array(7) {
  [0]=>
  object(stdClass)#73 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3806927"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#74 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/127-charles-richardson-coyjpg-20230829120013.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#75 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(134) "Charles Richardson sering melakukan tindakan kriminal. Para korban tidak ada yang berani melapor. Sayangnya ia tidak selalu beruntung."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#76 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/127-charles-richardson-coyjpg-20230829120013.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "Charles Richardson Coy"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-29 12:00:23"
      ["content"]=>
      string(30661) "

Intisari Plus - Charles Richardson sering melakukan tindakan kriminal. Karena ancaman dan kekerasan, para korban tidak ada yang berani melapor. Sayangnya ia tidak selalu beruntung.

----------

Tewasnya Thomas Homes Waldeck pada hari 29 Juni 1965 ternyata hanyalah bagian yang kecil dalam rangkaian tindakan kriminal yang dilakukan oleh Charles Richardson Coy di Inggris. Meski disebut “kecil”, itu peristiwa itu termasuk yang paling penting. Thomas Homes Waldeck adalah seorang pengusaha pertambangan di Melrose, Johannesburg, Afrika Selatan.

Dengan disebutkannya nama dua negara, bisa diketahui betapa luasnya daerah operasi aktivitas kejahatan itu. Jelasnya, perkara pembunuhan Waldeck di Afrika Selatan mulai terungkap di Welwyn, Hertfordshire, Inggris.

Pada tanggal 8 Oktober 1965, seseorang bernama James Taggart memasuki Pos Polisi Welwyn. Dalam pengakuannya yang disampaikan kepada petugas Gerald McArthur, Taggart mengemukakan bahwa ia pernah berurusan bisnis dengan Charles Richardson. 

Menurut Richardson, kata Taggart, Taggart masih berutang padanya sebanyak 1.200 pound. Di bulan Juli 1965, ia diundang oleh Richardson untuk membicarakan sesuatu. Ternyata saat bertemu, Taggart ditelanjangi, diikat pada kursi, dan dipukuli. Masih untung Taggart hidup dan selamat. Ketika penyiksaan selesai, Taggart dipaksa pula untuk membersihkan darahnya di tempat itu.

Sejak itu Taggart hidup dalam ketakutan, jangan-jangan kaki tangan Richardson akan menyerangnya lagi. Ketika itu McArthur sebenarnya sudah mendengar desas-desus mengenai adanya geng Richardson di London dan semua kejahatannya. Keterangan Taggart memperbanyak dan memperluas bahan informasi mengenai Richardson yang ada pada McArthur.

Mata rantai kejahatan Richardson di atas itu — sebut saja kasus Taggart — barulah saya ketahui ketika McArthur mengemukakan hal tersebut dalam pertemuan antara polisi dan Scotland Yard menjelang Natal 1965. Kasus Waldeck saya ketahui dari Inspektur Kepala Detektif Arthur Rees yang pernah menginterogasi orang yang terbukti membunuh Waldeck di Johannesburg.

Orang tersebut merupakan kawula Inggris bernama Laurence Johny Bradbury. Bradbury dijatuhi hukuman mati di bulan April 1966 karena membunuh Waldeck. Tetapi kemudian vonis itu diganti menjadi hukuman penjara seumur hidup.

Bradbury, demikian kata Rees, menceritakan bagaimana dia sampai terdampar di Afrika Selatan dan terlibat dalam pembunuhan Waldeck. Katanya, semua itu berawal pada tahun 1960. Saat itu dia mulai berurusan dengan Charles Richardson dalam usaha besi tua. Juga di tahun itu, Bradbury mulai menjalankan kelab minum pada jam-jam menjelang pagi untuk kepentingan Richardson. Belum lama menjalankan kedua usaha Richardson tersebut, Bradbury sudah bosan. Terutama ketika ia mengetahui bahwa Richardson berkali-kali menggunakan truk-truk Bradbury untuk mengangkut barang-barang curian.

Richardson tampak setuju dengan rencana pengunduran diri Bradbury. Bradbury boleh meninggalkan usaha Richardson malam itu juga. Tepatnya, pagi dini hari itu juga setelah kelab minum ditutup. Tetapi ketika Bradbury meninggalkan tempat kelab minum, tiba-tiba dia disergap oleh sejumlah orang. Seseorang memukul kening Bradbury dengan kerakeling. Seorang lain melucuti pakaian Bradbury sampai terbuka dan menggores tubuh Bradbury dengan pisau cukur. Seorang lain lagi mengatakan bahwa hal-hal yang lebih buruk akan menimpa Bradbury, jika Bradbury tidak mau terus menjalankan kedua usaha Richardson.

Kaki tangan Richardson sementara puas dengan kesediaan Bradbury untuk meneruskan kelab minum. Tetapi kemudian usaha kelab minum itu diserahkan kepada orang lain dan Bradbury hanya disuruh mengurusi usaha besi tua saja. Sekarang tanpa imbalan apa pun.

Pada tahun 1961 truk-truk Bradbury disita dinas pajak. Bradbury kini mendapat kesempatan untuk menyatakan kepada Richardson bahwa dia tidak bisa lagi mengangkut besi tua milik Richardson. Bradbury berpisah dari Richardson dan berhasil mendapat pekerjaan dari suatu perusahaan angkutan. Tetapi tidak lama kemudian Richardson memerlukan sebuah mobil van untuk suatu perampokan besar. Bradbury diperintahkan supaya membajak salah satu mobil perusahaan. Bradbury menolak. Akibatnya ia dikeroyok oleh anak buah Richardson. Salah satu dari mereka menyerang Bradbury dengan pecahan botol bir. Itu menyebabkan putusnya ibu jari tangan kanan Bradbury.

Kecacatannya itu menyebabkan ia tidak lagi bisa melakukan pekerjaan yang berat-berat. Bradbury lalu berdagang kelontong dengan kereta dorong. Salah satu kaki tangan Richardson mendatangi Bradbury lagi. Ia menyerahkan beberapa pasang contoh kaus kaki nilon untuk dijual lagi. Bradbury membeli kaus kaki tersebut dengan harga 3 shilling 6 penny tiap pasangnya. Bradbury mengira bahwa barang-barang tersebut berasal dari toko kelontong yang dirampok. Kembali hubungan dengan Richardson dijalin lewat kaus kaki nilon. Bahkan Bradbury untuk seterusnya boleh mengambil dulu dan bayar kemudian.

Tetapi ketika Bradbury tidak segera bisa melunasi pembeliannya yang ketiga, dia dipanggil Richardson. Sekali lagi Bradbury dikeroyok oleh kaki tangan Richardson sampai terluka. Mata Bradbury bahkan memerlukan perawatan dengan operasi berat.

Bradbury lalu diberi usaha lain, semacam bank, untuk menghimpun dana dari 'nasabah-nasabah'. Pada akhirnya, bank itu dibuat pailit. Kepailitan 'bank' tersebut terjadi sungguh pada tahun 1964. Richardson menakut-nakuti Bradbury. Sebagai manajer 'bank' yang pailit itu, Bradbury akan ditangkap polisi bila penggelapan uang 'nasabah' sampai ketahuan. 

Dikatakan kepada Bradbury, jika dia ingin menghindari kemungkinan penangkapan itu, Richardson dapat mengusahakan kepergian Bradbury ke Afrika Selatan. Pekerjaan Bradbury di Afrika Selatan hanya akan mengawasi mesin-mesin yang digunakan dalam perusahaan pertambangan yang dijalankan oleh Richardson dan Waldeck.

Bradbury akhirnya pergi ke Johannesburg dan bekerja di sana hingga setahun lamanya dan menjadi akrab dengan Waldeck. Lalu Richardson memberi tahu Bradbury bahwa Waldeck menipu dan membuat Richardon mengalami kerugian sampai 17.000 pound. Menurut Rees dalam pertemuan dengan Scotland Yard itu, apa yang terjadi selanjutnya hanyalah dugaan belaka. 

Bradbury mengakui pergi ke rumah Waldeck dan melancarkan tembakan-tembakan senapan 'sebagai peringatan'. Tetapi selama proses di pengadilan, Bradbury membantah telah membunuh Waldeck. Menurut Bradbury, kedatangannya ke rumah Waldeck pada hari 29 Juni 1965 ditemani orang lain. Orang itulah yang turun dari mobil, mengetuk pintu rumah Waldeck, dan menembak Waldeck ketika Waldeck membuka pintunya. Bradbury sendiri, katanya, tetap duduk di belakang kemudi mobil.

Hubungan Richardson dengan perusahaan pertambangan di Afrika Selatan tidak pernah jelas. Yang pasti saja, di bulan Desember 1964 di Afrika Selatan berdiri sebuah kongsi pertambangan. Pada kongsi itu, Waldeck sebagai pemilik dari 51% sahamnya menjadi direktur utamanya. Sedangkan Richardson sebagai pemilik 49% sahamnya menjadi direktur.

Di London Richardson mendirikan kongsi serupa, tetapi imbangan saham dan manajemen berbalik: Waldeck 49% saham direktur dan Richardson 51% saham direktur utama. Entah apa maksud pendirian kongsi di London ini. Tetapi yang pasti Richardson kemudian memiliki sejumlah kongsi seperti itu, tidak bersama Waldeck, tetapi dengan orang lain di Afrika Selatan. Pada bulan Mei 1965 modal yang ditanam sudah mencapai puluhan ribu pound.

Sudah barang tentu, ketika diinterogasi oleh Rees, Richardson membantah keterlibatannya dalam pembunuhan Waldeck. Argumennya adalah kematian Waldeck bisa membuat para calon investor urung bergabung. Jadi, tidak mungkin Richardson membunuh Waldeck.

Tetapi interogasi Richardson itu setidaknya mengungkapkan banyak sekali kegiatan geng Richardson di Inggris. Charles Richardson sendiri memulai hidupnya dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Charles yang lahir di Camberwell pada tanggal 8 Januari 1934 itu harus menghidupi ibunya dan membesarkan dua adik laki-laki dan satu adik perempuan. Ayahnya entah pergi ke mana. Di usia 14 tahun Charles dimasukkan ke asrama untuk anak-anak nakal. 3 tahun kemudian Charles berhasil membeli sebuah truk dan mulai berbisnis besi tua. Tampaknya saat itulah Charles bekerja baik-baik. Setelah menyelesaikan dinas militernya, Charles bisa mendirikan Peckford Scrap Metal Coy bersama adiknya Eddie.

Sayang, justru perusahaan yang jujur ini segera menjadi semacam perisai untuk menutupi perusahaan lain yang menadahi barang-barang curian. Kongsi Charles dan Eddie itu sendiri tetap berjalan lancar dan berkembang. Kemudian Charles mendirikan anak perusahaan di Brixton dan Camberwell untuk usaha barang-barang imitasi dan di Bermondsey untuk barang-barang furnitur kantor.

Tidak hanya sampai di situ, Charles Richardson terus mendirikan pelbagai macam perusahaan, terutama untuk menyalurkan hasil produksi pabrik. Mula-mula perusahaan Richardson hanya menerima sedikit, tetapi makin lama pesanan makin banyak. Richardson tidak pernah melalaikan pembayaran sampai pabriknya menaruh kepercayaan 100% padanya. Tetapi justru pada saat itulah Richardson tidak lagi mau membayar utang-utangnya. Barang-barang pabrik akhirnya dibeli dengan pemerasan dan ancaman pembunuhan. Beberapa ancaman pembunuhan bahkan sungguh-sungguh direalisasikan.

Demikianlah seterusnya pola perbuatan jahat geng Richardson. Sesekali polisi berhasil menangkap “Ali” yang menjadi perusahaan “Babah” Richardson. Tetapi karena takut akan pembalasan, “Ali” tidak menyebutkan nama sang “Babah”. Karena itu, hanya beberapa korban saja berani melaporkan kasusnya ke polisi.

Salah satu korban yang pemberani itu adalah Jack Duval. Ia mulai berkenalan dengan Richardson di tahun 1960 di Astor Club. Richardson memberinya pekerjaan di Dentous Trading Coy. Duval dikirim ke Italia untuk memesan kaus kaki nilon dengan kredit. Ternyata tidak terlalu berhasil. Ketika tiba kembali di London, Duval dibawa ke sebuah ruangan di kantor yang dipimpin oleh Laurence Bradbury. Duval dihajar mukanya. Sebelum pulang ke flatnya di Dolphin Square, Duval dibekali pukulan-pukulan dengan stik golf. Ketika ditanya mengapa Duval diperlakukan begitu. Ia mengatakan bahwa hal itu sekadar peringatan padanya agar selalu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Richardson.

Pekerjaan Duval berikutnya ialah memesan tiket pesawat terbang. Tak satu pun tiket itu dibayarnya. Duval kemudian pergi ke Italia mengumpulkan tiket lagi. Di sanalah Duval mengetahui utang pada perusahaan-perusahaan penerbangan atas namanya telah menumpuk hingga 20.00 pon nilainya. Itu membuat Duval khawatir, jangan-jangan dia tidak dapat keluar dari Italia. Sebagai ‘bos besar’ yang baik, Charles Richardson mengirimkan paspor palsu ke Italia untuk Duval.

Setibanya di London Duval dipukuli lagi oleh orang-orang Richardson. Tetapi lebih dari itu, Duval dijebloskan dalam penjara selama 3 tahun karena berkomplot menipu perusahaan-perusahan Personal Travel Services Ltd. dan Argosy Travel Ltd., tambah 12 bulan lagi karena memberikan keterangan tidak benar dalam usahanya memperoleh paspor baru. Selama itu Duval tidak pernah dikeluarkan dari penjara kecuali beberapa kali untuk menjadi saksi ketika Richardson dan anak buahnya diperiksa di pengadilan.

Korban Richardson lainnya bernama Bernard Bridges yang pernah tinggal di Brighton bersama-sama dengan Duval. Di musim panas tahun 1964 Charles Richardson menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Duval. Bridges disuruhnya mencari Duval. Ketika Bridges menyatakan tidak sanggup, dia kontan dipukul dan ditendang oleh George Cornell yang kelak tertembak dan tewas di rumah penampungan Blind Beggar.

Laurence Bradbury dan Roy Hall membawa masuk sebuah pembangkit listrik yang disebut sebagai 'kotak' di kantor itu. Mula-mula Hall mengikat Bridges dengan kawat, lalu kaki Bridges dan bagian-bagian tubuhnya yang lain dililiti dengan kabel listrik yang dihubungkan dengan 'kotak'. Lalu giliran Bradbury menggerak-gerakkan pengungkit sehingga arus listrik mengalir ke tubuh Bridges. Setelah merasakan kejutan-kejutan listrik, Bridges menyatakan kesediaannya untuk mencari dan menemukan Duval. Kawat dan kabel dilepaskan sendiri oleh Richardson. Bridges menyatakan bahwa Duval mungkin sekali pergi ke Sale, Cheshire, ke rumah bekas istrinya. Bridges diminta segera berangkat mencari Duval dengan bekal uang 15 pound. Bridges pergi meski ia hampir tidak bisa berjalan. Hasilnya tetap nihil.

Menurut desas-desus, Charles Richardson memang ahli menyiksa dan selalu menghadiri 'sidang-sidang peradilan'. Tidak jarang dia mengenakan jubah seperti hakim dan duduk di kursi besar. Sementara itu, di meja hijaunya tersedia sebilah pisau besar atau senapan yang siap untuk ditembakkan. Selain 'kotak' listrik tersebut di atas, Richardson juga menyediakan alat-alat untuk menyiksa lainnya seperti batang besi dan kawat berduri. Tidak jarang pula 'terdakwa' disiksa dengan bara api cerutu atau giginya dicabut begitu saja dengan tang.

Ancaman akan disiksa lagi ditujukan pada korban dan keluarganya. Itu menjamin kerahasiaan penyiksaan-penyiksaan oleh orang luar. Richardson malahan tidak lupa menyewa seorang dokter yang karena satu dan lain hal dilarang berpraktik. Dokter itu mengobati si terhukum, jadi ia tidak perlu ke dokter lain dan rahasia pun terjaga. Kenyataan karena Duval tidak berhasil ditemukan oleh Bridges juga menyebabkan disiksanya Derek Harris.

Harris sebenarnya sama sekali tidak tahu-menahu mengenai Duval. Tetapi dia dipukuli, ditelanjangi, dan disetrum dengan 'kotak' juga. Terakhir, satu kakinya ditusuk di lantai dengan pisau yang biasanya diletakkan di depan Richardson saat ‘persidangan’. Entah apa sebabnya, setelah itu Harris diberi banyak wiski dan uang 1.500 pound.

Seorang lelaki lain, Benyamin Coulston, dihadapkan kepada 'hakim' Richardson di 'ruang sidang' di bulan Januari 1965. Ia dituduh menipu dua orang anggota geng sebanyak 600 pound yang awalnya akan digunakan untuk membayar pesanan rokok. Coulston ditelanjangi, dipukuli mukanya oleh Frankie Fraser, lalu dimasukkan ke dalam bak mandi yang penuh dengan air dingin. Coulston kemudian dibawa ke 'ruang sidang' kembali. Siksaan diteruskan dengan cabut gigi tapi gagal. Akhirnya anggota-anggota geng Richardson yang hadir dalam 'sidang pengadilan' itu beramai-ramai menghunjamkan api rokoknya ke tubuh Coulston.

Coulston masih ingat ketika dia diikat dengan tali terpal dan mendengar anggota-anggota geng menyebut-nyebut Vauxhall Bridge sambil memasukkan Coulston ke van. Van berangkat, tetapi Coulston sudah tak sadarkan diri lagi. Ketika siuman, Coulston mendapati dirinya kembali di 'ruang sidang pengadilan'. Ia dikelilingi oleh anggota-anggota geng yang sebagian menyeringai, sebagian lagi tertawa-tawa. Ternyata berat sekali penderitaan Coulston. Ketika dia pergi berobat ke rumah sakit, dokter menemukan batok kepala yang retak dan luka berat lainnya yang memerlukan 20 jahitan.

Sementara Coulston dirawat di rumah sakit, polisi meminta contoh darah Coulston untuk dicocokkan dengan ceceran-ceceran darah yang terdapat dalam sebuah mobil van. Tetapi ketika mengetahui maksud polisi tersebut, Coulston bangkit dari tempat tidurnya. Ia menyelinap pergi dari rumah sakit, masih dalam piama dan tanpa memberitahukan siapa pun.

Itulah sebagian dari kekejaman-kekejaman yang dapat diungkapkan. Diduga lebih banyak lagi siksaan-siksaan yang tidak dapat diungkap karena menyangkut keluarga dan sanak saudara 'terdakwa' di 'pengadilan’ Richardson. Situasinya memang sulit sekali. Polisi menduga jika Richardson juga menggaji semacam detektif pribadi. Berkali-kali polisi mengurungkan operasinya untuk menjebak Richardson karena terdapat indikasi bahwa Richardson mengetahui tiap rencana yang direncanakan polisi di Scotland Yard.

Pada suatu siang musim panas tahun 1966 kami, McArthur dari Kantor Polisi Welwyn, Detektif Don Adams, dan saya sendiri, mengadakan rapat untuk merencanakan operasi baru. Kami yakin, tiap anggota geng mengira bahwa mereka tidak akan tertangkap.

Untuk mendukung perkiraan mereka itu, McArthur kami tugasi untuk libur panjang ke Austria. Kami meminta agar media massa memberitakan soal kepergian McArthur ke luar negeri itu, termasuk foto-foto liburannya.

Tetapi sebenarnya McArthur hanya beberapa hari saja berada di luar negeri. Akhir bulan Juni 1966 dia sudah tiba kembali ke London. Pukul 3 dini hari 70 orang detektif berkumpul di suatu tempat di London. Mereka mendengarkan pengarahan terakhir dari McArthur yang baru saja tiba dari luar negeri. Pukul 6 mereka disebar untuk mendatangi rumah-rumah anggota geng Richardson.

Sebelum tengah hari mereka berhasil menangkap 10 orang laki-laki dan seorang wanita anggota geng Richardson di rumahnya masing-masing. Mereka adalah Charles Richardson (32 tahun) dari Denmark Hill, istrinya Jean Richardson (29); Albert John Longman (40), direktur perusahaan; tanpa alamat tetap; Roy Hall (25), pemeriksa besi tua, dari Bromley Kent; Robert St. Leger (44), pedagang dari Woodford Green, Essex; James Thomas Fraser (24), penjaga pintu sekaligus pesuruh, dari Camberwell; James Kensitt (51), pedagang dari Croydon, Surrey; Brian Oseman alias Morse (34), penjaga pintu dan pesuruh, dari Peckham; Thomas Clark, pengangguran, dari Fulham; dan Alfred Berman (51), pedagang partai besar, dari Kenton, Middlesex.

Sedangkan yang terakhir adalah Derek Mottram (32), penjual makanan dan minuman, dari Brixton. Ia tidak ditahan karena sakit. Mottram langsung dimasukkan ke rumah sakit di Middlesex. Semuanya ditangkap dan ditahan atas tuduhan mendapatkan uang dengan ancaman, penyerangan, siksaan fisik, dan penggelapan barang-barang dagangan.

Tanggal 4 April 1967, dengan Hakim Lawton di Old Bailey, dimulailah salah satu peradilan yang terpanjang dalam sejarah kriminalitas Inggris. Tertuduhnya meliputi Charles Richardson, Edward Richardson, Jean Richardson, Roy Hall, Alfred Berman, Francis Fraser, James Moody, Thomas Clark, dan Albert Longman. Mereka bersama-sama dikenai 22 tuduhan yang meliputi perampokan, kekerasan, menuntut uang dengan ancaman, melukai, dan menyebabkan cacat fisik, serta penyerangan. Semua itu dilakukan dalam jangka waktu 2,5 tahun sejak September 1963. Semua tertuduh menyangkal dan menyatakan dirinya tidak bersalah.

Edward Richardson dari Chislehurst, Kent, dan Frankie Fraser harus diambil dulu dari penjara, di mana mereka menjalani hukuman untuk kejahatan lainnya. Keduanya dijatuhi hukuman 5 tahun karena turut serta dalam keributan dan perkelahian di Mr. Smith's Club, Catford, pada tanggal 7 Maret 1966.

Jaksa Sebag Shaw selaku wakil Mahkota menuduh bahwa geng Richardson ingin menegakkan kekuasaan mutlak untuk Charles Richardson atas sejumlah perusahaan penyalur barang-barang hasil pabrik, di mana sebagian besar utangnya tidak dibayarkan kepada yang berhak. Perusahaan-perusahaan itu sendiri sebenarnya juga hanya sebagai latar belakang dan motif untuk sejumlah perbuatan kekerasan yang dilakukan dengan kejam dan berdarah dingin. 

Setelah beberapa orang korban mengajukan kesaksian, salah satu tertuduh, Alfred Berman, tampil dengan pembelaan dirinya. Pembelaannya itu melibatkan hampir semua sesama tertuduh. Berman mengatakan bahwa sebagai pengusaha, dia menaruh minat besar pada tawaran Charles Richardson untuk menanam modalnya di bidang pertambangan di Afrika Selatan. 

Usaha Berman bergerak di bidang perhiasan rambut yang beromzet 300.000 pound setahun. Dia memberikan sahamnya sebanyak 50.000 pound, tetapi belakangan diketahuinya bahwa 30.000 pound dari sahamnya itu masuk kantong pribadi Richardson. Ketika hal ini dikemukakan, Richardson menyatakan bahwa yang benar ialah jumlah itu dipinjamkan kepada Richardson pribadi. Saat menunggu diadili di tahanan, Berman melihat bahwa tanda tangannya ada dalam surat pinjaman 30.000 pound pada Richardson pribadi.

Berman menyangkal tuduhan menuntut uang dari James Taggart dengan ancaman dan mencederai Taggart di kantor Richardson. Sebaliknya, Berman mengatakan bahwa dia hampir pingsan ketika memasuki kantor Richardson. Saat itu ia melihat pemandangan dalam kantor. Taggart dalam kondisi telanjang terikat pada sebuah kursi. Kepalanya bengkak, demikian pula telinga dan matanya. Di mana-mana tampak darah berceceran. Kata Berman, Richardson berteriak-teriak mengatakan apa yang sudah diperbuat Taggart. Berman berjalan terhuyung-huyung mau keluar dari ruangan itu, tetapi dicegah oleh Richardson.

“Belum pernah saya menyaksikan kebencian seperti ditunjukkan Richardson kepada Taggart,” kata Berman. “Frank Fraser memukuli Taggart dengan tang, Charles Richardson sendiri menyepak dan menghajar Taggart. Saya tak berdaya dan tak dapat berbuat apa pun.”

Menjelang akhir peradilan, diungkapkan bahwa ibu dari salah satu anggota juri didatangi oleh dua laki-laki. Mereka berkata jika mengetahui bahwa satu anak laki-laki dari ibu tua itu menjadi anggota juri dan satu anak laki-laki lainnya mempunyai perusahaan. Kedua tamu tidak diundang itu berkata bahwa sebaiknya ada suara lain, bila juri membicarakan keputusannya.

Ketika Hakim Lawton diberi tahu tentang hal tersebut, dia mengatakan bahwa dia sudah diminta perhatiannya untuk dua pendekatan pada dua anggota juri seperti dialami ibu tua itu. Menanggapi hal itu, pihak tertuduh dan pembela mengatakan bahwa pendekatan-pendekatan itu dilakukan oleh pihak jaksa untuk menciptakan prasangka terhadap tertuduh. Hakim Lawton menyatakan jika cukup sulit bagi tertuduh untuk bekerja sama dengan orang luar (agar mengancam anggota-anggota juri). Itu karena tertuduh semuanya sudah ada dalam tahanan sejak Juli sebelumnya. 

Hakim Lawton memerlukan 4 hari penuh untuk membuat kesimpulan dari peradilan yang mengadili perkara geng Richardson. Ketika kesimpulan diperoleh pada tanggal 6 Juni 1967, peradilan Richardson sudah mencatat 42 hari sidang. Selama waktu itu Jean Richardson dinyatakan gugur tuduhannya dan dibebaskan dari tahanan. Tim juri juga mendengarkan kesaksian untuk menunjang 22 tuduhan terhadap tertuduh.

Menurut Hakim Lawton, tiap tertuduh tidak menghadapi tuduhan yang sama. Namun perkaranya perlu dipertimbangkan tertuduh demi tertuduh. Hakim juga berpesan agar apa pun yang dikemukakan Laurence Bradbury dalam pengadilan di Afrika Selatan jangan sekali-sekali dipertimbangkan lagi dalam pengadilan di London ini.

Keputusan juri dikemukakan pada tanggal 7 Juni 1967, setelah tim penentu mengadakan rapat selama 9,5 jam. Pada pukul 20.13 hari itu juga, Charles Richardson dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya. Kejahatan-kejahatan itu antara lain merampok Jack Duval dengan kekerasan, menyiksa Derek Harris, Bernard Bridges, Benjamin Coulston, dan James Taggart sehingga mereka menderita fisik, dan menuntut uang dengan ancaman.

Edward Richardson dinyatakan bersalah karena menyerang Duval dan menyebabkan sakitnya Coulston. Roy Hall, Francis Fraser, dan Thomas Clark dinyatakan bersalah pula karena menyiksa dan meminta uang dengan ancaman. Tentang Alfred Berman dan James Moody, tim juri tidak berhasil memperoleh kata sepakat antara mereka. Berman dikembalikan ke tahanan setelah hakim melarang juri untuk membahas soal Berman sekali lagi. Namun juri yang sama diminta untuk berdiskusi kembali dan memeriksa kesaksian mengenai Moody sehubungan dengan tuduhannya menyiksa Coulston.

Setelah diskusi yang kedua selesai, tim juri memutuskan Moody tidak bersalah, tetapi Moody juga kembali ke tahanan untuk menunggu sidang atas tuduhan lain. Ia menyerang polisi sewaktu ditahan di Clerkenwell. Untuk tuduhan itu Moody pada tanggal 23 Juni 1967 dihadapkan ke meja hijau. Dia dinyatakan bersalah, tetapi hukuman kurungan yang dijatuhkan padanya sama jumlah harinya dengan lamanya dia ditahan. Maka pada tanggal 23 Juni itu Moody keluar dari pengadilan sebagai orang bebas.

Dalam vonisnya yang menghukum Charles Richardson dengan 25 tahun penjara, Hakim Lawton berkata, “Mendengar kesaksian-kesaksian dalam perkara ini, saya berkesimpulan bahwa Anda yang selama bertahun-tahun menjadi pemimpin geng yang demikian besar. Untuk memenuhi kepentingan material dan melaksanakan hasrat kriminal, Anda tidak segan untuk meneror siapa saja yang menghalangi. Teror itu dilakukan dengan cara-cara terkutuk, sadis, dan menjijikkan. Itu membuat saya malu!

“Keputusan pengadilan harus keras dengan alasan-alasan berikut: pengadilan harus menunjukkan penolakannya atas jalan pikiran Anda. Anda harus disingkirkan agar jangan terjadi kejahatan lebih jauh. Dan harus jelas pula bagi mereka yang berniat menjadi pemimpin geng, bahwa mereka akan dihancurkan oleh hukum seperti Anda sekarang ini.”

Charles Richardson juga dihukum membayar 2/3 dari biaya peradilan, sebanyak 20.000 pon. Edward Richardson dijatuhi hukuman 10 tahun penjara yang harus dimulai setelah hukuman dalam perkara Mr. Smith's Club selesai. Roy Hall juga 10 tahun penjara, dengan catatan dari hakim, bahwa Roy Hall sebenarnya lebih merupakan tokoh yang konyol. Pasalnya, dia sudah sejak masa kanak-kanak dikuasai oleh Charles Richardson. Thomas Clark yang juga dianggap oleh hakim sebagai korban Charles Richardson mendapat 8 tahun.

Vonis untuk Francis Fraser ditangguhkan, sambil menanti penyidangan perkara-perkara lain, di mana dia juga terlibat, di Central Criminal Court. Pada hari 21 Juni, Alfred Berman muncul kembali di Old Bailey. Ia dituduh menuntut uang dari Taggart dengan kekerasan dan menyerang Michael O'Connor di bulan September 1964. O'Connor diserang karena dianggap terlalu intim dengan Nyonya Berman yang sejak lama telah meninggalkan suaminya. Berman keluar dari pengadilan sebagai orang bebas karena dia sudah ditahan lebih dari 10 bulan. Namun, karena kesalahannya tidak membayar pajak dan cukai sebanyak 382 pound, Berman dihukum denda 500 pound dan harus membayar ongkos penjara. 

Tuduhan-tuduhan lain yang juga dikenakan pada Charles Richardson, Jean Richardson, Albert Longman, Roy Hall, Brian Oseman, dan James Kensitt tidak disidangkan. Jaksa Agung menganggap banyak dari peristiwanya sudah disidangkan, sehingga penyidangan lebih Ianjut akan merugikan masyarakat luas. Sidang yang mengenai penyiksaan oleh geng Richardson sendiri sudah memakan biaya lebih dari 150.000 pound. Pengadilan banding yang bersidang pada tanggal 26 Maret 1968 memperkuat keputusan hukuman atas Charles dan Edward Richardson, Roy Hall, Francis Fracer, dan Thomas Clark.

Pada 16 Juni 1967, Francis Fraser, James Thomas Fraser, dan Albert Jong Longman, muncul kembali di Old Bailey dengan tuduhan meminta uang dengan kekerasan dari Glinski (Desember 1961) dan menyerang korban pada kesempatan lain. Tom Fraser dan Longman bisa segera bebas dari tuduhannya itu karena hukumannya disamakan dengan jumlah hari keduanya ditahan untuk tuduhan itu. Francis Fraser yang dihukum 10 tahun penjara dalam pengadilan geng Richardson hanya dihukum membayar ongkos perkara Glinski itu sebanyak 2.000 pound. Robert St. Leger yang juga dituduh menyerang Glinski dan menuntut uang dari Glinski tidak dapat dibuktikan kesalahannya. Tetapi Leger tetap ditahan karena berkomplot untuk menipu Nyonya Eleanor Robertson sehubungan dengan harta milik nyonya tersebut di Pulau Canary. 

Meskipun tokoh-tokoh penting dari geng Richardson sudah berada di dalam penjara, namun pihak polisi masih juga sibuk untuk membayangi sejumlah orang yang oleh geng Richardson diwajibkan membayar semacam upeti, seperti orang-orang yang menyelenggarakan tempat parkir, dan lain-lain.

(John du Rose)

Baca Juga: Cemburu Buta Mantan Menteri

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806927/charles-richardson-coy" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310423000) } } [1]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682827" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/istri-polisi-disanderajpg-20230213032326.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Rewelnya bayi pada malam itu rupanya menjadi pertanda akan datang seseorang membalas dendam kepada ayah si bayi yang berprofesi sebagai detektif." ["section"]=> object(stdClass)#80 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/istri-polisi-disanderajpg-20230213032326.jpg" ["title"]=> string(22) "Istri Polisi Disandera" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:23:40" ["content"]=> string(36270) "

Intisari Plus - Rewelnya bayi pada malam itu rupanya menjadi pertanda akan datang seseorang membalas dendam kepada ayah si bayi yang berprofesi sebagai detektif.

--------------------

Bayi itu masih saja menangis tak menentu. Kadangkala terdengar lirih, kadang pula melengking keras, seperti hendak mengatasi kesunyian yang menyelimuti rumah itu.

Linda tak habis mengerti, mengapa sore itu hatinya begitu gelisah. Suara tangis anaknyakah yang membuat hatinya cemas? Ataukah kesunyian yang mencekam kala bayi itu sekali-sekali berhenti menangis?

Entahlah. Belum pernah Linda merasa segelisah seperti sore itu. Barangkali itu pertanda bakal terjadi sesuatu, pikirnya. Tetapi, pertanda apa?

Sore sudah menjelang malam. Matahari pun sudah tenggelam di ufuk barat. Lalu ....

la melangkah menuju ke pintu depan rumahnya. Dikaitkannya rantai pengaman pintu ke selotnya. Itu bukan kebiasaannya, namun sore itu ....

Terdengar anaknya menangis lagi. “Ya, ya sayang. Mama segera datang!”

Digendongnya bayi itu. Tangisnya pun mereda setelah ia terbaring di pelukan lbunya. “Aduh, hari ini kau rewel sekali. Ada apa, sayang?”

Mungkin, naluri bayi itu menangkap isyarat akan datangnya bahaya di rumah itu. Tak ubahnya seperti anjing yang punya naluri yang peka akan adanya sesuatu yang tak beres.

Ada baiknya ia memelihara anjing di rumahnya yang terpencil itu, begitu pikirnya. Kalau Geoff, suaminya, pulang nanti, ia akan mengatakan soal itu kepadanya.

 

Kukira tukang penatu

Ketika la hendak membaringkan anaknya di tempat tidur, tiba-tiba terdengar bel pintu rumahnya berdering.

“Siapa di luar?” tanyanya ketika sampai di pintu. 

“Ini saya. Janet!” terdengar suara seorang wanita di luar menyahut. 

Ia melepaskan rantai pengaman, lalu membuka pintu. Janet merasakan getaran tajam suara Linda ketika ia bertanya tadi. “Hai, Linda! Apakah kedatanganku begitu mengejutkanmu?”

“Oh, ... eh, tidak, Janet! Cuma ... itu, anakku sejak tadi rewel melulu ... dan kukira tukang penatu yang datang ... Soalnya, aku belum menyiapkan pakaian-pakaian kotor yang hendak diambilnya…”

“Oh, begitu! Aku tak lama, Linda,” kata Janet kemudian. “Aku cuma mampir sebentar. Kebetulan aku lewat di depan rumahmu. Anakmu tampaknya sudah tenang lagi?”

“Ya. Kau tidak minum dulu?” 

“Terima kasih, Linda. Ketika aku keluar rumah tadi, aku jadi ingat hendak memberimu tiket dansa untuk hari Sabtu nanti. Kalau kau mau berangkat, panggil saja pramusiwi untuk menjaga anakmu!”

“Aku mau minta tolong saja sama ibu mertuaku supaya datang kemari menjaga anakku.”

“Bagaimana dengan Mary yang biasa kemari itu?” tanya Janet.

“Dia takut kalau ditinggal sendirian di rumah ini.”

“Eh, ngomong-ngomong, kau tidak merasa terpencil tinggal di daerah ini?”

“Ya. Itulah sebabnya tanah ini harganya murah waktu kami beli,” jawab Linda. “Tetapi, lama-kelamaan aku toh akan terbiasa dengan keadaan seperti ini.”

Janet tampak mengerutkan keningnya. “Kau merasa aman tinggal di sini?”

Hari ini mungkin tidak, jawab Linda dalam hati. la tidak mengatakannya kepada Janet. Sebaliknya, ia malah tersenyum. “Tentu. Mengapa kau bertanya begitu?”

“Geoff ‘kan sering meninggalkan kau sendiri di rumah. Lalu ... bukankah sekali waktu kau bisa menjadi sasaran penjahat lantaran pekerjaan suamimu itu?”

“Sasaran penjahat?” Linda tertawa lagi. “Janet, kau benar-benar sudah mabuk film detektif di TV. Apakah hanya karena Geoff itu seorang sersan detektif, lantas berarti setiap saat harus baku tembak dengan penjahat, begitu?”

Kedua sahabat itu pun tak bisa menahan gelak tawa mereka.

“Bukan, bukan begitu maksudku. Andaikata aku ini istri seorang detektif, yang kerapkali harus tinggal di rumah sendirian seperti kau, tentu aku khawatir dengan para penjahat yang telah keluar dari penjara dan membawa dendam terhadap suamiku.”

“Kalau kau jadi istri seorang detektif, kau pun akan menjadi terbiasa dengan keadaan itu, seperti aku,” begitu komentarnya kepada Janet.

“Apakah suamimu akan segera pulang?” tanya Janet sembari menengok jam di tangannya.

“Pukul 18.00 kira-kira. Itu kalau dia sudah tak ada urusan lagi yang harus ditanganinya.”

Sementara mereka asyik mengobrol, di kamar lain terdengar si kecil menangis lagi. “Aduh, dia mulai lagi!”

“Tengok dulu anakmu, Linda!” kata Janet. “Sebenarnya aku ingin singgah lebih lama, tetapi aku harus segera pergi, sebab ada janji menjemput seseorang di stasiun. Oke, Linda. Sampai ketemu hari Sabtu. Sampaikan salamku untuk Geoff!”

“Baik, Janet!” 

Linda menutup pintu setelah mobil Janet menghilang di ujung jalan.

 

Macam jagoan Chicago

Rumah itu sepi lagi. Hanya tinggal isak tangis anaknya yang terdengar. “Cup, cup sayang!” Linda mencoba meredakan tangis anaknya. Ada apa sebenarnya dengan anak ini, begitu pikirnya.

Kesunyian pun makin melilit hati Linda, tatkala tak terdengar lagi tangis bayinya.

Tiba-tiba bel pintu berdering lagi. Deringnya terasa nyaring di tengah kesunyian malam itu. 

Ia pun melangkah ke pintu, lalu dari dalam ia berteriak, “Apakah yang di luar tukang penatu?” Karena tak terdengar jawaban, ia pun mengulanginya lagi.

Kemudian di luar terdengar suara lelaki menjawab, “Ya!” 

Ketika yang berdiri di depan pintu bukan orang yang dimaksudkannya, hatinya tercekat. Dicekam rasa takut, ia berkata lirih, “Kau bukan ...!”

Dengan cepat laki-laki itu menerobos ke dalam. Teriakan Linda segera terhenti setelah tangan kokoh laki-laki itu membungkam mulutnya.

Linda meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari dekapan orang itu. Namun, sia-sia. Tamu tak diundang itu lalu menutup pintu dengan tendangan kakinya.

Akhirnya laki-laki itu melepaskannya. Sambil bersandar di pintu dengan sikap menantang, matanya tajam menatap Linda. Tatapan itu terasa aneh dan tampak memancarkan amarah.

Linda tak mau memperlihatkan rasa takutnya di depan orang itu. Dengan napas tertahan, ia pun bertanya kepada orang itu, “Apa yang kauinginkan?”

Laki-laki yang masih sangat muda itu tersenyum. Hanya sekejap. Wajahnya berubah kejam dengan sorot mata penuh dendam.

Mungkin orang ini hendak memerkosaku, pikir Linda cemas saat mata lelaki itu menjelajahi tubuhnya. Ia merasa takut, sebab seperti pernah dikatakan suaminya, selesai memerkosa biasanya si pelaku lantas membunuh korbannya pula ....

“Jangan takut, manis! Kau tidak akan kuapa-apakan, asal kau tidak berbuat macam-macam,” lagaknya macam jagoan dari Chicago.

Degup jantungnya terdengar begitu keras di telinganya. Ia berdiri mematung, menatap laki-laki itu. Meskipun Linda tampak begitu tenang, namun di balik wajahnya tersembunyi rasa takut yang amat dalam.

“Tapi ... apa artinya ini? ... Apa yang kauinginkan?” Linda terus mendesak. 

“Aku punya sedikit urusan dengan suamimu, nyonya manis,” jawab laki-laki itu.

“Oh ...!” Mereka pun diam. Tak lama kemudian Linda berteriak memanggil suaminya, “Geoff! Geoff! Turun ke sini sebentar, Geoff!” 

Tak ada jawaban. Sunyi. Mereka bungkam dan tegang seperti karet yang direntang. Tetapi kemudian, sayup-sayup terdengar lagi tangis bayi itu di kamarnya.

Laki-laki itu melempar senyum padanya. “Gertakanmu tak mempan, Ny. Mason. Aku sudah mengamati dan mendengar ... dan aku tahu saat ini suamimu tak ada di rumah.”

 

Kubunuh suamimu!

Mendengar anaknya menangis lagi, Linda pun memohon kepada orang itu, “Boleh aku menengok anakku?”

Laki-laki itu mendekatinya sambil mengancam, “Tetap di tempat dan jangan bergerak!” Suasana kembali sepi. “Apakah suamimu akan segera pulang?”

“Ya,” jawabnya. 

“Bagus!” katanya. 

Namun, Linda cepat-cepat menambahkan, “Tidak, tidak! Aku tidak tahu.”

“Kan bohong. Kau pun mengharapkan dia segera pulang.” 

“Malam ini ia ... ia mungkin terlambat pulang.”

“Berapa lama?” 

“Aku ... aku tidak tahu. Aku tak pernah bisa memastikannya. Kalau ia hendak pulang terlambat, biasanya ia menelepon aku dulu.” 

“Akan kutunggu,” katanya. 

“Percuma saja kau menunggu!”

“Masa bodoh,” kata laki-laki itu. 

Tatapan mereka saling beradu. Tak disadari oleh orang itu, pelan sekali ia melangkah mundur. Begitu sampai ke tempat yang dituju, dengan cepat Linda menyambar gagang telepon.

Sia-sia. Orang itu cepat menyadari apa yang diperbuat nyonya rumah itu. Dengan cepat disambarnya pula gagang telepon itu dari tangan Linda, lantas ditaruh kembali ke tempatnya.

“Kalau aku jadi kau, tak akan kuulangi lagi perbuatan itu,” ancamnya. “Kalau kaulakukan lagi, ini yang akan berbicara!” Tahu-tahu, sepucuk pistol otomatis sudah berada di genggaman laki-laki itu.

“Asal kau tahu, aku tak mudah takut melihat senjata semacam itu. Aku sudah sering melihatnya. Senjata-senjata macam itu tak membuatku pingsan karena ketakutan.”

“Kalau begitu, kau tak merasa apa-apa kalau pistol ini tetap di tanganku? Soalnya, pistol ini bikin aku tenang.”

“Ya. Aku percaya.” 

“Kita ke ruang tamu!” perintahnya kemudian. 

Linda ragu-ragu. “Lihat, aku ....”

“Lakukan perintahku, cepat!” bentak orang itu. 

“Izinkan aku menengok dulu anakku,” pintanya ketika ia mendengar anaknya menangis lagi.

“Nanti saja! Ayo, ... jalan!” Linda melangkah ke ruang tamu diikuti laki-laki itu. 

“Sekarang ... duduklah!” Melihat Linda tampak ragu-ragu lagi, laki-laki itu pun membentak marah, “Aku bilang, duduk!” Linda pun menuruti perintahnya. “Bagus. Sekarang kita tunggu dia. Kalau kau berbuat macam-macam ... ingat yang kugenggam ini! Jangan kau kira ini pistol mainan.”

“Rupanya kau banyak menonton film, sampai bisa bicara seperti itu?” 

“Ya, mungkin.” Dahinya berkerut sampai kedua ujung alisnya yang hitam tebal itu berimpit. “Aku suka membuat orang menjadi ketakutan. Aku memperoleh kepuasan menjadi penjahat.”

“Kalau begitu, kau cuma akan menakut-nakuti suamiku?” tanya Linda. 

“Oh, tidak. Aku tak akan bikin takut suamimu,” katanya, “aku cuma akan membunuh suamimu.” 

“Oh, jangan ... kumohon jangan bunuh suamiku” teriak Linda.

 

Balas dendam

Orang itu tampak mengerutkan keningnya lagi. “Aku sedang mencari-cari cara yang terbaik untuk melakukannya .... Kalau ia membawa kunci untuk membuka pintu itu, ia langsung masuk ke dalam ... saat itulah kesempatanku untuk menghabisinya ....”

“Atau kutembak saat ia keluar dari mobilnya ... dari jendela ini?”

“Ya, sebaiknya kupilih cara yang tak memberinya kesempatan untuk melawan atau menghindar.”

Linda merasakan darahnya mengalir deras ke wajahnya. Meskipun begitu, ia tenang sekali ketika bertanya kepada orang itu, “Mengapa kau hendak membunuh suamiku? Hanya karena ia seorang detektif?”

“Oh, rupanya kau belum kenal siapa aku,” katanya.

Linda hanya menggeleng. 

“Namaku Terry Hagan. Apakah nama ini mengingatkanmu akan sesuatu?”

Linda menggeleng lagi. 

“Aku punya adik laki-laki,” kisahnya. “Paddy Hagan namanya. Sejak kecil, kami selalu bekerja bersama. Ketika itu kami membongkar gudang besar yang berisi dokumen-dokumen berharga. Ingat?”

Linda hanya diam. 

“Para polisi berdarah dingin itu mencoba memerangkap kami ... di sana, di atas atap. Di situlah kami tertangkap. Namun, Paddy sempat tertembak. Mereka lalu membawa saudaraku ke rumah sakit, tetapi kemudian ia mati karena sebutir peluru bersarang di perutnya. Kautahu, siapa yang menembaknya? Suamimu! Sersan detektif berdarah dingin, Mason. Tahu?”

“Tidak, aku tidak tahu.” 

“Tetapi sekarang kautahu, bukan?” 

“Kukira suamiku sekadar menjalankan tugasnya,” kata Linda membela suaminya. 

“Tapi ia membunuh saudaraku!” 

“Kau pun menembak salah seorang polisi,” katanya. 

Tampaknya orang itu marah. “Itu tidak kusengaja, sementara mereka membunuh saudaraku dengan keji.”

“Aku tak percaya.” 

“Aku bilang, mereka benar-benar polisi berdarah dingin.” 

“Kalau kau membunuh suamiku,” katanya, saat itu wajahnya tampak sepucat kertas, “kau akan menjadi penghuni penjara selama hidupmu.” 

“Aku tak peduli,” katanya geram. “Geoff Mason yang memulai semua ini!”

 

Simon sakit

Linda diam. Ia duduk sambil menatap wajah laki-laki itu. “Sekarang atau tidak sama sekali,” katanya. “Sudah berminggu-minggu aku menunggu kesempatan seperti ini untuk membunuh suamimu, seperti yang dilakukannya terhadap Paddy. Cukup besar risiko yang kuhadapi untuk datang kemari ... dan kupikir tak ada lagi kesempatan seperti ini!”

Tiba-tiba terdengar tangis anaknya meledak lagi. 

“Ada apa dengan si bandel itu? Bikin aku cemas saja dia!” 

“Kau boleh angkat kaki, kalau kau tak suka mendengarnya,” jawab Linda.

“Apa ia sakit?” 

“Iya, anakku sedang sakit.” 

“Oke, tengoklah dia dan usahakan dia jangan lagi menangis!”

“Aku harus segera ke kamarnya,” kata Linda dengan tenang. 

“Baik ... cepat. Jangan coba-coba berbuat macam-macam. Aku tetap di belakangmu. Tapi ... tunggu! ... dengar!”

Dari jauh terdengar derum mobil. “Itu mobil suamimu?” tanya orang itu. 

“Aku tidak tahu,” jawabnya agak cemas. Suara mobil pun lenyap setelah melewati rumah itu. Lalu kata orang itu, “Oke .. pergilah dan tengok si bandel itu.”

Ketika Linda hendak melangkahkan kakinya, telepon berdering. Laki-laki itu sedikit tegang, lalu berkata, “Tunggu! Jangan bergerak!” Telepon masih terus berdering. “Itu dari suamimu, bukan?”

“Mungkin.” 

Laki-laki itu tampak menggigit bibirnya. “Sebaiknya kau angkat saja telepon itu. Kalau tidak, ia akan mengira ada yang tak beres di rumah ini.”

Dikawal ketat orang itu, Linda berjalan menuju ke ruang di mana telepon berada. 

“Nah, sekarang ... jawab telepon itu ... Berbuatlah biasa saja. Satu kata saja kau keliru, nih!” katanya sambil mengacungkan moncong pistolnya ke wajah Linda.

Linda pun mengangkat telepon itu. Ia merasa aneh, mengapa suaranya tenang sekali ketika menjawab telepon itu. “Bushmill 47 ....”

Terdengar suara suaminya di seberang sana, “Halo ... Linda?” 

“Ya, sayang. Ini Linda.” 

“Agak lama kau mengangkat telepon,” kata Geoff Mason.

“Memang, Geoff,” katanya, “aku sedang menengok Simon anak kita!” 

“Simon?” 

“Ya, tadi pagi ketika kau berangkat, Simon sedang sakit. Kau sendiri pun tahu ‘kan? Tapi, sampai saat ini ia belum juga baik.”

“Tetapi Linda, aku tidak ....” 

“Geoff, aku tahu, kau tentu khawatir bahwa aku begitu repot mengurusi Simon, tetapi rupanya obat yang kuberikan padanya tidak membuatnya sembuh. Aku cemas memikirkan keadaannya. Kupikir sebaiknya kau panggil saja dr. Carter ....”

“Mengapa bukan dokter yang biasanya?” tanya Mason.

“Jangan,” jawab Linda, “dr. Carter saja. Dokter lain mungkin tak bisa menolongnya, sebab kelihatannya ia agak parah. Kupikir dr. Carter bisa menolong kita .... Kata orang, ia dokter yang ahli.”

“Baik, kalau begitu.”

“Kalau kau pulang nanti, langsung saja kau ke dokter itu!” 

“Sekalian menjemputnya, maksudmu?” 

“Ya.” 

“Baik, Linda.” 

“Ia sih tidak apa-apa, cuma rewel saja. Sebaiknya segera saja kau pulang!” 

“Tentu ... tenangkan hatimu! Mudah-mudahan Simon akan segera sembuh. Oke?” 

“Oke, Geoff.”

 

Ingat, anakmu masih kecil!

Linda meletakkan kembali teleponnya. Ia berdiri sebentar sambil menutupkan kedua matanya. Anaknya sudah tak menangis lagi.

“Bagus,” komentar laki-laki yang masih saja menggenggam pistolnya. “Kau sudah melakukan dengan baik apa yang kuperintahkan. Kalau cuma membawa pulang dokter saja, kupikir tak akan menolong suamimu, nyonya manis.”

Dengan kasar Linda menarik tangannya ketika orang itu memegangnya. Kata laki-laki itu kemudian, “Jangan coba-coba berlaku kasar! Tak seorang perempuan pun pernah berlaku kasar terhadap Terry Hagan, kecuali nenek-nenek.”

Dengan suara yang letih, Linda pun bertanya, “Apa lagi yang kauinginkan dariku sekarang?”

“Si bandel sudah berhenti menangis, karena itu kita bisa bersenang-senang sendiri di ruang tamu itu.” Didorongnya Linda ke sana. “Baik. Sekarang silakan duduk. Yang kita Iakukan sekarang hanyalah menunggu ... ya, menunggu ...”

“Aku tidak mengenalmu, nyonya manis. Karena itu kalau kau bersikap baik dan melakukan apa yang kukatakan, kau akan selamat .... Yang kuinginkan ... cuma suamimu. Bukan salahmu kalau kau menikah dengan detektif busuk itu ....”

“Oh, ya, nanti kita akan …. mendengar mobilnya datang ... Lalu suara suamimu memutar kunci .... Itulah yang kita tunggu-tunggu, bukan? Tapi kuperingatkan, kau jangan coba-coba berbuat macam-macam. Jangan berteriak atau melempar sesuatu. Mengerti? Jangan sekali-sekali memberi isyarat apa pun kepadanya. Kau harus tetap diam dan tenang, seperti sekarang ini ....”

“Kalau kau tidak menuruti perintahku, peluru pistol ini akan merobek dadamu yang indah itu. Kau yang pertama ... kemudian giliran suamimu yang saat itu masuk ke ruang ini .... Aku tahu, kau pasti belum ingin mati, mengingat anakmu masih kecil. Ya, ‘kan?”

“Aku masih ingat, ketika itu Paddy Hagan pun seperti anakmu yang bandel itu .... Ya, kita kembali ke beberapa tahun yang lalu .... Suatu hari ibuku tertabrak mati oleh truk besar yang sedang melaju kencang di jalan .... Ibuku seorang pemabuk berat. Aku tak pernah tahu ayahku, sebab ketika itu umurku baru tujuh tahun ....”

Laki-laki itu berhenti bicara. Dipandangnya wanita yang duduk dengan tenang di hadapannya. Linda hanya diam. Matanya tertuju pada jari-jari lentik kedua tangannya yang terjalin di pangkuannya.

Melihat ‘teman’ bicaranya hanya diam membisu, laki-laki itu kesal rupanya. “Hai, mengapa kau diam saja? Aku tak suka bicara sendiri. Kesenyapan ini lebih membuatku gelisah .... ketimbang rengekan bayimu.”

Linda masih saja diam. Matanya tak juga menatap laki-laki itu.

“Kau ternyata seorang ‘gadis’ manis dan berhati baik,” ujarnya. “Maksudku, dari tadi kau tidak berbuat macam-macam atau berteriak-teriak atau berbuat sesuatu yang lain. Kau sungguh baik, manis, sekalipun kau berhadapan dengan orang yang hendak membunuh suamimu tercinta ....” Linda masih saja tak bersuara.

“Oke ... kalau kau memang tak mau bicara ... jangan bicara!” kata laki-laki itu dengan geram.

 

Seperti macan

Saat itu hanya terdengar bunyi tik-tak-tik-tak dari jam tua membelah kesenyapan yang mencekam di ruangan itu.

Linda menunggu dengan harap-harap cemas akan bunyi gemeresiknya ban mobil yang beradu dengan hamparan kerikil di halaman, menandai kedatangan Geoff. Lalu suara langkahnya menaiki tangga. Setelah itu suara kuncinya membuka pintu ....

Namun, suara-suara yang dicemaskannya itu tak terdengar. 

Akan tetapi kemudian, sayup-sayup terdengar suara gemeresik dekat jendela depan rumahnya. Sepertinya suara orang yang sedang berjalan menerobos kerimbunan semak-semak.

Serta merta Linda menatap Terry Hagan. Sorot mata mereka beradu, seperti sudah direncanakan. la tahu, Terry pun menangkap suara itu. Kini ia tampak seperti seekor macan yang siap menerkam mangsanya. Tubuhnya tegang penuh waspada.

Terlihat pistol di tangan laki-laki itu terarah ke pintu dan setiap saat siap memuntahkan pelurunya. Jari-jari tangan Linda yang pucat bagaikan kapas itu, tampak meremas lengan kursi tempat duduknya. Tampak sekali wajahnya tegang menahan napas.

“Suara apa itu?” tanya orang itu hampir tak terdengar. 

“Aku tak mendengar apa-apa.” 

“Ah, kau tentu mendengar suara itu,” kata Hagan tak percaya. “Sebab, kulihat wajahmu berubah. Kau pasti mendengarnya pula. Duduklah ... dan jangan ke mana-mana!” Dipasangnya telinganya tajam-tajam. “Dengar, suara itu lagi!”

“Itu suara angin,” kata Linda. 

“Mana ada angin,” jawab Hagan. “Bunyi gemeresik di luar jendela itu ... sssstttt ... dengar ... seseorang bergerak-gerak di luar ... tetaplah diam ... jangan berisik ....”

Ketika Linda menemukan keberaniannya kembali, ia pun berteriak kuat-kuat, “HATI-HATI, GEOFF!” 

Kedua matanya yang hitam mengilap melotot tajam ke arah Linda. “Tutup mulutmu, sialan kau! Atau pistol ini membungkam mulutmu!”

Namun, senjata otomatis itu tetap saja terbidik ke pintu tepat ke arah masuknya Geoff Mason nanti. 

Linda tak peduli dengan ancamannya. Kalaupun ia menembaknya, Geoff tentu akan mendengar letusan itu .... “JANGAN MASUK, GEOFF! JANGAN, JANGAN, GEOFF!”

Tiba-tiba terdengar bunyi kaca pecah bagaikan ledakan bom membelah keheningan ruangan itu. 

Terdengar Terry Hagan mengerang bagaikan harimau kesakitan, menyusul suara ledakan itu. Sebutir peluru merobek daging dan tulang pergelangan tangannya. Seketika itu pula Linda melihat pistol itu terlempar dari genggamannya, jatuh berdebam di lantai.

“Oh, Tuhan!” Hagan menyebut namaNya sambil merengek mirip si bayi yang menangis di kamar itu. la menggoyangkan tangannya serta memandangi pergelangannya yang terluka. Darah segar mengucur dari lukanya, mengalir di antara jemarinya bagaikan anak sungai, membasahi lengan bajunya.

 

Berkat istri saya

“Polisi-polisi busuk!” Terry merintih kesakitan. “Kalian bangsat semua!” 

Kemudian terdengar pintu didobrak dari luar. Tak ayal kaca pintu pun pecah berhamburan.

Saat laki-laki bersenjata itu hendak berlari ke arah pintu, Geoff Mason berlari dari arah ruangan itu. 

“Oke, tangkap orang itu, Tony!” perintah Mason.

Seorang detektif, kawan Mason, segera melingkarkan lengannya ke leher Hagan. la berteriak kesakitan ketika detektif itu mengangkat sedikit tubuhnya dan menariknya ke belakang dengan lengannya. 

Kata Mason kemudian, “Baik, orang ini sudah tidak menggenggam senjata lagi.” Benar, pistol itu memang masih tergeletak di lantai. 

Detektif kawan Mason pun angkat bicara, “Ya, tembakanku tepat mengenai sasaran. Tembakan yang tak jelek, bukan?”

Geoff Mason berbalik menghampiri istrinya dengan cemas, “Kau tidak apa-apa, Linda?” 

la mengangguk. “Aku baik-baik saja, Geoff.” 

“Anak kita?” 

“Ya. Orang itu tidak melukai siapa-siapa.” 

“Ah, syukurlah!” 

“Orang itu pingsan, Geoff,” kawannya memberi tahu. 

“Bukankah dia Terry Hagan?” tanya Mason.

“Benar.” 

“Cepat saja di bawa ke rumah sakit, Tony. Aku akan menelepon Inspektur Brooker.” 

“Kau tak perlu pusing, Geoff. Dia sudah ada di sini.” 

“Syukurlah. Benar-benar gesit kerjamu,” komentar Mason. “Kau sungguh tidak apa-apa, Linda?”

“Sungguh, Geoff. Aku tak apa-apa.” 

Inspektur Detektif Brooker tampak terburu-buru ketika masuk ke ruang itu. 

“Selamat malam, Pak,” Mason menyalaminya. “Ini istri saya.” 

Sang inspektur menjawabnya dengan senyum hormat.

“Terry Hagan menyandera istri saya. Tetapi, berkat istri saya ini, saya lolos dari ancaman penjahat itu.” 

“Tampaknya begitu, Sersan.” Inspektur tampak mengerutkan dahi. Rupanya ada yang belum ia mengerti. “Bagaimana Sersan tahu di rumah terjadi hal yang tidak beres?” tanya inspektur kemudian kepada Mason.

Geoff tersenyum pada istrinya, lalu kembali berhadapan dengan atasannya. 

“Begini, Pak. Itu bermula ketika saya menelepon Linda di rumah .... Mula-mula saya pikir, saya salah sambung .... Tapi kemudian, ternyata tidak, sebab istri saya lalu menyebut nomor telepon rumah ... Bushmill 47 .... Memang benar itu suara Linda ... saya hafal suaranya ... Tapi, selama pembicaraan itu, istri saya selalu menyebut nama saya dengan Geoff ... Kemudian, ia bercerita soal anak kami yang sore tadi rewel melulu ....”

“Inspektur, mula-mula ia mengatakan bahwa anak itu sakit tadi pagi. Tapi, saya tahu persis, tadi pagi anak saya baik-baik saja ketika saya berangkat. Apalagi ia menyebut anak itu dengan Simon. Padahal, Simon adalah nama permandian saya. Nama itu tak pernah saya pakai dan itu pun bukan nama anak saya.”

“Lalu ia menyuruh saya menjemput dr. Carter. Dokter yang bernama Carter ini pun sebenarnya tidak ada .... Kami hanya kenal satu orang yang namanya Carter .... Dialah Sersan Detektif Tony Carter .... Dia bukan saja kawan kita yang sangat baik, melainkan juga satu-satunya penembak jitu yang kita miliki ....”

Inspektur Brooker mengangguk-angguk bangga. “Lalu, kau menangkap isyarat dari istrimu, kemudian kau pulang bersama Carter, begitu?”

“Benar, Pak. Carter menembak kaca jendela itu dan seperti biasanya, tembakannya tepat mengenai sasaran.” 

Inspektur pun tersenyum. “Kalau nama anakmu bukan Simon, lantas siapa namanya?” 

Geoff Mason tersenyum lagi. “Kau saja yang mengatakannya, Linda!” 

“Anak kami perempuan, Inspektur. Namanya Hope.” jawab Linda sambil tersenyum. (Herbert Harris)

Baca Juga: Cemburu Buta Mantan Menteri

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682827/istri-polisi-disandera" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301820000) } } [2]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3605733" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/korban-perjanjian-selingkuh_engi-20221212085712.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Toby dan Liz dikejutkan kedatangan wanita berlumuran darah dan tidak berpakaian. Bersama selingkuhannya, mereka diserang orang-orang tak dikenal." ["section"]=> object(stdClass)#84 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/korban-perjanjian-selingkuh_engi-20221212085712.jpg" ["title"]=> string(27) "Korban Perjanjian Selingkuh" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-12 08:57:28" ["content"]=> string(25650) "

Intisari Plus - Toby dan Liz dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita berlumuran darah dan tidak berpakaian. Bersama selingkuhannya, mereka diserang orang-orang tak dikenal.

--------------------

Sabtu malam, 7 Juli 1979, bulan purnama terang menyinari Swansea, kota pelabuhan di Inggris bagian barat. Kota berpenghuni 175.000 orang itu tampak tenang.

Di sebuah rumah pertanian dari batu bata tampak pasutri setengah baya Toby dan Liz sibuk menghitung uang hasil penjualan produk pertanian mereka. Saking asyiknya, mereka tak memperhatikan sesosok bayangan berkelebat di depan jendela rumah. Tiba-tiba pintu rumah mereka digedor.

“Aduh, kau sajalah yang buka. Tanggung, nih!” seru Toby yang sedang menghitung tumpukan lembaran uang kertas. 

“Siapa, ya, datang malam-malam. Jangan-jangan istri si Paul tukang susu hendak melahirkan,” sahut Liz sambil memutar pegangan pintu.

Astaga! Berdiri di hadapannya seorang wanita menangis histeris. Yang lebih menyedihkan, tubuhnya yang berlumuran darah dan debu ... tak berbalut kain sedikit pun.

Sambil berteriak kaget hampir saja Liz menutup kembali pintu rumahnya. Untung Toby, yang tanpa disadari sudah ada di belakang Liz sambil menggenggam senapan berburu, menahan pintu.

“Cepat ajak masuk, biar aku telepon polisi,” teriak Toby.

Liz menuntun wanita berwajah pucat yang berjalan dengan limbung. Sementara Liz membungkus tubuh wanita itu dengan selimut dan mencoba menenangkannya, Toby segera menelepon ambulans dan polisi Swansea.

 

Bukan suami-istri

Ambulans nyaris datang bersamaan dengan mobil polisi. Sersan Justin bertindak cepat dengan meminta ambulans segera membawa wanita itu ke rumah sakit.

“Saya takut ia keburu pingsan. Saya Sersan Justin. Apa Anda sempat ngobrol dengan wanita itu?” Sersan berwajah bulat dan berambut pirang, dengan kacamata berbingkai tanduk, membuka percakapan.

“Meski tidak banyak, semoga cukup berharga. Ia kabur dari Lover’s Lane, saya juga sempat mencatat nomor telepon rumahnya,” ucap Liz.

“Sudah saya duga. Tempat umum paling dekat dari sini memang Lover’s Lane. Melihat kondisinya, saya curiga ia dianiaya pasangannya,” Justin menduga-duga.

Lover’s Lane, sesuai namanya, adalah tempat yang sering dipakai orang muda untuk berkencan.

Setelah bertanya ini-itu yang dianggap bisa memudahkan pemeriksaan, Justin segera memacu mobil dinas tuanya meluncur menuju TKP. Sambil menghubungi seniornya melalui radio komunikasi, ia berharap bisa mendapatkan informasi penting di sana.

Lover’s Lane tampak senyap. Yang terparkir hanya sebuah Austin 1300 merah. Tapi, ada yang tidak beres, kaca depan Austin itu pecah berantakan.

Justin benar. Di dalam Austin itu tampak sesosok mayat menggelosor tertelungkup di jok kiri depan. Sementara ceceran darah membasahi jok yang sama. Kondisi lelaki muda itu pun dalam keadaan telanjang.

Belum sempat Justin memeriksa lebih jauh, Inspektur Detektif Gary datang. Petugas investigasi senior bertubuh lebar dengan rambut ikal kecoklatan itu segera mengambil alih operasi. Setelah mengontak dokter dan petugas dari bagian investigasi kriminal, mereka mengamati lebih teliti situasi TKP.

“Melihat luka koyak di kepala mayat, mungkin diakibatkan oleh peluru atau tusukan benda keras lain,” ujar Gary.

“Mungkin lelaki ini ada hubungannya dengan wanita tadi?”

“Bisa saja, kaulihat itu?” ujar Gary sambil menunjuk tumpukan pakaian pria dan wanita di lantai belakang mobil.

Dari dalam jaket di antara tumpukan baju itu ditemukan dompet berisi SIM dan beberapa surat lainnya. Barang bukti itu setidaknya membantu menunjukkan identitas korban yang ternyata bernama Stanley (29).

Tak lama kemudian datang dokter dan sejumlah ahli forensik. Dengan sigap mereka memotret mobil dari berbagai sudut, termasuk mayat korban. Hati-hati mereka mengeluarkan mayat untuk kemudian membawanya dalam kantung plastik khusus menuju rumah sakit.

“Korban tewas dua jam silam akibat tembakan peluru dari senapan kaliber berat yang menembus dari bagian belakang kepala,” ujar Ivan, dokter muda bermata biru berambut hitam yang berpembawaan menyenangkan itu.

“Mengapa ia dalam keadaan telanjang?”

“Yah, sedang begituan. Saya duga, ia dan pasangannya tengah berhubungan saat terkena tembakan,” ujar Ivan.

Di malam yang makin larut, Gary dan Justin meluncur ke rumah sakit.

Dari hasil pemeriksaan sementara diperoleh informasi, wanita bernama Julia (29) itu mengalami luka tembak di pundak, selain sejumlah luka akibat tusukan duri semak-semak.

“Aku yakin, luka pada mayat akibat alat yang sama,” ujar Justin geram.

“Informasi terbaru dari anggota kita, wanita itu telah bersuami. Tapi korban yang ditemukan di mobil tadi bukan suaminya,” tambah Gary. 

“Ini dia! Mereka berselingkuh melakukan hubungan gelap. Pasti suaminyalah pelakunya,” sahut Justin. 

“Jangan terlalu cepat ambil kesimpulan. Lebih baik, cepat kau jemput suaminya, sebelum ia kabur,” tutur Gary sabar.

 

Pasangan harmonis

Peristiwa aneh dialami Justin saat menjemput Oswald (35), suami Julia, di rumah Oswald, pondok sederhana yang rapi, di daerah Llanelli. Oswald sama sekali tidak berusaha untuk kabur, malah ia buru-buru akan ke rumah sakit begitu dikabari keadaan Julia.

“Jangan khawatir, istrimu aman di rumah sakit. Yang penting, sekarang Anda ikut saya ke markas untuk menjalani pemeriksaan,” sahut Justin yang menambahkan bahwa Oswald dikenai tuduhan melakukan usaha pembunuhan.

“Apa maksudnya? Apa yang saya lakukan?” sahut Oswald kaget. Namun, menyadari situasinya yang tidak menguntungkan, ia tidak menolak saat borgol dipasang di kedua pergelangan tangannya.

“Tapi, izinkan saya menelepon ibu saya agar menjaga anak-anak sementara saya dan Julia tidak di rumah,” Oswald memohon dengan lesu.

Sementara Oswald menelepon, Justin sempat melongok tiga anak yang masing-masing berusia 9, 7, dan 5 yang tengah tidur lelap. “Kasihan, mereka tak tahu peristiwa penting menimpa ayah-ibunya,” tutur Justin perlahan. 

Begitu ibunya datang, Oswald segera dibawa ke markas polisi dengan tuduhan resmi melakukan penembakan.

Namun, di tempat pemeriksaan Oswald mengatakan hal yang sama.

“Saya tidak melakukannya. Saya tidak mungkin melakukannya, saya amat mencintai istri saya,” jawab tegas Oswald.

“Jangan berpura-pura. Justru karena Anda amat mencintainya, maka Anda melakukannya,” ujar sang Inspektur. 

Seluruh dunia pasti setuju, Oswald punya motif paling kuat. la berusaha menghabisi keduanya dengan latar belakang cemburu.

“Tidak mungkin saya melakukannya. Sejak sore hingga saat menerima telepon dari rumah sakit, saya tidak sedikit pun melangkah keluar rumah,” ujar Oswald sambil menantang agar polisi menanyakan pada tetangganya.

“Bisa saja Anda bersekongkol dengan tetangga Anda,” jawab Gary.

“Satu hal, selain tidak punya senjata api, saya juga tidak tidak tahu cara menggunakannya,” kilah Oswald.

Pemeriksaan itu memang tidak memberikan hasil memuaskan. Tidak cukup bukti bahwa Oswald pelakunya.

Soal senjata api, tampaknya Inspektur Gary terpaksa membenarkan pernyataannya. Di Inggris seseorang tidak dapat dengan mudah memiliki senjata api. Selain itu, tidak ada bukti ia punya senjata api secara gelap. Data di kepolisian menunjukkan selama beberapa bulan terakhir tidak terjadi perpindahan tangan kepemilikan senjata api kaliber berat.

Selain itu, tetangga sekitar rumah tersangka mengatakan, melihat Oswald duduk di ruang tamu rumahnya pada jam-jam peristiwa itu terjadi.

Meski alibinya cukup kuat, Oswald tidak demikian saja dibebaskan karena tidak ada orang lain yang punya motif lebih kuat daripada dirinya.

Tak hanya mencari kebenaran pengakuan Oswald, Gary, dan Justin menanyai sejumlah tetangga mengenai pasangan itu. Oswald dan Julia menikah pada 5 Mei 1970. Meski mereka tergolong sederhana, karena Oswald hanya pekerja di pelabuhan, mereka tampak bahagia selama ini. Setidaknya, sampai kemudian datang Stanley. Gary menduga, Julia terpikat pada Stanley bukan hanya karena Stanley tampan dan intelek, tapi juga punya profesi lebih tinggi.

Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan, Julia telah menjalin hubungan dengan Stanley setidaknya selama setahun. Beberapa saksi sering melihat Austin berisi dua orang yang sama parkir di tempat yang sama pada hari yang sama, Jumat malam.

Beberapa tetangga mengatakan hal serupa, akhir-akhir ini tiap Jumat malam Julia selalu keluar rumah. Sebelum itu Julia jarang meninggalkan rumah.

“Aneh, biasanya Stanley dan Julia pergi Jumat malam, tapi mengapa peristiwa ini terjadi pada Sabtu. malam? Ini pasti bukan kebetulan,” gumam Inspektur Gary.

“Bisa jadi pula Oswald sudah merencanakan jauh hari sebelumnya, lalu ia menyewa pembunuh bayaran,” ujar Justin curiga.

“Kendalikan emosimu, Justin. Untung salah satu korban selamat. Jadi, kita bisa menemuinya bila kondisi fisik dan mentalnya sudah siap,” ucap Gary yang yakin rahasia ini akan tersingkap.

 

Gara-gara impoten

Setelah Julia dinyatakan pulih secara fisik dan mental oleh dokter, Inspektur datang sendiri ke rumah sakit.

Untunglah Julia bisa menggambarkan dengan rinci sosok pelaku penembakan. Demikian pula informasi tentang jumlah pelaku yang sebanyak dua orang.

“Baik, Julia. Kira-kira apa alasan mereka menembakmu?” perlahan Gary bertanya.

“Oswald. Oswald pelakunya,” teriak Julia dengan tubuh gemetar dan terisak-isak. “Hanya Oswald yang tahu di mana dan sedang apa saya saat itu.”

Ucapan ini benar-benar membingungkan, mana ada korban yang memberi tahu pembunuhnya di mana korban bisa ditemui.

“Tenang, Julia. Ceritakan semuanya satu per satu. Kami akan membantumu,” Gary mencoba menenangkan.

“Semula perkawinan kami hangat dengan cinta,” kata Julia dengan suara sengau. la menikah pada usia 20 tahun. Selama sembilan tahun perkawinan, tiga anak hadir meramaikan rumah tangga mereka. “Kami berdua amat saling membutuhkan. Tak terbayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa Oswald. Kami merasa seperti dua jiwa dalam satu tubuh,” aku Julia sambil memandang ke luar jendela.

Inspektur mengerutkan kening, “Lalu mengapa kamu berselingkuh?”

“Saya tidak berselingkuh. Oswald yang merancang semua yang kami lakukan!” kembali Julia histeris.

“Tenang, Julia. Apa yang kaumaksud?”

“Beberapa tahun pertama perkawinan kami bahagia. Meski tidak kaya, Oswald bisa memenuhi kebutuhan sederhana kami dengan sering kerja lembur,” tutur Julia yang tiba-tiba tersenyum membayangkan tiga anak mereka tumbuh sehat. Bahkan dari tahun ke tahun, ikatan antar anggota keluarga itu menjadi makin kuat.

Namun, 4 Januari 1977, terjadi musibah. Di pelabuhan terjadi kecelakaan. Kabel crane yang mengangkat beban muatan berisi alat-alat berat putus. Celakanya, Oswald berdiri di bawah beban itu. Tak dapat dihindari, beban berat itu pun jatuh menimpanya. Oswald segera dilarikan ke rumah sakit dalam ketidakpastian, entah hidup atau mati.

Untung. Ia selamat, namun tulang punggungnya patah. Selama enam bulan ia harus berbaring dengan mengenakan gips. Yang menyedihkan, dokter menduga Oswald takkan bisa berjalan lagi.

Siapa sangka, saat ke luar dari rumah sakit, ia sudah bisa berjalan. Bahkan perlahan-lahan ia mulai bekerja kembali. Dokter yang merawatnya menyebut hal itu sebagai mukjizat.

“Namun satu hal, ada saraf tubuhnya yang rusak. Dalam banyak hal, Oswald pulih tapi ia impoten,” sahut Julia pelan.

Herannya, kondisi itu lebih mendatangkan masalah bagi Oswald, ketimbang Julia.

“Berulang kali saya katakan, memiliki anak-anak yang sehat dan suami yang baik adalah hal lebih penting bagi saya. Bukan hanya hubungan seks yang mendatangkan kebahagiaan,” aku Julia.

Namun, Oswald tak percaya. Merasa sebagai pria yang tak sempurna, ia takut lambat laun istrinya akan berselingkuh lalu meninggalkannya. Sampai kemudian Oswald menemukan jalan keluar yang aneh.

 

Mencari kekasih

Oswald memutuskan, Julia harus punya pacar yang bisa memenuhi kebutuhan biologisnya.

“Gila!” desis Inspektur. 

“Memang. Semula saya menolak ide ngawur itu. Saya bukan jenis perempuan yang bisa dengan mudah mengajak tidur sembarang laki-laki,” tutur Julia sambil menggelengkan kepala.

Namun, rencana itu tetap diteruskan. Diam-diam Oswald mencari laki-laki yang cocok untuk istrinya dan tentu aman bagi dirinya. Banyak kandidat tak memenuhi syarat penilaian yang tentu saja dilakukan secara diam-diam.

Sampai tiga bulan kemudian, anak sulungnya mengundang makan malam guru sejarah barunya, yakni Stanley. Sebagai orang baru kota kecil itu, tentu Stanley belum punya banyak teman.

“Meski baru berkenalan, Oswald melihat Stanley cocok untuk dilibatkan dalam rencananya,” Julia mengingat-ingat. Umur Stanley sebaya Julia, pendidikannya sarjana, selain itu ia pendatang baru sehingga tidak akan menimbulkan gosip murahan.

Stanley seorang kutu buku, sangat rapi, pemalu, namun intelek. Pendeknya, Stanley bukan jenis selera Julia, meski Oswald mengakui Stanley lebih tampan dari Oswald. “Oswald yakin, Stanley bisa memenuhi kebutuhan biologis saya. Dengan berat hati saya terpaksa menyetujui rencananya,” aku Julia sambil menghela napas.

Untuk menjajaki kemungkinan itu, beberapa kali mereka mengundang Stanley datang. Tanpa sadar, Stanley mulai menjadi sahabat Oswald dan Julia. Sebagai seorang sahabat, ia terkadang mengantar Julia berbelanja. 

Sampai suatu kali, sepulang berbelanja Julia sengaja mengajaknya berjalan-jalan ke luar jalur dari biasanya. Mereka menyusuri jalan desa yang sepi. Dengan alasan ingin menikmati suasana tenang, Julia meminta dia memberhentikan mobil ke tepi.

Lalu, terjadilah ujian untuk melihat apakah Stanley memenuhi syarat sebagai “kekasih” Julia. Hasilnya, tentu sudah bisa diduga.

“Saya berhasil membujuk Stanley untuk memenuhi keinginan Oswald. Yah, kalau Stanley sampai menolak, saya takut justru akan terjebak dengan pria lain yang kurang tepat,” ujar Julia sambil mengatakan bahwa Stanley pria yang amat baik.

“Lalu?” desak Gary tak sabar.

“Sebelumnya, Oswald sudah merancang surat perjanjian sederhana. Masing-masing dari kami bertiga punya kewajiban,” desah Julia.

Julia, disebut sebagai pihak pertama, setuju untuk berhubungan dengan Stanley sebagai pihak kedua sekali seminggu pada Jumat malam. Julia berjanji tetap setia dengan Oswald, selain itu ia tidak akan meninggalkan keluarganya atau membiarkan dirinya terlibat secara emosional dengan pihak kedua atau pria mana pun.

Serupa tapi tak sama berlaku pada Stanley sebagai pihak kedua. Selain berhubungan sekali seminggu pada Jumat malam, ia tidak diizinkan berhubungan dengan Julia di luar waktu tersebut, kecuali atas izin suami Julia. Ia pun tidak boleh membujuk pihak pertama untuk meninggalkan suami dan keluarganya.

Sementara Oswald, tentu saja harus mengizinkan Julia melaksanakan semua yang termuat dalam kontrak.

Kecuali itu, disepakati tempat mereka melakukan hubungan hanya di dalam mobil pak guru di tempat yang tersembunyi dan aman. 

“Surat itu saya simpan dalam kotak kaleng di kamar tidur. Di kaleng itu juga tersimpan semua surat-surat penting keluarga kami.”

“Tapi mengapa peristiwa itu terjadi Sabtu malam?”

“Karena hari Jumat lalu ada undangan dari keluarga besar kami,” kata Julia, sambil menangisi suaminya yang tak disangka tega melakukan tindakan keji itu.

Inspektur Gary segera menelepon Sersan Justin, memintanya untuk mencari surat kontrak di rumah Oswald untuk pemeriksaan ulang.

Di markas Gary menunjukkan barang bukti yang membuat Oswald sulit berkelit dari tuduhan Julia. Surat perjanjian ditemukan di kotak kaleng itu berisi tulisan yang sama seperti dikatakan Julia. Artinya, Oswald harus mengakui hanya dirinya yang tahu tempat istrinya berkencan.

Tapi Oswald tetap menolak tuduhan sebagai pelaku pembunuhan.

“Saya yakin, tidak ada ikatan emosional antara Julia dengan Stanley. Saya pun tak pernah berpikir Julia akan meninggalkan saya. Lalu untuk apa saya melakukannya?” Oswald mempertahankan diri.

“Maaf, Oswald. Ucapan Anda saja tidak cukup meyakinkan karena ada alasan kuat yang membuat Anda terlibat dalam kejahatan itu,” ucap Gary.

Oswald resmi didakwa terlibat atas pembunuhan yang direncanakan, dalam hal ini sebagai dalang kasus penembakan itu. Maka, Oswald pun ditahan untuk persiapan pengadilan.

 

Kakak-beradik penjahat

Beberapa bulan berlalu, Oswald masih meringkuk di dalam tahanan.

Pada saat bersamaan, 23 Desember 1979, seorang pria cebol dengan dagu tak bercukur dan berkacamata satu datang melapor ke sersan detektif di Glasgow, yang terletak jauh dari Swansea. Pria yang ternyata informan polisi itu mengaku punya informasi penting. Karena selama ini laporannya selalu benar dan akurat, informasinya kali ini pun pantas diperhatikan.

Katanya, ada dua orang laki-laki di Glasgow mengaku telah membunuh seorang pria dan melukai seorang perempuan di daerah barat Inggris di awal tahun itu.

“Nama mereka Edward Hodkins alias Eddie dan Alfred Hodkins atau si Codet, karena ada bekas luka yang melintang di pipi kanannya,” ujar pria cebol itu sambil menyebutkan tempat persembunyian kakak-beradik yang tercatat di arsip polisi sebagai penjahat profesional berdarah dingin dengan spesialisasi perampokan bersenjata.

Dengan cepat Eddie (34) dan si Codet (26) mereka tangkap dengan tuduhan menyimpan pistol otomatis kaliber 45. Meskipun mereka berdua tidak mengaku berbuat apa-apa, departemen balistik tetap melakukan uji balistik terhadap senjata mereka. Hasil pengujian itu lalu disebarluaskan ke seluruh wilayah Inggris, khususnya bagian barat. Bersamaan dengan itu dikirim informasi ke seluruh unit polisi, yang mengutip pernyataan informan bahwa senjata itu telah digunakan dalam pembunuhan untuk melukai seorang pria dan wanita di bagian barat negara ini.

Swansea memang terletak di Inggris sebelah barat dan sang Inspektur segera menghubungkan informasi itu dengan kasusnya, membandingkan hasil uji balistik di Glasgow dengan peluru yang diambil dari tubuh para korban di Lover’s Lane.

Hasilnya positif. Diduga keras Hodkins bersaudara yang menembak Stanley dan Julia.

“Akhirnya, kita menemukan si pembunuh bayaran,” ujar Justin puas.

Tapi dugaan mereka salah besar!

Saat dibawa ke Swansea dan dihubungkan dengan hasil uji balistik, kakak-beradik Hodkins memang mengaku melakukan tembakan.

Tapi, “Boro-boro tahu identitas korban, dengan pekerja pelabuhan itu pun kami tak kenal,” aku Eddie.

“Jangan main-main!” gertak Justin.

“Itu hanya kesalahan sederhana,” sambung si Codet gentar. Saat itu setelah merampok, mereka butuh kendaraan untuk segera kabur. Mereka ingat dengan Lover’s Lane. Di tempat itu banyak mobil ditinggal begitu saja, sementara pemiliknya berkencan di dalam hutan.

“Saya tak menyangka ada orang di dalam Austin merah itu,” ujar Eddie. Naluri penjahat mereka langsung terbit dan begitu saja mereka melepaskan tembakan. 

“Tapi kami menyesal telah menembak mereka. Sungguh, kami tidak sengaja melakukannya,” aku si Codet gugup. 

Mungkin benar demikian tapi pengakuan itu tidak mengubah keputusan juri. Pada 5 Juni 1981 juri memutuskan, Hodkins bersaudara pantas mendapatkan ganjaran hukuman penjara masing-masing 20 tahun. 

Sang pekerja pelabuhan itu pun dibebaskan. Keluarga sederhana itu kembali hidup bahagia. Hanya saja tidak diketahui apakah Oswald sudah kapok mencarikan pacar untuk Julia atau tidak. (John Dunning).

Baca Juga: Vonis Mati Buat Penggerutu

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605733/korban-perjanjian-selingkuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835448000) } } [3]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3567676" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/509-2005-70-vonis-mati-buat-peng-20221111074351.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Para ibu bergerombol menunggu warung Animei dibuka. Namun, Animei malah ditemukan terkapar. Punggung, kuduk, dan lehernya dibacok dengan sadis." ["section"]=> object(stdClass)#88 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/509-2005-70-vonis-mati-buat-peng-20221111074351.jpg" ["title"]=> string(26) "Vonis Mati Buat Penggerutu" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 19:44:09" ["content"]=> string(25554) "

Intisari Plus - Seperti biasa, para ibu bergerombol menunggu warung Animei dibuka. Alih-alih melayani pembeli, Animei ditemukan terkapar di warungnya. Punggung, kuduk, dan lehernya dibacok dengan sadis.

-------------------

Warung Animei belum juga buka. Ibu-ibu yang hendak membeli tempe, tahu, cabe, dan ikan asin terpaksa bergerombol di buk jembatan sebelah kanan warung. Mereka gelisah karena pagi itu harus segera menyiapkan menu sarapan. Berkali-kali mereka melirik ke arah warung. Dalam hati mereka bertanya-tanya meski tampak asyik mengobrol.

Saat itu, semuanya hanya punya satu harapan: pintu depan warung segera dibuka dan tingkap geser yang menyekat seluruh etalase kotak dagangan diturunkan, sehingga mereka dapat serentak menyerbu.

Sepeda motor Animei, yang sarat dengan barang belanjaan, seperti biasanya terparkir di depan warung. Pintu samping warung sendiri terbuka tetapi tingkap geser dan pintu depannya belum dibuka. Ibu-ibu yang sedang berkumpul itu berpikir. Animei masih di rumah - bagian belakang warung ada di teras rumah - dan karenanya mereka masih terus menunggu. Siapa tahu Animei masih ada di belakang warung atau di rumahnya, menuntaskan kebutuhan mendadak.

Namun, rasanya kok lama sekali. Benar-benar lama sekali. Kenapa? Ada apa? 

“Bisa-bisa enggak masak, bisa-bisa Tarsih enggak sarapan,” kata salah satu di antara mereka, Umplung, sambil menuju pintu samping warung. 

“Ni! Ni!” katanya tak sabar memanggil Animei, sambil melongok ke dalam warung yang nyaris gelap tanpa lampu. Namun tak ada sahutan dari dalam. Umplung lalu melirik ke rumah yang lampunya sudah dimatikan, mengawasi pintu depan yang terbuka dan juga jendela-jendelanya. “Niii ...!” seru Umplung lagi, kali ini lebih kuat.

 

Hilangnya patokan waktu

Entah benar entah tidak, kata orang-orang, Animei tidak pernah tidur. Konon, ia biasa menjaga tokonya sampai pukul 21.30 dan masih terjaga bila pintu rumahnya digedor orang yang sekadar ingin membeli rokok, susu, dan tetek bengek lainnya. Bahkan ada orang yang bilang, ia menghitung uangnya sebelum tengah malam. Gosip yang beredar, sebelum teng pukul 00.00, Animei bergegas memasukkan uangnya ke dalam peti khusus, di mana prewangan-nya (sejenis makhluk halus, Red.) akan menambahi duit penghasilan hari itu secara mistis.

Sekitar pukul 02.00, dengan mengendarai sepeda motor, ia sudah berangkat ke pasar Caruban - sekitar 10 km di sebelah utara kampungnya - untuk membeli sayur, ikan segar, ayam potong, dan terutama jajan pasar. Setelah itu, sekitar pukul 05.15 ia sudah buka warung, siap untuk diserbu ibu-ibu yang mau menyiapkan sarapan untuk anak dan suami masing-masing atau menimbun sayur untuk lauk makan siang nanti. 

Ia menjaga warung sendirian sampai Seguwon, pegawainya, datang sekitar pukul 06.30, untuk membongkar drum minyak tanah dan menyiapkan penjualan eceran. Persiapan warung itu dilakukannya serentak dengan aktivitas membeli nasi pecel yang dijajakan Lik Genah, dengan tempe dan dua bungkus peyek kacang. Menu sarapan itu untuk dirinya, satu pembantu yang berstatus sebagai penjaga toko, suaminya yang guru SD, dan Tiko - anaknya yang masih SMA. Animei memiliki tiga anak, dua orang di antaranya sudah kuliah dan tidak tinggal bersamanya.

Kebiasaan dagang Animei itu menjadi semacam patokan waktu bagi ibu-ibu yang sedang mempersiapkan anak-anaknya pergi sekolah atau melayani suami yang hendak pergi bekerja. Namun, pagi itu segala sesuatunya berjalan di luar kebiasaan. Warung Animei belum juga buka, meski ia sudah pulang belanja serta pintu samping warung dan pintu rumahnya sudah dibuka. Jadi ke mana Animei?

 

Banjir darah

Imanga - suami Animei - yang sudah mengenakan seragam guru SD bergegas muncul. “Nyi-nya mana, Kang?” tanya Umplung. Imanga tentu saja ternganga. “Lha, harusnya sudah pulang dari pasar to. Lha itu ...,” jawabnya sambil menunjuk sepeda motor yang dipenuhi keranjang belanjaan. Sepeda motor itu diparkir di samping warung di depan teras. Tegak di antara drum-drum minyak tanah.

“Ke mana orang itu. Kok bisa hilang ya. Rasanya ia belum balik ke rumah kok,” katanya sambil bergerak ke pintu samping warung yang terbuka. Ia kemudian menyeru memanggil istrinya. Melongokkan kepala, menjenguk keremangan yang tertutup di pagi hari. Tangannya meraih saklar dan menyalakan lampu. Ruang warung pun mendadak benderang menyilaukan. Imanga segera masuk.

Namun sebentar kemudian, ia tersurut sambil berteriak. Di salah satu sudut warung tergeletak tubuh Animei. Darahnya membanjir di lantai, yang tampaknya berasal dari bacokan di punggung, kuduk, dan leher. 

Umplung ikut melongok. Tatapannya menyapu lantai dan tidak lurus ke depan. Ia langsung berbalik sambil menjerit-jerit. Ibu-ibu lain mendekat dan, seperti Umplung, juga menjerit-jerit. Seorang lelaki yang pulang buang hajat di hilir terpancing untuk menengok, tapi setelah melihat pemandangan mengerikan itu, langsung berbalik dan memukul kentongan di Pos Kamling, dalam isyarat ada musibah dan panggilan berkumpul.

Dalam hitungan menit, penghuni kampung telah berkumpul! 

 

Genius matematika

Kematian Animei yang begitu mendadak dengan cara mengerikan pula, sungguh mengejutkan. Orang kampung pun mulai ramai bergosip atau sekadar membicarakan aktivitas sehari-hari sang pemilik warung. “Kapan kira-kira dia tidur?” bahas mereka, bila sedang bercerita tentang Animei. Ternyata tidak ada yang tahu. Kabarnya, pukul 11.00, biasanya Animei menanak nasi, menggoreng tempe, dan sesekali ditambah ikan asin, atau sayur sisa yang tak laku dijual.

Lepas tengah hari, kalau Imanga sudah pulang, barulah makan siang diselenggarakan, ditambah sambel dan kerupuk. Malamnya, ia lebih sering mencegat tukang bakso atau membeli heci-pecel, menghabiskan nasi sisa siang hari, dengan ditambah kerupuk atau peyek. Rutin.

Orang-orang juga ramai bergunjing, berapa kira-kira penghasilan warung Animei sesungguhnya? Apa benar labanya habis untuk makan, sementara gaji suaminya utuh disimpan di bank, hanya sesekali dikeluarkan buat membeli sawah, sepeda motor, dan ongkos kuliah anaknya? Lantas, ke mana hasil sawahnya? Ke mana juga larinya bunga dari uang warung yang dipinjamkan kepada orang-orang kampung? 

Animei sepertinya memang tak pernah tidur karena tak banyak yang pernah melihatnya tidur. lmanga, suaminya, terkadang kelepasan bicara, menyatakan jarang melihat istrinya tertidur ketika ia terjaga di malam hari. Maksudnya, setelah berseranjang sebagai suami-istri, ia terlelap sementara istrinya masih terjaga. Seterusnya, ketika ia terbangun, istrinya sudah bangun juga, sedang bersiap-siap akan berangkat ke pasar. Bahkan sering kali, Animei sudah berangkat ke Pasar Caruban.

“Ia genius matematika murni,” kata lmanga, guru SD yang mengajar segala bidang studi di kelas 3. “Ia tahu dan selalu ingat hitungan uang sampai ke sennya. Bahkan dengan cermat ia bisa menjabarkan pembelian dan penjualan dalam rentang enam tahun. Luar biasa!”

Meski seperti sedang memuji, lmanga sebenarnya sedang mengeluh. Gajinya - tidak ada potongan karena segala kebutuhannya dicukupi oleh Animei - selalu diserahkan utuh dan kemudian ditabung Animei di bank. Sesekali gaji itu diambil kalau ada orang yang meminjam uang. Atau ada yang menggadaikan sawah atau sepeda motor. Atau membayar ijon hasil sawah atau kebun. Kebutuhan sehari-hari dicukupinya dengan uang dari laci warung, yang agak besar dari laci lemari rumah. 

Karenanya, orang-orang percaya kalau tabungan Animei lebih besar dari sekadar gaji Imanga yang ditabung. Tambahannya bisa saja berasal - gosipnya - dari laba warung pracangan-nya. Karena berapa pun orang meminjam uang, Animei selalu bisa memenuhinya. Seperti uang yang datang secara gaib.

Meski berbulan-bulan kemudian, Imanga bilang, Animei (sebenarnya) meminjam uang dari bank. Uang bank itu kemudian dipinjamkannya kembali dengan bunga yang lebih besar kepada mereka yang membutuhkan. “Ia betul-betul genius matematika murni,” Imanga mengulangi kalimat pujiannya kepada polisi. 

 

Seribu tanda tanya

Selain menanyai Imanga, polisi juga meneliti situasi sekitar warung Animei. Di depan warung, agak ke timur dan terletak di tanah kontrol irigasi, ada Pos Kamling RT 15. Sampai lewat tengah malam, beberapa anak muda kampung itu - para lulusan SMA atau STM yang menganggur, drop-out SMA atau STM, dan anak-anak SMP - berkumpul di sana. Mereka bermain gitar secara ngawur, bernyanyi secara liar, dan berteriak-teriak sampai tersungkur karena mabuk.

Sampai pagi kadang masih ada anak muda yang tergeletak karena mabuk. Di sana-sini terdapat ceceran muntah, yang kemudian dibersihkan oleh salah satu dari anak-anak muda itu, di bawah komando Pak Westren, ketua RT, pensiunan ABRI yang selalu petentengan dengan gaya koboinya. Kotoran itu digelontor air yang ditimba dari saluran irigasi. Namun yang paling rajin membersihkan muntahan itu sebenarnya Jumparto, orang yang memanfaatkan Pos Kamling sebagai tempat usaha. 

Beberapa orang menyarankan agar anak-anak muda itu dilaporkan saja ke polisi, biar kapok. Namun, Westren menolak. la tak keberatan pada kebiasaan mereka, anggap saja mereka sedang jaga. Setidaknya, selama mereka membeli minuman sendiri dan tidak mabuk di siang hari. Namun, orang-orang kampung mengerti mengapa Westren tidak berani tegas. Salah satu anak muda itu anaknya sendiri. Selebihnya, Santoso, kemenakan Pak Lurah, serta Alimin yang anak orang paling kaya di kampung.

Kabarnya, mereka terkadang minta jatah rokok dan duit pada Animei. Animei memang pernah bilang, anak-anak muda itu dikasih rokok dan duit sepanjang mereka ikut menjaga warung, terutama drum-drum minyak tanahnya. Meski, kata sebagian orang lagi, Animei murah hati karena ia diam-diam ternyata suka menagih uang rokok dan uang modal mabuk yang diminta Alimin kepada orangtua pemuda itu. Tanpa banyak cingcong, orangtua Alimin biasanya langsung menggantinya.

Jika melihat aktivitas di sekitar warung, wajar kalau kejahatan terhadap Animei dilakukan di pagi hari. Karena setidaknya sampai tengah malam, anak-anak muda masih berkumpul sambil mabuk-mabukan di situ. Sedangkan dari petang para lelaki berkumpul di buk jembatan, untuk sekadar mengobrol maupun mencegat tukang bakso dan tukang bakmi di malam hari.

Mereka juga saling bertukar cerita, saling bertukar tembakau rokok lintingan dan terkadang berdiskusi menebak nomor togel. Sementara Jumparto, sampai pukul 17.45, berjualan kupon putih di Pos Kamling. Di siang hari, ia membayar angka yang jitu, di Pos Kamling itu juga.

Nah, di tengah suasana damai dan agak ramai itu, siapa yang tega membunuh Animei? Kenapa membunuhnya, kalau uang dan barang dagangannya - semisal rokok-rokok dan seterusnya - sama sekali tidak disentuh? Apa karena dendam? Apa karena piutang yang ditagih Animei secara kasar setelah berkali-kali gagal ditagih secara halus?

 

Interogasi nihil

Yang paling dicurigai polisi sesungguhnya Imanga, suami Animei, yang dijatah karena seluruh penghasilannya dikuasai sang istri. Namun, di hari kejadian itu, Fajriah, tetangganya bersaksi bila Imanga - seperti biasanya - sedang mencuci di belakang. Kemudian terlihat sedang menjemur pakaian. Mereka bahkan sempat omong-omongan. Lalu mandi, sebelum bersiap sarapan nasi bungkus dan berangkat mengajar.

Kegiatan rutin Imanga itu - pada hari H - tidak lampias, karena Animei dibantai orang. Menurut analisis pihak kepolisian, seseorang mencegat Animei dengan berpura-pura membeli rokok. Seseorang yang dikenal baik sehingga dibiarkan bebas mengikuti masuk ke warung. Seseorang itu mungkin diajaknya bercakap, sehingga ia tak siaga akan datangnya bacokan dari belakang - tiga kali - dan empat bacokan lagi ketika ia sudah jatuh ke lantai.

“Seseorang yang pasti dikenalnya,” kata polisi. Anjing pelacak pun didatangkan. Namun anjing itu cuma menyalak-nyalak resah, berputar-putar gelisah dan tak bisa menjejaki bau sang pembantai. Mungkin karena TKP itu sudah terlalu banyak didatangi oleh orang-orang kampung yang bebas melongok dan masuk. Yang alih-alih membubarkan diri, malah menonton secara aktif. Mereka memberi komentar ngawur dan membuat kesaksian asal-asalan. 

Setelah dipusatkan pada bau darah Animei, anjing pelacak bergerak menjauhi warung Animei. Dengan mengendus-ngendus cermat, anjing pelacak itu menjejaki sampai di ujung buk jembatan. Dari sana si anjing berlari menyusuri jalan kontrol saluran irigasi ke tengah sawah. Dua ratus meter kemudian anjing pelacak itu berputar-putar kehilangan jejak karena si pelaku tampaknya masuk ke saluran irigasi.

Si pelaku, entah jalan ke hilir, lalu menyeberang tanpa bau, jejaknya hilang di tengah sawah. Seperti terbang ke titik zenit langit atau tenggelam menembus lewat titik nadir bumi. Raib begitu saja. 

Untuk memecahkan kasus pembunuhan sadis ini, interogasi dilakukan oleh polisi secara maraton. Tak hanya Imanga, Tiko, anak Animei juga ditanyai. Bahkan dua anaknya yang sedang kuliah di Malang pun diinterogasi. Anak-anak muda, yang biasa mabuk di Pos Kamling, diinterogasi. Juga para lelaki yang biasa cangkruk (nongkrong), tukang bakso, dan tukang bakmi yang berjaja di malam hari.

Semua diselidiki alibinya. Namun, sampai suatu titik, tak jua membuahkan hasil. Hasilnya nihil. Di tengah keputusasaan, polisi lantas menggerakkan orang-orang untuk menyisir daerah pesawahan dan pelosok kampung, untuk mencari senjata pembantai Animei, dalam radius 1 km. Hasilnya lagi-lagi nihil. Jadi, masih belum juga terjawab pertanyaan besar, siapa yang telah membantai Animei?

 

Amuk prewangan?

Polisi menduga pelakunya hanya satu orang. Tunggal. Kata polisi juga, si pelaku merupakan orang profesional yang bisa membunuh dengan darah dingin. Buktinya, ia bisa melarikan diri secara rahasia, sehingga jejak dan alat pembantainya tak ditemukan sama sekali, termasuk oleh anjing pelacak. “Padahal, tanpa bukti dan saksi, jelas kita tidak dapat berbuat apa-apa,” kata Kapolsek, setengah frustrasi.

Polisi bahkan pernah menggelar razia senjata tajam mendadak untuk menjebak si pembunuh. Siapa tahu, pelaku lupa membersihkan bercak darah Animei di senjata tajam yang digunakannya. Atau pelaku berusaha menyembunyikan barang bukti, tapi ketahuan tanpa sengaja. Namun lagi-lagi, razia senjata tajam tak mampu menuntun polisi pada si pembunuh. Hasilnya lagi-lagi nihil dan sia-sia.

Senjata yang dicurigai digunakan dalam pembantaian Animei juga tidak ditemukan pada orang-orang kampung. Karenanya kami percaya, tak ada orang kampung yang terlibat, bahkan sekadar pantas untuk dicurigai. Meski polisi yakin, pelakunya pasti salah seorang dari penduduk. “Setidaknya,” kata polisi yang masih suka mampir ke rumah warga sekitar TKP untuk mencari informasi tambahan, “Mbah Kawanti bilang pelakunya orang dekat. Antara lingkaran keluarga dan tetangga.” Mbah Kawanti orang pintar di kampung itu.

Ada juga orang yang tak mencurigai manusia sebagai pelaku pembantaian Animei tapi menyalahkan roh halus. Aliran ini, seperti diungkap Kodansah, salah seorang penduduk kampung itu, percaya prewangan Animei sendiri yang muncul menagih tumbal yang tidak pernah ditunaikan si pemilik warung. Namun prewangan yang mana? Dari pesugihan apa?

Berkali-kali warga membuat acara memanggil roh, menghadirkan Animei serta bertanya bagaimana ia mati. Momennya selalu sama: ia pulang dari pasar, memarkir sepeda motor, dan didatangi seseorang. Lalu diikuti masuk ke warung lewat pintu samping dan dibacok di kuduk dan di punggung. Jatuh ke lantai dan dibacok lagi. Dengan gerakan cepat dan tebasan kuat sehingga tulang punggung ikut tertoreh.

“Siapa dia, Ani?” 

“Hhhh ....” 

“Siapa dia?” Tak ada jawaban. Hanya teriakan roh Animei dan gelepar tubuh yang dirasuki. Berkelojot. Sekaratnya dipercepat dengan tebasan yang berikutnya hingga menjebol tulang punggung. Pada pemanggilan yang terakhir terungkap pengakuan Animei yang mengaku tidak berani mengatakan siapa pelakunya. “Aku takut! Aku takut!” katanya. 

Apa ada yang ditakuti di dunia roh halus?

 

Berendam di saluran

Sampai bulan kesembilan di tahun ketujuh pascapembunuhan Animei, polisi tak pernah bisa mengungkap kasus pembantaian itu. Bahkan kelihatannya sampai kapan pun pembunuhan mengerikan itu tak akan terbongkar, ditemukan pelakunya, dan disimpulkan motifnya. Setidaknya bila Menawa tidak membuat pengakuan di tengah sakitnya yang bagai tak akan sembuh lagi.

Menawa mengalami sekarat yang berulang-ulang dengan teriakan takut dan lolongan tangis sesal, yang tak bisa ditenangkan hanya dengan pembacaan doa. 

“Tolong panggilkan polisi,” kata buruh tebas tebu, tukang sabit rumput, dan penganyam gedeg (dinding anyaman bambu) yang masih bujangan itu berkali-kali. Setelah rembukan, warga akhirnya meminta Kapolsek datang. Di saat sakit itulah, luka yang lama terpendam bak menganga kembali. Di tengah keluarga dan tetangga, Menawa membuat pengakuan. la - saat pembantaian baru sembuh dari penyakit malaria - memaksakan diri kerja borongan sebagai penebas tebu, mengaku menyesal telah membantai Animei.

Pagi itu, dalam kondisi sangat lapar dan limbung lantaran sisa demam malaria, ia bertemu dengan Animei di depan warung. Sebelumnya, ia sempat minta maaf karena belum sanggup membayar lunas utang-utangnya. Menawa menjelaskan, ia baru bisa bekerja kembali setelah beberapa lama diserang malaria, sekalian menyampaikan maksudnya ngebon beras untuk makan hari itu.

Namun, Animei menyambutnya dengan menggerutu. Perempuan itu masuk ke warung sambil menerangkan rincian utang Menawa dan mengatakan tak akan ada pinjaman lagi bila lelaki miskin itu belum bisa mencicil. “Memangnya kamu ini kakangku, apa!” hardik Animei. Pada saat itulah - dalam nanar lapar dan sisa deman malaria - Menawa tanpa pikir panjang menghunjamkan sabitnya ke kuduk dan punggung Animei.

“Seperti saya menebas bambu atau tebu! Maaf, saat itu saya marah sekali. Marah yang benar-benar marah. Tubuh saya seperti terbakar dan kepala seperti mau meledak. Karena itulah, sehabis membunuh, saya kungkum (berendam) di saluran!”

“Terus?” 

Ngintir (hanyut) di saluran. Naik di seberang. Lewat pematang aku bergegas ke Wonoasri. Saya langsung kerja menebas tebu, seperti biasa, menyusunnya dalam ikatan dan menaikkannya ke dalam truk. Saya kerja sampai jam lima sore. Kemudian mulih (pulang). Menggerombol. Tidur. Esok paginya, saya kembali kerja nebas tebu. Terus sampai hari ketiga belas. Bangun pagi untuk keliling menyabit rumput, mencucinya, dan menjualnya pada Lik Jarano. Begitu selalu. Tidak ada seorang pun peduli pada orang yang jungkir balik pagi hari agar bisa makan sore hari. Sampai saat ini,” katanya.

Mendengar cerita itu, orang yang berada di sekitarnya melengos (buang muka). Selama ini, kami memang tak pernah mempedulikannya. Rumah gedeg-nya nyaris ambruk. Letaknya terpencil di pinggir sawah, jauh dari warga lainnya. Menawa baru diingat kalau butuh untuk disuruh ini-itu, tapi kadang-kadang dilupakan kalau ada warga yang bikin kenduri. Warga bahkan tak pernah tahu, apakah ia sudah makan atau belum, apakah ia sakit atau kasmaran ingin kawin, dan seterusnya. 

Termasuk untuk kasus kematian Animei, warga sama sekali tak meliriknya. Lebih tepatnya, tak menganggapnya ada. la lama hidup sebagai “yang selalu dicemoohkan”, dan karenanya ia lama juga tersiksa oleh penderitaan, merasa bersalah telah membantai Animei. Siksaan batin itu terjadi di tengah tak seorang pun orang kampung bisa dijadikannya pusat keluhan dan tempat berbagi rasa. Siksaan yang berlangsung selama tujuh tahun.

Pembantaian Animei, menyusul pengakuan Menawa di saat-saat menjelang ajalnya, telah membuat orang-orang di kampung itu berpikir. Siapa sesungguhnya yang menyebabkan terbantainya Animei? Siapa pula sesungguhnya yang telah menyiksa batin Menawa selama tujuh tahun ini?

Bahkan, makanan kenduri yang selenggarakan demi tuntutan adat, agar Menawa tenang di alam kematiannya, hanya dibagi-bagi di antara warga. Tak pernah sampai pada lambungnya yang lebih sering dipakai untuk menangkis lapar berkepanjangan saat masih hidup. Memang! (Beni Setia)


Baca Juga: Surat Cinta Menguatkan Sangkaan

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567676/vonis-mati-buat-penggerutu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668195849000) } } [4]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561078" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/surat-cinta-menguatkan-sangkaan_-20221111032922.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Seorang penyerang misterius menyerang Nicole dan keluarga, bahkan membakar rumahnya. Apakah Nicole selamat untuk menguak tabir misteri penyerangnya?" ["section"]=> object(stdClass)#92 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/surat-cinta-menguatkan-sangkaan_-20221111032922.jpg" ["title"]=> string(31) "Surat Cinta Menguatkan Sangkaan" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 15:29:50" ["content"]=> string(20894) "

Intisari Plus - Seorang penyerang misterius menyerang Nicole dan keluarga, bahkan membakar rumahnya. Apakah Nicole selamat untuk menguak tabir misteri penyerangnya?

-------------------

Pagi menjelang subuh, 4 Oktober 1995, Nicole Smith tampak berbaring di ruang tidur di rumahnya, Lorena Close 7, Hoppers, Victoria, Australia. Sebelumnya, ibu muda itu sempat dua kali terjaga untuk menyusui Adrian, bayinya yang baru berusia 10 minggu. Perempuan yang berusia 32 tahun itu tampak sangat kelelahan. Namun, di tengah serangan rasa penat, dia masih sempat mencium anak lelakinya dengan penuh kasih sayang. Sebuah ciuman yang sangat manis. Lalu dibaringkannya buah hati tersayang di buaian yang berada di ruang duduk.

Tak ada yang menyangka, beberapa saat kemudian di tempat tidurnya sendiri, Nicole mengalami tragedi mengerikan. Entah dari mana datangnya, seorang lelaki tiba-tiba menjejalinya dengan pakaian yang sudah dibasahi zat berbau menyengat, kemungkinan eter. Dalam kondisi setengah pulas, Nicole sulit mengenali lelaki itu. “Aku sempat terjaga, berusaha menendang dan meronta-ronta,” cerita Nicole. Namun, aroma bius membuat Nicole akhirnya kehilangan kesadaran. Sialnya, kejadian itu bukan akhir, tapi justru awal datangnya tragedi yang lebih besar.

 

Datangnya tamu istimewa

Setelah berhasil membuat Nicole pingsan, lelaki sadis itu langsung beranjak ke ruang duduk, menggendong Adrian yang menatap dengan mata mengantuk, kemudian meletakkan bayi tak bersalah itu persis di sebelah Nicole. Sejurus kemudian, blupp! Nyala api mulai merambah tempat tidur, sebelum akhirnya meluas dan menyebar ke bagian lain rumah istri Mark Smith itu. Nicole beruntung masih bisa menyelamatkan diri, walau dengan jari dan lengan terbakar sampai ke tulang dan sumsumnya, sehingga akhirnya harus diamputasi.

“Aku cuma tahu ada sesuatu yang menimpa tangan dan lututku. Aku juga merasa seperti ada benda kecil di dekatku,” cerita Nicole. Benda yang di kemudian hari disadarinya sebagai tubuh mungil Adrian. Alarm kebakaran sendiri baru berdering sekitar pukul 07.30 pagi. Para tetangga yang terbangun kaget setengah mati. Tetangga terdekatnya berusaha menyelamatkan Nicole yang kelihatan terbaring di patio. Rambutnya habis terbakar, lengan kanannya hangus, dan suaranya nyaris tak terdengar. “Bayiku. Bayiku masih ada di sana,” sebutnya lirih.

Dua kali tetangganya mencari Adrian tapi selalu gagal menemukan anak malang itu. Sampai akhirnya, ditemani Nicole, mereka memeriksa seisi rumah. Di kamar tidur, asap tebal dan tajam tampak menyelimuti ruangan. Sang tetangga yang melihat “titik terang” kemudian mengajak Nicole keluar, sebelum wanita tegar itu melihat dengan mata kepala sendiri bayinya hangus tergeletak di tempat tidur. Nicole segera dilarikan ke rumah sakit, didampingi suaminya yang terlihat terkejut. Orang tua Nicole, yang tahu Adrian tewas, datang dari Queensland untuk mendampingi putrinya.

Mereka harus pandai-pandai menyimpan rahasia karena Nicole tampak belum siap menerima kepergian Adrian. Ibu muda itu selalu bertanya, “Mana Adrian, mana anakku?” Seolah yakin betul, buah hatinya masih hidup. Toh tak ada rahasia yang bisa disimpan terus-menerus. Setelah operasi dan kondisi mental Nicole siap, kabar buruk itu terpaksa disampaikan. Saat itu, Nicole cuma bisa diam, karena memang tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan. Dia minta keluarga dan tetangga mencarikan sehelai rambut Adrian untuk disimpan sebagai kenang-kenangan.

Sampai saat itu, baik pihak keluarga maupun kepolisian masih belum punya gambaran jelas siapa lelaki yang tega membius Nicole dan membakar Adrian. Apalagi tak ada saksi mata yang melihat langsung kejadian itu. Di sisi lain, sosok Nicole, suaminya Mark Smith, dan anak mereka Adrian, mulai menjadi fokus pembicaraan warga kota.

Lahir dan tumbuh di Ipswich, Queensland, Nicole berumur 22 tahun dan sudah bekerja di sebuah pre-school saat berkenalan dengan Mark yang cerdas, tampan dan jangkung pada tahun 1990. Nicole percaya mereka saling menghargai satu sama lain. “Dia pria yang lemah lembut,” kenangnya. Tahun 1991, keduanya menikah, kemudian pindah ke Orlando, Florida, tempat Mark yang berdinas di Angkatan Udara Australia bertugas selama tiga tahun. “Ikatan kami sangat kuat,” tutur Nicole. “Sangat akrab dan selalu melakukan sesuatu yang istimewa pada hari jadi dan ulang tahun. Rencananya kami mau punya tiga anak,” tambahnya.

Tahun 1994, pasangan itu pindah ke Palm Bay, Florida. Karena lama tak mendapat momongan, Nicole berkonsultasi pada seorang endokrinolog yang menganjurkan meditasi untuk mengatasi problem pada kelenjar tiroidnya. Berhasil, tujuh bulan kemudian, Nicole betul-betul hamil. Dia bahagia luar biasa. “Aku sangat menginginkan bayi dan ingin cepat-cepat mengabarkan berita baik ini pada Mark. Dia pasti senang,” ingatnya ketika itu. Saat kandungan Nicole berusia tiga bulan, pasangan muda itu kembali ke Australia. Mereka tinggal di Hoppers Crossing, dekat Werribee, Victoria, tak jauh dari tempat Mark dipindah-tugaskan. 

Mark sendiri, sebelum lahirnya Adrian, tampak berusaha keras menjadi bapak yang baik. Dia cukup perhatian, rajin menemani Nicole ke dokter kandungan, dan selalu berada di sisi sang istri saat tenaganya dibutuhkan. Kebahagiaan Nicole kian lengkap ketika Adrian lahir. Bayi mungil berambut gelap dan bermata biru itu menjadi tamu istimewa yang sangat dinanti kehadirannya. “Dia mencintai kehidupan sejak lahir ke dunia,” tutur Nicole. “Dan dia memang dilahirkan untuk memberikan kegembiraan.”

 

Geledah teman selingkuh

Hampir tak ada petunjuk yang bisa menuntun polisi untuk mengungkap kasus terbunuhnya Adrian. Nicole, apalagi Adrian, nyaris tak punya musuh. Niat membakar mereka berdua hidup-hidup merupakan ide keji yang harus dilandasi motivasi sangat kuat. Sersan Andrew Bono, detektif yang ditugasi menyelidiki kasus ini, benar-benar dipaksa menghadapi benang kusut. “Bahkan di kamar tidur sekalipun, tak kami temukan jejak sama sekali,” bilang Bono. Namun benang kusut itu tetap harus diurai, bisiknya dalam hati. Langkah pertama Bono, tentu saja, menanyai orang terdekat Nicole.

Seminggu setelah kebakaran, Bono berbicara dengan Mark Smith. Menurut ayah Adrian ini, dia menerima dengan pasrah kematian Adrian. Peristiwa kebakaran itu dianggapnya sebagai sebuah kecelakaan tragis. Detektif berpengalaman itu mencatat adanya sedikit ketidaksesuaian antara cerita Smith saat itu dengan omongannya beberapa hari sebelumnya. Namun sulit menyimpulkan atau menduga-duga keterlibatan Mark. Bono juga memeriksa para tetangga serta menanyai kerabat dekat dan pihak-pihak yang kerap berhubungan dengan Nicole.

Motif, itulah yang terus dicari polisi asal Melbourne itu. “Seluruh kasus ini tidak saling berhubungan, tapi merupakan gabungan dari potongan kejadian pada saat yang bersamaan,” kata Bono setengah berteori. Titik terang mulai agak kelihatan ketika dia mencoba menggali informasi dari rekan-rekan kerja Mark Smith. Dari merekalah Bono mendapat nama Donna Wilkinson, warga negara Amerika yang konon salah satu kawan terdekat Mark.

Mark bertemu Donna Wilkinson saat bertugas ke Australia beberapa tahun silam. Gadis cantik berambut mekar itu sekretaris di divisi tempat Mark bekerja. Nicole sendiri pernah dua kali bertemu Donna di acara sosial. Penasaran, Bono menelusuri sejauh mana hubungan Mark dan Donna. Dia juga harus rela bolak-balik Australia - Amerika, berbagi informasi dengan FBI, serta mengumpulkan hal-hal kecil yang bisa dijadikan barang bukti. Teman-teman sejawatnya sampai mengingatkan agar Bono tidak terlalu terobsesi pada Mark. Bagaimana jika pembakar rumah Nicole ternyata bukan Smith?

Namun seperti biasanya Bono pantang mundur. Dalam penyelidikannya, Bono menemukan fakta, Mark pernah mentransfer uang senilai lebih dari AS $ 70.000 kepada Donna Smith juga membeli cincin pertunangan seharga AS $ 20.000 buat pasangan selingkuhnya itu. Setidaknya, hingga awal 1997, Bono sebenarnya mencurigai perselingkuhan Mark berada di balik percobaan pembunuhan terhadap Nicole. “Namun ia selalu menyangkal semuanya,” cerita sang polisi.

Maka, Januari 1998, Bono berangkat lagi ke Amerika Serikat. Dia bertekad mengantongi surat perintah polisi setempat untuk menggeledah rumah Donna Wilkinson. “Saya menemukan tagihan hubungan telepon internasional mereka, e-mail, kartu-kartu ucapan, dan surat-surat cinta. Smith menyebut Donna sebagai tunangan. Dia berjanji akan mengadopsi Melissa, anak Donna dari hubungan dengan lelaki lain, yang lahir beberapa bulan sebelum Adrian,” imbuh Bono. Pada sebuah kartu dari Melissa yang ditujukan kepada Mark terbaca: “Ayah tersayang, aku mencintai dan merindukanmu.”

Penemuan-penemuan itu berhasil menyeret Mark ke pengadilan. Namun, berbeda dengan Nicole yang harus menjalani dua hari pemeriksaan silang dengan tangis sedu-sedan, Mark Smith malah terlihat sangat tenang. Termasuk saat jaksa memutar kembali kaset video yang memperlihatkan Mark sedang menurunkan peti jenazah putranya ke liang lahat. Smith sama sekali tak menunjukkan emosi yang berlebihan. Penampilan itu semakin menguatkan dugaan, dia memang pembunuh sadis berdarah dingin. 

Ia juga selalu menyangkal bukti-bukti dan tuduhan jaksa. Untunglah, kerja keras Bono selama lima tahun akhirnya terbayar lunas, ketika Desember 2000, Mark John Smith resmi dijatuhi hukuman 26 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Victoria. Ia diyakini melakukan langsung pembakaran yang berakibat hilangnya nyawa Adrian serta merencanakan pembunuhan terhadap Nicole. Pacar gelapnya, Donna Wilkinson, menolak datang ke Australia untuk menghadiri sidang. “Tak ada kekuatan hukum yang bisa memaksanya datang. Donna selalu menyangkal keterlibatannya pada kasus ini,” jelas Andrew Bono.

 

Hampir mati terbakar

Tepatkah keputusan pengadilan menghukum Mark? Nicole sendiri, yang dihubungi Bono pascapersidangan, mengaku keputusan hakim itu tetap “sangat mengejutkan” buatnya. Keputusan yang menutup rapat pintu keraguan yang selama ini menyiksanya. “Aku terguncang saat mendengar berita itu dan menangis untuk anakku,” tuturnya lirih. “Paling tidak, akhirnya aku tahu yang sebenarnya. Jawaban atas semua keraguan dan pertanyaan yang selama ini tak terjawab.” Meski tentu saja, Nicole tetap tak habis pikir mengapa mantan suaminya itu lebih memilih membunuh anak-istrinya ketimbang menuntut cerai. 

“Hanya Mark yang tahu mengapa ia memilih jalan itu,” jawab Nicole, lebih pada dirinya sendiri. “Mark menyukai uang. Tampaknya masalah finansial ikut berada di balik semua kejadian ini. Kami tidak punya asuransi pribadi, tapi kami punya rumah dan seisinya serta dana pensiun Mark. Semua itu bernilai lebih dari AS $ 215.000,” duga Nicole. Namun yakinkah Nicole bahwa suaminya sendiri yang mendalangi semua peristiwa tragis ini? Bukankah di pengadilan Smith selalu menyangkal tuduhan jaksa dan bukti-bukti yang dikumpulkan polisi?

Betulkah Mark, pria tampan berumur 37 tahun itu, yang tega membungkuk di atas badan Nicole lalu dengan sadis menutup wajah istrinya sendiri dengan pakaian yang sudah dibasahi cairan bius mudah terbakar? Smith jugakah yang menyalakan aromaterapi bakar di samping tempat tidur dan mengatur posisi ibu dan anak itu sedemikian rupa sehingga bisa meninggal bersama-sama? Apakah Mark memang sekejam itu, membakar anak dan istri, lalu kabur dan pura-pura sangat terpukul ketika polisi memberitahukan “kabar buruk” itu padanya?

“Entahlah. Aku tak lagi berbicara dengan dia sejak Desember 1995. Aku menganggap semua sudah berakhir,” jawab Nicole bijak. Tak mudah mengorek informasi tentang Mark dari Nicole. Andrew Bono sendiri menggambarkan ibu muda nan tegar itu sebagai wanita luar biasa. Dia kehilangan begitu banyak hal tapi selalu berusaha keras memperoleh kembali kehidupannya yang hilang. Nicole bahkan tak pernah menaruh prasangka sedikit pun pada suaminya sampai Bono menyampaikan bukti-bukti keterlibatan orang yang sangat dicintainya itu. 

Itu sebabnya dia begitu lama bisa menerima kenyataan. Selama ini dia agak buta lantaran terlalu percaya pada kekuatan cinta dan kegembiraan mengurusi putra kesayangan. Dia baru bisa percaya dan membuka mata setelah merangkai kejadian-kejadian sebelum datangnya kematian Adrian. Nicole membuka album foto dan menunjukkan gambar yang diambil di rumah sakit, sehari setelah Adrian lahir. Mark Smith tampak sedang memandang bayinya tanpa ekspresi. Bahasa tubuhnya terkesan “dingin” dan “menjauh”. Sepulang dari rumah sakit bersalin, Mark pun berubah. Dia bahkan tak pernah mau membantu Nicole merawat Adrian.

“Ketika Adrian berumur lima minggu, tengah malam aku terbangun, setelah mencium bau gas yang sangat kuat,” lanjut Nicole. “Setelah diperiksa, ternyata ada beberapa lubang pada pipa yang terletak di atap. Aku tak punya gambaran bagaimana hal itu bisa terjadi,” kilas Nicole. Hampir dua pekan kemudian, Nicole ingat pula pernah dibangunkan suara lengkingan alarm kebakaran di dapur. “Aku sedang menyusui dan Adrian tampak gelisah. Mark setahuku tidur di ruangan terpisah,” tuturnya. Ketika Nicole ke dapur, ia melihat api berkobar dari tempat sampah menuju atap. 

Ketakutan, segera Nicole merenggut Adrian dari buaian di ruang duduk yang berjarak hanya lima meter dari kobaran api. Seraya mengawasi Mark yang dengan sigap menyiram lidah api dengan alat pemadam kebakaran. “Aku sendiri bingung mengapa kebakaran itu bisa terjadi. Itu sebabnya aku menyarankan Mark membawa tempat sampah itu ke dinas kebakaran untuk diperiksa, tapi ia menenangkanku. Sejak saat itu sebenarnya aku mulai gelisah. Tapi tak sedikit pun aku menaruh kecurigaan padanya. Dia ‘kan suamiku, teman terbaikku. Aku hanya tak bisa mengerti, mengapa hal-hal berbahaya itu bisa terjadi.”

 

Perangainya berubah

Buta paling parah yang dialami Nicole adalah ketika dia tak pernah mencium hubungan mesra suaminya dengan Donna Wilkinson. Tidak juga ketika Donna dihamili oleh “orang kantor” Mark dalam pesta mabuk-mabukan di tahun 1994. Anak perempuan Donna, Melissa, sudah berusia dua bulan ketika Nicole hendak melahirkan. Donna bahkan mengarang cerita bohong pada Nicole, mengaku telah menikah dengan seorang pria dari angkatan udara, saat berkunjung ke Australia di awal 1995 hanya untuk melahirkan di dekat Mark.

Nicole juga tidak tahu sama sekali, perjalanan dinas Smith ke Canberra ketika Adrian berumur enam minggu memungkinkan Smith menemui Donna dan menemaninya makan malam. Dua minggu setelah Smith kembali dari Canberra, obsesi pada kekasih Amerikanya itu makin subur. Mata lahir dan mata batin Smith mulai gelap sehingga tega menyusun berbagai rencana untuk menyingkirkan Nicole dan Adrian. Kebakaran di dapur yang membuat Nicole bingung terjadi hanya empat hari setelah Donna Wilkinson kembali ke Amerika Serikat.

Puncaknya, tiga minggu setelah kebakaran di dapur, Smith memainkan kartu trufnya, membakar Nicole dan Adrian di kamar tidur. Kebakaran yang memaksa Nicole meringkuk dua bulan di rumah sakit, menjalani 15 kali operasi termasuk operasi plastik untuk lengan palsu seharga AS $ 17.000 sumbangan warga Ipswich. Nicole pun harus membiasakan sendiri dan belajar menulis dengan tangan kiri.

Selama menanggung penderitaan itu, Nicole juga ingat, ia dirawat hanya oleh saudara-saudaranya. Mark sendiri sering menghilang, entah ke mana. Setelah peristiwa mengenaskan itu, tahu kalimat apa yang pertama diucapkan Mark pada Nicole? Dia cuma bilang, “Keadaanmu ternyata tak seburuk yang kupikirkan.” Tampaknya Mark memang benar-benar ingin melihat Nicole mati terbakar. Masih tidak menyadari hubungan khusus Mark dan kekasih gelapnya, kurang dari dua bulan setelah kebakaran dan masih berada di rumah sakit, Nicole mendapat musibah kedua.

Smith dengan dingin menyampaikan berita pengunduran dirinya dari angkatan udara sekaligus keinginannya meninggalkan keluarga yang telah mereka bina bertahun-tahun. “Padahal aku mencintainya, aku tak tahu mengapa dia melakukan ini padaku,” kata Nicole sambil menggeleng-gelengkan kepala. Smith bahkan mengosongkan rekening bersama mereka kemudian membeli tiket pesawat sekali jalan untuk memulai hidup baru di Amerika bersama Donna.

Bulan Maret 1996, Smith kembali ke Australia bersama Donna Wilkinson dan anak mereka, Melissa. Bulan berikutnya, bersamaan dengan rangkaian penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian, Smith dicekal ketika hendak kembali ke Amerika. Terpaksa, Donna dan Melissa pulang kampung tanpa Smith. Keputusan cekal itu membuat Mark dan Donna hanya bisa melakukan hubungan jarak jauh, meninggalkan banyak bon interlokal, yang dengan mudah ditemukan Sersan Bono saat menggeledah rumah Donna di Amerika tahun 1998. 

Saya juga ingat, “Kami tak pernah menangis bersama untuk Adrian. Kadang aku pikir ia sama sekali tidak berduka,” ujar Nicole, sembari memandangi foto Adrian yang sedang duduk manis sembari meniup-niupkan mulutnya. Foto yang selama ini menjadi salah satu “harta” paling berharga Nicole, selain sikat rambut Adrian dan sehelai rambut yang tersisa di sikat itu. Benda-benda tak ternilai itu disimpannya dalam kotak khusus yang selalu dibawa jika “terjadi kebakaran”. Nicole tak ingin “Adrian” hilang dan dimakan api untuk kedua kalinya.

Sampai hari ini, Nicole mengaku masih kerap bermimpi buruk, susah tidur, dan ketakutan jika mendengar alarm kebakaran. Untuk mengatasinya, ia banyak bermeditasi dan mencoba memikirkan hal-hal positif yang telah diberikan Adrian. “Dia hadiah istimewa untukku sepanjang hidup ini,” senyumnya. “Aku jadi lebih tegar, lebih mudah tersentuh, karena Adrian selalu bersamaku sepanjang waktu. Ia memegang tanganku saat aku membutuhkannya,” tutup wanita yang resmi bercerai dari Mark tahun 1997 itu.

Perubahan perangai Mark dan rangkaian peristiwa-peristiwa mencurigakan pascakelahiran Adrian tadi, membuat Nicole yakin, seyakin Bono, Mark memang telah berlaku kejam dan tak adil buat keluarganya sendiri. Keputusan pengadilan hanya bersifat menguatkan. Andai Nicole bisa lebih pintar mendiagnosis tanda-tanda mencurigakan itu, kejadiannya barangkali akan berbuntut lain. 

Penyesalan memang selalu datang belakangan. (Rahartati Bambang Haryo) 


Baca Juga: Cemburu Buta Mantan Menteri

 



" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561078/surat-cinta-menguatkan-sangkaan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668180590000) } } [5]=> object(stdClass)#93 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448573" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#94 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/jangkrik-yang-misterius_-pixabay-20220831012810.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#95 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(176) "Ny. Donaldson diculik dan dipukul dengan gagang senjata hingga memar, namun ia tetap hidup! Dari sanalah, ia justru bisa menemukan si pelaku yang tak lain adalah orang bayaran." ["section"]=> object(stdClass)#96 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/jangkrik-yang-misterius_-pixabay-20220831012810.jpg" ["title"]=> string(23) "Jangkrik yang Misterius" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:28:25" ["content"]=> string(31173) "

Intisari Plus - Ny. Donaldson diculik dan dipukul dengan gagang senjata hingga memar, namun ia tetap hidup! Dari sanalah, ia justru bisa menemukan si pelaku yang tak lain adalah orang bayaran.

-------------------

Julia Donaldson seorang wanita biasa, cantik, bersuami, mempunyai dua putra dan seorang putri. Bersama keluarga dan anjing pudelnya, Fifi, ia tinggal di sebuah rumah mewah di kota satelit paling indah, El Paso, Amerika Serikat. Ia tidak muda lagi, tetapi penampilannya tetap menarik dan tubuhnya juga langsing. Ia hidup untuk keluarga dan tamannya, barang kebanggaan yang selalu warna-warni dan harum biarpun musim panas di Texas bukan main panasnya. 

Pada malam itu ia juga sedang sibuk di kebun. Suaminya, Ernest, dan ketiga anaknya pergi menonton sepak bola. Sebelum mereka pergi terjadi pertengkaran, karena Katie, putri mereka, tidak mau ikut. Ia lebih suka tinggal di rumah bersama ibunya, tetapi Ernest Donaldson memaksa mereka semua ikut. 

Mereka berangkat bersama sekitar pukul 19.00. Julia Donaldson sudah merencanakan untuk menyediakan kue dan kopi kalau mereka kembali nanti. Maksudnya sebagai sikap "perdamaian kembali". Ia melihat arlojinya. Jarum menunjukkan hampir pukul 21.00. Jadi, setiap saat suami dan anak-anaknya bisa pulang. Stadion letaknya sekitar 15 menit naik mobil. Julia masuk ke rumah, perlengkapan berkebunnya dilepaskan, dan otomat kopi dipasang.

 

Benda dingin di tengkuk 

Pada saat itu ada orang memijat bel. Julia bergegas ke pintu. Pikirnya, Ernest datang. Mestinya ia lupa membawa kunci rumah. Namun, ketika Julia keluar ternyata ada gadis cilik di depan. Gadis itu kecil perawakannya, berkulit gelap, rambutnya dipotong pendek, dan jinsnya sudah waktunya untuk dicuci. Bicaranya sopan. Ny. Donaldson tidak mengenalnya, karena itu ia agak enggan ketika gadis itu permisi meminjam telepon. 

"Ada kecelakaan?" tanya Julia. 

"Bukan," jawab anak itu agak bingung. Sekali lagi ia menandaskan bahwa ia perlu meminjam telepon sebentar. Ny. Donaldson merasa serba salah. Di depannya ada gadis asing yang bingung, sedangkan hari sudah hampir gelap dan jalan di depan rumahnya sudah sepi. Mengapa Ernest tidak pulang? 

"Maaf," katanya terhadap orang asing itu. Ia akan menutup pintu ketika tiba-tiba merasa suaru benda dingin di tengkuknya. Ia langsung tahu apa barang itu: laras revolver. 

Perlahan-lahan ia menengok ke belakang. Di depannya berdiri seorang pria tegap dengan kepala tertutup kain nilon. Revolver di tangan pria itu diarahkan kepadanya. 

"Buka pintu itu lebar-lebar," kata orang itu dengan kasar. Ia mengenakan jins butut, sepatu bot tinggi, dan T-shirt yang mulai aus. Rupanya umurnya sekitar 30, namun umur itu sulit untuk ditentukan di belakang kaus nilon. Ny. Donaldson mengerti gadis yang minta menelepon hanya umpan untuk menyempatkan pria itu masuk dari pintu belakang. Ia ingin berteriak, tetapi pria itu rupanya dapat menerka apa yang akan dilakukannya. Laras revolver itu dinaikkan secara mengancam. 

"Coba berteriak," desisnya. "Kepalamu akan saya tembak sampai otakmu melekat di kusen pintu." Julia bernapas terengah-engah, seakan-akan baru berlari menaiki seratus tangga. Julia menelan ludah dengan nervous. 

"Apa yang kalian kehendaki?" tanyanya. la sangat takut, tetapi ia tidak mau memperlihatkannya. Ernest akan pulang setiap saat, lalu…

"Kau punya kalung yang harganya AS $ 10.000," kata orang itu dengan geram. "Cepat ambil." 

"Saya sama sekali tidak mempunyai kalung seharga itu," jawab Ny. Donaldson. Ia mencoba mengatakannya dengan penuh keyakinan. "Saya tidak pernah mempunyai perhiasan yang begitu mahal." 

Pria itu tertawa sinis. "Kami tahu betul, Sayang. Yang kami maksud ialah kalung turqois dengan gesper emas. Kamu mendapat waktu tepat 10 detik untuk mengambil barang itu." 

Ny. Donaldson pergi ke dapur. Aneh perampok itu tahu persis perhiasan apa yang dimilikinya. Ia menaruh perhiasannya di lemari dapur dalam kantung plastik. Maksudnya, kalau ada pencuri mereka pasti takkan mencari barang berharga di situ. Ternyata dugaannya keliru. Ia mengambil kantung itu untuk diserahkannya kepada penodong. 

Ia tidak mengatakan bahwa harga kalung itu sebetulnya hanya separuh dari jumlah yang disebutkan. Kalung itu dimasukkan penodong ke dalam sakunya, seakan-akan tidak ada harganya. Anjing pudel Fifi yang semula dikurung di dapur, sekarang lepas dan mengelilingi kaki perampok itu sambil menyalak marah.

 

Diajak berjalan-jalan 

“Mana kunci mobilmu?" gertak pria itu. "Di mana kuncinya?" 

"Dibawa suami saya," kata Ny. Donaldson. Ia mencoba mengulur waktu. Setiap saat anak dan suaminya bisa datang untuk mengakhiri mimpi buruk itu. Fifi tetap melonjak-lonjak sambil menyalak. Yang diincar terutama pria itu. 

"Apa benar suamimu yang membawa kunci mobil itu, Sayang?" kata pria itu dengan mengejek. "Jangan coba memperdaya kami. Kami tahu bahwa suamimu yang perkasa tidak membawa kuncimu di dalam sakunya. Cepat berikan kunci itu, sebelum saya marah. Gumpalan "lap mebel" itu harus enyah dari kaki saya dan sumbatlah mulutnya. Kalau tidak akan saya tembak kepalanya sampai lepas dari tubuhnya." 

"Jangan takut pada anjing kecil itu," kata gadis cilik itu. "Kau juga tahu bahwa dia hanya menyalak dan tidak berani menggigit. Ia terlalu penakut untuk berbuat demikian." 

"Saya akan membawanya ke kamar tidur," kata Ny. Donaldson. "Baik," pria itu mengangguk. "Lalu sekaligus kenakan sepatumu untuk ikut keliling sebentar." 

"Bagaimana mereka bisa tahu begitu banyak tentang kami?" Julia bertanya-tanya ketika masuk ke kamar tidur, mengambil kunci mobil dan mengenakan sepatunya. Bagaimana mereka bisa tahu kalau Ernest tidak membawa kunci dan bahwa Fifi hanya galak dan tidak menggigit? Dengan pertanyaan-pertanyaan itu ia masuk ke dapur. 

"Saya akan diajak ke mana?" tanyanya. "Kalian 'kan sudah mendapat kalung saya. Kalian mau apa lagi?' 

"Jangan bertanya-tanya, Sayang," jawab pria itu. "Supaya kau tidak perlu berdusta." Dengan susah payah Julia Donaldson mencoba untuk mengulur waktu. Ia melihat jam. Waktu sudah pukul 21.45. Seharusnya beberapa menit lagi saja Ernest dan anak-anak kembali. 

"Ayo," kata pria itu kepada gadis tersebut. "Kau duluan. Mobil distarter dulu." Yang mengherankan ialah bahwa pria itu langsung mengikuti gadis itu, seakan-akan dia yakin korbannya akan ikut dengan sukarela. Ia baru melangkah ke luar ketika Ny. Donaldson menutup pintunya dengan keras dan mengunci dengan nervous. Pria yang di luar mula-mula diam seperti patung, lalu kembali dengan perlahan-lahan. Langkahnya seperti gerak film yang diperlambat. Dengan teriakan marah ia menghantamkan revolvernya ke sebuah jendela kaca dapur dan menembak. Sungguh mengerikan. 

"Buka pintunya, Setan. Kalau tidak saya tembak kamu!" 

Ny. Donaldson yang sudah kehabisan akal, membuka pintu. Dengan tergagap ketakutan ia membiarkan pintu itu menutup sendiri. Ia memandang pria itu. Ada darah yang keluar dari tangannya yang bersarung tangan, yang dipakai untuk memegang revolver. Rupanya tangannya cedera ketika ia memukul kaca. "Maaf, saya sungguh minta maaf." 

"Seharusnya saya sudah menembakmu seperti menembak anjing gila," kata pria itu dengan marah. "Ambil handuk atau apa saja. Balut tangan saya cepat." Tetesan darah bercipratan di lantai dapur yang bersih. Persis lak surat di notaris. 

Pria itu tidak puas dengan balutan Julia Donaldson. Revolver diserahkan kepada gadis yang dibawanya dan ia menggiring Ny. Donaldson ke kamar mandi. Di situ ia minta supaya lukanya dirawat dengan yodium dan dibalut dengan perban sunguh-sungguh. Sambil sibuk membalut, Ny. Donaldson mendengar suara tembakan revolver beberapa kali di dapur. 

"Ada apa lagi?" kata pria itu sambil bergegas kembali ke dapur. Dengan tolol gadis itu menjawab, "Tidak ada apa-apa. Saya hanya main-main, lalu revolver itu meletus sendiri." 

Ny. Donaldson melihat keadaan sebentar. Dapurnya masih bau mesiu. Sebagian plesteran dinding di atas tempat cuci sebagian lepas. Peluru itu rupanya lewat pintu lemari es menembus dinding. Ada kapur di lantai, pecahan kaca, dan darah pria itu. Fifi berkaing-kaing di kamar tidur, tempat ia dikurung. 

Pria itu meraih revolver dari tangan gadis tersebut. "Tolol. Cepat serahkan barang itu sebelum kau dengan otak udangmu menembak saya. Sekarang cepat pergi." 

Berdua mereka mendorong Ny. Donaldson ke luar. Ny. Donaldson harus telungkup di lantai bagian belakang mobil. Pria itu duduk di belakang sambil menekankan senjatanya ke kening korbannya. Si gadis duduk di belakang kemudi dan mobil pun menghilang di jalan yang sepi. 

"Kita akan ke mana?" tanya Ny. Donaldson. Ia menoleh sehingga bisa melihat muka perampoknya. "Apa rencana kalian terhadap saya?" 

"Tidak ada yang luar biasa, Nyonya. Kami hanya harus melakukan tugas." 

Mereka lama berjalan dalam keheningan mencekam. Lalu pria itu bertanya kepada gadis itu, di mana "dia" akan menunggu.

 

Duit, sayang! 

“Wanita itu menunggu di belakang flatnya," jawab gadis itu. 

"Wanita itu ...? Siapa?" pikir Ny. Donaldson. Jadi, ada wanita kedua yang berperan. Kira-kira dua puluh menit kemudian, mobil berhenti di antara beberapa gedung tinggi. Ny. Donaldson bisa melihat lampu jendela-jendela gedung tinggi. Ia juga melihat lampu jendela-jendela dari ruangan yang sempit di bawah. Jadi, mestinya itu bukan flat kantor, tetapi flat rumah tinggal. Kalau flat kantor pasti tidak ada begitu banyak lampu yang menyala pada saat itu. Gadis itu keluar dan berbicara dengan seseorang yang tidak bisa terlihat oleh Ny. Donaldson. Lalu ia masuk lagi. 

Kita harus mengikuti dia," katanya dan mereka berangkat lagi. Kali ini lebih cepat. Ny. Donaldson masih bisa mendengar ban berdecit kalau mereka membelok sambil ngebut. "Katakan kepada si tolol di depan kita agar ia jangan ngebut. Nanti kita bisa ditahan polisi." 

"Kau 'kan kenal Cricket. Dia suka ngebut” kata gadis di belakang kemudi. 

Ny. Donaldson tidak pernah mendengar nama itu, tetapi nama "Cricket" akan melekat dalam kepalanya. Mobil itu jelas masuk ke jalan tanah. Mobilnya terentak-entak sejenak, lalu berhenti. 

"Kita sampai, Nyonya. Sekarang kita harus keluar." 

"Saya tidak mengerti apa artinya ini semua. Kalian mau menerangkan maksudnya?" tanya Julia Donaldson. 

"Kamu 'kan mengenal pepatah bahwa duit sumber dari semua kejahatan, Sayang ...." 

Pria itu minta Ny. Donaldson keluar dari mobil. Julia merangkak dari lantai mobil dan akan berdiri. Pada saat itu pria tersebut memukul kepalanya sekuat tenaga dengan revolver. Julia merosot ke bawah, ke tempat duduk sebelah kanan dan jatuh dalam genangan darah. Rasa sakit merambat ke seluruh badan, lalu ia melayang hilang dalam kegelapan. Namun demikian ia masih mendengar gadis itu menggerutu karena mobilnya penuh darah. Apakah tidak bisa menunggu sebentar sampai Julia keluar mobil sebelum dipukul? Sekarang mobilnya tak bisa dipakai lagi. 

"Persetan," jawab orang yang digerutui. Napasnya tersengal-sengal. "Biar dia ditinggalkan di mobil saja seperti perampokan di jalan raya biasa."

Ia menarik Ny. Donaldson ke luar, dilemparkannya telungkup ke dalam lumpur, lalu kepalanya diputar 90° dengan kedua tangan. Ia melakukannya dengan tenang, seperti memutar kepala ayam. Ny. Donaldson pingsan, tetapi seperti terjadi mukjizat ia tidak mati. Beberapa detik atau berapa menit kemudian, ia siuman kembali. Pria tersebut pada saat itu memegang pergelangan tangannya.

 

Selamat mimpi 

“Mati," katanya sambil nyengir. Ia menarik Julia Donaldson dan mengonggokkannya di tempat duduk depan seperti sekantung kentang. "Kalian berangkat dulu saja, saya akan menyusul." 

Julia masih siuman ketika mobil distarter dan berangkat, tetapi karena guncangan mobil, ia pingsan lagi. Kalau teringat kembali rupanya seperti film mengerikan. Sebentar siuman, lalu pingsan lagi. Sakitnya bukan main. Pada saat siuman ia mendengar pria itu berbicara sendiri, menirukan suaranya. "Mengapa kalian berbuat demikian pada saya, mengapa ini, mengapa itu?" Pria itu kemudian menjawab dengan suaranya sendiri, "Karena uang, Sayang, semua hanya karena uang, karena hanya dengan uang hidup itu tetap bergulir, ya, ya." 

Setelah menderita tidak ada akhirnya, paling sedikit itu perasaan Ny. Donaldson, ia merasa mobil berhenti. Pria itu keluar dan semua pintu dikunci. Ia mendengarkan langkah yang berat ke mobil lain dan langsung pergi. Suara mobil itu menghilang, lalu yang tinggal hanya malam yang pekat di jalan yang sangat sepi. Sakitnya bukan main. 

Ia tak bisa membayangkan berapa lama ia terkapar di situ. Sepuluh menit? Satu jam? Empat jam? Sepuluh ... ia sudah kehilangan pengertian untuk waktu. Dunia meliputi kegelapan dan nyeri menyayat yang lagi-lagi kembali, yang menyelubungi pikirannya seperti kabut yang menyeretnya dari kenyataan .... Ia cukup menyadari bahwa ia harus keluar dari mobil itu dan mencari pertolongan ..., tetapi ia tak berani bergerak sebab takut akan gelombang nyeri yang melanda lagi. Tapi ia harus ... harus .... 

Waktu akhirnya berani mencoba, ternyata ia tak mampu menggerakkan kepalanya. Hanya kalau ia melipat kedua lengannya di belakang kepala lalu mendorong dan menarik, baru ia bisa menundukkan kepala itu .... Gerakan sederhana itu saja menyebabkan rasa nyeri tajam menikam sepanjang tulang punggungnya. 

Seluruh badannya berkeringat, tetapi bersamaan dengan rasa dingin, sangat dingin. Ia bertekad terus dan akhirnya berhasil duduk tegak, sehingga ia bisa menyandarkan bagian bawah punggungnya pada sandaran kursi. Dengan hati-hati ia mulai mendorong kepalanya ke atas ... berhasil, tetapi lagi-lagi ia jatuh pingsan sebentar oleh nyeri yang diakibatkan oleh gerakannya. 

Waktu siuman kembali - entah untuk yang ke berapa kalinya - ia mengetahui bahwa ia bisa melihat keluar sedikit di pinggiran dasbor. Ia merasa sangat payah, seperti orang yang sudah berhari-hari berjalan terus.... Kelelahan itu tiba-tiba lenyap. Ia melihat lampu mobil yang mendekat. 

Dengan menangis karena merasa sangat sakit dan lelah, ia mendorong dirinya ke arah jendela. Ia ingin mencoba membuka sebuah kaca, lalu melambaikan tangan .... Orang di dalam mobil itu harus menolongnya! Tetapi sewaktu mencoba memutar alat penurun kaca jendela, ia terkejut karena ia tidak berada di jalan raya, tetapi di jalan rintisan sepi di suatu wilayah yang mungkin tak pernah didatangi orang .... Lebih mungkin mobil yang mendekat itu kepunyaan para penyerangnya, yang mungkin melupakan sesuatu dalam mobil .... la tak boleh mempertaruhkan nyawanya! Jadi, ia membiarkan saja jendela itu, lalu merebahkan badannya ke posisi semula. Tepat pada waktunya. 

Mobil itu berhenti, dan memang itu mobil lawan. Calon pembunuhnya keluar, membuka pintu mobil tempat Ny. Donaldson ditinggalkan, lalu mengambil sesuatu. Sepucuk pistol, pikir Ny. Donaldson, tetapi ia tak bisa melihat apa yang dilakukannya. Ia sangat kaget ketika orang itu menepuk bahunya seakan ia anjing kecil yang sedang tidur. 

"Selamat mimpi, Sayang ...," katanya sambil membanting pintu.

 

Merangkak terus 

Ketika mobil itu sudah pergi, Ny. Donaldson menghitung sampai 500. Untuk lebih pasti ia mulai lagi, tetapi di tengah-tengah ia terpaksa berhenti sebab tak tahu mau mulai dari mana, karena nyeri menyerangnya kembali. Kepalanya tergantung lagi pada posisinya, rasanya seperti kepala itu hidup sendiri, terpisah dari bagian tubuhnya yang lain. Segala jerih payah dan sakit yang diderita untuk berusaha duduk tegak tiba-tiba menjadi sia-sia oleh kedatangan kembali si penjahat .... Ia kembali tergeletak tanpa daya seperti sebelumnya. Ia menyadari bahwa kalau ia tak berbuat apa-apa, ia mutlak akan mati di situ. Ia harus bisa menegakkan dirinya .... 

Sentimeter demi sentimeter ia mendorong tubuhnya yang memar ke atas. Rasanya seperti berlangsung 100 tahun..., tetapi ia berhasil membuka pintu mobil. Dalam waktu yang sama ia harus memegangi kepalanya, agar tak sampai tergolek ke samping atau ke depan secara tak terkendali, dibarengi dengan nyeri yang menyayat-nyayat. Ia berhasil juga keluar dari mobil itu. 

Ia tak tahu ada di mana. Tempat itu seperti daerah sangat sunyi terselubung kegelapan malam. Jauh di sana terdengar lolong serigala padang rumput, ia tergetar. Ia memutuskan untuk berjalan ke arah asal mobil. Tanpa alasan yang jelas ia berharap bisa mendapat pertolongan lebih cepat di sana. Ia berjalan terengah-engah sambil merangkak, terhuyung-huyung. Sambil memegangi kepalanya ia melewati jalan rintisan yang sempit dan bergelombang itu. 

Tak tahu berapa lama ia jatuh bangun menempuh jalan itu, berapa kali ia jatuh terperosok di lumpur yang pekat di luar rintisan. Lebih dari sekali ia tak mau bangkit, hanya ingin rebah. Tidak memikirkan apa-apa dan hanya menantikan tibanya tidur terakhir yang melunakkan segala Tetapi setiap kali ia menemukan tenaga baru untuk bangkit lagi dan meneruskan perjalanan merangkak terus 

Fajar sudah menyingsing ketika ia sampai di rumah itu. Ada papan nama di pintunya: Peter Engler, dengan tambahan di bawahnya: "Awas, anjing galak". Ny. Donaldson masih saja bisa tersenyum. Biarpun penjaga rumah itu anjing neraka Cerberus, ceritanya kemudian, dia takkan memikirkan untuk mundur. 

Ia mengetuk pintu dan menggedor terus sampai pintu dibuka oleh tuan rumah. Mujur bagi Ny. Donaldson, Engler mengerti PPPK, sehingga bisa melakukan sedapatnya sebelum korban ditolong dokter. Istrinya menelepon polisi dan sebuah ambulans. Polisi segera bertindak, antara lain mengirim petugas ke rumah Donaldson untuk memberi tahu apa yang terjadi pada istrinya. Ny. Donaldson secepatnya dibawa ke rumah sakit. 

Di sana tulang punggung dan lehernya - yang ternyata patah - digips dan luka-luka lainnya berasal dari penganiayaan dan akibat jatuh-bangun ketika merangkak ke rumah keluarga Engler, dirawat.

 

Suami yang tenang 

Sementara Ny. Donaldson dirawat di rumah sakit, sebuah mobil polisi berhenti di depan rumahnya. Keadaannya sunyi senyap dan serba gelap. Anggota polisi itu memerlukan waktu lebih dari 5 menit untuk memijat bel dan mengetuk pintu sebelum ada lampu dinyalakan di dalam rumah. Masih selang beberapa saat lagi sebelum Donaldson membukakan pintu. Ia masih mengantuk, rambutnya kusut. Dengan mengenakan jas kamar diluar piyamanya, ia bertanya ada apa ribut-ribut itu. 

Para anggota kepolisian dengan mendongkol menceritakan apa yang terjadi pada istrinya. Kedongkolan dan keheranan mereka makin bertambah, ketika melihat betapa tenang ia menyambut berita musibah itu. Para petugas itu minta izin untuk masuk dan memeriksa di dalam rumah seperti yang dilukiskan oleh Ny. Donaldson. 

Donaldson mengangkat bahu, tetapi membiarkan mereka masuk. Mereka melihat dapur sebagaimana dikatakan Ny. Donaldson, dengan lubang peluru pada lemari es dan di tembok. Tetapi tak ada pecahan kaca di lantai dan juga tak terlihat ada tetesan darah di lantai. 

"Apakah Anda telah membersihkan tempat ini?" tanya para petugas itu. 

"Ya, betul." 

"Anda juga membersihkan tetesan darah?" 

"Memang betul." 

"Anda melihat kaca pintu dapur hancur, pecahan kaca di lantai, bercak-bercak darah, lubang peluru di pintu lemari es dan istri Anda menghilang .... Anda tidak menelepon polisi, tetapi malah membersihkan semuanya lalu tidur?" 

"Benar. Kenapa saya harus menelepon polisi?" 

"Apakah Anda tidak merasa semuanya ini agak janggal?" 

"Tidak." 

Sepi mencekam .... 

"Tidak," ulang Donaldson. "Kami pulang setelah pertandingan, lalu semuanya masuk tidur." 

"Menurut Anda, apa yang dilihat di sini tidak mencurigakan? Juga tidak ketika Anda tak menjumpai istri Anda di mana-mana?" 

Dengan rasa jengkel yang jelas terlihat, Donaldson kembali mengangkat bahunya. 

Para petugas polisi itu mengadakan hubungan dengan markasnya. Mereka ditugaskan untuk terus menanyai orang itu, sampai ia "matang pada kedua sisinya" ... tetapi bagaimanapun cerdiknya mereka tak berhasil. Donaldson tetap pada keterangannya. Waktu pulang ia menemukan noda darah dan pecahan kaca. 

Ia mengambil kesimpulan bahwa istrinya melukai dirinya sendiri dengan pecahan kaca, lalu mengendarai mobilnya ke rumah sakit terdekat. Polisi menelepon rumah sakit itu, tetapi mereka tak pernah menerima telepon dari Donaldson. Memang betul, kata Donaldson. Ia tak pernah menelepon ke rumah sakit untuk menanyakan soal itu. Ia mengira bahwa Julia sudah pulang sebelum ia tidur. 

"Lalu lubang peluru pada pintu lemari es itu? Anda tak punya pikiran apa-apa?" Ia memang sudah memikirkan, ya, memang. Tetapi ia tak mengerti bagaimana bisa terjadi lubang itu. Barangkali Julia takut mendengar sesuatu lalu mengambil pistol kemudian ke dapur dan menembakkannya. Ya, barangkali begitu. Lalu dia mendapat luka itu, sehingga mengeluarkan darah. Titik. Selesai. Lebih jauh ia tak memikirkannya. Ia lelah dan ingin tidur. Yang pertama yang dia ingat ialah gedoran polisi yang membangunkannya.

 

Siapakah "Cricket"? 

Semua itu tentunya cerita gila, tetapi mereka tak bisa apa-apa. Ia mempunyai alibi yang wajar dan sangat baik malam itu: ia nonton bola dengan anak-anaknya dan tak pernah beranjak dari tempatnya. Bahkan kepada istrinya yang ditengoknya di rumah sakit, ia menceritakan kisah yang sama, tetapi istrinya pun tak percaya. 

Pihak kepolisian tak berdaya. Mereka tahu bahwa Donaldson berbohong, tetapi mereka tak mempunyai bukti sedikit pun terhadapnya. Dari gambaran Julia mengenai para penyerangnya, polisi juga tak bisa bertindak. Sinyalemen itu bisa mengenai puluhan orang - sejauh Julia bisa memberikan ciri-ciri itu - dan nama yang dia dengar disebut Cricket, juga tak bisa dibuat pegangan. Ada ribuan gadis di Texas yang memakai nama itu. Juga waktu Julia sudah dilepas dari balutan gipsnya polisi masih belum beranjak dari hasil penyelidikan sesudah serangan itu terjadi. 

Akhirnya, beberapa orang temannya membujuk Julia agar berusaha sendiri untuk mencari keterangan siapa yang merencanakan serangan di pagi buta itu. Akhirnya, ia mendapat alamat dan nomor telepon Jay J. Armes, seorang detektif buntung terkenal. 

"Dengan demikian saya mendapat seluruh cerita itu," cerita J.J. Armes. "Bukan hanya tidak mudah untuk menemukan sesuatu yang baru, peristiwanya sudah cukup lama ...." Berikut ini cerita Detektif J.J. Armes: 

Saya hanya memerlukan waktu tiga hari untuk memecahkan persoalan itu. Julia Donaldson adalah seorang wanita baik, sangat populer, dan pasti tak mempunyai musuh. Hanya ada seorang yang mendapat manfaat dari kematiannya: suaminya sendiri. Dengan cepat saya mengetahui bahwa ia tidak menutup pertanggungan jiwa tinggi untuk dirinya dan dia juga takkan mewarisi jumlah besar dari istrinya. Jadi, seharusnya ada alasan lain: "cherchez lafemme" (carilah perempuan di belakangnya) yang termasyhur itu. Kesempatan satu-satunya ialah mencari ke arah nama yang pernah didengar Julia: "Cricket" itu. 

Saya menelusuri nama itu. Tak bisa dibayangkan betapa banyak gadis yang memakai nama itu. Tapi kita lanjutkan. Ny. Donaldson menceritakan bahwa perjalanan mobil bersama para penyerangnya dari rumahnya ke tempat mereka menemui orang yang dipanggil "Cricket" itu lamanya sekitar 20 menit. Pada peta kota saya memperkirakan daerah yang bisa dicapai dalam sekitar 20 menit dari kediaman Julia Donaldson. 

Setiap gedung besar dalam lingkaran itu saya tandai dan selanjutnya bersama Ny. Donaldson, saya mencoba setiap kemungkinan. Sementara itu seseorang ditugaskan untuk membayangi Ernest Donaldson mengikuti gerak-geriknya selama 24 jam. Setiap pesawat telepon di rumah itu dipasangi alat penyadap dan alat yang sama juga ditaruh pada telepon Donaldson di kantornya. (Jangan tanya bagaimana caranya ....) 

Alat yang terakhir itulah yang akhirnya memberitahukan identitas dan alamat si Jangkrik yang misterius itu. 

Ernest Donaldson ternyata mempunyai affair dengan wanita itu. "Cricket" ialah nama panggilan kesayangannya, sedangkan nama resminya ialah Bella Turner. Dialah yang menyewa dua orang pembunuh bayaran untuk menyingkirkan Julia Donaldson. Dengan nama samaran Bonni Thompson ia tinggal di sebuah flat di El Paso Timur. 

Saya melaporkan penemuan saya kepada Julia Donaldson. Ia tak heran. Ia bertanya apa yang harus diperbuatnya. Saya menyarankan agar mengadukan suaminya, tetapi sedemikian rupa, sehingga si Bella tak sampai mengetahui apa-apa. Saya khawatir polisi akan menangkap Donaldson segera setelah menerima laporan dari Julia. Kalau Bella sampai tahu, pasti ia segera kabur dan perkara itu akan berantakan. Terhadap Ernest tiada sedikit pun bukti yang bisa diajukan tanpa hadirnya Bella. Sayangnya itulah yang kemudian terjadi. 

Saya katakan kepada Julia bahwa sebaiknya ia berhubungan dengan Frank Manning dari bagian reserse kriminal. Saya kenal dia dan dia seorang polisi yang baik. 

Manning datang, di hadapan saya Ernest mengeluarkan pernyataan resminya. Saya heran betapa tenangnya ia melakukan itu. Ia menceritakan seluru hal ihwalnya, seakan-akan itu menyangkut orang lain .... 

Sayang sekali perkara itu tak berhasil. Manning menyusun laporan lalu karena sesuatu dan lain hal kantor kejaksaan membuat suatu kesalahan. Bagaimanapun Bella, si Jangkrik, lenyap tanpa meninggalkan jejak ketika instansi-instansi resmi mencarinya di flatnya untuk memperoleh "keterangan lebih lanjut". 

Saya sangat marah dan mengadukan perkara itu. Suatu penyelidikan resmi diadakan, tetapi kerugiannya sudah tak bisa diperbaiki lagi. Julia dan Ernest bercerai. Setahun kemudian saya mendengar bahwa Ernest menikah dengan Bella Turner. Jadi, waktu itu sudah terlambat. Dalam pengadilan, pasangan menikah tak bisa memberikan kesaksian terhadap mitranya. Tanpa kesaksian Bella tak ada apa-apa yang dapat dipergunakan untuk menuntut Ernest Donaldson. 

Kedua pembunuh sewaan masih berkeliaran di udara bebas. Sangat kurang mungkin bahwa mereka pernah akan bertemu lagi dengan Julia. Para pembunuh tahu di mana mereka bisa mencari saya. Mereka tahu bahwa perkara bagi saya masih tetap terbuka dan bahwa saya takkan ragu sedetik pun untuk menciduk mereka sekiranya ada kesempatan.

 

" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448573/jangkrik-yang-misterius" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952505000) } } [6]=> object(stdClass)#97 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3306273" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#98 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/cemburu-buta-mantan-menteri_jose-20220603054710.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#99 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Mayat pria ditemukan terbungkus kain di sebuah lereng berumput. Kondisinya sangat mengenaskan dengan tubuh terikat dan penuh luka penganiayaan." ["section"]=> object(stdClass)#100 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/cemburu-buta-mantan-menteri_jose-20220603054710.jpg" ["title"]=> string(27) "Cemburu Buta Mantan Menteri" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 17:47:37" ["content"]=> string(50241) "

Intisari Plus - Sesosok mayat pria ditemukan terbungkus kain di sebuah lereng berumput oleh Walter Muda. Kondisinya sangat mengenaskan dengan tubuh terikat dan penuh luka penganiayaan. Polisi mendapati korban adalah seorang pengelola bar di sebuah hotel yang sempat dikabarkan menghilang.

-------------------------

Andaikata ia masih hidup, wajahnya halus, lumayan, tapi tidak terlalu mencolok. Saat-saat terakhirnya yang penuh siksaan membuat mukanya tampak beberapa tahun lebih tua, lebih kurus. Ajalnya penuh penderitaan. Ia diikat, dianiaya, dan tercekik perlahan-lahan sampai mati.

Kini ia tergeletak di bawah langit bebas, di daerah Surrey, di lereng sebuah tempat pengambilan padas. Daerah bersemak belukar dan berumput yang sepi itu di musim panas sering dikunjungi pasangan-pasangan yang sedang pacaran, tetapi kini rumput-rumputnya telah kering dan lembap. 

Hanya sekali-sekali ada penghuni setempat yang lalu lalang, yang menuju ke Desa Woldingham atau ke jalan raya menuju ke Croyden.

Mayat itu ditemukan oleh seorang anak muda bernama Walter Coombs, yang pada hari Sabtu, 30 November 1946 sedang dalam perjalanan pulang. Karena kepala mayat dibungkus dengan mantel dan setelah dalam lipatan, Coombs mengira badan itu kain-kain gombal yang digulung menjadi satu.

Awan mendung berkumpul di atas lembah yang sunyi itu. Hari seakan sudah mulai senja, padahal baru pukul 15.30. Coombs menghentikan langkahnya. Makin lama ia memandang gulungan kain itu, makin aneh rasanya baginya.

Sesampai di rumah, ia menceritakan hal itu kepada ayahnya. Mereka berdua berjalan kembali ke bekas penggalian padas itu dan mendekati bungkusan aneh tersebut. Mereka tak meragukan lagi apa isi bungkusan memanjang itu. Kaki mayat menyembul ke luar dari gulungan itu.

“Kita harus melaporkannya kepada polisi,” kata sang ayah.

 

Pelayan yang menghilang

Menurut laporan polisi, mantel mayat itu dibalikkan ke atas untuk membungkus kepala dan bahunya, kemudian dilipat beberapa kali dengan tali. Ujung tali itu diikatkan pada lengannya, sedangkan ujung tali yang lainnya terlepas dan ada di bawah bahunya. 

Ia tergeletak pada sisi kanannya. Ia mengenakan setelan jas biru tua bergaris-garis putih. Pakaiannya kotor dengan tanah dan lempung setempat, namun sepatu dan telapak sepatunya bersih.

Pada leher mayat terlihat tali melingkar setebal jari yang merupakan semacam jerat yang mudah digerakkan. Sebagian tali ini terbungkus dengan gumpalan lap berwarna hijau yang berbau minyak penggosok mobil. Agaknya tadinya digunakan sebagai penyumbat mulut, kemudian terlepas.

Seluruh tubuh jasad itu diikat kencang dengan tali panjang seperti lepat. Tali itu terpotong di dua tempat.

Sersan Detektif Ernest Cox dan Fred Shoobridge yang ditugasi untuk menangani perkara ini menemukan sebuah dompet di dalam kantung mantel korban. Isinya uang £ 28 dan sehelai kartu nama dengan nama John Mudie, Hill Hotel Reigate. Sementara itu ahli patologi Dr. Eric Gardner yang memeriksa mayat dapat menentukan bahwa kematian terjadi 48 jam yang lalu.

Keesokan harinya Sersan Cox berangkat menuju Reigate berdasarkan petunjuk kartu nama itu.

Kedatangan petugas kepolisian di Hotel Hill itu tidak menimbulkan kejutan. Pimpinan dan karyawan hotel itu hanya menanggapinya sebagai pembenaran kekhawatiran mereka. Baru saja Cox mengucapkan nama Mudie, orang sudah menyerbunya dengan berbagai pertanyaan. Apakah Mudie mendapat kecelakaan? Di mana dia sekarang?

John McMain Mudie yang bekerja di tempat itu sebagai pengelola bar, pada hari Kamis, 28 November, mendapat libur. Ia meninggalkan hotel sore hari dan tak kembali lagi.

John, yang selalu bergembira jika dapat menambah penghasilannya dengan beberapa ponsterling, pada hari Kamis itu akan membantu penyelenggaraan suatu pesta di London. Seorang nyonya yang sudah beberapa kali terlihat dalam bar itu, akan mengadakan suatu pesta minum besar di London dan meminta bantuannya untuk mengatur dan menghidangkan minuman.

Sedikitnya ia tidak pernah merencanakan untuk pergi lebih dari beberapa jam saja, karena ia tak membawa apa-apa. Segala miliknya, dari koper sampai alat cukur, masih ada dalam kamarnya. Demikian pula piyamanya yang telah disiapkan untuk tidur.

Terhadap orang lain mungkin orang akan menduga adanya keterlibatan dalam suatu petualangan cinta, tetapi pada John agaknya hal ini tak terjadi. la tak pernah mempunyai affair cinta, tidak juga seperti dugaan Sersan Cox - terlibat dalam perdagangan di pasar gelap. Memang ada orang-orang cekatan seperti itu, tetapi nampaknya John terlalu bersih untuk terlibat dalam operasi-operasi gelap.

 

Surat berisi cek

John pemuda yang boleh dipercaya dan rajin bekerja, yang sudah mempunyai istri dan anak di Skotlandia. Sebelum bekerja pada Hotel Hill dalam bulan Juli tahun itu, ia bekerja pada rumah minum Dog and Fox sebagai pelayan. 

Surat keterangannya membuktikan bahwa ia seorang pekerja yang baik. Ia juga disenangi oleh para tamu dan rekan-rekan sekerjanya. Mustahil ia mempunyai musuh!

Tentang nyonya yang meminta bantuan John pada tanggal 28 November, Cox hanya memperoleh keterangan bahwa ia mempunyai mobil dengan sopir, tampaknya ia orang cukup berada.

Pemeriksaan teliti di kamar yang pernah ditempati oleh John Mudie di dalam hotel tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Dari berbagai dokumen dan surat-surat yang ditemukan ternyata Mudie dalam perang dunia yang lalu pernah bertugas pada kesatuan Desert Rats yang terkenal, pernah bertempur di Afrika dan setelah perang dibebastugaskan dengan pangkat sersan. 

Ia meninggalkan keluarganya di Skotlandia, lalu pergi ke London untuk bekerja, di mana ia mengharapkan bisa memperoleh uang lebih banyak. Istrinya masih muda dan menarik, anak laki-lakinya baru berumur 4 tahun, foto-foto mereka terletak di atas mejanya.

Di antara surat-surat peninggalan almarhum ada dua yang agak menarik perhatian dan menimbulkan pertanyaan, berasal dari kantor pengacara Dr. Fletcher dengan alamat Grays Inn Place, London.

Surat itu nampaknya penting, ditujukan kepada Mudie, berasal dari Connaught Properties Ltd. Surat yang bertanggal pertengahan Juli itu isinya meminta kepada Mudie agar meneruskan amplop yang terlampir berisi sepucuk surat dan tiga helai cek tunai kepada Ny. Brook. Bila Ny. Brook sudah pindah agar diposkan kembali kepada Ny. Brook di 5 Beaufort Gardens, London S.W. 14.

Sementara Cox meneliti isi kamar Mudie di Hotel Hill, jenazah John Mudie dibawa ke kamar mayat di Oxted. Yang ditugaskan melakukan bedah ialah Dr. Eric Gardner, didampingi oleh Dr. Keith Simpson, ahli patologi dari Kementerian Dalam Negeri.

Dr. Gardner menemukan adanya perdarahan hebat dalam tengkorak kepala, dalam lambung dan ususnya, lebih jauh cedera pada tulang pinggul dan belakang ke, pala, tulang rusuk patah serta lecet-lecet pada kulit. Agaknya pada saat-saat terakhir Mudie mengalami penganiayaan berat, mungkin kepalanya diketuk dan perutnya diinjak-injak.

Tali sisal yang mengikatnya meninggalkan bekas-bekas yang dalam. Perdarahan di bawah kulit wajah dan di dalam bola matanya, membuktikan bahwa Mudie masih hidup ketika jerat itu ditarik. Bekas tali terlihat melingkari lehernya dan di bawah telinga kiri ke atas. 

Kasus ini ternyata bukan penggantungan biasa di mana korban oleh berat tubuhnya ditarik dari ketinggian tertentu ke bawah. Pada kasus Mudie, jerat itu ditarik ke samping dengan agak mengarah ke atas. Ia tidak digantung, melainkan dijerat. 

Tetapi perbuatan keji ini tak terlaksana dengan cepat. Dari keadaan jantung dan paru-parunya dapat diketahui bahwa kematian terjadi oleh pencekikan perlahan-Iahan.

Mayat itu ditaruh di tepi tempat pengambilan padas sedikitnya sekitar sebelum tengah malam tanggal 28 November. Noda-noda kotoran pada pakaian menunjukkan bahwa sebelum diletakkan di tempat penemuan mayat itu diseret di atas tanah berkapur yang lembap dan agaknya ia ditarik pada kedua kakinya karena sepatunya tetap bersih.

 

Mobil misterius

Pada hari Senin koran-koran setempat sudah memuat berita penemuan mayat itu. Pada hari Selasa malam dua orang tukang kebun, Frederick Smith dan Cliford Tamplin, menghadap ke kantor polisi. Pada tanggal 27 November itu menjelang pukul 16.30 keduanya sedang berjalan di jalan dekat bekas tempat pengambilan padas. 

Di lereng terjal di seberang tempat pengambilan batu itu mereka melihat seorang laki-laki sedang berdiri. Yang menarik perhatian mereka karena sosok tubuhnya terlihat jelas pada suatu ketinggian dengan latar belakang langit berawan. Waktu melihat mereka, orang itu segera memalingkan badannya, lalu menuruni lereng itu dengan tergesa-gesa. 

Lereng terjal itu cukup licin dan sangat berbahaya, tetapi orang itu berhasil menuruninya dengan selamat, lalu segera naik ke sebuah mobil yang diparkir di dekat jalan setapak.

"Orang itu tampaknya dalam keadaan tegang," cerita Smith. "Ia mencoba berkali-kali menghidupkan mesin mobilnya, tetapi baru berhasil setelah keempat atau kelima kalinya. Lalu ia memutar dan kecepatannya kira-kira 20 km sejam ketika mendahului kami. 

“Menurut penglihatan saya, wajahnya kelihatan seperti terkejut, seakan-akan ia melihat sesuatu di atas bukit yang mengguncangkan hatinya. Orang yang berpikiran cerdas takkan menuruni lereng tersebut dengan cara sangat berbahaya itu.” 

“Waktu mobil itu melewati kami, saya memperhatikannya dengan saksama. Mobil itu sebuah Ford S berwarna hitam. Pengemudinya tak begitu jelas. Pelat nomor belakangnya berangka 101. Dia berjalan kira-kira 20 atau 30 m sebelum membelok. Huruf pada pelat itu saya tak tahu, tetapi angka nya pasti 101."

Tamplin memberikan keterangan serupa. Hanya ia menambahkan bahwa ia melihat profil orang itu dengan cukup jelas, sehingga ia sanggup untuk mengenalinya kembali. Mengenai mobilnya ia ragu-ragu antara sebuah Ford kecil atau sebuah Austin. 

Pelat nomor belakang dipasang di tengah-tengah. Hurufnya tak tercatat olehnya, tetapi angkanya ia ingat sebagai 101. Lampu belakangnya belum dinyalakan. Juga lampu-lampu lain tak dinyalakan, seakan agar tidak menarik perhatian.

Pertemuan ini memang sangat tidak biasa, tetapi dia dan rekannya Smith hanya mempercakapkan dengan beberapa patah kata. Tetapi selanjutnya mereka tidak memikirkan lebih jauh peristiwa itu. 

Baru setelah membaca berita di koran mereka teringat kembali. Seluruh tindak-tanduk orang tak dikenal itu menjadi sangat aneh dan mencurigakan.

Polisi tidak ragu bahwa keterangan kedua tukang kebun itu tepat. Orang yang tinggal di pedesaan mengalami begitu sedikit dalam hidup dan lingkungannya, sehingga bisa mereka mengamati dengan tajam dan mengingat apa saja yang menyimpang dari kebiasaan.

Tujuh puluh dua jam setelah penemuan mayat, bagian reskrim sudah dapat mengenali identitas mayat, waktu hilangnya, dan saat serta sifat kematiannya.

 

Pelacakan asal cek

Sekarang ditambah pula dengan keterangan penting bahwa pada hari terjadinya peristiwa itu terlihat seorang tak dikenal di sekitar tempat pengambilan batu padas. Meskipun kedua saksi tadi tak dapat mengingat dengan lengkap pelat nomor mobil itu, ada harapan untuk melacak pemiliknya.

Surat yang ditemukan di dalam kamar Mudie membawa petugas pengusutan ke kantor pengacara Dr. Fletcher di London. Di sana diperoleh keterangan bahwa surat itu ditulis atas permintaan The Honourable Thomas Ley, dengan alamat 5 Beaufort Gardens, London S.W. 14.

The Hon. Thomas Ley, mantan menteri kehakiman New South Wales (Australia) dan sejak tahun 1929 menetap di Inggris, bukan hanya direktur Connaught Properties Ltd., tetapi juga Capital Investments Ltd. dan Catford. Investments Ltd.

Apakah surat dan cek itu akan membawa polisi kepada jejak yang dicari masih harus ditunggu. Sersan Detektif Fred Shoobridge ditugaskan untuk menemui Thomas Ley untuk mengusut apakah perkara cek itu memang ada sangkut pautnya dengan soal Mudie.

Shoobridge melaporkan: "Pada tanggal 7 Desember 1946, pukul 10.30, setelah membuat saya menemui Tuan Thomas Ley di kediamannya di 5 Beaufort Gardens. Saya memperkenalkan diri, menunjukkan kartu identitas, dan menerangkan bahwa kedatangan saya merupakan bagian dari rutinitas polisi biasa.” 

“Kemudian saya keluarkan surat yang dialamatkan kepada Mudie dan menanyakan apakah ia bisa memberikan penjelasan lebih jauh. Ley menjawab, 'Ya, memang surat itu dibuat atas permintaan saya. Tetapi apa urusan polisi dengan surat ini? Apa artinya semua ini?’”

Pertanyaan Ley ini oleh Shoobridge dianggap wajar, karena sampai hari itu hanya koran-koran kecil di daerah yang memuat berita pembunuhan tersebut, pers London belum ada yang memuatnya.

"Saya memberi tahu Ley," demikian lanjutan laporan detektif itu, "bahwa John Mudie ditemukan mati di Woldingham sehingga saya ditugaskan untuk menelusuri asal usul surat ini. Thomas Ley memberikan keterangan sebagai berikut:

"Saya menjabat ketua dan direktur Connaught Properties Ltd. yang beralamat di King William Street. Seorang di antara dewan direktur ialah Ny. Brook, tinggal di West Cromwell Road, Kensington. Sekretaris firma ini Tuan Baker. Dalam bulan Juni akan dipakai uang untuk gaji dan berbagai biaya. Untuk itu dibutuhkan tanda
tangan Ny. Brook atas cek-cek itu, yang sudah ditandatangani oleh Tuan Baker dan nantinya masih perlu tanda tangan saya lagi."

"Ny. Brook waktu itu tinggal di rumah putrinya, Ny. Barron, yang baru menjalani operasi dan sedang memulihkan kesehatannya. Saya tak tahu apakah Ny. Brook menemani putrinya, tetapi saya dengar mereka telah keluar negeri.” 

“Ny. Barron kenal dengan seorang bernama John Mudie, yang tinggal dalam satu gedung (yang dibagi-bagi dalam beberapa apartemen, Red.). Juga Ny. Brook, menurut hemat saya, kenal baik dengan Mudie itu. Karena itu saya menulis surat kepada Ny. Brook dengan melampirkan tiga helai cek.” 

“Saya suruh kirimkan surat dengan cek itu ke alamat Mudie di 3 Homefield Road, Wimbledon bersama dengan surat kepada si alamat dengan permintaan agar disampaikan kepada Ny. Brook. Sekiranya Ny. Brook sudah berangkat, agar dikembali: kan ke alamat saya di 5 Beaufort Gardens, London. Kemudian saya mendapat kepastian bahwa Ny. Brook tidak keluar negeri, melainkan kembali ke alamat di West Cromwell Road.”

“Saya menanyakan kepadanya apakah ia telah menerima cek-cek tersebut. Ternyata ia belum menerimanya. Setelah itu saya menulis kepada kantor pengacara saya, Dr. Fletcher, agar meminta kembali cek-cek itu dari Mudie. Surat itu telah dikirimkan ke alamat di Wimbledon, dan beberapa hari kemudian saya mendapat kabar bahwa Mudie telah pindah ke Hotel Hill di Reigate. Saya menyuruh tulis lagi surat baru ke alamat ini, tetapi tidak ada jawabannya ...."

Permulaan bulan Agustus telah jelas bahwa Mudie sudah lama menyerahkan cek-cek itu kepada mertua laki-laki Ny. Barron dan dia telah mengembalikannya kepada Tuan Baker di kantor Connaught Properties dengan tanda terima.

Itulah akhir dari persoalan cek menurut Tuan Ley. Suatu peristiwa yang menjemukan, tetapi tak berarti. 

Shoobridge lalu minta diri. Penjelasan itu cukup memuaskan dan meskipun Ley menimbulkan kesan agak congkak dan tinggi hati, agaknya ia seorang yang boleh dipercaya.

Tetapi bagaimanapun seperti biasanya, keterangannya tetap dicek kembali. Ternyata keterangannya mengenai cek itu memang dibenarkan oleh beberapa orang saksi.

Pada tanggal 14 Desember koran-koran London memuat berita pertama mengenai pembunuhan yang telah terjadi dua minggu lalu. Biasanya berita-berita basi setempat tidak mendapat tempat dalam koran-koran London. 

Barangkali mereka memang diminta untuk memuat berita itu. Beberapa koran, di antaranya Dally Mail malah memasang foto almarhum.

Ternyata ini memang ada hasilnya. Pada tengah hari sudah muncul tiga serangkai aneh yaitu Ny. Lilian Bruce, John W. Buckingham Sr., dan John Buckingham jr. di kantor Scotland Yard untuk menceritakan kisah mereka yang lebih mengerikan daripada roman yang sadis.

John Buckingham Sr., sang ayah, menceritakan bahwa dia disuruh oleh Lawrence John Smith, seorang tukang mebel, dengan bantuan anaknya sendiri (John Jr.) dan Ny. Bruce, yang berpura-pura mengadakan pesta minum, membawa John Mudie ke rumah di 5 Beaufort Gardens. Di tempat itu ia membantu meringkus dan mengikat John Mudie.

Untuk pekerjaan itu ia diupah sebanyak £ 200 dan sampai di situ tugasnya selesai setelah ia menyerahkan Mudie kepada Thomas Ley dan pembantunya, Smith.

 

Anak pelayan

Thomas Ley adalah seorang setengah baya yang berambut kelabu dan berperawakan gendut. Bobotnya lebih dari 100 kg. Dagunya ganda tiga dan bibirnya menggantung seperti kantung. Betapapun bentuk badannya, ia selalu berusaha bersolek sebaik-baiknya. 

Jasnya dibuat oleh penjahit terbaik dan keseluruhannya memberikan kesan terpelihara sebagai orang yang berkedudukan. Dalam hal so pan santun pun dia tak ketinggalan bahwa itu sudah mendarah daging, karena ayahnya pernah menjadi seorang butler. Ibunya juga pernah menjadi anggota staf rumah tangga orang terkemuka. 

Waktu menikah dan memutuskan untuk berdikari, mereka harus berjuang cukup lama untuk mencukupi kehidupannya. Anak tunggal mereka ini dilahirkan di daerah miskin di Walcot di daerah Somerset, suatu fakta yang selalu diingkari mati-matian. Dia selalu menyebutkan kota peristirahatan Bath sebagai tempat kelahirannya.

Waktu anaknya berumur 10 tahun, dalam tahun 1890 keluarga Ley beremigrasi ke Sydney, Australia, tetapi di sana pun kehidupan mereka tidak menjadi lebih baik, Sejak sebagai anak kecil Thomas sudah tahu apa artinya kerja keras. 

la mengantarkan koran, menjadi pesuruh serba guna. Uang receh yang diterimanya diberikannya kepada ibunya. Makanan yang dihidangkan di rumah sangat sederhana, tetapi doanya tak berkeputusan. 

Bagaimana caranya memegang pisau dan garpu, bagaimana cara makan dan bergaul yang dianggap sopan di kalangan atas, semuanya sudah diketahui betul oleh anak butler ini. 

Di samping itu ia seorang anak laki-laki yang sangat cerdas, tetapi baginya kecerdasan itu tiada gunanya jika ia tak berhasil memasuki perguruan tinggi. Sudah tentu biaya yang dibutuhkan untuk itu tak mungkin disediakan oleh orang tuanya yang sederhana.

 

Berjuang untuk naik

Thomas muda akhirnya bekerja sebagai kacung pesuruh pada suatu perusahaan perdagangan. Upahnya 2 shilling seminggu, yang sebagian masih harus diberikan lagi kepada ibunya. Ia tidak sanggup untuk minum segelas bir atau mengajak seorang gadis ke pesta dansa, sebagaimana anak-anak muda lainnya. 

Ia membanting tulang di tempat kerjanya, di rumah ia masih harus membantu orang tuanya lagi. Santai dan hiburan tidak ada dalam acaranya. Tetapi ia sangat gila hormat, haus penghargaan. Ia bertekad untuk maju dengan usaha sendiri. 

Sekolahnya ialah perpustakaan umum di kotanya. Ia mempunyai kemauan sekeras baja untuk mencapai cita-citanya. Segala kesenangan kecil dikesampingkannya dan waktu luangnya dimanfaatkannya untuk membaca buku-buku tebal. Ia hidup menurut konsep yang ketat dan telah merencanakan jalan hidupnya dengan teliti. 

Uang yang dapat disimpan dengan susah payah ditanamkannya dalam suatu kursus steno. Dalam kursus itu ia bukan hanya berusaha untuk menyaingi murid-murid lainnya, tetapi ia bahkan hendak melebihi gurunya. Tujuannya ialah menjadi stenografer DPR dan itu kemudian berhasil. 

Dengan gaji yang diperolehnya ia dapat membiayai studinya di bidang ilmu hukum. Ia bergegas dari ruang sidang ke ruang lainnya, sehingga hampir tak ada kesempatan untuk beristirahat, untuk bersantai.

Segala hal yang pada waktu mudanya mungkin diam-diam diidamkannya, kemudian dicapnya sebagai godaan iblis: musik, kenikmatan minuman keras, permainan kartu, semuanya jalan yang menuju ke lembah kenistaan. 

Ley adalah seorang pengkotbah awam yang terkenal di negerinya. Tidak sulit baginya untuk mengutuk segala kenikmatan yang tak pernah dialaminya.

Tidak banyak orang yang mengalami kehidupan yang pahit, melakukan pekerjaan berat dan tiada henti-hentinya seperti pemuda Ley. Tetapi ia seorang pejuang yang fanatik dan fisiknya kuat dengan bentuk tubuh yang atletis.

 

Terjun ke politik

Karena bentuk tubuh dan wajahnya cukup tampan, ia beruntung dalam pergaulannya dengan wanita. Tetapi ia sengaja menghindari mereka sampai saatnya dianggap tepat.

Emily adalah seorang gadis dari keluarga baik-baik dan sangat kaya. Ia jatuh hati kepada pemuda Ley yang tiga tahun lebih muda daripadanya, seorang anak muda miskin dan bukan siapa-siapa. Akhirnya, mereka kawin walau mendapat tentangan kuat dari orang tua Emily. 

Secara finansial perkawinan ini tidak menguntungkan, sebab orang tua Emily tidak memberikan tunjangan sepeser pun. Tetapi di bidang pergaulan sosial pernikahan ini membuka prospek baru bagi Ley. Pintu-pintu kaum elite di Sydney kini terbuka baginya dan ia dapat mencari hubungan-hubungan yang menguntungkan.

Waktu lulus sebagai sarjana hukum dan mulai bekerja pada kantor pengacara, Ley sudah menjadi bapak dari tiga orang anak laki-laki. Untuk menjadi pengacara terkenal yang banyak langganannya memang prospek yang menarik, tetapi memakan waktu lama. 

Sebab itu ia harus mencari jalan pintas untuk mencapai kekayaan dan kedudukan terhormat. Ley memikirkan untuk memulai suatu karier politik.

Otaknya yang analitik, bakatnya dalam soal-soal keuangan membawanya maju dengan pesat. Ia mulai sebagai anggota Dewan Kotapraja di Kagorah, salah sebuah kota depan Sydney. 

Bahwa ia dibebastugaskan oleh kantor pengacara tempatnya bekerja, memang diharapkannya. Ia pindah bekerja ke kantor pengacara lain yang terutama mengelola urusan kontrak-kontrak tanah dan sebagai penasihat hukum suatu PT.

Jabatan Ley berikutnya yang penting ialah pada pemerintahan Kota Hurstville, tempat dia mengerjakan penilaian baru atas tanah-tanah kosong. Desas-desus bahwa dalam proyek itu ada tanah liat gemuk yang melekat pada jari-jarinya tersiar di kalangan lawannya, tetapi tidak merugikan kemajuan kariernya di bidang politik. 

Dia pun orang yang mudah ganti warna. Ia kemudian masuk ke dalam kelompok lawannya, Partai Progresif, dan bahkan berhasil memegang kemudinya. Dalam tahun 1917 ia sudah menjadi anggota DPR New South Wales dan pada akhir PD I ia mewakili Australia dalam konferensi ekonomi di Berlin Lama. 

Ia menjabat sebagai delegasi Australia pada Dewan Bangsa-bangsa sebelum pulang ke Sydney untuk kembali ke kancah kesibukan politik dalam negerinya.

Berbagai informasi yang diperolehnya sebagai politikus menguntungkan kantor pengacaranya, yang sementara itu telah mengangkatnya sebagai persero, sedangkan kekayaan yang didapatnya dari situ makin memperkuat kedudukan politiknya.

la memiliki sebuah rumah besar dengan 11 kamar tidur, anaka-naknya belajar pada sekolah-sekolah yang terkenal mahal. rumah cukup banyak uang sehingga Emily yang gemar jalan-jalan kembali melakukan perjalanan keliling dunia.

Ley menikmati keberhasilannya. Bahwa ada orang-orang di lingkungannya yang menganggapnya tidak simpatik tak dihiraukannya sama sekali. Yang pokok, kedudukannya kuat dan ia agaknya tak lama lagi akan menduduki kursi menteri. 

Di belakangnya ada orang yang menjulukinya sebagai si Limun Ley, karena ia tak minum minuman keras. Ia merasa senang bahwa namanya dikenal orang di seluruh New South Wales.

 

Bertemu pacar

Kini umurnya 41 tahun, sudah agak gemuk, tetapi tetap menarik, seorang yang mencapai kejayaan hidupnya. Waktu dalam tahun 1921 ia pergi ke Perth untuk berpidato dalam pertemuan-pertemuan politik, di antara panitia penyambutan ada seorang bernama Tuan Byron Brook, yang mengundang tamu terhormat ini ke rumahnya dan memperkenalkannya kepada istrinya, Maggie.

Maggie Brook memang manis juga, meskipun tak bisa dibilang cantik. Lagi pula ia sudah berumur 40, sehingga tak bisa dikatakan muda lagi. la mempunyai seorang putri, dan perkawinan mereka boleh dikatakan cukup bahagia.

Tetapi Ley telah jatuh hati kepada wanita itu sejak pertemuan pertama. Sebaliknya, Maggie Brook pun tidak menolak pendekatannya yang makin menggelora.

Ley hanya tinggal beberapa hari di Perth, tetapi dia sering datang lagi dan bila ada kesempatan dengan dalih apa pun ia mengadakan pertemuan rahasia dengan kekasihnya itu. Dia yang katanya selalu mengendalikan nafsu jasmaniahnya, sekarang menjadi budak berahinya yang tak terkendali.

Hubungan segi tiga yang gelap itu tak lama kemudian diketahui orang dan menjadi pokok pergunjingan di mana-mana. Masalahnya akan menjadi rumit, sekiranya tak terjadi sesuatu yang tiba-tiba mengubah keadaan.

Pada musim panas 1922 Byron Brook meninggal seketika akibat sengatan lebah dalam suatu piknik di hutan. Kini sang suami tidak menjadi pengalang lagi dan dari pihak Emily tidak usah dikhawatirkan apa-apa.

Jadi, secara mendadak Maggie menjadi janda dalam musim panas tahun itu. Untuk Ley tahun itu merupakan tahun penentuan, sebab bukan hanya kekasihnya bebas, dia sendiri mencapai puncak kariernya. Ia diangkat menjadi menteri kehakiman.

la memusatkan seluruh perhatian dengan energinya untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Namun di samping itu ia seorang ambisius yang tiada taranya. Apa yang tak bisa didapatnya lewat jalan lurus, ditempuhnya lewat jalan yang berliku-liku. 

Sejak dulu ia memang serakah akan harta dan menyuruh kantor pengacaranya melakukan berbagai manipulasi. Sekalipun jabatannya tinggi, ia tetap seperti dulu, menerima uang suap atau membagikan uang pelumas ke mana dianggap perlu.

 

Musuh-musuhnya lenyap

Pada pemilihan umum dengan Ley sebagai salah seorang calonnya, seorang lawannya tiba-tiba mengundurkan diri dan melakukan perjalanan jauh. Tak usah diragukan bahwa untuk ini ia mendapat imbalan yang tidak sedikit.

Ley menang dalam pemilihan, tetapi kasus bahwa lawan politiknya disuap olehnya makin santer, sehingga kalangan tertinggi DPR mengadakan suatu pengusutan. Tetapi hal itu kemudian harus dihentikan karena orang yang konon mendapat imbalan dari Ley itu menghilang tanpa jejak bagai ditelan bumi. 

Dikhawatirkan orang itu telah mengalami nasib yang sama seperti Tuan Goldstein yang malang, yang diduga telah disingkirkan oleh Ley secara diam-diam.

Goldstein adalah seorang di antara banyak persero usaha Ley yang merasa tertipu olehnya dan mengancam untuk membeberkan kecurangannya di hadapan umum. Tetapi belum sempat bertindak sejauh itu mayatnya sudah hancur di kaki jurang Coogie. 

Bunuh diri dinyatakan mustahil, dan bahwa Goldstein tergelincir lalu jatuh, juga kurang meyakinkan. Apakah para algojo suruhan Ley telah mencampakkannya ke jurang yang dalam itu? Paling tidak setelah kecelakaan itu Ley bisa bernapas lebih lega.

Ley merupakan tokoh parlemen Australia yang cukup berwibawa. Karena itu ia memperkirakan bahwa cepat atau lambat akhirnya ia akan mencapai puncak kedudukan dalam pemerintahan. Mungkin hal itu akan berhasil, kalau tidak dalam kerakusannya akan uang ia menawarkan beberapa proyek yang diragukan kebersihannya kepada beberapa rekan anggota kabinet. 

Beberapa orang yang tertipu memang menutup mulut, tetapi kebanyakan tidak dapat menahan diri untuk menyiarkan di kalangan umum bahwa Ley menipu mereka.

Tapi itu baru satu di antara banyak manipulasinya yang dilakukannya selama menduduki jabatan tinggi itu. Ia sendiri yakin bahwa segalanya bisa diselesaikan dengan uang.

Ley masih mempunyai ambisi yang lebih tinggi lagi. Ia ingin menjadi perdana menteri. Ketika pada suatu hari perdana menteri harus mengadakan perjalanan ke Eropa dalam waktu agak lama, Ley mengharapkan dia akan ditunjuk sebagai pejabat sementara.

Ternyata penunjukkan yang dianggap sebagai dengan sendirinya itu tak terjadi. Di kalangan politik tidak terjadi kejutan atau keheranan. Ley sudah terlalu banyak cacatnya sehingga tidak dianggap cukup berwibawa untuk itu. Masalahnya sekarang ialah bagaimana ia akan bereaksi terhadap itu.

Sebaliknya, Ley mengerti bahwa tindakan itu bukan saja merupakan suatu penolakan, melainkan merupakan peringatan yang jelas bahwa ia takkan bisa menanjak lagi. 

Bahkan mungkin orang akan menendangnya begitu ada kesempatan, Ley pun tidak membuat ilusi lebih jauh. Ia menyadari karier politiknya sudah tamat. Setelah jangka waktu tertentu ia mengundurkan diri dari kehidupan politik.

 

Beralih ke ekonomi

Kini dengan sepenuh tenaga ia mencurahkan seluruh energinya ke bidang lain, yaitu bidang ekonomi. Keburukan namanya hanya diketahui oleh kalangan tertentu, tetapi bahkan mereka yang tidak mempercayainya sepenuhnya, menganggapnya sebagai seorang jenius di bidang keuangan. 

Memang dia seorang jenius, tapi hanya untuk kantungnya sendiri. Dalam waktu dua tahun saja ia sudah mendirikan serentetan PT, di antaranya sebuah perusahaan fonofilm, suatu firma obat-obatan pelindung tanaman, dan perusahaan eksplorasi tambang minyak bumi.

Dalam tahun 1928 ia menghadapi dua proses pengadilan yang memeriksa soal penipuan maupun penggelapan, sehingga sejak itu dia tidak merasa betah lagi di tanah air keduanya. Ia meninggalkan keluarga di Sydney, lalu mengadakan lawatan ke Kanada dan Amerika. Maggie Brook menyertainya. 

Perjalanan penjajakan itu ternyata hasilnya mengecewakan, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk mencoba peruntungannya di Eropa.

Maggie dan anak perempuannya kembali pulang, sedangkan Ley menuju ke London.

Di sana ia mulai bergerak di usaha yang baru sekali baginya. Ley yang selama hidupnya mengutuk permainan judi, bahkan permainan kartu biasa sebagai penemuan iblis, kini malah memberikan kesempatan berjudi kepada orang lain untuk memperkaya diri sendiri. 

Dia sendiri memang tidak pernah menyentuh kartu poker atau main rolet. Ia lebih menginginkan sesuatu yang pasti mendatangkan untung besar baginya. Padanya ukurannya selalu yang paling besar. Dia tidak senang main kecil-kecilan. Ia mendirikan suatu sindikat untuk mengeduk keuntungan dari kelemahan sesama manusia.

Permainan judi yang sangat populer, tetapi dilarang di Inggris, ialah sweepstake. Pada pacuan kuda besar seperti Derby, diberikan hadiah yang dikumpulkan dari uang para petaruh, sehingga pemenangnya menerima jumlah yang sangat besar. 

Organisasi yang menyelenggarakan permainan terlarang ini biasanya berpusat di Republik Irlandia, sehingga di luar jangkauan undang-undang Inggris. Mereka menyelenggarakan usahanya lewat pos.

Usaha sejenis yang didirikan oleh Ley bernama Brooks International Sweepstake Syndicate. Usaha ini tadinya berkedudukan di Liechtenstein, kemudian di Andorra (Spanyol).

 

Untung dari judi

Kemudian Ley memulai suatu proyek baru: suatu kasino super luks. Ia mendirikan markas besarnya di Zoppot (Polandia), lalu menyusuri pantai Laut Baltik sampai menemukan sebuah hotel yang lalu diperbarui dari bawah ke atas dan dirombak menjadi sebuah klub. 

Semboyannya ialah "eksklusivitas", yang jadi daya tarik utama bagi anggota yang berduit. Tetapi juga umum diperbolehkan masuk asal saja mereka bersedia mempertaruhkan uangnya di meja rolet atau bakarat. Berbagai folder semarak disebarkan ke seluruh penjuru dunia yang menyebutkan suatu "Monte Carlo kecil, tetapi lebih mewah".

Berdasarkan pengalamannya di bidang politik, Thomas Ley merupakan seorang ahli propaganda dan tukang kampanye yang tak kenal letih. Gelar mantan menteri kehakiman makin menambah gengsinya, sehingga ia diterima di kalangan atas di Jerman. 

Ia mengadakan berbagai pesta gemilang. Sekalipun ia sendiri tidak merokok atau minum, untuk para tamunya ia menyediakan anggur paling mahal dan makanan paling istimewa. Ia selalu membanggakan bahwa Ny. Emmy Goering termasuk di dalam kalangan sahabatnya.

Kasino hebat itu bangkrut dan berantakan. Tetapi anehnya, Ley tidak kehilangan uang. Ia malahan beroleh untung tidak sedikit. Dengan tambahan besar pada rekening banknya ia kembali ke Inggris.

Ia sudah memanggil Maggie Brook beserta anaknya ke London pada tahun 1931.


Cemburu sebab tak mampu

Hubungan yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun itu hampir tak berbeda dengan suatu perkawinan. Maggie seorang wanita penurut yang dikendalikan sebagai seorang budak belian oleh Ley. Ia selamanya sangat pencemburu, tetapi sekarang nafsu pemilikan dan rasa curiganya telah melampaui batas kewajaran.

Alasannya sederhana saja: Ley menjadi impoten. Walau sudah tak mampu untuk melampiaskan nafsunya, ia tetap dihantui oleh khayalan-khayalan seks.

Ley pun menjadi gembrot, bobotnya lebih dari 100 kg. Tetapi ia tetap menjaga kekasihnya dengan ketat. Maggie, seorang wanita tenang yang sudah mencapai usia pertengahan lima puluhan. Ia tak memiliki keinginan lain selain melewatkan senja hidupnya dengan damai. 

Soal cinta baginya sudah tak berarti lagi. Yang menjadi perhatiannya di samping Ley hanyalah masa depan anaknya yang kini sudah dewasa.

Selama menetap di London, Ley menahan diri untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai manipulasi keuangan. Masa PD II merupakan sesuatu yang menguntungkan baginya. Ia membangun bungker, perusahaannya yang lain membuat tegel dari bahan-bahan bekas. 

Ia menjadi anggota dari suatu klub terkemuka dan tinggal bersama Maggie dan putrinya di sebuah rumah mewah.

Pada permulaan tahun 1946 ia menyuruh merombak dan memperbarui rumahnya yang terletak di 5 Beaufort Gardens. Mandor pekerjaan bangunan itu bernama Lawrence John Smith. Gaji mingguannya £ 7, suatu imbalan yang cukup baik pada masa itu, tetapi tak pernah bersisa. 

Smith di masa perang pernah menjadi anggota angkatan udara. Setelah perang ia kembali lagi ke profesi lamanya, menjadi tukang kayu dan pembuat mebel.

Seluruh rumahnya diperbaiki. Ley tinggal di National Liberal Club. Pada permulaan bulan Mei rumah itu sudah selesai sebagian, sehingga ia bisa menempati beberapa kamar. Ny. Brook baru akan menyusul kalau semuanya sudah rapi. Untuk sementara ia menyewa sebuah kamar pension di West Cromwell Road. 

Setiap sore ia mengunjungi Ley untuk minum teh bersama. Malam harinya mereka pulang dan main kartu sampai pukul 23.00. Ini merupakan acara harian tetap, sampai akhir bulan Mei, ketika putri Ny. Brook yang sudah menikah, jatuh sakit dan harus dioperasi.

Putri Maggie dan suaminya, Arthur Barron, menempati sebuah apartemen di Wimbledon, sedang dirawat di rumah sakit di kota satelit ini. Ibunya yang khawatir setiap hari menengok dengan naik kereta bawah tanah dengan menempuh jarak yang cukup lumayan. 

Ley menyarankan agar Maggie pindah saja ke apartemen keluarga Barron, sehingga dekat dengan rumah sakit, sambil menemani menantu laki-lakinya dan membantu mengatur rumah tangganya.

Dengan demikian akhir Mei Maggie pindah ke Wimbledon di 3 Homefield Road. Rumah besar yang terbagi itu milik Ny. Blanche Evans, seorang janda yang juga memberikan les musik.

 

Curiga membabi buta

Di samping suami-istri Barron, yang menempati apartemen di situ masih ada Mayor Arthur Romer dan pelayan bar John Mudie yang menurut keterangan Ny. Evans kemudian, adalah seorang pemuda yang sopan, pendiam, dan menyenangkan dalam pergaulan.

Hari-hari pertama setelah. pindahnya Maggie Brook berlalu dengan tenang. Penyembuhan putrinya berjalan dengan lancar, sehingga tak lama lagi ia akan diperbolehkan pulang. Menurut rencana, dia akan ke luar negeri bersama suaminya, untuk memulihkan kesehatannya.

Dalam kesempatan mengobrol dengan santai bersama Ley, Maggie menceritakan semuanya kepadanya. Tentang keadaan rumah apartemen, para penghuninya, Ny. Evans yang rapi, dan betapa ia baru saja diperkenalkan dengan John Muddie, yang juga bertempat tinggal di situ. 

Maggie tidak menduga sama sekali akan akibatnya pada Ley. Baginya semuanya hal-hal kecil yang tak ada artinya.

Ley masih tetap menganggap Maggie yang setengah baya itu sebagai wanita yang menarik dan menggairahkan, karena ia sendiri tak mampu memenuhi keinginannya. Sudah 12 tahun lamanya hubungan mereka bersifat platonis. 

Ia tak pernah meragukan bahwa setiap laki-laki menginginkannya dan bisa, mendapatkannya. Ia sama sekali tak rela kalau ada orang lain menikmati harta miliknya itu, sedangkan dia sendiri tak dapat menikmatinya. 

Sejak Maggie tinggal di Wimbledon, ia hanya melihat pada malam hari saja, sehingga ia tak bisa mengawasinya lagi. Apa yang dikerjakan sepanjang hari? Kenapa dia begitu riang? Apa karena putrinya mulai sembuh atau karena dia mulai berpacaran?

Mula-mula Ley mencurigai Barron, menantu Maggie Brook sendiri. Kemudian cemburu buta itu beralih antara Mayor Romer dan John Mudie. Dengan pelbagai cara ia "menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya". 

Ny. Blanche Evans, pemilik gedung di 3 Homefild Road kemudian menerangkan bahwa permulaan bulan Juli ia didatangi oleh seorang pria yang nampaknya seperti detektif lalu menanyakan keterangan tentang Mayor Romer. 

Sebelumnya, pada pertengahan bulan Juni, Ley pernah berkunjung kepadanya dengan alasan akan memberikan sumbangan kepada wisma tuna netra dan bertanya apakah Ny. Evans bersedia memberikan les piano atau memainkan musik untuk penghuni wisma itu.

Dalam kesempatan itu Ley menanyakan hal-hal yang terinci tentang para penghuni apartemen. Dalam kesempatan itu ia mengeluarkan kata-kata penuh kebencian tentang Arthur Barron, yang katanya bergaul seenaknya dengan mertuanya dan diam-diam memakai uangnya. 

Lusanya ia datang berkunjung lagi. Kini: kebenciannya ditumpahkan kepada Mayor Romer yang dicapnya sebagai pemburu perempuan. Ny. Evans membantah itu dengan mengatakan bahwa Ley sangat keliru, karena Mayor Romer seorang pria yang bahagia perkawinannya, ayah dari dua orang anak. 

Ia selalu mengharapkan tibanya akhir minggu, untuk bisa cepat-cepat berkumpul dengan keluarganya yang tinggal di luar kota. Kemudian ia bertanya tentang John Mudie, yang namanya sering disebut-sebut oleh Ny. Brook dengan lebih banyak simpati.

"Kalau saya tak melihat sendiri bahwa Tuan Ley itu sudah mendekati usia 70 dan teman wanitanya 65-an, saya akan menarik kesimpulan bahwa tamu ini pencemburu besar. Saya menerangkan kepadanya bahwa Mudie seorang anak muda terhormat yang tak pernah mempunyai pikiran lain, kecuali pekerjaannya. 'Ya, ya,' jawab Ley, ‘barangkali saya bisa membantu dia," demikian keterangan Ny. Evans tentang kunjungan Ley.

 

Dipancing

Setelah mendapat keterangan itu Ley agaknya membiarkan Mudie untuk sementara waktu dan mengarahkan perhatiannya kepada Arthur Barron. Ia berusaha untuk memancing Arthur Barron ke rumahnya dengan dalih untuk mengerjakan sesuatu bagi Ny. Brook.

 Barron menganggap panggilan itu agak kurang wajar, lalu membicarakannya dengan ayahnya yang menasihatinya agar jangan pergi.

Dengan kegagalan ini ia mencoba lagi memancing Mayor Romer, tetapi mungkin sebab perwira lni sudah mendengar kisah tetangganya ia menjawab, bahwa ia datang dengan senang hati, asalkan boleh ditemani dengan dua orang saudara laki-lakinya yang keduanya ahli tinju terlatih. 

Dengan kegagalan ini Ley kemudian memusatkan perhatian dan rencana iblisnya kepada John Mudie yang tidak tahu apa-apa.

Ia mula-mula berusaha memancingnya dengan cek-cek untuk Ny. Brook. Maksudnya, untuk mengetahui apakah Mudie sering mengadakan pertemuan rahasia dengan Ny. Brook. Ketika upaya ini gagal, ia masih mencoba lagi dengan cara memancing lain, tetapi kali ini perencanaan dan penyelenggaraannya diatur lebih baik. 

Belakangan dilakukan Smith dengan bantuan beberapa orang lain. Dengan demikian John Buckingham dan anaknya ikut memainkan perannya, dibantu oleh Ny. Lilian Bruce. Komplotan itu telah lengkap.

Pada tanggal 28 November Mudie diserahkan kepada Ley. Dua hari kemudian mayatnya ditemukan oleh Walter Coombs di tempat bekas penggalian batu padas.

Pengadilan Old Baily di London mulai mengadili perkara pembunuhan ini pada tanggal 19 Maret 1947. Ley dan Smith didakwa melakukan pembunuhan atas John Mudie, sedangkan John Buckingham dibebaskan dari tuduhan tetapi bertindak sebagai saksi utama. 

Thomas Ley dibela oleh tiga pengacara terkenal di bawah pimpinan Sir Walter Monckton. Penuntut umum ialah. Anthony Hawke dengan Henry Elam. Sidang itu dipimpin oleh tiga orang hakim dengan diketuai oleh Hakim Agung Lord Goddard.

Setelah persidangan yang memak.an waktu cukup lama, akhirnya terbukti bahwa Ley merupakan otak dan perencana, John Buckingham pembantu, dan Smith pelaksana serta algojo penyingkiran John Mudie, Juri menyatakan Ley dan Smith bersalah melakukan pembunuhan, dan hakim menjatuhkan hukuman mati kepada tertuduh.

Para pembela naik banding. Dalam penjara Ley diperiksa tiga orang dokter jiwa, kemudian dinyatakan berpenyakit jiwa, lalu dikurung di Broadmoor. 

Di situ seorang terhukum boleh mempunyai kamar tersendiri, asalkan ia mampu membayar, bahkan bisa menggaji seorang pembantu, jika ada orang hukuman yang bersedia. Konon Ley sampai saat itu merupakan orang terkaya yang pernah menghuni Penjara Broadmoor.

Sebab Ley berhasil diselamatkan dari tiang gantungan, tentunya kurang adil untuk menggantung Smith. Akhirnya, ia diberi grasi dan hukuman matinya diubah menjadi seumur hidup. Ley sendiri hanya sempat menjalani hukuman penjaranya selama tiga bulan, karena ia mati oleh serangan beroerte.

(Joe Lederer)

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553306273/cemburu-buta-mantan-menteri" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278457000) } } }