Intisari Plus - Sekelompok patung orang kudus dicuri dari sebuah kapel kecil di Austria. Penyelidikan menuntun polisi pada penemuan potongan jari kayu dalam lipatan celana seseorang. Ia adalah pekerja yang pernah memperbaiki patung-patung kapel sebelumnya.
----------
Pada malam antara 3 dan 4 April 1961 Kapel Rosalie kemasukan pencuri. Itu adalah sebuah gereja kecil yang banyak diziarahi di tapal batas Austria bawah dan Burgenland. Hal ini awalnya diketahui oleh koster yang pagi-pagi sekali selesai membuka pintu-pintu kapel. Yang tidak ada di tempatnya masing-masing ialah patung Bunda Maria besar di altar, empat patung bergaya barok dari orang kudus yang mengelilingi patung Bunda Maria, dan beberapa patung malaikat kecil-kecil.
Tanpa pikir panjang, koster lari keluar dari kapel untuk melaporkan hilangnya sekelompok patung itu pada pastor. Tanpa memeriksa ulang laporan koster di tempat kejadian, pastor langsung melaporkan pencurian itu pada polisi. Tetapi baru beberapa lamanya kemudian polisi sempat mendatangi kapel yang letaknya tinggi di atas pegunungan.
Sementara itu pastor dan koster mengadakan penyelidikan sendiri. Tak terbayangkan oleh mereka bagaimana pencuri bisa masuk ke dalam kapel. Tak sebuah pintu atau jendela pun terlihat rusak.
“Gila benar!” guman petugas kapel yang baru saja tiba dari rumahnya di desa sebelah. “Jangan-jangan mereka menggunakan kunci palsu.”
Petugas kapel tahu benar apa yang harus dilakukan dalam situasi demikian. Usulnya, “Jangan seorang pun boleh masuk ke dalam gereja sampai polisi datang. Salah-salah kita kehilangan sisik melik yang penting.”
Ketika akhirnya polisi muncul, pastor hampir tidak sabar lagi menceritakan masalahnya. “Kami kecurian. Satu kelompok patung di altar hilang seluruhnya.”
“Anda sudah menemukan sesuatu, seperti jendela rusak misalnya?” tanya polisi. Pastor, petugas kapel S, dan koster serentak membantah dengan menggeleng-gelengkan kepala.
Semuanya lalu berjalan menuju pintu belakang kapel. Polisi mengenakan sarung tangan lalu membuka pintu. Kuncinya juga tidak rusak.
“Siapa yang masih memasuki kapel kecuali koster dan pastor?” tanya polisi.
“Petugas kapel saya mengusulkan agar jangan seorang pun masuk lagi ke dalam gereja,” kata pastor.
“Bagus sekali, bagus sekali”, kata polisi. “Masalahnya bisa menjadi makin sulit, kalau ..., tetapi saya sudah memberitahukan dinas reserse di Wiener Neustadt. Kita keliling-keliling saja sekarang.”
Mata ahli dari petugas polisi itu pun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
“Sudah hampir dapat dipastikan bahwa pencuri masuk lewat salah satu pintu dengan kunci yang cocok,” kata polisi.
“Saya pun berpendapat demikian,” kata petugas kapel. “Menurut koster, dia yakin semua pintu sudah dia kunci dengan baik. Saya kira pencurinya lewat pintu belakang sebab antara altar dan ruang jemaat ada pagar besi yang tinggi dan kuat. Pencurinya harus mendobrak pagar besi itu dulu. Tapi pagar besi itu tampaknya baik-baik saja.”
“Jadi, Tuan petugas kapel,” kata polisi, “Anda mengira pintu belakang itu satu-satunya jalan bagi pencuri untuk masuk ke gereja? Kalau demikian pekerjaan kita menjadi terbatas sekali. Tapi, siapa sebenarnya yang membawa kunci-kunci gereja?”
“Dua set kunci lengkap ada di pastoran dan satu set lengkap dibawa koster.”
Pembicaraan terhenti ketika beberapa orang tampak memasuki ruang di sekitar altar. “Pejabat-pejabat reserse,” kata polisi.
“Saya komisaris polisi dr. K.,” kata seorang sambil menyalami tangan pastor. “Sebenarnya dari hopbiro di Wina, tapi kebetulan dinas di Wiener Neuatadt. Maka saya lalu ikut ke sini.”
Petugas-petugas reserse itu segera memulai kerja mereka. Kunci-kunci pintu dan keling-keling disemprot dengan larutan grafit. Sidik jari pastor, petugas kapel, dan koster juga diambil. Tetapi di tempat di sekitar pintu belakang hanya ada bekas sidik jari pastor, petugas kapel, dan koster. Tidak ditemukan sidik jari orang lain.
“Pandai juga anak-anak bengal ini,” kata kompol, “Mereka rupanya mengenakan sarung tangan, lalu dengan saksama menghilangkan semua jejak.”
Resersir-resersir itu lalu menempeli seluruh permukaan dan sisi altar dengan potongan-potongan pita perekat seluloid. Pita perekat itu kemudian dipilih dan ditempelkan pada lembaran-lembaran plastik yang tembus pandang. Altar juga diambil fotonya dari jarak dekat.
Pada foto, nantinya dibuat garis-garis membujur dan mendatar sehingga membentuk bujur sangkar. Bujur sangkar itu kemudian akan diberi nomor urut. Pita perekat yang menempel pada lembaran plastik juga diberi nomor, sesuai dengan nomor-nomor pada foto altar dari jarak dekat.
“Anda harus membayangkan,” kata kompol pada petugas kapel yang terus-menerus mengikuti jalannya penyelidikan, “pelaku pencurian ketika mereka mengambil patung dari altar, pakaian mereka bergesekan dengan bagian-bagian altar yang kasar atau menonjol. Karena pergesekan itu, kemungkinan besar bagian-bagian kecil dari pakaian mereka tertinggal. Ini nanti bisa kita cocokkan dengan pakaian tersangka — pelaku pencurian. Kalau cocok, pelakunya pasti tidak dapat menyangkal, bahwa dia atau mereka pernah berada di tempat kejadian.”
Petugas kapel mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kompol melanjutkan kata-katanya. “Tetapi sekarang ada hal lain. Menurut Anda, ada tiga set kunci lengkap. Andai kata pintu gereja itu dibuka dengan kuncinya, pasti salah satu pemegang kunci itu pencurinya. Atau ada kunci yang dicuri dari set itu. Dapatkah Anda membawakan kunci-kunci itu dari pastoran? Saya sendiri akan mengamati kunci milik koster. “
Set kunci dari koster ternyata masih lengkap. Terdiri dari delapan buah anak kunci. Ketika kunci-kunci koster diperiksa dengan saksama, tidak sebuah pun memberi kesan pernah dibuatkan cetakannya dari malam atau lilin. Kesimpulannya, tidak sebuah pun kunci koster dibuatkan tiruannya.
Petugas kapel datang dengan dua set kunci dari pastoran. “Satu ikat”, katanya, “selalu tergantung di serambi pastoran. Lainnya selalu disimpan pastor di laci meja tulisnya yang selalu terkunci.”
Ternyata kunci dari serambi pastoran juga lengkap, yaitu delapan buah anak kunci. Tapi set kunci dari laci meja tulis pastor hanya berisi tujuh buah anak kunci. Ketika dicocokkan, anak kunci yang hilang ternyata anak kunci pintu belakang.
Pastor yang juga datang menyertai ikat kuncinya tampak terkejut sekali.
“Pernahkah Anda meminjamkan kunci-kunci itu pada seseorang?” tanya kompol, “atau orang lain bisa mengusik laci meja Anda?”
Pastor mencoba mengingat-ingat. Lalu, tiba-tiba katanya, “Ya, saya ingat sekarang. Tahun lalu kunci-kunci itu saya pinjamkan pada pembantu rumah tangga pastoran. Ada yang perlu diperbaiki di kapel saat itu. Berkali-kali pintu belakang itu harus dibuka agar pekerja-pekerja bisa keluar masuk dengan leluasa. Tetapi Anda toh tidak sampai menuduh ibu tua itu. Dia sudah belasan tahun bekerja pada saya.”
“Tidak, tidak,” jawab kompol sambil tertawa. “Saya tidak percaya ibu tua itu pencurinya. Tapi, seperti Anda katakan tentang pekerja-pekerja perbaikan. Mungkin salah satu dari mereka dengan sengaja menyimpan kunci pintu belakang itu untuk digunakan pada kesempatan lain.”
“Tapi, barangkali Anda masih mempunyai daftar perusahaan atau pemborong apa saja yang turut serta dalam perbaikan kapel itu. Barangkali juga ibu tua itu masih ingat, pada siapa dia pernah menyerahkan kunci-kunci itu untuk membuka pintu gereja.”
Komisaris polisi lalu memandangi bagian depan kapel. Selanjutnya dia melakukan suatu hal yang membuatnya dijuluki “Winnetou” oleh anak buahnya. Kompol itu berjalan berkeliling di sekitar altar yang kehilangan patung-patungnya itu. Ia berkeliling membentuk lingkaran yang makin lama makin besar, seperti Winnetou dalam buku-buku Karl May. Dengan berbuat demikian, penyelidik tidak melewatkan sejengkal pun area di sekeliling tempat kejadian. Cara itu juga sekaligus untuk membayangkan, bagaimana kira-kira si pencuri bekerja.
Bisa jadi tidak ada mobil yang digunakan dalam pencurian karena tidak ditemukan bekas ban mobil di seputar kapel. Atau andai kata dengan mobil, mengapa mereka tidak sekaligus saja mengambil dua patung lainnya yang juga mahal harganya? Kemungkinan besar mereka berjalan kaki.
Kalau pencurinya berjalan kaki, mereka bisa lewat jalan yang cukup lebar di depan kapel, lalu belok ke kanan menuruni tataran-tataran kecil di halaman untuk mencapai pintu belakang kapel. Kompol yang juga menuruni tataran-tataran kecil di belakang kapel tidak menemukan apa-apa. Tetapi ketika penyelidikan dengan mengitari kapel itu diteruskan dengan memperbesar lingkarannya, pandangannya tertumbuk pada secarik kertas kekuning-kuningan. Tempatnya di titik di mana jalan menuju kapel meninggalkan hutan.
Ternyata kertas pembungkus permen cokelat berisi kacang. Tertera Nuts Chocoladefabriek N.V. Holland di pembungkusnya. Secuil masih melekat pada kertas bekas pembungkus itu, dengan bekas-bekas gigitan. Karena kertas itu kering, dapat dipastikan bahwa kertas itu belum terlalu lama berada di sana. Kertas bekas itu diambil juga oleh kompol karena bisa digunakan untuk mencari penjual cokelatnya. Selain itu, setidaknya bekas-bekas gigitan pada cokelatnya dapat dibuat menjadi cetakan untuk merekonstruksi bentuk gigi pemakan cokelatnya. Dari bentuk gigi dan menempelnya pada rahang, orang bisa melukiskan bagaimana kira-kira bentuk wajah si empunya gigi, misalnya persegi atau lonjong.
Dari catatan pastor, sedikitnya 20 orang terlibat dalam kerja borongan memperbaiki kapel, salah satunya adalah seorang ahli cat emas Arthur dari Wina. Ketika dicari, Arthur ternyata sedang mengerjakan sesuatu di Tirol. Saat pembantu rumah tangga pastor diperlihatkan foto Arthur, ia mengatakan tidak lagi ingat, apakah dia orang yang pernah dipinjami kunci olehnya.
Arthur yang tinggal bersama ibunya digeledah kamarnya. Pakaiannya yang dikenakan di Tirol juga diperiksa. Ternyata benang pada pakaiannya dengan benang-benang yang ada di pita perekat dari kapel tidak ada yang sama. Tetapi di dalam lipatan kaki celana Arthur yang belum dicuci di rumah ditemukan beberapa miligram serbuk cat emas dan sepotong ujung jari yang mungkin berasal dari patung kayu.
Ditanya mengenai serbuk emas dan potongan jari kayu itu Arthur menjawab dengan tenang. Ia mengatakan bahwa pekerjaannya memang memperbaiki patung dari kayu maupun gips. Biasanya patung-patung itu ada di gereja-gereja atau rumah-rumah orang Katolik. Pokoknya dia memang ahli reparasi patung. Jadi bukan hal aneh kalau benda seperti serbuk emas dan potongan kayu menyangkut pada pakaiannya.
Kompol yang mendengarkan keterangan ahli reparasi patung itu berpendapat bahwa keterangannya masuk akal. Arthur diperbolehkan kembali ke Tirol setelah hasil pemeriksaan gigi tidak sesuai. Wajah Arthur ciut, sedangkan pemakan cokelat diperkirakan berwajah agak lebar. Mengenai permen cokelat juga tidak berhasil ditemukan siapa penjualnya.
Penyelidikan tentang siapa yang dipinjami kunci pastor oleh pembantu rumah tangga juga tidak menghasilkan apa-apa. Polisi dikerahkan untuk menanyai pencuri-pencuri di penjara maupun bekas-bekas pencuri. Namun tidak seorang pun memberikan sisik melik tentang siapa kiranya yang sampai hati mencuri benda keramat dari suatu tempat peziarahan.
Kompol pun berpikir lebih keras. Jangan-jangan memang jalan penyelidikannya tidak tepat.
Potongan jari kayu yang ditemukan dalam lipatan kaki celana Arthur ditimang-timang. Pernyataan tertulis Arthur dibaca sekali lagi. “Saya (Arthur S) melakukan perbaikan-perbaikan di Kapel Rosalie atas perintah Prof. F dari Salzburg. Saya hanya mengerjakan cat emas. Sedangkan yang lainnya, seperti menempelkan lak dan mengganti serta memperbaiki bagian-bagian yang rusak dikerjakan oleh Prof. F sendiri.”
Dengan demikian jelas Arthur tidak turut campur dalam reparasi atau pekerjaan perbaikan yang kecil dan rumit di kapel Rosalie. Potongan jari patung merupakan bagian yang kecil yang sudah barang tentu tidak terlalu kuat menempelnya pada anggota badan patung.
Kalau potongan jari kayu itu sampai masuk ke dalam lipatan kaki celana Arthur, pastilah pada kesempatan lain ia turut serta dalam pekerjaan perbaikan Kapel Rosalie. Namun harus dicari tahu apakah potongan jari kayu itu berasal dari patung yang hilang dari Kapel Rosalie. Tetapi tampaknya harus menemui Prof. F dulu, pikir kompol.
“Ya, benar,” kata Prof. F yang ditemui oleh kompol. “Itu memang ujung jari patung yang saya perbaiki sendiri di Kapel Rosalie.”
“Bagaimana Anda dapat memastikan bahwa itu berasal dari patung di Kapel Rosalie?” tanya Kompol.
“Lihat catatan perhitungan ongkos-ongkos ini,” kata Prof. F sambil memperlihatkan seberkas kuitansi. “Apa saja yang saya lakukan untuk reparasi itu, saya catat. Itu untuk menentukan biaya-biayanya. Ini catatan biaya untuk perbaikan jari patung kayu.”
“Anda memang memperbaiki jari patung kayu itu. Tetapi bukankah potongan jari ini dapat juga berasal dari patung lain, bukan dari Kapel Rosalie?” tanya kompol lagi.
“Itu bisa dibuktikan ketika patung sudah ditemukan nanti. Tapi, setidaknya sekarang saya sudah dapat memastikan bahwa potongan jari kayu ini berasal dari patung yang saya perbaiki. Lihat… di sini ada sisa kawat perak. Teknik saya untuk menempelkan potongan ujung jari sekecil ini ialah dengan mencoblosnya dengan kawat perak. Ujung kawat yang lain saya cobloskan pada bagian jari berikutnya. Kawat perak selembut itu masih ada sisanya pada saya sekarang.”
Ketika sisa kawat perak pada potongan jari patung kayu dibawa oleh kompol dan diperiksa, ternyata sama kandungan peraknya dengan sisa kawat perak yang masih ada pada Prof. F. Perhatian penyelidikan kembali ke Arthur.
“Mungkinkah bahwa potongan kayu itu jatuh ke dalam lipatan kaki celana Arthur ketika pekerjaan reparasi itu selesai?” tanya kompol?
“Saya rasa memang demikian,” kata Prof. F., “Tetapi pasti itu tidak terjadi ketika pekerjaan reparasi itu baru selesai. Setelah semuanya beres, saya masih memeriksanya sekali lagi dengan teliti, tentu saja untuk memeriksa daftar perbaikan dan biayanya. Setelah itu pun saya pernah ke sana lagi dan ternyata ujung jari patung kayu itu masih menempel kuat ditempatnya.”
“Barangkali ketika patung itu diangkat orang dari tempatnya?” tanya kompol lagi.
“Saya rasa ketika patung dicuri,” sahut Prof. F.
Segera dikirim berita ke Tirol untuk menangkap Arthur. Tetapi ternyata Arthur sudah kabur dari Tirol, entah ke mana lagi.
Bulan April hampir berakhir ketika diketahui bahwa Arthur ada di Stuttgart. Kompol itu bergegas pula ke Stuttgart.
Pada hari pertama pertemuannya dengan Arthur ditahan polisi di Stuttgart, kompol tidak langsung menuduh Arthur sebagai pelaku pencurian di Kapel Rosalie. Kompol meletakkan sebuah bungkusan di meja di depan Arthur. Bungkusan itu ternyata berisi celana Arthur yang diperoleh kompol dari ibu Arthur.
Setelah beberapa lama berpandang-pandangan, Kompol bertanya, “Bagaimana Anda bisa sampai berbuat demikian. Sebagai seniman tentunya Anda mengetahui, bahwa patung itu tidak akan terjual. Untuk memilikinya, Anda tidak perlu mencuri dari kapel itu. Tetapi mungkin ada orang lain yang menyarankan pekerjaan gila itu pada Anda. Bukan begitu?
Arthur diam. Kompol diam pula, tetapi jelas memberi kesan “kalau Anda membantu, saya pun akan menolong Anda”.
Arthur mengembuskan kepulan asap rokok. Lalu katanya, “Memang benar. Saya tidak melakukannya sendiri. Juga bukan saya yang mula-mula mempunyai gagasan itu.”
Arthur diam kembali. Mungkin dalam pikirannya terbayang “membantu atau tidak membantu polisi, saya toh pasti dihukum juga. Jadi mengapa mesti buka mulut, yang akhirnya menyulut perselisihan dengan kawan.”
Kompol berdiri sambil berkata, “Saya tunggu sampai besok. Siapa pun kawan-kawan Anda, pasti dapat kami ketahui.”
Hari berikutnya Arthur memang menyatakan kesediaannya membantu polisi. Bukan mengatakan siapa kawan-kawannya, melainkan menunjukkan tempat di mana patung-patung curian itu dikubur.
“Kami menyimpan barang-barang itu di dekat Deutsch-Wagraun, di utara Wina,” kata Arthur. “Tempatnya saya tidak ingat, karena saya pun asing di sana. Seingat saya, di sana ada parit atau selokan, di jalan dari Wina ke Deutsch-Wagram, belok ke kanan. Kalau tidak salah di sana ada papan penunjuk jalan ke Porbersdorf atau Perbasdorf. Nama tempatnya saya tidak tahu, tetapi saya dapat menunjukkannya.”
“Menurut Anda,” tanya kompol, “berapa jauhnya dari Porbersdorf?”
“Mungkin 1 kilometer, mungkin juga kurang dari itu,” kata Arthur.
“Masih ingat keadaan di sekitarnya?”
“Ya, patung-patung itu kami kubur di tanggul di antara jalan dan parit. Ada semak-semaknya di sana, belukarnya melingkar membentuk setengah lingkaran, kalau tidak salah, membuka ke arah jalan.”
Tempat yang ditunjukkan oleh Arthur dicari. Nama desanya bukan Porbersdorf, bukan Penbasdorf, Parbasdorf. Tetapi tanggul yang disebut-sebut oleh Arthur tidak menunjukkan sebuah gundukan pun di tanah. Tampaknya rata, bahkan kompol memeriksanya dengan berbaring sendiri di tanah.
“Jangan-jangan air parit itu pernah naik sampai atas tanggul dan menyapu segala yang menonjol di atas tanggul,” pikir kompol. Belukar yang membentuk setengah lingkaran yang membuka ke arah jalan juga tidak ada.
Beberapa tempat di atas tanggul diperiksa. Akhirnya kompol menemukan bagian permukaan tanggul yang tanahnya gembur.
Benar. Patung-patung dari Kapel Rosalie itu dikubur di situ, dalam sebuah peti yang dikubur tegak. Masih utuh patung Bunda Maria dengan Bayi Yesus, empat patung orang kudus, dan dua patung malaikat gaya barok. Lengkap, kecuali ujung jari sebuah patung orang kudus.
Baca Juga: Petunjuknya Uang Lembaran Baru
" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834086/sepotong-jari-dalam-lipatan-kaki-celana" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310848000) } } [1]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3834090" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/129-1974-21-ingat-kursi-merahjp-20230829120545.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Suatu hari Jeanne berencana untuk datang ke rumah suaminya demi meminta tunjangan bagi anak-anaknya. Sejak itu, ia tidak pernah kembali lagi. " ["section"]=> object(stdClass)#124 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/129-1974-21-ingat-kursi-merahjp-20230829120545.jpg" ["title"]=> string(13) "'Ingat Kursi'" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:05:57" ["content"]=> string(22569) "
Intisari Plus - Suatu hari Jeanne berencana untuk datang ke rumah suaminya demi meminta tunjangan bagi anak-anaknya. Sejak itu, ia tidak pernah kembali lagi.
----------
Jeanne berkata kepada ibunya, “Pokoknya dia harus memberikan tunjangan penuh pada anak-anakku. Tiap bulan. Dia bapak mereka. Aku tidak akan kembali tanpa kepastian bahwa dia akan membayar uang nafkah untuk anak-anaknya.” Sang ibu hendak mencegah. Ia yakin bahwa itu tidak mudah dan mustahil. Namun ia malah berkata, “Jaga dirimu baik-baik!”
Suatu nasihat yang baik namun tidak bermanfaat. Jeanne meninggalkan ibunya dan berangkat menerobos bagian Paris yang dikuasai tentara Jerman. Hari itu tanggal 28 Maret 1944.
Jeanne tidak kembali sorenya. Sang ibu tidak dapat tidur malam itu. Ia telah mengganti pakaian main kedua cucunya dengan piama. Sebagai orang yang tahu benar dengan situasi di kota, ibu Jeanne khawatir jangan-jangan anaknya ditangkap Gestapo dan dimakan hidup-hidup.
“Siapa namanya, Bu, putri Anda? Nama setelah dia menikah maksud kami,” tanya polisi keesokan harinya. Setelah Jeanne tidak kembali setelah ditunggu semalaman, ibunya pagi-pagi sekali melaporkan perihal masalah itu ke polisi.
“Putri Jeanne de Bernardi de Sigoyer,” jawabnya. Polisi sangat terkesan oleh gelar putri di depan nama Jeanne. Gelar itu mungkin menyiratkan bahwa mungkin sang Putri ketika itu bersama dengan Pangeran. Kecuali kalau, misalnya, ia berbohong pada ibunya dan sebenarnya malahan pergi dari Paris.
“Mengapa dia pergi dari Paris?” tanya sang ibu.
“Menghindari Gestapo, misalnya,” jawab polisi mengemukakan kemungkinan lain.
“Tetapi mengapa dia mesti meninggalkan anak-anaknya?” Pertanyaan ibu Jeanne tidak berjawab ketika meninggalkan pos polisi.
Tidak lama kemudian polisi sudah berhasil mendapat kepastian bahwa Jeanne tidak ditangkap oleh Gestapo atau pihak keamanan Prancis. Jadi Jeanne hilang begitu saja, singkatnya.
Tetapi detektif-detektif polisi Prancis mendatangi juga kediaman sang Pangeran. Besar dan luas, kediamannya itu berada di barat daya kota; di pangkal Boulevard de Bercy, tidak jauh dari Gare de Lyon. Menghadapi petugas-petugas polisi, sang Pangeran sangat ramah. Jawaban-jawabannya lancar. Tidak satu hal pun memberikan kesan bahwa ada yang disembunyikannya.
Kata Pangeran Alain de Bernardi de Sigoyer, dia dan istrinya tidak dapat hidup bersama dengan bahagia. Istrinya baru mengajukan permohonan pada pengadilan untuk bercerai. Sang Pangeran tidak menyetujuinya, meskipun dia juga tidak melarang atau menghalang-halanginya. Memang benar istrinya kemarin datang ke kediamannya. Ia menghampirinya untuk minta tunjangan nafkah bagi kedua anak mereka yang kini ada bersama ibu Jeanne. Sang Pangeran mengatakan dia tidak sanggup mengurusi anak-anaknya dari Jeanne.
Sang Putri kemudian pergi entah ke mana, kalau dia tidak langsung pulang kepada anak-anaknya. Polisi menyimpulkan bahwa sang Pangeran mengatakan sebenarnya. Pokoknya, apa pun yang terjadi pada diri Putri Jeanne, bukan Pangeran Alain-lah yang bertanggung jawab. Polisi sudah berniat untuk mencari sisik melik lenyapnya Jeanne ke arah lain. Namun kemudian diperoleh kisikan bahwa Pangeran Alain Jules Antoine Romain Gaspard de Bernardi de Sigoyer sebenarnya tidak berhak atas gelar kebangsawanan itu. Dia penipu dan kolaborator musuh.
Salah satu segi yang menguntungkan bagi profesinya ialah Alain sangat peka terhadap detail. Misalnya, untuk menyembunyikan tampang mukanya yang persegi dan kasar seperti petani dusun antik, Alain sengaja menumbuhkan cambang dan janggut lancip.
Sejak usia 17 tahun, Alain berurusan dengan polisi dan keluar masuk pengadilan. Namun bukan penjara. Itu karena setiap kali diadili dan divonis bersalah, Alain berhasil melarikan diri. Ia bahkan keluar dari Prancis, hingga ke Jerman, Austria, Rumania, dan Bulgaria. Alain menyamar sebagai apa saja, dari kuli, jongos hotel, sampai profesor muda dari sebuah lembaga media di Strasbourg.
Dunia Alain memang dipenuhi dengan tipuan dan khayal. Sekali Alain menyatakan dirinya sebagai keturunan langsung dari advokat yang membela suami Marie Antoinette. Tetapi yang benar ialah bahwa kaum de Bernardi berasal dari keluarga kreol yang mendiami pulau jajahan Prancis Reunion di Lautan Hindia. Alain sendiri seorang petualang yang kelicikan akalnya sejalan dengan kebejatan akhlaknya. Alain seorang manusia sadis pula.
Praktik menyiksa korban-korbannya sudah dilakukan paling tidak sejak tahun 1938. Awal tahun itu seorang lelaki yang mengaku bernama Petrov Gantcheff, dari Bulgaria, melapor pada polisi. Dia baru saja berhasil melarikan diri dari sebuah rumah pertanian di mana dia disiksa dengan kejam. Saat datang melapor, ia telanjang bulat kecuali tangannya yang masih mengenakan borgol.
Katanya kepada polisi, dia mula-mula pasang iklan dikoran untuk menjual mobilnya. Petrov diundang ke sebuah rumah pertanian. Ia mengira undangan tersebut untuk membicarakan masalah jual beli tentunya. Tetapi di rumah itu dia justru dipukuli oleh dua orang lelaki dan seorang wanita. Ketiganya merupakan tim penyiksa. Gantcheff ditelanjangi (ketika itu musim dingin) dan dirantai pada sebuah kursi di ruang bawah tanah. Dengan ancaman senjata api dan besi pengumpil, Gantcheff dipaksa untuk menulis surat pada istrinya bahwa dia pergi ke luar negeri. Tetapi karena surat itu mengandung janji-janji untuk kepentingan salah satu anggota tim, Gantcheff bersikeras tidak mau menandatangani suratnya.
Akibatnya, dia dipukuli habis-habisan oleh kedua laki-laki penyiksa. Ketika kedua laki-laki itu pergi dari rumah, Gantcheff berhasil melepaskan diri dari kursi. Tetapi untuk bisa melarikan diri, dia terpaksa memukul wanitanya hingga pingsan.
Polisi lalu menggerebek rumah pertanian itu dan menangkap penghuni-penghuninya. Pemimpin trio penyiksa itu de Bernardi. Sedangkan laki-laki yang satu lagi bernama Lucien Richard. Dia ini ternyata pelarian dari tempat penampung orang-orang yang sakit jiwa. Si wanita katanya pembantu rumah tangga di sana. Menunggu pengusutan lebih lanjut, ketiganya ditahan di dalam rumah.
Di dalam rumah itu juga polisi menemukan sejumlah barang milik seorang turis Amerika yang ada di dalam daftar orang hilang. Nama orang Amerika itu Rothumil Richnowski, dilaporkan hilang sejak November sebelummya. Sementara itu polisi mendapat laporan dari seorang wanita Polandia yang pernah berkencan dengan Richnowski. Wanita itu pernah mendapat surat yang ditanda tangani oleh Richnowski. Karena tulisannya menurut wanita Polandia tersebut bukan tulisan Richnowski, ia tidak mau memberikan uang yang diminta oleh surat tersebut.
Di rumah yang penuh rahasia di Lembah Chevreuse itu polisi juga menemukan sebuah lubang yang baru saja digali di lantai ruang bawah tanah. Dari dasarnya, polisi menemukan sejumlah kaleng bekas yang karatan dan sampah dapur. Ada laporan bahwa beberapa hari sebelumnya de Bernardi membeli asam belerang. Tetapi akan digunakan untuk apa, itu tidak diketahui. Bernardi sendiri pernah bercerita kepada seorang teman wanitanya, bahwa dia sudah mengubur turis Amerika tersebut di atas. Tetapi mengingat begitu banyaknya khayalan dalam cerita-cerita de Bernardi, cerita penguburan turis Amerika itu tidak dapat dicek kebenarannya. De Bernardi kemudian dipindahkan ke sebuah penampungan di Clermont, di tengah-tengah antara Paris dan Amiens.
4 bulan kemudian, bersama penghuni lainnya, de Bernardi berhasil melarikan diri dari tahanan dan menuju sebuah tempat parkir mobil. Keduanya ditunggu oleh seorang wanita muda yang duduk di belakang kemudi mobil yang sudah dinyalakan mesinnya. Penjaga-penjaga tempat penampungan mengatakan bahwa sehari sebelumnya de Bernardi dikunjungi oleh seorang wanita.
Hari berikutnya de Bernardi mengatakan kepada wartawan, dia melarikan diri dari tempat penampungan untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan masih waras. Menurut de Bernardi, mobilnya dikendarai oleh seorang laki-laki yang menyamar sebagai wanita.
“Saya akan terus ke Inggris atau ke Swiss,” kata de Benardi. Si wartawan belum sempat memberikan suatu reaksi apa pun ketika de Bernardi kabur kembali dengan mobilnya.
Dalam bulan-bulan pertama setelah pecah Perang Dunia II, de Bernardi memang terus dibayang-bayangi oleh Kepolisian Prancis. Tetapi dengan jatuhnya Prancis, de Bernardi muncul kembali di Paris. Kali ini ia menyamar sebagai pedagang anggur dan minuman untuk tentara pendudukan yang kantongnya tebal-tebal. Di antara pedagang-pedagang besar anggur Prancis, de Bernardi menonjol karena lagaknya bak orang yang mempunyai gelar kebangsawanan. Ia mengaku memiliki sejumlah puri dan ladang anggur.
Lewat de Bernardi, pedagang-pedagang anggur Prancis menemukan perantara yang menjual produk mereka kepada orang-orang Jerman. Tentu saja, orang-orang Jerman itu mau membeli dengan harga mahal. Sampai-sampai de Bernardi perlu membuka toko dan gudang anggur yang besar di Paris. Uang mengalir ke rekening de Bernardi secepat kotak dan tahang meninggalkan gudang-gudang anggur.
Hingga di sinilah isi berkas-berkas polisi yang digali untuk pencarian wanita yang kawin dengan Pangeran de Bernardi. April dan Mei 1944 berlalu. Di bulan Juni, terjadi perebutan daratan Normandia oleh pasukan-pasukan Sekutu. Baru 2 bulan kemudian tank-tank menderu memasuki Paris kembali.
Dalam 2 bulan itu sang Pangeran bekerja keras untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang mulai berubah dalam waktu singkat. De Bernardi berdiri di tepi Sungai Seine untuk mengelu-elukan barisan tank. Tetapi hari itu juga de Bernardi ditangkap.
Hari belum usai saat de Bernardi dinyatakan sebagai kolaborator dan pengkhianat. Ia dijebloskan ke dalam Penjara Fresnes. Mungkin penghuni penjara lainnya akan berputus asa. Tetapi de Bernardi yang pernah berpindah-pindah penampungan itu tidak patah semangat. Hari-hari itu dihabiskannya dengan menulis surat-surat yang panjang. Semua surat-surat itu dibaca polisi. Tampaknya cukup bersih dan tidak bersalah. Kecuali satu.
Surat ini ditulis oleh de Bernardi 8 bulan setelah penangkapannya. Alamatnya kepada Nona Irene Lebeau yang pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga sebelum Jeanne pergi dari rumah de Bernardi. Surat itu minta agar Nona Lebeau mengurusi barang-barang di rumah de Bernardi dan bagaimana seharusnya barang-barang itu diurus. Mengenai beberapa pakaian yang masih tergantung di lemari, de Bernardi menambahkan catatan kecil, bunyinya, “Awas dan ingat kursi merah!”
Detektif-detektif mendatangi rumah Nona Lebeau. Mereka yakin bahwa ia pasti paham mengenai catatan kecil itu. Nona Lebeau menyangkal. Tetapi ketika ditangkap dan dibawa ke markas polisi, Nona Lebeau menyatakan bersedia bekerja sama dan mengungkapkan segala pengalamannya selama bergaul dengan de Bernardi. Padahal polisi belum membeberkan soal tuduhan mereka pada Nona Lebeau.
Nona Lebeau tetap tinggal di markas polisi di Quaides Orfevres ketika petugas-petugas polisi memeriksa gudang anggur de Bernardi di Paris. Mula-mula mereka menemukan beberapa tong dan tahang. Isinya bukan anggur melainkan tanah yang berbau lumut. Polisi yakin bahwa tanah itu berasal dari penggalian semacam sumur atau lubang. Tetapi tanahnya ternyata tidak semuanya bisa dipakai untuk menimbun sumur itu lagi.
Tentu karena sumur itu pasti telah digunakan untuk menyembunyikan sesuatu. Polisi segera mencari bekas sumur. Sumur itu berhasil ditemukan di tempat yang sama. Polisi menemukan kain-kain yang ternyata membungkus sebuah mayat yang sudah hampir menjadi tanah. Karena sudah dalam keadaan terurai, maka hanya dapat diketahui bahwa itu mayat seorang wanita.
Penyelidikan lebih lanjut pada pakaian-pakaian yang sudah compang-camping juga mengungkapkan bahwa itu adalah mayat seorang wanita. Kemudian polisi mendapat kepastian bahwa itu adalah pakaian yang dikenakan oleh Jeanne de Bernardi ketika dia meninggalkan rumah ibunya pada tanggal 28 Maret 1944.
Sambil menggigit-gigit kuku jarinya, Nona Irene Lebeau mengatakan kepada pemeriksanya bahwa dia adalah kekasih de Bernardi. Mereka berhubungan sejak sebelum Jeanne meninggalkan rumah de Bernardi dan membawa anak-anak. Diceritakan pula bagaimana kejamnya Pangeran palsu itu dari waktu ke waktu menyiksa istrinya.
Lalu pada tanggal 28 Maret 1944, Jeanne de Bernardi datang di rumah de Bernardi. Ia minta tunjangan nafkah bagi kedua anaknya yang dirawat oleh ibu Jeanne. Nona Lebeau menyaksikan bagaimana kedua suami istri itu bertengkar.
“Jeanne duduk di kursi merah,” kata Nona Lebeau pada detektif-detektif yang mendengarkan dengan saksama. “Tiba-tiba Alain bangkit dari duduknya dan pergi ke belakang kursi. Ia melilitkan seutas tali ke leher Jeanne. Tali lalu ditarik dengan keras. Matilah Jeanne karena tercekik.”
Nona Lebeau mengatakan dia sudah berusaha mencegah perbuatan Alain itu.
“Tetapi saya tidak kuasa melarang dia. Tidak seorang pun bisa mencegah dia. Ketika saya mencobanya juga, dia mengatakan akan membunuh saya.”
“Mengapa Alain membunuh Jeanne?” tanya polisi.
“Entahlah,” kata Nona Lebeau. “Tetapi saya rasa, agar Jeanne tidak dapat menuntut bagian warisan untuk anak-anak mereka apabila pengadilan menjatuhkan keputusan perceraian.”
Menurut hukum Prancis, warisan itu besarnya 50%. Dengan demikian tali di leher Jeanne gunanya untuk mencegah jatuhnya kekayaan ratusan juta frank ke tangan Jeanne dan anak-anak mereka.
“Tetapi mengapa Jeanne menuntut perceraian?”
Nona Lebeau yang berusia 23 tahun itu memerah pipinya. “De Bernardi suka tidur dengan saya.”
Alain de Bernardi lalu dipanggil dari Penjara Fresnes. Apa saja yang diperbuatnya dalam masa perang bermunculan di koran-koran Prancis. De Bernardi seorang kolaborator, pengkhianat bangsa, dan manusia sadis. Khalayak ramai yakin bahwa turis Amerika itu pasti dibunuh dan disingkirkan oleh de Bernardi. Pasalnya, dia itu tidak pernah tampak hidup kembali, seperti Jeanne.
Irene Lebeau sendiri digambarkan koran-koran Prancis sebagai perempuan sundal yang merusak kebahagiaan hidup wanita Prancis yang terhormat. Koran menulis jika ia jatuh ke tangan de Bernardi yang bejat akhlaknya. Mengenai pembunuhan Jeanne, Nona Lebeau dicap sebagai pembantu yang terlibat dalam perbuatan terkutuk de Bernardi, yakni membunuh ibu dari anak-anaknya.
Natal 1946 sudah di ambang pintu ketika de Bernardi dan Nona Lebeau diajukan ke pengadilan. Nona Lebeau menjelaskan bagaimana dia pada tahun 1940 sebagai gadis desa berusia 17 tahun diterima sebagai pembantu rumah tangga de Bernardi oleh Jeanne. Ia membantu mengurusi anak-anak majikannya. 3 tahun kemudian lahir seorang de Bernardi lagi. Bukan anak Jeanne, melainkan anak Nona Irene.
Ketika itulah Jeanne pergi membawa anak-anaknya dari Alain de Bernardi dan pindah ke rumah ibunya. Ia mulai menghubungi pengacara-pengacara untuk membantu menguruskan perceraiannya dengan de Bernardi.
Cerita Irene Lebeau didengarkan dengan saksama oleh segenap hadirin yang memenuhi ruang pengadilan. Mata hadirin kadang-kadang tertuju pada sebuah kursi bercat merah yang merupakan saksi bisu kematian Jeanne de Bernardi.
“Tuan de Bernardi duduk menghadapi nyonya yang duduk di kursi merah itu,” kata Irene Lebeau lirih tapi terdengar jelas dalam pengadilan, “Tiba-tiba Tuan bertanya, sambil mengacungkan jarinya pada saya, kepada Nyonya: apakah saya kekasih kawannya. Jawab Nyonya, ‘Saya tidak mau mengatakannya.’
“Lalu, masih sambil tersenyum-senyum tuan mengeluarkan sepotong kain dari sakunya dan berkata kepada Nyonya, ‘Bagaimana seandainya engkau kucekik karena hal ini?’ Jeanne membiarkan Alain melilitkan kain itu di lehernya. Saya melonjak bangkit hendak menghampirinya. Tetapi Tuan menolak, menjauhkan saya, dan tiba-tiba ikatan di keliling leher Jeanne dikunci. Kain ditarik kuat-kuat, sambil menekankan lututnya di belakang sandaran kursi. Tangan nyonya terkulai. Tamatlah sudah. Tuan berkata kepada saya, ‘Engkau juga akan saya buat jadi begini, kalau engkau mengatakan sesuatu mengenai hal ini.’ Saya lalu membantunya membawa jenazah Nyonya ke sebuah truk kecil.”
Demikian cerita Nona Lebeau yang terus dipegangnya hingga akhir. Berlainan dengan cerita terdakwa lainnya.
De Bernardi dibela oleh Jacques Isorni yang juga membela Marsekal Petain.
“Perempuan petani inilah yang membunuh istriku,” demikian kata de Bernardi dengan tegas. “Jeanne tidak mati tercekik seperti kata dokter-dokter, melainkan ditembak oleh dia dari samping saya. Irene Lebeau membunuh istri saya. Dia menggunakan revolver yang disembunyikan dalam anjing-anjingan dari kain. Kalau kalian perlu bukti, temukanlah pelurunya dalam tubuh istriku.”
De Bernardi menceritakan, bagaimana sebenarnya (sesudah dia setuju bercerai) keduanya berniat rujuk kembali. Keadaan bahagia ini terganggu oleh kehadiran Irene Lebeau di rumah de Bernardi. Kedua wanita itu, menurut de Bernardi, mulai berselisih memperebutkan de Bernardi. De Bernardi beranjak mau pergi meninggalkan keduanya, tetapi diikuti oleh Lebeau. Untuk itu Lebeau mendapat tamparan keras di mukanya dari Jeanne. Tiba-tiba Lebeau mengeluarkan revolver dan Jeanne ditembaknya. Jenazah Jeanne kemudian disingkirkan oleh Lebeau dengan bantuan seorang iparnya yang bernama Heyraud. Entah dibawa ke mana jenazah Jeanne oleh keduanya.
Hakim ketua bertanya pada Nona Lebeau, apakah ada yang hendak dikatakannya lagi. Nona Lebeau menjawab tiga patah kata, “Itu semuanya bohong!”
Mendengar itu de Bernardi meloncat dari tempat duduknya sambil berteriak, “Hei, akuilah, akuilah saja! Kamu tahu pasti siapa yang benar!” De Bernardi lalu jatuh pingsan.
Perkembangan pengadilan selanjutnya ialah menampilkan saksi untuk menyatakan bahwa Irene Lebeau seorang perempuan jalang. Seorang serdadu bernama Marcel Cloy mengatakan bahwa Nona Lebeau pernah melahirkan bayi dan dia sendirilah bapak bayi itu. Mereka bermaksud menikah, tetapi Nona Lebeau senantiasa menunda-nunda pernikahan itu.
“Mengapa?” tanya pengadilan.
“Karena de Bernardi menghendaki demikian,” kata Nona Lebeau.
Setelah itu pembela masing-masing mempersoalkan kursi merah yang merupakan saksi bisu selama berlangsungnya pengadilan. Pembela de Bernardi menyatakan bahwa sandaran kursi terlalu rendah, sehingga de Bernardi tidak mungkin dapat berbuat seperti dikemukakan oleh Nona Lebeau. Untuk membuktikan, pembela mengundang panitera supaya duduk di kursi merah. Kemudian lehernya diikat oleh pembela.
Pembela Nona Lebeau langsung menangkis pembelaan de Bernardi. Dia berdiri di belakang kursi merah, memegang tali di leher panitera yang segera mulai merasa kesakitan sambil berkata, “Mengapa de Bernardi tidak bisa menurunkan tangannya sedikit saja?”
Sidang yang dilanjutkan hingga jauh malam itu lalu mendengarkan keterangan kedokteran forensik. De Bernardi terjebak oleh akalnya sendiri: tidak sebutir peluru pun ditemukan dalam mayat yang sudah hampir menjadi tanah. Senin 23 Desember 1946, setelah bersidang selama 30 menit, juri memutuskan bahwa de Bernardi bersalah. Irene Lebeau tidak bersalah.
De Bernardi dipertemukan dengan “Tuan Guillotine” di halaman Sante Prison pada tanggal 28 Mei 1947.
(LEONARD GBIBBLE)
Baca Juga: Pembunuhnya Suka Wanita Muda
" ["url"]=> string(56) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834090/ingat-kursi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310757000) } } [2]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3822813" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(89) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/mafiajpg-20230829120424.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Sebelum 1969, kasus penculikan jarang terjadi di Inggris. Namun di akhir tahun itu, ada kasus salah culik yang tidak pernah ditemukan oleh polisi." ["section"]=> object(stdClass)#128 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(89) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/mafiajpg-20230829120424.jpg" ["title"]=> string(9) "M.3-Mafia" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:04:40" ["content"]=> string(15062) "
Intisari Plus - Sebelum tahun 1969, kasus penculikan jarang terjadi di Inggris. Namun di akhir tahun itu, ada kasus salah culik. Dan hingga proses pengadilan selesai, korban tidak pernah ditemukan oleh polisi.
----------
Melarikan diri dan menyandera seseorang untuk memperoleh sesuatu atau yang lazim disebut menculik, tampaknya tidak terlalu banyak penggemarnya di kalangan penjahat Inggris. Itu mungkin karena karakter orang Inggris pada umumnya, mereka terlalu perhitungan. Ini termasuk para penjahat. Alih-alih menculik, mereka itu lebih suka menodong, merampok bank, atau mencegat kiriman uang. Besar kecilnya hasil operasi lebih mudah diperhitungkan dan dipastikan jauh-jauh hari dengan saksama.
Dalam hal penculikan, pertama dan terpenting adalah masyarakat mengutuk para penculik. Ini sudah menjadi momok tersendiri dan kerap menghantui perencanaan penculikan. Lalu yang kedua, penculikan dengan tujuan memeras uang tebusan merupakan tindakan kriminal yang sulit pelaksanaannya. Meski sudah diperhitungkan dengan cermat, ini hampir selalu bermasalah. Tawar-menawar besarnya tebusan membuat urusan semakin berlarut-larut. Sementara itu penculik selalu melarang polisi turut campur. Lalu jika negosiasi gagal, penculik akan dihadapkan pada pilihan terakhir yaitu membunuh. Hal itu merupakan suatu keterpaksaan yang tidak mudah dihindari.
Setelah sekian lama tidak pernah terjadi, pada tanggal 29 Desember 1969 kasus penculikan pun muncul lagi di Inggris. Namun ada dua hal yang berbeda. Pertama, korban bukan orang yang seharusnya diculik. Dengan kata lain, si penjahat salah menculik orang. Kedua, penculik bukanlah orang Inggris. Hal buruk pun terjadi. Rasa keadilan masyarakat Inggris dihadapkan pada soal yang rumit sekali. Pelaku-pelakunya ditemukan dan diadili. Para saksi hadir dalam persidangan. Namun sayangnya korban tidak pernah ditemukan.
Pada tanggal 29 Desember 1969 itu Nyonya Muriel MacKay dibawa orang dari rumahnya di Wimbledon. Ketika Alick MacKay pulang dari kantornya di The News of the World di Bouverie Street, dia tidak menemukan istrinya. Ada tanda-tanda perkelahian, seperti meja dan kursi yang jungkir-balik, pesawat telepon yang tergeletak di lantai.
Beberapa jam kemudian telepon di rumah keluarga MacKay berdering. Rupanya itu telepon dari si penculik yang minta uang tebusan sebesar satu juta pounds. “Kalau tidak, dia mati!” kata suara di seberang sana. Saat itu keluarga MacKay dan polisi merasa putus asa. Namun apa yang tidak diketahui oleh keluarga MacKay adalah si penculik salah menculik orang.
Alick MacKay adalah wakil ketua perhimpunan The News of the World. Dia dan istrinya adalah warga Australia, tetapi sejak bertahun-tahun tinggal di St. Mary's House di Arthur Road, Wimbledon. Penculik sebenarnya bermaksud menculik istri Rupert Murdoch. Ia berasal dari Australia juga dan ketua perhimpunan The News of the World. Tentu saja, suami istri itu juga kaya raya.
Mayat Nyonya MacKay tidak pernah ditemukan. Suatu ketika muncul pendapat bahwa tanpa mayat, tuduhan pembunuhan tidak dapat dikenakan pada tersangka mana pun. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Memang pada kebanyakan kasus, mayat merupakan bukti yang paling meyakinkan. Luka bekas peluru di kepala atau racun dalam perut bisa membuktikan terjadinya pembunuhan, sekali pun bukti-bukti itu belum menunjukkan siapa pembunuhnya.
Menghadapi aspek khas dalam kasus penculikan Nyonya MacKay ini, pihak berwajib di Inggris benar-benar menghadapi hal yang tidak mengenakkan. Mungkin agar penuntutan perkara dapat berlangsung seefektif mungkin, Jaksa Agung Sir Peter Rawlinson turun tangan.
Ketika penyelidikan dimulai, polisi sebenarnya sama sekali tidak mengetahui dari mana harus memulainya. Untunglah ada peristiwa lain, sebelum 29 Desember 1969, yang ternyata ada hubungannya dengan penculikan “Nyonya Murdoch”. Pada tanggal 19 Desember 1969, seorang laki-laki yang mengaku bernama Sharif Mustapha dari Norbury Road-Streatham, melapor ke balai desa. Ia mengaku baru saja terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Mobilnya menabrak sebuah Rolls-Royce. Dia ingin mengetahui alamat pemilik Rolls-Royce itu. Alamat yang diterima laki-laki itu ialah kantor The News of the World di Bouverie Street. Itu adalah alamat bersama Murdoch dan MacKay.
Dalam bulan Desember 1969 itu sebenarnya Murdoch dan istrinya sedang berada di luar negeri. Rolls-Royce Murdoch berulang kali bolak-balik antara St. Mary's House di Wimbledon dan kantor di Bouverie Street. Jadi kalau penculik menguntit Rolls-Royce, pastilah St. Mary's House dikira kediaman Murdoch. Tampaknya hal ini yang menyebabkan kesalahan tragis yang mengakibatkan diculiknya Nyonya Mackay
Dari sinilah polisi memiliki formulir isian yang diisi oleh Sharif Mustapha di balai desa saat ia melapor soal kecelakaan lalu lintas itu. Menurut ahli tulisan tangan, tulisan Sharif Mustapha sengaja dibuat sedemikian rupa. Tujuannya agar tidak mirip dengan tulisan tangan yang sebenarnya milik si pelapor. Lalu mengapa nama Sharif Mustapha yang dipilihnya?
Pengejaan Sharif Mustapha agak aneh, menurut polisi. Ini memberikan kesan bahwa Sharif Mustapha hanyalah nama palsu. Pilihan nama itu sendiri menyiratkan bahwa si pengguna nama adalah orang Pakistan atau daerah sekitarnya. Pilihan polisi pada orang Pakistan karena kebanyakan orang Pakistanlah yang namanya mirip-mirip nama Arab atau Persi seperti Sharif Mustapha.
Berpegang pada dugaan itu mulailah polisi mencari laki-laki asal Pakistan. Berapa orang? Paling sedikit dua. Menurut perhitungan polisi, satu menguasai korban, lainnya mengemudikan mobil. Dugaan polisi mengenai jumlah dua orang itu juga berdasarkan keterangan seseorang yang mengaku bernama Anderson. Anderson pada tanggal 29 Desember itu, jam 4.35 sore mengendarai mobilnya melalui Wimbledon Common menuju Putney. Di depannya sebuah mobil Volvo berjalan lambat-lambat. Anderson lalu menyalipnya. Saat melewati mobil itu, dilihatnya dua orang 'seperti Arab', tepatnya berkulit kehitaman.
Anderson rupanya memang pengamat yang cermat. Sebab 10 menit kemudian saat kembali menuju Wimbledon, dia terkejut karena melihat Volvo itu lagi. Penumpangnya masih sama. Saat itu mereka berbelok ke Church Road yang menuju St. Mary's Road. Tambahan keterangan diberikan oleh seorang wanita yang pada hari yang sama lewat di depan rumah keluarga MacKay. Katanya, dia sekitar jam 6 sore melihat rumah itu lampunya menyala dan pintu depannya tertutup. Di jalan halaman ada mobil “salon bercat gelap”.
Menurut orang-orang yang mengenal Nyonya MacKay, pintu depan rumah selalu dipalang apabila ia berada di rumah seorang diri. Kalau sampai ada tamu yang dipersilahkan masuk rumah, tentunya tamu itu dapat meyakinkan ia bahwa alasan kunjungannya benar-benar penting dan mendesak.
Ketika Alick MacKay tiba di rumahnya pada tanggal 29 Desember malam itu, dengan Rolls-Royce yang dikemudikan sopir Murdoch, dia harus membunyikan bel pintu. Tetapi tidak ada jawaban. Pintu depan pun ternyata hanya tertutup namun tidak terpalang. Alick MacKay segera ke tingkat atas mencari istrinya. Namun istrinya tidak ada di atas. Ia mencoba menghubungi polisi dengan telepon tapi ternyata kabelnya tercabut. Ketika memeriksa lebih lanjut, ia menyadari bahwa perhiasan istrinya yang seharga 600 pounds hilang. Jas hangatnya bisa digunakan bolak-balik pun ikut raib.
Di lantai ruang duduk bertebaran beberapa lembar koran The People. Salah satu dari lembaran koran tersebut memperlihatkan bekas telapak tangan manusia. Ketika diperiksa, salah satu bekas sidik jarinya ternyata sama dengan bekas sidik jari yang kemudian ditemukan pada surat Nyonya MacKay dari tempat penculikannya.
Alick MacKay masih sempat memberitahukan putrinya, Diane Dyer, bahwa sang ibu mungkin diculik. Ketika Diane tiba bersama suaminya dari Sussex, Alick MacKay terbaring di tempat tidur. Itu dilakukan atas nasihat dokter pribadinya karena kondisi jantungnya yang tidak baik. Pesan yang diterima oleh David Dyer lewat ditelepon berbunyi, “Katakan kepada Tuan MacKay, di sini M.3, Mafia. Kami minta 1 juta pounds.” Menurut David dan polisi yang menyadap telepon, bahasa Inggris penculik tidak terlalu baik.
Pihak polisi lalu mengusulkan agar penculik diberi saja uang palsu sebanyak yang dimintanya dan disimpan dalam sebuah tas. Tetapi sebuah mobil Volvo yang pengemudinya tidak mudah dikenal ternyata tidak mau berhenti untuk mengambil tas yang berisi uang palsu itu. Sementara itu petugas polisi lainnya yang juga menyelidiki sisik melik dari polisi lain yang pergi ke pertanian Rook. Terletak di tempat terpencil di Stocking Pelgam, pertanian itu merupakan kediaman dua bersaudara Arthur Hosein dan Nizammodeen Hosein. Keduanya ditangkap dengan tuduhan menculiknya dan membunuh Nyonya MacKay. Berminggu-minggu setelah penangkapan itu, polisi memeriksa tiap jengkal tanah pertanian yang luasnya 122.160 meter persegi. Namun tidak ditemukan mayat atau potongan tubuh satu pun.
Pengadilan yang dipimpin Hakim Sebag Shaw berakhir dengan dinyatakannya kedua bersaudara Hosein bersalah. Mereka mendapat vonis hukuman penjara. Berapa tahun tidak penting bagi kasus penculikan Nyonya MacKay ini. Yang paling menarik ialah kenyataannya bahwa kasus tersebut sebenarnya tidak pernah terselesaikan. Banyak kritik dilontarkan pada yang berwajib yang menangani soal itu.
Begitu perbuatan kriminal itu terjadi, Detektif Wilfred Smith segera membentuk tim anti pembunuhan yang diwakili oleh Detektif John Minors dan Detektif Jim Parker. Keduanya ini masing-masing memimpin belasan bintara dan hampir 100 agen. Berkat ketekunan petugas-petugas polisi itulah, dan bantuan masyarakat, Hosein bersaudara berhasil ditangkap dan dikenakan tuduhan penculikan dan pembunuhan. Segala macam cara ditempuh polisi untuk menjebak penculik Nyonya MacKay. Misalnya, Detektif Roger Street yang perawakan dan tampaknya mirip Ian MacKay, anak laki-laki Alick MacKay, menyamar sebagai Ian MacKay. Detektif Street lalu membawa uang tebusan ke tempat yang disetujui. Di saat yang sama, sekitar 50 petugas polisi lainnya mengepung tempat tersebut. Tujuannya agar mereka dapat segera menangkap penculik dan menyelamatkan Nyonya MacKay.
Polisi lainnya bersiap-siap di dalam mobil preman, agar sewaktu-waktu dapat menyerbu ke tempat uang tebusan harus diletakkan. Beberapa petugas polisi lainnya diberi motor preman dan berpakaian seperti lazimnya anak-anak brandalan anggota Klub Pengebut Maut. Mereka mengenakan jaket kulit dan helm yang berlambang swastika. Sayangnya, ide unik yang terakhir itu malahan menjauhkan penculik dari perangkap polisi. Sebab mana ada tukang ngebut yang memperhatikan rambu-rambu lalu lintas atau berperawakan gagah.
Polisi juga menggunakan metode rumit untuk mengidentifikasikan suara yang muncul dalam pembicaraan-pembicaraan antara penculik dan keluarga korban. Suara-suara lewat telepon direkam. Suara itu diputar ulang dengan alat-alat elektronik yang juga menghasilkan grafik, sesuai dengan logat pembicaraan. Dengan cara inilah pula diperkuat dugaan bahwa penculik Nyonya MacKay bukan orang Inggris asli, sekalipun bahasa Inggrisnya cukup baik. Dari suaranya, diperkirakan para penculik adalah orang Pakistan atau Hindia Barat.
Sekalipun penangkapan sudah dilakukan, pernyataan salah sudah dijatuhkan, namun banyak hal sebenarnya belum terjawab dalam pengadilan kasus penculikan Nyonya MacKay.
Tidak terbukti bahwa Nyonya MacKay langsung dibawa ke rumah pertanian Rook setelah diculik. Mungkin Nyonya MacKay pernah disekap di kediaman Hosein bersaudara itu. Apakah dia dibawa, misalnya, ke salah satu rumah di Streatham di mana memang banyak orang Hindia Barat? Kalau dibunuh, siapa yang sebenarnya membunuh dan bagaimana caranya? Hosein bersaudara dinyatakan bersalah, tetapi benarkah keduanya yang membunuh Nyonya MacKay? Mungkinkah salah satu dari mereka yang membunuh atau jangan-jangan ada pihak lain? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah terjawab dengan jawaban yang menyelesaikan persoalan. Lalu di mana mayat Nyonya Mackay? Mungkinkah dimasukkan ke dalam tembok ruang bawah tanah yang biasa dimiliki oleh sebagian besar rumah?
Banyak orang yang mengikuti sidang pengadilan kasus itu meragukan ketepatan tindakan polisi dalam mencari penculik. Tidakkah usaha polisi mengepung tempat uang tebusan justru menimbulkan kepanikan penculik? Mungkin karena itu penculik akhirnya memutuskan untuk membunuh si korban saja.
Banyak orang menganggap keliru prioritas yang diberikan oleh polisi pada pembunuhan, sedangkan soal penculikan malahan dinomor duakan. Soal prioritas ini menyebabkan polisi berusaha mati-matian untuk mencegah pembunuhan. Bahkan niat pihak keluarga untuk berusaha membayar uang tebusan dan mengeluarkan polisi dari urusan dengan penculik, justru dianggap oleh polisi sebagai keengganan keluarga untuk bekerja sama dengan polisi. Polisi menganggap keluarga takut jangan-jangan ancaman penculik itu dilaksanakan.
Masih ada pertanyaan besar yang juga tidak terjawab dengan tepat. Pengadilan menyatakan, “Oknum-oknum ini menculik Nyonya MacKay. Mereka menguasai korban. Karena kini korban hilang, pastilah mereka yang membunuhnya.” Banyak orang yang mengikuti jalannya sidang meragukan kebenaran pernyataan itu. Benarkah untuk menculik, seseorang juga harus membunuh?
(Gerald Sparrow)
Baca Juga: Penculiknya Mirip Tsar Nikolas II
" ["url"]=> string(53) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822813/m3-mafia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310680000) } } [3]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3822808" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/134-tembak-orang-inijpg-20230829120334.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(129) "Dieter ditemukan tewas tertembak. Orang yang terakhir terlihat bersamanya adalah temannya, Martiens. Apakah dia yang membunuhnya?" ["section"]=> object(stdClass)#132 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/134-tembak-orang-inijpg-20230829120334.jpg" ["title"]=> string(16) "Tembak Orang Ini" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:03:47" ["content"]=> string(46524) "
Intisari Plus - Dieter ditemukan tewas tertembak. Orang yang terakhir terlihat bersamanya adalah temannya, Martiens. Apakah dia yang membunuhnya?
----------
Jumat 24 Maret 1961, pagi itu Dieter tampak riang dan gembira sekali. Ia meminjam mobil kakaknya, Hindegarde, untuk pergi makan siang bersama istrinya Colleen. Kakaknya bertanya, mengapa dia tidak mengenakan cincin pemberian ayah mereka seperti biasanya. “Sedikit gatal-gatal di sini,” jawabnya sambil menunjukkan jarinya yang biasanya dihiasi oleh cincin pusaka. “Kau makan siang di flat kami hari Minggu ini, bukan?” pamitnya pada kakaknya.
Begitu Dieter dan Colleen tiba di rumah dari makan siang di luar, mereka segera tidur. Tetapi jam 5 petang mendadak Dieter bangun.
“Wah! terlambat. Aku ada janji. Urusan besar,” katanya.
Dieter buru-buru mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna kuning putih, celana korduroi hijau, kaus kaki berwarna menyala, sepatu cokelat, dan jas korduroi cokelat.
“Kembali setengah delapan. Kita nonton nanti,” ujarnya ke Colleen.
Dieter lalu mengambil uang dari lemarinya sebesar 2.000 pounds Afrika Selatan. Colleen minta uang, tetapi Dieter berkata nanti saja.
Setelah Dieter pergi, Colleen lalu memandikan bayi mereka dan menidurkan di ranjangnya. Ia lalu mencuci muka kemudian duduk di ruang tamu mendengarkan radio.
Sementara itu, petang yang sama, di Hatfield House Johanna Rossouw menyuruh anak-anaknya tidur. Lalu dikeluarkannya koper-koper dari tempatnya. Suaminya Martiens mengatakan akan mengajak Johanna pergi ke Krom River hari Senin nanti. Gambaran suasana ceria berkecamuk di pikiran Johanna. Selama Martiens kerap mengabaikan anak istrinya, demi sahabatnya Dieter von Schauroth. Martiens katanya akan kembali sebelum jam 9.
Lelah mengemasi semua pakaian ke dalam koper, Johanna menanggalkan baju yang dipakainya dan berbaring di ranjangnya sambil mendengarkan radio.
Jam enam kurang seperempat petang hari Jumat 24 Maret 1961 itu Dieter tiba di rumah kediaman Martiens dengan mobil yang dipinjamnya dari Hildegarde. Johanna yang menyambutnya mengatakan bahwa suaminya sudah pergi. Dieter tanpa pamit cepat-cepat meninggalkan Hatfield House menuju stasiun besar, memarkir kendaraannya di Grand Parade, kemudian menunggu di bawah jam. Baru menjelang jam 6 Martiens muncul.
Keduanya lalu berkendara menuju Fredman’s Motors. Sebelum Martiens keluar dari mobil, Dieter memberikan uang tunai 20 pounds. Dieter menunggu di luar toko mobil itu. 20 menit kemudian, Martiens keluar dari toko mobil. Ia membawa kuitansi sebesar 40 pounds dan salinan perjanjian sewa. Katanya kepada Dieter, mobilnya baru siap Senin pagi. Sehingga, katanya pula, dia baru bisa berangkat ke Krom River dengan Johanna paling cepat Senin siang itu. Martiens menceritakan juga hal lainnya yang dibicarakannya dengan Seymour Ezer, manajer Fredman’s Motors. Bahwa dia kelak akan membeli mobil yang lebih baik. Cek sebesar 1.150 pounds dari Dieter juga ditunjukkan kepada Ezer
Dari toko Fredman’s Motors, keduanya pergi berputar-putar selama 5 menit. Sebelumnya mobil pinjaman itu dihentikan di pelataran parkir di luar Hotel Prince of Wales di Bree Street.
“Kita pura-pura tidak kenal, ya,” kata Dieter pada Martiens. “Kita di dalam saja bertemu nanti, kamu lewat pintu sana. Martiens mengangguk-angguk ketika diberi uang oleh Dieter. Keduanya kemudian memasuki bar Hotel Prince of Wales lewat dua pintu yang berlainan.
“Whisky dan soda,” kata Dieter pada penjaga bar.
“Brandy dan coke,” kata Martiens.
Setelah penjaga bar menyajikan minuman dan pergi agak menjauh, berkatalah Dieter dengan lirih, “Nah, kalian sekarang sempat ke Krom River, bukan?” Keduanya mengangkat gelas.
“Malam ini aku tidak bisa berlama-lama. Janjiku pada Johanna pulang jam 9,” kata Martiens.
“All right, Cowboy,” kata Dieter. “Tetapi sebelum pulang, laksanakan dulu tugasmu untukku.”
“Malam ini juga?” tanya Martiens.
“Ya, malam ini,” kata Dieter tegas.
Begitu minumannya habis, Dieter beranjak pergi keluar. Beberapa menit kemudian Martiens juga lalu keluar. Berdua mereka menyusuri Foreshore, lalu mengikuti jaIan nasional ke Milnerton yang jauhnya 9 mil dari Cape Town. Ketika berada di Cambridge Hotel, Dieter dan Martiens juga tidak bersama-sama memasuki barnya. Dieter menduduki kursi tinggi di sebelah pria yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Beyleveld. Martiens yang tiba di bar belakangan juga mendekati Beyleveld.
Segelas brandy dan coke habis, Martiens pun keluar dari bar. Beberapa menit kemudian masuk lagi. Lalu keluar lagi, katanya mau menelepon istrinya. Beberapa menit kemudian datang di bar lagi, katanya karena kotak teleponnya terpakai terus.
Dieter bercerita pada Beyleveld bahwa dia seorang petani dari Karasburg. Malam itu istrinya membiarkan dia pergi. Martiens datang menyela.
“Selamat sore,” katanya, “nama saya Rossouw.”
“Saya von Schauroth,” kata Dieter, yang meskipun sudah bercakap-cakap dengan Beyleveld tapi belum memperkenalkan dirinya.
Ketika Dieter minta Martiens untuk ikut minum, serta-merta keduanya bertengkar soal siapa yang harus membayar nanti. Martiens lalu mengeluarkan tiga batang korek api untuk dirinya dan tiga batang korek api lagi untuk Dieter. Katanya, “Kita undi saja.”
Penjaga bar Henn cepat-cepat mencegahnya, “Di sini tidak boleh berjudi.”
Martiens mengalah. Dia akhirnya yang membayar minumannya. Lalu pergi keluar lagi.
“Ada apa dengannya,” tanya Beyleveld pada Dieter. “Menyela pembicaraan kita, lalu keluar masuk bar.” Yang ditanya angkat bahu sambil tersenyum.
Martiens masuk lagi, sekarang ganti Dieter membelikan minuman.
“Selamat malam,” kata Martiens begitu minumannya habis, sambil bangkit dari duduknya. Martiens meninggalkan bar.
Beberapa menit kemudian Dieter juga keluar dan tak berapa lamanya lagi Beyleveld mendengar mobil dipacu meninggalkan hotel. Dari Cambridge Hotel itu Dieter mengarahkan mobilnya ke utara ke Killarney Hotel, di dekat jalan simpang ke Melkbosstrand. Di Killarney keduanya juga berhenti di sebuah bar, minum-minum, terus pergi lagi.
Saat kembali ke mobil, Dieter minta agar Martiens yang memegang kemudi. Mereka lanjut ke utara, ke Malmesbury. Dieter mulai bernyanyi dalam bahasa Jerman, mungkin karena pengaruh begitu banyak minuman keras yang diminumnya. Bahu Martiens ditepuk-tepuk. “Malam ini kamu mendapat 5.000 pounds,” kata Dieter.
“Mana orangnya?” Martiens bertanya.
“Sebentar lagi, dekat sebuah persimpangan,” jawab Dieter. “6 mil dari Killarney, di dekat Vissershoek, jalannya bercabang, yang lurus ke utara menuju Malmesbury.” Ia menyuruh Martiens supaya meninggalkan jalan besar dan berbelok ke jalan kecil, Dieter mengambil jas hujannya yang ada di jok belakang dan diletakkan di pangkuannya. Dieter mengeluarkan sepucuk pistol Beretta dan dua dus peluru pistol dari saku jas hujan.
Martiens melirik mengawasi ketika Dieter menaruh dua butir peluru ke dalam magasin pistol. Sekitar 70 yard dari jalan besar, Dieter menyuruh berhenti. Pistol diberikan pada Martiens. Dieter lalu keluar dari mobil, diikuti Martiens dengan pistol di tangan.
Mereka berdiri di tempat yang lapang tanpa pepohonan. Menghadap ke sebuah deretan pohon eukaliptus, di kiri ada pohon-pohon rooikrans. Tidak jauh di belakang mereka ada semak belukar yang lebat. Martiens dan Dieter mengawasi deretan pohon eukaliptus, seolah menanti munculnya seseorang dari antara pohon-pohon berbatang kurus itu.
Satu demi satu batang pohon di sana tampak jelas, berkat cahaya bulan dan bintang malam itu.
“Mana orangnya,” tanya Martiens berbisik, sambil mengacungkan pistol di tangannya ke arah pohon-pohon eukaliptus.
“Ini orangnya,” kata Dieter. “Di sini!”
Pada jam 11 malam itu juga, John Jackson dengan seorang teman pulang dari memancing ikan di pantai Atlantik. Mereka mengambil jalan lama menuju jalan nasional. Di dekat sebuah perkebunan Visserahoek, mereka dihentikan oleh empat orang pria. Salah satunya membawa jeriken. Mereka kehabisan bensin, sehingga mobil mereka mogok.
Setelah memberi sedikit bensin pada mereka, Jackson serta-merta memacu kendaraannya. Di pos polisi Philadelphia Jackson melaporkan perihal dihentikan orang di dekat Vissershoek.
“Mata mereka menakutkan,” kata Jackson pada petugas jaga. “Kalau kalian tidak mengharapkan ada pembunuhan di sana, sebaiknya kirim patroli sekarang juga.”
Sebuah mobil patroli diperintahkan pergi ke Vissershoek. Tetapi tidak ada apa-apa lagi di sana.
Kira-kira jam 6.45 pagi berikutnya, Walter Henry Oliver yang berkendara di jalan nasional dari Cape Town melihat sebuah mobil yang diparkir dengan sembrono kira-kira 1 mil dari Vissershoek. Seorang pria setengah baya yang berdiri di dekat mobil itu menolak tawaran Oliver untuk meminggirkan mobilnya.
“Tampaknya seperti orang Jerman atau Yahudi,” kata Oliver kemudian. “Ketika saya di sana orang itu menyapu-nyapu tangannya dengan kertas koran bekas. Entahlah apa yang disapunya dari tangannya itu.”
Yang diingat oleh Oliver adalah ukuran tubuhnya yang sedang, kira-kira 5 kaki 6 inci, kulit agak gelap, dan tampaknya tidak tidur sama sekali semalaman.
Ketika Oliver meneruskan perjalanannya, dia dihentikan oleh mandor kuli jalan Willem Van Zyl yang pagi itu berangkat ke tempat kerjanya dengan sepeda. Van Zyl berhenti di persimpangan yang sama seperti Dieter dan Martiens sebelumnya. Ternyata Van Zyl mengajak Oliver untuk melihat sesosok mayat yang tertelungkup di tanah berpasir. Tangan kanan mayat itu menumpang di atas punggung, dengan telapak tangan menghadap ke atas. Tangan kirinya tertindih sedikit oleh tubuh dan kakinya terentang lurus membentuk huruf lamda. Demikian cerita Oliver kelak.
Oliver menyuruh Van Zyl supaya melaporkan hal itu kepada polisi. Oliver sendiri kemudian juga melaporkan hal yang sama pada polisi. Karena tidak ditanya, Oliver juga tidak merasa perlu memberitahukan polisi bahwa mayat yang dilihatnya itu terbaring telungkup.
Segera seorang petugas muda dari Polisi Philadelphia tiba di tempat kejadian dengan seorang detektif. Tanpa sadar serta-merta sang detektif mengangkat kepala mayat untuk mengetahui asal darah keluar. Dan bagian belakang tengkuk mayat tampak dua lubang luka. Menurut petugas polisi itu kelak, posisi mayat berubah, meskipun mayat pernah dibalikkan olehnya. Petugas polisi itu lalu juga menggeladah pakaian mayat dan menemukan uang tunai sebanyak 2 pounds, 12 shiling, 2 penny di dalam saku celana.
Polisi juga menemukan selongsong peluru di dekat kaki mayat. Setelah sebentar mengamat-amati situasi di sekitar mayat, petugas polisi itu pergi kembali ke posnya untuk melaporkan penemuan itu ke markas Polisi Cape di Caledon Square. Si detektif diminta untuk menunggui mayat.
Dalam waktu setengah jam tiba pula Detektif Hitchcock di tempat kejadian. Ia datang bersama seorang tukang potret dan beberapa anggota tim anti pembunuhan. Hitchcock tidak melihat bekas-bekas perkelahian atau perlawanan. Tidak ada pula saku baju yang dibalikkan keluar. Hitchcock mencatat jam di pergelangan tangan kiri mayat berhenti dan menunjuk jam 9.10. Hitchcock menemukan juga beberapa butir intan yang belum dibentuk, sebesar 4,5 karat. Gagasan pertama yang timbul dalam pikiran Hitchcock ialah pembunuhan itu tidak direncanakan lebih dahulu. Mungkin akibat perselisihan mengenai jual beli intan secara tidak sah. Kalau pembunuhan itu direncanakan, tentunya akan terjadi di antara pepohonan dan bukan di tempat yang terbuka itu, pikir Hitchcock.
Sabtu 25 Maret siang, koran Cape Argus mengemukakan dua teori. Menurut koran, korban ditembak dari belakang ketika dia itu keluar dari mobil. Atau ia ditembak di dalam mobil tapi kemudian mayatnya dibuang keluar. Kalau teori kedua yang terjadi, mengapa pelaku tidak membuangnya di antara pepohonan saja. Jadi mayat itu baru berhari-hari atau berminggu-minggu ditemukan.
Korban itu mengenakan jam tangan emas yang sangat mahal harganya. Menurut polisi, korban adalah orang keturunan Eropa, berusia sekitar 27 tahun, tinggi badan 5 kaki 6,5 inci, bertubuh kekar, rambut cokelat tua dan agak berombak, serta mata cokelat. Ada tambahan emas kecil dalam gigi di belakang taring atas kiri. Juga ada bekas luka samar-samar sepanjang 1,5 inci di dagunya. Korban itu mengenakan celana korduroi hijau, jas korduroi cokelat, kemeja kotak-kotak putih kuning, kaos kaki warna-warni menyala, dan sepatu cokelat kemerah-merahan. Tampangnya seperti petani.
Sebelum itu, Sabtu pagi, Hildegarde von Schauroth pergi ke kota untuk mengambil mobil yang dipinjam Dieter. Dieter berjanji akan meninggalkan mobilnya di suatu tempat di Long Street. Tetapi Hildegarde tidak menemukan apa-apa di sana. Jadi Hildegarde kembali pulang dengan hati yang was-was. Ia semakin khawatir sebab pada jam 10 malam sebelumnya, Colleen menelepon bahwa suaminya belum juga kembali di rumah.
Siangnya lagi Collen datang sendiri di flat iparnya. Hildegarde sedang menelepon pos-pos polisi. Ia menanyakan apakah ada kecelakaan mobil yang mungkin melibatkan Dieter. Tetapi polisi tidak menerima laporan adanya insiden lalu lintas hari itu.
Sekitar jam makan siang Hildegarde memutar radio. Ia kemudian mendengar berita ditemukannya mayat di dekat Milnerton. Hildegarde segera menelepon stasiun radio itu, tapi dipersilahkan bertanya ke markas Polisi Philadelphia.
“Mereka memberitakan pemeriksaan mayat yang ditemukan itu,” kata Hildegarde kemudian. “Aku menyadari mayat itu adalah Dieter.”
Lepas tengah hari Sabtu, polisi menyita sebuah mobil kecil yang ditinggalkan pengendaranya di dekat Milnerton. Kunci kontak masih menempel, sedangkan di jok belakang terhampar selembar jas hujan. Polisi segera menghubungkan penemuan mobil kecil itu dengan pertanyaan lewat telepon dari Hildegarde. Hildegarde mengakui mobil yang ditemukan polisi itu sebagai miliknya.
Setelah mengunjungi Hildegarde, Detektif Hitchcock lalu juga pergi menemui Colleen.
Ditunjukkannya kepada Colleen intan yang belum dibentuk yang ditemukannya di dekat mayat Dieter.
“Saya tidak tahu banyak soal intan,” kata Colleen. “Suami saya memang kadang-kadang membawa intan seperti itu.”
“Dengan siapa terakhir suami Nyonya berjual beli intan seperti ini,” tanya Hitchcock.
“Kalau tidak salah dengan Tuan Brown dan Toms,” jawab Colleen. “Lainnya lagi,” tambah Colleen, “Tuan Rossouw yang selalu mendesak agar intan-intan itu diambil Dieter. Mungkin semalam dia pergi menemui mereka,” kata Colleen, “Sambil membawa uang tunai 2.000 pounds.”
“2.000 pounds. Untuk apa?” tanya Hitchcock.
“Dia biasa membawa uang sebanyak itu,” kata Colleen.
“Bagaimana Anda tahu uang yang dibawanya itu sejumlah 2.000 pounds?” tanya Hitchcock lagi.
“Dia berkata demikian pada saya,” jawab Colleen.
Sabtu sorenya Hitchcock pergi ke Hatfield House. Tetapi Martiens sudah seharian tidak di rumah. Baru pada jam 2 menjelang dini hari Minggu polisi berhasil menjemput Martiens untuk dibawa ke markas polisi.
“Kami sedang menyelidiki kematian von Schauroth,” kata Hitchcock pada Martiens. “Setahu kami Anda kawan almarhum, coba ceritakan pada kami kapan Anda terakhir kali melihatnya.”
Martiens menatap muka Hitchcock. “Benar,” kata Martiens. “Jumat sore kira-kira setengah 6 kami bertemu di Stasiun Cape Town. Saya pernah minta pinjam uang 20 pounds untuk menyewa sebuah mobil. Kata Dieter, dia hendak memberikan uang itu hari Jumat kalau saya memberikan alamat seorang kulit hitam yang menjual intan asli. Kami menemui orang itu. Dieter lalu memberi 20 pounds pada saya. Ia kemudian mengantarkan saya ke toko mobil Fredman’s Motors. Saya diturunkan disana. Sejak itu saja tidak melihat Dieter lagi.”
Ketika Hitchcock diam tanpa memberi reaksi apa-apa, Martiens meneruskan ceritanya. “Saya lalu pergi ke gedung bioskop, bertemu seorang gadis di sana. Kami nonton film Jack Slade. Saya tiba di rumah jam 11, lalu langsung tidur,” kata Martiens.
Terkesan oleh kelancaran ceritanya, Hitchoock menyuruh Martiens pulang. Minggu siang, Brown dan Toms mengunjungi Martiens. “Anda dengar mengenai von Schauroth?” tanya Brown. “Kata polisi dia mati terbunuh.”
“Ya, memang benar,” jawab Martiens. “Kita jangan kelihatan bersama-sama.”
“Mengapa?” tanya Toms.
“Begini,” jawab Martiens, “semalam saya dibawa polisi dan diinterogasi.”
“Tapi toh kami tidak ada urusan dengan pembunuhan itu,” kata Toms. Brown dan Toms lalu bergegas pergi.
Koran-koran Senin 27 Maret memuat berita tentang kematian Dietrich Baron von Schauroth. Cape Times melaporkan bahwa ditemukan sejumlah besar intan asli seharga ratusan pounds di dekat mayat Dieter.
“Seorang petani kaya raya dari Afrika Barat Daya. Intan-intan itu berada di dekat mayat,” tulis koran itu. Ketika polisi tiba di tempat itu, mereka menemukan lebih banyak lagi butir-butir intan, bertebaran di mana-mana. Menurut keluarganya, Dieter meninggalkan ladang pertaniannya di Karasburg setahun sebelumnya karena kekeringan yang sangat lama. Ia menjual ternaknya yang terdiri dari lebih dari 4.000 ekor biri-biri karena ladang penggembalaannya tidak lagi berumput. Tetapi Dieter berharap akan kembali ke sana setelah musim penghujan. Ia akan memulai peternakan hewan potong.
Koran itu juga ditunjukkan Martiens pada rekannya, Kenneth Manefelt. “Polisi menyangka aku terlibat pembunuhan ini,” kata Martiens sambil menunjuk pada gambar Dieter di koran.
Kata Manefelt kemudian, dia tidak percaya omongan Martiens karena sebelumnya Martiens bercerita pernah naik mobil Galaxie yang sebilah pegas depannya patah. Galaxie tidak berpegas bila di depan.
Mandor tempat kerja Martiens mengizinkan Martiens meninggalkan pekerjaannya lebih awal dari biasanya. Ia berpamitan pada mandor dengan alasan hendak melihat mobil yang disewanya dari Fredman’s Motor. Tetapi di toko mobil itu Martiens ditangkap oleh dua orang detektif.
Pada jam 3 siang hari Senin itu Detektif Hitchcock sudah mengetahui bahwa Martiens terlihat bersama-sama Dieter pada hari Jumat petang antara jam 7 dan 8. Polisi mengetahui hal itu dari Beylevald yang pada Senin pagi membaca koran. Ia melihat gambar Dieter lalu mengatakan pada polisi bahwa dia melihat Dieter dan Martiens di bar hotel di Milnerton hari Jumat malam.
“Kami ingin mengetahui lebih banyak mengenai kematian von Schauroth,” kata Hitchcock pada Martiens. “Anda kemarin mengatakan pada kami perihal aktivitas Anda pada Jumat siang dan petang. Anda bersedia memastikannya dengan keterangan tertulis dan bertanda tangan?” tanya Hitchcock yang ketika itu didampingi oleh Kapten Coetze.
“Tentu saja saya bersedia.” Hitchcock lalu mengambil pena dan mulai merekam pernyataan Martiens dalam bentuk tanya jawab.
“Anda kenal dengan Dietrich von Schauroth?”
“Ya.”
“Sejak kapan?”
“Sejak saya datang dari Bitterfontein. Jadi sejak Natal, begitulah.”
“Anda menjadi kawan akrab?”
“Ya.”
“Karena itu Anda berjual beli intan asli dengan von Schauroth?”
“Ya. Sebagai pembeli intan, saya diperkenalkan padanya oleh Tuan Brown.”
“Kapan terakhir kali Anda berjual beli intan dengannya?”
“Waktu saya bertemu dia itu.”
“Apa Anda melihat Dietrich van Schauroth minggu lalu?”
“Ya, Jumat 24 Maret 1961.”
“Sebelum Jumat?”
“Hari Rabu sebelumnya.”
“Hari Rabu?”
“Dia datang di rumah kami. Lalu kami pergi ke Belvedere Hotel dan dari sana ke City Hall Hotel, lalu kembali ke rumah. Dia mengendarai mobil kakaknya.”
“Jam berapa dia menjemput Anda?”
“Antara jam tujuh dan setengah delapan petang. Saya baru saja mencocokkan jam saya.”
“Jam berapa Anda diantar pulang?”
“Menjelang jam 9 malam. Jam 9 saya mendengarkan siaran berita.”
“Masih ingat berita apa misalnya?”
“Tidak.”
“Rabu malam itu bicara apa saja dengan Dietrich?”
“Oh, saya minta pinjam uang 20 pounds. Katanya akan diberikan hari Jumat, supaya saya menunggu di dekat jam stasiun besar Cape Town, sehabis jam kerja. Dia akan memberikan uang itu.”
“Dari tempat kerja, Anda langsung menuju ke stasiun besar?”
“Ya.”
“Jam berapa Anda selesai kerja?”
“Kira-kira jam lima kurang tujuh menit. Buruh-buruh pada antre panjang.”
“Anda naik kereta api ke Cape Town?”
“Ya.”
“Dietrich sudah ada di sana ketika Anda tiba di Stasiun Cape Town?”
“Belum. Saya harus menunggu lama. Saya menunggu di arah Adderly Street di depan stasiun. Saya lalu masuk ke halaman stasiun, mencari di mana dia mungkin memarkir kendaraannya.”
“Di mana akhirnya Anda menemukan dia?”
“Setelah tiga atau empat kali memasuki stasiun lagi, saya melihat Dietrich masuk ke stasiun dari arah Adderley Street.”
“Jam berapa itu?”
“Kira-kira jam lima kurang seperempat.”
“Anda langsung menghampirinya?”
“Ya. Dia mengatakan mobilnya diparkir di Grand Parade.”
“Di mana dia memberikan uang 20 pounds pada Anda?”
“Di dalam mobilnya. Dia katanya tergesa-gesa dan mau cepat-cepat pergi. Uangnya dua lembaran 10 pounds. Dia tergesa-gesa, katanya. Saya lalu minta diantar ke Fredman’s Motors.”
“Anda jadi ikut pergi?”
“Ya.”
“Jam berapa Anda sampai di Fredman’s Motors?”
“Kira-kira jam 6. Lalu lintas agak ramai.”
“Lalu apakah kalian keluar dari toko mobil itu bersama-sama?”
“Saya mengurus pembayaran untuk sewa mobil. Dia memberi tahu bahwa ia sangat tergesa-gesa.”
“Mengapa dia tergesa-gesa?”
“Dia tidak mengatakan apa-apa.”
“Mau ke mana dia?”
“Katanya mau pergi ke Malmesbury dan dari sana terus ke Karasburg.”
“Kapan dia mengatakan itu?”
“Setelah saya menyerahkan uangnya pada Tuan Ezer dari Fredman’s Motors. Ketika sedang menunggu kuitansi, saya melihat Dietrich keluar dari mobil lalu berjalan-jalan di kaki lima di dekat toko Fredman. Saya katakan padanya bahwa saya segera selesai. Dia berkata kalau dia sangat tergesa-gesa.”
“Mau apa dia?”
“Ketika saya masuk ke mobil di Grand Parade, dia berkata bahwa ada relasi baik-baik dan bahwa dia mau pergi ke Malmesbury kemudian terus ke Karasburg.
“Apakah dia berbicara tentang intan atau jual beli intan?”
“Dia cuma mengatakan mempunyai relasi baik-baik.”
“Anda lalu berpisah atau dia meninggalkan Anda di Fredman’s Motors?”
“Ya.”
“Jam berapa itu?”
“Lewat jam setengah delapan.”
“Anda sudah mendapat kuitansi ketika Anda melihat dia pergi?”
“Ya, saya sedang berjalan keluar.”
“Lalu apakah Anda juga segera pergi?”
“Tidak. Saya masih melihat-lihat mobil-mobil di etalase. Lama juga.”
“Lalu Anda ke mana lagi setelah dari sana?”
“Berjalan kaki ke Royal Bioscope dan Roxy.”
“Film apa yang Anda tonton?”
“Saya menonton Jack Slade di Roxy Bioscope, setelah mengajak seorang gadis yang saya tidak kenal di Royal Bioscope.”
“Filmnya sudah dimulai?”
“Ya, sudah mulai.”
“Ada adegan yang Anda ingat?”
“Tidak banyak, karena saya fokus pada gadis yang saya ajak itu.”
“Anda menonton sampai habis?”
“Tidak. Hanya sampai bagian Jack Slade menembak kawannya.”
“Jam berapa Anda meninggalkan gedung bioskop?”
“Entahlah.”
“Jam berapa tiba di rumah?”
“Kira-kira jam 11.”
“Ada yang melihat kedatangan Anda?”
“Saya kira Nyonya Williams melihat saya. Dia sedang berada di gang dan suaminya membukakan pintu.”
“Hanya itukah tempat-tempat yang Anda kunjungi setelah bertemu dengan Dietrich di stasiun?”
“Ya. Saya dan gadis itu mengobrol di Belvedere Hotel.”
“Kapan Anda mendengar tentang kematian Dietrich pertama kali?”
“Hari Minggu pagi ketika polisi menjemput saya.”
“Saat berada di rumah atau kantor polisi?”
“Ketika Anda sendiri menanyai saya.”
“Begitukah?”
“Ya begitu.”
Ketika Martiens sudah membaca dan menandatangani pernyataannya itu, Hitchcock menekan tombol di mejanya. “Kita sekarang mengadakan identifikasi,” katanya. “Ayo ikut saya.”
Seorang detektif mengajak Martiens pergi dari kantor Hitchcock ke sebuah ruangan besar. Di sana, ada delapan atau sembilan orang pria berdiri berjajar sepanjang tembok. Martiens lalu disuruh berdiri juga di antara orang-orang itu.
Martiens tampak terkejut sekali ketika Beyleveld yang dilihatnya dalam bar Cambridge Hotel hari Jumat malam dibawa masuk.
“Beyleveld, kalau Anda melihat salah satu dari pria-pria ini Jumat malam yang lalu, letakkan tangan Anda di pundaknya,” kata seorang detektif.
Beyleveld lalu maju dan menumpangkan tangannya di pundak Martiens. Berikutnya masuk Henn, penjaga bar Cambridge Hotel yang melarang Martiens bermain dengan batang-batang korek api.
Lalu masuk pula Wycombe, penjaga bar Killarney Hotel. Baik Henn maupun Wycombe masing-masing melakukan hal yang sama seperti Beyleveld.
“Jadi, Anda masih bersama von Schauroth hingga setengah delapan malam pada hari Jumat itu. Dapatkah kami mempercayai keterangan lain?” tanya detektif pada Martiens.
“Pernyataan-pernyataan itu saya buat dalam keadaan takut,” kata Martiens. “Yang sebenarnya, dari Fredman’s Motors, Dieiter dan saya pergi ke dua hotel untuk minum-minum. Lalu ke Cambridge Hotel di Milnerton.”
Menurut Martiens, di luar hotel mereka melihat sebuah mobil kecil yang ditumpangi empat orang pria. Ketika mereka keluar dari hotel, habis minum-minum, dan mau masuk ke mobil, seorang dari empat orang tidak dikenal itu menodongkan pistol ke punggung von Schauroth. Penodong lalu ikut naik mobil von Schauroth dan memaksa mereka menuju Malmesbury. Mobil kecil mengikuti dari belakang.
Tiba di sebuah persimpangan belok ke kiri lalu mobil berhenti. Von Schauroth disuruh turun dari mobil. Martiens sendiri, katanya, disuruh memandang ke arah lain. Tidak lama kemudian Martiens mendengar dua kali letusan senjata api. Kemudian Martiens disuruh membawa mobil von Schauroth ke Milnerton. Di Milnerton penodong itu turun dan pergi.
Dari Milnerton, kata Martiens, dia menumpang bus ke Cape Town dan tiba di rumah pada jam 11 malam. Di kamar Martiens melihat bahwa teromol makan siangnya yang semula ada dalam mobil von Schauroth berisi sepucuk pistol dan dua dus peluru. Martiens lalu menanggalkan pakaiannya dan pergi berbaring untuk tidur. Tetapi dia tidak bisa tidur. Pistol dan peluru-pelurunya lalu dibawanya pergi dan dibuang di Sea Point.
“Mengapa Anda tidak segera melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib? Sehingga kalau perlu jalan-jalan masih bisa diblokir dan minta bantuan pendengar-pendengar radio,” tanya Hitchcock. Martiens bungkam.
“Kami tahu von Schauroth membawa uang barang 2.000 pounds malam itu. Anda orang terakhir melihat dia hidup. Jadi tentunya Anda yang menembak von Schauroth untuk mendapat uang 2.000 pounds itu,” kata Hitchcock lagi.
“Saya merampok dia?” tanya Martiens dengan marah. “Von Schauroth memberikan semuanya ini pada saya!”
Martiens mengeluarkan dua lembar surat dari saku jeansnya. Ternyata sebuah cek senilai 1.150 pon dan sebuah surat dari von Schauroth.
Di surat itu tertulis bahwa dia memberikan cek untuk “jasa yang diberikan”.
“Apa artinya itu?” tanya Hitchcock.
“Saya memperkenalkan von Schauroth dengan orang-orang yang akan menjual intan,” jawab Martiens.
“Rossouw, kalau Anda mengatakan yang sebenarnya, tentulah kami percaya juga,” kata seorang detektif tiba-tiba.
“Memang. Tetapi bagaimana saya dapat membuktikan agar Anda semua bisa percaya? Di tempat itu hanya kami berdua, von Schauroth dan saya,” kata Martiens.
Seorang detektif menatap muka Martiens. “Hanya Anda berdua di sana?” tanyanya.
Martiens diam.
“Jadi, apa yang hendak Anda katakan sekarang. Hanya Anda berdua di sana?” tanya detektif yang sama.
“Saya tidak mengatakan apa-apa,” kata Martiens.
“Tapi Anda sudah mengatakan, bahwa hanya Anda berdua di sana,” desak sang detektif.
Interogasi itu berlangsung selama 4 jam. Martiens terus memberikan alibi yang berbeda-beda. Tetapi alibi yang diberikannya selalu gugur oleh keterangannya sendiri.
Akhirnya Martiens mengaku bahwa dialah yang menembak Dietrich von Schauroth. Martiens akhirnya menyetujui agar pengakuannya diulangi, dengan resmi, di hadapan Hakim Bellville. Itu adalah distrik di mana von Schauroth menemui ajalnya.
Hari berganti ke Selasa 28 Maret 1961, ketika Martiens dibawa ke gedung Pengadilan Bellville, 15 mil jauhnya dari Galedon Square. Sang hakim yang bertubuh kecil, dengan kepala penuh uban, mengenakan seragam jabatannya untuk menutupi piamanya. Seperti diatur oleh undang-undang, hanya hakim dan tersangka Marthienus Rossouw yang berada dalam ruangan auditorium kecil.
Di hadapan Hakim Bellville itulah Martiens menyerahkan pernyataannya.
“Pernyataan ini saya buat agar istri saya dapat mengetahui apa yang terjadi. Sehingga dia pun memahami hal-hal yang pernah saya ceritakan padanya, ketika dia mengancam saya, sehubungan dengan kehidupan perkawinan kami yang tidak bahagia.”
“Almarhum Dietrich von Schauroth meminta pada saya, sekembali saya dari Bitterfontein, agar saya menembak mati seseorang untuknya. Dia akan memberi saya uang 5.000 pounds.
“Saya katakan padanya ketika itu, bahwa itu merupakan tindakan yang berbahaya.
“Kami kemudian tidak membicarakan hal itu lagi.
“Dia selalu menceritakan kehidupannya yang tidak bahagia bersama istrinya, bahwa dia sudah bosan hidup.
“Saya pun seperti almarhum, dengan kehidupan saya yang tidak bahagia di samping istri saya sejak kami menikah.
“Lalu terpikirlah kembali oleh saya perihal uang 5.000 pounds itu. Mungkin istri saya akan menjadi lebih bahagia kalau dia mempunyai uang. Sebab dia membuat saya bahagia hanya ketika ia memiliki uang.
“Dietrich von Schauroth mendatangi saya pada hari Kamis tanggal 23. Saat itu saya berdiri di ambang pintu setelah saya bertengkar lagi dengan istri saya.
“Dieter memberitahu jika istrinya marah-marah lagi.
“Lalu saya katakan padanya, ‘Ya, Dieter, keadaan saya juga sama.’ Kami lalu berbicara sebentar. Lalu dia pulang ke rumahnya.
“Dia mengatakan supaya saya menemuinya pada hari Jumat tangga 24, sepulang kerja. Saya pun melakukannya.
“Kami mula-mula pergi ke sebuah hotel di Cape Town. Dari sana kami pergi ke Milnerton dan ke Cambridge Hotel. Lalu ke sebuah hotel lain yang namanya tidak saya ketahui. Akan saya tunjukkan juga. Setelah minum-minum kami menuju Malmesbury.
“Lalu saya tanyakan padanya, di mana orang yang harus saya tembak mati untuknya. Dieter mengatakan bahwa orangnya ada di suatu persimpangan jalan.
“Ketika kami sampai di persimpangan itu, dia mengatakan bahwa dia menghendaki agar saya menembak mati dia. Alasannya karena kehidupannya dengan sang istri sangat tidak bahagia.
“Dia menyerahkan pada saya sebuah cek dalam sebuah sampul surat. Dia mengatakan bahwa saya harus pergi menemui manajer bank hari berikutnya.
“Dia lalu memberi saya sepucuk pistol dengan dua dus peluru.
“Dieter lalu berbalik membelakangi saya dan mengatakan jika saya harus menembak mati dia.
“Saya kemudian berhadapan dengannya dan menjabat tangannya. Saya katakan, ‘Kawan, beberapa hari lagi saya akan bersamamu. Mungkin istri saya akan menjadi bahagia kalau saya berikan dia uang 5.000 pounds itu.
“Dia lalu berbalik lagi, sambil berkata, ‘Tembaklah saya, Martiens. Kita akan bertemu di surga, di mana tiada lagi perempuan.
“LaIu saya melepaskan tembakan pertama. Saya katakan, ‘Selamat berpisah, kawan. Kita akan bertemu kembali.’ Lalu saya melepaskan tembakan kedua.
“Mula-mula mobilnya hendak saya tinggalkan di sana, tetapi kemudian saya memutuskan membawa mobil itu ke Milnerton.
“Dari sana saya naik bis pulang.
“Setiba saya di rumah, saya katakan pada istri, ‘Saya baru saja menembak mati Dieter.’
“Dia menjerit. Saya berganti baju lalu tidur.
“Saya bangun lagi, mengambil pistol dan peluru-pelurunya, pergi ke Cape Town. Kemudian dengan bus, saya ke Sea Point. Saya turun di dekat Ritz Hotel lalu berjalan ke laut. Saya buang pistolnya di sana. Akan saya tunjukkan tempatnya. Saya lalu pulang.
“Saya berharap istri saya akan mengerti sekarang, bahwa saya mencintainya dan dialah yang memaksa saya melakukan semua ini. Sekian.”
Hari berikutnya di gereja Lutheran Jerman di Long Street diadakan upacara kebaktian bagi arwah Dietrich von Schauroth. Diumumkan dalam gereja bahwa jenazahnya akan dikremasi dan abunya ditaburkan di Blinkoog.
4 hari kemudian 10 penyelam dari Sekolah Selam AX diminta bantuannya oleh polisi untuk mencari pistol Martiens. Berjam-jam mereka mengaduk-aduk air yang sedingin es itu. Akhirnya pistol mereka temukan di tempat 40 kaki jauhnya dari yang ditunjukkan oleh Martiens.
Perkara pembunuhan Dietrich von Schauroth oleh Marthinus Rossouw menjadi terkenal. Manusia normal tidak mungkin minta ditembak sampai mati. Bila memang demikian halnya, orang waras mana yang mungkin menuruti permintaan itu?
Kalau Martiens menceritakan hal yang sebenarnya, maka itu bukan sekadar pembunuhan sadis belaka. Martiens tidak bertampang pembunuh, tidak pula berbicara dan berperilaku seperti pembunuh. Tapi dia pun rupanya dapat menyusun cerita yang begitu ruwet itu.
15 bulan kemudian, 20 Juni 1962, Martiens bernyanyi “Nearer my God to Thee”. Sambil berjalan seorang diri, dari sel ke tiang gantungan.
(Henry John May)
Baca Juga: Penghuni Terakhir
" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822808/tembak-orang-ini" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310627000) } } [4]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3822803" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/137-di-matanya-itulahjpg-20230829120233.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(154) "Kematian Helen Potts membuat seorang dokter mendapatkan ide untuk membunuh istrinya demi mendapatkan harta warisan. Setektif kesulitan menemukan buktinya." ["section"]=> object(stdClass)#136 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/137-di-matanya-itulahjpg-20230829120233.jpg" ["title"]=> string(17) "Di Matanya Itulah" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:02:48" ["content"]=> string(21259) "
Intisari Plus - Kematian Helen Potts membuat seorang dokter mendapatkan ide untuk membunuh istrinya demi mendapatkan harta warisan. Ketika detektif mengetahui motifnya, ia mengalami kesulitan menemukan buktinya.
----------
Meninggalnya Helen Potts di New York City di tahun 1891 awalnya merupakan berita biasa. Tetapi karena berita dukacitanya yang cuma beberapa baris itu ditambah keterangan “karena penyakit jantung”, mayat Nona Potts digali kembali.
Bermula dari wartawan koran World yang tajam penglihatannya Isaac “Ike” White. Di saat yang sama, White mengetahui bahwa sebenarnya Helen Potts sudah menikah. Meski secara sembunyi-sembunyi, wanita itu telah menikah dengan Carlyle Harris. White juga mengetahui bahwa Harris adalah pecandu minuman keras dan wanita. Dugaan White, Helen Potts sengaja disingkirkan oleh Carlyle Harris.
Naluri wartawan White membawanya ke dokter yang menangani Helen Potts di saat terakhirnya. Dengan terus terang sang dokter menyatakan jika ia curiga pasien meninggal karena morfin. Gejalanya sangat jelas bagi sang dokter: manik mata Helen Potts mengerut. Hal itu, kata sang dokter, sudah pula disampaikan kepada pihak keluarga Potts. Tetapi justru pihak keluarga Potts yang melarang perihal morfin tersebut diungkap sebab bisa menjadi aib keluarga. Karena itu, berita dukacita ditambahkan “karena penyakit jantung”. Alasan itu tentu tidak akan membuat malu keluarga dan memang Helen Potts sejak lama mengidap penyakit tersebut.
White menuliskan artikel perihal penemuannya. Mayat Helen Potts digali kembali dan diperiksa. Tidak dapat dibantah lagi, Helen Potts tewas kerena dosis morfin yang mematikan, bahkan bagi orang yang sehat. Carlyle Harris tidak pula dapat membantah. Sang dokter membuktikan bahwa manik mata yang mengerut merupakan akibat morfin dalam tubuh. Manik mata itu seperti manik mata kucing yang kena sinar terlalu terang. Harris divonis bersalah dan tewas di kursi listrik.
Sudah tentu Ike White hadir ketika perkara pembunuhan itu diperiksa pengadilan. Tetapi selain juri, masih ada orang lain yang selalu hadir dalam sidang-sidang pengadilan tersebut. Orang itu adalah dr. Robert Buchanan. Dia tinggal di Greenwich Village di Jalan Barat XI nomor 267. Setiap hari, setelah pulang dari sidang pengadilan kasus Helen Potts, ia minum dulu di Macomber’s di Greenwich Avenue.
Telinga Ike White ternyata tidak kalah pekanya dari matanya. Singkatnya, dia mendengar bahwa pada hari jatuhnya vonis bagi Carlyle Harris, dr. Buchanan melontarkan kata-kata yang kurang layak. Saat itu ia dalam kondisi mabuk. Orang lain mungkin melupakan perkataannya, tetapi White justru mencatatnya.
Kejadiannya pada petang hari di Macomber’s, di depan kawan-kawan minumnya, terutama Macomber sendiri dan bekas opsir Kapten Llewelyn Doria. Dr. Buchanan mengatakan, “Carlyle Harris bodoh. Sebenarnya mudah sekali membunuh orang dengan morfin, tanpa ditangkap polisi.”
“Masa begitu mudah,” tanya Doria keheranan. “Bagaimana caranya?”
“Dalam ilmu kimia, tiap bentuk asam ada dasarnya,” jawab sang dokter dengan cekatan. “Dan tiap aksi ada reaksinya!” Keterangan dr. Buchanan tidak dilanjutkan lebih jauh, karena pembicaraan lalu dialihkan ke soal lain.
Dr. Buchanan yang menyelesaikan studi kedokterannya di University of Edinburgh itu mulai menetap di New York pada tahun 1886. Tidak seorang diri, melainkan bersama istrinya, Helen. Ia adalah seorang wanita cantik berambut cokelat dari Nova Scotia. Nyonya Buchanan tidak pernah kedengaran mengeluh, bahkan ketika ia mengetahui bahwa suaminya pecandu wiski dan wanita. Kedua hal itulah yang sebenarnya menyebabkan dr. Buchanan kerasan dan betah di Macomber’s.
Selain ahli di bidang minuman beralkohol, Macomber juga ahli di bidang hiburan seks. Hasil penyelidikannya di bidang tersebut terakhir dibaginya bersama-sama dr. Buchanan dan Kapten Doria. Operasi ketiga orang sampai jauh di seberang Hudson, sampai Newark, New Jersey. Di Jalan Halsey, terdapat sebuah rumah di mana dr. Buchanan menemukan hiburan kegemarannya.
Germonya di sana bernama Anna Sutherland, seorang wanita setengah baya dan janda pendeta Baptis. Selain dia, masih ada “germo muda” bernama James Smith yang tinggal di salah satu kamar bawah di rumah itu.
Tampaknya Anna Sutherland merasa bangga atas perhatian khusus yang ditunjukkan seorang dokter dari New York kepadanya. Tiap habis memakai jasanya, dr. Buchanan selalu mengetuk pintu kamarnya. Sang dokter sekadar mengobrol mengenai angin dan sapi. Lama-lama ia sudah kehabisan bahan sehingga Anna Sutherland seolah terpaksa menyajikan kekayaannya yang lain sebagai bahan obrolan. Kekayaan Anna Sutherland yang lain meliputi rumah hiburan di Jalan Halsey serta rekening bank lebih dari 10.000 dolar. Ia juga memiliki pelbagai perhiasan emas nilainya tiga kali lipat dari rekening banknya.
Dr. Buchanan sendiri, mungkin terdengar tidak masuk akal, adalah orang yang “haus” seks. Sebagai dokter, ia memiliki banyak pasien. Ruang tunggu tempat praktik dr. Buchanan tidak pernah sepi. Dia makin lama makin terkenal. Pada awal 1890 New York menganugerahkan dua jabatan yang jelas tidak kecil honorariumnya. Satu sebagai dokter kepolisian kota dan satu sebagai anggota panitia penyelidikan kesehatan mental yang beranggotakan tiga orang.
Bersamaan dengan penghargaan itu, dr. Buchanan mulai mengeluh. Ia merasa bukan orang yang baik untuk menjadi suami, apalagi ayah yang baik. Istrinya sendiri juga dikatakan terlalu banyak cingcong, sesuatu yang tidak pernah disaksikan oleh orang lain. Nyonya Helen Buchanan di mata banyak orang adalah wanita yang patuh, penurut, dan toleran. Bahkan, ia adalah istri yang pantang melawan suami.
Pertengahan tahun 1890, dr. Buchanan berhasil mendapat keputusan pengadilan untuk bercerai dari istrinya. Tanggal 11 November Helen keluar dari rumah Jalan Barat XI. Dr. Buchanan kembali menghirup kehidupan membujang.
Namun ia tidak lama menikmati kehidupan bebas sebagai bujangan. Pada tanggal 28 November berikutnya, bersama-sama Kapten Doria dan Macomber, dr. Buchanan pergi ke rumah Anna Sutherland di Newark. Keempat orang itu ditemani seorang pria lagi, seorang pengacara. Dua sobat dokter itu bertindak sebagai saksi dalam penandatanganan wasiat Anna Sutherland, sedangkan dr. Buchanan dinyatakan sebagai ahli waris.
Pada hari yang sama, ketiganya kembali ke New York. Tetapi hari berikutnya mereka kembali ke Newark. Dari sana mereka pergi ke gereja yang terletak di Jalan Elk. Di sana, Pendeta David Lusk mengikat dr. Buchanan dan Anna Sutherland satu dengan lain dalam perkawinan suci.
Berbulan-bulan berikutnya, Nyonya Anna Buchanan — Sutherland meneruskan usahanya di Newark. Tapi pada awal tahun 1891, rumah di Jalan Halsey itu dijual dengan harga 9.500 dolar. Anna Sutherland pindah ke New York dan tinggal di Jalan Barat XI. Ia bahkan membeli rumah itu dengan uang hasil penjualan rumah Newark. Tentu saja rumah itu diberikan pada sang suami.
Sampai di sana, tidak ada suara sumbang perihal kisah cinta Buchanan dan Sutherland. Di sisi lain, James Smith terpaksa menghentikan usahanya Jalan Halsey karena kehilangan tempat usaha.
Setahun berlalu. Sampailah awal Februari 1892 ketika Carlyle Harris diadili dengan tuduhan memberikan morfin pada istri gelapnya sampai mati. Peradilan yang selalu diikuti dengan tekun oleh dr. Buchanan. Tetapi minat dr. Buchanan tampaknya tidak semata-mata demi dunia kedokteran belaka.
Sudah sejak pertengahan 1891, dr. Buchanan mengatakan pada kawan-kawannya di Macomber’s, bahwa dia mau pergi ke Scotland. Namun perjalanannya itu tidak dilakukannya bersama sang istri. Tidak dikatakan mengapa rencana itu tidak jadi. Pasalnya dr. Buchanan keburu “tenggelam” dalam minuman keras.
Dalam keadaan mabuk, bebaslah lidah dr. Buchanan untuk mengatakan bahwa pembatalan itu akibat ancaman istrinya. Ia mengancam akan merubah isi wasiat Newark yang menjadikan dr. Buchanan sebagai ahli waris atas harta Anna Sutherland.
Pada hari Kamis 21 April 1892, dr. Buchanan mengatakan kepada Kapten Doria, “Aku harus pulang segera. Istriku sakit keras!”
Nyonya Anna Buchanan — Sutherland benar sakit. Dr. Buchanan mengundang rekan dokter tetangganya, dr. Mclntyre, untuk memeriksa keadaan istrinya. Dr. Buchanan sendiri, katanya, menganggap aneh gejala-gejala yang ditunjukkan oleh istrinya. Terus-menerus merasa mengantuk, pancaindra menurun kepekaannya, peredaran darah tidak normal, susah bernapas, dan sering pingsan. Seorang perawat yang diupah oleh dr. Buchanan, Nyonya Edith Crouch, mencatat bahwa dr. Buchanan kerap meneteskan semacam cairan ke mata Nyonya Buchanan. Kemudian mundur sejenak. Sang suami kemudian mendekat lagi seolah untuk melihat keadaan mata yang baru saja diobatinya.
Dari Kamis malam sampai Sabtu, dr. Buchanan benar-benar patut dipuji perihal pengabdiannya demi pulihnya kesehatan istrinya. la mendesak dr. Mclntyre untuk menggunakan segala ilmunya demi kesembuhan istrinya.
Tapi Sabtu siang itu, rupanya semua ilmu yang dimiliki dr. Mclntyre tidak bermanfaat lagi. Nyonya Buchanan menghembuskan napasnya terakhirnya. Dalam sertifikat kematian, dr. Mclntyre menyebut penyakit ayan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan.
Malam akhir pekan itu dihabiskan oleh dr. Buchanan di Macomber’s. Pada hari Selasa 26 April, ketiga sahabat itu mengantar jenazah Nyonya Buchanan ke tempat peristirahatannya di permakaman Greenwood, Brooklyn.
Beberapa hari kemudian saat berada di Macomber’s, dr. Buchanan mengatakan bahwa dia mau pergi lama sekali.
“Ke Scotland?” tanya Macomber.
“Tidak,” kata sang dokter. “Masih ada tempat lainnya di dunia ini!”
Berminggu-minggu kemudian dr. Buchanan tidak kelihatan di New York. Tetapi sementara itu, kira-kira pertengahan Mei, James Smith menemukan berita di suatu koran New York. Isinya tentang Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan sudah meninggal dunia. Mengetahui hal itu, Smith serta-merta mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan pergi ke New York. Ia akan mencari kepastian mengenai kematian bekas rekannya pada pemeriksa jenazah Schultze. Orang itu kebetulan juga menangani jenazah Helen Potts dalam perkara Carlyle Harris.
Schultze tidak seorang diri ketika menerima Smith di ruang kerjanya. Tamu lainnya adalah Ike White dari World yang memang sedang membongkar tumpukan catatan lama. White mungkin mencari bahan tulisan untuk korannya.
Smith langsung menuduh dr. Buchanan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland. Menurut Smith, dr. Buchanan menikahi Anna Sutherland semata-mata karena uang dan kekayaan almarhumah. Cerita Smith tidak dianggap serius oleh Schultze. Terutama karena Smith tidak menyembunyikannya kekesalannya pada dr. Buchanan. Pasalnya, karena desakan dr. Buchanan, maka usaha bersama Anna Sutherland-Smith di Jalan Halsey itu ditutup.
Bagi Schultze sendiri, dr. Buchanan terlalu terhormat untuk melakukan pekerjaan sekeji itu. Lagi pula menurut dokter lain yang terpercaya, dr. Mclntyre, kematian Anna Sutherland karena penyakit ayan.
Tetapi kesimpulan White, wartawan World, yang berhasil mendengarkan seluruh pembicaraan antara Smith dan Schultze, lain. Memang aneh, pikirnya, bahwa dr. Buchanan yang katanya jemu punya istri, justru menikahi istri baru hanya dalam waktu berapa minggu saja setelah bercerai. Lebih aneh lagi, dr. Buchanan menikahi wanita yang jauh lebih tua darinya, seorang germo malahan. Dr. Buchanan pasti mempunyai alasan lain untuk pernikahannya dengan Anna Sutherland, pikir White.
Keluar dari kantornya Schultze, White langsung menuju kantor pengacara yang menyimpan surat-surat wasiat Anna Sutherland. Tepat seperti perhitungan White, dr. Buchanan adalah satu-satunya ahli waris harta milik Anna Sutherland. Pernyataan itu disaksikan oleh Macomber dan Doria.
Langkah White berikutnya adalah menuju rumah dr. Mclntyre. Ya, kata dr. Mclntyre, kasus penyakit Nyonya Buchanan memang agak aneh dan meragukan.
“Mungkinkah Nyonya Buchanan dibunuh dengan morfin?” tanya White mendadak.
Dr. Mclntyre tampak mengucurkan keringat dingin. Tapi akhirnya toh menjawab, “Boleh jadi.” “Beberapa gejala ayan memang menyerupai gejala keracunan morfin,” kata dr. Mclntyre selanjutnya.
“Ketika saya dipanggil untuk merawat Nyonya Buchanan, saya melihat ia menunjukkan gejala-gejala sekunder keracunan morfin. Namun gejala primer, antara lain mengerutnya manik mata, justru tidak ada. Jadi saya lalu memutuskan bahwa Nyonya Buchanan meninggal karena ayan.”
Kecurigaan White terhadap dr. Buchanan tidak berkurang. Dikunjunginya Profesor Rudolph Witthaus, dokter dan pejabat dinas kesehatan kota dan ahli penyakit keracunan. White bertanya, apakah gejala primer dari keracunan dapat disembunyikan. Jawab Profesor Witthaus, dalam literatur kedokteran tidak tercatat cara-cara menyembunyikan gejala primer demikian.
White merasa terpojok. Tapi tiba-tiba dia teringat pada niat dr. Buchanan untuk pergi ke Scotland. Benarkah dia mau pergi ke Scotland? Atau hanya ke Nova Scotia tempat asalnya? White menelepon koresponden World di Nova Scotia, untuk mengetahui latar belakang dr. Buchanan disana.
Jawaban koresponden Nova Scotia benar-benar mengejutkan. Tanggal 2 Mei 1892, jadi hanya beberapa hari saja setelah meninggalnya Anna Sutherland, dr. Buchanan datang di kota kelahirannya di Winson. Ia menemui Helen, bekas istrinya yang diceraikannya sebelum menikah dengan Anna Sutherland. Di Winson, dr. Buchanan menikah kembali dengan Helen pada tanggal 16 Mei 1892.
Dengan data terbaru ini, White menyerbu ke kantor Schultze si pemeriksa jenazah. “Dr. Buchanan pasti yang membunuh Anna Shuterland, istri keduanya itu,” katanya dengan yakin kepada Schultze.
“Sudah jelas sekali motifnya. Dia sebenarnya tidak bosan dengan Helen yang cantik itu. Dia pasti merencanakan segalanya itu. Cerai dulu dari Helen, menikah dengan Anna Sutherland, mengusahakan jatuhnya warisan Anna Sutherland ke tangannya, membunuh Anna Sutherland, lalu akhirnya menikah kembali dengan si cantik Helen.”
“Kalau Anda,” kata White sambil menuding-nuding Schultze, “tidak mau memerintahkan penggalian kembali, cerita ini akan saya tulis di World.”
Schultze mendiskusikan masalah ini dengan rekan-rekan sejawatnya. Hari berikutnya mereka mendapatkan perintah penggalian kembali jenazah Anna Sutherland dari seorang hakim pengadilan tinggi. Tetapi baru pada tanggal 22 Mei jenazah Anna Sutherland dibawa dari permakaman Greenwood ke balai penyelidikan keracunan Carnegie Institute.
Jenazah diperiksa oleh dr. Witthaus. Ia menemukan sisa-sisa morfin di tubuh Anna Sutherland. Menurut perhitungannya, sisa itu hanyalah seperlimapuluh atau seperenampuluh dari total dosis yang pernah masuk ke tubuh almarhumah. Tetapi ketika dr. Witthaus memeriksa manik mata Anna Sutherland, dia geleng-geleng kepala.
“Sekalipun orangnya mati,” katanya, “keracunan morfin selalu meninggalkan bekasnya di mata. Tetapi di sini tidak ada manik mata yang mengerut,” kata dr. Witthaus keheranan.
Pemeriksa jenazah Schultze yang mendampingi pemeriksaan dr. Witthaus mengangkat bahu. “Wah, kita akan ditertawakan orang, kalau memastikan kematian Anna Sutherland karena keracunan morfin. Pengacara yang paling bodoh pun akan menggugurkan kesaksian dr. Witthaus, kalau gejala primer keracunan morfin itu tidak ada,” kata Schultze.
Schultze sudah memerintahkan agar jenazah dimakamkan kembali. Tapi White tidak menyerah. Ia memohon agar pemakaman kembali ditangguhkan barang satu hari saja. Permohonan White dikabulkan.
Seolah mendapat ilham, White lalu pergi ke rumah Nyonya Crouch, perawat yang pernah diupah dr. Buchanan untuk menunggui Anna Sutherland menjelang kematiannya. Ditanya mengenai saat-saat terakhir Anna Sutherland, Nyonya Crouch menceritakan segalanya.
“Ya, saya ingat,” katanya, “berkali-kali dr. Buchanan meneteskan cairan ke mata Nyonya Buchanan.”
Mengapa dr. Buchanan berbuat demikian, pikir White. White lalu teringat akan kawan sekolah di waktu kanak-kanak yang manik matanya membesar. Oleh dokter mata, kawannya itu diberi obat mata, yang ternyata dapat mengembalikan keadaan mata kawannya seperti sediakala.
White tidak lupa pada kata-kata dr. Buchanan. “Kau bisa membunuh orang dengan morfin tanpa bakal ditangkap polisi! Tiap bentuk asam ada dasarnya dan tiap aksi ada reaksinya.” Kedua kalimat diucapkan dr. Buchanan dengan sombong di Macomber’s kepada Macomber dan Doria pada malam hari setelah siangnya Carlyle divonis bersalah.
Mungkinkah cairan yang diteteskan ke mata Anna Sutherland oleh dr. Buchanan itu dimaksudkan untuk mengembalikan manik mata istrinya pada keadaan normal? Setelah manik mata itu mengerut akibat morfin. White seolah terbang pergi menemui dr. Witthaus. “Kalau ada obat untuk mengecilkan manik mata yang membesar, tentunya ada obat pula untuk membesarkan manik mata yang mengerut,” katanya kepada dr. Witthaus.
Penyelidikan dr. Witthaus pada mata jenazah Anna Sutherland di Carnegie Institute membenarkan jalan pikiran White, tetapi juga menunjang teori dr. Buchanan, bahwa tiap aksi ada reaksinya sendiri.
Dr. Buchanan ditangkap. Pada bulan April 1893, dr. Buchanan menerima vonis hukuman mati. Dengan demikian pengadilan itu, dalam waktu kurang dari 1 tahun mengadili dua perkara pembunuhan istri dengan morfin.
Dr. Buchanan naik banding namun tanpa hasil. Pada tanggal 2 Juli 1895, dr. Buchanan menjalani hukuman matinya di Penjara Sing Sing.
(Charles Bowell)
Baca Juga: Ketemu Tersangka Ketiga
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822803/di-matanya-itulah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310568000) } } [5]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3822797" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/136-di-mana-margaret-reynoldsjp-20230829120108.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(152) "Karena sekolahnya berbeda, Margaret dan kakaknya berpisah di tengah jalan. Namun sejak hari itu Margaret tidak pernah sampai di sekolah untuk selamanya." ["section"]=> object(stdClass)#140 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/136-di-mana-margaret-reynoldsjp-20230829120108.jpg" ["title"]=> string(26) "Di Mana Margaret Reynolds?" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:01:16" ["content"]=> string(23440) "
Intisari Plus - Setelah istirahat makan siang, Margaret dan kakaknya kembali ke sekolah. Karena sekolahnya berbeda, mereka berpisah di tengah jalan. Namun rupanya hari itu Margaret tidak pernah sampai di sekolah untuk selamanya.
----------
Berawal di Birmingham, Inggris. Di bilangan Aston. Harinya Rabu tanggal 8 September 1965.
Margaret Reynolds berusia 6 tahun dan tinggal di Clifton Road. Saat itu ia mau menempuh hujan lagi untuk kembali ke sekolahnya. Sebelumnya juga dalam kondisi hujan, ia pulang ke rumah untuk makan siang. Susan, kakaknya yang berusia 11 tahun, menggandengnya. Keduanya menyusuri Clifton Road dengan menggunakan payung plastik kecil berwarna hijau.
Dikutip dari hargapangan.id & unlm.ac.id. Sekitar 100 yard dari rumah, mereka berpisah. Susan mengawasi adiknya menyeberang jalan, sampai dia mencapai kios telepon Potters Hill. Susan kemudian berbalik dan berlari menembus hujan menuju sekolahnya sendiri.
Karena hari hujan, tidak banyak orang tampak di jalan. Toko-toko yang hari itu buka, ditutup selama 1 jam. Pemilik dan pelayannya sedang istirahat makan siang. Margaret dan Susan meninggalkan rumah sekitar jam 13:15.
Biasanya sekolah usai pada jam 15:30. Namun pada jam 15:45 Margaret belum tiba kembali di rumahnya. Hal ini membuat Nyonya Reynolds mulai bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Margaret. Margaret lahir di rumah itu, tumbuh dan besar di sana. Kini sudah 2 tahun dia bersekolah, jadi tentunya sudah hafal benar dengan daerah sekitar rumahnya.
Margaret tidak pernah tiba di rumah lebih dari jam 16:00 bila ia pulang sekolah. Jadi kalau sudah lewat jamnya dan Margaret belum juga tiba di rumah, Nyonya Reynolds benar-benar gelisah. Ketika Susan juga tiba di rumah, dan Margaret belum juga, Susan serta-merta disuruh mencari adiknya.
Susan keluar lagi. Ia mengikuti rute Margaret ke sekolah, sambil menanyai orang-orang apakah mereka melihat Margaret. Ternyata tidak seorang pun yang melihat Margaret siang itu. Alangkah kagetnya Susan, ketika ia mengetahui bahwa Margaret tidak kembali ke sekolah setelah makan siang. Susan berlari sekencang-kencangnya pulang.
Nyonya Florence Reynolds tidak dapat percaya. Dia pun segera pergi ke sekolah Margaret. Di sekolah, guru Margaret menegaskan bahwa ia tidak melihat Margaret siang itu setelah makan siang. Nyonya Reynolds kembali ke rumah, namun Margaret belum juga tiba dari sekolah.
Ia lalu melaporkan masalah ini ke pos polisi terdekat di Victoria Road. Nyonya Reynolds mengatakan bahwa Margaret tidak mempunyai alasan untuk tidak ke sekolah atau tidak pulang ke rumah siang itu. Dan sebelumnya Margaret tidak pernah menghilang begitu saja. Sang ibu sama sekali tidak dapat membayangkan di mana kiranya Margaret mungkin berada saat itu.
Catatan tentang hilangnya Margaret di pos polisi Victoria Road berbunyi demikian, “Usia 6 tahun, rambut dikepang dan berponi. Baju luar tweed warna-warni, gaun putih dengan pola bunga biru, kaus kaki pendek, sepatu sandal plastik. Ia membawa payung kecil, dari plastik dengan motif bunga putih.”
Laporan anak “hilang” bukan hal baru di sana. Rata-rata 2 orang anak “hilang” tiap hari. Bahkan pernah dalam satu hari ada 8 atau 9 orang anak sama-sama “menghilang”. Kebanyakan mereka “ditemukan” 2 atau 3 jam setelah dilaporkan “hilang”. Bahkan ada pula yang sudah “ditemukan” sebelum “hilang”.
Tetapi hilangnya Margaret Reynolds benar-benar membuat gelisah. Ia seolah lenyap begitu saja, “seperti menguap”, menurut istilah di sana. Polisi segera melakukan penyelidikan ke daerah di sekitar rumah dan sekolah. Namun mereka tidak menghasilkan apa-apa. Kawan-kawan, tetangga-tetangga, saudara-saudara, semuanya ditanyai. Tempat-tempat bermain diperiksa. Sepulangnya dari tempat kerja, William Reynolds segera membentuk tim pencari yang terdiri dari kawan-kawan dan tetangga-tetangga. Mereka menyusuri jalan-jalan dan lorong-lorong di distrik Aston, mengunjungi rumah semua teman dan murid di sekolah putrinya.
Informasi tentang Margaret disebarkan. Semua upaya sudah dilakukan tapi sampai hari gelap Margaret belum juga muncul. Seluruh anggota polisi dikerahkan untuk mencari Margaret. Anjing-anjing pelacak pun tidak ketinggalan untuk ikut mencari Margaret, di sekolahnya dan di jalan-jalan yang menuju ke sekolah.
William Reynolds sendiri pergi mencari hingga ke jalan-jalan dan lorong-lorong yang gelap sampai fajar menyingsing hari berikutnya. Malam itu tanggal 8 September ia bahkan sama sekali tidak tidur di tempat tidurnya.
Menurut William, Margaret selalu bersikap ramah terhadap siapa pun yang kenal dengannya. Terhadap orang asing yang belum dikenalnya, Margaret biasanya sedikit malu-malu. Tetapi itu hanya terhadap orang asing laki-laki. Margaret tidak pernah malu bertanya tentang jalan kalau ia tersesat. Margaret sudah tahu betul alamat orang tuanya. Ia bahkan sudah mengetahui nomor telepon penting yang harus ia hubungi jika mendapatkan kesulitan.
Di sekolah, polisi mendapatkan keterangan jika Margaret adalah seorang anak yang normal, cerdas, bahagia, dan tidak pernah membolos. Tetapi satu hal pasti, hari Rabu itu dia tidak kembali ke sekolah setelah makan siang. Teman-teman sekolah Margaret juga ditanya, siapa saja teman mainnya, tempat kesukaannya, serta permainan yang disukainya. Tapi tidak seorang pun yang berhasil membantu.
Saat menelusuri rute Margaret ke sekolah, polisi mendapat fakta yang membuat cemas. Seorang petugas parkir di penyeberangan jalan dekat sekolah, Paman Harry, mengenal Margaret dengan baik. Ia memberi informasi bahwa hari Rabu Margaret menyeberang jalan. Tapi setelah makan siang, ia tidak terlihat menyeberang.
Kemudian keluarga Reynolds diperiksa polisi. Seluruh rumah digeledah, dari bawah rumah hingga gudang di bawah lantai. Tujuannya untuk mencari tanda-tanda keberadaan Margaret. Detektif-detektif mencari sisik melik di halaman rumah. Membosankan memang, tetapi semua gerakan yang mungkin dari Margaret diselidiki. Tujuannya adalah untuk mendapat kepastian bahwa Margaret tidak kembali ke rumah, lalu misalnya, ia terjatuh ke dalam lubang yang tidak diketahui.
Dalam waktu yang sangat singkat, kasus Margaret menjadi serangkaian teka-teki yang tak terjawab. Mungkinkah dia membolos dari sekolah? Mengalami kecelakaan? Tersesat di rumah yang bobrok dan tak berpenghuni? Atau ia dibawa oleh gelandangan? Disembunyikan orang? Mungkinkah ia diculik oleh pria atau wanita?
Karena Margaret hilang tidak jauh dari Villa Park, seluruh vila di Aston itu “diacak-acak”, halaman di sekitar rumah. Hujan turun cukup lebat hari Rabu itu. Polisi khawatir, mungkin Margaret mau berteduh, tetapi kemudian terperosok ke bekas ruang bawah tanah atau gudang di bawah lantai rumah. Di area itu, banyak ruang bawah tanah dan gudang di sekitar Villa Park. Jangan-jangan dia terjatuh, lalu pingsan dan terluka. Alhasil, Margaret tidak bisa keluar atau berteriak-teriak minta tolong.
Para tetangga mengais-ais tumpukan sampah dan barang bekas. Semua pemilik mobil di Aston diminta untuk memeriksa garasi mobilnya, jangan-jangan Margaret berteduh di sana karena hujan atau sembunyi begitu saja. Hari Jumat berikutnya seluruh Birmingham penuh dengan poster berisi foto dan keterangan tentang Margaret.
Benar-benar mengharukan, saat Nyonya Florence Reynolds harus menyaksikan pemotretan teman Margaret. Model itu, Sandra James, memiliki perawakan seperti Margaret. Ia mengenakan pakaian serupa dengan yang dikenakan Margaret pada hari Rabu yang nahas itu. Setelah Nyonya Reynolds mengizinkan, lampu-lampu dinyalakan untuk mengambil fotonya yang mirip dengan Margaret.
Polisi mengumumkan ciri-ciri laki-laki yang terlihat bersama-sama dengan gadis cilik yang mirip Margaret. Itu terjadi pada hari Rabu 8 September antara jam 17:00 dan 17:25. Laki-laki itu memasuki sebuah toko agen koran di tempat yang kurang dari 1 mil jauhnya dari lokasi di mana Margaret berpisah dengan kakaknya. Ia membeli jas hujan, sebungkus kerupuk, dan koran. Tapi misteri ini tidak terungkap lebih jauh lagi.
Pihak TV BBC juga memutar film khusus untuk orang tua Margaret dan petugas-petugas polisi senior. Hal itu dilakukan setelah beberapa penonton TV merasa melihat gadis cilik seperti Margaret berada di antara orang-orang dewasa di Trafalgar Square. Gadis itu tampak sedang menonton tari-tarian yang diselenggarakan dalam rangka festival Seni Sekemakmuran. Petugas-petugas polisi metropolitan segera meneliti seantero Trafalgar Square dengan saksama, tetapi mereka tidak berhasil memperoleh jejak Margaret.
Setelah berkali-kali menyaksikan film dari BBC dan mengamati potret-potret yang dibuat oleh wartawan-wartawan, ayah Margaret berkata, “Gadis cilik itu kemungkinan besar adalah Margaret. Persamaannya jelas sekali!”
Untuk menemukan Margaret, begitu banyak tenaga polisi ditarik dari daerah lain untuk membantu polisi di Aston. Namun tidak ada kejahatan yang dilaporkan terjadi setelah Margaret menghilang. Tampaknya seolah penjahat dan penegak hukum sedang melakukan gencatan senjata. Pasalnya, polisi sedang mencari gadis cilik berusia 6 tahun yang hilang.
Hadiah sebesar 300 pounds ditawarkan pada siapa saja yang dapat mengembalikan Margaret dengan selamat pada orang tuanya. Tetapi ternyata bukan uang sebanyak itu yang menjadi pendorong bagi banyak orang untuk turut serta dalam upaya pencarian Margaret. Semua keluarga yang memiliki anak seusia Margaret merasa turut kehilangan, sebab hal yang sama bisa pula terjadi pada mereka. Semua orang ingin membantu. Tetapi bagaimana caranya?
Kesempatan membantu itu tiba pada tanggal 12 September, hari Minggu pertama setelah hilangnya Margaret. Sabtu malamnya siaran TV memberitakan bahwa Polisi Birmingham bisa menggunakan preman untuk membantu mencari Margaret. Begitu berita itu selesai disampaikan oleh penyiarnya, semua telepon di kantor Polisi Birmingham berdering terus semalaman. “Di mana kami harus melapor? Jam berapa? Apa perlu membawa obor?”
Hari Minggu jam 6 pagi kantor Polisi Aston secara harfiah kebanjiran sukarelawan. 2.000 orang menunggu untuk dibagi dalam kelompok-kelompok yang dipimpin oleh polisi. Bahkan sukarelawan itu sudah membentuk tim tersendiri, seperti regu SAR. Tidak sedikit pasangan suami istri, ada juga yang disertai anak mereka yang cukup besar. Mereka semua datang mendaftar sebagai sukarelawan. Agar tidak mengecewakan calon pendaftar lain, polisi mengumumkan lewat radio di siang hari bahwa lowongan sudah ditutup.
Pada hari Minggu itu Kepala Polisi Aston, Arthur Brannigan, menargetkan daerah seluas 6 mil persegi untuk diperiksa dengan saksama. Tetapi dengan banyaknya sukarelawan, pencarian hari Minggu itu bahkan mencapai daerah seluas 18 mil persegi. Karena itu, polisi yakin jika Margaret tidak ada di daerah itu.
Tetapi sebenarnya kemungkinan kecelakaan masih tetap ada. Beberapa orang melaporkan melihat seorang gadis berpayung plastik hijau berjalan-jalan di daerah itu pada jam-jam sekolah. Hal ini menguatkan dugaan bahwa jangan-jangan Margaret memang bersembunyi (main-main) di taman. Adanya hujan yang cukup deras memang agak memperkecil kemungkinan itu. Tetapi untuk mendapat kepastian, polisi dan tim pencari merasa perlu mengeringkan parit-parit, kolam-kolam, gorong-gorong. Termasuk segala macam tempat penampungan dan penyaluran air di sekitar Aston.
Meski Margaret tidak ditemukan juga di tempat-tempat air itu, pengeringan itu mengungkapkan banyak peristiwa kriminal lain. Dasar kolam, gorong-gorong, dan parit ternyata penuh dengan rongsokan sepeda motor, sepeda, mobil, ban serap, dan peti besi yang terbuka.
Ada kemungkinan Margaret tertabrak mobil. Mungkin karena takut, pengendaranya membawa Margaret pergi. Tetapi petunjuk ke arah ini juga tidak ada sedikit pun. Orang mulai menduga, jangan-jangan Margaret dibawa orang jahat dan diperlakukan secara tidak wajar. Lalu ia dibunuh dan jenazahnya dimusnahkan. Untuk menyelidiki hal tersebut, polisi membentuk tim yang terdiri dari 160 orang polisi. Mereka bertugas mengunjungi rumah-rumah di seputar Aston dalam radius seluas 8 mil persegi. Setiap penghuni rumah ditanya perihal aktivitasnya pada hari Rabu 8 September. Tiap penghuni tanpa kecuali dimintai keterangan. Semua keterangan itu kemudian dicocokkan satu sama lain.
Penyelidikan dari rumah ke rumah membutuhkan waktu 6 minggu. Tetapi tidak diperoleh petunjuk yang berarti mengenai keberadaan dan kondisi Margaret. Bahkan polisi bertanya pada orang yang tinggal di luar Aston.
Lalu sesuatu terjadi pada tanggal 30 Desember. Lepas tengah hari Nyonya Tift dari Hollemeadow mengantarkan anaknya Diane dan Ian ke rumah nenek mereka di Chapel Street. Selesai mengantar, Nyonya Tift lalu pulang ke rumahnya. Ia menidurkan anaknya Marie, menyuruh Jean agar menemani adiknya, lalu mengajak Susan dan Rita ke toko yang menyewakan mesin cuci.
Ketika sedang menunggu di depan mesin cuci, Susan berkata pada ibunya bahwa dia baru saja melihat gadis kecil lewat di depan kaca jendela toko itu. “Seperti Diane,” kata Susan. Nyonya Tift tidak terlalu memperhatikan cerita Susan. Ia bahkan mengira jika Susan salah lihat, pasalnya mata Susan memang tidak terlalu awas.
Nyonya Tift sama sekali tidak menyangka bahwa 15 menit setelah berada di rumah neneknya, Ian keluar dari sana. Ia bermain dengan anak tetangga di sebelah rumah orang tuanya. Sedangkan Diane ditinggalkan di tempat neneknya.
Selesai mencuci, Nyonya Tift mendapati jika Ian sudah ada di rumah. Itu tidak aneh sebab memang rumah sang nenek tidak terlalu jauh bagi anak kecil seusia Ian. Ian kemudian diminta untuk menjemput Diane.
“Diane belum tiba di rumah? Ia sudah pulang tadi!” kata sang nenek pada Ian. Ian pulang dan menyampaikan kepada sang ibu jika Diane sudah pulang ke rumah.
Alangkah kagetnya Nyonya Tift, ketika mendapat keterangan dari nenek Diane, bahwa Diane pulang ke rumah seorang diri sekitar jam 3 siang. Pencarian Diane pun dilakukan oleh para kakak dan tetangganya. Tetapi ketika sampai jam 7 Diane juga ditemukan, Nyonya Tift melaporkan masalah itu pada polisi.
Malam akhir tahun dingin sekali. Tim-tim pencari Diane dengan tergesa-gesa segera melaksanakan tugasnya. Diane Tift memiliki ciri-ciri tinggi badan 3 kaki 3 inci, perawakan sedang, mata biru, dan rambut agak kecokelatan. Ia mengenakan baju luar tweed hitam cokelat, penutup kepala pink putih, kaus kaki biru, dan sepatu cokelat. Selain itu Diane juga membawa tas plastik bekas hadiah Natal.
Pencarian Diane Tift berlangsung seperti pencarian Margaret Reynolds. Hasilnya pun sama: tidak ditemukan dalam keadaan hidup. Jenazah kedua gadis kecil itu ditemukan di tempat yang sama.
Pada tanggal 12 Januari 1966, Tony Hodgkiss dari Cannock sedang mencari udara segar dengan bersepeda ke Mansty Gully. Di Mansty Gully itulah Hodgkiss melihat jenazah anak kecil. Hodgkiss segera pergi meninggalkan Mansty Gully untuk melaporkan pada Polisi Cannock. Tetapi baru keesokan harinya tempat penemuan jenazah itu didatangi oleh tim penyelidik dari Scotland Yard.
Lokasinya yang di parit itu sudah cukup menunjukkan adanya pembunuhan. Karena korbannya anak kecil, polisi menduga jika pembunuhnya adalah seorang maniak yang suka mengganggu gadis kecil. Kalau pembunuhnya maniak, mungkin ada korban lain di tempat yang sama. Pasalnya, cara operasi maniak biasanya sama. Maka polisi mengaduk-aduk parit berlumpur tempat ditemukannya jenazah gadis cilik pertama.
Dugaan mereka terbukti. Polisi menemukan satu jenazah gadis cilik lagi. Jenazah yang ditemukan Tony Hodgkiss pada tanggal 12 Januari adalah Diane Tift. Sedangkan jenazah yang ditemukan polisi pada tanggal 13 Januari adalah Margaret Reynolds. Pada kedua jenazah, tepatnya di leher, terdapat bekas-bekas ikatan dengan tali. Pada jenazah Diane Tift terdapat tanda-tanda bekas perkosaan. Diane Tift rupanya sudah meninggal ketika dibuang ke parit di Mansty Gully itu. Dan Margaret Reynolds hanya tinggal kerangkanya saja.
Bagi Tony Hodgkiss, penemuan kedua jenazah gadis kecil itu sangat tidak mengenakkan. Banyak orang menduga jika Tony Hodgkiss adalah pelaku pembunuhan yang kejam itu. Untunglah setelah dicek alibinya, polisi dapat memastikan bahwa Tony Hodgkiss bukan pembunuh kedua gadis kecil itu.
Jenazah Diane Tift dikebumikan pada tanggal 21 Januari. Suami istri Reynolds ikut menghadiri pemakamannya. Margaret baru dikebumikan 3 hari kemudian. Orang tua Diane, Terry dan Irene Tift, harus dirawat di rumah sakit karena menderita tekanan jiwa yang berat.
Pencarian pembunuh Margaret Reynolds dan Diane Tift tentu saja diteruskan, meskipun petunjuk yang semakin lama semakin tidak jelas.
Kemudian pada hari Minggu 14 Agustus 1966, muncul misteri baru di desa kecil Mobberly.
Sehabis makan siang di rumahnya di Bucklow Avenue, Jane Elizabeth Taylor (10 tahun) berganti pakaian. Ia mengenakan kaos biru, jaket biru, celana jeans cokelat, kaus kaki pendek, dan sepatu sandal merah. Ia mau main bola dengan Alan Cavaney, gadis sebaya yang tinggal di sebelah rumahnya. Jane menyambar sepeda Alan adiknya. Ternyata, ia pergi untuk selama-lamanya dan tidak pernah kembali ke rumah.
Sepeda Alan memang ditemukan di Pavement Lane, setengah mil dari rumah. Tetapi tidak ada tanda-tanda ke mana perginya Jane. Seperti kasus Margaret dan Diane, segera dibentuk tim pencari oleh polisi.
Petunjuk pertama datang dari seorang wanita yang sekitar jam 2 siang mengendarai mobilnya lewat Pavement Lane. Dia melihat gadis cilik dengan ciri-ciri seperti Jane berjalan di tengah jalan. Gadis itu diapit oleh dua orang pemuda. Ketika mobil wanita itu mendekat, seorang pemuda menggandeng tangan gadis cilik itu. Lalu ketiganya mundur, agar mobil bisa lewat.
Menurut wanita itu, ketiganya pergi menjauhi tempat di mana nantinya sepeda Alan ditemukan. Mereka menuju ke Knutsford. Wanita itu juga melihat sebuah mobil tua bercat abu-abu yang diparkir di tepi jalan. Menurut wanita itu juga, kedua pemuda yang mengapit gadis cilik itu kira-kira berusia 23 tahun.
Sisik melik lain diberikan oleh teman main Jane, Julie Patmier. Julie mengatakan pada polisi bahwa setahun sebelumnya dia dan Jane pernah dihampiri oleh seorang laki-laki yang mengendarai mobil biru. Saat itu mereka sedang berjalan-jalan di Pavement Lane. Laki-laki itu menawarkan limun dan kue. Julie dan Jane serentak mengatakan ‘tidak mau’ dan terus lari menjauh.
Polisi membandingkan kasus ini dengan kasus Margaret dan Diane. Maka dibuatlah daftar yang isinya tentang kesamaan antara ketiga kasus. Kesamaan itu antara lain:
Benarkah ketiga peristiwa penculikan gadis kecil itu saling berhubungan satu sama lain? Polisi Inggris masih terus mencari pelakunya. Jane Elizabeth Taylor tidak pernah ditemukan kembali.
Sejak hilangnya Margaret Reynolds, polisi sudah menyerukan agar orang tua jangan membiarkan anak-anak mereka, terutama yang masih kecil, berkeliaran di jalan raya tanpa pengantar yang dapat dipercaya. Tetapi seruan tinggal seruan. 3 bulan setelah hilangnya Jane, polisi menemukan beberapa anak kecil berjalan seorang diri di jalan raya.
(Harry Hawkes)
Baca Juga: Ia Hampir Tidak Kembali Hidup
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822797/di-mana-margaret-reynolds" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310476000) } } [6]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3806927" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/127-charles-richardson-coyjpg-20230829120013.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(134) "Charles Richardson sering melakukan tindakan kriminal. Para korban tidak ada yang berani melapor. Sayangnya ia tidak selalu beruntung." ["section"]=> object(stdClass)#144 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/127-charles-richardson-coyjpg-20230829120013.jpg" ["title"]=> string(22) "Charles Richardson Coy" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:00:23" ["content"]=> string(30661) "
Intisari Plus - Charles Richardson sering melakukan tindakan kriminal. Karena ancaman dan kekerasan, para korban tidak ada yang berani melapor. Sayangnya ia tidak selalu beruntung.
----------
Tewasnya Thomas Homes Waldeck pada hari 29 Juni 1965 ternyata hanyalah bagian yang kecil dalam rangkaian tindakan kriminal yang dilakukan oleh Charles Richardson Coy di Inggris. Meski disebut “kecil”, itu peristiwa itu termasuk yang paling penting. Thomas Homes Waldeck adalah seorang pengusaha pertambangan di Melrose, Johannesburg, Afrika Selatan.
Dengan disebutkannya nama dua negara, bisa diketahui betapa luasnya daerah operasi aktivitas kejahatan itu. Jelasnya, perkara pembunuhan Waldeck di Afrika Selatan mulai terungkap di Welwyn, Hertfordshire, Inggris.
Pada tanggal 8 Oktober 1965, seseorang bernama James Taggart memasuki Pos Polisi Welwyn. Dalam pengakuannya yang disampaikan kepada petugas Gerald McArthur, Taggart mengemukakan bahwa ia pernah berurusan bisnis dengan Charles Richardson.
Menurut Richardson, kata Taggart, Taggart masih berutang padanya sebanyak 1.200 pound. Di bulan Juli 1965, ia diundang oleh Richardson untuk membicarakan sesuatu. Ternyata saat bertemu, Taggart ditelanjangi, diikat pada kursi, dan dipukuli. Masih untung Taggart hidup dan selamat. Ketika penyiksaan selesai, Taggart dipaksa pula untuk membersihkan darahnya di tempat itu.
Sejak itu Taggart hidup dalam ketakutan, jangan-jangan kaki tangan Richardson akan menyerangnya lagi. Ketika itu McArthur sebenarnya sudah mendengar desas-desus mengenai adanya geng Richardson di London dan semua kejahatannya. Keterangan Taggart memperbanyak dan memperluas bahan informasi mengenai Richardson yang ada pada McArthur.
Mata rantai kejahatan Richardson di atas itu — sebut saja kasus Taggart — barulah saya ketahui ketika McArthur mengemukakan hal tersebut dalam pertemuan antara polisi dan Scotland Yard menjelang Natal 1965. Kasus Waldeck saya ketahui dari Inspektur Kepala Detektif Arthur Rees yang pernah menginterogasi orang yang terbukti membunuh Waldeck di Johannesburg.
Orang tersebut merupakan kawula Inggris bernama Laurence Johny Bradbury. Bradbury dijatuhi hukuman mati di bulan April 1966 karena membunuh Waldeck. Tetapi kemudian vonis itu diganti menjadi hukuman penjara seumur hidup.
Bradbury, demikian kata Rees, menceritakan bagaimana dia sampai terdampar di Afrika Selatan dan terlibat dalam pembunuhan Waldeck. Katanya, semua itu berawal pada tahun 1960. Saat itu dia mulai berurusan dengan Charles Richardson dalam usaha besi tua. Juga di tahun itu, Bradbury mulai menjalankan kelab minum pada jam-jam menjelang pagi untuk kepentingan Richardson. Belum lama menjalankan kedua usaha Richardson tersebut, Bradbury sudah bosan. Terutama ketika ia mengetahui bahwa Richardson berkali-kali menggunakan truk-truk Bradbury untuk mengangkut barang-barang curian.
Richardson tampak setuju dengan rencana pengunduran diri Bradbury. Bradbury boleh meninggalkan usaha Richardson malam itu juga. Tepatnya, pagi dini hari itu juga setelah kelab minum ditutup. Tetapi ketika Bradbury meninggalkan tempat kelab minum, tiba-tiba dia disergap oleh sejumlah orang. Seseorang memukul kening Bradbury dengan kerakeling. Seorang lain melucuti pakaian Bradbury sampai terbuka dan menggores tubuh Bradbury dengan pisau cukur. Seorang lain lagi mengatakan bahwa hal-hal yang lebih buruk akan menimpa Bradbury, jika Bradbury tidak mau terus menjalankan kedua usaha Richardson.
Kaki tangan Richardson sementara puas dengan kesediaan Bradbury untuk meneruskan kelab minum. Tetapi kemudian usaha kelab minum itu diserahkan kepada orang lain dan Bradbury hanya disuruh mengurusi usaha besi tua saja. Sekarang tanpa imbalan apa pun.
Pada tahun 1961 truk-truk Bradbury disita dinas pajak. Bradbury kini mendapat kesempatan untuk menyatakan kepada Richardson bahwa dia tidak bisa lagi mengangkut besi tua milik Richardson. Bradbury berpisah dari Richardson dan berhasil mendapat pekerjaan dari suatu perusahaan angkutan. Tetapi tidak lama kemudian Richardson memerlukan sebuah mobil van untuk suatu perampokan besar. Bradbury diperintahkan supaya membajak salah satu mobil perusahaan. Bradbury menolak. Akibatnya ia dikeroyok oleh anak buah Richardson. Salah satu dari mereka menyerang Bradbury dengan pecahan botol bir. Itu menyebabkan putusnya ibu jari tangan kanan Bradbury.
Kecacatannya itu menyebabkan ia tidak lagi bisa melakukan pekerjaan yang berat-berat. Bradbury lalu berdagang kelontong dengan kereta dorong. Salah satu kaki tangan Richardson mendatangi Bradbury lagi. Ia menyerahkan beberapa pasang contoh kaus kaki nilon untuk dijual lagi. Bradbury membeli kaus kaki tersebut dengan harga 3 shilling 6 penny tiap pasangnya. Bradbury mengira bahwa barang-barang tersebut berasal dari toko kelontong yang dirampok. Kembali hubungan dengan Richardson dijalin lewat kaus kaki nilon. Bahkan Bradbury untuk seterusnya boleh mengambil dulu dan bayar kemudian.
Tetapi ketika Bradbury tidak segera bisa melunasi pembeliannya yang ketiga, dia dipanggil Richardson. Sekali lagi Bradbury dikeroyok oleh kaki tangan Richardson sampai terluka. Mata Bradbury bahkan memerlukan perawatan dengan operasi berat.
Bradbury lalu diberi usaha lain, semacam bank, untuk menghimpun dana dari 'nasabah-nasabah'. Pada akhirnya, bank itu dibuat pailit. Kepailitan 'bank' tersebut terjadi sungguh pada tahun 1964. Richardson menakut-nakuti Bradbury. Sebagai manajer 'bank' yang pailit itu, Bradbury akan ditangkap polisi bila penggelapan uang 'nasabah' sampai ketahuan.
Dikatakan kepada Bradbury, jika dia ingin menghindari kemungkinan penangkapan itu, Richardson dapat mengusahakan kepergian Bradbury ke Afrika Selatan. Pekerjaan Bradbury di Afrika Selatan hanya akan mengawasi mesin-mesin yang digunakan dalam perusahaan pertambangan yang dijalankan oleh Richardson dan Waldeck.
Bradbury akhirnya pergi ke Johannesburg dan bekerja di sana hingga setahun lamanya dan menjadi akrab dengan Waldeck. Lalu Richardson memberi tahu Bradbury bahwa Waldeck menipu dan membuat Richardon mengalami kerugian sampai 17.000 pound. Menurut Rees dalam pertemuan dengan Scotland Yard itu, apa yang terjadi selanjutnya hanyalah dugaan belaka.
Bradbury mengakui pergi ke rumah Waldeck dan melancarkan tembakan-tembakan senapan 'sebagai peringatan'. Tetapi selama proses di pengadilan, Bradbury membantah telah membunuh Waldeck. Menurut Bradbury, kedatangannya ke rumah Waldeck pada hari 29 Juni 1965 ditemani orang lain. Orang itulah yang turun dari mobil, mengetuk pintu rumah Waldeck, dan menembak Waldeck ketika Waldeck membuka pintunya. Bradbury sendiri, katanya, tetap duduk di belakang kemudi mobil.
Hubungan Richardson dengan perusahaan pertambangan di Afrika Selatan tidak pernah jelas. Yang pasti saja, di bulan Desember 1964 di Afrika Selatan berdiri sebuah kongsi pertambangan. Pada kongsi itu, Waldeck sebagai pemilik dari 51% sahamnya menjadi direktur utamanya. Sedangkan Richardson sebagai pemilik 49% sahamnya menjadi direktur.
Di London Richardson mendirikan kongsi serupa, tetapi imbangan saham dan manajemen berbalik: Waldeck 49% saham direktur dan Richardson 51% saham direktur utama. Entah apa maksud pendirian kongsi di London ini. Tetapi yang pasti Richardson kemudian memiliki sejumlah kongsi seperti itu, tidak bersama Waldeck, tetapi dengan orang lain di Afrika Selatan. Pada bulan Mei 1965 modal yang ditanam sudah mencapai puluhan ribu pound.
Sudah barang tentu, ketika diinterogasi oleh Rees, Richardson membantah keterlibatannya dalam pembunuhan Waldeck. Argumennya adalah kematian Waldeck bisa membuat para calon investor urung bergabung. Jadi, tidak mungkin Richardson membunuh Waldeck.
Tetapi interogasi Richardson itu setidaknya mengungkapkan banyak sekali kegiatan geng Richardson di Inggris. Charles Richardson sendiri memulai hidupnya dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Charles yang lahir di Camberwell pada tanggal 8 Januari 1934 itu harus menghidupi ibunya dan membesarkan dua adik laki-laki dan satu adik perempuan. Ayahnya entah pergi ke mana. Di usia 14 tahun Charles dimasukkan ke asrama untuk anak-anak nakal. 3 tahun kemudian Charles berhasil membeli sebuah truk dan mulai berbisnis besi tua. Tampaknya saat itulah Charles bekerja baik-baik. Setelah menyelesaikan dinas militernya, Charles bisa mendirikan Peckford Scrap Metal Coy bersama adiknya Eddie.
Sayang, justru perusahaan yang jujur ini segera menjadi semacam perisai untuk menutupi perusahaan lain yang menadahi barang-barang curian. Kongsi Charles dan Eddie itu sendiri tetap berjalan lancar dan berkembang. Kemudian Charles mendirikan anak perusahaan di Brixton dan Camberwell untuk usaha barang-barang imitasi dan di Bermondsey untuk barang-barang furnitur kantor.
Tidak hanya sampai di situ, Charles Richardson terus mendirikan pelbagai macam perusahaan, terutama untuk menyalurkan hasil produksi pabrik. Mula-mula perusahaan Richardson hanya menerima sedikit, tetapi makin lama pesanan makin banyak. Richardson tidak pernah melalaikan pembayaran sampai pabriknya menaruh kepercayaan 100% padanya. Tetapi justru pada saat itulah Richardson tidak lagi mau membayar utang-utangnya. Barang-barang pabrik akhirnya dibeli dengan pemerasan dan ancaman pembunuhan. Beberapa ancaman pembunuhan bahkan sungguh-sungguh direalisasikan.
Demikianlah seterusnya pola perbuatan jahat geng Richardson. Sesekali polisi berhasil menangkap “Ali” yang menjadi perusahaan “Babah” Richardson. Tetapi karena takut akan pembalasan, “Ali” tidak menyebutkan nama sang “Babah”. Karena itu, hanya beberapa korban saja berani melaporkan kasusnya ke polisi.
Salah satu korban yang pemberani itu adalah Jack Duval. Ia mulai berkenalan dengan Richardson di tahun 1960 di Astor Club. Richardson memberinya pekerjaan di Dentous Trading Coy. Duval dikirim ke Italia untuk memesan kaus kaki nilon dengan kredit. Ternyata tidak terlalu berhasil. Ketika tiba kembali di London, Duval dibawa ke sebuah ruangan di kantor yang dipimpin oleh Laurence Bradbury. Duval dihajar mukanya. Sebelum pulang ke flatnya di Dolphin Square, Duval dibekali pukulan-pukulan dengan stik golf. Ketika ditanya mengapa Duval diperlakukan begitu. Ia mengatakan bahwa hal itu sekadar peringatan padanya agar selalu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Richardson.
Pekerjaan Duval berikutnya ialah memesan tiket pesawat terbang. Tak satu pun tiket itu dibayarnya. Duval kemudian pergi ke Italia mengumpulkan tiket lagi. Di sanalah Duval mengetahui utang pada perusahaan-perusahaan penerbangan atas namanya telah menumpuk hingga 20.00 pon nilainya. Itu membuat Duval khawatir, jangan-jangan dia tidak dapat keluar dari Italia. Sebagai ‘bos besar’ yang baik, Charles Richardson mengirimkan paspor palsu ke Italia untuk Duval.
Setibanya di London Duval dipukuli lagi oleh orang-orang Richardson. Tetapi lebih dari itu, Duval dijebloskan dalam penjara selama 3 tahun karena berkomplot menipu perusahaan-perusahan Personal Travel Services Ltd. dan Argosy Travel Ltd., tambah 12 bulan lagi karena memberikan keterangan tidak benar dalam usahanya memperoleh paspor baru. Selama itu Duval tidak pernah dikeluarkan dari penjara kecuali beberapa kali untuk menjadi saksi ketika Richardson dan anak buahnya diperiksa di pengadilan.
Korban Richardson lainnya bernama Bernard Bridges yang pernah tinggal di Brighton bersama-sama dengan Duval. Di musim panas tahun 1964 Charles Richardson menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Duval. Bridges disuruhnya mencari Duval. Ketika Bridges menyatakan tidak sanggup, dia kontan dipukul dan ditendang oleh George Cornell yang kelak tertembak dan tewas di rumah penampungan Blind Beggar.
Laurence Bradbury dan Roy Hall membawa masuk sebuah pembangkit listrik yang disebut sebagai 'kotak' di kantor itu. Mula-mula Hall mengikat Bridges dengan kawat, lalu kaki Bridges dan bagian-bagian tubuhnya yang lain dililiti dengan kabel listrik yang dihubungkan dengan 'kotak'. Lalu giliran Bradbury menggerak-gerakkan pengungkit sehingga arus listrik mengalir ke tubuh Bridges. Setelah merasakan kejutan-kejutan listrik, Bridges menyatakan kesediaannya untuk mencari dan menemukan Duval. Kawat dan kabel dilepaskan sendiri oleh Richardson. Bridges menyatakan bahwa Duval mungkin sekali pergi ke Sale, Cheshire, ke rumah bekas istrinya. Bridges diminta segera berangkat mencari Duval dengan bekal uang 15 pound. Bridges pergi meski ia hampir tidak bisa berjalan. Hasilnya tetap nihil.
Menurut desas-desus, Charles Richardson memang ahli menyiksa dan selalu menghadiri 'sidang-sidang peradilan'. Tidak jarang dia mengenakan jubah seperti hakim dan duduk di kursi besar. Sementara itu, di meja hijaunya tersedia sebilah pisau besar atau senapan yang siap untuk ditembakkan. Selain 'kotak' listrik tersebut di atas, Richardson juga menyediakan alat-alat untuk menyiksa lainnya seperti batang besi dan kawat berduri. Tidak jarang pula 'terdakwa' disiksa dengan bara api cerutu atau giginya dicabut begitu saja dengan tang.
Ancaman akan disiksa lagi ditujukan pada korban dan keluarganya. Itu menjamin kerahasiaan penyiksaan-penyiksaan oleh orang luar. Richardson malahan tidak lupa menyewa seorang dokter yang karena satu dan lain hal dilarang berpraktik. Dokter itu mengobati si terhukum, jadi ia tidak perlu ke dokter lain dan rahasia pun terjaga. Kenyataan karena Duval tidak berhasil ditemukan oleh Bridges juga menyebabkan disiksanya Derek Harris.
Harris sebenarnya sama sekali tidak tahu-menahu mengenai Duval. Tetapi dia dipukuli, ditelanjangi, dan disetrum dengan 'kotak' juga. Terakhir, satu kakinya ditusuk di lantai dengan pisau yang biasanya diletakkan di depan Richardson saat ‘persidangan’. Entah apa sebabnya, setelah itu Harris diberi banyak wiski dan uang 1.500 pound.
Seorang lelaki lain, Benyamin Coulston, dihadapkan kepada 'hakim' Richardson di 'ruang sidang' di bulan Januari 1965. Ia dituduh menipu dua orang anggota geng sebanyak 600 pound yang awalnya akan digunakan untuk membayar pesanan rokok. Coulston ditelanjangi, dipukuli mukanya oleh Frankie Fraser, lalu dimasukkan ke dalam bak mandi yang penuh dengan air dingin. Coulston kemudian dibawa ke 'ruang sidang' kembali. Siksaan diteruskan dengan cabut gigi tapi gagal. Akhirnya anggota-anggota geng Richardson yang hadir dalam 'sidang pengadilan' itu beramai-ramai menghunjamkan api rokoknya ke tubuh Coulston.
Coulston masih ingat ketika dia diikat dengan tali terpal dan mendengar anggota-anggota geng menyebut-nyebut Vauxhall Bridge sambil memasukkan Coulston ke van. Van berangkat, tetapi Coulston sudah tak sadarkan diri lagi. Ketika siuman, Coulston mendapati dirinya kembali di 'ruang sidang pengadilan'. Ia dikelilingi oleh anggota-anggota geng yang sebagian menyeringai, sebagian lagi tertawa-tawa. Ternyata berat sekali penderitaan Coulston. Ketika dia pergi berobat ke rumah sakit, dokter menemukan batok kepala yang retak dan luka berat lainnya yang memerlukan 20 jahitan.
Sementara Coulston dirawat di rumah sakit, polisi meminta contoh darah Coulston untuk dicocokkan dengan ceceran-ceceran darah yang terdapat dalam sebuah mobil van. Tetapi ketika mengetahui maksud polisi tersebut, Coulston bangkit dari tempat tidurnya. Ia menyelinap pergi dari rumah sakit, masih dalam piama dan tanpa memberitahukan siapa pun.
Itulah sebagian dari kekejaman-kekejaman yang dapat diungkapkan. Diduga lebih banyak lagi siksaan-siksaan yang tidak dapat diungkap karena menyangkut keluarga dan sanak saudara 'terdakwa' di 'pengadilan’ Richardson. Situasinya memang sulit sekali. Polisi menduga jika Richardson juga menggaji semacam detektif pribadi. Berkali-kali polisi mengurungkan operasinya untuk menjebak Richardson karena terdapat indikasi bahwa Richardson mengetahui tiap rencana yang direncanakan polisi di Scotland Yard.
Pada suatu siang musim panas tahun 1966 kami, McArthur dari Kantor Polisi Welwyn, Detektif Don Adams, dan saya sendiri, mengadakan rapat untuk merencanakan operasi baru. Kami yakin, tiap anggota geng mengira bahwa mereka tidak akan tertangkap.
Untuk mendukung perkiraan mereka itu, McArthur kami tugasi untuk libur panjang ke Austria. Kami meminta agar media massa memberitakan soal kepergian McArthur ke luar negeri itu, termasuk foto-foto liburannya.
Tetapi sebenarnya McArthur hanya beberapa hari saja berada di luar negeri. Akhir bulan Juni 1966 dia sudah tiba kembali ke London. Pukul 3 dini hari 70 orang detektif berkumpul di suatu tempat di London. Mereka mendengarkan pengarahan terakhir dari McArthur yang baru saja tiba dari luar negeri. Pukul 6 mereka disebar untuk mendatangi rumah-rumah anggota geng Richardson.
Sebelum tengah hari mereka berhasil menangkap 10 orang laki-laki dan seorang wanita anggota geng Richardson di rumahnya masing-masing. Mereka adalah Charles Richardson (32 tahun) dari Denmark Hill, istrinya Jean Richardson (29); Albert John Longman (40), direktur perusahaan; tanpa alamat tetap; Roy Hall (25), pemeriksa besi tua, dari Bromley Kent; Robert St. Leger (44), pedagang dari Woodford Green, Essex; James Thomas Fraser (24), penjaga pintu sekaligus pesuruh, dari Camberwell; James Kensitt (51), pedagang dari Croydon, Surrey; Brian Oseman alias Morse (34), penjaga pintu dan pesuruh, dari Peckham; Thomas Clark, pengangguran, dari Fulham; dan Alfred Berman (51), pedagang partai besar, dari Kenton, Middlesex.
Sedangkan yang terakhir adalah Derek Mottram (32), penjual makanan dan minuman, dari Brixton. Ia tidak ditahan karena sakit. Mottram langsung dimasukkan ke rumah sakit di Middlesex. Semuanya ditangkap dan ditahan atas tuduhan mendapatkan uang dengan ancaman, penyerangan, siksaan fisik, dan penggelapan barang-barang dagangan.
Tanggal 4 April 1967, dengan Hakim Lawton di Old Bailey, dimulailah salah satu peradilan yang terpanjang dalam sejarah kriminalitas Inggris. Tertuduhnya meliputi Charles Richardson, Edward Richardson, Jean Richardson, Roy Hall, Alfred Berman, Francis Fraser, James Moody, Thomas Clark, dan Albert Longman. Mereka bersama-sama dikenai 22 tuduhan yang meliputi perampokan, kekerasan, menuntut uang dengan ancaman, melukai, dan menyebabkan cacat fisik, serta penyerangan. Semua itu dilakukan dalam jangka waktu 2,5 tahun sejak September 1963. Semua tertuduh menyangkal dan menyatakan dirinya tidak bersalah.
Edward Richardson dari Chislehurst, Kent, dan Frankie Fraser harus diambil dulu dari penjara, di mana mereka menjalani hukuman untuk kejahatan lainnya. Keduanya dijatuhi hukuman 5 tahun karena turut serta dalam keributan dan perkelahian di Mr. Smith's Club, Catford, pada tanggal 7 Maret 1966.
Jaksa Sebag Shaw selaku wakil Mahkota menuduh bahwa geng Richardson ingin menegakkan kekuasaan mutlak untuk Charles Richardson atas sejumlah perusahaan penyalur barang-barang hasil pabrik, di mana sebagian besar utangnya tidak dibayarkan kepada yang berhak. Perusahaan-perusahaan itu sendiri sebenarnya juga hanya sebagai latar belakang dan motif untuk sejumlah perbuatan kekerasan yang dilakukan dengan kejam dan berdarah dingin.
Setelah beberapa orang korban mengajukan kesaksian, salah satu tertuduh, Alfred Berman, tampil dengan pembelaan dirinya. Pembelaannya itu melibatkan hampir semua sesama tertuduh. Berman mengatakan bahwa sebagai pengusaha, dia menaruh minat besar pada tawaran Charles Richardson untuk menanam modalnya di bidang pertambangan di Afrika Selatan.
Usaha Berman bergerak di bidang perhiasan rambut yang beromzet 300.000 pound setahun. Dia memberikan sahamnya sebanyak 50.000 pound, tetapi belakangan diketahuinya bahwa 30.000 pound dari sahamnya itu masuk kantong pribadi Richardson. Ketika hal ini dikemukakan, Richardson menyatakan bahwa yang benar ialah jumlah itu dipinjamkan kepada Richardson pribadi. Saat menunggu diadili di tahanan, Berman melihat bahwa tanda tangannya ada dalam surat pinjaman 30.000 pound pada Richardson pribadi.
Berman menyangkal tuduhan menuntut uang dari James Taggart dengan ancaman dan mencederai Taggart di kantor Richardson. Sebaliknya, Berman mengatakan bahwa dia hampir pingsan ketika memasuki kantor Richardson. Saat itu ia melihat pemandangan dalam kantor. Taggart dalam kondisi telanjang terikat pada sebuah kursi. Kepalanya bengkak, demikian pula telinga dan matanya. Di mana-mana tampak darah berceceran. Kata Berman, Richardson berteriak-teriak mengatakan apa yang sudah diperbuat Taggart. Berman berjalan terhuyung-huyung mau keluar dari ruangan itu, tetapi dicegah oleh Richardson.
“Belum pernah saya menyaksikan kebencian seperti ditunjukkan Richardson kepada Taggart,” kata Berman. “Frank Fraser memukuli Taggart dengan tang, Charles Richardson sendiri menyepak dan menghajar Taggart. Saya tak berdaya dan tak dapat berbuat apa pun.”
Menjelang akhir peradilan, diungkapkan bahwa ibu dari salah satu anggota juri didatangi oleh dua laki-laki. Mereka berkata jika mengetahui bahwa satu anak laki-laki dari ibu tua itu menjadi anggota juri dan satu anak laki-laki lainnya mempunyai perusahaan. Kedua tamu tidak diundang itu berkata bahwa sebaiknya ada suara lain, bila juri membicarakan keputusannya.
Ketika Hakim Lawton diberi tahu tentang hal tersebut, dia mengatakan bahwa dia sudah diminta perhatiannya untuk dua pendekatan pada dua anggota juri seperti dialami ibu tua itu. Menanggapi hal itu, pihak tertuduh dan pembela mengatakan bahwa pendekatan-pendekatan itu dilakukan oleh pihak jaksa untuk menciptakan prasangka terhadap tertuduh. Hakim Lawton menyatakan jika cukup sulit bagi tertuduh untuk bekerja sama dengan orang luar (agar mengancam anggota-anggota juri). Itu karena tertuduh semuanya sudah ada dalam tahanan sejak Juli sebelumnya.
Hakim Lawton memerlukan 4 hari penuh untuk membuat kesimpulan dari peradilan yang mengadili perkara geng Richardson. Ketika kesimpulan diperoleh pada tanggal 6 Juni 1967, peradilan Richardson sudah mencatat 42 hari sidang. Selama waktu itu Jean Richardson dinyatakan gugur tuduhannya dan dibebaskan dari tahanan. Tim juri juga mendengarkan kesaksian untuk menunjang 22 tuduhan terhadap tertuduh.
Menurut Hakim Lawton, tiap tertuduh tidak menghadapi tuduhan yang sama. Namun perkaranya perlu dipertimbangkan tertuduh demi tertuduh. Hakim juga berpesan agar apa pun yang dikemukakan Laurence Bradbury dalam pengadilan di Afrika Selatan jangan sekali-sekali dipertimbangkan lagi dalam pengadilan di London ini.
Keputusan juri dikemukakan pada tanggal 7 Juni 1967, setelah tim penentu mengadakan rapat selama 9,5 jam. Pada pukul 20.13 hari itu juga, Charles Richardson dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya. Kejahatan-kejahatan itu antara lain merampok Jack Duval dengan kekerasan, menyiksa Derek Harris, Bernard Bridges, Benjamin Coulston, dan James Taggart sehingga mereka menderita fisik, dan menuntut uang dengan ancaman.
Edward Richardson dinyatakan bersalah karena menyerang Duval dan menyebabkan sakitnya Coulston. Roy Hall, Francis Fraser, dan Thomas Clark dinyatakan bersalah pula karena menyiksa dan meminta uang dengan ancaman. Tentang Alfred Berman dan James Moody, tim juri tidak berhasil memperoleh kata sepakat antara mereka. Berman dikembalikan ke tahanan setelah hakim melarang juri untuk membahas soal Berman sekali lagi. Namun juri yang sama diminta untuk berdiskusi kembali dan memeriksa kesaksian mengenai Moody sehubungan dengan tuduhannya menyiksa Coulston.
Setelah diskusi yang kedua selesai, tim juri memutuskan Moody tidak bersalah, tetapi Moody juga kembali ke tahanan untuk menunggu sidang atas tuduhan lain. Ia menyerang polisi sewaktu ditahan di Clerkenwell. Untuk tuduhan itu Moody pada tanggal 23 Juni 1967 dihadapkan ke meja hijau. Dia dinyatakan bersalah, tetapi hukuman kurungan yang dijatuhkan padanya sama jumlah harinya dengan lamanya dia ditahan. Maka pada tanggal 23 Juni itu Moody keluar dari pengadilan sebagai orang bebas.
Dalam vonisnya yang menghukum Charles Richardson dengan 25 tahun penjara, Hakim Lawton berkata, “Mendengar kesaksian-kesaksian dalam perkara ini, saya berkesimpulan bahwa Anda yang selama bertahun-tahun menjadi pemimpin geng yang demikian besar. Untuk memenuhi kepentingan material dan melaksanakan hasrat kriminal, Anda tidak segan untuk meneror siapa saja yang menghalangi. Teror itu dilakukan dengan cara-cara terkutuk, sadis, dan menjijikkan. Itu membuat saya malu!
“Keputusan pengadilan harus keras dengan alasan-alasan berikut: pengadilan harus menunjukkan penolakannya atas jalan pikiran Anda. Anda harus disingkirkan agar jangan terjadi kejahatan lebih jauh. Dan harus jelas pula bagi mereka yang berniat menjadi pemimpin geng, bahwa mereka akan dihancurkan oleh hukum seperti Anda sekarang ini.”
Charles Richardson juga dihukum membayar 2/3 dari biaya peradilan, sebanyak 20.000 pon. Edward Richardson dijatuhi hukuman 10 tahun penjara yang harus dimulai setelah hukuman dalam perkara Mr. Smith's Club selesai. Roy Hall juga 10 tahun penjara, dengan catatan dari hakim, bahwa Roy Hall sebenarnya lebih merupakan tokoh yang konyol. Pasalnya, dia sudah sejak masa kanak-kanak dikuasai oleh Charles Richardson. Thomas Clark yang juga dianggap oleh hakim sebagai korban Charles Richardson mendapat 8 tahun.
Vonis untuk Francis Fraser ditangguhkan, sambil menanti penyidangan perkara-perkara lain, di mana dia juga terlibat, di Central Criminal Court. Pada hari 21 Juni, Alfred Berman muncul kembali di Old Bailey. Ia dituduh menuntut uang dari Taggart dengan kekerasan dan menyerang Michael O'Connor di bulan September 1964. O'Connor diserang karena dianggap terlalu intim dengan Nyonya Berman yang sejak lama telah meninggalkan suaminya. Berman keluar dari pengadilan sebagai orang bebas karena dia sudah ditahan lebih dari 10 bulan. Namun, karena kesalahannya tidak membayar pajak dan cukai sebanyak 382 pound, Berman dihukum denda 500 pound dan harus membayar ongkos penjara.
Tuduhan-tuduhan lain yang juga dikenakan pada Charles Richardson, Jean Richardson, Albert Longman, Roy Hall, Brian Oseman, dan James Kensitt tidak disidangkan. Jaksa Agung menganggap banyak dari peristiwanya sudah disidangkan, sehingga penyidangan lebih Ianjut akan merugikan masyarakat luas. Sidang yang mengenai penyiksaan oleh geng Richardson sendiri sudah memakan biaya lebih dari 150.000 pound. Pengadilan banding yang bersidang pada tanggal 26 Maret 1968 memperkuat keputusan hukuman atas Charles dan Edward Richardson, Roy Hall, Francis Fracer, dan Thomas Clark.
Pada 16 Juni 1967, Francis Fraser, James Thomas Fraser, dan Albert Jong Longman, muncul kembali di Old Bailey dengan tuduhan meminta uang dengan kekerasan dari Glinski (Desember 1961) dan menyerang korban pada kesempatan lain. Tom Fraser dan Longman bisa segera bebas dari tuduhannya itu karena hukumannya disamakan dengan jumlah hari keduanya ditahan untuk tuduhan itu. Francis Fraser yang dihukum 10 tahun penjara dalam pengadilan geng Richardson hanya dihukum membayar ongkos perkara Glinski itu sebanyak 2.000 pound. Robert St. Leger yang juga dituduh menyerang Glinski dan menuntut uang dari Glinski tidak dapat dibuktikan kesalahannya. Tetapi Leger tetap ditahan karena berkomplot untuk menipu Nyonya Eleanor Robertson sehubungan dengan harta milik nyonya tersebut di Pulau Canary.
Meskipun tokoh-tokoh penting dari geng Richardson sudah berada di dalam penjara, namun pihak polisi masih juga sibuk untuk membayangi sejumlah orang yang oleh geng Richardson diwajibkan membayar semacam upeti, seperti orang-orang yang menyelenggarakan tempat parkir, dan lain-lain.
(John du Rose)
Baca Juga: Cemburu Buta Mantan Menteri
" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806927/charles-richardson-coy" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310423000) } } [7]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3806923" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/mme-ali-fahmy-beynee-alibertjpg-20230829115912.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Suatu malam, juru pintu mendengar pertengkaran suami istri dan memeriksanya, dan melihat sang suami sudah tewas tertembak oleh istrinya." ["section"]=> object(stdClass)#148 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/mme-ali-fahmy-beynee-alibertjpg-20230829115912.jpg" ["title"]=> string(28) "Mme Ali Fahmy Beynee Alibert" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 11:59:28" ["content"]=> string(19398) "
Intisari-Online.com - Suatu malam di Savoy Hotel, juru pintu mendengar pertengkaran suami istri dari sebuah kamar dan memeriksanya. Ketika ia memeriksanya untuk kedua kali, ia melihat sang suami sudah tewas tertembak oleh istrinya, Madame Fahmy.
----------
Dini hari tanggal 10 Juli 1923. Ujung Barat London mengalami hujan lebat. Menurut penduduk London yang pernah tinggal di daerah tropis, baru sekali itulah London tertimpa hujan selebat “hujan tropis”. Badai juga menderu-deru, mengecutkan hati siapa pun yang ketika itu masih terjaga.
Juru pintu Savoy Hotel ketika itu justru sedang meronda di lorong-lorong hotel. Suara angin dan hujan hampir meniadakan suara-suara lainnya yang timbul selarut itu. Namun juru pintu masih cukup tajam pendengarannya untuk mendengar suara manusia bersilat kata di balik sebuah pintu suite. Dia ingat suite tersebut dihuni oleh sepasang suami istri dari Mesir.
Sebagai petugas keamanan hotel, juru pintu lalu mendobrak masuk. Begitu pintu terbuka, tampak olehnya wajah-wajah bengis. Sang suami, yang menurut daftar tamu bernama Pangeran Ali Fahmy Bey, menunjuk pada beberapa carut di tubuhnya. Sang istri memperlihatkan lehernya yang tampaknya baru saja lepas dari cekikan tangan-tangan perkasa.
Tanpa mengetahui apa yang baru terjadi, juru pintu mengatakan kepada suami istri dari Mesir itu supaya tidur saja karena hari masih malam. Melihat kedua orang itu mulai beranjak menuju kamar tidurnya masing-masing, juru pintu mundur dan menutup pintu masuk suite. Ronda pun diteruskan.
Belum juga mencapai ujung lorong, Iagi-lagi dia dikejutkan suara dari balik pintu suite yang baru saja diperiksanya. Sekarang suara itu lebih mengerikan, bukan sekadar kata-kata manusia yang sedang beradu pendapat. Dia mendengar tiga letusan senjata api.
Juru pintu kontan lari menghampiri suite dan kontan pula menerobos masuk. Adegan kedua ini memperlihatkan sang suami tergeletak di lantai dan berlumuran darah. Sang istri yang mengenakan gaun tidur model baby doll tampak berdiri tertegun. Di tangannya ada sepucuk pistol yang bertatahkan mutiara.
Naluri juru pintu memerintahkan untuk segera mencari pertolongan bagi yang terluka. Tetapi yang terluka ternyata tidak memerlukan pertolongan lagi. Pangeran dari Mesir itu meninggal sudah, di lantai suite yang disewanya di Savoy Hotel, London.
Polisi London tanggal 10 Juli 1923 akhirnya menangkap pembunuh yang sama sekali tidak dapat berbahasa Inggris. Wanita itu menjadi janda setelah ia menembakkan peluru-peluru maut. Dia bebas akhirnya dari ikatan yang di mata orang modern bak rantai yang mengikat kaki budak belian. Pagi itu koran-koran London asyik dengan cerita yang tampaknya begitu saja direnggut dari Kisah 1001 Malam.
Sebelum menikah dengan laki-laki yang memiliki gelar pangeran, wanita itu memiliki nama Marie Laurent Alibert. Ia adalah orang Paris dengan potongan tubuh dan raut wajah elok menurut rata-rata orang timur. Marie Laurent sudah bercerai dari suaminya, ketika dia pertama kali berkenalan dengan Fahmy di ibu kota Prancis.
Fahmy adalah seorang yang kaya raya. Dari ayahnya, dia baru saja mewarisi harta yang nilainya sebesar satu juta pound Mesir. Ayahnya merupakan insinyur kenamaan di Mesir. Tetapi berlainan dengan sang ayah yang sangat menekuni profesinya, Fahmy sama sekali tidak mau bekerja. Kegemarannya adalah berfoya-foya dengan segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh manusia. Salah satunya tentu saja bersenang-senang dengan lawan jenis.
Marie Laurent begitu terpesona dengan kejantanan Fahmy. Berkat kemurahan hati pria itu yang dilimpahkan padanya, Marie Laurent menjadi begitu penurut. Ia seperti wanita-wanita lainnya yang sebelum itu memasuki kehidupan Fahmy. Marie Laurent mengikuti Fahmy terus dalam perjalanan bersenang-senangnya. Mereka ke Deauville, Biarritz, Nice, dan Venice. Di siang hari, pasangan itu berbaring sambil bermalas-malas dan menikmati hangatnya sinar matahari. Malamnya mereka bercengkerama di hotel bak dua ekor kucing dewasa.
Di akhir musim panas yang membawa kenangan indah itu, Marie Laurent mendapat hadiah perhiasan yang entah berapa ribu pound harganya. Fahmy sendiri pulang ke Mesir.
Tidak sehari pun terlewati tanpa saling mengirim telegram cinta dari Lembah Nil ke Lembah Seine. Sayangnya Marie Laurent tidak bisa berbahasa Arab dan Fahmy tidak dapat berbahasa Prancis dengan baik. Isi telegramnya cukup jelas, intinya adalah keduanya tidak bisa kehilangan satu sama lain.
Lalu dari Mesir datang telegram yang memberi tahu bahwa Fahmy sakit keras dan Marie Laurent diminta untuk datang secepatnya.
“Kau tidak sakit!” teriak Marie Laurent ketika dilihatnya Fahmy berdiri di antara ribuan penjemput di pelabuhan. Fahmy membalasnya, “Bagaimana saya bisa sakit kalau engkau disini?” Sudah barang tentu Marie Laurent tidak marah ditipu demikian. Dia malahan kontan mengiyakan ketika Fahmy mengusulkan agar Marie Laurent berpindah agama agar bisa menikah dengan Fahmy. Bagi wanita Prancis yang sudah telanjur bercerai, ganti suami dan ganti agama sama mudahnya.
Marie Laurent kini bernama Madame Ali Fahmy Bey, karena Fahmy katanya bergelar “pangeran”. Tetapi Marie Laurent tidak mendapatkan gelar seperti suaminya di Mesir. Bagi Marie Laurent sudah lumayan, dia sudah menjadi istri Fahmy dan bukan gundiknya.
Hak antara istri dan gundik bisa berbeda. Tetapi bagi Fahmy, kewajiban semua wanita di sekelilingnya sama. Semua harus tinggal di harem yang dijaga ketat oleh para budak negro. Semua adalah pemuas nafsu suami.
Mesir sama sekali bukanlah surga dunia bagi Marie Laurent. Kesehatannya makin menurun dan kecantikannya memudar. Ia tidak memperoleh perawatan medis yang diperlukan. Hingga ia kembali ke Eropa, Marie Laurent mengikuti perjalanan suaminya yang memang tidak pernah betah tinggal di satu tempat yang sama.
Kali ini Fahmy ke Inggris. Dari Dover mereka berkereta ke London. Di kota itu tersedia sebuah suite di Savoy Hotel. Mme Fahmy ketika itu sudah sakit parah. Kesempatan berada di London itu digunakan Mme Fahmy untuk berkonsultasi dengan spesialis wanita.
Dokter Inggris menemukan Mme Fahmy sebagai rongsokan wanita, korban perlakuan semena-mena dari Iaki-laki yang sangat sadis. Mme atau Madame Fahmy harus dioperasi jika ia mau hidup lebih lama lagi. Ditunjukkannya alamat seorang spesialis di Paris.
Tiba di hotel, Mme Fahmy segera memerintahkan pelayan pribadinya supaya mengemasi koper-kopernya untuk berangkat ke Paris. Tetapi belum selesai koper-koper itu ditutup, Fahmy tiba-tiba kembali.
“Apa artinya semua ini?” tanya Fahmy.
“Saya mau ke Paris. Menjalani operasi di sana demi kesehatan saya!” jawab Mme Fahmy.
“Siapa bilang itu perlu?” tanya Fahmy kembali.
Mme Fahmy masih cukup jujur untuk menceritakan kunjungannya ke dokter spesialis. Meledaklah amarah Fahmy. Fahmy mulai menggerayangi istri Prancisnya. Perlakuannya itu dibalas oleh sang istri dengan cakaran-cakaran kuku panjangnya. Perkelahian terhenti oleh terbukanya pintu suite. Itulah adegan pertama yang disaksikan oleh juru pintu yang sedang meronda di lorong-lorong Savoy Hotel.
Beberapa bulan sebelumnya di Kairo, Mme Fahmy menulis kepada pengacaranya, Maitre Assouard. Dalam suratnya ia menuturkan bahwa ia mengalami siksaan-siksaan sadis dari suaminya. Salah satunya ketika berselisih, Fahmy tiba-tiba mengambil sebuah Al-Qur'an dan mengucapkan sumpah “Bilahi, engkau akan mati oleh tangan saya!”
Sejak itulah Mme Fahmy selalu berada dalam ketakutan. Pasalnya, sewaktu-waktu dia bisa mati oleh tangan suaminya. Amarah suaminya di Savoy Hotel 10 Juli 1923 merupakan tanda bagi Mme Fahmy bahwa saatnya telah tiba. Itulah sebabnya Mme Fahmy mengambil pistol dengan gagang bertatahkan mutiara dari kamarnya. Ia menembakkan tiga pelurunya ke arah Fahmy. Fahmy roboh ke lantai. Itulah adegan kedua yang disaksikan juru pintu.
Pada suatu hari di bulan September 1923, ruang nomor satu Old Bailey di London penuh sesak. Dalam boks tertuduh tampak Mme Fahmy. Dia mengenakan jaket hitam ketat yang dihiasi oleh bulu binatang di bagian lehernya. Kepalanya ditutup dengan topi hitam pekat.
Sidang pengadilan yang diketuai Hakim Swift menyediakan seorang penerjemah untuk Tertuduh. Suara penerjemah yang rendah dan berat itu makin berat kedengarannya bagi Tertuduh. Itu karena yang pertama disampaikannya sudah pasti kalimat-kalimat tuduhan perbuatan. Bila ia terbukti salah, maka hukuman mati sudah menanti. Mme Fahmy didampingi 2 pembela, Sir Edward Marshall Hall dan Sir Henry Curtis-Bennett atas permintaan Pengacara Freke Palmer.
Pemeriksaan perkara itu juga menarik perhatian orang banyak karena perbedaan hukum yang berlaku di Prancis dan Inggris dalam apa yang sering disebut sebagai ‘crime of passion’, ‘crime passionelle’ atau kejahatan akibat salah meluapkan cinta. Di Prancis dalam hal itu dilindungi dengan semacam kode tak tertulis, sedangkan di Inggris hukum tertulislah yang berlaku. Dari Mesir datang pula Maitre Assouard yang segera menyelesaikan urusannya dan berlayar ke London.
Ketika sampai gilirannya untuk berbicara kepada juri, Marshall Hall menegaskan bahwa Tertuduh yang sedang dipertimbangkan mati hidupnya itu pernah diteriaki oleh suaminya. Kata Fahmy padanya, “Engkau tidak akan lepas dari saya. Dalam waktu 24 jam engkau akan mati.”
Marshall Hall mengungkapkan pula soal surat yang isinya meminta agar Mme Fahmy jangan sekali-sekali pulang kembali ke Mesir. Satu kalimat, kata Marshall Hall, pernah membuat Mme Fahmy jatuh pingsan. “Waspada botol kecil berisi racun, senjata ampuh yang tidak terdengar suaranya maupun tampak rupanya!”
Tim pembela juga berhasil memohon pada hakim, agar Tertuduh diletakkan di boks saksi ketika bersaksi. Dan kemudian, apabila sampai pada hal-hal yang mesra, penerjemah diganti dengan pengacara wanita dari Prancis, Maitre Odette Simon. Ia sangat mahir berbahasa Inggris.
Kisah Tertuduh dimulai dengan perkenalannya dengan Fahmy, seorang pria yang sangat dominan. Awalnya ia menjadi kekasih dan kemudian sebagai calon suami. Tibalah pernikahan, yang dalam waktu beberapa jam saja merubah semua menjadi neraka bagi Mme Fahmy. Tindak tanduk Fahmy menjadi kasar. Fahmy menyewa budak-budak negro yang jadi kasim untuk mengawasi segala gerak-gerik Tertuduh.
Hadirin mendengar bagaimana, menurut Tertuduh, Fahmy mengucapkan sumpah demi Al-Qur'an untuk membunuhnya. Bagaimana Fahmy menembakkan peluru-peluru ke dekat telinganya, agar Tertuduh menurut dan mau melayani segala kemauan serta nafsu Fahmy. Katanya, Tertuduh pernah pula mengalami rahang copot akibat tamparan Fahmy.
“Mengapa Anda tidak meninggalkan dia saja?” tanya Marshall dengan tiba-tiba. Ia mewakili pertanyaan yang muncul di benak para juri.
“Kalau dia ramah, saya pun mencintainya,” jawab Tertuduh. “Tetapi dia pernah mengatakan, bahwa dia akan merusak saya dengan pasir dan air keras. Saya sangat takut padanya. Saya tidak dapat meninggalkannya.”
Sampai di sini Marshall Hall memotong lagi kisah Mme Fahmy dan memimpinnya hingga Mme Fahmy segera memulai bagian kisahnya. Saat di mana bumi Mme Fahmy runtuh di Savoy Hotel dalam amukan badai hujan. Tidak seorang pun dari hadirin tampak menyandarkan punggungnya, ketika tertuduh memulai bagian ini.
“Saya pergi ke atas, ke kamar tidur, seorang diri,” kata Tertuduh lirih. Pernyataannya diterjemahkan oleh Maitre Odette Simon dalam bahasa Inggris yang tidak kalah lirihnya.
“Hari itu hujan badai mengerikan. Saya selalu takut mendengar halilintar. Malam itu saya juga terlalu takut untuk tidur. Suami saya datang dan mengetuk pintu kamar tidur. Ketika saya tidak segera membukanya, dia memukul-mukul pintu dan berteriak-teriak. ‘Buka! Buka, ayo buka! Engkau tidak seorang diri!’ Pintu saya buka. Saya lalu minta uang untuk bekal perjalanan. Saya masih mengenakan pakaian malam.
“Dia mengajak saya untuk pergi ke kamar tidurnya, untuk melihat betapa banyak uang yang dimilikinya. Ada lembaran-lembaran satu pound Inggris, 2.000 frank Prancis. Saya minta bekal untuk ke Prancis. Kata suami saya, ‘Akan saya beri, asal engkau berbuat sesuatu untuk saya.’
“Dia mulai menarik-narik baju saya. Saya lari mencapai telepon, tetapi telepon berhasil direnggutnya dari tangan saya. Itu membuat tangan saya seperti terkilir.”
Tertuduh berhenti sejenak untuk mengatur napas yang sudah terengah-engah. Lalu sambungnya,
“Tiba-tiba dia memegang leher saya, katanya, ‘Akan saya bunuh kau sekarang.’ Ibu jarinya menunjam pada tenggorokan saya, sementara jari-jari lainnya menjepit bagian samping dan belakang leher saya. Saya tendang dan pukul dia. Dia mundur dan berkata, ‘Saya bunuh kau sekarang!’ Saya pukul dia sekali lagi. Saya lari menghampiri pintu masuk. Dia terus memukul saya di mana-mana dan meludah ke muka saya.”
Demikian adegannya ketika juru pintu hotel tiba-tiba mendobrak masuk untuk yang pertama kalinya. Cerita Mme Fahmy selanjutnya,
“Saya pikir dia mau pergi kembali ke kamar tidurnya. Tetapi ternyata dia masih berdiri di tempat semula, malahan berkata, ‘Akan saya balas kau.’ Dia mencoba menerkam saya, tetapi tangan saya berhasil menangkis terkaman itu.”
“Lalu apa yang terjadi dengan pistol itu?” tanya Marshall Hall kembali menyela. Tertuduh menjawab bahwa dia tidak mengetahui persis apa yang kemudian terjadi.
“Tahu-tahu suami saya sudah tergeletak di lantai. Saya berlutut di dekatnya. Saya pegang tangannya dan kata saya, ‘Manis, itu bukan apa-apa. Bicaralah, oh, bicaralah padaku.’”
Dalam pembelaannya, Marshal Hall mengeluarkan pula sepucuk surat yang ditulis oleh Mme Fahmy di hadapan Maitre Assouard pada tanggal 22 Januari 1923. Sebuah bukti bahwa selama 6 bulan penuh Tertuduh hidup dalam ketakutan, jangan-jangan hidupnya direnggut begitu saja oleh suaminya. Bunyi suratnya demikian,
“Saya, Marie Laurent Alibert, dalam keadaan sehat jiwa dan raga, dengan ini menuduh bahwa apabila saya mati akibat kekerasan atau lainnya, maka pastilah Ali Bey turut serta dalam usaha untuk menghilangkan nyawa saya. Kemarin, 21 Januari 1923, pada jam 3 siang, dia mengambil Al-Qur'an, menciumnya, meletakkan tangan di atasnya, dan bersumpah akan membalas besok atau dalam minggu, bulan, 3 bulan itu. Pokoknya saya harus musnah di tangannya. Sumpah itu diangkatnya tanpa sebab apa pun, entah itu cemburu atau kelakuan jahat lainnya. Dan bukan pula karena saya merengek-rengek. Saya menginginkan dan menuntut keadilan bagi anak dan keluarga saya.”
Tetapi ketika berbicara langsung kepada juri, Marshall Hall mendramatisasi adegan yang terjadi antara kunjungan juru pintu yang pertama dan kedua. Diulanginya lagi kisah Mme Fahmy di Savoy Hotel pada malam badai itu, dengan mengacungkan pistol bergagang mutiara dan membidikkan larasnya ke arah dahi ketua juri. Ditunggunya sampai 12 pasang mata anggota juri menatap senjata maut itu. Lalu kata Marshall Hall,
“Tanpa disadarinya, benda ini meletus.”
Bunyi “tus” pada akhir kalimat disertai dengan jatuhnya pistol dari tangan Marshall Hall ke lantai di depan ujung sepatunya.
Pembelaan Marshall itu juga diperkuat dengan keterangan ahli balistik terkenal Robert Churchill. Ia mengatakan bahwa pistol semacam itu memang sangat mudah sekali meletus. Dengan demikian penembakan itu mungkin hanyalah kecelakaan saja.
Juri memerlukan waktu 1 jam tepat untuk berembuk. Ketika ketua juri menyampaikan pendapat mereka bahwa Tertuduh “tidak bersalah”, Tertuduh memegang pinggiran boks erat-erat sambil berkata lirih, “Merci.”
Janda yang malang itu keluar dari Old Bailey sebagai manusia yang bebas dari segala tuduhan dan tuntutan. Mme Ali Fahmy Bey, terlahir Marie Laurent Alibert, dibawa oleh saudaranya ke Prince’s Hotel di Jermyn Street. Hari berikutnya, dia tampak menjual kisahnya pada sebuah koran yang sangat populer di Inggris. Ketika penggal pertama kisahnya terbit, Marie Laurent sudah berada di Paris lagi untuk mencoba melanjutkan hidupnya setelah perkawinannya kandas total.
(Leonard Grdbble)
Baca Juga: 7 Menit Itu Misteri
" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806923/mme-ali-fahmy-beynee-alibert" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310368000) } } [8]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835275" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/80-kisah-jenius-penjahat-edward-20230804052746.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Seorang ahli bahasa menciptakan bahasa universal. Akan tetapi nasib sang ahli bahasa ini berubah total karena terlibat dalam serangkaian kasus." ["section"]=> object(stdClass)#152 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/80-kisah-jenius-penjahat-edward-20230804052746.jpg" ["title"]=> string(36) "Kisah Jenius Penjahat Edward Rulloff" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:27:54" ["content"]=> string(26469) "
Intisari Plus - Seorang ahli bahasa, Edward Rulloff menciptakan bahasa universal di pertemuan ahli-ahli bahasa di New York. Akan tetapi nasib sang ahli bahasa ini berubah total karena terlibat dalam serangkaian kasus.
----------
Bulan Juli tanggal 17 tahun 1869 di New York berlangsung sebuah pertemuan ahli-ahli bahasa. Seorang peserta tampil di atas mimbar, membacakan risalah yang mengusulkan suatu bahasa universal, perlu ditambahkan bahwa di waktu itu belum lahir bahasa Esperanto.
Bahasa universal ciptaan Edward Rulloff (demikian nama peserta seminar linguistik tersebut) dengan perbendaharaan kata-katanya yang mudah diingat dan diambil dari bahasa Latin dan berbagai bahasa Eropa serta Asia, mendapat sambutan hangat dari para hadirin. Barangkali bahasa universal Rulloff itu dapat menjadi populer seandainya tidak terjadi peristiwa berikut ini pada tanggal 21 Agustus tahun 1870.
Ketika itu gudang firma Halbert di Binghamton kemasukan pencuri. Sebelum sempat mengikat tumpukan kain sutra yang menggunduk di gudang, para pencuri telah kepergok oleh dua pegawai Burrows dan Mirrick, yang kebetulan tidur di situ. Terjadi perkelahian yang berakhir dengan matinya Mirrick karena tembakan pistol dan terlukanya Burrows. Tapi yang terakhir ini masih bisa berteriak-teriak minta tolong.
Polisi Binghamton segera datang, tapi para pencuri telah kabur. Daerah sekitar diselidiki. Hari berikutnya ditemukan dua mayat yang terapung di sebuah sungai. Surat-surat yang ditemukan di dalam kantong pakaian, menunjukkan bahwa kedua almarhum itu masing-masing bernama Dexter dan Jarvis. Kedua-duanya mati akibat tembakan pistol yang juga menamatkan hidup Mirrick.
Mereka pencurinya? Sebuah sepatu yang ditemukan di halaman gudang firma Halbert, yaitu sepatu kiri, tak cocok dengan kaki Dexter yang mayatnya tak bersepatu lagi. Dalam sepatu kiri itu ditemukan segumpal kapas yang disumbatkan pada tempat ibu jari kaki. Dexter dan Jarvis adalah sahabat akrab Edward Rulloff dan mempunyai sesuatu usaha, entah apa dengannya.
Edward Rulloff dipanggil ke markas polisi untuk dimintai keterangan. Tapi dia menyatakan tidak tahu menahu tentang pencurian di firma Halbert. Rulloff pun dapat mengajukan alibi yang sangat meyakinkan tentang kegiatannya pada malam terjadinya peristiwa.
Polisi sudah siap mempersilahkan Rulloff meninggalkan markas, ketika datang seorang tamu, yaitu hakim Balcolm dari Tompkins County. Dan Balcolm segera mengenali Rulloff. Sebab dialah yang mengetahui sidang pengadilan dan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Rulloff karena menculik Harriet istrinya sendiri, kira-kira seperempat abad sebelumnya.
Polisi teringat pada sepatu kiri yang ditemukan di halaman gudang firma Halbert. Rulloff diminta mencopot sepatu kirinya. Ternyata kaki kiri Rulloff tak mempunyai ibu jari. Dan kaki itu pas sekali dengan sepatu barang bukti pencurian.
Rupanya Rulloff sendirilah yang membunuh Dexter dan Jarvis untuk menghilangkan jejak-jejak kejahatannya. Tapi bagaimanapun juga dalam sidang pengadilan dia terbukti sebagai pembunuh Mirrick, pegawai firma Halbert. Edward Rulloff menjalani hukuman gantung pada tanggal 3 Mei 1872.
Ahli bahasa, pencuri, pembunuh, perayu wanita tampaknya sebutan-sebutan itu sukar didapati pada satu orang yang sama. Tapi kesemuanya itu belum menggambarkan Edward Rulloff dengan sempurna. Dia pernah menjadi guru, kurator museum, pendeta, bahkan mengaku dirinya seorang dokter. Riwayat hidupnya merupakan serangkaian peristiwa-peristiwa yang mirip sebuah cerita khayalan saja.
Data-data tentang asal usul dan masa kecilnya tidak tercatat. Yang jelas pada tahun 1843, pada usia 23 tahun, dia bekerja sebagai tukang gali.
Pada suatu hari ketika Rulloff sedang menggali sebuah parit, seorang kepala sekolah menengah putri tergelincir ke dalam galiannya. Mr. Jenkins demikian nama orang itu berdiri sambil menggerutu: “Buset, sungguh buset”. Kontan Rulloff yang menyaksikan kecelakaan kecil ini menegurnya: “Kalau tuan mengutip Shakespeare, mengapa tak tuan teruskan? Bukankah pujangga itu dalam Troilus dan Cressida menulis: Buset, buset wanita itu. Matanya, pipinya, bibirnya berbicara. Bahkan kakinya sekalipun, kegairahan memancar dari tiap persendian dan garis-garis tubuh.
Mr. Jenkins tertegun melihat tukang gali parit yang pandai mengutip Shakespeare itu. Bertanyalah ia mengapa Rulloff melakukan pekerjaan kasar sedangkan ia terpelajar. Jawab Rulloff, ia dulu belajar di Eropa. Sekembalinya ke Amerika tak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya karena ijazahnya tak diakui.
Pernyataan Rulloff mengesan pada Jenkins yang segera memintanya datang di sekolahnya untuk dapat menanyainya lebih lanjut. Dan Rulloff berhasil meyakinkan kepala sekolah itu bahwa ia bisa mengajar ilmu hayat, ilmu tumbuh-tumbuhan kimia, kesusastraan Inggris, Yunani, Perancis dan Jerman,
Pada saat itu juga Mr. Jenkins memutuskan untuk menerima Rulloff sebagai guru di sekolahnya. Tak diketahuinya bahwa penggali parit itu seorang autodidak yang mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan ketika ia meringkuk di beberapa penjara di Kanada karena melakukan berbagai kejahatan: menipu, melakukan pemalsuan dan menodai paling sedikit 6 orang wanita.
Menyuruh seseorang seperti Rulloff mengajar gadis-gadis remaja tak bedanya dengan melepaskan seekor musang dalam kandang ayam. Rulloff bukan orang yang tampan. Perawakannya pendek, tubuhnya gemuk, dadanya bidang, kepalanya luar biasa besar, matanya yang bundar berwarna biru jernih, dagu dan rahangnya kokoh, ditumbuhi sedikit janggut kecoklat-coklatan.
Walaupun sifat-sifat lahiriahnya tak menarik, namun Rulloff mempesona gadis-gadis muridnya karena kepribadiannya penuh kejantanan. Lagi cerdas, jenaka dan pandai bicara. Banyak murid jatuh hati padanya. Dan Rulloff tak segan-segan melayani dan mencemari mereka. Sampai akhirnya ia terpaksa memperistri seorang muridnya, gadis umur 18 tahun bernama Harriet Skutt yang mengandung akibat hubungan dengan Rulloff.
Tadinya orang tua Harriet tak suka pada calon menantunya. Tapi Rulloff berhasil mengubah sikap bermusuhan itu dengan mengeluarkan sebuah ijazah yang menyatakan bahwa ia seorang dokter. Berkat kelihaiannya, Rulloff dapat memperoleh pengakuan dari pihak berwajib atas ijazah palsu itu. Ia berhehti mengajar dan bersama istrinya pindah ke Lansing, sebuah tempat kecil dekat New York untuk buka praktik di sana. Dokter gadungan itu mendapat sukses besar di kalangan rakyat desa yang berduyun-duyun membanjiri praktiknya.
Pada suatu hari kakak iparnya, William Schutt memanggilnya karena istrinya, Mabel, sakit. Pergilah Rulloff kerumah William Schutt di Ithaca. Di mana singgah kira-kira seminggu. Sebagai seorang dokter ia mencurahkan perhatian nya kepada Ny. Schutt sedangkan sebagai seorang lelaki ia memusatkan minatnya kepada seorang gadis molek bernama Susan, pembantu rumah tangga William Schutt.
Tetapi, malang. Pada suatu hari, Mabel yang sudah agak sembuh, memberanikan diri keluar dari kamarnya dan memergok Rulloff sedang bercintaan dengan Susan di kamar pelayan ini. Seketika itu juga Mabel mengambil tindakan. Susan diusirnya. Dan kepada Rulloff ia berkata: “Begitu dapat menulis, akan kuceritakan semua itu kepada Harriet!”.
“Ah, Mabel, jangan kau anggap terlalu serius”, kata Rulloff. “Dan kamu tak boleh marah-marah, agar cepat sembuh. Kembalilah tidur. Nanti kuberi obat penenang”.
Mabel menurut, menelan obat pemberian Rulloff dan tak pernah bangun lagi. Sang dokter menyatakan bahwa Mabel meninggal akibat serangan jantung. Semuanya berlalu tanpa terjadi sesuatu kehebohan. Rulloff pulang ke rumahnya. Tak lama kemudian, bulan April tahun 1845, Harriet, istrinya, melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Dorothy.
Rulloff kecewa bahwa anaknya tidak laki-laki. Sementara itu ia telah bosan dengan praktiknya sebagai dokter dan ingin menikmati warisan Harriet dari pihak neneknya. Dengan modal itu ia ingin melakukan penyelidikan asal-usul bahasa India di Amerika, yang menurut dugaannya mempunyai hubungan dengan bahasa Mesir Kuno.
Harriet menentang niat suaminya untuk menukarkan praktik yang laku sebagai dokter dengan suatu penyelidikan yang tak menghasilkan uang. Rulloff menyerah, tapi ia lantas cuti selama beberapa minggu, untuk bisa tinggal di tengah-tengah suku India di tepi telaga Cayuga. Di sana jatuh hati pada seorang gadis India. Tapi yang terakhir ini, karena beragama Katolik, tak mau bergaul dengan Rulloff yang diketahuinya telah beristri.
Kembalilah Rulloff di tengah keluarganya. Tak lama kemudian pada suatu hari ia meminjam sebuah kereta dan kuda penarik dari seorang tetangga petani bernama Robinson. Ia minta pula Robinson membantunya mengangkut dan menaikkan sebuah peti besar dan berat katanya berisi pakaian ke dalam kereta itu. Waktu itu rumah Rulloff kosong. Kepada Robinson ia mengatakan bahwa Harriet sedang pergi menjenguk pamannya di Mott’s Corners dengan membawa anaknya “Harriet dan Dorothy di sana beberapa bulan. Ini semua pakaian dan barang-barang untuk mereka”, demikian kata Rulloff sebelum pergi naik kendaraan pinjaman itu.
Beberapa hari kemudian kakak Harriet, William Schutt, mampir di rumah Rulloff yang kosong itu. Ketika mendengar dari Robinson dimana Harriet berada menurut keterangan Rulloff, William Schutt terkejut, “Harriet tak punya paman di Mott's Corners”, katanya.
Segera Schutt melapor kepada polisi.
Rulloff dicari dan ditemukan di pinggir telaga Cayuga dengan kendaraan dan kuda pinjamannya. Peti masih berada dalam kereta, tapi telah kosong. Rulloff ditahan berdasarkan sangkaan telah membunuh istri dan anaknya, kemudian menceburkan mayat mereka ke dalam telaga.
Perkaranya disidangkan dalam bulan Januari tahun 1846. Tapi karena mayat Harriet dan anaknya tak ditemukan, Rulloff hanya dituduh menculik mereka. Di depan sidang pengadilan Rulloff menyajikan cerita yang tak jelas. Katanya Harriet meninggalkan dia dengan membawa anaknya, Dorothy, dan pergi entah ke mana. Juri memutuskan Rulloff bersalah. Dan hakim Balcolm yang mengetuai sidang, menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara.
Selama menjalani hukuman di penjara Auburn, Rulloff berkelakuan baik. Ia diserahi mengurus perpustakaan penjara, banyak membaca di samping mengajar rekan-rekan narapidana. Tahun 1856 keluar dari penjara, tapi tak lama kemudian ditangkap lagi.
Sebab selama Rulloff di penjara, polisi tak tinggal diam dan berhasil mengetahui bahwa seorang lelaki yang menurut laporan mirip sekali dengan Rulloff, pada tahun 1845 sekitar waktu, hilangnya Harriet dan anaknya, dengan berkendaraan kereta datang di Geneva Medical College untuk menjual dua mayat yang satu mayat seorang wanita muda sedangkan lainnya mayat seorang bayi perempuan.
Kedua mayat itu tentu saja sudah lama tiada lagi. Setelah dipotong-potong sebagai bahan pelajaran anatomi, dikuburkan dalam pemakaman tak bernama. Tapi polisi mempunyai dugaan kuat bahwa mereka itu adalah Harriet dan Dorothy.
Di depan hakim kali ini Rulloff membela diri dengan menggunakan hasil-hasil sidang pengadilan yang memeriksa perkaranya 10 tahun yang lalu. Pada waktu itu, katanya, pengadilan mengambil kesimpulan bahwa ia menculik istrinya.
Ini berarti terdapat petunjuk-petunjuk positif bahwa ketika itu istrinya masih hidup. Tapi mengapa kini ia dituduh membunuh istrinya. Pembelaan diri Rulloff begitu meyakinkan hingga tuduhan bahwa ia membunuh Harriet, ditarik kembali. Tetapi ia tetap dianggap bersalah telah membunuh Dorothy, anaknya sendiri. Hukuman gantung dijatuhkan.
Dalam penjara di Ithaca, Rulloff menulis permohonan naik banding. Pembelaan dirinya cukup cemerlang. Tapi lolosnya Rulloff dari penjara karena sebab lain.
Kepala penjara Ithaca, Jacob Jarvis, mempunyai seorang anak laki2 bernama Albert. Pemuda umur 18 tahun ini oleh ayahnya dipekerjakan di penjara sebagai juru kunci. Albert hanya berpendidikan sekolah menengah. Melihat kepandaian Rulloff yang ahli dalam berbagai ilmu, timbul gagasan pada Jacob Jarvis untuk menyuruhnya mengajar bahasa-bahasa, ilmu pengetahuan sosial dan filsafat kepada Albert. Bukankah ini kesibukan yang baik bagi Rulloff sementara menunggu pelaksanaan hukuman gantung?
Dengan senang hati Rulloff memenuhi permintaan itu. Ia mencurahkan segala pengetahuannya kepada Albert Jarvis, tak terkecuali filsafat hidupnya yang menjunjung tinggi kenikmatan diatas segala-galanya. Rulloff berhasil membujuk Albert untuk memberinya wanita dan minuman keras, disamping mengusahakan kesempatan agar ia dapat lari dari penjara.
Dengan giatnya Albert Jarvis memasukkan ke dalam penjara gadis-gadis Ithaca yang “membahayakan kesusilaan masyarakat”. Jika ayahnya, Jacob jarvis sedang pergi, Albert dan gurunya menyelenggarakan pestapora dengan gadis-gadis dan minuman keras yang melimpah.
Sementara itu saat pelaksanaan hukuman gantung atas diri Rulloff makin mendekat, sedangkan reaksi atas permohonannya naik banding belum datang. Maks Rulloff mendesak Albert agar segera memberinya kesempatan lolos dari penjara. Ini terjadi pada tanggal 4 Mei 1857, Albert pura-pura lupa mengunci sel Rulloff, lupa pula menggerendel pintu gerbang tapi tak lupa menyediakan kuda berpelana di suatu tempat yang sepi, tak jauh dari penjara.
Rulloff melarikan diri ke daerah Pennsylvania. Disana ia muncul sebagai Profesor James Nelson, “bekas maha guru Universitas Paris" dan melamar pekerjaan pada Allegheny College, Meadville. Rektor Perguruan Tinggi itu, Dr. Barker, sangat terkesan oleh kualitas-kualitas James Nelson sebagai seorang sarjana. Tapi karena tak ada lowongan ia menasehatkan kepada sang profesor untuk menghubungi Dr. A.B. Richmond yang mempunyai museum kulit-kulit binatang kerang. Dan profesor James Nelson diterima sebagai kurator museum Dr. Richmond itu.
Dalam waktu singkat Rulloff telah berhasil menguasai conchologi (pengetahuan tentang kerang-kerang). Sekilas pandang ia dapat membedakan taenioglossa dan platypoda dari kerang-kerang jenis tectibrankhia, sekalipun banyak ahli hanya dengan susah payah dapat mengenali perbedaan-perbedaannya.
Di samping itu di kota Meadville prof. James Nelson pandai pula mengenali mana gadis-gadis yang mudah diajak bermain cinta. Sekali lagi Rulloff berkubang dalam kehidupan seks liar, sampai salah seorang gadis yang digaulinya, Betty Pryor, mengandung. Prof. Nelson berjanji akan menikahinya. Tapi sebuah peristiwa menyebabkan rencana perkawinan itu batal.
Dalam waktu yang singkat kota Meadville dilanda serentetan pencurian besarkan di malam hari. Sebuah toko emas mendapat giliran pertama. Menyusul kemudian sebuah perusahaan pegadaian. Giliran ketiga menimpa sebuah bank. Sehubungan dengan pencu rian terakhir ini di dekat almari besi yang dibongkar, ditemukan benda milik pencuri: beberapa lembar kertas berisi catatan-catatan tentang ilmu kerang. Dengan sendiri nya polisi mencurigai kurator museum Dr. Richmond. Tetapi sang kurator terhormat, Prof. James Nelson alias Rulloff telah kabur. Ketika itu bulan Januari 1858, ditengah-tengah musim dingin.
Menjelang awal Februari Rulloff yang kini menggunakan nama lain, John Calkins, berjalan sempoyongan masuk James town di New York. Ketika itu suhu udara 20 derajat dibawah 0. Kaki kiri Rulloff beku. Langsung ia menuju sebuah hotel. Di sini ia menjual cerita baru. Katanya ia tersesat ketika pegi berburu dengan sejumlah teman. Ia menyewa sebuah kamar.
Mencari dokter yang dapat merawat kakinya yang beku, kebetulan tak ada. Padahal keadaannya sudah parah. Rulloff lalu pesan gergaji dan pisau operasi pada sebuah apotik. Ketika pemilik apotek datang, Rulloff sedang meneguk segelas whiskey untuk mengurangi rasa nyeri.
“Ya, Allah! Apa yang akan Anda lakukan, Mr Calkins?”, tanya pemilik apotek yang mengantarkan barang pesanan Rullof, “Memotong ibu jari kaki saya sendiri”, jawabnya tenang. Kemudian ia melakukan operasi diri tanpa mengeluh dan dengan sukses.
Mr. Calkins yang kakinya belum sembuh sama sekali, menarik perhatian orang banyak di Jamestown karena jalannya pincang. Sekalipun memakai nama samaran, ia segera dikenali oleh seorang penjaga kuda bernama Murphy, yang pernah bersamaan meringkuk di penjara Auburn. Berita larinya Rulloff dari penjara, dimuat dikoran-koran. Dan Murphy tahu pula bahwa tersedia hadiah $2.000 bagi siapa yang dapat menangkap Rulloff.
Segera Murphy lapor kepada Polisi setempat. Hotel tempat Mr. Calkins alias Edward Rulloff menginap, digrebeg. Tapi ia telah lari. Dilakukan pengejaran: yang berakhir dengan tertangkapnya Rulloff dekat perbatasan Pennsylvania.
Untuk ketiga kalinya Rulloff disekap di penjara Ithaca. Tapi sekarang tidak dibawah pengawasan lunak Albert Jarvis. Namur nasib baik masih melindung Rulloff. Surat permohonannya untuk naik banding berhasil. Keputusan pengadilan yang menyata kan dia bersalah membunuh anaknya perempuan, dicabut kembali. Khalayak Ithaca marah ketika mendengar keputusan ini. Berduyunduyun mereka menyerbu penjara Ithaca seperti serombongan serigala yang ingin menyobek-nyobek mangsanya. Sampai-sampai demi pertimbangan keamanan Rulloff terpaksa diungsikan ke penjara Auburn.
Mau diapakan penjahat besar itu? Pihak kejaksaan coba mengungkap kembali soal ipar Rulloff, Mabel Skhutt yang tiga belas tahun yang lalu meninggal dengan cara yang misterius. Kuburannya digali dan kerangkanya diperiksa oleh ahli toksikologi. Mereka memang menemukan zat racun dalam sisa-sisa mayat Mabel. Tapi karena Mabel telah begitu lama meninggal, sukar untuk mengatakan bahwa kematiannya adalah akibat racun tersebut. Pun seandainya Mabel meninggal akibat racun itu, sukar membuktikan bahwa Rulloff lah yang meracunnya.
Akhirnya Rulloff diserahkan ke pada pihak berwajib di Medville, Pensylvania untuk diusut sehubungan dengan pencurian-pencurian yang ia lakukan di sana dan juga sehubungan dengan persoalan Betty Pryor yang ia nodai sampai mengandung.
Tapi dalam perjalanan ke Meadville, Rulloff berhasil melarikan diri dengan cara yang unik. Kepada para pengawalnya ia mengatakan mau buang air. Setelah lama di kamar kecil ia belum juga keluar, para pengawal menjadi curiga. Pintu W.C. dibuka dengan paksa. Ternyata Rulloff tidak ada lagi. Menurut penyelidikan, ia keluar dari kamar kecil, tidak melalui pintu ataupun jendela, tetapi melalui lobang kotoran yang dibongkarnya.
Entah bagaimana keadaan Rullof ketika ia menyembul keluar dari dalam lubang w.c, yang terang, beberapa minggu kemudian ia muncul di Keene, New Hampshire, dengan pakaian rapi mentereng, muka tercukur halus. Ia mengenakan topi sutera, setelan hitam, kerah putih bersih dan memperkenalkan diri sebagai pendeta Aloysius Trent.
la menyajikan kisah baru. Beberapa minggu yang lalu ia masih mengajar di Oxford, Inggris, katanya. Kedatangannya di Keene adalah untuk mendirikan sebuah sekolah melulu bagi pemuda-pemuda Pendidikan sekolah yang ia rencanakan itu, berasaskan prinsip-prinsip keagamaan.
Penduduk Keene terkesan oleh semangat pengorbanan dan idealisme sang pendeta. Sejumlah warga kota terhormat melancarkan aksi pengumpulan dana untuk membantu karya Reverend Mr. Trent “di ladang Tuhan”.
Ketua panitnya pergumpul dana ialah Hazel Reynolds, seorang janda muda yang kaya karena peninggalan almarhum suaminya. Kerjasama antara sang pendeta dan wanita itu lancar dan baik sekali. Berkat usaha Mrs. Hazel Reynolds yang tak kenal lelah, bantuan mengalir hingga sekolah berhasil didirikan.
Sang pendeta tahu menghargai jasa-jasa Mrs. Reynolds. Rasa terima kashinya ia ucapkan dengan melimpahi janda muda yang kesepian itu dengan cumbu rayu dan cinta birahinya. Perasaan bersalah yang mengganggu hati nurani Mrs, Reynolds, disapu bersih oleh sang pendeta gadungan dengan kutipan dari Kitab Suci bahwa “Tuhan adalah Cinta”.
Tipudaja Rulloff yang menyamar sebagai pendeta, tersinggung keti ka la terbukti memasukkan dana: sekolah kedalam saku pribadinya. Sang pendeta diajukan kemuka pengadilan dan mendapat hukum an penyara 2 tahun.
Ia bukan Rulloff kalau tak berusaha melarikan diri ketika menjalani hukumannya dipenjara New Hampshire. Tapi kali ini ia tak berhasil. Dalam penjara ia mempuinyai banyak sahabat. Diantaranya seorang sesama narapidana bernama Dexter.
Rullof dan Dexter kebetulan dibebaskan dari penjara pada hari dan tanggal yang sama di tahun 1861. Berdua mereka menempuh perjalana ke New York Dezter tinggal bersama ibunya di Brooklyn, sedangkan Rulloff mencari tempat tinggal di Third Avenue, Manhattan. Disana ia menamakan dirinya Profesor Alfred Leurio dan membuka sekolah grafika. Dengan perlengkapan dan alat-alat cetak ia menceburkan diri dalam keahlian memalsu cek dan dokumen-dokumen penting lainnya.
Dexter menggabungkan diri dalam usaha sang profesor. Begitu pula Albert Jarvis. yang dulu meloloskan Rulloff dari penyara Ithaca tiga tahun sebelumnya.
Trio Rulloff Dexter Jarvis mengembangkan usahanya yang membawa keuntungan besar. Spesialisasi mereka tidak hanya meliputi pemalsuan cek dan surat-surat berharga saja tetapi juga pencurian-pencurian. Ketika pecah Perang Sipil di Amerika, banyak sekali permintaan akan bahan-bahan pakaian, jenis apapun juga. Maka komplotan Rulloff menghususkan diri dalam pencurian bahan-bahan tekstil.
Perang Sipil berakhir, tapi Rulloff c.s. meneruskan “usahanya” sebagai pencuri bahan tekstil. Sementara itu ia pun tak melupakan kegemaran intelektualnya. Diwaktu-waktu senggang ia belajar berbagai bahasa Eropa dan Asia sampai akhirnya berhasil menciptakan sebuah universil jauh sebelum bahasa Esperanto ditemukan.
Seperti telah diceritakan pada awal tulisan, setelah mendapat sukses dalam seminar bahasa di New York sebagai pencipta bahasa universil, Rulloff melakukan pencurian dan pembunuhan di gudang firma Halbert. untuk kemudian mengakhiri riwayat hidunya di tiang gantung.
Memang aneh kisah penjahat ini, yang seolah-olah mempunyai kepribadian bermuka dua. Yang satu kejam dan menjijikan, yang lain mempesona. Hal ini masih tercermin pada saat-saat menjelang Rulloff menjalani hukuman gantung. Tak terhitung jumlah kejahatannya. Tapi banyak orang tidak bisa percaya bahwa ia bersalah. Bahkan beberapa orang secara sukarela menawarkan diri untuk menjalani hukuman gantung, menggantikan Rulloff yang mereka minta agar dibebaskan.
Setelah Rulloff meninggal, batok kepalanya diselidiki. Ternyata 0.6 cm lebih tebal dari batok kepala rata-rata orang. Dan otaknya 180 gram lebih berat daripada bobot otak rata-rata orang. Otak itu kemudian diserahkan kepada Bagian Kedokteran Coinell University di Ithaca.
(Charlse Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Batu Sandungan
" ["url"]=> string(81) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835275/kisah-jenius-penjahat-edward-rulloff" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691170074000) } } [9]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835274" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/seorang-di-antara-tiga-korban-ad-20230804052659.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Sepasang imigran Hongaria punya dua anak perempuan. Pada Paskah, mereka merencanakan pesta, tetapi justru yang ditemukan adalah tiga mayat." ["section"]=> object(stdClass)#156 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/seorang-di-antara-tiga-korban-ad-20230804052659.jpg" ["title"]=> string(48) "Seorang di antara Tiga Korban adalah Gadis Model" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:27:12" ["content"]=> string(29931) "
Intisari Plus - Sepasang suami istri imigran Hongaria punya dua anak perempuan cantik, Ethel dan Veronica. Pada hari raya Paskah, mereka merencanakan pesta, tetapi justru yang ditemukan adalah tiga mayat korban pembunuhan, termasuk Veronica.
----------
Joseph dan Mary Gedeon adalah sepasang suami istri imigran dari Hongaria, yang telah lama menetap di Amerika. Mereka mempunyai dua orang anak perempuan yang luar biasa cantik. Yang pertama, Ethel telah menikah dan tinggal dengan suaminya Joseph Kudner di pinggiran kota New York. Yang kedua, Veronica atau “Ronnie”, umur 21 tahun dan masih gadis.
Ronnie menjadi model bagi para pelukis dan juru potret. Ia sangat laku, bukan saja karena kemolekan tubuhnya, tetapi lebih-lebih karena gadis ini tak berkeberatan berpose dalam keadaan telanjang.
Ketika perkara “Gedeon” yang akan diceritakan di bawah ini terjadi, Joseph dan Mary Gedeon telah bercerai. Ronnie tinggal bersama ibunya dalam sebuah apartemen di East 50th Street, sedangkan Joseph Gedeon tinggal di East 34th Street di mana ia mengusahakan sebuah toko bekleding. Walaupun telah bercerai, namun hubungan Joseph dan Mary masih baik. Pada waktu-waktu tertentu, terutama pada hari raya-raya besar, mereka dan kedua anak mereka berkumpul untuk bersantap bersama-sama.
Ketika itu bulan Maret 1937. Joseph dan Mary Gedeon membuat rencana pesta pada hari raya Paskah, Minggu tanggal 28 Maret. Pesta akan berlangsung di rumah Mary. Ronnie dan ibunya akan menyiapkan masakan. Seluruh keluarga menurut rencana akan berkumpul pada jam 3 siang. Tetapi secara tak terduga-duga hari pesta itu menjadi hari duka.
Joseph Gedeon dan Ethel serta Kudner suaminya yang saling bertemu di tengah jalan dan bersama-sama menuju ke rumah Mary dan Ronnie, tidak menjumpai masakan yang telah siap sedia, tetapi tiga mayat korban pembunuhan.
Ronnie terkapar di ranjang, sama sekali tanpa pakaian, sedangkan ibunya menggeletak di kolong. Korban ketiga adalah Frank Byrnes, seorang Inggris setengah usia yang menyewa salah satu kamar apartemen Mrs Gedeon.
Mayat Ronnie dan ibunya tak memperlihatkan luka-luka senjata. Lain halnya dengan mayat Frank Byrnes. Ia berlumuran darah menggeletak di ranjang, hanya berpakaian celana dalam. Tubuhnya sebagian tertutup selimut. Mr Gedeon segera lari ke kantor polisi yang kebetulan letaknya dekat sekali.
Sesaat kemudian apartemen Mrs. Gedeon telah penuh detektif, di bawah pimpinan komandan John A. Lyons yang membawa serta Dr. Thomas Gonzales untuk mengadakan pemeriksaan. Kedatangan mereka disambut oleh anjing piaraan Mrs. Gedeon. Binatang ini mengamuk dan menyalak dengan ganasnya, hingga terpaksa disingkirkan ke lain tempat agar tidak mengganggu jalannya pemeriksaan. “Jika ada orang yang tak dikenalnya, anjing ini selalu demikian”, kata Ethel dengan nada maaf atas terjadinya gangguan ini.
Peristiwa kecil ini dan pernyataan seorang tetangga dekat, bahwa sekitar jam 11 Sabtu malam dari arah apartemen Mrs. Gedeon ia mendengar seorang wanita berteriak tetapi sama sekali tak mendengar anjing menyalak, memungkinkan polisi membuat kesimpulan berikut: Pembunuh pastilah seseorang yang tidak asing di rumah Mrs. Gedeon.
Sementara itu penyelidikan Dr. Gonzales menghasilkan gambaran berikut. Di antara ketiga korban, yang meninggal pertama-tama adalah Mrs. Gedeon. Pukul 11 Sabtu malam sangat cocok dengan hasil penyelidikan dokter mengenai keadaan mayat Mrs. Gedeon.
Ia mati dicekik dengan sepasang tangan yang luar biasa kuat. Sebelum mati lemas, wanita itu mengadakan perlawanan. Di sela-sela kukunya terdapat sebitan-sebitan daging dari penyerangnya. Pelipisnya menunjukkan tanda-tanda dipukul keras sekali dengan tinju, yang tentu membuatnya tak sadar. Tanda-tanda jamahan seksual sama sekali tak terlihat padanya.
Juga Ronnie bukan korban pemerkosaan. Sementara itu tampak jelas bahwa Sabtu malam ia melakukan hubungan kelamin dengan secara sukarela. Ronnie meninggal kira-kira 6 jam setelah kematian ibunya, sekitar jam 6 pagi hari Minggu. Seperti Mrs Gedeon, Ronnie pun mati karena dicekik lehernya.
Sepotong pita perekat terjerat antara rambutnya. Rupanya pembunuh sebetulnya bermaksud memberangus Ronnie dengan pita itu agar tak dapat berteriak-teriak minta tolong. Tapi ini tak jadi ia lakukan. Celana dalamnya terletak dekat kaki ranjang. Otopsi menunjukkan bahwa dalam otak gadis itu banyak terdapat alkohol. Ini memberi kesimpulan bahwa pada waktu meninggal, Ronnie sedang mabuk berat.
Cara kematian Byrnes lain sekali dengan dua korban terdahulu. Rupanya ia sedang tidur ketika diserang. Ia tidak dicekik, tetapi ditusuki kepalanya dengan sebuah benda runcing. Seperti Ronnie, Byrnes pun meninggal sekitar jam 6 Minggu pagi, kemungkinan besar beberapa saat setelah gadis itu. Sebab seandainya pembunuh menyerang Ronnie setelah menganiaya Byrnes senjata runcing tentunya ia akan menodai ranjang Ronnie dengan darah Byrnes. Tidak terdengarnya kegaduhan oleh Byrnes sewaktu pembunuh mencekik Ronnie, mudah diterangkan, yaitu karena Byrnes sangat tuli.
Motif pembunuhan pasti bukan pencurian. Tak ada benda-benda berharga yang dibawa kabur dari kamar Ronnie. Satu-satunya yang hilang hanyalah sebuah jam beker di dapur. Di tempat kejadian selebihnya ditemukan sarung tangan kiri milik pembunuh, tetapi tak ada sidik jarinya. Kecuali itu di lantai dapur ada lapisan sejenis tanah liat rupanya berasal dari telapak sepatu pembunuh. Tanah liat itu dikirim oleh polisi ke laboratorium untuk diselidiki.
Pemeriksaan seluruh apartemen tidak menambah kejelasan. Di kamar mandi terdapat noda-noda darah, yaitu di bak mandi dan pada sebuah handuk yang tergantung di situ. Rupanya pembunuh mencuci tangan setelah menikam Byrnes.
Selebihnya di tempat yang sama ditemukan pakaian yang dikenakan Ronnie menjelang dibunuh: sepatu, kaos kaki, gaun, topi, notes kecil. Semua benda itu terletak dalam keranjang cucian. Rupanya gadis itu dalam keadaan mabuk menanggalkan seluruh pakaiannya di situ, terkecuali celana dalam yang ditemukan dekat ranjang. Atau barangkali pembunuhnyalah yang menaruh semua benda-benda itu di kamar mandi.
Selagi para pemeriksa berada di kamar mandi, tiba-tiba telepon berdering. Seorang lelaki menanyakan Ronnie. Katanya, ia membuat perjanjian sore itu akan ke gereja bersama gadis itu. “Terjadi sesuatu dengan Ronnie”, jawab polisi yang kemudian minta agar lelaki itu segera menuju ke rumah Ronnie.
Sepuluh menit setelah itu, lelaki tersebut sudah datang. Ternyata ia masih muda, kira-kira sebaya dengan Ronnie. Ketika diberitahu polisi tentang apa yang terjadi, pemuda itu terkejut sekali. Ia tak memperlihatkan kesan bersalah. Dengan jujur dan terus terang ia menceritakan hubungannya dengan Ronnie.
Pemuda itu masih bujangan dan bekerja di Wall Street. Ia bukan tunangan Ronnie, tetapi bergaul dengannya secara intim. Sabtu malam Minggu menjelang terjadinya peristiwa, pemuda itu masih mengajak Ronnie ke apartemennya. Di sana makan spaghetti, minum-minum dan sekitar tengah malam bermesra-mesraan di ranjang.
Ronnie takut dimarahi ibunya jika pergi semalam suntuk. Maka pemuda itu mengantarkannya pulang jam 3 pagi. Sebelum berpisah, mereka berjanji akan ke gereja bersama-sama hari berikutnya. "Ya, tingkah laku kami sebetulnya bertentangan dengan penunaian ibadat agama di gereja. Tapi itulah kenyataannya”, pemuda itu menambahkan dengan jujur.
Jam 3 pagi Ronnie pulang. Jam 6 ia telah mati. Rupanya pembunuh telah menunggunya di kamar. Dalam jangka waktu 3 jam antara jam 3 dan 6 pagi, apa yang terjadi antara Ronnie dan pembunuhnya? Barangkali yang terakhir ini berusaha melakukan pemerasan terhadapnya atau minta sesuatu janji? Dengan menyelidiki riwayat hidup Ronnie, barangkali saja pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab.
Gadis ini ternyata pernah kawin, yaitu pada usia 16 tahun. Tetapi bekas suaminya jelas tak mempunyai sangkut paut dengan pembunuhan Ronnie. Telah 4 tahun lelaki itu tak pernah melihat bekas istrinya. Dan pada saat kejadian ia berada ditempat lain.
Dari buku catatan Ronnie, ternyata bahwa ia mempunyai banyak kekasih. Salah seorang di antaranya adalah seorang lelaki yang sudah berkeluarga dan mempunyai 3 orang anak. Lelaki ini pernah mengongkosi Ronnie ketika memerlukan pertolongan dokter karena “kesulitan ginekologis” rupanya istilah lain untuk menyebut kehamilan. Tetapi lelaki inipun dapat memberikan alibi yang meyakinkan kepada polisi.
Lelaki lain yang menurut laporan Mr. Gedeon menaruh minat kepada Ronnie adalah seorang jutawan dari Boston. Jutawan itu bermaksud memungut Ronnie sebagai kekasihnya. Ia akan menempatkannya dalam sebuah apartemen mewah di Park Avenue lengkap dengan mobil segala. Tetapi tawaran ini ditolak oleh Ronnie. Akibatnya jutawan itu marah sekali. Tidak mustahil ia menaruh dendam terhadap Ronnie, karena cintanya tak terbalas.
Mendengar cerita ini, polisi malah menjadi curiga. Diangan-angan Gedeon sendiri terlibat dalam pembunuhan Ronnie dan ibunya. Penyelidikan menunjukkan bahwa Mrs. Gedeon seorang wanita yang penuh gairah. Sebelum bercerai dengan suaminya, wanita itu mempunyai banyak sahabat lelaki. Dan menjelang matinya, Mrs. Gedeon kerap kali terlihat bersama-sama dengan seorang lelaki tampan. Kepada setiap orang, Mrs. Gedeon memperkenalkan sahabatnya ilu sebagai “suami saya yang kedua”. Tidak mustahil Mr. Gedeon menjadi cemburu karenanya.
Polisi teringat pada senjata runcing yang digunakan untuk membunuh Frank Byrnes. Tak mustahil senjata itu besi pengait yang sering digunakan pekerja-pekerja Gedeon di gudang tempat penyimpanan barang-barang dagangannya. Jika benar Gedeon pembunuhnya, maka sudah barang tentu anjing Mary Gedeon tak akan menyalak sewaktu orang itu datang di rumah majikannya. Penggeledahan yang dilakukan polisi di rumah Mr. Gedeon menghasilkan penemuan sebuah pistol yang berisi sejumlah peluru.
Tanggal 1 April Gedeon ditahan polisi, di samping karena menyimpan senjata tanpa izin, juga untuk diinterogasi mengenai kematian Mrs. Gedeon, Ronnie dan Byrnes.
Tentang pistol yang ditemukan di rumahnya, Gedeon mengatakan bahwa senjata itu titipan dari seorang teman. Lebih jauh diperoleh keterangan bahwa Sabtu malam Minggu menjelang terjadinya pembunuhan, Gedeon dari jam 7 sore sampai jam 3 malam berada di sebuah cafe minum-minum bir. Setelah itu langsung pulang ke rumah dan tidur.
Sementara itu perkembangan penyelidikan menyebabkan polisi beranggapan tak perlu menahan Gedeon lebih lama lagi. Tanggal 3 April ia sudah dilepaskan. Perkara pistol yang disimpannya tanpa izin, untuk sementara ditangguhkan pengusutannya.
Perubahan arah penyelidikan itu disebabkan oleh hasil penelitian tanah liat yang ditemukan di tempat pembunuhan. Apa yang mirip tanah liat itu ialah plastisin, bahan yang biasa digunakan oleh para pembuat patung. Dan di rumah Mrs. Gedeon pernah tinggal seorang seniman pembuat patung. Ia mendiami kamar yang belakangan dihuni oleh Frank Byrnes.
Orang itu ialah Robert Irwin, umur 29 tahun. Ia pernah menyewa kamar di apartemen Mrs. Gedeon, yaitu dari bulan Mei sampai Desember tahun 1934. Setelah itu ia pindah tempat tinggal, tapi kadang-kadang masih sering mampir di rumah Mrs. Gedeon.
Robert Irwin ketika indekos di rumah Mrs. Gedeon, jatuh cinta pada Ethel, yang waktu itu belum menikah. Tetapi Ethel tak menaruh perasaan yang sama. Namun sikapnya terhadap Robert tetap baik, ramah. Kadang-kadang ia bahkan mau menemaninya mengunjungi museum-museum setempat.
Ronnie yang suka mencatat pengalaman-pengalaman pribadinya, pernah menulis kalimat berikut tentang Robert Irwin atau “Bobby”: Jelas bahwa Bobby berusaha merebut hati Ethel. Tapi sejauh tergantung dari saya, saya tak rela ia menikah dengan Ethel. “Maksud itu akan saya cegah melalui ibuku”. Bulan berikutnya Ronnie menulis: “Saya takut kepada Bobby. Ia kerap kali datang ke rumah sejak Ethel menolak cintanya".
Robert Irwin pernah mengalami gangguan psikis hingga perlu dirawat di rumah sakit negara di Rockland. Tingkah lakunya kadang-kadang memang aneh. Setelah Ethel menikah misalnya, Irwin sering mengira bahwa wanita idamannya ini telah bercerai dari suaminya. Dan ia berusaha mendekatinya.
Tetapi semua peristiwa itu sudah berlalu. Dan Ethel sudah lama tak mendengar lagi tentang Irwin dan tak dapat memberikan alamatnya ketika polisi menanyakannya.
Komandan Lyons kini menyuruh orang-orangnya mencari data-data tentang Robert Irwin di rumah sakit Rockland yang dulu merawatnya. Di sana mereka memperoleh semua dokumentasi tentang lelaki ini dan diagnosa dokter tentang penyakitnya dan latar belakangnya.
Robert lahir di California. Ketika ibunya melahirkannya, sama sekali tak ada bidan, jangankan dokter yang menolongnya. Tak lama kemudian suaminya meninggalkan wanita malang itu dan anaknya. Riwayat hidup Robert setelah itu berupa rentetan perpindahan dari rumah piatu yang satu ke yang lain. Pendidikan sekolah sewaktu kecil terputus-putus dan tanpa arah, namun prestasi Robert cemerlang.
Ketika Robert berumur 22 tahun, seorang pemahat terkenal di waktu itu, Lorado Taft, melihat bakat-bakatnya sebagai seniman ukir. Ia memberi Robert bukan saja pendidikan di bidang seni, tetapi juga persahabatan dan lingkungan keluarga.
Sebagai seniman Robert mengembangkan sebuah teori aneh, yang ia namakan “visualisasi”. Dengan visualisasi, demikian katanya, ia dapat menghidupkan kembali suatu pengalaman fisik di masa lampau. Setelah melihat suatu sandiwara misalnya, ia kemudian setiap kali dapat “mengundang kembali” pengalaman itu. Dalam visualisasi semua aktor dan aktris akan tampil di depannya hidup-hidup.
Berkat kemampuannya melakukan visualisasi, Irwin percaya akan dapat mencapai puncak prestasi artistik. Sebab dengan “filsafatnya” itu ia dapat menampilkan semua karya-karya besar dari segala zaman di hadapannya.
Dalam mempraktikkan visualisasi, Irwin sering berjam-jam duduk dalam posisi seperti pada praktik juga. Pada saat itu segala-galanya lenyap dari kesadarannya, tetapi ia masih merasakan gerak nafsu seksual.
Hal ini sangat ia sayangkan. Sebab seks dianggapnya dapat mengancam cita-citanya ke alam visualisasi. Anggapan ini pada suatu hari mendorongnya melakukan operasi atas dirinya sendiri untuk menghilangkan kejantanannya. Dalam keadaan berlumuran darah ia diangkut ke rumah sakit.
Di sana ia minta kepada dokter untuk menyelesaikan operasinya. Tetapi permintaan ini tidak dikabulkan. Setelah dijahit luka-lukanya, Robert Irwin dibawa ke rumah sakit jiwa. Di sana ia dirawat beberapa bulan. Kemudian dikirim ke rumah sakit di Rockland. Diagnosa dokter mengatakan bahwa Irwin dihinggapi demensia praecox.
Tahun 1934 ia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. la pergi ke New York dan indekos di rumah Mrs. Gedeon. Cintanya yang tak terbalas oleh Ethel, membuatnya murung sekali. Atas nasehat seorang ahli jiwa ia kembali ke rumah sakit Rockland. Pertengahan tahun 1936 ia dinyatakan sembuh dan boleh keluar dari rumah sakit.
Kini Robert belajar teologi di St. Lawrence University. Di samping itu ia menjadi guru seni patung.
Polisi kini menuju ke Universitas St. Lawrence Robert ternyata bukan lagi mahasiswa teologi. Ia telah dikeluarkan karena menyerang seorang rekan mahasiswa yang tak sengaja merobohkan sebuah patungnya. Jumat tanggal 26 Maret 1937 dua hari sebelum terjadinya pembunuhan ia meninggalkan lingkungan universitas.
Tetapi, untung Robert meninggalkan jejak yang berharga. Seperti Ronnie, ia pun suka membuat catatan harian. Dan buku hariannya ketinggalan di kamarnya di St. Lawrence.
Salah satu kalimat dalam harian itu memberi harapan kepada polisi. Bunyinya sebagai berikut: ”Ya, Tuhan. Betapa aku memuja Ethel. Kesempurnaan. Aku bisa menjadi gila kalau mengingat bahwa Ethel telah menikah dengan lelaki lain. O, seandainya dulu Ronnie dan ibunya tak menghalangi maksudku untuk memperistri Ethel. Aku menjadi sampah tak berharga karenanya. Gadis impianku, tidakkah kau mendengar bisikanku di malam hari ini? Betapa aku benci kepada Ronnie dan ibunya karena perbuatan mereka terhadap diriku.”
Komandan Lyons dan anak buahnya berusaha mengikuti jejak Irwin sejak ia pada hari Jumat meninggalkan St. Lawrence. Pada hari yang sama, demikian hasil penyelidikan polisi, Irwin telah sampai di New York. Di sini menyewa sebuah kamar lengkap dengan perabotnya, letaknya tak jauh dari apartemen Mrs. Gedeon.
Hari berikutnya, Sabtu, Irwin makan dengan seorang gadis terhormat, tunangan seorang rekannya di St. Lawrence University. Selesai makan-makan mereka berdua mengunjungi beberapa museum. Di sana sini Irwin menanyakan lowongan pekerjaan baginya.
Menjelang sore Irwin kelihatan murung. Rupanya tidak hanya tak berhasil mendapatkan pekerjaan, tetapi lebih-lebih karena “cinta yang hilang”. Yang ia maksud rupanya Ethel Gedeon, sekalipun ia tidak menyebut namanya. Jam 6 sore Irwin dan gadis temannya berpisah.
Sejak saat itu sampai hari Minggu pagi, urutan gerak gerik Irwin sukar direkonstruksi. Yang jelas, Minggu pagi ia muncul di apartemen yang disewanya. Dan hari berikutnya, Senin pagi, ia mengakhiri sewa kamarnya. Ia pergi dengan membawa dua koper. Bagasi ini ia titipkan di stasiun kereta api Grand Central.
Dalam salah satu di antara kedua koper tersebut, ditemukan jam beker yang hilang dari dapur Mrs. Gedeon. Di samping itu polisi menemukan pula pasangan sarung tangan yang tertinggal di tempat pembunuhan. Kini tak ada kesangsian lagi siapa pembunuh ketiga korban di Fast 50th Street.
Polisi New York segera menyebarkan publikasi keseluruh penjuru Amerika tentang buronan yang mereka cari. Publikasi itu antara lain berupa surat edaran sebanyak 200.000 lembar dengan foto dan gambaran tentang ciri-ciri Robert Irwin.
Bulan Juni tanggal 25 surat selebaran polisi membawa hasil. Henrietta Kcsianski, seorang pekerja di dapur Hotel Statler di Cleveland, Ohio, melihat gambar Robert Irwin di surat kabar. Mukanya mirip sekali dengan rekan sekerjanya, Robert Murray. Henrietta bertanya kepada Murray apakah ia pernah memakai nama Irwin. Murray menjawab “tidak”. Beberapa menit kemudian Murray Keluar ruangan.
Henrietta memberi tahu manager hotel dan yang terakhir ini segera memberitahukan polisi. Tetapi ketika alat negara datang, Robert Murray alias Robert Irwin telah melarikan diri.
Tetapi lolosny Robert Murray tidak berlangsung lama. Hari berikutnya ia tiba di Khicago dan mendatangi kantor sebuah surat kabar. Disita ia mengakui identitas dan namanya yang sebenarnya. Kepada pemimpin surat kabar Robert Murray alias Irwin menawarkan kisah eksklusif tentang pembunuhan yang ia lakukan di New York. Pemimpin surat kabar itu bersedia membeli ceritanya. Selama kisah Robert Irwin ditulis dan dicetak, surat kabar tersebut merahasiakan pengarangnya. Setelah itu ia menyerahkan Irwin kepada polisi.
Anak buah komandan Lyons cepat-cepat pergi ke Chicago dan membawa pulang Irwin kembali ke New York. Irwin menyatakan tak mau membuka mulut jika tidak didampingi oleh Dr. Wertham yang pernah merawatnya sebagai pasien jiwa, Ahli psikiatri itu segera datang. Setelah berunding dengannya, Irwin menyalakan bersedia memberikan pengakuan seluruhnya tentang terjadinya pembunuhan.
Hari sabtu menjelang Minggu Paskah, katanya ia merasakan siksaan batin karena cintanya yang tak terbalas kepada Ethel. Dalam keadaan putus asa hampir saja ia menceburkan diri disungai East River, yang letaknya tak jauh dari East 50th Street.
Pulang dari East River ia melihat sebatang besi runcing dalam sebuah got. Diambilnya benda itu yang ternyata alat pemecah es. Kini timbul pikiran padanya, bahwa penderitaannya akan berakhir jika ia membunuh Ethel.
“Kesulitan saya adalah karena tekanan-tekanan seksual. Untuk memecahkan masalah ini, saja hanya melihat satu jalan, jaitu dengan membunuh Ethei. Saya jakin bahwa setelah itu saja akan dapat menempatkan diri saya pada tingkat kesempurnaan spiritual. Segala-galanya akan beres”, kata Irwin.
Dengan gagasan itu ia menuju berumah Mrs. Gegeon karena ia beranggapan bahwa Ethel tinggal disitu. Satu-satunya sasaran yang ia incar adalah Ethel. Ternyata rumah kosong. Akhirnya Mrs. Gedeon sampai dirumah. Wanita ini kelihatan capai sekali. Irwin keluar sebentar berjalan-jalan dengan membawa anjing Mrs. Gedeon, Ketika ia kembali Frank Byrnes telah pulang pula. Mrs Gedeon memperkenalkan Irwin dengan Byrnes, yang tak lama kemudian masuk kamarnya dan tidur.
Setelah itu Irwin mendesak-desak Mrs. Gedeon untuk boleh bertemu dengan Ethei. Mrs. Gedeon akhirnya habis kesabarannya. Katanya: “Bob, Ethel tidak ada di sini. Dan sekarang sudah larut malam. Silahkan pergi.”Tidak”, jawab Irwin. “Saya akan tetap di sini sampai berhasil melihat Ethel.” Pada saat itu tiba-tiba Mrs. Gedeon meledak amarahnya dan menyergap Irwin sambil berteriak: “Enyah, kau dari sini. Saya panggilkan Byrnes nanti jika kau tak mau keluar.”.
Setelah itu Irwin menghantam Mrs. Gedeon dan mencekiknya. Mrs. Gedeon mengadakan perlawanan ganas. Irwin baru berani melepaskan, leher Mrs. Gedeon setelah mencekiknya selama 20 menit. Wanita itu jatuh terkulai di lantai. Mayatnya dilempar kan Irwin di bawah kolong tempat tidur.
“Kemudian Ronnie datang”, Robert Irwin melanjutkan ceritanya. Saya berada di kamar lain. Ronnie masuk, kamar mandi. Disitu lama sekali, hingga saya bertanya-tanya apakah ia masih akan keluar. Tiba-tiba ia muncul lagi. Langsung ia saya dekap. Tenggorokannya saya cekam. Ronnie saya bawa ke kamar ibunya.
“Saya tak tahu apa yang mesti saya perbuat dengan Ronnie. Ia hanya saya dekap kuat sekali, tetapi demikian rupa hingga ia masih bisa bernafas. Ia minta jangan saya gauli. sebab ia baru saja dioperasi karena suatu penyakit.
“Akhirnya Ronnie berkata: Bob, saya tahu kau mencari Ethel. Jika kau laksanakan niatmu, kau akan mendapat kesulitan. Kata-kata ini membuat saya naik darah. Ia saya cekik. Sehelai pakaian yang masih menutupi tubuhnya, saya lepaskan.”.
Kemudian Robert menceritakan, bahwa waktu itu bukanlah untuk pertama kalinya ia melihat Ronnie dalam keadaan tanpa pakaian. Namun ia belum pernah melakukan hubungan seks dengannya. “Ronnie menggauli banyak lelaki. Tetapi terhadap saya ia tak menaruh minat. Perhatian nya kepada saya hanyalah sejauh saya berminat terhadap Ethel” Irwin menambahkan.
Ketika Robert menyewa kamar di apartemen Mr. Gedeon, Ronnie yang merasa kesepian pernah memintanya tidur dengannya. Pada lain kesempatan gadis itu melakukan “striptease” di hadapannya seorang diri. Satu kali pernah Irwin memandikannya. Ketika Mrs. Gedeon dan Ethel suatu ketika meninggalkan rumah tiga hari lamanya, Irwin menemui Ronnie seorang diri. Selama itu Ronnie di rumah berkeliaran setengah telanjang.
Tetapi kesemuanya itu tak pernah menyebabkan Irwin menginginkannya. Perhatian pemuda itu hanya terpusat pada Ethel. Ronnie memiliki tubuh yang menggairahkan. Tetapi tingkah lakunya yang terlalu menekankan ke kelaminnya, memuakkan, kata Irwin.
Setelah membunuh Ronnie, Irwin menuju ke kamar Frank Byrnes. Pelipisnya ia tusuk dengan alat pemecah es, “Sebetulnya saya tidak bermaksud membunuhnya”, Irwin menerangkan perbuatannya. “Saya tak pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Saya tak menaruh perasaan dendam apapun terhadapnya. Tetapi Ia melihat saya di rumah Mrs. Gedeon malam itu dan mengetahui nama saya. Maka saya terpaksa menyingkirkannya.
Setelah menamatkan hidup Byrnes, Irwin mengambil jam wekker di dapur, la tak tahu apa yang mendorongnya berbuat demikian. Kemudian ia meninggalkan rumah. Di tengah jalan ingat bahwa salah satu sarung tangannya tertinggal, tetapi ia tak menaruh minat untuk kembali dan mengambilnya. Alat pemecah es ia campakkan entah dimana Mengenai pakaian Ronnie, ia tak ingat lagi ia masukkan ke dalam bakul cucian atau tidak.
Robert Irwin pada akhir keterangannya masih menyinggung “filsafat visualisasi”nya. Katanya: “Saya membunuh Mrs. Gedeon karena saya naik pitam. Ronnie saya bunuh karena terpaksa. Demikian pula Byrnes. Satu-satunya orang yang saya incar hanyalah Ethel, karena saya, cinta dan benci kepadanya.”.
“Saya hanya bermaksud mengambil hidup satu orang. Kini saya akan mengganti hidup para korban saya dengan mengembangkan daya visualisasi yang merupakan langkah lanjutan dari evolusi umat manusia.”.
Dalam sidang pengadilan Irwin dibela oleh pengacara termasyhur Samuel Leibowitz. Berdasarkan masa lampau kliennya dan diagnosa para dokter jiwa, ia menyalakan Robert Irwin sebagai orang gila. Namun jaksa William C. Dodge menentangnya.
Sementara itu dibentuk suatu komisi untuk menyelidiki kesehatan jiwa Irwin. Tetapi yang bersangkutan sama sekali tak mau membantu pekerjaan panitia tersebut Irwin bungkam, tak mau memberi kesaksian apapun juga walaupun ia berhak untuk itu.
Tanggal 25 Maret 1938 panitia mengeluarkan pendapatnya bahwa Irwin sehat menurut hukum. Ia tahu “hakekat dan sifat perbuatan-perbuatannya dan bahwa perbuatan-perbuatan itu salah”.
“Tanggal 8 November Robert Irwin diajukan di depan pengadilan Leibo- witzbertahan pada pembelaan bahwa Robert Irwin hanya melakukan pembunuhan yang tak direncanakan. Jaksa Dodge menerima pendapat ini. Hakim James Wallace menjatuhkan hukuman 139 tahun penjara.
Robert Irwin dimasukkan di penjara Sing Sing, Tapi tak lama kemudian la terpaksa dipindahkan ke lembaga untuk merawat tahanan-tahanan yang sakit jiwa. Kesehatan mentalnya semakin mundur hingga ia tak mungkin lagi dibebaskan.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Ekor Pembunuhan Nona Kwitang
" ["url"]=> string(93) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835274/seorang-di-antara-tiga-korban-adalah-gadis-model" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691170032000) } } [10]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835263" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/informasi-melimpah-yang-membuat-20230804052613.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Edwin L. Burdick tinggal di rumah mewah. Setelah peristiwa tragis, muncul kesaksian yang mengungkapkan kehidupannya yang penuh skandal dan amoralitas." ["section"]=> object(stdClass)#160 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/informasi-melimpah-yang-membuat-20230804052613.jpg" ["title"]=> string(48) "Informasi Melimpah yang Membuat Polisi Kewalahan" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:26:22" ["content"]=> string(24305) "
Intisari Plus - Edwin L. Burdick, usahawan sukses di Buffalo, New York tinggal di sebuah rumah mewah dan menjadi anggota klub-klub sosial terkemuka. Setelah peristiwa tragis, muncul laporan dan kesaksian yang mengungkapkan kehidupannya yang penuh skandal dan amoralitas.
----------
Edwin L. Burdick terkenal di kalangan atas di kota Buffalo, New York. Ia seorang usahawan yang mempunyai karier cukup gemilang.
Burdick memulai usahanya pada usia 18 tahun. Tak lama kemudian ia telah dapat mengambil oper dan memiliki sebuah badan penerbit majalah perdagangan The Roller Mill. Setelah itu ia mendirikan “The Buffalo Envelope Company” yang mempekerjakan tak kurang dari 10 orang, dan memproduksi paling sedikit 400.000 sampul tiap hari.
Dalam resepsi-resepsi kalangan terkemuka ia dan istrinya yang cantik, Alice HulI, hampir selalu diundang. Sebaliknya Mr. dan Mrs. Burdick kerap kali mengadakan pesta ramah tamah di tempat kediaman mereka di Ashland Avenue, sebuah rumah yang mewah dengan 14 kamar. Dan Burdick menjadi anggota berbagai club untuk memperluas hubungan sosial, di antaranya Elmwood Dancing Club dan Red Jacket Golf Club.
Selama 17 tahun suami istri Burdick tampaknya hidup bahagia. Sampai akhirnya pada hari Jumat tanggal 27 Februari 1903 Burdick mati terbunuh di kamarnya.
Begitu berita tentang kematiannya tersiar, banyak laporan, kesaksian-kesaksian, dan perkiraan-perkiraan disampaikan kepada polisi. Hampir semua keterangan-keterangan itu memberi gambaran bahwa kehidupan Burdick dan kawan-kawan di sekelilingnya penuh skandal dan amoralitas.
Koran-koran mengungkapkan aneka macam praktik yang menurut mereka terjadi di belakang pintu Elmwood Dancing Club dengan anggotanya terpilih dan terbatas. Para pria dan wanita yang telah kawin, berkumpul di situ untuk melewatkan waktu dalam suasana romantis, bemesra-mesraan tapi tidak perlu dengan suami atau istri mereka sendiri.
Masuknya informasi-informasi ini barangkali untuk sebagian dirangsang oleh situasi terbunuhnya Edwin L. Burdick.
Mayat Burdick ditemukan pada jam 8.30 pagi oleh ibu mertuanya, Mrs. Maria Hull yang tinggal di rumah menantunya. Segera wanita itu mengundang dokter keluarga untuk memeriksa mayat. Kemudian memberitahukan kejadian pembunuhan itu kepada polisi. Petugas resmi yang datang adalah komandan detektif Patrick V. Cusack, anak buahnya James Sullivan dan seorang dokter, Dr. John Howland.
Burdick hanya memakai hem dan celana dalam. Kepala dan mukanya menunjukkan bekas-bekas penganiayaan berat. Setelah memeriksa mayat, Dr. Howland menyatakan sebagai berikut: “Korban meninggal akibat pukulan pada kepalanya. Senjata pembunuh berupa benda pipih yang cukup berat. Saat kematian kira-kira jam 12 atau 1 malam.”
Beberapa hal dalam kamar tempat terjadinya pembunuhan menarik perhatian polisi. Di atas meja terletak dua gelas yang telah diminum, sebuah botol alkohol setengah kosong dan beberapa potong keju Camembert.
Jas dan celana Burdick terletak di atas sandaran kursi. Dalam sakunya terdapat sebuah revolver terisi peluru sedangkan dalam saku lain ditemukan sebuah dompet, yang padat berisi uang. Polisi memperoleh kesan bahwa Burdick sebelumnya sudah merasa dirinya terancam hingga merasa perlu membawa senjata api.
Dua orang wanita pembantu rumah tangga Burdick, tak dapat memberi keterangan apapun yang berharga bagi polisi. Mereka tak tahu apakah majikannya malam itu menerima tamu di kamarnya. Ditanya soal dua gelas, minuman keras dan keju di atas meja, mereka hanya bisa menjawab, bahwa Burdick rupanya mengambil sendiri makanan itu dari dapur.
Sementara itu polisi, dapat memperoleh keterangan yang berharga dari ibu mertua korban walaupun sedikit saja. Menurut Mrs. Hull adanya gelas dan keju itu berarti bahwa Burdick malam itu pasti menerima tamu. Sebab Burdick tak pernah minum sendirian lagi pula sama sekali tak suka keju Camembert.
“Di mana Mrs, Burdick? Mengapa ia tak ada di rumah?”, tanya detektif Sullivan tanpa pikir panjang bahwa pertanyaan ini bisa menyinggung perasaan Mis. Hull.
Jawab wanita itu, sudah sejak kira-kira dua bulan Mrs. Burdick singgah di Atlantic City dan menginap di hotel Traymore. Mrs. Hull telah memberitahukan kematian Burdick kepada istrinya, yang ia harapkan segera akan datang.
Komandan Cusack tertarik pada jawaban ini, mengingat bahwa mayat Burdick ditemukan hanya dengan pakaian dalam dan di kamar terdapat minuman keras dengan dua gelas saja. Dan pertemuan berduaan ini terjadi di kamar tidur. Maka ia bertanya, mengapa Mrs. Burdick pergi. Apakah ia telah atau berniat bercerai dari suaminya, barangkali karena Burdick mempunyai seorang kekasih.
Mrs. Hull sama sekali tak memperlihatkan perasaan tersinggung mendapat pertanyaan demikian. Ia hanya menjawab tak tahu menahu soal itu dan mempersilahkan para detektif menghubungi pengacara anaknya perempuan, yaitu Mr. Arthur Reed Penneli.
Keyakinan Cusack bahwa dalam perkara pembunuhan itu pasti soal percintaan, semakin kuat karena di seluruh rumah sama sekali tak terdapat tanda-tanda yang menunjuk ke arah pencurian atau perampokan.
Apalagi Cusack menemukan sebuah foto seorang wanita molek umur tiga puluhan dengan tulisan ”Dengan iringan cinta, Gertrude". Di samping foto yang ditemukan dalam laci meja Burdick itu, para detektif menemukan pula guntingan koran terbitan beberapa minggu yang lalu berisi berita tentang perceraian seorang pengusaha kaya di Cleveland, George Warren, dari istrinya. Helen. Berita itu berakhir dengan sebuah kalimat yang menyatakan bahwa Mrs. Warren akan segera pulang ke kota asalnya, Buffalo.
Kini Cusack dan Sullivan kembali ke markas. Di sana segera menghubungi rumah Mr. Arthur Reed Pennell lewat telepon. Istrinya mengatakan bahwa Mr. Pennell sedang ke air terjun Niagara dengan mobilnya yang baru, dan barangkali menginap di Prospect Hotel. Dengan alamat hotel ini polisi kirim telegram agar Pennell pulang secepat mungkin.
Sementara itu Cusack mencari keterangan pada Charles Park, kompanyon Burdick dalam usahanya dengan “Buffalo Envelope Company”. Charles Park dengan nada penuh kejujuran menyatakan bahwa pembunuhan Burdick jelas tak ada sangkut pautnya dengan perusahaannya.
Tentang keadaan keluarga Burdick ia tak tahu banyak karena hubungan antara dia dan keluarga itu bersifat hubungan sebagai kompanyon perusahaan. Hanya ia mendengar bahwa Burdick dan istrinya akhir-akhir ini tampaknya tak begitu baik.
Lebih jauh Park menyatakan bahwa Burdick di kantornya sering mendapat kunjungan dari seorang laki-laki bernama Boland. Burdick pernah mengatakan kepada Park, bahwa hubungannya dengan Boland sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan perusahaan. “Soal pribadi, bahkan sangat pribadi”, Burdick menambahkan.
Dari rumah Park, para detektif mampir sebentar di kantor Dr. Howland untuk menanyakan, apakah pukulan keras yang mematikan Burdick itu, bisa dilakukan oleh seorang wanita. Jawab sang dokter: Tidak mustahil, sebab tulang tengkorak Burdick ternyata tak begitu keras.
Jumat sore Arthur Reed Pennell, pengacara Mrs. Burdick telah sampai di Buffalo dan segera datang di kantor polisi. Orangnya tampan, umur empat puluhan, berkumis, dagunya kokoh. Tingkah lakunya penuh kepercayaan diri, pandai bicara. Bukan tanpa sebab ia dipandang sebagai salah seorang ahli hukum yang paling cemerlang di Buffalo.
“Saya telah mendengar tentang nasib tragis yang menimpa Burdick itu. Bantuan apa yang dapat saya berikan kepada Anda?", tanya Pennell kepada Cusack.
“Dari percakapan dengan Mrs. HulI, saya mendapat kesan bahwa hubungan antara Burdick dengan istrinya akhir-akhir ini begitu baik. Tentang soal ini, Mrs. HulI menyarankan agar saya mencari keterangan dari Anda?”, Cusack menjawab.
“Baiklah. Tapi sebetulnya saya ragu, apakah persoalan-persoalan pribadi yang dipertanyakan Mrs. Burdick kepada saya sebagai pengacaranya, dapat begitu saja saya buka di hadapan Anda”, kata Pennell.
“Persoalannya bisa kita pandang dari segi lain”, Cusack menjelaskan, “Kiranya anda tak akan berkeberatan untuk memberi keterangan apakah dalam perkara pembunuhan ini ada soal wanita".
Argumen ini rupanya berhasil meyakinkan Pennell. “Memang", kata pengacara itu. “Demi tegaknya keadilan dan lancarnya pengusutan perkara pembunuhan ini, baiklah saya katakan, bahwa Mrs. Burdick minta jasa saya agar dapat bercerai dari suaminya atas dasar-dasar hukum. Saya bisa menyebut nama 3 orang wanita yang berhubungan dengan Burdick”.
“Apakah salah satu di antaranya bernama Gertrude?”
“Anda telah tahu?”, kata Pennell keheranan. “Memang. Nama lengkapnya Gertrude Paine, seorang janda yang telah bercerai dari suaminya. Ia piaraan Burdick".
“Lalu siapa itu Helen Warren dari Cleveland?"
Pennell lebih terheran lagi, “Banyak juga yang telah anda ketahui! Ya, dia juga. Dan karena Burdick- lah wanita itu bercerai dari suaminya”.
Lalu Pennell menambahkan nama wanita ketiga, Marian Hutchinson yang biasa membantu Burdick pada perusahaan sampul. Tapi di mana alamat ketiga wanita itu, Pennell tidak tahu. Tetapi ia yakin, mereka pasti masih di Buffalo.
“Mereka akan saya temukan”, Cusack menggumam, untuk kemudian berpamitan dari Pennell sambil mengucapkan terima kasih.
Memang, hari berikutnya polisi telah menemukan alamat wanita-wanita itu — setidak-tidaknya dua di antara mereka, ialah Mrs. Helen Warren dan Mrs. Gertrude Paine.
Melihat Mrs. Warren para detektif terpesona. Selera Burdick sungguh tidak murahan sejauh menyangkut segi fisik wanita pilihannya. Mrs. Helen yang berambut keemasan dan bertubuh mungil itu, memang memiliki kecantikan yang luar biasa. Demikian pula Mrs. Gertrude Paine, yang tinggal dalam sebuah apartemen, tak jauh dari hotel tempat Mrs. Warren menginap.
Tetapi kedua-duanya menyangkal keras sangkaan polisi terhadap diri mereka. Cusack dan Sullivan dicaci maki habis-habisan oleh kedua wanita itu. Mereka menyangkal pernah menjadi kekasih Burdick. Tetapi yang lebih penting lagi, baik Mrs. Helen maupun Mrs. Gertrude dapat memberikan alibi yang tak tergoyahkan. Sejumlah saksi menguatkan pernyataan mereka, bahwa pada saat pembunuhan Burdick, mereka berada di tempat yang letaknya beberapa kilometer dari Buffalo menghadiri sebuah party.
Masih ada satu harapan, barang kali wanita yang bernama Marian Hutchinson dapat memberi penjelasan tentang pembunuhan Burdick. Kebetulan hari itu juga — Sabtu, sehari setelah terjadinya pembununuhan — datang seorang bernama Henry Jeddo di kantcr polisi. Pekerjaannya menyewakan kereta yang ditarik kuda itu. Ia mengatakan bahwa pada hari Jumat malam, keretanya ditumpangi seorang wanita yang pernah bekerja pada Buffalo Envelope Company dan ciri-cirinya cocok dengan gambaran yang diberikan oleh Arthur Reed Pennell kepada polisi. Ia menyatakan kesediaannya membantu polisi mencarinya.
Sementara itu lebih banyak informasi-informasi yang masuk di markas polisi. Lebih-lebih setelah pada hari Sabtu acara-acar memuat berbagai skandal yang pernah terjadi dj Elmwood Dancing Club dan pada hari Minggu para pendeta di gereja mengucapkan khotbah yang berapi-api tentang kebejatan moral kaum lelaki di kota Buffalo.
Akibatnya, pada hari Senin kantor Cusack kebanjiran laporan yang berisi aneka macam cerita tentang penyelewengan suami A atau istri B. Sampai Cusack mengeluh karena kantornya menjadi seperti kantor penasehat perkawinan saja. Namun sebagian besar cerita-cerita itu banyak sedikit ada hubungannya dengan tingkah laku almarhum Burdick.
Dalam pada itu Mrs. Burdick telah kembali dari Atlantic City. Wanita yang baru saja menjadi janda itu, perawakannya ramping, bahkan agak kurus. Sepasang mata berwarna hitam bersinar dari wajahnya yang cantik. Mrs. Burdick mengenakan pakaian hitam tanda berkabung. Ia menerima Cusack dan Sullivan dengan sikap serius dan muka sedih yang membuat kedua petugas itu merasa terharu.
“Saya dengan senang hati ingin membantu Anda. Tetapi lebih baik lain kali, jika hati saya sudah agak reda. Hubungi saja Mr. Pennell. Keterangan-keterangan yang dapat saya berikan kepada Anda, dia pun dapat memberikannya. Dan ia pasti bersedia memberi segala bantuan”.
Sementara itu, pada hari Senin itu juga, pemilik kereta berkuda, Henry Jeddo bersama dengan seorang anak buah Cusack mencari Marian Hutchinson di pinggiran kota Buffalo. Dan' berhasil.
Seperti halnya dengan Mrs, Helen dan Gertrude, Marian Hutchinson pun seorang wanita cantik. Rambutnya merah, tubuhya padat, berisi, kepribadiannya memancarkan kewanitaan buas yang penuh gairah.
Kata-kata pertama yang diucap oleh wanita itu di hadapan Cusack adalah dampratan ganas karena merasa terhina ditahan seperti seorang penjahat. Tetapi polisi berhasil meredakannya. Dan Marian Hutchinson memberikan keterangan dengan jujur.
Memang ia pernah bekerja pada Buffalo Envelope Company, katanya. Tetapi kemudian ia keluar setelah berhasil mengumpulkan sejumlah modal. Dengan uang yang ia kumpulkan dengan susah payah itu, ia bermaksud menempuh karir sebagai penjanji.
Kadang ia memang berhubungan dengan Burdick sewaktu bekerja di perusahaannya. Tetapi hubungan itu sama sekali tak mempunyai corak romantis. Pertemuan-pertemuannya dengan Burdick selalu berlangsung di tempat terbuka, dihadapan umum.
Desas-desus seolah-olah ia pernah menerima bantuan finansial dari Burdick adalah omong kosong. Ia memiliki cukup harta dan tak memerlukan bantuan dari siapa pun juga.
Memang, pada hari Jumat malam ia menumpang kereta Henry Jeddo, “Adakah undang-undang yang melarang seseorang naik kereta ke Ashland Avenue?”, ia bertanya dengan nada mengejek. “Ketika itu saya dan rekan-rekan saya menjanji di rumah seorang teman. Jam satu malam saya telah sampai di rumah. Saya bisa mengajukan sekarang suami-istri sebagai saksi mata. Toh bukan salah saya jika latihan nyanyi itu berlangsung di sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari rumah Burdick.
Lalu wanita itu menyebutkan sejumlah nama orang-orang yang dapat diminta kesaksiannya tentang apa yang ia katakan kepada polisi. Menjelang sore jelaslah sudah bahwa alibi yang diajukan oleh Marian Hutchinson tak bisa diganggu gugat.
Selasa berlalu tanpa dipanen keterangan-keterangan baru yang berharga. Tapi Rabu sore jalannya pengusutan mengalami perkembangan baru berkat informasi dari Charles Parks kompanyon Burdick yang telah disebutkan di atas.
Ia menelepon polisi. Katanya: “Anda masih ingat itu orang bersama Boland yang beberapa kali mengunjungi Burdick di kantonya? Nah, kini saya tahu siapa dia sebenarnya. Sore ini di kantor datang beberapa cek dari bank, yaitu cek Burdick dari bulan Februari. Sekalipun tak berhak, saya memberanikan diri untuk memeriksanya. Salah satu cek itu, dikeluarkan tiga minggu yang lalu dan dialamatkan kepada Agen Detektif Boland, dengan catatan, untuk pembayaran penuh jasa-jasa yang telah diberikan. Cek itu dikirimkan ke New York City Bank".
Informasi ini menimbulkan teka-teki di benak komandan Cusack. Menurut keterangan-keterangan yang diperoleh sampai kini. Burdick tampaknya lebih cocok menjadi sasaran penyelidikan seorang detektif. Tetapi menurut informasi dari Charles Parks, Burdick malahan menyewa detektif untuk menyelidiki sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?
Segera Cusack kirim kawat ke Broadway 220, alamat Boland Detective Agency, untuk minta keterangan tentang jasa yang diminta almarhum Burdick. Jawaban dengan telegram datang hari berikutnya. Bunyinya: Burdick minta penyelidikan alasan-alasan untuk perceraian, harap kirim orang ke New York untuk peroleh detail-detail.
Kamis malam detektif Sullivan telah sampai di New York dan hari berikutnya langsung menemui James Boland. Sullivan merasa seperti seorang petinju yang mendapat pukulan knock out ketika mendengar keterangan dari detektif swasta itu. Keterangan itu menghancurkan semua teori yang ia susun dengan Cusack sampai saat itu.
Lebih dari tiga bulan yang lalu demikian Boland. “Burdick datang di kantor saya membawa seberkas surat-surat yang ia temukan di rumahnya. Surat-surat itu tertuju kepada istrinya dan berasal dari seorang ahli hukum di Buffalo bernama Arthur Reed Pennell. Dari surat-surat itu jelas bahwa sejak beberapa waktu Pennel dan Mrs. Burdick menjaiin hubungan cinta gelap. Burdick minta kepada saya untuk mencari bukti-bukti yang kokoh tentang hal itu agar ia dapat menceraikan istrinya'’.
Boland berhasil mengumpulkan data-data tanpa banyak kesukaran. Alice Hull Burdick memang kekasih Pennell. Pernah Boland menguntit Pennell dan Alice sampai ke sarang percintaan mereka di Buffalo. Kira-kira akhir Desember 1902, dua bulan sebelum terbunuh, Burdick secara terang-terangan menuduh istrinya berzina. Inilah sebabnya maka Mrs. Burdick lalu pergi ke Atlantik City.
Burdick minta agar Boland meneruskan menguntit istrinya. Hasilnya sama. Beberapa kali Boland membayangi perjalanan Mrs. Burdick ke New York, di mana wanita Itu berkencan dengan Pennell di beberapa hotel.
Pada suatu malam Boland berdiri di dekat Pennell yang sedang pesan minuman di sebuah bar. Dalam keadaan mabuk, Pennell berkata kepada pelayan bar, “Ada seorang musuh yang hendak kubunuh di Buffalo; biar aku kemudian digantung”.
Hal ini diberitahukan oleh Boland kepada Burdick, yang sejak itu senantiasa membawa senjata.
Beberapa minggu yang lalu, Burdick kirim cek kepada Boland, dengan sepucuk surat yang menyatakan bahwa ia (Burdick) sudah siap untuk menyerahkan seluruh persoalan kepada pengacaranya. Istri saya dan Pennell sudah mengetahui maksud saya”, Burdick mengakhiri suratnya.
Informasi ini membuat persoalan menjadi jelas. Rupanya Pennell sebagai seorang pengacara terhormat di Buffalo, takut namanya menjadi tercemar di mata umum jika Burdick melaksanakan niatnya. Inilah yang mendorong Pennell untuk mendatangi Burdick, entah dengan maksud agar Burdick mengurungkan proses perceraian dengan istrinya, entah untuk membunuhnya. Bagaimana pun berakhir dengan terbunuhnya Burdick.
Untuk mengelabui polisi, Pennell rupanya lalu meletakkan botol minuman keras, dua gelas dan keju Camembert tanpa mengetahui bahwa Burdick sama sekali tak suka makan keju jenis itu.
Untuk lebih menyesatkan penyelidikan polisi, kemudian Pennell masih menyebutkan nama-nama tiga orang wanita sambil memberi kesan kepada polisj bahwa wanita-wanita itu mempunyai hubungan gelap dengan Burdick.
Sullivan segera mengawatkan informasi baru ini kepada komandannya, Cusack. Sementara itu yang terakhir ini telah menyelidiki Pennell dan menanyakan alibi. Ternyata alibi yang dikemukakan pengacara itu amat lemah. Satu-satunya saksi yang menyatakan bahwa Pennell pada saat kejadian berada di tempat lain, nanyalah istrinya sendiri yang tampak gugup.
Cusack sebenarnya bermaksud seketika itu juga menahan Pennell. Tapi ia dicegah oleh atasannya yang belum begitu yakin akan keterlibatan pengacara terhormat itu dalam pem- bunuhan Burdick.
Atasan yang masih ragu-ragu itu, berjanji akan menjatuhkan keputusannya pada hari Senin 9 Maret. Dan keputusan itu berbunyi: Setuju Pennell ditahan.
Cusack dan Sullilvan buru-buru pergi ke kantor sang pengacara. Ternyata ia tidak ada. Di rumahnya juga tak ditemukan.
Ternyata satu jam sebelum Cusack dan Sullivan datang, Arthur Reed Pennell dan istrinya pergi naik mobil mereka yang baru. Menurut saksi-saksi mata, ketika sampai di sebuah tempat dengan jurang di sisi jalan, mobil Pennell menyerong ke kanan denga tajamanya dan mencebur ke dalam jurang Gehres Quarry. Suami-istri Pennell mati seketika.
Bahwa kejadian ini adalah peristiwa bunuh diri, tampaknya tak dapat diragukan. Pengacara terhormat itu rupanya merasa tak kuat menanggung aib jika percintaannya dengan Mrs. Burdick sampai tersingkap lewat pengadilan.
Beberapa orang saksi, di bawah sumpah menyatakan bahwa sehari sebelum terjadjnya “keceakaan”, mereka melihat Pennell berjalan kaki, menyelidiki tempat “kecelakaan" itu dengan teliti. Dan dalam saku Pennell ditemukan guntingan halaman dari majalah-majalah —semuanya memuat sajak-sajak tentang bunuh diri.
Sebuah kalimat dari salah satu di antara sajak-sajak itu dicoret tebal bawahnya. Kalimat itu berbunyi: Tertegun sering aku, melihat lelaki kuat dan wanita-wanita lembut hati dengan hati tabah tanpa ketakutan menyongsong Maut Agung.
(Charles Boswell & Lewis Thomson)
Baca Juga: Kaleng 'Hamil'
" ["url"]=> string(93) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835263/informasi-melimpah-yang-membuat-polisi-kewalahan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169982000) } } [11]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835253" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/kitty-terjerat-oleh-ramalanjpg-20230804052533.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Pemilik toko mode menghilang dan kemudian ditemukan tewas di tengah jalan. Detektif Cockran mulai menyelidiki hubungan dengan lingkungan sekitarnya." ["section"]=> object(stdClass)#164 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/kitty-terjerat-oleh-ramalanjpg-20230804052533.jpg" ["title"]=> string(35) "Kitty Terjerat oleh Ramalan-Ramalan" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:25:41" ["content"]=> string(24386) "
Intisari Plus - Pemilik toko mode di Syndicate Block menghilang dan kemudian ditemukan tewas dengan luka tembak di tengah jalan. Detektif Cockran dan rekan mulai menyelidiki hubungan antara korban dengan lingkungan sekitarnya.
----------
Toko mode di Syndicate Block di kota Minneapolis, Minnesota, dengan model-model pakaiannya yang didatangkan langsung dari New York dan Paris, adalah sebuah alamat yang terkenal bagi wanita-wanita dan gadis-gadis di kota itu.
Bagi kaum lelaki di daerah sekitar, toko mode itu pun mempunyai daya tarik besar. Pemiliknya, Catherine Ging, umur 29 tahun, adalah seorang wanita cantik dengan ukuran tubuh yang sempurna. Setiap hari kecuali hari Minggu, ia kelihatan berjalan pulang pergi, dari tempat tinggalnya di Hennepin Avenue ke tokonya di Syndicate Block. Catherine atau “Kitty” yang berambut hitam dan bermata abu-abu, berjalan dengan genit dan anggunnya dalam pakaian sutra, satin, atau beludru dengan gaya potongan yang lebih menekankan keindahan garis-garis tubuhnya.
Kitty mendiami kamar di Apartemen Ozark dengan keponakaanya, Mary Louise yang masih umur belasan tahun. Bagi gadis remaja ini Kitty bertindak sebagai pengasuh — walaupun kemudian ternyata bahwa ia bukan seseorang yang memiliki sifat-sifat ideal untuk tugas itu.
Kitty menjadi bahan percakapan orang karena kebebasan pergaulannya dengan seorang lelaki tampan dan kaya bernama Harry Hayward — katanya tunangannya. Ayah Harry, yaitu V.W. Hayward, adalah pemilik Apartemen Ozark. Oleh ayahnya, Harry diserahi tugas mengurusi segala soal sewa-menyewa kamar-kamar apartemen tersebut.
Harry tinggal di situ juga. Kamarnya terletak di tingkat 3, tak jauh dari kamar Kitty yang terletak satu tingkat lebih tinggi. Jika Marie Louise telah tidur, Kitty tiap malam menuruni tangga menuju ke kamar “tunangannya”. Di sana melewatkan waktu bersamanya seperti sepasang mempelai yang sedang berbulan madu. Demikian percakapan yang tersiar di antara para penghuni Apartemen Ozark.
Tetapi Senin malam tanggal 3 Desember tahun 1894 itu Kitty dan Harry Hayward tidak melewatkan waktu bersama-sama paling tidak selama beberapa jam. Menjelang sore Kitty pesan kereta berkuda kepada George Goosman. Lelaki ini kenal baik dengan Kitty dan Hayward yang kerap kali menyewa keretanya. Sesuai dengan pesanan, tepat jam 8 malam Goosman telah siap dengan keretanya di depan West Hotel, di mana Kitty malam itu makan. Kepada langganan setia ini Goosman memberikan salah satu kudanya yang terbaik bernama Lucy.
Malam itu Kitty mengenakan gaun biru dan topi yang terbuat dari kulit berbulu. Goosman heran ketika melihat Kitty hanya seorang diri saja — sedangkan biasanya selalu ditemani oleh Hayward. Tetapi sebagai orang yang tahu sopan santun ia tidak mengomentari apa-apa.
Namun kemudian nama Hayward toh disinggung oleh Kitty sendiri. Sebelum berangkat, wanita itu berpesan: “Mr. Goosman, jika Anda nanti bertemu dengan Mr. Hayward jangan sekali-kali menyebut-nyebut kepergian saya malam ini”. “Tentu saja tidak, Miss Ging”, jawab Goosman patuh. “Saya dapat mempercayai Anda, bukan?”, kata wanita itu lebih lanjut. “Seratus persen”, jawab Goosman.
Kereta pergi. Goosman pulang sambil bertanya-tanya dalam hati, mengapa kali ini Miss Kitty Ging pergi seorang diri. Barangkali ia mempunyai kekasih lain dan tidak menghendaki Hayward mengetahuinya? Goosman sukar membuang pertanyaan ini dari benaknya.
Dua jam berlalu dan terjadilah sesuatu yang memaksa Goosman untuk melibatkan diri dalam persoalan Kitty. Jam 10 malam kereta dan kuda penariknya, Lucy, kembali ke kandang tanpa penumpangnya. Aneh benar, pikir Goosman. Keheranan ini berubah menjadi perasaan panik ketika lelaki itu memeriksa bagian dalam kereta. Tempat duduk, permadani dan bagian dalam atap kereta berlumur darah. Segera Goosman lari untuk melapor kepada polisi.
Thomas Cockran yang sedang bertugas di markas besar kepolisian Minneapolis, sangat tertarik pada laporan Goosman. Sebab sebelum itu baru saja masuk laporan yang tampaknya ada hubungannya.
Laporan yang lebih dulu masuk, datang dari Erhardt seorang petugas stasiun yang mengurusi bagasi. Ketika pulang kerja, di jalan ia berpapasan dengan sebuah kereta yang berjalan kencang sekali. Pengendaranya seorang lelaki.
Kira-kira 20 meter dari tempat ia berpapasan dengan kereta itu, Erhardt menemukan seorang wanita, terkapar di tengah jalan, berlumuran darah. Wanita itu telah tidak bernyawa, tetapi suhu tubuhnya masih hangat. Barangkali ia terlindas kereta tersebut di atas. Tetapi setelah diperiksa oleh dokter di Minneapolis, ternyata wanita itu mati akibat tembakan peluru pistol 38.
Segera detektif Cockran mengajak Goosman melihat mayat tersebut. Memang, ternyata mayat Miss Catherine Ging. Berdasarkan laporan Erhardt dan Goosman, detektif Cockran membuat kesimpulan berikut.
Setelah pergi naik kereta jam 8 malam, di tengah jalan Miss Kitty Ging mengajak atau memperbolehkan seorang lelaki naik keretanya. Lelaki ini kemudian menembak wanita malang itu, melemparkan mayatnya di tengah jalan, lalu melarikan diri. Tinggal kini menjawab dua pertanyaan berikut: Siapa pembunuhnya dan apa alasan perbuatannya itu?
Orang-orang yang terdekat dengan almarhumah, yaitu Harry Harward atau Mary Louise, barangkali dapat menolong memecahkan soal ini. Maka detektif Cockran dengan ditemani oleh rekannya, Holmberg, menuju ke Apartemen Ozark.
Jam 10 malam mereka sampai di sana dan diterima olah penjaga pintu seorang lelaki setengah umur dengan air muka seperti orang melamun. Namanya Claus Blixt.
Ditanya di mana kamar Hayward dan Miss Ging, Claus Blixt menjawab: “Saya kira kedua-duanya tidak ada. Saya tidak melihat Miss Ging lagi sejak ia pergi ke tokonya tadi pagi dan Mr. Hayward sejak jam 18.30 sore tadi keluar”.
“Kami tahu bahwa Miss Ging tak ada di rumah. Sebab kini ia di kamar mayat — korban pembunuhan. Itulah sebabnya maka kami ingin bertemu dengan Hayward.
Claus Blixt tampak terkejut mendengar berita ini. Jawabnya lagi sambil geleng-geleng kepala, seolah-olah tak dapat percaya tentang apa yang terjadi: “Saya tak tahu di mana Mr. Hayward. Yang jelas, ketika ia pergi sore tadi, ia mengenakan setelan bagus, rupanya hendak menghadiri suatu pesta.”
Para detektif memeriksa kamar Hayward tanpa menemukan penghuninya atau sesuatu petunjuk yang dapat dihubungkan dengan pembunuhan. Setelah itu mereka menuju ke kamar Kitty, di mana mereka menjumpai keponakannya, Mary Louise.
Setelah puas menangis dan berhasil menguasai diri, gadis ini memberikan keterangan berikut kepada polisi.
Sore itu Kitty mengatakan akan pulang malam. Sebab ia mau makan bersama dengan Harry Hayward di West Hotel. Kitty mengatakan akan berdandan di toko modenya. Rupanya Hayward akan menjemputnya di toko mode itu juga, kira-kira jam 18.30. Selanjutnya Mary Louise menyatakan, bahwa Kitty tak pernah memperlihatkan minat kepada lelaki lain, karena ia telah bertunangan dengan Hayward.
Tak pernah pula Kitty naik kereta malam-malam seorang diri saja kecuali jika ia hendak mengunjungi dukun peramalnya. “Bibi saya seorang wanita yang cerdas. Tetapi ia terlalu percaya pada tahayul. Berkali-kali ia saya peringatkan, tetapi tanpa hasil.” Mary Louise menambahkan.
Kata-kata Mary Louise cocok dengan apa yang ditemukan polisi di almari bukunya, yang ternyata penuh buku-buku tentang astrologi, ramal telapak tangan, ramal angka, spiritualisme dan sebagainya.
Sementara itu para detektif menemukan sesuatu yang berharga bagi penyelidikan mereka, yaitu surat-surat dan tanda terima dari perusahaan asuransi jiwa.
Dari surat-surat itu ternyata bahwa Kitty dalam bulan September — tiga bulan sebelum mati terbunuh — mengasuransikan dirinya dengan polis seharga $10.000. Dan polis asuransi jiwa ini mencantumkan nama Harry Hayward sebagai pewaris. Detektif Cockran dan Holmberg sependapat bahwa Harry Hayward harus diselidiki dengan teliti.
Baru saja kedua detektif keluar dari kamar Kitty, mereka bertemu dengan Hayward yang sedang menuju ke kamar almarhumah untuk menghibur Mary Louise. Hayward yang berkulit kelam, masih mengenakan pakaian pesta. la tampak sedih, suaranya parau. Katanya, ia baru saja mendengar tentang kematian Kitty, yaitu dari penjaga pintu, Claus Blixt.
“Saya sungguh tak dapat membayangkan seseorang yang bisa mempunyai maksud jahat terhadap Kitty. Kecuali jika motifnya perampasan atau pencurian.” Kata Hayward. Lagi ia menanyakan kepada polisi, apakah mereka menemukan uang $2.000 dalam tas Kitty. Sebab, kata Hayward, sore itu baru saja ia (=Hayward) memberikan uang tunai sebanyak itu kepada tunangannya.
Polisi menjawab “tidak”, tetapi menambahkan bahwa motif perampasan tidak begitu masuk akal karena barang-baang perhiasan Kitty tak ada satupun yang diambil.
“Barangkali pembunuh tak mau mengambil perhiasan-perhiasan itu karena barang-barang semacam itu mudah ditelusur oleh polisi”, Hayward menjelaskan teorinya.
Setelah itu Hayward memberikan keterangan yang mendetail tentang kegiatan Kitty. Selama bulan-bulan terakhir Kitty terus memperluas usahanya. Tokonya diperbesar dengan bagian-bagian baru yang menjual topi dan mantel-mantel wanita. Untuk ini ia meminjam uang dari Hayward. Bulan September yang lalu Hayward meminjaminya modal sebanyak $7.500, lalu yang terakhir sebanyak $2.000. Bukti tanda penerimaannya diperlihatkan oleh Hayward kepada polisi.
Polisi lalu bertanya soal asuransi sebanyak $10.000. Dijawab oleh Hayward: “Ya, itu kehendak Kitty kepada saya. Dengan asuransi itu Kitty bermaksud hendak mengamankan uang yang saya pinjamkan kepadanya. Agar jangan sampai tak kembali jika terjadi sesuatu. Ia memang seorang pengusaha yang penuh perhitungan”.
Selanjutnya Hayward mengungkapkan kelemahan-kelemahan Kitty. Yaitu ia terlalu percaya kepada orang dan tak bisa merahasiakan bila ia mempunyai banyak uang. Di samping itu, wanita itu dihinggapi oleh kepercayaan tahayul kepada dukun-dukun dan peramal-peramal. Hayward menambahkan bahwa ia tak berhasil mencegah kehendak Kitty untuk mengunjungi dukun-dukunnya.
“Barangkali teori Anda, benar juga, Mr. Hayward”, kata detektif Cockran. “Kitty secara sembunyi-sembunyi pergi, barangkali karena ia bermaksud mengunjungi dukunnya. Agar tidak ketahuan oleh Anda. Barangkali dukunnya tahu bahwa ia membawa uang sebanyak itu, lalu membunuhnya dan merampas uang itu.”
Akhirnya detektif Cockran menanyakan, di mana Hayward berada pada saat kejadian.
Alibi yang diberikannya sempurna. Memang dari jam 18.30 sampai jam 20.00 tanggal 3 Desember 1894 itu ia makan malam bersama Kitty di West Hotel. Tetapi setelah itu ia berpisah darinya. Hayward lalu melihat sandiwara di Grand Opera House, bersama dengan Miss Estelle Peters. Kitty tidak cemburu, karena tahu bahwa Hayward pergi dengan Miss Estelle semata-mata untuk memenuhi kewajiban sosial. Sebab ayah gadis ini, seorang pejabat legislatif Minnesota, telah memberi banyak jasa kepada Hayward.
Setelah dicek oleh polisi, semua keterangan Hayward ternyata benar. Miss Estelle yang ditemui oleh para detektif di rumah ayahnya, Mr. Peters, menceritakan segala peristiwa sejak Mr. Hayward bersamanya pergi ke Grand Opera House pada jam 20.15 malam. Sampai jam 23.15 menjelang tengah malam, secara harfiah Hayward tak pernah lepas dari sisinya. Mengingat kenyataan bahwa Miss Kitty Ging terbunuh sekitar jam 21.00 malam di suatu tempat kira-kira 6 kilometer dari gedung teater, maka adalah tak mungkin bahwa Hayward pembunuhnya.
Sementara itu pers menyoroti dengan tajamnya soal pembunuhan Miss Kitty. Sementara surat kabar melukiskannya sebagai seorang wanita pengusaha yang cakap dan tanpa cela. Sebagian lagi menggambarkannya sebagai seorang wanita yang kebajikan hidupnya sangat diragukan. Bagaimanapun juga semua surat kabar sepaham, bahwa teka-teki pembunuhan ini harus segera dipecahkan. Jika perlu dengan mengerahkan detektif negara bagian, detektif federal atau swasta.
Suara pers ini oleh walikota Minneapolis, yaitu William Eustis, dianggap sebagai suatu tantangan yang tertuju pada dirinya.
Maka Eustis mengumumkan bahwa ia akan menangani secara khusus soal ini. Ia menyelenggarakan markas istimewa di salah satu kamar di West Hotel. Dalam sebuah seruan terbuka, ia mengundang setiap orang yang dapat memberikan sesuatu informasi untuk datang melapor.
Salah satu informasi yang diterima oleh biro khusus itu menyangkut seorang lelaki yang sangat menginginkan Kitty. Lelaki itu bernama Arthur Apperson, pekerjaan tukang emas.
Tetapi cintanya yang berkobar-kobar tidak mendapatkan balasan yang memadai dari Kitty. Dan setelah Hayward muncul — kira-kira satu tahun kemudian — Arthur ditinggalkan sama sekali oleh gadis pujaannya.
Apperson sangat terluka hatinya. Pada suatu saat ketika sedang mabuk minuman keras, pernah ia mengeluarkan kata-kata: “Jika saya tak bisa memperistri Kitty, tak seorangpun akan dapat memperistrinya. Aku lebih suka melihatnya mati sebelum menikah”.
Segera walikota Eustis memerintahkan para petugas mencari orang itu. Sebentar saja ia ditemukan terbaring di rumah sakit sejak 10 hari karena kakinya patah akibat suatu kecelakaan. Jadi tak mungkin satu hari yang lalu ia melakukan pembunuhan. Apalagi Apperson kini sudah beristrikan salah seorang gadis yang tercantik dan terkaya di Minneapolis. Rupanya ia telah lama melupakan Kitty.
Selasa malam informasi-informasi yang masuk di markas khusus, sudah diselidiki semua dan ternyata tak memberi kejelasan sedikitpun. Hari berikutnya, Rabu, semua saksi-saksi terdekat yang pernah didengar keterangannya, dipanggil lagi, yaitu Mary Louise, Harry Hayward dan Glaus Blixt. Satu per satu mereka dipersilahkan masuk.
Sementara itu di gang dekat kamar interogasi para wartawan menunggu hasil-hasil pemeriksaan. Salah seorang di antaranya terdapat seorang reporter, bernama Briggs. Beberapa bulan yang lalu orang ini pernah mendapatkan pengalaman tak enak — suatu pengalaman yang ternyata akan mempercepat proses penyelidikan perkara Kitty Ging.
Ketika itu Briggs menulis serentetan tulisan yang menyingkapkan soal perjudian di Minneapolis. Sekalipun tak menyebut nama-nama, tetapi tulisan itu melukiskan sifat tokoh-tokoh perjudian sedemikian rupa, hingga pembaca tahu persis siapa-siapa yang dimaksud. Akibatnya pada suatu malam Briggs dipukuli oleh seseorang yang memperingatkannya, jangan sekali-kali menulis lagi soal perjudian.
Briggs tak tahu siapa nama penyerangnya. Tetapi ia masih sempat mencamkan garis-garis muka orang itu di dalam benaknya. Sejak itu Briggs berusaha menemukannya kembali.
Saksi terakhir yang dipanggil oleh polisi adalah Claus Blixt. penjaga pintu Apartemen Ozark. Dan Briggs mengenalinya kembali sebagal oknum yang telah menganiayanya.
Begitu Blixt meninggalkan ruang pemeriksaan, Briggs buru-buru masuk untuk memberitahukan kepada walikota dan para detektif apa yang di ketahuinya tentang orang itu. Walaupun tak ada petunjuk langsung yang memperlihatkan hubungan antara Blixt dan peristiwa pembunuhan Kitty, namun para detektif toh berpendapat bahwa orang yang suka main kekerasan ini pantas diselidiki.
Cockran dan Holmberg membayangi gerak-gerik Blixt. Rabu sore kira-kira jam 5 Blixt pergi meninggalkan Apartemen Ozark. Holmberg menguntitnya dari belakang, sedangkan Cockran tinggal di apartemen untuk memeriksa kamarnya.
Blixt keluar hanya untuk berbelanja saja. Sementara itu detektif Cockran berhasil menemukan sebuah mantel yang ternoda cipratan darah. Di bawah mantl terdapat sepucuk revolver 38. Satu di antara 6 pelurunya telah ditembakkan.
Polisi tetap sabar terus membayangi Blixt tanpa menanyainya soal revolver dan cipratan darah. Kira-kira jam 7 sore Harry Hayward pulang ke Apartemen Ozark. Tak lama kemudian Claus Blixt pulang pula dan segera masuk apartemen mengikuti Hayward.
Cockran dan Holmberg menunggu pada jarak yang cukup jauh. Setelah Hayward maupun Blixt tidak muncul kembali, baru mereka mendekati apartemen. Dari kaca jendela mereka bisa melihat bahawa gang-gangnya sepi. Maka masukklah kedua detektif itu dan diam-diam menaiki tangga. Tiba-tiba mereka mendengar suara berteriak-teriak seperi orang yang sedang bertengkar. Datangnya dari kamar Hayward , Cockran dan Holmberg pasang telinga.
“Kapan aku mendapatkan uangku? Kamu terus saja mengelak! Aku ingin mendapatkan bagianku!”
“Sssst, jangan berbuat tolol. Tak tahukah kamu bahwa kita terus menerus diawasi? Jika salah tingkah, semuanya bisa gagal. Kamu toh tahu bahwa sebentar lagi aku akan memperoleh hak asuransi?”
“Tapi kamu janji akan memberiku uang dalam tempo 24 jam. Kalau tahu akan begini, aku tak mau pusing tentang Kitty untuk kamu. Sekali lagi kataku: Aku menghendaki uangku sekarang juga!”
Beberapa menit kemudian pintu kamar Hayward terbuka secara mendadak. Begitu keluar Blixt segera ditangkap oleh Holmberg sedangkan Hayward disergap oleh Cockran. Kedua-duanya ditahan atas tuduhan telah membunuh Kitty Ging.
Hayward tak mau membuat pernyataan apapun. Tetapi Claus Blixt, setelah disekap seorang diri selama satu malam, membuka seluruh persoalan. Dia menyatakan bahwa perencana pembunuhan ini adalah Hayward, sedangkan la sendiri hanya merupakan tangan pelaksana. Segala-galanya telah dipersiapkan dengan matang dan teliti sekali oleh Hayward.
Secara diam-diam Hayward merestui kepercayaan Kitty kepada dukun peramal. Hayward tahu pula siapa dukun yang paling dipercaya oleh Kitty. Sebab peramal itu adalah kaki-tangan Hayward sendiri.
Sang peramal mengatakan kepada Kitty bahwa ia harus menuruti nasehat Hayward. Demikian Kitty menurut saja kepada lelaki itu ketika ia dinasihati untuk menarik sebagian modal dari toko modenya. Dan modal itu diberikannya kepada Hayward yang meemperjudikan uang itu untuk Kitty. Tentu saja Hayward “kalah”. Tetapi Kitty terus saja memberi uang. Sampai akhirnya Kitty meminjam uang dari Hayward. Tetapi uang pinjaman ini segera dikembalikannya kepada Hayward untuk diperjudikap lagi “atas nama” Kitty.
Kekalahan demi kekalahan menyusul. Dan Hayward terus saja menipu Kitty yang tidak mengetahui, bahwa semua uang yang dipinjamkan oleh Hayward adalah uang palsu.
Akhirnya Hayward menasihati Kitty untuk mengasuransikan dirinya dan mencantumkan Hayward sebagai ahli waris. Tiga bulan kemudian Hayward menugaskan Blixt untuk membunuh Kitty.
Ini bukanlah untuk pertama kalinya Blixt melakukan perbuatan jahat atas perintah Hayward. Pernah ia melakukan pembakaran untuk menghilangkan sebuah bangunan yang tak dikehendaki oleh Hayward. Juga atas perintahnya pulalah ia memukuli Briggs, wartawan yang menyingkapkan soal perjudian.
Di samping Blixt, ada kaki tangan lain yang terlibat dalam pembunuhan Kitty. Orang itu adalah peramal yang disuap oleh Hayward dan disuruhnya memberi nasihat berikut kepada Kitty: “Senin malam pergilah diam-diam naik kereta tanpa pengetahuan Hayward dengan seorang lelaki asing. Orang ini, akan mengembalikan semua uangmu yang telah amblas di meja perjudian.”
“Sayalah orangnya yang disebut-sebut dalam “ramalan itu,” Blixt mengakhiri pengakuannya. “Kitty baru mengenali saya setelah saya masuk ke dalam kereta. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia saya tembak. Kereta saya larikan beberapa meter. Lalu mayat Kitty saya lemparkan di jalan. Kereta saya tinggalkan dan saya pulang naik trem. Harry Hayward malam itu pergi ke opera bersama Miss. Petet untuk menunjukkan bahwa pada saat pembunuhan ia berada di tempat lain”.
Blixt masih mengungkapkan soal pistol ukuran 38. Ia dan Hayward membeli senjata api itu dua hari sebelum pembunuhan, hari Sabtu, Blixt menyebut nama penjudi senjata api tersebut. Dan orang itu mengenali Hayward sebagai pembelinya.
Kesalahan Hayward masih terbukti lagi oleh penyelidik dari yang dilakukan oleh akuntan atas pembukuan toko mode milik Miss Kitty Ging. Dari penyelidikan itu terlihat bahwa usaha almarhumah selama tahun terakhir belum pernah mendapatkan tambahan modal. Modal pokoknya bahkan berkurang.
Pada awal tahun 1895, Harry Hayward dan Claus BIixt diajukan di depan pengadilan atas tuduhan telah membunuh Kitty Ging. Keputusan hakim Seagrave Smith: Kedua-duanya dinyatahan bersalah. Blixt pelaksana pembunuhan, mendapatkan hukuman penjara seumur hidup, sedangkan Harry Hayward, perencananya mendapatkan hukuman gantung pada tanggal 11 Desember tahun 1895.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Korbannya Wanita Tuna Susila
" ["url"]=> string(80) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835253/kitty-terjerat-oleh-ramalan-ramalan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169941000) } } [12]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835245" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/85-george-nesbitt-detektif-awam-20230804052454.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "George Nesbitt, seorang detektif amatir, menyelidiki hilangnya ibu dan adiknya. George menemukan kejanggalan dalam keterangan tetangga." ["section"]=> object(stdClass)#168 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/85-george-nesbitt-detektif-awam-20230804052454.jpg" ["title"]=> string(38) "George Nesbitt Detektif Awam Cemerlang" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:25:05" ["content"]=> string(26604) "
Intisari Plus - George Nesbitt, seorang detektif amatir, menyelidiki hilangnya ibu dan adiknya. George menemukan kejanggalan dalam keterangan tetangga dan menemukan bukti bahwa adiknya telah menikah secara rahasia.
----------
Pemuda-pemuda di Harlan Iowa (Amerika) kecewa bercampur kagum ketika Miss Alma Nesbitt, salah seorang gadis tercantik di situ, berangkat ke daerah barat dengan tekad seorang perintis, Alma pergi ke Oregon, terdorong oleh keinginannya mendapatkan tanah yang luas untuk usaha pertanian dan peternakan. Sebuah “ranch” yang ia usahakan dan ia atur sendiri!
Mengapa bersusah payah ke Oregon jika ia hanya menghendaki sebidang tanah yang luas? Mengapa tidak meluluskan saja pinangan salah satu di antara petani kaya di Iowa yang memujanya?
Rupanya yang memikat Alma Nesbitt bukan terutama sebidang tanah, tetapi lebih-lebih romantika petualangan di daerah yang belum banyak dijamah orang. Bulan Maret 1899 ia berpamitan dari ibu dan kakaknya, George R Nesbitt.
Tak lama setelah keberangkatannya, Alma menyurati ibunya. Katanya ia telah mempunyai ranch sendiri di Oregon, letaknya 30 km dari Hood River, luasnya 160 acres, berbatasan dengan tanah seorang kenalan lama dari Harlan, yaitu Norman Williams. Pada akhir surat, Alma minta ibunya datang ke Oregon untuk tinggal bersamanya.
Sejak Mrs. Nesbitt berangkat, George Nesbitt Yang tetap tinggal di Harlan, tak banyak mendengar kabar tentang ibu dan adiknya. Tetapi dari satu dua surat yang ia terima dari mereka, George dapat menyimpulkan bahwa keadaan mereka baik, usaha pertanian dan peternakan berhasil, dan bahwa Norman Williams ternyata seorang tetangga yang ramah dan suka membantu.
Setahun berlalu. Kemudian tanggal 12 Maret 1900 George menerima sepucuk surat dari Alma. Katanya, ia dan ibunya akan segera pulang ke Harlan, Surat dikirim dari sebuah losmen di Grand Avenue, Portland. Mengapa dari alamat baru? Dan mengapa pula mereka mendadak memutuskan kembali ke kota asal? George menunggu dengan hati cemas tetapi juga gembira karena telah lama tak melihat ibu dan adik kandungnya.
George menunggu dan menunggu, tetapi Alma dan Mrs. Nesbitt tak muncul juga. Beberapa minggu kemudian George kirim surat kepada Norman Williams untuk menanyakan nasib ibu dan adiknya.
Williams tak dapat memberi keterangan. Selama bulan-bulan terakhir ia tak banyak bergaul dengan Alma karena gadis ini bekerja di The Dalles untuk mendapatkan modal bagi usaha pertaniannya pada musim tanam berikutnya, kata Williams. Selama di The Dalles, kata tetangga itu selanjutnya, kabarnya Alma menjalin hubungan cinta dengan seorang pemuda dan ada desas-desus bahwa Alma pergi entah ke mana dengan pemuda itu. Williams tak tahu siapa nama kekasih Alma ini.
Bulan demi bulan berlalu dan George terus mencari keterangan ke sana ke mari. Rumah losmen di Grand Avenue Portland yang ia surati menjawab bahwa Alma dan ibunya meninggalkan penginapan itu pada tanggal 8 Maret 1900 — tanggal yang tercantum dalam surat Alma yang terakhir. Tetapi pemilik losmen tak dapat memberi keterangan keinginan kedua wanita itu pergi.
George meneliti surat-surat kabar kalau-kalau ada berita tentang wanita hilang atau penemuan mayat-mayat yang tak dikenal. Ia menyurati kantor-kantor polisi dan biro-biro detektif. Kesemuanya tanpa hasil.
Empat tahun berlalu tanpa ada kabar tentang nasib Alma dan ibunya. kini George yang sementara itu telah berhasil mengumpulkan cukup kekayaan, bertekad untuk memecahkan teka-teki sekitar nasib ibu dan adiknya yang hilang tanpa jejak.
Orang boleh bertanya-tanya, mengapa George menunggu sampai empat tahun dan tidak bertindak lebih cepat atau lagi mengapa polisi yang mendapatkan laporan, tidak segera mengambil tindakan yang efektif untuk menjernihkan persoalan.
Bagaimanapun juga prestasi George Nesbitt dalam mencari ibu dan adiknya sungguh mengagumkan. Apalagi jika diingat bahwa lelaki ini orang biasa saja yang sama sekali belum pernah “makan garam” di bidang kedetektifan, sedangkan perkaranya sudah begitu tertimbun oleh waktu.
Tempat yang pertama-tama dituju oleh George adalah losmen di Grand Avenue, Portland. Pemiliknya ternyata masih sama seperti empat tahun yang lalu. Ia ketika Mrs. Nesbitt dan Alma menginap di situ.
Henry Winters — demikian nama pemilik losmen — hanya bisa memberikan keterangan samar-samar itupun setelah ia meneliti buku tamu empat tahun yang lalu.
Nama Alma dan Mrs. Nesbitt memang tercantum di dalamnya. Mr. Winters masih lupa-lupa ingat akan dua orang wanita, yang di tahun 1900 pernah menyewa kamarnya. Yang satu masih muda dan cantik sekali, katanya. Gadis Ini beberapa kali didatangi seorang lelaki, yang bertengkar dengannya
“Ini saja ingat betul”, kata Winters, “Gadis itu rupanya berniat untuk pergi ke suatu tempat dan sedangkan si lelaki berusaha mencegahnya. Tidak mustahil bahwa gadis itu Miss Alma yang dicari”.
Sekalipun tak menentu sifatnya, informasi ini dicatat baik-baik oleh George dan ia hubungkan dengan keterangan Norman Williams tentang hubungan percintaan Alma dengan seorang pemuda dari The Dalles. Jika benar gadis itu adiknya, barangkali saja lelaki itu ialah lelaki yang dikenal Alma ketika ia bekerja di The Dalles. Barangkali pula Alma telah lari dengan orang itu.
Langkah berikutnya yang diambil George ialah berusaha menghubungi Norman Williams. Dari Portland ke Hood River naik kereta api, dari Hood River ke rumah Williams naik kereta yang ditarik kuda. Dari sais kereta itu, Stranahan, pemilik Fashion Livery Stables. sebuah perusahaan yang menyewakan kuda dan kereta, George mendengar bahwa Norman Williams sudah lama sekali tak kelihatan.
Informasi ini ternyata benar. George menemukan rumah Williams dalam keadaan bobrok tanpa penghuni, tanah pertaniannya tak terurus dan penuh tanaman liar. Juga bekas tempat tinggal Alma dan Mrs. Nesbitt ia temukan dalam keadaan yang sama.
Maka malam itu juga George kembali ke Hood River dan hari berikutnya ia menuju The Dalles dengan kereta milik Stranahan. Maksudnya hendak mencari jejak-jejak perkawinan Alma jika benar adiknya itu telah jatuh hati pada seorang pemuda di tempat tersebut. Tetapi dokumen-dokumen pemerintahan di situ tidak mencatat perkawinan seorang gadis bernama Alma.
Pejabat di The Dalles tak bisa membantu banyak, karena peristiwa yang diselidiki George telah lama berlalu. Detektif amatir kita hanya dapat memperoleh informasi, bahwa seorang pemuda bernama Fred Sturges, kaisar pada sebuah perusahaan makanan ternak, pada tahun 1900 menggelapkan uang sebanyak $ 3.000 dari perusahaan tersebut dan lari dengan seorang gadis. Dan gadis ini konon berasal dan Hood River.
Mendengar keterangan ini George berpikir sebagai berikut: Fred Sturges lelaki yang curang. Andaikan pencoleng ini berhasil memikat hati Atma, maka tak mustahil tujuannya hanyalah untuk mendapatkan keuntungan kekayaan dari gadis itu. Bukankah Alma memiliki tanah pertanian: seluas 160 acres?
Gagasan ini mendorong George untuk minta Keterangan pada Kantor Urusan Tanah di Portland. Kecuali itu George: memutuskan untuk pergi ke Vancouver, Washington, karena menurut keterangan, orang-orang yang buru-buru hendak kawin biasanya lari ke Vancouver karena di sini peraturan-peraturan perkawinan lebih longgar.
Penelitian dokumen-dokumen pada Kantor Urusan Tanah di Portland membawa hasil. Untuk pertama kali selama penyelidikan, George menemukan jejak nyata dari adiknya. Sebuah naskah pada arsip Kantor Urusan Tanah itu menyebutkan bahwa Alma Nesbitt memindahkan penguasaan tanahnya seluas 160 acres kepada Norman Williams pada tanggal 17 Maret 1900.
Nesbitt mempelajari naskah itu dengan seksama. Lalu ia menyatakan kesimpulannya kepada pejabat Kantor Urusan Tanah. Katanya: “Jelas bahwa dalam dokumen ini nama adik saya dipalsukan”. Menanggapi pernyataan George ini, Kantor Urusan Tanah di Portland berjanji akan mengusut perkara itu.
Kini George mulai menaruh curiga terhadap Norman Williams. Jika Alma meninggalkan tanahnya di Hood River, memang logis bila ia menjualnya kepada tetangga terdekat, yaitu Williams. Tetapi mengapa pemalsuan di atas? Mengapa pula Williams, ketika disurati George, tidak menyebut-nyebut soal jual-beli tanah itu?
George melanjutkan penyelidikannya, kini di Vancouver. Ia membolak-balik halaman buku catatan perkawinan-perkawinan yang berlangsung di kota ini pada tahun 1900. Tak ditemukan nama Alma Nesbitt dan Fred Sturges, kaisar yang melarikan uang $ 3.000 tersebut di atas.
George kini menggali lebih jauh lagi, yaitu meneliti buku tahun 1899. Betapa ia terkejut ketika matanya tertumbuk pada nama pasangan yang menikah pada tanggal 25 Juli 1899, yaitu Alma Nesbitt dan Norman Williams, keduanya tercatat sebagai orang berasal dari Hood River, Oregon.
Tak pernah George menduga bahwa di samping jiwa perintis, masih ada motif lain yang menarik Alma untuk berpetualang di daerah barat, yaitu motif percintaan dengan Norman Williams yang memang telah dikenal oleh Alma sebelum gadis ini meninggalkan Harlan.
Rupanya Alma dan Williams menikah secara rahasia. Kini George lebih curiga lagi terhadap lelaki itu, yang menyembunyikan kedudukannya sebagai suami Alma dan mengatakan bahwa Alma barangkali lari dengan seorang pemuda dari The Dalles.
George memberitahukan penemuannya ini kepada kejaksaan The Dalles, yang berjanji akan mencari Norman Williams. Setelah Itu George menyewa kereta Stranahan (pemilik Fashion Livery Stables yang telah kita temui di atas) untuk mendjelajahi seluruh wilayah sekitar Hood River. Semua sahabat-sahabat dan kenalan-kenalan Alma maupun Williams ia tanya. Ternyata tak seorang pun tahu bahwa mereka telah menikah.
Di antara keterangan-keterangan yang berhasil dikumpulkannya ada satu yang berharga. Seorang petani bernama Harry Mead yang kenal akrab dengan Williams bercerita sebagai berikut.
Pada suatu hari ia mampir di Tanah Williams. Baru saja ia masuk rumah, turun hujan deras sekali. Mead memandang keluar dan melihat segunduk karung-karung berisi gandum milik Williams kehujanan. Buru-buru ia memberitahukan hal ini kepada Williams sambil menyatakan kesediaannya untuk membantu menyelamatkan gandum yang berharga itu.
Tetapi anehnya, Williams tidak mau, dan menjawab: “Jangan kau pusingkan itu gandum; mari kita minum kopi untuk menghangatkan tubuh. Belum pernah Mead melihat petani seceroboh Williams.
Aneh sekali tingkah laku Williams ini, pikir George. Sebab tidak benar apa yang dikatakan Harry Mead bahwa Williams seorang petani ceroboh. Bahkan sebaliknya, George selalu mengenal Williams sebagai petani yang rajin dan sangat cermat menjalankan usahanya. Perbuatan aneh seperti diceritakan oleh Harry Mead kiranya tidaklah tanpa sebab. Maka George mengaiak Harry Mead ke bekas rumah Williams. Berdua mereka naik kereta Stranahan pergi ke sana. Sampai tempat tujuan George minta ditunjukkan tempat karung-karung berisi gandum yang kehujanan itu. “Di sana”, kata Mead sambil menunjuk pada sebuah kandang ayam. “Cuma dulu kandang itu belum ada.”
Naluri George Nesbitt mengatakan bahwa tempat itu perlu digali. Selama satu jam George bekerja dibantu oleh Mead dan Stranahan, sampai sekopnya tertumbuk pada tanah keras. Satu-satunya benda yang mereka temukan adalah sebuah karung yang telah mulai membusuk. George mengamat-amatinya dengan teliti dan melihat bahwa pada karung itu terdapat noda-noda hitam.
Hari berikutnya, George menuju The Dalles sambil membawa karung itu. Benda ini ia serahkan kepada kejaksaan dan diterima oleh Jaksa Wilson.
Setelah mengamati baik-baik noda-noda pada karung tersebut Wilson berkata, bukan tidak mungkin noda-noda itu bekas darah. Lalu ia memutuskan untuk minta bantuan seorang ahli, nona Dr. Victoria Hampton.
Sementara itu jaksa Wilson mempunyai berita baik bagi George Nesbitt. Kini Norman Williams telah berhasil ditemukan tempat tinggalnya, ialah di Washington. Williams bahkan telah datang dengan sukarela ke The Dalles. “Anda akan segera saya pertemukan dengannya”, kata Wilson.
Pertemuan dan tanya jawab berlangsung di kantor kejaksaan, Williams perawakannya tinggi, rambutnya telah mulai memutih. Namun mukanya yang tampan, masih kelihatan muda sekalipun orang ini telah berumur 60 tahun. Dengan senyum penuh kehangatan ia menjabat tangan George Nesbitt.
Semua pertanyaan dijawab dengan lancar. Williams mengakui terus terang bahwa ia telah menikah dengan Alma. Tetapi atas kehendak Alma sendiri perkawinan itu ia rahasiakan. Dalam suratnya kepada George Nesbitt empat tahun yang lalu, ia tetap tidak menyebut-nyebut tentang perkawinannya dengan Alma. Sebab ia (Williams) ingin melindungi nama baik Alma yang menurut kabar mempunyai hubungan percintaan dengan seorang laki-laki bernama Fred dan bermaksud kawin dengannya.
Kini Norman Williams mengisahkan detail-detail tentang hubungannya dengan Alma sampai saat wanita ini hilang tanpa kabar.
Williams untuk akhir kali bertemu dengan Alma pada Tanggai 9 Maret 1900 (jadi sehari sebelum Alma menulis suratnya yang terakhir kepada George). Sebulan sebelum itu Alma menyatakan tak mau lagi berhubungan dengan Williams. Dengan ibunya wanita itu pergi ke Portland dan menyewa sebuah kamar losmen di sana.
Awal bulan Maret 1900 Alma kirim surat kepada Williams. Dalam surat itu ia menyatakan hendak kembali sebentar ke Hood River, yaitu pada tanggal 8 Maret untuk membicarakan beberapa persoalan dengan Williams.
Alma dan ibunya naik kereta api. Williams menjemputnya di stasiun Hood River dengan sebuah kereta yang disewanya dari the Fashion Livery Stable.
Sampai dirumah, Alma berbicara di bawah empat mata dengan Williams. Secara terus terang Alma menyatakan niatnya untuk menikah dengan Fred. Betapapun juga, ini adalah jalan yang sebaiknya untuk mereka berdua, Williams dan Alma.
Tetapi Alma ingin berpisah secara baik-baik dengan Williams. Maka wanita itu menyerahkan surat kuasa kepada Williams yang memberinya hak atas tanah miliknya.
Alma membuka rencananya selanjutnya. Katanya, ia bermaksud memulangkan ibunya ke Harlan, lowa. Tetapi ia, Alma sendiri, berniat pergi dengan Fred, entah ke mana.
Hari berikutnya Williams mengantarkan Alma dan ibunya ke stasiun Hood River, masih dengan kereta milik the Fashion Livery Stable. Sekian keterangan Williams tentang Alma dan Mrs. Nesbitt.
Interogasi dilanjutkan. Ditanya tentang surat-kuasa dari Alma yang memberinya hak atas tanah wanita itu, Williams menjawab bahwa dokumen itu hilang.
Mengenai tanah di bawah kandang ayam yang jelas bekas galian, dan mengenai karung bernoda hitam yang ditemukan oleh George Nesbitt, Williams memberi keterangan berikut. Dalam musim dingin tahun 1899 ia bermaksud membuat gudang bawah tanah, tetapi setelah galian selesai, rencana ia urungkan. Sekitar waktu itu kuda betinanya melahirkan dan mengotori sebuah karung. Karung bernoda darah itu ia lempar kedalam lobang tersebut di atas. Setelah itu lobang ia timbuni tanah.
Keterangan-keterangan Williams semuanya cukup masuk akal. Siapa gerangan pemuda bernama Fred yang membawa lari Alma? Samakah ia dengan Fred Sturges, pegawai yang menggelapkan uang $ 3.000 dari perusahaannya? Jaksa Wilson berniat menyiarkan berita tentang Fred ini di surat kabar dengan harapan dapat menemukan orangnya.
George kini kembali ke Hood River, masih naik kereta Stranahan.
Dalam perjalanan ini Stranahan menyarankan kepada George untuk memeriksa catatan tentang sewa-menyewa kereta milik perusahaannya. Sebab menurut Williams, pada tanggal 8 Maret 1900 ia menyewa kereta milik perusahaan the Fashion Livery Stable. Pada tahun 1900 the Fashion Livery Stable belum dibeli oleh Stranahan dari pemiliknya terdahulu, yaitu Langille. Tetapi catatan sewa menyewa semuanya ada di kantor Stranahan.
Keterangan Williams ternyata benar. Kenyataan ini diperkuat lagi oleh Langille yang waktu itu kebetulan mampir di kantor Stranahan. Langille masih menambahkan keterangan: “Ketika Williams datang untuk menyewa kereta, ia bersama-sama dua orang wanita, yang satu tua yang lain muda dan sangat cantik. Tetapi hari berikutnya, tanggal 9 Maret, ketika mengembalikan kereta, Williams sendirian saja”.
Jadi Williams tidak bohong.
Ke mana ia mesti mencari sekarang — George bertanya-tanya setengah putus asa. Tiba-tiba ia teringat pada pertanyaan Williams bahwa ia (=Williams) pada tanggal 9 Maret mengantarkan Alma dan ibunya ke stasiun Hood River.
Seketika itu juga George memutuskan untuk menyurati Oregon Railway Company, Ia minta agar perusahaan ini mencek buku laporan lalu lintas kereta api yang berangkat dari Hood River tanggal 9 Maret 1900. Siapa tahu, barangkali karena sesuatu hal yang luar biasa sang kondektur di waktu itu melihat Alma dan Mrs. Nesbitt.
Sambil menunggu jawaban, George meneruskan penyelidikannya. Semua keterangan Williams ia cek kebenarannya melalui para tetangga dan kenalan-kenalannya.
Jerih payah, ketelitian dan kesabarannya tidak tanpa hasil. Dari seorang penggemar kuda yang kenal baik sekali dengan Williams, George mendapatkan kesaksian pasti tentang kud betina yang diceritakan Williams, “Itu satu-satunya kuda betina milik Williams”, katanya. “Kuda itu melahirkan pada saat sedang disewakan oleh Williams kepada sebuah perusahaan penggergaji kayu”.
“Jadi kuda itu tidak di rumah Williams tanya George, “Jelas tidak, sebab saya melihat sendiri kuda itu melahirkan. Saya ingat betul karena pada waktu itu Williams merasa sangat kasihan pada kudanya, hingga ia mengatakan tak mau memiara kuda betina lagi. Kuda dan anaknya segera ia jual”.
Seorang kenalan lain mengisahkan, bahwa segera setelah» Alma dan Mrs Nesbitt pergi, Williams membuat onggokan kayu bakar. Onggokan yang tinggi sekali itu ia bakar, entah untuk apa.
Lalu datang jawaban dari Oregon Railway Company. Bunyi jawaban itu: Pada tanggal 9 Maret 1900 jelas tidak ada kereta api yang berangkat dari stasiun Hood River. Sebab mulai tanggal itu selama satu minggu lebih rel kereta api pada rute tersebut rusak akibat banjir besar. Sementara itu baik dari pengakuan Williams sendiri maupun dari kesaksian Langille, tak dapat diragukan bahwa tanggai 8 Maret Williams naik kereta bersama Alma dan Mrs. Nesbitt menuju rumahnya.
Cerita Williams menjadi makin lemah dengan munculnya Fred Sturges. Secara sukarela Fred datang pada polisi dan mengakui terus terang bahwa ia memang menggelapkan uang $ 3.000 dari kantornya. Ia pun mengakui bahwa ia menikah dengan seorang gadis dari Hood River. Tetapi gadis itu bukanlah Alma Nesbitt. Selanjutnya Fred Sturges menyatakan bersedia mengganti uang yang telah ia gelapkan. Pernyataan Fred Sturges tak dapat diganggu gugat.
Kisah tentang percintaan Alma dengan seorang pemuda bernama Fred rupanya hanya isapan jempol.
Akhirnya datang kesaksian dari Dr. Victoria Hampton bahwa noda hitam pada karung yang ditemukan di bawah kandang ayam di halaman Williams, adalah noda darah manusia. Di samping noda darah, pada karung itu ditemukan pula beberapa helai rambut wanita.
Setelah terkumpul petunjuk yang cukup meyakinkan itu, Norman Williams ditahan. Rekonstruksi jalannya peristiwa seperti digambarkan oleh jaksa Wilson adalah sebagai berikut.
Setelah menikah secara diam-diam pada pertengahan tahun 1899, hubungan antara Williams dan Alma menjadi retak pada bulan Februari 1900. Inilah sebabnya mengapa Alma dan Mrs. Nesbitt pindah ke Portland.
Beberapa kali Williams mengunjungi Alma untuk memintanya agar mau kembali mengurungkan niatnya pulang ke lowa. Entah bagaimana, Williams berhasil meyakinkan Alma dan ibunya agar mau mengunjunginya di Hood River. Alma dan ibunya tiba di stasiun Hood River tanggal 8 Maret 1900, dijemput oleh Williams dan dibawa pulang ke rumahnya. Di sana mereka dibunuh oleh Williams.
Mayatnya dikubur di halaman rumahnya. .Untuk menyembunyikan kuburan itu, Williams menaruh karung-karung gandum di atasnya. Kemudian timbul gagasan, bahwa cara yang paling aman untuk menghilangkan bekas-bekas kejahatan, ialah dengan membakar mayat para korban. Maka mayat ia gali lagi dan ia bakar dengan api unggun besar.
Setelah itu bekas kuburan ia timbuni lagi dengan tanah. Untuk menghilangkan segala jejak, di atas bekas kuburan itu ia bangun sebuah kandang ayam.
Hasrat merebut tanah milik Alma, tampaknya bukan motif yang meyakinkan untuk menerangkan pembunuhan ini. Sebab bukankah Williams sebagai suami yang sah, berhak atas harta istrinya jika yang terakhir ini meninggal? Demikian pula sebaliknya?
Ada motif lain yang lebih masuk akal. Yaitu ternyata bahwa Norman Williams sudah beristri ketika menikah dengan Alma. Istri pertama itu datang melapor ketika mendengar bahwa Norman Williams ditangkap. Ia memperlihatkan surat nikahnya dengan Norman Williams tertanggal 29 Nopember 1898.
“Beberapa bulan setelah menikah, kami berpisah. Bulan Januari 1900 saya sakit dan memerlukan uang. Maka saya menyurati Williams untuk minta kembali uang yang pernah saja pinjamkan kepadanya. Pada alamat pengirim, saya cantumkan nama saya sebagai Mrs. Althea Williams”.
“Sepuluh hari kemudian, saya menerima surat dari seorang wanita bernama Alma Nesbitt, yang menanyakan bagaimana hubungan sebenarnya antara saya dengan Norman Williams. Saya tulis kembali, bahwa saya adalah istrinya”.
Kenyataan bahwa Williams sebenarnya telah kawin, rupanya meretakkan hubungan antara Alma dan Williams. Akibatnya, Alma meninggalkan Williams, barangkali sambil mengancam akan membeberkan seluruh tindakan Williams kepada istrinya yang sah. Atau barangkali Alma mengancam akan melaporkan kepada polisi bahwa Williams melakukan bigami. Dengan membunuh Alma, Williams dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan sekaligus dapat menguasai tanah milik wanita itu.
Gambaran itulah yang disajikan oleh Jaksa Wilson ketika ia tampil di depan sidang yang mengadili perkara Williams pada tanggal 25 April 1904. Bukti berupa mayat para korban tidak ada. Tetapi keseluruhan keterangan sekitar hilangnya Miss Nesbitt dan ibunya, kesemuanya menunjuk Norman Williams sebagai pembunuhnya — sekalipun Williams tetap tidak mengaku.
Sementara itu yang paling mengesankan adalah kesaksian sarjana wanita, Dr. Victoria Hampton. Juri menyatakan Williams bersalah dan hakim Bradshaw menjatuhkan hukuman mati.
Setelah permintaan banding yang diajukannya tak terkabul, Norman Williams menjalani hukuman gantung pada tanggal 21 Juli tahun 1905.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Pembunuhnya Jadi Korban Ketiga
" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835245/george-nesbitt-detektif-awam-cemerlang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169905000) } } [13]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835240" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/86-lubang-kubur-yang-setengah-se-20230804052409.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Sheriff Gould mengenal Emma Orr sejak kecil dan melihat aneka kontroversinya. Emma yang tertekan oleh sikap masyarakat tiba-tiba menghilang." ["section"]=> object(stdClass)#172 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/86-lubang-kubur-yang-setengah-se-20230804052409.jpg" ["title"]=> string(34) "Lubang Kubur yang Setengah Selesai" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:24:21" ["content"]=> string(22074) "
Intisari Plus - Sheriff Gould mengenal Emma Orr sejak kecil dan melihat aneka kontroversi dalam hidupnya. Emma yang merasa terisolasi dan tertekan oleh sikap masyarakat sekitarnya tiba-tiba menghilang tanpa pamit.
----------
Sudah sejak kecil Sheriff Gould mengenal Emma Orr, yang seperti dia sendiri adalah penduduk asli Waterloo County, Ontario, Canada. Sebagai gadis cilik umur kira-kira dua belasan tahun, Emma sangat genit dan terkenal sebagai “boy-crazy”— gila anak lelaki. Waktu itu tubuhnya masih kecil kurus, rambutnya masih dikepang dengan pita di ujungnya, tetapi matanya yang biru-sayu, seketika menyala bila melihat seorang pemuda.
Umur 20 tahun Emma membuat orang tuanya, Mr. dan Mrs. Borland, sangat cemas karena kelakuannya. Siapa mau menikah gadis semacam dia yang tiap kali berganti pacar dan terkenal kelewat bebas dalam pergaulan dengan kaum lelaki?
Tetapi kecemasan Borland dan istrinya agaknya berlebih-lebihan. Umur 21 tahun Emma dipersunting sebagai istri oleh John Arnott, seorang pedagang kaya yang karena terpesona oleh kecantikan Emma, tidak memusingkan omongan orang tentang gadis itu. Perkawinan ini hanya berlangsung dua tahun karena Mr. John meninggal.
Emma sebagai janda menjadi percakapan dan cemoohan orang karena kejalangannya. Akan tetapi akhirnya ia toh mendapat lagi seorang suami yang baik, namanya Anthony Orr, seorang petani di Galt.
Keluarga Orr terpandang di Waterloo County, baik karena kekayaannya maupun karena posisi pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat setempat. Sejak menjadi istri Tony Orr, Emma ikut menikmati kedudukan terhormat itu. Para istri baik-baik yang dulu buang muka jika berpapasan dengan Emma, kini mau tak mau terpaksa memperlakukan Nyonya Orr dengan sopan santun.
Sepuluh tahun berlalu dan Emma tampaknya dapat berubah menjadi seorang istri yang baik. Tetapi tiba-tiba kejalangannya “meledak” lagi. Pada suatu hari Sheriff Gould berpapasan dengan Tony Orr yang kelihatan sedih. Ketika ditanya, Tony berterus terang kepada Gould. Katanya: “Emma melarikan diri dengan Tim Mulholland, pembantuku!”
Selama beberapa bulan Emma menjalin hubungan gelap dengan lelaki itu yang bekerja pada usaha pertanian suaminya.
Ketika itu Gould menyarankan kepada sahabatnya untuk menceraikan saja Emma, tetapi saran ini ditolak. Tony tahu bahwa Emma dan Tim Mulholland melarikan diri ke Air Terjun Niagara. Tony mencarinya di sana setelah menemukannya. ia berhasil membujuk istrinya untuk mau kembali ke Galt, sambil berjanji tidak akan mengutik-ngutik perzinahan ini. Tony rupanya sangat mencintai istrinya dengan hati yang luas dan lapang.
Emma pulang dan kehidupan suami-istri Orr di tanah pertanian di Galt berlangsung terus seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sebagai pengganti Tim Mulholland yang bertubuh tegap dan tampan, kini Tony mempekerjakan seorang pemuda umur 19 tahun, Jim Allison, yang menurut perhitungan tak mungkin akan merupakan godaan bagi Emma. Jim Allison badannya kurus, sakit-sakitan dan mukanya bopeng.
Dua tahun berlalu dan selama itu Tony, Emma dan Jim Allison hidup dalam keadaan rukun damai. Tony menepati janjinya untuk tidak menyinggung-nyinggung soal penyelewengan istrinya. Tetapi tentu saja para tetangga toh mengetahuinya juga. Kini nama Emma sudah menjadi cemar sama sekali di mata mereka. Hal ini sangat terasa dalam pergaulan. Emma selalu menjumpai sikap dingin dari kenalan-kenalannya yang bahkan tampak berusaha menghindarinya.
Hal ini membuat Emma menderita. Pernah ia mengatakan kepada suaminya, bahwa ia tak akan kuat menghadapi lingkungan yang demikian. Dan ucapan inilah yang membuat Tony sangat prihatin ketika pada tanggal 8 Agustus 1897, suatu hari Minggu, Emma pergi dari rumah tanpa berpamitan. Hari berikutnya Tony segera lapor Kepala Sheriff Gould.
“Kemarin pagi kira-kira jam 7 saya dan Jim pergi dari rumah. Saya untuk mengantarkan beberapa ekor babi yang dipesan oleh seorang langganan sedangkan Jim harus membawa dua ekor lembu ke rumah seorang kenalan untuk dikawinkan. Emma tinggal di rumah seorang diri. Saya dan Jim sampai di rumah hampir pada waktu yang bersamaan. Jim lebih dulu beberapa menit. Ketika itu Emma sudah tidak ada. Kami cari ke mana-mana sampai sore tidak ketemu”, demikian laporan Tony.
Selanjutnya Tony menyatakan bahwa tak mustahil istrinya lari lagi dengan seorang kekasih seperti dua tahun yang lalu. Tapi anehnya Emma pergi tanpa membawa pakaiannya kecuali yang tertempel pada tubuhnya. Tony takut kalau istrinya bunuh diri. Sebab selama minggu-minggu terakhir — demikian Tony — Emma seringkali mengeluh karena diemohi oleh bekas sahabat-sahabat dan kenalan-kenalannya. Ia merasa terkucil dan tertekan jiwanya. Dua hari yang lalu Emma berkata kepada Tony, lebih baik ia meninggalkan Galt daripada 'hidup begitu terus menerus.
Sheriff Gould segera melakukan penyelidikan. Pertama-tama ia menginterviu Jim Allison yang ia panggil datang ke kantornya.
“Jim, aku ingin bicara dengan kamu secara pribadi" kata Gould. “Apakah Emma mempunyai sahabat laki-laki di luar pengetahuan suaminya?”
Setelah ragu-ragu sejenak, Jim bercerita; “Ya, dua orang. Mrs. Orr minta kepada saya untuk merahasiakan hal ini. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang, saya merasa wajib buka mulut. Dua orang lelaki itu ialah Weldon Trevelyan dan Harry Blair”.
Gould terkejut mendengar dua nama itu. Ia kenal secara pribadi dua orang tersebut. Yang pertama seorang mahasiswa kedokteran. masih bujangan. Yang kedua, Blair, pengusaha toko besi dan mesin pertanian. Blair sudah berkeluarga.
Setelah mendapatkan informasi ini Sheriff Gould pergi ke rumah Trevelyan yang ternyata sedang sakit. Weldon Trevelyan menyatakan telah beberapa hari tidak meninggalkan rumahnya. Sementara itu secara terus-terang ia mengakui bahwa ia sering berkencan dengan Emma Orr jika suaminya sedang bepergian. “Saya turut kehilangan wanita yang cantik dan penuh gairah itu”, Weldon menambahkan sambil tersenyum, seolah-olah untuk menguatkan pernyataannya bahwa ia mempunyai hubungan cinta dengan Emma.
Dari rumah Weldon, Gould menuju ke rumah Blair. Lelaki inipun secara terus terang mengakui hubungan gelapnya dengan Emma Orr. “Emma hilang? Ya Tuhan! Mudah-mudahan tak terjadi apa2 dengannya. Baru kemarin saya pergi ke rumahnya karena tahu bahwa Tony sedang bepergian. Tetapi Emma tidak di rumah”.
“Jam berapa Anda pergi ke rumah Tony kemarin?”, tanya Gould.
Pada saat itu Gould yang memandang sekeliling kamar, melihat koper Blair yang telah dipersiapkan. Dengan nada tajam Gould berkata kepada Blair: “Jika Emma melarikan diri ke satu tempat dan bersembunyi di sana, maka sebagai seorang sahabat saya ingin menasehati Anda, jangan sekali-kali berusaha menggabungkan diri dengannya. Masukkan lagi koper itu ke dalam almari!”
“Koper? Oh, Gould. Kebetulan hari ini saya mau bepergian, urusan dagang dan kemungkinan besar akan terpaksa menginap satu malam. Besok saya pasti kembali”. Blair menerangkan.
“Baik, saya anggap pernyataan Anda benar. Tetapi nasihat saya jangan keluar kota sebelum Emma ditemukan kembali”, Gould mengakhiri. Dari rumah Blair, Gould menuju ke rumah Orr.
Di sana ia disambut oleh Tony yang tampak makin cemas. Terjadi suatu hal yang aneh, Tony menemukan senapannya di sudut garasi keretanya. Padahal ia tidak merasa mengambil senjata tersebut dari tempatnya yang biasa serta menaruhnya di situ. Senjata itu senapan berburu, berlaras dua. Tony menemukannya tersandar pada dinding di sudut garasi, dan memperoleh kesan bahwa senjata tersebut dilempar di situ dengan tergesa-gesa. Jim Allison juga tak tahu bagaimana senapan itu sampai nyasar ke dalam garasi. Baik Tony dan Jim belum menyentuh senapan itu ketika Gould tiba.
Gould mengamat-amati senjata tersebut dan mencium bau keras mesiu. Senapan dibukanya dan Gould menemukan dua buah selongsong peluru. Dua-duanya lelah ditembakkan. Pada popor senapan berburu itu selanjutnya terlihat noda-noda darah yang baru saja mengering.
“Baru saja ditembakkan”, komentar Gould singkat, tanpa mau menyebut-nyebut soal darah pada popor senapan. Ia berpendapat bahwa belum waktunya mengarahkan perhatian Tony pada kemungkinan bahwa Emma telah menjadi korban pembunuhan.
“Tony, saya merasa perlu minta bantuan kepala detektif Kepolisian Ontario. la seorang yang cerdas dan berpengalaman. Namanya Johnny Murray. Saya ingin kirim telegram kepadanya, sekarang juga, dan sedapat mungkin menerima jawabannya hari ini. Dapatkah kau menyuruh Jim Allison ke kantor telegraf?"
“Lebih baik saya sendiri yang pergi ke kantor telegraf", jawab Tony. Gould menyambut baik usul ini. Sebab jika Tony tidak ada, ia akan lebih bebas mengadakan penyelidikan di rumah petani itu. Gould bermaksud mencari petunjuk-petunjuk tentang hubungan gelap Emma dengan para kekasihnya. Hal ini sulit dilakukan jika Tony ada. Sebab suami yang kelewat baik ini dan terlalu percaya kepada Emma itu, rupanya tidak menduga bahwa istrinya mempunyai paling sedikit dua orang kekasih. Gould takut kalau-kalau ia menyinggung perasaan Tony jika ia memperlihatkan dugaan ke arah ini.
Sementara Tony pergi mengantarkan telegram dan Jim Allison bekerja di gudang gandum serta melakukan tugasnya sehari-hari, Gould memeriksa semua kamar-kamar di rumah Tony. Terutama kamar tidur Emma ia selidiki baik-baik. Barangkali ia berhasil menemukan surat-surat cinta atau benda-benda lain yang mempunyai sangkut paut dengan menghilangnya Emma.
lapun mencari noda-noda darah serupa yang ia temukan pada popor senapan berburu. Tetapi penyelidikannya tidak menghasilkan kejelasan sedikitpun.
Matahari sudah hampir terbenam ketika Tony kembali dari kantor telegraf. “Telegram sudah saya kirimkan dan saya tadi menunggu sekaligus jawabannya”, kata Tony sambil menyerahkan sebuah sampul kepada Gould.
Dalam jawabannya, Murray mengatakan akan berangkat keesokan harinya dengan kereta api pertama dari Toronto. Kereta api itu akan tiba di stasiun Galt jam 9 pagi.
Gould menginap di rumah Orr, karena keesokan harinya ia bermaksud menjemput detektif Murray.
Malam itu Gould tak dapat tidur pulas. Pagi-pagi buta ia telah terbangun. Ketika itu kira-kira jam 4.30 pagi. Karena tak dapat tidur, Gould berdiri di depan jendela, memandang keluar. Dilihatnya cahaya remang-remang bergerak di tengah ladang. Barangkali orang membawa obor kecil, pikirnya. Tetapi tak lama kemudian, cahaya itu hilang. Gould berkesimpulan bahwa yang dilihatnya, hanyalah cahaya sejenis kunang-kunang. Sebab jam 4.30 memang masih terlalu pagi untuk pergi ke ladang.
Detektif Murray menepati janjinya. Tepat jam 9.00 pagi ia turun dari kereta api, disambut oleh sheriff Gould yang sudah siap menunggunya di stasiun.
Berdua mereka menuju ke kantor Gould. Disana Murray mendengarkan semua penjelasan dari rekannya. Lalu ia berkata
“Gould, saya berpendapat bahwa Blair harus diinterviu secara lebih cermat”.
Segera mereka menuju ke rumah Blair. Walaupun agak gugup, namun orang ini menyawab semua pertanyaan Murray dengan keterangan-keterangan yang tampaknya jujur.
Ketika didesak, apakah ia bisa memberikan waktu yang lebih jelas tentang kunjungannya ke rumah Orr pada hari Minggu pagi itu (Blair tadinya menyatakan bahwa kunjungan itu terjadi antara jam 9 dan jam 10 pagi), Blair menjawab sebagai berikut: “Ketika saya kembali dari rumah Emma, saya melewati sebuah gereja. Ketika itu ummat sedang keluar, kira-kira jam 10. Dari rumah Emma ke gereja kira-kira 10 menit naik kereta, Di rumah Emma saya memanggil-manggilnya selama kira-kira 10 menit. Jadi saya tiba di rumah Emma kira-kira jam 9.40 pagi.”
"Jam 7.30 Tuan ada di mana?”, tanya Murray. Dijawab, masih tidur dirumah.
Kini Murray dan Gould pergi kerumah Orr. Kebetulan baik Tony maupun Jim sedang pergi. Karena Gould telah menyelidiki seluruh isi rumah dan tidak menemukan petunjuk sedikitpun tentang kepergian Emma, maka Murray merasa tak perlu mengulangi penelitian di dalam rumah.
Dasar penalarannya sederhana. Dalam garasi kereta Orr ditemukan senapan bernoda darah. Andaikan Emma dibunuh dengan senjata itu, dapat dibayangkan dua kemungkinan Ia dibunuh di dalam atau di luar rumah. Di dalam tidak terdapat noda-noda darah sedikitpun. Kemungkinan Emma dibunuh di luar rumah.
Penyelidikan ia mulai dari dapur, antuk kemudian memeriksa halaman rumah. Sebentar saja penyelidikannya sudah berhasil. Ia menemukan noda-noda hitam di atas rumputan, beberapa meter dari rumah. Ternyata noda darah yang telah mengering.
Murray memanggil Gould dan berdua mereka meneliti tempat sekitar. Dan mereka menemukan noda-noda serupa sepanjang jalur yang berakhir pada pagar halaman. Di tempat itu pagar rusak dan berlobang. Rupanya dirusak oleh pembunuh untuk dapat menyeret korbannya keluar halaman.
Murray berkata: “Saya takut, kita tidak akan menemukan Mrs. Orr dalam keadaan hidup”. Setelah berkata demikian, anehnya, Murray tidak terus keluar halaman untuk menyusuri ke mana perginya noda-noda darah, tetapi malah kembali ke rumah.
Dari sana ia mengamati lagi jalannya noda-noda darah sampai pagar, lalu melepaskan pandangan ke daerah sekitar. Dilihatnya di luar halaman, di tengah ladang gandum, sekelompok pepohonan — tidak banyak jumlahnya, hanya barang empat lima batang.
“Biasanya tempat seperti itu menarik perhatian seorang pembunuh. Mari kita ke sana”. Murray mengajak Gould. Ternyata di bawah pohon itu mereka menemukan lobang yang baru saja digali, rupanya dimaksud untuk mengubur mayat, tetapi tidak cukup dalam, baru kira-kira setengah meter.
Murray lalu menjelajahi semak-semak sekitar. Tak jauh dari lobang, dilihatnya segunduk daun-daunan dan ranting-ranting kering. Disingkirkannya daun-daun dan ranting-ranting itu. Dan berakhirlah pencarian Emma Orr. Mayatnya ditemukan di situ dalam pakaian sehari-hari. Luka-luka pada tubuhnya memberi petunjuk bahwa Emma mati akibat tembakan paling sedikit satu kali.
“Rupanya pembunuh menyeret mayatnya kemari dengan maksud menguburnya di sini. Ia membuat lobang, barangkali tadi malam, tetapi tak berhasil menyelesaikannya. Saya menduga, nanti malam ia akan kembali lagi kemari untuk menyelcsaikan lobang ini”, kata detektif Murray.
Pada saat ini sheriff Gould teringat pada cahaya remang-remang yang dilihatnya semalam, ketika ia berdiri di depan jendela. Tak dapat disangsikan lagi, bahwa yang dilihatnya itu ialah cahaya lampu si penggali lubang kubur. Pengalaman semalam itu segera ia ceritakan kepada Murray.
Murray dan Gould memutuskan untuk merahasiakan penemuan mayat Emma dan membiarkannya tergeletak disitu di bawah daun-daunan seperti semula. Malam itu mereka akan melakukan pengintipan agar dapat menangkap basah si pembunuh.
Berdua mereka kembali ke rumah Tony Orr yang pada waktu itu belum juga pulang. Mereka menunggu sampai Tony kembali. Ketika itu telah sore. Tanpa menceritakan penemuan mereka hari itu, Murray dan Gould minta diri dengan janji keesokan harinya akan datang lagi.
Dugaan Murray tidak meleset sedikitpun ketika malam itu ia bersama Gould melakukan pengintipan dari sebuah tempat strategis yang memberi pandangan yang leluasa baik pada rumah Tony Orr maupun pada tempat mayat Emma disembunyikan. Kira-kira tengah malam mereka melihat cahaya lampu bergerak menuju ke tempat mayat. “Pasti bukan Tony Orr atau Jim Allison. Dari rumah Orr tak ada orang yang keluar", bisik Murray kepada rekannya.
Setelah cahaya lampu sampai di bawah kelompok pohon-pohonan yang menaungi lubang yang setengah jadi itu, kedua detektif merangkak mendekat. Terlihat sesosok tubuh. Sekalipun berada beberapa meter saya dari mangsanya, para detektif sabar menunggu sampai orang itu mulai meneruskan menggali lubang.
Pada saat itulah Murray dan Gould keluar dari tempat persembunyiannya sambil berteriak. Si penggali lubang yang disergap secara mendadak, terperanjat dan tak dapat berbuat apa-apa. Sekopnya jatuh dari tangannya dan ia berdiri seperti batu. Orang itu ternyata Alexander Allison, ayah Jim Allison.
Setelah sembuh dari kegugupannya, Alexander Allison bercerita. Pembunuh Emma Orr adalah anaknya sendiri, Jim Allison. Setelah melakukan pembunuhan, Jim tak punya waktu dan tidak memiliki keberanian untuk menyingkirkan mayat korbannya. Maka ia datang pada ayahnya, mengakui perbuatannya dan minta tolong ayahnya melenyapkan jejak-jejak Emma. Penggalian lubang ia mulai malam yang lalu dan kini ia bermaksud menyelesaikan lubang dan mengubur jenazah Emma disitu.
Seketika itu juga Murray dan Gould membawa Alexander Allison kerumah Orr. Tony dan Jim mereka bangunkan. Melihat ayahnya tertangkap basah, Jim Allison tak dapat berbuat lain kecuali mengakui kesalahannya.
Sambil menangis ia menceritakan terjadinya pembunuhan. “Emma main cinta dengan banyak lelaki. Dan saya berharap sekali waktu akan dapat bermesra-mesraan dengan Emma. Hari Minggu yang lalu saya mencoba mendekatinya. Pagi itu saya dan Tony meninggalkan rumah pada waktu yang hampir bersamaan. Tony mengantar beberapa ekor babi ke rumah seorang langganan. Saya membawa dua ekor lembu kerumah seorang sahabat untuk dikawinkan.”
“Saya berusaha kembali ke rumah sebelum Tony pulang. Dan ini berhasil, Emma saya jumpai berdiri di depan pintu dapur. Saya mengajaknya masuk rumah, tetapi ia menolak. Ia hanya menertawakan dan mencemoohkan saya sebagai anak kecil yang bermuka jelek.”
“Belahan gaun Emma di bagian dada tidak terkancing, dan di bawah gaun itu ia tidak memakai apa-apa. Saya tidak kuasa menahan nafsu. Emma saya sergap. Tetapi ia berhasil melepaskan diri. Ia marah-marah dan barkata, akan menceritakan semuanya kepada Tony, biar saya ditembak olehnya.”
“Mendengar ucapan ini, saya menjadi kalap. Saya lari masuk rumah, mengambil senapan berburu. Emma saya dorong ke luar dapur dan saya tembak di halaman rumah. Mayatnya saya seret keluar halaman. Kemudian senapan saya sembunyikan di garasi kereta. Ketika Tony pulang, saya katakan padanya bahwa saya baru beberapa menit sampai di rumah dan tidak tahu ke mana Emma pergi”, demikian Jim Allison mengakhiri pengakuannya.
Pada bulan Desember 1897 Jim Allison diajukan ke depan pengadilan atas tuduhan membunuh Emma Orr. Juri menyatakannya bersalah, dan hakim Meredith menjatuhkan hukuman mati di tiang gantung.
Hukuman ini dilaksanakan pada tanggal 4 Februari tahun berikutnya. Sebetulnya Alexander Allison pun dapat dituntut karena telah membantu anaknya, berusaha melenyapkan jejak-jejak pembunuhan. Tetapi tuntutan ini tak pernah diajukan. Mungkin pihak berwajib berpendapat bahwa mengubur anak kandungnya yang meninggal di atas tiang gantung, telah merupakan hukuman yang cukup berat bagi seorang ayah.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Apakah Dia Jack the Ripper?
" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835240/lubang-kubur-yang-setengah-selesai" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169861000) } } [14]=> object(stdClass)#173 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835219" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#174 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/rumah-mesum-di-fifteenth-street-20230804052307.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#175 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(125) "Seorang pengacara dan anggota Kongres mendapati istrinya selingkuh dengan seorang jaksa. Semua itu berawal dari sebuah surat." ["section"]=> object(stdClass)#176 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/rumah-mesum-di-fifteenth-street-20230804052307.jpg" ["title"]=> string(31) "Rumah Mesum di Fifteenth Street" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:23:29" ["content"]=> string(27200) "
Intisari Plus - Daniel E. Sickles, seorang pengacara dan anggota Kongres mendapati istrinya selingkuh dengan seorang jaksa. Semua itu berawal dari sebuah surat yang mengungkap perselingkuhannya.
----------
Dalam sejarah peradilan Amerika Serikat tercatat suatu perkara peradilan yang terkenal: perkara Key — Sickles. Masyarakat gempar ketika proses peradilan berlangsung dan akhirnya keputusan dijatuhkan. Kegemparan itu bukan saja karena dalam perkara pembunuhan ini terdakwa adalah seorang tokoh terkemuka — antara lain ia anggota Kongres, sahabat pribadi Presiden ke-15 Amerika Serikat James Buchanan, dan diplomat. Tetapi juga karena terdakwa itu kemudian dibebaskan walaupun jelas bahwa ia sengaja membunuh korbannya.
Bagi kita sekarang, sukar masuk akal pembebasan itu seperti akan kita lihat nanti. Tetapi perkara ini terjadi di Amerika lebih dari 100 tahun yang lalu. Kisahnya sebagai berikut.
Daniel E. Sickles sekitar tahun 1850 sedang menanjak karirnya. Ia terkenal di New York sebagai pengacara cemerlang dan duduk dalam badan legislatif serta dewan penasehat New York City. Ketika James Buchanan dikirim ke Inggris sebagai duta besar, ia memilih Sickles sebagai Sekretaris Pertamanya.
Berangkatlah mereka ke Inggris — Buchanan yang masih membujang seorang diri, sedangkan Sickles didampingi istrinya yang masih muda-belia dan belum lagi berumur 20 tahun, Teresa Bagioli. Teresa berdarah Italia. Ayahnya seorang maestro opera yang cukup terkenal di New York pada waktu itu.
Buchanan yang belum beristri memerlukan seorang wanita yang pada kesempatan-kesempatan resmi dapat bertindak sebagai nyonya rumah di Kedutaan Besar AS di London. Pilihannya jatuh pada Teresa walaupun wanita ini sebetulnya terlalu muda untuk tugas tersebut. Tetapi ternyata Teresa tidak mengecewakan. Tingkah lakunya serba luwes dan menawan hati. Dan Teresa cantik sekali — rambutnya hitam, mata biru, kulit kuning kecoklat-coklatan dan tubuh ramping penuh kewanitaan. Belum pernah diplomasi AS di Inggris begitu penuh semarak seperti waktu itu.
Tetapi Teresa mempunyai satu kelemahan, ialah terlalu suka menantang kejantanan dan luar biasa pandai bermain-main dengan lelaki. Dalam resepsi-resepsi di kedutaan dan upacara-upacara penandatanganan perjanjian-perjanjian resmi banyak diplomat jatuh hati pada Teresa. Tetapi selama di Inggris tak terjadi atau, sedikitnya tidak diketahui peristiwa-peristiwa yang mencemarkan namanya.
Ketika Buchanan kembali ke Amerika, Dan Sickles dan Teresa ikut pulang pula. Buchanan tak lama kemudian terpilih sebagai Presiden AS dan Sickles menjadi anggota Kongres dari New York. Tahun 1857 berlangsung inaugurasi Buchanan sebagai Presiden. Pada waktu itu juga Sickles bersama istrinya pindah ke Washington, menempati rumah mewah di Sixteenth Street.
Ketika itu Teresa yang 11 tahun lebih muda dari suaminya, berumur 21 tahun. Kewanitaannya makin matang sementara minatnya terhadap kaum laki-laki sedikit pun tak berkurang.
Salah satu di antara kenalan-kenalan pertama suami-istri Sickles sejak tinggal di Washington ialah Philip Barton Key, jaksa distrik Columbia. Umurnya 40 tahun, berperawakan tegap dan amat tampan. Ia sudah duda, anaknya 4 orang.
Tetapi kehadiran anak-anak ini baginya bukan penghalang untuk meneruskan kariernya sebagai hidung belang, di samping sebagai peminum dan penggemar sport naik kuda.
Sifatnya sebagai Don Juan terkenal diantara para suami yang selalu waspada terhadapnya. Sebagai pendatang baru, rupanya Sickles tidak mengetahui hal itu. Tanpa menaruh curiga ia menganggap Key sebagai salah seorang sahabat terbaik. Kerapkali lelaki itu berkunjung ke rumah Sickles di Sixteenth Street. Tidak hanya jika Sickles ada di rumah atau sedikitnya di dalam kota Washington, tetapi juga jika ia sebagai anggota Kongres sedang bertugas ke New York.
Pada awal tahun 1858, baru saja pulang dari perjalanan dinas, Sickles mendapat laporan dari seorang kenalan. Kenalan ini curiga terhadap Key yang dilihatnya bersama-sama dengan Mrs. Sickles keluar dari sebuah losmen, selagi Mr Sickles berada di New York.
Sickles marah sekali, tidak terhadap istrinya tetapi kepada pelapor yang bermaksud baik itu.
Sickles tahu betul bahwa istrinya genit dan bebas dalam pergaulan dengan lelaki tetapi sedikitpun tak pernah sangsi akan kesetiaannya Sampai di rumah Dan Sickles menceritakan “fitnah’’ yang didengarnya dari kenalan itu kepada Teresa.
Terasa mengakui terus terang bahwa ia memang ke sebuah losmen bersama Key tetapi hanya untuk makan malam.
“Sekali lagi, aku tak percaya omongan itu. Kamu istriku yang setia. Untuk menghindari percakapan orang, baiklah lain kali kau jangan keluar rumah dengan seorang lelaki jika saya sedang ke luar kota”.
Satu tahun berlalu tanpa Dan Sickles mendengar sesuatu yang mencemarkan nama istrinya. Sebagai anggota Kongres Sickles semakin tertelan oleh kegiatan-kegiatannya. Pada waktu itu memang banyak permasalahan, antara lain soal budak belian, soal hak-hak negara bagian, ancaman bahaya perang saudara. Untuk menjajaki pendapat para pemilih yang diwakilinya, Sickles semakin sering pergi ke New York dan menginap berhari-hari di sana.
Kamis tanggal 24 Februari 1859. Hari itu Sickles mengadakan jamuan malam di rumahnya di Sixteenth Street. Di antara para undangan tampak Philip Barton Key. teresa duduk di sampingnya tetapi ia tidak memberinya perhatian yang lebih besar dari yang diberikannya kepada tamu-tamu pria lain.
Menjelang akhir jamuan malam, seorang pelayan menyampaikan sepucuk surat kepada Dan Sickles. Tanpa membacanya — karena sedang asyik berbicara dengan para tamu — surat itu dimasukkannya ke dalam saku.
Baru tengah malam sebelum tidur, Dan Sickles ingat akan surat itu. Isinya ternyata menyangkut perzinaan istrinya. Penulis surat yang hanya membubuhkan inisial namanya, R.P.G., tidak ia kenal. Tetapi kali ini Dan Sickles rupanya percaya akan kebenaran laporan. Tangannya gemetar dan mukanya pucat ketika ia membaca baris-baris berikut yang rupanya ditulis oleh tangan wanita:
HON. DANIEL SICKLES
DEAR SIR,
Dengan hati sedih saya menyampaikan beberapa baris berikut ini kepada Anda. Tetapi saya merasa wajib melakukan itu. Tak sampai hati saya melihat Anda begitu dipermainkan.
Seorang bandot (kata ini boleh saya gunakan, karena ia sama sekali bukan seorang gentleman) bernama Philip Barton Key menyewa sebuah rumah seorang negro bernama John A. Gray di Fifteenth Street semata-mata sebagai tempat pertemuan antara dia dengan istri Anda. Ia menggantungkan seutas tali di jendela sebagai tanda untuk istri Anda, bahwa ia ada di dalam. Dan ia membiarkan pintu tak terkunci hingga istri Anda dapat masuk. Sungguh kata saya, ia menggauli istri Anda seperti Anda sendiri.
Inilah sekedar laporan saya. Terserah selanjutnya kepada Anda.
Hon Daniel Sickles
Dear Sir.
Keesokan harinya, Jumat tanggal 25 Februari, jam 9 pagi, Sickles ke Capitol. Ia mencari sahabat karibnya Woolridge, seorang pegawai Dewan Perwakilan dan memperlihatkan surat kaleng di atas kepadanya.
Sambil mencoba menenangkan, Woolridge menyatakan, bahwa beberapa bulan sebelumnya, ia memang pernah mendengar desas-desus tak baik tentang Key dan Teresa. Tetapi Woolridge tak mau memberitahu Sickles karena merasa belum pasti akan kebenaran percakapan orang itu. Takut meretakkan hubungan antara Sickles dan istrinya dengan berita yang belum pasti.
“Saya sendiri juga pernah mendengar informasi semacam. Tetapi saya waktu itu tolol. Tidak berterima kasih, tapi malahan mencaci-maki informan”, Sickles bergumam.
Akhirnya Dan Sickles minta kepada Woolridge untuk mengecek kebenaran surat R.P.G.
Hari berikutnya, Sabtu tanggal 26 Februari, Woolridge telah datang dengan hasil-hasil penyelidikannya.
Memang Philip Barton Key menyewa rumah di 15th Street sebagai tempat kencan dengan Teresa dan semata-mata untuk tujuan ini. Yang diperlengkapi dengan mebel dan peralatan-peralatan lain hanya sebuah kamar tidur. Biasanya Teresa datang ke situ menjelang sore. Datang pergi, mukanya selalu dikerudungi tetapi orang-orang sekitar toh mengenalinya.
Bukan saja orang-orang sekitar, tetapi pelayan-pelayan rumah Sickles sendiri mengetahui hubungan asmara antara Teresa dan Key.
Sebab Key berani datang di rumah Sickles dan bercumbuan dengan Teresa di situ. Bahkan pernah mereka berdua mengunci diri di kamar tidur — sementara para pelayan sambil menahan ketawa pasang telinga, untuk mendengarkan apa yang kiranya terjadi di dalam.
Key menyewa pula kamar di Cosmos Club yang terletak di seberang taman depan rumah Sickles. Dari sebuah jendela di Cosmos Club itu Key mempunyai pandangan pada rumah Sickles. Dari jendela itulah, dengan sebuah teropong jarak jauh yang biasa digunakan oleh penonton opera, Key mengamati pintu rumah Sickles. Begitu melihat Teresa keluar ke jalan, segera Key turun untuk menyertainya.
Kadang-kadang Key lewat di depan rumah Sickles dan mengangkat sapu tangannya naik turun tiga kali. Ini kode, bahwa ia sedang menuju ke rumah di 15th Street dan bahwa Teresa diharapkan segera menyusulnya ke sana.
Dengan hati yang patah Sickles terhuyung-huyung menyeret merah padam ia berkata dengan nada formal kepada istrinya: “Nyonya, silakan ke kamar nyonya sekarang ini juga!” Pucat dan ketakutan Teresa menuruti perintah suaminya tanpa membantah sedikitpun.
Kepada istrinya yang duduk gemetar di ujung ranjang, Sickles berkata: “Apakah ini mempunyai arti bagimu?” Bertanya demikian, Sickles menaik-turunkan saputangan tiga kali. “Atau ini: sebuah rumah di Fifteenth Street? Atau lagi ini: seutas tali yang tergantung dari jendela? Atau ini: seorang lelaki yang mengamati rumahku dengan teropong opera? Seorang lelaki bernama Philip Parton Key?”
Teresa memerah mukanya, kemudian pucat lesi. Ia meraih gelas meja dekat ranjang dan berusaha mengisinya dengan air dari sebuah kan. Tetapi pada saat itu tenaganya hilang. Gelas dan kan jatuh berdering di lantai dan Teresa jatuh terkulai di atas ranjang. Ia pingsan.
Sickles menyuruh seorang pelayan menolongnya. Setelah sadar kembali, Teresa mengakui semua penyelewengannya dengan Key. Ia mencoba meringankan kesalahannya dengan alasan bahwa tubuhnya mendambakan cinta tapi, sejak terpilih menjadi anggota Kongres, tampaknya Dan tak cukup waktu untuk memberinya kepuasan penuh-penuh. Sickles mendekat hendak menamparnya, tetapi akhirnya menahan diri.
“Pukullah! Pukul aku!”. Teresa menangis. “Aku sepantasnya kau pukuli”.
“Tidak”, kata Sickles. “Aku punya hukuman lain bagimu”. Duduklah di situ, pada mejamu, dan tulis semua kecemaranmu, sampai hal yang sekecil-kecilnya. Setelah itu kamu harus meninggalkan rumah ini dan kembali pada orang 'tuamu. Kamu bukan istriku lagi”.
Teresa menurut segala perintah itu. Dan Sickles menghendaki agar seorang pelayan menyaksikan (dari jauh, tapi masih melihat jelas) Teresa menulis pengakuannya. Ini ia maksud sebagai saksi, bahwa Teresa membuat pengakuannya tanpa paksaan apapun, apalagi siksaan.
Dokumen pengakuan Teresa masih tersimpan seperti adanya. Di dalamnya tercermin keadaan mental penulisnya yang tercekam ketakutan. Di sana-sini isinya meloncat-loncat, ditulis dengan gaya telegram. Dengan beberapa kutipan lengkap, inti pengakuan itu sebagai berikut.
Teresa mengakui sering ke rumah di 15th Street dengan Mr. Key, entah berapa kali. Rumah itu kosong, tak ada makanan ataupun minuman. Kamar dihangatkan dengan tungku api.
“Mulai ke sana akhir Januari. Di sana berduaan dengan Mr. Key. Biasanya di sana satu jam atau lebih. Di tingkat dua ada ranjang. Saya melakukan yang biasa diperbuat perempuan jahat. Keintiman mulai dimusim dingin, ketika saya datang dari New York… Bertemu 12 kali atau lebih, pada jam-jam yang berlainan”.
Lalu Teresa menceritakan hubungannya yang terakhir. “Rabu yang lalu ke sana, antara jam 2 dan 3. Saya bertemu dengan Mr. Key di 15th Street. Masuk lewat pintu belakang. Masuk ke kamar tidur yang sama, dan di sana omong-omong secara tak pantas. Saya menanggalkan pakaian. Mr. Key jtiga menanggalkan pakaian. Ini terjadi hari Rabu, 23 Februari 1859.”
“Mr. Key pernah mencium saya di rumah, ini beberapa kali. Saya tidak menyangkal bahwa kami pernah berhubungan di rumah ini (musim sergi setahun yang lalu, di ruang tamu di atas sofa. Mr. Sickles kadang-kadang keluar kota dan kadang-kadang di Capitol. Saya kira hubungan intim mulai bulan April atau Mei 1858”.
Demikian seterusnya, pengakuan itu melukiskan secara mendetail pakaian yang ia kenakan pada waktu-waktu mengunjungi Mr. Key. Mr. Key pernah menggunakan kendaraan Mr. Sickles. Pernah mampir di rumah Mr. Sickles tanpa sepengetahuan yang akhir ini dan itu terjadi setelah Mr. Sickles memperingatkan Teresa jangan menerima Key atau pergi berduaan dengannya jika Mr. Sickles tak ada di rumah.
“Ini pengakuan sesuai kenyataan, saya tulis sendiri tanpa paksaan Mr. Sickles, tanpa pengampunan atau hadiah, dan tanpa ancaman darinya. Ini saya tulis di kamar tidur saya, dengan pintu terbuka dan pelayan saya menyaksikan dari luar kamar.”
Teresa Bagioli Washington, D.C, 26 Februari, 1859.
Selesai menulis pengakuannya, sore itu juga Teresa meninggalkan rumah dan pulang ke New York, sesuai dengan perintah Sickles.
Malam itu Sickles seorang diri di rumah. Tapi hari berikutnya, atas undangannya, dua orang sahabat karib mendatanginya di rumah Minggu 27 Februari. Kedua sahabat itu jalah Woolridge yang telah kita temui di atas, dan seorang politikus bernama Butterworth. Bertiga mereka duduk di bibliotik Mr. Sickles yang memberi pandangan ke jalan di luar.
Sickles membuka hatinya. Ia merasa seluruh hidup dan kariernya hancur karena kelakuan istrinya. Tapi Butterworth menyatakan sama sekali tak pernah mendengar tentang penyelewengan Teresa.
Ia menasehatkan kepada Sickles untuk menjaga jangan sampai berita yang mencemarkan nama keluarga Sickles ini tersiar di kalangan luas, apalagi di New York mengingat bahwa Sickles adalah anggota Kongres dari kota ini. Woolridge pun sependapat dengan Butterworth.
Selama pembicaraan ini Sickles memandang ke luar jendela. Tiba-tiba ia bangkit dari kursinya, sambil menunjuk ke arah luar dengan tangan gemetar. Ternyata di jalan di depan rumah tanpa Philip Burton Key sedang berjalan mondar-mandir sambil mengeluarkan sapu tangannya dan mengangkat benda ini naik turun tiga kali. Kode rahasia bagi Teresa.
Rupanya Key tidak tahu bahwa asmaranya dengan Teresa telah diketahui oleh Sickles apalagi bahwa sang kekasih sudah diusir keluar kota oleh suaminya. “Lihat, bangsat itu!” Sickles berteriak. “Ya, Tuhan, ini sungguh menjijikan!”
Apa yang terjadi dikemudian, tak begitu jelas karena para saksi, terutama Woolridge dan Butterworth, tak banyak memberikan keterangan. Entah karena mereka tak mau memberikan kesaksian-kesaksian yang memberatkan Sickles, entah karena takut tersangkut-sangkut dalam perkaranya.
Bagaimanapun juga, menurut rekonstruksi berdasarkan keterangan-keterangan yang ada, pada garis besarnya urutan kejadian adalah sebagai berikut.
Setelah melihat Key mondar-mandir, Sickles tiba-tiba berdiri dan meninggalkan ruangan bibliotik. Sesaat kemudian ia muncul lagi dan telah mengenakan mantel tebal walaupun bulan Februari itu hawanya tidak begitu dingin. Katanya ia mau ke Cosmos Club sebentar. Bersama Sickles, kedua tamunya pun tentu saja pergi pula.
Sickles menemui Key dan berteriak mengguntur: “Key, bangsat kau. Kamu telah mencemarkan rumahku kau harus mati!” Pada saat itu juga Sickles merogoh saku mantolnya lalu menodongkan pistol Colt. Ia menembak Key dan melukainya ringan, Sickles mencoba menembak lagi, tapi pistolnya macet.
Beberapa orang di antaranya Butterworth dan Woolridge, melihat kejadian ini dari kejauhan, tetapi tak ada yang turun tangan. Menurut sementara saksi, Key setelah terluka, bergumul dengan Sickles dan memukul kepala penyerangnya dengan teropong.
Bahwa Key bersembunyi di belakang sebuah pohon dan melempar Sickles dengan teropongnya. Bagaimanapun juga, Sickles menembak lagi Key, kali ini dengan pistol kecil yang dikeluarkan dari sakunya yang lain. Key terkapar di tanah. Kemudian Sickles menempelkan moncong senjatanya pada kepala korbannya. Sekali lagi Sickles berteriak: “Key, kau telah mencemari rumahku kau harus mati”.
Key berusaha bangkit meminta-minta jangan ditembak. Tapi Sickles tak menghiraukannya. Pelatuk pestol ditariknya dan Key terdiam dan tak berkutik lagi. Ia diangkut ke Cosmos Club dan meninggal setengah jam kemudian.
Sickles sementara itu dengan tenang kembali ke rumahnya, mencuci tangannya lalu menyerahkan diri kepada Jaksa Agung Amerika Serikat. Dengan perasaan enggan, Jaksa Agung memerintahkan agar Sickles dipenjarakan. Tetapi cara-cara penahanan anggota Kongres ini sangat lunak. Ia tak dimasukkan ke dalam sel, tapi mendapat kamar yang bagus di markas penjaga penjara. Para anggota kabinet banyak yang menjenguknya di situ. Presiden Buchanan sendiri tidak mengunjunginya di penjara, tetapi menghiburnya dengan sepucuk surat.
Sidang yang mengadili perkara Sickles membuat para wartawan bahagia, karena koran mereka akan sangat laku, tetapi menempatkan para petugas pengadilan pada posisi yang sulit.
Jaksa Robert Ould misalnya, yang bertindak sebagai penuntut menghadapi kesulitan berikut. Ia adalah pengganti almarhum Philip Barton Key sebagai jaksa distrik Columbia. Jika ia mengajukan tuntutan keras, namanya akan hancur di mata Partai Demokrat yang pada waktu itu sedang berkuasa dan dalam mana Ould tergabung. Tapi jika tuntutannyai tidak keras, ia akan dikecam sebagai penegak hukum yang lemah. Dengan hati-hati sekali ia memilih jalan tengah, Rekwisitoarnya mantap, tetapi pada akhirnya ia toh minta agar tertuduh dibebaskan.
Proses dimulai pada tanggal 4 April 1859 dan berlangsung selama 3 minggu. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk menyeleksi juri. Sickles dibela oleh 3 orang advokat terkemuka, satu di antaranya Edward M. Stanton, tahun berikutnya akan terpilih menjadi Jaksa Agung dibawah Presiden Buchanan dan pada tahun 1862 akan menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet Lincoln.
Dalam pembelaan para pengacara terus terang mengakui bahwa klien mereka telah membunuh Key, tetapi mereka mengemukakan bahwa Sickles layak berbuat demikian karena Key memperdayakan Teresa kedalam perzinahan dengannya.
Para pembela menyebut “hukum tak tertulis” dan ini terjadi untuk pertama kali di Amerika dalam suatu perkara yang menarik perhatian seluruh negara. Seorang suami demikian kata mereka mempunyai hak untuk membunuh seorang lelaki yang kedapatan berzina dengan istrinya. Suatu pendapat yang aneh bagi pengertian hukum kita yang hidup di abad 20. Para pembela bahkan sampai mengemukakan keyakinan mereka, bahwa pembunuhan dengan alasan seperti itu tidak hanya dibenarkan kalau sang suami menangkap basah lelaki itu pada saat sedang berzina dengan istrinya, tetapi juga tanpa menangkap basah. Yang pokok bukanlah bagaimana cara memergok, tetapi kenyataan bahwa orang itu sungguh-sungguh telah berzina dengan istrinya. Dan kesaksian-kesaksian bahwa Key telah berzina dengan Teresa memang melimpah.
Alasan kedua yang diajukan para pembela ialah bahwa Sickles “sedang dalam keadaan gila” pada waktu membunuh korbannya. Alasan seperti ini di zaman kita kerap kali dilontarkan di ruang pengadilan, tetapi di Amerika sebelum proses Sickles belum pernah diajukan. Jaksa Ould mencoba menangkis alasan ini, tapi tanpa banyak hasil. Sejumlah sahabat dan kenalan Sickles memberi kesaksian tentang keadaannya “seperti orang linglung” (“aberrated”) setelah membaca surat kaleng dari R.P.G. tersebut diatas. “Ia berbuat seperti orang gila”, demikian pernyataan seorang saksi dibawah sumpah, “Saya takut kalau-kalau ia menjadi gila untuk selama-lamanya”, kata seorang lagi.
Sebelas di antara 12 juri sudah dapat menentukan sikap selagi mereka masih duduk di ruang pengadilan. Hanya seorang yang lebih dari satu jam lamanya tetap ragu-ragu. Anggota juri yang saleh ini berlutut di sudut ruang sidang juri dan berdoa mohon bimbingan Tuhan dalam perkara ini. Dan akhirnya ia berdiri dan menjatuhkan keputusan yang sama dengan pendapat rekan-rekannya “Tidak bersalah”.
Sorak sorai meledak ketika keputusan ini diumumkan dan Hakim Crawford membebaskan Sickles dari tahanan. Oleh para sahabatnya Sickles segera, dipikul di atas pundak dan dibawa keluar gedung pengadilan.
Di jalan para sahabat itu berdansa dan menari-nari, melepaskan kuda dari kereta Sickles dani menarik sendiri kendaraan itu. Sickles diarak ke rumahnya seperti seorang pahlawan. Menjadi lebih populer lagi nama Sickles ketika pada bulan Juli 1859 ia menerima lagi Teresa sebagai istrinya. Kepada orang-orang yang mengecam tindakannya ini, Sickles berkata: “Sepanjang pengetahuan saya tidak ada pasal atau ranya. Ada pula yang mengatakan kode moral yang menyatakan bahwa mengampuni seorang wanita adalah perbuatan hina”.
Teresa meninggal beberapa tahun kemudian. Sementara itu suaminya menjadi anggota Kongres sampai tahun 1861. Ketika Perang Saudara pecah, Sickles kembali ke New York untuk menyusun pasukan ”Excelsior Brigade”. la mula-mula mendapat pangkat kolonel dalam Union Army, kemudian naik menjadi Brigadir Jendral dan pada tahun 1863 ia menjadi Mayor Jendral. Dalam salah satu pertempuran yang ia pimpin, separuh dari anak buahnya tewas sedangkan ia sendiri kehilangan salah satu kakinya yang terpaksa dipotong setelah terluka oleh ledakan granat.
Karier Sickles sebagai tentara berakhir di sini. Setelah itu pada tahun 1865 ia dikirim oleh pemerintah A.S. dengan suatu tugas rahasia ke Amerika Latin. Tahun 1869 ia ditunjuk sebagai Duta besar untuk Spanyol.
Sebagai seorang diplomat Sickles tidak berhasil sedangkan dalam kehidupan pribadinya ia ternyata tak tahu diri. Di bidang kehidupan seks ia tidak lebih saleh dari pada almarhum Philip Burton Key. Selama tahun pertama kediamannya di Madrid, Sickles mempunyai seorang kekasih ternama, yaitu Ratu Elisabeth II sendiri hingga beberapa waktu diplomat AS itu di Eropa terkenal sebagai ”Le Roi Americain de l Espagne” (Raja Amerika di tahta Spanyol). Tahun 1870 Isabella meninggalkan suaminya dan merelakan tahtanya kepada puteranya, Alphonso XII.
Sickles tetap menjabat Duta besar AS untuk Spanyol sampai tahun 1873. Sementara itu pada tahun 1871 ia menikah dengan seorang wanita dari lingkungan istana Sepanyol, Senorit Carmina Creagh.
Sekembalinya ke negaranya, Sickles beberapa tahun menjadi ketua Panitia Monumen-monumen AS dan tahun 1890 menjadi anggota Kongres lagi. Selama tahun-tahun terakhir hidupnya Sickles terus menerus mengalami kesulitan keuangan. la meninggal pada tahun 1914 pada usia 89 tahun.
(Bahan dari: Secret of the House on Fifteenth Street, tulisan Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Kekasihnya Tewas di Jalanan
" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835219/rumah-mesum-di-fifteenth-street" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169809000) } } [15]=> object(stdClass)#177 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3835199" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#178 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/kematian-dalam-suasana-bulan-mad-20230804052206.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#179 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(133) "Detektif H.G. Julian ditugaskan oleh perusahaan asuransi mengusut kasus pembayaran asuransi suami seorang janda muda bernama Emilie. " ["section"]=> object(stdClass)#180 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/kematian-dalam-suasana-bulan-mad-20230804052206.jpg" ["title"]=> string(33) "Kematian dalam Suasana Bulan Madu" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-04 17:22:18" ["content"]=> string(22892) "
Intisari Plus - Detektif H.G. Julian ditugaskan oleh perusahaan asuransi mengusut kasus pembayaran asuransi suami seorang janda muda bernama Emilie. Ada kecurigaan, korban mati karena diracun.
----------
Tugas pengusutan yang dibebankan kepada detektif H.G. Julian oleh perusahaan asuransi Mutual Life of New York pada bulan Maret 1892, semula tampaknya tidak akan terlalu sulit penyelesaiannya. Beberapa data jelas dapat dijadikan titik tolak. Dan Julian seorang detektif yang banyak pengalaman di bidang perasuransian — pengalaman yang menanamkan padanya sikap aneh, yaitu curiga terhadap setiap orang, betapa jujur pun kelihatannya apabila orang itu mempunyai sangkut paut dengan pembayaran asuransi.
Soalnya sebagai berikut. Seorang janda muda yang sedang mengandung 6 bulan, minta pembayaran asuransi suaminya pada Mutual Life — salah satu perusahaan asuransi yang terbesar di Amerika Serikat di waktu itu. Emilie, demikian nama wanita tersebut, rupanya sebelum menikah resmi, telah menjalin hubungan cinta dengan almarhum suaminya, Gustave Joseph Baum. Ketika mereka menikah, kandungan Emilie telah berumur lebih dari 4 bulan.
Pada Mutual Life, Joseph Baum mengasuransikan diri lewat sebuah kantor cabang perusahaan tersebut di Chicago, yaitu pada tahun 1891, kira-kira 9 bulan sebelum meninggal. Ketika itu Baum menyalakan umur 40 tahun dan masih bujangan. Sebagai pewaris dalam polisnya tercantum “Estate”, tetapi kemudian diganti dengan kata-kata “Emilie Rathier Baum, Istri”, yaitu setelah Baum mengakhiri hidupnya membujang. Jumlah uang asuransi $ 3.500.
Perkawinan dilangsungkan di Chicago tanggal 11 Februari 1892. Temanten baru itu kemudian berbulan madu dan mampir di New York karena Joseph Baum mempunyai sesuatu urusan dagang di situ. Pada waktu inilah Baum meninggal — hanya satu setengah bulan setelah menikah.
Sebelum membayar uang, Mutual Life merasa perlu mengadakan penyelidikan. Dan ternyata bahwa Baum diasuransikan di beberapa perusahaan lain, yaitu pada Washington Life banyak $ 1.000, pada New York Life sebanyak $ 1.000 pada Aetna sebanyak $ 1.000 pula. Washington Life dan New York Life telah membayarkan uangnya, sedangkan pada Aetna prosedur yang mendahului pembayaran telah selesai, dan uang sudah siap untuk diambil oleh Emilie. Anehnya lagi pada semua perusahaan itu Baum belum lama mengasuransikan diri.
Keseluruhan data-data itu menimbulkan kecurigaan. Maka Mutual Life menugaskan H.G. Julian mengadakan pengusutan.
Menurut surat-sura resmi yang diperlihatkan oleh Emilie Baum pada waktu mengajukan permintaan pembayaran uang asuransi, upacara pernikahannya dengan Mr. Baum dilangsungkan di Chicago pada tanggal seperti disebutkan diatas (11 Februari 1892). Upacara dipimpin oleh pendeta Frank Werner.
Sementara itu mengenai meninggalnya Baum, diketahui dari surat kematiannya bahwa sebabnya ialah penyakit disentri. Surat kematian yang ditandatangani oleh Dr. Samuel B. Minden itu, lebih jauh menyatakan bahwa Gustave Joseph Baum meninggal di East Thirteenth Street 320, New York pada tanggal 30 Maret 1892.
Langkah pertama yang diambil Julian jalah menghubungi Dr. Minden.
“Saya merawat Baum sejak tanggal 1 Maret”, demikian dokter itu menerangkan setelah membuka catatan tentang pasiennya. “Saya Memeriksanya kira-kira 12 kali. Ia mencret-mencret. Saya sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi penyakitnya bertambah parah terus. Pendapat saya, ia sakit disentri. Tak dapat disangsikan bahwa ia meninggal. Saya sendiri, menyaksikannya.”
Atas pertanyaan, siapa lagi yang menyaksikan kematian Baum selain Mrs. Baum dan ia sendiri, Dr. Minden menjawab: “Dua orang lelaki yang serumah dengan Mr. Baum dan istrinya.”
“Yang satu berperawakan tinggi, hidungnya rupanya pernah patah. Yang lain agak pendek, lebih tua dan berkumis merah. Saya tak tahu bagaimana hubungan kedua lelaki itu dengan suami istri Baum. Entah masih famili entah hanya mondok.”
“Lelaki yang hidungnya patah diperkenalkan oleh Baum sebagai August Wimmers sedangkan yang lain bernama William Reuter”.
Dari rumah Dr. Minden, Julian langsung menuju alamat Mrs. Baum di East Thirteenth Street 320. Pintu dan jendela-jendela ternyata tertutup. Mrs. Baum tak ada di rumah, begitu pula penghuni lainnya.
Pemilik rumah meminjami Julian kunci dan detektif ini segera melakukan penyelidikan. Semua kamar-kamar diperiksanya. Keadaan rumah memberi kesan bahwa penghuninya berangkat tergesa- gesa. Rupanya melarikan diri.
Lantai kotor, di sana-sini berserakan botol-botol kosong dan sobekan kertas. Di antara benda-benda yang terdapat dalam kamar, Julian menemukan lima enam botol kosong yang tadinya berisi minyak. Di samping itu ia menemukan pula amplop berisi bubuk kristal berwarna putih. Julian membawa botol bekas tempat minyak dan amplop berisi kristal itu ke Prof. Doremus, seorang ahli kimia.
“Minyak croton”. Kata Doremus setelah menganalisis isi botol. “Suatu zat yang efektif sekali untuk cuci perut. Apa hubungannya dengan pengusutan soal asuransi”, ia melanjutkan sambil tertawa. Tetapi suasana lucu berubah menjadi serius setelah Doremus memberikan isi amplop. Bubuk kristal putih itu ternyata racun arsenikum. Rupanya Baum berminggu-minggu diberi minyak croton hingga menjadi seperti orang disentri, lalu akhirnya diracun, kata Julian kepada Prof. Doremus. Rupaya diracun oleh Emilie.
Segera detektif itu mengunjungi pemeriksa mayat New York County, Otto Schultze dan meminta kepadanya agar mayat Baum digali dan periksa, karena barangkali saja ia mati akibat pembunuhan. Dugaannya tidak meleset. Ketika dibedah, perut Baum ternyata penuh racun arsenikum. Schultze memberitahukan hasil pemeriksaan mayat ini kepada polisi. Sementara itu Julian belum mau minta bantuan polisi dan meneruskan sendiri penyelidikannya.
Ia kini ke Chicago untuk menemui pendeta yang menikahkan Joseph Baum dan Emilie Rathier, yaitu Frank Werner. Pendeta ini menyatakan bahwa Baum dan Emilie sebetulnya tidak termasuk lingkungan umat yang digembalakannya. Ia tak pernah mengenal mereka sebelumnya. Pada suatu hari lelaki dan wanita itu datang menghadapnya dan minta dinikahkan. Mereka membawa dua orang saksi. Menurut catatan dalam buku register perkawinan, dua saksi itu bernama August Wimmers dan William Reuter.
Masih menurut Frank Werner, alamat Emilie, Joseph Baum maupun dua orang saksi perkawinan itu sama, yaitu Twelfth Street 119, Chicago.
Setelah dicocokkan, alamat ini ternyata sama dengan alamat Baum seperti tercantum dalam keempat surat asuransinya.
Kini Julian mencapai rumah di Twelfth Street 119 Chicago itu. Ternyata bangunan yang terjadi dari beberapa apartemen. Penjaga pintu alamat tersebut tidak mengenal orang yang bernama Baum ataupun Wimmers. Ia hanya mengenai William Reuter dan Istrinya yang tinggal di apartemen sampai bulan Februari 1891.
Lukisan yang diberikan oleh penjaga pintu tentang Mrs. Reuter, persis sama dengan Emilie Baum seperti ia dilihat oleh pegawai Mutual Life yang menerima wanita itu ketika datang minta pembayaran asuransi almarhum suaminya.
Gambaran tentang duduk persoalan asuransi Joseph Baum dan hubungan lelaki ini dengan Emilie menjadi aneh. Dalam bulan Februari 1891 Emilie masih istri William Reuter dan sudah mengandung 4 bulan. Tetapi pada bulan itu juga pada suatu hari ia menikah dengan Joseph Baum Dan Reuter rela saja istrinya kawin dengan Baum. Ia bahkan menjadi saksi dari perkawinan itu, dan kemudian menemui bekas istrinya berbulan madu dengan suaminya yang baru.
Sungguh aneh. Bisa disusun teori bahwa Baum psikis lemah dan teramat dungu hingga mudah dipermainkan oleh Reuter. Tetapi kesan tolol sama sekali tidak diberikan oleh orang ini, yang mengasuransikan diri pada 4 perusahaan asuransi. Teori lain yang dapat disusun ialah bahwa Baum mengasuransikan diri dengan maksud menipu. Dalam hal ini, mengapa ia membiarkan diri disuapi minyak croton terus menerus selama tiga empat minggu?
Julian masih beberapa hari singgah di Chicago tanpa mendengar sesuatu tentang Emilie, Reuter ataupun Wimmers. Kemudian ia kembali ke New York dan segera mengirimkan surat edaran kepada instansi-instansi penegak hukum di seluruh negara dengan disertai kisah pembunuhan Baum dan gambaran tentang tiga oknum yang erat hubungannya dengan peristiwa itu.
Beberapa bulan berlalu tanpa ada perkembangan sedikitpun. Tapi pada pertengahan bulan Oktober akhirnya tercium jejak William Reuter. Ketika itu Julian menerima kawat dari komandan polisi Baltz dari Toledo di Ohio, mengabarkan bahwa ia sedang mencari seorang pembunuh bernama Hugo Wayler yang mencoba menipu perusahaan asuransi Equitable Life Assurance Society tapi gagal. Pembunuh ini mirip sekali dengan William Reuter seperti dilukiskan oleh Julian dalam surat edarannya. Melihat cara-cara penipuan, kemungkinan besar Reuter dan Wayler adalah satu oknum yang sama.
Julian kini berangkat ke Toledo untuk menemui komandan Baltz. Di sana Baltz membeberkan perkara pembunuhan yang sedang diusutnya.
Dalam bulan Mei — dua minggu setelah peristiwa peracunan Baum, seorang bernama Wayler menyewa kamar di hotel Detroit sebagai penghuni sementara. Pada suatu hari dalam bulan yang sama, Wayler menanyakan pada Equitable Life Assurance tentang syarat-syarat asuransi, karena ia bermaksud mengasuransikan Miss Mary Neiss. Wanita muda yang tinggal sehotel dengannya ini, katanya tunangannya.
Miss Neiss jadi diasuransikan. Menurut keterangannya sendiri Miss Neiss berumur 28 tahun dan dilahirkan di South Bend, Indiana. Beberapa minggu setelah polis keluar, perusahaan Equitable menerima berita dari Miss Neiss bahwa ia pindah ke Daw Street 854, Toledo, dan bahwa Wayler, tunangan dan ahli waris asurannya pun tinggal di alamat yang sama.
Empat bulan setelah itu. tanggal 11 Oktober, Wayler melaporkan kematian Miss Neiss pada kantor cabang Equitable di Toledo, dan minta pembayaran uang asuransinya sebanyak $ 5 ribu.
Perusahaan asuransi merasa perlu mengadakan pemeriksaan yang seksama sebelum membayarkan uang itu. la minta agar makam Miss Neiss digali lagi. Ketika peti jenazah dibuka, almarhumah ternyata bukan Miss Neiss.
“Ini pasti kekeliruan tukang kubur yang salah tunjuk. Baiklah soal ini saya urus dulu. Kita bertemu lagi di sini besok, setelah mendapat kepastian tentang tempat makam Mary”, kata Wayler yang tampak gugup.
Hari berikutnya Wayler tidak muncul. Dan petugas pemakaman menyatakan bahwa tak mungkin ada kekeliruan. Wanita yang dikubur ditempat itu dinyatakah oleh familinya bernama Mary Neiss. Kini Equitable Assurance merasa perlu mengadakan pemeriksaan jenazah. Dan ternyata wanita yang katanya bernama Mary Neiss itu mati akibat peracunan dengan arsenikum. Sementara itu Wayler sudah menghilang.
Julian tadinya mengira bahwa Mary Neiss sama dengan Emilie Baum. Tetapi dari lukisan yang diberikan oleh komandan Baltz, jelas bahwa almarhumah bukan Emilie Baum, Mary Neiss berambut coklat (Emilie pirang) dan terang tidak hamil dan tidak pula memperlihatkan bekas-bekas baru saja melahirkan anak (Eimilie menurut perhitungan baru saja beranak).
Langkah berikutnya yang diambil Julian jalah mencari alamat Miss Neiss di Daw Street 854, Toledo. Alamat ini ternyata sebuah pondok kecil. Dari para tetangga ia mendapatkan keterangan berikut.
Wayler dulu tinggal di situ dengan seorang wanita berambut pirang yang sedang mengandung dan seorang pembantu rumah tangga. Wanita berambut pirang itu kemudian melahirkan. Menurut keterangan Wayler kepada para tetangganya, wanita ini adik kandungnya yang ditinggal mati suaminya.
Mengenai pembantu rumah tangga, para tetangga Wayler menyatakan, bahwa wanita ini tak tinggal lama di Daw Street 854. Pada suatu hari ia tiba-tiba pergi dan digantikan oleh pembantu lain. Dan pembantu kedua inilah yang meninggal.
Tak lama setelah pembantu rumah tangga itu meninggal. Wayler dan “adik kandung”nya serta bayinya, meninggalkan Daw Street 854.
Julian mempunyai dugaan kuat bahwa Wayler dan Reuter adalah oknum yang sama. Sedangkan “adik kandung” lelaki ini tak lain daripada Emilie Baum. Rupanya Wayler semula bermaksud membunuh pembantunya yang pertama — Miss Neiss yang sebenarnya. Tetapi pembantu pertama ini, entah karena apa, pada suatu hari pergi meninggalkan majikannya. Dan sang majikan terpaksa mencari “Mary Neiss” kedua untuk dapat melaksanakan rencana menipu Equitable Assurance.
Seperti disebutkan di atas, Mary Neiss menyatakan berasal dari South Bend, Indiana. Julian pergi ke tempat ini dan berhasil menemukan orangtua Mary Neiss. Dari mereka ia mendapatkan gambaran berikut tentang hubungan gadis itu dengan Wayler, majikannya.
Mary memang pembantu rumah tangga Wayler. Tapi pada suatu ketika Wayler jatuh hati kepadanya dan berniat menikahinya. Mary tadinya bersedia menjadi istrinya, tetapi kemudian berkenalan dengan sahabat Wayler yang bernama Carl Muller. Mary jatuh cinta pada Muller dan melarikan diri dengannya. Mary pernah mengajak tunangannya mampir di rumah orang tuanya.
“Muller berperawakan tinggi, cakap, hanya hidungnya pernah patah”, kata orangtua Mary Neiss. “Mary dan tunangannya mengatakan akan pergi ke Chicago dan menikah di sana. Tetapi sejak keberangkatannya dengan Muller, Mary tak pernah menulis surat lagi.”
Jelas bahwa Carl Muller sama dengan August Wimmers. Jadi dari tangan Reuter alias Wayler, Mary jatuh ditangan Wimmers yang tentu juga ingin membunuhnya untuk mendapatkan uang asuransi.
Tanpa memberitahukan siapa sebenarnya Muller, Julian berpesan kepada orang tua Mary agar memberitahunya secepat mungkin apabila ada kabar dari anaknya.
Lebih dari 6 bulan berlalu tanpa ada titik terang dalam pengusutan ini. Sampai akhirnya dalam bulan Mei 1893 datang telegram dari orangtua Mary Neiss, yang mengatakan bahwa tanggai 29 April 1893 gadis ini telan menikah dengari Carl Muller dan mereka kini tinggal di Twenty Fourth Street 324, Chicago.
Julian seketika itu juga berangkat ke Chicago. Dengan bantuan polisi setempat ia menggerebek rumah Carl Muller. Orang ini memang ternyata identik dengan Agust Wimmers, sedangkan istrinya adalah Mary Neiss yang sebenarnya.
Muller alias Wimmers tak lagi dapat berkutik dan terpaksa membeberkan seluruh persoalan.
Bersama dengan Gustave Joseph Baum, Mr dan Mrs Reuter, ia memang mengadakan komplotan untuk menipu perusahaan-perusahaan asuransi. Dengan tujuan ini mereka berempat meninggalkan Chicago menuju New York, yaitu setelah Baum mengasuransikan diri pada 4 perusahaan.
Baum nama palsu. Nama sebenarnya Ludwig Brandt. Perkawinannya dengati Mrs. Emilie Reuter dilangsungkan dengan tujuan penipuan. Rencana semula ialah, di New York Baum akan berpura-pura sakit. Untuk itu ia minum minyak croton selama beberapa minggu. Seorang dokter diundang dan kepadanya diberikan kesan, seolah-olah penyakit Baum makin parah dan akhirnya “meninggal”: Sebagai bukti, Reuter akan mencari mayat melalui koneksi-koneksinya di beberapa rumah sakit — kata Reuter. Mayat itu akan dinyatakan sebagai mayat Joseph Baum.
“Itu rencana semula. Tetapi akhirnya, di luar pengetahuan Emilie dan saya tiba-tiba Reuter merubah rencana. Baum sungguh dibunuhnya dengan racun arsenikum”, kata Muller.
Kemudian komplotan mengalami kesulitan. Sepulangnya dari kantor Mutual Life, Emilie mengatakan bahwa perusahaan ini rupanya akan mengadakan penyelidikan karena merasa curiga. Bertiga, Reuter, Emilie dan Muller melarikan diri dari New York. Reuter dan istrinya ke Toledo sedangkan Muller kembali ke Chicago. Beberapa bulan kemudian, Muller mengunjungi Reuter di Daw Street 854, Toledo, untuk mengambil bagiannya dari keuntungan hasil penipuan.
“Pada waktu itulah saya bertemu dengan Mary Neiss. Saya suka padanya. Dalam kunjungan itu saya mendengar bahwa Mary telah diasuransikan oleh Reuter. Saya tahu, ini berarti ia akan dibunuh. Saya memang penipu, tetapi tak pernah saya tega membunuh seseorang. Dan saya tidak rela Mary dibunuh. Maka saya berusaha merayu dan memikatnya. Ini berhasil dan berdua kami melarikan diri.”
“Tadinya saya sama sekali tak bermaksud mengawininya. Tapi lama-lama saya jatuh cinta padanya. Akhirnya kami kawin pada bulan April yang lalu”.
Muller ditahan. Dalam penjara ia memberikan pengakuan lebih jauh. Ia menyatakan bahwa William Reuter dan Wayler keduanya adalah nama palsu. Penjahat ini sebenarnya seorang dokter. Nama sesungguhnya Dr. Henry C.F. Meyer.
Sungguh tak terduga oleh Julian dan polisi Chicago bahwa mereka akan berurusan dengan dokter pembunuh ini. Dr. Meyer beberapa tahun sebelum itu dikenal umum sebagai “tokoh” perkara pembunuhan yang menggemparkan. Ia lulusan sekolah kedokteran Chicago tahun 1873. Lima tahun kemudian ia menikah, tetapi istrinya yang ia asuransikan mahal, meninggal 12 bulan setelah perkawinan itu.
Dr. Meyer kemudian Bersahabat erat dengan keluarga Gederman yang kaya raya. Rumahnya tak jauh dari tempatnya buka praktek. Meyer menikah dengan jandanya. Ini terjadi pada tahun 1881. Mrs. Gederman membawa 2 orang anak almarhum suaminya. Harta kekayaan Mr. Gederman nanti jika tentu akan jatuh pada dua anaknya ini. Tapi ini tak terjadi karena 6 bulan setelah Mrs. Gederman menikah dengan Dr. Meyer, kedua anaknya meninggal — katanya karena kecelakaan ketika sedang mandi.
Kematian anggota Keluarga Gederman secara berturut-turut itu membuat pihak berwajib curiga. Meyer ditahan dengan tuduhan membunuh anak kedua almarhum Mr. Gederman. Karena permainannya, pengadilan membebaskannya dari tuduhan. Tapi istrinya yang merasa tak puas dengan putusan pengadilan itu minta cerai. Izin praktek Dr. Meyer kemudian juga dicabut oleh penguasa yang meragukan kejujuran dokter ini. Sejak itulah Dr. Meyer menghilang, entah kemana, sampai Carl Muller membuka tabir rahasia.
Tindakan cepat perlu segera diambil sebelum Dr. Meyer menerkam korban lagi. Usaha untuk menemukannya dipermudah dengan datangnya sepucuk surat dirumah Muller. Surat itu berasal dari Dr. Carl Shaffer, Clifford Street 123, Detroit. Isinya: Dokter ini ingin meminjam uang dari Muller untuk mengasuransikan seseorang yang akan menghasilkan keuntungan besar sekali. Dalam surat tersirat dengan jelas bahwa Dr. Shaffer termaksud membunuh orang itu.
Julian seketika itu juga kirim kawat kepada polisi Detroit. Bersama mereka ia menggerebek rumah di Clifford Street, dan berhasil menangkap si kumis merah Reuter, alias Wayler, alias Dr. Carl Shaffer yang nama sebenarnya adalah Dr. Meyer. Dengan Emilie yang menggendong anaknya yang baru berumur satu tahun, Meyer dimasukkan ke dalam penjara. Suami istri ini bersama Baum dituduh melakukan pembunuhan. Tetapi karena pengakuan Muller yang tampaknya jujur, akhirnya yang diajukan di pengadilan hanya Dr. Meyer saja.
Proses yang berlangsung pada bulan Desember 1893 ini gagal karena seorang juri sakit. Dalam bulan Mei 1894 diadakan proses lagi.
Entah karena apa, keputusan juri lunak. Dr. Meyer hanya dianggap bersalah melakukan pembunuhan “in the second degree”, — pembunuhan dengan sengaja tapi tidak direncanakan matang sebelumnya. Hakim Smyth marah-marah mendengar keputusan juri yang baginya tak masuk akal itu. “Kalau ada seseorang pembunuh yang pantas mendapatkan hukuman mati, Meyer-lah orangnya”, katanya mengecam para juri.
Hakim Smyth tak dapat menyimpang dari keputusan juri. Tapi ia menjatuhkan hukuman terberat yang dapat dijatuhkan menurut undang-undang yaitu: penjara seumur hidup.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Dalang dalam Selimut Pengawalan
" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835199/kematian-dalam-suasana-bulan-madu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169738000) } } [16]=> object(stdClass)#181 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799227" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#182 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/16-perkara-pembunuhan-wanita-boh-20230728054230.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#183 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Pernikahan Dokter Crippen dengan istrinya tidak bahagia. Suatu hari, ia dikabarkan pergi ke Amerika dan tidak pernah terdengar kabar beritanya." ["section"]=> object(stdClass)#184 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/16-perkara-pembunuhan-wanita-boh-20230728054230.jpg" ["title"]=> string(47) "Perkara Pembunuhan Wanita Bohemian Belle Elmore" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:42:38" ["content"]=> string(33565) "
Intisari Plus - Pernikahan Dokter Crippen dengan istrinya tidak bahagia. Selain selingkuh, Belle Elmore pun kerap bersikap kasar pada sang suami. Suatu hari, ia dikabarkan pergi ke Amerika dan tidak pernah terdengar kabar beritanya.
----------
TVRI pernah menyajikan sebuah film dengan tema perkara kriminal yang berjudul Dokter Crippen. Lelaki ini membunuh istrinya sendiri, Belle Elmore. Ia kemudian menjalin hubungan asmara dengan sekretarisnya. Kisah penangkapannya cukup menegangkan. Pengejaran dilakukan dengan mengerahkan alat-alat modern di waktu itu untuk bisa menahan tersangka yang sudah melarikan diri dari London menuju Kanada.
Cerita di film itu bukan khayalan. Perkara Dokter Crippen termasuk salah satu yang paling sensasional di awal abad ke-20. Bukan hanya karena alasan di atas, tapi terutama karena watak Crippen sendiri. “Wataknya adalah suatu yang masih belum bisa dimengerti sepenuhnya, juga oleh pengetahuan ilmu jiwa dewasa ini,” tulis Robin Squire dalam bukunya Classic Murders (terbitan tahun 1970).
Juga bagi mereka yang telah menyaksikan pemutaran filmnya oleh TVRI, kisah Dokter Crippen tetap menarik karena berbagai segi kehidupannya tidak terungkap dalam film tersebut.
Dokter yang pendiam, selalu mengalah, dan memperhatikan istrinya itu, tampaknya penuh kontradiksi. Dari satu sisi, perbuatan Dokter Crippen menurut anggapan umum sungguh tidak berperikemanusiaan. Terutama caranya melenyapkan mayat istrinya. Namun di sisi lain, lelaki yang serba tenang dan penuh perasaan itu, menurut berbagai kesaksian sama sekali bukan tipe orang yang tega menyakiti. Apalagi membunuh. Munculnya rasa simpati dan keharuan tidak bisa dihindari setelah melihat kemesraan cinta Dokter Crippen terhadap kekasihnya. Rasa cinta itu ditunjukkan sampai saat terakhir ia akan menghadapi hukuman mati.
Terlepas dari latar belakang dan motifnya, pembunuhan Belle Elmore oleh suaminya tidak menunjukkan sesuatu keistimewaan. Pembunuhan terjadi pada awal bulan Februari 1910. Untuk menyingkirkan istrinya, sang dokter menggunakan racun hyoscine yang dibelinya pada tanggal 10 Januari dari toko bahan kimia Lewis & Burroughs.
Untuk menghapus jejak-jejak perbuatannya, Dokter Crippen membantai mayat istrinya. Kepala dipisahkan dan dibuang entah ke mana. Tulang-tulang dan bagian tubuh yang dapat menjadi petunjuk bahwa mayat adalah seorang wanita itu diambilnya lalu dibakar. Jelas bahwa Crippen memanfaatkan keahliannya sebagai dokter dengan baik.
Setelah itu sang dokter menggali lubang kecil di lantai gudang bawah tanah. Sisa-sisa jenazah istrinya dimasukkan satu persatu ke dalam lubang sempit itu. Ia kemudian menimbun lubang dan menutupinya dengan bata seperti semula.
Pembantaian dilakukan di bak mandi agar darah tidak tercecer di mana-mana. Dengan genangan dan siraman air, segala noda dapat dengan mudah dihilangkan.
Dan memang, dengan cara-cara licik itu, Dokter Crippen cukup lama berhasil menutupi rahasianya. Kita perlu mengetahui riwayat hidup Dokter Crippen untuk memahami latar belakang perkaranya.
Hawley Harvey Crippen dilahirkan pada tahun 1862 di Coldwater, Michigan. Ayahnya seorang pemilik toko. Saat muda, Crippen belajar di Universitas California dan meneruskan pendidikan di Hospital College di Cleveland, Ohio. Di sana Crippen mendapatkan gelar M.D.
Tahun 1883 ia pergi ke Inggris dan keluar masuk berbagai rumah sakit dengan cara yang tidak menentu. Setelah itu ia kembali ke New York. Di sini ia berhasil menjadi spesialis telinga dan mata pada tahun 1885. Dokter Crippen kemudian membuka praktik sambil pindah ke lain tempat. Berbagai kota di Amerika dijelajahinya. Di setiap kota rata-rata ia tinggal selama 2 tahun.
Perantauan dan perpindahan tempat yang bertubi-tubi ini bisa dianggap sebagai gejala watak yang selalu gelisah. Tapi di lain sisi, masuk akal pula bahwa Dokter Crippen, yang tidak memiliki uang untuk melanjutkan studi, terdorong untuk mencari pengalaman sebanyak mungkin dengan cara yang agak awut-awutan itu.
New York pada waktu itu sudah menjadi kota kosmopolitan yang dipenuhi dengan hiruk pikuk kehidupan dan gejolak sosial. Di antara berbagai kelompok sosial di New York saat itu, ada kaum bohemian atau kaum hippies. Umumnya kaum bohemian terdiri dari para penulis yang kurang berhasil, penyair dan seniman kelas bawah, filsuf-filsuf tingkat kafe dan orang-orang dengan kecenderungan revolusioner.
Sebagian besar dari mereka adalah penganut paham free love atau cinta bebas. Ini adalah paham yang dianggap paling berbahaya oleh sebagian besar orang. Kata “bebas” artinya lepas atau bebas dari ikatan perkawinan.
Cinta dianggap semacam barang yang dapat diperjual belikan sebagai penikmat hidup atau dijadikan sebagai hadiah bila berkenan di hati.
Entah mengapa, tapi Crippen tertarik pada lingkungan kaum bohemian. Mungkin ketika berada di tengah mereka, ia mendapatkan hiburan bagi hatinya yang pedih karena kematian istrinya. Mungkin mereka dapat melengkapi kehidupannya yang dingin dan serba terkekang itu. Suasana di kalangan kaum bohemian serba bebas, gegap gempita, penuh tawa, dan luapan emosi.
Dokter Crippen yang kantongnya cukup tebal dan sifatnya pemurah, rupanya diterima dengan baik oleh para bohemian. Dan ia menikah dengan seorang gadis dari kalangan itu. Namanya Gora Turner (terlahir Kunigunde Mackamotzki). la berdarah campuran Rusia, Polandia, dan Jerman. Gadis inilah yang setelah menjadi Nyonya Crippen. Nyonya Crippen kemudian menjadi seorang penyanyi dengan nama Belle Elmore.
Berkulit kelam, gaya Cora memenuhi selera pentas meski ia tidak memiliki kecantikan yang luar biasa. Suaranya tinggi nyaring. Dokter Crippen seorang introver, sifatnya serba tertutup, pendiam, dan pemenung. Sebaliknya, Cora Turner adalah seorang ekstrover kelas wahid. Serba terbuka, periang, genit, dan lincah.
Secara fisik, Dokter Crippen bukan orang yang luar biasa. Perawakannya kecil. Wajahnya pucat dengan kumis lunglai yang mengesankan kesedihan. Kacamatanya tebal. Gerak langkah, cara bicara dan berpakaian serba rapi tapi kaku. Selalu penuh sopan santun. Semua itu sungguh kontras dengan tingkah laku Cora yang serba bebas dan gegap gempita, bahkan menurut ukuran kalangan kaum bohemian sendiri.
Pada waktu berkenalan dengan Dokter Crippen, sebenarnya Cora Turner sudah hidup bersama dengan lelaki lain. Tapi akhirnya ia bersedia melepaskan kekasihnya itu untuk menjadi istri sah Dokter Crippen.
Tahun 1899 Crippen pindah ke Philadelphia, tapi Cora tetap di New York karena sedang mengikuti kursus menyanyi. Wanita muda yang penuh ambisi itu bercita-cita untuk menjadi penyanyi opera — cita-cita yang melebihi bakatnya yang sebenarnya.
Dokter Crippen memberi dukungan penuh kepada istrinya. Dengan senang hati ia membiayai semua kursus yang diikuti Cora.
Tahun 1900 Dokter Crippen pindah ke Inggris untuk bekerja pada sebuah perusahaan obat-obatan. Ia berangkat sendiri karena Cora belum selesai dengan pendidikannya sebagai penyanyi.
Wanita itu baru menyusul suaminya 4 bulan kemudian sang suami berkali-kali memintanya dengan sangat agar Cora segera hidup di sampingnya. Cita-cita wanita itu untuk menjadi penyanyi opera gagal. Sebagai gantinya Cora memutuskan untuk menjadi penyanyi teater dan konser. Sejak itulah ia memakai nama panggung Belle Elmore.
Dokter Crippen tetap mendukung cita-cita sang istri. la membeli berbagai pakaian pentas yang serba mahal untuk keperluan Cora. la juga membayar agen-agen yang berhasil mendapatkan kontrak menyanyi bagi istrinya. Ia menyewa penulis naskah dan komponis yang harus mempersiapkan naskah-naskah untuk Belle Elmore di atas pentas teater.
Tapi malang bagi Belle Elmore. Saat itu di London sudah banyak artis-artis bermutu seperti Dan Leno, Marie Lloyd, dan Florrie Ford. Akibatnya, ia hanya mendapatkan kontrak di gedung teater kelas dua. Memang hanya sampai taraf itu kemampuan Cora Turner. Satu-satunya kesempatan yang ia peroleh untuk tampil di gedung teater kelas satu adalah ketika ada aksi mogok rombongan yang mestinya mengisi acara.
Walaupun kesuksesannya sebagai penyanyi itu terbatas, Belle Elmore masih masuk dalam dunia penyanyi teater. Ia juga menjadi anggota Music Hall Ladies Guild yang berusaha membantu para artis yang menemui kesulitan. Ia bahkan menjadi bendahara kehormatan dari organisasi ini. Sikap Dokter Crippen pada sang istri tidak berubah. Dengan sikap murah hati yang luar biasa, ia memenuhi segala kebutuhan istrinya. Terus-menerus ia melimpahinya dengan hadiah berupa pakaian, mantel kulit yang mahal, dan perhiasan emas, intan, serta berlian.
Seringkali Dokter Crippen mengajak istrinya ke restoran serta menemaninya ke gedung teater dan opera. Rupanya sang suami merasa puas berada di samping istrinya yang lincah dan kerap mendapatkan sorak pujian dari publik.
Setelah 2 tahun di Inggris, Dokter Crippen pergi ke Amerika untuk urusan perusahaannya. Ketika ia kembali, Belle Elmore ternyata mengkhianatinya. Wanita itu mempunyai kekasih, Bruce Miller, seorang dirigen di gedung teater.
Ketika Dokter Crippen menanyai istrinya tentang soal itu, Belle Elmore mengatakan bahwa memang benar ia dan Bruce Miller sudah saling jatuh cinta. Sejak itu setiap kali marah, Belle Elmore selalu mengancam suaminya jika ia akan meninggalkannya untuk menyusul Miller yang saat itu sudah kembali ke Amerika.
Dokter Crippen tetap sabar, penuh perhatian, dan pemurah terhadap istrinya. Berbagai kenalan dan sahabatnya memberi kesaksian tentang sikap lelaki itu yang senantiasa baik, sopan, dan menghargai istrinya. Hingga para sahabat dan kenalan itu mendapat kesan bahwa suami istri Crippen tampaknya hidup bahagia. Mereka juga memberi kesaksian bahwa Belle Elmore sering kali bersikap tak senonoh terhadap suaminya. Wanita itu cenderung mengecam dan mencemoohkannya di hadapan umum.
Beberapa waktu kemudian perusahaan tempat Dokter Crippen bekerja pun bangkrut. Sang dokter mencari pekerjaan lain. la menjadi manajer periklanan di perusahaan obat-obatan Munyon. Ia juga membuka praktik dokter gigi bersama dengan seorang dokter lain. Masih ada pekerjaan sambilan kedua, yaitu ikut mendirikan dan membina sebuah biro iklan. Dokter Crippen memang harus kerja keras. Keperluan rumah tangga, terutama keperluan istrinya, sungguh tidak sedikit.
Setelah selama beberapa waktu hanya bisa menyewa kamar, pada tahun 1905 suami istri Crippen akhirnya bisa menyewa sebuah rumah di Highbury seharga £ 50 setahun. Itu merupakan harga yang cukup layak.
Belle Elmore bukan pengurus rumah tangga yang baik. Keadaan rumah biasanya kacau balau. Beberapa minggu berturut-turut tak diurusi. Tapi bila ia ada niat, rumah itu benar-benar dibersihkannya. Namun kemudian akan berantakan kembali.
Seorang saksi memberikan keterangan berikut. “Sekali waktu saya mengikuti Belle ke dapur. Semua jendela tertutup. Di atas meja terlihat barang pecah belah kotor, sisa-sisa makanan, dasi Dokter Crippen, rambut palsu istrinya, jepit rambut, sikat oven gas cokelat berkarat, dan penuh sisa-sisa masakan. Di mana-mana sampah berserakan, sendok, garpu, pisau, baskom, dan gelas kopi.”
Dengan segala sifatnya itu, Belle masih menerima penyewa di rumahnya untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Ia juga tidak memiliki pembantu. Meski bisa membayarnya, upah pembantu tidaklah murah.
Dengan itu segala tetek bengek pekerjaan rumah tangga pun menjadi tanggung jawab Dokter Crippen. Padahal ia sudah cukup sibuk dengan pekerjaan utama dan sambilannya.
Dan seperti biasa, Dokter Crippen membayar semua pengeluaran rumah tangganya dan pakaian serta perhiasan istrinya. Sedangkan sang istri mengantongi sendiri penghasilan tambahan yang berasal dari para penyewa.
Saksi menambahkan bahwa Belle mudah tersinggung. Ia kerap kali marah dan selalu memancing pertengkaran dengan suaminya tanpa sebab yang jelas. Sementara Dokter Crippen tetap “pucat”, tenang, dan perasaannya tidak tergoyahkan.
Dalam suasana yang demikian itulah Dokter Crippen menyadari kehadiran Ethel le Neve, gadis muda yang menjadi sekretarisnya di perusahaan Munyon. Ethel dalam segala hal adalah kebalikan Belle Elmore. Ia tenang, simpatik, lemah lembut, dan bersifat keibuan. Pendek kata, Ethel adalah seorang wanita sejati.
Hubungan percintaan berkembang tanpa disadari. Mula-mula Dokter Crippen menganggap Ethel seorang sekretaris yang penuh perhatian. Pasalnya, tanpa perintah atau isyarat, Ethel bisa menduga keinginan-keinginan atasannya. Untuk menunjukkan penghargaan atas layanannya, Dokter Crippen sesekali memberinya cokelat atau bunga. Kadang-kadang ia mengajaknya makan malam jika Ethel pulang terlalu sore karena lembur.
Hubungan makin akrab. Dan keduanya mulai berkencan di hotel bila ada kesempatan. Dokter Crippen merasakan kemesraan cinta yang tidak pernah dirasakannya sejak kematian istri pertamanya. Dan Ethel le Neve rupanya juga benar-benar jatuh cinta. Bahwa seorang gadis muda belia seperti dia, tidak mau mengenal pacar lain dan bersedia menyerahkan keperawanannya kepada lelaki yang jauh lebih tua darinya, kiranya hanya mungkin terjadi apabila hati gadis itu benar-benar tertambat pada pria itu.
Anehnya, Dokter Crippen tidak berusaha menyembunyikan hubungan percintaannya dengan Ethel itu dari rekan-rekannya di kantor. Belle Elmore segera mengetahui hubungan ini. Wanita yang sejak lama tidak setia kepada suaminya itu pun merasa tertampar dan menjadi geram.
Sudah sejak beberapa waktu Belle dan suaminya tak pernah melakukan hubungan seks. Masing-masing tidur di kamar lain secara terpisah. Tapi Belle sama sekali tidak mau melepaskan suaminya. Setelah mengetahui bahwa suaminya memiliki dengan Ethel, Belle Elmore kini tidak pernah lagi mengancam akan meninggalkannya untuk menyusul Bruce Miller di Amerika.
Sementara itu, kehidupan perkawinan Dokter Crippen dan Belle Elmore tetap dipertahankan. Sampai pada tanggal 31 Januari 1910 keluarga Crippen menerima kedatangan suami istri Martinetti, sahabat mereka.
Tuan Martinetti dan Clara, istrinya memang sering berkunjung ke rumah Dokter Crippen dan makan malam bersama sedikitnya sekali seminggu.
Kunjungan tanggal 31 Januari itu berlangsung seperti biasa. Hanya pada suatu ketika Martinetti merasa sakit perut dan perlu ke kamar kecil. Karena sudah terbiasa dengan rumah Dokter Crippen, Martinetti pergi sendiri ke WC tanpa ditunjukkan jalannya oleh tuan rumah. Oleh Belle Elmore, kejadian ini dijadikan alasan untuk memarahi suaminya dan memaki-makinya habis-habisan karena dianggap tak sopan.
Kemarahan Belle tak kunjung padam sepanjang sore. Sampai akhirnya di hadapan suami istri Martinetti dia berteriak kepada suaminya. “Ini sungguh keterlaluan. Besok pagi kamu kutinggalkan ke Amerika!”
Bukan untuk pertama kali suami istri Martinetti mendengar ancaman itu keluar dari mulut Belle bila sedang marah dengan suaminya. Tapi rupanya kemarahan sore itu memang luar biasa. Maka Martinetti dan istrinya tidak heran ketika beberapa hari kemudian mereka mendengar bahwa Belle sungguh berangkat ke Amerika. Hanya Clara Martinetti merasa tersinggung bahwa Belle tidak pamit kepadanya. Dokter Crippen pun tidak memberitahukan kepergian istrinya.
Dokter Crippen mengirim surat kepada organisasi Music Hall Ladies Guild untuk mewakili istrinya berpamitan. Sang istri berhenti dari keanggotaan. Rupanya Nyonya Clara Martinetti mendengar tentang kepergian Belle dari anggota organisasi itu.
“Apakah semua pakaiannya dibawa?” tanya Clara kepada Dokter Crippen.
“Hanya satu koper,” jawabnya, “di Amerika dia bisa beli lagi.”
Lalu kata Clara, “Oh, dia pasti kirim surat dari kapal.” Tapi ternyata tak ada surat dari kapal. Juga tidak ada surat dari New York, seperti yang diharapkan Clara.
“Ia tidak ke New York, tapi ke California,” kata Dokter Crippen. Ternyata dari sana juga tidak ada kabar. Rahasia Dokter Crippen mulai terancam bocor.
Tapi sang dokter segera ambil tindakan. la mengatakan kepada Clara baru saja menerima surat dari putranya, Otto Hawley. Dalam surat itu Otto memberitahukan bahwa Belle sakit. Paru-parunya bermasalah.
Tanggal 20 Maret Dokter Crippen menulis surat kepada keluarga Martinetti bahwa Belle sakit keras — pleuropneumonia. Dan dia mempertimbangkan akan segera pergi ke Amerika. Sebetulnya dengan ini terbuka kesempatan bagi Dokter Crippen untuk melarikan diri. Tapi ini tidak dilakukannya. Beberapa waktu kemudian ia mengatakan kepada seorang kenalan istrinya di perhimpunan artis, bahwa sewaktu-waktu bisa datang berita bahwa Belle meninggal dunia akibat penyakitnya.
Tanggal 23 Maret Dokter Crippen berpesiar ke Dieppe bersama Ethel le Neve. Mungkin waktu itulah sang dokter membuang kepala Belle Elmore. Hari berikutnya, Clara Martinetti menerima telegram dari Dokter Crippen. Ia memberitahukan bahwa Belle sudah meninggal dunia dan ia akan kembali ke London seminggu lagi.
Surat-surat belasungkawa berdatangan ke alamat Dokter Crippen. Dan sang dokter memasang berita dukacita di The Era, surat kabar artis-artis Music Hall.
Tapi, entah karena sahabat karib atau merasa curiga, Clara Martinetti meminta alamat saudara-saudara Belle di Amerika. Ia ingin mengirim surat dukacita ke sana. Dokter Crippen yang awalnya mengelak, akhirnya terpaksa memberikan alamat putranya.
Sementara itu, apa yang terjadi dengan Ethel le Neve? 3 minggu setelah terbunuhnya Belle Elmore, tanggal 20 Februari, gadis itu pergi ke pesta dansa dengan dikawal oleh Dokter Crippen.
Ini mungkin kesalahan terbesar yang dibuat oleh Dokter Crippen. Sebab pada waktu itu orang-orang menganggap Belle masih hidup dan sedang melakukan perjalanan ke Amerika. Maka tampilnya Dokter Crippen di samping Ethel pada pesta dansa dianggap semacam pengakuan di depan publik bahwa gadis itu adalah kekasihnya. Bukan itu saja. Pada pesta dansa itu, Ethel le Neve bahkan memakai bros Belle Elmore dan topinya yang terbuat dari kulit serigala.
Kenyataan ini nantinya akan digunakan dalam proses pengadilan untuk membuktikan bahwa Ethel tidak tahu-menahu tentang pembunuhan Belle. Gadis itu terlalu baik hati dan lemah lembut untuk bersedia menikmati perhiasan Belle seandainya dia tahu bahwa Belle dibunuh dan membusuk di bawah lantai rumah Dokter Crippen.
Tanggal 12 Maret Ethel minta berhenti dari pekerjaannya sebagai sekretaris di perusahaan Munyon. Ia kemudian tinggal di rumah Dokter Crippen di Highbury. Waktu itu Belle dianggap masih hidup.
4 hari kemudian Dokter Crippen memberitahu pemilik rumah di Highbury, bahwa 3 buIan lagi ia akan mengakhiri sewa rumahnya. Berarti ia akan meninggalkan rumah di bulan Juni. Jika ia merencanakan akan melarikan diri, sebetulnya ini kesempatan yang baik. Bahkan Dokter Crippen masih bisa menikahi Ethel dengan sah. Pasalnya, di bulan Maret dia sudah mengumumkan kematian istrinya. Mungkin pernikahan itu akan dianggap agak tergesa-gesa. Tapi sahabat-sahabatnya akan bersimpati dengan pernikahan ini, mengingat nasib Dokter Crippen saat masih hidup bersama Belle.
Tapi entah mengapa, Dokter Crippen belum melangsungkan pernikahan dengan Ethel. Dan bulan Juni ia tidak pergi dari Inggris, tapi malah memperpanjang sewa rumahnya sampai bulan September.
Mengapa Dokter Crippen tidak segera berusaha melarikan diri? Kecuali karena merasa cukup aman, mungkin juga karena sikap Ethel Le Neve. Dokter Crippen tidak menghendaki kekasihnya tahu tentang pembunuhan Belle. Maka gadis itu pun tidak merasa perlu meninggalkan Inggris, apalagi sewaktu orang menganggap Belle masih hidup dan tinggal di Amerika.
Maka sejak pertengahan Maret 1910, Dokter Crippen tinggal di rumahnya di Highbury bersama kekasihnya. Kemesraan cinta dan kebahagiaan, yang tak pernah dinikmatinya sejak kematian Charlotte Crippen 20 tahun yang lalu, kini melimpahinya. Pulang dari kerja, segala sesuatu sudah tersedia. Rumah yang bersih dan rapi, makanan siap disantap, dan sambutan hangat dari Ethel.
Tapi desas-desus semakin santer, terutama gara-gara bros milik Belle yang dipakai oleh Ethel pada pesta dansa. Akhirnya seorang sahabat Belle, Tuan Nash lapor kepada Scotland Yard. Hilangnya istri Dokter Crippen dipersoalkan. Ini terjadi pada tanggal 20 Juni.
Seminggu kemudian dua orang detektif mengunjungi Dokter Crippen yang sedang praktik sebagai dokter gigi. Dengan tenang dan lancar ia mendiktekan keterangannya, sambil melayani para pasien.
Dalam “pengakuan” tersebut, Dokter Crippen menyatakan bahwa Belle tidak meninggal, tapi hidup bersama Bruce Miller kekasihnya. Ia memberikan petunjuk bagaimana bisa menemukan alamat Miller di Amerika. Dengan terus terang pula ia mengakui bahwa hubungannya dengan Ethel le Neve sudah berlangsung selama 3 tahun.
Inteviu makan waktu 6 jam dan polisi puas. Tapi seorang anggota Scotland Yard, Walter Dew, merasa perlu meneliti rumah di Highbury. Tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan.
Tanggal 9 Juli polisi mengedarkan pengumuman tentang hilangnya Belle Elmore di seluruh Kota London, sambil mencantumkan ciri-cirinya. Hari berikutnya, Dew pergi ke kantor Dokter Crippen. Ternyata ia tidak ada. Rumahnya di Highbury pun kosong.
Tanggal 11 Juli, Dew langsung mengedarkan selebaran bahwa polisi mencari Dokter Crippen dan Ethel le Neve. Ciri-ciri keduanya pun diungkapkan dalam selebaran itu. Tanggal 12 Juli, Dew mengunjungi lagi rumah Dokter Crippen di Highbury dan sekali lagi mencari jejak-jejak. Kali ini jerih payahnya membawa hasil. Batu bata yang menutupi “kuburan” Belle terangkat sedikit. Sisa-sisa jenazah ditemukan, terkubur dalam lubang sempit sedalam kira-kira 0,5 sampai 1 meter.
Tanggal 20 Juli kapal SS Montrose berlabuh di Antwerpen, Belgia dan kemudian bertolak dengan tujuan Quebec, Kanada.
Di antara para penumpang terdapat seorang Iaki-laki setengah baya bernama Robinson. la bepergian dengan putranya, seorang pemuda yang berperawakan ramping dan berparas halus. Tingkah laku ayah dan anaknya menarik perhatian para penumpang. Begitu akrab dan mesra hubungan mereka. Sering berjalan-jalan bergandengan tangan di atas geladak dan duduk berangkulan di sudut-sudut yang sepi.
Tuan Robinson dan anaknya tak lain adalah Dokter Crippen dan Ethel le Neve yang melarikan diri dengan menyamar. Kapal SS Montrose sudah melintasi separuh dari lautan Atlantik menuju Kanada. Tapi Dokter Crippen ternyata belum aman dari kejaran polisi.
Scotland Yard mengirim telegram radio ke kapal Montrose, menanyakan apakah Dokter Crippen dan kekasihnya terdapat di antara para penumpang. Nakhoda kapal, Kapten Kendall, memiliki dugaan kuat bahwa Tuan Robinson dan “putranya” adalah buronan yang dicari-cari polisi. Segera ia mengirim kembali telegram ke Scotland Yard sambil memberikan gambaran yang mendetail tentang dua orang yang dicurigainya.
Detektif Walter Dew menumpang kapal yang lebih cepat dan berhasil mencapai Quebec sebelum kapal Montrose tiba di pelabuhan kota itu. Dew menyamar sebagai awak kapal pemandu dan naik ke atas geladak Montrose untuk menangkap Dokter Crippen dan Ethel.
Tanggal 8 Agustus 1910 dikeluarkan perintah penyerahan Dokter Crippen dan Ethel oleh pemerintah Kanada kepada Inggris.
Saat menghadapi sidang pengadilan, Dokter Crippen sebenarnya bisa minta pembelaan Marshall Hall, seorang pengacara cemerlang di waktu itu. Tapi ia tidak mau, padahal Marshall Hall sudah mengusulkan suatu cara pembelaan yang kuat. Marshall berencana untuk mengemukakan argumentasi bahwa kematian Belle akibat suatu kecelakaan.
Teori Hall begini. Dokter Crippen, lelaki bertubuh kecil yang sudah setengah baya itu, kesulitan untuk melayani dua wanita sekaligus. Belle yang cerewet dan nafsu seksnya berlebihan dan Ethel le Neve yang sangat dicintainya. Racun hyocsine diberikan kepada Belle untuk mengurangi nafsu seksnya. Hyocsine memang mempunyai khasiat sebagai pengurang nafsu seks. Tapi, demikian teori Hall, dosis hyocsine yang diberikan Dokter Crippen kepada istrinya secara tak sengaja melebihi dosis. Akibatnya Belle meninggal karena keracunan.
Dengan bakatnya yang luar biasa untuk meyakinkan pendengar, Marshall Hall kemungkinan besar bisa memperoleh keputusan “kematian yang tidak disengaja” atau paling berat “pembunuhan yang tidak direncanakan”. Tapi Dokter Crippen menolak gagasan pembela cemerlang itu. Mungkin karena pembelaan Hall itu bisa menampilkan Dokter Crippen sebagai orang dengan kejantanan yang lemah dan ini dianggapnya memalukan.
Pembelaan itu juga akan bertentangan dengan pernyataan Dokter Crippen bahwa sudah sejak lama ia tak pernah seranjang dengan Belle. Dan lagi sebagai dokter yang cakap, mungkin ia tak mau ditampilkan sebagai tidak teliti dan khilaf dalam menentukan ukuran obat.
Tapi lebih masuk akal untuk menduga bahwa Dokter Crippen menolak pembelaan Marshall Hall karena ingin melindungi Ethel le Neve. Sejak ditangkap, Dokter Crippen jelas sekali berusaha membersihkan nama kekasihnya. Dengan sangat hati-hati ia menghindari segala keterangan yang dapat memberi kesan Ethel tahu-menahu tentang rencana pembunuhan Belle. Karena menginginkan Ethel bebas dari segala tuduhan, maka Dokter Crippen tak mau menonjolkan kenyataan bahwa Ethel adalah kekasihnya sejak lama. Sedangkan Marshall Hall justru akan memanfaatkan kenyataan itu sebanyak mungkin.
Perkara Dokter Crippen disidangkan pada tanggal 2 September 1910.
Sebelum sidang seluruh peristiwa sudah dilaporkan panjang lebar oleh pers. Maka selama persidangan, tidak ada hal-hal baru terungkap. Kecuali pembuktian yang sulit dari segi ilmu kedokteran bahwa sisa-sisa mayat yang ditemukan di rumah Dokter Crippen adalah mayat Belle. Pembuktian kurang meyakinkan karena daging dan kulit sudah hampir tidak bisa dikenali lagi. Dan juga para anggota juri berasal dari kelompok awam sehingga sulit untuk membuktikan hal itu.
Setelah 27 menit berunding, juri memberikan keputusan “bersalah”. Ketika ditanya apakah masih ingin mengemukakan sesuatu, Dokter Crippen tetap mempertahankan pernyataannya sejak awal sidang, bahwa ia tidak bersalah.
Tanggal 5 November, Dokter Crippen mengajukan permohonan naik banding tapi ditolak.
Tanggal 22 November, sehari sebelum menjalani hukuman mati, Dokter Crippen menulis surat yang mengharukan kepada Ethel le Neve. Dari surat itu jelas tampak bahwa ia sudah mengambil berbagai tindakan untuk menjamin masa depan kekasihnya, yang menurut harapannya akan dibebaskan.
“Aku harap benar kau sudah mendengar kabar baik dari Mrs. H. Pergilah segera untuk menemuinya. Kebahagiaan, kegembiraan, dan sinar matahari yang makin cerah terlimpah kepadamu. Dan hendaknya kau bebas sama sekali dari segala kebohongan surat kabar.”
Maksudnya adalah agar Ethel le Neve jangan percaya pada apa yang dituduhkan kepada Dokter Crippen.
Selain surat kepada Ethel, Dokter Crippen masih menulis pernyataan untuk masyarakat luas yang dimuat dalam surat kabar Daily Mail tanggal 20 November. Dalam pernyataan ini yang disebutnya “kata perpisahan kepada dunia”, Dokter Crippen berusaha membuktikan bahwa kekasihnya sama sekali tidak bersalah.
Ethel le Neve, katanya, tidak tahu-menahu tentang pembunuhan Belle. Dia lari bersamanya ke Kanada bukan karena takut kepada polisi, tapi hanya bermaksud menghindari omongan orang. Pasalnya, orang mengira Belle masih hidup. Bagi seseorang gadis, hidup dengan lelaki yang masih beristri sah adalah perbuatan hina di mata masyarakat. Ethel menyamar sebagai anak Iaki-laki, juga atas permintaan Dokter Crippen.
Tanggal 23 November, Dokter Harvey Hawley Crippen menjalani hukuman mati di Penjara Pentonville. Sikapnya pada saat-saat terakhir sangat tenang. Dengan wajah penuh kedamaian, ia menjabat tangan kepala penjara dan para pelaksana hukuman mati. Ia mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan mereka. Setelah itu dengan tenang ia melangkah ke tiang gantung untuk menebus perbuatan jahatnya.
Harapan Dokter Crippen tentang kekasihnya memang terkabul. Pada tanggal 25 November Ethel le Neve diperiksa secara terpisah oleh pengadilan. Dia dinyatakan “tidak bersalah” dan langsung dibebaskan.
(Robin Squire)
Baca Juga: Si Bungkuk Cantik dari Napoli
" ["url"]=> string(92) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799227/perkara-pembunuhan-wanita-bohemian-belle-elmore" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690566158000) } } [17]=> object(stdClass)#185 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799236" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#186 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/15-perkara-loeb-dan-leopoldjpg-20230728054141.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#187 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Dua orang anak bercita-cita untuk menjadi penjahat terhebat di abadnya. Maka mereka pun membuat rencana penculikan, pembunuhan, dan pemerasan." ["section"]=> object(stdClass)#188 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/15-perkara-loeb-dan-leopoldjpg-20230728054141.jpg" ["title"]=> string(24) "Perkara Loeb dan Leopold" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:41:50" ["content"]=> string(37051) "
Intisari-Online.com - Loeb dan Leopold adalah anak dari keluarga jutawan yang hidup bergelimang harta sejak kecil. Keduanya bercita-cita untuk menjadi penjahat terhebat di abadnya. Maka mereka pun membuat rencana penculikan, pembunuhan, dan pemerasan.
----------
Dalam sejarah peradilan perkara Loeb dan Leopold, yang terjadi pada tahun 1924, sangat terkenal. Dianggap merupakan tonggak dalam sejarah kriminologi. Entah berapa banyak buku dan artikel-artikel yang memperdebatkan kasus dua anak muda itu. Mereka dianggap semacam “makhluk jadi-jadian” karena jenis kejahatan mereka.
Keduanya anak jutawan yang sejak kecil bergelimang dalam kemewahan. Natham Leopold, 19 tahun, sangat berbakat. la termuda di antara mahasiswa-mahasiswa pilihan di Universitas Chicago. Spesialisasinya filsafat dan bahasa. la pandai bicara Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, Latin, Yunani kuno dan modern, bahkan Sansekerta. Hobinya ornitologi (ilmu tentang burung). Ayahnya adalah wakil presiden perusahaan Sears Roebuck yang bergerak di bidang pengiriman paket pos.
Leopold dan Loeb saling mengenal ketika mereka sekolah di Harvard School. Keduanya berasal dari Universitas Michigan.
Loeb tak kalah cemerlang. Ayahnya adalah pemilik pabrik kotak. Pada usia 17 tahun Loeb lulus menjadi sahabat karib. Proses saling memengaruhi terjadi. Sampai akhirnya mereka bercita-cita menjadi penjahat hebat.
Mula-mula dua anak muda itu melakukan serentetan kejahatan keciI-kecilan. Menipu dalam permainan kartu, melaporkan berita palsu perihal kebakaran, mencuri uang dan mesin tik. Semua berjalan lancar hingga dua anak itu mulai bosan dan menginginkan suatu perbuatan yang lebih hebat: membunuh. Agar tampak fantastis, pembunuhan itu akan mereka gabungkan dengan penculikan dan pemerasan.
Sebagai calon korban, mula-mula dipertimbangkan adik Loeb sendiri, kemudian bahkan ayah salah satu anak muda itu. Tapi akhirnya diputuskan untuk mengambil sembarang anak di Harvard School. Di sana banyak anak orang-orang kaya dan terpandang.
Kejahatan yang akan mereka lakukan harus sempurna, dalam arti tidak mungkin terbongkar. Maka rencana mereka persiapkan secermat-cermatnya. Tidak boleh ada lubang yang dapat ditembus oleh faktor kebetulan.
Memakai mobil sendiri jelas berbahaya. Maka akan digunakan mobil sewaan dan sebagai penyewa, mereka akan menggunakan alamat palsu. Untuk ini mereka memesan kamar di sebuah hotel atas nama Morton B. Allard. Mereka pun membuka rekening bank khusus.
Korban akan dihantam dengan pahat, lalu dicekik dengan tali. Dalam menjeratkan tali, dua pemuda itu bersepakat bahwa masing-masing akan menarik satu ujung — untuk membagi tanggung jawab agar sama rata.
Setelah dibunuh, korban akan dihancurkan mukanya dengan zat asam. Lalu dibuang ke rawa-rawa di suatu tempat sunyi yang sering dikunjungi Leopold bila sedang mengamati tingkah laku burung-burung. Baru setelah itu mereka akan menelepon ayah korban untuk minta uang tebusan sebesar 10.000 dolar.
Paling sulit adalah siasat untuk memperoleh uang tebusan tanpa terjebak oleh polisi. Taktik mereka memang licik.
Pada kontak pertama lewat telepon, mereka akan mengatakan kepada ayah korban agar menunggu sampai keesokan harinya. Pada telepon kedua mereka akan memerintahkan sang ayah datang ke sebuah toko obat di 63rd Street dan menunggu telepon ketiga di sana.
Pada saat itu mereka akan minta agar sang ayah naik kereta api jam 15.18 di Stasiun Sentral. Waktu yang disediakan bagi ayah korban untuk mengejar kereta sangat sempit hingga pasti tidak ada kesempatan menghubungi polisi. Dalam kereta, ayah korban akan menemukan sepucuk surat. Lewat surat ini Leopold dan Loeb memintanya untuk melempar uang tebusan pada saat kereta api berjalan melintasi pabrik Champion Company Factory.
Begitulah apa yang dibayangkan kedua anak muda tersebut bagaimana kejahatan sempurna akan terlaksana. Masyarakat akan heboh dan ramai membicarakan penculikan itu. Mereka akan bertanya-tanya apakah korban masih hidup, ada di mana, dan siapa penculiknya. Dan hanya mereka berdua saja — Loeb dan Leopold — yang tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Hari H ditentukan tanggal 21 Mei 1924. Leopold dan Loeb menyewa sebuah mobil merek Willys-Knight. Mereka menuju Harvard School. Muncul seorang anak, tapi ia menghilang lagi. Muncul anak kedua — ternyata saudara sepupu Loeb sendiri. Namanya Bobbie Franks.
“Hei Bob,” seru Loeb kepada anak yang baru keluar dari halaman sekolah itu. Ia pun kemudian menawarkan apakah Bobbie mau menumpang mobilnya untuk pulang ke rumah. Tadinya Bobbie tak mau. Tapi setelah Leopold dan Loeb berpura-pura meminta pendapatnya tentang raket tenis yang akan dibelinya, akhirnya Bobbie ikut juga.
Dan terwujudlah rencana dua anak muda itu. Pahat bekerja. Bobbie pingsan dan berlumuran darah. Pahat bekerja berkali-kali. Setelah gelap, mayat dibawa ke tempat yang telah direncanakan di sebelah selatan Chicago, kira-kira sejauh 30 km. Di tengah jalan, mereka berhenti sebentar untuk makan sore. Mayat ditelanjangi, zat asam bekerja, dan mayat korban dimasukkan ke dalam rawa-rawa.
Setelah itu kedua pembunuh kembali ke kota dan langsung ke rumah Loeb. Di sana keduanya membakar pakaian korbannya dalam tungku. Selesai makan malam dengan seluruh keluarga, Loeb pergi ke rumah Leopold. Pada saat itulah mereka menelepon ayah korban, Jacob Franks.
“Anak Tuan diculik. Jangan takut, ia baik-baik saja. Tunggu perintah-perintah selanjutnya. Jangan sekali-kali menghubungi polisi.” Pesan ini disampaikan oleh Leopold yang mengaku bernama George Johnson lewat telepon.
Hari berikutnya Leopold dan Loeb mencuci lantai mobil sewaan. Mereka melakukannya di jalan masuk dalam halaman rumah keluarga Leopold. Sopir keluarga Leopold, Sven Englund menawarkan bantuannya untuk mencuci mobil. Tapi ditolak oleh Leopold yang mengatakan bahwa mobil sewaan itu ketumpahan anggur merah.
Kini dua anak muda itu melaksanakan rencana pemerasan. Leopold pergi ke Stasiun Sentral dan membeli karcis masuk kereta api yang direncanakan. Ia menempatkan surat terakhir kepada Jacob Franks di atas rak bagasi. Lalu menanti saat ia harus menelepon ayah korban yang pagi itu sudah menerima surat pertama dari para penculik.
Inti isi surat itu bahwa Bobbie Frank sehat walafiat. Jangan sekali-sekali menghubungi polisi jika menghendaki anaknya tetap hidup. Sebelum tengah hari agar menyediakan uang tebusan 10.000 dolar yang terdiri dari lembaran-lembaran uang lama. Yang 2.000 dalam bentuk pecahan 20 dolar, sisanya dalam bentuk pecahan 50 dolar. Jika sampai terselip uang baru atau ditandai, maka anaknya akan mati. Uang hendaknya dimasukkan dalam kotak karton yang berat, terkunci aman, dibungkus dengan kertas putih. Bungkus harus disegel. Setelah jam 13.00 supaya siap menunggu telepon.
Surat berakhir dengan penjelasan bahwa hubungan dengan Jacob Franks bersifat bisnis murni. Jika sampai melanggar syarat yang telah ditentukan, Bobbie Frank akan mati.
“Yours truly, George Johnson” demikian tertanda di akhir surat yang diketik itu.
Jacob Franks menyediakan uang dalam kotak seperti diminta oleh para penculik. Tetapi pada waktu ayah yang malang itu menunggu telepon berikutnya, terjadi peristiwa kebetulan yang membuat rencana “kejahatan sempurna” itu jadi berantakan.
Faktor pengganggu itu ialah penemuan mayat seorang anak Iaki-laki oleh sejumlah pekerja yang kebetulan menyeberangi rawa-rawa. Mereka juga menemukan kacamata yang bingkainya terbuat dari tanduk.
Setelah mendapatkan laporan-laporan, polisi segera menghubungi Jacob Franks. Barangkali itu mayat anaknya. Tapi ayah malang, yang sedang menanti-nanti telepon dari para penculik, tidak percaya. Bukankah penculik menegaskan bahwa Bobbie masih sehat walafiat dan tidak akan dilukai selama ayahnya taat semua perintah para penculik?
Sesaat kemudian penculik menelepon untuk menyampaikan instruksi selanjutnya. Jacob Franks akan dijemput dengan taksi kuning sesuai dengan rencana “kejahatan sempurna”. Baru saja Franks mau berangkat, polisi menelepon bahwa identitas mayat sudah diketahui. Itu adalah mayat Bobie Franks.
Maka ketika Leopold menelepon toko obat di 63rd Street, Jacob Franks tidak ada. Keluar dari toko obat, Leopold melihat koran dengan berita “Mayat Anak Tidak Dikenal Ditemukan di Rawa-Rawa”. Menyadari bahwa rencananya gagal, Leopold mengembalikan mobil sewaan lalu pulang. Baik dia maupun sahabatnya tetap yakin bila perbuatannya tidak akan terbongkar. Siapa akan mencurigai mereka, anak keluarga baik-baik yang kaya raya. Lagi pula Loeb merupakan saudara Bobbie Franks.
Masyarakat Chicago gempar mendengar berita penculikan dan pembunuhan kejam dengan rencana pemerasan yang amat keji itu. Seluruh kekuatan detektif dikerahkan untuk mencari pembunuh. Pihak kejaksaan menugaskan Robert Crowe untuk memimpin pengusutan kejahatan.
Petunjuk-petunjuk yang ada hanya sedikit, seperti surat penculik, kacamata, dan seorang saksi yang melihat mobil merek Willys-Knight dekat Harvard School pada hari penculikan. Usaha mencari mobil seperti itu milik “George Johnson” mengakibatkan kejadian tragis. Seorang Iaki-laki bunuh diri karena kebetulan namanya sama dan memiliki mobil merek itu.
Para detektif amatir membuat pencarian makin ramai. Loeb, yang masih saudara dengan Bobbie Franks dan bekas murid Harvard School, pun berusaha melontarkan berbagai kemungkinan untuk mengecoh. Ia mengatakan mungkin anak itu dibunuh oleh guru yang kesulitan uang. Teori ini menyebabkan tiga orang guru Harvard School ditahan.
Tapi kesimpangsiuran pengusutan tak berlangsung lama. Penjual kacamata yang ditemukan di tempat kejadian, mengatakan hanya ada tiga orang yang membeli kacamata jenis itu. Mereka adalah seorang langganan yang berada di Eropa, seorang nenek, dan Natham Leopold.
Ketika ditanya apakah itu kacamatanya, Leopold menjawab mungkin ya jika kacamata miliknya tidak ada di rumah. Polisi mengikutinya pulang dan memang kacamata Leopold tidak ada. Pemuda ini mengatakan barangkali kacamatanya jatuh pada waktu itu mengobservasi burung di rawa-rawa. la mau mendemonstrasikan di depan polisi bahwa benda itu gampang jatuh. Tapi demonstrasinya tidak berhasil. Kacamata itu tidak mau jatuh.
Polisi belum menaruh curiga, namun mereka bertanya di mana Leopold berada pada tanggal 21 Mei. Dijawab, ia dan Loeb sore itu pesiar dengan dua orang gadis ke sebuah taman hiburan. Ketika ditanya, Loeb juga memberikan keterangan yang sama. Jawaban ini memang telah dipersiapkan oleh dua anak muda tersebut.
Jaksa Robert Crowe belum puas dengan hasil interviu. Maka ia bertanya kepada Leopold, mesin tik merek apa yang dipakainya. Jaksa tahu, mesin tik yang digunakan oleh penculik untuk menulis surat pemerasan adalah merek Underwood. Leopold menjawab mesin tiknya merek Hammond. Kamar Leopold diperiksa, tapi mesin tiknya tidak ada.
Polisi tahu bahwa Leopold dan beberapa temannya sering menulis catatan kuliah dengan mesin tik. Maka mereka mengambil beberapa lembar kertas ketikan dari kamar Leopold. Hasil pemeriksaan para ahli menunjukkan bahwa catatan-catatan Leopold dan surat penculik diketik dengan mesin tik yang sama. Leopold mengatakan bahwa mesin tiknya hilang beberapa bulan yang lalu. Tapi pembantu rumah tangga menyebutkan bahwa 2 minggu yang lalu masih melihat mesin tik majikannya.
Rencana kejahatan yang “kedap detektif” sudah goyah dengan sendirinya. Satu kesaksian lagi membuatnya hancur berantakan. Sven Englund, sopir keluarga Leopold melaporkan bahwa mobil Leopold selama sore tanggal 21 Mei itu ada di dalam garasi.
“Waktu itu mobil saya reparasi dan cuci,” kata si sopir. Sven Englund bermaksud menolong anak majikannya. Ia tidak tahu bahwa pernyataannya itu malah menghancurkan alibi Leopold.
Seperti dikatakan di atas, Leopold menyatakan kepada polisi bahwa tanggal 21 Mei sore ia membawa mobilnya pesiar ke sebuah taman. Lebih parah lagi bagi Leopold, sang sopir menambahkan jika pada tanggal 22 Mei pagi ia melihat Loeb dan Leopold mencuci lantai mobil yang tak dikenalnya. Mereka mencucinya untuk membersihkan noda-noda merah.
Dickie Loeb lebih dulu menyerah kalah. la mengakui perbuatannya. Tapi menurutnya, Leopold yang menghantamkan pukulan maut. Leopold tadinya tetap menyangkal. Tapi setelah Crowe mengatakan bahwa Loeb sudah mengaku, maka ia pun bertekuk lutut. Hanya menurut dia, pembunuhan dilakukan oleh Leopold.
Orang tua Leopold dan Loeb mencari pembela bagi anak mereka. Pilihan jatuh pada Clarence Darrow, salah seorang pengacara terbesar di Amerika. la tinggal di Chicago dan bersahabat dengan keluarga Loeb.
Selama 40 tahun Darrow membela kaum lemah dan miskin hingga terkenal sebagai pembela besar di negaranya. Dan ia terkenal sebagai penentang gigih hukuman mati.
Mula-mula Darrow ragu untuk menerima tugas pembelaan Leopold dan Loeb. Itu karena mereka anak orang kaya raya. Seluruh rakyat muak dengan kejahatan teramat keji yang dilakukan dua anak muda itu dan mengharapkan mereka dihukum seberat-beratnya. Pembelaan Darrow dengan itu akan mendapat penolakan. Masyarakat akan menuduh bahwa Darrow dibeli oleh orang tua Loeb dan Leopold. Mereka akan berteriak bahwa uang dapat membeli segala-galanya.
Tapi Darrow yang pernah menyelamatkan sekitar seratus orang tertuduh dari hukuman mati itu, akhirnya menerima permintaan orang tua Leopold dan Loeb. Sebab menurutnya, orang kaya juga berhak atas pembelaan di depan hukum. Akan berhasilkah dia?
Darrow mempersiapkannya dengan Jaksa Crowe. Sang jaksa sadar, satu-satunya pembelaan yang bisa diajukan adalah bahwa Leopold dan Loeb abnormal jiwanya. Maka ia berusaha keras mengumpulkan bukti bahwa dua anak muda itu secara mental sehat dan dapat dituntut pertanggungjawaban atas perbuatan mereka. Jaksa Crowe mendatangkan sejumlah psikiater untuk memeriksa para tertuduh. Pemeriksaan dilakukan di Hotel La Salle, tempat Leopold dan Loeb ditahan.
Darrow minta kesempatan mengunjungi kliennya tapi ditolak oleh jaksa. Maka ia mencari akal, yaitu minta kepada pengadilan agar memerintahkan penahanan Leopold dan Loeb di penjara setempat. Permintaannya dikabulkan. Dengan itu para tertuduh kini berada dalam kekuasaan kepala penjara, hingga sang pembela dapat mengunjunginya. Bagi Darrow ini kemenangan pertama.
Sementara itu dalam masyarakat sudah beredar desas-desus tentang apa kiranya yang akan diperbuat oleh pembela. Perkiraan orang, Darrow akan mengatakan para tertuduh memang bersalah, tapi tidak waras jiwanya. Lalu diusahakan agar setelah dinyatakan bersalah, mereka dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Setelah selang beberapa tahun, keduanya bisa dibebaskan. Dan pembela akan menerima imbalan uang yang sangat banyak.
Darrow tahu bahwa desas-desus tersebut akan sangat merugikan pembelaannya. Maka ia mesti berhati-hati dalam mengambil langkah.
Mula-mula Darrow diam-diam menjajaki opini publik dengan menyebar penyelidik-penyelidik. Hasilnya, 60 persen responden memberi jawaban “ya” atas pertanyaan “apakah mereka harus digantung”. Kemudian Darrow minta kepada orang tua Leopold dan Loeb untuk menyiarkan pernyataan bahwa pembela tidak akan berusaha membebaskan anak mereka. la hanya akan membuktikan bahwa mereka tidak waras jiwa. Kini ternyata 60 persen responden bisa menerima seandainya kedua tertuduh hanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Darrow mempersiapkan senjata-senjata pembelaannya. Kebetulan himpunan Psikiater Amerika sedang mengadakan pertemuan di Philadelphia. Darrow mendatangkan 7 orang spesialis ilmu jiwa dari himpunan tersebut untuk memeriksa Leopold dan Loeb.
Perkara Leopold dan Loeb mulai disidangkan pada tanggal 21 Juli, dengan Hakim Pimpinan John Robert Caverly. 3.000 orang berebut untuk mendapatkan tempat di dalam ruang pengadilan yang hanya bisa menampung 300 kursi.
Para tertuduh masuk ruang sidang. Keduanya bermuka dingin dan tampak tenang. Pakaiannya bersih dan rapi. “Ini pertunjukan kami. Penonton tidak boleh kecewa,” kata mereka kepada seorang wartawan. Tidak kelihatan menyesal, bahkan keduanya tampak gembira karena menjadi pusat perhatian.
Darrow membuka pidatonya. la menyatakan kedua kliennya bersalah dan mohon diperbolehkan mengajukan bukti-bukti yang meringankan hukuman.
Siasat Darrow cerdik sekali. Sebab pernyataannya berarti bahwa soal apakah kliennya harus dihukum mati ataukah dipenjara seumur hidup bukanlah wewenang 12 juri. Juri-juri itu berasal dari kelompok awam. Hakimlah yang berwenang untuk memutuskan soal keputusan penjara atau hukuman mati. Dan Darrow tahu bahwa sang hakim orang yang berpengalaman, tanpa prasangka, bijaksana, dan berperikemanusiaan.
Pembukaan pidato Darrow bagaikan ledakan bom dan Jaksa Crowe langsung bangkit untuk protes. Darrow main curang, katanya. la tidak bisa langsung saja menyatakan kliennya bersalah, lalu minta keringanan hukuman! “Keringanan adalah pembelaan,” jawab Darrow seakan meledek Crowe.
“Pembelaan Darrow bertolak dari filsafat hidupnya yang berbahaya,” tukas jaksa. “Dalam hukum tidak ada apa yang disebut tingkat-tingkat tanggung jawab mental. Pengadilan tidak punya kekuasaan untuk mendengar kesaksian tentang kondisi mental tertuduh. Manusia bertanggung jawab penuh atas akibat-akibat perbuatannya atau sama sekali tidak.”
Tapi dengan tenang Darrow mengajukan argumen-argumennya. Dia tidak bermaksud memberikan bukti yang tak terbantahkan bahwa kedua kliennya sakit jiwa. la hanya ingin menunjukkan suatu keadaan mental yang tidak tercakup oleh definisi hukum tentang sakit jiwa. Itu pemahaman soal baik atau buruk dan kemampuan memilih salah satunya.
Ia tidak mengajukan pembelaan. Namun ia mengajukan pernyataan yang harus didengar demi meringankan hukuman bagi seseorang yang dinyatakan bersalah.
Lalu Darrow menggugat suasana dalam menghadapi perkara ini. Jaksa dan masyarakat menjadi kawanan serigala haus darah yang siap merobek-robek kedua kliennya. Padahal hukuman mati seharusnya kita jatuhkan, tidak dengan lantang, marah, ataupun benci, tapi dengan iba, haru serta menyesal bahwa hukuman itu terpaksa dijatuhkan. Darrow menggugat suasana kejam dan tidak berperikemanusiaan itu.
Menanggapi pidato ini, Hakim Caverly menyatakan akan mendengarkan apa yang ingin dikemukakan pembeIa. Maka dimulailah pertarungan memperebutkan nyawa Leopold dan Loeb.
Riwayat hidup mereka ditelusuri sampai masa bayi. Oleh jaksa diajukan seorang saksi, salah satunya adalah seorang profesor hukum Universitas Chicago. Profesor menyatakan, sehari setelah pembunuhan itu Leopold memperdebatkan dengannya soal pembunuhan dengan penculikan serta pemerasan.
Kawan-kawan tertuduh memberikan kesaksian tentang tingkah laku dan obrolan mereka.
Dibuktikan bahwa surat pemerasan dan catatan kuliah Leopold ditulis dengan mesin tik yang sama. Para dokter menerangkan bahwa sebelum dibunuh, Bobbie Franks menjadi korban perbuatan homoseksual.
Penyelidikan atas jalannya kejahatan dengan semua tahap-tahapnya itu membuktikan bahwa perbuatan Leopold dan Loeb semua telah direncanakan sebelumnya. Bukan itu saja.
Setelah melakukan perbuatan terkutuk, kedua tertuduh sedikit pun tidak memperlihatkan air mata tanda penyesalan. Mereka bahkan merasa bangga. Mereka sungguh tidak patut diberi belas kasihan atau keringanan.
Penuturan kisah hidup Leopold dan Loeb oleh jaksa membuat seluruh masyarakat Amerika makin keras berteriak menuntut hukuman gantung.
Pembela mengajukan enam saksi ahli, semuanya dokter-dokter spesialis. Antara lain Dr. Karl Bowman, bekas dosen penyakit mental di Harvard University; Dr. Bernard Glueck, direktur klinik psikologi dari penjara terkenal Sing Sing; Dr. William Healy dari Yayasan Hakim Baker.
Menurut mereka, Loeb sangat terpengaruh oleh wanita pengasuhnya, yang berwatak keras dan terlalu banyak menuntut dari anak itu. Seringkali Loeb takut dimarahi atau mendapat hukuman. Akibatnya sejak kecil ia terbiasa berbohong bila berbuat tidak baik, tanpa menyesalinya. Di umur 10 tahun, anak itu sering berkhayal yang tidak-tidak.
la membayangkan dirinya sebagai penjahat cemerlang di abadnya, begitu hebat hingga tidak mungkin tertangkap oleh detektif-detektif terhebat di dunia.
Leopold juga korban didikan wanita pengasuhnya. Wanita itu kerap kali mendorong Leopold untuk mencuri, dengan tujuan agar bisa memeras anak itu. Sang pengasuh menanamkan pengertian-pengertian abnormal tentang baik dan buruk.
Di sekolah Leopold sangat menonjol kecerdasannya. Tapi ia memandang Loeb sebagai anak dengan kelebihan-kelebihan yang melampaui bakatnya sendiri. Keduanya menjadi sahabat karib dan Leopold merasa tidak bisa hidup tanpa persahabatan Loeb. Dalam khayalan Leopold, Loeb adalah raja dan Leopold merupakan budak beliannya yang bersedia melakukan semua perintahnya.
Pada suatu ketika kedua sahabat itu membuat perjanjian. Masing-masing pihak bersedia melakukan fantasi yang ada di benak mereka.
Kemudian dibuat perjanjian lain lagi, yaitu Loeb mempunyai kekuasaan penuh atas Leopold.
Apa pun yang diminta Loeb, jika itu dimintanya “demi perjanjian”, maka Leopold wajib melaksanakannya.
Leopold mempunyai pandangan bahwa apa pun yang memberi kenikmatan kepadanya adalah baik. Bila terjadi sebaliknya, maka hal itu dianggapnya buruk. Ia tidak percaya pada norma-norma moral. Leopold, yang belajar filsafat, terpengaruh oleh ide-ide filsuf Nietzsche dengan manusia super-nya. Baginya Loeb adalah manusia super itu.
Dalam psychiatric reports tentang kedua anak itu, para dokter ahli menyatakan bahwa Leopold dan Loeb menunjukkan divergensi patologis yang mencolok. Artinya terdapat celah antara kehidupan intelektual dan kehidupan emosional mereka. Sama sekali tidak mampu memberi tanggapan emosional sedikit pun sebagaimana mestinya. Perasaan Leopold tidak tergetar sedikit pun ketika ia menculik dan membunuh anak yang masih saudaranya sendiri. Dalam hati ia bahkan tertawa ketika melihat ibunya mengumpat-umpat pembunuh Bobby Franks.
Tentu semua itu dibantah oleh tim jaksa yang menampilkan pula saksi-saksi ahli. Sebulan penuh pertempuran antara para psikiater berlangsung di ruang pengadilan. Sampai tiba saatnya Darrow mengajukan pembelaannya yang terakhir.
Pledoi Darrow, yang memakan waktu 3 hari, adalah yang paling terkenal di antara pidato pembelaannya.
Pada awal pembelaannya, Darrow menarik simpati publik dengan menyesalkan bahwa kedua kliennya anak jutawan. Sering kali uang dapat berbuat segala-galanya. Tapi dalam hal Leopold dan Loeb, uang malah merugikan. Kekayaan orang tua mereka membuat pembelaannya lemah. Sebab orang berprasangka bahwa Darrow mendapat bayaran dan sogokan melimpah. Oh, seandainya kedua kliennya anak keluarga miskin, pembelaannya akan lebih didengar.
Lalu ia memperingatkan hakim akan tanggung jawabnya. Seperti dikatakan, dengan langsung menyatakan kedua kliennya bersalah, Darrow menarik mereka dari kekuasaan 12 juri dan menempatkan mereka dalam tangan hakim. Bila Leopold dan Loeb sampai dihukum gantung, maka hakimlah yang bertanggung jawab penuh atas hal itu. Dia sendirian dalam hal ini.
Kemudian argumen demi argumen dibentangkannya untuk menghancurkan pembuktian jaksa.
Dikatakan oleh penuntut bahwa kedua kliennya kejam dan Ialim. Kekejaman dapat diukur dengan kesakitan yang dilakukannya pada korban. Darrow menekankan bahwa pembunuhan terjadi cepat tanpa penyiksaan. Sebelum mengetahui apa yang terjadi, Bobbie Franks sudah tidak sadarkan diri akibat pukulan.
Darrow tidak membenarkan perbuatan para klien. Tapi hal di atas perlu diingat bila orang mau berbicara tentang kekejaman.
Kekejaman juga dapat diukur berdasarkan motif pembunuhan. Misalnya karena dendam, benci, marah, dan sebagainya. Tapi motif-motif tersebut sama sekali tidak ditemukan pada Loeb dan Leopold. Pembunuhan ini, kata Darrow, tanpa makna, tanpa manfaat, tanpa tujuan, dan tanpa motif.
Motif “ingin mendapat uang” seperti dituduhkan oleh jaksa, sama sekali tidak bisa diterima. Sebaliknya, Leopold dan Loeb uangnya melimpah. Pada saat pembunuhan Loeb mempunyai uang sekitar 3.000 dolar dan kapan saja ia dapat minta cek pada sekretaris ayahnya, atas instruksi ayahnya sendiri. Leopold menerima cek sebesar 125 dolar setiap bulan dan bisa mendapatkan uang bila ia membutuhkannya. Ketika Leopold berencana untuk keliling Eropa, ayahnya segera memberinya uang 3.000 dolar.
Tidak ada motif dendam atau kebencian, tidak ada motif uang, juga tidak ada motif lainnya. Dan tanpa motif, pembunuhan ini hanya bisa diartikan sebagai perbuatan tanpa makna, tanpa tujuan dari anak yang sakit mental. Mereka meraba-raba dalam kegelapan dan didorong oleh kekuatan tertentu yang sekarang ini barangkali kita belum mampu menjajakinya secara memadai.
Darrow tidak minta belas kasihan, tapi hanya minta hukum dilaksanakan. Ada 3 kemungkinan hukuman bagi para kliennya: mati di tiang gantung, penjara seumur hidup, atau penjara sekurang-kurangnya 14 tahun.
Hukum tertulis sudah terlampaui oleh semakin halusnya perasaan perikemanusiaan orang-orang yang berpikiran maju dan menentang hukuman mati. Pilihan atas berbagai kemungkinan hukuman ada di tangan hakim.
Tuduhan jaksa bahwa pembunuhan sudah direncanakan 6 bulan sebelumnya, yaitu ketika Leopold beli mesin tik, sama sekali tidak masuk akal. Sebab anak itu tidak pernah main sembunyi dengan mesin tiknya, yang kerap kali ia pinjamkan kepada teman-temannya.
Terus-menerus Darrow dengan berbagai cara menunjukkan bahwa perbuatan kliennya sama sekali tidak memiliki motif. Mereka membunuh bukan karena uang, bukan karena iri atau benci. Mereka membunuh Bobbie Franks seperti membunuh seekor lalat atau nyamuk - semata-mata karena ingin pengalaman.
Mereka membunuh karena memang itulah keadaan kedua anak muda itu, akibat faktor-faktor dari masa lalu. Darrow melukiskan proses pertumbuhan jiwa Leopold dan Loeb. Ia memanfaatkan sebaik-baiknya keterangan-keterangan para saksi ahli jiwa.
Loeb pada masa kanak-kanak tersiksa oleh tekanan-tekanan batin karena sikap pengasuhnya yang terlalu keras. Ia suka bersembunyi, berbohong, membuat tipu muslihat. Muak dengan buku-buku bermutu yang disodorkan sang pengasuh, ia mencari pelarian dan hiburan dengan buku-buku detektif dan kejahatan. Kebiasaan berbohong dan tipu muslihat dipupuk dengan cerita-cerita tentang kejahatan. Sampai akhirnya ia bercita-cita untuk menjadi penjahat paling cemerlang di abadnya.
Tentang Leopold, Darrow memaparkan pengaruh filsafat Nietzsche atas anak yang mempunyai bakat-bakat cemerlang ini. Leopold keranjingan ide manusia super-nya Nietzsthe. Dia percaya bahwa dirinya dan Loeb adalah manusia-manusia super.
Darrow mengambil contoh betapa hebatnya pengaruh ide-ide yang merasuki seseorang. Di New York, seorang ayah bernama Freeman keranjingan cerita tentang Nabi Abraham. Nabi Abraham mengurbankan anaknya pada Tuhan. Freeman membuat altar di rumahnya dan menggorok Ieher anaknya yang masih bayi untuk dikurbankan kepada Tuhan. Leopold juga termasuk orang yang terpengaruh pada gagasan-gagasan tertentu.
Darrow menunjuk pada kenyataan bahwa saksi-saksi ahli dari pihak jaksa hanya selama beberapa jam memeriksa tertuduh dalam waktu berminggu-minggu.
Menanggapi tuntutan jaksa agar para tertuduh tidak diberi belas kasihan, seperti apa yang mereka lakukan pada korbannya, Darrow berkomentar,
“Jika negara tempat saya berteduh ini tidak lebih baik hati, tidak lebih berperikemanusiaan, tidak lebih berperasaan halus, tidak lebih pandai dari perbuatan kedua klien saya ini, maka saya sangat menyesal hidup sekian lama di negara ini.”
Satu nada dasar terjalin dalam seluruh pembelaan Darrow: proses pertumbuhan seorang anak menjadi dewasa, tidak terperikan. Dan dalam proses pertumbuhan Leopold dan Loeb telah terjadi sesuatu. Akibatnya adalah kedua anak muda yang malang itu dibenci, dicemooh, dan dikucilkan. Masyarakat berteriak-teriak meminta darah mereka.
Dengan suara berbisik yang hampir tidak terdengar, Darrow mengakhiri pembelaannya:
“Saya mengajukan pembelaan untuk masa depan di mana kebencian dan kekejaman tidak lagi menguasai hati manusia. Masa di mana kita dengan akal budi, penilaian dan pengertian dapat belajar bahwa setiap jiwa patut diselamatkan dan bahwa belas kasih adalah perbuatan tertinggi manusia.”
Ketika Darrow turun dari mimbar, ruang sidang sunyi senyap selama 2 menit. Banyak dari hadirin yang mengusap air mata.
Tiba kini giliran Jaksa Crowe untuk memberikan tanggapan akhir. Pidato sanggahannya makan waktu 2 hari. Tapi ternyata ia tidak mampu menghapuskan kesan mendalam yang telah ditanamkan pembela.
Pada tanggal 10 September hakim menjatuhkan keputusan hukuman penjara seumur hidup bagi Leopold dan Loeb. Saat mengumumkan keputusannya, hakim menanggapi argumentasi-argumentasi dari segi ilmu kejiwaan. Yaitu bahwa para tertuduh tidak normal jiwanya dan itulah yang mendorong mereka untuk berbuat kejahatan.
Menentukan kadar tanggung jawab perbuatan manusia adalah di luar tugas serta kemampuan pengadilan.
Namun hakim mengakui bahwa analisa yang cermat tentang riwayat hidup para tertuduh, keadaan mental, emosional, dan etika mereka, sangat penting dan merupakan sumbangan yang amat berharga bagi kriminologi. Masalah tanggung jawab manusia dan hubungannya dengan hukuman peradilan sangat luas ruang lingkupnya dan bukan hanya menyangkut tertuduh dalam perkara ini. Masalah ini pantas menjadi pemikiran badan legislatif— bukannya badan yudikatif.
Pertimbangan utama mengapa dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup dan bukannya hukuman mati, adalah usia para tertuduh yang masih muda belia, 18 dan 19 tahun. Keputusan ini sejalan dengan kemajuan hukum kriminal di seluruh dunia dan sesuai dengan rasa perikemanusiaan yang makin halus. Di samping itu juga sesuai dengan preseden-preseden di Illinois yang dalam sejarah peradilannya hanya mencatat dua perkara di mana anak muda dihukum mati. Pengadilan tidak berkeinginan menambah jumlah itu.
Demikianlah berakhir perkara Leopold dan Loeb yang dianggap sebagai tonggak dalam sejarah kriminologi. Sebab ketika itulah untuk pertama kali suatu sidang pengadilan dapat leluasa menjajaki kondisi mental dan psikis para tertuduh, mencoba menyelidikinya, bebas dari kekangan pengertian-pengertian hukum yang berlaku tentang tanggung jawab. Mengenai nasib selanjutnya dari para tertuduh, Leopold lebih beruntung dari Loeb. Yang terakhir ini mati ditikam oleh sesama narapidana pada tahun 1936.
Riwayat Leopold dikisahkannya sendiri dalam bukunya Life Plus Ninety-Nine Years (Hidup plus 99 Tahun). Tahun 1924 ia masuk penjara Joliet. Anak cemerlang yang pada tahun 1924 dikenal sebagai makhluk jadi-jadian ini, dalam penjara mengabdikan hidupnya kepada masyarakat narapidana. Ia mempelajari sistem hukuman yang bersifat mendidik dan mengadakan reformasi di bidang ini. Belajar radiologi dan psikiatri. Memelopori pendirian bagian riset sosiologis untuk menyelidiki kemungkinan mengetahui reaksi-reaksi narapidana setelah dibebaskan. Dalam Perang Dunia, Leopold mengajukan diri sebagai kelinci percobaan untuk pengamatan cara kerja pil malaria. Ia belajar berbagai bahasa dan menjadi anggota terkemuka dari the Fellowshop of American Medical Technologists.
Setelah 25 tahun dalam penjara, ia mohon dibebaskan agar bisa lebih leluasa mengabdikan dirinya. Tapi permohonannya ditolak. Ia diminta untuk menunggu 12 tahun lagi. Akhirnya pada tahun 1958 ia dibebaskan. Leopold memilih kegiatan di suatu koloni lepra di Amerika Selatan.
(Rupert Furneaux)
Baca Juga: Mereka Diangkut dengan Kereta Jenazah
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799236/perkara-loeb-dan-leopold" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690566110000) } } }