Intisari Plus - Nona Berger ditemukan tewas di tepi danau. Sebelum kematiannya, ia diketahui kerap bertemu dengan pria yang mengaku penyihir. Keduanya pun melakukan ritual untuk memenangkan lotre dan mendapatkan cinta.
---------------
Hutan Potsdamer dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Di sana ada sungai kecil yang mengalir ke Danau Teufelssee yang letaknya agak jauh ke pedalaman. Meskipun di tempat yang romantis ini ada sebuah rumah penjaga hutan, jarang ada orang yang berjalan-jalan ke sana.
Pada permulaan bulan April 1900 ditemukan sesosok mayat wanita di tepi danau tadi. Mayat itu sudah mulai membusuk sebagian. Mungkin sudah dimakan oleh anjing-anjing hutan karena sudah tidak berdaun telinga lagi dan tangan kirinya tidak berjari. Mulanya orang menyangka bahwa wanita itu bunuh diri. la dikenali sebagai Nona Luise Bergner dari Berlin. Tetapi segera dipastikan bahwa ia adalah korban kejahatan.
Nona Bergner seorang penjahit. la berusia 32 tahun dan bertempat tinggal di belakang rumah nomor 177 di Reichenbergerstrasse, Berlin. la sangat rajin dan hidup menyendiri. Kadang-kadang saja ia pergi ke seorang ahli nujum kartu di Naunynstrasse. Di situ ia berkenalan dengan seorang pembuat kuali, bernama Eugen Jaenicke, berusia 23 tahun. Pemuda ini menceritakan kepada Nona Bergner bahwa ia seorang tukang sihir. Katanya baginya mudah untuk menyihir setengah juta uang emas. Ia juga mempunyai cara yang mujarab untuk memenangkan hadiah lotre yang besar-besar, selain dapat menyihir agar kebencian berubah menjadi cinta.
Mula-mula Nona Bergner mencoba kebolehan Jaenicke dalam memenangkan lotre. Tetapi meskipun sudah mengorbankan banyak uang, hasilnya kosong. Walaupun demikian, mau saja Nona Bergner ikut dengan Jaenicke ke Teufelssee pada tanggal 21 Maret 1900. Jaenicke membawa anak angkatnya bernama Bruno Misch, 10 tahun. Waktu mereka sampai di dekat Teufelssee, tiba-tiba Jaenicke menghilang di antara semak-semak. Ia kembali memakai pakaian biarawan. Ia menutup mulutnya dan buku sihir dipegangnya di tangan.
Ia mengucapkan beberapa kata sihir keras-keras. Kedua tangannya seperti memberi restu pada Nona Bergner. Kemudian ia memberikannya puyer putih dan berkata bahwa Nona Bergner akan segera tertidur jika meminum puyer itu. Beberapa jam kemudian baru bangun. Bidadari akan terbang di dekatnya dan emas akan terhampar di kakinya.
Nona Bergner meminum puyer tadi. Baru saja ia melangkah, ia sudah jatuh kesakitan. Ia seperti hendak muntah dan beberapa menit kemudian ia meninggal. Jaenicke mengambil uang dari jenazah, barang-barang berharga, dan kunci rumah. Ia kembali ke Berlin dengan anak angkatnya. Ia membuka rumah dan mencuri semua yang dianggap berharga.
Polisi kriminal segera mengetahui bahwa Jaenicke pembunuh Nona Bergner. Jaenicke pun ditangkap. Ia dituduh membunuh dan merampok. Pada tanggal 22 dan 23 Juni ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan di Potsdam. Yang mengetuai sidang adalah Hakim Rademacher. Jaksanya Dr. V. Ditfurth. Pembelanya Dr. Baum. Banyak orang yang menonton sidang ini. Jaenicke, seorang pria muda dan langsing dengan raut muka melankolis memberi keterangan sebagai berikut:
Ia dilahirkan pada tanggal 2 September 1876 di Nowawes. Orang tuanya masih hidup. Ia pembuat kuali tanah liat, tidak pernah masuk tentara, telah menikah, pernah dihukum 7 hari karena mencuri dan dihukum penjara sehari karena penganiayaan.
Tetapi hakim ketua menyatakan bahwa tertuduh pernah pula pada tahun 1897 dihukum 6 bulan karena mencuri.
Waktu ditanya lebih lanjut oleh hakim ketua ia menjawab bahwa ia telah menikah bulan Juli 1899. Sejak tanggal 1 Oktober 1899 ia menjadi penjaga pintu di Berlin, dengan mendapat tempat tinggal cuma-cuma dan gaji 3 mark setiap minggu. Di samping itu ia bekerja di pabrik senapan Ludwig Loewe, mulai setelah Natal hingga Februari. Kini sudah tidak lagi karena istrinya jatuh sakit.
Ketua: “Apakah Anda memasang iklan, menawarkan diri untuk menujum dengan kartu? Dapatkah Anda menujum dengan kartu?”
Tertuduh: “Ya, saya bisa menujum dengan kartu dan meramal dengan telur.”
Ketua: “Bagaimana caranya?”
Tertuduh: “Saya memecahkan telur ke dalam air.”
Ketua: “Kemudian?”
Tertuduh: “Kemudian saya dapat melihat dari bayangan, apa yang akan terjadi.”
Ketua: “Kapan Anda berkenalan dengan Luise Bergner?”
Tertuduh: “Bulan Februari.”
Ketua: “Apa yang Anda ramalkan?”
Tertuduh: “Bahwa ia akan mendapat pekerjaan baru. Ini benar terjadi.”
Ketua: “Apakah Nona Bergner membayar Anda dengan uang?”
Tertuduh: “Ya. Sesudah itu ia memberi uang lebih banyak, karena ingin tahu tentang Nyonya Cordus, ahli nujum kartu, tempat ia membeli lotre.”
Ketua: “Kemudian Anda sendiri membeli lotre bersama Nona Bergner. Mengapa?”
Tertuduh: “Karena saya melihat pada garis tangannya bahwa ia akan mendapat keuntungan.”
Ketua: “Nona Bergner memberi Anda 40 mark untuk membeli kertas undian Prusia. Akan tetapi uang itu Anda pakai sendiri?”
Tertuduh: “Ya.”
Ketua: “Bukankah Anda menyangka akan menang bersama Nona Bergner?”
Tertuduh: “Ya, saya membeli undian Aachner dengannya dan mempergunakan suatu ramuan khusus agar menang.”
Ketua: “Ramuan apa itu?”
Tertuduh: “Kertas-kertas undian itu harus dilembekkan dengan uap ramuan, daun apel, dan kemenyan.”
Ketua: “Siapa yang menyarankan ramuan itu?”
Tertuduh: “Saya mengenal ramuan itu sejak dahulu.”
Ketua: “Ada hasilnya?”
Tertuduh: “Tidak.”
Ketua: “Kemudian Anda masih juga meyakinkan Nona Bergner bahwa ia dapat melihat rencana Nyonya Cordus terhadapnya. Bagaimana caranya?”
Tertuduh: “Nona Bergner harus berdiri di muka cermin serta menyalakan spiritus dan belerang. la dapat melihat di dalam kaca perbuatan apa yang akan dilakukan Nyonya Cordus terhadapnya.”
Ketua: “Anda sibuk dengan penujuman?”
Tertuduh: “Ya, sangat sibuk. Dari pagi sampai petang. Langganan membayar tanpa saya minta.”
Beberapa surat dengan tanda yang mistis dibacakan. Dari surat-menyurat itu dapat diketahui bahwa tertuduh dapat menyarankan hal-hal yang aneh-aneh pada Nona Bergner. Dalam sebuah surat tertanggal 6 Maret ia mengatakan bahwa ia belum menemukan Nyonya Cordus, tetapi ia yakin bahwa akan ada kesulitan di antara mereka. Dalam sebuah surat, ia menulis bahwa tidak ada kesulitan dengan “menyalakan api”.
Dalam surat tertanggal 9 Maret, Jaenicke meminta uang. “Saya sangat membutuhkannya. Jika besok Anda datang, jangan berkata apa-apa kepada istri saya. Anda juga tidak boleh berbicara tentang apa yang akan Anda kerjakan, nanti gagal. Harus tutup mulut terhadap setiap orang ketiga. Ini syarat. Untuk membayar ongkos-ongkos, saya meminta 16 mark dan 4 mark, jadi 20 mark.”
Sesudah itu, mungkin Nona Bergner mencurigai tertuduh, sebab dalam surat jawabannya, Jaenicke seperti tersinggung.
“Apa penilaian Anda tentang diri saya? Anda sangat menghina saya! Jika Anda tidak meminta maaf, maka saya tidak mau mengenal Anda lagi! Saya mampu untuk membuat Anda kaya, dan terserah pada Anda, apa yang akan Anda perbuat. Jadi, Anda mempercayai saya dan mengirimkan apa yang saya minta atau hubungan kita putus!”
Tertuduh menceritakan kepada hakim, bahwa ia bukan marah karena uang. Ia marah karena Nona Bergner menyatakan bahwa Nyonya Cordus ahli nujum yang lebih baik daripada dia.
Dalam sebuah surat lain, ia menyatakan kepada Nona Bergner bahwa ia dapat membeli sebuah seri undian dari pemimpin Gipsi Petermann. Untuk itu Nona Bergner harus segera mengirimkan uang 60 mark dan ia harus yakin bahwa ia akan menang paling sedikit 10.000 mark. Dari jumlah uang itu ia meminta sepertiganya, tetapi sepertiga lagi harus diberikan kepada orang yang memutar putaran undian. Orang itu harus diberi persekot 60 mark tadi. Dalam surat terakhir Nona Bergner menulis bahwa ia akan segera datang untuk membawa 40 mark dahulu.
Ketua: “Ketika melakukan sihir di Teufelssee, Anda katakan bahwa Anda membaca buku sihir, di mana dikatakan tentang adanya pigmi-pigmi. Tahukah Anda apa pigmi itu?”
Tertuduh: “Orang kerdil. Saya pernah melihat orang-orang kerdil seperti itu di Teufelssee.”
Ketua: “Anda benar-benar melihat orang kecil di Teufelssee.
Tertuduh: “Benar, Tuan Ketua.”
Ketua: “Anda membicarakan rencana kepergian ke Teufelssee tadi dengan pembantu rumah tangga bernama Just dan Nona Bergner. Anda juga berbicara tentang sihir. Apakah Just sering mengikuti sihir-sihiran itu?”
Tertuduh: “Ya.”
Ketua: “Apakah yang ingin Anda capai dengan sihir-sihiran ini?”
Tertuduh: “Nona Bergner harus memenangkan banyak taruhan dan ia harus mencintai Just.”
Ketua: “Nona Bergner memperlihatkan bahwa ia percaya sekali pada Anda. Just lebih percaya lagi.”
Tertuduh: “Ya, Just percaya bahwa saya mempunyai kepandaian istimewa.”
Ketua: “Jadi Anda bertiga merencanakannya. Anda memilih Danau Teufelssee karena mengenal danau terpencil yang dikelilingi oleh hutan itu. Kapankah Anda melihat orang-orang kerdil di situ?”
Tertuduh: “Sudah sejak saya masih kanak-kanak.”
Ketua: “Pernahkah Anda menceritakan apa yang telah Anda lihat kepada seseorang?”
Tertuduh: “Tidak, tidak ada seorang pun yang saya beritahu.”
Ketua: “Dari mana datangnya orang kerdil itu, dari udara, dari air, atau dari mana? Apa yang mereka lakukan?”
Tertuduh: “Mereka bermain-main.”
Ketua: “Apakah orang-orang kerdil itu akan membawakan uang hanya dengan sihir?”
Tertuduh: “Orang-orang kerdil itu akan membawakan emas murni kepada kami.”
Ketua: “Mengapa si kecil Misch ikut? Bruno Misch dipercayakan kepada Anda oleh ayahnya dan Anda begitu saja mengajaknya?”
Tertuduh: “Ya, Bruno sudah sering melihat sihir. Ia juga ingin menyaksikan sihir-sihiran di Teufelssee.”
Waktu ditanya lebih lanjut tertuduh menceritakan:
“Just tidak muncul, jadi saya pergi dengan Nona Bergner pada tanggal 21 Maret jam 6 pagi dengan kereta api Wannsee dari Berlin. Jam 7 kami sampai di Potsdam. Kami melewati observatorium dan pergi ke Ravensberg. Di sana, di dekat menara yang kecil saya melakukan sihir pembukaan. Saya membeberkan mantel saya dan membuat lingkaran dengan pisau sihir. Pisau sihir itu milik Just. la meminjamkannya kepada saya. Saya memakai topeng sambil mengucapkan kata-kata sihir.”
Ketua: “Anda juga membawa dua botol. Apa isinya?”
Tertuduh: “Botol yang satu berisi striknina dan yang sebuah lagi zat asam biru. Dari keduanya akan dibuat campuran yang akan diminum oleh Nona Bergner.”
Ketua: “Apakah Anda sebagai manusia yang sehat pikiran tidak tahu bahwa campuran demikian itu mematikan?”
Tertuduh: “Sebenarnya Nona Bergner hanya harus mencium saja botol berisi zat asam biru, sedangkan racun striknina bahayanya berkurang karena campuran ramuan.”
Ketua: “Apa gunanya mencium botol zat asam biru?”
Tertuduh: “Untuk menggairahkan perasaan.”
Ketua: “Apakah Anda sudah pernah menyihir dengan zat asam biru?”
Tertuduh: “Tidak, ini untuk pertama kalinya.”
Ketua: “Mengapa?”
Tertuduh: “Karena sudah kami rencanakan.”
Ketua: “Apakah Anda mengatakan pada Nona Bergner untuk meneguk striknina?”
Tertuduh: “Ya.”
Ketua: “Apakah ia tahu, apa striknina itu sebenarnya?”
Tertuduh: “Itu saya kurang tahu.”
Ketua: “Anda menyatakan bahwa penyihiran, seperti yang telah Anda lakukan, telah Anda baca dalam buku Kabale und Liebe oder karya Dr. Fausts Zaubertrank.”
Tertuduh: “Benar. Sebelumnya saya juga sudah sering menyihir dengan racun.”
Ketua: “Coba ceritakan contohnya.”
Tertuduh: “Misalnya suatu kali saya memberikan arsenikum pada seorang wanita yang datang pada saya karena suaminya menyeleweng. Arsenikum tadi ditaburkan pada cokelat, cokelat itu dimakan suaminya.”
Ketua: “Obat itu manjur?”
Tertuduh: “Ya.”
Ketua: “Pria itu tidak apa-apa?”
Tertuduh: “Tidak. Malahan lelaki itu kembali ke istrinya dan sampai kini ia setia.”
Ketua: “Haruskah kami percaya pada hal-hal yang aneh itu?”
Tertuduh: “Seharusnya Anda percaya, karena itu fakta.”
Ketua: “Coba lanjutkan.”
Tertuduh menceritakan: “Waktu kami sampai di danau, saya membeberkan mantel di bawah sebuah pohon yang besar. Tanpa berkata apa-apa kami duduk. Nona Bergner menyingkirkan dompetnya. Pada penyihiran, seseorang tidak boleh membawa kertas dan uang. Bruno harus mengambil air sedikit dari danau. Nona Bergner dan saya meminum air itu hingga hampir habis. Itu buktinya bahwa kami menyucikan diri. Sisa air saya percikkan pada lingkaran yang telah saya buat. Bruno harus mengambil air sekali lagi. la mencampur ramuan sihir.
“Dalam sebuah tempat saya mencampur minuman dari botol yang satu dan meminta Nona Bergner agar mencium botol yang lain. la harus mengucapkan mantra sihir tiga kali dan meminum ramuan dalam tiga tegukan hingga habis. Sesudah itu kami masuk ke hutan. Seperempat jam kemudian Nona Bergner terjatuh. la tertelungkup. Saya membalikkannya, membuka rok dan memanggil-manggilnya. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan.
“Kemudian saya mengambil dompet, kunci-kuncinya, dan sebuah jimat yang dipakainya di leher. Jimat tadi saya buang lagi, waktu saya lihat bahwa benda itu hanya kertas tidak berharga yang dilipat saja. Kemudian saya membuang tempat minum dan pakaian biarawan di Teufelssee dan kembali dengan si kecil Misch ke Berlin.”
Ketua: “Anda tidak mengindahkan Nona Bergner lagi. Anda meninggalkannya tergeletak di hutan. Apakah Anda tidak malu pada diri sendiri?”
Tertuduh tidak menjawab.
Ketua: “Karena ingin uang, di Berlin Anda segera pergi ke rumah Nona Bergner, membuka pintu dengan kunci-kunci, dan merampok semuanya?”
Tertuduh: “Si kecil Misch yang saya suruh pergi ke tempat Nona Bergner sehari sebelumnya, menceritakan bahwa di dapur banyak uang. Jadi saya berpikir, sayang kalau tidak diambil.”
Ketua: “Hasil penyihiran tidak meninggalkan hal-hal yang menakutkan Anda. Anda kini hanya mengingat hal-hal yang dapat diraih belaka, uang dan barang berharga. Anda mengambil uang dari dapur Nona Bergner, mengambil kain-kain untuk rok, dan masih pula mencuri surat gadai, sebuah regulator. Anda membawa semua barang-barang itu ke seorang penggadai.
“Sesudah itu Just datang pada Anda. Kepadanya Anda menyatakan bahwa penyihiran harus dilakukan dengan burung dara putih, agar Nona Bergner jatuh cinta pada Just. Apa sesungguhnya yang Anda katakan kepadanya?”
Tertuduh: “Saya katakan bahwa saya tidak begitu yakin pada hasil penyihiran di Teufelssee. Oleh karena itu, penyihiran dengan burung dara putih akan dilakukan hari berikutnya.”
Ketua: “Anda juga ingin membunuh Just? la mungkin menjadi saksi yang rewel.”
Tertuduh: “Tidak.”
Ketua: “Apakah Anda juga membawa sebotol zat asam biru atau striknina lagi?”
Tertuduh: “Tidak.”
Ketua: “Ya, tidak ada seorang pun yang dapat melihat isi tas Anda. Kemudian Anda pergi dengan Just ke tempat dekat penyihiran dengan Nona Bergner. Nona Bergner masih tergeletak di tempatnya. Anda tidak pergi ke tempat itu dan melihat jenazahnya?”
Tertuduh: “Tidak.”
Ketua: “Tetapi Anda toh berani menjalankan penyihiran dengan Just di dekat jenazah. Bukankah ada kemungkinan ia menjadi saksi yang rewel? Apakah Anda benar-benar menginginkan penyihiran dengan burung dara putih?”
Tertuduh: “Ya. Burung dara itu akan dikurbankan.”
Ketua: “Apakah benar dikurbankan?”
Tertuduh: “Tidak. Karena kesalahan Just, ia diterbangkan. Kemudian kami pulang.”
Ketua: “Anda telah menceritakan yang bukan-bukan tentang nasib Nona Bergner. Anda mengatakan bahwa roh yang dipanggil marah dan mengambil Nona Bergner dengan jilatan api.”
Tertuduh: “Ya.”
Tertuduh lebih lanjut mengakui bahwa waktu meninggalkan rumah Nona Bergner, ia menimbulkan kecurigaan pada Nyonya Beck (tetangga sebelah) dan pemilik rumah. Nyonya Beck malahan menghampirinya. Ia dapat meloloskan diri dan segera pergi dari Berlin ke Dalmin, ke rumah orang tuanya.
Ketua mengetahui bahwa tertuduh ingin mencari pekerjaan di Kopenhagen, Christiania, atau di Swiss. Ia juga telah menyebarkan kabar bohong tentang tempat tinggalnya. Ia mengirim surat ke Berlin, yang katanya surat dari istrinya. Sebenarnya surat yang ditulis sendiri. Isinya menerangkan bahwa ia meninggalkan Berlin untuk pergi ke luar negeri dengan membawa anak asuhnya, Misch, serta seorang anak lagi yang masih bayi.
Pembela menyatakan, bahwa menurut seorang guru besar di sebuah universitas, Dr. Levin, minuman sihir abad pertengahan juga mengandung striknina. Katanya ada hubungan antara buku-buku sihir abad pertengahan dan buku-buku sihir kini.
Menurut tertuduh, di lingkungan keluarganya menujum dengan kartu. Selain itu, ramuan-ramuan sihir dan Iain-lain itu sudah temurun.
Dr. Passauer dan Dr. Schichtling memberi keterangan tentang mayat pada waktu ditemukan. Tidak ada gejala keracunan waktu pembedahan mayat. Sebagai sebab kematian disebut mati membeku. Dr. Passauer juga telah memeriksa tertuduh yang katanya sering mendapat serangan epilepsi, akan tetapi tidak dapat menemukan gangguan jiwa yang berarti. Pengamatan yang lebih lama tidak dianggap perlu oleh Dr. Passauer.
Akan tetapi pembela meminta agar seorang psikiater lain memeriksa tertuduh lagi karena epilepsinya sering kambuh.
Ketua: “Jaenicke, apakah Anda sadar bahwa Anda agak lemah ingatan?”
Tertuduh: “Tidak, kecuali bahwa saya bisa melihat makhluk halus.”
Hakim yang pertama memeriksa dan diminta sebagai saksi, yakni Hakim Gillischewski, mengatakan bahwa selama pemeriksaan awal ia sama sekali tidak ragu-ragu akan kesehatan jiwa tertuduh. Pembela sekali lagi meminta psikiater untuk memeriksa lebih lanjut. Sidang baru ingin memberi keputusan sesudah semua bukti lengkap.
Ahli kimia yang bekerja pada pengadilan, Dr. Bischoff, menerangkan bahwa ia telah menemukan sejumlah striknina pada mayat. Separuh dari jumlah yang ada saja sudah cukup untuk membunuh. Mungkin, Nona Bergner tidak segera meninggal setelah jatuh, akan tetapi 10 atau 15 menit kemudian.
Sebagai saksi pertama didengar si kecil Bruno Misch. Anak yang tampak cerdas itu mengaku bahwa ia sering disuruh tertuduh pergi ke Nona Bergner untuk mengambil uang. Ia juga pernah pergi sekali dengan Jaenicke ke tempat Just. Ia melihat Just “diasapi” dengan cairan yang dituangkan dari botol.
Waktu Jaenicke pergi ke Teufelssee, maka Nyonya Jaenicke menyuruhnya ikut, meskipun tidak disetujui Jaenicke. Bruno Misch katanya sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang penyihiran permulaan di Danau Teufelssee. Ia melihat Jaenicke memakai pakaian biarawan dan topeng. Ia juga melihat bahwa ke dalam tempat air dimasukkan puyer putih.
Kemudian Jaenicke memberikan tempat itu pada Nona Bergner dan menyuruhnya agar meminum air sampai habis, tidak boleh ada setetes pun yang tertinggal. Nona Bergner melakukannya. Ia harus melemparkan tempat “ramuan” itu ke belakang lewat bahu lalu pergi ke arah Jaenicke.
Beberapa langkah kemudian Nona Bergner jatuh. Jaenicke menyatakan bahwa Nona Bergner melihat setan. Lalu ia melepaskan sesuatu dari leher Nona Bergner. Barang itu nampaknya hitam. Jaenicke membuangnya dan berkata bahwa Nona Bergner pingsan karena benda itu.
Kemudian mereka berdua kembali ke Berlin. Dalam perjalanan Jaenicke bertanya apakah Nona Bergner mempunyai uang dan di mana disimpannya. Jaenicke mengambil uang itu. Bruno membantu membawa barang-barang ke penggadaian. Jaenicke mendapat uang 28 mark. Jaenicke menandaskan agar jangan mengatakan apa-apa, kalau mulutnya bocor nanti ia masuk penjara juga. Ia diberi 1,05 mark oleh Jaenicke agar tutup mulut. Karena ketakutan, ia tidak berkata apa-apa waktu diperiksa pertama kali.
Just, seorang pembantu rumah tangga yang kini sedang menganggur, menerangkan: “Saya berkenalan dengan Jaenicke bulan Februari karena membaca sebuah iklan. Pada iklan “si Gipsi Jaenicke” menawarkan diri untuk menujum lewat kartu dan dengan membaca telur. Saya menyangka bahwa ia dapat memberikan saya sebuah ramuan yang kemudian akan menyebabkan para wanita jatuh cinta pada saya. Jaenicke menyanggupi. Saya harus menulis surat, kemudian surat harus ditinggalkan sehari. Selain itu saya harus memasukkan bunga ke dalam cairan yang berwarna merah, mengeringkannya, dan dimasukkan ke dalam surat. Saya harus membayar 5 atau 6 mark untuk nasihat itu.”
Ketua: “Apakah Anda mencoba ramuan itu?”
Saksi: “Ya, untuk seorang gadis yang tinggal di Perlebergerstrasse. Sama sekali tidak ada hasilnya.”
Publik tertawa mendengarnya.
Ketua: “Apa yang terjadi sesudah ramuan itu gagal?”
Saksi: “Kemudian Jaenicke memberikan puyer yang berbau naptalin. Saya harus menaburkannya di anak-anak tangga.”
Ketua: “Itupun Anda kerjakan?”
Saksi: “Ya. Pada seorang wanita yang lebih tua dan kaya. Akan tetapi juga tidak berhasil.”
Ketua: “Kemudian apa yang terjadi?”
Saksi: “Jaenicke menyatakan bahwa kami harus memanggil setan. Ia bertanya apakah saya berani. Saya menjawab, ya, saya berani. Lalu ia memerciki kamar saya dengan cairan. Saya harus mengucapkan mephisto. Tetapi setan tidak datang.”
Ketua: “Mengapa tidak?”
Saksi: “Menurut Jaenicke mungkin saya membuat setan itu marah. Jadi harus dicoba sekali lagi. Dengan darah, saya harus menulis demikian: ‘Setan sayang, saya ingin engkau membantu agar sejak saat ini Nyonya Friederike V. Wigand mencintai saya di atas segala-galanya dan mengabulkan semua keinginan saya dengan segera. Ia harus mengurus saya dan dengan segera memberikan cintanya kepada saya. Nanti Nyonya Dautsch dan Nyonya Diermann harus mencintai saya pula dengan benar-benar. Ketiga wanita ini tidak boleh mencintai orang lain selain saya. Setan sayang, jika engkau berhasil membuat ketiga wanita itu tidak tenang tanpa saya, maka saya akan selalu mengabdi kepadamu.’”
Ketua: “Ah, apakah Anda tidak dapat menduga bahwa hal yang demikian anehnya itu tidak dapat menolong Anda?”
Saksi: “Memang tidak menolong. Jaenicke menyatakan bahwa setan harus dibujuk lagi.”
Ketua: “Apakah Anda memberikan uang lagi kepada Jaenicke?”
Saksi: “15 mark.”
Ketua: “Apakah Anda pernah membelikan zat asam biru dan striknina?”
Saksi: “Ya, zat asam biru untuk anjing dan striknia untuk tikus. Jika tertuduh sedang menyihir, ia selalu menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Sekali ia mengatakan bahwa ia melihat setan dalam bentuk kucing hitam dengan ekor besar, sedang duduk di bahu saya. Saya tidak merasa apa-apa.”
Pernyataannya itu membuat hadirin tertawa lagi.
Ketua: “Apakah Anda tidak merasa bahwa Anda korban penipuan besar?”
Saksi: “Saya seperti disihir Jaenicke.”
Saksi masih menceritakan bahwa: “Eugen Jaenicke menjanjikan bahwa dengan pertolongan orang-orang kerdil di Teufelssee, saya dapat berbaikan lagi dengan setan dan akan mendapat 150 mark. Oleh karena itu saya pergi ke sana dengan tertuduh. Di Nowawes saya membeli burung dara putih. Kemudian kami meneruskan perjalanan ke Teufelssee. Di situ kami mengelilingi danau. Jaenicke berlutut, menggumamkan beberapa kata yang tidak dapat didengar dan memerintahkan saya untuk melepaskan burung dara. Sesudah itu Jaenicke berkata kepada saya, ‘Kini Anda telah mencapai apa yang diidam-idamkan ribuan orang.’”
“Akan tetapi setan tidak datang. Waktu saya menanyakan itu kepada Jaenicke ia menjawab, ‘Malah lebih baik. Jika setan muncul, maka Anda akan mengalami nasib sama seperti Nona Bergner!’ Saya telah membelikan racun untuk tertuduh pada tanggal 16 Maret. Tetapi Jaenicke tidak mengatakan bahwa racun itu diminum seseorang pada waktu menyihir.”
Polisi berpendapat bahwa sebenarnya Jaenicke membawa Just ke Teufelssee untuk dibunuh pula. Mungkin Jaenicke berpendapat bahwa jika kedua mayat ditemukan berbaring berdua, orang akan menyangka bahwa mereka bunuh diri karena kasih tidak sampai. Inspektur Braun berpendapat bahwa tertuduh sama sekali bukan orang yang sakit jiwa. Sebaliknya, ia justru adalah seorang yang lihat yang berspekulasi dengan kebodohan sesama manusia. Semuanya dilakukan agar dapat menarik uang banyak.
Komisaris Hille menyatakan, “Jaenicke mungkir waktu diperiksa pertama kali di Perleberg. Dalam perjalanan di Berlin ia akhirnya mengaku, bahwa karena kesalahannyalah Nona Bergner meninggal.”
Saksi berikut Nona Schnelle. Ia menyatakan bahwa ia tinggal bersama Nona Bergner di Berlin dan juga kenal baik dengan korban. Luise Bergner hidup menyendiri dan bekerja keras. Beberapa waktu sebelum Natal ia meminjamkan uang 124 mark kepada Nona Bergner, karena kawannya itu tidak mendapat pesanan jahitan. Ia meminjamkan uang itu karena percaya pada Nona Bergner. Akan tetapi mungkin Nona Bergner telah menghabiskan uang itu untuk penyihiran. Nona Schnelle sendiri pernah juga menujum kartu pada Nyonya Cordus. la berpendapat bahwa ia ditipu Nyonya Cordus.
Seorang saksi lain menyatakan bahwa Jaenicke bermaksud untuk mengosongkan rumah Nona Bergner. Sebab ia sudah memesan mobil pengangkut perabot.
Kemudian muncullah saksi wanita Gipsi Cordus. Ia menjawab pertanyaan hakim bahwa ia berusia 34 tahun. Karena persoalan undian dengan Nona Schnelle, ia didenda 50 mark. Ia telah belajar melihat kartu dari seorang wanita tua dan di dalam iklan-iklannya ia selalu menamakan diri “Gipsi”. Katanya ia berhak menamakan diri demikian karena orang tuanya sebagai tukang batu telah mengembara selama 23 tahun.
Ia dilahirkan di dalam gua di Allenstein dan sudah sejak kecil disebut “anak Gipsi”. Ia juga dapat membaca garis-garis tangan. Ia menyatakan sama sekali tidak mengenal Jaenicke. Ia kenal baik dengan Nona Bergner. Honornya sampai 50 pfennig setiap kali. Ia menolak pengakuan tertuduh bahwa dialah yang memberikan jimat kepada Nona Bergner. Jimat itulah yang selalu dipakai di leher korban. Tidak benar bahwa ia mempunyai “jimat” lain yang berupa buah kelapa untuk menangkal iri hati dan cemburu di rumah.
Pada hari persidangan kedua, penjaga hutan Borm memberi kesaksian bahwa pada tanggal 29 Maret ia menemukan mayat Nona Bergner di hutan dekat Teufelssee. Mayat dalam keadaan mengerikan. Muka menunjukkan bahwa Nona Bergner meninggal kejang.
Seorang yang bernama Luck dari Firma Schuett & Kindermann tempat Nona Bergner bekerja, memberi kesaksian bahwa Nona Bergner rajin dan rapi. Ia mendapat 20 sampai 30 mark seminggu. Ia masih mempunyai 25 buah rok yang berharga 10,50 mark sebuah di rumahnya. Jadi yang dicuri tertuduh berharga 262,50 mark. Tertuduh hanya mendapat 29 mark untuk barang-barang tersebut. Nona Bergner sama sekali tidak kelaparan seperti yang dikatakan Jaenicke. Sebenarnya mulai hari Natal sampai saat dibunuh, ia akan mendapat penghasilan 216 mark.
Guru yang mengajar anak didik Misch menyatakan bahwa anak itu rajin dan jujur.
Tetangga Nona Bergner menyatakan bahwa Nona Bergner pernah didatangi oleh seorang pria yang agaknya kenal baik dengan korban. Waktu ditanya Nona Bergner menjawab bahwa orang itu tinggal di Wienerstrasse, di tempat ia dulu tinggal.
Pembela meminta agar dengan perantaraan kantor polisi Berlin, pria tersebut dicari dan dipanggil sebagai saksi agar dapat menerangkan hubungannya dengan Nona Bergner dan juga menerangkan apakah ia mendapat uang dari Nona Bergner.
Sidang menolak permintaan yang tidak pada tempatnya itu.
Kemudian ditanyakan apakah buku Kabale und Liebe karangan Dr. Faustulus benar-benar ada. Sebab kata tertuduh, buku itu dipakai sebagai sumber ramuan dan petunjuk oleh tertuduh. Jaksa menyuruh mencari keterangan tentang buku tersebut, akan tetapi buku itu tidak ada. Ada buku yang bernama Zauber und Liebe karangan Dr. Faustulus, namun tidak memuat ramuan dan petunjuk sihir.
Pembela menyatakan: “Jika orang mempercayai keterangan tertuduh bahwa ia hanya bertindak menurut petunjuk buku sihir, maka ia hanya bersalah melakukan pembunuhan tidak sengaja. Oleh karena itu saya menuntut agar didengar kesaksian seorang yang bernama F.W. Regler dari Rohna di dekat Hirschfeld di Sachsen. Ia dapat membuktikan bahwa di dalam katalog sebuah toko buku di Hamburg ada buku Kabale und Liebe karangan Dr. Faustulus. Lebih lanjut saya menuntut, agar diperbolehkan membuktikan bahwa di dalam buku-buku sihir demikian, meminum racun keras dianjurkan.”
Ketua: “Tertuduh, Anda tetap pada pendirian bahwa di dalam buku sihir pemakaian striknina dianjurkan?”
Tertuduh: “Ya.”
Ketua: “Apakah jumlahnya juga ditentukan?”
Tertuduh: “Seujung pisau.”
Ketua: “Apakah banyaknya zat asam biru ditentukan?”
Tertuduh: “Zat asam biru ‘kan hanya untuk dicium.”
Ketua: “Dengan demikian Anda berpendapat bahwa Anda berhak memberi racun? Saya pribadi sudah tidak mau mencari buku itu.”
Tertuduh: “Sudah sejak kecil saya menyihir. Sering saya memakai arsenikum dan tidak seorang pun yang celaka.” Pembela memohon untuk mengundang guru besar universitas, Dr. Levin. Ia akan menerangkan bahwa penyihir selalu memberikan racun keras.
Ketua: “Apakah masuk akal, bahwa Profesor Lewin memberi pernyataan demikian?”
Pembela: “Mengapa tidak! Selain itu Profesor Lewin akan menerangkan juga apa yang dinamakan ‘mata burung gagak’. Saya juga memohon agar hadir Dr. Kieswetter, yang dapat dicari dengan perantaraan Toko Buku Spohr. la dapat menerangkan bahwa cara-cara sihir abad pertengahan ada hubungannya dengan cara-cara sihir kini.”
Ketua: “Kalau demikian Anda harus ingat pada pernyataan ahli kimia Dr. Bischoff, bahwa striknina baru dikenal pada tahun 1825.”
Karena tuntutan Jaksa maka permohonan pembela itu ditolak oleh sidang. Menurut kesaksian saksi Just yang disumpah, tertuduh tidak memiliki buku Kabale und Liebe karangan Dr. Fausfulus.
Kemudian dipanggil saksi Nyonya Monds. la berusia 29 tahun, ibu dari 6 anak. la bekerja di sebuah kantor detektif sebagai detektif. la juga membaca iklan tertuduh, di mana tertuduh menyebut dirinya seorang Gipsi. la pernah mengunjungi tertuduh untuk meramalkan nasibnya dari kartu. Jaenicke memberinya cairan yang harus diteteskan di atas cokelat dan puyer yang harus ditaburkan di anak tangga. la membawa benda-benda itu.
Ketua: “Saksi Just, maju! Lihatlah puyer itu. Samakah dengan yang Anda dapat dari tertuduh?”
Saksi Just: “Bukan. Puyer saya berbau naptalin. Yang ini tidak berbau apa-apa.”
Tertuduh tidak mampu lagi untuk menyatakan apakah puyer itu. Sesudah penelitian yang hanya sekadarnya saja, maka ahli kimia Dr. Bischoff menyatakan bahwa puyer itu terdiri dari kunir, gula, dan sedikit lemak.
Waktu ditanyai lebih lanjut saksi Monds menerangkan, “Saya ingat tertuduh berkelakuan aneh. la memberi kesan mengerikan. Lagipula seluruh lengannya dirajah.”
Atas permintaan hakim, maka tertuduh menunjukkan lengannya yang dirajah. Di samping cincin serta pedang dan seekor ular, ada tulisan “Mati untuk pengkhianat!”
Nyonya Ida Jaenicke, yang kemudian menghadap sebagai saksi, umurnya 10 tahun lebih tua daripada suaminya yang menjadi tertuduh. la dahulu menjadi pembantu rumah tangga di rumah Sekjen Podbielski. la mengetahui bahwa suaminya memakai racun jika menyihir. Ia juga tahu bahwa suaminya akan pergi ke Teufelssee. Suaminya sangat gugup dan sering mendapat serangan kejang. Oleh karena itu ia meminta si kecil Bruno Misch agar ikut ke Teufelssee. Tidak ada seorang pun yang menceritakan apa yang telah terjadi di sana. Bahwa Ia akan pergi dari Berlin itu sudah direncanakan terlebih dahulu.
Ketua menyatakan bahwa kesaksian tidak dapat diberikan di bawah sumpah.
Saksi menerangkan bahwa ia dan suaminya ingin pergi ke kota lain. Kadang-kadang suaminya mengira bahwa dirinya seorang pangeran. Karena melahirkan terlampau dini, si istri jatuh sakit sehingga suaminya harus berhenti bekerja untuk sementara, kemudian untuk selamanya. Ia lalu menerima anak asuh dengan bayaran. Sejak saat itu, hidup mereka sulit. Oleh karena itu, suaminya mulai menyihir.
Jaksa: “Anda menyatakan bahwa baru Hermann Just yang mendorongnya dan bahwa ia belajar dari Just.”
Saksi: “Ya.”
Ketika saksi didengar keterangannya, tertuduh menangis terisak-isak. Ayah tertuduh, pembuat panci Franz Jaenicke dari Dalmin, menerangkan bahwa anaknya sering kejang dan seakan-akan tidak waras. Itu karena ia melihat makhluk halus. Sekali ia pergi naik perahu kecil, katanya akan pergi ke Amerika. Ia hanya mencapai Havelberg, lalu harus dijemput dari Hamburg.
Juga saksi Schmitz dari Dalmin, seorang kawan sekolah, ditanyai tentang keadaan jiwa si tertuduh. Ia mengenal tertuduh sebagai seorang yang agak aneh, yang selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa dan selalu melihat makhluk halus. Jaenicke juga selalu mengatakan bahwa manusia berasal dari binatang dan bunga serta pernyataan lain yang aneh.
Schmitz pernah menasihati tunangan Jaenicke dan yang kemudian menjadi istrinya agar jangan bergaul dengan Jaenicke, “nanti ia jadi tidak waras.” Tertuduh selalu hanya melamun dan tiba-tiba mulai berdoa.
Nyonya Boerner, seorang bibi tertuduh, menyatakan bahwa sejak kanak-kanak Jaenicke suka membaca apa saja.
Nyonya Mathilde Jaenicke, nenek tertuduh berusia 73 tahun. Ia juga diminta sebagai saksi. Ia menyatakan bahwa Jaenicke waktu masih kanak-kanak sering kejang. Akan tetapi tidak benar bahwa ia mengajar cucunya menyihir.
Agar didapat lebih banyak keterangan mengenai keadaan jiwa tertuduh, maka dibacakan sebuah surat ditulis tertuduh kepada istrinya dari penjara:
Istri tersayang,
Sebenarnya lebih baik kukerjakan apa yang semula sudah kujanjikan kepada Just. Sebab akulah yang akan terbaring di tempat di mana kini Nona Bergner berbaring. Hatimu berkata bahwa aku bukan orang yang jahat dan bersalah seperti dikatakan semua orang dan Tuhan Maha Tahu. Seluruh dunia boleh mengutukku. Yang di atas akan mengampuniku. Penggerak yang sebenarnya kini berjalan-jalan dengan bebas. Ia dibebaskan karena mempunyai dua anak yang tidak bersalah. Tetapi yang Maha Kuasa, yang di atas kita, akan menghukumnya dan hukuman itu akan sangat berat. Jika saya menuruti apa yang ia kehendaki, maka saya juga akan terbaring di situ dan orang akan menyatakan bahwa kami dua sejoli. Tetapi hal itu tidak terjadi sehingga kini saya berdiri di sini sebagai pembunuh.
Eugen yang mencintaimu.
Ketua: “Apakah yang disarankan oleh Just kepada Anda?”
Tertuduh: “Dialah yang mendorong saya menyihir. Kemudian direncanakan agar Nona Bergner dan saya minum dari tempat air yang sama pada waktu penyihiran.”
Saksi Just menyangkalnya.
Kemudian sekali lagi para ahli dipanggil, Dr. Passauer, Dr. Karst, dan Dr. Schlichting, semua tidak meragukan kesehatan jiwa tertuduh.
Kepada juri diajukan pertimbangan. Atas permohonan pembela diajukan pertimbangan kedua yaitu bahwa tertuduh membunuh dengan tidak disengaja.
Sesudah itu Jaksa V. Dithfuth memulai pledoinya. Ia melukiskan hidup Jaenicke yang penuh petualangan dan kepercayaannya yang bukan-bukan seperti yang telah dibicarakan di dalam persidangan.
Katanya: “Tertuduh sama sekali tidak sakit jiwa, akan tetapi dapat dimintai pertanggungjawaban penuh atas apa yang telah dikerjakannya. Mungkin ada orang yang percaya bahwa mereka mempunyai kekuatan yang luar biasa. Tertuduh tidak tergolong orang demikian. Ia mengerti bagaimana caranya menguasai orang-orang yang mau saja menurutinya dengan ikhlas.
“Ia berlaku cerdik dan hati-hati, tetapi ketika Nona Bergner mengetahui maksudnya maka ia menganggap perlu untuk membunuhnya. Racun yang diberikan Just padanya, datang pada waktunya. Mungkin ia mempunyai rencana yang lebih jahat, yakni tidak saja membunuh Bergner tetapi juga Just di Teufelssee. Tujuannya agar mayat-mayat memberi kesan bahwa mereka sejoli yang malang.
“Apa yang dikerjakan di Teufelssee, sudah jelas berkat keterangan si kecil Misch. Tidak diragukan lagi bahwa tertuduh diam-diam memberikan racun kepada Bergner, dengan maksud membunuhnya karena menjadi saksi penipuan-penipuannya. Kemudian ia merampok milik korban. Segera sesudah membunuh ia pergi ke rumah Nona Bergner untuk mencuri sebagaimana direncanakannya. Dan ia mengerjakan rencana itu dengan membabi buta sehingga ketahuan. Saya menuntut agar tertuduh dihukum atas dasar pembunuhan.”
Pembela Dr. Baum mencoba untuk membuktikan bahwa tertuduh tidak mempunyai maksud untuk membunuh. la percaya benar akan keampuhan kekuatan sihirnya. Mungkin saja ia bersalah mencampur ramuan sihir. Oleh karena itu hanya dapat dituntut membunuh dengan tidak sengaja. Bahwa ia tidak bermaksud membunuh, terutama dibuktikan dengan dibawanya anak kecil Misch. Tidak dapat diharapkan bahwa anak itu diam terus. Sebetulnya mudah saja untuk menjauhkan anak itu dari tempat penyihiran.
Pembela akhirnya berpendapat bahwa tertuduh hanya dapat dituntut membunuh dengan tidak disengaja dan ia tidak dapat sepenuhnya dimintai pertanggungjawaban.
Sesudah berunding sejenak, juri memutuskan Eugen Janicke bersalah melakukan pembunuhan.
Karena itu sidang menghukum tertuduh dengan hukuman mati dan ia kehilangan semua hak sebagai warga negara untuk seterusnya. Hukuman mati itu kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup.
(Hugo Friedlaehder)
Baca Juga: Kartu Nama yang Membuka Rahasia
" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760928/nona-berger-dibunuh-dengan-sihir" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1685096959000) } } [1]=> object(stdClass)#69 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3725993" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#70 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/penculiknya-mirip-tsar-nikolas-i-20230406072139.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#71 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Berlin digemparkan dengan kasus penculikan salah satu anggota Merkel Sisters. Beberapa saksi mengatakan penculiknya mirip dengan Tsar Nikolas II." ["section"]=> object(stdClass)#72 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/penculiknya-mirip-tsar-nikolas-i-20230406072139.jpg" ["title"]=> string(33) "Penculiknya Mirip Tsar Nikolas II" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:21:49" ["content"]=> string(42320) "
Intisari Plus - Kota Berlin digemparkan dengan kasus penculikan salah satu anggota Merkel Sisters. Setelah ditelusuri, beberapa saksi mengatakan bahwa penculiknya mirip dengan Tsar Nikolas II.
----------
Seluruh kota Berlin gempar, ketika tanggal 21 November 1908 seorang anggota Merkel Sisters diculik orang!
Merkel Bersaudara ini adalah empat wanita penari berkebangsaan Inggris, yang memukau publik di Berlin karena kerapian langkah tari mereka. Merkel Sisters bisa dipandang pendahulu Revue Girl yang kenamaan dari tahun-tahun 20-an.
Pagi itu anggota rombongan itu yang paling muda tidak muncul untuk melakukan latihan seperti biasanya.
Mary — demikianlah nama gadis itu — malam sebelumnya setelah pertunjukan selesai kembali ke hotel bersama ketiga saudaranya dan langsung masuk ke kamarnya. Ketiga gadis bersaudara itu sangat menjaga nama baik mereka. Sehabis pertunjukan, tidak pernah keluyuran. Keesokan paginya Mary masih sarapan di kamar, seperti biasanya. Tapi setelah itu, ia lenyap!
Kegelisahan semakin memuncak ketika malam itu Mary belum juga kembali. Ketiga saudaranya terpaksa mengadakan pertunjukan tanpa dia. Ketiga kakaknya memohon pada direksi Wintergarten, yaitu gedung tempat mereka mengadakan pertunjukan, agar menghubungi polisi.
Kedua polisi yang memeriksa bersikap skeptis. Mereka tidak bisa membayangkan penari yang cantik-cantik seperti mereka mengaku tidak punya kenalan pria. Jadi polisi curiga, jangan-jangan kejadian itu cuma siasat pemasaran belaka untuk menarik perhatian masyarakat.
Karenanya pengusutan pada mulanya berjalan dengan tersendat-sendat. Ketika beberapa hari sudah berlalu dan gadis yang hilang itu tidak muncul-muncul juga, barulah beberapa petugas disuruh melakukan pengusutan lebih lanjut. Tindakan itu antara lain juga terdorong oleh pemberitaan yang dimuat dalam koran-koran.
Pengusutan berpangkal pada dugaan yang paling logis. Inspektur Zimmermann yang diserahi tugas itu membayangkan, apakah yang akan dilakukan seorang gadis yang juga penari, apabila ia dikekang begitu ketat? Pasti ia sekali-sekali ke pinggir juga mengenal kehidupan kota besar seperti Berlin. Dan itu paling enak dilakukan jika ditemani seorang pria.
Tapi baik rekan-rekan seniman di Wintergarten mau pun para pengawal hotel tempat Mary Merkel menginap, belum pernah melihatnya bersama seorang pria. Kemudian pengusutan dilanjutkan di sebuah kafe di pojok jalan, tempat para seniman Wintergarten biasa berkumpul. Lalu diteruskan ke berbagai klub malam yang terdapat di sepanjang Friedrichstrasse.
Tetapi di mana-mana tidak ada yang merasa pernah melihat Mary Merkel, walau polisi tidak bosan-bosannya menunjukkan foto gadis itu. Pencarian lantas diteruskan ke barat, ke tempat-tempat umum sekitar Kurfurstendamm. Akhirnya sampai di Romanisches Cafe. Ternyata justru di tempat yang sama sekali tak terduga-duga itu akhirnya ditemukan jejaknya. Kepala pelayan ingat bahwa pada tanggal 21 November siang ia berbicara dengan Mary Merkel.
“Saya ingat sekali karena kami berbicara dalam bahasa Inggris,” kata pelayan restoran itu. “Ia bertanya pada saya tentang keadaan kafe serta para tamunya dan terutama tentang masing-masing seniman yang tampil di sini. Kelihatannya wanita itu sedang menunggu seseorang. Dan kemudian memang datang seorang laki-laki padanya.”
“Anda masih bisa mengingat orang itu dan menyebutkan bagaimana rupanya pada kami?” tanya Inspektur Zimmermann.
Pelayan itu mengingat-ingat sebentar, “Saya cuma ingat bahwa ia juga berbahasa Inggris — tapi nanti dulu! Masih ada lagi yang saya ingat ya, saya tahu lagi sekarang. Orangnya agak mirip tsar Rusia dan bercambang seperti pemimpin Kekaisaran Rusia itu.”
Itu merupakan petunjuk yang bisa dijadikan pegangan. Soalnya, zaman itu orang Jerman kebanyakan tahu bagaimana tampang Nikolas II. Juru gambar di kantor pusat pasti bisa membuat gambarnya.
“Anda kenal laki-laki itu?” usut Zimmermann lebih lanjut.
“Saya setidak-tidaknya belum pernah melihatnya di sini. Tapi mungkin ada rekan saya yang ingat”
Zimmermann menunjukkan foto Mary Merkel pada para pelayan ditambah dengan keterangan mengenai pria yang menemaninya di situ. Tapi para pelayan itu tak seorang pun yang merasa pernah melayani pria yang dilukiskan.
Sekembalinya di kantor pusat, Zimmermann langsung meminta pada juru gambar agar dibuatkan wajah seorang pria yang mirip Tsar Nikolas II. Dengan gambar itu ia kemudian kembali ke Romanisches cafe.
“Janggutnya lebih gelap warnanya,” kata kepala pelayan yang ditanyai. “Kumisnya tidak sebegitu lebar sedang janggutnya dicukur pada dua tempat. Tapi selebihnya, menurut pengamatan saya sudah persis.”
Gambar yang sudah dikoreksi dimuat dalam koran-koran bersama foto Mary Merkel, juga dipasang pada papan-papan pengumuman.
Beberapa jam saja setelah dimuat dalam koran, seorang kusir kereta kuda menelpon untuk melaporkan bahwa dua hari yang lalu ia mengantarkan kedua orang itu, dari Wielandstrasse ke Bahnhof Zoo, jadi ke stasiun dekat kebun binatang. Kusir itu diminta agar segera datang ke kantor pusat. Tetapi ia tidak bisa memberikan keterangan lebih lanjut.
Ia lantas diajak polisi ke Wielandstrasse. Ternyata ia masih ingat, ke rumah mana ia waktu itu diminta datang. Papan nama losmen yang terpasang di pintu masuk, menunjukkan di mana mereka harus mulai dengan penyelidikan lebih lanjut.
Ternyata orang-orang di losmen belum membaca koran hari itu. Tetapi bisa diberikan keterangan bahwa sampai belum lama berselang di tempat itu menginap seorang tuan berkebangsaan Rusia. Namanya Zaharov. Teman wanita tuan itu juga ikut dengannya selama beberapa hari. Tapi tiba-tiba wanita itu jatuh sakit dan terpaksa tinggal di tempat tidur terus. Wanita itu berbangsa Inggris.
Inspektur Zimmermann langsung tertarik. Apa-apaan lagi ini? Miss Merkel seorang penari, jadi kondisi fisiknya tentu sempurna. Sedang menurut informasi yang diperoleh, gadis itu selama hari-hari belakangan tidak menampakkan gejala-gejala akan sakit. Di sini ada sesuatu yang tidak beres!
“Anda ingin memeriksa kamar yang disewa?” tanya wanita pemilik losmen. Hari sebelumnya hari Minggu, jadi kamar itu belum dirapikan lagi untuk tamu berikut. Hanya kamar yang dipakai tuan Zaharov saja yang sudah dibereskan dan sudah dipakai tamu lain.
Ketika Zimmermann memasuki kamar yang ditempati wanita yang mestinya Mary Merkel, ia agak kaget. Kamar itu kocar-kacir keadaannya. Tempat tidur acak-acakan, kedua lemari yang ada di situ terbentang lebar pintu-pintunya. Dan di lantai terserak sobekan kertas. Keadaan begitu hanya mungkin jika kepergian dilakukan dengan sangat tergesa-gesa.
Zimmermann lantas menanyakan pada pelayan yang bertugas membereskan kamar-kamar, apakah ia sering mendengar kedua tamu itu bertengkar. Dengan agak ragu, gadis pelayan itu mengangguk.
“Tapi saya tidak memahami kata-kata yang diucapkan tamu yang wanita,” katanya. “Ia berbicara dalam bahasa asing. Tapi tuan Zaharov selalu berhasil menenangkannya kembali lalu wanita itu pulas lagi. Sering sepanjang hari saya tidak bisa masuk ke dalam kamarnya karena ia tidur terus.”
Keterangan pelayan itu kedengaran aneh. Inspektur Zimmermann meneliti kamar dengan lebih saksama lagi. Di bak cuci ada sebuah botol berwarna cokelat, mirip yang biasa dipakai apotek. Dipegangnya botol itu dengan hati-hati pada bagian leher dan dimasukkannya ke dalam tas. Setelah itu sobekan-sobekan kertas yang terserak di lantai dikumpulkan. Pada beberapa di antaranya nampak angka-angka serta beberapa potongan kata dalam bahasa Inggris. Semuanya akan diperiksa di laboratorium.
Ternyata potongan-potongan kertas itu merupakan bagian dari sepucuk surat yang kelihatannya dialamatkan pada salah satu bank. Tapi baik nama bank maupun uang yang tertera tidak bisa diketahui.
Inspektur Zimmermann kembali menanyai ketiga bersaudara Merkel yang masih menunggu adik mereka di Berlin. Dari mereka Zimmermann mendapat informasi yang membuat perasaannya tidak enak. Mary, yang berpendidikan di bidang perdagangan, ternyata merupakan bendahara grup penari itu. Ia yang mencatat uang yang masuk dan keluar. Ia juga yang mengelola kekayaan mereka yang disimpan di Barkley Bank di London. Jangan-jangan Zaharov ingin menguasai harta itu, pikir Zimmermann.
Ia langsung bertindak cepat tanpa mengikuti alur birokrasi yang biasa. Ia mengirim kawat ke bank Inggris bersangkutan untuk menyarankan agar membekukan simpanan Merkel Sisters di bank itu.
Jawaban yang datang beberapa jam kemudian membenarkan dugaan Zimmermann yang paling buruk! Peringatannya datang terlambat. Tiga hari sebelumnya telah dipindahkan uang sebanyak 1.000 poundsterling ke Deutsche Bank.
Dengan segera Zimmermann menelepon Deutsche Bank. Tapi jawaban yang akan didengarnya sudah diduga lebih dulu olehnya. Uang itu sudah diambil sedang tanda penerimaan ditandatangani oleh orang yang bernama Mary Merkel.
Inspektur Zimmermann jengkel setengah mati. Semuanya terjadi hari Sabtu pagi, sebelum berita penculikan gadis itu dimuat di koran-koran dan dipasang di papan pengumuman di mana-mana! la pergi ke Deutsche Bank. Di sana ia mendapat keterangan bahwa Mary Merkel datang bersama seorang laki-laki, yang menurut indentifikasi jelas Zaharov.
Zimmermann benar-benar bingung saat itu. Tidak sampai setengah kilometer dari tempat ketiga kakaknya menunggu dengan bingung, Mary yang katanya sakit itu muncul di bank, bersama laki-laki yang mungkin menculiknya. Dan tak seorang pun di bank mengenal mereka. Setelah mengambil uang, keduanya kembali ke Wielandstrasse. Dan Mary Merkel ikut saja, tanpa perlawanan sedikit pun. Setelah itu barulah mereka buru-buru berangkat ke Bahnhof Zoo, di mana jejak keduanya lenyap. Zimmermann mengumpat-umpat.
“Masa mereka menghilang begitu saja,” katanya.
Ia menyebarkan pengumuman mengenai hilangnya gadis itu lewat administrasi jawatan kereta api, pada para petugas semua kereta yang berangkat dari stasiun itu. Kemudian pengumuman itu juga dipasang di segala stasiun. Tapi sia-sia. Tidak ada laporan masuk.
Dr. Fehrenbach dari laboratorium kimia datang pada Inspektur Zimmermann untuk menyerahkan hasil analisanya.
“Saya telah memeriksa isi botol cokelat yang Anda serahkan waktu itu,” katanya. “Hasilnya aneh! Saya menemukan sisa-sisa cairan pentatol dan karbamin, suatu campuran yang belum pernah saya jumpai sebelum ini. Apa efek campuran itu, perlu saya selidiki dulu dengan beberapa bahan bacaan yang ada. Hanya dari asam karbamin yang ada dalam larutan itu saya menduga bahwa larutan itu mempunyai efek bius.”
Inspektur Zimmermann lantas menceritakan laporan pelayan losmen pada dr. Fehrenbach.
“Ini benar-benar aneh,” kata ahli kimia itu kemudian, sambil merenung. “Saya dulu bekerja sebagai dokter angkatan laut di Tiongkok tahun 1900, ketika di sana pecah pemberontakan. Secara kebetulan saya mendapat keterangan dari seorang rekan bangsa Inggris: dengan campuran scopolamin dan morfium orang bisa dibius sehingga tidak berdaya. Jangan-jangan larutan itu juga begitu efeknya! Saya pernah membaca entah di mana bahwa orang Indian daerah Rio Grande bisa membuat minuman yang membuat orang lupa diri dari kaktus. Setelah mendengar Anda tadi tentang keadaan Mary Merkel, saya akan berusaha mencari artikel itu kembali. Mungkin dengan bantuan artikel itu pemeriksaan kita bisa diteruskan.”
Zimmermann menatapnya dengan sangsi. Dari mana Zaharov bisa memiliki pengetahuan khusus itu. Tapi dr. Fehrenbach menggeleng.
“Dalam bidang kami, tidak ada yang tidak mungkin,” katanya. “Saya berterima kasih atas informasi Anda sehubungan dengan keadaan penyakit gadis yang hilang itu. Saya memang belum melakukan analisa mengenai kemungkinan adanya meskalin dalam larutan itu karena saya tidak melihat ada hubungannya. Tapi kelihatannya gadis itu dibius. Sedang minuman yang dibuat orang Indian di Rio Grande itu mengandung zat meskalin. Saya akan melakukan penelitian lebih lanjut ke arah itu.”
Dr. Fehrenbach pergi tetapi tak sampai sejam kemudian sudah kembali membawa sebuah buku tebal. “Sudah kukira aku pernah membacanya,” serunya dengan gembira. “Dalam buku ini rekan H. Heffter memberitakan tentang gejala-gejala aneh yang dilihatnya pada orang yang terbius karena zat meskalin. Orang itu menjadi seperti tidak punya kemauan. Dengan gampang sekali bisa dipengaruhi dan mau disuruh melakukan apa saja. Lalu yang lebih penting lagi, saya menemukan jejak meskalin dalam larutan yang masih tersisa dalam botol cokelat itu!”
Zimmermann kaget mendengar kata-kata itu. Dr. Fehrenbach melanjutkan:
“Masih ada satu lagi, yang sebetulnya tidak termasuk bidang saya. Nama Zaharov itu menurut saya palsu. la bukan orang Rusia. Jadi Anda coba saja menyelidiki lebih lanjut dengan memakai sidik jari yang ditemukan. Mungkin saja orang itu berbangsa Inggris, kenalan lama Mary Merkel. Kabarnya di London sudah ada kumpulan sidik jari. Coba saja Anda meminta Scotland Yard menyamakan bekas jari yang ditemukan pada botol itu.”
Setelah itu dr. Fehrenbach hendak pergi lagi. Tapi sesampai di pintu ia berhenti sebentar.
“Masih ada satu lagi. Hampir saya lupa mengatakannya. Orang yang mengaku bernama Zaharov itu harus seorang ahli kimia atau setidak-tidaknya luas pengetahuannya di bidang itu. Anda coba tanya apotek-apotek, barangkali ada yang belum lama berselang menjual preparat yang mengandung asam pentatol atau karbamin. Perlu juga ditanyakan ke perusahaan-perusahaan yang menyalurkan obat-obatan. Karena menurut dugaan saya orang itu ahli kimia, ia bisa saja memperoleh bahan itu di sana. Tapi meskalin tidak dijual di sini. Mestinya ia memperolehnya dari Meksiko. Atau mungkin Texas.”
Penyelidikan Inspektur Zimmermann dengan segera membawa hasil. Zaharov ternyata memang mendatangi sebuah apotek, yaitu Elisabeth-Apotheke dekat Hallesches Tor. Di situ ia mengaku dokter dan meminta agar diberikan asam pentatol dan karbamin, yang diperlukannya untuk suntikan narkose.
Permintaan informasi menyangkut sidik jari pada pihak Scotland Yard ternyata tidak segampang yang diperkirakan dr. Fehrenbach. Waktu itu belum ada badan kepolisian internasional macam Interpol. Hanya lewat saluran diplomatik saja bisa diperoleh informasi kepolisian. Tapi lewat saluran itu, persoalan memakan waktu agak lama.
Sebelum polisi di Berlin menerima jawaban dari Scotland Yard apakah laki-laki yang dicari itu tercatat dalam dosir mereka, dari Leipe di Spreewald masuk laporan yang mengejutkan. Seorang wanita asing ditemukan di sana dalam keadaan seperti linglung. Wanita itu dikeluarkan dari sebuah mobil dan ditinggalkan di situ. Dokter yang buru-buru dipanggil dengan segera mengangkutnya ke rumah sakit di Lübben. Laporan itu disertai pemaparan ciri-ciri jelas wanita itu karena padanya sama sekali tidak ditemukan surat-surat indentifikasi.
Begitu Inspektur Zimmermann menerima laporan itu, dengan segera ia menelepon ketiga kakak-adik Merkel, lalu menjemput mereka di hotel untuk kemudian diajak naik kereta api ke Lübben.
Dan di sana harapan mereka terkabul! Gadis yang diserahkan ke rumah sakit ternyata memang Mary Merkel. Tapi ia tidak mengenali ketiga kakaknya yang datang. “Efek obat bius yang memengaruhi kesadarannya lenyap dengan pelan sekali,” kata dokter. “Masih beberapa hari lagi baru ia bisa ditanyai.”
Tapi pemeriksaan polisi yang pertama terhadapnya kemudian langsung menyibakkan beberapa hal yang menarik. Ternyata pada pagi hari tanggal 21 November itu Mary Merkel disapa seorang laki-laki di ruangan depan hotel tempatnya menginap. Ia berkenalan dengan laki-laki itu di rumah bibinya di London, beberapa waktu sebelum peristiwa itu.
Saat keduanya berjumpa di hotel, Mary sebetulnya hendak berbelanja. Laki-laki itu menawarkan diri untuk mengantar. Mary menerima tawaran itu karena ia sendiri tidak bisa berbahasa Jerman. Sedang laki-laki itu, yang ternyata Zaharov, lancar berbahasa Jermannya. Dan dengan segera ternyata Zaharov besar sekali jasanya. Ia bukan saja mengenal baik kota Berlin, tapi juga tahu mana toko-toko yang baik.
Ia menyarankan pada Mary Merkel agar pakaian dibeli di daerah barat saja dan jangan di Friedrichstrasse. Kemudian mereka naik kereta kuda menuju Kurfurstendamm. Di sana Mary berbelanja. Kemudian diajak makan-makan oleh Zaharov di sebuah restoran besar. Sehabis makan Zaharov meminta agar Mary Merkel menunggu sebentar di Romanisches kafe yang letaknya tidak jauh dari restoran itu, sementara ia pergi untuk mengurus sesuatu. Kata Zaharov di kafe itu sering mampir seniman-seniman yang menarik.
Belum lama Mary menunggu di situ, Zaharov sudah kembali lagi. Setelah itu mereka masih minum segelas sherry. Tapi tiba-tiba Mary merasa tidak enak badan. Zaharov menganjurkan agar cepat-cepat pergi ke dokter. Mereka berangkat dengan terburu-buru. Mary masih bisa ingat bahwa pengiringnya itu memanggil kereta kuda dan mereka naik kereta itu.
Setelah itu hanya samar-samar saja teringat olehnya bahwa tahu-tahu ia terbangun di suatu tempat tidur. Zaharov ada di sampingnya. Laki-laki itu menyuruhnya cepat-cepat minum obat supaya bisa segera diantar kembali ke hotel.
Itulah kejadian terakhir yang masih bisa diingatnya. Mary Merkel dengan keras membantah bahwa ia pergi ke bank untuk mengambil uang.
Inspektur Zimmermann masih berusaha mengorek keterangan lebih banyak. Tapi sia-sia. Mary Merkel tidak mampu mengingat apa-apa lagi setelah itu. Zimmermann sampai mulai menduga, jangan-jangan yang mengambil uang itu wanita lain. Zaharov jelas penjahat ulung. Baginya tentu tidak sulit untuk mendapat pembantu yang wajahnya bisa dibikin mirip dengan foto Mary Merkel di paspornya. Kecuali itu pegawai bank tidak pernah terlalu cermat meneliti orang-orang yang berurusan di situ.
Pokoknya, tanda tangan pada cek sebagai tanda penerima uang yang diambil, tampak agar bergetar dan tidak lancar. Tapi mungkin juga itu disebabkan karena pengaruh obat bius.
Semuanya bisa dijelaskan apabila pelakunya berhasil ditangkap. Tapi harapan untuk itu bisa dikatakan nihil, karena jawaban yang ditunggu-tunggu dari London hanya menyatakan dengan singkat bahwa sidik jari yang dikirim tidak tercatat dalam dosir Scotland Yard.
Akte berisi kasus Mary Merkel masih tetap tersimpan dalam laci meja kerja Inspektur Zimmermann. Akhirnya dipindahkan ke bagian arsip dengan catatan “pelaku tidak berhasil ditemukan” serta “pembahasan kembali dalam dua tahun”. Keterangan terakhir diperlukan agar perkara itu tidak sampai kedaluwarsa.
Musim panas tahun 1911 penduduk Berlin digemparkan lagi karena di kota itu terjadi serentetan pembongkaran brankas. Para pencuri terutama mengarahkan operasi mereka terhadap rumah-rumah gadai. Bukan saja uang tunai yang digondol tapi juga benda-benda berharga yang bisa dengan gampang dijual pada penadah.
Para pemilik rumah gadai yang merasa terancam tentu saja tidak tinggal diam. Mereka memasang berbagai peralatan pengaman. Tetapi walau begitu pencuri masih saja berhasil menerobos masuk. Inspektur Huthöfer, kepala bagian pembongkaran dan pencurian di kantor pusat kepolisian di Alexanderplatz setiap kali hanya bisa tercengang saja menghadapi hal itu.
“Kawanan itu bekerja menurut rencana matang,” katanya. “Setiap kesempatan baik mereka pergunakan dan mereka selalu menghilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Di tempat kejadian tidak ditemukan bekas-bekas jari karena mereka bekerja dengan sarung tangan. Selama ini di Berlin boleh dibilang belum pernah ada maling yang begitu cermat kerjanya.”
Karena keistimewaan ini para penjahat itu mendapat julukan populer, “Kawanan Maling Siluman”.
Pemilik suatu rumah gadai di Joachimsthaler Strasse paling bingung menghadapi situasi rawan itu. Soalnya, langganannya banyak dari kalangan berada, yang sering menggadaikan perhiasan mereka yang berharga apabila kebetulan di rumah sedang tidak ada uang tunai. Karena itu segala hal yang mungkin dilakukan olehnya untuk membuat tempat usahanya itu seaman mungkin. Tapi kawanan siluman tidak kalah panjang akalnya. Rintangan yang dipasang tidak merupakan penghalang karena mereka memang sama sekali tidak berusaha menerobosnya. Mereka masuk ke ruangan brankas dengan jalan membobol dinding kantor yang letaknya di sebelah!
Tapi mereka tidak mau bersusah payah membongkar brankas kokoh yang baru dibeli untuk mengganti yang lama. Dengan memakai semacam bor mereka membongkar brankas lama karena di situ tersimpan kunci cadangan brankas baru yang berada di sebelahnya. Dengan begitu mereka kemudian bisa membukanya dengan gampang saja.
Hal inilah yang sulit diselidiki keterangannya karena kunci cadangan itu dilekatkan pada sisi atas brankas. Dari luar kunci itu tidak keliatan menempel di situ. Hanya orang dalam saja yang mungkin mengetahui bahwa kunci disimpan di situ.
“Saya benar-benar tidak mengerti,” kata si pemilik rumah gadai itu pada Inspektur Huthöfer. “Orang luar tidak akan mungkin bisa menduganya!”
“Lalu pegawai-pegawai Anda?” tanya Huthöfer.
“Mereka tidak tahu apa-apa! Tapi tentu saja mungkin ada yang secara kebetulan mengetahuinya. Cuma yang membingungkan saya bukan itu saja. Di atas brankas tua kami terletak peti uang yang dipakai sehari-hari. Hanya saya dan pemegang kas saja yang memiliki kunci peti itu. Tapi kenyataannya peti itu dibongkar tanpa malingnya berusaha mencari dulu kuncinya.”
“Mungkin itu cuma kebetulan saja,” kata Inspektur Huthöfer. “Mungkin peti uang itu yang lebih dulu dibongkar.”
“Saya rasa tidak begitu! Mereka bekerja menurut rencana. Pertama-tama diambil dulu kunci cadangan untuk membuka brankas tempat menyimpan perhiasan yang digadaikan. Setelah itu baru peti uang yang dibongkar, untuk mengambil uang yang ada di situ. Kami bisa menaruh uang beberapa ratus mark di situ, gunanya supaya sudah ada uang tunai apabila rumah gadai dibuka. Jumlah yang terbesar baru kemudian kami ambil dari bank dan malam kalau kami tutup, sebagian besar uang tunai kami simpan lagi ke bank.”
Inspektur Huthöfer memeriksa lokasi pembongkaran itu sekali lagi. Diperhatikannya lubang di dinding yang dibobol oleh maling. Di bawah lubang itu nampak debu dan sedikit semen terserak di lantai. Salah seorang dari kawanan maling ketika masuk menginjakkan kakinya pada sampah itu, sehingga meninggalkan jejak sepatu berwarna putih di lantai kayu yang bersih. Terutama jejak sepatu sebelah kanan yang nampak jelas.
“Ini perlu dipotret,” kata Huthöfer kepada petugas indentifikas, “Siapa tahu mungkin nanti ada gunanya!”
Ia pergi ke gang lalu ke kantor perusahaan asuransi yang ruangannya bersebelahan dengan pegadaian. Pintu-pintu kantor itu sederhana saja kuncinya, bisa dibuka dengan kunci maling.
“Siapakah yang mau membongkar kantor asuransi,” kata kepala kantor itu. la meneruskan sambil tersenyum, “Agar tidak terjadi penyalahgunaan dan para wanita yang membersihkan di sini tidak bisa mengacak surat-surat kantor, atas instruksi direksi kami membeli brankas. Tapi Anda lihat sendiri, brankas kami tidak diapa-apakan.”
Rupanya maling itu tahu, di sini tak ada yang bisa mereka curi. Jadi brankas cuma digeser menjauh dari dinding karena di sebuah kursi tersandar di dinding bawah lubang. Rupanya dipakai untuk memanjat masuk ke lubang itu. Di situ pun tampak jejak kaki, tapi sulit dipotret karena jejak itu di atas kain bekleding kursi.
Pada brankas tidak dijumpai bekas jari yang jelas. Satu-satunya yang merupakan teka-teki di tempat itu ialah selembar papan persegi empat yang tersandar ke dinding di samping lubang bobolan. Pada satu sisi papan itu terpasang gelang-gelang pelor. Papan begitu biasanya terdapat di perusahaan-perusahaan mebel. Gunanya sebagai landasan mengangkut perabot yang berat-berat.
Kelihatannya kawanan maling mula-mula berniat memakai papan itu untuk menggeser brankas. Tapi brankas itu ternyata tidak begitu berat. Jadi papan itu tidak jadi dipakai dan kemudian lupa dibawa lagi.
Papan macam begitu tidak begitu banyak jumlahnya di Berlin. Mungkin bisa diusut, perusahaan mana yang kehilangan alat semacam itu, yang tampaknya sudah sering dipakai.
Inspektur Huthöfer meminta agar dibuatkan suatu daftar barang berharga yang dicuri. Di antaranya banyak terdapat arloji yang tercatat nomor serinya. Dengan bantuan nomor-nomor itu, akan bisa cepat diketahui apabila ada di antaranya yang ditawarkan untuk dijual.
Daftar itu keesokan paginya disebarkan pada toko-toko perhiasan, toko-toko arloji dan rumah-rumah gadai. Penyebaran itu tidak terbatas pula pada kota Berlin saja, tapi juga ke kota-kota lain.
Beberapa hari kemudian polisi Hamburg mengirim laporan dengan kawat, bahwa di kota itu ada sebuah arloji curian yang dibawa ke tukang arloji untuk dibetulkan.
Barang itu ternyata arloji kantong yang dihiasi berlian. Yang membawanya untuk dibetulkan, seorang pelaut dari Chili. Tukang arloji yang didatanginya langsung memeriksa daftar barang curian karena merasa aneh bahwa ada pelaut memiliki barang yang begitu berharga. Dan ia menjumpai nomor seri arloji itu dalam daftar barang curian dari rumah pajak di Berlin yang disuruh sebarkan oleh Huthöfer.
Petugas polisi itu langsung menelepon rekannya di Hamburg. Ia minta tolong agar pelaut Chili yang katanya mualim itu diinterogasi. Ia minta agar diambil tindakan cepat karena ia tahu bahwa kapal-kapal asing jarang yang berlabuh lebih dari sehari di Hamburg.
Untungnya saat itu hanya ada satu kapal Chili yang sedang sandar yaitu Ciudad Santiago.
Dengan bahasa Inggris patah-patah mualim memberi keterangan pada polisi bahwa ia membeli arloji kantong curian itu seharga 500 mark dari seorang laki-laki berkepala botak. Mula-mula ia tidak mau. Tapi karena didesak terus, akhirnya arloji itu dibelinya juga. Tapi tidak lama kemudian ketahuan bahwa arloji itu tidak cocok jalannya. Karena itu lantas dibawanya ke tukang arloji untuk dibetulkan.
Mualim itu mengumpat-umpat ketika mendengar bahwa yang dibelinya itu barang curian dari Berlin dan karenanya tidak bisa menjadi miliknya. Bukan itu saja, ia sendiri pun mungkin bisa terlibat dalam tuntutan.
“Bajingan itu penampilannya begitu terhormat, tapi ternyata maling!” umpatnya.
Dari pemeriksaan selanjutnya diketahui bahwa jual beli yang tidak sah itu berlangsung di Tattersall di Grosse Freiheit. Tampang orang yang menjual arloji itu berumur sekitar 40 tahun, kepala agak botak dan berkumis cokelat tua. Bahasa Inggrisnya lancar.
“Tapi ia bukan orang Inggris,” sambung mualim itu. “Ia sendiri bercerita pada saya, sewaktu masih di Rusia ia beternak kuda.”
Tidak terlalu banyak informasi yang bisa disampaikan oleh polisi Hamburg pada rekan-rekan mereka di Berlin. Tapi walau begitu polisi Hamburg diminta juga agar mencari kalau-kalau bisa menemukan seorang laki-laki yang mengaku orang Rusia dan bisa berbahasa Inggris di Reeperbahn, jadi di daerah pelancongan anak kapal yang turun ke darat.
“Untuk sementara orang itu hanya perlu diamati-amati saja,” kata Huthöfer lewat telepon pada rekannya di Hamburg. “Mungkin ia cuma satu dari sekian banyak anggota kawanan yang bertugas menjual barang-barang curian itu. Tapi kami ingin membekuk dalangnya!”
Siasat kawanan maling dari Berlin untuk berusaha menjual barang-barang hasil curian mereka di Reeperbahn merupakan siasat yang sangat licin. Pelaut-pelaut yang mendapat cuti turun ke darat pasti tidak segan-segan membeli arloji berharga dengan murah di situ. Mereka takkan peduli apakah yang dibeli itu barang halal atau tidak. Dan hanya kebetulan saja bahwa salah satu arloji itu sampai di tukang arloji karena rusak.
Dua hari kemudian datang lagi telepon dari Hamburg.
“Kami sudah menemukan orang yang dicari,” kata polisi yang menelepon pada rekannya di Berlin. “Ia mengaku bernama Wollenhagen. Baru saja ia naik kereta api yang berangkat ke Berlin. Dua jam lagi akan tiba di stasiun untuk kereta api yang datang dari barat. Jadi Anda masih mempunyai waktu untuk mempersiapkan pengamatan terhadap dirinya.”
Dengan segera Inspektur Huthöfer mengerahkan orang-orangnya yang terbaik. Pengamatan harus dilakukan sedemikian rupa, jangan sampai ketahuan oleh Wollenhagen.
Orang itu datang tepat pada waktunya di stasiun. la pergi ke Stadtbahn, lalu naik kereta api dalam kota yang menuju ke Friedrichstrasse. Huthöfer ikut naik bersama dua bawahannya.
Wollenhagen turun di halte Jannowitz-Brucke Alexanderplatz. Dengan santai ia berlenggang dan akhirnya masuk ke sebuah rumah minum yang kecil.
Polisi mengamat-amati pintu masuk tempat itu dari agak jauh. Tapi Wollenhagen tidak keluar lagi. Akhirnya Huthöfer masuk ke tempat minum itu. Orang yang diamat-amati ternyata tidak ada lagi di situ. Ia keluar lagi lewat pintu samping!
Polisi kalang kabut, mencari ke mana-mana. Tapi sia-sia, Wollenhagen tetap tidak bisa ditemukan. Beberapa hari berlalu. Jangan-jangan orang itu sudah pergi lagi dari Berlin! Mungkin kembali ke Hamburg?
Inspektur Huthöfer sedang berpikir apakah sebaiknya ia menelepon lagi rekannya di Hamburg untuk menolongnya mencari Wollenhagen di sana. Tahu-tahu telepon di mejanya berdering. Seorang petugas pos polisi di Neukölln hendak menyampaikan laporan.
“Saya baru saja melihat orang yang dicari, masuk ke gedung bioskop Knübbel. Bagaimana, apakah dia saya jemput saja keluar?”
Huthöfer tidak berpikir panjang.
“Jangan, Anda tidak perlu masuk!” katanya. “Nanti saja tangkap sewaktu dia keluar. Saya datang selekas mungkin.”
Tapi baru setengah jam kemudian Huthöfer tiba di depan gedung bioskop di Neukölln itu. Polisi yang tadi melapor tampak berdiri sendiri di trotoar. Jadi rupanya Wollenhagen belum keluar. Huthöfer mengajak polisi itu ke tempat minum di seberang jalan, dari mana mereka bisa mengamat-amati pintu keluar dari gedung bioskop. Menit demi menit berlalu…..
“Itu dia!” seru polisi bawahan Huthöfer dengan tiba-tiba. Ia menuding ke arah pintu bioskop. “Tapi ia membawa tas — padahal tadi tidak!”
Huthöfer kaget, tapi setelah itu langsung mengambil keputusan bertindak.
“Tangkap dia!” perintahnya tegas, lalu cepat-cepat lari menuju gedung bioskop dan masuk ke dalam. Didatanginya wanita yang bertugas mengantar penonton ke kursi masing-masing.
“Polisi!” kata Huthöfer dengan suara pelan. “Coba tunjukkan, di mana tuan yang baru saja keluar tadi duduk!”
Wanita itu menuding salah satu deretan kursi yang letaknya agak ke tengah. Kecuali beberapa wanita, di situ duduk pula seorang laki-laki. Kursi di sebelahnya kosong.
“Di situ ia tadi duduk!”
Huthöfer menghampiri laki-laki yang duduk di samping kursi kosong itu.
“Polisi!” katanya pada laki-laki itu. “Harap ikut saya keluar!”
Laki-laki yang diajak bicara bangkit dengan ragu-ragu. Tapi kemudian berjalan mendahului keluar. Tapi sampai di pintu, dibantingnya pintu itu keras-keras, membentur petugas polisi yang mengikuti dari belakang. Tapi usaha minggat itu sia-sia belaka, karena di luar sudah menunggu polisi yang tadi. Wollenhagen ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Tapi belum sampai tiga meter ia lari, dari belakang ia sudah disergap lagi.
Hasil penangkapan itu ternyata sangat menggembirakan. Dalam tas yang dijinjing Wollenhagen ditemukan perhiasan yang dicuri dari rumah gadai. Rupanya ia baru saja menerimanya dari kawannya yang sudah menunggu dalam gedung bioskop.
Dan kawannya itu ternyata bernama Erich Bechmann, seorang pencuri yang sudah berulang kali keluar masuk penjara. Ia selalu memakai sarung tangan pada waktu melakukan pembongkaran. Ia tinggal bersama ibunya di Blankenfelderstrasse. Ia tidur sekamar dengan saudaranya yang bernama Fritz.
Ketika diadakan penggeledahan di situ, polisi menemukan sepasang sepatu karet yang sudah aus.
Tapi yang sebelah kanan pola telapaknya mirip dengan jejak sepatu yang ditemukan di lantai rumah gadai. Ketika diteliti dalam laboratorium, ternyata memang sama. Dengan begitu terbukti bahwa Fritz Bechmann juga ada di tempat kejadian itu, karena sepatu itu miliknya.
Ia bekerja sebagai tukang angkat barang. Papan transpor yang ditemukan di ruangan perusahaan asuransi berasal dari tempat Fritz bekerja dan juga diakui merupakan milik mereka.
Penelitian sidik jari Wollenhagen yang ditahan dengan dakwaan menjadi tukang tadah, memberikan hasil yang sangat mengejutkan polisi. Karena ternyata bahwa sidik ibu jari dan telunjuknya cocok dengan kepunyaan Zaharov, orang yang dicari-cari polisi karena diduga pernah menculik.
Inspektur Huthöfer mempelajari laporan itu. Sambil menggeleng-geleng, diperhatikannya kemudian Wollenhagen yang duduk di hadapannya. Ini kan tidak mungkin, pikirnya. Orang yang dicari itu kan lain sekali tampangnya. Ya, cambangnya yang dulu lebat, bisa saja kini dicukur licin. Begitu pula bagian kepalanya yang botak, dulu bisa ditutup dengan rambut palsu.
Tapi yang tidak dimengerti olehnya, adalah bahwa air mukanya bisa begitu berubah. Rupanya hanya ada satu keterangan untuk itu. Sementara itu Zaharov sudah bertambah gemuk dan hal itu memengaruhi tarikan mukanya.
Wollenhagen membantah keras bahwa ia Zaharov. Apalagi tuduhan bahwa ia ada hubungannya dengan penculikan terhadap Mary Merkel itu ditolaknya mentah-mentah!
Ketika dikemukakan fakta tentang sidik jari yang sesuai, ia masih tetap tidak mau menyerah. Katanya, dalam hal itu juga bisa saja terjadi kemiripan. Akhirnya Huthöfer terpaksa meminta bantuan tenaga ahli di bidang itu.
Pendapat ahli yang diterimanya, bersandar pada penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti bangsa Inggris, Sir Francis Galton. Ia ini berhasil menyelidiki bahwa kemungkinan adanya kesamaan antara dua pola jari pada hakikatnya kecil sekali, yaitu 1:64 milyar! Kalau jumlah penduduk dunia waktu itu meningkat dengan tiba-tiba menjadi 30 kali lipat, barulah ada kemungkinan bahwa ada dua orang yang sama pola jarinya. Jadi dengan kata lain, bisa dibilang mustahil.
Berdasarkan keterangan ahli itu, pernyataan Wollenhagen bahwa ia bukan penculik Mary Merkel berhasil dibantah. Tapi kemudian ketika kamar yang ditinggalinya digeledah, berhasil ditemukan satu barang bukti yang memperkuat tuduhan terhadap dirinya. Di situ ditemukan surat mahasiswa yang sudah tua dari Universitas Riga, yang berasal dan tahun 1888. Selain itu juga sebuah buku catatan kuliah yang mengungkapkan bahwa mahasiswa Ladislaw Metlitzki pernah mengikuti kuliah dan praktikum kimia di universitas itu. Dan pengetahuan tentang ilmu kimia merupakan indikasi penculik Mary Merkel!
Dalam pemeriksaan kedua bersaudara Bechmann diperoleh keterangan lebih lanjut mengenai cara kerja Kawanan Maling Siluman. Terutama berdasarkan keterangan Erich Bechmann, ternyata pemimpin kawanan itu Wollenhagen. Ialah yang mengatur rencana pembongkaran tempat yang akan dicuri.
Mula-mula ia mengadakan pengamatan cermat. Dihubunginya pelayan atau pegawai tempat itu, supaya memperoleh keterangan yang lebih terperinci. Sedang sebelum melakukan pencurian di rumah gadai yang terletak di Joachimsthalerstrasse, ia menyempatkan diri mengajak bicara pemegang kas perusahaan itu. Pegawai itu, seorang wanita berumur 40 tahun yang belum menikah, disapanya di jalan. Lalu diajaknya berkencan. Dan pada saat itulah ia berhasil mengorek segala rahasia yang ingin diketahuinya.
Bahkan Wollenhagen kemudian mendapat ganjaran hukuman ganda, tentunya sudah dapat kita bayangkan.
(Hanz – Walter Gaebert)
Baca Juga: Dikenali dari Suaranya
Intisari Plus - Hubungan Linda dan Karlheinz kian merenggang karena sang suami kerap menyiksa istrinya. Setelah satu per satu anggota keluarga pergi dari rumah, si putra bungsu merencanakan pembunuhan pada ayahnya.
----------
Ketika tahun 1956 Linda menikah dengan Karlheinz Roeder umurnya baru 18 tahun. Roeder, bekas tukang bubut, setahun lebih tua. Mereka terpaksa menikah karena sudah terlanjur hamil dan Linda tidak mau anak yang dikandung tak mempunyai ayah. Sampai tahun 1961 jumlah anak sudah meningkat menjadi tiga biarpun hubungan mereka tambah lama tambah longgar. Akibatnya masa kecil anak-anak ikut suram.
Tidak heran kalau Wolfgang dan Sylvia, anak sulung dan kedua, ingin cepat berdiri sendiri. Mereka sudah meninggalkan rumah orang tua masing-masing pada usia 16 dan 14 tahun. Hanya Harald si bungsu tetap di rumah, sehingga ia tahu persis apa yang harus dialami ibunya dari ayahnya yang keji.
Namun ibunya juga bangga ayahnya toh berhasil lulus sebagai insinyur mesin lewat kursus biarpun dengan susah payah. Karlheinz juga menjadi orang kepercayaan di sebuah pabrik mesin Geisenheim. Di tempat kediamannya ia dianggap sebagai orang pandai dan berhati besar.
Sebaliknya Linda juga tahu bahwa suaminya terlalu mengejar kedudukan dan penghargaan sehingga ia menelan segala macam tablet sampai 140 buah seminggu dan tambah kecanduan alkohol. Kepribadiannya tambah kacau dan ia menjadi sumber kesulitan bagi keluarganya.
Kalau sang ayah kembali dari kerja suasana menjadi panas. Ia berteriak tak keruan tetapi setelah itu tega mendiamkan istri dan anak selama dua minggu.
Kalau mengenai seks, Karlheinz Roeder tidak mengenai lelah. Istrinya tambah lama tambah kewalahan. Lebih-lebih setelah ia minum tanpa batas. Tahun 1975 pada puncak karirnya ia dipindahkan ke kantor cabang di Berlin sebagai kepala perwakilan di sana. Linda Roeder baru merasa enaknya menjadi wanita bebas.
Setiap minggu dari Senin sampai Jumat ibu dan anak hidup tenteram dan bahagia sampai hari Jumat ayah diantarkan seorang sopir dari lapangan terbang Frankfurt, pulang ke Geisenheim. Lalu menyusul akhir minggu yang penuh derita.
Satu tahun setelah Karlheinz Roeder kembali dari Berlin, istrinya yang sudah tidak tahan lagi harus beristirahat di Bodensee selama empat minggu. Ia kembali dengan tekad meninggalkan suaminya dan ia memang berbuat demikian. Harald si bungsu yang cinta pada keluarga mengambil keputusan untuk tetap menemani ayahnya yang kini menjadi peminum. la tidak mau meninggalkan ayahnya dalam keadaan demikian katanya.
Kalau sendirian ayahnya pasti tambah lama tambah mundur. Sebaiknya ada orang yang mengurus rumah tangga, kata Harald pada dewan keluarga.
Sejak itu ia mengepel, memasak untuk ayahnya, mencuci pakaiannya dan berbelanja untuk rumah tangga. Ia malah bisa mengambil untung 5 DM (sekitar Rp.1850,-) setiap minggu dari uang belanja yang diperoleh dari ayahnya. Itulah penghasilan satu-satunya. Ia merawat ayahnya ketika sang ayah pulang dalam keadaan mabuk dan kena beling. Ia menyeret ayahnya yang besar dan tegap yang sedang mabuk itu dari mobil ke apartemen berkamar empat yang terletak di tingkat kedua. Lalu Harald juga mengambilkan anggur, jenewer dan tablet untuk ayahnya sampai tiba waktunya untuk tidur dan ia bisa memikirkan apa yang akan terjadi keesokan harinya.
Harald setiap kali mengira kalau ayahnya sedang mabuk dan merasa down, sang ayah akan bunuh diri.
Tetapi saat yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung tiba. Seperti biasanya ia memaki-maki anaknya yang sudah demikian setia membantunya. Nasib Harald menjadi bertambah buruk ketika pabrik mesin tempat ayahnya bekerja mengurangi gaji ayahnya dari 6000 menjadi 4750 DM (sekitar Rp. 2.200.000 menjadi Rp. 1.757.500) karena ayahnya sering mabuk. Pada saat itu Harald sudah merasa bahwa ayahnya mempunyai utang besar.
Ketika Linda Roeder melarikan diri dari rumah, ia tidak membawa sepeser pun, biarpun ia berbuat demikian dengan sepengetahuan anak-anaknya, Wolfgang (polisi), Sylvia dan Harald. Namun dua bulan setelah itu ia sudah mendapat cukup uang untuk menyewa rumah kecil di Eltville tak jauh dari rumahnya semula. Waktu itulah ia meminta kepada Harald untuk mengambilkan tiga piringan hitam dari rumah. Kemudian ketahuan oleh ayahnya barangnya hilang. Ia marah sekali dan memasang kunci tambahan pada ruang duduk. Harald kini hanya bisa ke kamarnya dan dapur kalau ayahnya tidak di rumah. Ia juga tidak bisa menelepon biarpun ia menghadapi ujian sebagai perawat anak-anak di sebuah sekolah di Geisenheim.
Ketika Karlheinz pada suatu hari hilang tak berbekas, orang mulai bertanya-tanya. Tiga hari setelah ada laporan hilang, polisi menemukan sebuah Audi merah yang dicurigai. Polisi menghubungi istrinya. Si istri langsung menelepon putrinya Sylvia: “Ayah kecemplung ke dalam sungai Rhein,” katanya.
Sylvia menangis. Kemudian pada hari itu juga Wolfgang pulang dari cutinya. Ia bekerja sebagai polisi. Malam itu juga ia mengajak Harald ke sungai Rhein. “Alangkah sedihnya kalau dipikir bahwa dia mengapung di situ. Bagaimanapun juga ia ayah kita,” kata kakak itu kepada adiknya.
Baru dua minggu kemudian orang mulai curiga, apakah ini benar kasus bunuh diri. Tanggal 5 Juli ditemukan koper di sebelah danau di hutan. Barang itu diserahkan kepada polisi Ruedersheim tetapi kemudian dicatat sebagai “barang rongsokan” dan diantarkan ke bagian barang yang ditemukan. Dari situ dimasukkan ke dalam kendaraan sampah Hattenheim untuk dimusnahkan.
Namun seorang pekerja yang ingin tahu membukanya dan segera berlari ke atasannya: “Lihat di dalamnya ada sisa permadani yang berdarah dan sebuah topi dengan lubang mata seperti yang dipakai perampok.”
Kepala polisi minta supaya koper itu dikembalikan ke kantor polisi Wiesbaden.
Untuk pertama kalinya Harald dicurigai. Ia diperiksa secara cermat dan tanggal 26 Juli polisi yang menangani kasus itu memanggil Wolfgang Roeder yang sedang tugas di Ruedesheim.
“Herr Roeder,” katanya dengan nada seorang teman. “Ayah Anda kan hilang. Kami telah menemukan koper dengan inisial R. Apakah mungkin ini miliknya?”
Wolfgang Roeder menjawab spontan: “Saya tidak tahu, tetapi adik saya Harald pasti tahu. Kalau ia benar-benar tahu, hari Jumat pukul sembilan saya akan singgah ke sini lagi....”
Harald waktu itu sudah bingung sekali. Malam itu juga ia pergi ke ibunya di Eltville, menangis sejadi-jadinya lalu mengaku: “Saya yang membunuh ayah.”
Ia mengakui hal itu lagi ketika ia sudah lebih tenang. Wolfgang kemudian juga datang. Kakaknya tetap tenang. Ia memberi tahu pengacara Ludwigshafen, Axel Borstorff (37) lewat rekan-rekannya dan juga polisi Wiesbaden. Sore itu juga mayat ayahnya dikeluarkan dari air.
Namun mereka belum mau mempercayai Harald bahwa ia melakukan semuanya ini sendiri.
Pada tanggal 9 Agustus diadakan rekonstruksi pembunuhan itu di apartemen tempat tinggal mereka. Yang digunakan sebagai contoh ialah boneka yang biasa digunakan untuk riset percobaan tabrakan oleh pabrik mobil. Harald berteriak ketika ia melihat boneka itu. Namun kemudian sebuah kamera video membuat gambar bagaimana ia memukul boneka itu dengan sebuah tongkat besi yang harus menggambarkan ayahnya. Untuk kedua kalinya ia harus melakukan “pembunuhan” lagi. Ia mendemonstrasikan bagaimana ia menurunkan ayahnya yang sudah dibungkus dalam kantong sampah lewat jendela. Akhirnya orang yakin bahwa yang dikatakan Harald benar. Ia telah melakukannya sendiri. Waktu itu umurnya 17 tahun 8 bulan.
Bulan April tahun 1979 Harald sebetulnya sudah ada niat untuk menghabisi nyawa ayahnya. Waktu itu ia membuat catatan pertama. Ia membuat suatu sketsa rencana dan danau di hutan di dekat rumahnya sudah dipikirkan sebagai kemungkinan tempat membuang ayahnya. Dalam rencana yang diberi judul “Aksi Dunia Utuh”, ia menulis di atas selembar kertas apa saja yang diperlukan untuk niat keji itu:
Sepatu olahraga diperlukan dan sebuah kaos wanita. Sebuah selubung kepala dengan lubang mata dan sebuah tongkat besi.
Tanggal 3 Juli pagi Harald sudah mempunyai segala yang diperlukan di rumah, tetapi ia belum yakin akan melaksanakan rencananya. Namun waktu itu ayahnya memanggilnya ke kamar duduk. Di situ ia diperlihatkan surat dari sebuah bank di Muenchen, “Teguran Terakhir”. Dan di situ juga disebut-sebut kemungkinan “pelaksanaan hukuman” kalau sisa hutang sebesar 80.282,57 DM (sekitar Rp. 29,7 juta) tidak dibayar dalam delapan hari. Jumlah itu termasuk ongkos menagih dan keterlambatan membayar.
“Sekarang ibumu akan merasa ia harus ikut membayar,” kata Karlheinz Roeder dengan nada penuh kebencian.
Saat itu Harald tiba-tiba memegang kerah ayahnya lalu menariknya ke kursi sambil berteriak: “Saya tidak terima.”
Lalu Harald lari ke kamarnya untuk mengambil tongkat besi yang disembunyikan di belakang lemari. Kepala ayahnya dipukul dua kali. Rupanya ia masih belum yakin bahwa ayahnya mati. Ia masih mengikat leher ayahnya erat-erat dengan kaos kaki wanita.
Waktu itu pukul 9.45, Karlheinz Rocder meninggal. 14 jam kemudian anaknya berhasil mengeluarkan mayat dari rumah. Semua dilakukan sesuai dengan rencana “Aksi Dunia Utuh”.
Mayat ayahnya dimasukkan ke dalam dua kantong sampah biru. Sebelumnya dibalut dengan seprai dan diikat rapat dengan tali nilon. Bungkusan itu kemudian diangkat keluar jendela kamar mandi dan menurunkannya ke tingkat kedua.
Tiba-tiba talinya putus dan bungkusan itu jatuh dengan suara keras di lantai batu di depan pintu ruang bawah tanah.
Wanita yang tinggal di bawah terbangun. Namun karena dia sudah terbiasa dengan Roeder yang sering jatuh karena mabuk, ia tidak terlalu curiga di atas agak gaduh.
Tidak lama kemudian Harald keluar rumah dan melihat dengan hati lega bahwa bungkusannya tidak pecah. Dengan hati-hati ia menyeretnya ke garasi di mana mobil Audi merah ayahnya diparkir. Pukul empat pagi, ketika hari mulai cerah bungkusan mayat sudah berada di bagasi yang terkunci.
Malam berikutnya Harald membawa Audinya ke danau. Ia melepaskan semua pakaiannya kecuali celana berenang. Bungkusan mayat itu ditaruhnya di atas kasur yang ditiup dan sambil berenang ia mendorongnya ke tengah. Dengan susah payah ia menurunkan bungkusan itu dari kasur angin dengan bantuan sepotong pipa. Akhirnya kasur itu terguling dan bungkusan pun tenggelam. Kemudian ia mengenakan pakaian baru. Pakaian yang digunakan ketika ia melakukan pembunuhan, beberapa potong permadani yang berdarah dan barang lain yang tidak diperlukan, dimasukkan ke kopor serta dibuang ke semak-semak. Mobil ayahnya diparkir di tempat orang dilarang parkir, kuncinya dibiarkan di mobil dan Harald pulang berjalan kaki. Waktu itu ia yakin bahwa orang pasti mengira ayahnya telah bunuh diri seperti sudah sering diperkirakan orang.
Sungguh menyedihkan bahwa ide untuk menyingkirkan itu demi ibunya yang kini berumur 41 tahun. Pikirnya kalau ayahnya sudah tiada, “dunia utuh” yang didambakannya akan pulih kembali.
Harald kini dimasukkan ke penjara anak-anak di Frankfurt Hoechst dan memerlukan beberapa waktu sebelum ia bisa menulis surat kepada ibunya. Sebelum kejadian ini Harald seorang anak periang. Dalam surat kepada ibunya ia menulis tentang dia sendiri dan motif perbuatannya yang lebih jelas dari keterangan psikiater yang akan memeriksanya:
“Sampai ketemu lagi, saya hanya mempunyai harapan bahwa kita suatu keluarga yang baik, yang tahu bagaimana bisa tetap bersatu.” Harald masih harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan pengadilan.
(Friedhelm Weeremeider dan Lisselotte Fischer)
Baca Juga: Dalang dalam Selimut Pengawalan
" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726690/suatu-tragedi-keluarga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678779052000) } } [3]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350223" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/28/pembunuh-bel-pintu_luis-perdigao-20220628020729.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(134) "Beberapa bulan belakangan terjadi kasus pembunuhan di Berlin. Korbannya adalah para lansia yang penuh rasa curiga dan selalu bersiaga." ["section"]=> object(stdClass)#80 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/28/pembunuh-bel-pintu_luis-perdigao-20220628020729.jpg" ["title"]=> string(18) "Pembunuh Bel Pintu" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-28 14:07:41" ["content"]=> string(28910) "
Intisari Plus - Beberapa bulan belakangan terjadi kasus pembunuhan di Berlin. Korbannya adalah para lansia yang penuh rasa curiga dan selalu bersiaga. Dengan keadaan begitu, bagaimana mereka bisa mengizinkan pembunuh masuk ke rumah?
------------------
Wanita tua itu berjalan tertatih-tatih menyusuri jalan di Berlin Barat. Tas belanja berisi sayuran dan roti tergantung di tangannya. Sebelumnya, ia mampir ke toko daging, tetapi cuma untuk membeli beberapa gelintir sosis, bukan daging segar yang mahal.
Pada usia 80-an orang tua biasanya pelit. Makan daging cuma sekadar selingan. Kebiasaan mereka menabung pun tak gampang berubah. Sen demi sen mereka kumpulkan tersembunyi di bawah ranjang atau di belakang lemari dinding mereka.
Tanpa disadarinya seorang lelaki menguntitnya. Lelaki itu bukan tergiur oleh tas perempuan gaek itu. Ia tahu isinya. Pakaiannya biasa saja, tak mengundang perhatian, seperti kebanyakan orang yang lalu-lalang di jalan itu.
Di ujung jalan, wanita itu berbelok dan segera lenyap ditelan gelapnya pelataran sebuah flat. Bangunan itu tidak mewah, tetapi cukup baik. Uang sewanya terjangkau oleh kantung wanita itu.
Laki-laki yang tak ingin kehilangan jejak buruannya itu bergegas mendekati kompleks bangunan itu. Ia ingin tahu di flat mana wanita buruannya tinggal. Dengan mengendap-endap, ia menyelinap masuk ke kompleks itu. Diamatinya ruang tangga sambil mendengarkan suara pintu tertutup.
Flat wanita itu terletak di lantai dua. Dari tangga berbelok ke kiri. Berjingkat-jingkat laki-laki itu menaiki tangga. Setiap langkah dia berhenti. Akhirnya....
Wanita itu terkejut. Namun, setelah lelaki itu mengatakan sesuatu yang meyakinkannya, dibukanya juga rantai pengaman pintu. "Mana uangmu?" bisik laki-laki itu sambil merenggut calon korbannya setelah menutup pintu.
Tak ada gunanya jeritan lemah seorang wanita tua yang sadar bahwa maut bakal menjemputnya.
Kesan kehabisan napas dan rasa takut menggurat dalam di wajah mayat perempuan itu. Barangkali, yang masih patut disyukuri yaitu korban tidak dianiaya lebih dulu.
Semuanya tua
Sabtu, 31 Maret 1984. Mayat Ny. Hoedicke ditemukan kira-kira pukul 10.00 oleh seorang pekerja sosial, Petra Haarmann. Salah satu tugas Ny. Haarmann yakni mengontrol orang-orang seusia Ny. Hoedicke yang memang banyak jumlahnya. Pada waktu-waktu tertentu ia datang mengunjungi mereka. Biasanya ia melakukannya pada Sabtu pagi, meski tidak diminta.
Ny. Hoedicke dan juga orang tua lainnya suka menunggu-nunggu kunjungan Ny. Haarmann. Ketika Ny. Haarmann tidak mendengar jawaban dari balik pintu, ia lantas menemui penjaga flat yang memiliki kunci cadangan. Jangan-jangan Ny. Hoedicke mati di kamarnya, begitu pikirnya. Mengingat usia Ny. Hoedicke yang 87 tahun itu, bukan tidak mungkin dugaannya itu benar.
Ny. Hoedicke memang ditemukan mati di kamarnya, tetapi bukan lantaran usia tua seperti dugaan Ny. Haarmann. Mayat Ny. Hoedicke terbujur di kamar dengan pakaian rapi melekat di tubuhnya. Tanpa melihat luka yang biru lebam di lehernya, ia seperti tidur saja tampaknya.
Ny. Haarmann segera menelepon polisi. Meski baru sekali itu ia menemukan korban suatu pembunuhan, tetapi bukan yang pertama kali ia mendengar adanya pembunuhan semacam itu. Sebelumnya ia sudah mendengar sejumlah pembunuhan semacam itu terjadi pada bulan-bulan terakhir itu.
Pak inspektur dan pembantunya, Sersan Detektif Franz Wagner, datang ke flat di Jl. Borussia 27, wilayah Tempelhof. Dr. Morris Scheidel memeriksa mayat Ny. Erna Hoedicke.
"Kematiannya mirip korban-korban sebelumnya," kata Morris. "Korban mati dicekik. Wanita ini mati paling tidak 48 jam yang lalu."
"Melihat keadaan korban, pelakunya bukan orang yang sadis," komentar Inspektur Karl Heiden, kepala komisi yang dibentuk guna menyelidiki kasus pembunuhan beruntun yang mengincar korban wanita berusia lanjut.
"Si pelaku cuma mau uangnya. Barangkali untuk menghilangkan jejak, dibunuh saja korbannya."
Sebulan Satu
Sejak Desember 1983, tiap bulan jatuh satu korban. Pada tanggal 20 bulan itu, lima hari menjelang hari raya Natal, Ny. Hedda Buekow dijumpai tewas di flatnya. Diduga, ia korban pertama dari suatu seri pembunuhan. Oleh surat kabar pelakunya digelari si Pembunuh Bel Pintu.
Julukan itu diberikan karena diduga, orang itu membunyikan bel pintu flat calon korbannya sebelum pintu dibuka oleh penghuninya. Setelah dipersilakan masuk, orang itu lantas mencekik mereka. Mayat-mayat korban semuanya dijumpai tergeletak di dekat pintu.
Inspektur Heiden, lelaki bermata biru yang tampak lugu itu, tahu bahwa orang tua biasanya tak mau membukakan pintu bagi mereka yang tak dikenalnya.
Pada tiap satu dari tempat peristiwa pembunuhan yang terjadi sampai saat itu, ditemukan pintu masuk dilengkapi dengan rantai pengaman. Maksudnya, supaya si penghuni bisa melihat siapa yang berdiri di depan pintu sebelum mempersilakannya masuk.
"Itu bisa berarti bahwa orang-orang tua itu mengenalnya," kata Sersan Wagner. "Tetapi mustahil si pembunuh dikenal orang lanjut usia di seluruh pelosok kota!"
Memang, pembunuhan-pembunuhan itu tersebar di seantero kota, di wilayah yang berbeda.
Hedda Buekow, korban pertama dari seri pembunuhan itu, tinggal di distrik Tiergarten, Jl. Birken 14, jauh di sebelah utara wilayah Tempelhof.
Sebelumnya, kasus kematian Ny. Buekow tidak disadari sebagai bagian dari kasus pembunuhan beruntun itu. Karenanya, kasusnya cuma ditangani oleh sektor kepolisian Tiergarten yang tak berhasil menemukan petunjuk lebih lanjut tentang identitas si pembunuh.
Si kakek dicurigai
Ny. Buekow berusia 82 tahun, tetapi ia memiliki teman pria yang setahun lebih muda daripadanya. Otto Ploeck namanya. Dialah yang mendapati mayat Ny. Buekow ketika ia berkunjung ke flatnya.
Hampir saja Ploeck menyusul Ny. Buekow gara-gara mengalami serangan jantung karena kaget. Di rumah sakit, kepada polisi Ploeck menyatakan Ny. Buekow benar-benar wanita yang amat berhati-hati. Ny. Buekow menyebut Berlin sebagai rimba yang penuh binatang berbahaya, sampai seorang pengantar barang sekalipun tak diizinkannya memasuki flatnya.
"Si pengantar barang harus meletakkan paket atau bungkusan di depan pintu. Ny. Buekow baru keluar mengambil barang itu, setelah yakin pengantarnya sudah turun tangga," ujar Ploeck. "Yang boleh masuk cuma mereka yang benar-benar dikenalnya.”
Satu-satunya orang yang dikenal dengan baik oleh Ny. Buekow cuma Otto Ploeck. Meski sudah uzur, polisi toh memeriksanya juga.
Hasil pemeriksaan polisi menunjukkan Ploeck bukan pelaku pembunuhan itu. Berdasarkan hasil autopsi, Ny. Buekow meninggal setengah jam sebelum kedatangan Ploeck. Terbukti pula saat itu Ploeck berada di tempat lain.
Motif pembunuhan itu jelas. Ny. Buekow dirampok, uang tabungannya lenyap. Ploeck yang tahu banyak tentang urusan pribadi Ny. Buekow, yakin bahwa uang yang hilang itu bisa mencapai DM 3.600. Seperti kebanyakan orang tua di benua itu, Ny. Buekow tidak mempercayai bank.
Tak ada petunjuk
“Itulah yang bikin mereka jadi sasaran empuk penjahat," kata Inspektur. "Barangkali menurut hemat mereka, lebih baik menyimpan tabungan di rumah daripada dianiaya sampai mati lantaran tak bisa menyerahkan uang kepada si penjahat," ujar Sersan.
Sersan Wagner yang bertubuh pendek dan gemuk itu wajahnya keras dan kasar, tetapi periang. Rambutnya yang coklat muda dipotong agak tinggi di kedua sisinya.
Korban berikutnya adalah Ny. Elli Grybek yang tinggal di Jl. Detmold 44, wilayah Wilmersdorf, sebelah barat daya Tiergarten.
Lewat komputer, polisi kemudian mengolah kasus kematian wanita berusia 84 tahun itu. Hasilnya mirip dengan yang terjadi di wilayah Tiergarten lebih dari sebulan yang lalu. Akhirnya, dibentuklah komisi khusus untuk menangani kasus-kasus itu, sebab peristiwa-peristiwa itu diduga merupakan satu seri pembunuhan.
Tubuh Ny. Grybek ditemukan oleh cucu perempuannya sendiri, Karin Franck. Kepada polisi ia menyatakan neneknya menyimpan uang sekitar DM 1.600 di flatnya, dan uang itu lenyap.
Kasus pembunuhan beruntun semacam itu bukan yang pertama kali ditangani oleh para petugas kepolisian di kota tersebut. Dalam beberapa hal, kasus yang kini mereka hadapi itu ternyata paling sulit. Dalam kasus kasus sebelumnya, yang korbannya juga orang-orang usia lanjut, lebih banyak ditemukan petunjuk tentang pembunuhnya. Sadis.
Ya, pembunuh itu memang sadis. Korban dianiaya tanpa ampun. Mayat dicincang atau korban diperkosa lebih dulu sebelum dibunuh. Yang terakhir ini bisa terjadi karena si pelaku punya kelainan jiwa.
Namun, si Pembunuh Bel Pintu ini bukan pembunuh yang sadis. Juga bukan orang yang gila seks. Malah sebaliknya, ia senantiasa merapikan pakaian korbannya sebelum kabur. Ia cuma mau uangnya atau perhiasannya.
Dengan cara yang belum diketahui, ia membujuk calon korban agar ia bisa masuk ke flatnya. Begitu masuk, ia segera mencekik leher korban, lantas mencari-cari dan mengambil apa yang diinginkannya, kemudian kabur. Tidak dijumpai sidik jari ataupun petunjuk lain yang bisa menjadi kunci pembuka identitasnya. Saksi mata belum juga ditemukan.
Tukang pos?
“Si pembunuh punya semacam muslihat,” duga Inspektur. "Kita tahu, nenek-nenek di sini amat berhati-hati. Bahkan ada yang ekstrem. Kerabat sendiri tidak boleh masuk ke flat mereka. Tapi kenapa penjahat itu malah bisa masuk? Padahal pelbagai surat kabar gencar memberitakan si Pembunuh Bel Pintu yang bergentayangan memakan korban."
"Inspektur, saya punya data tentang kasus-kasus yang terjadi pada waktu yang lalu," kata Sersan. "Mereka ada yang mengaku petugas PLN, tukang reparasi yang dikirim pengelola flat, polisi, tukang pos. Malah ada yang benar-benar tukang pos."
“Sebarkan informasi itu," kata inspektur. "Kita harus mengurangi sebanyak mungkin korban yang jatuh. Dengan meluasnya informasi itu kita harapkan, si pelaku lantas bertindak nekat dan membuat kesalahan."
Andaikata si Pembunuh Bel Pintu pecandu obat bius, mungkin saja ia terdorong berbuat nekat karena ingin cepat punya uang untuk membeli barang itu. Namun, tindakannya saat beraksi tidak menunjukkan ciri khas seorang pecandu narkotik. Polisi berharap, publikasi tentang pelbagai kemungkinan peran yang sering dimainkan oleh si pelaku agar bisa masuk ke flat calon korban, bisa menyelamatkan calon-calon korban berikutnya.
"Rupanya, penjahat itu tidak memakai cara lama untuk bisa memasuki flat korbannya," kata Sersan. "Peringatan kepada masyarakat sudah kita berikan lewat koran dan televisi.... Ironisnya, tak lama setelah itu, kembali kita terima laporan korban jatuh lagi. Korban kali ini adalah Sigurd Bessener. Usianya delapan puluh tahun."
Ny. Bessener tinggal di sebuah flat di Jl. Naumann 37, wilayah Schoeneberg, yang letaknya kira-kira antara Tiergarten dan Tempelhof. Pak inspektur segera menuju ke tempat kejadian.
Mayat Ny. Bessener ditemukan oleh kawannya, Ny. Marta Bauer yang sepuluh tahun lebih muda daripadanya. Ketika inspektur tiba, dr. Scheidel tengah memeriksa mayat korban.
"Lagi-lagi, mirip dengan korban-korban sebelumnya," komentar Dr. Scheidel. "Hampir-hampir merupakan trade mark si pembunuh. Saya yakin ia tidak banyak memperoleh uang di sini.
"Ya. Melihat kondisi flatnya, Dr. Scheidel benar. Flat itu sempit dan kotor. Di dalamnya tak ada satu barang pun yang bisa dijual ke tukang loak sekalipun. Menurut Ny. Bauer, korban memang amat miskin. Ny. Bessener cuma menggantungkan hidupnya pada uang pensiun yang amat kecil. Menurut Ny. Bauer, uang tabungan Ny. Bessener tak bakal lebih dari DM 300.
Berapa pun jumlahnya, uang itu toh disikat juga oleh si Pembunuh Bel Pintu, dan seperti biasa korban ditinggalkan dalam keadaan berpakaian rapi.
Barangkali lantaran korban kali ini begitu melarat atau korban begitu lemah, inspektur tak bisa menyembunyikan amarahnya. Sebagai petugas yang berpengalaman, inspektur jarang dibuat marah karena hal-hal semacam itu.
"Bangsat! Sampai hati benar jahanam itu," umpat Inspektur dengan geram.
Dua saksi mata
Ketika ditemukan tewas, Sigurd Bessener mengenakan satu-satunya gaun bagus yang dimilikinya.
"Berarti, Ny. Bessener baru saja masuk ke flatnya," kata Inspektur. "Tolong lihat, apakah ia sempat meletakkan tas belanjanya di dapur."
"Kol, kentang, seliter susu dan roti," ujar Sersan setelah masuk ke dapur. "Isi tasnya belum dikeluarkan."
"Kapan tepatnya ia tewas, Morris?" tanya Inspektur.
Dokter itu memandang Inspektur dari balik kaca mata tebalnya. Dagunya tampak kotor ditumbuhi janggut yang tak terawatt.
"Pukul 14.30 - 15.15 kemarin petang," kata dokter itu.
"Oke, Sersan!" kata Inspektur. "Perintahkan kepada anak buahmu untuk mencari informasi di mana ia berbelanja. Tanyakan kepada penjaga toko di sepanjang jalan yang menuju flat ini. Juga tanyakan apakah ada yang melihat orang menguntit Ny. Bessener."
Seperti pada kasus-kasus sebelumnya, kali ini juga tidak diperoleh banyak keterangan. Itu barangkali karena tanggal 17 Februari cuaca di wilayah itu amat buruk. Berlin digoyang angin ribut yang bertiup dari Laut Baltik serta diguyur salju dan es yang membekukan. Banyak orang enggan keluar rumah. Sedikit saja yang lalu-lalang di jalanan saat itu.
Namun, diperoleh juga dua orang saksi mata. Keduanya penjaga toko. Mereka mengaku melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar, berkumis tipis, dan berambut coklat tua berombak. Pria itu berjalan begitu saja tak jauh di belakang Sigurd Bessener.
Kedua saksi mata itu tidak menyadari kalau pemuda itu sebenarnya sedang membuntuti Ny. Sigurd. Tampang pria itu tidak menunjukkan bahwa ia seorang pembunuh.
"Mana ada orang yang bertampang pembunuh," komentar Inspektur. "Tampang mereka tak berbeda dengan kita. Mereka toh manusia biasa, seperti kita juga."
"Oke, paling tidak kita punya sedikit gambaran tentang orang itu. Nah, sekarang apa kata komputer?"
Di Berlin ternyata banyak orang muda yang punya ciri-ciri berkumis tipis dan berambut gelap menyentuh kerah baju, seperti diungkapkan kedua penjaga toko itu.
Mereka kebanyakan tercatat dalam dokumen polisi sebagai penjahat-penjahat narkotik. Dengan bantuan kotak kaca canggih itu, Sersan Wagner memeriksa identitas mereka satu per satu. Seperti dikhawatirkan Inspektur, hasilnya nihil.
"Saya yakin si Pembunuh Bel Pintu bukan pecandu narkotik," kata Inspektur. "Dia orang yang berpikiran jernih dan logis."
"Serta kejam," tambah Sersan Wagner.
Kedua detektif itu menjadi frustrasi rupanya.
Lewat tanggal 15
Pada bulan Maret nyaris tak ada korban yang jatuh. Namun, terbunuhnya Erna Hoedicke pada tanggal 31 bulan itu makin memperkuat statistik yang menyatakan, dalam sebulan jatuh seorang korban. Tak ada petunjuk yang bisa diperoleh dalam peristiwa itu. Tak ada saksi mata yang melaporkan melihat pemuda berkumis tipis. Diperkirakan si pembunuh berhasil menggondol kira-kira DM 800 dan sejumlah perhiasan dari Ny. Hoedicke.
“Bulan April ini, kapan dan siapa lagi bakal jadi korban?" ujar Sersan. "Apa yang bisa kita lakukan untuk memperingatkan wanita-wanita gaek di kota ini?"
"Tidak ada," kata Inspektur. "Di Berlin ini siapa yang tidak tahu tentang pembunuhan beruntun yang tengah berlangsung ini?" katanya. "Bangsat ini pasti punya rayuan maut untuk bisa masuk ke flat mereka. Sayang, kita tidak tahu macam apa rayuan mautnya itu. Kalau tahu, kita bisa menghentikan ulahnya. Yang kita ketahui cuma, semua pembunuhan terjadi setelah tanggal 15. Ia tak pernah beraksi sebelum tengah bulan itu."
Jumat, 20 April 1984. Sore itu Caecili Hidde tewas terbunuh dalam usia 83 tahun, meski mayatnya baru ditemukan sehari setelah kematiannya.
Ny. Julia Keppler (80) melapor pada polisi. "Saya punya firasat, kini giliran Caecili yang jadi korban si Pembunuh Bel Pintu. Itulah sebabnya saya datang ke flatnya."
Ketika itu Ny. Keppler memijat-mijat bel, juga mengetuk-ngetuk pintu flat Caecili Hidde berkali-kali. Namun, tak ada jawaban. Karena penjaga tidak mau membuka pintu flat dengan kunci cadangan, Ny. Keppler lantas melapor ke polisi.
Ny. Hidde ditemukan tewas terbaring di ruang depan. Pakaiannya melekat rapi di tubuhnya. la tewas karena dicekik.
"Kali ini si perampok menemukan sasaran yang lumayan," kata Inspektur.
Dari pemeriksaan, Ny. Hidde diperkirakan menyimpan uang hampir DM 20.000 di flatnya.
Rayuan maut apa?
Si Pembunuh Bel Pintu punya satu ciri khas. la selalu membunuh dengan mencekik leher korban menggunakan tangan. Tak satu pun korban selamat dari cekikan mautnya.
Inilah yang bikin penyelidikan polisi tambah susah. Andaikata ada korban yang lolos dari maut, diharapkan ia bisa mengungkapkan ciri-ciri si pembunuh dan yang terpenting, rayuan macam apa yang dilontarkannya, sehingga ia berhasil memasuki flat mereka.
Lama-kelamaan Inspektur sampai pada kesimpulan bahwa rayuan maut itu merupakan kata kunci untuk membongkar kasus yang misterius itu. Si pelaku tentu punya suatu cara baru untuk merayu calon mangsanya.
"Tentu bukan dengan cara berpura-pura jadi petugas yang memakai pakaian seragam tertentu," Inspektur menduga. "Kalau itu yang dilakukannya, sampai sekarang belum ada saksi mata yang melaporkan telah melihat orang yang berseragam di dalam atau dekat kompleks bangunan flat,” katanya. "Kalau bukan itu ... lantas .... Oh, mungkin ia menggunakan surat mandat atau ... surat lain ... atau mungkin lencana ...?"
"Namun Inspektur, kita sudah menyiarkan peringatan tentang adanya penipuan menggunakan surat mandat palsu, lencana palsu, dan juga pakaian seragam. Tetapi tampaknya peringatan itu tak ada gunanya," ujar Sersan. "Atau barangkali ada sejumlah wanita gaek yang tak paham dengan soal-soal semacam itu?"
"Boleh jadi," kata Inspektur, "tetapi saya pikir tidak. Mana bisa jahanam itu menemukan nenek-nenek yang tak paham jadi sasarannya? Sudah pasti, si pelaku tidak kenal dengan para korban sebelumnya."
Pada mulanya kedua detektif itu mengira, si tukang cekik leher itu tak perlu rayuan untuk bisa masuk ke flat mereka, sebab diduga ia mengenal korbannya secara pribadi.
Dugaan mereka kian lama semakin luntur, dan kini sama sekali lenyap dengan tewasnya korban berikutnya. Ny. Hidde, korban terakhir dalam seri pembunuhan itu, tinggal di kompleks yang agak elite di Jl. Thomas 61, wilayah Neukölln. Wilayah itu tak jauh dari Tembok Berlin yang membentengi Berlin Barat dan Berlin Timur. Seperti pada kasus-kasus sebelumnya, tak bisa dilacak adanya hubungan antara si pelaku dengan korbannya.
Secarik bon
Namun, ada dua hal yang membedakan kasus Ny. Hidde itu dari kasus-kasus sebelumnya. Ny. Hidde jauh lebih kaya daripada korban-korban sebelumnya. Dalam kasus itu juga ditemukan apa yang diduga oleh para detektif sebagai kunci penyingkap misteri pembunuhan beruntun tersebut: secarik bon.
Polisi menemukannya sebagai bon pembelian dari sebuah toko pakaian, tak jauh dari tempat tinggal Ny. Hidde. Mulanya, mereka tidak segera menyadari, secarik kertas itu bakal jadi petunjuk berharga. Bon pembelian itu diduga merupakan bukti pembelian yang dilakukan Ny. Hidde di toko itu. Ny. Hidde memang pelanggan lama toko itu. la dikenal betul oleh para pegawainya.
Namun setelah diselidiki, pada tanggal seperti tertera pada bon pembelian, ternyata Ny. Hidde tidak berbelanja di toko itu.
Barang yang dibeli, pada bon itu, yakni sepasang kaus tangan pria. Menurut penjaga toko, pembelinya adalah seorang lelaki muda berkumis tipis, berambut gelap dan berombak menyentuh leher baju. Luar biasa. Perempuan penjaga toko itu tahu nama si pembeli. Ketika orang itu mencabut dompetnya hendak membayar, KTP-nya terjatuh di atas meja kasir. Dipungutnya kartu itu, lantas diberikan kepada pemiliknya. Tanpa sengaja nama yang tertulis pada KTP itu terbaca oleh si penjaga toko: Waldemar Stepinski.
Dalam buku daftar penduduk, tercatat sembilan orang bernama Waldemar Stepinski. Namun, cuma satu orang yang punya ciri-ciri bertubuh tinggi besar, muda, berkumis tipis, berambut gelap dan berombak menyentuh leher baju.
Usia pemuda itu 22 tahun. Sudah menikah. la adalah buruh pabrik, yang pada bulan September 1983 kehilangan pekerjaannya. Sejak itu ia cuma hidup dari tunjangan pengangguran.
Cicilan lancar
Data yang berhasil dikumpulkan tentang pria itu tak ada yang pasti menguatkan dugaan bahwa Stepinski punya sangkut paut dengan kasus pembunuhan beruntun itu. Namun, ada satu hal: Stepinski ini membeli sebuah flat yang mahal di suatu kompleks baru di wilayah Mariendorf. Wilayah itu termasuk salah satu tempat yang tidak dijamah oleh tangan maut si pembunuh misterius itu. Meski sejak bulan September itu ia tak punya penghasilan, pembayaran cicilan flat itu lancar saja.
Inspektur ingin menyelidiki dari mana Stepinski memperoleh uang.
Stepinski tak bisa menjawab pertanyaan itu. Setelah interogasi yang panjang, akhirnya ia mengaku sebagai pembunuh Erna Hoedicke dan Caecili Hidde, dan bahkan atas seorang nenek lagi yang tak sempat tercium polisi.
Pembunuhan terakhir itu menimpa Kaethe Deihfuss. Mayatnya ditemukan polisi di flatnya, Jl. Stulpnagel 10, wilayah Charlotenberg. Dari Ny. Kaethe, Stepinski berhasil menggondol 1.000 franc Swias dan sejumlah kecil uang mark Jerman.
Stepinski mengaku, cara kerjanya yang tampak rumit sampai bikin pusing para detektif itu, sebetulnya sederhana saja.
Ia asal saja memilih korbannya. Calon korban dikuntitnya diam-diam sampai ke tempat tinggalnya. Setelah calon korban itu masuk, Stepinski segera memijat bel pintu. Ia berusaha sebanyak mungkin menghindari lorong dan ruang tangga. Yang dikatakannya itu semua masuk akal dan sesuai dengan dugaan polisi. Akan tetapi rayuan maut yang dibidikkannya kepada calon-calon korban agar ia bisa memasuki flat mereka, ternyata begitu naif dan kekanak-kanakan. Pada mulanya Inspektur hampir tak percaya.
Stepinski memiliki sebuah lencana dari logam, seperti yang dijual di toko-toko tertentu di AS. Dulu, barang itu dibelinya bukan untuk menipu orang. Pada lencana itu tertulis: New York. FBI. Special Agent.
"Kepada mereka saya mengaku sebagai petugas khusus yang dikirim dari Amerika untuk membongkar kasus-kasus pembunuhan yang dilakukan oleh si Pembunuh Bel Pintu," kisah Stepinski.
Barangkali bisa dimaklumi kalau nenek-nenek Jerman itu tidak tahu bahwa FBI bukan sebuah organisasi di New York. Atau percaya bahwa petugas-petugas hukum Amerika ditugaskan di Berlin. Kita itu masih di bawah pengawasan tentara Sekutu dan secara resmi bukan bagian dari Jerman Barat.
Tiga tak diakui
Namun,bagaimana bisa Stepinski mengaku kepada Hedda Buekow dan juga Elli Grybek bahwa ia sedang menyelidiki kasus pembunuhan beruntun oleh Pembunuh Bel Pintu? Padahal, pada saat mereka terbunuh, julukan Pembunuh Bel Pintu belum muncul.
Jawaban Stepinski atas pertanyaan itu membuat resah hati wanita-wanita gaek di Berlin. Ia mengaku tidak membunuh Hedda Buekow, Elli Grybek, dan Sigurd Bessener.
Meski Stepinski sudah terbukti bersalah telah membunuh Erna Hoedicke, Caecili Hidde, dan Kaethe Deichfuss, dan pada tanggal 7 Juni 1985 diganjar hukuman penjara seumur hidup, masih saja banyak nenek-nenek di Berlin Barat yang merasa cemas.
Tidak begitu dengan Inspektur. Menurut hematnya, tanda-tanda yang dijumpai pada tiga kasus pertama, yang menunjukkan si pelaku adalah Stepinski, sama persis seperti tiga kasus pembunuhan yang terakhir. Lebih-lebih, sejak Stepinski mendekam di balik penjara, tidak lagi terdengar kasus-kasus pembunuhan semacam itu.
Intisari Plus - Seorang nyonya di Berlin mengangkat gadis dari desa menjadi pelayan. Tetapi baru dua pekan bekerja, gadis itu menghilang dan membawa barang-barang majikannya. Setelah lapor polisi, gadis itu ternyata penipu ulung.
-------------------------
Seorang nyonya di Berlin mendapat pelayan baru. Ia sangat puas melihat kerajinan pelayan itu. "Seorang gadis desa sederhana, yang kalau berbicara selalu dengan logat rakyat," katanya. Tapi setelah 14 hari bekerja, pelayan yang dipuji-puji itu menghilang, dengan menggondol seprai, taplak meja, pakaian, serta barang-barang emas dan perak milik majikannya.
Seorang kenalan nyonya itu menyarankan kepadanya untuk melaporkan kejadian tersebut pada polisi bagian kriminal. Di kantor polisi langsung disodorkan album penjahat golongan "Wanita Pencuri" padanya. Peristiwa ini terjadi sekitar seabad yang lalu, tetapi waktu itu pun cara kerja polisi di sana sudah cukup modern.
Senang menyamar
“Saya rasa pelayan yang minggat itu Emma Schubel," kata petugas yang dihadapi. Di halaman 6 ada fotonya. Ciri-ciri yang Anda sebutkan cocok dengan dia."
"Tapi pelayan saya namanya Auguste Pechow," jawab sang nyonya. Dengan sikap tak acuh, petugas itu terus membalik-balik halaman album.
"Mungkin saja ia memakai nama itu," katanya. "Masih banyak lagi nama lain yang dipakainya. Ada sekitar selusin, di antaranya bergelar kebangsawanan. Coba Anda lihat ini! Ini 'kan orangnya?'
Nyonya yang kecurian itu menggeleng. "Bukan, bukan dia! Pelayan saya itu gadis sederhana." Sedangkan foto itu menunjukkan wajah wanita terpandang, dengan gaun malam yang anggun.
"Ya, dalam foto ini ia mengaku dirinya penyanyi," kata polisi menjelaskan. "Ia memakai nama Alice Barbi. Foto ini kami peroleh dari salah seorang kekasihnya, yang kemudian menjadi korban pencurian habis-habisan olehnya. Emma Schubel senang sekali menyamar. Hari ini menjadi wanita bangsawan, besok pelayan, lalu seniwati. Kemudian menjelma menjadi janda yang ditinggal suami. Pokoknya, ia bisa menjadi apa saja, sesuai dengan keadaan. Kami masih memiliki foto lain dari dia. Nah, ini dia!"
Polisi menunjuk foto gadis pelayan yang cantik, dengan rambut terbelah rapi.
"Ya, ini dia Auguste!" seru nyonya itu. Polisi yang bertugas tersenyum sekilas.
"Ya, ia memang senang main-main seperti begini," katanya. "Tapi sekarang kita harus bergegas menangkapnya. Kalau tidak, mungkin barang-barang milik Anda lenyap. Emma Schubel mengenal banyak penadah. Coba saya lihat sebentar. Alamatnya yang terakhir di Kaiser-Wilhelm-Bruecke 16, mondok pada keluarga Tucholer."
Tapi sesampai di alamat itu, mereka menjumpai pintu terkunci. Sementara pintu diketuk-ketuk, seorang wanita setengah umur datang dari toko yang terletak di tingkat dasar rumah itu. Ia langsung naik pitam, ketika mengetahui siapa yang datang itu.
Ternyata wanita yang dicari sudah pergi tanpa pamit dan tanpa membayar sewa. Agak lama juga polisi disibukkan oleh wanita yang marah-marah itu. Tapi dari keterangan yang bisa diperoleh di tengah semprotan caci maki, ternyata Emma Schubel minggat secara diam-diam malam sebelumnya, setelah mengaku bepergian selama 14 hari.
"Rupanya ia menunggu sampai aku berjalan-jalan dengan kedua anjingku," kata wanita setengah tua itu, setelah perasaannya agak tenang. "Tapi tak mungkin ia mengangkuti sendiri barang-barang miliknya. Pakaiannya begitu banyak, mustahil bisa dimasukkan ke dalam satu koper saja."
Petugas polisi langsung waspada. "Apakah Anda kebetulan tahu, mungkin ada kenalannya yang membantu?" tanyanya. Wanita setengah umur itu mengingat-ingat sebentar.
"Ada sesuatu yang aneh, meski aku tidak tahu apakah ini ada artinya," katanya kemudian. "Pada suatu siang, ketika sedang berjalan-jalan dengan anjing-anjingku, aku melihat dia berbicara dengan tukang ikan yang berjualan di bawah salah satu lengkung jembatan. Orang itu tidak begitu disukai di sini. Kabarnya ia pernah dipenjarakan. Penyewa kamarku yang minggat itu justru mengobrol dengannya. Mungkinkah tukang ikan itu yang membantunya?"
"Baiklah, kami akan mengusutnya," kata polisi.
Kejadian ini sebenarnya merupakan kasus kecil. Tapi walau begitu, polisi tetap mengadakan pengusutan. Pada nyonya bekas majikan Emma Schubel dipesankan agar tempat tinggalnya dijaga baik-baik setiap saat. Seorang petugas bagian kriminal mengamat-amati tukang ikan dengan cermat. Tapi Emma Schubel tidak pernah muncul di rumah orang itu.
Pengantar yang baik hati
Kasus ini sudah nyaris dipetieskan. Pada suatu pagi yang suram di bulan Februari 1886, seorang petugas pengusutan secara kebetulan melihat Emma Schubel dekat Stasiun Stettin. Wanita yang dicari-cari itu mengambil sekaleng susu dari tukang susu yang tiap hari lewat di situ, lalu masuk ke sebuah restoran.
Restoran itu sering disinggahi orang yang sedang bepergian. Soalnya, stasiun yang ada di dekat situ merupakan stasiun ujung. Jadi, orang yang datang dari Berlin dan hendak melanjutkan perjalanan, dari situ harus pindah ke stasiun lain. Naik kereta atau bus yang ditarik kuda.
Kesibukan para penumpang yang mencari-cari kendaraan unntuk melanjutkan perjalanan dimanfaatkan kalangan penjahat dari segala macam corak. Mereka berlagak seakan-akan orang baik-baik. Penumpang dari dusun yang nampak kebingungan menghadapi keramaian kota besar, mereka sapa untuk menunjukkan jalan. Mereka bahkan bersedia mengantar, agar orang dusun itu tidak tersasar.
Selanjutnya gampang. Pengantar yang baik hati itu menawarkan diri untuk menjadi penunjuk jalan, melancong di Berlin sebentar sebelum perjalanan dilanjutkan. Si pelancong akhirnya tentu capek. Apalagi yang lebih logis, daripada mampir sebentar di restoran. Nah, di situlah pelancong tadi dikerjai.
Polisi bisa membayangkan bahwa Emma Schubel pasti sengaja memilih tempat kerja di lingkungan hitam itu. Dalam penelitian lebih lanjut, ternyata ia bahkan tinggal di restoran itu. Tapi tanpa terdaftar secara resmi.
Emma Schubel tidak langsung ditangkap. Ia diamat-amati terus, untuk mengetahui apakah ia ada hubungannya dengan para penjahat lain. Ternyata tukang ikan temannya mengobrol di bawah jembatan dulu, kadang-kadang datang ke restoran itu untuk mengantar ikan: Namanya Fritz Neuss.
Di situ ia bercakap-cakap juga dengan Emma. Sering apabila tempat minum di restoran sudah ditutup, keduanya pergi ke kedai minum Letzter Hieb yang izin bukanya dua jam lebih panjang, karena letaknya di dekat stasiun. Apa yang mereka kerjakan di sana tidak bisa diketahui, karena di tempat itu para petugas kriminal sudah terlalu dikenal.
Petugas bagian kriminal yang menangani kasus itu, Inspektur Kramer, menyarankan pada atasannya, agar sekretaris bagian kriminal Brandt, seorang rekan yang baru dipindahkan dari Postdam ke Berlin, ditugaskan untuk melakukan penyelidikan di situ.
Agar para penjahat yang sangat kompak tidak merasa curiga, ia dimasukkan ke dalam tahanan. Lalu dibebaskan kembali dengan beberapa tahanan lain yang terjaring dalam suatu penggerebekan.
Polisi tahu bahwa dua di antara mereka merupakan tamu tetap di Letzter Hieb. Keduanya tidak curiga ketika Brandt menggabungkan diri dan ikut ke kedai minum tempat penjahat berkumpul itu. Brandt hendak mentraktir mereka minum di situ.
Mereka minum-minum sampai malam. Akhirnya, Brandt duduk sendiri di situ. Kedua teman setahanannya sudah pergi lagi. Brandt pura-pura tertidur karena terlalu banyak minum. Padahal ia mengamati sekelilingnya dengan waspada.
Di depannya duduk seorang yang sudah tua. Dari kejauhan pun sudah bisa ditebak bahwa orang itu pencuri. Orang itu asyik membaca berkala pengadilan. Rupanya ia hendak mempelajari teknik- teknik terbaru. Atau mungkin juga memperkirakan hukuman yang ditimpakan padanya, apabila ia sampai tertangkap.
Dibuntuti tanpa sadar
Malam itu Emma Schubel muncul agak lebih cepat daripada biasa. Ia ditemani Fritz Neuss, si tukang ikan. Kebetulan saat itu hanya di meja Brandt yang masih ada kursi kosong.
Kedua pendatang baru itu duduk di situ, lalu langsung berunding dengan sibuk. Kemudian datang seseorang menggabungkan diri. Tapi Brandt tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena mereka berbicara dalam logat penjahat daerah Berlin. Sedangkan ia sendiri orang baru.
Brandt melakukan satu-satunya tindakan yang tepat dalam menghadapi situasi demikian. Dengan langkah terhuyung-huyung ia membayar, lalu pergi ke luar. Di depan kedai ia menunggu petugas polisi lain yang ditempatkan beberapa rumah lebih jauh sebagai pengaman kalau terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Rekan itu orang setempat, dan menguasai logat penjahat daerah situ.
Dari rekan itu Brandt mendapat keterangan bahwa orang ketiga yang tadi menggabungkan diri dengan Emma dan Fritz ternyata membawa perkakas bongkar rumah. Jadi, bisa ditarik kesimpulan, ketiga orang itu sedang merencanakan hendak membongkar rumah orang. Kedua petugas polisi kemudian bermaksud akan membuntuti apabila mereka pergi dari kedai. Siapa tahu, ketiga penjahat itu bisa tertangkap basah ketika mencuri!
Namun, walau ditunggu-tunggu sampai pukul 01.30, Emma Schubel beserta kedua kawannya tidak muncul.
"Jangan- jangan ada jalan lain untuk keluar," kata Brandt gelisah.
"Kami sudah beberapa kali melakukan pemeriksaan teliti," kata rekannya. "Tapi tidak ada jalan lain kecuali yang satu itu. Bahkan jendela kamar kecilnya pun diberi berterali oleh pemilik kedai, supaya tidak ada tamu yang bisa lari tanpa membayar dulu. Mereka pasti masih ada di dalam."
Ternyata memang begitu. Setengah jam kemudian kedai minum ditutup. Para tamu terakhir keluar, di antaranya terdapat Emma beserta kedua kawannya. Mereka dibuntuti oleh Brandt serta rekannya dari jarak yang cukup aman. Tapi mereka sebetulnya sama sekali tidak perlu berhati-hati.
Emma dan kedua kawannya tidak sekali pun menoleh ke belakang. Dengan santai ketiga orang itu berjalan ke Friedrichstrasse, menyeberang jalan dan terus ke arah Weidendammer Bruecke. Akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah bangunan besar. Sebuah rumah sewaan yang ditinggali sejumlah penyewa. Saat itu Brandt serta rekannya belum tahu, di situ tinggal bekas majikan Emma Schubel.
"Ada apa Auguste?"
Teman Emma yang membawa perkakas pencuri yang dikenal dengan julukan Husaren-Willy dengan gampang berhasil membuka pintu depan gedung. Lalu ia beserta kedua kawannya menyelinap masuk, disusul oleh kedua petugas polisi.
Dari bunyi pelan yang terdengar, mereka mengetahui bahwa ketiga penjahat itu sedang menaiki tangga. Diterangi lampu gas yang remang-remang nampak bahwa Emma Schubel berjalan paling belakang. Pada suatu tingkat ia berhenti, sementara kedua kawannya berjalan terus.
"Pintu yang tengah, tingkat berikut," terdengar Emma berbisik. Kedua petugas polisi berhenti sambil menahan napas. Mereka menengadah. Tahu-tahu tempat itu menjadi gelap gulita.
"Lampu gas mereka padamkan," bisik petugas polisi yang satu pada rekannya. Tapi sesaat kemudian terdengar bunyi korek api, disusul nyala terang. Rupanya salah seorang penjahat menyalakan lilin. Kemudian terdengar bunyi aneh.
"Mereka membor kunci pintu," bisik rekan Brandt. "Cepat nyalakan lampu, lalu kita tangkap mereka!"
Emma Schubel masih sempat berteriak, ketika kedua petugas itu tahu-tahu muncul. Tapi detik berikutnya ia sudah diringkus sementara polisi yang satu lagi terus lari menaiki tangga sambil berteriak, "Angkat tangan! Polisi!"
Lilin yang dipegang penjahat terjatuh. Husaren-Willy hanya bisa melongo, menatap cahaya lentera menyilaukan yang dipegang polisi. Sementara itu Brandt yang meringkus Emma Schubel ikut naik. ke atas. Barulah ketiga penjahat itu sadar bahwa mereka masuk perangkap.
"Saya rasa ini sudah cukup untuk menangkap mereka," kata rekan Brandt. "Tapi sebelumnya, kita bangunkan dulu penghuni tempat tinggal ini.”
Tapi walau diketuk dengan keras berulang-ulang, tidak ada orang datang membukakan pintu. Akhirnya, malah pintu tempat tinggal sebelah yang terbuka. Seorang wanita mengenakan topi tidur menjengukkan kepalanya ke luar.
"Ada apa, Auguste?" tanya wanita itu dengan heran pada Emma Schubel. Saat itu barulah Brandt sadar bahwa yang hendak suki tiga sekawan pencuri itu tempat tinggal bekas majikan Emma. Rupanya wanita tetangga itu belum tahu bahwa Emma tidak bekerja lagi di situ.
"Anda Ikan tahu, keluarga Schelling sedang bepergian, karena ada seorang sanaknya yang meninggal dengan tiba-tiba."
Kedua petugas polisi yang menangkap tercengang. Dari mana trio penjahat itu mengetahui hal itu. Dari mana mereka juga tabu bahwa pada pintu itu dipasang kunci khusus atas saran polisi? Karenanya Husaren-Willy terpaksa membor.
Ketiga penjahat yang sedang naas itu digiring ke pos polisi. Lalu keesokan harinya diangkut dengan kendaraan tahanan ke kantor pusat.
Serat di bawah kuku
Ketika dilakukan penggeledahan di rumah Fritz Neuss di Schildhorn, di situ ditemukan beraneka barang curian. Rupanya tukang ikan itu berfungsi sebagai penyalur hasil curian untuk dijual pada para penadah, antara lain seorang pemilik rumah gadai di Grenadierstrasse. Di tempat itu ditemukan barang-barang curian pula.
Husaren-Willy, yang nama sebenarnya Wilhelm Obenauf, ternyata seorang resedivis. Ia dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Fritz Neuss diganjar dua tahun, begitu pula Emma Schubel yang harus mendekam dalam waktu yang sama di Penjara Moabit.
Pada tanggal 1 November 1895 ditemukan mayat seorang wanita berumur kira-kira 30 tahun. Mayat itu terkapar dalam belukar, dekat Haverberg. Kematiannya diduga disebabkan karena cekikan.
Pada dirinya sama sekali tidak dijumpai surat-surat keterangan atau barang lain yang memungkinkan polisi melakukan identifikasi. Tapi ketika dilakukan analisis dengan mikroskop terhadap kotoran yang terdapat di bawah kuku jari si mati, ditemukan beberapa serat benang wol jenis tertentu yang dicelup pewarna merah. Wol jenis ini berasal dari tekstil wol yang sudah bekas, lalu diolah kembali menjadi benang wol.
Anehnya, serat-serat yang ditemukan di bawah ujung kuku mayat sebelah bawahnya berwarna biru kehitaman, sedangkan sebelah atasnya merah. Ini merupakan indikasi bahwa serat itu berasal dari bahan pakaian dengan pola tertentu.
Misalnya saja rompi dengan pola bergaris-garis, yang waktu itu sedang mode. Kaum wanita juga biasa memakai baju kaus dengan pola serupa. Tapi pada mutu yang murahan, pola itu hanya dicap dan tidak dicelup.
Untuk mengetahuinya secara jelas, dilakukan pemeriksaan lebih teliti. Apabila dilihat dengan mikroskop, serat celupan menampakkan penyebaran warna merata, sedangkan pada bahan yang dicap tidak.
Ternyata yang ditemukan di bawah kuku si mati, serat celupan. Warna merahnya berasal dari bahan warna benzopurpurin, seperti terbukti dari sifatnya yang larut dalam air serta perubahan menjadi biru ketika dicelupkan dalam larutan air keras. Dengan begitu diketahui bahwa serat itu tidak berasal dari bahan pakaian murahan.
Menurut keterangan yang diperoleh dari pabrik-pabrik tekstil, serat yang diwarnai dengan cara begitu, terutama yang bagian bawahnya berwarna biru kehitaman, diolah menjadi bahan rompi dengan pola bergaris-garis.
Jadi bisa. ditarik kesimpulan, pelaku ketika melaksanakan pembunuhan memakai rompi dengan pola begitu. Sang korban ketika dicekik melawan, sehingga beberapa lembar serat tercakar lepas. Kini polisi harus mencari seseorang yang memakai rompi seperti itu!
Tukang ikan digeledah
Tetapi sementara itu dipertimbangkan kemungkinan bahwa si mati pernah berurusan dengan polisi, dan karenanya tercatat dalam buku. Data tubuhnya diukur dan dicocokkan dengan daftar yang ada. Ternyata ia Emma Schubel, "perawan desa" yang pemah dihukum penjara!
"Sekarang kita setidak-tidaknya mempunyai pegangan, mencari siapakah di antara kenalan penipu ini yang memiliki rompi demikian," kata kepala bagian kriminal, Polizeirat von Meerscheidt. "Siapa yang akan menduga ia akan berpindah menjadi urusan bagian pembunuhan!"
Von Meerscheidt merenung sejenak. Kemudian ia menginstruksikan Inspektur Arndt yang menangani kasus itu, agar mempelajari akte-akte penjahat bernama Wilhelin Obenauf serta kawannya.
"Tiga tahun yang lalu Emma Schubel pernah terlibat dalam suatu kasus penipuan dan pembongkaran. Jadi mungkin saja ini merupakan tindakan balas dendam di antara oknum-oknum yang terlibat waktu itu. Sepanjang ingatan saya, Schubel waktu itu banyak membantu kita dengan kesaksiannya, yang dilakukan olehnya untuk mendapat keringanan hukuman."
Inspektur Arndt menuruti instruksi atasannya. Minatnya terutama tertarik pada hubungan antara Emma Schubel dengan Fritz Neuss. Tukang ikan itu bertempat tinggal di Schildhorn, persis di pinggir Sungai Havel.
Inspektur Arndt mengerutkan kening. Bukankah tempat mayat Emma Schubel ditemukan, letaknya tidak jauh dari Schildhorn? Dengan segera ia berangkat ke Schildhorn. Nasibnya sedang mujur, tukang ikan yang dicari ternyata masih ada di rumah. Tapi kelihatannya sudah rapi. Rupanya ia hendak pergi ke kota.
Perhatian Arndt langsung tertarik pada rompi bergaris-garis orang itu. Bahannya seperti yang disebutkan dalam laporan hasil pemeriksaan kimia di laboratorium kepolisian. Jadi, arah pelacakan itu sudah benar!
Kini tim melakukan perbandingan wujud serat dengan mikroskop. Apabila di situ pun terdapat persesuaian, maka itu merupakan indikasi penting - walau bukan merupakan bukti yang 100%. Soalnya, rompi seperti itu pasti ada banyak di Berlin. Jadi, masih diperlukan barang bukti selanjutnya.
Dengan bantuan Dittmannn, seorang asisten, Arndt menggeledah pondok tukang ikan itu. Tapi ia tidak menemukan apa pun yang bisa dijadikan indikasi bahwa Emma Schubel pernah berada di situ.
Potongan tali yang hilang ditemukan
Walau begitu Arndt tak gampang putus asa. Ia melanjutkan pemeriksaannya ke dalam gudang tempat penyimpanan alat kerja serta perkakas penangkapan ikan. Di pojok ruangan ditemukannya sejumlah tali dan tambang. Paling atas terletak segulung tali. Dilihat dari wujud seratnya, nampak bahwa belum lama berselang ada sebagian dari tali itu yang dipotong.
Inspektur Arndt menatap gulungan tali yang sedang dipegangnya. Tebalnya kira-kira sama dengan bekas jeratan pada leher Emma Schubel. Tali itu diserahkan pada Dittmann untuk disimpan. Sedangkan Neuss digiring ke kantor pusat untuk diperiksa.
Frits Neuss menolak keras dakwaan bahwa ia ada hubungannya dengan pembunuhan terhadap Emma Schubel. Ia bahkan masih tetap membantah, ketika dikatakan menurut hasil pemeriksaan dengan mikroskop, ternyata serat wol dari rompinya identik dengan serat yang ditemukan di bawah ujung kuku si mati.
"Rompi seperti itu ada ratusan," katanya membela diri. "Kalau rompiku pada bagian tertentu kelihatannya agak aus, itu karena banyak dipakai!"
Inspektur Arndt merasa jengkel. Dengan cara begitu bekas komplotan si mati tidak bisa didesak supaya mengaku. Apalagi karena tidak diketahui alasan pembunuhan itu.
Kalau hanya karena dendam, Neuss takkan mau melakukan kejahatan berat seperti itu. Lagi pula sudah setahun waktu berlalu sejak keduanya dibebaskan dari penjara. Jadi kalau ia menaruh dendam pada Emma Schubel, pasti ia takkan menunggu lama-lama dulu. Jadi, mestinya ada alasan lain.
Inspektur. Arndt sibuk memutar pikiran, mencari-cari kemungkinan yang bisa mendorong Fritz Neuss membunuh bekas kawannya itu.
Yang jelas, kejahatan itu dilakukan dengan persiapan baik. Korban berhasil dipancing untuk ikut ke daerah berhutan yang terpencil. itu saja sudah merupakan indikasi bahwa pembunuhan tidak terjadi tanpa persiapan.
Inspektur Arndt memperhatikan gulungan tali yang terletak di samping meja kerjanya. Coba ia bisa menemukan bagian tali selebihnya yang dipotong! Soalnya, ketika tali itu dicocokkan dengan bekas luka jeratan di leher si mati, ternyata pembunuhan dilakukan dengan tali setebal itu. Tapi bukan dengan gulungan yang ada di kantor polisi!
Arndt berusaha membayangkan terjadinya peristiwa itu.
Dengan gulungan tali ditirunya proses pencekikan dengan sandaran kursi sebagai pengganti leher korban. Setelah itu dilepaskannya jeratan dan ia pergi ke pintu, sementara tali masih dipegang terus. Tapi kemudian diletakkannya tali di atas meja.
Saat itu juga ia tertegun. Ya, pasti itulah jawaban yang dicari-carinya selama itu! Potongan tali yang dicari tidak ada di lokasi pembunuhan maupun di rumah tersangka. Jadi, kalau begitu Neuss - jika memang dia pelakunya - telah membuangnya di tengah jalan.
Keesokan paginya Arndt beserta dua polisi lagi menyusuri jalan hutan, mulai dari Schildhorn menuju ke lokasi mayat ditemukan. Hal itu dilakukan berdasarkan dugaan bahwa setelah melakukan pembunuhan, Neuss langsung pulang ke rumahnya atau menuju ke Wannsee. Jadi, ke situ pun mereka harus mencari, kalau ternyata perlu.
Tapi Arndt kembali bernasib mujur! Tidak sampai 100 m dari lokasi pembunuhan, ditemukan sepotong tali di bawah semak. Arndt buru-buru membawanya ke laboratorium di kantor pusat.
Ternyata kedua bagian potongan pas sekali, sampai-sampai seratnya pun cocok. Jadi, tidak ada keragu-raguan lagi, potongan tali yang ditemukan itu berasal dari gulungan yang ditemukan di rumah tukang ikan.
Berdasarkan bukti-bukti itu Neuss dijatuhi hukuman mati, yang kemudian diperingan menjadi hukuman seumur hidup. Ia meninggal dunia tahun 1917 dalam penjara, karena penyakit TBC.
(HansWalter Gaebert)
" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553306293/perawan-gadungan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278612000) } } }