Intisari Plus - Kematian Helen Potts membuat seorang dokter mendapatkan ide untuk membunuh istrinya demi mendapatkan harta warisan. Ketika detektif mengetahui motifnya, ia mengalami kesulitan menemukan buktinya.
----------
Meninggalnya Helen Potts di New York City di tahun 1891 awalnya merupakan berita biasa. Tetapi karena berita dukacitanya yang cuma beberapa baris itu ditambah keterangan “karena penyakit jantung”, mayat Nona Potts digali kembali.
Bermula dari wartawan koran World yang tajam penglihatannya Isaac “Ike” White. Di saat yang sama, White mengetahui bahwa sebenarnya Helen Potts sudah menikah. Meski secara sembunyi-sembunyi, wanita itu telah menikah dengan Carlyle Harris. White juga mengetahui bahwa Harris adalah pecandu minuman keras dan wanita. Dugaan White, Helen Potts sengaja disingkirkan oleh Carlyle Harris.
Naluri wartawan White membawanya ke dokter yang menangani Helen Potts di saat terakhirnya. Dengan terus terang sang dokter menyatakan jika ia curiga pasien meninggal karena morfin. Gejalanya sangat jelas bagi sang dokter: manik mata Helen Potts mengerut. Hal itu, kata sang dokter, sudah pula disampaikan kepada pihak keluarga Potts. Tetapi justru pihak keluarga Potts yang melarang perihal morfin tersebut diungkap sebab bisa menjadi aib keluarga. Karena itu, berita dukacita ditambahkan “karena penyakit jantung”. Alasan itu tentu tidak akan membuat malu keluarga dan memang Helen Potts sejak lama mengidap penyakit tersebut.
White menuliskan artikel perihal penemuannya. Mayat Helen Potts digali kembali dan diperiksa. Tidak dapat dibantah lagi, Helen Potts tewas kerena dosis morfin yang mematikan, bahkan bagi orang yang sehat. Carlyle Harris tidak pula dapat membantah. Sang dokter membuktikan bahwa manik mata yang mengerut merupakan akibat morfin dalam tubuh. Manik mata itu seperti manik mata kucing yang kena sinar terlalu terang. Harris divonis bersalah dan tewas di kursi listrik.
Sudah tentu Ike White hadir ketika perkara pembunuhan itu diperiksa pengadilan. Tetapi selain juri, masih ada orang lain yang selalu hadir dalam sidang-sidang pengadilan tersebut. Orang itu adalah dr. Robert Buchanan. Dia tinggal di Greenwich Village di Jalan Barat XI nomor 267. Setiap hari, setelah pulang dari sidang pengadilan kasus Helen Potts, ia minum dulu di Macomber’s di Greenwich Avenue.
Telinga Ike White ternyata tidak kalah pekanya dari matanya. Singkatnya, dia mendengar bahwa pada hari jatuhnya vonis bagi Carlyle Harris, dr. Buchanan melontarkan kata-kata yang kurang layak. Saat itu ia dalam kondisi mabuk. Orang lain mungkin melupakan perkataannya, tetapi White justru mencatatnya.
Kejadiannya pada petang hari di Macomber’s, di depan kawan-kawan minumnya, terutama Macomber sendiri dan bekas opsir Kapten Llewelyn Doria. Dr. Buchanan mengatakan, “Carlyle Harris bodoh. Sebenarnya mudah sekali membunuh orang dengan morfin, tanpa ditangkap polisi.”
“Masa begitu mudah,” tanya Doria keheranan. “Bagaimana caranya?”
“Dalam ilmu kimia, tiap bentuk asam ada dasarnya,” jawab sang dokter dengan cekatan. “Dan tiap aksi ada reaksinya!” Keterangan dr. Buchanan tidak dilanjutkan lebih jauh, karena pembicaraan lalu dialihkan ke soal lain.
Dr. Buchanan yang menyelesaikan studi kedokterannya di University of Edinburgh itu mulai menetap di New York pada tahun 1886. Tidak seorang diri, melainkan bersama istrinya, Helen. Ia adalah seorang wanita cantik berambut cokelat dari Nova Scotia. Nyonya Buchanan tidak pernah kedengaran mengeluh, bahkan ketika ia mengetahui bahwa suaminya pecandu wiski dan wanita. Kedua hal itulah yang sebenarnya menyebabkan dr. Buchanan kerasan dan betah di Macomber’s.
Selain ahli di bidang minuman beralkohol, Macomber juga ahli di bidang hiburan seks. Hasil penyelidikannya di bidang tersebut terakhir dibaginya bersama-sama dr. Buchanan dan Kapten Doria. Operasi ketiga orang sampai jauh di seberang Hudson, sampai Newark, New Jersey. Di Jalan Halsey, terdapat sebuah rumah di mana dr. Buchanan menemukan hiburan kegemarannya.
Germonya di sana bernama Anna Sutherland, seorang wanita setengah baya dan janda pendeta Baptis. Selain dia, masih ada “germo muda” bernama James Smith yang tinggal di salah satu kamar bawah di rumah itu.
Tampaknya Anna Sutherland merasa bangga atas perhatian khusus yang ditunjukkan seorang dokter dari New York kepadanya. Tiap habis memakai jasanya, dr. Buchanan selalu mengetuk pintu kamarnya. Sang dokter sekadar mengobrol mengenai angin dan sapi. Lama-lama ia sudah kehabisan bahan sehingga Anna Sutherland seolah terpaksa menyajikan kekayaannya yang lain sebagai bahan obrolan. Kekayaan Anna Sutherland yang lain meliputi rumah hiburan di Jalan Halsey serta rekening bank lebih dari 10.000 dolar. Ia juga memiliki pelbagai perhiasan emas nilainya tiga kali lipat dari rekening banknya.
Dr. Buchanan sendiri, mungkin terdengar tidak masuk akal, adalah orang yang “haus” seks. Sebagai dokter, ia memiliki banyak pasien. Ruang tunggu tempat praktik dr. Buchanan tidak pernah sepi. Dia makin lama makin terkenal. Pada awal 1890 New York menganugerahkan dua jabatan yang jelas tidak kecil honorariumnya. Satu sebagai dokter kepolisian kota dan satu sebagai anggota panitia penyelidikan kesehatan mental yang beranggotakan tiga orang.
Bersamaan dengan penghargaan itu, dr. Buchanan mulai mengeluh. Ia merasa bukan orang yang baik untuk menjadi suami, apalagi ayah yang baik. Istrinya sendiri juga dikatakan terlalu banyak cingcong, sesuatu yang tidak pernah disaksikan oleh orang lain. Nyonya Helen Buchanan di mata banyak orang adalah wanita yang patuh, penurut, dan toleran. Bahkan, ia adalah istri yang pantang melawan suami.
Pertengahan tahun 1890, dr. Buchanan berhasil mendapat keputusan pengadilan untuk bercerai dari istrinya. Tanggal 11 November Helen keluar dari rumah Jalan Barat XI. Dr. Buchanan kembali menghirup kehidupan membujang.
Namun ia tidak lama menikmati kehidupan bebas sebagai bujangan. Pada tanggal 28 November berikutnya, bersama-sama Kapten Doria dan Macomber, dr. Buchanan pergi ke rumah Anna Sutherland di Newark. Keempat orang itu ditemani seorang pria lagi, seorang pengacara. Dua sobat dokter itu bertindak sebagai saksi dalam penandatanganan wasiat Anna Sutherland, sedangkan dr. Buchanan dinyatakan sebagai ahli waris.
Pada hari yang sama, ketiganya kembali ke New York. Tetapi hari berikutnya mereka kembali ke Newark. Dari sana mereka pergi ke gereja yang terletak di Jalan Elk. Di sana, Pendeta David Lusk mengikat dr. Buchanan dan Anna Sutherland satu dengan lain dalam perkawinan suci.
Berbulan-bulan berikutnya, Nyonya Anna Buchanan — Sutherland meneruskan usahanya di Newark. Tapi pada awal tahun 1891, rumah di Jalan Halsey itu dijual dengan harga 9.500 dolar. Anna Sutherland pindah ke New York dan tinggal di Jalan Barat XI. Ia bahkan membeli rumah itu dengan uang hasil penjualan rumah Newark. Tentu saja rumah itu diberikan pada sang suami.
Sampai di sana, tidak ada suara sumbang perihal kisah cinta Buchanan dan Sutherland. Di sisi lain, James Smith terpaksa menghentikan usahanya Jalan Halsey karena kehilangan tempat usaha.
Setahun berlalu. Sampailah awal Februari 1892 ketika Carlyle Harris diadili dengan tuduhan memberikan morfin pada istri gelapnya sampai mati. Peradilan yang selalu diikuti dengan tekun oleh dr. Buchanan. Tetapi minat dr. Buchanan tampaknya tidak semata-mata demi dunia kedokteran belaka.
Sudah sejak pertengahan 1891, dr. Buchanan mengatakan pada kawan-kawannya di Macomber’s, bahwa dia mau pergi ke Scotland. Namun perjalanannya itu tidak dilakukannya bersama sang istri. Tidak dikatakan mengapa rencana itu tidak jadi. Pasalnya dr. Buchanan keburu “tenggelam” dalam minuman keras.
Dalam keadaan mabuk, bebaslah lidah dr. Buchanan untuk mengatakan bahwa pembatalan itu akibat ancaman istrinya. Ia mengancam akan merubah isi wasiat Newark yang menjadikan dr. Buchanan sebagai ahli waris atas harta Anna Sutherland.
Pada hari Kamis 21 April 1892, dr. Buchanan mengatakan kepada Kapten Doria, “Aku harus pulang segera. Istriku sakit keras!”
Nyonya Anna Buchanan — Sutherland benar sakit. Dr. Buchanan mengundang rekan dokter tetangganya, dr. Mclntyre, untuk memeriksa keadaan istrinya. Dr. Buchanan sendiri, katanya, menganggap aneh gejala-gejala yang ditunjukkan oleh istrinya. Terus-menerus merasa mengantuk, pancaindra menurun kepekaannya, peredaran darah tidak normal, susah bernapas, dan sering pingsan. Seorang perawat yang diupah oleh dr. Buchanan, Nyonya Edith Crouch, mencatat bahwa dr. Buchanan kerap meneteskan semacam cairan ke mata Nyonya Buchanan. Kemudian mundur sejenak. Sang suami kemudian mendekat lagi seolah untuk melihat keadaan mata yang baru saja diobatinya.
Dari Kamis malam sampai Sabtu, dr. Buchanan benar-benar patut dipuji perihal pengabdiannya demi pulihnya kesehatan istrinya. la mendesak dr. Mclntyre untuk menggunakan segala ilmunya demi kesembuhan istrinya.
Tapi Sabtu siang itu, rupanya semua ilmu yang dimiliki dr. Mclntyre tidak bermanfaat lagi. Nyonya Buchanan menghembuskan napasnya terakhirnya. Dalam sertifikat kematian, dr. Mclntyre menyebut penyakit ayan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan.
Malam akhir pekan itu dihabiskan oleh dr. Buchanan di Macomber’s. Pada hari Selasa 26 April, ketiga sahabat itu mengantar jenazah Nyonya Buchanan ke tempat peristirahatannya di permakaman Greenwood, Brooklyn.
Beberapa hari kemudian saat berada di Macomber’s, dr. Buchanan mengatakan bahwa dia mau pergi lama sekali.
“Ke Scotland?” tanya Macomber.
“Tidak,” kata sang dokter. “Masih ada tempat lainnya di dunia ini!”
Berminggu-minggu kemudian dr. Buchanan tidak kelihatan di New York. Tetapi sementara itu, kira-kira pertengahan Mei, James Smith menemukan berita di suatu koran New York. Isinya tentang Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan sudah meninggal dunia. Mengetahui hal itu, Smith serta-merta mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan pergi ke New York. Ia akan mencari kepastian mengenai kematian bekas rekannya pada pemeriksa jenazah Schultze. Orang itu kebetulan juga menangani jenazah Helen Potts dalam perkara Carlyle Harris.
Schultze tidak seorang diri ketika menerima Smith di ruang kerjanya. Tamu lainnya adalah Ike White dari World yang memang sedang membongkar tumpukan catatan lama. White mungkin mencari bahan tulisan untuk korannya.
Smith langsung menuduh dr. Buchanan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland. Menurut Smith, dr. Buchanan menikahi Anna Sutherland semata-mata karena uang dan kekayaan almarhumah. Cerita Smith tidak dianggap serius oleh Schultze. Terutama karena Smith tidak menyembunyikannya kekesalannya pada dr. Buchanan. Pasalnya, karena desakan dr. Buchanan, maka usaha bersama Anna Sutherland-Smith di Jalan Halsey itu ditutup.
Bagi Schultze sendiri, dr. Buchanan terlalu terhormat untuk melakukan pekerjaan sekeji itu. Lagi pula menurut dokter lain yang terpercaya, dr. Mclntyre, kematian Anna Sutherland karena penyakit ayan.
Tetapi kesimpulan White, wartawan World, yang berhasil mendengarkan seluruh pembicaraan antara Smith dan Schultze, lain. Memang aneh, pikirnya, bahwa dr. Buchanan yang katanya jemu punya istri, justru menikahi istri baru hanya dalam waktu berapa minggu saja setelah bercerai. Lebih aneh lagi, dr. Buchanan menikahi wanita yang jauh lebih tua darinya, seorang germo malahan. Dr. Buchanan pasti mempunyai alasan lain untuk pernikahannya dengan Anna Sutherland, pikir White.
Keluar dari kantornya Schultze, White langsung menuju kantor pengacara yang menyimpan surat-surat wasiat Anna Sutherland. Tepat seperti perhitungan White, dr. Buchanan adalah satu-satunya ahli waris harta milik Anna Sutherland. Pernyataan itu disaksikan oleh Macomber dan Doria.
Langkah White berikutnya adalah menuju rumah dr. Mclntyre. Ya, kata dr. Mclntyre, kasus penyakit Nyonya Buchanan memang agak aneh dan meragukan.
“Mungkinkah Nyonya Buchanan dibunuh dengan morfin?” tanya White mendadak.
Dr. Mclntyre tampak mengucurkan keringat dingin. Tapi akhirnya toh menjawab, “Boleh jadi.” “Beberapa gejala ayan memang menyerupai gejala keracunan morfin,” kata dr. Mclntyre selanjutnya.
“Ketika saya dipanggil untuk merawat Nyonya Buchanan, saya melihat ia menunjukkan gejala-gejala sekunder keracunan morfin. Namun gejala primer, antara lain mengerutnya manik mata, justru tidak ada. Jadi saya lalu memutuskan bahwa Nyonya Buchanan meninggal karena ayan.”
Kecurigaan White terhadap dr. Buchanan tidak berkurang. Dikunjunginya Profesor Rudolph Witthaus, dokter dan pejabat dinas kesehatan kota dan ahli penyakit keracunan. White bertanya, apakah gejala primer dari keracunan dapat disembunyikan. Jawab Profesor Witthaus, dalam literatur kedokteran tidak tercatat cara-cara menyembunyikan gejala primer demikian.
White merasa terpojok. Tapi tiba-tiba dia teringat pada niat dr. Buchanan untuk pergi ke Scotland. Benarkah dia mau pergi ke Scotland? Atau hanya ke Nova Scotia tempat asalnya? White menelepon koresponden World di Nova Scotia, untuk mengetahui latar belakang dr. Buchanan disana.
Jawaban koresponden Nova Scotia benar-benar mengejutkan. Tanggal 2 Mei 1892, jadi hanya beberapa hari saja setelah meninggalnya Anna Sutherland, dr. Buchanan datang di kota kelahirannya di Winson. Ia menemui Helen, bekas istrinya yang diceraikannya sebelum menikah dengan Anna Sutherland. Di Winson, dr. Buchanan menikah kembali dengan Helen pada tanggal 16 Mei 1892.
Dengan data terbaru ini, White menyerbu ke kantor Schultze si pemeriksa jenazah. “Dr. Buchanan pasti yang membunuh Anna Shuterland, istri keduanya itu,” katanya dengan yakin kepada Schultze.
“Sudah jelas sekali motifnya. Dia sebenarnya tidak bosan dengan Helen yang cantik itu. Dia pasti merencanakan segalanya itu. Cerai dulu dari Helen, menikah dengan Anna Sutherland, mengusahakan jatuhnya warisan Anna Sutherland ke tangannya, membunuh Anna Sutherland, lalu akhirnya menikah kembali dengan si cantik Helen.”
“Kalau Anda,” kata White sambil menuding-nuding Schultze, “tidak mau memerintahkan penggalian kembali, cerita ini akan saya tulis di World.”
Schultze mendiskusikan masalah ini dengan rekan-rekan sejawatnya. Hari berikutnya mereka mendapatkan perintah penggalian kembali jenazah Anna Sutherland dari seorang hakim pengadilan tinggi. Tetapi baru pada tanggal 22 Mei jenazah Anna Sutherland dibawa dari permakaman Greenwood ke balai penyelidikan keracunan Carnegie Institute.
Jenazah diperiksa oleh dr. Witthaus. Ia menemukan sisa-sisa morfin di tubuh Anna Sutherland. Menurut perhitungannya, sisa itu hanyalah seperlimapuluh atau seperenampuluh dari total dosis yang pernah masuk ke tubuh almarhumah. Tetapi ketika dr. Witthaus memeriksa manik mata Anna Sutherland, dia geleng-geleng kepala.
“Sekalipun orangnya mati,” katanya, “keracunan morfin selalu meninggalkan bekasnya di mata. Tetapi di sini tidak ada manik mata yang mengerut,” kata dr. Witthaus keheranan.
Pemeriksa jenazah Schultze yang mendampingi pemeriksaan dr. Witthaus mengangkat bahu. “Wah, kita akan ditertawakan orang, kalau memastikan kematian Anna Sutherland karena keracunan morfin. Pengacara yang paling bodoh pun akan menggugurkan kesaksian dr. Witthaus, kalau gejala primer keracunan morfin itu tidak ada,” kata Schultze.
Schultze sudah memerintahkan agar jenazah dimakamkan kembali. Tapi White tidak menyerah. Ia memohon agar pemakaman kembali ditangguhkan barang satu hari saja. Permohonan White dikabulkan.
Seolah mendapat ilham, White lalu pergi ke rumah Nyonya Crouch, perawat yang pernah diupah dr. Buchanan untuk menunggui Anna Sutherland menjelang kematiannya. Ditanya mengenai saat-saat terakhir Anna Sutherland, Nyonya Crouch menceritakan segalanya.
“Ya, saya ingat,” katanya, “berkali-kali dr. Buchanan meneteskan cairan ke mata Nyonya Buchanan.”
Mengapa dr. Buchanan berbuat demikian, pikir White. White lalu teringat akan kawan sekolah di waktu kanak-kanak yang manik matanya membesar. Oleh dokter mata, kawannya itu diberi obat mata, yang ternyata dapat mengembalikan keadaan mata kawannya seperti sediakala.
White tidak lupa pada kata-kata dr. Buchanan. “Kau bisa membunuh orang dengan morfin tanpa bakal ditangkap polisi! Tiap bentuk asam ada dasarnya dan tiap aksi ada reaksinya.” Kedua kalimat diucapkan dr. Buchanan dengan sombong di Macomber’s kepada Macomber dan Doria pada malam hari setelah siangnya Carlyle divonis bersalah.
Mungkinkah cairan yang diteteskan ke mata Anna Sutherland oleh dr. Buchanan itu dimaksudkan untuk mengembalikan manik mata istrinya pada keadaan normal? Setelah manik mata itu mengerut akibat morfin. White seolah terbang pergi menemui dr. Witthaus. “Kalau ada obat untuk mengecilkan manik mata yang membesar, tentunya ada obat pula untuk membesarkan manik mata yang mengerut,” katanya kepada dr. Witthaus.
Penyelidikan dr. Witthaus pada mata jenazah Anna Sutherland di Carnegie Institute membenarkan jalan pikiran White, tetapi juga menunjang teori dr. Buchanan, bahwa tiap aksi ada reaksinya sendiri.
Dr. Buchanan ditangkap. Pada bulan April 1893, dr. Buchanan menerima vonis hukuman mati. Dengan demikian pengadilan itu, dalam waktu kurang dari 1 tahun mengadili dua perkara pembunuhan istri dengan morfin.
Dr. Buchanan naik banding namun tanpa hasil. Pada tanggal 2 Juli 1895, dr. Buchanan menjalani hukuman matinya di Penjara Sing Sing.
(Charles Bowell)
Baca Juga: Ketemu Tersangka Ketiga
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822803/di-matanya-itulah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310568000) } } [1]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835274" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/seorang-di-antara-tiga-korban-ad-20230804052659.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Sepasang imigran Hongaria punya dua anak perempuan. Pada Paskah, mereka merencanakan pesta, tetapi justru yang ditemukan adalah tiga mayat." ["section"]=> object(stdClass)#140 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/seorang-di-antara-tiga-korban-ad-20230804052659.jpg" ["title"]=> string(48) "Seorang di antara Tiga Korban adalah Gadis Model" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:27:12" ["content"]=> string(29931) "
Intisari Plus - Sepasang suami istri imigran Hongaria punya dua anak perempuan cantik, Ethel dan Veronica. Pada hari raya Paskah, mereka merencanakan pesta, tetapi justru yang ditemukan adalah tiga mayat korban pembunuhan, termasuk Veronica.
----------
Joseph dan Mary Gedeon adalah sepasang suami istri imigran dari Hongaria, yang telah lama menetap di Amerika. Mereka mempunyai dua orang anak perempuan yang luar biasa cantik. Yang pertama, Ethel telah menikah dan tinggal dengan suaminya Joseph Kudner di pinggiran kota New York. Yang kedua, Veronica atau “Ronnie”, umur 21 tahun dan masih gadis.
Ronnie menjadi model bagi para pelukis dan juru potret. Ia sangat laku, bukan saja karena kemolekan tubuhnya, tetapi lebih-lebih karena gadis ini tak berkeberatan berpose dalam keadaan telanjang.
Ketika perkara “Gedeon” yang akan diceritakan di bawah ini terjadi, Joseph dan Mary Gedeon telah bercerai. Ronnie tinggal bersama ibunya dalam sebuah apartemen di East 50th Street, sedangkan Joseph Gedeon tinggal di East 34th Street di mana ia mengusahakan sebuah toko bekleding. Walaupun telah bercerai, namun hubungan Joseph dan Mary masih baik. Pada waktu-waktu tertentu, terutama pada hari raya-raya besar, mereka dan kedua anak mereka berkumpul untuk bersantap bersama-sama.
Ketika itu bulan Maret 1937. Joseph dan Mary Gedeon membuat rencana pesta pada hari raya Paskah, Minggu tanggal 28 Maret. Pesta akan berlangsung di rumah Mary. Ronnie dan ibunya akan menyiapkan masakan. Seluruh keluarga menurut rencana akan berkumpul pada jam 3 siang. Tetapi secara tak terduga-duga hari pesta itu menjadi hari duka.
Joseph Gedeon dan Ethel serta Kudner suaminya yang saling bertemu di tengah jalan dan bersama-sama menuju ke rumah Mary dan Ronnie, tidak menjumpai masakan yang telah siap sedia, tetapi tiga mayat korban pembunuhan.
Ronnie terkapar di ranjang, sama sekali tanpa pakaian, sedangkan ibunya menggeletak di kolong. Korban ketiga adalah Frank Byrnes, seorang Inggris setengah usia yang menyewa salah satu kamar apartemen Mrs Gedeon.
Mayat Ronnie dan ibunya tak memperlihatkan luka-luka senjata. Lain halnya dengan mayat Frank Byrnes. Ia berlumuran darah menggeletak di ranjang, hanya berpakaian celana dalam. Tubuhnya sebagian tertutup selimut. Mr Gedeon segera lari ke kantor polisi yang kebetulan letaknya dekat sekali.
Sesaat kemudian apartemen Mrs. Gedeon telah penuh detektif, di bawah pimpinan komandan John A. Lyons yang membawa serta Dr. Thomas Gonzales untuk mengadakan pemeriksaan. Kedatangan mereka disambut oleh anjing piaraan Mrs. Gedeon. Binatang ini mengamuk dan menyalak dengan ganasnya, hingga terpaksa disingkirkan ke lain tempat agar tidak mengganggu jalannya pemeriksaan. “Jika ada orang yang tak dikenalnya, anjing ini selalu demikian”, kata Ethel dengan nada maaf atas terjadinya gangguan ini.
Peristiwa kecil ini dan pernyataan seorang tetangga dekat, bahwa sekitar jam 11 Sabtu malam dari arah apartemen Mrs. Gedeon ia mendengar seorang wanita berteriak tetapi sama sekali tak mendengar anjing menyalak, memungkinkan polisi membuat kesimpulan berikut: Pembunuh pastilah seseorang yang tidak asing di rumah Mrs. Gedeon.
Sementara itu penyelidikan Dr. Gonzales menghasilkan gambaran berikut. Di antara ketiga korban, yang meninggal pertama-tama adalah Mrs. Gedeon. Pukul 11 Sabtu malam sangat cocok dengan hasil penyelidikan dokter mengenai keadaan mayat Mrs. Gedeon.
Ia mati dicekik dengan sepasang tangan yang luar biasa kuat. Sebelum mati lemas, wanita itu mengadakan perlawanan. Di sela-sela kukunya terdapat sebitan-sebitan daging dari penyerangnya. Pelipisnya menunjukkan tanda-tanda dipukul keras sekali dengan tinju, yang tentu membuatnya tak sadar. Tanda-tanda jamahan seksual sama sekali tak terlihat padanya.
Juga Ronnie bukan korban pemerkosaan. Sementara itu tampak jelas bahwa Sabtu malam ia melakukan hubungan kelamin dengan secara sukarela. Ronnie meninggal kira-kira 6 jam setelah kematian ibunya, sekitar jam 6 pagi hari Minggu. Seperti Mrs Gedeon, Ronnie pun mati karena dicekik lehernya.
Sepotong pita perekat terjerat antara rambutnya. Rupanya pembunuh sebetulnya bermaksud memberangus Ronnie dengan pita itu agar tak dapat berteriak-teriak minta tolong. Tapi ini tak jadi ia lakukan. Celana dalamnya terletak dekat kaki ranjang. Otopsi menunjukkan bahwa dalam otak gadis itu banyak terdapat alkohol. Ini memberi kesimpulan bahwa pada waktu meninggal, Ronnie sedang mabuk berat.
Cara kematian Byrnes lain sekali dengan dua korban terdahulu. Rupanya ia sedang tidur ketika diserang. Ia tidak dicekik, tetapi ditusuki kepalanya dengan sebuah benda runcing. Seperti Ronnie, Byrnes pun meninggal sekitar jam 6 Minggu pagi, kemungkinan besar beberapa saat setelah gadis itu. Sebab seandainya pembunuh menyerang Ronnie setelah menganiaya Byrnes senjata runcing tentunya ia akan menodai ranjang Ronnie dengan darah Byrnes. Tidak terdengarnya kegaduhan oleh Byrnes sewaktu pembunuh mencekik Ronnie, mudah diterangkan, yaitu karena Byrnes sangat tuli.
Motif pembunuhan pasti bukan pencurian. Tak ada benda-benda berharga yang dibawa kabur dari kamar Ronnie. Satu-satunya yang hilang hanyalah sebuah jam beker di dapur. Di tempat kejadian selebihnya ditemukan sarung tangan kiri milik pembunuh, tetapi tak ada sidik jarinya. Kecuali itu di lantai dapur ada lapisan sejenis tanah liat rupanya berasal dari telapak sepatu pembunuh. Tanah liat itu dikirim oleh polisi ke laboratorium untuk diselidiki.
Pemeriksaan seluruh apartemen tidak menambah kejelasan. Di kamar mandi terdapat noda-noda darah, yaitu di bak mandi dan pada sebuah handuk yang tergantung di situ. Rupanya pembunuh mencuci tangan setelah menikam Byrnes.
Selebihnya di tempat yang sama ditemukan pakaian yang dikenakan Ronnie menjelang dibunuh: sepatu, kaos kaki, gaun, topi, notes kecil. Semua benda itu terletak dalam keranjang cucian. Rupanya gadis itu dalam keadaan mabuk menanggalkan seluruh pakaiannya di situ, terkecuali celana dalam yang ditemukan dekat ranjang. Atau barangkali pembunuhnyalah yang menaruh semua benda-benda itu di kamar mandi.
Selagi para pemeriksa berada di kamar mandi, tiba-tiba telepon berdering. Seorang lelaki menanyakan Ronnie. Katanya, ia membuat perjanjian sore itu akan ke gereja bersama gadis itu. “Terjadi sesuatu dengan Ronnie”, jawab polisi yang kemudian minta agar lelaki itu segera menuju ke rumah Ronnie.
Sepuluh menit setelah itu, lelaki tersebut sudah datang. Ternyata ia masih muda, kira-kira sebaya dengan Ronnie. Ketika diberitahu polisi tentang apa yang terjadi, pemuda itu terkejut sekali. Ia tak memperlihatkan kesan bersalah. Dengan jujur dan terus terang ia menceritakan hubungannya dengan Ronnie.
Pemuda itu masih bujangan dan bekerja di Wall Street. Ia bukan tunangan Ronnie, tetapi bergaul dengannya secara intim. Sabtu malam Minggu menjelang terjadinya peristiwa, pemuda itu masih mengajak Ronnie ke apartemennya. Di sana makan spaghetti, minum-minum dan sekitar tengah malam bermesra-mesraan di ranjang.
Ronnie takut dimarahi ibunya jika pergi semalam suntuk. Maka pemuda itu mengantarkannya pulang jam 3 pagi. Sebelum berpisah, mereka berjanji akan ke gereja bersama-sama hari berikutnya. "Ya, tingkah laku kami sebetulnya bertentangan dengan penunaian ibadat agama di gereja. Tapi itulah kenyataannya”, pemuda itu menambahkan dengan jujur.
Jam 3 pagi Ronnie pulang. Jam 6 ia telah mati. Rupanya pembunuh telah menunggunya di kamar. Dalam jangka waktu 3 jam antara jam 3 dan 6 pagi, apa yang terjadi antara Ronnie dan pembunuhnya? Barangkali yang terakhir ini berusaha melakukan pemerasan terhadapnya atau minta sesuatu janji? Dengan menyelidiki riwayat hidup Ronnie, barangkali saja pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab.
Gadis ini ternyata pernah kawin, yaitu pada usia 16 tahun. Tetapi bekas suaminya jelas tak mempunyai sangkut paut dengan pembunuhan Ronnie. Telah 4 tahun lelaki itu tak pernah melihat bekas istrinya. Dan pada saat kejadian ia berada ditempat lain.
Dari buku catatan Ronnie, ternyata bahwa ia mempunyai banyak kekasih. Salah seorang di antaranya adalah seorang lelaki yang sudah berkeluarga dan mempunyai 3 orang anak. Lelaki ini pernah mengongkosi Ronnie ketika memerlukan pertolongan dokter karena “kesulitan ginekologis” rupanya istilah lain untuk menyebut kehamilan. Tetapi lelaki inipun dapat memberikan alibi yang meyakinkan kepada polisi.
Lelaki lain yang menurut laporan Mr. Gedeon menaruh minat kepada Ronnie adalah seorang jutawan dari Boston. Jutawan itu bermaksud memungut Ronnie sebagai kekasihnya. Ia akan menempatkannya dalam sebuah apartemen mewah di Park Avenue lengkap dengan mobil segala. Tetapi tawaran ini ditolak oleh Ronnie. Akibatnya jutawan itu marah sekali. Tidak mustahil ia menaruh dendam terhadap Ronnie, karena cintanya tak terbalas.
Mendengar cerita ini, polisi malah menjadi curiga. Diangan-angan Gedeon sendiri terlibat dalam pembunuhan Ronnie dan ibunya. Penyelidikan menunjukkan bahwa Mrs. Gedeon seorang wanita yang penuh gairah. Sebelum bercerai dengan suaminya, wanita itu mempunyai banyak sahabat lelaki. Dan menjelang matinya, Mrs. Gedeon kerap kali terlihat bersama-sama dengan seorang lelaki tampan. Kepada setiap orang, Mrs. Gedeon memperkenalkan sahabatnya ilu sebagai “suami saya yang kedua”. Tidak mustahil Mr. Gedeon menjadi cemburu karenanya.
Polisi teringat pada senjata runcing yang digunakan untuk membunuh Frank Byrnes. Tak mustahil senjata itu besi pengait yang sering digunakan pekerja-pekerja Gedeon di gudang tempat penyimpanan barang-barang dagangannya. Jika benar Gedeon pembunuhnya, maka sudah barang tentu anjing Mary Gedeon tak akan menyalak sewaktu orang itu datang di rumah majikannya. Penggeledahan yang dilakukan polisi di rumah Mr. Gedeon menghasilkan penemuan sebuah pistol yang berisi sejumlah peluru.
Tanggal 1 April Gedeon ditahan polisi, di samping karena menyimpan senjata tanpa izin, juga untuk diinterogasi mengenai kematian Mrs. Gedeon, Ronnie dan Byrnes.
Tentang pistol yang ditemukan di rumahnya, Gedeon mengatakan bahwa senjata itu titipan dari seorang teman. Lebih jauh diperoleh keterangan bahwa Sabtu malam Minggu menjelang terjadinya pembunuhan, Gedeon dari jam 7 sore sampai jam 3 malam berada di sebuah cafe minum-minum bir. Setelah itu langsung pulang ke rumah dan tidur.
Sementara itu perkembangan penyelidikan menyebabkan polisi beranggapan tak perlu menahan Gedeon lebih lama lagi. Tanggal 3 April ia sudah dilepaskan. Perkara pistol yang disimpannya tanpa izin, untuk sementara ditangguhkan pengusutannya.
Perubahan arah penyelidikan itu disebabkan oleh hasil penelitian tanah liat yang ditemukan di tempat pembunuhan. Apa yang mirip tanah liat itu ialah plastisin, bahan yang biasa digunakan oleh para pembuat patung. Dan di rumah Mrs. Gedeon pernah tinggal seorang seniman pembuat patung. Ia mendiami kamar yang belakangan dihuni oleh Frank Byrnes.
Orang itu ialah Robert Irwin, umur 29 tahun. Ia pernah menyewa kamar di apartemen Mrs. Gedeon, yaitu dari bulan Mei sampai Desember tahun 1934. Setelah itu ia pindah tempat tinggal, tapi kadang-kadang masih sering mampir di rumah Mrs. Gedeon.
Robert Irwin ketika indekos di rumah Mrs. Gedeon, jatuh cinta pada Ethel, yang waktu itu belum menikah. Tetapi Ethel tak menaruh perasaan yang sama. Namun sikapnya terhadap Robert tetap baik, ramah. Kadang-kadang ia bahkan mau menemaninya mengunjungi museum-museum setempat.
Ronnie yang suka mencatat pengalaman-pengalaman pribadinya, pernah menulis kalimat berikut tentang Robert Irwin atau “Bobby”: Jelas bahwa Bobby berusaha merebut hati Ethel. Tapi sejauh tergantung dari saya, saya tak rela ia menikah dengan Ethel. “Maksud itu akan saya cegah melalui ibuku”. Bulan berikutnya Ronnie menulis: “Saya takut kepada Bobby. Ia kerap kali datang ke rumah sejak Ethel menolak cintanya".
Robert Irwin pernah mengalami gangguan psikis hingga perlu dirawat di rumah sakit negara di Rockland. Tingkah lakunya kadang-kadang memang aneh. Setelah Ethel menikah misalnya, Irwin sering mengira bahwa wanita idamannya ini telah bercerai dari suaminya. Dan ia berusaha mendekatinya.
Tetapi semua peristiwa itu sudah berlalu. Dan Ethel sudah lama tak mendengar lagi tentang Irwin dan tak dapat memberikan alamatnya ketika polisi menanyakannya.
Komandan Lyons kini menyuruh orang-orangnya mencari data-data tentang Robert Irwin di rumah sakit Rockland yang dulu merawatnya. Di sana mereka memperoleh semua dokumentasi tentang lelaki ini dan diagnosa dokter tentang penyakitnya dan latar belakangnya.
Robert lahir di California. Ketika ibunya melahirkannya, sama sekali tak ada bidan, jangankan dokter yang menolongnya. Tak lama kemudian suaminya meninggalkan wanita malang itu dan anaknya. Riwayat hidup Robert setelah itu berupa rentetan perpindahan dari rumah piatu yang satu ke yang lain. Pendidikan sekolah sewaktu kecil terputus-putus dan tanpa arah, namun prestasi Robert cemerlang.
Ketika Robert berumur 22 tahun, seorang pemahat terkenal di waktu itu, Lorado Taft, melihat bakat-bakatnya sebagai seniman ukir. Ia memberi Robert bukan saja pendidikan di bidang seni, tetapi juga persahabatan dan lingkungan keluarga.
Sebagai seniman Robert mengembangkan sebuah teori aneh, yang ia namakan “visualisasi”. Dengan visualisasi, demikian katanya, ia dapat menghidupkan kembali suatu pengalaman fisik di masa lampau. Setelah melihat suatu sandiwara misalnya, ia kemudian setiap kali dapat “mengundang kembali” pengalaman itu. Dalam visualisasi semua aktor dan aktris akan tampil di depannya hidup-hidup.
Berkat kemampuannya melakukan visualisasi, Irwin percaya akan dapat mencapai puncak prestasi artistik. Sebab dengan “filsafatnya” itu ia dapat menampilkan semua karya-karya besar dari segala zaman di hadapannya.
Dalam mempraktikkan visualisasi, Irwin sering berjam-jam duduk dalam posisi seperti pada praktik juga. Pada saat itu segala-galanya lenyap dari kesadarannya, tetapi ia masih merasakan gerak nafsu seksual.
Hal ini sangat ia sayangkan. Sebab seks dianggapnya dapat mengancam cita-citanya ke alam visualisasi. Anggapan ini pada suatu hari mendorongnya melakukan operasi atas dirinya sendiri untuk menghilangkan kejantanannya. Dalam keadaan berlumuran darah ia diangkut ke rumah sakit.
Di sana ia minta kepada dokter untuk menyelesaikan operasinya. Tetapi permintaan ini tidak dikabulkan. Setelah dijahit luka-lukanya, Robert Irwin dibawa ke rumah sakit jiwa. Di sana ia dirawat beberapa bulan. Kemudian dikirim ke rumah sakit di Rockland. Diagnosa dokter mengatakan bahwa Irwin dihinggapi demensia praecox.
Tahun 1934 ia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. la pergi ke New York dan indekos di rumah Mrs. Gedeon. Cintanya yang tak terbalas oleh Ethel, membuatnya murung sekali. Atas nasehat seorang ahli jiwa ia kembali ke rumah sakit Rockland. Pertengahan tahun 1936 ia dinyatakan sembuh dan boleh keluar dari rumah sakit.
Kini Robert belajar teologi di St. Lawrence University. Di samping itu ia menjadi guru seni patung.
Polisi kini menuju ke Universitas St. Lawrence Robert ternyata bukan lagi mahasiswa teologi. Ia telah dikeluarkan karena menyerang seorang rekan mahasiswa yang tak sengaja merobohkan sebuah patungnya. Jumat tanggal 26 Maret 1937 dua hari sebelum terjadinya pembunuhan ia meninggalkan lingkungan universitas.
Tetapi, untung Robert meninggalkan jejak yang berharga. Seperti Ronnie, ia pun suka membuat catatan harian. Dan buku hariannya ketinggalan di kamarnya di St. Lawrence.
Salah satu kalimat dalam harian itu memberi harapan kepada polisi. Bunyinya sebagai berikut: ”Ya, Tuhan. Betapa aku memuja Ethel. Kesempurnaan. Aku bisa menjadi gila kalau mengingat bahwa Ethel telah menikah dengan lelaki lain. O, seandainya dulu Ronnie dan ibunya tak menghalangi maksudku untuk memperistri Ethel. Aku menjadi sampah tak berharga karenanya. Gadis impianku, tidakkah kau mendengar bisikanku di malam hari ini? Betapa aku benci kepada Ronnie dan ibunya karena perbuatan mereka terhadap diriku.”
Komandan Lyons dan anak buahnya berusaha mengikuti jejak Irwin sejak ia pada hari Jumat meninggalkan St. Lawrence. Pada hari yang sama, demikian hasil penyelidikan polisi, Irwin telah sampai di New York. Di sini menyewa sebuah kamar lengkap dengan perabotnya, letaknya tak jauh dari apartemen Mrs. Gedeon.
Hari berikutnya, Sabtu, Irwin makan dengan seorang gadis terhormat, tunangan seorang rekannya di St. Lawrence University. Selesai makan-makan mereka berdua mengunjungi beberapa museum. Di sana sini Irwin menanyakan lowongan pekerjaan baginya.
Menjelang sore Irwin kelihatan murung. Rupanya tidak hanya tak berhasil mendapatkan pekerjaan, tetapi lebih-lebih karena “cinta yang hilang”. Yang ia maksud rupanya Ethel Gedeon, sekalipun ia tidak menyebut namanya. Jam 6 sore Irwin dan gadis temannya berpisah.
Sejak saat itu sampai hari Minggu pagi, urutan gerak gerik Irwin sukar direkonstruksi. Yang jelas, Minggu pagi ia muncul di apartemen yang disewanya. Dan hari berikutnya, Senin pagi, ia mengakhiri sewa kamarnya. Ia pergi dengan membawa dua koper. Bagasi ini ia titipkan di stasiun kereta api Grand Central.
Dalam salah satu di antara kedua koper tersebut, ditemukan jam beker yang hilang dari dapur Mrs. Gedeon. Di samping itu polisi menemukan pula pasangan sarung tangan yang tertinggal di tempat pembunuhan. Kini tak ada kesangsian lagi siapa pembunuh ketiga korban di Fast 50th Street.
Polisi New York segera menyebarkan publikasi keseluruh penjuru Amerika tentang buronan yang mereka cari. Publikasi itu antara lain berupa surat edaran sebanyak 200.000 lembar dengan foto dan gambaran tentang ciri-ciri Robert Irwin.
Bulan Juni tanggal 25 surat selebaran polisi membawa hasil. Henrietta Kcsianski, seorang pekerja di dapur Hotel Statler di Cleveland, Ohio, melihat gambar Robert Irwin di surat kabar. Mukanya mirip sekali dengan rekan sekerjanya, Robert Murray. Henrietta bertanya kepada Murray apakah ia pernah memakai nama Irwin. Murray menjawab “tidak”. Beberapa menit kemudian Murray Keluar ruangan.
Henrietta memberi tahu manager hotel dan yang terakhir ini segera memberitahukan polisi. Tetapi ketika alat negara datang, Robert Murray alias Robert Irwin telah melarikan diri.
Tetapi lolosny Robert Murray tidak berlangsung lama. Hari berikutnya ia tiba di Khicago dan mendatangi kantor sebuah surat kabar. Disita ia mengakui identitas dan namanya yang sebenarnya. Kepada pemimpin surat kabar Robert Murray alias Irwin menawarkan kisah eksklusif tentang pembunuhan yang ia lakukan di New York. Pemimpin surat kabar itu bersedia membeli ceritanya. Selama kisah Robert Irwin ditulis dan dicetak, surat kabar tersebut merahasiakan pengarangnya. Setelah itu ia menyerahkan Irwin kepada polisi.
Anak buah komandan Lyons cepat-cepat pergi ke Chicago dan membawa pulang Irwin kembali ke New York. Irwin menyatakan tak mau membuka mulut jika tidak didampingi oleh Dr. Wertham yang pernah merawatnya sebagai pasien jiwa, Ahli psikiatri itu segera datang. Setelah berunding dengannya, Irwin menyalakan bersedia memberikan pengakuan seluruhnya tentang terjadinya pembunuhan.
Hari sabtu menjelang Minggu Paskah, katanya ia merasakan siksaan batin karena cintanya yang tak terbalas kepada Ethel. Dalam keadaan putus asa hampir saja ia menceburkan diri disungai East River, yang letaknya tak jauh dari East 50th Street.
Pulang dari East River ia melihat sebatang besi runcing dalam sebuah got. Diambilnya benda itu yang ternyata alat pemecah es. Kini timbul pikiran padanya, bahwa penderitaannya akan berakhir jika ia membunuh Ethel.
“Kesulitan saya adalah karena tekanan-tekanan seksual. Untuk memecahkan masalah ini, saja hanya melihat satu jalan, jaitu dengan membunuh Ethei. Saya jakin bahwa setelah itu saja akan dapat menempatkan diri saya pada tingkat kesempurnaan spiritual. Segala-galanya akan beres”, kata Irwin.
Dengan gagasan itu ia menuju berumah Mrs. Gegeon karena ia beranggapan bahwa Ethel tinggal disitu. Satu-satunya sasaran yang ia incar adalah Ethel. Ternyata rumah kosong. Akhirnya Mrs. Gedeon sampai dirumah. Wanita ini kelihatan capai sekali. Irwin keluar sebentar berjalan-jalan dengan membawa anjing Mrs. Gedeon, Ketika ia kembali Frank Byrnes telah pulang pula. Mrs Gedeon memperkenalkan Irwin dengan Byrnes, yang tak lama kemudian masuk kamarnya dan tidur.
Setelah itu Irwin mendesak-desak Mrs. Gedeon untuk boleh bertemu dengan Ethei. Mrs. Gedeon akhirnya habis kesabarannya. Katanya: “Bob, Ethel tidak ada di sini. Dan sekarang sudah larut malam. Silahkan pergi.”Tidak”, jawab Irwin. “Saya akan tetap di sini sampai berhasil melihat Ethel.” Pada saat itu tiba-tiba Mrs. Gedeon meledak amarahnya dan menyergap Irwin sambil berteriak: “Enyah, kau dari sini. Saya panggilkan Byrnes nanti jika kau tak mau keluar.”.
Setelah itu Irwin menghantam Mrs. Gedeon dan mencekiknya. Mrs. Gedeon mengadakan perlawanan ganas. Irwin baru berani melepaskan, leher Mrs. Gedeon setelah mencekiknya selama 20 menit. Wanita itu jatuh terkulai di lantai. Mayatnya dilempar kan Irwin di bawah kolong tempat tidur.
“Kemudian Ronnie datang”, Robert Irwin melanjutkan ceritanya. Saya berada di kamar lain. Ronnie masuk, kamar mandi. Disitu lama sekali, hingga saya bertanya-tanya apakah ia masih akan keluar. Tiba-tiba ia muncul lagi. Langsung ia saya dekap. Tenggorokannya saya cekam. Ronnie saya bawa ke kamar ibunya.
“Saya tak tahu apa yang mesti saya perbuat dengan Ronnie. Ia hanya saya dekap kuat sekali, tetapi demikian rupa hingga ia masih bisa bernafas. Ia minta jangan saya gauli. sebab ia baru saja dioperasi karena suatu penyakit.
“Akhirnya Ronnie berkata: Bob, saya tahu kau mencari Ethel. Jika kau laksanakan niatmu, kau akan mendapat kesulitan. Kata-kata ini membuat saya naik darah. Ia saya cekik. Sehelai pakaian yang masih menutupi tubuhnya, saya lepaskan.”.
Kemudian Robert menceritakan, bahwa waktu itu bukanlah untuk pertama kalinya ia melihat Ronnie dalam keadaan tanpa pakaian. Namun ia belum pernah melakukan hubungan seks dengannya. “Ronnie menggauli banyak lelaki. Tetapi terhadap saya ia tak menaruh minat. Perhatian nya kepada saya hanyalah sejauh saya berminat terhadap Ethel” Irwin menambahkan.
Ketika Robert menyewa kamar di apartemen Mr. Gedeon, Ronnie yang merasa kesepian pernah memintanya tidur dengannya. Pada lain kesempatan gadis itu melakukan “striptease” di hadapannya seorang diri. Satu kali pernah Irwin memandikannya. Ketika Mrs. Gedeon dan Ethel suatu ketika meninggalkan rumah tiga hari lamanya, Irwin menemui Ronnie seorang diri. Selama itu Ronnie di rumah berkeliaran setengah telanjang.
Tetapi kesemuanya itu tak pernah menyebabkan Irwin menginginkannya. Perhatian pemuda itu hanya terpusat pada Ethel. Ronnie memiliki tubuh yang menggairahkan. Tetapi tingkah lakunya yang terlalu menekankan ke kelaminnya, memuakkan, kata Irwin.
Setelah membunuh Ronnie, Irwin menuju ke kamar Frank Byrnes. Pelipisnya ia tusuk dengan alat pemecah es, “Sebetulnya saya tidak bermaksud membunuhnya”, Irwin menerangkan perbuatannya. “Saya tak pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Saya tak menaruh perasaan dendam apapun terhadapnya. Tetapi Ia melihat saya di rumah Mrs. Gedeon malam itu dan mengetahui nama saya. Maka saya terpaksa menyingkirkannya.
Setelah menamatkan hidup Byrnes, Irwin mengambil jam wekker di dapur, la tak tahu apa yang mendorongnya berbuat demikian. Kemudian ia meninggalkan rumah. Di tengah jalan ingat bahwa salah satu sarung tangannya tertinggal, tetapi ia tak menaruh minat untuk kembali dan mengambilnya. Alat pemecah es ia campakkan entah dimana Mengenai pakaian Ronnie, ia tak ingat lagi ia masukkan ke dalam bakul cucian atau tidak.
Robert Irwin pada akhir keterangannya masih menyinggung “filsafat visualisasi”nya. Katanya: “Saya membunuh Mrs. Gedeon karena saya naik pitam. Ronnie saya bunuh karena terpaksa. Demikian pula Byrnes. Satu-satunya orang yang saya incar hanyalah Ethel, karena saya, cinta dan benci kepadanya.”.
“Saya hanya bermaksud mengambil hidup satu orang. Kini saya akan mengganti hidup para korban saya dengan mengembangkan daya visualisasi yang merupakan langkah lanjutan dari evolusi umat manusia.”.
Dalam sidang pengadilan Irwin dibela oleh pengacara termasyhur Samuel Leibowitz. Berdasarkan masa lampau kliennya dan diagnosa para dokter jiwa, ia menyalakan Robert Irwin sebagai orang gila. Namun jaksa William C. Dodge menentangnya.
Sementara itu dibentuk suatu komisi untuk menyelidiki kesehatan jiwa Irwin. Tetapi yang bersangkutan sama sekali tak mau membantu pekerjaan panitia tersebut Irwin bungkam, tak mau memberi kesaksian apapun juga walaupun ia berhak untuk itu.
Tanggal 25 Maret 1938 panitia mengeluarkan pendapatnya bahwa Irwin sehat menurut hukum. Ia tahu “hakekat dan sifat perbuatan-perbuatannya dan bahwa perbuatan-perbuatan itu salah”.
“Tanggal 8 November Robert Irwin diajukan di depan pengadilan Leibo- witzbertahan pada pembelaan bahwa Robert Irwin hanya melakukan pembunuhan yang tak direncanakan. Jaksa Dodge menerima pendapat ini. Hakim James Wallace menjatuhkan hukuman 139 tahun penjara.
Robert Irwin dimasukkan di penjara Sing Sing, Tapi tak lama kemudian la terpaksa dipindahkan ke lembaga untuk merawat tahanan-tahanan yang sakit jiwa. Kesehatan mentalnya semakin mundur hingga ia tak mungkin lagi dibebaskan.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Ekor Pembunuhan Nona Kwitang
" ["url"]=> string(93) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835274/seorang-di-antara-tiga-korban-adalah-gadis-model" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691170032000) } } [2]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835245" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/85-george-nesbitt-detektif-awam-20230804052454.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "George Nesbitt, seorang detektif amatir, menyelidiki hilangnya ibu dan adiknya. George menemukan kejanggalan dalam keterangan tetangga." ["section"]=> object(stdClass)#144 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/85-george-nesbitt-detektif-awam-20230804052454.jpg" ["title"]=> string(38) "George Nesbitt Detektif Awam Cemerlang" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:25:05" ["content"]=> string(26604) "
Intisari Plus - George Nesbitt, seorang detektif amatir, menyelidiki hilangnya ibu dan adiknya. George menemukan kejanggalan dalam keterangan tetangga dan menemukan bukti bahwa adiknya telah menikah secara rahasia.
----------
Pemuda-pemuda di Harlan Iowa (Amerika) kecewa bercampur kagum ketika Miss Alma Nesbitt, salah seorang gadis tercantik di situ, berangkat ke daerah barat dengan tekad seorang perintis, Alma pergi ke Oregon, terdorong oleh keinginannya mendapatkan tanah yang luas untuk usaha pertanian dan peternakan. Sebuah “ranch” yang ia usahakan dan ia atur sendiri!
Mengapa bersusah payah ke Oregon jika ia hanya menghendaki sebidang tanah yang luas? Mengapa tidak meluluskan saja pinangan salah satu di antara petani kaya di Iowa yang memujanya?
Rupanya yang memikat Alma Nesbitt bukan terutama sebidang tanah, tetapi lebih-lebih romantika petualangan di daerah yang belum banyak dijamah orang. Bulan Maret 1899 ia berpamitan dari ibu dan kakaknya, George R Nesbitt.
Tak lama setelah keberangkatannya, Alma menyurati ibunya. Katanya ia telah mempunyai ranch sendiri di Oregon, letaknya 30 km dari Hood River, luasnya 160 acres, berbatasan dengan tanah seorang kenalan lama dari Harlan, yaitu Norman Williams. Pada akhir surat, Alma minta ibunya datang ke Oregon untuk tinggal bersamanya.
Sejak Mrs. Nesbitt berangkat, George Nesbitt Yang tetap tinggal di Harlan, tak banyak mendengar kabar tentang ibu dan adiknya. Tetapi dari satu dua surat yang ia terima dari mereka, George dapat menyimpulkan bahwa keadaan mereka baik, usaha pertanian dan peternakan berhasil, dan bahwa Norman Williams ternyata seorang tetangga yang ramah dan suka membantu.
Setahun berlalu. Kemudian tanggal 12 Maret 1900 George menerima sepucuk surat dari Alma. Katanya, ia dan ibunya akan segera pulang ke Harlan, Surat dikirim dari sebuah losmen di Grand Avenue, Portland. Mengapa dari alamat baru? Dan mengapa pula mereka mendadak memutuskan kembali ke kota asal? George menunggu dengan hati cemas tetapi juga gembira karena telah lama tak melihat ibu dan adik kandungnya.
George menunggu dan menunggu, tetapi Alma dan Mrs. Nesbitt tak muncul juga. Beberapa minggu kemudian George kirim surat kepada Norman Williams untuk menanyakan nasib ibu dan adiknya.
Williams tak dapat memberi keterangan. Selama bulan-bulan terakhir ia tak banyak bergaul dengan Alma karena gadis ini bekerja di The Dalles untuk mendapatkan modal bagi usaha pertaniannya pada musim tanam berikutnya, kata Williams. Selama di The Dalles, kata tetangga itu selanjutnya, kabarnya Alma menjalin hubungan cinta dengan seorang pemuda dan ada desas-desus bahwa Alma pergi entah ke mana dengan pemuda itu. Williams tak tahu siapa nama kekasih Alma ini.
Bulan demi bulan berlalu dan George terus mencari keterangan ke sana ke mari. Rumah losmen di Grand Avenue Portland yang ia surati menjawab bahwa Alma dan ibunya meninggalkan penginapan itu pada tanggal 8 Maret 1900 — tanggal yang tercantum dalam surat Alma yang terakhir. Tetapi pemilik losmen tak dapat memberi keterangan keinginan kedua wanita itu pergi.
George meneliti surat-surat kabar kalau-kalau ada berita tentang wanita hilang atau penemuan mayat-mayat yang tak dikenal. Ia menyurati kantor-kantor polisi dan biro-biro detektif. Kesemuanya tanpa hasil.
Empat tahun berlalu tanpa ada kabar tentang nasib Alma dan ibunya. kini George yang sementara itu telah berhasil mengumpulkan cukup kekayaan, bertekad untuk memecahkan teka-teki sekitar nasib ibu dan adiknya yang hilang tanpa jejak.
Orang boleh bertanya-tanya, mengapa George menunggu sampai empat tahun dan tidak bertindak lebih cepat atau lagi mengapa polisi yang mendapatkan laporan, tidak segera mengambil tindakan yang efektif untuk menjernihkan persoalan.
Bagaimanapun juga prestasi George Nesbitt dalam mencari ibu dan adiknya sungguh mengagumkan. Apalagi jika diingat bahwa lelaki ini orang biasa saja yang sama sekali belum pernah “makan garam” di bidang kedetektifan, sedangkan perkaranya sudah begitu tertimbun oleh waktu.
Tempat yang pertama-tama dituju oleh George adalah losmen di Grand Avenue, Portland. Pemiliknya ternyata masih sama seperti empat tahun yang lalu. Ia ketika Mrs. Nesbitt dan Alma menginap di situ.
Henry Winters — demikian nama pemilik losmen — hanya bisa memberikan keterangan samar-samar itupun setelah ia meneliti buku tamu empat tahun yang lalu.
Nama Alma dan Mrs. Nesbitt memang tercantum di dalamnya. Mr. Winters masih lupa-lupa ingat akan dua orang wanita, yang di tahun 1900 pernah menyewa kamarnya. Yang satu masih muda dan cantik sekali, katanya. Gadis Ini beberapa kali didatangi seorang lelaki, yang bertengkar dengannya
“Ini saja ingat betul”, kata Winters, “Gadis itu rupanya berniat untuk pergi ke suatu tempat dan sedangkan si lelaki berusaha mencegahnya. Tidak mustahil bahwa gadis itu Miss Alma yang dicari”.
Sekalipun tak menentu sifatnya, informasi ini dicatat baik-baik oleh George dan ia hubungkan dengan keterangan Norman Williams tentang hubungan percintaan Alma dengan seorang pemuda dari The Dalles. Jika benar gadis itu adiknya, barangkali saja lelaki itu ialah lelaki yang dikenal Alma ketika ia bekerja di The Dalles. Barangkali pula Alma telah lari dengan orang itu.
Langkah berikutnya yang diambil George ialah berusaha menghubungi Norman Williams. Dari Portland ke Hood River naik kereta api, dari Hood River ke rumah Williams naik kereta yang ditarik kuda. Dari sais kereta itu, Stranahan, pemilik Fashion Livery Stables. sebuah perusahaan yang menyewakan kuda dan kereta, George mendengar bahwa Norman Williams sudah lama sekali tak kelihatan.
Informasi ini ternyata benar. George menemukan rumah Williams dalam keadaan bobrok tanpa penghuni, tanah pertaniannya tak terurus dan penuh tanaman liar. Juga bekas tempat tinggal Alma dan Mrs. Nesbitt ia temukan dalam keadaan yang sama.
Maka malam itu juga George kembali ke Hood River dan hari berikutnya ia menuju The Dalles dengan kereta milik Stranahan. Maksudnya hendak mencari jejak-jejak perkawinan Alma jika benar adiknya itu telah jatuh hati pada seorang pemuda di tempat tersebut. Tetapi dokumen-dokumen pemerintahan di situ tidak mencatat perkawinan seorang gadis bernama Alma.
Pejabat di The Dalles tak bisa membantu banyak, karena peristiwa yang diselidiki George telah lama berlalu. Detektif amatir kita hanya dapat memperoleh informasi, bahwa seorang pemuda bernama Fred Sturges, kaisar pada sebuah perusahaan makanan ternak, pada tahun 1900 menggelapkan uang sebanyak $ 3.000 dari perusahaan tersebut dan lari dengan seorang gadis. Dan gadis ini konon berasal dan Hood River.
Mendengar keterangan ini George berpikir sebagai berikut: Fred Sturges lelaki yang curang. Andaikan pencoleng ini berhasil memikat hati Atma, maka tak mustahil tujuannya hanyalah untuk mendapatkan keuntungan kekayaan dari gadis itu. Bukankah Alma memiliki tanah pertanian: seluas 160 acres?
Gagasan ini mendorong George untuk minta Keterangan pada Kantor Urusan Tanah di Portland. Kecuali itu George: memutuskan untuk pergi ke Vancouver, Washington, karena menurut keterangan, orang-orang yang buru-buru hendak kawin biasanya lari ke Vancouver karena di sini peraturan-peraturan perkawinan lebih longgar.
Penelitian dokumen-dokumen pada Kantor Urusan Tanah di Portland membawa hasil. Untuk pertama kali selama penyelidikan, George menemukan jejak nyata dari adiknya. Sebuah naskah pada arsip Kantor Urusan Tanah itu menyebutkan bahwa Alma Nesbitt memindahkan penguasaan tanahnya seluas 160 acres kepada Norman Williams pada tanggal 17 Maret 1900.
Nesbitt mempelajari naskah itu dengan seksama. Lalu ia menyatakan kesimpulannya kepada pejabat Kantor Urusan Tanah. Katanya: “Jelas bahwa dalam dokumen ini nama adik saya dipalsukan”. Menanggapi pernyataan George ini, Kantor Urusan Tanah di Portland berjanji akan mengusut perkara itu.
Kini George mulai menaruh curiga terhadap Norman Williams. Jika Alma meninggalkan tanahnya di Hood River, memang logis bila ia menjualnya kepada tetangga terdekat, yaitu Williams. Tetapi mengapa pemalsuan di atas? Mengapa pula Williams, ketika disurati George, tidak menyebut-nyebut soal jual-beli tanah itu?
George melanjutkan penyelidikannya, kini di Vancouver. Ia membolak-balik halaman buku catatan perkawinan-perkawinan yang berlangsung di kota ini pada tahun 1900. Tak ditemukan nama Alma Nesbitt dan Fred Sturges, kaisar yang melarikan uang $ 3.000 tersebut di atas.
George kini menggali lebih jauh lagi, yaitu meneliti buku tahun 1899. Betapa ia terkejut ketika matanya tertumbuk pada nama pasangan yang menikah pada tanggal 25 Juli 1899, yaitu Alma Nesbitt dan Norman Williams, keduanya tercatat sebagai orang berasal dari Hood River, Oregon.
Tak pernah George menduga bahwa di samping jiwa perintis, masih ada motif lain yang menarik Alma untuk berpetualang di daerah barat, yaitu motif percintaan dengan Norman Williams yang memang telah dikenal oleh Alma sebelum gadis ini meninggalkan Harlan.
Rupanya Alma dan Williams menikah secara rahasia. Kini George lebih curiga lagi terhadap lelaki itu, yang menyembunyikan kedudukannya sebagai suami Alma dan mengatakan bahwa Alma barangkali lari dengan seorang pemuda dari The Dalles.
George memberitahukan penemuannya ini kepada kejaksaan The Dalles, yang berjanji akan mencari Norman Williams. Setelah Itu George menyewa kereta Stranahan (pemilik Fashion Livery Stables yang telah kita temui di atas) untuk mendjelajahi seluruh wilayah sekitar Hood River. Semua sahabat-sahabat dan kenalan-kenalan Alma maupun Williams ia tanya. Ternyata tak seorang pun tahu bahwa mereka telah menikah.
Di antara keterangan-keterangan yang berhasil dikumpulkannya ada satu yang berharga. Seorang petani bernama Harry Mead yang kenal akrab dengan Williams bercerita sebagai berikut.
Pada suatu hari ia mampir di Tanah Williams. Baru saja ia masuk rumah, turun hujan deras sekali. Mead memandang keluar dan melihat segunduk karung-karung berisi gandum milik Williams kehujanan. Buru-buru ia memberitahukan hal ini kepada Williams sambil menyatakan kesediaannya untuk membantu menyelamatkan gandum yang berharga itu.
Tetapi anehnya, Williams tidak mau, dan menjawab: “Jangan kau pusingkan itu gandum; mari kita minum kopi untuk menghangatkan tubuh. Belum pernah Mead melihat petani seceroboh Williams.
Aneh sekali tingkah laku Williams ini, pikir George. Sebab tidak benar apa yang dikatakan Harry Mead bahwa Williams seorang petani ceroboh. Bahkan sebaliknya, George selalu mengenal Williams sebagai petani yang rajin dan sangat cermat menjalankan usahanya. Perbuatan aneh seperti diceritakan oleh Harry Mead kiranya tidaklah tanpa sebab. Maka George mengaiak Harry Mead ke bekas rumah Williams. Berdua mereka naik kereta Stranahan pergi ke sana. Sampai tempat tujuan George minta ditunjukkan tempat karung-karung berisi gandum yang kehujanan itu. “Di sana”, kata Mead sambil menunjuk pada sebuah kandang ayam. “Cuma dulu kandang itu belum ada.”
Naluri George Nesbitt mengatakan bahwa tempat itu perlu digali. Selama satu jam George bekerja dibantu oleh Mead dan Stranahan, sampai sekopnya tertumbuk pada tanah keras. Satu-satunya benda yang mereka temukan adalah sebuah karung yang telah mulai membusuk. George mengamat-amatinya dengan teliti dan melihat bahwa pada karung itu terdapat noda-noda hitam.
Hari berikutnya, George menuju The Dalles sambil membawa karung itu. Benda ini ia serahkan kepada kejaksaan dan diterima oleh Jaksa Wilson.
Setelah mengamati baik-baik noda-noda pada karung tersebut Wilson berkata, bukan tidak mungkin noda-noda itu bekas darah. Lalu ia memutuskan untuk minta bantuan seorang ahli, nona Dr. Victoria Hampton.
Sementara itu jaksa Wilson mempunyai berita baik bagi George Nesbitt. Kini Norman Williams telah berhasil ditemukan tempat tinggalnya, ialah di Washington. Williams bahkan telah datang dengan sukarela ke The Dalles. “Anda akan segera saya pertemukan dengannya”, kata Wilson.
Pertemuan dan tanya jawab berlangsung di kantor kejaksaan, Williams perawakannya tinggi, rambutnya telah mulai memutih. Namun mukanya yang tampan, masih kelihatan muda sekalipun orang ini telah berumur 60 tahun. Dengan senyum penuh kehangatan ia menjabat tangan George Nesbitt.
Semua pertanyaan dijawab dengan lancar. Williams mengakui terus terang bahwa ia telah menikah dengan Alma. Tetapi atas kehendak Alma sendiri perkawinan itu ia rahasiakan. Dalam suratnya kepada George Nesbitt empat tahun yang lalu, ia tetap tidak menyebut-nyebut tentang perkawinannya dengan Alma. Sebab ia (Williams) ingin melindungi nama baik Alma yang menurut kabar mempunyai hubungan percintaan dengan seorang laki-laki bernama Fred dan bermaksud kawin dengannya.
Kini Norman Williams mengisahkan detail-detail tentang hubungannya dengan Alma sampai saat wanita ini hilang tanpa kabar.
Williams untuk akhir kali bertemu dengan Alma pada Tanggai 9 Maret 1900 (jadi sehari sebelum Alma menulis suratnya yang terakhir kepada George). Sebulan sebelum itu Alma menyatakan tak mau lagi berhubungan dengan Williams. Dengan ibunya wanita itu pergi ke Portland dan menyewa sebuah kamar losmen di sana.
Awal bulan Maret 1900 Alma kirim surat kepada Williams. Dalam surat itu ia menyatakan hendak kembali sebentar ke Hood River, yaitu pada tanggal 8 Maret untuk membicarakan beberapa persoalan dengan Williams.
Alma dan ibunya naik kereta api. Williams menjemputnya di stasiun Hood River dengan sebuah kereta yang disewanya dari the Fashion Livery Stable.
Sampai dirumah, Alma berbicara di bawah empat mata dengan Williams. Secara terus terang Alma menyatakan niatnya untuk menikah dengan Fred. Betapapun juga, ini adalah jalan yang sebaiknya untuk mereka berdua, Williams dan Alma.
Tetapi Alma ingin berpisah secara baik-baik dengan Williams. Maka wanita itu menyerahkan surat kuasa kepada Williams yang memberinya hak atas tanah miliknya.
Alma membuka rencananya selanjutnya. Katanya, ia bermaksud memulangkan ibunya ke Harlan, lowa. Tetapi ia, Alma sendiri, berniat pergi dengan Fred, entah ke mana.
Hari berikutnya Williams mengantarkan Alma dan ibunya ke stasiun Hood River, masih dengan kereta milik the Fashion Livery Stable. Sekian keterangan Williams tentang Alma dan Mrs. Nesbitt.
Interogasi dilanjutkan. Ditanya tentang surat-kuasa dari Alma yang memberinya hak atas tanah wanita itu, Williams menjawab bahwa dokumen itu hilang.
Mengenai tanah di bawah kandang ayam yang jelas bekas galian, dan mengenai karung bernoda hitam yang ditemukan oleh George Nesbitt, Williams memberi keterangan berikut. Dalam musim dingin tahun 1899 ia bermaksud membuat gudang bawah tanah, tetapi setelah galian selesai, rencana ia urungkan. Sekitar waktu itu kuda betinanya melahirkan dan mengotori sebuah karung. Karung bernoda darah itu ia lempar kedalam lobang tersebut di atas. Setelah itu lobang ia timbuni tanah.
Keterangan-keterangan Williams semuanya cukup masuk akal. Siapa gerangan pemuda bernama Fred yang membawa lari Alma? Samakah ia dengan Fred Sturges, pegawai yang menggelapkan uang $ 3.000 dari perusahaannya? Jaksa Wilson berniat menyiarkan berita tentang Fred ini di surat kabar dengan harapan dapat menemukan orangnya.
George kini kembali ke Hood River, masih naik kereta Stranahan.
Dalam perjalanan ini Stranahan menyarankan kepada George untuk memeriksa catatan tentang sewa-menyewa kereta milik perusahaannya. Sebab menurut Williams, pada tanggal 8 Maret 1900 ia menyewa kereta milik perusahaan the Fashion Livery Stable. Pada tahun 1900 the Fashion Livery Stable belum dibeli oleh Stranahan dari pemiliknya terdahulu, yaitu Langille. Tetapi catatan sewa menyewa semuanya ada di kantor Stranahan.
Keterangan Williams ternyata benar. Kenyataan ini diperkuat lagi oleh Langille yang waktu itu kebetulan mampir di kantor Stranahan. Langille masih menambahkan keterangan: “Ketika Williams datang untuk menyewa kereta, ia bersama-sama dua orang wanita, yang satu tua yang lain muda dan sangat cantik. Tetapi hari berikutnya, tanggal 9 Maret, ketika mengembalikan kereta, Williams sendirian saja”.
Jadi Williams tidak bohong.
Ke mana ia mesti mencari sekarang — George bertanya-tanya setengah putus asa. Tiba-tiba ia teringat pada pertanyaan Williams bahwa ia (=Williams) pada tanggal 9 Maret mengantarkan Alma dan ibunya ke stasiun Hood River.
Seketika itu juga George memutuskan untuk menyurati Oregon Railway Company, Ia minta agar perusahaan ini mencek buku laporan lalu lintas kereta api yang berangkat dari Hood River tanggal 9 Maret 1900. Siapa tahu, barangkali karena sesuatu hal yang luar biasa sang kondektur di waktu itu melihat Alma dan Mrs. Nesbitt.
Sambil menunggu jawaban, George meneruskan penyelidikannya. Semua keterangan Williams ia cek kebenarannya melalui para tetangga dan kenalan-kenalannya.
Jerih payah, ketelitian dan kesabarannya tidak tanpa hasil. Dari seorang penggemar kuda yang kenal baik sekali dengan Williams, George mendapatkan kesaksian pasti tentang kud betina yang diceritakan Williams, “Itu satu-satunya kuda betina milik Williams”, katanya. “Kuda itu melahirkan pada saat sedang disewakan oleh Williams kepada sebuah perusahaan penggergaji kayu”.
“Jadi kuda itu tidak di rumah Williams tanya George, “Jelas tidak, sebab saya melihat sendiri kuda itu melahirkan. Saya ingat betul karena pada waktu itu Williams merasa sangat kasihan pada kudanya, hingga ia mengatakan tak mau memiara kuda betina lagi. Kuda dan anaknya segera ia jual”.
Seorang kenalan lain mengisahkan, bahwa segera setelah» Alma dan Mrs Nesbitt pergi, Williams membuat onggokan kayu bakar. Onggokan yang tinggi sekali itu ia bakar, entah untuk apa.
Lalu datang jawaban dari Oregon Railway Company. Bunyi jawaban itu: Pada tanggal 9 Maret 1900 jelas tidak ada kereta api yang berangkat dari stasiun Hood River. Sebab mulai tanggal itu selama satu minggu lebih rel kereta api pada rute tersebut rusak akibat banjir besar. Sementara itu baik dari pengakuan Williams sendiri maupun dari kesaksian Langille, tak dapat diragukan bahwa tanggai 8 Maret Williams naik kereta bersama Alma dan Mrs. Nesbitt menuju rumahnya.
Cerita Williams menjadi makin lemah dengan munculnya Fred Sturges. Secara sukarela Fred datang pada polisi dan mengakui terus terang bahwa ia memang menggelapkan uang $ 3.000 dari kantornya. Ia pun mengakui bahwa ia menikah dengan seorang gadis dari Hood River. Tetapi gadis itu bukanlah Alma Nesbitt. Selanjutnya Fred Sturges menyatakan bersedia mengganti uang yang telah ia gelapkan. Pernyataan Fred Sturges tak dapat diganggu gugat.
Kisah tentang percintaan Alma dengan seorang pemuda bernama Fred rupanya hanya isapan jempol.
Akhirnya datang kesaksian dari Dr. Victoria Hampton bahwa noda hitam pada karung yang ditemukan di bawah kandang ayam di halaman Williams, adalah noda darah manusia. Di samping noda darah, pada karung itu ditemukan pula beberapa helai rambut wanita.
Setelah terkumpul petunjuk yang cukup meyakinkan itu, Norman Williams ditahan. Rekonstruksi jalannya peristiwa seperti digambarkan oleh jaksa Wilson adalah sebagai berikut.
Setelah menikah secara diam-diam pada pertengahan tahun 1899, hubungan antara Williams dan Alma menjadi retak pada bulan Februari 1900. Inilah sebabnya mengapa Alma dan Mrs. Nesbitt pindah ke Portland.
Beberapa kali Williams mengunjungi Alma untuk memintanya agar mau kembali mengurungkan niatnya pulang ke lowa. Entah bagaimana, Williams berhasil meyakinkan Alma dan ibunya agar mau mengunjunginya di Hood River. Alma dan ibunya tiba di stasiun Hood River tanggal 8 Maret 1900, dijemput oleh Williams dan dibawa pulang ke rumahnya. Di sana mereka dibunuh oleh Williams.
Mayatnya dikubur di halaman rumahnya. .Untuk menyembunyikan kuburan itu, Williams menaruh karung-karung gandum di atasnya. Kemudian timbul gagasan, bahwa cara yang paling aman untuk menghilangkan bekas-bekas kejahatan, ialah dengan membakar mayat para korban. Maka mayat ia gali lagi dan ia bakar dengan api unggun besar.
Setelah itu bekas kuburan ia timbuni lagi dengan tanah. Untuk menghilangkan segala jejak, di atas bekas kuburan itu ia bangun sebuah kandang ayam.
Hasrat merebut tanah milik Alma, tampaknya bukan motif yang meyakinkan untuk menerangkan pembunuhan ini. Sebab bukankah Williams sebagai suami yang sah, berhak atas harta istrinya jika yang terakhir ini meninggal? Demikian pula sebaliknya?
Ada motif lain yang lebih masuk akal. Yaitu ternyata bahwa Norman Williams sudah beristri ketika menikah dengan Alma. Istri pertama itu datang melapor ketika mendengar bahwa Norman Williams ditangkap. Ia memperlihatkan surat nikahnya dengan Norman Williams tertanggal 29 Nopember 1898.
“Beberapa bulan setelah menikah, kami berpisah. Bulan Januari 1900 saya sakit dan memerlukan uang. Maka saya menyurati Williams untuk minta kembali uang yang pernah saja pinjamkan kepadanya. Pada alamat pengirim, saya cantumkan nama saya sebagai Mrs. Althea Williams”.
“Sepuluh hari kemudian, saya menerima surat dari seorang wanita bernama Alma Nesbitt, yang menanyakan bagaimana hubungan sebenarnya antara saya dengan Norman Williams. Saya tulis kembali, bahwa saya adalah istrinya”.
Kenyataan bahwa Williams sebenarnya telah kawin, rupanya meretakkan hubungan antara Alma dan Williams. Akibatnya, Alma meninggalkan Williams, barangkali sambil mengancam akan membeberkan seluruh tindakan Williams kepada istrinya yang sah. Atau barangkali Alma mengancam akan melaporkan kepada polisi bahwa Williams melakukan bigami. Dengan membunuh Alma, Williams dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan sekaligus dapat menguasai tanah milik wanita itu.
Gambaran itulah yang disajikan oleh Jaksa Wilson ketika ia tampil di depan sidang yang mengadili perkara Williams pada tanggal 25 April 1904. Bukti berupa mayat para korban tidak ada. Tetapi keseluruhan keterangan sekitar hilangnya Miss Nesbitt dan ibunya, kesemuanya menunjuk Norman Williams sebagai pembunuhnya — sekalipun Williams tetap tidak mengaku.
Sementara itu yang paling mengesankan adalah kesaksian sarjana wanita, Dr. Victoria Hampton. Juri menyatakan Williams bersalah dan hakim Bradshaw menjatuhkan hukuman mati.
Setelah permintaan banding yang diajukannya tak terkabul, Norman Williams menjalani hukuman gantung pada tanggal 21 Juli tahun 1905.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Pembunuhnya Jadi Korban Ketiga
" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835245/george-nesbitt-detektif-awam-cemerlang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169905000) } } [3]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835240" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/86-lubang-kubur-yang-setengah-se-20230804052409.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Sheriff Gould mengenal Emma Orr sejak kecil dan melihat aneka kontroversinya. Emma yang tertekan oleh sikap masyarakat tiba-tiba menghilang." ["section"]=> object(stdClass)#148 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/86-lubang-kubur-yang-setengah-se-20230804052409.jpg" ["title"]=> string(34) "Lubang Kubur yang Setengah Selesai" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:24:21" ["content"]=> string(22074) "
Intisari Plus - Sheriff Gould mengenal Emma Orr sejak kecil dan melihat aneka kontroversi dalam hidupnya. Emma yang merasa terisolasi dan tertekan oleh sikap masyarakat sekitarnya tiba-tiba menghilang tanpa pamit.
----------
Sudah sejak kecil Sheriff Gould mengenal Emma Orr, yang seperti dia sendiri adalah penduduk asli Waterloo County, Ontario, Canada. Sebagai gadis cilik umur kira-kira dua belasan tahun, Emma sangat genit dan terkenal sebagai “boy-crazy”— gila anak lelaki. Waktu itu tubuhnya masih kecil kurus, rambutnya masih dikepang dengan pita di ujungnya, tetapi matanya yang biru-sayu, seketika menyala bila melihat seorang pemuda.
Umur 20 tahun Emma membuat orang tuanya, Mr. dan Mrs. Borland, sangat cemas karena kelakuannya. Siapa mau menikah gadis semacam dia yang tiap kali berganti pacar dan terkenal kelewat bebas dalam pergaulan dengan kaum lelaki?
Tetapi kecemasan Borland dan istrinya agaknya berlebih-lebihan. Umur 21 tahun Emma dipersunting sebagai istri oleh John Arnott, seorang pedagang kaya yang karena terpesona oleh kecantikan Emma, tidak memusingkan omongan orang tentang gadis itu. Perkawinan ini hanya berlangsung dua tahun karena Mr. John meninggal.
Emma sebagai janda menjadi percakapan dan cemoohan orang karena kejalangannya. Akan tetapi akhirnya ia toh mendapat lagi seorang suami yang baik, namanya Anthony Orr, seorang petani di Galt.
Keluarga Orr terpandang di Waterloo County, baik karena kekayaannya maupun karena posisi pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat setempat. Sejak menjadi istri Tony Orr, Emma ikut menikmati kedudukan terhormat itu. Para istri baik-baik yang dulu buang muka jika berpapasan dengan Emma, kini mau tak mau terpaksa memperlakukan Nyonya Orr dengan sopan santun.
Sepuluh tahun berlalu dan Emma tampaknya dapat berubah menjadi seorang istri yang baik. Tetapi tiba-tiba kejalangannya “meledak” lagi. Pada suatu hari Sheriff Gould berpapasan dengan Tony Orr yang kelihatan sedih. Ketika ditanya, Tony berterus terang kepada Gould. Katanya: “Emma melarikan diri dengan Tim Mulholland, pembantuku!”
Selama beberapa bulan Emma menjalin hubungan gelap dengan lelaki itu yang bekerja pada usaha pertanian suaminya.
Ketika itu Gould menyarankan kepada sahabatnya untuk menceraikan saja Emma, tetapi saran ini ditolak. Tony tahu bahwa Emma dan Tim Mulholland melarikan diri ke Air Terjun Niagara. Tony mencarinya di sana setelah menemukannya. ia berhasil membujuk istrinya untuk mau kembali ke Galt, sambil berjanji tidak akan mengutik-ngutik perzinahan ini. Tony rupanya sangat mencintai istrinya dengan hati yang luas dan lapang.
Emma pulang dan kehidupan suami-istri Orr di tanah pertanian di Galt berlangsung terus seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sebagai pengganti Tim Mulholland yang bertubuh tegap dan tampan, kini Tony mempekerjakan seorang pemuda umur 19 tahun, Jim Allison, yang menurut perhitungan tak mungkin akan merupakan godaan bagi Emma. Jim Allison badannya kurus, sakit-sakitan dan mukanya bopeng.
Dua tahun berlalu dan selama itu Tony, Emma dan Jim Allison hidup dalam keadaan rukun damai. Tony menepati janjinya untuk tidak menyinggung-nyinggung soal penyelewengan istrinya. Tetapi tentu saja para tetangga toh mengetahuinya juga. Kini nama Emma sudah menjadi cemar sama sekali di mata mereka. Hal ini sangat terasa dalam pergaulan. Emma selalu menjumpai sikap dingin dari kenalan-kenalannya yang bahkan tampak berusaha menghindarinya.
Hal ini membuat Emma menderita. Pernah ia mengatakan kepada suaminya, bahwa ia tak akan kuat menghadapi lingkungan yang demikian. Dan ucapan inilah yang membuat Tony sangat prihatin ketika pada tanggal 8 Agustus 1897, suatu hari Minggu, Emma pergi dari rumah tanpa berpamitan. Hari berikutnya Tony segera lapor Kepala Sheriff Gould.
“Kemarin pagi kira-kira jam 7 saya dan Jim pergi dari rumah. Saya untuk mengantarkan beberapa ekor babi yang dipesan oleh seorang langganan sedangkan Jim harus membawa dua ekor lembu ke rumah seorang kenalan untuk dikawinkan. Emma tinggal di rumah seorang diri. Saya dan Jim sampai di rumah hampir pada waktu yang bersamaan. Jim lebih dulu beberapa menit. Ketika itu Emma sudah tidak ada. Kami cari ke mana-mana sampai sore tidak ketemu”, demikian laporan Tony.
Selanjutnya Tony menyatakan bahwa tak mustahil istrinya lari lagi dengan seorang kekasih seperti dua tahun yang lalu. Tapi anehnya Emma pergi tanpa membawa pakaiannya kecuali yang tertempel pada tubuhnya. Tony takut kalau istrinya bunuh diri. Sebab selama minggu-minggu terakhir — demikian Tony — Emma seringkali mengeluh karena diemohi oleh bekas sahabat-sahabat dan kenalan-kenalannya. Ia merasa terkucil dan tertekan jiwanya. Dua hari yang lalu Emma berkata kepada Tony, lebih baik ia meninggalkan Galt daripada 'hidup begitu terus menerus.
Sheriff Gould segera melakukan penyelidikan. Pertama-tama ia menginterviu Jim Allison yang ia panggil datang ke kantornya.
“Jim, aku ingin bicara dengan kamu secara pribadi" kata Gould. “Apakah Emma mempunyai sahabat laki-laki di luar pengetahuan suaminya?”
Setelah ragu-ragu sejenak, Jim bercerita; “Ya, dua orang. Mrs. Orr minta kepada saya untuk merahasiakan hal ini. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang, saya merasa wajib buka mulut. Dua orang lelaki itu ialah Weldon Trevelyan dan Harry Blair”.
Gould terkejut mendengar dua nama itu. Ia kenal secara pribadi dua orang tersebut. Yang pertama seorang mahasiswa kedokteran. masih bujangan. Yang kedua, Blair, pengusaha toko besi dan mesin pertanian. Blair sudah berkeluarga.
Setelah mendapatkan informasi ini Sheriff Gould pergi ke rumah Trevelyan yang ternyata sedang sakit. Weldon Trevelyan menyatakan telah beberapa hari tidak meninggalkan rumahnya. Sementara itu secara terus-terang ia mengakui bahwa ia sering berkencan dengan Emma Orr jika suaminya sedang bepergian. “Saya turut kehilangan wanita yang cantik dan penuh gairah itu”, Weldon menambahkan sambil tersenyum, seolah-olah untuk menguatkan pernyataannya bahwa ia mempunyai hubungan cinta dengan Emma.
Dari rumah Weldon, Gould menuju ke rumah Blair. Lelaki inipun secara terus terang mengakui hubungan gelapnya dengan Emma Orr. “Emma hilang? Ya Tuhan! Mudah-mudahan tak terjadi apa2 dengannya. Baru kemarin saya pergi ke rumahnya karena tahu bahwa Tony sedang bepergian. Tetapi Emma tidak di rumah”.
“Jam berapa Anda pergi ke rumah Tony kemarin?”, tanya Gould.
Pada saat itu Gould yang memandang sekeliling kamar, melihat koper Blair yang telah dipersiapkan. Dengan nada tajam Gould berkata kepada Blair: “Jika Emma melarikan diri ke satu tempat dan bersembunyi di sana, maka sebagai seorang sahabat saya ingin menasehati Anda, jangan sekali-kali berusaha menggabungkan diri dengannya. Masukkan lagi koper itu ke dalam almari!”
“Koper? Oh, Gould. Kebetulan hari ini saya mau bepergian, urusan dagang dan kemungkinan besar akan terpaksa menginap satu malam. Besok saya pasti kembali”. Blair menerangkan.
“Baik, saya anggap pernyataan Anda benar. Tetapi nasihat saya jangan keluar kota sebelum Emma ditemukan kembali”, Gould mengakhiri. Dari rumah Blair, Gould menuju ke rumah Orr.
Di sana ia disambut oleh Tony yang tampak makin cemas. Terjadi suatu hal yang aneh, Tony menemukan senapannya di sudut garasi keretanya. Padahal ia tidak merasa mengambil senjata tersebut dari tempatnya yang biasa serta menaruhnya di situ. Senjata itu senapan berburu, berlaras dua. Tony menemukannya tersandar pada dinding di sudut garasi, dan memperoleh kesan bahwa senjata tersebut dilempar di situ dengan tergesa-gesa. Jim Allison juga tak tahu bagaimana senapan itu sampai nyasar ke dalam garasi. Baik Tony dan Jim belum menyentuh senapan itu ketika Gould tiba.
Gould mengamat-amati senjata tersebut dan mencium bau keras mesiu. Senapan dibukanya dan Gould menemukan dua buah selongsong peluru. Dua-duanya lelah ditembakkan. Pada popor senapan berburu itu selanjutnya terlihat noda-noda darah yang baru saja mengering.
“Baru saja ditembakkan”, komentar Gould singkat, tanpa mau menyebut-nyebut soal darah pada popor senapan. Ia berpendapat bahwa belum waktunya mengarahkan perhatian Tony pada kemungkinan bahwa Emma telah menjadi korban pembunuhan.
“Tony, saya merasa perlu minta bantuan kepala detektif Kepolisian Ontario. la seorang yang cerdas dan berpengalaman. Namanya Johnny Murray. Saya ingin kirim telegram kepadanya, sekarang juga, dan sedapat mungkin menerima jawabannya hari ini. Dapatkah kau menyuruh Jim Allison ke kantor telegraf?"
“Lebih baik saya sendiri yang pergi ke kantor telegraf", jawab Tony. Gould menyambut baik usul ini. Sebab jika Tony tidak ada, ia akan lebih bebas mengadakan penyelidikan di rumah petani itu. Gould bermaksud mencari petunjuk-petunjuk tentang hubungan gelap Emma dengan para kekasihnya. Hal ini sulit dilakukan jika Tony ada. Sebab suami yang kelewat baik ini dan terlalu percaya kepada Emma itu, rupanya tidak menduga bahwa istrinya mempunyai paling sedikit dua orang kekasih. Gould takut kalau-kalau ia menyinggung perasaan Tony jika ia memperlihatkan dugaan ke arah ini.
Sementara Tony pergi mengantarkan telegram dan Jim Allison bekerja di gudang gandum serta melakukan tugasnya sehari-hari, Gould memeriksa semua kamar-kamar di rumah Tony. Terutama kamar tidur Emma ia selidiki baik-baik. Barangkali ia berhasil menemukan surat-surat cinta atau benda-benda lain yang mempunyai sangkut paut dengan menghilangnya Emma.
lapun mencari noda-noda darah serupa yang ia temukan pada popor senapan berburu. Tetapi penyelidikannya tidak menghasilkan kejelasan sedikitpun.
Matahari sudah hampir terbenam ketika Tony kembali dari kantor telegraf. “Telegram sudah saya kirimkan dan saya tadi menunggu sekaligus jawabannya”, kata Tony sambil menyerahkan sebuah sampul kepada Gould.
Dalam jawabannya, Murray mengatakan akan berangkat keesokan harinya dengan kereta api pertama dari Toronto. Kereta api itu akan tiba di stasiun Galt jam 9 pagi.
Gould menginap di rumah Orr, karena keesokan harinya ia bermaksud menjemput detektif Murray.
Malam itu Gould tak dapat tidur pulas. Pagi-pagi buta ia telah terbangun. Ketika itu kira-kira jam 4.30 pagi. Karena tak dapat tidur, Gould berdiri di depan jendela, memandang keluar. Dilihatnya cahaya remang-remang bergerak di tengah ladang. Barangkali orang membawa obor kecil, pikirnya. Tetapi tak lama kemudian, cahaya itu hilang. Gould berkesimpulan bahwa yang dilihatnya, hanyalah cahaya sejenis kunang-kunang. Sebab jam 4.30 memang masih terlalu pagi untuk pergi ke ladang.
Detektif Murray menepati janjinya. Tepat jam 9.00 pagi ia turun dari kereta api, disambut oleh sheriff Gould yang sudah siap menunggunya di stasiun.
Berdua mereka menuju ke kantor Gould. Disana Murray mendengarkan semua penjelasan dari rekannya. Lalu ia berkata
“Gould, saya berpendapat bahwa Blair harus diinterviu secara lebih cermat”.
Segera mereka menuju ke rumah Blair. Walaupun agak gugup, namun orang ini menyawab semua pertanyaan Murray dengan keterangan-keterangan yang tampaknya jujur.
Ketika didesak, apakah ia bisa memberikan waktu yang lebih jelas tentang kunjungannya ke rumah Orr pada hari Minggu pagi itu (Blair tadinya menyatakan bahwa kunjungan itu terjadi antara jam 9 dan jam 10 pagi), Blair menjawab sebagai berikut: “Ketika saya kembali dari rumah Emma, saya melewati sebuah gereja. Ketika itu ummat sedang keluar, kira-kira jam 10. Dari rumah Emma ke gereja kira-kira 10 menit naik kereta, Di rumah Emma saya memanggil-manggilnya selama kira-kira 10 menit. Jadi saya tiba di rumah Emma kira-kira jam 9.40 pagi.”
"Jam 7.30 Tuan ada di mana?”, tanya Murray. Dijawab, masih tidur dirumah.
Kini Murray dan Gould pergi kerumah Orr. Kebetulan baik Tony maupun Jim sedang pergi. Karena Gould telah menyelidiki seluruh isi rumah dan tidak menemukan petunjuk sedikitpun tentang kepergian Emma, maka Murray merasa tak perlu mengulangi penelitian di dalam rumah.
Dasar penalarannya sederhana. Dalam garasi kereta Orr ditemukan senapan bernoda darah. Andaikan Emma dibunuh dengan senjata itu, dapat dibayangkan dua kemungkinan Ia dibunuh di dalam atau di luar rumah. Di dalam tidak terdapat noda-noda darah sedikitpun. Kemungkinan Emma dibunuh di luar rumah.
Penyelidikan ia mulai dari dapur, antuk kemudian memeriksa halaman rumah. Sebentar saja penyelidikannya sudah berhasil. Ia menemukan noda-noda hitam di atas rumputan, beberapa meter dari rumah. Ternyata noda darah yang telah mengering.
Murray memanggil Gould dan berdua mereka meneliti tempat sekitar. Dan mereka menemukan noda-noda serupa sepanjang jalur yang berakhir pada pagar halaman. Di tempat itu pagar rusak dan berlobang. Rupanya dirusak oleh pembunuh untuk dapat menyeret korbannya keluar halaman.
Murray berkata: “Saya takut, kita tidak akan menemukan Mrs. Orr dalam keadaan hidup”. Setelah berkata demikian, anehnya, Murray tidak terus keluar halaman untuk menyusuri ke mana perginya noda-noda darah, tetapi malah kembali ke rumah.
Dari sana ia mengamati lagi jalannya noda-noda darah sampai pagar, lalu melepaskan pandangan ke daerah sekitar. Dilihatnya di luar halaman, di tengah ladang gandum, sekelompok pepohonan — tidak banyak jumlahnya, hanya barang empat lima batang.
“Biasanya tempat seperti itu menarik perhatian seorang pembunuh. Mari kita ke sana”. Murray mengajak Gould. Ternyata di bawah pohon itu mereka menemukan lobang yang baru saja digali, rupanya dimaksud untuk mengubur mayat, tetapi tidak cukup dalam, baru kira-kira setengah meter.
Murray lalu menjelajahi semak-semak sekitar. Tak jauh dari lobang, dilihatnya segunduk daun-daunan dan ranting-ranting kering. Disingkirkannya daun-daun dan ranting-ranting itu. Dan berakhirlah pencarian Emma Orr. Mayatnya ditemukan di situ dalam pakaian sehari-hari. Luka-luka pada tubuhnya memberi petunjuk bahwa Emma mati akibat tembakan paling sedikit satu kali.
“Rupanya pembunuh menyeret mayatnya kemari dengan maksud menguburnya di sini. Ia membuat lobang, barangkali tadi malam, tetapi tak berhasil menyelesaikannya. Saya menduga, nanti malam ia akan kembali lagi kemari untuk menyelcsaikan lobang ini”, kata detektif Murray.
Pada saat ini sheriff Gould teringat pada cahaya remang-remang yang dilihatnya semalam, ketika ia berdiri di depan jendela. Tak dapat disangsikan lagi, bahwa yang dilihatnya itu ialah cahaya lampu si penggali lubang kubur. Pengalaman semalam itu segera ia ceritakan kepada Murray.
Murray dan Gould memutuskan untuk merahasiakan penemuan mayat Emma dan membiarkannya tergeletak disitu di bawah daun-daunan seperti semula. Malam itu mereka akan melakukan pengintipan agar dapat menangkap basah si pembunuh.
Berdua mereka kembali ke rumah Tony Orr yang pada waktu itu belum juga pulang. Mereka menunggu sampai Tony kembali. Ketika itu telah sore. Tanpa menceritakan penemuan mereka hari itu, Murray dan Gould minta diri dengan janji keesokan harinya akan datang lagi.
Dugaan Murray tidak meleset sedikitpun ketika malam itu ia bersama Gould melakukan pengintipan dari sebuah tempat strategis yang memberi pandangan yang leluasa baik pada rumah Tony Orr maupun pada tempat mayat Emma disembunyikan. Kira-kira tengah malam mereka melihat cahaya lampu bergerak menuju ke tempat mayat. “Pasti bukan Tony Orr atau Jim Allison. Dari rumah Orr tak ada orang yang keluar", bisik Murray kepada rekannya.
Setelah cahaya lampu sampai di bawah kelompok pohon-pohonan yang menaungi lubang yang setengah jadi itu, kedua detektif merangkak mendekat. Terlihat sesosok tubuh. Sekalipun berada beberapa meter saya dari mangsanya, para detektif sabar menunggu sampai orang itu mulai meneruskan menggali lubang.
Pada saat itulah Murray dan Gould keluar dari tempat persembunyiannya sambil berteriak. Si penggali lubang yang disergap secara mendadak, terperanjat dan tak dapat berbuat apa-apa. Sekopnya jatuh dari tangannya dan ia berdiri seperti batu. Orang itu ternyata Alexander Allison, ayah Jim Allison.
Setelah sembuh dari kegugupannya, Alexander Allison bercerita. Pembunuh Emma Orr adalah anaknya sendiri, Jim Allison. Setelah melakukan pembunuhan, Jim tak punya waktu dan tidak memiliki keberanian untuk menyingkirkan mayat korbannya. Maka ia datang pada ayahnya, mengakui perbuatannya dan minta tolong ayahnya melenyapkan jejak-jejak Emma. Penggalian lubang ia mulai malam yang lalu dan kini ia bermaksud menyelesaikan lubang dan mengubur jenazah Emma disitu.
Seketika itu juga Murray dan Gould membawa Alexander Allison kerumah Orr. Tony dan Jim mereka bangunkan. Melihat ayahnya tertangkap basah, Jim Allison tak dapat berbuat lain kecuali mengakui kesalahannya.
Sambil menangis ia menceritakan terjadinya pembunuhan. “Emma main cinta dengan banyak lelaki. Dan saya berharap sekali waktu akan dapat bermesra-mesraan dengan Emma. Hari Minggu yang lalu saya mencoba mendekatinya. Pagi itu saya dan Tony meninggalkan rumah pada waktu yang hampir bersamaan. Tony mengantar beberapa ekor babi ke rumah seorang langganan. Saya membawa dua ekor lembu kerumah seorang sahabat untuk dikawinkan.”
“Saya berusaha kembali ke rumah sebelum Tony pulang. Dan ini berhasil, Emma saya jumpai berdiri di depan pintu dapur. Saya mengajaknya masuk rumah, tetapi ia menolak. Ia hanya menertawakan dan mencemoohkan saya sebagai anak kecil yang bermuka jelek.”
“Belahan gaun Emma di bagian dada tidak terkancing, dan di bawah gaun itu ia tidak memakai apa-apa. Saya tidak kuasa menahan nafsu. Emma saya sergap. Tetapi ia berhasil melepaskan diri. Ia marah-marah dan barkata, akan menceritakan semuanya kepada Tony, biar saya ditembak olehnya.”
“Mendengar ucapan ini, saya menjadi kalap. Saya lari masuk rumah, mengambil senapan berburu. Emma saya dorong ke luar dapur dan saya tembak di halaman rumah. Mayatnya saya seret keluar halaman. Kemudian senapan saya sembunyikan di garasi kereta. Ketika Tony pulang, saya katakan padanya bahwa saya baru beberapa menit sampai di rumah dan tidak tahu ke mana Emma pergi”, demikian Jim Allison mengakhiri pengakuannya.
Pada bulan Desember 1897 Jim Allison diajukan ke depan pengadilan atas tuduhan membunuh Emma Orr. Juri menyatakannya bersalah, dan hakim Meredith menjatuhkan hukuman mati di tiang gantung.
Hukuman ini dilaksanakan pada tanggal 4 Februari tahun berikutnya. Sebetulnya Alexander Allison pun dapat dituntut karena telah membantu anaknya, berusaha melenyapkan jejak-jejak pembunuhan. Tetapi tuntutan ini tak pernah diajukan. Mungkin pihak berwajib berpendapat bahwa mengubur anak kandungnya yang meninggal di atas tiang gantung, telah merupakan hukuman yang cukup berat bagi seorang ayah.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Apakah Dia Jack the Ripper?
" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835240/lubang-kubur-yang-setengah-selesai" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169861000) } } [4]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3834047" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/105-petunjuk-pertama-hanya-secui-20230728053811.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Serangkaian pembunuhan terjadi di Amerika Serikat. Polisi mulai mengumpulkan petunjuk mulai dari jenis kuku hingga jejak ban mobil yang digunakan." ["section"]=> object(stdClass)#152 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/105-petunjuk-pertama-hanya-secui-20230728053811.jpg" ["title"]=> string(34) "Petunjuk Pertama hanya Secuil Kuku" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:38:21" ["content"]=> string(28563) "
Intisari Plus - Serangkaian pembunuhan terjadi di Amerika Serikat, dimulai pada tahun 1963. Polisi mulai mengumpulkan petunjuk mulai dari jenis kuku hingga jejak ban mobil yang digunakan pembunuh.
----------
Pembunuhan beruntun yang terjadi di Amerika Serikat 9 tahun yang lalu ini, mulai pada hari Senin tanggal 15 Juli 1963. John Toye, seorang pengantar susu, pagi itu dengan kendaraan- bestelannya menuju Forest Hill dari arah Los Angeles. Pada suatu ketika, setelah mendaki suatu tanjakan, di tempat yang sepi ia melihat sesosok tubuh tengkurap di pinggir jalan sebelah kiri.
Mungkin seorang pemabuk yang tertidur di tengah jalan, pikir Toye. Pandangan seperti itu tak jarang dijumpai pada hari pertama setelah akhir pekan. Tapi Toye toh berhenti untuk melihat orang itu.
Toye menjumpai pandangan yang menakutkan. Dengan matanya yang terbelalak, orang di pinggir jalan itu sudah tak bernyawa. Pada lehernya tampak bekas jari-jari pembunuh yang mencekiknya. Beberapa tempat sekitar leher berwarna biru lebam, menandakan perdarahan di bawah permukaan kulit.
Di sekitar tempat itu tak ada telepon umum dan pos polisi yang terdekat kira-kira 12 km. Maka dicegatnya sebuah mobil yang kebetulan lewat, Kepada pengendaranya, Toye minta supaya menelepon polisi di pompa bensin terdekat, sementara ia sendiri, Toye, akan menunggui korban.
Tak lama kemudian polisi sudah datang di tempat kejadian. Keadaan korban diteliti dengan saksama. Bekas-bekas pencekikan menunjukkan bahwa pembunuh mempunyai jari-jari yang ramping. Leher korban diperiksa dengan kaca-pembesar. Ternyata pada bekas jari-jari pembunuh itu tertinggal cuilan kuku berlapis lak. Rupanya si pembunuh adalah seorang wanita.
Patahan kuku yang hanya secuil itu dikirim ke laboratorium FBI. Penelitian menunjukkan bahwa kuku itu berlapis lak yang dikenal dengan nama ”Opale Rose’’ dan banyak beredar di pasaran Amerika.
Kesimpulan ini dapat dijumpai berkat suatu teknik penelitian yang disebut “pyrolysa", yaitu penguraian sistem api. Teknik ini dikembangkan khusus untuk meneliti susunan bekas-bekas cat dalam jumlah yang kecil sekali.
Caranya: bahan yang hendak diselidiki, dengan pesawat-pyolysa diurai di atas lempeng logam yang dipanasi. Pemanasan menyebabkan penguapan. Bahan yang terlepas dalam bentuk uap itu dengan alat tertentu disemprotkan di atas selembar kaca, di mana uap itu mengendap.
Pelat kaca diputar dan secara teratur pada saat-saat tertentu dihentikan. Bila pelat kaca berhenti, lempeng logam diukur suhunya. Sistem pemanasan dengan berbagai suhu yang menyebabkan berbagai penguapan bahan cat itu, memungkinkan analisa yang amat cermat, walaupun bahan cat itu hanya tersedia dalam jumlah kecil sekali. Tentu pengamatan bahan-bahan ini harus dilakukan dengan mikroskop.
Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan berbagai data. Dan berkat perbandingan-perbandingan ini lak yang ditemukan pada patahan kuku itu dapat diketahui secara lebih persis lagi. Lak itu ialah “Opale Rose’’ nomor 53, buatan firma Northam Warren di New York.
Pengetahuan tentang jenis lak kuku ini tentu saja tidak dapat secara langsung menunjukkan jejak pembunuh. Sebab lak kuku itu dijual di mana-mana di seluruh Amerika Serikat. Tetapi dalam pengusutan selanjutnya, data tentang lak kuku ini ternyata merupakan mata-rantai penting dalam usaha menemukan pelaku pembunuhan tersebut.
Pemeriksaan mayat memberikan data tambahan yang menarik. Dalam tubuh korban ditemukan suatu jenis zat pembius. Sekali lagi di sini diperoleh petunjuk bahwa si pembunuh rupanya seorang wanita. Karena secara fisik kalah kuat dengan calon korbannya, maka si penjahat terlebih dahulu harus membuatnya tak berdaya sebelum dapat mencekiknya.
Pembunuh ini cukup cerdik. Ia tidak menggunakan “tetesan-tetesan knock-out” yang kebanyakan hanya membuat korban tidur lelap. Pemeriksaan air seni terbunuh, menunjukkan bahwa wanita itu mempergunakan scopolamine yang dimasukkan ke dalam kopi. Efek zat pembius ini ialah: tangan dan kaki korban menjadi seperti lumpuh. Hingga seandainya pada saat dicekik, korban terbangun, ia tak dapat membela diri.
Zat ini masih mempunyai ciri khusus lain. Yaitu 6 sampai 8 jam setelah ditelan, zat itu tidak terdapat lagi dalam air-seni orang yang bersangkutan. Untung, korban pembunuhan tanggal 15 Juli 1963 itu ditemukan oleh Toye sebelum masa 6 sampai 8 jam itu lewat. Data tentang obat bius ini nantinya juga memegang peranan penting dalam pencarian penjahat.
Mengenai identitas korban, dengan memanfaatkan dokumentasi sidik jari pada FBI di Washington berhasil diketahui bahwa ia bernama James F. O’Hara. Ia bekas opsir angkatan laut. Pada waktu terbunuh, O’Hara bekerja sebagai wakil sebuah firma obat-obatan di San Francisco dan berada di Los Angeles dalam rangka dinas.
Kira-kira 4 minggu setelah matinya James O'Hara, terjadi lagi pembunuhan yang rupanya dilakukan oleh orang yang sama. Korban kali ini seorang laki-laki dari kalangan film Hollywood. Namanya Robert S. Merwin, seorang pemain figuran.
Merwin rupanya terbunuh Sabtu malam tanggal 10 Agustus 1963. Mayatnya ditemukan keesokan harinya di depan pagar sebuah rumah peristirahatan, tak jauh dari jalan besar L’Arroya — Seco, masih dalam kawasan Los Angeles. Mayat Merwin berlumuran darah. Ia tidak hanya dicekik sampai meninggal, tapi masih dianiaya. Para ahli jiwa dari dinas kepolisian menduga, bahwa pelaku pembunuhan ini seorang wanita yang jiwanya tak normal atau terganggu. Mungkin ini akibat pengalaman pahit dalam percintaan hingga ia menaruh benci yang mendalam terhadap kaum lelaki.
Pembunuh kali ini meninggalkan jejak lain. Ia membawa korbannya ke tempat yang sepi itu dengan mobil. Kebetulan sehari sebelumnya, di daerah itu turun hujan. Tanah lunak dan becek dengan akibat bahwa mobilnya meninggalkan bekas, yaitu jejak ban kiri depan dan belakang, tak jauh dari tempat korban ditemukan.
Dilihat dari jalur jejaknya, ban itu agaknya masih baru. Belum lagi jalan 4.000 km. Ban itu ukuran menengah. Bagi seorang pengamat yang ahli, bukan saja ban lama, tapi juga setiap ban baru mempunyai “wajah” dengan ciri-ciri khusus yang tidak terdapat pada ban baru lainnya dari pabrik yang sama. Ciri individual itu antara lain terdapat pada jalur-jalur berlekuk-lekuk atau bergerigi. Juga jejak ban ini nantinya akan membantu polisi.
Seperti dikatakan di atas, Merwin menerima ajalnya pada tanggal 10 Agustus 1963. Menurut hasil penyelidikan, Sabtu malam Minggu itu, Merwin berkencan dengan seorang wanita muda yang tinggal di hotel Monarch.
Wanita ini dibayangi polisi. Ternyata ia berkendaraan Chevrolet 1961. Tapi ban mobil ini tidak cocok dengan jejak ban di tempat pembunuhan. Dan nona itu mempergunakan lak kuku jenis dan merek lain. Lagi pula jelas bahwa ia tidak meninggalkan hotel setelah sia-sia menunggu kedatangan Merwin yang telah berjanji sore itu akan menemuinya. Alibi ini diperoleh polisi dari kesaksian suami-istri pemilik hotel, yang malam itu makan semeja dengan nona tersebut.
Baru saja seminggu berlalu telah terjadi lagi pembunuhan ketiga korbannya seorang laki-laki yang menginap di hotel Monarch. Namanya James Tool bright, kuasa sebuah perusahaan dagang. Tanggal 18 Agustus ia keluar dari hotel dan berjalan hanya beberapa puluh meter ke Garasi-Baltimore yang terletak di pinggir jalan yang sama, untuk mengambil mobilnya. Menurut rencana, ia akan pergi ke Illinois.
Memang ia jadi pergi dengan mobilnya. Tapi keesokan harinya, tanggal 19 Agustus, Toolbright sudah almarhum. Mayatnya tersembunyi dalam ruang bagasi mobilnya sendiri yang ditemukan di jalan buntu dalam hutan sepi. kira-kira 40 km dari Hollywood. Penemunya seorang pengawas hutan yang melihat mobil Toolbright diparkir seharian di tempat yang sunyi itu.
Mobil diperiksa oleh polisi. Setir, hendel ruang bagasi, tempat kunci kontak dan bagian-bagian lain, semuanya diteliti. Tapi tak ditemukan sidik jari ataupun tanda-tanda yang dapat memberi petunjuk tentang si pembunuh.
Komandan polisi, Inspektur James R. Cramer kini memerintahkan agar hotel Monarch diawasi secara ketat. Semua penghuni hotel diwawancara. Di antara para penghuni hotel terdapat seorang wanita bernama Helen Scharper, direktris sebuah toko. Sudah sejak beberapa tahun ia mengenal James Toolbright.
“James seorang pembujang. Ia sering diejek teman-temannya, karena masih saja ia belum mau kawin”, kata Helen Scharper.
Lalu wanita ini mengisahkan, bahwa ia merasa heran ketika beberapa waktu yang lalu, melihat James Toolbright bersama-sama dengan seorang wanita berambut pirang. Karena hal ini baginya luar biasa, maka Helen Scharper memperhatikan wanita itu.
Untung bagi polisi bahwa saksi yang satu ini pandai menggambar Helen Scharper yang pernah bekerja sebagai pelukis mode, membuat lukisan wanita yang dilihatnya bersama James Toolbright itu. Tentu saja berdasarkan ingatannya.
Menurut Miss Helen, wanita itu tingginya kira-kira 1.70 m. Tangan dan telapak kakinya agak besar, melebihi ukuran normal. Rambutnya dirias dengan belahan di tengah.
Berdasarkan petunjuk berupa lukisan ini, sekali lagi polisi melakukan operasi di hotel-hotel dan di stasiun-stasiun pompa bensin. Tapi hasilnya nol.
Petunjuk yang hingga kini oleh polisi belum dimanfaatkan penuh-penuh, adalah zat pembius yang tiap kali ditemukan dalam air seni korban. Timbul pikiran Inspektur James Cramer untuk menanyai apotek-apotek dan toko-toko obat, sambil memperlihatkan lukisan yang dibuat oleh Miss Helen Scharper.
Sebelum memulai operasi ini. Cramer mengunjungi ahli kimia yang memeriksa zat-zat yang ditemukan dalam tubuh para korban. Dan spesialis itu memberikan nama beberapa obat yang mengandung scopolamine.
Dalam operasi ini Inspektur Cramer bertolak dari pemikiran berikut. James Toolbright diterkam si pembunuh ketika ia meninggalkan hotel Monarch tanggal 18 Agustus dan mengambil mobilnya di Garasi Baltimore. Rupanya pembunuh menemui Toolbright ketika lelaki ini sedang berjalan kaki dari hotel ke garasi tersebut.
Korban kedua, pemain film Merwin, rupanya juga ditemui oleh pembunuh di sekitar hotel. Seperti dikatakan di atas, Merwin menjelang kematiannya bermaksud mengunjungi seorang kenalan wanita yang menginap di hotel Monarch. Tapi pada hari yang naas itu Merwin tidak muncul di hotel tersebut. Rupanya dalam perjalanan ke hotel itu ia dicegat oleh pembunuhnya.
Jadi, demikian pikir inspektur Cramer, barangkali pembunuh bertempat tinggal tak jauh dari hotel Monarch. Atau sedikitnya, mungkin ia membeli zat pembius ini di salah satu toko obat atau apotek yang letaknya tak begitu jauh dari hotel tersebut.
Maka Inspektur Cramer menginstruksikan kepada semua anak buahnya untuk menjelajahi semua apotek dan toko-toko obat sekitar, sambil membawa lukisan tersangka seperti digambar oleh Helen Scharper.
Cramer sendiri ikut serta dalam operasi ini. Dan ia beruntung. Baru kira-kira setengah jam keluar, ia memperoleh keterangan berharga dari seorang wanita, penjaga toko obat-obatan yang letaknya tak jauh dari hotel Monarch, bahkan masih di jalan yang sama, tapi sebelah ujung.
+ "Kalau tak salah, saya pernah melihat wanita itu”, kata penjaga toko ketika Cramer memperlihatkan lukisan tersangka kepadanya.
- ’’ Ia beli apa di sini?’’
+ “Wah, saya sudah lupa. Coba, sebentar O, ya, pada suatu hari ia beli arak untuk campuran kopi. Dan beli alat kecantikan. Kalau tak salah, ini”, kata penjaga toko obat itu sambil menunjuk salah satu botol kecil dengan tutup yang panjang.
Terbaca oleh Cramer tulisan di atas etikat pada botol itu: Pearl Cutex. Di atasnya, dengan huruf-huruf yang lebih kecil tertulis: Opale Rose 53. Pembuatnya: firma Northam Warren, New York.
Cramer membeli lak kuku ini, sambil bertanya, apakah wanita yang beli Cutex itu juga beli sesuatu obat tidur, misalnya scopolamine atau Bellergal. Penjaga toko obat itu geleng kepala. Ia pun menyatakan tidak tahu siapa nama wanita itu dan di mana alamatnya.
Tapi penjaga toko itu masih menambahkan suatu keterangan berharga. Wanita itu naik mobil besar berwarna putih. Ia berhenti di lapangan seberang jalan, walaupun sebetulnya mobil tidak boleh parkir di situ. Pernah pada suatu hari, wanita itu berurusan dengan polisi akibat pelanggaran peraturan lalu lintas ini.
- Apakah ia kena denda?
+ Saya tidak tahu. Saya hanya: melihat polisi memberikan selembar kertas lewat jendela mobil.
- Kapan itu terjadi?”, Cramer bertanya.
Dijawab oleh penjaga toko obat: “Kira-kira 3 minggu yang lalu”.
Jadi jika ingatan penjaga toko tidak salah, wanita yang berkendaraan mobil putih itu berurusan dengan polisi sebelum tanggal 10 Agustus. Dengan lain perkataan, menjelang pembunuhan Merwin.
Setelah mengucapkan terima kasih, Cramer langsung menuju ke markas kepolisian bagian lalu lintas dan memang dokumen pendendaan mobil putih itu berhasil ditemukan. Proses verbal polisi lalu lintas dibuat pada tanggal 8 Agustus 1963. Nomor mobilnya pun tercantum di situ: 692—573. Nomor polisi ini dikeluarkan di negara bagian Iowa.
Soal uang denda diselesaikan lewat telepon. Kuitansi tanda bukti penerimaannya pun ditemukan di bagian kas. Dan menurut kasir, orang yang menyetorkan uang denda itu seorang wanita.
Setelah mendapat keterangan ini, Inspektur Cramer menghubungi kantor bagian pengeluaran nomor polisi di Des Moines, lowa.
Instansi ini memberikan keterangan berikut. Nomor polisi 692—573 diberikan kepada sebuah mobil yang masih baru, merek Chevrolet, berwarna putih. Dan nomor itu dikeluarkan pada tanggal 6 Agustus 1963, atas nama Mr. James O’Hara.
Keterangan terakhir ini aneh sekali. Sebab korban pertama dalam rentetan pembunuhan misterius ini bernama James F. O’Hara. Dan pada tanggal 6 Agustus 1963, lelaki itu sudah 3 minggu almarhum. Seperti disebutkan di atas, ia terbunuh Minggu malam menjelang Senin tanggal 15 Juli 1963.
Pada pihak kepolisian jelas tak terjadi salah tulis. Lantas siapa yang mengurus nomor polisi tersebut atas nama almarhum? Yang jelas, untuk pengurusan ini diperlukan surat kuasa dari pemilik yang bersangkutan. Surat kuasa semacam itu memang sering diberikan oleh pembeli mobil kepada perusahaan yang menjualnya.
Masih ada hal lain yang menimbulkan tanda tanya di benak Inspektur Cramer. Nomor mobil dikeluarkan di Des Moines. Dari tempat ini ke Los Angeles terbentang jarak sepanjang 3.000 km. Sudah diketahui, bahwa ban mobil yang jejaknya, ditemukan di dekat tempat terbunuhnya Robert Merwin, baru berjalan kira-kira 4.000 km.
Jadi, apabila benar bahwa Chevrolet nomor 692—573 itu adalah kendaraan yang digunakan pembunuh untuk melakukan operasinya, maka terasa ada kejanggalan. Sebab hal itu berarti bahwa untuk melakukan pembunuhan kedua ini, penjahat bersusah payah menempuh jarak sepanjang 3.000 km! Secara teoritis, seseorang memang mungkin saja berbuat aneh seperti itu. Tapi untuk apa? Apa motifnya?
Yang jelas, sukar diterima dugaan bahwa pembunuh didorong oleh keinginan memperoleh kekayaan. Sebab bintang film Robert Merwin yang hanya pemain figuran itu, jelas tidak kaya seperti terbukti dari penyelidikan.
Di sini ada sesuatu yang tidak beres, pikir Cramer. Dan ia memutuskan, lebih baik sesegera mungkin terbang ke Des Moines untuk mendapat kejelasan tentang teka-teki ini.
Sebelum berangkat, Cramer memerintahkan mencari Chevrolet putih nomor 692—573 tersebut. Juga kegiatan menjelajahi toko-toko obat dan apotek-apotek diteruskan, untuk menemukan wanita berambut pirang yang membeli scopolamine.
Pada tahap ini pencarian pera bunuh mengalami perkembangan yang tak terduga-duga. Di lapangan terbang Des Moines Inspektur Cramer sudah ditunggu oleh rekannya. Inspektur Kerkins.
“Asisten Anda, Newman, minta kepada saya untuk menyampaikan pesan, bahwa Highway Patrol telah menemukan Chevrolet putih dengan nomor yang Anda sebutkan. Mobil itu ditemukan di jalan raya 40 sekitar Denver.
“Polisi berhasil memergoki mobil itu yang kebetulan tertahan oleh lampu merah’’.
“Mudah-mudahan ia dalam perjalanan kemari,” jawab Cramer.
Harapan ini ternyata menjadi kenyataan. Tak lama setelah Inspektur Cramer bersama Inspektur Kerkins meninggalkan lapangan terbang menuju markas polisi, dalam mobil mereka terdengar pesan radio dari para anak buah.
“P-21, Inspektur Kerkins. Harap bicara”.
Setelah Kerkins menjawab, radio meneruskan pesannya: “Berita penting untuk Inspektur Cramer dari Los Angeles. Chevrolet putih dengan nomor lowa 692—573 diparkir di depan hotel Kirkwood di Mainstreet. Mobil kami awasi terus. Minta jawaban. Selesai’’.
“Kami langsung ke sana’’, jawab Cramer singkat dan ini diteruskan oleh Kerkins ke markas pusat.
Sepuluh menit kemudian kedua detektif sudah tiba di Mainstreet. Memang, Chevrolet putih terhenti di seberang Hotel Kirkwood. Cramer dan Kerkins memarkir mobil mereka dekat pompa bensin tak jauh dari hotel. Setelah mereka turun, seorang anak buah mendekat. “Chevrolet putih sudah di situ kira-kira 20 menit yang lalu. Waktu parkir sudah habis. Mungkin pemiliknya segera datang”, katanya.
Mobil terus diawasi. Tapi pemiliknya belum juga muncul. Hujan turun dan kegelapan pun tiba. Di mana gerangan pemilik Chevrolet itu? Di Sekitar tempat itu ada 3 buah hotel: Hotel Kirkwood, Savery dan Brown. Kerkins memasuki ketiga hotel sambil membawa lukisan tersangka. Tapi tak ada petugas hotel yang mengenalnya.
Menit demi menit berlalu, Cramer sudah tidak sabar hanya mengawasi mobil saja. Akhirnya ia mengambil risiko menyelinap mendekati Chevrolet putih tersebut untuk melihat apakah bannya cocok dengan jejak ban yang ditemukan dekat tempat terbunuhnya Merwin. Ternyata mirip sekali. Tapi kepastian tidak ada. Untuk itu perlu dilakukan penyelidikan di laboratorium.
Lebih dari satu jam para detektif menunggu buronannya yang belum juga muncul. Akhirnya Cramer mengatakan kepada rekannya, ingin pergi sebentar melihat-lihat apakah di sekitar tempat itu ada toko obat atau apotek. Barangkali buronan mereka membeli obat pembius di situ.
Ditemukannya sebuah toko obat di jalan simpang. Ketika Cramer memperlihatkan lukisan wanita yang dicarinya kepada penjaga toko, ia mendapat jawaban: “ Ya, saya mengenalnya. Baru saja ia kemari’'.
- “Kapan?’’
+ “Kira-kira 2 jam yang lalu".
- “Ia beli apa?”
+ “Obat tidur Ballergal yang dalam jumlah kecil sering juga digunakan sebagai obat penenang.
- “Apakah ia sudah sering kemari?
+ “Tidak. Baru sekali ini saya melihatnya’’.
Setelah mengucapkan terima kasih, cepat-cepat Cramer kembali ke tempat rekannya. “Rupanya buronan kita sedang merencanakan lagi suatu pembunuhan. Kita harus menangkapnya sebelum jatuh seorang korban lagi’’, kata Cramer kepada rekannya.
Kini Inspektur Kerkins menyarankan untuk meneliti soal nomor polisi Chevrolet putih. Perlu diketahui, siapa yang mengurus nomor mobil itu atas nama James O’Hara. Berdasarkan pengetahuan ini, barangkali dapat diperoleh petunjuk baru. Sementara itu tentu saja pengawasan atas Chevrolet putih terus dilakukan.
Orang yang mengurus soal nomor polisi atas nama O’Hara ternyata bernama Fred Leighton, seorang pedagang mobil. Nyonya Leighton dihubungi. Diperoleh jawaban bahwa Mr. Leighton, tidak ada di rumah. Ini di luar kebiasaan. Sudah malam, belum juga pulang.
Suatu dugaan melintas di benak Cramer. Barangkali belum pulangnya Mr. Leighton ini ada hubungannya dengan kegiatan wanita pembunuh. Mungkin Fred Leighton yang atas nama James O’Hara menguruskan nomor polisi Chevrolet putih itu, tahu siapa yang mencekik lelaki malang ini. Dan kini wanita itu berniat menyingkirkan pula Fred Leighton. Bahkan mungkin niat itu sudah terlaksana. ketika itu sudah lewat tengah malam. Tetapi polisi tidak dapat menunggu. Mereka harus cepat bertindak.
Kebetulan Inspektur Kerkins mengenal Leighton secara pribadi. Segera ia menyiarkan pesan radio kepada anak buahnya: “Untuk semua! Perhatian! Dicari pedagang mobil Fred John Leighton. Tinggi 1,75 m, gemuk, agak botak, pakai kacamata. Umur kira-kira 45 tahun. Ciri-ciri khusus: bekas luka lebar pada leher sebelah kiri. Periksa semua hotel dan losmen. Jawaban ditunggu secepatnya”.
Polisi serentak bergerak. Dan beberapa menit kemudian sudah datang jawaban dari salah satu mobil patroli: Di hotel Genesee di sekitar stasiun kereta api ada seorang tamu yang mempunyai ciri-ciri yang disebutkan. Ia menginap dengan seorang wanita. Nama mereka tercatat sebagai Mr. dan Mrs. Smith. Penerima tamu yang berjaga malam itu di hotel Genesee tak dapat menyebutkan ciri-ciri Mers. Smith karena yang mengurus penginapan adalah Mr. Smith.
“Jaga semua jalan-jalan keluar. Tunggu instruksi”, perintah Kerkins, sambil menambah bahwa ia segera menuju hotel Genesee.
Mobil-mobil patroli ditambah untuk mengepung hotel. Para detektif merasa jengkel ketika ternyata bahwa beberapa wartawan telah siap mengikuti operasi tengah malam ini. Rupanya para nyamuk pers mendengarkan radio polisi.
Inspektur Cramer dan Kerkins di lift menuju ke tingkat 15. Di gang di depan kamar nomor 307 sudah siap seorang anggota polisi.
Cramer mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban dari dalam. Kerkins memberi isyarat kepada portir hotel yang ikut ke atas untuk membuka pintu dengan kunci cadangan. Ketika pintu terbuka, terdengar samar-samar suara ngantuk seorang lelaki. Para detektif merasa lega bahwa lelaki itu masih hidup.
Cramer, Kerkins dan anak buah menyerbu masuk. Di ranjang hanya terbaring seorang laki-laki. Wanita yang dicari tidak ada.
Kamar diperiksa. Salah satu jendela kamar ternyata terbuka. Cramer mendekat dan menjenguk keluar. Pada saat itu juga ia melihat kelebat bayangan tubuh seorang wanita loncat dari tonjolan tembok dekat sebuah pilar – hanya kira-kira sedepa dari jendela. Terdengar jeritan seorang wanita dan kemudian bunyi sesuatu jatuh di tanah. Sunyi senyap.
“Ia bunuh diri”, Cramer nyeletuk dengan nada kecewa. “Tak dapat kita tangkap hidup-hidup”.
Lelaki dalam ranjang memang ternyata Fred Leighton. Dengan pandangan yang kosong dan loyo, matannya terarah ke langit-langit. Rupanya ia tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Ia hanya bergumam seperti orang mengigau: “Oh, oh, tanganku seperti lumpuh”. “ Anda segera kami bawa ke rumah sakit”’ Kerkins menenangkannya. “Untung pada saat terakhir kita masih menyelamatkannya”, Cramer mengomentari.
Di atas meja dekat ranjang, Inspektur Cramer menemukan botol Whisky yang sudah setengah kosong. Di sampingnya terletak sebuah tas wanita. Di dalamnya tersimpan alat-alat kecantikan di antarannya lak kuku “Opale Rose” no.53 dan bungkusan kecil yang sudah terbuka, isinya Bellergal.
Sayang, pada almarhumah tak ditemukan paspor atau kartu identitas lain. Sementara itu, Fred Leighton ternyata tidak tahu menahu tentang pembunuhan-pembunuhan kejam yang pernah dilakukan oleh wanita misterius itu.
(Hans Walther)
Baca Juga: Pakaian Korbannya Selalu Dicabik-cabik
" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834047/petunjuk-pertama-hanya-secuil-kuku" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565901000) } } [5]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3800294" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/08-si-tua-charles-lebih-suka-bic-20230711015450.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Charles Walton kerap berbicara dengan burung dan binatang lainnya alih-alih dengan orang lain. Hingga warga desa menganggapnya sebagai tukang tenung." ["section"]=> object(stdClass)#156 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/08-si-tua-charles-lebih-suka-bic-20230711015450.jpg" ["title"]=> string(46) "Si Tua Charles Lebih Suka Bicara dengan Burung" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-11 13:55:00" ["content"]=> string(24055) "
Intisari Plus - Charles Walton adalah penduduk Desa Lower Quinton yang ditakuti oleh warga. Ia kerap berbicara dengan burung dan binatang lainnya alih-alih dengan orang lain. Charles sering melihat hantu berwujud anjing hitam, sehingga warga desa menganggapnya sebagai tukang tenung.
----------
Musim panas tahun itu datang lebih awal dari biasanya. Desa kecil Lower Quinton mulai cerah di awal bulan Februari. Sisa-sisa salju dan kilauan es sudah menghilang. Matahari akan mulai memancarkan sinar dengan leluasa.
Tahun 1945 nampaknya akan merupakan tahun yang paling menggembirakan bagi para petani di Lower Quinton. Petani menyambut kedatangan musim panas dengan harapan yang besar. Charles Walton, petani bujangan tua, 74 tahun, juga gembira. Saat untuk mencari penghasilan sudah datang. Sebagai bujangan yang kelewat tua, Charles Walton menghabiskan hampir seluruh waktunya mendekam di desa. Ia bekerja sebagai pemotong rumput dan pagar tanaman.
Orang di desanya mengenal Charles Walton dengan sebutan Si Tua Charles. Untuk sekali membersihkan rumput halaman dan memotong pagar tanaman, Charles memperoleh upah 1 shilling 6 pence. Sebagai orang tua, dia sudah merasa gembira sekali kalau ada orang yang masih mau menggunakan tenaganya. Hari-hari tua bukan hari yang menyenangkan bagi si Tua Charles. Hampir setiap malam kekuatan tubuhnya digerogoti penyakit reumatik dan artritis. Maka tidak mengherankan kalau dia tidak pernah pergi jauh-jauh dari Lower Quinton.
Setiap desa di Inggris memiliki keunikan tersendiri. Namun Desa Lower Quinton termasuk desa yang sedikit tidak beruntung dan selalu diselimuti misteri. Walau penduduknya tidak lebih dari 500 orang, penduduknya selalu mengalami kejadian aneh.
Sebagai salah satu penduduk desa, Si Tua Charles memang bisa dibilang agak aneh. Dia lebih senang bersahabat dengan burung dan binatang lainnya, daripada bersahabat dengan tetangga atau penduduk desanya. Dia tidak mempunyai sahabat dekat atau tetangga yang akrab. Di sore hari dia sering kelihatan asyik berbicara sendiri di bawah pohon. Ternyata dia sedang berbicara dengan burung.
Penduduk Desa Lower Quinton menganggap Charles sebagai orang aneh. Orang yang bisa mengerti dan menggunakan bahasa binatang, terutama burung. Dengan kelinci, Charles juga akrab. Seakan-akan kelinci-kelinci yang selalu ditemuinya di pinggiran desa itu adalah para cucunya. Begitu akrab, begitu intim. Hampir tidak pernah Charles mengobrol dengan orang lain, kecuali dengan orang yang akan minta bantuannya untuk membersihkan halaman atau mengatur pagar tanaman.
Satu-satunya pekerjaan tambahan baginya, sehabis bekerja membersihkan rumput halaman atau memangkas pagar tanaman, hanyalah pergi ke kedai minum untuk membeli beberapa botol minuman. Itu pun ada alasannya mengapa Charles mau agak lama berbicara dengan pemilik kedai minuman. Pemilik kedai adalah kemenakan perempuannya sendiri, Edith.
Secara teratur, setiap 2 hari sekali, Charles pasti singgah di kedai. Ia kemudian pulang ke pondoknya dengan menjinjing beberapa botol minuman. Orang-orang di Desa Lower Quinton dibuatnya tercengang. Bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk membeli beberapa botol minuman yang tidak murah dan itu dilakukannya 2 hari sekali? Penduduk desa bingung sendiri menerka asal uang Si Tua Charles. Sebagai pemotong rumput, dari mana si tua itu mendapatkan uang untuk membeli beberapa botol minuman setiap 2 hari sekali?
Bagi Charles, kebingungan para tetangganya tidak diambil pusing. Penduduk desa hanya akan selalu tercengang bila melihat si Tua Charles keluar dari kedai dengan menjinjing beberapa botol minuman, berjalan sambil memilin kumisnya yang melintang itu. Wajah Charles hitam legam, tertempa usia dan cuaca. Keriput di wajahnya berderet-deret memanjang.
Dari mana Charles memperoleh uang untuk membeli minuman? Beberapa orang mengira dari memeras orang. Ada dugaan bahwa Charles sering melakukan praktik sebagai tukang tenung. Yah, dengan aktivitas yang terakhir itu mungkin Charles mendapatkan uang pembeli minuman.
Karena keanehan, tampang seram, dan dugaan-dugaan aneh tentangnya, maka penduduk Desa Lower Quinton takut kepadanya. Ada satu hal lagi yang menyebabkan orang-orang takut kepada Charles. Kabarnya Charles adalah satu-satunya orang yang pernah melihat hantu yang berwujud seekor anjing hitam. Anjing hitam itu hanya ada di saat tertentu dan berkeliaran di Desa Lower Quinton. Hantu yang berwujud anjing hitam tersebut muncul bila di desa itu akan ada orang mati karena kekejaman. Pokoknya mati secara tidak wajar. Bila anjing itu muncul, berarti tidak lama lagi pasti akan terjadi kematian yang mengerikan.
Charles melihat hantu anjing itu pertama kali sewaktu ia berusia 15 tahun. Di senja hari ia melihat binatang misterius itu. Dan apa yang terjadi? Jam 8 malam ia kembali ke rumahnya. Suasana di rumahnya agak ramai. Banyak orang berdatangan. Ternyata di tengah rumahnya tergeletak sebujur mayat. Mayat adik perempuannya yang penyebab kematiannya tidak jelas. Gigi mencuat dan biji mata hampir keluar. Pemandangan yang menyedihkan bagi Charles.
Tidak hanya sekali itu saja Charles “dianugerahi” kemampuan melihat hantu anjing hitam. Masih ada lagi kejadian serupa. Bahkan sampai sembilan kali. Berarti sembilan kali pula terjadi kematian yang misterius di Desa Lower Quinton!
Maka tidak mengherankan kalau penduduk agak takut dengan si Tua Charles. Terjalin sudah ikatan misterius antara anjing hitam, Charles, dan maut. Tetapi bagi Charles sendiri, dia tidak begitu peduli dengan anggapan penduduk. Dia tidak pernah banyak bicara dengan orang lain, terutama mengobrol tentang dirinya sendiri. Kehidupan dan sikapnya merupakan rahasia bagi orang lain. Sekali waktu dia menceritakan rahasianya. Kepada siapa? Kepada burung-burung di ranting dahan! Sahabatnya paling tepercaya.
Hari itu tanggal 14 Februari 1945. Hari Valentine. Hari yang menggembirakan Charles. Alfred Potter, seorang petani yang bisa dibilang kaya, mengundang Charles untuk membersihkan kebunnya di Meon Hill. Dengan senang hati Charles menyanggupi kerja di kebun Alfred Potter. Dan sekali itu Charles harus berjalan agak jauh meninggalkan desanya.
Cuaca sudah benar-benar mulai terasa panas. Dan beruntunglah Charles, sebab penyakit reumatik yang lama mengidap di tubuhnya tidak banyak mengganggu lagi. Tetapi untuk berjalan sejauh itu, Charles melengkapi dirinya dengan sebuah tongkat jalan. Persiapan untuk mendaki.
Jam 9 lebih beberapa menit, dia meninggalkan pondoknya dengan membawa sabit, alat pemotong rumput, gunting dahan, pengait dahan, dan garpu rumput.
Kepada Edith, pemilik kedai minuman, Charles berkata akan kembali sekitar jam 4. Dan jam 6, Charles akan singgah di kedai beli minum.
Beberapa penduduk desa melihat Charles tertatih-tatih melewati jalan sempit di belakang gereja lalu melintasi padang ilalang. Ia kemudian mulai berjalan menanjak ke Meon Hill. Hari itu tidak terjadi hal-hal yang istimewa.
Di siang hari, Alfred Potter dan beberapa penduduk masih melihat Charles sibuk membabati rumput di tengah kebun. Lengan baju dan celananya digulung tinggi. Siang itu adalah siang terakhir bagi Charles.
Satu-satunya orang yang mengkhawatirkan diri Charles hanyalah Edith. Jam 4 sore Charles belum kembali. Jam 6 juga belum muncul di kedai. Di pondok Charles, segelas teh yang tersedia baginya juga masih utuh belum tersentuh. Biasanya sekitar jam 4, Charles biasa duduk sambil minum teh di depan pondoknya.
Rasa khawatir dan takut mencekam Edith. Apa yang terjadi atas diri pamannya? Penduduk desa biasa tidak begitu akrab, namun mereka memiliki rasa simpati meski takut kepada Charles. Mereka pun khawatir juga tentang nasib Charles. Maka malam itu dengan ditemani beberapa tetangga, Edith menuju ke rumah Alfred Potter. Ternyata Charles tidak ada di sana. Khawatir mungkin Charles mendapat kecelakaan di kebun, maka akhirnya Alfred, Edith, dan beberapa orang bersepakat untuk menerjang padang rumput di Meon Hill.
Alfred Potter dan seorang lelaki tetangga Edith berjalan di depan. Edith berada tepat di belakangnya. Dengan menggunakan obor, mereka ramai-ramai menerjang kebun di mana tadi siang Charles bekerja. Udara malam yang dingin menusuk tubuh. Angin bertiup dengan kencang. Semuanya hanya kelihatan hitam. Langit hitam pekat.
Tanah semakin menanjak dan rumput semakin menebal. Di sana sini berserakan dahan dan ranting yang masih hijau. Gundukan rumput bertebaran di sana sini. Pohon yang kian lebat pun berderak-derak karena angin malam yang kencang mengganas.
Segunduk dahan menyangkut kaki Edith. Hampir saja ia terjerembap dan terbentur pohon. Untung Potter menyambarnya dan sekaligus mendorongnya ke belakang.
“Stop! Tetap di tempatmu saja. Ah... seharusnya kau tidak ikut. Seharusnya kau tak perlu melihatnya!” teriak Alfred Potter dengan lantang. Suaranya bergema.
Sudah telanjur. Edith sempat melihat sesuatu yang melingkar di bawah pohon. Seketika kedua tangannya menutup wajah. Dia tidak tahan untuk memandangnya.
Alfred Potter dan beberapa lelaki yang membuntutinya tertegun. Di depannya terbujur sesosok tubuh. Mayat si Tua Charles. Luka besar yang masih memerah menganga di batang tenggorokan. Sebuah luka lagi ada di belakang leher. Sayatan memanjang di pipi, tampak seperti bekas goresan sabit.
Sungguh mengerikan nasib Charles. Tangan kirinya hampir putus, mungkin ia melakukan perlawanan sewaktu diserang dengan sebuah sabit.
Malam semakin mencekam. Sayup-sayup terdengar suara burung hantu di kejauhan. Sewaktu polisi datang, semakin jelaslah kondisi Charles karena lampu sorot polisi. Satu mata garpu rumput menancap pada leher Charles dan kemudian menghunjam ke tanah.
Keadaan korban dan keadaan sekeliling tidak membantu polisi untuk segera mengetahui siapakah pelaku pembunuhan itu. Tidak ada pilihan lain bagi pihak polisi Lower Quinton kecuali minta bantuan dari pihak Scotland Yard. Sehari setelah ditemukan mayat Charles, detektif tersohor di masa itu, Robert Fabian, tiba di Lower Quinton. Ini adalah tugas yang biasa baginya. Tetapi pembunuhan di kebun Meon Hill itu membuat dia benar-benar harus memutar otak.
Suatu kejadian di desa yang diselimuti oleh misteri selama bertahun-tahun, cerita tentang hantu anjing hitam, keyakinan penduduk akan peranan Charles sebagai tukang tenung, sungguh merupakan tantangan bagi Fabian. Perkara pembunuhan yang kali ini harus dihadapi bukanlah pembunuhan biasa. Ada berbagai perkara di balik pembunuhan itu sendiri. Mengapa si Tua Charles dibunuh? Bukankah penduduk Desa Lower Quinton segan dan takut kepadanya? Bukankah Charles terkenal sebagai orang yang aneh, tukang tenung? Apa hubungannya dengan cerita anjing hitam yang selalu muncul bila ada orang akan menemui ajal?
Tidak seorang pun penduduk Desa Lower Quinton yang bersedia diwawancarai. Malahan pertanyaan Fabian tidak dijawabnya. Semua mulut tertutup rapat. Semua orang berusaha menghindar dari pertanyaan-pertanyaan tentang diri Charles atau tentang misteri anjing hitam.
Satu kesimpulan yang ditarik Fabian. Pembunuh benar-benar tahu situasi daerah di mana calon korbannya tinggal. Pembunuh memanfaatkan ketakutan dan kekhawatiran yang telah bertahun-tahun menyekap penduduk Lower Quinton. Bukan tugas yang mudah bagi Fabian.
Dalam laporan yang ditulis kepada atasannya, Fabian menceritakan apa yang dilihatnya, apa yang dialaminya. Begini bunyi laporannya,
Sewaktu aku bersama dengan Albert Webb berjalan di desa, terasa suasananya sungguh aneh. Dingin yang mengerikan. Semua pintu dan jendela rumah segera ditutup bila kami lewat. Tidak mungkin rasanya aku mendapatkan seseorang yang mau memberi keterangan tentang korban. Atau orang yang bersedia menjadi saksi pada perkara pembunuhan yang penuh misteri ini.
Karena terbentur mulut-mulut yang selalu terkunci, perhatian Fabian beralih ke kamp tahanan perang di Long Marston yang berjarak 3,2 km dari batas Desa Lower Quinton. Di situ ditahan ratusan serdadu Jerman dan Italia. Dengan tekun Fabian mencari keterangan tentang aktivitas para tahanan pada tanggal 14 Februari.
Si Tua Charles dibunuh antara siang sampai jam 4 sore. Jam 4 sore seharusnya dia pulang. Tetapi usaha Fabian untuk mengorek keterangan dari kamp Long Marston tidak ada hasilnya. Malahan penghuni kamp tidak tahu-menahu tentang Charles atau cerita tentang hantu anjing hitam.
Perburuan Fabian dialihkan lagi. Sekarang ia mau mencari “keterangan” dengan melihat lokasi di sekitar di mana korban ditemukan. Untuk mengurangi jejak, sengaja Fabian pergi ke Meon Hill sendirian.
Sampai hari itu, hari ketiga setelah ditemukan mayat Charles, Fabian belum mendapatkan sedikit fakta yang bisa menjelaskan tentang motif pembunuhan dan siapa pelaku pembunuhan tersebut. Tidak ada incaran lain bagi Fabian kecuali mendatangi tempat ditemukannya Charles. Tempat itu mungkin juga menjadi tempat di mana pembunuhan dilakukan.
Sore itu cuaca tidak cerah. Tanpa orang lain, Fabian kembali ke Meon Hill. Suasana kebun setengah bukit itu sunyi senyap. Angin bertiup kencang seperti hari-hari yang lalu. Seakan-akan terbius tenung. Ranting dahan dan gundukan rumput yang dipangkas Charles sudah layu berwarna kuning kehijau-hijauan.
Fabian terus berjalan. Suasana benar-benar sunyi. Hari hampir gelap sewaktu Fabian sampai di bawah pohon di mana mayat Charles ditemukan. Beberapa saat ia tertegun di situ. Bayangan jasad Charles kembali mengawang di benaknya. Wajahnya tebersit di benak Fabian.
Saat membayangkan wajah Charles, telinga masih menangkap suara halus dan desisan angin yang menusuk tulang. Angin mati! Angin mati tiba-tiba dan terasa sentuhan angin semakin menusuk. Sekilas mata Fabian menangkap sesuatu yang bergerak. Dia hampir melangkah mundur sewaktu ada seekor anjing hitam besar lewat dengan tenang di hadapannya. Hanya sekejap dan anjing hitam itu segera lenyap menyuruk ke semak-semak.
Fabian tidak merasakan apa-apa. Ia tidak begitu banyak mendengar tentang misteri anjing hitam. Dan sedikit banyak Fabian lebih tertarik mencari jejak pembunuh alih-alih memecahkan misteri anjing hitam.
Di pinggiran desa, Fabian berjumpa dengan seorang pemuda pencari rumput. Karena iseng, ia pun menanyai perihal anjing hitam yang dilihatnya di Meon Hill. Tetapi baru saja mendengar kata anjing hitam, pemuda itu langsung pucat pasi. Ia segera lari meninggalkan Fabian tanpa berbicara sepatah kata pun.
Yah, begitu mencekam misteri anjing hitam itu. Baru mendengar nama saja sudah ketakutan.
Misteri tetap misteri. Siapa pembunuh dan apa motifnya, belum ada tanda-tanda yang diperoleh Fabian. Malahan penduduk desa semakin santer menggunjingkan tentang misteri anjing hitam. Ketakutan semakin mencekam. Penduduk pun membahas soal kemunculan anjing hitam beberapa hari setelah kematian Charles. Itu artinya akan datang maut! Giliran siapa sekarang? Ini yang membuat semua penduduk semakin ngeri.
Orang-orang di sekitar Meon Hill tercekam, tersiar desas-desus bahwa anjing hitam tersebut berkeliaran lagi di sekitar Meon Hill. Giliran siapa sekarang yang harus menyambut maut?
Dari puluhan penduduk yang tinggal di sekitar Meon Hill, Alfred Potter yang mungkin menjadi korban berikutnya. Mungkinkah sekarang dia harus menyambut datangnya maut? Untung! Dia sendiri belum pernah bersua atau melihat anjing hitam keparat itu. Tetapi sedikit banyak, dia khawatir pula.
Yah, tetapi memang belum giliran Alfred Potter. 2 minggu setelah kematian Charles, seorang pencari rumput menemukan bangkai anjing hitam besar terkulai di semak-semak tidak jauh dari pohon di mana mayat Charles ditemukan. Hantu anjing telah mati! Bangkai anjing hitam itu terkulai dengan leher terjerat seutas tali. Benarkah itu pertanda tamatnya sebuah misteri?
Bangkai anjing hitam terkapar di semak-semak tidak jauh dari tempat ditemukan mayat Charles. Leher anjing terjerat tali. Ukuran anjing tersebut melebihi anjing biasa. Tamatkah misteri hantu anjing hitam? Siapa pembunuh hantu tersebut? Apa hubungannya dengan kematian Charles yang mengerikan itu?
Bagi Fabian, semuanya itu merupakan tumpukan persoalan yang menantang dirinya sebagai seorang detektif
Fabian ingin memulai perburuannya dengan bertolak dari perpustakaan. Buku-buku tentang pembunuhan dan tenung pun dibacanya.
Akhirnya ia mendapatkan sesuatu dari buku Warwickshire karya Clive Holland. Dalam buku tersebut dikisahkan tentang seorang pembunuh bernama John Haywood. Tahun 1875 John Haywood membunuh seorang wanita tukang tenung yang berusia 80 tahun, bernama Ann Turner alias Tennant.
Cara pembunuhan John Haywood atas diri Ann Turner mirip dengan cara pembunuhan atas diri Charles. Nasib Ann Turner sama dengan nasib Charles, mati dengan Iuka yang menyayat dan menganga di bagian muka. Pembunuhan dengan sebilah sabit dan garpu rumput.
Dalam buku karya Clive Holland tersebut juga disertakan pengakuan John Haywood. Dia seorang tukang tenung. “Semula dia saya dorong dan terjerembap ke tanah. Baru saya menggorok tenggorokannya. Tanpa disadari saya membuat luka lagi di bagian belakang leher dan luka panjang di pipi.”
Apa hubungannya dengan pembunuhan atas diri Charles? Yang jelas, Charles dibunuh dengan cara yang sama. Charles juga dipandang sebagai tukang tenung oleh penduduk desa. Suatu tantangan berat bagi Fabian. Di balik kematian Charles, tersembunyi berbagai misteri yang sulit untuk dipecahkan dengan mata dan akal sehat.
Dengan akal dan ilmu pengetahuan modern, Fabian berusaha terus untuk sedikit demi sedikit membuka tabir misteri. Dengan bantuan dari RAF, Fabian berusaha mendapatkan gambar dari daerah sekitar Meon Hill. Siapa tahu, mungkin dari gambar yang diambil dari udara bisa diperoleh sedikit data yang aneh, yang mungkin tidak akan terlihat dari daratan biasa.
Tidak tanggung-tanggung usaha Fabian. Dia juga mengumpulkan lebih dari 4.000 keterangan dan kesaksian dari para pengembara, gipsi, tukang asah sabit yang berkeliling, dan siapa saja yang pada waktu terjadi pembunuhan berada di sekitar Meon Hill.
Tetapi tidak ada sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa memberikan titik terang atas kematian Charles. Sekian lama Fabian bergelut dengan misteri Meon Hill dan tanpa hasil sama sekali. Akhirnya Fabian kembali ke London. Belum ada titik terang perihal kematian si Tua Charles.
Masalah pembunuhan Charles masih belum tersingkap. Pihak Scotland Yard telah meninggalkan Lower Quinton. Suasana ngeri mencekam pun kembali menyelimuti Lower Quinton. Penduduk mulai ribut termakan pembicaraan tentang tenung dan hantu yang berwujud sebiji mata. Kesunyian yang mencekam kembali menyekap penduduk.
Siapa pembunuh si Tua Charles? Tetap tidak diketahui. Bukan merupakan pekerjaan mudah memecahkan misteri Meon Hill. Sampai bertahun-tahun, pembunuhan tersebut merupakan misteri yang kelam. Robert Fabian menyerah!
Misteri pembunuhan di Meon Hill pun seakan membeku. Tetapi tidak berarti masalah itu dilupakan oleh dinas kepolisian. Ada seorang yang masih terus merasa ditantang oleh misteri tersebut. Alec Spooner, seorang polisi yang khusus mendokumentasikan peristiwa-peristiwa pembunuhan. Sejak semula Alec Spooner merasa tertarik. Dialah yang semula banyak membantu usaha Robert Fabian memecahkan misteri Meon Hill. Fabian menyerah, tetapi Alec Spooner tetap berusaha.
Alec Spooner, yang sudah lama bergelimang dengan kasus pembunuhan, mempunyai metode tersendiri untuk memecahkan misteri Meon Hill. Cara itu digunakan untuk menjebak pembunuh Charles. Dengan tekun, setiap tanggal terbunuhnya Charles, Alec Spooner datang ke Lower Quinton dan mendaki ke Meon Hill. Berjam-jam ia mengawasi daerah sekitar di mana mayat Charles ditemukan.
Selama 19 tahun, Alec Spooner selalu mendatangi Meon Hill setiap tanggal 14 Februari. Ia mempunyai teori untuk menjebak pembunuh. Menurutnya, seorang pembunuh yang masih jadi buronan, biasanya akan mengenang perbuatannya. Biasanya itu dilakukan pada tanggal kejadian, entah kapan pun.
Yah, berdasarkan teori tersebut, Alec Spooner bertekun menunggu selama 19 tahun di Meon Hill. Ia menunggu seseorang lelaki yang kuat, mungkin juga wanita yang perkasa. Tetapi misteri tetap misteri. Orang yang ditunggu-tunggunya tidak pernah muncul. Tidak ada seorang pun yang dijumpainya setiap tanggal 14 Februari, sejak tahun 1946 sampai 1965. Hingga akhirnya ia pun pensiun.
Orang yang dinantikannya tidak pernah kunjung tiba. Alec Spooner tidak bisa membuktikan teorinya. Yah, mungkin orang yang dinanti-nantikannya pernah datang pula ke Meon Hill. Tetapi kedatangannya tidak ingin diketahui orang lain. Seperti halnya pada tanggal 14 Februari 1945, di mana ia menghantam wajah Charles dengan sebuah sabit dan dengan garpu rumput. Misteri Lower Quinton tidak pernah terpecahkan.
(The Village of fear)
Baca Juga: Petualangan Sang Belalang
" ["url"]=> string(91) "https://plus.intisari.grid.id/read/553800294/si-tua-charles-lebih-suka-bicara-dengan-burung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083700000) } } [6]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799255" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/01-perjumpaan-maut-di-tengah-tan-20230711015134.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Karena kesalahan di waktu muda, Stashinsky harus menjadi agen KGB. Tugas membunuh dilakukannya dengan baik walau bertentangan dengan hati nuraninya." ["section"]=> object(stdClass)#160 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/01-perjumpaan-maut-di-tengah-tan-20230711015134.jpg" ["title"]=> string(32) "Perjumpaan Maut di Tengah Tangga" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-11 13:51:44" ["content"]=> string(27192) "
Intisari Plus - Karena kesalahan kecil di waktu muda, Stashinsky harus membayarnya dengan menjadi agen KGB. Tugas membunuh dilakukannya dengan baik walau itu bertentangan dengan hati nuraninya.
----------
Dr. Lev Rebet tidak begitu peduli dengan orang yang menuruni tangga berlawanan arah dengannya. Mengenalnya? Tidak. Tidak ada tanda-tanda kalau kedua orang tersebut saling mengenal. Baik Dr. Lev Rebet maupun orang jangkung itu saling menundukkan kepala. Dr. Lev Rebet berhati-hati menaiki tangga satu demi satu. Dan si jangkung juga tidak kurang hati-hatinya menuruni tangga. Sebenarnya tangga di kantor surat kabar Sucasna Ukraina tidak begitu tinggi dan menanjak. Tetapi karena usianya, Dr. Lev Rebet terbiasa membungkukkan tubuhnya selagi menaiki tangga kantornya.
Beberapa detik lagi, keduanya akan saling berpapasan di lorong sempit. Keduanya saling menunduk. Tidak ada sikap yang mencurigakan. Tidak ada gerakan-gerakan yang aneh. Tidak terdengar suara apa-apa. Setapak demi setapak Dr. Lev Rebet naik. Setangga demi setangga si jangkung turun
Sewaktu keduanya saling berpapasan, tetap tidak ada perubahan sikap dari keduanya. Tetapi tidak begitulah setelah beberapa detik mereka berpapasan. Tanpa penyebab yang jelas, tiba-tiba Dr. Lev Rebet terhuyung-huyung dan akhirnya tubuhnya tersandar ke dinding. Kedua tangannya mencengkeram dada. Dan tidak sampai 3 detik, tubuhnya melengkung dan melayang dalam sekejap. Ia akhirnya berguling dan bergulung menuruni anak tangga dengan cepat. Di anak tangga kedua dari bawah, tubuh itu berhenti. Tidak ada suara lagi. Dan Dr. Lev Rebet sudah tak bernyawa lagi.
Kejadian tersebut terjadi pada tanggal 12 Oktober 1957 di Karlsplats no. 8, Munich, di mana Dr. Lev Rebet bekerja sebagai pemimpin redaksi surat kabar Sucasna Ukraina.
Siapa gerangan lelaki jangkung yang berpapasan dengan Dr. Lev Rebet? Mengapa tiba-tiba Dr. Lev Rebet terguling dan akhirnya meninggal?
Kejadian tersebut bukanlah kejadian yang aneh yang terjadi di sekitar tahun 1950-an. Saat itu pihak Rusia sedang giat melancarkan aksi pembersihan terhadap gerakan antikomunis di kawasan Rusia.
Beberapa menit setelah kejadian di pagi hari itu, seorang perwira dari KGB — Dinas Rahasia Rusia — di Moskow menerima pesan rahasia. Pesan tersebut dari si jangkung — orang kedua yang berada di tangga kantor Sucasna Ukraina di Munich. Pesannya cukup singkat, tapi cukup menggembirakan bagi yang menerima.
“Aku telah bersua dengan si gendut. Dan penyambutannya cukup memuaskan.”
Bogdan Stashinsky, alias Josef Lehman, alias Bronislav Katshor, alias Alex Krylov, alias Siegfried Frager, alias Hans Budeit, telah melaksanakan tugasnya dengan gemilang. Ia melakukan pembunuhan yang sempurna demi tugas dari KGB. Dr. Lev Rebet dibunuh dalam waktu yang singkat sekali sewaktu menaiki tangga.
Berita kematian Dr. Lev Rebet menimbulkan berbagai pertanyaan bagi beberapa kalangan. Orang-orang imigran Ukraina yang bertempat tinggal di Jerman Barat pun merasa kehilangan sosok seorang bapak. Mereka yang berkecimpung di bidang politik, menangkap kematian Dr. Lev Rebet sebagai pertanda untuk berhati-hati.
Hasil pemeriksaan mayat Dr. Lev Rebet menghasilkan satu keputusan yang sudah sejak semula diramalkan pihak Dinas Rahasia Rusia. Dr. Lev Rebet meninggal dunia karena penyebab biasa. Termasuk usia dan penyakit. Benar-benar suatu pembunuhan yang gemilang. Tidak ada hantaman. Tidak ada darah tertumpah. Tidak ada kekerasan. Dan... tidak ada tanda-tanda pembunuhan.
Senjata yang digunakan Stashinsky untuk membunuh Dr. Lev Rebet hanyalah sebuah tabung logam sepanjang delapan inci dan sebuah ampul kecil. KGB tidak keliru menunjuk Stashinsky untuk melakukan tugas rahasia. Tidak perlu diragukan lagi ketangkasan Stashinsky yang terkenal sebagai penembak mahir untuk menghabisi Dr. Lev Rebet.
Untuk menjadi pembunuh terlatih, Stashinsky mendapat pendidikan dan penggemblengan cukup lama, 7 tahun. Tahun 1950 adalah tahun permulaan Stashinsky memasuki atau lebih tepatnya “terperangkap” oleh jaringan Dinas Rahasia Rusia.
Musim panas tahun 1950 merupakan musim petaka bagi si mahasiswa calon guru, Stashinsky. Bermula dengan peristiwa kecil di dalam kereta api, Stashinsky terperosok masuk ke dalam jaring Dinas Rahasia Rusia. Suatu pagi, Stashinsky menyerobot naik kereta api tanpa karcis. Tetapi dasar nasib buruk, Stashinsky ditangkap polisi karena tidak memiliki karcis. Benar-benar awal petaka baginya. Sebab masa-masa tahun 1950, Dinas Rahasia Rusia sedang gencar melancarkan pembersihan terhadap gerakan-gerakan antikomunis di Ukraina. Daerah yang seluas gabungan antara negara Spanyol dan Portugal tersebut tercekam kekhawatiran. Salah langkah atau salah bicara, bisa ditangkap dengan tuduhan tunggal yaitu terlibat dalam gerakan antikomunis.
Stashinsky yang baru berusia 19 tahun terpaksa berurusan dengan polisi. Stashinsky sudah bisa membayangkan kehancuran cita-citanya untuk menjadi guru. Bukan hal yang sepele untuk berurusan dengan polisi waktu itu. Stashinsky tahu persoalan sepele itu bisa jadi meluas. Dengan hati yang kecut dia menunggu panggilan pengadilan.
Aneh! Panggilan tidak kunjung datang. Tetapi ini tidak berarti pemerintah Rusia melalaikan Stashinsky, pemuda Ukraina yang cukup ambisius ini yang menumpang kereta api secara gratisan. Panggilan dari pengadilan memang tidak pernah datang. Tetapi muncul surat undangan supaya menghadap dari seorang perwira polisi lalu lintas.
Akhir musim panas, Stashinsky menghadap perwira yang mengundangnya. Dan masih ada seorang lagi yang juga menunggu kedatangan Stashinsky. Ia adalah seorang perwira dari Dinas Rahasia Rusia. Sitnikovsky namanya.
Waktu itu pembersihan gerakan antikomunis sedang menjamur di seluruh Ukraina. Tuduhan terlibat dalam gerakan antikomunis menjadi bayang-bayang maut bagi penduduk Ukraina. Padang Siberia — dengan segala kekerasannya — disodorkan sebagai imbalan mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam gerakan antikomunis. Padang hitam Siberia pun disodorkan pada Stashinsky. Dua pilihan yang sama-sama tidak enak dihadapkan pada Stashinsky. Ikut menjadi angota gerakan perlawanan terhadap kaum antikomunis dan sekaligus menjadi informan untuk KGB atau padang Siberia.
Dengan janji bahwa perkara pelanggaran di kereta api tidak akan dipermasalahkan lagi, akhirnya Stashinsky memilih pilihan pertama. Semenjak saat itu, Stashinsky terjerat dalam jaring KGB. Itu berarti dia harus bekerja untuk Dinas Rahasia Rusia di daerahnya sendiri. Ukraina.
Semakin lama tuntutan dan permintaan Sitnikovsky atas nama KGB terhadap Stashinsky semakin meningkat saja. Akhirnya Stashinsky menghentikan kuliahnya. Tugas dan pekerjaannya sudah jelas, jadi agen KGB.
Tahun 1953 ia dipindah ke Kiev untuk mengikuti pendidikan istimewa. Itu termasuk soal persenjataan dan pembuatan identitas palsu.
Dengan nama Josef Lehman, Stashinsky menyusup ke pihak Barat dan melaksanakan tugas spionase. Sebagai seorang agen, tugas utamanya adalah menyelidiki kegiatan-kegiatan organisasi kaum imigran Eropa Barat. Terutama Organisasi Nasionalis Ukraina.
Ideologi politik KGB telah berhasil meyakinkan diri Stashinsky, bahwa pemimpin dari Organisasi Nasionalis Ukraina adalah manusia yang terkutuk. Pasalnya, ia sudi diperbudak oleh pihak Amerika untuk membendung imigran Ukraina yang bertempat tinggal di Jerman Barat yang ingin kembali ke tanah leluhurnya. Malahan pihak Amerika telah melakukan kejahatan besar, yaitu memengaruhi orang-orang Ukraina untuk membenci dan memusuhi pihak Timur.
Bukan itu saja, ramuan politik yang telah “ditelan” mentah-mentah Stashinsky akhirnya tertanam di hatinya. Ia bersemangat untuk menyingkirkan siapa saja yang berkhianat terhadap tanah leluhurnya, Ukraina. Sasaran utama, Dr. Lev Rebet pemimpin Organisasi Nasionalis Ukrania. Sudah bulat tekad Stashinsky untuk segera membereskan Dr. Lev Rebet.
Antara April sampai Juli 1957, Stashinsky mondar-mandir dari Kiev ke Munich. Itu dilakukan untuk membiasakan diri dengan kehidupan calon korbannya, yaitu Dr. Lev Rebet. Semua kebiasaan calon korbannya telah diteliti dengan cermat. Kehidupan sehari-hari Dr. Lev Rebet ditanamkan dalam ingatannya. Stashinsky pun hafal dengan kehidupan Dr. Lev Rebet. Termasuk kebiasaan di kantornya yang terletak di Karlsplats no. 8.
Bulan September matang sudah rencana Stashinsky.
Dia sudah siap untuk menggunakan “senjata setan” miliknya. Itu adalah senjata dari KGB yang dipersiapkan untuknya. Senjata itu terdiri tabung logam dan ampul.
Ampul di dalam tabung logam, berisi gas sianida yang dapat memancar secara otomatis bila pelatuk kecil di bawah tabung logam itu disentil. Pancaran gas akan mengenai urat nadi korban. Dalam waktu pendek, korban yang ditembak dengan senjata setan itu akan mati karena urat nadinya mengerut. Kematian yang fatal. Namun dalam waktu yang singkat pula, pembuluh darah akan kembali normal, sehingga tembakan senjata setan itu tidak akan meninggalkan bekas sama sekali. Kalau diselidiki, hanya akan sampai pada kepastian bahwa korban meninggal dunia karena semacam serangan ulu hati.
Penggunaan senjata setan tersebut juga ada bahayanya. Gas sianida yang terpancar bisa seperti bumerang yang menyerang balik si penembak. Akibatnya fatal juga.
Tetapi perlengkapan yang tersedia demi keamanan Stashinsky cukup banyak. Bagi Stashinsky, tersedia berbagai tablet saraf, penawar racun, dan anti gas. Beberapa saat sebelum menembakkan senjata setan, dia harus menelan tablet saraf dan penawar racun. Lalu beberapa saat kemudian diikuti tablet anti gas. Yang terakhir ini harus ditelan beberapa saat sebelum menarik pelatuk.
Tentang keampuhan senjata setan buatan KGB ini, Stashinsky telah melihat buktinya. Senjata ini 100 persen bekerja dengan gemilang dan memuaskan, kata ahli pembuat senjata itu. Dan untuk memperkuat ucapannya, ahli itu mengajak Stashinsky ke hutan Muggelsee di pinggiran Jerman Timur. Keampuhan senjata setan didemonstrasikan di sana.
Seekor anjing besar dirantai pada sebuah pohon. Stashinsky menelan tablet-tablet penyelamat. Dari jarak dua kaki, Stashinsky menembakkan senjata itu. Akibatnya sungguh meyakinkan. Hanya terdengar suara lirih dan dalam beberapa detik kedua kaki depan anjing mengacung ke depan. Beberapa saat — semenit mungkin— anjing itu terjungkal kemudian mati. Tanpa suara terdengar. Stashinsky tidak meragukan lagi keampuhan senjata setan itu.
9 Oktober 1957, dengan menggunakan nama Siegfried Drager, Stashinsky menumpang Air France menuju ke Munich. Pertemuan maut dengan Dr. Lev Rebet akan segera dimulai. Senjata maut turut dibawa serta. Sungguh sederhana dan kecil senjata maut itu. Sukar untuk dibayangkan kalau logam kecil itu bisa membawa maut.
Dalam pengakuannya di kemudian hari, tentang penggunaan senjata maut, Stashinsky mengatakan bahwa senjata itu dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu sukar bagi penembaknya untuk mengirim korban ke alam baka. “Saya tidak memerlukan apa-apa. Saya hanya perlu berpapasan dengan Dr. Lev Rebet di tangga. Senjata maut saya angkat dan bagian pelatuk bersama jari saya tutupi dengan gulungan surat kabar. Pelatuknya pun saya tarik.” Itu teorinya.
Pagi hari tanggal 2 Oktober 1957, Stashinsky meninggalkan hotel. Setelah menelan dua tablet, ia berjalan menuju kantor surat kabar Suscana Ukraina di Karlsplats no. 8 di mana Dr. Lev Rebet bekerja.
Sekitar jam 9.00 Stashinsky sudah mengambil posisi di atas tangga menunggu kehadiran calon korbannya. Jam 9.05, seperti telah diperhitungkan, Stashinsky mendengar suara langkah kaki. Dengan tenangnya ia mulai turun dari anak tangga yang teratas. Benar juga, Dr. Lev mulai menaiki tangga. Dan Stashinsky pun mulai melangkah turun. Dua insan akan saling berpapasan.
Di tengah-tengah tangga, sengaja Stashinsky berdeham. Dan apa yang diperhitungkan memang terjadi. Dr. Lev Rebet mengangkat mukanya. Dan bersamaan itu pula, Stashinsky menarik pelatuk senjata mautnya tepat mengarah wajah Dr. Lev Rebet. Tidak ada bedanya dengan tingkah polah anjing di hutan Muggelsee. Dr. Lev Rebet terkapar tanpa mengeluarkan suara. Penjahat besar di mata KGB telah tamat riwayatnya.
Dinas Rahasia Rusia sangat puas. Operasi yang ditugaskan kepada Stashinsky berjalan dengan lancar sesuai dengan apa direncanakan. Untuk kesuksesannya, Stashinsky mendapat undangan pesta. Dan dalam pesta itu pula Stashinsky mendapat tugas kedua untuk membereskan tokoh Organisasi Nasionalis Ukraina.
Calon korban kedua adalah Stefan Bandera.
Memburu calon korban kedua ternyata tidak semudah memburu Dr. Lev Rebet. Setelah kematian Dr. Lev Rebet, Organisasi Nasionalis Ukraina di Jerman Barat semakin memperapat diri. Walaupun kematian Dr. Lev Rebet dinyatakan karena serangan ulu hati, tetapi tokoh-tokoh Organisasi Nasionalis Ukraina memiliki kecurigaan.
Di pertengahan tahun 1958, Stashinsky mulai kegiatannya mondar-mandir ke Munich dengan menggunakan beragam nama. Sasaran untuk tugas keduanya ini bertempat tinggal di Kreittmayrstrasse no 7. Sudah dua kali Stashinsky mencoba membereskan Stefan Bandera, tetapi dua kali pula ia mengalami kegagalan. Akhirnya kegiatan menguber Stefan Bandera dihentikan untuk sementara waktu.
Ada perubahan dalam hati Stashinsky. Orang yang diburu adalah orang Ukraina. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Ukraina, Stashinsky menyadari bahwa ia melaksanakan tugas bukan karena keyakinan atau kesadaran, tetapi karena adanya tekanan. Suatu ikatan yang benar-benar menyangkut soal hidup atau mati. Dan dia tak mungkin untuk mengelak.
Kisah di awal tahun 1950 masih jelas terbayang di matanya. Dalam keraguannya di usia tanggung 19 tahun, dia dipojokkan untuk memilih hidup terus dalam ikatan Dinas Rahasia Rusia atau membeku di padang Siberia. Sebagai seorang pemuda tanggung yang masih dangkal dengan apa arti perjuangan hak dan kebebasan, Stashinsky memilih hidup.
Tetapi, waktu 7 tahun bukan waktu yang pendek. Cukup lama untuk membentuk sikap dan pikirannya. Indoktrinasi-indoktrinasi yang gencar diterimanya akhirnya “termakan” juga. Walau semula terasa serat untuk ditelan. Dua hal yang saling tertentangan berkecamuk dalam diri Stashinsky.
Walaupun usaha pertama dan kedua gagal, tetapi Dinas Rahasia Rusia masih mempercayakan tugas untuk menghabisi Stefan Bandera kepada Stashinsky. Stashinsky dipersilahkan untuk mencoba lagi.
Tanggal 15 Oktober 1959, Stashinsky berhasil membuntuti Stefan Bandera sampai di rumahnya di Kreittmayrstrasse no. 7. Dengan aman dia berhasil bersembunyi di pengkolan tangga. Praktik yang diterapkan terhadap Dr. Lev Rebet akan diulang. Korban ditunggu di anak tangga paling atas. Dan saat berpapasan, maut akan menghampiri. Stashinsky berdiri mematung di pengkolan tangga. 3 meter dari anak tangga paling bawah, Stefan Bandera sedang memasukkan mobil ke garasi. Tanpa terduga sebelumnya oleh Stashinsky, seorang wanita lewat di sampingnya dan menuruni tangga. Secepat kilat Stashinsky menyibukkan diri dengan berpura-pura membetulkan kancing baju. Wajah menghadap ke dinding agar tidak dilihat wanita itu.
Beberapa menit kemudian Stashinsky mendengar suara dari pintu depan. Calon korban masih berada di depan pintu. Tubuhnya digelantungi berbagai barang, ia sibuk berkutak-kutik dengan anak kunci. Entah apa yang terjadi dengan anak kunci, Stefan Bandera belum juga masuk.
5 menit telah berlalu. Dan akhirnya pintu terbuka. Di saat yang sama, Stashinsky merunduk membetulkan tali sepatu. Di anak tangga kedua dari atas, Stashinsky mulai menggoyang-goyangkan gulungan surat kabar. Sewaktu Stefan Bandera mulai melangkah naik, Stashinsky melangkah turun.
Benarkah persilangan maut akan terjadi?
Stashinsky merunduk seakan-akan sedang menghitung anak tangga. Stefan Bandera menengadah dengan tegap. Tepat di tengah tangga, Stashinsky menyapa dengan ramah.
“Tidak beres kuncinya?”
“Aku keliru memasukannya. Ah...... siapa Anda?” Wajah Stefan Bandera semakin menengadah.
Hanya itu yang diucapkan oleh Stefan Bandera untuk yang terakhir kalinya. Selagi Stefan Bandera tertegun memandangnya, Stashinsky menarik pelatuk senjata maut dari balik gulungan surat kabar. Dalam sekejap, Stefan Bandera terguling turun menatap pintu. Tidak terdengar suara apa-apa, kecuali suara benda jatuh. Barang-barang yang bergelantungan di lengannya berguling-guling.
Stashinsky kembali ke Jerman Timur dengan aman. Dan melapor pada atasannya bahwa ia telah bersua dengan “si gendut” dan “sambutannya” sungguh menggembirakan.
Tanggal 4 Desember 1959 Stashinsky memperoleh penghargaan dari Alexander Shelepin, Komandan Tertinggi KGB, atas kesuksesannya melancarkan operasi pembersihan antikomunis.
Ternyata tugas membereskan Stefan Bandera adalah tugas terakhir bagi Stashinsky.
Tidak ada rasa bangga pada diri Stashinsky. Yang ada hanyalah pergolakan batin yang semakin gencar di hatinya. Tugas yang didasari rasa terjerat berbenturan dengan suara hati yang paling dalam. Kemanusiaan, perjuangan hak dan kebebasan. Tekanan batin semakin lama semakin menyesakkan. Lingkup gerak terasa sangat terbatas. Dan dalam lubuk hatinya yang paling dalam terselip penyesalan. Orang yang diburunya bukan orang asing bagi warga Ukrania. Bangsanya sendiri, Ukrania.
Sekali-kali timbul niat untuk melepaskan pekerjaannya. Tetapi jelas tidak mungkin. Padang Siberia yang akan dihadapinya. Sekali-kali timbul niat pula untuk menyeberang ke pihak Barat.
Musim panas tahun 1960, istri Stashinsky sedang mengandung. Istrinya, Inge Pohl, berasal dari Jerman Timur. Suatu ide untuk memulai pelarian tercetuslah. Setelah berhasil membujuk dan mengelabui atasannya, dengan alasan istrinya ingin melahirkan di kediaman orang tuanya di pinggiran Jerman Timur, akhirnya Stashinsky berhasil mengirim Inge Pohl ke Berlin Timur.
Langkah pertama pelarian sudah berhasil. Inge Pohl sudah mendekati daerah di mana kebebasan seseorang terjamin. Kediaman orang tua Inge Pohl berdekatan dengan tapal batas Berlin Barat dan Berlin Timur.
Untuk melakukan usaha pelarian untuk dirinya sendiri, Stashinsky masih harus menghadapi kesulitan. Dia bukan orang bebas. Kemana pergi selalu dibayangi agen Dinas Rahasia Rusia. Bagaimana dia bisa menyeberang ke sektor Barat?
Kemalangan — tetapi juga keberuntungan akhirnya — terjadi juga atas diri Stashinsky. Bayi Inge Pohl yang baru saja lahir, tidak berumur panjang. Hati Stashinsky yang selalu gundah pun semakin hancur berkeping-keping. Kelahiran anak yang selalu dia rindukan dan diharapkan bisa memberi kesejukan padanya, hanya berusia singkat.
Apakah kematian bayi itu merupakan kemalangan atau justru keberuntungan? Walau hati Stashinsky hancur karena sedih, ia bisa melihat bahwa kematian anaknya juga merupakan peluang bagi dirinya untuk kabur menyeberang ke sektor Barat.
Lantaran sekelumit rasa iba yang meluntur dari suasana kedinasan, Stashinsky mendapat kelonggaran untuk menghadiri pemakaman anaknya di pinggiran tapal batas. Tetapi tidak berarti bebas. Dia tidak bisa banyak bergerak. Ke mana pun ia pergi, selalu dibayangi agen-agen Dinas Rahasia Rusia siang dan malam.
Sanak keluarga Inge Pohl yang menghadiri pemakaman cukup banyak. Stashinsky tepat tiba sebelum jenazah diturunkan ke liang lahat. Inge Pohl menyambut haru kedatangan suaminya. Dalam pelukan sedih, Stashinsky membisikkan kata-kata yang sangat berarti: soal hidup dan mati.
Stashinksy tidak melihat ada tatapan yang perlu dikhawatirkan dari para pelayat. Tetapi benarkah suasana pemakaman bersih dari agen-agen Dinas Rahasia Rusia?
Makam anak Stashinsky terletak di pinggiran tapal batas. Tiga gunduk makam lagi arah ke kanan, sudah merupakan daerah bebas. Pelayat satu demi satu meninggalkan makam. Stashinsky memapah Inge Pohl. Tiga gunduk lagi sudah merupakan daerah bebas. Bebas dari cengkeraman rasa takut dibayang-bayangi padang Siberia. Tetapi benarkah makam ini aman dari mata-mata agen?
Hari sudah larut senja. Cukup lama juga Inge Pohl dan Stashinsky termenung di makam anaknya. Tidak ada orang lagi. Juga tidak ada suara. Kesenyapan makam memberi kesempatan pada suami istri Stashinsky untuk melangkahi dua gunduk.
200 meter setelah Stashinsky dan Inge Pohl memasuki padang bebas, baru terdengar suara derum patroli perbatasan Jerman Timur melintasi pinggiran tapal batas. Beberapa saat mobil-mobil patroli berhenti di pinggiran makam. Kelihatan beberapa orang berloncatan dari mobil. Tetapi telah sunyi semuanya.
Sebagai pelarian politik, Stashinsky segera menghubungi penguasa Jerman Barat. Semua petualangan politik dan petualangan rahasianya diceritakan. Terutama tentang terbunuhnya tokoh-tokoh Organisasi Nasionalis Ukrania, Dr. Lev Rebet dan Stefan Bandera. Dikisahkan pula cara-cara penggunaan senjata gas sianida. Semula penguasa Jerman Barat tidak begitu percaya pada keterangan Stashinsky bekas angota Dinas Rahasia Rusia itu.
Tidak sedikit agen yang menyeberang, tetapi dengan tujuan ganda. Semua pengakuan dan keterangan Stashinsky tidak melunturkan kecurigaan penguasa Jerman Barat.
Stashinsky ditahan dengan tuduhan “membantu terjadinya pembunuhan” atas tokoh nasionalis Ukrania yang bertempat tinggal di daerah Jerman Barat. Pemerintah Jerman Barat tetap berpendirian, bahwa pelaku utama dari pembunuhan Dr. Lev Rebet dan Stefan Bandera adalah pemerintah Soviet.
Semua pengakuan Stashinsky merupakan hantaman bagi pemerintah Rusia. Di mana dunia saat itu, pengakuan Stashinsky benar-benar merupakan penelanjangan rahasia Dinas Rahasia Rusia. Dan dinilainya sebagai gangster politik.
Penahanan Stashinsky tidak berlangsung lama. Akhirnya Stashinsky dibebaskan karena pengakuannya sedikit banyak sangat membantu pemerintah Jerman Barat. Dan demi keamanan diri Stashinsky dari ancaman pembalasan pihak Jerman Timur, ia dan istrinya disembunyikan di satu tempat yang dirahasiakan di wilayah Jerman Barat. Tindakan itu dilakukan untuk menghindari pembalasan dari pihak Jerman Timur. Dan pihak Jerman Timur telah bertekad untuk merebut Stashinsky kembali.
Sudah bisa dibayangkan apa arti merebut kembali. Ancaman dan olok-olok pihak Jerman Timur tidak urung sampai juga ke tempat persembunyian suami istri Stashinsky. Dari tempat persembunyiannya, Stashinsky memberi komentar atas ancaman pihak Jerman Timur sebagai berikut:
“Siapa pun yang berkhianat pada KGB pastilah akan disingkirkan. Sampai saat ini, saya masih tercekam rasa takut dan khawatir. Petaka pasti akan menimpa diri saya dan istri. Sepanjang sisa hidup, saya harus bersedia menyambut kedatangan orang yang menggantikan tugas saya itu.”
Entah kapan, entah di mana, Stashinsky percaya bahwa sekali waktu ia akan berpasangan dengan orang yang tak dikenalnya — mungkin tidak perlu di tangga — dan senjata maut akan digunakan lagi. Kali ini giliran Stashinsky yang harus dibereskan.
Kisah petualangan Stashinsky hanya sampai di sini. Bagaimana nasib Stashinsky selanjutnya, dunia tidak memperbincangkan lagi.
(The Silent Killer)
Baca Juga: Seorang Gadis Dibunuh di Hagenhof
" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799255/perjumpaan-maut-di-tengah-tangga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083504000) } } [7]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3800325" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/05-teka-teki-hacienda-paradisoj-20230711015055.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Beberapa orang hidup di pulau tidak berpenghuni di Ekuador. Suatu hari, salah seorang telah meninggalkan pulau setelah terjadi pertengkaran." ["section"]=> object(stdClass)#164 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/05-teka-teki-hacienda-paradisoj-20230711015055.jpg" ["title"]=> string(27) "Teka-teki Hacienda Paradiso" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-11 13:51:05" ["content"]=> string(30809) "
Intisari Plus - Beberapa orang mengikuti jejak Friedrich Ritter untuk hidup di pulau tidak berpenghuni di Ekuador. Termasuk Baroness Eloise yang membangun Hacienda Paradiso dan menimbulkan kekacauan di pulau. Suatu hari, sang Baroness dilaporkan telah meninggalkan pulau secara diam-diam setelah terjadi pertengkaran.
----------
Kepulauan Galapagos di Samudra Pasifik termasuk wilayah Republik Ekuador. Letaknya terpencil, kira-kira 900 km dari daratan Amerika Selatan, ke arah barat.
Dulu, Republik Ekuador tidak pernah mengurusi kepulauan ini karena dianggap tidak mendatangkan keuntungan bagi kas negara. Salah satu gugusan pulau-pulau itu mempunyai nama yang romantis yaitu Floreana. Pulau inilah yang menjadi pentas peristiwa berikut, peristiwa yang penuh dengan romantisme sekaligus kebiadaban.
Konon, beberapa abad yang lalu Floreana merupakan surga bagi para bajak laut. Mereka bermukim di sana, membawa serta kambing, babi, sejumlah jenis ternak lainnya, anjing, dan kucing. Semua binatang ini tadinya jinak. Tapi setelah para bajak laut meninggalkan Floreana, binatang-binatang itu menjadi satwa liar.
Zaman berlalu dan kisah masa lalu Pulau Floreana berkembang menjadi legenda atau mitos yang memikat banyak orang. Pencari harta karun datang silih berganti, untuk kemudian pergi lagi dengan tangan kosong. Sesekali datang nelayan mencari ikan di perairan sekitar. Kadang-kadang mereka menginap di pulau tersebut beberapa waktu. Tapi selalu mereka pergi lagi dan tidak pernah kembali.
Begitulah pada tahun 1929 Floreana menjadi alam bebas yang tidak dihuni oleh manusia.
Kisah tentang pulau dengan alam yang tidak terjamah itu diketahui oleh seorang dokter gigi di Jerman, bernama Friedrich Ritter. Dokter yang berumur 39 tahun ini tampaknya sudah bosan mengamati mulut para pasiennya untuk menemukan gigi berlubang. Selain itu, baginya masa setelah perang dunia pertama adalah zaman sakit.
Seperti hippie zaman sekarang, sang dokter gigi muak dengan peradaban modern di sekelilingnya. la mendambakan alam murni. Timbul hasratnya untuk menyepi di Pulau Floreana. Tidak ala Robinson Crusoe, seorang diri, melainkan dengan seorang teman. Tentu saja seorang wanita.
Tetapi Nyonya Ritter, istrinya, orang yang realistis dan praktis. la dengan tegas menolak gagasan suaminya. Nyonya Ritter yang gemar menikmati musik dan mode, sama sekali tak tertarik untuk hidup seperti pertapa di pulau terpencil. “Gila rencanamu, Friedrich. Dan jangan mengharapkan aku ikut selama otakku masih waras,” katanya.
Friedrich Ritter tak membantah. Sebab diam-diam ia sudah mencari dan memperoleh calon teman Dora Koerwin adalah seorang pasiennya. Dora berjiwa romantis dan tak keberatan ikut berpetualang dengan lelaki yang sudah beristri itu. Ia sudah menyatakan sanggup mendampingi Friedrich. Maka bercerailah dokter gigi dan istrinya. Keduanya pun menempuh jalan hidup masing-masing.
Friedrich Ritter jadi berangkat dengan kekasihnya. Ini terjadi di tahun 1929. Kedatangan mereka di pelabuhan Ekuador itu membuat orang-orang di sana tercengang. Orang tertawa melihat pakaian lelaki dan perempuan ini. Gaun Dora mirip karung goni, baik bahan maupun potongannya. Pakaian Ritter tidak lebih halus.
Dan yang aneh lagi pada Ritter ialah jika ia tersenyum lebar. Itu bak senyuman baja! Sebab Ritter telah mencabuti semua gigi alaminya dan menggantinya dengan gigi baja tahan karat yang tak bisa aus.
Orang-orang itu menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik “gila” setelah mengetahui bahwa Ritter dan Dora mencari-cari kapal yang bersedia menyeberangkan mereka ke Pulau Floreana.
Tidak ada satu pun pemilik kapal yang bersedia untuk mengantarkan mereka. Malah mereka menasihati Rittfer agar membatalkan niatnya. Alam Floreana terlalu kejam dan tidak akan membiarkan mereka hidup lama. Tapi Ritter bersikeras. Sebab menurut keyakinannya, kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai dengan tegas-tegas membelakangi kebusukan kehidupan modern. Kebahagiaan sejati hanya bisa diperoleh dengan hidup di tengah alam murni.
Akhirnya ada juga orang yang mau menyeberangkan Ritter dan Dora. Dengan imbalan yang lumayan, kapten kapal asal Norwegia itu akan membawa pasangan tersebut ke tempat tujuan. Dan dari waktu ke waktu, sang kapten akan mengirim bahan-bahan makanan yang diperlukan Ritter dan Dora.
Dokter gigi dan kekasihnya sampai di pulau impian. Mereka mendarat di pantai yang penuh batu cadas. Batu cadas ini terbentuk dari aliran lahar yang mengeras dan berasal dari gunung berapi yang saat itu sudah tidak aktif lagi.
Perahu Norwegia meninggalkan pulau dan tinggallah Ritter dan Dora berdua. Di belakang mereka membentang lautan lepas. Di hadapan mereka terhampar hutan semak-semak belukar. Dari pantai, tanah berhutan itu melandai ke atas, ke arah puncak gunung berapi mati yang merupakan titik pusat Pulau Floreana yang berbentuk seperti roda.
Hidup baru dimulai. Ritter dan Dora mencari tempat berlindung sementara. Mereka merangkak ke dalam gua, yang dahulu kala rupanya merupakan tempat persembunyian para bajak laut.
Hari-hari pertama Ritter dan Dora diisi dengan menjelajahi daerah sekitar. Mereka menemukan sebuah mata air yang bersih. Dengan ini persediaan air segar terjamin. Di dekat tempat inilah mereka membangun pondok. Tiangnya dari pohon hidup. Atapnya berupa beberapa lembar seng yang mereka beli di Ekuador. Perabotannya serba primitif. Mereka buat sendiri dari kayu-kayuan yang ditemukan di sekitar sana.
Untuk bisa bertahan hidup, mereka mesti membuka hutan dan bercocok tanam. Begitulah bulan demi bulan berlalu. Siang hari Ritter dan Dora banting tulang, malam hari bermesraan. Sementara itu mereka tidak luput dari gangguan-gangguan. Tikus dan burung menyerbu ladang, namun hewan itu cukup mudah diatasi. Yang lebih merepotkan adalah nyamuk yang gigitannya membuat sekujur badan seperti kudisan.
Tapi pasangan yang keranjingan romantisme itu tetap bertahan. Bekerja, menyanyi, menggemakan syair-syair, dan berkeliaran sesuka hati di tengah kebebasan pulau impian. Kapal Norwegia yang dulu menyeberangkan mereka ke Floreana pun datang lagi. Kapten kapal mengajak Ritter dan Dora pulang, kedua orang ini berterimakasih, namun menolak.
Kapten kembali ke daratan Amerika Selatan. Ceritanya tentang Ritter dan Dora pun segera menyebar. Beberapa kapal secara kebetulan mampir di Floreana dan nakhodanya bertemu dengan Ritter dan Dora. Akibatnya, kisah tentang pasangan romantis ini makin tersebar luas. Muncul tulisan-tulisan tentang mereka dalam surat kabar. Akhirnya kisah Ritter dan Dora muncul dalam koran Jerman, tentu saja dengan ditambahi “bumbu-bumbu”.
Romantisme mereka ternyata mempunyai daya tarik. Dan berangkatlah sepasang suami istri bersama anaknya Iaki-lakinya ke Floreana. Tuan Wittmers dan istrinya mempunyai alasan untuk pergi ke tempat yang terpencil itu. Anak Iaki-laki mereka kesehatannya buruk sekali dan praktis sudah buta.
Di pulau impian itu, pikir Wittmers dan istrinya, siapa tahu anak mereka akan mendapatkan kembali kesehatannya, berkat suasana alam murni. Dan mereka sendiri akan terlepas dari tekanan batin yang diakibatkan oleh keluarga yang kerap membandingkan anak-anak mereka.
Keluarga Wittmers dan anak Iaki-laki mereka yang malang pun tiba di Floreana. Mereka memilih tempat tinggal tidak jauh dari pondok Ritter dan Dora.
Setelah mereka, beberapa rombongan pelancong datang dan pergi. Kebanyakan hanya singgah sebentar. Hanya satu rombongan tinggal cukup lama, yaitu 11 anak muda umur belasan tahun asal Hamburg. Mereka adalah pemuda berandal yang hendak menghindari polisi di negaranya. Mereka berkeliaran telanjang dan hanya makan tumbuh-tumbuhan. Tapi rombongan ini pun tidak kuat bertahan lama. Mereka ribut sendiri satu sama lain, hingga hidup di Floreana terasa seperti neraka. Akhirnya para pemuda itu pulang ke tanah air mereka.
Pendatang baru yang membawa pengaruh pada Floreana adalah seorang petani Norwegia. Namanya Urholt. la datang membawa serta sejumlah orang Ekuador yang diberi upah rendah. Orang bayaran itu bersedia membuka hutan dan kemudian menggarap perkebunan yang diperoleh dari hasil membabat hutan. Urholt suka suasana sepi. Untuk usaha pertaniannya, ia memilih tempat di ujung pulau, jauh dari Ritter dan Dora.
Itulah keadaan Pulau Floreana di tahun 1932, 3 tahun setelah Ritter mengorbankan praktiknya sebagai dokter gigi dan bercerai dari istrinya. Ia hidup serba sederhana dengan kekasihnya di “firdaus” yang banyak nyamuknya.
Tapi musim panas tahun itu membawa perubahan baru. Dora seperti sudah mempunyai firasat. Pada suatu hari yang terik di bulan Agustus 1932, Dora menatap langit. Dilihatnya warna langit berubah menjadi kelam. Dora merasa tercekam.
“Tiba-tiba saya kok merasa takut, entah mengapa,” katanya.
“Ah, pasti ada sebabnya,” jawab Ritter.
“Mungkin ada. Tapi saya sungguh tak tahu mengapa.”
“Kalau begitu, tidak ada alasan untuk takut. Enyahkan perasaanmu itu.”
Malam itu langit memang berawan hitam. Tapi tidak jadi turun hujan. Hari berikutnya Floreana kedatangan perantauan baru, seorang wanita umur 43 tahun. Namanya Baroness Eloise von Wagner-Wehrborn Bousquet. la masih keturunan ningrat. Eloise bertubuh langsing. Untuk usianya, ia masih tampak muda, bersemangat, dan suka petualangan.
Yang melihatnya mendarat pertama kali bukan Ritter, tapi salah satu dari perantauan asal Jerman.
“Jika Nyonya ingin menetap di Floreana, sebaiknya Nyonya menemui Friedrich Ritter. Dialah yang paling lama tinggal di sini.”
Ritter dan Dora sedang makan siang ketika Eloise bertamu. Bagi Ritter, wanita itu seperti makhluk dari dunia lain saja. Sudah begitu lama ia tidak melihat gemerlap peradaban di benua asalnya. Eloise berambut pirang. Senyumannya memperlihatkan deretan gigi yang manis rapi. Sang bekas dokter gigi tentu menghargainya.
Sebagai lelaki, Ritter merasa tertarik pada wanita cantik dengan potongan tubuh yang sempurna ini. Apalagi perawakan yang molek ini, terbungkus dalam pakaian karya salah satu perancang mode terkenal di Eropa.
Sebagai tuan rumah yang baik, Ritter mempersilahkan Eloise mencicipi hidangan. Ajakan ditanggapi dengan luwesnya. Eloise ikut makan, mengobrol, dan bercanda.
Setelah selesai makan, wanita itu mengungkapkan maksudnya yang sebenarnya. la ingin menyulap Floreana menjadi sumber uang.
“Pulau ini dapat menjadi objek pariwisata besar. Lebih menarik daripada tempat mana pun di Eropa atau Amerika,” katanya.
Ritter tercengang mendengar ucapan ini. “Bagaimana caranya?” ia bertanya. Dikiranya wanita itu terlalu banyak berkhayal.
“Karena itulah saya minta pendapat Anda,” kata Eloise sambil tersenyum.
Ritter saat itu juga merasa dunianya terancam — dunia alam murni yang telah dicarinya dengan segala pengorbanan. Jika Floreana menjadi objek turisme, maka hiruk pikuk dunia modern akan masuk di pulau ini.
Beberapa hari kemudian, barang-barang Eloise tiba di Floreana. Barang-barang itu berupa bekal makanan, senjata amunisi, bahan bangunan, dan serombongan orang yang akan melakukan kegiatan pembangunan. Pekerja-pekerja itu terdiri dari beberapa orang Eropa dan sejumlah orang Ekuador.
Kepada para petugas di Pelabuhan Guayaquil, Ekuador, Eloise menyatakan bahwa ia bermaksud membuat Pantai Floreana menjadi tempat tamasya, lengkap dengan kapal pesiar yang bisa disewa. Para turis bisa menginap di pulau. Di berbagai tempat akan didirikan pos-pos pemandangan. Para petugas menanggapi omongan Eloise dengan senyum keraguan.
Tapi wanita itu sudah bulat tekadnya. Sesampainya di Floreana, ia melakukan pekerjaannya. Ia mendirikan bangunan yang mirip los dengan atap kajang di lereng bukit, tidak jauh dari gua tempat persembunyian para bajak laut tempo dulu.
Selesai mendirikan bangunan, Eloise mengundang semua penghuni pulau ke tempat kediamannya itu. Ini semacam selamatan. “Selamat datang di Hacienda Paradiso,” katanya kepada setiap tamu yang masuk.
Sore itu Eloise mengenakan blus pendek berwarna cerah dan celana pendek hitam. Di pinggangnya melingkar sabuk lebar. Sepucuk pistol bergantung pada ikat pinggangnya itu.
Sebagai nyonya rumah, Eloise bertindak amat ramah dan luwes. Tapi terasa benar sikapnya yang mencerminkan kepribadiannya. Seperti seseorang yang bertekad untuk merajalela.
Eloise duduk di samping seorang lelaki muda yang tampan dan berambut pirang. “Ini suami saya,” ia memperkenalkan lelaki yang bernama Alfred Lorenz itu kepada para tamu.
Lorenz sebagai tuan rumah yang tidak menonjol perannya. Ia duduk di samping Eloise sambil dari waktu ke waktu dan menawarinya makanan.
Di tengah-tengah perjamuan, datang seorang Iaki-laki bertubuh besar dan kekar. Eloise memperkenalkannya sebagai sahabatnya. Apa yang dimaksud dengan “sahabat”, itu tidak jelas.
“Maaf, Robert datang terlambat,” kata Eloise kepada para tamunya.
Tapi rupanya Robert Phillipson tidak banyak ambil pusing dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Begitu Robert masuk, air muka Lorenz menjadi masam. Kemurungannya baru hilang ketika Robert Phillopson menyibukkan diri dengan mengurus senjata-senjata api dan memeriksa persediaan amunisi.
Rupanya jamuan sore itu dimaksudkan sebagai pameran kekuatan oleh Eloise, alih-alih sebagai kesempatan untuk membina persahabatan. Wanita itu ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai senjata dan dilindungi oleh semacam pasukan pengawal.
Beberapa hari setelah “malam persahabatan” itu, Eloise mulai beraksi. Hutan-hutan sekitar dijelajahinya. Sepanjang hari bertubi-tubi menggema letusan tembakan senapannya. Babi-babi liar dan binatang lain ditembakinya tanpa perhitungan. Rombongannya bisa makan daging sepuas hati. Tapi sisa perburuannya itu tidak ada yang dibagikannya untuk sesama penghuni pulau. Dibiarkannya membusuk begitu saja.
Pada suatu ketika, Ritter habis kesabarannya. Dia bermaksud menegurnya secara baik-baik. Dipilihnya waktu yang tenang, sore menjelang matahari terbenam. Tapi ketika ia mendekati Hacienda Paradiso, tiba-tiba ia mendengar rentetan tembakan memecah di udara. Lalu ia melihat seekor merpati berhenti terbang dan jatuh ke bawah.
Ritter seperti mendapat peringatan, apa yang akan dihadapinya jika ia meneruskan niatnya menegur Eloise. Wanita ini tidak akan menoleransi kritik dari siapa pun juga. Orang yang tidak menyetujui tindakan-tindakannya, akan dianggapnya sebagai musuh.
“Apa katanya?” tanya Dora ketika Ritter kembali.
“Saya tidak jadi menemuinya,” jawab lelaki itu.
“Kamu takut, ya? Seperti saya merasa ketakutan sehari menjelang kedatangannya di pulau ini,” Dora berkomentar. Ritter diam saja.
Suasana di Floreana semakin menjadi tak menyenangkan. Kiriman-kiriman makanan yang diterima oleh para penghuni lama, seperti Urholt dan Iainnya, tadinya aman saja walau beberapa waktu dibiarkan di pantai. Kini Eloise sering mengambilnya begitu saja setiap ada kiriman yang didaratkan. Dia anggap sebagai miliknya saja.
Pernah pada suatu hari wanita itu tanpa minta izin memakai perahu layar keluarga Wittmers. Tuan Wittmers kemudian datang untuk minta kembali perahu layar itu. Tapi ia malah ditertawakan oleh Eloise di hadapan para pengawalnya.
“Nanti saya kembalikan kalau saya sudah selesai memakainya,” jawab wanita itu seenaknya.
Kedongkolan dan kebencian menjalar di antara para penghuni lama terhadap Eloise dan kelompoknya.
Bulan Desember 1933, setahun setelah sang Baroness tinggal di Floreana, terjadi peristiwa yang lebih mengejutkan lagi. Dua orang lelaki, bernama Kristan Stampa dan Paul Franke, mendarat di pulau itu. Mereka hanya pelancong biasa. Berperahu sebagai sarana untuk olahraga.
Begitu mendarat, mereka dibawa ke hadapan Eloise yang berlagak seperti ratu.
“Pulau ini milikku. Floreana telah saya beli dari pemerintah Ekuador. Jangan utak-atik pulau ini,” ia memperingatkan. Stampa dan Franke terheran-heran mendengar ucapan itu. Mereka lantas mengunjungi Ritter.
“Kapan pulau ini dijual kepada perempuan itu?” mereka bertanya.
“Itu omong kosong!” teriak Ritter. “Jangan hiraukan. Maunya main perintah saja. Tapi tak ada yang mendengarkannya.”
Lalu dua lelaki yang datang dari daratan Amerika Selatan itu berburu. Mereka mendapat seekor babi hutan. Hasil perburuan itu mereka pikul dan akan dibawa ke atas perahu pesiar mereka. Tapi di tengah jalan Stampa dan Franke bertemu dengan Eloise.
“Ayo, tinggalkan babi hutan itu,” perintahnya. Kedua lelaki itu menatapnya sambil berpikir hendak berbuat apa. Eloise tidak memberi kesempatan. Ia langsung melepaskan tembakan. Peluru berdesing di antara kepala dua orang yang memikul babi itu. Tanpa pikir panjang, Stampa dan Franke menjatuhkan babi itu dan segera lari ke perahu.
Baroness Eloise belum mencapai puncak kegiatannya. Kini ia menulis kisah perjuangan apa saja yang dialaminya untuk menaklukkan dan mempertahankan Floreana. Ceritanya tentang Hacienda Paradiso itu dijualnya kepada sebuah majalah di Amerika. Kisah yang banyak mengandung isapan jempol ternyata laku keras. Penerbit majalah tersebut minta kisah lanjutannya.
Floreana muncul lagi dalam berita. Akibatnya orang tertarik untuk mengunjunginya. Sebagian besar adalah orang Amerika dari kota-kota di sepanjang pantai California. Impian Eloise tampaknya mulai terwujud. Floreana menjadi sumber uang.
Penghuni lain di Floreana menggerutu. Ada yang lantas mempunyai niat untuk melaporkan tingkah Eloise kepada yang berwajib di Ekuador. Tapi niat itu akhirnya tidak terwujud.
Tahun berganti dan ketegangan antara para penghuni Floreana meningkat. Salah seorang sahabat dekat Eloise tidak tahan tinggal lebih lama di Hacienda. la pulang ke Eropa. Kini orang yang benar-benar dekat dengan sang Baroness hanya Alfred Lorenz dan Robert Phillipson saja.
Seperti dikisahkan di atas, antara kedua lelaki ini berkecamuk persaingan. Pada suatu ketika Alfred jatuh sakit dan terpaksa berbaring di ranjangnya. Kesempatan baik ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh si jagoan Robert untuk bergaul lebih mesra dengan Eloise.
Setelah Alfred Lorenz sembuh, kedudukannya di sisi Eloise sudah tergeser. Alfred sakit hati dan menantang Robert. Bagi Robert, itu adalah tantangan yang mudah. Alfred dilabraknya sampai pingsan.
Peristiwa ini menyebabkan retaknya hubungan Alfred dengan Robert maupun Eloise.
“Mereka mau membunuh saya,” Lorenz mengadu pada Ritter dan keluarga Wittmers.
“Mengapa kamu tidak pergi dari sini saja, seperti sahabatmu yang lain itu?” Wittmers berkomentar.
“Apa? Pergi? Nanti mereka keenakan!” tukas Lorenz.
“Lalu kamu mau apa?”
“Lihat saja nanti,” jawab Lorenz.
Beberapa hari berlalu. Sampai pada pagi tanggal 29 Maret 1934, Alfred Lorenz berkunjung ke rumah keluarga Wittmers sambil menuntun seekor keledai.
“Ini untuk kalian yang telah begitu baik kepada saya,” kata Lorenz.
Suami istri Wittmers terheran-heran. Sebab keledai itu milik Eloise. “Loh, apakah nanti Baroness-mu tidak akan geram?” mereka bertanya.
“Oh, jangan takut. Dia sudah pergi dari sini. Kemarin ia berangkat bersama Phillipson. Naik kapal pesiar Amerika. Dan mereka tidak akan kembali.”
Ritter tak percaya ketika ia mendengar dari Wittmers tentang keberangkatan Eloise. Mula-mula ia menyangka Wittmers berkelakar. Ternyata tidak.
“Naik apa katanya?” Ritter bertanya. Dijawab, “Katanya naik kapal pesiar Amerika. Berangkatnya kemarin.”
Tempat kediaman Ritter memberi pandangan atas seluruh pantai tempat perahu-perahu biasa berlabuh. Ritter yakin benar bahwa sejak beberapa minggu tak ada kapal satu pun yang datang.
Ritter menjadi curiga. Jangan-jangan Alfred Lorenz telah membunuh Eloise dan Phillipson.
Ritter yang menyepi di Floreana untuk bisa menikmati kemurnian alam itu pun merasa surganya ternoda. la harus lapor kepada yang berwajib di San Christobal, kata suara hati nuraninya. Tapi Ritter tidak mempunyai keberanian untuk pergi melapor kepada polisi. Sebab jangan-jangan Lorenz akan membunuhnya jika Ritter ketahuan melapor. Dan kalau terjadi sesuatu dengan dirinya, siapa yang mesti mengurusi Dora tercinta?
Begitulah, Ritter tetap tidak berbuat apa-apa. Dan hati nuraninya terus tersiksa.
Sikap curiga itu pun mendorong Ritter untuk membuntuti Lorenz. Yang terakhir ini pada suatu sore berkeliaran di bukit dekat Hacienda Paradiso. Ritter membayanginya diam-diam. Lorenz tiap kali menoleh ke kiri kanan, seakan takut kalau ada orang yang melihatnya.
Lalu lelaki itu mendaki bukit yang ujungnya menjorok ke Samudra Pasifik. Laut di kaki bukit itu dalam, banyak ikan hiunya. Lorenz seperti dihipnotis oleh pandangan yang menganga di bawahnya. Batu-batu karang dan ombak yang memukuli akar bukit ada di bawahnya.
Tiba-tiba Lorenz seperti tertawa, tapi suaranya terdengar aneh. Lalu ia berbalik dan lari dari puncak bukit. Ketika berlalu tidak jauh dari tempat persembunyian Ritter, ternyata Lorenz menangis.
Sejak hari itu Lorenz mengeram di rumah keluarga Wittmers, yang menyediakan sebuah kamar untuknya. Setiap hari ia murung.
“Saya tidak tahan lagi tinggal di sini. Saya akan pergi,” keluhnya.
Lorenz bersungguh-sungguh dengan kata-katanya itu. Dua kapal secara berurut mampir di Floreana, tapi Lorenz tidak mau menggunakannya. Rupanya karena nakhoda kedua kapal ini mengenal Baroness Eloise.
Setelah itu lewat sebuah kapal kecil penangkap ikan, namanya Dinamita, berbendera Swedia. Nakhodanya bernama Nuggerud. Ia bersedia menerima Lorenz sebagai penumpang. Dinamita bongkar sauh pada tanggal 22 Juni 1934. Keluarga Wittmers, Ritter, dan Dora berdiri di pantai, untuk melambaikan selamat jalan ketika Lorenz berangkat.
Itulah saat terakhir Alfred Lorenz terlihat oleh para sahabatnya di Pulau Floreana.
“Nah, sekarang enyahkan segala kepusinganmu tentang Alfred. Ia kini sudah pergi,” kata Dora menghibur Ritter yang sejak lama batinnya tersiksa oleh keyakinan bahwa Lorenz seorang pembunuh yang wajib ia laporkan. Tetapi kata-kata Dora tidak menolong.
Bulan November 1934, seorang Amerika bernama William Borthron dengan kapalnya Santa Amaro mampir di Pulau Marchena. Pulau ini terkenal kering kerontang, sama sekali tidak ada sumber airnya. Borthron singgah di pulau itu semata-mata karena terdorong oleh rasa ingin tahu.
Ia menjelajahi pulau dan menemukan dua orang penduduk, tapi sudah menjadi tulang belulang tanpa daging. Keduanya lelaki terbalut dalam pakaian yang sudah compang-camping. Dalam saku pakaian ditemukan kartu identitas. Yang satu berupa paspor Jerman, di dalamnya tercantum nama Alfred Lorenz. Satunya lagi berupa sertifikat, yang dikeluarkan di Stockholm kepada seorang pelaut bernama Nuggerud.
Alfred Lorenz dan Nuggerud ternyata tak pernah mencapai tempat tujuan. Keduanya mati di Pulau Marchena yang memang ditakuti para pelaut karena keadaan laut sekitar dan alamnya yang tanpa air.
Tak jauh dari mayat Lorenz dan Nuggerud ditemukan tulang belulang anjing laut dan kadal. Rupanya kedua lelaki itu, pada hari-hari terakhir hidupnya, terpaksa memenuhi tuntutan perutnya dengan daging binatang. Entah berapa lama mereka bertahan, sebelum kehidupan mereka dengan kejam digerogoti perlahan-lahan oleh kelaparan dan kekeringan.
William Borthron merasa tidak bisa membiarkan begitu saja keduanya. la mengangkat kedua mayat ke dalam perahunya dan berlayar kembali ke Ekuador. la lapor kepada yang berwajib.
Polisi membongkar dokumen-dokumennya. Nama Alfred Lorenz ternyata pernah disebut dalam sebuah laporan seorang wanita bernama Baroness Eloise von Wagner-Wehrborn Bousquet. Laporan tersebut menggugat wanita ini yang bertingkah seperti ratu di Floreana.
Berangkatlah serombongan polisi ke Floreana untuk mengadakan penyelidikan di tempat.
Setibanya di Floreana, polisi langsung menghubungi Ritter. Orang ini ternyata sudah parah kesehatannya. Namun polisi berusaha sebisanya mengorek keterangan dari saksi yang mengenal para penghuni Hacienda Paradiso.
Selesai mewawancara, polisi berkata, “Sebaiknya Tuan saya carikan dokter.”
“Ah, sudahlah. Sudah terlambat,” jawab Ritter. Tapi ia tampak seperti terlepas dari beban yang berat.
Setelah polisi pergi, Ritter berkata kepada Dora, “Lorenz menyangka bisa lolos. Tapi ternyata ia harus menebus kejahatannya dengan caranya sendiri. Untuk mengusut semuanya sudah terlambat. Teka-teki Hacienda tak bisa lagi dipecahkan.”
Beberapa hari kemudian Ritter meninggal. Sebelum itu ia berpesan kepada kekasihnya agar pulang ke Jerman. “Jangan tinggal di sini. Tempat ini sudah membunuhku,” katanya.
Setelah mengubur jenazah Friedrich Ritter, Dora Koerwin pulang ke negaranya. Dan di sana ia menuliskan pengalamannya selama 5 tahun merantau di pulau impian.
Salah satu kalimat dalam tulisan kenangan itu berbunyi sebagai berikut, “Hilangnya Eloise dan Phillipson sesuai dengan sejarah tempat ini, di mana dahulu kala para budak belian dan tahanan dengan kejamnya dihukum mati. Floreana sungguh tempat yang mengerikan.”
Baca Juga: Pacarnya Tetap Menunggu
" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553800325/teka-teki-hacienda-paradiso" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083465000) } } [8]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3800299" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/07-hari-itu-jack-dan-billy-bayar-20230711014604.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Selama beberapa hari, Jack dan Billy tidak muncul di bar seperti biasanya. Dua sahabat itu terlibat dalam kasus pembunuhan seorang gadis." ["section"]=> object(stdClass)#168 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/07-hari-itu-jack-dan-billy-bayar-20230711014604.jpg" ["title"]=> string(36) "Hari Itu Jack dan Billy Bayar Kontan" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-11 13:46:54" ["content"]=> string(25490) "
Intisari Plus - Jack dan Billy menjadi pelanggan setia bar Abermale. Namun selama beberapa hari, keduanya tidak muncul di bar seperti biasanya. Alih-alih bersenang-senang di bar, dua sahabat itu terlibat dalam kasus pembunuhan seorang gadis.
----------
Hotel Abermale di Kota Eastbourne dilengkapi dengan sebuah bar yang lumayan luasnya. Tidak pernah sepi. Hiasannya termasuk ketinggalan zaman tetapi tidak mengurangi semaraknya suasana. Seperangkat alat musik tersedia. Dan memang setiap malam diadakan sebuah konser kecil. Bar girl cantik dan muda. Salah satunya adalah Dorothy Ducker. Ia bisa dikatakan yang paling cantik dan genit. Banyak pelanggan bar senang menggodanya. Tidak sedikit yang berusaha membawanya pulang atau sekadar nonton film.
Dari puluhan pelanggan setia bar Abermale, Dorothy punya kesan tersendiri kepada dua lelaki yang tidak pernah absen setiap sore. Seorang pemuda jangkung dan seorang lelaki kurus. Dorothy hanya mengenal kedua lelaki itu sebagai Jack dan Billy.
Ada satu keanehan dari Jack dan Billy. Mereka tidak bisa disebut pelanggan, pasalnya keduanya selalu berusaha mendapatkan kesempatan untuk minum dengan gratis. Dengan bujukan dan cumbu rayunya, Jack dan Billy berulang kali berhasil minum dengan gratis. Sebagai tanda terima kasihnya kepada bar girl yang berbaik hati kepadanya, Jack dan Billy menghadiahkan colekan di pipi.
Segala tindak tanduk Jack dan Billy tidak pernah lolos dari perhatian Dorothy. Meski sifatnya yang aneh, Jack termasuk tampan. Namun pakaiannya tidak pernah rapi. Billy murah senyum dan gayanya persis seperti pengunjung bar yang berduit.
Berulang kali Jack dan Billy membujuk Dorothy untuk diajak nonton film. Tetapi Dorothy selalu menolaknya. Ajakan mereka hanya memancing hatinya untuk tertawa. Bagaimana bisa mengajak nonton, kalau minum saja cari yang gratis? Tetapi Dorothy tidak pernah menyakiti hati mereka. Malahan Dorothy dan kedua pria itu bisa dikatakan bersahabat
Kalau sampai larut malam Jack dan Billy belum muncul, mata Dorothy nyalang mencari-cari di antara pengunjung-pengunjung bar. Hatinya merasa gembira kalau dia bisa melihat tampang keduanya. Jack yang pakaiannya tak pernah rapi, Billy yang selalu bergaya dengan tongkat kesayangannya yang berhiaskan ukiran kepala anjing buldog di ujungnya. Dua wajah yang bisa membuat hati Dorothy sedikit lepas dari kejemuan. Ia jenuh dengan suasana bar yang penuh dengan keramahan dan kebaikan hati yang semu.
Suatu senja di tengah bulan Agustus 1920, seperti biasanya Jack dan Billy muncul di bar Abermale. Seperti biasanya pula, pakaiannya kelewat dekil. Tetapi semuanya tidak mengurangi keramahan Dorothy. Dengan nada bersahabat, Dorothy menyambutnya.
“Hei, kau kotor sekali Billy!”
“Yah, beginilah saya,” jawab Billy sambil mengangkat kakinya. Ia seakan-akan ingin memperlihatkan bahwa tidak hanya pakaiannya yang kotor, tetapi juga sepatunya. Semuanya kotor.
“Yah, beginilah nasib saya. Seorang teman mendorong saya ke parit. Saya terjerembab. Pakaian-pakaian saya yang lain belum kering.”
Suatu kejujuran yang menyegarkan hati Dorothy. Senja itu Jack dan Billy berhasil membuat hati Dorothy gembira. Sambil menggoyang-goyangkan tongkat kesayangan, Billy membuat banyolan-banyolan segar.
“Kau punya biskuit, Dorothy?”
“Kau lapar?” Tukas Dorothy.
“Bukan untuk saya. Untuk anjing saya. Saya bayar nanti.”
Dorothy tertawa lebar. Begitu pula Jack dan Billy. Dan lain dari kebiasaannya, senja itu Billy membayar semua minumannya dengan uang kontan. Malahan sebelum pulang, ia membeli beberapa pak rokok. Semuanya kontan. Sebelum meninggalkan bar, Billy masih berusaha mengajak nonton film. Dorothy tersenyum. Dengan sedikit mengangkat dada, Billy menepuk-nepuk saku bajunya. Kantongnya padat.
Malam sudah semakin larut ketika mereka berdua meninggalkan bar. Hari itu hari Kamis tanggal 19 Agustus 1920.
Lebih dari seminggu Jack dan Billy tidak muncul di bar. Dorothy merasa kehilangan sahabatnya itu. Lebih dari seminggu pula Dorothy tidak mengecap kesegaran dari banyolan dan sikap Jack serta Billy yang bisa menyenangkan hatinya.
Suatu hari Dorothy berhasil berjumpa dengan sahabatnya itu di jalan. Wajah Dorothy memancarkan kecerahan. Tetapi sebaliknya dengan Jack dan Billy. Wajah mereka kecut. Jack yang baru berusia 19 tahun itu kelihatan 10 tahun lebih tua. Billy yang baru berusia 29 tahun juga kelihatan tua.
“Hei, lama kamu tidak muncul. Ke mana saja?” Sapa Dorothy. “Sudah bosan ya?”
“Ah, kamu tidak dengar bahwa saya dan Billy dituduh terlibat dalam soal pembunuhan di Crumbles?”
“Oh ya?”
Seketika Dorothy teringat. 2 hari yang lalu ada dua orang langganan bar juga membicarakan tentang mayat seorang gadis yang diberitakan ditemukan di Crumbles.
Dari pembicaraan selanjutnya, semakin jelaslah masalah pembunuhan Crumbles bagi Dorothy. Korban pembunuhan adalah seorang gadis cantik yang berusia 17 tahun. Seorang juri ketik dari London yang sedang berlibur. Namanya Irene Munro.
Hari Jumat tanggal 20 Agustus 1920 mayat Irene Munro ditemukan. Korban meninggal dunia dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Pukulan benda keras memecahkan batok kepalanya. Dokter mengira akibat pukulan benda keras yang bulat. Mayat Irene Munro ditemukan terkubur, sebagian tubuhnya berada di bawah gundukan pasir dan kerikil. Bagian lain dari tubuhnya mencuat dari gundukan. Mungkin karena tiupan angin laut, mungkin juga karena hujan. Gundukan itu ditemukan di pantai yang sempit antara Eastbourne dan Pevensey.
Apa yang dikatakan Billy kepada Dorothy memang benar. Billy dan Jack ditahan polisi dengan tuduhan terlibat dalam pembunuhan di Crumbles. Polisi menangkap Jack dan Billy berdasarkan keterangan seorang pekerja di dekat daerah ditemukannya mayat Irene Munro. Pekerja itu bernama Wells. Sehari sebelum ditemukan mayat itu, Wells melihat dua lelaki mengikuti seorang gadis berjalan menuju arah Crumbles. Seorang lelaki jangkung, pakaian dekil dan seorang lelaki kurus berusia sekitar 30 tahun. Waktu itu Wells sedang iseng berjalan-jalan dengan seorang temannya. Sewaktu mereka berpapasan, Wells merasa tertarik melihat tongkat yang dibawa lelaki kurus. Tertarik pada ukiran di ujung tongkat.
Polisi menaruh perhatian pada keterangan Wells. Polisi menduga pastilah pembunuh Irene Munro adalah orang sekitar daerah Crumbles saja. Akhirnya Wells diajak polisi mondar-mandir di sekitar Crumbles. Tidak dilewatkan pula jalan-jalan di pantai dekat Hotel Abermale. Memang sial nasib Jack dan Billy. Sewaktu mereka sedang keluar dari halaman hotel, di kejauhan Wells dan polisi melihatnya. Spontan Wells mengatakan merekalah yang ia lihat menguntit seorang gadis di Crumbles. Segera Jack dan Billy ditahan untuk penyelidikan.
Di kantor polisi Eastbourne Jack dan Billy diinterogasi secara terpisah. Mereka tidak menyangkal bahwa pada siang hari tanggal 19 Agustus 1920 mereka berdua berjalan ke arah Crumbles. Tetapi mereka bertujuan ke Pevensey. Untuk memperkuat keterangannya, Jack dan Billy berkata bahwa di Pevensey mereka bertemu dengan seorang gadis, yaitu Nona Baxter. Mereka jalan-jalan bersama dan akhirnya kembali ke Eastbourne.
Polisi tidak bertindak gegabah. Maka demi lancarnya penyelidikan, Nona Baxter juga dimintai keterangan. Di hadapan penegak hukum, Nyonya Baxter menyangkal kenal dan bertemu dengan Jack dan Billy di Pevensey.
Seorang gadis bersama dengan pemuda yang belum begitu dikenalnya, mungkin hanya iseng belaka. Dan sekarang kedua pemuda yang belum lama dikenalnya itu berurusan dengan polisi, maka wajarlah kalau si gadis menyangkal pertemuannya. Keduanya bukan saudara, juga bukan sahabatnya.
Polisi tidak banyak mendapatkan keterangan dari Nona Baxter. Bukti-bukti yang memastikan kalau Jack dan Billy yang membunuh Irene Munro juga masih belum lengkap. Masih samar-samar. Sejauh itu, polisi hanya bisa mencurigai Jack dan Billy. 2 hari Jack, Billy, dan Nona Baxter ditahan. Tetapi akhirnya dilepaskan kembali.
Suatu hal yang terlalu tidak menyenangkan bagi seorang ibu adalah menatap mayat anaknya. Ibu Irene Munro yang datang dari London hanya bisa menangis pilu menatap mayat Irene Munro. Terakhir kalinya ibu Irene melihat putrinya adalah hari Sabtu tanggal 14 Agustus 1920. Hari itu Irene minta izin untuk berlibur di Skotlandia. Tetapi entah mengapa akhirnya Irene Munro sampai di Crumbles. Dan sekarang sudah menjadi mayat yang terbujur di hadapan mata ibunya.
Mayat Irene Munro dimakamkan di Eastbourne Langeney Cemetery. Seorang janda tua tertatih-tatih mengiringi peti mati anaknya. Ibu Irene tidak habis pikir mengapa anaknya berkeliaran sampai di Crumbles, mengapa ada orang yang membunuhnya.
Di Eastbourne, Irene Munro tinggal di sebuah penginapan di pinggiran pantai antara Eastbourne dan Crumbles. Eastbourne hanyalah kota kecil. Tidak banyak hotel, tetapi tidak sedikit pengunjung pantai Crumbles yang berusaha untuk bermalam. Mungkin Irene tidak mendapatkan kamar di hotel, sebab belum memesan tempat lebih dahulu. Maka terpaksa menumpang pada sebuah penginapan.
Pemilik penginapan Irene Munro adalah keluarga Ada Wynniatt. Beberapa kamar di rumah Ada Wynniatt disediakan untuk mereka yang kehabisan kamar di hotel. Untuk menginap seminggu, Irene Munro harus membayar 30 shilling untuk sebuah kamar dan sekali makan. Irene Munro telah membayar uang panjar £ 1.
Sebagai seorang gadis yang sedang tumbuh, Irene Munro bisa dibilang beruntung. Wajah yang cantik, tubuh yang padat berisi, rambut hitam legam dan panjang. Tetapi dari pandangan sepintas, orang pasti akan mendapat kesan bahwa Irene Munro lebih matang dari pada usia sebenarnya, 17 tahun.
Menurut keterangan Ada Wynniatt, pada hari naas itu Irene Munro mengenakan mantel warna hijau terang. Pasti orang yang berjumpa dengannya akan menolehkan pandangan, menatap sejenak kepadanya. Warna hijau yang benar-benar mencolok. Orang-orang di sekitar Crumbles sudah lebih dari 2 hari melihat Irene Munro berjalan di sore hari dengan mengenakan mantel mencolok itu.
Hari Kamis tanggal 19 Agustus, Irene Munro meninggalkan penginapan pagi-pagi sekali. Sekitar tengah hari baru kembali ke penginapan. Sekitar 3 tiga siang, ia pergi lagi. Seorang pekerja yang kebetulan sedang mengapur dinding luar penginapan di mana Irene menumpang, melihat Irene berjalan menuju ke pantai. Tidak lebih dari 10 menit kemudian, pekerja yang sedang mengapur itu terkejut mendengar tawa ria berderai-derai. Jelas suara tawa ria seorang gadis. Dari ketinggian, pekerja itu melihat Irene Munro kembali ke penginapannya lagi. Tetapi sekarang tidak sendirian. Ada dua pemuda mengiringinya. Seorang di sebelah kanan Irene Munro dan seorang lagi di sebelah kiri. Hanya sebentar saja kedua pemuda itu menunggu di halaman. Kemudian kelihatan mereka bertiga meninggalkan penginapan dan berjalan menuju Crumbles. Pekerja itu tersenyum melihatnya. Mereka benar-benar gembira. Irene Munro tertawa ria.
Sampai senja hari Irene Munro belum kembali ke penginapan. Juga sewaktu Wynniatt berkeliling memeriksa pintu-pintu kamar di tengah malam, Irene Munro belum juga kembali. Tetapi hati Wynniatt segera tenang kembali. Irene Munro pernah mengatakan mempunyai teman di Brington, 35 km dari Eastbourne. Yah, mungkin Irene Munro bermalam di rumah temannya.
Hari Jumat, Irene juga belum muncul kembali. Sampai hari Sabtu, Irene tidak pulang. Wynniatt pun jadi khawatir. Kekhawatirannya memuncak sewaktu sore harinya suaminya datang membawa surat kabar yang memberitakan penemuan mayat seorang gadis di Crumbles.
Kegundahan hati tak tertahankan lagi. Dengan segera suami istri Wynniatt menuju kantor polisi dan melaporkan lenyapnya salah seorang dari penghuni kamar penginapannya. Untuk menghilangkan kegundahannya, polisi tidak keberatan sewaktu mereka mengemukakan keinginannya untuk melihat mayat seorang gadis yang diberitakan surat kabar. Mereka berdua diajak masuk ke kamar jenazah.
Sewaktu kain penutup mayat di bagian atas disingkapkan, sukar untuk mengenali siapa mayat itu. Hampir seluruh bagian kepala dan wajahnya tidak berbentuk lagi. Rusak sama sekali. Perlahan-lahan kain semakin ditarik menurun. Wynniatt hampir pingsan. Mantel warna hijau terang. Mayat itu mengenakan mantel warna hijau terang. Tidak salah lagi, itu pastilah Irene yang telah menjadi mayat.
Penemu mayat Irene Munro adalah seorang pemuda cilik bernama William Weller, 13 tahun, anak seorang pegawai pos di Lewisham. Hari itu ia bersama ibunya sedang berekreasi di pantai Crumbles. Selagi William cilik berlari-lari sambil menyepak-nyepak gundukan pasir, kaki kanannya terantuk benda keras. Dan gundukan pasir dan kerikil longsor. Apa yang dilihatnya? Sepotong kaki tanpa sepatu. Sepotong kaki berkaos hitam. Seketika William Weller lari ketakutan.
Menurut penyelidikan medis, korban meninggal dunia 24 jam yang lalu. Gerahamnya copot dan hampir semua giginya mencuat keluar. Irene mendapatkan hantaman keras yang menyebabkan wajahnya jadi berantakan.
Tidak ada tanda-tanda perkosaan. Motif pembunuhan mungkin hanya perampokan biasa. Korban melawan, maka terpaksa dihabisi nyawanya. Nyonya Wynniatt memberi keterangan pada polisi. Katanya, sewaktu meninggalkan penginapan, Irene membawa tas kecil dari sutra biru. Tas tersebut tidak ditemukan bersama mayat. Di dekat mayat juga ditemukan sebongkah batu yang berlumuran darah yang mengering. Lengkaplah sudah dugaan polisi. Setelah korban dihantam dengan benda keras, wajahnya masih dihunjam dengan sebongkah batu. Tidak ayal lagi, remuk sudah wajah Irene.
Sampai sebulan lebih setelah penemuan mayat Irene, siapa pembunuhnya belum ada kepastian. Tetapi polisi telah menduga bahwa pelakunya bukanlah pembunuh yang teliti atau bahkan pembunuh profesional. Malahan dapat dikatakan pelaku adalah pembunuh yang tolol. Korban hanya dikubur dengan digunduki pasir dan batu kerikil. Seandainya pembunuh mau berpikir sedikit saja, dan menguburnya agak dalam sedikit, tidak pernah akan ditemukan lagi mayat Irene. Daerah Crumbles benar-benar daerah yang sepi, tanahnya tidak rata, penuh dengan pasir dan batu kerikil.
Pembunuh Irene bisa lega dan merasa bebas, sebab polisi belum mendapatkan bukti-bukti dan kesaksian. Belum ada juga kesaksian lain yang memberatkan dakwaan pada Jack dan Billy. Polisi belum mendapatkan bukti dan keterangan lagi.
Tetapi masa lega bagi pembunuh akhirnya berakhir juga. Tanggal 2 September 1920, polisi memperoleh keterangan yang sangat berarti. Seorang awak kapal di East Cowes melapor pada polisi setelah membaca berita pembunuhan di Crumbles. la merasa kenal dan pernah melihat wajah Irene Munro yang terpampang di surat kabar. Awak kapal itu bernama William Putland.
Dalam keterangannya, William Putland mengemukakan pengakuannya. Waktu itu, ia bersama Wells memang menguntit Irene Munro. Tetapi tidak berani menggodanya, karena ada dua pemuda pengawal Irene. Irene dengan kedua pemudanya menuju arah Crumbles.
Pengakuan awak kapal William Putland memperkuat kesaksian Wells. Tidak ada kesaksian yang lebih berarti daripada kesaksian William Putland. Untuk kedua kalinya dan untuk terakhir kalinya, Jack dan Billy ditahan lagi. Tuduhannya tunggal. Melakukan pembunuhan. Jack dan Billy sama sekali menolak dan tidak mengakui, bahwa pada tanggal 19 Agustus 1920 berada di Crumbles. Mereka juga menyangkal bertemu Irene.
Selama penginterogasian yang terpisah, baik Jack maupun Billy menolak tuduhan. Malahan dengan gencar, Billy bersumpah jika ia bersedia ditembak mati bila ia benar-benar melakukan pembunuhan terhadap Irene Munro.
Perkara pembunuhan Irene Munro mulai disidangkan tanggal 13 Desember 1920 di Sussex Assizes. Sebagai terdakwa diajukan Jack dan Billy. Billy dibela oleh seorang pembela paling beken waktu itu, Sir Edward Marshall. Tetapi pembela kesohor itu tak bisa berbuat banyak untuk Billy. Bukti dan kesaksian-kesaksian bertumpuk. Pengadilan berlangsung 5 hari dan akhirnya menghasilkan keputusan tunggal. Hukuman mati bagi Jack dan Billy.
Dengan dijatuhkannya vonis hukuman mati kepada Jack dan Billy, bukan berarti masalah Crumbles sudah selesai. Hari sedih menunggu pelaksanaan hukuman merupakan waktu luang bagi Jack dan Billy untuk menyusun pembelaan. Baik Jack maupun Billy menulis pengakuan secara panjang lebar apa yang dilihatnya dan apa yang terjadi sebenarnya di Crumbles. Semua berusaha membebaskan dirinya sendiri dan saling menjatuhkan pihak lain. Persahabatan berakhir. Satu sama lain saling menuduh. Semua mencari selamat sendiri.
Pengakuan terhukum secara tertulis ternyata cukup menarik perhatian para penegak hukum. Perkara pembunuhan dibawa naik banding. Dan kedua terdakwa dimintai kesaksiannya untuk perkara masing-masing. Perkara Crumbles kembali menjadi pembicaraan umum. Masyarakat terguncang ingin mengetahui siapa pembunuh Irene yang sebenarnya. Jack? Billy? Atau keduanya? Jack dihadapkan sebagai saksi untuk perkara Billy. Billy dihadapkan sebagai saksi untuk perkara Jack. Pengakuan dari kedua terdakwa cukup menarik perhatian sidang.
Risiko dari suatu kerja sama adalah salah satu pihak pasti ingin memiliki secara mutlak dari hasil yang telah diperoleh berdua. Jack dan Billy “bekerja sama” dan berhasil menggaet Irene Munro di Crumbles. Tetapi dasar lelaki. Baik Jack maupun Billy sama-sama ingin “memiliki” Irene Munro. Pengakuan dan cerita Jack jelas memberatkan Billy. Jack mendapat kesempatan pertama. Sebagai saksi untuk perkara Billy, dia mulai mengutarakan kesaksiannya.
Waktu itu suasana Crumbles sepi. Mereka berdua menguntit seorang gadis cantik yang berjalan sendirian. Terjalinlah hubungan pertemanan dengan gadis cantik itu. Irene Munro itu asyik dan menyenangkan. Setelah berhasil membina suasana yang intim dan mesra, Billy “menyindir” Jack. Billy ingin berduaan saja dengan Irene Munro. Berarti Jack harus menyingkir lebih dulu. Jack menuruti keinginan Billy. Menyingkir dan memberi kesempatan Billy berduaan dengan Irene Munro.
“Setelah lebih dari setengah jam,” kata Jack, “saya melihat Billy bergegas menyusul saya. Langsung saya tanya di mana Irene. Dia menjawab bahwa Irene sudah pulang. Selanjutnya ia bilang, Irene gadis yang cerewet dan mengecewakan, sehingga Billy tidak bisa menahan rasa jengkelnya. Irene ditampar. Walau saya kecewa tidak bisa berduaan dengan Irene, tetapi saya diam saja. Billy mengancam agar jangan menceritakan kejadian itu pada istrinya.” Berdasarkan pengakuan Jack, mungkinlah yang membunuh Irene Munro adalah Billy. Tetapi benarkah pengakuan Jack tersebut?
Billy berkesempatan juga mengemukakan “ceritanya”. Tentu saja pengakuan Billy bertujuan untuk meringankan dirinya sendiri dan menjatuhkan Jack.
Awal pengakuannya, Billy berkisah bahwa Jack yang pertama mendapatkan giliran berduaan dengan Irene Munro. Billy pergi menyingkir. Tetapi matanya tetap memandang Jack dan Irene Munro yang mulai asyik terlibat dalam pembicaraan.
“Dari kejauhan saya lihat Jack berbicara dengan Irene. Tetapi entah mengapa, saya lihat tangan Irene Munro melayang dan mendarat di wajah Jack. Jack terkejut sekali. Tetapi dasar Jack, cepat pula ia ganti menampar Irene Munro. Malahan tidak hanya sekali. Irene Munro dipukulnya berkali-kali. Irene pingsan. Saya lihat Jack ketakutan sekali. Dia khawatir jika Irene Munro setelah sadar akan lapor polisi. Saya tidak melihat kejadian selanjutnya. Saya tidak tahan melihat kekejaman Jack. Saya sungguh tidak mengira kalau Jack bisa sekejam itu. Tidak ingin melihat lagi, maka saya pergi meninggalkan Jack dan Irene Munro.”
Kemana Billy pergi setelah melihat Irene Munro pingsan dipukul Jack? Billy punya kisah baru, kisah yang tidak lepas dari sifatnya yang menyukai keisengan dan lelucon.
“Saya pergi ke kolam renang. Hati saya kacau. Tetapi entah mengapa saya ingin berenang. Tetapi memang saya mudah berubah keinginan. Sewaktu akan ganti pakaian, saya melihat ada kamar ganti pakaian yang terbuka sedikit. Saya lihat ada celana panjang tergantung. Seketika selera pun beralih pada uang. Iseng-iseng saya mencoba memeriksa isi kantong celana itu. Yah, saya mendapatkan uang.”
Yah, memang harus ditebak apa maksud Billy mengemukakan kejahatan baru yaitu mencuri uang di kolam renang. Benarkah Billy waktu itu pergi ke kolam renang? Polisi juga mencari keterangan dari penjaga kolam renang. Hari Kari Kamis tanggal 19 Agustus tidak ada orang yang melaporkan kehilangan uang di saku celananya. Memang ada orang lapor kehilangan uang, tetapi itu pada tanggal 14 Agustus.
Pengadilan ternyata tidak begitu memberi perhatian pada pengakuan Jack dan Billy yang bernada mencari kebebasan diri sendiri dan menjatuhkan pihak lawan.
Lord Reading, hakim ketua, menilai pengakuan dari Jack dan Billy hanyalah sebagai cetusan keputusasaan dan menghasilkan kepastian bahwa semua cerita-cerita itu tidak benar adanya.
Putusan pengadilan adalah hukuman gantung. Dan hukuman dilaksanakan pada tanggal 4 Februari 1921.
Pengadilan di awal abad 20 begitu sederhananya. Sampai pelaksanaan hukuman mati bagi Jack dan Billy, masyarakat dan juga para penegak hukum belum memperoleh kepastian mutlak, siapa sebenarnya pembunuh Irene Munro. Jack atau Billy? Atau keduanya yang memang melakukan pembunuhan?
Masyarakat menilai bahwa kedua lelaki tersebut penjahat terbesar waktu itu. Pembunuh seorang gadis berusia 17 tahun. Motif pembunuhan pun belum jelas. Tidak ada tanda pemerkosaan. Yah, mungkin keduanya itu ingin mengenyam kenikmatan dari Irene Munro, tetapi Irene Munro menolaknya. Maka dibunuhnya.
Mungkinkah motif perampokan? Kalau itu yang menjadi motifnya, jelaslah Jack dan Billy keliru memilih korban. Sebab beberapa jam sebelum pembunuhan terjadi, Irene Munro baru saja mengirim surat dan juga uang kepada ibunya. Waktu dibunuh, Irene Munro hanya memiliki uang £ 2 dan 15 shilling. Tetapi kiranya uang sebanyak itu cukup untuk membayar minuman dan membeli beberapa pak rokok di bar Abermale.
Baca Juga: Nona Berger Dibunuh dengan Sihir?
" ["url"]=> string(81) "https://plus.intisari.grid.id/read/553800299/hari-itu-jack-dan-billy-bayar-kontan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083214000) } } [9]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3760931" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/26/renate-ditemukan-di-dalam-karung-20230526102942.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(118) "Seorang anak dilaporkan hilang. Setelah pencarian dilakukan, anak berusia 6 tahun itu ditemukan tewas di dalam karung." ["section"]=> object(stdClass)#172 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/26/renate-ditemukan-di-dalam-karung-20230526102942.jpg" ["title"]=> string(32) "Renate Ditemukan di Dalam Karung" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-26 10:30:10" ["content"]=> string(16247) "
Intisari Plus - Pasangan suami istri Waltraut B melaporkan putri mereka yang hilang. Setelah pencarian dilakukan, anak berusia 6 tahun itu ditemukan tewas di dalam karung. Siapa yang tega membunuh anak kecil itu?
---------------
Pada tanggal 29 Oktober 1952, kira-kira pukul 22.00 datanglah Nyonya Waltraut B ditemani oleh suaminya ke kantor polisi di H.N. Mereka melaporkan bahwa anaknya yang berusia 6 tahun bernama Renate telah hilang. Anak perempuan itu pagi-pagi pergi ke sekolah dan meninggalkan sekolah pada pukul 13.00. la masih dilihat oleh penjual ikan di depan rumah orang tuanya pada pukul 14.00. Kira-kira pukul 17.00 Nyonya B kembali dari kota sambil membonceng anak lelakinya yang berusia 2,5 tahun dengan sepeda. Sesudah suaminya kembali dari tempat kerja, mereka mencari Renate di rumah tetangga-tetangga. Tetapi si anak tidak ditemukan.
Mulailah pencarian diadakan. Semua kantor polisi diberitahu lewat telepon. Orang tua si anak diminta pulang.
Pada tanggal 30 Oktober 1952 mobil-mobil polisi yang dilengkapi dengan pengeras suara, berkeliling mengumumkan pencarian Renate serta ciri-ciri anak itu. Pada waktu itu juga beratus-ratus polisi dikerahkan untuk memeriksa daerah sekitar tempat tinggal anak itu.
Pada pukul 17.00 mayat anak tadi ditemukan di dalam karung yang diletakkan tegak pada sebuah pohon. Mayat diikat dengan tali mulai dari leher ke pergelangan tangan, terus ke pergelangan kaki. Di dalam karung, di bawah mayat terdapat tas sekolah dan mantel si anak. Mayat dimasukkan ke karung dengan kaki dulu sehingga kepalanya berada di atas. Kepala ini ditutupi dengan tali-temali putih.
Tempat mayat ditemukan terletak kira-kira 400 meter dari rumah orang tuanya dan hanya dipisahkan oleh sebuah ladang tembakau.
Karung dan pakaian mayat kering meskipun pada tanggal 29 Oktober 1952 turun hujan hingga pukul 23.58. Dapat diambil kesimpulan bahwa mayat diletakkan di tempat tadi sesudah hujan berhenti.
Karena noda-noda pada mayat terlihat jelas di sebelah kiri badan dan tanda-tanda bekas berbaring juga jelas, dapat ditentukan bahwa mayat diletakkan 4 hingga 6 jam di dalam ruangan tertutup sebelum dimasukkan ke dalam karung dan diletakkan di tempat penemuan.
Anak itu tewas karena dicekik. Tidak ditemukan ciri-ciri perkosaan dan juga tidak ada tanda-tanda bahwa anak itu cedera. Pakaiannya tetap rapi. Tidak didapati bekas-bekas sperma.
Tuduhan pertama dijatuhkan kepada seorang tidak dikenal, yang memakai sepeda bercat biru, yang berada tidak jauh dari tempat penemuan mayat.
Pencarian dengan bantuan media massa berhasil. Lelaki tadi melapor kepada polisi dan menerangkan mengapa ia pada tanggal 29 Oktober 1952 berada di dekat tempat mayat. Katanya sepulang dari tempat kerja ia ingin buang air kecil dan mencari tempat yang cocok. Alibinya tidak dapat digugat dan lelaki itu dibebaskan dari tuduhan.
Waktu guru Renate menanyakan kepada murid-muridnya apakah ada yang melihat Renate. Seorang bocah berumur 6 tahun berkata, “Saya melihat Renate hari ini (30 Oktober 1952), pukul 10 pagi di depan toko makanan dan minuman. Seorang laki-laki bersepeda membawanya pergi.”
Keterangan ini pasti tidak benar, sebab pada waktu itu Renate sudah mati. Bocah yang memberi keterangan memang agak bodoh dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara. Saat itu ia melihat kesempatan untuk menonjolkan diri dan oleh karena itu ia berbohong. Di hadapan ayah ibunya ia mengaku bahwa yang dikatakannya tentang Renate kepada pak guru sama sekali tidak benar.
Sejumlah 248 orang yang pernah dihukum karena memerkosa pun diperiksa, tetapi tidak memberi hasil yang memuaskan.
Nyonya B lalu menuduh ayah Renate yang tinggal di Düsseldorf sebagai orang yang melakukan kejahatan ini. Renate adalah anak di luar pernikahan yang dibawa si ibu ketika ia menikah dengan pria lain. Si ibu mendasarkan tuduhannya pada fakta bahwa ayah Renate hanya membayar 8 mark setiap bulannya untuk hidup Renate dan pembayaran ini tidak diberikan lagi sejak 6 bulan yang lalu.
Ayah Renate didengar keterangannya akan tetapi dapat memberikan alibi yang tidak dapat disangsikan. Pada waktu didengar keterangannya ini, ia menceritakan kepada polisi bahwa ia pernah meminta kepada Nyonya B agar Renate dijaga lebih baik, jangan sampai masuk ke rawa. Tetapi Nyonya B malah menjawab, “Dengan demikian si keparat itu akan lenyap.”
Sebelum itu, polisi mencari keterangan tentang ayah Renate yang sebenarnya di jawatan anak-anak yatim piatu. Seorang pegawai mengatakan bahwa Nyonya B yang sering muncul pada saat pembayaran tunjangan pemeliharaan anak. Ia pernah berkata begini, “Jika uang itu tidak segera datang, akan terjadi musibah. Saya ‘kan tidak dapat selalu meminta agar suami saya memelihara anak yang bukan anaknya.”
Kemudian di dalam kompleks tempat mereka tinggal, tidak habis-habisnya dipergunjingkan orang bahwa Nyonya B pembunuh anaknya.
Sehelai rambut pada tali yang dipakai mengikat karung dikenal kembali sebagai rambut dari kepala Renate. Asalnya karung dapat diperiksa melalui pembuat dan penjual karung. Diketahui bahwa karung semacam itu biasa dipakai untuk sayur-sayuran dan kentang di toko sayur-mayur teman Nyonya B. Karung-karung seperti itu masih banyak didapati di teman Nyonya B meskipun ia sudah tidak menjual sayur-mayur lagi. Pemilik bekas toko sayur-mayur menerangkan bahwa ia pernah memberikan enam karung seperti itu kepada Nyonya B. Nyonya B menyatakan bahwa karung-karung tersebut sudah membusuk dan tidak ada lagi padanya. Kecurigaan terhadap teman Nyonya B tidak dapat dipertahankan karena ia mempunyai alibi yang tidak dapat disangsikan serta pada waktu itu tidak berada di H.N.
Kini kecurigaan jatuh pada tunangan pemilik toko sayur-mayur. Wanita ini mempunyai anak lelaki di luar pernikahan, berumur 7 tahun. Si tunangan ini dahulu pacar si B (suami Nyonya B). Akan tetapi karena soal anak-anak, pertunangan dibatalkan.
Anak tunangan pemilik toko serta anak Nyonya B pernah ditemukan di dalam gua sedang bermain suami istri. Kedua ibu saling menuduh bahwa anak yang lain yang bersalah.
Waktu petugas membaca kembali laporan tentang anak hilang, maka ia menemukan bagian yang menyatakan bahwa ada dua petugas polisi yang datang ke rumah keluarga B tengah malam untuk menanyakan apakah Renate sudah pulang. Pada waktu itu B dan istrinya sudah tidur nyenyak.
Pemijat di rumah sakit universitas yang setiap hari memijat Nyonya B menerangkan kepada polisi bahwa Nyonya B mempunyai reaksi aneh terhadap kematian anaknya. Kata Nyonya B, “Karena kesempatan ini, saya akhirnya dapat membeli mantel dan topi baru untuk penguburan.”
Nyonya B juga pernah mengatakan bahwa Renate itu anak yang sukar dididik dan bersedia mengikuti setiap orang. Nyonya B sama sekali tidak menunjukkan kesedihan ketika anaknya hilang.
Beberapa tetangga melukiskan kejanggalan kelakuan Nyonya B. Misalnya sesaat sesudah mayat anaknya ditemukan, semua orang khawatir memikirkan kemungkinan hal yang sama menimpa pula anak-anak mereka. Tetapi Nyonya B enak-enak saja datang dari toko makanan sambil memakan cokelat. Pergunjingan ini menyebabkan Nyonya B diamat-amati. Meskipun telah berlaku cermat, para petugas tidak berhasil memergoki hal-hal yang bisa membuktikan kesalahan Nyonya B walaupun tuduhan terhadapnya makin lama makin kuat.
Nyonya B mengaku bahwa yang diceritakan si pemijat benar. la juga tidak mungkir bahwa ia makan di jalan meskipun anaknya baru saja ditemukan mati. Ia hanya membantah makan cokelat, ia makan kue cokelat, katanya. Waktu dikatakan bahwa itu bukan kelakuan yang pantas bagi seorang ibu, ia hanya menjawab, “Apakah saya harus menangis? ‘Kan kenyataan tidak bisa diubah lagi.”
Waktu didengar keterangannya, Nyonya B diberi peringatan agar tidak menyimpang dari peristiwa yang terjadi, soalnya ia memberi keterangan tentang dirinya sendiri sampai ke hal yang sekecil-kecilnya, yang sama sekali tidak diminta petugas. Antara lain ia menceritakan bahwa ia masih berhubungan dengan ayah Renate dan bahwa kesempatan berdansa dengan pria lain sering diteruskannya dengan hubungan-hubungan intim.
Suaminya konon sama sekali tidak keberatan jika ia berhubungan seksual di luar perkawinan asal saja ia memakai alat pencegah kehamilan.
Waktu petugas menyatakan bahwa ia tidak mau mendengarkan keterangan-keterangan yang tidak senonoh itu, Nyonya B malah menjawab enak, “Jika memberi keterangan kepada polisi katanya tidak boleh berbohong, jadi saya ceritakan semua.”
Tuduhan-tuduhan tidak dibantahnya satu pun juga sehingga para petugas makin yakin bahwa ia telah membunuh anaknya sendiri.
Tidak lama kemudian datanglah surat kaleng kepada petugas polisi yang berisi pengakuan pembunuhan terhadap Renate B. Si pelaku mengatakan dalam surat itu bahwa ia tidak mungkin melepaskan hawa nafsunya dengan jalan biasa karena ia tidak mempunyai uang oleh karena itu ia melakukannya kepada anak-anak.
Si pelaku juga menuduh beberapa orang-orang penting yang tidak butuh melakukan hal seperti itu dan masih mengancam akan melakukan pembunuhan lagi. Di dalam surat itu juga dibicarakan detail-detail yang hanya diketahui oleh petugas polisi. Beberapa perkataan mirip dengan pernyataan khas Nyonya B. Namun perbandingan tulisan di surat kaleng dengan tulisan Nyonya B tidak menunjukkan persamaan. Mungkin saja ia menyuruh orang lain menulis surat itu. Menurut surat, si pelaku sudah melarikan diri ke Republik Demokrasi Jerman.
Karena semua kecurigaan dan tuduhan tidak cukup untuk menahan Nyonya B, maka polisi harus mencari bukti-bukti yang objektif. Tetapi itu sama sekali tidak mudah karena kejadian sudah berlalu beberapa minggu. Selain itu, Nyonya B mempunyai banyak kesempatan untuk menghilangkan semua jejak.
Kini para petugas mulai dari fakta bahwa karung berisi mayat baru setelah pukul 23.58 dibawa ke tempat ditemukannya. Tempat ini hanya terpisah oleh sebuah ladang tembakau kira-kira 400 m dari rumah keluarga B. Jarak ini dengan sepeda dapat dijangkau dalam waktu 1 menit. Orang yang membawa mayat ke tempat itu tidak usah takut-takut terlihat meskipun ada orang lain yang lewat di jalan itu. Pasalnya, ia masih akan sempat menyembunyikan diri di antara tanaman tembakau yang setinggi orang. Jika Nyonya B membawa mayat itu dari rumahnya ke tempat itu, maka inilah jalan satu-satunya yang aman. Jika ia mengambil jalan lain, ia harus melewati rumah-rumah yang ada penghuninya.
Para petugas mengambil tanah sedikit dari kandang ayam Nyonya B dan mengirimkannya ke laboratorium.
8 minggu kemudian datanglah keterangan laboratorium. Contoh tanah itu sama dengan tanah yang ada di dalam karung tempat mayat. Debu dari karung pun disertakan dalam bentuk foto yang dibesarkan 400 kali.
Tetapi jaksa masih saja tidak mau mengeluarkan surat penahanan. Katanya mungkin saja persamaan itu hanya kebetulan karena tanah di sekeliling tempat itu semuanya sama.
Kini diambil sebelas contoh tanah dari kandang ayam di sekeliling tempat penemuan mayat dan di dekat kandang ayam keluarga B, lalu dikirimkan ke laboratorium.
Ternyata bahwa setiap contoh tanah tidak ada yang sama dengan debu karung mayat. Hanya contoh tanah dari dekat kandang ayam Nyonya B yang agak sama.
Di dalam laporan polisi akhirnya dapat ditemukan 140 hal yang bisa menunjukkan bahwa Nyonya B itu pelakunya. Meskipun demikian masih saja tidak dikeluarkan surat penahanan.
“Bawalah saja pengakuan Nyonya B dan saya akan mengeluarkan surat penahanan,” kata jaksa.
Meskipun dicoba oleh beberapa petugas, Nyonya B tidak mau mengaku. Semua bukti dan tuduhan ditangkisnya dengan perkataan, “Kebetulan saja. Saya tidak bersalah!”
Kepada para tetangga Nyonya B menyatakan bahwa celana dalam Renate ditemukan darah. Polisi bertanya betulkah ia berkata demikian dan mengapa hal itu dikatakannya meskipun ia tahu tidak benar.
“Saya hanya mengatakan begitu saja,” jawabnya.
Biasanya setiap malam Nyonya B memanggil-manggil anaknya jika anaknya itu tidak ada di rumah. Panggilannya selalu sangat keras sehingga didengar tetangga. Pada waktu Renate hilang ia tidak berbuat demikian dan mengaku memang tidak memanggil-manggil. Ia tidak dapat memberikan alasannya.
Berdasarkan penyelidikan polisi kriminal, Renate masih dilihat orang di dekat rumah pada pukul 15.30. Menurut keterangan dokter, anak itu meninggal antara pukul 17 dan 20.
Kematian anaknya sama sekali tidak memengaruhi perasaan Nyonya B. Ia malah senang bisa menghadiri pemakaman karena ada alasan untuk membeli mantel dan topi baru. Dan pada kesempatan itu, ia mungkin dapat berjumpa dengan seorang pacar lama.
Kehidupannya yang tidak mengenal moral masih saja dilanjutkan. Dengan beberapa teman, suami istri B ini bertukar pasangan.
Si penulis surat tidak dapat ditemukan, walaupun tulisan dari orang-orang yang dicurigai yaitu teman-teman dan sanak saudara Nyonya B diperiksa.
Petugas polisi kriminal sudah tidak meragukan lagi bahwa Nyonya B telah membunuh anaknya. Meskipun demikian kejahatan itu tidak dapat dihukum karena tidak pernah dikeluarkan surat penahanan. Sementara dilakukan penelitian, banyak hal yang tidak diperiksa lebih lanjut atau baru dikerjakan sangat terlambat, sebab tuduhan terhadap ibu si anak baru dilakukan beberapa lama kemudian.
Tanah di tempat mayat ditemukan demikian banyak terinjak-injak sehingga tidak dapat dilakukan penemuan jejak dan anjing polisi pun tidak dapat mencium apa-apa. Ladang dekat tempat penemuan pun diinjak-injak sehingga rata seperti lapangan tenis. Para petugas polisi kriminal tidak dapat melakukan apa-apa terhadap mereka yang telah “menghilangkan jejak” karena mereka ini sebagian besar terdiri dari pejabat tinggi.
(Herbert Kosyra)
Baca Juga: Huruf V yang Misterius
" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760931/renate-ditemukan-di-dalam-karung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1685097010000) } } [10]=> object(stdClass)#173 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3752739" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#174 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/16/teka-teki-dari-birdhurst-risejp-20230516062346.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#175 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(138) "Di sebuah rumah di Jalan Birdhurst terjadi kasus pembunuhan menggunakan arsenikum. Selama berpuluh-puluh tahun, kasus itu menjadi misteri." ["section"]=> object(stdClass)#176 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/16/teka-teki-dari-birdhurst-risejp-20230516062346.jpg" ["title"]=> string(29) "Teka-teki dari Birdhurst Rise" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-16 06:23:55" ["content"]=> string(35509) "
Intisari Plus - Di sebuah rumah di Jalan Birdhurst terjadi kasus pembunuhan menggunakan arsenikum. Selama berpuluh-puluh tahun, kasus itu menjadi misteri dan tidak terpecahkan.
--------------
Di Croydon (Inggris) ada sebuah jalan bernama Birdhurst. Di nomor 29 tinggal Ny. Violet Sidney beserta putrinya, Vera. Ny. Sidney adalah seorang janda yang kaya. Vera sudah berumur 40 tahun, tapi tak berminat nikah. Kediaman mereka diberi nama Birdhurst Rise.
Tak jauh dari rumah mereka tinggal Grace Duff, kakak Vera yang telah menikah dengan Edmund Duff. Mereka punya tiga orang anak. Dan beberapa pintu lagi dari rumah ini tinggal Thomas Sidney dengan istrinya Margaret, asal Amerika. Mereka punya dua orang anak.
Thomas dan Grace beserta anggota keluarganya kerap kali mengunjungi rumah nomor 29. Hubungan kekeluargaan mereka erat dan mesra. Tiap anggota keluarga saling menyayangi dan menaruh perhatian. Rumah Ny. Sidney tak pernah sepi dari jerit dan tawa ria cucu-cucunya.
Edmund korban pertama
Pada suatu hari di bulan April 1928 Edmund Duff, pensiunan pegawai negeri dari Nigeria, pulang memancing dari luar kota. Sesampainya di rumah, ia melaporkan kepada istrinya bahwa ia demam. Sejak dari tempatnya memancing ia merasa kurang sehat.
Ia tak mau makan malam. Ia hanya minum bir yang disajikan oleh istrinya. Lalu muntah-muntah dan menderita serangan kejang. Makin larut malam keadaannya makin buruk.
Istrinya memanggil dr. Binning. Menyusul dr. Elwell, dua-duanya dokter keluarga yang tinggalnya tak jauh dari rumah mereka. Pertolongan diberikan, namun keesokan harinya Edmund meninggal kejang.
Dr. Elwell dan dr. Binning tak bersedia membuat visum kematian, karena gejalanya kurang jelas. Kematian dilaporkan kepada ahli bedah mayat setempat, dr. Jackson. Dan bagian-bagian tubuh yang diperlukan seperti jantung, paru-paru, otak, isi perut, dan lainnya dibawa ke laboratorium.
Dr. Binning mencurigai adanya keracunan ptomaine dari makanan atau minuman. Istrinya terkejut, berkata tidak menyangka suaminya akan mati begitu cepat.
Vera jatuh sakit
Tanggal 2 Mei hasil pemeriksaan laboratorium diumumkan. Edmund Duff diduga mati karena lemah jantung (chronic myocarditis). Bagian tubuhnya yang diperiksa tidak ada bekas keracunan. Mungkin ia kena sengatan matahari karena duduk memancing berjam-jam.
Edmund meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Penghasilannya sebagai pensiunan kantor kolonial tidak banyak. Untuk mencukupi biaya keluarga, Edmund suka menulis artikel di koran tentang Afrika. Dan bekerja sebagai juru tulis lepas di perusahaan swasta.
Kesukaran keuangan biasanya ditolong oleh mertuanya, Ny. Sidney atau Vera yang memiliki banyak uang.
Di bulan Januari 1929, Vera yang cantik dan sehat, merasa sakit-sakitan. Di catatan hariannya ia menulis bahwa hampir setiap hari ia tak dapat tidur dan selalu merasa letih. Hatinya kerap kesal. Ia kehilangan minat untuk pergi main golf atau berdansa, dua kegiatan yang disukainya.
Tom khawatir memikirkan kesehatan adiknya. Vera dulu sangat sehat dan lincah. Tanggal 12 Februari Vera menerima surat bahwa Bibi Gwen akan datang dari London.
Sehari sebelum kedatangannya, Vera menyuruh pelayan mereka, Ny. Noakes membuat sup dari paket. Setelah masak, disimpan di lemari es. Sup akan dihidangkan waktu makan siang dengan tamu. Ny. Sidney tidak suka sup. Di rumah itu hanya Vera yang makan sup.
Pada hari kedatangan Bibi Gwen, Vera tak dapat keluar rumah karena demam. la minta tolong supaya Grace pergi ke stasiun menjemputnya. Jamuan siang itu dihadiri pula oleh Tom dan Margaret serta Grace.
Influenza perut
Selesai makan, Vera muntah-muntah dan mencret. la naik ke kamar tidur dan tidak kembali lagi. Bibi Gwen pulang ke hotelnya. Di sini ia jatuh sakit pula, muntah-muntah dan pusing. Dokter hotel memberinya obat dan keesokan harinya ia sudah dapat meneruskan perjalanannya.
Penyakit Vera makin lama makin buruk, mencret tak henti-hentinya. Suhu badannya naik turun, detak jantungnya tak keruan. Kadang-kadang tubuhnya kejang, seperti yang dialami oleh Edmund, iparnya.
Malam harinya cuaca amat buruk. Ny. Noakes kedinginan dan ia mencuri sisa sup yang masih ada di lemari es. Ia pun jatuh sakit, muntah dan mencret. Kucing yang minum sup sisa Ny. Noakes juga muntah-muntah di atas permadani.
Dr. Elwell dan dr. Binning melakukan pengobatan sebaik-baiknya. Bahkan mereka memanggil ahli penyakit dalam (internis) dari London. Tiga hari kemudian Vera kejang-kejang hebat, lalu meninggal. Visum dokter berbunyi Vera kena serangan influenza di perut. Menurut para dokter, tidak perlu dilakukan bedah mayat, karena matinya wajar.
Ny. Sidney korban ketiga
Tetangga mulai berbisik-bisik keras. Aneh, masa kematian mendatangi keluarga itu dalam tempo 11 bulan?
Hanya 14 hari sesudah pemakaman Vera, ibunya jatuh sakit. Mungkin hatinya terlalu pedih ditinggal Vera, putri kesayangannya. Hiburan dari Tom dan Grace agaknya tak menolong.
Dari dr. Binning ia mendapat obat bernama “metatone”. Pada suatu siang Ny. Sidney minum obat ini sambil menggerutu, “Waduh, rasanya getir tak keruan.”
Ny. Noakes menjawab, mungkin karena botolnya tidak dikocok baik-baik, sehingga serbuk putih tinggal di dasar botol. Menurut resep, botol harus dikocok sebelum obatnya diminum.
Tak lama Ny. Sidney muntah-muntah, mencret amat hebat, tubuhnya diserang kejang berkali-kali. Malamnya ia meninggal.
Dr. Elwell dan dr. Binning tak dapat menentukan sebab kematian. Karena adanya kecurigaan keracunan, bagian tubuh sebelah dalam dibawa ke laboratorium.
Arsenikum
Polisi memeriksa rumah Ny. Sidney dari loteng sampai ke gudangnya. Semua botol disita untuk diperiksa. Botol “metatone” ternyata telah dibawa oleh dr. Binning ke rumahnya. Terpaksa polisi mengambilnya dari sana untuk dibawa ke laboratorium. Dr. Binning berkata curiga pada serbuk putih di dasar botol.
Sehabis pemakaman, rumah Grace Duff kena geledah. Tidak ditemukan apa-apa. Rumah Thomas Sidney kena giliran. Di sana disita satu kaleng racun rumput “Eureka” dan satu kaleng racun tikus. Kedua bahan racun ini mengandung arsenikum.
Polisi bekerja keras. Misteri tiga kematian dalam tempo 11 bulan yang menimpa keluarga dari Jalan Birdhurst ini harus dipecahkan. Apakah ini semua suatu kebetulan? Kalau suatu pembunuhan, pembunuhnya harus dicari dan dibawa ke meja hijau.
Dari laboratorium datang kabar, botol “metatone” yang diperiksa ternyata mengandung banyak sekali arsenikum! Tubuh Ny. Sidney juga mengandung arsenikum dalam dosis yang tinggi! Penemuan ini mendorong dikeluarkannya surat perintah penggalian kembali mayat Vera Sidney. Hasilnya, tubuh Vera juga mengandung arsenikum dalam dosis yang berlebihan.
Memecahkan misteri
Diadakanlah sidang pemeriksaan lengkap dengan para juri. Jika sidang ini dapat mencari bukti nyata, baru orangnya akan dibawa ke pengadilan.
5 bulan lamanya polisi, termasuk Scotland Yard dan bagian anti kejahatan, bekerja keras tak mengenal siang dan malam. Dokter-dokter ahli bedah mayat dikerahkan, ahli analis dari laboratorium semua tak kenal lelah mencari jejak pembunuh!
Dr. Spilsbury berkata, polisi harus memecahkan misteri dua pembunuhan. Tom Sidney dan Grace menyewa pengacara muda yang sangat berbakat, William Arthur Fearnley-Whittingstall.
Pemeriksaan pendahuluan berjalan seru. Para juri kerap menggerutu bahwa mereka meninggalkan keluarga dan pekerjaan mereka untuk memecahkan misteri yang tak kunjung pecah.
Polisi dan para dokter terutama mencurigai Tom karena racun tikus dan racun rumput yang ada di rumahnya. Grace juga dicurigai karena motif keuntungan.
Kesimpulan
Vera mewariskan uang yang banyak sekali kepada ibunya. Dipesan bahwa bila ibunya meninggal pula kelak, harta mereka berdua diwariskan kepada Grace dan Tom secara adil dan kepada anak-anak mereka. Yang boleh diambil hanyalah bunga simpanan. Harta berupa rumah dan lainnya tidak boleh dijual.
Kesaksian Alan Glyn Jones, apoteker yang membuat obat “metatone”. Di dalam resep tidak ada arsenikum, jadi apoteker tidak membubuhkan arsenikum ke dalamnya. Botol diperiksa dulu di sinar terang di luar jendela, untuk memastikan kejernihan cairannya. Cairannya bening bagai kaca. Sama sekali tak ada serbuk putih. Selesai diperiksa, botol disegel menurut peraturan. Baru diberikan kepada pengambil resep di bagian penjualan.
“Jika ada serbuk putih atau arsenikum atau apa saja, pasti datangnya setelah botol keluar dari apotik.”
Kesaksian Grace Duff. Ibunya orang yang saleh dan beriman, tak mungkin timbul pikiran bunuh diri karena kesedihan. la dulu pernah punya racun anti rumput, waktu belum pindah ke Jalan Birdhurst (dibeli oleh suaminya), tapi sudah dihadiahkan kepada tukang kebun karena di rumahnya yang baru ia tak memerlukan racun rumput.
Sidang yang berkali-kali dengan menanyai banyak saksi hanya menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
Sidang terakhir ditutup tanggal 31 Juli 1929, tanpa berhasil mencari jejak pembunuh. Ny. Sidney mati karena racun arsenikum. Keluarganya pun tak dapat menunjuk siapa yang mereka curigai berkepentingan dengan kematian wanita ini.
Teka-teki rumah bernama Birdhurst Rise ini sampai puluhan tahun tak pernah bisa dibongkar oleh polisi Inggris.
Jenazah Vera Sidney. Rupanya 36 jam sebelum kematiannya ia menjejal racun arsenikum yang berbentuk cairan. Pasti sup yang dipersiapkan sehari sebelum kedatangan bibinya mengandung racun. Bibi Gwen, Ny. Noakes, dan kucing mereka sama-sama jatuh sakit sehabis makan sup itu.
Kesaksian Ny. Noakes yang membuat sup: jika ia membubuhkan racun ke dalam sup, pasti ia tidak begitu bodoh ikut makan di malam harinya! Malam itu ia agak kedinginan karena itu perlu minuman hangat. Sup itu dicurinya dari lemari es. Ia tahu kalau minta izin, pasti tak akan diberi. Ny. Sidney tidak suka pelayan makan makanan yang sama dengan nyonya rumah.
Menurut Ny. Noakes, pintu dapur memang selalu terbuka. Dan dari halaman muka orang bisa langsung masuk ke dapur terus ke dalam rumah, bila pintu muka terkunci.
Kalau begitu, orang jahil ini pasti orang yang tahu seluk-beluk rumah Birdhurst Rise. Jadi orang yang dekat hubungannya dengan penghuni rumah.
Menggali kubur
Siapa gerangan orangnya? Tom Sidney? Tak mungkin. Ia memang memiliki racun rumput dan racun tikus. Tetapi ia sangat sayang kepada Vera. Lagi pula pada hari Vera jatuh sakit, Tom baru saja pulang menghibur di Skotlandia. Thomas seorang penghibur.
Grace Duff? Ia sangat sayang dan baik kepada Vera. Vera menyokong uang sekolah John Duff, putra sulungnya. Grace bahkan tak tahu Vera memberinya warisan harta dan uang. Hal ini baru diketahuinya dari wasiat ibunya.
Sidang-sidang selanjutnya gagal menemukan siapa yang membubuhkan racun ke dalam sup yang dimakan Vera. Pemeriksaan disudahi tanpa hasil.
Giliran jenazah Edmund Duff. Rupanya orang ini pun belum boleh beristirahat dengan tenang. Polisi bertekad memeriksa kembali mayatnya.
Pada tanggal 5 Juli mayatnya digali kembali bagian-bagian yang dulu sudah diperiksa di laboratorium diperiksa lagi! Sekali ini terbukti tubuhnya mengandung arsenikum!
Menurut dr. Spilsbury, ahli bedah mayat Inggris kenamaan, dosis yang mereka temukan lebih dari cukup untuk mematikan orang. Bentuknya berupa cairan, bukan padat. Racun ini diminum hanya beberapa jam sebelum kematiannya.
Teka-teki
Sidang-sidang pemeriksaan selanjutnya tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Hanya berhasil diketahui, bahwa perkawinan Edmund dengan Grace dulu tidak direstui oleh orang tuanya. Umur Edmund hanya berselisih 5 tahun dari Tn. Sidney.
Edmund suka alam bebas, di luar rumah. Ny. Sidney suka hal-hal yang indah di dalam rumah. Mertua dan menantu jarang sekali bisa berkata-kata dengan cocok. Di mata Ny. Sidney, Edmund tidak bisa cari uang.
Namun kesaksian para pelayan rumah, tukang kebun, perawat, dokter-dokter, dan tetangga melukiskan suami istri itu berhubungan mesra. Mereka tak pernah ribut dan suka bepergian sekeluarga.
Kesimpulan sidang sebagai berikut:
“Kita telah gagal mencari peracun yang sesungguhnya. Kita pun tidak bisa memikul tanggung jawab menunjuk siapa orang yang bersalah. Kalau kita dapat, pasti orang itu pulalah yang telah meracuni Ny. Sidney dan Vera.”
Alhasil, teka-teki ini terus menjadi teka-teki sampai puluhan tahun.
Inspektur Hedges tidak puas dengan hasil nihil semacam ini. la dari semula sudah turut mencoba memecahkan misteri tiga kematian ini. Apakah ia tidak akan berhasil? Polisi biasanya tak kenal mengalah.
Semua orang yang ada hubungannya dengan keluarga Duff dan Sidney sudah ditemuinya dan diwawancarainya. Termasuk John dan Mary Duff, putra-putri Grace, dan guru kepala sekolah mereka. Mereka tidak kehilangan racun. John tidak suka kimia, jadi memilih jurusan yang tidak ada pelajaran kimia. Mary masih terlalu kecil untuk belajar di laboratorium.
Pelayan-pelayan, lama dan baru semua sudah ditanyai. Mereka tak ada kekesalan atau gerutu terhadap keluarga Duff dan Sidney.
Agaknya Hedges mencurigai Grace dan Tom. la hanya tak dapat mencari bukti nyata untuk dipakai alasan menangkap salah seorang di antara keduanya.
Hedges benar-benar pusing. la anggap Tom Sidney berbelit-belit dan cenderung mempermainkan polisi.
Dr. Elwell
Pada suatu hari secara tak disangka Tom menelpon Hedges, minta berdiskusi. Hedges menolak diskusi. la hanya mau mendengarkan pernyataan yang nantinya ditanda tangani. Tom akhirnya membuat pernyataan:
“Jika jenazah Edmund ternyata mengandung arsenikum (ini sebelum penggalian kuburnya) maka dr. Elwell-lah yang bertanggung jawab.”
Hedges dan rekannya detektif menggeleng tak percaya.
“Bagi saya kematian Edmund lain dari kematian Ibu dan Vera. Tahukah Anda, dr. Elwell sudah 10 tahun jadi dokter keluarga Duff? la tak pernah menagih rekening. Sejak kematian Edmund, dr. Elwell lebih sering datang mengunjungi Grace. Tahukah anda bahwa ada ‘sesuatu’ di antara mereka?”
Dr. Elwell tetap membujang. Ia diketahui banyak punya hubungan dan disukai oleh kaum wanita.
Hedges jadi gemas
Dr. Elwell dipanggil dari liburannya di luar kota. la memberi keterangan, sangat ganjil dituduh tertarik kepada Ny. Duff. la tak pernah pergi bersama, kecuali ketika Grace menumpang mobilnya ke London saat hendak mengunjungi bibinya di Limpsfield. Tentang rekening, Edmund Duff pernah datang ke rumahnya menyatakan keluarganya tak mampu. Dr. Elwell kasihan dan menjawab nanti kalau sudah punya uang harap jangan lupa membayar utang.
Sebagai tetangga dan dokter keluarga, dr. Elwell menganggap wajar sekali-sekali memenuhi undangan minum teh di keluarga Duff.
Keterangan ini masuk akal. Kalau Elwell meracuni Edmund, untuk apa ia bersusah payah memberitahukan kecurigaannya akan racun ptomaine kepada dr. Jackson? Bukankah ini sama dengan menggali lubang untuk diri sendiri? Paling bijaksana diam-diam menanda tangani surat kematian Edmund, habis perkara.
Dr. Elwell dicoret dari daftar orang yang dicurigai.
Inspektur Hedges jadi gemas kepada Grace Duff dan Tom Sidney. Tetapi pihak kejaksaan tidak memberinya izin menangkap orang-orang ini, karena bukti-bukti tidak ada.
Tom & Grace pindah
Hedges bahkan bersedia mengorbankan pensiunnya asal diberi izin terus mencari bukti kesalahan Tom atau Grace. Tetapi atasannya berkata sidang pemeriksaan telah resmi dinyatakan ditutup. Orang-orang yang dicurigai telah dinyatakan bersih.
Hedges dengan berat hati menutup berkas-berkasnya disertai catatan: misteri yang tak terpecahkan polisi.
Begitu sidang-sidang dinyatakan selesai dan namanya bersih, Thomas Sidney melelang perabot rumahnya. Mereka langsung pindah ke Amerika Serikat.
Grace Duff tadinya tetap ingin bertahan di Croydon. Tetapi perhatian orang, terutama para pembaca surat kabar, terlalu besar. Mereka suka berkerumun di muka rumahnya hanya untuk memandang Grace. Publik mencurigainya sebagai orang yang telah meracuni Edmund, Ny. Sidney dan Vera. Karena akhirnya tak tahan, ia pindah juga ke tempat lain.
30 tahun kemudian
30 tahun kemudian…
Richard Whittington-Egan, seorang wartawan senior, melakukan penyelidikan seorang diri. la mempelajari semua berkas pemeriksaan pendahuluan dan catatan Inspektur Hedges almarhum. Ia meninggal tahun 1932.
Pertama-tama ia mencari Ny. Noakes, bekas pelayan Ny. Sidney. Keterangannya:
Kalau ia tahu sup celaka di malam itu mengandung racun, pasti ia tak akan mencurinya. Tetapi di muka sidang pemeriksaan, Ny. Duff berkeras memberi keterangan bahwa Ny. Noakes telah demam dari pagi harinya, jadi sejak sebelum ia mencuri sup!
Ny. Noakes mencurigai Tom Sidney sebagai orang yang bersalah. Entah mengapa, ia tak senang dengan orang ini. Ia pernah memergoki Tom berada di ruang tengah rumah Ny. Sidney, tanpa Ny. Noakes merasa membukakan pintu baginya. Bisa saja ia masuk diam-diam dan membubuhkan racun bagi Vera dan ibunya. Tetapi Ny. Noakes tak punya buku harian, jadi ia tak berani bersikeras mengenai tanggal kedatangan Tom secara diam-diam ini.
Grace Duff menurut pendapatnya, tidak punya pendirian tetap. la tak pernah berani memandang mata lawan bicaranya. la juga tidak menyukai nyonya ini.
Ancaman Vera
Dr. Elwell, yang masih tetap membujang, tidak sukar dicari. Tetapi ia minta agar keterangannya baru disiarkan setelah kematiannya. Ia meninggal tahun 1961.
Menurut pendapatnya, perkawinan Grace Duff tidak bahagia. Edmund sangat kasar, punya nafsu seks yang berlebihan. Tetapi ia tidak mencurigai Grace sebagai pembunuh.
Menurut para tetangga yang masih ingat, memang Grace dan dr. Elwell bercinta-cintaan secara gelap.
Bahkan Tom Sidney pernah memberi keterangan di hadapan polisi, Ny. Sidney dan Vera mengetahui rahasia ini. Ny. Sidney agaknya tidak keberatan, bahkan berharap kelak Grace dapat nikah dengan dr. Elwell. Sebaliknya Vera amat berang oleh peristiwa ini. Ia mengancam Grace kalau meneruskan “permainannya” ia akan menghentikan sokongan uang sekolah bagi John Duff. Hanya dua minggu setelah mengucapkan ancaman ini, Vera mati keracunan.
Wajah bertopeng
Seorang bekas tetangga yang menolak disebut namanya memberi keterangan sebagai berikut:
Grace di muka sidang pemeriksaan dan di rumah berbeda bagaikan siang dan malam. Di muka juri, air matanya cepat meleleh. Wajahnya bertopeng sebagai anak perempuan lemah yang memerlukan perlindungan pria. Di rumah, ia sedikit pun tak bersedih hati, Suaranya lantang dan penuh semangat waktu memberitahukan kematian Vera. Dan waktu sidang pemeriksaan membayangkan kecurigaan terhadap dirinya, ia berkata kepada pelayan toko, “Bayangkan, masakan aku dituduh membunuh Edmund?” Di suaranya terselip nada bangga.
Grace sangat menikmati wawancara dengan para wartawan, dan jika diminta berpose, gayanya dibuat-buat. Pendeknya, menurut tetangga ini, Grace baginya sangat mengerikan. Wataknya yang keras disembunyikan di balik wajahnya yang menarik.
Surat kaleng
Dari catatan Inspektur Hedges. Mula-mula ia mencurigai Thomas Sidney, terutama karena ditemukannya racun tikus dan racun rumput di rumahnya. Lebih-lebih lagi, Tom suka membawa “barang bukti” yang katanya diperoleh justru setelah rumah ibunya digeledah polisi. Ia bergaya sok aksi, mungkin karena menyewa pembela yang sangat jempolan.
Lama-kelamaan kecurigaan beralih kepada Grace. Ia seorang aktris berbakat. Dengan latar belakang perkawinan yang tidak bahagia, keuangan keluarga yang melarat sementara Grace amat boros dan senyum berikut air mata yang terlalu sering menghias wajah, Hedges lebih cenderung menuduh Grace sebagai pembunuh.
Kecurigaan ini tambah kuat setelah Tom memperlihatkan surat kaleng yang menuduh Margaret (istrinya) bertanggung jawab akan kematian Edmund Duff. Sebelumnya, Grace pernah menggerutu bahwa Margaret punya kesempatan melaksanakan perbuatan jahat itu. Grace mengomel mengapa Margaret hanya dipanggil polisi sekali. Tuduhan ini membuat Tom sangat marah.
Lolos dari tuduhan
Grace pernah pula mengaku kepada Hedges menerima surat kaleng. Katanya, isinya tidak percaya kalau Margaret tidak terlibat peristiwa pembunuhan ini. Waktu didesak agar memperlihatkan suratnya, tergagap-gagap ia mengaku surat telah dibakarnya.
Keterangan dari janda pembela Fearnley-Whittingstall. Pembela ini dulu juga akhirnya mencurigai Grace sebagai orang yang bersalah.
Pada suatu siang, ketika sidang pemeriksaan beristirahat, ia menemani Grace di halaman rumput. Entah apa sebabnya, tahu-tahu Grace amat marah. Wajahnya yang manis kekanak-kanakan berubah sebagai wajah setan yang mampu melakukan apa saja. Bukan main terkejutnya Whittingstall. Ia mengambil kesimpulan selama ini rupanya Grace mengenakan topeng wajah wanita lemah yang dirundung malang.
Bahkan waktu pemeriksaan dinyatakan ditutup, Whittingstall berpikir Grace sangat beruntung dapat lolos dari lubang jarum walaupun semua orang terang-terangan mencurigainya.
Tuduhan Bibi Gwen
Dr. Jackson, pembedah mayat di Croydon, sudah meninggal. Yang dapat ditemui hanya istrinya.
Dalam sidang pemeriksaan, Ny. Jackson pernah duduk di sebelah Ny. Greenwell, bibi Vera yang datang dari London dan turut makan sup beracun. Dengan tegas dan terus terang Ny. Greenwell menuduh Grace pembunuh ketiga orang keluarganya.
“Ny. Sidney dan Vera mencurigai Grace. Karena itu ia melakukan perbuatan itu. Memang Grace pembunuhnya!”
Di tahun 1962 Thomas Sidney datang ke London. Kesempatan ini digunakan untuk wawancara oleh penulis buku ini.
Ia pindah ke Amerika Serikat untuk menghindari pembalasan Grace. Ini atas anjuran Scotland Yard. Grace tahu Tom mencurigainya. Di samping itu ia amat marah waktu Tom membawa Inspektur Hedges ke sekolah John dan Mary. Menurut dia, anak-anaknya jangan dikaitkan dengan peristiwa keracunan yang menggemparkan itu.
Tom dan Hedges sering berunding tentang teori-teori mencari jejak pembunuh. Tetapi akhirnya selalu orang yang dicurigai tinggal dua, Tom dan Grace. Karena Tom tidak pernah meracuni manusia, maka orang itu pasti Grace.
Sayang sekali sidang pemeriksaan tidak dapat mencari bukti untuk menuduh Grace secara nyata.
Pernyataan dr. Binning
Menurut pendapat Tom, Grace meracun Edmund karena sikapnya yang kasar dan nafsu kelaminnya yang tak terkendalikan. Grace enggan tambah anak, berhubung keuangan keluarganya. Vera kena racun karena mengancam keselamatan pendidikan John. Bagi Grace, kesejahteraan anak-anaknya lebih penting dari apapun juga. Ibunya kena racun karena mewarisi harta milik Vera. Kematian ibunya melipatgandakan warisan yang harus diterima Grace. Bukankah Grace orang yang selalu memerlukan uang?
Pernyataan dr. Binning. Mula-mula ia enggan membuka tabir lama, tetapi setelah dibujuk mau membuat pernyataan tertulis yang inti sarinya sbb:
Waktu Vera sakit keras, dr. Binning menyebut-nyebut kemungkinan keracunan. Ny. Duff membuat secangkir teh baginya, diantarkan ke kamar dekat orang sakit. Selama masa kejang dan muntah-mencret Vera, Ny. Duff tampak amat menikmati penderitaan yang dilihatnya. Matanya yang biru berkilauan jadi indah dan ia kerap memandang seperti sedang bermimpi. Tidak pernah dr. Binning melihat Grace secantik dan segairah itu. Ia seperti mendapat firasat, maka tidak minum teh yang disajikan.
Waktu dr. Elwell tiba untuk menggantikannya, mereka berdua diajak minum teh di ruang duduk. Dr. Binning melihat bahwa baginya telah disediakan cangkir baru. Ia bersedia minum teh ini.
Keesokan harinya, ada seorang pasiennya yang punya “ilmu” memberi tahu kemarin ia “melihat” dr. Binning berada dalam bahaya. Waktunya bertepatan dengan waktu dr. Binning disuguhi teh di kamar Vera.
Kelainan jiwa
Sebagai dokter keluarga Duff, dr. Binning menyaksikan Grace menunggui Edmund, Vera dan ibunya menjelang kematian mereka. Grace selalu tampak senang sekali mengamati penderitaan mereka, terutama bila sedang menghadapi serangan kejang.
Menurut pendapatnya, Grace menderita kelainan jiwa. Tetapi penjelasan lebih mendalam ia serahkan kepada dokter jiwa.
Pernah suatu kali ia bertemu muka dengan Grace sehabis sidang pemeriksaan. Ia tak sempat menghindar lagi. Grace menghampirinya dan berkata tegas secara tiba-tiba, “Dr. Binning, Anda pikir Anda dapat menjeratkan tali di leherku, tapi Anda tidak cukup pandai.”
Dr. Binning sangat terkejut, sehingga tak bisa menjawab. Waktu peristiwa ini diadukannya kepada pembela Whittingstall, pembelanya jadi sangat marah sampai berbaring di lantai bertopang dagu. Hanya setelah beberapa menit kemarahannya reda.
Minum wiski
Setelah kematian ketiga orang ini, dr. Binning masih pernah dipanggil ke rumah Ny. Duff. Waktu itu Alastair, putra bungsunya, sakit kejang. Ia memberikan serum anti difteri. Kemudian Ny. Duff mengundangnya minum wiski di ruang duduk, sambil mengenakan gaun tidur longgar dan tipis. Katanya menyodorkan gelas wiski, “Aku berjanji tidak akan membubuhkan arsenikum ke dalamnya.”
Dr. Binning menolak wiski dan cepat pulang.
Di bulan Juni 1962 dr. Binning mengunjungi Ny. Duff di rumahnya di tepi pantai. la ditemani oleh penulis buku ini. Mula-mula Ny. Duff bersikap baik, mengenangkan masa lampau mereka di Croydon.
Waktu dr. Binning memberi tahu dr. Elwell telah meninggal, Grace Duff mengeluh kecewa, “Ya, ia meninggalkan uang £ 80.000. Dulu katanya ia akan mewariskan semua uangnya kepada anak baptisnya (seorang diantaranya Alastair, putra bungsunya). Nyatanya tidak ada warisan yang kami terima.”
Dengan wartawan teman dr. Binning, ia enggan bicara soal Birdhurst Rise.
Jika Grace memang diduga bersalah, mengapa ia tidak diseret ke muka pengadilan? Jawabannya, berdasar penelitian penulis buku ini adalah hanya karena Grace wanita yang beruntung.
Seperti kata pembelanya, Grace wanita yang beruntung. Betapa tidak. Waktu mayat Edmund pertama kali dibedah, laboratorium tidak menemukan arsenikum! Yang ditemukan hanyalah tanda-tanda kematian yang wajar, diduga karena lemah jantung. Sedangkan pada pemeriksaan kedua kali (penggalian kuburnya) baru ketahuan tubuhnya mengandung banyak arsenikum.
Sekiranya tidak terjadi kesalahan pada waktu pembedahan mayat yang pertama kali dulu, mungkin jejak Grace dapat ditemukan. Kematian Vera dan ibunya dapat dicegah.
Kesalahan ini diduga bersumber kepada kekeliruan waktu pembedahan mayat yang pertama kali. Hari itu di meja ada dua mayat yang harus diperiksa oleh dr. Jackson. Satu Edmund Duff, satu lagi wanita yang mati sakit jantung.
Mungkin sekali dr. Jackson mendaftarkan organ-organ tubuh Edmund sebagai organ si wanita dan organ si wanita sebagai organ Edmund. Laboratorium hanya memeriksa isi botol-botol yang telah disegel dari kamar mayat. Bagi mereka tidak penting organ tubuh siapa yang ada di dalam botol. Tugas mereka hanya memeriksa secara kimiawi. Kesimpulan laboratorium: Edmund Duff mati sakit wajar, sakit biasa, bukan keracunan ptomaine.
Menghapus jejak
Dari saat ini sampai saat penggalian mayat Edmund Duff terdapat selisih waktu. Grace memakai kesempatan menghapus jejaknya.
Keberuntungan berikutnya, Grace tidak terbukti memiliki atau menyimpan racun arsenikum di rumahnya atau di mana saja. Justru Tom yang punya racun tikus dan racun rumput.
Pemeriksaan oleh manusia, biarpun oleh sejumlah ahli forensik dan ahli laboratorium bisa keliru. Sidang pemeriksaan yang begitu lama dan menjemukan juga meletihkan itu semua sia-sia. Pemeriksaan laboratorium, wawancara ke sana ke sini dan penggalian kubur hasilnya nihil. Akibatnya, orang yang bersalah dapat berkeliaran bebas.
Grace Duff masih hidup terus dengan tenang dan aman selama 44 tahun lagi setelah peristiwa peracunan yang dilakukannya. la meninggal wajar, setelah lebih dulu diserang lumpuh di musim panas tahun 1973. Umurnya 80 tahun-an.
(Dier Spiegel)
Baca Juga: Huruf V yang Misterius
" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553752739/teka-teki-dari-birdhurst-rise" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1684218235000) } } [11]=> object(stdClass)#177 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3752730" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#178 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/16/korbannya-semua-pembantu-rumah-t-20230516062310.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#179 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(134) "Kedua pasangan suami istri kerap menjebak wanita untuk dirampok. Semua korbannya adalah para pembantu rumah tangga yang mencari kerja." ["section"]=> object(stdClass)#180 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/16/korbannya-semua-pembantu-rumah-t-20230516062310.jpg" ["title"]=> string(37) "Korbannya Semua Pembantu Rumah Tangga" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-16 06:23:21" ["content"]=> string(36977) "
Intisari Plus - Kedua pasangan suami istri kerap menjebak wanita untuk dirampok. Semua korbannya adalah para pembantu rumah tangga yang mencari kerja di rumah keluarga kaya.
--------------
Bulan Januari tahun 1891 pembantu rumah tangga bernama Marie Hottwanger menyewa sebuah kamar dengan perabotnya pada suami istri Steiner di Jalan Mariahilfer 43 di Wina.
Marie adalah seorang wanita suka dengan kebersihan dan menabung. la hidup dengan tenang dan di pagi hari mencari tempat kerja. Sekali ia berhasil, akan tetapi sesudah dua minggu kembali lagi ke tempat penginapannya, karena ternyata tempat kerja kurang sesuai. Marie Hottwanger selalu menjadi pembantu di rumah-rumah orang kaya dan kini pun ingin menjadi pembantu di rumah tangga yang sesuai. Akan tetapi pada waktu ia mencari pekerjaan itu ia harus mengorbankan segala uang tabungannya.
Karena tidak mendapat kerja, maka pada tanggal 2 Juli ia mendaftarkan diri pada biro yang membantu mencari pekerjaan bernama Meixner di Franziskanerplatz. Ketika ia sedang mendaftarkan, datang seorang wanita kurus dan kecil yang berbicara dengan beberapa wanita pencari kerja. Wanita itu mengatakan bahwa ia adalah pengurus rumah tangga dari “Villa Hauser” di Rekawinkel.
Majikannya telah memerintahkan untuk mencari seorang pembantu yang ramah dan pembantu itu dapat segera masuk kerja. Selanjutnya ia menceritakan bahwa wanita yang berhasil mendapat pekerjaan di situ benar-benar beruntung. Ia membeberkan keadaan rumah tangga. Kemudian ia akhirnya bertanya kepada Marie Hottwanger yang sudah beberapa waktu diperhatikannya, apakah Marie tidak mempunyai keinginan untuk pergi dengannya ke Rekawinkel.
Marie Hottwanger berpikir-pikir. Sudah lama mencari pekerjaan yang baik, ia beruntung kalau kali ini pekerjaan sesuai keinginannya. Akan tetapi barang-barang berharga tidak mau dibawanya dahulu, mungkin nanti ia tidak senang dengan rumah tangga di situ ataupun tidak cocok dengan majikan. Pengurus rumah tangga itu setuju dan mengatakan mau mengantarkan pembantu rumah tangga yang baru itu ke rumah penginapannya, di mana Marie ingin mengambil sedikit uang.
Pada waktu yang bersamaan maka di depan biro jasa, di sebuah restoran, duduklah Karl Horning, kekasih Marie Hottwanger. Ia melihat kedua wanita itu keluar dari biro jasa, akan tetapi ia tidak mengikuti mereka. Pasalnya, ia mengira bahwa tentu Marie mendapat pekerjaan dan mungkin tidak menyenangkan kalau majikan langsung mengetahui bahwa ia mempunyai kekasih.
Beberapa waktu kemudian, Karl Horning melihat kedua wanita itu lagi. Kali ini Marie memakai topi, mantel, dan membawa payung. Tampaknya ia harus pergi untuk beberapa waktu. Wanita kecil dan kurus itu masuk ke restoran, menemui seorang laki-laki yang duduk sendiri di situ dan mengatakan padanya, “Ia sesuai dengan apa yang dicari.” Kemudian ia keluar dan pergi dengan Marie. Laki-laki yang duduk sendiri itu, pergi juga. Mereka pergi ke arah stasiun barat.
Sejak hari itu maka pegawai pandai emas Horning tidak mendengar kabar berita lagi dari kekasihnya dan ia bingung memikirkan mengapa Marie marah padanya.
Dua hari sesudah Marie meninggalkan kamarnya di rumah suami istri Steiner, maka pengurus rumah tangga itu datang ke situ lagi. Ia menceritakan bahwa Marie Hottwanger sangat senang akan tempat kerjanya dan meminta maaf karena ia dahulu membawa kunci kamar. Maka pengurus rumah tangga itu datang untuk mengembalikannya.
Wanita itu kemudian menyampaikan pesan Marie bahwa ia harus mengambil kopernya. Pengurus rumah dari Rekawinkel membawa surat dari Marie yang berstempelkan “Rekawinkel”. Dalam surat itu Marie sangat membanggakan tempat kerjanya. Majikannya kaya dan baik hati, akhirnya ia meminta agar kopernya diberikan pada pengurus rumah tangga.
Nyonya Steiner sangat senang, bahwa akhirnya Marie beruntung dan tanpa curiga memberikan koper kepada pesuruh. Koper itu besar, berukuran 155x93 cm, dibungkus dengan linen kuning dan dipaku-paku. Isinya pakaian, buku perhiasan, dan Iain-lain yang tidak begitu penting.
Seorang laki-laki menunggu di jalan. Waktu wanita pengurus rumah tangga itu mengatakan kepadanya bahwa barang-barang Marie telah diberikan kepadanya, ia memanggil seorang pesuruh. Keduanya kemudian menyuruh si pesuruh untuk membawakan koper itu ke hotel Holzwarth dan menyuruh menitipkan pada yang menjaga pintu.
Pada tanggal 6 Juli laki-laki tadi datang kembali di hotel dan meminta koper yang dititipkan. Ia membawa koper itu keluar bersama penjaga pintu yang kemudian diberinya uang persen. Katanya ia akan menunggu taksi dan si penjaga pintu tidak mengacuhkannya lagi, ia kembali ke hotel.
Akhir Juli, maka surat-surat kabar memberitakan sebagai berikut:
Ditemukan mayat. Pada tanggal 23 bulan ini ditemukan mayat, wanita, berusia di atas 18 tetapi di bawah 35, tinggi 150-160 cm, berisi, rambut panjang dan pirang. Muka tidak dapat dikenal lagi karena sudah membusuk. Ditemukan di hutan Dreifoehren, di semak-semak. Mayat dikalungi bahan selebar 0,5 cm pada leher yang membusuk. Ia mungkin sudah 14 hari di situ. Pakaiannya sebuah rok dalam yang bergariskan merah-putih, kemeja dalam berwarna putih, korset berwarna abu-abu, kaos putih dan karet kaos berwarna merah. Kemudian ia masih memakai topi yang dihiasi bunga mawar buatan dan pita-pita hitam. Pakaian luar dan sepatu tidak ada. Tidak ditemukan bekas-bekas penganiayaan pada mayat. Topi disimpan di pengadilan setempat. Pos Polisi Komando Neulengbach, 26.7.1891.
Karl Hornung membaca berita itu. Sesudah beberapa kali membaca keterangan tentang mayat, ia yakin bahwa itulah mayat kekasihnya. Meskipun dikatakan bahwa tidak ada bekas-bekas penganiayaan, tetapi ia yakin bahwa Marie telah dibunuh. Ia kemudian ingat akan kedua orang yang mencurigakan yang pergi bersama Marie ke arah stasiun. Selain itu, sebuah surat yang ia kirimkan Villa Hauser di Rekawinkel telah dikembalikan lagi kepadanya. Surat tersebut diberi keterangan pos bahwa di sana tidak ada Villa Hauser.
Dengan penuh rasa curiga, Karl pergi menemui bagian pengamanan pos polisi. Yang sedang dinas di situ adalah Komisaris Besar Sabatzka yang mendengarkan dengan teliti apa yang dikatakan pandai emas itu. Sabatzka juga memperhatikan keterangan mengenai laki-laki teman wanita yang mencari pembantu. Hornung harus mengulangi keterangan mengenainya beberapa kali. Semuanya dituliskan dalam berita acara polisi.
Kemudian Sabatzka membacakan sebuah berita yang diambilnya dari koran polisi kepada Hornung. Seorang laki-laki yang mengaku menjadi tulang kebun, kurang lebih berusia 30 tahun, mungkin juga lebih tua, besar sedang, perawakan kekar, dengan kumis kemerah-merahan. Ia berambut pirang kemerahan, mata biru abu-abu, warna kulit muka merah kecokelat-cokelatan, dan berhidung besar. Pria itu berbicara dialek Austria Selatan, pakaiannya jaket cokelat muda dengan celana berwarna sama, rompi hitam, celemek kasar dari bahan linen biru, kemeja kasar warna putih dengan kancing hitam dan sepatu bot yang ketat. Pada tanggal 1 bulan ini, ia telah mengajak pembantu rumah tangga Anna Djuris, yang berumah di III Erdenberger-laender no. 2. Anna dibujuk dengan janji bekerja pada seorang wanita bangsawan di Neulengbach. la diajak ke sana dan di dekat sebuah restoran sekitar Neulengbach orang itu telah memerkosanya dan mencoba untuk mengambil uang simpanan wanita itu sebesar 30 gulden. Kantor Polisi Landstrasse, 8 Juni 1891.
Persamaan tempat kejahatan dan alasan, yakni untuk mencari pekerjaan, persamaan keterangan mengenai orang laki-laki yang mengaku pengurus rumah tangga begitu menarik perhatian. Ini membuat komisaris besar menduga bahwa kedua orang itu sama. Polisi mulai “mencium” kejahatan.
Pertama Komisaris Besar Sabatzka mengirim Karl Hornung ke pengadilan di Neulengbach untuk melihat barang-barang yang ditemukan pada mayat wanita. Sabatzka sendiri ingin mencari Anna Djuris yang tidak lama kemudian ditemukannya. Menurut kesaksian wanita ini, laki-laki itu hanya mau berhenti di restoran karena ia (Anna) tidak mau lewat hutan bersamanya. Pemilik restoran malahan menenangkannya dan mengatakan, “Anda dengan tenang dapat lewat hutan dengan orang ini karena saya mengenainya dengan baik.”
Komisaris Besar Sabatzka pergi dengan asistennya Karl Weinwurm dan beberapa pegawai polisi ke Neulengbach. Di sana Karl Hornung telah mengenai kembali topi yang dipakai mayat sebagai topi kekasihnya.
Di rumah no. 25 di Rudolfsgasse di Rudolfsheim, di sebuah kamar di lantai bawah, berdiam sepasang suami istri sejak kurang lebih dua minggu. Suaminya seorang pekerja. Perabot yang mereka bawa adalah sebuah tempat tidur, lemari, meja dua kursi, dan beberapa koper. Mereka hidup dengan tenang dan tidak banyak bergaul. Para penyewa lain tidak memiliki keluhan apa-apa tentang suami istri itu. Laki-laki itu setiap hari dua tiga kali meninggalkan rumah dan selalu segera pulang kembali. Istrinya jarang sekali keluar rumah. Oleh karena itu semua orang heboh waktu pada tanggal 10 Agustus dini hari seorang komisaris besar polisi beserta para pembantunya telah datang ke rumah itu dan menangkap kedua suami istri dan dibawa ke pos polisi.
Beberapa orang yang ingin mengetahui lebih lanjut masih melihat bahwa keduanya kemudian dimasukkan ke dalam mobil polisi dan dibawa pergi. Kamar suami istri digeledah. Di situ ditemukan tiga koper dengan buku-buku kepunyaan pembantu-pembantu rumah tangga.
Penemuan ini menghebohkan kota Wina. Kata orang ada lagi seorang Hugo Schenk baru, seorang pembunuh keji. Setiap orang yang kehilangan pembantunya, mengira bahwa pembantu itu sudah dibunuh.
Surat-surat kabar laris, semua memberitakan: “Murid Hugo Schenk”. Semua orang ketakutan, sebab sudah tujuh tahun berlalu sejak ketiga pembunuh pembantu rumah tangga yang keji-keji yakni Hugo Schenk, Schlossarek, dan Karl Schenk diadili. Hingga kini tidak ada penjahat yang meniru Schenk. Tetapi kini orang bertanya-tanya lagi. “Siapakah yang memiliki ketiga koper? Apakah hasil penyelidikan? Siapa saja yang telah dibunuh oleh mereka?”
Pengusutan yang segera dimulai itu membuka tabir yang mengerikan. Serentetan pembunuhan telah dilakukan oleh suami istri itu dan banyak pembantu rumah tangga beruntung tidak terkena karena kebetulan saja.
Yang ditangkap adalah Franz Schneider, 35 tahun, lahir di Murstetten, bekerja di Byrba, beragama Katolik, beristri dan sebenarnya tidak memiliki pekerjaan tetap. Rosalia Schneider dilahirkan Capellari, 41 tahun, dilahirkan di Villach, beragama Katolik, koki dan bertempat tinggal dengan suaminya di Rudolfsheim. Wanita itu sudah pernah dihukum karena pengkhianatan.
Pada mulanya keduanya tidak mau mengaku. Rosalia malah ingin menghindari pengadilan duniawi pada hari kedua. la mencoba melakukan bunuh diri. Di kantor polisi ia menjatuhkan diri dari jendela sebuah wc, tetapi ia jatuh di genteng yang menonjol dan hanya luka-luka ringan.
Pada pembukaan sidang dibacakan bahwa: “Pada tanggal 23 Juli 1891, pekerja harian Maria Stoiber telah menemukan sesuatu yang mengerikan di hutan Dreifoehren dekat Neulengbach. Di semak-semak yang tebal terletak mayat wanita yang sudah membusuk dan yang hanya memakai pakaian dalam. Topi terbuat dari rami dihiasi mawar merah terletak pada bahu. Karena tidak ada pakaian luar dan tidak ada tanda-tanda bunuh diri, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa mayat itu telah diletakkan dalam posisi demikian oleh orang lain.”
Jaksa kemudian menerangkan bagaimana polisi, berdasarkan tuduhan Karl Hornung dan Anna Djuris, telah mengirimkan komisi pengusut ke pemilik restoran di Neulengbach. Lebih lanjut jaksa mengatakan, “Keterangan mengenai orang laki-laki tersebut, baik yang diberikan Hornung maupun yang diberikan Djuris sama.”
Kemudian seorang langganan tetap dari restoran itu ingat, bahwa orang yang pernah menemani Djuris, hampir-hampir seperti pembantu restoran rupanya. Orang ini mempunyai seorang abang yang namanya tidak baik, bernama Schneider dan paras mukanya hampir sama dengan adiknya. Schneider inilah yang kini sedang dicari-cari. Akhirnya diketahui, bahwa Franz Schneider dan istrinya terakhir telah dilihat di Wina dan menumpang pada seseorang yang bernama Ignaz Werk di Rustengasse.
Pada tanggal 13 Juni mereka berangkat ke Baden, tetapi di sana tidak ada orang yang mengenai mereka. Ignaz Werk menerangkan bahwa baru-baru ini mereka masih mengunjunginya dan masih membeli perabot rumah tangga pada seorang pedagang barang-barang bekas bernama Ignaz Fuerst. Pembantu rumah tangga pedagang itu mengatakan bahwa ia telah membawa perabot-perabot itu ke Rudolfsheim ke Rudolfsgasse no. 28. Di situlah diketemukan Franz dan Rosalia Schneider yang menggunakan nama palsu “Ferdinand Riedlers”. Koper-koper mereka diperiksa dan di dalamnya ditemukan barang-barang milik Marie Hottwanger.
Sesudah menceritakan tentang percobaan bunuh diri dari Rosalia Schneider, maka jaksa meneruskan, “Pemeriksaan telah membuktikan bahwa sudah semenjak kecil Franz Schneider suka mengambil barang orang. Makin lama ia makin merosot hingga akhirnya ia tidak segan melakukan kejahatan dan pembunuhan. Tentu ia akan meneruskan tingkah lakunya yang jahat, jika ulahnya itu tidak diketahui dengan secara kebetulan. Sudah dibuktikan bahwa ia telah melakukan tiga pembunuhan keji dan dua pemerkosaan. Lebih lanjut dibuktikan bahwa istrinya selalu membantunya dan malahan ikut mengerjakan dua pembunuhan. Mereka telah mengambil keuntungan dari pembunuhan yang ketiga.”
Kehidupan Franz Schneider disorot. Ia adalah anak seorang tukang sepatu di kota Murstetten di daerah Atzenbrugg. Ia hanya bersekolah sebentar saja dan itu pun tidak berhasil, karena menulis nama sendiri pun sudah dirasakannya sukar. Sejak kecil ia tidak dapat dipercaya. Waktu ia berusia 14 tahun, ia dihukum bersama orang tuanya karena mereka bersama-sama mencuri. Ia tidak belajar suatu keterampilan pun, hanya sebentar bekerja pada sebuah pemotongan daging. Kadang ia bekerja sebagai kuli di Neulengbach. Ia tidak betah tinggal lama di suatu tempat dan selalu mencoba hidup atas biaya orang lain.
Waktu menikah dengan Rosalia Capellari di Wina, hal itu dilakukannya karena koki itu mendapat warisan sejumlah 700 mark. Waktu uang sudah habis, ia mencoba mendapat uang dari bekas pacar istrinya. Istrinya pernah mendapat anak dari pacar yang bernama Egedius Max itu. Max sering diperas dan Franz Schneider juga menghabiskan uang yang seharusnya diberikan pada anak istrinya. Ia pura-pura sangat cemburu. Namun ia mengatakan bahwa istrinya boleh berpacaran dengan laki-laki lain, asal laki-laki itu mempunyai uang banyak.
Jaksa mengatakan,bahwa tidak mengherankan jika Franz Schneider dengan kelakuan yang demikian sering terkena hukuman di Wina dan St. Poelten. Beberapa hal dapat dilihat di akta-akta. Misalnya pembantu rumah tangga Johanna Dumsegger, pada tanggal 11 September 1880 duduk di depan restoran “Zum Krebsen” di kota St. Poelten. Seorang yang tidak dikenalnya, yang mengaku bernama Schneider, mendekatinya dan mengagumi kalung emas dengan salib yang sedang dipakainya. Ia juga menanyakan apakah Johanna sedang mencari pekerjaan. Johanna mengiyakan.
Franz Schneider mengatakan, bahwa ia adalah pengurus rumah di Wasserburg, sedang mencari seseorang yang ingin bekerja. Kalau mau, Johanna bisa langsung ikut dengannya. Franz Schneider kemudian membawa Johanna di hutan-hutan Auen, diperkosanya, perhiasannya diambil dan kemudian menghilang. Pengaduan Johanna tidak dipercaya orang karena wanita itupun tidak mempunyai nama yang baik.
Pada tahun 1885, Franz Schneider dihukum karena melakukan pemalsuan pernikahan. Waktu itu ia telah menikah, berpisah dengan istri dan berkenalan dengan koki Karoline Reisinger. Ia mengaku bernama Franz Neumaier dan belum menikah. Ia menceritakan, bahwa ia adalah anak seorang berada dan kemudian akan mewarisi semua harta orang tuanya. Ia mengambil tabungan Reisinger, mengambil juga perhiasannya dan meninggalkan wanita itu. Koki Reisinger pada sidang utama memberi kesaksian bahwa Franz Schneider sering ingin mengajaknya ke Dornbach dan Neuwaldegg, tetapi ia curiga dan menolak. Pada suatu kali ia dibawa ke Draschefeld, daerah yang sangat sepi dekat Hernals. Ia tidak mau ikut lebih lanjut.
Jaksa berpendapat bahwa Franz Scheneider pada waktu itu sudah bermaksud merampok ataupun membunuh pembantu rumah tangga itu.
Tetapi waktu ia untuk pertama kali mengerjakan maksud jahat itu, ia salah sangka. Wanita yang hendak dirampoknya sangat miskin. Mungkin karena pada waktu itu ia belum berpengalaman. Pada kesempatan kedua, ia memerkosa wanita-wanita itu. Pada kesempatan yang lain, ia sudah lebih hati-hati dan dapat membunuh korban.
Pada tanggal 28 April 1891, Franz Schneider selesai menjalani hukuman berat. Ia dipindah ke St. Poelten dan di situ akan diawasi polisi. Ia melarikan diri ke Wina dan bersama istrinya, yang karena itu memutuskan hubungan dengan orang lain serta meninggalkan tempat kerja. Mereka menyewa kamar di rumah Ignaz Werk, di Rustengasse. Di sana keduanya hidup sambil menghabiskan uang yang diperoleh di penjara. Waktu uang sudah habis, maka istrinya tanpa persetujuan suami, mulai masuk bekerja di tempat bangsawan Falke. Schneider kemudian mencari uang dengan jalan kejahatan.
Ia bertemu dengan pembantu rumah tangga Johanna Stoiber dan menanyakan apakah wanita itu memerlukan tempat kerja. Ia mengetahui tempat kerja yang baik pada bangsawan di Purkersdorf. Gajinya 16 gulden. Ia berhasil membujuk wanita itu, yang langsung saja mau ikut dengannya dan membawa semua barang miliknya. Mereka berjalan melalui Neulengbach.
Koper dititipkan di sebuah hotel kecil. Schneider membawa wanita itu ke daerah-daerah di sekitarnya dahulu. Mereka akhirnya sampai di sebuah hutan yang letaknya satu jam dari Neulengbach. Di sebuah gereja kecil, Schneider menyuruh wanita tadi berdoa. Ia lalu membawanya jauh ke dalam hutan dan menyimpang dari jalan besar.
Ia mengatakan bahwa mereka memotong jalan dan rumah bangsawan di dekat situ. Tiba-tiba ia memegang leher wanita itu dan ditekannya pada sebuah pohon. Tetapi karena Johanna melawan keras-keras, ia melepaskannya. Johanna mulai menangis dan meminta agar dia jangan dibunuh. Ia ingin keluar hutan. Schneider berjanji akan mengabulkannya.
Selama setengah jam ia memegang wanita itu dan membawanya ke mana-mana di hutan. Ia terus bertanya apakah Johanna mempunyai uang. Johanna selalu menjawab bahwa ia seorang wanita yang miskin. Tiba-tiba ia merebahkan diri atas Johanna, semua terjadi dengan cepat hingga Johanna tidak sempat berpikir dan terjatuh. Schneider mengatakan agar Johanna jangan merasa takut, ia tidak akan berbuat apa-apa.
Mereka masuk lebih jauh ke hutan. Johanna memohon-mohon agar mereka keluar hutan, karena hari pun telah larut malam. Schneider mengatakan kini sudah terlalu larut, jadi mereka harus menginap di hutan. Ia mulai mencari dahan-dahan tua dan tidur dekat Johanna. Sesudah beberapa lama ia ingin memerkosa wanita itu. Tetapi Johanna telah siap sedia dan melawan. Sepanjang malam ia berjaga, takut akan diperkosa. Waktu pagi tiba ia tidak mau mengikuti Schneider lagi dan akhirnya ia dibawa keluar hutan.
Mereka keluar di dekat Anzing. Schneider bertanya lagi apakah Johanna tidak mempunyai uang di kopernya. Sesuai dengan kenyataan Johanna menjawab bahwa ia tidak mempunyai uang sepeser pun. Schneider ingin menjual koper Johanna. Tetapi Johanna sudah lebih berani dan mempertahankan miliknya. Kemudian ia ditinggalkan Schneider di dekat hutan. Wanita itu menenangkan diri dan senang sekali waktu ia mendapat tempat kerja pada hari itu juga di Eichgraben dekat Neulengbach.
Schneider kembali ke Wina dan pada hari-hari berikutnya mencari wanita-wanita lain. Pada tanggal 27 Mei dan juga pada tanggal 28 Mei ia telah dilihat dengan wanita-wanita lain di Neulengbach, tetapi tidak ada keluhan apa-apa.
Pada tanggal 1 Juni, Franz Schneider mulai berkenalan dengan pembantu rumah tangga Anna Djuris. Dan dengan cara yang sama, seperti yang dilakukan pada Johanna Stoiber, ia berhasil meminta Anna Djuris untuk ikut ke Neulengbach dengannya.
Mula-mula ia membawanya ke beberapa desa, karena ia harus mencari adiknya dahulu, katanya. Sambil lalu ia bertanya apakah Anna membawa uang atau buku tabungan. Hal-hal itu membuat Anna curiga. Akhirnya, waktu hari sudah mulai gelap, Schneider ingin membawa Anna masuk hutan. Anna tidak mau ikut. Schneider tertawa dan mengambil bungkusan Anna, yang tidak mau bergerak dari tempatnya.
Ia mulai menangis dan Schneider tidak dapat melakukan kejahatan karena banyak orang di dekat mereka. Schneider membawa wanita itu kembali ke kota dan mengatakan bahwa mereka sebaiknya bermalam di hotel kecil dan kemudian hari berikutnya meneruskan perjalanan ke rumah bangsawan.
Schneider membawa Anna ke restoran dan hotel kecil milik Komarek di Neulengbach. Di sana ia meminta kamar dengan dua tempat tidur. Kamar itu terletak di belakang. Mereka masuk kamar dan langsung dikunci oleh Schneider. Wanita itu terkejut. Dalam surat tuduhan kemudian diceritakan tentang keadaan wanita yang menyedihkan. Anna menjerit dan menangis, namun tidak didengar oleh siapa pun. Ia mencakar habis muka Schneider. Schneider meminta uang. Anna menyimpan uang di kutang, tetapi tidak mau mengaku bahwa ia mempunyai uang. Schneider mencari di tempat tidur dan di pakaian. Anna ingin meloncat dari jendela tetapi takut karena jendela terlampau tinggi. Akhirnya Schneider tertidur dengan kunci di tangan. Pagi-pagi ia bangun dan pergi tanpa mengatakan sesuatu apa pun.
Saksi Werk mengatakan bahwa memang Schneider pada waktu itu tercakar seluruh mukanya. Ia bertanya siapa yang mencakarnya tetapi Schneider menjawab bahwa, “Saya telah mencoba membunuh seseorang.”
Pada tanggal 12 Juni, Schneider meninggalkan tempatnya di rumah Werk dan pergi ke Baden. Di situ ia disembunyikan istrinya di kamarnya tanpa sepengetahuan majikan. Juga di Baden ia mencoba menggaet pembantu-pembantu rumah tangga dan juga di situ istrinya membantu. Ia juga mencoba untuk membujuk seorang yang bernama Horalek untuk mencari tempat kerja yang lebih baik. Ia dan Horelek pernah kerja bersama di suatu rumah.
Masih dapat dibaca dalam surat tuduhan bahwa pada waktu diantara tanggal 18-21 Juni, Schneider berhasil menggaet Rosalie Kleinrath. Gadis itu mengalami nasib yang lebih buruk dari pada yang Iain-lain. Rosalie baru berumur 18 tahun dan baru datang dari desa ke Wina, belum mempunyai pengalaman apa pun. Ia merasa beruntung waktu Franz Schneider berkenalan dengannya dan menawarkan pekerjaan di tempat seorang bangsawan di Klosterneuburg. Schneider mengatakan bahwa bangsawan itu sangat membutuhkan seseorang dan meminta Rosalie agar ia segera membawa kopernya. Koper pun segera diambil pada majikannya waktu itu yang bernama Alfred Delker dibantu oleh Schneider. Kemudian mereka pergi bersama-sama. Sejak itu ia hilang, tidak ada kabar berita.
Dari pengakuan Rosalia Schneider dapat diketahui bahwa suaminya telah membawa Rosalie Kleinrath ke dalam hutan di dekat Christhofen dekat Neulengbach. Suaminya membunuh gadis itu, membuka semua pakaiannya dan disembunyikan di bawah dahan-dahan kering. Mayat ditemukan beberapa bulan sesudah itu.
Ia dikenali berkat rambutnya yang pirang, hidung yang menonjol dan gigi yang tidak teratur letaknya. Franz Schneider tidak hanya mengambil pakaian luarnya akan tetapi juga pakaian dalam dan semuanya yang dibawa gadis tadi. Termasuk uang sebanyak 20 gulden dan koper dengan isinya. Hasil rampokan diberikan pada istrinya.
Sejak saat itu Rosalia Schneider menjadi pembantu pembunuh bagi suaminya. Pada tanggal 30 Juli ia meninggalkan tempat kerja dan dengan nama palsu “Reisinger” (nama salah seorang korban) mereka menginap di Kollonitzgasse di tempat Kouba.
“Pekerjaan” menjadi agak sulit bagi Franz Schneider, sebab wanita-wanita langsung curiga pada seorang laki-laki yang tidak dikenal. Ia sulit membujuk mereka dan mereka tidak mudah mengikutinya ke dalam hutan. Selain itu ia sudah dikenal beberapa perantara kerja dan dianggap sebagai konkuren yang tidak disenangi. Sehingga mungkin juga mereka telah mengatakan pada wanita-wanita yang mencari kerja agar waspada terhadapnya.
Tetapi kalau yang mencari itu seorang wanita, maka wanita-wanita pembantu tidak heran dan menganggap biasa jika mereka diantarkan ke tempat kerja yang baru. Sudah beberapa wanita ikut dengan Rosalia Schneider, tetapi karena kemudian diketahui bahwa mereka miskin dan tidak mempunyai uang, mereka dibebaskan lagi dengan alasan-alasan yang dicari-cari.
Sebagaimana telah diceritakan, maka Rosalia bertemu dengan Marie Hottwanger di Franziskanerplatz. Dalam perjalanan ke stasiun, mereka ditemani oleh Franz Schneider. Kurang lebih jam 4 sore mereka sampai di gereja kecil di hutan Dreifoehren dekat Neulengbach.
Beberapa orang laki-laki berbicara dengan Schneider sementara wanita-wanita berdoa di gereja. Schneider dengan cepat meminum beberapa gelas anggur. Sesudah beberapa waktu Nyonya Schneider kembali dengan Marie Hottwanger. la menasihati suaminya agar jangan meminum begitu banyak dan segera berangkat.
“Jangan minum begitu banyak,” katanya, “tidak tahukah engkau apa yang masih harus kaukerjakan?”
“Nah, nah,” kata Schneider dengan santai, “saya ‘kan masih boleh minum sedikit.” Kemudian ketiganya masuk ke dalam hutan.
Menurut pengakuan Rosalia Schneider, suaminya pergi dahulu dengan Marie Hottwanger dan sesudah beberapa waktu kembali sendiri. la menceritakan bahwa ia telah mencekik Marie Hootwanger, menelanjanginya dan mengambil pakaian serta tempat berisi milik-miliknya. Kemudian ia menyembunyikan mayat di semak-semak.
Istrinya lalu menulis surat palsu pada pemilik tempat tinggal Marie Hottwanger dan memasukkan surat di Rekawinkel. Sesudah itu ia pergi ke Wina. Mereka membuang tempat barang-barang yang sudah kosong dan yang kemudian ditemukan kembali. Hari berikutnya mereka menjual pakaian yang dipakai oleh Marie Hottwanger. Bahwa Nyonya Schneider justru muncul untuk mengambil koper di tempat tinggal Marie waktu pembawa surat membawa surat palsu, itu tidak kebetulan saja. Semua telah diatur baik-baik. Nyonya Schneider telah menunggu sampai pembawa surat masuk di rumah sebelah. Pada saat itu ia pergi ke Nyonya Steiner. Sehingga surat diberikan sewaktu ia sedang di sana dan tidak menimbulkan kecurigaan.
6 hari kemudian, Rosalia Schneider berhasil meyakinkan Frieda Zuffer yang baru datang dari Hermannstadt untuk ikut dan menjadi pembantu di Villa Ecker di Neulengbach. Frieda Zuffer menceritakan kepada Nyonya Grabherr di mana ia menginap, bahwa yang mencarikan tempat kerja itu bertanya apakah ia mempunyai uang. Nyonya Grabherr mulai curiga apalagi waktu Frieda mengatakan bahwa Villa Ecker terletak di tempat sepi dan harus melewati hutan agar sampai ke sana. Nyonya Grabherr menasihati wanita itu agar jangan pergi. Namun ia tetap pergi setelah mengumpulkan semua milik beserta pakaiannya.
Pemilik restoran dan hotel kecil “Quellerer” di Unter-Wolfsbach dan beberapa tamu yang sudah mengenal Franz Schneider dari dulu. Mereka memberi kesaksian bahwa ia datang ke bar pada jam lima sore. Schneider tertawa-tawa dan melucu. Mereka menunggu berhentinya hujan dan kemudian masuk dalam hutan.
Rosalia Schneider mengatakan bahwa suaminya telah membawa mereka berputar-putar. Kemudian ia, seakan-akan menemukan jalan yang benar lagi, kembali ke jalan yang sudah ditempuh. Ia mengatakan kepada istrinya agar menunggu dan berjalan terus sendiri dengan Frieda Zuffer. Beberapa waktu kemudian, ia kembali tanpa Zuffer dan membawa sebagian milik korban itu. Ia menceritakan bahwa telah menjegal Zuffer sampai jatuh lalu ia merebahkan diri diatasnya. Korban dicekik dengan cepat sehingga hanya menjerit sebentar saja. Ia menelanjangi wanita itu tetapi semua pakaian dibuang karena terlalu menarik perhatian dan takut lekas dikenal kembali. Mayat ditemukan di tempat yang kemudian ditunjukkan oleh Rosalia Schneider. Tidak ada sepuluh langkah dari mayat yang telanjang itu, di seberang jalan hutan, ditemukan pakaian, topi, dan surat-suratnya yang disobek.
Suami istri Schneider tidur di hutan dan paginya berjalan melalui Langenberg, Berging, Raipoltenbach ke Neulengbach. Di sana mereka mengirim telegram kepada Nyonya Grabherr di Wina atas nama Zuffer. Telegram itu berisi permintaan agar barang-barangnya diberikan kepada nyonya yang sudah dikenal itu.
Nyonya Schneider datang. la diberi sebuah koper dan keranjang milik Zuffer yang kemudian dibawanya ke stasiun, lalu dikirim dengan kereta api arah Penzing. Di Penzing barang-barang itu tadinya disimpan di hotel kecil Pfadenhauer dan kemudian di hotel kecil “Zur Sonne” di Rudolfsheim. Beberapa lama kemudian, barang-barang itu dibawa pulang oleh mereka.
Kepada Kouba diceritakan bahwa semua itu berasal dari warisan ibu Rosalia. Sedikit demi sedikit isi koper dan keranjang dijual. Uang sebanyak seratus 50 gulden yang dikirimkan kepada Rosalia atas dasar surat-surat bukti Zuffer, diambil oleh seorang bernama Schwab dengan surat kuasa Rosalia. Sesudah semua barang terjual, suami istri Schneider menyewa sebuah kamar di Rudolfsheim dan dengan nama palsu “Ferdinand dan Rosalia Riedler”, mereka tinggal di Rudolfsgasse.
Tampaknya mereka ingin terus melakukan kejahatan. Maka Rosalia Schneider, menurut kesaksian koki Watza dan pencari pembantu Eder, mulai mencari pembantu rumah tangga lagi. Pembunuhan yang baru tidak berhasil karena polisi turun tangan.
Sidang pengadilan merupakan sensasi. Yang mengetuai adalah Wakil Ketua Pengadilan Dr. R.v Holzinger yang terkenal kebaikannya maupun kekerasannya dan yang kemudian meninggal karena bunuh diri. Franz Schneider dibela oleh Dr. Richard Fried, sedangkan Rosalia oleh Dr. Justav Fried.
Kedua terdakwa tidak memberikan kesan baik selama sidang berjalan. Si wanita, seorang yang kurus sekali dengan hidung sangat mancung dan sepasang mata kecil yang licik. Si pria rupanya tidak menyenangkan. la memberi kesan kemerah-merahan, sehingga mirip seseorang yang memainkan peran setan. Rambutnya kemerah-merahan, kumis yang menutup bibir merah menyala, dasinya merah, bahkan setelan jasnya agak kemerah-merahan. Tangannya panjang dan jarinya hampir menyentuh lutut jika ia berdiri, hampir-hampir seperti kera. Sementara tuduhan dibacakan, ia tersenyum-senyum melihat ke arah penonton sambil mengedipkan kedua mata yang mencerminkan kelicikan dan kekasaran.
Dengan roman muka yang suram Franz Schneider menyatakan dirinya bersalah. Tetapi ia mencoba untuk memberatkan istrinya (yang agaknya dibencinya) dan berharap hukumannya tidak berat.
Seorang wartawan pada waktu itu membandingkan saling tuduh menuduh suami-istri itu sebagai perkelahian antara harimau dan ular. Ternyata dengan segera, diketahui bahwa sang istri lebih cerdik daripada sang suami. Peran yang ia mainkan dalam melakukan kejahatan itu lebih keji dan memuakkan. Ia mengatakan bahwa ia hanyalah “alat” suaminya. Tetapi jaksa mengatakan, “Kebalikannya! Suami Anda hanyalah pelaku! Andalah ‘mesin’ yang menyebabkan pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan!”
Terjadilah perkelahian sengit antara kedua suami istri. Mereka saling menyalahkan, siapa yang sebenarnya bersalah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji itu.
Ketua mengatakan kepada Schneider, “Jadi Anda ingin meyakinkan kami bahwa pada mulanya Anda hanya melakukan penipuan-penipuan belaka pada para pembantu rumah tangga, akan tetapi tidak puas karena selalu tertangkap basah?”
“Ya, demikianlah keadaannya,” teriak tertuduh. “Lalu istri saya memberi nasihat: ‘Lebih baik kita bunuh saja, tidak kentara.’”
Tetapi saling tuduh itu tidak berhasil. Franz dan Rosalia Schneider dinyatakan bersalah dan pada hari persidangan kelima dijatuhi hukuman gantung karena menjalankan pembunuhan serta perampokan yang keji. Setelah para juri berunding, ditetapkan bahwa Rosalia yang akan menjalankan hukuman dulu.
Tetapi keputusan hanya dijalankan pada yang lelaki. Rosalia diberi pengampunan oleh pengadilan yang tertinggi dan dirubah hukuman menjadi hukuman seumur hidup. Tanggal 17 Maret, jam 7 pagi Franz Schneider digantung.
Rosalia pasrah pada nasib. Sesudah dibacakan perubahan keputusan dari hukuman mati gantung ke hukuman berat seumur hidup, ia dibawa kembali ke selnya. Acuh tak acuh ia mengatakan kepada sesama penghuni selnya, “Franz mendapatkan gantungan, saya tidak mendapatkan apa-apa.”
“Sedikit kehidupan” yang dicemburui oleh suaminya, begitu katanya, tetap dimilikinya. Ia dimasukkan ke penjara wanita Neudorf dekat Moedling.
(Gerhart Herrmann Mostar)
Baca Juga: Petualangan Sang Belalang
" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553752730/korbannya-semua-pembantu-rumah-tangga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1684218201000) } } [12]=> object(stdClass)#181 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3761012" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#182 (9) { ["thumb_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/apakah-dia-jack-the-ripperjpg-20230511110430.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#183 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "George Chapman dituduh membunuh tiga wanita dengan racun. Banyak orang mengaitkan pembunuh keji itu dengan Jack the Ripper." ["section"]=> object(stdClass)#184 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/apakah-dia-jack-the-ripperjpg-20230511110430.jpg" ["title"]=> string(27) "Apakah Dia Jack the Ripper?" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 11:04:38" ["content"]=> string(30426) "
Intisari Plus - George Chapman dituduh membunuh tiga wanita dengan racun. Banyak orang mengaitkan pembunuh keji itu dengan Jack the Ripper yang terkenal sadis di London.
---------------
Jika seseorang akan dibunuh dengan racun, maka biasanya pembunuh memilih arsenikum. Sudah sejak beratus-ratus tahun, arsenikum merupakan “racun khas” untuk membunuh.
Pada tahun 1903 seorang pria setengah baya dihadapkan ke pengadilan di London. la dituduh membunuh tiga orang wanita dengan racun. Bukan arsenikum, melainkan antimonium. Cara-caranya pembunuhan menimbulkan sangkaan bahwa ketiga pembunuhan itu dilakukan oleh seorang penjahat saja. Apakah sangkaan ini mempunyai dasar, masih belum terjawab.
Tertuduh berusia 37 tahun, berasal dari Polandia dan bernama Severin Klosowski. Tetapi ia menamakan dirinya George Chapman dan diadili dengan nama itu. Di usia 15 tahun ia mulai belajar pada seorang mantri kesehatan di negara asalnya. Ia tamat belajar sebagai pembantu mantri dan penata rambut. Kemudian ia meneruskan pendidikan pada sebuah klinik. Sesudah mengabdi 1,5 tahun di ketentaraan, ia berimigrasi ke Inggris. Ia tiba kira-kira musim semi tahun 1887.
Di London tadinya ia mencari nafkah sebagai pembantu penata rambut, kemudian membuka salon di daerah Tottenham. Tetapi tidak lama kemudian usahanya itu gagal. la pergi ke tempat lain untuk menjadi pembantu penata rambut lagi.
Pada bulan Agustus 1889, Klosowski menikah dengan seorang wanita Polandia bernama Lucy Barski. Tidak lama sesudah pernikahan, seorang wanita datang dari Polandia dan menyatakan bahwa dialah istri pria itu. Kedua wanita hidup bersama dengannya selama jangka waktu tertentu, lalu wanita yang datang terakhir kembali ke tanah airnya. Klosowski berimigrasi dengan istrinya yang lain ke Amerika Serikat.
Karena mereka tidak cocok, beberapa bulan kemudian si istri kembali ke Inggris. Suaminya menyusulnya tahun 1893. Di London mereka rujuk kembali dan mempunyai dua orang anak. Karena sering suaminya tidak setia, istrinya meninggalkannya. Mereka hidup terpisah.
Kini Klosowski menjalin hubungan dengan seorang wanita muda bernama Annie Chapman dan hidup bersama selama setahun. Sesudah wanita itu meninggalkannya, ia menamakan dirinya George Chapman. Dengan penukaran nama ini tampaknya ia ingin menghindari tuntutan-tuntutan banyak wanita yang telah ia hubungi selama beberapa tahun. Ia tidak mau mengaku pernah memakai nama yang terdahulu, juga kepada para petugas. Menurut undang-undang Inggris, seseorang dapat mempunyai nama baru jika sudah dipakai terus-menerus. Jika ini terjadi, maka nama lama hilang.
Sesudah berpisah dengan Annie Chapman, Chapman berkenalan dengan Nyonya Spink. Wanita tadi masih menjadi istri seorang kuli bernama Spink, yang baru saja meninggalkannya karena si istri pemabuk.
Sesudah Chapman pindah pondokan ke keluarga Ward, Nyonya Spink dan Chapman sering terlihat bersama-sama. Chapman menerangkan kepada orang lain bahwa mereka akan segera menikah. Di bulan Oktober 1895, mereka menyatakan kepada kenalan dan kawan-kawan bahwa mereka telah menikah. Padahal keterangan ini bohong, karena keduanya belum bercerai dengan pasangan masing-masing.
Nyonya Spink memiliki sedikit uang yang mereka pakai membeli salon. Ia membantu “suaminya” melayani langganan. Kadang-kadang ia juga mencukur langganan. Waktu itu belum biasa wanita mengerjakan hal itu.
Waktu usahanya tidak begitu maju, Nyonya Spink membeli piano dan bermain sambil suaminya melayani pelanggan. Karena “penataan rambut dengan musik” ini, salon itu terkenal di seluruh bagian kota dan menarik banyak langganan. Karena itulah Chapman banyak mendapat uang, sehingga ia mampu membeli perahu.
Di antara pelanggannya, ada seorang penjual obat. Chapman meminta padanya agar diberikan “tartar emetic”, racun antimonium. Si penjual obat menjual 30 gram racun yang jarang diminta itu. Ia memberikannya dalam botol dengan tulisan “racun”. Bersamaan dengan penjualan itu, ia juga menyuruh Chapman menandatangani buku racun. Chapman memberi tanda tangan dan menuliskan kata-kata yang sukar dibaca pada kolom yang isinya keterangan untuk maksud apa racun itu dibeli.
Salon kembali mengalami kemunduran, terutama karena Nyonya Spink pemabuk. Akhirnya salon terpaksa dijual.
Dalam tahun 1897, Chapman membeli restoran kecil di London dengan nama “Prince of Wales”. Nyonya Spink seorang wanita yang relatif sehat, tapi saat itu ia merasa sakit sekali jika sedang mendapat haid. Dalam waktu singkat, kesehatannya makin memburuk. Ia sering muntah-muntah hebat, bergantian dengan sakit rahim yang tidak tertahankan. Seorang tetangga yang diminta bantuan oleh Chapman, akhirnya memanggil seorang dokter. Dokter tidak begitu memedulikan keadaan si sakit. Nyonya Spink makin lama makin lemah dan meninggal pada tanggal 25 Desember 1897.
Di mata temannya, kematian ini dianggap sebagai akhir penderitaan yang teramat besar. Chapman pingsan, tidak dapat dihibur dan semua orang kasihan kepadanya. Tetapi meskipun demikian, restorannya dibuka pada hari itu juga. Dokter segera saja mengeluarkan surat kematian dengan sebab kematian ayan. Agar biayanya rendah, Chapman menyuruh menguburkan jenazah Nyonya Spink di kuburan massal.
Beberapa bulan sesudah kematian Nyonya Spink, di musim semi 1889, Chapman memasang iklan mencari seorang pramuniaga. Datanglah seorang gadis muda bernama Elisabeth Taylor, seorang anak petani yang hingga saat itu menjadi pembantu rumah tangga. Chapman melihat dan menerimanya. Segera saja gadis itu menjadi pacarnya dan sangat bahagia.
Pada suatu hari, Chapman menyatakan pada para pelanggannya bahwa ia telah menikah dengan “Bessie”. Sebenarnya ia hanya pergi ke pedesaan sehari dengan gadis itu. Karena masih saja berstatus beristri, maka ia tidak dapat menikahi gadis itu. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya, ia tidak mungkin menikahi Nyonya Spink. Tetapi Bessie ikut “bermain” dan sesudah itu enak-enak saja menyuruh orang lain memanggilnya Nyonya Chapman.
Sesudah “perkawinan”, Elisabeth Taylor yang sebelumnya sehat dan kuat, mulai sakit-sakitan. Ia menjadi kurus sekali dan makin lemah. Akhirnya harus dibawa ke sebuah klinik. Waktu ia kembali ke rumah, Chapman memperlakukannya dengan buruk.
Para dokter di klinik dan juga dokter keluarga tidak mengerti apa penyakit “Nyonya Chapman”. Waktu dokter keluarga datang menengok ke rumah, ia heran menemukan pasien sedang memainkan piano. 2 hari kemudian 13 Februari 1901, gadis tersebut meninggal. Dalam surat kematian dokter keluarga, Dr. Stoker, menuliskan sebab kematian adalah kelelahan karena terlalu banyak muntah dan mencret.
Dokter ini pun tidak menganggap perlu untuk menyelidiki sebab-sebab kematian yang aneh tersebut. Sekali lagi Chapman seperti tidak bisa terhibur. “Bessie” disenangi semua orang dan banyak yang prihatin pada Chapman setelah “istrinya” meninggal. Chapman menyuruh membuat batu nisan yang megah dan ia menulis sendiri beberapa syair untuk diukir di nisan itu.
Orang tua gadis yang meninggal selalu menyatakan bahwa Chapman orang baik. Waktu mereka melihat batu nisan, mereka menyatakan bahwa anaknya tidak mungkin mendapatkan suami yang lebih baik darinya.
Beberapa bulan sesudah meninggalnya Elisabeth Taylor, Chapman berkenalan dengan wanita yang akan menjadi korban ketiganya.
Di bulan Agustus 1901, Chapman membaca iklan. Seorang gadis muda berusia 20 tahun, bernama Maud Marsh, mencari pekerjaan sebagai pramuniaga. Chapman menyuruhnya datang dan segera saja Maud dimintanya untuk bekerja.
Maud Marsh anak seorang pekerja dan sebelumnya tinggal di tempat orang tuanya. Waktu ia menceritakan kepada orang tuanya bahwa ia akan memulai pekerjaan baru, ibunya pergi ke restoran Chapman untuk melihat keadaan. Pada kunjungan itu, Chapman memberikan beberapa keterangan palsu. Ia menceritakan kepada ibu tadi, bahwa ia seorang duda dan di bagian atas masih ada keluarga yang tinggal. Dengan demikian, Chapman ingin memberikan gambaran bahwa rumah di mana anaknya akan tinggal itu rumah baik-baik. Ia berhasil. Si ibu setuju anaknya bekerja di situ.
Gadis itu belum lama bekerja, waktu ia menulis kepada ibunya bahwa majikannya telah menghadiahkan jam emas dengan kalung. Tidak lama kemudian, datang sepucuk surat lagi. Maud menyatakan kepada ibunya, majikannya meminta “beberapa hal” kepadanya. Jika ia menolak maka majikan akan mengusirnya.
Berita-berita ini membuat Nyonya Marsh agak risau, dan ia menasihati anaknya untuk kembali ke rumah. Sayang sekali, gadis muda ini tidak mengikuti nasihat tadi. Malah pada suatu hari Chapman datang dengannya dan dengan resmi meminangnya. Pada kesempatan itu Chapman memperlihatkan kepada orang tua Maud, sebuah surat wasiat. Surat tersebut menyatakan bahwa jika meninggal, Chapman akan mewariskan 400 ponsterling.
Orang tua Maud tetap kurang percaya dan menasihati agar anak mereka berhati-hati. Waktu anak ini pada suatu hari menengok ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit, ia memakai cincin di jari. Ketika ditanyai apakah ia telah menikah, ia mengangguk. Perkawinan, katanya, telah diberkati di sebuah “tempat” Katolik di Bishopsgate Street.
Seperti biasa, maka kali ini pun Chapman menipu. “Upacara perkawinan” itu hanyalah naik kereta keliling London dengan Maud, kemudian kembali ke restoran dan berpesta pora dengan tamu-tamu merayakan “perkawinan”. Akal licik Chapman ini agak diganggu oleh Nyonya Marsh. Ia datang dan tidak mau begitu saja mempercayai apa yang telah diceritakan tentang upacara “perkawinan”. Ia curiga ada sesuatu yang tidak beres. Suaminya lebih-lebih lagi. Mereka meminta Chapman agar memperlihatkan surat kawin. Akan tetapi anak mereka mencegah dengan keras permintaan si ayah.
Beberapa waktu kemudian, Maud tiba-tiba jatuh sakit. Ia muntah terus-menerus, mencret, sakit peranakan, haus, dan mual tidak karuan. Tampak sangat menderita melihat “istrinya”, Chapman dengan segala kasih sayang merawatnya. Akan tetapi karena keadaan si sakit makin hari makin memburuk, diambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit.
Para dokter di klinik tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Mereka menyangka Maud menderita kanker, reumatik, atau sakit lambung dan dengan demikian sama sekali tidak dapat memberi analisa yang tepat. Tidak ada terpikir bahwa ini disebabkan suatu kejahatan. Padahal di dalam klinik keadaan pasien dengan segera membaik.
Baru saja Maud pulang ke rumah Chapman, penyakitnya kambuh kembali. Chapman berhasil mencegah Maud dibawa ke rumah sakit lagi. la memanggil dokter keluarga, Dr. Stoker, yang dulu pernah diminta bantuannya. Dokter tidak dapat menemukan sebab penyakit dan mencoba memberikan segala macam obat yang tidak menolong. Keadaan si sakit makin memburuk setiap hari dan dokter putus asa.
Sementara itu Chapman telah berganti restoran dan pindah ke sana. Dr. Stoker masih saja merawat pasiennya dan menjadi saksi bagaimana kekuatannya makin menurun.
Waktu ibu Maud dan seorang tetangga bergantian merawat Maud, Chapman menyatakan bahwa hanya dialah yang berhak membuat semua makanan dan minuman untuk Maud. Keadaan si sakit makin menyedihkan. Akhirnya keadaan demikian buruknya sehingga Maud hanya bisa minum saja.
Pada suatu hari terjadi sesuatu yang hampir saja membahayakan Chapman. la membuatkan minuman anggur dan soda untuk Maud. Si sakit meminum minuman itu, tetapi karena terlampau lemah, sisanya sebagian besar ada dalam gelas. Beberapa waktu kemudian, Nyonya Marsh dan tetangganya meminumnya juga. Akibatnya mereka muntah-muntah dan mencret.
Meskipun hal ini sebenarnya bisa menarik perhatian, tidak ada seorang pun yang curiga. Yang paling mengherankan ialah bahwa tidak ada yang curiga bahwa mungkin racun yang menjadi sebab penyakit yang misterius ini.
Baru waktu pasien sekarat, Nyonya Marsh curiga. la membicarakan hal ini dengan suaminya dan mereka kemudian meminta dokter keluarganya, Dr. Grapel, untuk memeriksa putri mereka.
Dr. Grapel segera pergi ke restoran Chapman dan memeriksa pasien di sana. Baru sebentar saja ia sudah mengetahui bahwa Maud keracunan. Tetapi ia belum mengetahui racun apa yang masuk ke dalam tubuh gadis malang itu. Jadi baru sekali itu seorang dokter menaruh syak.
la mengirim telegram ke Dr. Stoker dan mengabarkan bahwa penyakit wanita muda itu menurut pendapatnya adalah karena racun. Jika langsung diambil tindakan, mungkin jiwa pasien masih bisa tertolong. Chapman yang takut oleh kedatangan dokter lain itu segera memberikan racun dengan dosis baru sehingga beberapa jam kemudian Maud meninggal. Waktu ia meninggal, Chapman berpura-pura sedih. Ia berteriak-teriak seperti anak-anak.
Karena keterangan rekannya, Dr. Stoker menolak untuk memberi surat keterangan kematian. Ia merasa perlu dilakukan pembedahan mayat. Chapman marah mendengarkan itu dan meminta pertanggungjawaban.
“Saya tidak dapat menemukan sebab kematian,” kata dokter.
“Karena terlampau lelah, disebabkan adanya bengkak dalam usus,” jawab Chapman.
“Apakah yang menyebabkan bengkak tadi?”
“Karena selalu muntah dan mencret.”
“Apa penyebab muntah dan mencret?”
Chapman tidak menjawab. Kemudian ia menyatakan bahwa kematian disebabkan karena memakan daging kelinci yang mengandung arsenikum.
Dr. Stoker kemudian memutuskan untuk melakukan pembedahan mayat sendiri dibantu oleh tiga dokter lain.
Waktu dibedah mula-mula tidak ditemukan apa-apa yang dapat menjelaskan soal penyebab kematian wanita muda itu. Dokter kemudian mengambil lambung dan organ-organ lain untuk dianalisa. Dalam bagian-bagian badan itu ditemukan antimonium. Zat ini dapat dicairkan dalam air dan terasa agak manis dan tidak enak.
Dulu di beberapa daerah, majikan biasa memberikan sedikit antimonium dalam makanan agar para pembantu yang mencuri dari majikan jadi jera. Kadang-kadang antimonium juga dimasukkan di dalam gelas pemabuk, agar mereka jera. Peracunan dengan “batu pemuntah” sudah jarang dilakukan. Akibat dari “batu pemuntah” sama dengan akibat racun arsenikum, yakni muntah terus menerus, tidak dapat dihentikan (oleh karena itu dinamakan “batu pemuntah”) mencret, tidak bisa menelan, sakit lambung, kejang denyut nadi tidak teratur, dan pingsan. Mayat korban jadi awet, sehingga bertahun-tahun sesudah meninggal masih dapat dikenali kembali.
Pada tanggal 23 Oktober 1902 dikeluarkan perintah penahanan terhadap Chapman. Hanya dialah yang dapat memberikan “batu pemuntah” pada almarhumah. Bulan April 1897 diketahui ia telah membeli sejumlah racun itu dan tidak ada orang lain yang mempunyai kontak dekat dengan mereka yang sudah meninggal. Waktu diadakan pemeriksaan rumah, selain daripada 300 pon emas dan uang, ditemukan kaleng-kaleng yang mencurigakan, berisikan bubuk putih. Lalu ditemukan juga surat-surat keterangan yang membuktikan bahwa Chapman sebagai seorang Polandia, mempunyai kewarganegaraan Rusia, dan bernama Severin Klosowski. Selain itu, ada beberapa buku khusus mengenai bagaimana memakai racun dan buku kehidupan algojo bernama Bary.
Polisi menganggap mayat Nyonya Spink dan Elisabeth Taylor perlu digali untuk diperiksa. Kedua mayat masih baik, meskipun sudah beberapa lama dikuburkan. Menurut patolog yang melakukan pemeriksaan, wajah dan tangan Nyonya Spink seperti baru kemarin dikuburkan. Keadaan itu saja sudah menunjukkan bahwa ada racun di dalam tubuhnya. Pembedahan mayat membenarkan dugaan itu. Seperti dikatakan seorang ahli yang memeriksa, tubuh kedua wanita tadi bagaikan dicelupkan ke dalam antimonium.
Pemeriksaan dibuka di depan pengadilan di London pada tanggal 16 Maret 1903. Yang memimpin adalah seorang hakim yang paling populer di Inggris, Justice Grantham. Yang menjadi penuntut adalah Sir Edward Carson, pernah menjadi lawan Iscar Wilde. la dibantu tiga ahli hukum lagi. Sebagai pembela tersedia tiga orang pengacara.
Publik menaruh perhatian. Orang yang datang melebihi tempat yang tersedia. Perhatian tetap besar hingga akhir persidangan. Hakim sekitar jam 11 masuk ke ruang sidang. Tertuduh dibawa masuk. Saat dibawa ke polisi, Chapman tampak tidak peduli. Tapi di pengadilan ia seakan-akan senewen dan ketakutan. Ia menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan suara perlahan, tidak tetap, dan ragu-ragu.
Penuntut utama dalam pembukaannya hanya memberikan singkatan bukti-bukti. Pembela dalam posisi sulit, ingin mencari keuntungan dari fakta bawa Chapman seorang asing. Tetapi pernyataan ini tidak dianggap serius oleh juri. Chapman selama pledoi pembelanya menangis tersedu-sedu, tetapi tidak menggerakkan perasaan juri.
Sesudah mendengar keterangan tidak kurang dari 37 saksi, maka seorang wakil penuntut dan seorang pembela memberikan pendapat dengan singkat.
Dalam penjelasannya hakim tidak memberi peluang untuk bebas sedikit pun pada tertuduh. Para dokter yang tersangkut mendapat kecaman habis-habisan dan mereka disalahkan karena begitu lama bisa dikelabui oleh tertuduh. Penuntut masih agak membela para dokter dan menerangkan bahwa untuk seorang dokter bukanlah keputusan yang mudah untuk menuduh seseorang melakukan pembunuhan. Sebab jika tidak terbukti, maka dokter pun akan terkena akibatnya. Tetapi para hakim tidak bisa menerimanya.
Para juri membutuhkan waktu 10 menit untuk perundingan mereka. Waktu Chapman diberitahu bahwa ia dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan, ia tidak mempunyai kekuatan untuk membantah. Ia juga membisu waktu para hakim menjatuhkan hukuman mati. Hukuman ini dianggap sebagai ganjaran setimpal dan tidak ada seorang pun yang setuju terhukum meminta pengampunan kepada menteri dalam negeri.
Hingga pelaksanaan hukuman ia tidak memperbolehkan seorang pun juga datang kepadanya di penjara, bahkan tidak juga istrinya yang orang Polandia yang ingin melihatnya. Satu-satunya orang yang ia izinkan adalah seorang pastor Rusia-Ortodoks.
Sampai saat terakhir, ia menyatakan dirinya tidak bersalah dan juga tidak mengakui dirinya sebagai Severin Klosowski. Pada tanggal 7 April 1903 ia dihukum gantung dan di penjara Wandsworth di London.
Pada waktu pemeriksaan terhadap Chapman sudah berakhir, dan perkara mencapai tahap pengadilan, maka di kalangan kepolisian tercetus dugaan bahwa Chapman indentik dengan seorang pembunuh yang sudah lama dicari dan diberi julukan “Jack the Ripper” oleh masyarakat.
Pembunuhan pertama yang diduga dilakukan Jack the Ripper terjadi di pagi hari tanggal 31 Agustus 1888. Korbannya seorang wanita pelacur, Mary Ann Nicholls. Tidak lama sesudah kejahatan ini dilakukan, badan korban ditemukan di Buck’s Row di Whitechapel.
Leher wanita tadi disayat dari telinga satu ke telinga yang lain dan perut bagian bawah dipotong-potong. Dokter polisi menduga bahwa mayat dibunuh kira-kira setengah jam sebelum diletakkan di tempat ia ditemukan. Dari cara menyayat diambil kesimpulan bahwa si pelaku sangat ahli menggunakan pisau, sebab sama sekali tidak terdengar jeritan apa pun.
2 hari kemudian terjadi pembunuhan kedua yakni pada tanggal 8 September 1888, tidak jauh dari tempat kejadian yang pertama. Korban lagi-lagi seorang pelacur, dengan nama Annie Chapman. Badannya menunjukkan cedera mengerikan yang sama seperti Nicholls. Waktu diperiksa lebih lanjut ditemukan beberapa bagian dalam telah hilang. Yang menjadi pertanyaan ialah senjata apa yang dipakai si pelaku. Tidak dapat ditentukan apakah itu bayonet prajurit, pisau penjual daging, atau pisau bedah dokter. Dokter pengadilan menyatakan bahwa ini semua mungkin dipakai.
Juga kali itu tidak ditemukan si pembunuh. Polisi telah menahan beberapa penjahat yang terkenal di sekitar itu, namun mereka dapat memberikan alibi dan harus dibebaskan kembali. Akhirnya yang berwajib menjanjikan hadiah 100 ponsterling bagi orang yang berhasil menangkap pembunuh. Lagi-lagi itu tidak membuahkan hasil.
3 minggu tidak terjadi apa-apa. Lalu penduduk daerah Whitechapel di London sekali lagi dikejutkan. Seorang pelacur dibunuh lagi. Pada tanggal 30 September pagi, orang menemukan mayat Elisabeth Stride di Berners Street dengan leher yang tersayat. Kali ini pada badan wanita muda itu tidak ditemukan cedera lain. Sebelah tangannya memegang buah anggur dan di tangan lain beberapa bonbon. Kali ini pun tidak ada bekas-bekas yang dapat dijadikan petunjuk untuk menemukan si pelaku.
Pada malam itu juga dibunuh pula seorang wanita lain, Catherine Eddows, tempat kejadiannya sekitar 10 menit dari tempat pelacur sebelumnya ditemukan. Korban ini termasuk pelacur di Whitechapel.
Dari kejadian-kejadian ini terbukti bagaimana cepatnya si pelaku bekerja dan betapa pandainya ia mengelak yang berwajib. Pada jam 01.30 seorang petugas polisi masih mengelilingi tempat di mana terjadi kejahatan dan ia tidak melihat apa-apa. 15 menit kemudian seorang laki-laki menemukan mayat di tempat yang sama, leher gadis disayat dan badan dipotong-potong.
Pembunuhan ganda di Whitechapel ini menimbulkan kepanikan di antara para pelacur di Whitechapel. Dan tentu saja mengguncang London. Hadiah penangkapan dinaikkan dari 100 ponsterling menjadi 1.000 ponsterling.
Kira-kira pada waktu yang bersamaan, polisi menerima sepucuk surat dan sebuah kartu pos, yang katanya dikirim oleh si pelaku (akan tetapi mungkin dari orang lain). Di sini untuk pertama kali disebutkan nama Jack the Ripper. Dalam surat dikatakan:
“Saya masih terus mencari korban di antara pelacur, dan saya tidak akan berhenti membunuh mereka dengan keji, hingga yang terakhir. pembunuhan yang terakhir yang paling hebat. Saya tidak memberinya kesempatan untuk berteriak. Bagaimana Anda mau menangkap saya? Saya mencintai pekerjaan saya dan akan selalu mencari korban. Anda akan segera mendengar kabar dari saya. Pada pekerjaan berikutnya nanti, saya akan memotong telinga si wanita dan akan mengirimkannya ke polisi. Pisau saya begitu .... dan tajam. Mudah-mudahan Anda baik-baik saja, dengan hormat Jack the Ripper.
Pada kartu pos yang datang beberapa hari kemudian, ia mengabarkan tentang pembunuhan ganda:
“Kali ini pembunuhan ganda. Nomor satu sebentar menjerit, saya tidak dapat dengan segera membunuhnya. Tidak mempunyai waktu memotong telinga untuk polisi……
Jack the Ripper.
Polisi mengirimkan kopi surat-surat tersebut kepada koran-koran terpenting, dengan permintaan untuk memuatnya. Diharapkan bahwa dengan cara itu maka masyarakat bisa membantu mengenal si pelaku dari caranya menulis. Tidak ada yang melapor kepada polisi.
Penduduk London baru saja menenangkan diri kembali, waktu pada tanggal 9 November terjadi lagi suatu pembunuhan. Di sebuah rumah di Dorset Street ditemukan mayat seorang wanita yang dibunuh dengan keji. Seorang dokter yang dipanggil menerangkan bahwa ia belum pernah melihat badan yang begitu disiksa. Wanita yang bernama Mary Jane Kelly, malam itu masih terdengar menyanyi. Ia dibunuh saat sedang tidur di kamarnya.
Karena kejadian yang mengejutkan ini, menteri dalam negeri memerintahkan polisi untuk menjanjikan kebebasan bagi semua komplotan si pembunuh, jika mereka mau memberi keterangan sehingga dapat membantu polisi menangkap pembunuh. Cara ini juga tidak berhasil.
Sesudah istirahat lebih dari setengah tahun, pada tanggal 18 Juli 1889 pagi, wanita lain dibunuh dengan cara yang sama seperti yang sebelumnya. Kejahatan ini pun dilakukan cepat sekali. Seorang petugas polisi sedang makan di bawah sinar lampu jalan, seperempat jam sesudah tengah malam. 10 menit kemudian ia meninggalkan tempat itu untuk berbicara dengan seorang rekan. 50 menit sesudah tengah malam, ia kembali ke lampu tadi, di situ ada mayat seorang wanita. 40 menit sesudah tengah malam hujan turun sedikit. Karena tanah di bawah badan wanita itu kering, tetapi pakaiannya basah, maka kejahatan diduga dilakukan antara 25 menit dan 40 menit sesudah tengah malam.
Siapa Jack the Ripper itu belum pernah terungkap. Dari waktu ke waktu seseorang menyatakan telah menemukan jawaban atas teka-teki ini, akan tetapi tidak satu pun hipotesis yang diajukan dapat dipercayai sepenuhnya. Yang paling mendekati ialah dugaan bahwa George Chapman itu identik dengan Jack the Ripper, mengingat:
Jack the Ripper melakukan rentetan pembunuhan yang pertama bulan Agustus tahun 1888 di daerah kota London bernama Whitechapel. Chapman tiba di London pada tahun 1888 serta bekerja beberapa lama di daerah ini. Wanita yang waktu itu hidup bersamanya, kemudian menerangkan kepada yang berwajib, bahwa Chapman baru pulang jam 3 atau 4 pagi. Ia tidak tahu apa sebabnya.
Cara Jack the Ripper melakukan kejahatan mengungkapkan bahwa ia mempunyai pengetahuan dan keterampilan medis. Chapman berpendidikan pembantu mantri kesehatan dan telah bekerja beberapa tahun pada seorang mantri dan di sebuah klinik. Jadi ia mempunyai pengetahuan tentang anatomi dan sebagai bekas prajurit ia telah dididik di bagian pembedahan.
Salah seorang saksi yang pernah melihat Jack the Ripper dengan Kelly menerangkan bahwa orang itu berusia antara 34-35 tahun, berambut hitam, dan berkumis. Ujung kumis melengkung ke atas. Keterangan ini tepat dengan rupa Chapman, yang selalu tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Pada bulan Juli 1889 terjadilah pembunuhan “Ripper” yang terakhir. Pada bulan Mei 1890 Chapman membuka sebuah salon di kota Jersey City, Amerika Serikat. Menurut kabar, di situ juga terjadi pembunuhan-pembunuhan yang hampir sama. Semuanya itu tiba-tiba berhenti pada tahun 1892.
Pendapat bahwa Chapman dan Jack the Ripper itu identik, bukan saja dikatakan oleh penulis yang telah menerbitkan akta-akta tentang Chapman, akan tetapi juga oleh petugas polisi kriminal yang diberi tugas memeriksa pembunuhan-pembunuhan di Whitechapel. Petugas-petugas kriminal ini dan seseorang dari Scotland Yard bertahun-tahun mencoba mengungkapkan kejahatan ini. Namun hanya sampai pada sangkaan-sangkaan belaka.
Banyak hal mendukung bahwa Chapman dan Jack the Ripper itu identik. Namun semua tidak bisa dibuktikan bahkan hingga Chapman dihukum mati. Dengan demikian, maka George Chapman alias Severin Klosowski dalam akta-akta sejarah kriminal hidup terus sebagai seorang yang misterius.
(Maximilian Jacta)
Baca Juga: Suatu Tragedi Keluarga
" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553761012/apakah-dia-jack-the-ripper" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683803078000) } } [13]=> object(stdClass)#185 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726466" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#186 (9) { ["thumb_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/petualangan-sang-belalangjpg-20230406072636.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#187 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Lim Chuen, yang dijuluki sang belalang, kerap dituduh melakukan pembunuhan keji dan penyelundupan. Beberapa kali ia mampu berkelit." ["section"]=> object(stdClass)#188 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/petualangan-sang-belalangjpg-20230406072636.jpg" ["title"]=> string(25) "Petualangan Sang Belalang" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:26:56" ["content"]=> string(25553) "
Intisari Plus - Lim Chuen, yang dijuluki sang belalang, kerap dituduh melakukan pembunuhan keji dan penyelundupan. Beberapa kali ia mampu berkelit, namun untuk yang terakhir, ia terpaksa menyudahinya sendiri.
---------
Saya terbang dari Bangkok ke Singapura untuk urusan bisnis, sebagai pengacara sebuah kiriman partai besar susu kalengan diterima oleh klien saya dalam keadaan buruk, sehingga tak mungkin bisa dijual. Ini berarti kerugian sebesar beberapa ribu ponsterling bagi pembelinya.
Kongsi Amerika yang menjual barang itu menyatakan sangat terkejut dan heran mengenai peristiwa ini. Susu itu dalam keadaan baik dan baru saja dikalengkan ketika dikirimkan dari Singapura. Bagaimana mungkin barang itu sudah rusak dan tak bisa dipergunakan setibanya di Bangkok empat hari kemudian? Bagaimana juga ketika kami mencoba membuka sejumlah contoh, empat di antara lima kaleng meledak dan mengeluarkan bau busuk serta cairan kuning kotor.
Klien saya ini seorang Tionghoa. Ia tidak menginginkan keterlambatan yang cukup lama jika ia mengajukan tuntutan di Bangkok. Maka ia mencoba menyelesaikan persoalannya di kantor penjualnya di Singapura. Dia beranggapan bahwa suatu kunjungan mendadak tanpa pemberitahuan dulu oleh pengacara Inggris kenamaan Gerald Sparrow akan menghasilkan penyelesaian yang lebih cepat dan memuaskan. Ia memang benar. Saya membawa setengah lusin kaleng susu dan meminta agar dibuka di depan direktur perusahaan ternama yang menjualnya. Saya anggap tindakan ini memang bersifat untung-untungan. Apa yang akan terjadi kalau ternyata bahwa ada bagian yang baik dalam kiriman itu dan contoh yang saya bawa itu berasal dari bagian yang baik itu? Saya bisa membayangkan senyum kemenangan pada lawan saya. Tetapi ternyata nasib saya cukup mujur, setiap kaleng yang dibuka meledak dengan menyemburkan cairan susu rusak yang berbau busuk.
Mereka bertanya persoalan ini menyangkut uang berapa banyak. Saya menunjukkan nota pengiriman. Jumlahnya 4.890 ponsterling. Di samping itu klien saya harus membayar bea masuk sebesar 680 pon. Di samping itu pula ia kehilangan banyak langganan karena peristiwa itu.
“Berapa yang Anda tuntut?”
“7.000 pon.”
“Kami hanya mau bayar 5.000.”
“Saya akan menerima 6.000, tidak kurang lagi.”
Direktur perusahaan itu, seorang Amerika yang tinggi besar berambut pirang, bercambang, sekitar umur 50-an, membuka lacinya. Ia mengambil sebuah buku cek lalu menuliskan jumlah yang diminta.
“Terima kasih. Dan ini surat pernyataannya.”
“Baiklah. Bagaimana kalau makan siang dengan saya? Di klub saya? Anda bisa menceritakan bagaimana keadaannya di Bangkok.”
Klien saya memang cukup cerdik dalam cara menuntut kembali uang kerugiannya. Setelah membayar honor saya, masih ada 6.000 pon lebih. Ia merasa sangat puas dan ketika hari Natal tiba sebulan berikutnya, ia mengirimkan bingkisan berupa dua ekor ayam kalkun, enam botol konyak, sekotak cerutu manila dan sepuluh meter sutra Thai untuk baju nyonya.
Pada malam pertama saya di Singapura saya membalik-balikkan beberapa helai kertas catatan di kamar tidur saya di Raffles Hotel. Ternyata klien saya berpesan: “Saya menganjurkan agar Anda menemui tuan Lim Chuen, seorang tokoh bisnis yang berpengaruh. Alamatnya di Richmond Road no. 221.”
Saya tak tahu apa maksud catatan ini tetapi karena saya tak tahu harus mengerjakan apa dan tidak tertarik dengan hiburan malam di kota itu, saya mencari nama Lim Chuen di buku telepon. Nah, ini dia. Lim Chuen, Eksportir, Prince of Wales Mansions, tingkat satu dan rumahnya, the Retreat, Richmond Road 221, nomor teleponnya 5557. Saya putar nomor itu.
Seorang wanita menjawabnya: “Tuan Lim Chuen sedang keluar. Dia baru pulang pukul delapan. Nama Anda siapa?”
Saya beritahukan nama saya.
“Di mana alamat Anda?”
“Raffles Hotel.”
“Tuan Lim Chuen akan menelepon pukul delapan. OK?”
“Baiklah. Terima kasih.”
“Terima kasih kembali.”
Saya ingat bahwa Lim Chuen ini terkenal sebagai cukong yang paling kaya dan paling berpengaruh di Asia Tenggara masa itu. Apa alasan klien saya menganjurkan untuk menemui orang ini, saya tak tahu. Tetapi saya pikir mengunjungi Lim di rumahnya pasti cukup menarik dan waktu luang pasti dapat dilewatkan dengan tidak sia-sia.
Tepat jam delapan telepon berdering. Saya sedang duduk di restoran. Pelayan membawa telepon sampai ke meja saya.
“Apa di situ ada Tuan Sparrow, pengacara Inggris dari Bangkok?”
“Ya. Ini Tuan Lim Chuen?”
“Betul. Saya ingin bertemu Anda...”
“Baik. Besok..?”
“Sekarang lebih baik, kalau bisa. Saya akan mengirimkan mobil saya. Sepuluh menit dia datang.”
“Apa bisa dijadikan setengah jam lagi? Saya sedang makan malam.”
“Oh, tentu saja. Biarlah sopir saya menunggu.”
Saya tak tahu mengapa saya merasakan ketegangan kecil mengingat kesempatan akan bertemu dengan Lim Chuen. Baik wanita maupun Lim Chuen itu sendiri nampaknya bukan orang sembarangan, sekalipun bahasa Inggrisnya tak terlalu istimewa. Mereka tegas dan sigap, sehingga saya kira Lim Chuen orangnya tidak biasa menunda-nunda persoalan. Tetapi apakah ia orang yang seperti digambarkan oleh koran-koran sensasi, belum dapat ditebak.
Saya menyelesaikan makan malam, ketika pelayan datang lagi.
“Mobilnya sudah menunggu, Tuan.”
Saya menghabiskan kopi saya lalu berjalan keluar melewati gerbang berputar hotel dan menuruni undakan-undakan yang dipagari oleh pohon kamboja. Bunganya berbau harum sarat pada malam hari. Saya sendiri merasa puas dan senang hati. Pekerjaan saya pada hari itu cukup berhasil dan sekarang saya hanya ingin mencari sekadar pelepas lelah.
Sopirnya orang Tionghoa. Seperti majikannya, sopir itu sopan dan cekatan. Sebelum tangan saya mencapai pegangan pintu mobil, ia sudah mendahului membukakannya. Ia menjalankan kendaraannya dengan cepat tetapi hati-hati. Kami belok dari jalan raya ke sebuah jalan masuk. Beberapa ratus meter kemudian terlihat sebuah rumah besar yang terang benderang. Di depan pintu masuk berdiri seorang laki-laki Tionghoa yang tegap, mungkin seorang penjaga. la membawa dua ekor anjing dikendalikan dengan tali kulit. Saya rasa orang yang tidak diundang pasti tidak mudah untuk memasuki rumah no. 221.
Wanita muda itu menuju ke pintu. Saya segera mengenali suaranya. Wanita itu cukup cantik. Dia mengenakan pakaian malam gaya Eropa berwarna hitam dengan sulaman manik-manik. Dia berpotongan langsing dan cukup tinggi bagi orang Tionghoa. Bibirnya penuh dan ia tersenyum, tetapi sikapnya tenang, ramah tanpa kegenitan sedikit pun.
“Selamat datang. Paman saya sedang menunggu.”
Paman? Saya tidak yakin. Tentunya wanita ini ‘simpanannya’. Ia bersikap begitu pasti sebagai seorang gadis yang diingini oleh seorang berkuasa. Saya mengikuti dia menuju ke kamar kerja.
Lim Chuen bangkit untuk menyambut saya, wajahnya yang tampan berseri oleh senyumnya.
“Saya sangat senang bertemu dengan Anda. Kami telah mendengar banyak tentang Anda dari teman-teman.”
la bisa memerankan seorang duta besar yang menyamankan perasaan tamunya. Saya menyadari bahwa apa juga yang dikerjakan sekarang, Lim Chuen naik ke puncak kejayaannya oleh kekuatan kepribadiannya dan daya pesona yang besar, sesuatu yang harus saya akui sekarang.
Lim Chuen bercakap tentang teman-teman yang kami kenal bersama dari Singapura, Bangkok, Hong Kong. Saya mencatat bahwa ia biasa mondar-mandir dengan mudah di antara kota-kota besar di Asia. Saya mendapat kesan bahwa ia menganggap Kota Singa, Kediaman Bidadari atau Bangkok dan Pulau Berbunga, yakni Hong Kong, sebagai bagian dari suatu rencana besar.
Setelah percakapan ringan itu berjalan selama satu jam, seorang pelayan membawa sampanye dan roti berlapis ikan salem asap, yang keduanya sukar diperoleh dan mahal di Singapura. Percakapan pun makin getol. Wanita muda itu menemani kami dan ternyata ia menanggalkan istilah “paman” yang berpura-pura itu. Ternyata itu hanya samaran sampai ia melihat siapa saya. Ketika mereka tahu bahwa saya juga punya sifat manusiawi, mereka menanggalkan samaran itu.
Lim Chuen membelikan saya sebatang cerutu Havana yang halus dan wanita muda itu mengisap rokok Prancis. “Hadiah dari Saigon,” katanya.
Saya membuat gerak seakan-akan hendak bangkit dan akan berpamitan, tetapi tuan rumah mencegah dengan meletakkan tangannya di atas lutut saya. “Sebentar, sebentar lagi. Saya punya usul untuk Anda...”
“Ya, bagaimana...”
“Polisi sedang menyelidiki suatu kiriman berupa separtai suku cadang kendaraan bermotor yang tiba di negeri ini seminggu yang lalu. Barang-barang itu merupakan tanggungan perusahaan kami untuk dikirimkan lagi ke Surabaya. Agaknya ada sejumlah obat bius disembunyikan dengan cerdik di antara suku cadang. Morfin. Tuan Sparrow, saya tak tahu apa-apa tentang urusan soal ini. Saya ingin Anda membela kepentingan saya. Tinggallah beberapa hari lagi sampai urusan menjadi beres. Usahakanlah agar saya tidak terlibat. Ini untuk menutup biaya-biaya Anda.”
Lim Chuen mengeluarkan segebung uang kertas 50-an dolar dari saku celananya.
“Tolong Anda menemui komisaris polisi sebagai penasihat hukum saya dan katakan kepadanya bahwa saya tak tahu apa-apa mengenai hal ini.”
Saya menghadapi sebuah dilema. Apakah saya menerima menjadi penasihat hukumnya? Surat kabar setempat sudah mencapnya sebagai penyelundup kelas kakap, bahkan menyinggung-nyinggung keterlibatannya dengan kasus pembunuhan. Tetapi haruskah dia diadili oleh pers? Bukankah dia sama seperti yang lainnya juga, berhak atas perlindungan dari seorang penasihat hukum? Ahli hukum terkenal Erskine mengatakan bahwa “dengan alasan apa pun seorang pengacara tak boleh menempatkan pendapatnya sendiri, yang mungkin tidak benar, tentang kesalahan kliennya untuk kerugian kliennya ini.” Jadi saya terima saja pekerjaan itu.
Saya menunda keberangkatan saya sampai seminggu. Saya menemui wakil komisaris polisi. Ia mengatakan, “Kami merasa pasti bahwa bahan narkotika itu memang miliknya, tetapi kami tak mempunyai bukti dan nampaknya kami juga takkan memperolehnya. Para informan tidak mau memberikan keterangan apa-apa.”
Saya melaporkan kepada Lim Chuen inti pembicaraan tadi. Agaknya ia bernapas lebih lega. la melunasi sisa honor saya. Kami mengucapkan selamat berpisah. Ia bahkan mengantarkan saya ke lapangan terbang dan pacarnya juga ikut. Wanita itu melambaikan saputangan kecil dari bahan renda ketika ia berdiri di tepi landasan.
Saya mengira saya tak akan berjumpa lagi dengan Lim Chuen. Tetapi sekitar sebulan kemudian ia muncul secara tidak terduga-duga di kantor saya di Suriwongse Road di Bangkok. Sikapnya masih tetap sopan dan pasti. Tetapi saya melihat segera bahwa ia rupanya sedang menghadapi suatu persoalan yang memusingkan, suatu sikap yang tidak pernah terlihat selama insiden ditemukannya morfin di antara suku cadang itu.
Saya mempersilakannya duduk dan pelayan membawa dua gelas kopi es.
“Tuan Sparrow, saya sedang dalam kesulitan besar. Seorang pramugara muda Imperial Airways menggantung dirinya dalam sebuah hotel di Singapura. Pada pakaiannya ditemukan sejumlah emas batangan yang dijahit di dalam lipatan bajunya. Sampai sekarang polisi belum mengambil tindakan apa-apa, tetapi surat-surat kabar, terutama dalam bahasa setempat memuat berita-berita yang tidak enak. Mereka mengatakan bahwa kaki tangan saya yang menggantung orang itu lalu mendandaninya sedemikian rupa sehingga seakan-akan dia menggantung diri. Dokter yang memeriksa mengatakan perbuatan itu sebagai bunuh diri. Sungguh tidak masuk di akal ini.”
Tuan Lim Chuen memang dalam keadaan sulit. Tampaknya ia terjerumus dalam perkara secara kebetulan. Apakah mungkin sebagai orang kaya dan berhasil, ia dijadikan korban perbuatan oleh balas dendam oleh orang yang tidak menyukainya atau yang menakuti dia?
Saya menatap mukanya dengan lebih teliti. Kalau memang ada kekejaman dan pembunuhan di situ hal itu dapat disembunyikan dengan baik sekali. Saya tidak dapat melihat apapun kecuali seorang cukong Tionghoa yang lembut dan pandai, yang sedang dirundung kesulitan dan merasa tersinggung. Apakah semuanya ini hanya pura-pura saja?
Tuan Lim Chuen menghendaki saya bertindak lagi sebagai penasihat hukumnya dan menemui komisaris polisi itu lagi.
Saya menolak. “Itu malah akan terjadi salah langkah. Jika Anda memang tak bersalah sama sekali seperti pengakuan Anda, kalau saya bergegas terbang dari Bangkok ke sana akan ditafsirkan bahwa Anda lebih bingung daripada seharusnya.”
Lim Chuen memikirkannya sebentar. “Mungkin Anda benar.”
“Memang saya benar. Jika mereka memang akan menuntut Anda, dan kalau saya mendapat pernyataan tertulis di bawah sumpah di depan nenek moyang Anda bahwa Anda tidak bersalah, maka saya akan datang untuk membela perkara Anda. Sebelum itu, tunggu dulu sajalah.”
Lim Chuen mengambil sehelai kertas dari meja lalu menuliskan “Saya, Lim Chuen, dengan ini bersumpah demi nenek moyang saya yang dimuliakan, bahwa saya tidak pernah membunuh siapa pun, atau menyebabkan siapa pun dibunuh.” Ia menandatangani pernyataan itu di depan saya.
Lebih dari sebulan kemudian datanglah panggilan. Saya terbang ke Singapura. Tuan Lim Chuen telah ditangkap dengan tuduhan membunuh.
Sehari setelah tiba, saya menemuinya dalam tahanan polisi. la masih memegang martabatnya, tenang dan berwibawa. Saya memeriksa bukti-buktinya bersama dia. Ternyata terbukti bahwa Lim Chuen mempunyai kepentingan atas emas yang ditemukan pada tubuh almarhum. Tetapi apakah itu dapat membuktikan terjadinya pembunuhan? Saya kira tidak. Dokter yang memberikan surat keterangan kematian tetap pada pendapatnya semula bahwa ini kasus bunuh diri. Tentu saja Lim Chuen tidak pernah ada di dekat-dekat tempat kejadian. Saya merasa bahwa polisi menanti-nantikan agar Lim Chuen pada suatu saat panik akan menggantung diri. Inilah yang harus saya cegah.
Pada pemeriksaan mayat ternyata bahwa pemuda itu memang mencekik lehernya sendiri dengan jalan menggantung diri. Dokter polisi mengatakan bahwa sebab kematiannya sesuai dengan teori ini. Tetapi tiada seorang pun dapat menjelaskan mengapa ada sejumlah emas pada tubuhnya. Tetapi emas itu merupakan faktor yang menguntungkan Lim Chuen. Para kaki tangan sang Belalang (julukan Lim Chuen), sekiranya mereka menjadi pembunuhnya, tentunya tidak akan meninggalkan harta sebesar itu pada jenazah korbannya. Di pihak lain, sampai saat itu belum ada bukti lain daripada pencekikan dengan penggantungan yang dilakukan oleh korban sendiri.
Peristiwa-peristiwa aneh yang menyusul sama sekali berkat ketekunan atau kekerasan kepala seorang dokter polisi. la berkeras untuk memeriksa isi perut korban dan memeriksa mayat keseluruhan sekali lagi. la menemukan bahwa di antara kuku ibu jari kiri dan kulit korban terlihat suatu tanda bekas jarum. Inilah yang dicarinya. Kemudian ia menerapkan tes terbaru pada isi perut dan dapat membuktikan bahwa korban menderita dosis lebih morfin. Dengan demikian terbukti bahwa anak muda itu mula-mula dibius dulu, kemudian digantung. Ini merupakan pola yang dicurigai dalam pembunuhan-pembunuhan yang dituduhkan kepada Lim Chuen. Jaring telah menutup. Tetapi bagaimana dengan soal emas batangan itu? Kemudian batangan-batangan itu diperiksa dengan lebih saksama. Ternyata semuanya hasil pemalsuan yang pandai. Kalau begitu apakah si korban telah menipu para cukongnya dengan emas palsu, setelah menjual emas aslinya untuk keuntungan dirinya sendiri? Agaknya ini merupakan penjelasan yang sebenarnya.
Setelah menemukan bukti-bukti yang cukup meyakinkan, polisi hendak menjemput Lim Chuen dari rumahnya yang mewah di Richmond Road 221. Mereka hendak menginterogasi dia secara langsung. Mereka mempunyai catatan yang sangat panjang tentang kegiatan-kegiatannya dan mereka yakin bahwa ia tidak dapat bertahan lama bila dihadapkan dengan bukti-bukti.
Tetapi ternyata Lim Chuen tidak ada di rumah. Ke mana perginya? Wanita muda itu mengatakan ia tidak diberi tahu.
Polisi mulai mencari keterangan. Semua informan diberitahukan bahwa ada hadiah 5.000 dolar bagi keterangan yang dapat membantu tertangkapnya Lim Chuen. Kali ini keterangan-keterangan dari ‘dunia bawah’ berdatangan. Tetapi setiap pembawa berita mempunyai versi yang berbeda-beda. Tuan Lim Chuen ada di Swiss (ia mempunyai rekening bank di sana) untuk urusan dagang. Lim Chuen di San Fransisco. Di Australia.
Tetapi sebenarnya Lim Chuen tidak ke mana-mana, ia bersembunyi di Singapura, di tempat yang letaknya belum 100 meter dari markas polisi pusat. Di tempat persembunyiannya itu ia mengatur harta bendanya yang berbentuk uang tunai. Ia memberikan sejuta dolar Malaya kepada wanita muda itu— yang nama belakangnya saya ketahui sebagai Chieng. Kemudian ia memberikan 200.000 dolar kepada istri tuanya yang sudah ditinggalkannya — seorang wanita yang sudah sejak muda datang bersamanya dari negeri Tiongkok. Ia meninggalkan seperempat juta dolar untuk pemeliharaan tempat permakaman keluarga dan untuk pendidikan ketiga anak laki-lakinya yang masih muda.
Ia masih sempat menulis surat kepada saya.
Tuan Sparrow Yth.,
Polisi makin mendesak-desak saja dan saya tidak suka diwawancarai terus menerus oleh orang-orang seperti itu.
Saya telah melakukan pembagian warisan dan saya menghendaki agar Anda melaksanakannya. Anda akan mendapatkannya dilampirkan pada surat ini. Harap diterima juga honor yang terlampir, sebab saya tahu bahwa tidak mudah bagi Anda untuk menjadi wakil saya dan saya sangat berterima kasih untuk itu.
Hidup telah kehilangan artinya bagi saya. Saya tidak ingin dipenjara dan dibuat malu, maka saya lebih baik mengakhirinya saja. Saya akan menggabungkan diri dengan para nenek moyang saya, agak lebih awal, tetapi tanpa rasa penyesalan.
Sekali lagi saya iringkan ucapan terima kasih saya dan
Hormat saya
Lim Chuen
Ia ditemukan sudah mati di rumah Richmond Road no.221. Ia kembali dari tempat persembunyiannya lalu menidurkan dirinya di tempat tidur besar yang merupakan kebanggaannya.
Perkara ini menimbulkan perhatian besar umum. Pers Melayu menurunkan bermacam-macam kisah. Lim Chuen digambarkan sebagai manusia keji yang tidak hanya membunuh sekali tetapi berkali-kali.
Polisi telah menggulung komplotannya dan menangkap beberapa tokoh yang lebih kecil, tetapi wanita muda itu dibiarkan bebas. Rupanya ia tidak tahu apa-apa tentang kegiatan Lim Chuen. “Saya hanya perempuan kekasihnya,” katanya kepada polisi dan polisi terpaksa mengakui bahwa hal ini benar.
Ia diperbolehkan untuk tetap tinggal di rumah no.221, tetapi setahun kemudian ia menjualnya dengan harga bagus. Dengan tiga buah garasi, empat kamar mandi, ruang bilyard dan kolam renang memang rumah itu menarik bagi orang berduit. Seorang saingan dagang Lim Chuen menuruti tradisi Tionghoa dan membelinya.
Tentu saja saya harus pergi ke Singapura dan melaksanakan tugas saya untuk menyelesaikan semua urusannya dan mengawasi agar harta kekayaan sang Belalang yang cukup besar itu dibagi-bagikan menurut kehendaknya. Ini termasuk acara menemui Chieng yang dalam kesempatan itu berpakaian serba hitam dengan bahan sangat mahal — yang sangat sesuai dengan pembawaannya dan sama sekali tidak mengurangi daya tariknya.
Saya menunjukkan dia daftar pembagian harta, lalu ia tersenyum.
“Ya, saya tahu, tetapi itu baru separuhnya saja.”
“Maksud Anda..?”
“Setiap jumlah diulangi dengan jumlah yang sama atas nama saya di tiga bank Tiongkok. Itu uang dia. Saya hanya menyimpankan untuk dia. Dia tak ingin membayar pajak yang tidak perlu.”
“Kalau begitu warisan yang sebenarnya hampir tiga juta?”
“Agak lebih banyak lagi...”
“Nah, kalau ada sesuatu lagi yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda, katakanlah kepada saya.’
Ia memandang saya, tetapi akhirnya tidak mengatakan apa-apa. Sejenak kemudian ia berkata: “Saya ingin diberi nasihat mengenai penanaman uang. Kita bisa berkorespondensi tentang soal itu. Anda bersedia?”
Saya jawab ya, saya bersedia.
Pers Melayu yang paling sensasional menurunkan cerita bahwa seorang saingan Lim Chuen yang memasang bukti-bukti kesalahan untuk menjerumuskan lawannya. Orang itulah yang membeli rumah di Richmond Road no. 221. Ini memang bisa diterima, tetapi menurut hemat saya kurang mungkin. Saya kira seorang seperti Lim Chuen tidak akan menyerah begitu saja kalau difitnah lawannya. Orangnya terlalu tinggi hati dan wataknya terlalu tegas.
(Gerrald Sparrow)
Baca Juga: Misteri Potongan Mayat Wanita
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726466/petualangan-sang-belalang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680809216000) } } [14]=> object(stdClass)#189 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726804" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#190 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/siapa-berani-melawan-pangeran-an-20230406122946.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#191 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Prosper bekerja sebagai kasir di kantor pengacara. Saat melakukan pengecekan rutin terhadap pengeluaran karyawan, ia menemukan kejanggalan." ["section"]=> object(stdClass)#192 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/siapa-berani-melawan-pangeran-an-20230406122946.jpg" ["title"]=> string(36) "Siapa Berani Melawan Pangeran Andrew" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 12:29:57" ["content"]=> string(26455) "
Intisari Plus - Prosper bekerja sebagai kasir di kantor pengacara. Saat melakukan pengecekan rutin terhadap pengeluaran karyawan, ia menemukan kejanggalan. Manifold yang dijuluki Pangeran Andrew ternyata kerap melakukan penipuan pengeluaran.
----------
Di Kantor Pengacara Maybury dan Goodnight, orang yang paling dulu pulang biasanya Pak Goodnight. Maklum, ia main golf kalau musim panas dan rapat di perkumpulan-perkumpulan yang diminatinya kalau musim dingin.
Begitu ia meninggalkan kantor, para sekretaris, yaitu Sal dan Beth, bebenah. Pukul 17.15 keduanya menghilang. Mereka disusul atau kadang-kadang malah didahului oleh karyawan pria yang bernama Manifold. Lewat pukul 17.30 dua karyawan lain, Prince dan Dallow, meninggalkan kantor. Walaupun pergi hampir berbarengan, mereka tidak pulang bersama-sama, sebab sudah dua tahun ini keduanya tidak saling menegur.
Yang tinggal cuma dua orang yaitu Sersan Pike, bekas anggota marinir yang bertugas mengunci kantor, dan Prosper, kasir.
Gila angka
Sambil bergegas di trotoar, Sal dan Beth bisa melihat ke basement tempat Prosper bekerja. Biasanya mereka bergurau tentang kasir bujangan yang sudah lanjut usia itu, yang tinggal sendirian saja di sebuah flat di London Utara.
“Tidaklah heran kalau dia betah di kantor. Pulang juga percuma. Mau apa dia di rumahnya?” kata Sal.
“Pukul berapa sih dia pulang?” tanya Beth. “Pernah aku ketinggalan sesuatu sehingga harus kembali ke kantor. Waktu itu sudah lewat pukul 19.00. Eh, dia masih ada di sana.”
“Barangkali dia menginap di situ,” kata Sal. Mereka tertawa-tawa.
“Kasihan,” kata Beth yang berhati lebih lembut. “Tidak enak hidup seperti dia, ya? Kerjanya sepanjang hari menghitung uang melulu.”
“Siapa suruh dia menjadi kasir,” jawab Sal yang sinis. “Kalau dia sengsara, ya, salah sendiri.”
Kedua gadis itu keliru. Prosper tidak sengsara. la malah bahagia. la mendapat pekerjaan yang cocok betul baginya dan ia tidak sudi menukarnya dengan pekerjaan lain. Sejak kanak-kanak ia tergila-gila pada angka. Ia sudah bisa menambah dan mengurangi sebelum bisa membaca. Ia senang mengatur angka dalam kolom-kolom yang rapi, mengoreksi dan membandingkannya.
Kalau saja ia senang teori, ia bisa menjadi akuntan. Pernah ia bercita-cita demikian. Cuma saja, akuntan perlu menekuni perpajakan dan hukum segala. Pekerjaan sebagai pemegang buku dan kasirlah yang membuatnya bahagia.
Ia mulai bekerja di Kantor Pengacara Maybury dan Goodnight sejak 35 tahun yang lalu. Saat itu Alfred Maybury masih hidup dan Richard Goodnight masih muda. Prosper mengawasi harta mereka sejak awal, yaitu sejak perusahaan masih belum mapan. Masa itu gaji karyawan pun kadang-kadang tidak tahu harus dibayar dengan uang dari mana. Rezeki datang ketika Sam Collard menjadi klien mereka. Sam kini menjadi raja pertokoan dan perkantoran, tetapi ketika ia mulai menjadi klien, ia baru saja meniti anak tangga terbawah dari kariernya.
Sam Collard merasa berutang budi kepada Richard Goodnight yang pernah menolongnya pada saat ia masih belum makmur, sehingga hubungan dengan Kantor Pengacara Maybury dan Goodnight tidak pernah diputuskan, walaupun mereka sudah memakai kantor pengacara besar yang ternama. Kontrak-kontrak, penagihan utang dsb. masih tetap mengalir ke Kantor Pengacara Maybury dan Goodnight.
Hal itu sering mengkhawatirkan Prosper. Pernah ia berkata kepada Sersan Pike, orang satu-satunya yang ia percayai dalam hal begini, “Kita ini perusahaan satu orang yang mempunyai klien satu orang juga.”
“Kau, aku dan Goodnight sih tidak perlu khawatir. Umur kita ‘kan sudah sama-sama tua. Kalau ada apa-apa pun kita tidak akan mengalaminya.”
“Manifold ‘kan bakal jadi pengganti Goodnight.”
“Ah, anak itu sih lagaknya saja yang banyak.”
Manifold yang keluaran sekolah ternama dan pakaiannya buatan penjahit mahal itu memang sok.
“Sebetulnya dia lebih cocok bekerja di perusahaan pengacara besar, bukan di sini,” kata Pike.
Keponakan orang kuat
Kantor pengacara yang cuma kecil saja itu sebetulnya menguntungkan bagi Prosper. Coba kalau perusahaan itu menjadi besar, ia harus mempunyai beberapa asisten. Ia terpaksa harus mendelegasikan tugasnya, padahal ia jenis orang yang lebih suka mengerjakan apa-apa sendiri.
Setahun sekali, seorang akuntan dipanggil untuk memeriksa buku-buku Prosper, demi mematuhi hukum yang berlaku. Sang akuntan selalu senang hati memeriksa buku-buku yang rapi dan teratur itu. “Kalau saja semua orang seperti Anda,” kata akuntan itu.
Saat yang paling menyenangkan bagi Prosper ialah sore hari, setelah rekan-rekan sekerjanya pulang. Saat itu berkas-berkas yang ia kerjakan sudah disimpan rapi di tempat masing-masing. Sambil mengerjakan perhitungan-perhitungan terakhir, pikirannya melayang ke mana-mana, ke rekan-rekan dan kenalan-kenalannya. Ia menghitung-hitung prestasi mereka, keberhasilan mereka, kegagalan mereka, seperti menghitung debit dan kredit.
Kita lihat saja neraca yang dibuatnya tentang bos dan rekan-rekannya.
Richard Goodnight, sejak kematian Maybury, merupakan bos satu-satunya di perusahaan ini. Enam bulan terakhir ini ia rata-rata datang pada, pukul 10.27 dan pulang pukul 16.59. Kalau dikurangi makan siang selama rata-rata 1 jam 52 menit sehari berarti setiap hari ia cuma bekerja 4 jam 40 menit. Selama jangka waktu itu ia hanya bertemu dengan beberapa klien lama dan mendiktekan beberapa surat. Tidak banyak.
Namun, kredit harus diberikan juga kepada Goodnight. Betapapun ia pendiri perusahaan ini. Ia ikut berjuang dengan Maybury untuk membangun kantor pengacara ini dan lewat Goodnightlah, Sam Collard menjadi klien mereka.
Jadi, neraca bagi Goodnight boleh dikatakan seimbang.
Sersan Pike mendapat penilaian bagus dari Prosper. Lain dengan Manifold. Ia mendapat tempat di perusahaan ini gara-gara ia kemenakan Sam Collard, padahal banyak orang muda lain yang lebih mampu dari Manifold yang datang melamar.
Manifold melakukan pekerjaan-pekerjaan yang paling sederhana, itu pun sering salah sehingga para sekretaris suka menertawakannya. Ia lebih banyak melewatkan waktu di lapangan squash daripada di pengadilan, tapi ia dibayar lebih tinggi daripada Sersan Pike, dan gajinya hampir sama dengan Prosper. Lagaknya sudah seperti calon pemimpin kantor pengacara itu saja.
Ditraktir ‘Pangeran Andrew’
Sore itu Prosper harus mengecek pengeluaran setiap karyawan. Setiap karyawan mencatat pengeluaran mereka masing-masing, umpamanya saja ongkos kendaraan ketika ditugaskan ke suatu tempat dsb. Ongkos itu harus mereka keluarkan dari saku sendiri, tetapi pada setiap akhir minggu diganti oleh perusahaan.
Buku catatan pengeluaran yang ada di hadapan Prosper milik Manifold. Pada tanggal 20 September tercatat sebagai berikut: Collard. Pembelian toko Jl. Holloway no. 220. Taksi 3,80 ponsterling.
Prosper bangun perlahan-lahan. Kakinya yang sudah tua itu kaku. Ia berjalan ke tempat Manifold bekerja. Ruang itu acak-acakan. Kertas tersebar di mana-mana. Prosper yang terbiasa rapi, merasa tidak betah. Ia perlu waktu cukup lama untuk mencari berkas yang diperlukannya, yang akhirnya ditemukan di dasar salah sebuah laci. Ia duduk memeriksa. Dalam catatan itu ditulis bahwa pengacara yang bertindak mewakili penjual toko itu adalah Blumfeldts. Pembelian dilaksanakan di kantor mereka di ujung Holborn. Tempat itu jaraknya cuma sepuluh menit berjalan kaki atau lima menit dengan bus.
Prosper tiba-tiba teringat pada percakapan antara Sal dan Beth beberapa waktu yang lalu. Ketika itu Sal berkata, “Eh, masa aku pulang satu bus dengan ‘Pangeran Andrew’ hari Kamis lalu dan ia membayarkan karcis busku.”
Hari Kamis lalu adalah tanggal 20 September dan ‘Pangeran Andrew’ adalah sebutan bagi Manifold. Mungkin saja pertemuan dengan Sal di atas bus itu tidak ada sangkut pautnya dengan pembelian toko di Jl. Holloway no. 220, tapi ongkos taksi sebesar 3,80 ponsterling sungguh keterlaluan.
Collard selalu menjual dan membeli toko-toko kecil dan juga perkantoran. Mereka meminta bantuan Kantor Pengacara Maybury dan Goodnight. Biasanya Dallow yang akan datang mewakili Collard. Kalau sudah beres dan tinggal pekerjaan rutin untuk membenahi urusan-urusan terakhir, mengambil akte dsb., barulah Manifold dikirim.
Prosper mengambil belasan berkas lain berkenaan dengan transaksi serupa dari lemari Manifold dan berniat membawa ke mejanya untuk diperiksa. Di lorong ia bertemu Sersan Pike. Melihat Prosper terengah-engah, Pike menawarkan diri untuk membawakan. Prosper kesal juga karena ia gampang sesak napas dan terengah-engah akhir-akhir ini.
Di ruang kerjanya sendiri, Prosper membeberkan berkas-berkas itu. Lalu dibaca dan diakurkannya dengan buku pengeluaran buatan Manifold. Kalau tadi ia cuma curiga, kini tampak jelas kecurangan Manifold. Ia mengeklaim ongkos-ongkos yang sebetulnya tidak dikeluarkan.
Pada saat Prosper sedang asyik, Pike berkata bahwa ia akan pulang. Pintu depan ia biarkan dalam keadaan tidak terkunci. Kalau nanti Prosper pulang, pintu itu tinggal digabrukkan saja dan akan terkunci sendiri.
“Si anak emas main gila lagi?” tanya Pike.
“Ya, saya yakin,” jawab Prosper.
Prosper adalah orang yang teliti, yang ingin yakin terlebih dahulu dan mendapat bukti-bukti yang tidak bisa disangkal sebelum menuduh.
Keesokan paginya ia meminjam buku catatan pengeluaran Sal.
“Kau lupa menagih ongkos perjalanan tanggal 20 September. Lihat, ini cuma ada ongkos untuk satu kali perjalanan ke Bank of England. Ongkos pulangnya tidak kau tagih,” katanya kepada gadis itu. “Atau kau berjalan kaki waktu pulang dari sana?”
Sal bepikir-pikir. “Tidak, saya tidak lupa menagih. Kamis sore itu saya dibayari Manifold. Dia naik di St. Paul. Kebetulan saya berada di bus yang sama.”
“Oh,” jawab Prosper. Ia mengembalikan buku Sal. Hari Kamis itu dilakukan pertemuan terakhir di Holloway no. 220. Pertemuan dilakukan di Kantor Pengacara Blumfeldt yang letaknya dekat St. Paul
.
Penipuan sistematis
Kini Prosper menemui Dallow. Pria andalan kantor pengacara itu berwajah serius seperti petugas permakaman.
“Saya memeriksa buku pengeluaran karyawan dan merasa bingung dengan ongkos-ongkos ini,” kata Prosper.
“Biasanya Manifold yang saya serahi pekerjaan itu,” jawab Dallow. la menjelaskan, penyelidikan di County Borough cuma perlu dilakukan sekali saja.
“Oh, ya?” kata Prosper. Tadinya ia ragu-ragu untuk memperlihatkan buku Manifold, tetapi mengingat Dallow orang yang bisa dipercaya, ia sodorkan juga catatan Manifold. Melihat begitu banyak ongkos penyelidikan yang jumlahnya tidak cocok dengan pembelian dan penjualan yang mereka tangani, Dallow mengeluarkan suara “ck, ck, ck” berulang-ulang.
“Bohong ini!” katanya. Bayangkan, ada beberapa penyelidikan yang harus dilakukan sampai enam kali segala, padahal satu kali sudah cukup.
“Anak itu main-main rupanya.”
“Ini sih, bukan main-main,” jawab Prosper dengan dingin. Semua kecurangan itu dilakukan pada transaksi-transaksi Collard, yang penagihannya tidak dilakukan satu demi satu, tetapi sekaligus tiap tiga bulan. “Sudah saya katakan kepada Pak Goodnight, cara ini berbahaya sebab gampang salah.”
“Seperti sekarang.”
“Sekarang sih bukan salah, tetapi penipuan sistematis, Dallow.”
“Kita harus memberi tahu Pak Goodnight.”
“Saya lebih suka kalau Anda tidak memberi tahu dulu. Saya ingin berbicara langsung dulu dengan Manifold. Mungkin ia bisa menjelaskan.”
Ketika istirahat makan siang, Prosper meninggalkan catatan di meja Manifold:
Saya ingin berbicara urusan buku catatan pengeluaran. Bagaimana kalau pukul 17.30 sebentar sore? J.P.
Tebal muka
Sore itu, ketika orang-orang sudah pulang, Manifold menghampiri Prosper. “Ada apa sih? Jangan lama-lama, ya? Saya sudah memesan lapangan squash untuk pukul 18.00,” kata pemuda itu.
Sambil berkata demikian, ditunjukkannya gagang raket yang muncul dari tasnya. Ia sama sekali tidak tampak gentar.
“Lama tidaknya tergantung dari kau,” kata Prosper yang menghadapi buku catatan pengeluaran Manning. Di belasan tempat ia memberi tanda dengan potongan-potongan kertas.
“Saya ingin penjelasanmu, kalau memang ada penjelasan, perihal sejumlah uang yang kau tagih.”
“Mau penjelasan apa? Itu ‘kan pengeluaran saya. Ongkos dll.”
“Uang itu benar-benar kau keluarkan?”
Manifold memandang sebentar lalu tertawa terbahak-bahak. Ia mengambil bukunya, lalu memeriksa bagian-bagian yang diberi tanda oleh Prosper. “Boleh juga kerja Anda sebagai detektif-detektifan. Tapi masih ada yang luput. Ini nih, yang 4,20 ponsterling. Ini juga beberapa ongkos taksi.”
Prosper hampir tidak bisa berbicara karena tidak menyangka akan mendapat reaksi kurang ajar seperti itu. Akhirnya, bisa juga ia mengeluarkan suara. “Berarti Anda mengakuinya?”
“Tentu saja, semua orang juga melakukannya.”
“Maaf, tidak semua orang melakukannya. Tidak di perusahaan yang tahu prikepantasan, jujur dan tua seperti ini.”
“Tua sih memang benar. Tapi sekarang ‘kan kita perlu menyesuaikan diri dengan abad ke-20.”
Prosper memilih kata-katanya dengan cermat, lalu jawabnya, “Abad ke-19, 20 maupun 21, tak ada bedanya. Kejujuran tetap kejujuran, dan ketidakjujuran adalah ketidakjujuran.”
“Kenyataan adalah kenyataan,” kata Manifold seraya duduk di salah sebuah sudut meja. Tampaknya ia sudah lupa bahwa tadi ia menyatakan perlu cepat-cepat ke lapangan squash.
“Tahukah Anda apa pengaruh transaksi ini terhadap klien?” tanya Manifold sambil menepuk bukunya.
“Pengaruhnya? Kalau ia tahu, ia merasa ditipu.”
“Anda tetap belum bisa memandangnya secara realistis. Kalau saya mengambil seratus ponsterling dengan cara ini, Collard Company akan ditagih seratus pon juga ‘kan?”
Prosper merasa tak perlu menjawab.
“Itu pengeluaran bagi mereka dan akan meringankan pajak perusahaan yang besarnya 52%. Tahukah Anda, bahwa menurut Paman Sam, dari 100 pon yang diperolehnya cuma 10 pon saja yang benar-benar menjadi miliknya. Selebihnya, ditelan pajak.”
Prosper diam saja.
“Coba Anda pikir. Kalau saya minta 100 pon kepada Paman Sam, yang pasti, dengan senang hati ia kabulkan - ia harus menyerahkan 1.000 pon untuk memperolehnya. Tapi kalau saya mendapatkannya dengan cara begini, ia cuma akan kehilangan 10 pon. Sembilan puluh pon lagi dibayar oleh menteri keuangan.”
Wajah Prosper pucat. Bibirnya terkatup erat-erat. “Penipuan tetap penipuan,” katanya. “Betapapun juga bagusnya ia dibungkus.”
Makin brutal
Manifold bangkit.
Pada saat itu Prosper sadar bahwa Manifold itu tegap dan atletis, dua kali lebih besar dan lebih kuat dari dirinya. Padahal, mereka mungkin cuma berdua saja di gedung itu. Sersan Pike kadang-kadang pulang lebih dulu. Namun, Prosper sama sekali tidak berniat mundur. Ia menunggu jawaban Manifold yang tiba dengan nada mengancam.
“Jadi mau apa?”
“Saya yakin Goodnight tidak akan melacak hal ini,” kata Manifold.
“Tapi, dia tidak bisa berbuat lain,” jawab Prosper dengan marah.
“Ada dua alasan yang menyebabkan dia tidak akan melakukannya. Pertama, jika ia berbuat demikian, ia akan kehilangan pekerjaan dari Collard. Saya jamin deh!”
Prosper menatap Manifold dengan muak.
“Kedua, jika Goodnight mencari gara-gara, ia bakal menemui senjata makan tuan. Anda tahu mengapa Anda tidak diminta mengurusi pajak pribadinya? Mengapa ia menanganinya sendiri? Mana mungkin ia bisa hidup seperti ini kalau tidak menggelapkan pajak? Bayangkan, rumah dua, istri senang kemewahan, ia bisa berolahraga menembak dan memancing.”
Saat itu Prosper betul-betul shock dan hampir tidak bisa berkata apa-apa. Kalau saja Manifold berhenti berbicara, pasti tidak terjadi apa-apa. Tapi pemuda itu melanjutkan.
“Sudahlah, Pak Tua. Jangan goblok. Lupakan saja semua.”
Prosper menarik napas panjang dan menjawab, “Tidak.”
“Anda bersikeras mau mencari gara-gara?” tanya Manifold dengan bibir kejam. “Anda akan kehilangan pekerjaan, dan juga orang-orang lain di sini, termasuk orang yang membayar gaji beliau.”
“Aku tidak bisa diperas. Aku tidak sudi diperalat penipu.”
Manifold makin brutal. “Orang lain sih bisa menemukan pekerjaan lagi. Para juru ketik itu, Sersan Pike dan lainnya. Tapi aku yakin, kau tak bakal bisa menemukan pekerjaan.”
“Kekurangajaran tidak akan menolongmu.”
“Kau bukan cuma goblok. Kau kuno, ketinggalan zaman, tahu? Orang macam kau sudah tidak dibutuhkan lagi.”
Prosper naik pitam. Begitu marahnya dia sampai rasa takut terusir dari hatinya.
“Pekerjaanmu itu, menghitung pakai jari, bisa dilakukan oleh setiap murid sekolah yang drop out asal punya kalkulator saku. Kau bukan cuma ketinggalan zaman, tapi kau sudah usang, tak terpakai.”
Kalap
Prosper bangkit. Jari-jemarinya menyambar penggaris bulat berat dari mejanya. la melangkah dua tindak ke arah Manifold yang tercengang, lalu menggebuk kepala pemuda itu. Namun, Manifold tidak mendapat kesulitan untuk mengelak. Reaksinya dua kali lebih cepat dari si kakek. Manifold melompat ke belakang. Prosper memukul angin, terhuyung kehilangan keseimbangan dan terjerembab. Kepalanya menghantam tepi mejanya. Pada saat itu penggarisnya terlempar mengenai tulang kering Manifold.
Manifold tergelak-gelak. Dipungutnya penggaris itu seraya berkata, “Hati-hati tua bangka. Kau bisa melukai seseorang.”
Setelah itu Manifold heran juga melihat cara Prosper tergeletak. la berlutut di sebelah kasir tua itu. “Ayo bangun!” katanya. Tapi kasir itu diam saja dan lengannya yang dipegang Manifold terasa sangat tak bertenaga.
Bunyi gemerisik membuat ia terperanjat. Ia menoleh dan melihat Sersan Pike berdiri di ambang pintu. “Lebih baik panggil dokter, Sersan. Pak Prosper terjatuh.”
Sersan Pike mendekati, mendorong Manifold sehingga tersingkir dari sisi Prosper, lalu berlutut. Ia baru bangkit setelah cukup lama. Pensiunan marinir itu mengunci pintu dan mengantungi kuncinya. Lalu diangkatnya telepon.
“Mau apa Anda?”
“Memanggil polisi.”
Paling enak
Di pengadilan Dallow menyatakan bahwa almarhum Prosper sedang berniat membuka serentetan penipuan sistematis yang dilakukan oleh terdakwa.
Sersan Pike menjelaskan bahwa ia mendengar bunyi benda berat jatuh, jadi ia masuk ke ruang kerja almarhum. Dilihatnya terdakwa memegang penggaris kayu bulat yang besar. Benda itu ia letakkan di Iantai ketika melihat Sersan Pike.
Menurut ahli dari laboratorium forensik, sidik jari terdakwa didapati di penggaris itu. Yang merupakan kejutan adalah keterangan patolog departemen dalam negeri, dr. Summerson, yang melakukan autopsi terhadap jenazah almarhum. Meskipun pukulan dengan senjata seperti itu bisa membantu terjadinya kematian, tapi tidak akan membunuh orang yang kesehatannya normal. Prosper tampaknya menderita degenerasi jantung yang sudah lanjut, mungkin akibat pekerjaannya yang duduk terus-menerus.
Pengadilan menyatakan Manifold terbukti memukul kepala Prosper. Namun, keterangan Summerson menyebabkan hukumannya ringan saja, lima tahun penjara.
Manifold bukan satu-satunya orang yang menderita akibat kematian Prosper. Sam Collard tidak memberi pekerjaan lagi pada perusahaan Maybury dan Goodnight, sehingga Goodnight memutuskan untuk pensiun saja. Sam tidak menduga tindakannya ini mengundang inspeksi pajak. la dituduh melakukan penggelapan pajak dan terancam membayar denda yang sangat menyurutkan hartanya atau bahkan diancam hukuman penjara.
“Kalau dipikir-pikir, satu-satunya orang yang paling tidak menderita hanyalah Prosper,” kata penuntut junior kepada penuntut senior. “Ia tewas seketika. Bayangkan, kalau ia mesti sengsara dirawat berbulan-bulan di rumah sakit.”
Baca Juga: Awas, Rokok Bisa Membunuhmu!
" ["url"]=> string(81) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726804/siapa-berani-melawan-pangeran-andrew" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680784197000) } } [15]=> object(stdClass)#193 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726513" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#194 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/27/intisari-plus-226-1982-44-pakaia-20230327113617.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#195 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(134) "Menjelang musim dingin di Melbourne, beberapa kasus pembunuhan wanita terjadi. Pakaian semua korban selalu dicabik-cabik tidak karuan." ["section"]=> object(stdClass)#196 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/27/intisari-plus-226-1982-44-pakaia-20230327113617.jpg" ["title"]=> string(38) "Pakaian Korbannya Selalu Dicabik-cabik" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-27 11:36:26" ["content"]=> string(21641) "
Intisari Plus - Menjelang musim dingin di Melbourne, beberapa kasus pembunuhan wanita terjadi. Pakaian semua korban selalu dicabik-cabik tidak karuan.
---------
Melbourne di Australia merupakan kota yang suram pada musim gugur tahun 1942. Penduduk bersiap-siap menghadapi musim dingin yang diperkirakan akan panjang. Seperti kita ketahui, musim dingin di Australia berlangsung pada saat belahan bumi utara sedang mengalami musim panas.
Tanggal 3 Mei 1942, pukul 3 pagi, seorang pelayan bar bernama Henry Billings berjalan di Victoria Avenue, di Albert Park yang merupakan daerah pinggiran Melbourne. Letaknya kira-kira 5 km dari pusat kota. Di muka pintu sebuah toko yang terletak di samping sebuah hotel, ia melihat seorang tentara Amerika sedang membungkuk. Tentara itu mencoba berdiri ketika mendengar langkah Billings, lalu ia menjauh dan berbelok ke Beaconsfiles Parade.
Ketika Billings tiba di tempat bekas tentara itu membungkuk, ia melihat ada orang terbaring di situ. Seorang wanita dan wanita itu telanjang. Pakaiannya tersobek-sobek tidak karuan.
Billings cepat-cepat masuk ke hotel untuk menelepon polisi. Polisi merasa terkejut ketika memeriksa wanita itu. la sudah menjadi mayat. Pahanya memar sedangkan pelipis kirinya retak.
Wanita itu dikenali sebagai Ny. Ivy McLeod yang berumur 40 tahun. Teman-temannya menggambarkan sebagai wanita periang yang mudah bergaul. Malam itu ia diketahui berkunjung ke teman-temannya di Albert Park dan kemudian pergi menunggu bis di Victoria Avenue, untuk pulang ke rumahnya di Melbourne Timur.
Kalau melihat cedera yang dialami korban, polisi memperkirakan pembunuhnya pasti seorang yang kuat dan kemungkinan besar pria yang menarik.
Kisikan yang tidak karuan ujung pangkalnya
Polisi segera melakukan penyelidikan. Tidak lama kemudian polisi mendapat pemberitahuan dari markas besar tentara AS di Melbourne. Isi pemberitahuan itu ialah: Ada orang menelepon ke markas besar. Orang itu berkata begini, “Tentang wanita yang dibunuh kemarin malam, carilah pria yang berjalan dengan tangannya.” Tetapi tentu saja kisikan ini kedengarannya tidak karuan ujung pangkalnya.
Sebelum polisi sanggup menemukan petunjuk-petunjuk berarti ke arah si pembunuh, sudah terjadi pembunuhan lain.
Enam hari setelah mayat Ny. McLeod ditemukan, seorang centeng bernama Henry McGown melihat sebuah benda seperti buntalan di muka pintu masuk sebuah gedung apartemen di Spring Street, hampir di pusat kota Melbourne. Saat itu tanggal 9 Mei pukul 05.30 pagi.
McGown menghampiri buntalan itu tetapi alangkah terkejutnya ia karena ternyata benda itu tidak lain daripada tubuh seorang wanita. Pakaiannya dicabik-cabik dari tubuhnya. Ia segera memanggil polisi.
Dokter kepolisian memperkirakan wanita itu sudah meninggal kira-kira tiga jam.
Korban menunjukkan tanda-tanda bekas tamparan dan cekikan. Wajahnya memar. Menurut patolog, kematian terutama disebabkan oleh kelumpuhan saraf akibat tekanan, bukan mati lemas akibat tercekik.
Keadaan pakaian korban mengingatkan polisi pada Ny. McLeod yang tewas enam hari sebelumnya. Pakaian kedua wanita ini tampaknya dirobek-robek oleh orang yang seperti kesetanan.
Tentu saja kedua pembunuhan ini mendapat banyak tempat dalam koran-koran Melbourne. Masyarakat diperingatkan agar berhati-hati terhadap pembunuh misterius ini.
Melbourne yang biasanya tenang-tenang saja kini heboh. Wanita-wanita bersikap lebih berhati-hati kalau keluar malam hari.
Wanita yang mayatnya ditemukan di Spring Street itu dikenali sebagai Ny. Pauling Coral Thomson berumur 32 tahun. la istri polisi yang bertugas di Bendingo. Hari Jumat itu Ny. Thomson diketahui melepas suaminya pergi bertugas ke Bendingo, lalu ia tampak bersama seorang tentara Amerika.
Pada masa itu ribuan tentara Amerika berada di Melbourne dan sekitarnya.
“Baby faced”
Polisi mendapat keterangan bahwa tentara Amerika yang tampak bersama Ny. Thomson wajahnya baby faced. Walaupun demikian, mencari tentara AS yang dimaksudkan di antara beratus-ratus tentara yang berlibur pada malam itu tentu bisa disamakan dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Polisi bekerja tidak kenal waktu untuk melacak si pembunuh karena dikhawatirkan ia akan mengulangi kembali perbuatannya yang mengerikan. Sejumlah besar tentara Amerika diwawancarai. Polisi pun mendatangi pelacur-pelacur untuk bertanya kalau-kalau di antara mereka ada yang mendapat langganan yang tingkah lakunya aneh.
Polisi yakin jalan yang mereka tempuh akan membawa mereka kepada si pembunuh, tetapi jalan ini tampaknya panjang dan tidak mudah dilalui. Padahal polisi ingin cepat-cepat mengamankan si pembunuh.
Pada masa perang itu, tentara Amerika populer di kalangan wanita-wanita Melbourne tertentu. Mereka sopan, mudah bergaul, ingin bersenang-senang dan uangnya banyak. Padahal pada masa itu banyak pria Australia berperang di luar negeri. Tidak heran kalau gadis-gadis dan wanita-wanita yang ditinggalkan mencari kasih sayang dari mereka.
Pada suatu malam, detektif Adam yang termasuk salah satu anggota tim penyelidik pembunuhan terhadap Ny. McLeod dan Ny. Thomson, minum bir bersama beberapa temannya di Royal Park Hotel, Queensberry Street, Melbourne Utara.
Ketika itu ia melihat seorang anggota tentara Amerika “jual tampang”. Tentara itu mencampur wiski, bir, aspirin dan saus tomat lalu mereguknya sampai habis. Ia melakukannya sambil diawasi petugas-petugas bar yang merasa terheran-heran melihat campuran aneh ini.
Kemudian tentara Amerika itu berkeliling bar, bukan berjalan dengan kakinya, melainkan dengan tangannya. Adam memperhatikan wajah tentara itu. Alangkah terperanjatnya ia karena pemuda itu berwajah baby faced.
Adam segera menghubungi rekan-rekannya di kantor. Seorang polisi dikirim ke hotel itu. Polisi ini pernah melihat tentara AS yang dicurigai sebagai pembunuh Ivy McLeod di Albert Park tanggal 3 Mei 1942.
“Bukan, pasti bukan dia,” kata anggota polisi itu setelah melihat si tentara yang bisa berjalan dengan tangan itu.
Tentara itu tidak jadi ditangkap. Detektif Adam bukan orang yang berpengaruh dalam tim. Ia cuma bawahan yang tidak bisa berbuat apa-apa walaupun ia ingin orang Amerika itu ditahan untuk ditanyai. Kenyataan bahwa orang Amerika itu berjalan dengan tangan dianggap alasan kurang kuat untuk melakukan penahanan.
Polisi mencari lumpur kuning
Tanggal 19 Mei pagi, baru dua minggu setelah pembunuhan terhadap Ny. McLeod, ditemukan mayat seorang wanita di Royal Park yang letaknya agak keluar kota. Gladys Hosking yang berumur 40 tahun ditemukan dengan pakaian sobek-sobek sampai batas dada. Korban bekerja sebagai sekretaris di bagian kimia Universitas Melbourne. Ia mati akibat cekikan.
Tempat ia ditemukan jaraknya tidak sampai ½ km dari rumahnya. Tanggal 18 Mei malam itu hujan dan sama sekali bukan malam yang menyenangkan. Langit mengingatkan orang bahwa musim dingin sudah di ambang pintu. Tampaknya Gladys Hosking diserang tanggal 18 malam, walaupun mayatnya baru ditemukan pukul 7 pagi keesokan harinya.
Penemunya seorang sopir yang melihat sebuah topi tidak jauh dari jalan. Ketika didekati ternyata di dekat topi itu ada tubuh wanita. Cepat-cepat ia memanggil seorang tentara Australia yang ditemui tidak jauh dari sana untuk ikut melihat. Mereka segera menyadari wanita itu dibunuh orang.
Polisi bergegas datang ke tempat itu karena menduga ini pasti perbuatan si pembunuh yang sedang mereka buru. Mayat terbaring dengan wajah terbenam di lumpur. Lumpur kuning ini terbentuk oleh air hujan yang menggenangi tanah di tempat itu, yang lengket seperti tanah liat.
Mungkin pembunuhnya juga terciprat oleh lumpur, pikir polisi yang makin lama makin khawatir karena belum juga dapat menangkap si pembunuh yang selalu merobek-robek pakaian korbannya ini. Makin lama pembunuh itu berkeliaran artinya makin banyak korban yang akan jatuh.
Dari seorang tentara Australia yang berpatroli di pintu masuk taman, polisi mendapat keterangan bahwa sore itu ada tentara Amerika yang keluar dari sana dengan pakaian penuh lumpur. Katanya ia jatuh ke lumpur di taman itu. Tentara Amerika itu juga berkata ia pergi dengan seorang teman wanita. “Saya mengira saya kuat minum tetapi ternyata wanita itu lebih kuat lagi,” katanya kepada si tentara Australia.
Cepat-cepat polisi pergi ke markas tentara Amerika, Camp Pell, yang letaknya dekat kebun binatang Melbourne. Ketika itu tanggal 21 Mei dan polisi sudah tahu harus mencari siapa karena mereka sudah mendapat keterangan yang diperlukan dari seorang tentara Amerika juga.
Polisi langsung menuju ke tenda Edward Joseph Leonski, orang sipil yang sedang menjalani wajib militer. Mereka menemukan bekas-bekas lumpur kuning di tenda itu, juga pada pakaian Leonski walaupun pakaian itu sudah dicucinya. Sebenarnya Leonski bisa saja menyatakan ia jatuh ke lumpur dalam perjalanan kembali ke kamp tanggal 18 Mei malam. Tetapi polisi bertindak lebih jauh. Lumpur pada pakaian Leonski itu dalam pemeriksaan di laboratorium diketahui identik dengan lumpur di tempat Gladys Hosking ditemukan di Royal Park.
Selain itu tentara Australia yang menjaga di pintu Royal Park mengenali Leonski sebagai pria yang keluar dengan pakaian berlumpur tanggal 18 malam. Identifikasi dilakukan di kamp Amerika tanggal 22 Mei. Ada hal lain lagi yang mengeratkan jerat terhadap Leonski. Teman setendanya menceritakan kepada polisi bahwa Leonski membaca semua laporan yang bisa didapatinya mengenai pembunuhan terhadap Ny. McLeod, Ny. Thomson dan Gladys Hosking. la menangis setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan itu bahkan mengaku sebagai pembunuhnya. Tetapi ia cuma sekadar dianggap orang aneh saja oleh rekan setendanya. Baru setelah terjadi pembunuhan yang ketiga temannya melapor.
Kesayangan ibu
Setelah Leonski ditangkap, tanggal 22 Mei, memang tidak terjadi lagi pembunuhan yang serupa.
Sebelum kita dengarkan pengakuan Leonski, kita lihat dulu siapa dia.
Edward Joseph Leonski berumur 24 tahun. Orangnya tinggi besar, kuat, tampan dan cukup populer. Tetapi ia seperti mempunyai dua kepribadian. Kalau sedang tidak mabuk, ia pendiam, tidak pelagak dan agak suka menyendiri. Kalau sudah minum, ia merasa dirinya sebagai pusat perhatian. Diminta berbuat apapun, akan ia lakukan.
Salah satu hal yang paling disukainya ialah minum campuran wiski, bir dan saus tomat. Selain itu juga ia senang berjalan dengan tangan. Sebagian teman-temannya menganggap Leonski orang aneh dan ada seorang yang sudah curiga padanya sejak terjadi pembunuhan yang pertama.
Leonski mengalami masa kanak-kanak yang tidak bahagia. Ayahnya pemabuk dan tewas dalam suatu perkelahian antara pemabuk-pemabuk. Eddie menjadi kesayangan ibunya. Saudara Eddie yang seorang pernah masuk penjara dan yang seorang lagi dirawat di rumah sakit jiwa. Eddie sendiri pernah diadili di San Antonio, Texas, karena memerkosa tetapi dibebaskan.
Edward Leonski pernah melakukan bermacam-macam pekerjaan kasar. la tidak bermaksud menjadi tentara tapi kena wajib militer dan dikirim ke Australia, negara yang hampir belum pernah ia dengar namanya. Di Australia ia merasa rindu sekali pada keluarganya dan lebih suka menyendiri. Minum dilakukannya untuk menghibur diri.
Penahanan Leonski menimbulkan masalah yang peka dalam hubungan Australia-Amerika. Sebagai anggota tentara ia tidak dihadapkan ke pengadilan kriminal. Amerika memintanya untuk diadili di pengadilan militer. Untuk pertama kalinya di Australia seseorang yang melanggar hukum sipil diadili oleh pengadilan militer. Untuk pertama kalinya pula seorang warga negara asing diadili di Australia, di bawah hukum negara asalnya.
Pengadilan militer bagi Leonski diselenggarakan di sebuah gedung di Russel Street, Melbourne. Leonski tidak perlu berjalan dengan tangannya lagi untuk menarik perhatian orang sekarang karena minat orang terhadapnya banyak sekali.
Saya ingin mengambil suaranya
Leonski menjalani pemeriksaan medis maupun kejiwaan dulu dan ia dinyatakan waras. Kepada polisi ia telah menceritakan dengan mendetail mengenai penyerangan yang dilakukannya terhadap ketiga wanita korbannya. Ia mampu mengingat hal ini walaupun setiap peristiwa terjadi setelah ia minum banyak.
Menurut Leonski, ia bertemu dengan Ny. McLeod di jalan. Ia tertarik pada wanita itu karena wajahnya menyenangkan. Leonski, yang ketika itu baru saja minum, memuji tas yang dibawa Ny. McLeod lalu mereka bercakap-cakap. Waktu Ny. McLeod mundur ke arah pintu, Leonski merangkul lehernya.
“Saya mengubah posisi tangan saya sehingga kedua ibu jari saya ada di lehernya. Saya membuat ia tercekik dan ia jatuh. Saya menimpa tubuhnya. Kepalanya menghantam dinding ketika ia jatuh. Saya merobek pakaiannya, merobek lagi dan merobek lagi. Tetapi saya tidak bisa melepaskan ikat pinggangnya. Saya penasaran dan merobek lagi, merobek lagi. Saya harus merobek ikat pinggang itu.”
Kemudian ia mendengar langkah-langkah kaki. Ia berlari ke dalam gelap.
Menurut pengakuan Leonski, ia menangis setelah membunuh untuk pertama kali.
Enam hari kemudian, Ny. Thomson yang suaminya pergi bertugas ke Bendingo, tampak minum-minum dengan seorang tentara Amerika di Astoria Hotel, di dalam kota. Mereka minum secara ilegal sampai jauh malam. Kemudian mereka meninggalkan hotel untuk pergi ke Spring Street. Di tempat yang jaraknya cuma beberapa puluh meter dari tempat minum itu Leonski berkata: “Ia menyanyi untuk saya. Suaranya merdu. Kami membelok. Tidak ada orang di sana. Yang saya dengar hanya suaranya. Kami tiba di tangga. Tangga yang tinggi. Saya merangkul lehernya. Ia berhenti menyanyi. Saya katakan, ‘Nyanyi terus.’ Ia jatuh. Saya marah dan saya robek-robek pakaiannya. Kemudian ada orang datang. Saya bersembunyi di balik tembok. Saya takut. Hati saya berdebar-debar. Saya tidak berani melihatnya.”
Katanya malam itu ia menangis. Temannya melihat ia sedih dan membawanya ke kota untuk menghilangkan rasa sedih dan cemasnya. Temannya itu tidak tahu ia membantu pembunuh meredakan rasa dosanya. Keesokan harinya Leonski mengaku kepada temannya bahwa ia membunuh. Temannya itu hampir percaya tetapi tidak berbuat apa-apa.
Tanggal 18 Mei, Leonski sedang dalam perjalanan kembali ke kamp-nya ketika ia bertemu Gladys Hosking yang sedang berteduh dari hujan. Leonski bertanya apakah ia boleh menemani Gladys Hosking. Di persimpangan jalan di Royal Park, mereka harus berpisah tetapi Leonski tidak mau.
“Suaranya merdu. Saya ingin mengambil suaranya jadi ia saya cekik. la tidak mengeluarkan suara sedikit pun. la lemah lunglai. Saya pikir, apa yang sudah saya perbuat? Saya bawa dia ke pagar dan dengan memanjat pagar saya bawa dia masuk. Tidak jauh dari pagar, saya terjatuh. la mengeluarkan suara, semacam suara mendenguk. Saya pikir, saya harus menghentikan suaranya itu. Jadi saya angkat roknya untuk menutupi mukanya.”
Roosevelt tidak mengampuninya
Demikian keterangan Leonski di pengadilan. Tetapi ia tidak mengaku membunuh. Sidang tidak berjalan sedramatis yang dibayangkan orang. Cuma orang-orang yang diundang dan pers yang boleh hadir. Tetapi di luar pengadilan nama Leonski diucapkan semua mulut.
Pembela menyatakan Leonski bersikap waras kalau tidak minum tetapi hampir sebaliknya kalau sedang mabuk. Kewarasan Leonski diragukan.
30 hari lamanya tiga orang dokter jiwa (militer) memeriksa Leonski. Salah seorang dokter itu orang Australia. Hasil pemeriksaan tidak bisa menyelamatkan Leonski yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati tanggal 20 Agustus 1942. Keputusan terakhir mengenai akan dilaksanakan atau tidaknya hukuman mati ini terletak di tangan Presiden AS waktu itu, Franklin Delano Roosevelt. FDR memutuskan agar hukuman dilaksanakan.
Leonski menjalani hukuman ini tanggal 9 November 1942 di penjara Pentridge di Melbourne. Algojo-algojonya orang Amerika.
Laporan dalam Herald yang terbit di Melbourne hari itu antara lain sebagai berikut: “.... dari selnya di City Watchhouse ia dibawa dengan mobil tanpa berhenti-henti ke Penjara Pentridge. Ia langsung dibawa ke kamar yang letaknya di sebelah tempat gantungan. Algojo sudah menunggu di tempat gantungan. Di dekatnya ada dua dokter dan seorang pendeta. Setelah menjalani prosedur yang biasa berlaku pada eksekusi sipil, Leonski dibawa ke tiang gantungan, kepalanya ditutupi kain hitam. Tungkai dan tangannya dibelenggu. Ia menjalani ini semua dengan ketenangan seorang yang masa bodoh, sehingga orang-orang yang berhubungan dengannya saat itu merasa tercengang. Seingat mahasiswa-mahasiswa kriminologi Australia, tidak ada pembunuh lain yang begitu tidak peduli mengenai nasibnya seperti yang seorang ini.”
Menurut koran Truth, Leonski yang selalu sopan kepada penjaga-penjaga dan pengunjung-pengunjungnya di penjara, konon masih mempunyai rasa humor menjelang akan dihukum mati. Kepada seorang pejabat penjara, ia berkata, “Kami sedang merencanakan sebuah pesta. Mudah-mudahan Anda bisa hadir.”
“Pesta?” tanya pejabat itu dengan keheranan. “Iya, pesta jerat leher,” jawab Leonski.
Tubuh Leonski diangkut dengan kapal laut ke AS dan dikuburkan di sana.
Setelah Leonski menjalani hukumannya, ada berita-berita yang menyatakan jangan-jangan ia menderita leptomeningitis, seperti yang diderita seorang pembunuh lain yang bernama Arnold Sodeman. Penyakit ini dinyatakan bisa menyebabkan dorongan-dorongan aneh untuk membunuh wanita-wanita yang tidak berdosa. Tetapi Leonski sudah diperiksa oleh tim dokter. Memang cuma otopsi yang bisa membuktikan secara nyata adanya penyakit ini.
Sebelum itu Leonski sudah menjalani pelbagai tes untuk penyakit-penyakit organik dan tes Kline untuk mengetahui adanya penyakit kelamin. Semua tes terbukti negatif.
(Murder Australian Style)
Baca Juga: Cemburu Buta 110 Tahun Penjara
" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726513/pakaian-korbannya-selalu-dicabik-cabik" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1679916986000) } } [16]=> object(stdClass)#197 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726507" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#198 (9) { ["thumb_url"]=> string(98) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/27/cinta-segitigajpg-20230327113539.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#199 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(102) "Tidak lama setelah menikah, sang istri rupanya jatuh cinta pada pria tampan yang menjadi teman mereka." ["section"]=> object(stdClass)#200 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(98) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/27/cinta-segitigajpg-20230327113539.jpg" ["title"]=> string(14) "Cinta Segitiga" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-27 11:35:53" ["content"]=> string(28152) "
Intisari Plus - Setelah menikah, Broughton dan istrinya membuat perjanjian soal jatuh cinta pada orang lain. Tidak lama setelah menikah, sang istri rupanya jatuh cinta pada pria tampan yang menjadi teman mereka.
---------
Pada bulan November 1940, Sir Henry Delves Broughton seorang pemilik kuda pacu terkenal dan juga pemburu, menikah untuk kedua kalinya. Usianya jauh di atas 50 tahun dan dia menikahi seorang gadis cantik yang usianya sekitar 30 tahun lebih muda. Namanya Diana Caldwell. Mereka menikah di Durban lalu berbulan madu di Kenya.
Sebelum menikah, keduanya membuat perjanjian secara lisan bahwa seandainya salah satu jatuh cinta pada orang lain, mereka bersedia mengakhiri perkawinan dengan damai. Dengan pertimbangan usia yang jauh antara mereka, Broughton menganggap perjanjian ini adil dan perlu.
Di Nairobi, pengantin baru ini mula-mula tinggal di Muthaiga Country Club, lalu menyewa sebuah rumah di Karen.
Pria jangkung yang tampan
Mereka berkenalan dengan seorang pria tampan dengan tubuh tegap berusia 39 tahun. Laki-laki ini bernama Lord Erroll, yang biasanya dipanggil Joss. Dia terkenal akan afair-afairnya dengan wanita.
Erroll menjadi petani di Kenya sejak tahun 1923. Permulaan tahun 30-an namanya dikaitkan dengan gerakan fasis. Ketika perang pecah, ia diangkat sebagai ketua panitia Pengerahan Tenaga Kenya. Kemudian ia menjadi orang yang berpengaruh dalam masyarakat kolonial.
Hubungan Erroll dan Broughton cukup baik. Hampir setiap hari mereka bertemu dan berkuda bersama. Pada tanggal 12 Januari Broughton mengadakan jamuan makan malam di Karen. Ia mengundang Erroll, Lady Delamere dan dua orang perwira angkatan darat. Setelah selesai makan malam Erroll mencurahkan kepada Lady Delamere bahwa dia mencintai Lady Broughton. Erroll bertekad untuk mengawininya. Lady Delamere menasihatkan agar Erroll berterus terang saja pada Broughton dan dia sendiri akan berusaha melicinkan jalan.
“Tahukah kau bahwa Joss sangat mencintaimu?” Delamere bertanya pada Lady Broughton, yang dijawab ya oleh wanita itu. Kedua wanita itu melanjutkan percakapan di atas.
“Apakah Erroll akan mengawinimu?” tanya Delamare. Lady Broughton mengiyakan. Sebetulnya agak aneh ia mengajukan pertanyaan itu. Bukankah Delamare sudah diberitahu oleh Eroll bahwa Erroll ingin mengawini Lady Broughton?
Lady Broughton menyatakan ia ingin Erroll berbahagia karena dua pernikahan Erroll yang terdahulu tidak sukses. Istrinya yang kedua terlalu tua. Delamare memberi nasihat yang sama seperti kepada Erroll.
Mengaku
Keesokan harinya Lady Broughton naik kereta api ke tempat rekreasi di tepi Pantai Malidi. Di situ ia tinggal bersama seorang kawannya, June Carberry. Besoknya mereka kembali ke Nairobi.
Selama satu dua hari Broughton pergi menengok kawan lamanya, Letkol Soames, sedangkan Lady Broughton menginap di rumah Erroll.
Pada tanggal 13, Nyonya Carberry, Erroll, Lady Broughton dan suaminya makan siang bersama di Muthiaga Country Club. Seperti apa yang telah mereka sepakati sebelumnya, siang itu Erroll dan Lady Broughton berterus terang pada Broughton.
Broughton mengusulkan agar mereka semua pergi selama tiga bulan dan melarang istrinya menemui Erroll selama itu. Tak ada alasan untuk meragukan usul Broughton. Tiada kata-kata yang keras. Tetapi Erroll menolak semua usul Broughton.
Lalu menurut kisahnya sendiri, Broughton menceritakan pada Nyonya Carberry bahwa ia sudah menyerah bisa menyelamatkan perkawinannya. Ia harus menghormati perjanjian mereka semula.
Jadi nampaknya persoalan bisa diselesaikan. Baik Broughton maupun Erroll menemui pengacara mereka untuk mengurus perceraian pasangan Broughton. Broughton menyediakan dana £ 5.000 setahun untuk istrinya karena ia mengkhawatirkan keuangan Erroll.
Mengibuli suami
Tetapi bahkan sampai di sini pun intrik antara Erroll, Lady Broughton dan Nyonya Carberry masih berlangsung terus. Mereka mengatakan akan bermalam di Nyeri. Yang sebenarnya, mereka menuju kediaman Erroll. Kunjungan ini tanpa sepengetahuan Broughton. Bahkan sampai mereka berempat bertemu lagi untuk makan siang, tanggal 23 Januari, Broughton masih mengira mereka baru pulang dari Nyeri.
Mereka berempat bertemu lagi waktu makan malam di klub. Mereka menghabiskan dua botol sampanye. Broughton sempat mengangkat gelas mengucapkan selamat atas kebahagiaan istrinya dengan Erroll dan mendoakan keselamatan untuk anak-anaknya.
Selesai makan Erroll dan Lady Broughton berdansa. Ny. Carberry yang sedang tak enak badan karena malarianya kambuh, duduk di meja bersama Broughton. Laki-laki ini tak keberatan istrinya bersenang-senang dengan lelaki lain asalkan nanti sebelum jam tiga pagi mereka sudah sampai di rumah, di Karen.
Tiba-tiba Broughton berang dan berkata, “Saya tak akan memberi mereka £ 5.000 juga rumah di Karen itu. Biar saja dia pergi sama si Joss. Baru beberapa bulan kami menikah dan sekarang lihat saja keadaannya!” Begitu lantangnya Broughton sampai Ny. Carberry ketakutan (dia orang kepercayaan Lady Broughton). Ia tak berhasil meredakan amarah Broughton. Mereka makan lagi pukul 23.30.
Sekitar pukul 01.30 mereka meninggalkan klub dan jelas-jelas Broughton dalam keadaan mabuk.
Sudah tidak sekamar
Sopir Broughton mengantarkan mereka dan tiba di Karen sekitar pukul dua. Wilks, pembantu rumah tangga, membukakan pintu dan Ny. Carberry membantu Broughton menaiki tangga. Di ujung tangga mereka saling mengucapkan selamat malam.
Ny. Carberry menanyakan kepada pembantu apakah mempunyai persediaan kinine. Sebelum Wilks muncul kembali, Broughton dengan mengenakan jas kamar datang menanyakan apakah Ny. Carberry baik-baik saja. Sesudah dijawab ya, Broughton pergi lagi dan Wilks datang membawakan obat. Waktu menunjukkan pukul 02.10.
Erroll tiba sekitar pukul 02.25 mengantarkan Lady Broughton. Ny. Carberry mendengar Wilks membukakan pintu. Ia mendengar Erroll bercakap dan tertawa dengan Lady Broughton di ruang bawah. Sekitar sepuluh menit kemudian terdengar mobil Erroll pergi. Lady Broughton masuk ke kamar Ny. Carberry. Mengobrol selama kurang lebih setengah jam, Lady Broughton masuk ke kamarnya sendiri. la tidak sekamar dengan suaminya. Waktu itu menunjukkan pukul 03.15. Broughton menyusul lagi ke kamar Ny. Carberry, dengan jalan agak terseret-seret.
Kata Ny. Carberry, “Sulit menentukan pukul berapa waktu itu, tapi kira-kira sepuluh atau 15 menit kemudian Jock (panggilan untuk Broughton) datang ke kamarku, melihat apakah aku baik-baik saja.”
Joss ditemukan tewas
Itulah cerita Ny. Carberry, Broughton tidak menyangkalnya. la memang sedang mabuk. la mendengar mobil Erroll datang tapi tak ingat menjenguk Ny. Carberry. la tidur sampai pukul tujuh, berjalan-jalan lalu tidur lagi. Pukul sembilan tiba berita bahwa Erroll sudah meninggal dunia.
Mobil Erroll ditemukan terguling ke sebuah lubang di jalan pada tanggal 24 Januari pukul tiga pagi. Di dalamnya seorang laki-laki berseragam tentara tergeletak di belakang kemudi. Setelah ada laporan, Polisi Nairobi tiba sebelum pukul enam pagi.
Lampu mobil Erroll masih menyala. Tubuh Erroll meringkuk di belakang kemudi, kepalanya tertembus peluru yang ditembakkan ke belakang telinganya dari jarak antara 22,5 sampai 45 sentimeter. Ada tanda hitam bekas mesiu sekitar lukanya. Dua keping anak peluru menembus tengkorak dan otaknya. Sebuah peluru ditemukan di lantai mobil.
Broughton terima surat kaleng
Menurut rekonstruksi polisi, peluru pertama tidak mengenai sasaran karena Erroll menundukkan kepalanya, baru peluru kedua yang membunuhnya. Posisi jenazah aneh, kaki didorongkan sampai ke pinggang dan kepala hampir menyentuh lantai. Mungkin ini disebabkan menghentikan mobil waktu terperosok. Atau didorong si pembunuh supaya pembunuh bisa mengemudikan mobil itu.
Superintendant Poppy dan Inspektur Elliot mengadakan percobaan. Poppy duduk di kursi kemudi. Ternyata lekukan kecil di pintu belakang berada tepat di samping kepalanya. la memasukkan peluru berkaliber 32 ke dalamnya, ternyata cocok sekali. Peluru itu peluru pertama yang meleset. Kini Poppy menjatuhkan diri ke sisi kiri. Ternyata telinga kirinya tepat di atas bekas darah di tempat duduk.
Ia mengendurkan ototnya, ternyata tak bisa jatuh dari tempat duduk. Akhirnya bisa jatuh menggelinding ke bawah tetapi tak bisa menyamai posisi Erroll. Terbukti orang lain yang mendorong kaki Poppy ke bawah tubuh dan mengatur lengan dan kepala sehingga posisinya seperti apa yang nampak waktu ditemukan.
Tak ada bekas jari di situ, tak ada juga revolver di sekitarnya. Kedua detektif itu mengukur jarak dari lubang sampai ke rumah Broughton. Tercatat 2,4 mil.
Lalu Poppy dan Elliot mendatangi Broughton di rumahnya. Waktu ditanya apakah Broughton mempunyai revolver, Broughton mengatakan ia kehilangan dua senjatanya sejak tiga hari yang lalu, masing-masing berkaliber 45 dan 32. Keduanya merk Colt. Hilangnya di kamar kerja, antara pukul satu malam tanggal 20 Januari dan pukul sepuluh pagi berikutnya. Sebuah kotak rokok perak dan beberapa lembar uang pound turut tercuri. Dia langsung pergi melapor.
Katanya ia juga menerima tiga pucuk surat kaleng yang diketik. Yang pertama diterimanya sebulan yang lalu, bunyinya: Kau nampak seperti cacing kepanasan semalam. Bagaimana tanggapanmu tentang segitiga abadi? Apa yang akan kau lakukan? Yang kedua diterimanya beberapa hari sebelum kematian Erroll, bunyinya: Tahukah kau bahwa istrimu tinggal bersama Erroll di rumah keluarga Carberry di Nyeri? Yang ketiga tiba satu dua hari kemudian. Isinya menghasut: Tak ada orang sekonyol kau. Apa yang kau perbuat sekarang? Yang disimpan cuma surat pertama lalu diserahkan polisi.
Potongan kaos kaki
Waktu polisi datang, Broughton sedang berjalan-jalan di pekarangan rumah bersama Elliot. Inspektur itu mencium bau benda terbakar. Kata Broughton dia membakar sampah kemarin. Isi lubang yang masih membara itu diperiksa. Rumput yang ada di sekitarnya hangus.
Broughton menjelaskan bahwa tadinya api sangat besar sehingga ia terpaksa memanggil orang untuk memadamkannya. Elliot menempatkan seorang penjaga pada lubang pembakaran. Dua hari kemudian sisa pembakaran diperiksa. Sepotong bahan wol yang hangus ditemukan, diduga merupakan bagian atas kaos kaki. Tes untuk menentukan adanya bercak darah meragukan, tetapi polisi kuat menduga bahwa kaos kaki Broughton terkena darah dan dialah yang membakar sampah — dengan bantuan sebotol bensin — untuk melenyapkan kaos itu.
Kata Broughton, ia memakai senjata kaliber 32 untuk latihan membidik waktu mengunjungi kawan lamanya, Letkol Laut Soames. Elliot mengunjungi Letkol Soames. Waktu dites, ditemukan beberapa butir peluru, empat di antaranya dari kaliber 32.
Mr. Fox, seorang ahli kimia pemerintah, membandingkan peluru tersebut dengan yang ditemukan di lantai mobil dan di kepala Erroll. Fox menyakinkan, semua peluru berasal dari sumber yang sama.
Broughton ditahan karena dituduh sebagai pelaku pembunuhan, tetapi dia tenang-tenang saja. Katanya, para petugas telah membuat kesalahan besar.
Erroll mempunyai banyak pacar
Pihak pembela berusaha meyakinkan, bahwa meskipun sangat sedih akan keputusan istrinya, Broughton telah ikhlas dan tidak menunjukkan rasa permusuhan pada Erroll. Delamere terpancing untuk mengungkapkan afair Erroll dengan banyak wanita, dengan pertanyaan yang diajukan oleh Mr. Morris, seorang pengacara. Delamere tetap bertahan bahwa Broughton memperlihatkan emosi ketika melihat Erroll dansa dengan istrinya.
“Apa yang terlihat pada raut wajahnya?”
“Bermacam-macam perasaan.”
“Marilah kita perinci satu demi satu, Lady Delamere.”
“Kemarahan, penderitaan batin, bersungut-sungut, dan guncangan jiwa.”
“Keresahan pada air mukanya?” tanya Morris kurang percaya.
“Ya,” kata Delamere, “malahan pernah mencerca.”
Saksi berikutnya adalah Ny. Carberry, yang tak mau memakai gelar kebangsawanannya. Saksi menyetujui bahwa ucapan-ucapan Broughton memang agresif pada malam pembunuhan. Tetapi ini mungkin karena ia sedang mabuk. Ny. Carberry dianggap saksi yang penting.
“Apakah Anda sempat menilai perangai Jock?”
“Ya, saya rasa begitu.”
“Apakah Anda bisa mengatakan dia tuan rumah yang sopan dan penuh pertimbangan?”
“Memang.”
“Apakah Anda bisa mengatakan bahwa ia laki-laki pencemburu?”
“Tidak! Sama sekali tidak. Ia selalu mengijinkan Diana menghadiri pesta apa pun yang disenanginya tanpanya.”
“Saya menanyakan ini, Ny. Carberry, sebab Lady Delamere tadi melukiskan keadaan Jock melihat istrinya dansa dengan Erroll. Apakah dia memperlihatkan emosi atau marah?”
“Tidak, saya tak pernah melihatnya demikian.”
“Apakah Anda heran jika mendengar segala macam emosi Jock ketika melihat istrinya berdansa dengan Joss?”
“Ya, saya rasa begitu.” Ny. Carberry menambahkan bahwa ia belum pernah mendengar tertuduh mengucapkan kata-kata penyesalan atau sakit hati pada Erroll.
“Apakah Anda yakin bahwa pada akhirnya tertuduh ikhlas dan bersedia membiarkan istrinya bebas dan mengawini Erroll?”
“Ya, itulah yang sudah disetujuinya.”
Fox melawan Morris
Bukti yang berhubungan dengan peluru nampaknya merupakan bagian yang paling sukar ditembus oleh pihak pembela. Menurut penuntut umum, Broughton sudah merencanakan pembunuhan itu. Ia mengatur pencurian revolver-revolvernya. Para pembantu rumah menjelaskan mereka pernah melihat senjata itu, tetapi belum pernah melihat kotak rokok perak dan uang kertasnya.
Kenapa senjata-senjata itu diletakkan di kamar kerja? Dalam tanya jawab itu Broughton mengatakan bahwa ia memindahkannya dari kamar tidur ke kamar kerja. Pasalnya ia beranggapan bahwa berbahaya meletakkan senjata dalam kamar tidur. Senjata itu kosong tetapi di dekatnya ada sekotak peluru ukuran 32.
Hakim ketua menyela, “Mengapa Anda tidak memindahkannya ke kamar senjata?”
“Tadinya saya akan pergi menunggang kuda dan meninggalkan ruang kerja, kemudian Wilks datang membicarakan sesuatu.”
Penuntut umum cukup puas dan tak membicarakan lagi soal pencurian senjata. Bagi mereka, yang penting identifikasi peluru kaliber 32 yang ditemukan di lapangan tembak dan di dalam mobil. Fox-lah yang membuat identifikasi. Ia telah memberikan kesaksian tentang cabikan wol hangus, tetapi jaksa tidak bisa berbuat banyak sebab bercak itu tak bisa dipastikan sebagai darah. Fox lebih yakin akan peluru-peluru yang berasal dari senjata yang sama. Katanya, “Ini suatu kesimpulan, bukan pendapat.” Hampir delapan jam ia membicarakan alur dan garis serta menunjukkan foto-foto.
Jika ada dua butir peluru yang ditembakkan dari revolver yang sama, kata Fox, seharusnya ada ciri-ciri yang sama. Setelah memeriksa, Fox dapat memastikan bahwa semua peluru itu berasal dari revolver yang mempunyai lima alur kanan. Ciri-ciri laras senjata membekas pada pelurunya.
Dengan pertolongan foto, Fox menemukan dua puluh titik persamaan pada keenam peluru. Menurutnya, ini sudah menyingkirkan keraguan.
“Bisakah Anda keliru dalam kesimpulan Anda?” tanya hakim ketua.
“Tidak,” jawab Fox tegas.
Moris mengeluh karena pihak pembela tidak cukup banyak melihat foto yang diperagakan. Hubungan pembela dengan saksi ahli menjadi tegang. Fox memberitahu juri hal tertentu dalam foto dan Morris menyesal mengapa Fox tidak mengatakannya dalam kesaksiannya.
Fox bertahan dalam hujan serangan dengan gigih. Setelah itu terjadi pertempuran antara para ahli (yang di satu pihak berasal dari buku yang dibacakan Morris) melawan Fox yang ngotot. Morris mendebat bahwa harus ada tanda lebih banyak lagi pada peluru daripada tanda yang ditunjukkan Fox lewat foto.
Keyakinan yang terlalu pasti yang ditunjukkan Fox malah menciptakan keraguan dalam benak para juri. Ucapan Fox, “Saya benar dan mereka yang berbeda pendapat salah membangkitkan rasa menentang pada orang yang sadar akan kelemahannya sendiri.”
Pihak pembela lalu mengundang seorang ahli peluru, Kapten Overton, inspektur persenjataan untuk tentara Afrika Timur. la menghabiskan 29 tahun masa dinasnya di angkatan bersenjata dengan mengidentifikasi peluru dan pernah memberikan kesaksian ahli dalam 11 kasus pengadilan.
Menurut Overton, kedua peluru memang berasal dari senjata yang sama, namun empat butir yang dipungut dari tempat latihan menembak berasal dari senjata lain. Terdapat beberapa perbedaan. Dengan menyesal Overton menganggap foto pembuktian Fox tidak ada gunanya untuk membandingkan titik persamaan dan perbedaan.
Waktu meneropong peluru-peluru di bawah mikroskop perbandingan kimia, Overton menarik beberapa ucapannya kembali. Fox belum menyerah kalah, malah kini menambahkan adanya 30 titik persamaan di antara peluru-peluru itu.
Buta malam
Masalah utama dalam kasus ini sebenarnya hanya satu, bagaimana bisa membuktikan bahwa Broughton dapat keluar rumah untuk melakukan pembunuhan. Broughton sangat beruntung, korban ditemukan dengan cepat, sebab penemuan ini menyempitkan batas waktu yang bersangkutan dengan kejahatan.
Dari pembukaan tuduhan nampak bahwa penuntut umum tak bisa memastikan bagaimana Broughton melakukan pembunuhan. Apakah ia menyelusup ke mobil yang diparkir di halaman rumah, sementara istrinya dan Erroll bercakap di dalam rumah? Ataukah ia menyetop mobil itu di tengah jalan keluar? Lebih jauh lagi, setelah mengemudikan mobil ke lubang, berjalan kaki dalam waktu yang memungkinkan, lalu sampai di rumah mengetuk kamar Ny. Carberry pada pukul empat pagi?
Tetapi menurut Ny. Carberry, ia mengetuk pukul setengah empat, bukan pukul empat. Jam berapa pun, ketukan itu sendiri sudah mencurigakan. Tetapi bagaimana cara ia keluar dari jendela kamar tidurnya (di tingkat dua)? Lalu memanjat sepanjang talang air? Dalam keadaan terang, polisi berhasil memanjat ke luar.
“Waktu melakukan percobaan, Anda merusak sebagian talang,” tukas Morris.
“Tidak.”
“Tetapi kenapa talang jadi rusak?”
“Yang merusakkannya adalah Letnan Dickinson.”
“Apakah yang rusak itu pipa penyalur air?”
“Bukan. Ada dua pipa saluran dan ada sebuah lagi yang menghubungkan keduanya. Letnan Dickinson menginjaknya sampai jebol.”
Kalau kamar tidur tidak mungkin dipanjat, bagaimana kalau kamar mandi yang letaknya bersebelahan? Superintendent itu melakukan percobaan dengan memanjat ke luar di siang hari lalu berpegangan pada pipa penyalur air, lalu merosot ke bawah.
“Berapa umur Anda?” tanya Morris.
“30 tahun.”
“Anda sehat walafiat?”
“Tentu saja.”
“Tahukah Anda berapa usia Sir Delves Broughton?”
“Saya rasa 57 tahun.”
“Bukankah cukup jelas bahwa ia mestinya memanjat pada malam hari. Dalam keadaan gelap gulita.”
“Ya.”
Morris melakukan serangannya, “Tertuduh akan menceritakan pada hakim ketua bahwa ia menderita pergelangan tangan patah akibat kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Juga ada bukti bahwa ia menderita penyakit buta malam. Anda tahu ini?”
“Tidak.”
Encok dan lumpuh sebelah
Kesulitan yang dihadapi penuntut makin jelas waktu pembelaan dimulai. Broughton selama tiga hari menjawab pertanyaan gencar dengan sabar dan tenang. Ia mengatakan, ia mendapat sengatan matahari dalam PD I dan dalam musim gugur 1919 ia dibebaskan karena kesehatannya buruk.
Menurut dewan pensiun ia menderita suatu pembengkakan dalam otak yang mengakibatkan ia kehilangan tenaga pada tubuh sebelah kanan. Kekuatan genggaman kanannya berkurang 40%. Tahun 1925 ia mengalami kecelakaan mobil. Pergelangan kanannya patah di beberapa tempat. Tulang-tulangnya yang menonjol keluar harus dipotong. Sejak itu pergelangannya sangat kaku dan sering diserang artritis, sehingga olahraga tenis pun ia tidak sanggup.
Ia menderita buta malam karena sengatan matahari itu, sehingga tak pernah menyetir mobil pada malam hari. Seorang dokter penjara, dr. Carruthers, menegaskan keterangan dewan pensiun. Sehingga diragukan apakah Broughton dapat melakukan pemanjatan ini? Pasti tidak, kata para dokter. Untuk mengatur posisi tubuh Erroll sedemikian rupa, Broughton mungkin memerlukan waktu lebih dari 15 menit. Belum lagi ia harus berjalan kaki sejauh 2,4 mil yang paling sedikit makan waktu satu jam, dari tempat kejadian ke rumahnya di Karen.
Penuntut umum tidak bisa membantah keterangan para saksi itu, tetapi berusaha untuk memperlemahnya. Terutama soal buta malam yang tak bisa dipastikan itu.
Masih bisa membunuh singa
Juri yang masih meragukan penyakit Broughton ini dan penuntut kemudian merasa masih perlu memanggil seorang pemburu profesional. Diharapkan pemburu ini dapat memberikan kesaksian bahwa awal tahun ini Broughton menembak seekor singa dengan senapan berat dan bisa berjalan kaki dengan normal.
Menjawab pertanyaan pihak pembela, saksi juga mengakui bahwa pada waktu itu Lady Broughton pun ikut menembak seekor singa. Jadi bisa disimpulkan bahwa untuk melakukannya, tak memerlukan tenaga besar. Mereka berjalan tak lebih cepat dari dua mil sejam.
Kesaksian ahli para dokter agaknya menentukan keputusan yang diambil para juri. Kalau pun Broughton berhasil melewati tangga kayu berderak tanpa diketahui orang lalu minta menumpang mobil Erroll (entah dengan alasan apa), lalu menembaknya, menata mayatnya, mengemudikan mobil ke lubang, Broughton masih mengalami rintangan yaitu berjalan kaki dalam waktu lebih dari sejam.
Agak mengherankan kalau juri harus berunding selama tiga setengah jam. Apa keputusan mereka? Broughton tidak bersalah melakukan pembunuhan atau penganiayaan.
Kalau begitu, siapakah pembunuh Erroll? Dua kemungkinan yang diberikan pembela, dianggap sepi oleh polisi. Pertama, motif politik. Kedua, Erroll dibunuh oleh pacar yang cemburu.
Polisi juga tak mengusut surat kaleng. Bagaimana dengan mesin ketiknya? Kalau saja mereka tidak begitu yakin dan sibuk dengan kesalahan Broughton! Masih ada lagi jepit rambut dan tanah liat kering yang mungkin berasal dari sepatu pembunuh!
(Julyan Simons)
Baca Juga: Pengakuan di Selembar Kertas
" ["url"]=> string(59) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726507/cinta-segitiga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1679916953000) } } [17]=> object(stdClass)#201 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726517" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#202 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/27/intisari-plus-235-1983-40-ia-ter-20230327113449.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#203 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Bau busuk luar biasa tiba-tiba menyeruak dari apartemen seorang pensiunan yang hidup sendiri. Saksi mata melihatnya terakhir kali berbelanja." ["section"]=> object(stdClass)#204 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/27/intisari-plus-235-1983-40-ia-ter-20230327113449.jpg" ["title"]=> string(32) "Ia Terakhir Kelihatan Berbelanja" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-27 11:35:02" ["content"]=> string(34177) "
Intisari Plus - Bau busuk luar biasa tiba-tiba menyeruak dari apartemen Helmer, seorang pensiunan yang hidup sendiri. Saksi mata melihatnya terakhir kali ketika ia keluar berbelanja.
---------
Alexander Helmer, seorang pensiunan, hidup sendirian di apartemennya di Melrose, Bronx, New York. Kerjanya sehari-hari hanya menonton orang lewat dari jendela apartemennya di lantai tiga. Kalau tiba saat makan, ia makan sendirian di dapur, ditemani surat kabar.
Sebagai orang tua, kebutuhan Helmer akan makanan tidak seberapa. Tetapi setiap hari ia selalu berjalan jauh ke Supermarket A & P, yang letaknya sembilan blok dari apartemennya. Ia segan berbelanja di bodega milik orang Puerto Rico dan di toko-toko milik orang Italia di dekat apartemennya, karena suram dan lebih mahal beberapa sen. Helmer ini pelit. Celananya ia pakai sampai bagian paha dan bagian pantatnya sudah tipis berkilat.
Sebetulnya selisih harga beberapa sen tidak sesuai dengan pengorbanannya untuk berjalan begitu jauh. Tetapi Helmer senang pergi ke A & P yang besar, terang dan penuh orang. Di sana dan dalam perjalanan, ia bisa mengangguk pada orang-orang yang sering dijumpainya. Ia juga bisa bercakap-cakap dengan manajer supermarket. Pokoknya, pergi dan pulang dari supermarket itu merupakan puncak kegiatannya setiap hari. Belanjaannya hanya berupa seliter susu, satu roti tawar dan barang-barang kecil.
Sering membual
Tanggal 9 Oktober 1964, menjelang siang, ia pergi ke A & P. Hari Jumat itu matahari bersinar dan udara sejuk. Pria berumur 72 tahun itu memakai beberapa lapis pakaian, mengenakan alat bantu dengarnya dan pergi ke luar.
Sejak saudara perempuannya meninggal sepuluh tahun yang lalu, ia benar-benar sendirian dan hampir tidak pernah dikunjungi orang. Kalau kebetulan bertemu dengan pemilik bangunan itu, ia juga tidak menegur atau pun mengangguk. Empat tetangganya yang apartemennya di lantai tiga juga hampir tidak peduli padanya. Pernah ia masuk rumah sakit selama dua minggu dan tidak seorang pun dari mereka menyadari ketidakhadirannya.
Lewat dari 399 East 160th Street, ia tampak “hidup” dan bercakap-cakap dengan beberapa kenalan yang tua pula, di sebuah taman. Mereka itu pemilik toko dan manajer sebuah pompa bensin. Kadang-kadang ia juga melewatkan sebagian waktunya di situ.
Kepada orang-orang dan beberapa tetangga yang tidak dikenalnya dengan baik, ia sering membual dengan memberi tahu bahwa keuangannya mantap. Ia tidak mempunyai ahli waris dan bisa saja lawan bicaranya itu ia jadikan ahli waris dalam surat wasiatnya. Ia mempergunakan cara yang sama untuk memelihara hubungan perkenalannya dengan dua orang janda yang sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu dengannya. Dengan keduanya, ia berkirim-kiriman kartu Natal. Bersama kartu Natal itu, dikirimkannya juga kartu nama pengacaranya dengan pesan: Simpan kartu ini, saya akan mengingatmu dalam surat wasiat saya.
Helmer memang berhasil mengumpulkan uang sampai $ 22.000, yang ditanamkannya dalam saham-saham. Tetapi pada saat ini, ia tidak bermaksud mengeluarkan uang dalam jumlah cukup besar untuk siapa pun juga, termasuk untuk kakaknya, George, yang dirawat di rumah jompo. Ketika manajer rumah jompo itu meminta Helmer menyumbang untuk kakaknya yang sudah pikun dan yang keuangannya sudah surut, Helmer menolak dan buru-buru kabur dari rumah perawatan tersebut. Ia tidak pernah kembali ke sana.
Tetapi anehnya, ia kadang-kadang membawa uang beberapa ratus dolar di sakunya, sedangkan beberapa ratus lagi ditaruhnya di apartemennya, walaupun tidak dipergunakan.
Tengah hari, di A & P, Helmer memasukkan barang-barang yang dibutuhkannya ke kereta dorong dan kasir menghitung, berapa yang mesti dibayarnya untuk seliter susu, setengah liter es krim, beberapa tomat dan apel, sebuah roti tawar, setengah lusin telur dan beberapa benda kecil lain. Setelah membayar empat dolar dua puluh sen, Helmer membawa belanjaannya ke luar. Ia berjalan dengan santai di Melrose Avenue. Jalan itu cukup besar dan ramai. Bus lewat dari dua jurusan. Mobil-mobil lalu lalang dan sepanjang hari banyak orang berjalan di trotoar. Pemandangan ini menyenangkan untuk pria yang sepanjang hari tinggal di apartemen saja.
Di tepi jalan berderet bangunan-bangunan apartemen murah, yang terdiri atas dua sampai enam tingkat. Bagian bawah biasanya berupa toko kecil. Tidak ada tempat luang untuk pepohonan atau pun tanaman di muka gedung. Selain bangunan apartemen, di situ juga ada bank, bioskop dan bahkan pabrik kecil.
Tidak takut ditodong
Alexander Helmer tidak peduli pada pemuda-pemuda yang berkumpul di sudut-sudut jalan. Ia juga tidak takut ditodong dan dianiaya, walaupun dalam sakunya ia membawa 189 dolar. Di masa mudanya, ketika ia masih bekerja sebagai pengantar susu, ia pernah ditodong dua kali, tetapi tidak dianiaya.
Bahkan Helmer tidak curiga pada sekelompok pemuda yang luntang-lantung di muka toko Vega-Baja Self Service, yang letaknya tepat di muka gedung tempat apartemen Helmer berada. Mereka cuma berbisik-bisik sebentar dan pura-pura tidak peduli ketika Helmer mendekat. Orang tua ini mendorong pintu kaca berjeruji besi, yang merupakan pintu masuk gedung tempat apartemennya berada. Lalu ia menaiki tangga, mengeluarkan serenceng kunci untuk membuka sebuah pintu kayu, masuk melalui pintu itu, lalu membiarkannya tertutup sendiri.
Pintu kayu itu tidak selalu terkunci. Gedung itu bertingkat enam, di tengahnya ada tangga untuk mencapai tingkat-tingkat atas. Setiap tingkat terdiri atas lima apartemen. Bangunan ini dimiliki dan dikelola selama 40 tahun oleh Ny. Anna Ambos, janda seorang dokter. Wanita ini sudah berumur 72 tahun dan tidak puas dengan kejorokan serta ketidakamanan di daerah tempat tinggalnya, yang dahulu bersih dan aman. Untuk pengaman, ia memasang tiga gembok ekstra di pintu muka dan lubang untuk mengintip.
Dulu, di lantai bawah ada switchboard dan telepon. Kini cuma ada dua jajar tombol dan sebuah bel di pintu kayu.
Siang itu, ketika Helmer menghilang di belakang pintu kayu, pemuda-pemuda di seberang rumahnya berbisik cepat-cepat dan seorang di antaranya tiba-tiba lari menyeberang. Ketika ia mendorong pintu kayu dan pintu itu terbuka, ia memberi tanda kepada teman-temannya yang segera menyerbu masuk. Mereka menaiki tangga yang tadi dinaiki Helmer. Tidak seorang penghuni rumah pun yang melihat mereka masuk. Helmer sudah menaiki dua undak tangga dan kini berada di muka pintu apartemennya, No. 2-B. la membuka pintu dengan tangan kanan dan memeluk tas belanjaannya dengan tangan kiri. Ketika pintu terbuka, dicabutnya rencengan kunci dan dimasukkannya ke dalam sakunya. Begitu ia masuk, sejumlah pemuda tiba di sebelah kiri dan belakangnya. Tiba-tiba saja ia terjerembab ke dalam dan terdorong beberapa langkah ke pintu dapur di sebelah kanannya.
Dengan kaget dan takut, ia melihat dua pemuda di depannya dan pemuda ketiga di muka pintu. Yang dua orang mengambil tas belanjaan dari tangan Helmer yang tidak berdaya, untuk ditaruh di lantai di luar dapur. Yang ketiga masuk ke dapur. Helmer dengan panik berbalik dan berteriak serak. Ia mencoba menjambak pemuda itu dengan tangannya yang tua. Orang yang tadi mengambil belanjaannya, menangkap lengan Helmer dan orang tua ini berteriak lebih keras lagi. Tiba-tiba saja pemuda di depannya menghunus pisau dan menikam Helmer dengan kuat berkali-kali. Setiap kali mata pisaunya tenggelam dalam tubuh Helmer dan kalau ditarik ke luar warnanya merah darah.
Tiba-tiba saja Helmer berhenti berteriak. Tubuhnya lunglai. Pria yang memeganginya kini melepaskan Helmer, sehingga Helmer jatuh dengan wajah menimpa ubin dapur. Topi cokelatnya melayang jauh. Alat bantu dengarnya juga copot dan jatuh dekat muka Helmer, tetapi kawatnya yang halus masih menyangkut.
Helmer terbujur tanpa bergerak. Darah hangat membasahi pakaian yang ditindihnya dan mengalir ke lantai. Ia tidak mendengar para penyerangnya bergerak sekelilingnya menggeratak dapur, laci, dan peti. Ia tidak mendengar apa yang mereka katakan dan juga suara pintu dibanting ketika mereka meninggalkannya. Mereka menuruni tangga, berpencar dan keluar mengambil dua jurusan yang berlawanan, tanpa dicurigai siapa pun juga. Wajah mereka memudar dari otak Helmer yang perlahan-lahan mendingin dan berhenti bekerja.
Banyak lalat
Sembilan hari kemudian, pada hari Minggu pagi, tanggal 18 Oktober 1964, seorang saksi Jehovah masuk ke gedung di 399 East 160th Street. Ia memijat bel pada pintu bertuliskan 1-B. Begitu Ny. Smith membuka pintu, ia segera saja berbicara mengenai “kebenaran Tuhan” dengan cepat, karena memang sudah hafal. Kemudian ia menawarkan sebuah majalah The Watchtower, publikasi resmi sekte agama itu.
Ny. Smith, yang tidak mau repot-repot melayani orang itu, mencari-cari uang kecil dari dompetnya. Ketika itulah pria itu berbisik, “Kalau dinilai dari baunya, di lantai tiga mestinya ada mayat.”
Ny. Smith cuma mengira membaui makanan basi, ketika ia naik ke tingkat itu. Tetapi ia hampir muntah ketika sampai di atas, karena sangat bau. Ia cepat-cepat lari ke lantai bawah untuk memberi tahu Ny. Ambos.
Dengan berkeluh kesah dan bersusah payah, Ny. Ambos naik dibuntuti Ny. Smith. Di lantai tiga, ia mengendus-endus pada setiap pintu masuk apartemennya. Tiba-tiba ia berlari ke pintu bertuliskan A-2 dan meminta penghuninya, seorang wanita Italia setengah baya bernama Ena Varela, untuk menelepon polisi.
“Cepat!” pinta Ny. Ambos. “Di gang sangat bau, seperti bau bangkai manusia. Rasanya dari pintu Helmer.”
15 menit kemudian, mobil polisi berhenti di muka gedung. Dua polisi muda disambut oleh Ny. Ambos yang tampak senewen. Walaupun sangat bau, tapi polisi-polisi itu bersikap tenang dan profesional ketika membuka pintu apartemen Helmer yang terkunci. Ny. Ambos tidak mempunyai duplikatnya. Tetapi ia memberi tahu polisi, bahwa mereka bisa masuk ke apartemen Helmer lewat sebuah jendela kamar, yang bisa dicapai dari apartemen A-2.
Polisi bisa mencapai jendela itu, tetapi terpaksa tidak jadi masuk karena bau busuknya bukan main, sementara gerombolan lalat tampak seperti awan tebal. Mereka kembali ke mobil, meminta pertolongan bagian darurat lewat radio.
Menurut polisi: mati wajar
Dua petugas bagian darurat datang. Mereka masuk melalui jendela setelah memakai kedok gas. Mereka sudah terbiasa melihat hal-hal yang ngeri. Tetapi melihat tubuh Helmer yang gembung membusuk dan sebagian habis dimakani belatung, mereka tergugah juga. Dengan pertolongan gunting, mereka memotong saku belakang celana sebelah kanan pada mayat dan menemukan 189 dolar 80 sen. Mereka juga menemukan rencengan kunci, terdiri atas empat buah pada kantung lain. Sementara itu mereka tidak henti-hentinya diganggu lalat dan seperti akan tercekik karena pengap.
Mereka memeriksa ruangan-ruangan lain dan tidak menemukan barang berharga. Ada tiga buku bank yang seluruhnya mencatat jumlah uang $ 650 kurang sedikit.
Mereka tidak bisa mengetahui apakah Helmer mengalami kekerasan atau tidak. Mereka juga tidak mungkin membalikkan mayat itu. Jadi diduga Helmer seperti banyak penghuni kota besar lain - meninggal karena serangan jantung tanpa ketahuan.
Detektif Stephen McCabe datang ke apartemen itu pukul tiga siang. la diperbolehkan masuk oleh polisi penjaga yang merasa sial sekali, karena kebagian menjaga di tempat bau itu. McCabe menutup hidung dan mulutnya rapat-rapat dengan saputangan. la disambut serbuan lalat dan hampir saja terpeleset oleh darah dan belatung yang terinjak sepatunya. Tetapi ia memaksakan dirinya memeriksa tubuh Helmer.
Ketika ia keluar, wajahnya pucat dan keningnya penuh keringat. McCabe menyalakan cerutu dengan harapan bisa mengusir bau busuk dan lalat, lalu kembali lagi ke dalam. Sesudah keluar masuk tiga kali (kalau dijumlahkan, ia berada di dalam tidak lebih dari sepuluh menit), ia merasa sudah cukup melihat yang perlu dilihatnya. Di kantor polisi, ia mengetik, memberi laporan pendek. Katanya, tampaknya kematian itu wajar.
Sudah acak-acakan
Kini tibalah giliran pemeriksaan kedokteran pada mayat. Keesokan harinya, pukul 10.30, Detektif Salvatore Russo dari bagian pembunuhan di Bronx, menerima telepon dari kenalan lamanya, dr. Charles Hochman, wakil kepala pemeriksa kedokteran di Bronx, yang sudah berpengalaman 35 tahun dalam bidang ilmu forensik. Ia meminta Russo datang ke tempat kerjanya. Di sana, Hochman menunjukkan lima bekas tusukan pisau pada tubuh Alexander Helmer, yang kini sudah dibuka pakaiannya. Tusukan pada bagian kiri tubuh itu ada yang terjadi di bagian jantung, ada pula di bagian atas lambung. Dari salah sebuah di antaranya menonjol usus.
Beberapa menit kemudian Detektif Stephen McCabe diberi tahu, bahwa mayat yang ditemukan kemarin adalah korban pembunuhan dan ia diminta datang ke kantor. Rasanya McCabe seperti ditinju. Ia malu, karena ia terlalu cepat memeriksa mayat sehingga “kecolongan”.
McCabe yang masih merasa malu karena kecerobohannya, memasuki lagi apartemen 2-B pada tanggal 19 Oktober pagi. Di lantai dapur, di atas genangan cairan coklat yang berbelatung, terdapat bubuk putih tebal, yaitu desinfektan yang disebarkan Ny. Ambos setelah mayat diangkat dan polisi pergi kemarin sore. Bubuk itu bukan hanya memudarkan bekas-bekas posisi tubuh, tetapi juga berarti sedikitnya satu orang sudah berada di apartemen itu tanpa pengawasan polisi. Jadi tidak ada jaminan keadaan di sana masih sama seperti ketika ditinggalkan oleh polisi.
McCabe yang berusaha menahan diri agar tidak muntah (karena bau bangkai hanya berkurang sedikit saja), juga mendapatkan tas belanjaan bukan lagi berada dekat pintu dapur, melainkan di ruang tengah. Petugas pengangkut mayat memindahkannya, supaya ada tempat lebih luas untuk mengeluarkan mayat dari dapur. Lebih gawat lagi: polisi-polisi yang memeriksa laci-laci dan sebagainya menyebabkan sidik jari pada pegangan laci dan Iain-lain jadi terhapus. Ketika itu juga Detektif Salvatore Russo datang. la merupakan penanggung jawab utama penyelidikan pembunuhan ini.
Apakah Helmer dibunuh karena sakit hati? Di lantai dapur ada permen karet yang masih terbungkus dan bungkusan permen karet di meja dapur milik Helmer. Apakah orang tua yang memakai gigi palsu itu makan permen karet? Ada tas belanjaan yang isinya sudah busuk. Rupanya orang tua ini tidak sempat membenahi belanjaannya. Apakah pembunuh menunggunya membuka pintu depan, lalu membuntutinya? Mengapa uang pada dompet di saku Helmer tidak diambil? Apakah pembunuh mencari barang yang lebih berharga di laci-laci, sehingga tubuh korban dibiarkan saja? Di dapur ada kotak logam kosong. Mungkin saja kotak uang Helmer. Tetapi di seluruh apartemen tidak ditemukan uang sesen pun.
Serba kurang cermat
Russo memberi tahu McCabe bahwa ia memerlukan juru foto dan orang-orang yang biasa mengambil sidik jari. McCabe menelepon ke kantor, lalu ia memeriksa isi kantong belanjaan Helmer. Isinya telur busuk, tomat yang berjamur, susu basi yang sudah keluar dari kantung kertasnya dan es krim yang sudah meleleh. Pokoknya, semua barang tidak berguna dan serba bau. Tetapi di atas barang-barang itu ditemukannya kertas bersih dari cash register A & P, bertanggal 9 Oktober.
Pasti benda-benda semacam itu tidak akan dibiarkan sehari dua hari di luar lemari es. Jadi hampir bisa dipastikan, bahwa 9 Oktober merupakan tanggal terjadinya kejahatan. McCabe mengembalikan isi kantung ke tempat semula, tetapi kertas cash register yang dianggapnya berharga ini diselipkannya ke dompet.
Sekali lagi apartemen diperiksa dengan teliti. Juru potret sibuk dengan kamera dan blitz, petugas yang mengambil sidik jari membubuhkan bubuk pada pegangan pintu, laci dan sebagainya.
McCabe dan Russo memeriksa foto-foto, surat-surat, rekening-rekening dan kertas-kertas lain yang mungkin bisa memberi jalan untuk menangkap si pembunuh.
Petugas pengambil sidik jari cuma menemukan satu sidik jari yang dianggap berguna di atas pegangan pintu lemari es. Di bagian-bagian lain mereka cuma menemukan sidik-sidik buram yang tidak bisa dipakai dalam penyelidikan. Sayang petugas laboratorium polisi tidak mengambil darah kering dari pintu lemari es dan juru potret lupa memotret kantung belanjaan di dekat pintu. Jadi tidak ada bukti bahwa benda itu pernah ada dan di mana letaknya, kecuali dari keterangan para polisi.
McCabe juga mengambil permen karet dan bungkus kosongnya. Bersama dengan kertas dari cash register A & P, benda ini mestinya ia serahkan pada petugas khusus yang disebut Police Property Clerk. Tetapi McCabe lalai. Ia menyimpannya di lemari kantornya sendiri. Ini memberi peluang pada pembela kelak, untuk meragukan barang-barang bukti ini.
Ny. Ambos
Harta benda Helmer tidak menunjukkan siapa pembunuhnya. Polisi hanya bisa menemukan nama orang-orang yang bersurat-suratan dengannya, pengacaranya, toko yang mereparasi alat bantu dengar, rumah sakit tempat ia pernah dirawat dan hal-hal yang tidak bisa membantu polisi mengetahui identitas pembunuhnya.
Mereka mewawancarai tetangga-tetangga Helmer, tetapi tidak ada hasilnya. Mereka mewawancarai Ny. Ambos dan mengalami kesulitan. Bukan hanya wanita itu bercerita ngalor-ngidul, tetapi juga aksen Jermannya sulit diikuti dan keterangannya tidak tepat. Katanya, ia terakhir melihat Helmer satu setengah minggu yang lalu, pukul tujuh malam lewat sedikit. Ketika itu ia akan mengunci pintu depan gedung. Helmer masuk membawa kantung kecil. Sedangkan kantung yang ditemukan di apartemen Helmer berukuran sedang.
“Sekecil apa?” tanya polisi.
“Tidak besar, tidak kecil sekali, pokoknya kecil!” jawabnya sewot. “Helmer naik ke atas,” kata wanita tua itu. “Pemuda-pemuda Spanyol turun beberapa menit sebelum Helmer naik.”
“Pemuda Spanyol seperti apa?”
“Dua pemuda yang kulitnya terang, yang menyatakan mencari sepupunya di atas. Mereka di atas cuma beberapa menit.”
“Mereka tidak kembali?”
“Tidak. Saya sendiri yang mengunci pintu setelah Helmer naik dan saya naik ke tempat Ny. Varela. Saya melihat darah tercecer di lorong tingkat itu. Saya kira ada orang mendapat kecelakaan kecil. Jadi saya pinjam kain pel dari Ny. Varela untuk menyekanya.” Ny. Ambos tidak pernah melihat Helmer lagi.
“Tidak ada yang mengikuti Helmer ke atas dan tidak ada orang yang turun sebelum Anda naik ke tempat Ny. Varela?”
“Pasti tidak.”
“Hari apa itu?”
“Kamis.”
“Anda pasti bukan tanggal 9?”
“Pasti.” Ny. Varela juga menguatkan bahwa hari itu pasti hari Kamis.
Mengajak polisi berdamai
Pengacara Helmer dihubungi. la memberi tahu bahwa Helmer meninggalkan kira-kira $ 22.000 dalam bentuk saham. Sebagian besar diwariskannya pada Palang Merah. Sebagian kecil kepada seorang janda di Sheffield dan sebagian lagi untuk seorang janda tua. Kedua-duanya bebas dari kecurigaan dan kedua-duanya tidak mengira akan mendapat warisan.
Kakak Helmer, George, di rumah jompo juga tidak mungkin dicurigai. la sudah pikun.
Polisi juga mencari tahu, kalau-kalau ada orang sakit jiwa berasal dari Melrose yang baru dilepaskan dari rumah perawatan. Polisi mendatangi rumah-rumah sakit, untuk mengetahui kalau-kalau ada pasien yang minta dirawat karena luka bekas gigitan dan sebagainya. (Siapa tahu Helmer melawan.) Pemeriksaan laboratorium terhadap pakaian Helmer tidak menghasilkan apa-apa.
Polisi memperkirakan pembunuh Helmer seorang junkie dan mugger, yaitu seorang pecandu obat bius dan perampok yang biasa menganiaya korbannya, seperti yang banyak terdapat di daerah itu. Jadi polisi tidak mencari jauh-jauh.
Russo memberi tanda di peta-peta, kira-kira enam blok sekitar apartemen tempat tinggal Helmer. Ia memberi tahu McCabe bahwa mereka akan mencari pembunuh di antara kriminal dan punk yang tinggal di daerah itu. Mereka meminta bantuan polisi yang berpatroli di tempat-tempat itu, untuk mencarikan punk yang tadinya kesulitan uang, lalu tiba-tiba royal. Daftar nama orang-orang itu dikumpulkan, lalu seorang demi seorang ditanyai, antara lain di mana mereka berada pada tanggal 9 Oktober dan apa yang mereka lakukan. Setelah itu keterangan mereka diuji.
Walaupun sudah banyak orang Puerto Rico, Negro dan Italia yang diperiksa, tetapi hasilnya nihil. Suatu hari, tiba giliran Toro Ramirez. Itu bukan nama aslinya. Nama aslinya disembunyikan oleh polisi untuk alasan legal.
Toro yang berumur 20 tahun, tinggal kira-kira lima blok dari tempat Helmer dibunuh. la pernah empat kali ditahan dan saat ini sedang menjalani hukuman percobaan setelah merampok. la khawatir harus masuk penjara lagi. la mengajak polisi “berdamai” saja. Artinya ia akan memberi tips kepada polisi, tetapi polisi jangan menyusahkan dia.
Pecandu heroin
Entah apa yang dikatakan Toro kepada polisi. Mungkin ia berkata bahwa ia mendengar seseorang membual telah membunuh seorang tua. Mungkin juga ia menceritakan beberapa hal yang dilihatnya. Dari keterangannya, polisi mendapat sebuah nama yang tidak ada pada daftar, tetapi beberapa kali disebut dalam pemeriksaan orang-orang lain sebelum Toro.
Russo dan McCabe tidak mempunyai nama Doel Valencia dalam catatan mereka, karena ketika ia terakhir ditahan sudah dua tahun yang lalu. Ia terkenal sebagai pecandu obat bius dan maling. Di antara dua teman tetapnya, terdapat dua bersaudara Ortiz, yaitu Alfredo dan Carlos, yang tinggal di 406 East 160, yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Helmer. Dari gedung itu, dengan mudah mereka bisa memandang ke jendela ruang duduk Helmer.
Nama kedua Ortiz bersaudara ada dalam daftar Russo tetapi mereka belum ditanyai. Dari catatan polisi diketahui, Carlos sudah sejak berumur 12 tahun menjadi langganan polisi, karena melakukan pelanggaran seks, obat bius dan mencuri. Alfredo, setelah merampok dijatuhi hukuman tiga tahun dengan masa percobaan, karena masih muda. Tetapi seminggu yang lalu ia dimasukkan ke penjara karena memiliki dan menjual heroin.
Russo dan McCabe saling berpandangan. Apakah sekali ini mereka memperoleh jejak yang berguna dalam pengusutan?
Polisi mulai menangani Doel Valencia malam itu juga. Valencia tidak mirip orang Puerto Rico. Tidak ada tanda-tanda Indian dan Negro pada penampilannya. Ia tidak berpendidikan, sehingga sulit baginya untuk mencari pekerjaan yang wajar. Pada umur 16 tahun ia sudah dijatuhi hukuman percobaan, karena mencuri bahan bangunan dari pekarangan sekolah. Pada umur 17 tahun ia sudah mempergunakan obat bius dengan teratur dan umur 18 tahun ia sudah mempunyai teman hidup yang memberinya seorang anak. Teman hidupnya itu tinggal di rumah ibunya sendiri.
Kebutuhan Valencia akan heroin ialah dua sampai tiga kantung sehari. Itu berarti 40-100 dolar seminggu, padahal sebagai tukang pak, gajinya cuma 60 dolar seminggu. Itu pun kalau ia bekerja penuh dan ini jarang terjadi karena ia kecanduan obat bius.
Ia tinggal di rumah kakaknya, Idalia, yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit. Ia diberi tahu, bahwa ia dibawa ke kantor polisi karena peristiwa perampokan bersenjata.
Ortiz bersaudara
McCabe mencatat tanya jawab yang terjadi. Menurut Valencia, tanggal 9 Oktober ia pulang ke rumah pukul 07.00 malam, makan, mengunjungi “istrinya”, berjalan-jalan dan pergi ke Brook Avenue pukul 9,30 malam. Ia pulang pukul 11.30 malam. Ia menyangkal berada dekat-dekat 399 East 160 Street. Bahkan katanya, ia tidak tahu daerah itu dan tidak mengenal siapa pun di sana.
Ketika diminta menyebutkan nama teman-teman akrabnya, ia tidak menyebutkan nama Ortiz bersaudara, meskipun diketahui ia banyak bergaul dengan mereka. Tetapi ia mengaku sering berada di 156th Street dan Melrose Avenue. Ia menyangkal segala tuduhan.
Pagi itu Russo dan McCabe menemui Alfredo serta Carlos Ortiz, yang sama-sama kecil, pucat dan kurus. Walaupun Alfredo berumur 18 dan Carlos 17, tetapi mereka tampak seperti berumur 13 atau 14 tahun. Ibu mereka baru berumur 35 tahun. Mereka berasal dari keluarga sangat miskin. Masa kanak-kanak Ortiz bersaudara hampir tidak berbeda dari Valencia.
Carlos selalu berganti-ganti pekerjaan: tukang cuci mobil, tukang antar barang dan sebagainya, tetapi cuma betah beberapa hari saja mengerjakan suatu pekerjaan. Ia juga pecandu obat bius. Sejak kira-kira dua bulan sebelum kematian Helmer, ia tidak bekerja.
Alfredo tidak banyak berbeda. Pecandu kelas berat ini pernah bekerja sebagai pengepak barang bersama-sama Valencia.
Mereka tinggal di 156th Street dan setengah tahun sebelumnya di 160th Street.
Tetapi ini baru merupakan permulaan saja dari pergulatan yang sulit antara polisi dalam menghadapi ketiga tersangka, yang kelak di pengadilan mengaku digebuki polisi.
Tanggal 8 Maret 1965, pengadilan Bronx County Courthouse, dipenuhi oleh manusia, padahal udara dingin sekali. Hari itu Alfredo Ortiz, Carlos Ortiz dan Doel Valencia dihadapkan ke pengadilan, dengan tuduhan membunuh Alexander Helmer.
Sidang dipimpin oleh Hakim D. Davidson. Penuntut dalam sidang ini ialah Alexander Scheer dan para pembela ialah Kenneth Kase (untuk Valencia) dan James Hanrahan (untuk Ortiz bersaudara). Sidang berlangsung 20 hari. Selama itu didengar lebih dari 20 saksi.
Kemudian tibalah saatnya Hakim Davidson mempersilakan juri membuat keputusan. Ia menerangkan, juri hanya boleh memilih satu di antara dua, yaitu menyatakan terdakwa bersalah melakukan pembunuhan yang disebut Murder in the First Degree atau menyatakan terdakwa tidak bersalah. Ternyata juri tidak bisa membuat keputusan, sehingga sidang pun harus diulangi lagi.
Pembela-pembela yang hebat
Setahun lewat sejak sidang pertama berlangsung. Pada tanggal 21 Maret 1966, Alfredo, Carlos dan Doel yang selama ini ditahan di Brooklyn House of Detention, dibawa lagi ke pengadilan.
Pembela Kenneth Kase (yang cuma dibayar sebagian kecil saja oleh kakak Valencia) dan James Hanrahan (yang berhenti mendapat pembayaran dari Ny. Pomales) sudah meninggalkan mereka.
Karena mereka tidak mempunyai uang, pengadilan menunjuk pengacara-pengacara lain, yang masing-masing dibayar $ 1.000 oleh City of New York, bukan oleh pihak terdakwa.
Setiap terdakwa mendapat dua pengacara. Yang seorang sebagai pembela utama dan yang seorang lagi sebagai asistennya di ruang sidang. Asisten boleh dikatakan tidak mempunyai banyak pekerjaan, jadi pengadilan menawarkan jabatan ini pada Kase dan Hanrahan, supaya mereka bisa memperoleh masing-masing $ 1.000, sehingga kerugian tahun yang lalu tidak terlalu besar. Kase menerima jabatan ini dan menjadi asisten Ny. Mary Johnson Lowe yang membela Alfredo. Hanrahan menolak. Sekali ini Carlos dibela oleh Samuel Bernstein, yang mendapat asisten Thomas Casey. Valencia mendapat pembela Herbert Siegal dengan asisten Philip Peltz.
Alexander Scheer tetap menjadi penuntut. Ny. Mary Johnson seorang wanita Negro yang menarik. Setelah lulus dari Columbia University, ia tidak bekerja di perusahaan di New York untuk mendapat gaji besar, tetapi tetap tinggal di Bronx membela orang-orang miskin. Kantornya reyot di Melrose dan harus dikunci terus pintunya karena tidak aman, padahal ia pembela orang-orang kecil dengan bayaran yang luar biasa murahnya.
Siegal yang membela Valencia, juga pembela kriminal yang berhasil. Kantornya mewah di Wall Street. Dalam praktek pribadinya, ia mengenakan bayaran tinggi sekali pada kriminal kelas kakap yang bergerak dalam lalu lintas heroin. Ia menikmati pertarungan dengan penuntut dan lebih tertarik pada kasusnya daripada kliennya. Ny. Lowe, seperti juga Siegal, yakin klien mereka dipukuli supaya membuat pengakuan yang sesuai dengan perkiraan polisi.
Sekali ini Ny. Ambos mengoreksi keterangannya yang lalu. Katanya, ia terakhir bertemu dengan Helmer bukan hari Kamis, tetapi hari Jumat pukul 07.00 malam. Siegal menuduh McCabe yang menyuruh Ny. Ambos melakukan koreksi ini, tetapi McCabe menyangkal.
Sekali ini pun sejumlah saksi didengar keterangannya dan pengacara serta penuntut mengadu kecerdikan.
Tetapi sekali ini mereka menyatakan Alfredo dan Carlos bersalah.
Mengenai Valencia, enam juri menyatakan ia tidak bersalah dan enam lagi menyatakan ia bersalah.
Ny. Pomales pingsan, Alfredo hampir pingsan, tetapi Carlos lebih tenang. Setahun kemudian Pengadilan Tinggi menjatuhkan hukuman seumur hidup pada Alfredo dan Carlos Ortiz, sedangkan Valencia dibebaskan.
(Morton M Hunt)
Baca Juga: Agar Jadi Lelaki Sejati
" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726517/ia-terakhir-kelihatan-berbelanja" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1679916902000) } } }