array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3835245"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/85-george-nesbitt-detektif-awam-20230804052454.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(135) "George Nesbitt, seorang detektif amatir, menyelidiki hilangnya ibu dan adiknya. George menemukan kejanggalan dalam keterangan tetangga."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/85-george-nesbitt-detektif-awam-20230804052454.jpg"
      ["title"]=>
      string(38) "George Nesbitt Detektif Awam Cemerlang"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-04 17:25:05"
      ["content"]=>
      string(26604) "

Intisari Plus - George Nesbitt, seorang detektif amatir, menyelidiki hilangnya ibu dan adiknya. George menemukan kejanggalan dalam keterangan tetangga dan menemukan bukti bahwa adiknya telah menikah secara rahasia.

----------

Pemuda-pemuda di Harlan Iowa (Amerika) kecewa bercampur kagum ketika Miss Alma Nesbitt, salah seorang gadis tercantik di situ, berangkat ke daerah barat dengan tekad seorang perintis, Alma pergi ke Oregon, terdorong oleh keinginannya mendapatkan tanah yang luas untuk usaha pertanian dan peternakan. Sebuah “ranch” yang ia usahakan dan ia atur sendiri!

Mengapa bersusah payah ke Oregon jika ia hanya menghendaki sebidang tanah yang luas? Mengapa tidak meluluskan saja pinangan salah satu di antara petani kaya di Iowa yang memujanya?

Rupanya yang memikat Alma Nesbitt bukan terutama sebidang tanah, tetapi lebih-lebih romantika petualangan di daerah yang belum banyak dijamah orang. Bulan Maret 1899 ia berpamitan dari ibu dan kakaknya, George R Nesbitt.

Tak lama setelah keberangkatannya, Alma menyurati ibunya. Katanya ia telah mempunyai ranch sendiri di Oregon, letaknya 30 km dari Hood River, luasnya 160 acres, berbatasan dengan tanah seorang kenalan lama dari Harlan, yaitu Norman Williams. Pada akhir surat, Alma minta ibunya datang ke Oregon untuk tinggal bersamanya.

Sejak Mrs. Nesbitt berangkat, George Nesbitt Yang tetap tinggal di Harlan, tak banyak mendengar kabar tentang ibu dan adiknya. Tetapi dari satu dua surat yang ia terima dari mereka, George dapat menyimpulkan bahwa keadaan mereka baik, usaha pertanian dan peternakan berhasil, dan bahwa Norman Williams ternyata seorang tetangga yang ramah dan suka membantu.

Setahun berlalu. Kemudian tanggal 12 Maret 1900 George menerima sepucuk surat dari Alma. Katanya, ia dan ibunya akan segera pulang ke Harlan, Surat dikirim dari sebuah losmen di Grand Avenue, Portland. Mengapa dari alamat baru? Dan mengapa pula mereka mendadak memutuskan kembali ke kota asal? George menunggu dengan hati cemas tetapi juga gembira karena telah lama tak melihat ibu dan adik kandungnya.

George menunggu dan menunggu, tetapi Alma dan Mrs. Nesbitt tak muncul juga. Beberapa minggu kemudian George kirim surat kepada Norman Williams untuk menanyakan nasib ibu dan adiknya.

Williams tak dapat memberi keterangan. Selama bulan-bulan terakhir ia tak banyak bergaul dengan Alma karena gadis ini bekerja di The Dalles untuk mendapatkan modal bagi usaha pertaniannya pada musim tanam berikutnya, kata Williams. Selama di The Dalles, kata tetangga itu selanjutnya, kabarnya Alma menjalin hubungan cinta dengan seorang pemuda dan ada desas-desus bahwa Alma pergi entah ke mana dengan pemuda itu. Williams tak tahu siapa nama kekasih Alma ini.

Bulan demi bulan berlalu dan George terus mencari keterangan ke sana ke mari. Rumah losmen di Grand Avenue Portland yang ia surati menjawab bahwa Alma dan ibunya meninggalkan penginapan itu pada tanggal 8 Maret 1900 — tanggal yang tercantum dalam surat Alma yang terakhir. Tetapi pemilik losmen tak dapat memberi keterangan keinginan kedua wanita itu pergi.

George meneliti surat-surat kabar kalau-kalau ada berita tentang wanita hilang atau penemuan mayat-mayat yang tak dikenal. Ia menyurati kantor-kantor polisi dan biro-biro detektif. Kesemuanya tanpa hasil.

Empat tahun berlalu tanpa ada kabar tentang nasib Alma dan ibunya. kini George yang sementara itu telah berhasil mengumpulkan cukup kekayaan, bertekad untuk memecahkan teka-teki sekitar nasib ibu dan adiknya yang hilang tanpa jejak.

Orang boleh bertanya-tanya, mengapa George menunggu sampai empat tahun dan tidak bertindak lebih cepat atau lagi mengapa polisi yang mendapatkan laporan, tidak segera mengambil tindakan yang efektif untuk menjernihkan persoalan.

Bagaimanapun juga prestasi George Nesbitt dalam mencari ibu dan adiknya sungguh mengagumkan. Apalagi jika diingat bahwa lelaki ini orang biasa saja yang sama sekali belum pernah “makan garam” di bidang kedetektifan, sedangkan perkaranya sudah begitu tertimbun oleh waktu.

Tempat yang pertama-tama dituju oleh George adalah losmen di Grand Avenue, Portland. Pemiliknya ternyata masih sama seperti empat tahun yang lalu. Ia ketika Mrs. Nesbitt dan Alma menginap di situ.

Henry Winters — demikian nama pemilik losmen — hanya bisa memberikan keterangan samar-samar  itupun setelah ia meneliti buku tamu empat tahun yang lalu.

Nama Alma dan Mrs. Nesbitt memang tercantum di dalamnya. Mr. Winters masih lupa-lupa ingat akan dua orang wanita, yang di tahun 1900 pernah menyewa kamarnya. Yang satu masih muda dan cantik sekali, katanya. Gadis Ini beberapa kali didatangi seorang lelaki, yang bertengkar dengannya

“Ini saja ingat betul”, kata Winters, “Gadis itu rupanya berniat untuk pergi ke suatu tempat dan sedangkan si lelaki berusaha mencegahnya. Tidak mustahil bahwa gadis itu Miss Alma yang dicari”.

Sekalipun tak menentu sifatnya, informasi ini dicatat baik-baik oleh George dan ia hubungkan dengan keterangan Norman Williams tentang hubungan percintaan Alma dengan seorang pemuda dari The Dalles. Jika benar gadis itu adiknya, barangkali saja lelaki itu ialah lelaki yang dikenal Alma ketika ia bekerja di The Dalles. Barangkali pula Alma telah lari dengan orang itu.

Langkah berikutnya yang diambil George ialah berusaha menghubungi Norman Williams. Dari Portland ke Hood River naik kereta api, dari Hood River ke rumah Williams naik kereta yang ditarik kuda. Dari sais kereta itu, Stranahan, pemilik Fashion Livery Stables. sebuah perusahaan yang menyewakan kuda dan kereta, George mendengar bahwa Norman Williams sudah lama sekali tak kelihatan.

Informasi ini ternyata benar. George menemukan rumah Williams dalam keadaan bobrok tanpa penghuni, tanah pertaniannya tak terurus dan penuh tanaman liar. Juga bekas tempat tinggal Alma dan Mrs. Nesbitt ia temukan dalam keadaan yang sama.

Maka malam itu juga George kembali ke Hood River dan hari berikutnya ia menuju The Dalles dengan kereta milik Stranahan. Maksudnya hendak mencari jejak-jejak perkawinan Alma jika benar adiknya itu telah jatuh hati pada seorang pemuda di tempat tersebut. Tetapi dokumen-dokumen pemerintahan di situ tidak mencatat perkawinan seorang gadis bernama Alma.

Pejabat di The Dalles tak bisa membantu banyak, karena peristiwa yang diselidiki George telah lama berlalu. Detektif amatir kita hanya dapat memperoleh informasi, bahwa seorang pemuda bernama Fred Sturges, kaisar pada sebuah perusahaan makanan ternak, pada tahun 1900 menggelapkan uang sebanyak $ 3.000 dari perusahaan tersebut dan lari dengan seorang gadis. Dan gadis ini konon berasal dan Hood River.

Mendengar keterangan ini George berpikir sebagai berikut: Fred Sturges lelaki yang curang. Andaikan pencoleng ini berhasil memikat hati Atma, maka tak mustahil tujuannya hanyalah untuk mendapatkan keuntungan kekayaan dari gadis itu. Bukankah Alma memiliki tanah pertanian: seluas 160 acres?

Gagasan ini mendorong George untuk minta Keterangan pada Kantor Urusan Tanah di Portland. Kecuali itu George: memutuskan untuk pergi ke Vancouver, Washington, karena menurut keterangan, orang-orang yang buru-buru hendak kawin biasanya lari ke Vancouver karena di sini peraturan-peraturan perkawinan lebih longgar.

Penelitian dokumen-dokumen pada Kantor Urusan Tanah di Portland membawa hasil. Untuk pertama kali selama penyelidikan, George menemukan jejak nyata dari adiknya. Sebuah naskah pada arsip Kantor Urusan Tanah itu menyebutkan bahwa Alma Nesbitt memindahkan penguasaan tanahnya seluas 160 acres kepada Norman Williams pada tanggal 17 Maret 1900.

Nesbitt mempelajari naskah itu dengan seksama. Lalu ia menyatakan kesimpulannya kepada pejabat Kantor Urusan Tanah. Katanya: “Jelas bahwa dalam dokumen ini nama adik saya dipalsukan”. Menanggapi pernyataan George ini, Kantor Urusan Tanah di Portland berjanji akan mengusut perkara itu.

Kini George mulai menaruh curiga terhadap Norman Williams. Jika Alma meninggalkan tanahnya di Hood River, memang logis bila ia menjualnya kepada tetangga terdekat, yaitu Williams. Tetapi mengapa pemalsuan di atas? Mengapa pula Williams, ketika disurati George, tidak menyebut-nyebut soal jual-beli tanah itu?

George melanjutkan penyelidikannya, kini di Vancouver. Ia membolak-balik halaman buku catatan perkawinan-perkawinan yang berlangsung di kota ini pada tahun 1900. Tak ditemukan nama Alma Nesbitt dan Fred Sturges, kaisar yang melarikan uang $ 3.000 tersebut di atas.

George kini menggali lebih jauh lagi, yaitu meneliti buku tahun 1899. Betapa ia terkejut ketika matanya tertumbuk pada nama pasangan yang menikah pada tanggal 25 Juli 1899, yaitu Alma Nesbitt dan Norman Williams, keduanya tercatat sebagai orang berasal dari Hood River, Oregon.

Tak pernah George menduga bahwa di samping jiwa perintis, masih ada motif lain yang menarik Alma untuk berpetualang di daerah barat, yaitu motif percintaan dengan Norman Williams yang memang telah dikenal oleh Alma sebelum gadis ini meninggalkan Harlan.

Rupanya Alma dan Williams menikah secara rahasia. Kini George lebih curiga lagi terhadap lelaki itu, yang menyembunyikan kedudukannya sebagai suami Alma dan mengatakan bahwa Alma barangkali lari dengan seorang pemuda dari The Dalles.

George memberitahukan penemuannya ini kepada kejaksaan The Dalles, yang berjanji akan mencari Norman Williams. Setelah Itu George menyewa kereta Stranahan (pemilik Fashion Livery Stables yang telah kita temui di atas) untuk mendjelajahi seluruh wilayah sekitar Hood River. Semua sahabat-sahabat dan kenalan-kenalan Alma maupun Williams ia tanya. Ternyata tak seorang pun tahu bahwa mereka telah menikah.

Di antara keterangan-keterangan yang berhasil dikumpulkannya ada satu yang berharga. Seorang petani bernama Harry Mead yang kenal akrab dengan Williams bercerita sebagai berikut.

Pada suatu hari ia mampir di Tanah Williams. Baru saja ia masuk rumah, turun hujan deras sekali. Mead memandang keluar dan melihat segunduk karung-karung berisi gandum milik Williams kehujanan. Buru-buru ia memberitahukan hal ini kepada Williams sambil menyatakan kesediaannya untuk membantu menyelamatkan gandum yang berharga itu. 

Tetapi anehnya, Williams tidak mau, dan menjawab: “Jangan kau pusingkan itu gandum; mari kita minum kopi untuk menghangatkan tubuh. Belum pernah Mead melihat petani seceroboh Williams.

Aneh sekali tingkah laku Williams ini, pikir George. Sebab tidak benar apa yang dikatakan Harry Mead bahwa Williams seorang petani ceroboh. Bahkan sebaliknya, George selalu mengenal Williams sebagai petani yang rajin dan sangat cermat menjalankan usahanya. Perbuatan aneh seperti diceritakan oleh Harry Mead kiranya tidaklah tanpa sebab. Maka George mengaiak Harry Mead ke bekas rumah Williams. Berdua mereka naik kereta Stranahan pergi ke sana. Sampai tempat tujuan George minta ditunjukkan tempat karung-karung berisi gandum yang kehujanan itu. “Di sana”, kata Mead sambil menunjuk pada sebuah kandang ayam. “Cuma dulu kandang itu belum ada.”

Naluri George Nesbitt mengatakan bahwa tempat itu perlu digali. Selama satu jam George bekerja dibantu oleh Mead dan Stranahan, sampai sekopnya tertumbuk pada tanah keras. Satu-satunya benda yang mereka temukan adalah sebuah karung yang telah mulai membusuk. George mengamat-amatinya dengan teliti dan melihat bahwa pada karung itu terdapat noda-noda hitam.

Hari berikutnya, George menuju The Dalles sambil membawa karung itu. Benda ini ia serahkan kepada kejaksaan dan diterima oleh Jaksa Wilson.

Setelah mengamati baik-baik noda-noda pada karung tersebut Wilson berkata, bukan tidak mungkin noda-noda itu bekas darah. Lalu ia memutuskan untuk minta bantuan seorang ahli, nona Dr. Victoria Hampton.

Sementara itu jaksa Wilson mempunyai berita baik bagi George Nesbitt. Kini Norman Williams telah berhasil ditemukan tempat tinggalnya, ialah di Washington. Williams bahkan telah datang dengan sukarela ke The Dalles. “Anda akan segera saya pertemukan dengannya”, kata Wilson.

Pertemuan dan tanya jawab berlangsung di kantor kejaksaan, Williams perawakannya tinggi, rambutnya telah mulai memutih. Namun mukanya yang tampan, masih kelihatan muda sekalipun orang ini telah berumur 60 tahun. Dengan senyum penuh kehangatan ia menjabat tangan George Nesbitt.

Semua pertanyaan dijawab dengan lancar. Williams mengakui terus terang bahwa ia telah menikah dengan Alma. Tetapi atas kehendak Alma sendiri perkawinan itu ia rahasiakan. Dalam suratnya kepada George Nesbitt empat tahun yang lalu, ia tetap tidak menyebut-nyebut tentang perkawinannya dengan Alma. Sebab ia (Williams) ingin melindungi nama baik Alma yang menurut kabar mempunyai hubungan percintaan dengan seorang laki-laki bernama Fred dan bermaksud kawin dengannya.

Kini Norman Williams mengisahkan detail-detail tentang hubungannya dengan Alma sampai saat wanita ini hilang tanpa kabar.

Williams untuk akhir kali bertemu dengan Alma pada Tanggai 9 Maret 1900 (jadi sehari sebelum Alma menulis suratnya yang terakhir kepada George). Sebulan sebelum itu Alma menyatakan tak mau lagi berhubungan dengan Williams. Dengan ibunya wanita itu pergi ke Portland dan menyewa sebuah kamar losmen di sana.

Awal bulan Maret 1900 Alma kirim surat kepada Williams. Dalam surat itu ia menyatakan hendak kembali sebentar ke Hood River, yaitu pada tanggal 8 Maret untuk membicarakan beberapa persoalan dengan Williams.

Alma dan ibunya naik kereta api. Williams menjemputnya di stasiun Hood River dengan sebuah kereta yang disewanya dari the Fashion Livery Stable.

Sampai dirumah, Alma berbicara di bawah empat mata dengan Williams. Secara terus terang Alma menyatakan niatnya untuk menikah dengan Fred. Betapapun juga, ini adalah jalan yang sebaiknya untuk mereka berdua, Williams dan Alma.

Tetapi Alma ingin berpisah secara baik-baik dengan Williams. Maka wanita itu menyerahkan surat kuasa kepada Williams yang memberinya hak atas tanah miliknya.

Alma membuka rencananya selanjutnya. Katanya, ia bermaksud memulangkan ibunya ke Harlan, lowa. Tetapi ia, Alma sendiri, berniat pergi dengan Fred, entah ke mana.

Hari berikutnya Williams mengantarkan Alma dan ibunya ke stasiun Hood River, masih dengan kereta milik the Fashion Livery Stable. Sekian keterangan Williams tentang Alma dan Mrs. Nesbitt.

Interogasi dilanjutkan. Ditanya tentang surat-kuasa dari Alma yang memberinya hak atas tanah wanita itu, Williams menjawab bahwa dokumen itu hilang.

Mengenai tanah di bawah kandang ayam yang jelas bekas galian, dan mengenai karung bernoda hitam yang ditemukan oleh George Nesbitt, Williams memberi keterangan berikut. Dalam musim dingin tahun 1899 ia bermaksud membuat gudang bawah tanah, tetapi setelah galian selesai, rencana ia urungkan. Sekitar waktu itu kuda betinanya melahirkan dan mengotori sebuah karung. Karung bernoda darah itu ia lempar kedalam lobang tersebut di atas. Setelah itu lobang ia timbuni tanah.

Keterangan-keterangan Williams semuanya cukup masuk akal. Siapa gerangan pemuda bernama Fred yang membawa lari Alma? Samakah ia dengan Fred Sturges, pegawai yang menggelapkan uang $ 3.000 dari perusahaannya? Jaksa Wilson berniat menyiarkan berita tentang Fred ini di surat kabar dengan harapan dapat menemukan orangnya.

George kini kembali ke Hood River, masih naik kereta Stranahan.

Dalam perjalanan ini Stranahan menyarankan kepada George untuk memeriksa catatan tentang sewa-menyewa kereta milik perusahaannya. Sebab menurut Williams, pada tanggal 8 Maret 1900 ia menyewa kereta milik perusahaan the Fashion Livery Stable. Pada tahun 1900 the Fashion Livery Stable belum dibeli oleh Stranahan dari pemiliknya terdahulu, yaitu Langille. Tetapi catatan sewa menyewa semuanya ada di kantor Stranahan.

Keterangan Williams ternyata benar. Kenyataan ini diperkuat lagi oleh Langille yang waktu itu kebetulan mampir di kantor Stranahan. Langille masih menambahkan keterangan: “Ketika Williams datang untuk menyewa kereta, ia bersama-sama dua orang wanita, yang satu tua yang lain muda dan sangat cantik. Tetapi hari berikutnya, tanggal 9 Maret, ketika mengembalikan kereta, Williams sendirian saja”.

Jadi Williams tidak bohong.

Ke mana ia mesti mencari sekarang — George bertanya-tanya setengah putus asa. Tiba-tiba ia teringat pada pertanyaan Williams bahwa ia (=Williams) pada tanggal 9 Maret mengantarkan Alma dan ibunya ke stasiun Hood River.

Seketika itu juga George memutuskan untuk menyurati Oregon Railway Company, Ia minta agar perusahaan ini mencek buku laporan lalu lintas kereta api yang berangkat dari Hood River tanggal 9 Maret 1900. Siapa tahu, barangkali karena sesuatu hal yang luar biasa sang kondektur di waktu itu melihat Alma dan Mrs. Nesbitt.

Sambil menunggu jawaban, George meneruskan penyelidikannya. Semua keterangan Williams ia cek kebenarannya melalui para tetangga dan kenalan-kenalannya.

Jerih payah, ketelitian dan kesabarannya tidak tanpa hasil. Dari seorang penggemar kuda yang kenal baik sekali dengan Williams, George mendapatkan kesaksian pasti tentang kud betina yang diceritakan Williams, “Itu satu-satunya kuda betina milik Williams”, katanya. “Kuda itu melahirkan pada saat sedang disewakan oleh Williams kepada sebuah perusahaan penggergaji kayu”.

“Jadi kuda itu tidak di rumah Williams tanya George, “Jelas tidak, sebab saya melihat sendiri kuda itu melahirkan. Saya ingat betul karena pada waktu itu Williams merasa sangat kasihan pada kudanya, hingga ia mengatakan tak mau memiara kuda betina lagi. Kuda dan anaknya segera ia jual”.

Seorang kenalan lain mengisahkan, bahwa segera setelah» Alma dan Mrs Nesbitt pergi, Williams membuat onggokan kayu bakar. Onggokan yang tinggi sekali itu ia bakar, entah untuk apa.

Lalu datang jawaban dari Oregon Railway Company. Bunyi jawaban itu: Pada tanggal 9 Maret 1900 jelas tidak ada kereta api yang berangkat dari stasiun Hood River. Sebab mulai tanggal itu selama satu minggu lebih rel kereta api pada rute tersebut rusak akibat banjir besar. Sementara itu baik dari pengakuan Williams sendiri maupun dari kesaksian Langille, tak dapat diragukan bahwa tanggai 8 Maret Williams naik kereta bersama Alma dan Mrs. Nesbitt menuju rumahnya.

Cerita Williams menjadi makin lemah dengan munculnya Fred Sturges. Secara sukarela Fred datang pada polisi dan mengakui terus terang bahwa ia memang menggelapkan uang $ 3.000 dari kantornya. Ia pun mengakui bahwa ia menikah dengan seorang gadis dari Hood River. Tetapi gadis itu bukanlah Alma Nesbitt. Selanjutnya Fred Sturges menyatakan bersedia mengganti uang yang telah ia gelapkan. Pernyataan Fred Sturges tak dapat diganggu gugat. 

Kisah tentang percintaan Alma dengan seorang pemuda bernama Fred rupanya hanya isapan jempol.

Akhirnya datang kesaksian dari Dr. Victoria Hampton bahwa noda hitam pada karung yang ditemukan di bawah kandang ayam di halaman Williams, adalah noda darah manusia. Di samping noda darah, pada karung itu ditemukan pula beberapa helai rambut wanita.

Setelah terkumpul petunjuk yang cukup meyakinkan itu, Norman Williams ditahan. Rekonstruksi jalannya peristiwa seperti digambarkan oleh jaksa Wilson adalah sebagai berikut.

Setelah menikah secara diam-diam pada pertengahan tahun 1899, hubungan antara Williams dan Alma menjadi retak pada bulan Februari 1900. Inilah sebabnya mengapa Alma dan Mrs. Nesbitt pindah ke Portland.

Beberapa kali Williams mengunjungi Alma untuk memintanya agar mau kembali mengurungkan niatnya pulang ke lowa. Entah bagaimana, Williams berhasil meyakinkan Alma dan ibunya agar mau mengunjunginya di Hood River. Alma dan ibunya tiba di stasiun Hood River tanggal 8 Maret 1900, dijemput oleh Williams dan dibawa pulang ke rumahnya. Di sana mereka dibunuh oleh Williams.

Mayatnya dikubur di halaman rumahnya. .Untuk menyembunyikan kuburan itu, Williams menaruh karung-karung gandum di atasnya. Kemudian timbul gagasan, bahwa cara yang paling aman untuk menghilangkan bekas-bekas kejahatan, ialah dengan membakar mayat para korban. Maka mayat ia gali lagi dan ia bakar dengan api unggun besar.

Setelah itu bekas kuburan ia timbuni lagi dengan tanah. Untuk menghilangkan segala jejak, di atas bekas kuburan itu ia bangun sebuah kandang ayam.

Hasrat merebut tanah milik Alma, tampaknya bukan motif yang meyakinkan untuk menerangkan pembunuhan ini. Sebab bukankah Williams sebagai suami yang sah, berhak atas harta istrinya jika yang terakhir ini meninggal? Demikian pula sebaliknya?

Ada motif lain yang lebih masuk akal. Yaitu ternyata bahwa Norman Williams sudah beristri ketika menikah dengan Alma. Istri pertama itu datang melapor ketika mendengar bahwa Norman Williams ditangkap. Ia memperlihatkan surat nikahnya dengan Norman Williams tertanggal 29 Nopember 1898.

“Beberapa bulan setelah menikah, kami berpisah. Bulan Januari 1900 saya sakit dan memerlukan uang. Maka saya menyurati Williams untuk minta kembali uang yang pernah saja pinjamkan kepadanya. Pada alamat pengirim, saya cantumkan nama saya sebagai Mrs. Althea Williams”.

“Sepuluh hari kemudian, saya menerima surat dari seorang wanita bernama Alma Nesbitt, yang menanyakan bagaimana hubungan sebenarnya antara saya dengan Norman Williams. Saya tulis kembali, bahwa saya adalah istrinya”.

Kenyataan bahwa Williams sebenarnya telah kawin, rupanya meretakkan hubungan antara Alma dan Williams. Akibatnya, Alma meninggalkan Williams, barangkali sambil mengancam akan membeberkan seluruh tindakan Williams kepada istrinya yang sah. Atau barangkali Alma mengancam akan melaporkan kepada polisi bahwa Williams melakukan bigami. Dengan membunuh Alma, Williams dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan sekaligus dapat menguasai tanah milik wanita itu.

Gambaran itulah yang disajikan oleh Jaksa Wilson ketika ia tampil di depan sidang yang mengadili perkara Williams pada tanggal 25 April 1904. Bukti berupa mayat para korban tidak ada. Tetapi keseluruhan keterangan sekitar hilangnya Miss Nesbitt dan ibunya, kesemuanya menunjuk Norman Williams sebagai pembunuhnya — sekalipun Williams tetap tidak mengaku.

Sementara itu yang paling mengesankan adalah kesaksian sarjana wanita, Dr. Victoria Hampton. Juri menyatakan Williams bersalah dan hakim Bradshaw menjatuhkan hukuman mati.

Setelah permintaan banding yang diajukannya tak terkabul, Norman Williams menjalani hukuman gantung pada tanggal 21 Juli tahun 1905.

(Charles Boswell & Lewis Thompson)

Baca Juga: Pembunuhnya Jadi Korban Ketiga

 

 

" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835245/george-nesbitt-detektif-awam-cemerlang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169905000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635969" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/misteri-potongan-mayat-wanita_im-20230105070052.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(115) "Penemuan korban pembunuhan mutilasi membuat polisi teringat akan kasus yang sama sebelumnya. Apakah pelakunya sama?" ["section"]=> object(stdClass)#64 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/misteri-potongan-mayat-wanita_im-20230105070052.jpg" ["title"]=> string(29) "Misteri Potongan Mayat Wanita" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:01:11" ["content"]=> string(33664) "

Intisari Plus - Penemuan korban pembunuhan mutilasi membuat polisi teringat akan kasus yang sama sebelumnya. Apakah pelakunya sama?

--------------------

Salem, ibu kota negara bagian Oregon, AS, yang indah dan tenteram. Sebelumnya tak pernah terukir dalam sejarah kejahatan. Itulah sebabnya ketika seorang pemancing di sebuah rawa Salem Tenggara, musim semi 19 April 1975, menemukan mayat terpotong-potong, penduduk kota ini gempar. “Semula saya pikir benda yang terapung di balik alang-alang itu maneken yang sering dipajang di etalase toko. Ternyata tubuh manusia!” cerita pemancing tersebut. la baru menyadari hal itu ketika melihat potongan kerangka sendi kaki mencuat dari dalam air. “Sebagian pakaian dan sebuah handuk putih masih menempel di tubuhnya.”

Tanpa menunggu waktu, ia segera melaporkan temuannya tersebut ke kantor polisi terdekat.

Banyak sudah pengalaman para detektif Oregon menyelidiki berbagai kasus pembunuhan, tapi baru sekali ini mereka menyaksikan mayat secara sadis dipotong-potong. Dari potongan berupa sepasang payudara, kepala, dua buah lengan dan kaki serta batang tubuhnya, dipastikan korban adalah wanita. Potongan-potongan daging yang lain sulit diidentifikasi.

Dr. William Brady, patolog dari Oregon yang mengumpulkan potongan tubuh, kaget bagian kelamin mayat ini hilang sama sekali. Namun bagian kepalanya masih utuh. Matanya tertutup rapat, tampak seperti tidur tenang. Kulitnya berwarna gelap, menunjukkan ia berkebangsaaan Spanyol, India atau suku kulit hitam. Walaupun tercampur lumpur, rambut korban tetap berombak berwarna coklat kehitaman. Pada wajahnya terdapat banyak parutan bekas luka. Bisa jadi korban pernah mengalami pukulan hebat di masa lalu.

Pakaiannya berupa celana panjang warna biru, jas bermotif kotak-kotak biru dan abu-abu, sweater putih, celana dalam, serta BH yang terpotong bagian depannya dan pengikat belakangnya hilang. Ada pula sepatu kulit berwarna hitam bertumit sedang. Selain itu, ditemukan pula sebuah kaos kaki pria berwarna abu-abu muda bergaris merah, yang biasa dikenakan orang bekerja di hutan atau berburu.

Sulitnya mengidentifikasi korban lantaran jari-jarinya sudah terkelupas dan ujung-ujung rusak, sehingga sidik jarinya hilang. Apalagi pada jari tangan tak ada cincin atau aksesori lain yang menempel pada untaian rantai kalung perak yang sudah terputus-putus. Yang lebih mengecewakan lagi, tak ditemukan dompet yang mungkin menyimpan SIM atau KTP yang dapat membantu memberikan kunci siapa sebenarnya wanita malang tersebut.

Potongan-potongan tubuh tersebut kemudian dikirim ke kamar jenazah di Golden Mortuary Salem. Dari hasil otopsi diketahui, wanita tersebut berusia sekitar 30 - 40-an, tingginya 160 cm dan beratnya antara 58 - 66 kg. Dari catatan medisnya terungkap, ia pernah melahirkan dan menderita batu empedu.

Diperkirakan wanita ini meninggal sekitar 24 - 36 jam sebelumnya. Diduga ia tewas karena dicekik dengan tali. Pada mata, pipi, jantung dan paru-paru terdapat perdarahan kecil, ditandai dengan titik-titik berwarna merah, berasal dari pembuluh darah kecil.

Polisi kemudian mengecek daftar orang yang belakangan dilaporkan hilang. Namun ternyata tidak satupun cocok dengan deskripsi korban yang sampai saat itu belum diketahui namanya. Mungkin, wanita dewasa ini meninggal dalam waktu singkat. Jadi belum sempat dilaporkan kehilangannya.

Minggu siang telepon di kantor pusat Marion berdering. Suara dari seberang terdengar tergesa-gesa, “Barangkali ini bisa keliru, tapi setelah membaca surat kabar, saya duga korban tersebut adalah wanita penjahit langganan saya. Wanita yang kulitnya agak gelap ini punya beberapa bekas goresan pada mukanya. Katanya, ia berasal dari Carolina Selatan. Namanya, Betty Wilson. Kebetulan saya punya nomor teleponnya. Anda memerlukan?” Petugas Byrnes mencatat nomor telepon tersebut, dengan kode wilayah Scio, sebuah dusun di daerah Linn. Tak lama kemudian nomor itu dihubungi.

Penerima telepon, yang mengaku sebagai kakak Betty Wilson mengatakan, Betty tidak di rumah. Ketika mengetahui bahwa yang menghubungi adalah dari kepolisian, ia bertanya, “Apakah ini laporan orang hilang di kantor polisi Linn? Sejak Jumat memang Betty tidak pulang.” Akhirnya, sang kakak diminta datang untuk mengindentifikasi korban, memang benarlah bahwa korban adalah Betty Lucille Wilson, asal Fayetteville, Carolina Utara.

Betty, menikah pada usia 16 tahun. Selama 9 tahun pernikahannya ia mempunyai 7 anak. Saat terbunuh, anak tertuanya berusia 18, yang bungsu 9 tahun, semua di bawah pengasuhan rumah penitipan anak di Carolina Selatan.

Sudah lama rumah tangga Betty mengalami kesulitan keuangan walaupun ia berusaha ngobyek dengan menerima jahitan. Keluarganya tinggal dalam sebuah karavan tua di pinggiran daerah pembuangan sampah di Fayetteville. Betty pernah mengaku sering kali dipukuli suaminya, Wilson. Rupanya bekas-bekasnya masih tampak pada wajahnya.

Wanita malang ini sudah lama mendambakan cinta kasih dan rasa aman setelah mengalami penderitaan selama 35 tahun. Ia ingin melarikan diri dari penganiayaan suaminya dengan mencari kehidupan baru di kota lain. Akhirnya lantaran tidak tahan menanggung beban, Januari 1975 ia minggat dari rumah dan menumpang di rumah kakaknya di Scio.

Sang kakak menyambutnya dengan senang hati apalagi rumahnya cukup besar. Betty berjanji akan membiayai dirinya begitu ia memulai pekerjaannya lagi sebagai penjahit. la berharap bisa hidup tenteram agar nanti dapat mengirimkan uang ke anak-anaknya. Di rumah kakaknya, Betty menempati sebuah kamar sederhana. “Betty bisa menyelesaikan sepotong pakaian dalam sehari,” cerita kakaknya sedih. “Dengan kepandaiannya, pakaian dari bahan bernilai beberapa dolar saja, bisa tampak seperti 75 dolar.”

Jumat 18 April 1915. Petang itu, bersama pacarnya, keponakan Betty mengajaknya keluar malam. Mereka akan makan malam dan dansa di restoran Pepper Tree di Salem. Malam itu Betty mengenakan celana panjang biru yang baru selesai dibuatnya. la tampak gembira sekali.

Namun sayang kemenakannya yang baru berusia 20 tahun dilarang masuk Pepper Tree, karena masih di bawah umur. Untuk tidak mengecewakan tantenya, keponakan dan pacarnya menyarankan Betty masuk sendiri agar bisa berdansa sebentar. Mereka berjanji akan menjemput kembali sekitar pukul 23.00.

“Ternyata saat kami jemput, Betty mengatakan ia masih betah dan belum ingin pulang,” cerita kemenakannya. “Ia mengatakan akan bertemu kami di apartemen temannya di Stayton.”

Saat bertemu Betty di bar, terlihat ada seorang pria berdiri di belakang Betty. Diduga mereka baru saja berkenalan. Pria itu berambut hitam dan tingginya sekitar 1,90 m.

Seperti telah dijanjikan, dua anak muda itu langsung menyusul Betty ke apartemen temannya di Stayton. Ternyata Betty tidak ke sana. Akhirnya pukul 03.00 dini hari, mereka putus asa dan pulang.

 

Namanya sulit dieja

Sementara itu polisi Oregon dan beberapa penyelam yang meneruskan pencarian di rawa, menemukan lagi beberapa jaringan tubuh lain. Anehnya, di sekitar itu ditemukan banyak sekali batang lollipop

Letnan Byrnes dan McCoy langsung menuju Pepper Tree. Mungkin beberapa petunjuk lain bisa diperoleh dari situ.

Ketika staf restoran ditanya siapa kira-kira pria yang berdansa dengan Betty, Jumat malam itu, mereka tidak dengan mudah mengingatnya, karena ada 250 pengunjung saat itu. Namun, beberapa orang masih ingat memang ada wanita yang mengenakan celana panjang biru stelan yang lafal berbicaranya aksen daerah Selatan. Mula-mula ia duduk bersama dua wanita lebih muda, kemudian ia pindah ke bagian bar. Pelayan bar mengatakan, “Ia tampak begitu gembira dan minum beberapa gelas bir. la membayarnya dengan uang kecil dan dompetnya ditinggalkan begitu saja di situ.”

Detektif McCoy mencoba berdiri dekat kursi bar tempat korban pernah duduk dan melihat ke arah depan. Siapa saja yang duduk di sana akan langsung bertatap muka dengan orang yang duduk di bar, kira-kira jaraknya 5 kursi dari lengkung bar. “Siapa yang duduk di situ saat itu?” tanya McCoy kepada pelayan bar. “Banyak, tapi ada seorang pria yang sekali-kali datang ke klub ini,” katanya.

Pelayan bar ini tidak tahu nama pria tersebut, tapi usianya setengah baya dan datang 3-4 kali seminggu. la masih ingat, seorang wanita terburu-buru mengambil dompet dan baju hangatnya dari tempat duduknya, kemudian bergabung dengan pria itu. “Saya tidak ingat kapan mereka keluar dari klub ini,” katanya.

Jim Byrnes bertanya-tanya, mungkin suami Betty yang suka memukul dan membencinya, mengikutinya sampai jarak 3.000 mil dari tempat tinggalnya untuk mengakhiri hidup istrinya? Kepala detektif Mayor Kiser dari Fayetteville, Carolina Utara segera dihubungi. Ternyata tanggal 17 dan 18 April, Wilson bekerja penuh. Bahkan Sabtu, 19 April pun Wilson tidak ke mana-mana. Jadi pasti pembunuh Betty bukan sang suami.

Walaupun siang-malam para detektif tak hentinya melakukan penyelidikan, pembunuhan sadis tersebut tetap merupakan misteri. Dalam suatu wawancara dengan seorang petani yang tinggal di dekat rawa, diperoleh keterangan bahwa ada mobil pick-up putih yang parkir sebentar dekat rawa, tapi ia tidak mengamati nomornya. Jejak ban mobil dan sepatu pada lumpur dekat rawa ternyata tidak bisa memberikan bukti apa pun karena tanahnya bercampur kerikil.

Minggu 20 April, para detektif menemui sejumlah karyawan kantor penimbunan sampah kalau-kalau mereka pernah melihat kendaraan yang mengangkut jenazah Betty Wilson. Rupanya di sini ditemukan kunci untuk mengungkap siapa pelaku pembunuhan keji ini. Mereka mengatakan, setiap kendaraan yang datang ke situ harus berhenti, membayar dan menyebutkan namanya. “Kami memberikan bon kepada setiap kendaraan,” kata seorang pegawai. “Para pelanggan yang tidak datang teratur mendapatkan bon asli, tapi kami menyimpan tembusannya.”

Detektif menanyakan lebih detail soal kendaraan yang datang pagi hari tanggal 19 April. Tiga kendaraan masuk sebelum pukul 07.45 pada saat shift para karyawan. Dua orang yang mengendarai truk memang pelanggan tetap yang secara rutin menimbun barang rongsokan besar. “Orang ketiga, mengendarai mobil pick-up merek Ford tahun ‘69. Ia seorang asing,” jelas seorang karyawan. “Ketika saya menanyakan namanya, ia menyahut, ‘Anda tidak akan bisa mengeja nama saya. Ini nama saya, Marzuette.’”

Ketika dicek di buku telepon, nama tersebut tidak ada. Namun Byrnes tiba-tiba teringat nama seseorang yang mirip. Ia masih terkenang sewaktu masih calon prajurit patroli di Beaverton, Oregon, sekitar 14 tahun lalu, ia ikut mengejar seorang pembunuh kejam bernama Richard Laurence Marquette.

Sejak semula dalam penyelidikan kasus Betty sebenarnya Byrnes sudah teringat pelaku kejam ini, tapi masih terlalu awal disebutkan. Kini Byrnes mencoba mengenang kembali peristiwa 14 tahun yang lalu itu.

 

Kisah anjing yang menggondol kaki orang 

Kisah kejahatan Marquette yang masih terekam dalam benak Byrnes terjadi pada tanggal 8 Juni 1961. Hari itu seorang ibu rumah tangga di Portland, Oregon, menemukan seekor anjing membawa pulang sebuah tas kertas. Mungkin anjing ini baru saja mengorek sampah. Yang amat mengagetkan, dari dalam tas tersebut tersembul sepotong kaki wanita berukuran kecil, kukunya bercat merah.

Kaki manusia itu belum mengalami kebusukan. Saat potongan mayat diperiksa, sang anjing berlari kencang dan kembali membawa bungkusan lain. Kali ini potongan tangan manusia.

Polisi patroli segera dipanggil untuk memeriksa daerah sekitar mayat ditemukan. Ditemukan lagi sebuah tangan dan tulang paha. Tidak satupun bagian tubuh yang dikubur, semuanya masih segar dan penuh darah setengah kering. Menurut perkiraan, wanita ini meninggal 48 jam sebelumnya. Masih ada bagian tubuh lain yang bisa untuk bahan identifikasi.

Sementara itu polisi memeriksa semua bak sampah, tanah kosong, maupun rumah kosong, siapa tahu masih ada bungkusan lain. Ternyata hanya ibu jari dan 3 jari tangan bisa diambil sidik jarinya, yang lain sudah rusak.

Karena tahun itu belum bisa dilakukan pencocokan sidik jari dengan komputer, FBI hanya menyimpan file sidik jari dari para penjahat ulung. Tanpa adanya satu set sidik jari, detektif Portland mengalami kesulitan mengidentifikasi dengan cepat. 

Para detektif tetap tidak berhasil menemukan sisa-sisa tubuh korban sekalipun telah dicoba lagi dengan bantuan anjing pelacak. Patolog menduga wanita ini masih muda, mungkin berambut coklat, kulitnya halus dan ukuran sepatu nomor 7.

Laporan tentang orang hilang di Portland dan sekitarnya mengatakan, 4 wanita muda tidak muncul selama minggu terakhir. Konsentrasi penyelidikan terutama pada wanita yang hilang sekitar 48 jam sebelum 8 Juni pagi. Melihat bagian tubuh tadi, tampaknya potongan tubuh tidak dimasukkan ke pendingin sebelumnya. Jadi, pasti pembunuhan tidak dilakukan sebelum Senin, 5 Juni!

Wanita pertama yang dilaporkan hilang adalah June Freese, seorang gadis yatim piatu berusia 16 tahun, tinggal bersama bibinya. Namun melihat sepatunya, ukurannya lebih kecil dari sang korban.

Orang hilang kedua, Joan Caudle, asal Portland, 24 tahun. Menurut suaminya, ia pamit belanja, Senin sore 5 Juni. Suaminya tinggal di rumah menjaga kedua anaknya yang masih kecil.

“Joan membawa uang sekitar 100 dolar AS,” kata suaminya. Lelaki ini memang belum melaporkan hilangnya sang istri, karena pikimya ia masih ada urusan lain. “Ibu Joan sakit keras dan membuatnya sedih,” tambah suaminya. Ia mulai curiga saat menelepon sahabat dan sanak saudaranya, tidak satupun tahu di mana Joan. Joan pun tidak menelepon rumah sakit untuk menanyakan ibunya.

Nomor sepatu Joan Caudle ternyata nomor 7. Walaupun 40% wanita di Portland mengenakan sepatu dengan ukuran sama, tapi paling tidak ditemukan satu kemungkinan yang benar.

Wanita ketiga dan keempat yang hilang rupanya tidak dicurigai sebagai korban pembunuhan.

Usaha pencarian bagian tubuh yang lain telah disebarkan, tapi tidak juga ditemukan. Detektif Portland berpendapat bungkusan kaki dan tangan itu dilempar begitu saja dari mobil ke tong sampah. Sejauh ini polisi mau tidak mau hanya mengidentifikasi berdasarkan bagian tubuh yang ada.

Penyelidikan untuk mengungkap siapa pelaku pembunuhan itu menemui kesulitan lantaran tidak lagi ditemukan darah pada potongan tubuh korban.

Para penyelidik kemudian mengumpulkan barang-barang pribadi seperti sikat rambut, botol minyak wangi, dan tempat bedak, milik para wanita yang dilaporkan hilang. Juga diambil sidik jari dari meja dan kusen pintu dari rumah masing-masing. Repotnya, semua wanita yang hilang itu belum pernah diambil sidik jarinya. Kemudian sidik jari tadi dicocokkan dengan sidik jari yang diperoleh dari potongan jari. Akhirnya, lewat proses penyelidikan yang sangat teliti, jawabannya, korban adalah Joan Caudle.

Dengan sedih sang suami menambahkan, “Saya sudah menduga pasti sesuatu terjadi pada diri Joan. Soalnya, waktu ibunya meninggal, ia tidak muncul pada hari pemakamannya.”

Karena orang pertama yang dicurigai sang suami, ia diminta bercerita, “Saat toko-toko buka Senin malam, Joan mengatakan ingin membeli hadiah. Ia menelepon saya sekitar pukul 21.00, akan pulang agak terlambat, naik bus atau taksi.”

“Mungkin istri Anda mampir di bar untuk minum?” 

“Mungkin juga, tapi itu bukan kebiasaan dia.” 

“Apakah pikir Anda, istri Anda menyeleweng?”

“Sama sekali tidak,” kata Caudle. “Ia selalu di rumah bersama anak-anak dan saya pulang setiap malam. la bukan wanita tipe itu.”

Lantas apa saja yang dilakukan Joan antara pukul 21.00 Senin malam itu sampai Kamis pagi waktu potongan tubuh ditemukan? Foto korban segera dimuat di surat kabar Portland, siapa tahu ada orang yang pernah melihatnya.

Benarlah. Sehari kemudian ada seorang wanita muda ingin menyampaikan berita tentang Joan Caudle. “Saya pernah melihat wanita cantik dalam foto itu di sebuah bar di Portland Tenggara. Saat itu saya sedang minum bersama Dick. Pria yang biasanya pakaiannya lusuh malam itu tampak lebih rapi. Rupanya Dick langsung terarik pada wanita cantik itu dan tak lama kemudian menghilang bersama dia,” cerita wanita tersebut.

“Anda yakin dia addlah Joan Caudle?” tanya polisi. 

“Saya yakin karena saya mengamatinya benar-benar. la cantik dan lebih muda dari saya.”

Menurut penuturan wanita tersebut, Dick datang teratur ke bar itu. Usianya sekitar 25 tahun, tingginya kira-kira 1,90 m beratnya.sekitar 85 kg. Rambutnya keriting berwarna coklat muda, matanya biru dan tampangnya lumayan.

“Oh, ya. Dia sering menyebut saya ‘dear’. Katanya saya mempunyai mata seperti deer atau rusa.” Mendengar kata ‘deer’, para detektif langsung ingat pembunuh ini menyembelih dan menguliti tubuh korban seperti seorang pemburu menguliti rusa.

“Saya ingat, pria itu masih muda tapi gigi atas dan bawahnya palsu. Kalau bicara sering terdengar suara gemeletuk, “tambahnya.

Akhirnya polisi mengetahui nama lengkap pria itu Dick Marquette, bekerja di sebuah perusahaan pengangkatan mobil rongsokan. Polisi semakin yakin ketika ada beberapa pengunjung bar juga mengatakan wanita yang hiking itu berada di bar Senin malam bersama Dick.

Di perusahaan rongsokan mobil, seorang pekerja mengatakan Richard L. Marquette memang bekerja di situ tapi sejak Kamis, 8 Juni tidak muncul. “Sisa upahnya belum diambil,” katanya.

Menurut daftar karyawan, alamat rumahnya di sekitar tempat ditemukannya potongan tubuh. Di situ para penyelidik Portland menemukan sebuah rumah dengan dua kamar dikelilingi halaman penuh dengan tumbuhan tidak terawat. Bangunan ini hanya mempunyai satu pintu dan satu jendela, keduanya tertutup.

Polisi langsung bisa masuk karena pintu tidak terkunci. Begitu pintu dibuka, tercium bau busuk, khas bau mayat yang sudah menginap beberapa hari. Ditemukan pula sweater hitam, yang diidentifikasi sebagai pakaian yang dikenakan Joan Caudle saat ia menghilang. Di sebelahnya, ditemukan pakaian dalam wanita dengan sedikit percikan darah. Ada pula sebuah lemari es tua sarat dengan bungkusan-bungkusan besar terbungkus koran. Sungguh mengerikan, ternyata potongan-potongan daging manusia! Kepalanya tidak ada!

Surat perintah segera dikeluarkan untuk menangkap Richard Marquette. Para tetangganya heran, mana mungkin jejaka agak pendiam dan pemalu serta selalu memberi salam hangat kepada tetangga melakukan perbuatan sadis?

Mulai 19 Juni 1961, dibantu FBI pengejaran terhadap Marquette mulai dilaksanakan. Gambar si pembunuh juga disebarluaskan.

Tanpa susah payah, hari berikutnya FBI berhasil menangkap terdakwa di sebuah toko barang bekas. Semula ia menyangkal sebagai pembunuh tapi kemudian ia menyatakan, “Dalam keadaan mabuk, malam itu saya tak sengaja bertemu dengan eks teman sekolah. Saya tidak tahu nama barunya. Lalu ada orang yang menjemputnya. Entah siapa.”

Kemudian ia mengaku Joan dibawa ke rumahnya, “Saat hendak melakukan hubungan seks, tiba-tiba Joan berontak. Dengan sekuat tenaga saya berusaha mencekiknya. Bangun pagi hari, ia sudah meninggal. Saya panik,” ceritanya. Karena ia tidak mempunyai mobil untuk membuangnya, ia memotong-motong tubuh tak bernyawa itu. Menurut pengakuannya, kepalanya dibuang ke Sungai Willamette dekat jembatan Rose Island. Ternyata benar, kepalanya ada di sana.

Pengadilan terhadap Richard Marquette dilaksanakan 28 November 1961. Setelah kesaksian selama 2 minggu, mungkin dengan alasan masih muda dan baru pertama kali melakukan kejahatan, juri memutuskan hukuman seumur hidup. Beruntung pria muda cukup tampan dan pemalu ini mendapat keringanan hukuman walaupun melakukan pembunuhan tingkat pertama sewaktu berusaha memerkosa seseorang. Penduduk Oregon merasa tenang dan percaya Marquette akan berada di penjara seumur hidup.

 

Pembunuhnya sama

Ternyata Richard Marquette tidak mendekam di penjara seumur hidup. Kejahatannya pun segera dilupakan orang sehingga hanya timbul sedikit reaksi saat ia dibebaskan, 5 Januari 1973, 11 tahun kemudian.

Meneliti kembali kisah pembunuhan sadis oleh Michael Marquette, Jim Byrnes semakin yakin bahwa pembunuh Betty Wilson kemungkinan sama. Apalagi sudah ditemukan nama yang mirip. Pengejaran kini mengarah ke Michael Marquette. Ternyata ia sedang magang sebagai tukang leding pada sebuah perusahaan di Salem dan tinggal di sebuah perkampungan mobil rumah (trailer). Dengan segala upaya, akhirnya polisi berhasil menemukan tempat tinggalnya, tidak jauh dari Pepper Tree. Tanggal 21 April 1975, pada saat Byrnes bersama rekannya mendatangi traiIer-nya, ternyata sudah kosong dan dibersihkan. Ia telah melepaskan mobil Ford pickup-camper buatan 1969 dari rumah mobilnya. Tapi akhirnya mereka dapat menemukan tersangka.

Marquette dulu dan sekarang lain. Pria yang kini sudah berusia 40 tahun, tidak lagi kelihatan tampan, tapi tampak tua dan kurus. Saat rumah mobilnya diperiksa, ia tetap tenang dan santai sambil bersandar pada mobil pick-up-nya dan tangannya dilipat. Rupanya psikopat sadis ini pandai bersandiwara sehingga para detektif ragu apakah pelakunya orang yang sama.

Namun kemudian Byrnes menemukan titik-titik darah kering pada daun pintu dan sebuah keran air panas. Sebuah celana pendek dengan noda berwarna merah jambu tergantung pada tangkai shower, juga noda yang sama pada celana jeans.

Di tangga luar, Byrnes menemukan kuku jari yang sudah sobek. “Identifikasi melalui kuku jari bisa lebih baik daripada sidik jari,” komentarnya. Rupanya, sebelum para detektif datang, Marquette telah membersihkan semua kuku yang masih tertinggal. Selanjutnya, detektif membersihkan pekarangan sekitar trailer dengan vacuum cleaner, kemudian meraup semua kotoran kedalam kantung plastik untuk diteliti lebih lanjut.

Seorang detektif tiba-tiba melihat sesuatu berkilap di atas rumput. Ternyata potongan rantai kalung perak! “Ini cocok dengan potongan rantai kalung yang menempel pada janazah korban,” katanya. Juga ditemukan pengikat BH yang terlepas. Dengan ditemukan barang-barang kecil itu sudah hampir bisa dibuktikan siapa pembunuhnya. Walaupun Marquette tetap tenang, ia sebenarnya mulai cemas. Tiba-tiba omongannya agak kacau, “Wah, seandainya saja saya dapat kembali ke masa lalu saya.” Padahal Byrnes tahu benar selama 14 tahun ia mendekam dalam penjara. Mungkin ini sekadar siasat agar detektif tidak mencurigainya. Pertanyaan detektif segera diajukan.

“Apakah Anda pergi ke pangkalan barang rongsokan Sabtu pagi?” 

“Benar, saya ke sana membuang sampah,” jawabnya.

“Apa tanggung jawab Anda terhadap bercak darah yang kami temukan dalam trailer Anda?”

“Saya kira itu bukan darah,” jawabnya tenang.

Ketika ia ditanya apa kegiatannya Jumat petang, ia mengatakan, pergi ke Pepper Tree sebentar untuk minum bir, kemudian kembali ke rumah mobilnya dan tertidur di kursi. Pukul 06.00 paginya, ia membawa sampah ke pusat pembuangan sampah.

“Anda membunuh Betty Wilson?” 

“Tidak!” kilahnya.

Tetapi akhirnya Marquette ditahan atas tuduhan melakukan pembunuhan tingkat pertama. Saat ia harus menggganti pakaiannya dengan pakaian penjara, tampak banyak luka-luka kecil yang hampir kering pada tubuhnya. Namun darah pada luka-luka kecil itu tidak bisa dibuktikan sama dengan darah yang tertinggal pada trailer. Soalnya, kedua golongan darah Marquette dan Betty sama, yakni O-negatif. Kira-kira jarak waktu antara saat jenazah Betty ditemukan sampai penangkapan Marquette, hanya 55 jam 15 menit. Para tetangga terheran-heran saat mendengar Marquette ditahan atas tuduhan sebagai pembunuh. Soalnya ia dipandang sebagai pria yang sempurna: baik dan suka menolong sesama. Ia juga sangat menyayangi binatang piaraannya yakni beberapa ekor kucing.

Detektif juga menemukan peralatan kerja dari kulit berkualitas mahal antara lain sarung pistol besar.

 

Masa kecil tidak bahagia

Masa kecil Marquette memang kurang bahagia. la berasal dari keluarga berantakan, mengalami hidup dengan beberapa ayah yang berlainan dan tidak satu pun menyayanginya. Sebaliknya ketergantungan dirinya pada ibunya berlebihan. Pada usia remaja, Richard Marquette sudah mengikuti wajib militer di Korea. la masuk sebagai polisi militer. Namun berhenti secara terhormat tahun 1953. Hubungannya dengan wanita saat itu boleh dikatakan normal. la pernah berhubungan erat lewat surat dengan seorang wanita tetapi saat ia kembali ke AS, wanita ini telah menikah dengan orang lain. Namun, wanita ini pernah berselingkuh dengan Marquette. Wanita ini pernah mengadukan, mantan pacarnya ingin memerkosanya walaupun kemudian tuduhan dihapuskan setelah Marquette berhasil meyakinkan ia diundang ke kamarnya.

Sejak itu pola penganiayaan terhadap wanita mulai muncul. Marquette selalu berkilah yang mula-mula merayu adalah sang korban. Katanya, ia tidak tahan melihat setiap wanita yang berusaha melawannya. Demikian pula yang dilakukan terhadap Joan Caudle mapun Betty Wilson. Malah kabarnya, Marquette pernah berkencan dengan seorang wanita sampai pada taraf rencana akan menikah dengannya sebelum membunuh Betty. Tapi gagal lagi. Awal Mei 1975, Marquette bersedia memberikan kesaksian atas pembunuhan Betty Wilson dan bersedia direkam dan disiarkan di televisi saat diwawancara detektif.

la mengaku bertemu Betty di Pepper Tree dan mengundang wanita yang tampak kesepian ini datang ke rumah mobilnya. Katanya, Betty bersedia melakukan hubungan intim di ruang keluarganya. la memang telah membuka sebagian pakaiannya, tapi saat diminta melepaskan BH-nya, Betty malah berusaha mengenakan semua pakaiannya kembali. Di sinilah ia berusaha melawannya.

“Ternyata tangannya yang kuat tidak sanggup melawan cekikan saya,” tambahnya. Rupanya, perlakuan sadis ini lebih memuaskan dirinya ketimbang sekadar hubungan intim saja.

Agar darah cepat bersih, Marquette memotong anggota tubuh korban secara vertikal. la bukan pemburu, tapi kebetulan ia pandai memotong kaki dan tangan persis pada sendinya.

Sabtu pagi, sambil membawa tubuh Betty Wilson yang dibungkus handuk dan sarung bantal, ia terlebih dulu menuju pusat pembuangan sampah untuk menimbun dompet korban. Lalu ia membuang potongan tubuhnya di rawa dengan pemikiran pasti akan tenggelam.

Ia mengaku pula pernah melakukan pembunuhan lain, dengan cara yang hampir sama, tidak lama setelah keluar penjara. Ia tidak tahu namanya, tapi wanita ini kena bujuk rayunya saat diajak minum di sebuah bar di Salem. Benar apa yang dikatakan. Polisi akhirnya juga menemukan mayat lain berupa kerangka wanita, tanpa pakaian, tanpa perhiasan, dan tanpa kepala! Jaringan halus ataupun sidik jarinya telah rusak. Identifikasi satu-satunya hanya berdasarkan gigi. Jawab penyelidikan, wanita ini bernama Jane Doe.

30 Mei 1975, Michael Marquette sekali lagi diganjar hukuman seumur hidup. Yang terakhir ini benar-benar sampai ajalnya datang! (Ann Miller)

Baca Juga: Ancaman Itu Jadi Kenyataan

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635969/misteri-potongan-mayat-wanita" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945271000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448530" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/pemuja-jeroan-wanita_aaron-burde-20220831011840.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(129) "Beberapa gadis menghilang dan polisi tidak menemukan titik terang. Hingga akhirnya 2 mayat ditemukan di sungai, sudah dimutilasi." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/pemuja-jeroan-wanita_aaron-burde-20220831011840.jpg" ["title"]=> string(20) "Pemuja Jeroan Wanita" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:19:03" ["content"]=> string(22417) "

Intisari Plus - Beberapa gadis menghilang dan polisi tidak menemukan titik terang. Hingga akhirnya 2 mayat ditemukan di sungai, sudah dimutilasi dan ditenggelamkan secara sengaja.

-------------------

Tanggal 26 Januari 1968, Linda Slawson dikabarkan menghilang tanpa berita saat menjajakan ensiklopedia di wilayah Portland, Oregon. Linda bekerja di sebuah penerbitan buku sebagai tenaga penjual dari pintu ke pintu menawarkan ensiklopedia sebagai tambahan untuk biaya kuliahnya. Umurnya baru 19 tahun, tak ada catatan menuju ke rumah siapa hari itu. Pihak kantornya tidak memiliki catatan aktivitas Linda.

Berita hilangnya Linda tertelan hiruk-pikuk penembakan Senator Robert Kennedy pada tanggal 5 Juni 1968. Upaya pencarian pun belum memperoleh titik terang sampai kemudian muncul kembali berita hilangnya wanita muda.

Kali ini menimpa Jan Whitney (23 tahun). Keberadaannya tak terendus begitu malam Thanksgiving berakhir pada 26 November 1968. Mobilnya ditemukan di tempat peristirahatan dekat Albany, Oregon, dalam keadaan terkunci. Tak ada tanda-tanda keberadaan Jan Whitney di mobil maupun di sekitarnya. Polisi menduga ada persoalan dengan mesin mobilnya sehingga ia mencari seseorang untuk membetulkan mobilnya. Pada masa itu memang gampang untuk mencari tebengan. Bagi orang yang bermaksud jahat bisa saja hal ini dimanfaatkan untuk menjerat wanita seperti Whitney dan membunuhnya. Tak ada petunjuk. Seperti Slawson, ia bak pergi begitu saja.

Sampai pergantian tahun kedua kasus gadis hilang itu belum juga menemukan titik terang. Ajaib. Tanpa ada informasi sedikit pun keduanya menghilang begitu saja. Orang terakhir yang dihubungi polisi tidak bisa memberi tahu dengan siapa korban pergi terakhir kali. Detektif Jim Stovall dan Gene Daugherty masih belum berpikiran bahwa kedua gadis hilang itu ada hubungannya. Mereka masih fokus ke masing-masing kasus.

 

Dua gadis hilang 

Keceriaan tahun baru hanya berusia kurang dari empat bulan. Tanggal 17 Maret 1969 Kepolisian Oregon dilapori lagi soal gadis hilang. Kali ini yang dilaporkan hilang adalah Karen Sprinker, 19 tahun. Dari informasi yang didapat, Karen janjian untuk makan siang di restoran dengan ibunya. Dari kampus ia langsung mengarahkan mobilnya ke parkiran. Ibunya mulai panik saat ia sudah menunggu lebih dari satu jam. Tak biasanya Karen terlambat seperti itu.

Pada kenyataannya, Karen memang menuju ke tempat parkir pusat perbelanjaan tempat ia akan bertemu dengan ibunya. Namun di dalam mobilnya tidak tampak Karen. Dari seorang saksi, polisi memperoleh informasi penting: ada sosok perempuan tinggi dan terlihat aneh di seputaran lokasi. Sayang, informasi itu masih meragukan sebab saksi lain berkata bahwa sosok tinggi dan terlihat aneh itu seorang lelaki. Saksi ini yakin bahwa sosok itu laki-laki karena ia berpapasan. Wajah orang itu terlihat agak menyeramkan sehingga banyak orang menghindarinya. Polisi masih belum bisa menghubungkan sosok aneh itu dengan hilangnya Karen.

Hanya empat minggu kemudian, Linda Salee (22), juga hilang. Dari pengamatan sementara sepertinya ia diculik dari pusat perbelanjaan. Ia ke pusat perbelanjaan itu untuk bertemu dengan kekasihnya karena ia berjanji akan memberi suatu hadiah. Namun ia tidak berjumpa dengan kekasihnya. 

Ia juga tidak kelihatan di tempat kerjanya. Lagi-lagi mobilnya terparkir rapi di tempat parkiran pertokoan itu. Tak ada tanda-tanda kekerasan di mobilnya. Pintu mobilnya tak memperlihatkan jejak buka paksa. Tentu saja polisi memeriksa kekasihnya, yang sayangnya tak ditemukan tanda-tanda bahwa kekasihnya adalah pelaku di balik hilangnya Linda. 

Sudah empat gadis hilang dan belum ada petunjuk yang bisa mengarahkan ke mana gadis-gadis itu menghilang. Apakah mereka diculik makhluk asing? Tak ada jejak kekerasan di mobil. Tak ada mayat mereka. Informasi yang dikumpulkan dari sumber-sumber yang terakhir kali melihat para korban juga tak memberikan ruang untuk menduga siapa pelakunya. Bagaimana mereka bisa lenyap ditelan bumi?

Dalam kebingungan itu, sebuah kejadian membangkitkan semangat polisi dalam menemukan misteri di balik hilangnya para gadis itu. Waktu itu tanggal 21 April 1969, tak lama setelah hilangnya Linda Salee dari pusat perbelanjaan. Sharon Wood sepulang dari kerja ingin bertemu dengan suaminya untuk urusan perceraian mereka. Saat berjalan menuju ke lantai parkiran gedung kantornya, Sharon merasa ada seseorang membuntutinya. la mencoba kembali ke tempat ramai dan minta ditemani menuju ke mobilnya. Saat mau berbalik arah, tahu-tahu seorang pria tinggi gendut menghampirinya. Sepucuk pistol mengarah ke mukanya.

Pria tadi menyuruh Sharon untuk diam dan menuruti perintahnya. Akan tetapi, campuran antara takut dan geram membuat Sharon melawan. Dalam hitungan detik ia berteriak dan berlari menjauh. Sayangnya, gerakan si pria lebih gesit. Sharon langsung direngkuhnya dan dikunci lehernya. Pria itu lebih tinggi dari Sharon. Ia merasa bahwa pria ini bermaksud jahat dan tega untuk membunuhnya.

Sharon pun menginjak kaki pria tadi dengan sepatu hak tingginya dan berteriak lagi. Ia juga berusaha merampas pistol dan mencoba memelintir tangan yang merengkuhnya. Saat pria itu mencoba membungkam mulutnya, Sharon malah menggigitnya. Ia tak peduli dengan darah yang mengucur dari tangan pembekapnya. Ia terus menggigit sekuat tenaga. Kini situasi berbalik. Gantian pria tadi yang berusaha lepas dari gigitan Sharon. Namun, sekuat-kuatnya Sharon, pria tadi akhirnya bisa mendorong Sharon sehingga tersungkur di lantai parkiran. Beruntunglah terdengar sirine mobil polisi yang mengacaukan situasi. Pria tadi bergegas mengambil pistolnya yang jatuh dan segera lenyap.

Ketika sudah tenang, Sharon menjelaskan ciri-ciri pria yang menyerangnya dan menyarankan para wanita untuk hati-hati. Namun Polisi belum bisa menghubungkan kejadian ini dengan hilangnya para gadis sebelumnya.

 

Mayat ditenggelamkan

Setelah kejadian penyerangan terhadap Sharon, polisi menerima laporan serupa. Kali ini dari seorang gadis berusia 15 tahun yang tinggal di Salem, Oregon. Ia bercerita bahwa suatu ketika ia dipaksa oleh seorang lelaki besar dengan bintik-bintik di wajah masuk ke mobil sport-nya. Beruntung waktu itu situasi tidak memungkinkan untuk berbuat lebih jauh sehingga ia tak sempat masuk. Polisi melihat ada secercah kesamaan dengan kejadian yang dialami Sharon.

Polisi masih menyingkirkan pemikiran bahwa hilangnya para gadis itu ada hubungannya. Para penyidik hanya bisa melihat dua keanehan dari kejadian-kejadian itu: para korban hilang menjelang akhir bulan dan semuanya berkulit putih. Hanya itu yang bisa disimpulkan sampai kemudian polisi menerima telepon yang mengabarkan ditemukannya potongan tubuh di sungai.

Telepon itu beradal dari seorang pemancing yang sedang memancing di Sungai Long Tom, selatan Corvallis, Oregon. Saat mata kailnya terasa berat, ia segera mengangkat joran. Bukan ikan yang disua, namun serpihan daging di mata kailnya. Ia terkejut dan setelah diperiksa dengan saksama daging itu mirip dengan daging manusia. Segera ia menelepon polisi. Setelah polisi datang, mereka melakukan penyelaman untuk mencari tahu dari mana potongan daging itu berasal. “Tangkapan” kali ini ternyata membuat polisi tersenyum ceria: mayat wanita yang ditenggelamkan menggunakan kotak transmisi mobil.

Setelah mayat diangkat ke daratan, sepertinya pelaku bertindak ceroboh. Namun bisa jadi ia yakin polisi tidak bisa menemukan bukti sebab mayatnya ditenggelamkan. Polisi bekerja dengan cermat dan sangat hati-hati sebab inilah satu-satunya - sampai saat ini - barang bukti yang lengkap. Tali yang digunakan untuk mengikat ternyata bukan tali sembarangan. Tali nilon dan tali khusus serta aksesori lainnya mengindikasikan pelaku berlatar belakang sebagai mekanik mobil atau tukang listrik. Masalahnya, ada banyak orang yang berprofesi seperti itu.

Bagian koroner agak kesulitan untuk menentukan penyebab pasti kematian mayat itu. Namun dari kondisi di wilayah leher, sepertinya korban meninggal akibat dicekik. Selain itu juga ditemukan sepasang tusukan, masing-masing dilingkari oleh luka bakar. Letaknya di sisi tulang rusuk. Meski wajahnya sudah sulit untuk dikenali, namun teknologi rekam gigi dapat memastikan bahwa mayat itu adalah Linda Salee.

Polisi semakin bergairah. Ada titik terang yang membuat stamina mereka bergejolak. Mereka pun lalu melakukan pencarian di sepanjang sungai itu. Hasilnya, beberapa hari kemudian mereka menemukan mayat lagi. Proses penenggelamannya mirip: menggunakan komponen otomotif. Kali ini benda yang digunakan untuk memberi beban adalah kepala mesin. Yang membuat polisi semakin tersenyum lebar, tali yang digunakan untuk mengikat mirip dengan yang digunakan untuk mengikat Linda Salee! Mayat yang kemudian diidentifikasi sebagai Karen Sprinker (berdasarkan baju yang digunakan) ini juga dicekik.

Petugas agak heran saat mayat diangkat ke daratan. Mereka menemukan beha warna hitam yang kebesaran untuk ukuran Karen. Agar tudung beha terisi penuh, maka disumpal menggunakan handuk. Oh, tidak! Ternyata handuk itu berfungsi untuk menyerap darah yang keluar sebab buah dada korban dimutilasi.

 

Kencan dengan wanita 

Pencarian lanjutan di sepanjang sungai tidak memperoleh hasil. Dengan rentang waktu yang lama, ada kemungkinan mayat dua korban lainnya sudah berantakan. Dengan dua korban yang ditemukan itu, polisi tidak tahu apakah mereka berhadapan dengan seorang lelaki yang kuat atau dua orang lelaki yang bekerja sama. Mayat yang ditenggelamkan menggunakan komponen otomotif tadi terlalu berat untuk dibawa oleh lelaki pada umumnya.

Berbekal dua mayat tadi, polisi kini menitikberatkan upaya ke pencarian pelaku. Dua korban sebelumnya juga disisir, cuma bukan prioritas. Melihat latar belakang Sprinker, polisi lalu menerjunkan petugasnya ke kampus Oregon State University di Corvallis tempat Sprinker kuliah. 

Para detektif yang mencari informasi di kalangan mahasiswa OSU memperoleh fakta yang menarik: beberapa mahasiswi akhir-akhir ini banyak yang mengeluh karena menerima telepon dari seorang laki-laki yang mengajaknya keluar. Informasi lain yang diperoleh soal lelaki berambut merah dan gendut yang berkeliaran di seputaran kampus. 

Tak sia-sia para detektif mengubek-ubek kampus. Ada informasi yang sangat berharga: ada seorang mahasiswi yang pernah kencan singkat dengan lelaki yang mengaku seorang veteran Perang Vietnam yang kesepian dan sedang mencari teman wanita. Kencan itu tidak sukses sebab lelaki itu begitu memalukan. Bayangkan saja, dalam situasi yang seharusnya romantis malah mau membicarakan tentang penemuan mayat di sungai. Karena itu, wanita itu ogah untuk bertemu lagi. 

Detektif merayu agar wanita itu mau bertemu lagi. Penjelasan tentang fisik lelaki itu - tinggi, rambut berwarna pirang, dan memiliki banyak bercak hitam di wajah - mirip dengan gambaran yang ditemukan saat menyelidiki hilangnya Karen. Hanya saja, waktu itu dua saksi yang melihat masih belum sepakat soal jenis kelamin. Satu bilang perempuan - sebenarnya tidak yakin sebab melihatnya dalam jarak yang cukup jauh - sementara satunya yakin orang itu laki-laki sebab ia berpapasan.

Beruntung, lelaki itu mau diajak untuk ketemuan lagi. Maka, wanita itu mengatur waktu dan tempat lalu menelepon ke polisi memberitahukan soal itu. Di waktu dan tempat yang dijanjikan, polisi sudah siap menguping pembicaraan wanita dan lelaki yang diincarnya. Insting mereka yakin bahwa lelaki inilah sosok di balik hilangnya para gadis muda. Tak dinyana, lelaki itu masuk ke tempat pertemuan dengan percaya diri. Sepertinya tidak ada yang harus disembunyikan. Bisa jadi ia tidak bersalah, cerdas, arogan, dan tanpa penyesalan terhadap apa yang sudah ia lakukan.

Polisi hanya mengawasi dari jauh tanpa berusaha menangkapnya. Dari obrolan yang sudah dikondisikan, terungkap bahwa ia sebelumnya bekerja sebagai tukang listrik. Aha! Polisi pun deg-degan mendengar informasi ini. Namun tetap saja belum ada bukti kuat untuk menangkapnya. Makanya, mereka pun akan mencoba menggali latar belakang lelaki itu.

 

Anak tak diinginkan

Jerome Henry Brudos, begitu nama lelaki itu. Lahir tanggal 31 Januari 1939 di South Dakota. Orangtuanya mengembara sebelum akhirnya menetap di Oregon. Sebenarnya kelahiran Brudos tidak diinginkan oleh ibunya sebab sudah ada dua lelaki sebelumnya di keluarga itu. Ibunya berharap anak selanjutnya adalah perempuan. Jadi, Brudos pun berkembang menjadi anak tak normal. Ia dididik dalam hinaan dan kritikan. Sering sendirian, Brudos kecil tumbuh dalam dunia semu dan perilaku menyimpang. Ia menjadi tergila-gila dengan sepatu dan pakaian dalam wanita.

Masih menjadi misteri bagaimana Brudos menjadi pemuja barang-barang milik wanita. Satu hal yang pasti, itu sudah bermula saat ia kecil. Waktu itu, saat umur lima tahun, ia menemukan sepasang sepatu hak tinggi wanita di tempat pembuangan sampah tak jauh dari rumahnya.

Bukan soal sepatunya yang menjadi pemicu, namun sikap ibunya yang marah melihat ia menggunakan sepatu itu saat di kamar tidurnya. Ibunya sangat terganggu dan marah yang sulit dipahami. Yang Brudos tahu hanyalah sepatu wanita itu harus disimpan. Ia juga mencuri sepatu milik guru TK-nya yang disimpan di mejanya dan Brudos menerima teguran. 

Seiring dengan umur yang beranjak, kegilaannya pada sepatu semakin bertambah dan membangkitkan nafsu seksualnya. Psikolog yang menganalisis dia setuju dengan hal ini. Brudos meneruskan perilakunya mengumpulkan sepatu, menyembunyikan dari amatan ibunya bersama koleksi pakaian dalam yang ia curi dari rumah tetangga. Menyentuh pakaian dalam wanita memberikan beberapa perasaan nyaman dan nafsunya terbangkitkan.

Ketika berumur 17 tahun, kegilaannya itu membawanya ke situasi yang berbahaya. Ia mulai menggunakan pisau untuk memaksa wanita sebayanya untuk mencopot bajunya dan memotretnya dalam keadaan bugil. Ia bahkan pernah memukul salah satu wanita. Keluarganya lalu membawa ia ke Oregon State Hospital (meski ia tetap sekolah). Dalam terapi itu, para dokter menjadi sadar bahwa fantasi seksual Brudos berpusat pada kebencian tehadap ibunya yang menginginkan anak perempuan. Ia menjadi benci dan berniat membalas dendam terhadap wanita pada umumnya. Mereka juga tahu akan koleksi pakaian wanita Brudos.

Brudos lalu menjalani dinas militer namun tak lama sebab perilakunya belum berubah. Keluar dari militer ia kemudian menjadi teknisi listrik. Saat berumur 22 tahun, ia bertemu dengan gadis pemalu berusia 17 tahun yang dipanggil Darcie. Mereka lalu menikah. Darcie begitu penurut. Apa saja yang diinginkan Brudos diiyakan, termasuk telanjang di rumah, tidak masuk ke bengkel kerjanya, dan menghindari loteng. Mereka dikaruniai dua anak dan akhirnya Darcie menolak untuk melakukan hubungan seks lagi. 

Darcie tidak memperhatikan saat Brudos menyelinap di malam gelap untuk menyatroni rumah tetangga demi niatnya mencuri pakaian dalam wanita. la tidak melihat ada keanehan pada diri suaminya. Sekali waktu, Brudos berjalan menuju ke dia menggunakan pakaian dalam wanita. Darcie kaget melihat itu, sementara Brudos terlihat sedih karena istrinya tidak bisa memahami dia. Brudos akhirnya berkeinginan mencari wanita yang tak protes dengan perilakunya dan menerima dia apa adanya. Sejak itu mereka tidak berbicara satu sama lain.

Pada kejadian lain, Darcie menemukan pernak-pernik di rumah yang mirip dengan buah dada perempuan. Tentu saja ia terkejut, namun Brudos punya jawaban. Karena tak tahu harus berbuat apa, Darcie mencoba melupakan hal itu. Sama seperti ketika ia memergoki Brudos mengoleksi foto wanita telanjang. Rasanya amat mustahil bagi Darcie untuk memahami sifat asli Brudos yang menyimpang itu. 

Dengan latar belakang seperti itu apakah Brudos bisa dijadikan tersangka?

 

Sempat berhubungan seks 

Dalam upaya mencari tahu apakah Brudos pelaku pembunuhan terhadap (setidaknya) dua gadis yang ditemukan di dasar sungai, Jim Stovall dan Gene Daugherty melacak aktivitas Brudos dikaitkan dengan waktu sekitar hilangnya para gadis. Hasil yang mereka dapatkan membuat hati mereka berdebar-debar dengan keras. Apakah perburuan akan berakhir?

Pada Januari 1968 misalnya. Jery Brudos tinggal bertetanggaan dengan penjual buku ensiklopedia Linda Slawson. Dari penyelidikan di lapangan sepertinya Brudos lalu pindah ke Salem sekitar bulan Agustus atau September tahun 1968 dan bekerja di Lebanon, Oregon. Nah, Jan Whitney lenyap pada bulan November. Fakta menarik lainnya, saat Karen Sprinker hilang dari pusat perbelanjaan pada 27 Maret, Brudos ternyata tinggal tak jauh dari situ.

Polisi lalu menyambangi bengkel kerja Brudos. Di sana mereka menemukan banyak tali nilon. Namun yang menjadi pertanyaan, Brudos terlalu ringkih untuk membawa mayat plus pemberatnya (meskipun bisa saja penampilannya menipu). Juga tidak ada mobil sport. Namun Brudos mengakui bahwa ia pernah meminjam mobil sport. Detektif akhirnya meminta salah satu tali dan Brudos mempersilakan meski kemudian ia menelepon pengacaranya, Dale Drake. Ia meminta Drake untuk mencari tahu mengapa polisi tertarik dengan dirinya. Drake mengiyakan.

Polisi terus bergerak. Mereka akhirnya memperoleh surat jaminan untuk mencari mobil Brudos namun setelah ketemu seluruh interior sudah dibersihkan. Mencurigakan memang, namun Brudos dengan sigap menjelaskan kebingungan detektif. Ketika polisi menunjukkan foto gadis yang dipaksa masuk ke mobil oleh seorang lelaki dengan ciri-ciri mirip Brudos, ia tidak memiliki pembelaan.

Sebenarnya hal itu - bersama dengan kepemilikan senjata yang ditemukan di mobil - sudah bisa menjadi bukti untuk menangkap Brudos. Mereka sebenarnya berharap kasus yang lebih kuat, namun mereka memiliki beberapa pertimbangan yang mungkin membuat Brudos panik dan lari. Ketika ia berkendara ke Portland suatu hari bersama Darcie, polisi membuntutinya.

Dirasa bukti sudah kuat, tanggal 30 Mei Brudos ditangkap. Dalam interogerasi yang putus-sambung, meskipun pengacaranya memperingatkan dia untuk tidak bicara, Brudos menawarkan sebuah pengakuan. Atau, agaknya, ia memutuskan untuk mengakui kesalahannya. 

Brudos mengakui kejahatannya dan memberikan penjelasan secara detail, termasuk kesukaannya kepada sepatu, celana dalam, dan bra. Ia menjadi lebih bergairah saat menjelaskan benda-benda itu. 

Dari Januari 1968 sampai April 1969 Brudos membunuh dan memutilasi empat wanita. Korban pertamanya, Linda Slawson, dipotong kakinya yang kemudian disimpan dan dipakaikan sepatu untuk dipotret. Dua lainnya ia mutilasi payudaranya. Edannya lagi, ia pun sempat berhubungan seks dengan mayat-mayat mereka. Bahkan Linda dibunuh di bengkel kerjanya sementara istri dan anak-anak Brudos berada di rumah utama. Bahkan ia sempat bicara dengan mereka saat mayat Linda tergeletak di lantai bengkel.

Berbekal pengakuan itu, polisi lalu memeriksa rumah dan bengkel kerja Brudos. Mereka tak menyangka bahwa benda-benda yang ada di bengkel itu digunakan untuk menyiksa dan membunuh para korbannya. Ada tali nilon yang digunakan untuk mengikat mayat. Ada kerekan yang menurut Brudos digunakan untuk menggantung salah satu korbannya. Ada lemari penuh sepatu berbagai ukuran dan berjenis-jenis pakaian dalam wanita - bra, korset, celana dalam, dan rok dalam - beserta koleksi foto-foto Brudos. Beberapa foto adalah foto Brudos mengenakan pakaian wanita, namun sebagian besar foto-foto korban yang mengerikan. 

Tanggal 4 Juni 1969 Jerome Brudos didakwa untuk pembunuhan Whitney dan Salee. Karena perilakunya yang abnormal, maka didatangkanlah tujuh psikiater untuk memeriksanya. Hasilnya, Brudos memiliki kepribadian antisosial, namun ia tidak gila. Di pengadilan Brudos mengaku bersalah untuk pembunuhan Jan Whitney, Karen Sprinker, dan Linda Salee. Ia pun diganjar hukuman seumur hidup tiga kali. (Katherine Ramsland)

 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448530/pemuja-jeroan-wanita" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661951943000) } } }