Find Us On Social Media :

Ekor Pembunuhan Nona Kwitang

By Intisari Plus, Jumat, 28 Januari 2022 | 19:55 WIB

Pembunuhan gadis pribumi menguak misteri terbunuhnya seorang gadis indo.

Intisari PlusPada hari Sabtu pagi, 14 November 1914, penjaga Tanah Pekuburan Cina Kramat Sentiong di Betawi memulai hari kerjanya dengan suatu kejutan yang sangat tidak nyaman. Orang yang sudah berhubungan dengan kematian sempat dibuat kaget bukan kepalang ketika pada pagi itu menemukan sesosok mayat setengah bersandar pada busut berumput suatu kuburan.

Mayat itu mayat seorang wanita tak dikenal. Sekilas lintas saja sudah cukup jelas bahwa tubuh itu korban kejahatan, karena pada satu sisi lehernya terdapat luka karena benda tajam.

Pembunuhnya rupanya hendak menghapus segala jejak identitasnya, karena ia mencopoti seluruh pakaian maupun perhiasannya. Mayat itu telah kaku, sehingga dapat diperkirakan bahwa telah tergeletak di tempat itu sejak malam sebelumnya.

Bisa dibayangkan bahwa tanah pekuburan tersebut pada masa itu merupakan tanah yang cukup luas, tempat yang seram dengan rerumputan liar, semak-semak, dan pohon-pohon besar. Jalan yang dulunya bernama Gang Sentiong, yang berakhir pada jalan lintasan kereta api, menjadi jalan rintisan yang berlumpur menuju ke tempat pemakaman.

Dapat pula dibayangkan betapa seramnya tempat itu di malam hari, gelap gulita, jauh dari perkampungan, hanya diramaikan oleh suara serangga dan teriakan burung malam yang mendirikan bulu roma seperti burung hantu dan culik-culik.

Setelah mendapat laporan, yang berwajib segera mengadakan pemeriksaan setempat, lalu membawa mayat wanita yang malang itu ke Stadsverband, rumah sakit umum yang kini kita kenal dengan nama RSCM.

Kemudian mayat korban dibawa ke Mangga Dua untuk dimakamkan di sana.

Kencan terakhir

Ternyata pembunuh tidak berhasil melenyapkan identitas mayat, karena orang mengenalinya sebagai mayat Aisah, yang menjadi gula-gula atau nyai seorang serdadu Belanda bernama Van Biemen.Kecurigaan polisi jatuh kepada orang ini, tetapi setelah diperiksa ia ternyata tidak bersalah, karena dapat membuktikan bahwa malam itu ia sedang bertugas di posnya.

Ia mengakui bahwa Aisah memang peliharaannya, tetapi mereka tak bisa berumah tangga, karena ia bertugas siang malam di dalam benteng. Dia tahu bahwa ada serdadu lain bernama Schaafsma yang menggauli wanita itu, tetapi ia membiarkannya. Apa yang bisa dia perbuat, kalau dia siang malam bertugas di benteng, demikian keterangannya kemudian sebagai saksi di depan pengadilan. Setelah lama tidak bertemu, pada suatu hari, tidak lama sebelum pembunuhan itu, ia masih sempat berkencan dengan korban. Mereka bertemu di pintu benteng, nonton bioskop, dan jalan-jalan keliling kota. Terakhir minum es di daerah Harmoni.

Van Biemen membelikan berbagai hadiah berupa sehelai selendang merah berkembang-kembang putih, sebuah tas tangan, sepasang sepatu bertumit rendah, sepasang kaus kaki....

Malam sebelum ia dibunuh, malam Sabtu, mereka masih bertemu lagi untuk terakhir kalinya. Aisah mengenakan barang-barang hadiah Van Biemen: selendang, tas, dan sepatu. Mereka makan bersama di sebuah warung, lalu berpisah sekitar pukul 21.30.

Schaafsma, serdadu yang juga menganggap Aisah sebagai kekasihnya, ternyata tidak mungkin melakukan pembunuhan keji itu, karena waktu itu ia sedang dalam tahanan militer. Ia melarikan diri dari dinas tentara (desersi) pada tanggal 27 Oktober dan baru tertangkap kembali pada tanggal 12 November, sehari sebelum terjadi pembunuhan.

Kecuali menerima hukuman untuk desersi, ia telah dijatuhi vonis enam bulan untuk pencurian dengan pembongkaran. Sewaktu dipindahkan ke Cimahi, Schaafsma diberi tahu bahwa Aisah terbunuh.

Schaafsma jelas nampak terpukul dan sangat sedih mendengar kematian Aisah. Akhirnya, ia membuat pengakuan yang mengungkapkan persekongkolan antara dia sendiri dengan dua orang lainnya, yakni seorang Jerman bernama Johann Emil Soeffing dan W.F. Gramser Brinkman.

Yang terakhir ini baru saja beberapa bulan dibebaskan dari tuduhan membunuh Fientje de Feniks. Menurut pengakuan Schaafsma, ia dihubungi oleh Brinkman untuk diajak mencuri bersama dengan Soeffing.

Gramser Brinkman tadinya seorang pegawai yang berkedudukan cukup baik pada gouvernementsbedrijven (perusahaan negara), lagi pula ia berasal dari keluarga baik-baik dan berkecukupan. Sejak perkara Fientje de Feniks ia diberi uang tunggu.

Setelah diberi uang tunggu, kemudian walaupun pengadilan menjatuhkan vonis bebas, ia tetap diberhentikan. Untuk beberapa lama ia pergi ke Purwakarta, kemudian kembali lagi ke Jakarta.

Di dalam tahanan ia berkenalan dengan seorang Jerman bernama Johann Emil Soeffing, yang juga ditahan berhubung tersangkut suatu perkara. Konon dalam tahanan itu mereka mengangkat tali persahabatan yang erat.

Sekembalinya dari Purwakarta, Brinkman mendapatkan Soeffing masih bekerja sebagai tukang bubut pada pabrik candu di Salemba (sekarang kompleks UI) dan tinggal sendirian sebagai bujangan. Akhirnya, Brinkman yang sudah kehabisan uang simpanan tinggal menumpang pada Soeffing.

Tak lama kemudian Soeffing berhenti bekerja. Menurut kesaksiannya kemudian ia kerja atas bujukan Brinkman, agar membantu dalam operasi pencuriannya. Entah siapa yang menjadi pemrakarsa, tetapi nyatanya kedua orang itu bersama-sama melakukan kejahatan.

Beberapa minggu kemudian Schaafsma ikut menumpang di rumah itu. Maka terbentuklah komplotan penjahat terdiri atas tiga orang itu untuk melakukan pembongkaran rumah atau toko dengan tujuan mencuri.

Pada suatu malam di bulan Oktober ketiganya pergi ke Kota dengan tujuan untuk menjemput Aisah di Hotel Ban Soei, di Glodok. Mereka berempat lalu ke daerah Petojo, ke rumah pelesiran yang diusahakan oleh seorang mucikari bernama Jet Govert. Karena Brinkman dulumerupakan langganan, ia berfungsi sebagai penunjuk jalan.

Ia juga mengetahui bahwa Jet Govert menyimpan banyak perhiasan berharga. Mereka berkunjung ke rumah itu dengan dalih bahwa Schaafsma ingin mencarikan kamar bagi Aisah. Kesempatan ini dipergunakan oleh kawanan itu untuk melihat-lihat keadaan dalam rumah, letak kamar-kamar, dsb.

Setelah itu rombongan kembali menuju Glodok untuk memulangkan Aisah ke hotel. Ketiga laki-laki itu kemudian kembali ke Petojo untuk melaksanakan rencana mereka. Ternyata malam itu mereka kurang mujur, karena pemilik rumah terjaga, sehingga pencurian terpaksa dibatalkan.

Schaafsma terjaring

Dalam kebanyakan operasi pencurian mereka bertiga Aisah diikutsertakan. Dalam pemeriksaan kemudian Schaafsma menerangkan mengapa wanita itu diikutsertakan. Katanya, "Agar tidak menarik perhatian."

Wanita itu ditugaskan sebagai penjaga di jalan, tetapi tidak jelas bagaimana ia dapat memberikan isyarat kepada kawanan maling yang beroperasi di dalam rumah yang menjadi sasaran.

Brinkman juga berfungsi sebagai penjaga di luar dan sebagai pemberi tip. Dialah yang memberi saran kepada kedua rekannya, rumah atau kantor mana yang akan dijadikan sasaran. Dengan cara itu mereka antara lain mencuri di Bengkel Nio Pong Long di Molenvliet Barat (sekarang Jl. Gajah Mada), Volksapotheek di Rijswijk (Jl. Veteran), sebuah apotek lain di Senen, Matraman, Toko Pakaian Kemper Francken, kantor gouvernementsbedrijven di Laan De Riemer (Tanah Abang III), bekas tempat kerja Brinkman.

Mereka sering membongkar apotek bukan saja untuk mencuri uang, menurut keterangan Soeffing, Brinkman hendak mencuri morfin untuk menyingkirkan para saksi yang memberatkan dirinya dalam perkara Fientje der Feniks, di antaranya Raona dan Jeanne Oort.

Pada tanggal 12 November Schaafsma tertangkap. Bersama Soeffing ia bersepeda ke Cikini untuk mengambil foto Aisah di tukang potret. Sepedanya bertabrakan dengan sebuah sado, sehingga ia terlempar ke aspal.

Ia tidak menderita cedera apa-apa, tetapi dikerumuni orang banyak. Suatu patroli yang kebetulan lewat mengenali tampang serdadu pelarian ini, sehingga ia langsung ditahan, lalu dibawa ke pos jaga.

Soeffing buru-buru pulang, rupanya melaporkan kejadian itu kepada Aisah, sebab tidak lama kemudian wanita malang itu menghadap komandan jaga untuk minta bertemu dengan Schaafsma. Komandan jaga menolak permintaan itu, sehingga Aisah mencari jalan lewat pintubelakang. Ia berhasil menemui pacarnya sejenak. Schaafsma masih sempat berpesan agar besok pagi pukul 07.00 dijenguk lagi.

Saat itu waktu tahanan diberi kesempatan untuk mandi, ia merencanakan untuk melarikan diri lagi. Tetapi keesokan harinya, pada waktu yang telah dijanjikan, Aisah tidak muncul dan Schaafsma tidak akan melihatnya lagi untuk selamanya.

Sementara itu polisi sudah mencium jejak pelaku pencurian berangkai terhadap toko dan apotek di Jakarta. Petugas polisi dibantu oleh mata-mata mereka sudah sejak lama mengikuti gerak-gerik Brinkman dan Soeffing. Seorang sinder polisi bernama M.A. Souhoka mendapat tugas untuk mengamati Brinkman bersama beberapa orang pembantu.

Ia melihat Brinkman dan Soeffing duduk minum-minum limun di dekat sebuah bioskop di Mester sekitar pukul 19.00 pada tanggal 13 November. Sejam kemudian keduanya pulang ke rumahnya di Salemba Utan.

Mengetahui bahwa kedua oknum itu mempunyai hubungan dengan Aisah, setelah diketahui pembunuhannya, polisi makin memperketat pengawasan atas kedua orang yang dicurigai itu.

Komisaris Roosen mengunjungi Soeffing di Salemba Utan. Dari seorang tetangganya yang bernama J.F. van de Drift, yang juga penghuni kampung itu, Roosen mendapat keterangan bahwa ia pernah melihat asap dari halaman belakang mereka. Kemudian ia melihat ada sisa-sisa kain dan payung terbakar di atas tumpukan sampah.

Pada penggeledahan rumah yang dilakukan polisi berikutnya ditemukan alat-alat pencurian seperti linggis, pahat dll., berikut tiga pasang sepatu karet.

Lebih jauh polisi menemukan sejumlah racun, siankali, prusi atau sulfat tembaga, dan sejumlah bulu bambu di dalam botol. Pada tanggal 5 Desember kedua orang itu dimasukkan ke dalam tahanan di Penjara Glodok.

Jadi terdakwa lagi

Pengadilan untuk memeriksa perkara pembunuhan Aisah ini dimulai pada tanggal 18 Mei 1915. Perkara ini merupakan perkara sensasional dan banyak menarik perhatian khalayak ramai, terutama karena tokoh Brinkman yang pernah tersangkut dalam perkara pembunuhan Fientje de Feniks, meskipun akhirnya dinyatakan bebas dari tuntutan hukuman karena kekurangan bukti.

Publik yang haus sensasi sejak pagi sudah menunggu di halaman gedung pengadilan. Mereka bersorak riuh ketika pintu-pintu dibuka, lalu berdesakan menyerbu ke dalam untuk memperoleh tempat duduk.

Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Mr. Nederburgh dengan para hakim anggota Mr. Visser, Mr. Bergsma, dan Mr. De Pauly serta Panitera Mr. Nieuwenhuyzen. Jaksa penuntut umum ialah Mr. Tromp dan pembela Mr. Fruin.

Seperti dua tahun yang lalu, W.F. Gramser Brinkman duduk di bangku terdakwa dengan sangat tenang. Seorang muda yang berperawakan tinggi, wajahnya yang cukup tampan bersih terpelihara, pakaiannya sangat rapi.

Dilihat sepintas lalu tidak ada seorang pun yang akan menuduhnya sebagai pembunuh, tetapi nyatanya ia duduk di situ untuk kedua kalinya dituduh membunuh orang, kini kembali seorang wanita lagi.Di sebelahnya duduk Johann Emil Soeffing, seorang pemuda kulit putih yang mengadu nasib di tanah jajahan. Ia duduk dengan sikap yang menunjukkan bahwa ia tidak takut menghadapi sidang pengadilan ini.

Lengan kanannya diletakkan seenaknya di sandaran kursinya. Perawakannya lebih pendek daripada Brinkman, tetapi wajahnya tampak lebih muda. Hari ini dialah yang pertama mendapat giliran diperiksa oleh sidang, walau hanya sebagai terdakwa kedua.

Hakim Ketua Mr. Nederburgh langsung bertanya kepada tertuduh Soeffing, apakah ia tetap pada pengakuannya yang diberikan pada pemeriksaan sebelumnya. Tanpa ragu-ragu Soeffing menjawab, "Ya."

Ia mengaku bahwa pada malam peristiwa itu ia membujuk Aisah untuk ikut dengan dia bersama Brinkman, dengan dalih akan membebaskan seorang bernama Schaafsma, seorang serdadu buronan, yang karena perbuatannya sedang meringkuk dalam tahanan.

Ia mengakui bahwa dalih itu dipakai untuk mengelabui wanita itu, juga bahwa ia bersama Brinkman berjanji untuk mengakhiri hidupnya. Menurut tertuduh, alasan menyingkirkan Aisah dari dunia fana ini ialah karena. "la tahu terlalu banyak tentang kehidupan kami, terutama mengenai pencurian-pencurian."

la mencekik leher Aisah dan bahwa dia sendiri yang menikamkan pisau ke leher korban. Hakim Ketua kemudian menanyakan soal pelbagai pembongkaran dan pencurian. Soeffing kembali mengakui semuanya. Aisah membantu pekerjaan ini dengan bertugas sebagai penjaga. Orang keempat ialah Schaafsma.

Kemudian Hakim Ketua berpaling kepada terdakwa utama. "Anda telah mendengar apa yang baru saja dinyatakan oleh terdakwa kedua." Brinkman mengiakan pertanyaan hakim.

"Anda mengaku ikut serta melakukan pembunuhan atas perempuan bernama Aisah itu?"

"Tidak."

la mengaku bahwa pada malam itu memang pergi ke Taman Pekuburan Sentiong bersama Aisah dan Soeffing, tetapi ia tak pernah membuat perjanjian dengan Soeffing untuk membunuh perempuan itu.

Mereka pergi bersama dalam usaha untuk membebaskan Schaafsma. Dia berhenti dan berdiri seorang diri kira-kira 30 m dari jalan kereta api, sedangkan Soeffing berjalan ke arah kuburan bersama Aisah. Dalam waktu singkat Soeffing kembali sambil berkata bahwa perempuan itu tidak mau meneruskan perjalanan sehingga ia menjadi marah, lalu menikam lehernya.

Selanjutnya Brinkman mengakui ikut serta dalam pembongkaran rumah serta pencurian-pencurian, tetapi menambahkan bahwa tugasnya yang utama dalam operasi ialah berjaga-jaga atau memberikan petunjuk-petunjuk.

Rencana pembunuhan

Sidang dimulai dengan pemeriksaan Soeffing sebagai terdakwa kedua, setelah Brinkman meninggalkan ruangan. Hakim menanyakan lagi riwayat terdakwa dengan Brinkman dan bagaimana mereka melakukan pencurian bersama. Soeffing menceritakan semuanya sampai hal sekecil-kecilnya.

Akhirnya, sampai pada hari tertangkapnya Schaafsma. Brinkman menyarankan agar menyingkirkan saja perempuan itu, sebab dia tahu terlalu banyak.

Sebelumnya, Brinkman juga sudah pernah mengajukan usul serupa, tetapi mendapat tentangan kuat dari Schaafsma. Juga Soeffing tidak setuju, sehingga usul Brinkman itu tidak dijalankan.

Waktu Schaafsma tertangkap, Brinkman kembali mendesak, terutama, katanya, sebab ada orang ketiga muncul. Orang itu ialah Van Biemen, serdadu KNIL lain. Brinkman khawatir bahwa setelah Schaafsma tertangkap, Aisah kembali lagi kepada Van Biemen.

Dalam hal itu besar kemungkinannya bahwa Aisah akan membocorkan rahasia mereka bertiga, "Sebab perempuan sukar menyimpan rahasia," demikian alasannya.

Brinkman mendesak terus. Sekarang tepat waktunya untuk bertindak. Emil Soeffing terpaksa menurut. Hakim Ketua memperingatkan agar Soeffing memberikan keterangan sejujurnya dan kenyataan sebenarnya. Walau duduk di situ sebagai terdakwa, dia diminta agar mempunyai rasa keadilan dan kebenaran, agar jangan memberikan keterangan hanya untuk mengalihkan kesalahan kepada orang lain.

"Soeffing, camkanlah bahwa keterangan Anda bukan bukti akan kesalahan tertuduh pertama. Janganlah berusaha membersihkan diri dan menimpakan semua kesalahan kepada dia. Dengan begitu dosa Anda sama sekali tidak akan menjadi lebih ringan! Apakah Anda tetap pada keterangan bahwa Brinkman-lah orangnya yang mengusulkan pembunuhan itu? Ingat, janganlah memberatkan dia dengan sia-sia."

"Memang betul. Brinkman yang mengusulkan."

"Kalau Anda harus mengucapkan sumpah lagi, apakah Anda masih tetap mengatakan itu?”

"Ya. Tentu."

Hakim Ketua kembali memperingatkan bahwa sama sekali tidak penting apakah kesalahan Brinkman diperberat dan karena itu kesalahan tertuduh sendiri tidak diperingan.

"Saya juga tidak minta keringanan. Saya hanya menginginkan keadilan, sebab Brinkman bertingkah seperti bajingan!"

Soeffing mengatakan ini dengan tekanan suara dan membanting sebatang pensil ke meja. Hakim Ketua kembali bertanya mengenai perjanjian untuk melakukan pembunuhan dan situasi yang menjurus kepada perbuatan itu.

Beberapa hari sebelumnya, demikian Soeffing, ia berkenalan dengan seorang bernama Konings, seorang serdadu yang melarikan diri. Brinkman dan Soeffing mengatakan kepada Aisah bahwa untuk membantu Schaafsma melarikan diri perlu diminta bantuan orang ini, sedangkan mereka berdua tiada yang tahu di mana Konings ini bersembunyi.

Memang mereka berdua tidak berniat menemui Konings, karena itu hanya dalih untuk mengajak Aisah ke luar rumah Drama di kuburan Rencana pembunuhan itu kemudian dibicarakan. Tempatnya ialah Pekuburan Cina Sentiong, yang dapat dicapai dengan menyusuri jalan kereta api dari Salemba Utan ke arah utara.

Salah seorang di antara mereka akan mencekik lehernya dan lainnya akan menikamkan pisau. Siapa yang mencekik dan siapa yang menikam, belum lagi ditentukan.

Menurut Soefing yang merencanakan Semuanya ini ialah Brinkman. Ia juga menambahkan bahwa menurut pengalamannya sendiri cara ini yang paling tepat untuk membunuh seorang wanita, seperti apa yang dialami pada pembunuhan Fientje de Feniks.

"Tetapi apakah Brinkman ada sangkut pautnya dengan pembunuhan Fientje de Feniks?”

"Ya, ia sendiri yang menceritakan kepada saya bahwa ia mencekik leher Fientje de Feniks dan bahwa seorang lain yang memukul kepalanya. Sebab itu juga ia menganggap ini cara yang terbaik untuk mencegah korban berteriak."

Sesudah itu terdakwa disuruh memberi gambaran tentang perjalanan malam hari ke Pekuburan Sentiong dari rumahnya. Jalan mencapai tempat tujuan, melewati sawah, jalan kereta api, jalan rintisan yang becek, akhirnya sampai di pekuburan.

Brinkman jalan di depan sekali, kemudian menyusul Aisah, Soeffing paling belakang. Jalannya sangat gelap, sehingga mereka hanya bisa berjalan lambat. Tiba-tiba Brinkman berhenti, sehingga yang lain ikut menghentikan langkahnya.

Brinkman kemudian tampak duduk di atas sebuah batu nisan. Setelah beristirahat sejenak ia mendadak berdiri lagi, memegang saputangannya di tangan kiri, lalu tiba-tiba mencekik Aisah yang berdiri di samping kirinya. Bagaimana cara Brinkman menyergap Aisah, Soeffing tak bisa melihat dengan jelas, sebab gelap.

Tanpa bersuara lagi Aisah jatuh telentang. Brinkman masih memeganginya erat-erat ketika membisikkan kepada Soeffing bahwa pekerjaan itu akan cepat selesai. Soeffing mengeluarkan pisaunya. Pisau itu pisau lipat tua, sehingga ia agak sulit membukanya. Ujung pisau itu sudah patah.

Waktu pisau tua itu telah terbuka, Brinkman berkata, "Aku hampir tak bisa menahan lagi...."

Soeffing lalu meraba dengan tangan kirinya bekas tekanan ibu jari Brinkman di leher Aisah, sebab ia mengerti bahwa Brinkman tadi memencet urat nadi leher Aisah. Setelah tempat itu ditemukan, ia menikamkan mata pisau dari kiri ke kanan.

Segera setelah penikaman itu Brinkman melepaskan pegangan atas tubuh yang tadinya dipeluk erat-erat. Jasad itu tergolek agak miring menyandar pada busut kubur, dengan kepalanya agak tertunduk.

Soeffing mendengar korban mengorok sebentar setelah Brinkman melepaskan pegangannya. Atas pertanyaan hakim, Soeffing mengaku bahwa dari hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa korban masih hidup ketika ia menghunjamkan pisau ke lehernya.

Setelah itu mereka berdua melucuti seluruh pakaian jenazah, kemudian juga peniti-peniti emas kebaya dan anting-anting yang dipakai. Keduanya membawa pulang kebaya, sarung, dan kutang korban.

Dalam proses itu ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit imitasi teriris dan tertinggal di tempat. Juga sehelai saputangan berwarna merah. Seperti diketahui, pakaian korban dibawa pulang untuk kemudian dibakar dan sisanya dibuang ke tumpukan sampah.

Kepergok orang

Pada sidang berikutnya, hakim kembali menanyakan kepada tertuduh Soeffing, apakah ada perjanjian sebelumnya tentang siapa yang menikam. Tertuduh tetap pada keterangannya semula bahwa tidak ada perjanjian.

Mengapa dia yang mendapat tugas untuk menikam, menurut terdakwa sebab dia pernah menceritakan kepada Brinkman bahwa dulu di Australia ia pernah menjadi pembantu dokter dan sering menghadiri operasi-operasi,sehingga dianggap mengetahui letak urat nadi korban.

Juga ditanyakan, apakah kepada Aisah diberikan racun atau obat bius. "Saya kira tidak. Kalau begitu ia takkan mampu berjalan sejauh itu. Kalau dia diberikan sesuatu, tentunya saya bisa melihatnya. Selanjutnya ia menggambarkan bagaimana mereka berjalan menuju ke tempat kejahatan.

Aisah dan Brinkman masing-masing berjalan di atas satu rel kereta, sambil berpegangan agar tidak kehilangan keseimbangan. Soeffing berjalan di tengah, di atas kayu bantalan. Sebab itu dia dapat mengatakan dengan pasti bahwa Aisah tidak dibius.

Mereka berjalan dengan cara aneh itu agar tidak menimbulkan suara berisik pada kerikil. Perjalanan dari rumah sampai ke Sentiong itu memakan waktu paling sedikit tiga perempat jam. Baru sesudah pukul 01.00 lewat tengah malam kedua pembunuh itu pulang. Soeffing tidak berlepotan darah. Pada Brinkman terlihat tangan dan celana tidurnya berlumuran darah.

"Apakah Aisah perempuan yang kuat? Berotot?"

"Ah, dia cukup tegap. Badannya agak besar."

"Apakah dia pernah sakit di rumah Anda?"

"Belum pernah."

"Apakah kiranya Anda sanggup membunuh perempuan ini sendirian saja?"

"Dengan cara dia terbunuh itu tidak. Seterampil seperti yang terjadi itu, sangat sukar untuk membunuh wanita tersebut. Kecuali jika saya mempunyai pisau lain. Untuk membuka pisau lipat itu perlu digunakan dua tangan."

"Mengapa mayat itu harus ditelanjangi?"

"Sebab menurut Brinkman, nanti orang dapat mengenalinya."

Setibanya di rumah, pakaian korban malam itu juga dibakar dalam sebuah ember. Juga celana tertuduh dan celana Brinkman yang berdarah ikut dibakar. Pisau yang dipakai membunuh dibuang ke dalam kali. Juga anting-anting korban dilenyapkan dengan cara itu.

Setelah itu terdakwa diminta untuk mengisahkan kembali secara tepat bagaimana mereka melakukan perjalanan malam itu sampai hal sekecil-kecilnya, demikian pula perjalanan pulang.

"Waktu berjalan di atas rel kereta api itu pernahkah Anda bertemu dengan orang lain?"

"Ya. Di dekat rumah kami bertemu dua orang pribumi di dekat tiang isyarat. Ketika terlihat orang-orang itu mendekat, Brinkman berkata bahwa kami harus berjalan di parit, yang segera kami lakukan."

"Apakah Anda juga berusaha agar tidak dikenali?"

"Saya melihat Brinkman menarik topinya, sehingga menutupi mukanya."

"Apakah Anda menyapa orang-orang itu?"

"Tidak."

"Dari pemeriksaan pendahuluan ternyata bahwa ada tiga orang yang lewat."

"Saya hanya melihat dua orang. Lagi pula saya hanya melihat mereka secara sekelebatan, sebab saya memalingkan muka juga agar tidak dikenali."

"Apakah selama perjalanan juga terjadi insiden lain?"

"Kami membantu Aisah menerobos pagar kawat berduri."

"Apakah ia tidak merasa aneh bahwa kalian memilih jalan yang tidak wajar itu?"

"Saya pun tidak mengerti. Mungkin Aisah sedang memikirkan sesuatu yang lain. Atau dia tidak memikirkan apa-apa lagi, kecuali pembebasan Schaafsma. Perempuan itu tak mengeluh apa-apa. Dia tidak minta naik sado atau apa pun. Boleh dikatakan dia malah tidak pernah mengatakan apa-apa."

Ditimpakan kepada Soeffing

Pemeriksaan atas terdakwa pertama, Gramser Brinkman diawali dengan pertanyaan-pertanyaan hakim sekitar perkenalan dengan Emil Soeffing, Schaafsma, kemudian menyangkut kerja sama yang dilakukan oleh ketiga orang itu. Brinkman mengakui bahwa ia hanya bertugas menjaga di luar kalau yang lain sedang menjalankan operasi mereka. Mengenai perjalanan malam lewat jalan kereta api itu Brinkman mengatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang rencana Soeffing. Ia hanya mengikuti kemauan terdakwa kedua untuk mencari rumah Konings di Tanah Tinggi.

Menurut Brinkman, malam itu juga timbul ide untuk mencari Konings dengan tujuan minta bantuannya untuk membebaskan Schaafsma dan malam itu juga mereka bertiga berangkat. Cerita Brinkman tentang perjalanan itu dan rute yang diambilnya memang cocok dengan apa yang telah diterangkan oleh Soeffing.

Ketika ditanya oleh hakim ketua mengapa dipilih jalan yang sukar ditempuh itu, Brinkman menjawab bahwa itu dilakukan agar cepat sampai ke tujuan. Ditanya mengapa tidak naik sado, terdakwa menjawab bahwa rumahnya jauh di kampung dan pada waktu malam seperti itu mereka harus keluar dulu ke jalan besar. Pada waktu hakim ketua menanyakan pelbagai hal lain, Brinkman memberikan jawaban yang berbelit. Ia selalu memberi jawaban yang menghindar, sehingga tidak melibatkan dirinya, seperti dulu dalam proses Fientje de Feniks.

"Pukul berapa Anda berangkat dari rumah?"

"Lewat pukul 21.00."

"Baiklah, sekarang lanjutkan cerita Anda. Anda menerobos pagar kawat berduri itu...."

"Di Gang Sentiong kami belok kanan. Jalan ini kami lewati sampai lebih kurang 30 m. Lantas Soeffing bilang saya tak perlu ikut terus: Jalan rintisan itu lebih mengarah ke kanan sepanjang sawah. Di situlah letak pekuburan itu."

Setelah Brinkman menunggu di tempat itu selama setengah jam, Soeffing kembali lagi seorang diri, yang menurut terdakwa merupakan hal ganjil.

Waktu Brinkman bertanya di mana Aisah, ia menjawab, "Perempuan itu tergeletak di sana. Saya tikam lehernya."

Katanya, wanita itu mogok berjalan terus. Soeffing begitu kesalnya, sehingga ia memukulnya. Soeffing menambahkan bahwa ia melakukan itu karena perempuan itu tidak mau menuruti kehendaknya.

Belakangan Soeffing juga tidak mau mengatakan apa-apa, demikian kata Brinkman, sebab kalau Brinkman mau menyinggung soal pembunuhan dia selalu berkata, "Yang sudah terjadi biarlah, sebaiknya kita tutup mulut saja."

Hakim ketua menganggap ini kurang masuk akal. "Apakah Anda pernah membicarakan seluk beluk persoalannya?"

"Saya anggap masalahnya cukup sederhana. Dia ditolak oleh perempuan itu. Lalu ia menikamnya. Habis perkara! Soeffing orangnya memang aneh. Wataknya tertutup."

"Tapi masa Anda tidak menanyakan duduk perkaranya? Jadi sebelum dihadapkan kepada komisaris hakim Anda sama sekali tidak tahu apa-apa tentang jalannya pembunuhan?"

"Ya, memang begitu. Saya hanya tahu bahwa Soeffing menikam pada lehernya."

"Apakah dia tidak pernah menceritakan bahwa ia dapat menikam leher korban dengan mudah atau tidak?"

"Tidak."

"Jadi Anda pulang melewati jalan yang sama?"

"Ya."

"Bertemu orang di jalan kereta api?""Ya, tiga orang berjalan kaki."

Hakim ketua bertanya kembali, apakah pada waktu berangkat ia tidak bertemu dengan seorang pribumi.

"Ya, Abdulhatap (seorang tetangga mereka, tukang sado)."

"Dia menerangkan bahwa Anda berhenti sejenak ketika melihat dia."

"Tidak. Kenapa? Saya sama sekali tidak merasa takut kepadanya."

"Sekarang sesuatu yang lain. Kemarin Anda menerangkan bahwa Anda pernah berburu di tanah Pekuburan Sentiong."

"Tidak. Tuan menanyakan apakah Sentiong itu lapangan berburu. Saya jawab bukan, tetapi saya memang pernah berburu di sana, berburu bajing dan burung. Di sana tidak ada satwa liar."

Kepada tertuduh kemudian ditunjukkan sebuah peta. Ia kemudian memberikan beberapa keterangan tambahan.

Pada pokoknya Brinkman selalu memberikan jawaban yang hati-hati dan dipikirkan lebih dulu, agar jangan sampai melibatkan dirinya, meskipun beberapa kali hakim memperingatkannya, karena banyak keterangan yang tidak cocok atau aneh dan tidak masuk akal. Dia tetap mengatakan bahwa ia tidak tahu-menahu mengenai rencana pembunuhan.

Setelah pembunuhan yang menurut terdakwa dilakukan oleh Soeffing sendiri tanpa bantuan orang lain, ia berdiam diri, karena akan melindungi kawannya itu.Hakim bertanya, mengapa ia harus membohongi Schaafsma yang masih di dalam tahanan bahwa Aisah telah melarikan diri dengan orang lain (Van Biemen)?"Kami hanya bisa berbicara jarak jauh. "

Saya toh tidak bisa meneriakkan kepadanya bahwa perempuan itu telah mati dibunuh. Lagi pula saya tak pernah mengatakan keadaan yang sebenarnya."

"Kenapa?"

"Untuk melindungi Soeffing."

"Ya, tapi buat apa mengelabui Schaafsma dengan mengatakan bahwa Aisah kabur ke Van Biemen?"

"Hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu dia (ia lagi-lagi menanyakannya) dan agar masalahnya jadi beres."

"Tidak bisa dimengerti bahwa Anda mengatakan Aisah terbunuh pada malam Sabtu, pada hari Minggu menjenguk Schaafsma, tanpa ada keharusan apa-apa lalu tega membohongi dia."

"Ya, memang aneh. Tapi begitulah...."

"Tetapi apa itu perlu?"

Atas pertanyaan itu tertuduh tidak bisa memberikan jawaban. Setelah menanyakan beberapa hal lain sekitar pembunuhan dan pemusnahan barang bukti, kemudian hakim ketua menyatakan bahwa pada hematnya kuburan memang tempat yang aneh untuk melakukan hal aneh-aneh (maksudnya untuk melakukan hubungan seks).

"Ah, tapi begitulah caranya," jawab Brinkman.

"Berbuat begitu di rumah sendiri bisa berbahaya. Perempuan harus dibawa ke tempat yang sepi dan biasanya dia menurut."

"Bagaimana Anda tahu itu?'

"Oh, saya dengar-dengar saja. Bukan dari pengalaman."

Sendiri atau berdua?Agaknya hakim masih belum puas dengan keterangan Brinkman. Karena sama sekali tidak membuat terang duduknya perkara, pada kesempatan sidang berikutnya hakim masih kembali lagi ke soal itu.

la menanyakan bahwa sangat aneh sekali kalau Soeffing yang mengusulkan untuk menolong melepaskan Schaafsma dan malam sebelumnya berusaha membujuk nyainya melakukan perbuatan zinah, sesuatu yang keesokan harinya tentunya dilaporkan kepada Schaafsma.

"Ya, memang aneh,” jawab Brinkman mengerikan.

"Baiklah. Tetapi lebih aneh lagi bahwa dalam situasi ini Soeffing keluar rumah dengan rencana membunuh (ia membawa handuk)."

"Memang begitu."

"Apakah Anda dapat menjelaskannya?"

"Tidak."

"Kalau begitu hanya ada satu pemecahan, yaitu bahwa si pembunuh (menurut Anda: Soeffing) lebih banyak kepentingannya untuk menyingkirkan Aisah daripada melanjutkan persahabatan dengan Schaafsma."

"Ya, itu memang betul."

"Apakah Anda sendiri juga menaruh dendam terhadap Aisah, karena ia pernah menolak pendekatan Anda."

"Tidak, sebab saya memang tidak terlalu berusaha mendapatkannya...."

"Kalau Anda memang mengutuk pembunuhan itu, kenapa tidak melapor kepada polisi?"

"Saya takut dikhianati oleh Soeffing bahwa saya ikut serta dalam berbagai pencurian."

"Ah, itu 'kan belum begitu gawat. Anda katanya 'kan hanya berjaga-jaga di luar."

"Tapi bagi saya cukup parah."

"Tapi Anda 'kan tahu bahwa dengan menyangkal terus menerus bisa melepaskan diri dari tuntutan. Kalau begitu, kenapa jika Anda 'dikhianati' orang mengenai pencurian, tidak menyangkal semuanya saja? Kalau Anda waktu itu pergi melaporkan apa yang Anda ketahui tenang soal ini, tentunya persoalannya jadi lain sekali daripada sekarang."

"Saya takut tuduhan jatuh pada saya dan saya tidak ingin mengkhianati Soeffing."

"Mengapa kemudian Anda toh mengkhianati Soeffing?""Saya mengerti bahwa menyangkal terus tidak mungkin lagi."

"Tidak bisa. Waktu itu polisi masih belum tahu begitu banyak tentang kejahatan itu."

"Ya, tetapi ada yang melihat dia pulang dari kuburan."

"Tidak. Bukan dia, tapi kalian berdua."

Kemudian dipanggil saksi ahli: para dokter yang terdiri atas Nona de Valk, Scheffelaar Klots, dan Woensdregt. Dua yang pertama dokter pada dinas kesehatan dan yang terakhir dosen pada Stovia. Para saksi ahli ini hanya menguraikan keadaan mayat dalam pemeriksaan dan pembuatan visum et repertum.

Setelah itu masih didengar keterangan para saksi Van Biemen, Schaafsma, Abdulhatap, kusir sado tetangga mereka yang melihat keberangkatan para tertuduh dan beberapa orang lain, di antaranya yang melihat mereka di jalan dan kemudian juga para korban pencurian.

Pada sidang yang memasuki hari kedua belas didengar lagi saksi-saksi ahli yang juga terdiri atas para dokter.Pertanyaan hakim berkisar pada persoalan penikaman dan luka yang ditimbulkan pada leher korban. Yang menjadi masalah penting bagi pengadilan ialah apakah mungkin Soeffing mengerjakan pembantaian itu seorang diri tanpa bantuan ataukah tidak.

Antara lain hakim bertanya pada saksi ahli, dr. Noordhoek Hegt, apakah karena hati korban terlihat pucat (menurut visum) dapat disimpulkan bahwa korban kehabisan darah.

"Tidak perlu. Dalam proses pembusukan hati juga menjadi pucat."

"Menurut Soeffing, proses pembunuhan itu cepat berakhir. Apakah kira-kira ada sesuatu yang membantu mempercepat kematian?"

"Ya, itu mungkin saja."

"Diakibatkan oleh shock waktu disergap?"

"Boleh jadi."

"Apakah karena di medan itu tidak ditemukan bekas-bekas pergulatan, dapat disimpulkan bahwa ada sesuatu yang lain di samping tikaman itu yang merobohkan korban?"

"Ya, itu menunjukkan adanya keadaan-keadaan sampingan."

"Apakah hal itu bisa diterima dengan kepastian?"

"Ya."

"Apakah tekanan jari lama berbekas?"

"Tergantung dari keadaan. Kalau terjadi perdarahan, ya, Lagi pula kulit dapat dirusakkan oleh kuku dan sebagainya."

Kepada saksi kini ditunjukkan foto-foto jenazah.

"Apakah Anda dapat menyimpulkan dari foto-foto ini dari mana ke mana jalannya irisan?"

"Tidak. Maksud saya, saya tak berani memastikan bahwa ada dua luka."

"Saya juga menduga begitu tadinya, tetapi visum et repertum secara jelas menyatakan satu luka.""Kalau begitu saya kira bahwa irisan itu lebih panjang dari 3,5 cm."

"Apakah Anda sependapat dengan teman sejawat Anda yang tadi menyatakan bahwa irisan ini dibuat secara ahli?'

"Ya, tentu. Ini betul-betul pekerjaan yang sangat terampil."

"Soeffing mengatakan bahwa di Australia ia mendapat pengalaman mengenai letak otot, saraf, dan sebagainya. Apakah Anda anggap mungkin bahwa dia yang membuat irisan ini?'

"Ya."

"Seharusnya irisan itu dilakukan pada tubuh yang tidak bergerak."

"Ya. Itu hampir dapat dikatakan secara pasti. Mungkin saja bisa terjadi pada pergumulan, tetapi kecil kemungkinannya."

"Apakah Anda sendiri mampu membuat irisan seperti itu, jika Anda dalam keadaan marah?"

"Tidak."

"Brinkman memperkirakan bahwa Soeffing akan memperkosa wanita ini, kemudian memegang kedua tangannya, lalu menikamnya. Apakah Anda anggap ini pasti mungkin?"

"Dalam keadaan terangsang nafsu seksual tikaman seperti itu tidak bisa dilakukan."

"Jadi itu sama sekali tidak bisa diterima. Jadi Anda tetap pada pendirian bahwa seorang ahli bedah yang berpengalaman pun tidak bisa membuat irisan semacam itu bila tubuh tidak dalam keadaan diam. Terutama kalau ini harus dilakukan dalam keadaan gelap?'

"Ya."

Tetap bertahan

Menjelang sidang-sidang terakhir dalam perkara ini, para tertuduh menceritakan riwayat hidupnya masing-masing.

Brinkman meninggalkan HBS (semacam SMA) pada usia 20 tahun sampai kelas lima, tetapi entah mengapa tidak sampai mengikuti ujian penghabisan.

Setelah meninggalkan bangku sekolah ia bekerja pada Jawatan Kehutanan, kurang-lebih dua setengah tahun, kemudian pindah ke BB (pemerintahan dalam negeri) sebagai pegawai bulanan, lalu menjadi klerek (pegawai tata usaha), sampai beberapa tahun. Setelah itu ia menjadi klerek di Departemen Angkatan Laut.

Karena belum ada lowongan untuk komis, setelah bekerja tiga sampai empat tahun ia pindah ke Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai komis sampai dua tahun. Dari sini dia pindah lagi ke kejaksaan tinggi, tempat ia bertahan dua tahun lagi. Terakhir ia bekerja pada gouvernementsbedrijven.

"Mengapa pangkat Anda di situ bukan komis?"

"Saya tidak diberi pangkat itu, karena dianggap melampaui orang lain di situ yang lebih senior."Terakhir kalinya ia diberi uang tunggu, kemudian akhirnya dikeluarkan.

"Kapan terjadinya proses Fientje de Feniks itu?""Setelah tersangkut dalam perkara itu saya terus diberi uang tunggu."

"Kenapa Anda tidak berusaha masuk kembali dalam dinas negara lagi?"

"Tidak! Mengapa? Sebab kita mempunyai pemerintah dan seorang gubernur jenderal yang tegas pula. Dalam proses Fientje terungkap bahwa saya orang yang hidup tidak keruan. Saya takkan diberi kesempatan lagi."

Setelah dikeluarkan dan dibebaskan dari tuntutan oleh pengadilan, ia tinggal menumpang pada seorang pegawai kantor bernama Gouyn di Gang Thibault. Dari situ ia merantau ke Purwakarta untuk waktu tidak lama, kemudian menumpang di rumah Soeffing di Salemba Utan.

Emil Soeffing lahir di Chemnitz (Jerman). Ia bersekolah sampai umur 14 tahun, kemudian ditempatkan di kapal latihan. Waktu kapalnya berlabuh di Singapura ia melarikan diri. Waktu itu umurnya 15 tahun.

Dari tempat itu ia menuju Australia untuk bekerja di tambang-tambang selama tiga tahun. Kemudian ia menjadi penyelam mutiara selama tiga tahun lagi. Ia bertemu dengan rekan-rekannya, para pekerja tambang yang mengajaknya ramai-ramai mencari pekerjaan di Jawa. Konon ia ditelantarkan oleh kawan-kawannya, sehingga terpaksa ikut suatu rombongan pemain sirkus keliling.

Dengan rombongan ini ia berkeliling sampai ke Kolombo dan Singapura. Sekembalinya di Betawi, ia bekerja sebagai tukang bubut di Bengkel Nio Peng Long, kemudian di SS (Jawatan Kereta Api), dan yang terakhir di pabrik candu di Salemba.

"Apakah Anda pernah tersangkut perkara di Australia?"

"Tidak pernah."

"Bagaimana kejadiannya kok di sini lantas jadi penjahat? Punya simpanan alat-alat untuk mencuri dan sebagainya? Dari mana keahlian itu?"

"Baru di sini timbul pikiran itu."

"Anda bisa berbicara dalam macam-macam bahasa. Sebagai orang asing bahasa Belanda Anda baik sekali. Dalam bidang teknik Anda cukup terampil. Kenapa Anda tidak mau kerja baik-baik?'"Saya 'kan kerja baik-baik di pabrik candu. Dia membujuk saya untuk sama-sama melakukan pekerjaan maling."

Sampai menjelang akhir persidangan Brinkman tetap bertahan menyangkal semua yang dituduhkan kepadanya, kecuali peranannya dalam berbagai pencurian. Keterangan-keterangannya berbelit-belit dan tidak masuk akal, tetapi dengan cerdik ia mengelakkan pancingan para hakim. Kalau suatu ketika terpojok, ia tidak menjawab atau bergumam saja.

Menjelang akhir persidangan hakim memberi kesempatan terakhir kepada Brinkman. Hakim ketua menyatakan kepada tertuduh: "Schaafsma mengatakan bahwa ia berkali-kali mengusulkan untuk menyingkirkan Aisah, sebab ia tahu terlalu banyak."

"Anda mengakui ikut pergi untuk mencari rumah Konings di Tanah Tinggi. Mengakui mengenakan jas hitam pada malam itu. Bahwa pada operasi pencurian jas tersebut tidak dipakai. Tidak dapat membantah keanehan-keanehan dalam memilih jalan menuju ke Tanah Tinggi. Tidak dapat memberikan alasan mengapa harus jalan mengikuti rel kereta api. Mengakui bahwa Soeffing pergi dengan rencana pembunuhan. Tidak dapat membantah keanehan bahwa kalau Soeffing mengetahui segala rahasianya dan timbal balik, sekali ini ia tidak tahu apa-apa tentang rencana malam itu. Mengakui bahwa Soeffing hanya mengajak terdakwa karena mengharapkan bantuannya. Berusaha menyamar atau menutup-nutupi identitasnya. Telah membakar celana tidur karena berlumuran darah. Bahwa Soeffing hanya membawa pisau berukuran kecil karena tahu akan mendapat bantuan.”

Hukuman mati

Para saksi ahli menyatakan bahwa hampir mutlak penikaman itu memerlukan bantuan orang kedua. Para saksi ahli itu juga menerangkan bahwa irisan semacam itu tidak bisa dibuat oleh orang yang sedang terangsang nafsu seksualnya atau marah.

Tertuduh mengakui bahwa dia bersama Soeffing mempunyai kepentingan atas kematian Aisah. Tertuduh tetap tinggal bersama Soeffing setelah pembunuhan.Ia berseru di depan pemeriksa. "Nu ben ik een verloren man! (Sekarang habislah riwayat saya)" Seruan seperti ini hanya dikeluarkan oleh seorang yang putus ada karena bersalah."

"Saya tidak mendesak Anda untuk mengaku, Tuan Brink man. Itu kami tidak peduli, tetapi saya harus mengatakan kepada Anda bahwa pengakuan merupakan keadaan yang meringankan. Bagaimana pendapat Anda? Apakah Anda masih tetap menyangkal?"

Dengan tenang Brinkman menjawab, "Ya, Tuan Ketua."

Dalam rekuisitornya Jaksa Mr. Tromp menyatakan antara lain bahwa dalam bulan September-Oktober di Betawi terjadi serangkaian pembongkaran dengan tujuan pencurian yang pelakunya tidak diketahui.

Kemudian polisi mengetahui bahwa di sekitar tempat kejadian selalu nampak Brinkman berkeliaran. la banyak bergaul dengan iparnya yang bernama Neys, yang anehnya selalu bekerja pada toko atau perusahaan yang kecurian, sebagai penata buku.

Pada tanggal 14 November 1914 ditemukan mayat Aisah di Pekuburan Kramat Sentiong. Ia dikenal sebagai peliharaan Van Biemen, tetapi polisi mengetahui bahwa korban mempunyai hubungan dengan Schaafsma, Brinkman, dan Soeffing. Pada suatu hari Sehaafsma yang tertangkap dipindahkan ke Cimahi. Ternyata ia tidak tahu apa-apa.

Ketika mengetahui bahwa yang terbunuh Aisah, ia sangat terkejut. Dalam keadaan terpukul dan hancur hatinya ia menceritakan dugaannya akan siapa pelaku pembunuhan itu.

Ia mengakui bahwa Brinkman yang mula-mula mengajak mencuri bersama. Pada pencurian-pencurian itu kebanyakan Aisah selalu ikut. Kemudian Brinkman dan Soeffing bermufakat untuk menyingkirkan Aisah. Mantri Polisi Mohamad Djakin berpura-pura tinggal di Salemba Utan untuk mengamati kedua orang yang dicurigai itu.

Tanggal 20 November Komisaris Roosen mengadakan penggeledahan dan menemukan alat-alat untuk mencuri, beberapa jenis racun, dan sisa-sisa barang bukti yang terbakar. Jaksa mengatakan bahwa Brinkman maupun Soeffing mempunyai alasan kuat untuk menyingkirkan Aisah.

Mereka dalam perjalanan menuju Sentiong itu sengaja mencari jalan yang tidak lazim untuk menghindari pertemuan dengan orang lain dan berusaha membuat dirinya sukar dikenali.

Di samping itu, menurut jaksa, tidak masuk akal bahwa Soeffing berusaha memperkosa Aisah di tanah kuburan yang gelap dan berlumpur. Kedua tertuduh tidak tahu di mana rumah Konings yang katanya menjadi tujuan perjalanan malam itu, sedangkan Konings sendiri mengatakan tidak pernah bertemu dengan mereka sejak dia melarikan diri dari dinas ketentaraan.

Para saksi ahli menerangkan bahwa pembunuhan itu harus dikerjakan oleh dua orang. Korban lebih besar perawakannya daripada Soeffing, sehingga harus dipegang erat-erat oleh Brinkman untuk memungkinkan pembuatan irisan yang sempurna, yang hanya mungkin kalau korban tidak bergerak.

Jaksa mengakhiri tuntutannya dengan mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang meringankan dan terdakwa pertama memberikan jawaban yang berbelit-belit dan mengelak, sehingga menyulitkan penyelidikan perkara. Akhirnya, ia memintakan hukuman mati untuk Brinkman dan seumur hidup untuk Emil Soeffing.

Setelah pembelaan, replik, dan duplik, maka sidang ditunda untuk memberikan kesempatan bagi para hakim mempertimbangkan putusan.

Pada tanggal 14 Juni 1915 sidang menjatuhkan hukuman mati kepada W.F. Gramser Brinkman dan 15 tahun penjara kepada Johann Emil Soeffing.

Epilog

Setelah dijatuhi hukuman mati, dalam bulan Agustus 1915 Brinkman masih membuat riwayat lagi dengan melarikan diri bersama seorang napi berat lainnya dari Penjara Glodok, dengan menyuap seorang petugas.Keduanya tertangkap kembali keesokan harinya di sebuah warung di daerah Bungur Besar.

Pelaksanaan hukuman matinya ditentukan pada tanggal 24 September 1915. Algojo bernama Silun telah didatangkan dan sudah membuat selamatan menjelang pelaksanaan tugasnya, tetapi Brinkman telah mengakhiri riwayatnya sendiri dengan menggantung diri di selnya dengan seprai tempat tidurnya, pagi-pagi pukul 03.30.