Siapa Pembunuh Nona Kwitang?

By Tan Boen Kom,Java Bode, Selasa, 8 Februari 2022 | 19:27 WIB
Orang ragu karena tak mengira ia tega menyiksa kekasihnya

Orang ragu karena tak mengira ia tega menyiksa kekasihnya

Meskipun merasa tidak cinta lagi, bahkan benci, Fientje dalam hati merasa agak ngeri juga terhadap ancaman Brinkman. Ia kembali ke rumahnya sendiri di Kwitang. Sementara itu kedua orang itu sudah tidak lagi serumah. Fientje tidak terlalu menghiraukannya. Ia merasa hubungannya telah putus dan ia kini bebas dari Brinkman yang ringan tangan.

Tanggal 14 Mei 1912 sore hari Fientje ingin menonton bioskop di Gedung Globe, Pasar Baru. Ia berdandan gaya Betawi asli dengan mengenakan sarung Jawa warna merah dan kebaya panjang berkembang-kembang hijau.

Sampai di Pasar Baru ternyata ia terlambat seperempat jam, sehingga mengurungkan niatnya untuk menonton. Ia naik delman lagi menuju ke Mangga Besar. Di Mangga Besar delmannya disusul oleh sebuah sado berlentera karbit dan bercambuk panjang. Ternyata Brinkman sejak sore hari sudah berputar-putar dengan kendaraan ini untuk mencari bekas kekasihnya di tempat-tempat yang biasa dikunjunginya. Setelah jelas bahwa yang duduk dalam delman itu orang yang dicarinya, Brinkman turun dan menghampirinya. Dengan wajah tersenyum dan penuh keramahan Brinkman menegurnya, "Zo Fien, apa kabar? Kau dari mana saja?" Fientje tidak menjawab. Ia tertegun karena tidak mengira akan berjumpa dengan Brinkman di jalan.

Beberapa minggu lamanya ia sengaja menghindari pertemuan dengan Brinkman, karena ia masih khawatir akan dipukuli lagi oleh laki-laki ini, apalagi setelah ia mengancam lewat surat. Tetapi dalam pertemuannya yang terakhir tidak tampak tanda-tanda bahwa dia akan melakukan kekerasan. Sekarang sikapnya malah sangat ramah dan ingin memperbaiki hubungan. Brinkman mengatakan bahwa ia mencarinya di rumah dan ke mana-mana.

Fientje berbalik bertanya, untuk apa, bukankah ia sudah mempunyai pacar lain. Brinkman menyatakan bahwa ia masih mencintai Fientje. Kemudian karena bujuk rayunya yang lihai wanita muda itu berhasil disuruh menaiki sadonya untuk diajak berjalan-jalan. Hari sudah cukup malam, ketika sado itu dilarikan kusirnya ke arah Tanah Abang, kemudian terus ke Palmerah. Di situ kendaraan itu diperintahkan berhenti di dekat seorang tukang mi dan penjual kacang.

Tak jauh dari kedua pedagang itu berdiri seorang laki-laki. Dia seorang peronda.Pasangan itu menarik peirhatian ketiga orang tadi, sebab tidak biasa orang-orang dari golongan itu malam-malam ada di daerah udik seperti Palmerah. Mereka tadinya mengira bahwa Fientje seorang wanita keturunan Cina, tetapi setelah sepintas mendengarkan percakapan pasangan itu, mereka tahu bahwa pembicaranya orang Belanda.

Tak lama kemudian pasangan itu berangkat lagi dengan sado lain menuju ke Kampung Pakembangan di daerah Tanah Jepang. Kendaraan berkuda itu masuk kampung, lalu berhenti di depan rumah berdinding bambu dan beratap genting. Rumah ini sebuah rumah pelesiran yang terkenal di kampung itu sebagai rumah Umar. Mereka berdua memasuki rumah itu dan pintunya ditutup kembali dari dalam.

Diajari

Di dalam rumah Umar itu ada dua WTS yang tinggal intern, namanya Idup dan Raona. Hari itu rupanya sepi pengunjung, sehingga mereka sudah merebahkan diri sejak tadi. Menjelang tengah malam Idup yang belum nyenyak merasa perutnya sakit, lalu keluar untuk membuang hajat. Sekembali ke kamarnya, baru saja ia hendak merebahkan diri lagi, tiba-tiba terdengar jerit kesakitan seorang wanita. "Aduh! Aduh!" Idup terhenyak. Ia berusaha mengira-ngira dari arah mana datangnya suara itu, tetapi semuanya sunyi senyap. Ia membangunkan Raona. Rupanya Raona tidurnya lelap, ia tidak mendengar apa-apa. Karena penasaran Idup keluar untuk mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi. Raona terduduk di tempat tidurnya. Ia mendengar suara-suara dari kamar sebelah. Rasa ingin tahunya terangsang. Ia bangkit untuk mengintip lewat celah-celah dinding bambu.

Ia melihat seorang wanita muda duduk di kursi sedang dalam keadaan dicekik oleh seorang pria. Sejenak kemudian nampak wanita itu roboh ke lantai. Setelah itu pria tersebut mengeluarkan sebilau pisau yang berkilauan. Melihat adegan itu jantung Idup berdebar-debar, kakinya lemas. Tetapi ia masih sempat melihat beberapa orang laki-laki membantu membereskan mayat itu, kemudian memasukkannya ke dalam karung goni, dijahit, dan digotong ke luar.