiba-tiba Mildred  mulai bertingkah seperti seorang gadis yang sedang tergila-gila pada pacarnya”, cerita kedua wanita di atas kepada komandan Barber dengan nada mengecam. “Ia beli  pakaian-pakaian baru dan setiap minggu ke salon kecantikan. Bulan Mei ia diam-diam berpergian entah ke mana. Dan sekembalinya ia menjadi lebih ke gadis-gadisan lagi. Tak lama setelah itu ia membuka Rahasianya kepada kami. Katanya ia akan menikah. “Tunanganku seorang dokter”, katanya. “Nama depannya Dick,  tapi nama lengkapnya tak akan saya katakan sekarang. Pokoknya tampan, deh! Ehemmm! Ehemmm!” Cerita Mildred dengan bangganya.

“Bulan Agustus Mildred pergi lagi.  Sekembalinya dari perjalanan ini ia mengatakan telah menikah, tapi untuk sementara waktu belum dapat tinggal bersama suaminya, seorang dokter.  Sebab, katanya,  sang suami yang sedang membuka sebuah klinik di New York,  belum berhasil mendapatkan perumahan yang layak.”

“Tak terjadi hal-hal yang luar biasa sampai satu setengah bulan yang lalu. Ketika itu, tanggal 15 Februari, saya bertemu dengan Mildred.  Ia membawa koper, hendak pergi ke stasiun.  Dari mukanya tampak jelas bahwa Mildred baru saja menangis. “Aku akan ke New York ikut suamiku, entah ia sudah mendapatkan rumah atau belum”,  katanya. “ telah berminggu-minggu suamiku tak kirim berita dan aku takut kalau-kalau terjadi sesuatu.  Selamat tinggal, selamat tinggal, Sayang!  Aku akan kirim surat kepadamu dan memberi kabar Bagaimana keadaanku. Tapi sejak itu ia sama sekali tak ada kabarnya”, demikian Mrs. Staub dan Dodds mengakhiri ceritanya.

Di samping itu Mrs. Staub dan Mrs. Dodds  memberikan gambaran tentang apa yang mereka ketahui mengenai barang-barang milik Mildred:  mantel dengan pinggiran berbulu, pakaian dari bahan satin hitam, 3 cincin dan sebuah kalung– semuanya cocok dengan apa yang dilukiskan oleh Jaksa David dalam surat edarannya.

Setelah memeriksa gigi korban, Dr. Sturtevant pun  menyatakan bahwa identitas wanita itu tak dapat disangsikan lagi:  ia adalah Mrs. Mildred Small Mowry. Penemuan ini segera dilaporkan kepada Jaksa David di New Jersey.

Sementara itu komandan Barber menuju tempat kediaman almarhumah di Greenville dengan membawa serta William A. Wagner,  wakil komandan Pinkerton National Detective Agency (sebuah organisasi detektif swasta yang terkenal di Amerika) yang sejak beberapa waktu diminta bantuannya untuk mencari pembunuh korban dari Pawnee Road.

Di rumah kosong itu banyak bukti-bukti ditemukan antara lain 17 pucuk surat yang ditandatangani oleh “Dick” –  seorang lelaki yang menyebut dirinya  pada sampul surat: Dr. Richard M. Campbell, Apartemen 404, West Forty-second Street 110, New York City.

Kumpulan surat-surat tersebut meliputi jangka waktu 9 bulan yaitu dari bulan Februari sebelum tahun terjadinya pembunuhan sampai bulan November. Dr. Campbell dan Mrs. Mowry Saling mengenal lewat sebuah klub korespondensi. Bulan Mei 1928 mereka untuk pertama kali bertemu muka di Washington DC dan 3 bulan Kemudian, tanggal 28 Agustus, menikah di Elkton, Maryland. 

Surat-surat “Dick” kepada Mrs. Mowry  bernadakan cinta yang berlebih-lebihan. Mungkinkah lelaki ini menikah janda yang cukup berumur itu hanya karena menginginkan harta bendanya?

Bagaimanapun juga dari dokumen-dokumen yang ditemukan di rumah Mrs. Mowry  ternyata bahwa pada tanggal 25 Agustus 1928 (tiga hari sebelum menikah) wanita itu menentukan rekeningnya di sebuah bank di Greenville dengan menarik kembali uangnya sebanyak $1200. Kemudian pada tanggal 29 Agustus– sehari setelah menikah– membuka rekening bersama atas nama Dr. dan Mrs. Richard M. Campbell pada New Brunswick National Bank, New Jersey dengan setoran pertama sebanyak $1000.

Sebelum kembali ke New Jersey, detektif Wagner menelepon polisi Baltimore agar mengirim petugas ke Elkton guna menyelidiki Apakah benar ada orang bernama Dr. Richard M. Campbell yang pada tanggal 28 Agustus 1928 menikah dengan seorang wanita bernama Mrs. Mildred Mowry.

Hari berikutnya datang jawaban: Memang benar, dan perkawinan itu  diresmikan di hadapan pendeta W.G. Harris.  menurut kesaksian pendeta ini dokter Campbell  berperawakan sedang, telah beruban matanya berwarna abu-abu, sekitar 60 tahun dan berwajah tampan. Alamatnya Yosemite Avenue 370, Baltimore. Tapi setelah dicek, ternyata rumah dengan alamat itu kosong.

Setelah mendapatkan informasi di atas, detektif Wagner menghubungi New Brunswick National Bank. Keterangan yang diberikan oleh bank ini memperkuat dugaan bahwa Campbell mengincar kekayaan Mrs. Mowry.  Menurut catatan pada bank tersebut, alamat tempat tinggal Dr. Campbell adalah rumah istrinya di Greenville. Tetapi yang lebih menarik perhatian polisi adalah kenyataan bahwa sang dokter telah mengambil kembali hampir seluruh uang yang baru saja ia setorkan sebulan sebelumnya di New Brunswick National Bank atas nama dia dan istrinya. Sisa simpanan tinggal satu dua dolar.

Kini detektif Wagner menampung jalan yang tampaknya paling baik untuk menemukan Campbell yaitu mencari alamat yang digunakan oleh lelaki itu dalam korespondensinya dengan Mrs. Mowry: Apartemen 404, West Forty-second Street 110, New York City. Alamat ini ternyata kantor Louis Mirel, yang memberi pelayanan kepada pedagang-pedagang kecil dengan menyediakan perlengkapan kantor dan telepon.

“Oh iya, Dr. Campbell selama 1 tahun menerima surat-suratnya melalui kantor saya. Kadang-kadang ia kemari untuk mengambil kiriman-kiriman untuknya”, demikian keterangan Mirel.

“Surat-surat apa?”, tanya Wagner.

“Rupanya surat-surat pribadi dan tulisan pada sampul memberi kesan bahwa pengirimnya seorang wanita. Dan bulan Februari seorang wanita datang kemari mencarinya.  Ia mengaku istrinya Dr. Campbell”, Mirel menjawab.

Ketika ia, Louis Mirel,  mengatakan tak dapat memberi keterangan dimana Campbell bisa ditemui, wanita itu tampak bingung tak tahu apa yang mesti diperbuat, karena di New York dia seorang diri. 

Maka lelaki itu menasehatkan kepadanya untuk menginap di Laura Spellman Hall–sebuah losmen milik sebuah perhimpunan wanita– dan berjanji akan memberitahukan alamat penginapan itu kepada Dr. Campbell jika yang terakhir ini datang di kantornya.

“Beberapa hari kemudian Campbell memang datang dan ia saya beritahu bahwa istrinya menunggunya di alamat tersebut”, Mirel mengakhiri ceritanya.

Berdasarkan petunjuk ini detektif Wagner lalu menuju Laura Spellman Hall. Di sana memperoleh keterangan bahwa seorang wanita dengan ciri-ciri seperti Mrs. Mowry memang pernah menginap di losmen tersebut. Wanita itu, yang tercatat dalam buku tamu dengan nama Mrs Campbell, datang di Laura Spellman Hall pada tanggal 16 Februari, tapi telah meninggalkan tempat penginapan ini pada tanggal 21 Februari bersama dengan seorang lelaki yang telah ubanan bermata abu-abu dan berwajah tampan.

Setelah menemui jalan buntu ini, detektif Wagner kembali menyelidiki rumah di Yosemite Avenue, yaitu alamat Campbell seperti tercantum dalam surat-surat kawinnya.Di sana menginterview tetangga-tetangga dan mencari informasi di kantor-kantor setempat. Dan Wagner  berhasil memperoleh sebuah keterangan berharga ialah bahwa rumah kosong di Yosemite Avenue itu memang milik seorang lelaki bernama Henry Colin Campbell yang berasal dari Salisbury, Maryland.

Maka berangkatlah Warner ke Salisbury. Di kota ini nama Henry Colin Campbell ternyata cukup terkenal. Campbell tiba di Salisbury dari Chicago pada tahun 1925. 

Tak lama setelah kedatangannya, ia mendepositokan uang tunai sebesar $40.000 pada bank setempat, lalu membeli sebuah perkebunan besar. Dengan  mewahnya ia hidup di situ bersama istrinya, Rosalea. Di mata penduduk Salisbury Campbell terkenal sebagai orang yang pernah menjabat direktur periklanan.

Tahun 1927 Campbell mengalami kesulitan ekonomi hingga terpaksa menjual perkebunannya. Pada awal tahun 1928 bersama istrinya ia meninggalkan Salisbury dan sejak itu tak diketahui di mana mereka tinggal. “ Barangkali menumpang di rumah salah seorang  saudaranya. Mr. Campbell  pernah mengatakan bahwa ia mempunyai beberapa kakak laki-laki”,  kata seorang bekas kenalannya.

Campbell seperti dilukiskan oleh tetangga-tetangganya di Salisbury, mirip dengan Campbell yang kemudian menikah dengan Mrs. Mildred Mowry. Namun Wagner tidak yakin bahwa mereka adalah lelaki yang sama. Mungkin Dr. Campbell, suami Mildred adalah saudara lelaki Campbell pemilik perkebunan di Salisbury itu–pikir detektif itu. Tapi bagaimanapun juga kini Wagner pun merasa setapak lebih dekat dengan orang yang dicarinya.

Sekarang ia menghubungi polisi Chicago untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang Campbell, sebagai bekas direktur periklanan. Jawaban yang diberikan oleh Polisi Chicago mengatakan bahwa Campbell adalah orang yang sangat cakap dalam bidang periklanan. Ia pernah bekerja pada Portland Cement Association selama 11 tahun, dari 1945 sampai 1925. Gajinya yang terakhir sebanyak $26.000 setahun. Di masa itu ia menulis buku-buku, diantaranya berjudul ‘Bagaimana menggunakan semen dalam konstruksi beton’, yang waktu itu dianggap sebagai salah satu buku standar. 

Setelah itu Campbell pergi dari Chicago karena Portland Cement Association menghapuskan jabatan direktur periklanan dan menyerahkan urusan advertensi kepada sebuah biro iklan. Jadi Campbell orang baik-baik.

Tapi sehari setelah memberi keterangan di atas, polisi Chicago memberikan laporan tambahan yang menampilkan segi yang tak sedap dalam kehidupan Henry Colin Campbell yang sepintas lalu tampaknya seperti seorang lelaki teladan.

Di tahun 1924 ia pernah dituntut oleh seorang wanita bernama Emma Bullock Campbell. Emma yang berasal dari Richmod, Virginia, menuduh Campbell melakukan bigami. Lelaki ini menikahnya pada tahun 1911 di Omaha, Nebraska– kata Mrs. Emma– dan tiga tahun kemudian, tanpa bercerai, meninggalkannya dan menikah lagi dengan Rosalea McCready, yang kini hidup dengan Campbell.

Emma tadinya bertekad hendak menuntut Campbell di depan pengadilan tapi kemudian lelaki ini berhasil meredakan kemarahan Emma dan membereskan persoalan dengan semacam uang ganti rugi sebanyak $5000.

Setelah mendapatkan keterangan tambahan ini detektif Wagner merubah sedikit pandangannya atas duduknya perkara. Kini ia mulai yakin bahwa Dr. Richard dan Campbell dan Henry Colin Campbell bukanlah kakak beradik melainkan satu oknum yang sama.

Kini ia teringat pada mobil Cabriolet biru model lama, yang kemungkinan besar tersangkut dalam perkara pembunuhan di Pawnee Road. Barangkali saja mobil biru itu milik Campbell dan tercatat atas namanya.

Dengan menanyai biro-biro kendaraan bermotor tak akan terlalu sukar untuk mendapatkan keterangan apakah ada sebuah mobil Cabriolet biru yang tercatat atas nama Campbell. Wagner mulai dengan menghubungi tempat yang terdekat–New Jersey. Ternyata usahanya telah berhasil. “Di kantor kami tercatat sebuah mobil Pontiac biru milik Henry Colin Campbell. Alamatnya Turtle Park away 249 Westfield”, bunyi jawaban.

Wagner bener mendatangi rumah ini, tapi untuk sekian kalinya ia menemui rumah kosong. Lalu detektif itu menemui pemilik rumah tersebut yang bertempat tinggal tak jauh dari alamat di atas. Dari orang ini Ia mendapat keterangan bahwa Campbell tadinya telah menandatangani kontrak dan untuk membeli rumahnya dengan harga $25.000. Dari jumlah itu Campbell baru membayar $250. Sejak itu ia tak pernah membayar lagi–sampai akhirnya pada tanggal 8 Maret yang baru lalu ia pindah rumah.

“Ke mana?” tanya Wagner.

“Entah. Tempat tinggalnya yang baru juga dirahasiakan. Maklum kan Campbell punya banyak hutang dan bukan dari saya saja”, kata pemilik rumah.

Setelah mendapatkan izin, para petugas kini memeriksa isi bekas tempat tinggal Campbell di Tuttle Parkway 249 itu. Mereka menemukan rongsokan koper dan sebuah tas wanita di sesuatu sudut yang tersembunyi. Barangkali benda-benda itu bekas milik Mrs. Mildred Small Mowry, pikir Detektif Wagner. Dugaan ini semakin kuat ketika ia menemukan huruf inisial “M.S.M” di bagian dalam koper. Namun segala penemuan ini tidak menjawab pertanyaan, di mana Campbell sekarang.

Para petugas meneruskan menggeledah seluruh isi rumah, sampai sobekan-sobekan kertas dalam keranjang sampah mereka teliti satu per satu. Akhirnya Wagner menemukan secarik kartu alamat sebuah perusahaan angkutan di kota Elizabeth, New Jersey yang melayani orang-orang yang pindah rumah. 

Wagner menelepon alamat itu dan mendapat jawaban bahwa memang perusahaan tersebutlah yang mengangkut barang-barang Campbell ketika meninggalkan rumahnya yang lama di Tuttle Parkway 249. Dan sekarang Campbell bertempat tinggal di Madison Avenue, 471, Elizabeth.

Wagner dan pembantu-pembantunya bergegas-gegas menuju ke alamat ini. Letaknya ternyata hanya beberapa puluh meter dari kamar, di mana mayat Mrs. Mowry disimpan selama hampir 2 bulan, menunggu pengusutan pembunuhnya.

Pada pintu apartemen di Madison Avenue 471, memang terpampang papan nama Campbell. Di sini Wagner disambut oleh seorang wanita berwajah simpatik.

“Memang, saya Nyonya Campbell”, kata wanita itu “Suami saya tidak ada di rumah. Apakah ini sesuatu urusan dagang?”

 “Ya”, jawab Wagner. “Di mana kami dapat menemuinya?”

“Well, sekarang ia masih di kantornya, di New York. Ia bekerja pada Perserikatan Agen Batubara ACDA Broadway 120.”

Lalu, setelah melihat jam, wanita itu menambahkan: “Sekarang hampir jam 17.00. Satu jam lagi ia pasti pulang kalau tak ada acara lain yang mendadak. Sebaiknya Tuan kembali lagi kemari 1 jam lagi?”

“Baiklah” kata Wagner, lalu minta diri. Tapi ia dan pembantunya tidak pergi jauh melainkan menyebar di jalan-jalan sekitar, berlindung di tempat tersebut untuk mengawasi pintu rumah yang baru saja mereka tinggalkan.

Jam 18.10 seorang lelaki berambut putih dan berperawakan sedang tampak memasuki Madison Avenue dan berhenti di depan rumah nomor 471. Pada saat orang itu merogoh saku untuk mencari kunci pintu, Wagner mendekat. Sambil memegang bahunya detektif itu berkata: Mr. Henry Colin Campbell, bukan? Anda kami persilahkan ke markas. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan.”

Campbell ternyata seorang tahanan yang juga sangat penurut. Ia sama sekali tidak melawan, tidak menyangkal identitasnya dan tanpa liku-liku ia mengakui segala kejahatannya.

Di dalam kantong jasnya, polisi menemukan sebuah pistol Colt otomatis ukuran 32. “Senjata inilah yang saya gunakan untuk menembak Mrs. Mowry,” Mr. Campbell terus terang mengaku.

Kejahatan-kejahatan lain  yang pernah dilakukan Henry Colin Campbell kemudian terungkap akibat pemeriksaan pembunuhan Mrs. Mildred Small Mowry. Tapi baiklah lebih dulu kita ikuti rekonstruksi kejahatannya di Pawnee Road.

Setelah perkebunannya di Maryland bangkrut ia pindah ke Westfield. Di sini berniat melakukan lagi usaha di bidang periklanan tapi tak mempunyai modal. Tanpa melepaskan gagasannya untuk mendirikan biro-biro iklan, ia bekerja pada Perserikatan Agen Distribusi Batubara. Gajinya tak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Saya sadar akan kemampuan saya memikat wanita”, katanya. “Jika saya berhasil mengambil hati beberapa wanita yang kaya, pasti saya akan dapat mengajak mereka membiayai rencana biro iklan itu.”

Untuk mendapatkan kenalan-kenalan wanita menggabungkan diri dengan sebuah klub korespondensi. Alamat yang digunakannya ialah kantor Louis Mirel di Forty-second Street,, New York City. Ketika berkenalan dengan Mrs. Mowry, Campbell sama sekali tidak berniat menikahinya atau mengambilnya sebagai kekasih. Tetapi janda itu segera saja menentukan sikapnya: Jika ingin menggunakan uangnya, Campbell lebih dulu harus memperistrinya.

“Tapi saya merasa terjebak sebab Mrs. Mowry ternyata sedikit saja harta bendanya”, kata Campbell tanpa mengingkari bahwa ia telah menyikat habis seluruh uang tabungan Mrs. Mowry.

Dengan dalih sedang sibuk mengurusi pendirian sebuah Klinik di New York dan belum punya Rumah yang memenuhi syarat, Dokter Campbell meninggalkan Mrs. Mowry  di Greenville. Surat-suratnya kepada wanita ini makin lama makin jarang. Memang  secara lambat laun dan tak terasa  Campbell bermaksud meninggalkan sama sekali janda itu.

Ketika Mrs. Mowry  mencarinya di New York, Campbell bingung karena takut kalau kalau wanita itu mengetahui bahwa ia telah beristri dan menuntutnya di depan pengadilan atas tuduhan beristri dua. Setelah menjemput Mrs. Mowry  di penginapan Laura Spellman Hall, Campbell  membawanya dengan mobil keluar kota. 

Segala usahanya untuk membujuk wanita itu agar kembali ke Greenville dan menunggu “perumahan” dengan sabar, tak membawa hasil.

Mrs. Mowry bersikeras ingin mengikuti saya. Karena  berjam-jam naik mobil, ia lelah dan mengantuk, akhirnya tertidur di pangkuan saya. Saya merasa putus asa dan sebelum saya sadari, ia saya tembak mati.

Setelah membakar mayat korbannya, Campbell langsung menuju rumahnya yang lama di Westfield. Di sana membakar kompor dan hantas Mrs. Mowry  dan menyembunyikan sisa-sisa rongsokannya di tempat tersembunyi dalam rumah itu.

“Istri saya sama sekali tidak tahu menahu tentang hubungan saya dengan Mrs. Mowry. Iya juga tidak menaruh curiga ketika hari itu saya pulang terlalu malam.  Dikiranya karena urusan kantor”.

Kisah kejahatan Herry Campbell dengan disertai fotonya menjadi berita utama dalam koran-koran di Amerika. Dan beberapa hari kemudian masuk dua buah laporan yang semakin memperkuat petunjuk-petunjuk bahwa pembunuh ini adalah seorang penipu kelas wahid.

Laporan pertama datang dari U(nion) (P)acific R(ailroad) di Omaha. Bunyi laporan: Ketika bekerja pada perusahaan ini sebagai kepala bagian pendidikan, Campbell tercatat sebagai bujangan, dan bertunangan dengan 5 orang gadis sekretaris UPR sekaligus. Tapi kemudian ia ternyata telah mempunyai istri, Emma, dan meninggalkan wanita ini tanpa menceraikannya untuk menikah dengan Rosalea McCready.

Laporan kedua datang dari New York City. Seorang panitera pengadilan di kota itu, ketika melihat foto Henry Colin Campbell di harian-harian, lalu teringat kepada seorang penipu bernama Henry Colin Close yang menggelapkan uang sebanyak $10.000 milik Firma Folmer & Schwing di New York dan melarikan diri ke Meksiko.

Pemerintah Meksiko menyerahkan Close, yang kemudian diadili oleh Court of General Session, New York diputuskan bersalah dan mendapat hukuman 7 tahun penjara di Sing Sing. Kemungkinan besar Henry Colin Campbell adalah sama dengan Henry Collin Close tersebut.

Bukan saja fotonya mirip sekali, tapi juga keduanya menunjukkan sifat-sifat yang mirip satu sama lain. Henry Colin Close pernah menikah dengan tiga istri sekaligus di New York: dalam pada waktu ia masih mempunyai seorang istri lagi di Morris-town, New Jersey di mana Henry Colin Close mengaku-ngaku sebagai seorang dokter yang mengepalai sebuah rumah sakit chajalan.

Pemeriksaan selanjutnya membenarkan semua laporan di atas. Henry Colin Campbell mengakui segala kejahatan yang pernah ia lakukan selama puluhan tahun. pembunuh dan penipu yang telah beruban itu menyatakan bahwa ia mendapatkan hukuman penjara untuk pertama kali pada usia 21 tahun Karena melakukan suatu pemalsuan titik perkara Henry Colin di depan pengadilan dalam bulan Juni 1929 ia diputuskan bersalah telah melakukan pembunuhan secara terencana. ia dijatuhi hukuman mati di atas kursi listrik. pelaksanaan hukuman ini terjadi pada tanggal 17 April 1930 dipenjara Trenton.

(The Burning Woman, Charles Boswell & Lewis Thompson)

Baca Juga: Penghuni Terakhir

 

" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835187/kilasan-romansa-seorang-janda-berumur" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690564314000) } } [8]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3806901" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/10-tangan-pengadilan-selalu-lebi-20230711015405.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Potongan tubuh Setty ditemukan di sebuah rawa. Polisi pun berhasil menemukan orang yang membuang potongan tubuh itu. Namun ia telah menyiapkan alibi." ["section"]=> object(stdClass)#152 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/10-tangan-pengadilan-selalu-lebi-20230711015405.jpg" ["title"]=> string(38) "Tangan Pengadilan Selalu Lebih Panjang" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-11 13:54:13" ["content"]=> string(20400) "

Intisari Plus - Potongan tubuh Setty ditemukan di sebuah rawa. Polisi pun berhasil menemukan orang yang membuang potongan tubuh itu. Namun ia telah menyiapkan alibi agar bisa terbebas dari tuduhan pembunuhan.

----------

Lepas tengah hari 21 Oktober 1949, seorang petani penggarap bernama Sidney Tiffin menyusuri pantai Essex, Inggris. Ia sedang mencari itik liar. Tetapi hari itu di Dengie Marshes yang berawa tidak seekor itik pun tampak olehnya. Lama sudah Tiffin mengintai.

Ketika bangkit dari tempat pengintaiannya, Tiffin melihat sebuah bungkusan yang mengapung di air. Namun karena yang dicarinya itik liar, bungkusan yang terikat kuat dengan tali-temali goni itu tidak dipedulikannya.

Hingga kira-kira setengah jam kemudian, didekatinya juga bungkusan yang timbul tenggelam terombang-ambing oleh gelombang kecil akibat gerak-gerik kaki Tiffin. Ditariknya dari air lalu dipotongnya segera taIi pengikatnya.

Ternyata isinya sepotong besar tubuh manusia. Ya, sepotong. Itu adalah mayat yang sudah mulai mengurai, tanpa kepala, tangan kaki, dan tanpa lengan. Hanya batang tubuh dan tangan, dari siku hingga jari, yang tertambat di bagian punggung tubuh dengan tali kulit.

Sebagai seorang petani yang memiliki karakter tenang, Tiffin tidak terlalu kaget melihat pemandangan yang sangat mengerikan itu. Dengan tenang diambilnya sepotong kayu yang terapung di air. Dihunjamkannya hingga dasar paya, sekadar untuk menambatkan potongan mayat itu agar tidak terbawa air.

Tiffin segera bergegas pergi dan mencari telepon untuk memberitahukan penemuannya kepada polisi. Tetapi membawa polisi ke daerah yang berawa tidaklah semudah pergi ke sana seorang diri. Tiffin dan polisi tiba di tempat penemuan ketika hari sudah gelap. Dan jenazahnya sudah makin tidak keruan.

Baru keesokan harinya sisa-sisa manusia tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa lengan itu sampai ke balai jenazah di Chelmsford. Polisi telah menghubungi Scotland Yard. Dan Scotland Yard pun datang dengan membawa serta patolog kenamaan Prof. Dr. Francis Camps.

“Katakan kepada kami siapa dia dan bagaimana dia menemukan ajalnya,” kata polisi menyambut kedatangan Prof. Camps. “Kirimkan saja tangan-tangan itu ke markas dulu,” jawab Prof. Camps. “Cepat! Sidik jarinya masih mungkin untuk diperiksa!”

Setelah mengamati, Prof. Camp mengemukakan hasilnya. Ia mengungkapkan bahwa sepotong tubuh manusia itu bagian dari manusia yang dulunya lebih dari sekadar cukup terpelihara fisiknya. Almarhum agak kegemukan, tetapi tidak terlalu besar, tinggi badannya sekitar 175 cm, dan beratnya 85 kg.

Mengenai keadaannya ketika itu, Prof. Camp menyatakan bahwa potongan mayat itu sudah 20 hari lamanya berada di rawa Dengie Marshes. Dan kurang dari 48 jam setelah dipotong-potong ketika diceburkan ke sana. Sekali pun tidak lagi ada kepalanya yang otaknya bisa diperiksa untuk menentukan kematiannya, namun menurut Prof. Camp, si empunya batang tubuh itu tewas karena ditusuk. Di bagian dada tampak lima lubang bekas tusukan.

Dari sisa-sisa pakaian mayat, Prof. Camps dapat memeriksa bahwa alat penusuknya bermata tajam pada kedua tepinya, lebarnya sekitar 3 cm dan panjangnya 12 cm. Perkiraan patolog itu, orang tersebut dalam sikap berdiri atau tegak lurus ketika pembunuhnya menghunjamkan pisaunya ke dada korban. Benda lainnya yang juga masuk ke dalam tubuh korban ialah minuman keras. “Scotch atau brandy,” kata Prof. Camps.

Belum genap 24 jam, Fred Cherrill, Komandan Detasemen Polisi di Scotland Yard, sudah dapat melaporkan bahwa potongan tubuh itu milik Stanley Setty. Ia seorang catut mobil di Warren Street, kelahiran Irak. Korban pernah dihukum karena menjalankan kegiatan seperti bank tanpa memiliki dana. Seorang kenalan yang masih ada hubungan saudara dengan Setty memberi kesaksian kepada polisi. Ia terakhir melihat Setty pada 4 Oktober sekitar setengah enam sore. Ketika itu Setty mengendarai Citroen putih susu di Great Portland Street.

Seorang saudara perempuan Setty pada hari yang sama juga masih melihat Setty hidup. Dialah yang melaporkan hilangnya Setty kepada polisi hari berikutnya. “Pasti terjadi sesuatu atas diri Setty,” katanya kepada polisi. “Setty hidupnya teratur,” ia menambahkan. 

Polisi menemukan mobil Setty di luar garasi di Cambridge Terrace Mews. Kunci kontaknya berada di lubangnya. Penyelidikan yang dipimpin oleh Inspektur kepala Jamieson dari Kantor Polisi Albany Street menemukan bahwa Setty mengantongi uang £ 1000. Itu adalah hasil penjualan sebuah mobil sehari sebelum dia menghilang. Hal ini dikemukakan oleh seorang kasir bank, yang juga mencatat nomor-nomor seri dari Iembaran £ 5 yang diberikan kepada Setty. Di pihak lain, keluarga Setty sendiri menawarkan hadiah sebesar £ 1000 kepada siapa saja yang dapat memberi keterangan tentang keberadaan Setty. Tetapi tidak ada yang mengambil tawaran itu.

Prof. Camps menemukan bahwa golongan darah Setty adalah O. Menurut pengamatannya, orang yang memotong-motong tubuh Setty sangat ahli dalam memotong ternak, tetapi sedikit pun tidak mengetahui soal viviseksi kedokteran. Lengan Setty dilepas seperti tukang daging mencabut sayap dari tubuh unggas potong. Tangan Setty, dari siku hingga jari, dibungkus bersama-sama batang tubuh yang sudah tanpa kaki.

Bungkusan di Dengie Marshes itu berukuran 79x43x21 cm, yang dalam keadaan kering paling tidak beratnya 55 kg. Prof. Camps berpendapat bahwa setelah tewas bagian-bagian tubuh Setty hendak diremukkan juga. Jelasnya, tulang rusuk yang patah memberi kesan bahwa bungkusan itu dijatuhkan dari suatu ketinggian tertentu.

Penemuan Prof. Camps terakhir ini dicatat dalam sejarah kriminalitas di Inggris. Dialah yang pertama membongkar kejahatan yang hendak menyingkirkan mayat korban dengan jalan memotongnya dan membuangnya ke tempat-tempat yang berlainan. “Sangat mungkin jika bagian-bagian tubuh itu dilempar dari pesawat terbang,” kata Prof. Camps.

Begitu laporan ini disebarkan lewat pers, polisi segera saja mendapat informasi lewat telepon dari lapangan terbang kecil Elstree. Kata pemberi info, pada hari 5 Oktober ada seorang Iaki-laki bernama Donald Hume yang menyewa pesawat terbang kecil jenis Auster di lapangan terbang Elstree. Hume datang ke Elstree dengan mobil dan membawa dua bungkusan. Hume membayar sewa pesawat terbang dengan lembaran £ 5-an.

“Biasa saja sebenarnya,” kata pemberi info yang bernama Bill Davey. “Tetapi anehnya, Hume meletakkan bungkusan tersebut satu di kursi pilot, satu di kursi belakang.” Atas saran Bill Davey, Hume kemudian memindahkan bungkusan yang pertama ke kursi co-pilot.

Penyelidikan lebih jauh mengungkapkan bahwa pada hari 5 Oktober itu sekitar jam setengah enam sore mendaratkan Auster di Southend. Cukup banyak orang di Southend ketika itu tertarik pada kehadiran Hume. Bukan karena tiadanya bungkusan, melain karena caranya Hume mendaratkan pesawatnya. Ia hampir saja menubruk pesawat terbang lainnya. Beberapa orang di antara yang menyaksikan kejadian itu juga ingat detail lain dari pendaratan Hume di Southend. Salah satunya adalah kegagalan mencari pilot untuk menerbangkan Auster kembali ke Elstree. Malam harinya Hume meninggalkan lapangan terbang Southend menuju Finchley dengan taksi.

Hari berikutnya, 6 Oktober, Hume tampak kembali di Southend. Ia membawa beberapa bungkusan lagi dan segera dimasukkan ke dalam Auster. Hume mengangkasa dan hari itu juga diketahui mendarat di Gravesend sekitar jam 6 sore. Tanpa bungkusan satu pun. Selanjutnya Hume pergi dengan taksi ke Golders Green.

Dengan data-data tersebut, pergilah seorang patolog lain, Dr. H.S. Holden ke Elstree. Pesawat Auster ternyata sudah kembali ke Elstree. Dr. Holden menemukan bekas-bekas darah di belakang kursi co-pilot. Pada 26 Oktober Donald Hume dibawa oleh Inspektur Kepala Jamieson dari sebuah flat di Finchley Road, Golders Green. Ia dibawa ke Pos Polisi Albany Street.

Mula-mula Hume menyangkal mengetahui tentang hilangnya Setty dan soal keberadaan bungkusan-bungkusan di pesawat terbang Auster. Ia pun akhirnya merasa jika polisi sudah mengetahui banyak hal. Hume kemudian mengalihkan perhatian polisi dengan cerita alibi yang kemudian ternyata tahan uji dalam pertanyaan gencar di pengadilan.

“Saya ini seorang kepala keluarga,” kata Hume mengawali pernyataannya di depan Polisi Albany Street. “Istri saya Cynthia, anak perempuan kami berusia 3 bulan, dan kami tinggal di Golders Green.

“Saat Perang Dunia, saya anggota RAF selama 8 bulan. Pernah pula mendapat latihan menerbangkan pesawat udara. 8 bulan yang lalu saya mendaftarkan diri menjadi anggota United Services Flying Club. Saya berhak terbang solo, meski pengetahuan saya mengenai membaca peta tidak terlalu baik.

“Sudah 3 tahun lamanya saya berurusan dengan jual beli mobil, antara lain dengan Tuan Salvador dan Tuan Manfield. Keduanya mengetahui bahwa saya bisa menerbangkan pesawat. Agaknya karena itulah keduanya sering menanyakan apakah saya berani menerbangkan orang ke Italia atau ke Belgia.

“Pada suatu hari di kantor Salvadori, saya bertemu dengan Tuan Mac atau Max. Saya tidak begitu jelas namanya. Usianya sekitar 35 tahun, tingginya kira-kira 170 cm, orangnya besar dan gagah, bercukur bersih, tampan, rambutnya disisir lurus ke belakang dengan sibakan tepat di tengah. Sepatunya sering kulit suede berwarna cokelat dan di tangan kanannya ada cincin batu akik besar.

“Pada hari Jumat 30 September saya bertemu lagi dengan Mac, juga di kantor Salvadori. Mac menanyakan apakah saya termasuk ‘penyelundup udara’. Saya mengangguk. Kemudian Mac memperkenalkan saya dengan Tuan Gree atan Green, saya tidak begitu jelas namanya. Gree bertanya apakah saya suka uang. Saya tidak menjawab, hanya memberikan nomor telepon saya kepada Green atau Gree itu.”

Hume seterusnya menceritakan kepada polisi bahwa pada hari 5 Oktober jam 10 pagi Mac menelepon dan menyuruh Hume mencari pesawat terbang. “Antara pukul 2 dan 3 siang,” kata Hume, “datang Mac, Gree, dan satu orang lagi bernama Boy ke flat saya. Gree dan Boy masing-masing membawa bungkusan. Saya diminta untuk menjatuhkan bungkusan-bungkusan itu dari pesawat terbang ke laut, British Channel misalnya.

“Saya diberi sepuluh lembar uang £ 5-an dan sepucuk pistol. Sebelum pergi, Mac mengatakan akan kembali ke flat saya antara pukul 8 malam untuk menyerahkan upah £50 lagi.

“Bungkusan yang dibawa Boy besarnya kira-kira 40x40x40 cm dan terikat dengan kuat. Bungkusan lainnya sekitar 60x15x15 cm. Yang ini agak berat. Ketika saya sentuh, rasanya lunak. Tetapi ketika saya angkat, bungkusan yang memanjang bentuknya itu tidak menjadi bengkok. Seingat saya bungkusan itu kering dan tidak basah sama sekali.

“Setelah mereka pergi, bungkusan itu saya masukkan ke dalam lemari di dapur. Saya kira istri saya tidak pernah melihat bungkusan-bungkusan itu di sana. Setengah lima sore saya berangkat dengan mobil sewaan ke Elstree, membawa kedua bungkusan yang diminta untuk dibuang ke British Channel.

“Saya terbang menuju Southend dengan pesawat Auster. Setelah melewati atas dermaga, saya terbang lurus ke laut, seperempat jam lamanya, menghadap ke Pantai Kent.

“Tepat sebelum saya harus membelok ke kanan, pintu di sebelah kursi pilot saya buka dengan tangan, sedangkan kemudi saya jepit dengan kaki. Meskipun angin bertiup kencang sehingga pintu sulit dibuka, saya akhirnya berhasil juga menjatuhkan kedua bungkusan itu ke laut. Ketika itu saya berada di ketinggian 1000 kaki dan di antara 6,4 dan 8 km dari ujung dermaga Southend.”

Hume terbang kembali ke Southend dan menyewa taksi untuk pergi ke Golders Green. Dia membayar ongkos taksi dengan lembaran £ 5, sambil berkata “ambil saja sisanya” kepada sopir. Ternyata Gree dan Boy sudah menanti di flatnya. Lagi-lagi mereka menyediakan beberapa bungkusan untuk dibuang di British Channel, malam itu juga.

“Saya,” kata Hume, “tidak sanggup lagi karena hari sudah terlalu malam. Akhirnya mereka setuju jika bungkusan-bungkusan itu saya buang esok paginya.

“Pagi hari 6 Oktober saya mulai bertanya-tanya apakah gerangan sebenarnya isi bungkusan-bungkusan itu. Siangnya, ketika saya mengangkat bungkusan-bungkusan itu dan turun ke bawah, agak kecut juga hati saya. Jangan-jangan berisi mayat Setty yang menurut berita koran tidak lagi tampak batang hidungnya sejak 5 Oktober sore. Saya kenal Setty karena saya pernah menjual sebuah Pontiac padanya, kira-kira 2 tahun yang lalu, seharga £ 200.

“Sopir taksi membantu saya memasukkan bungkusan-bungkusan ke dalam taksi dan kemudian juga ke dalam pesawat Auster di Southend. Saya mendapat kesulitan untuk menjatuhkan bungkusan yang paling besar. Itu juga karena besarnya angin yang mendorong pintu pesawat hingga tetap tertutup. Akhirnya saya berhasil memiringkan pesawat sampai sayapnya hampir dalam posisi vertikal. Pintu terbuka dengan sendirinya dan bungkusan jatuh ke Iaut.

“Setelah itu saya tidak tahu arah lagi dengan baik. Terpaksa mendarat di sawah yang baru saja dibajak, di Faversham, Kent. Seorang petani memutarkan baling-baling pesawat, sehingga saya berhasil mengudara kembali. Hari sudah gelap benar ketika saya mendarat di Gravesend.”

Dalam pernyataannya kemudian, Hume mengatakan, “Seingat saya, pada hari 7 Oktober saya mencocokkan nomor seri uang £ 5-an tersebut, semuanya dari Boy.”

Mengenai lembaran £ 5-an lainnya, Hume memerinci demikian, “£ 80 saya berikan Cynthia yang segera menabungkannya ke Tabungan Pos, £ 40 atas nama anak perempuan kami dan £ 40 atas nama Cynthia sendiri. Dengan satu lembaran £ 5-an saya membeli sebuah buku alamat, satu £ 5-an lagi untuk sebuah gunting dalam wadah kulit merah, dua £ 5-an saya belanjakan untuk tembakau dan permen di Edgware Road.”

Berikutnya Hume menuturkan bagaimana pada hari 23 Oktober menerima telepon dari Boy bahwa menurut koran mayat Setty sebagian sudah ditemukan oleh polisi di Essex. Boy melarang Hume agar jangan sekali-sekali dia menyatakan tahu-menahu mengenai bungkusan-bungkusan dari Boy. “Kau ada istri dan anak, bukan?” ujar Boy menurut cerita Hume kepada polisi. Sejak itu Hume, katanya, tidak pernah lagi mendengar berita soal Mac, Gree, atau Boy.

Keterangan Hume di pengadilan sedikitnya tidak menyimpang dari apa yang sudah dikemukakannya kepada Polisi Albany Street. Cerita alibi Hume itu pula yang menyelamatkan leher Hume dari tali gantungan. Hal-hal lain yang memberatkan ternyata tidak cukup meyakinkan sebagai bukti. Tetesan darah, misalnya, di flat Hume memang dari golongan darah O, tetapi apa mau dikata kalau lebih dari 40 persen orang Inggris bergolongan berdarah O. Atau saksi yang melihat Hume tergesa-gesa minta kembali pisau besar yang ia asah di tukang asah pisau. Saksi ini bahkan pernah membantu Hume membawa bungkusan-bungkusan dari flat ke taksi.

Pendapat umum di seputar peradilan kasus Hume mengatakan bahwa tuntutan terhadap Hume lemah sekali. Banyak fakta justru tidak dikemukakan, seperti kesaksian Prof. Camps tentang minuman keras yang menyebabkan Setty tak berdaya menghadapi penyerang-penyerangnya. Sebaliknya jaksa malah mengemukakan kesaksian patolog ketiga, Dr. Donald Teare, yang menyatakan bahwa tidak adanya luka di tangan Setty membuktikan Setty dipegangi oleh orang lain sementara pembunuhnya menusukkan pisau ke dada Setty. Fakta ini jelas memperkuat cerita Hume tentang Mac, Gree, dan Boy.

Salvadori, Manfield, Mac, Gree, dan Boy, andai kata mereka benar-benar ada, tidak pernah ditemukan oleh polisi untuk dimintai kesaksiannya dalam kasus Hume. Kebanyakan catut mobil menggunakan nama samaran dalam usahanya. Hume divonis, tidak untuk pembunuhan Setty, melainkan untuk kejahatan membantu menyingkirkan bukti-bukti kejahatan. Untuk itu, ia dijatuhi hukuman penjara. 

Karena kelakuan baik di penjara, pada hari 1 Februari 1958 Donald Hume sudah mengecap udara kebebasan kembali. 5 hari kemudian, Hume memasuki kantor redaksi Daily Express untuk menjual cerita pembunuhan Setty yang dilakukannya sendiri. Hume tak terjamah lagi oleh tangan pengadilan manusia karena asas ne bis in idem. Suatu perkara yang sudah diputus oleh pengadilan tidak dapat diperiksa dan diputus lagi untuk kedua kalinya.

Dengan alasan harganya terlalu tinggi — Hume minta 10.000 — Daily Express tidak mau membeli cerita nyata Hume. Tetapi Hume, meskipun dengan harga yang lebih rendah, berhasil juga menjual ceritanya kepada koran lain. Diceritakan bagaimana dia melakukan pembunuhan Stanley Setty, si catut mobil kelahiran Irak. Juga tentang bagaimana dia mengakali pengadilan dengan cerita-cerita bohong tentang Mac, Gree, dan Boy.

Tetapi ne bis in idem tidak bisa lagi diterapkan pada kasus Hume berikutnya di Swiss. Tepat setahun setelah ia keluar dari penjara, Hume merampok sebuah bank di London. Untuk menghindari pengejaran Polisi Inggris, Hume kabur ke Swiss. Di Swiss pada hari 30 Januari 1959 Hume merampok sebuah bank di Zurich. Hasilnya kalau dinilai dengan ponsterling hanyalah £ 17 dalam pecahan perak dan Arthur Maag, 50 tahun, seorang sopir taksi yang berusaha menghentikan Hume.

Hari berikutnya Hume tertangkap Polisi Swiss dengan tuduhan pembunuhan. Kini Hume menjalani hukuman seumur hidup kerja paksa di Penjara Regensdorf. Hari-harinya dihabiskan dengan melukis binatang.

(Percy Hoskins)

Baca Juga: Perampokan Kereta Api Cepat Rock Island

 

" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806901/tangan-pengadilan-selalu-lebih-panjang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083653000) } } [9]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3760920" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/26/yang-salah-polisi-atau-ahli-nuju-20230526102744.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Seorang guru sekolah dasar memiliki kemampuan untuk melakukan hipnosis. Oleh polisi, ia kerap diminta untuk membantu proses pencarian bukti kejahatan." ["section"]=> object(stdClass)#156 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/26/yang-salah-polisi-atau-ahli-nuju-20230526102744.jpg" ["title"]=> string(34) "Yang Salah Polisi atau Ahli Nujum?" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-26 10:27:56" ["content"]=> string(41319) "

Intisari Plus - Seorang guru sekolah dasar memiliki kemampuan untuk melakukan hipnosis. Oleh polisi, ia kerap diminta untuk membantu proses pencarian bukti-bukti kejahatan untuk dibawa ke pengadilan.

---------------

Pada tanggal 15 Februari 1921, di Bernburg menikah seorang buruh bernama Heese dengan tunangannya bernama Minna. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di Badergasse 5. Perkawinan hanya berlangsung 11 hari.

Pada tanggal 26 Februari, Nyonya Heese ditemukan mati tercekik di dalam kamar tidur suami istri itu. Langsung saja si suami disangka menjadi pelaku kejahatan. la ditahan, dimasukkan ke penjara Bernburg, 2 hari kemudian diinterogasi hakim dan dikeluarkan surat penahanan atas dirinya.

Awalnya Heese tidak mengaku salah. Istrinya pada malam hari tanggal 25 Februari, tiba-tiba kejang namun segera mereda. la masih berbicara dengan istrinya sampai jam 3 pagi dan kemudian tertidur. Kira-kira jam 5 pagi, ia terbangun. Istrinya dalam keadaan tidak sadar, ataupun sudah mati, terbaring di bawah tempat tidur dengan kepala di dalam seember air. Ia kemudian mengoleskan alkohol pada istrinya untuk menyadarkannya kembali, akan tetapi tidak berhasil. Ia lalu memanggil dokter yang menyatakan istrinya mati. Dokter tidak mengatakan apa-apa tentang penyebab kematian.

Masih pada hari yang sama, tetangga Heese, buruh KL, diinterogasi polisi. Kata si KL, ia pulang sekitar jam 12 tengah malam. Menurutnya, dari rumah Heese terdengar raungan dan suara-suara yang aneh. Tadinya ia ingin mengetok, tetapi tidak jadi. Maka ia pun pergi tidur.

Pada tanggal 28 Februari, dokter memberi keterangan tentang pemeriksaan mayat. Pada leher sebelah kiri ditemukan goresan yang panjangnya 5,5 cm. Sebuah goresan lain ditemukan di dada. Panjangnya 15 cm. Pada bahu sebelah kanan terdapat sebuah cedera berwarna abu-abu, kulit atas terkelupas dan panjangnya 3 cm. Menurut keterangan, mungkin si perempuan berada dengan kepala di dalam ember. Ia seperti dimasukkan ke situ dengan paksa.

Si pekerja P, yang berkawan dengan keluarga Heese, hari itu juga menghadap hakim dan mengatakan bahwa keluarga Heese sesudah menikah, berdiam 10 hari di rumah seorang bibi sang istri. Itu karena rumah mereka belum bisa ditempati. Pada waktu itu Nyonya Heese tidak mau mengadakan hubungan intim dengan suaminya. Ia menangis terus. Tuan Heese menyatakan kepada temannya bahwa istrinya tidak mengizinkan ia mendekat. Demikian pula dalam pertunangan selama ¾ tahun. Kalau terus menerus demikian, maka ia hanya akan memberi istrinya sejumlah uang belanja dan dengan sisa uangnya ia akan pergi ke rumah pelacur. Heese juga menyatakan bahwa jika ia sudah marah, kesabarannya hilang.

Autopsi tidak menghasilkan sebab-sebab kematian yang jelas. Goresan-goresan di leher, dada, dan bahu menurut keterangan dapat disebabkan karena wanita itu berjam-jam berada dengan kepala di dalam ember.

Bagaimana wanita ini sampai masuk ke dalam ember? Tertuduh diam. Polisi tidak tahu apa yang hendak diperbuat. Akhirnya sesudah seminggu, mereka ingat akan seorang guru bernama Drost. Ia sudah pernah sekali bekerja untuk polisi dan kejaksaan, yakni ¾ tahun yang lalu, waktu harus mencari keterangan tentang sebuah pencurian. Waktu itu Drost berhasil mencari si pelaku yang kemudian ditahan dan dihukum oleh pengadilan di Bernburg.

Kini kejaksaan dan polisi bermufakat untuk melibatkan Drost, yang selalu menyatakan ia yakin kejahatan besar dapat diterangkan dengan hipnosis.

Sebenarnya Drost sendiri ingin mengetahui apakah mediumnya si pekerja Blenke yang sudah sering mengadakan percobaan dengannya, dapat juga mengungkapkan kejahatan-kejahatan besar.

Dengan disaksikan Komisaris Hildebrandt dan Komisaris Roessel, dilakukan percobaan. Blenke seorang lelaki yang masih muda, kuat akan tetapi bertabiat lemah. Matanya yang hitam agak berkedip-kedip. Segera sesudah percobaan dimulai ia menerangkan bahwa ia bekerja “tidak baik” kali ini. Drost membawanya ke dalam keadaan hipnosis dalam beberapa menit saja. Ia seakan seperti sedang tertidur.

“Coba ungkapkan kejadian yang rumit mengenai kematian seorang wanita muda!” begitu Drost berkata.

Blenke segera berdiri, terhuyung-huyung ke pintu, dibantu oleh Drost dan kedua petugas polisi. Langsung ia pergi ke rumah keluarga Heese, yang terletak dekat dari itu. Di rumah itu ia merebahkan diri di sebuah kursi. Di kamar duduk masih tergantung jaket si Heese yang saat itu sudah ditahan.

“Apa yang dapat anda katakan tentang baju ini?” begitu Drost bertanya kepada medium. Dengan tidak ragu-ragu Blenke menjawab, “Orang yang mempunyai jaket ini orang baik. Akan tetapi jika ia sudah terserang nafsu, ia dapat mengerjakan apa saja.”

Drost memberikan sebuah gaun milik wanita yang meninggal. Apa yang dapat dikatakan medium?

Kini medium pergi ke kamar sebelah ke tempat tidur kedua suami istri. 

“Di manakah kedua suami istri pada malam itu?”

“Di sini di tempat tidur.”

“Apa yang terjadi di sini?” 

“Si lelaki dikuasai nafsu dan menginginkan banyak hal dari istrinya.” 

“Apakah istrinya tidak mau melayaninya?” 

“Ya, ia menyatakan bahwa ia tidak mau tahu lagi tentang sang suami. Sebab meskipun baru 10 hari menikah, si suami sudah menggauli wanita-wanita lain.”

“Kemudian apa yang terjadi?” 

“Terjadi pertengkaran. Akhirnya si lelaki mencekik leher istri, sehingga si istri tidak dapat berteriak sedikit pun. Lalu ia melemparkannya dari tempat tidur dan tidak mengacuhkannya lagi.”

Kekuatan si medium agaknya melemah. Drost yang hampir berhasil, mencoba sekali lagi untuk menempatkan si medium dalam hipnosis. Blenke meneruskan bicaranya. 

“Lalu si suami sendirian di tempat tidur.”

“Ia tertidur?” 

“Ia tidak tidur dan tidak terjaga. Sesudah setengah jam, ia berdiri dan menemukan istrinya tergeletak mati di depan tempat tidur.”

“Karena dicekik sang suami?” 

“Bukan, cekikan hanya membuat ia tidak sadarkan diri. Akan tetapi pada waktu dilemparkan dari tempat tidur, ia terjatuh dengan kerongkongan ke sebuah tempat yang ada di dekat tempat tidur, hingga ia kurang mendapat udara.” 

“Apa yang kemudian terjadi?”

“Sang suami kemudian memasukkan kepala istri ke dalam tempat itu dan dipegangnya.”

“Waktu si lelaki mengetahui bahwa istrinya meninggal ia bingung dan ia mengotori semuanya dengan tinja. Kemudian ia mencoba untuk menghilangkan jejak pencekikan, dengan menggosok bekas-bekas cedera di leher dan dada dengan sebuah lap basah.”

“Tempat apakah itu yang ada di depan tempat tidur dan di mana wanita itu terjatuh?” 

Si medium tidak tahu. Tetapi tiba-tiba Blenke pergi ke dapur mengambil sebuah ember dan menerangkan, “Ember ini yang ada di depan tempat tidur.”

Drost menyuruh Blenke bangun. Sang medium seperti biasa, ia tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Blenke heran dan bertanya bagaimana ia sampai di rumah yang tidak dikenalnya ini. 

Komisaris Hildebrandt puas. la menulis protokol dan hari berikutnya pergi ke penjara, menemui Heese yang sudah ditahan. la menceritakan bagaimana semuanya terjadi, tanpa mengatakan dari mana ia mengetahui semua itu. 

Heese terkejut. Ia terus bertanya, “Dari mana Anda mengetahui semua itu?” 

Petugas menjawab, “Ya, Polisi mengetahui semuanya! Kini akuilah bahwa kejadiannya memang demikian.” 

Dengan terbata-bata keluarlah dari mulut si tertuduh, “Ya, memang begitulah kejadiannya.” 

2 hari sesudah pengakuan itu, waktu ia ditanyai lebih Ianjut oleh hakim, Heese menerangkan, “Kejadiannya memang demikian seperti yang diceritakan pada saya. Akan tetapi saya tidak melakukannya dengan penuh kesadaran, tetapi dalam keadaan tersihir.”

Ketepatan medium menujum sangat mengagumkan. Heese tidak mengetahui bahwa ia terjebak karena seorang penujum. Protokol tidak diperlihatkan kepadanya. Akan tetapi Heese mengaku telah berbuat demikian, tepat seperti yang dikatakan si medium. 

Pada mulanya Heese tidak mengaku bahwa ia mendorong kepala istrinya ke ember. Tetapi waktu dikatakan bahwa ia sendirilah yang memasukkan kepala istrinya ke dalam ember, bukan karena istrinya terjatuh di atasnya, ia akhirnya mengaku. Berapa lama ia memegang kepala istrinya di dalam ember, ia tidak bisa menceritakan lagi. Pada sidang pengadilan utama di Dessau, pengakuan di bagian ini tidak diulangi Heese, mungkin karena saran pembela. Tetapi ia mengaku melempar istrinya dari tempat tidur.

Heese diadili oleh hakim-hakim yang lunak. Pada tanggal 10 Juni 1921 ia dihukum 4 tahun penjara karena telah menganiaya dengan akibat kematian. Hak-hak sebagai seorang warga negara dicabut selama 5 tahun. Anehnya tertuduh dan jaksa tidak mau naik banding. Keputusan dijalankan.

Perkara Heese menimbulkan keheranan di seluruh Jerman. Wartawan Sling dari Vossischen Zeitung memberi judul: “Si Medium yang Detektif” pada pemberitaannya.

Drost menjadi terkenal, jauh sampai keluar perbatasan Bernburg dan Anhalt. Sejak saat itu ia kewalahan melayani permintaan agar menerangkan kejadian-kejadian kejahatan lewat para mediumnya. Bahwa para mediumnya mampu menujum dan juga kemampuan hipnosis Drost, dibeberkan di depan umum. Dr. Hellwig pada waktu itu menyatakan bahwa Drost seorang penipu.

Sebelumnya hipnosis ditertawakan ataupun tidak digunakan oleh para polisi, bahkan dilarang dilakukan di depan umum. Kemudian polisi dan kejaksaan datang ke Drost di Bernburg, untuk meminta bantuan mengungkapkan kejahatan kriminal yang besar-besar.

Malah koran Anhalter Generalanzeiger menulis “Agaknya bagi para penjahat kini zaman sudah memburuk. Sampai kini hipnosis memberikan hasil yang baik pada orang-orang atau saksi yang ikut tersangkut suatu kejahatan. Akan tetapi kejahatan yang berhasil diungkapkan dengan bantuan seorang lain (artinya seseorang yang tidak bersangkut paut dengan perkara) sebagai medium sampai kini belum ada. Keberhasilan Drost juga akan dicoba di tempat lain. Dengan demikian anjing polisi mendapat saingan besar.”

Perkara Danziger

Drost tidak bisa mengeluh kurang pekerjaan di samping pekerjaannya sebagai guru. Kini dibantu seorang medium saja tidak cukup. la memerlukan beberapa medium karena percobaan sangat melelahkan para medium. Sehingga medium hanya dapat bekerja sesudah beberapa waktu tertentu. Kini ia terutama menggunakan seorang gadis muda yang sederhana yang tampaknya seperti medium yang cakap. Ia adalah Marie Neumann.

Sejak perkara Heese, Drost melakukan banyak pekerjaan namun ia tidak pernah meminta honor. Ia hanya menerima hadiah-hadiah kecil-kecilan. Biasanya berbentuk makanan dan ini pun sesudah dilakukan percobaan. Ia hanya meminta sedikit uang untuk para mediumnya.

Pada tanggal 11 November 1922, datanglah Dr. Danziger kepada polisi di Ballenstedt untuk melaporkan pencurian yang terjadi malam sebelumnya di rumahnya. Pemeriksaan tadinya tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada tanggal 30 November, Drost atas permintaan polisi dengan medium utamanya Marie Neumann pergi ke Ballenstedt.

Sebelum memulai pemanggilan arwah, Drost beserta mediumnya melihat-lihat tempat masuk. Dari sana, pelaku bisa masuk ke dalam rumah dokter. Ia juga minta diperlihatkan kamar di mana terjadi pencurian.

Kemudian Drost memulai kerjanya. Dalam beberapa menit saja medium telah tidur.

Secara singkat, inilah yang diceritakan medium yang sedang tidur, yang dicatat oleh Polisi Soelter dan diberikan sebagai protokol pada atasannya:

“Si lelaki, yang hitam besar, berdiri di situ. Mencari uang. la mencari buku yang memungkinkannya untuk mengambil uang dari bank. Tetapi ia tidak menemukan apa-apa. Ia mencari jam, pinset, pensil, dan gunting. Dengan gunting ia membuka lemari, lalu mengambil pisau dan garpu. 

“Si hitam besar berusia 30 tahun. Yang seorang lagi bertopi warna terang, sepatu kerjanya sudah tua, kotor, jasnya berwarna gelap, dan celana bergaris. Mereka menginginkan lemak babi, sosis, dan daging. Yang seorang ingin masuk lewat jendela, mengambil kursi, tangga, dan melapisi tangga agar jangan terpeleset. 

“Ia mempunyai lampu. Ia masuk kamar duduk, ingin membuka lemari, tetapi ada buku. Ia mencari gelas kecil. Ia menyangka benda itu dari bahan perak bukan platina, padahal sebenarnya ia ingin platina. Jadi ia agak jengkel. Karena itu ia memecahkan sebuah tabung. Ia pergi ke sebuah lemari dan mengambil sebotol bisa dan morfin. Itu digunakan untuk membuat seorang lelaki dan seorang wanita tidak sadar. Tetapi si lelaki mempunyai revolver dan menembak. 

“Si lelaki tadi mencari martil dan gergaji. Ia ingin makan sosis, sosis hati. Si lelaki mencari perak di dalam lemari dan ingin membukanya. Lemari terkunci dan ia ingin menggergaji. Gergajinya tidak bisa dipakai. Ia memutuskan untuk mendongkrak tapi tidak menemukan bagian yang baik. Hanya ada piring dan gelas dalam lemari. Ia mengambil gelas dari perak. Ia ingin membawa jam, jam itu dari Amerika. Jamnya terlampau besar. Ia mengambil tas hijau, ia pergi ke dapur, mengambil pisau dan garpu dengan inisial. 

“Yang seorang lagi makan kue. Mereka makan tujuh butir telur, apel, dan mencari botol berisi anggur merah. Yang kedua berdiri dekat telepon dan berjaga-jaga. Ia tidak ikut ke dalam gudang bawah. Barang-barang itu tidak ada di sini lagi, di Hamborn atau Muenster. Si lelaki pergi terus ke Muenster, ke Belanda.”

Sesudah 1,5 jam, medium mulai mengucapkan perkataan-perkataan yang tidak begitu terang, sehingga percobaan dihentikan.

Apa yang dikatakan medium kemudian diakui garis besarnya oleh si pelaku yang lalu tertangkap. 

“Buku yang dimaksudkan medium ternyata buku cek Dr. Danziger, yang tadinya tidak disangka hilang. Kini sesudah percobaan dengan medium, ia memang melihat bahwa buku ceknya dicuri. Namun si pelaku tidak dapat berbuat apa-apa dengannya, karena cek tersebut tidak ditandatangani. 

Medium menyatakan bahwa barang-barang yang dicuri dibawa ke Muenster atau ke Hamboern. Memang si pelaku, seorang residivis ditangkap di Essen, mungkin dalam perjalanan ke Belanda. Ia menyatakan bahwa ia telah menjual barang curian di Braunschweig sebelum pergi ke arah Westfalen dan Belanda. Sampai-sampai jumlah telur benar seperti yang dikatakan oleh medium!

Apakah yang dikatakan medium itu benar-benar menyebabkan tertangkapnya si pelaku, belum diketahui. Polisi tidak mau mengungkapkannya. Yang mengherankan ialah bahwa medium telah melukiskan kejadian dengan benar dan diakui pula oleh si pelaku. Hanya itu yang relevan dari ramalan. Dari seorang yang mampu melakukan hipnosis dan mediumnya, tidak dapat diharapkan nama dan alamat penjahat yang sedang dalam pelarian. 

Bagi Drost, perkara Danziger itu suatu sukses besar yang menambah kemasyhurannya dan mengecilkan kebencian lawannya. Lawan-lawan sekelompok ahli hukum dan dokter-dokter yang tidak percaya pada telepati dan nujum. Tetapi ia juga mempunyai pengikut di antara ahli hukum dan dokter. Jumlahnya boleh dikatakan sama banyaknya dengan lawan, yang menunggu waktu untuk menjatuhkannya.

Perkara Raetzel 

Keberhasilan Drost yang menakjubkan itu sebenarnya juga membahayakan. Medium bisa saja salah. Ia dapat menujum, akan tetapi ia juga bisa salah “melihat”. Dalam hal itu mungkin saja seseorang yang tidak bersalah dikatakan bersalah oleh medium. Mungkin juga terjadi bahwa polisi, kejaksaan, dan pengadilan menerima “keterangan” berdasarkan “telepati kriminal” ini. Kemudian menghukum si pelaku tersangka.

Batas-batas berbahaya telepati kriminal ini harus disadari. Sama saja seperti setiap penemuan baru itu dapat digunakan untuk hal yang baik dan yang jelek, maka pengetahuan itu dapat digunakan untuk kebaikan dan keburukan.

Drost juga yakin bahwa medium bisa salah. Tetapi ia juga percaya dengan sepenuh hati akan kemungkinan-kemungkinan yang diberikan telepati.

Kemudian terjadilah suatu perkara yang pada mulanya seperti membuktikan keberhasilan Drost dan mediumnya. Tetapi akhirnya terbukti sebagai suatu kesalahan yang berbuntut panjang.

Pada tanggal 7 Januari 1924, penagih rekening uang Lutzemann datang ke tempat pemburu Raetzel di Aschersleben. Keduanya kolektor prangko dan anggota perkumpulan kolektor prangko. Raetzel memperlihatkan sebuah album penuh prangko Baden yang tua dan berharga. Kira-kira 2 jam sesudah Lutzemann pergi, Raetzel menyadari bahwa album itu hilang. la menyangka Lutzemann yang mengambilnya.

Sebelum melapor ke polisi, ia meminta Drost dan mediumnya Marie Neumann datang. Pada tanggal 15 Januari diadakan percobaan di kantor Raetzel. Pertama Drost dengan disaksikan oleh medium, bertanya apakah ini ruangan tempat album itu dicuri. Sesudah Raetzel mengiyakan, Drost melakukan hipnosis pada medium. 

Sesudah itu ia bertanya, “Apakah Anda melihat album yang dicuri?” 

“Ya, saya melihatnya. Dalam buku banyak gambar kecil-kecil aneka warna.” 

“Dari mana buku itu diambil? Apakah Anda melihat pelakunya?” 

“Buku diambil dari meja itu. Si pelaku mengambilnya dari belakang, dimasukkan ke dalam saku jasnya.” 

“Bagaimana rupa si pelaku?” 

“Umurnya kira-kira 30 tahun, tidak melakukan pekerjaan berat. Ia hanya berjalan-jalan saja.” 

“Apakah ada ciri-ciri istimewa pada si pelaku?” 

Sesudah agak lama medium menjawab, “Ya, lengan yang lemah.” Jawaban-jawaban itu tepat sekali menggambarkan penagih rekening Lutzemann. Ia itu selalu berjalan ke sana kemari menagih uang untuk perusahaannya. Dan memang lengannya yang satu cedera waktu perang.

Drost melanjutkan bertanya, “Di manakah kini album yang dicuri itu?” 

“Dijahit pada lapisan mantel si pelaku.”

Pada hari berikutnya, di rumah Lutzemann, dilakukan pemeriksaan rumah sesudah Raetzel melapor kepada polisi. Pemeriksaan tidak membawa hasil. Si tersangka yang kini sudah ditahan sementara, tidak mengaku meskipun diinterogasi selama 5 jam oleh polisi.

Dapat dimengerti bahwa Raetzel bingung. Di satu pihak ia sendiri menyangka bahwa Lutzemann itu si pelaku, yang juga dilukiskan dengan tepat oleh medium. Tetapi di sisi lain, ia tidak mau begitu saja menuduh seorang kenalan baik. Ia sekali lagi minta pertolongan Drost dan memintanya agar menanyai medium sekali lagi, di mana kini album itu berada. Mungkin dalam hal itu medium salah atau Lutzemann sudah memindahkan letak album.

Sebelum Drost dapat memenuhi permintaan Raetzel, album itu dikembalikan si pengambil. 

Raetzel menemukannya pada waktu ia pulang suatu Minggu malam. Album diletakkan di lantai gang. Sepertinya diselipkan di bawah pintu. 

Hal itu tidak banyak membantu Lutzemann. Meskipun ia dibebaskan, perkara diteruskan. Yang lebih memberatkan Lutzemann daripada keterangan medium adalah seorang lelaki bernama Kersten. Ia ini menerangkan bahwa pada tanggal 7 Januari, pada waktu pencurian, ia datang ke kantor Raetzel untuk membicarakan sesuatu. Lutzemann juga berada di situ. Sesudah beberapa waktu Raetzel harus pergi ke tokonya. Saksi Kersten ini mengatakan bahwa ia melihat Lutzemann dengan tangan kirinya memasukkan sebuah buku kecil ke dalam saku jasnya sebelah kanan. Karena buku kecil itu setengah terbuka, ia melihat dengan jelas, bahwa di dalamnya ada prangko-prangko.

Waktu Lutzemann dihadapkan pada Kersten, ia tidak mengaku bahwa ia mengambil album prangko. Ia menerangkan bahwa Kersten berdiri kurang lebih 1,5 meter darinya dan ia tidak memasukkan apa-apa ke sakunya. Ia hanya meletakkan contoh-contoh prangko di mapnya. Sesudah Raetzel kembali lagi dari toko ke kamar duduk, ia masih menanyakan beberapa hal tentang prangko yang ada di dalam album yang dimaksud, yang tentunya tidak akan dilakukan jika ia telah mencurinya.

Pada tanggal 24 Januari, Lutzemann didenda 100 mark. Lutzemann tidak menerima. Beberapa minggu kemudian dilakukan sidang di depan Pengadilan Aschersleben. Lutzemann masih saja tidak mengaku mencuri. Raetzel menyatakan bahwa ia kehilangan album itu kira-kira 2-3 jam sesudah Lutzemann pergi. 

Ia mengaku bahwa di kantornya dan di tokonya selalu saja ada orang-orang yang keluar masuk, juga pada hari-hari kejadian. Akan tetapi selain Lutzemann, di antara orang yang keluar masuk itu tidak ada yang pengumpul prangko. Saksi Kersten tetap menuduh saat dimintai keterangan. Ia melihat dengan nyata bahwa Lutzemann memasukkan album berisi prangko itu ke dalam saku jas. 

Berdasarkan tuduhan-tuduhan tersebut, Lutzemann dianggap bersalah. Tentu saja pengadilan tidak mau mengakui pernyataan medium dengan resmi. Sampai di mana percobaan dengan medium yang juga dikabarkan oleh media massa itu memengaruhi keputusan, tidak diterangkan lebih lanjut.

Dalam sebuah surat kepada kejaksaan, Lutzemann protes keras. Ia tidak bersalah. Karena ditahan dan diadakan pemeriksaan di rumahnya, kehormatannya di masyarakat rusak. Ia naik banding. Akan tetapi pengadilan tidak menerimanya dan pada tanggal 9 April 1924, keputusan tetap dijalankan. Dalam keputusan disebutkan bahwa pengadilan yakin jika Lutzeman telah tergoda oleh “nafsu pengumpul”. Juga karena kesempatan yang baik untuk mengambil buku berisi prangko itu. 

5 minggu sesudah keputusan dijalankan, maka si penagih rekening dipecat oleh jawatan kereta api di mana ia bekerja.

Bahwa keputusan pengadilan mengenai Lutzemann itu keputusan yang salah, tidak pernah dikatakan atau dibuktikan lagi. Pencuri sebetulnya tidak diketahui. Akan tetapi sebenarnya bukti-bukti yang dijadikan dasar keputusan oleh pengadilan tidak mencukupi. Jadi paling banter, Lutzemann harus dibebaskan dari tuduhan karena kekurangan bukti.

Daya upaya pembelanya, yang dalam hal ini mendapat bantuan sepenuhnya dari Dr. Hellwig, baru berhasil 2 tahun kemudian. Saat itu perkara dibuka kembali. Pada tanggal 2 Juli 1926 sidang dibuka oleh pengadilan di Halberstadt. Sekali ini Lutzemann dibebaskan. la mendapat pekerjaannya yang lama pada jawatan kereta api dan dianggap sudah direhabilitasi sepenuhnya, meskipun si pencuri sebetulnya tidak pernah ditemukan.

Para ahli hukum dan dokter melibatkan diri dalam perkara Lutzemann, bukan semata-mata untuk membela si penagih rekening saja. Para ahli dan media massa, terutama lawan Drost yang lama yaitu Dr. Hellwig. Mereka menganggap perkara Raetzel sebagai salah satu bukti Drost dan pekerjaannya yaitu memakai telepati dalam mengungkapkan kejahatan-kejahatan. 

Jadi tidak hanya karena si Lutzemann, akan tetapi sebagai serangan terhadap Drost, maka perkara Raetzel dibesar-besarkan. Kejaksaan yang bekerja sama dengan Dr. Hellwig dalam perkara ini ingin membuktikan bahwa Drost bermaksud menipu dengan cara-cara amatir.

Di dalam surat tuduhan terhadap Drost tanggal 24 November 1924 dikatakan bahwa keterangan medium dalam perkara Raetzel bukanlah suatu bukti kemampuan menujum. Justru kemungkinan besar keterangan-keterangan itu membingungkan sehingga Lutzemann yang tidak bersalah dijatuhi hukuman.

Katanya Drost sebelum melakukan percobaan telah diberi keterangan yang mendetail dari pihak Nyonya Raetzel. Jika keterangan medium benar, maka itu hanya disebabkan karena Drost mampu membaca pikiran orang lain. Raetzel pada waktu percobaan itu juga hadir dan mengetahui jalan peristiwa pada waktu itu. la hanya tidak mengetahui siapa yang mengambil album.

Pada waktu sidang utama, semua saksi yang diinginkan Dr. Hellwig datang; suami istri Raetzel, Kersten, dan Lutzemann. Yang sangat menarik perhatian adalah pemeriksaan terhadap Lutzemann, yang dalam perkara melawan Drost ini bukan menjadi tertuduh, akan tetapi saksi yang disumpah. 

Menurut pendapat Dr. Hellwig, Lutzemann orang yang sopan dan tidak ada seorang pun di dalam ruangan sidang yang tidak yakin bahwa Lutzemann diadili dengan salah. Pada waktu sidang berjalan, sebenarnya Lutzemann masih dihukum dan ia menganggap pemecatnya merupakan malapetaka. Peranannya sebagai saksi terhadap Drost ini banyak membantu dalam mendapatkan persidangan ulang bagi perkaranya, meskipun ini baru terjadi 2 tahun sesudahnya.

Kini masih tinggal pertanyaan: apakah telepati itu dan apakah kemampuan menujum?

Kata sementara orang, para okultis kadang-kadang mampu mendapatkan pengetahuan ataupun keterangan lewat jalan lain, di luar daya tangkap kelima indra yang sudah kita kenal. Jalan-jalan atau cara-cara ini sering dinamakan “di atas sadar”. Apakah orang percaya pada hal itu atau tidak merupakan persoalan lain.

Yang dikatakan telepati adalah jika lewat keadaan “di atas sadar” diteruskan suatu pengetahuan yang diketahui juga oleh orang lain, menujum adalah mampu mendapatkan keterangan dengan jalan “di atas sadar” yang tidak diketahui orang-orang lain.

Pada waktu Drost mengadakan percobaan, biasanya kedua hal itu terjadi bersamaan. Sering para medium hanya memberi tahu fakta-fakta yang diketahui seseorang yang berada di dalam ruangan, misalnya diketahui Drost sendiri ataupun orang yang meminta bantuan. Dalam hal itu terjadi telepati, jadi yang dipikirkan seseorang yang hadir diberikan pada medium, dengan aliran yang tidak terlihat. Sang medium hanya mengatakan apa yang dipikirkan oleh yang lain. Tetapi seringkali medium mengatakan hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh seorang pun yang hadir di situ. Misalnya ciri-ciri si pelaku yang belum dikenal, jalan pelariannya, di mana ia menyembunyikan barang curian dan sebagainya. Dalam hal ini telah terjadi penujuman.

Apakah pendapat para cendekiawan terhadap telepati dan penujuman?

Kebanyakan cendekiawan mengakui telepati. Semua kita sudah pernah mengalami “pemindahan” pemikiran dari orang lain pada diri kita. Penujuman atau kemampuan melihat lebih jauh tidak diakui oleh ilmiah resmi. Para cendekiawan terkenal seperti Dessoir, Moll, Baerwaldt, Hellwig, berpendapat bahwa tidak ada satu kasus penujuman pun yang dapat dibuktikan benar 100 persen. Sedangkan seorang cendekiawan yang terkenal sebagai Schrenk-Notzing, yang bertahun-tahun percaya pada penujuman dan bekerja dengan para medium, menurut ilmiah resmi ditipu oleh para penipu. Maka itu para cendekiawan yang menganggap penujuman itu sebagai suatu penipuan, melakukan perlawanan terhadap Drost dan para mediumnya.

Apakah kita masing-masing percaya pada penujuman atau tidak, harus dijawab oleh kita masing-masing. Perkara Drost hanya dapat membuktikan bahwa Drost bukanlah seorang penipu. Ini semua hanyalah soal kepercayaan dan bukan soal pengetahuan.

Apakah Marie Neumann itu benar-benar dapat menujum, hanya penting dalam perkara Drost, si guru di Bernburg. Kebanyakan mereka yang tersangkut perkara-perkara ini sudah meninggal. Akan tetapi teka-teki jiwa manusia itu tetap saja ada. Inti sari kedalaman jiwa seseorang tidak atau belum dijelaskan.

Siapakah Drost?

Pada tanggal 22 Maret 1924, guru sekolah dasar di Bernburg, bernama August Drost ditahan. la adalah seorang guru yang pendiam, tidak pernah membuat kesalahan hukum dan seorang katolik yang taat. Di samping pekerjaannya sebagai guru, Drost mempelajari okultisme, hipnosis, telepati, dan menujum sejak kecil.

Kini Kejaksaan Bernburg menuduh guru Drost melakukan penipuan kriminal lewat telepati. Ia tidak mau melarikan diri ataupun membalikkan kenyataan. Yang dipakai sebagai tuduhan terhadap guru Drost adalah penuduhan penipuan dari beberapa kalangan, yang telah memintanya untuk membantu dengan pertolongan para mediumnya. Maka atas dasar itulah kejaksaan melakukan pemeriksaan dan penahanan.

Bagaimana bisa terjadi, seorang warga kota pendiam serta hidup tenang dapat masuk dalam keruwetan peradilan. Sangat mudah! Ia mempunyai musuh-musuh yang kuat. Musuh-musuhnya itu ingin membasmi okultisme sampai ke akar-akarnya dengan menyingkirkan si guru, sehingga orang tidak akan menaruh kepercayaan lagi padanya.

Perkara Heese, Danziger, dan Raetzel adalah contoh-contoh yang khas sebagai percobaan Drost dalam hal penujuman.

Banyak perkara lagi, yang pada waktu persidangan dibicarakan sebagai bukti melawan Drost adalah perkara-perkara rutin yang dikumpulkan oleh polisi dan kejaksaan. Misalnya ada seorang perempuan yang kehilangan kunci dapurnya, seorang penyanyi kor di gereja dicuri mantelnya, dan seorang lagi ada kecurian pakaian waktu dijemur di rumah. Akan tetapi bukan itu saja, beberapa perkara pembunuhan atau membunuh dengan tak disengaja, perkara membakar, berusaha dipecahkan Drost dengan cara menujum. Itu dilakukan atas permintaan para petugas, tetapi biasanya tidak ada hasil yang memuaskan.

Baru sekali itu negara, melalui jawatan kejaksaannya, telah menyeret hal yang peka seperti hipnosis ke muka umum. Kejaksaan juga menuduh seseorang yang karena hakim yang adil kemudian tidak berhasil dihukum. Namun orang yang dimintai bantuan akhirnya menjadi tertuduh.

Keputusan Pengadilan Bernburg, salah satu jawatan yang objektif dan dapat di percaya dalam perkara Drost, mengatakan bahwa si tertuduh sudah bertahun-tahun telah menyembuhkan orang-orang sakit dengan jalan magnetis hipnotis. Drost, seorang yang terhormat di Bernburg dan sekitarnya, juga memberi kuliah-kuliah eksperimental tentang hipnotisme. Semua itu dilakukan tanpa meminta bayaran. Ia hanya ingin menyembuhkan orang-orang yang menderita dengan kekuatan batin dan kekuatan magnetisme yang ia miliki.

Bahwa Drost itu seorang yang mampu melakukan hipnosis dengan baik, dikatakan juga oleh ahli Profesor Heyse di dalam sidang. Drost adalah seorang autodidak, seorang yang belajar sendiri. Ini ia akui. Sejak remaja ia membaca buku tentang hipnosis, telepati, dan penujuman. Saat itu ia merasa kekuatan yang ada di dalamnya dan percaya betul akan adanya hal-hal yang lebih dari normal. 

Akan tetapi Drost tidak hanya menyembuhkan orang-orang sakit saja, ia percaya bahwa ia dapat memecahkan persoalan-persoalan yang bersangkutan dengan hukum. 4 tahun sebelum persidangan dan ditahan atas tuduhan menipu, ia melakukan percobaan pertama di bidang ini.

Apakah yang dikerjakan Drost pada perkara ini dan perkara-perkara lainnya? Ia tampil atas permintaan dengan medium. Mula-mula dengan si pekerja Blenke, kemudian Marie Neumann yang sempurna sekali digunakan sebagai medium. Keduanya adalah orang-orang yang primitif, hampir tidak bisa menulis bahasa Jerman yang baik dan tampaknya dapat dipermainkan oleh Drost menurut kemauannya yang keras.

Sebelum ia menidurkan medium, Drost selalu memberi tahu tentang tempat dan waktu (dilakukannya pembunuhan, pencurian, atau pembakaran). Ia kemudian bertanya, jika mereka dalam keadaan “dapat melihat apa yang terjadi”, bagaimana kejadiannya membawa kabur barang, tentang nama, dan rupa si pelaku. Kemudian dengan cara pandangan dan isyarat, ia membuat medium berada dalam keadaan tidak sadar. Sejak tahun 1920 hingga penahanannya bulan April 1924, Drost melakukan beberapa percobaan penujuman dengan berbagai medium-medium, terutama dengan Marie Neumann.

Sebagaimana dikatakan dalam keputusan pembebasan, maka Drost telah melakukan pekerjaannya atau kegiatannya dalam rangka ilmiah. Ia juga melakukannya dengan kepercayaan bahwa medium yang dipakainya benar-benar pula dapat menujum. 

Dalam perkara Drost terutama diperbincangkan dua hal. Apakah Drost itu memang benar-benar percaya akan kemampuan medium-mediumnya, meskipun ia mengetahui bahwa mereka itu kadang-kadang salah atau tidak tepat menujum? Ataukah ia kemudian sesudah beberapa kesalahan yang dikerjakan oleh para medium, tidak percaya lagi akan kemampuan mereka? Kedua, apakah Drost telah menerima uang atau barang-barang dari para klien, meskipun ia mengetahui bahwa para mediumnya tidak mampu menujum?

Tuduhan didasarkan pada kedua hal tadi dan juga dipakai oleh ahli yang terang-terang melawan Drost, yakni Dr. Hellwig. Andai kata dalam proses terbukti apa yang dituduh itu benar, yakni bahwa memang para medium yang dipakai sama sekali tidak bisa menujum sehingga keterangan mereka tidak berguna. Selanjutnya jika Drost mengetahui hal itu tapi mengatakan pada klien jika mereka mampu menujum dan ia menerima pembayaran, maka tuduhan dapat dapat dibuktikan dan Drost bisa dihukum.

Tetapi kedua hal tidak terbuktikan di dalam proses. Drost, menurut keterangan pengadilan, ialah seorang yang mudah percaya pada sesamanya. Ia juga tidak pernah meminta sesuatu pada kliennya. Oleh karena itu, ia dibebaskan tuduhan.

Hal lekas percaya pada sesama ini sangat penting bagi kelanjutan proses. Andai kata Drost memang seseorang yang lekas percaya, maka ia dapat juga menerima uang dari para klien, tanpa disangka ia itu seorang penipu. Dan jika ia orang yang tidak segera percaya perkataan orang, maka ia dapat dihukum, mesti ia hanya menerima hadiah kecil-kecilan saja.

Yang sudah terbukti ialah bahwa Drost setiap kali sebelum melakukan percobaan menyatakan bahwa percobaan itu dapat berhasil ataupun gagal, ia sendiri tidak mengetahui. Maka tuduhan telah memakai pernyataan hati-hati si tertuduh ini sebagai bukti bahwa Drost sendiri tidak percaya akan kemampuan para mediumnya.

Tetapi di dalam keputusan pengadilan dikatakan dengan nyata bahwa si tertuduh mengetahui dan menyadari bahwa suatu keberhasilan medial itu adalah diluar kemampuan sang medium dan yang memerintahkan hipnosis. 

Jaksa berpendapat jika sebenarnya Drost sesudah tidak berhasil beberapa kali dengan para mediumnya, seharusnya kehilangan kepercayaan terhadap para mediumnya. Dan dari titik tolak inilah dimulai penipuannya. Tetapi pengadilan malah mengatakan bahwa Drost tidak ditakutkan oleh ketidakberhasilan yang berkali-kali, sebab karena keberhasilan yang kemudian ada, kepercayaannya pada kemampuan para medium justru makin diperkuat.

Juga para ahli yang paling ketat pun berpendapat bahwa para medium, terutama Marie Neumann dan Blenke, mempunyai kemampuan menujum yang kuat. Pengadilan mengakui itu dan tidak menganggap Drost itu penipu. Oleh karena itu, ia dibebaskan tuduhan tetapi diberi peringatan. 

Para hakim di Bernburg yakin bahwa sidang telah membantu masyarakat luas yang menyerahkan diri pada si tertuduh dan para mediumnya, untuk mengungkapkan kejahatan.

Masyarakat luas? Ah ya! Tetapi sebenarnya polisilah yang telah meminta pertolongan pada Drost untuk menerangkan suatu kejadian kriminal. Dan bukanlah sebenarnya polisi itu merupakan wewenang kejaksaan? Polisi adalah jawatan yang membantunya, lengan yang mengerjakan apa yang diperintahkan?

Keputusan terdiri dari dua kalimat. Tertuduh dibebaskan dari segala tuduhan. Segala biaya perkara ditanggung kas negara. Tetapi ia sudah dipecat dari sekolahnya sejak ditahan dan di kota kecil di mana dia tinggal ia tetap tak disukai.

(AFP)

Baca Juga: Pembunuhan Waktu Dini Hari

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760920/yang-salah-polisi-atau-ahli-nujum" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1685096876000) } } [10]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3760933" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/26/sandra-dibunuh-seorang-sadisjpg-20230526102636.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(117) "Sandra ditemukan tewas mengenaskan di ranjangnya. Menurut polisi, ia pasti dibunuh oleh seorang yang sadis atau gila." ["section"]=> object(stdClass)#160 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/26/sandra-dibunuh-seorang-sadisjpg-20230526102636.jpg" ["title"]=> string(28) "Sandra Dibunuh Seorang Sadis" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-26 10:26:48" ["content"]=> string(20688) "

Intisari Plus - Sandra ditemukan tewas mengenaskan di ranjangnya. Menurut polisi, ia pasti dibunuh oleh seorang yang sadis atau gila.

---------------

Kulitnya cokelat karena terbakar terik matahari. Pada punggungnya kelihatan bagian kulit yang putih bekas tertutup kutang. Tubuh ramping itu telanjang dan melengkung di ranjang. Umur gadis itu 17 tahun dan ia sudah meninggal. Lehernya dijerat dengan tali plastik. Lengan dan kakinya menunjukkan bekas dalam yang berdarah karena rupanya ia diikat dengan rantai besi. Sandra pernah menjadi seorang gadis yang cantik, tetapi sekarang sudah tidak ada bekasnya lagi.

Pembunuhnya pasti seorang sadis atau gila, kata Kepala Dinas Kriminal Wolfgang Strenger yang berusia 56 tahun dengan sedih. Ia sudah melihat banyak mayat selama 25 tahun menjadi kepala komisi pembunuhan di Bremerhaven. Tetapi tidak pernah ia melihat anak perempuan yang digarap seperti ini. 

“Kita akan membentuk suatu komisi khusus. Saya ingin supaya semua anggota komisi melihat gadis ini seperti keadaannya sekarang. Agar jelas bagi semuanya apa yang harus dilakukan,” kata Wolfgang Strenger kepada orang kedua dari komisi pembunuhan itu, Bernd Werk (36).

Penyelidikan bisa dimulai, kata Strenger. Hari itu pukul 16.12. Lima petugas menyelidiki kamar Sandra dan seluruh rumah tempat kejahatan itu. Yang dikumpulkan ialah bekas-bekas seperti sidik jari, rambut, abu rokok, serat pakaian…

Kemudian ternyata penyelidikan makan waktu lebih lama daripada dalam cerita kriminal TV, sampai hampir 40 hari. Tak heran kalau petugas-petugas komisi khusus ini hampir putus asa.

Mula-mula dengan hati-hati komisaris bagian pembunuhan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada ibu Sandra, yang setiap pukul 6 pagi sudah keluar rumah. Sandra yang bekerja sebagai pembantu apotek pukul 7.30 baru keluar rumah. Selama itu ia seorang diri di rumah. Ayahnya sudah beberapa hari bekerja di bagian montage di Salzgitter yang letaknya 300 km dari situ.

Pembunuh mestinya datang antara pukul 6 dan 7.30 pagi, kata Strenger. Rupanya ia tahu bahwa waktu itu Sandra seorang diri di rumah dan mestinya ia sudah dikenal oleh gadis itu. Pintu rumah sama sekali tidak memperlihatkan gejala dirusak. Sandra mungkin membukakan pintu untuk pembunuhnya dan mempersilakannya masuk.

Polisi berdatangan ke Gedung Kurtschumacher Strasse 75, tempat kejahatan dilakukan. Tempat itu berupa flat modern bertingkat delapan dengan 800 tempat tinggal. Mobil polisi itu ditumpangi orang-orang dari “komisi khusus Sandra.” Mereka terdiri dari 20 pejabat yang bekerja sama untuk memecahkan teka-teki Sandra ini. 

“Pandanglah anak itu dengan cermat,” kata si kepala bagian kriminal itu. 

Kemudian komisi itu dibagi dalam empat kelompok.

  1. “Kelompok info” harus menyelidiki 200 tempat kediaman dalam flat di mana kejahatan dilakukan. Juga tetangga-tetangga ditanyai apakah mereka mendengar jeritan atau melihat sesuatu yang mencurigakan.
  2. “Kelompok apotek” harus ke majikan Sandra dan rekan-rekannya sekerja dan menanyai mengenai si korban dan hubungan mereka dengan Sandra.
  3. “Kelompok kontak” harus mencari teman dan kenalan si korban.
  4. “Kelompok jejak” harus menyelidiki sampah. Soalnya di flat itu ada tempat penimbunan sampah. “Barangkali saja si pembunuh membuang sesuatu di situ,” kata Wolfgang Stranger.

Selama itu dua petugas dinas kebakaran sudah tiba dengan peti seng. Mereka mengangkut mayat si gadis ke Kiel untuk diselidiki oleh dokter pengadilan. Di situ para dokter mulai melakukan visum et repertum. Mereka akan menentukan sebab kematian dan kapan tepatnya Sandra meninggal serta apakah di bawah kuku Sandra ada goresan kulit. Si gadis mungkin mencakar si pelaku dalam usahanya membela diri. Dari partikel-partikel kulit itu para ahli bisa mengetahui golongan darah si pelaku.

Pada kejahatan seks, sperma juga ikut diselidiki. Semua ini menjadi pegangan penting untuk polisi dalam mencari orang yang berdosa.

Sejenak setelah jam 19.00 Strenger kembali ke kamar dinasnya yang sederhana di Kantor Pusat Polisi Bremerhaven. Ia menelepon istrinya untuk memberitahu bahwa ia tidak makan malam di rumah. Kemudian ia turun ke tempat wakilnya Bernd Werk. 

“Sudah menemukan sesuatu?” 

Bernd Werk menggelengkan kepalanya. Ia telah memeriksa kartu orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan seks. “Tidak ada yang cocok dengan pembunuh kita,” katanya. “Selain itu saya juga telah menghubungi Polisi Salzgitter untuk mengecek alibi ayahnya. Beres. Waktu kejahatan itu terjadi ia berada di tempat kerja.

Ada pria yang memburunya 

Pukul 22.00 pemimpin bagian pencari jejak kembali dari tempat kejahatan. “Rupanya semua bersih. Di seluruh kamar tidak ada sidik jari pembunuh. Mungkin ia mengenakan sarung tangan mobil karena ada bekas lubang-lubangnya. Pokoknya kami telah menemukan sidik seperti itu di pintu kamar Sandra. Apakah pembunuh itu telah mengaitkan kaki Sandra pada pegangannya? Bukan main! Kemudian masih ada plester yang menutupi mulut dan mata gadis itu. Semua barang kodian. Di atas permadani kamar duduk ada bulu binatang. Namun keluarga Lepczynske tidak mempunyai binatang peliharaan. Selain itu hasilnya nihil.”

Sampai tengah malam, komisi khusus Sandra dua kali mendapat info salah dan dua jejak. “Kelompok jejak” telah memeriksa enam tempat sampah tetapi tidak menemukan jejak yang ada hubungannya dengan pembunuhan. Dalam kalangan teman Sandra “kelompok kontak” tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Polisi yang termasuk dalam “kelompok info” lebih beruntung. Ketika menanyakan informasi dari rumah ke rumah, mereka bertemu dengan pasangan tua. Menurut pasangan tua ini, pada hari naas itu ada seorang tak dikenal di depan rumah tersebut. Selain itu sekitar pukul 7.30 tetangga mendengar jeritan: jangan-jangan jeritan seorang gadis. Tidak ada yang peduli. Namun saat itu artinya ada seseorang masuk ke rumah.

Jejak menarik ditemukan oleh tim “kelompok apotek”. Ada seorang pria yang menguntit Sandra, kata pemimpin kelompok. Hal itu diceritakan Sandra malam sebelumnya kepada seorang rekan sekerja dalam bis saat perjalanan ke rumah. Sandra juga menunjukkan pria itu. “Dia menginginkan sesuatu dari saya. Saya juga tidak menolak mentah-mentah,” katanya. Polisi mengajak rekan Sandra untuk naik bus lagi malam itu. Mungkin ia bisa menunjukkan orangnya.

Sebelum itu para petugas pulang beberapa jam untuk tidur sebentar. Wolfgang Strenger menyimpulkan informasi apa yang sudah berhasil dikumpulkan oleh komisi khususnya selama ini:

— Pembunuh rupanya seorang penjahat seks sadis. 

— Pembunuh tahu persis keadaan hidup korbannya. Ia datang tepat waktu Sandra sendirian di rumah. 

— Korban rupanya kenal dengan pembunuh. Dari gelas yang masih ada di meja ternyata bahwa korban dan pembunuh minum cola. Mungkin juga alkohol. 

— Pembunuh menyukai sarung tangan pengemudi mobil.

— Pembunuh mungkin mempunyai binatang peliharaan.

“Mungkin besok saya sudah tahu lebih banyak,” kata Wolfgang Strenger. Waktu itu pukul 3 dini hari dan besok akan dimulai tepat 4 jam kemudian, yakni pukul 7 pagi, hari kedua pencarian.

Hari kedua. Kelompok kontak selama menyelidiki teman-teman Sandra sampai pada kesimpulan bahwa korban termasuk suatu kelompok “Rocker”, yaitu tujuh atau delapan anak muda antara umur 17 dan 20 tahun, yang semua langganan polisi karena ikut pencurian skuter atau perkelahian. 

Sandra dan rekan-rekannya adakalanya juga main seks. Pagi-pagi kalau ibu gadis itu sudah pergi ke tempat kerja, para Rocker itu datang ke rumah. Mula-mula mereka minum-minum dan kemudian naik ke ranjang. Itulah apa yang dikatakan orang. Kelompok Rocker itu tinggal di semacam komunitas. Selain itu konon Sandra ingin melepaskan diri dari anak-anak itu.

Apakah pembunuhan itu mungkin karena balas dendam? “Kita akan membayangi kelompok itu siang malam. Kita harus tahu siapa saja yang termasuk dalam kelompok ini, kalau akan kita tangkap,” kata Strenger dan Bernd Werk.

Juga kelompok apotek mendapat kakap. Di dalam bus, rekan Sandra menunjukkan kepada polisi pria yang menguntit korban. Ternyata ia seorang montir mobil berusia 26 tahun dan sudah berkeluarga. Pada interogasi pertama ia sudah menolak semua tuduhan.

Ketika polisi akan menggeledah rumah si tertuduh, datang berita telepon pertama dari dokter kehakiman di Kiel.

Sandra menjadi korban kejahatan seks. Pada pahanya ditemukan sperma. Mungkin pemiliknya mempunyai golongan darah A. Tapi belum pasti, karena darah korban sendiri termasuk golongan darah A. Golongan darah ini dominan dan bisa saja menutupi golongan darah B atau O. Jelasnya begini, biarpun sperma itu berasal dari seorang pria yang bergolongan darah B atau O, sperma itu bisa terselubung golongan darah A karena cairan vagina Sandra sendiri.

Suatu hal lain yang menarik perhatian para dokter selama menyelidiki si korban adalah di antara bekas penganiayaan berat, mereka menemukan Iuka bulat dalam di pelipis Sandra. Rupanya karena pukulan keras dengan mulut revolver.

Ketika menggeledah rumah pria dalam bus itu, polisi menemukan buku bergambar-gambar orang yang diikat, persis seperti si pembunuh mengikat Sandra. Di rumah itu juga ada kucing (rambut binatang di kamar Sandra) dan revolver dengan jaringan-jaringan yang melekat. Selain itu si tertuduh mempunyai kelompok darah A dan ia tidak punya alibi yang meyakinkan.

“Semua kelihatannya sudah klop,” kata Strenger. Lalu ia memerintahkan untuk menyelidiki pakaian si tertuduh, apakah ada noda darah dan apakah pada mulut revolver ada jaringan manusianya. Selama itu pria berusia 26 tahun itu ditahan dulu.

Polisi mengira sudah menangkap pembunuhnya. 

Pada hari ketiga, komisi khusus kecewa. Jaringan pada mulut revolver bukan berasal dari manusia. Selain itu ahli kriminal tidak menemukan percikan darah sedikit pun pada pakaian si tertuduh. Juga bulu binatangnya tidak cocok. Pada sore harinya Strenger melepaskan pria berusia 26 tahun itu, yang tidak mau bicara. Mereka tidak mempunyai cukup alasan untuk menahannya lebih lama.

Pernah punya pacar orang Turki

Jejak komunitas Rocker bertambah penting. Di situ segalanya berkisar pada wanita dan alkohol, kata polisi yang terus membayangi mereka. 

Hari ke-4. Pagi-pagi pukul 6, komisi khusus Sandra menggerebek komunitas Rocker. Delapan orang ditangkap dan diinterogasi sampai tengah malam. Setelah itu hanya diketahui bahwa anak-anak itu suka berbohong dan bahwa Sandra memang wanita gampangan. Setelah dua gelas anggur, Sandra mau melakukan segalanya. Tetapi akhir-akhir ini ia enggan.

Namun mungkinkah anak-anak anggota geng itu masih tetap mencoba biarpun Sandra tidak mau lagi? Itulah pertanyaan yang harus dijawab oleh komisi penyelidik. Semua anggota geng harus membuktikan alibinya.

Hari ke-6. Petugas-petugas komisi khusus tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan dalam penyelidikan alibi para Rocker. Hasilnya selama ini tetap nol.

Hari ke-8. Komisi khusus Sandra sudah bekerja seminggu, setiap hari hampir 24 jam. Jejak yang semula dikira hangat, makin hari kian dingin. Para Rocker pun rupanya tidak ada hubungannya dengan pembunuhan itu. Polisi sudah mulai lelah. Setiap malam mereka hanya tidur beberapa jam. Tidak ada malam bebas, tetapi tidak ada yang mengeluh. Semua masih membayangkan wajah anak yang malang itu. Mereka pun takut ramalan Strenger menjadi kenyataan. Kalau kita tidak menemukan pelakunya kita segera akan dihadapkan pada gadis korban berikutnya.

Hari ke-12. Tidak ada hasil sama sekali, hanya petunjuk lemah. Sandra konon pernah mempunyai pacar orang Turki. Karena itu semua orang asing di Bremerhaven diperiksa apakah pernah berurusan dengan polisi dan apakah ada keanehannya. Jumlah lebih dari 5.000 orang.

Hari ke-17. Penyelidikan orang asing tidak memberi hasil apa-apa. Kalau mendengar sesuatu yang mencurigakan sedikit saja, polisi datang. Pikiran mereka adalah pembunuh seks itu mungkin sudah mengintai korban berikutnya.

Diantar pulang 

Hari ke-22. Seorang pria berusia 32 tahun menyerahkan diri kepada polisi “Saya pembunuhnya,” katanya. Baru 2 hari kemudian polisi menyadari bahwa orang itu pembohong.

Hari ke-28. Jejak hangat baru memberi semangat kepada para pencari. Mereka menemukan kejahatan yang mirip dengan pembunuhan seks Sandra.

4 tahun sebelumnya seorang anak laki-laki berusia 18 tahun mempermainkan seorang gadis berusia 15 tahun selama 8 jam. Selama itu gadis itu diperkosa dan disakiti. Pelaku tersebut membujuk anak perempuan itu ke mobilnya. Gadis itu dipaksa menanggalkan pakaiannya, diikat, mata dan mulutnya ditutup dengan plester. Nama orang sadis itu adalah Michael Jelinek. la dijatuhi hukuman setahun. Tempat kejahatan daerah Cuxhaven, dekat Bremerhaven.

Sejak kemudian Michael Jelinek yang kini sudah berusia 22 tahun berhasil ditahan. “Saya tidak punya hubungan dengan pembunuhan gadis itu. Saya hanya mengenal gadis itu dari koran,” katanya. Strenger dan Bernd Werk menunjukkan kepada pria tegap berotot itu persamaan perbuatannya dengan pembunuhan Sandra, antara lain:

Tetapi Jelinek bersikeras, “Saya tidak mempunyai hubungan dengan persoalan itu. Saya tidak kenal Sandra sama sekali.” Setelah rumah Jelinek diperiksa, tidak ditemukan petunjuk tambahan. Ia tidak mempunyai binatang di rumah, ia juga tidak mempunyai sarung tangan pengemudi dan golongan darahnya B.

Lewat tengah malam omisi khusus Sandra terpaksa melepaskan Jelinek. Strenger mengantarkannya sendiri dengan mobil pribadinya. Maksudnya agar mendapat kepercayaan Jelinek. Strenger yakin bahwa ia duduk di sebelah pembunuh Sandra. Ia hanya belum berhasil membuktikannya.

Hari ke-30. Sudah 2 hari komisi khusus Sandra menyelidiki masa lalu Michael Jelinek. Hasilnya tidak banyak. Rupanya sejak melakukan kejahatan seks 4 tahun yang lalu, ia tidak menonjol lagi sebagai seorang pelaku seks yang abnormal.

Hari ke-31. Wolfgang Strenger sekali lagi berbicara dengan ibu si korban, “Kami menemukan seseorang yang 4 tahun yang lalu pernah memerkosa seorang gadis. Peristiwanya seperti yang menimpa putri anda. Namanya Jelinek, apakah Anda mengenalnya?”

“Ya,” jawab Ny. Lepczynske. “Jelinek putra rekan sekerja saya. Ia sudah pernah mengantarkan sepeti anggur kepada kami. Sekarang saya teringat. Setengah tahun yang lalu ia pernah bermain dengan keponakannya.”

Segera petugas-petugas dari komisi khusus menghubungi keponakan Jelinek. Dengan malu-malu gadis berusia 16 tahun itu mengakui bahwa berbulan-bulan yang lalu ia diperkosa oleh Jelinek. “Michael melakukannya 4 kali. Waktu itu ia mengikat saya dan menutup mata dan mulut saya dengan plester. Saya tidak berani berkata apa-apa karena ketakutan, tetapi akhirnya ibu saya mengetahuinya. Michael berjanji tidak akan berbuat lagi.”

Saya yang melakukannya 

Jadi Jelinek setelah melakukan kejahatan seks 4 tahun yang lalu masih melakukan lagi perbuatan yang di luar batas itu. Pada kasus perkosaan itupun ia selalu mengikat si korban yang bugil itu yang mata dan mulutnya diplester. Sandra tidak terkecuali. Jelinek tahu di mana Sandra tinggal dan pukul berapa ia berada seorang diri di rumah.

Pukul 12.35 Polisi Bernd Werk menangkap Jelinek di tempat kerjanya. Selain itu polisi juga bertanya kepada rekan-rekan tertuduh apakah Jelinek mempunyai sarung tangan pengemudi. “Pasti. Dulu ia selalu mengenakannya, tetapi sudah sebulan tidak.”

Interogasi makan waktu 10 jam dan sangat menegangkan. Setiap kali Wolfgang Strenger dan Bernd Werk menunjukkan betapa miripnya pembunuhan Sandra itu dengan perbuatan-perbuatan sebelumnya.

1 jam setelah tengah malam ia mengaku, “Benar, saya yang melakukannya. Saya yang membunuh Sandra.” Kemudian ia menceritakan secara terperinci pembunuhan yang dilakukannya itu. Malam sebelumnya ia sudah membayangkan bagaimana caranya kalau ia memerkosa Sandra, bagaimana ia 5 jam lamanya menyakiti Sandra secara seksual untuk akhirnya membunuh. “Wajahnya kucium, kemudian lehernya kujerat dan mukanya kumasukkan ke ember air, kelihatan gelembung udara naik, akhirnya tidak ada gelembung lagi.”

Di kantong pembunuh seks itu polisi menemukan peta kota Bremerhaven dengan tempat yang diberi tanda silang. Di situ tinggal seorang gadis yang menarik perhatiannya, katanya.

(Dieter Abholte, Quick)

Baca Juga: Siapa Berani Melawan Pangeran Andrew

 

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760933/sandra-dibunuh-seorang-sadis" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1685096808000) } } [11]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3761001" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/16/perkara-yang-berekor-panjangjpg-20230516062800.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Evans datang ke kantor polisi dan mengaku telah membunuh istrinya. Namun setelah diselidiki, ia terus memberikan pengakuan yang berubah-ubah." ["section"]=> object(stdClass)#164 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/16/perkara-yang-berekor-panjangjpg-20230516062800.jpg" ["title"]=> string(28) "Perkara yang Berekor Panjang" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-16 06:28:07" ["content"]=> string(53473) "

Intisari Plus - Evans datang ke kantor polisi dan mengaku telah membunuh istrinya. Namun setelah diselidiki, ia terus memberikan pengakuan yang berubah-ubah. Penyelidikan pun menuntun polisi pada kasus pembunuhan lain yang dilakukan oleh tetangga Evans.

---------------

Rumah sempit bertingkat tiga di Rillington Place nomor 10 di daerah North Kensington di London, dihuni oleh tiga keluarga.

Di tingkat paling bawah tinggal suami istri Christie yang selalu mengasingkan diri dari tetangga. John Halliday Reginald Christie seorang pemegang buku.

Di tengah tinggal seorang Ianjut usia bernama Kitchener. (Ketika peristiwa ini terjadi, Kitchener sedang berbaring di rumah sakit).

Di tingkat paling atas tinggal keluarga Evans. Timothy John Evans yang lahir di Wales tahun 1924 itu seorang sopir. Karena pernah mengalami kecelakaan waktu kecil, tinggi badannya tidak seberapa. Ia hampir tidak bisa membaca ataupun menulis. Pada tahun 1947 ia menikah dengan seorang operator telepon yang masih muda dan manis. Mengapa gadis manis itu menikah dengan pria bertampang buruk dan hampir buta huruf, merupakan suatu teka-teki.

Di rumah itu tidak ada gudang dan kamar mandi. Kakus satu-satunya terletak di halaman, harus dipakai oleh semua penghuni rumah di ujung jalan buntu itu.

Keluarga Evans pindah ke sana pada waktu Paskah tahun 1948. Waktu itu Nyonya Evans sudah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika anak itu berumur setahun, Nyonya Evans merasa ia mengandung lagi. la bermaksud menggugurkan kandungannya karena alasan keuangan. Pada saat mulai membentuk rumah tangga mereka berutang banyak untuk membeli perabot. Karena penghasilan Evans kecil, mereka takut tidak mampu membiayai kelahiran dan perawatan anak keduanya nanti.

Tanggal 10 November 1949 Evans bercerita kepada tetangga-tetangganya di sekitar bahwa ia berhenti bekerja. Sebenarnya ia diberhentikan. Ia bisa mengemudikan mobil dengan baik, tetapi majikannya tidak senang karena ia selalu berbohong dan gugup. Lagipula ia selalu meminta persekot gaji.

Keesokan harinya, Evans menjual perabot rumah tangganya dengan harga hanya 40 ponsterling. Barang-barang itu diambil orang tanggal 14 November.

Kepada tetangga-tetangga ia bercerita bahwa istri dan anaknya pergi ke Brighton, ke rumah mertua Evans. Tanggal 14 November malam, Evans pulang ke daerah asalnya di Cardiff.

Bibinya, Nyonya Lynch mendapat keterangan bahwa Nyonya Evans dan anaknya sedang berada di Brighton.

Tanggal 23 November ia kembali ke Rillington Place untuk bercakap-cakap sebentar dengan Christie lalu kembali ke Wales seminggu. Kepada bibinya ia menerangkan sudah bertemu dengan istrinya dan anaknya. Mereka akan dibawanya ke New Port, katanya.

Evans masih mempunyai ibu. Ibunya bernama Nyonya Probert karena sudah menikah kembali dengan seseorang bernama Probert. Nyonya Probert mendengar anaknya berada di Cardiff, tetapi entah ke mana menantu dan cucunya. Ia mengirim telegram ke besannya di Brighton untuk menanyakan keadaan menantu dan cucunya. Namun ia mendapat jawaban bahwa sang besan tidak pernah bertemu dengan Nyonya Evans sejak tanggal 5 November.

Ketika Evans dan istrinya masih tinggal di Rillington Place, Nyonya Probert pernah melerai pertengkaran mereka. Ketika itu istri Evans mengajak temannya yang berumur 17 tahun menginap sehingga Evans mesti tidur di dapur. Nyonya Probert berhasil membuat gadis tadi keluar rumah.

Nyonya Probert rupanya mengutus anaknya yang seorang lagi, yaitu saudara tiri Evans untuk menanyakan ke Rillington Place 10, siapa yang tahu di mana menantu dan cucunya saat ini. Ternyata mereka pun tidak tahu.

Jadi Nyonya Probert menulis surat kepada bekas iparnya, Nyonya Lynch. Di surat itu ia menyatakan kemarahannya kepada Evans, yang katanya selalu berbohong dan berutang. Pasti nasibnya akan sama seperti ayahnya, tulisnya. Surat itu tiba tanggal 30 November dan Nyonya Lynch membacakannya kepada Evans. Rupanya hati Evans tersentuh.

Sore itu juga ia pergi ke kantor polisi untuk mengaku, “Saya telah membunuh istri saya. Saya memasukkan mereka ke dalam saluran kotoran.” 

Petugas polisi mula-mula tidak percaya dan memperingatkan agar Evans berhati-hati memberi pengakuan. 

Akan tetapi Evans malah menyatakan, “Saya benar-benar menyadari apa yang saya katakan. Saya tidak bisa tidur dan harus mengeluarkan isi hati. Saya akan menceritakan semuanya dan Anda pun dapat menuliskannya. Saya tidak dapat membaca dan menulis.”

Kemudian Evans memberi pengakuan menyeluruh di depan para petugas polisi. Permulaan bulan Oktober, istrinya bermaksud menggugurkan kandungan. Evans sebenarnya tidak berkeberatan mempunyai satu anak lagi. Tetapi istrinya tidak dapat diyakinkan. Sesudah beberapa percobaan pengguguran, istrinya sangat lemah dan tampak sakit. Timbullah pertengkaran yang tiada henti-hentinya di antara mereka.

Pada tanggal 6 November, istrinya menyatakan bahwa jika pengguguran tidak berhasil, maka ia akan bunuh diri bersama anaknya. Pada hari berikutnya, di sebuah restoran antara Ipswich dan Colchester, ia mencurahkan kesulitannya kepada seseorang. Orang ini memberinya botol kecil yang dibungkus dalam kertas cokelat sambil berkata, “Katakanlah pada istri Anda agar besok pagi sebelum minum teh, ia meminum sedikit cairan ini dan berbaring. Nanti semuanya akan terjadi sebagaimana diharapkan.” 

Sesampai di rumah, ia memberikan botol itu kepada istrinya dan menyatakan agar meminum obat ini. Akan tetapi pagi berikutnya ia menyatakan jangan berbuat demikian. Waktu ia hendak menyalakan lampu gas di malam hari, ia menemukan istrinya meninggal. Rupanya si istri meminum obat ini. Ia kemudian mengurus anaknya di antara jam 1 dan 2 dini hari, lalu membuang mayat istrinya ke saluran kotoran di depan rumah. Sehari sesudah kejadian, ia minta berhenti bekerja dan menjual barang-barang rumah tangga.

Ini pengakuan pertama yang diberikan Evans. Para petugas polisi tidak begitu terkesan. Orang-orang yang bersifat agak eksentrik biasanya sering membuat pengakuan. Kemudian pengakuan itu ternyata tidak berdasar atau malahan ditarik kembali. Yang menonjol pada pengakuan pertama Evans, ia tidak menunjukkan perasaan menyesal.

Sesudah mencari keterangan lewat telepon, maka Polisi London mengadakan pemeriksaan di rumah Rillington Place nomor 10. Di dalam saluran kotoran tidak dapat ditemukan bekas mayat sedikit pun. Karena diperlukan tenaga tiga orang petugas polisi untuk mengangkat tutup saluran, maka dari awal diketahui bahwa Evans tidak mungkin membukanya tanpa bantuan orang lain.

Menyadari bahwa orang tidak mempercayainya, maka Evans menarik kembali pengakuannya pada hari yang sama (30 November). Kini para petugas mendapatkan pengakuan versi baru, “Yang saya ceritakan tentang lelaki di restoran itu tidak benar, demikian pula tentang pembuangan ke saluran. Saya hanya ingin menutupi seorang lelaki bernama Christie.” Inilah untuk pertama kalinya ia menyebut nama Christie.

Ketika dipaksa untuk menceritakan yang sebenarnya, maka malam itu Evans mengaku sebagai berikut. Seminggu sebelum ajal istrinya, Christie menemui Evans. Ia menyatakan bahwa mengetahui istri Evans meminum obat pengguguran. Andai kata Nyonya Evans meminta pertolongan Christie, maka ia akan mampu mengambil janin itu tanpa menimbulkan bahaya. 

Konon menurut Christie, sebelum perang ia bekerja pada seorang dokter. Lalu ia memperlihatkan buku-buku medis. Akhirnya ia menyatakan bahwa ada kemungkinan seorang di antara sepuluh wanita yang memakan obatnya akan meninggal. Evans menjawab bahwa ia tidak berminat mempertimbangkan hal itu. 

Waktu Evans menceritakan hal tersebut pada istrinya, istrinya ingin menerima tawaran Christie sebab ia percaya pada Christie. Pada tanggal 7 November, istri Evans menyatakan pada suaminya bahwa Christie telah mengadakan persiapan yang diperlukan. Christie pun pada hari berikutnya mengatakan hal yang sama pada Evans. 

Pada malam hari itu juga Christie menunggu Evans di dekat tangga dan berkata, “Kabar buruk. Tidak berhasil.” Di dalam kamar tidur Evans menemukan istrinya sudah meninggal. Di atas selimut dan bantal ada noda-noda darah. Christie kemudian menyembunyikan mayat di rumah Kitchener dahulu. Evans bertanya apa yang akan dilakukan selanjutnya. Christie menjawab bahwa ia akan melemparkan mayat ke dalam saluran kotoran.

Evans selanjutnya memutuskan untuk membawa anaknya ke ibunya pada hari berikutnya. Christie tidak mengizinkan hal itu karena bisa menimbulkan kecurigaan. Ia menyarankan agar menitipkan anak perempuan itu kepada sepasang suami istri di East Acton. Waktu Evans pulang malam, Christie menceritakan bahwa suami istri itu telah menjemput anak perempuan tadi. Mayat istri Evans telah dibuangnya ke dalam saluran. Atas nasihat Christie, maka Evans menjual perabot rumah tangga dan meninggalkan London. Akhirnya ia pergi ke Cardiff. Kepada ibunya ia katakan bahwa istri dan anaknya pergi berlibur.

Pengakuan ini lebih dapat dipercaya. Polisi mulai mencari keterangan-keterangan yang lebih meluas. Mereka pertama meminta keterangan Nyonya Probert dan Nyonya Lynch, namun tidak mendapat informasi baru. Ibu Evans menyatakan, “Saya tahu bahwa anak saya mempunyai daya imajinasi yang besar dan seorang pembohong besar.”

Polisi London sekali lagi memeriksa rumah itu. Di halaman tidak tampak hal yang menarik perhatian. Di rumah Evans selain buku roman kriminal, ditemukan tas yang dicurinya. Tidak ada bekas-bekas Nyonya Evans ataupun anaknya! Petugas polisi mulai ragu-ragu, apakah benar-benar telah terjadi kejahatan. Mungkin ibu dan anak selamat di Bristol atau di Brighton. Akan tetapi pengusutan di kedua kota tidak membuahkan hasil.

Evans dipanggil ke London dari Wales. Sebelum ia tiba, polisi kembali mengadakan pemeriksaan di rumah (tanggal 2 Desember 1949) dan tidak menemukan apa-apa. Pintu ke sebuah ruang dikunci. Para petugas meminta keterangan mengenai ruangan ini. Nyonya Christie menyatakan bahwa ruangan itu adalah semacam ruangan cuci, akan tetapi jarang dipakai. Kunci rusak dan hanya dapat dibuka dengan bantuan sebuah kepingan baja. Para petugas mulai membuka pintu. Di dalam ruangan gelap. Di atas lubang di tengah-tengah ruangan ditumpukkan kayu. Sesudah menyisihkan kayu, mereka menemukan bungkusan yang diikat. Nyonya Christie mengaku tidak mengetahui isi bungkusan itu dan bahwa ia baru pertama kali dalam hidupnya melihat bungkusan itu.

Para petugas polisi membawa bungkusan ke halaman dan membuka ikatan. Tampak sepasang kaki manusia. Sebelum bungkusan dibuka seluruhnya, ahli patologi kementerian dalam negeri Dr. Donald Teare, dipanggil untuk memeriksanya. Waktu para petugas polisi membuka bungkusan lebih lanjut, maka tampak badan manusia yang dibungkus dengan taplak meja hijau. Ternyata badan Nyonya Evans! Di ruang yang sama, di bawah kayu untuk membuat api, mereka menemukan mayat anak Nyonya Evans yang berusia 14 bulan. Mayat itu masih berpakaian; sebuah dasi lelaki melingkar di leher anak perempuan tadi.

Anehnya kedua mayat tidak bau. Keduanya dalam keadaan baik. Tetapi waktu itu memang sangat dingin. Para tetangga kemudian menyatakan bahwa mereka sering melihat Christie menyemprotkan obat disinfektan di rumah dan halaman. Akhir Oktober hingga pertengahan November, pekerja keluar masuk ruangan cuci. Mereka menyimpan peralatan mereka di sana, tanpa mengetahui ada telah disembunyikan di situ sejak tanggal 8 atau 10 November.

Waktu diadakan pemeriksaan di pengadilan, ditemukan luka-luka berat pada leher dan tengkuk wanita muda tadi. Dari luka-luka kulit diambil kesimpulan bahwa ia dicekik dengan tali atau tambang yang tebal. Mata kanan dan bibir atas membengkak, seperti telah kena tinju. Bekas-bekas pengguguran kandungan tidak terlihat. Si anak juga memperlihatkan tanda-tanda dicekik di leher. Tidak diragukan lagi bahwa ibu dan anak dicekik.

Di kantor polisi, pakaian korban dan dasi yang ditemukan pada anak diperlihatkan pada Evans. Kemudian ia diberi tahu di mana ditemukan mayat ibu dan anak. Ia tampak terkejut. Air mata keluar. 

Waktu inspektur polisi menyatakan bahwa Evans bisa dituduh mencekik ibu dan anak, ia menjawab tanpa ragu-ragu, “Ya, memang saya!”

Kemudian ia memberikan pengakuan yang ketiga. Tiba-tiba kini ia mengaku bahwa dialah yang telah membunuh kedua orang itu.

Istrinya makin lama makin banyak utang dan sudah tidak bisa ditanggungnya lagi. Pada tanggal 8 November mereka bertengkar mulut dan istrinya menyatakan ingin pindah ke ayahnya bersama anak mereka. Sementara bertengkar, mereka saling memukul. Akhirnya ia tidak bisa menguasai diri dan mencekik istrinya dengan tambang dari truknya. Mayat semula disembunyikannya di rumah Christie. Tengah malam, waktu ia mengira bahwa suami istri Christie sudah tidur, mayat diseretnya ke ruangan cuci. 2 hari kemudian, ia juga mencekik anaknya dengan dasinya dan membawanya ke ruangan cuci. Semua itu dilakukannya sendirian saja.

Setelah selesai memberikan pengakuan tanggal 2 Desember malam, Evans menerangkan, “Saya merasa ringan kini, sudah saya keluarkan.”

Dalam pengakuan yang ketiga ia tidak menyebut Christie sekalipun, begitu pula tentang percobaan pengguguran. Dalam keterangannya juga tidak dikatakan mengapa ia masih membunuh anaknya sesudah membunuh istrinya.

Seorang petugas polisi sehari sesudah pengakuannya menyatakan bahwa ia akan dihukum karena membunuh istrinya. Evans berkata, “Ya, boleh.” Keterangan bahwa ia juga akan diadili karena membunuh anaknya, disambut dengan tenang olehnya.

Ketika dihadapkan ke pengadilan, ia berkata kepada ibunya, “Saya tidak melakukannya, Mama. Christie yang melakukan. Katakan kepada Christie saya ingin berjumpa. Ia orang satu-satunya yang dapat menolong saya.” Waktu Christie dihubungi Nyonya Probert, ia menolak bertemu. Pada tanggal 15 Desember, pada salah seorang pengacara Evans menyatakan juga bahwa Christie yang melakukan pembunuhan-pembunuhan.

Akan tetapi terhadap dokter penjara, Dr. Matheson, ia bercerita dengan santai seperti dalam pengakuan terakhir pada polisi. la tidak menuduh Christie sekalipun, tidak pula dalam percakapan-percakapan yang kemudian ia lakukan dengan dokter itu.

Sidang dibuka tanggal 11 Januari 1950 di Pengadilan London, diketuai oleh Hakim Lewis yang berpengalaman dan penuh pengertian. Yang menjadi penuntut adalah Humphrey dan Elam. Pembelanya adalah Pengacara Morris.

Karena menurut Hukum Pidana Inggris hanya mungkin dilakukan hukuman atas satu pembunuhan saja, maka jaksa dalam sidang utama membatasi tuduhan pada pembunuhan anak. Tuduhan membunuh istri ditiadakan karena mungkin Evans diprovokasi. Pasalnya telah terjadi saling memukul antara suami istri itu.

Evans menyatakan dirinya tidak bersalah. 

Christmas Humphrey kemudian berbicara mewakili penuntut. Ia mendasarkan tuduhan atas pengakuan Evans yang terakhir. Menurut pendapatnya, penyebab pembunuhan harus dicari dalam pertengkaran terus-menerus antara tertuduh dan istrinya dan dalam keadaan depresi tertuduh.

Saksi utama bagi pihak penuntut adalah Christie. Ia dihadapkan dan diperkenalkan sebagai seseorang yang berasal dari keluarga baik-baik, yang di dalam kedua Perang Dunia telah mengabdi di ketentaraan dan kepolisian. Oleh karena itulah ia dapat dipercaya.

Keterangan pembela, bahwa Christie telah lima kali dihukum karena pencurian, penggelapan, dan penganiayaan, tidak dianggap serius oleh pengadilan. Kemudian Pembela Malcolm Morris menyatakan kepada Christie bahwa bukan tertuduh melainkan Christielah yang mendorong dan melakukan kedua pembunuhan. Tetapi pernyataan ini pun tidak dianggap serius.

Sebagai seorang bekas petugas polisi, Christie mengetahui bagaimana harus berlaku di depan pengadilan. Ia memberikan kesaksian dengan sopan dan jelas. Dengan demikian ia meninggalkan kesan baik. Menurutnya, pada tanggal 8 malam menjelang 9 November, istrinya dan dia terbangun karena mendengar suara keras di bagian atas rumah, seperti ada orang memindah-mindahkan perabot. Pagi berikutnya ia berjumpa dengan Evans. Waktu Christie bertanya di mana istri dan anak Evans, pria itu menjawab bahwa mereka pergi berlibur. Kemudian Evans menjual perabot rumah tangganya dan pergi. Pada tanggal 23 November Evans tiba-tiba kembali dan menceritakan bahwa istrinya telah meninggalkannya. Selain itu ia juga tidak mempunyai pekerjaan dan bermaksud untuk pindah ke Wales.

Sesudah Christie, istrinya menyusul dihadapkan sebagai saksi. Ia membenarkan keterangan suaminya dan meninggalkan kesan baik yang tidak kalah dari suaminya.

Kini pembela meminta tertuduh sendiri dihadapkan. Keterangannya hampir sama dengan pengakuan kedua di depan polisi, tanggal 30 November. Ia mengakui bahwa banyak keterangannya di depan polisi tidak sesuai dengan kebenaran. Katanya karena sangat gugup, takut dipukuli, dan ia ingin menutupi kesalahan Christie.

Evans selama persidangan beberapa kali mengubah pengakuan. Hal ini sangat memberatkannya dan tidak menambahkan kepercayaan baginya. Sesudah Evans harus mengakui setiap kebohongannya, salah seorang penuntut, Humphrey, bertanya, “Anda menyatakan bahwa Christie pembunuh istri Anda. Dapatkah Anda menerangkan mengapa ia mencekik istri Anda?”

“Ya, ia selalu di rumah.” 

“Dapatkah Anda menerangkan mengapa ia 2 hari kemudian mencekik juga anak perempuan Anda?” 

“Tidak.”

Pembela, yang yakin kliennya tidak bersalah, berat menghadapi penuntut. Sia-sia saja Morris menerangkan bahwa Evans suka damai serta tidak pernah berurusan sekalipun dengan yang berwajib. Sia-sia pula ia menekankan bahwa Evans buta huruf dan tidak ada motif untuk kedua pembunuhan tadi. Pembela tidak berhasil, meskipun ia sekali lagi menunjukkan bahwa saksi utama Christie pernah lima kali dihukum.

Dalam kesimpulannya hakim pun mendasarkan semua atas keterangan Christie. Ia menganggap tidak mungkin Christie yang menjalankan pembunuhan. Tidak ada bukti sedikit pun. Apa motifnya untuk membunuh seorang anak berusia 14 bulan? Di pihak lain, Evans adalah seorang pembohong yang tidak tertolong. Kesimpulan yang diambil hakim sudah jelas. Pada juri kesalahan Evans itu seperti sudah ditekankan.

Pada tanggal 13 Januari 1950, juri, seperti sudah diharapkan oleh umum, menganggap Evans bersalah membunuh anaknya. Karena itu ia oleh hakim dijatuhi hukuman mati. Evans tenang, akan tetapi Christie langsung menangis. Di luar ruang sidang ibu Evans berteriak pada Christie, “Pembunuh, pembunuh!” 

Nyonya Christie menjawab, “Jangan berani menyebut suami saya seorang pembunuh! Ia orang baik.” Christie hampir saja pingsan.

Permintaan naik banding ditolak pada tanggal 20 Februari. Di Penjara Pentonville, Evans seperti acuh tidak acuh. Ia tenang-tenang saja. Selera makannya dan tidurnya baik, begitu pula kelakuannya. Para dokter dan petugas penjara menilainya sebagai orang yang primitif akan tetapi bukan jahat. Tidak seorang pun berpendapat bahwa ia tidak tahu apa yang dikerjakannya. Ia tidak merasa salah. Berkali-kali ia berkata bahwa Christielah si pembunuh.

Menteri dalam negeri menyarankan kepada raja untuk menolak permintaan ampun. “Hukum harus dijalankan.” Pada tanggal 9 Maret 1950 Evans dihukum mati di Pentonville.

Bagaimana selanjutnya?

Suami istri Christie masih saja menghuni rumah Rillington Place 10 sesudah Evans dihukum mati. Mereka tetap tinggal di situ, meskipun rumah tadi sudah dijual kepada seorang penjaga pintu hotel yang berasal dari Jamaika. Pemilik baru menyewakan kedua tingkat teratas pada orang-orang setanah airnya. Christie sering sakit dan pada musim semi serta musim panas 1952 beberapa bulan lamanya ia dirawat di rumah sakit. Musim gugur 1952 ia mulai bekerja kembali. Tetapi pada tanggal 6 Desember ia berhenti lagi dan menyatakan ia ingin pindah ke sekitar Sheffield. Bulan Maret akan mencari pekerjaan di situ.

Pada tanggal 12 Maret, hari Jumat, orang melihat Nyonya Christie berada di luar rumah untuk terakhir kali. Ia memberikan cucian ke perusahaan mencuci, akan tetapi tidak pernah mengambilnya kembali. Beberapa lama sebelum Natal, kakaknya mendapat surat dari Christie, yang menerangkan bahwa istrinya menderita reumatik di buku-buku jari-jari dan tidak dapat menulis sendiri. Namun selain daripada itu, ia sehat-sehat saja.

Ia juga menulis surat kepada abang istrinya dan menandatangani surat dengan nama istrinya dan namanya sendiri. Ia bercerita kepada seorang tetangga bahwa ia akan segera pindah ke Sheffield dan menyampaikan salam istrinya. Seorang wanita muda yang berasal dari Jamaika melihat bahwa Christie setiap pagi menyemprotkan disinfektan di rumah dan halaman. Pada tanggal 8 Januari, ia menjual perabot rumah tangga kepada orang yang dulu membeli barang-barang Evans. Ia juga berhasil mengambil uang simpanan di bank yang disimpan atas nama istrinya.

Pada pertengahan bulan Maret, Christie menawarkan rumahnya kepada Nyonya Reilly yang sedang mencari rumah. Suaminya membayar persekot untuk 3 bulan sewa. Pada tanggal 20 Maret Christie keluar dari rumahnya. Akan tetapi karena si pemilik rumah tidak setuju suami istri Reilly tinggal di tempat bekas Christie, mereka tidak bisa tinggal di sana. Tempat itu kemudian disewakan kepada orang-orang yang datang dari Jamaika.

Penyewa yang baru pada tanggal 24 Maret ingin menaruh radio di dapur. Ia menemukan tempat di dinding yang seperti kosong kalau diketok-ketok. Karena rasa ingin tahu, ia melepaskan kertas perekat dinding dan tiba-tiba melihat punggung mayat telanjang di sebuah tempat yang dalam. 

Polisi yang segera dipanggil menentukan bahwa itu adalah mayat seorang wanita. Mayat diletakkan di sebuah tumpukan kotoran dengan punggungnya menghadap ke dapur. Kepala mayat menunduk, pada hidungnya ditemukan bekas-bekas darah. Waktu mayat itu diambil dari tempat tadi, ditemukan mayat kedua, yang dibungkus dalam selimut berwarna gelap. Kemudian masih ditemukan mayat ketiga. Malam itu, polisi yang memeriksa rumah dengan teliti, masih menemukan mayat keempat, yang terdapat dalam kotoran yang ada di bawah lantai kayu di ruang depan: mayat Nyonya Christie.

Ketiga mayat yang ditemukan di dalam dinding adalah wanita-wanita tunasusila usia 20 hingga 30 tahun. Ketiganya tampaknya diracuni dengan gas yang keras, meskipun tidak mematikan. Dapat dilihat bahwa sebelum ajalnya ketiga wanita itu tidak memberi perlawanan. Mereka kemudian dicekik. Pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa sewaktu ajal mereka, ataupun segera sesudahnya, telah terjadi senggama.

Tidak memerlukan waktu lama untuk mengenal kembali ketiga wanita tunasusila itu. Nama mereka Hectorina MacLennan, Kathleen Maloney, dan Rita Nelson. Mereka baru dinyatakan hilang beberapa minggu atau bulan (kira-kira 20, 50 dan 70 hari). Pada mayat Nyonya Christie tidak ditemukan peracunan oleh gas. Akan tetapi ia juga dicekik. Ajalnya tiba kira-kira 12 atau 15 minggu sebelumnya.

Di mana Christie berada waktu ditemukan hal-hal yang mengejutkan ini, tidak diketahui orang. Gambarnya disebar luaskan di semua koran. Meski begitu, ia belum ditemukan. 

Sesudah rumah diperiksa dari atas ke bawah, kini orang juga memeriksa halaman. Di tempat tanaman kembang, pada tanggal 27 Maret 1953, ditemukan banyak tulang belulang. Polisi menetapkan bahwa itu adalah tulang belulang manusia. Juga ditemukan rambut manusia. Tulang yang dipakai sebagai penyangga pagar halaman, ditentukan sebagai tulang paha manusia. Semua dibawa ke Lembaga Kedokteran Pengadilan Scotland Yard. Sesudah itu diperiksa di dua lembaga lagi. Ternyata tulang-tulang dua wanita.

Sementara itu juga ditemukan gigi palsu seperti buatan Jerman atau Austria. Fakta ini lekas menolong mengungkapkan identitas mayat wanita pertama yang ditemukan di halaman. Ternyata itu adalah sisa-sisa seorang siswi perawat bernama Ruth Margarete Christine Fuerst, yang dianggap hilang sejak tahun 1943. Kerangka lain kepunyaan Muriel Amelia Eady, yang pada tahun 1944 hilang waktu berusia 32 tahun. Mereka dua wanita yang mempunyai nama baik.

Muriel Eady berkenalan dengan Christie di kantin pabrik tempat Christie dahulu bekerja. Terakhir ia dilihat orang pada tanggal 7 Oktober 1944. Karena pengusutan mengenai tempat tinggalnya tidak berhasil, orang menyangka bahwa ia tewas kena bom yang berjatuhan di London.

Mungkin kedua mayat itu tidak pernah akan ditemukan, jika gairah membunuh pada Christie tidak timbul kembali. Bahwa di halaman terkubur dua mayat wanita selama 10 tahun, tidak mengganggu ketenteraman jiwanya. Begitu pula kenangan pada Evans, penghuni serumah yang dihukum gantung hampir 3 tahun sebelumnya.

Sesudah keenam mayat itu ditemukan, polisi mulai bertanya, bagaimana Christie bisa membujuk kelima wanita yang tidak dikenalnya itu masuk rumah. Di daerah di mana ia tinggal, ia terkenal sebagai penggugur kehamilan. Biarpun tidak ada bukti, omongan orang sudah cukup untuk mendatangkan wanita-wanita ke rumahnya. Katanya Nyonya Christie membantu suaminya pada waktu ia menjalankan pengguguran, tetapi sama sekali tidak ada bukti.

Biarpun banyak koran memuat gambar Christie, ia lama ditemukan. Pada hari tanggal 31 Maret, seorang petugas polisi melihat seorang lelaki di tepi Sungai Thames sedang membungkuk di pagar memandang ke depan. Lelaki itu memakai topi, karena itu mukanya tidak mudah dikenal. 

Petugas polisi mendekatinya dan bertanya, “Apa yang Anda kerjakan di sini? Apakah Anda mencari pekerjaan?” Lelaki itu mengangguk. Si petugas kemudian bertanya siapa namanya. 

Lelaki itu menyebutkan nama dan petugas bertanya, “Apakah Anda mempunyai surat-surat tanda pengenal?” 

Jawaban yang diberikan, “Tidak satu pun.” Petugas meminta orang yang tak dikenal itu agar membuka topi. Sesudah itu ia tidak ragu-ragu lagi, pria itu Christie!

Waktu mereka sedang dalam perjalanan ke kantor polisi, Christie mengambil dompet dan di dalamnya petugas menemukan kartu pengenal, lalu kartu-kartu makanan untuk dia dan istrinya dan masih ada kartu-kartu pengenal lainnya. Waktu badannya diperiksa masih ditemukan lagi kartu-kartu pengenal lain, sehingga identitasnya sudah tidak salah lagi.

Di kantor polisi mula-mula Christie diberi cukup sarapan. Kemudian datanglah para petugas Scotland Yard untuk mengadakan interogasi. Christie mengambil taktik yang masih terus dipegangnya hingga mati: ia berdusta, melebih-lebihkan atau menyatakan bahwa ia sudah tidak dapat mengingat apa-apa lagi.

Tetapi tanggal 31 Maret, Christie mulai memberi pengakuannya yang pertama. Katanya pada tanggal 14 Desember 1952 ia bangun jam 8 pagi dan melihat istrinya terguncang-guncang kesakitan seperti menderita kejang di tempat tidur. Mukanya biru dan seperti kurang udara. Ia membantu sekuat tenaga agar istrinya dapat bernafas dengan baik, akan tetapi tidak ada harapan. Karena ia tidak tahan melihat istrinya menderita, ia mengambil kaos panjang dan mengikatnya di leher istrinya. Ia melihat bahwa istrinya itu mungkin menghabiskan dua bungkus obat tidur. Istrinya kemudian tercekik. Mayatnya ditinggalkannya dua atau tiga hari di tempat tidur dan kemudian diletakkan di bawah lantai kayu di kamar depan rumah.

Waktu diadakan pemeriksaan mayat, di badan Nyonya Christie tidak ditemukan bekas obat tidur sedikit pun. Tetapi sudah pasti bahwa ia dicekik. Memang tidak dapat diragukan lagi bahwa hal itu telah dilakukan dengan rencana terlebih dahulu. Tidak ada bukti sama sekali bahwa matinya itu disebabkan “kasihan”. Christie telah membunuh istrinya dengan sengaja.

Menurut Christie, Kathleen Maloney menegurnya di jalan, mengganggunya, dan akhirnya ikut dengannya ke rumah. Di situ Kathleen bertengkar dengannya dan mengambil wajan bertangkai untuk memukul Christie. Waktu sedang saling memukul, Kathleen jatuh ke sebuah kursi tempat ada tali menggantung. “Saya tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi mungkin saya gelap mata. Saya hanya ingat bahwa Kathleen terbaring di kursi tadi dengan tali melingkar leher.” Kemudian ia mungkin telah menyembunyikannya ke dalam dinding, sesudah membuka papan yang ada di dinding.

Beberapa waktu sesudah itu ia berkenalan dengan Rita Nelson di sebuah restoran. Rita mencari rumah bersama temannya, dan karena ia mendengar bahwa Christie akan pindah rumah, Rita datang ke rumahnya untuk melihat-lihat. Di rumah itu ia bertengkar dengan Christie dan menyerangnya. Ia ingat bahwa terjadi sesuatu. Tiba-tiba saja Rita terbaring mati di lantai.

Tidak lama kemudian, ia berkenalan dengan seorang lelaki dan seorang wanita, yang menceritakan bahwa mereka harus keluar dari rumah mereka dan harus mencari tempat tinggal lain. Christie menawarkan mereka untuk tinggal bersamanya. Mereka pun beberapa hari tinggal bersamanya, lalu pergi lagi mencari rumah. Si wanita, Hectorina McLean, kembali ke rumah Christie untuk menunggu teman lelakinya di situ. Christie memegang lengannya dan menyuruhnya keluar rumah. Karena itu, mereka saling memukul. Si wanita jatuh ke lantai dan agaknya gaunnya mencekik leher. Waktu Christie memegang pergelangan tangannya, ia sudah sekarat. Christie menaruhnya di belakang dinding juga.

Ia masih tinggal 3 minggu di dalam rumahnya, kemudian pergi tidak menentu di London. 

Yang aneh di dalam pengakuan ini adalah tidak ada pengakuan mengenai peracunan gas ataupun pemerkosaan. Christie tidak menduga bahwa ahli medis dapat membuktikan hal itu.

Christie, yang pada tanggal 1 April dimasukkan ke Penjara Brixton, dituduh membunuh istrinya serta tiga wanita lain yang disimpannya di dinding. Ia kemudian dihadapkan ke pengadilan untuk diadili.

Pada tanggal 22 April untuk pertama kali didengarnya bahwa di halamannya ditemukan dua kerangka. Ia langsung mengaku bahwa ia sendiri yang membunuh kedua wanita itu. 5 hari kemudian, ia menceritakan kepada pembelanya dan kepada seorang dokter yang diminta oleh pembela untuk hadir, bahwa ia juga bertanggung jawab untuk kematian Nyonya Evans. Akan tetapi tentang pembunuhan Geraldine yang berumur 14 bulan, ia tidak tahu-menahu.

Akhir Mei, Christie dibawa ke psikiater. Semua dokter yang memeriksanya berkesimpulan bahwa Christie sangat abnormal. Tetapi meskipun demikian, ia masih boleh dimintai pertanggungjawaban.

Waktu diminta keterangan tentang wanita-wanita yang mayat-mayatnya dikubur di halaman, ia pertama-tama bicara tentang Ruth Fuerst, seorang wanita Austria. Wanita itu dikenalnya selama musim panas 1943. Ruth sering mengunjunginya selama istrinya tidak ada di rumah. Pada salah satu kesempatan itu, ia mencekiknya saat sedang bersenggama dengannya. Mayatnya tadinya disembunyikan di bawah kayu-kayu di rumahnya, kemudian di ruangan cuci, dan akhirnya di halaman.

Muriel Eady dijumpainya di bulan Desember 1943 di sebuah pabrik radio tempat ia bekerja. Antara keduanya segera terjalin hubungan persahabatan. Ia membawa wanita itu untuk diperkenalkan kepada istrinya dan si wanita memperkenalkannya ke keluarganya. Waktu ia mendengar bahwa wanita muda itu menderita penyakit yang kronis, ia menawarkan untuk menyembuhkannya. Ia meminta wanita itu datang ke rumahnya, sementara istrinya sedang bepergian, dan disambungkan wanita tadi pada sebuah alat yang dibuatnya sendiri. Tabung gelas segi empat dengan tutup metal berlubang dua. Melalui saluran karet ke lubang yang satu dimasukkan Friars Balsam (balsam untuk disedot) dan melalui saluran lain gas untuk masak. Friars Balsamnya hanya di gunakan untuk menutup bau gas. Nona Eady menutup kepalanya dengan kain dan enak saja menghirup balsam dan gas. la segera pingsan. 

“Saya hanya samar-samar ingat, bahwa saya mengambil kaos panjang dan mengikatnya di leher. Saya tidak tahu betul. Mungkin saya bersenggama dengannya waktu saya mencekiknya. Saya menaruhnya di ruangan cuci. Malam itu juga saya kuburkan dia di halaman.”

Akhirnya, pada tanggal 8 Juni 1953, Christie mengaku terang-terang bahwa ia yang membunuh Nyonya Evans. Tadinya waktu diperiksa polisi, hal ini disangkalnya. Akan tetapi di akhir April diakuinya pada pembelanya dan Dr. Hobson. Pada permulaan bulan November 1949, ia menemui Nyonya Evans di dapurnya. Nyonya itu sedang mencoba membunuh diri dengan gas. Segera ia membuka pintu dan jendela agar gas keluar. Hari berikutnya Nyonya Evans menyatakan bahwa ia ingin berhubungan intim dengan Christie, akan tetapi ia tidak sanggup karena badannya lemah. Kemudian Nyonya Evans meminta agar Christie membantunya bunuh diri. Christie mendekatkan saluran ke kepala Nyonya Evans dan gasnya disalurkan. Waktu ia jatuh pingsan, tampaknya Christie mencekiknya. “Sepertinya terjadi dengan sebuah kaos panjang, yang telah saya temukan di ruangan.” Sesudah itu ia pergi ke bawah, ke istrinya.

Malam hari ia menceritakan kepada Evans bahwa istri Evans telah bunuh diri dengan gas. Ia masih menambahkan bahwa tentu saja Evans akan dituduh melakukannya karena Evans selalu bertengkar dengan istrinya. Lalu Evans setuju untuk membawa mayat si istri dengan truknya dan menguburkannya di mana saja. Akan tetapi Christie membawa mayat ke ruangan cuci.

Ahli medis tidak menemukan bekas gas waktu mengautopsi Nyonya Evans. Hal itu berlawanan dengan cerita Christie. Ahli-ahli lain menyatakan bahwa jika terjadi sebagaimana diceritakannya, maka Christie sendiri pun akan keracunan gas. Yang tidak mungkin ialah bahwa wanita-wanita muda tidak mengadakan perlawan waktu diracuni dengan gas.

Perkara Christie disidangkan di sebuah pengadilan di London. Dimulai tanggal 22 Juni 1953 dan lamanya 4 hari. Hakimnya Justice Finnmore. Karena perhatian besar dari pihak umum, maka jaksa tinggi Sir Lionel Heald sendiri yang menjadi penuntut. Pembelaan ditangani oleh Derek Curtis Bennet. Bagi penuntut dan pembela, masih didampingi dua orang ahli hukum.

Di Inggris, jika seseorang melakukan lebih dari satu pembunuhan dan dihadapkan ke pengadilan, maka hanya bisa dihukum untuk satu pembunuhan saja. Christie dituntut karena pembunuhan yang dilakukannya terhadap istrinya yang berusia 54 tahun yang telah dinikahinya 32 tahun. Tertuduh mengaku tidak bersalah.

Di kalangan umum telah ada sangkaan,bahwa sesudah Christie mengaku membunuh Nyonya Evans, maka Evans merupakan korban kesalahan peradilan. Oleh karena itu penuntut menekankan bahwa Evans diadili karena membunuh anaknya, tidak karena membunuh istrinya. 

Penuntut bertanya kepada petugas Scotland Yard yang telah memeriksa perkara itu, “Apakah Anda mempunyai persangkaan bahwa Evans digantung sebagai orang tidak bersalah?” 

“Sama sekali tidak.”

Penuntut memanggil semua saksi: petugas polisi yang memeriksa perkara Christie, sanak keluarga suami istri Christie, penghuni-penghuni serumah, pedagang, orang-orang yang punya sangkutan dengan mereka, dan dokter keluarga Christie.

Dokter Matthew Odess menceritakan bahwa ia telah merawat Christie sejak 1934. Keadaan kesehatan Christie sudah sejak bertahun-tahun menurun. Ia menderita reumatik otot, masalah usus, depresi dan lemah saraf, sering sakit kepala, tidak bisa tidur, dan kadang-kadang lemah ingatan. Semuanya itu ciri-ciri seorang yang neurosis.

Pembela kemudian membacakan sebuah surat, yang ditujukan Dr. Odess pada sebuah klinik pada tanggal 18 Maret 1952. Dalam surat itu ditulis, “Saya ingin menekankan bahwa ia pria yang hidup baik-baik, menyendiri, bekerja keras, dan sangat bertanggung jawab. Keinginannya ialah agar segera dapat kembali ke tempat kerjanya.” Bulan Maret atau April 1952, Christie dinasihati dokter agar menjalankan pemeriksaan khusus di sebuah klinik psikiatris, akan tetapi ia menolak mengikuti nasihat itu.

Untuk pembelaan, Curtis Bennett mendasarkan pembicaraan atas tesis bahwa tertuduh mungkin sakit jiwa. 

Pembela lalu memanggil tertuduh sendiri. Jawaban Christie samar-samar dan berbelit-belit. Ia selalu menyatakan bahwa ia tidak ingat lagi apa yang telah ia kerjakan. Mungkin ia membangkitkan kesan bahwa ia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Ia berbicara begitu perlahan, sehingga hakim menyuruh menaruh mikrofon di mukanya. Tidak ada hal yang baru yang diungkapkan Christie. Christie tetap menyatakan bahwa ia tidak membunuh anak Evans.

Meskipun tertuduh berusaha keras meyakinkan pengadilan bahwa ia tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya, ia gagal. Segera saja juri mendapat kesan bahwa mereka berhadapan dengan seorang pembunuh yang buas dan keji. Mereka teringat bahwa menurut keterangan ahli medis, tertuduh selalu mendapat kesukaran dalam berhubungan seksual. Impotensinya ini telah memberinya perasaan rendah diri yang sedemikian mencekam. Sehingga keinginannya untuk mempunyai perasaan lebih, menyebabkan ia membunuh wanita-wanita yang telah menjadi saksi ketidakmampuannya itu. 

Yang tidak dimengerti ialah mengapa ia membunuh istrinya sendiri. Mungkin istrinya mengetahui terlalu banyak dan disingkirkan karena dianggap saksi yang berbahaya.

Di samping Christie sendiri, pembela hanya menghadapkan seorang saksi ke pengadilan, yakni psikiater Dr. Hobson, dokter ahli terkenal di London. Ahli ini melukiskan tertuduh sebagai seorang lelaki yang mudah histeris, yang kadang-kadang kehilangan suaranya. Gejala-gejala pertama tidak normal ini sudah terlihat pada tahun 1918. Menurut Dr. Hobson, keseimbangan jiwa Christie ini diguncangkan oleh pengalaman-pengalaman seksual yang tidak membahagiakan dan bahwa beberapa pengalaman mengejutkan, mengembangkan penyakit jiwanya lebih lanjut.

“Saya berpendapat bahwa Christie itu sejak dulu seorang yang gagal dalam kehidupan seksual dan tidak mampu melakukan senggama dengan baik. Kekurangan ini tidak bisa diatasinya.”

Lebih lanjut ahli menyatakan, bahwa tertuduh suka “salah ingat” karena ia ingin melupakan kejadian-kejadian itu dan mencoba untuk menghilangkan kejadian-kejadian itu dari ingatannya. Kadang-kadang ia seperti berdusta. Sebenarnya ia menderita penipuan pada diri dan yakin bahwa apa yang diceritakannya itu benar. Oleh karena itu orang tidak dapat mempercayai apa yang diterangkannya, jika tidak dibuktikan.

Pembela mengingatkan dokter pada pernyataan Christie, bahwa pada saat ia melakukan ketujuh pembunuhan itu ia tidak mengetahui apa yang dikerjakannya. Pembela bertanya pada dokter apakah dokter dapat menerima keterangan itu. Dr. Hobson mengatakan tidak seraya ditambahkan, “Saya menganggap ia tidak tahu benar, apakah yang dilakukan itu, tidak baik.” Dokter tetap pada pendirian itu, pada waktu penuntut dalam pemeriksaan selanjutnya mencoba untuk merubah pendiriannya.

Berdasarkan keterangan tadi, ada kemungkinan Christie bisa bebas. Oleh karena itu penuntut menganggap perlu menghadapkan dua ahli untuk melawan ahli pihak pembela. Ahli pertama ialah Dr. Matheson, kepala dokter di Penjara Brixton, di mana Christie ditahan sejak 1 April 1953. Ahli kedua adalah psikiater dari London, Dr. Curran.

Juga Dr. Matheson melukiskan tertuduh sebagai seseorang yang bertabiat lemah dan mudah histeris. Ketidakmampuan seksual itu telah sangat memberatkannya dan memberikan perasaan rendah diri. Akan tetapi dokter dengan segera menambahkan bahwa itu bukanlah penyakit jiwa. “Orang yang histeris itu mengidap neurosis atau psikoneurosis. Dan itu menurut saya lebih bersifat suatu kekurangan dalam watak, dalam kepribadian, daripada suatu penyakit jiwa....” 

Waktu ditanyakan bagaimana keadaan jiwa Christie waktu ia membunuh istrinya, maka dokter menjawab tegas, “Saya kira ia mengerti benar apa yang telah dikerjakannya. Ia mengerti bahwa yang telah dilakukannya itu melawan hukum.” Dokter tetap berpendirian demikian, juga waktu pembela menyatakan bahwa tertuduh tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena dalam kejadian-kejadian itu juga terjadi hal-hal yang sangat aneh, misalnya senggama dengan korban sesudah mereka meninggal. Tentu ini menyangkut sesuatu yang tidak normal. Akan tetapi seorang lelaki yang telah membunuh tujuh orang, tidak bisa dianggap tidak bertanggungjawab atas perbuatannya, hanya karena ia menyatukan pembunuhan dengan pemerkosaan.

Dr. Curran menyatakan hal yang sama. Christie mudah histeris, akan tetapi tidak bisa dianggap mengidap penyakit jiwa. “Baik sebelum maupun sesudah kejahatan tampak jelas, bahwa Christie tahu benar apa yang ia kerjakan dan ia tahu juga bahwa hal itu salah.” Mengenai hilang ingatan harus ditanggapi dengan hati-hati. “Seperti penjahat lain, ia dapat saja membuang yang tidak menyenangkan dari ingatannya.”

Dalam pledoi terakhir, Curtis-Bennett sebagai pembela masih sekali lagi menyatakan bahwa tertuduh sewaktu melakukan kejahatan-kejahatan tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban karena ia tidak sadar telah berbuat sesuatu yang tidak benar, seperti dikatakan Dr. Hobson. Seseorang yang sehat ingatannya tidak akan berbuat seperti Christie, misalnya saja ia menyuruh orang tinggal berhari-hari di rumahnya meskipun di situ ada beberapa mayat. 

Untuk membunuh istrinya pun tidak ada motif yang jelas. Ia pun telah meninggalkan rumah tanpa menyingkirkan mayat-mayat dengan kemungkinan perbuatannya terungkap. Akhirnya pada waktu ia ditangkap, ia membawa surat-surat tanda pengenal cukup banyak. Seorang pembunuh biasa ia tidak akan berbuat demikian. Hanya orang yang sakit jiwa akan berlaku seperti dilakukan tertuduh.

Tuntutan yang dikemukakan penuntut hanya pendek saja. Tidak mungkin Christie membunuh istrinya karena belas kasihan. Ia mencekik wanita itu dengan rencana yang matang. Sesudah itu ia membohong untuk menimbulkan kesan bahwa istrinya masih hidup. Christie bertanggung jawab penuh untuk perbuatannya dan bahwa ia tahu betul bahwa perbuatannya salah. Ini berdasarkan pendapat kedua ahli medis terakhir.

Juri berunding setengah jam lamanya dan memutuskan Christie bersalah melakukan pembunuhan. Itu terjadi pada tanggal 25 Juni 1953. Christie tidak naik banding. 

Bagaimana soal Evans?

Waktu surat-surat kabar memuat keputusan, di kalangan masyarakat timbul perasaan tidak enak. Mereka bertanya-tanya apakah Timothy Evans digantung karena perbuatan yang dilakukan Christie? 

Christie menerangkan di pengadilan bahwa ialah yang membunuh Nyonya Evans. Jika itu benar, maka dapat dianggap bahwa ia juga pembunuh anak Evans.

Ibu Evans, Nyonya Probert, kemudian meminta pertolongan seorang anggota parlemen agar pemeriksaan dibuka kembali. Anggota parlemen tersebut dan rekan-rekannya berhasil mewujudkan keinginan Nyonya Probert. 

John Scott Henderson, diberi perintah oleh Menteri Dalam Negeri Sir David Maxwell Fyfe, pada tanggal 6 Juli 1953 untuk menentukan apakah telah terjadi suatu miscarriage of justice, suatu kesalahan peradilan. Ia diberi bantuan dua ahli hukum. Karena 15 Juli sudah ditentukan sebagai tanggal pelaksanaan hukuman, maka pemeriksaan sudah harus selesai sebelum tanggal itu. Pengusutan tidak dikerjakan secara terbuka. Henderson membaca bahan perkara yang sangat banyak dan mendengar keterangan 23 saksi. Pada tanggal 9 Juli ia juga mendengar kesaksian Christie, yang keterangannya berbelit-belit dan tidak mengungkapkan hal-hal baru. Ketika ditanyakan apakah ia ada sangkut pautnya dengan kematian Nyonya Evans, Christie sekarang menjawab, “Saya tidak dapat mengaku dan tidak dapat mengingkari!” Pada tanggal 29 dan 30 Juni ia mengaku kepada pendeta penjara, bahwa ia tidak membunuh anak Evans dan bahwa ia mengira jika ia juga tidak membunuh Nyonya Evans. Jika dalam sidang ia menyatakan sebaliknya, maka hal ini hanya karena pengakuan itu berguna. “The more the merrier.” Lebih banyak lebih baik, katanya. 

Pada tanggal 13 Juli, Henderson mengakhiri pemeriksaan. Ia menarik kesimpulan, bahwa tidak dapat diragukan lagi, Evans bertanggung jawab atas kematian anak perempuannya dan juga atas kematian istrinya. Pengakuannya yang ketiga dan yang terakhir dapat dipercaya dan dapat dibuktikan. Jika Christie dalam perkara menyatakan sebaliknya, yaitu mengaku bersalah membunuh Nyonya Evans, maka keterangan ini bukan saja tidak dapat dipercaya akan tetapi juga tidak dapat dibuktikan. Maka tidak ada terjadi miscarriage of justice.

Keterangan Henderson diajukan ke parlemen tanggal 14 Juli 1953. Pada tanggal 15 Juli Christie dihukum mati. Sesudah hukuman mati, perkara tetap saja menarik perhatian.

Sejak tanggal 29 Juli, di parlemen diajukan debat. Beberapa anggota partai buruh memberi kritik keras pada Henderson karena tidak mendengar keterangan dari seorang pekerja yang keluar masuk ruang cuci. Pernyataan Evans, bahwa ia sendiri menyembunyikan kedua mayat di ruangan cuci, mungkin disarankan polisi. Anggota-anggota parlemen berpendapat bahwa aneh sekali di Rillington Place nomor 10 ada dua pembunuh, yang membunuh korban-korban dengan cara yang sama dan disembunyikan di tempat-tempat yang sama pula. Padahal penjahat-penjahat dikatakan berlaku sendiri-sendiri. Kritik keras juga dilemparkan, mengapa pemeriksaan dilakukan dalam beberapa hari saja, tanpa mengikutsertakan umum dan ahli hukum. Mengapa begitu tergesa-gesa dan kemudian disusul dengan pelaksanaan hukuman mati? Apakah mereka ingin mencuci tangan untuk membela polisi?

Menteri dalam negeri, David Maxwell Fyfe, berhadapan dengan para pengkritik dan membantah keras. Atas pertanyaan mengapa pelaksanaan hukuman mati tidak ditangguhkan, ia menjawab bahwa ia tidak melakukan itu atas dasar perikemanusiaan. Seseorang yang jelas mengetahui bahwa ia harus mati, tidak boleh dibiarkan menunggu-nunggu.

Hal ini menyebabkan Henderson mengumumkan keterangan tambahan pada tanggal 28 Agustus.

Pada tanggal 5 November 1953 sekali lagi ada debat di parlemen, yang menuduh Henderson kurang memperhatikan hal-hal yang meringankan keadaan Evans. Sekali lagi ditugaskan pemeriksaan. 

Keragu-raguan bahwa Evans diadili dengan benar masih besar selama beberapa waktu sesudah itu. Orang-orang berpendapat bahwa jalan persidangan Evans akan lain, jika diketahui bahwa Christie itu seorang pembunuh ganda. Mungkin Evans pada waktu itu akan bebas ataupun hanya dihukum karena memberi bantuan saja. Memang sudah nasibnya, bahwa polisi merasa puas hanya dengan pemeriksaan tidak menyeluruh di rumahnya. Andai kata ditemukan mayat-mayat di halaman, maka Evans tidak akan digantung, mungkin sama sekali tidak akan dihukum.

Makin lama pendapat masyarakat di Inggris makin keras, bahwa Evans sebenarnya tidak usah dihukum mati. Para penentang hukuman mati tidak melewatkan kesempatan untuk memperkeras perjuangan mereka untuk menghapuskan hukuman mati. Politisi, ahli-ahli hukum, dan dokter-dokter yang terkenal memberikan pendapat mereka dalam bentuk tulisan-tulisan dan lebih memperkuat keraguan. Kini dapat dikatakan, bahwa hukuman mati yang dijatuhkan pada Evans, tidak disetujui dan ditolak di Inggris.

(Gerhart Herrmann Mostar dan Robert A. Stemmle)

Baca Juga: Cerita di Belakang Seorang Bintang Panggung

 

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553761001/perkara-yang-berekor-panjang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1684218487000) } } [12]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3752727" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/16/paul-hartmann-hilang-tak-berbeka-20230516062228.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Suatu hari, pegawai perusahaan asuransi yang bernama Paul Hartmann hilang tanpa jejak. Penelusurannya pun membawa polisi pada kasus lainnya." ["section"]=> object(stdClass)#168 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/16/paul-hartmann-hilang-tak-berbeka-20230516062228.jpg" ["title"]=> string(33) "Paul Hartmann Hilang Tak Berbekas" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-16 06:22:40" ["content"]=> string(60516) "

Intisari Plus - Suatu hari, pegawai perusahaan asuransi yang bernama Paul Hartmann hilang tanpa jejak. Penelusurannya pun membawa polisi pada kasus pembunuhan dan pencurian lainnya.

--------------

Perusahaan Asuransi Magdeburg mempunyai sebuah cabang di Leipzig, bertempat di Thomaskirchhof 14, tingkat dua. Cabang itu tidak besar dan hanya terdiri dari dua ruangan. Ruangan yang satu adalah kamar pemimpin cabang dan ruangan lain ditempati para pegawai. Kedua ruangan mempunyai pintu ke luar gang yang masih dipisahkan oleh sebuah pintu kaca dari tangga bawah. Pemimpin cabang ini bernama Paul Hartmann dari Magdeburg yang mulai bekerja di situ sejak tanggal 14 Desember 1903. Pada permulaan tahun 1904 ia menghilang secara misterius.

Hartmann terkenal karena rajin dan bertanggung jawab dan hidupnya teratur. Dalam jangka waktu yang relatif pendek, gajinya dinaikkan hingga 1.620 mark setahun dan ia dipercayai menjadi pimpinan cabang. Sebelumnya ia bekerja pada perusahaan asuransi yang sama di Magdeburg dan juga di sana ia bekerja dengan baik.

Di Leipzig hidupnya menyendiri, malam hari ia tinggal di rumah dan tidak ada niat untuk mencari kesenangan di luar rumah. Pria yang sehat dan tampan itu tidak melakukan olahraga, tidak mempunyai teman maupun pacar. Oleh karena itu lebih-lebih mengherankan bahwa orang yang hidup dengan teratur dan yang selalu datang tepat pada waktunya di kantor, pada hari Senin tanggal 18 Januari 1904 pagi tidak muncul waktu jam kantor dimulai.

Kedua pegawai yang menjadi bawahannya menunggu beberapa lama dan kemudian memanggil Inspektur Asuransi Arnold yang segera pergi ke rumah Hartmann. Di sana ia mendapat kabar, bahwa Hartmann sejak Sabtu tanggal 16 Januari tidak pulang ke rumah lagi. Karena kunci lemari uang juga tidak ditemukan, maka Arnold mengambil duplikat kunci dari koper Hartmann.

Dengan perasaan tidak enak Arnold kembali ke kantor dan membuka lemari uang. Lemari itu kosong. Menurut perhitungan kasar seharusnya ada 1.600 mark di dalamnya. Para pegawai kemudian mulai meneliti dengan saksama dan mereka masih kehilangan beberapa prangko dan stempel surat, buku kwitansi pos dan polis asuransi, kunci gang dan kunci kantor yang sebuah lagi.

Dari meja Hartmann juga diambil sebuah gunting kertas yang besar. Di dalam map terletak surat yang baru, dimulai dan ditujukan kepada ibunya. Dalam surat itu dikatakan, bahwa ia baru saja sembuh pilek dan bahwa ia senang menghadapi pekerjaan di tahun yang baru. Akan tetapi di tengah-tengah kalimat, surat terputus. Kemudian dilihat bahwa dari pintu kaca sampai lemari uang ada bekas-bekas lilin. Pada malam Minggu, kira-kira jam 10 malam, seorang wanita, istri seorang pelayan, telah melihat cahaya remang-remang di belakang pintu kaca.

Apakah yang telah terjadi? Apakah Hartmann telah menjadi korban kejahatan, ataukah ia sendiri yang melakukannya? Menghilangnya secara tiba-tiba itu meresahkan penduduk Leipzig.

Nama Hartmann yang baik, tidak memungkinkan korupsi. Lagipula masih ada satu hal yang perlu diperhatikan. Pada hari Sabtu ia masih mengirimkan uang sebesar 4.000 mark, berupa uang asuransi ke kota Wurzen. Jumlah uang itu sudah sampai di sana. Jika ia bermaksud akan melarikan diri, maka ia tentunya tidak akan mengirimkan uang itu, tetapi akan dibawanya juga. Dan jika ia toh ingin mengambil uang dari lemari uang, tentu ia akan memilih waktu yang lebih baik, di mana lemari tidak hanya berisikan 1.600 mark akan tetapi lebih seperti waktu kuartal dimulai. Di waktu-waktu awal kuartal ada uang sepuluh kali lipat di dalamnya.

Surat yang baru dimulai menunjukkan bahwa Hartmann diganggu waktu ia sedang menulis. Siapa yang mengganggu Hartmann? Apakah bekas-bekas lilin itu asalnya dari si pengganggu? Apakah si penjahat yang telah membunuh Hartmann yang sedang menulis? Ini tidak dapat dibuktikan karena tidak ada tanda-tanda bekas perkelahian antara pembunuh dan korban.

Menurut kesaksian para pegawai, Hartmann pada hari Sabtu meninggalkan kantor pada jam setengah tiga, lalu kira-kira jam setengah enam ia kembali dan mengatakan bahwa ia diminta dengan perantaraan telepon untuk pergi ke restoran Panorama untuk membuat suatu perjanjian asuransi. Di restoran itu ia telah bertemu dengan seseorang yang bernama Werner yang ingin menjadi perantara bagi seorang pengusaha di Gautzsch. Pengusaha itu ingin menutup asuransi sebesar 20.000 mark.

Memang benar bahwa Hartmann pada hari Sabtu sebelum ia pergi telah berbicara dengan seseorang di telepon. Siapa yang telah berbicara dengannya, tidak dapat dipastikan.

Pada kira-kira jam 7 malam, Hartmann menyuruh seorang pegawai untuk membeli roti dan meminta agar pegawai itu pada hari Minggu jam 10 pagi datang ke kantor karena masih ada yang harus dikerjakan. Pegawai tersebut datang tepat pada waktunya dan telah menunggu dengan sia-sia di tangga. Ia melihat bahwa gorden jendela dekat lemari besi dan meja tulis Hartmann telah ditutup. Hal itu tidak demikian pada hari Sabtu. Juga mengherankan bahwa perempuan pembersih yang biasanya membuka jendela, memanaskan dan membersihkan ruangan-ruangan kantor, tidak melihat sesuatu yang lain dari pada biasa, waktu ia datang pada hari Minggu jam 5 sore. Bekas lilin pun tidak dilihatnya.

Jadi pada waktu perempuan itu membersihkan ruangan, bekas-bekas lilin belum ada. Jika tidak, perempuan itu mungkin membersihkan dengan serampangan. Ia tidak menyalakan lilin, katanya, akan tetapi menyalakan lampu gas. Sedangkan gorden ditutup, itu dilihatnya. Akan tetapi tidak mengherankannya, sebab sudah sering terjadi demikian.

Yang dapat ditentukan hanyalah ini: yakni bahwa selain dari pada cahaya lampu samar-samar yang katanya dilihat oleh istri seorang pelayan, tidak ada hal lain yang luar biasa yang dilihat. Semua kunci pintu, kunci meja tulis dan juga kunci lemari uang yang berbelit-belit angkanya masih dalam keadaan baik.

Pengusutan yang diadakan di rumah Hartmann, di restoran di mana ia biasa makan siang, dan pada kenalan-kenalannya yang hanya beberapa orang, tidak membawa hasil memuaskan.

Di Gautzsch hanya seorang saja yang bernama Werner. Seorang tukang pedati yang dapat membuktikan bahwa ia pada tanggal 16 Januari tidak berada di Leipzig. Oleh karena itu bukanlah dia yang telah membuat janji dengan Hartmann di restoran Panorama. Para pelayan restoran ini juga tidak dapat memberi keterangan. Gambar Hartmann diperlihatkan pada mereka, akan tetapi mereka tidak ingat akan orang itu. Malahan mereka mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak melihat seseorang yang mirip dengan gambar.

Kalaupun telah dilakukan kejahatan pada Hartmann, maka hanya seorang saja yang dapat disangka melakukan kejahatan itu. Itu adalah seorang yang telah mengenal ruangan-ruangan dan juga mengetahui rahasia angka-angka rumit pada lemari uang. Direktur Perusahaan Asuransi Magdeburg berpikir bahwa mungkin yang bertanggung jawab adalah seorang yang bernama Felix Hartmann. Orang itu tidak ada hubungan kekeluargaan dengan Hartmann yang menghilang. 

Felix Hartmann bekerja sebagai penulis pada cabang di Leipzig 5 tahun yang lalu dan waktu itu melarikan diri dengan uang sebanyak 3.000 mark. Akan tetapi pengusutan polisi kriminal telah mengungkapkan bahwa kapal yang dinaiki Felix Hartmann waktu ia melarikan diri, telah tenggelam di pantai Meksiko. Menurut keterangan maskapai perkapalan, semua penumpang tewas.

Kemudian kecurigaan jatuh pada orang yang membersihkan jendela di ruangan-ruangan kantor dan pada suatu kali ketahuan bahwa ia meminta pembayaran dua kali untuk pekerjaan membersihkan jendela-jendela tadi. Akan tetapi prasangka ini juga tidak benar, sebab pembersih jendela dapat membuktikan alibinya untuk hari Sabtu dan Minggu.

Semua pengusutan tidak berhasil, Paul Hartmann tetap hilang. Sejak ia meninggalkan kantor pada hari Sabtu kira-kira jam 7 malam, maka jejak menghilang. Seakan-akan ia dihapus dari dunia ini.

Perkaranya dibicarakan di surat-surat kabar baik dalam maupun luar negeri. Tidak ada jejak jelas. Dan tidak ada yang memberi komentar. Pimpinan Perusahaan Asuransi Magdeburg kemudian menjanjikan uang jasa bagi mereka yang dapat memberi petunjuk di mana Hartmann berada ataupun memberi kepastian di mana mayatnya dapat ditemukan. Uang jasa itu berjumlah 300 mark. Itu pun tidak membawa hasil. Juga surat-surat pengumuman pencarian Hartmann dengan gambar, yang disebarkan ke semua surat-surat berita kepolisian di dalam maupun di luar negeri, hasilnya nihil. Tidak ada kabar berita apa pun. Uang jasa dinaikkan oleh polisi. Perkara itu tetap misterius dan akhirnya dilupakan.

Tepat 2 tahun kemudian, pada bulan Januari 1906, di Dresden muncul seorang penipu sewa rumah. Orang itu menyewa rumah beserta perabot, kemudian menghilang membawa perabot. Sebenarnya orangnya menarik. Kadang-kadang ia mengatakan bahwa ia seorang mahasiswa, kadang-kadang seorang insinyur, atau seorang yang sedang mengadakan perjalanan. Ia selalu berpakaian rapi dan pandai mengambil hati orang yang menyewakan rumah, yang biasanya wanita. Pada kantor polisi Dresden sudah banyak pengaduan yang masuk. Pada tanggal 25 Januari ia ditangkap waktu sedang berada di jalanan.

Salah seorang yang menyewakan rumah, yang kecurian sebuah jam tangan, setelan jas serta 17 jilid ensiklopedia Brockhaus, mengenalnya kembali. Ia ditangkap dan mengaku bernama Arno Hoffmann dari Leipzig dan memang mencuri perabot. Ia seakan-akan ingin segera menerima hukuman, agar yang berwewenang tidak sempat menyelidiki kehidupannya sebelum itu.

Beberapa hari sesudah penangkapan Arno, datanglah seorang dari Wina, yang mengaku bernama Adalbert Blecha, pada Polisi Dresden. Ia mengatakan bahwa ia khusus datang ke Dresden dari Wina untuk mengadukan perbuatan kejahatan yang telah dilakukan beberapa tahun yang lalu di Leipzig. Ia menawarkan kesediaannya memberi keterangan lebih lanjut tentang kejahatan itu, jika ia mendapat uang jasa yang menurut perkiraannya kini berjumlah 2.500 mark. Arno Hoffmann yang baru tertangkap adalah pelaku pembunuhan pegawai asuransi Paul Hartmann dan mayat dikuburkan di sebuah tempat di jalan “Am See”.

Pada waktu yang bersamaan, pada tanggal 1 Februari, Polisi Leipzig menerima surat dari seorang bernama Adalbert Blecha yang meminta agar seorang anggota polisi yang pandai datang ke Dresden, karena ia (Blecha) ingin mengungkapkan sesuatu tentang pembunuhan yang “pandai dan berani”.

Waktu ia diinterogasi, maka Adalbert Blecha mengaku bahwa Franz, saudaranya yang dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa Ybbs dekat Sungai Donau, adalah seorang penjahat besar. 

Bertahun-tahun lamanya abangnya itu berkawan dengan Arno Hoffmann yang kini sudah ditangkap. Keduanya pulang kembali setelah mengadakan perjalanan bersama ke Wina dengan membawa sebuah koper besar. Di dalam koper itu ada beberapa barang seperti mantel musim dingin yang berwarna gelap, kapak, cangkul, dan sebuah gunting kertas yang besar.

Hoffmann segera pergi lagi. Abangnya menceritakan bahwa mereka telah membunuh seorang pegawai asuransi di Leipzig, merampok 10.000 mark, kemudian telah membawa mayat ke Dresden dan di sana menguburkannya di sebuah gudang di halaman.

Beberapa minggu yang lampau, Hoffmann telah mengirim 20 ronen kepadanya dan mengundangnya ke Dresden. Karena sedang tidak mempunyai pekerjaan, ia pergi. Di Dresden, Hoffmann memaksanya untuk menggali mayat kembali dan membuangnya ke sungai Elbe. Ia tidak mau. Ia tidak mampu berbuat hal-hal demikian. 

Karena merasa tidak enak, maka ia pergi ke polisi. Ia ingin membantu melindungi masyarakat dari manusia-manusia yang tidak berperasaan. Akan tetapi tentu saja ia ingin juga menerima uang jasa. Sebab itu ia pura-pura mau membantu Hoffmann. Tetapi hanya berpura-pura saja. Kini ia telah mengetahui di mana mayat itu dikuburkan. Jika ia tidak dapat membuktikan itu, tentu saja polisi tidak mempercayainya. Hoffmann telah menunjukkan rumah di mana gudang itu berada. Lampu menyala di halaman yang gelap. “Di sana menyala api abadi,” kata Hoffmann.

Pada hari berikutnya polisi dengan Adalbert Blecha serta pegawai-pegawai kejaksaan pergi ke halaman rumah Am See 14, ke gudang yang terletak di bagian yang tergelap di halaman rumah. Dekat dinding di muka pintu, tanah seakan-akan tidak begitu padat. Di sana digali. Yang menyaksikan, melihat dengan tegang dan sesudah setengah jam terbukti bahwa Blecha tidak berdusta. Tangan mayat keluar. Sangat mengerikan sebab seakan-akan tangan menunjuk ke arah penggali.

Segera mayat tampak secara keseluruhan. Sudah sangat membusuk. Kulit dan bagian-bagian yang lunak hanya ada sebagian saja. Kelopak mata terisi tanah. Telinga sudah tidak ada. Pemeriksaan yang kemudian dilakukan pada mayat hanya membawa hasil yang negatif. Oleh karena mayat sudah sangat membusuk, maka tidak mungkin menentukan sebab kematian. Hanya dapat ditentukan bahwa tidak ada ciri-ciri yang menunjukkan bahwa dilakukan kekerasan dari luar sehingga tengkorak ataupun tulang-tulang rusak. Jadi mungkin kematian disebabkan racun atau pencekikan.

Kini rahasia seputar menghilangnya Paul Hartmann telah terungkap sebab mayat yang ditemukan adalah mayat pegawai asuransi yang dicari-cari. Hoffmann yang dihadapkan pada mayat selama dilakukan pemeriksaan, mengakui bahwa yang meninggal itu adalah Paul Hartmann.

Akan tetapi bagaimana pembunuhan dilakukan dan bagaimana mayat dibawa dari Leipzig ke Dresden, apakah hanya seorang atau beberapa orang yang telah melakukannya dan apa yang dilakukan masing-masing pelaku, baru diakui Arno Hoffmann secara mendetail. Itu dilakukan setelah ia mengetahui bahwa Adalbert Blecha telah mengkhianatinya. Ia menyerah kalah. Pengakuannya dihubungkan dengan pengusutan lain. Itu akhirnya mengungkapkan “karier” penjahat yang menarik perhatian.

Pada tanggal 13 November 1877, lahirlah Arno di Leipzig-Reudnitz. Ia anak ke-11 dari pemilik percetakan yang berada, yang bernama Hoffmann. Sudah sejak di bangku sekolah, ia membuat bingung orang tuanya. Arno kerap merusak bangku sekolah agar dapat mencuri uang. Juga dari kas ayahnya, ia dengan diam-diam mengambil uang. 

Di kolam renang kota, ia berkenalan dengan pria homoseksual dan diajari hal-hal tidak pantas. Segera ia mahir dalam sadisme, masokhisme, dan praktik-praktik masturbasi yang menyimpang dari normal. Ia menjadi lemas dan pemalas serta kehilangan kemauan untuk belajar. Sesudah meninggalkan sekolah rendah, maka setahun lamanya, meskipun tidak dengan teratur, ia masuk sekolah dagang.

Kemudian ia magang di sebuah kantor dagang yang lumayan besar di Leipzig. Juga di situ ia segera menjadi pencuri. Ia telah mencuri uang seorang pimpinan perusahaan itu. Akhirnya ia tertangkap basah pada waktu ia mencoba membuka lemari uang dengan kunci-kunci palsu dan segera dikeluarkan. Ayahnya mengganti jumlah uang yang telah dicuri anaknya dan mencarikan tempat bekerja di sebuah perusahaan besar di Zürich.

Akan tetapi Arno Hoffmann yang di Leipzig menjadi langganan tetap rumah-rumah pelacur, meneruskan kehidupan itu di Zürich. Ayahnya selalu mengirimkan uang. Namun itu tidak mencukupi karena setiap malam Arno mengunjungi rumah-rumah pelacur.

Ia mencuri lagi dan mengambil bahan-bahan dan renda mahal. Apa yang telah dicurinya kemudian dijual kepada pemilik-pemilik rumah pelacur. Jika tidak, ia meneruskannya kepada calo-calo yang sudah biasa menjual barang curian. Kepala kantor tidak melaporkan kejadian kepada polisi karena ayah Arno mengganti kerugian. Namun Arno saat itu juga dipecat.

Kejadian itu terjadi pada permulaan tahun 1897. Arno berumur 20 tahun dan dengan uang yang selalu saja dikirimkan ayahnya, ia memulai hidup berkelana. Ia pergi ke seluruh penjuru Swiss, Italia, Prancis, dan akhirnya sampai di Paris.

Karena ia sangat boros, maka uang ayah pun segera habis. Ia hidup sambil mencuri, apalagi di hotel-hotel dan akhirnya ia berpengalaman dalam hal itu. Dari Paris ia kembali ke Zürich lewat Leipzig dan Berlin. Ia selalu mengunjungi para pelacur yang mempunyai hubungan erat dengannya.

Kejaksaan di Zürich akhirnya mengetahui tentang pencuriannya karena banyak orang yang melaporkan. Ia ditangkap dan oleh pengadilan setempat ia dihukum penjara selama 2 tahun pada bulan Oktober 1897. Di dalam penjara ia berkelakuan baik dan pada bulan Februari 1899 ia dibebaskan.

Hoffmann kembali ke Leipzig, akan tetapi baru sebulan di sana sudah ditahan lagi dan dibawa ke Berlin dan dihukum 3 hari oleh Pengadilan Berlin. Pasalnya ia telah melakukan pencurian sewaktu berada di kota itu selama perjalanannya ke Zürich.

Sesudah menjalankan hukuman ia kembali ke Leipzig. Ayahnya, yang masih saja mempunyai harapan bahwa akhirnya sang anak kembali ke jalan yang benar, memberinya pekerjaan di perusahaan sendiri. Tujuannya agar ia dapat mengawasinya. Akan tetapi Arno tidak mau bekerja dan ia hanya memikirkan bagaimana memuaskan hawa nafsu. Ia hanya memusatkan diri pada hubungan dengan pelacur dan bagaimana mendapat uang untuk dapat terus melakukannya. Ia tidak mempunyai keinginan lain. Ia bukan peminum. Hanya sekali saja ia pernah mabuk. Minuman yang disenangi adalah kopi.

Jika ia sedang mempunyai uang, maka uang itu dihabiskan dalam sekejap. Ia sering pergi ke tempat penginapan dan membayar minum untuk orang-orang gelandangan, memberikan uang pada pengemis dan tidak berhenti sebelum uangnya habis. Kemudian ia mencuri lagi.

Anehnya ia pernah menjadi anggota aktif dari balai keselamatan, mungkin karena ingin keluar dari kehidupan yang nista dengan pertolongan mereka.

Ia tidak pernah menonton pertunjukan apa pun. Ia juga tidak senang dansa. Ia hidup dari hari ke hari lain, tanpa tujuan, tanpa kesenangan. Ia hanya menuruti hawa nafsu dan kehidupan ini telah membuatnya berpenyakit kelamin sejak ia masih menjadi magang. Karena menjalani kehidupan seperti itu, Arno kehilangan gairah. Ia tidak dapat melepaskan kehidupan nista, akan tetapi ia juga tidak mampu untuk hidup sebagai orang biasa.

Oleh karena itu maka ia tidak lama bertahan di rumah karena harus bekerja dengan teratur. Terjadi bentrokan antara ayah dan anak yang berakibatkan pengusiran Arno dari rumah orang tua. Akan tetapi, lagi-lagi ayahnya masih merasa kasihan dan masih memberinya uang 1.800 mark untuk pesangon, dengan peringatan bahwa itulah uang yang terakhir yang diterimanya.

Dengan uang itu Arno tidak membina hidup baru, akan tetapi menghabiskannya dalam waktu sebentar saja di tempat-tempat balap kuda di Hamburg, Berlin, Köln, Wina, dan Budapest. Sekali lagi ia berhasil melunakkan ayahnya. Ia mendapat pekerjaan pada cabang Leipzig dari Perusahaan Asuransi Magdeburg. Di masa itulah ia mengetahui keadaan kantor, yang digunakannya waktu ia kemudian membunuh Hartmann. Pada tanggal 1 April 1900 ia mendapat pekerjaan pada cabang perusahaan itu di Poessneck dengan gaji 100 mark sebulan. Kehidupan di kota kecil tidak disenanginya. Ia keluar kerja pada bulan Juni dan kembali ke Leipzig.

Sementara itu ayahnya sudah meninggal. Abangnya yang kemudian memimpin perusahaan. Arno mencuri 1.400 mark dari lemari uang dan menghilang dengan seorang pelacur ke Antwerpen. Dari sana ia ingin pergi ke Brasilia. Akan tetapi sebelum kapal berangkat ia ditangkap dan dikembalikan ke Jerman di mana ia pada bulan November dihukum oleh Pengadilan Leipzig dengan 6 bulan penjara. Kini ia sudah tiga kali terkena hukuman.

Sesudah ia dikeluarkan, ibunya membantunya dengan uang dan sekali lagi Arno mulai hidup berkelana di kota-kota besar di Eropa. Ia hampir selalu menginap di hotel-hotel kelas satu, memakai nama bangsawan dan menyangka bahwa polisi tidak berani menangkapnya di hotel-hotel besar. Dan ia meneruskan mencuri jam, perhiasan, dan uang tunai.

Pada musim panas berikutnya, ia berkunjung ke seorang teman mendiang ayahnya, yang mempunyai rumah pedesaan di dekat Gotha. Kebaikan tuan rumah dibalasnya dengan pencurian 600 mark dari lemari besi.

Dari sana ia pergi ke Praha, Budapest, Bukares, dan Konstantinopel. Di mana-mana ia mencuri.

Kejaksaan Gotha telah mencarinya dengan pengumuman resmi. Akhirnya ia ditangkap di Wina dan oleh pengadilan di Gotha ia dihukum 2 tahun 6 bulan. Kini sudah empat kali ia menjalankan hukuman. Sekali ini ia tidak hanya ditahan di penjara biasa akan tetapi di dalam penjara istimewa. Namun seperti di Zürich, maka disiplin keras dalam penjara istimewa menyebabkan ia mulai berlaku baik. Suatu hal yang tidak dapat diajarkan baik oleh orang tua, maupun oleh sekolah, kepala kantor ataupun teladan baik yang diberikan. 

Kepala penjara istimewa berpendapat bahwa ia berkelakuan baik, sehingga ia dibebaskan sesudah 2 tahun menjalani hukuman.

Segera saja Arno pergi ke Wina. Ia ingin berjumpa dengan seorang teman, bernama Franz Blecha, seorang pencuri yang sedang menjalani hukuman penjara selama 2 bulan. Franz menjadi sesama penghuni sel selama Hoffmann juga ditahan di sana sebelum ia dikembalikan ke Jerman. Dalam hal hubungan seks, Franz Blecha sama dengan Hoffmann dan dalam minggu-minggu di penjara itu segera terjalin hubungan intim antara mereka.

Hoffmann melihat persamaan watak pada Blecha. Blecha seorang yang berani, masa bodoh, berbadan besar, dan mempunyai pengalaman luas sebagai pencopet dan pencuri biasa. Ditambah lagi, ia memiliki keahlian sebagai tukang kunci dan montir listrik. Mereka berjanji, bahwa sesudah mereka dibebaskan, mereka akan melakukan kejahatan yang agak besar. Tetapi Hoffmann harus masuk penjara di Gotha dahulu, sesudah itu mereka akan bertemu di Wina dan mengerjakan apa yang telah disepakati dalam penjara.

Waktu Hoffmann masih menjalani hukuman di Gotha, Franz Blecha dibebaskan sesudah dihukum kembali selama 8 bulan karena mengerjakan berbagai pencurian. Waktu ia tiba di Wina, Hoffmann menemui Blecha sedang melakukan “proyek”. Blecha telah mengorganisasi gerombolan yang setiap malam menjalankan pencurian-pencurian yang berani di dekat Wina. Hoffmann segera menggabungkan diri dengan gerombolan ini.

Sampai permulaan tahun yang baru mereka melakukan serentetan pencurian. Akan tetapi kemudian Blecha takut juga di Wina. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota itu dan melaksanakan sebuah rencana Hoffmann yang akan membuat mereka sekaligus kaya. Rencana ini adalah merampok lemari besi Perusahaan Asuransi Magdeburg di Leipzig, yang terletak di cabang di mana Hoffmann 5 tahun yang lalu telah dipekerjakan. la sudah tahu letak ruangan dan kebiasaan para pegawai yang hingga kini tidak berubah. Rencana detail telah dipikirkan Hoffmann. Yang paling penting adalah kunci lemari besi, sebab hanya dapat dibuka dengan kunci-kunci istimewa.

Keahlian Blecha sebagai tukang kunci tidak cukup. Kunci itu selalu dibawa oleh kepala cabang. Jadi langkah pertama ialah memegang orang ini dan mengambil kunci. la harus dimasukkan ke perangkap dan dibunuh dengan racun. Hanya dengan cara demikian lemari dapat dibuka. Hoffmann mendapat racun dari seorang pemilik apotik. Ayah orang itu telah dikenal Hoffmann dalam penjara. la sebelumnya seorang penjual gandum kaya yang telah menghabiskan kekayaannya. Untuk meneruskan penghidupan yang mewah, ia membuat wesel palsu. Waktu ia mengenal Hoffmann lebih dekat ia menasihati, “Jangan mencuri lagi. Percuma. Lebih baik bekerja dengan racun!”

Saran ini diterima baik oleh Hoffmann dan oleh karena racun dapat disediakan dengan mudah oleh anak si pemalsu wesel, maka mulai dari saat itu Hoffmann hanya mau “bekerja” dengan racun. Yang akan dijadikan korban pertama ialah pemimpin cabang Perusahaan Asuransi Magdeburg di Leipzig.

Mereka pada tanggal 5 Januari 1904 tidak langsung ke Leipzig, akan tetapi Hoffmann dan Franz Blecha mampir di Bruenn, tempat tinggal kekasih Blecha, kemudian ke Berlin. Di sana mereka masih tinggal 10 hari, baru meneruskan ke Leipzig. Di kota itu mereka menyewa sebuah kamar di rumah Nyonya Herzog, Talstrasse 12b. Suami Nyonya Herzog, seorang pedagang barang-barang bekas sedang berada dalam tahanan untuk waktu yang cukup lama. Di tempat Nyonya Herzog ini, Hoffmann pernah menyewa kamar, yaitu pada waktu ia mengambil 1.400 mark dari lemari besi abangnya. Pada waktu itu Herzog juga dituntut sebagai seorang perantara, tetapi kemudian dibebaskan.

Nyonya Herzog sudah tidak dapat mendengar dengan baik, boleh dikatakan bahwa ia tuli. Oleh karena itu mereka menganggap rumahnya sesuai untuk melakukan suatu pembunuhan. Di sebelah kamar yang disewa Hoffmann dan Blecha, ada dapur dengan tempat tidur seorang wanita, pekerja pabrik dan di sebelah lain kamar disewakan pada sepasang suami istri. Kedua ruangan dihubungkan oleh pintu dengan kamar Blecha. Akan tetapi tidak dapat dibuka karena di depannya terletak perabot rumah tangga. Kedua penjahat berharap dapat bekerja begitu rapi dan diam-diam sehingga mereka yang serumah tidak akan mendengar apa-apa. Mereka mulai menjalankan rencana pada hari mereka masuk kamar.

Tanggal 16 Januari 1904 jatuh pada hari Sabtu. Pada pagi harinya Franz Blecha, yang tidak dikenal seorang pun di Kantor Asuransi Magdeburg, pergi ke Thomaskirchof no. 14 untuk melihat-lihat letak ruangan. Waktu itu ia mengadakan pembicaraan dengan pemimpin cabang Paul Hartmann yang berusia 20 tahun. Franz mengatakan bahwa ia menjadi perantara seseorang yang ingin membuat asuransi dan ia meminta beberapa prospek untuk dipelajari. Ia akan meneleponnya kemudian, katanya.

Sore harinya ia menelepon dan meminta Hartmann agar datang ke restoran Panorama. Di sana Hoffmann dan Blecha menunggu korban mereka. Hoffmann memperkenalkan diri sebagai “Werner” dari Gautzsch dan sebagai perantara yang sebenarnya. Ia mengatakan bahwa seorang pemilik pabrik di Gautzsch ingin menutup asuransi sebesar 20.000 mark. Pemilik itu akan datang ke restoran Parorama sesudah kantor ditutup dan mereka akan bersama-sama pergi ke rumah Hoffmann.

Mungkin karena mengharapkan imbalan jasa dan juga karena ia masih belum begitu berpengalaman, Paul Hartmann lupa bersikap hati-hati.

Tepat pada jam 8 malam ia datang kembali ke restoran Panorama dan sesudah beberapa lama, ia diantarkan oleh kedua penjahat ke kamar mereka. Ia masih tidak mempunyai dugaan apa-apa. Kamar dilengkapi dengan perabot yang baik. Hoffmann dan Blecha berpakaian mahal dan memperlihatkan kelakuan luwes yang mengesankan Hartmann.

Karena yang hendak membuat asuransi belum juga datang, mereka bercakap-cakap dan minum bir. Yang menuangkan Hoffmann. Dengan diam-diam ia memasukkan dosis besar morphium muriaticum dalam gelas Hartmann. Untuk menutupi rasa tidak enak, morphium sudah dicampurnya dengan gula. 

Hartmann yang belum juga mempunyai syak wasangka, lama kelamaan menjadi sangat lelah ditambah dengan muntah-muntah. Ia mengaduh kesakitan dan menangis. Mungkin baru disadarinya bahwa ia masuk perangkap pembunuh dan nyawanya terancam. Mungkin juga ia takut mati dan oleh karena itu ia mengaduh dan menangis. Suara itu membahayakan bagi pembunuh-pembunuhnya. Ia harus dibuat diam. Blecha langsung memegang Hartmann dengan kedua tangannya yang kuat-kuat dan menekan urat-urat nadi di leher Hartmann. Suara merintih berhenti dengan segera dan sesudah beberapa detik Hartmann meninggal. Blecha telah mencekiknya. Pembunuhan yang keji, yang dimulai Hoffmann dengan racun, diselesaikan Blecha dengan tangan.

Kedua pembunuh mulai mencari-cari kunci lemari uang di dalam saku baju korban. Tidak ada! Mereka membunuh dengan sia-sia! Akan tetapi bukankah ia langsung datang dari kantor? Di manakah kunci-kunci lemari uang ditaruh? Dengan marah serta bimbang mereka memandang ke arah laki-laki mati yang terduduk di kursi. Mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat. Mau dibawa ke mana? Apakah orang serumah mendengar sesuatu? Hoffmann merogoh ke saku mantel. Kunci-kunci ada di dalamnya!

Jadi sebenarnya mereka tidak perlu membunuh untuk mendapatkan kunci. Salah seorang dapat mengajak Hofmann berbicara terus-menerus, sementara yang seorang lagi dapat lekas-lekas pergi ke kantor, membuka lemari uang, merampoknya lalu kemudian mengembalikan kunci ke dalam mantel Hartmann. Semua itu tidak akan diketahui Hartmann. Untuk mengerjakan itu semua hanya diperlukan 20 menit. Hartmann baru akan mengetahui bahwa lemari dirampok pada hari Senin. Selama waktu itu mereka sudah lama meninggalkan Leipzig.

Tetapi kini ada mayat di situ. Harus dibawa dengan tidak diketahui orang. Sebelumnya mereka harus membuka lemari uang.

Mereka meletakkan mayat di tempat tidur, menutupnya, dan mengunci kamar dengan baik-baik. Kemudian dengan kunci-kunci mereka bergegas ke kantor di Thomaskirchhof. Hoffmann menunggu di jalan. Pekerjaan yang sebenarnya kemudian dikerjakan oleh Blecha. Dengan kunci-kunci Hartmann, Blecha membuka pintu gang dan pintu kantor. Tetapi waktu ia mencoba membuka lemari besi, ia menemui kesukaran. Kunci itu sebuah kunci istimewa dan ia tidak mengetahui mekanik kunci. Agar tidak pergi tanpa tangan kosong, ia membawa sebuah gunting kertas yang besar yang terletak di meja.

Kemudian Hoffmann yang naik ke kantor. Ia menyalakan lilin yang dibawanya, lalu menutup tirai salah sebuah jendela, agar cahaya yang tampak pada larut malam jangan menimbulkan kecurigaan pada orang-orang yang lewat. Dengan mudah lemari uang dibukanya. Ia mengenal mekanik kunci. Caranya sering diperhatikan waktu ia bekerja di situ. Di dalam lemari ada 1.600 mark. Jauh lebih sedikit dari pada yang diharapkan mereka. Hoffmann mengambil seluruhnya dan meninggalkan kantor dengan tidak dilihat atau ditahan seorang pun.

Kini korban pembunuhan harus dihilangkan. Mereka setuju agar mayat dibawa dalam koper besar dari rumah. Bagaimana kelanjutannya mereka belum tahu. Mereka masih berbeda pendapat.

Mereka membeli sebuah koper yang besar. Pembelian koper itu dapat dikerjakan pada hari Minggu, karena kebanyakan toko buka disebabkan gelanggang dagang musim semi. Yang membeli Hoffmann. la mengatakan kepada penjual bahwa ia seorang penjual keliling yang menjual gelas. Besok ia harus mulai berkeliling. Koper akan digunakan untuk mengangkut contoh. Oleh karena itu, ia meminta pada yang menjual agar koper diisi dengan serutan kayu untuk membungkus gelas. Itu bukan permintaan yang aneh. Penjual mengerjakan apa yang diminta dan pada hari berikutnya mengirimkan koper ke rumah Hoffmann. Blecha dan Hoffmann sudah menunggu di gang. Mereka menerima koper, membayarnya dan mengangkatnya ke dalam kamar. Mayat yang sebelumnya sudah ditelanjangi Blecha, dibungkus dengan serutan kayu dan dimasukkan koper. Mereka menutup koper dan disisihkan ke dinding. Mereka mengatakan pada yang menyewakan kamar, bahwa mereka pergi semalam suntuk dan kini masih lelah dan ingin tidur.

Waktu Nyonya Herzog membawa kopi untuk mereka, Blecha duduk di atas koper, bersiul dan menyanyi dan kelihatan gembira. Ketika Nyonya Herzog bertanya apa yang mereka simpan dalam koper, mereka mengatakan bahwa ada hal yang indah sekali di dalamnya. Mereka mengatakan bahwa mereka hari itu juga harus meninggalkan kota. 

Setelah membayar sewa untuk setengah bulan,  keduanya memanggil kuli dan menyuruh membawa koper ke stasiun. Mereka sudah sepakat untuk membuang mayat di Sungai Elbe dekat Dresden. Sebenarnya Blecha semula mempunyai ide yang kurang ajar dan ingin mengirim koper dengan mayat ke kantor polisi. Akan tetapi Hoffmann berusaha menggagalkan ide itu.

Atas alasan apa mereka menyuruh membawa koper yang harus dikirim ke Dresden ke stasiun arah Bavaria, tidak dapat diketahui. Dan juga tidak dapat diterangkan, mengapa koper yang seharusnya dikirim ke Dresden akhirnya dikirim ke Chemnitz. Agaknya dalam hal ini Franz Blecha berlaku semaunya dan tidak dengan persetujuan Hoffmann. Atau mungkin juga ada salah pengertian di pihak si pembawa. Tetapi fakta ialah bahwa koper dikirim ke Chemnitz sedangkan kedua penjahat pergi ke Dresden.

Mereka tiba di Dresden pada tanggal 18 Januari pagi hari jam 3 dan singgah di klub-klub malam dan kian kemari berjalan-jalan hingga fajar. Waktu sampai di stasiun, mereka menyadari bahwa koper salah dikirim. Mereka meminta koper itu kembali secara telegram. Pada hari itu juga koper sampai di Dresden. Tidak seorang pun yang menaruh syak wasangka.

Blecha dan Hoffmann mempergunakan waktu menunggu untuk berjalan-jalan dengan sebuah kereta di tepi Elbe dari Dresden ke Blasewitz. Mereka tidak menemukan tempat yang tepat untuk maksud mereka yang semula, membuang mayat ke Sungai Elbe. Di mana-mana lalu-lintas sangat ramai. Oleh karena itu mereka sepakat untuk menguburkan mayat. Untuk menjalankan rencana itu, mereka harus menyewa ruangan yang terletak di tingkat bawah. Waktu mereka sedang mencari-cari, mereka melihat sebuah papan yang memberitahukan akan disewakannya sebuah gudang yang terletak di rumah no. 14 di Strasse Am See.

Hoffmann segera menyewa gudang itu. Kepada yang menyewakan ia mengatakan bahwa ia seorang artis. Namanya Sommer dan ia ingin mempergunakan gudang untuk menyimpan barang-barang yang sedang tidak dipakainya. Ia sering bepergian, di Eropa dan Amerika. Oleh sebab itu ia tidak mungkin membawa semua alat-alat. Ia membayar sewa untuk setengah tahun dan menandatangani perjanjian sewa-menyewa dengan: “Franz Sommer, artis”. Ia mendapat kunci gudang yang berupa kunci biasa saja.

Gudang terletak di ujung halaman yang panjang, yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan tinggi dan yang dibatasi oleh rumah belakang. Di kiri kanan gedung masih ada beberapa ruang kerja, gudang dan sebuah ruangan tempat mencuci. Jika hari sudah mulai gelap, dinyalakan sebuah lampu yang remang-remang di tengah-tengah halaman dan cahaya lampu itu tidak sampai ke gudang, bahkan tidak sampai di ruangan-ruangan di dekatnya. Lantai gudang tidak disemen, hanya tanah yang dikeraskan. Kuburan Hartmann telah ditemukan.

Tetapi hari sudah malam dan “pemakaman” diundurkan pada hari berikutnya. Mereka masih membeli pistol yang hendak dipergunakan jika ada seseorang yang mengganggu waktu mereka sedang bekerja. Hoffmann, yang juga membawa sebuah koper yang mentereng, menginap di salah sebuah hotel kelas satu di Dresden. Tentu ia mencari kesempatan untuk mencuri. Apakah ia berhasil, tidak diketahui lagi. Blecha menghabiskan waktu sampai pagi di rumah-rumah minum dan rumah-rumah pelacur.

Pagi berikutnya mereka berjumpa di stasiun dan mengambil koper mereka. Pada seorang pembawa barang mereka menanyakan apakah ia mau membawakan barang ke rumah Am See 14. Orang tersebut kebetulan bekerja di Am See 12 dan senang bahwa ia langsung dapat membawa barang tadi.

Barang dibawa sampai di depan gudang. Hoffmann dan Blecha memasukkannya dan menutup gudang. Kemudian Blecha membeli linggis dan pacul, Hoffmann membeli peti. Kini “pemakaman” dapat dimulai. Hoffmann membiarkan Blecha mengerjakan pekerjaan kasar. Blecha segera saja menggali, meskipun di ruangan dekat yang hanya dipisahkan dengan dinding papan dari gudang, beberapa wanita sedang sibuk mencuci. Tidak seorang pun dari mereka yang mendengar penggalian yang berjam-jam dan tidak seorang pun yang ingin tahu dan melihat apa yang dikerjakan di gudang yang biasanya kosong itu.

Jadi Blecha menggali dengan tidak diganggu. Tanahnya keras karena membeku sehingga sukar dipacul dan dilinggis. Blecha masih harus bekerja dibantu lampu dan baru selesai larut malam. Akhirnya ia telah menggali lubang yang panjangnya kurang lebih 2 meter dan dalamnya 50 sampai 60 sentimeter. Ia melemparkan mayat yang telah ditelanjangi. Oleh karena lubang itu sangat sempit, maka ia agak sukar memasukkan badan yang telah kaku. Ia tidak berhasil memasukkan lengan kanan mayat seluruhnya. Baru dengan beberapa pacul tanah, maka lengan tidak nampak lagi.

Mereka menginjak-injak tanah yang lembek hingga keras kembali, memasukkan serutan dalam peti, memakunya kembali dan meletakkan linggis, pacul, dan baju korban dalam koper ditambah dengan gunting curian dari kantor asuransi dan pada malam itu juga mereka menyuruh seorang pembawa barang membawa koper ke stasiun dikirimkan ke Wina. Peti tinggal di gudang sebagai perabot. Gudang dikunci. Dengan demikian, maka untuk mata manusia jejak-jejak kejahatan telah dilenyapkan.

Keduanya pergi ke Wina tanpa halangan pada tanggal 20 Januari. Mereka hanya ingin tinggal sebentar saja di situ. Hoffmann bermaksud untuk mengambil simpanan biasa pada apoteker yang telah disebutkan tadi. Blecha ingin beristirahat sesudah melakukan pekerjaan yang mengerikan di Leipzig dan Dresden. 

Sesudah itu mereka bermaksud pergi ke Turki untuk mengerjakan “sesuatu yang besar” di sana. Akan tetapi semua tidak terlaksana. Itu karena baru saja dua hari di Wina, Blecha ditangkap. Hal itu menyusahkan Hoffmann. Ia tidak berdaya tanpa Blecha. Apakah gunanya punya rencana yang sebaik-baiknya jika tidak ada orang kuat yang mengerjakannya? Oleh karena itu ia mencoba untuk membebaskan kawannya. Ia tinggal di Wina, meminta pertolongan seorang pengacara terkenal yang dibayarnya dengan uang yang dicuri di Leipzig dan mencoba untuk dengan pertolongan sebuah bukti alibi yang palsu mengalahkan hakim. Mungkin ia berhasil, akan tetapi sebuah catatan telah ditemukan oleh yang berwajib pada saudara Blecha bernama Adalbert yang seharusnya diberikan pada Franz Blecha. Catatan itu mengenai rencana pembebasannya. Para pegawai penjara memberikan catatan itu kepada hakim. Dan dengan demikian semuanya tidak ada hasilnya.

Bagi Arno Hoffmann tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan Wina, di mana keamanannya makin lama makin terancam. Ia telah dilihat bersama-sama Blecha dan oleh karena itu mungkin ada sangkut pautnya dengan pencurian di bulan Desember dan Januari yang menyebabkan Blecha meringkuk di tahanan. 

Ia pergi ke Budapest dahulu, di mana ia beberapa minggu bekerja sama dengan seorang pencopet. Saat mencopet, ia menjadi pengintai. Kemudian dalam waktu 3 bulan ia pergi kian kemari di Eropa, sambil mencari ganti Blecha.

Ia tinggal di kota-kota yang terbesar, mencari-cari di rumah-rumah minum para pelaut yang terburuk, di tempat-tempat pelacuran terhina di daerah-daerah penjahat. Ia tidak menemukan apa yang dicari. Kadang-kadang ia menjalankan sesuatu bersama seorang penjahat, akan tetapi tiada seorang pun yang mempunyai keberanian, kekuatan dan “aksi” Franz Blecha. Tidak ada yang dapat dibandingkan dengan dia. Oleh karena itu ia segera berpisah dengan partner-partner yang baru. Ia selalu mencoba dan meninggalkan mereka.

Pada suatu masa ia pergi bersama dengan seorang wanita yang membuat sesuatu dengan kloroform. Si wanita mengajak orang-orang kaya minum champagne, kemudian Hoffmann “menolong” membuat mabuk korban dengan kloroform. Sesudah itu, mereka merampok korban yang pingsan. Tetapi wanita itu senang minum dan kadang-kadang ia mabuk beberapa hari, hingga tidak dapat “dimanfaatkan” untuk suatu pekerjaan.

Di Hamburg, ia menjalankan pencurian dengan dua orang, akan tetapi segera ternyata bahwa kedua “partner” tidak bisa menggantikan Blecha.

Di Magdeburg ia mengambil seorang yang sudah kelaparan dari jalan. Ia memberinya makan dan pakaian lalu membuat rencana bagaimana mengerjakan kejahatan. Akan tetapi ia menyadari bahwa tidak semua orang sesetia temannya Blecha. Orang tadi pergi ke polisi dan mengkhianatinya. 

Malang baginya, Hoffmann mempunyai sebuah payung yang telah dicurinya dari sebuah toko, meskipun sebenarnya ia tidak perlu mencuri karena uangnya masih cukup. Karena menjalankan pencurian tadi, ia ditahan. Pada tanggal 14 Agustus 1904, ia dihukum sebagai pencuri ulang serta mendapat hukuman penjara setahun.

Baru dalam bulan Agustus 1905, ia dibebaskan. Ia pergi ke Leipzig, ke ibunya. Meski wanita itu menangis dan sangat sedih, ia toh diberi uang. Langsung Hoffmann pergi ke Dresden. Mungkin gudang disewakan lagi kepada orang lain, sebab sewaktu Hoffmann di penjara ia tidak membayar selama dua kartal. Pembayaran-pembayaran kuartal yang sebelumnya dilakukan oleh seorang pelacur di Berlin dan oleh abangnya yang tidak tahu-menahu akan kejahatan yang telah dilakukannya.

Memang ia tidak salah sangka. Pemilik rumah membuka gudang waktu pembayaran tertunda dan ingin menyewakannya kembali. Ia tidak mempunyai rasa curiga. Mengapa? Gudang hanya ada petinya. Tidak seorang pun berpikir mengapa si artis Sommer menyewa gudang, jika ia hanya menaruh peti saja di situ.

Segera Hoffmann pergi ke gudang setiba di Dresden dan melihat bahwa gudang terbuka akan tetapi tidak digali. Ia meminta keterangan kepada istri si pemilik dan langsung marah-marah. Pada pemilik dikatakannya bahwa partnernya sedang turne di Amerika dan menghendaki gudang dipakai sebagai tempat simpanan alat-alat yang dibutuhkannya. Ia tidak peduli membayar beberapa mark lebih banyak. Tentu saja dapat terjadi jika ia agak terlambat membayar sewaktu sedang turne.

Sebenarnya harus ditunggu sebentar. Pokoknya, semua akan dibayar. Pemilik minta maaf. Hoffmann membayar apa yang belum dibayar dan juga untuk kuartal berikutnya. Persoalan telah beres.

Dari Dresden Hoffmann pergi lagi ke Wina, ke Blecha. Di sana ia mendengar bahwa temannya dihukum 6 tahun penjara. Ia sudah sering mencoba melarikan diri. Pada kesempatan yang terakhir, ia telah melukai seorang penjaga penjara sampai mengancam nyawa. Kini ia telah dinyatakan gila dan dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Ybbs, di tepi Sungai Donau.

Hoffmann segera pergi ke Ybbs. Ia bisa berbicara dengan Blecha. Mereka mengatur siasat untuk melarikan diri. Penjaga-penjaga Blecha akan disogok dengan jumlah uang yang banyak agar memberi kesempatan untuk lari padanya. Hoffmann akan menunggu di dekat rumah sakit dengan mobil dan pelarian akan melalui Hungaria ke Turki. Tentu saja untuk itu diperlukan uang banyak. Hoffmann tidak mempunyai apa-apa lagi, akan tetapi untuk temannya ia mau mencoba segala sesuatu, mencuri, merampok, dan mengerjakan kejahatan apa pun.

Ia mencoba meminta pada ibunya dan pergi dari Ybbs ke Leipzig. Secara terang-terangan ia mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin membebaskan seorang teman yang tidak bersalah, untuk mengerjakan kejahatan-kejahatan yang besar. Ia masih dapat menjadi jutawan. Ia menjawab nasihat dan permintaan wanita yang sedih itu dengan pernyataan bahwa ia dilahirkan untuk menjadi penjahat. Ia tidak dapat melawan nasib. Seperti di antara binatang ada yang baik dan yang buas, maka juga di antara manusia di samping yang baik, hidup mereka yang ditentukan untuk menjalankan kejahatan saja. Ia tergolong yang jahat.

Keluarganya makin lama makin yakin bahwa ia sakit jiwa. Sebab orang-orang yang waras tidak dapat menerangkan ide-ide yang gila itu. Oleh karena itu mereka membawanya ke klinik saraf di Universitas Leipzig, agar keadaan jiwanya diamat-amati. Hoffmann menurut. Jika ia dinyatakan sakit jiwa, begitu harapannya, maka ia dapat meminta pembebasan hukuman bagi kejahatan-kejahatan yang telah dan yang akan dikerjakan. Tetapi ia tidak senang di rumah sakit dan sesudah 7 minggu ia meninggalkan tempat itu, tepatnya tanggal 13 November, hari ulang tahunnya yang ke-27. Pernyataan dokter berbunyi: Hoffmann tidak sakit jiwa dan juga tidak lemah ingatan. Ia tergolong penjahat karena kebiasaan, yang karena tidak mau menjalankan pekerjaan yang halal, mencoba mendapatkan biaya hidup ataupun uang yang banyak dengan jalan kejahatan.

Kemudian ia lewat Dresden dan membayar sewa gudang, lalu kembali ke Wina. Ia agak putus harapan. Makin lama makin sukar untuk mendapatkan uang untuk membebaskan temannya. Bahwa ia tidak dapat mencari ganti yang baik bagi Blecha, membuatnya sedih. Ia diganggu pikiran bunuh diri. Ia ingin menganjurkan temannya yang tercinta, agar bersama-sama menembak diri. Akan tetapi saudara Franz Blecha, Adalbert, menasihatkan jangan berbuat demikian. Katanya masih dapat dikerjakan jika memang harapan membebaskan Frans sudah tidak ada sama sekali. Pertama pembebasan itu harus dicoba dahulu. Hoffmann setuju dengan ide itu. Ia menulis kepada Franz yang berada di rumah sakit, agar jangan putus asa dan menyatakan kesetiaannya yang abadi.

Beberapa lama ia tinggal di Hungaria, akan tetapi tidak berhasil membuat sesuatu “yang besar”. Juga di Berlin di mana ia berada pada hari-hari Natal, ia hanya dapat melakukan pencurian di hotel dan di kamar sewa secara kecil-kecilan.

Pada tanggal 10 Januari 1906, ibunya muncul sebagai bidadari penolong. la datang ke Berlin, mengajak kembali ke Dresden, membelikannya setelan yang baru dan memberikan pula uang yang cukup banyak. la masih selalu berharap bahwa anaknya sekali waktu akan bekerja dan kembali ke kehidupan yang normal. Akan tetapi Hoffmann sama sekali tidak berpikir demikian. la berfoya-foya sesuka hati, sehingga bantuan yang diberikan ibunya hampir habis. Kemudian ia menulis ke Wina, ke Adalbert Blecha, agar datang ke Dresden dan bekerja sama dengannya. Ia telah mengenal empat pemilik rumah-rumah besar yang patut dirampok. Ia juga mengirimkan rencana yang mendetail. Hal itu bisa mengumpulkan uang yang diperlukan untuk membebaskan Franz Blecha.

Di Wina Adalbert Blecha hidup dalam keadaan yang sangat miskin. Keluarganya sering harus menderita lapar. Orang seperti dia dapat saja ditarik ke mana-mana dengan uang. Tetapi oleh karena ia mengetahui tentang pembunuhan terhadap Hartmann, maka ia merupakan partner yang berbahaya bagi Hoffmann. Sebab Hoffmann telah menceritakan semuanya kepada abang temannya. Adalbert Blecha mempunyai dua buah “senjata”. Jika rencana perampokan Hoffmann tidak berhasil, ia dapat pergi ke polisi dan mengkhianatinya.

Hadiah untuk siapa yang dapat memberi tahu siapa pembunuh Paul Hartmann dari Leipzig kini sudah naik hingga 2.500 mark. Jumlah yang tidak sedikit. Dengan pengkhianatan ia tidak akan merugikan saudaranya Franz. Ia toh sudah ditahan dan tidak mempunyai harapan bebas kembali seumur hidup. Dan karena ia dinyatakan gila, maka ia juga tidak dapat disalahkan melakukan pembunuhan. Apa yang nanti terjadi pada Hoffmann, itu sama sekali tidak dipedulikan Adalbert Blecha. Ia segera setuju memenuhi permintaan datang ke Dresden, asal saja Hoffmann memberikan uang jalan.

Pada tanggal 19 Januari ia tiba di Dresden. Hoffmann sama sekali tidak menyangka bahwa Adalbert Blecha mempunyai pikiran untuk berkhianat. Ia memperlakukannya dengan ramah, diberinya uang, dan membentangkan rencananya dengan lebih terperinci. Adalbert Blecha seorang yang hati-hati. Ia tidak mempercayai si pembunuh. Oleh karena itu ia telah membawa teman dari Wina, seorang pekerja bernama Emanuel Kubicek. Hoffmann sama sekali tidak senang bahwa ada seorang lagi yang mengetahui rencananya. Blecha dan Kubicek yang agak tidak sempurna bentuk badannya, datang dengan pakaian yang compang-camping. Di jalan orang melihat dengan heran waktu Hoffmann yang berpakaian mentereng berjalan dengan kedua orang yang mencurigakan itu. Hoffmann malu pergi dengan mereka. Perbedaan terlalu menyolok. Adalbert Blecha menyatakan bahwa Kubicek sudah pernah ditahan di penjara, jadi ia termasuk dalam kelompok mereka dan dapat dipakai untuk menjalankan perampokan. Hoffmann dapat diyakinkan. Kalau perlu, begitu pikirnya, ia masih dapat membunuh Kubicek dengan racun.

Pada tiga serangkai ini masih datang orang yang keempat, yakni pembuat orgel August Schneider dari Sandau di Boehmen. Hoffmann mengenalnya pada waktu ia di Berlin. Kebetulan berjumpa kembali di Dresden dan memintanya agar ikut dalam perampokan rumah-rumah besar. Si penjahat Schneider sudah sering dihukum karena mencuri. Sama dengan Hoffmann, ia pergi kian kemari, tidak mau bekerja, dan mencuri jika ada kesempatan. Akan tetapi meskipun demikian, ia belum juga menyamai Blecha. Ia tidak mempunyai keberanian dan gairah. Ia dianggap Hoffmann sebagai pembantu yang dapat dipakai. Kini ia mempunyai gerombolan, kepalanya adalah dia dan perampokan-perampokan dapat dimulai.

Hoffmann dan Scheneider telah menjalankan pencurian yang pertama sebelum Blecha dan Kubicek datang dari Wina. Jam saku, sebuah setelan, dan 17 jilid ensiklopedia telah diperoleh. Pada tanggal 20 Januari akan diadakan pencurian bersama-sama yang menguntungkan. Di Grossen Frohngasse berdiam seorang pedagang barang-barang tua, dan di belakang meja penjualan, Hoffmann telah melihat sebuah peti uang.

Menurut rencana Hoffmann, Schneider dan Kubicek harus masuk bersama-sama dalam toko hingga lonceng toko hanya sekali berbunyi. Schneider harus segera naik ke rumah pedagang yang terletak di tingkat satu dan di situ menahannya sambil mencari-cari alasan. Kalau tidak berhasil harus dengan paksaan. Sementara itu Kubicek harus mengambil peti uang dan terus lari. Hoffmann dan Blecha akan berdiri di depan toko dan menjadi “pengawas”. Tetapi semua berjalan lain daripada yang diharapkan. Percobaan gagal. Waktu Kubicek mencari uang di belakang meja, seorang langganan masuk. Lonceng toko berbunyi. Oleh karena itu si pedagang, seorang wanita pergi ke bawah dan Kubicek tertangkap basah. Karena kebingungan, ia membiarkan Kubicek dan Schneider melarikan diri.

Kegagalan itu tidak mengecilkan hati Hoffmann. Pada hari itu juga ia menjalankan pencurian yang lain. Hoffmann telah menyewa kamar pada seorang wanita yang hidup sendiri, karena ia menyangka bahwa wanita itu mempunyai uang. Ia meminta wanita itu agar pergi menonton teater dengannya malam itu. Sementara itu Schneider masuk rumah dengan kunci Hoffmann. Blecha berdiri di depan rumah hingga barang-barang dapat diterimanya lewat jendela. Dengan linggis kecil Schneider mencongkel lemari, bufet dan semua tempat yang disangkanya dipergunakan untuk menyimpan uang. Tidak ada uang dan tidak ada perhiasan. Agar tidak pergi dengan tangan hampa, ia membawa tempat susu dari perak dan tempat gula juga dari perak serta sebuah tas tua terbuat dari kulit.

Juga sesudah kegagalan yang kedua ini, pencurian lain pun tidak berhasil. Mereka tidak beruntung selama menjalankan pencurian. Mungkin rencana Hoffmann tidak baik atau ketiga temannya tidak mampu untuk menjalankannya. Hasil-hasil kejahatan yang dilakukan tidak memenuhi apa yang mereka harapkan. Sekali mereka hanya mendapatkan bros seharga 12 mark. Di etalase sebuah toko perhiasan di Marschallstrasse, Hoffmann melihat sebuah cincin yang harganya 1.000 mark. Pencurian gagal karena kebodohan dan sikap ragu-ragu Kubicek, si bungkuk.

Pernah Hoffmann mendapat beberapa tirai dan handuk di sebuah rumah di mana ia menyewa kamar. Ia membawa semua yang dapat diambil, hanya untuk mendapatkan beberapa pfennig untuk menyambung hidup dia dan kawan-kawannya. Ia sudah tidak “layak” lagi. Percobaan mencuri di rumah seorang penjual berlian juga gagal, karena Hoffmann tidak memperhitungkan orang ketiga yang terus berada di situ.

Akan tetapi Hoffmann ingin menepati janji dan membebaskan Franz Blecha. Mereka merencanakan kejahatan yang besar.

Pembunuhan Hartmann diambil sebagai contoh dan akan dilakukan sekali lagi. Korban sekali ini adalah kepala kantor cabang Perusahaan Asuransi Magdeburg di Dresden. Hoffmann sudah mengunjunginya untuk melihat-lihat ruangan-ruangan kantor, membicarakan pembuatan asuransi dan meminta beberapa prospek. Dengan bantuan Adalbert Blecha ia akan membunuh pegawai itu dan kemudian menguburkannya dalam gudang yang sama. Kantor asuransi tadi terletak di Margaretenstrasse, dekat dengan rumah Am See 14. Jadi sebenarnya tidak ada kesukaran yang besar. Hoffmann ingin berbuat menurut contoh yang telah dicoba. Sekali lagi dibeli sebuah koper yang besar untuk tempat mayat dan sementara itu disimpan di tempat penyimpanan koper di stasiun.

Untung saja semua itu tidak sampai dijalankan. Hoffmann ditangkap karena pencurian jam, setelan, dan 17 jilid ensiklopedia. Segera sesudah itu Schneider dan Kubicek ditahan. Adalbert Blecha, yang sesudah ditangkapnya Hoffmann segera saja ingin mengkhianatinya, juga ditangkap.

Selama pemeriksaan, Schneider memberikan keterangan yang lebih jelas. Sebab juga kepada Schneider, Hoffmann sebelumnya sudah menceritakan segala detail pembunuhan di Leipzig, waktu mereka sedang menunggu di dalam rumah yang sedang dirampok. Ia menyangka bahwa Schneider tidak akan mengkhianatinya karena ia termasuk anggota gerombolan penjahat. Agaknya ia salah sangka. Schneider dengan tidak ditanya terlebih dahulu, sudah menceritakan semua yang diceritakan Hoffmann kepadanya. Hoffmann menyadari bahwa kini ia tidak mungkin mengingkari perbuatannya lagi. Ia membuat pengakuan yang mendetail. Hanya saja ia tidak mengaku bahwa ia memberi racun kepada Hartmann. Katanya Franz Blecha telah memberikan obat tidur dalam gelas bir Hartmann. Kemudian setelah Hartmann muntah-muntah, Blecha mencekiknya. Hal itu bukan rencananya, kata Hoffmann. Sebenarnya ia hanya ingin mendapatkan kunci-kunci Hartmann saja. Kematiannya tidak dikehendakinya.

Pemeriksaan Franz Blecha dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Ybbs dan dilakukan oleh hakim setempat. Pemeriksaan tidak memberikan hasil sama sekali. Blecha mengatakan bahwa ia tidak pernah pergi ke Leipzig, tidak mengenal Arno Hoffmann dan ia tidak membunuh siapa pun juga. Saudaranya Adalbert adalah seorang penipu yang sudah sejak dahulu menjadi mata-mata polisi dan kini hanya mengadu karena ingin mendapat hadiah. Sebaiknya ia jangan diganggu dengan hal yang remeh ini, karena ia tidak mengetahui apa-apa. Dan kalaupun ia mengetahui sesuatu, ia tidak akan mengatakan apa-apa juga. Tentunya ia ditutup dalam sangkar ini selama hidup dan tidak dapat mengharapkan atau mengkhawatirkan perbaikan maupun keadaan yang lebih buruk.

2 bulan sesudah itu pengadilan di Dresden memulai sidang terhadap Hoffmann, Schneider, Adalbert Blecha dan Kubicek mengenai pencurian-pencurian yang mereka lakukan di Dresden. Pada Schneider ditambahkan tuduhan bagi penipuan-penipuan yang ia lakukan sebelumnya di Leipzig. Hoffmann mendapat hukuman 7 tahun dan Schneider 4 tahun 6 bulan penjara, sedangkan Kubicek mendapat 8 bulan dan Adalbert Blecha 4 bulan penjara.

Pembunuhan pegawai asuransi Paul Hartmann yang dilakukan di Leipzig diberi ganjaran pada tanggal 22 Mei 1906. Pengadilan Dresden menjatuhkan hukuman mati kepada Hoffmann karena melakukan pembunuhan dan 12 tahun penjara karena melakukan pencurian kecil besar yang dilakukan berulang.

Hoffmann menerima keputusan. Permintaannya ialah agar ia dihukum mati dengan segera dan jangan diampuni, karena ia tidak senang dipenjarakan. Tetapi permintaan itu ditolak. Raja memberi pengampunan dan hukuman mati diubah menjadi hukuman seumur hidup.

(A. Brender)



Baca Juga: Pembunuhan Waktu Dini Hari

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553752727/paul-hartmann-hilang-tak-berbekas" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1684218160000) } } [13]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3760993" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/perampokan-di-bank-northamptonj-20230511110032.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Rumah kasir Bank National didatangi oleh perampok. Salah satu bukti yang tertinggal di tempat kejadian menuntun polisi pada seorang ahli lemari besi." ["section"]=> object(stdClass)#172 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/perampokan-di-bank-northamptonj-20230511110032.jpg" ["title"]=> string(30) "Perampokan di Bank Northampton" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 11:00:49" ["content"]=> string(48428) "

Intisari Plus - Rumah kasir Bank National didatangi oleh sekelompok perampok yang ingin merampas kunci bank. Salah satu bukti yang tertinggal di tempat kejadian menuntun polisi pada seorang ahli lemari besi. Ia diperkirakan membantu komplotan perampok itu.

---------------

Pada hari Selasa tanggal 25 Januari 1876, sekitar tengah malam, lima lelaki bertopeng, masuk sebuah rumah di Northampton, Massachusetts. Rumah itu dihuni oleh Tuan Whittelsey, kasir Bank National di Northampton. Kunci-kunci gedung bank dan kunci kombinasi yang dapat membuka gembok ruangan bank bagian bawah dipegang olehnya. 

Kelima lelaki itu diam-diam masuk ke dalam rumah, yang mereka buka dengan kunci palsu. Mereka naik ke kamar-kamar tidur, mengikat tujuh orang yang ada di rumah itu sehingga tidak dapat melawan atau berteriak. Ketujuh orang itu antara lain Tuan Whittelsey, istrinya, Tuan dan Nyonya Cutler, Nona White, Nona Benton dan seorang pembantu rumah tangga.

Dua lelaki yang masuk ke kamar tidur suami istri Whittelsey, tampaknya adalah pemimpin kelompok. Salah seorang di antaranya memakai mantel dari linen yang panjangnya melebihi lutut. Lelaki ini memakai sarung tangan dan sepatu bot dengan sol tebal. Yang seorang lagi berjas warna gelap dan memakai pelindung sepatu. Keduanya menutupi muka dengan topeng. 

Salah seorang membawa lampu teplok. Waktu mereka masuk ke dalam kamar, yang seorang pergi ke sisi kanan tempat tidur dan seorang lagi ke sisi lain. Yang seorang memborgol Tuan Whittelsey dan yang lain memborgol istrinya. Orang yang bertopeng itu membawa revolver. Di kamar-kamar tidur lain, keadaannya sama.

Para perampok itu beberapa lama berbisik-bisik, kemudian mereka memerintahkan kelima wanita untuk berdiri dan memakai pakaian. Waktu itu pergelangan kaki dan tangan mereka diikat dan mereka dibawa ke sebuah kamar yang sempit. Mereka ditunggui oleh salah seorang anggota kelompok.

Tuan Cutler diperlakukan demikian juga. Sesudah itu, kedua pemimpin menyibukkan diri dengan Tuan Whittelsey. Mereka mengatakan dengan polos bahwa mereka menginginkan kunci-kunci bank dan kombinasi kunci ke bagian bawah bank. Jika ia tidak mau memberikan, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Whittelsey menyatakan bahwa tidak ada gunanya mencoba merampok bank. Ia tidak akan memberikan kunci-kunci sedangkan gembok-gemboknya sangat pelik. Lelaki yang memakai mantel mengangkat bahu dan berpendapat bahwa hal itu masih harus ia periksa kebenarannya.

Tuan Whittelsey kemudian dibawa turun tangga dan sekali lagi diminta untuk memberikan kunci-kunci. Tuan Whittelsey tidak mau. Lelaki yang memakai pelindung sepatu memasukkan tangan ke dalam saku kasir dan menarik keluar sebuah kunci. 

“Inikah kuncinya?” tanyanya.

“Ya,” kata kasir. Ia berharap bisa mengulur waktu. 

“Anda berdusta,” kata si perampok. Ia mencoba membuka pintu rumah dengan kunci tadi dan pintu terbuka.

“Jangan digarap dulu,” kata yang seorang. “Ia sakit.” Lalu ia bertanya pada Tuan Whittelsey, apakah kasir itu mau seteguk konyak. 

Tuan Whittelsey menggelengkan kepala.

Si lelaki dengan mantel kini sedikit demi sedikit bertanya tentang kombinasi kunci bagian bank yang berada di bawah tanah. Tuan Whittelsey memberikan beberapa angka untuk pintu luar. Si perampok mencatat angka-angka di secarik kertas. Dan kemudian meminta kombinasi untuk pintu dalam. Kasir sekali lagi menyebutkan beberapa angka. 

Waktu si perampok juga sudah menuliskannya, ia mendekati Tuan Whittelsey dan bertanya, “Anda bersumpah bahwa angka-angka itu benar?”

“Ya,” jawab Tuan Whittelsey. 

“Sekali lagi Anda berdusta. Jika angka-angka itu benar, maka ulangilah.”

Kasir tidak dapat berbuat demikian, maka ketahuanlah bahwa itu bukan angka-angka yang dimaksudkan.

“Dengarkan, Nomor Satu,” kata seorang perampok pada temannya, “kita kehilangan waktu. Kita harus menghajarnya agar jangan berdusta kembali.”

Serta-merta ia memukul Tuan Whittelsey dengan ujung pensil sehingga terjadi goresan berdarah. Lalu ia memukul perut pria yang diikat itu. “Kini mau berkata benar?”

Kasir tetap diam. Kedua perampok ini menjewer telinga, mencekik leher, melemparnya ke lantai, dan duduk di atas dadanya. Penganiayaan ini lamanya 3 jam. Lebih dari sekali si jahanam-jahanam itu meletakkan revolver di pelipis korban dan mengancam akan menembaknya, jika ia tidak mau mengaku. Akhirnya kasir tunduk. Sakitnya tidak tertahankan. Sekitar jam 4 pagi Whittelsey, yang dianiaya dari kepala sampai ke kaki, tidak melawan lagi. Ia memberikan kunci-kunci dan menyebutkan kombinasi yang benar dari pintu-pintu bagian bawah gedung.

Para perampok segera pergi, meninggalkan temannya di situ menjaga korban yang diikat. Seorang dari kelompok itu masih sempat mengambil jam emas dengan rantai dan 14 dolar dari pakaian Tuan Whittelsey. Yang terakhir dari penjahat-penjahat masih tinggal di situ sampai jam 6 pagi dan kemudian juga pergi. Sejam kemudian, Tuan Whittelsey berhasil membuka borgolnya.

Ia pergi ke bank. Tidak lama sesudah jam 7 ia sampai di sana. Ia menemukan bagian bawah gedung terkunci dan angka-angka jam pengaman rusak. Oleh karena itu, ia tidak mungkin segera menentukan berapa yang sudah dirampok, terjadi perampokan atau tidak. Harus didatangkan seorang ahli dari New York dahulu, sebelum pintu-pintu lemari baja bisa dibuka. Akhirnya pintu terbuka dengan susah payah jauh malam hari, 20 jam sesudah perampokan. Terbukti bahwa para perampok sangat berhasil. ¼ juta dolar dalam bentuk uang dan kertas-kertas berharga telah dirampok.

Para petugas polisi tadinya tidak mempunyai perkiraan siapakah yang menjalankan perampokan. Meskipun perampok itu telah meninggalkan berbagai bukti seperti lampu teplok, topeng, martil, dan sepatu. Mereka telah lolos dengan lihai, selihai menjalankan perampokan. Jerih payah para petugas polisi dan detektif tidak membawa hasil. Presiden bank bersedia mengeluarkan hadiah 25.000 dolar jika ada yang berhasil menangkap perampok dan mengembalikan barang-barang nasabah. Akan tetapi tidak ada satu pun yang ditemukan.

Baru beberapa bulan kemudian, Kantor Detektif Pinkerton dimintai bantuan. Para detektif mulai mempelajari semua keterangan yang diperoleh dari direktur-direktur bank dari orang-orang yang menyatakan kehilangan surat-surat berharga. Keterangan yang pertama tiba di New York kira-kira sebulan sesudah perampokan. Keterangan itu berupa surat yang ditulis tangan akan tetapi dengan huruf cetak, sehingga tidak dapat diambil ketentuan-ketentuan dari cara menulis. Isinya demikian:

Tuan-tuan yang terhormat, jika Anda sekalian telah jemu memikirkan kemampuan para detektif, maka Anda dapat menghubungi kami, pemilik surat-surat berharga. Dan jika Anda berpikiran luas, maka mungkin kita dapat bekerja sama. Kalau Anda setuju dengan saran kami, maka pasanglah iklan di surat kabar New York, Herald. Alamatkan kepada XXX dan tandai dengan “Rufus”. Agar membuktikan bahwa kami memiliki surat-surat berharga, kami mengirimkan dua lembar pada Anda.”

Tidak ditandatangani 

Surat ini tadinya sengaja tidak diperhatikan, meskipun dilampirkan dua surat obligasi yang sudah tidak salah lagi berasal dari simpanan bank. Iklan tidak dipasang. Masih menyusul tiga surat dengan isi sama dan salah sebuah surat ini dijawab bank dengan hati-hati. Datanglah balasan berbunyi begini: 

New York, tanggal 20 Oktober 1876

Tuan-tuan yang terhormat. Karena Anda menanggapi surat kami dengan baik, maka kini kami akan menyebutkan harga pengembalian surat-surat. Surat-surat pemerintah dan uang tidak dapat dikembalikan. Akan tetapi yang Iain-lain, obligasi-obligasi dan semua surat, sampai dokumen yang terkecil akan dikembalikan dengan imbalan 150.000 dolar. Jika Anda setuju dengan jumlah ini, maka kami akan mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan perjanjian. Segera sesudah pembicaraan permulaan mengenai penyelesaian yang dijamin, maka Anda akan memiliki surat-surat itu kembali. Jika Anda setuju dengan harga ini, iklankanlah di surat kabar yang terbit di New York Herald, di bawah iklan-iklan keluarga dengan kode “Agatha”. 

Wasalam, 

Rufus

Surat ini bagi para detektif penting karena memberi petunjuk tentang kelompok mana, yang waktu itu “bekerja” di Amerika, yang melakukan kejahatan itu. Robert Pinkerton, pemimpin Kantor Detektif Pinkerton, tahu cara kerja kelompok-kelompok ini, sehingga dari keterangan yang seakan-akan tidak berharga, dapat ditarik kesimpulan penting. la mengetahui, bahwa kelompok yang dipimpin James Dunlop cenderung mau mengembalikan surat-surat berharga dengan cara yang seenaknya. Sebab Dunlop mempunyai prinsip menyimpan sendiri hasil perampokannya selama mungkin hingga orang mulai melupakan perampokan itu. Akan tetapi kelompok lain, yang dipimpin Jimmy Hope, “Worchester Sam” dan “George Bliss”, mungkin sudah membagi-bagi hasil pada anggota kelompok. Tujuannya agar mereka itu puas, barulah mencoba untuk membuat kompromi pembagian yang Iain-lain.

Suatu hal yang sangat menarik perhatian menurut Pinkerton adalah perhatian yang diberikan seorang yang bernama J.G. Evans pada perkara ini. Evans ini adalah wakil salah sebuah pabrik lemari besi yang besar. Ia juga ahli dalam hal lemari uang dan tempat penyimpanan uang di bank-bank. Sehari sesudah perampokan, Evans berada di Bristol karena mengerjakan sesuatu untuk perusahaannya. Segera sesudah pabrik itu mendengar tentang perampokan, mereka mengirim telegram ke Evans agar ia pergi ke Northampton. Di kota itu ia tidak menarik perhatian orang lain, karena selama bulan-bulan sebelum perampokan terjadi ia sudah sering berada di sana untuk mengontrol apakah kunci-kunci bank berfungsi. 

Yang menarik perhatian adalah Evans menaruh perhatian khusus perihal pelaksanaan kompromi pengembalian surat-surat berharga. Berkali-kali ia membicarakan perampokan dan cara masuk para perampok dengan presiden dan para petugas bank lainnya. Ia dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia dapat membantu mengembalikan surat-surat berharga. Beberapa bulan sesudah perampokan, ia malah menceritakan kepada direktur bahwa ia dapat membeberkan siapa-siapa yang tersangkut dalam perampokan.

Gejala menarik perhatian orang sewaktu akan diadakan perundingan, dianggap Pinkerton sebagai gejala yang penting. Sebab telah terdengar desas-desus bahwa serentetan perampokan bank yang baru-baru itu telah terjadi di beberapa bagian di Amerika, berhasil karena dibantu oleh seorang ahli dalam bidang lemari uang dan kunci-kunci pengaman. Ahli ini karena kedudukannya dapat menunjukkan pada para perampok di mana letaknya bagian-bagian lemah pada kunci-kunci dan menemukan rahasia lemari-lemari uang. 

Desas-desus ini tadinya hanya diceritakan begitu saja. Orang tidak berani untuk terang-terangan menyebutkan nama. Akan tetapi memang benar, bahwa si ahli yang berkhianat itu mempunyai kedudukan yang penting dan dianggap tidak dapat diganggu gugat dalam pekerjaannya. Juga diceritakan perampok kelompok lain iri hati karena kelompok yang bekerja sama dengan seorang ahli itu, berhasil sekali. Dikatakan bahwa beberapa pemimpin kelompok telah mencoba untuk menggaet sang ahli agar menyeberang ke mereka.

Pinkerton berkesimpulan bahwa kelompok yang dibantu itu adalah kelompok Dunlop. la juga berkeyakinan bahwa kelompok inilah yang menjalankan perampokan di Northampton. Hal ini sudah merupakan alasan untuk menaruh perhatian khusus pada si ahli lemari besi Evans.

Waktu mempelajari perampokan bank yang baru-baru terjadi, Pinkerton ingat akan perampokan yang sejenis, yang terjadi kira-kira setahun sebelumnya. Waktu itu Bank Nasional Pittson di Pennsylvania dirampok sebesar 60.000 dolar. Pinkerton segera berada di tempat itu untuk menyelidiki kejadian. Di sana ia bertemu dengan beberapa ahli lemari besi, yang selalu dijumpainya di tempat-tempat perampokan besar terjadi. Mereka menawarkan lemari besi baru untuk mengganti yang telah dirusak oleh para perampok. 

Di bagian bawah Bank Nasional Pettson, masih tersebar reruntuhan yang disebabkan oleh ledakan. Salah seorang wakil dari sebuah pabrik lemari besi mengangkat pompa kecil yang telah dipakai oleh perampok. Ia meneliti alat itu baik-baik dan mengatakan bahwa ia bersedia bersumpah, bahwa pompa ini milik perusahaannya. Hal ini tentu tidak mungkin, karena menurut ahli tadi, pompa ini baru saja dirancang untuk suatu maksud tertentu. 

Waktu itu tuan Pinkerton menyangka bahwa itu hanya kebetulan saja. Akan tetapi kini ia ingat bahwa ahli yang mengatakan demikian itu bekerja pada perusahaan di mana Evans bekerja.

Mereka memutuskan untuk menginterogasi Evans. Tidak mungkin, bahwa Evans mencoba mendapatkan kembali surat-surat berharga karena memikirkan nasib para nasabah yang dirugikan oleh perampok. Ia pun sudah curiga bahwa ia diperlakukan tidak adil dalam hal ini. Oleh siapa ia diperlakukan demikian, tidak mau diungkapkannya. Para detektif yang sudah berpengalaman melihat bahwa Evans agak ragu-ragu dan bingung.

Kini George H. Bangs, detektif utama di kantor Pinkerton, seorang yang pandai benar memancing pengakuan dari tersangka, berbicara dengan Evans. la menerangkannya bahwa Scott dan Evans telah berminggu-minggu diamat-amati. Polisi setiap saat dapat menangkap mereka. Para detektif mempunyai bahan bukti yang lengkap untuk mengungkapkan semuanya. Mereka mengetahui dengan pasti bahwa perampokan dilakukan oleh kelompok Dunlop dan Scott. Juga bahwa Evans telah menjadi pembantu mereka. Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa kelompok itu ingin mengkhianatinya dan tidak ragu-ragu mengorbankannya. 

Evans hanya dapat memilih satu di antara dua. Ia dapat melapor dan ditangkap karena perampokan bank, kemudian mendapat 20 tahun hukuman penjara. Atau ia dapat menyelamatkan diri dan mendapat jumlah uang yang tidak sedikit, jika membuka rahasia perihal peranannya dalam perampokan. 

Meskipun hal-hal itu hanya dugaan belaka, Bangs mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Evans tidak tahan. Ia terjerat dan mengaku, serta menceritakan semua yang diketahuinya.

Pertama Evans mengaku bahwa perampokan di Northampton dilakukan oleh Scott, Dunlop, dan kawan-kawan. Untuk menerangkan hubungannya dengan kelompok yang jahat ini ia menceritakan hal ihwal di masa lalu.

Pemimpin kelompok adalah James Dunlop alias James Barton. Sebelum menjadi perampok bank, ia adalah seorang pegawai perusahaan kereta api di Chicago-Anton dan St. Louis. Ia tertarik untuk mencari tempat-tempat berkumpul pencuri dan tempat bersembunyi perampok. Ia berjumpa dengan Johnny Lamb dan seorang lelaki bernama Perry. Mereka senang padanya dan mengajarkan bagaimana membuka lemari-lemari besi. Segera keahlian Dunlop melebihi gurunya. Ia berkembang menjadi organisator ulung dan perampok yang paling ditakuti. Bahkan Jimmy Hope, perampok tersohor dari Bank Manhattan menghormatinya. 

Dunlop dianugerahi pemikiran yang lihai dan ketahanan nenek moyangnya yang berasal dari Skotlandia. Ditambah, ia memiliki daya tahan Amerika. Ia mengorganisir perampokan yang paling berbahaya dan teknisnya paling sempurna yang pernah terjadi di Amerika.

Tangan kanan Dunlop adalah Robert Scott, yang juga dinamakan “the hustling Bob”. Ia sebelumnya bekerja sebagai pelaut di sebuah kapal Sungai Mississippi lalu menjadi pencuri di hotel-hotel. Scott seorang yang sangat kekar dan ulet.

Di antara pengikut mereka terdapat seorang pencuri profesional dari Kanada yang bernama James Greer. Juga John Leary yang tersohor dengan sebutan Leary si Merah. Dalam kelompok mereka masih ada beberapa orang yang bekerja sebagai penjaga, perantara, ataupun hanya sebagai pembawa barang saja.

Perampokan pertama yang mereka jalankan adalah perampokan di Bank City di Louisville. Hasil rampokan 200.000 dolar. Perampok bisa lolos dengan hasil rampokannya. Sebagai permulaan hasil itu sangat memuaskan mereka. Akan tetapi Dunlop dan Scott memimpikan perampokan-perampokan yang lebih hebat. Mereka mengadakan penelitian di beberapa negara bagian. Tujuannya untuk mengetahui di mana ada bank-bank yang mempunyai tempat penyimpanan yang tidak begitu kuat dan kuno, serta banyak menyimpan harta. 

Akhirnya John Leary menemukan yang dicarinya. Di Bank Nasional Kedua di Elmira, di negara bagian New York, yang digunakan pemerintah sebagai bank deposit, tersimpan 200.000 dolar uang kontan dan 6.000.000 dolar dalam obligasi.

Pemeriksaan setempat yang berkali-kali dilakukan oleh kelompok memberikan kepastian yang memuaskan. Meskipun dikelilingi oleh tembok-tembok tebal dan kunci-kunci yang pelik konstruksinya, bagian bawah bank sama sekali tidak sukar dicapai. Di tingkat atas bank, terletak ruangan-ruangan “Perkumpulan Pemuda Kristen.” Salah sebuah dari ruangan mereka ini tepat di atas tempat penyimpanan. Di antara kedua tingkat, ada papan-papan dan semen yang tebalnya 1,3 meter, beberapa bagian beratnya lebih dari satu ton. Di bawah semen itu masih ada selapisan rel kereta api, yang diletakkan di atas papan baja yang tebal. Semua itu tidak membuat perampok putus asa, malahan memberikan mereka dorongan. Pasalnya, penjagaan gedung tidak begitu diperhatikan. Yang paling sukar adalah masuk ke dalam ruangan-ruangan “Perkumpulan Pemuda Kristen” tanpa menarik perhatian.

Sekretaris “Perkumpulan Pemuda Kristen” ini seorang pemuda yang hati-hati. Pada pintu luar ruangan perkumpulan, ia memasang sebuah kunci Yale. Itu adalah jenis kunci yang tergolong baru dan pencuri yang mencoba mencongkelnya, tidak berhasil. Baik Dunlop maupun Scott, juga yang Iain-lain tidak mampu membuka kunci tanpa merusakkan pintu. Hal itu akan membahayakan mereka. Berhari-hari kunci ini, yang dipasang pada sebuah pintu kayu, memusingkan mereka. Meskipun semua detail lain telah dibicarakan. Akhirnya Dunlop dan Scott menemukan jalan keluar. Mereka masuk ke rumah si sekretaris. Mereka mencari di saku-saku pakaiannya, mengharapkan menemukan kunci di dalamnya, agar dapat membuat tiruan. Akan tetapi juga di sini sang sekretaris berhati-hati. Ia menyembunyikan kunci di bawah permadani dan para pencuri tidak ingat mencari sampai ke situ. Dengan kecewa mereka keluar lagi tanpa membawa apa-apa. Hal ini mengherankan sekretaris yang lugu. Karena ia melihat bekas-bekas pencuri membobol, akan tetapi tidak ada barang yang hilang.

Kunci Yale masih saja merupakan sesuatu yang belum teratasi. Kemudian Perry pergi ke New York. Ia mengharapkan agar dapat mengumpulkan keterangan tentang bagaimana membuka kunci-kunci Yale. Dalam pencariannya, ia berkenalan dengan Evans. 

Pada waktu itu Evans menjadi seorang penjual pada sebuah perusahaan lemari besi yang terkenal. Sebelum menjadi pegawai, ia pernah memiliki usaha sejenis di Kanada. Di Kanada ia dianggap sebagai seorang kaya yang tiada cela. Ia mempunyai hubungan luas dengan bagian selatan Amerika dan dapat saja mengambil kredit-kredit besar. Perang saudara memungkinkannya untuk tidak membayar utang lagi. Ia sangat lihai menangani kebangkrutannya. Ia kemudian tunggang-langgang meninggalkan Kanada. Bagaimanapun, ia akhirnya dapat membereskan urusannya dengan penagih-penagihnya.

Sesudah pergi dari Kanada, Evans tinggal di New York. Di sana ia menjalankan cara hidup yang jauh melampaui penghasilannya. Ia menyukai kuda balap. Perry pertama mendengar tentang Evans dari seorang yang bernama Ryan, yang tahun-tahun sebelumnya diketahui menjadi seorang pencuri dan yang kini mempunyai kandang kuda yang dapat di sewa di kota. Sebenarnya kandang kuda sewaan ini hanyalah tempat untuk menjual kuda-kuda yang sudah jelek mutunya. Kuda itu dibuat “sehat” dengan obat-obatan, untuk mengelabui pembeli. Evans tidak mengetahui apa-apa tentang hal itu. Ia telah menyimpan salah seekor kudanya di tempat Ryan. Hal ini menyebabkan adanya hubungan dekat antara Ryan dan dia. Atas anjuran Perry, Ryan terus mendorong Evans untuk hidup melampaui batas.

Tidak lama kemudian, Evans terjerat dalam kesukaran uang. Ia meminjam uang dari Ryan dan tidak mampu membayar kembali. Ia juga tidak mampu membayar sewa tempat menyimpan dan makanan kuda. Akhirnya ia ingin menjual kudanya dan mengeluh bahwa ia kekurangan uang. Lalu Ryan menyatakan, “Jika saya di tempat Anda, saya tidak pernah akan kekurangan uang.”

Evans bertanya apa yang dimaksudkan Ryan. 

“Ada beberapa orang yang akan membayar banyak, jika Anda memberikan pengetahuan Anda tentang lemari-lemari besi dan bank,” kata Ryan.

Sedikit demi sedikit Ryan berbicara lebih jelas. Evans tidak mau mendengarkannya. Sementara itu Evans makin lama makin terjerat dan pada suatu hari ia berkata, “Apakah yang sebenarnya ingin diketahui oleh orang-orang itu?”

“Mereka ingin mengetahui cara untuk membuka kunci-kunci Yale yang baru itu,” jawab Ryan.

“Dengan sebuah Dietrich memang tidak bisa dibuka, terlampau lama. Akan tetapi ada cara lain untuk membukanya.” 

“Bagaimana?”

“Kita akan membicarakan hal itu lain kali.” 

Tidak lama kemudian Evans benar-benar terjebak. la berkenalan Perry. Perry segera menerangkan bagaimana mudahnya seorang yang mengetahui seluk-beluk pembuatan lemari besi dapat mengumpulkan uang, tanpa terlibat bahaya.

“Dengan kami, Anda akan mendapat lebih dalam semalam saja, dibandingkan dengan setahun kerja pada pabrik lemari besi,” kata Perry.

Dengan bayaran 50.0000 dolar, Evans akhirnya mau memberikan alat untuk membuka kunci Yale. Kunci yang menghalangi mereka untuk mendapat harta yang diinginkan.

Perry kembali ke Elmira dan mengabarkan kepada Dunlop dan Scott tentang keberhasilannya. Agar dapat mendatangkan Evans dengan jalan yang tidak menarik perhatian ke Elmira, maka mereka menyurati perusahaan. Mereka menuliskan bahwa di Elmira ada yang membutuhkan lemari-lemari besi. Segera Evans diutus ke sana. Di Rathbone House, tempat ia menginap, ia sudah ditunggu oleh Scott, yang membuat rencana dengannya.

Pada malam hari, Scott akan memasang sebilah kayu tipis dalam kunci Yale hingga kunci tidak jalan. Kehadiran Evans sudah diketahui di kota dan tentunya yang berkepentingan akan memanggilnya sebagai seorang ahli dalam kunci-kunci yang pelik. Pada kesempatan itu ia akan mengambil tiruan dari kunci. Rencana berhasil. 24 jam kemudian, perampok sudah berhasil masuk ke dalam ruang “Perkumpulan Pemuda Kristen”. Mereka keluar masuk tanpa kesukaran dan tanpa diketahui orang bahwa mereka berada di situ.

Kini hanya tinggal masuk ke dalam bagian bawah bank. Ini suatu pekerjaan yang sukar. Kehadiran seluruh kelompok di Elmira diperlukan. Keadaan ini tidak boleh menarik perhatian. Untuk maksud ini maka datanglah seorang wanita dari Baltimore, yang pada perampokan yang terdahulu sudah ada hubungan dengan kelompok ini. Ia menyewa sebuah rumah di pinggiran kota. Rumah itu ditatanya dengan sederhana. Di ruangan-ruangan rumah, tinggallah Scott, Dunlop, Leary si Merah, Conroy, dan Perry. Selama siang hari mereka tidak pernah keluar rumah dan malam hari mereka demikian hati-hati keluar rumah. Tidak seorang pun mengetahui kehadiran mereka, meskipun mereka di situ 6 bulan lamanya.

Setiap malam mereka berkumpul di ruangan-ruangan “Perkumpulan Pemuda Kristen”. Mereka membuka ruangan dengan kunci tiruan dan tinggal berjam-jam di situ. Gerak-gerik mereka sewaktu bekerja membuat terowongan ke dalam gedung bank begitu hati-hati dan dipikirkan dengan matang. Ini membuat tidak seorang pun menyangka mereka berada di dalam gedung. 

Setiap malam permadani dan lantai dibongkar. Setiap pagi dikembalikan dengan teliti, segera sesudah kelompok berhenti dengan pekerjaan membongkar. Reruntuhan dan batu-batu berat dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang dan dibawa ke atap gedung opera yang berdampingan dengan gedung bank. Di atas atap yang lebar semua diratakan, hingga tidak ada bahaya bahwa reruntuhan itu ditemukan. Begitulah kelompok bekerja bergiliran. Akhirnya rel-rel kereta api berhasil disingkirkan. Kelima lelaki itu kini hanya terpisah dari bagian bawah bank oleh lapisan baja saja. Keberhasilan sudah dekat. Tapi suatu hal yang tidak diperhitungkan terjadi dan semua terbongkar.

Presiden bank, Mr. Pratt, menemukan debu halus waktu masuk ke bagian bawah bank. Tanda bahaya. Segera diadakan penyelidikan cermat. Terowongan di atas ditemukan. Anggota kelompok menyadari apa yang terjadi dan melarikan diri, kecuali Perry. la ditangkap waktu hendak melihat apakah semuanya aman. la dihukum 5 tahun penjara karena mencoba merampok. 

Akan tetapi anggota kelompok tidak putus asa karena pukulan ini. Scott dan Dunlop mencari bank yang lain, yang sesuai bagi rencana mereka. Tidak lama kemudian, keduanya dapat mengabarkan kepada kelompok mereka bahwa di Quincy, Illinois, mereka menemukan “pekerjaan” baru.

Perampokan di Quincy dikerjakan dengan cara yang sama seperti di Elmira. Wanita dari Baltimore, sekali lagi menyewa rumah yang digunakan untuk tempat tinggal kelompok. Dengan kunci-kunci tiruan, mereka masuk ke dalam ruangan di atas bank. Lantai setiap malam dibongkar, tanpa menarik perhatian, dan dikembalikan lagi. Reruntuhan diangkut, lapisan baja dibor. Akhirnya pada suatu malam, Scott dan Dunlop dapat masuk melalui terowongan yang sempit ke dalam lemari baja.

Kini lemari-lemari besi di bagian bawah harus dibuka. Pada waktu ini perampok menggunakan pompa udara, untuk pertama kali dalam sejarah pembongkaran lemari besi Amerika. Cara yang ditemukan Evans dan diajarkan kepada Scott serta Dunlop, dimanfaatkan benar-benar.

Pada perampokan bank di Quincy, Evans tidak hadir. la tidak ada pekerjaan lain, selain memberikan pompa udara dan alat-alatnya. Pertama semua lubang di lemari besi ditutup. Hanya di bagian atas dan bagian bawah ditinggalkan lubang kecil. Pada lubang yang atas, Scott memasukkan corong yang diisi dengan bubuk halus, sedangkan pompa udara diletakkan Dunlop dibagian bawah. Karena sedotan maka bubuk halus masuk ke dalam semua lubang-lubang pintu lemari besi. Kemudian sebuah pistol kecil yang diisi dengan bubuk disambungkan ke lubang atas. Pelatuknya dihubungkan sebuah tali agar dapat ditarik dari kejauhan sehingga tidak membahayakan. Beberapa kali dicoba, terjadilah ledakan yang sempurna. Lemari-lemari besi terbuka. Perampok lari dengan 120.000 dolar uang kontan dan 700.000 dolar dalam bentuk kertas-kertas berharga.

Uang tunai tidak ditemukan kembali. Mereka juga tidak bisa menemukan anggota kelompok. Kertas-kertas berharga kemudian dibeli kembali oleh bank. Semuanya dikerjakan demikian lihainya, hingga tidak ada prasangka sedikit pun pada Scott, Dunlop, ataupun anggota kelompok lainnya.

Kali ini kelompok dengan mudah mendapat uang. Tentu mereka menyangka akan mendapat lebih dengan cara yang sama. Selama musim panas Scott dan Dunlop hidup mewah di New York. Mereka menarik perhatian di Coney Island, di mana mereka melarikan kuda balap. Tetapi tidak seorang pun menyangka bahwa mereka adalah pemimpin dari kelompok perampok kuda yang berani, yang pernah bergerak di negara mana pun.

Pada akhir tahun, uang mereka berkurang. Mereka pun mencari objek baru. Pada perampokan di Quincy, mereka tidak memenuhi janji pada Evans dan hanya membayar sedikit untuk saran-saran dan pompa udara. Kini mereka mencari Evans lagi. Dengan ancaman tapi juga dengan janji muluk, mereka memaksanya bekerja untuk mereka kembali. Serentetan perampokan yang dicoba tidak berhasil. Dalam beberapa kesempatan, rintangan datang justru pada waktu mereka menyangka sudah akan berhasil.

Di Covington, mereka memakai nitrogliserin untuk membuka lemari besi. Akan tetapi ledakan demikian dahsyatnya hingga perampok terkejut dan melarikan diri. 200.000 dolar uang kertas dan 1,5 juta dolar kertas-kertas berharga ditinggalkan di lemari besi yang diledakkan.

Di Rockville tadinya semua berjalan sesuai dengan rencana. Sebuah terowongan dibuat dengan susah payah dan atap tempat penyimpanan dibongkar, tinggal selapisan batu bata yang tipis. Scott meneroboskan besi melalui lubang atap ruangan bagian bawah, alat ini terlepas dan masuk ke dalam terowongan ke bagian bawah. Karena terlampau lambat untuk menyelesaikan pekerjaan di malam itu juga, dan tentu linggis akan menarik perhatian di ruangan bawah, pekerjaan ditinggalkan.

Petualangan yang istimewa, dialami kelompok waktu mereka merampok Bank First National di Pittston, Pennsylvania. Gedung bank bertingkat satu dengan atap dari tembaga. Perampok menentukan untuk masuk dari atap. Kesulitannya ialah jika waktu mulai bekerja hujan turun, air akan masuk melalui lubang dan dapat membuka rahasia.

Jadi setiap malam mereka mengembalikan lapisan-lapisan tembaga sesudah bekerja dan mengecat sambungan dengan meni yang sama warnanya dengan atap. Mereka demikian berhati-hati mengecat meni, sehingga tidak setetes air pun yang masuk. Meskipun pada hari sesudah dimulai pekerjaan, hujan turun dengan lebat. 

Pada malam tanggal 4 November 1875, selapisan batu bata saja menghalangi mereka sampai ke bagian bawah bank. Mereka memutuskan untuk menghentikan penerobosan dan merampok malam itu juga. 2 jam bekerja keras dengan alat-alat berat, cukup untuk membuat lubang. Scott dan Dunlop dimasukkan ke dalam. Mereka menemukan tiga buah lemari besi Marvin yang dilengkapi dengan sirene anti pencuri. Dunlop berpengalaman sebagai seorang ahli listrik. la mengelilingi sirene dengan papan-papan berat, hingga suaranya hanya terdengar samar-samar. Akan tetapi dalam meledakkan lemari besi, mereka mengalami banyak kesulitan. Lemari yang pertama baru pada ledakan kedua terbuka dan mereka dapat mengambil 500 dolar uang tunai dan 60.000 dolar surat-surat berharga. Lemari kedua, lebih-lebih menyusahkan. Sepuluh kali meledakkan baru berhasil.

Waktu pekerjaan selesai dan mereka hendak mengambil jumlah uang yang cukup besar, ada peringatan dari Conroy, yang mengintai di atap. Mereka harus melarikan diri.

Dunlop dan Scott harus ditarik oleh kawan-kawan mereka dari terowongan. Terbukti bahwa mereka tidak bisa berjalan lagi. Selama ledakan 12 kali di bagian bawah, mereka tidak meninggalkan tempat dan hanya menyembunyikan diri di dekat papan-papan yang mengelilingi sirene. Mereka hanya berada sejengkal dari ledakan-ledakan yang begitu dahsyat hingga lapisan-lapisan baja terangkat dan seluruh gedung berguncang. Akan tetapi yang lebih mengganggu, adalah gas yang dihasilkan, yang terjadi waktu ledakan dan dihirup oleh Scott dan Dunlop. Waktu mereka keluar, pakaiannya bagai kain lap yang bisa diperas. Mereka begitu lemah sehingga kakinya bergetar dan kawan-kawan harus mengangkat mereka. Meskipun demikian, mereka masih sempat pergi hampir 50 kilometer sampai ke Lehigh, di mana mereka naik kereta api sampai ke New York.

Pada perampokan ini, mereka telah meninggalkan pompa udara yang kemudian diingat oleh Robert Pinkerton. Hal ini merugikan Evans. 

Dalam pengakuannya, ia menyatakan bahwa kelompok telah merencanakan perampokan ini beberapa bulan sebelumnya. Tadinya mereka ingin merampok Bank First National, di mana Evans sedang membuatkan pintu-pintu besi dan beton. Rencana ini kemudian dibatalkan. Karena Evans dipercayai sepenuhnya oleh para pegawai dari Bank Northampton, ia dapat sering mengunjungi bank. Sehingga ia bisa mendapat kabar yang berharga bagi kawan-kawan. Karena pengaruhnya, para direktur memutuskan memberikan seluruh kombinasi pada kasir Whittelsey yang dulunya hanya mengetahui separuh saja, sedangkan yang sebagian diketahui oleh seorang wakil direktur.

Pada malam perampokan, Evans berada di New York. Akan tetapi 2 hari kemudian, ia pergi lagi ke Northampton. Di situ ia untuk pertama kali sadar betapa banyak kerugian yang harus diderita oleh para nasabah yang tidak bersalah karena para perampok itu. Dan kesadaran inilah yang menyebabkannya untuk mencoba mendapatkan kembali surat-surat berharga.

Waktu ia kembali ke New York, ia mencari hubungan kembali dengan Scott dan Dunlop melalui iklan di Herald. Dan selama bulan Februari, ia telah bertemu beberapa kali dengan mereka. Sementara mereka berunding untuk mengembalikan surat-surat berharga, perampok mencurigai Evans. Mereka bermaksud untuk mengurangi bagiannya pada hasil perampokan, dan berbuat sedemikian rupa, seakan-akan mereka menyetujui langkah-langkah yang diambil Evans untuk mencapai suatu kompromi dengan bank. Saling mencurigai itu sudah tidak bisa dihilangkan lagi. Waktu pada suatu hari Evans berjumpa dengan Scott di Propect Park, ia berkata, “Kapan Anda memberikan bagian saya?”

“Anda tidak akan mendapat seperak pun,” jawab Scott, “Anda telah mengkhianati kami.”

Sesudah pertemuan ini, mereka tidak saling berjumpa sementara waktu. Evans mencoba dengan sia-sia untuk “berdamai”, berbulan-bulan lamanya. Bulan demi bulan berlalu. Ia melihat bahwa bahaya makin mengancam. Ketakutannya bertambah. Pada tanggal 9 November ia kebetulan berjumpa dengan Scott, Dunlop, dan Leary si Merah, di perbatasan Brooklynn. Tercetus pertengkaran yang hebat. Mereka saling menyalahkan. Evans dalam keadaan bahaya.

Segera sesudah percakapan ini, maka Evans yang kecewa itu berhasil dikorek detektif Bangs. Ia mencoba menyelamatkan diri dengan mengaku terus terang. la sama sekali tidak merasa bersalah berbuat demikian. Pasalnya ia mengetahui bahwa pada perampokan yang terdahulu di Quincy, ia ditipu oleh Scott dan Dunlop. Ia menyatakan bahwa kelompok ini dalam minggu-minggu sebelum perampokan di Northampton, telah bersembunyi di tingkat atas sebuah gedung sekolah yang terletak 15 atau 20 meter di samping jalan dan agak jauh dari rumah-rumah lain.

Keterangan Evans ternyata benar. Di tingkat atas ditemukan selimut, tas-tas dari linen, bor, penarik botol, bahan makanan, dan juga sebotol whisky. Sesudah mereka merampok bagian bawah bank, perampok memasukkan uang dan surat-surat berharga ke dalam karung dan ditaruh di dalam sarung bantal. Semua itu disembunyikan di gedung sekolah. Salah satu tempat persembunyian ditemukan di bawah mimbar tempat terletak meja guru. Yang kedua di belakang papan tulis. Hampir 2 minggu lamanya tersembunyi harta sebanyak 2 juta dolar di dalam gedung sekolah, tanpa diketahui seorang pun. Guru setiap hari berdiri di atas beberapa ratus ribu dolar, murid-murid menuliskan soal hitungan di atas papan tulis, yang menyembunyikan sisa perampokan.

Hasil perampokan lama disimpan di situ, karena semua orang yang tampaknya asing di stasiun-stasiun dan juga di jalan akan diperiksa dengan sangat teliti, kata Evans. Akhirnya Scott membeli gerobak yang ditarik dua kuda dengan harga 900 dolar. Bersama Jimmy Brady, ia pergi dari Springfield ke Northampton. Mereka dapat menaruh hasil perampokan di atas gerobak, namun kemudian sukar untuk maju. Seekor kuda pincang dan Brady jatuh ke dalam tempat sampah yang dilaluinya. Kecelakaan ini memaksa mereka untuk berhenti semalam di sebuah gubuk di hutan.

Detektif kini tentu memusatkan usaha mencari tempat penyimpanan berharga curian. Dari cerita Evans dan dari yang diketahui Pinkerton tentang cara-cara kerja kelompok itu tadi, maka agaknya sudah tidak diragukan lagi, bahwa hanya Dunlop yang mengetahui rahasia. Ia tidak akan mengatakannya kepada orang lain kecuali kalau dipaksa. Langkah yang harus diambil kini adalah menangkapnya. Ini dapat dilakukan, sesudah Evans bersedia untuk membuat kesaksian terhadapnya.

Berminggu-minggu Pinkerton menyuruh membuntuti Scott dan Dunlop. Kebanyakan mereka berada di New York. Scott hidup di sebuah hotel kecil yang anggun di Washington Square. Pada tanggal 14 Februari 1877, kedua orang ini ditangkap di Philadelphia, waktu mereka hendak naik kereta api ke selatan.

Meskipun mereka membawa sejumlah banyak surat-surat berharga, tampaknya uang sudah berkurang, sementara mereka menunggu “usaha damai” dengan bank. Sepertinya mereka ingin merencanakan perampokan baru. Keduanya dibawa ke tempat tahanan sementara di Northampton.

Kini terjadi apa yang telah diramalkan Pinkerton. Karena mereka telah hilang kebebasannya, maka Dunlop dan Scott merasa perlu untuk menyatakan tempat penyimpanan hasil perampokan kepada seorang anggota lain. Mereka memilih si Leary Merah.

Seperti terungkapkan kemudian, maka surat-surat berharga waktu itu disembunyikan di sebuah gudang bawah tanah di Sixth Avenue di New York. Tempat itu dijelaskan kepada Leary oleh Nyonya Scott, yang bersama dengan keterangannya itu mengingatkan Leary akan adanya perjanjian yang telah ditentukan antar anggota kelompok. Setiap anggota dapat meminta kawannya agar menjual surat-surat berharga jika berada di dalam bahaya, sehingga dengan hasil itu dapat membebaskannya. Semula Leary menertawakan perjanjian ini. Akan tetapi ia juga menuntut janji ini pada sisa kelompok, waktu ia juga ditangkap oleh inspektur polisi Byrnes, karena ikut bersalah pada perampokan Bank Manhattan. Percobaan membuntuti Leary ke arah persembunyian surat-surat berharga tidak berhasil. Sehingga mereka menginginkan ia segera ditangkap, tanpa menunggu surat perintah penahanan.

Sejarah penjahat Amerika tidak mempunyai bab yang lebih memesona dari pada sejarah si Leary Merah. Menurut penampilannya, ia seorang desperado (tidak mempunyai harapan) dengan rambut merah yang tipis, kumis merah dan wajah buruk dengan tulang menonjol, leher kekar, bahu kuat, kepala gemuk dan tangan besar yang berambut. Semua menunjukkan bahwa ia mempunyai kekuatan fisik yang dahsyat. Beratnya hampir 150 kg. Kawan-kawan penjahatnya selalu bangga mengatakan bahwa tidak ada orang yang memakai topi yang lebih besar dari pada Leary, ukuran 8¼.

Meskipun Leary sebagian besar hidupnya menjalani aneka kejahatan, pada beberapa kesempatan ia juga telah membuktikan keberaniannya. Leary tergolong salah seorang pertama yang secara sukarela membela negara dengan masuk ke dalam korps pertama Resimen Kentucky di bawah Letkol Guthrie. Ia menjadi seorang tentara yang baik sejak masuk dinas sampai ke pembebasannya dengan hormat.

Para pengacara yang terlihai kini diperintahkan membela Leary dan mereka menyibukkan pengadilan di New York dengan segala tipu muslihat yang diperbolehkan dalam rangka hukum. Sementara itu Leary beristirahat di penjara di Ludlow Street. Ia menikmati segala sesuatu yang diberikan pada seorang tahanan. Untuk kemungkinan itu, ia membayar penjaga sejumlah 30 dolar seminggu. Terlepas dari ikut dalam perampokan di Northampton atau tidak, ia mempunyai banyak uang.

Sore hari tanggal 7 Mei, Nyonya Leary mengunjungi suaminya dengan diantarkan oleh “Butch” McCarthy. Ketiganya sampai jam 8 sendiri saja di sel Leary. Sesudah itu Leary berjalan-jalan di dalam penjara. Pada jam 10 lebih, pengawas Wendell, yang menjaga tingkat pertama tempat sel Leary, melihat bahwa Leary pergi dari tingkat 2 ke tingkat 3. Sebenarnya tidak mengapa, karena Leary biasanya menggunakan kamar mandi yang terletak di tingkat 3. 

Seperempat jam kemudian, Wendell mulai meronda seperti sudah ditetapkan di penjara. Itu dilakukan untuk melihat apakah setiap tahanan sudah ada di dalam selnya. Waktu sampai di sel Leary, ia terkejut karena menemukan sel itu kosong. Tetapi ia masih percaya bahwa tahanan akan segera datang. Ia menunggu sia-sia beberapa waktu dan menjadi bingung. Ia pun mulai mencari. Pertama-tama ia pergi ke kamar mandi. Ketika tidak menemukan Leary di sana, ia mencari ke tempat-tempat lain di semua tingkat. Lalu ia kembali ke kamar mandi dan di situ melihat sesuatu yang sangat mengejutkannya. Di tembok ia melihat lubang besar, yang cukup untuk meloloskan orang. Terowongan itu seakan-akan menuju ke bawah. Segera si pengawas memukul alarm. Tetapi si Leary Merah sudah lolos.

Terbukti bahwa terowongan dari kamar mandi masuk ke dalam sebuah kamar di tingkat 5 sebuah rumah yang berdekatan dengan penjara. Kedua tembok pemisah terdiri dari tembok yang tebalnya 120 cm yang telah diterobos oleh kawan-kawan Leary. Di dalam ketiga ruangan rumah itu telah ditemukan bukti-bukti kerja mereka.

Leary tadinya melarikan diri ke Eropa, tetapi kembali lagi dan kemudian ditangkap di Brooklynn oleh Pinkerton dan petugas-petugasnya. Mereka menangkapnya waktu Leary sedang bermain kereta salju dan memborgolnya sebelum ia dapat memakai revolver besar yang dibawanya. Segera ia dibawa ke penjara di Northampton.

Beberapa waktu sebelumnya, Pinkerton telah menemukan Conroy, yang juga melarikan diri dari penjara di Ludlow Street, di Philadelphia. Segera sesudah Leary ditangkap, ia mengirimkan detektif-detektifnya ke Philadelphia, di mana Conroy ditangkap pada malam yang sama.

Sementara itu Scott dan Dunlop, yang kini mendekam dalam penjara, telah membuat kesaksian mengenai Leary. Leary-lah yang memiliki surat-surat berharga. Waktu Leary dibawa ke Northampton, mereka menulis surat kepadanya, menerangkan bahwa mereka akan memberi kesaksian mengenai dia, jika ia tidak mengembalikan surat-surat berharga pada masing-masing pemilik. Jika ia mengembalikannya, mereka tidak akan membuat kesaksian. Surat ini ada hasilnya dan bank mendapat hampir semua surat-surat berharga kembali, kecuali surat-surat berharga negara dan uang tunai.

Beberapa surat berharga yang dicuri, begitu turun nilai, sehingga menyebabkan kekurangan hampir 100.000 dolar. Surat-surat berharga lain nilainya 700.000 dolar. Surat-surat itu selama hampir 2 tahun dipegang oleh perampok.

Karena kini Scott dan Dunlop tidak mau memberikan kesaksian terhadap Leary dan Doty, maka Leary dan Doty dibebaskan. Begitu pula Conroy, yang hanya dipergunakan sebagai perantara saja dan tidak bisa dibuktikan benar-benar ikut dalam perampokan.

Perkara Scott dan Dunlop berakhir dengan keputusan bahwa mereka dihukum 20 tahun. Scott meninggal di dalam penjara. Dunlop beberapa tahun kemudian diberi pengampunan. Ia pergi ke sebuah kota di sebelah barat, di mana ia mencari kehidupan dengan halal. Conroy akhirnya juga menjadi seorang yang dihormati semua kawan-kawan.

Sedangkan Si Leary Merah, ia meninggal dengan cara aneh. 

Pada suatu malam ia minum-minum dengan beberapa kawan di sebuah bar yang terkenal di New York. Dalam kelompok itu juga ada “Billy Train”, yang waktu mereka berada di jalan, mengangkat sebuah batu bata dan melemparkannya ke atas sambil berteriak, “Hati-hati kepala kalian, kawan-kawan!”

Leary tidak mengindahkan peringatan itu. Batu bata mengenai kepalanya dengan keras di kepala dan menghancurkan tengkoraknya. Ia dibawa ke rumah sakit yang terdekat dan meninggal di situ sebelum fajar.

(Gerhart Herrman Mostar dan Robert Stemmle)

Baca Juga: Perampok Dikira Pemain Film

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760993/perampokan-di-bank-northampton" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683802849000) } } [14]=> object(stdClass)#173 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3760997" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#174 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/cincin-yang-mengungkapkan-rahasi-20230511105947.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#175 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(122) "Suatu hari Nyonya Holzmann dilaporkan menghilang. Penyelidikan menuntun polisi pada pelaku yang ternyata penyewa rumahnya." ["section"]=> object(stdClass)#176 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/cincin-yang-mengungkapkan-rahasi-20230511105947.jpg" ["title"]=> string(33) "Cincin yang Mengungkapkan Rahasia" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 11:00:01" ["content"]=> string(31139) "

Intisari Plus - Suatu hari Nyonya Holzmann dilaporkan menghilang. Saat diselidiki, beberapa barang berharganya pun turut raib. Penyelidikan menuntun polisi pada pelaku yang ternyata penyewa rumahnya.

---------------

Tahun 1821 di kota Augsburg, seorang buruh harian bernama Maria Anna Holzmann yang berusia 55 tahun, menyewa sebagian rumah tukang sepatu Schicht. Bagian rumah itu disewakan lagi oleh wanita ini kepada orang lelaki bernama Georg Rauschmaier dan Joseph Steiner. Di sana mereka hanya tidur saja.

Pada hari Jumat sebelum Paskah Nyonya Holzmann menghilang tanpa memberitahu ke mana ia pergi kepada kedua pria tadi. Juga kepada pemilik rumah yang tinggal di seberang jalan. Rauschmaier memberi keterangan bahwa beberapa hari kemudian ia membereskan kamar-kamar yang ditinggalkan hari Jumat pagi-pagi sekali oleh nyonya rumah. Semua kunci rumah ditinggalkan.

Baru pada tanggal 17 Mei pemilik rumah melapor pada polisi bahwa penyewa rumah tidak ada di tempat. Diadakanlah penggeledahan rumah bersama dengan abang dan ipar orang yang dicari. Maka menurut kerabat Nyonya Holzmann, beberapa barang milik wanita itu tidak ada. Kemudian terbukti bahwa yang hilang kebanyakan yang paling berharga. Nyonya Holzmann meskipun mendapat tunjangan dari pemerintah, memiliki pakaian yang baik dan barang-barang lain.

Orang menyangka bahwa ia mempunyai uang tabungan berjumlah bresar tetapi ini tidak benar. Mereka yang ikut membuat inventaris diganggu oleh bau tidak sedap. Bau itu terbukti datang dari pispot-pispot penuh di kamar kedua penyewa.

Baik penyelidikan polisi dan juga pemeriksaan pengadilan tidak membawa hasil. Abang kandung Nyonya Holzmann menyatakan bahwa mungkin adiknya pergi ke tempat lain lalu bunuh diri. Mungkin karena ia telah meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi dan tidak mendapatkan uang kembali untuk membayar sewa rumah. Pada waktu itu orang jarang memikirkan pembunuhan. 

Rauschmaier, yang pada tanggal 23 Juni didengar kesaksiannya menyatakan di bawah sumpah, bahwa wanita itu telah pergi pada hari Jumat sebelum Paskah. Menurutnya, ia ditemani seorang wanita yang tidak dikenal dan tidak kembali lagi. Rauschmaier tidak tahu ke mana keduanya pergi atau apa yang terjadi dengan kedua wanita itu.

Perkara itu didiamkan hingga tanggal 2 Januari 1822 yaitu sampai tukang cuci Therese Beltler yang menjanda, yang tinggal di rumah tukang sepatu Schicht, memberikan keterangan berikut polisi. “Tadi waktu saya bersama anak saya yang berusia 18 tahun akan menggantungkan jemuran di loteng bekas kediaman Nyonya Holzmann, kami menemukan tulang paha dan badan atas seorang manusia. Itu mungkin orang yang sudah lama dicari, Nyonya Anna Holzmann.”

Segera pengadilan mengirimkan petugas. Pertama ditemukan tulang paha kiri di bawah rumput kering, kemudian tungkai dan kaki. Lalu enam langkah dari penemuan itu, di antara genteng dan cerobong asap, ditemukan badan manusia tanpa kepala, tanpa lengan dan tungkai. Di sudut lain ada sepotong baju dalam wanita dan syal merah. Semuanya penuh darah. Semua pakaian dikenali oleh seorang pencuci lain sebagai pakaian yang dipakai Anna Holzmann sehari-harinya. 

Waktu diadakan penyelidikan lebih lanjut, ditemukan sebuah lengan kanan dekat cerobong. Lantai di kamar kedua pria dibongkar. Di sana tidak hanya ditemukan tungkai yang dibengkokkan pada lutut dengan kaki tetapi lengan kiri Nyonya Holzmann dibungkus kemeja tua.

Hanya kepala tidak ditemukan meskipun telah dicari dengan teliti. Kemudian terungkapkan bahwa seorang petugas di kanal Sungai Lech, yang bekerja di sebuah pabrik yang dekat dengan rumah tukang sepatu Schicht, pada hari Pantekosta tahun sebelumnya telah menemukan tengkorak manusia yang sudah tidak berdaging. Karena tengkorak tampak seperti diambil dari makam tua, sesudah diperlihatkan kepada abangnya, maka tengkorak itu dibuangnya kembali ke air. Karena kanal Sungai Lech hanya beberapa meter dari rumah tukang sepatu dan tengkorak yang ditemukan dikatakan kecil dengan hanya dua atau tiga geraham di rahang, maka diambil kesimpulan bahwa itu adalah tengkorak Nyonya Holzmann. Arus kanal telah membawanya ke dalam sungai. Pada tengkorak yang ditemukan, katanya tidak terdapat kelainan atau bekas luka.

Kaki, tangan, dan badan yang ditemukan telah mengecil dan sangat berubah karena letaknya yang terjepit. Oleh karena itu yang berwajib merendamnya beberapa hari di dalam air dan kemudian dibungkus dengan alkohol agar bentuknya kembali seperti semula.

Hasil penyelidikan disimpulkan sebagai berikut: Peninggalan-peninggalan yang dikumpulkan bukan peninggalan dari beberapa badan, akan tetapi dari sebuah badan manusia yaitu badan wanita. Orangnya mempunyai tulang belulang halus dan tidak lebih tinggi dari 1,5 meter, berbadan semampai. Pada bagian badan dan anggota badan lainnya tidak ada bekas luka-luka.

Pembunuhan harus terjadi pada bagian badan atas. Lengan dan tungkai lepas dari tempatnya dengan demikian baiknya. “Seperti dilakukan oleh seorang ahli,” kata dokter pengadilan. Pasalnya, pada lengan dan tungkai tidak ada bekas-bekas cedera.

Akan tetapi pada pemeriksaan ini terungkap sesuatu yang tidak diduga. Waktu dokter pengadilan meluruskan lengan kiri, maka terjatuhlah di lantai sebuah cincin dari lekukan siku. Menurut dugaan, cincin ini milik si pembunuh, yang pada waktu memisah-misahkan anggota badan telah “menitipkan” cincinnya pada mayat.

Nyonya Holzmann yang hilang, dilukiskan oleh kerabat dan teman-temannya sebagai seorang wanita yang kecil langsing, yang kaki kanannya jauh lebih besar dari pada kaki kiri. Tulang ibu jarinya pernah dioperasi. Semua ciri-ciri itu tepat pada mayat yang ditemukan. Selain itu, abang dan ipar Nyonya Holzmann mengenali mayat yang dijadikan satu kembali itu sebagai badan Maria Anna Holzmann.

Penemuan mayat yang dirusak di rumah Nyonya Holzmann menyebabkan tuduhan jatuh pada kedua pria yang juga tinggal di rumah itu. Tidak ada kemungkinan seorang yang asing yang melakukannya. Salah seorang atau kedua pria penyewa telah melakukan pembunuhan yang membutuhkan waktu yang lama itu. Keduanya tinggal begitu lama tinggal di rumah itu, padahal di mana-mana berserakan tubuh nyonya rumah. Mustahil mereka tidak menemukannya.

Tidak lama kemudian, diketahui oleh pengadilan, bahwa Rauschmaier sudah pada hari Sabtu sebelum Paskah dan pada hari Rabu berikutnya, menjual beberapa surat-surat berharga kepunyaan Nyonya Holzmann. Rauschmaier dibantu oleh seseorang yang bernama Nyonya Ditscher. Ia adalah pacarnya. Beberapa barang milik Nyonya Holzmann pun telah dibawa keluar rumahnya dan dijual. 

Pada tanggal 2 Januari, yaitu saat ditemukan mayat yang sudah terpotong-potong, Georg Rauschmaier ditangkap. Di antara milik pribadinya ditemukan dompet yang sudah usang. Di dalam dompet itu ada sebuah surat keterangan yang aneh, yang dicetak di kota Köln dan dihiasi dengan beberapa gambar Santa.

Katanya surat ini merupakan “surat jalan” yang membebaskan semua kejahatan, apakah itu membunuh, mencuri, dan dipakai sebagai jimat oleh para penjahat.

Waktu didengar kesaksiannya, Rauschmaier memberikan banyak tambahan. Seperti bagaimana induk semangnya pergi pada hari Jumat sebelum Paskah (pagi-pagi sekali) dan kemudian tidak kembali lagi. la santai saja dan tidak tampak gugup waktu diperlihatkan mayat. Katanya ia tidak mengenal orang yang sudah meninggal itu.

Pada tanggal 22 Januari, ia menyatakan ingin memberi keterangan tetapi ternyata hanya ingin meminta kebebasannya. Hari berikutnya ia melapor kembali. Bukan untuk mengaku telah membunuh, akan tetapi katanya ia telah menggaet barang-barang induk semangnya beberapa hari setelah wanita itu pergi. Ia menyuruh pacarnya untuk menjual barang-barang itu. 

Hakim tidak memberi komentar. Tertuduh minta melihat beberapa pakaian kepunyaan Holzmann. Ia mengakui bahwa pakaian itu milik induk semangnya. Kemudian ia diperlihatkan dua anting-anting, dua gelang emas, dan juga cincin dari tembaga yang ditemukan di lengan mayat. 

Karena menginginkan barang-barang tadi, maka Rauschmaier menyatakan, “Anting-anting yang diperlihatkan kepada saya tadi, juga gelang-gelang, dan cincin tembaga kepunyaan saya. Cincin tembaga selalu saya pakai, sampai 4-5 minggu sesudah Paskah. Kemudian saya menggantikannya dengan kedua gelang emas. Cincin tembaga pas pada kelingking tangan kanan saya.” Ketika dicoba, memang agak pas, meski sedikit longgar. Jadi memang benar bahwa cincin itu miliknya. 

Pada tanggal 11 Maret 1822, pengadilan mengadakan pemeriksaan khusus pada Rauschmaier, Steiner, dan Elisabeth Dietscher.

Pada pemeriksaan pertama, Rauschmaier mengaku bahwa ia telah mencuri barang-barang milik induk semangnya 14 hari sesudah sang induk semang menghilang. Waktu diperiksa untuk kedua kalinya, pengakuannya tetap sama akan tetapi sudah tidak begitu yakin. Ia menjawab dengan terbata-bata, kadang-kadang wajahnya merah, kadang-kadang pucat. 

Akan tetapi sesudah diperiksa untuk ketiga kalinya, ia menangis dan berlutut. “Tuan Komisaris, saya mengetahui bahwa Anda ingin melindungi saya. Waktu itu Anda telah berbicara baik-baik dengan saya. Kini saya akan mengaku apa yang sebenarnya terjadi.” Ia pun benar-benar melakukannya.

Georg Rauschmaier, sejak kecil tinggal di kota Augsburg. Dia anak sah seorang penjual roti, yang istrinya merangkap menjadi bidan. Waktu melakukan kejahatan Rauschmaier berusia 34 tahun. Saat memberi kesaksian, Ibu dan kakaknya menyatakan bahwa sudah sejak kecil ia memiliki tabiat yang berbeda dengan kakaknya. Ia kasar, cepat marah, dan tidak jujur. Rauschmaier juga pemalas dan kerap menghabiskan uang. 

Rauschmaier menerangkan bahwa ia bertabiat demikian karena pendidikannya diabaikan orang tuanya. la tidak disuruh pergi ke sekolah dan tidak diberi pelajaran apa pun. la tidak dapat membaca ataupun menulis. Ia bahkan tidak mengetahui apa-apa tentang agama. Sehingga pada waktu perkaranya berakhir, ia harus diberi pelajaran agama dahulu oleh seorang pastor agar boleh menerima komuni.

Segera sesudah usia 7 tahun, ia menjadi pembantu tukang batu. Di musim dingin ia bekerja sebagai pembantu tukang cat di pabrik-pabrik. Waktu berusia 13 tahun, ia belajar memahat selama 3 tahun. Pada umur 16, ayahnya meninggal dunia. Ia masuk tentara Austria. Sesudah Perang Dunia berakhir dan kesatuannya dilebur, ia pergi kembali ke Augsburg dan bekerja di beberapa tempat. Para majikan berkata, ia tidak begitu rajin dan berkelakuan kasar. Karena itu ia tidak pernah lama di satu tempat. 

Pada tahun 1807 ia menjadi kusir dalam ketentaraan Bavaria di Augsburg. Tidak lama kemudian ia melarikan diri. Ia masuk ketentaraan Austria dan melawan tanah airnya sendiri di medan perang. Di tahun yang sama, ia berbalik lagi ke tentara Jerman di Bavaria. Di sana ia dituduh mencuri kereta dorong. Akhirnya dalam kesatuan tadi, ia mengalami kesukaran-kesukaran dan bahaya di waktu berperang di Rusia. Perlakuan di rumah-rumah sakit menyebabkan ia berlaku lebih kasar. Waktu kesatuannya sedang dalam perjalanan pulang, ia sempat mencuri barang atasannya seharga 109 mark. Untuk itu, ia dihukum 15 bulan penjara. Sesudah keluar dari penjara, ia berdiam kembali di Augsburg. Beberapa tahun ia bekerja, kadang-kadang di perusahaan batu, penebang kayu atau sebagai kuli pengerjaan jalan.

“Dari sejarah hidup saya, Anda dapat melihat bahwa saya diabaikan,” begitu katanya kepada hakim, “dan karena itu saya jatuh begini rendah dalam kehidupan. Saya selalu membutuhkan uang dan akhirnya tidak mengetahui dari mana saya harus mengambil uang itu. 

“Saya ingin membeli baju dan juga ingin makan enak. Akhirnya saya mendapat gagasan untuk membunuh induk semang saya, Maria Anna Holzmann. Ia memiliki banyak barang bagus dan tampak mempunyai uang simpanan. Saya memutuskan untuk mencekiknya, itu memang cara yang termudah. Selain itu, mencekik tidak menimbulkan keributan dan tidak meninggalkan bekas-bekas darah. 

“Di rumah sakit di Rusia, saya sering mendengar para dokter berkata bahwa badan yang dicekik dan kehabisan napas, tidak banyak mengeluarkan darah jika dipotong-potong. Saya telah membuat keputusan membunuh sejak 8 hari sebelum Jumat terakhir sebelum Paskah. 

“Sejak hari itu saya sudah tidak tenang lagi. Kadang-kadang saya lupakan gagasan itu, kadang-kadang saya ingin melakukannya. Karena pada hari Jumat sebelum Paskah, pagi-pagi semua orang sedang di gereja dan juga Steiner sedang bepergian. Maka di antara jam 8 dan 9, saya hanya berdua di rumah dengan Nyonya Holzmann. Segera saya menggunakan kesempatan ini. Tanpa berkata apa-apa saya masuk ke dalam kamarnya dan menerkamnya waktu ia menuju ke tempat tidur. Saya mencekiknya 4 hingga 5 menit. Ia meninggal tanpa dapat melawan. Ia juga tidak menderita sakit karena ia memang seorang yang lemah dan tidak mengeluarkan suara apa pun. Waktu saya lihat bahwa ia sudah meninggal, saya jatuhkan badannya di lantai. 

“Di dalam lemari yang terbuka, saya cari uang dan juga barang-barang perhiasan. Saya kecewa sekali. Selain barang-barang yang sudah saya sebut, uang tunainya tidak lebih 8 Kreuzer 2 Pfenig.

“Kira-kira setelah seperempat jam dan mayat sudah dingin, saya menyeretnya dari kamar. Saya membawanya ke ruang yang terletak di depannya.

“Saya mengambil keputusan untuk memotong-motongnya dalam beberapa bagian agar bisa memusnahkan mayat. Pisau besar yang saya pakai kemudian saya buang ke Sungai Lech. 

“Ketika berada di rumah sakit di Rusia, saya melihat bagaimana mayat dipotong-potong. Pertama-tama saya letakkan Nyonya Holzmann di lantai dan menelanjanginya. Kemudian, bahu kanan saya potong. Diikuti dengan pinggul kanan, pinggul kiri, dan tungkai kiri. Akhirnya saya memotong leher. Karena kepala tidak dapat ditarik maka saya menekannya keras-keras agar lepas. Masih tersisa beberapa tulang-tulang leher. Pemotongan telah selesai. Saya tidak memerlukan waktu lebih dari satu jam.”

Ia menyembunyikan bagian-bagian mayat di beberapa tempat. Kira-kira jam 10 malam, ia membuang kepala yang dibungkus dalam serbet ke Sungai Lech. Anting-antingnya diambil dulu. Ia juga membuang pakaian Nyonya Holzmann. 

Setelah melakukan kejahatan di hari Jumat sebelum Paskah, antara jam 10 dan 11 pagi, ia pergi ke gereja St. Moriz. Menurut pengakuannya, ia tidak dapat berdoa karena malu dan ketakutan.

“Saya tahu,” begitu katanya, “bahwa pembunuhan ini adalah kejahatan besar. Akan tetapi saya kekurangan uang. Keinginan untuk mendapatkannya demikian besar sehingga saya tidak memikirkan akibat kejahatan tadi. Lagi pula tidak begitu sukar rasanya mendapatkan uang dengan cara membunuh induk semang. Bahwa mayat dipotong-potong baru terpikir sesudah membunuh. Sementara memotong-motong dan menyembunyikan bagian-bagian mayat, saya sangat ketakutan. Sejak itu saya tidak bisa senang kembali.”

Tentang cincin tembaga ia menjelaskan bahwa cincin itu mungkin terlepas sewaktu memotong-motong. Waktu hakim berkata bahwa cincin itu ditemukan di sela lengan kiri korban maka ia enak saja menjawab, “Ya, ya. Mestinya begitu. Cincin itu tentu tertinggal di sela-sela siku Nyonya Holzmann karena pada waktu itu saya memakainya di jari kelingking tangan kanan.” 

Sesudah mengaku tertuduh tetap tenang. Agaknya ia ingin bertobat dan sering menangis keras.

Meskipun tertuduh telah mengaku membunuh Nyonya Holzmann, masih diperlukan keterangan medis mengenai sebab-sebab kematian korban. Keterangan itu berbunyi, “Kejahatan yang dilakukan pada Nyonya Holzman dengan pencekikan leher dan tekanan pada bagian dada. Semua itu cukup untuk membunuh orang yang lemah ini dalam jangka waktu 4 sampai 5 menit.”

Rauschmaier membuktikan bahwa di Eropa masih ada orang-orang yang hidup dan berlaku seperti orang-orang yang tidak beradab. Tertuduh kedua Joseph Steiner, tukang kayu berusia 34 tahun yang dilahirkan di Augsburg juga. Ia juga memiliki pendidikannya sama dengan Rauschmaier. Tukang kayu itu adalah contoh yang lebih parah lagi. 

Pada waktu ditanya mengenai hilangnya Nyonya Holzmann, ia tidak bisa mengucapkan sumpah. Pasalnya, ia sama sekali tidak mengerti arti sumpah itu. Sesudah keterangan diberikan, hakim menyatakan bahwa, “Saksi sepertinya berada pada tingkat kebudayaan yang terendah dan hampir-hampir tidak dapat menyelami arti sesuatu. Ia bodoh dan jawaban diberikan dengan bersusah payah.”

Sesudah ditangkap, ia bukan hanya menyatakan dirinya tidak bersalah akan tetapi juga mengaku tidak mengetahui sama sekali bahwa Nyonya Holzmann menghilang. 

Mendengar itu hakim memberi pernyataan, “Kelakuannya membuktikan kebodohannya. Ia harus ditanyai dengan cermat, baru dapat menjawab.” 

Pada tanggal 15 Januari ia dimintai keterangan perihal keluarga dan keadaan keuangannya. Dengan tidak diminta ia memberikan keterangan yang panjang lebar.

“Pada hari Jumat sebelum Paskah, saya pulang antara jam 10 dan 11 malam. Biasanya saya masih mengucapkan selamat tidur kepada induk semang saya. Tapi waktu itu ia tidak saya temukan di tempat tidur. Karena saya menyangka bahwa ia tidak akan pulang, malam itu, saya sendirilah yang tidur di situ. 

“Tengah malam saya sepertinya mendengar pukulan atau sesuatu jatuh di kamar sebelah, lalu seperti ada yang ditarik ke sana kemari. Hari Sabtu sebelum Paskah saya pulang jam 10 malam. Teman saya Rauschmaier membukakan pintu. Ia tidak memperbolehkan saya masuk ke kamar induk semang. Ia memberikan lampu kepada saya dan menganjurkan saya tetap di kamar saja. Baru saja saya berbaring di tempat tidur, dari atas hidung dan punggung saya terkena tetesan sesuatu. 

“Pagi-pagi baru saya ketahui bahwa tetesan itu darah. Saya tanyakan hal ini kepada teman saya Rauschmaier. Ia menjawab bahwa ia tidak mengetahui dari mana tetesan darah itu berasal. Tidak perlu diacuhkan, katanya. 

“Mula-mula saya tidak memusingkan hal itu, akan tetapi waktu saya disuruh melihat mayat induk semang, maka segera terpikir bahwa ia dibunuh oleh Rauschmaier. Saya sendiri tidak pernah berbuat apa-apa terhadap induk semang saya.”

Hakim pada akhir keterangan Steiner menyatakan bahwa Steiner telah bersusah payah bercerita dengan baik. Ia berbicara tanpa malu-malu dan membuktikan bahwa pikirannya tidak seperti yang diperkirakan hakim.

Pada tanggal 4 Februari sekali lagi Steiner melapor. Waktu ditanyakan apa yang akan dilaporkan, ia menjawab, “Kini saya ingat hal lain. Memang saya suka lemah ingatan. Mungkin saya salah memberi kesaksian dahulu itu. Kalau kuda bisa terpeleset, apalagi saya.” 

Ia kemudian meralat kesaksiannya. Ia bukan pada hari Jumat malam tidur di tempat tidur Nyonya Holzmann, akan tetapi pada hari Sabtu sebelum Paskah. Darah bukan menetes pada hidung dan punggung pada hari Jumat akan tetapi pada hari Kamis. 

Pada hari Jumat pagi ia berkata pada Rauschmaier, “Kamu tidak membunuh induk semang kita, ‘kan?” Si Rauschmaier mengancam akan memukulnya sampai mati, jika ia berkata tentang darah ataupun induk semang. 

Rauschmaier memperlihatkan tongkat besar dan berkata, “Nah, lihatlah, dengan tongkat ini saya akan memukulmu sampai mati, jika engkau menceritakan sesuatu.” 

“Karena ia mengancam saya dan saya takut, maka saya tidak mengatakan apa-apa pada siapa pun. Tetapi Anda, Tuan Komisaris, boleh percaya bahwa teman saya yang kuat itu yang berada di penjara, membunuh induk semang. Kini saya ingat juga, bahwa pada hari Minggu Paskah, darah dibersihkan dengan baik. Mungkin membersihkannya dengan kemeja saya yang tua karena saya menemukannya di sudut kamar tidur dalam keadaan penuh darah. Teman saya Rauschmaier tentu mengerjakan hal ini agar saya disangka sebagai pembunuh. Saya ingat bahwa Rauschmaier 8 atau 14 hari sebelumnya bercanda bergulat dengan induk semang. Ia hanya melakukan hal itu untuk mengetahui apakah induk semang itu kuat. Mungkin waktu itu ia mempunyai pemikiran untuk membunuhnya. Sebab bercanda semacam itu tidak lazim dilakukan orang. Orang baru melakukan sesuatu, jika hasil latihan baik.”

Sesudah itu sekali lagi Steiner mengulangi dengan teliti apa yang telah diceritakan. Ia masih menambahkan hal baru, “18 hari sesudah Paskah, saya pergi ke restoran Zum blauen Kruegel dengan Rauschmaier. Waktu kami berdua saja, ia ingin memberikan cincin perak dan sepasang anting-anting. Tujuannya agar saya tidak menceritakan apa-apa tentang darah dan induk semang. Akan tetapi saya tidak mau menerima apa-apa dari dia.”

Keterangan-keterangan Steiner ini besar kemungkinan mendekati kebenaran. Apa yang diceritakannya hampir semua cocok dengan fakta-fakta penting, selama Rauschmaier belum mengaku benar-benar.

Waktu Rauschmaier untuk pertama kali mengaku bersalah, ia ditanya apakah masih ada orang lain yang mengetahui tentang perbuatannya. Ia menjawab, “Tidak, tidak ada orang lain yang mengetahui. Saya sendiri yang bertekad dan saya sendiri yang menjalankannya hingga akhir. Karena saya tidak mempercayai siapa pun. Jika Joseph Steiner ataupun Elisabeth Ditscher dituduh terlibat, maka dengan ini saya menyatakan bahwa mereka tidak bersalah. Saya juga tidak percaya bahwa Steiner mengetahui sesuatu tentang perbuatan saya. Ia tidak berkata apa-apa pada saya.”

Pada kesempatan lain diberitahukan bahwa Steiner telah memberi kesaksian tentang penemuan bekas-bekas pembunuhan induk semang mereka. 

“Bohong,” kata tertuduh. “Ia tidak berkata apa-apa. Dia itu terus berbohong. Jika ia mengetahui sesuatu, tentu ia akan segera melapor. Mengapa saya akan berbohong jika memang demikian?”

Pada waktu Steiner didengar kembali, maka ketidakcocokan keterangan Steiner dengan pengakuan Rauschmaier dipecahkan Steiner dengan mudah. 

“Ya, memang saya dungu dan banyak berbicara yang tidak-tidak. Saya mohon maaf jika saya berbohong. Saya hanya berpikir, mungkin teman saya itu yang membunuh induk semang dan saya yang dituduh. Meskipun saya sama sekali tidak bersalah. Lalu saya mengatakan saja yang kebetulan terlintas dalam pikiran saya. Itu untuk memperkuat tuduhan terhadap teman saya itu dan meyakinkan bahwa saya tidak bersalah. 

“Jadi semua mulai dari menetesnya darah di atas hidung dan kemeja saya, mendengar diseretnya sesuatu ke sana kemari, pembicaraan saya dengan Rauschmaier dan ancamannya, pemberian hadiah dan Iain-lain, semua itu bohong. 

“Saya sendiri heran, bagaimana saya dapat berbohong demikian. Saya tidak mendengar maupun melihat apa-apa. Namun saya hanya menyangka bahwa induk semang dibunuh, ia mungkin tergeletak di ruangan atas dan ia dibunuh oleh Rauschmaier. Saya hanya memikirkan bagaimana semuanya mungkin terjadi. Bagaimana saya dapat berpikiran demikian! Hampir-hampir saya percaya sendiri. Maafkanlah kebodohan saya. Saya kerbau, saya keledai. Lihatlah sebodoh apa saya ini! Kini baru saya sadari bahwa dengan segala keterangan bohong tadi, saya malah melibatkan diri. Tetapi saya berharap bahwa tidak akan ada akibatnya, karena saya tidak melakukan apa-apa pada si induk semang. 

“Saya kira, saya akan menyenangkan pengadilan jika saya memberi kesaksian melawan Rauschmaier. Namun semua kesaksian hanya khayalan saya. Karena saya memang menganggap dia itu pelakunya.”

Pembela Rauschmaier, mempunyai pengertian yang dalam untuk keadilan dan etika, maka ia tidak mengulangi kisah mengerikan tertuduh dalam pembelaannya. Kebanyakan ia hanya menekankan pendidikan yang diabaikan di waktu tertuduh masih kanak-kanak.

Pengadilan di Neuburg akhirnya membuat keputusan. Karena terbukti melakukan pembunuhan, maka Georg Rauschmaier dihukum mati. Setengah jam sebelum dilakukan hukuman, ia akan dipertontonkan pada tiang hukuman oleh pembantu algojo. Kemudian hukuman akan dijalankan dengan penggalan kepala. Karena tidak dianggap bersalah melakukan pembunuhan, maka Joseph Steiner dibebaskan dari hukuman. Nyonya Ditscher dianggap bersalah melakukan pencurian dan dihukum 8 hari penjara.

“Dalam hal ini,” begitu isi keputusan, “semua fakta telah dibuktikan, meskipun kepala korban tidak ditemukan. Pembunuhan yang atas dasar pengakuan-pengakuan harus dianggap telah terbukti. Art. 269, 270, 271, II Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

“Hanya keserakahan yang dapat menjadi sebab pembunuhan. Hanya tertuduhlah yang memiliki surat-surat berharganya, yang sebagian sudah dijualnya sehari sesudah Nyonya Holzmann dinyatakan hilang. Sedangkan sebagian lagi masih disimpan dan belum dijual.

“Sebagai seorang yang menyewa di rumah Nyonya Holzmann, ia mempunyai kesempatan baik untuk memotong-motong mayat sesudah melakukan pembunuhan. Sebagian besar potongan-potongan disembunyikan di rumah.

“Abang, ipar, dan seorang teman dekat korban, telah bersumpah mengenal mayat yang dipotong-potong sebagai mayat Nyonya Holzmann. Itu diketahui dari siluet badan, kecilnya anggota badan, dan kaki kanan yang bengkak. Korban selalu kesakitan waktu ia masih hidup dan ibu jarinya telah dibuang. 

“Steiner juga memberi keterangan yang sama. Lagi pula, pakaian yang dipakai untuk membungkus sebagian dari mayat adalah milik korban, begitu juga yang penuh darah dan disembunyikan dekat bagian badan. Tidak mungkin bahwa kebetulan ada mayat perempuan lain di rumah itu yang dibungkus dengan pakaian Nyonya Holzmann.

“Pada anggota-anggota badan dapat diperhitungkan pemotongan sesudah ajal dan tidak ditemukan bekas penganiayaan. Keterangan dokter yang pertama menyatakan bahwa luka yang menyebabkan kematian hanya pada bagian di atas bagian badan, karena tusukan di leher atau pengikatan pada leher atau lemas karena mendapat pukulan di atas kepala.

“Tertuduh mengaku bahwa ia pada hari Jumat sebelum Paskah 1821 menyergap Nyonya Holzmann, mendekap dengan seluruh badannya, mencekiknya 4 hingga 5 menit dan sesudah seperempat jam memotong-motong mayat. Keterangan kedua dari dokter menyatakan bahwa kekerasan tadi cukup untuk mengakhiri nyawa seorang yang tua, kurus, dan lemah saraf.

“Pengakuan tertuduh telah diulangi beberapa kali di depan pengadilan dan dibubuhi dengan semua tambahan. Semuanya tepat sama dengan keadaan, juga karena sebuah cincin tertuduh ditemukan pada mayat yang dipotong-potong. Tertuduh mengaku telah menyembunyikan badan yang dipotong-potong serta pakaian apa saja yang digunakan untuk membungkus potongan mayat. Tertuduh bermaksud untuk membunuh Nyonya Holzmann dan mengambil uang dan surat-surat berharga 5 hari sebelum ia melakukan kejahatan. Ia telah melakukannya dengan kejam dan hati-hati.

“Oleh karena itu, menurut Art. 146 dan 147 Nr. IV Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ia dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan. Menurut hukum tadi, tidak dapat dipertimbangkan untuk meringankan hukuman, dan ia harus dijatuhi hukuman mati.”

Kementerian Kehakiman membiarkan keadilan berlaku. Hanya saja karena pengampunan raja, maka terhukum tidak usah dipertontonkan pada tiang hukuman sebelum hukuman dilakukannya.

(Ansehn von Feuerbach)

Baca Juga: Ternyata Tidak Ada Jalan Kembali

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760997/cincin-yang-mengungkapkan-rahasia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683802801000) } } [15]=> object(stdClass)#177 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3761005" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#178 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/hanya-satu-korban-masih-hidupjp-20230511105842.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#179 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(120) "Di daerah perbatasan Jerman Timur dan Jerman Barat kerap terjadi pembunuhan sadis. Polisi akhirnya menemukan satu saksi." ["section"]=> object(stdClass)#180 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/hanya-satu-korban-masih-hidupjp-20230511105842.jpg" ["title"]=> string(29) "Hanya Satu Korban Masih Hidup" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 10:58:56" ["content"]=> string(27056) "

Intisari Plus - Di daerah perbatasan Jerman Timur dan Jerman Barat kerap terjadi pembunuhan sadis. Sempat kesulitan mendapatkan jejak pembunuh keji itu, polisi akhirnya menemukan satu saksi. Ia adalah korban yang berhasil selamat.

---------------

Pada tahun 1946 dan 1947 banyak terjadi pembunuhan di daerah tidak bertuan pada perbatasan Jerman Timur dan Jerman Barat. Korban biasanya orang-orang yang menyeberang atau ingin mengunjungi sanak saudara dari Jerman Timur ke Jerman Barat. Di daerah-daerah perbatasan ini muncullah jenis penjahat baru, yakni orang yang mengaku kenal daerah perbatasan dan menawarkan jadi penunjuk jalan. Malam hari di jalan-jalan yang sepi, mereka menjadi pembunuh yang kejam.

Sejak bulan Maret 1946 hingga bulan April 1947, terjadi serentetan pembunuhan. Karena tempat dan caranya sama, diduga pelakunya sama. Semua korban menunjukkan luka yang sama pada kepala.

Pada bulan Maret 1946 ditemukan mayat seorang perempuan setengah baya di danau kecil dekat Roklum. Tampaknya ia dipukuli dengan alat yang berat, mungkin sebuah batu besar. Tidak ditemukan jejak si pelaku sedikit pun. Oleh karena itu jaksa menghentikan pemeriksaan.

4 bulan kemudian, di antara Walkenried dan Ellrich ditemukan mayat orang berusia antara 25-30 tahun. Korban dibunuh dengan martil. Barang bukti ditinggalkan pada mayat. Kepala yang rusak parah ditutupi selimut abu-abu.

Di bulan Agustus, jadi 2 bulan kemudian, di stasiun kota perbatasan Hof ditemukan bekas-bekas darah dan sepatu wanita. 20 meter dari sana, di dalam sumur dengan penutup, ditemukan mayat wanita muda. Pukulan-pukulan yang mematikan tampak di kepala. Ada juga bekas-bekas tusukan di muka serta di leher sampai ke tulang punggung. Sebuah jari dipotong dari tangan mayat.

Di semak-semak dekat jalan Quartze-Clenze pada tanggal 4 September 1946 ditemukan mayat seorang wanita muda. la dikenali sebagai Irene H. yang hidup di restoran dan hotel orang tuanya. Restoran itu letaknya dalam sebuah gubuk di jalan Quartze-Clenze, kira-kira 1.500 meter dari tempat mayat ditemukan. Pada mayat terdapat luka-luka bekas pukulan. Di tempat itu ditemukan sebuah batu besar yang berlumuran darah, yang mungkin digunakan sebagai alat pembunuhan.

Pada bulan November tahun itu juga, di perbatasan ditemukan lagi mayat yang telah membusuk. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa mayat lagi-lagi seorang wanita yang berumur 25 tahun. Kaki kanannya telah dimakan binatang-binatang liar. Pada mayat ditemukan koran Schwaebische Tageszeitung bertanggal 10 September 1946.

Tanggal 12 Desember 1946, di hutan kecil dekat Ilfeld seorang janda berusia 55 tahun bernama Lydia Sch, siuman sesudah ia pingsan dipukul. Semua barangnya dirampok. Beberapa petani menemukannya dan membawanya ke Ilfeld. Ia diberi pertolongan pertama oleh seorang dokter. Kepalanya luka-luka berat, tangan kanannya pun luka. Nyonya Sch dimasukkan ke rumah sakit dekat kota Nordhausen.

7,5 minggu kemudian barulah ia pulang ke kota asalnya, di dekat Holstein. Bulan Desember ditemukan dua jenazah wanita di dalam sebuah sumur yang dalamnya 8 meter, dekat rumah penjaga kereta api Vienenburg. 

Wanita yang satu berusia kira-kira 37 tahun. Kepalanya di sebelah kiri hancur. Wanita yang lain berusia kira-kira 44 tahun. Kepalanya hancur juga.

Di dalam kali kecil yang mengalir dekat hutan di Abbenrose, bulan Januari 1947 ditemukan mayat seorang wanita berusia 20 tahun. Tengkorak dan otak sebelah kiri hancur.

Pertengahan bulan Februari ditemukan lagi mayat di bawah batang-batang pohon dalam hutan di daerah Dudersleben. Mayat itu seorang wanita berusia 49 tahun, di atas mata kiri dan tengkorak sebelah kanan tampak bekas pukulan. Sebuah besi yang tebalnya 3 sentimeter dan panjangnya 30 sentimeter ditemukan di tempat kejadian.

Tidak jauh dari perbatasan, di dekat kota Zorge ditemukan tengkorak manusia. Bagian dekat pelipis berlubang sebesar telur ayam. Karena badannya tidak ditemukan, tidak dapat diadakan pemeriksaan apakah telah terjadi pembunuhan. Mula-mula penduduk menyangka tengkorak itu diseret babi-babi hutan dari kuburan yang berada di dekat situ. Tengkorak ini pun milik seorang wanita muda. Tengkorak ini kelak akan berperan penting di sidang pengadilan yang kemudian diadakan di Braunschweig.

Sampai pada musim semi 1947 polisi kriminal tidak mendapat jejak pembunuh, tidak pula mendapat keterangan dari saksi yang dapat membantu mereka mengungkapkan dan membekuk si pelaku.

Pada bulan April 1947 seorang lelaki menawarkan diri untuk jadi pandu pada seorang pedagang bernama B dari Hamburg yang ingin masuk secara tidak sah ke daerah yang diduduki oleh Rusia. Si calon pembunuh ini akhirnya mabuk sesudah mendapat uang persekot dan oleh karena itu mereka tersesat. Di tengah-tengah hutan, B marah-marah padanya dan lelaki tadi marah juga.

Dengan kapak yang dibawanya ia memukul B berkali-kali sehingga B akhirnya terkapar mati. Si pembunuh merampok uang dan barang berharga dari korbannya dan melarikan diri ke Jerman Tengah. Beberapa hari kemudian si penjahat kembali lagi ke tempat kejadian. Agaknya seperti banyak penjahat lain, ia tidak dapat melepaskan diri dari daya tarik yang menggeretnya kembali ke tempat kejadian.

Ia ditahan. Namanya Rudolf Pleil, pelayan restoran berusia 22 tahun. Sesudah ditahan 7 bulan lamanya, Pleil dihukum penjara oleh Pengadilan Braunschweig karena melakukan pembunuhan kepada B disertai perampokan. Hukumannya 12 tahun 3 bulan. Ia juga dimasukkan rumah sakit jiwa.

Pada tahun 1949 ia diperiksa di poliklinik jiwa di kota Goettingen, Pleil menyatakan bahwa ia mengetahui tentang pembunuhan yang 3 tahun yang lalu terjadi di Mattierzoll. Pleil telah membuat catatan tentang pembunuhan ini dan menjahitkannya di jasnya. Pengakuan ini baru boleh dibacakan sesudah ia meninggal. la mengaku bahwa ialah si pembunuh. Pleil segera diperiksa oleh polisi kriminal. Lalu 11 pembunuhan yang tadinya tidak terungkap dapat dibuktikan. Pleil mengaku dalam pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya bahwa sebagian banyak kejahatan dilakukannya bersama kawan-kawannya: Karl Hoffmann dan Konrad Schuessler.

Hoffman ditahan di Jerman Timur dan pada tahun 1950 dikembalikan ke Jerman Barat. Pada tahun yang sama juga, Schuessler ditahan di Hamburg.

Sidang utama hakim ketuanya Luettig dan jaksanya Fuhrmann.

G.H. Mostar menyaksikan sidang pengadilan yang paling mengerikan sesudah perang dan ia menulis tentang pelaku-pelaku pembunuhan itu.

Rudolf Pleil dilahirkan beberapa kilometer dari perbatasan Jerman dengan Cekoslowakia. Ia baru berusia 7 tahun ketika Nazi berkuasa dan mengusir keluarganya karena mereka berasal dari Ceko. Di wilayah Ceko, hanya beberapa kilometer dari rumahnya yang lama, ayahnya membuat rumah baru dan hidup dari penyelundupan. Ayah dan ibunya memanfaatkannya untuk menyelundup, sebab tidak ada orang yang lebih mudah keluar masuk perbatasan dari pada seorang anak. Tiga kali ia dimasukkan penjara sewaktu masih kanak-kanak dan tiga kali ia tidak naik kelas meskipun sebetulnya ia bukan anak bodoh. Sesudah tiga tahun menjalankan penyelundupan, ia dapat mendirikan sebuah toko kecil untuk orang tuanya. Kini ia sudah malas menyelundup. Ia mencuri uang dari toko. Ibunya selalu memergoki ia mencuri tetapi pura-pura tidak melihat. Ayahnya jarang melihat dan memukulnya jika ia memergokinya. Akhirnya ayahnya menjadi pemabuk. Rudolf yang berumur 14 tahun membawa uang yang dicurinya dari toko ke wanita-wanita tunasusila. Tapi hal ini tidak memengaruhi hidup selanjutnya.

Ia kembali ke Jerman. Di situ ia berganti-ganti pekerjaan, karena tidak biasa bekerja keras. Penghasilannya sedikit. Ia sempat menjadi saksi yang berguna bagi polisi pada waktu ada penyerbuan orang-orang Ceko ke daerah Jerman.

Kemudian ia disuruh menjadi kacung kapal. Tadinya di kapal-kapal sungai. Ketika musim dingin kapal-kapal tidak bisa berlayar. Ia diusir kembali. Waktu ia berusia 14 tahun dan mengalami malam Natal yang sangat menyedihkan. Hal ini tidak bisa ia lupakan.

Kemudian ia ikut berlayar dengan kapal laut. Waktu Perang Dunia II meletus ia segera diberi kepercayaan sebagai penembus blokade. Ia melihat bagaimana kapal-kapal tenggelam. Ia mencari-cari kesempatan melaporkan kehilangan barang-barang yang sebenarnya tidak pernah dimilikinya. Konon pencurian-pencurian ini dilakukannya sesudah ia menderita penyakit ayan. Perpisahan dengan dunia perairan diakhiri dengan sidang pengadilan yang diadakan di atas geladak sebuah kapal. Semuanya yang sedang berdinas di pelabuhan di mana kapalnya sedang berlabuh harus ikut mendengarkan hukuman yang dijatuhkan kepadanya, agar mereka itu takut menjalankan kejahatan seperti dia. Pleil menceritakannya bahwa dengan bangga ia melihat perkaranya mengundang cukup perhatian dari kalangan media massa dan penonton.

Waktu ia meninggalkan penjara, Perang Dunia II hampir selesai dan ia sudah berusia lebih dari 20 tahun. Ia terjerat dalam birokrasi Jawatan Kesehatan Nazi. Sebagai penderita ayan, ia akan dibuat mandul. Hal itu tidak sampai terjadi karena pesawat-pesawat pembom Amerika keburu menghancurkan bangsal-bangsal operasi pemandulan di kota-kota Dresden dan Chemnitz. 

la dibawa ke kamp kerja Gelobtland dan di situ dipekerjakan sebagai mandor. Wah, kamp kerja itu benar-benar tempat idamannya dan Pleil masih saja senang jika mengingat keadaan di situ. Makan disediakan untuk 200 orang sedangkan tahanan hanya ada 150 orang. Mereka diberi minuman keras siang malam. “Kami minum banyak sekali,” ceritanya di ruang sidang sambil membuat gerakan minum.

la setengah mabuk waktu sekelompok tahanan wanita dan laki-laki digiring melalui Globtland ke kamp konsentrasi Dachau. Beratus-ratus tahanan, terutama perempuan, mati kelaparan. Mayat-mayat ditumpuk sesudah pakaian mereka yang kumal diambil, lalu dikuburkan begitu saja. Dari jendela kamarnya, Pleil melihat tumpukan mayat wanita. Tetapi Pleil tidak merasa ngeri, ia malah tertarik oleh sesuatu yang tidak ia pahami. 5 tahun kemudian ia menulis di buku hariannya di penjara: “Waktu itu saya merasa bahwa saya ini terpanggil untuk membunuh.”

Lalu ia kembali mencari nafkah di perbatasan, sekali ini perbatasan Jerman Timur-Jerman Barat dan disertai pelanggaran perbatasan nilai-nilai rohani.

Bagi Pleil, adanya perbatasan Jerman Timur-Jerman Barat memunculkan kenang-kenangan masa kanak-kanak. Itu adalah kenang-kenangan penyelundupan dan mendapatkan uang dengan cara mudah. Ia mondar-mandir lagi melanggar perbatasan, menghasilkan uang dari kesedihan dan kebingungan sesama manusia. Ia berjualan di seberang perbatasan Jerman Barat, apa yang didapatnya di Jerman Timur. Sekali ini lebih mengasyikkan, sebab bukan barang saja yang menjadi bahan penyelundupan, akan tetapi juga manusia. Beribu-ribu jumlahnya.

Kini ia bukan anak-anak lagi, ia seorang laki-laki dewasa. Ia telah menikah, menjadi pembantu petugas polisi. Tetapi pekerjaan itu tidak memuaskan baginya. Suatu kali tidak sengaja ia melukai seorang asing. Orang ini menggerung dan berdarah. Waktu itu Pleil merasa gairah aneh yang dialaminya di kamp kerja timbul kembali. Gairah yang memuaskan. Wanita tidak memberinya kepuasan. Mereka tidak suka bergaul dengannya. Ia sedih. Akhirnya ia berkenalan dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua dan keji. “Mereka itu harus dibuat tidak bergerak,” saran orang itu, “Saya akan membantumu.” Lalu pembunuhan yang tiada hentinya di perbatasan dimulai.

Biasanya kawan Pleil yang dinamakan “si diplomat” memulai perkenalan. Sering ia menyediakan senjata, kapak atau pisau, kadang-kadang belati juga sudah cukup. Kadang-kadang yang memukul dari belakang kawannya itu, kadang-kadang Pleil. Si kawan tadi biasanya mengambil hasil perampokan yang tidak seberapa, yang kemudian mereka bagi. Tetapi wanitanya selalu untuk Pleil. Adakalanya Pleil juga berani melakukan pembunuhan sendiri saja. Sekali dalam keadaan mabuk yang sangat, ayannya kambuh. Ketika tersadar ia melihat di sebelahnya sesosok mayat wanita berpakaian ski. 

Sekali waktu seorang wanita berkata padanya, “Saya tidak bergairah untuk hidup.” 

Pleil berkata, “Kalau demikian saya bisa membunuh Anda!” 

Wanita itu tertawa mendengar “olok-olok” itu dan waktu ia merasakan pukulan martil yang pertama ia hanya tampak keheranan-heranan....

“Dorongan yang memaksa untuk membunuh sangat kuat,” begitu kata Pleil pada petugas-petugas dan hakim yang memeriksa. Waktu mereka tidak percaya akan apa yang diceritakannya, maka ia meminta agar matanya diikat. Dan dari tujuh martil, ia memilih yang dipakainya sebagai alat pembunuh.

“Tetapi,” kata Pleil, “saya hanya bertindak karena saya tidak bisa berbuat lain. Orang yang satunya tadi hanya mau merampok dan keji. Saya tidak pernah keji. Si diplomat memotong kepala korban dengan pisau penerjun payung. Saya tidak tahan. Sampai kini saya masih memimpikan peristiwa itu.”

“Oleh karena itu saya berpisah dengannya.” Orang itu menurut keterangan Pleil bernama Karl Hoffmann, berusia 37 tahun dan penyelundup seperti dirinya. Hoffmann, yang tidak lebih besar namun lebih kekar dari pada Pleil yang mengarah ke gemuk, berdiri tegak di depan juri dan tidak mau mengaku melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Ia berkenalan dengan Pleil waktu mereka bersama-sama menjadi penjual berkeliling di sesuatu perayaan Natal di rumah Pleil, katanya. Tetapi ia tidak pernah melakukan pembunuhan, sendiri maupun bersama-sama Pleil. Ia tidak pernah berada di Hof, di tempat menurut Pleil telah terjadi pembunuhan. 

Di ruang sidang kemudian terjadi duel kata yang menegangkan antara hakim ketua dan Hoffmann. 

“Pada mulanya Pleil tidak menyebut-nyebut Anda,” kata ketua. “Ia mengaku berbuat kejahatan yang tidak mungkin dilakukan sendiri.” 

“Kalau begitu, maka orang lain yang ikut berbuat, bukan saya,” kata Hoffmann. 

“Anda dikenal kembali orang oleh lima orang saksi di Hoff yang telah melihat Anda pada hari dan tempat kejadian.” 

“Kalau demikian, saksi-saksi itu salah,” kata Hoffmann.

“Anda telah menawarkan pisau penerjun payung Anda kepada salah seorang saksi,” kata ketua, “dan kepada yang lain yang juga telah diminta kesaksiannya, Anda telah menawarkan jam bekas seorang korban.” 

“Saya tidak pernah memiliki pisau penerjun payung, meskipun di Italia pernah hidup bersama sekelompok penerjun dan mengetahui bagaimana rupa pisau itu. Jamnya tidak pernah saya lihat.” 

“Dalam mimpi menurut kesaksian seseorang, Anda pernah berteriak-teriak ‘Rudolf, mengapa kamu mengkhianatiku?’”

“Si Pleil berdusta,” kata Hoffmann.

Hakim ketua memutuskan tanya jawab yang tanpa guna. 

“Ia babi kotor,” kata Pleil, “Akan tetapi si Schuessler adalah orang baik.” Dan ia melihat dengan penuh rasa persahabatan, ya hampir-hampir mesra ke arah tertuduh ketiga, orang yang tertampan dan termuda dari kelompok tiga penjahat itu.

Konrad Schuessler baru saja berusia 18 tahun waktu Pleil berkenalan dengannya. Kini ia berusia 22 tahun dan pernah berdinas 2 tahun di legiun asing. Badannya langsing dan berotot, mukanya tampan dengan hidung yang terlampau besar dan matanya bening. Keningnya yang rendah, yang ditutupi oleh rambut hitam lebat, memberi kesan kurang cerdik. Mungkin dulu ia tampak lebih tampan. Ia jenis orang yang disukai wanita dan jenis lelaki seperti inilah yang ingin dikuasai Pleil.

Pada saat Pleil mencoba untuk meloloskan diri dari kekuasaan Hoffmann, ia mencari seseorang yang disukai wanita, untuk umpan begitulah.

Mula-mula Pleil membujuknya untuk melakukan pencurian mantel, yang mengakibatkan anak berusia 18 tahun ini diganjar 9 bulan penjara.

Ketika Schuessler dikeluarkan dari penjara, Pleil menunggunya di depan pintu. Ia meyakinkan Schuessler bahwa ia tidak bisa pulang pada hari-hari Natal tanpa hadiah. Nah, hadiah “kecil-kecil” itu mudah didapat dengan memukul dan merampok orang yang ingin melalui perbatasan. Schuessler mulai terlibat.

Pleil memukuli seorang wanita setengah baya. Schuessler mendengar perempuan itu berteriak dan ikut memukulinya agar diam. Keduanya kemudian merampok wanita itu, yang 4 tahun kemudian, akan menjadi saksi satu-satunya dari semua korban dan dapat hadir pada sidang pengadilan. Pada waktu itu kedua penjahat ini menyangka perempuan itu sudah meninggal. 

Bersama dengan Schuessler, Pleil dapat menjalankan kejahatan-kejahatannya. Di dekat Vienenhurg, mereka menemukan rumah penjara kereta api yang kosong. Jendela dan pintunya sudah rusak. Mereka membuat api di dalam rumah itu. Apinya tampak dari jauh di malam musim dingin 1947. Dua orang wanita yang tertarik oleh kehangatan api menyala, datang ke rumah tadi. Si Schuessler yang tampan segera saja mendapat kepercayaan wanita-wanita yang mencari perlindungan itu dan mereka masuk tanpa curiga. Oleh Pleil keduanya dipukul mati dengan tongkat besi yang berat. Meskipun demikian, Pleil masih memberikan alat pemukul pada Schuessler, yang sekali lagi memukul. Kemudian kedua wanita dirampok dan dilemparkan ke dalam sumur. Apa yang sebelumnya dikerjakan Pleil tidak tampak oleh Schuessler, yang diharuskan berdiri di luar untuk menjaga.

Kemudian sementara Pleil meneruskan membunuh, Schuessler pergi ke Maroko, ke legiun asing, ke Oran di Aljazair dan ke Vietnam. Ibunya menyurati bahwa ia dicari-cari oleh polisi. Schuessler menyatakan bahwa ia tidak dikeluarkan dari legiun dan bahwa di legiun ia dinasihati agar berganti nama dan melupakan semuanya. Akan tetapi ia melarikan diri untuk kembali ke Hamburg.

Ia ditangkap dan akhirnya mengaku waktu dihadapkan dengan Pleil yang menyatakan, “Kamu boleh menceritakan yang sebenarnya, Konrad!” Selama sidang ia mengakui kesalahannya. Sesudah itu jiwanya tidak pernah tenang. Ia membenci Hoffmann seperti Pleil. Pleil tidak hentinya menyatakan bahwa Schuessler sebenarnya tidak bersalah bahwa pemuda itu dipaksa. Apakah Pleil takut menjadi orang seperti Hoffmann?

“Apa yang telah saya kerjakan memang itu seharusnya saya kerjakan,” kata Pleil. “Setiap orang berhak untuk berlaku seperti yang sudah ditakdirkan. Tetapi Hoffmann tidak boleh berlaku demikian dan Schuessler juga tidak. Tapi Hoffmann memaksa saya sedangkan saya memaksa Schuessler. Hoffmann bersalah terhadap saya dan saya bersalah terhadap Schuessler.”

Hanya beberapa kali selama 3 minggu persidangan, Pleil si pembunuh menangis. Sekali ia tertawa. Ia menangis lama dan terisak-isak, sedangkan tertawanya sebentar dan keras.

Ia menangis pada waktu seorang saksi menceritakan tentang masa kecilnya dan orang tuanya. Tentang ayahnya yang selalu mabuk. Tentang ibu yang bersikap mesra, yang selalu menyembunyikan pencurian-pencurian kecil yang dilakukan anaknya. Ia terharu mendengar cerita bagaimana ia pada waktu kecil membagi-bagikan hasil curian kepada kawan-kawan, bagaimana ia selalu ingin menjadi pemimpin kelompok dan mempertanggungjawabkan segala kejahatan orang lain. 

Mungkin si penjahat menangis karena ia pernah menjadi seorang anak yang tidak berdosa. Ataupun mungkin karena sebagai anak kecil bernama Rudi ia sebenarnya tidak jahat, tapi berubah menjadi pembunuh sesudah Perang Dunia berakhir.

Ia tertawa waktu seorang tahanan lain yang dungu diperiksa karena berhasil ia tipu. Tadinya para petugas menyangka bahwa Pleil melakukan beberapa pembunuhan lain (terbukti bukan dia yang melakukan) di perbatasan Niedersachten pada tahun-tahun sesudah Perang Dunia berakhir. Waktu itu hilang lebih dari 200 orang dan hingga kini tidak pernah ditemukan kembali. Pleil membujuk orang dungu tadi untuk mengakui sembilan dari sejumlah pembunuhan yang tidak terungkap (detail-detail pembunuhan ia ketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan). Katanya, “Bila diperiksa, mengaku saja. Mungkin engkau akan mendapat rokok yang dapat kita bagi.”

Jika dibacakan hasil pemeriksaan mayat-mayat korbannya yang mengerikan, ia segera memberi keterangan seadanya, seakan-akan penuh kepuasan. Jika para anggota keluarga korban menangis, ia menundukkan kepala, tetapi ini ia kerjakan karena begitulah perbuatan yang patut. Jika diterangkan bahwa ia sangat cepat mengingat kembali tempat-tempat kejadian, ia tersenyum bangga. Tidak, ia tidak mempunyai perasaan takut, akan tetapi ia punya rasa humor. Pernah sekali ia dikeluarkan dari sebuah restoran, ia kembali dengan menggunakan jenggot palsu. Ia minum bir dengan para petugas polisi yang mengeluarkannya dan senang bahwa mereka tidak mengenalnya kembali. Waktu jaksa mengusirnya keluar, untuk melunakkan hati jaksa mengirimkan bunga yang ditemukannya di penjara dan menulis, “Biarlah bunga berbicara.” Ia dapat membuat lelucon yang berani tetapi baik. 

Sebenarnya ia cocok bergaul dalam lingkungan lelaki saja. Ia disenangi di sana. Tidak ada seorang pun dari sekian banyak saksi yang menyangka bahwa orang gemuk, berkaki pendek, dan selalu melucu itu dapat melakukan pembunuhan. Sedangkan Hoffmann, yang mukanya keji, gaya jalannya khas dan suaranya sangat tinggi, tampak seperti penjahat. Orang yang hanya melihatnya sekali saja mengenalnya kembali sesudah beberapa tahun karena ciri-ciri khasnya yang tidak bisa dilupakan.

Pleil tidak mempunyai ciri khas. Orang tidak akan mengenalnya kembali dengan mudah. Tetapi ada juga yang ingat akan kerapiannya berbusana, (waktu menghadap pengadilan setiap hari ia berganti dasi), keramahan, dan selera humornya.

Dua orang ahli mencoba menerangkan tabiat Pleil. Yang seorang ahli psikiatri dan yang seorang lagi ahli kedokteran pengadilan. Sang psikiater menemukan empat komponen yang menyebabkan Pleil melakukan pembunuhan. Itu adalah ia berpenyakit ayan ringan, seorang peminum kuat, dan ada gejala sadis dalam tabiatnya dan masa perang (di mana Pleil dibesarkan) serta masa sesudah perang (di mana ia membunuh).

Semuanya tadi menyebabkan si anak perbatasan menjadi angin topan dalam bentuk manusia, yang lari melewati perbatasan negaranya, merusak apa yang ditemukannya di perjalanan.

Ahli kedokteran pengadilan melihat Pleil dari sudut lain. Pleil sangat cerdas, katanya, sebenarnya ia cukup cerdas untuk melihat bahwa perbuatannya sangat jahat. Lagipula ia mempunyai kemauan yang cukup kuat untuk berbuat sesuai dengan kecerdasannya tadi. Akan tetapi ia tidak memiliki perasaan sama sekali. Itu benar. Hanya beberapa kali selama persidangan Pleil mencoba untuk berpura-pura kasihan pada para korban. Ia tidak berhasil meskipun sebenarnya ia aktor yang baik. Akhirnya tidak dicobanya lagi. Jadi apakah seorang manusia yang tidak punya perasaan sama sekali mempunyai pengertian untuk keagungan jiwa dan hidup manusia? Inilah yang tidak normal dalam jiwa Pleil, kata ahli.

Sidang menjatuhkan hukuman yang sama bagi Pleil, Hoffmann, dan Schuessler. Ketiga lelaki itu harus menjalankan sisa hidupnya di belakang tembok penjara karena telah melakukan pembunuhan-pembunuhan yang sangat keji. Pembunuhan-pembunuhan itu tidak bisa diampuni.

Karena penjahat-penjahat seperti Pleil, tidak akan dikejutkan oleh hukuman yang diberikan manusia dan mereka tidak akan dapat diperbaiki.

Pada tanggal 18 Februari 1958, Rudolf Pleil mengadili dirinya di Penjara Celle. la ditemukan tergantung di dalam selnya. Sebagian orang menyatakan jika ia membebaskan diri.

(Gerhart Herrmann Mostar dan Robert A Stemmle)

Baca Juga: Salah Hitung

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553761005/hanya-satu-korban-masih-hidup" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683802736000) } } [16]=> object(stdClass)#181 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726473" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#182 (9) { ["thumb_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/pembunuhan-waktu-dini-harijpg-20230406072759.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#183 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(127) "Seorang petani tewas tertembak sekitar dini hari. Pengusutan membawa polisi pada dua penjahat yang melakukan banyak perampokan." ["section"]=> object(stdClass)#184 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/pembunuhan-waktu-dini-harijpg-20230406072759.jpg" ["title"]=> string(26) "Pembunuhan Waktu Dini Hari" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:28:09" ["content"]=> string(38213) "

Intisari Plus - Seorang petani tewas tertembak sekitar dini hari. Pengusutan membawa polisi pada dua penjahat yang melakukan banyak perampokan.

---------

Istri petani itu tiba-tiba terbangun. la mendengar suaminya turun dari tempat tidur dan berlari ke gang. Kemudian terdengar suaranya berseru-seru, seperti mengusir. Istri petani memanggil-manggil dari tempat tidur, menyuruhnya masuk kembali.

“Kau bermimpi, Wilhelm!” 

Petani itu memang agak sering juga mengigau dalam tidur dan kelayapan di bar.

Tapi tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Petani berteriak minta tolong, disusul dentaman bunyi tembakan beruntun. Terdengar pintu pekarangan tertutup dengan keras serta langkah bergegas di luar. Setelah itu — sepi.

Kini istri petani meloncat dari tempat tidur. la lari ke gang. Di situ dilihatnya suaminya terkapar dalam posisi menelungkup di lantai. Darah tergenang di bawah dada, makin lama semakin melebar. Istri petani terpekik melihatnya

Mendengar teriakan ibunya, anak laki-laki keluarga itu terbangun, lalu muncul bergegas dari kamarnya. Dengan cepat ia mengerti apa yang telah terjadi. Ia berbalik, hendak mengambil pistol yang disimpan di tempat tersembunyi. Maksudnya hendak mengejar penembak ayahnya. Tapi ibunya mencegah. Dalam keadaan bingung, keduanya lantas membuka pintu rumah dan bergegas ke halaman depan. Saat itu tampak seseorang lari melintas. Orang itu menembak ke arah mereka, tapi tidak mengenai sasaran.

Sementara itu wanita pelayan di pertanian itu ikut terbangun, lalu keluar dari biliknya yang menghadap ke gang. Pekerja pertanian, yang tidur dalam kandang sapi di ujung rumah, juga sudah muncul.

Anak petani berlari ke desa, memanggil dokter dan polisi desa. Sementara itu mereka yang tinggal mengangkat petani dengan hati-hati. la dibaringkan di tempat tidur. Tapi nyawanya tidak bisa diselamatkan lagi. la meninggal dalam usia 40 tahun.

Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 04.00 dini hari tanggal 31 Maret 1937, di sebuah desa pinggiran kota Bremen di Jerman Utara. Bremen merupakan kota bebas dengan wewenang kepolisian tersendiri. Tapi desa itu termasuk wilayah wewenang daerah Prusia. Karena itu kepala dinas kepolisian desa di samping melapor pada kejaksaan yang berwenang di Verden/Aller. Ia juga memberitahukan jawatan kepolisian daerah Prusia yang bertempat kedudukan di kota Hannover.

Dengan segera Komisaris Karl Kiehne, kepala dinas kriminal kepolisian di Hannover berangkat ke desa itu. la disertai petugas penyidik, juru foto serta seorang petugas pembantu. Sesampai di desa itu, ternyata di sana sudah hadir Komisaris Bollmann dari dinas kriminal kepolisian kota Bremen bersama sejumlah anak buahnya. Mereka juga diminta datang karena ada kemungkinan pelaku pembunuhan berasal dari kota itu.

Sementara itu diperoleh keterangan, telah terjadi pencurian dengan jalan paksa di beberapa desa sekitar situ, termasuk di desa itu sendiri. Karenanya kemudian diadakan pembagian tugas. Polisi Bremen bersama kepolisian desa mengadakan penyidikan di tempat-tempat peristiwa pencurian, sedang regu dari Hannover memeriksa peristiwa pembunuhan. Kedua rombongan itu berpisah, setelah bersepakat akan bertemu lagi malamnya untuk saling bertukar informasi.

Kemudian Komisaris Kiehne beserta orang-orangnya memulai pelacakan. Mula-mula sekeliling tempat pertanian yang diperiksa. Walau sebelum mereka sudah ada orang-orang lain berkeliaran di situ, sehingga jejak-jejak yang barangkali ada mungkin sudah menjadi kabur atau bahkan terhapus, tapi mereka mematuhi prinsip kriminalistik: menghampiri tempat mayat ditemukan dari arah luar. Sedapat mungkin bergerak memutar sambil menuju ke tempat kejadian.

Di depan rumah tampak jejak ban sepeda. Polanya khas, jadi bisa dipakai untuk penyidikan selanjutnya. Di belakang rumah ditemukan jejak sepatu, mengarah ke jendela berdaun dua, masing-masing dengan tiga lembar kaca. Kaca atas sebelah kiri terlepas dari bingkainya, sehingga terdapat lubang di situ berukuran 25 x 40 sentimeter. Bingkai jendela di bawahnya rusak. Di situ tampak serat benang wol hitam tersangkut. Pasti pelaku masuk lewat dari situ karena pada ambang jendela nampak jejak sepatu bertumit karet dengan tanda-tanda jelas. Petugas penyidik merekam semua jejak, termasuk sidik jari di bingkai jendela.

Jendela itu letaknya di dapur belakang. Dari situ orang bisa masuk ke gang lewat dapur. Di sisi kanan terdapat ruang duduk dan ruang keluarga. Tampak meja tulis tertutup. Tutupnya dalam keadaan terbuka. Menurut keterangan istri petani, uangnya hilang sebanyak 30 pfennig dari meja itu. Dalam kamar tidur besar yang bersebelahan dibaringkan mayat petani, hanya dalam baju tidur.

Dilihat sepintas sudah bisa dilihat dua lubang bekas tembakan di dada sebelah kiri. Satu tembakan lagi rupanya mengenai lengan kanan. Tapi pemeriksaan lebih cermat serta penetapan sebab kematian diserahkan pada petugas autopsi yang menurut rencana akan datang siang itu.

Polisi desa sebelumnya sudah menemukan empat selongsong peluru di lantai gang. Semua kaliber 9 mm. Komisaris Kiehne kini mencari lubang-lubang bekas tembakan serta proyektil, agar bisa merekonstruksi posisi penembak. Satu proyektil ditemukan dalam bak umpan hewan di gang lumbung yang bersebelahan letaknya dengan tempat kejadian. Satu lagi menancap pada ambang pintu, satu di dinding gang. Sedang proyektil keempat mengenai pohon di depan rumah, sekitar tiga meter di atas tanah. Proyektil itu rupanya yang menyebabkan lubang pada bingkai pintu rumah.

Rekonstruksi arah tembakan dilakukan dengan bantuan benang panjang. Tembakan pertama mungkin terjadi ketika petani menyalakan lampu. Ketika pencuri keluar dari kamar duduk setelah mengacak-acak isi meja tulis, tahu-tahu ia melihat jalan larinya terpotong, lalu langsung menembak. Demikian perkiraan Komisaris Kieane. Sedang tembakan-tembakan berikut mungkin menyusul dengan segera ketika korban dan pelaku kejar-mengejar mengelilingi meja yang terdapat di tengah gang. Sedang peluru keempat mungkin tembakan nyasar.

Malamnya diperoleh informasi hasil penyelidikan spesialis perkara pencurian dari regu Bremen, yang mencatat 13 pencurian di daerah desa dan sekitarnya. Kecuali di satu tempat, pencuri selalu masuk lewat lubang jendela yang sempit. Pelaku itu selalu mengincar uang tunai.

“Bagaimana dengan waktu kejadian?” tanya Komisaris Kiehne. 

“Semua malam ini, sekitar puku 12.00 sampai 04.00 dini hari.”

Setelah dilakukan pencocokan cara kerja yang sama, ditarik kesimpulan bahwa pelaku pencurian itu besar kemungkinannya orang yang membunuh petani. Tapi penyelidikan selanjutnya di masing-masing bagian tidak menghasilkan apa-apa. Baik  di Bremen maupun di Hannover, tidak bisa diketahui siapa pelaku itu berdasarkan file sidik jari yang ada. Karena itu keesokan harinya kedua regu bekerja sama kembali.

Dari daerah Delmenhorst-Bremen masuk laporan: terjadi sejumlah pencurian dengan jalan paksa, memakai cara kerja yang serupa. Di mana-mana yang diincar selalu uang tunai. Cuma di beberapa tempat saja diambil bahan makanan. Di satu rumah petani dilaporkan kehilangan sepeda yang masih cukup baru. Tapi di situ ditemukan pula sepeda tua yang bannya kempes. Penyelidikan yang dilakukan menunjukkan bahwa jejak ban sepeda di depan rumah tempat pembunuhan berasal dari ban sepeda tua itu. Jadi jejak pembunuh sampai ke Delmenhorst, yang rupa-rupanya berkeliaran naik sepeda.

Sementara itu pemeriksaan secara sistematis di semua tempat kejadian menghasilkan keterangan saksi yang dirasakan besar gunanya mengenai orang yang mungkin pelaku kejahatan itu. Seorang gadis berumur 16 tahun, pembantu rumah tangga di suatu tempat pertanian dalam kesaksiannya mengatakan:

“Saya melihat jam. Saat itu sekitar pukul 02.40. Saya terbangun karena mendengar bunyi menggeresek di balik jendela. Saya mendengar langkah kaki orang di luar. Dengan segera saya pergi ke kamar duduk yang letaknya di sebelah, tapi tanpa menyalakan lampu. Saya melihat seorang laki-laki yang berjalan sambil mendorong sepeda. Ia lewat di depan jendela kamar saya. la mengenakan jas yang agak panjang. Pasti tidak memakai pantalon, tapi mungkin bersepatu lars berwarna gelap ....”

Berdasarkan identifikasi itu Komisaris Kiehne lantas menyebar luaskan berita pencarian secara besar-besaran. Salinan berita juga dikirimkan ke negara-negara tetangga melewati jalan tidak resmi, yaitu melalui para komisaris daerah perbatasan. Komisaris Kiehne memutuskan untuk melakukannya, karena arah gerak pelaku menuju ke Belanda. Kesimpulan ini diperoleh, melihat tempat-tempat terjadinya pencurian, disesuaikan dengan perkiraan waktu terjadinya.

Sementara itu sudah diperoleh hasil autopsi. Di situ tertulis:

“Tiga tembakan mengenai tubuh petani. Dua masuk ke dada dari depan dan tembus ke punggung. Satu dari kedua tembakan ini menewaskannya, yaitu yang melukai bilik jantung sebelah kanan dan merobek otot jantung. Kematian terjadi karena perdarahan. Tembakan ketiga miring arahnya, menembus lengan kanan....”

Kemeja korban serta robekan kulit di tempat peluru menembus tubuh korban diserahkan pada pengadilan untuk diperiksa selanjutnya. Ini dilakukan atas permintaan Komisaris Kiehne, yang menginginkan pemeriksaan dengan mikroskop guna menentukan dari jarak mana tembakan dilepaskan. Pihak kejaksaan setuju bahwa pemeriksaan itu dilakukan oleh Profesor Mueller, direktur institut kedokteran hukum pada Universitas Goettingen, yang sudah berulang kali bekerja sama dengan Komisaris Kiehne dalam berbagai perkara pembunuhan.

Dengan pertimbangan serupa, Komisaris Kiehne juga menyarankan pada pihak kejaksaan agar proyektil dan selongsong yang dijumpai di tempat kejadian diperiksa oleh dr. Heess dari lembaga kimia daerah di Stuttgart, bagian tehnik kimia dan kriminalistik. Dengan bantuan suatu alat yang waktu itu masih baru, di situ bisa dikenali jejak-jejak khas pada peluru dan selongsong sehingga bisa ditarik kesimpulan tentang senjata yang dipakai.

Setelah itu setiap hari Komisaris Kiehne sibuk menyimak lembaran-lembaran berita kepolisian kriminal dari Berlin, baik yang baru masuk maupun yang sudah lewat. Laporan-laporan itu memuat perkara-perkara kejahatan terpenting yang terjadi di daerah negara Jerman masa itu. Komisaris Kiehne mengharapkan akan bisa menemukan jejak pembunuh yang dicari berdasarkan indikasi cara kerja serupa. 

Dalam penelaahan itu ditemukannya lembaran berita Nomor 2711. Di situ dilaporkan bahwa pada malam menjelang tanggal 9 Maret 1937, jadi tiga minggu sebelum peristiwa pembunuhan, seorang polisi desa di Emsland mengalami pencurian. Kecuali uang tunai, polisi itu juga kehilangan pistol dinasnya merek Parabellum kaliber 99 mm bertanda “L.O 144”, lengkap dengan dua magasin berisi peluru 16 butir serta tas pistol. Di situ pencuri juga masuk lewat lubang jendela yang sempit.

Sayang polisi itu tidak memiliki proyektil peluru yang sudah ditembakkan serta selongsongnya untuk dijadikan bahan perbandingan. la hanya bisa mengirimkan dua butir peluru senjata itu. Peluru-peluru itu bertanda “P 24”. Pada dua selongsong peluru yang ditemukan di tempat kejadian juga tertera tanda itu.

Keesokan harinya ternyata bahwa penyebarluasan salinan sidik jari yang ditemukan di tempat pembunuhan, besar sekali gunanya. Dari Württemberg, dari daerah sekitar Dessau, dari ruang wilayah antara Berlin dan Guben, dari Westfalen dan Bergisches Land masuk keterangan mengenai kejadian-kejadian, yang melihat cara kerja serupa serta sidik jari yang berhasil ditemukan menunjukkan kemungkinan bahwa pelakunya orang yang sama. Ternyata dalam waktu tiga bulan saja ia telah melakukan pencurian sebanyak sekitar 300 kali!

Juga dari Belanda datang surat penting. Kepolisian Groningen memberitahukan bahwa di situ juga terjadi serangkaian peristiwa pencurian yang dilakukan dengan cara serupa. Sidik jari yang ditemukan juga sama dengan yang terdapat di tempat pembunuhan terjadi. Sebagai bukti dikirimkan salinan sidik jari itu. Dengan segera diminta pada kepala bagian identifikasi Hannover, Lindner, untuk menelitinya. Ternyata para rekan mereka di Belanda tidak keliru.

Dari Bremen juga masuk kabar baik. Di sana diterima laporan dari manajer sebuah hotel. Manajer itu melaporkan seorang tamu hotel yang gerak-geriknya mencurigakan. Ia sering pergi malam-malam. Juga pada malam pembunuhan. Keterangan diri tamu itu: “... mantel panjang yang dipotong, celana hitam sampai lutut serta sepatu lars berwarna hitam.” Ini persis dengan identifikasi yang diperoleh di desa tempat pembunuhan terjadi. Jadi benang wol hitam yang ditemukan tersangkut di ambang jendela rumah petani yang menjadi korban, mungkin berasal dari kain celana itu. Dan ketika seorang wanita pelayan kamar di hotel itu membenarkan keterangan atasannya sambil menambahkan, “gigi taringnya sebelah atas ompong,” dan bahwa ia melihat tamu itu memiliki pistol serta uang recehan sejumlah besar, jejak pelacakan menjadi semakin hangat.

Pihak kepolisian dinas kriminal di Bremen tidak melepaskan jejak itu lagi. Mereka berhasil mengorek keterangan bahwa tamu tak dikenal itu pernah bercerita, ia bekerja pada sebuah perusahaan Belanda dan saat itu berkunjung ke Bremen karena hendak bertunangan dengan seorang penari. Di buku tamu hotel, ia mencatatkan diri dengan nama Willie Ziegler, tenaga tehnik. Asal Dessau.

Polisi Bremen juga mendapat keterangan bahwa orang yang mengaku bernama Ziegler itu pernah mengirimkan keranjang berisi sarapan pagi serta buket kembang pada seorang penari. Polisi lantas mencari penjual kembang bersangkutan sampai ketemu. Dari penjual itu diperoleh keterangan, hadiah-hadiah yang berasal dari orang yang dicurigai itu dikirim ke alamat seorang penari yang katanya tinggal di suatu hotel tertentu. Nama hotel itu juga dilaporkan.

Ketika para petugas datang ke hotel bersangkutan, ternyata penari yang dicari sudah pergi sehari sebelumnya. Tapi untungnya, kamar yang ditempatinya belum dibenahi. Di atas meja tergeletak buket kembang yang sudah layu. Pada buket terselip kartu nama.

“Max Peter N. Inspektur Pertamanan.” Ditambah alamat yang ditulis dengan tangan “Haarlem/Nederland.”

Keesokan harinya Komisaris Kiehne menerima radiogram dari Bremen, yang memberitahukan bahwa Komisaris Wisman dari perbatasan Belanda akan datang sehari setelah itu ke Bremen, untuk berunding dengan petugas-petugas Jerman yang menangani perkara pembunuhan petani. Ketika Kiehne tiba di Bremen, ternyata kecuali Wisman yang datang dari Nieuwe Schans, desa perbatasan di rute Leer-Groningen, ikut hadir pula jaksa yang menangani perkara itu serta para petugas dinas kriminal Bremen yang waktu itu datang ke tempat pembunuhan terjadi. Semua berkumpul di kamar kerja kepala dinas kriminal kota Bremen, Bollmann.

Komisaris Wisman, yang mengenal baik wilayah kota Bremen, membawa sejumlah besar dokumen termasuk salinan sidik jari serta contoh-contoh tulisan tangan. Tapi pihak Jerman benar-benar tidak menduga kata-kata yang diucapkannya sebagai pembuka.

“Kemarin polisi kriminal di Groningen berhasil menyergap orang yang dicari di tempat tidur dan menangkapnya,” kata Wisman.

Tepat pada saat itu Inspektur Otte dari dinas kriminal kota Bremen memasuki ruang rapat. la meletakkan sepucuk kartu pos dari Belanda di atas meja di depan atasannya, disertai komentar,

“Ini baru saja saya temukan di hotel.”

Bollmann merasa jengkel karena Otte dengan seenaknya saja mengganggu rapat.

“Ada apa dengan kartu itu?” tukasnya. 

“Anda tidak melihatnya? Dialamatkan pada Willi Ziegler!” 

“Lalu?” 

Inspektur Otte heran melihat atasannya tidak langsung mengerti.

“Bandingkan tulisan pada kartu pos dengan tulisan pada kartu nama ini,” katanya menjelaskan, sambil menyodorkan kartu nama Max Peter N. Inspektur Pertamanan, yang ada tambahan alamat ‘Haarlem/Nederland’ dengan tulisan tangan.

Atasannya membanding-bandingkan kedua tulisan tangan itu, disaksikan yang lain-lainnya. Dengan wajah berseri Bollmann akhirnya menyatakan, “Ya, besar sekali kemungkinannya kedua tulisan ini dibuat oleh orang yang sama. Rupanya orang yang mengaku bernama Ziegler mengirim kartu pos pada dirinya sendiri dari Belanda, untuk menutupi pelariannya ke sana.”

Saat itu Komisaris Wisman menyela. la menyodorkan contoh tulisan tangan orang yang ditangkap di Groningen, yang mengaku bernama Max Peter N. Setelah dibanding-bandingkan dengan cermat, ternyata tulisannya identik dengan tulisan Ziegler. Komisaris Wisman menyerahkan lembaran sidik jari tangan tersangka kepada komisaris Kiehne, agar dia ini bisa melancarkan pemeriksaan identifikasi untuk mengetahui apakah Max Peter N. merupakan nama yang sebenarnya atau tidak. Wisman juga menyarankan agar semua yang hadir saat itu juga ikut ke Groningen.

Pihak Jerman saling berpandang-pandangan. Semua mengingat adanya hambatan birokrasi yang tidak memungkinkan mereka dengan begitu saja pergi ke luar negeri untuk urusan dinas. Tapi Wisman langsung menyela.

“Biaya di Belanda, biar saya saja yang menanggung,” katanya. “Perjalanan ini ‘kan bisa diatur secara tidak resmi. Nanti di perbatasan saya akan memberitahukan dulu pada para petugas kami, sehingga Anda semua bisa memasuki wilayah kami tanpa formalitas sedikit pun.”

Dan benarlah, semua berlangsung dengan lancar, walau tidak resmi. Iring-iringan mobil mula-mula mampir di rumah Wisman yang terletak dekat perbatasan. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan mobil petugas polisi Belanda itu.

Komisaris Wisman membawa mereka ke gedung polisi bagian kriminal di Groningen. Di sana pihak yang menangani kasus itu memaparkan proses penangkapan. Mereka juga menunjukkan barang-barang yang ditemukan pada orang Jerman yang ditangkap. Semuanya terletak di atas meja. Komisaris Kiehne dengan segera mengenali dua pistol Parabellum, lalu mengambilnya. Yang satu berstempel “L.O. 144”. Rupanya itu senjata api dinas polisi desa Emsland yang hilang.

Di samping kedua pistol itu terletak empat magasin yang masih berisi peluru, sebagian di antaranya berstempel “P 24”.

Kemudian polisi Belanda yang menangani kasus itu menawarkan kesempatan pada Kiehne untuk berbicara dengan orang yang ditangkap. Dan kalau perlu, juga bisa langsung dibawa ke Jerman. Tapi mengingat orang itu disangka melakukan paling sedikit 20 pencurian di Belanda, maka ia harus diadili dulu di negara itu, sebelum menyusul penyerahannya secara resmi ke Jerman. Demikian instruksi kejaksaan Belanda.

Beberapa menit kemudian Komisaris Kiehne dengan ditemani rekannya yang bernama Elster sudah berhadap-hadapan dengan Max Peter N. alias Willi Ziegler. Begitu orang itu masuk, Kiehne langsung melihat bahwa gigi taringnya sebelah atas tidak ada lagi. Max Peter tersenyum ramah ketika masuk. Matanya terpicing.

“Saya tahu, Anda datang dari Jerman,” katanya pada Komisaris Kiehne. “Saya mengakui segala perbuatan pencurian, juga di desa di mana petani itu mati tertembak.”

Max Peter bahkan mau membuat sketsa tempat kejadiannya. la menjelaskan cara dia masuk ke rumah petani itu.

“Ini jendela tempat saya masuk,” katanya. “Dan ini pintu yang ada di samping jendela, yang saya buka supaya teman saya Albert bisa masuk. Saya menunggu di pintu sini, untuk mengamankan jalan ke luar. Sementara itu Albert masuk ke dalam untuk mencari tempat penyimpanan uang. Tapi kemudian saya mendengar suara seseorang berseru-seru menyuruh keluar disusul bunyi tembakan beberapa kali. Albert muncul sambil berlari-lari. Kami lari mengitari rumah, menuju tempat sepeda kami....”

Kedua petugas kepolisian sebelumnya sudah sepakat membiarkan Max Peter bercerita tanpa selingan pertanyaan. Soalnya, mereka tidak ingin orang itu bisa menarik kesimpulan apa saja yang belum diketahui polisi, dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sementara itu Max Peter melanjutkan pengakuannya.

“Sehabis pencurian terakhir di desa Niedersachsen itu kami lantas berpisah. Saya tidak tahu di mana Albert sekarang, walau setelah itu kami masih beberapa kali berjumpa. Kedua pistol beserta peluru dihadiahkannya pada saya sebagai tanda mata.” 

Max Peter N. tersenyum lagi dengan ramah.

Barang-barang bukti diserahkan oleh Komisaris Wisman pada rekannya dari Jerman. la juga mengantarkan mereka pulang lewat jalan sama. Dalam perjalanan kembali ke Bremen, Komisaris Kiehne berunding dengan Elster mengenai kelanjutan pemeriksaan.

Kiehne mengatakan, senjata dan peluru-pelurunya akan segera dikirimkan pada dr. Heess dari lembaga kimia daerah di Stuttgart, supaya diselidiki kesamaannya dengan proyektil dan selongsong yang ditemukan di tempat pembunuhan terjadi.

“Saya ingin tahu apakah Max Peter seorang diri pada saat pembunuhan itu atau memang benar-benar ada kawannya bernama Albert,” kata Elster. “Masa dia tidak tahu siapa nama keluarga kawannya itu.”

“Anda tadi juga sempat memperhatikan bahwa dia nyaris terlanjur bicara, ketika saya bertanya dari mana dia kenal Albert?” kata Kiehne. “Ia mengatakan berkenalan dengan kawannya itu di sebuah perusahaan tanam-tanaman di L., di mana ia pernah bekerja. Mereka tinggal bersama-sama di sebuah losmen.”

“Kalau itu betul, pasti Max juga tahu namanya yang lengkap,” sela Elster. 

“Kita harus segera minta informasi ke L,” kata Komisaris Kiehne. “Saya rasa mereka sungguh-sungguh pernah tinggal di sana, tapi sudah saling mengenal sebelum itu. Siapa tahu, kita bernasib mujur.”

Mereka ternyata memang mujur. Di sebuah losmen di L., berhasil diperoleh nama Albert selengkapnya. Dalam buku tamu di situ tertera nama Albert W. dari suatu desa di daerah Lausitz.

Pencarian dirinya lantas diberitahukan dalam lembaran dinas kepolisian kriminal Jerman. Sebagai jawaban masuk sejumlah kabar dari pihak kejaksaan berbagai tempat, yang mencari Albert W. dengan tuduhan melakukan sejumlah tindakan kejahatan. Di antaranya pencurian dengan jalan paksa di sebuah toko alat-alat senjata di J., di mana antara lain berhasil dicuri sebuah pistol Parabellum kaliber 9 mm. Nomor serialnya cocok dengan nomor senjata genggam yang ditemukan pada diri Max Peter di Belanda.

Jadi mungkin memang Albert terlibat dalam perkara pembunuhan itu, demikian dugaan Komisaris Kiehne.

Orang bersangkutan tidak lama kemudian tertangkap di tempat asalnya. Komisaris Kiehne lantas berangkat ke Lausitz. Albert W. ternyata penjahat yang bermental keras. la hanya mau mengakui perbuatan yang bisa dibuktikan seratus persen merupakan perbuatannya. Tapi karena polisi di Lausitz banyak memiliki bukti-bukti, dalam waktu dua hari Albert W. memberikan pengakuan pertama. Setelah itu menyusul pengakuan-pengakuan selanjutnya. la juga mengakui melakukan serentetan pencurian bersama Max Peter N. di tempat-tempat sekitar L., di mana ia tinggal bersama kawannya itu. Tapi ia membantah keikutsertaannya dalam perkara pencurian yang berakhir dengan pembunuhan di desa Niedersachsen, yang sedang diselidiki Komisaris Kiehne.

Namun Kiehne tidak lekas putus asa. Ia mendesak terus, sambil berulang kali mengemukakan keterangan Max Peter, serta pencurian pistol yang sudah diakuinya dan sangat memberatkan dirinya. Akhirnya karena bingung, Albert W. mengakui sejumlah pencurian lagi di beberapa vila di sekitar Berlin, yang dilakukannya bersama seorang kawan lain. Dan salah satu pencurian di antaranya dilakukan pada malam pembunuhan.

Albert W. berhasil membuktikan keterlibatannya dalam pencurian pada malam itu, dengan menunjukkan berbagai jejak di tempat kejadian serta tempat barang hasil curian disembunyikan. Dengan begitu ia terlepas dari kecurigaan ikut terlibat dalam pembunuhan petani. Soalnya, tempat kejadian di Niedersachsen itu terlalu jauh dari Berlin.

Jadi Max Peter N. ternyata berbohong. Ia sudah tidak bersama-sama Albert W. lagi, sejak delapan hari sebelum peristiwa pembunuhan. 

Sekembalinya Komisaris Kiehne dari Lausitz, di meja kerjanya sudah ada laporan para ahli yang menyelidiki barang-barang bukti. Di antara laporan yang datang berdasarkan hasil penelitian Profesor Mueller dari institut kedokteran hukum di Goettingen ternyata korban ditembak dari jarak 120 sampai 170 sentimeter. Sedang keterangan lain-lainnya, sesuai dengan hasil pemeriksaan petugas autopsi. Laporan yang datang dari dr. Heess ternyata membenarkan dugaan Komisaris Kiehne: semua proyektil dan selongsong peluru yang dijumpai di tempat kejadian berasal dari satu pistol, yaitu pistol dinas polisi desa yang dicuri di Emsland. Pistol Parabellum 9 mm dengan stempel “L.O. 144”.

Keterangan Max Peter N. yang menyatakan bahwa Albert yang menewaskan petani dengan tembakan-tembakannya, ternyata tidak benar berdasarkan penyelidikan Komisaris Kiehne di Lausitz. Dengan mempertimbangkan kesaksian ahli-ahli, bisa dianggap pasti bahwa Max Peter N. sendiri yang melakukan tembakan yang mencabut nyawa petani malang itu. 

Sementara di Belanda berlangsung perkara pengadilan terhadap orang itu, yang didakwa melakukan serentetan pencurian di sana. Komisaris Kiehne sudah tidak sabar lagi menunggu-nunggu saat ekstradisi orang itu, karena ingin bisa menyelesaikan penyelidikan perkara pembunuhan yang ditangani olehnya. Akhirnya pada akhir tahun, saat yang ditunggu-tunggu datang juga. Max Peter N. diserahkan oleh pihak Belanda pada pengemban hukum di Jerman.

Tapi mereka mengajukan persyaratan. Sebelum Max Peter menjalani hukuman yang akan dijatuhkan terhadap dirinya di Jerman, terlebih dulu ia harus dikembalikan pada pihak berwenang di Belanda. Ia dijatuhi hukuman penjara empat tahun di negara itu. Ekstradisi sementara itu merupakan tindakan kompromi yang sangat luwes dari pihak kehakiman Belanda, karena sebenarnya mereka bisa saja menahan Max Peter sampai ia selesai menjalani hukumannya di sana.

Max Peter N., beberapa hari setelah penyerahannya pada pihak Jerman kemudian diangkut ke Hannover, di mana dilanjutkan pemeriksaan terhadap dirinya oleh Komisaris Kiehne, yang dibantu oleh dua orang asisten, masing-masing Lorenz dan Thiele.

Ketika bertatapan muka kembali dengan Kiehne, Max Peter tersenyum ramah. Persis seperti dalam perjumpaan pertama di Groningen delapan bulan sebelum itu. Gigi taringnya sebelah atas juga masih tetap ompong. Ia memakai celana hitam yang panjangnya sampai lutut, serta sepatu lars yang juga berwarna hitam. Komisaris Kiehne bertanya-tanya dalam hati, itukah pakaian yang dikenakan Max Peter pada malam pembunuhan? Kenapa justru itu yang dipakainya? Mungkinkah Max Peter kini bertukar siasat? Komisaris Kiehne bersikap waspada.

Tapi ia masih sempat dibikin kagum, betapa baik ingatan orang yang duduk di hadapannya itu. Berbagai perincian kejadian diingatnya dengan baik, padahal tidak sedikit pencurian yang sudah diakuinya.

Pemeriksaan sudah berlangsung selama 14 hari. Sekitar 300 kasus pencurian berhasil dijelaskan. Selama itu Komisaris Kiehne dengan sengaja tidak menyinggung-nyinggung soal pembunuhan. Secara sistematis diurutnya rute aksi pencurian yang dilakukan oleh Max Peter. Ia ingin terlebih dulu mengenali watak orang itu dengan secermat-cermatnya. Ia juga berharap tersangka akan menaruh kepercayaan padanya.

Hari ke-15 dalam proses pemeriksaan, barulah dibicarakan perkara pencurian di rumah petani, yang berakhir dengan peristiwa penembakan yang mengakibatkan kematian petani itu. Ternyata segala-galanya berjalan lebih lancar daripada perkiraan Komisaris Kiehne sebelumnya. Max Peter N. melukiskan urut-urutan kejadian, persis seperti hasil rekonstruksi polisi berdasarkan jejak-jejak yang dijumpai. Menurut keterangan Max Peter, rupanya petani itu terbangun ketika ia sedang berada dalam kamar duduk dan mengambil uang di meja tulis, yang menimbulkan bunyi menggerincing.

“Sekali itu saya tidak berhasil lari tanpa ketahuan,” kata Max Peter dalam keterangannya. “Dalam gang saya kepergok dengan petani, tepat pada saat dia menyalakan lampu. Saya masih sempat berseru agar dia jangan maju — kalau tidak akan saya tembak. Saat itu pistol ada dalam kantong jas sebelah kanan, dalam keadaan terisi. Pistol saya ambil, lalu saya acungkan ke sosok tubuh yang datang mendekat. Picu saya tarik — tapi ternyata palang pengaman masih terpasang. Dengan tangan kiri saya geserkan palang itu. Pistol saya acungkan kembali, disusul tembakan beberapa kali ke arah orang itu.”

Ia menembak berulang kali, sampai tubuh petani tidak berkutik lagi di lantai. 

“Setelah itu saya lari ke luar,” sambung Max Peter. “Saya terpaksa mengitari rumah, menuju ke sepeda saya. Saat itu saya melihat dua orang berdiri dekat pintu rumah....” Tapi ia tidak mengaku melakukan tembakan lagi saat itu. Karena juga tidak ditemukan jejak-jejak yang membantah keterangannya itu, maka harus dianggap bahwa istri petani serta anak laki-lakinya salah dengar. Hal itu tidak mengherankan. Mungkin bunyi keempat letusan pertama masih terngiang di telinga mereka.

Bulan Juni 1938, 14 bulan setelah peristiwa terjadi, Max Peter N. diajukan ke pengadilan, dengan tuduhan membunuh petani dan melakukan serentetan pencurian sebanyak 60 kali. Pihak kejaksaan membatasi jumlah tuntutan pada kasus yang berat-berat saja.

Dalam kesempatan rekonstruksi di tempat kejadian, Max Peter N. mendapat kesempatan melihat lagi gang dalam rumah petani di mana terjadi tembakan-tembakan yang membawa bencana itu. Tapi pada dirinya sama sekali tidak terlihat bekas-bekas proyektil yang membawa maut. Tapi di pihak lain ia sangat membantu pihak pengadilan dalam pengumpulan bukti-bukti. Akhirnya keputusan dijatuhkan terhadap dirinya: hukuman mati untuk pembunuhan, serta hukuman penjara 15 tahun serta kurungan preventif untuk perbuatan pencurian dengan paksa. Dalam keputusan hukuman terutama dikemukakan wataknya yang berbahaya serta itikadnya yang keras untuk melakukan kejahatan.

Seperti sudah disepakati sebelumnya, begitu hukuman dijatuhkan Max Peter N. dikembalikan pada pihak hukum Belanda, di mana ia harus menjalani hukuman penjara selama empat tahun seperti keputusan pengadilan daerah Groningen terhadap dirinya.

Awal tahun 1941 Komisaris Kiehne datang lagi ke Groningen. Sekali ini secara resmi, untuk keperluan mengambil barang-barang bukti dalam suatu perkara penipuan besar-besaran. Di sana ia berjumpa lagi dengan rekan-rekan Belanda yang sangat banyak membantu dalam perkara Max Peter N. Dan ia pun mendapat kesempatan bertemu muka dengan orang itu, yang ditunggu penyerahannya di Jerman untuk menjalani hukuman yang sudah dijatuhkan di sana. Kedua orang itu berjabatan tangan dengan sikap terbuka. Max Peter N. masih tetap tersenyum ramah seperti dulu.

Pendeta Coolsma yang mengasuh kesejahteraan rohani para narapidana di rumah penjara Groningen memanfaatkan situasi itu untuk mengajukan suatu permintaan pada Komisaris Kiehne.

“Saya ingin minta bantuan Anda,” katanya. “Sebentar lagi Max Peter harus kembali ke Jerman, di mana sudah menunggu hukuman mati terhadap dirinya.”

“Lalu apa yang bisa saya lakukan?” tanya Kiehne. 

“Dia sudah menyatakan bersedia untuk dibuang dan bekerja keras seumur hidup di salah satu daerah jajahan kami,” kata pendeta itu. Yang dimaksudkannya mungkin Indonesia atau Suriname. “Pihak kami bersedia meluluskan permintaannya itu. Dengan begitu ia masih akan ada gunanya dan nyawa seseorang bisa diselamatkan.”

Max Peter N. mengangguk. Dipandangnya Kiehne dengan penuh pengharapan.

Hati nurani pejabat kepolisian Jerman itu tersentuh. Pada dasarnya ia juga bukan orang yang cenderung mendukung hukuman mati. Ia berpikir-pikir, apa yang bisa dilakukan olehnya. Akhirnya ia berjanji akan berusaha sebisanya.

Kiehne sungguh-sungguh berniat untuk membantu. Mungkin terdorong rasa bersalah, karena perjumpaannya kali itu dengan para rekan di Belanda sudah dengan kedudukan lain. Pasalnya, saat itu Belanda sudah diduduki Jerman di bawah kekuasaan Hitler. Di Groningen bahkan sudah ada kantor dinas Sicherheitspolizci, yaitu dinas sekuriti kepolisian Jerman serta dinas rahasia Nazi, SD.

Kiehne bertindak dengan hati-hati karena kedua jawatan itu tidak boleh sampai tahu bahwa ia berkunjung ke rumah penjara Groningen. Kalau salah tindakan sedikit saja, jangan-jangan kedua lembaga yang ditakuti itu malah lantas tahu bahwa dalam rumah penjara itu ada seorang pembunuh yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Jerman.

Tapi kemudian ternyata bahwa segala usaha Kiehne sia-sia belaka. Sekembalinya di tempat dinasnya yang sudah pindah ke Berlin, ia mendengar kabar bahwa Max Peter N. sudah diangkut ke Köln, beberapa hari setelah kunjungannya di Groningen. Dan pada hari kedatangannya itu di Köln, hukuman terhadapnya dilaksanakan di Halshof, tempat pelaksanaan hukuman mati yang suram dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dalam rumah penjara Klingelputz, tepat empat tahun setelah ia sendiri mencabut nyawa seorang petani yang tidak bersalah.

(Karl Kiehne)

Baca Juga: Pengakuan di Selembar Kertas

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726473/pembunuhan-waktu-dini-hari" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680809289000) } } [17]=> object(stdClass)#185 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3725983" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#186 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/perampok-dikira-pemain-filmjpg-20230406072101.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#187 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Di London tahun 70-an, perampokan bank merajalela. Polisi sempat kewalahan untuk menangkap sekelompok perampok yang seakan tidak tersentuh itu." ["section"]=> object(stdClass)#188 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/perampok-dikira-pemain-filmjpg-20230406072101.jpg" ["title"]=> string(27) "Perampok Dikira Pemain Film" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:21:13" ["content"]=> string(33836) "

Intisari Plus - Di London tahun 70-an, perampokan bank merajalela. Polisi sempat kewalahan untuk menangkap sekelompok perampok yang seakan tidak tersentuh itu.

----------

Suatu sore di bulan Maret 1969. Enam orang pria minum-minum di ruang dalam Cabin Club di Paddington, London. Seorang di antaranya ialah pemilik klub itu. Pria berumur 33 tahun itu bernama Derek Crichton Smalls, tetapi teman-temannya menyebutnya Bertie.

Lima orang lagi ialah Johnny Richards atau Vodka Johnny, Tony Edlin, Micky Green, Jimmy Jeffrey dan Lenny Jones. Mereka menunggu orang ketujuh. la datang mengenakan sweater polo dan jeans tambalan. Orangnya kurus, kepalanya hampir botak dan matanya berkedip-kedip senewen. Namanya Clem Eden, berumur 49 tahun.

Smalls memperkenalkannya kepada yang lain. Clem Eden petugas kebersihan dari Acme Cleaning Company yang dikontrak untuk membersihkan bank di no 63-66 Hatton Garden, E.C.1. setiap pagi. Pukul 06.30 ia sudah muncul di tempat tugasnya. Centeng tempat itu yang tinggal di tingkat atas akan turun mematikan alarm dan menyuruhnya masuk. Lalu Clem Eden dibiarkan sendirian membersihkan bank itu selama dua jam, yaitu sebelum pegawai-pegawai datang.

Walaupun sendirian, ia tidak bisa mencomot uang dan barang-barang berharga, sebab semuanya ditaruh di lemari-lemari besi yang terletak di ruang besi di basemen. Semuanya dilindungi sistem alarm yang sangat baik. Sedangkan lantai pertama merupakan ruang-ruang tempat administrasi.

Tadi pagi, pukul 06.30 Smalls pergi melihat-lihat ke bank milik Raw Bros Ltd itu. Ia mengenakan setelan bagus seperti yang dipakai orang-orang bisnis dari City of London. Clem membukakan pintu baginya lalu menunjukkan peti besi di belakang loket, ruang-ruang kerja yang masih kosong, basemen, alarm dsb. Sepuluh menit kemudian, Smalls sudah keluar lagi dari bank itu.

Clem berjanji akan memasukkan teman-teman Smalls supaya mereka bisa merampok bank.

 

Tukang pos terlambat datang

Clem juga memberi keterangan bahwa selain uang kontan, di bank itu disimpan pula perhiasan dan batu-batu berharga. “Wah, mendingan duit,” kata Micky Green. “Perhiasan cuma laku dijual seperempat dari nilainya.”

Dari Clem juga diketahui bahwa karyawan bank ada 14 orang. Mereka datang pukul 09.00, sedangkan tukang pos datang pukul 08.30.

“Kami datang besok,” kata Jeffrey. Rencananya Clem akan membiarkan pintu depan tidak terkunci.

“Masuk saja tenang-tenang,” pesan Clem. “Kalau ada orang melihat di jalan, mereka tidak akan tahu kemana tujuan kalian.” Di gedung bertingkat tujuh memang ada kantor-kantor lain.

“Kita perlu senjata,” kata Tony Edlin. “Saya akan mengajak Ronnie Dark. Ia memiliki beberapa buah. Micky, kau bisa mengatur kendaraan?” 

“Beres!”

Tanggal 26 Maret 1969 udara cerah tetapi dingin sekali. Kadang-kadang salju yang terbawa angin berjatuhan. Jalan masih sepi ketika sebuah Ford Cortina dan sebuah Corsair diparkir di tempat parkir strategis yang tidak jauh dari bank. Tidak ada orang yang menaruh perhatian pada kedua mobil itu maupun pada penumpang-penumpangnya. Kemudian datang mobil ketiga. Jumlah penumpang ketiga mobil itu enam orang. Dua orang menunggu di mobil. Empat orang lagi: Bertie Smalls, Tony Edlin, Jimmy Jeffrey dan Ronnie Dark masuk ke gedung tempat Clem Eden bekerja. Mereka tidak datang berempat sekaligus, tetapi seorang-seorang.

Mereka berkumpul di WC wanita. Clem Eden terus membersihkan lantai. Mereka menunggu kedatangan tukang pos. Tetapi ia tidak datang-datang. Padahal rencananya Clem akan pura-pura disergap setelah tukang pos pergi lagi, yaitu pada saat ia akan menutup pintu. Tiga pegawai bank malah datang lebih awal dari biasa. Untung ketiga-tiganya pria, jadi mereka tidak masuk ke WC wanita.

Perampok-perampok jadi tegang menghadapi keadaan yang di luar perhitungan. Jeffrey ingin cepat-cepat pergi saja, tetapi Tony Edlin yang selalu tenang dan Bertie Smalls ingin tetap menjalankan rencana semula.

Pukul 08.45 tukang pos baru datang. Clem Eden harus membukakan pintu, menerima surat- surat yang diantarkan dan menandatangani tanda terima. Ketika melewati WC wanita, ia mengetuk pintu.

Beberapa saat setelah tukang pos pergi, dua pria berkedok dan bersenjata mengiringinya ke WC.

Di sini sudah menunggu dua orang lain yang mengikatnya dan menyumbat mulutnya. Kurir bank dan dua karyawan lain disergap ketika sedang duduk menghadapi meja mereka. Tidak ada yang memberi perlawanan berarti karena Jeffrey dan Dark bersenjata. Mereka diikat dan disumbat. Setiap datang karyawan lain, ia ditodong di pintu. Kalau berteriak kepalanya dipukul. Mereka diserahkan kepada Edlin yang menodong mereka sementara perampok lain mengikat mereka dan menyumbat mulut mereka. Semua dikumpulkan di sebuah sudut.

Seorang karyawan wanita bereaksi cepat di pintu. Ia mencoba berbalik dan berlari keluar, tetapi Jeffrey menyeretnya dan menyumpal mulutnya.

 

Ada kunci A, ada kunci B 

Kini para perampok menunggu kedatangan kepala bagian administrasi. Clem Eden sudah menjelaskan rupa orang ini. Ketika ia datang, ia diseret ke tengah ruangan kantor dan dimintai kunci. Dua perampok yang menunggu di luar kini sudah menyusul masuk.

Sambil menyerahkan kunci, kepala administrasi itu berkata: “Kunci ini tak berguna tanpa Mr. Crafter.”

“Siapa itu si Crafter?” 

“Salah seorang karyawan administrasi. Saya cuma memegang kunci-kunci A. Demi keamanan, satu orang saja tidak bisa membuka lemari besi. Crafter memegang kunci-kunci B.” 

“Ayo tunjukkan, yang mana si Crafter?”

“Ia belum datang”. 

Perampok-perampok ini menunggu sambil diam-diam menyumpahi Clem Eden karena tidak mengetahui kunci A dan kunci B.

Crafter datang terlambat karena kereta api yang ditumpanginya terhalang salju. Sebelum ia datang, muncul seorang karyawan lagi dan dua nasabah. Mereka juga diamankan. Ketika Crafter tiba, sudah ada 18 pria dan seorang wanita terikat tangan dan kakinya di lantai. Mulut mereka tersumbat. Dua orang bersenjata menodong mereka. Dua perampok lagi menunggu di belakang pintu, bersiap-siap menyergap orang yang masuk.

Smalls dan Edlin menodong kepala administrasi dan Crafter ke tempat alarm di kaki tangga. Alarm dimatikan agar tidak berbunyi. Lalu mereka diharuskan membuka lemari-lemari besi. Smalls, Jeffrey dan Edlin menyapu isinya. Semuanya dimasukkan ke dalam dua tas kanvas. Sementara itu kawan-kawan mereka merobohkan tiga nasabah yang baru masuk.

Ternyata isi lemari-lemari besi itu lebih banyak daripada yang mereka perkirakan. Tas mereka sudah gembung. Jadi mereka mengambil dua tas ekstra milik karyawan. Sedangkan kaleng-kaleng tempat uang mereka kepit di ketiak.

Mereka mendorong kedua tawanan mereka ke dalam ruang besi lalu berlari ke teman-temannya yang menunggu dengan tegang.

“Ayo kita pergi!” ajak Smalls. “Bersikap biasa saja agar dikira nasabah.”

Di belakang pintu, dengan punggung ke arah tawanan, mereka mencopot kedok mereka keluar seorang demi seorang setenang mungkin. Di jalan lalu lintas sudah ramai. Bis-bis menyesaki jalan dan mobil-mobil berderet menunggu lampu hijau.

 

Kasir tidak berteriak

Kasir kepala, Cyril Preston, berhasil melepaskan ikatannya ketika perampok-perampok sedang menguras isi lemari besi. Begitu semua perampok keluar, ia berdiri dan bergegas ke pintu. Salahnya ia tidak berteriak, melainkan cuma mengamat-amati mobil yang dipakai kabur oleh perampok-perampok itu. Ia mengingat-ingat nomor dan warna mobil itu. Setelah itu cepat dinyalakannya alarm.

Di St. Cross Street seorang wanita petugas parkir sedang mengisi surat denda untuk sebuah mobil Cortina yang masih tetap berada di situ walaupun sudah melewati waktu parkirnya. Ketika itu pukul 09.23. Empat pria yang membawa dua tas gembung dan sebuah kotak timah datang terburu-buru. Hampir saja ia terlanggar. Mereka masuk ke mobil itu.

“Hei, tunggu dulu! Saya belum selesai menulis,” katanya ketika mobil itu akan pergi.

“Kirimkan saja suratnya kepada kami,” kata pengemudi. 

Setelah mendengar berita perampokan bank, wanita itu melapor tetapi sayang ia tidak bisa menggambarkan dengan jelas bagaimana rupa perampok-perampok ini. 

Di rumah Vodka Johnny di Finchley, perampok-perampok memeriksa hasil yang mereka peroleh. Di dalam kotak-kotak kaleng dijumpai uang kontan 16.000 ponsterling. Selain itu mereka mendapat intan, zamrud, mirah, safir, yang menurut Rally Bros bernilai 400.000 ponsterling. Kebanyakan berupa batu yang belum dipotong. Tidak ada dari permata itu yang ditemukan kembali.

Kendaraan yang dilihat oleh kasir kepala ditemukan dalam keadaan kosong di London utara 10 hari kemudian. Kendaraan yang nomornya dicatat petugas parkir ditemukan di tempat lain tetapi di London utara juga pada hari perampokan. Keduanya mobil curian.

Clem Eden, petugas pembersih bank diperiksa dan diperiksa lagi. Apalagi karena diketahui ia pernah berurusan dengan polisi. Tetapi ia bersikeras bahwa ia disergap di pintu dan diikat seperti yang lain. Tidak ada orang yang membantah hal ini. Jadi ia dilepaskan. Clem Eden mendapat upah 10 ribu pounsterling dari para perampok, tetapi ini baru diketahui polisi setelah ia menghilang entah ke mana.

 

Ketagihan merampok

Tepat seperti yang diramalkan oleh Micky Green, batu-batu permata yang mereka peroleh cuma menghasilkan uang 100 ribu ponsterling. Perampok-perampok ini lantas berlibur ke luar negeri, membeli mobil bagus, berjudi, minum minuman keras dan bergaul dengan wanita-wanita bayaran. Uang yang diperoleh dengan mudah, mudah pula mengalir keluar. Beberapa bulan kemudian, uang mereka menipis. Kini mereka ketagihan merampok bank. Jadi mereka beraksi lagi. Bukan cuma sekali, tetapi berkali-kali. Komplotan mereka tidak selalu sama anggotanya, tetapi bisa berganti-ganti. Sekali dua kali mereka gagal, tetapi umumnya berhasil.

Awal 1970 Criminal Investigation Department (CID) dan Scotland Yard menaruh perhatian pada Derek Crichton (Bertie) Smalls, yang sudah berkali-kali berurusan dengan polisi tetapi untuk perkara-perkara kelas teri. la tinggal dengan Diana Whates di Selsdon, Surrey. Walaupun tidak menikah resmi mereka mempunyai tiga orang anak. Mereka hidup agak lebih mewah daripada yang wajar bisa mereka peroleh. Tetapi Smalls selalu mempunyai alasan yang masuk di akal. Bukankah ia mempunyai klub di Paddington dan ia juga mengaku mempunyai usaha-usaha lain.

Bulan Agustus 1970 Ny. Smalls membawa anak-anaknya berlibur ke Bournemouth. Ia mengaku bernama Ny. Johns. Ia disertai dua orang pria, Danny Allpress yang memakai nama samaran Teale dan Donald Barrett. Allpress ini seorang penjual mobil berumur 20-an. Rumah dan mobilnya jauh lebih bagus daripada milik pemuda-pemuda sebaya.

Beberapa hari kemudian Bertie Smalls menyusul. Mereka piknik ke mana-mana, tetapi juga menemui seorang perampok aktif yang dikenal polisi, Robert King.

Tanggal 2 Februari 1971 pria bertopeng merampok Lloyds Bank di Pool Hill. Salah satu senjata penjahat meletus terlalu dini sehingga mereka cuma keburu menyambar 2.226 ponsterling. Mereka bisa kabur. Tetapi mobil yang mereka tinggalkan menuntun polisi ke alamat Ny. Smalls. Ia ditahan dengan tuduhan berkomplot melakukan perampokan. Daniel Teale (Allpress) tidak bisa ditemukan, sedangkan Smalls dijumpai sedang tenang-tenang berada di rumahnya di Selsdon. Ia menyangkal pergi ke Bournemouth dan polisi tidak bisa membuktikannya. Dua perampok lain: Barrett dan King, berhasil diseret ke pengadilan. Barrett dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. King dan Ny. Smalls lolos dari hukuman. Mereka dinyatakan tidak bersalah.

Sementara itu perampokan bank terus terjadi dengan selang waktu yang singkat. Polisi seakan-akan mengejar bayangan yang tidak bisa disentuh. Padahal banyak di antara polisi ini yang jujur dan bekerja keras.

Tahun 1972 Scotland Yard menyimpulkan bahwa komplotan perampok bank ini mempunyai dua atau empat pemimpin. Mereka tidak membentuk grup tetap, biasanya beroperasi dengan bantuan orang dalam. Sebelum melakukan perampokan, mereka mengadakan pengamatan dulu selama berminggu-minggu.

Diketahui juga bahwa beberapa hari sebelum perampokan mereka akan mencuri dulu beberapa mobil: pick-up tertutup untuk melakukan perampokan dan sedan untuk melarikan diri. Hasil rampokan ditaruh dulu di satu tempat milik teman lain bersama senjata-senjata dan baru dibagi kalau keadaan sudah aman.

Scotland Yard mengawasi langganan-langganan polisi yang tiba-tiba jadi kaya atau mudah mengeluarkan uang banyak. Tetapi awal tahun 70-an itu kredit mudah didapat, uang “murah”, sehingga banyak orang bisa hidup lebih mewah daripada penghasilannya berkat pinjaman dari bank.

Selain itu diketahui pula perampok tidak mau memilih teman kelas teri yang mudah disuap polisi. Mereka mencari teman yang bisa diandalkan dan yang terlibat penuh. Orang yang tidak memenuhi standar tidak akan dipakai lagi dan ia diperingatkan agar jangan buka mulut. Kalau buka mulut tahu sendiri akibatnya.

 

Perampok dikira pemain film

Tanggal 22 Mei 1972, sesaat sebelum perampokan Westminster Bank di Palmers Green, Ny. Irene Harrington kembali ke kantornya setelah makan siang. Di Lightcliffe Road, ia melihat sebuah Ford diparkir. Empat penumpangnya berkacamata hitam dan berpakaian santai. Karena merasa aneh melihat empat penumpang berkacamata itu, ia mengira mereka sedang main film. Waktu ia melewati mobil itu seorang pria menyeberangi jalan dan membungkuk ke jendela mobil untuk berbicara dengan pengemudi.

Baru saja Ny. Harrington masuk ke kantornya, ia mendengar alarm berbunyi sehingga ia berlari lagi keluar. Di muka bank dilihatnya sebuah mobil kosong. Mobil itu Ford yang tadi dilihatnya di Lightcliffe Road. la melapor kepada polisi bahwa ia ingat wajah orang yang datang ke mobil untuk berbicara dengan pengemudi. Polisi mengundang Ny. Harrington ke Scotland Yard untuk melihat beberapa foto. Ia langsung menunjuk pada foto Derek Crichton Smalls.

Tiga hari sebelumnya seorang detektif pelabuhan udara melewati bank di Palmers Green. la melihat sebuah Jaguar merah berhenti. Dua penumpangnya masuk ke bank, keluar lagi lalu pergi dengan mobilnya. la curiga dan melaporkan peristiwa ini ke polisi. Dari nomor mobil diketahui bahwa Jaguar ini milik Smalls.

Tanggal 26 Mei 1972 Detektif Inspektur Fitzgerald datang ke rumah Smalls. Kata Ny. Smalls suaminya tidak ada di rumah. Rumah itu digeladah. Tidak ditemukan bukti yang bisa menunjukkan bahwa Smalls terlibat perampokan di Palmers Green.

Tiga hari kemudian Smalls menelepon polisi untuk bertanya mengapa polisi ingin bertemu dengannya. Polisi menjawab mereka ingin meminta bantuan Smalls dalam penyelidikan mengenai perampokan di Palmers Green. Smalls berjanji akan datang keesokan harinya dengan pengacaranya. Tetapi ia tidak muncul. Ia juga tidak pulang ke rumahnya. Istrinya menjawab ia tidak tahu suaminya pergi ke mana. Mungkin meninggalkan dia untuk selama-lamanya, katanya. Polisi menganggap ini tidak mungkin karena suami-istri ini dianggap saling menyayangi walaupun tidak menikah secara hukum. Lagi pula Smalls termasuk orang yang senang berada dekat keluarganya.

 

Polisi ganti taktik

Tanggal 10 Agustus 1972 Barclays Bank dirampok. 123.000 ponsterling uang kontan amblas. 

Scotland Yard mengadakan rapat. Semua chief superintendent (inspektur kepala) dan pimpinan-pimpinan dipanggil. Dalam dua tahun terakhir ini terjadi 58 kali perampokan besar yang menyebabkan kehilangan uang lebih dari 3 juta ponsterling, tetapi polisi cuma berhasil menahan setengah lusin pelaku penting.

Memang betul mereka sering menemukan orang yang dicurigai, tetapi orang-orang ini harus dilepaskan kembali karena tidak cukup bukti. Pokoknya Scotland Yard menghadapi kegagalan. Kini perampokan Barclays Bank di Wembley harus menjadi perampokan yang terakhir! Mereka mengganti sistem yang mereka pakai. Kini mereka membuat daftar nama bekas langganan polisi yang saat ini ada di luar penjara dan berpotensi melakukan kejahatan jenis ini.

Di antara nama-nama yang dianggap mempunyai potensi itu terdapat: 

Terkaan Scotland Yard benar. Brian Turner dan Bruce Brown termasuk perampok-perampok yang ikut menguras Barclays Bank di Wembley. Yang lain ialah: Bertie Smalls, Danny Allpress, Lenny Jones, Jimmy Wilkinson dan Brian Reynolds. Mereka dibantu karyawan bank itu, bernama Tony Holt.

Hasil rampokan mereka taruh dulu di rumah seorang wanita Jamaika bernama Maria Mercedes Dadd, yaitu pacar seorang teman mereka, Philip Morris, yang juga perampok.

Polisi memilih Brain Turner, Bruce Brown dan Bertie Smalls sebagai orang-orang yang mereka amat-amati. Mereka datang ke rumah Smalls di Selsdon ternyata Smalls belum kembali. Tetangga-tetangga sudah berbulan-bulan tidak melihatnya.

Turner didatangi di Heston. Kata orang-orang di sekitar tempat tinggalnya, ia sedang berlibur sendirian di Spanyol. Anak istrinya tidak diajak.

 

Gara-gara dua kunci yang tidak cocok 

Rumah Bruce Brown di Radlett didatangi juga. Tanggal 20 Agustus ia diketahui main golf. Brown ketua perkumpulan golf setempat. Suratnya kepada sekretaris perkumpulan diposkan di Heston tanggal 23 Agustus. Mobilnya juga ada di garasi. Tetapi rumahnya sepi. Kata tetangganya Ny. Brown dan anak-anaknya pergi berlibur ke Wales. Menurut Ny. Brown sebelum berangkat, suaminya akan menyusul beberapa hari lagi.

Polisi mengamat-amati rumah Brown yang terawat dan bagus. Detektif Inspektur Wilding merasa curiga. Tanggal 30 Agustus polisi mengepung tempat itu. Dengan membawa surat perintah penggeledahan, Wilding mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia meminta seorang tetangga menjadi saksi, lalu ia menjebol jendela belakang. Di dalam tidak ada orang. Tetapi ia belum puas. Polisi memeriksa juga loteng rumah. Bruce Brown ditemukan di belakang tangki air, memakai piama dan tampak gugup.

Ia menyangkal semua tuduhan. Rumah itu digeladah. Tidak ditemukan hal yang mencurigakan, kecuali di rencengan kuncinya terdapat dua kunci yang tidak cocok dengan lubang kunci manapun di rumah itu. Brown mengaku sudah lupa kunci apa ini. Memang banyak orang yang tidak segera membuang kunci-kunci yang sudah tidak berguna lagi. Tetapi Wilding masih penasaran. la ingat Brown ini ketua perkumpulan golf setempat. Jadi ia pergi ke gedung perkumpulan. Sebuah kunci cocok dengan kotak tempat Brown menyimpan alat-alat golfnya. Di dasar tas golfnya ditemukan sebuah kunci lain yang memakai label: “safe deposit”.

Di London Safe Deposit Company, Wilding membuka kotak deposit Brown. Di dalamnya ada uang kontan 14.940 ponsterling. Di antaranya ada yang diberi tanda oleh kasir-kasir Barclays Bank.

Scotland Yard jadi terbangkit semangatnya. Tetapi ini baru langkah permulaan. Tidak diketahui apakah Brown ini organisator perampokan ataukah salah seorang kakapnya atau mungkin cuma teri saja. Sesuai dengan saran pengacaranya, Brown tutup mulut.

 

Mercedes mengaku ikut merampok 

Polisi menyusun “Wembley Bank Squad”, pasukan yang terdiri dari 30 orang. Mereka mempelajari kembali setiap perampokan yang terjadi pada tahun terakhir. Mereka memperhatikan kesamaan gaya, lokasi, acara perampokan dan sebagainya. Setiap penjahat yang dicurigai kini diawasi. Mereka juga mendapat peralatan modern: helikopter dan teropong yang kuat. Mereka mempergunakan foto-foto dan alat perekam suara.

Kecurigaan polisi jatuh pada Maria Mercedes Dadd. Ia pernah tampak bersama salah seorang tersangka. Ketika apartemennya digeledah, ditemukan kantong uang seperti yang dipergunakan waktu merampok, gelang-gelang karet pengikat uang dan sebuah radio mahal yang gelombangnya disetel polisi pada gelombang radio.

Maria Mercedes Dadd mengaku ikut ambil bagian dalam perampokan tetapi tidak mau menyebut nama kawan-kawannya. Sementara itu ipar Bruce Brown sudah ditangkap karena menyimpan barang rampokan.

Forensik mengungkapkan lebih banyak bukti. Debu dan sampel lain dari rumah Bruce Brown ternyata cocok dengan yang didapat dari pick up yang dipakai merampok dan juga dengan debu dan sampel lain yang didapat di bank pada tanggal 10 Agustus 1972.

Turner dan Smalls dicari dengan bantuan Interpol. Diduga mereka kabur ke luar negeri. Bertie Smalls yang tadinya dianggap kurang penting kini diperkirakan sedikitnya sudah ikut dalam enam perampokan.

Koran-koran membuat foto Turner dan berita tentang dirinya. Ternyata seperti Brown, ia juga dianggap orang baik-baik oleh tetangga-tetangganya.

Empat bulan berlalu. Kedua buruan ini belum berhasil diketahui jejaknya. Diduga sudah kembali ke Inggis dan memakai nama palsu.

 

Ia baru turun dari ranjang 

Polisi menghubungi siapa saja yang kira-kira tahu tentang Smalls. Smalls pernah mempunyai pengasuh anak-anak. Gadis ini berhasil dicari polisi. Sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu Smalls. Tetapi ia mendengar dari temannya dan temannya itu mendengar dari teman pula, bahwa Smalls kini menyembunyikan diri di rumah saudaranya, Kelvin Smalls di Rushden, Northamptonshire.

Tanggal 23 Desember 1972 pagi polisi setempat dan beberapa detektif dari Scotland Yard mengurung rumah Kevin Smalls. Dari jendela tampak pohon Natal dan ruangan yang sudah dihias. Bertie Smalls ditemukan baru turun dari ranjang. Mula-mula ia mengaku bernama Bluff. Tetapi polisi tidak berhasil dikibuli.

Dalam perjalanan ke London, Smalls menawarkan kesediaannya membantu polisi dengan memberi keterangan lengkap mengenai perampok-perampok bank. Tetapi sebagai imbalan ia minta dibebaskan. Polisi memperingatkan: ia bisa dibunuh komplotan perampok. Tetapi Smalls menjawab: “Saya akan pergi tanpa mereka bisa mencari jejak saya.”

Polisi jadi bingung. Kalau menerima tawaran Smalls, maka mereka akan bisa menggulung komplotan yang sulit sekali dibongkar ini. Tetapi apakah Smalls pantas dibiarkan bebas? Akhirnya polisi menerima tawaran Smalls, demi kepentingan umum. Tetapi dengan syarat: kalau Smalls ternyata ketahuan pernah membunuh, ia tidak jadi dibebaskan. Kontrak ditandatangani bulan Maret 1973.

Smalls memberi keterangan lengkap. Tentu tidak semua keterangannya dipercaya polisi begitu saja, tetapi dicek dulu. Ternyata hasil keterangan ini menakjubkan. Polisi pun bergerak dengan cepat sekali. Dalam waktu singkat 17 perampok kelas tinggi disekap di penjara Brixton di Lambeth. Sembilan lagi dikenakan tahanan luar dengan uang jaminan. Tetapi penjara itu kurang ketat penjagaannya.

 

Sipir ditodong pisau sabun

Tanggal 30 Mei 1973 dua mobil Ford Escort sewaan diparkir ± 1,5 km dari penjara. Keduanya ditinggalkan dengan kunci tetap tertancap dan tanki bensin penuh. Setirnya ditutupi dengan koran supaya mudah dikenali.

Pukul 10 pagi sebuah Ford Transit sewaan ditinggal di Lyham Road, tidak jauh dari gerbang penjara. Pukul 10.30 sebuah truk sampah seperti biasa diperkenankan masuk dari pintu belakang penjara lalu petugas-petugasnya mulai melakukan pekerjaan mereka. Pukul 10.50 seorang sipir ditodong sehingga menyerahkan kunci kepada Bruce Brown, Philip Marris dan seorang lain. Padahal pistol yang dipakai menodong dibuat dari sabun, dihitamkan dengan semir sepatu dan diberi kertas timah. Bukan cuma perampok-perampok yang kabur tetapi juga banyak penghuni lain. Mereka berebut naik ke truk sampah yang direbut perampok dari petugas kebersihan. Truk itu ditubrukkan ke gerbang kayu sampai terbuka. Sementara itu alarm meraung-raung. Mereka dikejar penjaga-penjaga penjara ketika berlari meninggalkan truk ke Lyham Road. Terjadi baku hantam. Brown dan teman-temannya kabur ke arah mobil yang disediakan oleh teman-teman mereka. Mereka dikejar polisi dengan anjing dan helikopter. Akhirnya semua tertangkap kembali, kecuali dua orang (yang tidak termasuk komplotan mereka). 12 penjaga penjara luka-luka dan Brown masuk ke rumah sakit karena diperkirakan tengkoraknya retak. Polisi merahasiakan nama rumah sakit itu karena khawatir teman-temannya akan menyerbu ke sana.

Tanggal 29 Juni 1973 Maria Mercedes Dadd dijatuhi hukuman 12 bulan penjara di Old Bailey. Tanggal 12 Juli Bertie Smalls muncul sebentar di Old Bailey untuk dinyatakan bebas. la dikata-katai dan diteriaki serta diancam 26 perampok bank yang hari itu digiring ke sana.

Penjagaan terhadap Smalls ketat. Inspektur-inspektur dikuntit oleh kawan-kawan penjahat untuk mengetahui di mana Smalls tinggal. Mereka juga dicoba untuk disuap dengan jumlah uang besar sekali dan bahkan diancam. Tetapi iman mereka teguh.

 

Teman main bridge yang kampungan 

Interpol masih belum berhasil menemukan jejak Brian Turner yang merupakan salah seorang pemimpin perampok. Ketika itu di dekat Malaga di Spanyol, ada istri seorang perwira purnawirawan Inggris yang senang sekali bermain bridge di klub El Candado. Pada bulan-bulan terakhir ini pasangan mainnya seorang pria bernama Barry Thomas yang berumur 30-an. Pakaian pria ini kampungan dan aksennya pun menunjukkan ia bukan berasal dari sekolah yang baik. Tetapi ia pemain bridge kelas satu dan partner main yang menyenangkan. Artinya yang tidak marah-marah kalau kalah.

Wanita itu, Ny. Jean Mathers agak heran juga mengetahui pria itu tidak bekerja. Ia terlalu muda untuk menjadi pensiunan. Suatu kali, dalam percakapan pria itu menyebut “Folly Close”, dua kata yang mengingatkan Ny. Mathers pada berita-berita di koran awal tahun ini, yaitu mengenai pria yang sedang dicari-cari Scotland Yard. Keesokan harinya ia menelpon Scotland Yard di Inggris.

Kebetulan ada dua petugas CID dari Scotland Yard yang sedang berada di Malaga. Mereka sedang membujuk petugas-petugas Spanyol untuk mengekstradisi seorang lain yang melakukan kejahatan di Inggris.

Kedua petugas ini ditelepon Scotland Yard dari Inggris. Mereka diminta menghubungi Ny. Mathers. Malam itu petugas-petugas ini datang ke El Candado ditemani 3 polisi Spanyol yang bersenjata. Mereka bersembunyi. Pemilik klub diminta menutup pintu-pintu belakang. Barry Thomas datang membawa seorang wanita muda. la ditahan. Ia memakai paspor Australia palsu.

Gembong lain, Tony Edlin, tertangkap di Glasgow. Di kota ini ia hidup sebagai orang baik-baik dengan nama samaran Weaver. Ia bertetangga dengan kepala polisi kota itu.

Sementara itu Bertie Smalls hidup berpindah-pindah untuk menghindari balas dendam dari rekan-rekan yang ia khianati. Ia digaji 25 pon seminggu oleh polisi. Anak-anaknya bersekolah dengan dikawal polisi. Diana Smalls hampir tidak tahan hidup dalam ketegangan.

 

Prestise Scotland Yard naik 

Pada saat itu jumlah perampok bank yang sudah ditahan ternyata lebih dari 150 orang. Selain Brown, Turner dan Edlin juga Wilkinson, Allpress, Reynolds, Holt, Morris, Jeffrey, Green, Richards, Jones, King, Dark dan perantara penadah permata bernama Kozak.

Bertie Smalls muncul sebagai saksi di pengadilan. Bruce Brown dan Brian Turner mendapat hukuman 21 tahun penjara. Philips Morris mendapat 20 tahun ditambah 17 tahun karena menyebabkan kematian seorang tukang susu. Jimmy Wilkinson dan Daniel Allpress mendapat 16 tahun penjara (Allpress masih mendapat tambahan lagi), Brian Reynolds 13 tahun, Anthony Holt (karyawan bank Barclays) 5 tahun. Sisanya juga mendapat hukuman sesuai dengan kesalahan masing-masing.

Bertie Smalls yang mungkin mempunyai simpanan di luar negeri kemudian menghilang bersama keluarganya. Polisi menduga, sebagai orang yang tidak pernah bekerja lurus tetapi biasa hidup enak tentu uang simpanannya akan habis. Setelah itu apa yang akan dilakukannya? Mereka khawatir ia akan kembali lagi ke jalan yang lama.

Kini Scotland Yard memiliki pasukan khusus untuk memerangi perampokan bank. Anggotanya 200 orang, paling besar di Eropa. Mereka dilengkapi dengan teknik modern.

Di London dan daerah sekitarnya perampokan bank melonjak sampai 65 kali dalam tahun 1972 saja. Pada tahun 1976 merosot menjadi 28 kali. Prestise Scotland Yard naik lagi.

(Great Cases of Scotland Yard)

Baca Juga: Horor di Mount Vernon

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553725983/perampok-dikira-pemain-film" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680808873000) } } }