Find Us On Social Media :

Siapa Pembunuh Nona Kwitang?

By Tan Boen Kom,Java Bode, Selasa, 8 Februari 2022 | 19:27 WIB

Orang ragu karena tak mengira ia tega menyiksa kekasihnya

Intisari PlusPada hari Jumat pagi, 18 Mei 1912, Kota Betawi digemparkan dengan ditemukannya sebuah karung yang terapung di Kali Baru, di kawasan Tanah Abang. Karung itu berisi mayat seorang wanita yang sudah dalam keadaan rusak, sebab sudah beberapa hari terendam dalam air. Dalam pemeriksaan mayat ternyata bahwa wanita itu tewas oleh tindak kekerasan. Dokter pemeriksa menemukan bekas cekikan pada lehernya.

Ujung lidahnya terpotong oleh benda tajam, sedangkan di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka-luka akibat penganiayaan. Setelah beberapa hari polisi dapat menentukan identitas mayat itu: Nona Fientje de Feniks, umur 19 tahun, tinggal di Kwitang.

Kematian Fientje banyak disayangkan orang. Mengapa wanita masih muda dan cantik itu harus mati secara menyedihkan. Sampai hati benar orang membunuhnya, demikian salah satu reaksi orang ramai. Yang paling kehilangan ialah pria-pria muda berduit yang tergclongplayboy, sebab mereka yang paling tahu wanita penghibur ini. Menurut penulis kisah yang sezaman, Nona Fientje de Feniks di kalangan itu terkenal sebagai nomor satu, hingga di bilangan Betawi, Weltervreden dan Meester Cornelis tidak ada orang muda yang tidak kenal namanya.

Melihat fotonya, Fientje memang termasuk wanita yang rupawan, meskipun dia lebih mirip dengan wanita pribumi daripada Indo atau keturunan Belanda. Menurut penulis kisah dalam bahasa Melayu pasar itu, kulit mukanya halus dan bersih, rambutnya hitam serta lebat. Hidungnya mancung, matanya jeli. Kalau tertawa di kedua pipinya nampak lesung pipi. Dari sanggulnya dapat dikenali sebagai peranakan Belanda. Walaupun peranakan Belanda, tentu kalau berdandan sebagai perempuan Melayu, dengan konde yang khas, kain dan kebaya panjang, banyak yang mengira bahwa ia wanita Betawi asli.

Fientje memang pandai bersolek. Sekalipun pekerjaannya ialah wanita penghibur yang dapat dipanggil kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja asalkan berduit, kadang-kadang ia mengaku sebagai peliharaan atau simpanan seorang laki-laki tertentu.

Seandainya mempunyai status itu pun belum berarti bahwa ia meninggalkan profesi utamanya sama sekali. Seperti seekor burung, ia gemar terbang ke sana-sini, hinggap di pohon yang disukai, tapi enggan dikurung, dalam sangkar emas sekalipun.

Gonta-ganti pacar

Bulan Oktober 1911, kurang lebih tujuh bulan sebelum ia ditemukan sebagai mayat terbungkus karung di Kali Baru, Tanah Abang, Fientje mempunyai dua orang "pacar" tetap. Foto kedua laki-laki ini terpampang di dalam kamar tidurnya di Kampung Kwitang, tempat ia menghuni sebuah rumah berukuran sedang bersama seorang pembantu. Satu di antaranya anak seorang pedagang kaya dari Pasar Baru yang namanya tak disebutkan. Seorang lagi disebut dengan nama Sia Kacamata, anak seorang pemimpin golongan Cina yang nama aslinya juga tidak disebutkan.

Hati Fientje terombang-ambing antara kedua pacar ini. Yang satu, Sia Kacamata, orangnya baik budi dan tampan, lagi pula ia cukup royal. Anak orang kaya dari Pasar Baru ini pun cukup berimbang, baik rupa maupun uangnya, tapi seminggu lalu mereka bertengkar dan ia tidak muncul-muncul lagi. Sebenarnya Fientje diam-diam mengharapkan bahwa salah satu dari keduanya pada suatu hari akan memeliharanya sebagai simpanan tetap, sehingga paling sedikit hidupnya terjamin, supaya ia tidak perlu menerima langganan lain, kecuali kalau memang dikehendakinya sendiri.

Dengan menyimpan harapan itu di dalam hatinya, Fientje mengadakan janji untuk menonton komedi kuda (sirkus) di Lapangan Gambir dengan Sia Kacamata. Di dalam pertunjukan itu ia menarik perhatian dua orang laki-laki Indo Belanda, yang juga sedang menonton. Sehabis pertunjukan pasangan itu minum-minum di bufet dan kesempatan itu digunakan oleh salah seorang pria Indo itu untuk menyapa Fientje. Usahanya itu ternyata mendapat tanggapan baik, sehingga beberapa hari kemudian ia menulis surat kepada wanita yang didambakannya itu. Meskipun sebenarnya sudah menanyakan alamat Fientje, ia belum berani langsung mengunjungi rumahnya, sebab ia khawatir bertemu dengan pemuda Cina yang dikiranya menjadi pengawal tetapnya. Untuk menghindari pertemuan yang mungkin mempunyai akibat tidak enak, ia menyatakan akan berkunjung pada hari Minggu.