Intisari Plus - Sekelompok patung orang kudus dicuri dari sebuah kapel kecil di Austria. Penyelidikan menuntun polisi pada penemuan potongan jari kayu dalam lipatan celana seseorang. Ia adalah pekerja yang pernah memperbaiki patung-patung kapel sebelumnya.
----------
Pada malam antara 3 dan 4 April 1961 Kapel Rosalie kemasukan pencuri. Itu adalah sebuah gereja kecil yang banyak diziarahi di tapal batas Austria bawah dan Burgenland. Hal ini awalnya diketahui oleh koster yang pagi-pagi sekali selesai membuka pintu-pintu kapel. Yang tidak ada di tempatnya masing-masing ialah patung Bunda Maria besar di altar, empat patung bergaya barok dari orang kudus yang mengelilingi patung Bunda Maria, dan beberapa patung malaikat kecil-kecil.
Tanpa pikir panjang, koster lari keluar dari kapel untuk melaporkan hilangnya sekelompok patung itu pada pastor. Tanpa memeriksa ulang laporan koster di tempat kejadian, pastor langsung melaporkan pencurian itu pada polisi. Tetapi baru beberapa lamanya kemudian polisi sempat mendatangi kapel yang letaknya tinggi di atas pegunungan.
Sementara itu pastor dan koster mengadakan penyelidikan sendiri. Tak terbayangkan oleh mereka bagaimana pencuri bisa masuk ke dalam kapel. Tak sebuah pintu atau jendela pun terlihat rusak.
“Gila benar!” guman petugas kapel yang baru saja tiba dari rumahnya di desa sebelah. “Jangan-jangan mereka menggunakan kunci palsu.”
Petugas kapel tahu benar apa yang harus dilakukan dalam situasi demikian. Usulnya, “Jangan seorang pun boleh masuk ke dalam gereja sampai polisi datang. Salah-salah kita kehilangan sisik melik yang penting.”
Ketika akhirnya polisi muncul, pastor hampir tidak sabar lagi menceritakan masalahnya. “Kami kecurian. Satu kelompok patung di altar hilang seluruhnya.”
“Anda sudah menemukan sesuatu, seperti jendela rusak misalnya?” tanya polisi. Pastor, petugas kapel S, dan koster serentak membantah dengan menggeleng-gelengkan kepala.
Semuanya lalu berjalan menuju pintu belakang kapel. Polisi mengenakan sarung tangan lalu membuka pintu. Kuncinya juga tidak rusak.
“Siapa yang masih memasuki kapel kecuali koster dan pastor?” tanya polisi.
“Petugas kapel saya mengusulkan agar jangan seorang pun masuk lagi ke dalam gereja,” kata pastor.
“Bagus sekali, bagus sekali”, kata polisi. “Masalahnya bisa menjadi makin sulit, kalau ..., tetapi saya sudah memberitahukan dinas reserse di Wiener Neustadt. Kita keliling-keliling saja sekarang.”
Mata ahli dari petugas polisi itu pun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
“Sudah hampir dapat dipastikan bahwa pencuri masuk lewat salah satu pintu dengan kunci yang cocok,” kata polisi.
“Saya pun berpendapat demikian,” kata petugas kapel. “Menurut koster, dia yakin semua pintu sudah dia kunci dengan baik. Saya kira pencurinya lewat pintu belakang sebab antara altar dan ruang jemaat ada pagar besi yang tinggi dan kuat. Pencurinya harus mendobrak pagar besi itu dulu. Tapi pagar besi itu tampaknya baik-baik saja.”
“Jadi, Tuan petugas kapel,” kata polisi, “Anda mengira pintu belakang itu satu-satunya jalan bagi pencuri untuk masuk ke gereja? Kalau demikian pekerjaan kita menjadi terbatas sekali. Tapi, siapa sebenarnya yang membawa kunci-kunci gereja?”
“Dua set kunci lengkap ada di pastoran dan satu set lengkap dibawa koster.”
Pembicaraan terhenti ketika beberapa orang tampak memasuki ruang di sekitar altar. “Pejabat-pejabat reserse,” kata polisi.
“Saya komisaris polisi dr. K.,” kata seorang sambil menyalami tangan pastor. “Sebenarnya dari hopbiro di Wina, tapi kebetulan dinas di Wiener Neuatadt. Maka saya lalu ikut ke sini.”
Petugas-petugas reserse itu segera memulai kerja mereka. Kunci-kunci pintu dan keling-keling disemprot dengan larutan grafit. Sidik jari pastor, petugas kapel, dan koster juga diambil. Tetapi di tempat di sekitar pintu belakang hanya ada bekas sidik jari pastor, petugas kapel, dan koster. Tidak ditemukan sidik jari orang lain.
“Pandai juga anak-anak bengal ini,” kata kompol, “Mereka rupanya mengenakan sarung tangan, lalu dengan saksama menghilangkan semua jejak.”
Resersir-resersir itu lalu menempeli seluruh permukaan dan sisi altar dengan potongan-potongan pita perekat seluloid. Pita perekat itu kemudian dipilih dan ditempelkan pada lembaran-lembaran plastik yang tembus pandang. Altar juga diambil fotonya dari jarak dekat.
Pada foto, nantinya dibuat garis-garis membujur dan mendatar sehingga membentuk bujur sangkar. Bujur sangkar itu kemudian akan diberi nomor urut. Pita perekat yang menempel pada lembaran plastik juga diberi nomor, sesuai dengan nomor-nomor pada foto altar dari jarak dekat.
“Anda harus membayangkan,” kata kompol pada petugas kapel yang terus-menerus mengikuti jalannya penyelidikan, “pelaku pencurian ketika mereka mengambil patung dari altar, pakaian mereka bergesekan dengan bagian-bagian altar yang kasar atau menonjol. Karena pergesekan itu, kemungkinan besar bagian-bagian kecil dari pakaian mereka tertinggal. Ini nanti bisa kita cocokkan dengan pakaian tersangka — pelaku pencurian. Kalau cocok, pelakunya pasti tidak dapat menyangkal, bahwa dia atau mereka pernah berada di tempat kejadian.”
Petugas kapel mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kompol melanjutkan kata-katanya. “Tetapi sekarang ada hal lain. Menurut Anda, ada tiga set kunci lengkap. Andai kata pintu gereja itu dibuka dengan kuncinya, pasti salah satu pemegang kunci itu pencurinya. Atau ada kunci yang dicuri dari set itu. Dapatkah Anda membawakan kunci-kunci itu dari pastoran? Saya sendiri akan mengamati kunci milik koster. “
Set kunci dari koster ternyata masih lengkap. Terdiri dari delapan buah anak kunci. Ketika kunci-kunci koster diperiksa dengan saksama, tidak sebuah pun memberi kesan pernah dibuatkan cetakannya dari malam atau lilin. Kesimpulannya, tidak sebuah pun kunci koster dibuatkan tiruannya.
Petugas kapel datang dengan dua set kunci dari pastoran. “Satu ikat”, katanya, “selalu tergantung di serambi pastoran. Lainnya selalu disimpan pastor di laci meja tulisnya yang selalu terkunci.”
Ternyata kunci dari serambi pastoran juga lengkap, yaitu delapan buah anak kunci. Tapi set kunci dari laci meja tulis pastor hanya berisi tujuh buah anak kunci. Ketika dicocokkan, anak kunci yang hilang ternyata anak kunci pintu belakang.
Pastor yang juga datang menyertai ikat kuncinya tampak terkejut sekali.
“Pernahkah Anda meminjamkan kunci-kunci itu pada seseorang?” tanya kompol, “atau orang lain bisa mengusik laci meja Anda?”
Pastor mencoba mengingat-ingat. Lalu, tiba-tiba katanya, “Ya, saya ingat sekarang. Tahun lalu kunci-kunci itu saya pinjamkan pada pembantu rumah tangga pastoran. Ada yang perlu diperbaiki di kapel saat itu. Berkali-kali pintu belakang itu harus dibuka agar pekerja-pekerja bisa keluar masuk dengan leluasa. Tetapi Anda toh tidak sampai menuduh ibu tua itu. Dia sudah belasan tahun bekerja pada saya.”
“Tidak, tidak,” jawab kompol sambil tertawa. “Saya tidak percaya ibu tua itu pencurinya. Tapi, seperti Anda katakan tentang pekerja-pekerja perbaikan. Mungkin salah satu dari mereka dengan sengaja menyimpan kunci pintu belakang itu untuk digunakan pada kesempatan lain.”
“Tapi, barangkali Anda masih mempunyai daftar perusahaan atau pemborong apa saja yang turut serta dalam perbaikan kapel itu. Barangkali juga ibu tua itu masih ingat, pada siapa dia pernah menyerahkan kunci-kunci itu untuk membuka pintu gereja.”
Komisaris polisi lalu memandangi bagian depan kapel. Selanjutnya dia melakukan suatu hal yang membuatnya dijuluki “Winnetou” oleh anak buahnya. Kompol itu berjalan berkeliling di sekitar altar yang kehilangan patung-patungnya itu. Ia berkeliling membentuk lingkaran yang makin lama makin besar, seperti Winnetou dalam buku-buku Karl May. Dengan berbuat demikian, penyelidik tidak melewatkan sejengkal pun area di sekeliling tempat kejadian. Cara itu juga sekaligus untuk membayangkan, bagaimana kira-kira si pencuri bekerja.
Bisa jadi tidak ada mobil yang digunakan dalam pencurian karena tidak ditemukan bekas ban mobil di seputar kapel. Atau andai kata dengan mobil, mengapa mereka tidak sekaligus saja mengambil dua patung lainnya yang juga mahal harganya? Kemungkinan besar mereka berjalan kaki.
Kalau pencurinya berjalan kaki, mereka bisa lewat jalan yang cukup lebar di depan kapel, lalu belok ke kanan menuruni tataran-tataran kecil di halaman untuk mencapai pintu belakang kapel. Kompol yang juga menuruni tataran-tataran kecil di belakang kapel tidak menemukan apa-apa. Tetapi ketika penyelidikan dengan mengitari kapel itu diteruskan dengan memperbesar lingkarannya, pandangannya tertumbuk pada secarik kertas kekuning-kuningan. Tempatnya di titik di mana jalan menuju kapel meninggalkan hutan.
Ternyata kertas pembungkus permen cokelat berisi kacang. Tertera Nuts Chocoladefabriek N.V. Holland di pembungkusnya. Secuil masih melekat pada kertas bekas pembungkus itu, dengan bekas-bekas gigitan. Karena kertas itu kering, dapat dipastikan bahwa kertas itu belum terlalu lama berada di sana. Kertas bekas itu diambil juga oleh kompol karena bisa digunakan untuk mencari penjual cokelatnya. Selain itu, setidaknya bekas-bekas gigitan pada cokelatnya dapat dibuat menjadi cetakan untuk merekonstruksi bentuk gigi pemakan cokelatnya. Dari bentuk gigi dan menempelnya pada rahang, orang bisa melukiskan bagaimana kira-kira bentuk wajah si empunya gigi, misalnya persegi atau lonjong.
Dari catatan pastor, sedikitnya 20 orang terlibat dalam kerja borongan memperbaiki kapel, salah satunya adalah seorang ahli cat emas Arthur dari Wina. Ketika dicari, Arthur ternyata sedang mengerjakan sesuatu di Tirol. Saat pembantu rumah tangga pastor diperlihatkan foto Arthur, ia mengatakan tidak lagi ingat, apakah dia orang yang pernah dipinjami kunci olehnya.
Arthur yang tinggal bersama ibunya digeledah kamarnya. Pakaiannya yang dikenakan di Tirol juga diperiksa. Ternyata benang pada pakaiannya dengan benang-benang yang ada di pita perekat dari kapel tidak ada yang sama. Tetapi di dalam lipatan kaki celana Arthur yang belum dicuci di rumah ditemukan beberapa miligram serbuk cat emas dan sepotong ujung jari yang mungkin berasal dari patung kayu.
Ditanya mengenai serbuk emas dan potongan jari kayu itu Arthur menjawab dengan tenang. Ia mengatakan bahwa pekerjaannya memang memperbaiki patung dari kayu maupun gips. Biasanya patung-patung itu ada di gereja-gereja atau rumah-rumah orang Katolik. Pokoknya dia memang ahli reparasi patung. Jadi bukan hal aneh kalau benda seperti serbuk emas dan potongan kayu menyangkut pada pakaiannya.
Kompol yang mendengarkan keterangan ahli reparasi patung itu berpendapat bahwa keterangannya masuk akal. Arthur diperbolehkan kembali ke Tirol setelah hasil pemeriksaan gigi tidak sesuai. Wajah Arthur ciut, sedangkan pemakan cokelat diperkirakan berwajah agak lebar. Mengenai permen cokelat juga tidak berhasil ditemukan siapa penjualnya.
Penyelidikan tentang siapa yang dipinjami kunci pastor oleh pembantu rumah tangga juga tidak menghasilkan apa-apa. Polisi dikerahkan untuk menanyai pencuri-pencuri di penjara maupun bekas-bekas pencuri. Namun tidak seorang pun memberikan sisik melik tentang siapa kiranya yang sampai hati mencuri benda keramat dari suatu tempat peziarahan.
Kompol pun berpikir lebih keras. Jangan-jangan memang jalan penyelidikannya tidak tepat.
Potongan jari kayu yang ditemukan dalam lipatan kaki celana Arthur ditimang-timang. Pernyataan tertulis Arthur dibaca sekali lagi. “Saya (Arthur S) melakukan perbaikan-perbaikan di Kapel Rosalie atas perintah Prof. F dari Salzburg. Saya hanya mengerjakan cat emas. Sedangkan yang lainnya, seperti menempelkan lak dan mengganti serta memperbaiki bagian-bagian yang rusak dikerjakan oleh Prof. F sendiri.”
Dengan demikian jelas Arthur tidak turut campur dalam reparasi atau pekerjaan perbaikan yang kecil dan rumit di kapel Rosalie. Potongan jari patung merupakan bagian yang kecil yang sudah barang tentu tidak terlalu kuat menempelnya pada anggota badan patung.
Kalau potongan jari kayu itu sampai masuk ke dalam lipatan kaki celana Arthur, pastilah pada kesempatan lain ia turut serta dalam pekerjaan perbaikan Kapel Rosalie. Namun harus dicari tahu apakah potongan jari kayu itu berasal dari patung yang hilang dari Kapel Rosalie. Tetapi tampaknya harus menemui Prof. F dulu, pikir kompol.
“Ya, benar,” kata Prof. F yang ditemui oleh kompol. “Itu memang ujung jari patung yang saya perbaiki sendiri di Kapel Rosalie.”
“Bagaimana Anda dapat memastikan bahwa itu berasal dari patung di Kapel Rosalie?” tanya Kompol.
“Lihat catatan perhitungan ongkos-ongkos ini,” kata Prof. F sambil memperlihatkan seberkas kuitansi. “Apa saja yang saya lakukan untuk reparasi itu, saya catat. Itu untuk menentukan biaya-biayanya. Ini catatan biaya untuk perbaikan jari patung kayu.”
“Anda memang memperbaiki jari patung kayu itu. Tetapi bukankah potongan jari ini dapat juga berasal dari patung lain, bukan dari Kapel Rosalie?” tanya kompol lagi.
“Itu bisa dibuktikan ketika patung sudah ditemukan nanti. Tapi, setidaknya sekarang saya sudah dapat memastikan bahwa potongan jari kayu ini berasal dari patung yang saya perbaiki. Lihat… di sini ada sisa kawat perak. Teknik saya untuk menempelkan potongan ujung jari sekecil ini ialah dengan mencoblosnya dengan kawat perak. Ujung kawat yang lain saya cobloskan pada bagian jari berikutnya. Kawat perak selembut itu masih ada sisanya pada saya sekarang.”
Ketika sisa kawat perak pada potongan jari patung kayu dibawa oleh kompol dan diperiksa, ternyata sama kandungan peraknya dengan sisa kawat perak yang masih ada pada Prof. F. Perhatian penyelidikan kembali ke Arthur.
“Mungkinkah bahwa potongan kayu itu jatuh ke dalam lipatan kaki celana Arthur ketika pekerjaan reparasi itu selesai?” tanya kompol?
“Saya rasa memang demikian,” kata Prof. F., “Tetapi pasti itu tidak terjadi ketika pekerjaan reparasi itu baru selesai. Setelah semuanya beres, saya masih memeriksanya sekali lagi dengan teliti, tentu saja untuk memeriksa daftar perbaikan dan biayanya. Setelah itu pun saya pernah ke sana lagi dan ternyata ujung jari patung kayu itu masih menempel kuat ditempatnya.”
“Barangkali ketika patung itu diangkat orang dari tempatnya?” tanya kompol lagi.
“Saya rasa ketika patung dicuri,” sahut Prof. F.
Segera dikirim berita ke Tirol untuk menangkap Arthur. Tetapi ternyata Arthur sudah kabur dari Tirol, entah ke mana lagi.
Bulan April hampir berakhir ketika diketahui bahwa Arthur ada di Stuttgart. Kompol itu bergegas pula ke Stuttgart.
Pada hari pertama pertemuannya dengan Arthur ditahan polisi di Stuttgart, kompol tidak langsung menuduh Arthur sebagai pelaku pencurian di Kapel Rosalie. Kompol meletakkan sebuah bungkusan di meja di depan Arthur. Bungkusan itu ternyata berisi celana Arthur yang diperoleh kompol dari ibu Arthur.
Setelah beberapa lama berpandang-pandangan, Kompol bertanya, “Bagaimana Anda bisa sampai berbuat demikian. Sebagai seniman tentunya Anda mengetahui, bahwa patung itu tidak akan terjual. Untuk memilikinya, Anda tidak perlu mencuri dari kapel itu. Tetapi mungkin ada orang lain yang menyarankan pekerjaan gila itu pada Anda. Bukan begitu?
Arthur diam. Kompol diam pula, tetapi jelas memberi kesan “kalau Anda membantu, saya pun akan menolong Anda”.
Arthur mengembuskan kepulan asap rokok. Lalu katanya, “Memang benar. Saya tidak melakukannya sendiri. Juga bukan saya yang mula-mula mempunyai gagasan itu.”
Arthur diam kembali. Mungkin dalam pikirannya terbayang “membantu atau tidak membantu polisi, saya toh pasti dihukum juga. Jadi mengapa mesti buka mulut, yang akhirnya menyulut perselisihan dengan kawan.”
Kompol berdiri sambil berkata, “Saya tunggu sampai besok. Siapa pun kawan-kawan Anda, pasti dapat kami ketahui.”
Hari berikutnya Arthur memang menyatakan kesediaannya membantu polisi. Bukan mengatakan siapa kawan-kawannya, melainkan menunjukkan tempat di mana patung-patung curian itu dikubur.
“Kami menyimpan barang-barang itu di dekat Deutsch-Wagraun, di utara Wina,” kata Arthur. “Tempatnya saya tidak ingat, karena saya pun asing di sana. Seingat saya, di sana ada parit atau selokan, di jalan dari Wina ke Deutsch-Wagram, belok ke kanan. Kalau tidak salah di sana ada papan penunjuk jalan ke Porbersdorf atau Perbasdorf. Nama tempatnya saya tidak tahu, tetapi saya dapat menunjukkannya.”
“Menurut Anda,” tanya kompol, “berapa jauhnya dari Porbersdorf?”
“Mungkin 1 kilometer, mungkin juga kurang dari itu,” kata Arthur.
“Masih ingat keadaan di sekitarnya?”
“Ya, patung-patung itu kami kubur di tanggul di antara jalan dan parit. Ada semak-semaknya di sana, belukarnya melingkar membentuk setengah lingkaran, kalau tidak salah, membuka ke arah jalan.”
Tempat yang ditunjukkan oleh Arthur dicari. Nama desanya bukan Porbersdorf, bukan Penbasdorf, Parbasdorf. Tetapi tanggul yang disebut-sebut oleh Arthur tidak menunjukkan sebuah gundukan pun di tanah. Tampaknya rata, bahkan kompol memeriksanya dengan berbaring sendiri di tanah.
“Jangan-jangan air parit itu pernah naik sampai atas tanggul dan menyapu segala yang menonjol di atas tanggul,” pikir kompol. Belukar yang membentuk setengah lingkaran yang membuka ke arah jalan juga tidak ada.
Beberapa tempat di atas tanggul diperiksa. Akhirnya kompol menemukan bagian permukaan tanggul yang tanahnya gembur.
Benar. Patung-patung dari Kapel Rosalie itu dikubur di situ, dalam sebuah peti yang dikubur tegak. Masih utuh patung Bunda Maria dengan Bayi Yesus, empat patung orang kudus, dan dua patung malaikat gaya barok. Lengkap, kecuali ujung jari sebuah patung orang kudus.
Baca Juga: Petunjuknya Uang Lembaran Baru
" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834086/sepotong-jari-dalam-lipatan-kaki-celana" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310848000) } } [1]=> object(stdClass)#101 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726467" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#102 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/siapa-yang-mencuri-minyak-dari-k-20230406072720.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#103 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Christian melamar di kapal tanker pengangkut minyak. Berbekal surat palsu, ia berencana untuk menyelidiki desas-desus kapal berbendera siluman." ["section"]=> object(stdClass)#104 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/siapa-yang-mencuri-minyak-dari-k-20230406072720.jpg" ["title"]=> string(44) "Siapa yang Mencuri minyak dari Kapal Tangki?" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:27:31" ["content"]=> string(39827) "
Intisari Plus - Christian melamar sebagai mualim tiga di kapal tanker pengangkut minyak. Berbekal surat palsu, ia berencana untuk menyelidiki desas-desus kapal berbendera siluman.
---------
“Dead slow ahead!” Kapten Deligiannakis menatap diri saya dengan pandangan menyuruh. Saya harus meneruskan instruksi itu ke bagian mesin.
Itu soal gampang. Cuma mendorong sebuah tuas saja sampai ke tulisan ‘Dead Slow’. Selesai!
Dengan langkah gontai saya pergi ke alat itu. Tuas dipegang lalu didorong ke depan. Tapi nyaris saja terlanjur sampai ke aba-aba ‘Slow ahead’ — padahal tadi terasa tanda batas untuk ‘Dead slow’. Nyaris saja saya memerintahkan kamar mesin untuk menggerakkan kapal dengan kecepatan lebih tinggi.
Dada terasa sesak sekali saat itu. Tapi di anjungan tidak ada yang memperhatikan. Semua sedang sibuk sekali dengan gerakan kapal meninggalkan dermaga. Gangway sudah diangkat sejak seperempat jam yang lalu. Bagi saya kini tidak ada kesempatan lagi untuk kembali ke dermaga minyak Curacao.
Tubuh kapal terasa bergetar pelan. Mesin-mesin di bawah mulai bekerja. Saya berdiri di anjungan komando. Di bawah kaki terdapat 15.000 ton baja serta 71.000 ton minyak. Di depan nampak haluan kapal, seperempat kilometer dari tempat saya berdiri.
Kenapa kapal ini harus berangkat justru ketika saya sedang giliran jaga? Saya, mualim tiga — padahal pengetahuan saya tentang ilmu pelayaran pasti tidak lebih banyak dari Julio, pelayan ruang makan yang juga bertugas menjaga kebersihan kabin saya.
20 tahun yang lalu saya pernah berlayar. Sebagai ship boy, kedudukan paling bawah dalam kapal niaga. Saat itu saya bekerja pada sebuah kapal barang berukuran 1000 ton. Setelah itu macam-macam profesi yang pernah saya lakukan. Tapi lantai anjungan kapal barang tidak pernah lagi saya injak.
Dan kini? Kini saya bertugas mengatur navigasi sebuah tanker raksasa berukuran 100.000 ton, menyusur perairan Laut Karibia yang terkenal sulit itu! Dalam hati saya mengucap syukur bahwa saat itu di anjungan masih ada pula kapten dan pemandu yang mengatur gerak kapal keluar dari teluk Curacao. Dan tahu-tahu kapal sudah berada di lautan terbuka. Pemandu sudah lama pergi. Saat itu kami sedang bergerak melewati suatu tanjung.
“Coba ambil baringan radar dari tanjung itu,” kata kapten dengan tiba-tiba pada saya. Saya sebetulnya tidak mau. Tapi apa boleh buat, perintah harus dituruti. Untung sebelumnya saya sudah melakukan persiapan sedikit. Membalik-balik literatur mengenai navigasi serta berbagai peralatan kapal modern. Misalnya saja radar. Ya, dulu saya bahkan pernah melakukan reparasi peralatan radar. Tapi radar sekarang sudah lain sekali modelnya!
Saya tidak berhasil menemukan Variable Range Marker. Padahal justru itu diperlukan apabila hendak mengukur jarak ke ujung tanjung. Jari-jari sibuk mengutak-atik tombol dan sakelar. Tiba-tiba gambar di tabir radar lenyap! Saya mengutak-atik terus. Gambar timbul kembali dan akhirnya saya mendapat hasil pengukuran yang diminta. Cuma jangan tanya bagaimana saya sampai bisa melakukannya!
Tapi pelayaran ini waktunya lebih lama dari satu giliran jaga saja. Jauh lebih lama. Keesokan harinya saya disuruh kapten mengukur tinggi matahari dengan alat sekstan. Padahal seumur hidup saya belum pernah menjamah alat itu. Akhirnya saya mengatakan bahwa saya sebetulnya mau melakukannya — tapi karena sudah lama tidak pernah lagi memakainya, alangkah baiknya apabila kapten memperagakan caranya sebentar pada saya.
Kapten langsung membalikkan tubuh, membelakangi saya. Sedang saya meneruskan tugas jaga. Sekstan saya biarkan berada di tempatnya. Tahu-tahu kapten sudah berdiri dekat sekali pada saya. Tak bisa saya melupakan sorotan jijik yang memancar dari matanya saat itu.
“Christian,” kata kapten, “saya rasa Anda sama sekali belum pernah berlayar.”
“Terserah apabila Anda berpendapat begitu,” kata saya berlagak tak peduli, sambil melayangkan pandangan kembali ke laut lepas.
Nakhoda kapal yang segala-galanya beres, begitu merasa ada kecurigaan sedikit saja, pasti sudah memerintahkan saya masuk ke dalam kabin dan tidak boleh keluar sebelum sampai ke pelabuhan berikut, pada saat saya tentu akan diusir.
Tapi Kapten Deligiannakis tidak mengambil tindakan seperti itu. Saya tetap berada di anjungan. Kecurigaannya yang ternyata memang timbul, kemudian hanya dipergunjingkannya saja di ruang makan perwira kapal, sampai pendengarnya bosan mendengar ocehannya.
Saya meneken kontrak kerja sebagai mualim tiga pada kapal tanker yang bernama Aladin B itu, sebenarnya dengan maksud menyelidiki desas-desus yang tersebar luas. Ada kabar bahwa nakhoda dan perwira kapal-kapal tanker raksasa yang berlayar dengan bendera siluman — seperti Aladin B yang mengibarkan bendera Republik Panama. Padahal saya dikontrak sebagai pegawai perusahaan perkapalan Fadi Maritime yang berkedudukan di Athena, Yunani. Sedang pemilik kapal katanya seorang Suriah yang duduk dalam pemerintahan negara itu tidak berhak mengemudikan sebuah perahu motor yang kecil. Apalagi tanker raksasa!
Niat itu saya mulai lima bulan sebelumnya. Saya sebetulnya bisa dengan gampang memulainya di Hamburg. Saya cukup pergi ke Reeperbahn yang tersohor itu, tempat tumpuan harapan bagi orang yang hendak membuka lembaran hidup baru. Di Reeperbahh bisa diperoleh segala macam surat keterangan yang kita perlukan. Cacatnya cuma satu: surat-surat itu palsu semua!
Sedang saya menginginkan surat-surat asli. Tepatnya, surat-surat ‘aspal’ - asli tapi palsu. Saya tidak mau menempuh jalan yang disyaratkan oleh hukum Republik Federal Jerman. Untuk itu saya harus berlayar dulu selama tiga tahun selaku kelasi dan kemudian belajar lagi selama tiga tahun di sekolah pelayaran. Yang saya inginkan adalah surat ijin berlayar yang bisa diperoleh dengan segera. Dan surat begitu bisa diperoleh di kantor konsulat berbagai negara, di setiap kota pelabuhan besar.
Berbekal sijil anak kapal saya yang tua, di mana tercatat pengalaman saya yang hampir satu tahun sebagai ship boy, begitu pula tiga sertifikat lain yang menyatakan pengalaman berlayar selama tiga tahun selaku kelasi, saya pergi ke konsulat Republik Panama di Hamburg, yang terletak di Gänsemarkt. Ketiga sertifikat itu dibuatkan oleh nakhoda-nakhoda kapal yang sedang merapat di dermaga pelabuhan Hamburg pada saat itu. Semuanya kapal berbendera siluman, di mana dengan sodoran selembar uang seratus mark bisa diperoleh berbagai imbalan jasa.
Konsul Lie Gaspar G. Wittgreen A, yang berbau wangi dan berkumis rapi, dengan sikap tak acuh mendorong surat-surat saya yang diperoleh dengan susah payah itu ke samping. la ingin melihat sertifikat pelayaran yang dikeluarkan oleh lembaga Jerman yang berwenang.
“Tidak punya,” jawab saya, “kalau punya, saya takkan datang ke sini.”
“Tapi itu peraturan,” kata sang konsul.
Jalan itu ternyata agak sulit juga. Setelah berulang kali menghadap dan mengajukan berbagai surat keterangan yang berhasil saya usahakan, pada saya hanya ditawarkan sijil sebagai kelasi atau sebagai markonis.
Tentu saja saya memilih sertifikat markonis. Dan saya menjadi pemilik sertifikat ‘toda clase’ tanpa pembatasan. Dengan begitu saya boleh bekerja sebagai markonis di kapal penumpang dan tanker raksasa.
Dan seminggu kemudian saya juga berhasil mengantongi sertifikat sebagai mualim. Untuk itu saya pergi ke Rotterdam, di mana saya menghadapi seorang konsul negara sama, tapi yang tidak terlalu mendengar bisikan hati nuraninya.
Konsul itu langsung menanyakan ukuran kapal di mana saya saat itu bekerja selaku mualim.
“1500 ton,” jawab saya. Padahal kapal nakhoda Belanda yang membuatkan sertifikat mualim untuk saya, ukurannya cuma 300 ton. Sudahlah saya berbohong, tapi masih belum puas juga rasanya hati. “Tapi bisakah Anda menerakan 5000 ton dalam sertifikat itu? Soalnya itu ukuran kapal yang berlayar sampai Laut Tengah.” Saya berusaha melunakkan hatinya.
“200,” kata konsul itu dengan tiba-tiba. Begitu lirih ucapannya, seperti bicara pada dirinya sendiri. Di dekat mejanya, dua orang gadis sibuk mengetik terus. Rupanya sekretarisnya.
“200,” kata saya mengulangi. Tapi tanpa mengerti maksudnya.
“Ya! 200,” ulang sang konsul.
Wah kalau di Hamburg, untuk mengurus sertifikat semacam begitu ongkosnya cuma 50 mark.
“Tapi kalau begitu sebagai nakhoda,” kata saya menawar.
“Tapi Anda kan cuma punya sertifikat sebagai mualim dua.”
“Lalu?”
“Begini sajalah,” kata sang konsul sambil meluruskan duduknya, “Saya terakan pada sertifikat ini, perwira satu.” Dipejamkannya matanya sesaat. “300,” bisiknya pelan. Saya mengejapkan mata tanda setuju.
Saya langsung mencari kerja di Rotterdam itu juga. Tapi di kota pelabuhan kapal tanker terbesar di dunia itu, tidak ada lowongan. Para pelaut yang naik ke kapal di situ didatangkan dari Pireus. Karenanya saya lantas memutuskan pergi saja ke Yunani.
Sepanjang jalan bernama Akti Miaouli Pireus berjajar gedung-gedung bank dari perusahaan perkapalan. Kalau menilik nama-nama yang tertera di situ, kita bisa menyangka tidak lagi berada di wilayah Yunani. Bank of Nova Scotia, International Maritime Agencies SA, Monrovia yang pemiliknya raja kapal Yunani Niarchos, William & Glyn’s Bank, Springfield Shipping Co. Panama SA, kepunyaan Tina Onassis. Perusahaan perkapalan yang ada di situ semuanya pengelola kapal-kapal berbendera siluman, yang merupakan hampir setengah dari seluruh armada tanker Barat.
Setiap orang asing yang ingin mendapat pekerjaan sebagai pelaut di Pireus, harus melalui perantara alias calo. Barang siapa tidak mau, takkan mungkin bisa bekerja di kapal.
Saya menghadapi perantara yang membisikkan permintaan bayaran 20.000 drachma sebagai uang komisi.
“Dari jumlah itu, cuma sebagian kecil saja yang untuk kami sendiri,” kata perantara itu menjelaskan. “5.000 untuk crew manager perusahaan kapal supaya mau memindahkan surat-suratmu ke tumpukan paling atas, 6.000 untuk port captain perusahaan, supaya ia memilihkan kapal yang baik untukmu. Lalu 5.000 untuk imigrasi yang mengatur segala surat pas yang perlu. Nah, 4.000 yang tersisa baru untuk kami. Dan bagianku baru perlu kaubayar apabila sudah menandatangani kontrak.”
Apa boleh buat, saya serahkan uang padanya. Tapi meski begitu, tidak berarti saya langsung mendapat pekerjaan. Mula-mula saya berusaha mendapat kerja sebagai calon perwira kapal, sebagai persiapan untuk kemudian memimpin kapal sendiri. Tapi di Pireus dikatakan, pekerjaan semacam itu tidak ada.
Lalu saya mencari kerja sebagai kelasi, pekerja dek yang tertinggi kedudukannya setelah jenang. Saya menunjukkan sertifikat pengalaman saya sebagai kelasi. Tapi ternyata pihak perusahaan lebih menyukai pelamar dari Pakistan, yang kelihatannya sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di atas geladak sebuah kapal. Rupanya surat-surat keterangan yang saya miliki menyebabkan saya dinilai terlalu tinggi untuk melakukan pekerjaan kelasi biasa.
Akhirnya saya memutuskan untuk melamar sebagai mualim tiga saja. Perwira kapal dalam kedudukan itu giliran jaganya bersamaan dengan giliran nakhoda. Jadi kalau keadaan gawat, nakhoda selalu bisa diminta datang ke anjungan komando. Sebagai mualim tiga, tanggung jawab saya selaku perwira kapal paling enteng.
Dan sekali itu saya bernasib untung. Saya disuruh perantara di mana saya mendaftarkan diri, untuk pergi ke kantor perusahaan Fadi Maritime yang terletak di pusat kota Athena. Di sana saya harus melaporkan diri pada seorang kapten bernama Potamianos.
Orang yang saya datangi bertubuh kecil dengan kumis hitam yang lebat. Sambil meneliti surat-surat yang saya sodorkan, ia bertanya dengan tiba-tiba, “Dari mana saya bisa tahu bahwa sertifikat ini asli?”
Saya menatapnya sambil melongo. Stempel dan tanda tangan konsul itu ‘kan merupakan bukti yang cukup kuat.
“Oh tidak,” kata kapten bertubuh kecil itu, “ini kan bisa dengan mudah dipalsukan.”
Wah. Padahal selama itu begitu banyak orang terkagum-kagum melihat segala sertifikat saya. Apalagi kalau dibandingkan dengan berbagai surat keterangan yang beredar di Pireus. Banyak yang dipalsukan dengan begitu ceroboh, sehingga selintas pandangan saja sudah akan ketahuan. Tapi boleh dibilang tidak ada yang mau repot-repot menutupinya karena semua boleh dibilang terlibat dalam pemalsuan itu. Perusahaan perkapalan, perantara dan juga para pelaut yang melakukannya karena dikehendaki perusahaan dan perantara.
Saya sendiri pernah mendengar seorang manajer perusahaan perkapalan Marmaestra Cia Naviera mengatakan, “Kalau kami kebetulan memerlukan orang, siapa saja akan kami terima.” Saya ditawari pekerjaan sebagai markonis, sebagai tenaga mekanik dan juga sebagai juru pompa. Padahal jelas bahwa saya belum pernah melakukan pekerjaan yang tanggung jawabnya besar itu.
Saya sendiri yang menjadi saksi, ketika dibuatkan surat keterangan bagi seorang kelasi berbangsa Chili, yang menyatakan dia berpengalaman sebagai juru api pada kapal tanker. Perusahaan Fadi Maritime kebetulan memerlukan seorang juru api. Lalu dengan gampang saja kelasi itu dijadikan juru api.
Dan kini Kapten Potamianos menginginkan bukti keaslian sertifikat saya! Ia ternyata port captain perusahaan Fadi Maritime. Keinginannya saya penuhi. Saya menyodorkan surat pengantar dari konsul jendral Republik Panama di Athena, yang ditulis dalam bahasa Yunani. Lengkap dengan dua cap stempel.
Tapi akhirnya saya disuruh menunggu lagi. Sebulan lamanya saya disuruh mondar-mandir ke Athena. Para supir bis yang menghubungkan Pireus dengan Athena sampai sudah kenal dan menyalami saya kalau naik bis mereka.
Setelah mondar-mandir terus selama sebulan, saya diberi tahu bahwa ada tanker di mana saya bisa bekerja. Umurnya sudah 14 tahun tapi berada dalam kondisi baik. Saya sudah tidak peduli lagi kapal mana saja mau, asal bisa cepat berlayar. Rute pelayarannya di Laut Karibia. Kata mereka, pulang-pergi antar Curacao dan pelabuhan Amerika Serikat. Kalau mau, saya harus terbang ke Curacao karena tanker itu ada di sana.
Demikianlah saya menjadi mualim tiga pada tanker Aladin B.
Begitu naik ke kapal, saya langsung diantarkan ke kabin Manfred, satu-satunya orang Jerman selain saya di situ. la bekerja sebagai kepala kamar mesin. Tentu saja saya lantas bertanya tentang ini dan itu padanya.
“Bagaimana dengan sekoci-sekoci?” tanya saya.
“Macet.”
“Apa? Kelihatannya masih mulus,’’ kata saya heran.
“Betul tapi apa gunanya apabila tidak bisa diturunkan ke air karena davits-nya berkarat,” Manfred tertawa.
“Lalu bagaimana dengan latihan?” desak saya. “Masa kalian tidak pernah mengadakan latihan meluncurkan sekoci sekali sebulan? Sesuai dengan peraturan pelayaran internasional?”
Manfred tertawa semakin keras.
Jadi saya berdiri di anjungan komando sebagai mualim tiga yang sedang giliran jaga. Dengan pelan Aladin B menjauhkan diri dari dermaga. Meninggalkan Curacao dengan tujuan New Orleans. Dalam perjalanan diterima instruksi yang menyuruh kami ke Philadelphia.
Saya seorang diri di anjungan. Begitu pemandu turun dari kapal, kapten langsung menghilang pula. Bahkan kelasi pun tidak ada di situ, yang berfungsi sebagai juru mudi, meringankan beban saya pada saat-saat pertama selaku mualim. Di lautan terbuka kapal dikemudikan alat otomatis.
Selaku perwira juga di anjungan, saya memikul tugas ganda. Tugas pertama kedengarannya gampang sekali, sampai nyaris malu saya menyebutnya di sini. Padahal justru itu yang menyebabkan saya mengalami tekanan batin yang luar biasa kemudian. Tugas itu berupa mengawasi kalau ada kapal lain.
Satu-satunya pikiran saya saat itu, mudah-mudahan tidak ada kapal muncul. Dan setiap kali kelihatan ada kapal, saya menyambung pikiran, mudah-mudahan kapal itu lekas lenyap lagi di balik horison. Yang paling, saya khawatirkan saat itu, kalau-kalau berjumpa kapal yang awaknya persis seperti yang terdapat di Aladin B. Termasuk mualim tiganya.
Tapi mujurlah, Laut Karibia tergolong sempit, dalam kenyataannya masih cukup luas juga. Jarang ada kapal yang berlayar saling menyilang.
Tugas kedua, selalu saya lakukan dengan tergesa-gesa, karena untuk itu saya harus meninggalkan pos pengamatan. Selama giliran jaga, saya harus beberapa kali menentukan tinggi posisi matahari dengan sekstan. Setelah insiden dengan kapten, saya cepat-cepat minta tolong pada mualim satu untuk memperagakan cara kerja sekstan. Dan selanjutnya saya selalu mengintip, kalau ada perwira lain sedang melakukan pengukuran dengan alat itu.
Selama giliran berjaga empat jam pada pagi hari, saya selalu sendiri di anjungan. Sebetulnya setelah saya menimbulkan kecurigaan Kapten Deligiannakis, saya mengharapkan ia akan sering muncul di anjungan, untuk mengecek navigasi yang saya lakukan. Tapi satu kali pun ia tidak pernah muncul! Rupanya ada urusan yang lebih penting baginya, daripada memimpin pelayaran dengan aman sampai ke pelabuhan tujuan.
Di Aladin B, pimpinan tidak berada di tangan nakhoda serta para perwira melainkan suatu trio yang selalu mengadakan perundingan di anjungan pada saat saya sedang giliran jaga malam di situ.
Pada saat-saat itu Petros Deligiannakis, nakhoda Aladin B baru muncul di situ. Di sampingnya duduk Walid, mualim satu. Seorang Suriah yang kelihatannya setia sekali pada Deligiannakis. Sedang anggota ketiga dari trip itu bernama Tasso. Jabatannya steward merangkap juru masak. Tapi ia lebih banyak sibuk menyampaikan omongan anak kapal kepada nakhoda daripada mengurus masakan di dapur.
Trio itu saling terjalin oleh berbagai ketergantungan dan juga bisnis. Urutan kedudukan di antara mereka ditunjukkan dari siapa yang menduduki kursi komando di anjungan. Biasanya Kapten Deligiannakis yang menempatinya. Tapi begitu ia beranjak sebentar, dengan segera Tasso duduk di situ. Sama sekali tanpa segan-segan. Saya belum pernah melihat mualim satu duduk di situ.
Itu disebabkan karena Tasso adalah partner nakhoda. Keduanya saling berbagi gaji yang dibayar untuk juru masak yang dirangkap oleh steward itu. Sedang mualim satu, lain keterikatannya pada nakhoda. Ia berhutang budi pada Deligiannakis untuk jenjang terakhir dan yang paling menentukan dalam karirnya.
Mualim satu Walid, umurnya baru 22 tahun. Ia datang ke Yunani ketika berumur 18 tahun. Tahu-tahu dua tahun kemudian ia sudah menjadi mualim tiga di sebuah kapal tanker raksasa. Menurut pengakuannya, selama itu ia menuntut ilmu di sebuah sekolah pelayaran di Athena. Tapi ia juga mengatakan, selama itu ia berlayar sebagai calon perwira. Di kapal, tidak ada yang mau percaya.
Satu minggu sebelum saya mulai bekerja di Aladin B, Walid masih menjadi mualim tiga di kapal itu. Ketika ia diangkat oleh kapten langsung menjadi mualim satu, bahkan awak kapal itu sendiri sampai terheran-heran. Markonis yang berbangsa Polandia berkali-kali mengatakan pada saya, “Coba tanyakan padanya, berapa bagian dari upahnya yang harus diserahkan pada nakhoda.” Tapi saya tidak menanyakan, karena kecil kemungkinannya Walid mau mengatakan. Tapi ia pernah mengatakan pada saya bahwa ia tahun depan ia berniat menjadi nakhoda.
Melihat dan mendengar segala kenyataan itu, saya lantas semakin berhati-hati agar jangan sampai terjadi kesalahan selama saya bertugas jaga. Dan saya pun selalu berusaha untuk menambah pengalaman dan pengetahuan.
Pada suatu hari saya mendatangi ruang pompa. Maksud saya hendak mempelajari perihal katup-katup yang mengatur aliran minyak, supaya saya mampu menghindari terjadinya minyak tumpah di pelabuhan. Itu memang termasuk salah satu tugas mualim kapal tanker.
Tapi di tangga menuju ruang pompa, saya dicegah juru pompa, Joe yang berasal dari Ghana.
“Mualim satu tidak menghendaki kau masuk ke ruang pompa. Kau tahu kenapa?” katanya.
“Saya tidak tahu sebabnya.”
“Soalnya, ia ingin aman. Siapa pun juga di sini yang lebih banyak tahu daripada dia, baginya tidak baik. Karena itu jangan suka bertanya-tanya.”
Aneh, masa mualim satu takut pada orang seperti saya, yang jelas sedikit sekali pengetahuannya tentang seluk-beluk pelayaran.
Malam itu, entah kenapa saya meninggalkan kabin, lalu pergi ke anjungan. Padahal kebiasaan saya tidak begitu. Rupanya ada firasat buruk.
Ketika masih berada di anak tangga terakhir sebelum sampai di anjungan, saya sudah mendengar mualim dua, juga seorang Suriah. Sambil berteriak-teriak tertahan, ia mondar-mandir di situ. la memberikan instruksi yang saling bertentangan pada kelasi yang memegang kemudi.
“Balas cepat ke kiri, balas ke kanan,” perintahnya. Dan kelasi itu memutar kemudi dengan gesit, ke kiri lalu kembali ke kanan.
Saya melayangkan pandangan sebentar ke luar, ke laut yang diselubungi kegelapan malam. Sekali pandang saja, saya langsung memahami situasinya. Saat itu Aladin B sedang berlayar menyusuri pantai Kuba. Kapal itu bergerak mengular di sela beratus-ratus perahu nelayan. Sebagai kapal yang lebih besar, kami memang harus mengelakkan perahu-perahu yang hanya nampak lenteranya saja yang berkelap-kelip. Kelihatannya seolah-olah kami sedang berada di tengah kota kecil di tengah laut, sementara kami melaju terus dengan kecepatan maksimum. Dan di depan nampak rangkaian panjang lentera menyala.
Saya menyarankan pada mualim dua agar nakhoda dibangunkan saja. Saran saya itu langsung dituruti. Dan begitu nakhoda muncul, ia langsung melakukan sesuatu. Pesawat radar dimatikan. Padahal saat itu ia belum sempat mengenali situasi dengan jelas. Tabir radar pelan-pelan menjadi gelap. Kemudian Kapten Deligiannakis berusaha menemukan jalan lewat dengan jalan menatap kegelapan.
Tapi dengan tanker raksasa, takkan mungkin ditemukan jalan lolos. Sedang kecepatan berlayar tidak diperlambat. Aladin B melaju dengan kecepatan maksimum menuju rantai cahaya di depan kami.
Dari kecepatan maksimum sampai berhenti sama sekali, sebuah tanker raksasa memerlukan waktu setengah jam. Dan untuk bisa mengelak, Aladin B memerlukan garis lingkaran hampir satu kilometer.
Saya sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana kami akhirnya bisa menghindari rintangan itu. Satu hal sudah jelas, penglihatan Kapten Deligiannakis pasti tidak lebih baik daripada saya. Saya cepat-cepat menyingkir dari anjungan karena tidak ingin menjadi saksi mata pada saat ada perahu nelayan pecah berantakan terlanda haluan Aladin B.
Selama seperempat jam itu saya sama sekali kehilangan kepercayaan pada kemampuan nakhoda kami sebagai pelaut. Mulai timbul perasaan bahwa tak ada gunanya saya berjaga-jaga setengah mati pada saat giliran jaga, apabila pada waktu-waktu lain malah terjadi segala macam hal yang menimbulkan bencana.
Kapten hemat sekali dengan alat radar. Rasanya bisa dibandingkan dengan seorang musafir yang tinggal memiliki sebatang korek api terakhir. Ia tidak pernah memasang perum gema ketika pada pelayaran kembali kami melewati Selat Mona yang sulit antara Haiti dan Puerto Rico.
Dua hari kemudian saya merasa pasti takkan mungkin selamat lagi. Saat itu jarak penglihatan cuma dua mil laut. Keadaan bisa dibilang berkabut tebal. Kami berempat di anjungan. Semua berusaha menatap menembus selimut kabut yang kelabu. Aladin B berada di posisi yang tidak jauh dari pantai Amerika Serikat, pada alur pelayaran yang ramai. Tapi ketika saya hendak menyalakan pesawat radar, mualim satu melarang.
“Jangan! Penglihatan masih cukup baik,” katanya serius.
Saya mengemukakan padanya bahwa kami takkan mempunyai waktu cukup untuk mengelak apabila tiba-tiba nampak kapal lain yang menuju ke arah Aladin B. jika kapal itu berlayar dengan kecepatan 15 knot seperti kami, maka berarti keduanya saling mendekati dengan kecepatan 30 knot. Dengan jarak pandangan 2 mil laut, berarti empat menit kemudian pasti terjadi tubrukan karena tidak cukup waktu lagi untuk melakukan gerak pengelakan. Tapi mualim pertama tetap berkeras.
“Masih cukup waktu untuk melakukan gerak putaran penuh,” katanya. “Tadi pagi aku masih melakukan gerakan itu. Dan ternyata bisa.”
Terbayang dalam benak saya orang sinting yang memacu mobil tanpa rem ke arah dinding dengan niat membanting setir pada meter-meter terakhir dari situ. Saya tidak bisa dibilang penakut. Tapi saat itu keringat dingin saya mengucur. Dan setiap hari sejak itu, kengerian semakin mencekam. Di kapal Aladin B setiap hari dilakukan paling sedikit satu kali pelanggaran terhadap peraturan untuk mencegah risiko tubrukan di laut. Misalnya berlayar dengan kecepatan yang aman, penggunaan radar, gerak mengelak sejak dini.
Di sini saya merasa perlu juga mengetengahkan suatu hal yang pasti menarik bagi perusahaan asuransi. Dokumen terpenting di kapal Aladin B — seperti juga pada kapal-kapal lain — yaitu buku topdal, ternyata hanya merupakan klad belaka. Catatan yang diperlukan dalam persidangan mahkamah pelayaran untuk menentukan pihak yang salah apabila terjadi kecelakaan, di Aladin B tidak ditulis dengan tinta seperti seharusnya, tapi dengan pensil. Banyak sekali data palsu yang diterakan di situ.
Pada suatu hari, muncul buku topdal kedua, yang diisi menurut peraturan, yaitu dengan pulpen. Tapi buku itu langsung disimpan kembali. Ternyata khusus disusun untuk disodorkan pada dinas penjaga pantai Amerika Serikat.
Akhirnya kami sampai juga di Teluk Delaware, siap untuk masuk ke pelabuhan Philadelphia seperti diinstruksikan. Saya menarik napas lega karena kini pasti tidak banyak lagi kemungkinan terjadi bencana. Tapi ternyata walau Aladin B sudah bergegas-gegas selama pelayaran, tapi akhirnya kami harus menunggu juga. Kami harus menurunkan jangkar di teluk karena tempat sandar di Philadelphia belum kosong. Persediaan makanan mulai menipis. Akhirnya saya hanya mendapat bagian sepotong roti kering bikinan sendiri.
Ketika saya hendak ribut mengenainya, saya mendengar bahwa air minum juga sudah habis. Sudah sejak tiga hari kami semua minum air sungai Delaware yang keruh, yang bahkan tidak berhasil dijernihkan dengan instalasi pemurni air laut. Kapten Deligiannakis berani menghadapi risiko seluruh anak buahnya jatuh sakit, hanya karena ia ingin menghemat. Sebetulnya ia bisa saja memesan air minum dari darat.
Tapi di kapal tidak ada yang memprotes. Ketika saya hendak ribut, ada yang memberi nasihat.
“Hey man! Kau kepingin selamat di kapal ini? Okay — tutup telinga, mulut dan mata. Kau di sini cuma karena uang!”
Yang memberi nasihat itu juru pompa Joe, yang sudah pernah sekali memberi peringatan pada saya. Awak kapal terdiri dari 34 orang, yang berasal dari sembilan negara dan empat benua. Kebanyakan cuma sepatah-sepatah saja mengerti bahasa Inggris dan kalau ingin menyampaikan sesuatu pada orang lain harus melalui orang ketiga. Kekacauan bahasa benar-benar edan di situ!
Ketika akhirnya kapal kami mendapat giliran merapat ke dermaga di Philadelpia, pemandu kapal bertanya pada saya dengan bingung, “Apa katanya sekarang?” Kapten Deligiannakis memberi komando dalam bahasa Yunani.
“Saya juga sama saja, tidak mengerti.” Hanya itu saja yang bisa saya katakan. Pemandu kapal cepat-cepat turun, bahkan sebelum tali-temali selesai ditambatkan semua.
Joe yang dari Ghana adalah satu-satunya juru pompa di kapal. Ketika kami sudah bersandar di dermaga kilang perusahaan BP di Marcus Hook, ia ditugaskan untuk selekas mungkin memompa setengah juta barel minyak mentah yang berada dalam perut kapal Aladin B ke tangki-tangki yang terdapat di darat. Kami saat itu mengangkut minyak mentah jenis Bonny Light — yang kadar kecairannya hampir menyerupai bensin.
Sebetulnya untuk tugas itu, Joe hanya memerlukan waktu sekitar 24 jam. Tapi ketika waktu perkiraan itu sudah dilampaui, ternyata setengah dari isi tanker saja belum terpompa ke darat. Seorang petugas dari ruang kontrol di darat menghubungi saya lewat radio. Tapi Joe cepat-cepat menyela.
“Jangan jawab!” katanya.
Berlalu lagi waktu 24 jam. Joe sudah mencoba segala-galanya. Tapi sisa dalam tangki terakhir, yaitu nomor 4 di sisi kiri tidak mau keluar-keluar. Tongkat ukur Joe menunjukkan di situ masih tersisa cairan setinggi 20 sentimeter. Cairan itu merupakan lumpur minyak yang pekat yang terkumpul di situ setelah dipompa kian kemari oleh Joe. Itulah sebetulnya yang menyebabkan proses pemompaan berlangsung begitu lama.
Tapi kini cairan pekat itu tidak bisa dialirkan ke darat karena pompa-pompa tidak mampu melakukannya. Kesulitan demikian timbul apabila tangki-tangki tidak dibersihkan secara teratur.
Saat itu Kapten Deligiannakis muncul. Ia sibuk berbicara dengan Joe dalam bahasa Yunani. Kemudian kapten pergi lagi. Sementara mereka tadi berunding, tangan Joe tidak berhenti bekerja — memutar berbagai kenop.
Joe menarik tongkat ukur yang selama itu masih tercelup dalam tangki. Tahu-tahu tinggi lumpur minyak yang nampak di situ tidak lagi 20 sentimeter, melainkan lima sentimeter.
Sementara saya masih bingung, bertanya-tanya pada diri sendiri ke mana larinya lumpur yang 15 sentimeter lagi, petugas pengawasan dari pengilangan BP datang. Mereka hendak memeriksa apakah semua minyak sudah dialirkan ke darat. Untuk itu mereka harus meneliti kekosongan masing-masing tangki.
Satu-persatu tangki diperiksa. Akhirnya sampai pada tangki nomor 4, sisi kiri. Cuma saya sendiri yang melihat gerakan itu. Pada saat mengulurkan tongkat ukur ke dalam tangki, tampak tangan Joe agak lain geraknya dibandingkan dengan ketika melakukan pengukuran tangka-tangki lainnya. Tali pengulur meluncur. Tahu-tahu ada sebuah simpul pada tali itu yang nampak sekilas melewati tangan Joe. Seketika itu juga ia menahan gerak tali lebih jauh, lalu menariknya kembali ke atas. Ketika tongkat ukur sampai di atas, ternyata minyak yang menempel cuma sedikit sekali. Bahkan tidak sampai lima senti, seperti yang saya lihat tadi.
Kemudian Joe menjelaskan ke mana larinya lumpur minyak yang masih tersisa dalam tangki. Jelas, tidak mengalir ke dalam tangki BP di darat. Kapten Deligiannakis, ketika berunding dengan dia dalam bahasa Yunani, ternyata menginstruksikan agar lumpur itu ditekan ke bawah pelat lantai ruang pompa. Untuk melakukan proses itu, tekanan pompa masih memadai.
Saat itu barulah saya memahami kejadian yang mulanya merupakan teka-teki bagi saya. Malam-malam dalam pelayaran menuju Philadelphia, ketika kapal kira-kira berada di depan pantai, Charleston, Aladin B agak mengubah haluan. Saya sama sekali tidak diberi tahu padahal saat itu saya sedang giliran jaga. Arah haluan berubah 40 derajat, sehingga kami kembali mengarah ke tengah laut, menjauhi tujuan.
Rupanya mualim satu saat itu ingin cerdik sekali. Penentuan posisi dilakukannya tidak seperti biasanya dengan paser, yang meninggalkan bekas lubang pada peta laut, sehingga lekas ketahuan apabila pihak penjaga pantai melakukan pemeriksaan.
Pada saat terjadi perubahan haluan itu, berton-ton lumpur minyak dibuang ke laut. Lumpur minyak itu berasal dari bawah pelat lantai ruang pompa, ke mana minyak pekat setinggi 15 sampai 20 senti yang tidak bisa disalurkan ke darat di Philadelphia kemudian dipompakan oleh Joe atas instruksi kapten. Dan untuk itu pihak BP memotong sekitar 20.000 dollar dari rekening pengangkutan yang disodorkan perusahaan yang menyewa.
Setelah semuanya selesai, pagi-pagi sekali tanker Aladin B menyelinap pergi, meninggalkan Philadelphia dan kembali ke Curacao. Semua pihak merasa puas, juga pihak penjaga pantai yang disodori buku topdal yang khusus disusun untuk mereka. Kelihatannya penjaga pantai Amerika juga hanya menaruh perhatian bahwa pada haluan dan buritan Aladin B terjulur dua utas tali kawat, dengan mana kapal itu bisa diseret secepat mungkin keluar dari pelabuhan apabila terjadi kebakaran di kapal.
Saya ikut berlayar pulang lagi ke Curacao. Dalam hati saya mengucap syukur bahwa Aladin B hanya melayani pengangkutan minyak mentah di Laut Karibia saja.
Tapi masih berapa banyakkah kapal tanker raksasa lain yang menyinggahi berbagai pelabuhan besar di seluruh dunia, yang awaknya mirip dengan yang ada di Aladin B? Bermualim tiga yang kemampuannya seminimal saya dan nakhodanya berwatak seperti Kapten Deligiannakis?
(Chr Jungblut/Geo)
Baca Juga: Petunjuknya Uang Lembaran Baru
" ["url"]=> string(88) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726467/siapa-yang-mencuri-minyak-dari-kapal-tangki" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680809251000) } } [2]=> object(stdClass)#105 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3605626" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#106 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/petunjuknya-uang-lembaran-baru_j-20221212090456.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#107 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Terjadi pencurian di sebuah kantor pos, dan uang 500 juta sudah lenyap. Padahal yang bisa membuka lemari hanyalah bendahara dan kepala kantor pos." ["section"]=> object(stdClass)#108 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/petunjuknya-uang-lembaran-baru_j-20221212090456.jpg" ["title"]=> string(30) "Petunjuknya Uang Lembaran Baru" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-12 09:05:26" ["content"]=> string(29102) "
Intisari Plus - Terjadi pencurian di sebuah kantor pos, dan uang 500 juta sudah lenyap. Padahal yang bisa membuka lemari hanyalah bendahara dan kepala kantor pos.
--------------------
Seperti biasa pada setiap awal bulan, pukul tujuh pagi lewat Minto sudah berada di kantornya. Hari itu Senin, tanggal satu, sesuai jadwal ia harus menyerahkan sejumlah uang kepada juru bayar pensiun. Selanjutnya uang itu akan segera dimasukkan ke dalam banyak amplop yang sudah ditandai dengan nama-nama yang berhak menerimanya. Pada hari pembayaran pensiun yang dimulai tanggal 4 setiap bulannya, juru bayar uang pensiun itu sudah harus siap di loket, melayani para pensiunan.
Di depan pintu yang terbuat dari besi, Minto tenang-tenang saja mengeluarkan sebuah anak kunci berukuran panjang, alangkah kagetnya ketika diketahui pintu besi itu tidak terkunci. la tertegun sejenak dan tidak berani menguakkan daun pintu besi itu. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah kemarin lupa mengunci. Namun ia yakin benar, kemarin sebelum meninggalkan kantor, pintu besi itu sudah dikuncinya baik-baik.
Hal itu juga dilakukannya pada hari-hari sebelumnya, Minto merasa dirinya selalu berusaha menghindari keteledoran. Parto, juru bayar pensiun yang baru saja tiba di kantor melihat keraguan di wajah atasannya. “Ada masalah, Pak?” tanya Parto.
“Lihat, tidak terkunci,” jawab Minto bingung sambil menunjuk pintu besi. Untuk meyakinkan diri, mereka berdua menguakkan daun pintu yang berat itu, serta memasuki ruang khazanah. Pemandangan di dalam membuat Minto lemas. Darahnya tiba-tiba serasa kering. Betapa tidak? Pintu lemari tempat menyimpan uang tampak menganga lebar dan isinya kosong. Uang sebesar Rp 500 juta yang ada dalam tanggung jawabnya, amblas tak tentu rimbanya.
Dalam keadaan panik, Minto masih sempat berpikir untuk segera melaporkan kepada atasannya. Kebetulan Setiawan Maulana, kepala kantor pos, sudah datang. Setelah mendengar dengan saksama penuturan Minto, kepala kantor pos itu segera menghubungi polisi setempat.
Sekitar setengah jam kemudian Sersan Tehan yang disertai Inspektur Polisi (Iptu) Kimawan tiba di tempat kejadian perkara (TKP). Walaupun bintara itu telah mengenal Minto secara pribadi, ia tetap memegang teguh prosedur dalam menjalankan pekerjaannya. Himawan yang membawa tustel merekam gambar-gambar yang diperlukan. Setelah pemeriksaan fisik ruangan dirasa cukup, Iptu Himawan mengajukan beberapa pertanyaan awal.
“Siapa pemegang anak kunci lemari besi itu?”
“Saya, sebagai bendaharawan di sini, Pak,” jawab Minto.
“Ada duplikatnya?”
“Ada, Pak. Barang itu disimpan oleh bapak kepala.”
“Mengapa duplikat itu ada pada bapak kepala?”
“Sesuai aturan dari pusat, Pak,” jawab kepala kantor pos.
Polisi juga mengajukan beberapa pertanyaan tentang nama-nama penjaga malam, tenaga kebersihan, dan beberapa karyawan yang dianggap terkait dengan hilangnya uang tersebut. Semua informasi itu tercatat dalam buku saku Sersan Tehan.
“Sementara cukup sekian dulu, untuk keperluan penyidikan, sewaktu-waktu kami harap Bapak-bapak bersedia datang ke kantor kami,” kata kedua petugas itu lalu berpamitan. Semua orang yang ditinggalkan, menyanggupi permintaan itu.
Di rumah kontrakannya, malam itu Minto tidak mampu mengusir rasa gelisah dalam dirinya. Ia khawatir sesuatu yang merugikan menimpa diri dan keluarganya. Sebagai bendaharawan yang dipercaya menyimpan dan mengelola uang dinas, ia telah berusaha sebaik mungkin dalam melaksanakan pekerjaannya. Selama ini ia selalu berusaha untuk tidak teledor serta lalai. Tapi kini, ia menghadapi kenyataan pahit yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Dia yakin telah menyimpan uang itu, memasukkannya ke dalam lemari besi, lalu menguncinya. Tempat penyimpanan uang itu berada dalam sebuah khazanah, ruangan khusus yang dilengkapi pintu besi berbobot lebih dari sekuintal. Ia juga selalu mengunci pintu dengan teliti. Peristiwa ini sangat memukul mentalnya.
Di samping ditangani polisi, sesuai prosedur kasusnya dilaporkan pula ke kantor pusat. Artinya, proses hukum kepegawaian segera berlaku atas dirinya. Bisa mulai dari penurunan pangkat, penskorsan, sampai pemecatan yang diikuti oleh vonis masuk penjara. Bayangan nasib buruk yang bakal menimpa membuat Minto sedih. Dalam kesendirian, ia teringat istri dan tiga anaknya yang masih usia sekolah di kampung.
Orang lain pasti akan menganggap bodoh bila ia berharap uang itu bisa kembali lagi. Namun Minto berniat membantu petugas penyidik semampunya. Meski ia tahu, itu tidak mudah.
Teman memancing
Kabar pembobolan uang dari kantor pos itu segera tersebar luas di seluruh kota kecil Cepu, Jawa Tengah. Esok hari polisi mulai memanggil dan menanyai sejumlah orang untuk mengumpulkan informasi seputar tindak kejahatan tersebut.
Supeno, satpam kantor pos, mengaku, di malam kejadian ia tertidur karena siangnya tidak sempat beristirahat setelah membantu penguburan seorang tetangganya.
“Selain saudara, siapa lagi satpamnya?”
“Tidak ada, Pak. Hanya saya. Namun biasanya malam-malam seperti itu ditemani oleh seorang karyawan.”
“Kebetulan saudara Supardi yang dapat giliran membantu jaga malam itu?” Tehan beralih bertanya pada pria yang duduk di sebelah Supeno.
“Benar, Pak.”
“Juga tertidur malam itu?”
“Anu, Pak, sudah menjadi kebiasaan karyawan kalau mendapat giliran membantu jaga malam, pasti tidur karena keesokan harinya masuk kerja.”
“Begitu? Tapi seharusnya Anda sebagai satpam harus bisa mengatur waktu istirahat, secara bergantian tidurnya misalnya. Dengan demikian, terutama saudara satpam, bisa dianggap teledor,” Tehan menekankan.
Supeno dan Supardi hanya terdiam. Sersan Tehan sempat menaruh curiga karena melihat keringat sebesar biji-biji jagung mengalir di kening Supeno.
Parto sebagai juru bayar pensiun pun tak luput dari beberapa pertanyaan.
Nama lain yang tidak luput dari perhatian polisi tentu saja Minto, bendaharawan yang bertanggung jawab atas keamanan dan keutuhan isi lemari besi penyimpan uang. Kebetulan Sersan Tehan mengenal baik Minto.
“Saya kenal baik Mas Minto, Ip,” kata Tehan membuka percakapan dengan atasannya, Iptu Himawan.
“Bagaimana gaya hidup keluarganya?”
“Setahu saya, kehidupannya sederhana. Rumahnya pun masih mengontrak. la sudah lebih dari lima tahun di sini, sebelumnya ia ditempatkan di luar Jawa. Ia tetangga yang baik. Di lingkungan kerja pun ia dikenal jujur dan bertanggung jawab.”
“Sejak kapan kamu mengenalnya?”
“Wah, sudah sejak lebih empat tahun. Kami sama-sama hobi memancing. Di tempat memancing itulah kami berkenalan.”
“Begitu, ya. Tapi ingat, prosedur harus tetap dipegang,” Himawan mengingatkan.
“Tentu, Pak!”
Sampai saat itu pihak kepolisian belum bisa menemukan titik awal. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan siapa yang layak dijadikan tersangka. Dengan demikian polisi belum bisa melakukan penahanan terhadap seseorang, kecuali baru berupa interogasi. Berbagai kemungkinan bisa terjadi.
Secara pribadi Sersan Tehan tak yakin Minto mau bekerja sama dengan orang luar untuk berbuat jahat. Memang Minto yang berhak memegang anak kunci lemari besi itu, tapi bukan berarti dengan sendirinya ia terlibat. Begitu juga sang kepala kantor pos. Meski berhak atas duplikat anak kuncinya, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena barang itu tetap tersimpan di dalam sebuah peti besi bersegel dalam ruang khazanah. Sedangkan pintu besi ruang itu hanya Minto, sebagai bendaharawan yang bisa membukanya. Kesimpulannya, pimpinan kantor pos pun tidak bisa mengambil duplikat anak kunci tanpa saksi.
Menurut Kapolsek, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Roy Cahyadi, orang pertama yang patut dicurigai adalah Minto karena hanya dia yang bisa membuka pintu ruang tertutup khazanah dan lemari besinya.
“Ingat! Prosedur harus tetap dipegang,” peringatan Himawan masih terngiang di telinga Tehan.
Tehan melakukan pendekatan khusus terhadap Minto. Di samping untuk mencari jalan pengusutan, ia juga ingin mengorek sesuatu yang bisa menolongnya.
Mantan karyawan
Selepas maghrib, Tehan bertandang ke rumah Minto. “Mas Minto, tahu ‘kan, sebagai seorang polisi saya dibebani pekerjaan, tapi di sisi lain kita berteman.”
“Saya mengerti. Saya sendiri pun tidak ingin melihat seorang teman lalai dalam mengemban tugasnya. Malah, sebenarnya saya ingin membantu, Mas Tehan,” tanggap Minto bersungguh-sungguh.
“Silakan saja, sepanjang tidak mencampuri tata kerja polisi.”
“Tadi pagi saya dipanggil atasan untuk membicarakan kasus itu. Kami meneliti semua berkas kepegawaian. Akhirnya kami menemukan sesuatu yang bisa berguna untuk penyelidikan polisi.”
“Apa itu?” sergah Tehan tak sabar.
“Ada mantan karyawan yang telah dipecat hampir dua tahun lalu karena perbuatan tercelanya.”
Orang yang bernama Slamet, tepatnya Slamet Priyono, itu pernah beberapa kali ketahuan memalsu wesel pos dan mengambil uang tabungan orang lain hanya untuk berjudi.
Hukuman demi hukuman telah dijatuhkan kepadanya oleh atasan, namun ia tidak juga jera. Akhirnya, secara resmi ia diberhentikan secara tidak hormat alias dipecat.
“Alamatnya sudah saya catat,” Minto memberikan secarik kertas berisi alamat Slamet.
“Mengapa orang itu dicurigai?”
“Kalau menyimak beberapa kasus yang pernah terjadi, sebagian besar pencurian dan penilapan harta benda milik kantor pos, ternyata didalangi oleh mantan orang dalam.”
Tehan bisa menerima penjelasan dan kecurigaan Minto, biasanya orang dalam lebih paham cara kerja di kantornya.
“Dulu Slamet pernah diminta membantu pekerjaan staf lain, yakni membuka dan menutup pintu khazanah, termasuk membukakan pintu besi. Informasi ini saya dapat dari catatan berkas kepegawaiannya, karena waktu itu saya masih berdinas di luar Jawa.
“Meski ia tidak boleh memegang anak kunci, tapi bisa saja bendaharawan lupa untuk selalu mengantungi dua anak kunci itu. Kesempatan itu bisa langsung dimanfaatkan oleh Slamet. Ia ‘meminjam’, lalu menduplikat dua anak kunci tersebut. Sesudah maksudnya terlaksana, diam-diam barang itu dikembalikan. Dengan demikian Slamet memiliki anak kunci duplikat,” tutur Minto.
Mendengar penuturan sahabatnya, Sersan Tehan terdiam beberapa saat. Tanpa membuang waktu, Tehan segera ke rumah Himawan. Saat itu pukul 19.30. Mereka berniat menindaklanjuti informasi dari Minto. Malam ini juga Slamet Priyono harus disatroni di rumahnya.
Namun, mereka tak mau bertindak gegabah karena bisa berakibat orang itu sulit dijebak atau malah lolos. Kedua hamba hukum itu menelusuri perkampungan yang terbilang kumuh. Akhirnya mereka menemukan alamat rumah di Jl. Tegal Rejo, Kelurahan Jati Ireng, sesuai catatan dari Minto.
Karena keduanya berpakaian preman, apalagi mereka mengaku sebagai teman sang suami, istri Slamet tidak merasa kaget atau curiga.
“Mas Slamet jarang pulang, kok,” ujar istri Slamet.
“Oh, ke mana saja, Bu?” tanya Tehan pura-pura. Padahal dua aparat kepolisian itu sudah mendapat informasi bahwa Slamet memang senang menghabiskan waktunya untuk berjudi daripada mengurus keluarga.
“Ada perlu rupanya?!” tanya perempuan itu sembari beranjak ke belakang untuk membuatkan minuman.
“Tidak usah repot-repot, Bu. Kami cuma teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Kalaupun berjumpa, Mas Slamet pasti juga pangling,” tolak Tehan dengan halus.
“Ke mana, ya, kira-kira Mas Slamet?”
“Wah, susah dipastikan. Biasanya kalau sedang banyak uang, ia berjudi di luar kota.”
“Kok Mas Slamet masih judi terus?” Himawan menimpali.
Istri Slamet pun berterus terang mengaku membenci kebiasaan suaminya itu. Malah, katanya, belakangan Slamet sering berbuat kasar padanya bila sedang kalah judi. Padahal uang belanja sudah habis dan pendidikan ketiga anaknya tak pernah dicukupi. Celakanya lagi, tidak seorang pun saudaranya bisa menasihati Slamet untuk menghentikan kebiasaan buruknya.
“Apa Ibu bisa memberikan alamat beberapa temannya supaya besok kami bisa menemuinya di sana saja, sebab saya sudah kangen,” pancing Tehan.
Sayang, istri Slamet tidak dapat memenuhinya, karena konon suaminya tertutup. Bahkan alamat beberapa kawannya yang sering datang ke rumah pun perempuan itu tidak tahu. Himawan dan Tehan meninggalkan rumah itu dengan tangan hampa.
Bendaharawan sebelumnya
Kota Cepu yang biasanya panas di malam hari, kali ini terasa sejuk karena diguyur hujan sejak sore. Sampai jauh malam Setiawan Maulana masih bekerja di rumahnya. Di mejanya terlihat tumpukan kertas-kertas dan map arsip kepegawaian. Rupanya, selain arsip data tentang Slamet yang ditemukan beberapa hari sebelumnya, ia masih mencari nama lain!
Akhirnya ditemukan bundel lama yang dicarinya, yaitu yang berisi data bendaharawan lama. Dengan cermat ia membaca kata demi kata yang mencantumkan nama Sugiri, jabatan bendahara. Dari catatan diri diperoleh data, yang bersangkutan pernah mendapat hukuman indisipliner karena lalai dalam menjalankan tugasnya. Akibat kelalaiannya, dua anak kunci, yakni kunci ruang khazanah dan lemari besi hilang. Meski akhirnya dua barang itu diketemukan kembali, yang bersangkutan tetap dikenai tindakan administratif. Ini petunjuk berharga yang bisa dikembangkan untuk penyelidikan pihak berwajib, begitu pikir Setiawan.
Kini mantan bendaharawan itu telah dimutasi ke tempat lain. Itu bukan urusannya, yang penting ia mempunyai data bahwa dua anak kunci yang merupakan nyawa dari seorang bendaharawan pernah hilang, lalu diketemukan lagi.
Setiawan menduga, dua anak kunci yang kini dipermasalahkan pernah diduplikat oleh seseorang yang mencurinya. Tak ayal, kecurigaannya pada mantan seorang karyawan, Slamet Priyono, semakin kuat.
Ya, Slamet pasti telah mencuri, menduplikat, lalu diam-diam mengembalikan kedua anak kunci itu lagi. Pikiran itu melintas di benak Setiawan.
Esoknya Setiawan Maulana menelepon polisi untuk melaporkan temuannya. Kebetulan yang menerima telepon Iptu Himawan, yang sebelumnya sudah mendapat informasi awal dari Minto.
Mayat di sungai
Suatu hari sepulang dari kantor, Minto singgah di toko sepeda untuk membeli ban sepeda bagi anaknya. la begitu terperanjat saat melihat seorang pembeli sepeda membayar dengan lembaran-lembaran uang baru dari bundel berlilit ban yang amat dikenalnya. Di sebuah kota kecil peredaran uang baru mudah dikenali, terutama oleh mereka yang pekerjaan sehari-harinya berhubungan dengan uang, misalnya pegawai bank dan kantor pos. Minto pun mencari akal agar dapat keluar dari toko lebih belakang dari orang itu.
Sesudah si pembeli keluar toko dengan membawa sepeda barunya, Minto meminta izin Sumarni, pemilik toko yang sudah dikenalnya itu, untuk melihat bundelan uang tersebut. Dugaannya tidak meleset, pada ban kertas dari bundel lembaran uang baru itu terdapat parafnya di samping tulisan nama bank yang mengeluarkannya.
Dari si penjaga toko, ia tahu alamat si pembeli sepeda. Sumarni pun tidak berkeberatan saat Minto meminta ban bundel uang itu. Segera Minto menghubungi atasannya untuk melaporkan temuannya.
Setiawan sangat tanggap dan segera meminjamkan sementara sejumlah uang kepada Minto untuk bisa ditukarkan dengan uang baru yang masih berlabel di toko itu. Usaha Minto berhasil. Di kantor, lembaran-lembaran uang baru itu diteliti dengan saksama. Setelah merasa yakin, kepala kantor pos menghubungi polisi.
Dari keterangan penjaga toko pula Sersan Tehan dan Iptu Himawan mencatat nama Gito, si pembeli sepeda, dan alamatnya. Rumah orang yang mereka cari itu ada di sebuah gang sempit di bilangan kota.
Setelah pintu diketuk beberapa kali, muncullah seorang pria setengah baya. Ia mengaku sebagai ayah Gito. Katanya, sesudah membelikan sepeda untuk kemenakannya, Gito pergi lagi.
“Tadi ia disusul kawannya. Ada perlu?” ujar ayah Gito tanpa curiga karena kedua petugas tersebut tidak berseragam.
“Anu, Pak. Saya mau minta tolong pada Mas Gito untuk tukar uang ribuan baru. Kami butuh uang receh untuk hajatan.”
“Saya rasa uang barunya sudah habis dibelanjakan, sebagian pun sudah ditukar oleh teman-temannya,” sahut si empunya rumah.
“Sayang, ya, padahal saya perlu sekali. Tapi, tolonglah, Pak, di mana saya bisa mendapatkan uang baru seperti Mas Gito?” bujuk Sersan Tehan.
“Wah, saya tidak tahu persis, Nak. Mungkin, ya dari teman-teman kumpulnya.”
Teman kumpul? Benak kedua petugas itu dengan cepat menyimpulkan, pasti yang dimaksud adalah teman “berjudi”.
“Kalau begitu, mungkin kami bisa menemui Mas Gito di tempat kumpul-kumpul dengan teman lain. Kebetulan kami juga senang ‘main’, siapa tahu nanti bisa menang.”
“Em…coba saja ke Gang Sembilan, rumah di belakang warung cat hijau,” kata orang tua itu ramah. Setelah berpamitan, mereka langsung menuju rumah yang dimaksud dan berpura-pura ingin ikut berjudi.
Di sanalah mereka bertemu Gito. Berkat kepandaian para “detektif” itu, Gito terpancing menuturkan bahwa uang lembaran barunya didapat dari Slamet. Namun, sejak beberapa hari terakhir Slamet tidak pernah muncul lagi di sana.
“Katanya, ia baru menang dari penjudi kakap asal Jakarta, ia banyak uang sekarang. Selain itu ia susah dicari. Mungkin ia sudah menjadi penjudi besar, entah di mana. Yang jelas, ia tidak mau lagi main judi kecil-kecilan di kampung seperti ini,” tutur Gito.
Sementara itu di kantornya AKP Roy Cahyadi menerima laporan dari seorang anak buahnya. Ada seorang tukang kunci kawakan mengaku pernah diminta seorang anak lelaki untuk menduplikat anak kunci dengan contoh yang berbentuk aneh. Merasa kesulitan, ahli kunci itu menolak. Anak itu, katanya lagi, disuruh seorang pegawai kantor pos.
Baru saja Kapolsek Roy Cahyadi menyelesaikan catatan itu, seorang petugas piket melapor tentang penemuan sesosok mayat di Bengawan Solo.
Himawan beserta Tehan yang baru kembali di kantor, diajak serta meluncur ke tempat ditemukannya mayat. Sersan Tehan dan Iptu Himawan terkejut begitu melihat mayat itu, yang ternyata adalah Supeno, sang satpam kantor pos.
Saat itu air sungai besar bahkan hampir meluap. Dengan cepat orang menduga kematian itu kecelakaan akibat derasnya arus sungai. Tetapi menurut polisi, mayat harus diperiksa dulu oleh dokter yang berwenang untuk diketahui sebab kematiannya. Benar, dokter menemukan tanda-tanda bahwa kematian Supeno disebabkan oleh tindak penganiayaan.
Diduga sebelum diceburkan ke sungai, korban telah tewas. Himawan curiga, kematian Supeno pasti berhubungan dengan pembobolan di kantor pos.
Pencuri ceroboh
Beberapa hari kemudian Tehan mendapat kabar dari seorang informan, malam itu Slamet pulang ke rumah istrinya. Untuk menangkap tersangka, tim buru sergap Polsek segera menyusun skenario. Bharuda Saham diminta menyamar sebagai seorang wiraniaga yang menawarkan aneka pakaian anak-dnak. Saham harus datang ke rumah Slamet untuk menawarkan barang dan yang paling utama memastikan keberadaan Slamet.
Di rumahnya Slamet baru selesai mandi. Saham sempat menguping pembicaraan Slamet dengan istrinya. Saat itu tersangka Slamet sedang bersiap pergi lagi. Kendati demikian Slamet sempat menemani istri dan anaknya memilih beberapa pakaian yang kemudian mereka bayar. Tanpa membuang waktu, Saham meraih telepon genggamnya untuk menghubungi Tehan yang menunggu di warung di mulut gang.
Siang itu, Tehan sengaja menanggalkan seragam agar bisa membuntuti Slamet dengan leluasa. Mulai dari naik becak turun di pangkalan angkutan kota, terus naik minibus umum, Tehan menempel erat perjalanan Slamet.
Sementara di tempat lain Himawan langsung meneliti lembaran uang baru yang diterima Saham dari hasil berjualan pakaian anak yang dibeli istri Slamet. Selain itu Saham menyerahkan ban kertas bundel. uang yang ia pungut di rumah Slamet. Ciri-ciri ban bundel uang itu sesuai dengan penjelasan Minto. Himawan tersenyum mendapati kecerobohan Slamet. Kini bersama beberapa anak buahnya ia menunggu kontak dari Tehan.
Telepon yang ditunggunya baru berdering tiga jam kemudian. “Sekarang saya ada di Tuban. Segera siapkan operasinya,” terdengar suara Tehan dari seberang. Tuban, kota yang terletak di jalur pantai utara Jawa terasa panasnya bukan main di siang hari.
Turun di terminal, Slamet berganti angkutan kota selanjutnya masuk menuju sebuah jalan desa dengan menumpang ojek. Di pangkalan ojek itulah Tehan sempat kehilangan buruannya. Karena kehilangan jejak ia cemas kalau Slamet lolos. Ini terjadi karena kebetulan saat itu semua pengojek sedang mendapat penumpang. Terpaksa Tehan menunggu datangnya kembali pengojek itu. Sembari menunggu ia sempat menghubungi mitranya untuk secepatnya menghubungi dan berkoordinasi dengan kepolisian setempat.
Kini ia harus mengamati pengojek yang sebelumnya ditumpangi oleh Slamet. Dengan demikian pengojek itu tahu di mana Slamet turun. Tehan masih ingat benar ciri-ciri si pengojek. Motor bebeknya merah dengan helm pengemudi bergaris-garis mencolok. Ketika pengojek yang ditunggu-tunggu muncul kembali, Tehan bergegas minta diantar ke tempat Slamet diturunkan.
Pengojek berhenti di depan sebuah rumah megah berpagar tembok tinggi yang kokoh. Di muka pintu Tehan disambut oleh seorang lelaki muda berbaju kaus ketat dan rambut cepak. Untung lelaki itu tak menaruh curiga padanya, karena Tehan mengaku sebagai teman Slamet dan bermaksud ikut ‘bermain’.
Sebelum masuk ke ruangan dalam di rumah itu, Tehan terlebih dulu minta izin ke kamar kecil. Untuk kesekian kali, ia mengontak rekan-rekannya agar siap-siap bertindak. Tidak jauh dari kamar mandi Tehan melihat keranjang sampah yang berisi sejumlah robekan kertas yang mengusik ingin tahunya. Ia sempat memungut beberapa. Benar, beberapa di antaranya adalah kertas ban dengan label ban dan tulisan seperti yang dikatakan Minto. Barang itu merupakan petunjuk penting.
Selanjutnya, dengan diantar oleh penjaga, Tehan memasuki ruangan khusus yang di dalamnya banyak orang bermain kartu dengan asyik. Nampak tumpukan uang yang jauh lebih banyak daripada kartu-kartu yang mereka mainkan. Di antara tumpukan itu tampak gepokan uang yang masih dililit ban kertas baru.
Slamet kaget begitu disapa oleh Tehan sebab ia tidak merasa mengenalnya. Kegusaran Slamet tidak berlangsung lama. Pasalnya Himawan yang diiringi tim buru sergap mendadak masuk ruangan dan segera menguasai keadaan.
Slamet Priyono diringkus tanpa sempat mengadakan perlawanan. Di kantor polisi tersangka tidak bisa menyangkal semua perbuatannya, termasuk mengaku telah menghabisi nyawa Supeno.
Menurut pengakuannya, Supeno terpaksa disingkirkan sebab satpam itu sempat terbangun dan mengenal dirinya ketika pembobolan uang itu berlangsung. Maka Slamet mengancam Supeno agar tutup mulut bila ingin selamat. Belakangan ia mendapat informasi dari seorang temannya bahwa Supeno berniat berterus terang kepada pimpinannya. Rupanya, Supeno takut kehilangan pekerjaan bila kasus itu sampai terbongkar.
Kepada polisi, Slamet membeberkan tindak kejahatannya itu dilakukan bersama dua orang temannya. Handoyo, salah seorang teman Slamet, disergap di rumah perempuan simpanannya tanpa perlawanan berarti. Yang seorang lagi, pemuda bernama Sugeng, sempat melawan ketika hendak ditangkap, sehingga petugas terpaksa melepaskan tembakan ke kaki kanannya. (Sast)
Baca Juga: Masa Lalu Terekam di Kuku
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605626/petunjuknya-uang-lembaran-baru" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835926000) } } [3]=> object(stdClass)#109 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3567433" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#110 (9) { ["thumb_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/masa-lalu-terekam-di-kukujpg-20221111042746.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#111 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "Seorang ilmuwan trauma dengan kekerasan yang dialaminya saat terjadi pencurian. Dengan ilmunya, ia akhirnya bisa menangkap sang pelaku." ["section"]=> object(stdClass)#112 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/masa-lalu-terekam-di-kukujpg-20221111042746.jpg" ["title"]=> string(25) "Masa Lalu Terekam di Kuku" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 16:27:54" ["content"]=> string(22615) "
Intisari Plus - Seorang ilmuwan trauma dengan kekerasan yang dialaminya saat terjadi pencurian. Dengan ilmunya, ia akhirnya bisa menangkap sang pelaku.
-------------------
Malam belum terlalu larut. Saat para tetangga bercengkerama dengan keluarga di rumah masing-masing, Noelleen Greenwood yang tengah sendirian di rumah justru merasakan hal sebaliknya. Jangankan bercengkerama, menarik napas saja ia harus berjuang keras. Wajahnya begitu tegang dan ketakutan. Di depannya berdiri seorang tamu tak diundang, pencuri yang diyakini Noelleen tega berbuat apa saja, termasuk mencabut nyawa orang tak berdosa. Inikah akhir karier cemerlangnya sebagai ilmuwan? “Mestinya tidak. Aku belum dan tidak akan mati dengan cara seperti ini,” jerit hati kecilnya. Perlahan Noelleen berusaha melunakkan hati pria yang telah mencuri barang-barang berharga dan menyekapnya sejak tiga jam lalu itu. “Maaf, Bung. Aku percaya, Anda orang pintar. Pekerjaan seperti ini tak pantas buat orang seperti ...,” kata-kata Noellen tak berlanjut setelah si lelaki menyela dengan kasar.
“Cukup! Aku tidak pernah menerima saran, apalagi saran perempuan pesakitan!” Usai membentak, tangan kekar sang maling melayang keras ke wajah Noelleen. Wanita yang lebih banyak menghabiskan waktu di labolatorium itu langsung limbung, menabrak sofa, sebelum akhirnya jatuh ke lantai. Bukan kali itu saja Noelleen disakiti dan dilecehkan si pencuri, yang belakangan diketahui gemar melakukan pencurian dengan kekerasan, terutama terhadap kaum hawa.
“Kamu pikir, aku akan melepas kamu begitu saja. Membiarkan kamu melenggang santai ke kantor polisi. Lalu polisi-polisi keparat itu datang menjemputku, sambil mengacungkan-acungkan pistol dan borgol?” seru si pencuri sembari memamerkan bola matanya yang nanar. Noelleen tak kuasa menjawab. Namun, dia tak berhenti memohon pada si pencuri - yang menerobos rumah tanpa topeng maupun senjata - agar tidak bertindak lebih kejam.
Sejujurnya, Noelleen merasa peluang hidupnya tak sebesar beberapa jam sebelumnya. Mata, telinganya, terlebih pikirannya mulai lelah lantaran stres melakoni drama yang tak kunjung usai. Drama yang dampaknya pasti akan terus membekas sepanjang hidup Noelleen. Tiga jam rasanya bak tiga hari, tiga bulan, bahkan tiga tahun. Sampai akhirnya dia tak mendengar lagi bentakan-bentakan menyakitkan itu bersamaan dengan lenyapnya tubuh sang pencuri sadis di tengah kegelapan malam.
Si pencuri sadis lenyap? Berkali-kali Noelleen menarik napas panjang. Dia hampir tak percaya baru saja lolos dari lonceng kematian. Noelleen hendak bergerak mencari pertolongan tapi badannya terlalu lunglai. Beberapa menit lamanya, istri Roger Franklin itu hanya bisa termangu di lantai. Seraya berdesah pada diri sendiri, “Terima kasih Tuhan. Dia akhirnya pergi ....”
Bebas dengan jaminan
Esoknya Noelleen menghabiskan waktu berjam-jam di ranjang. Baru setelah kepercayaan dirinya pulih, wanita periang itu berinisiatif mendatangi kantor polisi. Itu pun berkat dorongan kuat Roger yang tak bisa menerima perlakuan semena-mena terhadap istrinya. Meski sebelumnya Noelleen berkali-kali mengungkapkan kekhawatirannya jika kasus pencurian itu harus dilaporkan ke polisi.
“Aku merasa dia ada di mana-mana. Matanya ... matanya seperti tak pernah berhenti menatapku,” ucap Noelleen seraya menambahkan, “Firasatku mengatakan persoalan ini masih jauh dari selesai.”
“Tapi kalau kamu tidak melapor berarti memberi peluang maling nekad itu melakukan kejahatan yang sama terhadap orang lain,” tegas Roger.
Di kantor polisi, laporan pasangan suami-istri itu cepat mendapat tanggapan. Apalagi keterangan yang disampaikan Noelleen begitu lengkap. Tanpa kesulitan berarti polisi bisa mengidentifikasi sang maling. Namanya Julio Strappa (30 tahun), pencuri “langganan” hotel prodeo yang digambarkan polisi sebagai pria canggung, penyendiri, serta berdarah dingin.
Noelleen dan suaminya punya harapan besar, Strappa yang sudah berulang kali melakukan kejahatan serupa dikenai hukuman setimpal. Berdasarkan proses pemeriksaan pendahuluan di pengadilan, Noelleen, pihak kepolisian, dan jaksa wilayah sepakat, Strappa memang penjahat yang sangat berbahaya. Itu sebabnya mereka semua begitu geram ketika tahu pengadilan membebaskan Strappa dengan jaminan!
Kegeraman yang sangat beralasan karena setelah mendapat kesempatan menghirup udara segar, Strappa langsung menghilang. Orang yang paling dirugikan atas keputusan pengadilan itu tentu saja Noelleen Greenwood. Berbulan-bulan setelah Strappa kabur, wanita berotak encer itu seperti tak pernah bisa lagi menikmati hidup. Hatinya selalu waswas.
“Setiap kali berada di belakang kemudi, mataku enggak pernah bisa lepas dari spion. Takut kalau-kalau Strappa menguntit,” curhat Noelleen pada Nicole, sobat karibnya di kantor.
“Kok bisa sekhawatir itu?” sahut Nicole sekenanya.
“Sumpah. Aku merasa Strappa terus mengintai dan mengintai. Orang-orang di pengadilan betul-betul bikin sebal.”
“He-eh. Aku juga enggak habis pikir, penjahat yang harusnya dipenjara bertahun-tahun kok malah bebas berkeliaran di jalan.”
“Nic, bagaimana jika aku pindah ke California?”
“Kalau itu bisa menjauhkan kamu dari bayang-bayang Strappa, kenapa ragu? Ingat Noelleen, masa depan kamu masih panjang. Jangan cuma gara-gara Strappa dan putusan pengadilan yang ngaco itu ....”
Belum habis kalimat Nicole, Noelleen sudah bergegas keluar laboratorium, meninggalkan sahabatnya ngoceh sendirian. Noelleen berjanji dalam hati, malam nanti dia dan Roger harus segera membuat keputusan. Tawaran posisi wakil presiden dari sebuah perusahaan bioteknologi terkemuka di California yang datang beberapa hari lalu rasanya sayang dilewatkan.
Sesampai di rumah, Roger menyambut baik keputusan Noelleen pindah ke California. Pasangan itu bahkan berencana menjual rumah besar mereka, menggantinya dengan bungalo di Del Mar, untuk kemudian menjalani kehidupan “normal” di California. Akankah Noelleen tenggelam pada aktivitas di kantor barunya dan bisa melepas bayang-bayang Strappa?
Disayang sejawat
Noelleen putri tunggal Sidney Greenwood, bukan orang sembarangan. Dia ilmuwan yang tak hanya disegani tapi juga dicintai teman-teman sejawat. “Tahun 60-an, walau masih kanak-kanak, Noelleen sudah mengutarakan niatnya tinggal di Amerika. Kata dia, Amerika itu surga buat ahli biokimia,” cerita Sidney bangga.
Selama di Amerika Serikat, Noelleen memang kerap membuat Sidney bangga, sebangga-bangganya. Selain punya keluarga bahagia dan karier bagus, Noelleen juga sempat memenangkan sejumlah penghargaan, bahkan diakui sebagai salah satu peneliti terkemuka bidang biokimia.
Berbekal kepintarannya, Noelleen langsung mendapat tempat istimewa dalam bidang analisis DNA, khususnya berkaitan dengan pengembangan forensik dan alat pencari jejak, sebuah “ilmu baru” saat itu. Di perusahaannya yang lama, Noelleen sempat ditunjuk menjadi senior executive. Sedangkan suaminya sukses membangun bisnis modifikasi mobil.
Noelleen juga dianggap sebagai perintis penggunaan DNA agar suatu saat bisa digunakan sebagai basis data kepolisian di seluruh dunia. Dengan basis data itu, polisi jadi makin gampang menekuk penjahat. Cukup mencocokkan DNA tersangka dengan fakta di tempat kejadian perkara, sang penjahat pun tak bisa mungkir. Sayangnya, saat itu (tahun 1985) teknologi DNA masih sangat rumit, sehingga tak banyak ahli yang menguasainya.
DNA forensik cita-cita Noelleen itu sering juga disebut sidik jari genetik, menggabungkan teknik pemisahan, penyusunan, serta kemampuan membaca keseluruhan rantai DNA, sehingga menunjukkan lusinan kesamaan. Kemampuan itu menjadikannya seribu kali lebih efektif dibandingkan dengan teknik sidik jari tradisional. “Aneh, di tangan Noelleen, masalah teknis seberat itu bisa jadi begitu ringan,” cerita Sidney soal pentingnya penelitian DNA buat umat manusia.
Puncak karier Noelleen tentu saja ketika dia menerima tawaran bekerja sebagai wakil presiden sebuah perusahaan biokimia di California. Pencapaian yang sayangnya dinodai trauma kejahatan Strappa. “Omong-omong, kamu sudah bisa melupakan orang gila itu, ‘kan?” suara Nicole dari balik gagang telepon, terdengar khawatir. “Maksudmu Strappa?” balas Noelleen. “La iya, siapa lagi?” sergah Nicole. Noelleen membayangkan, muka Nicole pasti sedang ditekuk, cemberut.
“Terus terang, enam bulan di sini aku merasa jauh lebih tenang, Nic,” jawab Noelleen akhirnya.
“Baguslah. Tapi aku kangen nih.”
“Makanya, jalan-jalan dong ke California. Jangan ngendon di rumah terus.”
Roger sekilas melirik Noelleen yang mulai ramai cekikikan di depan gagang telepon. Lelaki yang sangat mencintai istrinya itu maklum, jika sudah kopi darat dan kopi udara dengan sobat-sobat akrabnya, Noelleen kadang suka “lupa diri”. Namun, di lubuk hati yang paling dalam dia bersyukur, keceriaan yang beberapa bulan terakhir hilang dari istrinya, kini pelan-pelan mulai kembali lagi.
Jari luluh lantak
Sampai akhirnya, suatu hari di bulan Agustus 1985, Noelleen tidak masuk kantor. Para sejawatnya merasa heran plus khawatir. Soalnya selain jarang absen, Noelleen biasanya memberi kabar jika tak masuk kantor. Karena sampai siang belum ada berita keberadaan Noelleen, rekan-rekan kerjanya sepakat menghubungi Roger. “Kami sudah telepon ke rumah tapi tidak diangkat-angkat,” cerita staf Noelleen. “Aneh. Sama sekali tidak ada tanda-tanda dia sakit,” jelas Rogers tak kalah bingung.
Tak lama setelah berbicara di telepon, Roger memutuskan pulang. “Firasatku enggak enak. Kalau sakit, harusnya dia menelepon. Semoga Noelleen baik-baik saja,” harap Roger lebih pada dirinya sendiri.
Harapan yang akhirnya hanya tinggal harapan. Betapa shock dia, ketika menemukan istrinya telah terbujur kaku di halaman belakang. Tubuhnya penuh memar sedangkan di leher terlihat beberapa bekas cekikan. Noelleen yang periang dan belum genap berusia 35 tahun telah terbunuh secara mengenaskan.
Beberapa saat kemudian, polisi berdatangan. “Para tetangga bilang mereka melihat sebuah mobil sewaan berukuran kecil diparkir di seberang jalan pada saat pembunuhan. Tapi mereka sama sekali tak curiga karena tidak ada sesuatu yang mencolok dari pengendara maupun mobilnya,” sebut seorang detektif. “Tak ada yang tahu nomor polisinya?” tanya detektif lain. “Sampai saat ini belum ada yang tahu.”
Tim penyidik sendiri sempat bergidik saat melihat kondisi jari tangan korban yang nyaris luluh lantak terutama bagian di sekitar kuku. “Kelihatannya istri Anda melakukan perlawanan sengit sebelum dibunuh,” seorang detektif memberi tahu Roger. Dalam sekejap, petugas mengambil sampel serpihan kulit yang tertinggal di bawah kuku. Siapa tahu sebagian kulit itu milik pelaku.
Sayangnya polisi sendiri tak tahu apa yang bisa diperbuat dengan sampel itu. Bahkan para ahli biokimia di tempat Noelleen bekerja pun tak tahu harus bagaimana. Teknologi berbasis DNA yang dirintis Noelleen dan kawan-kawan saat itu masih sangat prematur. Polisi akhirnya hanya mengumpulkan barang-barang bukti itu, menyegelnya, lalu menyimpannya di tempat yang aman di ruang bawah tanah.
Apakah lelaki yang beberapa bulan terakhir ini menghantui Noelleen, Julio Strappa, kembali beraksi? Setidaknya begitulah yang dipikirkan polisi. Terbukti hanya dalam bilangan jam, polisi San Diego dan San Fransisco berhasil menemukan dan menahan Julio Strappa. Namun meski berada di sekitar San Diego pada saat kematian Noelleen, Strappa menyangkal terlibat dalam pembunuhan. Dia bahkan memiliki saksi yang menguatkan alibinya.
Di satu sisi polisi yakin, Strappalah pembunuh sejati Noelleen. Jika terbukti, lelaki sadis itu bisa dipenjara lebih dari 20 tahun. Namun di sisi lain tak ada saksi-saksi dan bukti forensik yang bisa digunakan untuk menyudutkan Strappa. Tampaknya, seperti kasus pencurian dengan kekerasan terhadap korban yang sama enam bulan lalu, kali ini pun Strappa bakal kembali bebas. Atau memang bukan Strappa pelakunya?
Pembunuhnya tak ditemukan
“Sepertinya pembunuh ditemukan Noelleen tidak akan pernah ditemukan. Sama seperti korban-korban pembunuhan lain yang tidak diketahui pelakunya,” keluh Sydney Greenwood.
“Tapi setidaknya kami sudah berusaha menjerat Strappa. Kami pun tidak akan pernah menutup kasus ini, Pak Sidney,” seru seorang detektif dari kantor kepolisian San Diego.
“Strappa? Orang itu hampir membuat saya gila.”
“Kami menyesal tidak dapat menuntutnya atas tuduhan pembunuhan. Tapi kami bisa memasukkan dia ke penjara atas pasal-pasal pencurian dan tindak kekerasan,” janji sang detektif.
Belakangan, setelah serangkaian persidangan tingkat banding, Strappa memang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara enam tahun. Namun, tiga tahun kemudian dia bebas, hidup tenang di San Fransisco, berkarier di bidang analisis keuangan.
“Sekali lagi, pembunuhnya tetap tak bisa ditemukan, ‘kan?” cecar Sidney. Si detektif cuma bisa membisu seribu bahasa. Sidney merasa Noelleen seharusnya mendapat keadilan yang lebih baik dari yang didapatnya sekarang. “Karena sepanjang hidupnya dia selalu berusaha menegakkan keadilan,” imbuh kakek yang kini berusia hampir 90 tahun itu. Komentar serupa datang dari Dan Kacian, rekan kerja Noelleen di Gen-Probe. “Dia perempuan luar biasa. Tidak adil bila dia tidak memperoleh keadilan.”
Bertahun-tahun Sidney, Kacian, dan sejumlah kerabat serta kolega Noelleen menyimpan tanda tanya besar tentang siapa sebenarnya pembunuh sang wanita cendekia itu. “Berbagai pikiran berkecamuk dalam benakku. Sempat terlintas mungkin Roger yang membunuh Noelleen. Bukankah 90% pembunuhan di lingkungan keluarga dilakukan oleh orang terdekat?” sebut Sidney.
Apalagi sebagai pengumpul materi, Noelleen bisa disebut sangat berhasil. “Tapi polisi yakin, pembunuh putriku adalah orang yang telah lama mengincar nyawanya. Niat orang jahat itu cuma satu, membunuh. Walaupun begitu, pikiran-pikiran dan teori-teori tentang siapa sebenarnya pembunuh Noelleen tetap menggangguku. Aku nyaris putus asa, karena tak tahu mana yang harus dipercaya.”
“Menuduh Roger sebagai pembunuh Noelleen sungguh sebuah ide gila. Roger sendiri akhirnya menikah kembali dan memiliki dua anak. Belakangan aku tahu selama beberapa tahun Roger sempat putus asa berat. Mungkin jauh lebih berat dari aku. Syukurlah akhirnya dia bisa membangun hidupnya kembali. Aku menganggap Roger sebagai korban lain dari kejahatan yang dilakukan pembunuh Noelleen.”
Tertunda 15 tahun
Hebatnya ketika sebagian besar penegak hukum, kerabat, dan teman sejawat Noelleen mulai putus asa, “Noelleen” sendiri ternyata tak pernah menyerah. Lima belas tahun kemudian, lewat detektif muda nan enerjik (perempuan pula), Laura Heilig, arwah Noelleen bak bangkit kembali menerangi kiprah para polisi. Saat sadar bahwa Noelleen tengah merintis penelitian tentang DNA di saat menjelang kematiannya, emosi Heilig tergerak. la menekuni arsip dan barang bukti kasus pembunuhan Noelleen.
“Wanita ini betul-betul luar biasa. Sebagai peneliti DNA, dia percaya tak ada kejahatan abadi di muka Bumi. Dia juga tahu, Strappa penjahat licik yang sulit ditangkap. Itu sebabnya, dengan sadar dia melakukan perlawanan agar tersedia cukup barang bukti untuk menggiring Strappa ke penjara. Dan yang paling penting, dia yakin suatu saat penelitian yang pernah dirintisnya akan membuahkan hasil. Meski untuk itu, butuh waktu belasan tahun. Hhughh,” Heilig melenguh sekeras lembu.
Tak lama kemudian, dia meraih gagang telepon dan menghubungi Sidney Greenwood.
“Apa kabar, Pak Greenwood?” sapa Heilig.
“Kabar baik. Ada kabar apa detektif? Maaf kalau saya lupa nama Anda. Maklum, selama 15 tahun banyak sekali polisi yang menelepon ke sini.”
“Saya Heilig, Pak.”
“Ooooh, detektif Heilig. Ada apa rupanya?”
“Saya berharap berita ini bisa sedikit melegakan hati Anda. Setelah membaca arsip-arsip Nyonya Noelleen yang selama bertahun-tahun tersimpan rapi di ruang bawah tanah, saya jadi merasa sangat mengenal putri Anda. Saya sangat mengaguminya. Dia telah merintis banyak penelitian tentang DNA. Dan saya rasa, di situlah letak petunjuknya. Putri Anda dengan cemerlang mengajari saya cara menangkap pembunuh keji yang telah merenggut nyawanya. Saya sebenarnya enggan bilang ini, tapi jujur saja, arwahnya seperti menginspirasi saya, Pak.”
“He-he-he. Nak, kadang saya pun merasakan dia belum benar-benar pergi meninggalkan kita.”
“Pak Sidney, saya yakin dengan sedikit pendekatan ilmiah, sampel organik yang dulu diambil dari jari dan kuku putri Anda bisa menjadi petunjuk penting.”
“Lewat proses pemisahan DNA?”
“Anda tahu juga?”
“Dulu Noelleen suka bercerita. Dia sangat mencintai DNA-nya.”
“Dan berkat proyeknya dulu, kini kita bisa melangkah lebih maju.”
Heilig menunggu reaksi lebih lanjut dari Sidney. Namun, tak terdengar suara apa pun di seberang sana. Kakek yang tinggal di rumah besar milik Nolleen itu tampaknya tengah jatuh dalam lamunan. Tanpa sadar, Heilig pun jadi ikut melamun. Polisi yang masih duduk di sekolah menengah ketika Noelleen terbunuh itu, seperti kebanyakan polisi generasi terkini San Diego, meyakini banyak kasus bisa dipecahkan dengan pendekatan science.
Barangkali itu sebabnya dia mengkhususkan diri pada kasus-kasus lawas yang dulu tak sempat terpecahkan. Misteri kematian Noelleen menjadi kasus lawas pertama di San Diego yang arsipnya dibuka kembali. Setelah beberapa pekan bekerja keras, polisi berhasil menelurkan profil atau skema DNA utuh, seraya menampilkan 15 tanda kesamaan dengan sampel DNA dari darah Julio Strappa.
Heilig tersenyum lebar. “Mari kita jemput pembunuh yang hilang itu di apartemennya. Noelleen telah menunggu 15 tahun untuk mendapat keadilan yang pernah kita janjikan. Kali ini, arwahnya akan menyaksikan sendiri, Strappa tak bisa lagi mengelak dari ancaman hukuman mati. Keadilan memang cuma soal waktu!” (Rahartati Bambang Haryo)
Baca Juga: Penyamaran Demi Scream
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567433/masa-lalu-terekam-di-kuku" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668184074000) } } [4]=> object(stdClass)#113 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517138" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#114 (9) { ["thumb_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/penyamaran-demi-screamjpg-20221009072533.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#115 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Charley mendapat tugas mencari jejak pencuri lukisan Scream karya Edvard Munch yang bernilai £ 37 juta, namun ternyata jejaknya tak mudah ditelusuri." ["section"]=> object(stdClass)#116 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/penyamaran-demi-screamjpg-20221009072533.jpg" ["title"]=> string(22) "Penyamaran Demi Scream" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 19:25:45" ["content"]=> string(31221) "
Intisari Plus - Charley mendapat tugas mencari jejak pencuri lukisan Scream. Masterpiece karya Edvard Munch itu bernilai £ 37 juta itu ternyata jejaknya tak mudah ditelusuri.
-------------------
Senin pagi di bulan Mei 1994 telepon di kantor saya berdering. Yang menelepon ternyata pimpinan saya, John Butler. Bicaranya tidak berbelit-belit, “Charley, kamu sudah dengar tentang perampokan Munch?”
Tentu saja saya sudah mendengar tentang perampokan itu. Edvard Munch, pelukis terkenal asal Norwegia yang hidup dari tahun 1863 sampai 1944, terkenal dengan lukisan “Scream”. Itu lo, lukisan yang menggambarkan orang sedang berteriak sambil memegang kedua pipinya, berdiri di dekat sebuah pagar dermaga. Lukisan ini ada sekitar 50 versi.
Sepertinya Munch sudah tahu bahwa lukisan ini akan menjadi karya masterpiece. Karena itu, ia mengopi dalam jumlah besar. Versi terbaik lukisan ini adalah karya pertama yang berukuran 91x74 cm, menggunakan kapur pastel di atas karton dalam bingkai emas. Nilainya £ 37 juta dan tergantung di galeri nasional di Oslo.
Tanggal 12 Februari 1994, lukisan itu dicuri dengan memecahkan kaca dan hanya berlangsung dalam waktu kurang dari semenit! Pencuri sebelumnya mematikan alarm gedung sehingga kehadirannya tidak terdeteksi. Lima belas menit kemudian baru polisi datang dan tidak menemukan barang bukti, kecuali tangga dan kartu pos dengan tulisan “Terima kasih atas penjagaan yang kurang ketat”.
Menjadi pegawai museum
Tentu saja saya mengetahui soal perampokan itu. Sebelum bertugas di kepolisian Eropa sekarang ini, saya adalah petugas penyelidik benda seni di Scotland Yard. Sejak itu saya tertarik dengan urusan pencurian benda seni. Umumnya orang tidak pernah tahu bahwa di balik pencurian karya-karya seni terkait bisnis internasional yang sangat besar. Karya-karya seni yang berhasil dicuri dapat dijadikan sebagai alat pembayaran untuk obat-obatan terlarang; dengan surat-surat palsu, karya-karya seni itu bisa digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit jutaan Pound sterling di bank.
Pencurian “Scream” bisa terjadi karena energi pemerintah sedang tercurah ke Olimpiade Musim Dingin Lillehammer. Dari penyidikan awal yang dipimpin oleh Inspektur Kepala Leif Lier diperoleh beberapa nama yang dicurigai sebagai pelaku. Pertama adalah aktivis antiaborsi yang menyedot perhatian selama Olimpiade. Pelaku lain yang dicurigai adalah Paul Enger, pencuri benda seni dan bekas pemain klub sepakbola Valerenga. Namun keduanya memiliki alibi kuat bahwa mereka bukan pelakunya. Lier kemudian menghubungi Scotland Yard, sampai akhirnya Kepala Detektif Inspektur John Butler menghubungi saya, Charles Hill.
“Apa yang Bapak inginkan dari saya?” saya juga tidak mau berbelit-belit.
“Temukan kembali lukisan itu,” perintah Butler.
“Bagaimana?”
“Informan di Oslo memiliki kontak ke para pencuri.”
“Siapa kontak itu?”
“Einar Tore Ulving. Pria kaya, punya kapal pesiar di Karibia, rumah di Laut Utara, serta dekat dengan orang-orang penting di Oslo. Kenal ‘kan dengan nama itu?”
Saya kenal nama itu. Setiap orang di dunia seni mengenalnya.
“Ada petunjuk tentang para pelakunya?” tanyaku.
“Ada beberapa orang yang dicurigai, tetapi belum ada bukti yang kuat.”
“Sudah tahu ada di mana lukisan itu?”
“Belum. Namun Ulving sepertinya memperoleh pesan bahwa para pencuri mau menghancurkan lukisan itu kalau kepolisian Norwegia turut campur terus. Atau kalau tebusannya kurang. Karena itu, kita harus mengambil alih kasus itu.”
“Baik, saya pikir-pikir dulu.”
“Lima belas menit, ya,” kata Butler.
“OK, lima belas menit,” jawab saya.
Tidak banyak waktu untuk memikirkan sebuah rencana merebut sebuah karya masterpiece senilai £ 37 juta. Akan tetapi, saya bukan seorang pemula dalam urusan ini. Saya tahu, komplotan itu menginginkan uang tebusan dari lukisan itu. Dengan pihak berwajib mereka tidak bersedia berunding, karena pasti mereka ditangkap. Jadi, mereka mencari orang yang memiliki uang dan bisa dipercaya.
Sebagai polisi saya tidak punya peluang untuk mendapatkan lukisan karya Munch itu. Bila saya ingin mendapatkannya, maka harus cari cara lain. Menyamar! Namun tentu harus yang meyakinkan. Saya lalu mengingat-ingat museum apa yang punya banyak uang sehingga bisa dipercaya jika saya ingin menambah koleksi. Ah, Museum Paul Getty di Los Angeles. Saya yakin, di benak pencuri jika mendengar nama Getty pasti akan teringat dengan uang yang banyak!
Selain itu, salah seorang direktur di Museum Getty, John Walsh, masih berutang budi pada Scotland Yard. Kami pernah membantunya dalam sebuah kasus lain. la pasti bersedia memperbantukan saya sebagai pegawai di museum itu.
Segera saya meraih gagang telepon. “Pak, saya membutuhkan kartu identitas lain.”
“Kali ini sebagai apa?”
“Pegawai di Museum Getty. Kartu nama, dokumen, kartu kepegawaian, kartu telepon, kartu kredit, paspor AS dengan nama Chris Roberts dan uang tunai £ 0,5 juta.”
“Itu sudah semua?” suara Butler terdengar sedikit tegang. Namun, saya cuek. Kalau menjadi bos di Scotland Yard harus mampu membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kalau tidak bisa, mundur saja dari jabatan.
Seminggu kemudian saya sudah memperoleh dokumen-dokumen palsu plus £ 500.000, pinjaman uang dari Bank of England.
Dihargai sangat murah
Pesawat saya mendarat sore hari tanggal 6 Mei 1994 di Oslo. Saya menyewa mobil Renault dan menuju ke Hotel Plaza di Sonja Henies Pass 3, lokasi tempat saya akan bertemu dengan Ulving. Sebuah hotel mahal. Kamar saya di suite lantai 14. Tanpa kesulitan saya check in di hotel itu dan menyebut nama palsu saya dengan agak keras. “Chris Roberts.” Orang-orang suruhan Ulving harus mengetahui bahwa saya sudah datang.
“Baik, Pak,” kata pelayan hotel di bagian resepsionis sambil menyerahkan kunci kamar hotel saya. Saya membalikkan badan dan tiba-tiba menjadi tegang dan kaget karena di lobi hotel banyak perwira kepolisian. Dua dari mereka ada yang saya kenal.
Sial! Kalau saja salah seorang dari mereka mengenali saya, terbukalah kedok saya. Saya menaikkan tinggi-tinggi kerah jaket biru putih yang saya kenakan. Gaya Amerika, seperti juga dasi dan sepatu saya.
“Boleh saya menelepon dulu?” pinta saya kepada pria di bagian resepsionis. la menunjukkan saya tempat telepon berada. Saya menekan nomor telepon Butler, yang sudah sejak dua hari lalu bermarkas di lantai 8 Hotel Plaza ini menyiapkan pusat satuan siaga. Sebuah kamar biasa, bukan suite seperti yang saya tinggali. Dibandingkan dengan saya ia tidak perlu membanggakan diri dengan uangnya di depan para gangster.
“Pak, di sini banyak sekali polisi berkeliaran,” bisik saya.
“Saya tahu. Ini ‘kan hari peringatan antinarkoba,” jawab Butler dengan tenang.
“Bagaimana kalau mereka mengenali saya?”
“Tunggu sebentar. Akan saya koordinasikan.”
Sepuluh menit kemudian ia menelepon saya kembali. Rasanya seperti menunggu selama 10 jam.
“Semua beres,” kata Butler, “Tidak ada dari mereka yang akan mengenalimu. Kami sudah melakukan briefing.” Walaupun begitu saya tetap berhati-hati ketika menuju bar di lantai paling atas. Dari balik kaca-kaca jendela saya dapat memandangi lampu-lampu Kota Oslo yang berkelap-kelip. Panorama begitu indah. Sayang saya tidak bisa menikmatinya berlama-lama karena melihat kedatangan Ulving. Ia mengenakan baju mahal. Begitu juga dengan jam tangannya. Ia dikawal seorang bodyguard, namanya Jan Olson. Saya menganggapnya seperti seorang gangster. Hal semacam ini sudah saya ketahui. Belakangan ketahuan bahwa Olson pernah menjadi master Skandinavia cabang Thai-Boxing dan menjalani hukuman penjara karena kasus pembunuhan.
“Di hotel ini banyak polisi,” gumam Ulving.
Saya menyeruput seteguk teh. “Saya tahu. Tetapi, mereka di sini bukan karena kehadiran Anda. Ini hari peringatan antinarkoba.”
Ulving tampaknya mulai memercayai kata-kata saya. Hanya mata Olson ke sana kemari seolah belum yakin. Pandangannya tertumbuk pada orang berpostur raksasa yang duduk di meja tak jauh dari meja kami. Orang itu sedang asyik mengaduk cangkir tehnya tanpa mencolok. Gerak-geriknya memang tidak mencolok, tapi posturnya tidak bisa berbohong. Sid Walker tingginya 2 m, berat 120 kg, dan tubuhnya tidak berlemak. Melihatnya orang lantas berpikir bahwa tubuh orang ini sangat terlatih; dan memang begitu kenyataannya. Pakar senjata, pakar mobil, dan si “pemecah batu”. Begitu orang menjuluki Sid, salah satu polisi terbaik yang ditawarkan Scotland Yard.
“Siapa sih orang itu?” tanya Olson perlahan.
“Ia yang menjaga saya.”
Kemudian saya lambaikan tangan agar Sid ke meja kami. “Sid Walker,” saya mengenalkannya, “Orang Inggris, tinggal di Belanda.”
Olson menyeringai. Ia mengedipkan mata bersahabat pada Sid. Dua gangster di medan tugas!
Kami lalu memesan minuman. Ulving memesan gin tonic, Sid meminum bir Guiness, Olson asyik dengan koktail warna pink. Saya soda wodka, minuman kebiasaan saya setiap awal Paskah. Setelah mengobrol sejenak sampailah kami pada persoalan pokok.
“Saya siap membayar tunai,” kata saya.
“Tiga juta dua ratus lima puluh ribu,” kata Ulving.
“Ponsterling?”
“Krone!”
Saya tidak memercayai pendengaran saya: 3,25 juta krone Norwegia (Rp 3.350.000.000,-). Saya rasa itu harga yang sangat murah dibandingkan dengan harga lukisan yang Rp 629 miliar!
Saya pun bergegas menjawab, “Okay.”
Demi lukisan
Setelah itu kami pergi ke suite saya. Semua sudah disiapkan: surat-surat penting saya dari Museum Getty di meja hotel serta paspor palsu saya tersembunyi di filofax. Saya menyuruh Sid keluar dengan berdalih ingin mandi, lalu menyalakan shower dan membiarkan air menyala. Ulving dan Olson harus diberi waktu cukup agar yakin bahwa saya benar-benar Chris Roberts.
Ketika keluar dari kamar mandi, saya tahu bahwa rencana saya berjalan seperti yang diharapkan. Susunan dokumen-dokumen saya berubah, lampu berpindah. Tampaknya Olson mencari alat penyadap di kamar saya, sementara Ulving membolak-balik surat-surat penting saya.
Kedua orang itu buru-buru bersikap tanpa curiga melihat saya selesai mandi. Sebelum pergi mereka ingin melihat uang nya. Untuk itu kami sudah siap. Sid membawa Olson ke ruang tempat menyimpan uang. Sementara itu, Ulving dan saya minum segelas Canadian club, dari sebotol besar yang saya pesan. Alkohol membuat kemampuan berunding saya menjadi lebih ‘cling’.
Akhirnya Olson menelepon. la ingin berbicara dengan Ulving. Tampaknya, ia yakin dengan koper berisi uang itu. Setidaknya kami berjanji ketemu esok pagi.
Sebelum tidur saya menyuruh Sid untuk memindahkan koper uang tadi ke hotel lain secara tidak mencolok. Demi keamanan. Bila malam ini terjadi perampokan di hotel kami, bisa saja uang dari Bank of England itu ikut melayang! Mungkin Butler akan menuduh saya yang bukan-bukan.
Sekitar tengah malam telepon berdering.
“Ya?” kata saya tidak ramah.
“Di sini Olson.”
“Anda mau apa?”
“Saya ada di lobi. Kami mau mengirim barang itu.”
Dipikirnya saya gila? Tengah malam begini ia mau mengadakan perundingan semacam ini. Memangnya saya harus berjalan-jalan di sebuah hotel dengan beberapa juta krone! Tentu saja saya menolak dan membanting dengan keras gagang telepon. Telepon kembali berdering. Lagi-lagi saya banting. Begitu seterusnya. Main provokasi sebagai teror mental.
Ketika telepon berdering lagi, saya sudah tahu siapa yang menelepon.
“Olson,” ujar saya, “Saya akan turun ke bawah. Tetapi, tanpa uang itu. Kita bisa bicara. Tidak lebih.”
Lalu saya memakai sepatu tanpa tali buatan Amerika, menutupi piyama yang saya pakai dengan mantel, dan berjalan ke lobi di bawah. Tentu saja saya memberi tahu Butler dulu. Ia harus mengurus situasi di lobi yang penuh dengan petugas sipil penyelidik Norwegia, yang bisa mengenali saya. Olson tentu sudah memperhatikan hal itu dan serta-merta mengajak saya ke sebuah mobil Mercedes. Di situ Ulving telah menunggu di balik kemudi. Hal ini terasa sedikit aneh buat saya. Saya duduk di kursi belakang, namun pintu tetap saya biarkan terbuka. Sebelah kaki saya berada di luar. Olson memandang saya seperti seorang psikopat.
“Lagi-lagi banyak polisi!” gumamnya.
“Tentu saja,” kata saya, “Di sini ‘kan sedang ada kongres kepolisian.”
“Tetapi, mereka para petugas penyelidik sipil!”
Sepanjang saya tugas, pengamanan kali ini memang tidak profesional. Mereka sepertinya begitu kikuk. Namun kalau saya sekarang kesal, tidak ada gunanya juga. Jadi, saya tenang-tenang saja.
“Logis saja,” kata saya, “Mereka menjaga agar tidak terusik oleh ulah pecandu narkoba.”
Tampaknya Olson percaya. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
“Kaki Anda!”
“Apa salahnya dengan kaki saya?” tanya saya berlagak pilon.
“Kok ada di luar. Masuk saja!”
“Tunggu,” kata saya. “Saya dalam posisi seperti ini karena jaga-jaga siapa tahu Ulving tiba-tiba menjalankan mobil tanpa bilang-bilang ke saya. Dengan posisi seperti ini, saya bisa dengan cepat berguling dan kabur, tanpa kalian ketahui bahwa saya tidak bersama kalian lagi. Mengerti?”
Saya berhasil melewati ujian yang berat. Tampaknya Olson percaya. “Okay, cuma tanya saja kok,” katanya. “Besok saya menjemput Anda.”
Di kamar hotel saya merasa sulit tidur. Bukannya karena saya dihinggapi perasaan bersalah. Namun, sebagai polisi tetap muncul ketakutan jika saya harus berhadapan dengan gangster seperti Ulving dan Olson. Tindakan mereka kejam dan serba tidak terduga. Sebenarnya bisa saja saya meringkus mereka sebab sudah cukup bukti ke arah situ. Tetapi, taruhannya kami takkan pernah mendapatkan kembali lukisan “Scream”. Sebuah karya masterpiece dari sejarah seni yang besar akan tetap hilang, mungkin untuk waktu yang lama, atau mungkin juga untuk selamanya.
Bisa saja komplotan Ulving dan Olson dibekuk. Namun kerugian seni yang tak ternilai harganya bagi kemanusiaan akan terjadi. Karena terdesak, dengan gampang lukisan itu dihancurkan. Toh bagi mereka yang penting nominal uang di balik lukisan, bukan soal seni lukisan itu sendiri. Maka, saya pun memutuskan untuk menyelamatkan benda seni itu daripada meringkus gangster.
Keesokan paginya Olson datang sendirian. Kami harus menemui Ulving di sebuah restoran di pinggir jalan bebas hambatan. Sid mengemudikan Renault. Saya duduk di sebelahnya, Olson di belakang.
Sid melirik saya. “Yo, kita alihkan perhatiannya!” begitu maksudnya. Saya membungkukkan badan ke depan, melihat ke kaca spion samping, mengernyitkan dahi, melihat sekali lagi, dengan lebih jelas. Kemudian saya menengok ke arah Olson.
“Apakah kita sedang dibuntuti?”
Olson menengok ke belakang, memperhatikan jalanan. “Saya tidak tahu.” la tampak tidak tenang.
“Kita lihat saja,” kata saya. Lalu saya katakan pada Sid, “Kabur!”
Itu yang ditunggu-tunggu Sid. la salah seorang pengemudi terbaik kami di Scotland Yard. Bila ada orang yang bisa mengecoh mobil pembuntut, Sid-lah orangnya. la tancap gas, saya memasang tali pengaman. Sid menyetir kencang dengan mengambil bahu jalan, dan saat ada kesempatan langsung membelokkan kemudi untuk masuk ke jalur utama meninggalkan decitan bunyi.
Dari ujung mata saya melihat Olson buru-buru meraih tali pengaman. Sid berhenti di pelataran parkir sebuah gedung, naik ke pelataran bagian atas, turun, dan keluar lagi. la mengerem dan tancap gas. Rencana yang sempurna. Kami sulit untuk menahan senyum. Tentu saja tidak ada orang yang membuntuti kami, tetapi Olson sangat ketakutan. la menganggap kami pria-pria tangguh. Tampaknya, untuk pembicaraan selanjutnya tidak sulit.
Benar asli
Ulving sudah menunggu kami di restoran di pinggir jalan bebas hambatan. Kali ini tidak di mobil Mercedes yang digunakan semalam, melainkan Coupe. Kami berunding dan akhirnya sepakat: saya dan Ulving mengambil lukisan, sementara Sid dan Olson kembali ke Hotel Plaza. Bila penyerahan lukisan beres, Sid akan memberikan uang itu pada Olson.
Saya duduk meringkuk di samping Ulving di dalam Mercedes. la mengendarai mobil itu ke arah selatan di persimpangan laut yang menjorok dalam ke daratan Oslo. Ulving mengemudi dengan sangat cepat. Saya buru-buru memasang tali pengaman. Wah, seperti membalaskan dendam Olson yang ketakutan di kursi belakang saat Sid menunjukkan keahliannya tadi.
“Anda takut?” tanyanya mengejek. Saya tidak menjawab.
Kira-kira 40 km kemudian, Ulving membelokkan mobilnya dan tak lama kemudian kami berhenti di depan sebuah rumah indah di tepi Pantai Asgard. Pantai ini merupakan teluk yang sangat menjorok ke daratan. Lebih mirip kanal. Dari laut rumah ini tidak terlihat sebab tertutup oleh hutan kecil.
“Rumah musim panas saya,” Ulving mencoba membuyarkan keheranan saya.
la membuka pintu dan menyilakan saya ke ruang duduk. Selama musim dingin rumah ini tidak digunakan sehingga seluruh perabotan ditutupi dengan kain putih. Ulving segera menuju ke dapur. Karpet sederhana menutupi lantainya. Ulving menarik karpet itu dan memindahkannya ke samping ruangan. Ternyata ada sebuah pintu tersembunyi menuju ke ruang bawah tanah.
“Lukisan itu ada di bawah sana,” kata Ulving sambil menunjuk ke lubang gelap, “Anda bisa mengambilnya sendiri.”
“Maaf,” jawab saya, “Anda tidak bermaksud serius ‘kan, saya harus turun ke bawah sana? Anda dong yang harus melakukannya.”
Ulving membuka pintu di lantai itu, menghilang di kegelapan. Saya mendengar suara gemerisik. Lalu, Ulving muncul lagi. Dengan satu tangan ia menarik dirinya melalui lubang pintu di lantai, sementara tangan yang satunya memegang erat sebuah benda datar, yang ditutupi kain warna biru.
Saya menahan napas. Apakah itu benar-benar lukisan “Scream” karya Munch? Apakah di balik kain biru itu tersembunyi salah satu lukisan ekspresionistis dari sejarah seni? Sebuah masterpiece dengan harga tak ternilai? Ulving membawa lukisan itu ke ruang duduk, meletakkannya di sebuah meja bertaplak putih, membuka kain biru. Saya tidak tertarik dengan gambar lukisannya. Saya langsung membalikkan kanvasnya dan melihat bagian belakang lukisan: sebuah gambar yang belum selesai, tercantum angka tahun 1893 dan noda akibat tetesan lilin.
Saya tidak perlu melihat lukisan untuk melihat keasliannya. Noda lilin menjadi bukti. Di hadapan saya ini memang lukisan “Scream” yang asli. Munch telah merampungkan lukisannya di bawah terangnya cahaya lilin. Ketika ia meniup lilin itu, cairan lilin menyiprat ke bagian belakang kanvas karton lukisannya. Sebuah tanda yang tidak bisa dipertukarkan. Walaupun begitu, untuk meredakan ketegangan, saya pun membalik karya itu.
Sesosok manusia - tak jelas jenis kelaminnya dengan mulut ternganga - menyodorkan sebuah gambar kekecewaan dan derita yang mendalam. Saya jadi merinding. Kami membungkus kembali lukisan itu dengan kain biru. Dengan hati-hati saya duduk di jok belakang mobil. Lukisan itu bisa saja rusak, karena mobil yang kami naiki sangat sempit. Kemudian Ulving membawa saya ke sebuah hotel di tepi Pantai Asgard. Di sana ia juga sebagai pemiliknya. Jantung saya berdebar sedemikian keras.
Permainan ini harus segera dihentikan. Namun bagaimana caranya? Terus terang saya tidak bersenjata sebab peran yang saya bawakan tidak mengizinkan saya bersenjata.
Keributan soal uang
Sementara saya menyewa kamar di lantai satu, Ulving menyetir mobilnya ke gerbang belakang. Dengan demikian kami tidak perlu harus membawa lukisan itu melewati lobi hotel. Saya menyetujui rencana ini, karena saya tidak punya pilihan lain. Ulving sendirian dengan lukisan itu selama satu menit. Terlintas di benak saya, bagaimana kalau ia kabur? Kekhawatiran yang berlebihan sebab tak seberapa lama Ulving muncul dari gerbang belakang. Ia menyerahkan “Scream” pada saya, yang kemudian saya bawa ke kamar dengan hati-hati.
Saya masih berdebar-debar menunggu kejadian selanjutnya. Mengapa Ulving begitu percaya bahwa saya takkan melarikan lukisan itu? Saya jadi besar kepala mengingat penyamaran sebagai Chris Roberts dari Museum Getty ternyata sangat manjur. Langkah pertama menyelamatkan lukisan itu sudah terlaksana. Sekarang Sid harus menyerahkan uang tebusan pada Olson di Hotel Plaza atau polisi Norwegia yang meringkus para pelaku. Sebelum itu saya tidak bisa meninggalkan hotel ini dengan lukisan di tangan. Ulving tentu tidak bodoh membiarkan begitu saja. Pasti ia sudah menyuruh anak buahnya untuk mengawasi gerak-gerik saya. Saya membuka lagi kain biru. Dengan sangat pasti saya memandangi lukisan itu, sebelum saya menelepon Butler.
“Lukisan itu sudah ada di tangan saya,” lapor saya singkat.
Saya mengambil minuman di minibar. Dengan hati-hati saya tuang isi botol ke sebuah gelas dan meminumnya sekaligus. Lalu saya meraih gagang telepon dan memutar nomor ke Amerika Serikat.
“Museum Getty, how can I help you?”
Bicara saya singkat. “Nama saya Chris Roberts. Tolong beri tahu bos Anda, lukisan Munch sudah ada pada saya.”
Sesaat kemudian pihak kepolisian Norwegia sudah ada di depan pintu. Lima tersangka ditangkap, jelas mereka, di antaranya Ulving dan Olson. Saya menyerahkan lukisan itu ke polisi dan meninggalkan hotel. Ah, akhirnya perasaan saya plong. Saya segera menghirup udara segar. Sejam lamanya saya mondar- mandir di depan dermaga. Saya menghirup dalam-dalam udara pantai yang beraroma asin yang berembus dari persimpangan laut yang menjorok dalam ke daratan. Saya merasa ketegangan perlahan-lahan terangkat dari diri saya. Lalu saya kembali ke hotel. Di sana mobil polisi sudah menunggu untuk membawa saya kembali ke Oslo.
Sesampainya di Oslo saya mengetahui bahwa pada saat penyerahan uang terjadi keributan. Sid duduk di kamarnya - dengan Olson dan salah seorang dari gangster. Tiba-tiba pintu terbuka, dan dua polisi Norwegia berdiri di depan pintu dengan koper di tangan. Itu menyimpang dari rencana. Tetapi, Sid bergerak cepat. “Sial, polisi!” serunya. “Keluar!” Olson dan pria gangster itu kabur terbirit-birit lewat tangga hotel dan berhasil diringkus di bawah. Sid bisa mendapatkan kembali uang pinjaman dari Bank of England. Kami berhasil menyelamatkan lukisan dan uang itu. Pasti Butler akan senang.
Tiga dari lima tersangka dijatuhi hukuman. Olson dan Ulving tidak termasuk di dalamnya karena di Norwegia polisi tidak boleh melakukan penyelidikan dengan nama samaran seperti yang telah saya lakukan. Dalam proses pengadilan, hal itu tidak berlaku sebagai bukti. Tetapi, peduli amat. Bagi saya bukan soal para pelakunya, yang penting menyelamatkan karya besar kemanusiaan.
Saya mentraktir Sid minum-minum. la memilih Guinnes dan saya memesan soda wodka. Kali ini saya meminta ia memanggil saya Charley, bukan Chris. Sesuai keinginannya, karena alasan keamanan, saya tidak akan membocorkan nama aslinya.
Beberapa tahun lalu Sid Walker resminya sudah meninggal: polisi yang menggunakan nama ini tidak lagi bekerja di Scotland Yard. Saya juga sudah keluar dari dinas kepolisian dan sekarang bekerja sebagai penyelidik benda seni. Tanggal 22 Agustus 2004 terjadi lagi kasus pencurian terhadap lukisan versi “Scream” karya Edvard Munch. Ini salah satu kasus terbaru saya. Di siang bolong kedua pelakunya menyerbu gedung pameran Museum Edvard-Munch di Oslo. Mereka memakai topeng dan menodongkan pistol ke arah para pengunjung museum dan mencopot lukisan itu dari dinding. Sebagai pecinta seni saya berniat mengembalikan lukisan “Scream” ini.
Saya yakin karena saya sudah tahu caranya! (Marina)
Baca Juga: Senjatanya Dua Martil
" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517138/penyamaran-demi-scream" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343545000) } } [5]=> object(stdClass)#117 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3457050" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#118 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/senjatanya-dua-martil_justin-bau-20220905032847.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#119 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Bertubuh kecil dan pendiam, Rio ternyata seorang buronan berdarah dingin. Dalam operasi pencurian mobil, ia selalu membunuh korban dengan martil." ["section"]=> object(stdClass)#120 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/senjatanya-dua-martil_justin-bau-20220905032847.jpg" ["title"]=> string(21) "Senjatanya Dua Martil" ["published_date"]=> string(19) "2022-09-05 15:29:06" ["content"]=> string(25136) "
Intisari Plus - Bertubuh kecil dan pendiam, Rio ternyata seorang buronan berdarah dingin. Dalam operasi pencurian mobil, ia selalu membunuh korban dengan martil.
-------------------
Jumat, 12 Januari 2001, suasana di Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah, tampak seperti hari-hari biasa. Belum ada keramaian terlihat di daerah wisata berhawa sejuk itu. Pada akhir pekan, biasanya wisatawan lokal dari Banyumas dan kawasan lain di Jawa Tengah, banyak melewatkan waktu untuk tetirah atau sekadar menikmati pemandangan kaki gunung Slamet itu.
Begitu pula suasana di Hotel Rosenda, salah satu hotel di tengah kawasan wisata, siang itu juga tak ada yang terlihat mencolok. Belum banyak tamu memenuhi salah satu hotel terbaik yang terletak 20 km dari kota Purwokerto itu.
Di kamar 135 Hotel Rosenda, dua orang sedang berbincang santai. Rio, pengusaha asal Jakarta, berbicara panjang lebar tentang minatnya menanamkan modal di bisnis perumahan di Baturaden. Menurut Rio, prospeknya cerah. Di hadapannya, Jeje Suraji, mendengar saja sambil sesekali mengamati gambar contoh-contoh rumah yang berserak di meja.
Jeje sebenarnya tidak terlalu berminat. Kedatangannya semata untuk menyopiri mobilnya yang disewa Rio untuk berkeliling. Selain menjadi pengacara, lelaki 40 tahun itu juga menjalankan bisnis persewaan mobil. Hari itu ia bahkan sempat menemani Rio berkeliling untuk menunjukkan lokasi-lokasi di sekitar Baturaden yang kira-kira potensial didirikan kawasan perumahan. Di kamar itulah pembicaraan dilanjutkan.
Obrolan sebenarnya juga tidak terlalu serius, karena suara dari televisi yang menyala juga cukup keras. Jeje meladeni pembicaraan itu semata untuk menyenangkan hati kliennya saja. Matanya sesekali melirik ke arah televisi sambil menyimak Rio yang berjalan mondar-mandir di kamar.
Kepala langsung remuk
Tiba-tiba saja, bug! Jeje merasakan sebuah pukulan benda keras menghantam kepalanya. Begitu keras, hingga darah mengucur dan membuat ia tak sadarkan diri. Pukulan yang dilakukan berkali-kali oleh Rio itu menggunakan dua martil, satu di tangan kiri, satunya di kanan.
Dalam beberapa pukulan saja, kepala Jeje sudah remuk. Darah dan isi kepala berhamburan. Percikannya mengenai kursi, meja, kasur, bahkan sampai ke dinding.
Tubuh ayah tiga anak yang sudah berusia belasan tahun itu akhirnya tergolek bersimbah darah di kursi. Melihat itu, Rio langsung membuang martil di lantai. Ia meraih selimut dan sprei kasur untuk mengelap tangannya yang belepotan darah, lalu kain yang merah basah itu digunakan untuk menutupi tubuh korbannya. Merasa kurang bersih, Rio menuju kamar mandi dan cuci tangan di wastafel.
Tok, tok, tok! “Pak Jeje! Pak Jeje!”
Terdengar pelayan hotel memanggil-manggil sambil mengetuk pintu kamar. Suara yang sempat membuat Rio terkejut. “Sebentar, saya masih ngobrol-ngobrol,” katanya menjawab sambil terus membersihkan tangannya. Mendengarnya, pelayan segera meninggalkan kamar dan berjalan ke arah depan hotel.
Merasa situasi sudah aman, Rio bergegas. la mengemasi barang-barangnya yang sebenarnya tidak terlalu banyak, lalu mencari kunci mobil di saku celana Jeje. Sebelum keluar kamar, sempat diliriknya arloji milik korban, dilepas dan ditaruhnya dalam saku celananya.
Di luar kamar, Rio mencoba bersikap tenang dan langsung melangkah menuju ke depan hotel. Tapi rupanya beberapa langkah menjelang lobi, seorang pelayan yang mengenalinya langsung menyapa, “Mana Pak Jeje, Pak?”
“Oh, dia di kolam renang,” jawab Rio sekenanya. Seolah tanpa mau berpanjang lebar ia terus melangkah ke depan hotel, arah parkir mobil.
Jawaban itu mengagetkan pelayan. Masalahnya, hotel tempatnya bekerja tidak ada kolam renang. Apalagi Rio terlihat agak terburu-buru menuju mobil Toyota Kijang seri LGX bernomor polisi R 7078 EA. Pelayan itu juga merasa janggal, karena tidak biasanya mobil milik Jeje dilepas begitu saja kepada penyewanya.
“Pak, Pak, tunggu Pak!” Pelayan itu berteriak agak keras, untuk menghentikan Rio sambil berusaha menarik perhatian sekitarnya. Ia langsung menyusul Rio ke parkiran.
Dikira maling
Teriakan itu rupanya membuat Rio panik. Ia berusaha memasuki mobil. Tapi para petugas keamanan hotel yang sudah curiga ada ketidakberesan sudah lebih sigap dan memburunya. Rio terpancing melawan mereka dengan kekerasan. la mengamuk membabi-buta, menyerang petugas satpam. Timbul kegaduhan di ruang parkir, yang segera menarik banyak orang di sekitar hotel untuk menengok.
Melihat ada seseorang yang berkelahi dengan satpam, lebih banyak orang yang akhirnya berdatangan dan membantu. Dalam waktu singkat, Rio berhasil diringkus. Semula orang-orang mengira yang dibekuk adalah maling, sehingga Rio langsung dikeroyok tanpa ampun. Wajahnya babak belur.
Rio akhirnya. diamankan dengan cara diikat di pos keamanan. Tapi ia tetap berusaha kabur dengan meronta-ronta. Seluruh petugas bersiaga sekaligus emosi, karena tidak setiap hari mereka menghadapi kondisi itu.
Sejumlah pegawai hotel segera tersadar, mereka tidak melihat Jeje, yang memang mereka kenal baik karena biasa menyewakan mobil kepada tamu-tamu hotel. “Pak Jeje mana? Cari Pak Jeje.” Beberapa orang bergegas berlari menuju Kamar 135. Pintu dibuka dengan kunci cadangan.
Saat dibuka, pemandangan di dalam sungguh mengenaskan. Tubuh Jeje ditemukan terduduk di kursi hotel dalam keadaan tidak bernyawa lagi, ditutupi seprai dan selimut. Kepala bagian belakang terlihat hancur. Darah berceceran di lantai dan dinding. Para pegawai hotel merasa tegang melihat kenyataan itu terjadi di tempat mereka bekerja.
Tak lama Polisi yang dikontak, segera datang dan memeriksa TKP. Melihat kejahatannya serius, dengan korban tewas bersimbah darah, mereka segera mengontak kantor di Polsek Baturaden untuk menurunkan tim yang lebih lengkap. Hari itu Baturaden yang sehari-harinya adem ayem, mendadak gempar.
Pergaulan preman
Semula para petugas kepolisian di Polsek Baturaden tidak pernah menyangka jika tersangka pelaku pembunuhan di wilayah mereka adalah Rio alias Toni, buronan yang dicari setidaknya oleh tiga Kepolisian Daerah: Polda Jawa Barat, Polda Jawa Timur, dan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Segera setelah mereka mendapat kepastian tentang status Rio, proses hukum selanjutnya dilakukan di Polres Banyumas.
Tak banyak yang bisa diketahui dari Rio Alex Bullo, kelahiran Sleman 2 Mei 1978. Lelaki bertubuh kecil ini dikenal pendiam dan tertutup. Sehari-hari ia dikenal tak banyak bicara, meski juga tidak terkesan menyeramkan bagi orang lain.
Walau lahir di Sleman, Yogyakarta, Rio bukan keturunan Jawa. Alex, nama tengahnya diambil dari nama ayahnya yang berdarah Maluku. Sedangkan Bullo, diambil dari marga ibunya yang berasal dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan.
Di lingkungan tempat tinggalnya, di kawasan Senen, Jakarta Pusat, juga tak banyak yang mengenal pribadi Rio. Asal-usulnya juga tidak jelas. Kepada keluarga istrinya, ia hanya bercerita kalau dirinya sudah merantau sejak usia delapan tahun. Dititipkan ke kakak sulungnya di Jakarta, pernah pula ikut kakaknya yang lain di Medan.
Pada usia 12, Rio terusir dari rumah, akibat konflik dengan orangtuanya. Kabarnya, Rio tidak mau mengikuti agama orangtuanya sehingga ayahnya marah dan tidak mengakuinya sebagai anak. Ia lalu hidup bersama ibu angkat, Ibu Ina, yang berjualan sayur di Pasar Senen.
Kawasan Pasar Senen di Jakarta, dikenal sebagai daerah rawan. Di sini terdapat stasiun kereta api, terminal bus, pusat perbelanjaan, pasar loak, dan permukiman padat di tepi rel. Tumbuh besar di kawasan semacam itu membuat tingkah laku Rio tidak terkendali.
Kabarnya Rio tetap bersekolah, malah pernah berkuliah di sebuah akademi bahasa asing. Tapi ia akhirnya bekerja sebagai pedagang, sopir taksi, berlanjut ke sebuah percetakan. Tempat bekerjanya yang terakhir itu rupanya merupakan tempat pembuatan surat-surat kendaraan palsu, seperti STNK dan BPKB. Suatu kali polisi menggerebek tempat itu yang membuatnya menganggur.
Dari pekerjaannya di percetakan, Rio berkenalan dengan jaringan pemalsu surat kendaraan, lalu beberapa waktu kemudian meningkat menjadi komplotan pencuri mobil. Akhirnya ia terjun sebagai pencuri dan berhasil menggasak sejumlah mobil di berbagai tempat di Jakarta, seperti di sekitar Bandara Soekarno-Hatta, daerah Daan Mogot dekat Studio Indosiar, juga di kawasan Senayan. Rio dikenal sebagai pencuri ulung. Dalam sehari pernah dua mobil “dipetiknya”.
Rio sempat tersandung masalah ketika bos penadah mobil curiannya melaporkan dirinya ke polisi lantaran melarikan mobil setorannya. Akibatnya ia tinggal setahun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Sekeluarnya dari LP, pekerjaan lamanya sebagai pencuri terpaksa dilanjutkan karena ia telanjur menerima uang muka dari aksi pencuriannya terdahulu. Selain itu, bisnis surat palsu kendaraan tetap berjalan, membuatnya harus berurusan dengan polisi sekali lagi.
Lazimnya kehidupan para kriminal, Rio juga akrab dengan dunia malam dan narkoba. Uang hasil kejahatannya juga banyak yang habis untuk sekadar berfoya-foya. Tapi gaya hidup itu mulai berubah perlahan-lahan saat ia memutuskan untuk berkeluarga.
Selalu berpindah kota
Tingkah laku Rio berbeda di mata keluarga dari istrinya. Rio bertemu Tuti Alawiyah tahun 1994 yang langsung dinikahinya. Kepada keluarga, ia hanya bercerita sudah dibuang orangtuanya yang kini juga tidak diketahui keberadaannya. Di mata mertuanya, Rio juga terlihat sangat sopan. Antara lain selalu mencium tangan saat hendak pergi ke luar rumah.
Rio juga begitu sayang terhadap ketiga anaknya, dua perempuan dan satu lelaki. Tuti mengaku, suaminya tidak pernah bercerita tentang pekerjaan yang sebenarnya. Hanya bilang kalau berdagang. Meski tidak hidup mewah, Rio selalu berusaha mencukupi kebutuhan mereka.
Namun di luar rumah, sikap Rio berbeda. Dalam catatan polisi, sebelum Jeje, setidaknya ia pernah tiga kali melakukan pembunuhan. Polisi juga telah menetapkannya sebagai buronan. Tapi keberadaannya selalu tidak diketahui karena selalu berpindah-pindah kota.
Rio selalu bergerak untuk menghindar dari kecurigaan polisi setempat. Namun modus kejahatannya selalu sama, yaitu awalnya berlagak seperti tamu hotel yang bermaksud menyewa kendaraan, tapi kemudian mobil dibawa kabur. Belakangan naluri kekejamannya muncul. Aksi kejahatan yang dibarengi dengan kekerasan berlangsung dalam rentang waktu September-November 2000.
Di Bandung Rio beraksi setelah terlebih dulu menginap di Hotel Naripan, lalu menggasak sedan Timor setelah terlebih dulu memukul sopirnya hingga tewas. Aksi berikutnya di Semarang, menginap di Hotel Adem Ayem, lalu menyikat mobil Panther berwarna abu-abu dan membunuh sopirnya. Kemudian di Surabaya ia menginap di Hotel Mirama dan membawa kabur sedan Mercy berwarna putih, lagi-lagi sopirnya ditemukan tewas.
Pernah juga Rio beraksi di Yogyakarta, dengan menginap di Hotel Ibis. Tapi aksi pembunuhannya gagal gara-gara saat hendak memukul, gagang martilnya terlepas. Sopirnya hanya terluka lalu kabur sambil kesakitan. Konon peristiwa itulah yang membuat Rio selalu membawa dua martil, satu buat cadangan sekaligus alat keduanya.
Dalam aksi kejamnya, Rio selalu memukul kepala korban, tepatnya di bagian belakang sebagai sasaran paling mematikan. Umumnya korban tewas akibat trauma benda keras. Belakangan media massa menjulukinya sebagai “Rio Martil” atau “Martil Maut”.
Kekejaman Rio dipadu juga dengan rumor tentang kesaktian yang didapat dari neneknya. Konon ia bisa melepas borgol. Soal benar-tidaknya, masyarakat yang menangkapnya di Baturaden bersaksi, “Badannya memang kecil, tapi tenaganya kuat sekali.” Tapi rumor yang telanjur bergulir di ruang tahanan ini cukup membuat nyali narapidana lain menjadi ciut.
Pranoto SH, pengacara Rio, tidak melihat sifat kejam pada kliennya. Ia hanya melihat Rio tidak banyak bicara. Tapi temperamennya tinggi. Ia sendiri mengaku jarang berhubungan dengan kliennya itu, terutama setelah Rio dipindahkan ke Pulau Nusakambangan.
Pernah suatu kali Pranoto bermaksud menemui Rio di Nusakambangan. Perjalanan cukup berat, harus mengurus perizinan, naik kapal, dan menempuh perjalanan ke LP. Tapi Rio malah tidak mau dijenguk. Kata petugas, Rio marah-marah karena petugas dianggap mengganggu tidur siangnya. “Dari situ saya menyimpulkan, dia tidak boleh tersinggung,” tutur pengacara yang juga pengajar di Universitas Jenderal Soedirman ini.
Hanya karena tersinggung
Persidangan atas terdakwa Rio Alex Bullo yang digelar di Pengadilan Negeri Banyumas berjalan lancar. Rio yang didampingi pengacara dari Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Jenderal Soedirman, tampak tenang dan pasrah menjalani setiap tahap persidangan. Tidak ada keluarganya yang hadir, mengingat jarak Jakarta - Purwokerto yang 445 km itu termasuk jauh.
Jaksa mendakwa Rio telah menganiaya hingga menyebabkan kematian Jeje Suraji. Tindakan itu juga dikategorikan sebagai pembunuhan berencana, karena Rio terbukti telah lebih dulu menyiapkan senjata dua buah martil. Kejahatannya ditambah lagi dengan usahanya merampas harta korban.
Di persidangan juga terungkap, Rio setidaknya sudah membunuh tiga orang di berbagai kota. Semua dilakukan dengan motif perampasan kendaraan milik korban. Kekejaman saat membunuh korban-korbannya, juga menjadi catatan tersendiri dalam persidangan.
Berdasar bukti-bukti itu, 14 Mei 2001, Rio divonis mati. Mendengar keputusan hakim, ia mengaku pasrah. “Saya bersyukur karena tidak mati saat sedang melakukan kejahatan. Tetapi mati dalam hukuman, mati dalam bertobat,” katanya kepada para wartawan sesaat setelah vonis dijatuhkan.
Meski begitu, upaya banding tetap dilakukan para pengacara. Sementara Rio terus menjalani hukumannya di LP Kedungpane, Semarang, sebelum akhirnya dipindahkan ke LP Permisan di Pulau Nusakambangan. LP yang terletak di sebuah pulau di selatan Cilacap ini terkenal sebagai tempat para narapidana yang menjalani hukuman berat atau hukuman mati.
Di LP Permisan, Rio bertingkah laku baik. Tak ada peristiwa menonjol, meski di kalangan napi namanya sudah terkenal sebagai pembunuh kejam. Selain para pembunuh, perampokan dengan kekerasan, serta koruptor, di LP itu ditempatkan juga terpidana mati Kasus Bom Bali 1, yakni Amrozi, Mukhlas, dan Abdul Aziz alias Imam Samudera.
Kelakuan Rio semakin bertambah baik, terutama setelah mendapat teman satu sel, Iwan Zulkarnain. Kabarnya Rio mudah akrab dengan Iwan lantaran merasa sama-sama berasal dari Sulawesi, walau latar belakang kejahatan mereka jauh berbeda. Bekas pegawai PT Pos Indonesia itu adalah terpidana kasus korupsi bilyet giro setoran pajak PT Semen Tonasa senilai Rp 42 miliar yang divonis 16 tahun di penjara.
Iwan pula yang menuntun Rio belajar membaca Alquran. Hidup di penjara memang membuat Rio banyak beribadah. Kitab suci Al-Qur.’an dimilikinya beberapa buah, selain ada pula buku-buku keagamaan lain. Kabarnya, ia tidak pernah lupa menjalankan salat wajib, termasuk salat malam.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. LP gempar setelah pada 2 Mei 2005, Iwan ditemukan tewas di kamar mandi sel. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tulang tengkorak retak dan kulit kepala sobek sepanjang 5 cm, lebar 0,5 cm. Di dinding dekat tempatnya jatuh bersimbah darah, ada noda-noda percikan darah. Tampak Iwan mati dibunuh seseorang dengan cara dibenturkan ke dinding. Tudingan langsung mengarah kepada Rio, karena saat itu sel hanya dihuni tiga orang.
Awalnya Rio berkelit. Polisi sampai harus merencanakan tes mendalam terhadap noda-noda darah di sarung milik Rio. Tapi dengan sejumlah pendekatan, akhirnya ia mengaku telah membunuh Iwan lantaran kesal.
Pada malam kejadian, sekitar pukul 21.30, Rio memanggil Iwan untuk mengajarinya mengaji. Tapi acara itu harus terganggu karena hujan membuat atap bocor dan airnya menggenangi lantai. Iwan lalu mengepel lantai, sementara Rio hanya duduk-duduk saja di dipan. Saat itulah Iwan sempat mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan Rio. Kata Iwan, Rio boleh saja ditakuti di luar, tapi di dalam LP tidak punya jalu.
Merasa tersinggung, Rio langsung menyerang. Iwan dibekap dengan sarung, mulutnya disumpal kain. Kepalanya dibenturkan ke dinding berkali-kali. Suasana sel sempat gaduh, tapi petugas saat itu mengaku tidak mendengarnya lantaran hujan turun sangat deras,
Setelah kegaduhan di sel semakin menjadi, petugas langsung berkoordinasi dan segera menyerbu masuk ke dalam sel nomor 6. Di sana Iwan sudah ditemukan tergeletak bersimbah darah. Di beberapa bagian kepala ada luka memar, kelopak mata dan dahi kiri bengkak, serta tiga giginya patah.
Setelah malam itu, Rio dipindah ke sel khusus untuk diisolasi dan untuk memperlancar pemeriksaan. Iwan adalah korban Rio yang kelima. Dan tragisnya, Rio melakukan pembunuhan itu tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-27!
Jadi sorotan media massa
Peristiwa pembunuhan di LP Permisan segera menjadi berita panas di media massa. Masyarakat kembali teringat akan Rio “Si Martil Maut” yang beraksi kembali, tapi kini dengan tangan kosong. Sistem pengamanan LP yang dinilai lemah, kelengahan petugas, sampai penanganan negara terhadap para narapidana di lembaga pemasyarakatan jadi sorotan di media massa.
Di media juga sempat terjadi polemik tentang kelanjutan proses hukum terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terpidana mati. Maklum, untuk memprosesnya bukan hal mudah, karena TKP di sebuah LP yang punya banyak keterbatasan. Menanggapinya, polisi berkomitmen untuk tetap melakukan penyidikan terhadap Rio.
Sementara itu, kelanjutan proses hukum terhadap kasus Rio sebelumnya masih terus bergulir. Namun hasilnya, mulai dari tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), Grasi, sampai Peninjauan Kembali (PK) tidak menguntungkan Rio. la tetap harus menghadapi regu tembak. 1 April 2008, surat penolakan PK dari MA diterima Kejaksaan Negeri Purwokerto. Artinya Rio harus segera dieksekusi dalam waktu dekat.
Situasi dunia hukum di Indonesia sendiri, pertengahan 2008 itu, kebetulan tidak berpihak bagi Rio. Ketika itu ada beberapa terpidana mati yang eksekusinya sudah jatuh tempo. Sorotan media begitu gencar, karena tahun itu saja Kejaksaan punya agenda menembak mati 8 orang terpidana. Jumlah yang tinggi, di tengah negara-negara di dunia yang umumnya telah menghapus hukuman mati demi alasan HAM.
Rio tak berkomentar tentang eksekusi yang akan dilaksanakan di Purwokerto, sesuai lokasi terjadinya tindak kejahatan. Situasi haru justru terjadi lantaran pihak keluarga, yakni istri dan tiga anaknya yang belum lagi berusia sepuluh tahun, sulit untuk sekadar menengok Rio. Berkali-kali permohonan untuk bertemu di Nusakambangan tidak mendapat izin.
Baru setelah Rio dipindahkan ke LP di Purwokerto, kurang dari sepekan menjelang eksekusi, keluarga kecil itu bisa berkumpul. Kesempatan itu pun terjadi untuk memenuhi satu dari tiga permintaan terakhir Rio. Kehadiran Tuti dan ketiga anaknya juga tak lepas dari usaha sebuah stasiun televisi yang juga berkepentingan soal pemberitaan terpidana mati itu.
Pertemuan selama sekitar empat setengah jam, pukul 17.00-21.30, pada 4 Agustus 2008, berlangsung mengharukan. Untuk terakhir kali, Rio bercengkerama dengan anak-anaknya yang sudah terasa semakin tumbuh besar sejak terakhir kali ia memeluk mereka.
Sebenarnya, sejak kasus hukum Rio bergulir, ia enggan melibatkan keluarganya. Kepada pengacaranya, ia selalu berpesan untuk tidak membawa-bawa mereka. Malah ia sebenarnya minta agar eksekusinya dirahasiakan saja dari keluarga. “Biar ini semua saya tanggung sendiri,” ujar pria yang baru sepuluh tahun menikah itu. Seusai pertemuan terakhir dengan suaminya, Tuti yang terlihat tak henti menangis tidak memberi komentar apa pun kepada puluhan wartawan yang menunggu.
Tiga permintaan terakhir
Wartawan mungkin adalah pihak yang paling resah menanti pelaksanaan eksekusi mati Rio. Seperti biasa, Kejaksaan tidak pernah mengumumkan secara pasti tentang waktu dan tempat pelaksanaannya. Berita-berita media massa rupanya ikut memancing masyarakat Purwokerto mendatangi LP dan berharap dapat melihat terpidana. Masyarakat juga menduga-duga tempat pelaksanaan eksekusi dan menunggu di sana.
Sementara itu di dalam LP, menjelang hari-hari terakhirnya, Rio memilih untuk menyendiri. Sifat tertutupnya mulai muncul. la tak mau ditemui oleh siapapun. Termasuk Pranoto, pengacaranya, yang bahkan mengaku tak tahu tentang kepastian waktu eksekusi karena tidak kunjung menerima surat dari Kejaksaan.
Pranoto berkisah, ada tiga permintaan terakhir Rio. Pertama, bertemu keluarganya. Kedua, ia meminta maaf kepada seluruh keluarga korban. Ketiga, ia ingin memberikan Al-Qur’an kepada keluarganya, termasuk satu buah diberikan juga kepada pengacaranya. Rio juga sempat berpesan agar baju-bajunya diberikan saja kepada napi yang membutuhkan.
Kematian akhirnya menjemput “Si Martil Maut”, 8 Agustus 2008, pukul 00.30. Rio dieksekusi oleh 12 orang anggota regu tembak di Desa Cipedok, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Karena sejak semula istri Rio sudah menyatakan tidak sanggup memakamkan jenazah suaminya lantaran ketiadaan uang, Kejaksaan yang akhirnya mengurus. Keluarga dari pihak Rio sendiri sudah tidak diketahui keberadaannya.
Sesaat setelah eksekusi, sejumlah media massa sempat memberitakan penolakan sejumlah warga di Kelurahan Berkoh, Purwokerto, jika Rio dimakamkan di wilayah mereka. Tapi akhirnya Kejaksaan berhasil mendapatkan tempat di TPU Sipoh, Desa Kejawar, Kecamatan Banyumas, di blok makam orang-orang tak dikenal. (Tjahjo W)
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553457050/senjatanya-dua-martil" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391746000) } } [6]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448561" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/orang-sial_regularguyjpg-20220831012552.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Ralph Nesbitt menemukan perusahaannya kebobolan senilai AS $100,000. Bernal yang selalu menghindar untuk merapatkan keamanan, mangkir dari tugasnya." ["section"]=> object(stdClass)#124 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/orang-sial_regularguyjpg-20220831012552.jpg" ["title"]=> string(10) "Orang Sial" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:26:32" ["content"]=> string(21168) "
Intisari Plus - Ralph Nesbitt menemukan perusahaannya kebobolan maling senilai AS $100,000. Bernal yang selalu menghindar untuk merapatkan keamanan, selalu mangkir dari tugasnya. Apa hubungannya?
-------------------
Langit belum terang benar ketika sirine meraung-raung dari atap Jebson Commercial Company. Mengira ada kebakaran, orang-orang yang sedang sarapan segera meninggalkan meja makan, yang bercukur janggut meninggalkan cermin, dan yang tidur melompat bangun. Semua berlarian ke luar mencari tanda-tanda asap di langit. Tapi, asap itu tidak ada di mana-mana. Sirene masih tetap meraung-raung ketika manusia membanjiri jalan-jalan untuk berlerot seperti semut ke arah Jebson Commercial Company.
Di sana mereka diberi tahu bahwa pintu-pintu ruang besi di perusahaan itu didapati dalam keadaan terpentang lebar. Sebuah pintu bahkan dibobol dengan gas karbit. Orang saling berpandangan. Tanpa berkata-kata pun mereka tahu bahwa gaji karyawan yang seharusnya dibayarkan hari ini, lenyap digondol perampok.
Jebson Commercial Company, perusahaan yang menghidupi Jebson City, biasanya membayar upah karyawan dua kali sebulan, yaitu pada tanggal 1 dan 15. Kemarin uang gaji dibawa dari Ivanhoe National Bank untuk disimpan di ruang besi itu.
Fank Bernal, manajer pabrik perusahaan itu, yang memerintah Jebson dengan tangan besi, tiba untuk menangani musibah. Tanggung jawab memang terletak di pundaknya.
Sementara itu Tom Munson, satpam yang bertugas jaga di malam hari, ditemukan di ruang belakang. la mendengkur dengan asyiknya. Munson mabuk berat. Alarm anti maling yang dipasang enam bulan yang lalu dilumpuhkan dengan alat elektronik. Padahal alat itu begitu canggih. Kalau perampokan ini dilakukan oleh suatu geng, pasti salah seorang anggotanya ahli listrik.
Ralph Nesbitt, akuntan perusahaan, tampak membisu saja. Setahun yang lalu, ketika Frank Bernal ditunjuk menjadi manajer, Nesbitt memberi tahu bahwa ruang besi mereka sudah tidak memadai lagi. Tapi Bernal menghindari pengeluaran uang dalam jumlah besar. la tidak mau membongkar ruang besi lama untuk menggantinya dengan yang lebih aman. la cuma memasang alarm antimaling dan menggaji seorang satpam khusus untuk berjaga di malam hari.
Kini ruang besi itu kebobolan AS $100,000 dan Bernal harus membuat laporan ke kantor pusat di Chicago.
Pembela orang sial
Tak seberapa jauh dari Jebson City, Perry Mason, pembela yang termasyhur itu, tampak mengendarai mobilnya di jalan pegunungan. Sudah lama ia ingin memancing di akhir minggu, tetapi selalu saja ada alangan. Sekali ini pun hampir saja ia tidak jadi berangkat, karena juri menunda keputusan mereka sampai tengah malam. Terpaksa lewat tengah malam Mason baru pergi menuju tempat memancing. Berganti pakaian pun ia tidak sempat. la masih mengenakan setelan jas yang dipakainya ke pengadilan. Pakaian untuk memancing, alat pancing, seperti bot, umpan dll., semua berada di bagasinya.
Semalaman Mason mengemudikan mobilnya. Pukul 08.30, tiba-tiba lampu senter dari arah depan menyilaukan matanya. Di tengah jalan dilihatnya papan bertuliskan: Berhenti - Polisi. Dekat tanda itu berdiri seorang pria bersenjata yang memakai lencana perak di dada, bersebelahan dengan seorang polisi bersepeda motor.
Ketika Mason menghentikan mobilnya, pria yang berlencana perak, yaitu wakil sheriff, berkata, "Tolong perlihatkan SIM Anda. Ada perampokan besar di Jebson City."
"Oh, ya?" kata Mason. "Sejam yang lalu saya lewat di sana. Kelihatannya tenang-tenang saja."
"Ke mana Anda pergi setelah meninggalkan Jebson City?"
"Berhenti untuk sarapan di restoran."
"Ketika melihat SIM Mason, serta merta wakil sheriff berseru, "Hai, Anda Perry Mason! Pembela kriminal yang terkenal itu."
"Bukan pembela kriminal," Mason mengoreksi. "Kadang-kadang saya memang membela orang yang dituduh melakukan kejahatan."
"Apa yang Anda lakukan di tempat ini?"
"Saya mau memancing."
"Memancing?" tanya wakil sheriff itu dengan curiga. "Kok Anda tidak mengenakan pakaian untuk memancing?"
"Selain akan memancing, saya juga mau tidur, tapi saya tidak mengenakan pakaian tidur," jawab Mason.
Polisi yang mendampingi wakil sheriff tertawa tergelak-gelak dan mempersilakan Mason berangkat, sementara wakil sheriff merengut.
Beberapa waktu kemudian, ketika wakil sheriff ditanya wartawan, ia menceritakan kehadiran Perry Mason di tempat itu. Malamnya ketika Mason menginterlokal sekretaris kepercayaannya, Della Street, wanita itu berkata, "Tadinya saya kira Anda pergi berlibur."
"Memang saya berlibur."
"Menurut koran, Anda menjadi pembela perampok Jebson Commercial Company."
"Boro-boro menjadi pembelanya. Siapa yang dituduh merampok pun saya tidak tahu."
Della bercerita bahwa yang berwajib telah menahan Harvey L. Corbin yang memang pernah berurusan dengan polisi. Sehari sebelumnya, atasan Corbin yang baru tahu bahwa karyawan mereka itu pernah dihukum karena melakukan kejahatan, meminta Corbin meninggalkan Jebson City.
Jebson Commercial Company memang sangat berkuasa di Jebson City, sebab mereka yang menghidupi kota itu. Merekalah pemilik rumah-rumah di sana yang mereka sewakan kepada karyawan. Istri Corbin dan putrinya boleh tetap tinggal di rumah yang mereka tempati sekarang, sampai Corbin mendapat pekerjaan dan tempat tinggal baru di kota lain.
Mason sama sekali tidak tertarik pada perkara itu, tetapi ia berkata bahwa dalam perjalanan pulang ia berniat singgah di Jebson City untuk mendehgarkan gosip.
"Jangan!" kata Della dengan khawatir. "Corbin ini mempunyai reputasi sebagai orang yang tertimpa sial. Padahal Anda 'kan tahu bagaimana perasaan Anda terhadap orang yang ketiban sial."
Perry Mason jadi curiga. "Kau telah dihubungi pihak Corbin ya, Della?" tanyanya.
"Tidak secara langsung," jawab Della. "Ny. Corbin menelepon. Katanya, setelah membaca di koran bahwa suaminya akan Anda dampingi, ia merasa lega sekali. la tidak tahu-menahu peri hal suaminya pernah melakukan kejahatan dan ia mengaku sangat mencintai suaminya. Saya mencoba menjelaskan bahwa apa yang ditulis di koran belum tentu benar."
Della kemudian menyambung, "Bos, Corbin jelas bersalah. Mereka menyita AS $ 40 dari istri Corbin, yaitu semua uang yang diserahkan oleh Corbin kepada istrinya dan ternyata uang itu merupakan sebagian uang curian dari Jebson Commercial Company."
"Saya akan menyetir sepanjang malam. Della, tolong telepon istri Corbin. Katakan kepadanya, besok saya sudah pulang."
Della mencoba mencegah, tetapi bosnya telah menutup pembicaraan.
Jelas bersalah
Paul Drake dari Drake Detective Agency yang biasa dimintai bantuan oleh Perry Mason, masuk ke kantor sang pembela.
"Payah, Perry," katanya. "Klienmu jelas bersalah." Drake baru saja kembali dari Jebson City untuk melakukan penyelidikan menurut permintaan Mason.
"Uang yang ia serahkan kepada istrinya merupakan sebagian dari uang yang lenyap dari lemari besi."
"Bagaimana mereka bisa tahu?"
Drake menarik buku catatan dari sakunya. "Saya memberi gambaran kepadamu perihal Jebson City, ya," katanya. "Manajer pabrik Jebson Commercial Company merupakan penguasa dari Jebson City. Jebson Company pemilik segalanya di sana."
"Bisnis kecil milik pribadi pun tidak ada?"
Drake menggeleng. "Kecuali kalau kita bisa menganggap mengumpulkan sampan sebagai bisnis," jawabnya. "Seorang kakek bernama George Addey tinggal sekitar 7 km dari sana, di sebuah lembah. la memelihara babi dan mengumpulkan sampah. Uangnya dikubur dalam kaleng-kaleng. Tidak ada bank dekat tempat itu. Paling dekat ada di Ivanhoe City."
"Eh, bagaimana tentang perampokan itu?"
"Satpam mereka, Munson, ternyata peminum. la biasa menenggak wiski mulai tengah malam. Katanya, supaya mata bisa melek. Tadinya sih, tidak ada orang yang tahu ia membawa wiski ke tempat tugas. Orang yang tahu rupanya menaruh obat tidur di termos wiski si satpam. Keruan saja ia mendengkur sampai tidak tahu maling datang."
"Bagaimana dengan Corbin?"
"Dia pernah dihukum karena merampok. Padahal, menurut peraturan perusahaan, bekas kriminal tidak boleh mereka pekerjakan. Ketika Frank Bernal, manajer Jebson Company, tahu, Corbin dipanggil pukul 20.00, yaitu malam sebelum perampokan terjadi, dan ia disuruh pindah. Bernal memperbolehkan istri Corbin dan anaknya untuk tetap tinggal di rumah yang mereka tempati sampai Corbin mendapat pekerjaan di kota lain. Corbin pergi pagi hari setelah menyerahkan uang yang ternyata merupakan sebagian uang rampokan.
"Bagaimana mereka bisa tahu uang itu sebagian dari hasil rampokan?"
"Tak tahulah saya, Perry. Tapi mereka bilang orang yang bernama Bernal itu pandai. la bisa membuktikan uang itu berasal dari lemari besi."
Drake berhenti berbicara, lalu melanjutkan," Bank yang paling dekat dari sana berada di Ivanhoe City. Untuk menaruh uang gaji yang dibayar dua kali sebulan. Ralph Nesbitt, akuntan, ingin membangun ruang besi yang baru, tetapi Bernal menolak mengeluarkan biaya sebesar itu. Jadi, Nesbitt dan Bernal sekarang dipanggil ke kantor pusat di Chicago untuk ditanyai. Ada beberapa direktur yang tidak menyukai Bernal. Mereka membongkar dokumen-dokumen dan menemukan laporan Nesbitt yang menunjukkan bahwa ruang besi dalam keadaan rawan. Bernal 'kan dulu tidak menanggapi laporan itu."
Dua lembar 20 dolaran
Hari Jumat minggu itu juga diadakan pemeriksaan pendahuluan di pengadilan. Walaupun Norman Flasher, jaksa penuntut dari Ivanhoe County, sudah berpengalaman, tetapi ia gugup juga berhadapan dengan Perry Mason yang tersohor. Sementara itu, Hakim Haswell bertekad tidak mau kalah pamor dari Mason.
Frank Bernal, yang dipanggil: sebagai saksi, diminta menjelaskan lokasi ruang besi, mengidentifikasi foto-foto dan menjelaskan mengapa ia tidak menuruti saran Nesbitt.
"Demi penghematan, tanpa mengabaikan keselamatan uang gaji karyawan, saya melakukan tiga hal," katanya. "Pertama, saya mengupah satpam khusus untuk jaga malam. Kedua, saya memasang alarm antimaling yang paling baik yang bisa dibeli manusia dan ketiga, saya meminta Ivanhoe Bank mencatat nomor seri dari setiap uang 20 dolaran yang akan dibayarkan kepada karyawan."
"Tidak semua uang dicatat nomor serinya karena terlalu makan waktu, cuma uang 20 dolaran saja," kata Bernal. la memiliki daftar nomor seri dari semua uang 20 dolaran yang akan dibayarkan sebagai gaji itu.
"Saya rasa penjagaan seperti ini lebih murah daripada membangun ruang besi baru," kata Bernal, seraya memandang dingin kepada Nesbitt.
Asisten kasir dari Ivanhoe Bank dipanggil dan diminta mengenali tulisan pada daftar. la membenarkan bahwa semua tulisan itu hasil tangannya sendiri. la juga membenarkan bahwa jumlah yang diambil dari bank setiap setengah bulan sekitar AS $ 100.000.
Mason memeriksa daftar nomor seri dari Ivanhoe Bank. Nomor itu ditulis dengan tangan dan tidak berurutan. Pada setiap lembar ada inisial dari sang asisten kasir. Kertas yang dipakai adalah kertas Ivanhoe National Bank.
Bernal membenarkan bahwa ia memanggil Corbin sore hari sebelum perampokan bank, untuk dipecat dan disuruh meninggalkan Jebson City dengan segera.
"Siapa yang membayar upahnya waktu itu?" tanya Mason.
"Pak Nesbitt, dari kas kecil yang ditaruh di ruang besi itu. Saat itu saya hadir."
Saat itu Corbin menerima dua lembar 20 dolaran. Uang yang diberikan itu tidak mungkin uang yang kini dijadikan barang bukti, kata Bernal, sebab uang yang jadi barang bukti pada saat itu masih berada dalam amplop tersegel, amplop dari bank. Sedangkan daftar uang 20 dolaran berada dalam laci terkunci di meja tulis Bernal.
Kemudian Nesbitt dipanggil.' la membenarkan bahwa ia hadir pada saat Bernal mengadakan pembicaraan dengan Corbin kira-kira pada pukul 20.00 dan ia membayar upah Corbin seperti yang diceritakan oleh Bernal. Saat itu uang gaji untuk karyawan lain berada dalam amplop yang disegel. Nesbitt-lah satu-satunya orang yang memegang kunci ruang besi.
Sorenya ia sendiri yang mengambil amplop berisi uang dari Ivanhoe Bank dan amplop berisi daftar nomor seri uang 20 dolaran. Amplop berisi uang ia letakkan di ruang besi yang kemudian dikuncinya, sedangkan amplop berisi daftar nomor seri uang 20 dolaran ia serahkan kepada Bernal. Dilihatnya Bernal menaruh benda itu di lacinya yang lalu dikunci.
Setelah mendengar keterangan Nesbitt, sidang ditunda sebentar, Paul Drake dan Della Street merasa sekali ini pasti Perry Mason tidak berhasil meloloskan orang yang dibelanya.
Saksi naik pitam
Ketika sidang dibuka kembali, Mason meminta agar George Addey, pengumpul sampan, dipanggil sebagai saksi. la meminta agar Addey membawa uang 20 dolaran yang diterimanya selama 60 hari terakhir ini.
Jaksa Flasher protes, tetapi Hakim Haswell mengabulkan permintaan Mason.
George Addey datang dengan dagu tidak dicukur dan dengan sejuta kesebalan terhadap Mason karena ketenangannya terganggu.
Dari tanya-jawab dengan Mason ia menyatakan di depan sidang bahwa ia sudah lebih dari lima tahun memegang kontrak mengumpulkan sampah dengan Jebson City. Katanya, ia tidak menyimpan uang di bank. Sesuai dengan permintaan, ia membawa uang yang diperolehnya selama 60 hari terakhir. Dengan jengkel uang itu ia lemparkan ke meja yang disediakan.
Mason meminta bantuan panitera pengadilan dan Della Street untuk mengecek tiga dari uang 20 dolaran yang diambil sembarangan dari meja itu. Ternyata, salah sebuah di antaranya, yang bernomor seri L 07579190/A, cocok dengan yang tercatat pada daftar dari Ivanhoe Bank di halaman delapan.
"Apa?!" seru jaksa kaget.
"Kalau begitu, saksi ini pun mesti dituntut Pak Jaksa," kata Mason.
Kini giliran Addey naik pitam. la mengayun-ayunkan tinjunya kepada Mason, seraya berteriak-teriak, "Kau pembohong busuk! Tak satu pun uang itu kuperoleh sebelum perampokan. Aku menguburnya dalam kaleng dan aku memberi tanggal pada kaleng-kaleng itu."
"Lha, ini daftarnya. Kau cek sendiri saja," jawab Mason.
Ruang sidang menjadi hening.
"Pak Mason, saya tidak paham," kata Hakim.
"Sebenarnya sederhana saja," kata Mason sambil membereskan barang-barangnya. "Saya minta sidang ditunda sejam untuk menyempatkan pengecekan nomor seri lembaran-lembaran 20 dolaran lain. Saya kira Pak Jaksa akan terkejut.
Della Street, Paul Drake, dan Mason pergi ke lobi Ivanhoe Hotel. Belum sempat Della meminta keterangan, mereka sudah didatangi Hakim Haswell dan Jaksa Flasher.
"Frank Bernal, ehm ... lenyap," kata Hakim.
"Sudah saya duga," kata Mason.
"Anda tahu ada kekeliruan tanggal di daftar itu?"
"Bukan kekeliruan, tetapi pemalsuan. Anda bisa membuktikannya kalau berhasil menemukan Bernal. la memakai uang perusahaan dan tahu akan dicopot. Untuk menutupi ketekorannya, ia memerlukan uang sekitar AS $ 100.000. Mestinya sudah lama ia merancang perampokan atau lebih tepat penggelapan ini. la tahu Corbin pernah dihukum.”
“la mengatur agar bank mau memberi daftar nomor seri uang 20 dolaran. la memasang alarm anti maling dan, tentu saja, ia tahu bagaimana melumpuhkannya. la mempekerjakan penjaga malam yang peminum. Lalu, ia tinggal menunggu saat yang tepat.
“la memecat Corbin dan membayarnya dengan uang yang dicatat di halaman 8 oleh bank, di daftar uang gaji dua minggu yang lalu. Lalu ia ambil halaman 8 dari daftar itu untuk ditukar dengan halaman 8 gaji dua minggu berikutnya. Penukaran itu ia lakukan sesaat sebelum memperlihatkan daftar nomor seri itu kepada polisi.”
"la membius satpam, membobol pintu ruang besi, dan mengambil uang."
"Bagaimana Anda bisa tahu semua ini?" tanya Hakim Haswell.
"Klien saya menyatakan ia menerima uang itu dari Nesbitt, yang mengambil dari kas kecil di ruang besi. la memberi keterangan yang sama kepada sheriff, tetapi cuma saya yang percaya kepadanya. Kadang-kadang berguna juga mempercayai kata-kata orang yang pernah berbuat salah."
"Dengan berasumsi bahwa klien saya tidak bersalah, mestinya Bernal atau Nesbitt-lah yang bersalah. Kemudian saya tahu bahwa cuma Bernal yang bisa memiliki daftar nomor seri uang yang dikeluarkan dua minggu sebelumnya."
"Sebagai atasan, gaji Bernal dibayar pada tanggal 1. la memeriksa nomor seri uang 20 dolaran dalam sampul gajinya dan mendapatkan nomor itu tertera di halaman 8. la cuma perlu mengambil uang 20 dolaran dari kas kecil, lalu menggantinya dengan uang 20 dolaran dari amplop gajinya. Setelah itu, dipanggilnya Corbin untuk dipecat."
"Saya sengaja memberi isyarat kepadanya bahwa saya tahu, dengan membawa Addey ke ruang sidang. Lalu saya minta sidang ditunda, supaya Bernal sempat kabur. Melarikan diri 'kan bisa diterima sebagai bukti ia bersalah. Jadi, Pak Jaksa tak perlu repot lagi kalau Bernal tertangkap nanti," kata Perry Mason. (Erie Stanley Gardner)
" ["url"]=> string(55) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448561/orang-sial" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952392000) } } [7]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400655" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/rahasia-luka-di-dada_sulis-mauli-20220803020641.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Seorang kolektor benda seni bernilai tinggi ternyata tidak mengasuransikan barang-barang miliknya. Sampai suatu kali terjadi pencurian dan dia tewas." ["section"]=> object(stdClass)#128 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/rahasia-luka-di-dada_sulis-mauli-20220803020641.jpg" ["title"]=> string(20) "Rahasia Luka di Dada" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:06:59" ["content"]=> string(35693) "
Intisari Plus - Seorang kolektor benda seni bernilai tinggi ternyata tidak mengasuransikan barang-barang miliknya. Sampai suatu kali terjadi pencurian dan dia tewas.
------------------
Setelah mengantar pulang kedua tamunya sampai di pintu, Marcus Hunt melangkah balik ke ruang makan. Saat itu jam dinding menunjukkan pukul 23.00 lewat sedikit. Di atas meja, tampak keping-keping kartu poker sudah tertumpuk rapi.
“Main lagi?" ajak Rolfe.
"Percuma," Derek Henderson menyahut. Suaranya seperti biasa mengesankan nada kecapaian. "Tidak seru kalau hanya bertiga.”
Ruang makan dengan dinding berlapis panel kayu itu sungguh luas. Bagian atasnya dihiasi lampu lilin, yang cahayanya menonjolkan keindahan lukisan-lukisan yang terpajang di dinding. Tak sembarang ruang makan dihiasi dua lukisan karya para maestro dunia, Rembrandt, dan sebuah lagi karya Van Dyck.
Perangkat rumah tangga, seperti satu set peralatan makan dari perak yang tertata rapi di atas meja bufet, di antaranya wadah buah dengan apel dan anggur, semakin membangkitkan suasana klasik. Di ruangan inilah biasanya Marcus Hunt bersama para karibnya bermain poker menghabiskan malam-malam panjang.
Di mata Arthur Rolfe, yang berprofesi sebagai pedagang benda seni, semua barang yang dilihatnya di rumah itu adalah aset yang tak ternilai harganya. Lain halnya dengan Derek Henderson, sang Kritikus Seni. Keberadaan karya seni di luar galeri resmi atau museum tanpa perlindungan ini suatu ketika pasti akan menimbulkan masalah. Bagaimana pula pandangan Marcus Hunt, sang Pemiliknya, sendiri? Entahlah.
Selain ketiga pria tersebut, di rumah itu terdapat pula seorang pria bernama Lewis Butler. Semula Butler sempat main bersama-sama mereka. Tetapi setelah selesai, ia lantas ke luar ruangan bersama Harriet Davis, keponakan sang tuan rumah.
Tuan rumah, Hunt, masih berdiri di samping meja. Perawakan pria ini sedang-sedang saja, agak kekar, wajah bulat dengan dahi agak nong-nong. la geli bercampur heran ketika memandang Henderson yang sedang sibuk mengatur kartu.
"Saya bingung melihat Anda."
"Memangnya kenapa?"
"Bagaimana Anda bisa menyukai permainan poker? Apa tidak terlalu, hm ... borjuis?"
"Oh, itu karena saya suka membaca karakter orang," sahut Henderson. "Tahu tidak, kartu poker adalah salah satu cara paling canggih?"
Hunt menyipitkan kedua matanya. "Masa? bisa membaca karakter saya, misalnya?"
"Dengan senang hati," sahut yang ditanya seraya langsung mengocok dan memainkan kartunya. Setelah kartu-kartu itu dibuka, ia sempat termenung dulu sebelum berbicara.
"Sekarang justru Anda yang membuat saya bingung. Boleh saya berterus terang? Semula saya mengira Anda masuk kategori manusia yang menyukai risiko. Ternyata tidak."
Markus Hunt tertawa lebar. Tapi Henderson bergeming.
“Anda banyak akal, tapi waspada. Sedemikian hati-hatinya, sehingga jangan-jangan seumur hidup belum sekalipun Anda mengambil risiko." la mengocok kartu lagi. "Lain lagi dengan Rolfe. Justru dia orang yang berani ambil risiko besar."
Arthur Rolfe menyimak, kaget-kaget senang. Tapi ia cuma senyum sambil menyahut, "Wah, kalau orang dengan profesi seperti saya berani nekat, bisa-bisa bisnisnya cuma bertahan semalam."
Ekor matanya menyapu seluruh ruangan, "Terus terang, saya akan sangat berhati-hati menaruh tiga lukisan maestro dengan nilai tak kurang dari tiga puluh ribu ponsterling. Tidak digantung di lantai satu begitu saja tanpa perlindungan memadai. Apalagi di teras ada jendela-jendela besar yang memungkinkan dimasuki orang," ujar pedagang barang antik tersebut.
"Coba bayangkan, kalau sampai ada perampok ...," tambahnya tiba-tiba dengan nada suara meninggi.
"Sial!" seru Henderson kesal. Rupanya saat itu Hunt sedang mengupas apel dengan pisau buah yang amat tipis dan berkilat-kilat ditimpa sinar lampu dinding.
"Anda bikin saya kaget. Hampir saja saya teriris," katanya sambil menaruh pisau. "Lalu ada apa lagi?"
"Aneh, dalam waktu lima menit As sekop ini sudah dua kali muncul," sahut Henderson tercenung.
Arthur Rolfe menimpali, " Memangnya kenapa?"
"Ah, saya kira teman kita ini cuma sedang main-main jadi peramal," kata Hunt.
"Anda ini mau menebak karakter orang atau meramal?"
Pandangan Henderson meragu. Matanya beralih dari Hunt ke dinding tempat tergantung lukisan Old Woman with Cap-nya Rembrandt. Lalu beralih lagi ke arah jendela-jendela besar yang tidak jauh dari tempat lukisan itu terpajang.
"Kenapa pusing-pusing?" akhirnya ia berkata sambil mengangkat bahu. "Ini rumah Anda, koleksi Anda, jadi ya tanggung jawab Anda sendiri. Tapi tentang Butler tadi, siapa dia sebenarnya?"
"Butler? Oh, dia teman Harriet, keponakan saya. Harriet berkenalan dengannya di London. Lalu ia meminta saya untuk mengundangnya kemari. Sebenarnya apa sih yang ada di benak Anda?"
"Dengar!" ujar Rolfe sambil mengacungkan telunjuk. Dengan isyarat tangan itu seakan ia minta yang hadir di situ untuk memperhatikan suara-suara aneh yang terdengar dari luar rumah.
Suara berisik yang tadi terdengar dari arah teras tak terulang lagi. Padahal sumber suara itu tak lain adalah Harriet Davis, keponakan tuan rumah yang sedang bercakap-cakap dengan temannya, Lewis Butler. Rupanya, mendengar pernyataan sang Paman, gadis ini menjadi gugup dan bingung. Setelah lari menjauh ke ujung rumah, kini ia bersandar di pagar teras. Cerlangnya cahaya rembulan membuat gadis bergaun panjang tipis berwarna putih ini tampak makin mempesona.
Lewis Butler menyusulnya. Ditatapnya rambut dan mata Harriet yang hitam. Sungguh makin bercahaya.
"Itu tadi bohong 'kan?" ujar Harriet.
"Apanya yang bohong?"
"Yang dikatakan Paman Marcus. Kau dengar 'kan?" Jari-jarinya mencengkeram kencang pagar.
"Bahwa aku temanmu dan mengundangmu kemari. Kita 'kan baru saja berkenalan. Apa Paman Marcus mulai gila, atau maukah kaujawab satu pertanyaanku?"
“Kalau bisa."
"Oke. Apakah kau penjahat?"
Ia mengajukan pertanyaan itu dalam nada yang begitu tenang, seakan-akan bertanya apakah Butler seorang dokter. Sebetulnya, yang ditanya ingin ketawa, tapi ia tahu itu akan menyulut sumbu kemarahan Harriet. "Terus terang saja," jawabnya tak kalah serius. "Bukan, tuh. Kenapa?"
“Rumah ini biasanya dijaga ketat dengan alarm anti maling. Cukup sentuh jendela, seluruh rumah bakal heboh seperti di kantor pemadam kebakaran. Tapi minggu lalu Paman mencopot semua alarm. Lukisan-lukisan itu pun biasanya ada di loteng, dalam ruang terkunci di sebelah kamar tidurnya. Itu pun ia suruh pindahkan ke bawah sini. Kenapa ya? la sepertinya ingin dirampok."
Butler tahu mesti berhati-hati.
“Bisa jadi memang begitu. Siapa tahu salah satu Rembrandt-nya palsu? Malu juga 'kan kalau sampai ketahuan teman-temannya yang ahli lukisan?"
Tapi Harriet menggeleng, "Tak mungkin. Semua lukisan itu asli. Semula aku pun sempat berpikir begitu."
"Tapi ada juga orang yang memang ingin koleksinya dicuri, terutama kalau diasuransikan melebihi nilai sebenarnya."
"Mungkin saja," ujar Harriet kalem. "Masalahnya, tak satu pun lukisan itu diasuransikan."
Saking terkejutnya Butler sampai tak sengaja menjatuhkan kotak rokoknya, hingga isinya bertebaran di lantai teras. Di kejauhan lonceng gereja berdentang menunjukkan pukul setengah dua belas.
"Kau yakin?"
"Yakin bener! Sesen pun tidak. Kata Paman, buang-buang uang saja. Sekarang, polah tingkahnya semakin tak bisa kumengerti. Apa sih maunya?"
Mayat di depan lemari
Dugaan akan adanya pencurian seperti dikhawatirkan orang-orang di rumah itu, rupanya memang bukan isapan jempol. Malam semakin larut. Tak terdengar lagi kesibukan atau suara orang bicara di rumah itu. Suasana senyap, semua orang sudah lelap dalam tidur.
Tampak sekelebat bayangan orang mengendap-endap di kerimbunan semak-semak yang mengelilingi teras belakang rumah. Siapa orang yang mencurigakan ini? Rupanya, rasa percaya diri orang ini besar, buktinya ia sempat mengisap rokok segala.
Bunyi dentang lonceng gereja menunjukkan bahwa malam sudah merangkak pukul 02.30. Sejenak setelah lonceng gereja berbunyi, bayangan hitam itu naik tangga, mendekati jendela-jendela besar di ruang makan tadi.
Ia menggarap jendela tengah dengan peralatan lipat: yang cuma sebesar tool kit sepeda motor. Ditempelkannya dua potong plester di kaca dekat gerendel. Dengan pisau pemotong kaca ia membuat lubang setengah lingkaran di atas plester. Aktivitas itu tak menimbulkan gangguan berarti. Suaranya hanya sekeras bunyi mesin bor gigi.
Dengan plester tetap menempel untuk menahan kaca agar tak jatuh, tangannya yang bersarung tangan itu diselipkan ke lubang untuk membuka gerendel. Akhirnya, dengan berat tubuhnya ia mendorong pelan daun jendela tanpa sedikit pun bunyi derit terdengar.
Tool kit dimasukkan ke saku, lalu senter dikeluarkan. Cahayanya disorotkan ke meja bufet. Tampak sendok-garpu perak, mangkuk perak wadah buah dengan sebilah pisau kecil tertancap di apel (mengingatkan pada tubuh manusia saja). Akhirnya, sorotan itu berhenti di wajah nenek jelek pada lukisan The Old Woman with Cap.
Karena ukuran lukisan itu tidak besar, orang itu dengan gampang menurunkan, melepaskan dari bingkai, lalu menggulungnya. Meski semua dilakukannya dengan amat berhati-hati, ada saja bagian kanvas yang retak-retak sehingga remah-remah catnya berjatuhan, membuat wajah si "nenek" dalam lukisan cacat. Konsentrasinya begitu terpusat sehingga tak sadar ada orang lain di ruangan itu.
Ah, dasar ceroboh. Tak punya indra keenam untuk mengendus bau darah.
Tak lama kemudian, di lantai dua, Lewis Butler terjaga - mendengar suara kelontangan seperti benda logam terjatuh. Bergegas ia bangun dan memakai sandalnya. Seperti biasa, saat harus buru-buru, lipatan kimononya malah ruwet hingga lubang lengannya sulit dicari. Untung lampu senternya sudah siap di dalam saku.
Tampaknya bunyi itu hanya membangunkan dia seorang. Buktinya, penghuni lainnya tidak menampakkan tanda-tanda bangun. Tanpa senter, ia berhasil menuruni tangga dan menjejak lantai dasar yang beralas karpet tebal tanpa suara. Sesampainya di gang, terasa terpaan arus angin yang deras. Artinya, ada jendela atau pintu yang terbuka. la langsung menuju ruang makan. Namun, terlambat!
Begitu ia menemukan sakelar lalu menyalakan lampu, tampak si pencuri masih ada. Tapi sosok itu sudah tergeletak tak bergerak di depan lemari bufet. Melihat genangan darah di sweater dan celananya, sepertinya ia tak mungkin bangun lagi.
Sebuah cangkir perak dan pot teh terjungkal di lantai. Mayat itu tergeletak di tengah hamburan jeruk, apel, dan anggur. Wajahnya masih tertutup topeng kain. Topi kupluk dari kain rapat menutupi kepala sampai telinganya, dua tangannya yang bersarung tangan terpentang lebar. Pecahan kaca dan pigura lukisan kosong bertebaran di dekat tubuh itu. Bahkan Old Woman with Cap setengah kusut tertindih tubuhnya. Dari posisi bercak darah yang paling mencolok, tampaknya ia ditusuk dengan pisau buah di sampingnya.
“Ada apa?" terdengar suara nyaris pas di telinganya.
Tahu-tahu Harriet Davis sudah berdiri di belakangnya. Berkimono, rambut hitamnya tergerai di pundak. Ketika Butler menjelaskan apa yang terjadi, ia membuang muka, mundur, menghindari arah ruang makan dengan kepala digeleng-gelengkan keras.
"Lekas bangunkan pamanmu!" Butler memerintah dengan suara mantap. "Juga para pelayan. Aku pinjam telepon." Kemudian dipandanginya kedua mata Harriet lekat-lekat. "Kau benar. Mungkin kau juga telah menduganya. Aku polisi."
Harriet mengangguk.
"Ya. Sudah kuduga. Siapa namamu? Benar-benar Butler?"
"Aku sersan di Departemen Penyidikan Kriminal. Namaku memang Butler. Pamanmu sendiri yang memanggilku."
"Untuk apa?"
"Entahlah. la belum sempat mengatakannya."
"Kalau ia tidak memberitahukan alasannya membutuhkan polisi, bagaimana pimpinanmu bisa memutuskan untuk mengirimmu kesini?"
Pemikiran yang kritis, tapi Butler cuek saja.
"Aku harus segera ketemu pamanmu. Tolong naik dan bangunkan dia."
“Enggak bisa," ujar Harriet. "Paman Marcus tak ada di kamarnya."
"Tak ada ...?"
"Tidak. Tadi ketika aku turun, sudah kuketuk pintunya. Tapi dia tak ada."
Butler melesat naik, meloncati anak tangga dua-dua.
Kamar Marcus Hunt memang kosong. Jas yang dipakainya saat makan malam tersampir rapi di kursi, sedangkan kemeja dan dasinya ada di jok kursi. Arloji, uang, dan kunci-kuncinya tergeletak di meja rias. Rupanya, ia belum sempat tidur, karena keadaan ranjang masih rapi tertutup bed cover.
Di keheningan menjelang subuh itu, ditingkah detak bunyi arloji di meja rias, hati Butler bertanya-tanya. la curiga.
Butler ke lantai bawah lagi, di tengah jalan bertemu Arthur Rolfe yang baru keluar dari salah satu pintu kamar di gang itu. Tubuh pendek kekarnya terbungkus kimono flanel. Tanpa kacamata, tampak ekspresi wajahnya agak bingung. la langsung mencegat Butler.
"Tak usah bertanya. Ada pencuri," sergah Butler.
"Sudah kuduga,” ujar Rolfe kalem. "Apa dia berhasil?"
"Tidak. Malah terbunuh."
Sejenak Rolfe terdiam membisu, tetapi tangannya meraba ke bagian dada kimononya, seperti ada yang terasa tak nyaman di situ.
"Terbunuh? Maksudmu, si pencuri terbunuh?"
"Ya."
"Tapi kenapa? Apakah oleh kawan segerombolannya? Siapa pencurinya?"
"Itulah yang akan saya cek."
Harriet Davis berdiri di ambang pintu ruang makan. Matanya lekat menatap mayat itu. Meski ekspresi wajahnya tak berubah, air mata mengambang di pelupuk matanya.
"Kau akan membuka topengnya 'kan?" tanyanya tanpa menoleh.
Dengan hati-hati, sambil menghindari remah-remah buah dan serpihan kaca, Butler membungkuk di atas mayat itu. Ujung atas topi kupluk ditariknya, lalu dibukanya topeng kain hitam yang diikat cuma dengan karet. Dugaannya tepat. Maling itu adalah Marcus Hunt - jantungnya telah tertusuk saat mencoba mencuri di rumahnya sendiri.
Anehnya goresan piring
"Itulah masalahnya," jelas Butler kepada dr. Gideon Fell, seorang ahli kriminologi yang ikut menangani masalah ini, keesokan sorenya. "Dari sudut mana pun kasus ini sungguh tak masuk akal."
Ia beberkan kembali semua fakta.
"Untuk apa ia mencuri di rumah sendiri? Semua lukisannya amat berharga, tapi tidak satu pun diasuransikan. Kenapa? Apakah hanya untuk sekadar nyentrik? Apa maunya dia?"
Desa Button Valence yang terletak di puncak bukit Weald, wilayah Kent, Inggris, kala itu sedang berada di puncak musim panas. Suasananya menjadi sangat gerah. Dr. Gideon Fell duduk di kursi kebun sambil menenggak bir. la berada di kebun apel, yang lokasinya tepat di belakang Losmen Tabard.
Tawon beterbangan di sekitarnya. Tubuh suburnya dibalut jas linen putih. Wajah bundarnya yang kemerah-merahan bagai menguap kepanasan. Tampak sekali tawon-tawon itu membuat dia semakin lelah. Apalagi otaknya sedang bekerja keras.
Katanya, "Superintendent Hadley yang meminta saya kemari. Wewenang ada pada polisi setempat 'kan?"
“Ya. Saya cuma mendampingi."
Dr. Fell mengatakan lagi, "Ada lagi yang aneh dalam kasus ini?"
"Well untuk apa orang mencuri di rumahnya sendiri?"
"Bukan! Bukan! Bukan!" gerutu Fell. "Jangan terobsesi dengan itu dulu."
Sambil meniup seekor tawon yang terbang di sekitar gelasnya, dokter itu melanjutnya bicaranya, "Misalnya, nona muda itu mengajukan pertanyaan yang bagus sekali. Kalau Marcus Hunt tidak mau mengatakan alasannya membutuhkan polisi, masa kepolisian setuju untuk mengutus Anda?"
Butler mengangkat pundaknya.
"Inspektur Kepala Ames mengendus Hunt mau berbuat yang aneh-aneh dan ia ingin mencegahnya."
"Aneh-aneh bagaimana?"
"Pura-pura kecurian, padahal ia sendiri yang mencuri. Cara klasik untuk mengalihkan perhatian polisi. Mulanya yang terjadi sepertinya persis seperti itu sampai saya mendengar dan hari ini sudah saya konfirmasikan - bahwa tak satu pun dari lukisan itu diasuransikan. Sesen pun tidak."
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan. "Tak mungkin kalau cuma bercanda. Semuanya dipersiapkan serius. Dari kostum pencuri, berupa baju-baju lama yang sudah dipreteli cap penjahitnya, sampai alat-alat bongkarnya yang modern. Bahkan ia keluar lewat pintu belakang, karena kami menemukan pintu terbuka, beberapa puntung rokok dan ia ...."
"... terbunuh," sambung Fell.
"Ya. Mengapa dia dibunuh?"
"Hm. Petunjuknya?"
"Negatif." Butler mengeluarkan buku catatannya. "Menurut petugas koroner, ia tewas akibat tusukan langsung ke jantung - pasti dengan pisau buah itu. Lukanya begitu tipis, sehingga bekasnya sulit ditemukan.
Ada beberapa sidik jarinya, topi tak ada sidik jari orang lain. Kami juga menemukan sesuatu yang aneh. Piring cangkir perak yang terjatuh itu tergores dengan cara yang aneh sekali. Sepertinya, bukan karena tersenggol akibat pertarungan, tapi terkesan ditumpuk dulu sampai tinggi, lalu didorong.
Butler berhenti, karena dr. Fell sedang menggerak-gerakkan kepalanya ke depan ke belakang karena kegerahan.
“Well well well, dan Anda bilang itu bukan bukti?"
"Memang begitu 'kan? Tidak menjelaskan kenapa seseorang membobol rumahnya sendiri."
"Dengar," kata Fell halus. "Saya mau mengajukan satu pertanyaan saja. Apa yang paling penting dalam kasus ini? Sebentar! Saya tidak bilang yang paling menarik, tapi yang paling penting. Tentu fakta bahwa ada orang yang mati dibunuh?"
"Ya, Pak. Jelas."
"Saya bilang fakta, karena hal ini justru hampir terlewatkan. Kenapa tidak coba mencarinya dari sisi lain. Coba, siapa yang membunuh Hunt?"
Lama sekali Butler terdiam.
"Tak mungkin para pelayan," akhirnya dia buka suara. "Kamar tidur mereka di lantai atas, dan terletak di sayap lain. Dan karena suatu sebab," ujarnya ragu, "ada orang mengunci ruangan mereka dari luar."
"Nah, Anda bisa antar saya ke Cranleigh Court?" tanya dr. Fell.
Malingnya terlalu ceroboh
Sore yang terik itu, mereka semua keluar ke teras, dr. Fell duduk di kursi rotan, Harriet lunglai di sampingnya. Derek Henderson, berkemeja flanel, berdiri di pagar. Cuma Arthur Rolfe yang mengenakan jas gelap.
Saat itu pemandangan pedalaman Kent yang biasanya hijau dan cokelat pucat, berbinar kemerahan. Angin mati, daun tak gemerisik. Di kebun, di bawah sana, air kolam renang menyilaukan mata.
Derek Henderson mulai mengawali pembicaraan.
"Percuma. Jangan tanyakan terus untuk apa Hunt membobol rumahnya sendiri. Tapi saya bisa memberi satu petunjuk."
"Ya?" sambung dr. Fell.
"Pasti dia punya alasan. Pasalnya, Hunt adalah orang yang sangat hati-hati dan cerdik. Tak mungkin dia melakukan sesuatu tanpa alasan kuat. Saya sudah katakan itu semalam."
Dr. Fell langsung menyahut keras, "Hati-hati? Mengapa Anda berkata demikian?"
"Well, bisa dilihat dari cara dia bermain poker."
Henderson ketawa pelan. Tapi melihat ekspresi wajah Harriet, ia segera berubah serius.
"Tadi malam tampaknya ia sedang memikirkan banyak hal."
Semua bisa menangkap perubahan nada suaranya.
"Jadi apa yang sedang dia pikirkan?"
“Mengekspos seseorang yang selama ini dia percaya," sahut Henderson dingin. "Itu sebabnya saya amat tak senang melihat kartu As sekop terus-terusan muncul."
"Apa dia mengatakannya?" tanya Harriet.
"Tidak. Cuma mengisyaratkan."
Rolfe nyerocos masuk dalam percakapan. "Dengar. Saya sudah sering mendengar kegemaran Hunt mengekspos orang." la kembali menyelipkan satu tangan ke bagian dada jasnya dengan gaya yang khas. "Tapi demi akal sehat, apa hubungannya? la ingin mengekspos seseorang. Dan untuk itu, ia mengenakan kostum lucu dan menyamar sebagai pencuri. Masuk akalkah? Kalau menurut saya sih, dia gila! Tak ada penjelasan lain."
"Sebenarnya, ada lima penjelasan lain," sergah dr. Fell.
Derek Henderson pelan-pelan bangun dari kursinya, tapi duduk lagi karena dipelototi Rolfe. Semua yang hadir di situ diam.
"Saya tidak akan menyia-nyiakan waktu kalian semua dengan mengemukakan empat alasan di antaranya. Sebaliknya, saya hanya akan mengungkap satu alasan saja. Yang sebenarnya."
“Anda mengetahuinya?" tanya Henderson.
"Kelihatannya begitu."
"Sejak kapan?"
"Sejak saya mendapat kesempatan melihat Anda semua," jawab dr. Fell.
la menyandarkan diri lagi. Oleh bobot tubuh yang begitu besar, kursi rotan itu berderak-derik seperti kapal diayun gelombang pasang. Dagunya yang lebar mendongak, lalu ia menganggukkan kepala, seperti mengiyakan sesuatu di dalam benaknya.
"Saya sudah bicara dengan inspektur resor kepolisian sini," lanjutnya tiba-tiba. "Sebentar lagi tiba. Atas usul saya, ia akan meminta sesuatu dari Anda sekalian. Saya harap tidak akan ada yang keberatan."
“Permintaan?" tanya Henderson. "Permintaan apa?"
"Hari ini sangat panas," ujar dr. Fell, sambil menyipitkan matanya memandang ke arah kolam renang. "la akan meminta Anda semua untuk berenang."
Harriet berdesah, menoleh kepada Lewis Butler seperti minta tolong.
"Ini cara terhalus untuk memancing perhatian semua orang kepada si Pembunuh," lanjut dr. Fell. "Sementara itu, mari kita memperhatikan salah satu bukti yang sampai sekarang agak terabaikan. Tuan Henderson, apa Anda - mengetahui sesuatu tentang luka di jantung akibat tusukan pisau baja yang amat tipis?"
“Seperti luka Hunt? Tidak tahu saya. Memangnya kenapa?"
"Lukanya hampir tidak ada," jawab dr. Fell.
"Tapi…!" Harriet akan menyela, namun dicegah Butler. "Ahli koroner polisi sebenarnya sudah memperhatikan hal itu, karena lukanya sangat sulit ditemukan. Korban langsung tewas, dan ujung lukanya menutup kembali. Namun bagaimana mungkin sweater Hunt bergelimang darah sampai menciprat ke celananya?"
"Well?"
“Ya, karena itu bukan darahnya," ujar dr. Fell.
“Saya tak tahan lagi," kata Harriet, melompat berdiri. "Ma ... maaf, apa Anda sendiri masih waras? Apakah maksud Anda kita tidak melihatnya tergeletak di dekat lemari bufet dengan berdarah-darah?"
"Oh, ya. Anda memang melihatnya."
"Biarkan dia melanjutkan," kata Henderson, yang sekitar cuping hidungnya jadi memucat.
"Ini memang masalah kecil. Tetapi kenapa Hunt yang selalu rasional memilih berpakaian sebagai pencuri dan main-main jadi maling? Jawabannya pendek dan sederhana. la memang tidak melakukannya.”
"Tentunya kita semua sudah melihat bahwa Hunt sedang dengan sengaja memasang perangkap untuk orang lain, pencuri yang sebenarnya. la yakin bahwa seseorang kemungkinan besar akan mencoba mencuri salah satu atau beberapa lukisannya. Boleh jadi ia mengetahui orang ini pernah melakukannya di tempat lain. Pencurian yang dilakukan oleh orang dalam, tetapi dibuat seolah-olah dilakukan oleh orang luar. Untuk mempermudah pembuktian ia sekalian menyediakan juga seorang polisi.”
"Ternyata pencuri yang tolol itu masuk perangkap. Tak lain dan tak bukan, ia salah seorang tamu di rumah ini. Setelah menunggu sampai lewat pukul 02.00 dini hari, pria tersebut kemudian mengenakan pakaian tua, topeng, sarung tangan dan lainnya. la keluar rumah lewat pintu belakang. Melakukan semua hal yang selama ini kita kira dilakukan oleh Marcus Hunt. Lalu jebakan itu menutup! Ketika ia sedang menggulung lukisan Rembrandt itu, terdengar suara. Senternya ia sorotkan dan dilihatnya Marcus Hunt masih berpiyama dan kimono, sedang memandangnya.
"Ya, memang sempat terjadi pertarungan. Hunt menyerangnya dan si Maling mengambil pisau buah itu untuk melawannya. Marcus Hunt mendorong tangan berpisau itu dan berhasil menggores dada si maling, membuat luka ringan tapi berdarah banyak. Maling itu panik. la memiting dan memutar balik pergelangan tangan Hunt, menangkap pisaunya lalu menusuk Hunt tepat di jantungnya.
"Kemudian dalam cahaya remang-remang lampu senter di atas meja bufet, si Pembunuh melihat bagaimana darah lukanya sendiri meresap ke luar, meski tidak parah. Itu bisa membawanya ke tiang gantungan!”
“Apa akal? la toh tak mungkin memusnahkan atau membawa kostum itu pergi dari rumah ini. Seluruh rumah pasti akan disidik dan pasti akan ditemukan. Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan...”
Harriet Davis sedang berdiri di belakang kursi rotan, melindungi matanya dari teriknya sorot sinar matahari. Tangannya tidak gemetar ketika berkata, "la bertukar pakaian dengan pamanku."
"Tepat," ujar dr. Fell. "Pembunuhnya memakaikan pakaiannya pada si Korban sambil tak lupa melubangi pakaian itu di tempat di mana ada noda-noda darah. la kemudian mengenakan piyama dan kimono Hunt. Saya rasa kimononya sudah terbuka dalam perkelahian, sehingga yang sedikit robek paling-paling piyamanya.
"Tapi begitu semua ini telah dikerjakan, ia tentu harus menghipnotis Anda semua supaya berpikir bahwa tidak ada waktu bagi si Maling untuk menukar pakaian. la harus membuat orang mengira bahwa perkelahiannya terjadi saat itu juga. Seluruh rumah harus dibuat terbangun. Maka ia harus membuat keramaian dengan mendorong setumpuk perabot perak, lalu buru-buru naik ke atas." dr. Fell berhenti. "Tak mungkin pencurinya Marcus Hunt, karena sidik jarinya ada di mana-mana. Padahal korban mengenakan sarung tangan."
Pada saat itu terdengar langkah-langkah kaki di rerumputan di bawah teras, lalu langkah sepatu bot polisi menaiki tangga teras. Inspektur polisi datang ditemani oleh dua polisi.
Dr. Fell menoleh dengan wajah puas.
“Ah!" katanya, mengambil napas dalam-dalam. "Mereka pasti datang untuk mengurus soal pesta renang itu. Memang mudah menutup luka dengan kapas atau saputangan. Tapi luka semacam itu tetap akan kentara kalau pemiliknya mengenakan pakaian renang."
"Tapi tak mungkin kalau ..." teriak Harriet. Matanya memandang berkeliling. Tangannya lekat berpegangan pada lengan Butler, perilaku naluriah yang bakal diingat Butler lama setelah itu, ketika ia sudah mengenal Harriet lebih dekat.
"Tepat," si dokter setuju. "Tak mungkin seorang pria jangkung kurus seperti Henderson. Juga tak mungkin seorang gadis yang mungil dan langsing macam Anda. "Hanya ada satu orang dengan perawakan seperti Marcus Hunt, baik tingginya maupun bentuk tubuhnya. Yang dapat memakaikan pakaiannya pada Hunt tanpa membuat orang lain curiga. Orang yang sama yang selama ini sering meraba bagian dalam jasnya untuk mengecek apakah pembalut di dadanya masih tertempel aman. Seperti yang sekarang sedang dilakukan Rolfe."
Arthur Rolfe duduk terdiam. Tangan kanannya masih berada di datam bagian dada jasnya. Di bawah terik matahari wajahnya tampak berantakan, tapi dari balik kacamatanya tetap tersorot misteri. Setelah polisi menangkapnya, cuma satu komentar terluncur lewat bibirnya yang kering, "Seharusnya aku menyimak peringatan anak muda itu. la sudah mengatakan, aku jenis orang yang berani ambil risiko.”
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400655/rahasia-luka-di-dada" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659535619000) } } [8]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400971" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/lukisan-cat-minyak-tanpa-tekstur-20220803013843.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Selama 11 tahun Roy bekerja di rumah keluarga Keck. Khawatir akan kehidupannya, Roy melakukan penggelapan barang seni keluarga itu." ["section"]=> object(stdClass)#132 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/lukisan-cat-minyak-tanpa-tekstur-20220803013843.jpg" ["title"]=> string(32) "Lukisan Cat Minyak Tanpa Tekstur" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 13:39:06" ["content"]=> string(29466) "
Intisari Plus - Selama 11 tahun Roy bekerja di rumah keluarga Keck. Khawatir akan kehidupannya, Roy melakukan penggelapan barang seni keluarga itu.
-------------------
Rune “Roy” Donell (61) punya masalah serius. Pria bertubuh tinggi besar yang sebagian rambut tipisnya mulai beruban itu mengakhiri tugasnya di Angkatan Laut Swedia sebelum berimigrasi ke Amerika Serikat tahun 1976. Namun, ia tetap mempertahankan dirinya sebagai warga negara Swedia.
Masalahnya klasik, soal uang. Saat itu ia masih bekerja dengan gaji cukup. Di tempatnya bekerja, sebagai kepala urusan rumah tangga merangkap sopir pribadi, ia mendapat bayaran AS $ 25.000 per tahun.
Karena telah bekerja di rumah tangga itu selama sebelas tahun, tak heran bila majikannya sangat percaya padanya. la dapat dengan mudah mengakses salah satu rekening untuk mengeluarkan dana kebutuhan rumah tangga keluarga itu. Selama bekerja, Roy dapat menggelapkan total sekitar AS $ 20.000 - 30.000 per tahun. Dengan dana tambahan uang panas itu, Roy punya cukup uang untuk menghidupi kedua istrinya.
Belakangan Roy merasa tubuhnya mulai lemah, mudah sakit. Di tubuhnya mulai bercokol sejumlah penyakit, mulai hernia, tekanan darah tinggi, dan psoriasis.
Lalu, bagaimana kalau ia tidak bisa bekerja lagi di rumah jutawan itu? la prihatin dengan kehidupannya dan kedua istrinya.
Christina, istri pertamanya, enam tahun lebih tua dari dirinya. la bekerja di rumah yang sama sebagai juru masak. Christina sudah menggeluti profesi itu tujuh tahun lamanya. Namun, Christina bukan merupakan suatu kekhawatiran bagi Roy. Justru istri keduanya yang diprihatinkannya.
Si cantik Esther Ariza yang berkulit gelap, langsing, dan menggoda itu 16 tahun lebih muda daripada Roy. Tanpa uang, Esther pasti akan meninggalkannya. Esther - imigran asal Kolumbia senang berpakaian bagus dan berjalan-jalan. la memang menuntut banyak dari Roy.
Belum lagi ada Andy (20), anak Esther dari suami terdahulu, yang membutuhkan banyak biaya untuk pendidikannya. Selama ini seluruh kebutuhan hidup Esther memang ditanggung Roy.
Kolektor barang seni
Roy bekerja di Stone Canyon, Bel Air, Beverly Hills. Rumah di Bellagio Road itu menempati lahan seluas ribuan meter persegi dengan arsitektur meniru kastil Prancis abad ke -17. “Kastil” yang dinamai La Lanterne itu dihuni salah satu pasangan paling kaya di dunia, Howard B. Keck (71) dan Elizabeth “Libby” Avery Keck (65).
Howard - sering disebut Big Howard - mendapatkan kekayaan dengan cara tradisional: warisan. Semasa hidup, ayahnya terkenal di California sebagai orang yang bertangan dingin dalam bisnis perminyakan.
Tak hanya kaya, mereka juga dermawan. Big Howard sering menyumbang ke sejumlah museum, lembaga pendidikan, gereja, dan lembaga kebudayaan terkemuka. Salah satu yang terkenal yaitu sumbangannya tahun 1985 kepada California Institute of Technology untuk membangun observatorium astronomi di Hawaii, yang konon diperlengkapi dengan teleskop terbesar di dunia.
Libby Keck setali tiga uang dengan suaminya. Perempuan yang berpenampilan jauh lebih muda dibandingkan usianya itu sangat dikagumi karena selera seninya. Selama beberapa tahun ia menjadi direktur sejumlah museum dan aktif di beberapa lembaga kebudayaan. Libby tak hanya sangat mencintai seni lukis, ia sendiri pelukis amatir.
Kecintaannya pada barang seni tercermin dalam koleksinya yang berkualitas dunia, yang tak terhitung lagi jumlahnya. Di La Lanterne digelar beberapa di antaranya, seperti lukisan dari para maestro seni lukis, tapestri, patung, hingga mebel antik milik Napoleon, Marie Antoinette, dan Louis XIV. Tak heran bila La Lanterne menjadi pilihan kunjungan wajib para kurator museum dan pencinta seni dari berbagai belahan dunia.
Dituntut anak
Tahun 1986 rumah tangga Keck diguncang prahara. Bermula ketika Little Howard Keck, anak sulung mereka mengajukan tuntutan tentang haknya mendapatkan warisan. Little Howard ingin mempertegas bahwa ia berhak mendapatkan sebagian besar dari harta kekayaan keluarga Keck - baik yang berupa saham, juga La Lanterne seisinya. Menanggapi tuntutan itu Big Howard dan Libby berada pada sisi berseberangan.
Perebutan warisan itu bukan kali pertama terjadi. Mendiang William Keck Sr. mewariskan kekayaannya pada Big Howard dan dua saudaranya, yakni William Jr. dan Willameta. Tahun 1983, setelah kematian saudara lelakinya, Big Howard membujuk adik perempuannya untuk menyerahkan bagian kepemilikan pada perusahaan warisan itu. Saat itu terjadi perseteruan sengit antara Big Howard dan Willameta, yang bahkan sempat dilansir dalam Wall Street Journal. Rupanya, Willameta harus mengalah. la meninggal tahun 1984, warisan itu pun seluruhnya jatuh pada Big Howard.
Dengan alasan ayahnya sebagai pewaris harta kakeknya sudah cukup lanjut usia, Little Howard mengajukan tuntutannya. Namun, rupanya ia lupa, keluarga besarnya telah bersepakat bahwa harta warisan akan jatuh ke sebuah generasi bila generasi sebelumnya benar-benar sudah “habis”. Selain itu, seluruh anggota keluarga akan mendapat bagian yang sama, tidak ada yang dominan.
Lucunya, peristiwa itu membuat Big Howard jadi berprasangka. la ragu, jangan-jangan Little Howard bukan anak kandungnya, melainkan hasil hubungan gelap istrinya dengan pria lain. Menurut dia, mana mungkin seorang anak kandung tega menuntut pembagian warisan ketika orang tuanya masih hidup.
Masalah dalam keluarga Keck makin berlarut-larut. Libby, bukannya menenangkan suaminya, malah tersinggung dengan tuduhan suaminya. la segera melayangkan surat tuntutan cerai.
Sambil menunggu keputusan pengadilan tentang perceraian mereka, Libby dan Big Howard hidup berpisah, meskipun tetap tinggal di bawah satu atap di La Lanterne.
Belajar mencuri
Retaknya hubungan rumah tangga Keck membuat Roy makin pusing. Ia harus cepat bertindak. Sekian lama bekerja di La Lanterne membuat Roy tahu ada tempat yang kurang diperhatikan Big Howard. Di ruangan itu, sebagaimana ruang lain, digelar barang antik koleksi Keck. Roy sebenarnya tidak tahu benar seberapa mahal harga barang-barang seni itu. Kalaupun ia tahu, hanya beberapa di antaranya. Itu pun karena diberitahu Libby yang senang mengajaknya ngobrol.
la juga tahu, ada sejumlah besar barang koleksi yang disimpan di ruang khusus. Maklum, koleksi Keck memang terlalu banyak untuk disimpan di dalam ruangan yang tersedia di La Lanterne. Salah satu isi ruang khusus itulah yang pada September 1986 digondolnya, yakni lukisan berjudul Fete Gollante karya seniman Francis, LeClerk des Gobelins.
Selama beberapa minggu ia menyimpan benda seni itu di apartemennya. Begitu tidak ada tanda-tanda yang membahayakan, ia membawanya menuju Stockholm. Saat melewati pabean Swedia, ia menyatakan membawa lukisan. Sebagaimana peraturan, ia membayar beberapa ratus dolar.
Beberapa hari kemudian Roy muncul di Beijar, sebuah rumah lelang benda seni terbesar di Swedia. Dari informasi direktur perusahaan itu, Kaarl Gustav Petersen, Roy baru tahu bahwa Beijar tidak menerima karya seni palsu. Namun, kemudian salah seorang ahli di Beijar - setelah memeriksa lukisan itu - yakin bahwa karya lukis itu asli. Herannya, tidak seorang pun di balai lelang itu yang bertanya pada Roy tentang cara ia memperoleh lukisan itu.
Beberapa hari kemudian lukisan itu laku terjual. Setelah dipotong komisi untuk Beijar, Roy mengantungi AS $ 6.000. Uang itu dikirimkan ke rumahnya di Beverly Hills via pos. Sejak itu Roy pun tahu cara dan jalur menjual lukisan curian.
Bagaimanapun Roy tidak ingin mencuri karya dunia yang banyak dikenal masyarakat. Meskipun harganya mahal, risikonya sangat besar bila ketahuan. Barang seperti itu tentu juga akan sulit dijual. Roy hanya berpedoman, yang penting karya seni itu mudah dijual.
Lukisan berikut yang disasarnya karya pelukis impresionis dari Swedia, Anders Leonhard Zorn. Lukisan cat minyak berukuran 1 m x 60 cm itu berjudul I Fria Luften (In Free Air), tapi lebih dikenal sebagai Kvinna Klaer Sitt Barn (Woman Dressing Her Child) produksi tahun 1888. Libby membeli lukisan bergambar ibu dan anak itu di London hanya seharga AS $ 88.506.
Sebelum meninggalkan Stockholm, Roy telah mengabari Petersen tentang Fria Luften. Konon Petersen sangat berminat pada karya Zorn dan yakin bahwa karya itu bisa terjual dengan harga yang bagus di Swedia.
Februari 1987 Roy memberitahu Keluarga Keck tentang pengunduran dirinya. Alasannya, usia tua dan merosotnya kondisi kesehatan. Roy dan Christina memutuskan akan kembali ke Swedia dan menghabiskan masa tua di tanah kelahiran mereka. Mereka keluar dari rumah majikannya pada minggu kedua Maret.
Belakangan Keluarga Keck tahu, Roy pergi sendiri ke Swedia sementara Christina ditinggal di apartemen mereka yang kecil di Manning Avenue. Keck tidak tahu kalau Roy ditemani istri keduanya, Esther. Saat itu pula Roy menjinjing sebuah tabung kardus besar - yang bahkan tetap dibawa masuk ke dalam kabin pesawat.
Roy dan Esther bersantai di Stockholm sampai Andy menyusul seminggu kemudian. Mereka bertiga bersenang-senang dengan melakukan perjalanan ke beberapa negara di Eropa. Baru bulan April mereka kembali ke Los Angeles.
Ketahuan palsu
Empat bulan kemudian, 24 Agustus, penghuni La Lanterne baru tahu tentang hilangnya sebuah lukisan. Libby sendiri yang mengetahuinya, ketika tanpa sengaja ia memasuki ruangan tempat lukisan digantung.
“Lihat!” katanya pada pengawal dan sopirnya, Roger Paine, sambil menunjuk pada lukisan Fria Luften di dinding. “Ya, Nyonya,” Paine mengamati sekilas. Terus terang saja ia tidak terlalu memahami apa yang dimaksud majikannya. Jadi, ia memilih diam, tidak melanjutkan komentar.
Kemudian Libby dengan tidak sabar menarik tangan Paine dan mengajaknya mendekat ke lukisan. Libby meletakkan jarinya ke permukaan lukisan, yang licin sekali.
“Aha, ini seharusnya lukisan cat minyak, permukaan lukisan cat minyak seharusnya bertekstur,” pikir Paine. “Wah, ada orang mencuri lukisan yang asli,” cetus Paine, akhirnya.
“Justru itu yang tadi kumaksud,” jawab Libby geram.
Esoknya seorang petugas berseragam dari LAPD, detektif Mike Kummerman, datang ke La Lanterne untuk memeriksa TKP. Namun, baru seminggu kemudian, 31 Agustus, ia bisa meminta keterangan dari Libby via telepon.
Pada kesempatan itu Kummerman hanya akan menggali data pribadi pelapor. Tugas yang biasanya dijalani dengan mudah, kali itu membuatnya agak kerepotan. Pasalnya, karakter Libby yang sangat sadar akan statusnya sebagai orang terpandang. Saat ditanya berapa usianya, Libby menjawab, “Aku tidak harus mengatakannya padamu. Apa hubungannya dengan kasus ini?”
Untung Kummerman tidak kurang cara untuk mendapatkan data itu. la dapat mengambilnya dari data SIM Libby di departemen kendaraan bermotor.
Libby juga tidak tahu nomor Jaminan Sosial, tapi jika sang detektif mau menelepon kantornya maka sekretarisnya dapat memberitahukannya. Tentang alamat-alamat penting, Libby mengaku tidak tahu mana yang penting, yang pasti dia dan suaminya telah tinggal di Beverly Hills Hotel selama 10 tahun sebelum mereka pindah ke rumah mahal itu delapan tahun silam. Ihwal pekerjaannya, Libby mengaku tidak punya pekerjaan, tetapi melaporkan suaminya sebagai “pensiunan”.
Hal lain yang dijawab dengan santai adalah soal anak. la punya empat anak, ia juga hafal nama mereka. Namun, ia tidak tahu dengan tepat usia mereka, karena sudah lama tidak merayakan hari ulang tahun mereka.
Tahu teknik mencuri
Sikapnya yang acuh tak acuh seketika lenyap begitu Kummerman bertanya tentang lukisan yang hilang. “Hari Rabu itu aku pergi ke luar rumah untuk suatu keperluan. Ketika kembali, aku bisa melihat secara utuh lukisan itu. Tiba-tiba aku sadar bahwa warna-warna pada lukisan itu aneh, tidak seperti biasanya. Jadi, aku segera masuk dan memeriksanya. Benar dugaanku, itu hanya foto, seukuran lukisan asli.”
Ketika Kummerman bertanya tentang kemungkinan terjadinya pencurian, Libby menolak mengatakan siapa yang patut dicurigai. “Tidak, aku tidak punya gambaran soal pelakunya.”
Libby menambahkan, rasanya tidak mungkin terjadi pencurian karena rumahnya terjaga ketat selama 24 jam. Malah Libby pun menggambarkan betapa sulitnya untuk dapat membawa lukisan keluar La Lanterne dan membuat foto reproduksi seperti itu.
“Kita harus melepaskan lukisan itu dari bingkainya. Sebagai pelukis, aku sering melakukannya. Kita harus menarik pakunya, lalu pelan-pelan melepasnya.” Kemudian kanvas digulung, itulah cara termudah dan praktis untuk membawa keluar lukisan. Untuk mendapatkan hasil pemotretan yang baik, lukisan harus dibawa ke studio foto, yang banyak ditemukan di Santa Monica Boulevard. Namun, saat pembesaran foto, biasanya akan muncul masalah, yaitu warnanya tampak aneh, tidak seperti aslinya.”
Jadi, menurut Libby, ini bukan hasil karya seorang ahli. “Kalau karya seorang ahli, mungkin aku tidak akan dengan cepat mengetahuinya.”
“Mungkin Anda punya dugaan, siapa orang yang punya waktu dan kesempatan untuk melakukan hal itu di rumah Anda?” pancing Kummerman lagi.
“Ya, tapi aku tidak akan mengatakan. Aku tidak mau menuduh.”
“Saya mengerti, tapi dengan menyebutkan namanya, Anda akan membantu penyelidikan ini.”
“Menurutku, pertanyaanmu kurang tepat. Lebih baik kalau kamu bertanya, ‘Siapa saja yang bekerja di rumah ini?’”
“Baiklah ... Anda punya pembantu yang dapat memasuki ruangan ini?”
“Ya, hanya ada tiga pembantu. Tapi, karena mereka baru bekerja beberapa bulan, rasanya mereka tidak bisa dituduh. Mereka menggantikan sepasang suami-istri yang berhenti bekerja sekitar tiga bulan lalu, dan seorang pembantu wanita pada satu setengah bulan silam.”
“Wah, banyak ya yang keluar.”
Libby dengan defensif menjelaskan, mereka semua berhenti bekerja atas keinginan sendiri.
“Mungkinkah pasangan suami-istri itu yang melakukan?” tanya Kummerman.
“Tidak, tidak mungkin. Si suami sudah selama sebelas tahun menjadi sopir merangkap kepala bagian rumah tangga kami.”
“Apakah ia punya cukup pengetahuan tentang lukisan dibandingkan yang lainnya?”
“Mungkin tidak, meski aku sering berdiskusi dengannya. Dan tampaknya ia suka kuajak ngobrol.”
“Menarik sekali,” kata Kummerman. “Siapa namanya?”
“Roy, Roy Donell.”
Bukan yang dicari
Selama beberapa tahun di Los Angeles pelaku kejahatan di bidang seni ditangani detektif LAPD William E. Martin. Prestasinya memang meyakinkan, angka rata-rata pengembalian lukisan curian jauh melebihi rata-rata penegakan hukum nasional. Setelah wawancara pendahuluan Detektif Kummerman, kasus itu segera dilimpahkan pada Martin.
Penyelidikan lanjutan tidak mengungkapkan keterlibatan petugas keamanan La Lanterne dengan pencurian itu. Pemeriksaan juga tidak menemukan bagian rumah yang rusak akibat usaha masuk dengan paksa.
Namun, ada masukan baru dari Libby, bahwa saat ngobrol dengan Roy, ia pernah sekilas mengatakan lukisan itu bisa laku dengan harga tinggi di Swedia.
Dari beberapa nama yang harus diperiksa, Martin tampaknya tertarik untuk lebih memperhatikan Roy. Apalagi kemudian ia tahu bahwa sebelum berhenti tak lama setelah waktu diperkirakan hilangnya lukisan itu Roy, dikabarkan berlibur ke Swedia.
Segera Martin mengirim pesan pada Interpol, meminta bantuan dari pihak berwenang di Swedia. la ingin tahu catatan kejahatan Roy di tanah kelahirannya. Juga tentang kemungkinan keberadaan lukisan curian itu.
Pada 8 September 1987, hanya dua minggu setelah Libby Keck melaporkan kasus itu, Interpol Swedia mengirim pesan panjang kepada Martin. Isi ringkasnya, “Rune Gunnar Donell dan istrinya Christina Donell yang berkebangsaan Swedia tidak memiliki catatan kejahatan di negara ini. Mereka juga tidak masuk dalam daftar pencarian orang di Swedia.
Pada 15 September 1986 Balai Lelang Beijar Auktioner dikunjungi oleh seseorang yang mengaku bernama Roy Donnel, P.O. Box 532, Beverly Hills, California. la membawa lukisan karya pelukis Le Clerk Des Gobelins berjudul Fete Gallante. Lukisan itu terjual dalam lelang 19 November 1986. Pada 12 Maret 1987 Roy Donnel kembali ke Swedia bersama seorang wanita, tampaknya berdarah Amerika Latin. Roy Donnel membawa lukisan karya Zorn berjudul Kvinna Klaer Sitt Barn. Lukisan itu terjual dalam lelang pada bulan April....”
Ada uang yang hilang
Roy tinggal di barat Los Angeles, kawasan hunian kelas menengah. Ke sanalah Martin menuju. Martin mencatatkan Roy di Penjara Kota Los Angeles untuk kasus pencurian.
Selanjutnya, Martin meminta izin Christina untuk memeriksa apartemen mereka. Di sana polisi menemukan tiket pesawat Scandinavian Air dan jadwal perjalanan dari biro perjalanan mengenai kunjungan Roy ke Stockholm pada September 1986. Mereka juga menemukan brosur dari Balai Lelang Beijar Auktioner. Di ruangan lain polisi menemukan bukti transfer uang dari Balai Lelang Beijar Auktioner ke Security Pacific Bank di Los Angeles. Ada yang bertanggal 18 Maret 1987, sedangkan beberapa lainnya bertanggal 17 Maret 1987. Total dana yang dikirimkan Beijar AS $ 85.633.
Petunjuk lainnya, brosur dan daftar harga dari Lab Foto “Rossi”, juga dua kamera 35 mm, sebuah lensa tele, dan satu strip film warna.
Untuk menguatkan dakwaannya Martin mengunjungi Lab “Rossi”. Tom Rossi, si pemilik, mengatakan kepada partner Martin - Detektif Donald Hrycyk - ingat betul pada Roy, karena Roy memang meninggalkan kesan khusus.
Awal 1987 seorang pria membawa slide warna 35 mm dan meminta untuk dicetak. Biasanya, pembesaran foto dilakukan sesuai ukuran standar, tetapi pria beraksen Swedia itu meminta ukuran yang aneh karena harus pas dengan bingkai khusus.
Ketika kembali beberapa hari kemudian, tampak ia tidak puas dengan hasilnya. Warna-warna yang muncul tidak seperti aslinya, ukurannya juga tidak pas.
Rossi mengatakan pada lelaki itu, ia hanya bisa membuat seperti yang ada pada slide, sungguh sulit bila ingin menyamakan dengan yang asli karena yang asli tidak ada di hadapannya untuk perbandingan. la juga menjelaskan, pembesaran hingga 20 kali pada slide 35 mm akan menghasilkan gambar kabur dan berbintik-bintik. Rossi menganjurkan agar membawa lukisan asli ke studio foto untuk direproduksi memakai kamera khusus dengan format besar, hasil cetaknya pasti lebih bagus.
Pria itu setuju. Beberapa minggu kemudian ia kembali dengan lukisan asli, tanpa bingkai. “Anehnya, ia terus berada di dekat lukisan itu saat saya memotretnya,” kata Rossi.
Rossi melakukan pembesaran dan memasangnya pada papan poster. Namun, ketika pria Swedia itu kembali, baru ketahuan bahwa lukisan itu sekitar 2,5 cm lebih kecil daripada bingkainya. Rossi kembali memperbaiki foto itu. Setelah dua bulan bolak-balik, akhirnya pria Swedia itu puas dengan hasilnya.
Meski puas menemukan seorang saksi, Martin merasa masih ada yang kurang. Menurut Beijar, sebuah perusahaan di Swedia telah membeli lukisan itu seharga sekitar AS $ 550.000, dan Beijar mendapat komisi 20%. Padahal, nilai transfer yang ada hanya AS $ 85.000, berarti sekitar AS $ 355.000 hilang. Martin tidak menemukan uang tunai dalam jumlah berarti di apartemen Roy maupun rekening lain di bank.
Didalangi majikan?
Saat memeriksa apartemen Roy, Martin dan Hrycyk menemukan tanda bukti penyewaan safe deposit box di sebuah bank di Beverly Hills, dan surat penitipan rumah mobil. Dengan bekal surat penggeledahan, mereka membuka rumah mobil itu. Di sana ditemukan dua foto pembesaran yang salah dari I Fria Luften. Mereka juga menemukan kopi negatif. Bukti-bukti itu lagi-lagi hanya menguatkan kejahatan pemalsuan dan pencurian lukisan.
Mengenai sejumlah uang yang hilang, Martin tidak terlalu memusingkannya. Berdasarkan pengalaman, dengan sedikit ancaman, seorang terhukum rela mengaku di mana menyimpan uangnya, asalkan mereka mendapat pengurangan hukuman. Namun, Martin harus gigit jari, sampai saat pengadilan digelar, Roy tidak juga mengaku di mana uang itu disimpan.
Harapannya hanya pada Esther, si wanita berdarah Latin. Bisa jadi ia tahu di mana Roy menyembunyikan uang itu. Dengan melacak catatan keuangan Roy, Martin dapat dengan mudah menemukan alamat Esther.
Menurut pengakuan Esther, selama perjalanan di Eropa, Roy tidak pernah mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan lukisan. Roy hanya mengatakan, di Stockholm akan menjual aset dengan nilai transaksi cukup menggiurkan. Selebihnya, Esther mengaku, tidak tahu apa-apa. Dari cara Esther menjawab, Martin dapat dengan cepat menyimpulkan, wanita itu memang tidak banyak tahu tentang “operasi” Roy.
Kejutan muncul saat pemeriksaan. Meski membenarkan semua pengakuan Rossi, Roy tetap tidak mau mengaku bersalah. Itu karena ia hanya menjalankan perintah Libby.
“Itu sebabnya pula polisi tidak bakal menemukan uang itu, karena seluruh uang diserahkan kepada Libby. Saya hanya mendapat komisi 20%,” aku Roy.
“Tidak masuk akal,” kata Martin. “Katanya, selama perjalanan keliling Eropa setiap kali ia mengirimkan uang tunai AS $ 20.000 melalui pos.”
Menurut pengakuannya, jumlah uang penjualan itu sangat besar, jadi akan merepotkan bila dibawa-bawa dalam perjalanan. Maka, sekembali ke California, setiap kali menyajikan sarapan, ia menyelipkan setumpuk uang di bawah serbet di samping cangkir kopi Libby.
Sedangkan biaya perjalanannya, aku Roy, diambil dari penjualan lukisan yang pertama dicurinya.
Roy juga menyatakan, ia tidak peduli dengan klaim asuransi sebesar AS $ 500.000 dari keluarga Keck atas kehilangan lukisan itu.
Dari pemeriksaan ulang oleh Deputi Jaksa Wilayah Michael Montagna, Roy bersikukuh, semua uang penjualan lukisan sebagian besar disimpan Libby. Alasannya, Libby membutuhkan uang untuk membayar pengacara yang mengurus perceraiannya.
Bagaimana reaksi Libby?
“Sungguh menggelikan pengakuan itu. Mengapa aku harus mencuri lukisan koleksi hanya demi secuil uang? Kalau perlu, saat ini pun aku bisa menuliskan cek senilai uang itu,” jawab Libby dengan wajah marah.
Memang, selama ini Libby mendapat banyak uang dari suaminya. Libby juga mempunyai rekening pribadi senilai AS $ 11 juta. Setiap bulan diperkirakan tidak kurang dari AS $ 200.000 didapatnya.
Begitupun Roy masih bersikukuh bahwa Libby dalang semua pencurian itu. la memberikan lukisan itu di tempat parkir Hotel Bel Air.
Jawaban itu mentah-mentah ditolak Libby, “Seumur hidupku aku tidak pernah menginjak hotel itu.”
Namun, pembela Roy, Don Randolph mengingatkan, sebelum menikah dengan Big Howard, Libby pernah menjadi istri seorang pria yang belakangan menjadi pemilik Hotel Bel Air.
Fakta itu tetap tidak membuat Libby mengubah pengakuan.
Pengadilan selanjutnya menghadirkan Big Howard, yang pas disebut sebagai pemilik sah lukisan itu. Big Howard mengaku, telah menerima uang pengganti asuransi atas kehilangan lukisan itu. Di pengadilan tampak benar betapa Big Howard sangat berhati-hati dalam berucap. Maka, ketika tim pembela bertanya padanya apakah istrinya berbohong atau tidak jujur, dengan diplomatis Big Howard menjawab, “Saya tidak yakin ia jenis orang yang dapat dipercaya.”
Wah, kalau begitu, mana yang benar, Roy atau Libby?
Tetap tidak terlacak
Dewan juri sungguh terombang-ambing dalam menentukan keputusan. Sikap Libby di pengadilan dianggap menyebalkan. Tak heran beberapa anggota juri mulai bersimpati pada Roy.
Namun, kemudian mereka mencoba untuk benar-benar menilai secara objektif. Libby mungkin benar, uang yang hilang itu ibarat setetes air dari seember air yang ia miliki.
Kemungkinan keduanya bekerja sama sudah dibuang jauh-jauh.
Kalau Libby terlibat, apa yang dia harapkan? Bukankah uang asuransi jatuh di tangan suaminya?
Juga, untuk apa ia mencuri lukisan kecil yang pertama kali dijual seharga AS $ 6.000? Apakah untuk latihan agar Roy tahu jalur perdagangan barang seni, seperti kata Roy? Rasanya tidak perlu, bukankah Libby sudah tahu jalur-jalur penjualan barang seni?
Akhirnya juri memutuskan, Roy harus menghabiskan 10 bulan dalam kurungan penjara. Herannya, AS $ 355.000 tak terlacak ke mana menguapnya.
" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400971/lukisan-cat-minyak-tanpa-tekstur" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659533946000) } } [9]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400977" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/kalung-mutiara_jayden-brandjpg-20220803013743.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Sir Septimus selalu mengumpulkan keluarga dan teman untuk merayakan Natal. Namun acara tahun itu, dikacaukan hilangnya sebuah kalung mutiara." ["section"]=> object(stdClass)#136 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/kalung-mutiara_jayden-brandjpg-20220803013743.jpg" ["title"]=> string(14) "Kalung Mutiara" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 13:38:07" ["content"]=> string(20910) "
Intisari Plus - Sir Septimus selalu mengumpulkan keluarga dan teman untuk merayakan Natal. Namun acara tahun itu, dikacaukan hilangnya sebuah kalung mutiara.
-------------------
Sir Septimus Shale bukan orang yang banyak cingcong. Istrinya yang jauh lebih muda itu diberinya kebebasan penuh. Sir Septimus tidak peduli rumahnya yang kuno itu diberi perabot modern. la juga tidak melarang istrinya berteman dengan para seniman dan penyair yang anti tata bahasa. Bahkan ia tidak keberatan istrinya berdandan menor.
Namun, setahun sekali, pada saat Natal, istrinya harus menuruti kehendaknya. Sir Septimus bersikeras agar Natal dirayakan secara tradisional. la akan membawa keluarganya ke rumahnya yang lain, yang berada di luar kota. Para pelayan diperintahkan menggantungkan daun-daunan dan buah-buahan hiasan Natal di lampu-lampu. Radiator listrik disuruhnya dicabut dari perapian, untuk digantikan dengan kayu bakar. Lalu dikumpulkannya keluarganya dan teman-teman untuk dijamu dengan makanan. Natal gaya zaman baheula.
Setelah memaksa mereka menelan makanan mode zaman bedil sundut itu, mereka diajaknya main tebak-tebakan, lalu diakhiri dengan main sembunyi-sembunyian di dalam gelap.
Karena Sir Septimus kaya-raya, tamu-tamunya menurut saja. Mungkin ada juga yang merasa bosan, tetapi mereka tidak menyatakannya.
Kebiasaan lain yang dilakukan oleh Sir Septimus setiap malam Natal ialah menghadiahkan sebutir mutiara kepada putrinya, Margharita, yang kebetulan berulang tahun tanggal 24 Desember. Walaupun mutiara itu tidak terlalu besar, yaitu cuma lebih besar sedikit dari kacang polong, tetapi kualitasnya tinggi. Tidak heran kalau kalung milik Margharita sampai masuk kolom gosip di koran-koran.
Hai, mana kalungmu?
Malam Natal itu Sir Septimus menyerahkan butir mutiara yang ke-21. Penyerahan dilakukan dalam pesta yang dimeriahkan dengan dansa dan pelbagai pidato.
Keesokan malamnya, tanggal 25 Desember, ada perjamuan lagi, walaupun tamunya cuma sebelas orang. Mereka itu: John Shale (adik Sir Septimus) dengan istrinya dan anak mereka, Henry dan Betty; Oswald Truegold (tunangan Betty) yang berambisi menjadi anggota parlemen; George Comphrey (kemenakan Lady Shale) yang berumur 30-an; Lavinia Prescott (teman George); Joice Trivett (teman Henry); Richard dan Beryl Dennison (kerabat jauh Lady Shale) yang hidup berfoya-foya di kota tanpa seorang pun tahu dari mana sumber keuangannya. Masih ada seorang lagi: Lord Peter Wimsey, bujangan putra almarhum Duke of Denver yang kaya-raya. la diundang dengan harapan akan tertarik pada Margharita.
Selain mereka hadir pula sekretaris Sir Septimus, yaitu William Norgate dan sekretaris Lady Shale, Nona Tomkins. Tanpa kehadiran dua orang yang terakhir itu, pesta Natal tidak akan terselenggara dengan lancar.
Sesudah menyantap sup, ikan, kalkun, daging panggang, puding, kue-kue, buah-buahan dan meneguk lima macam anggur, sebagian orang merasa ingin sekali buru-buru mencium bantal. Margharita yang di lehernya terkalung mutiara pun sudah kelihatan lelah. Tetapi tuan rumah masih ingin mengajak tamu-tamunya mengikuti pelbagai permainan di ruang duduk yang terletak di tingkat kedua. Permainan itu dari tahun ke tahun hampir sama saja.
Mula-mula mereka main 'berebut kursi', diiringi oleh permainan piano Nona Tomkins. Selesai berebut kursi, mereka 'berburu sandal'. Siapa lagi yang kebagian menyediakan sandal untuk disembunyikan lalu dicari-cari kalau bukan Nona Tomkins.
Setelah itu mereka main 'Dumb Crambo'. Dalam permainan ini ada orang yang kebagian pura-pura bisu. la harus 'menerjemahkan' sepatah kata dengan gerakan-gerakan, sementara yang lain mencoba menerka apa yang dimaksudkannya.
Setelah permainan yang penuh gerak itu, William Norgate mengusulkan agar mereka main permainan yang tidak terlalu melelahkan. Sir Septimus memilih main tebak-tebakan lain yang sifatnya lebih tenang. Nama permainan itu: 'Binatang, Sayuran atau Mineral'. Setelah itu rencananya mereka akan main sembunyi-sembunyian.
Orang yang mendapat giliran terakhir untuk menebak dalam permainan 'Binatang, Sayuran dan Mineral' adalah Oswald Truegold. la dikurung dulu di ruangan sebelah, sementara yang lain merundingkan benda apa yang harus ditebak oleh Truegold.
Pada saat itulah Sir Septimus tiba-tiba berseru kaget, "Hai, Margy! Mana kalungmu?" Putrinya tenang-tenang saja. "Tadi saya lepaskan, Ayah. Takut putus dipakai main 'Dumb Crambo'. Tuh ada di meja. Eh, mana dia? Disimpan Ibu, ya?"
“Tidak!" jawab ibunya cemas. "Kalau Ibu lihat sih pasti Ibu simpankan. Ceroboh betul sih, kamu!"
"Eh, barangkali Ayah bergurau, nih. Disembunyikan Ayah, ya?"
Sir Septimus menyangkal keras. Semua orang segera mencari. Di ruang yang rapi dan tidak penuh sesak oleh perabot itu tidak banyak tempat untuk menyembunyikan kalung.
Setelah sepuluh menit mencari tanpa hasil, Richard Dennison yang tadi duduk dekat dengan meja jadi tampak serba salah.
"Wah, sangat tidak enak nih bagi saya," keluhnya kepada Wimsey.
Semua digeledah
Saat itu Oswald Truegold yang 'disimpan' di ruangan sebelah, menjengukkan kepalanya dari pintu. "Lama betul, sih!" katanya. Orang-orang lain baru ingat kepada Truegold yang terlupakan dan juga ingat bahwa dalam permainan 'Dumb Crambo' tadi mereka mempergunakan juga ruangan sebelah. Ruang itu pun ikut diperiksa dengan saksama. Siapa tahu Margharita tadi lupa meletakkan kalungnya di sana.
Setelah setengah jam mencari, tetap saja kalung itu tidak ditemukan.
"Mestinya ada di salah satu dari ruangan ini," kata Wimsey. "Ruangan sebelah tak punya pintu, sedangkan tak satu pun dari kita keluar dari ruang duduk ini." Sementara itu jendela-jendela yang berdaun tebal terkunci rapat.
Akhirnya William Norgate yang efisien memberi usul, "Saya kira, Sir Septimus, beban pikiran kita akan hilang kalau kita semua digeledah."
Sir Septimus kaget. Sungguh tak pantas tamu-tamunya digeledah. Namun, para tamunya malah menyokong usul Norgate. Jadi pintu pun dikunci, lalu semua digeledah. Kaum pria di ruang duduk, sedangkan kaum wanita di ruangan sebelah.
Hasilnya tetap nihil. Cuma saja ketahuan isi kantung masing-masing. Lord Peter Wimsey membawa-bawa catut, kaca pembesar dan meteran yang bisa dilipat. la memang terkenal sebagai saingan Sherlock Holmes. Oswald Truegold membawa-bawa dua pil untuk menambah darah, yang dibungkusnya di secarik kertas.
Henry Shale mengantungi buku saku The Odes of Horace, sedangkan John Shale berbekal lilin merah untuk menyegel, sebuah jimat kecil dan uang logam 5 shilling.
George Comphrey membawa gunting lipat dan tiga kotak gula! Gula itu jenis yang biasa disuguhkan di restoran-restoran dan restorasi kereta api. Apakah itu gejala kleptomania?
Norgate yang efisien itu di luar dugaan membawa-bawa sekelos benang putih, tiga utas tali dan dua belas peniti yang tercocok di kartu. Orang-orang lain baru maklum ketika mengingat bahwa sekretaris Sir Septimus itu bertugas mengawasi dekorasi ruangan.
Semua jadi terbahak-bahak ketika giliran Richard Dennison digeledah. Soalnya, ia membawa-bawa kotak bedak dan setengah kentang. Konon kentang itu penangkal encok, sedangkan benda yang lain milik istrinya.
Seperti anjing pelacak
Di ruangan tempat wanita, penemuan malah lebih gawat lagi. Nona Tomkins membawa buku ramalan garis tangan, tiga jepit rambut dan foto bayi.
Beryl Dennison membawa kotak rokok yang memiliki ruang rahasia. Sebuah surat yang sangat pribadi ditemukan dalam pakaian Lavinia Prescott. Betty Shale membawa catut pencabut alis dan sebungkus puyer putih. Katanya, obat sakit kepala.
Semua tegang ketika di tas Joyce Trivett ditemukan seuntai mutiara. Namun, segera ketahuan bukan itu yang mereka cari. Mutiara itu selain kecil-kecil juga sintetis. Penggeledahan tidak memberi hasil yang diinginkan.
Lalu ada yang mengusulkan agar Sir Septimus memanggil polisi. Sir Septimus jelas tidak mau, sebab ia tidak ingin menjadi bahan berita. la yakin kalung mutiara itu masih ada di sana. Jadi sebaiknya diperiksa lagi dengan saksama. "Ehm, apakah Lord Peter Wimsey yang banyak pengalaman dalam, ehm, peristiwa-peristiwa misterius bisa menolong?" tanyanya.
"Eh?" sahut Wimsey, "Oh, tentu, tentu." Yang lain memberi dukungan.
"Saya coba, ya?" katanya. "Apakah Anda sekalian keberatan kalau Anda semua duduk di ruangan lain? Tapi saya minta Sir Septimus mendampingi saya sebagai saksi.”
Semua tak keberatan. Wimsey menggiring mereka ke ruangan dalam, lalu bersama Sir Septimus memeriksa ruang tamu dan ruangan di sebelahnya sekali lagi. la bukan cuma merangkak-rangkak di lantai, tetapi juga menengadah ke langit-langit. Ketika ia merangkak-rangkak itu Sir Septimus cuma bisa berjalan mengikuti di belakang. Adegan itu mirip anjing yang sedang diajak berjalan-jalan oleh tuannya. Tak ada sejengkal lantai pun dan tak ada sebuah sudut pun dilewatkan.
Di kamar sebelah, pakaian-pakaian yang ada diperiksa satu demi satu. Hasilnya tak ada. Akhirnya Wimsey telungkup di lantai, mengintip ke kolong sebuah lemari baja, yaitu satu-satunya perabot berkaki pendek di sana.
Tampaknya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. la menggulung lengan bajunya dan berusaha menjangkau sesuatu yang terletak jauh di kolong. Ketika ia tidak berhasil mencapai benda yang ia inginkan, dikeluarkannya meteran lipat dari sakunya untuk dijadikan alat penolong. Ternyata benda yang ia keluarkan itu sebatang jarum.
Bukan jarum biasa, melainkan jarum yang halus, mirip yang dipakai oleh ahli serangga untuk menancapkan binatang koleksi mereka yang kecil-kecil. Panjangnya-paling-paling 2 cm. Ujungnya lancip dan pentulnya kecil.
"Astaga! Apa, sih itu?"
"Ada pengumpul kumbang atau serangga di sini?" tanya Wimsey sambil memeriksa benda itu.
“Saya yakin tidak ada. Coba saya tanyakan."
"Jangan!" cegah Wimsey. la memandang ke lantai yang licin berkilat, yang memantulkan wajahnya.
“Ah, sekarang saya tahu di mana mutiara-mutiara itu," kata Lord Peter Wimsey tiba-tiba. "Tapi saya tak tahu siapa yang mengambilnya. Harap jangan Anda katakan kepada siapa-siapa kita menemukan jarum ini. Persilakan saja semua tamu untuk kembali ke kamar masing-masing. Tolong kunci ruangan ini dan simpan kuncinya. Sebelum sarapan nanti kita tangkap malingnya."
Jadi centeng
Walaupun Sir Septimus merasa tercengang, ia menurut. Malam itu Lord Peter Wimsey bergadang mengamat-amati pintu ruang tamu. Tak seorang pun datang ke dekat tempat itu.
Lord Wimsey membuat catatan: Dalam permainan tebak-tebakan 'Binatang, Sayuran atau Mineral', mereka masing-masing mendapat kesempatan berada sendiri dalam ruangan sebelah. Cuma Joyce Trivett dan Henry Shale yang masuk berdua. Lady Shale, Margharita dan Wimsey tidak kebagian masuk ke sana.
Siapakah yang kira-kiranya di antara sebelas orang yang paling naksir kalung? Semua, kecuali Sir Septimus. Kedua sekretaris selama ini bisa dipercaya, tapi bukan tak mungkin mereka menginginkan benda berharga itu. Suami-istri Dennison terkenal besar pasak daripada tiang. Betty Shale membawa puyer putih yang misterius. Obat bius? Di kota ia juga bergaul di kalangan orang-orang yang tak terlalu bersih. Henry tampaknya 'tak berbahaya', tapi siapa tahu Joyce Trivett mendorongnya? Comphrey diketahui pernah berspekulasi dan Oswald Truegold sering taruhan dalam pacuan-pacuan kuda.
Ketika para pelayan sudah muncul, Wimsey berhenti mencentengi pintu. la pergi ke tempat sarapan. Ternyata ia sudah didahului Sir Septimus, istrinya dan anaknya. Tak lama kemudian tamu-tamu lain muncul. Suasana agak kikuk. Seakan-akan sudah berjanji, tak seorang pun menyebut-nyebut soal kalung.
Nanti membawa sial
Sehabis sarapan, Oswald Truegold-lah orang pertama yang berani bertanya, "Malingnya tertangkap, Wimsey?"
"Belum," jawab Wimsey dengan acuh tak acuh.
Sir Septimus yang sudah bersekongkol dengan Wimsey lantas berkata. "Sungguh menyebalkan. Hr'rm! Tak ada jalan lain daripada melapor kepada polisi, saya kira."
"Pada hari Natal pula! Hr'rm! Merusakkan suasana. Rasanya muak melihat hiasan ini semua," katanya seraya menunjuk ke kertas-kertas warna dan dedaunan hijau yang menghiasi dinding.
"Angkat sajalah! Hr'rm! Bakar!"
"Ah, jangan. Sayang!" kata Joyce. "Kita 'kan sudah bersusah-susah mengerjakannya."
"Biarkan saja, Paman," kata Henry Shale. "Paman terlalu memikirkan mutiara itu. Pasti nanti ketemu."
"Anda ingin James dipanggil untuk membenahinya?" tanya Norgate, sang sekretaris.
"Tidak usah!" kata Comphrey. "Kita saja yang membereskannya. Kita perlu menyibukkan diri untuk melupakan kerisauan."
"Baik!" kata Sir Septimus. "Mulai saja sekarang! Sebal!" la merenggut sebuah cabang tanaman holly dari atas perapian dan melemparkannya ke api. Segera juga lidah api menjilat-jilat.
"Bagus buat kayu bakar," kata Richard Dennison. la melompat untuk merenggut mistletoe (benalu yang berdaun dan berbunga kekuning-kuningan serta berbuah putih bulat-bulat) dari lampu gantung.
“Eh, nanti membawa sial kalau diturunkan sebelum tahun baru," komentar Nona Tomkins.
"Itu 'kan cuma takhayul. Semua kita turunkan, dari atas tangga dan di ruang tamu juga."
"Tidak. Lord Peter bilang mutiaranya tak ada di situ. Pintu ruang tamu sekarang sudah dibuka. Ya, 'kan Wimsey?"
“Ya. Mutiaranya sudah dibawa pergi dari sini. Saya belum tahu bagaimana. Tapi saya yakin. Saya pertaruhkan reputasi saya deh!" jawab Wimsey.
"Kalau begitu, ayo deh, Lavinia," ajak Comphrey. "Kau juga Dennison. Kita berlomba ke ruang tamu. Saya akan menangani ruangan di sebelahnya."
“Tapi 'kan polisi akan datang," kata Dennison. "Semua harus dibiarkan seperti semula."
"Persetan dengan polisi," teriak Sir Septimus. "Mereka tak mau daun-daunan."
Dua puluh dua jarum pentul
Oswald Truegold dan Margharita sudah menjambreti holly dan daun ivy dari tangga sambil tertawa-tawa. Semua berpencar. Wimsey diam-diam masuk ke ruang duduk yang sedang diobrak-abrik. Didapatinya George Comphrey dan Lavinia Prescott sedang tertawa-tawa.
"Bantu, dong!" kata Lavinia kepada Wimsey. Wimsey diam saja. la menunggu sampai ruangan bersih lalu menemani mereka ke ruangan bawah. Api perapian sedang menjilat-jilat, karena mendapat umpan. la berbisik kepada Sir Septimus.
Sir Septimus mendekati George Comphrey dan menyentuh bahunya. "Lord Peter ingin berbicara denganmu, Nak," katanya. Comphrey terperanjat dan dengan enggan mengikuti Sir Septimus.
"Pak Comphrey," kata Wimsey. "Saya kira ini milik Anda," katanya seraya mengangsurkan telapak tangannya. Di situ ada 22 jarum halus berpentul kecil.
Buah benalu
"Untung Anda menyadari kehilangan kalung itu sebelum permainan sembunyi-sembunyian. Kalau kehilangan ketahuan setelah itu, artinya ruangan yang harus kita selidiki lebih banyak lagi. Lagi pula mustahil pintu semua ruangan mesti kita kunci? Si Pencuri akan lebih leluasa mengambilnya dari tempat persembunyian," kata Wimsey setelah semuanya beres.
"la pernah hadir pada pesta Natal sebelumnya dan tahu pasti akan ada tebak-tebakan 'Binatang, Sayuran dan Mineral'. Jadi ia menyediakan jarum. Ketika Nona Shale mencopot kalung pada saat main 'Dumb Crambo', ia mendapat kesempatan. la cuma tinggal menyambar kalung dari meja pada saat mendapat giliran masuk ke ruangan sebelah.
Sedikitnya ia mempunyai waktu lima menit untuk sendirian di sana, yaitu pada saat menunggu kita merundingkan kata apa yang harus ditebaknya. la memutuskan benang dengan pisau sakunya, lalu membakar benang-benang itu di perapian. Mutiara-mutiara ditancapkannya ke benalu dengan jarum.
Benalu itu tergantung tinggi di lampu gantung, tetapi ia bisa mencapainya dengan berdiri di meja kaca, yang bisa diseka agar tidak meninggalkan bekas. la yakin pasti tidak ada orang yang ingat memeriksa benalu. Mutiara-mutiara itu 'kan mirip buah benalu.
Saya tidak teringat untuk memeriksanya kalau saja tidak ada sebatang jarum pentul yang jatuh. Jarum pentul itu membuat saya berpikir: jangan-jangan kalung itu sudah digunting benangnya dan mutiaranya disimpan tidak dalam bentuk untaian lagi.
Saya mengambil benalu itu semalam dan menemukan semua mutiara di sana. Kaitan kalung pun ada di situ, di antara daun-daunan. Ini dial"
“Saya tahu Comphreylah orang yang kita cari ketika ia mengusulkan agar kita membereskan sendiri dekorasi Natal dan ia memilih ruangan sebelah. la pasti kaget sekali ketika melihat mutiara yang disembunyikannya sudah hilang."
"Anda segera tahu mutiara itu tergantung di benalu ketika Anda menemukan jarum?" tanya Sir Septimus.
"Ya."
"Tapi 'kan waktu itu Anda sama sekali tidak menengadah."
"Oh, saya melihat pantulannya di lantai yang hitam berkilat. Saat itu saya heran, kok buah benalu mirip betul mutiara," jawab Lord Peter Wim. (Dorothy L Sayers)
" ["url"]=> string(59) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400977/kalung-mutiara" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659533887000) } } [10]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304235" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/lukisan-rembrandt-digondol-malin-20220603020220.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(130) "Sebuah beling kaca berserakan dari jendela, dua lukisan paling bernilai milik museum hilang, hingga menyajikan misteri pencurian. " ["section"]=> object(stdClass)#140 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/lukisan-rembrandt-digondol-malin-20220603020220.jpg" ["title"]=> string(33) "Lukisan Rembrandt Digondol Maling" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:02:54" ["content"]=> string(37427) "
Intisari Plus - Sore yang dingin di mana angin bertiup tak seperti biasanya, agaknya ada yang aneh. Sebuah beling kaca berserakan dari jendela, membuat daun dan angin masuk ke dalam ruang musim. Benar saja, dua lukisan paling bernilai milik museum hilang, hingga menyajikan misteri pencurian.
-------------------------
Tanggal 21 Desember 1971 sore satpam bernama Jackie Joubert bertugas mengunci pintu-pintu museum kota tua Prancis yang terletak di tepi S. Loure itu. Keesokan paginya Joubert juga yang bertugas melakukan pengecekan rutin sebelum museum dibuka untuk umum.
Mula-mula ia pergi ke Salle Hollandaise, Ruang Belanda, yang berisi lukisan para pelukis Belanda. Begitu pintu dibukanya, angin dingin menerpa wajahnya. Joubert terkejut.
Angin itu tidak bisa datang dari tempat lain, kecuali dari jendela satu-satunya yang ada di ruang itu, jendela yang selalu terkunci dan yang letaknya kira-kira 4 m dari tanah. Joubert segera masuk. Dilihatnya kedua daun jendela terpentang.
Tiap daun jendela mempunyai dua belas kaca. Salah satu kaca itu pecah dan pecahannya berserakan di lantai. Di antara beling-beling itu ada batu. Joubert menengok ke dinding. Dilihatnya ada dua bidang yang kosong. Museum kemalingan!
Madame Marie Noelle Pinot de Villechenon, kurator museum itu menjadi lemas. Soalnya, yang lenyap itu justru lukisan mereka yang terbaik, yaitu Pemandangan Laut karya van Goyen yang dibuat pada abad XVII dan Pelarian ke Mesir buatan Rembrandt.
Lima menit kemudian, pada pukul 09.20, telepon kantor polisi pusat di Tours berdering. Penyambut telepon segera mencari Komisaris Polisi Roger Millet. Dengan tenang dan jelas, Mme Pinot menjelaskan kepada Millet apa yang terjadi. Sebentar polisi mereka sudah berhasil merekonstruksikan bagaimana pencurian dilakukan.
Menurut para pekerja bangunan yang sedang memugar katedral di seberang museum, sebuah tangga kayu yang mereka pakai ternyata pindah tempat. Polisi mendapatkan kaki tangga itu dinodai oleh bahan yang terdapat di bawah jendela museum.
Mereka menduga, maling mempergunakan tangga itu untuk mencapai jendela lalu sebuah kaca dipukul sampai pecah dengan batu. Maling itu memasukkan tangannya lewat lubang pada jendela untuk membuka kaitan jendela.
Millet cepat-cepat kembali ke kantomya. Yang perlu ia lakukan sekarang ialah berusaha memperoleh kembali lukisan-lukisan yang dicuri itu sebelum si maling sempat membawanya ke tempat lain. Detail mengenai pencurian itu urusan belakangan.
Millet menghubungi bukan hanya kantor walikota dan markas besar polisi nasional serta pabean nasional, tetapi juga organisasi museum-museum Prancis dan markas besar Interpol di Paris, selain pelbagai individu.
Keesokan harinya dua orang polisi berpengalaman dari Orleans, Inspektur Hubert Boisseau dan Pierre Malahude, datang untuk bergabung dengan Millet dkk, yang bekerja 24 jam.
Lukisan Rembrandt merupakan kebanggaan Kota Tours. Mereka ingin lukisan itu kembali dan pencurinya dihukum. Cuma saja mereka kehilangan jejak. Tidak ada sidik jari, sidik sepatu, secarik kain, atau bahkan seutas benang pun ditinggalkan si maling.
Buku tamu pada hotel-hotel diperiksa dengan saksama, tetapi nama-nama yang dimasukkan ke komputer polisi tidak satu pun yang termasuk dalam daftar hitam polisi ataupun mempunyai hubungan dengan dunia hitam.
Diam-diam polisi menyelidiki latar belakang para karyawan museum dan bahkan para pekerja yang sedang memugar katedral serta gedung-gedung berdekatan. Semua hasilnya negatif.
Selama sebulan polisi-polisi berpakaian preman keluar-masuk bar dan kafe untuk pasang kuping. Siapa tahu terbetik keterangan yang bisa mengantarkan mereka kepada si pencuri. Hasilnya nihil. Pencuri (atau mungkin pencuri-pencuri) lenyap tanpa bekas.
Ditelepon "pengacara"
Bulan Februari 1972, Inspektur Charles Pontramon dari Kepolisian Nasional Prancis di rue de Saussaies, Paris, membaca sebuah telegram yang disampaikan oleh Interpol Prancis, yang berkantor di gedung yang sama. Telegram itu asalnya dari Interpol Wiesbaden, Jerman.
Bunyinya kira-kira: "Menurut informasi rahasia dari kepolisian Berlin, dua lukisan yang dicuri bulan Desember 1971, yaitu Pelarian ke Mesir oleh Rembrandt dan Pemandangan Laut oleh Van Gogh berada di Berlin selama beberapa hari untuk dijual ke Amerika Selatan. Jika Anda mempunyai keterangan perihal pencurian itu, harap kirim pada kami."
Cepat-cepat dihubungkannya Millet untuk mengetahui perkembangan terakhir, lalu dibalasnya telegram dari Jerman itu. Bunyi balasannya kira-kira: "Pelarian ke Mesir karya Rembrandt dan Pemandangan Laut karya van Go- yen (bukan Van Gogh) dicuri dari Museum Tours pada malam antara tanggal 21 dan 22 Desember.
Lukisan itu lenyap bersama bingkainya. Foto-foto lukisan itu akan dikirim kepada Anda. Kalau ditemukan, tolong tahan orang-orang yang membawa lukisan itu. Beri informasi cepat, supaya bisa memperoleh surat perintah penahanan internasional. Kalau sudah dilakukan, polisi Prancis akan datang ke Paris."
Yang berhasil mencium bau kehadiran lukisan curian itu sebetulnya bukan Interpol, tetapi polisi Berlin bagian anti pencurian. Kawat dari Pontramon pun disampaikan oleh Interpol Jerman kepada Komisaris Kepala Hans Deter dari Berlin Barat.
Sebelas hari sebelumnya Deter ditelepon oleh orang tidak dikenal.
"Saya pengacara di Berlin Barat," kata orang itu. "Saya mewakili seorang klien yang karena sebab-sebab tertentu ingin namanya dirahasiakan saat ini. Klien saya itu ditawari lukisan buatan Rembrandt seharga DM 100.000.”
“Menurut klien saya itu, masih ada lukisan lain yang akan dijual, yaitu buatan van Goyen. Kalau kedua lukisan itu jadi dijual, keduanya akan dibawa ke Amerika Selatan. Klien saya yakin lukisan-lukisan itu dicuri dari Amsterdam, la ingin tahu apakah ada imbalannya bagi pemberi keterangan yang memungkinkan lukisan itu ditemukan kembali."
Deter menjawab, ia akan mencari tahu dan meminta penelepon untuk menelepon kembali nanti.
Komisaris Kepala Deter merasa curiga. Orang yang mengaku pengacara itu tidak mau memberi tahu identitasnya. Ini sama saja minta tebusan DM 100.000 dengan mengancam lukisan itu akan dibawa ke Amerika Selatan.
Ia curiga jangan-jangan penelepon itu sekongkol dengan seseorang yang mengetahui keterangan mengenai lukisan itu atau bahkan mereka memiliki lukisan-lukisan curian itu.
Namun saat itu Deter tidak tahu bahwa ada lukisan Rembrandt yang dicuri, karena tidak dikabarkan ke mana-mana. Untuk mengeceknya, Deter menelepon Interpol Wiesbaden, yang lalu menghubungi Interpol Paris dan kini Deter mendapat keterangan yang membenarkan.
Penelepon gelap yang menghubungi Deter sebelas hari yang lalu ternyata tidak pernah menelepon lagi. Kalau penelepon itu tahu mestinya ada orang lain yang tahu juga. Jadi diutusnya bawahan-bawahannya untuk turun ke bar dan tempat-tempat biasanya para maling bertemu. Polisi datang berpakaian preman.
"Saya sakit jiwa"
Beberapa hari kemudian seorang bawahannya melapor bahwa ada orang yang perlu dicurigai. Namanya Karel Whitman, berkewarganegaraan Cekoslowakia. Nama itu dicari pada daftar hitam polisi Berlin. Ternyata tahun 1970 ia pernah mencuri, tapi cuma pencurian kecil. Namun Pontramon dikabari juga. Kawat dari Deter tiba tanggal 22 Februari.
Diketahui Whitman itu mempunyai pacar yang bernama Anne-Marie Frank, gadis Prancis. Deter mengirim kawat kepada Interpol Paris, meminta keterangan mengenai Anne-Marie.
Polisi nasional Prancis pun melakukan penyelidikan untuk mengetahui siapa itu Karel Whitman dan Anne Marie. Frank Deter menerima jawaban lewat Interpol Paris. Isinya menjelaskan bahwa mereka tidak bisa menemukan Karel Whitman di Prancis.
Pemuda itu diketahui lahir di Praha tanggal 14 Februari 1949. Anne-Marie Frank lahir tanggal 12 September 1944 di Parthenay Indre. Ayahnya, Victor, sudah meninggal, sedangkan ibunya bernama Marie Lavalle. Kini Anne-Marie mengajar dan tinggal pada keluarga Gormann di Schillerstrasse 12, Berlin.
Polisi Prancis hanya berhasil menemui ibu Anne-Marie. Menurut ibunya itu, Anne-Marie memang kenal pemuda bernama Karel Whitman. Dalam surat kepada ibunya yang bertanggal 13 Maret 1972, Anne-Marie bercerita bahwa Karel singgah di Berlin.
Anne-Marie Frank sendiri sudah meninggalkan Parthenay pada bulan November 1971. Tampaknya ia ke Amsterdam dulu sebelum kembali mengajar di rumah keluarga Gormann di Berlin. Polisi Prancis dalam kawat itu juga memberi tahu bahwa mereka mengirim foto Anne-Marie lewat pos. Foto itu sudah beberapa tahun umurnya, tetapi Anne-Marie masih sama rupanya.
Selain itu polisi Prancis juga menyertakan keterangan dalam kawatnya bahwa lukisan-lukisan yang dicuri dari Museum Tours itu tidak diasuransikan dan penemunya tidak akan diberi hadiah.
Pelarian ke Mesir pernah diasuransikan sebesar F 600.000 ketika dibawa ke luar dari museum untuk suatu pameran, namun nilainya pasti jauh lebih tinggi dari itu. Lukisan Pemandangan Laut buatan van Goyen jauh lebih rendah nilainya.
Polisi Prancis meminta keterangan dari Deter perihal semua yang diketahui Deter mengenai Whitman. Sebenarnya, sebelum kawat dari polisi Prancis itu tiba, sudah terjadi suatu peristiwa yang membuat polisi Berlin berurusan dengan Whitman.
Seorang penghuni Hotel-Pension Juno di Niebuhstrasse menelepon polisi menjelang dini hari, karena merasa terganggu oleh keributan di kamar tetangganya di hotel yang suram itu.
Ternyata keributan itu ditimbulkan oleh seorang pemuda bernama Karel Whitman yang bertengkar dengan seorang pelacur. Whitman dibawa ke kantor polisi. Ia diinterogasi. Bukan untuk keributan yang ditimbulkannya dengan wantia penghibur itu, melainkan untuk pencurian lukisan Rembrandt.
Mula-mula Whitman menyangkal pernah pergi ke Tours. "Kalaupun pernah, mungkin saya lupa," katanya. "Saya sakit jiwa akibat kecelakaan di masa kecil, sehingga harus dirawat di rumah sakit jiwa."
Interogasi dilakukan sepanjang hari. Menjelang sore, ceritanya berubah. "Betul, saya mempunyai teman perempuan di Tours," katanya hati-hati. "Mungkin Anda benar juga bahwa saya mengunjungi dia di Tours."
Betulkah keterangan orang-orang bahwa ia menyombongkan diri sebagai pencuri lukisan Rembrandt di Tours? Whitman mengangkat bahu. "Mungkin saya mendengar orang bercerita berulang-ulang tentang hal itu, lalu ketika mabuk saya berbicara ngaco. Saya benar-benar tidak tahu-menahu perihal lukisan itu."
Prancis tidak punya alasan untuk menuntut Karel Whitman. Karena orang tidak boleh ditahan lebih dari 24 jam tanpa tuntutan, Deter melepaskan Karel Whitman tanggal 28 Februari pagi. Setelah itu Whitman lenyap.
Polisi mencari pembual
Sejak musim panas tahun 1972, seorang pelayan kafe dan seorang temannya selalu tampak minum bir sampai mabuk di sebuah kafe di Heidelberg. Teman pelayan kafe itu namanya Von Arndt.
Von Arndt itu pernah berulang-ulang mencuri, tetapi ia cuma maling kelas teri. Kalau sudah mabuk, ia tidak henti-hentinya mengoceh, membualkan kepandaiannya mencuri. "Kalau kau bisa menjual lukisan Rembrandt, baru namanya jagoan," kata temannya.
Ternyata Von Arndt tidak menganggap tantangan itu sebagai gurauan. Beberapa hari kemudian ia muncul di kamar sewaan pelayan kafe itu, membawa seorang lain yang diperkenalkannya sebagai Fritz.
"Anda betul-betul mempunyai Rembrandt?" tanya Fritz.
"Tidak di sini, harus menunggu beberapa waktu untuk mengambilnya," jawab pelayan kafe itu.
Fritz mendesak. Katanya, ia punya teman seorang Swis, yang sudah menemukan seorang pembeli.
"Baiklah, nanti saya usahakan," jawab pelayan kafe itu. Ketika itu akhir musim gugur 1972, hampir setahun setelah lukisan itu dicuri.
Si pelayan kafe itu menelepon ke Berlin.
"Karel, lukisan itu sudah tidak ada lagi pada saya," jawab pria yang dihubunginya, "untuk memperolehnya, saya perlu waktu sedikitnya tiga minggu." Karel Whitman jadi lemas. Jangan-jangan orang itu sudah menjual lukisan tersebut dan tidak mau mengembalikannya kepadanya. la memutuskan untuk meninggalkan Heidelberg.
Tanggal 22 November ia pergi ke Berlin, tetapi ditangkap di Bandara Tempelhof di kota itu. Mengapa ia ditangkap dan siapa yang memberi tahu polisi?
Ketika itu di Heidelberg terjadi serentetan pencurian lukisan di museum dan gereja. Jadi polisi memasang mata-mata di pelbagai rumah minum dan tempat-tempat yang banyak didatangi maling. Kalau ada orang yang membual soal pencurian lukisan, namanya dicatat dan ia harus diselidiki.
Mata-mata polisi ternyata bukan mendapat keterangan mengenai pencurian lukisan di Heidelberg, melainkan mengenai Karel Whitman memiliki Rembrandt yang nilainya jauh lebih tinggi!
Komisaris Kepala Hans Deter merasa senang berhasil menemukan kembali Karel Whitman yang ia duga keras mempunyai hubungan dengan pencurian lukisan di Museum Tours.
Interpol Wiesbaden mengirim telegram pada Interpol Paris. Pihak Jerman menjelaskan bahwa Pelarian ke Mesir buatan Rembrandt yang dicuri di Tours ditawarkan di Heidelberg. Seorang warga negara Cekoslowakia, Karel Whitman, ditahan November itu di Berlin. Namun lukisan yang dimaksud belum ditemukan.
Mereka minta uang antara DM 5.000 - 6.000 untuk informan, supaya penyelidikan bisa dilanjutkan. Harap museum menyediakan jumlah tersebut dengan cepat. Kalau tidak, kemungkinan besar lukisan tidak bisa kembali. Sebelum Interpol Paris bisa menjawab, terjadi peristiwa yang tidak terduga-duga.
Wanita bermantel kuning ingin bertemu
Tanggal 28 November 1972, hari Selasa, bel berbunyi di sebuah ruang pameran Museum Tours. Ketika itu pukul 09.15. Lewat telepon intern, Mme Pinot, kurator museum itu, dipanggil agar menerima panggilan telepon di kantornya.
"Allo," sahutnya. Dari ujung sana kedengaran suara wanita, tetapi tidak jelas dan suaranya seperti terganggu. Kemudian hubungan putus.
Keesokan harinya, lewat tengah hari, Mme Pinot ditelepon orang lagi. Sekali ini suaranya jelas.
"Mme Pinot? Saya mempunyai masalah penting yang ingin dibicarakan dengan Anda." Wanita itu berbahasa Prands dengan lancar, tetapi aksen asingnya jelas. Mme Pinot hampir yakin aksen itu aksen Jerman.
"Saya kenal seorang yang bisa memperoleh beberapa lukisan yang pasti akan menarik Anda. Sudah ada orang di AS yang bersedia membayar DM 100.000 untuk lukisan-lukisan itu. Namun karena alasan sentimental, kenalan saya lebih suka kalau lukisan-lukisan itu kembali ke Tours…”
Penelepon menawarkan pertemuan di Saarbriicken, Jerman, untuk merundingkan hal itu. la berjanji akan menelepon lagi keesokan paginya dengan memberi detail.
Mme Pinot segera melapor pada polisi setempat. Pontramon di Paris dan Inspektur Gertou dari Orleans cepat-cepat diberi tahu. Mme Pinot menyatakan museum tidak mempunyai uang sebanyak tebusan yang diminta dan asuransi tidak meliputi pencurian. Dari mana ia bisa memperoleh uang sebanyak itu?
Keesokan paginya, pukul 08.15, Inspektur Gertou dan dua polisi lain sudah hadir di kantor Mme Pinot. Dengan tegang keempatnya menunggu. Pukul 09.15 wanita yang sama menelepon lagi.
"Anda sudah mempertimbangkan apa yang saya katakan kemarin?"
"Oui," jawab Mme Pinot. Lalu ia memberi jawaban yang sudah diatur polisi.
"Bagus," kata wanita itu.
"Saya mengusulkan agar kita bertemu di lantai dua restoran di stasiun kereta api Saarbriicken, Sabtu, tanggal 2 Desember ini, pukul 17.00. Supaya Anda bisa mengenali saya, inilah ciri-cirinya: saya berumur 35 tahun, bertubuh kecil, berambut coklat, dan akan memakai mantel kuning. Supaya tidak terjadi kekeliruan, saya juga akan membawa koran Prancis L'Aube."
"L'Aube?" Mme Pinot menyela. "Saya tidak kenal koran Prancis yang namanya L'Aube. Apa bukan L'Aurore?"
Wanita itu berdiam diri, mungkin bingung. Kemudian ia berkata, "Ya, saya akan membawa L'Aurore. Sampai Sabtu." Pembicaraan diputuskan.
Terburu nafsu
Hari itu juga, dengan berbekal surat kuasa untuk melakukan penyelidikan di negara asing, Inspektur Gertou yang mewakili polisi setempat dan Charles Pontramon yang mewakili polisi nasional Prancis, terbang ke Jerman.
Tanggal 2 Desember 1972, Stasiun Saarbriicken di perbatasan Prancis - Jerman kelihatan lebih sibuk dari biasanya. Kuli angkut dan petugas kebersihan lebih banyak dari biasa. Restoran di lantai dua juga mendapat tambahan pelayan.
Orang yang berangkat juga kelihatan lebih banyak dari biasa. Mobil yang diparkir di halaman stasiun pun lebih dari sehari-hari. Di mulut-mulut jalan pun ada mobil parkir. Di antara sopir taksi itu sebenarnya didapati sopir gadungan. Mereka dan karyawan yang pada hari-hari lain tidak ada sebenarnya polisi.
Inspektur Gertou dan Pontramon menunggu di sebuah pikup tertutup di seberang gerbong stasiun sambil mendengarkan laporan dari para polisi yang menyamar itu. Menjelang tengah hari datang Inspektur Frederick Vogel, detektif senior dari kepolisian Saarbriicken. Yang tidak ada malah Mme Pinot, yang dianjurkan tetap tinggal di Tours.
Pukul 17.00, kereta api ekspres dari Mainz tiba sesuai dengan jadwal. Semua siaga. Namun wanita bermantel kuning tidak muncul. Kereta pukul 17.23 datang dari Frankfurt menuju Paris tiba. Wanita bermantel kuning tidak ada juga.
Pukul 17.30 pelayan kios koran didatangi seorang wanita bermantel kulit warna coklat.
"L'Aurore, s'il vous-plait (Saya minta L'Aurore)," kata wanita itu dengan aksen Jerman yang kentara. Pelayan bermaksud mengambil L'Aurore, tetapi ia mendapatkan semua Koran L'Aurore sudah habis terjual. Ia minta maaf dan wanita itu membeli koran lain, lalu pergi.
Sebelumnya, wanita pelayan kios sudah mendapat penjelasan dari polisi mengenai apa yang harus ia lakukan. Jadi sekarang cepat-cepat ia bermaksud melapor. Ia mendekati seorang pria yang ia yakin polisi berpakaian preman, yang mesti ia hubungi kalau ada apa-apa.
Cepat-cepat ia ceritakan perihal wanita bermantel coklat yang ingin membeli Koran L'Aurore itu, tidak peduli si wanita mengawasinya. Pria yang diajaknya bicara mendengarkan dengan serius dan simpatik. Lalu ia mendekati wanita bermantel coklat itu. Bersama-sama keduanya bergegas ke luar dari stasiun. Di halaman depan mereka berpisah.
Wanita penjaga kios rupanya menceritakan pengalamannya kepada pria berpakaian preman lain. Sekali ini orang yang diajaknya bicara itu benar polisi. Cepat-cepat kedua orang yang meninggalkan stasiun itu dikejar.
Si wanita sudah lenyap. Si pria sementara masih berdiri di halaman depan, mungkin untuk memeriksa apakah ia diikuti atau tidak. Polisi mengikutinya. Pria itu naik ke sebuah VW Combi, lalu meluncur menuju kota yang berdekatan, Kirkel. Sekali ini pun polisi tidak mampu membuntutinya terus.
Tuan Garten menjadi calo
Pukul 18.40 telepon di markas besar polisi Saarbrucken berdering. Polisi yang menerima panggilan telepon itu kelihatan tertegun, lalu cepat-cepat menyampaikan telepon kepada Inspektur Vogel.
Penelepon itu berbahasa Jerman. Ia mengaku bernama Garten. "Istri saya dan sayalah yang mengatur pertemuan di stasiun," katanya. Ia tahu Vogel dan anak buahnya berada di stasiun. Katanya, ada kesalahan dalam perjanjian dengan Mme Pinot.
Pertemuan tidak mungkin dilakukan pukul 17.00, sebab kereta api dari Paris baru datang pukul 17.51. Tadinya ia bermaksud menghubungi polisi pada tanggal 3 Desember, yaitu setelah pertemuan dengan Mme Pinot terlaksana. Kini ia ingin mengadakan perjanjian untuk bertemu dengan polisi.
Inspektur Vogel mengusulkan agar Garten bertemu dengan polisi malam itu juga. Dengan ragu-ragu Garten menyetujui usul itu. Ia memilih tempat pertemuan yaitu di pelataran parkir yang letaknya katanya cuma kira-kira 1,5 km dari rumahnya di Kirkel.
Sejam kemudian mobil gerbong polisi tiba di tempat parkir itu. Vogel turun. Dilihatnya di kegelapan ada seorang pria mengisap rokok, Herr (Tuan) Garten.
Garten mengaku bekerja sebagai penjual. Katanya, ia melihat lukisan buatan Rembrandt yang dimaksud di rumah seorang temannya di Essen.
Karena pernah membaca di koran perihal pencurian lukisan di Tours, ia tahu sejarah lukisan itu, katanya, karena suatu alasan yang tidak bisa dijelaskan, ia terpaksa menjualkan lukisan itu. Di stasiun ia menjadi curiga, ketika wanita penjaga kios bertanya apakah ia polisi dan memberi tahu perihal apa yang terjadi.
Menurut Garten, ia yakin bisa mengatur pengembalian lukisan itu, tetapi tidak mungkin sebelum tanggal 6 Desember. Namun, orang-orang yang menyuruh menjualkan lukisan itu menginginkan uang DM 100.000. Ia sendiri merasa berhak mendapat bagian.
Vogel tertawa. Kita bereskan satu per satu dulu, mein Herr," katanya. "Mula-mula Anda harus membantu kami membicarakan yang lainnya." Garten berpikir sebentar, lalu mengangguk.
Keesokan harinya Garten melaporkan kepada Vogel bahwa ia sudah menelepon temannya di Berlin. Kepada temannya itu ia berkata sudah berhasil menemukan pembeli Rembrandt yang bersedia membayar DM 100.000.
Ia mengusulkan untuk mengadakan pertemuan di Bandara Tempelhof pada hari Sabtu, tanggal 9 Desember, yaitu saat yang dipilihnya untuk menyelesaikan transaksi. Temannya senang dan akan berada di Tempelhof pada saat yang ditentukan.
Begitu pembicaraan telepon itu selesai, Vogel menghubungi Inspektur Kepala Siegfried Rupp, seorang detektif di Bagian Penyidikan Kejahatan Federal di Wiesbaden. Rupp ahli pencurian barang seni dan sudah mengikuti kasus Rembrandt itu sejak mendapat kabar dari Deter sepuluh bulan sebelumnya.
Rupp menyatakan akan mengumpulkan DM 100.000 untuk dibawa ke tempat Vogel di Saarbriicken. Sekali ini mereka tidak boleh melakukan ketololan lagi.
Tanggal 8 Desember, Inspektur Rupp, Garten, si calo, dan Inspektur Vogel terbang ke Berlin. Deter menjemput mereka di bandara, lalu tiga polisi itu berunding perihal rencana operasi keesokan harinya.
Ditukar dengan uang sekantung plastik
Tanggal 9 Desember sore itu Bandara Tempelhof dijaga ketat oleh polisi berpakaian preman. Para detektif sudah dibekali foto Garten. Tiap lorong, tiap ruang, dan bahkan di tiap tingkat pelataran parkir serta tiap jalan yang berhubungan dengan bandara itu diamati oleh polisi.
Selain Rupp, hadir pula Pontramon dan Gertou dari kepolisian Prancis di tempat tersembunyi. Semua merasa tegang. Deter keluar keringat, walaupun udara dingin.
Kemudian kejadian yang ditunggu-tunggu tiba juga. Garten muncul bersama Vogel, yang menyamar sebagai pembeli. Di bangsal utama mereka tampak ragu-ragu. Seorang pria mendekati mereka. Peristiwa ini segera disampaikan kepada semua polisi yang berada di dalam dan di luar gedung lewat radio.
Kelihatan Garten memperkenalkan calon pembeli dengan pria yang datang mendekati itu. Keduanya bersalaman, lalu mereka bertiga bergegas ke luar untuk menaiki VW kuning, yang diparkir di pelataran di sebelah bandara.
VW bergerak maju. Kemudi dipegang oleh si orang tak dikenal. Calon pembeli berada di sebelahnya, sedangkan Garten di belakang. Mereka diikuti tujuh mobil polisi. Ada yang berupa mobil sedan, ada yang mobil gerbong, tetapi semuanya berpenampilan preman, padahal isinya polisi bersenjata.
Kira-kira 1 km dari bandara, VW itu menepi. Penumpangnya mengeluarkan gulungan kertas berwarna coklat. Vogel pergi ke tempat terang untuk memeriksa dengan saksama. Tidak salah lagi, ini barang asli. Vogel sudah seminggu lamanya mempelajari reproduksi lukisan itu di bawah bimbingan Rupp.
"Bagus," katanya. "Saya puas." Vogel menyerahkan sebuah kantung plastik penuh uang kepada pengemudi VW. "Seratus ribu mark," katanya.
"Setuju?" "Setuju," jawab si pengemudi. "Terima kasih."
Vogel keluar dari mobil membawa lukisan itu. Garten pindah ke tempat duduk di sebelah pengemudi. Vogel mengangkat topinya. Itu isyarat untuk para polisi yang membuntuti mereka.
Tiba-tiba saja orang-orang yang lalu-lalang dipekakkan oleh bunyi raungan sirine. Tujuh mobil polisi mengepung VW. Mereka berhenti dengan bunyi denyit ban yang nyaring. Pintu-pintu kendaraan terbuka dan sejumlah detektif bersenjata maju. Penjual lukisan ternganga. la tidak sempat berusaha melarikan diri. Klaus Leo Gormann tertangkap basah.
Di bawah pakaian kotor
Whitman diinterogasi. la menyangkal mengenal Gorman dan katanya, tidak tahu-menahu peruhal lukisan yang ditemukan.
Tengah malam Whitman diajak ke markas besar polisi. Di tengah jalan Rupp berhenti untuk membeli sejumlah koran. Tanpa berkata apa-apa, tumpukan koran itu ia taruh di pangkuan Whitman. Headline hari ini ialah mengenai penangkapan Gormann. Setelah membaca sebentar, Whitman menggeleng-gelengkan kepala, lalu ia nyerocos membukakan rahasianya.
Karel Whitman mengaku sebagai penyair. Setelah mengembara ke mana-mana dari negaranya, ia hidup di sebuah komune di Berlin. Pada suatu hari di bulan April 1970, jadi tak lama setelah ia tiba di Berlin, ke komune itu datang seorang gadis Prancis bernama Anne-Marie Frank.
Ia naif dan jenis wanita yang setia. Mereka jatuh cinta. Namun mereka tidak bisa hidup hanya dari mimpi. Jadi Anne-Marie yang datang ke Jerman untuk belajar menjadi guru bahasa Jerman itu pun mencari pekerjaan.
Ia diterima bekerja di rumah Klaus Leo Gormann, yang mengaku sebagai musikus dan pemahat. Anne-Marie mengajar bahasa Prancis kepada anak-anak Gormann.
Kemudian Whitman merasa Berlin membosankan. Jadi bersama Anne-Marie ia keluyuran di Eropa. Awal Desember 1971, Anne-Marie mengajak pacarnya (mereka sudah hidup bersama) ke Tours, Prancis, ke tempat tinggal kakaknya, Monique.
Pasangan itu tinggal di hotel murah, Hotel Zola. Menurut catatan Karim Moonjay, manajer hotel yang jorok itu, mereka mulai menginap di sana tanggal 16 Desember. Hotel itu dekat dengan katedral dan di seberang katedral itu ada gedung megah yang dulu menjadi tempat kediaman uskup agung, tetapi kini menjadi museum.
Tanggal 22 Desember, Whitman sendirian keluyuran dekat katedral. Penduduk sekitarnya seperti biasa sejak pukul 23.00 sudah mengunci pintu dan tidur. Whitman yang baru keluar dari rumah minum itu sedang mencari rumah minum lagi, ketika melihat papan-papan dipasang bertingkat-tingkat dekat dinding katedral yang sedang dipugar. Di situ juga bahkan ada tangga.
Menurut pengakuannya, ia terdorong begitu saja untuk membawa tangga itu menyeberangi jalan. Tangga itu ia sandarkan ke dinding museum. Ia berhasil mencapai jendela yang daunnya ditutup bukan dengan bantuan kunci, melainkan dengan kaitan saja. Ia meninju kaca jendela untuk memecahkannya, tetapi kaca tidak pecah. Jadi ia turun untuk mengambil batu.
Ia kaget juga ketika mendengar pecahan kaca berbunyi nyaring karena beradu dengan lantai, namun tidak ada penjaga yang datang. Whitman membuka kaitan jendela dan melompat masuk ke dalam. Ruangan itu gelap sekali.
Di dinding dilihatnya seperti ada lukisan-lukisan. Dihampirinya yang terdekat. Dengan jarinya ia memeriksa cat yang mengeras di kanvas. Cepat-cepat dicabutnya dua lukisan dari cantelannya di dinding. Karena kaget mendengar sebuah pintu menjeblak, ia cepat-cepat kabur ke luar lewat jendela yang tadi juga.
Tangga dibawanya ke dekat katedral lagi, lalu dengan mengepit dua lukisan di bawah mantelnya, ia pulang ke hotel.
Tanpa membangunkan Anne Marie, lukisan itu ia taruh di dasar kopernya yang penuh pakaian kotor dan koper itu didorongnya masuk ke kolong ranjang lagi.
Pagi itu juga, pada saat satpam melaporkan pencurian ke Mme Pinot, Anne-Marie Frank dan Karel Whitman keluar dari hotel, lalu meninggalkan Tours dengan menebeng kendaraan orang lain.
Mereka pergi ke Paris untuk tinggal di apartemen di daerah mahasiswa. Karena Whitman tidak berhasil mencari pekerjaan, ia pergi sendiri meninggalkan Anne-Marie. Lewat Belgia, Luksemburg, dan Jerman, ia tiba di Berlin Barat.
Penjaga perbatasan tidak ada yang mempedulikan kopernya yang dekil. Ia sering ditanyai berkepanjangan di pos-pos penjagaan, tetapi kopernya tidak digubris.
Ketika tiba di Berlin ia tinggal di sebuah apartemen bobrok. Seminggu kemudian Anne-Marie menyusul. Ia tidak tinggal bersama Whitman, melainkan tinggal di rumah keluarga Gormann. Sambil mengajar bahasa Prancis kepada anak-anak mereka.
la punya yang lebih hebat
Gormann itu orangnya terpelajar dan menarik. Walaupun ia mengaku musikus dan pemahat, uangnya kebanyakan datang dari berdagang barang antik. Whitman sering datang dan malah menginap.
Rupanya ketika itulah Whitman berkata ia membawa oleh-oleh lukisan tua dari perjalanannya. Untuk meyakinkan Gormann bahwa lukisannya asli, ia menceritakan hal yang sebenarnya. Cuma ia merahasiakan lukisan Rembrandt-nya. Gormann seperti biasa, menyenangkan bahkan menawarkan untuk mencarikan pembeli.
Lukisan van Goyen berhasil mereka jual kepada pedagang barang antik bernama Wilhelm Braun, yang kebetulan tidak melihat edaran polisi mengenai lukisan curian itu. Braun menemukan pembeli yang bersedia membayar DM 9.000, tetapi Whitman sendiri cuma diberinya DM 5.000. Sebagai tanda terima kasih, Whitman memberi komisi DM 500 kepada Gormann.
Alangkah terkejutnya Gormann, ketika Whitman yang sedang kegirangan itu menceritakan bahwa ia masih punya lukisan yang lebih hebat lagi, yaitu karya Rembrandt.
Namun dua hari kemudian Whitman ditangkap, karena membuat kegaduhan dengan seorang pelacur di Hotel-Pension Juno (27 Februari). Seperti diketahui, ia dibebaskan lagi karena tidak ada alasan untuk mendakwanya sebagai pencuri lukisan.
Begitu keluar dari kantor polisi, Whitman menelepon Gormann. Gormann bersikap simpatik. Jangan takut, katanya, yang penting lukisan itu harus disembunyikan baik-baik. Ia menawarkan diri untuk menyimpannya. Whitman setuju.
Whitman kemudian menghilang. Bulan Juni ia meninggalkan Berlin. Ia hidup bersama wanita bersuami, Hilda Bauer, dan mengadakan perjalanan ke Jerman, Italia, dan Inggris. Kemudian Hilda sakit dan pulang ke orang tuanya di Negeri Belanda. Whitman sendiri pergi ke Heidelberg dan kita ketahui apa yang terjadi selanjutnya.
Whitman diekstradisi ke Prancis dan diadili tanggal 4 Maret 1974 di Tours. Sidang cuma makan waktu 45 menit. Ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Karena di penjara kelakuannya baik, masa hukumannya diperpendek dan ia kembali ke Jerman tahun 1975. Sejak April 1975 ia lenyap entah ke mana.
Lukisan Rembrandt dikembalikan ke Museum Tours. Lukisan van Goyen ditemukan lagi dan diambil dari penadahnya. Gormann akhirnya dijatuhi hukuman enam bulan penjara.
(Nicholas Luard)
Intisari Plus - Pencurian binatang kian merebak. Seorang detektif partikelir menyamar sebagai centeng kebun binatang untuk mengusut kasus pencurian. Hingga suatu malam ia mendengar suara tembakan yang berasal dari kandang binatang.
---------------------------------------
Suasana malam di Kebun Binatang Fleishhacker, San Francisco, sama seramnya dengan kuburan. Apalagi pada musim dingin yang berkabut seperti ini. Arloji saya di kegelapan yang jarum-jarumnya bersinar menunjukkan pukul 11.45. Berarti saya masih harus berkeliling mencentengi tempat ini lebih dari enam jam lagi.
Rasanya tubuh sudah hampir beku, meskipun memakai pakaian berlapis-lapis, bermantel, bersarung tangan tebal dan berpenutup kepala. Mudah-mudahan saya tidak terserang radang paru-paru gara-gara angin dingin mengiris-iris ini.
Kadang-kadang ada binatang yang bersuara. Dua malam yang lalu, ketika baru mulai menjadi centeng, saya sampai melompat terkejut mendengar suara-suara seperti itu. Sekarang saya sudah terbiasa. Saya tidak mengerti mengapa Dettlinger dan Hammond, sesama centeng, bisa betah bekerja di sini. Saya sendiri rasanya tidak tahan, walaupun baru tiga hari bertugas.
Sering kemalingan
Saya berjalan menuju tempat burung-burung. Pohon-pohon cemara di sebelah kiri saya meliuk-liuk ditiup angin, seperti raksasa hitam menari. Kebanyakan burung sedang tidur, tapi ada juga di antara mereka yang nampak bergerak-gerak. Empat hari yang lalu, tiga ekor burung bunting yang langka lenyap digondol maling. Sebelumnya maling sudah mengambil dua ekor elang Harris asal Amerika Selatan, tiga burung pemakan kepiting dan juga setengah lusin ular Crotalus pricei.
Pencurian beruntun itu tentu saja merisaukan. Pada malam ular Crotalus pricei dicuri, salah seorang rekan saya, Sam Dettlinger, sempat melihat orang berlari. la mengejar, tetapi maling itu berhasil lolos. Karena hanya melihat dari kejauhan, Dettlinger tidak bisa menggambarkan bagaimana rupa si pencuri. la bahkan tidak tahu apakah orang yang dikejarnya itu pria atau wanita.
Polisi tentu saja sudah dimintai bantuannya, tetapi tampaknya mereka tidak berdaya. Pengurus kebun binatang lantas memperketat penjagaan dengan menambah seorang centeng lagi, Al Kirby, untuk membantu sementara waktu. Apalah artinya penambahan seorang centeng, mengingat kebun binatang ini luasnya lebih dari 28 ha. Ditambah seratus orang pun percuma saja. Mana mungkin bisa mencegah orang memanjat pagar pada malam hari? Apalagi di dalam kebun binatang ini ada macam-macam hutan, gua, dan kolam yang tepinya ditumbuhi semak-semak, meniru habitat asli penghuninya.
Saya menjadi centeng di sini gara-gara seorang pengacara bernama Lawrence Factor. la pencinta binatang dan salah seorang pengurus kebun binatang ini. Saya pernah membantu dia memecahkan suatu perkara di masa yang silam. Factor meminta saya pura-pura mencari pekerjaan sebagai centeng di sana. Pekerjaan saya sebenarnya detektif partikelir.
Buat apa sih orang mencuri binatang?
"Binatang-binatang itu berharga," kata Factor. "Para kolektor dan pemilik kebun binatang pribadi berani membayar mahal untuk hewan-hewan langka itu. Soalnya, mereka tidak bisa memperolehnya lewat jalan yang legal."
Ternyata di pasar gelap ular pricei harganya 250 dolar dan elang Harris paling murah 500 dolar. Elang itu bisa dididik untuk berburu.
Menurut Factor, biasanya maling tidak mau mengganggu kebun binatang besar seperti Fleishhacker, sebab risikonya besar. Namun, kalau ada orang yang berani menawarkan harga tinggi sekali, maling jadi nekat.
Factor menduga maling di Fleishhacker ini profesional, sebab ia tahu betul binatang mana yang mahal. Caranya membuka pintu kandang pun ahli betul.
"Orang dalam?" tanya saya.
"Bisa saja, tetapi mudah-mudahan bukan," kata Factor.
Begitulah ceritanya sampai saya berada di kebun binatang pada malam dingin yang menyebalkan ini. Setiap siang, saya melakukan penyelidikan di luar. Selain itu diam-diam saya mengorek keterangan dari para karyawan. Hasilnya tidak menggembirakan.
Saya sungguh berharap agar maling cepat-cepat bereaksi lagi, sebab saya sudah sebal mencentengi kebun binatang, walaupun mendapat bayaran tinggi dari Factor.
Saya mendekati kandang burung-burung dan memeriksa pintunya. Masih terkunci. Walaupun demikian, saya menyorotkan lampu senter saya untuk memeriksa.
Semua beres. Malam ini seperti biasa, kami bertugas berempat: Dettlinger, Hammond, Kirby, dan saya. Kami masing-masing berbekal walkie-talkie dan berangkat dari empat sudut yang berbeda. Arah jalan kami sudah ditentukan, yaitu menuruti jarum jam. Jadi kami bisa meliput seluruh kebun binatang, tidak berkumpul di satu tempat saja.
Setelah mengelilingi tempat burung saya menuju ke tempat monyet-monyet. Mereka tinggal di sebuah pulau yang dihuni oleh sekitar 60 - 70 ekor monyet. Tidak jauh dari sana ada tempat gajah, tetapi karena kabut turun, tempat itu tidak kelihatan. Tahu-tahu suara merak jantan mengagetkan saya. Kurang ajar burung itu! Rasanya saya ingin memanggangnya dengan bumbu bawang putih. Mungkin enak dimakan panas-panas.
Pangeran Charles terbangun
Saya maju terus, melewati jalan di antara kandang kuda nil dan gua-gua tempat beruang coklat dan melewati sebidang tanah yang cukup luas di muka Rumah Singa.
Bagian depan Rumah Singa itu berupa kandang-kandang kaca dan kawat untuk memamerkan singa dan harimau. Di antara mereka terdapat binatang paling berharga yang dimiliki oleh kebun binatang itu, yaitu harimau putih berumur setahun. Di dunia ini sekarang paling-paling cuma ada lima puluh ekor harimau putih. Namun, orang waras rasanya tidak akan mencuri binatang itu. Soalnya, beratnya hampir 250 kg.
Harimau putih itu dinamai Pangeran Charles, tetapi biasa dipanggil si Charley. la sedang tidur nyenyak bersama rekannya, seekor harimau benggala betina bernama Whiskers. Saya memandang mereka beberapa saat lalu beranjak dari sana.
Saat itulah ada orang mendekati saya dari arah tempat kandang lingsang. Karena ada kabut, saya tidak bisa melihatnya dengan jelas. Sebelah tangan saya segera menarik lampu senter dari saku dan sebelah lagi siap dengan walkie-talkie. Ternyata kewaspadaan saya berlebihan, sebab orang itu memanggil nama saya dengan suara yang saya kenal.
"Ada apa, Sam?" tanya saya kepada Sam Dettlinger. "Mestinya 'kan kau ada di daerah kandang gorila sekarang."
"Betul," jawabnya. "Tapi kira-kira lima belas menit yang lalu rasanya aku melihat sesuatu di balik gua-gua tempat harimau."
"Apa yang kaulihat?"
"Ada orang mengendap-endap di semak-semak."
"Mengapa kau tidak memanggil kami?"
"Aku tidak yakin betul. Kabut sialan ini mengganggu pemandangan. Jadi aku ingin memeriksa dulu. Ternyata tidak ada apa-apa."
"Baiklah. Aku akan mengecek lagi supaya kita yakin."
"Perlu kutemani?"
"Tidak perlu. Sudah hampir giliranmu beristirahat 'kan?"
la memandang arlojinya. "Eh, ya. Hampir pukul 24.00."
Tahu-tahu di dalam Rumah Singa, dari balik kandang-kandang kaca, terdengar ledakan, seperti tembakan. Kami berdua terperanjat.
"Apa tuh?" kata Dettlinger.
"Tidak tahu. Ayo kita lihat!"
Kami berlari sekitar 20 m ke pintu Rumah Singa. Bunyi keras tadi membangunkan Pangeran Charles dan temannya. Saya mengguncang pintu, ternyata masih terkunci.
"Kau punya kunci?" tanya saya kepada Dettlinger.
"Ya."
la mengeluarkan rencengan kunci kandang. Saya menyorotkan lampu senter untuk membantunya mencari kunci yang tepat. Saat itu sunyi sekali di sekitar kami maupun di dalam Rumah Singa. Dettlinger membuka pintu dan saya menerobos masuk ke sebuah ruangan kecil. Lewat pintu yang tidak terkunci di ruangan itu saya masuk ke ruang utama bangunan itu. Ruangan itu tidak berjendela. Di langit-langitnya beberapa lampu menyala. Di sana ada beberapa pintu untuk masuk ke ruangan tempat binatang-binatang makan dan beberapa pintu lain untuk ke semacam taman tropis yang beratap. Tiba-tiba Dettlinger berteriak terkejut.
"Lihat!" serunya. Saat itu kebetulan saya pun sedang melihat ke arah yang ia tunjukkan. Lewat pintu terali sebuah kandang tempat makan yang kosong, seorang pria kedapatan terbaring telentang. Di mantelnya yang tebal kelihatan noda darah, sebuah revolver tergenggam di tangannya.
Saya melihat wajahnya. Kirby! Si penjaga malam sementara yang baru dipekerjakan beberapa minggu yang lalu. Ia sudah menjadi mayat.
Saya memeriksa pintu-pintu. Semua terkunci. Kirby tampaknya ditembak dari jarak dekat. Di mantelnya, di bagian dada, ada noda mesiu. Saya merasa mual. Memang begitulah yang terjadi setiap saya menyaksikan kematian akibat kekerasan. Apalagi di sini samar-samar bau binatang.
"Kau punya kuncinya?" tanya saya.
"Tidak," katanya. "Buat apa membawa-bawa kunci ke tempat ini? Cuma pengurus binatang-binatang buas ini yang memilikinya."
Dettlinger menggeleng-gelengkan kepala. "Bagaimana caranya Kirby bisa masuk?" tanyanya. Tak ada yang tahu. Saya minta Dettlinger menunggu di sana sementara saya berlari ke luar memeriksa pintu lain yang memungkinkan orang keluar dari Rumah Singa pada saat Dettlinger dan saya masuk dari pintu yang sebuah lagi. Ternyata pintu itu terkunci. Lagi pula jarak waktu antara bunyi tembakan dan saat kami memasuki ruangan paling-paling cuma 30 detik. Mana sempat orang kabur dari pintu lain?
Tiada jalan keluar
Saya kembali ke tempat Dettlinger. Kelihatannya ia senewen menemani mayat. Ia membelakangi jenazah Kirby dan kelihatan sedang bersiap-siap hendak merokok.
Saya meneriaki dia, agar jangan merokok di tempat seperti ini. Saya memeriksa ruangan-ruangan di sana, sambil menanyakan keterangan kepada Dettlinger. Di belakang kandang-kandang, katanya, ada ruangan tempat para pemelihara binatang menaruh daging dan peralatan mereka. Ada juga gang untuk menuju ke gua-gua. Untuk masuk ke sana, kita harus melewati sebuah pintu. Kita cuma bisa keluar-masuk lewat pintu itu atau lewat gua, tetapi di gua-gua itu ada binatang buasnya.
Pintu yang ditunjukkan oleh Dettlinger terkunci, tetapi ia mempunyai kuncinya. Saya minta ia membukanya dan menunggu di mulut pintu sementara saya masuk. Dengan lampu senter saya cari tombol lampu dan menyalakannya. Di dalam saya dapati pintu ke salah sebuah tempat menyimpan daging terbuka, tetapi tidak ada orang di sana. Di tempat lain pun tak ada manusia.
Saya meminta Dettlinger menelepon polisi dari bilik telepon di dekat kios makanan. "Sambil ke sana tolong panggilkan Hammond lewat walkie-talkie," pesan saya.
"Tidak perlu, saya sudah di sini," jawab Gene Hammond yang muncul di pintu masuk. Hammond yang tingginya 2 m dan beratnya lebih dari 100 kg itu wajahnya rata seperti pantat bus. Ia memandang seperti tidak percaya ke arah jenazah Kirby.
Hammond juga heran bagaimana Kirby bisa berada di situ. Ia melihat Kirby terakhir kali pukul 21.00, yaitu pada awal dinas hari ini.
Kami pikir, Kirby tidak mungkin berada di dekat tempat ini, kecuali kalau ia melihat atau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Soalnya, kalau menuruti jadwal ia baru akan tiba ke tempat ini setengah jam lagi.
"Barangkali ia bunuh diri," kata Hammond. Soalnya, Kirby sendirian saja dalam ruangan yang terkunci dan revolver berada di tangannya. Sebaliknya, saya yakin Kirby dibunuh. "Siapa yang bisa kabur lewat gua tempat binatang buas?" kata Hammond. "Penjaga binatang-binatang itu saja tidak berani. Bisa dirobek-robek mereka!"
Inspektur Branislaus datang menanyai kami di kantor kebun binatang, sementara anak buahnya memeriksa Rumah Singa. Setelah itu saya menelepon Lawrence Factor. Betapapun ia yang membayar saya, sehingga saya pikir sebaiknya ia tahu apa yang terjadi di kebun binatang ini.
Ia kenal pembunuhnya
Ketika Factor datang, Branislaus mengajaknya berdiskusi di ruang lain, lalu saya dipanggil masuk. Rupanya Factor sudah memberi tahu siapa saya, sebab Branislaus segera memberi informasi Kirby tewas oleh peluru revolver 32. Sudah diketahui pula cara Kirby bisa masuk ke kandang terkunci itu. Dekat tubuhnya ditemukan kunci masuk. Kunci itu bisa saja dilemparkan lewat terali oleh si pembunuh setelah Kirby menjadi mayat. Kemungkinannya kecil sekali Kirby bunuh diri, sebab hampir tidak pernah ditemukan orang bunuh diri dengan menembak dada.
Saya juga mengaitkan kematian Kirby dengan pencurian-pencurian yang terjadi di kebun binatang.
"Mungkinkah Kirby memergoki si pencuri di Rumah Singa?" tanya Branislaus. "Kalau hal itu terjadi, mengapa ia mesti dibunuh? Mengapa ia tidak dipingsankan saja?"
"Mungkin orang yang ia pergoki itu ia kenal," kata saya.
"Taruhlah ia kenal pada si pencuri, tetapi mengapa mesti susah-susah dibawa ke kandang itu?"
Kami juga bingung, bagaimana mungkin si pembunuh bisa melarikan diri lewat pintu lain, padahal jarak waktu dari suara tembakan sampai Dettlinger dan saya berada di sana cuma kira-kira 30 detik. Mustahil ia sempat mengunci lagi pintu itu? Satu-satunya jalan ialah kabur lewat gua, tetapi baik Dettlinger maupun Hammond berpendapat itu tidak mungkin dilakukan. Binatang-binatang buas akan mencabik-cabiknya.
Kunci-kunci di Rumah Singa sudah diperiksa. Semua mulus. Pasti Kirby berada di dalam bukan dengan membongkar kunci, tetapi memakai kunci yang tepat untuk membuka pintu.
"Branny," kata saya kepada Inspektur Branislaus. "Saya yakin ini pembunuhan dan pelakunya ingin mengecoh kita."
Saya pergi ke luar dan memberi tahu Dettlinger bahwa sekarang giliran dia ditanyai inspektur. Saya sendiri mencari angin di antara kandang-kandang.
Walaupun sekarang dinginnya lebih daripada tadi malam, saya pergi juga ke Rumah Singa. Polisi-polisi yang berjaga rupanya mengenali saya, sebab mereka diam saja ketika saya pergi ke belakang tembok yang mengelilingi tiga gua tempat binatang buas itu. Polisi memasang lampu portable di tempat itu.
Ketika gua itu baru saja dipugar, diberi tanaman dan pepohonan meniru habitat asli binatang-binatang itu. Gua tengah dipisahkan dengan tembok yang tinggi, yang tidak bisa dipanjat dari kedua gua di sampingnya. Parit yang memisahkannya dari jalan tidak mungkin dilompati oleh hewan maupun manusia, sebab lebarnya lebih dari 15 m. Apalagi parit itu berbatasan dengan tembok tinggi yang tidak bisa dipanjat. Hammond dan Dettlinger memang benar, tidak mungkin orang melarikan diri lewat tempat ini.
Saya bengong saja di situ. Tiba-tiba saja terpikir oleh saya apa yang telah terjadi.
Dikira kotak rokok
Cepat-cepat saya kembali ke tempat Branislaus. la sedang bercakap-cakap dengan Factor. Hammond masih merokok seperti tadi dan Dettlinger juga masih duduk di sana.
"Branny, saya tahu jawaban teka-teki yang kita bicarakan tadi."
"Oh, ya?" katanya seraya meluruskan punggung. "Al Kirby tidak bunuh diri. la dibunuh. Saya tahu siapa pembunuhnya."
Saya mengharapkan reaksi, tetapi Branislaus, Factor, Hammond, dan Dettlineger tampaknya tidak terkesan.
"Siapa?" tanya Branislaus. Saya tidak berniat menyebutnya dulu. "Dia si pencuri burung dan binatang lain. Dia bukan pencuri profesional seperti yang selama ini kita yakini dan dia juga tidak perlu memanjat pagar untuk masuk ke tempat ini. Dia ada di sini pada malam-malam pencurian dan malam ini, sebab dia bekerja sebagai centeng. Orang yang saya maksudkan tidak lain daripada Dettlinger.”
Kini barulah saya mendapat reaksi.
"Saya tidak percaya," kata Hammond.
"Masya Allah!" seru Factor.
Branislaus memandang saya dan Dettlinger berganti-ganti. Cuma Dettlinger yang tidak bereaksi. Air mukanya biasa saja.
"Kau pembohong!" katanya kemudian dengan suara nyaring.
"Pembohong? Kau sudah bekerja cukup lama di sini. Kau tahu binatang-binatang mana yang langka dan mahal. Mudah saja kau masuk ke mana pun dengan kunci yang kaumiliki pada saat kau bertugas jaga. Kemudian kau menyerahkan binatang curianmu kepada teman yang sudah menunggu di balik pagar!"
"Tapi 'kan kata polisi kunci-kunci pintu dibuka dengan paksa," kata Hammond.
"Ah, itu 'kan cuma untuk menyesatkan. Dettlinger juga mengarang cerita tentang ia mengejar seseorang pada malam ular dicuri."
Dettlinger gelisah di kursinya. "Saya akan menuntut bajingan ini ke pengadilan," katanya kepada Factor. "Boleh 'kan Pak Factor?"
"Boleh saja kalau yang ia katakan itu tidak benar," jawab Factor.
"Memang tidak benar. Saya tidak pernah mencuri, saya tidak membunuh Al Kirby. Mana mungkin? Saya 'kan bersama dia di luar Rumah Singa, ketika Al tewas di dalam."
"Tidak," kata saya. "Al tewas ditembak dengan revolver kaliber 32. Senjata itu tidak mengeluarkan bunyi keras. Dettlinger dan saya berada kira-kira 15 m dari ruang tempat Kirby atau 20 m dari pintu masuk, ketika kami mendengar ledakan jelas dan keras. Padahal Rumah Singa tebal dindingnya, lalu masih ada ruang kecil berukuran 3 m dan masih ada jarak lebih dari 10 m ke kandang tempat Al."
"Jadi bagaimana hal itu bisa terjadi?" tanya Branislaus.
Saya menoleh kepada Dettlinger. "Kau merokok?" tanya saya. la kelihatan bingung.
"Apa?"
"Kau merokok?"
"Apa urusanmu menanyakan hal itu?"
"Gene terus-menerus merokok selama kita di sini. Kau tak pernah kulihat menyalakan rokok sekali pun. Sam, kau perokok atau bukan?"
"Bukan. Puas kau?"
"Puas," jawab saya. "Jadi apa yang kaupegang di Rumah Singa, ketika aku masuk sehabis memeriksa pintu-pintu dari luar?"
Dettlinger mengatupkan bibirnya erat-erat.
"Apa yang ia pegang waktu itu?" tanya Branislaus.
"Tadinya saya pikir sebungkus rokok, sebab saya melihatnya dari kejauhan. Lagi pula saya pikir ia perlu nikotin untuk meredakan ketegangannya. Tetapi kemudian saya sempat melihatnya dari dekat. Benda itu tape-recorder kecil."
"Apa?"
“Tape-recorder kecil. Saat itu pikiran saya tertuju pada Kirby. Saya alpa untuk menaruh perhatian lebih banyak pada benda yang cepat-cepat ia sembunyikan ke sakunya itu."
"Kaumaksudkan suara tembakan yang kau dengar bersama Dettlinger di luar Rumah Singa itu keluar dari tape-recorder?"
"Ya. Saya duga ia merekamnya tidak lama setelah ia menembak Kirby di Rumah Singa."
Pemerasan
"Siapa pemilik revolver itu, Kirby?"
Saya mengangguk. "Saya kira Kirby mengetahui Dettlinger mencuri binatang, tetapi ia tidak melaporkannya. Ia memeras Dettlinger. Karena sadar bahwa Dettlinger lebih besar dan lebih kuat daripadanya, ia berbekal senjata. Ia juga berbekal tape-recorder untuk merekam pembicaraan mereka. Mungkin untuk dipakai memeras lagi di kemudian hari.
"Saya duga ia menunggu Dettlinger di dekat Rumah Singa dan mereka berdua masuk ke dalam untuk berbicara. Saya kira Dettlinger memergoki adanya tape-recorder itu lalu marah. Kirby mengeluarkan pistol dan mereka bergulat. Kirby tertembak. Begitulah kira-kira skenarionya.
"Setelah melihat Kirby menjadi mayat, Dettlinger kebingungan. Kalau ia menyeretnya ke luar untuk memberi kesan seakan-akan Kirby dibunuh orang yang memanjat dari pagar, ia khawatir Hammond kebetulan lewat dan memergokinya. Ia mendapat akal. Ia menciptakan misteri yang akan membingungkan kita semua, seraya menciptakan alibi bagi dirinya.
"Saya rasa ia menghapus isi pita rekaman, lalu merekam bunyi ledakan revolver dengan menembakannya pada apa, ya? Katakan saja setumpuk daging di ruang penyimpanan makanan harimau. Lalu ia mengatur agar bunyi tembakan itu bisa kedengaran cukup lama kemudian. Tubuh Kirby diseretnya ke kandang, yang menurut pengakuannya tidak ia miliki kuncinya. Karena Kirby mengenakan mantel tebal, darah yang keluar terserap, sehingga tidak berceceran di mana-mana. Sebetulnya salah besar ia memasukkan Kirby ke kandang karena keadaannya jadi sangat aneh. Kalau dibiarkan saja di tempat Kirby ditembak mungkin malah lebih baik.
"Ia menunggu dekat-dekat tempat lingsang dan begitu saya muncul ia mendekati, saksi yang menguatkan alibinya.
"Saya juga ingat, tidak mencium mesiu ketika menemukan Kirby, padahal waktu itu bunyi tembakan baru kira-kira 30 detik berlalu. Bau mesiu yang ditembakkan Dettlinger beberapa waktu sebelumnya sudah hilang."
Mulut saya rasanya meniran setelah berbicara panjang-lebar begitu. Dettlinger tentu saja menyangkal. Namun, polisi menemukan tape-recorder-nya yang ia kubur buru-buru di dalam kandang kuda nil. Di tape-recorder itu ada sidik jari Dettlinger. Polisi juga menemukan peluru yang ia tembakkan untuk menciptakan suara dalam pita rekaman. Seperti saya duga, peluru itu ada di dalam potongan daging yang ditumpuk di tempat penyimpanan daging.
Dari penggeledahan di rumah Dettlinger, polisi mengetahui Dettlinger mempunyai hubungan dengan pencuri binatang yang sudah terkenal, Gerber, yang biasa menjual barang curiannya kepada para kolektor di Florida. Tugas saya sudah selesai. Kini saya tidak perlu lagi mencentengi binatang di kebun binatang, tetapi bisa bersenang-senang dengan pacar saya, Kerry, yang ingin tahu bagaimana caranya gorila pacaran.
(Bill Pronzini)
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246439/pagar-makan-binatang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650983818000) } } [12]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3110581" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/01/24/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220124073704.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(17) "Dorothy L. Sayers" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9365) ["email"]=> string(19) "intiplus-9@mail.com" } } ["description"]=> string(56) "Pencurian mutiara terbongkar karena lantai yang kinclong" ["section"]=> object(stdClass)#148 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/01/24/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220124073704.jpg" ["title"]=> string(22) "Benalu Berbuah Mutiara" ["published_date"]=> string(19) "2022-01-28 19:56:44" ["content"]=> string(17141) "
Intisari Plus - Sir Septimus Shale bukan termasuk orang yang banyak cingcong. Istrinya yang jauh lebih muda itu diberinya kebebasan penuh. Sir Septimus tidak peduli rumahnya yang kuno itu diberi perabot modern, la juga tidak melarang istrinya berteman dengan para seniman dan penyair yang antitata bahasa. Bahkan ia tidak keberatan istrinya berdandan menor.
Namun, setahun sekali, pada saat Natal, istrinya harus menuruti kehendaknya. Sir Septimus bersikeras agar Natal dirayakan secara tradisional. Ia akan membawa keluarganya ke rumahnya yang lain, yang berada di luar kota. Para pelayan diperintahkan menggantungkan daun-daunan dan buah-buahan hiasan Natal di lampu-lampu. Radiator listrik disuruhnya cabut dari perapian, untuk digantikan dengan kayu bakar. Lalu dikumpulkannya keluarganya dan teman-teman untuk dijamu dengan makanan Natal gaya zaman baheula.
Setelah memaksa mereka menelan makanan mode zaman bedil sundut itu, mereka diajaknya main tebak-tebakan, lalu diakhiri dengan main sembunyi-sembunyian di dalam gelap. Karena Sir Septimus kaya-raya, tamu-tamunya menurut saja. Mungkin ada juga yang merasa bosan, tetapi mereka tidak menyatakannya.
Kebiasaan lain yang dilakukan oleh Sir Septimus setiap malam Natal ialah menghadiahkan sebutir mutiara kepada putrinya, Margharita, yang kebetulan berulang tahun tanggal 24 Desember. Walaupun mutiara itu tidak terlalu besar, yaitu cuma lebih besar sedikit dari kacang polong, tetapi kualitasnya tinggi. Tidak heran kalau kalung milik Margharita sampai masuk kolom gosip di koran-koran.
Hai, mana kalungmu?
Malam Natal itu Sir Septimus menyerahkan mutiara yang ke-21 butir. Penyerahan dilakukan dalam pesta yang dimeriahkan dengan dansa dan pelbagai pidato.
Keesokan malamnya, tanggal 25 Desember, ada perjamuan lagi, walaupun tamunya cuma sebelas orang. Mereka itu: John Shale (adik Sir Septimus) dengan istrinya dan anak mereka, Henry dan Betty; Oswald Truegood (tunangan Betty) yang berambisi menjadi anggota parlemen; George Comphrey (kemenakan Lady Shale) yang berumur 30-an; Lavinia Prescott (teman George); Trivett (teman Henry); Richard, dan Beryl Dennison (kerabat jauh Lady Shale) yang hidup berfoya-foya di kota tanpa seorang pun tahu dari mana sumber keuangannya. Masih ada seorang lagi: Lord Peter Wimsey, bujangan putra almarhum Duke of Denver yang kaya-raya. la diundang dengan harapan akan tertarik pada Margharita.
Selain mereka hadir pula sekretaris Sir Septimus, yaitu William Norgate dan sekretaris Lady Shale, Nona Tomkins. Tanpa kehadiran dua orang yang terakhir itu, pesta Natal tidak akan terselenggara dengan lancar.
Sesudah menyantap sop, ikan, kalkun, daging panggang, puding, kue-kue, buah-buahan, dan meneguk lima macam anggur, sebagian orang merasa ingin sekali buru-buru mencium bantal. Margharita yang di lehernya terkalung mutiara pun sudah kelihatan lelah. Tetapi tuan rumah masih ingin mengajak tamu-tamunya mengikuti pelbagai permainan di ruang duduk yang terletak di tingkat kedua. Permainan itu dari tahun ke tahun hampir sama saja.
Mula-mula mereka main "berebut kursi", diiringi oleh permainan piano Nona Tomkins. Selesai "berebut kursi", mereka "berburu sandal". Siapa lagi yang kebagian menyediakan sandal untuk disembunyikan lalu dicari-cari kalau bukan Nona Tomkins.
Setelah itu mereka main "DumbCrambo". Dalam permainan ini ada orang yang kebagian pura-pura bisu. la harus "menerjemahkan" sejumlah kata dengan gerakan-gerakan, sementara yang lain mencoba menerka apa yang dimaksudkannya.
Setelah permainan yang penuh gerak itu, William Norgate mengusulkan agar mereka main permainan yang tidak terlalu melelahkan. Sir Septimus memilih main tebak-tebakan lain yang sifatnya lebih tenang. Nama permainan itu: "Binatang, Sayuran atau Mineral". Setelah itu rencananya mereka akan main sembunyi-sembunyian.
Orang yang mendapat giliran terakhir untuk menebak dalam permainan "Binatang, Sayuran dan Mineral" adalah Oswald Truegold. la dikurung dulu di ruangan sebelah, sementara yang lain merundingkan benda apa yang harus ditebak 'oleh Truegold.
Pada saat itulah Sir Septimus tiba-tiba berseru kaget, "Hai, Margy! Mana kalungmu?"
Putrinya tenang-tenang saja.
"Tadi saya lepaskan, Ayah, Takut putus dipakai main "Dumb Crambo". Tuh ada di meja. Eh, mana dia? Disimpan Ibu, ya?"
"Tidak!" jawab ibunya cemas.
"Kalau ibu lihat sih pasti ibu simpankan. Ceroboh betul sih, kamu!"
"Eh, barangkali Ayah bergurau, nih. Disembunyikan Ayah, ya?"
Sir Septimus menyangkal keras. Semua orang segera mencari. Diruang yang rapi dan tidak penuh sesak oleh perabot itu tidak banyak tempat untuk menyembunyikan kalung.
Setelah sepuluh menit mencari tanpa hasil, Richard Dennison yang tadi duduk dekat dengan meja jadi tampak serba salah.
"Wah, sangat tidak enak nih bagi saya," keluhnya kepada Wimsey.
Semua digeledah
Saat itu Oswald Truegold yang "disimpan" di ruangan sebelah, menjengukkan kepalanya dari pintu. "Lama betul, sih!" katanya.
Orang-orang lain baru ingat kepada Truegold yang terlupakan dan juga ingat bahwa dalam permainan "Dumb Crambo" tadi mereka mempergunakan juga ruangan sebelah. Ruang itu pun ikut diperiksa dengan saksama. Siapa tahu Margharita tadi lupa meletakkan kalungnya di sana.
Setelah setengah jam mencari, tetap saja kalung itu tidak ditemukan.
"Mestinya ada di salah satu dari ruangan ini," kata Wimsey.
"Ruangan sebelah tak punya pintu, sedangkan tak satu pun dari kita keluar dari ruang duduk ini."
Sementara itu jendela-jendela yang berdaun tebal terkunci rapat. Akhirnya William Norgate yang efisien memberi usul, "Saya kira, Sir Septimus, beban pikiran kita akan hilang kalau kita semua digeledah."
Sir Septimus kaget. Sungguh tak pantas tamu-tamunya digeledah. Namun, para tamunya malah menyokong usul Norgate. Jadi pintu pun dikunci, lalu semua digeledah. Kaum pria di ruang duduk, sedangkan kaum wanita di ruangan sebelah.
Hasilnya tetap nihil. Cuma saja ketahuan isi kantung masing-masing. Lord Peter Wimsey membawa-bawa catut, kaca pembesar, dan meteran yang bisa dilipat. la memang terkenal sebagai saingan Sherlock Holmes. Oswald Truegold membawa-bawa dua pil untuk menambah darah, yang dibungkusnya di secarik kertas. Henry Shale mengantungi buku saku The Odes of Horace, sedangkan John Shale berbekal Win merah untuk menyegel, sebuah jimat kecil, dan uang logam 5 shilling.
George Comphrey membawa gunting lipat dan tiga kotak gula! Gula itu jenis yang biasa disuguhkan di restoran-restoran dan restorasi kereta api. Apakah itu gejala kleptomania? Norgate yang efisien itu di luar dugaan membawa-bawa sekelos benang putih, tiga utas tali, dan dua belas peniti yang tercocok di kartu. Orang lain baru maklum ketika mengingat bahwa sekretaris Sir Septimus itu bertugas mengawasi dekorasi ruangan.
Semua jadi terbahak-bahak ketika giliran Richard Dennison digeledah. Soalnya, ia membawa-bawa kotak bedak dan setengah kentang. Konon kentang itu penangkal encok, sedangkan benda yang lain milik istrinya.
Seperti anjing pelacak
Di ruangan tempat wanita, penemuan malah lebih gawat lqgi. Nona Tomkins membawa buku ramalan garis tangan, tiga jepit rambut, dan foto bayi. Beryl Dennison membawa kotak rokok yang memiliki ruang rahasia. Sebuah surat yang sangat pribadi ditemui di pakaian Lavinia Prescott. Betty Shale membawa catut pencabut alis dan sebungkus puyer putih. Katanya, obat sakit kepala.
Semua tegang ketika di tas Joyce Trivett ditemukan seuntai mutiara. Namun, segera ketahuan bukan itu yang mereka cari. Mutiara itu selain kecil-kecil juga sintetis. Penggeledahan tidak memberi hasil yang diinginkan.
Lalu ada yang mengusulkan agar Sir Septimus memanggil polisi. Sir Septimus jelas tidak mau, sebab ia tidak ingin menjadi bahan berita. Ia yakin kalung mutiara itu masih ada di sana. Jadi sebaiknya diperiksa lagi dengan saksama.
"Ehm, apakah Lord Peter Wimsey yang banyak pengalaman dalam, ehm, peristiwa-peristiwa misterius bisa menolong?" tanyanya.
"Eh?" sahut Wimsey. "Oh, tentu, tentu." Yang lain memberi dukungan.
"Saya coba, ya?" katanya.
"Apakah Anda sekalian keberatan kalau Anda semua duduk di ruangan lain? Tapi saya minta Sir Septimus mendampingi saya sebagai saksi."
Semua tak keberatan. Wimsey menggiring mereka ke ruangan lain, lalu bersama Sir Septimus memeriksa ruang tamu dan ruangan di sebelahnya sekali lagi. Ia bukan cuma merangkak-rangkak di lantai, tetapi juga menengadah ke langit-langit.
Ketika ia merangkak-rangkak itu Sir Septimus cuma bisa berjalan mengikuti di belakang. Adegan itu mirip anjing yang sedang diajak berjalan-jalan oleh tuannya. Tak ada sejengkal lantai pun dan tak ada sebuah sudut pun dilewatkan. Di kamar sebelah, pakaian-pakaian yang ada diperiksa satu demi satu. Hasilnya tak ada.
Akhirnya Wimsey telungkup di lantai, mengintip ke kolong sebuah lemari baja, yaitu satu-satunya perabot berkaki pendek di sana. Tampaknya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia menggulung lengan bajunya dan berusaha menjangkau sesuatu yang terletak jauh di kolong. Ketika ia tidak berhasil mencapai benda yang ia inginkan, dikeluarkannya meteran lipat dari sakunya untuk dijadikan alat penolong. Ternyata benda yang ia keluarkan itu sebatang jarum. Bukan jarum biasa, melainkan jarum yang halus, mirip yang dipakai oleh ahli serangga untuk menancapkan binatang koleksi mereka yang kecil-kecil. Panjangnya paling-paling 2cm. Ujungnya lancip dan pentulnya kecil.
"Astaga! Apa, sih itu?"
"Ada pengumpul kumbang atau serangga di sini?" tanya Wimsey sambil memeriksa benda itu.
"Saya yakin tidak ada. Coba saya tanyakan."
"Jangan!" cegah Wimsey. La memandang ke lantai yang licin berkilat, yang memantulkan wajahnya.
"Ah, sekarang saya tahu di mana mutiara-mutiara itu," kata Lord Peter Wimsey tiba-tiba. "lapi saya tak tahu siapa yang mengambilnya. Harap jangan Anda katakan kepada siapa-siapa kita menemukan jarum ini. Persilakan saja semua tamu untuk kembali ke kamar masing-masing. Tolong kunci ruangan ini dan simpan kuncinya. Sebelum sarapan nanti kita tangkap malingnya."
Jadi centeng
Walaupun Sir Septimus merasa tercengang, ia menurut. Malam itu Lord Peter Wimsey bergadang mengamat-amati pintu ruang tamu. Tak seorang pun datang ke dekat tempat itu. Lord Wimsey membuat catatan: Dalam permainan tebak-tebakan "Binatang, Sayuran, dan Mineral", mereka masing-masing mendapat kesempatan berada sendiri dalam ruangan sebelah. Cuma Joyce Trivett dan Henry Shale yang masuk berdua. Lady Shale, Margharita, dan Wimsey tidak kebagian masuk ke sana.
Siapakah yang kira-kiranya di antara sebelas orang yang paling naksir kalung? Semua, kecuali Sir Septimus. Kedua sekretaris selama ini bisa dipercaya, tapi bukan tak mungkin mereka menginginkan benda berharga itu. Suami-istri Dennison terkenal besar pasak daripada tiang. Betty Shale membawa puyer putin yang misterius. Obat bius? Di kota ia juga bergaul di kalangan orang-orang yang tak terlalu bersih. Henry tampaknya "tak berbahaya", tapi siapa tahu Joyce Trivett mendorongnya? Comphrey diketahui pernah berspekulasi dan Oswald Truegold sering taruhan dalam pacuan-pacuan kuda.
Ketika para pelayan sudah muncul, Wimsey berhenti mencentengi pintu. Ia pergi ke tempat sarapan. Ternyata ia sudah didahului Sir Septimus, istrinya, dan anaknya. Tak lama kemudian tamu-tamu lain muncul. Suasana agak kikuk. Seakan-akan sudah berjanji, tak seorang pun menyebut-nyebut soal kalung.
Nanti membawa sial
Sehabis sarapan, Oswald Truegold-lah orang pertama yang berani bertanya, "Malingnya tertangkap, Wimsey?"
"Belum," jawab Wimsey dengan acuh tak acuh.
Sir Septimus yang sudah bersekongkol dengan Wimsey lantas berkata.
"Sungguh menyebalkan. Hmm! Tak ada jalan lain daripada melapor kepada polisi, saya kira."
"Pada hari Natal pula! Hmmm! Merusakkan suasana. Rasanyamuak melihat hiasan ini semua," katanya seraya menunjuk ke kertas-kertas warna dan dedaunan hijau yang menghiasi dinding.
"Angkat sajalah! Hr'rm! Bakar!"
"Ah, jangan. Sayang!" kata Joyce. "Kita 'kan sudah bersusah-susah mengerjakannya."
"Biarkan saja, Paman," kata Henry Shale. "Paman terlalu memikirkan mutiara itu. Pasti nanti ketemu."
"Anda ingin James dipanggil untuk membenahinya?" tanya Norgate, sang sekretaris.
"Tidak usah!" kata Comphrey.
"Kita saja yang membereskannya. Kita perlu menyibukkan diri untuk melupakan kerisauan."
"Baik!" kata Sir Septimus.
"Mulai saja sekarang! Sebal!" Ia merenggut sebuah cabang tanaman holly dari atas perapian dan melemparkannya ke api. Segera juga lidah api menjilat-jilat.
"Bagus buat kayu bakar," kata Richard Dennison. Ia melompat untuk merenggut mistletoe (benalu yang berdaun dan berbunga kekuning-kuningan serta berbuah putih bulat-bulat) dari lampu gantung.
"Eh, nanti membawa sial kalau diturunkan sebelum tahun baru," komentar Nona Tomkins.
"Itu 'kan cuma takhayul. Semua kita turunkan, dari atas tangga dan di ruang tamu juga."
"Tidak. Lord Peter bilang mutiaranya tak ada di situ. Pintu ruang tamu sekarang sudah dibuka. Ya, 'kan Wimsey?"
"Ya. Mutiaranya sudah dibawa pergi dari sini. Saya belum tahu bagaimana. Tapi saya yakin. Saya pertaruhkan reputasi saya deh!" jawab Wimsey.
"Kalau begitu, ayo deh, Lavinia," ajak Comphrey. "Kau juga Dennison. Kita berlomba ke ruang tamu. Saya akan menangani ruangan di sebelahnya."
"Tapi 'kan polisi akan datang," kata Dennison. "Semua harus dibiarkan seperti semula."
"Persetan dengan polisi!" teriak Sir Septimus. "Mereka tak mau daun-daunan."
Dua puluh dua jarum pentul
Oswald Truegold dan Margharita sudah menjambreti holly dan daun ivy dari tangga sambil tertawa-tawa. Semua berpencar.
Wimsey diam-diam masuk ke ruang duduk yang sedang diobrak-abrik.
Didapatinya George Comphrey dan Lavinia Prescott sedang tertawa-tawa.
"Bantu, dong!" kata Lavinia kepada Wimsey. Wimsey diam saja. Ia menunggu sampai ruangan bersih lalu menemani mereka ke ruangan bawah. Api perapian sedang menjilat-jilat, karena mendapat umpan. Ia berbisik kepada Sir Septimus. Sir Septimus mendekati George Comphrey dan menyentuh bqhunya. "Lord Peter ingin berbicara denganmu, Nak," katanya. Comphrey terperanjat dan dengan enggan mengikuti Sir Septimus.
"Pak Comphrey," kata Wimsey. "Saya kira ini milik Anda," katanya seraya mengangsurkan telapak tangannya. Di situ ada 22 jarum halus berpentul kecil.
"Untung Anda menyadari kehilangan kalung itu sebelum permainan sembunyi-sembunyian. Kalau kehilangan ketahuan setelah itu, artinya ruangan yang harus kita selidiki lebih banyak lagi. Lagi pula mustahil pintu semua ruangan mesti kita kunci. Si pencuri akan lebih leluasa mengambilnya dari tempat persembunyian," kata Wimsey setelah semuanya beres.
"la pernah hadir pada pesta Natal sebelumnya dan tahu pasti akan ada tebak-tebakan "Binatang, Sayuran, dan Mineral".Jadi ia menyediakan jarum. Ketika Nona Shale mencopot kalung pada saat main 'Dumb Crambo', ia mendapat kesempatan. Ia cuma tinggal menyambar kalung dari meja pada saat mendapat giliran masuk ke ruangan sebelah. Sedikitnya ia mempunyai waktu lima menit untuk sendirian di sana, yaitu pada saat menunggu kita merundingkan kata apa yang harus ditebaknya.
“Ia memutuskan benang dengan pisau sakunya, lalu membakar benang-benang itu di perapian. Mutiara-mutiara ditancapkannya ke benalu dengan jarum. Benalu itu tergantung tinggi di lampu gantung, tetapi ia bisa mencapainya dengan berdiri di meja kaca, yang bisa diseka agar tidak meninggalkan bekas. Ia yakin pasti tidak ada orang yang ingat memeriksa benalu. Mutiara-mutiara itu 'kan mirip buah benalu. Saya tidak teringat untuk memeriksanya kalau saja tidak ada sebatang jarum pentul yang jatuh. Jarum pentul itu membuat saya berpikir: jangan-jangan kalung itu sudah digunting benangnya dan mutiaranya disimpan tidak dalam bentuk untaian lagi. Saya mengambil benalu itu semalam dan menemukan semua mutiara di sana. Kaitan kalung pun ada di situ, di antara daun-daunan. Ini dia!"
"Saya tahu Comphrey-lah orang yang kita cari ketika ia mengusulkan agar kita membereskan sendiri dekorasi Natal dan ia memilih ruangan sebelah. Ia pasti kaget sekali ketika melihat mutiara yang disembunyikannya sudah hilang."
"Anda segera tahu mutiara itu tergantung di benalu ketika Anda menemukan jarum?" tanya Sir Septimus.
"Ya."
"Tapi 'kan waktu itu Anda sama sekali tidak menengadah."
"Oh, saya melihat pantulannya di lantai yang hitam berkilat. Saat itu saya heran, kok buah benalu mirip betul mutiara," jawab Lord Peter Wimsey. (Dorothy L. Sayers)
" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553110581/benalu-berbuah-mutiara" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643399804000) } } }