Intisari Plus - Sebelum tahun 1969, kasus penculikan jarang terjadi di Inggris. Namun di akhir tahun itu, ada kasus salah culik. Dan hingga proses pengadilan selesai, korban tidak pernah ditemukan oleh polisi.
----------
Melarikan diri dan menyandera seseorang untuk memperoleh sesuatu atau yang lazim disebut menculik, tampaknya tidak terlalu banyak penggemarnya di kalangan penjahat Inggris. Itu mungkin karena karakter orang Inggris pada umumnya, mereka terlalu perhitungan. Ini termasuk para penjahat. Alih-alih menculik, mereka itu lebih suka menodong, merampok bank, atau mencegat kiriman uang. Besar kecilnya hasil operasi lebih mudah diperhitungkan dan dipastikan jauh-jauh hari dengan saksama.
Dalam hal penculikan, pertama dan terpenting adalah masyarakat mengutuk para penculik. Ini sudah menjadi momok tersendiri dan kerap menghantui perencanaan penculikan. Lalu yang kedua, penculikan dengan tujuan memeras uang tebusan merupakan tindakan kriminal yang sulit pelaksanaannya. Meski sudah diperhitungkan dengan cermat, ini hampir selalu bermasalah. Tawar-menawar besarnya tebusan membuat urusan semakin berlarut-larut. Sementara itu penculik selalu melarang polisi turut campur. Lalu jika negosiasi gagal, penculik akan dihadapkan pada pilihan terakhir yaitu membunuh. Hal itu merupakan suatu keterpaksaan yang tidak mudah dihindari.
Setelah sekian lama tidak pernah terjadi, pada tanggal 29 Desember 1969 kasus penculikan pun muncul lagi di Inggris. Namun ada dua hal yang berbeda. Pertama, korban bukan orang yang seharusnya diculik. Dengan kata lain, si penjahat salah menculik orang. Kedua, penculik bukanlah orang Inggris. Hal buruk pun terjadi. Rasa keadilan masyarakat Inggris dihadapkan pada soal yang rumit sekali. Pelaku-pelakunya ditemukan dan diadili. Para saksi hadir dalam persidangan. Namun sayangnya korban tidak pernah ditemukan.
Pada tanggal 29 Desember 1969 itu Nyonya Muriel MacKay dibawa orang dari rumahnya di Wimbledon. Ketika Alick MacKay pulang dari kantornya di The News of the World di Bouverie Street, dia tidak menemukan istrinya. Ada tanda-tanda perkelahian, seperti meja dan kursi yang jungkir-balik, pesawat telepon yang tergeletak di lantai.
Beberapa jam kemudian telepon di rumah keluarga MacKay berdering. Rupanya itu telepon dari si penculik yang minta uang tebusan sebesar satu juta pounds. “Kalau tidak, dia mati!” kata suara di seberang sana. Saat itu keluarga MacKay dan polisi merasa putus asa. Namun apa yang tidak diketahui oleh keluarga MacKay adalah si penculik salah menculik orang.
Alick MacKay adalah wakil ketua perhimpunan The News of the World. Dia dan istrinya adalah warga Australia, tetapi sejak bertahun-tahun tinggal di St. Mary's House di Arthur Road, Wimbledon. Penculik sebenarnya bermaksud menculik istri Rupert Murdoch. Ia berasal dari Australia juga dan ketua perhimpunan The News of the World. Tentu saja, suami istri itu juga kaya raya.
Mayat Nyonya MacKay tidak pernah ditemukan. Suatu ketika muncul pendapat bahwa tanpa mayat, tuduhan pembunuhan tidak dapat dikenakan pada tersangka mana pun. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Memang pada kebanyakan kasus, mayat merupakan bukti yang paling meyakinkan. Luka bekas peluru di kepala atau racun dalam perut bisa membuktikan terjadinya pembunuhan, sekali pun bukti-bukti itu belum menunjukkan siapa pembunuhnya.
Menghadapi aspek khas dalam kasus penculikan Nyonya MacKay ini, pihak berwajib di Inggris benar-benar menghadapi hal yang tidak mengenakkan. Mungkin agar penuntutan perkara dapat berlangsung seefektif mungkin, Jaksa Agung Sir Peter Rawlinson turun tangan.
Ketika penyelidikan dimulai, polisi sebenarnya sama sekali tidak mengetahui dari mana harus memulainya. Untunglah ada peristiwa lain, sebelum 29 Desember 1969, yang ternyata ada hubungannya dengan penculikan “Nyonya Murdoch”. Pada tanggal 19 Desember 1969, seorang laki-laki yang mengaku bernama Sharif Mustapha dari Norbury Road-Streatham, melapor ke balai desa. Ia mengaku baru saja terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Mobilnya menabrak sebuah Rolls-Royce. Dia ingin mengetahui alamat pemilik Rolls-Royce itu. Alamat yang diterima laki-laki itu ialah kantor The News of the World di Bouverie Street. Itu adalah alamat bersama Murdoch dan MacKay.
Dalam bulan Desember 1969 itu sebenarnya Murdoch dan istrinya sedang berada di luar negeri. Rolls-Royce Murdoch berulang kali bolak-balik antara St. Mary's House di Wimbledon dan kantor di Bouverie Street. Jadi kalau penculik menguntit Rolls-Royce, pastilah St. Mary's House dikira kediaman Murdoch. Tampaknya hal ini yang menyebabkan kesalahan tragis yang mengakibatkan diculiknya Nyonya Mackay
Dari sinilah polisi memiliki formulir isian yang diisi oleh Sharif Mustapha di balai desa saat ia melapor soal kecelakaan lalu lintas itu. Menurut ahli tulisan tangan, tulisan Sharif Mustapha sengaja dibuat sedemikian rupa. Tujuannya agar tidak mirip dengan tulisan tangan yang sebenarnya milik si pelapor. Lalu mengapa nama Sharif Mustapha yang dipilihnya?
Pengejaan Sharif Mustapha agak aneh, menurut polisi. Ini memberikan kesan bahwa Sharif Mustapha hanyalah nama palsu. Pilihan nama itu sendiri menyiratkan bahwa si pengguna nama adalah orang Pakistan atau daerah sekitarnya. Pilihan polisi pada orang Pakistan karena kebanyakan orang Pakistanlah yang namanya mirip-mirip nama Arab atau Persi seperti Sharif Mustapha.
Berpegang pada dugaan itu mulailah polisi mencari laki-laki asal Pakistan. Berapa orang? Paling sedikit dua. Menurut perhitungan polisi, satu menguasai korban, lainnya mengemudikan mobil. Dugaan polisi mengenai jumlah dua orang itu juga berdasarkan keterangan seseorang yang mengaku bernama Anderson. Anderson pada tanggal 29 Desember itu, jam 4.35 sore mengendarai mobilnya melalui Wimbledon Common menuju Putney. Di depannya sebuah mobil Volvo berjalan lambat-lambat. Anderson lalu menyalipnya. Saat melewati mobil itu, dilihatnya dua orang 'seperti Arab', tepatnya berkulit kehitaman.
Anderson rupanya memang pengamat yang cermat. Sebab 10 menit kemudian saat kembali menuju Wimbledon, dia terkejut karena melihat Volvo itu lagi. Penumpangnya masih sama. Saat itu mereka berbelok ke Church Road yang menuju St. Mary's Road. Tambahan keterangan diberikan oleh seorang wanita yang pada hari yang sama lewat di depan rumah keluarga MacKay. Katanya, dia sekitar jam 6 sore melihat rumah itu lampunya menyala dan pintu depannya tertutup. Di jalan halaman ada mobil “salon bercat gelap”.
Menurut orang-orang yang mengenal Nyonya MacKay, pintu depan rumah selalu dipalang apabila ia berada di rumah seorang diri. Kalau sampai ada tamu yang dipersilahkan masuk rumah, tentunya tamu itu dapat meyakinkan ia bahwa alasan kunjungannya benar-benar penting dan mendesak.
Ketika Alick MacKay tiba di rumahnya pada tanggal 29 Desember malam itu, dengan Rolls-Royce yang dikemudikan sopir Murdoch, dia harus membunyikan bel pintu. Tetapi tidak ada jawaban. Pintu depan pun ternyata hanya tertutup namun tidak terpalang. Alick MacKay segera ke tingkat atas mencari istrinya. Namun istrinya tidak ada di atas. Ia mencoba menghubungi polisi dengan telepon tapi ternyata kabelnya tercabut. Ketika memeriksa lebih lanjut, ia menyadari bahwa perhiasan istrinya yang seharga 600 pounds hilang. Jas hangatnya bisa digunakan bolak-balik pun ikut raib.
Di lantai ruang duduk bertebaran beberapa lembar koran The People. Salah satu dari lembaran koran tersebut memperlihatkan bekas telapak tangan manusia. Ketika diperiksa, salah satu bekas sidik jarinya ternyata sama dengan bekas sidik jari yang kemudian ditemukan pada surat Nyonya MacKay dari tempat penculikannya.
Alick MacKay masih sempat memberitahukan putrinya, Diane Dyer, bahwa sang ibu mungkin diculik. Ketika Diane tiba bersama suaminya dari Sussex, Alick MacKay terbaring di tempat tidur. Itu dilakukan atas nasihat dokter pribadinya karena kondisi jantungnya yang tidak baik. Pesan yang diterima oleh David Dyer lewat ditelepon berbunyi, “Katakan kepada Tuan MacKay, di sini M.3, Mafia. Kami minta 1 juta pounds.” Menurut David dan polisi yang menyadap telepon, bahasa Inggris penculik tidak terlalu baik.
Pihak polisi lalu mengusulkan agar penculik diberi saja uang palsu sebanyak yang dimintanya dan disimpan dalam sebuah tas. Tetapi sebuah mobil Volvo yang pengemudinya tidak mudah dikenal ternyata tidak mau berhenti untuk mengambil tas yang berisi uang palsu itu. Sementara itu petugas polisi lainnya yang juga menyelidiki sisik melik dari polisi lain yang pergi ke pertanian Rook. Terletak di tempat terpencil di Stocking Pelgam, pertanian itu merupakan kediaman dua bersaudara Arthur Hosein dan Nizammodeen Hosein. Keduanya ditangkap dengan tuduhan menculiknya dan membunuh Nyonya MacKay. Berminggu-minggu setelah penangkapan itu, polisi memeriksa tiap jengkal tanah pertanian yang luasnya 122.160 meter persegi. Namun tidak ditemukan mayat atau potongan tubuh satu pun.
Pengadilan yang dipimpin Hakim Sebag Shaw berakhir dengan dinyatakannya kedua bersaudara Hosein bersalah. Mereka mendapat vonis hukuman penjara. Berapa tahun tidak penting bagi kasus penculikan Nyonya MacKay ini. Yang paling menarik ialah kenyataannya bahwa kasus tersebut sebenarnya tidak pernah terselesaikan. Banyak kritik dilontarkan pada yang berwajib yang menangani soal itu.
Begitu perbuatan kriminal itu terjadi, Detektif Wilfred Smith segera membentuk tim anti pembunuhan yang diwakili oleh Detektif John Minors dan Detektif Jim Parker. Keduanya ini masing-masing memimpin belasan bintara dan hampir 100 agen. Berkat ketekunan petugas-petugas polisi itulah, dan bantuan masyarakat, Hosein bersaudara berhasil ditangkap dan dikenakan tuduhan penculikan dan pembunuhan. Segala macam cara ditempuh polisi untuk menjebak penculik Nyonya MacKay. Misalnya, Detektif Roger Street yang perawakan dan tampaknya mirip Ian MacKay, anak laki-laki Alick MacKay, menyamar sebagai Ian MacKay. Detektif Street lalu membawa uang tebusan ke tempat yang disetujui. Di saat yang sama, sekitar 50 petugas polisi lainnya mengepung tempat tersebut. Tujuannya agar mereka dapat segera menangkap penculik dan menyelamatkan Nyonya MacKay.
Polisi lainnya bersiap-siap di dalam mobil preman, agar sewaktu-waktu dapat menyerbu ke tempat uang tebusan harus diletakkan. Beberapa petugas polisi lainnya diberi motor preman dan berpakaian seperti lazimnya anak-anak brandalan anggota Klub Pengebut Maut. Mereka mengenakan jaket kulit dan helm yang berlambang swastika. Sayangnya, ide unik yang terakhir itu malahan menjauhkan penculik dari perangkap polisi. Sebab mana ada tukang ngebut yang memperhatikan rambu-rambu lalu lintas atau berperawakan gagah.
Polisi juga menggunakan metode rumit untuk mengidentifikasikan suara yang muncul dalam pembicaraan-pembicaraan antara penculik dan keluarga korban. Suara-suara lewat telepon direkam. Suara itu diputar ulang dengan alat-alat elektronik yang juga menghasilkan grafik, sesuai dengan logat pembicaraan. Dengan cara inilah pula diperkuat dugaan bahwa penculik Nyonya MacKay bukan orang Inggris asli, sekalipun bahasa Inggrisnya cukup baik. Dari suaranya, diperkirakan para penculik adalah orang Pakistan atau Hindia Barat.
Sekalipun penangkapan sudah dilakukan, pernyataan salah sudah dijatuhkan, namun banyak hal sebenarnya belum terjawab dalam pengadilan kasus penculikan Nyonya MacKay.
Tidak terbukti bahwa Nyonya MacKay langsung dibawa ke rumah pertanian Rook setelah diculik. Mungkin Nyonya MacKay pernah disekap di kediaman Hosein bersaudara itu. Apakah dia dibawa, misalnya, ke salah satu rumah di Streatham di mana memang banyak orang Hindia Barat? Kalau dibunuh, siapa yang sebenarnya membunuh dan bagaimana caranya? Hosein bersaudara dinyatakan bersalah, tetapi benarkah keduanya yang membunuh Nyonya MacKay? Mungkinkah salah satu dari mereka yang membunuh atau jangan-jangan ada pihak lain? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah terjawab dengan jawaban yang menyelesaikan persoalan. Lalu di mana mayat Nyonya Mackay? Mungkinkah dimasukkan ke dalam tembok ruang bawah tanah yang biasa dimiliki oleh sebagian besar rumah?
Banyak orang yang mengikuti sidang pengadilan kasus itu meragukan ketepatan tindakan polisi dalam mencari penculik. Tidakkah usaha polisi mengepung tempat uang tebusan justru menimbulkan kepanikan penculik? Mungkin karena itu penculik akhirnya memutuskan untuk membunuh si korban saja.
Banyak orang menganggap keliru prioritas yang diberikan oleh polisi pada pembunuhan, sedangkan soal penculikan malahan dinomor duakan. Soal prioritas ini menyebabkan polisi berusaha mati-matian untuk mencegah pembunuhan. Bahkan niat pihak keluarga untuk berusaha membayar uang tebusan dan mengeluarkan polisi dari urusan dengan penculik, justru dianggap oleh polisi sebagai keengganan keluarga untuk bekerja sama dengan polisi. Polisi menganggap keluarga takut jangan-jangan ancaman penculik itu dilaksanakan.
Masih ada pertanyaan besar yang juga tidak terjawab dengan tepat. Pengadilan menyatakan, “Oknum-oknum ini menculik Nyonya MacKay. Mereka menguasai korban. Karena kini korban hilang, pastilah mereka yang membunuhnya.” Banyak orang yang mengikuti jalannya sidang meragukan kebenaran pernyataan itu. Benarkah untuk menculik, seseorang juga harus membunuh?
(Gerald Sparrow)
Baca Juga: Penculiknya Mirip Tsar Nikolas II
" ["url"]=> string(53) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822813/m3-mafia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310680000) } } [1]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635612" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/pembantaian-ala-nazi_paolo-chiab-20230105070921.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "Seorang pria mencoba mencari penampungan pengungsi gipsi di Inggris. Namun yang ditemui adalah rekan-rekannya yang telah keracunan gas." ["section"]=> object(stdClass)#88 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/pembantaian-ala-nazi_paolo-chiab-20230105070921.jpg" ["title"]=> string(20) "Pembantaian Ala Nazi" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:09:38" ["content"]=> string(43922) "
Intisari Plus - Seorang pria mencoba mencari penampungan pengungsi gipsi di Inggris. Namun yang ditemui adalah rekan-rekannya yang telah keracunan gas.
--------------------
Meski seorang gipsi, Michael Vlado belum pernah berkelana ke mana-mana. la puas hidup bersama istrinya di kaki Pegunungan Alp-Transilvania, Rumania, beternak kuda dan bekerja bersama anggota sukunya. la menjadi kepala suku ketika usianya lewat 40 tahun. Namun, perlakuan tak semena-mena terhadap kaum gipsi di Eropa, bersamaan dengan pergolakan politik di Eropa Timur, mengubah gambaran itu. Atas permintaan pihak Uni Eropa, ia harus pergi untuk mencari tahu kenapa orang-orang Rumania mencari suaka politik.
Itu sebabnya, pada akhir Oktober 1997 ia berada di atas kereta api menyusuri terowongan bawah laut dalam perjalanan menuju Inggris. Ribuan gipsi yang menghadapi meningkatnya perlakuan buruk di Slovakia dan Republik Czech, tergiur untuk melarikan diri setelah menyaksikan sebuah acara televisi Kanada yang memperlihatkan kedatangan imigran asal Rumania disambut baik di negeri itu. Ketika Kanada memberlakukan peraturan yang lebih ketat, perhatian mereka beralih ke Inggris.
Michael bersama Kolonel Jugger, seorang pejabat dari Uni Eropa, pergi ke Dover guna meneliti masalah itu. Setelah kereta api menyusuri terowongan bawah air Selat Inggris yang seolah tak berujung, akhirnya Michael Vlado tiba di Inggris untuk pertama kali dalam hidupnya.
Kolonel Jugger telah mengatur kendaraan untuk menjemput mereka di stasiun. Setelah pensiun dan dinas ketentaraan di bekas Jerman Barat, ia bekerja pada Uni Eropa. Berhubung ahli soal migrasi di negara-negara di Eropa, otomatis ia juga ahli tentang gipsi. “Ada bekas panti asuhan di Starkworth, kira-kira 30-an kilometer dari sini,” kata Jugger. “Pemerintah menjadikannya penampungan darurat bagi kaum gipsi yang meminta suaka, setidaknya sampai pengadilan memutuskan permohonan mereka.” Ia memberi tahu sopir tujuan mereka.
“Saya tidak tahu populasi orang Rumania di Inggris,” Michael mengaku.
“Mereka juga sering disebut kaum ‘pengelana’, istilah untuk gipsi maupun mereka yang bicara dengan bahasa Shelta. Jumlahnya sekitar 50.000 orang, 20.000 orang lainnya di Irlandia.”
“Shelta?”
“Itu bahasa prokem, sebagian berbasis bahasa Irlandia dan hanya dipakai oleh para gipsi di Kepulauan Britania. Ini masa sulit bagi kaum nomaden di sini. Dulu, para gipsi berkemah di kawasan luar kota. Jauh dari keramaian dan tidak mengganggu, malah terkadang dimanfaatkan sebagai pekerja musiman di pertanian. Begitu jumlahnya bertambah dan tanah-tanah kosong makin berkurang, konflik mulai timbul. Masyarakat pinggir kota ini tidak mau diusik oleh kedatangan mereka.”
Mobil berbelok menuju ke arah pantai dan memasuki kota kecil Starkworth. Mirip kota-kota lain, kota ini memiliki menara jam di balai kotanya dan sebuah gereja tua.
Sampailah mereka di tujuan, yaitu sebuah bangunan besar bercat putih dikelilingi pepohonan. “Berapa orang yang dapat ditampung di sini?” tanya Michael.
“Sekitar seratus. Mungkin sekarang dihuni setengahnya.”
Ketika mendekati pintu masuk, Jugger yang berjalan di depan Michael melihat seseorang tergolek di dekat pintu. Ketika menghampiri orang itu, Michael sempat melongok ke dalam. Tampak beberapa sosok lagi terkapar di lantai.
Anak muda itu membuka matanya sekejap. “Gas,” katanya. “Mereka semua ....”
Pesuruh itu tahu
Peristiwa yang beberapa jam kemudian dikenal dunia sebagai “Pembantaian di Starkworth” itu semakin jelas setelah polisi dan ambulans datang. Dua orang polisi memeriksa sekeliling bangunan, mengintip ke dalam lewat jendela-jendela besar. Ketika kembali mereka melaporkan bahwa ada mayat di mana-mana.
Dua petugas berjas karet dan masker dari pasukan pemadam kebakaran yang dipanggil kemudian masuk ke dalam sambil membawa alat pengukur polusi udara. Cepat sekali mereka keluar, lalu tampak beberapa petugas lain memasang kipas besar penyedot udara yang didongakkan ke atas di pintu masuk panti.
Sejam kemudian setelah petugas mengecek ke dalam, tercatat ada 53 mayat laki-laki, perempuan, dan anak-anak, ditambah dua orang wanita relawan yang mengurusi kebutuhan para imigran. Hanya anak muda itu yang selamat dan belakangan diketahui sebagai pesuruh. Di ruang bawah tanah di dekat pipa pemanas ditemukan dua kaleng kosong. Jugger minta agar kaleng-kaleng itu diperiksa.
Wajah Jugger memerah melihat kedua kaleng itu. “Ini seperti yang dipakai di Auschwitz,” kata Jugger geram. “Tablet sianida dilarutkan dalam asam untuk menghasilkan gas hidrogen sianida yang cepat kerjanya.”
“Saya tahu soal Auschwitz,” kata Michael. “Orang Yahudi dan gipsi dibunuh dengan gas setiap hari. Apakah Anda mau mengatakan bahwa ada orang yang sengaja membunuh mereka dengan cara seperti digunakan di kamp kematian Nazi?”
Orang Jerman itu hanya tertunduk. “Saya khawatir ada tindak kriminal di sini.”
Mereka lalu memutuskan untuk menginap, setidaknya semalam, di sebuah hotel beberapa blok dari panti asuhan. Hotel itu berlantai lima dengan ruang makan dan ruang pertemuan di lantai paling atas menghadap ke laut. Tak pelak sore itu penuh dengan acara polisi minta keterangan pada mereka dan Jugger yang sibuk bolak-balik menelepon atasannya di Brussel. Mereka berhasil menghindari pers dan diam-diam pergi mencari makanan kecil dan minuman di pub terdekat. Saat itu stasiun-stasiun televisi menyela acara reguler mereka dengan liputan yang disebut Pembantaian di Starkworth.
“55 laki-laki, perempuan, dan anak-anak tewas,” penyaji berita melaporkan, “dan satu orang berada di rumah sakit dalam kondisi yang tidak mengkhawatirkan. Meski autopsi belum selesai, polisi yakin mereka korban serangan gas hidrogen sianida yang dialirkan lewat pipa penghangat dalam bangunan itu. Kedatangan kelompok besar kaum gipsi baru-baru ini di Dover dalam rangka mencari suaka, meningkatkan ketegangan meskipun tidak terjadi tindak kekerasan sebelumnya terhadap mereka. Pemerintah memperkirakan, sekitar 800 orang gipsi Eropa telah mendarat di Dover pada minggu belakangan ini, sementara upaya untuk menyediakan akomodasi dan pendidikan tengah dilakukan.”
“Anda percaya hal itu?” tanya Michael pada Jugger.
“Saya tidak ingin mempercayainya. Mungkin ada orang gila sedang melancarkan teror. Apa Anda dapat membantu kami dengan petunjuk itu?”
Michael memberi isyarat betapa ia pun tak berdaya.
“Bukankah ini urusan polisi setempat dan Scotland Yard?”
“Uni Eropa menanggung risiko besar dalam persoalan ini. Tindakan teroris yang luput dari hukum terhadap kaum imigran dapat mendorong terjadinya tindakan serupa, terhadap kaum gipsi.”
“Dari mana saya harus mulai?” tanya Michael. “Semuanya ‘kan tewas?”
“Si pesuruh yang selamat itu. Ia mungkin tahu sesuatu.”
Pertemuan rahasia
Esok harinya Starkworth hiruk-pikuk. Para kru televisi dari BBC dan jaringan TV swasta memadati jalanan kecil dengan kendaraan-kendaraan mereka. Koresponden Eropa dan Amerika berdatangan pagi itu. Tim penyidik dari Scotland Yard ada di mana-mana. Kolonel Jugger dan Michael yang belum selesai dengan sarapan mereka, dimintai keterangan oleh dua orang penyidik dari London itu. Mereka menceritakan kisah penemuan mayat-mayat itu.
“Bagaimana dengan Mr. Isaacson?” tanya salah seorang penyidik dari Scotland Yard, Inspektur Drexell. “Siapa?” tanya Michael.
“Satu-satunya yang selamat. Orang yang Anda temukan di pintu masuk panti. Kami ingin tahu persis apa yang ia katakan.”
Jugger berpikir sebentar sebelum menjawab. “Begini, ‘Gas, mereka semua tewas.’ Bukan begitu, Michael?”
“Tidak bilang apa-apa lagi?” Mereka berdua menggeleng. “Ia sulit bernapas,” kata Michael.
“Bagaimana kondisinya sekarang?”
“Menurut dokter, keadaannya terus membaik,” kata inspektur.
Ketika para penyidik itu pergi, Kolonel Jugger urung menghabiskan sisa sarapannya. “Mereka mungkin ....”
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba seorang wanita berambut pirang dan jangkung masuk ruang makan itu. Dibalut jaket kulit hitam dan rok mini ketat serta sebuah ransel di pundaknya, wanita itu nyelonong ke meja mereka, “Siapa di antara Anda yang bernama Michael Vlado?”
“Saya,” kata Michael sembari tersenyum.
“Katie Blackthorn, dari Skywatch World Service. Saya ingin mewawancarai Anda sehubungan dengan peristiwa pembunuhan itu.”
“Yang saya ketahui tak jauh beda dengan yang ada dalam berita-berita,” kata Michael.
“Saya mengerti Anda seorang kepala suku yang datang kemari khusus untuk bertemu dengan para korban. Itu yang ingin saya tanyakan.”
Meski agak enggan, Michael mengikuti wanita itu menuju suatu tempat yang sepi di lobi hotel, di mana juru kameranya menunggu. “Ini Dominick,” katanya. “Ia juru kamera saya. Dominick, saya perlu tiga menit bersama Mr. Vlado, mungkin dengan latar belakang dinding itu saja.”
“Apa kabar?” sapa Dominick sambil menjabat tangan dan mengatur kamera di pundaknya. Tubuhnya besar dan tegap, rambutnya hitam. Saat itu ia mengenakan kaus oblong bergambar kelompok musik rock. la membidikkan kameranya beberapa meter dari mereka. “Siap, Katie.”
Juru kamera itu merekam beberapa cuplikan ketika Katie memperkenalkan Michael kepada pemirsa, lalu Katie mengawali wawancara dengan pertanyaan seputar dirinya sebagai kepala suku gipsi.
“Anda percaya pembunuhan itu adalah upaya untuk membendung imigrasi kaum gipsi?”
“Saya tidak tahu. Saya masih terguncang akibat peristiwa itu.”
Katie Blackthorn tersenyum. “Terima kasih, Mr. Vlado,” ucap Katie. “Cukup, Dominick.”
Dominick berhenti merekam lalu memutar kembali hasil rekamannya untuk Katie. Ketika Michael diam mengamati, terdengar telepon Katie berdering dalam ranselnya. “Blackthorn di sini.” Sepertinya bukan dari orang yang dia kenal. Telepon tidak jadi ditutup karena apa yang dikatakan si penelepon tampaknya menarik perhatian Katie. “Cubberth? Dari mana Anda tahu nomor telepon saya? Baik, di dermaga satu jam lagi.”
Katie menyimpan telepon genggamnya. “Dari penggemar,” kata Katie kepada Dominick. “Kantor yang memberi tahu nomor telepon saya. Ambil beberapa gambar gereja dan balai kota sebagai ilustrasi. Kita ketemu lagi di hotel nanti siang.”
Kaum gipsi melarikan diri
Michael kembali ke meja melanjutkan sarapan. “Ini mungkin baru yang pertama dari serangkaian wawancara dengan Anda,” kata Jugger.
“Wanita itu baik sekali. Saya mesti nonton di berita malam.”
“Saya harus lapor ke orang imigrasi. Anda mau ikut?”
Michael cuma menggeleng. “Lebih baik saya keliling kota saja. Saya datang kemari untuk berbicara dengan orang gipsi dan hingga kini belum bertemu dengan satu orang pun.”
Pelayan membawakan rekening. “Baru saja ada laporan di televisi, Pangeran Charles akan tiba sore ini untuk meninjau tempat kejadian.”
Michael segera berangkat sebelum jalanan menjadi macet. Polisi sedang berjuang agar lalu lintas di jalan-jalan utama lancar. la menghampiri seorang polisi untuk menanyakan jalan menuju lokasi karavan di kota ini. “Terus saja sampai rel kereta api, lalu belok kiri kira-kira 500 meter lagi,” kata polisi. “Tapi Anda tidak akan menemukan para gipsi di sana, kalau itu maksud Anda. Mereka sudah pergi. Takut, mungkin.”
Michael menengok arlojinya, baru pukul 10.30. Ketika dua puluh menit kemudian tiba di tempat yang dituju, lapangan itu betul-betul kosong. Namun, terlihat ada seorang laki-laki tua berjalan dengan tongkatnya yang besar dan tampak bingung. Begitu dekat, Michael bisa melihat dengan jelas tongkat itu berukiran cukup rumit. la pernah melihat tongkat serupa, dibawa oleh orang-orang gipsi yang sudah tua. “Maaf, Anda gipsi?”
Orang itu menjawab dengan bahasa yang asing di kuping Michael. Lalu ia coba pakai bahasa Rumania. Masih saja omongan orang itu sulit dipahami. Akhirnya, Michael ingat bahasa Shelta. “Shelta?” kata Michael.
Wajah orang tua itu mendadak ceria, lalu ia bicara lebih pelan. “Siapa nama Anda?” tanya Michael.
“Granza Djuric. Waktu saya pergi kemarin, karavan-karavan itu masih ada di sini.”
“Ada peristiwa tragis baru saja terjadi,” Michael mencoba menjelaskan. “Orang-orang gipsi yang baru tiba dari Eropa tewas di kota ini kemarin. Warga Anda mungkin pergi menyelamatkan diri.”
Tiba-tiba dari sudut lain lapangan itu muncul seorang penunggang kuda melaju ke arah mereka. Orangnya masih muda, 20-an tahun, bajunya warna-warni menggelembung terembus angin saat memacu kudanya. “Granza!” teriak anak itu.
Granza Djuric tersenyum. “Itu Dane, cucu saya.”
Ketika penunggang kuda itu turun, Michael memberi salam. “Michael Vlado. Saya kepala suku Rom di kaki pegunungan di Rumania.”
Dane menjabat tangannya. “Dane Morgan. Kami pergi dari sini pagi-pagi sekali. Saya kira kakek saya ini sudah ada di karavan lain. Kami baru sadar kalau ia ketinggalan, makanya saya kembali.”
“Kalian pergi karena peristiwa pembunuhan itu?”
Ia mengangguk. “Mengerikan. Ada yang mengira kami pelakunya. Tapi ada yang percaya, kami korban berikutnya. Sudah saatnya kami pergi.”
“Anda sudah dengar semuanya? Apakah penduduk Starkworth menolak kedatangan gipsi lebih lanjut?”
“Sebagian mungkin begitu, tetapi mereka tinggal di sini hanya sementara.” Dane lalu berpikir sejenak. “Ada orang yang ....”
“Siapa?”
“Namanya Cubber atau Cubberth. Ia punya laboratorium yang membuat obat-obatan semacam LSD. Beberapa minggu lalu ia mencoba menjual beberapa kepada kami, tetapi dia kami usir.”
Cubberth. Ya, Michael ingat sekarang. Dia orang yang janjian dengan Katie Blackthorn lewat telepon untuk bertemu di dermaga. Ketika menengok arloji, saat itu beberapa menit menjelang pukul 11.00. Kalau cepat sampai, mungkin masih keburu menjumpai pertemuan itu. “Mana jalan ke dermaga?” katanya pada Dane Morgan.
“Ada jalan pintas dari sini.” Ia memberi tahu Michael sebelum membantu kakeknya naik ke punggung kuda.
Tukang mancing itu lenyap
Panjang dermaga Starkworth kira-kira 30 m dan tampaknya menjadi tempat orang memancing di kota itu. Ada pantai yang sempit dan berbatu di sisi lain tetapi tak mengundang orang berenang di situ. Saat tiba sekitar pukul 11.15, Michael melihat ada orang sedang duduk memancing sendirian di ujung dermaga. Topinya yang lebar melindungi kepalanya dari terik matahari. Lalu tampak ada seseorang naik ke dermaga. Rambutnya agak botak, tidak pakai topi, dan tampak ragu-ragu gerak-geriknya. Akhirnya, ia berjalan menghampiri orang yang tengah memancing itu.
Michael sempat mengira si pemancing itu Katie Blackthorn yang menyamar agar luput dari perhatian wartawan lain pesaingnya. Ternyata bukan, sebab dilihatnya Katie muncul dari balik sebuah bangunan, bergegas menuju dermaga, masih mencangklong ransel. Michael mengejar Katie, tapi terlalu jauh untuk bisa tiba bersamaan di dermaga. Lelaki botak itu sudah sampai di ujung dermaga dan duduk di dekat si pemancing.
Michael baru setengah jalan ke arah mereka ketika Katie sampai di tempat kedua orang itu. la tidak tahu persis apa yang dilakukan Katie karena tubuhnya mengalangi pandangan Michael. Tiba-tiba Michael melihat wanita itu meloncat ke belakang seperti tersengat sesuatu. Topi lebar si pemancing tergeletak di dermaga dan jaketnya teronggok di bawahnya. Katie Blackthorn berteriak dan Michael cepat berlari menghampirinya.
“Ada apa?” teriak Michael.
la berpaling ke Michael, wajahnya tampak ketakutan. “Dia mati!”
“Orang yang mancing itu?”
“Tidak ada yang mancing di sini. Saya kira dialah orang yang bernama Cubberth.”
Tubuh lelaki botak itu merosot di tonggak kayu, lehernya sobek oleh pisau bergerigi. Michael mengamati sekeliling. “Saya tadi melihat ada orang memancing di sini.”
“Jaket dan topi itu disangga dengan gagang sapu ini. Itu yang Anda lihat.”
“Lalu siapa yang membunuh?”
“Saya tidak tahu.”
Katie merogoh telepon genggamnya dan memencet nomor. “Polisi! Ini darurat! Ada yang tewas di dermaga Starkworth. Saya reporter televisi. Nama saya Katie Blackthorn. Ya, saya tetap di sini sampai Anda tiba.” la lalu memencet nomor lain. “Dominick, saya di dermaga. Kemarilah dan bawa sekalian kameramu!”
Beberapa saat kemudian terdengar suara raungan sirene. “Anda sedang apa di sini?” tanya Katie kepada Michael.
“Saya ingat nama Cubberth ketika ia menelepon Anda di hotel tadi. Saya baru mengobrol dengan seorang gipsi lalu nama itu muncul. Saya memutuskan untuk bergabung dalam pertemuan Anda dengan orang itu.”
Inspektur Drexell termasuk salah satu yang datang pertama kali di dermaga. “Kalian sedang bersama-sama ketika menemukan mayat itu?” ia bertanya kepada Michael dan Katie sementara asistennya memeriksa mayat korban.
Michael menjelaskan ia datang persis ketika korban sedang berjalan menuju ujung dermaga. “Saya tahu Cubberth membuat janji dengan Katie Blackthorn dan mungkin dialah orangnya. Katie datang beberapa saat setelah orang itu.”
Inspektur berpaling ke arah wanita itu. “Katie Blackthorn?”
“Cubberth menelepon saya di hotel tadi pagi. Ia mengaku punya informasi tentang pembunuhan kemarin. Ia bilang ingin bertemu dengan saya di sini.”
“Lalu apa hubungan Anda dengan Cubberth?” tanya inspektur pada Michael.
“Seorang gipsi bercerita bahwa ia memiliki sebuah laboratorium di dekat sini. Ia membuat LSD dan bahan-bahan kimia lainnya. Jika ia punya sesuatu untuk disampaikan kepada pers, barangkali berkaitan dengan pembunuhan itu.”
Inspektur mengangguk. Dominick muncul sambil memanggul kameranya dan merekam situasi dermaga. “Mayatnya ada di ujung sana,” teriak Katie.
Dominick bergegas melewati mereka. “Saya tadi sedang merekam sekitar balai kota seperti yang kamu pesan. Saya punya cuplikan bagus untuk kamu.”
“Sip-lah! Sekarang ambilkan saya cuplikan dengan sosok korban yang tergorok lehernya itu!”
“Bukankah Anda hanya berdua dengan korban saat ia tewas? Mr. Vlado melihat ia berjalan beberapa meter di depan Anda menuju dermaga,” kata inspektur.
“Tadi ada orang memancing di ujung dermaga,” tutur Michael. Dominick yang memakai kaus garis-garis tampak berhenti merekam dan mengganti kaset.
“Ke mana dia sekarang?” tanya Inspektur Drexell.
Mereka melongok ke air dan Michael melihat airnya tak dalam. Katie tidak menjawab, sebaliknya ia berkata, “Tadi pagi saya ke rumah sakit mau menemui Isaacson, pesuruh yang cedera itu. Tapi sudah tidak ada. Katanya, sudah disuruh pulang.”
“Sebelum kalian pergi, saya ingin tahu nama gipsi itu, Mr. Vlado.”
“Dane Morgan. Ia bersama kakeknya bernama Granza Djuric. Mungkin mereka sudah meninggalkan Starkworth.”
Ditinjau Pangeran Charles
Mereka tiba di hotel beberapa saat menjelang tengah hari. Tanpa Drexell, Michael tidak yakin mereka boleh mewawancarai satu-satunya korban selamat dalam pembantaian itu, tetapi Kolonel Jugger mengaturnya. “Dia tidak tahu apa-apa, tapi kalian boleh mewawancarainya kalau ia mau.”
Carl Isaacson duduk di kursi dalam ruang pertemuan di lantai paling atas. Katie Blackthorn segera mengambil alih wawancara. “Seperti apa keadaan di dalam panti ketika gas itu mulai mengalir lewat pipa-pipa itu? Anda tahu apa yang sedang terjadi?”
“Pada mulanya tidak. Saya mendengar beberapa gipsi mulai batuk-batuk dan tercekik. Lalu saya melihat Ny. Withers, salah seorang relawan, pingsan di lantai. Saat itulah saya menyadari sesuatu yang buruk sedang terjadi. Saya lari sambil berteriak minta tolong, tapi saya pingsan di dekat pintu.”
Ketika televisi disetel, tampak di layar iring-iringan kendaraan yang membawa Pangeran Charles, sementara para kru TV berebut posisi terbaik. “Ia akan meninjau panti asuhan itu,” kata Katie. la menelepon Dominick dan menyuruh dia datang ke tempat itu dengan kameranya. Jugger beranjak keluar untuk bergabung dengan panitia penyambutan.
Ketika Dominick tiba, ia menyerahkan kaset-kaset berisi rekaman tentang taman kota dan dermaga, lalu cepat-cepat keluar bergabung dengan yang lain. “Anda harus mengirim kaset-kaset itu ke London?” tanya Michael.
“Tidak. Kami mengirimnya lewat satelit dari mobil siaran kami langsung ke studio. Apa saja yang kami rekam saat ini akan muncul dalam berita petang.”
Sebelum Michael berkata lebih lanjut, sederet limusin Rolls Royce berwarna hitam muncul. Para pengawal berlompatan turun dan berkerumun di sekitar limusin utama. Michael melihat sekilas Kolonel Jugger menjabat tangan Pangeran Charles dan kamera-kamera terus menyorot mereka.
Michael menyaksikan dari jendela hotel ketika serombongan pejabat itu bergerak menuju panti asuhan dan berdiri di depan bangunan untuk difoto.
Beberapa saat kemudian di sore hari ketika kunjungan Pangeran usai, Inspektur Drexell kembali. Michael melihat ia kembali tak lama setelah Dane Morgan masuk ke hotel ditemani kakeknya.
“Anda menangkap mereka?”
“Dane Morgan justru membantu penyelidikan kami.”
“Saya tidak melakukan kesalahan apa-apa,” Morgan menyela. “Begitu juga kakek saya. Mengapa kami harus membunuh warga kami sendiri? Kakek saya pun datang dari kawasan yang sama 60 tahun yang lalu.”
Di posko masih ada kegiatan ketika beberapa anak buah Drexell datang menyelesaikan tugas yang lain. Ia keluar sebentar untuk bicara dengan mereka dan masuk lagi bersama Kolonel Jugger yang mengikutinya dari belakang.
Drexell mengajak Michael dan si kolonel menjauh dari Dane dan kakeknya. “London minta tindakan cepat dan saya kira kita punya sesuatu. Soal Cubberth, korban yang tewas di dermaga itu, anak buah saya menemukan sebuah lab kecil di rumahnya seperti disebut Dane. Ditemukan pula tempat berisi tablet sianida dan asam seperti digunakan di panti asuhan itu. Jadi, Cubberth adalah tersangka. la mungkin bunuh diri dengan menggorok lehernya di dermaga itu.”
“Lalu bagaimana Anda menjelaskan jaket dan topi pada gagang sapu itu? Serta mengapa ia minta Katie menemuinya jika ia hanya akan bunuh diri tanpa lebih dulu mengatakan apa-apa?”
“Menurut Anda, apa yang terjadi?” tanya Drexell yang tampak ingin cepat-cepat menyelesaikan kasus ini. “Anda menduga Katie terlibat?”
“Saya tidak tahu. Saya rasa Cubberth memasok bahan-bahan kimia itu kepada seseorang dan orang itu menggunakannya. Lalu Cubberth dihabisi agar tidak bicara kepada pers. Begitu tahu bahan-bahan kimianya itu dipakai untuk kejahatan, ia ingin mengamankan diri.”
Drexell masih sibuk dengan informasi yang masuk. Michael turun mencari mobil van si Katie. Jalan antara hotel dan panti asuhan dipenuhi lima mobil van yang parkir berderet.
Ketika mendapati van Katie, Michael melongok ke dalam. “Masuk,” kata Katie. “Saya punya berita hebat. Kami sedang menyiapkan bahan untuk salah satu stasiun televisi besar di Amerika!”
“Lalu, apa artinya itu?”
“Saya akan muncul di televisi Amerika itu dalam berita malam. Lihat rekaman ini!” Cuplikan itu dimulai dengan close-up wajah Katie yang sedang mengatur adegan. Lalu beralih ke pusat kota dan menara lonceng balai kota. “Dominick dapat cuplikan bagus di sini. Coba lihat.” Tepat tengah hari ketika lonceng berdentang, sekawanan burung terbang berhamburan ke luar menara. Adegan kembali menampilkan Katie yang berdiri di depan panti. Ia terus memutar cuplikan peristiwa hari itu termasuk pembunuhan di dermaga yang masih misterius dan kedatangan Pangeran Charles.
Dominick muncul dan berkata kepada Katie, “Ada perkembangan baru! Inspektur baru saja kembali bersama beberapa orang. Mereka terburu-buru.”
Michael mengikuti Katie yang setengah berlari, diikuti Dominick dengan kameranya. Ketika mereka sampai di lift, seorang petugas dari Scotland Yard menghadang mereka. “Maaf, hanya yang berkepentingan boleh naik. Ruang makan ditutup malam ini.”
“Saya Michael Vlado, teman Kolonel Jugger.”
“Katie Blackthorn dan ini juru kamera saya, Dominick Withers. Kami berdua ada dalam daftar Anda.”
Petugas tersenyum. “Tidak ada dalam daftar ini. Pers dilarang masuk. Anda boleh naik, Mr. Vlado.”
“Michael, teman saya,” Jugger memulai setelah Michael duduk di ruang pertemuan.
“Apa yang terjadi?”
“Kita menghadapi keadaan serius sekarang,” kata Drexell. “Beberapa informasi penting yang sampai ke tangan kami menunjuk pada kemungkinan tersangka baru.”
“Maksud Anda si gipsi, Dane Morgan?”
“Bukan, tapi Kolonel Jugger.”
Dendam turunan
Mendengar itu Michael seperti tersengat listrik. “Mana mungkin! Kami selalu bersama-sama dalam perjalanan. Saat terjadi pembunuhan, kami masih berada di Prancis.”
“Tolong dengarkan saya dulu,” kata inspektur. “Fakta yang kami temukan memang mengejutkan. Kolonel Jugger lahir di Jerman menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Usai perang, ayahnya diadili sebagai penjahat perang. Tuduhan yang dijatuhkan termasuk melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang gipsi dalam kamar gas di Auschwitz. Ayahnya diganjar hukuman seumur hidup tetapi belakangan dikurangi masa hukumannya karena alasan kesehatan. la dibebaskan dari penjara pada 1971 dan meninggal setahun kemudian. Betul demikian, Kolonel?”
“Betul,” kata Jugger dengan suara lirih. “Apakah dosa para ayah juga harus ditanggung oleh anak-anaknya?”
“Setelah apa yang terjadi pada ayah Anda, mungkin kebencian terus tumbuh dalam diri Anda terhadap kaum gipsi.”
“Justru sebaliknya, saya curahkan hidup saya untuk menghapus kejahatan yang pernah dilakukan ayah saya.”
“Tapi tindakan itu dilakukan dengan senjata yang sama seperti yang kita dapatkan di Starkworth. Ini lebih dari sekadar kebetulan.”
Michael merasa harus memotong pembicaraan. “Bagaimana dia bisa berada di dua tempat dalam waktu bersamaan, Inspektur?”
“Saya kira kita sepakat bahwa Cubberth dipaksa menyiapkan bahan-bahan kimia yang diperlukan atau bahkan sebagai kaki tangan seseorang. Sebaliknya, tidak ada alasan untuk melenyapkan Cubberth. Taruhlah kita berpikir lebih jauh. Barangkali ia dibayar untuk memasok bahan-bahan kimia itu dan menyerang orang-orang gipsi di panti asuhan dengan bahan itu. Jika Kolonel Jugger menyewanya dan tiba setelah peristiwa pembunuhan, jelas dia sama sekali tidak bisa dicurigai.”
“Anda tidak punya bukti atas tuduhan itu!” sergah Michael.
“Kami punya bukti fisik dari rumah Cubberth. Dengan penyelidikan sedikit lagi, saya kira akan kita dapatkan siapa yang menyewa Cubberth.”
Michael yang berada di sudut ruangan itu berjalan menuju jendela besar yang menampakkan pemandangan air laut yang bergulung-gulung. Pikirannya teraduk-aduk. Pada arah yang lain, ia melihat gelap malam mulai meliputi Starkworth. Hari makin larut, burung-burung di menara lonceng kota tak tampak lagi.
Michael kembali ke mejanya. “Tolong panggil para wartawan dan juru kamera kemari. Saya akan mengungkapkan siapa pembunuh Cubberth dan ke-55 orang itu berikut alasannya.”
Ingin membunuh ibunya
Semula inspektur tidak setuju. Sebenarnya ia belum ingin mengungkapkannya kepada pers sebelum tahu persis apa yang terjadi. Michael mengajak inspektur ke tempat menyendiri dan berbicara cukup lama di situ. Akhirnya, “Baik. Kita coba,” Kata Drexell.
Beberapa saat kemudian ruang pertemuan itu dipadati wartawan dan juru kamera TV. Malam makin menyelimuti Starkworth.
Michael melangkah ke mikrofon, matanya menatap Katie yang berdiri di baris depan. Kolonel Jugger telah mengumpulkan mereka yang terkait dengan kasus ini, termasuk Dane Morgan dan kakeknya Granza dalam ruang pertemuan itu. Seorang petugas membawa Carl Isaacson, satu-satunya yang selamat dalam tragedi, masuk ke ruangan itu juga.
“Saudara-saudara, maafkan bahasa Inggris saya pas-pasan,” kata Michael. “Saya datang dari pelosok desa di Rumania, tapi saya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan persaudaraan. Saya sendiri gipsi, juga kepala suku, tetapi saya telah bekerja sama dengan pihak kepolisian Rumania untuk membongkar sejumlah tindak kejahatan.”
Katie mengangkat tangan untuk bertanya, tetapi Michael mencegah karena nanti ada waktunya. “Mungkin pertanyaan paling besar adalah bagaimana orang sanggup melakukan kejahatan yang begitu mengerikan. Itu mengingatkan peristiwa pembantaian serupa di Auschwitz terhadap orang-orang Yahudi dan kaum gipsi, yang juga dibunuh dengan cara serupa pada masa Perang Dunia II. Apakah itu pekerjaan teroris atau orang gila?”
“Bagi saya, titik terang terbongkarnya kasus ini muncul tadi pagi ketika warga setempat bernama Cubberth terbunuh di dermaga. Sebelumnya saya sudah diberi tahu, Cubberth mengolah LSD dan bahan kimia lain di laboratorium di rumahnya, dan menjualnya sebagian kepada para gipsi di wilayah ini. Anak buah Inspektur Drexell menemukan bukti bahwa di rumahnya Cubberth mengolah bahan kimia yang dipergunakan untuk membunuh ke-55 orang itu. Si pembunuh sudah pasti menyewa Cubberth untuk melakukannya.”
Kali ini Katie tak tahan untuk tidak bertanya. “Bagaimana Anda tahu Cubberth bukan bunuh diri?” teriaknya.
Michael menjawab, “Cubberth menelepon dan meminta Anda menemuinya di dermaga tadi pagi. Apa yang ingin dia katakan pada Anda? Bahwa ia telah membunuh mereka semua? Yang lebih masuk akal, ia akan menyampaikan sesuatu yang ia ketahui tentang pembunuhan di panti itu dan siapa orang di belakangnya. Teori ini didukung oleh peristiwa pembunuhan terhadap Cubberth di ujung dermaga saat Anda datang hendak menemuinya.”
“Tetapi apa yang terjadi dengan si pembunuh?”
“Bagaimana si pembunuh menghilang begitu saja, itu sederhana sekali. Jaket dan topi itu dia gunakan untuk menyamar. Cubberth menghampiri orang itu, mengira Andalah yang duduk di sana. Si pembunuh menggorok lehernya lalu menghilang di ujung dermaga dengan cara masuk ke dalam air sewaktu Anda berjalan mendekatinya. Saya perhatikan air di bagian itu tidak begitu dalam dan si pembunuh naik ke daratan lewat bawah dermaga. Pandangan Anda terfokus pada Cubberth serta jaket dan topi itu sehingga Anda tidak melihatnya. Hal serupa juga terjadi pada saya ketika mengikuti Anda ke sana. Si pembunuh berhasil meloloskan diri tapi pembunuhan itu meninggalkan petunjuk yang saya perlukan untuk mengetahui identitasnya.”
“Ia tidak meninggalkan petunjuk apa-apa,” Katie membantah. Konferensi pers itu berubah menjadi dialog antara mereka berdua namun dicatat oleh pers dunia.
“Coba pikirkan lagi. Bagaimana si pembunuh tahu Cubberth akan datang ke dermaga? Cubberth tidak berkata kepadanya dan saya melihat Cubberth sendirian berjalan ke dermaga. Si pembunuh sudah berada di ujung dermaga. Jadi, ia tidak membuntuti korbannya. Si pembunuh pasti sudah tahu sebelumnya kalau akan ada pertemuan itu. Saya ada di samping Anda ketika Cubberth menelepon Anda lewat telepon genggam, persis ketika Anda selesai mewawancarai saya. Anda tidak mengatakan apa isi percakapan itu, tetapi Anda menyebut nama Cubberth, waktu, dan tempat pertemuan. Itulah yang perlu diketahui si pembunuh.”
“Tetapi tidak ada orang lain lagi di sana kecuali Anda dan saya!” sergah Katie.
Michael menggeleng. “Masih ada orang lain. Juru kamera Anda, Dominick.”
Saat Michael berkata begitu, Dominick berhenti merekam dan meletakkan kameranya di lantai. Semua mata tiba-tiba tertuju pada Dominick. “Ini sih gila!” katanya marah.
“Oh ya? Si pembunuh basah kuyup setelah menyeberang ke daratan lewat bawah dermaga. Anda mengenakan kaus oblong bergambar kelompok musik rock waktu sarapan tadi. Tetapi ketika kemudian Katie memanggil Anda agar datang ke dermaga untuk merekam adegan pembunuhan, Anda sudah ganti dengan kaus garis-garis.”
Dominick membasahi bibirnya sambil maju beberapa langkah. Di belakangnya, Katie Blackthorn mengambil kamera Dominick. la memanggulnya dan mulai merekam. “Saya tidak berada di dermaga sampai Katie memanggil saya,” kata Dominick. “Saat itu saya ada di alun-alun merekam cuplikan menara balai kota. Anda bisa melihat di kasetnya.”
“Saya sudah melihatnya,” tutur Michael. “Anda merekamnya tepat pada tengah hari, terbukti dengan adegan burung-burung yang beterbangan karena takut bunyi lonceng. Sebuah gambar yang bagus, tetapi itu justru menjadi bukti bahwa Anda berada di sana hampir satu jam setelah pembunuhan itu, bukan pada saat Cubberth terbunuh.”
Wajah Dominick memucat, sementara Inspektur Drexell bergerak mendekatinya. “Mengapa saya harus melakukan perbuatan gila itu?” katanya pura-pura tidak mengerti.
“Saya tidak bisa menjelaskan persisnya,” kata Michael. “Tapi yang jelas bukan orang gipsi, ‘kan? Mereka hanya kedok bagi Anda untuk menutupi motif yang sebenarnya, yaitu semacam motif meledakkan sebuah pesawat hanya karena jngin membunuh satu orang saja di dalamnya. Tadi, ketika petugas menghadang kami di pintu, Katie menyebut nama Anda dengan Dominick Withers. Salah seorang relawan yang tewas oleh gas beracun adalah Ny. Withers. Siapa wanita itu? Istri atau mantan istri Anda, barangkali?”
Dominick seperti makin ditelanjangi. Sebelum Drexell atau yang lain bergerak, Dominick berteriak lalu membenturkan diri pada kaca jendela yang menghadap ke laut.
Katie Blackthorn merekam semua peristiwa itu, tetapi akhirnya pihak stasiunnya memutuskan untuk tidak menayangkan peristiwa bunuh diri salah seorang karyawannya pada berita malam itu. Katie kembali ke London pagi harinya dan Kolonel Jugger datang menemui Michael untuk sarapan.
“Wanita itu ibunya, bukan bekas istrinya,” katanya kepada Michael. “Saya kira kita tidak akan pernah tahu lebih dari itu. Dominick tinggal di Maidstone, setengah perjalanan menuju London, maka tidak sulit bagi dia untuk naik kendaraan kemari dalam setengah jam dan menyiapkan gas dari Cubberth di panti asuhan itu.” (Edward D. Hock)
Baca Juga: Dendam Masa Lalu
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635612/pembantaian-ala-nazi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945778000) } } [2]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561149" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/kekasihnya-tewas-di-jalanan_adri-20221111034223.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(107) "Sebuah kasus pembunuhan di jalanan menggemparkan Inggris. Tersangka adalah pacarnya yang sering tidak akur." ["section"]=> object(stdClass)#92 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/kekasihnya-tewas-di-jalanan_adri-20221111034223.jpg" ["title"]=> string(27) "Kekasihnya Tewas di Jalanan" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 15:42:38" ["content"]=> string(28588) "
Intisari Plus - Sebuah kasus pembunuhan di jalanan menggemparkan Inggris. Tersangka adalah pacarnya yang sering tidak akur.
-------------------
Pada 29 Juli 1997, suasana gedung pengadilan negeri di Birmingham tampak lebih ramai dari hari biasanya. Puluhan wartawan media cetak maupun elektronik menyemut sejak pagi depan ruang sidang utama. Siang itu mereka menunggu pembacaan keputusan juri atas kasus Tracie Andrews yang didakwa membunuh kekasihnya, Lee Harvey. Jarang sekali sebuah kasus pembunuhan sedemikian menyita perhatian pers dan warga Inggris.
Butuh tak kurang dari lima jam bagi juri untuk berunding, hingga akhirnya satu per satu terlihat kembali ke ruang sidang. Salah seorang wakil juri maju menyerahkan surat keputusan kepada hakim Buckley.
“Terhadap kasus Tracie Andrews, juri menyatakan terdakwa terbukti bersalah.” Demikian keputusan juri yang dibacakan singkat.
Mendengar itu, Tracie Andrews kontan berdiri dari tempat duduknya. Ia memprotes juri, sayangnya dengan cara tidak sopan. Maka, meski kata-katanya terdengar jelas, tak ada yang sungguh-sungguh menghiraukannya. Ruang sidang ikut gaduh oleh gumaman pengunjung, hakim pun harus menenangkannya.
“Juri telah memutuskan Anda bersalah dengan bukti-bukti yang kuat. Sesungguhnya, hanya Anda yang tahu apa yang terjadi malam itu, tapi kita dapat melihat akibatnya dahsyat,” kata Hakim Buckley sesaat setelah Tracie dapat menenangkan diri.
“Seperti Anda tahu, semua kembali kepada ketentuan hukum. Hukuman untuk Anda penjara seumur hidup.”
Tracie tak bereaksi. Air matanya tak terbendung. Simpati dari banyak orang mulai bangkit, terutama orang yang menontonnya di televisi.
“Aku sudah tahu, mereka akan memutuskan aku bersalah. Tapi sungguh, aku sama sekali tak melakukannya,” kata Tracie kepada pers begitu ia keluar dari ruang sidang.
Selalu tidak akur
Usia Tracie Andrews baru 27 tahun. Ibu seorang putri berusia tujuh tahun itu masih cantik, meski guratan-guratan kedewasaan tetap mudah ditangkap dari sorot matanya.
Sebelum bertemu Lee Harvey, Tracie pernah hidup bersama seorang pria selama beberapa tahun. Tapi sepuluh bulan setelah putrinya lahir, ia meninggalkannya. Tracie tinggal di sebuah flat kecil dan bekerja sebagai penjual produk kecantikan.
Sedangkan Lee, sehari-harinya bekerja sebagai sopir bus. Sebagaimana kekasihnya, Lee telah memiliki seorang putra hasil hubungannya semasa berusia belasan tahun. Hingga akhir hayat, hubungan dengan mantan kekasih dan anaknya tetap baik.
Meski pekerja kasar, Lee termasuk pria berwajah tampan. Pada akhir pekan, ia dikenal sering bergaul di klab-klab malam sekitar Birmingham Broad Street.
Karena ketampanannya, Lee diketahui punya beberapa teman wanita. Meski sebenarnya justru ia yang lebih sering dikerjain oleh para wanita itu. Jauh di dalam hatinya, Lee mencari wanita untuk dijadikan istri. Saat bertemu Tracie, ia berpikir sudah menemukannya. Sejak pertemuan yang romantis di klab malam Ritzy’s pada 1994, mereka memutuskan tinggal bersama di flat Tracie.
Namun, sejak kebersamaan tanpa ikatan ini, keduanya sering bertengkar. Meski berulang kali rujuk kembali, tak jarang pertengkaran itu membuahkan kerusakan pada perabotan rumah mereka. Tracie pernah melapor ke polisi bahwa Lee telah melempar televisi dan kaset video kepadanya. Puing-puingnya tampak berserakan di depan rumah. Saat itu polisi hanya bisa menasihati mereka.
Sebenarnya, perangai Tracie tak kalah kasar dibandingkan dengan Lee. Dalam penyelidikan polisi, saat masih serumah dengan pasangan terdahulu, Tracie sering mengacungkan pisau saat bertengkar. Polisi mengonfirmasi kabar ini dan dibenarkan mantan kekasihnya. Suatu kali keduanya bertengkar karena Tracie menuduh pasangannya menyetir sambil mabuk.
“Padahal sudah dijelaskan baik-baik, tapi Tracie nekat lari ke dapur dan mengacungkan pisau. Dia hampir saja kehilangan kontrol, untunglah aku segera merebutnya. Saat marah, matanya liar sekali,” jelas pria itu kepada polisi.
Serangan mendadak
Pada malam pembunuhan 1 Desember 1996, Tracie dan Lee terlihat berada di klab malam di kawasan Marlbrook Inn. Malam belum terlalu larut saat mereka meninggalkan tempat itu. Mereka pergi dengan mengendarai sedan Ford Escort yang dikemudikan Lee.
“Keduanya memang tidak bertengkar, tapi dari sorot matanya mereka terlihat sedang tidak akur,” kata Crigman, jaksa penuntut kasus pembunuhan ini di depan sidang. Penilaian itu berdasarkan penuturan sejumlah saksi di klab malam kepada polisi.
Saksi lain, seorang pria, mengutarakan bahwa sekitar pukul 22.30 ia baru saja melangkah meninggalkan rumah teman wanitanya di kawasan Coopers Hill, dekat Alvechurch pinggiran kota Birmingham. Tiba-tiba di kegelapan, ia dikejutkan teriakan memilukan seorang wanita yang memintanya memanggil ambulans.
“Tolong, tolong! Cepat!” Permintaan itu sempat membuatnya panik.
Tanpa memperhatikan sekeliling, pria itu segera kembali ke rumah teman wanitanya dan memintanya menelepon 999. Sang pria segera kembali ke tempat asal jeritan tadi. Di sana ia mendapati seorang wanita muda berdiri di samping mobil. Pakaiannya penuh darah, tubuhnya tampak gemetar. Di dekatnya, astaga! Sesosok tubuh pria tergelak di jalanan tak bergerak. Darah berceceran di sekitarnya.
Saksi sempat menanyakan, kalau-kalau telah terjadi kecelakaan lalu lintas, tapi wanita yang kemudian diketahuinya bernama Tracie Andrews, mengatakan, “Tidak.”
Memang benar, sedari tadi ia tidak mendengar ada kendaraan lewat. Baru setelah beberapa orang berkerumun, Tracie mampu bercerita bahwa dirinya baru saja diserang seseorang.
Berdasarkan penuturan Tracie kepada polisi - yang diulang di pengadilan - malam itu sepulang dari klab malam, ia dan kekasihnya berkendara pulang. Di tengah jalan keduanya tersadar, ada sebuah mobil sedan Ford Sierra berwarna gelap membuntuti mereka. Sempat terjadi kejar-mengejar, sebelum akhirnya mobil itu berhasil menghadang. Seorang pria turun dari kendaraan dan memaki-maki, kemudian menyerang Lee dengan pisau.
“Aku tidak yakin berapa kali dia menusuknya. Saat Lee terjatuh ke aspal, baru aku keluar dari kendaraan,” jelas Tracie.
Dari dalam mobil Tracie melihat pria itu sempat membungkuk di depan Lee, tetapi ia tidak melihat senjatanya. Tak lama kemudian Tracie keluar dan memakinya. Pria itu berbalik kemudian memukulnya begitu keras. Tubuh Tracie terbanting ke jalan. Mata kiri dan hidungnya luka. Akibatnya, ia harus mendapat perawatan selama tiga jam di rumah sakit.
Selebihnya, tak banyak yang bisa diingat malam itu. Tracie hanya mendengar pengemudi mobil berkata kepada penyerang, “Sudah tinggalkan saja, Jez.” Lalu mereka tancap gas.
“Aku mencoba bangkit dan mendekati Lee. Terasa ada yang basah di tubuhnya. Ternyata darah. Dia terdengar mengeluarkan suara aneh, seperti mendengkur. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu.”
Mencoba bunuh diri
Kasus kekerasan jalanan di daerah sepi Coopers Hill langsung menjadi berita besar di Birmingham, bahkan seluruh Inggris. Bukan hanya karena daerah itu selama ini dikenal cukup aman, tapi masyarakat bersimpati terhadap kekasih korban, Tracie Andrews.
Tracie sangat pandai mengambil simpati masyarakat lewat media massa. Dengan isak tangis dan cucuran air mata, wajahnya selalu membuat penonton dan pembaca terkesima. la bahkan meminta masyarakat ikut membantu menemukan pelaku pembunuhan kekasihnya.
Sebaliknya, polisi merasa kesulitan karena tidak mendapatkan motif penyerangan. Mereka hanya berspekulasi kasus itu berhubungan dengan bisnis obat terlarang. Sebuah sketsa wajah berdasarkan deskripsi Tracie ikut disebarluaskan media massa.
Berdasarkan penyelidikan, para detektif menemukan gambaran lain dari kasus ini. Beberapa saksi di klab malam Marlbrook Inn menuturkan, malam itu mereka melihat Tracie dan Lee tapi tidak melihat adanya mobil pembuntut. Kesaksian itu diperkuat penuturan dua akuntan dari Bromsgrove yang malam itu melintas di sekitar TKP.
“Keduanya melihat sedan Escort milik Lee, saat berhenti dan hendak berputar. Jarak mereka terpaut sekitar dua kilometer di belakang, tapi tidak ada mobil lain yang membuntuti. Kesaksian itu dinilai vital karena waktunya tepat, begitu pula lokasinya,” kata Crigman dengan nada meyakinkan di depan juri.
Sejumlah kesaksian inilah yang mengantarkan Tracie menjadi tersangka utama. Namun, informasi itu tak pula membukakan jalan kemudahan bagi polisi untuk menyelesaikannya.
Di mata publik, Tracie adalah korban. Pelbagai reaksi datang dari masyarakat begitu wanita muda ini ditahan. Apalagi penahanan hanya berselang enam hari setelah Tracie didapati mencoba bunuh diri dengan meminum 200 tablet obat tidur.
Pisau lipat
Selubung kasus itu terkuak di pengadilan. Semua tergambar dalam dakwaan yang dibacakan penuntut pada 1 Juli 1997.
Crigman mendakwa, malam itu Lee dan Tracie meninggalkan klab malam bersama. Entah apa sebabnya, di tengah jalan mereka bertengkar. Pada kurun waktu 12 - 15 menit, Lee memukul kekasihnya yang mengakibatkan luka di wajah. Meski keduanya tahu jalan pulang dengan baik, mereka sempat tersasar sampai Coopers Hill. Di sana keduanya berhenti dan keluar dari kendaraan.
“Di sinilah ia mulai melakukan serangan,” kata Crigman menunjuk kepada Tracie. “Korban ditusuk di leher, wajah, belakang kepala, sisi kiri tubuhnya, bahu kiri, dan punggung. Serangan ini terus berlanjut meski korban sudah jatuh. Tusukan baru berhenti setelah kemarahan Tracie mereda.”
Penggambaran Crigman sungguh memilukan seisi ruang sidang. Lee mendapat 30 tusukan dari pisau lipat jenis Swiss Army. Korban tidak mampu bertahan lama karena serangan terarah ke leher, hingga menyebabkan urat nadi di leher robek. Darah muncrat hingga mengenai baju Tracie.
“Korban berusaha lari, tapi ia tidak bisa bergerak jauh,” tutur Crigman. “Dia tewas seketika itu juga.”
Menurut dakwaan, kemudian Tracie menyembunyikan pisau dalam sepatu botnya. Diduga, pisau itu dibuang saat ia mendapat perawatan di rumah sakit. Seorang perawat sempat melihat Tracie berada di kamar mandi agak lama, hingga menimbulkan kecurigaan.
Berdasarkan pemeriksaan DNA oleh ahli forensik, noda darah sepanjang 5 cm di sepatu Tracie diketahui positif milik Lee. Ahli forensik juga mendapatkan tiga helai rambut Tracie di tangan Lee. Diduga Lee sempat menjambak Tracie untuk melawannya.
“Terhadap kenyataan itu, Tracie hanya menyebutkan bahwa rambutnya mudah rontok,” kata Crigman mengutip pengakuan Tracie kepada polisi.
Crigman menambahkan, jika tidak berhati-hati dan terlipat, pisau Swiss Army dapat melukai jari penusuknya. Pada hari pembunuhan, jari Tracie juga menderita luka seperti itu.
Saksi mantan polisi
Dalam sidang pengadilan yang berjalan lebih dari tiga minggu, Tracie tetap terlihat tenang. Sama sekali tak ada kesan ia telah berbuat kejahatan. Berita-berita seputar pengadilan kasus tersebut pun semakin menguntungkan Tracie. Dukungan terhadapnya semakin besar.
Yang terjadi di ruang sidang justru sebaliknya. Kesaksian sejumlah orang semakin menyudutkan Tracie. Terutama saat saksi seorang wanita yang menghubungi 999 dipanggil ke depan sidang. Tanpa basa-basi, saksi yang mantan polisi itu mengungkapkan kecurigaannya kepada Tracie sejak awal.
Sesaat setelah kejadian, ia membawa Tracie Andrews ke rumahnya, hanya beberapa puluh meter dari TKP. Saat itu saksi sempat bertanya, kalau-kalau terdakwa ingat warna kendaraan, nomor polisi, atau mungkin mendengar nama pelaku. “Dia bilang tidak ada yang bisa diingatnya,” kata saksi menyatakan keheranannya.
Saksi menyatakan telah mempunyai pengalaman sepuluh tahun dan mendapat latihan khusus untuk menyusun pertanyaan semacam itu. “Aku pikir ini penting. Jika Tracie mampu memberi jawaban, maka saya dapat memberi tahu polisi sehingga mereka dapat melakukan penyelidikan secepatnya.”
Anehnya, lanjut saksi, beberapa saat setelah polisi datang, Tracie dapat bercerita tentang sedan Sierra hitam, bahkan mendeskripsikan penyerangnya. Menjawab pertanyaan Crigman, wanita ini juga mengaku tidak mendengar ada mobil ngebut malam itu.
Ronald Thwaites, pengacara Tracie, langsung menyatakan keberatan. Itu karena saksi tidak menyebut hal ini dalam pernyataan pertamanya. “Mengapa setelah Tracie didakwa membunuh, dia menambahkan pernyataan itu?” gugat Thwaites sengit.
Saksi menjawab, ia tidak ingat apakah dirinya telah atau belum mengatakan pernyataan itu.
Pada bagian akhir, saksi mendeskripsikan saat ia menemukan Lee Harvey terbaring di jalan dengan leher tertusuk. Tracie berdiri di samping kendaraan, dalam keadaan panik dan menangis, dengan percikan darah di wajahnya. “Dia berbalik ke mayat Harvey setidaknya dua kali dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar,” kata wanita itu menutup kesaksiannya.
Kepada juri, penuntut kemudian membacakan pernyataan terdakwa kepada polisi. Dalam catatan itu tertulis, Tracie tidak menyadari Lee telah ditusuk, ketika ia melihat darah di tangannya saat menyentuh mayatnya.
Di sinilah penuntut mengungkapkan sebuah kejanggalan di mana terdakwa tidak bisa menjelaskan ketidakcocokan deskripsinya seputar peristiwa pembunuhan. Tracie mengatakan, pertarungan terjadi di depan mobil, tetapi darah ditemukan di bagian belakang.
“Mengenai tidak adanya saksi yang melihat mobil pembuntut, Tracie juga tak bisa berkomentar. Begitu pula tentang asal darah yang ada di bajunya,” kata Crigman.
Posisi Tracie makin tersudut.
Dikuntit Mr. X
Pengacara Tracie berpikir keras untuk mengarahkan sorotan negatif terhadap kliennya. Awalnya, Thwaites mencoba mengambilnya dari sudut hubungan Tracie dan Lee yang hendak menuju ke arah pernikahan. Setidaknya Tracie masih mengenakan cincin pertunangannya hingga sekarang.
“Sejak kematian Lee, hidup Tracie menjadi hampa. Inilah yang menjadi alasannya bunuh diri,” kata Thwaites penuh tekanan. “Lagi pula, tidak masuk akal kalau ia mau pergi berduaan, sekadar untuk menghabisi kekasihnya.”
Thwaites mencoba mengalihkan sasaran kepada Lee Harvey. Pria itu digambarkannya sebagai pemuda yang pencemburu berat dan tidak dewasa. Kepergiannya dari rumah selama pertengkaran menjadi bukti ketidakdewasaannya. “Hanya karena besarnya cinta Tracie yang membuatnya kembali.”
Tracie juga mengakui soal kecemburuan itu. Lee memang sering mengatur hidupnya, seperti misalnya caranya berpakaian saat ia bekerja sambilan di sebuah klab malam. Kekasihnya itu juga selalu menyeleksi pergaulannya, bahkan dengan teman wanita sekalipun.
“Sesungguhnya, Tracie pernah berkeinginan untuk hamil, tetapi dia takut melakukannya. Ia khawatir Lee tidak setuju,” ungkap Thwaites mencoba menggambarkan sikap otoriter Lee. Pada bagian pembelaannya, Thwaites juga mengungkap sebuah fakta mengejutkan.
Menurut informasi di kepolisian, sebenarnya ada tersangka pembunuh yang cocok, tapi tak dihiraukan penyidik. Informasi itu menyatakan, ada seseorang yang dicurigai telah mengikuti Lee dan Tracie keluar malam itu. Ia diidentifikasikan sebagai Mr. X yang konon juga terlibat dalam kekerasan jalanan beberapa tahun sebelumnya.
Bahkan, Thwaites melanjutkan, lima hari setelah kasus pembunuhan itu, polisi mendapat telepon yang mengatakan melihat Mr. X meninggalkan klab malam tak lama setelah Lee Harvey pergi. “Ketika Lee pergi, Mr. X menguntitnya. Mereka sempat saling pelotot. Penelepon menduga akan terjadi perkelahian, tapi ternyata Mr. X pergi ke Ford Sierra biru tua.
Hingga pengadilan berlangsung, sosok Mr. X masih misterius. Nama Mr. X sebenarnya berasal dari bagian reserse yang mendapat informasi bahwa pada malam pembunuhan ada seorang bandar menyimpan kokain dalam jumlah besar.
Mr. X dideskripsikan sebagai seseorang berperawakan gemuk dengan sorot mata tajam, mirip dengan penggambaran Tracie. Thwaites protes karena informasi penting ini diabaikan polisi.
Menggigit leher
Upaya keras pembela seolah pupus saat Tracie Andrews menjadi saksi untuk penuntut. Posisinya begitu dilematis bagi Thwaites karena penuntut dapat melakukan pemeriksaan silang.
Seperti tak ingin melepaskan buruannya, Crigman tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tracie diperlakukan bak anak kijang di sarang singa.
“Menurut keterangan Anda kemarin, peristiwa pembunuhan terjadi di sekitar Burcot. Tapi pada malam pembunuhan keterangan Anda pada polisi, peristiwa terjadi di lokasi yang berbeda. Apakah Anda mengubah cerita? Berarti ini penipuan berencana?”
“Tidak,” sanggah Tracie yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Aaa ... aku hanya kurang yakin saat itu.”
Crigman tersenyum. la mengungkap kejanggalan menyangkut waktu pembunuhan. Mobil Lee terlihat di Coopers Hill antara pukul 10.28 sampai 10.32. Sedangkan saksi pertama melihat mayat korban di jalan pukul 10.50. Ada selang waktu 17 menit antara kematian Lee dan saksi meninggalkan rumah menuju mobilnya.
“Menurut keteranganmu, setidaknya peristiwa itu berlangsung sepuluh menit.” Crigman berhenti sejenak. “Bagaimana Anda menjelaskan soal jeda tujuh menit setelah orang itu pergi dan sebelum saksi datang?”
“Tidak bisa.”
“Lalu apa yang Anda kerjakan selama 15, 16, 17 menit? Selama 17 menit tidak berusaha untuk minta pertolongan dari rumah di sekitar?”
“Memang tidak. Sampai aku lihat cahaya dari sebuah rumah dan memungkinkan saya untuk minta tolong. Lee saat itu terbaring di tanah, aku tidak mau meninggalkannya.”
“Kalau tidak mau meninggalkannya, mengapa Anda tidak membunyikan klakson?” Alis Crigman berkerut.
“Aku tidak tahu.”
“Atau setidaknya berusaha berteriak?”
“Tidak. Lelaki itu memukulku keras. Semuanya seperti mimpi. Seharusnya aku berbuat sesuatu, tapi aku shock.”
“Tapi bukankah cukup waktu sebelum saksi datang melihat Anda?”
“Tidak.”
“Kalau Anda tidak merasa bersalah, Anda akan dapat pergi secepatnya ke rumah itu?”
“Bagaimana orang tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti itu?” balas Tracie.
Dalam argumentasi Crigman, baju Tracie yang berlumuran darah menunjukkan, setidaknya ia dalam posisi menempel saat korban ditusuk di lehernya. “Jika tidak, bagaimana darah itu bisa muncrat ke blusmu?”
“Aku tidak dapat menjawabnya. Aku tidak tahu.”
Crigman mencoba mengingatkan Tracie tentang pertengkaran pasangan itu, yaitu saat Tracie menggigit Lee. Crigman menyatakan keheranannya, seorang perempuan normal bisa-bisanya menggigit leher.
“Apa yang Anda rasakan?” kejar Crigman.
“Aku marah. Toh, banyak orang melakukan tindakan seperti itu. Lee juga pernah melakukannya.”
“Pasti butuh niat yang besar untuk menaruh gigimu di leher seseorang. Dalam kondisi yang kurang lebih sama, kamu juga dapat menaruh pisau di lehernya, ‘kan?”
“Tidak.”
Menurut argumentasi penuntut, setelah melakukan pembunuhan, Tracie langsung mematikan lampu mobil untuk berpikir. “Dalam pernyataan Anda, dikatakan lampu dalam keadaan menyala, tapi keterangan dari polisi dan saksi setempat menyatakan lampunya padam.” Crigman sejenak melirik Tracie.
“Jejak darah Lee Harvey ditemukan di tepi pintu mobil, yaitu ketika Anda membukanya untuk mematikan lampu. Jika lampunya dinyalakan, maka akan ada yang melihatnya. Begitu ‘kan?”
Tracie lagi-lagi diam.
Sebelum mengakhiri sesi pertanyaannya, penuntut menambahkan, dalam cerita pembunuhan karangan terdakwa, alasan Tracie memilih sedan Ford Sierra hitam sebagai mobil pembuntut besar kemungkinan berdasarkan pengalaman pribadinya. Tracie dan Lee sesungguhnya pernah memiliki mobil dengan merek dan warna serupa. “Anda mengarang cerita dan menggabungkannya dengan pengalaman pribadi,” kata Crigman.
“Itu hanya situasional,” kata pembela, menyatakan keberatan dengan penilaian itu.
Pengakuan jujur
Setelah vonis dijatuhkan, setidaknya satu kali pembela Tracie mencoba mengajukan peninjauan kembali kasus itu dengan menyodorkan saksi-saksi baru. Meski upaya itu kandas, banyak orang tetap percaya Tracie tidak bersalah. Hingga April 1999, Tracie membuat pengakuan yang mengejutkan.
Lewat sebuah surat yang dikirim dari penjara Bullwood Hall Essex, Tracie mengaku telah menusuk Lee Harvey dalam sebuah pertengkaran yang disebutnya lepas kontrol. Surat yang dimuat News of The World itu menyatakan, pada malam pembunuhan keduanya bermaksud pulang ke rumah.
“Di tengah jalan terjadi pertengkaran. Lee mengeluarkan pisau dan mengancam akan menyayat wajahku atau akan menusuk,” tulis Tracie. Masalahnya, Lee cemburu kepada Andy, mantan pacar Tracie.
Keduanya kemudian keluar dari mobil, lalu Lee menghampiri dan menjambak rambut kekasihnya itu. Lee mengancam dengan pisau, “Lihat saja jika Andy menginginkanmu lagi.”
Tracie mengaku saat itu takut setengah mati. Tapi kemudian ia sempat menjegal Lee hingga terjatuh. Lee ternyata menariknya, sehingga keduanya terjatuh ke rumput. Lee memukulnya lagi.
Tracie berusaha berdiri. Keduanya sempat saling memaki. Saat itulah Tracie melihat ada pisau di tanah yang segera diambilnya. Saat Lee ingin bertindak kasar lagi, Tracie segera bereaksi dengan pisau.
“Aku harus menusuknya. Jika tidak, dia akan terus memukuliku. Aku sempat mundur. Yang kuingat, aku menjadi gelap mata. Aku marah, gemetar, dan kehilangan kontrol. Belum pernah aku mengalami kehilangan kontrol seperti malam itu,” aku Tracie.
Sejenak Lee mencoba membalas, sebelum akhirnya terjatuh. Tracie menghampiri Lee dan mencoba mengajaknya berbicara. la mengguncang tubuh Lee. Bunyi napasnya berat dan matanya mendelik. “Aku merasa ngeri. Tanganku terasa basah.”
Sewaktu meraih mayat pacarnya, tulis Tracie, muncul perasaan sangat sedih dan bersalah. Terlebih saat menyadari Lee telah tewas, ia merasa seluruh hidupnya sudah berakhir.
Saat itu yang ada hanya kebingungan dan ketakutan. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk mengarang cerita bahwa mereka diserang seseorang. Pisau itu kemudian disembunyikan di celananya, dan saat di rumah sakit, dihanyutkannya ke toilet.
“Aku merasa seharusnya dihukum untuk pembunuhan tak disengaja. Aku memang seharusnya jujur pada kesempatan pertama,” tulis Tracie.
Benarkah itu semua pernyataan jujur Tracie?
Lee Harvey, menurut rekan-rekannya, tidak pernah membawa pisau. Mereka yakin, Tracie sengaja membawanya dari rumah malam itu. Entah untuk tujuan apa. (Road Rage)
Baca Juga: Pembunuhnya Jadi Korban Ketiga
" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561149/kekasihnya-tewas-di-jalanan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668181358000) } } [3]=> object(stdClass)#93 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355972" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#94 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/menyamar-sebagai-ivan-bagerovjp-20220701063449.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#95 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(144) "Seorang perwira Angkatan Laut Inggris mempersiapkan jalan untuk kabur dari penjara Jerman. Padahal dia tidak bisa berbicara dalam bahasa Jerman." ["section"]=> object(stdClass)#96 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/menyamar-sebagai-ivan-bagerovjp-20220701063449.jpg" ["title"]=> string(29) "Menyamar sebagai Ivan Bagerov" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:35:05" ["content"]=> string(23817) "
Intisari Plus - Pada tahun 1943, seorang perwira Angkatan Laut Inggris mempersiapkan jalan untuk melarikan diri dari penjara Jerman. Dia tidak dapat berbicara dalam bahasa Jerman, namun penyamarannya sebagai perwira Angkatan Laut Bulgaria sangat membantunya.
---------------------
"Keluar dari sini, itu sangat mudah. Keluar dari negara ini, itu bagian yang tersulit."
Perwira Angkatan Laut Inggris, Letnan David James, sedang menjelaskan rencananya untuk kabur kepada tahanan lainnya, Kapten David Wells. Keduanya merupakan penghuni penjara tahanan perang, Marlag und Milag Nord, dekat Bremen, Jerman. Waktu itu, awal musim dingin tahun 1943, empat tahun setelah dimulainya Perang Dunia II.
James telah memikirkan dua penyamaran untuk mengeluarkan dirinya dari kamp menuju Swedia, tempat ia bisa kembali ke Inggris.
Kedua pria tersebut duduk di depan tungku batu bara. Pondok mereka sangat dingin, tapi untunglah api menjaga mereka tetap hangat. Di luar jendela, hujan yang dingin turun sepanjang hari. Musim dingin di Jerman utara turun bagaikan balas dendam.
James mulai merinci rencananya untuk lari.
"Begini...Aku adalah orang asing yang hanya bisa berbicara sedikit bahasa Jerman. Jadi, aku akan tetap menyamar sebagai orang asing. Penjaga dan perwira yang akan kutemui telah terbiasa melihat kartu identitas setiap hari. Mereka bisa mengenalinya seperti punggung telapak tangan mereka sendiri dan mampu melihat apapun yang palsu hanya dengan jarak dua puluh langkah. Jadi, aku akan tampil dengan identitas yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Aku akan menyamar sebagai orang Bulgaria!"
Wells terbengong-bengong sesaat, lalu matanya membelalak.
"Kenapa?"
James melanjutkan, "Seperti yang kau tahu, Bulgaria adalah sekutu Jerman, tapi tak seorang pun di sini yang tahu banyak tentang mereka. Mereka tidak akan bisa mengenali jika ada seorang Bulgaria yang datang dan menonjok hidung mereka. Lagipula, aku pikir jika aku bisa membuat seragamku tampak seperti seragam Angkatan Laut Bulgaria, tidak akan ada yang bisa membedakannya. Setidaknya, aku tidak bisa."
Wells tertawa.
"Angkatan Laut Bulgaria. Mereka hanya punya kira-kira tiga kapal. Kau ada di pihak yang menang, Bung. Apa yang ada padamu?"
James menunjukkan bukti-bukti padanya. Seorang teman di kamp yang bekerja sebagai penjahit sebelum perang telah membuatkan untuknya sebuah lencana berwarna keemasan dan biru berinisial KBVMF yang merupakan inisial dari Angkatan Laut Bulgaria.
"Huruf-huruf itu kelihatan aneh. Itu inisial Rusia kan?" tanya Wells.
"Bukan, ini inisial Bulgaria," jawab James. "Mereka menggunakan alfabet yang sama dengan Rusia. Itulah langkah selanjutnya dalam rencanaku. Bahkan aku telah memiliki setumpuk dokumen yang dipalsukan teman kita di pondok D. Ia biasa bekerja sebagai ilustrator buku, dan menyelesaikan pekerjaannya yang brilian. Lihat ini!"
James menuju lokernya dan mengeluarkan sebuah map yang penuh dengan kertas-kertas, surat-surat, kartu pas, dan sebuah foto berukuran besar.
"Ini kartu identitasku. Letnan Ivan Bagerov— Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria. Semua tulisan Bulgaria itu tidak akan dimengerti oleh penjaga."
Wells tertawa.
"Siapa laki-laki tampan di foto itu? Pastinya itu bukan kau!"
James tersenyum.
"Coba perhatikan. Kami menemukannya di majalah Jerman. Ia adalah pahlawan Jerman. Kelihatannya agak mirip denganku, tapi karena kami membubuhkan stempel Bulgaria di atas setengah wajahnya, jadi tidak akan terlihat dengan jelas!
Aku sudah memastikan segala sesuatu di koporku terlihat seperti milik orang Bulgaria, setidaknya orang akan beranggapan itu milik orang Bulgaria. Bahkan, aku telah mengelupas tulisan Inggris di merk sabunku dan menggantinya dengan tulisan Bulgaria."
"Yang besar itu foto siapa?" tanya Wells."Sepertinya ia penari balet. Siapa namanya?"
James tertawa lagi.
"Itu sayangku Margot Fonteyn. Cantik kan! Aku akan mengaku pada siapa saja yang menggeledah koporku bahwa ia adalah tunanganku. Itu akan jadi pengecoh yang efektif. Kau kenal Robert di pondok E? Ia bisa berbicara dalam bahasa Rusia, jadi aku memintanya menuliskan sebuah surat cinta untukku. Kita bahkan bisa menipu malaikat! Dan ... aku telah mengganti semua merk pakaianku yang buatan Inggris.
Aku tidak bisa mendapatkan merk Bulgaria atau Rusia. Tetapi, beberapa teman asal Yunani di kamp telah memberikan yang mereka punya. Merk-merk tersebut cukup terlihat berbeda. Dan di atas segalanya, Bulgaria juga kerajaan monarki, jadi ukiran mahkota di kancing seragam Angkatan Laut Inggris milikku tidak perlu diganti."
"Dan, ini dia!"
James mengeluarkan dokumen palsu lainnya.
"Ini sebuah surat pengantar dari Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria. Surat itu tertulis dalam bahasa Jerman, akan kutunjukkan kepada siapa saja yang menghalangiku.Aku pikir surat itu akan banyak membantuku. Bunyinya : Letnan Bagerov bertanggung jawab di bidang teknik yang mengharuskan dirinya banyak bepergian.
Karena ia hanya berbicara sedikit bahasa Jerman, maka setiap perwira Jerman dimohon untuk membantunya.”
Wells menertawakan rencana nekad tersebut. Dia terkesan, tapi nampak khawatir.
"Oh, kabar buruk, James. Beberapa perwira Angkatan di sini telah pergi ke Bremen beberapa minggu lalu mengunjungi rumah sakit di sana. Seragam Angkatan Lautmu mungkin terlihat agak berbeda, tapi tidak terlalu berbeda. Aku yakin seseorang akan mengetahui dan menangkapmu."
"Aku telah memikirkannya juga. Aku akan memulai pelarianku dalam samaran yang lain! Kancing seragamku akan kubungkus dengan perca sutra, aku punya topi kain, scarf, dan celana kanvas tua. Aku akan menjadi Christof Lindholm, seorang tukang listrik Denmark! Aku juga sudah punya kartu pasnya."
"Wah, kau benar-benar sibuk selama ini, ya!" kata Wells. "Lalu, apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan identitas aslimu bila kau berhasil mencapai Swedia, atau bahkan Inggris?"
"Aku juga sudah memikirkan hal itu. Aku telah memasukkan semua identitas asliku di lapisan dalam jaketku, jadi aku bisa menjadi diriku lagi kapan saja bila diperlukan."
"Kalau begitu, semoga sukses, sekalipun dengan semua itu aku pikir kau tidak memerlukannya," kata Wells.
James terlihat agak sakit.
"Sebenarnya, duduk di depan api ini dibandingkan hujan di luar sana, aku tidak yakin aku ingin kabur. Tetapi, banyak orang yang sudah bersusah-payah membantuku dalam hal ini, jadi aku harus mencobanya."
*
Dan ia memang mencobanya. Pagi hari, 8 Desember 1943, James berjalan menuju tempat pemandian di kamp. Tak diduga! Sebuah jendela di sana terbuka, jadi yang perlu dilakukan James adalah langsung memakai kostum tukang listrik Denmark, dan menyelinap keluar saat tak ada yang melihat.
Berjalan keluar dalam penyamarannya, ia sama seperti pekerja lokal yang ada di sana. Tetapi, masalah muncul tak lama setelah ia keluar dari kamp. Dia dihentikan oleh seorang polisi yang mencurigainya. Dalam hatinya, James sangat panik. Setelah susah payah kerja kerasnya selama ini, di sinilah dirinya, jauh dari kamp, hampir tertangkap.
Polisi itu memeriksa kopornya. Untunglah hanya ada beberapa potong pakaian di dalamnya. James sudah menyembunyikan semua dokumen Ivan Bagerov dengan hati-hati, semuanya diikat di kakinya dengan perban.
Polisi mulai mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Apa yang dilakukannya, siapa dirinya, dengan siapa ia tinggal. Benar-benar mimpi buruk. James hanya bisa berbicara sedikit bahasa Jerman, dengan tak jelas ia mengatakan bahwa ia tinggal bersama seorang pendeta lokal. Ia bahkan tidak tahu siapa namanya, hanya menyebutnya "Bapa."
Polisi masih tetap curiga dan bertanya seperti apa perawakan sang pendeta. James nekad berspekulasi. Pendeta itu berambut abu-abu, dan ternyata memang benar. Ia menambahkan beberapa cerita dengan harapan polisi tersebut tidak mempermasalahkan logat pekerja Denmark yang aneh ini.
Ternyata cerita karangannya tidak berguna. Polisi membawanya ke kantor polisi. Untunglah James punya akal lain. la menunjukkan surat penugasan palsu dari sebuah rumah sakit yang mengharuskan dirinya untuk melapor ke sana siang ini.
Surat palsu itu meyakinkan sang polisi bahwa James memang seorang tukang listrik Denmark. Akhirnya, polisi itu memperbolehkan James pergi dengan salam selamat siang yang kaku. James segera pergi dari hadapannya, dan berusaha keras agar kakinya tidak terlalu gemetaran selama ia berjalan.
*
James berhasil sampai di stasiun Bremen tanpa kesulitan baru, dan langsung masuk ke sebuah kamar mandi kecil. Di sana, ia melepaskan samarannya dan menyembunyikan pakaian, topi dan celana tukang listrik itu di belakang tangki air. Sekarang, James merasa aman untuk melakukan penyamarannya sebagai orang Bulgaria.
Di dalam kamar mandi yang sempit itu ia melepaskan perca kain sutra yang membungkus kancing seragamnya, menjahitkan lencana ke pundaknya, dan menggelapkan warna rambutnya dengan tata rias teater supaya ia lebih terlihat seperti orang Eropa timur.
Christof Lindholm lenyap, muncullah Ivan Bagerov. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, lalu berjalan mendekati seorang petugas di stasiun dan menunjukkan surat pengantar palsunya.
Petugas tersebut membacanya dan tersenyum pada James.
"Ke mana tujuan Anda, Tuan?" tanyanya.
James memberitahunya bahwa ia hendak menuju ke pelabuhan Lübeck di Laut Baltic. Itu adalah titik yang sangat baik untuk perjalanan selanjutnya ke Swedia.
"Silakan ikuti saya, Tuan," kata petugas tersebut. Mereka pun berjalan menuju loket karcis.
Surat palsu James bekerja seperti jimat saja. Petugas itu memberitahu kereta apa yang harus ia naiki, menuliskan rinciannya untuknya, dan memberikan karcis untuknya. Lalu, mengantar James ke ruang tunggu dan membelikannya bir!
James sampai harus menahan dirinya untuk tidak tertawa terbahak-bahak, atau menjaga wibawanya. Sebenarnya ia ingin memeluk petugas itu, tapi ia tetap menjaga dirinya bersikap formal, layaknya seorang perwira Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria.
Keretanya tiba, dan tak lama kemudian James sudah dalam perjalanan menuju pantai. Semua petugas yang dijumpai selama dalam perjalanan (petugas pemeriksa karcis, polisi, da sebagainya), semua tertipu oleh surat pengantar palsunya, da mereka memberi salam hormat dengan anggukan kepala yang sangat sopan.
Beberapa jam kemudian, kereta tiba di Hamburg, di mana James harus berganti kereta. Ia harus menghabiskan satu jam menunggu di ruang tunggu. Di sana ia ditatapi dengan rasa penuh curiga oleh seorang prajurit Jerman.
James merasa prajurit itu mengetahui samaran dan mengenali seragam Angkatan Lautnya, tapi ia memutuskan untuk menggertaknya. Pikirnya, "Apa yang akan aku lakukan jika aku memang seorang Ivan Bagerov, pada waktu seseorang sedang menatapku? Ya, tatap kembali!"
James melihatnya sekilas dengan penuh keramahan, hingga prajurit tersebut merasa malu dan membuang pandangannya ke lantai. Beberapa saat kemudian, ia meninggalkan ruang tunggu. James bertanya-tanya, jangan-jangan ia melapor pada polisi. Namun, sampai kereta selanjutnya tiba, tak seorang pun yang mengganggu dirinya.
Perjalanan terasa lambat. James harus turun untuk ganti kereta lagi, dan melewati malam yang tak nyaman di ruang tunggu Bad Keinen. Ia telah menempuh 320 km dalam sehari. Pelariannya ternyata berjalan lebih lancar dari yang ia duga.
Keesokan harinya, kereta melaju menuju Stettin, stasiun lainnya di Laut Baltic. James berpikir ia harus mencoba peruntungannya di sana, karena nampaknya di Stettin juga ada kapal Swedia, sama seperti di Lübeck.
Ternyata, tidak. James tidak melihat satu kapal Swedia pun di pelabuhan. Sambil mengumpat, ia pergi ke kota dan mengunjungi beberapa bar dengan harapan akan mendengar suara orang Swedia.
Sorenya, James baru menyadari bahwa singgah di Stettin merupakan kesalahan besar. Tak ada yang bisa dilakukannya selain melanjutkan perjalanan. Jadi, ia kembali ke stasiun dan naik kereta menuju Lübeck. Lagi-lagi, ia harus turun dari kereta dan menghabiskan malam yang tak nyaman di ruang makan di sebuah kamp militer yang sesak.
Ketika ia mencoba untuk tidur di meja pojok ruangan, beberapa perwira Angkatan Laut Jerman bergabung dengannya. Teman semeja yang baginya buruk, mungkin saja mengenali seragam Kerajaan Inggrisnya. Namun, sepertinya mereka lebih letih daripada dirinya, karenanya mereka tidak berkata sepatah kata pun pada James, apalagi memperhatikannya.
Keesokan hari, ia bergegas pergi ke stasiun dan tiba di Lübeck siangnya. Saat itu, penampilannya sebagai seorang letnan mulai terlihat agak kumal, apalagi dengan janggut berumur dua hari di dagunya. James segera pergi ke tukang pangkas rambut terdekat dan minta supaya janggutnya dicukur. Tukang pangkas di sana memandangnya heran.
"Tidakkah Anda tahu?" tanyanya dengan agak sinis. "Anda tidak mengetahui tentang distribusi sabun? Tidak seorang pun yang mencukur janggutnya di tempat seperti ini selama dua tahun!"
James mengangkat bahunya dan meninggalkan tempat tersebut diliputi rasa panik. Pasti setiap orang di jalan melihat dirinya.
Dengan perasaan bingung, ia memesan sebuah kamar di hotel la meninggalkan kopornya di sana, lalu pergi ke pelabuhan. Di sini tampak secercah harapan. Hal pertama yang dilihat nya adalah dua kapal Swedia. Sebuah gerbang tampak di antara dirinya dan kapal-kapal tersebut.
Seorang penjaga berdiri di satu sisi jalan, jadi James mengikuti sebuah truk besar yang berjalan menuju pelabuhan, bersembunyi di sisi yang berseberangan dengan penjaga tadi. Begitu tiba di sisi pelabuhan, ia berjalan menuju kapal Swedia dan menghampiri awak kapalnya. Kapal tersebut memuat batubara. Debu batu bara ditambah dinginnya udara musim dingin membuatnya batuk.
James mendengar suara orang Swedia dari dalam kabin, maka ia mengetuk pintunya. Ia masuk ke dalam dan melihat dua orang sedang duduk di meja kopi. Mereka melihat James. Salah satu di antaranya menyapa James dengan bahasa Inggris yang sangat baik.
"Pasti Anda perwira Angkatan Laut. Aku mengenali seragam Anda dari jauh!"
James tertawa. Ia lega dua orang tersebut ternyata sangat ramah.
"Ya," jawab James. "Ini hanyalah samaran. Aku menyamar sebagai Ivan Bagerov, perwira Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria!"
Selanjutnya mereka mengundang James bergabung dengan mereka. Lalu James menceritakan kisahnya pada mereka, dan bertanya apakah mereka mau membawanya ke Swedia.
Pria yang berbicara dalam bahasa Inggris itu mengangkat bahunya dan meminta maaf.
"Begini kawan, aku ingin membantu, tapi sepertinya tidak mungkin. Ketika batu bara ini dimuat, kami akan kedatangan beberapa petugas Jerman yang akan ikut di dalam kapal ini. Mereka pasti akan melihatmu. Jika mereka curiga kau adalah buronan, pasti kita semua akan ditahan. Lihatlah, kapal begitu kecil untuk menyembunyikan dirimu."
James sangat kecewa. Padahal ia merasa orang itu sangat ramah dan pasti mau menolongnya. Ia berpikir keberuntungannya pasti sudah berakhir.
"Tolonglah," pintanya. "Aku telah lari tiga hari, dan ini satu-satunya saat aku merasa aman. Pasti ada tempat di mana aku bisa sembunyi."
Namun, orang Swedia itu telah menetapkan keputusannya. la berbicara tegas dengan nada datar yang berarti tak ada lagi yang perlu didiskusikan.
"Aku ingin menolongmu, tapi aku juga tidak ingin berakhir di kamp konsentrasi. Lihat ke sana," katanya sambil menunjuk ke arah utara kabin. "Kapal itu juga menuju Swedia dan akan berangkat beberapa menit lagi. Cobalah peruntunganmu."
James berterimakasih pada mereka dan pergi. Berdiri di dek, ia melempar pandang ke kapal lainnya. Beberapa menit yang lalu, ia merasa aman dan sukses.
Perjalanan dari tangga kapal ini ke kapal lainnya sepertinya amat sangat berbahaya, dan nampak seperti jarak yang tak dapat ditempuhnya. James diliputi kecemasan yang besar.
Ketika ia menuruni anak tangga kapal, ia seperti melihat mimpi buruknya: kapal lainnya segera berangkat. James bergegas lari mencapainya, tapi sudah terlambat. Tadinya ia sempat berpikir loncat saja ke kapal tersebut, tapi ia pasti akan menjadi pusat perhatian dan kapal akan diberhentikan sebelum sempat meninggalkan perairan Jerman.
*
"Ya," katanya pada diri sendiri, "Kembali ke hotel, dan coba lagi besok." Kali ini James yang putus asa agak ceroboh.
la tidak berusaha sembunyi dari pandangan penjaga di pintu masuk pelabuhan, akibatnya ia terlihat dan diberhentikan. Mungkin karena penampilannya yang agak kumal, samaran Ivan Bagerov-nya tidak berguna. Penjaga itu bersikeras agar James ikut dengannya ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Tak ada yang dapat dilakukan James, kecuali ikut dengannya Selain itu, ia tidak terlalu khawatir. Masih ada kemungkinan sang polisi nantinya (sama seperti yang lainnya) akan tertipu oleh surat Bulgaria miliknya.
Tak lama kemudian, James sudah berdiri di hadapan petugas senior di kantor polisi Lübeck. Polisi di sana memeriksa kartu identitasnya dengan kaca pembesar, lalu berkata santai dalam bahasa Inggris, "Jadi, Anda kabur dari mana?"
James, yang sejak tadi menahan napasnya, menghela napas panjang. Ia menerima kenyataan bahwa segalanya sudah berakhir.
*
Tak diduga, sang polisi bersikap cukup sopan. Ia menawarkan kursi pada James, lalu memanggil beberapa rekannya masuk ke dalam ruangan. Salah satu di antara mereka mengolok-olok kartu identitas palsunya, tapi yang lainnya salut pada James dengan pemalsuan tersebut, apalagi James hanya memiliki sumber yang sangat terbatas di dalam penjara.
Ia bahkan mengatakan James seharusnya memakai kata Polizei Präsident di kartu identitas, bukannya Polizei Kommissar.
Setiap orang nampaknya terkesima oleh kisahnya, dan itu membuat James agak lega. Ia sering mendengar bahwa seorang buronan langsung ditembak bila tertangkap. Petugas yang mengantarnya ke penjara lokal bahkan menyampaikan rasa prihatinnya terhadap James yang peruntungannya tidak begitu baik.
Setelah Pelarian
James dikirim kembali ke penjara Marlag und Milag Nord dan dikurung sendiri selama sepuluh hari di sel hukuman. Keinginannya untuk kabur tidak pernah padam. Lima minggu berikutnya, ia menghilang lagi, kali ini dalam penyamaran sebagai nelayan. Dengan rute yang sama, ia sukses mencapai Swedia dan berhasil kembali ke Inggris dengan aman.
Setibanya di kampung halamannya, ia menulis buku berjudul An Escaper's Progress (Kemajuan Seorang Buron), sebuah catatan petualangannya di Marlag und Milag Nord. la menulis, kabur dari penjara sama seperti bertemu dengan seseorang di pesta yang namanya tidak kita ingat.
Kita harus menemukan petunjuk selama percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengarah. Dengan demikian, ia belajar bagaimana caranya untuk lolos, tanpa membuat dirinya menjadi pusat perhatian di tempat dan situasi ia berada.
Setelah perang, James menjadi seorang penjelajah Antartika dan menjadi anggota parlemen pada tahun 1959-1964 dan 1970-1979. Ia juga turut membantu mempersiapkan berdirinya Biro Investigasi Loch Ness, sebuah organisasi yang dedikasikan untuk menemukan bukti keberadaan monster Loch Ness. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)
" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355972/menyamar-sebagai-ivan-bagerov" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700505000) } } [4]=> object(stdClass)#97 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309853" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#98 (9) { ["thumb_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/rumah-kehampaanjpg-20220603064935.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#99 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Dua penjelajah Inggris bertarung menjadi orang pertama yang mengarungi padang pasir luas. Dari perjalanan inilah budaya bangsa Arab terungkap." ["section"]=> object(stdClass)#100 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/rumah-kehampaanjpg-20220603064935.jpg" ["title"]=> string(15) "Rumah Kehampaan" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:50:01" ["content"]=> string(19308) "
Intisari Plus - Persaingan sengit di Rub'al Khali: dua penjelajah Inggris bertarung menjadi orang pertama yang mengarungi padang pasir luas. Penjelajahan mereka keras, namun relatif mudah karena dukungan dari suku-suku di sekitar gurun. Dari perjalanan inilah budaya bangsa Arab terungkap.
-------------------------
Di setengah bagian selatan Arab Saudi, terbentang wilayah gurun yang luas, sedemikian tandus sehingga namanya pun menggambarkan tempat sunyi yang tak dapat dihuni siapa pun. Dalam bahasa Arab nama gurun itu adalah Rub'al Khali, yang berarti "Bagian yang Kosong"—atau lebih puitis "Rumah Tinggal Kehampaan".
Sampai tahun 1930-an, tak satu pun orang kulit putih pernah menjejakkan kaki ke belantara batu cadas dan pasir ini; dan tentu saja tak seorang pun pernah menyeberanginya.
Namun, karena semakin banyak wilayah belantara di dunia yang digapai para penjelajah, tampaknya tinggal sedikit tempat yang akan ditaklukkan. Rub'al Khali merupakan salah satu dari tantangan terbesar terakhir—dan ada dua pria yang bertekad menjadi orang pertama yang menyeberanginya.
Kedua pria itu adalah orang Inggris. Yang satu Harry St. John Philby, pendukung dekat Raja Saudi, Ibnu Saud, tinggal di Mekah, kota suci Islam, dan menjadi muslim. Satunya lagi, Bertram Sidney Thomas, tidak memiliki hubungan dengan Kerajaan Saudi seperti halnya Philby. Ia bersahabat dengan Sultan Muskat di Oman yang tak sungguh-sungguh membantu petualangan gurun pasirnya. Jika ingin berhasil, ia harus mengurusnya sendiri.
Bagi Philby, menyeberang Rub'al Khali merupakan sebuah obsesi yang telah didambanya bertahun-tahun. Pada 1924, ia sudah hampir melakukan ekspedisi itu, tapi sebuah revolusi di Arab Saudi menghalanginya untuk berangkat.
Tak lama, ia menderita disentri yang sangat parah dan terpaksa mengabaikan rencana-rencananya. Tahun 1930, saat Ibnu Saud bertakhta dengan aman, Philby bertekad untuk berusaha lagi, dan ia terus-menerus mengusik raja untuk mendapat izin dan dukungan.
Sementara itu, Thomas melakukan persiapan dengan cara yang sangat berbeda. Antara 1927 dan 1930, ia melakukan sejumlah perjalanan persiapan dengan unta di wilayah tepat di selatan Rub'al Khali. Ia sadar harus mendapat kepercayaan dari suku Beduin, suku setempat, untuk melakukan penyeberangan, karena itu ia tidak berniat meminta izin raja.
"Aku tahu pemikiran penguasa," tulisnya, "menghindari perangkap dengan meminta izin rencanaku ... Jadi, rencanaku tersembunyi dalam kegelapan, perjalananku hanya diberitakan dengan kehilanganku." Ia menenggelamkan dirinya dalam adat Beduin, berpakaian seperti mereka, berbicara bahasa mereka, dan memastikan ia tidak melakukan sesuatu yang menyinggung mereka.
Suatu kebijakan yang lihai. Ketika Philby duduk di Mekah dengan tidak sabar menunggu keputusan sang raja, Thomas merangkum rencana akhirnya. Oktober 1930, ia berlayar dari Muskat menuju wilayah Dhufar, di pantai selatan Arab Saudi, tempat ia telah mempersiapkan pemandu dan unta-unta dari Rashid—sebuah suku Beduin—untuk menemuinya.
Philby mendengar kedatangan Thomas di Dhufar, dan benar-benar semakin tidak sabar. Raja mengetahui betapa inginnya Philby berangkat, sehingga meminta nasihat gubernur setempat.
"Apakah perjalanan seperti itu bijaksana saat ini?" tanya raja.
Gubernur mengatakan bahwa keadaan politik masih tidak stabil. "Tunggu tahun berikut," ia menasihati.
Philby tidak dapat berbuat apa-apa. Ia benar-benar jengkel.
Namun, bagi Thomas, persiapannya juga tidak berjalan lancar. Saat tiba di Dhufar, unta dan pemandunya tak ada. Tampaknya, orang dari suku Rashid yang ia ajak bernegosiasi, setelah mengantungi uang yang ia berikan, menghilang di padang pasir. Dengan putus asa, Thomas mengirim utusan untuk mencarinya; sementara itu ia cuma bisa menunggu.
Enam minggu kemudian, masih belum ada tanda-tanda keberadaan pemandu dan untanya. Thomas sudah hampir patah semangat: kapal yang membawanya dari Muskat hari itu dijadwalkan kembali. Thomas berpikir ia harus menyerah dengan rencana-rencananya, naik kapal, dan kembali ke Muskat dengan rasa tak puas. Mungkin Philby berkesempatan mengalahkannya—pada akhirnya.
Akan tetapi, saat jam 11, sekitar 40 orang Rashid muncul dengan unta dalam jumlah yang sama. Bagaimana pun ia bisa berangkat.
Rute Thomas bergerak dari selatan Rub'al Khali, yang kurang lebih berada dalam garis lurus timur laut. Masalah yang ia hadapi adalah melewati wilayah-wilayah suku yang berbeda. Anggota suku Rashid dari selatan tidak mau memasuki wilayah Murra yang ditakuti di utara.
Akan tetapi, syukurlah, berkat banyaknya perundingan yang alot, Thomas menemukan jalan keluar. Ia berjalan secara beranting. Bila mencapai wilayah Murra, kawanan baru yang terdiri dari unta dan anggota suku Murra akan menemuinya, dan ia akan meninggalkan anggota suku Rashid di belakang.
Dengan semua perencanaan ini, Thomas berangkat Perjalanannya amat lambat. Karena pada tahap awal perjalanan ditemukan padang rumput, kapan pun ditemukan tempat merumput yang baik para pemandu memaksanya untuk membiarkan unta-unta itu merumput, khawatir mereka tidak menjumpai padang rumput lagi.
Itulah salah satu dari banyak jurus di gurun pasir yang ia pelajari. Pelajaran lain adalah tata krama suku Beduin tentang keramahtamahan. Jika ada tamu asing mampir di sebuah tenda gurun pasir karena perlu makanan, mereka tidak boleh pulang dalam keadaan lapar.
Kenyataan adanya orang asing kaya sedang mengarungi padang pasir, menyebabkan sejumlah "tamu asing" bermunculan. Seberapa lama bekalnya akan bertahan, Thomas bertanya-tanya dengan putus asa.
Namun, hari-hari perjalanan penuh kesabaran berlalu tanpa adanya masalah besar. Thomas bergaul baik dengan anggota-anggota suku itu. Malam hari, di sekeliling api unggun, mereka menceritakan tentang kisah dan legenda mereka, dan ia pun menuliskannya semua.
Banyak kisah tentang suku purba yang dikenal dengan nama Bani Hillal, dan pahlawan mereka, Abu Zaid. Diceritakan bahwa tak ada tombak atau pedang yang dapat membunuhnya, karena ibunya keturunan jin. Abu Zaid juga terkenal karena kemurahan hatinya—ia membunuh semua untanya untuk memberi makan tamu asing ...
Thomas mendengarkan, terkesima, terbenam dalam dunia unta yang memiliki alas kaki yang halus dan bentang alam yang tak berujung. Namun, saat rombongan itu mencapai mata air Shanna, tempat pemandu Murra mengambil alih, salah seekor unta sakit parah.
Ajalnya berakhir brutal dan cepat. Unta itu ditarik ke sebuah tempat dangkal di pasir, dan para pria itu menggorok tenggorokannya, menyukai dagingnya alih-alih susu unta dan oatmeal. Meskipun lapar, Thomas tidak begitu berselera. Menurutnya, daging unta itu alot dan berserat, dan ia hampir tidak bisa menelannya.
Ia memandang dengan keheranan sewaktu para anggota suku itu menikmati hidangan gurun pasir lainnya—mereka membelah kandung kemih unta itu dan meneguk air seninya. Nikmat! Demikianlah kata mereka—jauh lebih enak daripada air asin dan pahit yang berasal dari mata air.
Thomas berangkat lagi pada 10 Januari 1931 dengan rombongan pria dan unta yang lebih sedikit. Bagian kedua perjalanan ini terhalang badai gurun, yang menyebabkan keadaan amat menyengsarakan dan merusak beberapa peralatan Thomas.
Selain itu, cuaca dingin menggigit, terlebih pada malam hari. "Pasir memenuhi mataku, dan buku-buku catatanku," tulis Thomas. "Pasir di mana-mana; menulis dengan jari-jari yang mati rasa tidaklah mungkin, dan yang dapat dilakukan adalah duduk dengan bermalas-malasan di pasir yang berputar-putar dan keadaan dingin...."
Akan tetapi, tak satu pun dari kejadian ini yang membahayakan jiwa. Permasalahan Thomas terhitung kecil, mengingat semuanya dapat terjadi dengan mudah. Para anggota suku yang agresif tetap tenang, pasokan susu unta banyak, dan Thomas tetap bugar—seperti yang lain, termasuk unta-unta itu. Pada awal Februari 1931, Thomas tiba di tujuannya, Doha—sekarang Qatar—di pantai Teluk Persia.
Thomas telah berhasil! Kabar itu segera menyebar sampai Mekah, dan Philby menanggapinya dengan amat buruk. Ia sangat kecewa sehingga menutup diri selama seminggu.
Ketika muncul kembali di muka umum, ia penuh keberangan dengan prestasi Thomas—kemarahan yang bercampur cemoohan. "Apa masalahnya berbaris dalam garis lurus," katanya menggebu. "Perjalanan Thomas tidak berguna. Ia belum menjelajahi Rub'al Khali. Akan kutunjukkan padanya bagaimana melakukannya."
Namun, Philby masih menantikan izin raja untuk berangkat. Bulan pun berlalu. Philby duduk di Jeddah, tertekan, Kekecewaan pada raja, dan Arab Saudi pada umumnya. Kemudian, pada Desember 1931, tiba-tiba datanglah kabar yang ia nantikan—akhirnya ia mendapat izin, serta sokongan raja. Philby merasa bangga.
Sesegera mungkin ia menuju titik awalnya: Hufuf, kota pedalaman tidak jauh dari Doha, tujuan akhir Thomas. Segala suatu yang ia perlukan menanti: 32 ekor unta, 14 pria, dan perbekalan untuk tiga bulan. Akhirnya, perjalanan dapat dimulai, Philby berangkat 7 Januari 1932.
Philby berjalan ke arah berlawanan dari Thomas. Ia bertekad dari awal untuk mengarungi lebih banyak tempat dan melakukan lebih banyak penemuan. Pertama-tama, ia ingin menemukan reruntuhan sebuah kota mitos yang pernah diceritakan seorang pemandu kepadanya. Kota itu bernama Wabar, yang konon adalah tempat tinggal raja yang jahat, Ad Ibn Kinad. Untuk menghukum raja karena kejahatannya, Tuhan menghancurkan Wabar dalam kobaran api.
Philby mengikuti petunjuk pemandunya dan cukup mudah menemukan tempat itu. Namun, yang ia temukan bukanlah reruntuhan purba, tapi kawah yang disebabkan hujan meteor. Sisa-sisa serpih besi dan silika bertebaran di sekeliling daerah itu, dan Philby berhati-hati mengumpulkan spesimennya. Misteri terpecahkan, ia pun meneruskan perjalanan.
Akan tetapi, karakter perjalanannya menjadi berbeda dari perjalanan Thomas. Philby tidak memiliki kepercayaan pribadi dengan suku Beduin. Mereka tidak paham mengapa Philby memaksa mengambil rute yang lebih sulit dari yang ia butuhkan, atau mengapa ia terus-menerus melakukan jalan memutar untuk mengisi petanya.
Anggota suku itu ingin menghabiskan waktu berburu antelop gurun yang disebut oryx, tapi Philby tidak mengizinkannya. Dengan enggan, mereka melanjutkan perjalanan hingga mata air Shanna.
Di Shanna, perselisihan mencapai tahap baru. Philby ingin mengambil rute yang benar-benar baru ke arah barat, sementara pemandunya ingin mengikuti rute yang diambil oleh Thomas.
Mereka tidak memahami alasan menuju belantara yang mata airnya tidak diketahui ada di mana. Philby harus menyogok mereka untuk meneruskan perjalanan dengan membayar di muka.
Dengan perasaan jengkel masih membara, rombongan berangkat lagi. Akan tetapi, tidak ada kemajuan. Setelah lima hari, sewaktu mereka berada 230 kilometer dari gurun pasir, perselisihan itu menyebabkan rombongan terhenti. Unta-unta sampai pada batas tak lagi bisa berdiri, dan seluruh pria itu putus asa karena kelaparan; mereka tidak makan apa-apa kecuali kurma sejak meninggalkan Shanna.
Akan tetapi, Philby masih menolak mengizinkan mereka melambatkan ekspedisi untuk berburu oryx. Bahkan lebih parah lagi, ia memaksa melanjutkan perjalanan di siang bolong saat panas, dengan begitu ia dapat melakukan pengamatannya secara menyeluruh.
Para pria itu sampai pada batasnya. Philby dipaksa untuk mundur dan mengizinkan rombongan kembali. Ia menggambarkan hari itu sebagai "yang terburuk dari seluruh perjalanan dari awal hingga akhir, dan mungkin yang terburuk dari seluruh pengalamanku". Namun, mereka benar-benar kembali, ke arah mata air Naifa, di utara Shanna.
Sekarang, dengan dipacu harapan adanya air, para pemandu meneruskan perjalanan dengan cepat, dan Philby tidak punya pilihan lain. Mereka berhenti hanya untuk membiarkan salah seekor unta beranak—dan bayi unta itu dibunuh seketika untuk dimakan.
Para pria membuat api unggun kecil dan berusaha memanggangnya, tapi karena saking laparnya mereka tidak menunggu hingga masak. Sewaktu mereka melahap daging itu dengan rakus, dagingnya masih terasa mentah. "Aku bisa makan apa saja, dimasak atau mentah," tulis Philby kemudian.
Setelah empat hari berjalan tanpa lelah, mereka mencapai Naifa dan meneguk airnya yang pahit dengan penuh kenikmatan. Mereka menyembelih seekor unta lain untuk dimakan dan melepas lelah. Akan tetapi, sekarang Philby harus memutuskan langkah berikutnya. Ia masih bertekad untuk menyeberangi gurun pasir ke barat, seperti rencananya.
Namun sekarang jelaslah bahwa unta yang bermuatan sama sekali tidak dapat berjalan cepat, dan hal itu melambatkan semuanya. Satu satunya cara agar berhasil adalah berjalan dengan ringan dan cepat. Philby bermaksud memecah rombongan dan mengirimkan muatan yang berat kembali ke Hufuf.
Sekarang para pemandu dapat memilih untuk ikut dengan Philby atau tidak dalam perjalanan berat di hadapan mereka—560 km, tanpa kejelasan adanya air. Ketika mereka istirahat, serombongan pemandu dengan jumlah yang mengejutkan berkata bahwa mereka mau bergabung. Akhirnya, mereka hanya mengirimkan tujuh orang untuk kembali ke Hufuf.
Perjalanan kali ini amat meletihkan. Philby bertengkar soal perbekalan dengan mereka. Sewaktu para pemandu berusaha membuat Philby malu karena tidak mau membagikan susu untanya, ia menolak untuk minum susu lagi sepanjang perjalanan.
Tercekik oleh dahaga, Philby memandang hamparan padang kerikil suram yang tidak ditumbuhi apa pun—bahkan kaktus. Untuk mengatasi masalah, para pemandu Philly memutuskan bahwa cara terbaik untuk melintasi guran pasir itu hanyalah dengan terus berjalan. Perjalanan itu merupakan prestasi daya tahan yang luar biasa—perjalanan nonstop 110 kilometer. Dari waktu 21 jam, 18 jam dihabiskan di atas sadel.
Namun, sewaktu mereka melalui padang luas, para pemandu mulai mengenali tanda-tanda yang ada. Mereka mendekati tujuan, oasis Suleiyil di tepi barat laut Rub'al Khali, Para pria yang kelaparan dan kehausan itu beserta kawanan unta berjalan ke oasis itu, 14 Maret 1932.
Kemudian
Jadi, prestasi siapa yang lebih besar? Baik Philby dan Thomas menuliskan rincian kisah perjalanan mereka, termasuk peta, daftar panjang satwa liar, dan sosok flora serta keadaan geologis. Sulit mengatakan siapa yang menyumbangkan lebih banyak pengetahuan tentang wilayah itu. Thomas, tanpa dibantah, melakukan penyeberangan pertama, tapi rute Philby lebih sulit.
Memang, Thomas mengelabui persoalan perizinan. Jika tidak, Philby tentu telah memenangkan lomba itu. Akan, tak satu pun dari pria itu dapat memulai perjalanan tanpa bantuan dan panduan suku-suku Beduin, yang bagi mereka keseluruhan gagasan tentang 'penyeberangan pertama' terdengar sangat aneh.
Thomas mendapatkan dukungan mereka karena perundingan yang alot, dan menjaga kemauan baik mereka selama itu—sebuah prestasi pribadi yang besar tersendiri.
Di pihak lain, Philby melakukan perjalanannya dengan perlindungan raja. Sewaktu izin diberikan, ia membutuhkannya. Bertahun-tahun kemudian, ia mendapati bahwa para pemandunya yang tak puas pernah berencana membunuhnya di Shanna, tapi mereka takut raja bakal menahan mereka. Jadi, ia beruntung sama sekali dapat bertahan hidup.
Harry St. John Philby terus menjelajahi Arab Saudi selama bertahun-tahun dan diakui sebagai pakar geografi dan politik Arab. Namun, tahun-tahun berikutnya sikapnya terhadap pemerintahan Saudi terasa kritis dan ia menuduh pemerintahan itu korup.
Pemerintah jadi tersinggung dan melarangnya masuk Saudi, tahun 1955. Philby tinggal di Beirut, sampai orang-orang Saudi berubah pikiran dan membiarkannya kembali. Saat kembali, ia tidak kembali tinggal di Saudi. Philby wafat di Beirut, September 1960.
Bertram Sidney Thomas juga tinggal di Timur Tengah sepanjang hidupnya. Ia menduduki sejumlah jabatan penting di Bahrain, Palestina, dan Lebanon. Ia wafat di Kairo, Desember 1950.
" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309853/rumah-kehampaan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282201000) } } [5]=> object(stdClass)#101 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309345" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#102 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/harta-karun-di-dasar-danau_suzy-20220603061658.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#103 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Pada masa Perang Dunia II, Inggris sempat digegerkan adanya peredaran uang palsu. Masalahnya, keberadaan uang tersebut terkait dengan banyak negara." ["section"]=> object(stdClass)#104 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/harta-karun-di-dasar-danau_suzy-20220603061658.jpg" ["title"]=> string(26) "Harta Karun di Dasar Danau" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:17:23" ["content"]=> string(33753) "
Intisari Plus - Pada masa Perang Dunia II, Inggris sempat digegerkan adanya peredaran uang palsu. Scotland Yard sebenarnya sudah mengetahui itu sejak lama. Masalahnya, keberadaan uang tersebut terkait dengan banyak negara.
-------------------------
Dicky Bird kebagian bertugas dalam AU Inggris di Afrika Utara dan Doha dalam PD II. Ketika perang berakhir umurnya 36 tahun. Bird pulang ke anak istrinya bulan Agustus 1945. Tidak lama kemudian ia mendapat pekerjaan di kantor pos.
Suami-istri Bird ingat tahun 1939 mereka terpaksa menunda liburan karena perang pecah. Kini sudah tiba waktunya untuk mewujudkan rencana itu. Bird berkata kepada istrinya bahwa ia mempunyai uang untuk biaya liburan.
Dari dasar ranselnya ia mengeluarkan sebuah tabung kecil. Dalam tabung itu melingkar erat delapan lembar uang kertas yang masing-masing bernilai 5 Ponsterling, banyak sekali untuk orang semacam Bird.
Istrinya yang berpikiran praktis lantas menyetrika uang itu supaya rapi.
"Taruh saja di bank," saran istrinya. “Kita tinggal memegang cek."
Ketika Bird kembali dari bank, wajahnya kelihatan risau.
"Begitu saya mengeluarkan uang, kasir bertanya dari ana mana saya dapat uang itu," ceritanya.
"Lantas, apa jawabmu?"
"Saya bilang, bukan urusanmu. Ia menolak memberi cek. Ia cuma menyerahkan tanda terima. Katanya, ia perlu mengecek dulu."
"Huh, memang kita maling atau pembuat uang palsu?" gerutu si istri dengan mengkal.
Ny. Bird pun akhirnya risau. Mereka orang-orang yang polos. Reaksi kasir bank membuat mereka was-was. Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres. Sore itu juga uang kertas itu tiba di C 12, yaitu sub departemen dari Cabang C(riminal) pada Scotland Yard.
Uang kertas itu dibawa ke laboratorium untuk diuji di bawah sinar ultraviolet. Sebagian kecil daripadanya, yaitu kepala Britania, dibesarkan 50 kali. Nomor dan tanda tangan pada uang kertas itu pun diteliti.
Dua hari kemudian Bird didatangi seorang inspektur detektif yang membawa salinan laporan laboratorium. Bird diminta menceritakan dari mana ia memperoleh uang itu.
"Seusai pertempuran di Cassino, Italia, kami mendengar tentara Italia setempat ingin membeli makanan dan obat-obatan, tetapi saya tidak bisa mengadakan barang-barang itu, karena tidak bertugas di bagian yang mengurusi makanan dan obat. Ternyata mereka mau membeli apa saja dengan harga tinggi.”
“Mereka membayar dengan uang Inggris lembaran £ 5. Kebetulan saya mempunyai arloji cadangan dan teropong. Bukan barang tentara, melainkan milik saya pribadi. Saya jual barang-barang itu dan mendapat bayaran delapan lembar uang £ 5."
Bird jadi lemas ketika diberi tahu bahwa kedelapan uang pecahan £ 5 itu palsu. Namun, untung juga ia tidak dituntut karena kejaksaan menerima ratusan laporan serupa.
Gara-gara anjing
Kabar mengenai beredarnya ponsterling palsu sebenarnya sudah tiba ke telinga Scotland Yard sejak sebelum perang berakhir. Ada uang palsu diperoleh dari kelab malam di Istanbul, ada yang ditemukan oleh agen rahasia Inggris di Bukarest, dan ada pula yang ditemukan oleh para pengusaha Swedia.
Seorang mata-mata Jerman yang tertangkap ketika datang ke pantai Skotlandia dengan perahu karet ternyata membawa uang palsu pula. Para tawanan perang yang berhasil kabur lewat Spanyol pun menceritakan adanya uang palsu, begitu pun atase perdagangan Inggris di Vatikan.
Intel militer Inggris mendapat sedikit informasi dari agen-agen rahasia Inggris di Jerman dan dari orang-orang bisnis yang netral serta para tawanan perang yang berhasil kabur bahwa pengusutan uang palsu hams dilakukan di daerah Jerman bernama Sachsenhausen.
Pada suatu malam Sabtu yang gelap di musim gugur 1942, Mayor Robert Steven dijatuhkan dengan parasut di Jerman, yaitu di tempat yang sudah lebih dulu disediakan dengan saksama. Ia jatuh di tempat terbuka di selatan Oranienburg.
Sialnya, tungkainya luka kena pagar, tetapi ia bisa mencapai hutan untuk mengubur parasut dan peralatan lain. Dengan pakaian sipil dan terpincang-pincang, ia datang ke Oranienburg. Ia kenal daerah itu, karena pernah tinggal di sana tahun 1939.
Ia mendatangi flat seorang gadis bernama Marianne yang anti-Nazi. (Hukuman bagi orang yang membantu Sekutu ialah disiksa sampai mati).
Marianne merawat luka Steven, memberinya makan dan peta Sachsenhausen serta menggambarkan letak kamp konsentrasi. Kamp itu dikelilingi pagar kawat berduri, tembok tinggi, lampu sorot, dan para penjaga bersenjata senapan mesin. Tidak mungkin Steven masuk ke sana. Informasi harus dicari dengan cara lain.
Banyak tawanan dipekerjakan di pabrik Heinkel. Mereka berbaris ke sana setiap pagi. Beberapa di antara mereka menyelundupkan berita di luar lewat surat yang disampaikan pada kusir.
Sehari setelah tiba, Steven berhasil mendapat keterangan tertulis sebagai berikut: "Kamp Sachsenhausen 40.000 tawanan, 3.000 pengawal dari Korps Pimpinan Maut SS. Sejak akhir Juli tawanan-tawanan dari kamp-kamp lain diam-diam dibawa kemari.”
“Mereka tenaga-tenaga terampil dalam bidang percetakan dan ahli gravir yang kini ditempatkan di Bedeng 19. Seleksi dilakukan oleh Pemimpin Pasukan Gerak Cepat SS Bernhard Kruger, yang mengepalai Amt F4 di Markas Sekuriti Jerman. Seleksi belum selesai. Tujuan tidak jelas. Sangat dirahasiakan."
Steven menunggu informasi langsung dari penghuni Bedeng 19. Namun anjing penjaga hutan menemukan parasut dan pakaian Steven yang masih berdarah segar. Beberapa jam setelah itu dilakukan pencarian di seluruh Sachsenhausen.
Seorang pengawas dari AU Jerman bernama Schultz melaporkan kenyataan yang mencurigakan. Di flat mahasiswi bernama Marianne Thomas menginap seorang pria tak dikenal yang sekali dua kali kelihatan dari jendela. Pria itu tidak pernah keluar. Gestapo menganggap keterangan itu patut diperhatikan.
Steven yang melihat kesibukan di luar segera kabur begitu hari gelap. la ketahuan dan dikejar sampai terpojok. Namun ia masih sempat lari melompati pagar. Mantelnya tersangkut dan tertinggal sebagian di pagar. Ia sempat bergayut pada sebuah truk penuh kentang dan masuk ke dalam truk itu.
Di Frohnan truk dicegat, karena yang berwajib di Oranienburg menelepon agar kendaraan-kendaraan diperiksa. Steven mengubur dirinya dengan kentang. Ia lolos. Di Hermsdorf ia turun. Ditinggalkannya mantelnya yang robek dan bau kentang, lalu ia naik kereta api yang menuju ke Berlin. Ia lolos dari pemeriksaan di kereta dan tiba dengan selamat ke alamat yang ditujunya di Berlin.
Steven diberi seragam dan surat-surat yang diperlukan lalu dikirim dengan kereta api ke St. Malo. Beberapa malam kemudian sebuah perahu kecil menjemputnya untuk pulang ke Inggris.
Banjir duit
Hampir tiga tahun kemudian Inggris betul-betul kaget ketika seorang petani Austria bernama
Hans Mittelbach menemukan "lautan duit".
Pada bulan Mei 1945, Mittelbach membawa sapi-sapinya ke S. Traun di barat laut Austria. Sungai itu masih penuh salju yang mulai meleleh. Tempat yang dikunjungi Mittelbach berupa tepian yang terlindung dari arus. Sering benda-benda yang dihanyutkan air terdampar ke tepian itu.
Hari itu tepian tampak penuh kertas. Ketika membungkuk untuk memungutnya selembar, ia hampir pingsan, karena kertas itu tidak lain daripada uang Inggris bernilai £ 5. Ia kenal uang Inggris karena pernah menjual barang pada turis-turis Inggris sebelum perang.
Cepat-cepat ia pulang memanggil istri dan anak-anaknya untuk mengumpulkan uang itu. Tadinya mereka tidak bermaksud memberitahu siapa-siapa, tetapi orang lain juga tahu dan mereka beramai-ramai "memancing duit" yang makin lama makin banyak terdampar.
Pada saat yang hampir bersamaan, Kapten Werner Hartmann, perwira intel di Amt VI (organisasi intel politik Jerman) mengendap-endap di semak-semak dekat Pegunungan Schotterberg. Ia ditemani seorang pemuda SS berumur 17 atau 18 tahun. Tujuan mereka ialah rumah kediaman pemuda itu.
Pemuda itu ingin cepat-cepat pulang, sedangkan Hartmann yang berpengalaman itu ingin menunggu gelap dulu. Maklum Sekutu sudah berkeliaran di mana-mana. Karena pemuda itu memaksa juga, mereka setuju untuk berjalan sendiri-sendiri.
Hartmann mengambil sebuah bungkusan kecil dari ranselnya. "Hadiah kecil untukmu dan untuk keluargamu," katanya. Pemuda SS itu membuka bungkusan tersebut. Isinya £ 12.000 terdiri atas lembaran £ 5. "Saya masih punya banyak," kata Hartmann pula seraya menunjuk ranselnya yang gembung.
Mereka berpisah. Tidak lama kemudian kedua orang itu tampak oleh tentara Amerika. Pemuda SS itu mencoba kabur dan tewas diberondong senapan. Hartmann kena dua tembakan dan diangkut ke rumah sakit.
Ketika bawaan kedua korban itu diperiksa, ternyata isinya duit melulu. Untungnya sersan yang mengepalai penembakan itu bukan manusia serakah. Semua uang itu dibungkusnya lagi dan dilaporkannya kepada Kapten Henry Miller dari CIC, yaitu suatu unit intel AS.
Hari itu juga Kapten Miller mendapat laporan mengenai banjir duit di S. Traun. Sejam kemudian ia berbicara di telepon dengan Mayor Robert Steven dari badan intel Inggris di London.
Dua puluh empat jam kemudian Mayor Steven melompat ke luar dari jip di luar losmen tempat Miller menginap. Mereka akan melacak uang palsu itu.
Kalau saja anjing penjaga hutan hampir tiga tahunan yang lalu tidak menemukan parasut dan pakaian Steven, keterangan dari Bedeng 10 akan mengungkapkan apa yang terjadi di sana.
Inggris akan membom bedeng itu. Kalau pemboman Bedeng 19 dilakukan, mungkin tidak terjadi banjir duit di S. Traun. Namun CIC dengan cepat bisa mengungkapkan rahasia banjir duit itu.
Rahasia banjir duit
Apa yang terjadi sebenarnya? Ketika itu di Austria ada seorang dokter ahli sejarah Serbo-Kroat. Namanya Dr. Willi Hottl. Orang ini agak misterius. Pada tahun 1945 ia serdadu yang bertugas di Amt VI. Tidak diketahui apakah ia seorang Jerman yang tidak setuju dengan Nazi lalu mencari kesempatan untuk mengadakan perdamaian dengan Sekutu atau Jerman untuk organisasi intel Amerika, yang dikepalai oleh Allen Dulles.
Dr. Hottl bekerja di bawah Dr. Ernst Kaltenbrunner, kepala sekuriti dan wakil Himmler di Austria. Kaltenbrunner dianggap calon tepat untuk mengepalai pertahanan terakhir Nazi di pegunungan Austria Tengah. Namun Dr. Hottl diam-diam mempunyai rencana lain, la ingin mengakhiri perang secepat mungkin dan dengan korban sesedikit mungkin.
Yang membantu Hottl untuk melaksanakan maksudnya ialah Kaltenbrunner teralang datang pada suatu hari yang genting, sehingga para jenderal, pemimpin intel, maupun para pejabat sipil tidak henti-hentinya menelepon meminta perintah yang tidak kunjung tiba. Hottl memanfaatkan hal itu untuk melaksanakan kebijaksanaannya sendiri.
Hari itu seorang letnan SS bernama Hansch dengan khawatir menelepon Hottl. "Saya bertugas mengawal iring-iringan tiga truk. Sebuah truk itu patah asnya dan harus ditinggalkan di Desa Redl-Zipf. Kini sebuah truk lagi patah asnya di tepi S. Traun. Padahal isi truk sangat penting (tidak boleh disebutkan). Apa yang harus saya lakukan?"
Hari itu Dr. Hottl sangat sibuk dan ia ditunggu suatu pertemuan yang sangat mendesak. "Buang saja peti-peti isi truk itu ke S.Traun, Letnan! Lalu suruh anak buah Anda pulang," jawabnya. Pembicaraan telepon ia putuskan. Hansch mematuhi perintah pertama, tetapi tidak bisa mematuhi yang kedua, karena masih harus mengawal satu truk lagi sampai Stasiun Riset AL Jerman. Begitulah asal mulanya maka petani Mittelbach dan para tetangganya kebanjiran duit Inggris.
Pabrik duit dipindah-pindah
CIC dengan cepat menemukan truk no. 2 yang isinya dibuang ke S. Traun dan truk no. 1 yang ditinggalkan di Redl-Zipf. Di truk no. 1 itu ada 23 peti kayu yang berisi uang kertas sebanyak £ 21 juta. Diperkirakan jumlah yang diceburkan ke S. Traun sebanyak itu juga dan yang "terpancing" oleh penduduk cuma sebagian kecil. Truk no. 3 masih dicari.
Steven menemui kapten Jerman yang ditembak bersama-sama pemuda SS, tetapi luput dari maut, di rumah sakit. Kapten Hartmann tidak tahu berapa banyak uang palsu yang dibuat oleh Nazi untuk melemahkan uang Inggris. Uang yang tiba kepadanya ia pakai untuk membeli senjata dari para partisan di Italia dan Yugoslavia.
Steven jadi lemas. Senjata yang mereka sampaikan dengan cara menyabung nyawa pada para partisan ternyata dijual pada Jerman untuk memerangi mereka!
"Siapa otak dari operasi uang palsu itu?" tanyanya. Menurut Hartmann, otak operasi itu ada dua orang. Orang yang bertanggung jawab membuat uang palsu ialah mayor SS bernama Bernhard Kruger. Kruger memberi nama kode "Operation Bernhard" pada kegiatan ini. Ia organisator yang hebat. Orangnya menarik dan disukai semua orang. Tetapi genius yang sesungguhnya di belakang semua itu adalah distributor uang palsu bernama samaran Wendig.
Steven kebetulan tahu bahwa Wendig itu tidak lain daripada Fritz Schwend. Steven beranggapan yang paling penting sekarang ialah menemukan pelat-pelat yang dipakai untuk membuat uang palsu yang hampir sempurna itu.
Hartmann ternyata tahu cukup banyak. Menjelang akhir perang, pabrik duit dipindahkan dari
pinggiran Berlin ke pelbagai gua yang dalam dekat Redl-Zipf.
Para pengusut pun cepat-cepat pergi ke gua-gua itu, tetapi buronan mereka sudah kabur menggondol pelat-pelat dan uang kertas palsu. Yang ditinggalkan cuma potongan-potongan mesin cetak yang berat. Bahkan tanda-tanda pembuatan uang palsu pun sudah dilenyapkan.
Steven berpikir, ia perlu bantuan. Didatangkanlah satu tim pengusut berpengalaman. Di pihak Jerman gagasan membuat uang palsu sebagai senjata perang, datang dari Reinhard Heydrich, ketika itu orang kedua setelah Himmler dalam pimpinan polisi rahasia. Selain Heydrich, tokoh kedua dalam gagasan pemalsuan itu ialah perwira SS bernama Alfred Helmut Naujocks.
Sepintas lalu terkesan bahwa membuat uang palsu merupakan kejahatan yang paling mudah dan aman, tetapi kenyataannya tidak demikian. Juga tidak kalau yang melakukannya suatu bangsa yang teknologinya maju.
Yang paling sulit ialah menemukan kertas yang tepat. Dalam hal ini, Jerman memperolehnya dari salah satu pabrik kertasnya yang paling besar dekat Brunswick. Bahan linen untuk kertas itu diambil dari Turki.
Dari barang rombengan
Celakanya, walaupun bahannya sama dan proses pembuatannya juga sama, hasilnya tidak
kelihatan sama. Tidak seorang pun tahu mengapa. Uang yang asli kelihatan segar berkilat. Uang yang palsu kusam dan "mati". Apakah orang Inggris membubuhkan zat kimia tertentu pada bubur kertasnya?
Para ahli kertas mencari-cari jawaban dari buku-buku Inggris mengenai teknik pembuatan kertas, tapi tidak ada. Akhirnya, ketahuan juga: uang Inggris bukan dibuat dari linen bam, melainkan dari linen bekas. Jadi, unsur yang kurang adalah kotoran!
Kini Jerman mengotorkan bahan pembuat uang itu. Hasilnya memuaskan. Setelah sembilan bulan menyiapkan kertas, pada pertengahan tahun 1940 kertasnya siap. Langkah selanjutnya ialah menemukan pencetak. Tugas itu dibebankan pada August Petrich.
Yang disuruh membuat uang palsu adalah orang-orang Yahudi pilihan dari kamp konsentrasi. Sebagai pencetak uang, orang-orang itu lebih enak hidupnya daripada rekan-rekannya. Cuma saja mereka tidak dibiarkan keluar dalam keadaan hidup, supaya rahasia tidak bocor.
Ternyata pada tiga bulan pertama, tiga perempat uang yang sudah dicetak harus diafkir. Namun kemudian mereka lebih ahli. Sedikit demi sedikit, tetapi secara terus-menerus, dihasilkan uang pecahan £ 5 yang hampir sempurna.
Sampai tahap itu kelihatannya semua berjalan baik. Tahu-tahu Heydrich menjungkalkan Naujocks dari kedudukannya, karena pria itu merekam percakapan antara Heydrich dan pelacur di tempat pelacuran mewah yang dijalankan oleh "Kitty" di dekat Berlin.
Beberapa pejabat tinggi Amt VI juga ikut dipindahkan, termasuk Dr. Willi Hottl, yang telah kita temui pada awal cerita ini. Hottl disingkirkan ke pelosok di Serbia Selatan. Namun, Heydrich pun tewas bulan Mei 1942.
Operasi uang palsu tetap dijalankan. Uang itu perlu diuji.
Semua asli!
Pada musim panas tahun 1942 itu agen Amt VI bernama Rudi Rasch yang berbekal paspor palsu dan koper berisi uang palsu, berhasil menukarkan uang tanpa kesulitan di pelbagai bank Italia dan Swis.
Suatu hari ia pergi ke Vaduz, Liechtenstein. Entah karena terlalu percaya diri, entah karena hal lain, ia menelepon Bank Nasional Swis untuk meminta bank itu agar uang pecahan £ 5 yang tersisa padanya sebanyak 500 lembar diperiksa.
Uang itu dikirim dengan pos tercatat. Bank di Swis itu melaporkan: semuanya asli. Rasch yang enak-enak beristirahat di Hotel Metropole merasa bangga. Ia menelepon lagi. "Coba minta Bank of England memeriksa nomor dan tanggal pengeluarannya," pintanya. Bank of England juga menjawab: asli.
Rasch tidak tahu akibat perbuatannya yang gegabah itu, Bank Zurich merasa curiga karena Rasch meminta mereka mengecek uang kertas £ 5 itu berulang-ulang. Mereka memeriksa lagi dengan lebih teliti.
Empat ratus sembilan puluh empat uang kertas itu memang buatan kemudian, yang luar biasa halusnya. Namun yang enam lagi buatan terdahulu, zaman Naujocks masih berkuasa. Keenam lembar "uang Naujocks"itu dikirim ke London oleh Bank Zurich.
Keesokan malamnya, dua anggota polisi Liechtenstein mendatangi Hotel Metropole dan memberi tahu Rasch bahwa ia ditahan. Kamarnya digeledah dan di sana ditemukan koper penuh frank Swis, lira Italia, dan mark Jerman.
Bank of England menghubungi Scotland Yard. Ketika itu Bank of England tidak risau, karena keenam uang palsu itu kurang baik buatannya. Namun Scotland Yard risau, karena kini diketahui ada dua macam uang £ 5 palsu: yang sangat halus buatannya dan yang buruk. Kedua-duanya dari luar.
Sebulan sebelumnya seorang mata-mata Jerman ditangkap di pantai Skotlandia. Dalam perahu karetnya ditemukan koper penuh uang £ 5. Ketika diperiksa di laboratorium, ketahuan uang itu palsu, tetapi buatannya sangat halus, tidak memperlihatkan kesalahan yang dibuat pemalsu.
Artinya, Jerman berhasil membuat uang palsu yang makin lama makin tidak kentara kepalsuannya. Apa yang terjadi kalau akhirnya mereka berhasil membuat uang palsu yang sama dengan yang asli?
Fritz Schwend, otak penyebaran uang palsu, mendapat laporan bahwa Rasch ditangkap. Ia lantas bertanya,. "Bisakah Liechtenstein yang kecil itu lap supaya tutup mulut?"
Namun Kaltenbrunner mempunyai kebijaksanaan lain. Ia memerintahkan agar semua uang Bernhard yang tersisa dan pelat-pelatnya dimusnahkan. Produksi hams dihentikan.
Rasch anehnya tidak khawatir. Cuma enam lembar dari uangnya palsu, katanya. Mestinya diberi oleh orang yang punya niat buruk kepadanya di Jerman. Kalau ia bersalah, mengapa dia berulang-ulang meminta uangnya diperiksa? Ia dilepaskan dan boleh pergi membawa uang asingnya yang lain. Rasch kembali ke Jerman dengan harapan disambut sebagai pahlawan. Ternyata malah sebaliknya.
Dikerjakan 140 karyawan ahli
Schwend tidak bisa menerima perintah penghentian Operation Bernhard yang menghasilkan begitu banyak uang asli dan barang- barang berharga lain bagi mereka. la berhasil meyakinkan Kaltenbrunner atau lebih tepat menggugah keserakahan Kaltenbrunner akan manfaat Operation Bernhard. Kegiatan itu pun diteruskan, bahkan dipergiat.
Bedeng 19 dirasakan sudah terlalu sempit. Bedeng 20 dikosongkan untuk tempat mesin-mesin baru. Dari 40 orang pekerja, kini mereka menambahnya menjadi 140 orang. Petrich diganti dengan orang yang lebih mampu. Para tahanan merasa bangga bisa menghasilkan karya sehalus uang palsu itu. Mereka selalu berusaha untuk membuat hasil yang lebih baik lagi.
Pada suatu hari, Kruger yang kini sudah ahli betul dalam mencari kekeliruan dalam uang palsu, datang ke bedeng. Kepadanya diserahkan 10 lembar uang, 9 palsu, satu asli. la diminta mencari yang asli.
Kruger yang ahli itu membandingkan uang itu sampai ke hal yang sekecil-kecilnya dan tidak berhasil menentukan mana yang asli. Peristiwa itu dirayakan dengan bir, minuman keras lain, sosis, rokok, dan nyanyian.
"Bisakah kalian menghasilkan sejuta lembar uang kertas yang sempurna sebulan?" tanya Kruger. Semua tahanan menjawab, "Jawohl." Namun, hal itu tidak terlaksana.
Tahanan bernama Oskar Stein menjadi pemegang buku yang mencatat setiap lembaran uang kertas yang keluar. Fayerman bersaudara, bekas bankir di Warsawa, menyeleksi uang. Uang yang digolongkan kelas satu halusnya, dibekalkan pada agen-agen yang beroperasi di negara-negara lawan.
Uang yang tergolong kelas dua untuk membeli senjata dan partisan. Kelas tiga cuma dipakai untuk hal-hal yang tidak begitu penting.
Menantu Mussolini tersandung uang palsu
Menantu Mussolini, Count Ciano yang dibenci Hitler itu, berhasil digulingkan dari kedudukannya berkat uang palsu. Agen Jerman menyogok pelayannya dengan ponsterling palsu, agar melaporkan kata-kata Ciano yang menyinggung mertuanya kepada sang mertua.
Schwend yang terluka di Italia setelah Italia melakukan gencatan senjata dengan Sekutu, menyogok seorang dokter Italia dengan £ 1.000 uang palsu. Sebagai imbalan, dokter itu tutup mulut, merawat lukanya, memberi seragam tentara Italia, dan menaikkannya ke truk penuh tentara Italia yang luka untuk dibawa ke Fiume. Di sana ia menyogok perawat, sehingga bisa kabur sebagai Mayor Wendig.
Agen-agennya disebar di Italia untuk menukarkan senjata dengan uang lembaran £ 5. Uang pon lebih populer daripada uang lira Italia sendiri. Senjata yang diperoleh dari barak-barak di Italia Utara itu bukan cuma bertruk-truk, tetapi bergerbong-gerbong kereta api, sehingga cukup untuk mempersenjatai dua divisi.
Schwend ingin mengirimkan uang ke Afrika Utara, tempat ponsterling bisa ditukarkan dengan dolar dalam perdagangan. Ia menyewa kapal pesiar Columbus. Kapal itu sengaja cuma disewa, bukan dibeli, supaya tetap terdaftar sebagai milik orang lain. Jadi, Columbus bisa berlayar di bawah bendera Swedia dan bisa masuk ke pelabuhan-pelabuhan netral.
Schwend mengubah bagian dalam kapal untuk memungkinkan penyembunyian uang palsu. Uang Bernhard pun mengalir ke luar dan uang dolar, frank, lira, crown, dinar, real, peso, mengalir masuk. Pernah juga Kapten Petersen (nama samaran) menerima uang ponsterling di Barcelona. Dikiranya asli, ternyata uang Bernhard yang pulang kandang!
Schwend yang sama serakahnya dengan atasannya tidak keberatan ketika sang atasan meminta agar bukan cuma lembaran £ 5 yang dipalsukan, tetapi juga lembaran dua puluhan dan lima puluhan. Kruger sebaliknya, sangsi. Tetapi perintah tetap perintah.
Dibuatlah pelat-pelat di Institut Kimia Grafis di Friedenthal. Seorang pengawal bernama Schumann diminta mengambilnya, tetapi ia mampir dulu ke rumah seorang wanita dan menginap di sana. Ternyata koper berisi pelat-pelat berharga yang dibawa Schumann hilang akibat perbuatan itu. Schumann dihukum mati.
Schumann pengawal yang toleran dan tahanan suka kepadanya. Setelah ia diganti, hasil pekerjaan tahanan ternyata tidak sebaik sebelumnya. Entah mengapa.
Sementara itu di Bedeng 19 dan 20, dibuat pula dolar palsu. Bulan Januari 1945 lembaran-lembaran uang ratusan dolar yang pertama sudah berhasil dicetak. Namun, Jerman yang terdesak hams memindahkan percetakannya ke Selatan menuju Austria.
Di Mauthausen 140 penghuni kamp konsentrasi duduk sepanjang hari tanpa pekerjaan. Mereka sudah tidak berguna lagi sekarang. Artinya, hidup mereka pun sudah dekat berakhir. Kemudian Kruger datang untuk mengumumkan kepada tahanan yang setengah beku, setengah kelaparan, dan setengah mati ketakutan itu bahwa mereka akan dipindahkan.
Mereka diangkut dengan kereta api ke Redl-Zipf, yaitu sebuah desa di selatan Linz. Mereka masuk ke lorong-lorong gua tempat mesin-mesin pencetak uang ditaruh. Uang dolar palsu yang tidak keburu diedarkan pun ada di sini. Produksi uang berjalan lagi.
Bulan April Sekutu menyeberangi S. Rhein di Barat. Di Selatan Sekutu bergerak lebih cepat lagi menuju ke Austria Selatan. Berminggu-minggu Letnan Hansch yang mengawal tahanan itu tidak menerima perintah apa-apa. Tahu-tahu Kruger muncul dengan perintah yang rasanya tidak masuk akal. "Hancurkan semua." Para tahanan pun insaf: Operasi Bernhard
sudah berakhir. Ajal mereka sudah dekat.
Maut bagi pencari harta karun
Ketika tentara Amerika makin mendekat lagi, Hansch menghancurkan mesin-mesin dan membakar tumpukan kertas bagus yang bertali air dan juga uang palsu kelas tiga. Dalam waktu tiga jam semua beres. Tetapi Sekutu sangsi pelat-pelat bisa hancur. Ke mana benda itu sekarang?
Lebih dari 60 peti yang penuh dengan uang kertas £ 5 kelas satu ditaruh Hansch di dalam gua. la mencari tiga truk tentara yang dimuatinya masing-masing dengan kira-kira 20 peti, lalu ke suatu tempat tujuan di Austria. Kita sudah tahu nasib ketiga truk berisi uang itu.
Schwend yang menjadi kaya raya akhirnya menyerah pada tentara pendudukan. la membeli kebebasannya dengan hartanya. Tentara AS yang menangkapnya tidak tahu bahwa ia orang penting. Schwend masih memiliki harta lain yang dibawanya kabur ke Amerika Selatan.
Beberapa tahun kemudian wartawan Der Stern berhasil menemuinya di Peru. Kita tahu bahwa truk no. 3 yang memuat peti-peti berisi uang ponsterling palsu berhasil tiba dengan selamat di Stasiun Riset AL Jerman. Di situ truk tersebut menginap semalam. Keesokan harinya semua truk di tempat itu diambil serdadu Amerika.
Namun ke mana 20 peti besar berisi uang palsu itu? Penduduk daerah itu apabila ditanyai selalu memberi keterangan yang saling bertentangan. Tetapi ada keterangan yang bisa diterima: sejumlah peti itu diangkut oleh manusia ke tepi danau, lalu dibawa ke tengah, dan diceburkan ke air.
Sesudah perang usai, pada bulan Maret 1946 dua mayat pendaki gunung ditemukan di kaki batu karang yang hampir vertikal di tepi Danau Toplitz. Tadinya dikira kecelakaan biasa. Kemudian timbul pertanyaan: Betulkah demikian? Soalnya, terungkap bahwa mereka berdua dulu bekerja di stasiun riset dan ada orang ketiga tampak bersama mereka.
Bulan Agustus 1950 seorang pria bernama Gerkens jatuh dari Reichenstein di tepi timur Danau Toplitz. Temannya, Dr. Keller, berhasil diselamatkan, tetapi tidak bisa memberi keterangan yang meyakinkan mengapa Gerkens yang tidak punya pengalaman naik gunung bisa berada di sana. Kedua orang itu pun pernah bekerja di stasiun riset.
Lalu terjadi lagi kecelakaan akibat badai salju yang menimpa dua dari tiga orang turis yang mendatangi tempat itu. Turis yang selamat tidak bisa menceritakan ke mana dua temannya yang katanya lenyap. Berbulan-bulan kemudian dua orang itu ditemukan dalam semacam gubuk es, tetapi sudah menjadi mayat.
Seorang di antaranya dimakan teman yang kelaparan, karena dekat mereka bertumpuk makanan. Apakah mereka berebut peta dan yang seorang menelan peta tempat harta karun tergambar, sehingga temannya yang serakah membedah perutnya? Kemudian terjadi kecelakaan pesawat kecil di tempat itu. Pilotnya tewas. Untuk apa pilot itu ke sana?
Wartawan Der Stern Wolfgang Lohde juga bertanya-tanya mengapa Dr. Determann, mantan kepala Stasiun Riset AL Jerman, sering berada di Danau Toplitz.
Lohde ingat, AL Amerika pernah kehilangan seorang penyelam dalam usaha membuktikan bahwa 20 peti dari truk Letnan Hansch benar-benar diceburkan ke danau. Lohde dengan uang dan peralatan yang diberikan oleh majalahnya kemudian mengadakan operasi pencarian harta karun.
Tanggal 13 Juli 1959 untuk pertama kalinya sebuah peti berhasil dikail. Ketika tiba di permukaan air, tutupnya lepas dan dari dalamnya berhamburan uang £ 5. Peristiwa itu diabadikan dengan berani oleh awak televisi.
Peti demi peti diangkat. Uang palsu itu segera diserahkan pada Bank of England dan Scotland Yard untuk dimusnahkan. Ternyata setiap peti diberati dengan jangkar dan ditenggelamkan, bukan untuk dimusnahkan, tetapi untuk disimpan dengan hati-hati dan beraturan letaknya. Tentu dengan harapan sekali waktu akan diangkat lagi.
(Michael Gilbert)
" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309345/harta-karun-di-dasar-danau" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654280243000) } } [6]=> object(stdClass)#105 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246989" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#106 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/21/9_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220421060226.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#107 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Awalnya hanya seorang sopir, lalu menjadi penyaji makanan dan minuman. Di kemudian hari, segenap rahasia pemerintah Inggris di Turki bocor." ["section"]=> object(stdClass)#108 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/21/9_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220421060226.jpg" ["title"]=> string(21) "Sang Pelayan Perlente" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:54:58" ["content"]=> string(22265) "
Intisari Plus - Awalnya hanya seorang sopir, lalu menjadi penyaji makanan dan minuman. Di kemudian hari, segenap rahasia pemerintah Inggris di Turki bocor ke pihak Jerman. Atasannya menuliskan ke dalam sebuah buku, yang kemudian menjadi titik pijak film Hollywood.
---------------------------------------
Ludwig Moyzisch bukanlah orang yang menawan. Suatu malam, ketika sedang tidur lelap, dia dibangunkan dan dipanggil untuk segera menuju ke rumah Sekretaris Pertama Kedutaan Jerman di Ankara, Turki. Di tengah malam seperti ini, seberapa pentingkah urusannya?
Saat itu, Oktober 1943. Eropa terlibat dalam Perang Dunia II. Turki yang merupakan wilayah netral berada dalam posisi yang tidak nyaman, di antara negara Eropa yang dikuasai Nazi dan Soviet Rusia yang penuh mata-mata. Moyzisch, anggota Dinas Rahasia Jerman, SD (Sicherheitsdienst), adalah salah satu mata-matanya. Dia menyamar sebagai perwakilan dagang kedutaan Jerman, dan dia sering diminta untuk melakukan hal-hal aneh, yang tidak diharapkan dan pada waktu-waktu yang tidak biasa.
Walaupun begitu, dia semakin merasa jengkel ketika sampai di rumah tersebut, Sekretaris Kedutaan sendiri sudah tidur. Hanya istrinya yang menyambut Moyzich di pintu depan.
"Ada orang dengan sikap yang aneh di sana," katanya sambil menunjuk ke ruang gambar. Dia punya sesuatu untuk dijual pada kita."
Wanita itu juga segera menuju ke tempat tidurnya sambil berpesan untuk menutup pintu ketika dia pergi nanti.
Dengan kejengkelan yang semakin memuncak, Moyzisch berjalan dengan cepat menuju ke ruang gambar. Dia ingin menyingkirkan tamu itu segera. Matanya melihat kekacauan di sekeliling ruangan, dia juga memperhatikan hiasan-hiasan di dalam ruangan itu, sampai beberapa saat kemudian dia melihat sosok yang pucat dalam kegelapan, duduk diam tak bergerak di sofa, wajahnya tertutup bayangan. Sesuatu dalam diri lelaki ini memunculkan kecurigaan Moyzisch. Emosinya diturunkan dan dia mulai berkonsentrasi untuk menjernihkan pikiran.
Tamu itu berdiri. Dia kecil dan pendek, dengan rambut hitam yang tebal, serta dahi yang lebar. Moyzisch kemudian menyebut wajahnya sebagai "orang yang biasa menyembunyikan perasaannya", tapi saat ini, sorotan matanya yang kelam terlihat mencoba menutupi kegelisahan.
Orang itu berjalan ke arah pintu, dan tiba-tiba menyentakkan daun pintunya keluar, melihat apakah ada seseorang yang bersembunyi di belakangnya. Kemarahan Moyzisch muncul kembali. Dia adalah seorang mata-mata, bukan salah satu dari Marx Bersaudara, dan ini bukanlah film picisan. Tapi dia tetap diam, dan membiarkan tamu itu memulai pembicaraan.
"Aku punya tawaran untukmu," orang itu mulai berbicara dengan logat Prancis yang lancar namun berat. "Tapi pertama-tama aku ingin jaminan bahwa yang kukatakan saat ini tidak akan sampai pada orang lain ataupun atasanmu. Jika kau mengkhianati aku, hidupmu akan kehilangan arti seperti hidupku. Dan mungkin aku akan mempertimbangkan untuk melakukan ini sebagai pilihan terakhir," kata pria itu sambil meniru gerakan menggorok leher dengan tangannya.
Moyzisch memandang lelaki itu dengan dingin. Dia tidak ingin menanggapi ancaman itu dengan serius. Tapi dia adalah seorang mata-mata profesional, dan dia dilatih untuk melihat dan menunggu apa lagi yang akan dikatakan oleh orang asing itu. Ini sangat menarik...
"Aku dapat mengirimkan foto-foto yang berisi informasi rahasia untukmu—informasi yang sangat —dari Kedutaan Besar Inggris. Tapi jika kau menginginkannya, kau harus memberikan bayaran yang sangat besar. Aku mengorbankan diriku untukmu, jadi aku juga memi harga yang senilai dengan pengorbananku."
Moyzisch angkat bicara untuk pertama kalinya. "Berapa jumlah yang Anda inginkan?"
"Aku ingin £20.000 sterling—tunai."
Moyzisch membuka topengnya, dia tidak tahan untuk mencemooh. "Itu sangat tidak mungkin," katanya. "Barang apakah di dunia ini yang senilai dengan uang sebesar itu?"
Pada 1943, uang sebanyak itu bisa membuat orang sungguh-sungguh kaya.
"Well, silakan kau pertimbangkan," kata orang asing itu, "Aku akan memberikan waktu tiga hari untuk memutuskan, lalu aku akan meneleponmu di Kedutaan Jerman dan menyebut diriku sebagai Pierre. Aku akan menanyakan apakah kau punya surat untukku. Jika jawabannya 'ya", aku akan datang dan menemuimu. Jika 'tidak', maka kau tidak akan mendengar apapun dariku. Jika kau tidak tertarik, ada banyak pihak lain yang pasti menginginkannya."
Ada sesuatu dalam diri orang ini yang membuat Moyzisch ragu untuk mengabaikannya. Dia hampir yakin orang ini akan membawa informasi rahasia itu ke Kedutaan Soviet di Ankara jika pihak Jerman menolaknya, dan dia melakukan itu sungguh hanya untuk urusan bisnis. Moyzisch menyetujui rencana yang diajukan dan lelaki itu bersiap pergi. Begitu sampai di pintu, dia berbalik dan tersenyum licik. "Aku bertaruh, kau pasti sedang berpikir siapakah aku ini. Well, aku akan memberitahu. Aku adalah pelayan Duta Besar Inggris.
Sebelum Moyzisch sempat berkata-kata, pintu dihempaskan dan orang asing itu menghilang.
Pagi berikutnya, Moyzisch berencana menemui Duta Besar Jerman, Franz von Papen. Jumlah uang yang diminta orang itu sangat besar, sehingga mereka memerlukan izin langsung dari Sekretaris Luar Negeri Jerman, Joachim von Ribbentrop. Mereka yakin dia akan menolak, tapi surat balasan datang dan ternyata tawaran itu diterima. Kurir khusus akan dikirimkan untuk membawa uang itu dari Berlin.
Moyzisch memberikan nama pada orang asing itu—Cicero, seperti nama seorang orator terkenal Romawi—dan membuat persiapan untuk menyambut kedatangannya. Sudah dapat dipastikan, telepon dari "Pierre" akhirnya datang, dan mereka membuat janji untuk bertemu di kedutaan pada pukul 22.00 malam itu.
Moyzisch sudah mempersiapkan segalanya. Dia menyiapkan sebuah kamar gelap, lengkap dengan teknisi fotografi, sehingga dia dapat memeriksa film-film tersebut saat itu juga. Orang asing itu datang tepat pada waktunya, dan keduanya mulai mencoba melakukan pertukaran, dengan masih disertai rasa saling curiga. Cicero menginginkan uangnya terlebih dahulu, kemudian baru dia akan menyerahkan film. Sementara Moyzisch ingin filmnya diperiksa dulu apakah benar-benar asli, baru dia akan menyerahkan uang. Mereka melakukan kompromi. Moyzisch menghitung uang sebesar £20.000 di depan Cicero, kemudian mengembalikan ke tempatnya dan membawa film tersebut ke kamar gelap.
Hasilnya sangat spektakuler. Dokumen sangat rahasia yang tidak diragukan keasliannya, lengkap dengan tanggalnya. Cicero mendapatkan uangnya, dan rencana selanjutnya dibuat, di mana pihak Jerman akan membayarnya £15.000 untuk setiap informasi yang diantarkan. Jumlah uang yang diberikan memang cukup besar, tapi informasi yang diberikan memang sangat luar biasa.
Pada malam yang lain, Cicero datang lagi membawa lebih banyak film. Ketika dia ingin pulang, dia meminta Moyzisch untuk mengantarkannya kembali ke Kedutaan Besar Inggris, Pihak Jerman menjadi heran.
"Kenapa tidak?" kata Cicero dengan tenang. "Di sanalah aku tinggal."
Film-film berikutnya terus menyusul, masing-masing mengungkapkan dokumen-dokumen yang berisi informasi sensitif. Pihak Jerman tidak bisa percaya begitu saja dengan keberuntungannya. Cara Cicero memperoleh dokumen rahasia itu tampak terlalu mudah, dan mereka menyangka dia tengah mempermainkan mereka, memberikan informasi-informasi palsu untuk membingungkan dan menyesatkan pihak Dinas Rahasia Jerman.
Moyzisch diperintahkan untuk mengungkapkan semua hal tentang penghubung mereka di Kedutaan Inggris, dan kemudian membuat gambaran tentang Cicero. Nama sebenar nya adalah Eleyza Bazna. Dia adalah seorang Albania yang memutuskan untuk pergi ke Turki dan menetap di Ankara. Di situ dia mendapat pekerjaan sebagai sopir, kemudian menjadi pelayan yang menyajikan makanan dan minuman, lalu akhirnya menjadi pelayan untuk diplomat-diplomat tingkat tinggi. Dia pernah bekerja untuk Duta Besar Yugoslavia dan diplomat Jerman yang memecatnya karena ketahuan telah membaca surat-surat mereka. Akhirnya, dia menemukan pekerjaan di Kedutaan Besar Inggris sebagai pelayan para pejabat tinggi di sana.
Bazna mengerjakan tugasnya dengan sangat baik Di rendah hati, mampu melakukan tugasnya dengan efisien, dan memiliki kemampuan khusus untuk menebak apa yang diinginkan tuannya. Dia juga sangat pandai, mampu berbicara dalam berbagai bahasa asing dengan lancar. Ketika posisi pelayan di kediaman Duta Besar Sir Hughe Knatchbull Hugeson kosong, Bazna mendapatkan pekerjaan itu.
Apa yang tidak diketahui oleh Sir Hughe adalah bahwa pelayan barunya memiliki beberapa ketertarikan. Yang pertama adalah fotografi, yang kedua adalah Mara, pelayan wanita di kedutaan, dan yang ketiga adalah mengintip file-file rahasia kedutaan. Ketika Bazna mengetahui betapa mudahnya melakukan semua itu, dia semakin bersemangat
Bazna mengetahui bahwa bos barunya adalah seorang dengan kebiasaan hidup yang teratur. Segala hal dalam kehidupan Sir Hughe berjalan seperti mesin waktu. Dia mandi di pagi dan sore hari, bermain piano setelah makan siang, dan makan pada waktu yang sama setiap hari. Ketika dia keluar dengan Rolls-Royce ungunya, Bazna mengetahui dengan pasti kapan bosnya pergi dan kembali
Kebiasaan lain Sir Hughe yang sangat mengakomodasi keinginan Bazna adalah dia suka membaca dokumen-dokumen yang sangat rahasia di kediamannya, dan menyimpannya di situ.
Pada suatu sore, ketika Sir Hughe sedang mandi, Bazna masuk ke dalam ruang tidur, dengan alasan meletakkan pakaian tidur tuannya, lalu membuat cetakan kunci tempat penyimpanan dokumen dari lilin. Du kemudian membuat tiruan kunci itu dengan bantuan temannya. Setelah itu, semua dokumen yang disimpan Sir Hughe di tempat penyimpanan dokumen itu dibaca oleh pelayannya.
Rutinitas itu memang sempurna! Dan semakin banyak Bazna membaca dokumen-dokumen itu, dia semakin nekat untuk mendapatkannya. Pada suatu kesempatan, setelah Sir Hughe diberi pil tidur, Bazna bahkan membaca dan memfoto surat-surat rahasia itu di meja yang berada tepat di sisi tempat tidur.
Betapa hebat semua rahasia itu! Rencana serangan udara dari Turki melawan sekutu Nazi, Rumania... Rincian pertemuan antara Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan pemimpin Soviet Joseph Stalin... dan yang terhebat di antara semuanya untuk pihak Jerman adalah Bazna menyampaikan berita penyerangan pihak sekutu Eropa berikutnya dari Inggris ke Prancis. Bazna bahkan memberikan pada pihak Nazi kode penyerangan itu "Operasi Overlord".
Tapi anehnya, pihak Nazi masih melihat bahwa bebes informasi itu tampak terlalu 'hebat'. Meskipun mereka tetap menganggap Bazna tidak berbohong, mereka mengatakan bahwa informasi yang disampaikannya palsu—sengaja disisipkan oleh pihak intelijen Inggris agar ditemukan oleh Bazna dan diteruskan pada pihak Jerman.
Bazna tidak terlalu peduli dengan yang dilakukan Jerman terhadap informasinya, apalagi dengan apa yang mereka pikirkan tentang informasi itu —asalkan, uangnya terus mengalir dan menumpuk. Dia tidak perlu berusaha keras untuk menyembunyikannya, dia hanya perlu menyimpan di bawah karpet kamar tidurnya.
Tapi, seperti biasa, ketika orang sedang berlimpah harta, mereka lupa menyimpan sebagian hartanya untuk persiapan jika keadaan tidak sebaik sekarang. Bazna mulai berfoya-foya dengan uangnya. Dia menyewa sebuah pondok penginapan di luar kota lengkap dengan peralatan modern. Satu hal mengkhawatirkan yang melanggar asas kerahasiaan adalah dia menyebut pondok itu dengan "Villa Cicero"—sesuai dengan nama kode jermannya, bahkan dia memasang plakatnya di pintu. Dia dan teman wanitanya, Mara, menjadi pelanggan tetap ABC Store di Ataturk Boulevard, toko paling bergengsi di seluruh Turki. Pakaian dan perhiasan mereka bisa membuat malu para tokoh masyarakat kelas atas
Moyzisch mulai terganggu dengan cara Bazna memamerkan kekayaannya, terutama ketika dia mulai memakai jam tangan emas. Bahkan Mara, yang memercayai bahwa dia bekerja untuk Turki, mulai mengejeknya.
"Orang mulai bertanya-tanya bagaimana kita mampu membeli baju-baju yang indah ini. Bagaimanapun kau tetaplah seorang pelayan."
"Jangan khawatir," dia tersenyum pada Mara. "Mereka semua terlalu bodoh."
Tapi orang-orang itu tidak bodoh.Anehnya, pihak Turki lah yang pertama kali memperhatikan Bazna. Mereka mengambil posisi netral dalam perang. Ketika konflik semakin meluas, mereka mulai bertanya-tanya pihak mana yang paling cocok dengan kepentingan mereka untuk didukung, Suatu malam, setelah Bazna menyerahkan film ke Kedutaan Jerman, dan Moyzisch mengantarkannya pulang, mereka menyadari ada sebuah mobil hitam yang mengikuti mereka. Ketika Moyzisch memperlambat mobilnya, mereka juga melambat, ketika kecepatan d naikkan, mereka juga mempercepat laju kendaraannya. Setelah lelah mempermainkan mereka, Moyzich menginjak pedal gas dan dengan kecepatan penuh melintasi bulevar Ankara dengan kecepatan 190 km/jam.
Di akhir minggu itu, Moyzisch menabrak mobil seorang pejabat Turki.
"Hei, bung!" kata orang Turki itu. "Anda benar-benar pengemudi yang ceroboh. Anda harus lebih berhati-hati terutama di malam hari."
Ini adalah sebuah peringatan, karir Bazna sebagai mata mata hampir berakhir.
Tanda-tanda bahaya terus mengikuti. Di Kedutaan Besar Inggris, satu tim ahli keamanan datang untuk memasang sistem keamanan dokumen-dokumen rahasia milik duta besar. Tapi Bazna mendengar Sir Hughe mendiskusikan sistem itu bersama dengan salah satu anggota tim, dan mencoba cara untuk melewati sistem tersebut.
Rahasia itu terus mengalir dari Kedutaan Inggris ke pihak Jerman, tapi Bazna sedang mempertimbangkan untuk membuka rahasianya pada seorang mata-mata yang jauh lebih berani darinya, untuk meneruskan tugasnya. Di Kementerian Luar Negeri Jerman bekerja seorang bernama Fritz Kolbe, seorang Jerman yang membenci Nari. Kolbe memiliki akses langsung ke semua bahan rahasia yang disuplai oleh Cicero pada pihak Jerman di Ankara, dan dia mendapat perhatian dari Amerika. Pihak Amerika mengatakan pada Inggris bahwa mereka pasti memiliki seorang mata-mata yang lepas dari pengawasan di dalam lingkungan kedutaan mereka.
Tapi pihak intelijen Inggris tidak dapat menemukan identitas Cicero. Rahasianya justru terungkap dari dalam Kedutaan Jerman. Moyzisch memiliki seorang sekretaris yang sangat tidak cakap dan selalu berwajah muram bernama Nellie Kapp. Berambut pirang, perempuan berusia 20 tahun itu selalu mencibir serta menggerutu selama bekerja. Dia juga sangat malas, Moyzisch sangat ingin memecatnya—satu satunya alasan kenapa dia tidak melakukannya adalah karena ayahnya seorang diplomat Jerman tingkat tinggi.
Yang mengherankan, Nellie, dengan segala kesalahannya, menunjukkan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang dikerjakan Moyzisch. Alasannya adalah karena dia juga seorang mata-mata. Dia bekerja untuk American Office for Strategic Service (OSS) dan dia memiliki kunci brankas Moyzisch. Dia juga membuat foto semua dokumen yang melaluinya. Tidak lama kemudian, dia mempunyai ide bag bahwa Cicero adalah Eleyza Bazna.
Di akhir Maret 1944, Nellie telah menyelesaikan tugasnya, dan memutuskan bahwa ini adalah saat untuk melarikan diri. Bagaimanapun jika staf Kedutaan Jerman mengetahui kalau dia sudah memata-matai mereka, dia akan disiksa dan kemudian ditembak. Nellie kemudian memotong rambut nya, dicat warna hitam, lalu menumpang pesawat keluar dan Turki, Sementara itu Dinas Rahasia Inggris membuat jebakan, karena tidak terlalu yakin dengan kemampuan orang-orang mereka. Suatu malam, seorang petugas keamanan Inggris, Sir John Dashwood, duduk diam di kantor Sir Hughe dengan segelas wiski. Dia mematikan lampu dan menunggu. Tidak lama kemudian, pintu dibuka, dan lampu dinyalakan. Di ujung pintu berdiri Bazna, dengan kunci di tangan. Kedua laki-laki itu saling memandang. Tidak ada sepatah kata pun terucap. Bazna membalik badannya dan pergi. Semua sudah berakhir.
Bazna tidak dapat ditahan, karena dia tidak melanggar satu pun hukum Turki. Setelah mendengarkan kemarahan Sir Hughe yang amat sangat, Bazna mengumpulkan semua harta miliknya, termasuk semua uang yang ada di bawah karpetnya. Dia kemudian meninggalkan kedutaan untuk selamanya, dan berdiam di wilayah yang lebih eksklusif di Ankara.
Sementara itu, datanglah saat-saat yang tidak menyenangkan bagi Moyzisch. Sekretarisnya menghilang secara mencurigakan, dan sekarang rahasia agen terbaiknya telah terbongkar. Pimpinannya di Berlin tentu saja sangat tidak suka, dan mengirimkan telegram yang memintanya untuk segera kembali ke Jerman. Moyzisch mengkhawatirkan hidupnya. Untuk mengulur waktu, dia mengirimkan telegram balasan yang mengatakan bahwa dia sedang sakit, sehingga tidak dapat melakukan perjalanan. Tidak lama kemudian, dia menerima telepon di rumahnya.
"Saya menghubungi Anda atas nama Inggris," terdengar sebuah suara yang misterius. "Jika Anda kembali ke Jerman, Anda akan ditembak. Datanglah pada kami, selamatkan dirimu."
Ini adalah sebuah dilema. Moyzisch enggan meng khianati negaranya. Dia adalah seorang yang loyal terhadap Nazi, bahkan sudah bergabung dengan partai ini sebelum Hitler berkuasa. Sekarang, dia tetap percaya pada paham yang dianut Nazi. Untunglah, dia tidak harus mengambil keputusan, karena tidak lama kemudian negara-negara sekutu betul-betul menyerang Prancis, seperti yang diprediksi Cicero, dan perang tidak berpihak pada Jerman. Pihak Turki melihatnya sebagai petunjuk untuk bergabung dengan negara sekutu. Semua diplomat Jerman, termasuk Moyzisch, ditangkap dan ditahan hingga akhir masa perang.
Kelanjutannya
Bazna sangat puas dengan hidupnya. Dia tetap hidup, dan sangat kaya. Dia pergi ke Portugal, membawa £300,000 bersamanya, kemudian ke Amerika Selatan. Tapi di sinilah jalan hidupnya berubah. Seorang bankir datang ke vila mewah yang disewa Bazna, dan mengatakan padanya bahwa semua uang kertasnya palsu.
Bazna menerima berita itu dengan tenang. Menyadari dirinya telah ditipu pihak Jerman, dia bahkan tertawa keras. Jerman memutuskan bahwa informasi yang diberikan Bazna tidak berguna, dan mereka tidak akan membayarnya dengan uang asli. Tapi yang terjadi kemudian jauh dari sebuah guyonan yang layak ditertawakan, khususnya bagi Bazna. Dia ditangkap dan dikirim ke penjara dengan dakwaan memalsu uang. Setelah dibebaskan, dia menuju ke Jerman dan meminta pada pemerintah Jerman Barat untuk memberikan kompensasi atas 'kerugiannya'. Tidaklah mengejutkan, permintaannya ditolak. Dia meninggal dunia dalam kesepian dan miskin di Istanbul, pada 1971.
Nasib Ludwig Moyzisch lebih baik setelah perang. Dia memberikan bukti-bukti dalam pengadilan penjahat perang Nazi di Nuremberg, dan kemudian kembali menjalani kehidupan sipil di Austria. Di sana dia melakukan pekerjaan samarannya di kedutaan dalam kehidupan nyata—menjadi manajer ekspor untuk perusahaan tekstil. Dia menulis sebuah buku berjudul Operation Cicero yang berkisah tentang aktivitas spionasenya, yang kemudian dibuat menjadi film berjudul Five Fingers, yang dibintangi James Mason.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246989/sang-pelayan-perlente" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650819298000) } } [7]=> object(stdClass)#109 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246667" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#110 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/5_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420081533.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#111 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Yang satu agen Inggris yang canggung, satunya tampak senantiasa murung. Keduanya bertugas menghabisi Hitler dan Gestapo Nazi yang sangat kejam." ["section"]=> object(stdClass)#112 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/5_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420081533.jpg" ["title"]=> string(20) "Penangkapan di Venlo" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:43:57" ["content"]=> string(17215) "
Intisari Plus - Yang satu agen Inggris yang canggung, satunya tampak senantiasa murung. Keduanya bertugas menghabisi Hitler dan Gestapo Nazi yang sangat kejam.
---------------------------------------
Saat itu, 21 Oktober 1939, Perang Dunia II baru saja mulai. Di Zutphen, sebuah kota di Belanda, hujan turun mengetuk-ngetuk atap sebuah limosin Buick. Di belakang stir, Sigismund Best menyesuaikan posisi kaca spion dan melirik lewat kaca jendela mobilnya. Tiba-tiba mobil lain datang. Seorang pria melompat. Best memiringkan tubuhnya untuk membuka pintu dan pria itu duduk di sebelahnya. Suara limousin itu menderu dan mulai berjalan, wiper-nya bergerak ke kiri dan ke kanan.
Best terlihat seperti tipe gentleman Inggris. Tubuhnya tinggi, dengan sikap seorang aristokrat, dia menggunakan spat (kain yang dahulu digunakan oleh para pria di atas sepatu, untuk menutupi pergelangan kaki, dengan kancing di sisinya dan dikaitkan di bawah sepatu), dia bahkan menggunakan monocle (alat yang berfungsi seperti kacamata tapi hanya untuk satu mata). Tapi itu semua adalah tipu daya. Best sebenarnya separuh berdarah India. Dia juga seorang mata-mata. Dia tinggal di Belanda dengan seorang istri Belanda, dan menjalankan bisnis kecil-kecilan meng sepeda, tapi sebenarnya dia adalah anggota cabang Z—kelompok independen yang dibentuk sebagai bagian dari Dinas Intelijen Khusus Inggris (Special Intelligence Service—SIS).
Rasa percaya diri Best sangatlah mengesankan. Dia dapat berbicara dalam empat bahasa, dan selama Perang Dunia dia berhasil membuat jaringan mata-mata yang sukses di belakang garis musuh. Saat ini dia sedang mencoba membuat kontak dengan seorang Jerman yang kecewa dan ingin melawan Hitler dan Nazi. Sejauh yang dapat dia sampaikan, segala sesuatu berjalan dengan baik.
Best telah dihubungi beberapa minggu yang lalu oleh salah seorang agennya, seorang pengungsi yang melarikan diri dari penyiksaan di Jerman. Orang ini mengenal banyak pegawai tingkat tinggi dalam ketentaraan Jerman dan dia telah meyakinkan Best bahwa di sana ada banyak orang yang diam-diam tidak suka pada Hitler. Orang-orang ini tengah membangun kekuatan untuk melakukan gerakan perlawanan. Best telah menyelidiki secara mendalam dan dia dapatkan nama seorang tentara yang juga terlibat dengan gerakan perlawanan tersebut—Hauptmann Schaemell. Orang inilah yang sekarang duduk bersamanya di dalam mobil.
Best fasih berbahasa Jerman, dan dua orang ini bercakap-cakap dalam bahasa Jerman tentang musik klasik sepanjang perjalanan di luar kota. Di Arnhem, mereka menjemput dua orang kolega Best, seorang tentara Inggris bernama Mayor Seven dan seorang tentara Belanda bernama Kapten Klop. Meskipun Belanda mengambil sikap netral saat itu, Klop membantu pihak Inggris. Dia ingin merahasiakan kebangsaannya, jadi dia berpura-pura menjadi seorang Kanada dan menggunakan nama Coppens. Itu adalah nama samaran yang sangat meyakinkan. Klop pernah tinggal beberapa tahun di Kanada, dan negara itu adalah sekutu Inggris.
Best terus mengendarai mobil itu. Schaemell, pikirnya, sebuah tangkapan yang bagus. Selama dalam perjalanan, orang Jerman itu membuat daftar tentara yang sangat ingin melihat kejatuhan Hitler dan menandai nama seorang jenderal penting yang dipersiapkan untuk memimpin perlawanan. Schaemell berjanji membawa jenderal itu dalam pertemuan mereka berikutnya, yang akan diadakan pada 30 Oktober.
Yang tidak diketahui Best adalah bahwa pihak Jerman sudah selangkah lebih maju darinya. Pengungsi yang memperkenalkannya pada Schaemell sebenarnya adalah seorang mata-mata Jerman—Franz Fischer namanya. Informasi tentang gerakan perlawanan yang didengar Best sebenarnya tidak ada. Bahkan Schaemell sendiri juga ada. Dia sebenarnya adalah Walter Schellenberg—29 tahun bekas pengacara yang sekarang memimpin Dinas Intel Luar Negeri Jerman. Selain memata-matai Best, dia juga ingin menghabisinya.
Rencana Schellenberg sangatlah sederhana. Setelah minggu depan, dia ingin membuat agen Inggris dan Belanda merasa aman, dengan berpura-pura menjadi teman kerjasama Dia kemudian akan memikat mereka dalam pertemuan yang akan memudahkannya menembus SIS dan mengetahui bagaimana operasi mereka.
Pertama-tama Schellenberg harus meyakinkan Best bahwa dia sungguh-sungguh bekerja melawan Nazı. Ketika dia kembali ke Belanda dari Jerman pada 30 Oktober, dia membawa dua orang teman tentaranya. Salah satunya berambut perak, dengan ketampanan model lama yang membuatnya seolah-olah seperti seorang aristokrat yang merasa kecewa dan menunggu waktu untuk menjatuhkan Nazi. Itu memang penyamaran yang masuk akal—banyak orang dari kalangan atas Jerman yang memandang Hitler sebagai orang biasa yang baru saja menjadi kaya.
Mereka menyeberang perbatasan, menuju Arnhem, tempat yang disetujui Best untuk pertemuan mereka. Tapi Best tidak ada di sana. Mereka menunggu. Setelah tiga per empat jam, ketika mereka mulai berpikir untuk pergi, mereka melihat dua bayangan mendekati mobil mereka. Tapi mereka bukanlah agen Inggris yang mereka tunggu. Mereka adalah petugas kepolisian Belanda. Mereka masuk ke dalam mobil Schellenberg dan dengan kasar memerintahkan untuk berjalan menuju ke kantor polisi.
Ini sama sekali bukan rencana Schellenberg. Dia bermaksud menipu mereka, tapi sekarang tampaknya mereka justru menangkapnya. Kepala Dinas Intelijen Luar Negeri tentu sangat berharga.
Di kantor polisi, Schellenberg dan teman-teman tentara nya diperiksa dengan teliti. Pakaian dan barang-barang mereka diperiksa dari atas sampai bawah. Di dalam saku tas salah satu teman Schellenberg yang terbuka dan siap diperk terdapat sekantung kecil aspirin. Sayangnya, itu bukan aspirin biasa. Aspirin itu adalah tipe khusus yang dikeluarkan untuk SS (schutzstaffel), korps militer elite Nazi, dan berlabel SS Sanitaetschauptamt (obat dinas utama khusus untuk SS) Ketika Schellenberg melihat pil-pil itu, wajahnya pucat pasi.
Schellenberg berpikir cepat, dia melihat ke sekeliling ruangan. Beruntunglah dia, karena petugas polisi yang memeriksa barang-barang sedang sibuk dengan tas lainnya. Dengan tangkas Schellenberg mengambil bungkusan aspirin itu dan menelan semuanya bersama dengan bungkusnya. Rasa pahit masih terasa di mulutnya ketika terdengar ketukan di pintu. Yang datang adalah Klop alias Coppens, teman agen Best. Schellenberg hanya dapat mengkhawatirkan hal terburuk yang akan datang.
Ternyata Klop datang untuk menyelamatkan mereka. Dia meminta maaf yang sedalam-dalamnya untuk ketidaknyamanan yang harus mereka rasakan. Dia meyakinkan mereka bahwa itu semua terjadi karena kesalahpahaman. Tapi Schellenberg tidak bodoh. Dia sangat mengerti apa yang sedang terjadi. Pihak Inggris dan Belanda masih mencurigai mereka, dan yang baru saja terjadi adalah sebuah ujian untuk mengungkapkan siapa sebenarnya mereka. Jika polisi berhasil menemukan sesuatu yang mencurigakan, seperti aspirin SS, mereka akan ditahan.
Schellenberg sangat beruntung. Kertas perak pembungkus aspirin mencegah penyerapan obat itu dalam perutnya, yang jika terjadi dapat merusak tubuhnya.
Sejak saat itu, semua berjalan mulus bagi pihak Jerman. Mereka menuju ke markas besar SIS di Hague, dan dijamu dengan minuman anggur dan makan malam secara mewah. Hari berikutnya, Schellenberg dan teman-temannya diberi sebuah radio set dan nama panggilan. Mereka diminta untuk terus berhubungan melalui radio itu, dan pertemuan berikutnya akan segera diatur. Mereka saling berjabat tangan dan segera kembali ke perbatasan Jerman.
Setelah beberapa minggu, Schellenberg melakukan kontak harian dengan kelompok Best. Dua pertemuan berikutnya dijalankan, dan dia sekarang sangat yakin bahwa mereka menerimanya secara penuh.
Tapi kemudian hal yang tidak diharapkan terjadi. Gangguan itu tidak lain datang dari Heinrich Himmler kepala SS. Ada sebuah rencana pembunuhan yang ditujukan untuk Hitler—sebuah bom meledak tidak lama setelah dia meninggalkan sebuah perayaan di Munich. Hitler yakin bahwa SIS ada di balik rencana itu, dan meminta agar Best dan teman-temannya segera ditangkap.
Schellenberg memprotes keras. Ini dapat merusak rencana yang sudah dipikirkannya dengan hati-hati.
"Pihak Inggris sudah dapat kita bodohi," dia berdalih. "Coba pikirkan, berapa banyak informasi yang dapat aku pancing keluar dari mereka."
Tapi Himmler berucap pendek, "Sekarang, dengarkan aku. Tidak ada tetapi, yang ada hanya perintah Fuhrer—yang akan kau kerjakan."
Jadi, itulah yang terjadi.
Karena tidak ada pilihan, Schellenberg membuat rencana. Dia sudah menyusun agenda pertemuan berikutnya dengan pihak Inggris—di Venlo, sebuah kota kecil di perbatasan Belanda-Jerman. Dia sekarang menghubungi Alfred Naujocks dari SS dan membentuk satu pasukan yang terdiri dari 12 anggota SS untuk bergabung dengannya. Schellenberg memberi penjelasan singkat dan segera menuju perbatasan dengan orang-orang tersebut.
Naujocks berkarakter kejam, yang dikenal sebagai "orang yang memulai Perang Dunia II". Dua bulan sebelumnya, dia dan satu pasukan yang berisi orang-orang pilihan menggunakan seragam petugas kepolisian. Mereka berpura-pura melakukan penggerebekan pada sebuah stasiun radio milik Jerman di perbatasan Jerman-Polandia. Situasi ini memberikan kesempatan pada pihak Nazi untuk mengklaim bahwa mereka telah diserang Polandia, dan menjadi sebuah alasan untuk meyakinkan bangsa mereka sendiri, juga masyarakat dunia, untuk menyerang Polandia yang ingin mereka jadikan koloni Jerman.
Anehnya, Naujocks tidak terkesan pada Schellenberg, dan kemudian menjulukinya "si kecil bermuka pucat". Dia bertanya-tanya apakah dia sanggup menjalankan tugas mereka yang pasti sangat berbahaya ini.
Pertemuan dengan Best dilaksanakan pada pukul 02.00, di Cafe Backus, yang disituasikan sebagai wilayah netral, tidak dikuasai pihak manapun, di perbatasan Jerman-Belanda. Schellenberg merasa sangat gelisah dan memesan sebuah brandy untuk mengurangi ketegangan.
Akhirnya, pada pukul 15.20, hampir terlambat setengah jam, mobil Buick milik Best muncul. Mobil itu berbelok menuju gang di samping cafe. Best dan Klopk tapi Steven tetap tinggal di dalam mobil. Schellenberg berjalan seolah-olah akan menyambut mereka, tapi saat itu juga terdengar suara tembakan dan deru sebuah mobi ujung jalan. Itu adalah pasukan SS yang sejak tadi mengintai dari sisi jalan lain. Mobil itu mengarah tepat ke tengah-tengah arena tembak-menembak itu. Situasi ini melanggar semua peraturan tentang keadaan netral— Belanda tidak dalam keadaan perang dan pasukan Jerman tidak punya hak untuk melintas perbatasan.
Kekacauan terjadi begitu cepat. Klop menarik pistol dan menembak ke arah Schellenberg yang berlari ke sisi yang lain. Mobil pasukan SS berhenti di ujung gang. Ada prajurit yang tergantung di pintunya dan dua senapan mesin bertengger di spatbor depan. Klop menunduk dan mengubah arah bidikannya. Dia melepaskan tembakan, dan sekali lagi menembak, nyaris mengenai Naujocks di kursi depan. Dia melompat dan membalas tembakan dari balik pintu mobil yang terbuka, sementara anak buahnya berpencar untuk melindunginya, senjata mereka terus menyalak.
Naujocks berlari ke arah Schellenberg dan berteriak di depannya "Pergi dari sini! Setelah ini, giliranmu kena tembak!"
Schellenberg menunduk mengitari sudut untuk menghindari tembakan dan berlari mendekati seorang prajurit SS. Sayangnya, orang ini tidak mendapat briefing dan tidak mengenali Schellenberg. Orang itu mengira dia adalah Best, karena keduanya sama-sama memakai kacamata. Prajurit itu menangkapnya dan menodongkan pistol ke wajahnya.
Jangan bodoh," kata Schellenberg. "Jauhkan senjata itu dariku!"
Terjadilah pertarungan dan prajurit SS itu menarik pelatuk pistolnya. Schellenberg memegang tangannya dan merasa sebutir peluru berdesing di atas kepalanya. Saat itu Naujocks berlari dan memberitahu prajurit tersebut bahwa dia menangkap orang yang salah untuk kedua kalinya dalam satu hari, dia mungkin telah menyelamatkan nyawa "si kecil bermuka pucat".
Schellenberg memandang ke sekeliling sudut dan melihat Klop sudah terjatuh. Dia tertembak dan sekarang mencoba menyeberang jalan, dia menembakkan sisa-sisa peluru yang masih ada di pistolnya, tapi itu semua tak berguna. Senapan mesin ditembakkan dan mengenai lututnya, dia beringsut hingga akhirnya tak sadarkan diri. Saat juga pasukan SS menyeret Best dan Steven masuk ke dalam mobil mereka. Dua orang anggota SS berhenti untuk mengangkut Klop juga, mengikatnya ke mobil seperti sekarung kentang, tapi dia sudah mati. Mobil Jerman itu dijalankan memasuki wilayah mereka sendiri dengan deru mesin yang sangat keras dan jejak karet yang terbakar di atas aspal.
Setelah mereka meninggalkan lokasi, terasa ada keheningan yang aneh. Orang-orang yang akan melintas perbatasan dan para penjaga bermunculan dari pintu dan rumah-rumah, dan berdiri dengan mulut terbuka—tak bergerak. Asap mobil, karet yang terbakar, dan bau sisa-sisa selongsong peluru menyengat tajam. Genangan darah di mana-mana, kilauannya menambah suramnya suatu sore di musim gugur yang hampir lewat.
Operasi ini menghasilkan sukses besar untuk Schellenberg. Dia banyak belajar tentang metode SIS dan memusnahkan cabang kelompok Z di Belanda. Ancaman besar bagi Nazi telah dihapuskan oleh operasi ini dan perang baru berlangsung selama dua bulan.
Kelanjutannya
Insiden Venlo itu merupakan kesalahan besar yang memalukan pihak Dinas Rahasia Inggris dan menimbulkan reaksi hebat. Hitler memanfaatkan momen ini sebagai alasan untuk menyerang Belanda, tahun 1940, dengan mengklaim bahwa peristiwa ini membuktikan Belanda tidak netral sama sekali. Selanjutnya, ketika warga Jerman yang sungguh-sungguh bertentangan dengan Hitler mencoba untuk menghubungi agen intelijen Inggris, mereka diperlakukan dengan penuh kecurigaan dan pendekatan ini tidak pernah berhasil.
Setelah penangkapan, Best dan Steven diinterogasi oleh pihak Jerman dalam waktu yang sangat lama, dan mereka memberikan banyak informasi, Steven bahkan membawa daftar seluruh agen Inggris di Belanda saat dia masuk dalam perangkap Jerman.
Kedua orang ini dikirim ke kamp konsentrasi Sachsenhausen sampai akhir masa perang. Mereka bebas ketika kamp itu berhasil direbut pasukan Amerika pada April 1945. Steven meninggal pada 1965 dan Best tahun 1978.
Karir Schellenberg terus menanjak. Dia menjadi Kepala Intelijen Luar Negeri Nazi. Setelah perang, dia menetap di Italia, dan meninggal pada 1952. Naujocks juga selamat dari perang dan meninggal pada 1960.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246667/penangkapan-di-venlo" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650818637000) } } [8]=> object(stdClass)#113 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246603" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#114 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/1_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420073505.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#115 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(120) "Molody, mata-mata dari Soviet, menghabiskan enam tahun hidupnya dalam perang dingin Inggris. Menyamar sebagai pengusaha." ["section"]=> object(stdClass)#116 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/1_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420073505.jpg" ["title"]=> string(19) "Lelaki Penuh Pesona" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:33:45" ["content"]=> string(23094) "
Intisari Plus - Molody, mata-mata dari Soviet, menghabiskan enam tahun hidupnya dalam perang dingin Inggris. Menyamar sebagai pengusaha, misinya adalah membuka rahasia senjata nuklir kapal selam Inggris.
---------------------------------------
Semua orang menyukai Gordon Lonsdale—orang Kanada nan tampan. Tampaknya dia memiliki teman di seluruh London. Pada akhir 1950-an wajahnya sangat familiar di klub-klub dan restoran terbaik di ibu kota—dengan mobil putihnya, yang diimpor dari Amerika, dan tentu saja mahal, tampak mencolok di negeri yang masih berusaha bangkit dari penderitaan akibat Perang Dunia II. Dia tinggal di apartemen yang indah yang disebut "The White House", tepat di sebelah Regent's Park. Di situlah dia menyelenggarakan pesta-pesta mewah yang membuat teman-teman wanita mengantre, karena terpesona pada penampilan hitam manisnya.
Di balik kesan playboy, Lonsdale sebenarnya adalah pekerja keras. Dia menjalankan perusahaan yang menyewakan gramafon otomatis, dan menjual mesin serta perlengkapan untuk pengaman mobil. Pekerjaan ini membuatnya berpindah-pindah dari satu negara ke lain negara. Ada satu sisi lain dari pengusaha playboy ini—yang akan mengherankan semua teman wanitanya, rekan bisnis dan bahkan pemilik restoran yang mengira telah mengenalnya dengan baik. Nama aslinya Konon Trofimovich Molody dan dia adalah mata-mata Soviet.
Molody menjalani kehidupan yang luar biasa. Dilahirkan di Rusia pada 1922, dia kemudian dikirim ke California untuk tinggal bersama bibinya pada usia tujuh tahun. Sembilan tahun kemudian, dia dapat berbicara dalam bahasa Inggris dengan logat seperti penduduk asli. Pada 1936 dia kembali ke Rusia dan bergabung dengan Communist Youth Movement (Gerakan Pemuda Komunis) dan ikut berjuang selama Perang Dunia II. Setelah perang usai, Molody direkrut oleh KGB, dinas keamanan Uni Soviet. Dia fanatik kepada ideologi komunis negaranya dan dia memiliki bakat yang baik dalam penguasaan bahasa—dua hal penting yang akan menjadikannya sebagai mata-mata ideal.
Pada usia 32 tahun, dia meraih pangkat komandan dan sudah ikut dalam beberapa misi ke luar negeri. Tahun 1954, dengan semakin memuncaknya perang dingin antara Soviet dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris, dia mendapatkan misi terpentingnya.
Perang dengan format baru terus berkembang setelah Perang Dunia II—kapal selam membawa senjata nuklir. Beberapa kapal pengintai bersembunyi di bawah laut. Kapal-kapal ini mustahil dilacak dan dihancurkan karena berisiko menghancurkan negara musuh dengan senjata nuklir yang dibawanya. Molody dikirim ke Inggris dalam tugas penyamaran untuk mengungkap segala hal tentang senjata nuklir kapal selam Angkatan Laut Inggris, yang berkembang sangat cepat. Untuk mengerjakan tugas ini, dia harus terus berhubungan dengan mata-mata Soviet lainnya, selain mencari anggota angkatan bersenjata Inggris atau orang pemerintah yang dapat menjual informasi rahasia padanya.
Tugas seperti ini membutuhkan dedikasi tinggi. Molody berusia 33 tahun. Dia harus meninggalkan semua yang dimilikinya di Uni Soviet, dan pergi ke negara asing, betul betul sebagai orang asing. Dia diberi nama dan kewarganegaraan baru—yaitu Gordon Lonsdale. Dulu, pernah ada seorang Kanada bernama Gordon Lonsdale, tapi menghilang di Finlandia—kemungkinan besar dibunuh—dan paspor palsu, juga sejarah masa lalunya, sekarang ada di tangan Molody. Dia dikirim ke Kanada tahun 1954. Setelah tinggal selama satu tahun di sana sebagai Lonsdale, dia pergi ke Inggris pada Maret 1955. Dia memerankan identitas barunya dengan sangat sempurna.
Gordon Lonsdale memiliki dua teman baik—Peter dan Helen Kroger—yang tinggal di luar London, yakni di daerah pinggiran barat Ruislip. Mereka adalah pasangan Amerika yang hidup tenang di usia 50-an. Mereka menjalankan usaha berhubungan dengan buku-buku antik. Suatu hari, teman teman di jalanan mengajak mereka ikut pesta makan malam. Helen datang mengenakan gaun panjang hitam, dan tuan rumah berseru,"Helen, kau tampak seperti mata-mata Rusia!" Jika tuan rumah yang lucu ini tidak tertawa terpingkal-pingkal menertawai lawakannya sendiri, dia mungkin akan melihat perubahan sekilas di wajah Kroger. Helen Kroger memang mata-mata Rusia, begitu juga suaminya. Rumah mereka di Cranley Drive 45 merupakan ancaman besar untuk keamanan Ingris.
Di bawah lantai dapur ada ruangan berisi pemancar berfrekuensi tinggi dan tape recorder kecepatan tinggi untuk mengirim kode pesan lebih dari 240 kata setiap menitnya. Antena internal sepanjang 23 meter terbentang di loteng rumah. Di ruang duduk ada radio yang dapat menerima sinyal dari manapun. Di sampingnya ada sebuah mesin ketik, tape recorder, dan beberapa headphone. Kamar mandi dapat diubah menjadi kamar gelap, lengkap dengan peralatan untuk membuat dan membaca microdot—teknologi yang dapat mengecilkan potret bahkan hingga lebih kecil dari ujung peniti.
Ada kejutan di mana-mana. Salinan Kitab Suci di ruang duduk digunakan untuk menyembunyikan kertas kaca yang sensitif terhadap cahaya untuk membuat microdot. Di ruang tidur ada mikroskop untuk mempelajari microdot itu. Gulungan mikrofilm disembunyikan di dalam sebuah botol. Di kamar mandi, wadah bedak yang dibiarkan terbuka yang merupakan alat untuk membaca microdot, terlihat seperti teleskop kecil. Geretan rokok besar di meja menutupi kotak rahasia yang penuh pesan rahasia.
Pasangan Kroger menjalani kehidupan yang tidak biasa, sama seperti Molody. Peter Kroger dilahirkan sebagai Morris Cohen, dari orang tua Rusia-Yahudi di New York. Dia bertemu dan menikahi Helen di University of Illinois. Nama aslinya adalah Leona Petka. Selama tahun 1930 ke duanya menjadi komunis, dan Peter berjuang melawan para fasis dalam perang sipil Spanyol. Dia kembali ke AS dan bekerja untuk berbagai organisasi perdagangan Soviet sebelum bergabung dengan tentara Amerika dalam Perang Dunia II.
Setelah perang, pasangan ini menjadi mata-mata untuk Uni Soviet, dan membantu memberikan informasi bom atom rahasia milik Amerika pada pihak Rusia. Mereka melarikan diri dari Amerika tahun 1950 karena mengira akan ditangkap dan muncul kembali di Inggris tahun 1954. Kali ini mereka dikenal sebagai pasangan Kroger, nama pasangan Selandia Baru yang sudah meninggal pada awal abad ini.
Lonsdale adalah tamu yang sering datang ke Cranle Drive. Dia datang untuk makan malam paling tidak sekali Sabtu dalam setiap bulan. Tentu saja tidak hanya itu yang da lakukan. Keluarga Kroger adalah penghubungnya dengan pihak Uni Soviet. Di rumah yang tenang itulah hasil kerjanya sebagai mata-mata dikirimkan ke KGB di Moskwa
Informan Lonsdale yang terbaik adalah seorang karyawan Angkatan Laut Inggris yang bertugas di Departemen Angkatan Laut Inggris di Bidang Penyediaan Senjata Bawah Laut—yang sangat rahasia di Portland, Dorset. Namanya Harry Houghton. Dia memiliki akses ke berbagai bagian rahasia, dan satu hal yang juga menguntungkan bagi Lonsdale, Harry memiliki kecurangan di masa lalu. Tahun 1951 dia dikirim ke Kedutaan Besar Inggris di Warsawa, Polandia. Dia mempermalukan dirinya sendiri dengan menyembunyikan istri orang lain dan berhubungan dengan penjualan barang-barang selundupan. Dia dikirim kembali ke Inggris dengan teguran keras. Meskipun tidak dapat dipercaya, dia dikirim ke Portland.
Penguasa Inggris bukanlah satu-satunya yang memperhatikan tindak tanduk Harry Houghton di Warsawa. Dinas Polisi Rahasia juga mengawasinya. Mereka memberitahu KGB bahwa Harry tampaknya mudah disuap. KGB meneruskan informasi penting ini pada Lonsdale yang tidak membuang-buang waktu untuk segera memperkenalkan diri.
Lonsdale mengaku sebagai Komandan Alex Johnson dari Kedutaan Besar Amerika. Setelah mereka berbincang-bincang, Lonsdale menyadari bahwa Houghton adalah orang yang diinginkannya. Dia mau mengerjakan hampir semua hal demi uang. Mudah menipunya untuk menjadi seorang pengkhianat. Lonsdale mengatakan bahwa Amerika membutuhkan beberapa informasi darinya. Dia tidak perlu khawatir dengan Undang-Undang Kerahasiaan—sebuah dokumen yang wajib ditandatangani oleh seluruh personel angkatan bersenjata untuk menjamin kerahasiaan departemen—bukankah Inggris dan Amerika berada di pihak yang sama?
Ketika Lonsdale menyebutkan uang, mata Houghton membelalak. Dia bahkan membuat rencana cerdas untuk menyelundupkan dokumen keluar dari Portland. Houghton memiliki teman di pangkalan, seorang perempuan setengah baya bernama Ethel "Bunty" Gee. Dia adalah pegawai bagian arsip dengan pengamanan ruangan tingkat tinggi—yang artinya: dia memegang dokumen sangat rahasia. Meskipun untuk para pria ada pemeriksaan saat mereka masuk dan keluar gedung untuk memastikan mereka tidak membawa dokumen rahasia, pegawai perempuan tidak diperiksa. Perbedaan pemeriksaan keamanan yang aneh ini juga bet makna bahwa Bunty akan menjadi kaki-tangan yang sempurna,
Akhirnya, semua file, mulai dari daftar anggota angkatan laut di galangan kapal hingga dokumen rinci proyek pembangunan kapal, dapat diselundupkan keluar Portland, Isi dokumen itu dibaca dan direkam dengan tape recorder, kemudian dikirimkan dengan pemancar dari Cranley Drive, atau dipotret untuk diselundupkan ke Moskwa berupa mikrofilm. Bunty kemudian mengembalikan dokumen-dokumen itu sebelum ada yang menyadari bahwa ada dokumen yang hilang. Pekerjaan ini berlalu seperti sebuah mimpi. Lonsdale dan pasangan Kroger dapat menyelundupkan rahasia dari Houghton dan Gee, sebaik cara mereka mendapatkan informasi dari militer dan organisasi intelijen yang telah dilakukan selama enam tahun ini.
Di dunia ini tidak ada yang abadi, termasuk keberuntungan. Houghton memang merupakan sumber informasi terbaik bagi Lonsdale, tapi dia mungkin juga orang yang paling tidak dapat dipercaya yang harus dihadapi oleh mata mata Soviet. Pengecekan rutin oleh M15—biro intelijen tandingan Inggris—menunjukkan bahwa Houghton, sebagai seorang pegawai Angkatan Laut, mengeluarkan uang jauh lebih besar dari pendapatannya. Pada tahun 1960 dia digaji £714, gaji yang tidak terlalu besar untuk saat itu. Tapi dia baru saja membeli mobil baru yang mencolok, membangun rumah seharga £10.000, dan menghabiskan £20 sebulan untuk minum-minum. Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? M15 berusaha mengungkapkan. Pengecekan di rekening Houghton tidak menghasilkan apa-apa. Lonsdale membayarnya tunai, sehingga polisi tidak dapat menyelidiki sumber penghasilan itu.
Pada Juli 1960, seorang agen MI5 mulai membuntuti Houghton dan Gee. Dia mengikuti perjalanan mereka ke London, ke teater Old Vic di Waterloo. Dia melihat mereka bertemu Gordon Lonsdale, menyerahkan amplop yang ditukarkan dengan kantong belanja. Houghton dan Gee segera pergi, berputar kembali ke mobilnya. Semuanya sangat mencurigakan.
Sebulan kemudian, Houghton berangkat lagi ke London. Di sana dia bertemu Lonsdale di Old Vic, dan keduanya beristirahat di kafe. Agen MI5 itu duduk di sebelah meja mereka dan berusaha mendengarkan percakapan. "Selanjutnya, kita akan bertemu setiap Sabtu pertama, kata Lonsdale, "terutama Sabtu pertama Oktober dan November"
Sesuatu sedang direncanakan.
Mereka meninggalkan kafe, dan agen M15 itu mengikuti mereka dari kejauhan. Kedua lelaki itu bergegas ke pojok telepon. Mereka tidak menelepon. Houghton memberikan file yang terbungkus koran kepada Lonsdale. Kemudian mereka berpisah. Houghton menghilang di tengah keramaian, agen MI5 mengikuti Lonsdale, yang masuk ke dalam mobil dan mulai bergerak. Sepasang agen MI5 lainnya mengikuti dengan mobil hingga kemudian berhenti di depan sebuah bank Londsdale keluar mobil, lalu menyerahkan koper coklat kepada petugas bank, lantas pergi lagi.
Setelah Lonsdale pergi, agen MI5 masuk ke dalam bank Mereka menjelaskan dengan hati-hati kepada manajer bank bahwa mereka mendapat tugas yang bersifat sangat rahasia dari pemerintah, dan mereka ingin melihat isi koper coklat itu. Manajer itu dapat memahami, dan mereka menemukan kamera buatan Rusia, kaca pembesar, dua film, dan bermacam macam kunci dalam kotak penyimpanan Lonsdale. Semua sangat mencurigakan.
Investigasi kemudian dilakukan. Lonsdale pergi ke Eropa selama dua bulan untuk urusan bisnis, begitu dia kembali dari perjalanannya, agen M15 telah menunggunya. Mereka mengikutinya ketika dia mengambil koper dari bank, kemudian naik kereta menuju Ruislip.
Setelah beberapa minggu, MI5 terus mengamati, dan polanya mulai terlihat jelas. Pada setiap Sabtu pertama setiap bulan, Houghton menemui Lonsdale di London. Mereka saling bertukar paket, dan sorenya Lonsdale pergi ke Ruislip, sampai di rumah keluarga Kroger sekitar pukul 19.15. Setelah tiga bulan, agen M15 memutuskan untuk menangkap mereka. Seseorang yang ditugasi memimpin operasi ini adalah Inspektur Detektif George Smith dari Kepolisian London.
Pada 7 Januari 1961, Harry Houghton pergi ke London. Pada kesempatan ini Bunty Gee ikut serta membawa tas belanja yang besar. Mereka sampai di Stasiun Waterloo. Tak kurang dari 15 orang agen, termasuk George Smith, mondar-mandir di sana dalam penyamaran sebagai penumpang dan penjual koran. Keretanya terlambat 45 menit. Penundaan ini membuat para agen yang dipimpin Smith kurang waspada, atau mungkin juga udara dinginlah yang menjadi penyebabnya. Apapun alasannya, mereka terkejut ketika pasangan ini sudah sampai di pintu keluar dan berlari mengejar bus. Hanya ada satu orang yang tempatkan dalam bus itu bersama mereka.
Houghton dan Gee melakukan perjalanan wisata—di luar kebiasaan mereka, sekitar satu atau dua jam mereka kembali ke Stasiun Waterloo dan pergi ke teater Old Vic seperti yang biasa mereka lakukan. Agen-agen itu sudah menunggu. Lonsdale juga sudah menunggu untuk menyambut mereka. Ketika mereka tiba, dia mengambil tas yang dibawa Gee, dengan cara yang halus seperti ketika seorang pria hendak membawakan tas dari seorang wanita. Itu semua sudah cukup bagi Smith. Dia berlari ke arah tiga orang itu dan berkata, "Saya petugas polisi, Anda semua ditangkap."
Saat itu juga tiga buah mobil mengerem dengan tiba tiba dan berhenti tepat di halte depan mereka. Lonsdale yang diborgol pertama kali, kemudian Houghton, dan yang terakhir Gee. Mobil-mobil itu mulai bergerak dan pesan di radio panggil disampaikan, "Terkunci, tersimpan, meluncur."
Ketiganya berhasil ditangkap tanpa banyak perlawanan.
Tas yang dibawa Gee penuh dengan barang-barang menarik. Ada empat file dari Portland dan film yang berisi lebih dari 300 foto dari kapal selam nuklir Inggris yang sangat rahasia.
Di kantor polisi, ketiganya ditangani Dinas Rahasia Kepolisian Inggris. Respon mereka bermacam-macam.
Harry Houghton memukul-mukul kepalanya sambil berkata, "Aku sudah dibodohi!"
Bunty Gee marah. "Aku tidak melakukan kesalahan apapun," protesnya.
Gordon Lonsdale sangat tenang, dia berkata, "Tampaknya saya akan berada di sini sepanjang malam, dapatkah Anda mencarikan seorang pemain catur yang hebat?"
Permintaannya dikabulkan.
(Selama Lonsdale dalam tahanan, Smith memastikan akan selalu ada seorang pemain catur kelas satu di antara penjaganya. Smith mengagumi gaya Lonsdale, dan dia menjelaskan sikapnya yang sangat baik itu pada para wartawan. "Dia memiliki pekerjaan yang sulit dilakukan seperti Anda dan saya. Dia melakukannya dengan baik. Apakah saya harus menyalahkannya?").
Setelah sore itu, Peter dan Helen Kroger juga menerima tamu tak diundang. Smith dan pasukannya segera menuju ke Ruislip segera setelah Houghton, Gee, dan Lonsdale aman berada dalam tahanan. Ketika polisi datang, pasangan Kroger terlihat sangat tenang. Pasangan ini berlagak seolah kedatangan pihak kepolisian ini adalah sebuah kekeliruan namun sebagai warga negara yang baik, mereka tetap siap untuk membantu.
Ketika mereka hendak meninggalkan rumah, Helen Kroger meminta izin untuk menyalakan api di tungku pemanas agar ketika mereka kembali, rumahnya dalam keadaan hangat. Smith—yang tentu saja tidak bodoh—berkata, "Tentu saja, Nyonya Kroger, tapi sebelumnya saya lihat dulu apa yang ada dalam tas Anda."
Wajah Helen berubah menjadi dingin. Dia menyadari ini saatnya permainan berakhir. Di dalam tasnya ada ketikan pesan, slide yang berisi tiga mikrodot, dan lima lembar surat yang ditulis Lonsdale dalam bahasa Rusia. Sebenarnya dia bermaksud membakar semua itu dalam tungku, tapi sekarang semua itu menjadi bukti yang paling penting untuk menyeret mereka ke ruang pengadilan.
Dengan ditangkapnya semua anggota dalam lingkaran mata-mata Lonsdale, polisi mengirimkan tim forensik ke rumah mereka. Tentu saja, rumah di Cranley Drive 45 memberikan banyak petunjuk mengenai kejahatan yang telah mereka lakukan. Radio dan peralatan mikrodot dapat ditemukan dengan mudah, tapi baru seminggu kemudian, setelah rumah itu benar-benar dibongkar, petugas menemukan kode sinyal, tanggal pengiriman data melalui pemancar, ribuan dolar Amerika, dua paspor Selandia Baru atas nama pasangan Kroger, dan dua paspor Kanada. Di apartemen Lonsdale ditemukan satu set radio dan perlengkapan mikrodot, sedangkan di rumah Houghton dan Gee masing-masing ditemukan rahasia-rahasia yang juga memberatkan, termasuk dokumen-dokumen, sebuah kamera, dan kotak korek api yang di bagian dasarnya sudah diubah untuk meletakkan peta tempat pertemuan di London.
Persidangan dimulai 13 Maret 1961, berlangsung selama sembilan hari. Surat kabar menamai mereka "The Microdot Five". Semua dinyatakan bersalah dan mereka mendapat hukuman setimpal. Houghton dan Gee dijatuhi 15 tahun penjara, pasangan Kroger 20 tahun penjara. Lonsdale yang secara jelas tampak sebagai orang yang berperan penting dalam lingkaran mata-mata dijatuhi hukuman yang paling berat oleh hakim.
"Gordon Arnold Lonsdale," katanya, "Anda adalah seorang mata-mata profesional. Ini adalah pekerjaan yang berbahaya, dan tentu saja Anda harus siap untuk menderita. Anda akan dipenjara selama 25 tahun."
Lonsdale tersenyum di atas mimbar. Dia tahu dirinya tak akan berada di dalam penjara dalam jangka waktu yang panjang; dia agen yang sangat berharga. Dalam suasana saling membalas dalam perang dingin ini, dia akan segera ditukar dengan mata-mata Inggris yang tertangkap. Temannya di KGB akan segera memastikannya.
Kelanjutannya
Apa yang dipikirkan Lonsdale benar. Di tahun ketiga dia ditukar dengan mata-mata Inggris bernama Greville Wynne (baca juga: "Pedagang dan Mata-Mata Super", di halaman lain buku ini). Saat kembali ke tanah airnya, dia disambut sebagai pahlawan, dan dianugerahi medali. Lonsdale terus bekerja di KGB, meskipun dia sekarang terlalu terkenal sehingga tidak mungkin dikirim keluar sebagai mata-mata. Tetapi menjalankan kehidupan ganda selama menjadi mata mata membuatnya stres, dan dia meninggal di usia muda. Pada Oktober 1970, di usia 48 tahun, ia mengalami serangan jantung yang fatal ketika sedang berkebun di apartemennya di Moskwa.
Pasangan Kroger harus menunggu lebih lama untuk dibebaskan, tapi para pimpinan KGB tidak meninggalkan mereka. Seorang dosen Inggris ditangkap dengan tuduhan penipuan di Moskwa pada 1969, dan ditukarkan dengan pasangan Kroger. Keduanya hidup hingga usia tua. Helen meninggal di usia 79 pada tahun 1992, dan Peter meninggal pada usia 84 pada 1995. Penghuni baru di Cranley Drive 45 ternyata menemukan radio milik pasangan Kroger pada 1981, saat menggali di kebun.
Tak ada yang memperhatikan Bunty Gee dan Ham Houghton. Yang bisa mereka lakukan adalah saling memperhatikan. Mereka berada di dalam penjara selama sembilan tahun. Mereka dibebaskan tahun 1970, enam tahun lebih cepat karena kelakuan mereka yang baik. Mereka menikah di Polandia tahun 1971, dan mendirikan usaha penginapan di Brankscome, Dorset, dengan nama samaran. Keduanya dipercaya meninggal dunia pada tahun 1980.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246603/lelaki-penuh-pesona" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650818025000) } } }