Intisari Plus - Ernest Giles dan Alfred Gibson mengarungi bentangan bagian barat Australia yang tak dikenal - hanya salah satu dari mereka yang kembali pulang. Padahal tim-tim lain yang melintas di rute mereka rata-rata menempuh keberhasilan.
-------------------------
Sejauh mata memandang yang tampak adalah belantara tandus. Di barat, terlihat bukit-bukit berpasir merah tak berujung. Membentang dari barat laut, tanahnya lebih rata, tapi seragam. Tak ada yang menarik untuk dilihat di selatan.
Menyapu pemandangan dengan binokulernya, satu-satunya sosok jelas yang dapat dilihat penjelajah itu terletak di barat daya. Di sana, di kejauhan, di antara kabut yang berpendar, Ernest Giles melihat gunung.
Ia mengamatinya dengan cermat. "Ada bukit barisan membentang panjang," ia memberitahukan temannya sambil merendahkan binokulernya. "Bisa berarti air. Aku perkirakan jaraknya sekitar 80 kilometer. Ke sanalah tujuan berikut kita."
William Tietkens, pria di sebelahnya, mengangguk setuju. la tidak punya banyak pilihan—Ernest Giles adalah pemimpin ekspedisi. Hanya bersama dua pria lain, Tietkens bergabung dengan Giles dalam usaha yang keras untuk menyeberangi Australia Barat.
Saat itu Januari 1874. Australia memberikan tantangan yang besar kepada penjelajah Inggris, yang ingin mempertaruhkan klaim mereka terhadap tanah "tak beradab" yang luas ini. Para penjelajah Inggris itu kurang menghormati orang-orang yang sudah lama menetap di sana, suku Aborigin yang mengenal tanah itu dengan baik.
Malahan mereka menganggap penjelajahan mencapai sudut terjauh itu sebagai tugas yang secepatnya melawan suku Aborigin di sepanjang perjalanan. Dalam perjalanan, mereka memberikan nama setiap sosok lanskap—seakan-akan tak seorang pun pernah melihat sebelumnya.