Find Us On Social Media :

Ekor Pembunuhan Nona Kwitang

By Intisari Plus, Jumat, 28 Januari 2022 | 19:55 WIB

Pembunuhan gadis pribumi menguak misteri terbunuhnya seorang gadis indo.

Intisari PlusPada hari Sabtu pagi, 14 November 1914, penjaga Tanah Pekuburan Cina Kramat Sentiong di Betawi memulai hari kerjanya dengan suatu kejutan yang sangat tidak nyaman. Orang yang sudah berhubungan dengan kematian sempat dibuat kaget bukan kepalang ketika pada pagi itu menemukan sesosok mayat setengah bersandar pada busut berumput suatu kuburan.

Mayat itu mayat seorang wanita tak dikenal. Sekilas lintas saja sudah cukup jelas bahwa tubuh itu korban kejahatan, karena pada satu sisi lehernya terdapat luka karena benda tajam.

Pembunuhnya rupanya hendak menghapus segala jejak identitasnya, karena ia mencopoti seluruh pakaian maupun perhiasannya. Mayat itu telah kaku, sehingga dapat diperkirakan bahwa telah tergeletak di tempat itu sejak malam sebelumnya.

Bisa dibayangkan bahwa tanah pekuburan tersebut pada masa itu merupakan tanah yang cukup luas, tempat yang seram dengan rerumputan liar, semak-semak, dan pohon-pohon besar. Jalan yang dulunya bernama Gang Sentiong, yang berakhir pada jalan lintasan kereta api, menjadi jalan rintisan yang berlumpur menuju ke tempat pemakaman.

Dapat pula dibayangkan betapa seramnya tempat itu di malam hari, gelap gulita, jauh dari perkampungan, hanya diramaikan oleh suara serangga dan teriakan burung malam yang mendirikan bulu roma seperti burung hantu dan culik-culik.

Setelah mendapat laporan, yang berwajib segera mengadakan pemeriksaan setempat, lalu membawa mayat wanita yang malang itu ke Stadsverband, rumah sakit umum yang kini kita kenal dengan nama RSCM.

Kemudian mayat korban dibawa ke Mangga Dua untuk dimakamkan di sana.

Kencan terakhir

Ternyata pembunuh tidak berhasil melenyapkan identitas mayat, karena orang mengenalinya sebagai mayat Aisah, yang menjadi gula-gula atau nyai seorang serdadu Belanda bernama Van Biemen.Kecurigaan polisi jatuh kepada orang ini, tetapi setelah diperiksa ia ternyata tidak bersalah, karena dapat membuktikan bahwa malam itu ia sedang bertugas di posnya.

Ia mengakui bahwa Aisah memang peliharaannya, tetapi mereka tak bisa berumah tangga, karena ia bertugas siang malam di dalam benteng. Dia tahu bahwa ada serdadu lain bernama Schaafsma yang menggauli wanita itu, tetapi ia membiarkannya. Apa yang bisa dia perbuat, kalau dia siang malam bertugas di benteng, demikian keterangannya kemudian sebagai saksi di depan pengadilan. Setelah lama tidak bertemu, pada suatu hari, tidak lama sebelum pembunuhan itu, ia masih sempat berkencan dengan korban. Mereka bertemu di pintu benteng, nonton bioskop, dan jalan-jalan keliling kota. Terakhir minum es di daerah Harmoni.