Intisari Plus - Suami istri Featon ditemukan tewas. Keduanya tampak seperti telah melakukan bunuh diri, namun polisi menduga mereka adalah korban pembunuhan.
----------
Pagi hari tanggal 12 Februari 1962, Kepolisian Melbourne bagian perkara pembunuhan mendapat laporan. Di Hillstreet 17 Blackborn sepasang suami istri ditemukan tewas di kamarnya. Regu penyelidik segera datang, dipimpin oleh Inspektur Kepala Anthony Forrester.
Tampaknya kejadian di Hillstreet itu merupakan peristiwa bunuh diri. Nyonya rumah tergeletak di tempat tidur, pelipisnya tertembus peluru revolver kaliber 7.65. Suaminya menggantung diri di kamar itu juga, setelah sebelumnya mencoba mengakhiri hidupnya dengan tembakan. Revolvernya sudah kosong, tanpa peluru — masih terletak di lantai dekat tangga yang rupanya digunakan untuk memanjat ketika lelaki itu hendak menggantung diri.
Kamar diperiksa. Di atas meja dekat tempat tidur ditemukan sepucuk surat. Dalam surat itu tertulis kata-kata, “Even in the death we will be together.” (Meski dalam kematian, kita akan selalu bersama.)
Inspektur Forrester memerintahkan supaya sidik jari para korban diambil. “Periksa juga bekas-bekas sidik jari pada revolver, untuk mengetahui siapa menembak siapa,” tambahnya.
Seluruh isi kamar kini diteliti. Dalam laci meja dekat ranjang ditemukan sepucuk revolver FN. Dengan saputangan Forrester mengambil senjata itu. Revolver yang satu ini ternyata masih penuh dengan peluru. Pelatuknya terkunci.
Aneh, pikir Forrester, bahwa tuan rumah tidak menggunakan revolver yang masih penuh ini untuk mengakhiri hidupnya. Tadinya Forrester mengira lelaki itu menggantung diri karena peluru revolvernya (yang lain) telah habis.
Kini sang inspektur menjadi curiga. Sekali lagi ia mengamati surat yang ditinggalkan almarhum. Kertasnya bergaris, sobekan dari bloknot surat. Tulisannya canggung.
Forrester mencari contoh tulisan lain dari almarhum. Dilihatnya jas tersampir pada sandaran kursi. Dalam salah satu kantongnya ia temukan dompet. Isinya beberapa lembar uang kertas dan surat identitas dengan foto almarhum. Berdasarkan surat identitas ini diketahui bahwa lelaki yang meninggal tergantung itu bernama Robert J. Featon. Lahir tanggal 28 Mei 1925 di London. Pekerjaan insinyur. Tanda tangan di bawah foto ditulis dengan gerak tangan yang lancar — tulisan orang yang terpelajar.
Jelas bahwa tulisan tangan ini berbeda dengan tulisan pada surat yang ditemukan di atas meja dekat ranjang. Tulisan pada “surat wasiat” itu menunjukkan ciri-ciri berikut. Rupanya penulis tadinya bermaksud menulis dengan huruf cetak. Huruf e pertama dalam kata “Even” ditulis dengan huruf besar cetak, tapi disusul oleh “ven” yang dengan huruf tulis. Setelah itu semua huruf-huruf adalah huruf tulis. Selanjutnya huruf t ditulis dengan coretan horisontal yang berciri khas dan sama sekali berbeda dengan huruf t pada kata-kata “Robert Featon” dalam surat identitas almarhum.
Mungkinkah surat itu ditulis oleh isteri almarhum? Lemari dalam kamar digeledah. Ditemukan beberapa tas tangan wanita. Di dalam salah satu tas tangan, Inspektur Forrester berhasil menemukan surat identitas nyonya rumah. Tanda tangan di bawah fotonya “Fritia Featon Dierck”. Tanda tangan itu juga menunjukkan jenis tulisan yang berbeda dengan tulisan pada “surat wasiat”.
Timbul dugaan kuat bahwa suami istri itu tidak bunuh diri, melainkan dibunuh oleh seseorang. Sekali lagi Forrester memeriksa luka tembakan pada Robert Featon. Rupanya peluru hanya menyerempet saja. Barangkali tembakan ini hanya membuat Featon pingsan? Dan kemudian mengatur keadaan sedemikian rupa hingga timbul kesan seolah-olah Featon dan istrinya bunuh diri?
“Nicols,” kata Inspektur Forrester kepada anak buahnya, “Pergilah ke toko dan beli lakban ukuran 2,5 cm.” Dengan ini, inspektur polisi berniat mempraktikkan suatu cara penyelidikan baru yang belum pernah dicoba di Australia saat itu.
Forrester mengetahuinya dari sebuah artikel yang ditulis Wolfson, seorang ahli kriminologi dari Universitas Cambridge. Dalam artikel itu, Wolfson mengulas suatu metode yang dikembangkan oleh orang Swiss yang bernama Frei dan Dr. Berg dari Jerman. Itu adalah metode untuk mendapatkan bukti-bukti di tempat kejadian.
Dasar pemikiran dan cara-caranya sebetulnya sederhana. Di tempat kejadian, pelaku dapat meninggalkan bekas-bekas berupa serat-serat halus yang berasal dari pakaiannya. Gesekan pakaian dengan benda-benda tertentu dapat mengakibatkan tertinggalnya serat-serat halus pada benda-benda tersebut. Serat-serat halus yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang itu dapat dikumpulkan dengan lakban. Caranya dengan menempelkan pita plastik yang berperekat pada benda-benda yang ada di tempat kejadian. Serat-serat halus itu akan menempel pada lakban dan kemudian bisa diperiksa dengan mikroskop di laboratorium.
Dalam penyelidikan kematian di Hillstreet 17, Inspektur Forrester berpendapat sebagai berikut. Apabila benar Robert Featon menggantung diri, maka di tangannya yang menyentuh tali gantung, seharusnya ditemukan serat-serat halus tali tersebut. Bila ia digantung oleh orang lain, maka di tangannya tidak akan ditemukan serat-serat halus tali tersebut.
Setelah Nicols kembali, Forrester melakukan pengambilan serat-serat halus yang mungkin tertempel pada tangan Featon dengan sistem lakban itu.
Pengambilan dilakukan secara sistematis. lakban ditempel pada jari kelingking tangan kanan, dilepaskan lagi, kemudian dilipat hingga serat2 halus (jika ini ada) tersimpan aman di dalam lipatan. Itu dilakukan pada semua jari hingga telapak tangan. Tiap potongan lakban ditandai, misalnya tangan kanan, jari kelingking, dan sebagainya.
Pencarian bukti-bukti dengan sistem lakban ini juga dilakukan pada lengan dan bagian muka piama yang dipakai korban. Tindakan ini dilakukan oleh Inspektur Forrester atas dasar pemikiran berikut. Jika Featon mati terbunuh, mungkin sebelumnya ia terlibat dalam perkelahian dengan pembunuhnya. Sehingga ia mungkin sekali ia bergumul dan bersentuhan dengan pembunuh itu. Sesuatu yang tertempel pada piama Featon kelak akan berguna dalam pembuktian, bila pembunuhnya ditemukan.
Kemudian Forrester menggarap soal tangga. Tangga ini tergeletak di lantai. Dari posisinya diperoleh kesan seolah-olah Featon menggunakan tangga tersebut untuk naik ke atas guna menggantung diri, kemudian menendangnya hingga tangga itu terjatuh di lantai.
Inspektur membayangkan apa saja yang diperbuat orang yang menggunakan tangga itu untuk gantung diri atau untuk menggantung seseorang. Ia bayangkan bagian-bagian mana dari tangga itu yang bersentuhan dengan orang yang bersangkutan dan pakaiannya. Berdasarkan perkiraan itu, kemudian Forrester melakukan sistem lakban.
Kini perlu diselidiki pula, dari mana masuknya pembunuh ke dalam kamar. Tidak ada jendela yang terbuka, yang dapat dilalui orang dari luar untuk menyelinap ke dalam kamar.
Selanjutnya, kebun dan pekarangan diperiksa. Terlihat jejak-jejak sepatu Iaki-laki. Polisi membuat tiruan dari jejak-jejak itu untuk diselidiki. Semua pintu-pintu diteliti. Ternyata pintu garasi tidak terkunci. Di dalamnya ada sebuah mobil milik tuan rumah, mereknya Morrison. Pintu yang terdapat pada tembok belakang garasi juga tidak terkunci. Pintu ini menuju ke garasi di depan dapur. Pintu dapur jarang dikunci. Melalui pintu garasi itulah rupanya pembunuh masuk ke dalam rumah.
Selesai memeriksa semua pintu rumah, Forrester menganggap perlu mengadakan penelitian sekali lagi. Yang menjadi sasarannya kini kamar kerja Robert Featon. Laci-laci dan kotak pada meja tulis almarhum semua terkunci. Forrester teringat bahwa di atas meja dekat ranjang di kamar tidur terdapat satu set kunci. Ia mengambil dan mencobanya. Ternyata cocok.
Di laci tengah tidak ditemukan hal-hal yang istimewa. Buku cek, buku kas, dan beberapa rekening bank — itulah beberapa isinya. Rekening-rekening bank itu memberi gambaran bahwa suami istri Featon orang yang berada. Sama sekali tak ada petunjuk bahwa Featon dan istrinya bunuh diri karena kesulitan finansial.
Forrester meneruskan penyelidikannya. Dibukanya semua laci dan Iemari kecil di bawah laci. Sampai akhirnya ia menemukan map besar berisi guntingan-guntingan koran yang jumlahnya banyak sekali.
Guntingan koran yang terletak paling atas mengejutkannya. Isinya tentang berita pembunuhan. Korbannya adalah seorang gadis umur 19 tahun, bernama Veronica Kriek dari Amsterdam. Veronica — demikian ditulis dalam guntingan koran itu — berkunjung ke rumah sahabatnya Fritia Dierck. Kemudian ia menghilang dan mayatnya ditemukan pada tanggal 18 Mei 1955 di dekat sebuah rumah sakit di Shotfield di Bedfordshire.
Membaca nama Fritia Dierck, Inspektur Forrester tersentak. Itu nama Nyonya Featon semasa gadis. Berita dalam guntingan koran itu dengan sensasional melukiskan peristiwa pembunuhan Veronica Kriek. Serba misterius. Pelakunya tidak pernah ditemukan. Juga senjata yang digunakan untuk membunuhnya. “Senjata tajam tidak pernah ditemukan, sekalipun para penyelidik telah menjelajahi tempat kejadian dengan detektor ranjau.”
Apa hubungan Fritia Dierck yang sekarang jenazahnya terbaring di kamar sebelah, dengan peristiwa pembunuhan dari tahun 1955 itu? Mungkin sama sekali tidak ada kecuali bahwa Veronica Kriek adalah sahabatnya. Bagaimanapun juga Inspektur Forrester merasa perlu menghubungi Scotland Yard untuk mengetahui duduk persoalan peristiwa pembunuhan Veronica Kriek.
Hanya beberapa hari kemudian laporan Scotland Yard telah sampai di meja Forrester. Dan memang ternyata mengandung beberapa unsur yang mungkin dapat memberikan titik terang.
Menurut laporan Scotland Yard, awalnya Robert Featon beristrikan seorang wanita bernama Gwen Hillier. Perkawinan mereka bertahan sampai tahun 1955 bulan Februari. Gwen Hillier kaya. Maka keluarga Featon dapat mempekerjakan seorang gadis pengasuh ketika anak perempuan mereka lahir tahun 1953. Gadis pengasuh itu bernama Fritia Dierck, berasal dari Belanda. Fritia gadis umur 19 tahun dari Amsterdam itu datang ke London untuk belajar bahasa Inggris.
Nyonya Hillier Featon segera melihat bahwa hubungan suaminya dengan Fritia itu lebih dari sekadar hubungan antara majikan dan pekerjanya. la tidak dapat membiarkan keadaan ini dan mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk bercerai. Sebelum sidang dimulai, Fritia Dierck pulang ke Belanda, atas saran pengacara Tuan Featon. Tujuannya agar ia dapat menghindari keharusan tampil di depan pengadilan sebagai saksi.
Setelah permohonan cerai dikabulkan, Fritia kembali lagi ke London, dengan membawa sahabatnya yang sebaya dengannya. Ia adalah Veronica Kriek. Veronica Kriek baru saja memutuskan pertunangannya dengan seorang pemuda bernama Henrick van der Louse setelah bertengkar dengannya. Lalu, dengan seizin orang tuanya, Veronica Kriek mengikuti Fritia Dierck ke London. Tujuannya adalah untuk menghindari kesempatan bertemu dengan bekas tunangannya.
Sementara itu Tuan Featon setelah bercerai, terpaksa meninggalkan rumah mantan istrinya. la mendapatkan pekerjaan sebagai insinyur elektronik di Shotfield. Fritia dan Veronica datang padanya. Ketiganya kemudian mencari sebuah rumah untuk ditinggali bersama. Featon dan Fritia Dierck yang berencana untuk menikah, mengaku sebagai suami istri.
Itulah situasi sebelum hilangnya Veronica Krieck yang jenazahnya kemudian ditemukan di dekat rumah sakit Shotfield pada tanggal 18 Mei 1955.
Sebagai orang yang dekat hubungannya dengan Veronica, Featon dan Fritia Dierck menimbulkan kecurigaan bagi polisi. Apakah mungkin Featon (yang ketika itu umur 30 tahun) merasa lebih tertarik kepada Veronica karena gadis ini wataknya lebih tenang daripada Fritia yang agak banyak tingkah? Dan hal ini membuat Fritia cemburu dan kalap hingga membunuh Veronica? Atau mungkin Featon dan Fritia bersekongkol untuk menyingkirkan Veronica karena motif ingin merampas harta miliknya? Itulah beberapa teori yang pernah muncul dalam pikiran pihak kepolisian Inggris
Dengan latar belakang teori itu, Featon dan Fritia diinterogasi polisi. Tetapi mereka memiliki alibi yang tidak dapat dibantah, hingga polisi mengeluarkan mereka dari daftar orang-orang yang dicurigai.
Orang lain yang rnenarik perhatian polisi ialah Henrick van der Louse, bekas tunangan Veronica. Mungkin saja lelaki ini patah hati, lalu mengikuti bekas tunangannya ke Inggris untuk mengajaknya berdamai kembali. Kemudian bertengkar dengan akhirnya Henrick membunuh Veronica. Tapi sangkaan ini pun tidak terbukti kebenarannya. Sebab Henrick van der Louse ialah seorang pelaut. Setelah putus pertunangannya dengan Veronica, ia pergi berlayar dengan sebuah kapal muatan. Pada waktu Veronica terbunuh di Shotfield, Henrick van der Louse berada di tengah lautan Atlantik.
Inspektur Forrester merenungkan keterangan-keterangan dari Scotland Yard itu. Mungkinkah Scotland Yard keliru? Mengapa Featon dan istrinya kemudian pindah ke Australia? Tidak mustahil bahwa van der Louse tetap mengira bahwa suami istri Featon telah membunuh bekas tunangannya dan kemudian ia membalas dendam.
Masuk akal bila van der Louse menaruh dendam terhadap Fritia Dierck karena wanita ini telah membujuk bekas tunangannya untuk mengikutinya ke Inggris. Seandainya Veronica tidak pergi ke London, barangkali pemuda itu masih bisa memperbaiki hubungannya dengan Veronica. Seandainya Veronica tidak pergi ke Inggris, ia tidak akan mati terbunuh.
Gagasan-gagasan seperti itu dapat mendorong van der Louse untuk merencanakan pembunuhan terhadap suami istri Featon. Namun semua itu masih berupa teori yang mengambang di awang-awang….
Inspektur Forrester kini menulis surat ke Kepolisian Amsterdam untuk minta keterangan tentang Henrick van der Louse. Di mana dia? Apakah mungkin sebagai pelaut sedang berlayar? Apakah ia bekerja pada kapal yang dalam pelayarannya mampir di Australia? Itulah beberapa pertanyaan yang dikemukakan oleh Forrester kepada polisi Amsterdam.
Sementara itu penelitian di laboratorium untuk meneliti serat-serat halus yang ditemukan di tempat kejadian sudah memberikan hasil.
Pertama, jelas bahwa di tangan Tuan Featon sama sekali tidak ditemukan serat yang berasal dari tali gantung yang mengakhiri hidupnya. Dengan ini diketahui bahwa lelaki itu pasti tidak menggantung dirinya sendiri. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil pemeriksaan dokter terhadap jenazah Tuan Featon. Luka tembakan yang menyerempet pelipisnya, bukan luka yang mematikan, tapi hanya luka yang membuat orang pingsan. Rupanya Featon tewas akibat digantung oleh pembunuhnya.
Kedua, pada piama dan tangga yang digunakan untuk menggantung Featon ditemukan serat dengan ukuran, jenis, dan warna yang sama. Serat-serat halus itu ditemukan pula pada pagar, tak jauh dari tempat ditemukannya jejak sepatu Iaki-laki di pekarangan. Data ini diperoleh dari pemeriksaan laboratorium yang saksama, dengan menggunakan mikroskop yang memperbesar gambar serat halus itu sampai 500 kali ukuran yang sebenarnya.
“Jika Henrick van der Louse berhasil ditemukan, mudah-mudahan persoalannya menjadi jelas,” kata Forrester kepada asistennya, Nicols. Pada tahap penyelidikan ini diperoleh keterangan tambahan. Beberapa tetangga korban menyatakan bahwa seorang Iaki-laki asing terlihat mondar-mandir di sekitar rumah suami istri Featon. Tingkah lakunya mencurigakan. Forrester berniat menunjukkan foto Henrich van der Louse kepada tetangga-tetangga korban itu, jika foto tersebut sudah dikirim dari Amsterdam.
Foto berikut keterangan-keterangan polisi Amsterdam memang datang tidak lama kemudian. Tapi informasi baru ini malah menggoyahkan teori Inspektur Forrester.
Foto tersebut ialah foto Henrick van der Louse 8 tahun yang lalu. la dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1932 di Amsterdam. Jadi pada tahun 1962, saat terjadinya pembunuhan suami istri Featon ia berusia 30 tahun.
Tanggal 3 Agustus 1955 — demikian keterangan polisi Amsterdam selanjutnya — ia kembali dari pelayaran ke Amerika Utara. Lalu berlayar dengan sebuah kapal muatan ke Hongkong. Di Singapura ia secara diam-diam meninggalkan kapal muatan itu dan berpindah ke kapal pesiar Joyita, milik seorang Inggris T.H. Miller dari Cardiff. Kapal ini hanya berukuran 70 ton tapi perlengkapannya modern. Joyita berlayar ke Kepulauan Samoa dan pada tanggal 3 Oktober 1955 singgah di Pelabuhan Apia. Setelah itu terjadi sesuatu yang menarik perhatian dunia pelayaran saat itu. Joyita tidak pernah sampai ke Pulau Tokelau, tujuan akhirnya.
5 minggu lamanya dilakukan pencarian, tetapi sia-sia. Usaha pencarian dihentikan dan kapal Joyita dianggap telah hilang. Tapi kemudian sebuah kapal muatan bernama Tuvala menemukan sisa-sisa kapal Joyita. Sudah kosong, beberapa balok dipotong dan dilepas dari kapal. Semua alat-alat, kompas, radio, dan buku log semuanya tidak ada. Bekal-bekal makanan tidak ada pula. Bangkai kapal itu masih terapung, berkat beberapa drum bensin yang sudah kosong di ruang bagasi.
Keadaan bangkai kapal ini awalnya menimbulkan pertanyaan. Apakah kapal ini sengaja dimusnahkan untuk memperoleh ganti rugi asuransi? Tapi ternyata tidak ada permohonan ganti rugi. Apakah barangkali kapal ini dibajak di tengah laut? Tapi tidak ada tanda-tanda terjadinya perkelahian atau pertempuran. Awak kapal Joyita yang berjumlah 25 orang pun menghilang. Delapan orang kulit putih, termasuk Henrick van der Louse. Apakah mereka berpetualang, mendarat di suatu pulau yang tidak dikenal untuk mencari sesuatu?
Pertanyaan-pertanyaan itu semua tidak terjawab. Dan sudah 7 tahun berlalu sejak peristiwa karamnya Joyita itu terjadi. Para awak kapal mungkin sudah meninggal semua. Jadi menyangka Henrick van der Louse sebagai pembunuh suami istri Featon berarti sama dengan berteori bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh orang yang telah almarhum!
Forrester seperti dihadapkan pada jalan buntu. Tetapi naluri detektifnya tidak juga mau menyerah. la tetap tergoda untuk terus mengikuti teori yang telah disusunnya.
Inspektur itu mendapat keterangan dari Scotland Yard bahwa suami istri Featon pada tanggal 22 Juli 1955 beremigrasi ke Australia. Bayangkan jika Henrick van der Louse, yang keranjingan nafsu balas dendam gara-gara kematian bekas tunangannya, mendengar hal itu. Sangat masuk akal bahwa pemuda itu lantas berusaha mengejar mereka. Demikian pikir Forrester yang — sebagai detektif tulen — berusaha menempatkan diri pada situasi tersangka.
Maka berangkat pulalah van der Louse ke Australia. Ini bukan suatu petualangan yang terlalu sulit baginya, mengingat ia seorang pelaut. la berpindah-pindah kapal dan akhirnya menumpang kapal pesiar Joyita yang menuju ke Kepulauan Tokelau. Di tengah jalan, kapal ini karam atau rusak. Atau barangkali Joyita sengaja dihancurkan karena motif tertentu? Bagaimanapun juga, setelah itu mungkin van der Louse berusaha menghilang dan menghapus identitasnya. Barangkali bersama semua rekan pelautnya, ia menuju ke salah satu dari sekian banyak pulau yang bertebaran di daerah sekitar. Setelah beberapa tahun, akhirnya van der Louse berhasil meninggalkan pulau tersebut dan mendarat di Australia. Barangkali sambil mengantongi surat identitas salah seorang rekannya.
Demikian Inspektur Forrester membayangkan. Dan berdasarkan gagasan-gagasan itu, ia mengeluarkan perintah untuk menangkap Henrick van der Louse. Fotonya yang berasal dari tahun 1955 disebarkan dengan beberapa keterangan bahwa buronan itu sekarang sudah tidak semuda fotonya. Kini ia berumur sekitar 30 tahun.
Dan benar! 4 hari kemudian, tanggal 28 Februari 1962 di Wollongong, polisi berhasil menahan seorang laki-laki yang wajah dan ciri-cirinya seperti terlihat dalam foto.
Laki-laki itu mengaku bernama Fred Soran, lahir tanggal 18 April 1924 di Helensville dekat Auckland, Selandia Baru. Tetapi malang baginya. Polisi pertama di Australia yang memeriksanya adalah orang yang saat Perang Dunia II pernah ditempatkan di Helensville. Hingga langsung saja bisa diketahui bahwa Fred Soran ternyata sama sekali tidak mengenal kota kelahirannya.
Henrick van der Louse belum pernah berurusan dengan polisi. Maka tidak tersedia sidik jarinya. Polisi tidak dapat membuktikan bahwa Fred Soran sama dengan Henrick van der Louse berdasarkan sidik jari.
“Anda mengira sudah aman dan terlindung dari kejaran petugas hukum dengan siasat Anda yang lihai. Rupanya di tempat kejadian Anda telah menggunakan sarung tangan hingga tidak terdapat bekas-bekas sidik jari. Tapi kami punya bukti-bukti lain,” kata Inspektur Forrester. Lalu bukti-bukti itu dikeluarkannya satu per satu.
Pertama, jejak sepatu laki-laki yang ditemukan di pekarangan keluarga Featon. Jejak ini persis sama dengan jejak sepatu yang dipakai Fred Soran, walaupun sepatu itu kini sudah agak aus.
Kedua, serat-serat tekstil yang dikumpulkan oleh Forrester di tempat kejadian dengan lakban. Pada waktu tertangkap, Fred Soran kebetulan mengenakan celana cokelat. Serat-serat celananya diperiksa di laboratorium. Ternyata tidak 100 persen terdiri dari katun. Ada campurannya berupa serat sintetis. Jenis, kekuatan, warna, dan susunan kimia serat-serat celana cokelat itu ternyata persis sama dengan serat-serat yang ditemukan oleh Forrester pada piama Robert Featon, tangga, pagar pekarangan, dan beberapa benda lainnya di kamar almarhum.
Akhirnya bukti ketiga adalah tulisan tangan Fred Soran ternyata persis sama dengan tulisan “Even in the death we will be together” di atas secarik kertas yang ditemukan di tempat pembunuhan ganda di Hillstreet 17, Blackborn itu.
Demikian pembunuh suami istri Featon berhasil diringkus. Siasatnya dengan mencari alibi sebagai almarhum tidak dapat bertahan terhadap pembuktian dari ruang laboratorium.
(Hanns Walther)
Baca Juga: Rahasia Sebuah Kapal
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799249/mencari-alibi-sebagai-almarhum" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565947000) } } [1]=> object(stdClass)#101 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3753281" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#102 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/26/mereka-diangkut-dengan-kereta-je-20230526103218.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#103 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Karena khawatir akan masa depan, seorang teolog melakukan pembunuhan pada keluarganya. Ia pun berencana untuk bunuh diri setelahnya namun tertangkap." ["section"]=> object(stdClass)#104 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/26/mereka-diangkut-dengan-kereta-je-20230526103218.jpg" ["title"]=> string(37) "Mereka Diangkut dengan Kereta Jenazah" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-26 10:32:28" ["content"]=> string(46705) "
Intisari Plus - Karena khawatir akan masa depan, seorang teolog melakukan pembunuhan pada keluarganya. Ia pun berencana untuk bunuh diri setelahnya namun tertangkap.
---------------
Kota Hamburg yang tenang hari Senin tanggal 15 Agustus 1803 pagi-pagi sudah dikejutkan oleh desas-desus yang segera merebak. Seorang cendekiawan, seorang teolog yang pernah berkhotbah, dikabarkan telah membunuh seluruh keluarganya: istri dan anak-anak. Semuanya enam orang.
Fakta-fakta yang segera terungkap lebih mengerikan daripada desas-desus.
Pagi-pagi pembantu rumah tangga ingin membangunkan majikannya di rumah nomor 40 di Groeningerstrasse. Waktu ia masuk ke kamar tidur bawah, ia menemukan nyonya rumah dan seorang anak laki-laki berlumuran darah telah meninggal di tempat tidur mereka. Di tingkat-tingkat atas anak-anak pemilik rumah, juga telah dibunuh dan berlumuran darah.
Si pembantu rumah tangga pergi ke tetangga. Semua berdatangan untuk menyaksikan. Sesudah jam 7, polisi tiba.
Pemilik rumah, yang keluarganya semua mati terbunuh itu, bernama Ruesau. Ia lebih dikenal orang sebagai Kandidat Ruesau. Ia telah lama meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang pengkhotbah. Kemudian ia membuka tempat pendidikan yang digabungkan dengan sebuah asrama bagi gadis-gadis yang dipimpin oleh istrinya. Sesudah itu ia mulai berdagang kelontong yang dilakukan di rumahnya sendiri.
Setelah diselidiki tidak ada orang tidak dikenal masuk ke rumah itu malam sebelumnya. Tidak pula terdengar jeritan. Pagi hari jam 4, tuan rumah sudah keluar. Pada pembantu rumah tangga yang baru saja bangun, ia mengatakan bahwa ia akan segera kembali.
Orang tidak dapat mengatakan yang jelek-jelek tentang Ruesau. Malahan kebalikannya, ia terkenal sebagai seorang yang baik dan terhormat di mana-mana. Orang juga tidak dapat menduga mengapa ia melakukan pembunuhan yang begitu keji. Tetapi meskipun demikian, semua yakin dialah pembunuhnya. Ia seorang pendiam dan bermuka suram. Sebuah potret yang tertinggal memperlihatkan muka yang penuh syak wasangka dan akal licik.
Kabar sampai pada Senator Jenisch, yang memerintahkan petugas-petugas polisi, dr. Matthai, dan Wichers pergi ke rumah di Groeningerstrasse. Dr Steffen memeriksa para korban. Ia mulai dengan mayat istri Ruesau. Padanya dan juga pada semua korban ia menemukan luka-luka leher yang mematikan. Anak perempuan yang tertua, seorang anak yang cantik, ditemukan terlentang, agak miring, kakinya disandarkan ke tembok, lutut ditarik ke atas, dan tangan menengadah. Padanya dokter menemukan goresan di leher, di dada ada beberapa luka lagi, dan kedua tangannya juga terluka. Dapat diambil kesimpulan dari keadaan itu bahwa ia melawan pembunuhnya. Di meja di depan tempat tidurnya ditemukan pisau cukur berdarah. Kedua gadis yang kos dan tidur di kamar atas, terluput pembunuhan.
Keenam jasad itu dibersihkan dan disemayamkan berderet di sebuah kamar. Rumah ditutup dan disegel. Groeningerstrasse hari itu terus penuh dengan penonton. Kandidat Ruesau telah ditahan.
Sore hari dua pegawai kantor walikota berburu bebek di dekat sungai. Waktu perahu mereka sampai di Danau Alster, mendekati tempat pejagalan, mereka melihat seorang lelaki berpakaian baik yang tergeletak lemas di rumput di tepian. Mereka turun dari perahu dan mengajaknya berbicara. Mereka bertanya siapa namanya. Ia bernama Ruesau. Mereka mengatakan bahwa ia telah melakukan kejahatan dan ia tidak membantah. Tetapi ia tidak dapat mengatakan berapa orang yang telah dibunuhnya. Agaknya ia ingin bunuh diri tadinya. Pakaiannya basah kuyup. Ia masuk ke Danau Alster, tetapi pada tempat itu kurang dalam karena musim panas yang benar-benar panas menyusutkan air. Leher dan tangannya luka.
Kedua lelaki itu segera membawa Ruesau ke pos polisi yang berdekatan. Petugas yang sedang dinas memasukkannya ke dalam sel. Tidak lama kemudian petugas itu kewalahan menahan orang-orang yang ingin membunuh Ruesau. Akhirnya datang sebuah kereta dari kantor besar yang dikawal oleh beberapa petugas lain. Sesudah luka-luka Ruesau yang dibuatnya sendiri itu dibalut, ia dimasukkan ke kereta dan dibawa ke pos polisi di Pferdemarkt.
Sejak pemeriksaan pertama ia mengaku dengan tenang dan tanpa kebingungan bahwa ia telah melakukan enam pembunuhan. Waktu diperlihatkan pisau berdarah, ia mengenalnya kembali sebagai pisau yang digunakannya untuk membunuh keluarganya.
Pada hari Sabtu, tanggal 20 Agustus, di antara jam 5 dan 6 pagi korban-korban dimakamkan. Suatu iring-iringan jenazah yang menarik perhatian: ibu dan anak lelakinya yang tunggal di kereta mayat yang pertama, anak perempuan tertua dan adik perempuannya yang terkecil di kereta mayat kedua, dan kedua anak perempuan lain mengikuti di dua kereta. Peti-peti anak-anak perempuan dihias dengan mirte dan rangkaian bunga.
Jenazah-jenazah itu dikuburkan di permakaman Gereja Johannis.
Sang ibu, Anna Elisabeth Ruesau, terlahir Paethau, umurnya sekitar 45 tahun. Anak-anaknya: Marianne dan Johanna 16 dan 12 tahun, Juliane 7, Heinrich 4,5 dan Emilie 3,5 tahun. Meskipun hari sangat pagi, banyak juga yang datang menonton. Tetapi suasana sangat mencekam. Penjaga berkuda yang dikirimkan untuk siap-siaga ternyata tidak diperlukan sama sekali.
Pada hari itu juga Ruesau didengar keterangannya oleh Senator Jenisch. Pada tahun 1842 akta-akta perkara ini musnah di dalam kebakaran besar yang terjadi di Hamburg. Akan tetapi dari banyak tulisan yang kemudian diterbitkan mengenai kejahatan ini, diketahui jalannya perkara.
Pengakuan Ruesau yang pertama di hadapan senator ditulis kata demi kata.
“Saya bernama Johann Ruesau, berumur 53 tahun, lahir di Riga dan pada tahun 1771 ikut dengan orang tua ke Hamburg. Mereka menetap di sini. Saya pergi ke Erlangen untuk belajar teologi. Sesudah itu saya kembali ke Hamburg. Pendeta Herrnschmidt menguji saya dan saya diperbolehkan menjadi kandidat. Tadinya saya memberi pelajaran pribadi, kemudian saya mendapat pekerjaan sebagai seorang pengkhotbah.
Setahun sebelum ayah saya meninggal tahun 1784, ibu saya meninggal pada tahun 1786. Saya menikah dan di Stekelhoern membuka suatu tempat pendidikan untuk laki-laki. Istri saya membuka asrama bagi gadis-gadis. Keduanya maju sehingga saya meninggalkan pekerjaan sebagai pengkhotbah. Tetapi kemudian, pelajar berkurang. Oleh karena itu saya menutup sekolah dan bersama dengan Tuan Kunst membuka usaha kelontong. Hasilnya tidak memuaskan sehingga saya selalu cemas memikirkan masa depan. Baik siang maupun malam saya tidak dapat menghilangkan khayalan tentang kemiskinan dan kesedihan. Saya membayangkan bahwa keluarga saya akan punah karena kemiskinan. Lalu itulah yang kemudian membawa pikiran bahwa sebaiknya mereka itu dimusnahkan dan dengan demikian tidak usah mengalami semua itu.
Malam hari dari Minggu ke Senin saya tidak tidur tenang. Waktu bangun kira-kira jam 4.30, tiba-tiba terpikir untuk melaksanakan niat itu. Lekas-lekas saya keluar dari tempat tidur, mengambil pisau cukur saya dan pertama pergi ke istri saya. Saya melukainya di leher dengan pisau cukur sehingga ia langsung mati. Saya sangat terkejut, tetapi langsung pergi ke anak-anak yang sedang tidur di tingkat dua dan tiga lalu membunuh mereka juga. Anak perempuan saya yang sulung, mungkin melawan, seperti terasa oleh saya dalam kegelapan. Tetapi perlawanannya sia-sia. Lalu saya ingin bunuh diri. Bahwa saya tidak mengerjakannya, saya tidak dapat mengerti.
Kemudian saya mandi, berpakaian dan pergi. Saya pergi ke Deichtor untuk menenggelamkan diri di kali yang lewat di kota. Tetapi orang-orang yang lewat tidak memungkinkan hal itu. Lalu saya pergi ke Luebeckertor untuk mengerjakan maksud saya di Alster. Saya tidak menemukan tempat yang cocok dan kemudian meneruskan ke pejagalan dan di sana saya masuk Alster dengan pakaian lengkap. Karena tempat itu kurang dalam, saya keluar lagi dan dengan pisau saku telah melukai diri di leher dan pergelangan tangan. Saya juga menusuk diri di perut. Saya ingin kehabisan darah. Meskipun banyak darah yang keluar, maut tidak datang.
Kedua lelaki dari kantor walikota telah menemukan saya. Kini saya sangat ketakutan, bahwa Tuhan menghendaki saya dihadapkan kepada hakim-hakim dalam keadaan hidup. Saya sangat menyesali perbuatan saya dan mengharapkan pengampunan dari Tuhan, karena saya ingin menjalani hukuman karena kemauanNya. Bahwa saya masih hidup itu, saya artikan sebagai suatu pertanda nasib. Saya menginginkan agar saya segera mengetahui hukuman saya.”
Ini semua diceritakan dengan tenang, yang sama sekali tidak membuat orang menyangka bahwa ia itu gila.
Sesudah pengakuan ini, dikaitkan dengan bukti adanya korban-korban, maka pemeriksaan hanya dapat dijalankan atas dasar motivasi perbuatan dan keadaan jiwa si pelaku. Untuk hal pertama rupanya mereka hanya memeriksa seorang saksi utama saja, kompanyon Ruesau dalam usaha dagangnya. Sebab di dalam catatan mengenai hal ini hanya ada sebuah pengakuan yang dibuat proses verbal.
Kompanyon yang bernama Kunst ini seorang aktor sebelum ia memulai usaha dagang dengan Ruesau. Agaknya ia seorang yang telah terlibat dalam banyak usaha. Waktu perkara sedang berjalan, ia mempunyai pekerjaan lain, ia menjadi pengurus bar di gedung teater. Orang tidak begitu menyenangi kelakuannya selama sidang, malahan orang melihat sikap yang menghina waktu ia menyaksikan hukuman mati pada bekas kompanyonnya tanpa perasaan belas kasihan. Waktu memeriksa perkara Ruesau, telah tersiar kabar bahwa Kunst juga berhubungan intim dengan keluarga si pembunuh. Agaknya ia adalah tamu terakhir di rumah itu. Apa yang telah dikatakan di dalam sidang boleh dijadikan patokan. Ia memberi kesaksian:
“Saya telah mengenal Georg Ruesau selama 5 tahun. 2 tahun yang lalu saya membuka usaha kelontong dengannya. Saya memberikan 3.000 dan Ruesau 4.000 mark. Saya selalu menganggap Ruesau sebagai seorang yang jujur dan baik. Hanya saja untuk menjalankan pembelian eceran ia kurang cocok dan sering tidak melihat jauh. Apalagi sudah sejak permulaan Ruesau ketakutan bahwa usaha ini tidak akan memberi hasil sebanyak sekolahnya dahulu. Selain itu, istrinya sering merahasiakan berapa harga ini atau itu. Sebab meskipun ia suka makan enak, ia sakit jika ia harus membayar biaya rumah tangga. Waktu kami sedang mengobrol, Ruesau mengatakan kepada saya bahwa istrinya terlalu memanjakan anak perempuannya di dalam pendidikan dan memberi pakaian yang terlampau anggun. Anak perempuan tertua malahan pernah menjawabnya dengan lantang, waktu ia agak marah karena anaknya banyak dansa-dansi. Ia harus diperbolehkan menikmati masa remajanya, katanya. Saya tidak pernah melihat bahwa ia peminum. Tetapi ia senang berjudi. Meskipun jumlah yang dipertaruhkan kecil. Setiap siang ia tidur beberapa jam, kadang-kadang di pagi hari dengan alasan sakit kepala. Sampai makan siang ia tidur di sofa. Tetapi sering ia sudah bangun jam 4 dan main piano.”
Kedua pembantu rumah tangga, kemudian kedua penyewa kamar serta seorang wanita Prancis yang memberi pelajaran bahasa di sekolah gadis Nyonya Ruesau, juga didengar kesaksiannya. Kesaksian mereka hanya menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendengar cekcok di rumah keluarga Ruesau. Kandidat Ruesau akhir-akhir ini hidup memisahkan diri dari kalangan di mana ia dulu bergaul. Oleh karena itu, mungkin juga bahwa tidak ditemukan seksi-saksi Iain yang dapat memberikan keterangan lebih lanjut tentang kehidupannya. Sebenarnya ibu istrinya yang malang, yakni Janda Paethau dapat memberikan kesaksian yang penting tentang keadaan jiwa menantunya jika ia diharuskan berbuat demikian. Sebab sebenarnya ia mempunyai banyak kesempatan untuk bergaul dan mendengarkan khotbah-khotbahnya, lagi pula Ruesau tidak memutuskan hubungannya dengan dia. Akan tetapi Janda Paethau dalam kesaksian hanya menyatakan bahwa orang ketiga mungkin lebih mengetahui dari orang-orang yang hidup dekat. Saksi mengatakan:
“Waktu Ruesau mengunjungi saya dengan keluarganya pada tanggal 14 Agustus, seorang teman yang juga hadir telah menanyakan saya mengenai pandangan mengerikan di dalam raut muka menantu saya. Ia meminta agar saya mengatakan hal itu kepada anak saya. Memang sesudah itu saya ingin berbicara dengan anak saya. Tetapi malam hari tidak sempat dan pagi berikutnya perasaan teman saya itu menjadi kenyataan yang mengerikan.”
Teman yang bisa melihat jauh ini agaknya tidak didengar kesaksiannya. Terbukti bahwa sama sekali tidak ada alasan bagi Ruesau untuk putus asa. Memang akhir-akhir ini ia kehilangan banyak penghasilan. Dari sekolahnya yang tadinya penuh murid, dua pertiga pergi. Oleh karena itu ia memulai usaha lain. Tetapi usaha kelontong tidak memberikan uang sebagaimana ia harapkan. Itu saja tidak usah merisaukannya, sebab asrama istrinya masih saja diteruskan dan usahanya sama sekali tidak bangkrut.
Lalu ia seorang lelaki yang masih kuat untuk bekerja dan mencari pencaharian yang lain. Sebab sebenarnya ia telah menabung cukup di waktu mengajar sehingga masih ada uang untuk keadaan darurat. Rumahnya yang dibelinya dengan harga 18.000 mark naik nilainya hingga waktu itu diperkirakan menjadi 40.000 mark. Kemudian dijual 35.000 mark. Tidak lama sesudah inventarisasi kekayaannya dan penjualan miliknya, masih ada sisa kekayaan yang memungkinkan ia hidup dengan tanpa bekerja selama beberapa tahun. Di dalam surat wasiatnya masih ada uang 8.800 mark yang kapan saja dapat digunakannya. Di dalam pemeriksaan tidak dapat ditemukan alasan untuk bunuh diri karena takut kurang pangan di masa depan.
Pada hari Kamis malam tanggal 1 Desember 1803, Ruesau dibawa dari Pferdemarkt ke Winserbaum. Dan ada hari Jumat sore dengan memakai mantel hitam dan topi dihadapkan ke pengadilan. Pengakuannya sekali lagi dibacakan. Senat menuduhnya sebagai seorang pembunuh enam kali. Meskipun suasana mengerikan, Ruesau tetap dalam keadaan tenang.
Pada hari Jumat tanggal 3 Februari 1804, ia dihadapkan sekali lagi di pengadilan, di mana pembelanya membacakan pembelaan. Di situ ia, pada tanggal 10 Februari dijatuhi hukuman, penggal kepala dengan pedang. Alasannya:
Bukan terhukum, tetapi pembelanya, Dr. Schleiden, yang mengajukan keberatan terhadap keputusan pengadilan pada mahkamah agung. Pledoinya dianggap sebagai sebuah pledoi unggul. Pembela mengulangi perkataan-perkataan Psikolog Reil: “Pemikiran khayal yang terpusat terjadi dari kesalahan daya pemikiran, yang ditumpahkan kepada suatu hal yang dikhayalkan, yang tidak dapat diyakinkan sebagai hal yang tidak ada pada si penderita. Karena pemikiran khayal yang terpusat itu biasanya ditumpahkan pada hal-hal yang dibenci, maka orang sakit jiwa demikian sedih, mudah menangis, mencari kesepian dan membenci hidupnya.”
Di mana tidak ada jiwa yang sehat, begitu kata Dr. Schleiden, sebenarnya hukuman tidak bisa dijalankan. Hukuman yang dijalankan hanya untuk contoh, atau malahan untuk memuaskan umum, itu melebihi wewenang pengadilan. “Di mana ada keadilan, tidak boleh ada politik yang menentukan,” kata Dr. Schleiden. “Hati-hatilah negara, di mana umum berani mencampuri di dalam cara-cara pengadilan!”
Pembela selain dari itu mengemukakan keberatan resmi: di dalam perkara penting ini sama sekali tidak baik bahwa pengadilan justru waktu itu menjatuhkan hukuman, sebab seorang anggota baru saja meninggal dan yang lain sedang bepergian. Pada jumlah hakim yang hanya delapan orang itu, dua orang yang tidak hadir itu penting juga. Kemudian tiga orang hakim adalah bekas murid tertuduh, sehingga tidak patut jika bekas murid mengadili gurunya. Akhirnya pembela meminta keterangan dari sebuah fakultas kedokteran.
Tetapi umum mempunyai keinginan lain. Hukuman terlampau ringan menurut mereka. Mereka berpendapat bahwa perbuatan itu sangat mengerikan. Mereka meminta hukuman yang menarik perhatian, yang mengejutkan. Bahwa tertuduh tidak bisa dipertanggungjawabkan keadaan mentalnya, tidak dibicarakan sama sekali. Karena terbukti bahwa Ruesau tidak menghadapi kebangkrutan, maka ia tidak dapat membunuh karena takut bangkrut, begitu pendapat umum. Dan orang-orang tidak mau berargumentasi lain di dalam kota pedagang. Ada yang agak toleran dan menganggap bahwa dapat terjadi ketakutan khayal seperti kata psikolog, tetapi tidak mau membenarkan hal ini lebih menguasai lelaki malang itu daripada pemikiran yang sehat.
Mereka juga tidak menganggap perlu untuk mendatangkan ahli dari sebuah fakultas kedokteran. Sepanjang pengetahuan, maka juga para hakim tidak menganggap perlu untuk memeriksa perkara ini secara psikologis, karena mereka telah puas dengan bukti dan pengakuan.
Johann Georg Ruesau dilahirkan pada tahun 1751 di Riga. Ayahnya pandai emas, tetapi hidupnya sulit. Dengan harapan nasibnya akan lebih baik ia pindah ke Hamburg pada tahun 1771. Anak lelakinya belajar teologi. Diragukan apakah ini dilakukan karena panggilan. Mungkin karena Ruesau menyangka bisa meningkatkan diri dari asalnya, sebagaimana terjadi pada banyak teolog dari kalangan bawah. Pada waktu yang hampir bersamaan Ruesau Jr. juga ke Erlangen. Ia hidup sebagai mahasiswa yang miskin, hidup dari memberi les kepada anak-anak kecil. Baru pada usia 21, ia masuk universitas. Ia belajar berhemat. Mungkin karena biasa hemat itu ia kemudian menjadi kikir. “Pelajaran yang ia kumpulkan, tidak begitu berhasil,” begitu tertera di dalam penulisan. “Dan dan semua yang dikenal dari kehidupannya dan keadaannya, tidak memberikan kita hak untuk menilainya lebih daripada seorang yang biasa-biasa saja.”
3 tahun kemudian, Ruesau kembali ke Hamburg. Dan sesudah menempuh ujian ia diterima sebagai kandidat pada Kantor Agama Hamburg. Ia hidup di dalam kesedihan. Ia hidup sederhana selama 10 tahun di tempat orang tuanya. Di gereja yang luas, suaranya yang nyaring tidak didengar. Ia menilai keadaannya tidak bermasa depan. Hal ini menguatkan tabiatnya yang tertutup. Ia kurang bergaul.
Ia memberi pelajaran di sekolah Madame Zier yang terhormat. Sebenarnya suatu tanda bahwa ia mempunyai nama baik. Di situ bakal istrinya Elisabeth Paethau menjadi pembantu guru. Waktu Madame Zier menyerahkan sekolahnya kepada Elisabeth Paethau, maka Ruesau meminangnya. Bukan berdasarkan cinta. Ia hanya merasa ada sesuatu yang pasti dan baik. Tetapi meskipun perkawinan itu dilakukan karena perhitungan, termasuk perkawinan bahagia. Saling hormat-menghormati dan minat yang sama memperkuat hubungan. Istrinya mencintai Ruesau dan serentetan anak mengikat kebahagiaan keluarga. Dalam dalam 18 tahun telah lahir 10 anak. Di samping asrama untuk gadis milik istrinya, ia mendirikan sekolah untuk remaja putera. Banyak yang masuk. Asrama untuk gadis-gadis itu akhirnya membutuhkan rumah yang lebih besar. Ia membeli sebuah rumah warisan dengan harga yang lumayan.
Kedua suami istri hidup sederhana dan tenang. Bahwa mereka jarang bergaul itu disebabkan tabiatnya yang tertutup dan juga karena menghemat. Ruesau memikirkan masa depan. Pergaulan yang luas dengan kewajiban-kewajiban sosial di sebuah kota besar sebagai Hamburg, dapat merusak keluarga yang tidak begitu kaya meskipun mereka tidak boros. Ia pergi ke gereja, senang makan malam dan mengatakan bahwa ia percaya akan ajaran-ajaran agamanya. Orang lain mengatakan tentang dia, bahwa pendapatnya tentang agama adalah aneh dan tidak konsekuen, karena ia pemuja pikiran bebas.
Di antara penduduk Hamburg yang terhormat ada yang pernah menjadi muridnya. Mereka telah dididiknya sedemikian rupa hingga masih ingat dengan rasa terima kasih padanya juga sesudah perbuatannya yang keji. Jumlah muridnya menurun bukanlah karena sistem yang salah, tetapi karena ia sendiri telah kehilangan gairah untuk mengajar. Ia tidak bekerja dengan rajin dan penuh gairah lagi, yang sangat diperlukan pada pekerjaan ini agar berhasil.
Penghasilan Ruesau dengan demikian menjadi lebih kecil. Ia menganggap dirinya tidak dimengerti orang. Meskipun ia berpegang ketat pada pendapatnya, ia sering berubah keputusan. Jika menyangka bahwa ia salah perkiraan, dengan segera ia memegang setiap saran perubahan yang ditawarkan padanya.
Dengan demikian ia telah menutup sekolahnya untuk mencari pekerjaan yang memberikan hasil lebih besar. Tadinya ia ingin membeli tanah agar dapat hidup sebagai seorang filsuf dan petani. Tentu saja dalam hal itu ia akan segera kandas, sebagaimana banyak cendekiawan yang memulai usaha itu, tanpa mengerti tentang cara bertani.
Bagaimanapun juga, ia tidak jadi bertani dan sesudah ia menutup sekolah di hari-hari Paskah tahun 1802, ia mendirikan usaha kelontong dengan kompanyonnya Kunst. Ruseau kecewa karena ia ingin lekas kaya. Hanya beberapa bulan sesudah itu ia mulai menyesali usahanya itu. Fantasinya menggambarkan usaha yang tidak berhasil itu sebagai sesuatu yang sama sekali kandas. Ia membayangkan jatuh miskin dan ingin menutup usaha. Kunst menghiburnya. Tidak lama sesudah itu penghasilan naik. Pandangan Ruesau untuk masa depan menjadi lebih cerah. Tetapi tidak lama kemudian, lalu ia mulai memikirkan yang tidak-tidak lagi.
Pernah terjadi bahan yang halus yang ditetapkan harganya sebanyak 13 mark, dijual dengan harga 4 mark. Kemudian ia menceritakan kepada pembeli, bahwa kompanyonnya marah-marah padanya. Dapat dimengerti bahwa Kunst tidak terlalu menyegani kompanyon yang demikian. Jika di toko sedang ada langganan, Kunst tidak mau bahwa Ruesau memegang sesuatu, karena ia kemudian tidak pernah membereskan barang-barang kembali. Katanya sering Kunst menyuruh Ruesau pergi saja dari toko dan ia pergi dari toko dengan kepala tertunduk.
Ini membuat Ruesau lebih tertutup. Kerisauan yang dikhayalkan mengenai kekurangan pangan, menambah keresahannya. Apalagi kemudian ketika kompanyonnya bercanda dengan istri dan anak-anak Ruesau. Tetapi orang tidak berani menuduh bahwa Ruesau cemburu, biarpun mungkin benar.
Yang aneh adalah bahwa Ruesau di dalam penjara tidak pernah menanyakan kompanyon atau ingin berbicara dengannya. Yang lebih mengherankan ialah bahwa Kunst tidak pernah ingin bertemu dengan temannya yang malang, meskipun ia ikut mendengarkan keputusan di kantor walikota dan kemudian juga menyaksikan pelaksanaan hukuman dengan tenang saja.
Pada permulaan tahun 1803 Ruesau telah memperbaiki rumahnya. Biayanya lebih daripada yang diperkirakan. Tagihan-tagihan pekerja memberatkan pikirannya, meskipun ia tidak pernah dipaksa membayar. Sebetulnya ia dapat membayar, uang ada. Tetapi uang itu sudah disisihkan olehnya untuk pengeluaran masa depan, untuk simpanan di musim dingin dan Iain-lain. Ia bingung lagi. Tidak ada kelebihan pemasukan dari usaha dan kini pengeluaran luar biasa! Di dalam pemikirannya yang sempit segera saja terbayang kemiskinan, sampai ia berpikir harus mati kelaparan.
Ia tidak pernah membicarakan kerisauannya itu dengan orang lain, hanya kadang-kadang ia berkata pada istrinya, “Bagaimana jadinya kita nanti?”
Pada suatu kali ia mengeluarkan fantasinya yang suram pada permainan pianonya.
Untuk menghiburnya anak yang tertua bertanya, “Ayah yang tercinta, mengapa Ayah selalu memainkan lagu-lagu yang sedih itu? Tidak maukah Ayah memainkan wals untuk saya?”
“Anakku sayang, saya sedang tidak mau memainkan lagu-lagu yang gembira,” jawabnya, “waktu-waktu yang buruk ini sangat menyedihkan saya. Engkau masih tidak tahu apa-apa dan oleh karena itu engkau bahagia.”
Anak itu menjawab, “Ah, Ayah, kalau cuma hal itu saja kita akan mendapat pemecahan. Kalau usaha tidak berjalan sebagaimana mestinya, mulai saja lagi dengan sekolah. Saya telah belajar banyak dan dapat membantu ibu dan ayah. Selama kami hidup, Ayah tidak boleh menderita kesukaran. Jangan terlampau memikirkan masa depan!”
Ruesau terharu, menangis dan memeluk anaknya. “Engkau anak yang baik! Saya seorang ayah yang bahagia, tetapi juga tidak berbahagia!”
Juga dengan Kunst ia membicarakan keadaannya yang menyedihkan. Ia segera ingin menutup usaha, tetapi Kunst tidak melihat alasan untuk berbuat demikian.
Ruesau tidak dapat tidur tenang lagi. Karena basah kuyup oleh keringat sebelum bisa tertidur, ia terpaksa tinggal di tempat tidur sampai siang hari. Ia menjadi kurus. Ajaran-ajaran agama yang dicarinya untuk menghibur dan untuk menolongnya, tidak berhasil. Ia tidak mempunyai kecerahan pemikiran, yang dapat menghitung bahwa ia masih jauh dari keadaan miskin. Menurut kesaksian seseorang yang pada waktu itu sering bergaul dengannya, Ruesau beberapa lama sebelum ia melakukan perbuatannya, tidak mampu untuk menghitung jumlah-jumlah kecil waktu menjual. Ia seorang yang paling lamban menghitung. Jika ia harus membayar rekening, maka hal ini menghambat kesenangannya di sekelilingnya dan di rumah.
Waktu tukang sepatu ingin meminta rekening yang sudah lama, Ruesau meminta maaf, katanya ia tidak tahu di mana rekening itu, dan ia tidak mengetahui lagi jumlahnya. Si tukang sepatu segera membuat yang baru dan Ruesau menentukan untuk mengambil uangnya, hanya beberapa mark, tetapi ia ragu-ragu dan memanggil anaknya yang tertua. Dengan hati yang tidak senang, ia melihat bagaimana tukang sepatu memasukkan uang ke dalam saku.
Masih ada beberapa kejadian lagi. Ruesau telah menyuruh membuat jendela di depan rumah, agar seperti kini di Hamburg, memberikan sinar yang terang pada barang-barang. 100 tahun yang lampau, pembuatan jendela semacam itu dilarang oleh pemerintah dan masyarakat. Peraturan itu sudah kuno. Dan di sana-sini nampak jendela semacam itu dibuat. Tetapi Senator Petersen memerintahkan agar Ruesau menghilangkan jendela itu dan karena ia tidak menurut, maka pemerintah yang merusaknya kembali. Jika Ruesau mengetahui keadaan dan dapat bergaul dengan petugas, maka tentu saja ada caranya agar peraturan yang keras itu diperlunak. Tapi ia marah-marah karena merasa dihina dan kehilangan uang.
Agar dapat melunasi hutang-hutangnya, ia ingin meminjam 4.000 mark. Ia tidak berhasil, meskipun sebenarnya mudah saja baginya kalau saja ia memakai cara-cara yang tepat. Sebetulnya ia hanya harus meningkatkan asuransi rumahnya, yang dapat dikerjakannya dengan baik karena rumah itu tentu sudah jauh lebih banyak nilainya daripada waktu dinilai terakhir dahulu. Tetapi ia takut akan biaya dan repotnya mengurus. Sekali lagi ia merasa terhina.
Seorang nyonya rumah yang ditemuinya dalam pesta perkawinan, terkejut akan pandangannya yang suram yang berlawanan sekali dengan kegembiraan suasana pesta. Ia menasihati istri Ruesau, agar jangan melalaikan keadaan suaminya. “Belum pernah saya melihat pandangan demikian. Saya kira, Ruesau hampir bunuh diri.”
Istri Ruesau katanya menjadi bimbang dan ketakutan, suaminya mungkin melakukan sesuatu yang tidak dipikirkan. Ia meminta si suami agar pergi ke dokter keluarga. Jawabannya selalu sama, “Tidak ada dokter yang dapat menolong saya.”
Ada yang mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia benar-benar ingin bunuh diri. Ia tidak jadi berbuat demikian, karena bunuh diri itu akan memberi nista dan kesusahan baru yang tidak dapat dilupakan bagi keluarganya. Maka kemudian ia berpikir bahwa yang paling baik adalah jika ia memusnahkan dirinya, istrinya, dan anak-anaknya sekaligus dari dunia ini.
la memutuskan untuk berbuat demikian beberapa hari sebelum tanggal 15 Agustus. “Sebagai sesuatu yang perlu dan yang tidak tertahan oleh kekuatan apa pun,” begitu katanya di hadapan pengadilan.
Pada hari Minggu, tanggal 14 Agustus, Ruesau beserta keluarga berada di tempat ibu mertuanya, Janda Paethau. la hanya makan sedikit dan hanya meminum dua gelas anggur. Ini pun karena diminta istrinya. Dan seperti biasa, ia diam saja. Mereka tidak mengacuhkannya. Mungkin keluarganya pun tidak tahu betul bagaimana merawat seorang yang sakit jiwa demikian.
Malam hari keluarga pulang. Jam 10 semua pergi tidur dan segera pulas. Hanya Ruesau yang tidak dapat tidur. Gangguan masa depan yang kelabu, keluarganya yang mati kelaparan, tidak mau enyah. Ia meminum sebotol anggur merah. Waktu matahari pagi yang cerah akhirnya naik, ia telah mengambil keputusan.
Dengan penuh kesadaran dan keyakinan akan perlunya dan tidak dapat dihindarkannya perbuatan keji itu, Ruesau bangun dari tempat tidur sesudah jam 4. Ia pergi ke mejanya dan mengambil sebilah pisau cukur yang sudah 2 tahun tergeletak di situ tidak dipakai. Dengan sebuah goresan ia memotong kerongkongan istrinya yang tidur di sebelahnya. Ia meninggal dengan tiada suara. Kini ia tidak dapat mundur. Ia harus membunuh terus.
Di dalam kamar yang sama tidur anak lelakinya yang tunggal, seorang bocah berumur 5 tahun. Ia mati dengan segera juga.
Si ayah naik tangga. Di situ dalam sebuah kamar tidur anak-anak perempuannya yang tertua dan dua yang termuda. Anak-anak perempuan yang segar, cantik dan yang disayangi oleh semua orang. Yang berusia 16 tahun tidurnya sedemikian rupa hingga ia tidak dapat melakukan goresan mati sekaligus. Gadis itu terbangun dan menilik luka-lukanya ia memegang pisau beberapa kali. Ruesau tidak mengetahui dengan jelas lagi. Ia tidak melihat apa-apa. Kedua anak bungsu berumur 7 dan 3 tahun tidak terbangun karena perkelahian yang mengerikan itu. Katanya mereka sama sekali tidak bangun lagi.
Penuh dengan darah karena lima kali membunuh, ia masih naik tangga lagi dan membunuh anak perempuan keduanya Johanna yang tidur di sebuah kamar bersama dua gadis kos. Juga di sini tidak ada yang mengetahui, tidak ada yang bangun, tidak ada yang bergerak. Sesudah pembunuhan, suasana sangat sepi, seperti tadinya juga sangat sepi. Laporan lain lagi mengatakan bahwa Ruesau telah mengambil anak yang tidur di antara kedua gadis kos dengan diam-diam dan kemudian memotong kerongkongannya. Jadi di dalam hal ini pun fantasi dipergunakan.
Salah seorang dari kedua gadis, yang pernah begitu dekat dengan maut, katanya setiap kali jika nama Ruesau disebut di dalam sidang, menderita kejang dan sesudah pelaksanaan hukuman ia jatuh sakit hingga hampir mati.
Tetapi lukisan mengenai perbuatan pembunuhan di dalam penulisan-penulisan yang masih tertinggal tentang perkara Ruesau berbeda-beda. Penulisan yang lebih ilmiah ceritanya sesuai dengan apa yang masih ada di dalam akta-akta.
Penulisan yang lain diterbitkan 1803 dengan judul: “Kandidat Ruesau, Teolog dan pedagang, sebagai pembunuh keluarga tujuh kali, dilukiskan oleh seorang ahli hukum”. Menurut penulisan ini maka Ruesau membunuh menurut urutan terbalik. Ia terakhir masuk ke dalam kamar istrinya, yang sedang tidur dengan si bungsu di dalam pelukannya. Istrinya melawan pembunuh, hingga ia dengan si bungsu tertekan pada dada, jatuh mati. Untuk menyempurnakan perbuatan keji, maka menurut penulis ini Nyonya Ruesau yang berusia 45, masih dalam keadaan hamil. Yang mengatakan dirinya ahli hukum rupa-rupanya telah membuat suatu penulisan yang dibuat-buat untuk konsumsi rakyat, di mana kurang dipentingkan kebenaran.
Tusukan dan luka-luka pada urat nadi tangan Ruesau dalam usahanya ternyata berat sehingga diperlukan beberapa waktu untuk sembuh. Oleh karena itu ia lambat dihadapkan ke pengadilan. Tetapi dengan pelaksanaan hukuman, yang berwajib berlaku sangat segera.
Waktu Ruesau pada hari Jumat tanggal 17 Februari 1804 dihadapkan ke pengadilan tinggi dan sekali lagi dituduh secara resmi, ia begitu lemah sehingga harus ditopang dengan pegangan di bawah lengan. Pada tanggal 16 Maret ia dibawa sekali lagi ke sana dengan memakai mantel hitam untuk mendengarkan keputusan hukumannya.
Tertuduh, karena telah mengaku bermaksud membunuh istri dan anak-anaknya, dan juga telah mengerjakan apa yang dimaksudkan pada pagi hari tanggal 15 Agustus tahun sebelumnya dengan menggorok istrinya dan kelima anaknya, sedangkan kerisauannya mengenai susah pangan dan kebingungan tidak dapat dijadikan alasan untuk berbuat demikian, maka akan dibawa ke tempat pelaksanaan hukuman dengan selimut berambut, dengan pisau berdarah di dada dan dengan roda akan digilas sampai mati. Jasadnya akan dikubur di tempat pelaksanaan hukuman….
Sesudah keputusan dibacakan, maka mantel Ruesau yang hitam ditanggalkan dan terhukum diserahkan kepada orang-orang yang mengikat tangannya untuk kemudian dibawa ke pengadilan, di mana sekali lagi keputusan dibacakan. Kemudian ia dibawa ke tempat tahanan di sebuah gunung, dikawal oleh dua orang pendeta, seorang dari St. Jakobi dan Kandidat Samuel Lentz, yang menemaninya untuk mempersiapkan diri menghadapi maut. Ruseau hampir bertengkar dengan mereka tentang pertemuan kembali sesudah mati, karena ia katanya menganut ide-ide Spinoza, sehingga pengkhotbah pun pergi. Kandidat Lentz lebih sabar dan sampai Senin sore tinggal dengan orang yang malang.
Menurut kabar, Ruseau tenang di tempat tahanan. Ia duduk di meja, makan dengan enak dan mengatakan kepada wanita yang membawa makanan, “Sop yang begini enak hanya sekali ini saja saya nikmati di dalam tahanan, saya berterima kasih pada Anda.” Untuk malam hari ia meminta ikan dengan kentang. Sore hari ia berbincang-bincang tentang hal-hal moral dan religius dengan tahanan-tahanan yang lain. Malam hari ia tidur, meskipun ia sering terbangun.
Penulis yang tidak diketahui namanya, telah mencatat hari-hari terakhir terhukum, yang mungkin menarik bagi para psikolog.
Waktu masih di dalam penjara Winserbaum, Ruesau diberi surat yang tertutup. Ia mengembalikannya tanpa dibuka dengan disertai perkataan, “Bagaimana saya, seorang yang dihukum mati, dapat menerima surat seperti itu? Apakah teman-teman tidak dapat mengirim racun agar saya dapat meloloskan diri dari penderitaan dan hukuman saya?”
Pada suatu hari seorang tahanan lain dikirimi daging angsa dari keluarganya. Ruseau tampaknya ingin mencicipinya juga. Sesama tahanan tadi dengan ramah menawarkannya dan memberikan pisau serta garpu agar ia dapat makan sekenyangnya. Tetapi Ruesau mengembalikan pisau dan garpu, “Itu berlawanan dengan peraturan saya. Potongkan saja sedikit dan pinjamkan sendok Anda!”
“Orang tidak dapat mengerti, Ruesau, bagaimana Anda bisa berbuat demikian,” kata seorang yang sudah kenal lama padanya. “Tidak seorang pun dapat menyelami sebabnya.”
“Saya percaya,” jawab Ruesau. “Tetapi saya kenal akan seseorang yang mengetahuinya. Tuhan! Manusia harus pernah mengalami keadaan seperti itu untuk dapat menilainya. Apakah Anda tidak pernah mempunyai mimpi yang buruk? Perbuatan saya itu adalah mimpi demikian. Tetapi, terima kasih pada Tuhan, saya telah bangun dan dapat memikirkan nasib saya.”
Waktu berpisah ia mengatakan kepada teman yang sama, “Sebaiknya setiap orang, jika ia sedang susah dan pemikirannya tidak suci, berbicara dengan seorang teman. Berapa banyak kecelakaan dapat dihindarkan. Andaikan saya berbicara dengan istri saya, maka kami akan hidup bahagia kini, tetapi sekarang saya harus mati sebagai seorang penjahat yang terkutuk.”
la gembira jika setiap kali harus pergi ke hadapan para hakim. Karena ia menunduk dan jalannya tidak tetap, ada yang menyangka bahwa itu semua dibuat-buat. Tetapi itu tidak benar. Perubahan hawa sesudah berjam-jam di dalam kamar tahanan membuatnya setengah pingsan. Matanya dipejamkan agar tidak usah melihat manusia dan barang-barang di sekelilingnya. Jika ia sering menggigit-gigit bibir dengan gigi, maka itu dilakukan karena lupa diri.
Dari semua orang yang diperbolehkan menjumpainya, tidak ada yang pergi dengan tidak terharu atau berair mata. Juga orang-orang yang tadinya berkeras, yang tadinya menganggap tidak ada hukuman yang terlampau berat baginya, kini mulai kasihan.
Kini ia berbicara dengan lembut dan menarik hati. Ia mencoba, sebagaimana ia biasa di dalam pekerjaannya, untuk memberi nasihat. Dengan sesama tahanan - pencuri-pencuri yang dicampurkan dengan sesama penjahat - ia banyak berbicara dan mencoba meyakinkan mereka, bahwa jika mereka dengan jujur dan ketat menuruti peraturan, mereka dapat memperbaiki kesalahan mereka. Dengan besar hati, ia memberi setiap orang 10 taler, sehingga jika nanti mereka bebas kembali, tidak perlu mencuri karena memerlukan uang.
Ia mengharapkan waktu pelaksanaannya tiba dan selalu menjadi gelisah jika dikatakan, “Hari ini Anda tidak dibawa ke depan pengadilan.”
Pada seorang kenalan Ruesau pernah mengatakan bahwa ia ingin sekali meninggalkan kenangan yang lebih baik darinya. Waktu pengunjung mengatakan, “Jangan takut, nama Anda masih akan disebut-sebut dengan hormat,” maka perkataan-perkataan itu menyebabkan seperti suatu getaran listrik pada jiwa Ruesau dan ia seakan-akan menjadi lebih muda. Jika kejadian ini benar, maka hal ini akan memberi pandangan lain pada tabiat Ruesau.
Biasanya setiap tahanan diikat lagi mata kakinya sesudah menghadiri upacara agama. Tetapi permintaan Ruesau untuk jangan menyusahkannya dengan ikat itu, disetujui oleh kepala. Pada hari Minggu pagi ia menerima “santapan terakhir”. Sesudah khotbah, maka ia sendiri memberi uraian kepada yang hadir dan meminta mereka agar ia besok diperbolehkan menjalankan jalan akhirnya yang mengerikan dengan tenang dan janganlah dia diumpat lagi. Uraian ini diterbitkan, akan tetapi tidak berarti sama sekali.
Pada sore hari Kandidat Lentz masih memberikan khotbah. la telah memberikan konsepnya kepada Ruesau. Ruesau telah meminta agar merubah beberapa kalimat. la berpendapat bahwa hal itu terlampau keras jika perbuatannya begitu sering disebut sebelum perjalanannya yang terakhir dan masih begitu jelas diuraikan. Kandidat Lentz menolak permintaannya. Mungkin hal itu telah diperintahkan oleh para petugas kepadanya.
Sesudah khotbah ini Ruesau berkata kepada seorang kenalan yang tidak meninggalkannya sampai ajalnya, “Teman yang baik, mengapa mereka berbuat itu padaku? Percayakah Anda bahwa mereka yang saya cintai, yang telah saya musnahkan, akan menerima saya dengan senang hati?” Waktu yang ditanya menghiburnya, Ruesau memeluknya dengan erat dan menamakannya penghibur yang benar di dalam ketakutan akan maut.
Di malam terakhir, ia tidur agak tenang. Pagi hari ia masih sarapan dengan enak dan meminum sebotol anggur Rhein. Kepada Pendeta Renzel dan Kandidat Lentz ia mengaku bahwa ia merasa agak takut memikirkan semakin dekatnya saat-saat kematiannya. Waktu ditanya apakah orang banyak yang membanjir ke tempat pelaksanaan hukuman, itu tidak mengganggu saat-saatnya yang terakhir, ia menjawab, “Saya senang bahwa saya melihat begitu banyak orang menaruh perhatian.”
Sejenak sebelum ia meninggalkan tempat tahanan, istri Algojo Hennings yang merawatnya dengan penuh perhatian, memberinya secarik kertas dengan gula-gula agar dapat dimakan pada jalan yang terakhir. “Saya tidak memerlukan apa-apa lagi, Nyonya yang baik hati,” katanya. “Tetapi apakah itu harus saya punya dan menjadi milik saya?” Waktu perempuan itu mengangguk, maka pemberian itu dibaginya pada kedua sesama tahanan, “Ini adalah yang terakhir yang saya miliki di dunia dan yang boleh saya hadiahkan. Ingatlah akan kecelakaanku, maka Anda akan menjadi orang yang berguna dan tetap akan hidup demikian.”
Ia berkeberatan untuk memakai selimut berbulu dan pisau di dada. Tetapi sudah terlampau lambat untuk merubah keputusan. Seorang memberitakan bahwa ia akan dibawa ke tempat pelaksanaan dengan “rambut terurai”. Ia senang bahwa ia diperbolehkan memakai rambut palsunya.
Petugas yang tertua kemudian bertanya padanya, apakah ia akan berjalan kaki ke tempat pelaksanaan atau ia ingin naik kendaraan?
“Saya masih diperbolehkan mempunyai keinginan?” katanya. “Oh, saya diperlakukan sebagai manusia. Jika saya boleh memilih, maka saya ingin naik kendaraan.”
Di dalam kereta, kepala penjara memeluknya, sementara Ruesau menyandarkan diri pada dadanya. Ia telah membawa topinya, tetapi tidak dikenakannya. Muka kepala penjara terharu. Pada muka Ruesau telah terlihat ketidak acuhan dan kelelahan jiwa. Ia sudah seperti orang mati yang lewat untuk dipertontonkan.
Perjalanan ini ditonton banyak orang. Mereka pergi ke tepian kota, ke St. Georg, ke tempat tua yang bernama “Koepfelberg”.
Waktu turun dari kereta, Ruesau menahan diri dan ia naik tangga sebagai seorang yang sedang berdoa. “Saya naik ke atas,” begitu ia dikabarkan berkata, “agar lewat maut, orang-orang berbaik kembali dengan saya. Semoga saya juga menerima pengampunan dari Tuhan.”
Ia menanggalkan pakaiannya, memberikan rompi dan jas kepada istri algojo yang sebelumnya telah diberinya cincin emasnya yang sederhana waktu berpamitan, memandang sejenak ke arah roda dan bertanya di mana algojo berada, “Di mana pelaksana, Hennings yang baik hati?”
“Di sini,” kata algojo.
“Ah, kawanku,” kata Ruesau, “semoga Tuhan menguatkan alat yang ada di tangan Anda! Lakukanlah agar duka saya segera berakhir.”
Itulah perkataan-perkataannya yang terakhir.
(Gerhart Herrmann Mostar)
Baca Juga: Ia Terakhir Kelihatan Berbelanja
" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553753281/mereka-diangkut-dengan-kereta-jenazah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1685097148000) } } [2]=> object(stdClass)#105 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726639" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#106 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-287-1987-68-velma-20230314062632.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#107 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Velma menaiki kincir ria dan tidak pernah turun. Tiga tahun sebelumnya, beredar isu soal tukang sihir yang bunuh diri di dekat taman ria itu." ["section"]=> object(stdClass)#108 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-287-1987-68-velma-20230314062632.jpg" ["title"]=> string(21) "Velma Lenyap di Udara" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-14 06:26:57" ["content"]=> string(46392) "
Intisari Plus - Velma menaiki kincir ria dan tidak pernah turun. Tiga tahun sebelumnya, beredar isu soal tukang sihir yang bunuh diri di dekat taman ria itu. Apakah ini kutukan sang penyihir?
----------
“Masih ingat Stella Gaze?” Sersan Fletcher bertanya sementara ia masuk ke ruang kantor Kapten Leopold sambil membawa secangkir kopi.
“Stella Gaze? Bagaimana mungkin aku lupa?” Itu salah satu kasus paling aneh yang pernah dihadapi Leopold. Kejadiannya kira-kira tiga tahun yang lalu, menyangkut seorang wanita separuh baya yang bunuh diri setelah dituduh sebagai tukang sihir.
“Kau tentunya masih ingat kalau rumahnya persis bersebelahan dengan Taman Hiburan Sportland — waktu tanahnya tak berhasil dibeli, pengurus taman hiburan itu membangun sebuah kincir ria di sebelah rumahnya yang cuma dibatasi dengan pagar kawat saja.”
“Aku ingat,” ujar Leopold. Stella Gaze tentu saja bukan tukang sihir. la cuma seorang wanita gila yang tak dapat dimengerti. Sebelumnya memang ia sudah pernah mencoba bunuh diri dan akhirnya ia berhasil juga.
“Nah, sekarang dengarkan! Tadi malam sekitar pukul 22.00, ada seorang gadis yang lenyap dari puncak kincir ria itu! Kaupikir apa yang akan dikatakan oleh koran-koran kalau mereka sudah mendapat berita ini?”
“Memang tidak bisa, tapi kenyataannya bisa. Kejadian itu tidak langsung dilaporkan ke polisi, sehingga terlambat untuk edisi pagi.”
Telepon berdering. Ternyata dari atasan Leopold, kepala detektif. “Kapten, sebetulnya tak suka aku memberimu tugas ini, karena bukan menyangkut pembunuhan — paling tidak belum. Tapi kau yang menangani kasus Stella Gaze tiga tahun yang lalu, ‘kan?”
“Ya, betul,” Leopold menjawab.
“Seorang gadis hilang dari kincir ria.”
“Siapa nama gadis itu?”
“Velma Kelty. Ia ke sana dengan seorang teman laki-laki. Anak laki-laki itu amat terguncang karena peristiwa ini.”
“Aku akan bicara dengan dia,” kata Leopold.
“Anak itu namanya Tom Williams, putra anggota dewan kota. Seandainya terjadi apa-apa pada gadis itu, mungkin akan ruwet, Kapten. Velma baru 15 tahun.”
Leopold naik mobil menuju rumah Tom Williams. Rumah itu besar dan mewah.
“Anda pasti polisi,” kata anak itu yang membuka pintunya sendiri. “Mari masuk.”
“Kapten Leopold. Kau Tom Williams?”
“Betul, Pak.” Usianya sekitar 20. Rambutnya yang dipotong pendek sekali berwarna coklat kekuningan. Tubuhnya kurus jangkung, khas mahasiswa zaman sekarang. “Apa Velma sudah ditemukan?”
“Belum, kukira belum. Bagaimana kalau kauceritakan semuanya kepadaku?” Sementara itu Leopold mengikutinya menuju ke teras belakang yang menghadap ke kolam renang.
“Ia naik kincir ria dan tidak turun lagi,” katanya sederhana saja. “Cuma itu saja.”
“Belum semua,” Leopold mengoreksi. “Mengapa tak mulai dari awal. Berapa umurmu, Tom?”
Pemuda itu ragu-ragu sejenak, tangannya gelisah mengusap kepala. “Dua minggu lagi 20. Apa hubungannya?”
“Velma Kelty baru 15. Aku cuma ingin tahu bagaimana kalian bisa bersama-sama.”
“Aku berkenalan dengan dia lewat adik perempuanku,” gumamnya. “Waktu itu kami tidak benar-benar berkencan. Aku cuma mengajaknya ke Sportland, itu saja.”
“Berapa kali sudah kau mengajaknya jalan-jalan selama musim panas ini?”
la mengangkat bahu. “Dua atau tiga kali. Aku mengajaknya menonton bioskop, sepak bola. Ada yang salah?”
“Tak ada,” Leopold berkata. “Coba sekarang kauceritakan kejadiannya, kali ini mendetail.”
“Sebelumnya aku mengajaknya makan piza, lalu ia usul bagaimana kalau kami main golf mini. Karena Sportland tempat yang terdekat, kami ke sana. Aku memarkir mobil di taman parkir dekat lapangan golf dan jet-coaster. Setelah selesai ia mengajak naik jet-coaster. Mulanya kami naik bersama-sama, tapi karena baru makan piza, perutku jadi agak mual. Waktu ia mengajak naik kincir ria, aku bilang aku akan menonton saja. Aku membeli tiketnya dan memperhatikan dia masuk ke salah satu sangkar kecil dari kawat. Waktu itu sudah gelap, sekitar pukul 22.00. Tentunya Anda tahu bagaimana kincir ria diterangi lampu-lampu di waktu malam?”
“Sudah bertahun-tahun aku tak melihatnya,” Leopold mengaku.
“Lampu neon yang berwarna-warni dipasang di tiap ruji kincir. Dari jauh tampaknya bagus sekali, tetapi dari dekat menyilaukan. Bagaimanapun, aku lupa sangkar warna apa yang tadi dimasuki Velma dan begitu mencapai puncak, aku tak dapat melihatnya lagi, hilang ditelan sinar yang warna-warni.”
“Apa ia sendirian saja?”
“Ya. Waktu akan diputar, penjaganya masih mencoba menyuruhku ikut, tapi perutku belum pulih. Waktu itu kincir ria hampir kosong.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Ya, aku menunggu dia turun, tapi ia tak turun juga.”
“Tidak turun?”
“Ya. Kuperhatikan setiap sangkar yang penumpangnya turun, tapi Velma tak ada. Setelah beberapa saat aku mulai panik. Kusuruh operatornya mengosongkan tiap sangkar. Namun, Velma tetap tak ada.”
“Siapa saja yang keluar dari sangkar selama kau berdiri di sana itu?”
“Coba kuingat-ingat. Ada seorang bapak dengan dua anaknya, seorang pria dan pacarnya yang bercumbuan — mereka di depan kami waktu antre — dan dua orang mahasiswi yang tampaknya sendirian saja. Kukira masih ada lagi yang lain, tapi aku tak ingat lagi.”
“Apa mungkin ia turun di sisi kincir yang satunya?”
“Tidak. Setiap sangkar yang penumpangnya turun kuperhatikan betul. Aku tertarik juga menonton bagaimana si operator sekilas menjamah gadis-gadis cantik yang sedang ditolongnya turun.”
“Kenapa kau menunggu sampai dua jam baru melapor pada polisi?”
“Aku tak percaya pada mataku sendiri, itu sebabnya! Tak mungkin ia menghilang begitu saja, apalagi aku sedang mengawasi. Operatornya mengatakan aku gila.”
“Apa dia tak ingat pada Velma?”
“Tidak.”
“Meskipun sebelumnya ia sudah mendesak-desakmu supaya menemani Velma?”
“Katanya, ia sibuk, tak dapat ingat tiap orang.”
Leopold melirik laporan resmi dari polisi patroli yang waktu itu dipanggil. “Apa namanya Rudy Magee?”
“Kukira itu namanya. Ia langsung saja menutup persoalan, sampai rasanya aku mau meledak. Sampai setengah jam aku berkeliling mencari Velma, lalu kembali ke mobil dan menunggu. Tapi ia tak juga muncul. Aku berjalan ke kincir ria, bilang kepada orang itu — Magee — aku akan lapor pada polisi.”
Leopold menyalakan rokok. “Apa ia hamil, Tom?”
“Apa?”
“Tentunya kau mengerti sudah menjadi tugasku bertanya segala macam. Itu cuma salah satu saja. Bukan hal baru lagi kalau pemuda seperti kau ingin seorang teman gadis yang hamil dilenyapkan.”
“Aku tak pernah menyentuhnya. Sudah kubilang ia kawan adikku.”
“Oke.” Leopold berdiri. “Apa adikmu ada sekarang?” desak Leopold.
“Sedang keluar.”
“Sampai kapan?”
Ia mengangkat bahu.
“Aku akan kembali,” kata Leopold. “Siapa nama adikmu?”
“Cindy. Mereka memanggilnya Cin.”
“Mereka siapa?”
“Teman-temannya.”
“Apa dia juga 15 tahun?”
“16.”
Leopold naik mobil kembali menuju Sportland, mencari Rudy Magee.
Magee termasuk jenis tukang catut, penjudi kelas teri, germo sambilan. Leopold menunjukkan kartu identitas. “Sekarang kita dapat kembali ke kincirmu,” kata Leopold kepada Rudy Magee. “Aku ingin tahu bagaimana terjadinya.”
“Tak ada yang terjadi. Sama sekali tak ada,” Rudy bersikeras.
“Yaah, kalau begitu ceritakan apa yang tidak terjadi.”
Mereka menuju kincir dan Rudy berdiri di panggung tempat berhentinya sangkar-sangkar kincir. Dibantunya orang masuk atau keluar melewati ambang logam setinggi satu kaki.
“Perhatikan langkahmu,” katanya kepada dua orang gadis remaja sementara ia menerima tiket mereka dan menutup lutut dan bagian atas tubuh mereka.
Leopold yakin Magee dapat melihat mereka dengan baik dari posisinya.
Rudy membiarkan beberapa tempat duduk lewat, sebelum ia menghentikan kincir untuk menaikkan penumpang lagi. “Kalau penumpangnya tak banyak, bebannya kubuat berimbang,” katanya menerangkan.
Seorang pemuda bertipe hippie bercambang dan memakai tasbih datang mendekati. “Apa Hazel ada di sini?” tanyanya kepada Magee.
“Sekarang tidak,” si orang pucat itu menjawab. “Mungkin nanti.”
Leopold memperhatikan kincir berputar naik. Ada sebatang pohon yang terlalu jauh, tiang lampu juga terlalu jauh untuk diraih. Dicobanya membayangkan seorang gadis 15 tahun berayun seperti monyet di kelamnya langit malam, mencoba meraih salah satu dari dua itu. Hal itu tak mungkin terjadi.
“Puas?” tanya Rudy singkat.
“Tidak terlalu. Kulihat kau ringan tangan terhadap wanita. Pasti kau sudah melihat Velma.”
“Sudah kukatakan dan kukatakan lagi sekarang. Waktu itu aku sibuk, aku tak mengenali siapa pun.”
Namun, bola matanya bergeser waktu mengatakan itu. Ia pembohong yang payah.
“Oke,” kata Leopold. “Mari kita coba cara lain. Berbohong di depanku lain dengan berbohong di depan juri. Gadis itu hilang dan kita ingin menemukannya. Kalau ternyata ia ditemukan mati dan kau sudah berbohong, kau dalam kesulitan besar.” Coba-coba saja Leopold menambahkan, “Apa mereka sudah tahu catatan tentang kau di sini, Rudy?”
“Catatan apa? Dua kali ditahan karena berjudi? Kenapa menambahi kesulitan lagi untuk dirimu sendiri?”
Orang kurus itu tampaknya menjadi sedikit loyo. “Oke. Aku ceritakan.”
“Laki-laki itu muncul persis sebelum pukul 22.00 bersama gadisnya. Rambut gadis itu panjang dan hitam. Tampaknya ia berumur sekitar 18 tahun. Mereka berdebat sebentar, karena gadis itu ingin ia ikut naik, tapi ia tak mau. Akhirnya ia membelikan tiketnya, gadis itu naik sendirian. Sendirian saja — tak ada orang lain yang duduk bersama dia — hanya gadis itu sendiri.”
“Lalu?”
“Lalu ia tak pernah turun lagi. Seperti yang dikatakan orang itu. Hal paling aneh yang pernah kusaksikan.”
“Kau yakin?”
“Yakin.”
“Rudy. Waktu itu kaupikir apa yang terjadi?”
“Aku takut. Kupikir gadis itu mungkin sudah membuka sangkar, lalu melompat ke luar. Kukira kami akan menemukan mayatnya di sekitar taman parkir.”
“Namun, kalian tidak menemukannya.”
“Tidak. Apalagi, pastilah ada orang yang melihat dia melompat. Tapi aku tak bisa menduga yang lain. Coba, apa kau percaya tentang tukang sihir itu? Apa kiranya dia sudah mengutuk tempat ini sebelum ia mati?”
Leopold mengangkat bahu.
Gadis yang hilang itu tinggal dengan paman-bibinya di daerah East Bay sejak orang tuanya tewas karena kecelakaan pesawat terbang delapan tahun yang lalu. Kapten Leopold mengendarai mobilnya ke sana. Ia tahu sebelum dia, sudah datang petugas-petugas dari bagian orang hilang.
Paman Velma seorang pengacara bernama Frank Prosper. Tubuhnya gemuk, kepalanya botak. Kadang-kadang Leopold melihatnya di balai kota.
“Apa maksud Anda, Anda datang kemari hanya untuk bertanya-tanya lagi?” tantangnya, “dan bukan untuk memberi kami kabar tentang Velma?”
“Belum ada berita apa-apa,” Leopold berkata. “Aku ingin menanyakan beberapa hal tentang dia. Juga tentang Tom Williams. Kelihatannya ia agak terlalu dewasa untuk teman kencan Velma.”
“Kami selalu kerepotan mengurus gadis itu,” kata Prosper sambil menggigiti ujung cerutunya. “Kakak istriku memang liar dan ia benar-benar meniru bapaknya.”
“Apa pendapat Anda tentang Williams? Mungkinkah ia sudah menganiaya Velma?”
“Tak tahulah. Dia bukan anak jahat.”
“Aku ingin tahu lebih banyak tentang kemenakan Anda. Anda punya fotonya? Foto yang diambil sendiri juga boleh.”
“Aku sudah memberi satu kepada petugas pencari orang-orang hilang. Ini ada lagi satu.” Disodorkannya sebuah foto berbingkai dari seorang gadis yang tersenyum malu-malu dan bergaun pendek warna merah. Rambutnya hitam panjang, setengah menutupi wajahnya yang bisa dikatakan cantik. Ia tampak lebih tua beberapa tahun dari usia 15 tahun. Leopold bisa menyangkanya sebagai mahasiswi.
“Kelihatannya dia tidak liar. Apa masalahnya?”
“Dia bergaul dengan banyak orang. Para hippie. Macam itulah.”
“Apa Tom Williams hippie?” Bagi Leopold itu rasanya tak cocok.
“Bukan Williams. Adiknya. Bicaralah dengan adiknya.”
Leopold mengangguk. “Memang itulah niatku.”
Gadis itu sedang di kolam renang waktu Leopold kembali ke rumah Williams.
“Kau Cindy Williams?” tanya Leopold sambil mengulurkan tangan untuk membantunya keluar dari kolam.
“Cukup sebut aku Cin,” jawabnya.
la mengibaskan cipratan air dari lengan bajunya, lalu memperhatikan Cindy baik-baik. Ya, bahkan dalam pakaian renang pun ia sudah dapat disebut hippie — terutama oleh seorang ahli hukum gendut seperti Frank Prosper. Rambutnya panjang dan lemas seperti rambut gadis yang hilang itu tapi warnanya pirang. Wajahnya sama cantik, tapi tidak istimewa. Leopold sudah sering berjumpa dengan wajah-wajah bertipe demikian di kota, yang bercelana jeans ketat dan tertawa agak terlalu keras di sudut-sudut jalan.
“Velma Kelty,” Leopold berkata. “Ia temanmu.”
Cin Williams mengangguk. “Setahun lebih muda dariku, tapi kami sekelas.”
“Aku sedang menyelidiki lenyapnya dia. Kau punya ide kira-kira apa yang terjadi dengan dia?”
Cin mengangkat bahunya yang lemas dan kurus. “Mungkin tukang sihir itu.” Ditunjukkannya edisi koran yang terakhir. Headline-nya sekarang berbunyi: GADIS HILANG DI TAMAN HIBURAN; DIDUGA SIHIR.
“Apa ada pemuda lain selain kakakmu?” tanyanya kepada gadis yang berpakaian renang itu. “Orang lain yang mungkin menjadi teman kencannya?”
“Wah, aku tak tahu.”
“Kudengar ia bergaul juga dengan hippie.”
“Aku tak tahu.”
“Kami akan menyelidikinya,” kata Leopold.
Sebuah suara memanggil dari teras belakang rumah. “Cindy, dengan siapa kaubicara itu?”
“Dengan detektif, Ayah. Tentang Velma Kelty.”
Anggota dewan Williams, yang nama kecilnya juga Tom, turun melewati jalan setapak yang berlantai batu. Putrinya mirip dengan dia, tapi putranya jauh lebih mirip lagi.
“Tadi saya sedang bertanya-tanya tentang hippie kepada putri Anda. Velma suka bepergian dengan sebuah rombongan yang amat liar.”
Tom Williams muda muncul menggabungkan diri dengan mereka. Ia berdiri di sebelah ayahnya. Tampak sekali ia masih amat muda, masih kanak-kanak. “Ada kabar tentang Velma?”
“Tak ada.”
“Ia pasti akan muncul,” si ayah memutuskan. “Mungkin ini cuma gurauan saja.”
Leopold tak dapat menjawabnya. Berdiri di sana dengan ketiga orang itu di samping kolam, ia tak punya jawaban untuk apa pun.
Besoknya Fletcher masuk dengan kopinya. “Bagaimana dengan gadis itu, Kapten?” tanyanya sambil duduk di kursi yang biasa.
“Nol.”
“Kaupikir apa yang telah terjadi dengan dia?”
Leopold menyandarkan diri ke kursi. “Kupikir seseorang sedang coba-coba memasang akal bulus yang rapi. Kukira kincir ria itu dipilih karena Stella Gaze dan obrolan tentang sihir-menyihir itu. Namun, aku tak tahu siapa yang ada di belakang layar dan apa motifnya.”
“Williams muda?”
“Ya. Ia pasti terlibat. Kau tahu, apa pun bentuk rencananya, harus ada saksi di kincir ria itu yang menguatkan cerita anak itu. Sialnya, Rudy Magee tak mau memberikan penguatan apa-apa. Ia jadi bingung, berjalan-jalan sampai satu dua jam, baru menelepon polisi. Itu ‘kan sangat menarik, kalau bukan mencurigakan.”
“Mencurigakan?”
“Coba kita lihat. Williams muda dan gadis itu sedang coba-coba berpura-pura lenyap untuk alasan tertentu — publisitas, gurauan, atau apa saja. Gadis itu naik kincir ria setelah pura-pura berdebat sengit untuk menarik perhatian— lalu ia melaksanakan akalnya untuk melenyapkan diri. Kemudian soal sihir-sihiran, Stella Gaze dan lain-lainnya itu. Tapi itu tidak berhasil, karena Magee jadi takut dan menyangkal semuanya. Jadi bagaimana? Williams pergi sebentar, tapi lalu kembali dan memanggil polisi. Kenapa? Ada dua pilihan lain untuk dia. Ia bisa saja melupakan semuanya atau kedua orang itu bisa mencoba lagi kapan-kapan. Mengapa ia memanggil polisi dengan cerita yang begitu lemah? Kaubilang itu mencurigakan.”
“Mencurigakan bagaimana?”
“Seperti pembunuhan,” kata Leopold.
Sorenya Leopold menerima telepon.
“Kapten Leopold?” Suara gadis, lembut.
“Ya.”
“Ini Velma Kelty.”
“Siapa? Bicaralah lebih keras.” Ia sudah memberi tanda supaya Fletcher melacak telepon itu.
“Velma Kelty. Gadis di kincir ria itu.”
“Oh, ya. Senang aku mendengarmu, Velma. Kau baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja.”
“Di mana kau, Velma?”
“Di Sportland. Aku ingin bertemu dengan Anda di sini, nanti, setelah gelap.”
“Tak dapatkah aku ke sana sekarang saja?”
“Tidak .... Belum. Setelah gelap.”
“Oke, Velma. Di mana aku mesti menemuimu?”
“Pukul 22.00. Di dekat kincir ria.”
“Ya, tentu. Aku akan ke sana, Velma.”
Telepon ditutupnya dan ia memanggil Fletcher, tapi waktunya terlalu singkat untuk melacak asal telepon itu. Tak ada yang bisa dikerjakan selain menunggu sampai pukul 22.00.
Pukul 21.55 ia sampai di kincir ria. Rudy Magee masih bertugas lagi.
“Kau tentunya bertugas sepanjang waktu,” kata Leopold. “Kau selalu di sini.”
“Dua malam sekali, bergantian dengan yang sore,” kata Magee. “Ada perkembangan?”
“Justru aku yang mesti bertanya.”
Rudy memperlambat dulu kincir itu sampai berhenti, lalu mengeluarkan seorang pemuda dari sangkarnya. Kemudian beberapa sangkar lewat, ia membuka lagi sebuah sangkar. Keluarlah seorang gadis. Mula-mula yang terlihat oleh Leopold adalah rambutnya dan ia pun tahu. Rudy Magee pun tahu dan terkesiap.
Velma Kelty sudah kembali.
Leopold mendekatinya dan mereka berjalan menjauh dari Magee yang kaget itu.
“Mungkin kau akan bilang bahwa kau terus-menerus ada di kincir itu selama 48 jam terakhir ini,” kata Leopold.
“Tentu. Mengapa tidak?”
Ia tajamkan mata menatapnya dalam cahaya yang suram. “Oke, Nona. Kau hampir saja membuat operator kincir itu mati ketakutan. Kuantar kau ke pamanmu.”
“Aku dapat pulang sendiri,” katanya. “Aku hanya ingin bertemu denganmu, untuk menunjukkan bahwa aku tidak betul-betul hilang.”
“Tentu.” Sekarang lebih terang, mereka sedang menyeberangi lapangan parkir. Diliriknya gadis itu, lalu tangannya meraih rambut yang hitam. Lalu dipuntirnya dan ditariknya. Rambut itu lepas dan berada dalam genggamannya.
“Kau sialan!” Cindy Williams berteriak, mencengkeram wig itu.
“Ya, ya. Kau main-main dengan permainan orang dewasa, Cindy. Kau harus sudah menduga kejutan kecil seperti ini.”
“Bagaimana kau tahu itu aku?”
“Aku menerka saja, karena memang mirip kau. Itu akal kuno, mulai dengan pirang lalu berganti rambut hitam. Setidak-tidaknya kau berhasil menipu Rudy Magee. Tentu saja kau sembunyikan wig itu di tas waktu naik tadi.”
“Aku hanya ingin membuktikan bahwa hal semacam itu bisa terjadi,” katanya. “Velma dapat saja berbuat sebaliknya — naik dengan rambut hitam lalu turun dengan rambut pirang.”
“Apa bukan karena akalmu tak berhasil, lalu kau membuktikannya? Begitu sampai di tempat terang aku segera mengenalimu. Tom pun pasti akan bisa mengenali Velma jauh lebih cepat dari aku tadi, dengan atau tanpa wig, karena waktu itu ia ‘kan memang masih mencari-cari Velma.” Mendesah jengkel, Leopold berkata, “Oke, masuk ke mobil. Kau tetap kuantar pulang.”
Cin duduk di kursi depan, cemberut. Sementara itu Leopold memutari lapangan parkir dan keluar dari taman. Tak lama sinar neon taman hiburan yang menyilaukan itu mereka tinggalkan di belakang. Mereka menuju kota.
“Mestinya kaupikir aku terlihat, ‘kan?” tanya Cin.
“Tidak, tadinya. Tipuanmu itu betul-betul tolol.”
“Kenapa?”
“Bisa saja kemudian aku mengabarkan ke Prosper, Velma masih hidup, memberi dia harapan.”
“Apa kaupikir ia mati?”
Leopold tetap memandang jalan di hadapannya. “Kukira Tom waktu itu sedang main-main, tapi gagal. Baru setelah dua jam ia memanggil polisi. Kenapa? Karena ia bingung akan berbuat apa. Kemudian polisi tetap diteleponnya juga, meskipun Magee tidak mendukung ceritanya. Lagi-lagi kenapa? Karena ia tak dapat lagi mencoba melakukan tipuan itu besoknya. Karena Velma Kelty sudah betul-betul lenyap, hanya tidak dengan cara yang ia ceritakan.”
“Jadi dengan cara apa?”
“Kalau saja aku tahu.”
Diterangi cahaya lampu mobil yang lewat, wajah Cin tampak tegang dan muram. Ia jadi tampak lebih tua.
“Kau pasti sudah punya dugaan.”
“Tentu saja, banyak. Ingin tahu salah satu? Entah bagaimana Velma Kelty mati di rumahmu, mungkin di kolam renang, ayahmu yang anggota dewan itu bisa dipersalahkan. Untuk melindunginya, kau dan Tom merencanakan peristiwa lenyapnya Velma ini. Kaukenakan wig hitam itu. Bagaimana pendapatmu tentang itu?”
“Fantastis!”
“Mungkin.”
Sisa perjalanan mereka lewatkan dengan diam, sampai hampir tiba di rumah Cin. “Omong-omong,” tanya Leopold, “naik apa kau tadi ke Sportland?”
“Diantar Tom dengan mobil,” gumamnya. “Dia cuma menurunkan aku.”
Di depan rumah ia berhenti. “Ingin kuantar dan bicara sedikit dengan ayahmu?”
“Ti-tidak.”
“Oke.”
Leopold memperhatikan sampai Cin tiba di pintu, lalu terus. Waktu itu dibayangkannya seandainya perkawinannya tak kandas, mungkin ia sudah punya gadis seumur Cin — 15 atau 16 tahun — tapi tak lucu seorang polisi punya pikiran demikian. Mungkin saja Velma Kelty adalah anaknya dan kini ia sudah lenyap.
Ia pulang ke apartemen dan menghidupkan AC. Dengungnya membuat ia jatuh tertidur. Ia terbangun oleh dering telepon.
“Ini Fletcher, Kapten. Maaf menganggu, tapi kukira kau juga ingin tahu. Kita sudah menemukan dia.”
“Siapa?” tanyanya penuh teka-teki.
“Gadis yang hilang itu. Velma Kelty.”
“Apa dia masih hidup?”
“Mati, Kapten. Baru saja mayatnya dipancing dari dalam teluk kecil dekat Sportland.”
“Ada kemungkinan bunuh diri?”
Fletcher mendehem. “Sangat meragukan, Kapten. Tubuhnya diberi pemberat besi tua seberat 20 kg lebih.”
Leopold kembali ke rumah yang berkolam renang itu. Kedatangannya membangunkan Tom Williams dari tempat tidurnya, sementara subuh mulai menguak seluruh kota.
“Kau bisa membuat ayah bangun,” kata Williams muda. “Mau apa?”
“Kebenaran. Bukan lagi cerita tentang kincir ria. Kebenaran, itu saja.”
“Aku tak tahu maksudmu.”
“Mayat Velma baru saja dipancing dari dalam teluk. Sekarang sudah tahu maksudku?”
“Oh tidak!” Kelihatannya ia betul-betul seperti terguncang, seakan-akan tak mau menerima kenyataan.
“Tipuan dengan adikmu itu benar-benar tolol. Apa itu juga akalmu malam itu, dengan wig?”
“Sumpah, Kapten, Velma Kelty naik kincir ria itu. Ia naik dan tak pernah turun lagi. Aku tak habis pikir apa yang terjadi dengan dia atau bagaimana bisa ia akhirnya ada di teluk. Apa penyebab kematiannya?”
“Masih diautopsi. Tubuhnya diberi pemberat supaya tidak mengapung. Tapi agaknya belum cukup berat. Ini bukan kecelakaan.”
“A ... ku tak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan dia.”
“Kalau begitu mulailah membayang-bayangkan karena kau dalam kesulitan besar. Kau dan adikmu. Ada orang membunuh gadis itu lalu membuang mayatnya di teluk. Mungkin sebelumnya ia diperkosa dulu.
“Itu ‘kan kau tak tahu!”
“Memang saat ini aku tidak tahu banyak, tapi aku toh bisa menduga. Apa kau pelakunya, Tom? Atau mungkin ayahmu? Atau mungkin beberapa dari hippie teman adikmu? Siapa pun juga, tubuh itu harus dilenyapkan dan lenyapnya Velma harus terjadi di tempat lain. Kincir ria agaknya logis buatmu karena cerita sihir-sihiran itu. Maka Cindy mengenakan wig dan kalian berhasil. Sayang, si operator kincir menyangkal semuanya. Kau jadi bingung dan dua jam kau berpikir keras harus berbuat apa.”
“Tidak!”
“Kalau begitu kenapa kau mesti menunggu begitu lama sebelum melaporkan hilangnya dia? Kenapa, Tom?”
“Aku ... aku ....”
Leopold berpaling. “Lebih baik kau karang cerita yang lebih baik. Kau akan perlu itu di pengadilan.”
Fletcher menengadah dari mejanya sementara Leopold masuk ruangan dan menyeberang menuju ruang pribadinya.
“Apa anak Williams sudah kautahan, Kapten?”
“Belum, sebentar lagi.” Bibirnya tegang membentuk garis.
“Bagaimana dengan laporan autopsinya?”
“Belum.”
“Aku akan ke sana,” putusnya tiba-tiba.
Penyelidik medis itu tinggi dan berwajah merah. Leopold sudah bertahun-tahun mengenalnya. la baru saja selesai mengautopsi dan sedang duduk di mejanya, menulis laporan. “Apa kabar, Kapten?” gumamnya.
“Gadis Kelty itu sudah selesai?”
“Hampir, aku harus menyerahkan laporannya. Barang-barang miliknya ada di sana.”
Leopold memandang pakaian yang masih basah kuyup. Celana panjang biru tua dan sweter, sepatu sneakers, beha dan celana dalam. Sebongkah besi cor yang berat dililit tambang basah ada di dekatnya. la memandang ke dokter lagi.
“Apa ia diperkosa, Gus?”
“Tidak.”
Si dokter bangkit dan menyerahkan laporannya. “Ini, Kapten. Ia mati karena overdosis heroin yang berat, disuntikkan ke nadi dekat siku.”
Sore sudah larut ketika Leopold kembali ke Sportland. Kincir ria tampak dengan jelas di kejauhan, dilatarbelakangi langit biru tak berawan. Untuk pertama kalinya ia bertanya-tanya apakah Stella Gaze dulu benar-benar seorang tukang sihir, apakah ia memang telah menjatuhkan kutukan pada tempat ini. Mungkin itu semacam penjelasan juga.
“Kau datang lagi!” kata Rudy Magee sambil berjalan menghampirinya. “Kudengar gadis itu sudah ditemukan.”
“Sudah ditemukan.”
“Tak jauh dari sini, ‘kan!”
“Dekat, Rudy. Dekat sekali.”
“Anak itu bohong, kalau begitu?”
“Mari kita naik, Rudy, naik kincirmu. Akan kuceritakan semuanya.”
“Eh? Oke, kalau kau memang ingin. Aku sendiri tak pernah naik benda ini.” Seorang petugas lain mengambil alih kontrol, sedangkan Rudy mendahului Leopold naik ke salah satu sangkar. Kincir berputar dan mereka pun mulai naik. la pun menyela, “Bagus juga pemandangan dari sini nih!”
“Kubayangkan kalau malam dengan semua neon ini menyala, wah!”
Rudy berdecak. “Ya, anak-anak suka.”
“Aku tahu caranya Velma menghilang,” ujar Leopold tiba-tiba.
“Kau tahu? Wah, aku juga ingin tahu. Sungguh aneh. Anak itu mengibuli aku ya?”
“Bukan, Rudy. Kaulah yang mengibuli.”
Di tempat duduknya, di sebelah Leopold, pria pucat itu menegang.
“Maksudmu?”
Sangkar berayun pelan ketika mencapai puncak, lalu perlahan mulai turun.
“Maksudku selama ini kau telah menjual obat bius kepada anak-anak ini — hippies, mahasiswa, gadis-gadis 15 tahunan. Kukira hebat sekali rasanya naik kincir ini waktu malam dengan neon yang berwarna-warni dan semua yang lain itu, bila sedang high karena LSD.”
“Akan sulit kaubuktikan itu,” kata Rudy.
“Mungkin tidak. Mungkin Tom Williams sudah memutuskan untuk bicara. Itu juga pertanyaan kuncinya — kenapa ia menunggu begitu lama untuk melapor pada polisi. Sebabnya, tentu saja, karena ia masih high, mungkin karena LSD. Ia harus menunggu sampai pengaruh obat bius itu mereda dulu. Jangan-jangan kau sempat pula meyakinkan dia bahwa Velma tak pernah naik ke kincir.”
“Sudah kubilang ia naik,” Magee menggumam. “Tapi tak pernah turun lagi.”
“Ia tak pernah turun hidup-hidup.” Leopold memperhatikan berubahnya pemandangan di bawah manakala mereka mulai naik lagi dari titik terbawah. “LSD sudah terlalu jinak buat Velma dan hippie-hippie temannya. Maka mungkin kau menjual ganja kepadanya. Tak lama kau pun mulai mencengkeramnya dengan heroin.”
“Tidak.”
“Kubilang ya.”
Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “Mungkin aku telah menjual LSD, tapi yang lebih keras tak pernah. Horse tak pernah.”
“Ada yang menyebutnya horse, Rudy. Ada pula yang menyebutnya hazel. Waktu itu aku dengar seorang anak menanyakan hazel kepadamu, tapi aku tak sadar. Velma Kelty membeli heroin padamu, lalu menyuntikkannya ke nadi ketika naik kincir. Namun, ia belum terbiasa dengan itu, atau barangnya jelek, pokoknya buat dia terlalu banyak. Ia tersungkur dari kursi, jatuh ke tempat kaki kita ini — dan ia terus naik kincir ini sampai taman tutup, kau membebani tubuhnya dan menceburkannya ke teluk.”
“Ia ‘kan bisa terlihat waktu masih ada di sangkar ini.”
“Tidak, tidak dari muka tanah. Ambang logam ini satu kaki tingginya dan kulihat dari tanah kita hanya bisa melihat sampai sebatas lutut gadis-gadis. Bawahnya tak tampak. Seorang gadis 15 tahun yang kecil dengan mudah meringkuk di bawah ini, tanpa terlihat dari tanah, tapi terlihat terus olehmu setiap kali kincir berputar dari panggung. Kursinya tampak kosong dan tentu saja kau cukup hati-hati untuk melewatinya setiap kali menaikkan penumpang.”
“Orang yang duduk di atas ‘kan bisa melihatnya,” bantah Magee.
“Jadi kaukosongkan juga tempat duduk yang itu. Kata Williams, malam itu kau tak sibuk. Cuma ada sedikit penumpang. Apalagi Velma mengenakan celana dan sweater biru tua. Rambutnya juga hitam. Dalam gelap orang tak bisa melihat dia, terutama karena cahaya neon-neon itu.”
“Jadi kau akan menahanku karena membuang mayat?”
“Lebih dari itu. Tuduhan narkotika saja sudah cukup lama mengirimmu ke balik terali besi. Tapi kau ‘kan juga tahu efek overdosis. Waktu pingsan, Velma Kelty masih hidup — fisiknya lumpuh, tak sadar diri dan pernapasannya lambat, tapi ia masih hidup. Mungkin dengan perawatan yang sigap, ia bahkan bisa diselamatkan. Namun, kau terlalu khawatir pada nasibmu sendiri. Jadi kaubiarkan ia mati pelan-pelan di sini, bergulung di ruang sesempit ini sampai taman tutup dan kau dapat menyingkirkan tubuhnya.”
“‘Kan ada polisi datang dan ia memeriksa.”
“Tentu. Dia datang dan mengadakan pemeriksaan dua jam kemudian. Dengan sendirinya ia tidak mengecek tiap kursi. Siapa sangka gadis itu masih ada di situ, tapi tak kelihatan. Mungkin waktu itu kau telah menghentikan kincir.”
(Edward D. Hoch)
Baca Juga: Ketemu Tersangka Ketiga
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726639/velma-lenyap-di-udara" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678775217000) } } [3]=> object(stdClass)#109 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3636275" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#110 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/tak-mungkin-ia-punya-rottweiler_-20230105065648.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#111 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(116) "Pasangan detektif menemui kasus bunuh diri yang mencurigakan. Pasalnya, anjing si korban ternyata ikut menemui ajal." ["section"]=> object(stdClass)#112 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/tak-mungkin-ia-punya-rottweiler_-20230105065648.jpg" ["title"]=> string(31) "Tak Mungkin Ia Punya Rottweiler" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 18:57:05" ["content"]=> string(32459) "
Intisari Plus - Pasangan detektif menemui kasus bunuh diri yang mencurigakan. Pasalnya, anjing si korban ternyata ikut menemui ajal.
--------------------
“Menurutku sih sudah tewas pada hari Jumat malam tiga hari yang lalu,” kata Cassidy seraya mengeluarkan kotak berisi serbuk bersin.
Wall menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kotak itu dengan jijik. “Ih! Bisa-bisanya kamu bekerja sambil mengendus-endus benda itu.”
“Habis, sebagai reserse ‘kan kita tidak boleh merokok di tempat kejadian perkara. Kalau tidak merokok, mana aku tahan dengan bau mayat?”
Dengan ibu jarinya Cassidy menunjuk ke belakang mereka, ke arah pintu garasi yang terbuka.
“Yang di sana sih tidak apa-apa. Garasinya dingin dan sekarang Januari. Coba kalau Agustus!”
Seorang wanita tetangga sudah melihat mereka. Wanita itu bergegas menghampiri sambil mengancingkan mantelnya. “Pasti ingin bertanya macam-macam,” pikir Wall.
“Mengapa kamu yakin dia tewas tiga hari yang lalu?” tanyanya.
“Rigor moitis (kekakuan pada mayat) sudah terjadi dan sudah berlalu lagi,” jawab Cassidy. “Padanya maupun pada anjingnya. Lagi pula tidak ada yang melihatnya setelah Jumat malam.”
Didampingi seekor Rottweiler
Cassidy menutup kotak serbuk bersinnya dan memasukkannya ke saku. Wall berpikir. Tiga puluh detik lagi pasti Cassidy harus membuang ingusnya dengan saputangannya yang berwarna khaki.
“Aku heran, bunuh diri kok mengajak anjing,” kata Wall.
“Takut anjingnya tidak ada yang merawat barangkali,” jawab rekannya. “Kamu pernah merasakan punya anjing tidak?”
“Tinggal di apartemen memelihara anjing? Tidaklah yaw!”
Wanita tetangga sudah berada kira-kira 50 langkah dari mereka. la mengancingkan mantel sambil berjalan. Wall bergidik.
“Ayo ah, masuk! Tim koroner yang memeriksa sebab kematian pasti sudah selesai.”
Cassidy membuang ingusnya. la memasukkan saputangannya ke saku celana. Di setiap kantung mantelnya ia menaruh sehelai saputangan. Semua berwarna khaki, supaya tidak kentara kalau bernoda. Semua licin dan kering di pagi hari, tapi semua lembap setiap selesai dinas selama delapan jam.
Kalau mereka lembur 15 - 18 jam, Cassidy kehabisan saputangan. Terpaksa dia membeli segelas kopi di McDonald dan mengambil setumpuk tisu.
Koroner sedang berbenah. Ia mencopot sarung tangan karetnya. Di zaman AIDS ini, ia selalu memakai sarung tangan saat memeriksa mayat. Koroner itu tinggi besar dan sudah berumur.
“Sudah lama meninggal,” katanya. “Rasanya sih, akibat karbon monoksida seperti dugaan kalian. Kemungkinan besar dia bunuh diri.”
“Dok, bisa juga ‘kan dia terlalu banyak minum alkohol, tapi masih sanggup pulang, cuma sebelum keburu mematikan mesin mobilnya dia semaput?” tanya Wall.
“Mana ada orang keluar minum Jumat malam sambil membawa-bawa anjing di mobilnya?” kata Cassidy sambil bersiap-siap bersin.
“Anjing ‘kan sahabat paling baik bagi manusia,” jawab koroner. Cassidy bersin. Dokter menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu masih juga mencium-cium begituan, Jack?”
“Cuma kalau stres,” jawab Cassidy dengan berseri-seri.
“Stresnya tiap hari tapi.”
Cassidy mengeluarkan saputangan lagi.
“Yakin karbon monoksida, Dok?” tanya Wall.
“Kalau keracunan karbon monoksida biasanya kulit menjadi lebih merah. Nah, rasanya kulit dia asalnya pucat, tapi sekarang kemerah-merahan. Kita tunggu saja hasil autopsi supaya pasti.”
Koroner memandang wajah jenazah itu. “Belum pernah aku melihat orang bunuh diri menangis. Lihat! Matanya merah seperti habis menangis.”
“Barangkali dia mengasihani dirinya sendiri sebelum meninggalkan dunia yang kejam ini,” kata Cassidy.
“Orang bunuh diri tidak menangis. Tidak pernah,” jawab koroner. Mereka bunuh diri bukan karena mengasihani dirinya, tapi karena marah kepada orang lain. Cuma kemarahan itu mereka sembunyikan.
“Aku sih tetap tidak mengerti kenapa dia mengajak anjingnya mati,” kata Wall. “Walaupun kata Jack karena dia merasa itu yang terbaik.”
“Itu sih tidak aneh. ‘Kan pernah ada ibu-ibu yang membunuh anaknya dengan keyakinan menyelamatkan anak mereka dari kekejaman dunia.” Koroner tampaknya tidak peduli pada anjing.
Wall menjenguk ke dalam mobil dari kaca jendela yang kini sudah dibuka. Di belakang kemudi duduk seorang pria bertubuh kecil yang masih memakai mantel bagus. Syal yang melilit lehernya dari sutera. Orang ini berduit.
Wajahnya yang sudah kehilangan seri kehidupan menengadah karena tadi ditengadahkan oleh koroner yang memeriksa matanya dengan senter dan menekan kulit wajahnya.
Di sebelahnya, di kursi penumpang, terbujur bangkai anjing. Binatang itu tampaknya sempat berusaha keluar mencari udara segar. Berbeda dengan pemiliknya, pikir Wall.
“Bunuh diri,” katanya yakin. “Aku akan mencari surat yang dia tinggalkan.”
“Rasanya memang begitu,” timpal Cassidy.
“Mendingan kita berbicara dengan orang yang tadi menelepon kita. Dia pasti ingin tahu apa yang terjadi.”
“Tunggu! Aku ajak dia ke sini untuk identifikasi,” kata Wall
Wall keluar dari pintu samping, menuju ke dapur, tempat seorang pria kecil berumur 50-an menunggu.
Pria itu mengenakan setelan jas bergaris halus yang bagus potongannya. Khas bankir, pikir Wall. Atau pialang atau apalah, pokoknya yang berhubungan dengan uang.
Teleponnya mati
“Koroner menyatakan pria di garasi sudah meninggal, Pak Thompson. Sebenarnya berat buat saya meminta pertolongan Anda. Tapi jenazah itu perlu diidentifikasi. Anda bersedia melakukannya?”
“Oh!” kata Thompson. “Keadaannya ‘kan tidak ....” la berdehem dan tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Tidak, seperti sedang tidur saja,” kata Wall.
Thompson berhenti melangkah saat masih jauh. la memandang ke arah mobil dengan gugup.
“Ya, kelihatannya sih dia,” suaranya tegang.
“Silakan lebih dekat, supaya pasti,” Wall menganjurkan sambil memberi isyarat dengan sebelah tangannya, seperti pengantar menunjukkan kursi kepada penonton di gedung bioskop.
Thompson menelan ludah sampai bunyinya kedengaran, lalu melangkah beberapa kali lagi.
“Ya, betul Martin,” katanya.
“Martin Blaine?” Wall menegaskan dengan tenang.
“Ya, Martin Blaine.”
Cassidy mengeluarkan kotak serbuk bersinnya. Diangsurkannya kepada koroner yang buru-buru menggeleng.
“Apakah Pak Blaine menduduki posisi yang peka di perusahaan Anda?”
“Maksud Anda ia bertanggung jawab atas keuangan? Ya, memang begitu. Kami berdua sama-sama memegang keuangan.”
Pria itu lebih percaya diri sekarang. Sebagai orang yang terbiasa mengurusi uang, menyebut uang segera membesarkan kepercayaan dirinya.
“la teman baik Anda?” tanya Wall.
“Kami bekerja sama.”
“Kasihan anjingnya, ikut mati.”
“Ya, sayang.”
Thompson menarik lengan jasnya untuk melihat arlojinya.
“Anda masih memerlukan saya, Pak Polisi? Saya harus buru-buru kembali ke kantor.”
“Silakan. Terima kasih Anda menelepon kami saat Pak Blaine tidak datang ke kantor pagi ini,” jawab Cassidy. Lalu ia melirik Wall. Wall mengerti isyarat rekan lamanya itu.
“Anda biasa melakukannya, Pak?”
“Biasa apa?” tanya Thompson yang sedang berjalan meninggalkan garasi untuk mengambil mantelnya di dalam rumah.
“Menelepon polisi kalau ada karyawan tidak muncul,” jawab Wall sopan.
Thompson berhenti dan menoleh. Sebelah kakinya sudah menuruni tangga. “Tidak, tidak selalu.” Ia melambaikan sebelah tangannya. “Kalau sekretaris atau karyawan biasa tentu tidak, tapi Martin sudah berjanji akan datang pagi-pagi. Kami harus berunding lewat telepon dengan London karena ada transaksi besar. Kami akan membeli sebuah pabrik bir di sana.” Ia berhenti berbicara dan tersenyum tipis. “Maaf, saya tidak bisa menyebutkan nama pabriknya, sebab nanti terasa dampaknya di bursa.”
“Ketika Pak Blaine tidak muncul, apa yang Anda lakukan?” tanya Cassidy.
“Saya menelepon ke rumahnya, tapi tidak ada yang mengangkat telepon. Saya duga ia terjebak kemacetan lalu lintas. Saya hubungi mobilnya, tapi teleponnya tidak diaktifkan. Terpaksa saya berunding tanpa dia. Ketika dia tidak datang juga, saya telepon lagi. Akhirnya, saya datang kemari. Tidak ada yang membukakan pintu dan tidak ada jejak ban mobil di halamannya.”
“Pukul berapa Anda meninggalkan kantor?” tanya Wall.
“Pukul 12.30. Sekitar itulah.” Thompson melirik lagi arlojinya. “Maaf, Pak Polisi. Saya mesti buru-buru.”
“Silakan, Pak! Terima kasih Anda menelepon kami.”
Thompson mengangguk. “Terima kasih. Silakan menelepon ke kantor saya kalau Anda perlu informasi lagi.”
Sesudah Thompson pergi, koroner mengangkat tasnya. “Aku beri tahu kalian sore ini perihal dia mabuk atau tidak saat meninggal. Aku perlu mendahulukan jenazah yang terapung di teluk itu!”
“Wah, benar-benar pelesit (hantu pemakan mayat)!” kata Cassidy.
“Dunia perlu pelesit!” kata koroner tertawa. “Untung, aku menikmati pekerjaanku!”
Cassidy dan Wall memandang dokter itu pergi, lalu mereka menghampiri polisi berseragam yang memarkir mobil patrolinya di muka garasi. Polisi itu duduk di dalam mobil, menikmati kehangatan. la membuka kaca jendela.
“Mau memanggil mobil daging?” tanyanya.
Saat itu para tetangga sudah bergerombol di halaman, menikmati kegemparan yang tidak terduga di Senin siang. Seorang wanita setengah baya mendengar pertanyaan polisi kepada para reserse. la menyampaikannya kepada yang lain.
Wall menatapnya sehingga wanita itu berhenti berbicara sebelum kalimatnya selesai. Setelah beradu pandang, ia meneruskan kata-katanya dengan sikap menantang.
Tak ada bekas anjing
Cassidy menjawab pertanyaan polisi yang duduk di mobil. “Tidak. Kita perlu truk derek. Tapi panggil dulu CIB (seksi penyidikan kriminal), Charlie! Biar mereka bawa mobilnya ke pangkalan. Mayatnya pindahkan ke tempat jenazah.”
“Kami akan memeriksa di dalam. Kamu tetap di sini sampai mobil derek pergi. Jaga jangan sampai orang-orang mendekat.”
Cassidy menutup pintu garasi dan berdua dengan Wall memandang jenazah dalam mobil.
“Kita akan menggeledahnya nanti di tempat jenazah,” kata Cassidy. “Sekarang kita periksa rumahnya. Siapa tahu ada pesan, setumpuk uang kertas ribuan dolar, atau hal lain yang bisa menjelaskan kenapa dia berbuat begini.”
Cassidy dan Wall sudah lama bekerja sama sehingga tidak perlu membuang waktu. Wall memeriksa ruang duduk dan dapur. Cassidy menangani kamar tidur. Ia selesai lebih dulu dan turun ke ruang duduk.
“Kamu tidak sadar, ya, bahwa ada yang aneh?” katanya.
“Tidak. Apa?” kata Wall yang sedang memeriksa isi laci, surat sewa rumah, surat asuransi, semua tersusun rapi.
“Tidak tercium bau anjing. Tidak ada bulu anjing di sofa.”
“Anjingnya dikurung di satu ruangan saja barangkali,” jawab Wall. “‘Kan banyak orang yang begitu.”
“Ada tempat tidur anjing tidak di dapur?”
Cassidy bangkit dari sofa. “Coba aku periksa lagi.”
Wall kembali membongkar laci. Ada kaleng bekas biskuit yang isinya ternyata foto, bukan duit atau rahasia yang bisa menjelaskan terjadinya tubuh dingin di garasi.
“Ada tempat tidur anjing. Baru banget,” kata Cassidy dengan bingung. “Piring makan dan kantung makannya juga sama barunya.”
“Jadi?” Wall bertanya. “Apa anehnya? la punya anjing. Anjing itu perlu tidur dan makan. Anjing sungguhan ‘kan, bukan boneka.”
“Anjing ‘kan meninggalkan bekas-bekas kejorokannya, walaupun anjing manis, seperti anjing geladak istriku.”
“Lupakan anjing,” kata Wall. “Tidak usah dipikirkan. Ini jelas bunuh diri. Cuma saja dia mengajak anjingnya ke akhirat.”
Cassidy duduk lagi di sofa. “Tapi aku tetap merasa aneh, tuh!”
“Aku malah tidak. Sudah, jangan aneh-aneh. Kita ditunggu pekerjaan lain.”
“Di sini tidak ada pesan apa-apa,” Wall meneruskan.
“Tapi semua surat-suratnya lengkap. Lihat!”
Di laci file, surat-surat penting tersusun dengan rapi menurut abjad. Ada surat mobil, asuransi rumah, paspor, tanda pembayaran tunjangan pada mantan istri. Pokoknya, semua.
“Ada surat anjing tidak di abjad D?” tanya Cassidy.
“Kelihatannya ‘kan anjing ras Jerman tuh! Rottweiler, anjing pembunuh. Mestinya ada surat pembeliannya, stamboom, dsb.”
“Tidak ada tuh!” kata Wall. “Sudahlah, jangan memikirkan anjing melulu. Mendingan mikir makan. Kita ‘kan mesti melembur hari ini.”
“Mesti ada yang pergi ke jandanya, dong!” kata Cassidy. “Rasanya kita mesti menanyakan soal anjing juga. Siapa tahu itu anjing kesayangannya. Seorang mantan suami ingin menyakiti hati mantan istrinya jadi anjing itu diajak mati sekalian. Ada alamatnya tidak?”
Pengakuan mantan istri
“Ada!” Wall membuka buku catatannya. Dia sudah mencatat nama dan alamat mantan istri Blaine. “Ayo, kita pergi!”
Juru potret dan ahli sidik jari dari seksi penyidikan kriminal tiba. Cassidy dan Wall memberi keterangan perihal apa yang diperlukan, lalu keluar menuju mobil mereka sambil tersenyum ramah kepada para tetangga.
Jumlah penonton sudah kira-kira 20 orang. Pipi dan hidung mereka merah kedinginan, tapi rasa ingin tahu rupanya tidak terkalahkan oleh suhu.
Cassidy mengemudi, sedangkan Wall mengamati ujung sebelah sepatunya yang sobek akibat masuk dari jendela dapur.
“Untung jendela itu terbuka, walaupun aku mesti beli sepatu baru,” katanya.
“Eh, kamu saja yang berbicara dengan istrinya. Tampangmu ‘kan memelas gara-gara sepatumu rusak.”
“Apa boleh buat,” kata Wall. la memang sering kebagian tugas itu. Cassidy selalu tampak gembira sehingga kabar buruk kedengaran aneh kalau keluar dari mulutnya.
Ternyata siapa pun yang berbicara tidak penting bagi mantan Ny. Martin Blaine. Dia sendiri berseri-seri. Wanita pirang itu berumur 40-an. Masih menarik walaupun kulitnya mulai kendur. Kedua reserse itu segera tahu bahwa antara mantan suami-istri itu sudah tidak ada cinta lagi.
“Jangan salah sangka. Saya tentu menyesali kejadian ini, tapi kami sudah berpisah lama, delapan tahun.”
“Anda mempunyai anak?” tanya Wall.
“Dua. Tapi keduanya tidak akan sedih. Mereka tidak pernah bertemu ayahnya sejak ditinggalkan.”
“Almarhum meninggalkan Anda karena ada wanita lain?” tanya Cassidy dengan riang. Wanita itu menggeleng.
“Tidak. Saya kira ia cuma merasa tidak tahan hidup dengan saya lagi. Semua orang dianggapnya kurang rapi. la mau semua serba apik. Semua barang mesti ada di tempatnya. Hal itu dikatakankannya enam kali sehari.”
Mantan Ny. Blaine menggelengkan kepalanya.
“Sebetulnya orang seperti itu patut dikasihani.”
“Anda pernah melihat anjingnya?” tanya Wall.
“Anjing? Jangan bercanda. Ia biasa melempari anjing tetangga kalau berani mendekati tempat kami. Orang seperti Martin tidak mungkin punya anjing.”
Wall menceritakan perihal anjingnya dalam mobil. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aneh sekali! Mana mungkin ia mengizinkan anjing masuk ke mobilnya.”
“Maksud Anda, dia alergi?” tanya Wall yang ingat pada mata mayat yang merah seperti habis menangis.
“Dia alergi terhadap semua yang tidak diletakkan dengan semestinya,” kata mantan Ny. Blaine. “Juga pada rumput, debu, serbuk sari, kucing, anjing, zebra, semua deh!”
“Tampaknya Anda tidak tergugah,” kata Cassidy.
“Berlebihan sih kalau menangis, tapi berita ini malah menyenangkan Anda.”
Ruth Blaine tertawa. “Seperti tidak berperikemanusiaan, ya? Saya tidak akan jatuh miskin tanpa tunjangan. Sekarang saya kira saya akan menikah lagi atau malah putus dengan pacar saya. Selama ini pacar saya tidak bisa tinggal di sini karena Martin selalu mengancam akan menghentikan tunjangannya kalau saya punya pasangan.”
“Semoga Anda beruntung dengan pasangan baru,” kata Cassidy sambil menyeringai. “Kelihatannya dia pelit.”
“Terima kasih untuk komentar Anda,” kata sang janda.
Setiba di luar Wall berkata, “Kelihatannya ia tidak mencurigakan.” Cassidy setuju.
“Mustahil dia mau membunuh angsa bertelur emas!”
“Tapi aku jadi terpikir pada anjing sial itu!”
“Ya! Aku juga.” Cassidy segera merogoh kotak serbuk bersinnya dan mengambil sejumput serbuk bersin.
Menggerogoti uang perusahaan
Mereka pergi ke pangkalan kendaraan polisi. Para petugas seksi penyidikan kriminal sedang meneliti mobil.
“Nah, si kembar Bobbsey!” kata Cassidy. “Menemukan sesuatu?” Juru potret dari tim penyelidik itu tertawa keras.
“Ya! Anjing gede! Tampaknya sih Rottweiler.”
“Selain anjing,” kata Cassidy. Ia membuka pintu di sebelah penumpang dan membalikkan telinga anjing.
“Mencari apa?” tanya si juru potret. “Kami kira dipasangi transmiter?”
“Nomor peningnya, pembiaknya, dsb.,” kata Cassidy.
“Nih, lihat! Kalau bukan berkat pasukan di medan perang, para jenderal tidak bisa menang perang.”
Juru potret itu tertawa mengakak.
“Ayo, kita kerja lagi!” kata Cassidy.
“Mau ke kennel?” tanya Wall.
“Benar sekali! Mustahil kita tidak bisa melacak benda sebesar ini? Eh, berapa sih beratnya kira-kira?”
Cassidy menelepon ke perkumpulan pembiak anjing, lalu ke pembiak yang menghasilkan anjing yang kini mati itu, dan ke pemilik terakhir yang namanya tercatat.
“Nah, beres!” kata Cassidy sambil menaruh telepon.
“Hari ini kita bakal mendapat bintang nihl”
Mereka mengunjungi pemilik terakhir anjing Rottweiler itu lalu pergi ke kantor tempat Martin Blaine bekerja sampai hari Jumat yang lalu. Resepsionisnya seperti bintang film yang mengantar pemenang turun-naik panggung dan pembagian hadiah Oscar. Ia memberi mereka senyuman sejuta dolar. Cassidy membalas senyumnya.
“Kami Pak Wall dan Pak Cassidy, ingin bertemu dengan Pak Thompson. Tolong katakan beliau sudah bertemu kami tadi siang.”
Resepsionis itu tersenyum lagi, seperti menyaingi senyum Cassidy.
Dua menit kemudian mereka sudah berada di kantor Thompson yang mengesankan. Dindingnya dilapisi kayu walnut. Perabotnya mantap, begitu pula layar monitor komputernya.
“Bagus sekali,” kata Cassidy saat mereka masuk.
Thompson memakai kemeja. Karena lengannya pendek, ia memakai gelang lengan supaya lengan kemejanya tidak melorot. Ia kelihatan risau.
“Anda maksud ruangan ini?” tanyanya. “Cuma standar, kok! Semua wakil presiden direktur mendapat ruangan seperti ini.” Thompson memandang ke komputernya yang menyala.
“Bukan ruang kantor ini,” kata Cassidy. Kata-katanya berhasil mengalihkan perhatian Thompson dari komputernya. Ia memandang Cassidy, tetapi ternyata Wall yang sekarang berbicara.
“Kami maksudkan anjing itu.”
“Anjing?” kata Thompson. Ia mengerutkan kening seperti bingung, tapi menjilat lidahnya. Kedua reserse melihatnya dan saling menyeringai.
“Anda ingin bos Anda berada di sini sekarang?” tanya Wall.
“Supaya Anda bisa menceritakan terus terang perihal uang yang Anda gerogoti dan mencoba menimpakan kesalahan Anda kepada Pak Blaine,” Cassidy menjelaskan.
Thompson pucat, tetapi tidak menyerah. la menatap mereka seorang demi seorang. Akhirnya, ia menyerang.
“Saya orang yang sibuk. Silakan jelaskan apa yang ingin Anda bicarakan atau keluar dari sini.”
“Dengan senang hati,” kata Cassidy. “Kami ingin berbicara perihal pembunuhan.”
“Betul,” kata Wall. “Supaya lebih jelas, kami ingin berbicara tentang pembunuhan yang Anda lakukan terhadap rekan Anda, Pak Martin Blaine!”
Sekarang Thompson berdiri dan menuding mereka. “Dia ‘kan bunuh diri. Kalian ‘kan yang membawa saya ke situ dan menunjukkan apa yang terjadi. Ia pergi ke garasi dan menyalakan mobilnya sampai mati lemas karena keracunan gas.”
“Memang itu yang terjadi,” kata Wall. “Tapi ‘kan bukan karena ia bunuh diri?”
Thompson duduk. “Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan.”
“Ia dibunuh,” kata Wall, “dan Anda pembunuhnya.”
“Bagaimana Anda bisa menuduh begitu?” Thompson marah. Berusaha marah, pikir Wall.
“Anda pergi ke rumahnya, menunggu dia datang, hari Jumat malam,” kata Wall.
“Betul,” timpal Cassidy. “Anda bawa anjing besar galak itu. Ketika Blaine mengendarai mobilnya masuk garasi, Anda ikut masuk dan berkata, ‘Oke, Martin. Biarkan mesin tetap hidup.’ Lalu Anda beri perintah kepada anjing itu. ‘Jaga’, agar Pak Blaine tidak bergerak. Kalau ia bergerak untuk mematikan mesin, si anjing akan mencabik-cabik tangannya. Lalu Anda keluar dari rumah itu, membiarkan Pak Blaine yang malang tewas.”
“Sangat rapi,” kata Wall. “Anda bahkan memilih anjing yang beratnya mendekati berat Pak Blaine agar anjing itu tidak lebih dulu semaput dari korban Anda.”
Thompson menaruh kedua tangannya di meja. Kepalanya menunduk. la tidak berkata apa-apa. Teleponnya berdering, tapi dibiarkannya saja.
Cassidy mengeluarkan serbuk bersinnya. Ia mengendusnya dengan nikmat.
“Mengapa tidak Anda panggil saja bos Anda, sekarang supaya bisa menjelaskan cara Anda menimpakan kesalahan menggelapkan dana kepada rekan lama Anda?”
“Lebih baik Anda lakukan, Pak,” kata Wall. “Kami sudah mendapat surat izin untuk menggeledah mobil Anda, untuk membandingkan bulu anjing yang tercecer di sana dengan bulu anjing yang mati. Anda membeli anjing penyerang itu Jumat malam. Kami sudah mendapat pernyataan dari mantan pemilik anjing itu. Anda katakan kepadanya bahwa Anda tinggal sendirian dan perlu teman.”
“Pandai sekali. Anda mengaku sebagai Blaine dan memberikan alamatnya kepada penjual anjing itu.”
“Anda berharap orang menduga Pak Blaine membeli anjing lalu pingsan di garasi dengan mesin mobil masih hidup, sehingga ia meninggal. Cuma Anda tidak tahu ia alergi. Bagaimanapun ia tidak bisa memiliki anjing.”
Pria bertubuh kecil itu tetap bersikap profesional sampai akhir. “Saya ingin berbicara dengan pengacara saya,” katanya. (Ted Wood)
Baca Juga: Lagu Palsu Alat Penipu
" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553636275/tak-mungkin-ia-punya-rottweiler" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945025000) } } [4]=> object(stdClass)#113 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3643231" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#114 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/saling-selingkuh-berakhir-maut-20230105040747.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#115 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Seorang anak menemukan ayahnya mabuk di dapur, sementara ibunya tewas di sauna dan terkunci di dalam. Apakah ini sebuah kasus bunuh diri?" ["section"]=> object(stdClass)#116 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/saling-selingkuh-berakhir-maut-20230105040747.jpg" ["title"]=> string(31) "Saling Selingkuh, Berakhir Maut" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 16:08:30" ["content"]=> string(29922) "
Intisari Plus - Seorang anak menemukan ayahnya mabuk di dapur, sementara ibunya tewas di sauna dan terkunci di dalam. Apakah ini sebuah kasus bunuh diri?
--------------------
Gothenburg, kota kedua terbesar di Swedia yang berpenduduk sekitar 500.000 jiwa, terletak jauh ke arah utara tempat air dingin di Skagerrak bercampur dengan air dingin dari Kattegat. Pada musim salju matahari benar-benar hampir tak tampak di kawasan ini. Sebaliknya di bulan penuh, matahari terus bersinar sepanjang malam. Saat-saat seperti itulah yang amat dinantikan warga Kota Gothenburg, karena musim panas bisa dinikmati secara penuh.
Siang itu, pukul 13.00, Eric Larson, pemuda 17 tahun, sudah sampai di rumahnya di Overlida, sebuah kota kecil yang berjarak ± 30 mil ke arah timur Gothenburg. Bersama dengan teman-teman sebaya ia baru saja berpesta musim panas di berbagai tempat.
Betapa terkejutnya ketika memasuki rumah, ia dihadang pemandangan mengerikan yang seumur-umur belum pernah disaksikannya. Sang ayah Anders Larson, (54), yang sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi tak tetap, tergeletak bengong di atas meja dapur. Aroma alkohol yang berhamburan dari mulutnya menandakan ia lagi mabuk. Padahal selama ini lelaki tersebut bukan seorang yang gemar minum minuman keras. Sepengetahuan Eric, kalau tidak ada pekerjaan ayahnya justru lebih suka tidur sepanjang hari.
“Di mana Ibu?” ujar Eric karena tidak tahu harus berkata apa.
“Kami baru saja bertengkar,” gumam sang ayah, “Ia pergi ke ruang sauna.”
Seperti lazimnya dalam kehidupan rumah tangga, Eric pun tahu orang tuanya kadang-kadang bertengkar meski tidak sampai harus berbaku hantam. Rupanya lelaki beranak satu ini minum sampai mabuk sebelum akhirnya sang istri menenangkan diri di ruang sauna keluarga yang terletak di ruang bawah tanah. Eric segera meninggalkan dapur dan menuju ke ruang sauna dengan harapan akan memperoleh penjelasan dari sang ibu tentang apa yang baru saja terjadi di rumah ini.
Ketika mulai menuruni tangga, ia mencium bau aneh seperti kayu terbakar bercampur dengan benda lain. Bau itu mendadak membuat perutnya mual. Di lain pihak karena berpikiran macam-macam, bulu kuduk Eric sempat berdiri. Merinding.
Pintu ke ruang sauna, sebuah ruangan berbentuk segi empat hasil rakitan ayahnya, terkunci rapat. Setelah dibuka ia merasa suhu di tempat itu normal seperti biasa digunakan. Namun, pemanas sudah dimatikan. Sekelebat terpikir di benaknya, jika ruang sauna tidak panas, apa yang menyebabkan sesuatu terbakar?
Terdorong rasa penasaran untuk segera menemui ibunya, Eric Larson buru-buru menepis kecurigaan yang menghinggapi benaknya. Matanya segera menyapu ke segenap ruang dan untuk kedua kalinya ia dikejutkan dengan pemandangan yang lebih mengerikan. Ibunya tergeletak di lantai tak jauh dari pintu dalam keadaan telanjang. Siapa pun lelaki pasti mengakui, dalam usianya yang sudah 52 tahun bentuk tubuh Karine Larson tetap ramping dan bagus bak tubuh seorang penari. Rambutnya yang pirang dan berombak dipotong pendek. Tetapi, kenapa kulitnya sembap hampir mirip warna coklat kayu mahoni?
Di dekat tubuh ibunya Eric melihat sepotong ranting kayu tergeletak dalam keadaan terbalik di lantai. Kayu lapis dan minyak pembakar berserakan di sekitarnya. Pasti telah terjadi sesuatu yang tak beres!
Kecelakaan atau dibunuh?
Wanita yang masih menyisakan kecantikan ini tangannya sudah menghitam berlumur darah kering. Sementara pundak dan mukanya rusak sehingga kelihatan mengerikan. Dengan perasaan kalut bercampur takut, Eric memegang lengan ibunya dan berusaha memangkunya. Tetapi astaga! Lengan itu malah terlepas.
Peristiwa yang dialaminya di rumah dalam sekejap membuat Eric shock berat. Ia tak mampu lagi menahan emosinya. Pemuda tanggung ini segera menghambur ke luar rumah dan berteriak-teriak minta tolong kepada para tetangganya. Atas inisiatif tetangganya pula Eric segera dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans. Beberapa saat kemudian polisi dan tim medis berdatangan ke TKP (tempat kejadian perkara). Dokter Leif Halverstrom yang bertubuh pendek dan sudah beruban dari Kota Boras, jaraknya 15 mil dari sebelah timur Overlida, lantas memeriksa jenazah Karine Larson. Dari tingkahnya didapat kesan bahwa ia sendiri sulit untuk menyembunyikan ketidaktenangannya menghadapi kasus ini.
“Dipanggang!” seru Halverstrom dengan rasa tidak percaya. “Ia sudah dipanggang bahkan sampai ke organ-organ tubuh bagian dalamnya.”
“Anak malang!” gumam Inspektur Bjorn Svensson, kepala polisi dari bagian pembunuhan. “Sangat mengejutkan! Barangkali sulit sekali dr. Leif Halverstrom bisa mengatasi,” tambahnya.
Ketika memasuki rumah Larson, mereka menemukan Anders dalam keadaan tidak sadar di dapur. Mereka mengira Larson kena serangan jantung karena rasa tertekan. Ternyata Larson cuma mabuk.
Karena curiga Karine Larson mengalami kecelakaan, mereka mencari wanita itu dan menemukannya di ruang sauna. Lengannya terpisah dari tubuhnya. Segera kru medis disuruh polisi turun ke lantai bawah tanah.
Saat itu hari Sabtu pagi di musim panas. Tak seorang pun tahu apa yang jadi penyebab kematian Karine. Yang pastil kematian itu tidak wajar. Berbagai analisis sesaat segera muncul, mungkinkah ini kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan?
Regu penyelidik pembunuhan tidak menemukan orang lain yang bisa memberi informasi kepada mereka. Eric sudah dibawa pergi ke rumah sakit dan diberi obat penenang. Mungkin dibutuhkan waktu cukup lama sebelum terapi psikiatri bisa mengatasi shock secara emosional akibat kematian ibunya yang mengerikan.
Sementara Anders Larson masih tergeletak tanpa sadar melintang di atas meja dapur, para tetangga sudah kembali ke rumah masing-masing. Dalam suasana yang mencekam, petugas paramedis, dokter, dan Inspektur Svensson bekerja keras menyelidiki dan menganalisis keadaan rumah. Inspektur tinggi besar yang berambut pirang dan bermata biru jernih itu cepat-cepat menuju ke lantai bawah tanah. Sementara Sersan Detektif Nils Sorenson yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tajam tetap berada di dapur bersama Larson.
Bak macan betina mengamuk
Saat mereka kembali ke atas, Sersan berhasil menyadarkan Larson dengan cara mengguyurkan air kran di wajahnya. Perlakuan itu memang sempat membuat Larson marah.
“Siapa Anda? Apa yang Anda inginkan?” tanyanya dengan suara masih di bawah pengaruh alkohol.
“Inspektur Svensson, polisi kriminal dari Boras,” jawab yang ditanya sambil memperlihatkan identitas resmi. “Siapa nama Anda? Apakah Anda pemilik rumah ini?” Larson menyebutkan namanya dan mengatakan dialah pemilik rumah itu.
“Apakah yang Anda inginkan dari saya?” tanyanya, “Minum-minum di rumah sendiri tentu bukan suatu pelanggaran undang-undang ‘kan? Apakah Karine memanggil dan mengadukan kepada Anda soal pertengkaran kami?”
“Anda bertengkar dengan istri, Tuan Larson?” kata Inspektur. “Di manakah istri Anda?”
“Di ruang sauna,” kata Larson. “Mengapa?”
“Anda ditangkap karena dicurigai melakukan pembunuhan,” kata Inspektur dengan sikap hormat. “Ingat, semua yang Anda katakan akan dicatat dan bisa digunakan untuk melawan Anda. Anda tidak perlu mengeluarkan pernyataan dan berhak didampingi pengacara resmi jika Anda rasa perlu. Saya akan memanggil Anda untuk bicara secara baik-baik.”
Larson, lelaki gemuk dan berkepala botak ini, sesaat memandang Inspektur itu dengan mata seperti mata banteng. Dalam sekejap Larson hilang dari mabuknya.
“Karine!” serunya dengan suara serak. “Apa yang terjadi pada Karine?”
Inspektur tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. Yang jelas beberapa saat kemudian, Larson dibawa ke kantor polisi pusat Boras dan menjalani interogasi. Bagaimanapun ia tidak segera dijadikan tertuduh. Tak seorang pun tahu apakah Karine Larson mati karena bunuh diri setelah bertengkar dengan suaminya.
Sementara itu seluruh staf teknis polisi kriminal diterjunkan untuk menyelidiki lebih detil rumah di Overlida dan mencoba mencari-cari sesuatu yang bisa dipakai sebagai petunjuk membuka tabir gelap kematian Karine. Mayat Karine masih tergeletak di ruang sauna dan tidak boleh dipindahkan sampai penyelidikan itu tuntas.
Dr. Halverstrom masih berkutat di sekitar mayat. Ia lagi pusing memutar otak. Tampaknya kematian itu agak aneh dan mau tak mau Harverstrom harus menunggu sampai autopsi selesai.
Tidak ada yang tahu bahwa Eric telah mengangkat tubuh ibunya sebelum lengan yang lembek itu jatuh. Jadi mayat itu pasti tidak dibiarkan tergeletak lebih lama lagi di atas siluet coklat yang terbentuk dari cairan yang tertumpah di lantai. Hal ini menimbulkan teka-teki bagi para penyelidik, ketika mereka tidak bisa membayangkan siapa yang telah memindahkan jenazah tersebut.
Para tetangga yang mengeluarkan pernyataan, tidak tahu apa-apa mengenai keadaan penemuan mayat itu, sementara Eric pun belum lagi bisa ditanyai. Karena minimnya informasi laporan yang diterima terasa agak sumir.
Menurut analisis sementara, Karine Larson tidak mungkin bunuh diri, tetapi berusaha mempertahankan nyawanya seperti seekor macan betina dari suatu serangan fisik. Sebagai wanita kuat yang bertubuh atletis, Karine Larson menggunakan cabang pohon sebagai alat penghantam. Ia memukulkannya ke pintu sekuat tenaga sehingga cabang itu menjadi berkeping-keping. Kemungkinan sebelum atau sesudahnya, ia menabrak pintu itu dengan bahunya yang telanjang, sehingga tubuhnya terluka dan meninggalkan bekas darah di pintu.
Akhirnya, dalam keadaan putus asa, Karine mengambil bata panas dari tempat pembakaran dan menggedor pintu dengan benda itu. Dugaan itulah yang akhirnya membuat jari tangannya terkelupas. Toh, semua usahanya tidak berhasil. Pintu itu tetap terkunci dan Karine secara perlahan-lahan terpanggang sampai mati.
Laboratorium melakukan tes untuk melihat berapa lama dan pada temperatur berapa Karine melakukan sauna sampai saat ia ditemukan.
Teka-teki suhu ruangan
Dari laporan yang tercatat, saat melakukan sauna atau mayat itu ditemukan, temperatur menunjukkan suhu ruangan. Alat pengontrol suhu mencatat 79°C. Itu merupakan suhu yang biasa digunakan. Meskipun demikian pada dinding bagian dalam dekat alat pemanas ketahuan bahwa ruang itu pernah mendapat pemanasan tinggi. Ini menunjukkan bahwa temperatur mencapai lebih dari 93°C dalam jangka waktu yang lama. Tes tersebut bisa memperkirakan temperatur dan berapa lamanya terjadi pemanasan.
Tak ada petunjuk kenapa Karine tidak meninggalkan ruang sauna. Pintu terbuka, dan seperti yang berlaku secara legal di Swedia, tidak boleh memasang kunci pintu dari luar. Padahal Karine gagal untuk keluar pun karena pintu, sama seperti dinding, dibuat dari dua lapis papan dengan ketebalan ± 4 cm yang diletakkan secara diagonal satu sama lain dan disekrup.
“Jangan cuma dikira-kira,” kata Inspektur, “Wanita itu berjuang seperti binatang yang terperangkap di dalam dan menurut mereka tidak ada petunjuk mengapa ia tidak bisa keluar. Lalu apa yang dikatakan Halverstrom?”
Sersan membaca laporan hasil autopsi, sementara Inspektur membaca hasil dari laboratorium.
“Tidak ada apa-apa,” katanya. Sampai sekarang laporan medis hanya mengatakan bahwa korban terpanggang sampai mati, tetapi hampir tidak ada preseden dalam kedokteran forensik, dan Halsverstrom belum tahu waktu kematian atau bahkan berapa lama waktunya sampai Karine mati. Seseorang menarik sampai terlepas lengannya korban mati. Jari-jarinya terbenam ke arah kanan, ke dalam daging lengan bagian depannya. Ia mengira, mungkin itu tindakan putranya. Mungkin ketika Eric menemukan ibunya, tetapi kini ia masih berada di rumah sakit dan tidak bisa ditanyai.
“Karena menemukan ibunya di situlah yang membuat Eric harus dibawa ke rumah sakit,” kata Inspektur. “Saya ragu-ragu apakah ada yang bisa diperoleh dengan menanyai Eric. Saya yakin ia tidak tahu apa-apa mengenai hal itu.”
“Bagaimana dengan Larson?” tanya Sersan.
“Memang, orang pertama yang dicurigai dalam suatu pembunuhan selalu pasangan hidupnya,” kata Inspektur sambil mengangkat bahu. “Tapi apakah ini suatu pembunuhan?”
“Anda maksudkan kasus ini suatu kecelakaan?”, kata Sersan. “Pintu dalam keadaan terkunci.”
Inspektur terdiam sejenak karena tidak bisa memikirkan apa-apa.
“Bukan,” katanya kemudian. “Dugaanku mungkin betul. Ny. Larson tidak menaikkan temperatur lebih dari 93°C dan ia juga tidak menurunkannya lagi. Tidak mungkin ini suatu kecelakaan. Juga bukan bunuh diri tapi suatu pembunuhan.”
“Apakah Anda menuduh Larson?” tanya Sersan.
“Belum,” kata Inspektur.
“Kita belum tahu motifnya dan tidak ada penjelasan bagaimana pintu itu diberi perintang. Mungkin seseorang punya alasan untuk membunuhnya. Maklum, tempat ini terbuka. Setiap orang bisa masuk dan kalau mau langsung ke dalam rumah. Bahkan dari depan orang bisa masuk sampai ke ruang bawah tanah.”
“Analisis Anda cukup beralasan,” kata Sersan sambil manggut-manggut.
Sersan Nils Sorenson tidak pernah berpikir bahwa ada orang selain Anders Larson yang punya alasan kuat untuk membunuh. Tapi bagaimana mungkin seorang ibu rumah tangga berusia 52 tahun memiliki musuh sadis yang tega memanggangnya hidup-hidup?
Karena itu bisa dimengerti mengapa Sersan berpikir pelakunya seorang laki-laki, meskipun terlintas di benaknya bahwa seorang wanita pun bisa mengganjal pintu ruang sauna dan menaikkan kontrol pengatur suhu seperti yang dilakukan oleh seorang laki-laki.
Suami main serong
Dari penyelidikan yang dilakukan berdasarkan beberapa analisis di atas, beberapa nama masuk dalam daftar yang dicurigai. Di antaranya seorang wanita bernama Gerda Andreson (41). Wanita lajang itu bertempat tinggal di kota yang sama.
Setiap orang di desa itu tahu siapa Gerda Andreson dan bagaimana hubungannya dengan Anders Larson. Tidak ada lelucon bagi Gerda maupun Anders. Dengan kata lain, hubungan khusus antara kedua orang itu sudah menjadi rahasia umum.
Sebenarnya perkenalan kedua orang ini terjadi secara kebetulan. Ceritanya begini. Musim panas Juli 1976 suatu hari Gerda menumpang mobil Anders. Saat itu mereka masih muda dan rupanya entah dibujuk setan dari mana, kedua orang tersebut bercumbuan. Percintaan mereka dilanjutkan di sebuah taman di sudut kota. Toh, belakangan Anders sangat menyesali peristiwa itu. Maklum, ia teringat perjumpaannya dengan Karine pun terjadi dengan cara yang sama sepuluh tahun lalu. Namun setelah itu tumbuh menjadi cinta sejati, meski kedua orang tua mereka tidak setuju. Setelah mengandung Eric 6 bulan, Karine menikah dengan Larson dan mereka hidup berbahagia, sekurang-kurangnya sampai terjadi insiden dengan Gerda.
Yang namanya main api, suatu saat pasti akan terkena abunya. Demikian pula hubungan luar pagar yang dilakukan Larson dengan Gerda. Apalagi rupanya, Gerda sangat terkesan dengan nikmatnya buah apel yang mereka cicipi sehingga ia tidak bisa melepaskan Anders. Bahkan ia menginginkan Anders menceraikan Karine dan menikah dengannya. Sebagai wanita ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya, sehingga tak ada seorang pun di Overlida yang tidak mengetahui hal itu. Yang jelas, keterusterangan itu ternyata menimbulkan masalah antara Anders dan istrinya. Meski Karine tidak begitu terganggu, Anders merasa malu dan menyesal. Gerda merasa frustrasi berat, karena setelah itu, baik Larson maupun penduduk setempat malah menertawakan dirinya.
“Buktikan jika kau bisa menemukan saksi yang melihat Gerda berada dekat rumah Larson pada hari Sabtu dan aku akan bekerja sama dengan Harverstrom untuk mencari waktu kematian yang lebih pasti! Kita ‘kan sudah mengetahui motifnya,” ujar Inspektur menantang para koleganya.
Meskipun pada akhirnya berhasil ditemukan saksi yang melihat keberadaan Gerda beberapa ratus meter dan rumah keluarga Larson, persoalannya tidak menjadi lebih mudah. Pasalnya, alibi orang tersebut kuat. Maklum waktunya kira-kira tengah malam.
“Tidak cocok dengan jam terjadinya peristiwa,” kata Inspektur. “Halverstrom dan petugas laboratorium sedang melakukan tes dan mereka hampir sampai pada kesimpulan bahwa Ny. Larson disekap di ruang sauna sekitar pukul 19.00. Pada tengah malam Ny. Larson pasti sudah tidak sadar dan hampir mati.”
“Bagaimana mereka sampai pada kesimpulan itu?” kata Sersan dengan nada penuh keheranan.
Tanpa berkata apa-apa Inspektur mengeluarkan laporan hasil tes yang dilakukan pada bangkai sapi yang beratnya kurang lebih sama dengan berat tubuh Karine Larson. Uji coba itu dilakukan di ruang sauna, tempat Karine menemui ajalnya. Hasilnya memberi petunjuk bahwa awal penderitaan Karine dimulai sekitar pukul 19.00, ketika ia berusaha untuk keluar dari perangkap mematikan itu. Perjuangan Karine berakhir dalam waktu 3 jam sebelum ia putus asa. Dugaannya, waktu itu pukul 22.00. Dalam keputusasaan masih ada waktu sekitar 3 jam lagi, sebelum maut menjemputnya. Waktu menunjukkan sekitar pukul 01.00 dini hari.
Untuk mengembalikan suhu tubuh sama dengan suhu ruangan, minimal diperlukan waktu sedikitnya 2 jam mandi sauna. Diperhitungkan saat itulah polisi tiba di TKP atau bisa juga ketika mayat Karine ditemukan Eric Larson.
“Penemuan mayat itu pasti sebelum pukul 19.00. Tidak lebih,” kata Sersan sambil memegang lembaran kertas. “Cocok dengan pernyataan Larson, istrinya pergi ke ruang sauna pukul 19.00. Padahal satu-satunya orang yang melihat Gerda Andreson menyatakan waktunya sekitar tengah malam.
Istrinya main gila
Inspektur mengecek catatan waktu itu pada kertas lembaran.
“Jika waktunya mundur sedikit, Karine bisa menurunkan kembali termostat dan memindahkan benda apa pun yang mengganjal pintu,” katanya, “tetapi jika waktunya malam hari, Ny. Larson pasti belum mati.”
“Andreson tidak mengetahui hal itu,” kata Sersan. “Setelah 5 jam di neraka tersebut Ny. Larson tidak bisa bertahan. la mungkin meninggal setelah temperatur turun kembali.”
“Tampaknya sangat logis,” kata Inspektur. “Akan aku lihat apa yang dikatakan oleh Halverstrom dan para petugas itu.”
Dokter dan para ahli laboratorium setuju bahwa teori Sersan pun masuk akal dan Inspektur memerintahkan untuk menahan Gerda Andreson. Gerda diperingatkan akan hak-haknya dan ia ditanyai apakah sudah siap untuk membuat suatu pernyataan. Gerda menyatakan siap. Menurutnya, ia merasa dirinya tidak bersalah jika dicurigai terlibat dalam kematian Karine Larson. Ia juga tak punya alasan menginginkan kematian Karine.
Ketika didesak dengan alasan kemungkinan berniat merebut Anders Larson dari sisi Karine, ia menolak.
“Tidak,” kata Nona Andreson. “Saya tak lagi tertarik pada Anders. Delapan tahun adalah suatu waktu yang lama dan ia sudah berubah. Bahkan jika Karine menceraikan Anders, saya ....”
“Karine menceraikan Anders?” Inspektur menginterupsi dengan heran. “Mengapa? Apakah karena Anda?”
Gerda Andreson tertawa, meskipun tanpa rasa humor.
“Karena kekasihnya sendiri,” katanya. “Karine tidak bisa setia kepada Anders seperti juga suaminya terhadap dia.”
“Jadi Karine juga punya simpanan lelaki lain? Apakah suaminya tahu?” tanya Inspektur.
“Tentu saja,” kata Gerda. “Justru sayalah yang mengatakannya. Saya pernah usul kepada Anders agar pulang ke rumah sore hari tanpa setahu Karine. ‘Lantas ikuti ke mana istrimu pergi. Siapa tahu suatu saat nanti kalau kau sakit bisa periksa dokter gratis.’”
“Diperiksa secara gratis?” tanya Inspekrur.
“Ya, karena kekasih Karine adalah seorang dokter,” kata Gerda. “Dr. Arnold Joestrom. Ia praktek di luar Kota Boras, di jalan menuju ke Overlida.”
“Baiklah, sekarang bagaimana?” kata Sersan.
Meskipun Inspektur tidak lagi menganggap Gerda sebagai orang yang dicurigai, ia tidak ingin segera membebaskan wanita itu karena takut Gerda akan bicara mengenai apa yang sudah dikatakannya kepada polisi.
Tertangkap basah di ruang praktik
“Kita harus mengecek pernyataannya,” kata Inspektur. “Jika apa yang dikatakan Gerda benar, Larsonlah pembunuhnya. Tapi sulit bagiku untuk percaya, ia berada di dapur minum-minum sendirian sampai mabuk, sementara ia tahu persis istrinya perlahan-lahan sedang menuju kematian di tempat yang hanya berjarak 3 meter di bawahnya. Di lain pihak, ia mengaku berada di dapur pukul 19.00 dan jika ada orang yang tahu bagaimana mengganjal pintu ruang sauna, dialah orangnya.”
“Belum terlihat bahwa pintu itu bisa diganjal,” kata Sersan. “Apakah kita tidak perlu membuat suatu pernyataan tertulis?”
“Mungkin,” kata Inspektur. “Tetapi kita tahu pintu itu diganjal karena kau pergi ke sana dan menemukannya. Aku akan memanggil dr. Joestrom.”
Kenyataannya, Inspektur tidak memanggil dr. Joestrom, yang ternyata seorang ahli kandungan. Tetapi semua informasi yang diperlukan bisa diperoleh dari sekretaris sang dokter.
Menurut sekretaris itu, ia melihat foto Anders Larson di surat kabar dan mengenalinya sebagai laki-laki yang datang ke kantornya pada tanggal 25 Januari tahun itu.
Saat itu dr. Joestrom sedang menjamu kekasihnya di kamar periksa dan tiba-tiba Larson menghambur masuk meskipun si sekretaris sudah berusaha mencegahnya. Ny. Larson sedang tergeletak di ranjang periksa sementara kekasih gelapnya dalam keadaan setengah telanjang.
Anehnya, masih menurut sang sekretaris, Ny. Larson justru tenang-tenang saja menghadapi keadaan itu. Malah ia mengatakan kepada suaminya, sungguh kebetulan Larson tahu hubungan gelapnya dengan Joestrom. Ia memang sudah punya rencana untuk menceraikan suaminya.
Interupsi kehadiran Anders ternyata tidak mengganggu acara Ny. Larson dan si dokter. Buktinya, setelah itu dengan cuek mereka melanjutkan kencannya.
“Melanjutkan?” tanya Inspektur. “Apa yang dilakukan Larson?”
“Ia segera pergi,” kata si sekretaris.
Inspektur yakin ia tahu pasti apa yang dilakukan Larson setelah itu. Namun untuk bisa membuktikannya sehingga bisa memuaskan hakim, memang bukan pekerjaan yang gampang. Motif pembunuhan pun sudah kuat. Masalahnya, apakah pengadilan percaya sopir taksi bertubuh gemuk dan botak itu mampu melakukan tindakan keji, apalagi mengingat ia tidak pernah melakukan pelanggaran lalu lintas selama hidupnya. Lain halnya jika Larson mengaku.
Inspektur tidak yakin Larson akan mengaku. Sejauh ini Larson tidak pernah mengaku. Ceritanya pun sangat sederhana, sehingga sulit untuk membuktikan kesalahan itu. Larson dan Karine bertengkar. Ia pergi ke dapur untuk minum sampai mabuk. Sedangkan Karine pergi ke ruang sauna. Itu saja yang selalu diucapkannya.
Sekembalinya di kantor, Inspektur mendapat laporan bahwa Sersan telah pergi ke rumah Larson dengan anggota tim laboratorium dan mencoba berbagai cara yang memungkinkan untuk mengganjal pintu ruang sauna. Karena pikirannya selalu terganggu dengan misteri kasus ini, Inspektur tak mampu berkonsentrasi untuk mengerjakan tugasnya yang lain. Itulah sebabnya ia kemudian memutuskan untuk berangkat ke Overlida!
Di sana ia mendapati Sersan dan para petugas sedang melakukan percobaan dengan sejumlah papan berat yang ditemukan tertumpuk di sisi lain ruang bawah tanah itu. Mereka menganalisis apakah bisa mengatur papan-papan itu untuk mengganjal pintu ruang sauna dengan cara memakunya ke dinding yang berlawanan.
Tampaknya percobaan ini sia-sia karena jaraknya terlalu jauh. Papan-papan itu harus dikencangkan bersama-sama dan tak ada bekas-bekas lubang paku atau sekrup pada papan-papan tersebut.
Rupanya hanya Inspektur yang mengamati bahwa ujung dua lembar papan dipotong miring, sementara ujung yang lainnya dipotong rata.
Hal ini pun belum segera menjelaskan segalanya, tetapi pada proses coba-mencoba, akhirnya ditemukan kemungkinan, jika papan-papan itu dipasang menyilang seperti huruf X di atas pintu kamar sauna, bisa dipaku ke bingkai. Dengan demikian pintu tidak bisa dibuka. Akhirnya, misteri pintu yang diganjal itu sudah terpecahkan.
Ketika dihadapkan pada pernyataan sekretaris dr. Joestrom, Gerda Andreson, dan penemuan bagaimana cara mengganjal pintu, Larson menjadi emosional dan mengakui pembunuhan itu.
Menurutnya, ia tidak bisa menerima usul perceraian tersebut. Pada tanggal 10 Mei 1985 Larson dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. (John Dunning)
Baca Juga: Dua Permadi Tewas di Luar Pentas
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553643231/saling-selingkuh-berakhir-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672934910000) } } [5]=> object(stdClass)#117 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561100" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#118 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/rahasianya-tersimpan-di-garasi_a-20221111033215.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#119 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(133) "Bob memberitahu temannya, Ben, bahwa salah seorang sahabat mereka, Pete, ditemukan tewas di garasi. Diduga pete bunuh diri. Benarkah?" ["section"]=> object(stdClass)#120 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/rahasianya-tersimpan-di-garasi_a-20221111033215.jpg" ["title"]=> string(30) "Rahasianya Tersimpan di Garasi" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 15:32:39" ["content"]=> string(22791) "
Intisari Plus - Bob memberitahu temannya, Ben, bahwa salah seorang sahabat mereka, Pete, ditemukan tewas di garasi. Dari jejak yang ada diduga pete bunuh diri. Apakah kenyataannya juga demikian?
-------------------
Perkenalkan, nama saya Ben Pierce. Saya salah seorang penyanyi anggota kuartet Gross National Product. Harap Anda tidak menanyakan mengapa kami memilih nama itu. Keempat anggota Gross National Product (GNP) mempunyai pekerjaan di bidang lain. Menyanyi buat kami adalah hobi. Yah, mendinganlah, daripada minum-minum atau keluyuran enggak karuan. Kebetulan, kami berempat merasa sehati dan sejiwa. Pas dan kompak jadinya.
Pete Starr, juga personel GNP, bahkan menjadi salah satu sahabat terbaik saya. Pete mempunyai tetangga seorang Letnan Polisi bernama Stein, lengkapnya Bob Stein yang diperkenalkan pada saya beberapa tahun silam. Waktu itu Bob hendak meminta bantuan saya menangani beberapa kasus kriminal. Secara tidak resmi tentu saja, saya ‘kan orang sipil. Sejak itu, kami bertiga seperti lebih dari sekadar sahabat. Kami juga sering saling bantu dalam banyak hal.
“Bom” di siang hari
Siang itu, jauh sebelum jam kantor bubar, Bob menelepon. Dia memang suka menelepon saya sesuka hati. Maklum, saya pensiunan, sedangkan jam kerja polisi tahu sendiri, tak kenal waktu. Tapi teleponnya kali ini berisi “bom”. Saya sendiri saat itu sedang berada di ruang bawah tanah toko saya. Di tempat itu saya biasa mengerjakan kayu, perhiasan, maupun mengutak-atik peralatan elektronik. Saya tidak memasang interkom. Alat itu percuma saja, tidak bisa bersaing dengan bunyi berisik gergaji listrik.
Kalau bos - maksud saya istri - membutuhkan saya, dia tinggal menghantam-hantamkan kakinya ke lantai. Trik itu tidak pernah gagal, seperti sekali itu. “Kelihatannya Bob ada masalah ... aku tidak tahu apa,” bilang si bos, begitu saya nongol dari ruang bawah tanah. Saya segera menyambar gagang telepon. “Ben? Aku di rumah Pete. Pete meninggal,” kata-kata Bob begitu singkat, tapi membuat saya sangat terperanjat. Dia pasti sangat terpukul sehingga tak sempat merangkai kata yang lebih indah.
Kalau empat orang membentuk kuartet, tentu ada sesuatu yang mempertautkan mereka. Sebuah ikatan yang tidak tepat disebut persahabatan atau rasa kasih sayang belaka. Kami saling tergantung dalam menciptakan suara. Saya pernah melihat pemain basket anggota Harlem Globetrotters melemparkan bola ke belakang dengan penuh kepercayaan, tanpa menoleh. la tidak mengandalkan harapan, ia tahu seorang rekannya pasti ada di sana. Seperti itulah kira-kira hubungan kami.
Beberapa saat saya terbengong, menatap gagang telepon. “Oh ...!” kata saya setelah tersadar. “Kita tahu, kesehatannya memang tidak fit 100%, tapi siapa yang menyangka ia bakal meninggal mendadak. Serangan jantung?” saya bertanya. Tak disangka, Bob ternyata masih punya kejutan lain, sebuah “bom” yang lebih dahsyat. “Ben, dia ditembak ..., kelihatannya dibunuh. Eunice yang menemukan. Aku masih sibuk memeriksa. Sebaiknya, kamu dan Dot datang ke sini. Ben ..., kamu masih mendengarkan?”
“Ah ... ya. Aku mendengarkan. Apa sebenarnya yang terjadi?” jawab saya tergagap. “Belum tahu. Tapi kelihatannya Eunice perlu didampingi,” ujar Bob sebelum meletakkan gagang telepon. Si bos tidak pernah memerlukan banyak kata-kata. “Pete, ya?” tanyanya. “Ya, mari kita pergi.”
Peluru tembus kening
Di rumah Pete, tiap orang seperti sibuk dengan perasaan dan pekerjaannya masing-masing. Tak banyak kata-kata terucap, karena fakta sudah berbicara dengan sangat lengkap. Saya dan Dot pulang setelah anak-anak Pete yang tinggal di asrama sekolah diberi tahu. Eunice, istri Pete, diberi obat penenang oleh dokter dan segera diurus oleh penyanyi tenor kami dan istrinya.
Di rumah, kami meneguk minuman dan mencoba menonton televisi, walaupun pikiran kami tidak ke sana. Saat itulah Bob muncul. Ternyata kami bertiga sama-sama belum makan dan merasa tidak berselera sedikit pun. Jadi, bos hanya menghidangkan minuman untuk Bob. “Terima kasih,” katanya. “Sebetulnya, aku tidak boleh minum saat bertugas. Ben, mau kamu menceritakan semua yang kamu tahu tentang Pete Starr?”
“Lo, Bob! Kamu ‘kan tinggal di sebelah rumahnya. Aku cuma bernyanyi dengan dia. Pasti kamu lebih tahu tentang dia. Kami justru ingin kamu yang bercerita. Apa sebenarnya yang menimpa Pete?”
“Tenang, tenang. Kamu dulu. Aku ‘kan sedang menjalankan tugas. Kamu tahu, Pete itu ....”
“Ya, baiklah. Pete memang seorang bariton alami yang baik, tetapi ia tidak bisa membaca not. Orangnya tenang, tidak mudah goyah dan hidupnya lurus. Aku belum pernah mendengar orang berkata buruk tentang dia. Dia juga bukan orang kaya, rumahnya sangat sederhana. Kebutuhan sehari-hari dicukupinya dengan menjadi pedagang keliling peralatan pertukangan. Ia cinta keluarganya dan kita semua mencintai dia. Nah, sekarang giliranmu!”
Saat itu bos datang dan mencium bagian botak di kepala saya.
“Pete sendirian di rumah,” Bob mulai bercerita. “Eunice mengunjungi ibunya dan baru kembali menjelang sore. Pete berjanji menjemputnya di terminal bus. Ketika Pete tidak muncul, Eunice lalu menelepon ke rumah, tapi tak mendapat jawaban. Akhirnya, Eunice pulang dengan taksi. Eunice menemukan Pete di garasi tokonya. Kening kanannya bekas ditembak. Pintu garasi terpentang lebar. Senjata penembaknya tidak ditemukan. Dompet Pete berada di dalam kantungnya, berisi uang kira-kira 20 dolar. Menurut Eunice, tidak ada barang yang hilang. Baru itulah yang kami ketahui sampai saat ini.”
Bos membuka mulut, tetapi tidak jadi berbicara. Ia segera meninggalkan ruangan. Bob dan saya saling berpandangan sejenak, lalu Bob pamit. “Terima kasih untuk scotch-nya,” katanya. Padahal yang kami suguhkan bukan wiski, tapi bourbon. Saat itu kami semua memang sedang bingung. Benar-benar bingung!
Di mana senjatanya?
Seminggu kemudian baru saya bertemu lagi dengan Bob. Dia datang ke rumah saya seraya menjatuhkan dirinya ke kursi yang biasa dia duduki di dapur. Wajahnya terlihat masygul. “Bob,” kata bos. “Aku rela mengelap borgolmu sampai mengilap, kalau itu bisa membuatmu lebih ceria. Apa lagi yang terjadi?”
“Kapten tidak mengizinkan aku menangani kasus Pete. Katanya, aku memiliki hubungan pribadi dengan Pete. Aku juga baru tahu kalau Pete sakit parah. Walaupun tidak tewas oleh tembakan, umurnya diperkirakan tidak akan panjang. Fakta itu didapat dari hasil autopsi. Eunice juga tidak tahu. Menurut dokter pribadinya, kondisi Pete sudah ketahuan saat dia menjalani pemeriksaan rutin. Tampaknya, ia tidak memberi tahu siapa-siapa.”
“Bulan lalu Pete membeli polis asuransi yang besar. Eunice bakal mendapat uangnya kalau ia meninggal. Kalau Pete meninggal lantaran kecelakaan, istrinya akan mendapat bayaran asuransi dua kali lipat. Namun, kalau matinya karena bunuh diri, Eunice cuma akan mendapat premi yang telah dibayarkan, plus bunga.”
“Bagaimana dengan senjata apinya?”
“Pete kena tembakan dari jarak dekat dan di tangan kanannya ditemukan sisa-sisa mesiu. Kata Eunice, mereka punya sebuah Luger tua, bekas Perang Dunia II. Senjata itu biasa disimpan di laci kamar tidur. Ketika kami cari, ternyata sudah tidak ada. Nah, peluru yang menewaskan Pete berukuran 9 mm, pas dengan ukuran Luger. Kami temukan selongsong pelurunya, mereknya cocok dengan kotak di laci kamar tidur, tempat Luger itu biasa ditaruh.”
Bob terus berbicara. “Alice Barnes, tetangga Pete, melihat Pete masuk rumah sendirian. Tak ada gelandangan, orang yang menawarkan barang dari rumah ke rumah, atau mobil tak dikenal. Semua mengarah pada kasus bunuh diri. Polisi sudah ingin memutuskan demikian. Masalahnya, ke mana senjata apinya? Kata dokter polisi, kematian Pete terjadi saat itu juga. Jadi, tidak mungkin dia membuang dulu senjatanya.”
Bos berpikir. “Bob, kenapa kamu tidak mempertimbangkan kemungkinan Eunice terlibat?”
“Tentu saja kami mempertimbangkannya, tapi menurut dokter ahli forensik, Pete sudah tewas saat bus Eunice masuk ke terminal. Supir taksi yang mengantar Eunice melapor ke kantornya dengan radio saat menurunkan Eunice dan laporan itu tercatat di perusahaan taksi. Polisi juga mencatat saat Eunice menelepon 911. Beda waktu antara dia turun dari taksi dan menelepon polisi hanya empat menit. Kurang dari lima menit kemudian polisi patroli tiba. Saat itu, Eunice terlihat sangat kebingungan, rasanya tidak mungkin ia menyembunyikan senjata itu secara saksama, sehingga tidak bisa ditemukan polisi. Lagi pula, ia tidak tahu perihal asuransi suaminya.”
Jejak peninggalan Pete
Hari demi hari berlalu. Keadaan sudah mendekati normal. Anak-anak Pete Starr sudah kembali ke asrama sekolah masing-masing. Eunice mula-mula pindah ke tempat ibunya, tetapi cuma sebentar. Dia pulang dan kembali bekerja paruh waktu. Perusahaan asuransi pun membayar polis Pete, meski dengan berat hati. Gross National Product sempat vakum, sebelum menemukan penyanyi bariton baru dan memutuskan membentuk kuartet kembali.
Sebagai sahabat, saya tidak tahu bagaimana cara Bob menanggulangi kegalauan hatinya. Kami jarang bertemu. Saya sendiri mencoba menghalau kerisauan dengan menyibukkan diri di bengkel bawah tanah. Sampai suatu hari, saya beri tahu bos. “Aku akan menelepon Eunice. Pete ‘kan punya segarasi penuh peralatan, sampel, dan barang-barang lain yang dulu tidak bisa dia jual. Aku akan memeriksa barang-barang itu dan memborongnya dengan harga yang wajar.”
Bos menatap tajam. “Kamu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ....”
“Tidak. Aku bisa memanfaatkan barang-barang itu, Eunice tidak.”
“Ben,” katanya. “Kalau kamu menemukannya, jangan beri tahu aku. Aku sungguh berharap kamu tidak didahului Bob. Kasihan dia. Dia sama risaunya dengan kita.” Ah, ternyata nurani bos pun sama terganggunya dan ternyata dia juga tidak pernah berhenti berpikir.
“Aku tidak paham apa maksud kamu. Kalau ada yang perlu kamu risaukan, pikirkan saja apakah obat untuk menurunkan tekanan darahku lebih manjur daripada sebelumnya.”
Di rumahnya, Eunice menyambut saran saya dengan senang hati. “Untung ada kamu, Ben. Sisakan saja aku palu, tang, sebuah obeng besar, dan sebuah obeng kecil.” Dengan restu Eunice itu, keesokan harinya saya memarkir kendaraan di depan garasi Starr yang muat dua mobil. Rumah Bob di sebelahnya gelap. Station wagon Pete yang sudah setengah tua berada di salah satu garasi. Bagasi mobilnya penuh dengan contoh barang-barang dagangan. Garasi yang satu lagi dijadikan toko.
Saya mengeluarkan buku catatan untuk menginventarisasi peralatan yang ada di sana. Tidak sulit, sebab semuanya dipajang. Pete termasuk orang yang senang menggantungkan peralatan di dinding. Sebuah bangku kerja yang panjang dan kokoh terdapat di sepanjang salah satu dinding. Di atasnya ada papan tempat peralatan. Papan plywood itu dipakukan memanjang ke tiang-tiang tempatnya menempel.
Orang yang berdiri di dekat bangku bisa meraih peralatan yang digantung di papan itu. Papan yang dicat rapi. Batas tempat setiap peralatan yang berbeda ditandai dengan warna berbeda pula. Toko itu merupakan kebanggaan Pete. Saya mencatat semua peralatan yang ada pada papan. Setelah itu saya memeriksa isi station wagon, lemari-lemari, dan sejumlah dus. Dalam dus-dus itu terdapat barang-barang yang boleh dikatakan sudah tidak sempurna, tetapi rupanya sayang kalau dibuang.
Sambil bekerja, saya memasang mata dengan saksama. Pasti Bob dan rekan-rekannya dulu juga begitu. Sulitnya, saya tidak begitu yakin apa yang saya cari. Sehingga ketika saya melihatnya, hampir saja luput dari perhatian. Perhatian saya tertarik pada satu bagian dari papan tempat menaruh peralatan itu. Sepanjang tepi atas papan, antara dua tiang penyangga tempatnya menempel, ada baret-baret dan bekas benturan yang kelihatannya masih baru.
Saya meraba-raba bagian bawah antara dua tiang penyangga itu. Ternyata ada sepotong kayu yang dipakukan di antara kedua tiang itu. Saya periksa penyangga-penyangga lain. Tiang-tiang penyangga yang lain bagian bawahnya tidak ada yang dipasangi kayu seperti itu. Saya pikir, kalau ada benda dari tepi atas papan tempat menaruh alat jatuh ke celah di belakangnya, pasti akan terjebak di sana. Pasalnya, kayu tambahan yang dipakukan antara kedua bidang itu bakal mencegahnya jatuh ke lantai. Aneh sekali.
Saya tahu, kalau saya berdiri di bangku pun, tetap tidak bisa mengintip lewat tepi atas papan ke celah itu. Terlalu gelap. Saya perlu lampu senter dan cermin. Lampu senter ada di mobil, tapi dari mana saya bisa memperoleh cermin? Ketika sedang berpikir, mendadak pintu terbuka dan Bob Stein masuk. Gayanya santai saja, tapi matanya sibuk mengamati sekeliling.
“Malam, Ben. Aku sedang duduk di sebelah memikirkan setan apa yang bisa menggoda hati nurani seseorang ketika kulihat mobilmu. Aku pikir, sebaiknya aku singgah untuk menanyakannya padamu. Ternyata kamu sedang membongkar-bongkar peralatan berharga ini. Rasanya aku perlu menangkapmu. Kalau kelakuanmu baik, kamu bisa keluyuran lagi di jalan setahun kemudian.”
“Eh, dengar, Pak Polisi! Pernah mendengar tentang perlunya surat perintah untuk menangkap dan menggeledah rumah? Kamu tidak bisa begitu saja nyelonong ke sini. Ini bukan Rusia, tahu? Lagi pula aku sudah mendapat izin dari pemiliknya. Coba tangkap, aku tuntut semua polisi dan kujadikan barak kalian tempat bermain boling! Asyik ‘kan punya tempat main boling.”
“Wuah! Kalau begitu, aku pasti bukan tandingan penjahat nekat macam begini. Hei, Ben! Kamu tidak menyembunyikan sesuatu ‘kan?” Saya mengabaikan pertanyaannya dan menjelaskan misi saya di garasi Pete. Tahap pertama, inventarisasi dan penaksiran harga sudah selesai. Lalu saya mengeluh karena polisi di depan saya ternyata tidak sedikit pun punya inisiatif mengundang saya minum bir di rumahnya yang berjarak hanya beberapa meter.
Setelah minum bir, saya pulang. Di rumah, bos mencium bau bir dan bertanya di bar mana saya barusan minum-minum. “Saya tidak ke bar kok. Cuma menginventarisasi peralatan di rumah Pete, kebetulan bertemu Bob.”
Bermodal pancingan
Keesokan harinya, pagi-pagi saya sudah asyik bekerja di ruang kerja saya di bawah tanah, memotong dan memelintir kawat gantungan baju untuk membuat semacam pancingan panjang setengah kaku. Ujung kawat itu diberi kait. Saat bos pergi ke toserba, saya mengambil cermin kecil dari salah satu tasnya. Benda-benda itu kemudian saya masukkan ke mobil, bersama sebuah lampu senter dan sepasang sarung tangan kerja.
Malamnya, sebelum berangkat kembali ke rumah Pete, saya menelepon Bob, tapi teleponnya tidak diangkat. Dua puluh menit kemudian, saya telepon lagi dia, masih juga tidak ada jawaban. Jadi, saya telepon Eunice untuk memberi tahu kedatangan saya ke garasi Pete untuk menyelesaikan pekerjaan.
Begitu tiba di garasi Pete, saya tidak membuang waktu. Setelah mengenakan sarung tangan, saya berlutut di bangku. Lalu mengarahkan cermin pada sudut tertentu antara dua tiang penyangga yang di bagian bawahnya dipasangi kayu. Kemudian saya senteri dengan lampu. Waktu saya intip, benar saja! Luger ada di situ, berada di atas sebuah benda. Pakai kawat, saya coba “pancing” benda itu. Beberapa menit kemudian, benda itu terangkat. Ternyata sebuah pemberat jendela geser, yang terikat pada pengaman pelatuk Luger oleh seutas tali venetian blind.
Jelaslah apa yang dilakukan Pete. la menggantungkan pemberat itu di balik papan tempat perabot. Talinya melewati bagian atas papan dan ujungnya diikatkan ke Luger. Tali itu diregangkan. Setelah tembakan dilepaskan, pemberat itu menarik senjata api dari tangan Pete. Benda itu terseret ke atas dan setelah melewati tepi papan lalu jatuh ke balik papan, sehingga tersembunyi. Bukan main!
Saya periksa senjata api itu dengan hati-hati. Masih ada satu peluru di dalamnya, saya keluarkan. Pete pasti sudah berlatih beberapa kali sehingga berhasil. Baret-baret dan bekas hantaman senjata pada papan mestinya bekas latihan itu. Saya potong tali yang menghubungkan senjata dengan pemberat jendela geser, lalu membuangnya ke tempat sampah. Sementara pemberat jendela saya lemparkan ke dalam salah sebuah kardus. Senjata dan pelurunya saya kantungi.
Saya keluar rumah Pete sambil sedikit menyesali karena perusahaan asuransi yang membayar Pete adalah juga perusahaan yang menangani pensiun saya. Saya mengendarai mobil tetapi tidak langsung ke rumah. Berputar sedikit, melewati jembatan di batas kota. Air sungai di bagian ini lumayan dalam. Setiap musim semi, banjir menghanyutkan benda-benda yang kecemplung di dalamnya.
Keesokan harinya, si bos tampaknya melihat saya jauh lebih pendiam. Untungnya, dia sudah paham betul pelbagai macam suasana hati saya. Sampai akhirnya, ketika menjelang petang, ia menegur pendek, “Ada apa, Ben? Masih berusaha menenangkan hati nurani?” Saya cuma diam, tak tahu harus menjawab apa.
Tak lama kemudian, mobil Bob yang kecil itu berhenti di muka rumah kami. Dari suaranya, jelas mobil itu perlu di-tune-up. Lalu saya ingat, saya belum membaca koran. Saya bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan ada sesuatu di koran yang mengungkapkan hasil petualangan saya semalam. Saya makin bertanya-tanya, karena Bob justru kelihatan sangat gembira. la segera menerima tawaran makan malam bersama kami, meski bos bilang menunya hanya meatloaf, pas untuk tiga orang.
“Meatloaf buatan orang lain jauh lebih enak daripada steak buatanku sendiri,” katanya. Bob memang seorang duda. Selesai makan, ketika bos pergi mengambil pecan pie sisa kemarin untuk hidangan pencuci mulut, saya bertanya apakah sudah ada kemajuan dalam penyelidikan kasus Pete. “Tidak,” katanya dengan ayal-ayalan. “Peristiwanya sudah terlalu lama. Menurut dugaan orang-orang di barak, siapa pun yang menembak Pete, kelihatannya tidak bakal ketahuan. Aku pribadi yakin, senjata yang menewaskannya tidak bakal ditemukan, setidaknya ... sekarang.
“Kok begitu?”
Bob berhenti sebentar. “Semalam aku lewat di jalan yang sama sesaat setelah kamu meninggalkan rumah Pete. Kamu tidak melihatku. Saat itu kelihatannya perhatianmu cuma tertuju ke satu arah. Kamu menyetir dengan kepala tegak dan kaku. Karena itu aku mengikutimu. Kamu enggak cocok jadi pelanggar hukum, tahu? Kamu tidak pernah menoleh ke belakang.”
“Kamu mengikuti saya sampai ke rumah?”
“Tidak, cuma sampai di jembatan.” (George Ingersoll)
Baca Juga: Jebakan Buat Pangeran Hitam
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561100/rahasianya-tersimpan-di-garasi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668180759000) } } [6]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517501" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/lupa-buang-sampah_sigmundjpg-20221009075349.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(121) "Voni ditemukan tewas di kamar kosnya dengan 2 setrip obat tidur yang sudah terpakai. Benarkan ia tewas karena bunuh diri?" ["section"]=> object(stdClass)#124 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/lupa-buang-sampah_sigmundjpg-20221009075349.jpg" ["title"]=> string(17) "Lupa Buang Sampah" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 19:54:03" ["content"]=> string(28247) "
Intisari Plus - Voni ditemukan tewas di kamar kosnya dengan 2 setrip obat tidur yang sudah terpakai. Benarkan ia tewas karena bunuh diri?
-------------------
Jam dinding di ruang penjagaan menunjukkan pukul 15.30 sewaktu Edi Richardo melangkah keluar dari ruang Kapolres. Langkahnya terlihat Iebih lesu. Wajahnya pun kusut.
Maklum, hari itu ia kurang istirahat. Sejak subuh bersama rekan satu timnya ia mengintai sebuah rumah yang dicurigai menjadi sarang transaksi narkoba. Sialnya, 10 jam lebih mereka menunggu, tak ada tanda-tanda apa pun di sana.
Edi melangkah menuju ke ruang kerjanya di Unit Reserse Kriminal. Alangkah senangnya polisi muda berpangkat Inspektur Dua itu, karena ternyata ruangan sedang kosong. “Ah, kebetulan,” pikirnya.
Jaket hitamnya dilepaskan dan ditaruh di sandaran kursi, lalu ia merebahkan diri di sebuah bangku kayu panjang. Buku petunjuk telepon yang tebal diraihnya dari meja dan dijadikannya bantal. Perlahan-lahan matanya mulai terpejam.
Tapi, belum lima menit Edi merasakan kedamaian itu, ponsel di saku celana jinsnya bergetar. Berkali-kali, seperti teror. Saat ponsel diambil dan dilirik, yang tertera di layar nama “Kapt. Valen”.
“Siap, Komandan!”
“Halo, Edi? Ada taruna di Jln. Kenanga Empat, Kampung Tiga.” Suara Kapten Valen, atasannya di Unit Reserse Kriminal, terdengar agak terputus-putus.
“Halo, ya, siap Komandan. Segera meluncur ke TKP.”
“Sebentar, Edi! Bukankah itu daerah tempat kamu tinggal?”
Edi tertegun sejenak, berusaha menyegarkan ingatan di antara rasa kantuk yang sebenarnya sudah tak tertahankan lagi.
“Betul, Komandan. Di Kampung Tiga. Tarunanya apa?”
“Mayat perempuan di kamar kos.”
Dua setrip obat tidur
Suasana Jln. Kenanga Empat sudah terlihat ramai sewaktu Edi tiba, setengah jam kemudian. Banyak orang berkerumun memenuhi jalan hingga ke depan TKP. Mereka berusaha melongok ke dalam bangunan rumah kos yang berpagar tinggi itu. Sekilas, terdengar beraneka pembicaraan tentang polisi, mayat, dan pembunuhan. Jalan itu jadi macet luar biasa.
Alis mata Edi mengernyit saat menyadari TKP memang benar berada di rumah kos, tempat tinggalnya selama dua bulan ini. la bergegas, namun terhalang kerumunan massa. Langkahnya baru leluasa setelah seorang polisi melambaikan tangan dan meminta seorang Hansip memberi jalan.
“Benar ini tempat kosmu?” Valen berbisik menyambutnya.
Edi mengangguk. Matanya mengawasi wajah orang-orang di sekitarnya.
Di hadapannya ada beberapa orang yang dikumpulkan Valen untuk dimintai keterangan. Ada lelaki pemilik kos, seorang perempuan pembantu rumah kos yang sudah dikenalnya, serta dua perempuan penghuni kos yang melaporkan bau tidak sedap dari kamar korban.
Seolah tak ingin kalah berpacu dengan matahari yang tampak mulai tenggelam, Valen segera mengajak Edi naik ke kamar korban di lantai dua. Keduanya beriringan menaiki tangga yang sempit dan curam. Seorang Hansip yang berjaga di depan sebuah kamar langsung memberi jalan begitu melihat kehadiran dua polisi itu.
Di dalam kamar, terlihat sesosok mayat perempuan muda dalam posisi terlentang di atas sebuah kasur spring bed. Mayat yang mengenakan daster itu, usianya masih tergolong muda. Sekitar 20 - 25 tahun. Sekilas, tidak terlihat tanda-tanda kekerasan terhadap korban, meski Edi tidak begitu yakin, mengingat tubuhnya mulai membengkak dan berbau.
Bersama Valen, Edi melakukan olah TKP. Jika dicermati lebih detail, di kamar 4x5 m itu tidak terdapat hal-hal yang menjurus ke arah perbuatan kriminal. Dompet korban berisi beberapa lembar uang lima puluh ribuan ditemukan tergeletak di meja. Di dekatnya ditemukan juga sebuah ponsel dalam keadaan mati dan sebuah kunci yang ternyata adalah kunci kamar.
Kesan adanya upaya korban bunuh diri tampak dengan ditemukannya dua setrip obat tidur di lantai. Obat yang setiap setrip berisi sepuluh butir itu semuanya sudah terbuka. Mungkinkah ini penyebabnya? Edi berpikir sejenak. Bunuh diri dengan minum obat tidur? Hmm, kayak di film atau sinetron saja.
Unit Reserse Kriminal yang dipimpin Komisaris Valen benar-benar menghadapi kasus pelik dengan penemuan mayat di rumah kos. Masalahnya, informasi awal yang mereka miliki amat minim. Hampir tak ada petunjuk apa-apa yang bisa menjelaskan motif peristiwa itu.
Korban diketahui bernama Voni Nirmala, gadis WNI keturunan Tionghoa, kelahiran Cilacap, berusia 23 tahun. la tinggal di rumah kos sejak empat tahun lalu, atau semasa masih berkuliah di sebuah universitas yang hanya berjarak 3 km dari tempat tinggalnya. Setelah lulus, ia bekerja sebagai penjaga perpustakaan di kampus itu.
Tapi yang menyulitkan penyelidikan polisi ternyata tidak ada penghuni lain di rumah kos yang benar-benar mengenal korban. Selain penghuni di rumah itu selalu berganti-ganti, menurut keterangan Ningsih, salah seorang saksi yang bekerja sebagai pembantu di rumah kos, korban termasuk pribadi yang tertutup.
Saksi yang baru empat bulan bekerja di rumah kos, menuturkan, Voni selalu pergi meninggalkan rumah pada pagi hari sekitar pukul 07.00 dan pulang sekitar pukul 17.00 atau 18.00. Selebihnya, korban hanya tinggal di dalam kamarnya dan hampir seakan tidak ada kontak lagi dengan dunia luar. Bahkan urusan pembayaran uang kos dilakukan lewat Ningsih.
Dalam pengamatan Edi, selain pribadi korban yang tertutup, situasi di rumah kos juga sangat mendukung terjadinya peristiwa yang tidak diharapkan. Rumah berlantai dua yang berbentuk seperti ruko itu amat tertutup. Di lantai satu ada empat kamar, di lantai atas enam kamar. Akses keluar masuk hanya melalui pintu gerbang kecil di depan rumah yang selalu terkunci. Tidak ada teras atau semacamnya.
Setiap kamar juga berdesain sama, berjendela tinggi yang sekaligus digunakan juga sebagai satu-satunya ventilasi. Kamar mandi tersedia di dalam kamar. Pada malam hari atau jika pendingin ruangan telah dinyalakan, dijamin penghuninya akan malas keluar kamar.
Di kota ini Voni tak punya sanak famili. Polisi baru berhasil menghubungi keluarganya setelah mendapat informasi dari tempat kerja korban, dua hari kemudian.
Dari pihak keluarga, polisi mendapat gambaran lebih jelas tentang pribadi korban. Sejak Voni meninggalkan kota kelahirannya, keluarga nyaris kehilangan kontak karena mereka jarang berhubungan. Kebetulan ayahnya sibuk, sedangkan ibunya sudah lama meninggal. Sesekali saja Voni menelepon ayahnya kalau perlu uang.
Menurut Alim Wijaya, ayah korban, sifat tertutup anaknya disebabkan Voni merasa bukan anak kandung, sehingga sering merasa minder dan menjauhkan diri dari pergaulan. “Kami juga tidak tahu apakah dia punya pacar atau tidak,” tutur Alim yang hanya bisa menangis di depan peti mati putrinya.
Sepeda motor berpelat “AD”
Peristiwa tragis di rumah kos di Kampung Tiga itu sebenarnya membawa berkah tersendiri bagi Inspektur Edi. Belum dua bulan ia menempati pos barunya di Unit Reserse Kriminal, sudah banyak hal yang bisa dipelajari dari senior sekaligus atasannya, Komisaris Valen.
Di mata anak buah, Kepala Unit bertubuh pendek itu terlihat begitu istimewa. la begitu dihormati karena prestasinya yang luar biasa. Selalu gigih dalam menuntaskan sebuah kasus dan tak lupa memberi motivasi kepada segenap anak buahnya untuk terus maju. Pendeknya, Valen adalah contoh polisi jempolan.
Apalagi atas perintah Kapolres, Edi diminta membantu Valen dalam penyelidikan kasus pembunuhan Voni. Ya, kasus Voni telah diubah statusnya menjadi kasus pembunuhan, setelah hasil otopsi menyatakan korban meninggal akibat arsenikum. Residu racun dalam kadar yang mematikan ditemukan dalam lambung korban.
Unsur arsenikum atau arsenik bukan berasal dari obat tidur, karena obat-obatan semacam itu tidak mengandung bahan mematikan. Malah korban sebenarnya tidak menelan obat tidur apa pun. Diduga, pembunuhnya sengaja meninggalkan kemasan kosong obat tidur agar tercipta kesan bahwa korban mati bunuh diri.
Korban meninggal tiga hari sebelum ditemukan, dengan waktu kematian tengah malam atau dini hari. Tak ada tanda-tanda kekerasan seksual, meski korban diketahui pernah bahkan sering berhubungan intim dengan lawan jenis. Tapi yang mengejutkan polisi, saat meninggal, korban sebenarnya sedang hamil tiga bulan!
Atas fakta-fakta itu, Edi mulai bergerak dan mengonsentrasikan penyelidikannya di sekitar tempat tinggal dan tempat kerja Voni. Merekonstruksi keseharian Voni sejak pagi hingga malam. Mencari berbagai kemungkinan kontak dengan orang lain yang bisa menjadi petunjuk.
Tapi, ketertutupan korban semasa hidupnya membuat penyelidikan berjalan tidak mudah. Dari sekitar 20 orang yang ditanyai di lapangan, nyaris tidak ada informasi yang cukup berarti. Umumnya, mereka mengaku tidak terlalu memperhatikan korban. Informasi sedikit berharga datang dari Rojak, 45 tahun, pedagang makanan di dekat rumah kos. Sekitar dua minggu sebelum pembunuhan, ia pernah beberapa kali melihat Voni diantar pria bersepeda motor Honda Astrea buatan tahun 1995 berpelat nomor “AD”.
“Yakin sekali, Pak. Honda Astrea tahun ‘95. Soalnya, saya pernah punya motor yang setripnya biru kayak gitu. Cuma, yang ini knalpotnya racing. Berisik bener bunyinya,” tutur Rojak mantap. Pembantu rumah kos juga mengaku pernah mendengar suara keras sepeda motor di depan rumah dan kemudian melihat korban masuk kamarnya. “Tapi saya tidak lihat orang yang naik motor.”
Walau diakui sulit, informasi tentang motor menjadi titik terang pertama kasus ini. Paling tidak, terbukti ada seseorang yang mengenal korban lebih dekat. Tapi siapa dia? Pacar atau sekadar teman? Karena jenis motor yang spesifik, informasi itu diteruskan ke bagian lalu lintas.
Penyelidikan terhadap tempat tinggal korban juga tak kalah menyulitkan. Meski ukurannya tidak terlalu besar, isi kamar itu sangat padat. Selain tempat tidur, ada meja komputer dan meja rias. Tapi yang menyita ruangan adalah dua rak berisi koleksi buku.
Awalnya, Edi cuma bisa tertegun memandang ratusan judul buku yang berjajar rapi. Koleksi buku itu kebanyakan berupa novel terjemahan setebal ratusan halaman, komik, serta bacaan fiksi lainnya. Edi agak kesulitan mencari cara yang mudah untuk menggali informasi dari sana. Selain karena ia juga tidak mau sembrono mengacak-acak buku-buku itu begitu saja.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba Edi menyadari ada sesuatu yang aneh. Ia sama sekali tidak menemukan buku yang bersifat pribadi seperti agenda, catatan harian, atau sejenisnya. Memang tidak semua orang yang suka membaca akan suka menuliskan sesuatu. Bahkan tulisan tangan Voni yang mungkin bisa menjadi kunci pembuka kasus ini juga tidak ditemukan.
Kembali ia mencoba fokus mencari-cari di rak buku di meja beserta laci-lacinya, bahkan akhirnya di seluruh kamar. Namun, hasilnya sia-sia.
Di tengah pencarian petunjuk yang melelahkan, setumpuk buku yang terletak di samping layar komputer, menarik perhatian Edi. Di antara buku-buku itu ada buku serial cerita Sersan Grung Grung, sebuah kisah petualangan seru seorang polisi dalam mengungkap peristiwa kejahatan, karya Dwianto Setyawan.
Satu judul dibacanya. Halaman demi halaman dibuka dan dibaca sekilas. Beberapa paragraf membuatnya tersenyum karena cara penuturannya sederhana sesuai sasaran pembacanya, yaitu anak-anak. Dia teringat, nama julukan Grung Grung diambil dari suara batuk si Sersan yang terdengar seperti berbunyi “grung-grung”.
Kenangan nostalgia Edi terhenti di saat ia menemukan secarik kertas biru muda berukuran kurang lebih 5x5 cm. Kertas yang biasa diikatkan pada suvenir pesta perkawinan itu rupanya dijadikan pembatas buku. Di situ tertulis pasangan Lianto - Susan, menikah 10 Desember 2005. Artinya, baru sekitar dua bulan sebelumnya!
Tengkuk Edi terasa sedikit berkeringat. la merasa menemukan satu petunjuk lain yang lebih jelas.
Diperiksa enam jam
Tidak terlalu sulit bagi polisi untuk menemukan petunjuk tentang pasangan pengantin di kertas suvenir perkawinan. Lianto, menurut catatan Valen, adalah salah satu bekas penghuni kos di lantai dua. Kamarnya hanya berjarak 6 m dari kamar Voni.
Setelah menikah, Lianto yang biasa dipanggil Anto, pindah ke rumah mertuanya. Tapi sehari-hari, pria itu masih sering terlihat di sekitar rumah kos, karena bekerja di sebuah apotek 24 jam yang letaknya di seberang jalan.
Pembantu rumah kos pun masih sering melihatnya beberapa kali muncul dalam sebulan terakhir. “Habis orangnya genit, suka ngegodain gitu,” tutur Ningsih, yang mengaku sering kesal dengan ulah pria yang disebutnya kurang ajar itu.
Polisi segera menjemput Anto di tempat kerjanya. Tapi, pemeriksaaan ternyata berjalan alot. Edi dan Valen kesulitan menemukan hubungan langsung antara Anto dan Voni. Anto bersikukuh menyatakan tidak mengenal korban. “Melihat, mungkin pernah. Tapi enggak kenal,” aku pria yang selalu membuka dua kancing atas kemejanya itu.
Saat ditunjukkan kertas suvenir perkawinannya yang ditemukan di kamar korban, ia bergeming. “Siapa tahu dia dapat dari sampah, lalu diambil jadi pembatas buku. Bisa saja ‘kan?” katanya dengan sikap agak menyebalkan.
Terlepas dari pengakuannya, Edi dan Valen mencurigai alibi Anto pada malam pembunuhan. Saat itu ia bertugas malam dan bekerja di ruang dalam apotek. Ada dua pekerja lain, seorang kasir dan seorang penjaga malam di ruangan depan, tapi keduanya tidak bisa terus-menerus memantau Anto. Apalagi saat itu hujan lebat, suasana sepi, dan tak ada pembeli yang datang.
Setelah hampir enam jam pemeriksaan berlangsung, Anto dibebaskan. Apalagi hampir bersamaan itu pula, masuk laporan dari bagian lalu lintas yang telah menemukan sepeda motor Honda Astrea mirip seperti yang dicari unit Reserse Kriminal. Karena ngebut, motor berplat nomor AD itu menabrak penjual jamu gendong hingga terluka parah.
Bagus, 23 tahun, pengendara motor yang kemudian ditahan, dihadapkan ke Edi dan Valen. Pemuda bertampang urakan ini mengaku salah dalam berlalu lintas, tapi ia tidak tahu-menahu soal Voni. Apalagi setelah dikatakan gadis itu sempat terlihat membonceng motornya sebelum meninggal, ia menjadi ketakutan. Kesaksian Rojak, pedagang makanan di dekat rumah kos, juga membenarkan bahwa sepeda motor Baguslah yang dulu dimaksudkannya.
Dengan gemetar, Bagus menyatakan, motor itu sering dipinjam Rochidi, teman satu kampungnya, untuk berbagai keperluan, antara lain untuk mengojek. “Mungkin perempuan itu penumpangnya Rochidi, Pak. Sumpah, saya tidak ada hubungannya,” tuturnya gemetar. Rochidi diketahuinya sering menarik ojek di sekitar kampus tempat Voni bekerja.
Melihat kesungguhannya, Edi meminta keluarga Bagus yang menunggu selama pemeriksaan segera menghubungi Rochidi di Wonogiri, Jawa Tengah. “Selama dia belum ditemukan, Bagus terpaksa menginap di sini,” tegas Edi.
File baru
Valen tahu benar kegusaran Edi yang mulai jenuh dengan penyelidikan kasus Voni. Karena sebenarnya tinggal selangkah lagi bagi mereka untuk mengungkapnya, yaitu jika ditemukan data atau saksi yang bisa menghubungkan di antara keduanya. Namun, justru di situlah letak kesulitannya.
Malam itu, Valen kembali mengajak Edi ke TKP. Valen hanya ingin memastikan tidak ada hal-hal yang terlewatkan selama Edi memeriksa kamar korban beberapa waktu sebelumnya. Di sanalah, sekali lagi, Edi harus memandangi ratusan buku di dalam rak tanpa tahu harus mencari apa dan mulai dari mana.
“Coba kau cari buku catatan hariannya. Biasanya, perempuan punya catatan-catatan kecil,” kata Valen memerintahkan
“Siap!” Edi tidak membantah, meski ia sudah pernah melakukannya berkali-kali tanpa hasil.
Sementara anak buahnva mencoba mencari-cari sesuatu di rak buku, mata Valen tertumbuk pada komputer di hadapannya. la mengamati benda itu cukup lama.
“Sudah kau periksa komputernya?” tanya Valen.
“Sudah. Datanya kosong. Cuma ada program-program biasa. Tidak ada data pribadi sama sekali.”
Seolah tidak mempercayai ucapan Edi, Valen menyalakan komputer berwarna putih kecokelatan yang tampak mulai diselimuti debu itu. Sistem operasi Windows XP ada di dalamnya hanya membutuhkan setengah menit untuk berproses sebelum semua bekerja sempurna. Tapi sampai beberapa saat setelah semua program terbuka, Valen hanya memandang layar monitornya dengan tatapan kosong. Entah, apa yang ada dalam pikirannya.
Tangannya kemudian terlihat menggerakan mouse. la mencoba beberapa program sebelum akhirnya berhenti pada program Microsoft Word. Di halaman baru program pengolah kata itu, jari-jarinya mengetikkan sebuah susunan huruf asal-asalan: 483qrnnf9845m saklt9-4t. Cukup singkat. Hasil ketikan itu lalu disimpan di dalam folder My Documents, dengan nama file “Test”. Valen kemudian mengarahkan kursor ke folder My Documents. Di sana, satu-satunya file, bernama “Test” tadi, dihapusnya. Sampai di situ, Edi hanya bisa menerka-nerka apa yang dilakukan atasannya.
“Bagaimana caranya supaya file yang tadi bisa muncul lagi?” tanya Valen.
Alis Edi terangkat. la berpikir keras. “Mungkin pakai unerase. Tapi caranya sudah agak lupa,” ujarnya sambil mengambil alih mouse.
Cukup lama Edi mencoba menemukan caranya. la terus mencoba berkali-kali, hingga kemudian ia membuka Recycle Bin, sebuah folder yang menampung file-file yang sudah dihapus. Di sana memang terlihat file “Test”. Tapi yang mengejutkan, masih ada dua folder lain, bertuliskan “Diary” dan “Photos”!
Sesaat kemudian, wajah Edi terlihat menegang. Tangannya sedikit basah oleh keringat. Dua folder itu kemudian di-restrore, ia kembalikan ke My Documents.
Folder “Diary” memuat sekitar 300 file, di mana setiap file dinamai dalam format tanggal. Tampaknya, setiap file dibuat di hari yang berbeda, dan semua berurutan dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir. Tak salah lagi, inilah catatan harian Voni!
Catatan harian itu begitu rinci. Lengkap memuat detail aktivitas Voni dari waktu ke waktu. Mungkin orang tidak akan menyangka, gadis itu punya begitu banyak cerita yang dituliskannya dalam penuturan menarik. Ada pula pemikiran-pemikirannya tentang banyak hal, termasuk harapan, dan impian-impiannya. Ada yang lucu, tapi ada beberapa yang mengharukan.
Tapi bagi Edi dan Valen, yang terpenting mereka sudah menemukan catatan-catatan tentang seorang pria yang sangat dekat di hatinya. Begitu gamblang dan detail. Dialah Lianto, atau dalam catatan itu dipanggilnya sebagai Bang Anto.
“Kayaknya, kita sudah dapat ikannya,” nada suara Valen terdengar bergetar.
Edi hanya bisa mengangguk.
Dikemas dalam kapsul
Catatan harian di dalam komputer Voni menguatkan tuduhan kepada Anto. Dalam catatan harian itu, Voni begitu jelas menggambarkan hubungan dirinya dengan pria penggoda itu. Sejak awal mereka berkenalan, akrab, hingga terjalin hubungan gelap yang tidak diketahui orang lain.
Yang lebih membuat polisi yakin, pada folder “Photos”, ditemukan juga puluhan foto yang menggambarkan kedekatan mereka berdua. Beberapa foto yang diambil dengan kamera digital itu bahkan memuat gambar keduanya dalam pose-pose yang amat pribadi.
Anto yang dijemput polisi dari rumahnya beberapa jam kemudian tidak bisa mengelak lagi. la mengakui telah menghabisi nyawa Voni. Namun, sikapnya di depan polisi ternyata tak berubah, yaitu tetap menyebalkan.
Dari balik kaca ruang pemeriksaan, Edi hanya bisa memandang tersangka pembunuhan itu dengan perasaan geram tidak karuan. la merasa tidak sampai hati membayangkan penderitaan Voni saat harus meregang nyawa, sementara Anto duduk-duduk tenang di sampingnya. Betapa pembunuhan itu terjadi dalam suasana hening namun begitu kejam.
Awalnya, Voni merasa patah hati karena kekasihnya ternyata menikahi gadis lain. Tapi yang lebih merisaukan hatinya, Voni mendapati dirinya tengah hamil. Anto yang tak kalah bingung kemudian mendesak Voni untuk menggugurkan kandungannya. Tapi Voni menolak.
Namun, setelah sekian lama didesak, gadis lugu itu akhirnya mau juga. Pada malam yang disepakati, Anto membawakan sebuah kapsul yang dikatakannya sebagai obat penggugur kandungan. Padahal kapsul itu berisikan arsenikum.
Hanya beberapa menit setelah diminum, zat kimia mematikan itu mulai bereaksi. Voni mengalami muntah dan diare hebat di kamar mandi. Tak sampai lima jam, Voni sudah sekarat di tempat tidur. Tubuhnya melemah, napasnya mulai terasa berat.
Sementara itu Anto mulai dengan aksinya menghilangkan segala dokumentasi yang bisa menjadi petunjuk adanya hubungan di antara mereka. Menghapus seluruh file catatan harian dan foto di komputer, mengambil seluruh catatan, buku harian, atau kertas-kertas, dan terakhir mengganti kartu SIM ponsel Voni.
Setelah membereskan seluruh ruangan dan merasa yakin tidak ada yang tertinggal, dua setrip obat tidur yang telah kosong dia tinggalkan di lantai untuk menciptakan kesan korban bunuh diri.
Anto meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar dengan kunci duplikat miliknya. Kunci yang dulu sering dipakai di saat libidonya meninggi dan melampiaskannya kepada Voni
Walau merasa yakin, pagi itu Anto telah melupakan satu hal. Kotak Recycle Bin di komputer Voni, sebenarnya tidak diset terhapus secara otomatis. Setiap file yang terhapus masih bisa ditemukan di tong sampah itu. Dan Anto lupa membuang isinya. (Tjahjo W)
Baca Juga: Korbannya Wanita Tuna Susila
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517501/lupa-buang-sampah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665345243000) } } [7]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448583" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/apakah-ia-punya-rottweiler_akash-20220831012856.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(114) "Sesosok mayat tergeletak bersama seekor anjing. Penjahatnya menyusun rencana agar si mayat diduga mati bunuh diri." ["section"]=> object(stdClass)#128 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/apakah-ia-punya-rottweiler_akash-20220831012856.jpg" ["title"]=> string(26) "Apakah Ia Punya Rottweiler" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:29:14" ["content"]=> string(30173) "
Intisari Plus - Sesosok mayat tergeletak bersama seekor anjing. Penjahatnya menyusun rencana agar si mayat diduga mati bunuh diri, namun rencana itu berhasil diungkap polisi.
-------------------
"Menurutku sih dia sudah tewas pada hari Jumat malam tiga hari yang lalu," kata Cassidy seraya mengeluarkan kotak berisi serbuk bersin.
Wall menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kotak itu dengan jijik. "Ih! Bisa-bisanya kamu bekerja sambil mengendus-endus benda itu."
"Habis, sebagai reserse 'kan kita tidak boleh merokok di tempat kejadian perkara. Kalau tidak merokok, mana aku tahan dengan bau mayat?"
Dengan ibu jarinya Cassidy menunjuk ke belakang mereka, ke arah pintu garasi yang terbuka.
"Yang di sana sih tidak apa-apa. Garasinya dingin dan sekarang Januari. Coba kalau Agustus!"
Seorang wanita tetangga sudah melihat mereka. Wanita itu bergegas menghampiri sambil mengancingkan mantelnya. "Pasti ingin bertanya macam-macam," pikir Wall.
"Mengapa kamu yakin dia tewas tiga hari yang lalu?" tanyanya.
"Rigor mortis (kekakuan pada mayat) sudah terjadi dan sudah berlalu lagi," jawab Cassidy. "Padanya maupun pada anjingnya ada yang melihatnya setelah Jumat malam."
Didampingi seekor Rottweiler
Cassidy menutup kotak serbuk bersinnya dan memasukkannya ke saku. Wall berpikir. Tiga puluh detik lagi pasti Cassidy harus membuang ingusnya dengan sapu tangannya yang berwarna khaki.
"Aku heran, bunuh diri kok mengajak anjing," kata Wall.
"Takut anjingnya tidak ada yang merawat barangkali," jawab rekannya. "Kamu pernah merasakan punya anjing tidak?"
"Tinggal di apartemen memelihara anjing? Tidaklah yaw!"
Wanita tetangga sudah berada kira-kira 50 langkah dari mereka. la mengancingkan mantel sambil berjalan. Wall bergidik.
"Ayo ah, masuk! Tim koroner yang memeriksa sebab kematian pasti sudah selesai."
Cassidy membuang ingusnya. la memasukkan saputangannya ke saku celana. Di setiap kantung mantelnya ia menaruh sehelai saputangan. Semua berwarna khaki, supaya tidak kentara kalau bernoda. Semua licin dan kering di pagi hari, tapi semua lembap setiap selesai dinas selama delapan jam.
Kalau mereka lembur 15 - 18 jam, Cassidy kehabisan saputangan. Terpaksa dia membeli segelas kopi di McDonald dan mengambil setumpuk tisu.
Koroner sedang berbenah. Ia mencopot sarung tangan karetnya. Di zaman AIDS ini, ia selalu memakai sarung tangan saat memeriksa mayat. Koroner itu tinggi besar dan sudah berumur.
"Sudah lama meninggal," katanya. "Rasanya sih, akibat karbon monoksida seperti dugaan kalian. Kemungkinan besar dia bunuh diri.
"Dok, bisa juga 'kan dia terlalu banyak minum alkohol, tapi masih sanggup pulang cuma sebelum keburu mematikan mesin mobilnya dia semaput?" tanya Wall.
"Mana ada orang keluar minum Jumat malam sambil membawa-bawa anjing di mobilnya?" kata Cassidy sambil bersiap-siap bersin.
"Anjing 'kan sahabat paling baik bagi manusia," jawab koroner. Cassidy bersin. Dokter menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu masih juga mencium-cium begituan," Jack?"
"Cuma kalau stres," jawab Cassidy dengan berseri-seri. "Tapi stresnya tiap hari."
Cassidy mengeluarkan saputangan lagi.
"Yakin karbon monoksida, Dok?" tanya Wall.
"Kalau keracunan karbon monoksida biasanya kulit menjadi lebih merah. Nah, rasanya kulit dia asalnya pucat, tapi sekarang kemerah-merahan. Kita tunggu saja hasil autopsi supaya pasti."
Koroner memandang wajah jenazah itu. "Belum pernah aku melihat orang bunuh diri menangis. Lihat! Matanya merah seperti habis menangis.
"Barangkali dia mengasihani dirinya sendiri sebelum meninggalkan dunia yang kejam ini," kata Cassidy.
"Orang bunuh diri tidak menangis. Tidak pernah," jawab koroner. "Mereka bunuh diri bukan karena mengasihani dirinya, tapi karena marah kepada orang lain. Cuma kemarahan itu mereka sembunyikan."
"Aku sih tetap tidak mengerti kenapa dia mengajak anjingnya mati," kata Wall. "Walaupun kata Jack karena dia merasa itu yang terbaik."
"Itu sih tidak aneh. 'Kan pernah ada ibu-ibu yang membunuh anaknya dengan keyakinan menyelamatkan anak mereka dari kekejaman dunia." Koroner tampaknya tidak peduli pada anjing.
Wall menjenguk ke dalam mobil dan kaca jendela yang kini sudah dibuka. Di belakang kemudi duduk seseorang pria bertubuh kecil yang masih memakai mantel bagus. Syal yang melilit lehernya dari sutera. Orang itu berduit.
Wajahnya yang sudah kehilangan seri kehidupan menengadah karena tadi ditengadahkan oleh koroner yang memeriksa matanya dengan senter dan menekan kulit wajahnya.
Di sebelahnya, di kursi penumpang, terbujur bangkai anjing. Binatang itu tampaknya sempat berusaha keluar mencari udara segar. Berbeda dengan pemiliknya, pikir Wall.
"Bunuh diri," katanya yakin. "Aku akan mencari surat yang dia tinggalkan."
"Rasanya memang begitu," timpal Cassidy. "Mendingan kita berbicara dengan orang yang tadi menelepon kita. Dia pasti ingin tahu apa yang terjadi."
"Tunggu! Aku ajak dia ke sini untuk identifikasi kata Wall.
Wall keluar dari pintu samping, menuju ke dapur, tempat seorang pria kecil berumur 50-an menunggu.
Pria itu mengenakan setelan jas bergaris halus yang bagus potongannya. Khas bankir, pikir Wall. Atau pialang atau apalah. Pokoknya, yang berhubungan dengan uang.
Teleponnya mati
Koroner menyatakan, "Pria di garasi sudah meninggal, Pak Thompson. Sebenarnya berat buat saya meminta pertolongan Anda. Tapi jenazah itu perlu diidentifikasi. Anda bersedia melakukannya?"
"Oh!" kata Thompson. "Keadaannya 'kan tidak .... la berdehem dan tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Tidak, seperti sedang tidur saja," kata Wall.
Thompson berhenti melangkah saat masih jauh. la memandang ke arah mobil dengan gugup.
"Ya, kelihatannya sih dia suaranya tegang.
"Silakan lebih dekat, supaya pasti," Wall menganjurkan sambil memberi isyarat dengan sebelah tangannya seolah-olah menunjukkan kursi kepada penonton di gedung bioskop.
Thompson menelan ludah sampai bunyinya kedengaran, lalu melangkah beberapakali lagi.
"Ya, betul Martin." katanya.
"Martin Blaine?" Wall " menegaskan dengan tenang.
"Ya, Martin Blaine."
Cassidy mengeluarkan kotak serbuk bersinnya. Diangsurkannya kepada koroner yang buru-buru menggeleng.
"Apakah Pak Blaine menduduki posisi yang peka di perusahaan Anda?"
"Maksud Anda ia bertanggung jawab atas keuangan? Ya, memang begitu. Kami berdua sama-sama memegang keuangan."
Pria itu lebih percaya diri sekarang. Sebagai orang yang terbiasa mengurusi uang, menyebut uang segera membesarkan kepercayaan dirinya.
"Ia teman baik Anda?" tanya Wall.
"Kami bekerja sama."
"Kasihan anjingnya, ikut mati."
"Ya, sayang."
Thompson menarik lengan jasnya untuk melihat arlojinya.
"Anda masih memerlukan saya, Pak Polisi? Saya harus buru-buru kembali ke kantor."
"Silakan. Terima kasih Anda menelepon kami saat Pak Blaine tidak datang ke kantor pagi ini," jawab Cassidy. Lalu ia melirik Wall. Wall mengerti ' isyarat rekan lamanya itu.
"Anda biasa meIakukannya, Pak?"
"Biasa apa?" tanya Thompson yang sedang berjalan meninggalkan garasi untuk mengambil mantelnya di dalam rumah.
"Menelepon polisi kalau ada karyawan tidak muncuL" jawab Wall sopan.
Thompson berhenti dan menoleh. Sebelah kakinya sudah menuruni tangga. "Tidak, tidak selalu." Ia melambaikan sebelah tangannya. "Kalau sekertaris atau karyawan biasa tentu tidak, tapi Martin sudah berjanji akan datang pagi-pagi. Kami harus berunding lewat telepon dengan London karena ada transaksi besar. Kami akan membeli sebuah pabrik bir di sana." la berhenti berbicara dan tersenyum tipis. "Maaf, saya tidak bisa menyebutkan nama pabriknya, sebab nanti terasa dampaknya di bursa."
"Ketika Pak Blaine tidak muncul, apa yang Anda lakukan?" tanya Cassidy.
"Saya menelepon ke rumahnya, tapi tidak ada yang mengangkat telepon. Saya duga ia terjebak kemacetan lalu lintas. Saya hubungi mobilnya, tapi teleponnya tidak diaktifkan. Terpaksa saya berunding tanpa dia. Ketika dia tidak datang juga, saya telepon lagi. Akhirnya, saya datang kemari. Tidak ada yang membukakan pintu dan tidak ada jejak ban mobil di halamannya."
"Pukul berapa Anda meninggalkan kantor?" tanya Wall.
"Pukul 12.30. Sekitar itulah." Thompson melirik lagi arlojinya. "Maaf, Pak Polisi. Saya mesti buru-buru."
"Silakan, Pak. Terima kasih Anda menelepon kami."
Thompson mengangguk. "Terima kasih. Silakan menelepon ke kantor saya kalau Anda perlu informasi lagi."
Sesudah Thompson pergi, koroner mengangkat tasnya. "Aku beri tahu kalian sore ini perihal dia mabuk atau tidak saat meninggal. Aku perlu mendahulukan jenazah yang terapung di teluk itu!"
"Wah, benar-benar pelesit (hantu pemakan mayat)!" kata Cassidy.
"Dunia perlu pelesit!" kata koroner tertawa. "Untung, aku menikmati pekerjaanku!"
Cassidy dan Wall memandang dokter itu pergi, lalu mereka menghampiri polisi berseragam yang memarkir mobil patrolinya di muka garasi. Polisi itu duduk di dalam mobil, menikmati kehangatan. Ia membuka kaca jendela.
"Mau memanggil mobil daging?" tanyanya.
Saat itu para tetangga sudah bergerombol di halaman, menikmati kegemparan yang tidak terduga di Senin siang. Seorang wanita setengah baya mendengar pertanyaan polisi kepada para reserse. Ia menyampaikannya kepada yang lain.
Wall menatapnya sehingga wanita itu berhenti berbicara sebelum kalimatnya selesai. Setelah beradu pandang, ia meneruskan kata-katanya dengan sikap menantang.
Tak ada bekas anjing
Cassidy menjawab pertanyaan polisi yang duduk di mobil. "Tidak. Kita perlu truk derek. Tapi panggil dulu Seksi Penyidikan Kriminal, Charlie! Biar mereka bawa mobilnya ke pangkalan. Mayatnya pindahkan ke tempat jenazah."
"Kami akan memeriksa di dalam. Kamu tetap di sini sampai mobil derek pergi. Jaga jangan sampai orang-orang mendekat."
Cassidy menutup pintu garasi dan berdua dengan Wall memandang jenazah dalam mobil.
"Kita akan menggeledahnya nanti di tempat jenazah," kata Cassidy. "Sekarang kita periksa rumahnya. Siapa tahu ada pesan, setumpuk uang kertas ribuan dolar, atau hal lain yang bisa menjelaskan kenapa dia berbuat begini."
Cassidy dan Wall sudah lama bekerja sama sehingga tidak perlu membuang waktu. Wall memeriksa ruang duduk dan dapur. Cassidy menangani kamar tidur. la selesai lebih dulu dan turun ke ruang duduk.
"Kamu tidak sadar, ya, bahwa ada yang aneh?" katanya.
"Tidak. Apa?" kata Wall yang sedang memeriksa laci: surat sewa rumah, surat asuransi, semua tersusun rapi.
"Tidak tercium bau anjing. Tidak ada bulu anjing di sofa."
"Anjingnya dikurung di satu ruangan saja barangkali," jawab Wall. "Kan banyak orang yang begitu."
"Ada tempat tidur anjing tidak di dapur?" Cassidy bangkit dari sofa. "Coba aku periksa lagi."
Wall kembali membongkar laci. Ada kaleng bekas biskuit yang isinya ternyata foto, bukan duit atau rahasia yang bisa menjelaskan terjadinya tubuh dingin di garasi. "Ada tempat tidur anjing. Baru banget," kata Cassidy dengan bingung. "Piring makan dan kantung makannya juga sama barunya."
"Jadi?" Wall bertanya. "Apa anehnya? la punya anjing. Anjing itu perlu tidur dan makan. Anjing sungguhan 'kan, bukan boneka."
"Anjing 'kan meninggalkan bekas-bekas kejorokannya, walaupun anjing manis, seperti anjing geladak istriku."
"Lupakan anjing," kata Wall. "Tidak usah dipikirkan. Ini jelas bunuh diri. Cuma saja dia mengajak anjingnya ke akhirat."
Cassidy duduk lagi di sofa. "Tapi aku tetap merasa aneh, tuhl"
"Aku malah tidak. Sudah jangan aneh-aneh. Kita ditunggu pekerjaan lain."
"Di sini tidak ada pesan apa-apa," Wall meneruskan. "Tapi semua surat-suratnya lengkap. Lihat!"
Di laci file, surat-surat penting tersusun dengan rapi menurut abjad. Ada surat mobil, asuransi rumah, paspor, tanda pembayaran tunjangan pada mantan istri. Pokoknya, semua.
"Ada surat anjing tidak di abjad D?" tanya Cassidy. "Kelihatannya 'kan anjing ras Jerman! Rottweiler, anjing pembunuh. Mestinya ada surat pembeliannya, stamboom, dsb."
"Tidak ada tuhl" kata Wall. "Sudahlah, jangan memikirkan anjing melulu. Mendingan mikir makan. Kita 'kan mesti melembur hari ini."
"Mesti ada yang pergi ke jandanya, dong!" kata Cassidy. "Rasanya kita mesti menanyakan soal anjing juga. Siapa tahu itu anjing kesayangannya. Seorang mantan suami ingin menyakiti hati mantan istrinya. Jadi, anjing itu diajak mati sekalian. Ada alamatnya tidak?"
Pengakuan mantan istri
Ada!" Wall membuka buku catatannya. Dia sudah mencatat nama dan alamat mantan istri Blaine. "Ayo, kita pergi!"
Juru potret dan ahli sidik jari dari Seksi Penyidikan Kriminal tiba. Cassidy dan Wall memberi keterangan perihal apa yang diperlukan, lalu keluar menuju mobil mereka sambil tersenyum ramah kepada para tetangga.
Jumlah penonton sudah kira-kira 20 orang. Pipi dan hidung mereka merah kedinginan, tapi rasa ingin tahu rupanya tidak terkalahkan oleh suhu.
Cassidy mengemudi, sedangkan Wall mengamati ujung sebelah sepatunya yang robek akibat masuk dari jendela dapur.
"Untung jendela itu terbuka, walaupun aku mesti beli sepatu baru," katanya.
"Eh, kamu saja yang berbicara dengan istrinya. Tampangmu 'kan memelas gara-gara sepatumu rusak."
"Apa boleh buat," kata Wall. la memang sering kebagian tugas itu. Cassidy selalu tampak gembira sehingga kabar buruk kedengaran aneh kalau keluar dari mulutnya.
Ternyata siapa pun yang berbicara tidak penting bagi mantan Ny. Martin Blaine. Dia sendiri berseri-seri. Wanita pirang itu berumur 40-an. Masih menarik walaupun kulirnya mulai kendur. Kedua reserse itu segera tahu bahwa antara mantan suami istri itu sudah tidak ada cinta lagi.
"Jangan salah sangka. Saya tentu menyesali kejadian ini, tapi kami sudah berpisah lama, delapan tahun."
"Anda mempunyai anak?" tanya Wall.
"Dua. Tapi keduanya tidak akan sedih. Mereka tidak pernah bertemu ayahnya sejak ditinggalkan."
" Almarhum meninggalkan Anda karena ada wanita lain?" tanya Cassidy dengan riang. Wanita itu menggeleng.
"Tidak. Saya kira ia cuma merasa tidak tahan hidup dengan saya lagi. Semua orang dianggapnya kurang rapi. Ia mau semua serba apik. Semua barang mesti ada di tempatnya. Hal itu dikatakannya enam kali sehari."
Mantan Ny. Blaine menggelengkan kepalanya. "Sebetulnya orang seperti itu patut dikasihani."
"Anda pernah melihat anjingnya?" tanya Wall.
"Anjing? Jangan bercanda. Ia biasa melempari anjing tetangga kalau berani mendekati tempat kami. Orang seperti Martin tidak mungkin punya anjing."
Wall menceritakan perihal anjingnya dalam mobil. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh sekali! Mana mungkin ia mengizinkan anjing masuk ke mobilnya." "Maksud Anda, dia alergi?" tanya Wall yang ingat pada mata mayat yang merah seperti habis menangis.
"Dia alergi terhadap semua yang tidak diletakkan dengan semestinya," kata mantan Ny. Blaine. "Juga pada rumput, debu, serbuk sari, kucing, anjing, zebra, semua deh!"
"Tampaknya Anda tidak tergugah," kata Cassidy. "Berlebihan sih kalau menangis, tapi berita ini sepertinya malah menyenangkan Anda."
Ruth Blaine tertawa. "Seperti tidak berperikemanusiaan, ya? Saya tidak akan jatuh miskin tanpa tunjangan. Sekarang saya kira saya akan menikah lagi, atau malah putus dengan pacar saya. Selama ini pacar saya tidak bisa tinggal di sini karena Martin selalu mengancam akan menghentikan tunjangannya kalau saya punya pasangan."
"Semoga Anda beruntung dengan pasangan baru," kata Cassidy sambil menyeringai. "Kelihatannya dia pelit."
"Terima kasih untuk komentar Anda," kata sang janda.
Setiba di luar Wall berkata, "Kelihatannya ia tidak mencurigakan." Cassidy setuju.
"Mustahil dia mau membunuh angsa bertelur emas!"
"Tapi aku jadi terpikir pada anjing sial itu!"
"Ya! Aku juga." Cassidy segera merogoh kotak serbuk bersinnya dan mengambil sejumput serbuk.
Menggerogoti uang perusahaan
Mereka pergi ke pangkalan kendaraan polisi. Para petugas Seksi Penyidikan Kriminal sedang meneliti mobil.
"Nah, si kembar Bobbsey!" kata Cassidy. "Menemukan sesuatu?" Juru potret dari tim penyelidik itu tertawa keras.
"Ya! Anjing gede! Tampaknya sih Rottweiler."
"Selain anjing," kata Cassidy. Ia membuka pintu di sebelah penumpang dan membalikkan telinga anjing.
"Mencari apa?" tanya si juru potret. "Kami kira dipasangi transmiter."
"Nomor peningnya, pembiaknya, dsb.," kata Cassidy. "Nih, lihat! Kalau bukan berkat pasukan di medan perang, para jenderal tidak bisa menang perang."
Juru potret itu tertawa mengakak.
"Ayo, kita kerja lagi!" kata Cassidy.
"Mau ke kennel?" tanya Wall.
"Benar sekali! Mustahil kita tidak bisa melacak benda sebesar ini? Eh, berapa sih beratnya kira-kira?"
Cassidy menelepon ke perkumpulan pembiak anjing, lalu ke pembiak yang menghasilkan anjing yang kini mati itu, dan ke pemilik terakhir yang namanya tercatat.
"Nah, beres!" kata Cassidy sambil menaruh telepon. "Hari ini kita bakal mendapat bintang nihl"
Mereka mengunjungi pemilik terakhir anjing Rottweiler itu, lalu pergi ke kantor tempat Martins Blaine bekerja sampai hari Jumat yang lalu. Resepsionisnya seperti bintang film yang mengantar pemenang turun naik panggung untuk pembagian hadiah Oscar. Ia memberi mereka senyuman sejuta dolar. Cassidy membalas senyumnya.
"Kami Wall dan Cassidy, ingin bertemu dengan Pak Thompson. Tolong katakan beliau sudah bertemu kami tadi siang."
Resepsionis itu tersenyum lagi, seperti menyaingi senyum Cassidy.
Dua menit kemudian mereka sudah berada di kantor Thompson yang mengesankan. Dindingnya dilapisi kayu walnut. Perabotnya "Memang itu yang terjadi," kata Wall. Tapi 'kan bukan karena ia bunuh diri?" mantap, begitu pula layar monitor komputernya.
"Bagus sekali," kata Cassidy saat mereka masuk.
Thompson memakai kemeja. Karena lengannya pendek, ia memakai gelang lengan supaya lengan kemejanya tidak melorot. Ia kelihatan risau.
"Anda maksud ruangan ini?" tanyanya. "Cuma standar, kok! Semua wakil presiden direktur mendapat ruangan seperti ini." Thompson memandang ke komputernya yang menyala.
"Bukan ruang kantor ini," kata Cassidy. Kata-katanya berhasil mengalihkan perhatian Thompson dari komputernya. Ia memandang Cassidy, tetapi ternyata Wall yang sekarang berbicara.
"Kami maksudkan anjing itu."
"Anjing?" kata Thompson. Ia mengerutkan kening seperti bingung, tapi menjilat lidahnya. Kedua reserse melihatnya dan saling menyeringai.
"Anda ingin bos Anda berada di sini sekarang?" tanya Wall.
"Supaya Anda bisa menceritakan terus terang perihal uang yang Anda gerogoti dan upaya Anda menimpakan kesalahan itu kepada Pak Blame," Cassidy menjelaskan.
Thompson pucat, tetapi tidak menyerah. la menatap mereka seorang demi seorang. Akhirnya, ia menyerang.
"Saya orang yang sibuk. Silakan jelaskan apa yang ingin Anda bicarakan atau keluar dari sini."
"Dengan senang hati," kata Cassidy. "Kami ingin berbicara perihal pembunuhan."
"Betul," kata Wall. "Supaya lebih jelas, kami ingin berbicara tentang pembunuhan yang Anda lakukan terhadap rekan Anda, Pak Martin Blaine."
Sekarang Thompson berdiri dan menuding mereka. "Dia 'kan bunuh diri. Kalian 'kan yang membawa saya ke situ dan menunjukkan apa yang terjadi. Ia pergi ke garasi dan menyalakan mobilnya sampai mati lemas karena koracunan gas."
"Memang itu yang terjadi." kata Wall. "Tapi 'kan bukan karena ia bunuh diri?"
Thompson duduk. "Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan."
"Ia dibunuh," kata Wall, "dan Anda pembunuhnya."
"Bagaimana Anda bisa menuduh begitu?" Thompson marah. Berusaha marah, pikir Wall.
"Anda pergi ke rumahnya, menunggu dia datang, hari Jumat malam," kata Wall.
"Betul," timpal Cassidy. "Anda bahwa anjing besar galak itu. Ketika Blaine mengendarai mobilnya masuk garasi, Anda ikut masuk dan berkata, 'Oke, Martin. Biarkan mesin tetap hidup.' Lalu Anda beri perintah kepada anjing itu. 'Jaga,' agar pak Blaine tidak bergerak. Kalau ia bergerak untuk mematikan mesin, si anjing akan mencabik-cabik tangannya. Lalu Anda keluar dari rumah itu, membiarkan Pak Blaine yang malang tewas."
"Sangat rapi," kata Wall. "Anda bahkan memilih anjing yang beratnya mendekati berat Pak Blaine agar anjing itu tidak lebih dulu semaput daripada korban Anda."
Thomposon menaruh kedua tangannya di meja. Kepalanya menunduk. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Teleponnya berdering, tapi dibiarkannya saja.
Cassidy mengeluarkan serbuk bersinnya. Ia mengendusnya dengan nikmat.
"Mengapa tidak Anda panggil saja bos Anda sekarang supaya bisa menjelaskan cara Anda menimpakan kesalahan menggelapkan dana kepada rekan lama Anda?"
"Lebih baik Anda lakukan, Pak," kata Wall. "Kami sudah menggeledah mobil Anda, untuk membandingkan bulu anjing yang tercecer di sana dengan bulu anjing yang mati. Anda membeli anjing penyerang itu Jumat malam. Kami sudah mendapat pernyataan dari mantan pemilik anjing itu. Anda katakan kepadanya bahwa Anda tinggal sendirian dan perlu teman."
"Pandai sekali. Anda mengaku sebagai Blaine dan memberikan alamatnya kepada penjual anjing itu."
"Anda berharap orang menduga Pak Blaine membeli anjing lalu pingsan di garasi dengan mesin mobil masih hidup, sehingga ia meninggal. Cuma Anda tidak tahu ia alergi. Bagaimanapun ia tidak bisa memiliki anjing."
Pria bertubuh kecil itu tetap bersikap profesional sampai akhir. "Saya ingin berbicara dengan pengacara saya," katanya. (Ted Wood)
" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448583/apakah-ia-punya-rottweiler" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952554000) } } [8]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400586" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/hukuman-dunia-maya_john-schnobri-20220803021504.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(124) "Ada kasus bunuh diri gadis remaja setelah melakukan kencan online. Setelah pelakunya diketahui, masyarakat pun balas dendam." ["section"]=> object(stdClass)#132 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/hukuman-dunia-maya_john-schnobri-20220803021504.jpg" ["title"]=> string(18) "Hukuman Dunia Maya" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:15:23" ["content"]=> string(10596) "
Intisari Plus - Ada kasus bunuh diri gadis remaja setelah melakukan kencan online. Setelah pelakunya diketahui, masyarakat pun balas dendam.
-------------------
Kisah diawali dengan cerita cinta monyet antara Megan Meier (13) dengan pemuda enam belas tahun yang amat menarik bernama Josh. Kisah cinta khas remaja masa kini: lewat internet. Mereka berkenalan lewat blog MySpace. Kemudian, entah apa yang terjadi, pada 16 Oktober 2006, Josh memutuskan hubungan begitu saja. Tidak hanya itu, pemutusan cintanya dengan kata-kata yang sangat menusuk, “Have a shitty life. Dunia akan lebih enak tanpa ada kamu.” Malam itu, Megan gantung diri dengan ikat pinggang kain di dalam lemari pakaiannya.
Tragisnya, “Josh” ternyata hanya tokoh rekaan yang dibikin oleh Lori Drew (47), masih tetangga keluarga Meier. Bahkan tinggalnya cuma berselisih tiga rumah. la melakukan itu hanya dengan motivasi ingin mengetahui pikiran Megan tentang anaknya, karena kedua cewek yang berteman tersebut sedang bertengkar.
Lebih dari setahun setelah kematian Megan, pada 13 November 2007, hasil penyidikan yang mengungkap tipuan Lori Drew via internet itu dimuat secara online di Suburban Journal St. Charles.
Ron Meier, ayah Megan, begitu mengetahui bahwa alamat rumah, nomor ponsel, segala informasi tentang bagaimana mengontak keluarga Drew bisa begitu mudahnya diperoleh lewat Google, ikut berkomentar. “Wah, hebat tuh. Mestinya segala informasi itu dipublikasikan sejak dulu. Mereka harus dibikin menderita, walaupun tidak separah keluarga kami, tapi paling tidak mereka ikut merasakan penderitaan kami.”
Begitu tahu soal kelakuan Lori, Ron Meier dengan marah menerjangkan truknya masuk ke lapangan rumput di pekarangan keluarga Drew. Ia membuang sebuah meja permainan yang sudah dirusak habis-habisan. Sedianya meja itu akan diberikan kepada anak Drew sebagai hadiah Natal.
Menyusul tindakan Ron, 25 November 2006 Lori Drew sampai memanggil polisi. Bulan Desember Lori Drew kembali terpaksa harus menelepon polisi karena ada yang melempar jendela dapurnya dengan batu bata. Bulan Januari, kembali ia lapor ke polisi, setelah, menurut laporannya, Ron berteriak, “Siapa lagi yang mau kaubunuh hari ini?” Bulan April, ada lagi orang yang menembak rumah Drew dengan paintball. Gara-gara laporan di jurnal yang tidak mengutip Lori Drew secara lebih lengkap, komunitas internet sudah menjatuhkan vonis bersalah kepadanya.
Akibatnya?
“Saya tidak tahu bagaimana persis kasusnya. Pasti lebih rumit dari yang saya pahami. Tapi laporan yang ditulis oleh Steve Pokin itu sungguh sudah cukup membuat saya geram,” ujar Moe, blogger di Jezebel. Dia ini salah seorang yang pertama-tama mendesak agar nama Drew dipublikasikan. “Kalau kami bisa berhasil membuat kedua orang itu menderita seperti korbannya, baru kami puas.”
Lori Drew ternyata tidak hanya membuat geram keluarga Meier. Entah berapa juta pengguna internet melancarkan serangan dan melontarkan kemarahan di dunia maya terhadap Lori Drew. Begitu hebohnya sampai komunitas kelas menengah bernama Dardenne Prairie, di mana kedua keluarga tersebut tinggal, dibuat grogi. Amukan jutaan orang disalurkan lewat media utama maupun blog. Alasan pertama kemarahan mereka, kenapa nama Drew tidak dimuat dalam laporan di jurnal itu. Kedua, betapa jahatnya Lori Drew. Teganya dia menipu Megan.
“Lori Drew tuh bertanggung jawab penuh untuk kematian Megan Meier,” cetus seorang blogger di Hits USA, “Sama saja seperti kalau misalnya ia menembak atau menusuknya.”
Memang, meskipun nama Drew tidak diungkapkan, detail-detail di dalam artikel tersebut memungkinkan pembaca melacak detail tentang keluarga Drew. Salah satu detail itu adalah nama bisnis periklanan Lori Drew yang bernama The Drew Advantage. Malah ada salah satu komentar mengatakan perbuatan Lori Drew itu layak mendapat ganjaran mati dilempari batu!
John Mclntntyre, tinggal di seberang rumah Drew terus terang bilang, “Terus terang saja, saya sendiri berharap moga-moga saja ada orang yang menjatuhkan bom di atas rumah mereka. Saya sih bukannya bermaksud melukai anak-anak mereka, tapi kedua orang tua mereka ‘kan mencelakakan anak orang lain lewat internet.” la mengatakannya sambil memeluk anak perempuan balitanya. “Saya membaca ada yang mengatakan bahwa Lori tidak mencelakakan Megan. Tapi dia ‘kan sudah 47 dan Megan baru 13. Dia tahu benar apa yang dia perbuat. Dia tahu bagaimana mengarahkan emosi Megan.”
Sayangnya, sampai sekarang tidak ada tuntutan yang bisa dilayangkan terhadap keluarga Drew. Dan itu mengesalkan banyak orang. Paling-paling yang bisa dilakukan walikota Dardenne Prairie, Pam Fogarty, adalah memberlakukan hukuman paling berat terhadap pelaku gangguan lewat internet (Internet harassment) yang hukumannya denda AS $ 500 dan 90 hari kurungan.
Akibatnya, banyak orang mengambil langkah-langkah main hakim sendiri - ya lewat Internet. Ada yang mengajak memboikot bisnis Drew, juga menghujani kotak suara telepon keluarga itu dengan sumpah-serapah.
Belum lagi yang terjadi langsung secara fisik di rumah keluarga Drew. Serangan-serangan terhadap mereka membuat polisi benar-benar khawatir. Patroli serentak segera ditingkatkan frekuensinya sejak berita ini tersebar. “Pada dasarnya, yang mereka lakukan terhadap keluarga Drew dan anak gadisnya sama saja dengan yang dilakukan Drew terhadap Megan,” kata Lt. Craig McGuier dari Kepolisian St. Charles County. “Kami sungguh khawatir dengan adanya ancaman-ancaman di Internet. Membuat kami semua merasa harus berjaga-jaga terus.”
Padahal, sampai kini belum diketahui siapa yang telah mengirimi Megan pesan terakhir yang sangat menusuk perasaan itu. Menurut laporan polisi, kemungkinannya bisa beberapa orang masuk ke MySpace sebagai “Josh”. Lalu, pesan terakhir yang dikirimkan kepada Megan itu ‘kan cuma dilihat oleh keluarga Meier, yang kemudian di-delete bahkan FBI pun tak berhasil melacaknya kembali. Maka sesuai dengan laporan di Suburban Journal, laporan itu diberi keterangan “sejauh ingatan Meier”.
Apa kata pakarnya? Thomas Oltmanns, profesor psikologi klinis di Washington University, bilang, “bahwa kalaupun Lori Drew benar-benar mengirimkan pesan yang kata-katanya mengandung “have a shitty life” itu, dia tetap tidak bisa ditunjuk bertanggung jawab langsung untuk kematian Megan. Harus ada faktor-faktor lain.”
“Memang itu kata-kata yang sangat menyakitkan. Tapi, kalau kita kirimkan tulisan seperti itu ke seratus anak lain, apakah mereka akan bunuh diri semua? Jelas tidak ‘kan?” jelasnya. “Bahwa kata-kata itu jadi pemicu, memang iya, tapi pastilah ada konteks yang lebih luas (yang menggiring Megan ke arah tindak bunuh diri).”
Pernyataan ini tetap saja tak mampu meredam kemarahan massa. Kemarahan itu secara langsung dan tidak langsung memberikan konsekuensi juga pada Waterford Crystal Drive. Sehari setelah artikel itu ditayangkan, ada panggilan iseng ke nomor darurat 911 yang melaporkan ada peristiwa pembunuhan di rumah keluarga Drew. Begini cerita Trevor Buckles tetangga sebelah Drew, “Menakutkan, benar.” Tetangga lain, Peter Kriss, malah sempat khawatir polisi salah mengira rumahnya sebagai rumah Drew. Syukurlah kini alamat keluarga Drew diumumkan secara online sehingga dia lega.
Hanya saja, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap keluarga Drew akibat dimuatnya data-data pribadi mereka di internet, misalnya di salah satu blog oleh pengirim anonim, siapa bisa melacak pelakunya? Soalnya menurut hukum Amerika Serikat, informasi yang dipublikasikan di situs atau Internet secara anonim, tak dapat dimintai pertanggungan jawab untuk akibat pemublikasian itu. Nah!
Sementara itu, teror masyarakat internet terhadap keluarga Drew belum juga menyurut. Malah kemudian muncul situs www.rottenneigbor.com yang menunjukkan citra satelit yang menunjuk ke lokasi rumah keluarga Drew.
Menurut pembuat situs tersebut, Brant Walker, kalaupun keluarga itu akhirnya memutuskan pindah rumah, para pengguna situsnya tetap bisa mengunggah info terbaru tentang keberadaan mereka. “Saya rasa orang-orang berniat membalas dendam via internet,” kata Walker. “Kalau semua yang dikatakan tentang Megan itu benar, maka yang terjadi pada keluarga Meier memang sungguh lebih parah ketimbang yang sedang dialami keluarga Drew.”
Intisari Plus - Berkali-kali mencoba bunuh diri, tapi selalu diselamatkan oleh seorang rahib misterius. Dua korban saling menyelamatkan. Serta penghuni kamar hotel sebelumnya ternyata mirip dirinya.
---------------------------------------
Roh Seorang Anak
BINTANG film Julie Christie muncul dalam film Don't Look Now bersama Donald Sutherland yang berperan sebagai suaminya. Dalam film itu diceritakan bahwa mereka dihantui roh anak mereka yang masih kecil, yang terbenam di kolam dangkal di halaman rumah mereka di luar kota di Inggris.
Beberapa tahun kemudian, Christie mengunjungi rumah pertaniannya di Wales, yang diurus oleh sepasang suami-istri. Saat itu si suami menemukan putranya yang berumur 22 bulan mengambang di kolam besar tempat memelihara bebek dekat rumah. Christie mengarungi air untuk mengangkat jenazah anak itu dari kolam dangkal tersebut, seperti yang dilakukan Sutherland dalam film.
Ulang Tahun Adopsi
AUGUSTUS J.C. Hare, seorang penulis ternama dan seniman di zaman Victoria, adalah seorang anak angkat. la diadopsi tahun 1830-an saat berumur 14 bulan. Setelah lulus dari Oxford, ia tinggal di daratan Eropa dan sekali-sekali saja berkunjung ke Inggris.
Dalam autobiografinya, Hare bercerita begini:
Pada ulang tahun adopsi saya, kami semua pergi ke Mannheim, dan makan di hotel, tempat 17 tahun sebelumnya, saya yang ketika itu berumur 14 bulan, diserahkan kepada bibi saya yang merupakan juga ibu baptis saya, untuk tinggal bersamanya selamanya, seakan-akan saya anaknya sendiri .... Ketika kami kembali ke stasiun malam hari ... di peron ada seorang wanita malang sedang menangis sedih sekali, sambil menggendong seorang anak kecil. Emmie Penrhym ... menghampiri wanita itu, dan berkata bahwa kelihatannya wanita itu sedang mengalami kesulitan besar. "Ya," jawab wanita itu. "Anak saya yang berumur 14 bulan akan dipisahkan selamanya dari saya dalam kereta api yang akan tiba. la akan diadopsi bibinya yang merupakan pula ibu baptisnya, dan saya tidak akan pernah - tidak akan pernah - bisa bersamanya lagi."
Rahib Kapusin
KETIKA Joseph Aigner - yang kemudian terkenal sebagai pelukis wajah - berumur 18 tahun, ia mencoba untuk menggantung diri, tetapi teralang oleh kedatangan seorang rahib Kapusin yang misterius. Peristiwa ini terjadi di Wina tahun 1836.
Empat tahun kemudian, di Budapest, Aigner kembali mencoba menggantung diri. Sekali ini pun ia teralang oleh kedatangan rahib yang dulu.
Delapan tahun berlalu dan Aigner yang terlibat dalam revolusi, dijatuhi hukuman gantung akibat kegiatan-kegiatan politiknya. Namun, ia luput dari maut akibat intervensi seorang rahib, yang tidak lain dari rahib Kapusin yang dulu itu.
Akhirnya, tahun 1886, ketika Aigner berumur 68 tahun, keinginannya untuk mati terpenuhi. Ia bunuh diri dengan pistol. Upacara pemakamannya dipimpin oleh rahib Kapusin yang dulu juga, yang namanya tidak pernah diketahui Aigner sampai akhir hayatnya
Alat Penghenti Perdarahan
SUATU malam di bulan Juni tahun 1930-an, Allan Falby, kapten Patroli Jalan Raya El Paso County, sedang mengejar sebuah truk yang ngebut di El Paso County, Texas. Truk itu mengurangi kecepatannya untuk berbelok dan Falby menabraknya dengan kecepatan penuh. Tabrakan itu memecahkan sebuah pembuluh nadi di pahanya.
Kalau saja seseorang bernama Alfred Smith tidak berhenti untuk memberi pertolongan pertama kepadanya, Falby pasti sudah tewas. Smith membebat luka Falby dengan selembar kain yang diikat dengan teknik tertentu (tourniquet) untuk menghentikan perdarahan, sebelum ambulans datang menyelamatkan nyawa Falby dan pahanya. Setelah beberapa bulan dirawat di rumah sakit, Falby cukup kuat untuk kembali bekerja.
Lima tahun kemudian, ketika Falby sedang berpatroli pada malam hari lagi, ia menerima panggilan radio untuk membantu menangani sebuah kecelakaan hebat di U.S. 80. Sebuah mobil menabrak pohon dan pengemudinya dalam keadaan kritis. Falby tiba di tempat kejadian sebelum ambulans datang. Ia menemukan seorang pria pingsan di dalam mobil. Sebuah nadi di paha kanan korban putus dan ia mengalami perdarahan hebat yang mematikan.
Falby membebat paha pria itu dengan selembar kain yang diikat dengan teknik tertentu dan perdarahan berhasil dihentikan. Ketika Falby memandang wajah korban, ternyata tidak lain dari Alfred Smith.
Hantu Udara
MARTIN Caidin, dalam bukunya Ghost of the Air {Hantu Udara - 1991), menceritakan perihal sepucuk surat yang diterimanya. Dalam surat itu Kapten Robert Tyler berkisah begini: Saya bertugas menerbangkan F-lOOs di Inggris tidak lama setelah latihan terbang.
Seperti semua pilot pesawat tempur yang baik, saya senang keluar masuk rumah minum (pub) Inggris. Suatu malam, sesaat sebelum rumah minum tutup, saya terdorong untuk keluar dan pergi ke pekuburan tanpa saya bisa mengendalikan diri. Sampai hari ini, saya tidak tahu kenapa, sebab saya tidak suka pekuburan, apalagi mengunjunginya di malam hari.
Pokoknya, saya ingin keluar dan tahu-tahu saya memandangi batu-batu nisan di bawah cahaya bulan. Saya langsung tertarik mendekati sebuah batu nisan bertuliskan: Fit Lt. Robert Tyler, RAF, ditembak jatuh saat menerbangkan Spitfire dalam the Battle of Britain, 15 September 1940. Kapten Tyler dilahirkan 15 September 1940.
Hotel Brawn
D R. Warren Weaver menceritakan kisah berikut ini dalam bukunya Lady Luck: The Theory of Probability (Keberuntungan: Teori Probabilitas). Kejadiannya mungkin sekali akhir tahun 1990-an:
Beberapa tahun yang lalu, tetangga di sebelah rumah saya, George D. Bryson, melakukan perjalanan bisnis dari St Louis ke New York. Termasuk di dalamnya perjalanan pada akhir minggu. la sedang tidak terburu-buru. Karena belum pernah ke Louiseville di Kentucky, ia tertarik melihat kota itu, apalagi kereta api yang ditumpanginya melewati Louiseville. Setelah naik ke kereta ia bertanya kepada kondektur, apakah ia boleh singgah di Louiseville. Ternyata boleh.
Setibanya di Louiseville, ia bertanya di stasiun, hotel apa yang paling baik.
Mengikuti petunjuk, ia pergi ke Hotel Brawn dan mendaftarkan diri. Tahu-tahu saja ia terdorong ke tempat penitipan surat, untuk bertanya, apakah ada surat untuk dia.
Gadis yang melayani tempat itu dengan tenang menyerahkan surat beralamatkan: "Mr. George D. Bryson, Kamar 307", yaitu kamar yang baru saja diberikan kepadanya.
Ternyata penghuni Kamar 307 sebelumnya George D. Bryson juga, yang mengusahakan perusahaan asuransi di Montreal, Kanada, tetapi berasal dari North Carolina, AS. Kedua orang bernama Bryson itu kemudian bertemu. Jadi mereka bisa saling mencubit untuk membuktikan bahwa memang benar-benar ada George D. Bryson lain.
" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553257436/roh-seorang-anak-dan-rahib-kapusin" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651226777000) } } [10]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246425" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/demi-ibu-cucu-membunuh-kakekjpg-20220420045801.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Sesaat setelah sampai di tempat kerja, seseorang menembaknya dua kali. Mayatnya ditinggalkan di kantornya seolah-olah seperti habis dirampok." ["section"]=> object(stdClass)#140 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/demi-ibu-cucu-membunuh-kakekjpg-20220420045801.jpg" ["title"]=> string(26) "Demi Ibu, Cucu Bunuh Kakek" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 14:37:44" ["content"]=> string(48028) "
Intisari Plus - Franklin Bradshaw bangun pagi dan melakukan rutinitas seperti biasanya. Sesaat setelah sampai di tempat kerja, seseorang menembaknya dua kali. Mayatnya ditinggalkan di kantornya seolah-olah seperti habis dirampok.
---------------------------------------
Hari belum pukul 06.00, ketika Franklin Bradshaw bangkit dari ranjangnya. la segera melakukan push-up 100 kali disusul dengan loncat tali. Bagi seorang pria berumur 76 tahun tentu saja kegiatan itu mengagumkan.
Dengan tinggi lebih dari 1,80 m itu Bradshaw bukan saja tetap langsing, tetapi juga sehat walafiat, sehingga merasa ajalnya jauh di awang-awang.
Hidupnya sangat teratur dan sederhana. Setiap pagi diminumnya dua macam obat yang dianggapnya bisa mengusir ketuaan, lalu ia makan bubur havermout, dan minum susu hangat.
Pagi tanggal 23 Juli 1978 itu ia bangun dini bukan untuk menikmati hari Minggu, melainkan karena kebiasaan. Hari Minggu pun hari kerja baginya seperti hari-hari lain. la menikmati kerja seperti piknik ke ngarai yang indah.
Pagi itu di tempat tinggalnya, Salt Lake City, Utah, AS, langit cerah sekali. Pukul 06.45 ia berangkat dengan pikup tuanya. Istrinya, Berenice, yang dinikahinya 54 tahun lalu, sudah bangun, tetapi masih enggan turun dari ranjang.
Kehidupan mereka kurang harmonis. Si suami kikir dan betah betul di tempat kerjanya, sementara si istri merasa kurang diperhatikan dan tidak mendapat keleluasaan memakai uang, padahal ia tahu betul suaminya kaya.
Seperti semua orang lain, Berenice tidak tahu persis berapa harta suaminya. Selain memiliki 31 toko suku cadang mobil di Utah, Franklin Bradshaw mempunyai saham di pertambangan minyak tiga belas negara bagian. Ia merupakan salah seorang pemegang saham terbesar perusahaan perminyakan, sehingga dijuluki Howard Hughes dari Utah.
Bradshaw mengendarai pikup Ford Courrier-nya yang hijau itu ke arah barat. Di tempat duduk kosong di sampingnya tergeletak bekalnya untuk makan siang, roti katul dan roti daging. Kantornya terletak di sebuah bangunan gudang buatan tahun 1900, yang sudah bobrok seperti bangunan-bangunan di sekitar gudang itu. Di bangunan itu juga terdapat salah sebuah toko suku cadangnya.
Ketika itu jalan-jalan masih sepi. Sebagian orang masih tidur dan sebagian lagi sedang di gereja. Maklum, Utah adalah daerah orang-orang Mormon yang saleh.
Hari itu ada seorang pria lain yang bangun pagi-pagi untuk pergi ke gudang Bradshaw. Ia bercelana berwarna gelap, kemeja kuning, dan jas biru. Di saku dalam jasnya terselip sebuah pistol Magnum .357 yang gagangnya berkilat karena digosok. Sepanjang malam pria ini tidak bisa tidur karena tegang. Matanya yang biru dingin mengawasi Bradshaw ke luar dari kendaraannya. Bradshaw memungut Koran Salt Lake Tribune di muka pintu toko onderdilnya, lalu masuk.
Pria itu masuk juga tak lama kemudian. Bradshaw tercengang melihat tamunya. Mereka bercakap-cakap sekitar 15 menit tentang hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan mereka.
Ketika Bradshaw membelakanginya, pria tersebut menembak punggung laki-laki lanjut usia itu dari jarak dekat. Bradshaw tersungkur. Si penembak membidik sekali lagi belakang kepala korbannya.
Mayat Bradshaw ditelentangkannya. Sebelah kantung korban ditariknya ke luar dan isi dompet kulit korban diserakkan. Isi dompet itu: beberapa kartu kredit, daftar hal-hal yang harus dikerjakan, dan uang receh. Tidak ada yang istimewa. Pria itu ingin memberi kesan bahwa Bradshaw dirampok.
Mantan karyawan kaget
Hari itu seorang mantan karyawan Bradshaw bernama Dan Schindler dimintai tolong teman-temannya untuk membelikan suku cadang mobil. Toko Bradshaw pada hari Minggu baru buka pukul 09.00, tetapi Dan tahu bahwa bekas majikannya biasa datang pagi-pagi. Pukul 08.00 lewat sedikit ia menelepon ke gudang. Ternyata telepon tidak diangkat orang. Dan Schindler mengira bekas majikannya tentu sedang asyik di ruang kerjanya di bawah tanah, sehingga tidak mendengar dering telepon. Jadi langsung saja ia mengendarai mobilnya ke sana.
Ia tiba beberapa menit menjelang pukul 09.00. Di dalam toko sudah ada orang lain, Kirk Taylor, yang mengaku tiba beberapa menit sebelumnya. Katanya, ia sudah berulang-ulang memanggil, tetapi tidak ada jawaban.
"Mestinya sih ada orang," kata Kirk. "Tapi ketika saya melihat-lihat barang di rak dekat meja pajangan, saya mendengar suara gemeresik dan suara orang berdehem dari belakang gedung."
"Oh, mungkin Pak Bradshaw sedang bekerja di belakang," kata Dan. "Dulu saya pernah bekerja di sini. Coba saya lihat ke belakang."
Ia masuk melewati meja pajangan. Meja itu tinggi dan bertambah tinggi lagi karena di atasnya bertumpuk katalog suku cadang. Begitu Dan tiba di belakang meja pajangan, ia kaget setengah mati dan juga ketakutan. Franklin Bradshaw yang berumur 76 tahun itu telentang dalam genangan darah di lantai linoleum berwarna hijau. Matanya melotot, mulutnya terbuka, dan di dekatnya berserakan kartu kredit, dompet, uang receh, dan kunci.
Kirk segera mendekati dan ikut menyaksikan pemandangan seram itu. Buru-buru Dan meraih gagang telepon di dekat kasa untuk menghubungi nomor panggilan darurat. Tak lama kemudian datanglah seorang perwira polisi bersama beberapa tenaga paramedis.
Schindler dan Kirk Taylor dibawa ke luar. Pada saat itu muncullah mobil yang dikendarai seorang karyawan senior, Neil Swan. Ia mendapat giliran bekerja pada hari Minggu itu.
"Ada apa?" tanyanya.
"Pak Bradshaw ditembak!" jawab Dan. Orang kepercayaan Bradshaw itu minta diperkenankan masuk untuk melihat. Mula-mula permintaannya ditolak, namun setelah polisi mengetahui siapa dia, Neil boleh masuk. Ia memandangi wajah jenazah majikannya lama sekali.
Dan meminta izin menelepon orang kepercayaan Bradshaw yang lain, Doug Steele. Ternyata Doug sedang bertandang ke tetangga, sehingga Dan meminta istri Doug untuk memanggilkannya.
Doug mendengar laporan mantan karyawan yang kini menjadi pelanggan itu, lalu cepat-cepat menjemput rekannya, Clive Davis, untuk diajak ke gudang. Doug Steele, Clive Davis, dan Neil Swan merupakan orang-orang yang paling dipercaya oleh Franklin Bradshaw.
Ketika Doug dan Clive tiba, ternyata Dan, Kirk, dan Neil sudah dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan resmi. Doug dan Clive memperkenalkan diri kepada Detektif Joel Campbell, yang sedang mengawasi para bawahannya meneliti tempat kejadian. Mereka ditolak masuk.
Campbell bertanya apakah mereka berdua kenal baik pada janda korban.
"Ya," jawab mereka. Keduanya lantas diutus menemani pendeta polisi untuk memberi tahu musibah yang terjadi kepada Berenice Bradshaw.
Kedua karyawan lama itu merasa khawatir. Soalnya, mereka tahu Berenice itu mentalnya rapuh. Benar saja, Berenice mengalami shock, sehingga Doug buru-buru memberinya obat penenang.
Doug juga menelepon cucu kemanakan Franklin Bradshaw, yaitu Craig Bradshaw. Ayah Craig dulu manajer dan pemegang 43% saham Richfield Corporation yang antara lain terdiri atas empat toko Franklin. Franklin sering sekali bertengkar dengan ayah Craig. Ketika ayah Craig bunuh diri pada tahun 1968, Craig yang waktu itu berumur awal 20-an meneruskan usaha ayahnya dengan ambisius. la juga sering bertengkar dengan Franklin, tetapi kemudian bisa memahami sifat kerabatnya itu. Setelah itu hubungan mereka membaik.
Pada tahun-tahun terakhir, Franklin yang mempunyai hanya seorang putra dan tiga orang putri itu begitu mencintai Craig, sampai dianggap sebagai putranya. Apalagi karena putra tunggal Franklin sejak remaja harus dirawat di rumah sakit jiwa.
Begitu cintanya Franklin kepada Craig, sehingga akhir tahun 1976, atas saran putrinya, Marilyn, yang bersuamikan seorang ahli hukum, ia membentuk trust untuk kesejahteraan anak-anak dan para cucunya (sekalian menghindari pajak!) serta menunjuk Craig sebagai wali dari F & B (Franklin & Berenice) Trust itu.
Doug Steel berhasil menghubungi Craig yang berjanji akan memberi tahu ketiga putri Franklin (Berenice tidak berhasil menghubungi mereka, sebab semuanya belum pulang berliburan akhir pekan) dan juga Don Bradshaw, salah seorang kemenakan korban.
Siapa yang membuka gembok?
Doug dan Clive diperbolehkan kembali ke gudang dan masuk ke dalam, sebab polisi sudah selesai meneliti tempat itu. Jenazah pun sudah diangkut untuk diautopsi.
Begitu masuk, Doug mendapatkan gembok pintu kantornya tidak terkunci, walaupun gembok itu tetap tercantol di tempatnya.
"Siapa yang buka?" tanyanya kepada Detektif Campbell yang masih ada di sana.
"Bukan kami," jawab detektif itu. "Mengapa?"
"Kemarin sore, waktu meninggalkan tempat itu, gembok ini terkunci."
"Bagaimana Anda bisa begitu yakin?"
"Soalnya, di laci saya disimpan uang. Jadi setiap kali akan ditinggalkan, saya periksa dulu apakah gembok sudah benar-benar terkunci."
Bersama polisi, mereka mendapatkan kuncinya di tempat biasa, yaitu di laci kanan meja tulis Clive. Ternyata pintu belakang gudang pun tak terkunci, walaupun gemboknya masih tercantel. Menurut keterangan Doug, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu di mana kunci-kunci itu disimpan.
"Siapa?" tanya Campbell. "Frank, Clive, saya, dan dua cucu laki-laki Frank. Yang seorang, Larry, sedang berada di Salt Lake."
Detektif Campbell lantas bertanya perihal keluarga Bradshaw, tetapi tampaknya Doug segan bercerita banyak, apalagi Clive dan Neil. Begitu pula ketika ditanyai mereka tahu siapa kiranya yang menginginkan nyawa Franklin Bradshaw. Mereka menjawab tidak tahu.
“Barangkali salah seorang anggota keluarganya?" tanya detektif itu. Ketiganya kelihatan kikuk, tetapi tidak memberi jawaban. Dari kalangan sanak keluarga, yang tiba paling dulu di rumah korban adalah Don Bradshaw bersama istrinya, Jean. Don yang jangkung dan murah senyum itu seorang pengusaha asuransi yang paling berhasil di Salt Lake. Ia hampir sebaya dengan putra korban, Robert. Semasa kecil Don sering bermain dengan Robert, yaitu sebelum putra Franklin itu menjadi gila.
Don meminta bibinya menceritakan apa yang terjadi tadi pagi kepadanya dan kepada Craig yang juga hadir. Kata Berenice, Franklin bangun pagi-pagi seperti biasa, berolahraga, dan menyiapkan bubur havermout sendiri. Mangkuknya sampai saat itu masih belum dicuci. Berenice bangun sesaat setelah suaminya pergi, untuk menyiapkan sarapan bagi Larry. Cucu yang sedang berlibur di rumah kakek itu harus berangkat pagi-pagi ke tempat latihan terbang.
Pada saat mereka sedang bercakap-cakap, masuklah Larry. Katanya, ketika sedang terbang di atas rumah kakeknya, ia melihat banyak mobil diparkir di sekitar rumah. Ia bertanya-tanya di dalam hati ada apa di rumah. Jadi, buru-buru ia pulang.
Doug muncul tak lama kemudian. Ia meminta Don menemaninya ke gudang, karena ia ingin membenahi uang penghasilan hari Sabtu sore. Clive sudah telanjur pulang. Mereka pergi berdua. Doug terheran-heran ketika membuka pintu, sebab pintu itu tidak terkunci, begitu pula pintu penahan api antara bagian depan dan gedung kantornya. Ia ingat betul kedua pintu itu dikuncinya pada saat ia meninggalkannya bersama Clive sejam yang lalu.
Mereka khawatir si pembunuh datang lagi dan masih gentayangan di dalam. Jadi mereka buru-buru berlari ke luar. Kebetulan mobil polisi lewat. Don memberi tanda agar polisi singgah dan meminta dipanggilkan Detektif Campbell. Clive dipanggil pula dengan telepon.
Menurut Campbell, kunci-kunci Franklin lengkap, tidak hilang digondol pembunuh. Jadi siapa yang membuka pintu? Doug, Clive, dan Don memutuskan agar semua kunci diganti hari itu juga. Mereka meminta ahli kunci datang. Sesudah selesai, Don berniat menyerahkan kunci-kunci baru kepada janda korban, tetapi Doug tidak setuju. Katanya, ia curiga kepada Larry.
Ketika kembali ke rumah korban, Don bertanya kepada istrinya yang sedang menemani Berenice, ke mana saja Larry selama Don pergi.
"Ia menghilang beberapa kali. Kalau ditanya oleh neneknya, dijawab, ia di lantai bawah tanah," jawab Jean. Berlawanan dengan saran Doug, Don segera menyerahkan kunci-kunci baru kepada Berenice. Larry muncul tak lama kemudian dan kunci-kunci itu pun pindah ke tangannya.
Takut perang saudara
Berenice yang sejak tadi agak tenang tiba-tiba meledak tangisnya. Ia khawatir ketiga putrinya akan saling berebut warisan. "Marilyn akan mencoba menguasainya dan yang lain pasti tidak mau tinggal diam. Ah, sebetulnya sejak dulu aku tidak ingin mempunyai anak. Mereka semua cuma menyusahkan saja, tidak pernah memberi kesenangan," keluhnya.
Berenice curiga, jangan-jangan suami Marilyn yang membunuh Franklin, supaya mendapat warisan. Tentu saja Don dan Jean tercengang. Don tahu hubungan Franklin dan Berenice tidak terlalu harmonis. Si suami kikir, sedangkan istrinya sering selingkuh dengan uang. Namun, Don tidak tahu kalau ketidakserasian itu juga terjadi di kalangan anak-anak mereka dan antara mereka dan anak-anak mereka.
Franklin dan Berenice selain mempunyai Robert (lahir 1927) yang sakit jiwa, juga mempunyai Marilyn (lahir 1929) yang bersuamikan seorang ahli hukum, Elaine (lahir 1931) yang bersuamikan seorang Yahudi berhaluan kiri, dan Frances (lahir 1938) yang sejak kecil sulit sifatnya dan sudah bercerai dua kali. Frances itu ibu Larry.
Setelah kembali dari liburan di rumah teman di Brooklyn, Marilyn dan suaminya, Robert Reagan, akhirnya bisa dihubungi di rumah mereka di West End Avenue, New York. Elaine dan suaminya, Mason Drukman, bisa ditelepon sepulang dari Washougal, Washington. Frances di New York juga bisa diberi tahu setibanya dari Long Island. Minggu sore itu diputuskan jenazah Franklin akan diperabukan pada hari Rabu.
Sore itu juga Berenice dan Larry dijemput pendeta polisi untuk dimintai keterangan oleh Detektif Joel Campbell dan Carl Voyles.
Berenice tidak tahu siapa yang menghendaki nyawa suaminya. "Ia tidak mempunyai musuh," jawabnya. "Ia baik kepada karyawan dan disukai teman-teman."
Menurut keterangan istri korban, pada hari-hari biasa korban sudah ada di kantornya pukul 06.00. Hari Minggu ia muncul lebih siang. Sesudah tutup toko, ia masih ada di sana sampai sore. Walaupun toko belum buka atau sudah tutup, tetapi kalau ada orang menelepon untuk membeli sesuatu, pasti permintaan itu akan dilayani. Hari Minggu yang naas itu korban berangkat pukul 07.15. Demikian cerita jandanya.
"Pernahkah toko itu dirampok?" tanya polisi.
"Pernah beberapa kali, tetapi selalu pada saat tidak ada orang di sana," sahut Berenice.
Polisi menanyakan siapa pengacara korban dan jandanya menyebutkan salah seorang di antaranya.
"Apakah suami Anda membuat surat wasiat?" tanya Campbell. "Ya, tetapi isinya tidak kami sukai dan tidak ia sukai." Berenice menyatakan tidak tahu apa isi surat wasiat itu dan di mana surat itu ditaruh.
"Apakah para karyawan seperti Doug Steele dan Clive Davis bisa dipercaya?" tanya Detektif.
"Oh, mereka bisa dipercaya 100%."
"Apakah mereka kebagian warisan?"
"Setahu saya tidak, tetapi tidak tahu, ya."
Para detektif bertanya perihal Larry. Putra Frances itu berumur 18 tahun dan tinggal di asrama sekolah menengahnya. Kini ia sedang berlibur di rumah kakek-neneknya di Salt Lake sambil mengikuti kursus terbang.
Polisi mendengar dari para karyawan korban bahwa Larry pernah bekerja di toko kakeknya musim panas yang lalu.
"Larry bekerja di toko kakeknya?"
"Musim panas yang lalu bersama adiknya, Marc, tetapi para karyawan tidak suka, sebab mereka dianggap mengacau saja. Dalam musim panas ini cuma hari Sabtu kemarin Larry membantu di toko. Kakeknya senang, sebab Larry menaruh perhatian pada toko dan Larry juga senang bisa membantu."
"Pukul berapa tadi ia meninggalkan rumah?"
"Pukul 10.00, sebab latihan terbang baru saja dimulai pukul 10.30. Baru saja ia pergi, datang orang memberi tahu perihal musibah."
Kedua detektif mengucapkan terima kasih, lalu memanggil Larry.
Surat wasiat hilang
Pemuda yang kekar itu duduk dengan tenang di hadapan pewawancaranya. Ia menceritakan pagi itu ia berangkat pukul 10.00 ke tempat latihan. Ia tidak tahu siapa yang kira-kira ingin membunuh kakeknya.
"Orangnya sangat baik dan pekerja keras," kata Larry tentang korban. Larry mengaku bahwa musim panas yang lalu ada masalah dengan para karyawan di gudang kakeknya.
"Soal jadwal dan semacam itu," katanya.
Polisi juga bertanya perihal ibunya. "Ibu saya tidak bekerja dan disokong oleh nenek," katanya. Ia mengaku ibunya tidak begitu akur dengan kakeknya. Dulu ibunya pernah bekerja di perusahaan kakeknya dan memiliki saham, namun kemudian ibu dan kakeknya bertengkar. Ia tak tahu apa yang mereka pertengkarkan tepatnya, tetapi jelas masalah uang. Kata Larry, akhir-akhir ini kakeknya kelihatan lelah dan juga risau memikirkan pajak.
Larry dan neneknya dipersilakan pulang. Sementara itu salah seorang kerabat korban, Howard Bradshaw, meminta polisi mengecek, betulkah Larry terbang hari itu. Menurut Skyhawk Aviation, Larry memesan dan membayar ongkos penerbangan untuk pukul 10.30 -12.30, tetapi ia tidak tahu sejauh mana pesawat itu dipakai.
Keesokan harinya Elaine dan suaminya, Mason Drukman, tiba, begitu pula Marilyn yang datang sendiri. Frances menyatakan beralangan datang. Ia baru akan tiba hari Selasa.
Berenice, Marilyn, Elaine, dan Mason Drukman pergi ke gudang bersama-sama Doug Steele untuk memeriksa barang-barang korban. Doug menyatakan pada tahun 1977 majikannya pernah menyuruh seorang karyawan bernama Nancy Jones mengetikkan surat wasiat. Tembusannya diberikan kepada Doug untuk ditaruh di file. Tembusan itu ada beberapa buah dan dilihat oleh beberapa orang. Yang asli dibawa Franklin ke kota, katanya untuk diserahkan ke pengacaranya.
Doug memperlihatkan tembusan surat wasiat tahun 1977 itu. Isinya secara singkat: Seluruh bisnis suku cadangnya harus dijadikan dua atau tiga perusahaan dan dibentuk holding company sebagai induknya. Para karyawannya yang sudah bekerja 30 tahun mendapat saham dan hak membeli saham sejumlah yang ditentukan olehnya. Para karyawan lain mendapat hak membeli sejumlah kecil saham.
Franklin Bradshaw menunjuk Dough Steele sebagai co-administrator hartanya. Kalau Doug meninggal atau tidak lagi mampu melaksanakannya, tugasnya digantikan oleh Clive Davis dan kalau Clive Davis meninggal atau tak mampu lagi, tugasnya dialihkan kepada Neil Swan. Kalau Neil Swan meninggal atau tak mampu lagi melaksanakan tugas itu, maka yang berhak menggantikan tugas co-administrator adalah Walker Bank & Company.
la juga menunjuk putrinya, Marilyn Reagan, sebagai co-administrator. Kalau Marilyn meninggal atau tak mampu lagi melaksanakan tugasnya, ia digantikan oleh Elaine Drukman dan kalau Elaine Drukman meninggal atau tak mampu melaksanakan tugasnya, ia digantikan Walker Bank & Trust Co.
Pembagian harta setelah dipotong saham-saham untuk karyawan ialah sepertiga untuk Berenice, sepertiga untuk Marilyn, dan sepertiga untuk Elaine. Menurut Doug, ketika Franklin memperlihatkan surat wasiat itu kepadanya ia tertegun. Bukan saja karena ia diangkat sebagai co-administrator, melainkan juga karena Frances tidak diberi warisan.
"Anda tidak main-main?" tanya Doug.
"Tidak," jawab Franklin.
Sebenarnya pada tahun 1970 Franklin pernah membuat surat wasiat yang menunjuk istrinya sebagai pewaris seluruh hartanya. Harta itu diwariskan dalam bentuk trust dengan wali Walker Bank & Trust Company. Pantas kalau di depan Detektif Campbell Berenice menyatakan tidak suka dengan bunyi surat wasiat suaminya, sebab kalau dulu ia mewarisi seluruh harta, kini cuma sepertiganya.
Namun, di mana pun keluarga mencari, mereka tidak berhasil menemukan surat wasiat asli tahun 1977 maupun 1970. Yang ada cuma salinan-salinannya. Sementara itu para karyawan dengan sedih melihat keluarga mengaduk-aduk kantor tempat mereka bekerja pada saat mayat masih belum diperabukan.
Yang ditemukan keluarga cuma tetek bengek dan uang yang diselipkan di sana-sini oleh Franklin Bradshaw yang eksentrik itu.
Istri, anak, cucu, sama saja
Bradshaw sebenarnya mempunyai sembilan saudara, tetapi tinggal dua yang masih hidup. Seorang di antaranya, Bertha, segera menasihati Berenice agar meminta jasa pengacara, demi kebaikan Berenice dan anak-anaknya, namun janda Franklin menolak.
Hari Senin itu Clive Davis dan Neil Swan yang mengetahui diri mereka termasuk orang yang dicurigai lantas datang menghadap Detektif Joel Campbell. Polisi sudah tahu sedikit perihal kemelut dalam keluarga Franklin Bradshaw dari Doug Steele dan kini dua karyawan kepercayaan lain merasa tidak bisa lain daripada menceritakan apa yang terjadi pada musim panas 1977 di gudang Bradshaw.
Beberapa waktu sebelum musim panas 1977 itu majikan mereka dengan bangga memperlihatkan rapor putra-putra Frances, yaitu Larry dan Marc. Kedua anak itu pandai di sekolah. Ibu mereka pun dulu begitu. Franklin senang keduanya ingin membantu di gudang selama liburan musim panas. Franklin mengharapkan kedua anak itu bisa meneruskan usahanya.
Keduanya tiba dan Franklin memanjakan mereka. Namun segera ketahuan bahwa Larry mencuri sebagian uang yang akan disetorkan ke bank oleh seorang karyawan. Mereka juga kepergok menggerataki laci-laci. Beberapa waktu kemudian ketahuan bahwa cek-cek Franklin hilang, begitu juga saham-saham. Cek-cek itu ternyata sudah diuangkan di New York oleh Frances, dengan tanda tangan palsu. Saham-saham yang kemudian ketahuan dicuri ternyata sudah dijual. Franklin kebobolan AS $ 300.000. Setelah peristiwa itulah Franklin membuat surat wasiat baru yang tidak mencantumkan Frances sebagai ahli waris. la menyuruh seorang karyawan mengetikkan surat wasiat itu.
Memalsukan dan mencuri saham pernah dilakukan pula oleh Frances pada masa silam, yaitu ketika ia membantu di tempat ayahnya. Bahkan Berenice, janda Franklin, pernah juga memalsukan tanda tangan suaminya, sedikitnya dua kali, yaitu setelah kedua cucunya ketahuan mencuri, sehingga suaminya tak mau membiayai sekolah mereka. Uang hasilnya sekitar AS $ 7.000 dikirim kepada Frances. Berenice pun pernah kepergok karyawan bernama Nancy Jones sedang menggerataki lemari file Franklin pada masa itu, padahal tadinya setahu Franklin dan para karyawan, kunci file itu cuma satu, milik Franklin sendiri. Nancy Jones adalah karyawan yang diminta Franklin mengetikkan surat wasiat barunya.
Selasa siang giliran Marilyn yang diwawancarai. Ia lebih terus terang daripada para karyawan. Kata Marilyn, Frances yang tidak bekerja itu memeras Berenice. Frances yang berulang-ulang membutuhkan perawatan psikiater itu, orangnya bisa kasar, bisa halus. Walaupun ia sering kasar kepada ibu dan anak-anaknya, namun ia bisa memeras mereka agar mau menuruti keinginannya. Kalau tidak dituruti, orang bisa merasa berdosa kepadanya.
"Apakah Anda menaruh curiga kepada Clive Davis dan Neil Swan?" tanya Campbell.
"Tidak," jawab Marilyn tegas. Ia juga menceritakan bahwa bersama Elaine ia sudah memeriksa surat-surat ayah mereka dan bahwa ibunya tidak menghendaki mereka berdua menginap di rumah ibu mereka kalau Frances sudah datang, karena ibu mereka khawatir mereka bertengkar dengan Frances.
Marilyn ternyata tahu apa yang terjadi di gudang pada musim panas tahun lalu. Elaine pun diwawancarai. Berbeda dengan Marilyn, ia lebih tertutup. Namun, seperti Marilyn dan para karyawan, ia tidak percaya ayahnya dibunuh perampok. Seperti Marilyn dan para karyawan, ia yakin yang membunuh ayahnya ialah Larry atas suruhan Frances.
Para detektif berpikir: Betulkah begitu? Semua orang menuduh demikian, tetapi bukankah yang lain pun patut dicurigai?
Tak ada pengacara datang
Sebenarnya sejak mayat Franklin Bradshaw ditemukan, polisi sudah memeriksa hotel-hotel di sekitar tempat itu. Siapa tahu di antara penginap ada orang yang patut dicurigai. Ternyata tidak ada.
Hasil pengambilan sidik jari di kantor Bradshaw pun tak mengungkapkan sesuatu. Polisi tidak bisa menemukan orang yang menyaksikan kepergian Franklin Bradshaw dan Larry dari rumah Bradshaw di Glimer Drive, sehingga tidak bisa mengecek pukul berapa Bradshaw pergi dan pukul berapa Larry pergi. Menurut kesaksian Don, Jean, dan Craig Bradshaw, Berenice bercerita bahwa sesaat setelah Franklin pergi, ia menyiapkan sarapan untuk cucunya yang harus berangkat pergi ke tempat latihan terbang, tetapi kepada polisi Berenice memberi keterangan bahwa Larry berangkat pukul 10.00.
Apakah ia terlibat atau cuma ingin melindungi cucunya? Campbell menanyakan jam keberangkatan Larry sekali lagi kepada Berenice dan Larry. Mereka bersikeras Larry berangkat pukul 10.00.
Hari Rabu jenazah Franklin Bradshaw dikremasi. Sepulang dari mengantarkan jenazah, keluarganya menerima orang yang menyatakan ikut berduka cita di Gilmer Drive. Jelas kelihatan bahwa keluarga itu tidak akur. Frances dan Berenice berada di pihak satu, sedangkan Marilyn dan Elaine di pihak lain. Namun, sore itu Berenice dan Frances pun sudah saling bentak, sedangkan Larry tidak diacuhkan oleh ibunya, seakan-akan ia tak ada.
Sore itu Campbell meminta Frances datang dan menanganinya dengan hati-hati. Berlainan dengan saudara-saudaranya dan para karyawan, Frances yakin ayahnya dibunuh oleh perampok, karena seperti kata ibunya, tempat itu daerah rawan. Ia ditanyai perihal pencurian yang dilakukan oleh anak-anaknya dan juga tentang pemalsuan cek.
"Ibu saya pun melakukannya sejak dulu-dulu,"' jawabnya. Singkatnya polisi tidak berhasil mendapat keterangan yang berarti dari Frances Schreuder.
Surat wasiat Franklin Bradshaw yang dibuat tahun 1970 maupun 1977 tetap tidak bisa ditemukan, sedangkan Walker Bank menyatakan tak pernah dihubungi soal itu. Para pengacara pun tak ada yang datang untuk memberi tahu bahwa mereka memegang surat yang asli.
Campbell pikir, mungkin Bradshaw membuatnya tanpa diperlihatkan kepada pengacaranya, atau siapa tahu sengaja dilenyapkan? Campbell teringat pada gembok-gembok di gudang yang terbuka. Menurut Doug, gembok-gembok itu pasti terkunci waktu ia tinggalkan. Untuk mengeceknya, Campbell menanyai karyawan yang pulang paling akhir pada hari Sabtu. Karyawan itu pulang lebih dulu dari Franklin Bradshaw. Sebelum pulang ia memeriksa apakah pintu-pintu sudah digembok. Memang semua sudah terkunci.
Campbell menanyai Larry, apakah ia datang ke gudang untuk membuka pintu-pintu itu? Larry menyangkal. Ia tidak punya kuncinya, katanya.
Elaine mengancam
Bulan demi bulan berlalu tanpa ada kemajuan. Semua anggota keluarga Bradshaw sudah kembali ke kediamannya masing-masing. Bulan Agustus 1978 Larry masuk Lehigh University (universitas tempat dulu Lee Iacocca, mantan chief executive dari Chrysler, belajar).
Berenice dengan pertolongan para pengacaranya sudah bisa menikmati uang suaminya dengan leluasa. Toko-toko suku cadang suaminya sudah dijual. Seluruh harta Franklin Bradshaw jumlahnya ± AS $ 25 juta, walaupun banyak orang berpendapat toko-tokonya mestinya bisa menghasilkan lebih banyak, kalau tak dijual buru-buru.
Kemudian terjadi suatu peristiwa: Marc yang pandai di sekolah menengah berasrama di Kent, Connecticut, ternyata begitu lulus lantas membongkar toko berulang-ulang sehingga ditahan polisi. Ia diketahui juga pernah memaksa temannya minum racun dan berniat meledakkan laboratorium. Akibatnya, namanya dihapus dari daftar alumni dan ia tak jadi diterima di Trinity College di Hartford, Connecticut.
Namun, Marc selalu boleh pulang ke rumah Frances. Anehnya, Larry tak boleh pulang, sehingga ia harus berlibur di mana-mana dan berusaha setengah mati untuk bisa diterima oleh ibunya. Perlakuan seperti itu diterima Larry sejak ia masih awal remaja, bukan baru-baru ini saja.
Kalau dulu neneknya selalu mau menerimanya, kini neneknya itu pun dingin saja. Larry jauh-jauh mencari tempat ibunya berlibur bersama neneknya, tetapi ternyata ia cuma disuruh enyah dengan dibekali uang AS $ 50 oleh Berenice, sehingga terpaksa tidur di pantai.
Berenice pergi liburan dengan putrinya, karena rumahnya sedang didandani: diberi AC, garasi, dsb. Berenice ingin menikmati sisa hidupnya dengan memanfaatkan uang warisan. Sementara itu Frances yang ingin diterima di lingkungan orang-orang besar seperti Patricia Kennedy dsb. mulai menyumbangkan ribuan dolar untuk amal. Uang yang dipakai untuk sumbangan itu uang ibunya. Tampaknya Berenice selalu siap memberi uang kepada putri bungsunya itu. Tahu-tahu Larry yang sedang belajar di Lehigh menganiaya teman sekamarnya, Fred Salloum, yang ia curigai mau membunuhnya. Kepala teman sekamar itu ia pukuli dengan palu, sehingga hampir mati.
Dengan tangan terborgol Larry dibawa ke kantor polisi. Di sana ia menyatakan Fred itu mata-mata polisi. Dalam kamar Larry polisi menemukan catatan harian yang menceritakan betapa tak betahnya ia semasa di sekolah menengah. Selain itu ada buku yang biasa dipakai menempelkan foto-foto atau gambar-gambar, tetapi isinya ternyata semua tulisan yang pernah muncul di koran perihal pembunuhan Franklin Bradshaw. Polisi setempat menghubungi Joel Campbell di Salt Lake City.
Saat itu Larry sudah tenang lagi dan para dokter menganggap ia tak perlu dirawat di rumah sakit. Ia menyatakan tak menyesal menganiaya temannya, malah menyesal tak membunuhnya, karena katanya, Fred memperkosa kekasih Larry, Kathy van Tyne.
Padahal Kathy sama sekali bukan kekasih Larry. Ia bahkan selalu menghindar dari Larry karena ia sudah mempunyai pacar. Ia juga tak pernah diperkosa Fred. Psikiater yang diminta oleh pengacara untuk memeriksa Larry menyatakan pemuda itu menderita paranoid schizophrenia, tak bisa melihat kenyataan, mengalami halusinasi dan delusi, sehingga perlu dirawat dengan obat maupun psikoterapi.
Setelah dinyatakan cukup waras, Larry dihadapkan ke pengadilan. Ia dinyatakan bersalah mencoba melakukan pembunuhan tanpa direncanakan, bersalah melakukan penganiayaan berat, dan bersalah membahayakan jiwa orang lain. Larry dihukum 3,5 tahun penjara.
Pada bulan Januari 1979 Elaine Drukman heran, mengapa dividen dari saham-saham Mountain Fuel atas nama putra-putranya begitu kecil. Dengan pertolongan FBI ia berhasil mengetahui apa yang terjadi. Ternyata Frances dengan salinan surat kelahiran Elaine membuka rekening bank di New York dan tempat-tempat lain. Dengan surat-surat palsu dan tanda tangan palsu ia menjual 700 dari 800 saham milik putra-putra Elaine. Uangnya dimasukkan ke rekening-rekening itu, lalu dipindahkan ke rekeningnya sendiri.
Elaine mengancam: ia akan menuntut adiknya itu, kecuali kalau Frances mau mengganti saham-saham itu. Frances setuju, namun FBI tidak mau menerima cara damai macam begini. Berenice yang sedang dalam perjalanan keliling dunia mendapat kabar. Ia marah kepada Elaine, yang dikatakannya berlaku kejam terhadap adiknya.
Marilyn dan Elaine Drukman makin lama bertambah yakin bahwa Larry adalah pembunuh ayah mereka atas suruhan Frances. Marilyn penasaran. Ia pergi ke rumah ibunya, memeriksa ruang bawah tanah tempat Larry dan Frances sering mengurung diri setelah Franklin terbunuh. Siapa tahu di sana ditemukan senjata yang dipakai membunuh ayahnya. Ternyata harapannya itu sia-sia. Yang ditemukannya cuma serenceng kunci. Ia menelepon Joel Campbell untuk memberi tahu. Ternyata kunci itu kunci gudang tempat Franklin Bradshaw dibunuh.
Marilyn ditelepon orang yang sakit hati
Ketika harapan untuk menemukan pembunuh Franklin bertambah tipis, tahu-tahu Marilyn mendapat telepon dari seorang bernama Richard Behrens. Pria itu sahabat Frances sejak Frances masih menjadi Ny. Gentile.
Behrens mengutarakan kekesalannya kepada Marilyn. Katanya, Frances mengajaknya membuka rekening bersama, simpanan bersama di bank. Tahu-tahu semua simpanan itu dikuras oleh Frances. Marilyn lantas mengemukakan teorinya kepada Behrens perihal Larry membunuh Franklin Bradshaw.
"Kau salah. Bukan Larry, tetapi Marc," kata Behrens. "Senjatanya ada padaku di sini."
Nomor seri senjata itu, kata Behrens, N 4281919. Ia juga punya sekotak peluru yang ditinggalkan padanya oleh Marc. Katanya, Marc membawa senjata itu dari Salt Lake pada minggu keempat bulan Juli untuk ditinggalkan di tempatnya. Behrens menyerahkan senjata itu kepada Marilyn.
Menurut Behrens, Marc membelinya dari seorang "sheriff". Ternyata di kantung tempat senjata itu ada kertas dengan tulisan Marc:
Dr. Herman Cavenaugh
1805 Maberry
Midland, Texas
(915) 555 0700.
Kata Behrens, senjata itu mungkin dibeli di Midland oleh Marc, yang waktu itu menginap di rumah Cavenaugh. Marilyn melapor pada Campbell. Senjata itu berhasil ditelusuri dan ternyata betul dibeli dari seorang alat negara!
Campbell meminta ahli peluru untuk mencocokkan peluru yang keluar dari senjata itu dengan peluru dari dalam tubuh Franklin Bradshaw. Tanggal 17 November 1980 Campbell diberi tahu bahwa peluru dari punggung Bradshaw cocok dengan peluru dari senjata itu.
Behrens ganti kubu
Ke mana Marc? Setelah ditolak masuk Trinity College, ia bekerja setahun sebagai kurir Mitsubishi Bank, tetapi tahun 1980 ia berhasil juga diterima di Trinity. Ia diciduk. Pengacaranya berhasil mengeluarkannya dari kurungan dengan jaminan AS $ 100.000. Ia tinggal bersama ibunya dan juga dengan Behrens, yang waktu itu sudah berhasil dirayu oleh Frances dan menyatakan menarik pulang percakapannya dengan Joel Campbell yang direkam pada tanggal 3 Desember 1980. Behrens berdalih bahwa ia mengeluarkan pernyataan itu karena terbujuk tawaran besar dari Marilyn. Marilyn sejak awal memang menyatakan akan memberi hadiah AS $ 10.000 kepada orang yang bisa memberi tahu pembunuh ayahnya.
Campbell tentu saja penasaran. Ia lantas memeriksa daftar penumpang pesawat yang datang ke Salt Lake City pada hari Franklin dibunuh dan beberapa hari sebelumnya. Ternyata seorang penumpang Continental Airlines Flight 67 yang berangkat dari Midland tanggal 22 Juli 1978, pukul 15.15, adalah Gentile/L. Bukankah nama asli Larry dan Marc Schreuder adalah Lorenzo dan Marco Gentile? (Schreuder adalah nama bekas ayah tiri mereka, yaitu suami kedua ibunya). Apakah Marc bepergian dengan memakai nama Larry?
Tiket pesawat itu dijual oleh American Airlines di New York City, tempat tinggal Frances. Diketahui pula seseorang bernama L. Schreuder meninggalkan New York City dengan United Airlines lewat Denver menuju Midland. Dari pengecekan pada keluarga Cavenaugh di Midland diketahui Marc tiba tanggal 20 Juli 1978 dan meninggalkan tempat itu tanggal 22 Juli 1978 antara pukul 15.00 dan 16.00.
Pada daftar penumpang United Airlines dari Salt Lake City tanggal 23 Juli 1978, pukul 09.25, ditemukan nama L. Schreuder. la ganti pesawat di Denver, Midland, dan Dallas sebelum tiba di New York. Tiketnya dipesan di New York City sejak tanggal 13 Juli. Marc melarikan diri, tetapi berhasil juga diciduk dan diajukan ke pengadilan sebagai orang dewasa yang dituduh melakukan pembunuhan tingkat pertama.
Gonta-ganti pesawat dan taksi
Pemilik lama .357 Magnum mengenali Marc sebagai pembeli senjatanya, begitu pula dua orang saksi penjualan. Senjata itu dibeli Marc tanggal 22 Juli 1978 di Midland sekitar pukul 10.00.
Diajukan juga seorang saksi bernama Myles Manning, yang menurut Behrens pernah diupah AS $ 5.000 oleh Frances untuk membunuh Franklin Bradshaw. Manning menerima upah itu, tetapi tidak melaksanakan tugasnya. Menurut Behrens, peristiwa itulah yang membuat Frances merasa perlu pembunuhan itu dilakukan oleh orang dalam.
Frances berteriak-teriak histeris, namun menurut psikiater ia tidak pernah dirawat di rumah sakit.
Doug Steele diminta memberi kesaksian perihal pencurian dua cek @ AS $ 10.000 oleh Marc yang sangat mengecewakan Franklin Bradshaw pada musim panas 1977.
Ketika jelas kesalahan Marc membunuh kakeknya tidak bisa disangkal lagi, pengacaranya, David Frankel, menyatakan Marc disuruh oleh ibunya. Jadi Frances yang mengatur pembunuhan itu. Sudah sejak kira-kira satu setengah tahun sebelum pembunuhan itu ibunya berkata bahwa mereka akan menjadi gelandangan kalau Franklin Bradshaw tidak dibunuh, sebab menurut surat wasiat baru si kakek, mereka tidak akan kebagian apa-apa. Marc takut nasibnya akan seperti Larry yang tidak diterima oleh ibunya. Jadi sedapat mungkin ia berusaha mengikuti tuntutan ibunya itu. Marc dan Larry bukanlah anak-anak yang populer dalam pergaulan. Mereka selalu ditolak teman dan Marc merasa ibunya merupakan miliknya satu-satunya.
Menurut Frankel, tanggal 22 Juli 1978 itu dari bandara Marc menginap di hotel yang dipesan oleh Larry. Ia memakai nama palsu David Jablonski. Paginya ia pergi ke gudang kakeknya dengan taksi. Ia berganti taksi tiga kali dan tiba antara pukul 06.00 dan 06.30.
Marc menyesal setelah membunuh. Kakeknya, katanya, tak seburuk yang digambarkan ibunya. Selesai membunuh ia pulang ke New York. Ibunya tidak ada di rumah, sedang berlibur di pantai dengan Behrens. Lama sekali mereka baru muncul. Ibunya tahu tugasnya sudah dijalankan dengan baik dari Larry yang menelepon dari Salt Lake City. Begitu bertemu dengan ibunya, Marc dipeluk lama sekali dan diciumi. Belum pernah ia mendapat perlakuan seperti itu. Ibunya sangat senang, sedangkan Marc sendiri menangis tersedu-sedu.
Setelah membunuh, Marc merasa dihantui dan ia berbuat yang bukan-bukan untuk meredakan kegelisahannya.
Marc dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan tingkat dua.
Isi koper Larry
Kini tiba giliran Frances untuk berhadapan dengan yang berwajib. Bulan November 1982 secara resmi ia ditahan dengan tuduhan melakukan pembunuhan tingkat satu.
Sekarang kita lihat keadaan di bekas asrama Larry. Tiga tahun setelah Larry menganiaya teman sekamarnya, ibu asrama yang baru berniat bebenah. Barang-barang di gudang asrama yang sudah lama tidak diambil pemiliknya akan dibuang-buangi. Ketika koper Larry dibuka, ternyata di dalamnya didapati surat wasiat asli yang dibuat Franklin Bradshaw tahun 1970. Cepat-cepat ibu asrama menelepon jaksa yang dulu menuntut Larry. Jaksa menanyai Larry, dari mana ia mendapat surat wasiat itu. Kata Larry, ia "menemukannya" di kantor kakeknya pada musim panas 1977, beberapa hari sebelum pembunuhan. Ia tidak mencurinya, katanya, cuma mengambilnya pada saat mencari uang.
Ketika ditanyakan perihal surat wasiat tahun 1977, Larry cuma tersenyum. Katanya, ia tidak tahu. Selain karyawan, ada orang lain yang tahu bahwa surat wasiat tahun 1977 memang ada, yaitu Sylvia Jean Christensen, adik tiri Franklin Bradshaw. Beberapa bulan sebelum menemui ajalnya, Franklin menunjukkan surat wasiat itu kepadanya. Mereka berbicara tentang Frances yang tidak dicantumkan sebagai ahli waris.
Sementara itu Berenice Bradshaw yang sudah tua itu berusaha menyogok Doug Steele agar menarik keterangannya tentang surat wasiat tahun 1977. Ketika Doug menolak, Berenice mengancam. Doug tidak bisa bergeming. Franklin Bradshaw laksana ayah baginya. Dulu Doug tidak kemaruk harta, sekarang pun tidak.
Akhirnya tiba juga saatnya Frances diseret ke pengadilan. Setelah mendengarkan keterangan para saksi, antara lain Behrens dan Marc, ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
(Jonathan Coleman)
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246425/demi-ibu-cucu-bunuh-kakek" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650983864000) } } [11]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124218" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/thumbnail-intisariplus-06-ramb-20220203122052.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(14) "Berry Benedict" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9392) ["email"]=> string(20) "intiplus-35@mail.com" } } ["description"]=> string(130) "Seorang adik mendapati kakaknya tewas dalam kondisi mengenaskan dan mulut menganga. Ia histeris hingga polisi datang mengatasinya." ["section"]=> object(stdClass)#144 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/thumbnail-intisariplus-06-ramb-20220203122052.jpg" ["title"]=> string(21) "Rambutnya Merah Darah" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:21:01" ["content"]=> string(23214) "
Intisari Plus - Suasana hati Inggrid Riedel pada tanggal 19 April 1967 itu sama cerahnya. la berumur 16 tahun dan menurut cermin, ia
Langit pada hari Rabu itu cerah sekali di Darmstadt, sebuah kota di Jerman Barat. Padahal pada bulan April biasanya cuaca mudah berubah-ubah.
Suasana hati Inggrid Riedel pada tanggal 19 April 1967 itu sama cerahnya. la berumur 16 tahun dan menurut cermin, ia cantik Lagi pula bel tanda sekolah usai sudah berbunyi. Di rumah pasti ibu dan kakaknya, Heidrun, sudah menunggunya untuk makan siang.
Perut Ingrid sudah keroncongan. Karena gembira, ia tidak bisa menahan diri untuk berjalan pulang sambil melompat-lompat, walaupun ia sudah menjelang dewasa sekarang.
Ingrid histeris
Rumahnya terletak di daerah elite di Jl. Leo Tolstoy 9. Se tiba di rumah, ia heran juga sebab pintu terkunci. Ingrid menekan bel. Tidak ada jawaban.
"Gimana, sih," pikir remaja itu. "Enak saja mereka pergi tanpa menunggu aku pulang makan siang dulu." Biasanya kalau ibunya dan Heidrun pergi, mereka sudah tiba di rumah kembali sebelum ia pulang dari sekolah.
Ingrid bermaksud masuk dari jendela dapur di belakang rumah. Jendela itu rusak kuncinya dan Ingrid pernah masuk lewat jendela itu dengan mendorong cukup keras.
Setiba di dalam dapur, Ingrid merasakan kesunyian yang luar biasa. Belum pernah ia merasa sesunyi itu di rumah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
"Ibu!" panggil Ingrid. Suaranya agak tertahan. "Heidrun!"
Yang menjawabnya hanyalah kesenyapan. Namun, Ingrid anak pemberani. Ia diajarkan untuk menghadapi masalah, bukan menghindarinya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres di rumah itu.
Dengan menabahkan hatinya, dari dapur yang kosong, ia masuk ke ruang depan. Dibukanya pintu, ternyata tidak terkunci. Sinar matahari bulan April menyerbu masuk. Menyaksikan kecerahan musim semi, Ingrid merasa lebih lega.
Ia naik ke tingkat atas. Kamar ayah-ibunya sudah bersih dan rapi. Artinya, ibu dan kakaknya sudah selesai bebenah sebelum pergi. Kamarnya pun sudah dibereskan. Cuma ibunya dan Heidrun tidak meninggalkan pesan tertulis di kamar itu, padahal ia mengharapkannya. Pintu kamar Heidrun tertutup. Itu biasa, mereka keluarga yang rapi. Pintu-pintu tidak dibiarkan terpentang saja.
"Heidrun!" panggil Ingrid. Tidak ada jawaban. Dengan was-was dibukanya pintu. Heidrun terbaring di ranjang, tertutup selimut sampai kepala. Ingrid merasa lega. Gila! Kakaknya bersembunyi untuk mengganggunya. Ia melompat masuk dan menarik selimut.
"Kau...," tiba-tiba saja omelannya macet di leher. Ingrid Riedel membuang muka dan berteriak-teriak histeris.
Heidrun terbaring telentang, telanjang. Rambutnya yang panjang pirang itu sudah tidak pirang lagi, tapi merah darah. Seprai sekelilingnya juga merah. Matanya yang biru terpentang seperti mata ikan mati, sedangkan mulutnya terbuka.
Ingrid melemparkan selimut yang dipegangnya. la berlari menuruni tangga dan jatuh terguling-guling, tetapi ia tidak merasa sakit. Diraihnya gagang telepon untuk menghubungi markas besar polisi di Darmstadt. Entah berapa kali ia menelepon polisi saking paniknya.
Lima menit kemudian, ketika mobil patroli polisi tiba, mereka melihat Ingrid terbaring di tangga di muka pintu rumah, disinari matahari musim semi yang cerah. Ia cuma bisa berbicara sambil berbisik, sebab suaranya parau karena habis dipakai berteriak-teriak.
Tidak ada seorang pun tetangga yang muncul untuk menolongnya. Maklum jalan itu tempat tinggal orang-orang kaya, sehingga letak rumah saling berjauhan.
Palu berdarah
Seorang polisi menemani Ingrid, sedangkan yang seorang lagi masuk ke dalam dengan pistol siap ditembakkan. Beberapa menit kemudian ia muncul lagi dengan pistol sudah disarungkan dan wajah yang memperlihatkan bahwa ia shock.
Heidrun baru berumur 20 tahun dan ia cuma dua tahun lebih tua. Siang itu, untuk pertama kalinya ia menyaksikan korban pembunuhan.
"Pembunuhan," katanya dengan suara perlahan. Ia tidak berani memandang gadis remaja yang sedang menangis di hadapannya. "Saya akan menelepon ke kantor."
"Tanyakan sekalian apakah gadis ini boleh kita antar ke rumah sakit," pesan temannya. "Rasanya dia mesti dirawat dokter."
Dari kantor polisi, mereka mendapat jawaban agar seorang dari mereka mengantar gadis itu ke rumah sakit, tetapi yang seorang lagi harus menjaga rumah tempat pembunuhan, sampai para petugas dari Bagian Penyidikan Pembunuhan tiba.
"Tengkoraknya pecah di banyak tempat," kata dr. Phillip Frenzl dari Bagian Penyidikan Pembunuhan kepada Inspektur Ludwig Eberling. "Alat pemukulnya pasti berat, seperti palu atau belakang kapak. Ia meninggal belum sampai dua jam."
"Kejahatan seksual?" tanya Inspektur.
"Mungkin motifnya seks," jawabnya. "Tetapi ia tidak diperkosa. Ia masih perawan."
"Mungkin ia tidur telanjang," kata Sersan Detektif Gunther Weber sambil merangkak-rangkak menyelidiki tempat itu. "Ah, ha! Ini dia!"
"Apa?" tanya Inspektur yang segera berlutut untuk ikut melihat temuan Weber.
"Palu. Palu besar. Lihat, seperti ada darahnya."
"Biarkan di situ," kata Inspektur. "Mungkin itu alat pembunuhnya. Nanti dipotret dulu. Panggil orang-orang laboratorium, komplet. Kalau bisa mendapatkan banyak petunjuk, kita bisa mencari si pembunuh sebelum ia kabur jauh. Sekarang aku akan memeriksa rumah ini dulu."
Gunther memanggil orang-orang laboratorium dari mobil polisi yang diparkir di depan rumah. Ia sekalian menelepon rumah sakit untuk menanyakan keadaan gadis yang tadi dibawa petugas patroli ke sana. "Apakah gadis itu boleh ditanyai?" tanyanya kepada dokter.
"Tidak bisa," jawab dokter. "Ia sudah diberi obat tidur yang kuat. Ia mengalami shock yang hebat. Anda harus hati-hati menanyainya kelak, sebab pengalamannya bisa memberi pengaruh permanen."
"Apakah gadis itu diserang juga?" tanya Sersan Detektif.
"Dia tidak bisa bercerita apa-apa, tapi kata petugas patroli, gadis itu menemukan mayat, mungkin mayat kakaknya."
Motifnya seksual?
Saat Sersan Detektif masuk kembali ke dalam rumah, Inspektur Eberling muncul dari tangga basement.
"Di bawah ada satu lagi," katanya menggerutu. "Panggil Philipp dan bantu saya. Entah ada berapa mayat di rumah ini." Ternyata cuma ada dua.
Wajah wanita di basement itu mirip betul dengan wajah wanita di kamar atas. Kemudian diketahui wanita itu Erna Riedel (48). Ia juga ditemukan telentang dalam keadaan telanjang dan kepalanya retak di beberapa tempat, tetapi mata dan mulutnya tertutup.
Ia pun tidak menunjukkan tanda-tanda diperkosa. Dokter memperkirakan ia tewas hampir berbarengan dengan mayat di atas. Kedua mayat itu pun dibawa untuk diautopsi.
Sementara diduga keduanya dibunuh dengan alat yang sama. Mungkin wanita di basement itu dibunuh lebih dulu, lalu pembunuh naik ke atas membunuh wanita yang lebih muda dan palunya ditinggal di sana.
Menurut teknisi laboratorium, kedua wanita itu bukan nudis. Pakaian mereka dicopot segera setelah mereka tewas. Di pakaian mereka relatif ditemukan sedikit darah. Apa maksud pembunuh mencopoti pakaian korbannya?
Menurut teknisi laboratorium, alasannya seks. Ada cairan sperma di lantai dan di atas tubuh wanita yang lebih tua. Jadi, pembunuhnya diduga orang yang mempunyai kelainan seksual. Namun, mengapa ia mesti membunuh? Ia tidak perlu susah-susah mencari mitra untuk hal seperti itu.
Dr. Frenzl menjawab, "Melihat kekejamannya saya tidak percaya kalau ia membunuh hanya karena ingin melakukan masturbasi di atas wanita telanjang. Kekerasan yang dilakukannya merupakan bagian dari pola tingkah laku seksual dan tidak mengherankan kalau pelakunya kemudian diketahui pernah tercatat melakukan penyerangan terhadap para wanita.
Bukan memperkosa, maksud saya. Mungkin saja ia tidak mampu melakukan perkosaan konvensional. Yang saya maksud ia menyerang wanita untuk membuka pakaian mereka."
Pukul 19.00 hari itu juga dr. Philipp Frenzl datang ke kantor Inspektur Eberling untuk melaporkan penemuan-penemuan pendahulu pada autopsi yang belum selesai.
Diketahui Heidrun dan ibunya, Erna Riedel, meninggal sekitar pukul 09.30. Mereka mengembuskan napas terakhir diperkirakan paling-paling selang setengah jam.
Sementara itu Sersan Detektif Gunther Weber melakukan pengecekan di Frankfurt dan Mannheim yang berdekatan atas catatan polisi mengenai kejahatan-kejahatan berkelainan seksual.
Tak ada yang hilang
Dr. Frenzl memberi tahu bahwa palu yang ditemukan di kamar Heidrun adalah alat yang dipakai membunuh kedua wanita itu. Namun, pada palu hanya ditemukan sidik jari Ny. Riedel.
Laboratorium menarik kesimpulan, palu itu milik keluarga Riedel dan Ny. Riedel menyerahkannya kepada si pembunuh. Tentu saja tanpa mengetahui alat itu akan dipakai untuk membunuhnya.
"Bagaimana suami Ny. Riedel? Sudah bisa diketahui ada di mana?"
Inspektur mengangguk. "Ia sedang berada di Austria untuk bisnis," katanya. "Saya sudah berbicara dengannya ditelepon. Ia akan kembali malam ini. Katanya, ia tidak tahu siapa yang mungkin melakukannya. Pasti orang gila," katanya.
"Rasanyamemang demikian," kata dr. Frenzl. "Jadi, apa yang akan kaulakukan?"
"Ny. Riedel punya buku alamat. Selain nama dan alamat teman-teman serta sanak keluarganya, tercatat nama-nama tukang kebun, tukang leding, dsb. Di belakang tiap nama ia memberi keterangan perihal pekerjaan mereka. Karena tak ada tanda-tanda pergulatan di rumah itu, diduga pembunuhnya seorang yang mereka kenal, yang dibiarkan masuk oleh penghuni rumah."
"Kalau betul Ny. Riedel menyerahkan sendiri palu itu kepada pembunuh, mestinya si pembunuh diharapkan melakukan sesuatu dengan palu itu. Mungkin ia seorang tukang yang pernah bekerja membetulkan sesuatu di rumah itu."
Dr. Frenzl sependapat. Kata Inspektur Eberling, ia sudah mengutus empat orang untuk mencari mereka yang namanya tercantum pada buku itu.
Ternyata hasilnya tidak menggembirakan. Hampir semua tukang terbukti bekerja di tempat lain pagi tanggal 19 April itu. Cuma dua orang yang tak bisa dihubungi. Seorang tak bisa dijumpai, dan seorang lagi sedang ke luar negeri. "Nah, dia yang paling patut dicurigai," kata dr. Frenzl. "Kapan dia pergi?"
"Kata istrinya, kemarin. Kalau si istri tidak berbohong dan ia betul-betul ke luar negeri, ia juga tidak. bisa dicurigai."
Kemudian telepon berbunyi. Menurut laporan anak buah Inspektur, tukang yang tidak bisa ditemukan ternyata tercatat pernah merampok dan membongkar rumah. Namanya Klaus Schmidt (42), pekerjaannya tukang leding.
Inspektur termangu-mangu. Di rumah keluarga Riedel dijumpai banyak barang berharga, bahkan uang dalam jumlah cukup banyak. Barang-barang itu tidak diambil.
Kalau Schmidt yang masuk ke sana, mengapa barang-barang itu tidak digondol pergi? Ataukah ada sebagian yang dibawa pergi? Hal itu baru akan diketahui kalau nanti malam Riedel pulang.
"Catatan kejahatannya tidak menunjukkan bahwa ia pelaku kejahatan seksual," kata dr. Frenzl.
"Siapa tahu Ny. Riedel dan putrinya memergoki dia mencuri, sehingga ia membunuh mereka. Untuk menghilangkan kecurigaan terhadapnya, ia tidak mengambil apa-apa dan memberi kesan seolah-olah itu kejahatan seksual.”
“Jangan lupa, Philipp, kalau Giinther tak menemukan apa-apa di Frankfurt dan Mannheim, kita tidak punya catatan mengenai penjahat seks yang pernah menjalankan kejahatan dengan cara seperti itu. Lebih beralasan untuk mencurigai pembunuh itu seorang tukang daripada seorang penjahat seks."
"Tukang yang ke luar negeri itu, siapa dia?" tanya dr. Frenzl.
"Hans Schutz (33), tukang cat. Kata istrinya, ia mencari pekerjaan ke Prancis."
"Pria beristri memang tidak begitu dicurigai dalam hal seperti kuatnya dengan Schutz untuk juga mempunyai alasan yang sama kuatnya dengan Schutz untuk tidak dicurigai," kata dr. Frenzl.
Tidur pulas
Sersan Detektif Weber melapor, ia tidak bisa menemukan catatan kejahatan seksual yang serupa dengan yang terjadi itu di Darmstad, tidak juga di kota-kota lain yang berdekatan. Klaus Schmidt, si tukang leding maling pun, tak bisa ditemukan.
"Ia meninggalkan kamar sewaannya tanpa permisi, padahal uang sewa yang dibayarkannya di muka masih tersisa untuk beberapa waktu lagi. Ia meninggalkan kamar sewaan itu bukan pada tanggal 19 April, tetapi beberapa waktu sebelumnya.”
“Namun, diketahui ia pernah membongkar rumah dengan rencana matang lebih dulu. Ia membuat kunci-kunci palsu dari rumah besar yang dikerjakannya. Baru kemudian ia datang untuk mencuri. Di rumah Ny. Riedel mungkin ia berbuat serupa, lalu tertangkap basah."
"Periksa kunci-kunci rumah Ny. Riedel. Kalau-kalau ada yang aneh," perintah Inspektur. Ia juga memerintahkan agar Klaus Schmidt dicari sampai dapat. Dua puluh empat jam kemudian, Schmidt dijumpai di Bar Tip-Top di Darmstadt. Hampir setiap sore dia ada di sana.
Waktu Sersan Detektif Weber memperlihatkan kartu identitasnya sebagai petugas dari Bagian Penyidikan Kejahatan, ia melompat dengan kegesitan yang mencengangkan.
Ia kabur menuju pintu belakang, sehingga Weber perlu memberi tembakan peringatan. Schmidt berbalik dan mengacungkan pistol juga. Sesaat keduanya berpandangan.
"Jatuhkan senjatamu dan angkat tangan," kata Weber sambil maju. Saat itu, di antara pengunjung bar ada orang yang mau membantu Schmidt. Orang itu melemparkan sebotol bir kepada Sersan Weber.
Sersan itu kebetulan sedang bergerak dan lemparan itu sendiri kurang tepat. Yang kena malah wajah Schmidt. Sersan Weber memanfaatkan kesempatan ini untuk mencengkeram dan memutar lengan Schmidt yang bersenjata serta menodongkan pistolnya sendiri ke perut Schmidt.
"Ayo, lepaskan senjatamu," kata Weber keras. Schmidt melepaskan senjata itu. Weber cepat-cepat memborgolnya. Sebelum meninggalkan bar, Weber mengeluarkan duit untuk diserahkan kepada pelayan bar.
"Bir gratis untuk orang yang melempar botol," katanya. "Polisi menghargai bantuannya." Setelah itu Weber menggiring Schmidt pergi. Tukang leding itu tak hentihentinya mengumpat.
Di markas besar polisi Schmidt ditahan dengan tuduhan melawan waktu akan ditahan dan memiliki senjata yang mematikan tanpa izin. Lalu ia dikirim ke sel untuk menunggu diinterogasi oleh Inspektur Eberling keesokan paginya.
Klaus Schmidt malam itu enak saja tidur pulas. Keesokan harinya Inspektur Eberling tidak bisa mengorek keterangan apa-apa darinya. Ia tidak ingat di mana ia berada sepanjang pagi sampai menjelang siang pada tanggal 19 April. Mungkin sekali ia tertidur entah di mana. Ia menyangkal membunuh orang.
Tanggal 19, bukan 17
Inspektur Eberling jengkel betul menghadapi Schmidt, tetapi ia mendapat kesan bukan Klaus Schmidt pembunuh yang mereka cari.
“Satu-satunya kemungkinan lain, ya si Schutz," kata Sersan Weber. "Namun kata istrinya, ia ada di Prancis."
"Itu kata istrinya," jawab Inspektur. "Betulkah ia ada di sana? Bawa istrinya kemari."
Ny. Marta Schutz bisa menunjukkan bukti hitam di atas putih.
"Ini," katanya seraya menunjukkan secarik kertas. "Hans mengirim surat ini pada hari ia berangkat, tanggal 17 April."
Inspektur membaca surat itu. Bunyinya: "Maafkan aku Marta. Kau tak akan bertemu aku lagi sebelum masalahnya dibereskan. Aku mengambil DM 50 dari uang tabungan kita bersama." Surat itu bertanggal 17 April 1967 dan ditandatangani oleh Hans.
"Mana sampulnya?" tanya Inspektur.
"Sudah saya buang."
Menurut Ny. Schutz, mereka baru datang dari Jerman Timur empat bulan sebelumnya. Inspektur mendapat kesan keadaan ekonomi suami-istri itu sulit. Wanita itu dipersilakan pulang.
"Puas?" tanya Sersan Weber.
"Kalau ada sampulnya, bisa kita lihat cap posnya. Kalau tanpa sampul sih, bisa saja surat itu ditulis Juli yang lalu atau tanggal 19 April siang. Kini lekas pergi ke Bank Tabungan.”
“Lihat, kapan Schutz mengambil uang DM 50 dari tabungannya. Kalau betul tanggal 17, kita lupakan Schutz. Kalau tanggalnya lain, kita hubungi Interpol." Schutz ternyata mengambil uangnya tanggal 19 April 1967.
"Si Schutz ini memang pintar," kata Inspektur Eberling. "Ia tahu pasti istrinya tidak akan repot-repot memeriksa tanggal cap pos di sampul. Ia juga tahu, kalau surat diposkan dari kantor pos pusat, surat itu akan tiba pada hari itu juga ke si alamat yang berada di kota tempat kantor pos tersebut.
Istrinya mengira si suami betul-betul memposkan surat itu tangal 17 dan baru tiba dua hari kemudian. Padahal suaminya memposkannya pada tengah hari.
Interpol tidak banyak mengalami kesulitan mencari Hans Schutz. Di Paris sebagai orang asing yang bekerja, ia harus melapor kepada polisi setempat dan dari sinilah Interpol berhasil melacaknya.
Ia dikirim pulang ke Jerman dengan tuduhan dicurigai membunuh. Sesudah beberapa bulan dalam tahanan ia mengaku juga membunuh Erna dan Heidrun Riedel. Bagaimana ia tak akan mengaku, di apartemennya ditemukan pakaian kerja bernoda darah. Pakaian itu ia sembunyikan waktu istrinya pergi berbelanja.
Ternyata hubungan Schutz dengan istrinya sudah lama renggang. Istrinya tidak bertemu dengannya sejak tanggal 17 April dan hal itu dimanfaatkannya.
Hubungan yang buruk itu menurut Schutz, termasuk salah satu sebab yang mendorongnya untuk membunuh.
"Sudah lama kami tidak hidup sebagai suami-istri lagi," katanya. "Saya tidak mempunyai uang untuk pergi ke wanita lain. Pagi itu saya bersenggolan dengan Ny. Riedel, ketika melewati pintu basement. Saya kira saya jadi kalap."
Schutz tidak mau menceritakan secara mendetail dan motif pembunuhan yang dilakukannya. la tidak tercatat pernah melakukan kejahatan seksual atau kejahatan apa pun di Jerman Barat maupun di Jerman Timur. Menurut istrinya, sebelum hubungan mereka menjadi buruk, kehidupan seks suaminya normal saja.
Tanggal 13 Oktober 1968, satu setengah tahun setelah Ingrid Riedel melompat-lompat dengan gembira dalam perjalanan pulang ke rumahnya dari sekolah tanpa mengetahui di rumahnya terjadi pembunuhan, Hans Schutz diadili.
la dinyatakan bersalah melakukan dua pembunuhan, tetapi pembunuhan itu dilakukannya tanpa rencana. Pria itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. (John Dunning)
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124218/rambutnya-merah-darah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890861000) } } [12]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3122997" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/berenang-dalam-gelapjpg-20220201060338.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(10) "Cyril Hare" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9366) ["email"]=> string(20) "intiplus-10@mail.com" } } ["description"]=> string(81) "Berhasil membunuh istrinya, Teddy Brancaster malah akhirnya melakukan bunuh diri." ["section"]=> object(stdClass)#148 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/berenang-dalam-gelapjpg-20220201060338.jpg" ["title"]=> string(20) "Berenang dalam Gelap" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:22:25" ["content"]=> string(23636) "
Intisari Plus - Gus Constantinovich, direktur Cyclops Film Ltd., mengadakan pesta syukuran di rumahnya, karena film Amy Robsart sudah selesai dibuat
Menjelang tengah malam tamu yang masih tinggal bisa dihitung dengan jari. Di lantai dansa tinggal Camilla Freyne, pemeran Amy Robsart. Ia sedang berdansa dengan seorang pria. Di sebuah pojok Lady Portiasedang mengobrol dengan seorang pria tampan bertubuh raksasa. Raksasa tampan itu, Teddy Brancaster, tidak henti-hentinya melemparkan pandangan pada Camilla. la tersipu-sipu, ketika Lady Portia dengan jitu menebak isi hatinya.
Sementara itu di bar yang terletak di seberang ruang musik itu istri Brancaster, Genevieve, sedang mengobrol dengan beberapa pria. Lady Portia mengingatkan bahwa Genevieve itu orang Prancis.
Kalau suami wanita Prancis menyeleweng, istrinya tidak akan mengamuk seperti wanita Amerika, tetapi akan mencari hiburan dengan pria lain. Wajah Teddy Brancaster memerah. Apalagi karena Genevieve sedang mengobrol dengarr pria ganteng bemama Dick Bartram.
Dilarang ikut berenang
Setelah Lady Portia pulang, musik berhenti dan pasangan di lantai dansa pun bubar. Camilla segera menghampiri Teddy Brancaster. "Teddy, saya ingin berdansa denganmu. Putar dong piringan hitam. Khusus untuk kau dan saya, yang."
Tahu-tahu Genevieve yang tadi mengobrol di seberang sudah berdiri di samping suaminya.
"Ia tidak boleh berdansa lagi, Teddy, lihat dong, dia sudah kecapekan begitu," kata si istri. Wajah Camilla memang kuyu.
"Betul," jawab suami Genevieve. "Ayo, tidur, anak kecil," sambungnya dengan lembut dan hangat.
"Ah, saya 'kan selalu tidak bisa tidur."
Pemilik rumah, Gus Contantinovich, menghampiri.
"Malam ini pasti kau bisa tidur, Camilla. Pembuatan film kan sudah selesai. Kau bisa berlega hati."
"Tapi saya ingin berdansa, Gus," kata Camilla seperti anak kecil. "Sebentaaar saja, dengan Teddy."
Teddy menggelengkan kepala. "Sudah terlalu malam untuk berdansa. Aku harus latihan berenang dulu sebelum tidur."
"Saya ikut, Teddy," kata istrinya.
"Ya, kau pasti ikut. Ke mana-mana kau selalu membuntuti aku," kata Teddy sengit. "Ayo, deh!”
"Saya juga ikut!" kata Camilla. "Asyiiik berenang di bawah bulan purnama."
"Kau harus pergi tidur," jawab Teddy tegas. "Mana ada bulan sekarang. Bintang pun tidak ada. Gelap semua."
"Ah, malah lebih siiip. Terjun dalam gelap. Begitu 'kan kata Amy Robsart."
"Camilla!" tegur Gus. "Tolong bawa ia ke kamarnya, Bu Brancaster," pinta Gus pada Genevieve. "Anda tahu 'kan yang mana? Tepat di sebelah kamar Anda. Usahakan agar ia jangan turun lagi."
Sesaat Camilla seperti akan berontak dari gamitan tangan Genevieve, tetapi kemudian menurut seperti kerbau dicocok hidung. Teddy mengawasi Camilla yang ia cintai dibawa istrinya menaiki tangga, lalu ia permisi pada Gus untuk berganti pakaian. Ia harus selalu latihan berenang, supaya otot-ototnya tidak kendur. Teddy 'kan dipakai film karena ia juara renang dan tubuhnya mengagumkan.
Raksasa gusar
Sementara itu di bar kameraman Dick Bartram digoda oleh teman-temannya.
"Percuma deh kau naksir Genevieve. Dia sih tipe wanita yang setia pada satu pria."
"Sayang, suaminya bukan pria yang setia pada satu wanita," kata teman lain. Dick tidak mau meladeni godaan itu. Ia pergi meninggalkan mereka.
Tak lama kemudian Teddy muncul. Ia sudah mengenakan pakaian renang dan membawa handuk.
"Mana sih, Genevieve?" tanyanya kepada para pria yang masih ada di bar. "Hei, Genevieve!"
"Ya, sebentar Teddy!" seru wanita itu yang muncul di kepala tangga. Tahu-tahu wajah Camilla muncul juga dari pintu kamarnya.
"Saya boleh ikut dong. Sekali ini saja deh!"
Teddy tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak!" jawab Genevieve tegas. Pintu ditutupnya.
Ketika Teddy menuju ke kolam renang, Dick Bartram mengawasi dengan iri dari kejauhan. Ia cepat-cepat menuju tangga.
"Genevieve!" panggilnya perlahan.
Dua puluh menit kemudian, ketika tamu terakhir pamit pada Gus, Teddy muncul. Badannya masih basah. "Ada di antara kalian yang melihat istri saya?" tanyanya. "Tadi katanya, dia mau ikut berenang."
"Wah, kena batunya kau sekarang. Baru tahu ya, bagaimana rasanya ditinggalkan istri," goda tamu. Teddy cuma menyeringai saja.
Ia naik ke kamarnya, lalu muncul lagi. Gus masih ada di ruang bawah.
"Gus, ia tidak ada di kamar. Ke mana, ya?" tanya Teddy risau.
"Kau mencari saya, Teddy?" tanya Genevieve yang muncul di belakang bersama Dick Bartram. "Maaf, saya tidak jadi ikut berenang ...," kata wanita itu.
Wajah Teddy pucat. "Kau .…" Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Kenapa Teddy?"
"Kenapa? Kau tidak datang berenang dengan aku? Di mana kau tadi? Apa yang kaulakukan? Jadi siapa - ya Tuhan!"
Genevieve rupanya tidak bisa menerima perlakuan itu. "Hmm, memangnya kau sering membutuhkan saya? Memangnya saya pemah mengeluh perihal Rosa, Kitty, Camilla? Sekarang kau baru tahu bagaimana rasanya, ya? Bagus!"
"Kau perempuan jalang!"
"Hei Brancaster!" seru Bartram. "Tak pantas kau berkata begitu pada istrimu. Kau kira ia dan aku ...."
"Diam, Dicky. Ini urusanku."
"Tutup mulutmu, kau berdua ...."
Pada saat itu Gus masuk tergopoh-gopoh. "Diam kalian!" katanya. "Ada yang tidak beres! Camilla tidak ada di kamarnya. Jendelanya terpentang lebar!"
"Camilla! Tidak mungkin!" teriak Teddy.
"Jangan-jangan dia tidur sambil berjalan," kata istrinya.
Dick tenang saja. "Sudah dicari di kamar mandi, Gus?'
"Sudah. Tidak ada. Tampaknya ia berganti pakaian terburu-buru, tapi ranjangnya tidak memberi tanda-tanda bekas ditiduri."
Sesaat semua terdiam, lalu Genevieve berkata, "Kita mesti mencarinya di rumah, di kebun, di mana-mana."
"Kau punya senter, Gus?" tanya Dick. Teddy tanpa menunggu lagi sudah berlari ke kebun yang gelap gulita.
"Coba ke bawah kamamya," saran Dick. Sebelum Gus bisa menyenterkan lampu, Teddy sudah melihat benda putih-putih di kegelapan. Mereka berlari ke tempat itu. Diteras batu yang berbatasan dengan halaman rumput, meringkuk Camilla yang memakai pakaian renang warna biru.
Wajahnya yang tadinya putih, rusak berat sampai tidak bisa dikenali lagi. Dari luka mengerikan di kepalanya keluar darah yang menembus handuk pembalut kepala itu dan membasahi lantai.
Teddy berlutut menangis tanpa malu-malu lagi. "Camilla! Camilla! Mengapa kau lakukan ini? Aku cinta padamu! Aku cinta padamu! Aku mau menukarkan nyawaku!"
"Teddy!" teriak istrinya. "Teddy, bangun! Kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi."
Teddy bangun. Dengan suara beringas ia berkata, "Memang kita tidak bisa apa-apa lagi'. Amy Robsart jatuh dalam kegelapan. Puas ya, kau sekarang?"
Dick naik pitam, tapi Gus melerai. Ia menyuruh Dick menelepon dokter dan polisi. Gus meminta Genevieve tinggal bersama dia untuk menemani jenazah.
Keesokan harinya, pagi-pagi Gus yang tidak bisa tidur sepanjang malam itu menjenguk ke bawah dari jendela kamamya. Jenazah Camilla sudah diangkat.
Ia melihat seorang polisi dan seorang pria berpakaian preman bercakap-cakap. Kata polisi itu, semalam Camilla diketahui sangat ingin pergi berenang, tapi dicegah. Mungkin ia bermimpi berenang dan terjun dari jendela kamarnya.
Mereka pergi memeriksa kamar Camilla yang masih dibiarkan sama seperti semalam. Pakaian bekas semalam masih berserakan. Ranjang belum memperlihatkan tanda-tanda ditiduri, jadi tak mungkin ia tidur sambil berjalan semalam. Kamar mandi juga belum memperlihatkan tanda-tanda dipakai. Handuk masih terlipat rapi, spons masih keras dan kering.
Inspektur Mallet dari Scotland Yard, yaitu pria yang berpakaian preman itu, memeriksa jendela yang memiliki langkan setinggi kira-kira 60 cm. Antara langkan dan jendela ada jarak untuk satu orang berdiri. Kalau akan terjun ke bawah, tentu harus melangkahi langkan itu.
Karena rasanya tidak mungkin orang yang tidur sambil berjalan berbuat seperti itu, polisi bernama Parkinson yang menemani Inspektur Mallet menduga bahwa Camilla sengaja bunuh diri. Supaya jangan terlalu ngeri melompat ke bawah, Camilla menutupi wajahnya dengan handuk.
"Tapi kenapa jatuhnya bukan di bawah jendelanya sendiri, melainkan di bawah jendela kamar suami-istri Brancaster?" tanya Mallet.
Tak sekamar karena ngambek
Ketika kedua detektif itu turun ke kamar makan, mereka mendapatkan Teddy Brancaster sedang makan pagi sendirian. Istrinya sarapan di kamar, katanya. Semalam mereka tidak tidur sekamar, karena sedang bermusuhan. Teddy tidur di kamar ganti pakaian, yang letaknya di lantai bawah.
"Kapan Anda terakhir masuk ke kamar tidur istri Anda?" tanya Mallet.
Teddy tampak heran. "Sebelum makan malam," jawabnya.
"Anda tidak mencarinya ke sana, ketika kembali dari kolam renang semalam?"
"Oh, ya. Saya lupa. Dia tidak ada di sana."
"Jendela kamar terbuka atau tertutup?"
"Tertutup."
"Anda yakin?"
"Yakin."
"Tahukah Anda bahwa jenazah Nona Freyne ditemukan tepat di bawah jendela itu?"
"Oh, ya?" kata Teddy perlahan. "Saya tidak tahu."
"Kalau Anda yakin bahwa semalam jendela tertutup, berarti ia tidak mungkin terjatuh dari sana 'kan?"
"Tidak."
"Ketika naik untuk berganti pakaian semalam, Anda tidak mendengar sesuatu yang mencurigakan?"
"Saya tidak naik untuk berganti pakaian. Gus meminjamkan sebuah ruangan di bawah ini untuk tempat ganti pakaian. Soalnya, lebih dekat ke kolam renang. Saya 'kan sering bolak-balik ke kolam renang."
Saat itu Mallet sudah memiliki data tentang latar belakang kehidupan Teddy. Ia sudah tahu bahwa umur pernikahan Teddy sudah enam tahun, dan selama itu Teddy pernah terlibat asmara dengan beberapa wanita.
Dari pacar-pacarnya itu, Rosa Layton tewas tenggelam ketika berlayar, Kitty Cardew meninggal karena kebanyakan minum Veronal. Teddy tidak membantah ketika Mallet membeberkan hal itu.
"Apa istri Anda cemburu kepada mereka?" tanya Mallet.
"Ya, dan kepada yang lain juga."
"Apakah terpikir oleh Anda bahwa ada hubungan antara musibah-musibah itu?"
Teddy diam saja sambil memandangi piringnya. Kemudian dengan tangan terkepal ia berkata, "Tidak pernah. Baru saat ini."
Kematian yang mendatangkan uang
Saat itu Dick Bartram masuk ke kamar makan. Karena Teddy pamitan untuk shooting, maka Mallet beralih menanyai Dick perihal detail kejadian semalam, sebelum mereka menemukan jenazah Camilla.
"Anda sungguh-sungguh melihat wajah Nona Freyne, ketika ia menjenguk dari pintu kamarnya?"
"Setelah itu, apa yang Anda sendiri lakukan?"
"Begitu Brancaster keluar rumah, saya naik memanggil Genevieve. Ia segera muncul, lalu kami pergi ke ruang di sebelah ruang musik dan tinggal di sana sampai Brancaster muncul."
"Anda tidak meninggalkan tempat itu sekejap pun?"
"Tidak."
"Dari ruangan itu apakah Anda bisa mendengar orang turun atau naik tangga?"
"Rasanya tidak. Kami bisa mendengar suara Teddy, karena ia berbicara keras-keras."
"Apa yang Anda lakukan bersama Ny. Brancaster di ruangan itu?" tanya .Mallet tiba-tiba.
Bartram menjawab tanpa ragu-ragu. "Saya mencoba membujuk Genevieve agar meninggalkan suaminya."
"Anda berhasil?"
"Tidak," jawab Dick Bartram dengan nada kecewa. "Apa pun yang saya katakan, ia tidak mau meninggalkan suaminya yang memperlakukan dia dengan tidak sepantasnya itu. Heran saya."
Kemudian Mallet teringat pada Gus. Saat itu Cyclops Ltd. sedang dalam kesulitan uang, gara-gara kecurangan yang dilakukan oleh orang dalam. Gus sudah meminta bantuan Mallet untuk mencari tahu siapa orang yang "nakal" itu.
Kematian Camilla Freyne akan mendatangkan uang asuransi 200.000 dolar bagi Cyclops. Apakah Gus yang membunuhnya? Bukankah kematian itu akan menyelamatkan keuangan mereka?
Bukan cuma uang asuransi yang akan mereka terima, tetapi masyarakat juga tentu ingin menonton film Amy Robsart, yang pemeran utamanya tiba-tiba tewas secara misterius, walaupun menurut mereka yang menyaksikan film itu semalam, Amy Robsart mengecewakan.
Seorang tenang, tiga gugup
Mallet pergi ke kolam renang yang letaknya kira-kira 70 m dari teras. Kolam itu tidak besar, mungkin panjangnya cuma 15 m dan lebarnya 7 m. Tapi perlengkapannya canggih. Ada papan loncat yang tinggi maupun rendah. Airnya bening sekali, sampai dasarnya yang ditutupi ubin biru putih itu terlihat jelas.
"Wah, bagus sekali kolam ini," katanya kepada tukang kebun yang sedang berdiri di pinggir kolam. Tukang kebun itu malah mengomel.
"Jelas bagus, karena duit yang dikeluarkan seperti air," katanya. Padahal kalau Gus dimintai uang untuk keperluan taman, pelitnya bukan main. Saking sebalnya, tukang kebun itu lantas meludah ke dalam kolam. Mallet sampai kaget.
"Nggak apa-apa kok. Aimya memang harus dikuras sekarang. Kolam ini harus dikuras dua kali seminggu, walaupun tidak kotor," katanya.
"Berapa lama Anda membutuhkan waktu untuk mengeringkannya?" tanya Mallet.
"Dua jam untuk mengeringkan dan empat jam untuk mengisi," kata tukang kebun itu.
"Mengeringkannya mudah sekali.- Putar saja kerannya. Kalau mau mengisi, tinggal putar keran lain."
Mallet masih mengobrol selama sejam dengan tukang kebun itu sebelum ia kembali mencari Gus. Gus yang tadi suram wajahnya, kini kelihatan berseri-seri.
"Di luar dugaan, Pak Inspektur! Tragedi kemarin ternyata merupakan publisitas besar bagi Amy Robsart," katanya. "Memang rupanya orang mesti belajar melihat segi positif dari segala peristiwa."
"Pak Constantinovich," kata Mallet. "Saya akan pergi dulu sekarang. Sebentar sore saya kembali. Tolong Anda usahakan agar semua orang yang menginap di sini kemarin hadir pukul 22.00."
Mallet pergi ke kantor perusahaan air leding setempat untuk mewawancarai seorang petugas di sana.
Malam itu Gus mengumpulkan Teddy, Genevieve, dan Dick di rumahnya. Untuk melewatkan waktu, mereka main kartu. Gus yang menang, sebab dia yang paling lega. Yang lain semua seperti cacing kena abu.
Pukul 20.00 Mallet datang. Gus memperkenalkannya kepada Genevieve yang tampak gugup. Ia menjelaskan maksudnya, yaitu merekonstruksi tindak-tanduk mereka semalam, mulai dari saat Camilla Freyne meninggalkan ruangan sampai ia ditemukan menjadi mayat.
'"Kan semuanya sudah kami ceritakan," protes Dick. Tapi ia menurut juga. Mereka mengulangi lagi posisi semalam, mulai dari Genevieve membawa Camilla naik ke kamarnya. Bartrain mengambil posisi di bar.
Teddy muncul dari kamar musik untuk pergi ke kamar ganti pakaian. Dick menyusul Teddy ke luar ruangan untuk duduk di ruang depan. Genevieve keluar dari kamar Camilla untuk masuk ke kamarnya sendiri. Gus menyeberangi ruang depan untuk pergi ke kamar kerjanya. Setelah itu tidak ada yang bergerak. Kemudian Teddy muncul dari kamar ganti pakaian, mengenakan pakaian renang.
"Ke mana saya harus pergi sekarang," tanyanya.
"Lha, semalam Anda ke mana?" tanya Mallet.
Teddy berjalan beberapa langkah ke kamar musik, lalu kembali lagi. "Saya mencari istri saya," kata Teddy menjelaskan.
"la memanggil-manggil dan saya keluar," kata Genevieve dari atas. "Camilla muncul di muka pintu kamarnya. Saya menyuruh dia masuk dan menutup pintunya," sambung istrinya Teddy.
"Saya pergi berenang," kata Teddy, menuju ke kamar musik lagi.
"Tunggu sebentar di situ, Pak Brancaster," pinta Mallet "Apa yang Anda lakukan, Pak Bartram?" tanyanya kepada Dick.
"Memanggil Ny. Brancaster."
"Tanpa menaiki tangga?"
"Ya."
"Anda turun, Bu Brancaster!" perintah Mallet. Genevieve turan.
"Kini mari kita pergi ke ruang sebelah," katanya. Setelah mereka masuk, Mallet pergi ke ruang musik tempat Teddy menunggu.
Kaget setengah mati
"Harus apa saya sekarang?" tanya pria tampan bertubuh raksasa itu.
"Ke mana Anda pergi kemarin?"
Teddy keluar dari pintu yang menuju ke kebun. Mallet mengikutinya. Hari ini ada bulan.
"Semalam sih gelap," kata Teddy.
"Tapi Anda tahu jalan setapak ini. Dari dekat semak-semak saya berlari untuk melompat ke air."
"Ayo, kita lari," ajak Mallet.
Mereka berlari sampai ke tepi kolam. "Silakan nyebur," kata Mallet.
Teddy marah. "Apa kata Anda?" tanyanya. Soalnya, kolam itu kosong, kering.
"Anda menyelam semalam?" tanya Mallet. Dari kegelapan di belakang mereka muncul Sersan Parkinson untuk berdiri dengan sikap waspada di sebelah Lancaster.
"Semalam Anda tahu bak ini kosong. Anda yang mengosongkannya," sambung Mallet.
"Anda mengatur agar istri Anda datang ke sini semalam, supaya ia tewas melompat dalam gelap. Anda menunggu di sini dan melihat seseorang datang untuk terjun ke dalam kolam. Lalu Anda turun ke kolam, melibat kepala wanita itu dengan handuk, supaya darahnya jangan menetes dan menaruhnya di bawah jendela kamar Anda.”
“Setelah itu Anda kembali ke rumah dan pura-pura mencari istri Anda. Anda kaget sekali melihat istri Anda masih hidup. Anda insaf bahwa yang mengikuti Anda ke kolam kosong ini bukan istri Anda, melainkan Camilla Freyne!"
Teddy gemetar. "Betul! Saya membunuhnya! Betul! Saya membunuhnya!" katanya. Raksasa itu berontak dari pegangan Mallet dan Parkinson, lalu naik ke papan lompat yang tinggi.
Dari sana ia terjun ke bawah, dengan kepala lebih dulu. Di bawah sinar bulan tubuhnya berkilat. Sekejap saja kepalanya membentur lantai dasar kolam.
(Cyril Hare)
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553122997/berenang-dalam-gelap" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643746945000) } } }