Intisari Plus - Suatu hari Jeanne berencana untuk datang ke rumah suaminya demi meminta tunjangan bagi anak-anaknya. Sejak itu, ia tidak pernah kembali lagi.
----------
Jeanne berkata kepada ibunya, “Pokoknya dia harus memberikan tunjangan penuh pada anak-anakku. Tiap bulan. Dia bapak mereka. Aku tidak akan kembali tanpa kepastian bahwa dia akan membayar uang nafkah untuk anak-anaknya.” Sang ibu hendak mencegah. Ia yakin bahwa itu tidak mudah dan mustahil. Namun ia malah berkata, “Jaga dirimu baik-baik!”
Suatu nasihat yang baik namun tidak bermanfaat. Jeanne meninggalkan ibunya dan berangkat menerobos bagian Paris yang dikuasai tentara Jerman. Hari itu tanggal 28 Maret 1944.
Jeanne tidak kembali sorenya. Sang ibu tidak dapat tidur malam itu. Ia telah mengganti pakaian main kedua cucunya dengan piama. Sebagai orang yang tahu benar dengan situasi di kota, ibu Jeanne khawatir jangan-jangan anaknya ditangkap Gestapo dan dimakan hidup-hidup.
“Siapa namanya, Bu, putri Anda? Nama setelah dia menikah maksud kami,” tanya polisi keesokan harinya. Setelah Jeanne tidak kembali setelah ditunggu semalaman, ibunya pagi-pagi sekali melaporkan perihal masalah itu ke polisi.
“Putri Jeanne de Bernardi de Sigoyer,” jawabnya. Polisi sangat terkesan oleh gelar putri di depan nama Jeanne. Gelar itu mungkin menyiratkan bahwa mungkin sang Putri ketika itu bersama dengan Pangeran. Kecuali kalau, misalnya, ia berbohong pada ibunya dan sebenarnya malahan pergi dari Paris.
“Mengapa dia pergi dari Paris?” tanya sang ibu.
“Menghindari Gestapo, misalnya,” jawab polisi mengemukakan kemungkinan lain.
“Tetapi mengapa dia mesti meninggalkan anak-anaknya?” Pertanyaan ibu Jeanne tidak berjawab ketika meninggalkan pos polisi.
Tidak lama kemudian polisi sudah berhasil mendapat kepastian bahwa Jeanne tidak ditangkap oleh Gestapo atau pihak keamanan Prancis. Jadi Jeanne hilang begitu saja, singkatnya.
Tetapi detektif-detektif polisi Prancis mendatangi juga kediaman sang Pangeran. Besar dan luas, kediamannya itu berada di barat daya kota; di pangkal Boulevard de Bercy, tidak jauh dari Gare de Lyon. Menghadapi petugas-petugas polisi, sang Pangeran sangat ramah. Jawaban-jawabannya lancar. Tidak satu hal pun memberikan kesan bahwa ada yang disembunyikannya.
Kata Pangeran Alain de Bernardi de Sigoyer, dia dan istrinya tidak dapat hidup bersama dengan bahagia. Istrinya baru mengajukan permohonan pada pengadilan untuk bercerai. Sang Pangeran tidak menyetujuinya, meskipun dia juga tidak melarang atau menghalang-halanginya. Memang benar istrinya kemarin datang ke kediamannya. Ia menghampirinya untuk minta tunjangan nafkah bagi kedua anak mereka yang kini ada bersama ibu Jeanne. Sang Pangeran mengatakan dia tidak sanggup mengurusi anak-anaknya dari Jeanne.
Sang Putri kemudian pergi entah ke mana, kalau dia tidak langsung pulang kepada anak-anaknya. Polisi menyimpulkan bahwa sang Pangeran mengatakan sebenarnya. Pokoknya, apa pun yang terjadi pada diri Putri Jeanne, bukan Pangeran Alain-lah yang bertanggung jawab. Polisi sudah berniat untuk mencari sisik melik lenyapnya Jeanne ke arah lain. Namun kemudian diperoleh kisikan bahwa Pangeran Alain Jules Antoine Romain Gaspard de Bernardi de Sigoyer sebenarnya tidak berhak atas gelar kebangsawanan itu. Dia penipu dan kolaborator musuh.
Salah satu segi yang menguntungkan bagi profesinya ialah Alain sangat peka terhadap detail. Misalnya, untuk menyembunyikan tampang mukanya yang persegi dan kasar seperti petani dusun antik, Alain sengaja menumbuhkan cambang dan janggut lancip.
Sejak usia 17 tahun, Alain berurusan dengan polisi dan keluar masuk pengadilan. Namun bukan penjara. Itu karena setiap kali diadili dan divonis bersalah, Alain berhasil melarikan diri. Ia bahkan keluar dari Prancis, hingga ke Jerman, Austria, Rumania, dan Bulgaria. Alain menyamar sebagai apa saja, dari kuli, jongos hotel, sampai profesor muda dari sebuah lembaga media di Strasbourg.
Dunia Alain memang dipenuhi dengan tipuan dan khayal. Sekali Alain menyatakan dirinya sebagai keturunan langsung dari advokat yang membela suami Marie Antoinette. Tetapi yang benar ialah bahwa kaum de Bernardi berasal dari keluarga kreol yang mendiami pulau jajahan Prancis Reunion di Lautan Hindia. Alain sendiri seorang petualang yang kelicikan akalnya sejalan dengan kebejatan akhlaknya. Alain seorang manusia sadis pula.
Praktik menyiksa korban-korbannya sudah dilakukan paling tidak sejak tahun 1938. Awal tahun itu seorang lelaki yang mengaku bernama Petrov Gantcheff, dari Bulgaria, melapor pada polisi. Dia baru saja berhasil melarikan diri dari sebuah rumah pertanian di mana dia disiksa dengan kejam. Saat datang melapor, ia telanjang bulat kecuali tangannya yang masih mengenakan borgol.
Katanya kepada polisi, dia mula-mula pasang iklan dikoran untuk menjual mobilnya. Petrov diundang ke sebuah rumah pertanian. Ia mengira undangan tersebut untuk membicarakan masalah jual beli tentunya. Tetapi di rumah itu dia justru dipukuli oleh dua orang lelaki dan seorang wanita. Ketiganya merupakan tim penyiksa. Gantcheff ditelanjangi (ketika itu musim dingin) dan dirantai pada sebuah kursi di ruang bawah tanah. Dengan ancaman senjata api dan besi pengumpil, Gantcheff dipaksa untuk menulis surat pada istrinya bahwa dia pergi ke luar negeri. Tetapi karena surat itu mengandung janji-janji untuk kepentingan salah satu anggota tim, Gantcheff bersikeras tidak mau menandatangani suratnya.
Akibatnya, dia dipukuli habis-habisan oleh kedua laki-laki penyiksa. Ketika kedua laki-laki itu pergi dari rumah, Gantcheff berhasil melepaskan diri dari kursi. Tetapi untuk bisa melarikan diri, dia terpaksa memukul wanitanya hingga pingsan.
Polisi lalu menggerebek rumah pertanian itu dan menangkap penghuni-penghuninya. Pemimpin trio penyiksa itu de Bernardi. Sedangkan laki-laki yang satu lagi bernama Lucien Richard. Dia ini ternyata pelarian dari tempat penampung orang-orang yang sakit jiwa. Si wanita katanya pembantu rumah tangga di sana. Menunggu pengusutan lebih lanjut, ketiganya ditahan di dalam rumah.
Di dalam rumah itu juga polisi menemukan sejumlah barang milik seorang turis Amerika yang ada di dalam daftar orang hilang. Nama orang Amerika itu Rothumil Richnowski, dilaporkan hilang sejak November sebelummya. Sementara itu polisi mendapat laporan dari seorang wanita Polandia yang pernah berkencan dengan Richnowski. Wanita itu pernah mendapat surat yang ditanda tangani oleh Richnowski. Karena tulisannya menurut wanita Polandia tersebut bukan tulisan Richnowski, ia tidak mau memberikan uang yang diminta oleh surat tersebut.
Di rumah yang penuh rahasia di Lembah Chevreuse itu polisi juga menemukan sebuah lubang yang baru saja digali di lantai ruang bawah tanah. Dari dasarnya, polisi menemukan sejumlah kaleng bekas yang karatan dan sampah dapur. Ada laporan bahwa beberapa hari sebelumnya de Bernardi membeli asam belerang. Tetapi akan digunakan untuk apa, itu tidak diketahui. Bernardi sendiri pernah bercerita kepada seorang teman wanitanya, bahwa dia sudah mengubur turis Amerika tersebut di atas. Tetapi mengingat begitu banyaknya khayalan dalam cerita-cerita de Bernardi, cerita penguburan turis Amerika itu tidak dapat dicek kebenarannya. De Bernardi kemudian dipindahkan ke sebuah penampungan di Clermont, di tengah-tengah antara Paris dan Amiens.
4 bulan kemudian, bersama penghuni lainnya, de Bernardi berhasil melarikan diri dari tahanan dan menuju sebuah tempat parkir mobil. Keduanya ditunggu oleh seorang wanita muda yang duduk di belakang kemudi mobil yang sudah dinyalakan mesinnya. Penjaga-penjaga tempat penampungan mengatakan bahwa sehari sebelumnya de Bernardi dikunjungi oleh seorang wanita.
Hari berikutnya de Bernardi mengatakan kepada wartawan, dia melarikan diri dari tempat penampungan untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan masih waras. Menurut de Bernardi, mobilnya dikendarai oleh seorang laki-laki yang menyamar sebagai wanita.
“Saya akan terus ke Inggris atau ke Swiss,” kata de Benardi. Si wartawan belum sempat memberikan suatu reaksi apa pun ketika de Bernardi kabur kembali dengan mobilnya.
Dalam bulan-bulan pertama setelah pecah Perang Dunia II, de Bernardi memang terus dibayang-bayangi oleh Kepolisian Prancis. Tetapi dengan jatuhnya Prancis, de Bernardi muncul kembali di Paris. Kali ini ia menyamar sebagai pedagang anggur dan minuman untuk tentara pendudukan yang kantongnya tebal-tebal. Di antara pedagang-pedagang besar anggur Prancis, de Bernardi menonjol karena lagaknya bak orang yang mempunyai gelar kebangsawanan. Ia mengaku memiliki sejumlah puri dan ladang anggur.
Lewat de Bernardi, pedagang-pedagang anggur Prancis menemukan perantara yang menjual produk mereka kepada orang-orang Jerman. Tentu saja, orang-orang Jerman itu mau membeli dengan harga mahal. Sampai-sampai de Bernardi perlu membuka toko dan gudang anggur yang besar di Paris. Uang mengalir ke rekening de Bernardi secepat kotak dan tahang meninggalkan gudang-gudang anggur.
Hingga di sinilah isi berkas-berkas polisi yang digali untuk pencarian wanita yang kawin dengan Pangeran de Bernardi. April dan Mei 1944 berlalu. Di bulan Juni, terjadi perebutan daratan Normandia oleh pasukan-pasukan Sekutu. Baru 2 bulan kemudian tank-tank menderu memasuki Paris kembali.
Dalam 2 bulan itu sang Pangeran bekerja keras untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang mulai berubah dalam waktu singkat. De Bernardi berdiri di tepi Sungai Seine untuk mengelu-elukan barisan tank. Tetapi hari itu juga de Bernardi ditangkap.
Hari belum usai saat de Bernardi dinyatakan sebagai kolaborator dan pengkhianat. Ia dijebloskan ke dalam Penjara Fresnes. Mungkin penghuni penjara lainnya akan berputus asa. Tetapi de Bernardi yang pernah berpindah-pindah penampungan itu tidak patah semangat. Hari-hari itu dihabiskannya dengan menulis surat-surat yang panjang. Semua surat-surat itu dibaca polisi. Tampaknya cukup bersih dan tidak bersalah. Kecuali satu.
Surat ini ditulis oleh de Bernardi 8 bulan setelah penangkapannya. Alamatnya kepada Nona Irene Lebeau yang pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga sebelum Jeanne pergi dari rumah de Bernardi. Surat itu minta agar Nona Lebeau mengurusi barang-barang di rumah de Bernardi dan bagaimana seharusnya barang-barang itu diurus. Mengenai beberapa pakaian yang masih tergantung di lemari, de Bernardi menambahkan catatan kecil, bunyinya, “Awas dan ingat kursi merah!”
Detektif-detektif mendatangi rumah Nona Lebeau. Mereka yakin bahwa ia pasti paham mengenai catatan kecil itu. Nona Lebeau menyangkal. Tetapi ketika ditangkap dan dibawa ke markas polisi, Nona Lebeau menyatakan bersedia bekerja sama dan mengungkapkan segala pengalamannya selama bergaul dengan de Bernardi. Padahal polisi belum membeberkan soal tuduhan mereka pada Nona Lebeau.
Nona Lebeau tetap tinggal di markas polisi di Quaides Orfevres ketika petugas-petugas polisi memeriksa gudang anggur de Bernardi di Paris. Mula-mula mereka menemukan beberapa tong dan tahang. Isinya bukan anggur melainkan tanah yang berbau lumut. Polisi yakin bahwa tanah itu berasal dari penggalian semacam sumur atau lubang. Tetapi tanahnya ternyata tidak semuanya bisa dipakai untuk menimbun sumur itu lagi.
Tentu karena sumur itu pasti telah digunakan untuk menyembunyikan sesuatu. Polisi segera mencari bekas sumur. Sumur itu berhasil ditemukan di tempat yang sama. Polisi menemukan kain-kain yang ternyata membungkus sebuah mayat yang sudah hampir menjadi tanah. Karena sudah dalam keadaan terurai, maka hanya dapat diketahui bahwa itu mayat seorang wanita.
Penyelidikan lebih lanjut pada pakaian-pakaian yang sudah compang-camping juga mengungkapkan bahwa itu adalah mayat seorang wanita. Kemudian polisi mendapat kepastian bahwa itu adalah pakaian yang dikenakan oleh Jeanne de Bernardi ketika dia meninggalkan rumah ibunya pada tanggal 28 Maret 1944.
Sambil menggigit-gigit kuku jarinya, Nona Irene Lebeau mengatakan kepada pemeriksanya bahwa dia adalah kekasih de Bernardi. Mereka berhubungan sejak sebelum Jeanne meninggalkan rumah de Bernardi dan membawa anak-anak. Diceritakan pula bagaimana kejamnya Pangeran palsu itu dari waktu ke waktu menyiksa istrinya.
Lalu pada tanggal 28 Maret 1944, Jeanne de Bernardi datang di rumah de Bernardi. Ia minta tunjangan nafkah bagi kedua anaknya yang dirawat oleh ibu Jeanne. Nona Lebeau menyaksikan bagaimana kedua suami istri itu bertengkar.
“Jeanne duduk di kursi merah,” kata Nona Lebeau pada detektif-detektif yang mendengarkan dengan saksama. “Tiba-tiba Alain bangkit dari duduknya dan pergi ke belakang kursi. Ia melilitkan seutas tali ke leher Jeanne. Tali lalu ditarik dengan keras. Matilah Jeanne karena tercekik.”
Nona Lebeau mengatakan dia sudah berusaha mencegah perbuatan Alain itu.
“Tetapi saya tidak kuasa melarang dia. Tidak seorang pun bisa mencegah dia. Ketika saya mencobanya juga, dia mengatakan akan membunuh saya.”
“Mengapa Alain membunuh Jeanne?” tanya polisi.
“Entahlah,” kata Nona Lebeau. “Tetapi saya rasa, agar Jeanne tidak dapat menuntut bagian warisan untuk anak-anak mereka apabila pengadilan menjatuhkan keputusan perceraian.”
Menurut hukum Prancis, warisan itu besarnya 50%. Dengan demikian tali di leher Jeanne gunanya untuk mencegah jatuhnya kekayaan ratusan juta frank ke tangan Jeanne dan anak-anak mereka.
“Tetapi mengapa Jeanne menuntut perceraian?”
Nona Lebeau yang berusia 23 tahun itu memerah pipinya. “De Bernardi suka tidur dengan saya.”
Alain de Bernardi lalu dipanggil dari Penjara Fresnes. Apa saja yang diperbuatnya dalam masa perang bermunculan di koran-koran Prancis. De Bernardi seorang kolaborator, pengkhianat bangsa, dan manusia sadis. Khalayak ramai yakin bahwa turis Amerika itu pasti dibunuh dan disingkirkan oleh de Bernardi. Pasalnya, dia itu tidak pernah tampak hidup kembali, seperti Jeanne.
Irene Lebeau sendiri digambarkan koran-koran Prancis sebagai perempuan sundal yang merusak kebahagiaan hidup wanita Prancis yang terhormat. Koran menulis jika ia jatuh ke tangan de Bernardi yang bejat akhlaknya. Mengenai pembunuhan Jeanne, Nona Lebeau dicap sebagai pembantu yang terlibat dalam perbuatan terkutuk de Bernardi, yakni membunuh ibu dari anak-anaknya.
Natal 1946 sudah di ambang pintu ketika de Bernardi dan Nona Lebeau diajukan ke pengadilan. Nona Lebeau menjelaskan bagaimana dia pada tahun 1940 sebagai gadis desa berusia 17 tahun diterima sebagai pembantu rumah tangga de Bernardi oleh Jeanne. Ia membantu mengurusi anak-anak majikannya. 3 tahun kemudian lahir seorang de Bernardi lagi. Bukan anak Jeanne, melainkan anak Nona Irene.
Ketika itulah Jeanne pergi membawa anak-anaknya dari Alain de Bernardi dan pindah ke rumah ibunya. Ia mulai menghubungi pengacara-pengacara untuk membantu menguruskan perceraiannya dengan de Bernardi.
Cerita Irene Lebeau didengarkan dengan saksama oleh segenap hadirin yang memenuhi ruang pengadilan. Mata hadirin kadang-kadang tertuju pada sebuah kursi bercat merah yang merupakan saksi bisu kematian Jeanne de Bernardi.
“Tuan de Bernardi duduk menghadapi nyonya yang duduk di kursi merah itu,” kata Irene Lebeau lirih tapi terdengar jelas dalam pengadilan, “Tiba-tiba Tuan bertanya, sambil mengacungkan jarinya pada saya, kepada Nyonya: apakah saya kekasih kawannya. Jawab Nyonya, ‘Saya tidak mau mengatakannya.’
“Lalu, masih sambil tersenyum-senyum tuan mengeluarkan sepotong kain dari sakunya dan berkata kepada Nyonya, ‘Bagaimana seandainya engkau kucekik karena hal ini?’ Jeanne membiarkan Alain melilitkan kain itu di lehernya. Saya melonjak bangkit hendak menghampirinya. Tetapi Tuan menolak, menjauhkan saya, dan tiba-tiba ikatan di keliling leher Jeanne dikunci. Kain ditarik kuat-kuat, sambil menekankan lututnya di belakang sandaran kursi. Tangan nyonya terkulai. Tamatlah sudah. Tuan berkata kepada saya, ‘Engkau juga akan saya buat jadi begini, kalau engkau mengatakan sesuatu mengenai hal ini.’ Saya lalu membantunya membawa jenazah Nyonya ke sebuah truk kecil.”
Demikian cerita Nona Lebeau yang terus dipegangnya hingga akhir. Berlainan dengan cerita terdakwa lainnya.
De Bernardi dibela oleh Jacques Isorni yang juga membela Marsekal Petain.
“Perempuan petani inilah yang membunuh istriku,” demikian kata de Bernardi dengan tegas. “Jeanne tidak mati tercekik seperti kata dokter-dokter, melainkan ditembak oleh dia dari samping saya. Irene Lebeau membunuh istri saya. Dia menggunakan revolver yang disembunyikan dalam anjing-anjingan dari kain. Kalau kalian perlu bukti, temukanlah pelurunya dalam tubuh istriku.”
De Bernardi menceritakan, bagaimana sebenarnya (sesudah dia setuju bercerai) keduanya berniat rujuk kembali. Keadaan bahagia ini terganggu oleh kehadiran Irene Lebeau di rumah de Bernardi. Kedua wanita itu, menurut de Bernardi, mulai berselisih memperebutkan de Bernardi. De Bernardi beranjak mau pergi meninggalkan keduanya, tetapi diikuti oleh Lebeau. Untuk itu Lebeau mendapat tamparan keras di mukanya dari Jeanne. Tiba-tiba Lebeau mengeluarkan revolver dan Jeanne ditembaknya. Jenazah Jeanne kemudian disingkirkan oleh Lebeau dengan bantuan seorang iparnya yang bernama Heyraud. Entah dibawa ke mana jenazah Jeanne oleh keduanya.
Hakim ketua bertanya pada Nona Lebeau, apakah ada yang hendak dikatakannya lagi. Nona Lebeau menjawab tiga patah kata, “Itu semuanya bohong!”
Mendengar itu de Bernardi meloncat dari tempat duduknya sambil berteriak, “Hei, akuilah, akuilah saja! Kamu tahu pasti siapa yang benar!” De Bernardi lalu jatuh pingsan.
Perkembangan pengadilan selanjutnya ialah menampilkan saksi untuk menyatakan bahwa Irene Lebeau seorang perempuan jalang. Seorang serdadu bernama Marcel Cloy mengatakan bahwa Nona Lebeau pernah melahirkan bayi dan dia sendirilah bapak bayi itu. Mereka bermaksud menikah, tetapi Nona Lebeau senantiasa menunda-nunda pernikahan itu.
“Mengapa?” tanya pengadilan.
“Karena de Bernardi menghendaki demikian,” kata Nona Lebeau.
Setelah itu pembela masing-masing mempersoalkan kursi merah yang merupakan saksi bisu selama berlangsungnya pengadilan. Pembela de Bernardi menyatakan bahwa sandaran kursi terlalu rendah, sehingga de Bernardi tidak mungkin dapat berbuat seperti dikemukakan oleh Nona Lebeau. Untuk membuktikan, pembela mengundang panitera supaya duduk di kursi merah. Kemudian lehernya diikat oleh pembela.
Pembela Nona Lebeau langsung menangkis pembelaan de Bernardi. Dia berdiri di belakang kursi merah, memegang tali di leher panitera yang segera mulai merasa kesakitan sambil berkata, “Mengapa de Bernardi tidak bisa menurunkan tangannya sedikit saja?”
Sidang yang dilanjutkan hingga jauh malam itu lalu mendengarkan keterangan kedokteran forensik. De Bernardi terjebak oleh akalnya sendiri: tidak sebutir peluru pun ditemukan dalam mayat yang sudah hampir menjadi tanah. Senin 23 Desember 1946, setelah bersidang selama 30 menit, juri memutuskan bahwa de Bernardi bersalah. Irene Lebeau tidak bersalah.
De Bernardi dipertemukan dengan “Tuan Guillotine” di halaman Sante Prison pada tanggal 28 Mei 1947.
(LEONARD GBIBBLE)
Baca Juga: Pembunuhnya Suka Wanita Muda
" ["url"]=> string(56) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834090/ingat-kursi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310757000) } } [1]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3822808" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/134-tembak-orang-inijpg-20230829120334.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(129) "Dieter ditemukan tewas tertembak. Orang yang terakhir terlihat bersamanya adalah temannya, Martiens. Apakah dia yang membunuhnya?" ["section"]=> object(stdClass)#124 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/134-tembak-orang-inijpg-20230829120334.jpg" ["title"]=> string(16) "Tembak Orang Ini" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:03:47" ["content"]=> string(46524) "
Intisari Plus - Dieter ditemukan tewas tertembak. Orang yang terakhir terlihat bersamanya adalah temannya, Martiens. Apakah dia yang membunuhnya?
----------
Jumat 24 Maret 1961, pagi itu Dieter tampak riang dan gembira sekali. Ia meminjam mobil kakaknya, Hindegarde, untuk pergi makan siang bersama istrinya Colleen. Kakaknya bertanya, mengapa dia tidak mengenakan cincin pemberian ayah mereka seperti biasanya. “Sedikit gatal-gatal di sini,” jawabnya sambil menunjukkan jarinya yang biasanya dihiasi oleh cincin pusaka. “Kau makan siang di flat kami hari Minggu ini, bukan?” pamitnya pada kakaknya.
Begitu Dieter dan Colleen tiba di rumah dari makan siang di luar, mereka segera tidur. Tetapi jam 5 petang mendadak Dieter bangun.
“Wah! terlambat. Aku ada janji. Urusan besar,” katanya.
Dieter buru-buru mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna kuning putih, celana korduroi hijau, kaus kaki berwarna menyala, sepatu cokelat, dan jas korduroi cokelat.
“Kembali setengah delapan. Kita nonton nanti,” ujarnya ke Colleen.
Dieter lalu mengambil uang dari lemarinya sebesar 2.000 pounds Afrika Selatan. Colleen minta uang, tetapi Dieter berkata nanti saja.
Setelah Dieter pergi, Colleen lalu memandikan bayi mereka dan menidurkan di ranjangnya. Ia lalu mencuci muka kemudian duduk di ruang tamu mendengarkan radio.
Sementara itu, petang yang sama, di Hatfield House Johanna Rossouw menyuruh anak-anaknya tidur. Lalu dikeluarkannya koper-koper dari tempatnya. Suaminya Martiens mengatakan akan mengajak Johanna pergi ke Krom River hari Senin nanti. Gambaran suasana ceria berkecamuk di pikiran Johanna. Selama Martiens kerap mengabaikan anak istrinya, demi sahabatnya Dieter von Schauroth. Martiens katanya akan kembali sebelum jam 9.
Lelah mengemasi semua pakaian ke dalam koper, Johanna menanggalkan baju yang dipakainya dan berbaring di ranjangnya sambil mendengarkan radio.
Jam enam kurang seperempat petang hari Jumat 24 Maret 1961 itu Dieter tiba di rumah kediaman Martiens dengan mobil yang dipinjamnya dari Hildegarde. Johanna yang menyambutnya mengatakan bahwa suaminya sudah pergi. Dieter tanpa pamit cepat-cepat meninggalkan Hatfield House menuju stasiun besar, memarkir kendaraannya di Grand Parade, kemudian menunggu di bawah jam. Baru menjelang jam 6 Martiens muncul.
Keduanya lalu berkendara menuju Fredman’s Motors. Sebelum Martiens keluar dari mobil, Dieter memberikan uang tunai 20 pounds. Dieter menunggu di luar toko mobil itu. 20 menit kemudian, Martiens keluar dari toko mobil. Ia membawa kuitansi sebesar 40 pounds dan salinan perjanjian sewa. Katanya kepada Dieter, mobilnya baru siap Senin pagi. Sehingga, katanya pula, dia baru bisa berangkat ke Krom River dengan Johanna paling cepat Senin siang itu. Martiens menceritakan juga hal lainnya yang dibicarakannya dengan Seymour Ezer, manajer Fredman’s Motors. Bahwa dia kelak akan membeli mobil yang lebih baik. Cek sebesar 1.150 pounds dari Dieter juga ditunjukkan kepada Ezer
Dari toko Fredman’s Motors, keduanya pergi berputar-putar selama 5 menit. Sebelumnya mobil pinjaman itu dihentikan di pelataran parkir di luar Hotel Prince of Wales di Bree Street.
“Kita pura-pura tidak kenal, ya,” kata Dieter pada Martiens. “Kita di dalam saja bertemu nanti, kamu lewat pintu sana. Martiens mengangguk-angguk ketika diberi uang oleh Dieter. Keduanya kemudian memasuki bar Hotel Prince of Wales lewat dua pintu yang berlainan.
“Whisky dan soda,” kata Dieter pada penjaga bar.
“Brandy dan coke,” kata Martiens.
Setelah penjaga bar menyajikan minuman dan pergi agak menjauh, berkatalah Dieter dengan lirih, “Nah, kalian sekarang sempat ke Krom River, bukan?” Keduanya mengangkat gelas.
“Malam ini aku tidak bisa berlama-lama. Janjiku pada Johanna pulang jam 9,” kata Martiens.
“All right, Cowboy,” kata Dieter. “Tetapi sebelum pulang, laksanakan dulu tugasmu untukku.”
“Malam ini juga?” tanya Martiens.
“Ya, malam ini,” kata Dieter tegas.
Begitu minumannya habis, Dieter beranjak pergi keluar. Beberapa menit kemudian Martiens juga lalu keluar. Berdua mereka menyusuri Foreshore, lalu mengikuti jaIan nasional ke Milnerton yang jauhnya 9 mil dari Cape Town. Ketika berada di Cambridge Hotel, Dieter dan Martiens juga tidak bersama-sama memasuki barnya. Dieter menduduki kursi tinggi di sebelah pria yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Beyleveld. Martiens yang tiba di bar belakangan juga mendekati Beyleveld.
Segelas brandy dan coke habis, Martiens pun keluar dari bar. Beberapa menit kemudian masuk lagi. Lalu keluar lagi, katanya mau menelepon istrinya. Beberapa menit kemudian datang di bar lagi, katanya karena kotak teleponnya terpakai terus.
Dieter bercerita pada Beyleveld bahwa dia seorang petani dari Karasburg. Malam itu istrinya membiarkan dia pergi. Martiens datang menyela.
“Selamat sore,” katanya, “nama saya Rossouw.”
“Saya von Schauroth,” kata Dieter, yang meskipun sudah bercakap-cakap dengan Beyleveld tapi belum memperkenalkan dirinya.
Ketika Dieter minta Martiens untuk ikut minum, serta-merta keduanya bertengkar soal siapa yang harus membayar nanti. Martiens lalu mengeluarkan tiga batang korek api untuk dirinya dan tiga batang korek api lagi untuk Dieter. Katanya, “Kita undi saja.”
Penjaga bar Henn cepat-cepat mencegahnya, “Di sini tidak boleh berjudi.”
Martiens mengalah. Dia akhirnya yang membayar minumannya. Lalu pergi keluar lagi.
“Ada apa dengannya,” tanya Beyleveld pada Dieter. “Menyela pembicaraan kita, lalu keluar masuk bar.” Yang ditanya angkat bahu sambil tersenyum.
Martiens masuk lagi, sekarang ganti Dieter membelikan minuman.
“Selamat malam,” kata Martiens begitu minumannya habis, sambil bangkit dari duduknya. Martiens meninggalkan bar.
Beberapa menit kemudian Dieter juga keluar dan tak berapa lamanya lagi Beyleveld mendengar mobil dipacu meninggalkan hotel. Dari Cambridge Hotel itu Dieter mengarahkan mobilnya ke utara ke Killarney Hotel, di dekat jalan simpang ke Melkbosstrand. Di Killarney keduanya juga berhenti di sebuah bar, minum-minum, terus pergi lagi.
Saat kembali ke mobil, Dieter minta agar Martiens yang memegang kemudi. Mereka lanjut ke utara, ke Malmesbury. Dieter mulai bernyanyi dalam bahasa Jerman, mungkin karena pengaruh begitu banyak minuman keras yang diminumnya. Bahu Martiens ditepuk-tepuk. “Malam ini kamu mendapat 5.000 pounds,” kata Dieter.
“Mana orangnya?” Martiens bertanya.
“Sebentar lagi, dekat sebuah persimpangan,” jawab Dieter. “6 mil dari Killarney, di dekat Vissershoek, jalannya bercabang, yang lurus ke utara menuju Malmesbury.” Ia menyuruh Martiens supaya meninggalkan jalan besar dan berbelok ke jalan kecil, Dieter mengambil jas hujannya yang ada di jok belakang dan diletakkan di pangkuannya. Dieter mengeluarkan sepucuk pistol Beretta dan dua dus peluru pistol dari saku jas hujan.
Martiens melirik mengawasi ketika Dieter menaruh dua butir peluru ke dalam magasin pistol. Sekitar 70 yard dari jalan besar, Dieter menyuruh berhenti. Pistol diberikan pada Martiens. Dieter lalu keluar dari mobil, diikuti Martiens dengan pistol di tangan.
Mereka berdiri di tempat yang lapang tanpa pepohonan. Menghadap ke sebuah deretan pohon eukaliptus, di kiri ada pohon-pohon rooikrans. Tidak jauh di belakang mereka ada semak belukar yang lebat. Martiens dan Dieter mengawasi deretan pohon eukaliptus, seolah menanti munculnya seseorang dari antara pohon-pohon berbatang kurus itu.
Satu demi satu batang pohon di sana tampak jelas, berkat cahaya bulan dan bintang malam itu.
“Mana orangnya,” tanya Martiens berbisik, sambil mengacungkan pistol di tangannya ke arah pohon-pohon eukaliptus.
“Ini orangnya,” kata Dieter. “Di sini!”
Pada jam 11 malam itu juga, John Jackson dengan seorang teman pulang dari memancing ikan di pantai Atlantik. Mereka mengambil jalan lama menuju jalan nasional. Di dekat sebuah perkebunan Visserahoek, mereka dihentikan oleh empat orang pria. Salah satunya membawa jeriken. Mereka kehabisan bensin, sehingga mobil mereka mogok.
Setelah memberi sedikit bensin pada mereka, Jackson serta-merta memacu kendaraannya. Di pos polisi Philadelphia Jackson melaporkan perihal dihentikan orang di dekat Vissershoek.
“Mata mereka menakutkan,” kata Jackson pada petugas jaga. “Kalau kalian tidak mengharapkan ada pembunuhan di sana, sebaiknya kirim patroli sekarang juga.”
Sebuah mobil patroli diperintahkan pergi ke Vissershoek. Tetapi tidak ada apa-apa lagi di sana.
Kira-kira jam 6.45 pagi berikutnya, Walter Henry Oliver yang berkendara di jalan nasional dari Cape Town melihat sebuah mobil yang diparkir dengan sembrono kira-kira 1 mil dari Vissershoek. Seorang pria setengah baya yang berdiri di dekat mobil itu menolak tawaran Oliver untuk meminggirkan mobilnya.
“Tampaknya seperti orang Jerman atau Yahudi,” kata Oliver kemudian. “Ketika saya di sana orang itu menyapu-nyapu tangannya dengan kertas koran bekas. Entahlah apa yang disapunya dari tangannya itu.”
Yang diingat oleh Oliver adalah ukuran tubuhnya yang sedang, kira-kira 5 kaki 6 inci, kulit agak gelap, dan tampaknya tidak tidur sama sekali semalaman.
Ketika Oliver meneruskan perjalanannya, dia dihentikan oleh mandor kuli jalan Willem Van Zyl yang pagi itu berangkat ke tempat kerjanya dengan sepeda. Van Zyl berhenti di persimpangan yang sama seperti Dieter dan Martiens sebelumnya. Ternyata Van Zyl mengajak Oliver untuk melihat sesosok mayat yang tertelungkup di tanah berpasir. Tangan kanan mayat itu menumpang di atas punggung, dengan telapak tangan menghadap ke atas. Tangan kirinya tertindih sedikit oleh tubuh dan kakinya terentang lurus membentuk huruf lamda. Demikian cerita Oliver kelak.
Oliver menyuruh Van Zyl supaya melaporkan hal itu kepada polisi. Oliver sendiri kemudian juga melaporkan hal yang sama pada polisi. Karena tidak ditanya, Oliver juga tidak merasa perlu memberitahukan polisi bahwa mayat yang dilihatnya itu terbaring telungkup.
Segera seorang petugas muda dari Polisi Philadelphia tiba di tempat kejadian dengan seorang detektif. Tanpa sadar serta-merta sang detektif mengangkat kepala mayat untuk mengetahui asal darah keluar. Dan bagian belakang tengkuk mayat tampak dua lubang luka. Menurut petugas polisi itu kelak, posisi mayat berubah, meskipun mayat pernah dibalikkan olehnya. Petugas polisi itu lalu juga menggeladah pakaian mayat dan menemukan uang tunai sebanyak 2 pounds, 12 shiling, 2 penny di dalam saku celana.
Polisi juga menemukan selongsong peluru di dekat kaki mayat. Setelah sebentar mengamat-amati situasi di sekitar mayat, petugas polisi itu pergi kembali ke posnya untuk melaporkan penemuan itu ke markas Polisi Cape di Caledon Square. Si detektif diminta untuk menunggui mayat.
Dalam waktu setengah jam tiba pula Detektif Hitchcock di tempat kejadian. Ia datang bersama seorang tukang potret dan beberapa anggota tim anti pembunuhan. Hitchcock tidak melihat bekas-bekas perkelahian atau perlawanan. Tidak ada pula saku baju yang dibalikkan keluar. Hitchcock mencatat jam di pergelangan tangan kiri mayat berhenti dan menunjuk jam 9.10. Hitchcock menemukan juga beberapa butir intan yang belum dibentuk, sebesar 4,5 karat. Gagasan pertama yang timbul dalam pikiran Hitchcock ialah pembunuhan itu tidak direncanakan lebih dahulu. Mungkin akibat perselisihan mengenai jual beli intan secara tidak sah. Kalau pembunuhan itu direncanakan, tentunya akan terjadi di antara pepohonan dan bukan di tempat yang terbuka itu, pikir Hitchcock.
Sabtu 25 Maret siang, koran Cape Argus mengemukakan dua teori. Menurut koran, korban ditembak dari belakang ketika dia itu keluar dari mobil. Atau ia ditembak di dalam mobil tapi kemudian mayatnya dibuang keluar. Kalau teori kedua yang terjadi, mengapa pelaku tidak membuangnya di antara pepohonan saja. Jadi mayat itu baru berhari-hari atau berminggu-minggu ditemukan.
Korban itu mengenakan jam tangan emas yang sangat mahal harganya. Menurut polisi, korban adalah orang keturunan Eropa, berusia sekitar 27 tahun, tinggi badan 5 kaki 6,5 inci, bertubuh kekar, rambut cokelat tua dan agak berombak, serta mata cokelat. Ada tambahan emas kecil dalam gigi di belakang taring atas kiri. Juga ada bekas luka samar-samar sepanjang 1,5 inci di dagunya. Korban itu mengenakan celana korduroi hijau, jas korduroi cokelat, kemeja kotak-kotak putih kuning, kaos kaki warna-warni menyala, dan sepatu cokelat kemerah-merahan. Tampangnya seperti petani.
Sebelum itu, Sabtu pagi, Hildegarde von Schauroth pergi ke kota untuk mengambil mobil yang dipinjam Dieter. Dieter berjanji akan meninggalkan mobilnya di suatu tempat di Long Street. Tetapi Hildegarde tidak menemukan apa-apa di sana. Jadi Hildegarde kembali pulang dengan hati yang was-was. Ia semakin khawatir sebab pada jam 10 malam sebelumnya, Colleen menelepon bahwa suaminya belum juga kembali di rumah.
Siangnya lagi Collen datang sendiri di flat iparnya. Hildegarde sedang menelepon pos-pos polisi. Ia menanyakan apakah ada kecelakaan mobil yang mungkin melibatkan Dieter. Tetapi polisi tidak menerima laporan adanya insiden lalu lintas hari itu.
Sekitar jam makan siang Hildegarde memutar radio. Ia kemudian mendengar berita ditemukannya mayat di dekat Milnerton. Hildegarde segera menelepon stasiun radio itu, tapi dipersilahkan bertanya ke markas Polisi Philadelphia.
“Mereka memberitakan pemeriksaan mayat yang ditemukan itu,” kata Hildegarde kemudian. “Aku menyadari mayat itu adalah Dieter.”
Lepas tengah hari Sabtu, polisi menyita sebuah mobil kecil yang ditinggalkan pengendaranya di dekat Milnerton. Kunci kontak masih menempel, sedangkan di jok belakang terhampar selembar jas hujan. Polisi segera menghubungkan penemuan mobil kecil itu dengan pertanyaan lewat telepon dari Hildegarde. Hildegarde mengakui mobil yang ditemukan polisi itu sebagai miliknya.
Setelah mengunjungi Hildegarde, Detektif Hitchcock lalu juga pergi menemui Colleen.
Ditunjukkannya kepada Colleen intan yang belum dibentuk yang ditemukannya di dekat mayat Dieter.
“Saya tidak tahu banyak soal intan,” kata Colleen. “Suami saya memang kadang-kadang membawa intan seperti itu.”
“Dengan siapa terakhir suami Nyonya berjual beli intan seperti ini,” tanya Hitchcock.
“Kalau tidak salah dengan Tuan Brown dan Toms,” jawab Colleen. “Lainnya lagi,” tambah Colleen, “Tuan Rossouw yang selalu mendesak agar intan-intan itu diambil Dieter. Mungkin semalam dia pergi menemui mereka,” kata Colleen, “Sambil membawa uang tunai 2.000 pounds.”
“2.000 pounds. Untuk apa?” tanya Hitchcock.
“Dia biasa membawa uang sebanyak itu,” kata Colleen.
“Bagaimana Anda tahu uang yang dibawanya itu sejumlah 2.000 pounds?” tanya Hitchcock lagi.
“Dia berkata demikian pada saya,” jawab Colleen.
Sabtu sorenya Hitchcock pergi ke Hatfield House. Tetapi Martiens sudah seharian tidak di rumah. Baru pada jam 2 menjelang dini hari Minggu polisi berhasil menjemput Martiens untuk dibawa ke markas polisi.
“Kami sedang menyelidiki kematian von Schauroth,” kata Hitchcock pada Martiens. “Setahu kami Anda kawan almarhum, coba ceritakan pada kami kapan Anda terakhir kali melihatnya.”
Martiens menatap muka Hitchcock. “Benar,” kata Martiens. “Jumat sore kira-kira setengah 6 kami bertemu di Stasiun Cape Town. Saya pernah minta pinjam uang 20 pounds untuk menyewa sebuah mobil. Kata Dieter, dia hendak memberikan uang itu hari Jumat kalau saya memberikan alamat seorang kulit hitam yang menjual intan asli. Kami menemui orang itu. Dieter lalu memberi 20 pounds pada saya. Ia kemudian mengantarkan saya ke toko mobil Fredman’s Motors. Saya diturunkan disana. Sejak itu saja tidak melihat Dieter lagi.”
Ketika Hitchcock diam tanpa memberi reaksi apa-apa, Martiens meneruskan ceritanya. “Saya lalu pergi ke gedung bioskop, bertemu seorang gadis di sana. Kami nonton film Jack Slade. Saya tiba di rumah jam 11, lalu langsung tidur,” kata Martiens.
Terkesan oleh kelancaran ceritanya, Hitchoock menyuruh Martiens pulang. Minggu siang, Brown dan Toms mengunjungi Martiens. “Anda dengar mengenai von Schauroth?” tanya Brown. “Kata polisi dia mati terbunuh.”
“Ya, memang benar,” jawab Martiens. “Kita jangan kelihatan bersama-sama.”
“Mengapa?” tanya Toms.
“Begini,” jawab Martiens, “semalam saya dibawa polisi dan diinterogasi.”
“Tapi toh kami tidak ada urusan dengan pembunuhan itu,” kata Toms. Brown dan Toms lalu bergegas pergi.
Koran-koran Senin 27 Maret memuat berita tentang kematian Dietrich Baron von Schauroth. Cape Times melaporkan bahwa ditemukan sejumlah besar intan asli seharga ratusan pounds di dekat mayat Dieter.
“Seorang petani kaya raya dari Afrika Barat Daya. Intan-intan itu berada di dekat mayat,” tulis koran itu. Ketika polisi tiba di tempat itu, mereka menemukan lebih banyak lagi butir-butir intan, bertebaran di mana-mana. Menurut keluarganya, Dieter meninggalkan ladang pertaniannya di Karasburg setahun sebelumnya karena kekeringan yang sangat lama. Ia menjual ternaknya yang terdiri dari lebih dari 4.000 ekor biri-biri karena ladang penggembalaannya tidak lagi berumput. Tetapi Dieter berharap akan kembali ke sana setelah musim penghujan. Ia akan memulai peternakan hewan potong.
Koran itu juga ditunjukkan Martiens pada rekannya, Kenneth Manefelt. “Polisi menyangka aku terlibat pembunuhan ini,” kata Martiens sambil menunjuk pada gambar Dieter di koran.
Kata Manefelt kemudian, dia tidak percaya omongan Martiens karena sebelumnya Martiens bercerita pernah naik mobil Galaxie yang sebilah pegas depannya patah. Galaxie tidak berpegas bila di depan.
Mandor tempat kerja Martiens mengizinkan Martiens meninggalkan pekerjaannya lebih awal dari biasanya. Ia berpamitan pada mandor dengan alasan hendak melihat mobil yang disewanya dari Fredman’s Motor. Tetapi di toko mobil itu Martiens ditangkap oleh dua orang detektif.
Pada jam 3 siang hari Senin itu Detektif Hitchcock sudah mengetahui bahwa Martiens terlihat bersama-sama Dieter pada hari Jumat petang antara jam 7 dan 8. Polisi mengetahui hal itu dari Beylevald yang pada Senin pagi membaca koran. Ia melihat gambar Dieter lalu mengatakan pada polisi bahwa dia melihat Dieter dan Martiens di bar hotel di Milnerton hari Jumat malam.
“Kami ingin mengetahui lebih banyak mengenai kematian von Schauroth,” kata Hitchcock pada Martiens. “Anda kemarin mengatakan pada kami perihal aktivitas Anda pada Jumat siang dan petang. Anda bersedia memastikannya dengan keterangan tertulis dan bertanda tangan?” tanya Hitchcock yang ketika itu didampingi oleh Kapten Coetze.
“Tentu saja saya bersedia.” Hitchcock lalu mengambil pena dan mulai merekam pernyataan Martiens dalam bentuk tanya jawab.
“Anda kenal dengan Dietrich von Schauroth?”
“Ya.”
“Sejak kapan?”
“Sejak saya datang dari Bitterfontein. Jadi sejak Natal, begitulah.”
“Anda menjadi kawan akrab?”
“Ya.”
“Karena itu Anda berjual beli intan asli dengan von Schauroth?”
“Ya. Sebagai pembeli intan, saya diperkenalkan padanya oleh Tuan Brown.”
“Kapan terakhir kali Anda berjual beli intan dengannya?”
“Waktu saya bertemu dia itu.”
“Apa Anda melihat Dietrich van Schauroth minggu lalu?”
“Ya, Jumat 24 Maret 1961.”
“Sebelum Jumat?”
“Hari Rabu sebelumnya.”
“Hari Rabu?”
“Dia datang di rumah kami. Lalu kami pergi ke Belvedere Hotel dan dari sana ke City Hall Hotel, lalu kembali ke rumah. Dia mengendarai mobil kakaknya.”
“Jam berapa dia menjemput Anda?”
“Antara jam tujuh dan setengah delapan petang. Saya baru saja mencocokkan jam saya.”
“Jam berapa Anda diantar pulang?”
“Menjelang jam 9 malam. Jam 9 saya mendengarkan siaran berita.”
“Masih ingat berita apa misalnya?”
“Tidak.”
“Rabu malam itu bicara apa saja dengan Dietrich?”
“Oh, saya minta pinjam uang 20 pounds. Katanya akan diberikan hari Jumat, supaya saya menunggu di dekat jam stasiun besar Cape Town, sehabis jam kerja. Dia akan memberikan uang itu.”
“Dari tempat kerja, Anda langsung menuju ke stasiun besar?”
“Ya.”
“Jam berapa Anda selesai kerja?”
“Kira-kira jam lima kurang tujuh menit. Buruh-buruh pada antre panjang.”
“Anda naik kereta api ke Cape Town?”
“Ya.”
“Dietrich sudah ada di sana ketika Anda tiba di Stasiun Cape Town?”
“Belum. Saya harus menunggu lama. Saya menunggu di arah Adderly Street di depan stasiun. Saya lalu masuk ke halaman stasiun, mencari di mana dia mungkin memarkir kendaraannya.”
“Di mana akhirnya Anda menemukan dia?”
“Setelah tiga atau empat kali memasuki stasiun lagi, saya melihat Dietrich masuk ke stasiun dari arah Adderley Street.”
“Jam berapa itu?”
“Kira-kira jam lima kurang seperempat.”
“Anda langsung menghampirinya?”
“Ya. Dia mengatakan mobilnya diparkir di Grand Parade.”
“Di mana dia memberikan uang 20 pounds pada Anda?”
“Di dalam mobilnya. Dia katanya tergesa-gesa dan mau cepat-cepat pergi. Uangnya dua lembaran 10 pounds. Dia tergesa-gesa, katanya. Saya lalu minta diantar ke Fredman’s Motors.”
“Anda jadi ikut pergi?”
“Ya.”
“Jam berapa Anda sampai di Fredman’s Motors?”
“Kira-kira jam 6. Lalu lintas agak ramai.”
“Lalu apakah kalian keluar dari toko mobil itu bersama-sama?”
“Saya mengurus pembayaran untuk sewa mobil. Dia memberi tahu bahwa ia sangat tergesa-gesa.”
“Mengapa dia tergesa-gesa?”
“Dia tidak mengatakan apa-apa.”
“Mau ke mana dia?”
“Katanya mau pergi ke Malmesbury dan dari sana terus ke Karasburg.”
“Kapan dia mengatakan itu?”
“Setelah saya menyerahkan uangnya pada Tuan Ezer dari Fredman’s Motors. Ketika sedang menunggu kuitansi, saya melihat Dietrich keluar dari mobil lalu berjalan-jalan di kaki lima di dekat toko Fredman. Saya katakan padanya bahwa saya segera selesai. Dia berkata kalau dia sangat tergesa-gesa.”
“Mau apa dia?”
“Ketika saya masuk ke mobil di Grand Parade, dia berkata bahwa ada relasi baik-baik dan bahwa dia mau pergi ke Malmesbury kemudian terus ke Karasburg.
“Apakah dia berbicara tentang intan atau jual beli intan?”
“Dia cuma mengatakan mempunyai relasi baik-baik.”
“Anda lalu berpisah atau dia meninggalkan Anda di Fredman’s Motors?”
“Ya.”
“Jam berapa itu?”
“Lewat jam setengah delapan.”
“Anda sudah mendapat kuitansi ketika Anda melihat dia pergi?”
“Ya, saya sedang berjalan keluar.”
“Lalu apakah Anda juga segera pergi?”
“Tidak. Saya masih melihat-lihat mobil-mobil di etalase. Lama juga.”
“Lalu Anda ke mana lagi setelah dari sana?”
“Berjalan kaki ke Royal Bioscope dan Roxy.”
“Film apa yang Anda tonton?”
“Saya menonton Jack Slade di Roxy Bioscope, setelah mengajak seorang gadis yang saya tidak kenal di Royal Bioscope.”
“Filmnya sudah dimulai?”
“Ya, sudah mulai.”
“Ada adegan yang Anda ingat?”
“Tidak banyak, karena saya fokus pada gadis yang saya ajak itu.”
“Anda menonton sampai habis?”
“Tidak. Hanya sampai bagian Jack Slade menembak kawannya.”
“Jam berapa Anda meninggalkan gedung bioskop?”
“Entahlah.”
“Jam berapa tiba di rumah?”
“Kira-kira jam 11.”
“Ada yang melihat kedatangan Anda?”
“Saya kira Nyonya Williams melihat saya. Dia sedang berada di gang dan suaminya membukakan pintu.”
“Hanya itukah tempat-tempat yang Anda kunjungi setelah bertemu dengan Dietrich di stasiun?”
“Ya. Saya dan gadis itu mengobrol di Belvedere Hotel.”
“Kapan Anda mendengar tentang kematian Dietrich pertama kali?”
“Hari Minggu pagi ketika polisi menjemput saya.”
“Saat berada di rumah atau kantor polisi?”
“Ketika Anda sendiri menanyai saya.”
“Begitukah?”
“Ya begitu.”
Ketika Martiens sudah membaca dan menandatangani pernyataannya itu, Hitchcock menekan tombol di mejanya. “Kita sekarang mengadakan identifikasi,” katanya. “Ayo ikut saya.”
Seorang detektif mengajak Martiens pergi dari kantor Hitchcock ke sebuah ruangan besar. Di sana, ada delapan atau sembilan orang pria berdiri berjajar sepanjang tembok. Martiens lalu disuruh berdiri juga di antara orang-orang itu.
Martiens tampak terkejut sekali ketika Beyleveld yang dilihatnya dalam bar Cambridge Hotel hari Jumat malam dibawa masuk.
“Beyleveld, kalau Anda melihat salah satu dari pria-pria ini Jumat malam yang lalu, letakkan tangan Anda di pundaknya,” kata seorang detektif.
Beyleveld lalu maju dan menumpangkan tangannya di pundak Martiens. Berikutnya masuk Henn, penjaga bar Cambridge Hotel yang melarang Martiens bermain dengan batang-batang korek api.
Lalu masuk pula Wycombe, penjaga bar Killarney Hotel. Baik Henn maupun Wycombe masing-masing melakukan hal yang sama seperti Beyleveld.
“Jadi, Anda masih bersama von Schauroth hingga setengah delapan malam pada hari Jumat itu. Dapatkah kami mempercayai keterangan lain?” tanya detektif pada Martiens.
“Pernyataan-pernyataan itu saya buat dalam keadaan takut,” kata Martiens. “Yang sebenarnya, dari Fredman’s Motors, Dieiter dan saya pergi ke dua hotel untuk minum-minum. Lalu ke Cambridge Hotel di Milnerton.”
Menurut Martiens, di luar hotel mereka melihat sebuah mobil kecil yang ditumpangi empat orang pria. Ketika mereka keluar dari hotel, habis minum-minum, dan mau masuk ke mobil, seorang dari empat orang tidak dikenal itu menodongkan pistol ke punggung von Schauroth. Penodong lalu ikut naik mobil von Schauroth dan memaksa mereka menuju Malmesbury. Mobil kecil mengikuti dari belakang.
Tiba di sebuah persimpangan belok ke kiri lalu mobil berhenti. Von Schauroth disuruh turun dari mobil. Martiens sendiri, katanya, disuruh memandang ke arah lain. Tidak lama kemudian Martiens mendengar dua kali letusan senjata api. Kemudian Martiens disuruh membawa mobil von Schauroth ke Milnerton. Di Milnerton penodong itu turun dan pergi.
Dari Milnerton, kata Martiens, dia menumpang bus ke Cape Town dan tiba di rumah pada jam 11 malam. Di kamar Martiens melihat bahwa teromol makan siangnya yang semula ada dalam mobil von Schauroth berisi sepucuk pistol dan dua dus peluru. Martiens lalu menanggalkan pakaiannya dan pergi berbaring untuk tidur. Tetapi dia tidak bisa tidur. Pistol dan peluru-pelurunya lalu dibawanya pergi dan dibuang di Sea Point.
“Mengapa Anda tidak segera melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib? Sehingga kalau perlu jalan-jalan masih bisa diblokir dan minta bantuan pendengar-pendengar radio,” tanya Hitchcock. Martiens bungkam.
“Kami tahu von Schauroth membawa uang barang 2.000 pounds malam itu. Anda orang terakhir melihat dia hidup. Jadi tentunya Anda yang menembak von Schauroth untuk mendapat uang 2.000 pounds itu,” kata Hitchcock lagi.
“Saya merampok dia?” tanya Martiens dengan marah. “Von Schauroth memberikan semuanya ini pada saya!”
Martiens mengeluarkan dua lembar surat dari saku jeansnya. Ternyata sebuah cek senilai 1.150 pon dan sebuah surat dari von Schauroth.
Di surat itu tertulis bahwa dia memberikan cek untuk “jasa yang diberikan”.
“Apa artinya itu?” tanya Hitchcock.
“Saya memperkenalkan von Schauroth dengan orang-orang yang akan menjual intan,” jawab Martiens.
“Rossouw, kalau Anda mengatakan yang sebenarnya, tentulah kami percaya juga,” kata seorang detektif tiba-tiba.
“Memang. Tetapi bagaimana saya dapat membuktikan agar Anda semua bisa percaya? Di tempat itu hanya kami berdua, von Schauroth dan saya,” kata Martiens.
Seorang detektif menatap muka Martiens. “Hanya Anda berdua di sana?” tanyanya.
Martiens diam.
“Jadi, apa yang hendak Anda katakan sekarang. Hanya Anda berdua di sana?” tanya detektif yang sama.
“Saya tidak mengatakan apa-apa,” kata Martiens.
“Tapi Anda sudah mengatakan, bahwa hanya Anda berdua di sana,” desak sang detektif.
Interogasi itu berlangsung selama 4 jam. Martiens terus memberikan alibi yang berbeda-beda. Tetapi alibi yang diberikannya selalu gugur oleh keterangannya sendiri.
Akhirnya Martiens mengaku bahwa dialah yang menembak Dietrich von Schauroth. Martiens akhirnya menyetujui agar pengakuannya diulangi, dengan resmi, di hadapan Hakim Bellville. Itu adalah distrik di mana von Schauroth menemui ajalnya.
Hari berganti ke Selasa 28 Maret 1961, ketika Martiens dibawa ke gedung Pengadilan Bellville, 15 mil jauhnya dari Galedon Square. Sang hakim yang bertubuh kecil, dengan kepala penuh uban, mengenakan seragam jabatannya untuk menutupi piamanya. Seperti diatur oleh undang-undang, hanya hakim dan tersangka Marthienus Rossouw yang berada dalam ruangan auditorium kecil.
Di hadapan Hakim Bellville itulah Martiens menyerahkan pernyataannya.
“Pernyataan ini saya buat agar istri saya dapat mengetahui apa yang terjadi. Sehingga dia pun memahami hal-hal yang pernah saya ceritakan padanya, ketika dia mengancam saya, sehubungan dengan kehidupan perkawinan kami yang tidak bahagia.”
“Almarhum Dietrich von Schauroth meminta pada saya, sekembali saya dari Bitterfontein, agar saya menembak mati seseorang untuknya. Dia akan memberi saya uang 5.000 pounds.
“Saya katakan padanya ketika itu, bahwa itu merupakan tindakan yang berbahaya.
“Kami kemudian tidak membicarakan hal itu lagi.
“Dia selalu menceritakan kehidupannya yang tidak bahagia bersama istrinya, bahwa dia sudah bosan hidup.
“Saya pun seperti almarhum, dengan kehidupan saya yang tidak bahagia di samping istri saya sejak kami menikah.
“Lalu terpikirlah kembali oleh saya perihal uang 5.000 pounds itu. Mungkin istri saya akan menjadi lebih bahagia kalau dia mempunyai uang. Sebab dia membuat saya bahagia hanya ketika ia memiliki uang.
“Dietrich von Schauroth mendatangi saya pada hari Kamis tanggal 23. Saat itu saya berdiri di ambang pintu setelah saya bertengkar lagi dengan istri saya.
“Dieter memberitahu jika istrinya marah-marah lagi.
“Lalu saya katakan padanya, ‘Ya, Dieter, keadaan saya juga sama.’ Kami lalu berbicara sebentar. Lalu dia pulang ke rumahnya.
“Dia mengatakan supaya saya menemuinya pada hari Jumat tangga 24, sepulang kerja. Saya pun melakukannya.
“Kami mula-mula pergi ke sebuah hotel di Cape Town. Dari sana kami pergi ke Milnerton dan ke Cambridge Hotel. Lalu ke sebuah hotel lain yang namanya tidak saya ketahui. Akan saya tunjukkan juga. Setelah minum-minum kami menuju Malmesbury.
“Lalu saya tanyakan padanya, di mana orang yang harus saya tembak mati untuknya. Dieter mengatakan bahwa orangnya ada di suatu persimpangan jalan.
“Ketika kami sampai di persimpangan itu, dia mengatakan bahwa dia menghendaki agar saya menembak mati dia. Alasannya karena kehidupannya dengan sang istri sangat tidak bahagia.
“Dia menyerahkan pada saya sebuah cek dalam sebuah sampul surat. Dia mengatakan bahwa saya harus pergi menemui manajer bank hari berikutnya.
“Dia lalu memberi saya sepucuk pistol dengan dua dus peluru.
“Dieter lalu berbalik membelakangi saya dan mengatakan jika saya harus menembak mati dia.
“Saya kemudian berhadapan dengannya dan menjabat tangannya. Saya katakan, ‘Kawan, beberapa hari lagi saya akan bersamamu. Mungkin istri saya akan menjadi bahagia kalau saya berikan dia uang 5.000 pounds itu.
“Dia lalu berbalik lagi, sambil berkata, ‘Tembaklah saya, Martiens. Kita akan bertemu di surga, di mana tiada lagi perempuan.
“LaIu saya melepaskan tembakan pertama. Saya katakan, ‘Selamat berpisah, kawan. Kita akan bertemu kembali.’ Lalu saya melepaskan tembakan kedua.
“Mula-mula mobilnya hendak saya tinggalkan di sana, tetapi kemudian saya memutuskan membawa mobil itu ke Milnerton.
“Dari sana saya naik bis pulang.
“Setiba saya di rumah, saya katakan pada istri, ‘Saya baru saja menembak mati Dieter.’
“Dia menjerit. Saya berganti baju lalu tidur.
“Saya bangun lagi, mengambil pistol dan peluru-pelurunya, pergi ke Cape Town. Kemudian dengan bus, saya ke Sea Point. Saya turun di dekat Ritz Hotel lalu berjalan ke laut. Saya buang pistolnya di sana. Akan saya tunjukkan tempatnya. Saya lalu pulang.
“Saya berharap istri saya akan mengerti sekarang, bahwa saya mencintainya dan dialah yang memaksa saya melakukan semua ini. Sekian.”
Hari berikutnya di gereja Lutheran Jerman di Long Street diadakan upacara kebaktian bagi arwah Dietrich von Schauroth. Diumumkan dalam gereja bahwa jenazahnya akan dikremasi dan abunya ditaburkan di Blinkoog.
4 hari kemudian 10 penyelam dari Sekolah Selam AX diminta bantuannya oleh polisi untuk mencari pistol Martiens. Berjam-jam mereka mengaduk-aduk air yang sedingin es itu. Akhirnya pistol mereka temukan di tempat 40 kaki jauhnya dari yang ditunjukkan oleh Martiens.
Perkara pembunuhan Dietrich von Schauroth oleh Marthinus Rossouw menjadi terkenal. Manusia normal tidak mungkin minta ditembak sampai mati. Bila memang demikian halnya, orang waras mana yang mungkin menuruti permintaan itu?
Kalau Martiens menceritakan hal yang sebenarnya, maka itu bukan sekadar pembunuhan sadis belaka. Martiens tidak bertampang pembunuh, tidak pula berbicara dan berperilaku seperti pembunuh. Tapi dia pun rupanya dapat menyusun cerita yang begitu ruwet itu.
15 bulan kemudian, 20 Juni 1962, Martiens bernyanyi “Nearer my God to Thee”. Sambil berjalan seorang diri, dari sel ke tiang gantungan.
(Henry John May)
Baca Juga: Penghuni Terakhir
" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822808/tembak-orang-ini" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310627000) } } [2]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3822803" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/137-di-matanya-itulahjpg-20230829120233.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(154) "Kematian Helen Potts membuat seorang dokter mendapatkan ide untuk membunuh istrinya demi mendapatkan harta warisan. Setektif kesulitan menemukan buktinya." ["section"]=> object(stdClass)#128 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/137-di-matanya-itulahjpg-20230829120233.jpg" ["title"]=> string(17) "Di Matanya Itulah" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:02:48" ["content"]=> string(21259) "
Intisari Plus - Kematian Helen Potts membuat seorang dokter mendapatkan ide untuk membunuh istrinya demi mendapatkan harta warisan. Ketika detektif mengetahui motifnya, ia mengalami kesulitan menemukan buktinya.
----------
Meninggalnya Helen Potts di New York City di tahun 1891 awalnya merupakan berita biasa. Tetapi karena berita dukacitanya yang cuma beberapa baris itu ditambah keterangan “karena penyakit jantung”, mayat Nona Potts digali kembali.
Bermula dari wartawan koran World yang tajam penglihatannya Isaac “Ike” White. Di saat yang sama, White mengetahui bahwa sebenarnya Helen Potts sudah menikah. Meski secara sembunyi-sembunyi, wanita itu telah menikah dengan Carlyle Harris. White juga mengetahui bahwa Harris adalah pecandu minuman keras dan wanita. Dugaan White, Helen Potts sengaja disingkirkan oleh Carlyle Harris.
Naluri wartawan White membawanya ke dokter yang menangani Helen Potts di saat terakhirnya. Dengan terus terang sang dokter menyatakan jika ia curiga pasien meninggal karena morfin. Gejalanya sangat jelas bagi sang dokter: manik mata Helen Potts mengerut. Hal itu, kata sang dokter, sudah pula disampaikan kepada pihak keluarga Potts. Tetapi justru pihak keluarga Potts yang melarang perihal morfin tersebut diungkap sebab bisa menjadi aib keluarga. Karena itu, berita dukacita ditambahkan “karena penyakit jantung”. Alasan itu tentu tidak akan membuat malu keluarga dan memang Helen Potts sejak lama mengidap penyakit tersebut.
White menuliskan artikel perihal penemuannya. Mayat Helen Potts digali kembali dan diperiksa. Tidak dapat dibantah lagi, Helen Potts tewas kerena dosis morfin yang mematikan, bahkan bagi orang yang sehat. Carlyle Harris tidak pula dapat membantah. Sang dokter membuktikan bahwa manik mata yang mengerut merupakan akibat morfin dalam tubuh. Manik mata itu seperti manik mata kucing yang kena sinar terlalu terang. Harris divonis bersalah dan tewas di kursi listrik.
Sudah tentu Ike White hadir ketika perkara pembunuhan itu diperiksa pengadilan. Tetapi selain juri, masih ada orang lain yang selalu hadir dalam sidang-sidang pengadilan tersebut. Orang itu adalah dr. Robert Buchanan. Dia tinggal di Greenwich Village di Jalan Barat XI nomor 267. Setiap hari, setelah pulang dari sidang pengadilan kasus Helen Potts, ia minum dulu di Macomber’s di Greenwich Avenue.
Telinga Ike White ternyata tidak kalah pekanya dari matanya. Singkatnya, dia mendengar bahwa pada hari jatuhnya vonis bagi Carlyle Harris, dr. Buchanan melontarkan kata-kata yang kurang layak. Saat itu ia dalam kondisi mabuk. Orang lain mungkin melupakan perkataannya, tetapi White justru mencatatnya.
Kejadiannya pada petang hari di Macomber’s, di depan kawan-kawan minumnya, terutama Macomber sendiri dan bekas opsir Kapten Llewelyn Doria. Dr. Buchanan mengatakan, “Carlyle Harris bodoh. Sebenarnya mudah sekali membunuh orang dengan morfin, tanpa ditangkap polisi.”
“Masa begitu mudah,” tanya Doria keheranan. “Bagaimana caranya?”
“Dalam ilmu kimia, tiap bentuk asam ada dasarnya,” jawab sang dokter dengan cekatan. “Dan tiap aksi ada reaksinya!” Keterangan dr. Buchanan tidak dilanjutkan lebih jauh, karena pembicaraan lalu dialihkan ke soal lain.
Dr. Buchanan yang menyelesaikan studi kedokterannya di University of Edinburgh itu mulai menetap di New York pada tahun 1886. Tidak seorang diri, melainkan bersama istrinya, Helen. Ia adalah seorang wanita cantik berambut cokelat dari Nova Scotia. Nyonya Buchanan tidak pernah kedengaran mengeluh, bahkan ketika ia mengetahui bahwa suaminya pecandu wiski dan wanita. Kedua hal itulah yang sebenarnya menyebabkan dr. Buchanan kerasan dan betah di Macomber’s.
Selain ahli di bidang minuman beralkohol, Macomber juga ahli di bidang hiburan seks. Hasil penyelidikannya di bidang tersebut terakhir dibaginya bersama-sama dr. Buchanan dan Kapten Doria. Operasi ketiga orang sampai jauh di seberang Hudson, sampai Newark, New Jersey. Di Jalan Halsey, terdapat sebuah rumah di mana dr. Buchanan menemukan hiburan kegemarannya.
Germonya di sana bernama Anna Sutherland, seorang wanita setengah baya dan janda pendeta Baptis. Selain dia, masih ada “germo muda” bernama James Smith yang tinggal di salah satu kamar bawah di rumah itu.
Tampaknya Anna Sutherland merasa bangga atas perhatian khusus yang ditunjukkan seorang dokter dari New York kepadanya. Tiap habis memakai jasanya, dr. Buchanan selalu mengetuk pintu kamarnya. Sang dokter sekadar mengobrol mengenai angin dan sapi. Lama-lama ia sudah kehabisan bahan sehingga Anna Sutherland seolah terpaksa menyajikan kekayaannya yang lain sebagai bahan obrolan. Kekayaan Anna Sutherland yang lain meliputi rumah hiburan di Jalan Halsey serta rekening bank lebih dari 10.000 dolar. Ia juga memiliki pelbagai perhiasan emas nilainya tiga kali lipat dari rekening banknya.
Dr. Buchanan sendiri, mungkin terdengar tidak masuk akal, adalah orang yang “haus” seks. Sebagai dokter, ia memiliki banyak pasien. Ruang tunggu tempat praktik dr. Buchanan tidak pernah sepi. Dia makin lama makin terkenal. Pada awal 1890 New York menganugerahkan dua jabatan yang jelas tidak kecil honorariumnya. Satu sebagai dokter kepolisian kota dan satu sebagai anggota panitia penyelidikan kesehatan mental yang beranggotakan tiga orang.
Bersamaan dengan penghargaan itu, dr. Buchanan mulai mengeluh. Ia merasa bukan orang yang baik untuk menjadi suami, apalagi ayah yang baik. Istrinya sendiri juga dikatakan terlalu banyak cingcong, sesuatu yang tidak pernah disaksikan oleh orang lain. Nyonya Helen Buchanan di mata banyak orang adalah wanita yang patuh, penurut, dan toleran. Bahkan, ia adalah istri yang pantang melawan suami.
Pertengahan tahun 1890, dr. Buchanan berhasil mendapat keputusan pengadilan untuk bercerai dari istrinya. Tanggal 11 November Helen keluar dari rumah Jalan Barat XI. Dr. Buchanan kembali menghirup kehidupan membujang.
Namun ia tidak lama menikmati kehidupan bebas sebagai bujangan. Pada tanggal 28 November berikutnya, bersama-sama Kapten Doria dan Macomber, dr. Buchanan pergi ke rumah Anna Sutherland di Newark. Keempat orang itu ditemani seorang pria lagi, seorang pengacara. Dua sobat dokter itu bertindak sebagai saksi dalam penandatanganan wasiat Anna Sutherland, sedangkan dr. Buchanan dinyatakan sebagai ahli waris.
Pada hari yang sama, ketiganya kembali ke New York. Tetapi hari berikutnya mereka kembali ke Newark. Dari sana mereka pergi ke gereja yang terletak di Jalan Elk. Di sana, Pendeta David Lusk mengikat dr. Buchanan dan Anna Sutherland satu dengan lain dalam perkawinan suci.
Berbulan-bulan berikutnya, Nyonya Anna Buchanan — Sutherland meneruskan usahanya di Newark. Tapi pada awal tahun 1891, rumah di Jalan Halsey itu dijual dengan harga 9.500 dolar. Anna Sutherland pindah ke New York dan tinggal di Jalan Barat XI. Ia bahkan membeli rumah itu dengan uang hasil penjualan rumah Newark. Tentu saja rumah itu diberikan pada sang suami.
Sampai di sana, tidak ada suara sumbang perihal kisah cinta Buchanan dan Sutherland. Di sisi lain, James Smith terpaksa menghentikan usahanya Jalan Halsey karena kehilangan tempat usaha.
Setahun berlalu. Sampailah awal Februari 1892 ketika Carlyle Harris diadili dengan tuduhan memberikan morfin pada istri gelapnya sampai mati. Peradilan yang selalu diikuti dengan tekun oleh dr. Buchanan. Tetapi minat dr. Buchanan tampaknya tidak semata-mata demi dunia kedokteran belaka.
Sudah sejak pertengahan 1891, dr. Buchanan mengatakan pada kawan-kawannya di Macomber’s, bahwa dia mau pergi ke Scotland. Namun perjalanannya itu tidak dilakukannya bersama sang istri. Tidak dikatakan mengapa rencana itu tidak jadi. Pasalnya dr. Buchanan keburu “tenggelam” dalam minuman keras.
Dalam keadaan mabuk, bebaslah lidah dr. Buchanan untuk mengatakan bahwa pembatalan itu akibat ancaman istrinya. Ia mengancam akan merubah isi wasiat Newark yang menjadikan dr. Buchanan sebagai ahli waris atas harta Anna Sutherland.
Pada hari Kamis 21 April 1892, dr. Buchanan mengatakan kepada Kapten Doria, “Aku harus pulang segera. Istriku sakit keras!”
Nyonya Anna Buchanan — Sutherland benar sakit. Dr. Buchanan mengundang rekan dokter tetangganya, dr. Mclntyre, untuk memeriksa keadaan istrinya. Dr. Buchanan sendiri, katanya, menganggap aneh gejala-gejala yang ditunjukkan oleh istrinya. Terus-menerus merasa mengantuk, pancaindra menurun kepekaannya, peredaran darah tidak normal, susah bernapas, dan sering pingsan. Seorang perawat yang diupah oleh dr. Buchanan, Nyonya Edith Crouch, mencatat bahwa dr. Buchanan kerap meneteskan semacam cairan ke mata Nyonya Buchanan. Kemudian mundur sejenak. Sang suami kemudian mendekat lagi seolah untuk melihat keadaan mata yang baru saja diobatinya.
Dari Kamis malam sampai Sabtu, dr. Buchanan benar-benar patut dipuji perihal pengabdiannya demi pulihnya kesehatan istrinya. la mendesak dr. Mclntyre untuk menggunakan segala ilmunya demi kesembuhan istrinya.
Tapi Sabtu siang itu, rupanya semua ilmu yang dimiliki dr. Mclntyre tidak bermanfaat lagi. Nyonya Buchanan menghembuskan napasnya terakhirnya. Dalam sertifikat kematian, dr. Mclntyre menyebut penyakit ayan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan.
Malam akhir pekan itu dihabiskan oleh dr. Buchanan di Macomber’s. Pada hari Selasa 26 April, ketiga sahabat itu mengantar jenazah Nyonya Buchanan ke tempat peristirahatannya di permakaman Greenwood, Brooklyn.
Beberapa hari kemudian saat berada di Macomber’s, dr. Buchanan mengatakan bahwa dia mau pergi lama sekali.
“Ke Scotland?” tanya Macomber.
“Tidak,” kata sang dokter. “Masih ada tempat lainnya di dunia ini!”
Berminggu-minggu kemudian dr. Buchanan tidak kelihatan di New York. Tetapi sementara itu, kira-kira pertengahan Mei, James Smith menemukan berita di suatu koran New York. Isinya tentang Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan sudah meninggal dunia. Mengetahui hal itu, Smith serta-merta mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan pergi ke New York. Ia akan mencari kepastian mengenai kematian bekas rekannya pada pemeriksa jenazah Schultze. Orang itu kebetulan juga menangani jenazah Helen Potts dalam perkara Carlyle Harris.
Schultze tidak seorang diri ketika menerima Smith di ruang kerjanya. Tamu lainnya adalah Ike White dari World yang memang sedang membongkar tumpukan catatan lama. White mungkin mencari bahan tulisan untuk korannya.
Smith langsung menuduh dr. Buchanan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland. Menurut Smith, dr. Buchanan menikahi Anna Sutherland semata-mata karena uang dan kekayaan almarhumah. Cerita Smith tidak dianggap serius oleh Schultze. Terutama karena Smith tidak menyembunyikannya kekesalannya pada dr. Buchanan. Pasalnya, karena desakan dr. Buchanan, maka usaha bersama Anna Sutherland-Smith di Jalan Halsey itu ditutup.
Bagi Schultze sendiri, dr. Buchanan terlalu terhormat untuk melakukan pekerjaan sekeji itu. Lagi pula menurut dokter lain yang terpercaya, dr. Mclntyre, kematian Anna Sutherland karena penyakit ayan.
Tetapi kesimpulan White, wartawan World, yang berhasil mendengarkan seluruh pembicaraan antara Smith dan Schultze, lain. Memang aneh, pikirnya, bahwa dr. Buchanan yang katanya jemu punya istri, justru menikahi istri baru hanya dalam waktu berapa minggu saja setelah bercerai. Lebih aneh lagi, dr. Buchanan menikahi wanita yang jauh lebih tua darinya, seorang germo malahan. Dr. Buchanan pasti mempunyai alasan lain untuk pernikahannya dengan Anna Sutherland, pikir White.
Keluar dari kantornya Schultze, White langsung menuju kantor pengacara yang menyimpan surat-surat wasiat Anna Sutherland. Tepat seperti perhitungan White, dr. Buchanan adalah satu-satunya ahli waris harta milik Anna Sutherland. Pernyataan itu disaksikan oleh Macomber dan Doria.
Langkah White berikutnya adalah menuju rumah dr. Mclntyre. Ya, kata dr. Mclntyre, kasus penyakit Nyonya Buchanan memang agak aneh dan meragukan.
“Mungkinkah Nyonya Buchanan dibunuh dengan morfin?” tanya White mendadak.
Dr. Mclntyre tampak mengucurkan keringat dingin. Tapi akhirnya toh menjawab, “Boleh jadi.” “Beberapa gejala ayan memang menyerupai gejala keracunan morfin,” kata dr. Mclntyre selanjutnya.
“Ketika saya dipanggil untuk merawat Nyonya Buchanan, saya melihat ia menunjukkan gejala-gejala sekunder keracunan morfin. Namun gejala primer, antara lain mengerutnya manik mata, justru tidak ada. Jadi saya lalu memutuskan bahwa Nyonya Buchanan meninggal karena ayan.”
Kecurigaan White terhadap dr. Buchanan tidak berkurang. Dikunjunginya Profesor Rudolph Witthaus, dokter dan pejabat dinas kesehatan kota dan ahli penyakit keracunan. White bertanya, apakah gejala primer dari keracunan dapat disembunyikan. Jawab Profesor Witthaus, dalam literatur kedokteran tidak tercatat cara-cara menyembunyikan gejala primer demikian.
White merasa terpojok. Tapi tiba-tiba dia teringat pada niat dr. Buchanan untuk pergi ke Scotland. Benarkah dia mau pergi ke Scotland? Atau hanya ke Nova Scotia tempat asalnya? White menelepon koresponden World di Nova Scotia, untuk mengetahui latar belakang dr. Buchanan disana.
Jawaban koresponden Nova Scotia benar-benar mengejutkan. Tanggal 2 Mei 1892, jadi hanya beberapa hari saja setelah meninggalnya Anna Sutherland, dr. Buchanan datang di kota kelahirannya di Winson. Ia menemui Helen, bekas istrinya yang diceraikannya sebelum menikah dengan Anna Sutherland. Di Winson, dr. Buchanan menikah kembali dengan Helen pada tanggal 16 Mei 1892.
Dengan data terbaru ini, White menyerbu ke kantor Schultze si pemeriksa jenazah. “Dr. Buchanan pasti yang membunuh Anna Shuterland, istri keduanya itu,” katanya dengan yakin kepada Schultze.
“Sudah jelas sekali motifnya. Dia sebenarnya tidak bosan dengan Helen yang cantik itu. Dia pasti merencanakan segalanya itu. Cerai dulu dari Helen, menikah dengan Anna Sutherland, mengusahakan jatuhnya warisan Anna Sutherland ke tangannya, membunuh Anna Sutherland, lalu akhirnya menikah kembali dengan si cantik Helen.”
“Kalau Anda,” kata White sambil menuding-nuding Schultze, “tidak mau memerintahkan penggalian kembali, cerita ini akan saya tulis di World.”
Schultze mendiskusikan masalah ini dengan rekan-rekan sejawatnya. Hari berikutnya mereka mendapatkan perintah penggalian kembali jenazah Anna Sutherland dari seorang hakim pengadilan tinggi. Tetapi baru pada tanggal 22 Mei jenazah Anna Sutherland dibawa dari permakaman Greenwood ke balai penyelidikan keracunan Carnegie Institute.
Jenazah diperiksa oleh dr. Witthaus. Ia menemukan sisa-sisa morfin di tubuh Anna Sutherland. Menurut perhitungannya, sisa itu hanyalah seperlimapuluh atau seperenampuluh dari total dosis yang pernah masuk ke tubuh almarhumah. Tetapi ketika dr. Witthaus memeriksa manik mata Anna Sutherland, dia geleng-geleng kepala.
“Sekalipun orangnya mati,” katanya, “keracunan morfin selalu meninggalkan bekasnya di mata. Tetapi di sini tidak ada manik mata yang mengerut,” kata dr. Witthaus keheranan.
Pemeriksa jenazah Schultze yang mendampingi pemeriksaan dr. Witthaus mengangkat bahu. “Wah, kita akan ditertawakan orang, kalau memastikan kematian Anna Sutherland karena keracunan morfin. Pengacara yang paling bodoh pun akan menggugurkan kesaksian dr. Witthaus, kalau gejala primer keracunan morfin itu tidak ada,” kata Schultze.
Schultze sudah memerintahkan agar jenazah dimakamkan kembali. Tapi White tidak menyerah. Ia memohon agar pemakaman kembali ditangguhkan barang satu hari saja. Permohonan White dikabulkan.
Seolah mendapat ilham, White lalu pergi ke rumah Nyonya Crouch, perawat yang pernah diupah dr. Buchanan untuk menunggui Anna Sutherland menjelang kematiannya. Ditanya mengenai saat-saat terakhir Anna Sutherland, Nyonya Crouch menceritakan segalanya.
“Ya, saya ingat,” katanya, “berkali-kali dr. Buchanan meneteskan cairan ke mata Nyonya Buchanan.”
Mengapa dr. Buchanan berbuat demikian, pikir White. White lalu teringat akan kawan sekolah di waktu kanak-kanak yang manik matanya membesar. Oleh dokter mata, kawannya itu diberi obat mata, yang ternyata dapat mengembalikan keadaan mata kawannya seperti sediakala.
White tidak lupa pada kata-kata dr. Buchanan. “Kau bisa membunuh orang dengan morfin tanpa bakal ditangkap polisi! Tiap bentuk asam ada dasarnya dan tiap aksi ada reaksinya.” Kedua kalimat diucapkan dr. Buchanan dengan sombong di Macomber’s kepada Macomber dan Doria pada malam hari setelah siangnya Carlyle divonis bersalah.
Mungkinkah cairan yang diteteskan ke mata Anna Sutherland oleh dr. Buchanan itu dimaksudkan untuk mengembalikan manik mata istrinya pada keadaan normal? Setelah manik mata itu mengerut akibat morfin. White seolah terbang pergi menemui dr. Witthaus. “Kalau ada obat untuk mengecilkan manik mata yang membesar, tentunya ada obat pula untuk membesarkan manik mata yang mengerut,” katanya kepada dr. Witthaus.
Penyelidikan dr. Witthaus pada mata jenazah Anna Sutherland di Carnegie Institute membenarkan jalan pikiran White, tetapi juga menunjang teori dr. Buchanan, bahwa tiap aksi ada reaksinya sendiri.
Dr. Buchanan ditangkap. Pada bulan April 1893, dr. Buchanan menerima vonis hukuman mati. Dengan demikian pengadilan itu, dalam waktu kurang dari 1 tahun mengadili dua perkara pembunuhan istri dengan morfin.
Dr. Buchanan naik banding namun tanpa hasil. Pada tanggal 2 Juli 1895, dr. Buchanan menjalani hukuman matinya di Penjara Sing Sing.
(Charles Bowell)
Baca Juga: Ketemu Tersangka Ketiga
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822803/di-matanya-itulah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310568000) } } [3]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835275" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/80-kisah-jenius-penjahat-edward-20230804052746.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Seorang ahli bahasa menciptakan bahasa universal. Akan tetapi nasib sang ahli bahasa ini berubah total karena terlibat dalam serangkaian kasus." ["section"]=> object(stdClass)#132 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/80-kisah-jenius-penjahat-edward-20230804052746.jpg" ["title"]=> string(36) "Kisah Jenius Penjahat Edward Rulloff" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:27:54" ["content"]=> string(26469) "
Intisari Plus - Seorang ahli bahasa, Edward Rulloff menciptakan bahasa universal di pertemuan ahli-ahli bahasa di New York. Akan tetapi nasib sang ahli bahasa ini berubah total karena terlibat dalam serangkaian kasus.
----------
Bulan Juli tanggal 17 tahun 1869 di New York berlangsung sebuah pertemuan ahli-ahli bahasa. Seorang peserta tampil di atas mimbar, membacakan risalah yang mengusulkan suatu bahasa universal, perlu ditambahkan bahwa di waktu itu belum lahir bahasa Esperanto.
Bahasa universal ciptaan Edward Rulloff (demikian nama peserta seminar linguistik tersebut) dengan perbendaharaan kata-katanya yang mudah diingat dan diambil dari bahasa Latin dan berbagai bahasa Eropa serta Asia, mendapat sambutan hangat dari para hadirin. Barangkali bahasa universal Rulloff itu dapat menjadi populer seandainya tidak terjadi peristiwa berikut ini pada tanggal 21 Agustus tahun 1870.
Ketika itu gudang firma Halbert di Binghamton kemasukan pencuri. Sebelum sempat mengikat tumpukan kain sutra yang menggunduk di gudang, para pencuri telah kepergok oleh dua pegawai Burrows dan Mirrick, yang kebetulan tidur di situ. Terjadi perkelahian yang berakhir dengan matinya Mirrick karena tembakan pistol dan terlukanya Burrows. Tapi yang terakhir ini masih bisa berteriak-teriak minta tolong.
Polisi Binghamton segera datang, tapi para pencuri telah kabur. Daerah sekitar diselidiki. Hari berikutnya ditemukan dua mayat yang terapung di sebuah sungai. Surat-surat yang ditemukan di dalam kantong pakaian, menunjukkan bahwa kedua almarhum itu masing-masing bernama Dexter dan Jarvis. Kedua-duanya mati akibat tembakan pistol yang juga menamatkan hidup Mirrick.
Mereka pencurinya? Sebuah sepatu yang ditemukan di halaman gudang firma Halbert, yaitu sepatu kiri, tak cocok dengan kaki Dexter yang mayatnya tak bersepatu lagi. Dalam sepatu kiri itu ditemukan segumpal kapas yang disumbatkan pada tempat ibu jari kaki. Dexter dan Jarvis adalah sahabat akrab Edward Rulloff dan mempunyai sesuatu usaha, entah apa dengannya.
Edward Rulloff dipanggil ke markas polisi untuk dimintai keterangan. Tapi dia menyatakan tidak tahu menahu tentang pencurian di firma Halbert. Rulloff pun dapat mengajukan alibi yang sangat meyakinkan tentang kegiatannya pada malam terjadinya peristiwa.
Polisi sudah siap mempersilahkan Rulloff meninggalkan markas, ketika datang seorang tamu, yaitu hakim Balcolm dari Tompkins County. Dan Balcolm segera mengenali Rulloff. Sebab dialah yang mengetahui sidang pengadilan dan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Rulloff karena menculik Harriet istrinya sendiri, kira-kira seperempat abad sebelumnya.
Polisi teringat pada sepatu kiri yang ditemukan di halaman gudang firma Halbert. Rulloff diminta mencopot sepatu kirinya. Ternyata kaki kiri Rulloff tak mempunyai ibu jari. Dan kaki itu pas sekali dengan sepatu barang bukti pencurian.
Rupanya Rulloff sendirilah yang membunuh Dexter dan Jarvis untuk menghilangkan jejak-jejak kejahatannya. Tapi bagaimanapun juga dalam sidang pengadilan dia terbukti sebagai pembunuh Mirrick, pegawai firma Halbert. Edward Rulloff menjalani hukuman gantung pada tanggal 3 Mei 1872.
Ahli bahasa, pencuri, pembunuh, perayu wanita tampaknya sebutan-sebutan itu sukar didapati pada satu orang yang sama. Tapi kesemuanya itu belum menggambarkan Edward Rulloff dengan sempurna. Dia pernah menjadi guru, kurator museum, pendeta, bahkan mengaku dirinya seorang dokter. Riwayat hidupnya merupakan serangkaian peristiwa-peristiwa yang mirip sebuah cerita khayalan saja.
Data-data tentang asal usul dan masa kecilnya tidak tercatat. Yang jelas pada tahun 1843, pada usia 23 tahun, dia bekerja sebagai tukang gali.
Pada suatu hari ketika Rulloff sedang menggali sebuah parit, seorang kepala sekolah menengah putri tergelincir ke dalam galiannya. Mr. Jenkins demikian nama orang itu berdiri sambil menggerutu: “Buset, sungguh buset”. Kontan Rulloff yang menyaksikan kecelakaan kecil ini menegurnya: “Kalau tuan mengutip Shakespeare, mengapa tak tuan teruskan? Bukankah pujangga itu dalam Troilus dan Cressida menulis: Buset, buset wanita itu. Matanya, pipinya, bibirnya berbicara. Bahkan kakinya sekalipun, kegairahan memancar dari tiap persendian dan garis-garis tubuh.
Mr. Jenkins tertegun melihat tukang gali parit yang pandai mengutip Shakespeare itu. Bertanyalah ia mengapa Rulloff melakukan pekerjaan kasar sedangkan ia terpelajar. Jawab Rulloff, ia dulu belajar di Eropa. Sekembalinya ke Amerika tak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya karena ijazahnya tak diakui.
Pernyataan Rulloff mengesan pada Jenkins yang segera memintanya datang di sekolahnya untuk dapat menanyainya lebih lanjut. Dan Rulloff berhasil meyakinkan kepala sekolah itu bahwa ia bisa mengajar ilmu hayat, ilmu tumbuh-tumbuhan kimia, kesusastraan Inggris, Yunani, Perancis dan Jerman,
Pada saat itu juga Mr. Jenkins memutuskan untuk menerima Rulloff sebagai guru di sekolahnya. Tak diketahuinya bahwa penggali parit itu seorang autodidak yang mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan ketika ia meringkuk di beberapa penjara di Kanada karena melakukan berbagai kejahatan: menipu, melakukan pemalsuan dan menodai paling sedikit 6 orang wanita.
Menyuruh seseorang seperti Rulloff mengajar gadis-gadis remaja tak bedanya dengan melepaskan seekor musang dalam kandang ayam. Rulloff bukan orang yang tampan. Perawakannya pendek, tubuhnya gemuk, dadanya bidang, kepalanya luar biasa besar, matanya yang bundar berwarna biru jernih, dagu dan rahangnya kokoh, ditumbuhi sedikit janggut kecoklat-coklatan.
Walaupun sifat-sifat lahiriahnya tak menarik, namun Rulloff mempesona gadis-gadis muridnya karena kepribadiannya penuh kejantanan. Lagi cerdas, jenaka dan pandai bicara. Banyak murid jatuh hati padanya. Dan Rulloff tak segan-segan melayani dan mencemari mereka. Sampai akhirnya ia terpaksa memperistri seorang muridnya, gadis umur 18 tahun bernama Harriet Skutt yang mengandung akibat hubungan dengan Rulloff.
Tadinya orang tua Harriet tak suka pada calon menantunya. Tapi Rulloff berhasil mengubah sikap bermusuhan itu dengan mengeluarkan sebuah ijazah yang menyatakan bahwa ia seorang dokter. Berkat kelihaiannya, Rulloff dapat memperoleh pengakuan dari pihak berwajib atas ijazah palsu itu. Ia berhehti mengajar dan bersama istrinya pindah ke Lansing, sebuah tempat kecil dekat New York untuk buka praktik di sana. Dokter gadungan itu mendapat sukses besar di kalangan rakyat desa yang berduyun-duyun membanjiri praktiknya.
Pada suatu hari kakak iparnya, William Schutt memanggilnya karena istrinya, Mabel, sakit. Pergilah Rulloff kerumah William Schutt di Ithaca. Di mana singgah kira-kira seminggu. Sebagai seorang dokter ia mencurahkan perhatian nya kepada Ny. Schutt sedangkan sebagai seorang lelaki ia memusatkan minatnya kepada seorang gadis molek bernama Susan, pembantu rumah tangga William Schutt.
Tetapi, malang. Pada suatu hari, Mabel yang sudah agak sembuh, memberanikan diri keluar dari kamarnya dan memergok Rulloff sedang bercintaan dengan Susan di kamar pelayan ini. Seketika itu juga Mabel mengambil tindakan. Susan diusirnya. Dan kepada Rulloff ia berkata: “Begitu dapat menulis, akan kuceritakan semua itu kepada Harriet!”.
“Ah, Mabel, jangan kau anggap terlalu serius”, kata Rulloff. “Dan kamu tak boleh marah-marah, agar cepat sembuh. Kembalilah tidur. Nanti kuberi obat penenang”.
Mabel menurut, menelan obat pemberian Rulloff dan tak pernah bangun lagi. Sang dokter menyatakan bahwa Mabel meninggal akibat serangan jantung. Semuanya berlalu tanpa terjadi sesuatu kehebohan. Rulloff pulang ke rumahnya. Tak lama kemudian, bulan April tahun 1845, Harriet, istrinya, melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Dorothy.
Rulloff kecewa bahwa anaknya tidak laki-laki. Sementara itu ia telah bosan dengan praktiknya sebagai dokter dan ingin menikmati warisan Harriet dari pihak neneknya. Dengan modal itu ia ingin melakukan penyelidikan asal-usul bahasa India di Amerika, yang menurut dugaannya mempunyai hubungan dengan bahasa Mesir Kuno.
Harriet menentang niat suaminya untuk menukarkan praktik yang laku sebagai dokter dengan suatu penyelidikan yang tak menghasilkan uang. Rulloff menyerah, tapi ia lantas cuti selama beberapa minggu, untuk bisa tinggal di tengah-tengah suku India di tepi telaga Cayuga. Di sana jatuh hati pada seorang gadis India. Tapi yang terakhir ini, karena beragama Katolik, tak mau bergaul dengan Rulloff yang diketahuinya telah beristri.
Kembalilah Rulloff di tengah keluarganya. Tak lama kemudian pada suatu hari ia meminjam sebuah kereta dan kuda penarik dari seorang tetangga petani bernama Robinson. Ia minta pula Robinson membantunya mengangkut dan menaikkan sebuah peti besar dan berat katanya berisi pakaian ke dalam kereta itu. Waktu itu rumah Rulloff kosong. Kepada Robinson ia mengatakan bahwa Harriet sedang pergi menjenguk pamannya di Mott’s Corners dengan membawa anaknya “Harriet dan Dorothy di sana beberapa bulan. Ini semua pakaian dan barang-barang untuk mereka”, demikian kata Rulloff sebelum pergi naik kendaraan pinjaman itu.
Beberapa hari kemudian kakak Harriet, William Schutt, mampir di rumah Rulloff yang kosong itu. Ketika mendengar dari Robinson dimana Harriet berada menurut keterangan Rulloff, William Schutt terkejut, “Harriet tak punya paman di Mott's Corners”, katanya.
Segera Schutt melapor kepada polisi.
Rulloff dicari dan ditemukan di pinggir telaga Cayuga dengan kendaraan dan kuda pinjamannya. Peti masih berada dalam kereta, tapi telah kosong. Rulloff ditahan berdasarkan sangkaan telah membunuh istri dan anaknya, kemudian menceburkan mayat mereka ke dalam telaga.
Perkaranya disidangkan dalam bulan Januari tahun 1846. Tapi karena mayat Harriet dan anaknya tak ditemukan, Rulloff hanya dituduh menculik mereka. Di depan sidang pengadilan Rulloff menyajikan cerita yang tak jelas. Katanya Harriet meninggalkan dia dengan membawa anaknya, Dorothy, dan pergi entah ke mana. Juri memutuskan Rulloff bersalah. Dan hakim Balcolm yang mengetuai sidang, menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara.
Selama menjalani hukuman di penjara Auburn, Rulloff berkelakuan baik. Ia diserahi mengurus perpustakaan penjara, banyak membaca di samping mengajar rekan-rekan narapidana. Tahun 1856 keluar dari penjara, tapi tak lama kemudian ditangkap lagi.
Sebab selama Rulloff di penjara, polisi tak tinggal diam dan berhasil mengetahui bahwa seorang lelaki yang menurut laporan mirip sekali dengan Rulloff, pada tahun 1845 sekitar waktu, hilangnya Harriet dan anaknya, dengan berkendaraan kereta datang di Geneva Medical College untuk menjual dua mayat yang satu mayat seorang wanita muda sedangkan lainnya mayat seorang bayi perempuan.
Kedua mayat itu tentu saja sudah lama tiada lagi. Setelah dipotong-potong sebagai bahan pelajaran anatomi, dikuburkan dalam pemakaman tak bernama. Tapi polisi mempunyai dugaan kuat bahwa mereka itu adalah Harriet dan Dorothy.
Di depan hakim kali ini Rulloff membela diri dengan menggunakan hasil-hasil sidang pengadilan yang memeriksa perkaranya 10 tahun yang lalu. Pada waktu itu, katanya, pengadilan mengambil kesimpulan bahwa ia menculik istrinya.
Ini berarti terdapat petunjuk-petunjuk positif bahwa ketika itu istrinya masih hidup. Tapi mengapa kini ia dituduh membunuh istrinya. Pembelaan diri Rulloff begitu meyakinkan hingga tuduhan bahwa ia membunuh Harriet, ditarik kembali. Tetapi ia tetap dianggap bersalah telah membunuh Dorothy, anaknya sendiri. Hukuman gantung dijatuhkan.
Dalam penjara di Ithaca, Rulloff menulis permohonan naik banding. Pembelaan dirinya cukup cemerlang. Tapi lolosnya Rulloff dari penjara karena sebab lain.
Kepala penjara Ithaca, Jacob Jarvis, mempunyai seorang anak laki2 bernama Albert. Pemuda umur 18 tahun ini oleh ayahnya dipekerjakan di penjara sebagai juru kunci. Albert hanya berpendidikan sekolah menengah. Melihat kepandaian Rulloff yang ahli dalam berbagai ilmu, timbul gagasan pada Jacob Jarvis untuk menyuruhnya mengajar bahasa-bahasa, ilmu pengetahuan sosial dan filsafat kepada Albert. Bukankah ini kesibukan yang baik bagi Rulloff sementara menunggu pelaksanaan hukuman gantung?
Dengan senang hati Rulloff memenuhi permintaan itu. Ia mencurahkan segala pengetahuannya kepada Albert Jarvis, tak terkecuali filsafat hidupnya yang menjunjung tinggi kenikmatan diatas segala-galanya. Rulloff berhasil membujuk Albert untuk memberinya wanita dan minuman keras, disamping mengusahakan kesempatan agar ia dapat lari dari penjara.
Dengan giatnya Albert Jarvis memasukkan ke dalam penjara gadis-gadis Ithaca yang “membahayakan kesusilaan masyarakat”. Jika ayahnya, Jacob jarvis sedang pergi, Albert dan gurunya menyelenggarakan pestapora dengan gadis-gadis dan minuman keras yang melimpah.
Sementara itu saat pelaksanaan hukuman gantung atas diri Rulloff makin mendekat, sedangkan reaksi atas permohonannya naik banding belum datang. Maks Rulloff mendesak Albert agar segera memberinya kesempatan lolos dari penjara. Ini terjadi pada tanggal 4 Mei 1857, Albert pura-pura lupa mengunci sel Rulloff, lupa pula menggerendel pintu gerbang tapi tak lupa menyediakan kuda berpelana di suatu tempat yang sepi, tak jauh dari penjara.
Rulloff melarikan diri ke daerah Pennsylvania. Disana ia muncul sebagai Profesor James Nelson, “bekas maha guru Universitas Paris" dan melamar pekerjaan pada Allegheny College, Meadville. Rektor Perguruan Tinggi itu, Dr. Barker, sangat terkesan oleh kualitas-kualitas James Nelson sebagai seorang sarjana. Tapi karena tak ada lowongan ia menasehatkan kepada sang profesor untuk menghubungi Dr. A.B. Richmond yang mempunyai museum kulit-kulit binatang kerang. Dan profesor James Nelson diterima sebagai kurator museum Dr. Richmond itu.
Dalam waktu singkat Rulloff telah berhasil menguasai conchologi (pengetahuan tentang kerang-kerang). Sekilas pandang ia dapat membedakan taenioglossa dan platypoda dari kerang-kerang jenis tectibrankhia, sekalipun banyak ahli hanya dengan susah payah dapat mengenali perbedaan-perbedaannya.
Di samping itu di kota Meadville prof. James Nelson pandai pula mengenali mana gadis-gadis yang mudah diajak bermain cinta. Sekali lagi Rulloff berkubang dalam kehidupan seks liar, sampai salah seorang gadis yang digaulinya, Betty Pryor, mengandung. Prof. Nelson berjanji akan menikahinya. Tapi sebuah peristiwa menyebabkan rencana perkawinan itu batal.
Dalam waktu yang singkat kota Meadville dilanda serentetan pencurian besarkan di malam hari. Sebuah toko emas mendapat giliran pertama. Menyusul kemudian sebuah perusahaan pegadaian. Giliran ketiga menimpa sebuah bank. Sehubungan dengan pencu rian terakhir ini di dekat almari besi yang dibongkar, ditemukan benda milik pencuri: beberapa lembar kertas berisi catatan-catatan tentang ilmu kerang. Dengan sendiri nya polisi mencurigai kurator museum Dr. Richmond. Tetapi sang kurator terhormat, Prof. James Nelson alias Rulloff telah kabur. Ketika itu bulan Januari 1858, ditengah-tengah musim dingin.
Menjelang awal Februari Rulloff yang kini menggunakan nama lain, John Calkins, berjalan sempoyongan masuk James town di New York. Ketika itu suhu udara 20 derajat dibawah 0. Kaki kiri Rulloff beku. Langsung ia menuju sebuah hotel. Di sini ia menjual cerita baru. Katanya ia tersesat ketika pegi berburu dengan sejumlah teman. Ia menyewa sebuah kamar.
Mencari dokter yang dapat merawat kakinya yang beku, kebetulan tak ada. Padahal keadaannya sudah parah. Rulloff lalu pesan gergaji dan pisau operasi pada sebuah apotik. Ketika pemilik apotek datang, Rulloff sedang meneguk segelas whiskey untuk mengurangi rasa nyeri.
“Ya, Allah! Apa yang akan Anda lakukan, Mr Calkins?”, tanya pemilik apotek yang mengantarkan barang pesanan Rullof, “Memotong ibu jari kaki saya sendiri”, jawabnya tenang. Kemudian ia melakukan operasi diri tanpa mengeluh dan dengan sukses.
Mr. Calkins yang kakinya belum sembuh sama sekali, menarik perhatian orang banyak di Jamestown karena jalannya pincang. Sekalipun memakai nama samaran, ia segera dikenali oleh seorang penjaga kuda bernama Murphy, yang pernah bersamaan meringkuk di penjara Auburn. Berita larinya Rulloff dari penjara, dimuat dikoran-koran. Dan Murphy tahu pula bahwa tersedia hadiah $2.000 bagi siapa yang dapat menangkap Rulloff.
Segera Murphy lapor kepada Polisi setempat. Hotel tempat Mr. Calkins alias Edward Rulloff menginap, digrebeg. Tapi ia telah lari. Dilakukan pengejaran: yang berakhir dengan tertangkapnya Rulloff dekat perbatasan Pennsylvania.
Untuk ketiga kalinya Rulloff disekap di penjara Ithaca. Tapi sekarang tidak dibawah pengawasan lunak Albert Jarvis. Namur nasib baik masih melindung Rulloff. Surat permohonannya untuk naik banding berhasil. Keputusan pengadilan yang menyata kan dia bersalah membunuh anaknya perempuan, dicabut kembali. Khalayak Ithaca marah ketika mendengar keputusan ini. Berduyunduyun mereka menyerbu penjara Ithaca seperti serombongan serigala yang ingin menyobek-nyobek mangsanya. Sampai-sampai demi pertimbangan keamanan Rulloff terpaksa diungsikan ke penjara Auburn.
Mau diapakan penjahat besar itu? Pihak kejaksaan coba mengungkap kembali soal ipar Rulloff, Mabel Skhutt yang tiga belas tahun yang lalu meninggal dengan cara yang misterius. Kuburannya digali dan kerangkanya diperiksa oleh ahli toksikologi. Mereka memang menemukan zat racun dalam sisa-sisa mayat Mabel. Tapi karena Mabel telah begitu lama meninggal, sukar untuk mengatakan bahwa kematiannya adalah akibat racun tersebut. Pun seandainya Mabel meninggal akibat racun itu, sukar membuktikan bahwa Rulloff lah yang meracunnya.
Akhirnya Rulloff diserahkan ke pada pihak berwajib di Medville, Pensylvania untuk diusut sehubungan dengan pencurian-pencurian yang ia lakukan di sana dan juga sehubungan dengan persoalan Betty Pryor yang ia nodai sampai mengandung.
Tapi dalam perjalanan ke Meadville, Rulloff berhasil melarikan diri dengan cara yang unik. Kepada para pengawalnya ia mengatakan mau buang air. Setelah lama di kamar kecil ia belum juga keluar, para pengawal menjadi curiga. Pintu W.C. dibuka dengan paksa. Ternyata Rulloff tidak ada lagi. Menurut penyelidikan, ia keluar dari kamar kecil, tidak melalui pintu ataupun jendela, tetapi melalui lobang kotoran yang dibongkarnya.
Entah bagaimana keadaan Rullof ketika ia menyembul keluar dari dalam lubang w.c, yang terang, beberapa minggu kemudian ia muncul di Keene, New Hampshire, dengan pakaian rapi mentereng, muka tercukur halus. Ia mengenakan topi sutera, setelan hitam, kerah putih bersih dan memperkenalkan diri sebagai pendeta Aloysius Trent.
la menyajikan kisah baru. Beberapa minggu yang lalu ia masih mengajar di Oxford, Inggris, katanya. Kedatangannya di Keene adalah untuk mendirikan sebuah sekolah melulu bagi pemuda-pemuda Pendidikan sekolah yang ia rencanakan itu, berasaskan prinsip-prinsip keagamaan.
Penduduk Keene terkesan oleh semangat pengorbanan dan idealisme sang pendeta. Sejumlah warga kota terhormat melancarkan aksi pengumpulan dana untuk membantu karya Reverend Mr. Trent “di ladang Tuhan”.
Ketua panitnya pergumpul dana ialah Hazel Reynolds, seorang janda muda yang kaya karena peninggalan almarhum suaminya. Kerjasama antara sang pendeta dan wanita itu lancar dan baik sekali. Berkat usaha Mrs. Hazel Reynolds yang tak kenal lelah, bantuan mengalir hingga sekolah berhasil didirikan.
Sang pendeta tahu menghargai jasa-jasa Mrs. Reynolds. Rasa terima kashinya ia ucapkan dengan melimpahi janda muda yang kesepian itu dengan cumbu rayu dan cinta birahinya. Perasaan bersalah yang mengganggu hati nurani Mrs, Reynolds, disapu bersih oleh sang pendeta gadungan dengan kutipan dari Kitab Suci bahwa “Tuhan adalah Cinta”.
Tipudaja Rulloff yang menyamar sebagai pendeta, tersinggung keti ka la terbukti memasukkan dana: sekolah kedalam saku pribadinya. Sang pendeta diajukan kemuka pengadilan dan mendapat hukum an penyara 2 tahun.
Ia bukan Rulloff kalau tak berusaha melarikan diri ketika menjalani hukumannya dipenjara New Hampshire. Tapi kali ini ia tak berhasil. Dalam penjara ia mempuinyai banyak sahabat. Diantaranya seorang sesama narapidana bernama Dexter.
Rullof dan Dexter kebetulan dibebaskan dari penjara pada hari dan tanggal yang sama di tahun 1861. Berdua mereka menempuh perjalana ke New York Dezter tinggal bersama ibunya di Brooklyn, sedangkan Rulloff mencari tempat tinggal di Third Avenue, Manhattan. Disana ia menamakan dirinya Profesor Alfred Leurio dan membuka sekolah grafika. Dengan perlengkapan dan alat-alat cetak ia menceburkan diri dalam keahlian memalsu cek dan dokumen-dokumen penting lainnya.
Dexter menggabungkan diri dalam usaha sang profesor. Begitu pula Albert Jarvis. yang dulu meloloskan Rulloff dari penyara Ithaca tiga tahun sebelumnya.
Trio Rulloff Dexter Jarvis mengembangkan usahanya yang membawa keuntungan besar. Spesialisasi mereka tidak hanya meliputi pemalsuan cek dan surat-surat berharga saja tetapi juga pencurian-pencurian. Ketika pecah Perang Sipil di Amerika, banyak sekali permintaan akan bahan-bahan pakaian, jenis apapun juga. Maka komplotan Rulloff menghususkan diri dalam pencurian bahan-bahan tekstil.
Perang Sipil berakhir, tapi Rulloff c.s. meneruskan “usahanya” sebagai pencuri bahan tekstil. Sementara itu ia pun tak melupakan kegemaran intelektualnya. Diwaktu-waktu senggang ia belajar berbagai bahasa Eropa dan Asia sampai akhirnya berhasil menciptakan sebuah universil jauh sebelum bahasa Esperanto ditemukan.
Seperti telah diceritakan pada awal tulisan, setelah mendapat sukses dalam seminar bahasa di New York sebagai pencipta bahasa universil, Rulloff melakukan pencurian dan pembunuhan di gudang firma Halbert. untuk kemudian mengakhiri riwayat hidunya di tiang gantung.
Memang aneh kisah penjahat ini, yang seolah-olah mempunyai kepribadian bermuka dua. Yang satu kejam dan menjijikan, yang lain mempesona. Hal ini masih tercermin pada saat-saat menjelang Rulloff menjalani hukuman gantung. Tak terhitung jumlah kejahatannya. Tapi banyak orang tidak bisa percaya bahwa ia bersalah. Bahkan beberapa orang secara sukarela menawarkan diri untuk menjalani hukuman gantung, menggantikan Rulloff yang mereka minta agar dibebaskan.
Setelah Rulloff meninggal, batok kepalanya diselidiki. Ternyata 0.6 cm lebih tebal dari batok kepala rata-rata orang. Dan otaknya 180 gram lebih berat daripada bobot otak rata-rata orang. Otak itu kemudian diserahkan kepada Bagian Kedokteran Coinell University di Ithaca.
(Charlse Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Batu Sandungan
" ["url"]=> string(81) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835275/kisah-jenius-penjahat-edward-rulloff" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691170074000) } } [4]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835274" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/seorang-di-antara-tiga-korban-ad-20230804052659.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Sepasang imigran Hongaria punya dua anak perempuan. Pada Paskah, mereka merencanakan pesta, tetapi justru yang ditemukan adalah tiga mayat." ["section"]=> object(stdClass)#136 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/seorang-di-antara-tiga-korban-ad-20230804052659.jpg" ["title"]=> string(48) "Seorang di antara Tiga Korban adalah Gadis Model" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:27:12" ["content"]=> string(29931) "
Intisari Plus - Sepasang suami istri imigran Hongaria punya dua anak perempuan cantik, Ethel dan Veronica. Pada hari raya Paskah, mereka merencanakan pesta, tetapi justru yang ditemukan adalah tiga mayat korban pembunuhan, termasuk Veronica.
----------
Joseph dan Mary Gedeon adalah sepasang suami istri imigran dari Hongaria, yang telah lama menetap di Amerika. Mereka mempunyai dua orang anak perempuan yang luar biasa cantik. Yang pertama, Ethel telah menikah dan tinggal dengan suaminya Joseph Kudner di pinggiran kota New York. Yang kedua, Veronica atau “Ronnie”, umur 21 tahun dan masih gadis.
Ronnie menjadi model bagi para pelukis dan juru potret. Ia sangat laku, bukan saja karena kemolekan tubuhnya, tetapi lebih-lebih karena gadis ini tak berkeberatan berpose dalam keadaan telanjang.
Ketika perkara “Gedeon” yang akan diceritakan di bawah ini terjadi, Joseph dan Mary Gedeon telah bercerai. Ronnie tinggal bersama ibunya dalam sebuah apartemen di East 50th Street, sedangkan Joseph Gedeon tinggal di East 34th Street di mana ia mengusahakan sebuah toko bekleding. Walaupun telah bercerai, namun hubungan Joseph dan Mary masih baik. Pada waktu-waktu tertentu, terutama pada hari raya-raya besar, mereka dan kedua anak mereka berkumpul untuk bersantap bersama-sama.
Ketika itu bulan Maret 1937. Joseph dan Mary Gedeon membuat rencana pesta pada hari raya Paskah, Minggu tanggal 28 Maret. Pesta akan berlangsung di rumah Mary. Ronnie dan ibunya akan menyiapkan masakan. Seluruh keluarga menurut rencana akan berkumpul pada jam 3 siang. Tetapi secara tak terduga-duga hari pesta itu menjadi hari duka.
Joseph Gedeon dan Ethel serta Kudner suaminya yang saling bertemu di tengah jalan dan bersama-sama menuju ke rumah Mary dan Ronnie, tidak menjumpai masakan yang telah siap sedia, tetapi tiga mayat korban pembunuhan.
Ronnie terkapar di ranjang, sama sekali tanpa pakaian, sedangkan ibunya menggeletak di kolong. Korban ketiga adalah Frank Byrnes, seorang Inggris setengah usia yang menyewa salah satu kamar apartemen Mrs Gedeon.
Mayat Ronnie dan ibunya tak memperlihatkan luka-luka senjata. Lain halnya dengan mayat Frank Byrnes. Ia berlumuran darah menggeletak di ranjang, hanya berpakaian celana dalam. Tubuhnya sebagian tertutup selimut. Mr Gedeon segera lari ke kantor polisi yang kebetulan letaknya dekat sekali.
Sesaat kemudian apartemen Mrs. Gedeon telah penuh detektif, di bawah pimpinan komandan John A. Lyons yang membawa serta Dr. Thomas Gonzales untuk mengadakan pemeriksaan. Kedatangan mereka disambut oleh anjing piaraan Mrs. Gedeon. Binatang ini mengamuk dan menyalak dengan ganasnya, hingga terpaksa disingkirkan ke lain tempat agar tidak mengganggu jalannya pemeriksaan. “Jika ada orang yang tak dikenalnya, anjing ini selalu demikian”, kata Ethel dengan nada maaf atas terjadinya gangguan ini.
Peristiwa kecil ini dan pernyataan seorang tetangga dekat, bahwa sekitar jam 11 Sabtu malam dari arah apartemen Mrs. Gedeon ia mendengar seorang wanita berteriak tetapi sama sekali tak mendengar anjing menyalak, memungkinkan polisi membuat kesimpulan berikut: Pembunuh pastilah seseorang yang tidak asing di rumah Mrs. Gedeon.
Sementara itu penyelidikan Dr. Gonzales menghasilkan gambaran berikut. Di antara ketiga korban, yang meninggal pertama-tama adalah Mrs. Gedeon. Pukul 11 Sabtu malam sangat cocok dengan hasil penyelidikan dokter mengenai keadaan mayat Mrs. Gedeon.
Ia mati dicekik dengan sepasang tangan yang luar biasa kuat. Sebelum mati lemas, wanita itu mengadakan perlawanan. Di sela-sela kukunya terdapat sebitan-sebitan daging dari penyerangnya. Pelipisnya menunjukkan tanda-tanda dipukul keras sekali dengan tinju, yang tentu membuatnya tak sadar. Tanda-tanda jamahan seksual sama sekali tak terlihat padanya.
Juga Ronnie bukan korban pemerkosaan. Sementara itu tampak jelas bahwa Sabtu malam ia melakukan hubungan kelamin dengan secara sukarela. Ronnie meninggal kira-kira 6 jam setelah kematian ibunya, sekitar jam 6 pagi hari Minggu. Seperti Mrs Gedeon, Ronnie pun mati karena dicekik lehernya.
Sepotong pita perekat terjerat antara rambutnya. Rupanya pembunuh sebetulnya bermaksud memberangus Ronnie dengan pita itu agar tak dapat berteriak-teriak minta tolong. Tapi ini tak jadi ia lakukan. Celana dalamnya terletak dekat kaki ranjang. Otopsi menunjukkan bahwa dalam otak gadis itu banyak terdapat alkohol. Ini memberi kesimpulan bahwa pada waktu meninggal, Ronnie sedang mabuk berat.
Cara kematian Byrnes lain sekali dengan dua korban terdahulu. Rupanya ia sedang tidur ketika diserang. Ia tidak dicekik, tetapi ditusuki kepalanya dengan sebuah benda runcing. Seperti Ronnie, Byrnes pun meninggal sekitar jam 6 Minggu pagi, kemungkinan besar beberapa saat setelah gadis itu. Sebab seandainya pembunuh menyerang Ronnie setelah menganiaya Byrnes senjata runcing tentunya ia akan menodai ranjang Ronnie dengan darah Byrnes. Tidak terdengarnya kegaduhan oleh Byrnes sewaktu pembunuh mencekik Ronnie, mudah diterangkan, yaitu karena Byrnes sangat tuli.
Motif pembunuhan pasti bukan pencurian. Tak ada benda-benda berharga yang dibawa kabur dari kamar Ronnie. Satu-satunya yang hilang hanyalah sebuah jam beker di dapur. Di tempat kejadian selebihnya ditemukan sarung tangan kiri milik pembunuh, tetapi tak ada sidik jarinya. Kecuali itu di lantai dapur ada lapisan sejenis tanah liat rupanya berasal dari telapak sepatu pembunuh. Tanah liat itu dikirim oleh polisi ke laboratorium untuk diselidiki.
Pemeriksaan seluruh apartemen tidak menambah kejelasan. Di kamar mandi terdapat noda-noda darah, yaitu di bak mandi dan pada sebuah handuk yang tergantung di situ. Rupanya pembunuh mencuci tangan setelah menikam Byrnes.
Selebihnya di tempat yang sama ditemukan pakaian yang dikenakan Ronnie menjelang dibunuh: sepatu, kaos kaki, gaun, topi, notes kecil. Semua benda itu terletak dalam keranjang cucian. Rupanya gadis itu dalam keadaan mabuk menanggalkan seluruh pakaiannya di situ, terkecuali celana dalam yang ditemukan dekat ranjang. Atau barangkali pembunuhnyalah yang menaruh semua benda-benda itu di kamar mandi.
Selagi para pemeriksa berada di kamar mandi, tiba-tiba telepon berdering. Seorang lelaki menanyakan Ronnie. Katanya, ia membuat perjanjian sore itu akan ke gereja bersama gadis itu. “Terjadi sesuatu dengan Ronnie”, jawab polisi yang kemudian minta agar lelaki itu segera menuju ke rumah Ronnie.
Sepuluh menit setelah itu, lelaki tersebut sudah datang. Ternyata ia masih muda, kira-kira sebaya dengan Ronnie. Ketika diberitahu polisi tentang apa yang terjadi, pemuda itu terkejut sekali. Ia tak memperlihatkan kesan bersalah. Dengan jujur dan terus terang ia menceritakan hubungannya dengan Ronnie.
Pemuda itu masih bujangan dan bekerja di Wall Street. Ia bukan tunangan Ronnie, tetapi bergaul dengannya secara intim. Sabtu malam Minggu menjelang terjadinya peristiwa, pemuda itu masih mengajak Ronnie ke apartemennya. Di sana makan spaghetti, minum-minum dan sekitar tengah malam bermesra-mesraan di ranjang.
Ronnie takut dimarahi ibunya jika pergi semalam suntuk. Maka pemuda itu mengantarkannya pulang jam 3 pagi. Sebelum berpisah, mereka berjanji akan ke gereja bersama-sama hari berikutnya. "Ya, tingkah laku kami sebetulnya bertentangan dengan penunaian ibadat agama di gereja. Tapi itulah kenyataannya”, pemuda itu menambahkan dengan jujur.
Jam 3 pagi Ronnie pulang. Jam 6 ia telah mati. Rupanya pembunuh telah menunggunya di kamar. Dalam jangka waktu 3 jam antara jam 3 dan 6 pagi, apa yang terjadi antara Ronnie dan pembunuhnya? Barangkali yang terakhir ini berusaha melakukan pemerasan terhadapnya atau minta sesuatu janji? Dengan menyelidiki riwayat hidup Ronnie, barangkali saja pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab.
Gadis ini ternyata pernah kawin, yaitu pada usia 16 tahun. Tetapi bekas suaminya jelas tak mempunyai sangkut paut dengan pembunuhan Ronnie. Telah 4 tahun lelaki itu tak pernah melihat bekas istrinya. Dan pada saat kejadian ia berada ditempat lain.
Dari buku catatan Ronnie, ternyata bahwa ia mempunyai banyak kekasih. Salah seorang di antaranya adalah seorang lelaki yang sudah berkeluarga dan mempunyai 3 orang anak. Lelaki ini pernah mengongkosi Ronnie ketika memerlukan pertolongan dokter karena “kesulitan ginekologis” rupanya istilah lain untuk menyebut kehamilan. Tetapi lelaki inipun dapat memberikan alibi yang meyakinkan kepada polisi.
Lelaki lain yang menurut laporan Mr. Gedeon menaruh minat kepada Ronnie adalah seorang jutawan dari Boston. Jutawan itu bermaksud memungut Ronnie sebagai kekasihnya. Ia akan menempatkannya dalam sebuah apartemen mewah di Park Avenue lengkap dengan mobil segala. Tetapi tawaran ini ditolak oleh Ronnie. Akibatnya jutawan itu marah sekali. Tidak mustahil ia menaruh dendam terhadap Ronnie, karena cintanya tak terbalas.
Mendengar cerita ini, polisi malah menjadi curiga. Diangan-angan Gedeon sendiri terlibat dalam pembunuhan Ronnie dan ibunya. Penyelidikan menunjukkan bahwa Mrs. Gedeon seorang wanita yang penuh gairah. Sebelum bercerai dengan suaminya, wanita itu mempunyai banyak sahabat lelaki. Dan menjelang matinya, Mrs. Gedeon kerap kali terlihat bersama-sama dengan seorang lelaki tampan. Kepada setiap orang, Mrs. Gedeon memperkenalkan sahabatnya ilu sebagai “suami saya yang kedua”. Tidak mustahil Mr. Gedeon menjadi cemburu karenanya.
Polisi teringat pada senjata runcing yang digunakan untuk membunuh Frank Byrnes. Tak mustahil senjata itu besi pengait yang sering digunakan pekerja-pekerja Gedeon di gudang tempat penyimpanan barang-barang dagangannya. Jika benar Gedeon pembunuhnya, maka sudah barang tentu anjing Mary Gedeon tak akan menyalak sewaktu orang itu datang di rumah majikannya. Penggeledahan yang dilakukan polisi di rumah Mr. Gedeon menghasilkan penemuan sebuah pistol yang berisi sejumlah peluru.
Tanggal 1 April Gedeon ditahan polisi, di samping karena menyimpan senjata tanpa izin, juga untuk diinterogasi mengenai kematian Mrs. Gedeon, Ronnie dan Byrnes.
Tentang pistol yang ditemukan di rumahnya, Gedeon mengatakan bahwa senjata itu titipan dari seorang teman. Lebih jauh diperoleh keterangan bahwa Sabtu malam Minggu menjelang terjadinya pembunuhan, Gedeon dari jam 7 sore sampai jam 3 malam berada di sebuah cafe minum-minum bir. Setelah itu langsung pulang ke rumah dan tidur.
Sementara itu perkembangan penyelidikan menyebabkan polisi beranggapan tak perlu menahan Gedeon lebih lama lagi. Tanggal 3 April ia sudah dilepaskan. Perkara pistol yang disimpannya tanpa izin, untuk sementara ditangguhkan pengusutannya.
Perubahan arah penyelidikan itu disebabkan oleh hasil penelitian tanah liat yang ditemukan di tempat pembunuhan. Apa yang mirip tanah liat itu ialah plastisin, bahan yang biasa digunakan oleh para pembuat patung. Dan di rumah Mrs. Gedeon pernah tinggal seorang seniman pembuat patung. Ia mendiami kamar yang belakangan dihuni oleh Frank Byrnes.
Orang itu ialah Robert Irwin, umur 29 tahun. Ia pernah menyewa kamar di apartemen Mrs. Gedeon, yaitu dari bulan Mei sampai Desember tahun 1934. Setelah itu ia pindah tempat tinggal, tapi kadang-kadang masih sering mampir di rumah Mrs. Gedeon.
Robert Irwin ketika indekos di rumah Mrs. Gedeon, jatuh cinta pada Ethel, yang waktu itu belum menikah. Tetapi Ethel tak menaruh perasaan yang sama. Namun sikapnya terhadap Robert tetap baik, ramah. Kadang-kadang ia bahkan mau menemaninya mengunjungi museum-museum setempat.
Ronnie yang suka mencatat pengalaman-pengalaman pribadinya, pernah menulis kalimat berikut tentang Robert Irwin atau “Bobby”: Jelas bahwa Bobby berusaha merebut hati Ethel. Tapi sejauh tergantung dari saya, saya tak rela ia menikah dengan Ethel. “Maksud itu akan saya cegah melalui ibuku”. Bulan berikutnya Ronnie menulis: “Saya takut kepada Bobby. Ia kerap kali datang ke rumah sejak Ethel menolak cintanya".
Robert Irwin pernah mengalami gangguan psikis hingga perlu dirawat di rumah sakit negara di Rockland. Tingkah lakunya kadang-kadang memang aneh. Setelah Ethel menikah misalnya, Irwin sering mengira bahwa wanita idamannya ini telah bercerai dari suaminya. Dan ia berusaha mendekatinya.
Tetapi semua peristiwa itu sudah berlalu. Dan Ethel sudah lama tak mendengar lagi tentang Irwin dan tak dapat memberikan alamatnya ketika polisi menanyakannya.
Komandan Lyons kini menyuruh orang-orangnya mencari data-data tentang Robert Irwin di rumah sakit Rockland yang dulu merawatnya. Di sana mereka memperoleh semua dokumentasi tentang lelaki ini dan diagnosa dokter tentang penyakitnya dan latar belakangnya.
Robert lahir di California. Ketika ibunya melahirkannya, sama sekali tak ada bidan, jangankan dokter yang menolongnya. Tak lama kemudian suaminya meninggalkan wanita malang itu dan anaknya. Riwayat hidup Robert setelah itu berupa rentetan perpindahan dari rumah piatu yang satu ke yang lain. Pendidikan sekolah sewaktu kecil terputus-putus dan tanpa arah, namun prestasi Robert cemerlang.
Ketika Robert berumur 22 tahun, seorang pemahat terkenal di waktu itu, Lorado Taft, melihat bakat-bakatnya sebagai seniman ukir. Ia memberi Robert bukan saja pendidikan di bidang seni, tetapi juga persahabatan dan lingkungan keluarga.
Sebagai seniman Robert mengembangkan sebuah teori aneh, yang ia namakan “visualisasi”. Dengan visualisasi, demikian katanya, ia dapat menghidupkan kembali suatu pengalaman fisik di masa lampau. Setelah melihat suatu sandiwara misalnya, ia kemudian setiap kali dapat “mengundang kembali” pengalaman itu. Dalam visualisasi semua aktor dan aktris akan tampil di depannya hidup-hidup.
Berkat kemampuannya melakukan visualisasi, Irwin percaya akan dapat mencapai puncak prestasi artistik. Sebab dengan “filsafatnya” itu ia dapat menampilkan semua karya-karya besar dari segala zaman di hadapannya.
Dalam mempraktikkan visualisasi, Irwin sering berjam-jam duduk dalam posisi seperti pada praktik juga. Pada saat itu segala-galanya lenyap dari kesadarannya, tetapi ia masih merasakan gerak nafsu seksual.
Hal ini sangat ia sayangkan. Sebab seks dianggapnya dapat mengancam cita-citanya ke alam visualisasi. Anggapan ini pada suatu hari mendorongnya melakukan operasi atas dirinya sendiri untuk menghilangkan kejantanannya. Dalam keadaan berlumuran darah ia diangkut ke rumah sakit.
Di sana ia minta kepada dokter untuk menyelesaikan operasinya. Tetapi permintaan ini tidak dikabulkan. Setelah dijahit luka-lukanya, Robert Irwin dibawa ke rumah sakit jiwa. Di sana ia dirawat beberapa bulan. Kemudian dikirim ke rumah sakit di Rockland. Diagnosa dokter mengatakan bahwa Irwin dihinggapi demensia praecox.
Tahun 1934 ia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. la pergi ke New York dan indekos di rumah Mrs. Gedeon. Cintanya yang tak terbalas oleh Ethel, membuatnya murung sekali. Atas nasehat seorang ahli jiwa ia kembali ke rumah sakit Rockland. Pertengahan tahun 1936 ia dinyatakan sembuh dan boleh keluar dari rumah sakit.
Kini Robert belajar teologi di St. Lawrence University. Di samping itu ia menjadi guru seni patung.
Polisi kini menuju ke Universitas St. Lawrence Robert ternyata bukan lagi mahasiswa teologi. Ia telah dikeluarkan karena menyerang seorang rekan mahasiswa yang tak sengaja merobohkan sebuah patungnya. Jumat tanggal 26 Maret 1937 dua hari sebelum terjadinya pembunuhan ia meninggalkan lingkungan universitas.
Tetapi, untung Robert meninggalkan jejak yang berharga. Seperti Ronnie, ia pun suka membuat catatan harian. Dan buku hariannya ketinggalan di kamarnya di St. Lawrence.
Salah satu kalimat dalam harian itu memberi harapan kepada polisi. Bunyinya sebagai berikut: ”Ya, Tuhan. Betapa aku memuja Ethel. Kesempurnaan. Aku bisa menjadi gila kalau mengingat bahwa Ethel telah menikah dengan lelaki lain. O, seandainya dulu Ronnie dan ibunya tak menghalangi maksudku untuk memperistri Ethel. Aku menjadi sampah tak berharga karenanya. Gadis impianku, tidakkah kau mendengar bisikanku di malam hari ini? Betapa aku benci kepada Ronnie dan ibunya karena perbuatan mereka terhadap diriku.”
Komandan Lyons dan anak buahnya berusaha mengikuti jejak Irwin sejak ia pada hari Jumat meninggalkan St. Lawrence. Pada hari yang sama, demikian hasil penyelidikan polisi, Irwin telah sampai di New York. Di sini menyewa sebuah kamar lengkap dengan perabotnya, letaknya tak jauh dari apartemen Mrs. Gedeon.
Hari berikutnya, Sabtu, Irwin makan dengan seorang gadis terhormat, tunangan seorang rekannya di St. Lawrence University. Selesai makan-makan mereka berdua mengunjungi beberapa museum. Di sana sini Irwin menanyakan lowongan pekerjaan baginya.
Menjelang sore Irwin kelihatan murung. Rupanya tidak hanya tak berhasil mendapatkan pekerjaan, tetapi lebih-lebih karena “cinta yang hilang”. Yang ia maksud rupanya Ethel Gedeon, sekalipun ia tidak menyebut namanya. Jam 6 sore Irwin dan gadis temannya berpisah.
Sejak saat itu sampai hari Minggu pagi, urutan gerak gerik Irwin sukar direkonstruksi. Yang jelas, Minggu pagi ia muncul di apartemen yang disewanya. Dan hari berikutnya, Senin pagi, ia mengakhiri sewa kamarnya. Ia pergi dengan membawa dua koper. Bagasi ini ia titipkan di stasiun kereta api Grand Central.
Dalam salah satu di antara kedua koper tersebut, ditemukan jam beker yang hilang dari dapur Mrs. Gedeon. Di samping itu polisi menemukan pula pasangan sarung tangan yang tertinggal di tempat pembunuhan. Kini tak ada kesangsian lagi siapa pembunuh ketiga korban di Fast 50th Street.
Polisi New York segera menyebarkan publikasi keseluruh penjuru Amerika tentang buronan yang mereka cari. Publikasi itu antara lain berupa surat edaran sebanyak 200.000 lembar dengan foto dan gambaran tentang ciri-ciri Robert Irwin.
Bulan Juni tanggal 25 surat selebaran polisi membawa hasil. Henrietta Kcsianski, seorang pekerja di dapur Hotel Statler di Cleveland, Ohio, melihat gambar Robert Irwin di surat kabar. Mukanya mirip sekali dengan rekan sekerjanya, Robert Murray. Henrietta bertanya kepada Murray apakah ia pernah memakai nama Irwin. Murray menjawab “tidak”. Beberapa menit kemudian Murray Keluar ruangan.
Henrietta memberi tahu manager hotel dan yang terakhir ini segera memberitahukan polisi. Tetapi ketika alat negara datang, Robert Murray alias Robert Irwin telah melarikan diri.
Tetapi lolosny Robert Murray tidak berlangsung lama. Hari berikutnya ia tiba di Khicago dan mendatangi kantor sebuah surat kabar. Disita ia mengakui identitas dan namanya yang sebenarnya. Kepada pemimpin surat kabar Robert Murray alias Irwin menawarkan kisah eksklusif tentang pembunuhan yang ia lakukan di New York. Pemimpin surat kabar itu bersedia membeli ceritanya. Selama kisah Robert Irwin ditulis dan dicetak, surat kabar tersebut merahasiakan pengarangnya. Setelah itu ia menyerahkan Irwin kepada polisi.
Anak buah komandan Lyons cepat-cepat pergi ke Chicago dan membawa pulang Irwin kembali ke New York. Irwin menyatakan tak mau membuka mulut jika tidak didampingi oleh Dr. Wertham yang pernah merawatnya sebagai pasien jiwa, Ahli psikiatri itu segera datang. Setelah berunding dengannya, Irwin menyalakan bersedia memberikan pengakuan seluruhnya tentang terjadinya pembunuhan.
Hari sabtu menjelang Minggu Paskah, katanya ia merasakan siksaan batin karena cintanya yang tak terbalas kepada Ethel. Dalam keadaan putus asa hampir saja ia menceburkan diri disungai East River, yang letaknya tak jauh dari East 50th Street.
Pulang dari East River ia melihat sebatang besi runcing dalam sebuah got. Diambilnya benda itu yang ternyata alat pemecah es. Kini timbul pikiran padanya, bahwa penderitaannya akan berakhir jika ia membunuh Ethel.
“Kesulitan saya adalah karena tekanan-tekanan seksual. Untuk memecahkan masalah ini, saja hanya melihat satu jalan, jaitu dengan membunuh Ethei. Saya jakin bahwa setelah itu saja akan dapat menempatkan diri saya pada tingkat kesempurnaan spiritual. Segala-galanya akan beres”, kata Irwin.
Dengan gagasan itu ia menuju berumah Mrs. Gegeon karena ia beranggapan bahwa Ethel tinggal disitu. Satu-satunya sasaran yang ia incar adalah Ethel. Ternyata rumah kosong. Akhirnya Mrs. Gedeon sampai dirumah. Wanita ini kelihatan capai sekali. Irwin keluar sebentar berjalan-jalan dengan membawa anjing Mrs. Gedeon, Ketika ia kembali Frank Byrnes telah pulang pula. Mrs Gedeon memperkenalkan Irwin dengan Byrnes, yang tak lama kemudian masuk kamarnya dan tidur.
Setelah itu Irwin mendesak-desak Mrs. Gedeon untuk boleh bertemu dengan Ethei. Mrs. Gedeon akhirnya habis kesabarannya. Katanya: “Bob, Ethel tidak ada di sini. Dan sekarang sudah larut malam. Silahkan pergi.”Tidak”, jawab Irwin. “Saya akan tetap di sini sampai berhasil melihat Ethel.” Pada saat itu tiba-tiba Mrs. Gedeon meledak amarahnya dan menyergap Irwin sambil berteriak: “Enyah, kau dari sini. Saya panggilkan Byrnes nanti jika kau tak mau keluar.”.
Setelah itu Irwin menghantam Mrs. Gedeon dan mencekiknya. Mrs. Gedeon mengadakan perlawanan ganas. Irwin baru berani melepaskan, leher Mrs. Gedeon setelah mencekiknya selama 20 menit. Wanita itu jatuh terkulai di lantai. Mayatnya dilempar kan Irwin di bawah kolong tempat tidur.
“Kemudian Ronnie datang”, Robert Irwin melanjutkan ceritanya. Saya berada di kamar lain. Ronnie masuk, kamar mandi. Disitu lama sekali, hingga saya bertanya-tanya apakah ia masih akan keluar. Tiba-tiba ia muncul lagi. Langsung ia saya dekap. Tenggorokannya saya cekam. Ronnie saya bawa ke kamar ibunya.
“Saya tak tahu apa yang mesti saya perbuat dengan Ronnie. Ia hanya saya dekap kuat sekali, tetapi demikian rupa hingga ia masih bisa bernafas. Ia minta jangan saya gauli. sebab ia baru saja dioperasi karena suatu penyakit.
“Akhirnya Ronnie berkata: Bob, saya tahu kau mencari Ethel. Jika kau laksanakan niatmu, kau akan mendapat kesulitan. Kata-kata ini membuat saya naik darah. Ia saya cekik. Sehelai pakaian yang masih menutupi tubuhnya, saya lepaskan.”.
Kemudian Robert menceritakan, bahwa waktu itu bukanlah untuk pertama kalinya ia melihat Ronnie dalam keadaan tanpa pakaian. Namun ia belum pernah melakukan hubungan seks dengannya. “Ronnie menggauli banyak lelaki. Tetapi terhadap saya ia tak menaruh minat. Perhatian nya kepada saya hanyalah sejauh saya berminat terhadap Ethel” Irwin menambahkan.
Ketika Robert menyewa kamar di apartemen Mr. Gedeon, Ronnie yang merasa kesepian pernah memintanya tidur dengannya. Pada lain kesempatan gadis itu melakukan “striptease” di hadapannya seorang diri. Satu kali pernah Irwin memandikannya. Ketika Mrs. Gedeon dan Ethel suatu ketika meninggalkan rumah tiga hari lamanya, Irwin menemui Ronnie seorang diri. Selama itu Ronnie di rumah berkeliaran setengah telanjang.
Tetapi kesemuanya itu tak pernah menyebabkan Irwin menginginkannya. Perhatian pemuda itu hanya terpusat pada Ethel. Ronnie memiliki tubuh yang menggairahkan. Tetapi tingkah lakunya yang terlalu menekankan ke kelaminnya, memuakkan, kata Irwin.
Setelah membunuh Ronnie, Irwin menuju ke kamar Frank Byrnes. Pelipisnya ia tusuk dengan alat pemecah es, “Sebetulnya saya tidak bermaksud membunuhnya”, Irwin menerangkan perbuatannya. “Saya tak pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Saya tak menaruh perasaan dendam apapun terhadapnya. Tetapi Ia melihat saya di rumah Mrs. Gedeon malam itu dan mengetahui nama saya. Maka saya terpaksa menyingkirkannya.
Setelah menamatkan hidup Byrnes, Irwin mengambil jam wekker di dapur, la tak tahu apa yang mendorongnya berbuat demikian. Kemudian ia meninggalkan rumah. Di tengah jalan ingat bahwa salah satu sarung tangannya tertinggal, tetapi ia tak menaruh minat untuk kembali dan mengambilnya. Alat pemecah es ia campakkan entah dimana Mengenai pakaian Ronnie, ia tak ingat lagi ia masukkan ke dalam bakul cucian atau tidak.
Robert Irwin pada akhir keterangannya masih menyinggung “filsafat visualisasi”nya. Katanya: “Saya membunuh Mrs. Gedeon karena saya naik pitam. Ronnie saya bunuh karena terpaksa. Demikian pula Byrnes. Satu-satunya orang yang saya incar hanyalah Ethel, karena saya, cinta dan benci kepadanya.”.
“Saya hanya bermaksud mengambil hidup satu orang. Kini saya akan mengganti hidup para korban saya dengan mengembangkan daya visualisasi yang merupakan langkah lanjutan dari evolusi umat manusia.”.
Dalam sidang pengadilan Irwin dibela oleh pengacara termasyhur Samuel Leibowitz. Berdasarkan masa lampau kliennya dan diagnosa para dokter jiwa, ia menyalakan Robert Irwin sebagai orang gila. Namun jaksa William C. Dodge menentangnya.
Sementara itu dibentuk suatu komisi untuk menyelidiki kesehatan jiwa Irwin. Tetapi yang bersangkutan sama sekali tak mau membantu pekerjaan panitia tersebut Irwin bungkam, tak mau memberi kesaksian apapun juga walaupun ia berhak untuk itu.
Tanggal 25 Maret 1938 panitia mengeluarkan pendapatnya bahwa Irwin sehat menurut hukum. Ia tahu “hakekat dan sifat perbuatan-perbuatannya dan bahwa perbuatan-perbuatan itu salah”.
“Tanggal 8 November Robert Irwin diajukan di depan pengadilan Leibo- witzbertahan pada pembelaan bahwa Robert Irwin hanya melakukan pembunuhan yang tak direncanakan. Jaksa Dodge menerima pendapat ini. Hakim James Wallace menjatuhkan hukuman 139 tahun penjara.
Robert Irwin dimasukkan di penjara Sing Sing, Tapi tak lama kemudian la terpaksa dipindahkan ke lembaga untuk merawat tahanan-tahanan yang sakit jiwa. Kesehatan mentalnya semakin mundur hingga ia tak mungkin lagi dibebaskan.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Ekor Pembunuhan Nona Kwitang
" ["url"]=> string(93) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835274/seorang-di-antara-tiga-korban-adalah-gadis-model" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691170032000) } } [5]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835263" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/informasi-melimpah-yang-membuat-20230804052613.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Edwin L. Burdick tinggal di rumah mewah. Setelah peristiwa tragis, muncul kesaksian yang mengungkapkan kehidupannya yang penuh skandal dan amoralitas." ["section"]=> object(stdClass)#140 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/informasi-melimpah-yang-membuat-20230804052613.jpg" ["title"]=> string(48) "Informasi Melimpah yang Membuat Polisi Kewalahan" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:26:22" ["content"]=> string(24305) "
Intisari Plus - Edwin L. Burdick, usahawan sukses di Buffalo, New York tinggal di sebuah rumah mewah dan menjadi anggota klub-klub sosial terkemuka. Setelah peristiwa tragis, muncul laporan dan kesaksian yang mengungkapkan kehidupannya yang penuh skandal dan amoralitas.
----------
Edwin L. Burdick terkenal di kalangan atas di kota Buffalo, New York. Ia seorang usahawan yang mempunyai karier cukup gemilang.
Burdick memulai usahanya pada usia 18 tahun. Tak lama kemudian ia telah dapat mengambil oper dan memiliki sebuah badan penerbit majalah perdagangan The Roller Mill. Setelah itu ia mendirikan “The Buffalo Envelope Company” yang mempekerjakan tak kurang dari 10 orang, dan memproduksi paling sedikit 400.000 sampul tiap hari.
Dalam resepsi-resepsi kalangan terkemuka ia dan istrinya yang cantik, Alice HulI, hampir selalu diundang. Sebaliknya Mr. dan Mrs. Burdick kerap kali mengadakan pesta ramah tamah di tempat kediaman mereka di Ashland Avenue, sebuah rumah yang mewah dengan 14 kamar. Dan Burdick menjadi anggota berbagai club untuk memperluas hubungan sosial, di antaranya Elmwood Dancing Club dan Red Jacket Golf Club.
Selama 17 tahun suami istri Burdick tampaknya hidup bahagia. Sampai akhirnya pada hari Jumat tanggal 27 Februari 1903 Burdick mati terbunuh di kamarnya.
Begitu berita tentang kematiannya tersiar, banyak laporan, kesaksian-kesaksian, dan perkiraan-perkiraan disampaikan kepada polisi. Hampir semua keterangan-keterangan itu memberi gambaran bahwa kehidupan Burdick dan kawan-kawan di sekelilingnya penuh skandal dan amoralitas.
Koran-koran mengungkapkan aneka macam praktik yang menurut mereka terjadi di belakang pintu Elmwood Dancing Club dengan anggotanya terpilih dan terbatas. Para pria dan wanita yang telah kawin, berkumpul di situ untuk melewatkan waktu dalam suasana romantis, bemesra-mesraan tapi tidak perlu dengan suami atau istri mereka sendiri.
Masuknya informasi-informasi ini barangkali untuk sebagian dirangsang oleh situasi terbunuhnya Edwin L. Burdick.
Mayat Burdick ditemukan pada jam 8.30 pagi oleh ibu mertuanya, Mrs. Maria Hull yang tinggal di rumah menantunya. Segera wanita itu mengundang dokter keluarga untuk memeriksa mayat. Kemudian memberitahukan kejadian pembunuhan itu kepada polisi. Petugas resmi yang datang adalah komandan detektif Patrick V. Cusack, anak buahnya James Sullivan dan seorang dokter, Dr. John Howland.
Burdick hanya memakai hem dan celana dalam. Kepala dan mukanya menunjukkan bekas-bekas penganiayaan berat. Setelah memeriksa mayat, Dr. Howland menyatakan sebagai berikut: “Korban meninggal akibat pukulan pada kepalanya. Senjata pembunuh berupa benda pipih yang cukup berat. Saat kematian kira-kira jam 12 atau 1 malam.”
Beberapa hal dalam kamar tempat terjadinya pembunuhan menarik perhatian polisi. Di atas meja terletak dua gelas yang telah diminum, sebuah botol alkohol setengah kosong dan beberapa potong keju Camembert.
Jas dan celana Burdick terletak di atas sandaran kursi. Dalam sakunya terdapat sebuah revolver terisi peluru sedangkan dalam saku lain ditemukan sebuah dompet, yang padat berisi uang. Polisi memperoleh kesan bahwa Burdick sebelumnya sudah merasa dirinya terancam hingga merasa perlu membawa senjata api.
Dua orang wanita pembantu rumah tangga Burdick, tak dapat memberi keterangan apapun yang berharga bagi polisi. Mereka tak tahu apakah majikannya malam itu menerima tamu di kamarnya. Ditanya soal dua gelas, minuman keras dan keju di atas meja, mereka hanya bisa menjawab, bahwa Burdick rupanya mengambil sendiri makanan itu dari dapur.
Sementara itu polisi, dapat memperoleh keterangan yang berharga dari ibu mertua korban walaupun sedikit saja. Menurut Mrs. Hull adanya gelas dan keju itu berarti bahwa Burdick malam itu pasti menerima tamu. Sebab Burdick tak pernah minum sendirian lagi pula sama sekali tak suka keju Camembert.
“Di mana Mrs, Burdick? Mengapa ia tak ada di rumah?”, tanya detektif Sullivan tanpa pikir panjang bahwa pertanyaan ini bisa menyinggung perasaan Mis. Hull.
Jawab wanita itu, sudah sejak kira-kira dua bulan Mrs. Burdick singgah di Atlantic City dan menginap di hotel Traymore. Mrs. Hull telah memberitahukan kematian Burdick kepada istrinya, yang ia harapkan segera akan datang.
Komandan Cusack tertarik pada jawaban ini, mengingat bahwa mayat Burdick ditemukan hanya dengan pakaian dalam dan di kamar terdapat minuman keras dengan dua gelas saja. Dan pertemuan berduaan ini terjadi di kamar tidur. Maka ia bertanya, mengapa Mrs. Burdick pergi. Apakah ia telah atau berniat bercerai dari suaminya, barangkali karena Burdick mempunyai seorang kekasih.
Mrs. Hull sama sekali tak memperlihatkan perasaan tersinggung mendapat pertanyaan demikian. Ia hanya menjawab tak tahu menahu soal itu dan mempersilahkan para detektif menghubungi pengacara anaknya perempuan, yaitu Mr. Arthur Reed Penneli.
Keyakinan Cusack bahwa dalam perkara pembunuhan itu pasti soal percintaan, semakin kuat karena di seluruh rumah sama sekali tak terdapat tanda-tanda yang menunjuk ke arah pencurian atau perampokan.
Apalagi Cusack menemukan sebuah foto seorang wanita molek umur tiga puluhan dengan tulisan ”Dengan iringan cinta, Gertrude". Di samping foto yang ditemukan dalam laci meja Burdick itu, para detektif menemukan pula guntingan koran terbitan beberapa minggu yang lalu berisi berita tentang perceraian seorang pengusaha kaya di Cleveland, George Warren, dari istrinya. Helen. Berita itu berakhir dengan sebuah kalimat yang menyatakan bahwa Mrs. Warren akan segera pulang ke kota asalnya, Buffalo.
Kini Cusack dan Sullivan kembali ke markas. Di sana segera menghubungi rumah Mr. Arthur Reed Pennell lewat telepon. Istrinya mengatakan bahwa Mr. Pennell sedang ke air terjun Niagara dengan mobilnya yang baru, dan barangkali menginap di Prospect Hotel. Dengan alamat hotel ini polisi kirim telegram agar Pennell pulang secepat mungkin.
Sementara itu Cusack mencari keterangan pada Charles Park, kompanyon Burdick dalam usahanya dengan “Buffalo Envelope Company”. Charles Park dengan nada penuh kejujuran menyatakan bahwa pembunuhan Burdick jelas tak ada sangkut pautnya dengan perusahaannya.
Tentang keadaan keluarga Burdick ia tak tahu banyak karena hubungan antara dia dan keluarga itu bersifat hubungan sebagai kompanyon perusahaan. Hanya ia mendengar bahwa Burdick dan istrinya akhir-akhir ini tampaknya tak begitu baik.
Lebih jauh Park menyatakan bahwa Burdick di kantornya sering mendapat kunjungan dari seorang laki-laki bernama Boland. Burdick pernah mengatakan kepada Park, bahwa hubungannya dengan Boland sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan perusahaan. “Soal pribadi, bahkan sangat pribadi”, Burdick menambahkan.
Dari rumah Park, para detektif mampir sebentar di kantor Dr. Howland untuk menanyakan, apakah pukulan keras yang mematikan Burdick itu, bisa dilakukan oleh seorang wanita. Jawab sang dokter: Tidak mustahil, sebab tulang tengkorak Burdick ternyata tak begitu keras.
Jumat sore Arthur Reed Pennell, pengacara Mrs. Burdick telah sampai di Buffalo dan segera datang di kantor polisi. Orangnya tampan, umur empat puluhan, berkumis, dagunya kokoh. Tingkah lakunya penuh kepercayaan diri, pandai bicara. Bukan tanpa sebab ia dipandang sebagai salah seorang ahli hukum yang paling cemerlang di Buffalo.
“Saya telah mendengar tentang nasib tragis yang menimpa Burdick itu. Bantuan apa yang dapat saya berikan kepada Anda?", tanya Pennell kepada Cusack.
“Dari percakapan dengan Mrs. HulI, saya mendapat kesan bahwa hubungan antara Burdick dengan istrinya akhir-akhir ini begitu baik. Tentang soal ini, Mrs. HulI menyarankan agar saya mencari keterangan dari Anda?”, Cusack menjawab.
“Baiklah. Tapi sebetulnya saya ragu, apakah persoalan-persoalan pribadi yang dipertanyakan Mrs. Burdick kepada saya sebagai pengacaranya, dapat begitu saja saya buka di hadapan Anda”, kata Pennell.
“Persoalannya bisa kita pandang dari segi lain”, Cusack menjelaskan, “Kiranya anda tak akan berkeberatan untuk memberi keterangan apakah dalam perkara pembunuhan ini ada soal wanita".
Argumen ini rupanya berhasil meyakinkan Pennell. “Memang", kata pengacara itu. “Demi tegaknya keadilan dan lancarnya pengusutan perkara pembunuhan ini, baiklah saya katakan, bahwa Mrs. Burdick minta jasa saya agar dapat bercerai dari suaminya atas dasar-dasar hukum. Saya bisa menyebut nama 3 orang wanita yang berhubungan dengan Burdick”.
“Apakah salah satu di antaranya bernama Gertrude?”
“Anda telah tahu?”, kata Pennell keheranan. “Memang. Nama lengkapnya Gertrude Paine, seorang janda yang telah bercerai dari suaminya. Ia piaraan Burdick".
“Lalu siapa itu Helen Warren dari Cleveland?"
Pennell lebih terheran lagi, “Banyak juga yang telah anda ketahui! Ya, dia juga. Dan karena Burdick- lah wanita itu bercerai dari suaminya”.
Lalu Pennell menambahkan nama wanita ketiga, Marian Hutchinson yang biasa membantu Burdick pada perusahaan sampul. Tapi di mana alamat ketiga wanita itu, Pennell tidak tahu. Tetapi ia yakin, mereka pasti masih di Buffalo.
“Mereka akan saya temukan”, Cusack menggumam, untuk kemudian berpamitan dari Pennell sambil mengucapkan terima kasih.
Memang, hari berikutnya polisi telah menemukan alamat wanita-wanita itu — setidak-tidaknya dua di antara mereka, ialah Mrs. Helen Warren dan Mrs. Gertrude Paine.
Melihat Mrs. Warren para detektif terpesona. Selera Burdick sungguh tidak murahan sejauh menyangkut segi fisik wanita pilihannya. Mrs. Helen yang berambut keemasan dan bertubuh mungil itu, memang memiliki kecantikan yang luar biasa. Demikian pula Mrs. Gertrude Paine, yang tinggal dalam sebuah apartemen, tak jauh dari hotel tempat Mrs. Warren menginap.
Tetapi kedua-duanya menyangkal keras sangkaan polisi terhadap diri mereka. Cusack dan Sullivan dicaci maki habis-habisan oleh kedua wanita itu. Mereka menyangkal pernah menjadi kekasih Burdick. Tetapi yang lebih penting lagi, baik Mrs. Helen maupun Mrs. Gertrude dapat memberikan alibi yang tak tergoyahkan. Sejumlah saksi menguatkan pernyataan mereka, bahwa pada saat pembunuhan Burdick, mereka berada di tempat yang letaknya beberapa kilometer dari Buffalo menghadiri sebuah party.
Masih ada satu harapan, barang kali wanita yang bernama Marian Hutchinson dapat memberi penjelasan tentang pembunuhan Burdick. Kebetulan hari itu juga — Sabtu, sehari setelah terjadinya pembununuhan — datang seorang bernama Henry Jeddo di kantcr polisi. Pekerjaannya menyewakan kereta yang ditarik kuda itu. Ia mengatakan bahwa pada hari Jumat malam, keretanya ditumpangi seorang wanita yang pernah bekerja pada Buffalo Envelope Company dan ciri-cirinya cocok dengan gambaran yang diberikan oleh Arthur Reed Pennell kepada polisi. Ia menyatakan kesediaannya membantu polisi mencarinya.
Sementara itu lebih banyak informasi-informasi yang masuk di markas polisi. Lebih-lebih setelah pada hari Sabtu acara-acar memuat berbagai skandal yang pernah terjadi dj Elmwood Dancing Club dan pada hari Minggu para pendeta di gereja mengucapkan khotbah yang berapi-api tentang kebejatan moral kaum lelaki di kota Buffalo.
Akibatnya, pada hari Senin kantor Cusack kebanjiran laporan yang berisi aneka macam cerita tentang penyelewengan suami A atau istri B. Sampai Cusack mengeluh karena kantornya menjadi seperti kantor penasehat perkawinan saja. Namun sebagian besar cerita-cerita itu banyak sedikit ada hubungannya dengan tingkah laku almarhum Burdick.
Dalam pada itu Mrs. Burdick telah kembali dari Atlantic City. Wanita yang baru saja menjadi janda itu, perawakannya ramping, bahkan agak kurus. Sepasang mata berwarna hitam bersinar dari wajahnya yang cantik. Mrs. Burdick mengenakan pakaian hitam tanda berkabung. Ia menerima Cusack dan Sullivan dengan sikap serius dan muka sedih yang membuat kedua petugas itu merasa terharu.
“Saya dengan senang hati ingin membantu Anda. Tetapi lebih baik lain kali, jika hati saya sudah agak reda. Hubungi saja Mr. Pennell. Keterangan-keterangan yang dapat saya berikan kepada Anda, dia pun dapat memberikannya. Dan ia pasti bersedia memberi segala bantuan”.
Sementara itu, pada hari Senin itu juga, pemilik kereta berkuda, Henry Jeddo bersama dengan seorang anak buah Cusack mencari Marian Hutchinson di pinggiran kota Buffalo. Dan' berhasil.
Seperti halnya dengan Mrs, Helen dan Gertrude, Marian Hutchinson pun seorang wanita cantik. Rambutnya merah, tubuhya padat, berisi, kepribadiannya memancarkan kewanitaan buas yang penuh gairah.
Kata-kata pertama yang diucap oleh wanita itu di hadapan Cusack adalah dampratan ganas karena merasa terhina ditahan seperti seorang penjahat. Tetapi polisi berhasil meredakannya. Dan Marian Hutchinson memberikan keterangan dengan jujur.
Memang ia pernah bekerja pada Buffalo Envelope Company, katanya. Tetapi kemudian ia keluar setelah berhasil mengumpulkan sejumlah modal. Dengan uang yang ia kumpulkan dengan susah payah itu, ia bermaksud menempuh karir sebagai penjanji.
Kadang ia memang berhubungan dengan Burdick sewaktu bekerja di perusahaannya. Tetapi hubungan itu sama sekali tak mempunyai corak romantis. Pertemuan-pertemuannya dengan Burdick selalu berlangsung di tempat terbuka, dihadapan umum.
Desas-desus seolah-olah ia pernah menerima bantuan finansial dari Burdick adalah omong kosong. Ia memiliki cukup harta dan tak memerlukan bantuan dari siapa pun juga.
Memang, pada hari Jumat malam ia menumpang kereta Henry Jeddo, “Adakah undang-undang yang melarang seseorang naik kereta ke Ashland Avenue?”, ia bertanya dengan nada mengejek. “Ketika itu saya dan rekan-rekan saya menjanji di rumah seorang teman. Jam satu malam saya telah sampai di rumah. Saya bisa mengajukan sekarang suami-istri sebagai saksi mata. Toh bukan salah saya jika latihan nyanyi itu berlangsung di sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari rumah Burdick.
Lalu wanita itu menyebutkan sejumlah nama orang-orang yang dapat diminta kesaksiannya tentang apa yang ia katakan kepada polisi. Menjelang sore jelaslah sudah bahwa alibi yang diajukan oleh Marian Hutchinson tak bisa diganggu gugat.
Selasa berlalu tanpa dipanen keterangan-keterangan baru yang berharga. Tapi Rabu sore jalannya pengusutan mengalami perkembangan baru berkat informasi dari Charles Parks kompanyon Burdick yang telah disebutkan di atas.
Ia menelepon polisi. Katanya: “Anda masih ingat itu orang bersama Boland yang beberapa kali mengunjungi Burdick di kantonya? Nah, kini saya tahu siapa dia sebenarnya. Sore ini di kantor datang beberapa cek dari bank, yaitu cek Burdick dari bulan Februari. Sekalipun tak berhak, saya memberanikan diri untuk memeriksanya. Salah satu cek itu, dikeluarkan tiga minggu yang lalu dan dialamatkan kepada Agen Detektif Boland, dengan catatan, untuk pembayaran penuh jasa-jasa yang telah diberikan. Cek itu dikirimkan ke New York City Bank".
Informasi ini menimbulkan teka-teki di benak komandan Cusack. Menurut keterangan-keterangan yang diperoleh sampai kini. Burdick tampaknya lebih cocok menjadi sasaran penyelidikan seorang detektif. Tetapi menurut informasi dari Charles Parks, Burdick malahan menyewa detektif untuk menyelidiki sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?
Segera Cusack kirim kawat ke Broadway 220, alamat Boland Detective Agency, untuk minta keterangan tentang jasa yang diminta almarhum Burdick. Jawaban dengan telegram datang hari berikutnya. Bunyinya: Burdick minta penyelidikan alasan-alasan untuk perceraian, harap kirim orang ke New York untuk peroleh detail-detail.
Kamis malam detektif Sullivan telah sampai di New York dan hari berikutnya langsung menemui James Boland. Sullivan merasa seperti seorang petinju yang mendapat pukulan knock out ketika mendengar keterangan dari detektif swasta itu. Keterangan itu menghancurkan semua teori yang ia susun dengan Cusack sampai saat itu.
Lebih dari tiga bulan yang lalu demikian Boland. “Burdick datang di kantor saya membawa seberkas surat-surat yang ia temukan di rumahnya. Surat-surat itu tertuju kepada istrinya dan berasal dari seorang ahli hukum di Buffalo bernama Arthur Reed Pennell. Dari surat-surat itu jelas bahwa sejak beberapa waktu Pennel dan Mrs. Burdick menjaiin hubungan cinta gelap. Burdick minta kepada saya untuk mencari bukti-bukti yang kokoh tentang hal itu agar ia dapat menceraikan istrinya'’.
Boland berhasil mengumpulkan data-data tanpa banyak kesukaran. Alice Hull Burdick memang kekasih Pennell. Pernah Boland menguntit Pennell dan Alice sampai ke sarang percintaan mereka di Buffalo. Kira-kira akhir Desember 1902, dua bulan sebelum terbunuh, Burdick secara terang-terangan menuduh istrinya berzina. Inilah sebabnya maka Mrs. Burdick lalu pergi ke Atlantik City.
Burdick minta agar Boland meneruskan menguntit istrinya. Hasilnya sama. Beberapa kali Boland membayangi perjalanan Mrs. Burdick ke New York, di mana wanita Itu berkencan dengan Pennell di beberapa hotel.
Pada suatu malam Boland berdiri di dekat Pennell yang sedang pesan minuman di sebuah bar. Dalam keadaan mabuk, Pennell berkata kepada pelayan bar, “Ada seorang musuh yang hendak kubunuh di Buffalo; biar aku kemudian digantung”.
Hal ini diberitahukan oleh Boland kepada Burdick, yang sejak itu senantiasa membawa senjata.
Beberapa minggu yang lalu, Burdick kirim cek kepada Boland, dengan sepucuk surat yang menyatakan bahwa ia (Burdick) sudah siap untuk menyerahkan seluruh persoalan kepada pengacaranya. Istri saya dan Pennell sudah mengetahui maksud saya”, Burdick mengakhiri suratnya.
Informasi ini membuat persoalan menjadi jelas. Rupanya Pennell sebagai seorang pengacara terhormat di Buffalo, takut namanya menjadi tercemar di mata umum jika Burdick melaksanakan niatnya. Inilah yang mendorong Pennell untuk mendatangi Burdick, entah dengan maksud agar Burdick mengurungkan proses perceraian dengan istrinya, entah untuk membunuhnya. Bagaimana pun berakhir dengan terbunuhnya Burdick.
Untuk mengelabui polisi, Pennell rupanya lalu meletakkan botol minuman keras, dua gelas dan keju Camembert tanpa mengetahui bahwa Burdick sama sekali tak suka makan keju jenis itu.
Untuk lebih menyesatkan penyelidikan polisi, kemudian Pennell masih menyebutkan nama-nama tiga orang wanita sambil memberi kesan kepada polisj bahwa wanita-wanita itu mempunyai hubungan gelap dengan Burdick.
Sullivan segera mengawatkan informasi baru ini kepada komandannya, Cusack. Sementara itu yang terakhir ini telah menyelidiki Pennell dan menanyakan alibi. Ternyata alibi yang dikemukakan pengacara itu amat lemah. Satu-satunya saksi yang menyatakan bahwa Pennell pada saat kejadian berada di tempat lain, nanyalah istrinya sendiri yang tampak gugup.
Cusack sebenarnya bermaksud seketika itu juga menahan Pennell. Tapi ia dicegah oleh atasannya yang belum begitu yakin akan keterlibatan pengacara terhormat itu dalam pem- bunuhan Burdick.
Atasan yang masih ragu-ragu itu, berjanji akan menjatuhkan keputusannya pada hari Senin 9 Maret. Dan keputusan itu berbunyi: Setuju Pennell ditahan.
Cusack dan Sullilvan buru-buru pergi ke kantor sang pengacara. Ternyata ia tidak ada. Di rumahnya juga tak ditemukan.
Ternyata satu jam sebelum Cusack dan Sullivan datang, Arthur Reed Pennell dan istrinya pergi naik mobil mereka yang baru. Menurut saksi-saksi mata, ketika sampai di sebuah tempat dengan jurang di sisi jalan, mobil Pennell menyerong ke kanan denga tajamanya dan mencebur ke dalam jurang Gehres Quarry. Suami-istri Pennell mati seketika.
Bahwa kejadian ini adalah peristiwa bunuh diri, tampaknya tak dapat diragukan. Pengacara terhormat itu rupanya merasa tak kuat menanggung aib jika percintaannya dengan Mrs. Burdick sampai tersingkap lewat pengadilan.
Beberapa orang saksi, di bawah sumpah menyatakan bahwa sehari sebelum terjadjnya “keceakaan”, mereka melihat Pennell berjalan kaki, menyelidiki tempat “kecelakaan" itu dengan teliti. Dan dalam saku Pennell ditemukan guntingan halaman dari majalah-majalah —semuanya memuat sajak-sajak tentang bunuh diri.
Sebuah kalimat dari salah satu di antara sajak-sajak itu dicoret tebal bawahnya. Kalimat itu berbunyi: Tertegun sering aku, melihat lelaki kuat dan wanita-wanita lembut hati dengan hati tabah tanpa ketakutan menyongsong Maut Agung.
(Charles Boswell & Lewis Thomson)
Baca Juga: Kaleng 'Hamil'
" ["url"]=> string(93) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835263/informasi-melimpah-yang-membuat-polisi-kewalahan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169982000) } } [6]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835253" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/kitty-terjerat-oleh-ramalanjpg-20230804052533.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Pemilik toko mode menghilang dan kemudian ditemukan tewas di tengah jalan. Detektif Cockran mulai menyelidiki hubungan dengan lingkungan sekitarnya." ["section"]=> object(stdClass)#144 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/kitty-terjerat-oleh-ramalanjpg-20230804052533.jpg" ["title"]=> string(35) "Kitty Terjerat oleh Ramalan-Ramalan" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:25:41" ["content"]=> string(24386) "
Intisari Plus - Pemilik toko mode di Syndicate Block menghilang dan kemudian ditemukan tewas dengan luka tembak di tengah jalan. Detektif Cockran dan rekan mulai menyelidiki hubungan antara korban dengan lingkungan sekitarnya.
----------
Toko mode di Syndicate Block di kota Minneapolis, Minnesota, dengan model-model pakaiannya yang didatangkan langsung dari New York dan Paris, adalah sebuah alamat yang terkenal bagi wanita-wanita dan gadis-gadis di kota itu.
Bagi kaum lelaki di daerah sekitar, toko mode itu pun mempunyai daya tarik besar. Pemiliknya, Catherine Ging, umur 29 tahun, adalah seorang wanita cantik dengan ukuran tubuh yang sempurna. Setiap hari kecuali hari Minggu, ia kelihatan berjalan pulang pergi, dari tempat tinggalnya di Hennepin Avenue ke tokonya di Syndicate Block. Catherine atau “Kitty” yang berambut hitam dan bermata abu-abu, berjalan dengan genit dan anggunnya dalam pakaian sutra, satin, atau beludru dengan gaya potongan yang lebih menekankan keindahan garis-garis tubuhnya.
Kitty mendiami kamar di Apartemen Ozark dengan keponakaanya, Mary Louise yang masih umur belasan tahun. Bagi gadis remaja ini Kitty bertindak sebagai pengasuh — walaupun kemudian ternyata bahwa ia bukan seseorang yang memiliki sifat-sifat ideal untuk tugas itu.
Kitty menjadi bahan percakapan orang karena kebebasan pergaulannya dengan seorang lelaki tampan dan kaya bernama Harry Hayward — katanya tunangannya. Ayah Harry, yaitu V.W. Hayward, adalah pemilik Apartemen Ozark. Oleh ayahnya, Harry diserahi tugas mengurusi segala soal sewa-menyewa kamar-kamar apartemen tersebut.
Harry tinggal di situ juga. Kamarnya terletak di tingkat 3, tak jauh dari kamar Kitty yang terletak satu tingkat lebih tinggi. Jika Marie Louise telah tidur, Kitty tiap malam menuruni tangga menuju ke kamar “tunangannya”. Di sana melewatkan waktu bersamanya seperti sepasang mempelai yang sedang berbulan madu. Demikian percakapan yang tersiar di antara para penghuni Apartemen Ozark.
Tetapi Senin malam tanggal 3 Desember tahun 1894 itu Kitty dan Harry Hayward tidak melewatkan waktu bersama-sama paling tidak selama beberapa jam. Menjelang sore Kitty pesan kereta berkuda kepada George Goosman. Lelaki ini kenal baik dengan Kitty dan Hayward yang kerap kali menyewa keretanya. Sesuai dengan pesanan, tepat jam 8 malam Goosman telah siap dengan keretanya di depan West Hotel, di mana Kitty malam itu makan. Kepada langganan setia ini Goosman memberikan salah satu kudanya yang terbaik bernama Lucy.
Malam itu Kitty mengenakan gaun biru dan topi yang terbuat dari kulit berbulu. Goosman heran ketika melihat Kitty hanya seorang diri saja — sedangkan biasanya selalu ditemani oleh Hayward. Tetapi sebagai orang yang tahu sopan santun ia tidak mengomentari apa-apa.
Namun kemudian nama Hayward toh disinggung oleh Kitty sendiri. Sebelum berangkat, wanita itu berpesan: “Mr. Goosman, jika Anda nanti bertemu dengan Mr. Hayward jangan sekali-kali menyebut-nyebut kepergian saya malam ini”. “Tentu saja tidak, Miss Ging”, jawab Goosman patuh. “Saya dapat mempercayai Anda, bukan?”, kata wanita itu lebih lanjut. “Seratus persen”, jawab Goosman.
Kereta pergi. Goosman pulang sambil bertanya-tanya dalam hati, mengapa kali ini Miss Kitty Ging pergi seorang diri. Barangkali ia mempunyai kekasih lain dan tidak menghendaki Hayward mengetahuinya? Goosman sukar membuang pertanyaan ini dari benaknya.
Dua jam berlalu dan terjadilah sesuatu yang memaksa Goosman untuk melibatkan diri dalam persoalan Kitty. Jam 10 malam kereta dan kuda penariknya, Lucy, kembali ke kandang tanpa penumpangnya. Aneh benar, pikir Goosman. Keheranan ini berubah menjadi perasaan panik ketika lelaki itu memeriksa bagian dalam kereta. Tempat duduk, permadani dan bagian dalam atap kereta berlumur darah. Segera Goosman lari untuk melapor kepada polisi.
Thomas Cockran yang sedang bertugas di markas besar kepolisian Minneapolis, sangat tertarik pada laporan Goosman. Sebab sebelum itu baru saja masuk laporan yang tampaknya ada hubungannya.
Laporan yang lebih dulu masuk, datang dari Erhardt seorang petugas stasiun yang mengurusi bagasi. Ketika pulang kerja, di jalan ia berpapasan dengan sebuah kereta yang berjalan kencang sekali. Pengendaranya seorang lelaki.
Kira-kira 20 meter dari tempat ia berpapasan dengan kereta itu, Erhardt menemukan seorang wanita, terkapar di tengah jalan, berlumuran darah. Wanita itu telah tidak bernyawa, tetapi suhu tubuhnya masih hangat. Barangkali ia terlindas kereta tersebut di atas. Tetapi setelah diperiksa oleh dokter di Minneapolis, ternyata wanita itu mati akibat tembakan peluru pistol 38.
Segera detektif Cockran mengajak Goosman melihat mayat tersebut. Memang, ternyata mayat Miss Catherine Ging. Berdasarkan laporan Erhardt dan Goosman, detektif Cockran membuat kesimpulan berikut.
Setelah pergi naik kereta jam 8 malam, di tengah jalan Miss Kitty Ging mengajak atau memperbolehkan seorang lelaki naik keretanya. Lelaki ini kemudian menembak wanita malang itu, melemparkan mayatnya di tengah jalan, lalu melarikan diri. Tinggal kini menjawab dua pertanyaan berikut: Siapa pembunuhnya dan apa alasan perbuatannya itu?
Orang-orang yang terdekat dengan almarhumah, yaitu Harry Harward atau Mary Louise, barangkali dapat menolong memecahkan soal ini. Maka detektif Cockran dengan ditemani oleh rekannya, Holmberg, menuju ke Apartemen Ozark.
Jam 10 malam mereka sampai di sana dan diterima olah penjaga pintu seorang lelaki setengah umur dengan air muka seperti orang melamun. Namanya Claus Blixt.
Ditanya di mana kamar Hayward dan Miss Ging, Claus Blixt menjawab: “Saya kira kedua-duanya tidak ada. Saya tidak melihat Miss Ging lagi sejak ia pergi ke tokonya tadi pagi dan Mr. Hayward sejak jam 18.30 sore tadi keluar”.
“Kami tahu bahwa Miss Ging tak ada di rumah. Sebab kini ia di kamar mayat — korban pembunuhan. Itulah sebabnya maka kami ingin bertemu dengan Hayward.
Claus Blixt tampak terkejut mendengar berita ini. Jawabnya lagi sambil geleng-geleng kepala, seolah-olah tak dapat percaya tentang apa yang terjadi: “Saya tak tahu di mana Mr. Hayward. Yang jelas, ketika ia pergi sore tadi, ia mengenakan setelan bagus, rupanya hendak menghadiri suatu pesta.”
Para detektif memeriksa kamar Hayward tanpa menemukan penghuninya atau sesuatu petunjuk yang dapat dihubungkan dengan pembunuhan. Setelah itu mereka menuju ke kamar Kitty, di mana mereka menjumpai keponakannya, Mary Louise.
Setelah puas menangis dan berhasil menguasai diri, gadis ini memberikan keterangan berikut kepada polisi.
Sore itu Kitty mengatakan akan pulang malam. Sebab ia mau makan bersama dengan Harry Hayward di West Hotel. Kitty mengatakan akan berdandan di toko modenya. Rupanya Hayward akan menjemputnya di toko mode itu juga, kira-kira jam 18.30. Selanjutnya Mary Louise menyatakan, bahwa Kitty tak pernah memperlihatkan minat kepada lelaki lain, karena ia telah bertunangan dengan Hayward.
Tak pernah pula Kitty naik kereta malam-malam seorang diri saja kecuali jika ia hendak mengunjungi dukun peramalnya. “Bibi saya seorang wanita yang cerdas. Tetapi ia terlalu percaya pada tahayul. Berkali-kali ia saya peringatkan, tetapi tanpa hasil.” Mary Louise menambahkan.
Kata-kata Mary Louise cocok dengan apa yang ditemukan polisi di almari bukunya, yang ternyata penuh buku-buku tentang astrologi, ramal telapak tangan, ramal angka, spiritualisme dan sebagainya.
Sementara itu para detektif menemukan sesuatu yang berharga bagi penyelidikan mereka, yaitu surat-surat dan tanda terima dari perusahaan asuransi jiwa.
Dari surat-surat itu ternyata bahwa Kitty dalam bulan September — tiga bulan sebelum mati terbunuh — mengasuransikan dirinya dengan polis seharga $10.000. Dan polis asuransi jiwa ini mencantumkan nama Harry Hayward sebagai pewaris. Detektif Cockran dan Holmberg sependapat bahwa Harry Hayward harus diselidiki dengan teliti.
Baru saja kedua detektif keluar dari kamar Kitty, mereka bertemu dengan Hayward yang sedang menuju ke kamar almarhumah untuk menghibur Mary Louise. Hayward yang berkulit kelam, masih mengenakan pakaian pesta. la tampak sedih, suaranya parau. Katanya, ia baru saja mendengar tentang kematian Kitty, yaitu dari penjaga pintu, Claus Blixt.
“Saya sungguh tak dapat membayangkan seseorang yang bisa mempunyai maksud jahat terhadap Kitty. Kecuali jika motifnya perampasan atau pencurian.” Kata Hayward. Lagi ia menanyakan kepada polisi, apakah mereka menemukan uang $2.000 dalam tas Kitty. Sebab, kata Hayward, sore itu baru saja ia (=Hayward) memberikan uang tunai sebanyak itu kepada tunangannya.
Polisi menjawab “tidak”, tetapi menambahkan bahwa motif perampasan tidak begitu masuk akal karena barang-baang perhiasan Kitty tak ada satupun yang diambil.
“Barangkali pembunuh tak mau mengambil perhiasan-perhiasan itu karena barang-barang semacam itu mudah ditelusur oleh polisi”, Hayward menjelaskan teorinya.
Setelah itu Hayward memberikan keterangan yang mendetail tentang kegiatan Kitty. Selama bulan-bulan terakhir Kitty terus memperluas usahanya. Tokonya diperbesar dengan bagian-bagian baru yang menjual topi dan mantel-mantel wanita. Untuk ini ia meminjam uang dari Hayward. Bulan September yang lalu Hayward meminjaminya modal sebanyak $7.500, lalu yang terakhir sebanyak $2.000. Bukti tanda penerimaannya diperlihatkan oleh Hayward kepada polisi.
Polisi lalu bertanya soal asuransi sebanyak $10.000. Dijawab oleh Hayward: “Ya, itu kehendak Kitty kepada saya. Dengan asuransi itu Kitty bermaksud hendak mengamankan uang yang saya pinjamkan kepadanya. Agar jangan sampai tak kembali jika terjadi sesuatu. Ia memang seorang pengusaha yang penuh perhitungan”.
Selanjutnya Hayward mengungkapkan kelemahan-kelemahan Kitty. Yaitu ia terlalu percaya kepada orang dan tak bisa merahasiakan bila ia mempunyai banyak uang. Di samping itu, wanita itu dihinggapi oleh kepercayaan tahayul kepada dukun-dukun dan peramal-peramal. Hayward menambahkan bahwa ia tak berhasil mencegah kehendak Kitty untuk mengunjungi dukun-dukunnya.
“Barangkali teori Anda, benar juga, Mr. Hayward”, kata detektif Cockran. “Kitty secara sembunyi-sembunyi pergi, barangkali karena ia bermaksud mengunjungi dukunnya. Agar tidak ketahuan oleh Anda. Barangkali dukunnya tahu bahwa ia membawa uang sebanyak itu, lalu membunuhnya dan merampas uang itu.”
Akhirnya detektif Cockran menanyakan, di mana Hayward berada pada saat kejadian.
Alibi yang diberikannya sempurna. Memang dari jam 18.30 sampai jam 20.00 tanggal 3 Desember 1894 itu ia makan malam bersama Kitty di West Hotel. Tetapi setelah itu ia berpisah darinya. Hayward lalu melihat sandiwara di Grand Opera House, bersama dengan Miss Estelle Peters. Kitty tidak cemburu, karena tahu bahwa Hayward pergi dengan Miss Estelle semata-mata untuk memenuhi kewajiban sosial. Sebab ayah gadis ini, seorang pejabat legislatif Minnesota, telah memberi banyak jasa kepada Hayward.
Setelah dicek oleh polisi, semua keterangan Hayward ternyata benar. Miss Estelle yang ditemui oleh para detektif di rumah ayahnya, Mr. Peters, menceritakan segala peristiwa sejak Mr. Hayward bersamanya pergi ke Grand Opera House pada jam 20.15 malam. Sampai jam 23.15 menjelang tengah malam, secara harfiah Hayward tak pernah lepas dari sisinya. Mengingat kenyataan bahwa Miss Kitty Ging terbunuh sekitar jam 21.00 malam di suatu tempat kira-kira 6 kilometer dari gedung teater, maka adalah tak mungkin bahwa Hayward pembunuhnya.
Sementara itu pers menyoroti dengan tajamnya soal pembunuhan Miss Kitty. Sementara surat kabar melukiskannya sebagai seorang wanita pengusaha yang cakap dan tanpa cela. Sebagian lagi menggambarkannya sebagai seorang wanita yang kebajikan hidupnya sangat diragukan. Bagaimanapun juga semua surat kabar sepaham, bahwa teka-teki pembunuhan ini harus segera dipecahkan. Jika perlu dengan mengerahkan detektif negara bagian, detektif federal atau swasta.
Suara pers ini oleh walikota Minneapolis, yaitu William Eustis, dianggap sebagai suatu tantangan yang tertuju pada dirinya.
Maka Eustis mengumumkan bahwa ia akan menangani secara khusus soal ini. Ia menyelenggarakan markas istimewa di salah satu kamar di West Hotel. Dalam sebuah seruan terbuka, ia mengundang setiap orang yang dapat memberikan sesuatu informasi untuk datang melapor.
Salah satu informasi yang diterima oleh biro khusus itu menyangkut seorang lelaki yang sangat menginginkan Kitty. Lelaki itu bernama Arthur Apperson, pekerjaan tukang emas.
Tetapi cintanya yang berkobar-kobar tidak mendapatkan balasan yang memadai dari Kitty. Dan setelah Hayward muncul — kira-kira satu tahun kemudian — Arthur ditinggalkan sama sekali oleh gadis pujaannya.
Apperson sangat terluka hatinya. Pada suatu saat ketika sedang mabuk minuman keras, pernah ia mengeluarkan kata-kata: “Jika saya tak bisa memperistri Kitty, tak seorangpun akan dapat memperistrinya. Aku lebih suka melihatnya mati sebelum menikah”.
Segera walikota Eustis memerintahkan para petugas mencari orang itu. Sebentar saja ia ditemukan terbaring di rumah sakit sejak 10 hari karena kakinya patah akibat suatu kecelakaan. Jadi tak mungkin satu hari yang lalu ia melakukan pembunuhan. Apalagi Apperson kini sudah beristrikan salah seorang gadis yang tercantik dan terkaya di Minneapolis. Rupanya ia telah lama melupakan Kitty.
Selasa malam informasi-informasi yang masuk di markas khusus, sudah diselidiki semua dan ternyata tak memberi kejelasan sedikitpun. Hari berikutnya, Rabu, semua saksi-saksi terdekat yang pernah didengar keterangannya, dipanggil lagi, yaitu Mary Louise, Harry Hayward dan Glaus Blixt. Satu per satu mereka dipersilahkan masuk.
Sementara itu di gang dekat kamar interogasi para wartawan menunggu hasil-hasil pemeriksaan. Salah seorang di antaranya terdapat seorang reporter, bernama Briggs. Beberapa bulan yang lalu orang ini pernah mendapatkan pengalaman tak enak — suatu pengalaman yang ternyata akan mempercepat proses penyelidikan perkara Kitty Ging.
Ketika itu Briggs menulis serentetan tulisan yang menyingkapkan soal perjudian di Minneapolis. Sekalipun tak menyebut nama-nama, tetapi tulisan itu melukiskan sifat tokoh-tokoh perjudian sedemikian rupa, hingga pembaca tahu persis siapa-siapa yang dimaksud. Akibatnya pada suatu malam Briggs dipukuli oleh seseorang yang memperingatkannya, jangan sekali-kali menulis lagi soal perjudian.
Briggs tak tahu siapa nama penyerangnya. Tetapi ia masih sempat mencamkan garis-garis muka orang itu di dalam benaknya. Sejak itu Briggs berusaha menemukannya kembali.
Saksi terakhir yang dipanggil oleh polisi adalah Claus Blixt. penjaga pintu Apartemen Ozark. Dan Briggs mengenalinya kembali sebagal oknum yang telah menganiayanya.
Begitu Blixt meninggalkan ruang pemeriksaan, Briggs buru-buru masuk untuk memberitahukan kepada walikota dan para detektif apa yang di ketahuinya tentang orang itu. Walaupun tak ada petunjuk langsung yang memperlihatkan hubungan antara Blixt dan peristiwa pembunuhan Kitty, namun para detektif toh berpendapat bahwa orang yang suka main kekerasan ini pantas diselidiki.
Cockran dan Holmberg membayangi gerak-gerik Blixt. Rabu sore kira-kira jam 5 Blixt pergi meninggalkan Apartemen Ozark. Holmberg menguntitnya dari belakang, sedangkan Cockran tinggal di apartemen untuk memeriksa kamarnya.
Blixt keluar hanya untuk berbelanja saja. Sementara itu detektif Cockran berhasil menemukan sebuah mantel yang ternoda cipratan darah. Di bawah mantl terdapat sepucuk revolver 38. Satu di antara 6 pelurunya telah ditembakkan.
Polisi tetap sabar terus membayangi Blixt tanpa menanyainya soal revolver dan cipratan darah. Kira-kira jam 7 sore Harry Hayward pulang ke Apartemen Ozark. Tak lama kemudian Claus Blixt pulang pula dan segera masuk apartemen mengikuti Hayward.
Cockran dan Holmberg menunggu pada jarak yang cukup jauh. Setelah Hayward maupun Blixt tidak muncul kembali, baru mereka mendekati apartemen. Dari kaca jendela mereka bisa melihat bahawa gang-gangnya sepi. Maka masukklah kedua detektif itu dan diam-diam menaiki tangga. Tiba-tiba mereka mendengar suara berteriak-teriak seperi orang yang sedang bertengkar. Datangnya dari kamar Hayward , Cockran dan Holmberg pasang telinga.
“Kapan aku mendapatkan uangku? Kamu terus saja mengelak! Aku ingin mendapatkan bagianku!”
“Sssst, jangan berbuat tolol. Tak tahukah kamu bahwa kita terus menerus diawasi? Jika salah tingkah, semuanya bisa gagal. Kamu toh tahu bahwa sebentar lagi aku akan memperoleh hak asuransi?”
“Tapi kamu janji akan memberiku uang dalam tempo 24 jam. Kalau tahu akan begini, aku tak mau pusing tentang Kitty untuk kamu. Sekali lagi kataku: Aku menghendaki uangku sekarang juga!”
Beberapa menit kemudian pintu kamar Hayward terbuka secara mendadak. Begitu keluar Blixt segera ditangkap oleh Holmberg sedangkan Hayward disergap oleh Cockran. Kedua-duanya ditahan atas tuduhan telah membunuh Kitty Ging.
Hayward tak mau membuat pernyataan apapun. Tetapi Claus Blixt, setelah disekap seorang diri selama satu malam, membuka seluruh persoalan. Dia menyatakan bahwa perencana pembunuhan ini adalah Hayward, sedangkan la sendiri hanya merupakan tangan pelaksana. Segala-galanya telah dipersiapkan dengan matang dan teliti sekali oleh Hayward.
Secara diam-diam Hayward merestui kepercayaan Kitty kepada dukun peramal. Hayward tahu pula siapa dukun yang paling dipercaya oleh Kitty. Sebab peramal itu adalah kaki-tangan Hayward sendiri.
Sang peramal mengatakan kepada Kitty bahwa ia harus menuruti nasehat Hayward. Demikian Kitty menurut saja kepada lelaki itu ketika ia dinasihati untuk menarik sebagian modal dari toko modenya. Dan modal itu diberikannya kepada Hayward yang meemperjudikan uang itu untuk Kitty. Tentu saja Hayward “kalah”. Tetapi Kitty terus saja memberi uang. Sampai akhirnya Kitty meminjam uang dari Hayward. Tetapi uang pinjaman ini segera dikembalikannya kepada Hayward untuk diperjudikap lagi “atas nama” Kitty.
Kekalahan demi kekalahan menyusul. Dan Hayward terus saja menipu Kitty yang tidak mengetahui, bahwa semua uang yang dipinjamkan oleh Hayward adalah uang palsu.
Akhirnya Hayward menasihati Kitty untuk mengasuransikan dirinya dan mencantumkan Hayward sebagai ahli waris. Tiga bulan kemudian Hayward menugaskan Blixt untuk membunuh Kitty.
Ini bukanlah untuk pertama kalinya Blixt melakukan perbuatan jahat atas perintah Hayward. Pernah ia melakukan pembakaran untuk menghilangkan sebuah bangunan yang tak dikehendaki oleh Hayward. Juga atas perintahnya pulalah ia memukuli Briggs, wartawan yang menyingkapkan soal perjudian.
Di samping Blixt, ada kaki tangan lain yang terlibat dalam pembunuhan Kitty. Orang itu adalah peramal yang disuap oleh Hayward dan disuruhnya memberi nasihat berikut kepada Kitty: “Senin malam pergilah diam-diam naik kereta tanpa pengetahuan Hayward dengan seorang lelaki asing. Orang ini, akan mengembalikan semua uangmu yang telah amblas di meja perjudian.”
“Sayalah orangnya yang disebut-sebut dalam “ramalan itu,” Blixt mengakhiri pengakuannya. “Kitty baru mengenali saya setelah saya masuk ke dalam kereta. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia saya tembak. Kereta saya larikan beberapa meter. Lalu mayat Kitty saya lemparkan di jalan. Kereta saya tinggalkan dan saya pulang naik trem. Harry Hayward malam itu pergi ke opera bersama Miss. Petet untuk menunjukkan bahwa pada saat pembunuhan ia berada di tempat lain”.
Blixt masih mengungkapkan soal pistol ukuran 38. Ia dan Hayward membeli senjata api itu dua hari sebelum pembunuhan, hari Sabtu, Blixt menyebut nama penjudi senjata api tersebut. Dan orang itu mengenali Hayward sebagai pembelinya.
Kesalahan Hayward masih terbukti lagi oleh penyelidik dari yang dilakukan oleh akuntan atas pembukuan toko mode milik Miss Kitty Ging. Dari penyelidikan itu terlihat bahwa usaha almarhumah selama tahun terakhir belum pernah mendapatkan tambahan modal. Modal pokoknya bahkan berkurang.
Pada awal tahun 1895, Harry Hayward dan Claus BIixt diajukan di depan pengadilan atas tuduhan telah membunuh Kitty Ging. Keputusan hakim Seagrave Smith: Kedua-duanya dinyatahan bersalah. Blixt pelaksana pembunuhan, mendapatkan hukuman penjara seumur hidup, sedangkan Harry Hayward, perencananya mendapatkan hukuman gantung pada tanggal 11 Desember tahun 1895.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Korbannya Wanita Tuna Susila
" ["url"]=> string(80) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835253/kitty-terjerat-oleh-ramalan-ramalan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169941000) } } [7]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835245" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/85-george-nesbitt-detektif-awam-20230804052454.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "George Nesbitt, seorang detektif amatir, menyelidiki hilangnya ibu dan adiknya. George menemukan kejanggalan dalam keterangan tetangga." ["section"]=> object(stdClass)#148 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/85-george-nesbitt-detektif-awam-20230804052454.jpg" ["title"]=> string(38) "George Nesbitt Detektif Awam Cemerlang" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:25:05" ["content"]=> string(26604) "
Intisari Plus - George Nesbitt, seorang detektif amatir, menyelidiki hilangnya ibu dan adiknya. George menemukan kejanggalan dalam keterangan tetangga dan menemukan bukti bahwa adiknya telah menikah secara rahasia.
----------
Pemuda-pemuda di Harlan Iowa (Amerika) kecewa bercampur kagum ketika Miss Alma Nesbitt, salah seorang gadis tercantik di situ, berangkat ke daerah barat dengan tekad seorang perintis, Alma pergi ke Oregon, terdorong oleh keinginannya mendapatkan tanah yang luas untuk usaha pertanian dan peternakan. Sebuah “ranch” yang ia usahakan dan ia atur sendiri!
Mengapa bersusah payah ke Oregon jika ia hanya menghendaki sebidang tanah yang luas? Mengapa tidak meluluskan saja pinangan salah satu di antara petani kaya di Iowa yang memujanya?
Rupanya yang memikat Alma Nesbitt bukan terutama sebidang tanah, tetapi lebih-lebih romantika petualangan di daerah yang belum banyak dijamah orang. Bulan Maret 1899 ia berpamitan dari ibu dan kakaknya, George R Nesbitt.
Tak lama setelah keberangkatannya, Alma menyurati ibunya. Katanya ia telah mempunyai ranch sendiri di Oregon, letaknya 30 km dari Hood River, luasnya 160 acres, berbatasan dengan tanah seorang kenalan lama dari Harlan, yaitu Norman Williams. Pada akhir surat, Alma minta ibunya datang ke Oregon untuk tinggal bersamanya.
Sejak Mrs. Nesbitt berangkat, George Nesbitt Yang tetap tinggal di Harlan, tak banyak mendengar kabar tentang ibu dan adiknya. Tetapi dari satu dua surat yang ia terima dari mereka, George dapat menyimpulkan bahwa keadaan mereka baik, usaha pertanian dan peternakan berhasil, dan bahwa Norman Williams ternyata seorang tetangga yang ramah dan suka membantu.
Setahun berlalu. Kemudian tanggal 12 Maret 1900 George menerima sepucuk surat dari Alma. Katanya, ia dan ibunya akan segera pulang ke Harlan, Surat dikirim dari sebuah losmen di Grand Avenue, Portland. Mengapa dari alamat baru? Dan mengapa pula mereka mendadak memutuskan kembali ke kota asal? George menunggu dengan hati cemas tetapi juga gembira karena telah lama tak melihat ibu dan adik kandungnya.
George menunggu dan menunggu, tetapi Alma dan Mrs. Nesbitt tak muncul juga. Beberapa minggu kemudian George kirim surat kepada Norman Williams untuk menanyakan nasib ibu dan adiknya.
Williams tak dapat memberi keterangan. Selama bulan-bulan terakhir ia tak banyak bergaul dengan Alma karena gadis ini bekerja di The Dalles untuk mendapatkan modal bagi usaha pertaniannya pada musim tanam berikutnya, kata Williams. Selama di The Dalles, kata tetangga itu selanjutnya, kabarnya Alma menjalin hubungan cinta dengan seorang pemuda dan ada desas-desus bahwa Alma pergi entah ke mana dengan pemuda itu. Williams tak tahu siapa nama kekasih Alma ini.
Bulan demi bulan berlalu dan George terus mencari keterangan ke sana ke mari. Rumah losmen di Grand Avenue Portland yang ia surati menjawab bahwa Alma dan ibunya meninggalkan penginapan itu pada tanggal 8 Maret 1900 — tanggal yang tercantum dalam surat Alma yang terakhir. Tetapi pemilik losmen tak dapat memberi keterangan keinginan kedua wanita itu pergi.
George meneliti surat-surat kabar kalau-kalau ada berita tentang wanita hilang atau penemuan mayat-mayat yang tak dikenal. Ia menyurati kantor-kantor polisi dan biro-biro detektif. Kesemuanya tanpa hasil.
Empat tahun berlalu tanpa ada kabar tentang nasib Alma dan ibunya. kini George yang sementara itu telah berhasil mengumpulkan cukup kekayaan, bertekad untuk memecahkan teka-teki sekitar nasib ibu dan adiknya yang hilang tanpa jejak.
Orang boleh bertanya-tanya, mengapa George menunggu sampai empat tahun dan tidak bertindak lebih cepat atau lagi mengapa polisi yang mendapatkan laporan, tidak segera mengambil tindakan yang efektif untuk menjernihkan persoalan.
Bagaimanapun juga prestasi George Nesbitt dalam mencari ibu dan adiknya sungguh mengagumkan. Apalagi jika diingat bahwa lelaki ini orang biasa saja yang sama sekali belum pernah “makan garam” di bidang kedetektifan, sedangkan perkaranya sudah begitu tertimbun oleh waktu.
Tempat yang pertama-tama dituju oleh George adalah losmen di Grand Avenue, Portland. Pemiliknya ternyata masih sama seperti empat tahun yang lalu. Ia ketika Mrs. Nesbitt dan Alma menginap di situ.
Henry Winters — demikian nama pemilik losmen — hanya bisa memberikan keterangan samar-samar itupun setelah ia meneliti buku tamu empat tahun yang lalu.
Nama Alma dan Mrs. Nesbitt memang tercantum di dalamnya. Mr. Winters masih lupa-lupa ingat akan dua orang wanita, yang di tahun 1900 pernah menyewa kamarnya. Yang satu masih muda dan cantik sekali, katanya. Gadis Ini beberapa kali didatangi seorang lelaki, yang bertengkar dengannya
“Ini saja ingat betul”, kata Winters, “Gadis itu rupanya berniat untuk pergi ke suatu tempat dan sedangkan si lelaki berusaha mencegahnya. Tidak mustahil bahwa gadis itu Miss Alma yang dicari”.
Sekalipun tak menentu sifatnya, informasi ini dicatat baik-baik oleh George dan ia hubungkan dengan keterangan Norman Williams tentang hubungan percintaan Alma dengan seorang pemuda dari The Dalles. Jika benar gadis itu adiknya, barangkali saja lelaki itu ialah lelaki yang dikenal Alma ketika ia bekerja di The Dalles. Barangkali pula Alma telah lari dengan orang itu.
Langkah berikutnya yang diambil George ialah berusaha menghubungi Norman Williams. Dari Portland ke Hood River naik kereta api, dari Hood River ke rumah Williams naik kereta yang ditarik kuda. Dari sais kereta itu, Stranahan, pemilik Fashion Livery Stables. sebuah perusahaan yang menyewakan kuda dan kereta, George mendengar bahwa Norman Williams sudah lama sekali tak kelihatan.
Informasi ini ternyata benar. George menemukan rumah Williams dalam keadaan bobrok tanpa penghuni, tanah pertaniannya tak terurus dan penuh tanaman liar. Juga bekas tempat tinggal Alma dan Mrs. Nesbitt ia temukan dalam keadaan yang sama.
Maka malam itu juga George kembali ke Hood River dan hari berikutnya ia menuju The Dalles dengan kereta milik Stranahan. Maksudnya hendak mencari jejak-jejak perkawinan Alma jika benar adiknya itu telah jatuh hati pada seorang pemuda di tempat tersebut. Tetapi dokumen-dokumen pemerintahan di situ tidak mencatat perkawinan seorang gadis bernama Alma.
Pejabat di The Dalles tak bisa membantu banyak, karena peristiwa yang diselidiki George telah lama berlalu. Detektif amatir kita hanya dapat memperoleh informasi, bahwa seorang pemuda bernama Fred Sturges, kaisar pada sebuah perusahaan makanan ternak, pada tahun 1900 menggelapkan uang sebanyak $ 3.000 dari perusahaan tersebut dan lari dengan seorang gadis. Dan gadis ini konon berasal dan Hood River.
Mendengar keterangan ini George berpikir sebagai berikut: Fred Sturges lelaki yang curang. Andaikan pencoleng ini berhasil memikat hati Atma, maka tak mustahil tujuannya hanyalah untuk mendapatkan keuntungan kekayaan dari gadis itu. Bukankah Alma memiliki tanah pertanian: seluas 160 acres?
Gagasan ini mendorong George untuk minta Keterangan pada Kantor Urusan Tanah di Portland. Kecuali itu George: memutuskan untuk pergi ke Vancouver, Washington, karena menurut keterangan, orang-orang yang buru-buru hendak kawin biasanya lari ke Vancouver karena di sini peraturan-peraturan perkawinan lebih longgar.
Penelitian dokumen-dokumen pada Kantor Urusan Tanah di Portland membawa hasil. Untuk pertama kali selama penyelidikan, George menemukan jejak nyata dari adiknya. Sebuah naskah pada arsip Kantor Urusan Tanah itu menyebutkan bahwa Alma Nesbitt memindahkan penguasaan tanahnya seluas 160 acres kepada Norman Williams pada tanggal 17 Maret 1900.
Nesbitt mempelajari naskah itu dengan seksama. Lalu ia menyatakan kesimpulannya kepada pejabat Kantor Urusan Tanah. Katanya: “Jelas bahwa dalam dokumen ini nama adik saya dipalsukan”. Menanggapi pernyataan George ini, Kantor Urusan Tanah di Portland berjanji akan mengusut perkara itu.
Kini George mulai menaruh curiga terhadap Norman Williams. Jika Alma meninggalkan tanahnya di Hood River, memang logis bila ia menjualnya kepada tetangga terdekat, yaitu Williams. Tetapi mengapa pemalsuan di atas? Mengapa pula Williams, ketika disurati George, tidak menyebut-nyebut soal jual-beli tanah itu?
George melanjutkan penyelidikannya, kini di Vancouver. Ia membolak-balik halaman buku catatan perkawinan-perkawinan yang berlangsung di kota ini pada tahun 1900. Tak ditemukan nama Alma Nesbitt dan Fred Sturges, kaisar yang melarikan uang $ 3.000 tersebut di atas.
George kini menggali lebih jauh lagi, yaitu meneliti buku tahun 1899. Betapa ia terkejut ketika matanya tertumbuk pada nama pasangan yang menikah pada tanggal 25 Juli 1899, yaitu Alma Nesbitt dan Norman Williams, keduanya tercatat sebagai orang berasal dari Hood River, Oregon.
Tak pernah George menduga bahwa di samping jiwa perintis, masih ada motif lain yang menarik Alma untuk berpetualang di daerah barat, yaitu motif percintaan dengan Norman Williams yang memang telah dikenal oleh Alma sebelum gadis ini meninggalkan Harlan.
Rupanya Alma dan Williams menikah secara rahasia. Kini George lebih curiga lagi terhadap lelaki itu, yang menyembunyikan kedudukannya sebagai suami Alma dan mengatakan bahwa Alma barangkali lari dengan seorang pemuda dari The Dalles.
George memberitahukan penemuannya ini kepada kejaksaan The Dalles, yang berjanji akan mencari Norman Williams. Setelah Itu George menyewa kereta Stranahan (pemilik Fashion Livery Stables yang telah kita temui di atas) untuk mendjelajahi seluruh wilayah sekitar Hood River. Semua sahabat-sahabat dan kenalan-kenalan Alma maupun Williams ia tanya. Ternyata tak seorang pun tahu bahwa mereka telah menikah.
Di antara keterangan-keterangan yang berhasil dikumpulkannya ada satu yang berharga. Seorang petani bernama Harry Mead yang kenal akrab dengan Williams bercerita sebagai berikut.
Pada suatu hari ia mampir di Tanah Williams. Baru saja ia masuk rumah, turun hujan deras sekali. Mead memandang keluar dan melihat segunduk karung-karung berisi gandum milik Williams kehujanan. Buru-buru ia memberitahukan hal ini kepada Williams sambil menyatakan kesediaannya untuk membantu menyelamatkan gandum yang berharga itu.
Tetapi anehnya, Williams tidak mau, dan menjawab: “Jangan kau pusingkan itu gandum; mari kita minum kopi untuk menghangatkan tubuh. Belum pernah Mead melihat petani seceroboh Williams.
Aneh sekali tingkah laku Williams ini, pikir George. Sebab tidak benar apa yang dikatakan Harry Mead bahwa Williams seorang petani ceroboh. Bahkan sebaliknya, George selalu mengenal Williams sebagai petani yang rajin dan sangat cermat menjalankan usahanya. Perbuatan aneh seperti diceritakan oleh Harry Mead kiranya tidaklah tanpa sebab. Maka George mengaiak Harry Mead ke bekas rumah Williams. Berdua mereka naik kereta Stranahan pergi ke sana. Sampai tempat tujuan George minta ditunjukkan tempat karung-karung berisi gandum yang kehujanan itu. “Di sana”, kata Mead sambil menunjuk pada sebuah kandang ayam. “Cuma dulu kandang itu belum ada.”
Naluri George Nesbitt mengatakan bahwa tempat itu perlu digali. Selama satu jam George bekerja dibantu oleh Mead dan Stranahan, sampai sekopnya tertumbuk pada tanah keras. Satu-satunya benda yang mereka temukan adalah sebuah karung yang telah mulai membusuk. George mengamat-amatinya dengan teliti dan melihat bahwa pada karung itu terdapat noda-noda hitam.
Hari berikutnya, George menuju The Dalles sambil membawa karung itu. Benda ini ia serahkan kepada kejaksaan dan diterima oleh Jaksa Wilson.
Setelah mengamati baik-baik noda-noda pada karung tersebut Wilson berkata, bukan tidak mungkin noda-noda itu bekas darah. Lalu ia memutuskan untuk minta bantuan seorang ahli, nona Dr. Victoria Hampton.
Sementara itu jaksa Wilson mempunyai berita baik bagi George Nesbitt. Kini Norman Williams telah berhasil ditemukan tempat tinggalnya, ialah di Washington. Williams bahkan telah datang dengan sukarela ke The Dalles. “Anda akan segera saya pertemukan dengannya”, kata Wilson.
Pertemuan dan tanya jawab berlangsung di kantor kejaksaan, Williams perawakannya tinggi, rambutnya telah mulai memutih. Namun mukanya yang tampan, masih kelihatan muda sekalipun orang ini telah berumur 60 tahun. Dengan senyum penuh kehangatan ia menjabat tangan George Nesbitt.
Semua pertanyaan dijawab dengan lancar. Williams mengakui terus terang bahwa ia telah menikah dengan Alma. Tetapi atas kehendak Alma sendiri perkawinan itu ia rahasiakan. Dalam suratnya kepada George Nesbitt empat tahun yang lalu, ia tetap tidak menyebut-nyebut tentang perkawinannya dengan Alma. Sebab ia (Williams) ingin melindungi nama baik Alma yang menurut kabar mempunyai hubungan percintaan dengan seorang laki-laki bernama Fred dan bermaksud kawin dengannya.
Kini Norman Williams mengisahkan detail-detail tentang hubungannya dengan Alma sampai saat wanita ini hilang tanpa kabar.
Williams untuk akhir kali bertemu dengan Alma pada Tanggai 9 Maret 1900 (jadi sehari sebelum Alma menulis suratnya yang terakhir kepada George). Sebulan sebelum itu Alma menyatakan tak mau lagi berhubungan dengan Williams. Dengan ibunya wanita itu pergi ke Portland dan menyewa sebuah kamar losmen di sana.
Awal bulan Maret 1900 Alma kirim surat kepada Williams. Dalam surat itu ia menyatakan hendak kembali sebentar ke Hood River, yaitu pada tanggal 8 Maret untuk membicarakan beberapa persoalan dengan Williams.
Alma dan ibunya naik kereta api. Williams menjemputnya di stasiun Hood River dengan sebuah kereta yang disewanya dari the Fashion Livery Stable.
Sampai dirumah, Alma berbicara di bawah empat mata dengan Williams. Secara terus terang Alma menyatakan niatnya untuk menikah dengan Fred. Betapapun juga, ini adalah jalan yang sebaiknya untuk mereka berdua, Williams dan Alma.
Tetapi Alma ingin berpisah secara baik-baik dengan Williams. Maka wanita itu menyerahkan surat kuasa kepada Williams yang memberinya hak atas tanah miliknya.
Alma membuka rencananya selanjutnya. Katanya, ia bermaksud memulangkan ibunya ke Harlan, lowa. Tetapi ia, Alma sendiri, berniat pergi dengan Fred, entah ke mana.
Hari berikutnya Williams mengantarkan Alma dan ibunya ke stasiun Hood River, masih dengan kereta milik the Fashion Livery Stable. Sekian keterangan Williams tentang Alma dan Mrs. Nesbitt.
Interogasi dilanjutkan. Ditanya tentang surat-kuasa dari Alma yang memberinya hak atas tanah wanita itu, Williams menjawab bahwa dokumen itu hilang.
Mengenai tanah di bawah kandang ayam yang jelas bekas galian, dan mengenai karung bernoda hitam yang ditemukan oleh George Nesbitt, Williams memberi keterangan berikut. Dalam musim dingin tahun 1899 ia bermaksud membuat gudang bawah tanah, tetapi setelah galian selesai, rencana ia urungkan. Sekitar waktu itu kuda betinanya melahirkan dan mengotori sebuah karung. Karung bernoda darah itu ia lempar kedalam lobang tersebut di atas. Setelah itu lobang ia timbuni tanah.
Keterangan-keterangan Williams semuanya cukup masuk akal. Siapa gerangan pemuda bernama Fred yang membawa lari Alma? Samakah ia dengan Fred Sturges, pegawai yang menggelapkan uang $ 3.000 dari perusahaannya? Jaksa Wilson berniat menyiarkan berita tentang Fred ini di surat kabar dengan harapan dapat menemukan orangnya.
George kini kembali ke Hood River, masih naik kereta Stranahan.
Dalam perjalanan ini Stranahan menyarankan kepada George untuk memeriksa catatan tentang sewa-menyewa kereta milik perusahaannya. Sebab menurut Williams, pada tanggal 8 Maret 1900 ia menyewa kereta milik perusahaan the Fashion Livery Stable. Pada tahun 1900 the Fashion Livery Stable belum dibeli oleh Stranahan dari pemiliknya terdahulu, yaitu Langille. Tetapi catatan sewa menyewa semuanya ada di kantor Stranahan.
Keterangan Williams ternyata benar. Kenyataan ini diperkuat lagi oleh Langille yang waktu itu kebetulan mampir di kantor Stranahan. Langille masih menambahkan keterangan: “Ketika Williams datang untuk menyewa kereta, ia bersama-sama dua orang wanita, yang satu tua yang lain muda dan sangat cantik. Tetapi hari berikutnya, tanggal 9 Maret, ketika mengembalikan kereta, Williams sendirian saja”.
Jadi Williams tidak bohong.
Ke mana ia mesti mencari sekarang — George bertanya-tanya setengah putus asa. Tiba-tiba ia teringat pada pertanyaan Williams bahwa ia (=Williams) pada tanggal 9 Maret mengantarkan Alma dan ibunya ke stasiun Hood River.
Seketika itu juga George memutuskan untuk menyurati Oregon Railway Company, Ia minta agar perusahaan ini mencek buku laporan lalu lintas kereta api yang berangkat dari Hood River tanggal 9 Maret 1900. Siapa tahu, barangkali karena sesuatu hal yang luar biasa sang kondektur di waktu itu melihat Alma dan Mrs. Nesbitt.
Sambil menunggu jawaban, George meneruskan penyelidikannya. Semua keterangan Williams ia cek kebenarannya melalui para tetangga dan kenalan-kenalannya.
Jerih payah, ketelitian dan kesabarannya tidak tanpa hasil. Dari seorang penggemar kuda yang kenal baik sekali dengan Williams, George mendapatkan kesaksian pasti tentang kud betina yang diceritakan Williams, “Itu satu-satunya kuda betina milik Williams”, katanya. “Kuda itu melahirkan pada saat sedang disewakan oleh Williams kepada sebuah perusahaan penggergaji kayu”.
“Jadi kuda itu tidak di rumah Williams tanya George, “Jelas tidak, sebab saya melihat sendiri kuda itu melahirkan. Saya ingat betul karena pada waktu itu Williams merasa sangat kasihan pada kudanya, hingga ia mengatakan tak mau memiara kuda betina lagi. Kuda dan anaknya segera ia jual”.
Seorang kenalan lain mengisahkan, bahwa segera setelah» Alma dan Mrs Nesbitt pergi, Williams membuat onggokan kayu bakar. Onggokan yang tinggi sekali itu ia bakar, entah untuk apa.
Lalu datang jawaban dari Oregon Railway Company. Bunyi jawaban itu: Pada tanggal 9 Maret 1900 jelas tidak ada kereta api yang berangkat dari stasiun Hood River. Sebab mulai tanggal itu selama satu minggu lebih rel kereta api pada rute tersebut rusak akibat banjir besar. Sementara itu baik dari pengakuan Williams sendiri maupun dari kesaksian Langille, tak dapat diragukan bahwa tanggai 8 Maret Williams naik kereta bersama Alma dan Mrs. Nesbitt menuju rumahnya.
Cerita Williams menjadi makin lemah dengan munculnya Fred Sturges. Secara sukarela Fred datang pada polisi dan mengakui terus terang bahwa ia memang menggelapkan uang $ 3.000 dari kantornya. Ia pun mengakui bahwa ia menikah dengan seorang gadis dari Hood River. Tetapi gadis itu bukanlah Alma Nesbitt. Selanjutnya Fred Sturges menyatakan bersedia mengganti uang yang telah ia gelapkan. Pernyataan Fred Sturges tak dapat diganggu gugat.
Kisah tentang percintaan Alma dengan seorang pemuda bernama Fred rupanya hanya isapan jempol.
Akhirnya datang kesaksian dari Dr. Victoria Hampton bahwa noda hitam pada karung yang ditemukan di bawah kandang ayam di halaman Williams, adalah noda darah manusia. Di samping noda darah, pada karung itu ditemukan pula beberapa helai rambut wanita.
Setelah terkumpul petunjuk yang cukup meyakinkan itu, Norman Williams ditahan. Rekonstruksi jalannya peristiwa seperti digambarkan oleh jaksa Wilson adalah sebagai berikut.
Setelah menikah secara diam-diam pada pertengahan tahun 1899, hubungan antara Williams dan Alma menjadi retak pada bulan Februari 1900. Inilah sebabnya mengapa Alma dan Mrs. Nesbitt pindah ke Portland.
Beberapa kali Williams mengunjungi Alma untuk memintanya agar mau kembali mengurungkan niatnya pulang ke lowa. Entah bagaimana, Williams berhasil meyakinkan Alma dan ibunya agar mau mengunjunginya di Hood River. Alma dan ibunya tiba di stasiun Hood River tanggal 8 Maret 1900, dijemput oleh Williams dan dibawa pulang ke rumahnya. Di sana mereka dibunuh oleh Williams.
Mayatnya dikubur di halaman rumahnya. .Untuk menyembunyikan kuburan itu, Williams menaruh karung-karung gandum di atasnya. Kemudian timbul gagasan, bahwa cara yang paling aman untuk menghilangkan bekas-bekas kejahatan, ialah dengan membakar mayat para korban. Maka mayat ia gali lagi dan ia bakar dengan api unggun besar.
Setelah itu bekas kuburan ia timbuni lagi dengan tanah. Untuk menghilangkan segala jejak, di atas bekas kuburan itu ia bangun sebuah kandang ayam.
Hasrat merebut tanah milik Alma, tampaknya bukan motif yang meyakinkan untuk menerangkan pembunuhan ini. Sebab bukankah Williams sebagai suami yang sah, berhak atas harta istrinya jika yang terakhir ini meninggal? Demikian pula sebaliknya?
Ada motif lain yang lebih masuk akal. Yaitu ternyata bahwa Norman Williams sudah beristri ketika menikah dengan Alma. Istri pertama itu datang melapor ketika mendengar bahwa Norman Williams ditangkap. Ia memperlihatkan surat nikahnya dengan Norman Williams tertanggal 29 Nopember 1898.
“Beberapa bulan setelah menikah, kami berpisah. Bulan Januari 1900 saya sakit dan memerlukan uang. Maka saya menyurati Williams untuk minta kembali uang yang pernah saja pinjamkan kepadanya. Pada alamat pengirim, saya cantumkan nama saya sebagai Mrs. Althea Williams”.
“Sepuluh hari kemudian, saya menerima surat dari seorang wanita bernama Alma Nesbitt, yang menanyakan bagaimana hubungan sebenarnya antara saya dengan Norman Williams. Saya tulis kembali, bahwa saya adalah istrinya”.
Kenyataan bahwa Williams sebenarnya telah kawin, rupanya meretakkan hubungan antara Alma dan Williams. Akibatnya, Alma meninggalkan Williams, barangkali sambil mengancam akan membeberkan seluruh tindakan Williams kepada istrinya yang sah. Atau barangkali Alma mengancam akan melaporkan kepada polisi bahwa Williams melakukan bigami. Dengan membunuh Alma, Williams dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan sekaligus dapat menguasai tanah milik wanita itu.
Gambaran itulah yang disajikan oleh Jaksa Wilson ketika ia tampil di depan sidang yang mengadili perkara Williams pada tanggal 25 April 1904. Bukti berupa mayat para korban tidak ada. Tetapi keseluruhan keterangan sekitar hilangnya Miss Nesbitt dan ibunya, kesemuanya menunjuk Norman Williams sebagai pembunuhnya — sekalipun Williams tetap tidak mengaku.
Sementara itu yang paling mengesankan adalah kesaksian sarjana wanita, Dr. Victoria Hampton. Juri menyatakan Williams bersalah dan hakim Bradshaw menjatuhkan hukuman mati.
Setelah permintaan banding yang diajukannya tak terkabul, Norman Williams menjalani hukuman gantung pada tanggal 21 Juli tahun 1905.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Pembunuhnya Jadi Korban Ketiga
" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835245/george-nesbitt-detektif-awam-cemerlang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169905000) } } [8]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835240" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/86-lubang-kubur-yang-setengah-se-20230804052409.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Sheriff Gould mengenal Emma Orr sejak kecil dan melihat aneka kontroversinya. Emma yang tertekan oleh sikap masyarakat tiba-tiba menghilang." ["section"]=> object(stdClass)#152 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/86-lubang-kubur-yang-setengah-se-20230804052409.jpg" ["title"]=> string(34) "Lubang Kubur yang Setengah Selesai" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:24:21" ["content"]=> string(22074) "
Intisari Plus - Sheriff Gould mengenal Emma Orr sejak kecil dan melihat aneka kontroversi dalam hidupnya. Emma yang merasa terisolasi dan tertekan oleh sikap masyarakat sekitarnya tiba-tiba menghilang tanpa pamit.
----------
Sudah sejak kecil Sheriff Gould mengenal Emma Orr, yang seperti dia sendiri adalah penduduk asli Waterloo County, Ontario, Canada. Sebagai gadis cilik umur kira-kira dua belasan tahun, Emma sangat genit dan terkenal sebagai “boy-crazy”— gila anak lelaki. Waktu itu tubuhnya masih kecil kurus, rambutnya masih dikepang dengan pita di ujungnya, tetapi matanya yang biru-sayu, seketika menyala bila melihat seorang pemuda.
Umur 20 tahun Emma membuat orang tuanya, Mr. dan Mrs. Borland, sangat cemas karena kelakuannya. Siapa mau menikah gadis semacam dia yang tiap kali berganti pacar dan terkenal kelewat bebas dalam pergaulan dengan kaum lelaki?
Tetapi kecemasan Borland dan istrinya agaknya berlebih-lebihan. Umur 21 tahun Emma dipersunting sebagai istri oleh John Arnott, seorang pedagang kaya yang karena terpesona oleh kecantikan Emma, tidak memusingkan omongan orang tentang gadis itu. Perkawinan ini hanya berlangsung dua tahun karena Mr. John meninggal.
Emma sebagai janda menjadi percakapan dan cemoohan orang karena kejalangannya. Akan tetapi akhirnya ia toh mendapat lagi seorang suami yang baik, namanya Anthony Orr, seorang petani di Galt.
Keluarga Orr terpandang di Waterloo County, baik karena kekayaannya maupun karena posisi pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat setempat. Sejak menjadi istri Tony Orr, Emma ikut menikmati kedudukan terhormat itu. Para istri baik-baik yang dulu buang muka jika berpapasan dengan Emma, kini mau tak mau terpaksa memperlakukan Nyonya Orr dengan sopan santun.
Sepuluh tahun berlalu dan Emma tampaknya dapat berubah menjadi seorang istri yang baik. Tetapi tiba-tiba kejalangannya “meledak” lagi. Pada suatu hari Sheriff Gould berpapasan dengan Tony Orr yang kelihatan sedih. Ketika ditanya, Tony berterus terang kepada Gould. Katanya: “Emma melarikan diri dengan Tim Mulholland, pembantuku!”
Selama beberapa bulan Emma menjalin hubungan gelap dengan lelaki itu yang bekerja pada usaha pertanian suaminya.
Ketika itu Gould menyarankan kepada sahabatnya untuk menceraikan saja Emma, tetapi saran ini ditolak. Tony tahu bahwa Emma dan Tim Mulholland melarikan diri ke Air Terjun Niagara. Tony mencarinya di sana setelah menemukannya. ia berhasil membujuk istrinya untuk mau kembali ke Galt, sambil berjanji tidak akan mengutik-ngutik perzinahan ini. Tony rupanya sangat mencintai istrinya dengan hati yang luas dan lapang.
Emma pulang dan kehidupan suami-istri Orr di tanah pertanian di Galt berlangsung terus seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sebagai pengganti Tim Mulholland yang bertubuh tegap dan tampan, kini Tony mempekerjakan seorang pemuda umur 19 tahun, Jim Allison, yang menurut perhitungan tak mungkin akan merupakan godaan bagi Emma. Jim Allison badannya kurus, sakit-sakitan dan mukanya bopeng.
Dua tahun berlalu dan selama itu Tony, Emma dan Jim Allison hidup dalam keadaan rukun damai. Tony menepati janjinya untuk tidak menyinggung-nyinggung soal penyelewengan istrinya. Tetapi tentu saja para tetangga toh mengetahuinya juga. Kini nama Emma sudah menjadi cemar sama sekali di mata mereka. Hal ini sangat terasa dalam pergaulan. Emma selalu menjumpai sikap dingin dari kenalan-kenalannya yang bahkan tampak berusaha menghindarinya.
Hal ini membuat Emma menderita. Pernah ia mengatakan kepada suaminya, bahwa ia tak akan kuat menghadapi lingkungan yang demikian. Dan ucapan inilah yang membuat Tony sangat prihatin ketika pada tanggal 8 Agustus 1897, suatu hari Minggu, Emma pergi dari rumah tanpa berpamitan. Hari berikutnya Tony segera lapor Kepala Sheriff Gould.
“Kemarin pagi kira-kira jam 7 saya dan Jim pergi dari rumah. Saya untuk mengantarkan beberapa ekor babi yang dipesan oleh seorang langganan sedangkan Jim harus membawa dua ekor lembu ke rumah seorang kenalan untuk dikawinkan. Emma tinggal di rumah seorang diri. Saya dan Jim sampai di rumah hampir pada waktu yang bersamaan. Jim lebih dulu beberapa menit. Ketika itu Emma sudah tidak ada. Kami cari ke mana-mana sampai sore tidak ketemu”, demikian laporan Tony.
Selanjutnya Tony menyatakan bahwa tak mustahil istrinya lari lagi dengan seorang kekasih seperti dua tahun yang lalu. Tapi anehnya Emma pergi tanpa membawa pakaiannya kecuali yang tertempel pada tubuhnya. Tony takut kalau istrinya bunuh diri. Sebab selama minggu-minggu terakhir — demikian Tony — Emma seringkali mengeluh karena diemohi oleh bekas sahabat-sahabat dan kenalan-kenalannya. Ia merasa terkucil dan tertekan jiwanya. Dua hari yang lalu Emma berkata kepada Tony, lebih baik ia meninggalkan Galt daripada 'hidup begitu terus menerus.
Sheriff Gould segera melakukan penyelidikan. Pertama-tama ia menginterviu Jim Allison yang ia panggil datang ke kantornya.
“Jim, aku ingin bicara dengan kamu secara pribadi" kata Gould. “Apakah Emma mempunyai sahabat laki-laki di luar pengetahuan suaminya?”
Setelah ragu-ragu sejenak, Jim bercerita; “Ya, dua orang. Mrs. Orr minta kepada saya untuk merahasiakan hal ini. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang, saya merasa wajib buka mulut. Dua orang lelaki itu ialah Weldon Trevelyan dan Harry Blair”.
Gould terkejut mendengar dua nama itu. Ia kenal secara pribadi dua orang tersebut. Yang pertama seorang mahasiswa kedokteran. masih bujangan. Yang kedua, Blair, pengusaha toko besi dan mesin pertanian. Blair sudah berkeluarga.
Setelah mendapatkan informasi ini Sheriff Gould pergi ke rumah Trevelyan yang ternyata sedang sakit. Weldon Trevelyan menyatakan telah beberapa hari tidak meninggalkan rumahnya. Sementara itu secara terus-terang ia mengakui bahwa ia sering berkencan dengan Emma Orr jika suaminya sedang bepergian. “Saya turut kehilangan wanita yang cantik dan penuh gairah itu”, Weldon menambahkan sambil tersenyum, seolah-olah untuk menguatkan pernyataannya bahwa ia mempunyai hubungan cinta dengan Emma.
Dari rumah Weldon, Gould menuju ke rumah Blair. Lelaki inipun secara terus terang mengakui hubungan gelapnya dengan Emma Orr. “Emma hilang? Ya Tuhan! Mudah-mudahan tak terjadi apa2 dengannya. Baru kemarin saya pergi ke rumahnya karena tahu bahwa Tony sedang bepergian. Tetapi Emma tidak di rumah”.
“Jam berapa Anda pergi ke rumah Tony kemarin?”, tanya Gould.
Pada saat itu Gould yang memandang sekeliling kamar, melihat koper Blair yang telah dipersiapkan. Dengan nada tajam Gould berkata kepada Blair: “Jika Emma melarikan diri ke satu tempat dan bersembunyi di sana, maka sebagai seorang sahabat saya ingin menasehati Anda, jangan sekali-kali berusaha menggabungkan diri dengannya. Masukkan lagi koper itu ke dalam almari!”
“Koper? Oh, Gould. Kebetulan hari ini saya mau bepergian, urusan dagang dan kemungkinan besar akan terpaksa menginap satu malam. Besok saya pasti kembali”. Blair menerangkan.
“Baik, saya anggap pernyataan Anda benar. Tetapi nasihat saya jangan keluar kota sebelum Emma ditemukan kembali”, Gould mengakhiri. Dari rumah Blair, Gould menuju ke rumah Orr.
Di sana ia disambut oleh Tony yang tampak makin cemas. Terjadi suatu hal yang aneh, Tony menemukan senapannya di sudut garasi keretanya. Padahal ia tidak merasa mengambil senjata tersebut dari tempatnya yang biasa serta menaruhnya di situ. Senjata itu senapan berburu, berlaras dua. Tony menemukannya tersandar pada dinding di sudut garasi, dan memperoleh kesan bahwa senjata tersebut dilempar di situ dengan tergesa-gesa. Jim Allison juga tak tahu bagaimana senapan itu sampai nyasar ke dalam garasi. Baik Tony dan Jim belum menyentuh senapan itu ketika Gould tiba.
Gould mengamat-amati senjata tersebut dan mencium bau keras mesiu. Senapan dibukanya dan Gould menemukan dua buah selongsong peluru. Dua-duanya lelah ditembakkan. Pada popor senapan berburu itu selanjutnya terlihat noda-noda darah yang baru saja mengering.
“Baru saja ditembakkan”, komentar Gould singkat, tanpa mau menyebut-nyebut soal darah pada popor senapan. Ia berpendapat bahwa belum waktunya mengarahkan perhatian Tony pada kemungkinan bahwa Emma telah menjadi korban pembunuhan.
“Tony, saya merasa perlu minta bantuan kepala detektif Kepolisian Ontario. la seorang yang cerdas dan berpengalaman. Namanya Johnny Murray. Saya ingin kirim telegram kepadanya, sekarang juga, dan sedapat mungkin menerima jawabannya hari ini. Dapatkah kau menyuruh Jim Allison ke kantor telegraf?"
“Lebih baik saya sendiri yang pergi ke kantor telegraf", jawab Tony. Gould menyambut baik usul ini. Sebab jika Tony tidak ada, ia akan lebih bebas mengadakan penyelidikan di rumah petani itu. Gould bermaksud mencari petunjuk-petunjuk tentang hubungan gelap Emma dengan para kekasihnya. Hal ini sulit dilakukan jika Tony ada. Sebab suami yang kelewat baik ini dan terlalu percaya kepada Emma itu, rupanya tidak menduga bahwa istrinya mempunyai paling sedikit dua orang kekasih. Gould takut kalau-kalau ia menyinggung perasaan Tony jika ia memperlihatkan dugaan ke arah ini.
Sementara Tony pergi mengantarkan telegram dan Jim Allison bekerja di gudang gandum serta melakukan tugasnya sehari-hari, Gould memeriksa semua kamar-kamar di rumah Tony. Terutama kamar tidur Emma ia selidiki baik-baik. Barangkali ia berhasil menemukan surat-surat cinta atau benda-benda lain yang mempunyai sangkut paut dengan menghilangnya Emma.
lapun mencari noda-noda darah serupa yang ia temukan pada popor senapan berburu. Tetapi penyelidikannya tidak menghasilkan kejelasan sedikitpun.
Matahari sudah hampir terbenam ketika Tony kembali dari kantor telegraf. “Telegram sudah saya kirimkan dan saya tadi menunggu sekaligus jawabannya”, kata Tony sambil menyerahkan sebuah sampul kepada Gould.
Dalam jawabannya, Murray mengatakan akan berangkat keesokan harinya dengan kereta api pertama dari Toronto. Kereta api itu akan tiba di stasiun Galt jam 9 pagi.
Gould menginap di rumah Orr, karena keesokan harinya ia bermaksud menjemput detektif Murray.
Malam itu Gould tak dapat tidur pulas. Pagi-pagi buta ia telah terbangun. Ketika itu kira-kira jam 4.30 pagi. Karena tak dapat tidur, Gould berdiri di depan jendela, memandang keluar. Dilihatnya cahaya remang-remang bergerak di tengah ladang. Barangkali orang membawa obor kecil, pikirnya. Tetapi tak lama kemudian, cahaya itu hilang. Gould berkesimpulan bahwa yang dilihatnya, hanyalah cahaya sejenis kunang-kunang. Sebab jam 4.30 memang masih terlalu pagi untuk pergi ke ladang.
Detektif Murray menepati janjinya. Tepat jam 9.00 pagi ia turun dari kereta api, disambut oleh sheriff Gould yang sudah siap menunggunya di stasiun.
Berdua mereka menuju ke kantor Gould. Disana Murray mendengarkan semua penjelasan dari rekannya. Lalu ia berkata
“Gould, saya berpendapat bahwa Blair harus diinterviu secara lebih cermat”.
Segera mereka menuju ke rumah Blair. Walaupun agak gugup, namun orang ini menyawab semua pertanyaan Murray dengan keterangan-keterangan yang tampaknya jujur.
Ketika didesak, apakah ia bisa memberikan waktu yang lebih jelas tentang kunjungannya ke rumah Orr pada hari Minggu pagi itu (Blair tadinya menyatakan bahwa kunjungan itu terjadi antara jam 9 dan jam 10 pagi), Blair menjawab sebagai berikut: “Ketika saya kembali dari rumah Emma, saya melewati sebuah gereja. Ketika itu ummat sedang keluar, kira-kira jam 10. Dari rumah Emma ke gereja kira-kira 10 menit naik kereta, Di rumah Emma saya memanggil-manggilnya selama kira-kira 10 menit. Jadi saya tiba di rumah Emma kira-kira jam 9.40 pagi.”
"Jam 7.30 Tuan ada di mana?”, tanya Murray. Dijawab, masih tidur dirumah.
Kini Murray dan Gould pergi kerumah Orr. Kebetulan baik Tony maupun Jim sedang pergi. Karena Gould telah menyelidiki seluruh isi rumah dan tidak menemukan petunjuk sedikitpun tentang kepergian Emma, maka Murray merasa tak perlu mengulangi penelitian di dalam rumah.
Dasar penalarannya sederhana. Dalam garasi kereta Orr ditemukan senapan bernoda darah. Andaikan Emma dibunuh dengan senjata itu, dapat dibayangkan dua kemungkinan Ia dibunuh di dalam atau di luar rumah. Di dalam tidak terdapat noda-noda darah sedikitpun. Kemungkinan Emma dibunuh di luar rumah.
Penyelidikan ia mulai dari dapur, antuk kemudian memeriksa halaman rumah. Sebentar saja penyelidikannya sudah berhasil. Ia menemukan noda-noda hitam di atas rumputan, beberapa meter dari rumah. Ternyata noda darah yang telah mengering.
Murray memanggil Gould dan berdua mereka meneliti tempat sekitar. Dan mereka menemukan noda-noda serupa sepanjang jalur yang berakhir pada pagar halaman. Di tempat itu pagar rusak dan berlobang. Rupanya dirusak oleh pembunuh untuk dapat menyeret korbannya keluar halaman.
Murray berkata: “Saya takut, kita tidak akan menemukan Mrs. Orr dalam keadaan hidup”. Setelah berkata demikian, anehnya, Murray tidak terus keluar halaman untuk menyusuri ke mana perginya noda-noda darah, tetapi malah kembali ke rumah.
Dari sana ia mengamati lagi jalannya noda-noda darah sampai pagar, lalu melepaskan pandangan ke daerah sekitar. Dilihatnya di luar halaman, di tengah ladang gandum, sekelompok pepohonan — tidak banyak jumlahnya, hanya barang empat lima batang.
“Biasanya tempat seperti itu menarik perhatian seorang pembunuh. Mari kita ke sana”. Murray mengajak Gould. Ternyata di bawah pohon itu mereka menemukan lobang yang baru saja digali, rupanya dimaksud untuk mengubur mayat, tetapi tidak cukup dalam, baru kira-kira setengah meter.
Murray lalu menjelajahi semak-semak sekitar. Tak jauh dari lobang, dilihatnya segunduk daun-daunan dan ranting-ranting kering. Disingkirkannya daun-daun dan ranting-ranting itu. Dan berakhirlah pencarian Emma Orr. Mayatnya ditemukan di situ dalam pakaian sehari-hari. Luka-luka pada tubuhnya memberi petunjuk bahwa Emma mati akibat tembakan paling sedikit satu kali.
“Rupanya pembunuh menyeret mayatnya kemari dengan maksud menguburnya di sini. Ia membuat lobang, barangkali tadi malam, tetapi tak berhasil menyelesaikannya. Saya menduga, nanti malam ia akan kembali lagi kemari untuk menyelcsaikan lobang ini”, kata detektif Murray.
Pada saat ini sheriff Gould teringat pada cahaya remang-remang yang dilihatnya semalam, ketika ia berdiri di depan jendela. Tak dapat disangsikan lagi, bahwa yang dilihatnya itu ialah cahaya lampu si penggali lubang kubur. Pengalaman semalam itu segera ia ceritakan kepada Murray.
Murray dan Gould memutuskan untuk merahasiakan penemuan mayat Emma dan membiarkannya tergeletak disitu di bawah daun-daunan seperti semula. Malam itu mereka akan melakukan pengintipan agar dapat menangkap basah si pembunuh.
Berdua mereka kembali ke rumah Tony Orr yang pada waktu itu belum juga pulang. Mereka menunggu sampai Tony kembali. Ketika itu telah sore. Tanpa menceritakan penemuan mereka hari itu, Murray dan Gould minta diri dengan janji keesokan harinya akan datang lagi.
Dugaan Murray tidak meleset sedikitpun ketika malam itu ia bersama Gould melakukan pengintipan dari sebuah tempat strategis yang memberi pandangan yang leluasa baik pada rumah Tony Orr maupun pada tempat mayat Emma disembunyikan. Kira-kira tengah malam mereka melihat cahaya lampu bergerak menuju ke tempat mayat. “Pasti bukan Tony Orr atau Jim Allison. Dari rumah Orr tak ada orang yang keluar", bisik Murray kepada rekannya.
Setelah cahaya lampu sampai di bawah kelompok pohon-pohonan yang menaungi lubang yang setengah jadi itu, kedua detektif merangkak mendekat. Terlihat sesosok tubuh. Sekalipun berada beberapa meter saya dari mangsanya, para detektif sabar menunggu sampai orang itu mulai meneruskan menggali lubang.
Pada saat itulah Murray dan Gould keluar dari tempat persembunyiannya sambil berteriak. Si penggali lubang yang disergap secara mendadak, terperanjat dan tak dapat berbuat apa-apa. Sekopnya jatuh dari tangannya dan ia berdiri seperti batu. Orang itu ternyata Alexander Allison, ayah Jim Allison.
Setelah sembuh dari kegugupannya, Alexander Allison bercerita. Pembunuh Emma Orr adalah anaknya sendiri, Jim Allison. Setelah melakukan pembunuhan, Jim tak punya waktu dan tidak memiliki keberanian untuk menyingkirkan mayat korbannya. Maka ia datang pada ayahnya, mengakui perbuatannya dan minta tolong ayahnya melenyapkan jejak-jejak Emma. Penggalian lubang ia mulai malam yang lalu dan kini ia bermaksud menyelesaikan lubang dan mengubur jenazah Emma disitu.
Seketika itu juga Murray dan Gould membawa Alexander Allison kerumah Orr. Tony dan Jim mereka bangunkan. Melihat ayahnya tertangkap basah, Jim Allison tak dapat berbuat lain kecuali mengakui kesalahannya.
Sambil menangis ia menceritakan terjadinya pembunuhan. “Emma main cinta dengan banyak lelaki. Dan saya berharap sekali waktu akan dapat bermesra-mesraan dengan Emma. Hari Minggu yang lalu saya mencoba mendekatinya. Pagi itu saya dan Tony meninggalkan rumah pada waktu yang hampir bersamaan. Tony mengantar beberapa ekor babi ke rumah seorang langganan. Saya membawa dua ekor lembu kerumah seorang sahabat untuk dikawinkan.”
“Saya berusaha kembali ke rumah sebelum Tony pulang. Dan ini berhasil, Emma saya jumpai berdiri di depan pintu dapur. Saya mengajaknya masuk rumah, tetapi ia menolak. Ia hanya menertawakan dan mencemoohkan saya sebagai anak kecil yang bermuka jelek.”
“Belahan gaun Emma di bagian dada tidak terkancing, dan di bawah gaun itu ia tidak memakai apa-apa. Saya tidak kuasa menahan nafsu. Emma saya sergap. Tetapi ia berhasil melepaskan diri. Ia marah-marah dan barkata, akan menceritakan semuanya kepada Tony, biar saya ditembak olehnya.”
“Mendengar ucapan ini, saya menjadi kalap. Saya lari masuk rumah, mengambil senapan berburu. Emma saya dorong ke luar dapur dan saya tembak di halaman rumah. Mayatnya saya seret keluar halaman. Kemudian senapan saya sembunyikan di garasi kereta. Ketika Tony pulang, saya katakan padanya bahwa saya baru beberapa menit sampai di rumah dan tidak tahu ke mana Emma pergi”, demikian Jim Allison mengakhiri pengakuannya.
Pada bulan Desember 1897 Jim Allison diajukan ke depan pengadilan atas tuduhan membunuh Emma Orr. Juri menyatakannya bersalah, dan hakim Meredith menjatuhkan hukuman mati di tiang gantung.
Hukuman ini dilaksanakan pada tanggal 4 Februari tahun berikutnya. Sebetulnya Alexander Allison pun dapat dituntut karena telah membantu anaknya, berusaha melenyapkan jejak-jejak pembunuhan. Tetapi tuntutan ini tak pernah diajukan. Mungkin pihak berwajib berpendapat bahwa mengubur anak kandungnya yang meninggal di atas tiang gantung, telah merupakan hukuman yang cukup berat bagi seorang ayah.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Apakah Dia Jack the Ripper?
" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835240/lubang-kubur-yang-setengah-selesai" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169861000) } } [9]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835219" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/rumah-mesum-di-fifteenth-street-20230804052307.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(125) "Seorang pengacara dan anggota Kongres mendapati istrinya selingkuh dengan seorang jaksa. Semua itu berawal dari sebuah surat." ["section"]=> object(stdClass)#156 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/rumah-mesum-di-fifteenth-street-20230804052307.jpg" ["title"]=> string(31) "Rumah Mesum di Fifteenth Street" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:23:29" ["content"]=> string(27200) "
Intisari Plus - Daniel E. Sickles, seorang pengacara dan anggota Kongres mendapati istrinya selingkuh dengan seorang jaksa. Semua itu berawal dari sebuah surat yang mengungkap perselingkuhannya.
----------
Dalam sejarah peradilan Amerika Serikat tercatat suatu perkara peradilan yang terkenal: perkara Key — Sickles. Masyarakat gempar ketika proses peradilan berlangsung dan akhirnya keputusan dijatuhkan. Kegemparan itu bukan saja karena dalam perkara pembunuhan ini terdakwa adalah seorang tokoh terkemuka — antara lain ia anggota Kongres, sahabat pribadi Presiden ke-15 Amerika Serikat James Buchanan, dan diplomat. Tetapi juga karena terdakwa itu kemudian dibebaskan walaupun jelas bahwa ia sengaja membunuh korbannya.
Bagi kita sekarang, sukar masuk akal pembebasan itu seperti akan kita lihat nanti. Tetapi perkara ini terjadi di Amerika lebih dari 100 tahun yang lalu. Kisahnya sebagai berikut.
Daniel E. Sickles sekitar tahun 1850 sedang menanjak karirnya. Ia terkenal di New York sebagai pengacara cemerlang dan duduk dalam badan legislatif serta dewan penasehat New York City. Ketika James Buchanan dikirim ke Inggris sebagai duta besar, ia memilih Sickles sebagai Sekretaris Pertamanya.
Berangkatlah mereka ke Inggris — Buchanan yang masih membujang seorang diri, sedangkan Sickles didampingi istrinya yang masih muda-belia dan belum lagi berumur 20 tahun, Teresa Bagioli. Teresa berdarah Italia. Ayahnya seorang maestro opera yang cukup terkenal di New York pada waktu itu.
Buchanan yang belum beristri memerlukan seorang wanita yang pada kesempatan-kesempatan resmi dapat bertindak sebagai nyonya rumah di Kedutaan Besar AS di London. Pilihannya jatuh pada Teresa walaupun wanita ini sebetulnya terlalu muda untuk tugas tersebut. Tetapi ternyata Teresa tidak mengecewakan. Tingkah lakunya serba luwes dan menawan hati. Dan Teresa cantik sekali — rambutnya hitam, mata biru, kulit kuning kecoklat-coklatan dan tubuh ramping penuh kewanitaan. Belum pernah diplomasi AS di Inggris begitu penuh semarak seperti waktu itu.
Tetapi Teresa mempunyai satu kelemahan, ialah terlalu suka menantang kejantanan dan luar biasa pandai bermain-main dengan lelaki. Dalam resepsi-resepsi di kedutaan dan upacara-upacara penandatanganan perjanjian-perjanjian resmi banyak diplomat jatuh hati pada Teresa. Tetapi selama di Inggris tak terjadi atau, sedikitnya tidak diketahui peristiwa-peristiwa yang mencemarkan namanya.
Ketika Buchanan kembali ke Amerika, Dan Sickles dan Teresa ikut pulang pula. Buchanan tak lama kemudian terpilih sebagai Presiden AS dan Sickles menjadi anggota Kongres dari New York. Tahun 1857 berlangsung inaugurasi Buchanan sebagai Presiden. Pada waktu itu juga Sickles bersama istrinya pindah ke Washington, menempati rumah mewah di Sixteenth Street.
Ketika itu Teresa yang 11 tahun lebih muda dari suaminya, berumur 21 tahun. Kewanitaannya makin matang sementara minatnya terhadap kaum laki-laki sedikit pun tak berkurang.
Salah satu di antara kenalan-kenalan pertama suami-istri Sickles sejak tinggal di Washington ialah Philip Barton Key, jaksa distrik Columbia. Umurnya 40 tahun, berperawakan tegap dan amat tampan. Ia sudah duda, anaknya 4 orang.
Tetapi kehadiran anak-anak ini baginya bukan penghalang untuk meneruskan kariernya sebagai hidung belang, di samping sebagai peminum dan penggemar sport naik kuda.
Sifatnya sebagai Don Juan terkenal diantara para suami yang selalu waspada terhadapnya. Sebagai pendatang baru, rupanya Sickles tidak mengetahui hal itu. Tanpa menaruh curiga ia menganggap Key sebagai salah seorang sahabat terbaik. Kerapkali lelaki itu berkunjung ke rumah Sickles di Sixteenth Street. Tidak hanya jika Sickles ada di rumah atau sedikitnya di dalam kota Washington, tetapi juga jika ia sebagai anggota Kongres sedang bertugas ke New York.
Pada awal tahun 1858, baru saja pulang dari perjalanan dinas, Sickles mendapat laporan dari seorang kenalan. Kenalan ini curiga terhadap Key yang dilihatnya bersama-sama dengan Mrs. Sickles keluar dari sebuah losmen, selagi Mr Sickles berada di New York.
Sickles marah sekali, tidak terhadap istrinya tetapi kepada pelapor yang bermaksud baik itu.
Sickles tahu betul bahwa istrinya genit dan bebas dalam pergaulan dengan lelaki tetapi sedikitpun tak pernah sangsi akan kesetiaannya Sampai di rumah Dan Sickles menceritakan “fitnah’’ yang didengarnya dari kenalan itu kepada Teresa.
Terasa mengakui terus terang bahwa ia memang ke sebuah losmen bersama Key tetapi hanya untuk makan malam.
“Sekali lagi, aku tak percaya omongan itu. Kamu istriku yang setia. Untuk menghindari percakapan orang, baiklah lain kali kau jangan keluar rumah dengan seorang lelaki jika saya sedang ke luar kota”.
Satu tahun berlalu tanpa Dan Sickles mendengar sesuatu yang mencemarkan nama istrinya. Sebagai anggota Kongres Sickles semakin tertelan oleh kegiatan-kegiatannya. Pada waktu itu memang banyak permasalahan, antara lain soal budak belian, soal hak-hak negara bagian, ancaman bahaya perang saudara. Untuk menjajaki pendapat para pemilih yang diwakilinya, Sickles semakin sering pergi ke New York dan menginap berhari-hari di sana.
Kamis tanggal 24 Februari 1859. Hari itu Sickles mengadakan jamuan malam di rumahnya di Sixteenth Street. Di antara para undangan tampak Philip Barton Key. teresa duduk di sampingnya tetapi ia tidak memberinya perhatian yang lebih besar dari yang diberikannya kepada tamu-tamu pria lain.
Menjelang akhir jamuan malam, seorang pelayan menyampaikan sepucuk surat kepada Dan Sickles. Tanpa membacanya — karena sedang asyik berbicara dengan para tamu — surat itu dimasukkannya ke dalam saku.
Baru tengah malam sebelum tidur, Dan Sickles ingat akan surat itu. Isinya ternyata menyangkut perzinaan istrinya. Penulis surat yang hanya membubuhkan inisial namanya, R.P.G., tidak ia kenal. Tetapi kali ini Dan Sickles rupanya percaya akan kebenaran laporan. Tangannya gemetar dan mukanya pucat ketika ia membaca baris-baris berikut yang rupanya ditulis oleh tangan wanita:
HON. DANIEL SICKLES
DEAR SIR,
Dengan hati sedih saya menyampaikan beberapa baris berikut ini kepada Anda. Tetapi saya merasa wajib melakukan itu. Tak sampai hati saya melihat Anda begitu dipermainkan.
Seorang bandot (kata ini boleh saya gunakan, karena ia sama sekali bukan seorang gentleman) bernama Philip Barton Key menyewa sebuah rumah seorang negro bernama John A. Gray di Fifteenth Street semata-mata sebagai tempat pertemuan antara dia dengan istri Anda. Ia menggantungkan seutas tali di jendela sebagai tanda untuk istri Anda, bahwa ia ada di dalam. Dan ia membiarkan pintu tak terkunci hingga istri Anda dapat masuk. Sungguh kata saya, ia menggauli istri Anda seperti Anda sendiri.
Inilah sekedar laporan saya. Terserah selanjutnya kepada Anda.
Hon Daniel Sickles
Dear Sir.
Keesokan harinya, Jumat tanggal 25 Februari, jam 9 pagi, Sickles ke Capitol. Ia mencari sahabat karibnya Woolridge, seorang pegawai Dewan Perwakilan dan memperlihatkan surat kaleng di atas kepadanya.
Sambil mencoba menenangkan, Woolridge menyatakan, bahwa beberapa bulan sebelumnya, ia memang pernah mendengar desas-desus tak baik tentang Key dan Teresa. Tetapi Woolridge tak mau memberitahu Sickles karena merasa belum pasti akan kebenaran percakapan orang itu. Takut meretakkan hubungan antara Sickles dan istrinya dengan berita yang belum pasti.
“Saya sendiri juga pernah mendengar informasi semacam. Tetapi saya waktu itu tolol. Tidak berterima kasih, tapi malahan mencaci-maki informan”, Sickles bergumam.
Akhirnya Dan Sickles minta kepada Woolridge untuk mengecek kebenaran surat R.P.G.
Hari berikutnya, Sabtu tanggal 26 Februari, Woolridge telah datang dengan hasil-hasil penyelidikannya.
Memang Philip Barton Key menyewa rumah di 15th Street sebagai tempat kencan dengan Teresa dan semata-mata untuk tujuan ini. Yang diperlengkapi dengan mebel dan peralatan-peralatan lain hanya sebuah kamar tidur. Biasanya Teresa datang ke situ menjelang sore. Datang pergi, mukanya selalu dikerudungi tetapi orang-orang sekitar toh mengenalinya.
Bukan saja orang-orang sekitar, tetapi pelayan-pelayan rumah Sickles sendiri mengetahui hubungan asmara antara Teresa dan Key.
Sebab Key berani datang di rumah Sickles dan bercumbuan dengan Teresa di situ. Bahkan pernah mereka berdua mengunci diri di kamar tidur — sementara para pelayan sambil menahan ketawa pasang telinga, untuk mendengarkan apa yang kiranya terjadi di dalam.
Key menyewa pula kamar di Cosmos Club yang terletak di seberang taman depan rumah Sickles. Dari sebuah jendela di Cosmos Club itu Key mempunyai pandangan pada rumah Sickles. Dari jendela itulah, dengan sebuah teropong jarak jauh yang biasa digunakan oleh penonton opera, Key mengamati pintu rumah Sickles. Begitu melihat Teresa keluar ke jalan, segera Key turun untuk menyertainya.
Kadang-kadang Key lewat di depan rumah Sickles dan mengangkat sapu tangannya naik turun tiga kali. Ini kode, bahwa ia sedang menuju ke rumah di 15th Street dan bahwa Teresa diharapkan segera menyusulnya ke sana.
Dengan hati yang patah Sickles terhuyung-huyung menyeret merah padam ia berkata dengan nada formal kepada istrinya: “Nyonya, silakan ke kamar nyonya sekarang ini juga!” Pucat dan ketakutan Teresa menuruti perintah suaminya tanpa membantah sedikitpun.
Kepada istrinya yang duduk gemetar di ujung ranjang, Sickles berkata: “Apakah ini mempunyai arti bagimu?” Bertanya demikian, Sickles menaik-turunkan saputangan tiga kali. “Atau ini: sebuah rumah di Fifteenth Street? Atau lagi ini: seutas tali yang tergantung dari jendela? Atau ini: seorang lelaki yang mengamati rumahku dengan teropong opera? Seorang lelaki bernama Philip Parton Key?”
Teresa memerah mukanya, kemudian pucat lesi. Ia meraih gelas meja dekat ranjang dan berusaha mengisinya dengan air dari sebuah kan. Tetapi pada saat itu tenaganya hilang. Gelas dan kan jatuh berdering di lantai dan Teresa jatuh terkulai di atas ranjang. Ia pingsan.
Sickles menyuruh seorang pelayan menolongnya. Setelah sadar kembali, Teresa mengakui semua penyelewengannya dengan Key. Ia mencoba meringankan kesalahannya dengan alasan bahwa tubuhnya mendambakan cinta tapi, sejak terpilih menjadi anggota Kongres, tampaknya Dan tak cukup waktu untuk memberinya kepuasan penuh-penuh. Sickles mendekat hendak menamparnya, tetapi akhirnya menahan diri.
“Pukullah! Pukul aku!”. Teresa menangis. “Aku sepantasnya kau pukuli”.
“Tidak”, kata Sickles. “Aku punya hukuman lain bagimu”. Duduklah di situ, pada mejamu, dan tulis semua kecemaranmu, sampai hal yang sekecil-kecilnya. Setelah itu kamu harus meninggalkan rumah ini dan kembali pada orang 'tuamu. Kamu bukan istriku lagi”.
Teresa menurut segala perintah itu. Dan Sickles menghendaki agar seorang pelayan menyaksikan (dari jauh, tapi masih melihat jelas) Teresa menulis pengakuannya. Ini ia maksud sebagai saksi, bahwa Teresa membuat pengakuannya tanpa paksaan apapun, apalagi siksaan.
Dokumen pengakuan Teresa masih tersimpan seperti adanya. Di dalamnya tercermin keadaan mental penulisnya yang tercekam ketakutan. Di sana-sini isinya meloncat-loncat, ditulis dengan gaya telegram. Dengan beberapa kutipan lengkap, inti pengakuan itu sebagai berikut.
Teresa mengakui sering ke rumah di 15th Street dengan Mr. Key, entah berapa kali. Rumah itu kosong, tak ada makanan ataupun minuman. Kamar dihangatkan dengan tungku api.
“Mulai ke sana akhir Januari. Di sana berduaan dengan Mr. Key. Biasanya di sana satu jam atau lebih. Di tingkat dua ada ranjang. Saya melakukan yang biasa diperbuat perempuan jahat. Keintiman mulai dimusim dingin, ketika saya datang dari New York… Bertemu 12 kali atau lebih, pada jam-jam yang berlainan”.
Lalu Teresa menceritakan hubungannya yang terakhir. “Rabu yang lalu ke sana, antara jam 2 dan 3. Saya bertemu dengan Mr. Key di 15th Street. Masuk lewat pintu belakang. Masuk ke kamar tidur yang sama, dan di sana omong-omong secara tak pantas. Saya menanggalkan pakaian. Mr. Key jtiga menanggalkan pakaian. Ini terjadi hari Rabu, 23 Februari 1859.”
“Mr. Key pernah mencium saya di rumah, ini beberapa kali. Saya tidak menyangkal bahwa kami pernah berhubungan di rumah ini (musim sergi setahun yang lalu, di ruang tamu di atas sofa. Mr. Sickles kadang-kadang keluar kota dan kadang-kadang di Capitol. Saya kira hubungan intim mulai bulan April atau Mei 1858”.
Demikian seterusnya, pengakuan itu melukiskan secara mendetail pakaian yang ia kenakan pada waktu-waktu mengunjungi Mr. Key. Mr. Key pernah menggunakan kendaraan Mr. Sickles. Pernah mampir di rumah Mr. Sickles tanpa sepengetahuan yang akhir ini dan itu terjadi setelah Mr. Sickles memperingatkan Teresa jangan menerima Key atau pergi berduaan dengannya jika Mr. Sickles tak ada di rumah.
“Ini pengakuan sesuai kenyataan, saya tulis sendiri tanpa paksaan Mr. Sickles, tanpa pengampunan atau hadiah, dan tanpa ancaman darinya. Ini saya tulis di kamar tidur saya, dengan pintu terbuka dan pelayan saya menyaksikan dari luar kamar.”
Teresa Bagioli Washington, D.C, 26 Februari, 1859.
Selesai menulis pengakuannya, sore itu juga Teresa meninggalkan rumah dan pulang ke New York, sesuai dengan perintah Sickles.
Malam itu Sickles seorang diri di rumah. Tapi hari berikutnya, atas undangannya, dua orang sahabat karib mendatanginya di rumah Minggu 27 Februari. Kedua sahabat itu jalah Woolridge yang telah kita temui di atas, dan seorang politikus bernama Butterworth. Bertiga mereka duduk di bibliotik Mr. Sickles yang memberi pandangan ke jalan di luar.
Sickles membuka hatinya. Ia merasa seluruh hidup dan kariernya hancur karena kelakuan istrinya. Tapi Butterworth menyatakan sama sekali tak pernah mendengar tentang penyelewengan Teresa.
Ia menasehatkan kepada Sickles untuk menjaga jangan sampai berita yang mencemarkan nama keluarga Sickles ini tersiar di kalangan luas, apalagi di New York mengingat bahwa Sickles adalah anggota Kongres dari kota ini. Woolridge pun sependapat dengan Butterworth.
Selama pembicaraan ini Sickles memandang ke luar jendela. Tiba-tiba ia bangkit dari kursinya, sambil menunjuk ke arah luar dengan tangan gemetar. Ternyata di jalan di depan rumah tanpa Philip Burton Key sedang berjalan mondar-mandir sambil mengeluarkan sapu tangannya dan mengangkat benda ini naik turun tiga kali. Kode rahasia bagi Teresa.
Rupanya Key tidak tahu bahwa asmaranya dengan Teresa telah diketahui oleh Sickles apalagi bahwa sang kekasih sudah diusir keluar kota oleh suaminya. “Lihat, bangsat itu!” Sickles berteriak. “Ya, Tuhan, ini sungguh menjijikan!”
Apa yang terjadi dikemudian, tak begitu jelas karena para saksi, terutama Woolridge dan Butterworth, tak banyak memberikan keterangan. Entah karena mereka tak mau memberikan kesaksian-kesaksian yang memberatkan Sickles, entah karena takut tersangkut-sangkut dalam perkaranya.
Bagaimanapun juga, menurut rekonstruksi berdasarkan keterangan-keterangan yang ada, pada garis besarnya urutan kejadian adalah sebagai berikut.
Setelah melihat Key mondar-mandir, Sickles tiba-tiba berdiri dan meninggalkan ruangan bibliotik. Sesaat kemudian ia muncul lagi dan telah mengenakan mantel tebal walaupun bulan Februari itu hawanya tidak begitu dingin. Katanya ia mau ke Cosmos Club sebentar. Bersama Sickles, kedua tamunya pun tentu saja pergi pula.
Sickles menemui Key dan berteriak mengguntur: “Key, bangsat kau. Kamu telah mencemarkan rumahku kau harus mati!” Pada saat itu juga Sickles merogoh saku mantolnya lalu menodongkan pistol Colt. Ia menembak Key dan melukainya ringan, Sickles mencoba menembak lagi, tapi pistolnya macet.
Beberapa orang di antaranya Butterworth dan Woolridge, melihat kejadian ini dari kejauhan, tetapi tak ada yang turun tangan. Menurut sementara saksi, Key setelah terluka, bergumul dengan Sickles dan memukul kepala penyerangnya dengan teropong.
Bahwa Key bersembunyi di belakang sebuah pohon dan melempar Sickles dengan teropongnya. Bagaimanapun juga, Sickles menembak lagi Key, kali ini dengan pistol kecil yang dikeluarkan dari sakunya yang lain. Key terkapar di tanah. Kemudian Sickles menempelkan moncong senjatanya pada kepala korbannya. Sekali lagi Sickles berteriak: “Key, kau telah mencemari rumahku kau harus mati”.
Key berusaha bangkit meminta-minta jangan ditembak. Tapi Sickles tak menghiraukannya. Pelatuk pestol ditariknya dan Key terdiam dan tak berkutik lagi. Ia diangkut ke Cosmos Club dan meninggal setengah jam kemudian.
Sickles sementara itu dengan tenang kembali ke rumahnya, mencuci tangannya lalu menyerahkan diri kepada Jaksa Agung Amerika Serikat. Dengan perasaan enggan, Jaksa Agung memerintahkan agar Sickles dipenjarakan. Tetapi cara-cara penahanan anggota Kongres ini sangat lunak. Ia tak dimasukkan ke dalam sel, tapi mendapat kamar yang bagus di markas penjaga penjara. Para anggota kabinet banyak yang menjenguknya di situ. Presiden Buchanan sendiri tidak mengunjunginya di penjara, tetapi menghiburnya dengan sepucuk surat.
Sidang yang mengadili perkara Sickles membuat para wartawan bahagia, karena koran mereka akan sangat laku, tetapi menempatkan para petugas pengadilan pada posisi yang sulit.
Jaksa Robert Ould misalnya, yang bertindak sebagai penuntut menghadapi kesulitan berikut. Ia adalah pengganti almarhum Philip Barton Key sebagai jaksa distrik Columbia. Jika ia mengajukan tuntutan keras, namanya akan hancur di mata Partai Demokrat yang pada waktu itu sedang berkuasa dan dalam mana Ould tergabung. Tapi jika tuntutannyai tidak keras, ia akan dikecam sebagai penegak hukum yang lemah. Dengan hati-hati sekali ia memilih jalan tengah, Rekwisitoarnya mantap, tetapi pada akhirnya ia toh minta agar tertuduh dibebaskan.
Proses dimulai pada tanggal 4 April 1859 dan berlangsung selama 3 minggu. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk menyeleksi juri. Sickles dibela oleh 3 orang advokat terkemuka, satu di antaranya Edward M. Stanton, tahun berikutnya akan terpilih menjadi Jaksa Agung dibawah Presiden Buchanan dan pada tahun 1862 akan menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet Lincoln.
Dalam pembelaan para pengacara terus terang mengakui bahwa klien mereka telah membunuh Key, tetapi mereka mengemukakan bahwa Sickles layak berbuat demikian karena Key memperdayakan Teresa kedalam perzinahan dengannya.
Para pembela menyebut “hukum tak tertulis” dan ini terjadi untuk pertama kali di Amerika dalam suatu perkara yang menarik perhatian seluruh negara. Seorang suami demikian kata mereka mempunyai hak untuk membunuh seorang lelaki yang kedapatan berzina dengan istrinya. Suatu pendapat yang aneh bagi pengertian hukum kita yang hidup di abad 20. Para pembela bahkan sampai mengemukakan keyakinan mereka, bahwa pembunuhan dengan alasan seperti itu tidak hanya dibenarkan kalau sang suami menangkap basah lelaki itu pada saat sedang berzina dengan istrinya, tetapi juga tanpa menangkap basah. Yang pokok bukanlah bagaimana cara memergok, tetapi kenyataan bahwa orang itu sungguh-sungguh telah berzina dengan istrinya. Dan kesaksian-kesaksian bahwa Key telah berzina dengan Teresa memang melimpah.
Alasan kedua yang diajukan para pembela ialah bahwa Sickles “sedang dalam keadaan gila” pada waktu membunuh korbannya. Alasan seperti ini di zaman kita kerap kali dilontarkan di ruang pengadilan, tetapi di Amerika sebelum proses Sickles belum pernah diajukan. Jaksa Ould mencoba menangkis alasan ini, tapi tanpa banyak hasil. Sejumlah sahabat dan kenalan Sickles memberi kesaksian tentang keadaannya “seperti orang linglung” (“aberrated”) setelah membaca surat kaleng dari R.P.G. tersebut diatas. “Ia berbuat seperti orang gila”, demikian pernyataan seorang saksi dibawah sumpah, “Saya takut kalau-kalau ia menjadi gila untuk selama-lamanya”, kata seorang lagi.
Sebelas di antara 12 juri sudah dapat menentukan sikap selagi mereka masih duduk di ruang pengadilan. Hanya seorang yang lebih dari satu jam lamanya tetap ragu-ragu. Anggota juri yang saleh ini berlutut di sudut ruang sidang juri dan berdoa mohon bimbingan Tuhan dalam perkara ini. Dan akhirnya ia berdiri dan menjatuhkan keputusan yang sama dengan pendapat rekan-rekannya “Tidak bersalah”.
Sorak sorai meledak ketika keputusan ini diumumkan dan Hakim Crawford membebaskan Sickles dari tahanan. Oleh para sahabatnya Sickles segera, dipikul di atas pundak dan dibawa keluar gedung pengadilan.
Di jalan para sahabat itu berdansa dan menari-nari, melepaskan kuda dari kereta Sickles dani menarik sendiri kendaraan itu. Sickles diarak ke rumahnya seperti seorang pahlawan. Menjadi lebih populer lagi nama Sickles ketika pada bulan Juli 1859 ia menerima lagi Teresa sebagai istrinya. Kepada orang-orang yang mengecam tindakannya ini, Sickles berkata: “Sepanjang pengetahuan saya tidak ada pasal atau ranya. Ada pula yang mengatakan kode moral yang menyatakan bahwa mengampuni seorang wanita adalah perbuatan hina”.
Teresa meninggal beberapa tahun kemudian. Sementara itu suaminya menjadi anggota Kongres sampai tahun 1861. Ketika Perang Saudara pecah, Sickles kembali ke New York untuk menyusun pasukan ”Excelsior Brigade”. la mula-mula mendapat pangkat kolonel dalam Union Army, kemudian naik menjadi Brigadir Jendral dan pada tahun 1863 ia menjadi Mayor Jendral. Dalam salah satu pertempuran yang ia pimpin, separuh dari anak buahnya tewas sedangkan ia sendiri kehilangan salah satu kakinya yang terpaksa dipotong setelah terluka oleh ledakan granat.
Karier Sickles sebagai tentara berakhir di sini. Setelah itu pada tahun 1865 ia dikirim oleh pemerintah A.S. dengan suatu tugas rahasia ke Amerika Latin. Tahun 1869 ia ditunjuk sebagai Duta besar untuk Spanyol.
Sebagai seorang diplomat Sickles tidak berhasil sedangkan dalam kehidupan pribadinya ia ternyata tak tahu diri. Di bidang kehidupan seks ia tidak lebih saleh dari pada almarhum Philip Burton Key. Selama tahun pertama kediamannya di Madrid, Sickles mempunyai seorang kekasih ternama, yaitu Ratu Elisabeth II sendiri hingga beberapa waktu diplomat AS itu di Eropa terkenal sebagai ”Le Roi Americain de l Espagne” (Raja Amerika di tahta Spanyol). Tahun 1870 Isabella meninggalkan suaminya dan merelakan tahtanya kepada puteranya, Alphonso XII.
Sickles tetap menjabat Duta besar AS untuk Spanyol sampai tahun 1873. Sementara itu pada tahun 1871 ia menikah dengan seorang wanita dari lingkungan istana Sepanyol, Senorit Carmina Creagh.
Sekembalinya ke negaranya, Sickles beberapa tahun menjadi ketua Panitia Monumen-monumen AS dan tahun 1890 menjadi anggota Kongres lagi. Selama tahun-tahun terakhir hidupnya Sickles terus menerus mengalami kesulitan keuangan. la meninggal pada tahun 1914 pada usia 89 tahun.
(Bahan dari: Secret of the House on Fifteenth Street, tulisan Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Kekasihnya Tewas di Jalanan
" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835219/rumah-mesum-di-fifteenth-street" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169809000) } } [10]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799227" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/16-perkara-pembunuhan-wanita-boh-20230728054230.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Pernikahan Dokter Crippen dengan istrinya tidak bahagia. Suatu hari, ia dikabarkan pergi ke Amerika dan tidak pernah terdengar kabar beritanya." ["section"]=> object(stdClass)#160 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/16-perkara-pembunuhan-wanita-boh-20230728054230.jpg" ["title"]=> string(47) "Perkara Pembunuhan Wanita Bohemian Belle Elmore" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:42:38" ["content"]=> string(33565) "
Intisari Plus - Pernikahan Dokter Crippen dengan istrinya tidak bahagia. Selain selingkuh, Belle Elmore pun kerap bersikap kasar pada sang suami. Suatu hari, ia dikabarkan pergi ke Amerika dan tidak pernah terdengar kabar beritanya.
----------
TVRI pernah menyajikan sebuah film dengan tema perkara kriminal yang berjudul Dokter Crippen. Lelaki ini membunuh istrinya sendiri, Belle Elmore. Ia kemudian menjalin hubungan asmara dengan sekretarisnya. Kisah penangkapannya cukup menegangkan. Pengejaran dilakukan dengan mengerahkan alat-alat modern di waktu itu untuk bisa menahan tersangka yang sudah melarikan diri dari London menuju Kanada.
Cerita di film itu bukan khayalan. Perkara Dokter Crippen termasuk salah satu yang paling sensasional di awal abad ke-20. Bukan hanya karena alasan di atas, tapi terutama karena watak Crippen sendiri. “Wataknya adalah suatu yang masih belum bisa dimengerti sepenuhnya, juga oleh pengetahuan ilmu jiwa dewasa ini,” tulis Robin Squire dalam bukunya Classic Murders (terbitan tahun 1970).
Juga bagi mereka yang telah menyaksikan pemutaran filmnya oleh TVRI, kisah Dokter Crippen tetap menarik karena berbagai segi kehidupannya tidak terungkap dalam film tersebut.
Dokter yang pendiam, selalu mengalah, dan memperhatikan istrinya itu, tampaknya penuh kontradiksi. Dari satu sisi, perbuatan Dokter Crippen menurut anggapan umum sungguh tidak berperikemanusiaan. Terutama caranya melenyapkan mayat istrinya. Namun di sisi lain, lelaki yang serba tenang dan penuh perasaan itu, menurut berbagai kesaksian sama sekali bukan tipe orang yang tega menyakiti. Apalagi membunuh. Munculnya rasa simpati dan keharuan tidak bisa dihindari setelah melihat kemesraan cinta Dokter Crippen terhadap kekasihnya. Rasa cinta itu ditunjukkan sampai saat terakhir ia akan menghadapi hukuman mati.
Terlepas dari latar belakang dan motifnya, pembunuhan Belle Elmore oleh suaminya tidak menunjukkan sesuatu keistimewaan. Pembunuhan terjadi pada awal bulan Februari 1910. Untuk menyingkirkan istrinya, sang dokter menggunakan racun hyoscine yang dibelinya pada tanggal 10 Januari dari toko bahan kimia Lewis & Burroughs.
Untuk menghapus jejak-jejak perbuatannya, Dokter Crippen membantai mayat istrinya. Kepala dipisahkan dan dibuang entah ke mana. Tulang-tulang dan bagian tubuh yang dapat menjadi petunjuk bahwa mayat adalah seorang wanita itu diambilnya lalu dibakar. Jelas bahwa Crippen memanfaatkan keahliannya sebagai dokter dengan baik.
Setelah itu sang dokter menggali lubang kecil di lantai gudang bawah tanah. Sisa-sisa jenazah istrinya dimasukkan satu persatu ke dalam lubang sempit itu. Ia kemudian menimbun lubang dan menutupinya dengan bata seperti semula.
Pembantaian dilakukan di bak mandi agar darah tidak tercecer di mana-mana. Dengan genangan dan siraman air, segala noda dapat dengan mudah dihilangkan.
Dan memang, dengan cara-cara licik itu, Dokter Crippen cukup lama berhasil menutupi rahasianya. Kita perlu mengetahui riwayat hidup Dokter Crippen untuk memahami latar belakang perkaranya.
Hawley Harvey Crippen dilahirkan pada tahun 1862 di Coldwater, Michigan. Ayahnya seorang pemilik toko. Saat muda, Crippen belajar di Universitas California dan meneruskan pendidikan di Hospital College di Cleveland, Ohio. Di sana Crippen mendapatkan gelar M.D.
Tahun 1883 ia pergi ke Inggris dan keluar masuk berbagai rumah sakit dengan cara yang tidak menentu. Setelah itu ia kembali ke New York. Di sini ia berhasil menjadi spesialis telinga dan mata pada tahun 1885. Dokter Crippen kemudian membuka praktik sambil pindah ke lain tempat. Berbagai kota di Amerika dijelajahinya. Di setiap kota rata-rata ia tinggal selama 2 tahun.
Perantauan dan perpindahan tempat yang bertubi-tubi ini bisa dianggap sebagai gejala watak yang selalu gelisah. Tapi di lain sisi, masuk akal pula bahwa Dokter Crippen, yang tidak memiliki uang untuk melanjutkan studi, terdorong untuk mencari pengalaman sebanyak mungkin dengan cara yang agak awut-awutan itu.
New York pada waktu itu sudah menjadi kota kosmopolitan yang dipenuhi dengan hiruk pikuk kehidupan dan gejolak sosial. Di antara berbagai kelompok sosial di New York saat itu, ada kaum bohemian atau kaum hippies. Umumnya kaum bohemian terdiri dari para penulis yang kurang berhasil, penyair dan seniman kelas bawah, filsuf-filsuf tingkat kafe dan orang-orang dengan kecenderungan revolusioner.
Sebagian besar dari mereka adalah penganut paham free love atau cinta bebas. Ini adalah paham yang dianggap paling berbahaya oleh sebagian besar orang. Kata “bebas” artinya lepas atau bebas dari ikatan perkawinan.
Cinta dianggap semacam barang yang dapat diperjual belikan sebagai penikmat hidup atau dijadikan sebagai hadiah bila berkenan di hati.
Entah mengapa, tapi Crippen tertarik pada lingkungan kaum bohemian. Mungkin ketika berada di tengah mereka, ia mendapatkan hiburan bagi hatinya yang pedih karena kematian istrinya. Mungkin mereka dapat melengkapi kehidupannya yang dingin dan serba terkekang itu. Suasana di kalangan kaum bohemian serba bebas, gegap gempita, penuh tawa, dan luapan emosi.
Dokter Crippen yang kantongnya cukup tebal dan sifatnya pemurah, rupanya diterima dengan baik oleh para bohemian. Dan ia menikah dengan seorang gadis dari kalangan itu. Namanya Gora Turner (terlahir Kunigunde Mackamotzki). la berdarah campuran Rusia, Polandia, dan Jerman. Gadis inilah yang setelah menjadi Nyonya Crippen. Nyonya Crippen kemudian menjadi seorang penyanyi dengan nama Belle Elmore.
Berkulit kelam, gaya Cora memenuhi selera pentas meski ia tidak memiliki kecantikan yang luar biasa. Suaranya tinggi nyaring. Dokter Crippen seorang introver, sifatnya serba tertutup, pendiam, dan pemenung. Sebaliknya, Cora Turner adalah seorang ekstrover kelas wahid. Serba terbuka, periang, genit, dan lincah.
Secara fisik, Dokter Crippen bukan orang yang luar biasa. Perawakannya kecil. Wajahnya pucat dengan kumis lunglai yang mengesankan kesedihan. Kacamatanya tebal. Gerak langkah, cara bicara dan berpakaian serba rapi tapi kaku. Selalu penuh sopan santun. Semua itu sungguh kontras dengan tingkah laku Cora yang serba bebas dan gegap gempita, bahkan menurut ukuran kalangan kaum bohemian sendiri.
Pada waktu berkenalan dengan Dokter Crippen, sebenarnya Cora Turner sudah hidup bersama dengan lelaki lain. Tapi akhirnya ia bersedia melepaskan kekasihnya itu untuk menjadi istri sah Dokter Crippen.
Tahun 1899 Crippen pindah ke Philadelphia, tapi Cora tetap di New York karena sedang mengikuti kursus menyanyi. Wanita muda yang penuh ambisi itu bercita-cita untuk menjadi penyanyi opera — cita-cita yang melebihi bakatnya yang sebenarnya.
Dokter Crippen memberi dukungan penuh kepada istrinya. Dengan senang hati ia membiayai semua kursus yang diikuti Cora.
Tahun 1900 Dokter Crippen pindah ke Inggris untuk bekerja pada sebuah perusahaan obat-obatan. Ia berangkat sendiri karena Cora belum selesai dengan pendidikannya sebagai penyanyi.
Wanita itu baru menyusul suaminya 4 bulan kemudian sang suami berkali-kali memintanya dengan sangat agar Cora segera hidup di sampingnya. Cita-cita wanita itu untuk menjadi penyanyi opera gagal. Sebagai gantinya Cora memutuskan untuk menjadi penyanyi teater dan konser. Sejak itulah ia memakai nama panggung Belle Elmore.
Dokter Crippen tetap mendukung cita-cita sang istri. la membeli berbagai pakaian pentas yang serba mahal untuk keperluan Cora. la juga membayar agen-agen yang berhasil mendapatkan kontrak menyanyi bagi istrinya. Ia menyewa penulis naskah dan komponis yang harus mempersiapkan naskah-naskah untuk Belle Elmore di atas pentas teater.
Tapi malang bagi Belle Elmore. Saat itu di London sudah banyak artis-artis bermutu seperti Dan Leno, Marie Lloyd, dan Florrie Ford. Akibatnya, ia hanya mendapatkan kontrak di gedung teater kelas dua. Memang hanya sampai taraf itu kemampuan Cora Turner. Satu-satunya kesempatan yang ia peroleh untuk tampil di gedung teater kelas satu adalah ketika ada aksi mogok rombongan yang mestinya mengisi acara.
Walaupun kesuksesannya sebagai penyanyi itu terbatas, Belle Elmore masih masuk dalam dunia penyanyi teater. Ia juga menjadi anggota Music Hall Ladies Guild yang berusaha membantu para artis yang menemui kesulitan. Ia bahkan menjadi bendahara kehormatan dari organisasi ini. Sikap Dokter Crippen pada sang istri tidak berubah. Dengan sikap murah hati yang luar biasa, ia memenuhi segala kebutuhan istrinya. Terus-menerus ia melimpahinya dengan hadiah berupa pakaian, mantel kulit yang mahal, dan perhiasan emas, intan, serta berlian.
Seringkali Dokter Crippen mengajak istrinya ke restoran serta menemaninya ke gedung teater dan opera. Rupanya sang suami merasa puas berada di samping istrinya yang lincah dan kerap mendapatkan sorak pujian dari publik.
Setelah 2 tahun di Inggris, Dokter Crippen pergi ke Amerika untuk urusan perusahaannya. Ketika ia kembali, Belle Elmore ternyata mengkhianatinya. Wanita itu mempunyai kekasih, Bruce Miller, seorang dirigen di gedung teater.
Ketika Dokter Crippen menanyai istrinya tentang soal itu, Belle Elmore mengatakan bahwa memang benar ia dan Bruce Miller sudah saling jatuh cinta. Sejak itu setiap kali marah, Belle Elmore selalu mengancam suaminya jika ia akan meninggalkannya untuk menyusul Miller yang saat itu sudah kembali ke Amerika.
Dokter Crippen tetap sabar, penuh perhatian, dan pemurah terhadap istrinya. Berbagai kenalan dan sahabatnya memberi kesaksian tentang sikap lelaki itu yang senantiasa baik, sopan, dan menghargai istrinya. Hingga para sahabat dan kenalan itu mendapat kesan bahwa suami istri Crippen tampaknya hidup bahagia. Mereka juga memberi kesaksian bahwa Belle Elmore sering kali bersikap tak senonoh terhadap suaminya. Wanita itu cenderung mengecam dan mencemoohkannya di hadapan umum.
Beberapa waktu kemudian perusahaan tempat Dokter Crippen bekerja pun bangkrut. Sang dokter mencari pekerjaan lain. la menjadi manajer periklanan di perusahaan obat-obatan Munyon. Ia juga membuka praktik dokter gigi bersama dengan seorang dokter lain. Masih ada pekerjaan sambilan kedua, yaitu ikut mendirikan dan membina sebuah biro iklan. Dokter Crippen memang harus kerja keras. Keperluan rumah tangga, terutama keperluan istrinya, sungguh tidak sedikit.
Setelah selama beberapa waktu hanya bisa menyewa kamar, pada tahun 1905 suami istri Crippen akhirnya bisa menyewa sebuah rumah di Highbury seharga £ 50 setahun. Itu merupakan harga yang cukup layak.
Belle Elmore bukan pengurus rumah tangga yang baik. Keadaan rumah biasanya kacau balau. Beberapa minggu berturut-turut tak diurusi. Tapi bila ia ada niat, rumah itu benar-benar dibersihkannya. Namun kemudian akan berantakan kembali.
Seorang saksi memberikan keterangan berikut. “Sekali waktu saya mengikuti Belle ke dapur. Semua jendela tertutup. Di atas meja terlihat barang pecah belah kotor, sisa-sisa makanan, dasi Dokter Crippen, rambut palsu istrinya, jepit rambut, sikat oven gas cokelat berkarat, dan penuh sisa-sisa masakan. Di mana-mana sampah berserakan, sendok, garpu, pisau, baskom, dan gelas kopi.”
Dengan segala sifatnya itu, Belle masih menerima penyewa di rumahnya untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Ia juga tidak memiliki pembantu. Meski bisa membayarnya, upah pembantu tidaklah murah.
Dengan itu segala tetek bengek pekerjaan rumah tangga pun menjadi tanggung jawab Dokter Crippen. Padahal ia sudah cukup sibuk dengan pekerjaan utama dan sambilannya.
Dan seperti biasa, Dokter Crippen membayar semua pengeluaran rumah tangganya dan pakaian serta perhiasan istrinya. Sedangkan sang istri mengantongi sendiri penghasilan tambahan yang berasal dari para penyewa.
Saksi menambahkan bahwa Belle mudah tersinggung. Ia kerap kali marah dan selalu memancing pertengkaran dengan suaminya tanpa sebab yang jelas. Sementara Dokter Crippen tetap “pucat”, tenang, dan perasaannya tidak tergoyahkan.
Dalam suasana yang demikian itulah Dokter Crippen menyadari kehadiran Ethel le Neve, gadis muda yang menjadi sekretarisnya di perusahaan Munyon. Ethel dalam segala hal adalah kebalikan Belle Elmore. Ia tenang, simpatik, lemah lembut, dan bersifat keibuan. Pendek kata, Ethel adalah seorang wanita sejati.
Hubungan percintaan berkembang tanpa disadari. Mula-mula Dokter Crippen menganggap Ethel seorang sekretaris yang penuh perhatian. Pasalnya, tanpa perintah atau isyarat, Ethel bisa menduga keinginan-keinginan atasannya. Untuk menunjukkan penghargaan atas layanannya, Dokter Crippen sesekali memberinya cokelat atau bunga. Kadang-kadang ia mengajaknya makan malam jika Ethel pulang terlalu sore karena lembur.
Hubungan makin akrab. Dan keduanya mulai berkencan di hotel bila ada kesempatan. Dokter Crippen merasakan kemesraan cinta yang tidak pernah dirasakannya sejak kematian istri pertamanya. Dan Ethel le Neve rupanya juga benar-benar jatuh cinta. Bahwa seorang gadis muda belia seperti dia, tidak mau mengenal pacar lain dan bersedia menyerahkan keperawanannya kepada lelaki yang jauh lebih tua darinya, kiranya hanya mungkin terjadi apabila hati gadis itu benar-benar tertambat pada pria itu.
Anehnya, Dokter Crippen tidak berusaha menyembunyikan hubungan percintaannya dengan Ethel itu dari rekan-rekannya di kantor. Belle Elmore segera mengetahui hubungan ini. Wanita yang sejak lama tidak setia kepada suaminya itu pun merasa tertampar dan menjadi geram.
Sudah sejak beberapa waktu Belle dan suaminya tak pernah melakukan hubungan seks. Masing-masing tidur di kamar lain secara terpisah. Tapi Belle sama sekali tidak mau melepaskan suaminya. Setelah mengetahui bahwa suaminya memiliki dengan Ethel, Belle Elmore kini tidak pernah lagi mengancam akan meninggalkannya untuk menyusul Bruce Miller di Amerika.
Sementara itu, kehidupan perkawinan Dokter Crippen dan Belle Elmore tetap dipertahankan. Sampai pada tanggal 31 Januari 1910 keluarga Crippen menerima kedatangan suami istri Martinetti, sahabat mereka.
Tuan Martinetti dan Clara, istrinya memang sering berkunjung ke rumah Dokter Crippen dan makan malam bersama sedikitnya sekali seminggu.
Kunjungan tanggal 31 Januari itu berlangsung seperti biasa. Hanya pada suatu ketika Martinetti merasa sakit perut dan perlu ke kamar kecil. Karena sudah terbiasa dengan rumah Dokter Crippen, Martinetti pergi sendiri ke WC tanpa ditunjukkan jalannya oleh tuan rumah. Oleh Belle Elmore, kejadian ini dijadikan alasan untuk memarahi suaminya dan memaki-makinya habis-habisan karena dianggap tak sopan.
Kemarahan Belle tak kunjung padam sepanjang sore. Sampai akhirnya di hadapan suami istri Martinetti dia berteriak kepada suaminya. “Ini sungguh keterlaluan. Besok pagi kamu kutinggalkan ke Amerika!”
Bukan untuk pertama kali suami istri Martinetti mendengar ancaman itu keluar dari mulut Belle bila sedang marah dengan suaminya. Tapi rupanya kemarahan sore itu memang luar biasa. Maka Martinetti dan istrinya tidak heran ketika beberapa hari kemudian mereka mendengar bahwa Belle sungguh berangkat ke Amerika. Hanya Clara Martinetti merasa tersinggung bahwa Belle tidak pamit kepadanya. Dokter Crippen pun tidak memberitahukan kepergian istrinya.
Dokter Crippen mengirim surat kepada organisasi Music Hall Ladies Guild untuk mewakili istrinya berpamitan. Sang istri berhenti dari keanggotaan. Rupanya Nyonya Clara Martinetti mendengar tentang kepergian Belle dari anggota organisasi itu.
“Apakah semua pakaiannya dibawa?” tanya Clara kepada Dokter Crippen.
“Hanya satu koper,” jawabnya, “di Amerika dia bisa beli lagi.”
Lalu kata Clara, “Oh, dia pasti kirim surat dari kapal.” Tapi ternyata tak ada surat dari kapal. Juga tidak ada surat dari New York, seperti yang diharapkan Clara.
“Ia tidak ke New York, tapi ke California,” kata Dokter Crippen. Ternyata dari sana juga tidak ada kabar. Rahasia Dokter Crippen mulai terancam bocor.
Tapi sang dokter segera ambil tindakan. la mengatakan kepada Clara baru saja menerima surat dari putranya, Otto Hawley. Dalam surat itu Otto memberitahukan bahwa Belle sakit. Paru-parunya bermasalah.
Tanggal 20 Maret Dokter Crippen menulis surat kepada keluarga Martinetti bahwa Belle sakit keras — pleuropneumonia. Dan dia mempertimbangkan akan segera pergi ke Amerika. Sebetulnya dengan ini terbuka kesempatan bagi Dokter Crippen untuk melarikan diri. Tapi ini tidak dilakukannya. Beberapa waktu kemudian ia mengatakan kepada seorang kenalan istrinya di perhimpunan artis, bahwa sewaktu-waktu bisa datang berita bahwa Belle meninggal dunia akibat penyakitnya.
Tanggal 23 Maret Dokter Crippen berpesiar ke Dieppe bersama Ethel le Neve. Mungkin waktu itulah sang dokter membuang kepala Belle Elmore. Hari berikutnya, Clara Martinetti menerima telegram dari Dokter Crippen. Ia memberitahukan bahwa Belle sudah meninggal dunia dan ia akan kembali ke London seminggu lagi.
Surat-surat belasungkawa berdatangan ke alamat Dokter Crippen. Dan sang dokter memasang berita dukacita di The Era, surat kabar artis-artis Music Hall.
Tapi, entah karena sahabat karib atau merasa curiga, Clara Martinetti meminta alamat saudara-saudara Belle di Amerika. Ia ingin mengirim surat dukacita ke sana. Dokter Crippen yang awalnya mengelak, akhirnya terpaksa memberikan alamat putranya.
Sementara itu, apa yang terjadi dengan Ethel le Neve? 3 minggu setelah terbunuhnya Belle Elmore, tanggal 20 Februari, gadis itu pergi ke pesta dansa dengan dikawal oleh Dokter Crippen.
Ini mungkin kesalahan terbesar yang dibuat oleh Dokter Crippen. Sebab pada waktu itu orang-orang menganggap Belle masih hidup dan sedang melakukan perjalanan ke Amerika. Maka tampilnya Dokter Crippen di samping Ethel pada pesta dansa dianggap semacam pengakuan di depan publik bahwa gadis itu adalah kekasihnya. Bukan itu saja. Pada pesta dansa itu, Ethel le Neve bahkan memakai bros Belle Elmore dan topinya yang terbuat dari kulit serigala.
Kenyataan ini nantinya akan digunakan dalam proses pengadilan untuk membuktikan bahwa Ethel tidak tahu-menahu tentang pembunuhan Belle. Gadis itu terlalu baik hati dan lemah lembut untuk bersedia menikmati perhiasan Belle seandainya dia tahu bahwa Belle dibunuh dan membusuk di bawah lantai rumah Dokter Crippen.
Tanggal 12 Maret Ethel minta berhenti dari pekerjaannya sebagai sekretaris di perusahaan Munyon. Ia kemudian tinggal di rumah Dokter Crippen di Highbury. Waktu itu Belle dianggap masih hidup.
4 hari kemudian Dokter Crippen memberitahu pemilik rumah di Highbury, bahwa 3 buIan lagi ia akan mengakhiri sewa rumahnya. Berarti ia akan meninggalkan rumah di bulan Juni. Jika ia merencanakan akan melarikan diri, sebetulnya ini kesempatan yang baik. Bahkan Dokter Crippen masih bisa menikahi Ethel dengan sah. Pasalnya, di bulan Maret dia sudah mengumumkan kematian istrinya. Mungkin pernikahan itu akan dianggap agak tergesa-gesa. Tapi sahabat-sahabatnya akan bersimpati dengan pernikahan ini, mengingat nasib Dokter Crippen saat masih hidup bersama Belle.
Tapi entah mengapa, Dokter Crippen belum melangsungkan pernikahan dengan Ethel. Dan bulan Juni ia tidak pergi dari Inggris, tapi malah memperpanjang sewa rumahnya sampai bulan September.
Mengapa Dokter Crippen tidak segera berusaha melarikan diri? Kecuali karena merasa cukup aman, mungkin juga karena sikap Ethel Le Neve. Dokter Crippen tidak menghendaki kekasihnya tahu tentang pembunuhan Belle. Maka gadis itu pun tidak merasa perlu meninggalkan Inggris, apalagi sewaktu orang menganggap Belle masih hidup dan tinggal di Amerika.
Maka sejak pertengahan Maret 1910, Dokter Crippen tinggal di rumahnya di Highbury bersama kekasihnya. Kemesraan cinta dan kebahagiaan, yang tak pernah dinikmatinya sejak kematian Charlotte Crippen 20 tahun yang lalu, kini melimpahinya. Pulang dari kerja, segala sesuatu sudah tersedia. Rumah yang bersih dan rapi, makanan siap disantap, dan sambutan hangat dari Ethel.
Tapi desas-desus semakin santer, terutama gara-gara bros milik Belle yang dipakai oleh Ethel pada pesta dansa. Akhirnya seorang sahabat Belle, Tuan Nash lapor kepada Scotland Yard. Hilangnya istri Dokter Crippen dipersoalkan. Ini terjadi pada tanggal 20 Juni.
Seminggu kemudian dua orang detektif mengunjungi Dokter Crippen yang sedang praktik sebagai dokter gigi. Dengan tenang dan lancar ia mendiktekan keterangannya, sambil melayani para pasien.
Dalam “pengakuan” tersebut, Dokter Crippen menyatakan bahwa Belle tidak meninggal, tapi hidup bersama Bruce Miller kekasihnya. Ia memberikan petunjuk bagaimana bisa menemukan alamat Miller di Amerika. Dengan terus terang pula ia mengakui bahwa hubungannya dengan Ethel le Neve sudah berlangsung selama 3 tahun.
Inteviu makan waktu 6 jam dan polisi puas. Tapi seorang anggota Scotland Yard, Walter Dew, merasa perlu meneliti rumah di Highbury. Tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan.
Tanggal 9 Juli polisi mengedarkan pengumuman tentang hilangnya Belle Elmore di seluruh Kota London, sambil mencantumkan ciri-cirinya. Hari berikutnya, Dew pergi ke kantor Dokter Crippen. Ternyata ia tidak ada. Rumahnya di Highbury pun kosong.
Tanggal 11 Juli, Dew langsung mengedarkan selebaran bahwa polisi mencari Dokter Crippen dan Ethel le Neve. Ciri-ciri keduanya pun diungkapkan dalam selebaran itu. Tanggal 12 Juli, Dew mengunjungi lagi rumah Dokter Crippen di Highbury dan sekali lagi mencari jejak-jejak. Kali ini jerih payahnya membawa hasil. Batu bata yang menutupi “kuburan” Belle terangkat sedikit. Sisa-sisa jenazah ditemukan, terkubur dalam lubang sempit sedalam kira-kira 0,5 sampai 1 meter.
Tanggal 20 Juli kapal SS Montrose berlabuh di Antwerpen, Belgia dan kemudian bertolak dengan tujuan Quebec, Kanada.
Di antara para penumpang terdapat seorang Iaki-laki setengah baya bernama Robinson. la bepergian dengan putranya, seorang pemuda yang berperawakan ramping dan berparas halus. Tingkah laku ayah dan anaknya menarik perhatian para penumpang. Begitu akrab dan mesra hubungan mereka. Sering berjalan-jalan bergandengan tangan di atas geladak dan duduk berangkulan di sudut-sudut yang sepi.
Tuan Robinson dan anaknya tak lain adalah Dokter Crippen dan Ethel le Neve yang melarikan diri dengan menyamar. Kapal SS Montrose sudah melintasi separuh dari lautan Atlantik menuju Kanada. Tapi Dokter Crippen ternyata belum aman dari kejaran polisi.
Scotland Yard mengirim telegram radio ke kapal Montrose, menanyakan apakah Dokter Crippen dan kekasihnya terdapat di antara para penumpang. Nakhoda kapal, Kapten Kendall, memiliki dugaan kuat bahwa Tuan Robinson dan “putranya” adalah buronan yang dicari-cari polisi. Segera ia mengirim kembali telegram ke Scotland Yard sambil memberikan gambaran yang mendetail tentang dua orang yang dicurigainya.
Detektif Walter Dew menumpang kapal yang lebih cepat dan berhasil mencapai Quebec sebelum kapal Montrose tiba di pelabuhan kota itu. Dew menyamar sebagai awak kapal pemandu dan naik ke atas geladak Montrose untuk menangkap Dokter Crippen dan Ethel.
Tanggal 8 Agustus 1910 dikeluarkan perintah penyerahan Dokter Crippen dan Ethel oleh pemerintah Kanada kepada Inggris.
Saat menghadapi sidang pengadilan, Dokter Crippen sebenarnya bisa minta pembelaan Marshall Hall, seorang pengacara cemerlang di waktu itu. Tapi ia tidak mau, padahal Marshall Hall sudah mengusulkan suatu cara pembelaan yang kuat. Marshall berencana untuk mengemukakan argumentasi bahwa kematian Belle akibat suatu kecelakaan.
Teori Hall begini. Dokter Crippen, lelaki bertubuh kecil yang sudah setengah baya itu, kesulitan untuk melayani dua wanita sekaligus. Belle yang cerewet dan nafsu seksnya berlebihan dan Ethel le Neve yang sangat dicintainya. Racun hyocsine diberikan kepada Belle untuk mengurangi nafsu seksnya. Hyocsine memang mempunyai khasiat sebagai pengurang nafsu seks. Tapi, demikian teori Hall, dosis hyocsine yang diberikan Dokter Crippen kepada istrinya secara tak sengaja melebihi dosis. Akibatnya Belle meninggal karena keracunan.
Dengan bakatnya yang luar biasa untuk meyakinkan pendengar, Marshall Hall kemungkinan besar bisa memperoleh keputusan “kematian yang tidak disengaja” atau paling berat “pembunuhan yang tidak direncanakan”. Tapi Dokter Crippen menolak gagasan pembela cemerlang itu. Mungkin karena pembelaan Hall itu bisa menampilkan Dokter Crippen sebagai orang dengan kejantanan yang lemah dan ini dianggapnya memalukan.
Pembelaan itu juga akan bertentangan dengan pernyataan Dokter Crippen bahwa sudah sejak lama ia tak pernah seranjang dengan Belle. Dan lagi sebagai dokter yang cakap, mungkin ia tak mau ditampilkan sebagai tidak teliti dan khilaf dalam menentukan ukuran obat.
Tapi lebih masuk akal untuk menduga bahwa Dokter Crippen menolak pembelaan Marshall Hall karena ingin melindungi Ethel le Neve. Sejak ditangkap, Dokter Crippen jelas sekali berusaha membersihkan nama kekasihnya. Dengan sangat hati-hati ia menghindari segala keterangan yang dapat memberi kesan Ethel tahu-menahu tentang rencana pembunuhan Belle. Karena menginginkan Ethel bebas dari segala tuduhan, maka Dokter Crippen tak mau menonjolkan kenyataan bahwa Ethel adalah kekasihnya sejak lama. Sedangkan Marshall Hall justru akan memanfaatkan kenyataan itu sebanyak mungkin.
Perkara Dokter Crippen disidangkan pada tanggal 2 September 1910.
Sebelum sidang seluruh peristiwa sudah dilaporkan panjang lebar oleh pers. Maka selama persidangan, tidak ada hal-hal baru terungkap. Kecuali pembuktian yang sulit dari segi ilmu kedokteran bahwa sisa-sisa mayat yang ditemukan di rumah Dokter Crippen adalah mayat Belle. Pembuktian kurang meyakinkan karena daging dan kulit sudah hampir tidak bisa dikenali lagi. Dan juga para anggota juri berasal dari kelompok awam sehingga sulit untuk membuktikan hal itu.
Setelah 27 menit berunding, juri memberikan keputusan “bersalah”. Ketika ditanya apakah masih ingin mengemukakan sesuatu, Dokter Crippen tetap mempertahankan pernyataannya sejak awal sidang, bahwa ia tidak bersalah.
Tanggal 5 November, Dokter Crippen mengajukan permohonan naik banding tapi ditolak.
Tanggal 22 November, sehari sebelum menjalani hukuman mati, Dokter Crippen menulis surat yang mengharukan kepada Ethel le Neve. Dari surat itu jelas tampak bahwa ia sudah mengambil berbagai tindakan untuk menjamin masa depan kekasihnya, yang menurut harapannya akan dibebaskan.
“Aku harap benar kau sudah mendengar kabar baik dari Mrs. H. Pergilah segera untuk menemuinya. Kebahagiaan, kegembiraan, dan sinar matahari yang makin cerah terlimpah kepadamu. Dan hendaknya kau bebas sama sekali dari segala kebohongan surat kabar.”
Maksudnya adalah agar Ethel le Neve jangan percaya pada apa yang dituduhkan kepada Dokter Crippen.
Selain surat kepada Ethel, Dokter Crippen masih menulis pernyataan untuk masyarakat luas yang dimuat dalam surat kabar Daily Mail tanggal 20 November. Dalam pernyataan ini yang disebutnya “kata perpisahan kepada dunia”, Dokter Crippen berusaha membuktikan bahwa kekasihnya sama sekali tidak bersalah.
Ethel le Neve, katanya, tidak tahu-menahu tentang pembunuhan Belle. Dia lari bersamanya ke Kanada bukan karena takut kepada polisi, tapi hanya bermaksud menghindari omongan orang. Pasalnya, orang mengira Belle masih hidup. Bagi seseorang gadis, hidup dengan lelaki yang masih beristri sah adalah perbuatan hina di mata masyarakat. Ethel menyamar sebagai anak Iaki-laki, juga atas permintaan Dokter Crippen.
Tanggal 23 November, Dokter Harvey Hawley Crippen menjalani hukuman mati di Penjara Pentonville. Sikapnya pada saat-saat terakhir sangat tenang. Dengan wajah penuh kedamaian, ia menjabat tangan kepala penjara dan para pelaksana hukuman mati. Ia mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan mereka. Setelah itu dengan tenang ia melangkah ke tiang gantung untuk menebus perbuatan jahatnya.
Harapan Dokter Crippen tentang kekasihnya memang terkabul. Pada tanggal 25 November Ethel le Neve diperiksa secara terpisah oleh pengadilan. Dia dinyatakan “tidak bersalah” dan langsung dibebaskan.
(Robin Squire)
Baca Juga: Si Bungkuk Cantik dari Napoli
" ["url"]=> string(92) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799227/perkara-pembunuhan-wanita-bohemian-belle-elmore" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690566158000) } } [11]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799236" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/15-perkara-loeb-dan-leopoldjpg-20230728054141.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Dua orang anak bercita-cita untuk menjadi penjahat terhebat di abadnya. Maka mereka pun membuat rencana penculikan, pembunuhan, dan pemerasan." ["section"]=> object(stdClass)#164 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/15-perkara-loeb-dan-leopoldjpg-20230728054141.jpg" ["title"]=> string(24) "Perkara Loeb dan Leopold" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:41:50" ["content"]=> string(37051) "
Intisari-Online.com - Loeb dan Leopold adalah anak dari keluarga jutawan yang hidup bergelimang harta sejak kecil. Keduanya bercita-cita untuk menjadi penjahat terhebat di abadnya. Maka mereka pun membuat rencana penculikan, pembunuhan, dan pemerasan.
----------
Dalam sejarah peradilan perkara Loeb dan Leopold, yang terjadi pada tahun 1924, sangat terkenal. Dianggap merupakan tonggak dalam sejarah kriminologi. Entah berapa banyak buku dan artikel-artikel yang memperdebatkan kasus dua anak muda itu. Mereka dianggap semacam “makhluk jadi-jadian” karena jenis kejahatan mereka.
Keduanya anak jutawan yang sejak kecil bergelimang dalam kemewahan. Natham Leopold, 19 tahun, sangat berbakat. la termuda di antara mahasiswa-mahasiswa pilihan di Universitas Chicago. Spesialisasinya filsafat dan bahasa. la pandai bicara Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, Latin, Yunani kuno dan modern, bahkan Sansekerta. Hobinya ornitologi (ilmu tentang burung). Ayahnya adalah wakil presiden perusahaan Sears Roebuck yang bergerak di bidang pengiriman paket pos.
Leopold dan Loeb saling mengenal ketika mereka sekolah di Harvard School. Keduanya berasal dari Universitas Michigan.
Loeb tak kalah cemerlang. Ayahnya adalah pemilik pabrik kotak. Pada usia 17 tahun Loeb lulus menjadi sahabat karib. Proses saling memengaruhi terjadi. Sampai akhirnya mereka bercita-cita menjadi penjahat hebat.
Mula-mula dua anak muda itu melakukan serentetan kejahatan keciI-kecilan. Menipu dalam permainan kartu, melaporkan berita palsu perihal kebakaran, mencuri uang dan mesin tik. Semua berjalan lancar hingga dua anak itu mulai bosan dan menginginkan suatu perbuatan yang lebih hebat: membunuh. Agar tampak fantastis, pembunuhan itu akan mereka gabungkan dengan penculikan dan pemerasan.
Sebagai calon korban, mula-mula dipertimbangkan adik Loeb sendiri, kemudian bahkan ayah salah satu anak muda itu. Tapi akhirnya diputuskan untuk mengambil sembarang anak di Harvard School. Di sana banyak anak orang-orang kaya dan terpandang.
Kejahatan yang akan mereka lakukan harus sempurna, dalam arti tidak mungkin terbongkar. Maka rencana mereka persiapkan secermat-cermatnya. Tidak boleh ada lubang yang dapat ditembus oleh faktor kebetulan.
Memakai mobil sendiri jelas berbahaya. Maka akan digunakan mobil sewaan dan sebagai penyewa, mereka akan menggunakan alamat palsu. Untuk ini mereka memesan kamar di sebuah hotel atas nama Morton B. Allard. Mereka pun membuka rekening bank khusus.
Korban akan dihantam dengan pahat, lalu dicekik dengan tali. Dalam menjeratkan tali, dua pemuda itu bersepakat bahwa masing-masing akan menarik satu ujung — untuk membagi tanggung jawab agar sama rata.
Setelah dibunuh, korban akan dihancurkan mukanya dengan zat asam. Lalu dibuang ke rawa-rawa di suatu tempat sunyi yang sering dikunjungi Leopold bila sedang mengamati tingkah laku burung-burung. Baru setelah itu mereka akan menelepon ayah korban untuk minta uang tebusan sebesar 10.000 dolar.
Paling sulit adalah siasat untuk memperoleh uang tebusan tanpa terjebak oleh polisi. Taktik mereka memang licik.
Pada kontak pertama lewat telepon, mereka akan mengatakan kepada ayah korban agar menunggu sampai keesokan harinya. Pada telepon kedua mereka akan memerintahkan sang ayah datang ke sebuah toko obat di 63rd Street dan menunggu telepon ketiga di sana.
Pada saat itu mereka akan minta agar sang ayah naik kereta api jam 15.18 di Stasiun Sentral. Waktu yang disediakan bagi ayah korban untuk mengejar kereta sangat sempit hingga pasti tidak ada kesempatan menghubungi polisi. Dalam kereta, ayah korban akan menemukan sepucuk surat. Lewat surat ini Leopold dan Loeb memintanya untuk melempar uang tebusan pada saat kereta api berjalan melintasi pabrik Champion Company Factory.
Begitulah apa yang dibayangkan kedua anak muda tersebut bagaimana kejahatan sempurna akan terlaksana. Masyarakat akan heboh dan ramai membicarakan penculikan itu. Mereka akan bertanya-tanya apakah korban masih hidup, ada di mana, dan siapa penculiknya. Dan hanya mereka berdua saja — Loeb dan Leopold — yang tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Hari H ditentukan tanggal 21 Mei 1924. Leopold dan Loeb menyewa sebuah mobil merek Willys-Knight. Mereka menuju Harvard School. Muncul seorang anak, tapi ia menghilang lagi. Muncul anak kedua — ternyata saudara sepupu Loeb sendiri. Namanya Bobbie Franks.
“Hei Bob,” seru Loeb kepada anak yang baru keluar dari halaman sekolah itu. Ia pun kemudian menawarkan apakah Bobbie mau menumpang mobilnya untuk pulang ke rumah. Tadinya Bobbie tak mau. Tapi setelah Leopold dan Loeb berpura-pura meminta pendapatnya tentang raket tenis yang akan dibelinya, akhirnya Bobbie ikut juga.
Dan terwujudlah rencana dua anak muda itu. Pahat bekerja. Bobbie pingsan dan berlumuran darah. Pahat bekerja berkali-kali. Setelah gelap, mayat dibawa ke tempat yang telah direncanakan di sebelah selatan Chicago, kira-kira sejauh 30 km. Di tengah jalan, mereka berhenti sebentar untuk makan sore. Mayat ditelanjangi, zat asam bekerja, dan mayat korban dimasukkan ke dalam rawa-rawa.
Setelah itu kedua pembunuh kembali ke kota dan langsung ke rumah Loeb. Di sana keduanya membakar pakaian korbannya dalam tungku. Selesai makan malam dengan seluruh keluarga, Loeb pergi ke rumah Leopold. Pada saat itulah mereka menelepon ayah korban, Jacob Franks.
“Anak Tuan diculik. Jangan takut, ia baik-baik saja. Tunggu perintah-perintah selanjutnya. Jangan sekali-kali menghubungi polisi.” Pesan ini disampaikan oleh Leopold yang mengaku bernama George Johnson lewat telepon.
Hari berikutnya Leopold dan Loeb mencuci lantai mobil sewaan. Mereka melakukannya di jalan masuk dalam halaman rumah keluarga Leopold. Sopir keluarga Leopold, Sven Englund menawarkan bantuannya untuk mencuci mobil. Tapi ditolak oleh Leopold yang mengatakan bahwa mobil sewaan itu ketumpahan anggur merah.
Kini dua anak muda itu melaksanakan rencana pemerasan. Leopold pergi ke Stasiun Sentral dan membeli karcis masuk kereta api yang direncanakan. Ia menempatkan surat terakhir kepada Jacob Franks di atas rak bagasi. Lalu menanti saat ia harus menelepon ayah korban yang pagi itu sudah menerima surat pertama dari para penculik.
Inti isi surat itu bahwa Bobbie Frank sehat walafiat. Jangan sekali-sekali menghubungi polisi jika menghendaki anaknya tetap hidup. Sebelum tengah hari agar menyediakan uang tebusan 10.000 dolar yang terdiri dari lembaran-lembaran uang lama. Yang 2.000 dalam bentuk pecahan 20 dolar, sisanya dalam bentuk pecahan 50 dolar. Jika sampai terselip uang baru atau ditandai, maka anaknya akan mati. Uang hendaknya dimasukkan dalam kotak karton yang berat, terkunci aman, dibungkus dengan kertas putih. Bungkus harus disegel. Setelah jam 13.00 supaya siap menunggu telepon.
Surat berakhir dengan penjelasan bahwa hubungan dengan Jacob Franks bersifat bisnis murni. Jika sampai melanggar syarat yang telah ditentukan, Bobbie Frank akan mati.
“Yours truly, George Johnson” demikian tertanda di akhir surat yang diketik itu.
Jacob Franks menyediakan uang dalam kotak seperti diminta oleh para penculik. Tetapi pada waktu ayah yang malang itu menunggu telepon berikutnya, terjadi peristiwa kebetulan yang membuat rencana “kejahatan sempurna” itu jadi berantakan.
Faktor pengganggu itu ialah penemuan mayat seorang anak Iaki-laki oleh sejumlah pekerja yang kebetulan menyeberangi rawa-rawa. Mereka juga menemukan kacamata yang bingkainya terbuat dari tanduk.
Setelah mendapatkan laporan-laporan, polisi segera menghubungi Jacob Franks. Barangkali itu mayat anaknya. Tapi ayah malang, yang sedang menanti-nanti telepon dari para penculik, tidak percaya. Bukankah penculik menegaskan bahwa Bobbie masih sehat walafiat dan tidak akan dilukai selama ayahnya taat semua perintah para penculik?
Sesaat kemudian penculik menelepon untuk menyampaikan instruksi selanjutnya. Jacob Franks akan dijemput dengan taksi kuning sesuai dengan rencana “kejahatan sempurna”. Baru saja Franks mau berangkat, polisi menelepon bahwa identitas mayat sudah diketahui. Itu adalah mayat Bobie Franks.
Maka ketika Leopold menelepon toko obat di 63rd Street, Jacob Franks tidak ada. Keluar dari toko obat, Leopold melihat koran dengan berita “Mayat Anak Tidak Dikenal Ditemukan di Rawa-Rawa”. Menyadari bahwa rencananya gagal, Leopold mengembalikan mobil sewaan lalu pulang. Baik dia maupun sahabatnya tetap yakin bila perbuatannya tidak akan terbongkar. Siapa akan mencurigai mereka, anak keluarga baik-baik yang kaya raya. Lagi pula Loeb merupakan saudara Bobbie Franks.
Masyarakat Chicago gempar mendengar berita penculikan dan pembunuhan kejam dengan rencana pemerasan yang amat keji itu. Seluruh kekuatan detektif dikerahkan untuk mencari pembunuh. Pihak kejaksaan menugaskan Robert Crowe untuk memimpin pengusutan kejahatan.
Petunjuk-petunjuk yang ada hanya sedikit, seperti surat penculik, kacamata, dan seorang saksi yang melihat mobil merek Willys-Knight dekat Harvard School pada hari penculikan. Usaha mencari mobil seperti itu milik “George Johnson” mengakibatkan kejadian tragis. Seorang Iaki-laki bunuh diri karena kebetulan namanya sama dan memiliki mobil merek itu.
Para detektif amatir membuat pencarian makin ramai. Loeb, yang masih saudara dengan Bobbie Franks dan bekas murid Harvard School, pun berusaha melontarkan berbagai kemungkinan untuk mengecoh. Ia mengatakan mungkin anak itu dibunuh oleh guru yang kesulitan uang. Teori ini menyebabkan tiga orang guru Harvard School ditahan.
Tapi kesimpangsiuran pengusutan tak berlangsung lama. Penjual kacamata yang ditemukan di tempat kejadian, mengatakan hanya ada tiga orang yang membeli kacamata jenis itu. Mereka adalah seorang langganan yang berada di Eropa, seorang nenek, dan Natham Leopold.
Ketika ditanya apakah itu kacamatanya, Leopold menjawab mungkin ya jika kacamata miliknya tidak ada di rumah. Polisi mengikutinya pulang dan memang kacamata Leopold tidak ada. Pemuda ini mengatakan barangkali kacamatanya jatuh pada waktu itu mengobservasi burung di rawa-rawa. la mau mendemonstrasikan di depan polisi bahwa benda itu gampang jatuh. Tapi demonstrasinya tidak berhasil. Kacamata itu tidak mau jatuh.
Polisi belum menaruh curiga, namun mereka bertanya di mana Leopold berada pada tanggal 21 Mei. Dijawab, ia dan Loeb sore itu pesiar dengan dua orang gadis ke sebuah taman hiburan. Ketika ditanya, Loeb juga memberikan keterangan yang sama. Jawaban ini memang telah dipersiapkan oleh dua anak muda tersebut.
Jaksa Robert Crowe belum puas dengan hasil interviu. Maka ia bertanya kepada Leopold, mesin tik merek apa yang dipakainya. Jaksa tahu, mesin tik yang digunakan oleh penculik untuk menulis surat pemerasan adalah merek Underwood. Leopold menjawab mesin tiknya merek Hammond. Kamar Leopold diperiksa, tapi mesin tiknya tidak ada.
Polisi tahu bahwa Leopold dan beberapa temannya sering menulis catatan kuliah dengan mesin tik. Maka mereka mengambil beberapa lembar kertas ketikan dari kamar Leopold. Hasil pemeriksaan para ahli menunjukkan bahwa catatan-catatan Leopold dan surat penculik diketik dengan mesin tik yang sama. Leopold mengatakan bahwa mesin tiknya hilang beberapa bulan yang lalu. Tapi pembantu rumah tangga menyebutkan bahwa 2 minggu yang lalu masih melihat mesin tik majikannya.
Rencana kejahatan yang “kedap detektif” sudah goyah dengan sendirinya. Satu kesaksian lagi membuatnya hancur berantakan. Sven Englund, sopir keluarga Leopold melaporkan bahwa mobil Leopold selama sore tanggal 21 Mei itu ada di dalam garasi.
“Waktu itu mobil saya reparasi dan cuci,” kata si sopir. Sven Englund bermaksud menolong anak majikannya. Ia tidak tahu bahwa pernyataannya itu malah menghancurkan alibi Leopold.
Seperti dikatakan di atas, Leopold menyatakan kepada polisi bahwa tanggal 21 Mei sore ia membawa mobilnya pesiar ke sebuah taman. Lebih parah lagi bagi Leopold, sang sopir menambahkan jika pada tanggal 22 Mei pagi ia melihat Loeb dan Leopold mencuci lantai mobil yang tak dikenalnya. Mereka mencucinya untuk membersihkan noda-noda merah.
Dickie Loeb lebih dulu menyerah kalah. la mengakui perbuatannya. Tapi menurutnya, Leopold yang menghantamkan pukulan maut. Leopold tadinya tetap menyangkal. Tapi setelah Crowe mengatakan bahwa Loeb sudah mengaku, maka ia pun bertekuk lutut. Hanya menurut dia, pembunuhan dilakukan oleh Leopold.
Orang tua Leopold dan Loeb mencari pembela bagi anak mereka. Pilihan jatuh pada Clarence Darrow, salah seorang pengacara terbesar di Amerika. la tinggal di Chicago dan bersahabat dengan keluarga Loeb.
Selama 40 tahun Darrow membela kaum lemah dan miskin hingga terkenal sebagai pembela besar di negaranya. Dan ia terkenal sebagai penentang gigih hukuman mati.
Mula-mula Darrow ragu untuk menerima tugas pembelaan Leopold dan Loeb. Itu karena mereka anak orang kaya raya. Seluruh rakyat muak dengan kejahatan teramat keji yang dilakukan dua anak muda itu dan mengharapkan mereka dihukum seberat-beratnya. Pembelaan Darrow dengan itu akan mendapat penolakan. Masyarakat akan menuduh bahwa Darrow dibeli oleh orang tua Loeb dan Leopold. Mereka akan berteriak bahwa uang dapat membeli segala-galanya.
Tapi Darrow yang pernah menyelamatkan sekitar seratus orang tertuduh dari hukuman mati itu, akhirnya menerima permintaan orang tua Leopold dan Loeb. Sebab menurutnya, orang kaya juga berhak atas pembelaan di depan hukum. Akan berhasilkah dia?
Darrow mempersiapkannya dengan Jaksa Crowe. Sang jaksa sadar, satu-satunya pembelaan yang bisa diajukan adalah bahwa Leopold dan Loeb abnormal jiwanya. Maka ia berusaha keras mengumpulkan bukti bahwa dua anak muda itu secara mental sehat dan dapat dituntut pertanggungjawaban atas perbuatan mereka. Jaksa Crowe mendatangkan sejumlah psikiater untuk memeriksa para tertuduh. Pemeriksaan dilakukan di Hotel La Salle, tempat Leopold dan Loeb ditahan.
Darrow minta kesempatan mengunjungi kliennya tapi ditolak oleh jaksa. Maka ia mencari akal, yaitu minta kepada pengadilan agar memerintahkan penahanan Leopold dan Loeb di penjara setempat. Permintaannya dikabulkan. Dengan itu para tertuduh kini berada dalam kekuasaan kepala penjara, hingga sang pembela dapat mengunjunginya. Bagi Darrow ini kemenangan pertama.
Sementara itu dalam masyarakat sudah beredar desas-desus tentang apa kiranya yang akan diperbuat oleh pembela. Perkiraan orang, Darrow akan mengatakan para tertuduh memang bersalah, tapi tidak waras jiwanya. Lalu diusahakan agar setelah dinyatakan bersalah, mereka dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Setelah selang beberapa tahun, keduanya bisa dibebaskan. Dan pembela akan menerima imbalan uang yang sangat banyak.
Darrow tahu bahwa desas-desus tersebut akan sangat merugikan pembelaannya. Maka ia mesti berhati-hati dalam mengambil langkah.
Mula-mula Darrow diam-diam menjajaki opini publik dengan menyebar penyelidik-penyelidik. Hasilnya, 60 persen responden memberi jawaban “ya” atas pertanyaan “apakah mereka harus digantung”. Kemudian Darrow minta kepada orang tua Leopold dan Loeb untuk menyiarkan pernyataan bahwa pembela tidak akan berusaha membebaskan anak mereka. la hanya akan membuktikan bahwa mereka tidak waras jiwa. Kini ternyata 60 persen responden bisa menerima seandainya kedua tertuduh hanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Darrow mempersiapkan senjata-senjata pembelaannya. Kebetulan himpunan Psikiater Amerika sedang mengadakan pertemuan di Philadelphia. Darrow mendatangkan 7 orang spesialis ilmu jiwa dari himpunan tersebut untuk memeriksa Leopold dan Loeb.
Perkara Leopold dan Loeb mulai disidangkan pada tanggal 21 Juli, dengan Hakim Pimpinan John Robert Caverly. 3.000 orang berebut untuk mendapatkan tempat di dalam ruang pengadilan yang hanya bisa menampung 300 kursi.
Para tertuduh masuk ruang sidang. Keduanya bermuka dingin dan tampak tenang. Pakaiannya bersih dan rapi. “Ini pertunjukan kami. Penonton tidak boleh kecewa,” kata mereka kepada seorang wartawan. Tidak kelihatan menyesal, bahkan keduanya tampak gembira karena menjadi pusat perhatian.
Darrow membuka pidatonya. la menyatakan kedua kliennya bersalah dan mohon diperbolehkan mengajukan bukti-bukti yang meringankan hukuman.
Siasat Darrow cerdik sekali. Sebab pernyataannya berarti bahwa soal apakah kliennya harus dihukum mati ataukah dipenjara seumur hidup bukanlah wewenang 12 juri. Juri-juri itu berasal dari kelompok awam. Hakimlah yang berwenang untuk memutuskan soal keputusan penjara atau hukuman mati. Dan Darrow tahu bahwa sang hakim orang yang berpengalaman, tanpa prasangka, bijaksana, dan berperikemanusiaan.
Pembukaan pidato Darrow bagaikan ledakan bom dan Jaksa Crowe langsung bangkit untuk protes. Darrow main curang, katanya. la tidak bisa langsung saja menyatakan kliennya bersalah, lalu minta keringanan hukuman! “Keringanan adalah pembelaan,” jawab Darrow seakan meledek Crowe.
“Pembelaan Darrow bertolak dari filsafat hidupnya yang berbahaya,” tukas jaksa. “Dalam hukum tidak ada apa yang disebut tingkat-tingkat tanggung jawab mental. Pengadilan tidak punya kekuasaan untuk mendengar kesaksian tentang kondisi mental tertuduh. Manusia bertanggung jawab penuh atas akibat-akibat perbuatannya atau sama sekali tidak.”
Tapi dengan tenang Darrow mengajukan argumen-argumennya. Dia tidak bermaksud memberikan bukti yang tak terbantahkan bahwa kedua kliennya sakit jiwa. la hanya ingin menunjukkan suatu keadaan mental yang tidak tercakup oleh definisi hukum tentang sakit jiwa. Itu pemahaman soal baik atau buruk dan kemampuan memilih salah satunya.
Ia tidak mengajukan pembelaan. Namun ia mengajukan pernyataan yang harus didengar demi meringankan hukuman bagi seseorang yang dinyatakan bersalah.
Lalu Darrow menggugat suasana dalam menghadapi perkara ini. Jaksa dan masyarakat menjadi kawanan serigala haus darah yang siap merobek-robek kedua kliennya. Padahal hukuman mati seharusnya kita jatuhkan, tidak dengan lantang, marah, ataupun benci, tapi dengan iba, haru serta menyesal bahwa hukuman itu terpaksa dijatuhkan. Darrow menggugat suasana kejam dan tidak berperikemanusiaan itu.
Menanggapi pidato ini, Hakim Caverly menyatakan akan mendengarkan apa yang ingin dikemukakan pembeIa. Maka dimulailah pertarungan memperebutkan nyawa Leopold dan Loeb.
Riwayat hidup mereka ditelusuri sampai masa bayi. Oleh jaksa diajukan seorang saksi, salah satunya adalah seorang profesor hukum Universitas Chicago. Profesor menyatakan, sehari setelah pembunuhan itu Leopold memperdebatkan dengannya soal pembunuhan dengan penculikan serta pemerasan.
Kawan-kawan tertuduh memberikan kesaksian tentang tingkah laku dan obrolan mereka.
Dibuktikan bahwa surat pemerasan dan catatan kuliah Leopold ditulis dengan mesin tik yang sama. Para dokter menerangkan bahwa sebelum dibunuh, Bobbie Franks menjadi korban perbuatan homoseksual.
Penyelidikan atas jalannya kejahatan dengan semua tahap-tahapnya itu membuktikan bahwa perbuatan Leopold dan Loeb semua telah direncanakan sebelumnya. Bukan itu saja.
Setelah melakukan perbuatan terkutuk, kedua tertuduh sedikit pun tidak memperlihatkan air mata tanda penyesalan. Mereka bahkan merasa bangga. Mereka sungguh tidak patut diberi belas kasihan atau keringanan.
Penuturan kisah hidup Leopold dan Loeb oleh jaksa membuat seluruh masyarakat Amerika makin keras berteriak menuntut hukuman gantung.
Pembela mengajukan enam saksi ahli, semuanya dokter-dokter spesialis. Antara lain Dr. Karl Bowman, bekas dosen penyakit mental di Harvard University; Dr. Bernard Glueck, direktur klinik psikologi dari penjara terkenal Sing Sing; Dr. William Healy dari Yayasan Hakim Baker.
Menurut mereka, Loeb sangat terpengaruh oleh wanita pengasuhnya, yang berwatak keras dan terlalu banyak menuntut dari anak itu. Seringkali Loeb takut dimarahi atau mendapat hukuman. Akibatnya sejak kecil ia terbiasa berbohong bila berbuat tidak baik, tanpa menyesalinya. Di umur 10 tahun, anak itu sering berkhayal yang tidak-tidak.
la membayangkan dirinya sebagai penjahat cemerlang di abadnya, begitu hebat hingga tidak mungkin tertangkap oleh detektif-detektif terhebat di dunia.
Leopold juga korban didikan wanita pengasuhnya. Wanita itu kerap kali mendorong Leopold untuk mencuri, dengan tujuan agar bisa memeras anak itu. Sang pengasuh menanamkan pengertian-pengertian abnormal tentang baik dan buruk.
Di sekolah Leopold sangat menonjol kecerdasannya. Tapi ia memandang Loeb sebagai anak dengan kelebihan-kelebihan yang melampaui bakatnya sendiri. Keduanya menjadi sahabat karib dan Leopold merasa tidak bisa hidup tanpa persahabatan Loeb. Dalam khayalan Leopold, Loeb adalah raja dan Leopold merupakan budak beliannya yang bersedia melakukan semua perintahnya.
Pada suatu ketika kedua sahabat itu membuat perjanjian. Masing-masing pihak bersedia melakukan fantasi yang ada di benak mereka.
Kemudian dibuat perjanjian lain lagi, yaitu Loeb mempunyai kekuasaan penuh atas Leopold.
Apa pun yang diminta Loeb, jika itu dimintanya “demi perjanjian”, maka Leopold wajib melaksanakannya.
Leopold mempunyai pandangan bahwa apa pun yang memberi kenikmatan kepadanya adalah baik. Bila terjadi sebaliknya, maka hal itu dianggapnya buruk. Ia tidak percaya pada norma-norma moral. Leopold, yang belajar filsafat, terpengaruh oleh ide-ide filsuf Nietzsche dengan manusia super-nya. Baginya Loeb adalah manusia super itu.
Dalam psychiatric reports tentang kedua anak itu, para dokter ahli menyatakan bahwa Leopold dan Loeb menunjukkan divergensi patologis yang mencolok. Artinya terdapat celah antara kehidupan intelektual dan kehidupan emosional mereka. Sama sekali tidak mampu memberi tanggapan emosional sedikit pun sebagaimana mestinya. Perasaan Leopold tidak tergetar sedikit pun ketika ia menculik dan membunuh anak yang masih saudaranya sendiri. Dalam hati ia bahkan tertawa ketika melihat ibunya mengumpat-umpat pembunuh Bobby Franks.
Tentu semua itu dibantah oleh tim jaksa yang menampilkan pula saksi-saksi ahli. Sebulan penuh pertempuran antara para psikiater berlangsung di ruang pengadilan. Sampai tiba saatnya Darrow mengajukan pembelaannya yang terakhir.
Pledoi Darrow, yang memakan waktu 3 hari, adalah yang paling terkenal di antara pidato pembelaannya.
Pada awal pembelaannya, Darrow menarik simpati publik dengan menyesalkan bahwa kedua kliennya anak jutawan. Sering kali uang dapat berbuat segala-galanya. Tapi dalam hal Leopold dan Loeb, uang malah merugikan. Kekayaan orang tua mereka membuat pembelaannya lemah. Sebab orang berprasangka bahwa Darrow mendapat bayaran dan sogokan melimpah. Oh, seandainya kedua kliennya anak keluarga miskin, pembelaannya akan lebih didengar.
Lalu ia memperingatkan hakim akan tanggung jawabnya. Seperti dikatakan, dengan langsung menyatakan kedua kliennya bersalah, Darrow menarik mereka dari kekuasaan 12 juri dan menempatkan mereka dalam tangan hakim. Bila Leopold dan Loeb sampai dihukum gantung, maka hakimlah yang bertanggung jawab penuh atas hal itu. Dia sendirian dalam hal ini.
Kemudian argumen demi argumen dibentangkannya untuk menghancurkan pembuktian jaksa.
Dikatakan oleh penuntut bahwa kedua kliennya kejam dan Ialim. Kekejaman dapat diukur dengan kesakitan yang dilakukannya pada korban. Darrow menekankan bahwa pembunuhan terjadi cepat tanpa penyiksaan. Sebelum mengetahui apa yang terjadi, Bobbie Franks sudah tidak sadarkan diri akibat pukulan.
Darrow tidak membenarkan perbuatan para klien. Tapi hal di atas perlu diingat bila orang mau berbicara tentang kekejaman.
Kekejaman juga dapat diukur berdasarkan motif pembunuhan. Misalnya karena dendam, benci, marah, dan sebagainya. Tapi motif-motif tersebut sama sekali tidak ditemukan pada Loeb dan Leopold. Pembunuhan ini, kata Darrow, tanpa makna, tanpa manfaat, tanpa tujuan, dan tanpa motif.
Motif “ingin mendapat uang” seperti dituduhkan oleh jaksa, sama sekali tidak bisa diterima. Sebaliknya, Leopold dan Loeb uangnya melimpah. Pada saat pembunuhan Loeb mempunyai uang sekitar 3.000 dolar dan kapan saja ia dapat minta cek pada sekretaris ayahnya, atas instruksi ayahnya sendiri. Leopold menerima cek sebesar 125 dolar setiap bulan dan bisa mendapatkan uang bila ia membutuhkannya. Ketika Leopold berencana untuk keliling Eropa, ayahnya segera memberinya uang 3.000 dolar.
Tidak ada motif dendam atau kebencian, tidak ada motif uang, juga tidak ada motif lainnya. Dan tanpa motif, pembunuhan ini hanya bisa diartikan sebagai perbuatan tanpa makna, tanpa tujuan dari anak yang sakit mental. Mereka meraba-raba dalam kegelapan dan didorong oleh kekuatan tertentu yang sekarang ini barangkali kita belum mampu menjajakinya secara memadai.
Darrow tidak minta belas kasihan, tapi hanya minta hukum dilaksanakan. Ada 3 kemungkinan hukuman bagi para kliennya: mati di tiang gantung, penjara seumur hidup, atau penjara sekurang-kurangnya 14 tahun.
Hukum tertulis sudah terlampaui oleh semakin halusnya perasaan perikemanusiaan orang-orang yang berpikiran maju dan menentang hukuman mati. Pilihan atas berbagai kemungkinan hukuman ada di tangan hakim.
Tuduhan jaksa bahwa pembunuhan sudah direncanakan 6 bulan sebelumnya, yaitu ketika Leopold beli mesin tik, sama sekali tidak masuk akal. Sebab anak itu tidak pernah main sembunyi dengan mesin tiknya, yang kerap kali ia pinjamkan kepada teman-temannya.
Terus-menerus Darrow dengan berbagai cara menunjukkan bahwa perbuatan kliennya sama sekali tidak memiliki motif. Mereka membunuh bukan karena uang, bukan karena iri atau benci. Mereka membunuh Bobbie Franks seperti membunuh seekor lalat atau nyamuk - semata-mata karena ingin pengalaman.
Mereka membunuh karena memang itulah keadaan kedua anak muda itu, akibat faktor-faktor dari masa lalu. Darrow melukiskan proses pertumbuhan jiwa Leopold dan Loeb. Ia memanfaatkan sebaik-baiknya keterangan-keterangan para saksi ahli jiwa.
Loeb pada masa kanak-kanak tersiksa oleh tekanan-tekanan batin karena sikap pengasuhnya yang terlalu keras. Ia suka bersembunyi, berbohong, membuat tipu muslihat. Muak dengan buku-buku bermutu yang disodorkan sang pengasuh, ia mencari pelarian dan hiburan dengan buku-buku detektif dan kejahatan. Kebiasaan berbohong dan tipu muslihat dipupuk dengan cerita-cerita tentang kejahatan. Sampai akhirnya ia bercita-cita untuk menjadi penjahat paling cemerlang di abadnya.
Tentang Leopold, Darrow memaparkan pengaruh filsafat Nietzsche atas anak yang mempunyai bakat-bakat cemerlang ini. Leopold keranjingan ide manusia super-nya Nietzsthe. Dia percaya bahwa dirinya dan Loeb adalah manusia-manusia super.
Darrow mengambil contoh betapa hebatnya pengaruh ide-ide yang merasuki seseorang. Di New York, seorang ayah bernama Freeman keranjingan cerita tentang Nabi Abraham. Nabi Abraham mengurbankan anaknya pada Tuhan. Freeman membuat altar di rumahnya dan menggorok Ieher anaknya yang masih bayi untuk dikurbankan kepada Tuhan. Leopold juga termasuk orang yang terpengaruh pada gagasan-gagasan tertentu.
Darrow menunjuk pada kenyataan bahwa saksi-saksi ahli dari pihak jaksa hanya selama beberapa jam memeriksa tertuduh dalam waktu berminggu-minggu.
Menanggapi tuntutan jaksa agar para tertuduh tidak diberi belas kasihan, seperti apa yang mereka lakukan pada korbannya, Darrow berkomentar,
“Jika negara tempat saya berteduh ini tidak lebih baik hati, tidak lebih berperikemanusiaan, tidak lebih berperasaan halus, tidak lebih pandai dari perbuatan kedua klien saya ini, maka saya sangat menyesal hidup sekian lama di negara ini.”
Satu nada dasar terjalin dalam seluruh pembelaan Darrow: proses pertumbuhan seorang anak menjadi dewasa, tidak terperikan. Dan dalam proses pertumbuhan Leopold dan Loeb telah terjadi sesuatu. Akibatnya adalah kedua anak muda yang malang itu dibenci, dicemooh, dan dikucilkan. Masyarakat berteriak-teriak meminta darah mereka.
Dengan suara berbisik yang hampir tidak terdengar, Darrow mengakhiri pembelaannya:
“Saya mengajukan pembelaan untuk masa depan di mana kebencian dan kekejaman tidak lagi menguasai hati manusia. Masa di mana kita dengan akal budi, penilaian dan pengertian dapat belajar bahwa setiap jiwa patut diselamatkan dan bahwa belas kasih adalah perbuatan tertinggi manusia.”
Ketika Darrow turun dari mimbar, ruang sidang sunyi senyap selama 2 menit. Banyak dari hadirin yang mengusap air mata.
Tiba kini giliran Jaksa Crowe untuk memberikan tanggapan akhir. Pidato sanggahannya makan waktu 2 hari. Tapi ternyata ia tidak mampu menghapuskan kesan mendalam yang telah ditanamkan pembela.
Pada tanggal 10 September hakim menjatuhkan keputusan hukuman penjara seumur hidup bagi Leopold dan Loeb. Saat mengumumkan keputusannya, hakim menanggapi argumentasi-argumentasi dari segi ilmu kejiwaan. Yaitu bahwa para tertuduh tidak normal jiwanya dan itulah yang mendorong mereka untuk berbuat kejahatan.
Menentukan kadar tanggung jawab perbuatan manusia adalah di luar tugas serta kemampuan pengadilan.
Namun hakim mengakui bahwa analisa yang cermat tentang riwayat hidup para tertuduh, keadaan mental, emosional, dan etika mereka, sangat penting dan merupakan sumbangan yang amat berharga bagi kriminologi. Masalah tanggung jawab manusia dan hubungannya dengan hukuman peradilan sangat luas ruang lingkupnya dan bukan hanya menyangkut tertuduh dalam perkara ini. Masalah ini pantas menjadi pemikiran badan legislatif— bukannya badan yudikatif.
Pertimbangan utama mengapa dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup dan bukannya hukuman mati, adalah usia para tertuduh yang masih muda belia, 18 dan 19 tahun. Keputusan ini sejalan dengan kemajuan hukum kriminal di seluruh dunia dan sesuai dengan rasa perikemanusiaan yang makin halus. Di samping itu juga sesuai dengan preseden-preseden di Illinois yang dalam sejarah peradilannya hanya mencatat dua perkara di mana anak muda dihukum mati. Pengadilan tidak berkeinginan menambah jumlah itu.
Demikianlah berakhir perkara Leopold dan Loeb yang dianggap sebagai tonggak dalam sejarah kriminologi. Sebab ketika itulah untuk pertama kali suatu sidang pengadilan dapat leluasa menjajaki kondisi mental dan psikis para tertuduh, mencoba menyelidikinya, bebas dari kekangan pengertian-pengertian hukum yang berlaku tentang tanggung jawab. Mengenai nasib selanjutnya dari para tertuduh, Leopold lebih beruntung dari Loeb. Yang terakhir ini mati ditikam oleh sesama narapidana pada tahun 1936.
Riwayat Leopold dikisahkannya sendiri dalam bukunya Life Plus Ninety-Nine Years (Hidup plus 99 Tahun). Tahun 1924 ia masuk penjara Joliet. Anak cemerlang yang pada tahun 1924 dikenal sebagai makhluk jadi-jadian ini, dalam penjara mengabdikan hidupnya kepada masyarakat narapidana. Ia mempelajari sistem hukuman yang bersifat mendidik dan mengadakan reformasi di bidang ini. Belajar radiologi dan psikiatri. Memelopori pendirian bagian riset sosiologis untuk menyelidiki kemungkinan mengetahui reaksi-reaksi narapidana setelah dibebaskan. Dalam Perang Dunia, Leopold mengajukan diri sebagai kelinci percobaan untuk pengamatan cara kerja pil malaria. Ia belajar berbagai bahasa dan menjadi anggota terkemuka dari the Fellowshop of American Medical Technologists.
Setelah 25 tahun dalam penjara, ia mohon dibebaskan agar bisa lebih leluasa mengabdikan dirinya. Tapi permohonannya ditolak. Ia diminta untuk menunggu 12 tahun lagi. Akhirnya pada tahun 1958 ia dibebaskan. Leopold memilih kegiatan di suatu koloni lepra di Amerika Selatan.
(Rupert Furneaux)
Baca Juga: Mereka Diangkut dengan Kereta Jenazah
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799236/perkara-loeb-dan-leopold" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690566110000) } } [12]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799211" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/11-tragedi-percintaan-seorang-pe-20230728054102.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(124) "Pendeta Hall dan Mrs. Mills ditemukan tewas mengenaskan di tepi jalan. Keduanya diketahui menjalin hubungan cinta terlarang." ["section"]=> object(stdClass)#168 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/11-tragedi-percintaan-seorang-pe-20230728054102.jpg" ["title"]=> string(34) "Tragedi Percintaan Seorang Pendeta" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:41:10" ["content"]=> string(32233) "
Intisari Plus - Pendeta Hall dan Mrs. Mills ditemukan tewas mengenaskan di tepi jalan. Keduanya diketahui menjalin hubungan cinta terlarang karena telah memiliki pasangan. Siapa yang tega melakukan pembunuhan keji tersebut?
----------
Pada suatu hari Sabtu di bulan September 1922, sepasang orang muda berpacaran di suatu daerah yang sepi, tak jauh dari kota New Jersey. Raymond Schneider dan Pearl Bahmer — demikian nama mereka — berjalan-jalan santai sambil bercanda. Di suatu jalan sempit bernama De Bussey’s Lane, dari kejauhan mereka melihat pasangan lain berbaring di bawah pohon rindang di tepi jalan. Tampaknya mereka tertidur. Tapi setelah melihat lebih dekat, Pearl Bahmer menjerit, “Lihat kepala wanita itu. Berlumuran darah!”
Bukan hanya wanita itu, pasangannya yang mukanya tertutup saputangan, sudah tidak bernapas. Melihat pakaiannya, korban pria itu tampaknya adalah seorang pendeta. Tanpa pikir panjang, Raymond Schneider dan Pearl Bahmer bergegas kembali ke kota untuk melapor kepada polisi.
Penyelidikan segera dilakukan. Dan tersingkaplah tabir skandal yang menghebohkan masyarakat New Jersey.
Memang, korban pria adalah seorang pendeta. Reverend Edward Hall, 41 tahun, penggembala umat lingkungan gereja St. Yohanes Penginjil. Korban wanita adalah Mrs. Eleanor Mills, 34 tahun, seorang anggota paduan suara gereja tersebut. Suaminya, James Mills, bekerja sebagai koster di gereja yang sama. Koster ialah petugas yang menjaga gereja dan mengatur keperluan-keperluan ibadah.
Jenazah Edward Hall ditemukan dalam keadaan telentang sedangkan Mrs. Eleanor Mills tertelungkup. Kepala Mrs. Mills yang yang pecah berada dalam pelukan lengan pendeta itu. Seolah-olah si pembunuh hendak mendemonstrasikan bagaimana keadaan dua orang itu ketika ia temukan dalam keadaan hidup di tempat kejadian.
Saputangan berdarah yang menutupi wajah Edward Hall pun dibuka polisi. Wajah itu ternyata hancur oleh tembakan peluru. Peluru juga membuat luka lebar di bagian kepala. Luka serupa terlihat di kepala Mrs. Mills. Terhadap korban wanita ini pembunuh bertindak lebih kejam. Wanita ini digorok lehernya dan lidahnya ia ambil. Pembantaian kejam ini tampaknya mencerminkan dendam yang membara dalam hati si pembunuh.
Tidak diragukan lagi bahwa kejahatan ini terencana. Rupanya Edward Hall dan Mrs. Eleanor Mills dikuntit secara diam-diam oleh pembunuhnya. Kemudian disergap tanpa bisa melawan.
Polisi memeriksa pakaian para korban dan isinya. Jam emas Edward Hall dan semua uang dalam kantongnya diambil oleh pembunuh. Selanjutnya polisi menemukan sehelai kartu nama terletak dekat kaki almarhum. Terbaca nama pendeta itu dengan sebutannya yang lengkap: The Rev. Dr. E. W. Hall.
Di sekitar jenazah lelaki dan wanita itu tersebar sobekan-sobekan kertas seperti taburan bunga. Ketika polisi mengumpulkan sobekan-sobekan kertas itu, mereka masih menemukan benda lain lagi: dua selongsong peluru.
Semua benda-benda yang ditemukan pada kedua korban tidak memberikan banyak petunjuk. Kecuali sobekan-sobekan kertas, yang setelah disusun kembali, ternyata adalah surat-surat cinta. Sampai taraf tertentu ini mengungkapkan motif yang mendorong pembunuh melakukan perbuatan kejam itu.
Surat-surat cinta itu ditulis oleh kedua korban yang sejak beberapa waktu mempunyai hubungan gelap. Sebagian besar surat-surat itu berisi kata-kata romantis. Terasa benar nafsu membakar yang membuat kedua insan itu terjerat dalam cinta haram.
Surat pendeta Hall kepada kekasihnya antara lain berbunyi seperti berikut:
“Jantung Hati Pujaanku yang lembut, tercinta, dan tersayang.
“Merasakah kau betapa melambungnya suasana hatiku hari ini?
“Tersayang, telah begitu lama aku merindukan berbicara denganmu, sambil merangkulmu di kedua lenganku. Hatiku tidak bergejolak ataupun mendidih, tapi tenang, damai, kuat, melambung tinggi bagaikan Putra Tuhan yang Kuat dalam karya Tennyson — Cinta Abadi — wahai, hati tercinta….
“Tersayang, kau bagaikan kristal bagiku. Pandanganmu bagiku adalah mata kristal. Aku seperti melihat dan merasa segala keangkeran dan keajaiban alam semesta di dalamnya. Den aku dipenuhi oleh suasana angker dan ajaib hari ini.
“Apakah kau berdoa bagiku pagi tadi? Aku merasa pasti bahwa kau berbuat demikian, juga seandainya kau tidak menyadarinya. Cinta dan doa. Kekuatan yang sungguh ajaib! Marilah kita bertemu di jalan kita jam dua seperempat. Aku akan sampai ke tempat itu lebih dulu, agar kau tidak perlu menunggu seandainya nanti hujan.”
Sungguh aneh isi surat ini. Terlihat di dalamnya betapa jauh kebutaan iiwa bisa menimpa seseorang yang sedang dikuasai asmara. Pendeta itu bahkan merasionalisasi kebutaan ini dan menyelubunginya dengan keindahan hingga seolah-olah hubungan itu adalah suatu yang Ilahi dan suci.
Tidak berbeda jauh suasana hati Mrs. Eleanor Mills. Salah satu suratnya yang berapi-api antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Kau adalah pendeta sejati. Aku hanyalah semata-mata ilham fisikmu. Apakah aku terlalu cinta padamu? Aku sekarang mengetahuinya. Aku bahkan bersedia meninggalkan kehadiranmu secara fisik dan masuk biara, di mana aku tidak akan melihat seseorang menyentuhmu — memanggilmu sayang.”
Satu hal jelas terlibat pada kedua orang itu yang mengungkapkan cintanya dalam surat-menyurat. Betapa kuat hasrat keduanya untuk saling memiliki. Mereka tetap lekat satu sama lain kendati ada beragam siksaan batin.
Mrs. Eleanor Mills menulis sebagai berikut:
“Kemarin saya bahagia dalam arti tertentu, tapi saya melihat selintas apa yang sangat didambakan oleh jiwa kita, tapi tiap kali tidak terpenuhi. Seolah-olah saya untuk selama-lamanya tidak menghendaki lagi mendengar kau berkata ‘aku cinta padamu’ ataupun membelai dan menciumku. Kau tidak punya hak sedikit pun dan kau membangkitkan aku. Jauh lebih berbelas kasihan apabila kau menusukku. Bagaimana saya dapat menyebutmu sayang pagi tadi? Seharusnya aku tidak mempersulit keadaan bagimu. Tapi justru itulah yang kau perbuat padaku, aku hanya menyatakan keadaan yang sebenar-benarnya.”
Penderitaan-penderitaan batin, yang terus menumpuk akibat hubungan gelap ini, diungkapkan lebih tegas lagi dalam surat lain:
“Kau berkata bahwa kita mendapat karunia istimewa karena memiliki cinta yang begitu besar. Tapi demikianlah keadaannya selalu dan akan berlangsung untuk selama-lamanya. Kita senantiasa harus mengenyam yang pahit dengan yang manis. Kuharap hari ini aku tidak melihat kau. Apa gunanya apabila kau selalu meninggalkan aku? Oh, Sayang, betapa rumitnya keadaan kita!”
Tetapi setelah jeritan tersiksa ini, Mrs. Eleanor Mills segera menambahkan kata-kata, “Tapi saya akan merasa puas.”
Di lain pihak sang pendeta memperlihatkan kemampuan untuk menikmati khayalan palsu. Cintanya yang terlarang, ia bayangkan seperti sesuatu yang bersifat mistik dan mendekatkannya dengan sumber segala kebaikan. Ini ditunjukkan lewat tulisannya pada sang kekasih:
“Hatiku yang tercinta,
“Kau adalah mukjizat hidup bagiku, hidup — cinta — misteri — kekuatan — kemauan — keharusan — semua terwujud di dalammu—cinta sejati—ibu dari segala hidup dan cinta bagiku.”
Kalimat terakhir ini mengungkapkan sifat daya tarik yang dirasakan oleh Edward Hall dalam hubungannya dengan Eleanor Mills. Wanita ini menunjukkan tuntutan cinta dengan sifat-sifat keibuan dalam kadar yang kuat. Dan sifat cinta yang demikian itu rupanya sangat didambakan oleh Edward Hall.
Setelah membaca surat-surat cinta kedua korban, polisi merasa yakin, bahwa si pembunuh — siapa pun dia — pasti terdorong oleh motif cemburu, sakit hati, dan balas dendam.
Maka orang pertama yang diperiksa polisi adalah istri almarhum pendeta, Mrs. Frances Hall.
la 9 tahun lebih tua dari suaminya, gemuk, pipinya merah, dan dagunya berlipat-lipat. Mrs. Hall tampak terkejut sekali ketika mendengar bahwa suaminya terbunuh bersama dengan Mrs. Mills. Sama sekali ia tidak tahu menahu bahwa suaminya mempunyai hubungan gelap dengan wanita cantik anggota paduan suara gereja St. Yohanes Penginjil tu. Ia bahkan menyatakan tidak dapat mempercayai dugaan polisi itu.
“Edward bukan orang sembarangan. Saya tahu pasti,” katanya.
‘‘Nyonya mendampingi suami dalam menjalankan tugasnya di gereja?”
“Tentu saja. Hubungan kami sangat mesra dan kehidupan perkawinan kami bahagia. Seandainya ada hubungan seperti itu dengan wanita lain, saya pasti tahu.”
Polisi menanyakan apa yang terjadi pada hari Kamis tanggal 14 September, 2 hari sebelum penemuan jenazah Mrs. Eleanor Mills. Frances Hall menjawab bahwa di malam hari pada tanggal tersebut suaminya menerima telepon. Saat itu kira-kira jam 19.00. Edward Hall tidak mengatakan siapa yang menelepon, tapi tak lama kemudian lelaki itu pergi. Mrs. Hall tidak menanyakan ke mana suaminya akan pergi dan kapan kembali.
Tengah malam ketika wanita itu pergi tidur, suaminya belum kembali. Beberapa waktu kemudian Mrs. Hall terjaga, juga waktu itu suaminya belum pulang. Maka ia pergi ke kamar adiknya, Willie Stevens, yang tinggal serumah dengannya. Dibangunkannya adiknya itu.
“Willie, Edward belum pulang. Ayo, kita cari. Jangan-jangan ia tertidur di gereja,” katanya.
Pernyataan ini dibenarkan oleh adiknya. Kedua kakak beradik malam itu segera keluar rumah bersama-sama untuk pergi ke gereja St. Yohanes Penginjil. Sampai di sana mereka mendapati pintu gereja telah terkunci. Keadaan di dalam gelap. Maka Mrs. Frances Hall dan adiknya pulang dan kembali tidur.
Keesokan harinya, Jumat 15 September, Edward Hall belum juga kembali di waktu sarapan. Tapi baik Mrs. Hall maupun Willie tidak mempunyai pikiran untuk lapor kepada polisi.
“Mengapa tidak?” tanya polisi.
Jawaban Mrs. Frances Hall aneh kedengarannya, jika diingat pernyataan yang tegas, bahwa suaminya bukan laki-laki yang suka main perempuan. Wanita itu mengatakan, “Saya tidak menghendaki lidah-lidah iseng mendapatkan bahan untuk melancarkan desas-desus.”
Polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. Dan istri pendeta itu mengaku bahwa ia dan adiknya Jumat 15 September seharian cemas menunggu-nunggu kedatangan Edward Hall. Sore pada hari yang sama beberapa anggota paduan suara menelepon, bertanya mengapa Rev. Edward Hall belum juga muncul. Sekadar untuk mengajukan alasan, Mrs. Hall menjawab bahwa suaminya mendapat panggilan mendadak.
Jumat malam Sabtu Mrs. Frances Hall tak dapat tidur nyenyak karena suaminya belum juga pulang. Sabtu pagi setelah sarapan, wanita itu berkata kepada adiknya, “Saya akan minta nasihat pengacara mengenai apa yang harus dilakukan.”
Sampai pada laporan tentang kejadian hari Sabtu tanggal 16 September hari ditemukannya jenazah Edward Hall dan Mrs. Mills, baik Mrs. Hall maupun Willie tetap tidak menyebut-nyebut gagasan untuk melapor kepada polisi. Keterangan Willie mengenai bagian-bagian penting peristiwa persis sama dengan keterangan kakaknya. Bedanya, pemuda ini tampang tenang, tidak terguncang oleh tragedi yang menimpa kakak iparnya.
Mengenai Mrs. Frances Hall, tampaknya wanita ini terpukul oleh berita kematian suaminya,
“Mengerikan! Saya sungguh tidak mengerti. Lakukan apa saja yang dapat Anda lakukan!” katanya dengan nada memohon.
Polisi merasa belum puas dengan keterangan kakak beradik itu. Lalu mereka mewawancarai pembantu rumah tangga keluarga Hall, seorang gadis umur 17 tahun bernama Louise Geist.
Pembantu rumah tangga ini menjelaskan bahwa ia melihat Willie Stevens menemani kakaknya ke gereja hari Jumat pagi dan ia kembali lagi tanpa sang pendeta.
Pada intinya kesaksian gadis ini sama dengan apa yang dikatakan majikannya.
Juga Mr. James Mills, koster gereja, diperiksa polisi. Lelaki ini bercerita pula tentang telepon jam 19.00 Kamis malam. Seperti halnya Mrs. Frances Hall, duda itu juga tidak tanya siapa yang menelepon teman hidupnya. Dan ketika istrinya keluar rumah, James Mills mengira dia pergi ke gereja untuk melakukan suatu tugas atau latihan bernyanyi.
“Apakah istri Anda sebelum itu juga sering keluar di sore hari, tanpa mengatakan akan ke mana?”
“Ya, kadang-kadang,” jawab James Mills.
Lelaki itu menambahkan bahwa Kamis sore itu ia mengharapkan istrinya sudah pulang sebelum makan malam. Tapi ini tidak terjadi hingga James Mills terpaksa makan sendirian. Ia mengira barangkali istrinya lama tertahan di rumah sakit Parker Home.
‘‘Untuk apa ia ke sana?” tanya polisi.
‘‘Ia memang sering ke sana, mengunjungi para pasien. Ia kerap kali bernyanyi untuk menghibur mereka. Eleanor suaranya bagus sekali,” jawab duda itu.
James Mills selanjutnya menerangkan bahwa Iama-lama ia tidak sabar menunggu istrinya. Ia pun tidur. Keterangan ini mirip dengan pernyataan Mrs. Frances Hall. Seperti janda ini, Mr. James Mills menerangkan pula bahwa pada suatu ketika ia terjaga dari kepulasan tidurnya. Dan ternyata ia masih seorang diri di ranjang.
“Jam berapa ketika itu, Mr. Mills?”
“Kira-kira jam dua malam”
“Lantas apa yang Anda perbuat?” Mills menjawab bahwa ia merasa cemas. Maka pagi-pagi buta ia mencari istrinya di gereja. Apa yang dikatakan Mills mirip dengan keterangan Mrs. Hall.
“Mengapa Anda mencari istri Anda di sana?”
“Barangkali dia masih di gereja, tertidur atau jatuh pingsan di sana. Tapi gereja gelap dan pintunya terkunci.”
Maka Mr. Mills lalu pulang.
“Apakah Anda tidak merasa khawatir?” James Mills geleng kepala.
“Oh, tidak. Saya berpikir, barangkali Eleanor bermalam di rumah salah seorang saudaranya perempuan. Bukan untuk pertama kalinya istri saya tidak pulang di malam hari.”
Jawaban Mr. Mills tenang, serba lancar, dan persis sama.
Jumat, walaupun sampai malam istrinya belum pulang, Mr. Mills tidak merasa cemas. Dan ia tidak mempunyai gagasan untuk melapor kepada polisi. Sampai keesokan harinya, Sabtu, polisi datang untuk menyampaikan berita kematian Eleanor.
Seperti halnya Frances Hall, juga Mr. Mills tampaknya sangat terkejut mendengar nasib menyedihkan yang menimpa istrinya. Lelaki itu tidak bisa percaya bahwa istrinya mempunyai hubungan gelap dengan pendeta Hall.
“Eleanor bukan wanita murahan yang bisa berbuat sekeji itu,” katanya.
Tentu tidak luput dari perhatian polisi bahwa cerita janda dan duda, yang sama-sama kehilangan teman hidupnya itu, mirip satu sama lain. Polisi curiga. Tapi ini bukan bukti bahwa keterangan Mrs. Hall dan Mr. Mills palsu atau bahwa kedua orang itu telah sepakat untuk memberikan kesaksiannya yang sama. Tidak mustahil bahwa dua orang yang menghadapi peristiwa yang sama bisa bereaksi sama pula.
Tapi kecurigaan polisi toh menjadi lebih kuat setelah mewawancarai para anggota paduan suara dari gereja St. Yohanes. Mereka ternyata mengetahui afair cinta antara sang pendeta dan Mrs. Eleanor Mills. Jika hubungan gelap ini tidak luput dari perhatian kalangan umat, bahkan menjadi bahan percakapan dan sudah merupakan rahasia umum, maka agak sukar untuk percaya bahwa Mrs. Hall dan Mr. Mills sama sekali tidak tahu menahu tentang soal itu.
Tetapi kecurigaan polisi dan kesangsian mereka tentang kebenaran keterangan janda dan duda dari kedua kekasih itu tidak memecahkan persoalan. Polisi tetap belum mengetahui siapa pembunuhnya dan siapa otak di balik perbuatan kejam di De Bussey’s Lane itu.
Beberapa hari pengusutan tidak mengalami kemajuan. Sampai akhirnya Raymond Schneider dan Pearl Bahmer, dua orang muda yang menemukan jenazah Edward Hall dan Mrs. Eleanor Mills, menghadap lagi ke polisi untuk mengoreksi kesaksian mereka. Raymond Schneider kini mengatakan bahwa ia melihat Edward Hall dan kekasihnya pada, hari Jumat malam. Yaitu ketika temannya, Cilfford Hayes, berjalan-jalan dengannya dan Pearl di De Bussey’s Lane. Mereka melihat pendeta Hall dan Mrs. Mills tiduran di bawah pohon. Edward Hall ketika itu menanggalkan jasnya dan jamnya yang berantai emas kelihatan jelas.
Laporan kepada polisi kini berbunyi: Pembunuh adalah Clifford Hayes dan dia pulalah yang merampas barang-barang para korban.
Atas dasar laporan baru ini para detektif menyelidiki Clifford Hayes. Dan dalam pengusutan dengan arah baru inilah muncul seorang saksi lagi yang menarik banyak perhatian.
Saksi baru itu bernama Jane Gibson, seorang wanita sederhana yang mempunyai peternakan babi. Ia memberi kesaksian berikut.
Kamis sore tanggal 14 September ia mendengar suara yang mencurigakan, jangan-jangan kawanan babinya diganggu orang. Maka Jane naik keledainya pergi ke ladang untuk melihat binatang piaraannya.
Sampai di De Bussey Lane, ia melihat sebuah mobil di parkir. Di dalamnya duduk dua orang penumpang, seorang wanita berambut putih dan seorang laki-laki berkulit gelap, mungkin seorang Negro. Kedua orang itu bertengkar dengan suara yang keras. Jane Gibson memacu keledainya. Tak lama kemudian wanita itu mendengar empat kali tembakan. Tanpa pikir panjang Jane di atas keledainya lari terbirit-birit dan pulang.
Pernyataan wanita sederhana ini ternyata cocok dengan hasil pemeriksaan mayat korban. Memang, di tempat kejadian hanya ditemukan dua selongsong peluru, tapi jelas bahwa Mrs. Eleanor Mills ditembak tiga kali.
Polisi memperlihatkan kepada Jane Gibson beberapa foto, termasuk foto orang-orang yang dicurigai. Dan wanita itu menunjuk pada foto Mrs. Hall dan adiknya, Willie Stevens, sebagai dua orang yang dilihatnya bertengkar di dalam mobil, tak jauh dari tempat dua korban ditemukan.
Peristiwa pembunuhan ganda di De Bussey’s Lane muncul sebagai berita utama sebagian besar surat kabar Amerika.
Sekitar waktu itu sebuah surat kabar New York mengumumkan telah membeli hak untuk menerbitkan seri surat-surat almarhum pendeta Edward Hall kepada Eleanor Mills. Hak penerbitan itu dibeli $500 dari pemiliknya, yaitu tak lain James Mills sendiri.
Dengan ini pers Amerika memperoleh bahan berita sensasi lagi. Khususnya surat cinta sang pendeta yang selalu berakhir dengan inisial D.T.L. (tampaknya itu singkatan dari Deine Traue Liebe, bahasa Jerman yang berarti: Cintamu yang Setia), mendapat sambutan hangat. Untuk membuat kumpulan surat lebih menarik, James Mills bahkan menyertakan beberapa surat dari almarhum istrinya kepada pendeta Hall.
Sekali lagi — dan kini lebih jelas lagi — terungkap betapa bercampur aduk aspirasi rohani dan nafsu birahi pada Edward Hall yang terjerat percintaan gelap. Tulisnya kepada sang kekasih:
“Dear — dear Darling of Mine.
“Aku sebetulnya ingin menulis surat panjang kepadamu malam ini. Tapi aku seperti tak mampu menulis. Kau selalu, tersayangku, hartaku, sauhku, batu cadasku — oh, betapa aku ingin terbang menjumpaimu sore ini — aku ingin melayang ke tanah impian — tanah surgawi — segala sesuatu tampak begitu kotor, duniawi, murahan…..
‘‘Aku hanya ingin merangkummu; saat itulah ada kedamaian yang tak mungkin kuperoleh dari apapun yang lain. Aku tak bisa berbicara kepadamu lagi di hadapan Mrs. Hall ataupun Jim. Jangan terkejut ataupun heran jika aku menyingkir pada waktu kau berbicara dengan mereka.
“Tersayang, cintailah aku, dengan dahsyat, dahsyat — lebih dahsyat dari yang sudah-sudah. Karena bayi selalu haus akan ibunya.”
Dalam suratnya yang lain lagi, Dr. Edward Hall menyanjung-nyanjung kekasihnya bagaikan malaikat surgawi.
“Sayangku, paduan suara kini menyanyikan kidung pujian dan kurasakan sesuatu yang ilahi dalam caramu menyanyikan kidung pujian. Kau begitu menyukainya. Kau layak menjadi penginjil bernyanyi. Sayangku — kini aku harus pergi dan arahkan pandanganmu ke hatiku selagi menyanyi. Selamat malam, Cintaku. Segala kasih sayang hatiku untukmu.”
Surat berikutnya berbicara tentang cinta yang begitu “menakjubkan, murni sejati, kuat, setia — api cinta yang membakar segala hal yang tak pantas dan membuatku mulai setiap saat.”
Tidak kalah romantisnya surat-surat Mrs. Eleanor Mills. Tulis wanita itu:
“Dearest - dearest Boy of Mine,
“Selamat pagi. Betapa bahagia, betapa tenang damai kita hari ini dan betapa kuat. Betapa baik Tuhan yang telah menganugerahi kita dengan berkat-Nya yang paling membahagiakan. Jantung hatiku yang teramat berharga, aku berlutut, Sayangku, dan menatap priaku, memuja dan mengabdimu….”
Dalam surat yang sama, Mrs. Mills mengungkapkan bahwa hatinya tersiksa. la ingin bersama dengan pria kekasihnya, tetapi tidak dapat karena ‘‘dia ada di sini”. Yang dimaksud tentulah suaminya, James Mills.
Sudah barang tentu tersiarnya surat-surat cinta ini secara tak langsung meniadakan kesaksian Mr. Mills ketika untuk pertama kali diwawancarai oleh polisi. Saat itu ia menyatakan tidak tahu sama sekali dan tidak percaya bahwa istrinya berselingkuh dengan Edward Hall.
10 minggu setelah peristiwa pembunuhan De Bussey’s Lane, aparat penegak hukum mengadakan penyelidikan lagi secara diam-diam. Pada akhir penyelidikan tersangka Clifford Hayes dibebaskan.
Tapi pengusutan selanjutnya menghabiskan waktu lama. Tak kurang dari 4 tahun berlalu sebelum diperoleh kesaksian yang meyakinkan. Dan munculnya saksi terakhir agak aneh, yaitu gara-gara suami Louise Geist, pembantu rumah tangga keluarga Hall, hendak menceraikan istrinya.
Di depan pengadilan yang menyelidiki permintaan cerai itu sang suami menyatakan bahwa istrinya, Louise Geist, dipaksa berbohong oleh Mrs. Frances Hall dan Willie Stevens agar mereka jangan sampai ditahan polisi. Suami Louise Geist menyatakan bahwa istrinya pada malam pembunuhan menemani majikannya dan Willie Stevens pergi ke tempat kejadian. Dan di sana ambil bagian atau paling sedikit menyaksikan pelaksanaan pembunuhan.
Gubernur New Jersey kini memerintahkan agar kejahatan 4 tahun yang lalu itu diselidiki kembali. Semua orang yang pernah tampil sebagai saksi, dikumpulkan lagi; ditambah dengan saksi-saksi baru. Akibat pemeriksaan baru ini, tiga orang ditahan. Mereka adalah Frances Hall dan dua adik laki-lakinya, Willie dan Henry Stevens.
Ketiga Stevens bersaudara dituduh sebagai pembunuh. Proses pengadilan dimulai. Surat kabar memuat foto ketiga tertuduh berikut foto Jane Gibson yang duduk di atas keledainya. Sensasi lain dalam proses ini anak perempuan Mrs. Eleanor Mills yang bernama Charlotte, hadir di bangku untuk para wartawan. Gadis itu bekerja pada sebuah kantor berita.
Di depan pengadilan Louise Geist menyatakan bahwa suaminya menikahinya, hanya dengan motif ingin mengetahui rahasia yang menyelubungi pembunuhan ini. Maksudnya agar dapat memperoleh uang dengan menjual cerita yang digali dari Louise Geist.
Louise tetap mengatakan bahwa ia sama sekali tidak menyimpan rahasia, hingga sang suami akhirnya merasa terpukul karenanya. Inilah sebabnya mengapa dia mengajukan tuntutan cerai, untuk bisa lepas dari istri sah. Sebagai saksi, Jane Gibson dibawa masuk ke ruang sidang dengan brankar karena tak bisa berjalan akibat penyakit kanker yang sudah lanjut. Sedikit pun wanita ini tidak mengubah kesaksiannya. Ia bahkan menambahkan detail lain. Katanya, “Saya melihat Willie Stevens membawa senapan.”
Jane Gibson tetap tidak gentar walaupun ibunya, yang hadir juga dalam siang, dengan suara keras menyatakan bahwa ia seorang pembohong sejak kecil. Dalam sidang itu amat mencolok betapa Jane Gibson sangat menikmati dirinya menjadi pusat perhatian.
Saksi lain yang menarik perhatian besar adalah James Mills. Banyak orang beranggapan bahwa lelaki ini seharusnya ikut duduk dalam deretan para tertuduh. Tapi kenyataannya Mills malah menjadi seorang saksi yang cukup galak menyerang ketiga Stevens bersaudara. Dan ia membalik seluruh keterangan yang pernah ia berikan.
Jika dulu ia menyatakan tidak tahu-menahu tentang percintaan istrinya dengan pendeta, kini Mills memberi kesaksian lain. Di bawah sumpah Mills mengatakan, setelah Kamis malam istrinya tetap tidak pulang, maka menjelang pagi ia pergi ke rumah Mrs. Hall. Ia ke sana untuk mengatakan kepada Mrs. Hall, janqan-jangan suaminya melarikan diri dengan Eleanor Mills, istrinya. Waktu itu Mrs. Hall menjawab, “Pasti tidak. Mereka telah mati.”
Tapi kesaksian Mills dihancurkan oleh pembela Frances Hall yang memaksa lelaki itu mengakui, bahwa menjelang malam pembunuhan, Mills membaca surat cinta istrinya kepada pendeta Hall.
Sidang berlangsung berminggu-minggu dan para juri tampak bosan dengan kesaksian-kesaksian sama yang diulang-ulang. Hingga jaksa penuntut Senator Simpson mengajukan permohonan kepada hakim agar perkara diulang. Sebab, kata jaksa para juri tidak memperhatikan pembuktiannya yang begitu jelas.
Tapi hakim tidak mengabulkan permintaan Simpson. Setelah itu pembela Frances Hall melancarkan serangan. Dengan panjang lebar ia berusaha menjelaskan, sangat mungkin Jane Gibson sendirilah yang melepaskan tembakan yang katanya ia dengar itu. Ini senjata yang cukup kuat untuk menaburkan benih-benih keraguan dalam hati para juri. Bukankah wanita itu mengakui sendiri bahwa malam itu ia keluar untuk mencari pencuri?
Apakah tidak masuk akal bahwa dia menembak pendeta Hall dan kekasihnya karena mengira bahwa ia berhadapan dengan orang yang dicarinya?
Jaksa Simpson membalas dengan menekankan bahwa Mrs. Frances Hall bereaksi terlalu dingin dan terlalu tenang bagi seorang istri yang sekonyong-konyong mendengar suaminya terbunuh secara kejam. Apabila diingat bahwa menurut pengakuannya kehidupan perkawinannya bahagia. Ia menunjuk pada kenyataan bahwa Mrs. Frances Hall sedikit pun tidak tampak haru selama sidang.
Selesai adu kuat antara jaksa dan pembela, juri mengundurkan diri untuk bersidang. Tak kurang dari 5 jam berlalu sebelum mereka keluar. Dan keputusan mereka berbunyi “tidak bersalah”. Ketiga Stevens bersaudara dinyatakan bebas.
Ketika keluar dari ruang pengadilan, James Mills diserbu para wartawan. Diminta komentarnya, lelaki itu hanya menjawab singkat: “Uang dapat membeli apa saja.” Ia menolak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Demikianlah perkara pembunuhan ganda di De Bussey’s Lane ini yang dalam sejarah peradilan Amerika tercatat sebagai salah satu perkara sensasional yang tidak terpecahkan.
(Leonard Gribble)
Baca Juga: Tragedi Sebuah Perkawinan
" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799211/tragedi-percintaan-seorang-pendeta" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690566070000) } } [13]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799242" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/13-gara-gara-seorang-bintang-fil-20230728053948.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(147) "George Murray dan istrinya hidup bahagia. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan selamanya. Suatu hari, George ditemukan tewas tertembak di kamarnya." ["section"]=> object(stdClass)#172 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/13-gara-gara-seorang-bintang-fil-20230728053948.jpg" ["title"]=> string(30) "Gara-Gara Seorang Bintang Film" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:39:57" ["content"]=> string(22811) "
Intisari-Online.com - George Murray dan istrinya hidup bahagia. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan selamanya. Suatu hari, George ditemukan tewas tertembak di kamarnya.
----------
George Murray adalah seorang pengusaha sukses di San Juan, Filipina. Bagi wanita, ia adalah lelaki idaman: kaya, tampan, dan bertubuh atletis. Perusahaannya, ETRACO (singkatan dari Equipment Trading Company), bergerak di bidang perdagangan berbagai alat dan perlengkapan teknik. Murray bendahara dan sekaligus pemilik setengah dari kekayaaan perusahaan.
Lelaki ini berasal dari Kansas City, Amerika Serikat. Pernah menjadi penyelidik kriminal dalam ketentaraan AS. Untuk posisinya itu, ia bertugas di Eropa, ikut membongkar perdagangan barang-barang ilegal, termasuk narkotika. Ketika Perang Dunia II berakhir, George Murray berada di Filipina dan tetap tinggal di negara ini.
la pandai bergaul dan mempunyai koneksi luas di kalangan politisi muda di Filipina. Murray tidak banyak bicara tentang aktivitas perusahaannya. Kadang-kadang ia menghilang dengan kapal pesiarnya yang bernama Mistress. Namun beberapa waktu kemudian, dia pun muncul lagi. Salah satu kapalnya sering bertolak dari pelabuhan bila malam telah tiba.
George Murray menikah dengan seorang wanita Filipina bernama Esther del Rosario. Perkawinan dengan janda muda yang memiliki empat orang anak dari almarhum suaminya itu, terjadi pada tahun 1947. Esther seorang istri yang baik dan terhormat. Perkawinan pertamanya bahagia tapi suaminya tidak berumur panjang.
Setelah beberapa waktu hidup menjanda, Esther tidak menolak lamaran pengusaha asal Amerika yang tampan lagi kaya itu. Perkawinan kedua ini pun membuat iri banyak wanita. Hubungan George Murray dengan istrinya sangat mesra.
Ketika itu tanggal 13 Agustus 1949. Murray dan istrinya menikmati ketenangan suasana sore di rumahnya. Mendengarkan musik di radio. Dan bila musiknya enak didengar, mereka akan berdansa.
Jam 11 malam George Murray pamit pada istrinya dan mengatakan bahwa ia akan ke Manila. Tidak lama, hanya mau menemui seorang relasi yang akan bertolak ke Hong Kong keesokan harinya.
Esther tidak bertanya apa-apa bila suaminya bepergian untuk urusan kerja. Dan Murray sendiri juga tidak pernah melibatkan istrinya dengan suka duka pekerjaannya sebagai pengusaha. Ketika Murray pamit akan ke Manila, Esther juga tidak bertanya mengapa urusan dengan relasi dari Hongkong itu tidak diselesaikan di siang hari. Tapi Esther tidak bisa menghilangkan kecurigaan bahwa jangan-jangan kepergian suaminya itu ada kaitannya dengan wanita lain.
Setelah berpamitan, Murray berangkat dengan mobil Cadillacnya ke Manila. Langit agak mendung dan ketika hampir sampai di tempat tujuan, hujan pun turun. la gelisah ketika terlambat sampai di Riviera, sebuah klub malam. Tapi orang yang dicarinya ternyata masih duduk dan menunggu. Ia seorang bintang film. Namanya Carol Varga.
Murray mengenal gadis muda belia yang berambut hitam dan bermata kelam ini sejak beberapa waktu lalu. Saat itu kapal pesiarnya, Mistress, disewa untuk pembuatan film Sagur. Dalam film tersebut, Carol merupakan pemeran utama. Murray dan Carol tertarik satu sama sama lain. Carol memang cantik. Dan Murray memiliki kelebihan-kelebihan yang sering digambarkan pada seorang tokoh utama dalam film: maskulin, dinamik, tampan, dan kaya.
Hubungan mesra pun terjalin. Murray dan Carol sering melakukan kencan rahasia. Hubungan asmara pun semakin erat. Dan semuanya itu disembunyikan oleh Murray dari istrinya.
Pertemuan pada tanggal 13 Agustus 1949 di Riviera juga penuh dengan kemesraan. Seperti sepasang suami istri yang sedang berbulan madu, mereka menikmati keintiman di lantai dansa. Diselingi duduk berdua sambil menyesap anggur.
“Aku ingin menikahimu, Carol,” kata Murray sambil membuai kekasihnya di lantai dansa.
“Kamu sudah beristri,” jawab gadis itu.
“Itulah masalahnya, namun aku bisa mencari jalan keluar. Bagaimana dengan kamu sendiri? Apakah kamu bersedia menjadi istriku?”
“Ya, jika kamu bebas, George.”
“Itulah kata-kata yang sejak lama kutunggu darimu.”
Itulah keterangan Carol Varga tentang pertemuannya dengan George Murray malam itu. Dan Gadis ini menambahkan bahwa George malam itu dalam suasana mesra berkata, “Jika mati, aku berharap berada dalam pelukanmu.”
Ini kata-kata yang tidak akan mudah diucapkan oleh seorang laki-laki yang tahu kehalusan perasaan seorang kekasih. Tapi pada saat itu, kata Carol Varga, barangkali George Murray dalam keadaan agak mabuk. Pasalnya, ia terlalu banyak minum anggur.
Menjelang jam 4 pagi, kedua kekasih itu berpisah. George Murray kembali ke San Juan. Ia langsung tidur begitu sampai di rumah karena terlalu lelah. Semua pakaiannya ditanggalkan, kecuali pakaian dalamnya.
Untuk terakhir kali ia memejamkan matanya. Sebab tak lama kemudian, sejumlah peluru mengakhiri hidupnya. Satu peluru menembus antara kedua matanya sehingga meninggalkan pecahan-pecahan tulang. Yang kedua melubangi sudut kanan mulutnya, membuat gigi-giginya menonjol keluar dari celah-celah bibir. Muka yang tampan itu berubah menjadi pemandangan yang mengerikan.
Seakan masih belum cukup, dua peluru lagi ditembakkan. Satu mengenai leher, satunya lagi menembus jantung. Kedua tembakan ini sebetulnya tidak perlu dilakukan sebab korban pasti sudah tidak bernyawa akibat dua tembakan sebelumnya.
Bunyi tembakan membangunkan ketiga anjing boxer milik tuan rumah. Anjing-anjing itu menyalak keras. Penduduk San Juan bangun dalam suasana riuh karena pembunuhan yang terjadi pagi itu.
Polisi yang diberitahu lewat telepon pun segera datang. Mereka menjumpai Nyonya Murray yang bermuka muram. Keempat anaknya ketakutan dan semua berada di dekat nyonya yang malang itu.
Polisi memeriksa seluruh isi kamar. Jendela kamar terbuka. Gorden dan lantai dekat jendela basah karena air hujan yang masuk akibat tertiup angin. Tampaknya pembunuh menyelinap lewat jendela itu untuk masuk ke dalam kamar tidur yang terletak di tingkat atas. Rumah Murray bertingkat dua.
Senjata api yang digunakan untuk membunuh Murray tidak ditemukan di lokasi. Meja tulis almarhum dan laci-lacinya diperiksa. Di sana ditemukan beberapa berkas korespondensi. Di antara surat-surat itu, ada yang menjelaskan tentang aktivitas kapal Mistress.
Kapal milik Murray ini ternyata sering digunakan untuk penyelundupan. Seperti untuk mengangkut senapan-senapan, mesiu, radio, dan onderdil mobil. Semua itu dibawa ke pantai-pantai terpencil di Malaysia dan Indonesia. Penadahnya adalah kaum pemberontak dan perusuh.
Mengenai kejadian pagi itu, Nyonya Murray memberi keterangan sebagai berikut. “Ketika George datang dan naik ke ranjang, ia berpesan agar jangan dibangunkan sebelum jam 10.00 pagi. Saya tidak bisa tidur. Karena sudah pagi, saya turun ke lantai bawah. Saya kemudian membuat kopi. Ketika mau minum, saya mendengar suara tembakan dari atas. Saya lari ke atas dan berpapasan dengan pembantu. Saya ke kamar anak-anak. Ternyata mereka tidak apa-apa. Kemudian ke kamar kami, George sudah berlumuran darah. Saya menjerit ‘Kenapa kau, George?’ Tapi ia sudah meninggal.”
Kemudian Nyonya Murray menyuruh anak perempuannya yang paling tua untuk turun dan membangunkan Jose Tagle, sopir keluarga. Tagle diminta untuk segera memanggil dokter.
“Itu saja yang saya alami dan ketahui,” jawab wanita itu.
Polisi bertanya apakah suaminya punya musuh.
“George memang punya beberapa musuh. Dan ia beberapa kali mendapat ancaman. Itulah sebabnya mengapa ia membawa revolver.” Tetapi senjata api milik Murray ini tidak dapat ditemukan.
Kegiatan Murray terkait perdagangan ilegal disorot polisi yang mencari titik terang dalam pengusutan peristiwa pembunuhan ini. Salah satu surat yang ditemukan di kamar Murray, diposkan di Hongkong. Pengirimnya, yang bernama Stewart, memesan amunisi M-1 kaliber 30 sebanyak 12.000 buah. Ia memintanya agar dikirim segera dengan kapal Mistress.
Masih ada surat lain, dari kapten Johnson, yang memberitahukan bahwa kiriman senjata dan amunisi sudah diterimanya dengan aman di suatu pantai di Malaysia. Johnson menambahkan, selama beberapa hari terakhir ia diawasi terus menerus oleh polisi Singapura. Johnson menyarankan kepada Murray agar berhati-hati.
Penyelidikan selanjutnya menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan Murray sejak bebas dari ketentaraan AS, memang meragukan. Ia berhenti dari dinas militer dengan rencana yang jelas. Pengetahuannya tentang kelebihan persediaan senjata dalam tentara AS di Filipina ia manfaatkan dengan baik.
Murray menjalin hubungan dengan orang-orang yang bisa membantunya dalam hal modal. Bisa dipahami bahwa mereka itu adalah petualang. Untuk kelancaran jalannya usaha mendapatkan senjata, Murray mendekati pula sejumlah politisi dan pejabat. Dengan memberi balas jasa, segalanya dapat berjalan dengan lancar. George Murray mendadak mempunyai semacam monopoli di Manila. Tanpa banyak kesulitan, ia dapat membayar kembali pinjaman-pinjamannya kepada relasi petualangnya.
Salah satu objek yang paling menguntungkan baginya ialah gudang alat-alat perang yang disebut Basis R. Gudang itu memiliki luas puluhan hektar. Murray berhasil mendapatkan kontrak dengan pemerintah Filipina untuk memindahkah persediaan barang-barang dari Basis R itu ke pos-pos tertentu.
Pengangkutan alat-alat perang oleh truk ETRACO ini kemudian menimbulkan kehebohan. Banyak material dan alat-alat lain hilang. Peti-peti yang seharusnya berisi senjata-senjata terbaru dari AS dan amunisi, ternyata hanya berisi kabel-kabel saja. Bahkan adakalanya peti itu kosong. Tidak ada pengecekan sistematis tentang peti dan kotak yang diangkut oleh perusahaan ETRACO itu. Peti-peti dalam keadaan terpaku rapat, bertumpuk-tumpuk, dan tertutup debu serta sarang Iaba-laba.
Skandal ini disorot oleh pers. Surat kabar setempat, Herald, menulis bahwa sejumlah tokoh-tokoh penting tersangkut dalam skandal ini. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh di lingkungan pemerintahan. Karena itu, menurut surat kabar, para penyidik diingatkan untuk berhati-hati saat melakukan penyidikan terhadap para tokoh yang terlibat.
Polisi berhasil menyingkap tabir komplotan perdagangan ilegal yang sangat berani ini. Dengan itu, timbul berbagai dugaan perihal penyebab kematian George Murray. Kemungkinan kematiannya berkaitan erat dengan tokoh-tokoh perdagangan ilegal ini.
Apakah George Murray oleh relasi-relasinya dianggap mengetahui terlalu banyak rahasia sehingga mereka merasa lebih baik untuk menyingkirkannya? Barangkali lelaki ambisius ini menjadi tamak dan ingin memperoleh bagian keuntungan yang terlalu besar? Ataukah mungkin terjadi semacam adu kekuatan di kalangan komplotan dan Murray memeras Iawan-lawannya dengan pengetahuan tentang rahasia mereka?
Di samping mencari petunjuk-petunjuk soal kegiatan Murray sebagai pedagang ilegal, polisi tidak mengabaikan keterangan tentang jalannya pembunuhan.
Satu hal yang aneh adalah bahwa anjing-anjing boxer milik keluarga Murray tidak menyalak ketika pembunuh masuk dari jendela. Padahal hewan itu sangat peka pendengarannya dan juga galak pada orang asing.
Suara kecil sedikit saja bisa membuat anjing-anjing itu bangun dan menggonggong. Ketiga anjing boxer itu baru mulai ribut ketika mendengar suara tembakan dari kamar tidur majikannya.
Selain itu, polisi juga tidak menemukan jejak-jejak asing di kebun maupun di rumah. Jendela kamar tidur memang terbuka hingga timbul kesan bahwa pembunuh masuk dari sana. Tapi tidak terlihat bekas-bekas tangan ataupun kaki orang yang memanjat masuk. Dan jendela juga tidak memperlihatkan tanda-tanda bekas didobrak dengan paksa. Andai jendela dicongkel, anjing-anjing yang tidur di bawah jendela itu pasti terbangun dan menyalak. Dan ini tidak terjadi.
Ada satu hal lagi yang menimbulkan kecurigaan. Nyonya Murray menerangkan kepada polisi bahwa begitu mendengar tembakan, ia lari ke atas ke kamar anak-anak dan suaminya. Ketika naik tangga, ia berpapasan dengan Maria Natal, pembantu rumah tangga mereka. Tetapi Maria Natal ini tidak dijumpai polisi ketika memeriksa rumah.
“Ke mana gadis pembantu rumah tangga itu, Nyonya Murray?”
“Tidak tahu. Saya kira, ia meninggalkan rumah karena ngeri melihat kejadian itu.”
“Apakah dia tidak berpamitan ketika meninggalkan rumah?”
“Saya tidak melihatnya lagi sejak saya berpapasan dengannya di tangga.”
Nyonya Murray tampak tenang ketika memberikan keterangan ini. Tapi salah seorang anggota kepolisian, Faustos, tidak puas mendengar penjelasannya.
Dua hal lain juga membuatnya curiga. Pertama, keesokan harinya setelah peristiwa pembunuhan itu, polisi kembali ke rumah keluarga Murray, dan memeriksa lemari pakaian. Ia melihat sehelai gaun malam tergantung di sama dalam keadaan baru dicuci. Kedua, keadaan kamar berubah. Kondisi itu berbeda dengan pemandangan setelah kejadian yang difoto oleh polisi. Foto ini memperlihatkan dua sarung tangan putih tergeletak di lantai. Kini tinggal satu sarung tangan sebelah kiri saja. Rupanya yang sebelah kanan sudah disingkirkan.
Polisi sudah berpesan kepada Nyonya Murray, bahwa benda-benda di dalam tempat kejadian tidak boleh disentuh dan dipindahkan sebelum kasus ini selesai.
Mengapa sarung tangan sebelah kanan itu disembunyikan? Apakah ada noda darahnya? Atau sarung tangan itu hangus karena mesiu? Mengapa gaun malam Nyonya Murray segera dicuci? Apakah untuk menghilangkan noda-noda darah?
Faustos beranggapan lebih baik tidak menanyai Nyonya Murray secara langsung. Ia merasa lebih baik untuk mendapatkan keterangan dari Maria Natal, si pembantu rumah tangga. Oleh karena itu, Maria Natal harus segera ditemukan.
Faustos keluar rumah dan menjelajahi halamannya yang luas. Di sana banyak semak-semak. Di antara semak-semak itu terdapat jalan sempit.
Faustos mengikuti jalan di tengah semak belukar ini. Ternyata ia sampai pada sebuah pintu kayu. Gerendelnya ia putar. Pintu terbuka dan Faustos melihat sebuah jalan berlapis plesteran semen. Ia mengikuti jalan itu hingga tiba di sebuah rumah yang tersembunyi di belakang pepohonan.
Pintu rumah ia ketuk. Seorang gadis membukakannya. Gadis itu ialah Maria Natal. Dalam kondisi ketakutan, Maria menceritakan apa yang diketahuinya.
Ia disembunyikan oleh nyonya rumah di tempat itu, sebelum rombongan polisi tiba untuk mengadakan pemeriksaan. Menurut gadis ini, Nyonya Murray berpesan, “Kamu tinggal di sini, jangan sampai terlihat oleh siapa pun.”
Maria Natal tidak dibawa kembali ke rumah majikannya, tapi langsung diangkut ke markas polisi. Di sana ia dimintai keterangan dan harus menandatangani surat pernyataan.
Kisah Maria Natal sebagai berikut.
“Jam setengah lima pagi saya dibangunkan oleh Nyonya Murray. Ia masuk ke kamarnya sambil menggendong putra bungsunya yang tidak bisa tidur. ‘Eddie tidak bisa tidur, biar ia tidur dengan kami,’ katanya. Kemudian Nyonya Murray keluar. Kira-kira setengah menit kemudian, saya mendengar letusan tembakan. Saya keluar dan turun ke lantai bawah menuju ke kamar kecil. Saya melihat Nyonya Murray keluar dari kamar tidurnya. Ia turun ke lantai bawah, lalu kembali lagi ke atas. Ketika saya naik lagi ke lantai atas, saya melongok ke kamar tidur. Saya melihat Nyonya Murray berdiri di situ dengan anak-anaknya. Tuan Murray tergeletak di ranjang dan berlumuran darah.”
Selanjutnya, kata Maria, Nyonya Murray berpesan kepadanya: “Jika kamu ditanya, jawab bahwa kamu mendengar bunyi seperti letusan gas mobil dan bahwa kamu duga mendengar anjing-anjing menyalak. Katakan bahwa saya saat itu ada di dapur dan kamu berpapasan dengan saya di tangga ketika kamu turun ke lantai bawah.”
Maria tidak mendengar anjing menggonggong sebelum ada letusan tembakan. Dan sore harinya, ia telah menutup dan mengunci pintu menuju ke lantai atas.
Pembantu rumah tangga itu cukup awas mengamati kehidupan majikannya. Ia tahu bahwa Tuan Murray selalu membawa senjata api. Pada waktu tidur, senjata itu biasanya disimpan di bawah bantal atau diletakkan di atas meja; di samping ranjang. Sebelum berangkat ke Manila, pada tanggal 13 Agustus yang naas itu, Tuan Murray bertanya kepada istrinya apakah ia melihat revolvernya. Nyonya Murray mengaku tidak melihatnya.
Menurut Maria yang mendengar percakapan ini, Nyonya Murray berbohong. Sebab gadis itu melihat Nyonya Murray menyembunyikan senjata api itu di dalam kotak jahitnya.
Wanita ini, yang dengan lemah lembut dan sabar berusaha mempertahankan kemesraan hubungan dengan suaminya, ternyata tidak buta terhadap permainan suaminya. Ia masih bisa berdansa mesra dengan suami yang tidak setia itu. Tepat sebelum sang suami pergi menemui kekasih gelapnya di Riviera.
Setelah ditekan-tekan oleh polisi, sopir Nyonya Murray akhirnya memberikan keterangan tambahan. Begitu mendengar tembakan-tembakan, ia melongok dari jendela kamarnya di dekat garasi. Dan ia melihat bayangan seorang wanita di balkon, di luar kamar tidur majikannya. Wanita itu, tentunya Nyonya Murray, melemparkan sesuatu ke kandang anjing di bawah. Suaranya seperti sebuah logam yang dilemparkan dari atas.
Kandang anjing kemudian diperiksa. Ditemukan sebuah revolver, di dekat salah seekor anjing. Pemeriksaan senjata dan perbandingan dengan peluru-peluru yang ditemukan, membuktikan bahwa revolver itulah senjata untuk membunuh.
Nyonya Murray atas desakan polisi terpaksa menyerahkan sarung tangan sebelah kanan yang disembunyikannya. Ketika diperiksa, ternyata terdapat sisa-sisa nitrat pada sarung tangan ini. Tentunya nitrat tersebut berasal dari ledakan peluru. Atas pertanyaan polisi, Nyonya Esther Murray mencoba memberikan keterangan lain. Katanya, dengan sarung tangan itu ia mengambil pupuk nitrat untuk tanaman-tanamannya di kebun.
Esther del Rosario Murray ditahan atas tuduhan membunuh suaminya. Proses peradilan menimbulkan banyak sensasi. Nyonya Murray tetap berpegang teguh pada pernyataannya yang semula bahwa suaminya dibunuh oleh orang yang masuk ke dalam rumah lewat jendela. Pembela berusaha menyelamatkan kliennya dengan teori pembunuhan oleh tokoh-tokoh yang berkaitan dengan perdagangan ilegal.
Teori ini memang menarik, tapi bukti-buktinya tidak kuat. Bukti-bukti dan keterangan saksi mengarah pada Esther del Rosario Murray sebagai pembunuh. Wanita ini, yang dalam perkawinan pertama pernah merasakan cinta dan kebahagiaan, ingin mempertahankan kebahagiaan dengan suami keduanya. Awalnya ia mencoba dengan kelembutan. Namun ketika tidak berhasil, ia pun memilih jalan kekerasan. Ia memukul lebih dulu sebelum George Murray sempat menghancurkan kebahagiaannya dengan berselingkuh.
Hakim Ceferino de los Santos membacakan keputusan pengadilan. Sidang menyatakan tertuduh bersalah. Esther del Rosario Murray dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Beberapa kali permohonan naik banding diajukan. Tapi tidak berhasil. BuIan Oktober 1959 ia mulai menjalani hukumannya.
(Leonard Gribble)
Baca Juga: Siapakah Pembunuh Petani Kaya Itu
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799242/gara-gara-seorang-bintang-film" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565997000) } } [14]=> object(stdClass)#173 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799249" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#174 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/mencari-alibi-sebagai-almarhumj-20230728053857.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#175 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Suami istri Featon ditemukan tewas. Keduanya tampak seperti telah melakukan bunuh diri, namun polisi menduga mereka adalah korban pembunuhan." ["section"]=> object(stdClass)#176 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/mencari-alibi-sebagai-almarhumj-20230728053857.jpg" ["title"]=> string(30) "Mencari Alibi sebagai Almarhum" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:39:07" ["content"]=> string(25259) "
Intisari Plus - Suami istri Featon ditemukan tewas. Keduanya tampak seperti telah melakukan bunuh diri, namun polisi menduga mereka adalah korban pembunuhan.
----------
Pagi hari tanggal 12 Februari 1962, Kepolisian Melbourne bagian perkara pembunuhan mendapat laporan. Di Hillstreet 17 Blackborn sepasang suami istri ditemukan tewas di kamarnya. Regu penyelidik segera datang, dipimpin oleh Inspektur Kepala Anthony Forrester.
Tampaknya kejadian di Hillstreet itu merupakan peristiwa bunuh diri. Nyonya rumah tergeletak di tempat tidur, pelipisnya tertembus peluru revolver kaliber 7.65. Suaminya menggantung diri di kamar itu juga, setelah sebelumnya mencoba mengakhiri hidupnya dengan tembakan. Revolvernya sudah kosong, tanpa peluru — masih terletak di lantai dekat tangga yang rupanya digunakan untuk memanjat ketika lelaki itu hendak menggantung diri.
Kamar diperiksa. Di atas meja dekat tempat tidur ditemukan sepucuk surat. Dalam surat itu tertulis kata-kata, “Even in the death we will be together.” (Meski dalam kematian, kita akan selalu bersama.)
Inspektur Forrester memerintahkan supaya sidik jari para korban diambil. “Periksa juga bekas-bekas sidik jari pada revolver, untuk mengetahui siapa menembak siapa,” tambahnya.
Seluruh isi kamar kini diteliti. Dalam laci meja dekat ranjang ditemukan sepucuk revolver FN. Dengan saputangan Forrester mengambil senjata itu. Revolver yang satu ini ternyata masih penuh dengan peluru. Pelatuknya terkunci.
Aneh, pikir Forrester, bahwa tuan rumah tidak menggunakan revolver yang masih penuh ini untuk mengakhiri hidupnya. Tadinya Forrester mengira lelaki itu menggantung diri karena peluru revolvernya (yang lain) telah habis.
Kini sang inspektur menjadi curiga. Sekali lagi ia mengamati surat yang ditinggalkan almarhum. Kertasnya bergaris, sobekan dari bloknot surat. Tulisannya canggung.
Forrester mencari contoh tulisan lain dari almarhum. Dilihatnya jas tersampir pada sandaran kursi. Dalam salah satu kantongnya ia temukan dompet. Isinya beberapa lembar uang kertas dan surat identitas dengan foto almarhum. Berdasarkan surat identitas ini diketahui bahwa lelaki yang meninggal tergantung itu bernama Robert J. Featon. Lahir tanggal 28 Mei 1925 di London. Pekerjaan insinyur. Tanda tangan di bawah foto ditulis dengan gerak tangan yang lancar — tulisan orang yang terpelajar.
Jelas bahwa tulisan tangan ini berbeda dengan tulisan pada surat yang ditemukan di atas meja dekat ranjang. Tulisan pada “surat wasiat” itu menunjukkan ciri-ciri berikut. Rupanya penulis tadinya bermaksud menulis dengan huruf cetak. Huruf e pertama dalam kata “Even” ditulis dengan huruf besar cetak, tapi disusul oleh “ven” yang dengan huruf tulis. Setelah itu semua huruf-huruf adalah huruf tulis. Selanjutnya huruf t ditulis dengan coretan horisontal yang berciri khas dan sama sekali berbeda dengan huruf t pada kata-kata “Robert Featon” dalam surat identitas almarhum.
Mungkinkah surat itu ditulis oleh isteri almarhum? Lemari dalam kamar digeledah. Ditemukan beberapa tas tangan wanita. Di dalam salah satu tas tangan, Inspektur Forrester berhasil menemukan surat identitas nyonya rumah. Tanda tangan di bawah fotonya “Fritia Featon Dierck”. Tanda tangan itu juga menunjukkan jenis tulisan yang berbeda dengan tulisan pada “surat wasiat”.
Timbul dugaan kuat bahwa suami istri itu tidak bunuh diri, melainkan dibunuh oleh seseorang. Sekali lagi Forrester memeriksa luka tembakan pada Robert Featon. Rupanya peluru hanya menyerempet saja. Barangkali tembakan ini hanya membuat Featon pingsan? Dan kemudian mengatur keadaan sedemikian rupa hingga timbul kesan seolah-olah Featon dan istrinya bunuh diri?
“Nicols,” kata Inspektur Forrester kepada anak buahnya, “Pergilah ke toko dan beli lakban ukuran 2,5 cm.” Dengan ini, inspektur polisi berniat mempraktikkan suatu cara penyelidikan baru yang belum pernah dicoba di Australia saat itu.
Forrester mengetahuinya dari sebuah artikel yang ditulis Wolfson, seorang ahli kriminologi dari Universitas Cambridge. Dalam artikel itu, Wolfson mengulas suatu metode yang dikembangkan oleh orang Swiss yang bernama Frei dan Dr. Berg dari Jerman. Itu adalah metode untuk mendapatkan bukti-bukti di tempat kejadian.
Dasar pemikiran dan cara-caranya sebetulnya sederhana. Di tempat kejadian, pelaku dapat meninggalkan bekas-bekas berupa serat-serat halus yang berasal dari pakaiannya. Gesekan pakaian dengan benda-benda tertentu dapat mengakibatkan tertinggalnya serat-serat halus pada benda-benda tersebut. Serat-serat halus yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang itu dapat dikumpulkan dengan lakban. Caranya dengan menempelkan pita plastik yang berperekat pada benda-benda yang ada di tempat kejadian. Serat-serat halus itu akan menempel pada lakban dan kemudian bisa diperiksa dengan mikroskop di laboratorium.
Dalam penyelidikan kematian di Hillstreet 17, Inspektur Forrester berpendapat sebagai berikut. Apabila benar Robert Featon menggantung diri, maka di tangannya yang menyentuh tali gantung, seharusnya ditemukan serat-serat halus tali tersebut. Bila ia digantung oleh orang lain, maka di tangannya tidak akan ditemukan serat-serat halus tali tersebut.
Setelah Nicols kembali, Forrester melakukan pengambilan serat-serat halus yang mungkin tertempel pada tangan Featon dengan sistem lakban itu.
Pengambilan dilakukan secara sistematis. lakban ditempel pada jari kelingking tangan kanan, dilepaskan lagi, kemudian dilipat hingga serat2 halus (jika ini ada) tersimpan aman di dalam lipatan. Itu dilakukan pada semua jari hingga telapak tangan. Tiap potongan lakban ditandai, misalnya tangan kanan, jari kelingking, dan sebagainya.
Pencarian bukti-bukti dengan sistem lakban ini juga dilakukan pada lengan dan bagian muka piama yang dipakai korban. Tindakan ini dilakukan oleh Inspektur Forrester atas dasar pemikiran berikut. Jika Featon mati terbunuh, mungkin sebelumnya ia terlibat dalam perkelahian dengan pembunuhnya. Sehingga ia mungkin sekali ia bergumul dan bersentuhan dengan pembunuh itu. Sesuatu yang tertempel pada piama Featon kelak akan berguna dalam pembuktian, bila pembunuhnya ditemukan.
Kemudian Forrester menggarap soal tangga. Tangga ini tergeletak di lantai. Dari posisinya diperoleh kesan seolah-olah Featon menggunakan tangga tersebut untuk naik ke atas guna menggantung diri, kemudian menendangnya hingga tangga itu terjatuh di lantai.
Inspektur membayangkan apa saja yang diperbuat orang yang menggunakan tangga itu untuk gantung diri atau untuk menggantung seseorang. Ia bayangkan bagian-bagian mana dari tangga itu yang bersentuhan dengan orang yang bersangkutan dan pakaiannya. Berdasarkan perkiraan itu, kemudian Forrester melakukan sistem lakban.
Kini perlu diselidiki pula, dari mana masuknya pembunuh ke dalam kamar. Tidak ada jendela yang terbuka, yang dapat dilalui orang dari luar untuk menyelinap ke dalam kamar.
Selanjutnya, kebun dan pekarangan diperiksa. Terlihat jejak-jejak sepatu Iaki-laki. Polisi membuat tiruan dari jejak-jejak itu untuk diselidiki. Semua pintu-pintu diteliti. Ternyata pintu garasi tidak terkunci. Di dalamnya ada sebuah mobil milik tuan rumah, mereknya Morrison. Pintu yang terdapat pada tembok belakang garasi juga tidak terkunci. Pintu ini menuju ke garasi di depan dapur. Pintu dapur jarang dikunci. Melalui pintu garasi itulah rupanya pembunuh masuk ke dalam rumah.
Selesai memeriksa semua pintu rumah, Forrester menganggap perlu mengadakan penelitian sekali lagi. Yang menjadi sasarannya kini kamar kerja Robert Featon. Laci-laci dan kotak pada meja tulis almarhum semua terkunci. Forrester teringat bahwa di atas meja dekat ranjang di kamar tidur terdapat satu set kunci. Ia mengambil dan mencobanya. Ternyata cocok.
Di laci tengah tidak ditemukan hal-hal yang istimewa. Buku cek, buku kas, dan beberapa rekening bank — itulah beberapa isinya. Rekening-rekening bank itu memberi gambaran bahwa suami istri Featon orang yang berada. Sama sekali tak ada petunjuk bahwa Featon dan istrinya bunuh diri karena kesulitan finansial.
Forrester meneruskan penyelidikannya. Dibukanya semua laci dan Iemari kecil di bawah laci. Sampai akhirnya ia menemukan map besar berisi guntingan-guntingan koran yang jumlahnya banyak sekali.
Guntingan koran yang terletak paling atas mengejutkannya. Isinya tentang berita pembunuhan. Korbannya adalah seorang gadis umur 19 tahun, bernama Veronica Kriek dari Amsterdam. Veronica — demikian ditulis dalam guntingan koran itu — berkunjung ke rumah sahabatnya Fritia Dierck. Kemudian ia menghilang dan mayatnya ditemukan pada tanggal 18 Mei 1955 di dekat sebuah rumah sakit di Shotfield di Bedfordshire.
Membaca nama Fritia Dierck, Inspektur Forrester tersentak. Itu nama Nyonya Featon semasa gadis. Berita dalam guntingan koran itu dengan sensasional melukiskan peristiwa pembunuhan Veronica Kriek. Serba misterius. Pelakunya tidak pernah ditemukan. Juga senjata yang digunakan untuk membunuhnya. “Senjata tajam tidak pernah ditemukan, sekalipun para penyelidik telah menjelajahi tempat kejadian dengan detektor ranjau.”
Apa hubungan Fritia Dierck yang sekarang jenazahnya terbaring di kamar sebelah, dengan peristiwa pembunuhan dari tahun 1955 itu? Mungkin sama sekali tidak ada kecuali bahwa Veronica Kriek adalah sahabatnya. Bagaimanapun juga Inspektur Forrester merasa perlu menghubungi Scotland Yard untuk mengetahui duduk persoalan peristiwa pembunuhan Veronica Kriek.
Hanya beberapa hari kemudian laporan Scotland Yard telah sampai di meja Forrester. Dan memang ternyata mengandung beberapa unsur yang mungkin dapat memberikan titik terang.
Menurut laporan Scotland Yard, awalnya Robert Featon beristrikan seorang wanita bernama Gwen Hillier. Perkawinan mereka bertahan sampai tahun 1955 bulan Februari. Gwen Hillier kaya. Maka keluarga Featon dapat mempekerjakan seorang gadis pengasuh ketika anak perempuan mereka lahir tahun 1953. Gadis pengasuh itu bernama Fritia Dierck, berasal dari Belanda. Fritia gadis umur 19 tahun dari Amsterdam itu datang ke London untuk belajar bahasa Inggris.
Nyonya Hillier Featon segera melihat bahwa hubungan suaminya dengan Fritia itu lebih dari sekadar hubungan antara majikan dan pekerjanya. la tidak dapat membiarkan keadaan ini dan mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk bercerai. Sebelum sidang dimulai, Fritia Dierck pulang ke Belanda, atas saran pengacara Tuan Featon. Tujuannya agar ia dapat menghindari keharusan tampil di depan pengadilan sebagai saksi.
Setelah permohonan cerai dikabulkan, Fritia kembali lagi ke London, dengan membawa sahabatnya yang sebaya dengannya. Ia adalah Veronica Kriek. Veronica Kriek baru saja memutuskan pertunangannya dengan seorang pemuda bernama Henrick van der Louse setelah bertengkar dengannya. Lalu, dengan seizin orang tuanya, Veronica Kriek mengikuti Fritia Dierck ke London. Tujuannya adalah untuk menghindari kesempatan bertemu dengan bekas tunangannya.
Sementara itu Tuan Featon setelah bercerai, terpaksa meninggalkan rumah mantan istrinya. la mendapatkan pekerjaan sebagai insinyur elektronik di Shotfield. Fritia dan Veronica datang padanya. Ketiganya kemudian mencari sebuah rumah untuk ditinggali bersama. Featon dan Fritia Dierck yang berencana untuk menikah, mengaku sebagai suami istri.
Itulah situasi sebelum hilangnya Veronica Krieck yang jenazahnya kemudian ditemukan di dekat rumah sakit Shotfield pada tanggal 18 Mei 1955.
Sebagai orang yang dekat hubungannya dengan Veronica, Featon dan Fritia Dierck menimbulkan kecurigaan bagi polisi. Apakah mungkin Featon (yang ketika itu umur 30 tahun) merasa lebih tertarik kepada Veronica karena gadis ini wataknya lebih tenang daripada Fritia yang agak banyak tingkah? Dan hal ini membuat Fritia cemburu dan kalap hingga membunuh Veronica? Atau mungkin Featon dan Fritia bersekongkol untuk menyingkirkan Veronica karena motif ingin merampas harta miliknya? Itulah beberapa teori yang pernah muncul dalam pikiran pihak kepolisian Inggris
Dengan latar belakang teori itu, Featon dan Fritia diinterogasi polisi. Tetapi mereka memiliki alibi yang tidak dapat dibantah, hingga polisi mengeluarkan mereka dari daftar orang-orang yang dicurigai.
Orang lain yang rnenarik perhatian polisi ialah Henrick van der Louse, bekas tunangan Veronica. Mungkin saja lelaki ini patah hati, lalu mengikuti bekas tunangannya ke Inggris untuk mengajaknya berdamai kembali. Kemudian bertengkar dengan akhirnya Henrick membunuh Veronica. Tapi sangkaan ini pun tidak terbukti kebenarannya. Sebab Henrick van der Louse ialah seorang pelaut. Setelah putus pertunangannya dengan Veronica, ia pergi berlayar dengan sebuah kapal muatan. Pada waktu Veronica terbunuh di Shotfield, Henrick van der Louse berada di tengah lautan Atlantik.
Inspektur Forrester merenungkan keterangan-keterangan dari Scotland Yard itu. Mungkinkah Scotland Yard keliru? Mengapa Featon dan istrinya kemudian pindah ke Australia? Tidak mustahil bahwa van der Louse tetap mengira bahwa suami istri Featon telah membunuh bekas tunangannya dan kemudian ia membalas dendam.
Masuk akal bila van der Louse menaruh dendam terhadap Fritia Dierck karena wanita ini telah membujuk bekas tunangannya untuk mengikutinya ke Inggris. Seandainya Veronica tidak pergi ke London, barangkali pemuda itu masih bisa memperbaiki hubungannya dengan Veronica. Seandainya Veronica tidak pergi ke Inggris, ia tidak akan mati terbunuh.
Gagasan-gagasan seperti itu dapat mendorong van der Louse untuk merencanakan pembunuhan terhadap suami istri Featon. Namun semua itu masih berupa teori yang mengambang di awang-awang….
Inspektur Forrester kini menulis surat ke Kepolisian Amsterdam untuk minta keterangan tentang Henrick van der Louse. Di mana dia? Apakah mungkin sebagai pelaut sedang berlayar? Apakah ia bekerja pada kapal yang dalam pelayarannya mampir di Australia? Itulah beberapa pertanyaan yang dikemukakan oleh Forrester kepada polisi Amsterdam.
Sementara itu penelitian di laboratorium untuk meneliti serat-serat halus yang ditemukan di tempat kejadian sudah memberikan hasil.
Pertama, jelas bahwa di tangan Tuan Featon sama sekali tidak ditemukan serat yang berasal dari tali gantung yang mengakhiri hidupnya. Dengan ini diketahui bahwa lelaki itu pasti tidak menggantung dirinya sendiri. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil pemeriksaan dokter terhadap jenazah Tuan Featon. Luka tembakan yang menyerempet pelipisnya, bukan luka yang mematikan, tapi hanya luka yang membuat orang pingsan. Rupanya Featon tewas akibat digantung oleh pembunuhnya.
Kedua, pada piama dan tangga yang digunakan untuk menggantung Featon ditemukan serat dengan ukuran, jenis, dan warna yang sama. Serat-serat halus itu ditemukan pula pada pagar, tak jauh dari tempat ditemukannya jejak sepatu Iaki-laki di pekarangan. Data ini diperoleh dari pemeriksaan laboratorium yang saksama, dengan menggunakan mikroskop yang memperbesar gambar serat halus itu sampai 500 kali ukuran yang sebenarnya.
“Jika Henrick van der Louse berhasil ditemukan, mudah-mudahan persoalannya menjadi jelas,” kata Forrester kepada asistennya, Nicols. Pada tahap penyelidikan ini diperoleh keterangan tambahan. Beberapa tetangga korban menyatakan bahwa seorang Iaki-laki asing terlihat mondar-mandir di sekitar rumah suami istri Featon. Tingkah lakunya mencurigakan. Forrester berniat menunjukkan foto Henrich van der Louse kepada tetangga-tetangga korban itu, jika foto tersebut sudah dikirim dari Amsterdam.
Foto berikut keterangan-keterangan polisi Amsterdam memang datang tidak lama kemudian. Tapi informasi baru ini malah menggoyahkan teori Inspektur Forrester.
Foto tersebut ialah foto Henrick van der Louse 8 tahun yang lalu. la dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1932 di Amsterdam. Jadi pada tahun 1962, saat terjadinya pembunuhan suami istri Featon ia berusia 30 tahun.
Tanggal 3 Agustus 1955 — demikian keterangan polisi Amsterdam selanjutnya — ia kembali dari pelayaran ke Amerika Utara. Lalu berlayar dengan sebuah kapal muatan ke Hongkong. Di Singapura ia secara diam-diam meninggalkan kapal muatan itu dan berpindah ke kapal pesiar Joyita, milik seorang Inggris T.H. Miller dari Cardiff. Kapal ini hanya berukuran 70 ton tapi perlengkapannya modern. Joyita berlayar ke Kepulauan Samoa dan pada tanggal 3 Oktober 1955 singgah di Pelabuhan Apia. Setelah itu terjadi sesuatu yang menarik perhatian dunia pelayaran saat itu. Joyita tidak pernah sampai ke Pulau Tokelau, tujuan akhirnya.
5 minggu lamanya dilakukan pencarian, tetapi sia-sia. Usaha pencarian dihentikan dan kapal Joyita dianggap telah hilang. Tapi kemudian sebuah kapal muatan bernama Tuvala menemukan sisa-sisa kapal Joyita. Sudah kosong, beberapa balok dipotong dan dilepas dari kapal. Semua alat-alat, kompas, radio, dan buku log semuanya tidak ada. Bekal-bekal makanan tidak ada pula. Bangkai kapal itu masih terapung, berkat beberapa drum bensin yang sudah kosong di ruang bagasi.
Keadaan bangkai kapal ini awalnya menimbulkan pertanyaan. Apakah kapal ini sengaja dimusnahkan untuk memperoleh ganti rugi asuransi? Tapi ternyata tidak ada permohonan ganti rugi. Apakah barangkali kapal ini dibajak di tengah laut? Tapi tidak ada tanda-tanda terjadinya perkelahian atau pertempuran. Awak kapal Joyita yang berjumlah 25 orang pun menghilang. Delapan orang kulit putih, termasuk Henrick van der Louse. Apakah mereka berpetualang, mendarat di suatu pulau yang tidak dikenal untuk mencari sesuatu?
Pertanyaan-pertanyaan itu semua tidak terjawab. Dan sudah 7 tahun berlalu sejak peristiwa karamnya Joyita itu terjadi. Para awak kapal mungkin sudah meninggal semua. Jadi menyangka Henrick van der Louse sebagai pembunuh suami istri Featon berarti sama dengan berteori bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh orang yang telah almarhum!
Forrester seperti dihadapkan pada jalan buntu. Tetapi naluri detektifnya tidak juga mau menyerah. la tetap tergoda untuk terus mengikuti teori yang telah disusunnya.
Inspektur itu mendapat keterangan dari Scotland Yard bahwa suami istri Featon pada tanggal 22 Juli 1955 beremigrasi ke Australia. Bayangkan jika Henrick van der Louse, yang keranjingan nafsu balas dendam gara-gara kematian bekas tunangannya, mendengar hal itu. Sangat masuk akal bahwa pemuda itu lantas berusaha mengejar mereka. Demikian pikir Forrester yang — sebagai detektif tulen — berusaha menempatkan diri pada situasi tersangka.
Maka berangkat pulalah van der Louse ke Australia. Ini bukan suatu petualangan yang terlalu sulit baginya, mengingat ia seorang pelaut. la berpindah-pindah kapal dan akhirnya menumpang kapal pesiar Joyita yang menuju ke Kepulauan Tokelau. Di tengah jalan, kapal ini karam atau rusak. Atau barangkali Joyita sengaja dihancurkan karena motif tertentu? Bagaimanapun juga, setelah itu mungkin van der Louse berusaha menghilang dan menghapus identitasnya. Barangkali bersama semua rekan pelautnya, ia menuju ke salah satu dari sekian banyak pulau yang bertebaran di daerah sekitar. Setelah beberapa tahun, akhirnya van der Louse berhasil meninggalkan pulau tersebut dan mendarat di Australia. Barangkali sambil mengantongi surat identitas salah seorang rekannya.
Demikian Inspektur Forrester membayangkan. Dan berdasarkan gagasan-gagasan itu, ia mengeluarkan perintah untuk menangkap Henrick van der Louse. Fotonya yang berasal dari tahun 1955 disebarkan dengan beberapa keterangan bahwa buronan itu sekarang sudah tidak semuda fotonya. Kini ia berumur sekitar 30 tahun.
Dan benar! 4 hari kemudian, tanggal 28 Februari 1962 di Wollongong, polisi berhasil menahan seorang laki-laki yang wajah dan ciri-cirinya seperti terlihat dalam foto.
Laki-laki itu mengaku bernama Fred Soran, lahir tanggal 18 April 1924 di Helensville dekat Auckland, Selandia Baru. Tetapi malang baginya. Polisi pertama di Australia yang memeriksanya adalah orang yang saat Perang Dunia II pernah ditempatkan di Helensville. Hingga langsung saja bisa diketahui bahwa Fred Soran ternyata sama sekali tidak mengenal kota kelahirannya.
Henrick van der Louse belum pernah berurusan dengan polisi. Maka tidak tersedia sidik jarinya. Polisi tidak dapat membuktikan bahwa Fred Soran sama dengan Henrick van der Louse berdasarkan sidik jari.
“Anda mengira sudah aman dan terlindung dari kejaran petugas hukum dengan siasat Anda yang lihai. Rupanya di tempat kejadian Anda telah menggunakan sarung tangan hingga tidak terdapat bekas-bekas sidik jari. Tapi kami punya bukti-bukti lain,” kata Inspektur Forrester. Lalu bukti-bukti itu dikeluarkannya satu per satu.
Pertama, jejak sepatu laki-laki yang ditemukan di pekarangan keluarga Featon. Jejak ini persis sama dengan jejak sepatu yang dipakai Fred Soran, walaupun sepatu itu kini sudah agak aus.
Kedua, serat-serat tekstil yang dikumpulkan oleh Forrester di tempat kejadian dengan lakban. Pada waktu tertangkap, Fred Soran kebetulan mengenakan celana cokelat. Serat-serat celananya diperiksa di laboratorium. Ternyata tidak 100 persen terdiri dari katun. Ada campurannya berupa serat sintetis. Jenis, kekuatan, warna, dan susunan kimia serat-serat celana cokelat itu ternyata persis sama dengan serat-serat yang ditemukan oleh Forrester pada piama Robert Featon, tangga, pagar pekarangan, dan beberapa benda lainnya di kamar almarhum.
Akhirnya bukti ketiga adalah tulisan tangan Fred Soran ternyata persis sama dengan tulisan “Even in the death we will be together” di atas secarik kertas yang ditemukan di tempat pembunuhan ganda di Hillstreet 17, Blackborn itu.
Demikian pembunuh suami istri Featon berhasil diringkus. Siasatnya dengan mencari alibi sebagai almarhum tidak dapat bertahan terhadap pembuktian dari ruang laboratorium.
(Hanns Walther)
Baca Juga: Rahasia Sebuah Kapal
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799249/mencari-alibi-sebagai-almarhum" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565947000) } } [15]=> object(stdClass)#177 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3834047" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#178 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/105-petunjuk-pertama-hanya-secui-20230728053811.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#179 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Serangkaian pembunuhan terjadi di Amerika Serikat. Polisi mulai mengumpulkan petunjuk mulai dari jenis kuku hingga jejak ban mobil yang digunakan." ["section"]=> object(stdClass)#180 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/105-petunjuk-pertama-hanya-secui-20230728053811.jpg" ["title"]=> string(34) "Petunjuk Pertama hanya Secuil Kuku" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:38:21" ["content"]=> string(28563) "
Intisari Plus - Serangkaian pembunuhan terjadi di Amerika Serikat, dimulai pada tahun 1963. Polisi mulai mengumpulkan petunjuk mulai dari jenis kuku hingga jejak ban mobil yang digunakan pembunuh.
----------
Pembunuhan beruntun yang terjadi di Amerika Serikat 9 tahun yang lalu ini, mulai pada hari Senin tanggal 15 Juli 1963. John Toye, seorang pengantar susu, pagi itu dengan kendaraan- bestelannya menuju Forest Hill dari arah Los Angeles. Pada suatu ketika, setelah mendaki suatu tanjakan, di tempat yang sepi ia melihat sesosok tubuh tengkurap di pinggir jalan sebelah kiri.
Mungkin seorang pemabuk yang tertidur di tengah jalan, pikir Toye. Pandangan seperti itu tak jarang dijumpai pada hari pertama setelah akhir pekan. Tapi Toye toh berhenti untuk melihat orang itu.
Toye menjumpai pandangan yang menakutkan. Dengan matanya yang terbelalak, orang di pinggir jalan itu sudah tak bernyawa. Pada lehernya tampak bekas jari-jari pembunuh yang mencekiknya. Beberapa tempat sekitar leher berwarna biru lebam, menandakan perdarahan di bawah permukaan kulit.
Di sekitar tempat itu tak ada telepon umum dan pos polisi yang terdekat kira-kira 12 km. Maka dicegatnya sebuah mobil yang kebetulan lewat, Kepada pengendaranya, Toye minta supaya menelepon polisi di pompa bensin terdekat, sementara ia sendiri, Toye, akan menunggui korban.
Tak lama kemudian polisi sudah datang di tempat kejadian. Keadaan korban diteliti dengan saksama. Bekas-bekas pencekikan menunjukkan bahwa pembunuh mempunyai jari-jari yang ramping. Leher korban diperiksa dengan kaca-pembesar. Ternyata pada bekas jari-jari pembunuh itu tertinggal cuilan kuku berlapis lak. Rupanya si pembunuh adalah seorang wanita.
Patahan kuku yang hanya secuil itu dikirim ke laboratorium FBI. Penelitian menunjukkan bahwa kuku itu berlapis lak yang dikenal dengan nama ”Opale Rose’’ dan banyak beredar di pasaran Amerika.
Kesimpulan ini dapat dijumpai berkat suatu teknik penelitian yang disebut “pyrolysa", yaitu penguraian sistem api. Teknik ini dikembangkan khusus untuk meneliti susunan bekas-bekas cat dalam jumlah yang kecil sekali.
Caranya: bahan yang hendak diselidiki, dengan pesawat-pyolysa diurai di atas lempeng logam yang dipanasi. Pemanasan menyebabkan penguapan. Bahan yang terlepas dalam bentuk uap itu dengan alat tertentu disemprotkan di atas selembar kaca, di mana uap itu mengendap.
Pelat kaca diputar dan secara teratur pada saat-saat tertentu dihentikan. Bila pelat kaca berhenti, lempeng logam diukur suhunya. Sistem pemanasan dengan berbagai suhu yang menyebabkan berbagai penguapan bahan cat itu, memungkinkan analisa yang amat cermat, walaupun bahan cat itu hanya tersedia dalam jumlah kecil sekali. Tentu pengamatan bahan-bahan ini harus dilakukan dengan mikroskop.
Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan berbagai data. Dan berkat perbandingan-perbandingan ini lak yang ditemukan pada patahan kuku itu dapat diketahui secara lebih persis lagi. Lak itu ialah “Opale Rose’’ nomor 53, buatan firma Northam Warren di New York.
Pengetahuan tentang jenis lak kuku ini tentu saja tidak dapat secara langsung menunjukkan jejak pembunuh. Sebab lak kuku itu dijual di mana-mana di seluruh Amerika Serikat. Tetapi dalam pengusutan selanjutnya, data tentang lak kuku ini ternyata merupakan mata-rantai penting dalam usaha menemukan pelaku pembunuhan tersebut.
Pemeriksaan mayat memberikan data tambahan yang menarik. Dalam tubuh korban ditemukan suatu jenis zat pembius. Sekali lagi di sini diperoleh petunjuk bahwa si pembunuh rupanya seorang wanita. Karena secara fisik kalah kuat dengan calon korbannya, maka si penjahat terlebih dahulu harus membuatnya tak berdaya sebelum dapat mencekiknya.
Pembunuh ini cukup cerdik. Ia tidak menggunakan “tetesan-tetesan knock-out” yang kebanyakan hanya membuat korban tidur lelap. Pemeriksaan air seni terbunuh, menunjukkan bahwa wanita itu mempergunakan scopolamine yang dimasukkan ke dalam kopi. Efek zat pembius ini ialah: tangan dan kaki korban menjadi seperti lumpuh. Hingga seandainya pada saat dicekik, korban terbangun, ia tak dapat membela diri.
Zat ini masih mempunyai ciri khusus lain. Yaitu 6 sampai 8 jam setelah ditelan, zat itu tidak terdapat lagi dalam air-seni orang yang bersangkutan. Untung, korban pembunuhan tanggal 15 Juli 1963 itu ditemukan oleh Toye sebelum masa 6 sampai 8 jam itu lewat. Data tentang obat bius ini nantinya juga memegang peranan penting dalam pencarian penjahat.
Mengenai identitas korban, dengan memanfaatkan dokumentasi sidik jari pada FBI di Washington berhasil diketahui bahwa ia bernama James F. O’Hara. Ia bekas opsir angkatan laut. Pada waktu terbunuh, O’Hara bekerja sebagai wakil sebuah firma obat-obatan di San Francisco dan berada di Los Angeles dalam rangka dinas.
Kira-kira 4 minggu setelah matinya James O'Hara, terjadi lagi pembunuhan yang rupanya dilakukan oleh orang yang sama. Korban kali ini seorang laki-laki dari kalangan film Hollywood. Namanya Robert S. Merwin, seorang pemain figuran.
Merwin rupanya terbunuh Sabtu malam tanggal 10 Agustus 1963. Mayatnya ditemukan keesokan harinya di depan pagar sebuah rumah peristirahatan, tak jauh dari jalan besar L’Arroya — Seco, masih dalam kawasan Los Angeles. Mayat Merwin berlumuran darah. Ia tidak hanya dicekik sampai meninggal, tapi masih dianiaya. Para ahli jiwa dari dinas kepolisian menduga, bahwa pelaku pembunuhan ini seorang wanita yang jiwanya tak normal atau terganggu. Mungkin ini akibat pengalaman pahit dalam percintaan hingga ia menaruh benci yang mendalam terhadap kaum lelaki.
Pembunuh kali ini meninggalkan jejak lain. Ia membawa korbannya ke tempat yang sepi itu dengan mobil. Kebetulan sehari sebelumnya, di daerah itu turun hujan. Tanah lunak dan becek dengan akibat bahwa mobilnya meninggalkan bekas, yaitu jejak ban kiri depan dan belakang, tak jauh dari tempat korban ditemukan.
Dilihat dari jalur jejaknya, ban itu agaknya masih baru. Belum lagi jalan 4.000 km. Ban itu ukuran menengah. Bagi seorang pengamat yang ahli, bukan saja ban lama, tapi juga setiap ban baru mempunyai “wajah” dengan ciri-ciri khusus yang tidak terdapat pada ban baru lainnya dari pabrik yang sama. Ciri individual itu antara lain terdapat pada jalur-jalur berlekuk-lekuk atau bergerigi. Juga jejak ban ini nantinya akan membantu polisi.
Seperti dikatakan di atas, Merwin menerima ajalnya pada tanggal 10 Agustus 1963. Menurut hasil penyelidikan, Sabtu malam Minggu itu, Merwin berkencan dengan seorang wanita muda yang tinggal di hotel Monarch.
Wanita ini dibayangi polisi. Ternyata ia berkendaraan Chevrolet 1961. Tapi ban mobil ini tidak cocok dengan jejak ban di tempat pembunuhan. Dan nona itu mempergunakan lak kuku jenis dan merek lain. Lagi pula jelas bahwa ia tidak meninggalkan hotel setelah sia-sia menunggu kedatangan Merwin yang telah berjanji sore itu akan menemuinya. Alibi ini diperoleh polisi dari kesaksian suami-istri pemilik hotel, yang malam itu makan semeja dengan nona tersebut.
Baru saja seminggu berlalu telah terjadi lagi pembunuhan ketiga korbannya seorang laki-laki yang menginap di hotel Monarch. Namanya James Tool bright, kuasa sebuah perusahaan dagang. Tanggal 18 Agustus ia keluar dari hotel dan berjalan hanya beberapa puluh meter ke Garasi-Baltimore yang terletak di pinggir jalan yang sama, untuk mengambil mobilnya. Menurut rencana, ia akan pergi ke Illinois.
Memang ia jadi pergi dengan mobilnya. Tapi keesokan harinya, tanggal 19 Agustus, Toolbright sudah almarhum. Mayatnya tersembunyi dalam ruang bagasi mobilnya sendiri yang ditemukan di jalan buntu dalam hutan sepi. kira-kira 40 km dari Hollywood. Penemunya seorang pengawas hutan yang melihat mobil Toolbright diparkir seharian di tempat yang sunyi itu.
Mobil diperiksa oleh polisi. Setir, hendel ruang bagasi, tempat kunci kontak dan bagian-bagian lain, semuanya diteliti. Tapi tak ditemukan sidik jari ataupun tanda-tanda yang dapat memberi petunjuk tentang si pembunuh.
Komandan polisi, Inspektur James R. Cramer kini memerintahkan agar hotel Monarch diawasi secara ketat. Semua penghuni hotel diwawancara. Di antara para penghuni hotel terdapat seorang wanita bernama Helen Scharper, direktris sebuah toko. Sudah sejak beberapa tahun ia mengenal James Toolbright.
“James seorang pembujang. Ia sering diejek teman-temannya, karena masih saja ia belum mau kawin”, kata Helen Scharper.
Lalu wanita ini mengisahkan, bahwa ia merasa heran ketika beberapa waktu yang lalu, melihat James Toolbright bersama-sama dengan seorang wanita berambut pirang. Karena hal ini baginya luar biasa, maka Helen Scharper memperhatikan wanita itu.
Untung bagi polisi bahwa saksi yang satu ini pandai menggambar Helen Scharper yang pernah bekerja sebagai pelukis mode, membuat lukisan wanita yang dilihatnya bersama James Toolbright itu. Tentu saja berdasarkan ingatannya.
Menurut Miss Helen, wanita itu tingginya kira-kira 1.70 m. Tangan dan telapak kakinya agak besar, melebihi ukuran normal. Rambutnya dirias dengan belahan di tengah.
Berdasarkan petunjuk berupa lukisan ini, sekali lagi polisi melakukan operasi di hotel-hotel dan di stasiun-stasiun pompa bensin. Tapi hasilnya nol.
Petunjuk yang hingga kini oleh polisi belum dimanfaatkan penuh-penuh, adalah zat pembius yang tiap kali ditemukan dalam air seni korban. Timbul pikiran Inspektur James Cramer untuk menanyai apotek-apotek dan toko-toko obat, sambil memperlihatkan lukisan yang dibuat oleh Miss Helen Scharper.
Sebelum memulai operasi ini. Cramer mengunjungi ahli kimia yang memeriksa zat-zat yang ditemukan dalam tubuh para korban. Dan spesialis itu memberikan nama beberapa obat yang mengandung scopolamine.
Dalam operasi ini Inspektur Cramer bertolak dari pemikiran berikut. James Toolbright diterkam si pembunuh ketika ia meninggalkan hotel Monarch tanggal 18 Agustus dan mengambil mobilnya di Garasi Baltimore. Rupanya pembunuh menemui Toolbright ketika lelaki ini sedang berjalan kaki dari hotel ke garasi tersebut.
Korban kedua, pemain film Merwin, rupanya juga ditemui oleh pembunuh di sekitar hotel. Seperti dikatakan di atas, Merwin menjelang kematiannya bermaksud mengunjungi seorang kenalan wanita yang menginap di hotel Monarch. Tapi pada hari yang naas itu Merwin tidak muncul di hotel tersebut. Rupanya dalam perjalanan ke hotel itu ia dicegat oleh pembunuhnya.
Jadi, demikian pikir inspektur Cramer, barangkali pembunuh bertempat tinggal tak jauh dari hotel Monarch. Atau sedikitnya, mungkin ia membeli zat pembius ini di salah satu toko obat atau apotek yang letaknya tak begitu jauh dari hotel tersebut.
Maka Inspektur Cramer menginstruksikan kepada semua anak buahnya untuk menjelajahi semua apotek dan toko-toko obat sekitar, sambil membawa lukisan tersangka seperti digambar oleh Helen Scharper.
Cramer sendiri ikut serta dalam operasi ini. Dan ia beruntung. Baru kira-kira setengah jam keluar, ia memperoleh keterangan berharga dari seorang wanita, penjaga toko obat-obatan yang letaknya tak jauh dari hotel Monarch, bahkan masih di jalan yang sama, tapi sebelah ujung.
+ "Kalau tak salah, saya pernah melihat wanita itu”, kata penjaga toko ketika Cramer memperlihatkan lukisan tersangka kepadanya.
- ’’ Ia beli apa di sini?’’
+ “Wah, saya sudah lupa. Coba, sebentar O, ya, pada suatu hari ia beli arak untuk campuran kopi. Dan beli alat kecantikan. Kalau tak salah, ini”, kata penjaga toko obat itu sambil menunjuk salah satu botol kecil dengan tutup yang panjang.
Terbaca oleh Cramer tulisan di atas etikat pada botol itu: Pearl Cutex. Di atasnya, dengan huruf-huruf yang lebih kecil tertulis: Opale Rose 53. Pembuatnya: firma Northam Warren, New York.
Cramer membeli lak kuku ini, sambil bertanya, apakah wanita yang beli Cutex itu juga beli sesuatu obat tidur, misalnya scopolamine atau Bellergal. Penjaga toko obat itu geleng kepala. Ia pun menyatakan tidak tahu siapa nama wanita itu dan di mana alamatnya.
Tapi penjaga toko itu masih menambahkan suatu keterangan berharga. Wanita itu naik mobil besar berwarna putih. Ia berhenti di lapangan seberang jalan, walaupun sebetulnya mobil tidak boleh parkir di situ. Pernah pada suatu hari, wanita itu berurusan dengan polisi akibat pelanggaran peraturan lalu lintas ini.
- Apakah ia kena denda?
+ Saya tidak tahu. Saya hanya: melihat polisi memberikan selembar kertas lewat jendela mobil.
- Kapan itu terjadi?”, Cramer bertanya.
Dijawab oleh penjaga toko obat: “Kira-kira 3 minggu yang lalu”.
Jadi jika ingatan penjaga toko tidak salah, wanita yang berkendaraan mobil putih itu berurusan dengan polisi sebelum tanggal 10 Agustus. Dengan lain perkataan, menjelang pembunuhan Merwin.
Setelah mengucapkan terima kasih, Cramer langsung menuju ke markas kepolisian bagian lalu lintas dan memang dokumen pendendaan mobil putih itu berhasil ditemukan. Proses verbal polisi lalu lintas dibuat pada tanggal 8 Agustus 1963. Nomor mobilnya pun tercantum di situ: 692—573. Nomor polisi ini dikeluarkan di negara bagian Iowa.
Soal uang denda diselesaikan lewat telepon. Kuitansi tanda bukti penerimaannya pun ditemukan di bagian kas. Dan menurut kasir, orang yang menyetorkan uang denda itu seorang wanita.
Setelah mendapat keterangan ini, Inspektur Cramer menghubungi kantor bagian pengeluaran nomor polisi di Des Moines, lowa.
Instansi ini memberikan keterangan berikut. Nomor polisi 692—573 diberikan kepada sebuah mobil yang masih baru, merek Chevrolet, berwarna putih. Dan nomor itu dikeluarkan pada tanggal 6 Agustus 1963, atas nama Mr. James O’Hara.
Keterangan terakhir ini aneh sekali. Sebab korban pertama dalam rentetan pembunuhan misterius ini bernama James F. O’Hara. Dan pada tanggal 6 Agustus 1963, lelaki itu sudah 3 minggu almarhum. Seperti disebutkan di atas, ia terbunuh Minggu malam menjelang Senin tanggal 15 Juli 1963.
Pada pihak kepolisian jelas tak terjadi salah tulis. Lantas siapa yang mengurus nomor polisi tersebut atas nama almarhum? Yang jelas, untuk pengurusan ini diperlukan surat kuasa dari pemilik yang bersangkutan. Surat kuasa semacam itu memang sering diberikan oleh pembeli mobil kepada perusahaan yang menjualnya.
Masih ada hal lain yang menimbulkan tanda tanya di benak Inspektur Cramer. Nomor mobil dikeluarkan di Des Moines. Dari tempat ini ke Los Angeles terbentang jarak sepanjang 3.000 km. Sudah diketahui, bahwa ban mobil yang jejaknya, ditemukan di dekat tempat terbunuhnya Robert Merwin, baru berjalan kira-kira 4.000 km.
Jadi, apabila benar bahwa Chevrolet nomor 692—573 itu adalah kendaraan yang digunakan pembunuh untuk melakukan operasinya, maka terasa ada kejanggalan. Sebab hal itu berarti bahwa untuk melakukan pembunuhan kedua ini, penjahat bersusah payah menempuh jarak sepanjang 3.000 km! Secara teoritis, seseorang memang mungkin saja berbuat aneh seperti itu. Tapi untuk apa? Apa motifnya?
Yang jelas, sukar diterima dugaan bahwa pembunuh didorong oleh keinginan memperoleh kekayaan. Sebab bintang film Robert Merwin yang hanya pemain figuran itu, jelas tidak kaya seperti terbukti dari penyelidikan.
Di sini ada sesuatu yang tidak beres, pikir Cramer. Dan ia memutuskan, lebih baik sesegera mungkin terbang ke Des Moines untuk mendapat kejelasan tentang teka-teki ini.
Sebelum berangkat, Cramer memerintahkan mencari Chevrolet putih nomor 692—573 tersebut. Juga kegiatan menjelajahi toko-toko obat dan apotek-apotek diteruskan, untuk menemukan wanita berambut pirang yang membeli scopolamine.
Pada tahap ini pencarian pera bunuh mengalami perkembangan yang tak terduga-duga. Di lapangan terbang Des Moines Inspektur Cramer sudah ditunggu oleh rekannya. Inspektur Kerkins.
“Asisten Anda, Newman, minta kepada saya untuk menyampaikan pesan, bahwa Highway Patrol telah menemukan Chevrolet putih dengan nomor yang Anda sebutkan. Mobil itu ditemukan di jalan raya 40 sekitar Denver.
“Polisi berhasil memergoki mobil itu yang kebetulan tertahan oleh lampu merah’’.
“Mudah-mudahan ia dalam perjalanan kemari,” jawab Cramer.
Harapan ini ternyata menjadi kenyataan. Tak lama setelah Inspektur Cramer bersama Inspektur Kerkins meninggalkan lapangan terbang menuju markas polisi, dalam mobil mereka terdengar pesan radio dari para anak buah.
“P-21, Inspektur Kerkins. Harap bicara”.
Setelah Kerkins menjawab, radio meneruskan pesannya: “Berita penting untuk Inspektur Cramer dari Los Angeles. Chevrolet putih dengan nomor lowa 692—573 diparkir di depan hotel Kirkwood di Mainstreet. Mobil kami awasi terus. Minta jawaban. Selesai’’.
“Kami langsung ke sana’’, jawab Cramer singkat dan ini diteruskan oleh Kerkins ke markas pusat.
Sepuluh menit kemudian kedua detektif sudah tiba di Mainstreet. Memang, Chevrolet putih terhenti di seberang Hotel Kirkwood. Cramer dan Kerkins memarkir mobil mereka dekat pompa bensin tak jauh dari hotel. Setelah mereka turun, seorang anak buah mendekat. “Chevrolet putih sudah di situ kira-kira 20 menit yang lalu. Waktu parkir sudah habis. Mungkin pemiliknya segera datang”, katanya.
Mobil terus diawasi. Tapi pemiliknya belum juga muncul. Hujan turun dan kegelapan pun tiba. Di mana gerangan pemilik Chevrolet itu? Di Sekitar tempat itu ada 3 buah hotel: Hotel Kirkwood, Savery dan Brown. Kerkins memasuki ketiga hotel sambil membawa lukisan tersangka. Tapi tak ada petugas hotel yang mengenalnya.
Menit demi menit berlalu, Cramer sudah tidak sabar hanya mengawasi mobil saja. Akhirnya ia mengambil risiko menyelinap mendekati Chevrolet putih tersebut untuk melihat apakah bannya cocok dengan jejak ban yang ditemukan dekat tempat terbunuhnya Merwin. Ternyata mirip sekali. Tapi kepastian tidak ada. Untuk itu perlu dilakukan penyelidikan di laboratorium.
Lebih dari satu jam para detektif menunggu buronannya yang belum juga muncul. Akhirnya Cramer mengatakan kepada rekannya, ingin pergi sebentar melihat-lihat apakah di sekitar tempat itu ada toko obat atau apotek. Barangkali buronan mereka membeli obat pembius di situ.
Ditemukannya sebuah toko obat di jalan simpang. Ketika Cramer memperlihatkan lukisan wanita yang dicarinya kepada penjaga toko, ia mendapat jawaban: “ Ya, saya mengenalnya. Baru saja ia kemari’'.
- “Kapan?’’
+ “Kira-kira 2 jam yang lalu".
- “Ia beli apa?”
+ “Obat tidur Ballergal yang dalam jumlah kecil sering juga digunakan sebagai obat penenang.
- “Apakah ia sudah sering kemari?
+ “Tidak. Baru sekali ini saya melihatnya’’.
Setelah mengucapkan terima kasih, cepat-cepat Cramer kembali ke tempat rekannya. “Rupanya buronan kita sedang merencanakan lagi suatu pembunuhan. Kita harus menangkapnya sebelum jatuh seorang korban lagi’’, kata Cramer kepada rekannya.
Kini Inspektur Kerkins menyarankan untuk meneliti soal nomor polisi Chevrolet putih. Perlu diketahui, siapa yang mengurus nomor mobil itu atas nama James O’Hara. Berdasarkan pengetahuan ini, barangkali dapat diperoleh petunjuk baru. Sementara itu tentu saja pengawasan atas Chevrolet putih terus dilakukan.
Orang yang mengurus soal nomor polisi atas nama O’Hara ternyata bernama Fred Leighton, seorang pedagang mobil. Nyonya Leighton dihubungi. Diperoleh jawaban bahwa Mr. Leighton, tidak ada di rumah. Ini di luar kebiasaan. Sudah malam, belum juga pulang.
Suatu dugaan melintas di benak Cramer. Barangkali belum pulangnya Mr. Leighton ini ada hubungannya dengan kegiatan wanita pembunuh. Mungkin Fred Leighton yang atas nama James O’Hara menguruskan nomor polisi Chevrolet putih itu, tahu siapa yang mencekik lelaki malang ini. Dan kini wanita itu berniat menyingkirkan pula Fred Leighton. Bahkan mungkin niat itu sudah terlaksana. ketika itu sudah lewat tengah malam. Tetapi polisi tidak dapat menunggu. Mereka harus cepat bertindak.
Kebetulan Inspektur Kerkins mengenal Leighton secara pribadi. Segera ia menyiarkan pesan radio kepada anak buahnya: “Untuk semua! Perhatian! Dicari pedagang mobil Fred John Leighton. Tinggi 1,75 m, gemuk, agak botak, pakai kacamata. Umur kira-kira 45 tahun. Ciri-ciri khusus: bekas luka lebar pada leher sebelah kiri. Periksa semua hotel dan losmen. Jawaban ditunggu secepatnya”.
Polisi serentak bergerak. Dan beberapa menit kemudian sudah datang jawaban dari salah satu mobil patroli: Di hotel Genesee di sekitar stasiun kereta api ada seorang tamu yang mempunyai ciri-ciri yang disebutkan. Ia menginap dengan seorang wanita. Nama mereka tercatat sebagai Mr. dan Mrs. Smith. Penerima tamu yang berjaga malam itu di hotel Genesee tak dapat menyebutkan ciri-ciri Mers. Smith karena yang mengurus penginapan adalah Mr. Smith.
“Jaga semua jalan-jalan keluar. Tunggu instruksi”, perintah Kerkins, sambil menambah bahwa ia segera menuju hotel Genesee.
Mobil-mobil patroli ditambah untuk mengepung hotel. Para detektif merasa jengkel ketika ternyata bahwa beberapa wartawan telah siap mengikuti operasi tengah malam ini. Rupanya para nyamuk pers mendengarkan radio polisi.
Inspektur Cramer dan Kerkins di lift menuju ke tingkat 15. Di gang di depan kamar nomor 307 sudah siap seorang anggota polisi.
Cramer mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban dari dalam. Kerkins memberi isyarat kepada portir hotel yang ikut ke atas untuk membuka pintu dengan kunci cadangan. Ketika pintu terbuka, terdengar samar-samar suara ngantuk seorang lelaki. Para detektif merasa lega bahwa lelaki itu masih hidup.
Cramer, Kerkins dan anak buah menyerbu masuk. Di ranjang hanya terbaring seorang laki-laki. Wanita yang dicari tidak ada.
Kamar diperiksa. Salah satu jendela kamar ternyata terbuka. Cramer mendekat dan menjenguk keluar. Pada saat itu juga ia melihat kelebat bayangan tubuh seorang wanita loncat dari tonjolan tembok dekat sebuah pilar – hanya kira-kira sedepa dari jendela. Terdengar jeritan seorang wanita dan kemudian bunyi sesuatu jatuh di tanah. Sunyi senyap.
“Ia bunuh diri”, Cramer nyeletuk dengan nada kecewa. “Tak dapat kita tangkap hidup-hidup”.
Lelaki dalam ranjang memang ternyata Fred Leighton. Dengan pandangan yang kosong dan loyo, matannya terarah ke langit-langit. Rupanya ia tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Ia hanya bergumam seperti orang mengigau: “Oh, oh, tanganku seperti lumpuh”. “ Anda segera kami bawa ke rumah sakit”’ Kerkins menenangkannya. “Untung pada saat terakhir kita masih menyelamatkannya”, Cramer mengomentari.
Di atas meja dekat ranjang, Inspektur Cramer menemukan botol Whisky yang sudah setengah kosong. Di sampingnya terletak sebuah tas wanita. Di dalamnya tersimpan alat-alat kecantikan di antarannya lak kuku “Opale Rose” no.53 dan bungkusan kecil yang sudah terbuka, isinya Bellergal.
Sayang, pada almarhumah tak ditemukan paspor atau kartu identitas lain. Sementara itu, Fred Leighton ternyata tidak tahu menahu tentang pembunuhan-pembunuhan kejam yang pernah dilakukan oleh wanita misterius itu.
(Hans Walther)
Baca Juga: Pakaian Korbannya Selalu Dicabik-cabik
" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834047/petunjuk-pertama-hanya-secuil-kuku" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565901000) } } [16]=> object(stdClass)#181 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3834056" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#182 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/104-menggulung-komplotan-heroin-20230728053734.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#183 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(125) "Sepasang kekasih dari Amerika ditangkap karena menjual obat bius heroin. Polisi sampai harus menyamar sebagai pedagang gelap." ["section"]=> object(stdClass)#184 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/104-menggulung-komplotan-heroin-20230728053734.jpg" ["title"]=> string(57) "Menggulung Komplotan Heroin dari New York sampai Istanbul" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:37:43" ["content"]=> string(24168) "
Intisari Plus - Sepasang kekasih dari Amerika ditangkap karena menjual obat bius heroin. Polisi sampai harus menyamar sebagai pedagang gelap dan harus mengimpor heroin sendiri.
----------
Kisahnya bermula di Los Angeles. Tanggal 11 Januari 1965 seorang warga negara Amerika bernama Louis Berteloni dan pacarnya Sheila Ann Greenlee, ditangkap karena kedapatan menjual obat bius jenis heroin.
Pemeriksaan oleh polisi membuktikan bahwa Sheila Greenlee selama bulan-bulan terakhir seringkali mondar-mandir ke Detroit. Gadis itu memang lama tinggal di kota terakhir ini. Ia anak perempuan seorang imigran Arab. Umur 18 tahun Sheila pindah ke Los Angeles. Sementara itu orang tuanya sudah meninggal dan Sheila sudah tidak punya sanak saudara lagi di Detroit.
Lalu siapa yang dikunjungi gadis itu dalam perjalanan berkali-kali ke kota tersebut? Mungkin agen-agen kecil obat bius? Polisi Bagian Narkotika bertekad membekuk mata rantai mata rantai berikutnya dalam deretan pedagang-pedagang obat bius. Untuk itu mereka minta bantuan seorang spesialis obat bius, Buck Burhan.
Detektif ini berdarah Timur, lancar berbahasa Turki dan Arab disamping fasih pula bahasa Perancis dan Spanyol. Maka ia dianggap orang yang paling tepat untuk pekerjaan pengusutan yang mungkin memerlukan pergaulan erat dengan berbagai pendatang asing.
Bagi “B.B.” — demikian Buck Burhan biasa disebut oleh rekan-rekannya — bukan tugas sederhana menemukan relasi Sheila di antara 2 juta penduduk Detroit. Sementara itu polisi berhasil menemukan sedikit madat (opium) pada salah satu kenalan Louis Berteloni yang bernama Chris Forbes. Madat dikirim ke laboratorium untuk diteliti bagaimana perbandingan bahan-bahan yang disebut alkaloide di dalamnya — yaitu codein, morfin, narkotin dan thebain. Dari susunan alkaloide itu bisa ditarik kesimpulan dari mana asal madat, dari Asia ataukah Amerika.
Mengenai madat yang ditemukan pada Chris Forbes, jelas bahwa itu berasal dari Timur Dekat. Mungkin sekali obat bius itu masuk Amerika lewat orang-orang Arab, kenalan dan sahabat Sheila Greenlee di Detroit.
Di ibukota industri mobil di dunia itu terdapat 470.000 buruh, di antaranya 13.000 orang adalah imigran-imigran dari Timur Dekat yang masuk Amerika Serikat sesudah perang dunia. Hampir semua imigran-imigran ini tinggal di bagian kota yang disebut perkampungan Armenia. Buck Burhan menyewa sebuah kamar di daerah itu. Dengan menjelajahi restoran-restoran sekitar, segera ia memperoleh gambaran tentang orang-orang yang perlu ia amati.
B.B. berusaha mendapat kepercayaan mereka dengan berlagak sebagai pedagang gelap penadah barang-barang curian, dengan sikapnya yang ramah dan pemurah, serta dengan kepandaiannya berbahasa Arab dan Turki.
Setelah beberapa waktu, Burhan melihat bahwa kenalan-kenalan yang menurut dugaannya adalah pecandu-pecandu obat bius, kerap kali keluar masuk sebuah toko kecil milik seorang Arab bernama Hussein Haider. Pada suatu hari salah seorang kenalan itu membuang secuil kertas, rupanya bekas pembungkus. Secara diam-diam Burhan memungut kertas itu. Ternyata ada sisa-sisa heroin.
Melalui salah seorang kenalannya, seorang pecandu obat bius yang sering ditolongnya (kenalan ini, seperti umumnya para pecandu obat bius, selalu kekurangan uang). Burhan berhasil berkenalan dengan Hussein Haider dan beli heroin darinya.
“Saya perlu heroin, bukan untuk saya sendiri, tapi untuk pacar saya di Chicago”, kata B.B. yang di perkampungan Armenia itu sudah dikenal sebagai orang yang punya banyak sahabat di kalangan dunia bawah tanah Chicago. “Pacar saya lebih mudah saya dekati bila saya membawa “stuff” itu”, Burhan menambahkan. Selanjutnya B.B. menyatakan ingin mencoba-coba menjadi pengedar. Hussein Haider hati-hati, karena ia tahu benar risiko-risiko usahanya. Tapi tawaran B.B. terlalu menarik untuk ditolaknya.
Burhan bayar tunai, lalu pergi ke Chicago. Beberapa hari kemudian ia kembali lagi di toko Hussein. “Tak mengira, akan laku demikian cepat”, katanya antusias. “Dapatkah saya beli lebih banyak?”
Demikianlah jual beli antara Burhan dan Hussein berlangsung selama beberapa waktu, hingga menjengkelkan kasir Kepolisian Bagian Narkotika yang harus mengeluarkan uang begitu banyak. “Buset, kenapa kita mesti menghidupi gengster-gengster itu!”, ia mengumpat.
Tapi B.B. yakin bahwa ini satu-satunya jalan untuk berhasil ia tahu betul sikap hati-hati dan penuh kecurigaan para pedagang obat bius. Syarat mutlak untuk dapat masuk lebih dalam di lingkungan mereka ialah menanamkan keyakinan, bahwa ia adalah seorang “langganan yang baik”.
Burhan berlagak “makin laris”. Dan pada suatu saat minta kepada Hussein heroin dalam jumlah yang pasti tidak akan dapat dipenuhi oleh pedagang gelap itu. Hussein minta waktu untuk membicarakan soalnya dengan seorang relasinya. Mulai saat itu gerak-gerik Hussein selalu diawasi oleh polisi. Telepon dan korespondensinya dibayangi terus menerus.
Hari berikutnya pedagang obat bius itu pergi ke Washington, di stasiun telepon seseorang, lalu naik taksi. Ia masuk sebuah restoran yang bernama “Hubbard House”. Tak lama kemudian masuk orang lain juga orang Timur. Berdua mereka omong-omong kesemuanya itu diamati oleh polisi dengan teropong dari sebuah gedung di seberang jalan.
Kenalan Hussein Haider kemudian memberikan sebuah amplop kepada pedagang obat bius dari Detroit ini. Lalu pergi. Ia terus dibuntuti. Ternyata orang ini tidak bertempat tinggal di Washington. Ia terbang kembali ke New York. Menurut daftar penumpang kapal terbang, ia bernama Hassib Hamel.
Penguntitan selanjutnya memberikan hasil berikut, Hassib Hamel tinggal di Brooklyn. Ia mempunyai sebuah toko yang menjual barang-barang keperluan pelaut dan kapal-kapal kecil. Letak toko itu tak jauh dari tempat perbaikan kapal-kapal. Pandai juga orang ini menyamar, pikir Burhan setelah mendapat laporan ini dari rekan-rekannya di New York. Pengawasan terhadap Hassib Hamel makin diperketat.
Buck Burhan kini terbang kembali ke Detroit untuk menemui Hussein Haider.
“Permintaanmu sudah saya bicarakan dengan teman saya”, Hussein melapor. “Karena kau secara teratur memerlukan heroin dalam jumlah banyak, risiko transportasi bagi kami terlalu berbahaya. Baru saja salah seorang anggota kami tertangkap ketika memasukkan heroin. Itu bukan saja kerugian finansial. Yang lebih kami takutkan ialah bila ia sampai membocorkan rahasia”.
Orang yang tertangkap yang dimaksudkan oleh Hussein Haider adalah Martin Forbes. Burhan tahu Martin Forbes ini dan ia merasa lega mendengar dari Hussein, bahwa Martin termasuk komplotannya.
Karena takut akan risikonya, maka akhirnya Hussein Haider menyarankan kepada Burhan agar mengimpor sendiri heroin. Mendengar tawaran ini, Burhan pura-pura kecewa dan ragu-ragu. Sebab kecuali banyak risiko, mengimpor sendiri juga berarti harus mengeluarkan biaya-biaya ekstra, katanya. “Jika saya mesti mengimpornya sendiri, tentu saja saya tidak dapat membeli dengan harga yang kita sepakati sejauh ini”.
“Tentu saja”, jawab Hussein. “Tapi kami juga ingin mendapat keuntungan pula sekedarnya. Dan yang lebih penting lagi kami menginginkan jangan sampai hubungan perdagangan kita terputus”.
Kini tak boleh terjadi salah langkah, pikir Burhan. Seluruh hasil susah payahnya tergantung dari tindakannya saat ini.
“Bukan maksud saya untuk memotong perdaganganmu. Kalau kau setuju, saya bersedia memberikan semacam uang jaminan”, Burhan menjawab.
Sambil mengangkat tangannya, Hussein berkata: “Oh, untuk sementara ini tidak perlu, apabila segala sesuatu berjalan dengan baik. Saya terpaksa membicarakan soal ini hanya karena saya memang diinstruksikan berbuat demikian”.
Hussein Haider merogoh sakunya, lalu mengeluarkan sebuah amplop. Isinya ia keluarkan selembar sobekan kertas berwarna hijau yang ditandai dengan garis-garis dengan cara khas. “Lihat, kertas ini dengan sengaja disobek menurut garis yang tidak teratur. Sobekannya yang cocok dengan sobekan ini, berada di tangan seorang penghubung kami di Izmir. Kau dapat menemuinya di hotel Ephesus, di bangsal penerimaan tamu, menjelang jam 10 pagi. Isyarat-isyarat pengenalnya: orang itu akan duduk pada sebuah meja. Di atas meja itu terletak sebuah amplop besar berwarna coklat dan sebuah buku merah. Tunjukkan kepadanya sobekan kertas ini. Selanjutnya kau dapat memulai perundingan.
Sudah sehari sebelum tanggal yang ditentukan (sayang, sumber tulisan ini tidak menyebutkan secara tepat tanggal itu — redaksi). Buck Burhan sudah tiba di hotel Ephesus di Izmir. Hari pertama di hotel yang mewah ini, dilewatkan Burhan di kolam renang untuk mengasokan badannya yang letih karena penerbangan. Hari berikutnya, tepat jam 10 pagi itu memasuki bangsal penerimaan tamu. Orang yang dimaksudkan oleh Hussein Haider, telah menunggunya, duduk di sebuah sudut, di atas meja di hadapannya terletak amplop coklat dan sebuah buku merah.
Burhan menghampirinya, pura-pura cari tempat, duduk. Dikeluarkannya amplop pemberian Hussein dari sakunya. Lalu ia letakkan di atas meja, demikian rupa hingga sobekan kertas hijau sedikit menonjol keluar dari amplop.
Orang itu segera menanggapi isyarat Burhan. Ia mengeluarkan sobekan kertas hijau dari buku merahnya dan menyodorkan kertas itu kepada Burhan. “Ini persis cocok dengan sobekan itu”, katanya dalam bahasa Perancis, “Silahkan mengontrolnya”.
Burhan mencocokkan sobekan kertasnya dengan sobekan yang diberikan orang itu. Memang ternyata persis cocok. “Masih capai?”, orang itu melanjutkan. “Anda tiba di sini kemarin, bukan?”
Jadi saya sudah diamati sejak kemarin, pikir Burhan mendengar pertanyaan itu. Untung sejak kedatangannya, ia belum pernah berusaha menghubungi pihak kepolisian. Memang para pedagang obat bius amat hati-hati sekali dan dalam segala tingkah laku mereka tak pernah melupakan tindakan-tindakan pengamanan.
“Apa dan berapa banyak yang anda perlukan?”
“Yang paling kami perlukan di Amerika Serikat adalah heroin. Berapa saja banyaknya, saya mau”, jawab Burhan sambil memegang tasnya, seolah-olah ia sudah siap membayar tunai pada saat itu juga.
“Sayang, saya tak punya heroin. Hanya ada opium. Tapi di Istanbul kami punya sebuah laboratorium untuk mengolah heroin dari opium. Saya kira, lebih baik Anda langsung ke sana saja”.
“Harus bepergian lagi”, Burhan pura-pura mengeluh dengah nada jengkel. Dalam hati tentu ia gembira sekali dapat menerobos lagi lebih jauh ke dalam jaringan komplotan ini.
Barangkali pertemuan antara Burhan dan “petugas penghubung” di hotel Ephesus di Izmir itu, oleh pihak gangster hanya dimaksud sebagai tindakan pengamanan. Yaitu untuk sekali lagi menguji, apakah Burhan bukan orang yang membahayakan.
Tapi, walaupun sudah sangat hati-hati, ada satu hal yang tidak diketahui oleh komplotan internasional obat bius ini. Yaitu, bahwa seorang rekan detektif dari Bagian Narkotika diam-diam mendampingi Burhan. Rekan itu sudah tiba di Izmir beberapa hari sebelum Burhan sendiri datang di kota ini dan sudah menghubungi polisi Turki. Secara diam-diam rekan itu telah pula berhasil memotret orang yang bercakap-cakap dengan Burhan di bangsal penerimaan tamu di hotel Ephesus. Orang misterius itu bernama Munib el Gurayeb, seorang warga negara Libanon yang tinggal di kota Beirut.
Di hotel Ephesus Gurayeb memberikan instruksi berikut kepada Burhan. Hari berikutnya Burhan harus terbang ke Istanbul, mengunjungi sebuah cafe kecil di jalan Sahaflar dan di situ bestel nescafe (minuman dari sari kopi). Di situ seseorang akan menemuinya. Sebagai isyarat Gurayeb memberikan kartu hotel Ephesus yang kata-katanya ada dua patah yang ia coret.
Keesokan harinya detektif itu terbang ke Istanbul. Ia menginap di hotel Divan. Cafe termaksud tanpa banyak kesukaran ia temukan. Untuk masuk ke dalam cafe tersebut Burhan harus menaiki sebuah tangga sempit. Sesuai dengan perjanjian, ia pesan nescafe. Tak lama kemudian seorang Iaki-laki umur 50-an menghampiri.
“Tuan mempunyai tanda pengenal?”, orang itu langsung bertanya, Burhan mengeluarkan kartu hotel yang telah disetujui sebagai isyarat.
“Beres”, kata orang itu setelah mengamati kartu tersebut. “Mari ikuti saya”.
Berdua mereka keluar cafe, masuk gang-gang yang berliku-liku dan penuh pedagang yang menjajakan jualannya. Burhan berpikir, jangan-jangan rekan-rekannya polisi Turki bagian narkotik tidak dapat mengikutinya. Apalagi karena penuntunnya tiap kali menerobos pintu-pintu sempit untuk menempuh jalan terdekat ke deretan-deretan tempat berjualan lainnya.
Spontan tangan kanan Burhan merogoh saku kanannya untuk meraba pemancar mini yang selalu menemaninya. Dalam keadaan darurat ia dapat memanfaatkan alat itu, dengan menekan tombol kontak yang tersembunyi di dalam sakunya sebelah kiri. Alat itu dapat menyampaikan isyarat-isyarat yang tak dapat terdengar kepada rekan-rekannya hingga mereka dapat mengetahui di mana Burhan berada pada saat itu.
Sekali lagi Burhan dan penuntunnya sampai pada sebuah pintu. Mereka harus menuruni tangga, melewati sebuah gang untuk kemudian menaiki lagi beberapa anak tangga. Sampailah mereka di pinggir sebuah mobil. “Silahkan masuk” kata penuntunnya sambil membukakan pintu.
Saat yang baik ini digunakan pemancarnya. Mudah-mudahan rekan-rekannya dapat mengetahui posisinya dan mengikutinya.
Dengan kecepatan yang tinggi sekali, mobil mengebut lewat jalan-jalan simpang menuju ke jembatan Attaturk. Setelah melewat beberapa jalan kecil, mobil berhenti didepan bangunan yang mirip sebuah gudang.
“Kita mesti ganti mobil. Yang ini agaknya kurang beres”, kata penuntunnya, Burhan tahu bahwa kata-kata ini tidak benar. Ia menduga bahwa pergantian mobil hanya dimaksud oleh komplotan sebagai tindakan pengamanan.
Dan ternyata, bahwa dengan mobil baru ini, penuntunnya membawa Burhan kembali ke Bosporus. Kendaraan meluncur dengan cepatnya. Mereka kini harus melintasi lagi jembatan Galata. Lalu lintas amat ramai hingga jalan macet. Setapak demi setapak mobil maju. Tiba-tiba Burhan melihat rekan-rekannya polisi Turki. Tentu saja Burhan tak mau memperhatikan mereka. Ia pura-pura memandang kejurusan sebuah truk yang maju selangkah lagi setelah lama macet.
Burhan kini merasa lega karena ia tahu pasti bahwa rekan polisi Turki tak kehilangan jejaknya, dan terus mengikutinya.
Mobil yang ditumpangi Burhan kini belok kanan, menuju “Pintu Gerbang Indah”. Setelah melewati gapura ini, Burhan dan penuntunnya sampai di jalan yang menuju ke Laut Marmora. Pengemudi mempercepat jalannya mobil.
Sepanjang jalan, tiap-tiap kali terlihat papan penunjuk jalan dengan kata Edenir. Bukankah ini kota kecil di perbatasan Bulgaria, Burhan berpikir.
Tapi pada suatu ketika, yaitu di belakang sebuah perkemahan militer, mobil ternyata belok kiri dan mengambil jalan simpang.
Tak lama kemudian laut kelihatan. Jalan makin lama makin jelek. Akhirnya di tengah padang sepi, mobil masuk jalan kecil yang langsung menuju pantai.
Mereka menunjuk ke sebuah vila yang letaknya terpencil dan dikelilingi oleh tembok tinggi. Sejauh mata memandang tak kelihatan perumahan. Sekeliling yang tampak hanya padang tandus. Dekat bangunan vila tampak sebuah menara — rupanya tempat penyimpanan air.
Mobil masuk pintu gerbang. Pada saat itu Burhan melihat bahwa di atas menara air ada orang berdiri dengan sebuah teropong. Rupanya menara air itu juga berfungsi sebagai tempat pengamat, untuk mengawasi keadaan sekeliling. Burhan teringat pada rekan-rekannya. Bagaimana mungkin mereka bisa mendekat tanpa diketahui penjaga menara. Padahal menurut rencana mereka akan menggerebeg pusat organisasi gelap ini.
Begitu mobil masuk halaman vila, pintu gerbang ditutup. Burhan merasa seperti seekor tikus yang masuk perangkap.
Detektif itu dibawa ke sebuah kamar besar yang mirip sebuah kantor. Sepanjang dinding tampak almari-almari dengan laci-laci dan rak-rak penuh ordner. Rupanya organisasi penjual obat bius ini bekerja rapi seperti suatu perusahaan dagang.
Di belakang sebuah media tulis duduk seorang laki-laki pendek tegap, kira-kira umur 50 tahun. Begitu melihat Burhan datang, orang itu segera berdiri dan melangkah maju untuk menyambutnya. “Amir”, orang itu memperkenalkan diri, sambil mempersilahkan Burhan mengambil tempat di kursi di depan meja tulisnya.
Lama lelaki itu memandangi Burhan, seolah-olah ingin menjajaginya dalam-dalam sebelum memulai pembicaraan bisnis. Burhan pun diam. Inilah otak komplotan perdagangan obat bius yang selama berbulan-bulan dicari.
“Saya menerima laporan, bahwa tuan bermaksud beli heroin dalam jumlah banyak. Tuan dapat beli 50 kilo, tentu saja harus bayar tunai. Harganya......”.
Kalimat ini belum terselesaikan, tiba-tiba telepon di mejanya berdering. Amir mengangkat gagang telepon dan mendadak mukanya menjadi tegang. Lalu pemimpin komplotan itu menjulurkan tangannya hendak menarik laci kanan media tulisnya. Cepat-cepat Burhan meloncat sambil menarik pestolnya. “jangan bergerak”, detektif itu berteriak sambil menodongkan moncong pistolnya.
Burhan mengambil tindakan ini karena secara insting ia menduga apa yang terjadi: Penjaga menara melihat polisi datang dan langsung menelepon Amir tentang bahaya yang mengancamnya.
Ada kemungkinan kini akan masuk seorang atau beberapa anggota komplotan untuk menyelamatkan pemimpin mereka. Burhan bersiap-siap menghadapi bahaya ini dengan mengambil posisi yang paling menguntungkan baginya, yaitu di belakang Amir dengan punggung membelakangi tembok. Dalam posisi ini ia dapat pula mengawasi pintu kamar dan melihat siapa yang masuk.
Dalam keadaan gawat ini, Burhan menekan tombol khusus pemancar hingga alat ini terus menerus memberikan isyarat. Ini berarti, bahwa rekan-rekanya harus secepat mungkin datang dan bahwa Burhan terancam bahaya maut.
Anak buah Amir membunyikan tanda bahaya. Sirene meraung-raung. Kemudian terdengar tembak-menembak. Tapi tak seorang pun datang untuk memberi pertolongan kepada Amir. Apakah anak buahnya mengira bahwa pemimpin mereka sudah lolos?
Tembak-menembak di luar makin gencar. Burhan tegang menunggu. Dalam keadaan ini detektif itu hanya bisa bertekad untuk menjual nyawanya semahal mungkin.
Terdengar langkah-langkah kaki mendekat. Burhan siap menembakkan pistolnya. Pintu dibuka dengari kasar. Dan Burhan mendengar namanya dipanggil: “Burhan, di mana kau? Ternyata suara rekannya sendiri.
“Masuk! Semuanya, sudah beres”. Burhan menjawab singkat.
Demikian pemimpin perdagangan gelap obat bius ini berhasil diringkus. Ternyata “Amir” adalah nama samaran. Namanya yang sebenarnya Abdullah Ozyrek. Vilanya digeledah dan ditemukan 320 kg opium dan heroin, laboratorium pengolah heroin, di ruang yang terletak di bawah.
Di Turki, perdagangan obat bius dilarang dan sangsinya bisa berupa hukuman mati. Untuk menyelamatkan jiwanya, Ozyrek bersedia buka mulut dan menyingkapkan rahasia-rahasia organisasi gelapnya. Maka seluruh jaringan komplotan gengster di Iran, Prancis, Italia dan beberapa negara lain dapat digulung.
Ozyrek juga mengakui, bahwa beberapa kali sebelum penangkapannya, ia mengirim heroin ke New York untuk Hassib Hamel. Obat bius selundupan ini berhasil disita di tempat dok-dok di Hudson.
Operasi ini oleh Buck Burhan diatur secara cermat. Sehari sebelum kapal muatan tiba, detektif itu sudah sampai ditempat tujuan kapal. Demikian Buck Burhan Berhasil menangkap basah Hassib Hamel — tepat pada waktu ia sedang menerima kiriman heroin dari Abdullah Ozyrek.
(Hanns Walther)
Baca Juga: Suatu Tragedi Keluarga
" ["url"]=> string(102) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834056/menggulung-komplotan-heroin-dari-new-york-sampai-istanbul" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565863000) } } [17]=> object(stdClass)#185 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3834062" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#186 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/103-pesawat-radioaktif-peningkat-20230728053552.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#187 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Seorang pemilik hotel di Spanyol ditemukan terbunuh. Penyelidikan dilakukan terhadap pisau dapur berlumuran darah dan jaket kulit dengan noda hitam." ["section"]=> object(stdClass)#188 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/103-pesawat-radioaktif-peningkat-20230728053552.jpg" ["title"]=> string(39) "Pesawat Radioaktif Peningkat Mutu Intan" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:36:55" ["content"]=> string(26815) "
Intisari Plus - Seorang pemilik hotel di Spanyol ditemukan terbunuh dengan pisau dapur di dekatnya. Penyelidikan dilakukan terhadap pisau dapur berlumuran darah dan jaket kulit dengan noda hitam.
----------
Peristiwa berikut ini terjadi pada tahun 1965. Seorang pemilik hotel di teluk San-Augustin dekat Palma de Malorca, Spanyol, ditemukan mati terbunuh di ruang makan hotelnya. Waktu itu hotel sedang sepi, hampir tak ada tamu. Mayat Valentino (demikian nama pemilik hotel itu) ditemukan di pagi hari oleh seorang gadis pembantunya — satu-satunya pekerja yang malam sebelumnya tidur di hotel tersebut.
Komisaris Murenos dari kepolisian Palma yang diberitahu tentang kejadian itu, segera datang bersama anak buahnya untuk mengadakan penyelidikan. Mayat Valentino tergeletak di lantai, dekat tangan kanannya terletak sebilah pisau dapur. Pisau besar bermata dua itu berlumur darah.
Keadaan korban menimbulkan dugaan bahwa pembunuh mencari sesuatu padanya. Sepatu dan kaos kaki korban semuanya telah dicopoti. Demikian pula jasnya, yang oleh pembunuh digunakan untuk menutupi muka korbannya. Kantong-kantong jas itu semuanya terbalik — suatu tanda bahwa pembunuh telah merogohinya. Celana korban tertarik ke bawah dan di lantai ditemukan sebuah topi, yang lapisannya telah tersobek.
Pemeriksaan mayat korban menunjukkan bahwa ia mati akibat tembakan pistol. Dua lubang luka terdapat pada tubuhnya, dan dua selongsong peluru ditemukan di tempat kejadian.
Gadis pembantu hotel tak dapat memberi banyak keterangan. Darinya hanya diperoleh keterangan, bahwa malam harinya Valentino masih hidup. Ketika gadis itu lewat di depan pintu ruang makan, ia mendengar majikannya sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Rupanya Valentino bertengkar dengan orang itu.
+ “Apa yang mereka pertengkarkan?”, tanya komisaris Murenos.
- “Entah, saya tidak biasa menguping percakapan orang’’, jawab pembantu rumah tangga itu.
+ “Tentu saja. Tapi mungkin toh terdengar sesuatu kalimat. Coba ingat-ingat. Satu kata saja bisa penting sekali untuk penyelidikan".
Setelah lama berdiam untuk mengingat-ingat, gadis itu akhirnya berkata “Saya mendengar majikan saya berteriak: kau menipu saya. Tunggu saja. Saya akan tahu siapa sebenarnya kau. Saya punya beberapa bukti… itu saja yang dapat saya tangkap”.
Polisi memeriksa seluruh kamar. Bekas-bekas sidik jari yang ditemukan di ruang makan itu diteliti.
Benda lain yang ditemukan polisi ialah sebuah jaket kulit yang tergantung pada gantungan pakaian di dinding. Menurut keterangan gadis pembantu hotel, itu milik salah seorang tamu, yang oleh tamu-tamu lain biasa disebut “profesor’’. Namanya Dr. Bruce Snyder. “Ia telah lama tinggal di hotel, kira-kira sudah 3 bulan”, kata gadis itu.
Lalu ia menambahkan bahwa Valentino rupanya mempunyai sesuatu urusan dengan Dr. Snyder. “Urusan apa, saya tidak tahu. Hubungan majikan dengan Dr. Snyder sering menjadi bahan percakapan para pelayan hotel”, gadis pembantu itu menambahkan.
Komisaris Murenos teringat pada kata-kata Valentino (menurut keterangan gadis pelayan hotel) ketika bertengkar dengan seseorang menjelang terbunuhnya: Kau menipu saya, saya akan tahu siapa sebenarnya kau, saya punya beberapa bukti.
Rupanya pertengkaran itu ada hubungannya dengan “urusan’’ Valentino dengan Dr. Snyder. Polisi menduga pula bahwa urusan itu bersifat rahasia.
Selesai mengadakan pemeriksaan di tempat kejadian, komisaris Murenos mengirimkan barang-barang bukti ke laboratorium pusat di Madrid untuk diselidiki lebih lanjut.
Pemeriksaan pisau dapur menunjukkan bahwa darah yang melumurinya, ternyata bukan darah Valentino. Darah pemilik hotel ini termasuk golongan B, sedangkan darah pada pisau dapur adalah dari golongan A. Rupanya ini darah si pembunuh.
Demi kepentingan pengusutan, darah A itu diselidiki lebih lanjut berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Prof. Prokop dari lembaga kedokteran kriminal di Berlin. Berdasarkan metode itu, darah golongan A masih dapat dibagi lebih lanjut menjadi golongan A-1, A-2 dan A-3. Darah pada pisau yang ditemukan dekat mayat Valentino, adalah dari golongan A-3.
Sementara itu pemeriksaan dua selongsong peluru yang ditemukan di tempat kejadian membuktikan, bahwa Valentino meninggal akibat tembakan dengan pistol otomatis Mauser kaliber 7,65. Peluru dari kaliber itu ditemukan pula dalam tubuh Valentino.
Akhirnya diperoleh satu keterangan lagi dari pemeriksaan jaket kulit. Pada lapisan leher jaket itu terlihat noda hitam. Ketika diteliti dengan metode kimia dan kemudian difoto dengan sinar ultraviolet, pada kerah jaket itu terlihat “Schaefer’’, padahal menurut keterangan gadis pelayan hotel, jaket kulit itu adalah milik Dr. Bruce Snyder. Apakah yang terakhir ini mendapatkan jaket itu dari seorang pemilik lain? Ataukah Dr. Bruce Snyder dan “Schaefer” adalah orang yang sama?
Ada satu kesimpulan yang dapat ditarik oleh polisi dari darah yang melumuri pisau dapur. Yaitu, rupanya Valentino tidak terbunuh begitu saja. Sebelum itu terjadi perkelahian. Agaknya Valentino menyerang lawannya lantas ditembak atau lawannya melepaskan tembakan dan kemudian Valentino melukainya dengan pisau sebelum ia roboh akibat tembakan yang kedua. Ketika memasuki ruang makan untuk bertemu dengan lawannya, rupanya Valentino sudah mempersiapkan diri untuk menyerang atau mempertahankan diri. Ini tampak dari kenyataan bahwa ia telah mempersenjatai dirinya dengan pisau yang diambilnya dari dapur hotel.
Seperti disebutkan di atas, dari keadaan-keadaan korban dapat ditarik kesimpulan bahwa pembunuh menggerayangi semua kantong-kantongnya sampai pada lapisan dan lipatan topi, kaos dan sepatu, dengan amat telitinya.
Sudahlah ia berhasil menemukan apa yang dicarinya — sebuah dokumen, surat-surat, kunci atau entah apa pun? Mungkin belum. Maka komisaris Murenos beberapa kali memeriksa rumah korban dan kantornya. Lemari, laci-laci meja tulis, peti uang dan sebagainya ditelitinya.
Pada suatu hari ia bahkan mengikuti dinding-dinding untuk mengetahui kalau-kalau ada rongga tersembunyi di dalamnya. Dan memang ia berhasil menemukan semacam brankas dalam dinding, tersembunyi di balik sebuah lukisan. Tapi kuncinya tidak ada. Semua lemari, laci-laci dan sebagainya sekali lagi diteliti. Lantai sampai di bawah kolong-kolong diperiksa. Akhirnya kunci ditemukan dalam kantong salah satu pakaian almarhum.
Peti rahasia dibuka. Di dalamnya ditemukan sebuah amplop. Isinya kuitansi-kuitansi dan sehelai foto yang memperlihatkan seorang lelaki setengah umur. Lelaki dalam foto itu sedang membungkuk, mengamati sebutir permata dengan kaca pembesar, tangannya memegang sebuah alat penjepit kecil dan di depannya ada segunduk butir-butir batu atau kristal garam.
Lelaki dalam foto itu, menurut keterangan para pelayan hotel adalah Dr. Bruce Snyder. Kuitansi-kuitansi dalam amplop adalah bukti tanda terima uang yang diberikan oleh Valentino kepada Dr. Snyder. Jadi agaknya orang inilah yang menipu si pemilik hotel. Dugaan menjadi kepastian dengan adanya kesaksian dari paman almarhum yang mengetahui bahwa keponakannya masuk perangkap seorang penipu kelas berat — sayang pada saat terakhir sewaktu sudah terlambat. Asal mula kejadian itu sebagai berikut.
Kira-kira 3 bulan sebelumnya, hotel Valentino kedatangan seorang tamu yang mengaku bernama Dr. Bruce Snyder, berkebangsaan Swiss. Ia tinggal di hotel Valentino yang terletak di pinggir teluk San-Agustin itu untuk menikmati cutinya. “Sarjana” yang oleh para tetamu disebut dengan “profesor” itu tampak mereguk penuh-penuh kenikmatan masa liburnya. Tak pernah hari cerah lewat, tanpa ia mandi di laut dan berjemur di pantai. Di antara para tetamu Dr. Bruce Snyder berhasil menanamkan anggapan bahwa ia seorang pembantu ilmiah lembaga fisika nuklir di Jenewa.
Sebagai seorang pengusaha yang baik, Valentino biasa bergerak di antara para tamu-tamunya dan dengan kepandaiannya berbicara berusaha menyenangkan kediaman mereka di hotelnya. Tak lupa pula ia mendekati Dr. Snyder, apalagi karena “sarjana atom” yang sedang pakansi ini, bisa berbicara Spanyol cukup baik.
+ “Apa kegiatan ilmiah yang Anda lakukan, Profesor?” tanya Valentino ketika pada suatu hari ia kebetulan duduk semeja dengannya pada waktu makan sore. “Bom atom ?”
- “Sama Sekali tidak! Anda tahu, Swiss negara cinta damai. Lembaga saya hanya melakukan eksperimen-eksperimen ilmiah dengan pesawat pemercepat elektron”, jawab Dr. Snyder
Dengan kata-kata sederhana, penipu itu kemudian mencoba menerangkan kepada Valentino, apa saja yang dilakukan “di lembaga nuklir” tempat ia bekerja. Di sana ada alat pemercepat elektron dengan magnet-magnet raksasa. Dengan alat ini para ahli dapat mengadakan perubahan-perubahan pada zat-zat dan bahan-bahan, yaitu dengan mempercepat bagian-bagian elementernya.
Ia sendiri bekerja pada suatu proyek yang menyelidiki kemungkinan untuk mengubah warna intan, yaitu dengan menembakinya dengan bagian-bagian elementer.
+ “Hebat juga kemajuan ilmu pengetahuan! Jadi dengan itu intan dan berlian dapat diberi warna-warna lain? Misalnya tadinya kuning, dapat dibuat bersinar biru”, tanya Valentino.
- “Ya, memang”, jawab Dr. Snyder. “Bahkan batu intan yang jelek dengan warna-warna tak murni dapat dibuat berwarna biru lazuardi. Tapi prosesnya tidak semudah dibayangkan. Soalnya, orang harus mengetahui persis detail sekecil-kecilnya. Harus diketahui dengan tepat berapa kecepatan-kecepatan yang diperlukan pada penembakan proton-proton.”
Dr. Snyder kemudian memperlihatkan sebuah foto batu intan. ”ini salah satu foto eksperimen saya. Saya buat di bawah lampu kwarts, batu-batu biru tentu saja tampaknya lebih kelam’’, ia menerangkan.
Valentino tertarik pada kemungkinan membuat intan-intan rendah-nilai menjadi berkualitas tinggi. Ia bertanya kepada Dr. Snyder apakah peningkat mutu intan dengan cara seperti disebutkan di atas, dapat dilakukan secara besar-besaran. Ia mendapat jawaban “ya’’. Pikir Valentino: alangkah besarnya keuntungan finansial yang dapat diperoleh dengan cara ini.
Eksperimen-eksperimen untuk mengubah warna intan, memang pernah dilakukan oleh Prof Dr Scherrer beberapa kali pada institut fisika Perguruan Tinggi Swiss di Zurich. Juga seorang ahli lain, Prof. E. Gubelin dari Luzern, pernah menyelidiki hal ini dan menulis beberapa risalah fundamental tentangnya. Beberapa majalah vak membicarakan eksperimen-eksperimen dua sarjana tersebut.
Valentino yang bernafsu untuk mengetahui lebih lanjut tentang peningkatan mutu intan dengan radiasi nuklir itu, kemudian diam-diam menyusup ke kamar Dr. Snyder selagi penipu ini pergi keluar hotel. Ditemukannya beberapa masalah vak ilmiah berbahasa Jerman dalam lemari kecil di samping tempat tidur. Ia tak tahu bahasa Jerman. Tetapi ia menduga bahwa ada karangan-karangan yang membicarakan soal intan.
Beberapa kali penyusupan ke kamar Bruce Snyder itu dilakukan oleh Valentino. Dari pengalaman ini pemilik hotel itu menyimpulkan bahwa Dr. Snyder tak pernah membuka lemari tempat majalah-majalah vak itu tersimpan. Valentino makin berani. Pada suatu hari majalah itu dibawanya ke sebuah biro penerjemah di kota Palma dengan permintaan agar beberapa bagian terpenting disalin ke dalam bahasa Spanyol. Majalah kemudian ditaruhnya kembali di lemari seperti semula — tanpa Dr. Snyder mengetahuinya. Paling tidak dalam anggapan Valentino.
Pada suatu sore, ketika kebetulan hampir semua tamu sedang keluar, Valentino menemui lagi Dr. Snyder. Setelah omong-omong tentang ini itu, mulailah Valentino menyinggung soal intan. Pemilik hotel itu ingin mengetahui berapa gerangan harga alat-alat dan instalasi yang diperlukan untuk penggarapan intan dengan teknik radiasi nuklir itu.
Dr. Snyder sambil angkat bahu, menyatakan tidak tahu. “Sebab saya memang tak pernah berurusan dengan pembelian alat-alat tersebut. Tapi kira-kira berapa juta peseta”, katanya. “Kalau Anda berminat, boleh sekali waktu saya tanyakan”.
Tapi, walaupun harga alat-alat itu tinggi, keuntungan yang dapat diperoleh kiranya akan besar sekali, kalau dengan cara itu intan-intan yang kurang bernilai dapat dipertinggi mutunya’’, kata Valentino dan pemilik hotel itu secara diam-diam bahkan sudah menanyakan, berapa perbedaan harga per batunya setelah sebutir intan diubah warnanya, dan dipertinggi mutunya.
Dr. Snyder sebagai penipu ulung, berbuat seolah-olah ia acuh tak acuh. Ia menjawab: “Alat-alat yang diperlukan, meliputi juga instalasi untuk melindungi pekerja dari radiasi-radiasi atom dan masih banyak lagi yang diperlukan. Misalnya, diperlukan sebuah bangunan yang sebaiknya dipahat dalam batu cadas.”
Valentino yang terpikat oleh harapan akan keuntungan finansial luar biasa, dengan antusias menjawab: “Saya mempunyai rumah seperti itu. Tapi letaknya agak jauh dari sini, di Cala Murada. Rumah itu warisan dari paman saya. Kalau Profesor tidak keberatan kita dapat meninjaunya besok”.
Segala sesuatu berjalan dengan lancar seperti diharapkan oleh si penipu. Rumah di Cala Murada itu luas, terbuat di dalam batu-batu cadas. Sang profesor masuk ke dalam, melakukan pengukuran di sana sini, membuat sketsa akan tempat di mana laboratorium harus dibuat dan menunjuk tempat yang paling baik untuk memasang alat pembangkit listrik. Lagaknya sungguh seperti seorang ahli hingga Valentino makin antusias.
Dalam suatu bisnis segala sesuatu harus diatur dengan batasan yang pasti. Maka sang profesor membuat konsep perjanjian, yang menentukan bahwa keuntungan nantinya akan dibagi sama. Dalam kontrak itu selanjutnya dikatakan bahwa menjadi tanggung jawab Valentino untuk mengeluarkan persekot bagi proyek tersebut.
Kini Valentino, merasa sudahi dapat melangkah dengan aman berdasarkan kontrak yang telah dibuatnya. Ia menyerahkan uang sebanyak satu juta peseta (kurang lebih $ 18.000 atau hampir Rp. 7,5 juta) kepada “ahli nuklir’’ itu untuk membeli alat-alat yang diperlukan.
“Sebenarnya agak terlalu sedikit. Tapi sebagai pengeluaran pertama saya kira cukup,” kata Dr. Bruce. Dan segera ia terbang dari Palma ke Madrid. Valentino tidak tahu, bahwa sebenarnya Bruce Snyder di Barcelona sudah turun dari kapal terbang. Sepuluh hari kemudian sang profesor sudah kembali di hotel Valentino, membawa beberapa surat transaksi. Karena antusiasnya, Valentino tidak memperhatikan bahwa surat-surat tersebut dibuat di Barcelona.
Jika tadinya pemilik hotel itu cemas juga, jangan-jangan Dr. Bruce Snyder kabur dengan uangnya, maka kini sedikit pun ia sudah tidak mempunyai kecurigaan. Apalagi setelah datang alat-alat yang menurut Dr. Bruce Snyder dipesannya dari New York.
Pesawat-pesawat itu kemudian dipasang dan Valentino sangat terkesan oleh aspek lahiriahnya. Tidak mengherankan, karena alat-alat itu dibuat oleh orang-orang profesional di Barcelona secara khusus untuk tujuan penipuan.
Alat-alat ini belum lengkap. Masih ada beberapa alat tambahan yang diperlukan. Pertama, tentu saja generator. Ini dapat kita beli dengan harga yang lebih murah di Eropa’’, kata Dr. Snyder.
“Apakah tidak lebih baik mengambil aliran listrik dari Murada tanya Valentino yang ingin menghemat pengeluarannya. Dr. Snyder tampak terkejut mendengar usul ini. Katanya: “Bukankah proyek ini harus kita rahasiakan? Pemerintah pasti tak menyetujui proyek semacam ini yang akan menggoncangkan harga intan berlian di pasaran. Apalagi jika sampai ketahuan umum, rencana komersial akan gagal sama sekali.
Alasan yang dikemukakan Dr. Snyder memang sangat masuk akal. Dan sekali lagi Valentino mengeluarkan uang untuk pembelian mesin pembangkit listrik. Ia tidak mengetahui, bahwa di sini ia lebih dalam terperosok dalam perangkap Snyder. Termasuk bagian penting dari siasat penipu ulung ini. Untuk mendorong korbannya berbuat sesuatu yang menyebabkan dia bertindak dengan melawan undang-undang atau penguasa resmi. Agar si korban nantinya tidak berani berkutik seandaianya ia menyadari telah menjadi korban penipuan dan merasa dirugikan.
Sesuai dengan taktik ini, Dr. Snyder menempuh jalan berikut. Generator dibeli di Perancis dan diselundupkan ke Cala Murada dengan sebuah perahu nelayan. Tapi kali ini sang profesor tidak berani mendatangkan mesin tiruan. Ia membeli generator sungguh-sungguh walaupun sudah bekas. Alat-alat listriknya ia suruh pasang oleh tenaga ahli.
Tentu saja rumah dengan “instalasi atom’’ tertutup bagi siapa pun juga. Agar proyek ini jangan sampai ketahuan orang, kata Snyder.
Sementara itu Valentino telah membeli sebutir intan murahan yang berwarna kuning untuk percobaan. Di lain pihak Dr. Snyder segera membeli sebutir intan lazuardi murni yang bentuk maupun besarnya, mirip dengan batu murahan yang disediakan oleh Valentino untuk percobaan.
Tak lupa Snyder menciptakan suasana misterius ketika melakukan “eksperimen ilmiah’’ ini untuk pertama kali. Ruangan gelap gulita, alat-alat berderu, bermuncratan api listrik. Dan terlaksanalah percobaan pertama dengan “penuh sukses’’. Artinya Snyder berhasil menukar batu murahan Valentino dengan intan lazuardi yang dibeli oleh penipu itu di sebuah toko — tanpa Valentino mengetahui rahasia permainan sulap itu!
“Coba, nilai sendiri perbedaan harga antara intan ini dengan keadaan sebelum ia digarap, dengan radiasi nuklir”, kata Snyder bangga. Ia menambahkan agar Valentino jangan membawa intan itu ke toko yang menjual intan tersebut dalam bentuk batu murahan. Karena pemilik toko itu mungkin akan mengenalinya berdasarkan bentuk dan besarnya.
Valentino kegirangan. Sang profesor mengesploitasi keadaan ini. Ia mengatakan kepada Valentino bahwa mereka dapat membeli intan-intan Siberia yang tidak menarik minat pedagang batu permata dan biasanya hanya digunakan untuk tujuan industrial. Dan mengusulkan mendatangkan intan-intan murahan itu lewat penyelundupan. Ini untuk menghindari pajak duane, agar keuntungan makin besar. Dr. Snyder akan berangkat sendiri. Valentino setuju dan sekali lagi menyediakan uang, yang kali ini dipinjamnya dari pamannya. Dengan ini pengeluaran Valentino untuk proyek intannya, telah mencapai 4 juta peseta.
Valentino menghibur diri dengan harapan bahwa keuntungan akan segera mengalir apabila dengan intan-intan Rusia sebagai bahan proyeknya sudah dapat berproduksi secara besar-besaran.
Seminggu berlalu sejak profesor Bruce Snyder pergi mencari intan Rusia — tanpa ada kabar beritanya. Padahal Valentino harus segera mengembalikan uang pinjaman dari pamannya. Musim panas sudah berakhir. Datang bulan Oktober 1965 — bulan ketiga sejak Dr. Snyder berlibur di hotel Valentino. Masih tiada kabar. Akhirnya Valentino terpaksa membuka rahasianya kepada pamannya dengan mengatakan, untuk apa ia pinjam uang darinya.
Paman Valentino menaruh curiga. “Bila benar doktormu itu seorang sarjana atom, apalagi bekerja di lembaga ilmiah di Jenewa, mungkinkah ia bercuti musim panas sampai satu kuartal lamanya? Ayo, kita melihat rumahmu di Murada. Aku ingin melihat instalasi itu", kata sang paman, yang sebagai seorang insinyur merasa sedikit-sedikit tahu soal alat-alat dan pesawat.
Sayang, rencana ke “instalasi atom’’ di Murada itu tidak jadi terlaksana, karena Dr. Snyder keburu datang.
Muka Dr. Snyder tampak muram, dan ia menjual kisah berikut. Intan industri yang dibelinya di Paris, disita oleh duane di Irun dan Sang profesor memperlihatkan keterangan tertulis dari pembeslahan ini. Ia disekap satu minggu lamanya, kata Snyder sambil memperlihatkan surat pembebasannya. Berkali-kali ia diinterogasi di mana ia membeli intan-intannya dan akan diapakan intan-intan itu. “Tentu saja saya tak mau membuka rahasia, sampai akhirnya saya dibebaskan”, tambahnya.
Dr. Snyder selanjutnya menyatakan rela, bahwa kerugian akibat penyitaan ini nantinya akan dipotong dari keuntungan yang pertama setelah pabrik berproduksi. Tapi kini harus disediakan bahan-bahan intan baru.
Tentu saja, segala macam surat keterangan yang bertalian dengan kisah pembeslahan ini, semua palsu. Tapi Valentino tak menyadari hal ini. Ia terlalu pusing memikirkan bagaimana ia mesti menyampaikan berita bencana penyitaan itu kepada pamannya.
Ketika Dr. Snyder sekali lagi minta uang, Valentino menjawab lesu: “Saya bicara dulu dengan paman saya. Barangkali ia dapat meminjamkannya”.
Valentino kemudian berunding dengan pamannya. Yang terakhir ini mengajaknya diam-diam pergi ke Murada untuk melihat “instalasi atom” itu. Apa yang ditakutkan memang benar. Instalasi atom itu mesin tiruan. “Bahkan mesin palsu yang baik sekali, dengan sakelar-sakelar, berbagai alat pengukur dan handel-handel”, kata si paman.
Inilah jalannya seluruh peristiwa sampai hari terakhir sebelum Valentino mati terbunuh. kesemuanya terungkap dari kesaksian paman Valentino dan juga pengakuan Dr. Bruce Snyder sendiri yang berkat bantuan Interpol segera dapat ditangkap, yaitu di Bordeaux, Perancis, di rumah salah seorang pacarnya. Penangkapan ini terjadi hanya beberapa hari setelah foto Snyder ditemukan di brankas rahasia dalam dinding kamar Valentino, bersama-sama dengan kuitansi yang ditandatangani oleh si penipu.
Antara lain berkat foto inilah penipu ulung itu berhasil ditangkap. Begitu ditemukan, kopi dari foto itu oleh komisaris Murenos dikirim ke Interpol, disertai keterangan bahwa kemungkinan besar penipu itu bernama Schaefer.
Dugaan ini memang tak salah. Dr. Bruce Snyder sebenarnya bernama Fritz Schaefer, bekas guru, umur 42 tahun, dilahirkan di Calmar tanggal 11 Agustus 1923. Terakhir ia tinggal di Jenewa dan di sini ia dicari-cari karena tidak membayar kuitansinya di Hotel de la Gare.
Tentu saja mula-mula Fritz Schaefer menyangkal semua tuduhan. Pistol Mauser yang digunakannya untuk membunuh Valentino, juga sudah tidak ditemukan padanya.
Schaefer dikirim ke Spanyol untuk diperiksa lebih lanjut. Ia terpaksa mengaku menghadapi bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian yang kuat: persamaan tanda tangan pada kuitansi-kuitansi yang ditemukan dalam lemari besi Valentino dengan tanda tangannya; kenyataan bahwa darahnya memang dari golongan A-3 seperti darah yang melumuri pisau dapur yang ditemukan di tempat kejadian; kesaksian orang-orang yang mengenalinya sebagai tamu yang mempunyai urusan misterius dengan Valentino.
Berperanan besar dalam pengusutan kejahatan ini adalah foto yang memperlihatkan “Dr Bruce Snyder” sedang mengamati batu-batu permata — foto yang telah digunakan oleh Fritz Schaefer sebagai alat untuk melakukan penipuannya.
(Hanns Walther)
Baca Juga: Korbannya Pemenang Nobel
" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834062/pesawat-radioaktif-peningkat-mutu-intan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565815000) } } }