array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3834086"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/130-sepotong-jari-dalam-lipatan-20230829120715.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(135) "Sekelompok patung orang kudus dicuri dari sebuah kapel kecil di Austria. Penyelidikan menuntun polisi pada penemuan potongan jari kayu."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/130-sepotong-jari-dalam-lipatan-20230829120715.jpg"
      ["title"]=>
      string(39) "Sepotong Jari Dalam Lipatan Kaki Celana"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-29 12:07:28"
      ["content"]=>
      string(21884) "

Intisari Plus - Sekelompok patung orang kudus dicuri dari sebuah kapel kecil di Austria. Penyelidikan menuntun polisi pada penemuan potongan jari kayu dalam lipatan celana seseorang. Ia adalah pekerja yang pernah memperbaiki patung-patung kapel sebelumnya.

----------

Pada malam antara 3 dan 4 April 1961 Kapel Rosalie kemasukan pencuri. Itu adalah sebuah gereja kecil yang banyak diziarahi di tapal batas Austria bawah dan Burgenland. Hal ini awalnya diketahui oleh koster yang pagi-pagi sekali selesai membuka pintu-pintu kapel. Yang tidak ada di tempatnya masing-masing ialah patung Bunda Maria besar di altar, empat patung bergaya barok dari orang kudus yang mengelilingi patung Bunda Maria, dan beberapa patung malaikat kecil-kecil.

Tanpa pikir panjang, koster lari keluar dari kapel untuk melaporkan hilangnya sekelompok patung itu pada pastor. Tanpa memeriksa ulang laporan koster di tempat kejadian, pastor langsung melaporkan pencurian itu pada polisi. Tetapi baru beberapa lamanya kemudian polisi sempat mendatangi kapel yang letaknya tinggi di atas pegunungan. 

Sementara itu pastor dan koster mengadakan penyelidikan sendiri. Tak terbayangkan oleh mereka bagaimana pencuri bisa masuk ke dalam kapel. Tak sebuah pintu atau jendela pun terlihat rusak.

“Gila benar!” guman petugas kapel yang baru saja tiba dari rumahnya di desa sebelah. “Jangan-jangan mereka menggunakan kunci palsu.”

Petugas kapel tahu benar apa yang harus dilakukan dalam situasi demikian. Usulnya, “Jangan seorang pun boleh masuk ke dalam gereja sampai polisi datang. Salah-salah kita kehilangan sisik melik yang penting.”

Ketika akhirnya polisi muncul, pastor hampir tidak sabar lagi menceritakan masalahnya. “Kami kecurian. Satu kelompok patung di altar hilang seluruhnya.”

“Anda sudah menemukan sesuatu, seperti jendela rusak misalnya?” tanya polisi. Pastor, petugas kapel S, dan koster serentak membantah dengan menggeleng-gelengkan kepala.

Semuanya lalu berjalan menuju pintu belakang kapel. Polisi mengenakan sarung tangan lalu membuka pintu. Kuncinya juga tidak rusak.

“Siapa yang masih memasuki kapel kecuali koster dan pastor?” tanya polisi. 

“Petugas kapel saya mengusulkan agar jangan seorang pun masuk lagi ke dalam gereja,” kata pastor. 

“Bagus sekali, bagus sekali”, kata polisi. “Masalahnya bisa menjadi makin sulit, kalau ..., tetapi saya sudah memberitahukan dinas reserse di Wiener Neustadt. Kita keliling-keliling saja sekarang.”

Mata ahli dari petugas polisi itu pun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

“Sudah hampir dapat dipastikan bahwa pencuri masuk lewat salah satu pintu dengan kunci yang cocok,” kata polisi.

“Saya pun berpendapat demikian,” kata petugas kapel. “Menurut koster, dia yakin semua pintu sudah dia kunci dengan baik. Saya kira pencurinya lewat pintu belakang sebab antara altar dan ruang jemaat ada pagar besi yang tinggi dan kuat. Pencurinya harus mendobrak pagar besi itu dulu. Tapi pagar besi itu tampaknya baik-baik saja.”

“Jadi, Tuan petugas kapel,” kata polisi, “Anda mengira pintu belakang itu satu-satunya jalan bagi pencuri untuk masuk ke gereja? Kalau demikian pekerjaan kita menjadi terbatas sekali. Tapi, siapa sebenarnya yang membawa kunci-kunci gereja?”

“Dua set kunci lengkap ada di pastoran dan satu set lengkap dibawa koster.”

Pembicaraan terhenti ketika beberapa orang tampak memasuki ruang di sekitar altar. “Pejabat-pejabat reserse,” kata polisi.

“Saya komisaris polisi dr. K.,” kata seorang sambil menyalami tangan pastor. “Sebenarnya dari hopbiro di Wina, tapi kebetulan dinas di Wiener Neuatadt. Maka saya lalu ikut ke sini.”

Petugas-petugas reserse itu segera memulai kerja mereka. Kunci-kunci pintu dan keling-keling disemprot dengan larutan grafit. Sidik jari pastor, petugas kapel, dan koster juga diambil. Tetapi di tempat di sekitar pintu belakang hanya ada bekas sidik jari pastor, petugas kapel, dan koster. Tidak ditemukan sidik jari orang lain.

“Pandai juga anak-anak bengal ini,” kata kompol, “Mereka rupanya mengenakan sarung tangan, lalu dengan saksama menghilangkan semua jejak.”

Resersir-resersir itu lalu menempeli seluruh permukaan dan sisi altar dengan potongan-potongan pita perekat seluloid. Pita perekat itu kemudian dipilih dan ditempelkan pada lembaran-lembaran plastik yang tembus pandang. Altar juga diambil fotonya dari jarak dekat.

Pada foto, nantinya dibuat garis-garis membujur dan mendatar sehingga membentuk bujur sangkar. Bujur sangkar itu kemudian akan diberi nomor urut. Pita perekat yang menempel pada lembaran plastik juga diberi nomor, sesuai dengan nomor-nomor pada foto altar dari jarak dekat. 

“Anda harus membayangkan,” kata kompol pada petugas kapel yang terus-menerus mengikuti jalannya penyelidikan, “pelaku pencurian ketika mereka mengambil patung dari altar, pakaian mereka bergesekan dengan bagian-bagian altar yang kasar atau menonjol. Karena pergesekan itu, kemungkinan besar bagian-bagian kecil dari pakaian mereka tertinggal. Ini nanti bisa kita cocokkan dengan pakaian tersangka — pelaku pencurian. Kalau cocok, pelakunya pasti tidak dapat menyangkal, bahwa dia atau mereka pernah berada di tempat kejadian.”

Petugas kapel mendengarkan dengan penuh perhatian.

Kompol melanjutkan kata-katanya. “Tetapi sekarang ada hal lain. Menurut Anda, ada tiga set kunci lengkap. Andai kata pintu gereja itu dibuka dengan kuncinya, pasti salah satu pemegang kunci itu pencurinya. Atau ada kunci yang dicuri dari set itu. Dapatkah Anda membawakan kunci-kunci itu dari pastoran? Saya sendiri akan mengamati kunci milik koster. “

Set kunci dari koster ternyata masih lengkap. Terdiri dari delapan buah anak kunci. Ketika kunci-kunci koster diperiksa dengan saksama, tidak sebuah pun memberi kesan pernah dibuatkan cetakannya dari malam atau lilin. Kesimpulannya, tidak sebuah pun kunci koster dibuatkan tiruannya.

Petugas kapel datang dengan dua set kunci dari pastoran. “Satu ikat”, katanya, “selalu tergantung di serambi pastoran. Lainnya selalu disimpan pastor di laci meja tulisnya yang selalu terkunci.”

Ternyata kunci dari serambi pastoran juga lengkap, yaitu delapan buah anak kunci. Tapi set kunci dari laci meja tulis pastor hanya berisi tujuh buah anak kunci. Ketika dicocokkan, anak kunci yang hilang ternyata anak kunci pintu belakang.

Pastor yang juga datang menyertai ikat kuncinya tampak terkejut sekali.

“Pernahkah Anda meminjamkan kunci-kunci itu pada seseorang?” tanya kompol, “atau orang lain bisa mengusik laci meja Anda?”

Pastor mencoba mengingat-ingat. Lalu, tiba-tiba katanya, “Ya, saya ingat sekarang. Tahun lalu kunci-kunci itu saya pinjamkan pada pembantu rumah tangga pastoran. Ada yang perlu diperbaiki di kapel saat itu. Berkali-kali pintu belakang itu harus dibuka agar pekerja-pekerja bisa keluar masuk dengan leluasa. Tetapi Anda toh tidak sampai menuduh ibu tua itu. Dia sudah belasan tahun bekerja pada saya.”

“Tidak, tidak,” jawab kompol sambil tertawa. “Saya tidak percaya ibu tua itu pencurinya. Tapi, seperti Anda katakan tentang pekerja-pekerja perbaikan. Mungkin salah satu dari mereka dengan sengaja menyimpan kunci pintu belakang itu untuk digunakan pada kesempatan lain.”

“Tapi, barangkali Anda masih mempunyai daftar perusahaan atau pemborong apa saja yang turut serta dalam perbaikan kapel itu. Barangkali juga ibu tua itu masih ingat, pada siapa dia pernah menyerahkan kunci-kunci itu untuk membuka pintu gereja.”

Komisaris polisi lalu memandangi bagian depan kapel. Selanjutnya dia melakukan suatu hal yang membuatnya dijuluki “Winnetou” oleh anak buahnya. Kompol itu berjalan berkeliling di sekitar altar yang kehilangan patung-patungnya itu. Ia berkeliling membentuk lingkaran yang makin lama makin besar, seperti Winnetou dalam buku-buku Karl May. Dengan berbuat demikian, penyelidik tidak melewatkan sejengkal pun area di sekeliling tempat kejadian. Cara itu juga sekaligus untuk membayangkan, bagaimana kira-kira si pencuri bekerja.

Bisa jadi tidak ada mobil yang digunakan dalam pencurian karena tidak ditemukan bekas ban mobil di seputar kapel. Atau andai kata dengan mobil, mengapa mereka tidak sekaligus saja mengambil dua patung lainnya yang juga mahal harganya? Kemungkinan besar mereka berjalan kaki.

Kalau pencurinya berjalan kaki, mereka bisa lewat jalan yang cukup lebar di depan kapel, lalu belok ke kanan menuruni tataran-tataran kecil di halaman untuk mencapai pintu belakang kapel. Kompol yang juga menuruni tataran-tataran kecil di belakang kapel tidak menemukan apa-apa. Tetapi ketika penyelidikan dengan mengitari kapel itu diteruskan dengan memperbesar lingkarannya, pandangannya tertumbuk pada secarik kertas kekuning-kuningan. Tempatnya di titik di mana jalan menuju kapel meninggalkan hutan.

Ternyata kertas pembungkus permen cokelat berisi kacang. Tertera Nuts Chocoladefabriek N.V. Holland di pembungkusnya. Secuil masih melekat pada kertas bekas pembungkus itu, dengan bekas-bekas gigitan. Karena kertas itu kering, dapat dipastikan bahwa kertas itu belum terlalu lama berada di sana. Kertas bekas itu diambil juga oleh kompol karena bisa digunakan untuk mencari penjual cokelatnya. Selain itu, setidaknya bekas-bekas gigitan pada cokelatnya dapat dibuat menjadi cetakan untuk merekonstruksi bentuk gigi pemakan cokelatnya. Dari bentuk gigi dan menempelnya pada rahang, orang bisa melukiskan bagaimana kira-kira bentuk wajah si empunya gigi, misalnya persegi atau lonjong.

Dari catatan pastor, sedikitnya 20 orang terlibat dalam kerja borongan memperbaiki kapel, salah satunya adalah seorang ahli cat emas Arthur dari Wina. Ketika dicari, Arthur ternyata sedang mengerjakan sesuatu di Tirol. Saat pembantu rumah tangga pastor diperlihatkan foto Arthur, ia mengatakan tidak lagi ingat, apakah dia orang yang pernah dipinjami kunci olehnya.

Arthur yang tinggal bersama ibunya digeledah kamarnya. Pakaiannya yang dikenakan di Tirol juga diperiksa. Ternyata benang pada pakaiannya dengan benang-benang yang ada di pita perekat dari kapel tidak ada yang sama. Tetapi di dalam lipatan kaki celana Arthur yang belum dicuci di rumah ditemukan beberapa miligram serbuk cat emas dan sepotong ujung jari yang mungkin berasal dari patung kayu. 

Ditanya mengenai serbuk emas dan potongan jari kayu itu Arthur menjawab dengan tenang. Ia mengatakan bahwa pekerjaannya memang memperbaiki patung dari kayu maupun gips. Biasanya patung-patung itu ada di gereja-gereja atau rumah-rumah orang Katolik. Pokoknya dia memang ahli reparasi patung. Jadi bukan hal aneh kalau benda seperti serbuk emas dan potongan kayu menyangkut pada pakaiannya.

Kompol yang mendengarkan keterangan ahli reparasi patung itu berpendapat bahwa keterangannya masuk akal. Arthur diperbolehkan kembali ke Tirol setelah hasil pemeriksaan gigi tidak sesuai. Wajah Arthur ciut, sedangkan pemakan cokelat diperkirakan berwajah agak lebar. Mengenai permen cokelat juga tidak berhasil ditemukan siapa penjualnya.

Penyelidikan tentang siapa yang dipinjami kunci pastor oleh pembantu rumah tangga juga tidak menghasilkan apa-apa. Polisi dikerahkan untuk menanyai pencuri-pencuri di penjara maupun bekas-bekas pencuri. Namun tidak seorang pun memberikan sisik melik tentang siapa kiranya yang sampai hati mencuri benda keramat dari suatu tempat peziarahan. 

Kompol pun berpikir lebih keras. Jangan-jangan memang jalan penyelidikannya tidak tepat.

Potongan jari kayu yang ditemukan dalam lipatan kaki celana Arthur ditimang-timang. Pernyataan tertulis Arthur dibaca sekali lagi. “Saya (Arthur S) melakukan perbaikan-perbaikan di Kapel Rosalie atas perintah Prof. F dari Salzburg. Saya hanya mengerjakan cat emas. Sedangkan yang lainnya, seperti menempelkan lak dan mengganti serta memperbaiki bagian-bagian yang rusak dikerjakan oleh Prof. F sendiri.”

Dengan demikian jelas Arthur tidak turut campur dalam reparasi atau pekerjaan perbaikan yang kecil dan rumit di kapel Rosalie. Potongan jari patung merupakan bagian yang kecil yang sudah barang tentu tidak terlalu kuat menempelnya pada anggota badan patung.

Kalau potongan jari kayu itu sampai masuk ke dalam lipatan kaki celana Arthur, pastilah pada kesempatan lain ia turut serta dalam pekerjaan perbaikan Kapel Rosalie. Namun harus dicari tahu apakah potongan jari kayu itu berasal dari patung yang hilang dari Kapel Rosalie. Tetapi tampaknya harus menemui Prof. F dulu, pikir kompol.

“Ya, benar,” kata Prof. F yang ditemui oleh kompol. “Itu memang ujung jari patung yang saya perbaiki sendiri di Kapel Rosalie.”

“Bagaimana Anda dapat memastikan bahwa itu berasal dari patung di Kapel Rosalie?” tanya Kompol.

“Lihat catatan perhitungan ongkos-ongkos ini,” kata Prof. F sambil memperlihatkan seberkas kuitansi. “Apa saja yang saya lakukan untuk reparasi itu, saya catat. Itu untuk menentukan biaya-biayanya. Ini catatan biaya untuk perbaikan jari patung kayu.”

“Anda memang memperbaiki jari patung kayu itu. Tetapi bukankah potongan jari ini dapat juga berasal dari patung lain, bukan dari Kapel Rosalie?” tanya kompol lagi.

“Itu bisa dibuktikan ketika patung sudah ditemukan nanti. Tapi, setidaknya sekarang saya sudah dapat memastikan bahwa potongan jari kayu ini berasal dari patung yang saya perbaiki. Lihat… di sini ada sisa kawat perak. Teknik saya untuk menempelkan potongan ujung jari sekecil ini ialah dengan mencoblosnya dengan kawat perak. Ujung kawat yang lain saya cobloskan pada bagian jari berikutnya. Kawat perak selembut itu masih ada sisanya pada saya sekarang.”

Ketika sisa kawat perak pada potongan jari patung kayu dibawa oleh kompol dan diperiksa, ternyata sama kandungan peraknya dengan sisa kawat perak yang masih ada pada Prof. F. Perhatian penyelidikan kembali ke Arthur.

“Mungkinkah bahwa potongan kayu itu jatuh ke dalam lipatan kaki celana Arthur ketika pekerjaan reparasi itu selesai?” tanya kompol?

“Saya rasa memang demikian,” kata Prof. F., “Tetapi pasti itu tidak terjadi ketika pekerjaan reparasi itu baru selesai. Setelah semuanya beres, saya masih memeriksanya sekali lagi dengan teliti, tentu saja untuk memeriksa daftar perbaikan dan biayanya. Setelah itu pun saya pernah ke sana lagi dan ternyata ujung jari patung kayu itu masih menempel kuat ditempatnya.”

“Barangkali ketika patung itu diangkat orang dari tempatnya?” tanya kompol lagi.

“Saya rasa ketika patung dicuri,” sahut Prof. F.

Segera dikirim berita ke Tirol untuk menangkap Arthur. Tetapi ternyata Arthur sudah kabur dari Tirol, entah ke mana lagi.

Bulan April hampir berakhir ketika diketahui bahwa Arthur ada di Stuttgart. Kompol itu bergegas pula ke Stuttgart.

Pada hari pertama pertemuannya dengan Arthur ditahan polisi di Stuttgart, kompol tidak langsung menuduh Arthur sebagai pelaku pencurian di Kapel Rosalie. Kompol meletakkan sebuah bungkusan di meja di depan Arthur. Bungkusan itu ternyata berisi celana Arthur yang diperoleh kompol dari ibu Arthur.

Setelah beberapa lama berpandang-pandangan, Kompol bertanya, “Bagaimana Anda bisa sampai berbuat demikian. Sebagai seniman tentunya Anda mengetahui, bahwa patung itu tidak akan terjual. Untuk memilikinya, Anda tidak perlu mencuri dari kapel itu. Tetapi mungkin ada orang lain yang menyarankan pekerjaan gila itu pada Anda. Bukan begitu?

Arthur diam. Kompol diam pula, tetapi jelas memberi kesan “kalau Anda membantu, saya pun akan menolong Anda”.

Arthur mengembuskan kepulan asap rokok. Lalu katanya, “Memang benar. Saya tidak melakukannya sendiri. Juga bukan saya yang mula-mula mempunyai gagasan itu.”

Arthur diam kembali. Mungkin dalam pikirannya terbayang “membantu atau tidak membantu polisi, saya toh pasti dihukum juga. Jadi mengapa mesti buka mulut, yang akhirnya menyulut perselisihan dengan kawan.”

Kompol berdiri sambil berkata, “Saya tunggu sampai besok. Siapa pun kawan-kawan Anda, pasti dapat kami ketahui.”

Hari berikutnya Arthur memang menyatakan kesediaannya membantu polisi. Bukan mengatakan siapa kawan-kawannya, melainkan menunjukkan tempat di mana patung-patung curian itu dikubur.

“Kami menyimpan barang-barang itu di dekat Deutsch-Wagraun, di utara Wina,” kata Arthur. “Tempatnya saya tidak ingat, karena saya pun asing di sana. Seingat saya, di sana ada parit atau selokan, di jalan dari Wina ke Deutsch-Wagram, belok ke kanan. Kalau tidak salah di sana ada papan penunjuk jalan ke Porbersdorf atau Perbasdorf. Nama tempatnya saya tidak tahu, tetapi saya dapat menunjukkannya.”

“Menurut Anda,” tanya kompol, “berapa jauhnya dari Porbersdorf?” 

“Mungkin 1 kilometer, mungkin juga kurang dari itu,” kata Arthur.

“Masih ingat keadaan di sekitarnya?” 

“Ya, patung-patung itu kami kubur di tanggul di antara jalan dan parit. Ada semak-semaknya di sana, belukarnya melingkar membentuk setengah lingkaran, kalau tidak salah, membuka ke arah jalan.”

Tempat yang ditunjukkan oleh Arthur dicari. Nama desanya bukan Porbersdorf, bukan Penbasdorf, Parbasdorf. Tetapi tanggul yang disebut-sebut oleh Arthur tidak menunjukkan sebuah gundukan pun di tanah. Tampaknya rata, bahkan kompol memeriksanya dengan berbaring sendiri di tanah.

“Jangan-jangan air parit itu pernah naik sampai atas tanggul dan menyapu segala yang menonjol di atas tanggul,” pikir kompol. Belukar yang membentuk setengah lingkaran yang membuka ke arah jalan juga tidak ada.

Beberapa tempat di atas tanggul diperiksa. Akhirnya kompol menemukan bagian permukaan tanggul yang tanahnya gembur.

Benar. Patung-patung dari Kapel Rosalie itu dikubur di situ, dalam sebuah peti yang dikubur tegak. Masih utuh patung Bunda Maria dengan Bayi Yesus, empat patung orang kudus, dan dua patung malaikat gaya barok. Lengkap, kecuali ujung jari sebuah patung orang kudus.


Baca Juga: Petunjuknya Uang Lembaran Baru

 

" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834086/sepotong-jari-dalam-lipatan-kaki-celana" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310848000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3806914" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/09-pemalsuan-uang-besar-besaran-20230711014910.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Sepasang suami istri menyerahkan uang tunai ke bank. Saat diperiksa, ternyata semua uang itu palsu. Kasus besar-besaran ini pun terbongkar." ["section"]=> object(stdClass)#64 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/09-pemalsuan-uang-besar-besaran-20230711014910.jpg" ["title"]=> string(37) "Pemalsuan Uang Besar-besaran di Eropa" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-11 13:49:29" ["content"]=> string(23925) "

Intisari Plus - Suatu hari sepasang suami istri menyerahkan sejumlah besar uang tunai untuk deposito bank. Saat diperiksa, ternyata semua uang itu palsu. Kasus pemalsuan uang besar-besaran ini terjadi di beberapa tempat di Eropa.

----------

Akhir April 1962 sepasang suami istri asal Wina, Austria, berdiri di depan kas sebuah bank di München, Jerman. Emilie dan Heinrich S — demikian nama suami istri itu — ingin mendapatkan kredit besar bagi usaha mereka. Sebagai jaminan mereka akan menyerahkan US $ 25.000 dalam bentuk tunai sebagai deposito.

Emilie dan Heinrich S dihubungkan dengan bagian kredit. Sementara itu kasir bank tersebut mengamati Iembaran-lembaran uang yang diajukan sebagai jaminan kredit. Semuanya masih baru, terdiri dari Iembaran-lembaran senilai 50 dolar. Tidak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Tapi demi keamanan, sang kasir lebih dulu memeriksa daftar peringatan mengenai uang palsu. Daftar seperti itu terdapat pada semua bank. 

Ternyata ada catatan yang minta kewaspadaan terhadap pemalsuan uang yang terjadi pada waktu-waktu belakangan. Tanda-tanda uang palsu itu terutama lukisan yang kurang halus dan kejanggalan pada garis-garis potret serta segel Bank Negara Amerika Serikat. Nomor-nomor serinya yang diketahui sejauh itu, juga dicantumkan pada daftar peringatan itu.

Kasir membandingkan nomor seri tersebut dengan nomor seri lembaran-lembaran uang yang ada di hadapannya. Beberapa nomor yang dilihatnya itu ternyata sama. Diam-diam ia memberi isyarat kepada rekannya, lalu menyelinap pergi sambil membawa beberapa lembar uang yang dicurigai. Kasir pergi ke ruang pemeriksaan uang. Sementara itu rekannya menyita seluruh perhatian Emilie dan Heinrich S dengan berbagai urusan pengisian formulir.

Peneropongan dengan lensa membenarkan kecurigaan kasir. Garis-garis potret di bawah kaca pembesar tampak tidak jelas dan putus-putus di sana sini.

Begitu pula halnya dengan segel Bank Negara. Kecuali itu, tampak kejanggalan pada latar belakang filigran dari angka 50. Tidak diragukan lagi bahwa Iembaran-lembaran uang itu palsu. Kasir pun segera menghubungi polisi.

Usaha mengalihkan perhatian suami istri pemohon kredit berhasil baik. Mereka ini asyik mempelajari berbagai syarat kredit dan seluk-beluk formulir. Bahkan tetap tenang walaupun semua pintu dan jendela kantor bank mulai ditutup, mengingat jam kerja sudah hampir berakhir.

Maka bukan main terkejutnya suami istri dari Wina itu ketika tiba-tiba dua orang berpakaian preman memberinya salam. Kedua orang itu memperkenalkan diri sebagai polisi. “Tuan dan Nyonya, kami persilahkan ikut ke kantor polisi,” kata mereka.

Sebenarnya yang datang ke bank bukan hanya kedua polisi tersebut. Belasan rekan mereka dikerahkan demi berhasilnya operasi. Mereka ini ditempatkan pada berbagai pintu bank untuk menjaga agar orang yang dicurigai jangan sampai lolos.

Perkara pemalsuan yang meliputi US $ 25.000 memang bukan soal sepele. Lagi pula pada penangkapan seperti ini, biasanya selalu dikerahkan beberapa orang polisi secara incognito. Semua itu dikerahkan untuk mengikuti para tertuduh dalam perjalanan ke kantor polisi. Tujuannya agar mereka tidak bisa membuang barang bukti yang bisa memberatkan nanti. 

Penangkapan suami istri itu berjalan lancar. Rupanya mereka tidak cukup berpengalaman dalam penipuan lewat deposito. Semua terbukti dalam interogasi. Dalam tanya jawab yang dilakukan secara terpisah, keduanya terus terang mengakui telah membeli dolar itu dengan harga 40% lebih murah dari nilai kurs yang berlaku.

Menurut penjual, demikian pengakuan suami istri S, itu dolar asli yang disembunyikan oleh kelompok Nazi di Laut Toplitz. Dolar tersebut ditemukan sesudah perang. Sebelum membeli dalam jumlah banyak, mereka lebih dulu mendapatkan dua lembar sebagai contoh. Lembaran contoh ini mereka tukarkan pada sebuah bank dan di sebuah bar.

Pembelian dolar itu terjadi di Bad Aussee di Stiermarken. Dari Wina, suami istri itu pergi ke sana untuk menerima Iembaran-lembaran uang seharga US $ 25.000.

Polisi bertanya lebih teliti tentang detail pertemuan mereka dengan penjual dolar. Juga dalam hal ini keterangan para tahanan tetap sama walaupun mereka diinterogasi secara terpisah.

Pada suatu hari mereka makan di restoran Holle di Wina. Di situ mereka ingin menukarkan beberapa mark Jerman dengan shilling. Seorang tamu yang duduk semeja dengan suami istri itu langsung menawarkan jasa. Sambil lalu tamu tersebut menyeletuk, “Sebetulnya lebih menguntungkan beli dolar. Bisa lebih banyak.”

Ucapan tamu yang tak mereka kenal itu menarik perhatian keduanya. Percakapan menjadi semakin seru. Tamu tersebut lalu mengisahkan soal harta kekayaan Nazi yang ditemukan di Laut Toplitz. Dua lembar contoh dolar “peninggalan kaum Nazi” diterima oleh suami istri S dari tamu tersebut di depan puing-puing bangunan di samping restoran Holle.

Menyusul kemudian jual beli yang berlangsung secara ilegal di suatu tempat dekat Bad Aussee. Suami istri S diberi tahu lewat telepon agar datang di tempat pertemuan pada hari dan jam yang ditentukan.

Bagaimana rupa “tamu yang tak dikenal” itu? Di sini keterangan suami istri S mulai tidak cocok satu sama lain. Mungkinkah daya pengamatan mereka sebagai lelaki dan wanita berbeda? Ataukah mereka terikat janji untuk tidak membahas soal tamu tidak dikenal itu?

Bagaimanapun, jelas bagi polisi bahwa tahanan mereka hanya “ikan teri” saja.

Beberapa hari kemudian terjadi peristiwa lain yang berkaitan dengan uang palsu, juga sebanyak US $ 25.000. Dua orang Jerman yang terlibat itu berhasil ditangkap. Peristiwa tersebut terjadi di Wina. Sama seperti sebelumnya, pengedar uang palsu berusaha mendapatkan kredit dengan jaminan deposito. Uang yang hendak didepositokan sebagian terbesar terdiri dari lembaran senilai $ 50, sebagian kecil lembaran $ 1.

Kesamaan itu menunjukkan bahwa pelakunya sama. Polisi ingat bahwa di Wina dahulu pernah terjadi pemalsuan uang. Pemalsu bekerja dengan apa yang disebut “bentuk cetak raster gelombang”. Cara kerja yang sama juga digunakan pada pemalsuan uang dolar sekarang ini. 

Seorang spesialis di markas besar polisi Wina diminta jasanya. Selain itu, dilakukan upaya untuk mencari para pemalsu uang yang dulu pernah ditangkap. Dua di antara mereka kini sudah bebas kembali setelah menjalani hukuman penjara. 

Yang satu berhasil ditemukan, yaitu orang yang dulu membiayai pemalsuan dan mengurus pengedarannya. la kini hidup sebagai warga negara terhormat. Hanya yang satunya lagi tidak diketahui rimbanya. Itu adalah seorang graver untuk pencetakan uang palsu lembaran 50 shilling. Si H — inilah nama sementara yang kita berikan kepadanya — 2 tahun yang lalu rupanya sudah meninggalkan Austria dan kembali ke keluarganya di Jerman.

Orang ini pertama-tama harus dicari agar penyelidikan seputar pemalsuan dolar bisa menemukan titik terang. Polisi masih mempunyai catatan tentang orang ini, sidik jari, dan fotonya. Maka mereka mengirimkan data-data ini kepada Interpol. Upayanya tanpa hasil. Mungkin si H kini sudah ganti nama dan hidup entah di mana. Itu yang dipikirkan oleh polisi Wina.

Sementara itu dari semua negara di Eropa masuk laporan tentang beredarnya Iembaran-lembaran uang dolar serupa. Hanya sekarang sudah tidak terjadi lagi usaha penipuan bank dengan “jaminan deposito”.

Agaknya para penipu sudah menyadari betapa berbahayanya usaha melemparkan uang palsu secara besar-besaran dengan taktik itu. Semua pengedar uang palsu profesional pasti akan menghindari tempat pembayaran dengan petugas loket atau kasir. Mereka adalah orang yang terlatih untuk membedakan atau mengenali uang palsu. Lebih aman melemparkan uang itu ke tangan para pedagang sendiri sambil berusaha mengalihkan perhatian mereka hingga mudah masuk perangkap.

Berita tentang beredarnya dolar palsu datang dari Jerman, Italia, dan Prancis Selatan. Semuanya dari tipe yang sama. Beberapa lembar bahkan dapat ditelusuri asal-usulnya dengan mengikuti jalan dolar itu secara terbalik. Kebanyakan penelusuran ini berakhir pada pelayan restoran atau tukang jaga pintu hotel dan restoran. Mereka membeli dolar itu dengan harga murah dari seseorang yang tidak dikenal.

Ketika laporan tentang pemalsuan dolar itu semakin mengkhawatirkan, Dinas Rahasia Amerika dikerahkan. Mereka bekerja sama dengan Interpol dan instansi yang berwenang. Segera disebar sejumlah agen rahasia di berbagai negara.

Berdasarkan Iaporan yang masuk dari bank-bank di berbagai tempat, mereka membuat peta dengan titik-titik di mana dolar palsu ditemukan.

Penyelidikan dengan cara ini menunjukkan hasil yang menarik. Daerah-daerah tempat diedarkannya uang palsu itu, praktis semuanya terletak di pinggir autobahn (jalan mobil cepat) dari Prancis Selatan yang menuju ke Italia, Swiss, dan Jerman. Ada pengecualian memang, tapi sedikit sekali.

Di kantornya di Frankfurt, Ernst Bauman, salah seorang spesialis dari Dinas Rahasia Amerika mempelajari peta dengan saksama. Titik tempat ditemukannya dolar ditandai dengan warna merah. Ternyata tak ada titik satu pun yang lebih melewati Lyon, Prancis bagian Barat, Spanyol, dan Portugal. Daerah itu tidak memberitakan adanya pemalsuan dolar. Mengapa para pemalsu mengesampingkan daerah-daerah tersebut?

Bagaimanapun juga titik tolak aksi para pemalsu dolar diduga terletak di Lyon. Pertama-tama harus dilakukan penyelidikan di kota ini. Sementara itu, daerah-daerah yang belum dijamah oleh para pemalsu pun diberitahu agar waspada.

Ernst Bauman mempelajari laporan Interpol dengan teliti. Diketahuinya dari laporan itu bahwa Dr. A dari kepolisian Wina mencurigai seseorang bernama H. Polisi Wina memiliki foto dan data tentang ciri-ciri orang ini. Ia bukan saja telah mencetak uang palsu, tapi barangkali bahkan ikut mengedarkannya. Sebab menurut pengalaman, dalam organisasi besar di bidang pemalsuan uang, biasanya pimpinan terletak di tangan beberapa oknum saja yang benar-benar tepecaya di dunia bawah tanah.

Bauman segera pergi ke Wina untuk mendapatkan petunjuk lain yang lebih jelas dari rekan-rekannya di markas besar polisi agar bisa menemukan H.

Dr. A memberikan keterangan berikut: “H menyamar sebagai pelukis dan mungkin ia memang berbakat di bidang itu. Ketika menangkapnya dulu, kami menemukan banyak buku tentang impresionisme Prancis di rumahnya. Pelukis yang keranjingan dengan suatu aliran, sering kali meniru pujaannya dalam hal penampilan juga. Mungkin itulah sebabnya, mengapa H waktu itu berambut gondrong, berkumis lebat, dan memakai kemeja dengan kancing terbuka. Barangkali sekarang pun oknum tersebut masih mempertahankan kebiasaan itu.”

Data tentang oknum yang dicurigai itu lumayan juga dan dapat digunakan sebagai pegangan. Maka berangkatlah Bauman ke Lyon. Ia tinggal di situ beberapa waktu dengan harapan bahwa suatu hari dapat berpapasan dengan pelukis tersebut.

Minggu demi minggu berlalu tapi H tidak muncul. Sementara itu dolar-dolar palsu terus mengalir masuk Italia. Bahkan di Yugoslavia uang palsu itu mulai ditemukan.

Dulu ketika untuk pertama kalinya H diadili karena pemalsuan uang di Wina, ia mengatakan perbuatan itu dilakukannya hanya agar punya uang cukup hingga bisa melukis dengan tenang. Jika demikian halnya, mungkin kali ini H membuat uang palsu dengan tujuan yang sama. Itu dilakukan agar bisa memenuhi kegemarannya melukis.

Siapa tahu, H kini berada di Paris! Demikian pikir Bauman. Dan ia segera meninggalkan Lyon menuju ibu kota Prancis. Ia tahu benar kebiasaan pelukis di Paris. Jika benar H keranjingan melukis, maka ia pasti berusaha masuk ke dalam lingkungan atau keIompok pelukis di kota seni itu. Mungkin ia suka duduk duduk di kafe Montparnasse atau nongkrong di Rotonde untuk menarik perhatian para turis. 

Ternyata insting detektif itu tidak salah. Sejak sore pertama ketika berjalan-jalan di Rotonde, ia melihat H atau seseorang yang mirip dengannya.

H dengan ditemani seorang gadis, sedang duduk mengobrol di sebuah meja. Bauman beruntung dapat memilih meja yang letaknya berdekatan, hingga ia bisa mendengar percakapan antara H dan gadis tersebut. Rupanya mereka membicarakan soal uang yang diperlukan oleh nona itu untuk membeli mantel.

“Tunggu sampai minggu depan, Cherie,” kata H beberapa kali. “Saya pasti akan berhasil menjual lukisan saya yang terakhir dan dapat menyediakan uang itu.”

“Ah, kau dengan lukisan! Omong kosong,” tukas gadis Prancis itu dengan galak. “Saya belum pernah melihat kau mengerjakan sesuatu. Kau memang pelukis aneh. Hampir tak pernah ditemukan di sanggarmu!”

Pertengkaran yang menarik bagi Bauman! Pelukis itu berbicara bahasa Prancis tapi dilihat dari logatnya, rupanya ia orang asing. Pilihan kata-katanya di sana sini tidak tepat dan ungkapan-ungkapan yang digunakan menunjukkan ia bukan orang Prancis murni. Walau begitu, pria tersebut cukup fasih berbahasa Prancis.

Sebenarnya Bauman bisa minta bantuan rekan polisi Paris untuk mengenali identitas pelukis tersebut. Tapi ia berpendapat lebih baik menunggu dulu. Sebab jika benar orang ini adalah H dan sadar bila ia dibayangi polisi, usaha pembongkaran kasus pemalsuan uang akan gagal.

Tidak lama kemudian pelukis dan pacarnya bangkit dari kursi setelah membayar bir yang mereka nikmati bersama. Begitu mereka pergi, Bauman membungkus gelas bir yang dipakai si pelukis. Sambil memberi uang kepada pelayan, ia berkata, “Gelas ini untuk suvenir.” Lalu Bauman buru-buru menguntit pelukis dan gadisnya. Mereka menyusuri Boulevard St. Michel dan masuk Rue Stanislas. Kedua orang itu lalu menghilang di rumah nomor 17.

Setelah mengetahui tempat tinggal si pelukis, Bauman naik taksi menuju kantor polisi Paris bagian penyidikan jari. Sidik jari pada gelas bir diperiksa. Kerja sama dengan polisi Paris itu segera memberi hasil yang diharapkan. Memang pelukis itu tak lain tak bukan adalah H yang dicari-cari. Hanya penghuni rumah nomor 17 Rue Stanislas itu kini sudah ganti nama menjadi Jean Ferare. Dalam daftar penduduk tercatat ia dilahirkan tanggal 11 April 1921 di Luksemburg. Tak heran jika Prancisnya lancar.

Dengan bantuan dinas pengusutan uang palsu, kepolisian Prancis secara diam-diam menyelidiki tempat tinggal dan bengkel kerja Jean Ferare.

Ternyata kecaman gadis Prancis terhadap H bukan tanpa alasan. Ada lukisan pemandangan alam yang setengah selesai, tapi catnya sudah kering, pertanda sudah lama tak disentuh lagi. Ada berbagai alat lukis, jarum graver, pelat tembaga, dan cat. Terlihat pula sebuah kaca pembesar. Para polisi juga menemukan pencetakan. Menurut polisi Prancis, pencetakan itu bukan untuk mencetak uang, melainkan hanya bisa digunakan untuk mencetak lukisan. 

Tetapi Bauman belum putus asa. Ia mencari ke sana kemari dan menemukan kuas tua di dalam keranjang sampah. Kuas jenis itu biasa digunakan untuk menyapu bubuk logam yang berserakan di meja kerja. Kuas itu sudah dibuang dalam keranjang sampah. Jadi tidak akan mencolok kalau Bauman membawanya pergi. 

Kuas dikirim ke laboratorium untuk diselidiki. Bubuk logam yang melekat padanya diambil lalu dimasukkan ke dalam alat khusus. Terdapat bubuk logam yang berasal dari pelat lukisan tembaga. Tetapi di samping itu ditemukan pula serbuk logam. Serbuk logam ini hanya dapat berasal dari pelat untuk membuat uang palsu. Jadi sudah diperoleh bukti keterlibatan H dalam kejahatan.

Dalam percakapannya dengan gadis Prancis, H mengatakan akan memperoleh uang dari penjualan lukisan. Tapi di kamarnya tak ditemukan lukisan yang sudah selesai dan siap untuk dijual. Mungkin sekali H mengharapkan uang dari sumber lain, yaitu dengan menjual pelat pemalsuan uang.

Bauman dengan beberapa rekan terus melakukan pengintaian. Rumah di Rue Stanislas 17 hanya punya satu pintu masuk. Jadi tidak ada orang yang bisa keluar tanpa ketahuan. H rupanya tidak punya mobil, maka mudah membuntutinya. Di samping itu Bauman minta kepada kepolisian Prancis agar senantiasa siap sedia menerima panggilan via telepon agar dapat mengirim bantuan dengan cepat bila dibutuhkan.

Pada suatu pagi tampak sebuah mobil Peugeot berlalu dan berhenti dekat rumah Rue Stanislas 17. Seorang Iaki-laki keluar dari mobil lalu masuk rumah. Tidak lama kemudian orang itu keluar bersama-sama H. Sambil sibuk mengobrol, mereka pergi dengan mobil Peugeot itu.

Segera Bauman tancap gas mengikutinya. Tak lupa ia memberi laporan lewat radio kepada markas polisi Prancis. “Ferare baru saja meninggalkan rumahnya naik Peugeot putih nomor 31-425-11. Mereka menuju Stasiun Montparnasse.”

Bauman repot juga. Berkali-kali hampir kehilangan pandangan atas mobil yang dikejarnya karena ramainya lalu lintas. Tapi markas besar polisi Prancis sigap membantunya. “Kami kirim dua jip penuh polisi dari jurusan Grenelle,” bunyi pesan dari komando polisi Prancis.

Pada suatu saat Peugeot putih di depan Bauman tidak kelihatan lagi, karena tiba-tiba belok secara tajam ke kanan. Lalu mendahului mobil lain lagi. Bauman agak panik karena mangsanya hampir lepas. Dia kini ngebut, tanpa peduli akan ketahuan atau tidak oleh H yang dikejarnya.

“Kami masuk jalan satu arah. Tapi papan nama jalan tidak bisa saya baca,” lapor Bauman kepada markas polisi. Lalu Bauman melihat Peugeot putih itu berhenti dan parkir di sebelah kiri jalan. Parkir di sebelah kanan jalan dilarang. Maka Bauman segera mengambil keputusan untuk masuk halaman sebuah rumah yang pintu pagarnya kebetulan terbuka.

H alias Ferare dan rekannya berhenti di rumah nomor 20. Di depan rumah itu terpancang papan yang berbunyi “Commission Peluche”. Bauman mengambil foto dengan kamera mini ketika kedua buronannya keluar dari mobil.

Bauman tak tahu apa yang mesti diperbuat. Rekan-rekannya polisi Prancis satu pun tidak ada yang muncul. Sedangkan kini H seorang diri sudah masuk ke dalam rumah nomor 20.

Kini Bauman nekat menyeberang jalan dan diam-diam menyelinap masuk pintu rumah tersebut. Agak terkecoh rasanya, ketika di dalam ia melihat sebuah halaman luas dan dari halaman itu ada pintu keluar yang menuju ke jalan samping. Cepat-cepat Bauman keluar dari halaman. Tapi ternyata mobil Peugeot putih sudah tidak lagi. “Buset, mereka berhasil lolos,” Bauman mengumpat.

Dengan perasaan kesal ia menuju mobilnya. Terperanjat dia ketika melihat di dalamnya sudah duduk seseorang. “Saya Inspektur Begas dari bagian pemalsuan uang. Anda tak perlu gusar. Sebab rekan-rekan saya sudah menguntit mereka. Seorang diri amat sukar mengejar para penjahat itu,” kata orang Prancis yang duduk di dalam mobil Bauman.

Yang terakhir ini merasa lega. “Rekan-rekan saya sekarang sudah berada di Boulevard Raspail. Mereka minta agar kita mengikuti mereka. Mari, saya tunjukkan jalannya. Agar lebih lancar,” tambah Inspektur Begas.

3 menit kemudian Bauman dengan polisi Prancis sudah berada dekat mobil lain yang juga menguntit Ferare.

“Mereka ada di Rue Popincourt,” bunyi laporan waktu itu. Inspektur Begas melihat rekan-rekannya bersiap-siap mengepung sebuah rumah. Komandan regu mengatakan, “Di dalam sana ada percetakan. Si pelukis dan sopirnya tadi masuk ke situ.”

Bauman dan rekan-rekannya serentak menyerbu masuk. Di dalam terdapat sebuah kantor. H yang berada di situ bersama tiga orang temannya pun terperanjat tiba-tiba kedatangan polisi. Tapi segera mereka berhasil mengambil sikap tenang setelah melihat bahwa penyelidikan polisi yang amat teliti tersebut tidak membawa hasil.

Polisi tidak mau menyerah. Penyelidikan diteruskan. Dan pada sebuah silinder mesin mereka menemukan bekas cap samar-samar yang tak berwarna. Ketika diamati, ternyata mirip dengan logo pada lembaran uang kertas.

Silinder-silinder pewarna dibongkar dan ternyata masih melekat bekas-bekas tinta yang sangat tipis. Silinder-silinder pewarna itu diperiksa di laboratorium dan diperoleh kesimpulan bahwa tinta itu digunakan untuk mencetak dolar-dolar palsu yang beredar di berbagai negara Eropa.

Semua temuan menjadi bukti yang lebih dari cukup untuk membuktikan kesalahan Ferare dan rekannya. Apalagi dalam penggeledahan selanjutnya juga ditemukan pelat-pelat pencetak uang.

Para pemalsu dolar diputuskan bersalah dan meringkuk dalam penjara. Kisah pengejaran yang menjelajahi separuh dari benua Eropa dengan itu berakhir.

(Hanns Walther)

Baca Juga: Tamu di Malam Buta

 

" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806914/pemalsuan-uang-besar-besaran-di-eropa" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083369000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304148" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/ia-benci-wanita-1999_gabriel-v-20220603015418.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Di Gedung opera, ditemukan gadis cilik bermandikan darah. Selama pertunjukan terus berlangsung, pihak kepolisian sibuk mengungkap pembunuhan." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/ia-benci-wanita-1999_gabriel-v-20220603015418.jpg" ["title"]=> string(15) "Ia Benci Wanita" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 13:58:28" ["content"]=> string(29192) "

Intisari Plus - Di Gedung opera, letaknya di muka kamar mandi, ditemukan gadis cilik bermandikan darah. Selama pertunjukan terus berlangsung, pihak kepolisian tetap sibuk di belakang layer untuk mengungkap pembunuhan misterius yang terjadi di Gedung opera.

-------------------------

Saya hampir tiba di Wina. Ketika itu tanggal 12 Maret 1963. Di Gedung Opera Negara yang termasyhur, orang sudah mulai sibuk sejak pukul 16.00. Malam itu akan dipentaskan drama musikal ciptaan Wagner, Die Walkure. 

Pukul 17.05, seorang wanita penata rambut yang bekerja di gedung opera itu naik ke loteng. la bermaksud ke kamar mandi yang terletak dekat kamar ganti pakaian para penari balet dan tempat latihan paduan suara. 

Karena opera Die Walkure tidak memerlukan paduan suara atau penari, maka saat itu tempat tersebut kosong. Suasananya juga sepi. Beda benar dengan ingar bingar di panggung yang letaknya di tingkat bawah. 

Nona Gertrude Galli yang berumur 22 tahun itu tiba-tiba tertegun. Di lantai ruangan yang letaknya di muka kamar mandi tergeletak seorang gadis cilik bermandikan darah. Bagian bawah badannya telanjang.

 

Tak ada satu sidik jari pun 

Nona Galli segera berlari ke bawah memberi tahu rekan-rekannya dan satpam yang segera memanggil dokter. Menurut dokter, gadis itu tewas akibat luka-lukanya yang banyak. 

Korban dikenali sebagai Dagmar Furich, murid sekolah balet opera. Umurnya 10 tahun dan sudah dua tahun belajar menari. Gadis manis berambut pirang panjang itu dan kakaknya yang berumur 16 tahun, tinggal bersama ibu mereka, Isolde Furich yang bekerja sebagai karyawan administrasi di kantor kotapraja. Ayahnya, Franz Furich, yang bekerja di Kementerian Perdagangan dan Rekonstruksi Pemerintah Federal Austria, tidak tinggal serumah dengan keluarganya. 

Dagmar, murid Realgymnasium untuk anak-anak perempuan, hari itu berangkat dari rumahnya di Boltzmanngasse 22/9 untuk latihan balet di gedung opera pukul 17.00. la tidak sempat muncul dalam latihan itu. 

Walaupun ada pembunuhan the show must go on, pertunjukan harus berlangsung terus. Pukul 17.30, gedung opera sudah terbuka untuk menerima penonton Die Walkure, yang menceritakan dewa-dewa pembunuh. Pertunjukan dimulai pukul 18.00. 

Di dalam ruangan pertunjukan yang megah itu, penonton tidak tahu bahwa pembunuhan yang sungguh-sungguh baru saja terjadi di belakang panggung. Bahkan mayat masih belum diangkat untuk kepentingan pemeriksaan. 

Ketika pertunjukan berlangsung, polisi sibuk di belakang layar. Di antara para penyidik itu terdapat seorang pria jangkung berambut kelabu keperak-perakan, yang penampilannya mirip diplomat. la tidak lain dari Dr. Friederich Kuso, kepala Kantor Keamanan Negara di Wina. la merupakan detektif Austria yang paling terkenal masa itu. Umurnya 45 tahun. 

Melihat gadis kecil yang mandi darah itu, Kuso merasa sangat geram kepada si pembunuh. Gadis itu memakai arloji yang masih berjalan. Dada kirinya ditikam 17 belas kali, 13 di antaranya mengenai jantung. Paru-paru kirinya keluar dari dada. Tujuh tusukan menembus lantai di bawah gadis itu. 

Menurut autopsi, diketahui 17 tusukan itu dilakukan pada saat sang gadis masih hidup. Pelipis kiri gadis itu ditikam lima kali, tiga tikaman menembus tengkorak, wajah, dan otak. Diperkirakan lima tikaman ini dilakukan setelah sang gadis meninggal akibat tikaman di dada. 

Di daerah alat kelamin ditemui sebelas tusukan. Tetapi pemeriksaan mengungkapkan gadis itu tidak diperkosa. Alat penusuk diduga pisau berburu atau semacamnya, yang kokoh, cukup panjang, dan ramping. 

Pada mantel gadis itu, yang tergantung di kapstok, didapati karcis bus kota no. 6 tanggal 12 Maret 1963 dan sebuah kunci. Sebuah plastik berisi permen dan sepasang sarung tangan wol terletak di bangku kayu. 

Jalan masuk ke ruang itu menunjukkan cipratan-cipratan darah. Dinding dan radiator juga bernoda darah. Bekas darah yang dihapus didapati di bawah tombol pintu ruangan tempat mayat ditemukan, di steker, dan dekat steker. 

Menurut dokter ahli bedah mayat, korban meninggal akibat darah keluar terlalu banyak dan luka-luka di dada. Didapati pula tanda cekikan pada leher dan pukulan dengan benda tumpul pada kepala serta wajah. Jelas pembunuhnya seorang psikopat. 

Kuso sadar bahwa seorang psikopat yang membunuh biasanya sulit dibedakan di antara penduduk "normal". Pada banyak kasus, psikopat merasa tidak berdosa kalau membunuh dan tidak mempunyai motif yang beralasan. 

Pembantai ini ternyata tidak meninggalkan satu sidik jari pun. Yang ditinggalkan hanyalah sidik sebuah sepatu karet di lantai kamar mandi. Ceceran darah dijumpai di pintu ganda lantai utama gedung opera dan di kaca bagian dalam pintu belakang gedung opera yang menuju Karntnerstrasse. 

Tim keamanan memakai anjing polisi untuk memeriksa seluruh gedung selama sehari, tetapi tidak ada hasilnya. Semua kantor keamanan di seluruh Austria diberi tahu perihal pembunuhan ini.

 

Seperti karyawan kantor 

Tanggal 12 Maret malam, murid-murid sekolah balet ditanyai oleh polisi. Salah seorang di antaranya Susanne Fichtenbaum, yang berumur 11 tahun memberi keterangan sebagai berikut. la menaiki tangga gedung opera pukul 16.15. Di muka pintu kaca di tingkat dua, ia melihat seorang pria yang disapanya: Grass Gott (sapaan cara Austria). 

Pria itu berbalik dan menuruni tangga ke arahnya seraya menjawab dengan sapaan yang sama. Mereka berpapasan. Ketika Susanne tiba di tingkat tiga, ia melihat ke bawah, ke arah pria itu, sebab tampaknya laki-laki itu seperti senewen dan ketakutan. Ia melihat orang itu naik lagi ke tingkat dua. 

Pria tersebut digambarkannya berumur kira-kira 42 tahun, tingginya sekitar 172 cm, rambutnya yang pirang kecoklatan itu berombak dan disisir ke belakang. Wajahnya bujur telur dengan tanda bekas jerawat. Ia mengenakan setelan kelabu dan mengapit tas kantor hitam. Menurut Susanne, rupanya seperti pegawai kantor. 

Beberapa orang melapor pada polisi bahwa sekitar waktu pembunuhan itu, mereka melihat seorang laki-laki meninggalkan gedung opera dari pintu belakang di Karntnerstrasse. Seorang penjual bernama Ludwig Kovacs menyatakan sekitar pukul 17.15 hari itu (ia tidak bisa menyebutkan waktu yang tepat), ia mengendarai sepeda motornya di belakang gedung opera. 

Seorang pria muda menyeberangi jalan dari belakang gedung opera "seperti gila". Orangnya kecil, kurus, tanpa mantel, rasanya ia mengenakan setelan dan "matanya menonjol". Ia tidak menaruh perhatian pada lalu lintas dan hampir saja ditabrak taksi. 

Kuso dan anak buahnya mencoba merekonstruksikan gerak-gerik Dagmar Furich beberapa saat sebelum tertimpa naas. Dari karcis bus diketahui ia naik pukul 16.15. Diperkirakan ia turun di Kartnerstrasse pukul 16.31. 

Mestinya ia memasuki gedung opera pukul 16.33. Dengan mempergunakan seorang gadis seumur Dagmar, polisi merekonstruksi perjalanan Dagmar dari perhentian bus ke kamar mandi. Disimpulkan ia bertemu dengan pembunuhnya pukul 16.38. 

Kondisi pakaian korban dan kenyataan bahwa mantelnya tergantung di kapstok, ritsleting rok lipitnya tidak robek dan tas plastiknya ditempatkan di bangku, memberi kesan gadis itu ikut dengan pembantainya secara sukarela ke dalam ruangan tempat ia dibunuh. 

Kuso memperkirakan si pembunuh tidak merasa asing di tempat itu. Mungkin ia anggota opera atau orang luar yang tahu keadaan gedung opera itu. Memang orang bisa keluar-masuk tempat itu dengan leluasa. Atau mungkin dia anggota salah satu grup wisatawan yang pernah berkunjung ke gedung opera itu.

 Jadi Kuso berpendapat, pemeriksaan tidak bisa dibatasi pada orang-orang yang bekerja di gedung opera itu saja. Berarti pekerjaan polisi bertambah berat, karena karyawan Opera Negara itu saja jumlahnya tidak kurang dari 1.900 orang. 

Seorang demi seorang, mulai dari penyanyi, penari, pemain musik, penata rambut, penata rias sampai petugas penjual karcis dan centeng diperiksa. Mereka memeriksa pula karyawan-karyawan perusahaan bangunan yang merekonstruksi gedung itu, serta orang-orang yang bekerja membetulkan jalan di muka gedung. 

Mereka memeriksa pelbagai rumah sakit jiwa, untuk mengetahui barangkali ada yang baru dilepaskan setelah menunjukkan kelakuan baik. Mereka mengecek pemerkosa, orang sadis, dan orang-orang yang mempunyai penyimpangan seksual. Penjara tidak luput dari penelitian mereka. Binatu-binatu juga ditanyai, kalau-kalau ada yang menerima cucian penuh darah. 

Bahkan Interpol dan masyarakat luas yang gempar karena peristiwa ini juga dimintai bantuannya. 

Begitu kerasnya Kuso dan rekan-rekannya bekerja sehingga Inspektur Kepala Rudolf Rothmayer mendapat serangan jantung dan meninggal. Meskipun demikian, pembunuh Dagmar Furich tetap berkeliaran dengan bebas. 

Keamanan meminta bantuan ahli-ahli psikologi dan kriminologi. Mungkin mereka bisa memberi keterangan yang bisa mengungkapkan kepribadian si pembunuh. Mereka juga mempelajari identitas para pasien klinik psikiatris dan neurologis Universitas Wina serta rumah sakit jiwa milik pemerintah daerah Wina, untuk mengetahui kalau-kalau ada pasien yang dicurigai.

 

Penikam berkeliaran 

Ternyata hasilnya tetap nihil. Tanggal 17 Juni 1963, kira-kira pukul 18.00, seorang mahasiswi berumur 26 tahun, Waltraul Brunner, masuk ke sebuah bioskop bersama temannya, Liselotte Fremuth. Di dalam bioskop sudah gelap. Dalam perjalanan ke kursi, mereka berpapasan dengan seorang pria. Tiba-tiba saja Nona Brunner merasa pahanya dipukul orang dan pemukulnya berlari ke luar pintu. 

Pengantar tamu, Herta Wendler, mengira pria itu seenaknya saja mendorong gadis itu. Jadi, ia mencoba mengejar tetapi tidak berhasil. Ketika sudah duduk Nona Brunner melihat roknya basah oleh darah. Cepat-cepat pihak bioskop memanggil ambulans. Ternyata paha gadis itu luka sedalam 1,5 cm. 

Menurut keterangan, penyerangnya ini seorang pria yang tingginya kira-kira 175 cm, tetapi ia tidak bisa menambahkan keterangan lain. 

Wanita pengantar tamu di bioskop menyatakan pria itu tingginya kira-kira 1,65 m, kekar, berambut hitam berombak. Ia mengenakan jaket ski berwarna gelap dan celana berwarna gelap pula. 

Tanggal 10 Juli 1963, pukul 15.40, Virginia Chieffo masuk ke Gereja St. Augustine di Augustinestrasse. Mahasiswi Amerika ini sedang berlibur di Wina. 

Ketika duduk di bangku gereja, ia didatangi seorang pria yang turun dari altar. Pria itu menyergap sebelah payudara Nona Chieffo dan meninju mata kanannya sehingga kacamata mahasiswi Amerika itu jatuh. 

Penyerang tersebut memungut benda itu dan melemparkannya kepada pemiliknya. Setelah itu ia berlari ke arah pintu keluar, sementara Nona Chieffo yang ketakutan itu berlari ke arah altar. Tahu-tahu penyerangnya tidak jadi keluar, ia mengejar Nona Chieffo dan menikamnya beberapa kali. Kemudian ia kabur. 

Mendengar teriakan Nona Chieffo, seorang pemandu wisata dan seorang wisatawan wanita berlari ke sumber suara. Wanita itu menolong Nona Chieffo, sedangkan sang pemandu wisata berlari ke luar memanggil polisi. Polisi tidak berhasil menemukan si penyerang. 

Nona Chieffo dibawa dengan ambulans dan Kuso diberi tahu. Ternyata luka-luka Nona Chieffo serius. Salah satu tusukan hampir saja mengenai jantung. 

Ia menggambarkan penyerangnya sebagai pria berumur antara 28 - 30 tahun, tampan, tingginya kira-kira 175 cm, langsing, rambutnya yang pendek dan pirang disisir ke belakang, sedangkan wajahnya kecoklatan kena sinar matahari. 

Walaupun polisi bertambah giat mencari penyerang wanita-wanita ini, tetapi masih saja ada wanita yang menjadi korban. Tanggal 2 Agustus 1963, seorang wanita berumur 41 tahun, Ny. Maria Brunner, menutup kios tembakaunya di Praterstrasse sesaat setelah pukul 19.00. 

Dalam perjalanan pulang ia beristirahat di Stadpark, yaitu taman yang indah di tengah Kota Wina. Ketika sudah duduk kira-kira tiga perempat jam, ia merasa sesuatu menimpa lehernya. Ia mengira tertimpa bola. Ketika itu memang sudah gelap. 

Tidak lama kemudian ia bangun dan menuju pintu keluar taman yang menghadap ke Weihburggasse. Seorang wanita yang sedang duduk di bangku memberi tahu bahwa Ny. Brunner berdarah. Wanita itu juga menunjuk ke arah seorang pria yang sedang berjalan menuju ke arah Weihburggasse. 

Ketika itu barulah Ny. Brunner sadar bahwa ia ditikam. Ia diangkut ke RSU dan dokter menemukan luka sepanjang 16 cm di bagian kanan leher. Luka itu juga menembus paru-paru. 

Pria yang meninggalkan taman itu digambarkan sekitar 25 tahun, tingginya sekitar 172 cm, langsing, berambut pirang kecoklatan, memakai setelan berwarna gelap, kemeja hijau dan dasi berwarna muda. Ny. Tourkoff, wanita tua yang melihat pria itu, menambahkan bahwa laki-laki itu tampan dan seperti mahasiswa. 

Kuso memerintahkan bawahannya menyisiri daerah sekitar tempat-tempat penikaman, tapi tanpa hasil. Wanita-wanita Kota Waltz ini kini lebih berhati-hati kalau ke luar rumah dan selalu curiga pada pria tidak dikenal.

 

Pakai garpu 

Tanggal 6 Agustus 1963, kira-kira pukul 16.50, seorang pensiunan berumur 64 tahun, Ny. Emma Laasch, tiba di rumahnya. Ketika akan masuk ke rumah no. 3 di Tuchlauben itu, ia membuka tasnya untuk mengeluarkan kunci. Tahu-tahu dari belakang mulutnya dibekap dan bagian kanan lehernya ditikam. Namun, ia berhasil berontak melepaskan diri. Dilihatnya seorang pria sedang memegang garpu makan. 

"Uang!" bentak pemuda itu. Ny. Laasch berteriak meminta tolong. Penyerangnya kabur. Pria itu masuk ke rumah sebelah, Tuchlauben 5. Ny. Laasch memberi tahu orang-orang yang kebetulan lewat mengenai peristiwa yang dialaminya. 

Salah seorang dari mereka memberi tahu polisi lalu lintas bernama Johann Kowarik. Polisi masuk ke rumah itu. Ia bertemu seorang pria yang berkeringat dan wajahnya kemerah-merahan. Ketika ditanya sedang apa, pria itu memberi jawaban yang mencurigakan. 

Ia ditahan. Namanya John Weinwurm, warga negara Austria, kelahiran Haugsdorf tanggal 16 Desember 1930. Jadi umurnya 33 tahun. Ia mengaku sebagai penjual. 

Apakah pria yang menikam nenek-nenek dengan garpu ini pembunuh Dagmar Furich? Ada persamaan-persamaan dalam caranya melakukan kejahatan, tetapi Kuso tidak sembarangan menarik kesimpulan. Lagi pula sebagian orang tidak percaya bahwa Weinwurm yang mencoba mengambil uang nenek-nenek itu, juga merupakan orang yang menikam untuk kesenangan. 

Ternyata Weinwurm tidak punya pekerjaan, tidak punya rumah, tidak menikah, dan pernah berurusan dengan pengadilan. Sehabis perang, ketika makanan sukar diperoleh, ia mencuri makanan dari toko orang tuanya di Wina. 

Ia bergerak di pasaran gelap. Kemudian ia mendapat pistol dari seorang temannya dan dengan membawa pistol ia pernah masuk ke asrama sekolah gadis. Di sana ia mengancam seorang gadis agar telanjang di toilet, tetapi gadis itu berteriak dan Weinwurm tertangkap. Di pengadilan ia dinyatakan bersalah, tetapi tidak dihukum, karena alasan psikologis. 

Weinwurm cekcok terus dengan orang tuanya, karena ia bolos terus dari sekolah dagang. Ia kabur dari rumah dan berkeliaran di pusat kota. 

Tanggal 22 Januari 1949 ia mencoba merampok seorang wanita di Wildbretmarkt dengan cara menodong payudara wanita itu. Senjatanya gunting. Wanita itu berteriak dan Weinwurm tertangkap di tingkat atas sebuah rumah di Kurrentgasse. 

Ia diadili, tetapi menurut pemeriksaan psikolog, sekali lagi ia dinyatakan tidak bisa bertanggung jawab atas perbuatannya. Ia dirawat di sebuah klinik dan dilepaskan tanggal 29 April 1950. Ia pulang ke rumah orang tuanya. 

Bagi Kuso, jelas dua peristiwa itu memperlihatkan motif seksual. Tetapi dalam arsip polisi, Weinwurm cuma dinyatakan sebagai maling, karena ia pernah dijatuhi hukuman penjara empat tahun sebagai pelaku 82 kali pencurian. Hukuman dijatuhkan 22 Januari 1953, tetapi 5 Oktober 1955 ia sudah dibebaskan dengan syarat. 

Belum sampai dua bulan, ia sudah mencuri lagi, sehingga dihukum empat tahun lagi dengan kerja keras. Ia dibebaskan sekitar bulan Maret 1961, tetapi beberapa minggu kemudian dipenjara lagi karena mencuri. Tanggal 5 Maret 1963, jadi tujuh hari sebelum Dagmar terbunuh, ia dibebaskan dari Penjara Goellersdorf. 

Ketika itu ayahnya sudah meninggal, sedangkan sebelah tungkai ibunya diamputasi, sehingga tidak bisa mengurus toko lagi. Toko itu dijual. Josef Weinwurm pernah menjenguk ibunya sekali, yaitu tidak lama setelah ia dibebaskan. Setelah itu ibunya tidak pernah menerima kabar apa-apa dari putranya. 

Saudara perempuan Josef, Getrud, pernah berkali-kali membantu adiknya, tetapi ia dilarang oleh suaminya untuk berhubungan dengan Josef, sehingga tidak bisa sering bertemu.

 

Tempat operasinya kamar pakaian 

Sesaat setelah Dagmar dibunuh, polisi sebetulnya menerima beberapa "tip" tentang Weinwurm, tetapi luput dari perhatian. Dua di antara "tip" itu didapat dari Maria Zehetmayer (janda penjaga Penjara Goellersdorf) dan dari kepala penjara, Johann Hubeny. Keterangan keduanya kira-kira sama. 

Ketika dibebaskan, dua bilah pisau milik Weinwurm dikembalikan. Menurut Hubeny, salah sebuah di antara pisau itu sebuah pisau lipat yang mirip dengan senjata yang dipakai membunuh Dagmar Furich. Duplikat pisau itu dipasang gambarnya di koran Wina, Kurier. 

Sesuai dengan hukum Austria, bekas tahanan harus melapor pada polisi. Tetapi Weinwurm tidak pernah melapor lagi sejak pindah dari apartemen ibunya, tempat ia tinggal dua atau tiga hari setelah keluar dari penjara. 

Keterangan-keterangan inilah yang luput dari pemeriksaan lebih lanjut. Kini Kuso merasa tertarik sekali untuk mencari tahu lebih banyak mengenai latar belakang Weinwurm. 

Diketahui bahwa Weinwurm kebanyakan mencuri di kamar-kamar pakaian dan kamar tempat penitipan barang. 

Kecurigaan Kuso bertambah besar. Tetapi dalam pemeriksaan pendahuluan polisi sengaja menjauhi pertanyaan dari peristiwa pembunuhan di Gedung Opera. Sebaliknya, mereka mengarahkan pertanyaan pada peristiwa penyerangan beberapa wanita berturut-turut. 

Weinwurm menyangkal menyerang Ny. Emma Laasch dengan garpu, tetapi dalam sebuah line-up, wanita itu mengenali Weinwurm sebagai penyerangnya. Mahasiswi AS Virginia Chieffo yang diminta mengenali penyerangnya dari sejumlah foto tidak berhasil menemukan pria yang dimaksudkannya. Tetapi dalam line-up (tidak berbareng dengan Ny. Laasch) ia mengenali Weinwurm dengan positif sebagai orang yang menikamnya di gereja. 

Ada saksi lain yang mengenali Weinwurm sebagai pria yang meninggalkan taman kota setelah peristiwa penikaman pada Ny. Brunner. Pengantar tamu di bioskop, Herta Wendler, menyatakan "barangkali" Weinwurm ini pria yang menusuk Nn. Waltraut Brunner di bioskop. 

Weinwurm tetap menyangkal. Ia juga menolak memberi keterangan mengenai gerak-geriknya setelah keluar dari Penjara Goellersdorf. Katanya, ia tinggal dengan seorang teman wanita yang namanya tidak bisa ia sebutkan.

 

Homoseksual 

Melalui pers, radio, dan TV, Kuso meminta tolong agar orang yang mengetahui tentang kehidupan Josef Weinwurm memberi laporan kepada polisi. Dua orang pelayan restoran memberi tahu polisi bahwa Weinwurm sering tampak bersama seorang pelayan berumur 54 tahun, Ernst Gschellhammer, yang menurut catatan polisi ternyata pernah berkali-kali melakukan pelanggaran homoseksual.

Gschellhammer mengaku mengenai Weinwurm di penjara tahun 1960 dan sejak Paskah tahun 1963 tinggal bersamanya, karena mereka terlibat hubungan homoseksual. 

Si pelayan restoran tinggal dalam sebuah kamar sewaan dan induk semangnya tidak tahu ia menyelundupkan teman. Weinwurm baru keluar kalau si induk semang sudah berangkat ke tempat kerjanya dan baru masuk kembali ke kamar kalau si induk semang sudah tidur. 

Gschellhammer tidak berani melapor kepada polisi ketika Weinwurm ditangkap. Untuk itu ia dijatuhi hukuman penjara 16 hari. 

Weinwurm dalam pemeriksaan polisi mengemukakan alibi, katanya tanggal 12 Maret 1963, yaitu pada hari Dagmar Furich terbunuh, ia pergi ke Jerman Barat dengan kereta api siang. Menurut pengecekan, ternyata ia tidak naik kereta yang berangkat pukul 14.00 atau 15.00, melainkan yang pukul 20.00. Ketika bukti ini diajukan, Weinwurm tampak terkejut dan minta waktu untuk berpikir. 

Tanggal 27 Agustus 1963, ia minta bertemu dengan seorang detektif yang selama ini menunjukkan simpati kepadanya, Inspektur Blasko. Kepada detektif itu ia mengaku bahwa ia menyerang wanita-wanita yang disebutkan di atas dan membunuh Dagmar Furich, dengan detail-detail yang hanya bisa diketahui oleh si pembunuh sendiri.

 

Benci wanita 

Di hadapan Kuso, sekali lagi Weinwurm mengakui perbuatannya. Empat hari sebelum pembunuhan terhadap Dagmar Furich, Weinwurm menyelinap ke Gedung Opera dan mencuri dompet berisi 40 schilling dari ruangan tempat pemimpin paduan suara. 

Tanggal 11 Maret ia menginap di apartemen ibunya. Paginya mereka bertengkar karena wanita itu "merengek" agar ia bekerja baik-baik. Menurut Weinwurm, pertengkaran ini membangkitkan kebenciannya yang terpendam terhadap wanita. Ia memutuskan untuk melampiaskannya dengan membunuh seorang wanita. 

Dengan maksud mencuri, ia pergi lagi ke Gedung Opera. Di dalam gedung, ia merasa bahwa ini tempat ideal untuk melakukan pembunuhan karena sepi. Ia pergi meninggalkan gedung itu untuk kembali agak sore. Sekali ini dengan niat membunuh. Tetapi pisau lipatnya yang besar tertinggal di apartemen ibunya. Jadi ia pulang dulu untuk mengambilnya. Untuk ketiga kalinya ia masuk ke Gedung Opera. 

Menurut Weinwurm, ia menunggu wanita yang masuk ke dalam toilet. Tetapi yang masuk malah pria bermantel kelabu. Walaupun ia berdiri dengan pisau terhunus, pria itu tidak melihatnya. Ia meninggalkan tempat itu dan ketika menuruni tangga berpapasan dengan seorang gadis cilik. 

Ia memutuskan akan menjadikan gadis ini korbannya. Gadis itu tidak lain dari Susanne Fichtenbaum. Tetapi rupanya nasib Susanne sedang baik. Ia luput dari bahaya karena ketika itu beberapa gadis lain menaiki tangga. 

Beberapa menit kemudian Dagmar Furich menaiki tangga seorang diri. Weinwurm menegurnya. la pura-pura menjadi dokter dan memberi tahu bahwa kamar ganti pakaian untuk gadis-gadis penari balet dipindahkan ke tempat lain. 

la berhasil membawa gadis itu ke tempat yang lebih terpencil. Di toilet, Weinwurm bertanya apakah Dagmar sudah diperiksa. Lalu ia meminta gadis itu membuka pakaiannya. 

Ketika itulah Dagmar diserang dan dibunuhnya. Sesuai dengan dugaan polisi, pembunuh ini kabur menuruni tangga dan melalui lorong yang panjang di lantai bawah, ia keluar di Karntnerstrasse. 

Keterangan seorang pengendara sepeda motor bahwa ia melihat seorang pria "seperti gila" menyeberangi jalan dan hampir tergilas taksi serta keterangan sopir taksi bahwa ia hampir menggilas seorang pria sekitar waktu Dagmar dibunuh, rupanya cocok dengan kenyataan. Ketika itu ia berlari sambil memegang mantelnya yang penuh darah.

 

Disembunyikan di istana 

Weinwurm pergi ke Furichstrasse dan minum kopi di sebuah bar, lalu berjalan perlahan-lahan ke Holburg, yaitu bekas istana kaisar di Wina. Ia masuk menaiki tangga dan di tingkat dua ia menyembunyikan mantelnya yang berdarah serta sarung tangannya di belakang sebuah peti. Polisi menemukan benda itu di sana. Ini bukti yang kuat bagi polisi. 

Weinwurm meneruskan perjalanan ke Stasiun Barat. Ia pergi ke Salzburg dengan kereta pukul 20.00 dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Muenchen. Di sini ia membuang pisau dan dokumen-dokumen tentang dirinya. Ia pulang ke Wina pada saat ratusan polisi mencari pembunuh Dagmar Furich. 

Weinwurm menunjukkan tempat ia membuang pisau yang dipakainya menusuk Virginia Chieffo di gereja dan Ny. Brunner di taman umum. Pisau itu sudah ada di tangan polisi karena ditemukan oleh seorang wanita. Tempat pisau itu ditemukan sama seperti yang disebutkan oleh Weinwurm. 

Jadi, pengakuan Weinwurm disokong oleh bukti-bukti. "Saya anti kekerasan," kata Kuso. "Pekerjaan kami tidak berhenti pada pengakuan. Pengakuan harus disokong dengan bukti." 

Tidak disebutkan ganjaran apa yang diperoleh Weinwurm. 

Motif Weinwurm untuk membunuh ialah karena, "Saya membenci semua wanita." Pernyataan serupa dibuatnya pada seorang psikiater, setelah ia melakukan pelanggaran seksual pertama pada masa remaja. "Saya benci kepada wanita sejak saya berumur 15 tahun. Mengapa? Saya tidak tahu," katanya.

(Bruce Henderson & Sam Summerlin)

 

" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304148/ia-benci-wanita" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654264708000) } } }