Intisari Plus - Voni ditemukan tewas di kamar kosnya dengan 2 setrip obat tidur yang sudah terpakai. Benarkan ia tewas karena bunuh diri?
-------------------
Jam dinding di ruang penjagaan menunjukkan pukul 15.30 sewaktu Edi Richardo melangkah keluar dari ruang Kapolres. Langkahnya terlihat Iebih lesu. Wajahnya pun kusut.
Maklum, hari itu ia kurang istirahat. Sejak subuh bersama rekan satu timnya ia mengintai sebuah rumah yang dicurigai menjadi sarang transaksi narkoba. Sialnya, 10 jam lebih mereka menunggu, tak ada tanda-tanda apa pun di sana.
Edi melangkah menuju ke ruang kerjanya di Unit Reserse Kriminal. Alangkah senangnya polisi muda berpangkat Inspektur Dua itu, karena ternyata ruangan sedang kosong. “Ah, kebetulan,” pikirnya.
Jaket hitamnya dilepaskan dan ditaruh di sandaran kursi, lalu ia merebahkan diri di sebuah bangku kayu panjang. Buku petunjuk telepon yang tebal diraihnya dari meja dan dijadikannya bantal. Perlahan-lahan matanya mulai terpejam.
Tapi, belum lima menit Edi merasakan kedamaian itu, ponsel di saku celana jinsnya bergetar. Berkali-kali, seperti teror. Saat ponsel diambil dan dilirik, yang tertera di layar nama “Kapt. Valen”.
“Siap, Komandan!”
“Halo, Edi? Ada taruna di Jln. Kenanga Empat, Kampung Tiga.” Suara Kapten Valen, atasannya di Unit Reserse Kriminal, terdengar agak terputus-putus.
“Halo, ya, siap Komandan. Segera meluncur ke TKP.”
“Sebentar, Edi! Bukankah itu daerah tempat kamu tinggal?”
Edi tertegun sejenak, berusaha menyegarkan ingatan di antara rasa kantuk yang sebenarnya sudah tak tertahankan lagi.
“Betul, Komandan. Di Kampung Tiga. Tarunanya apa?”
“Mayat perempuan di kamar kos.”
Dua setrip obat tidur
Suasana Jln. Kenanga Empat sudah terlihat ramai sewaktu Edi tiba, setengah jam kemudian. Banyak orang berkerumun memenuhi jalan hingga ke depan TKP. Mereka berusaha melongok ke dalam bangunan rumah kos yang berpagar tinggi itu. Sekilas, terdengar beraneka pembicaraan tentang polisi, mayat, dan pembunuhan. Jalan itu jadi macet luar biasa.
Alis mata Edi mengernyit saat menyadari TKP memang benar berada di rumah kos, tempat tinggalnya selama dua bulan ini. la bergegas, namun terhalang kerumunan massa. Langkahnya baru leluasa setelah seorang polisi melambaikan tangan dan meminta seorang Hansip memberi jalan.
“Benar ini tempat kosmu?” Valen berbisik menyambutnya.
Edi mengangguk. Matanya mengawasi wajah orang-orang di sekitarnya.
Di hadapannya ada beberapa orang yang dikumpulkan Valen untuk dimintai keterangan. Ada lelaki pemilik kos, seorang perempuan pembantu rumah kos yang sudah dikenalnya, serta dua perempuan penghuni kos yang melaporkan bau tidak sedap dari kamar korban.
Seolah tak ingin kalah berpacu dengan matahari yang tampak mulai tenggelam, Valen segera mengajak Edi naik ke kamar korban di lantai dua. Keduanya beriringan menaiki tangga yang sempit dan curam. Seorang Hansip yang berjaga di depan sebuah kamar langsung memberi jalan begitu melihat kehadiran dua polisi itu.
Di dalam kamar, terlihat sesosok mayat perempuan muda dalam posisi terlentang di atas sebuah kasur spring bed. Mayat yang mengenakan daster itu, usianya masih tergolong muda. Sekitar 20 - 25 tahun. Sekilas, tidak terlihat tanda-tanda kekerasan terhadap korban, meski Edi tidak begitu yakin, mengingat tubuhnya mulai membengkak dan berbau.
Bersama Valen, Edi melakukan olah TKP. Jika dicermati lebih detail, di kamar 4x5 m itu tidak terdapat hal-hal yang menjurus ke arah perbuatan kriminal. Dompet korban berisi beberapa lembar uang lima puluh ribuan ditemukan tergeletak di meja. Di dekatnya ditemukan juga sebuah ponsel dalam keadaan mati dan sebuah kunci yang ternyata adalah kunci kamar.
Kesan adanya upaya korban bunuh diri tampak dengan ditemukannya dua setrip obat tidur di lantai. Obat yang setiap setrip berisi sepuluh butir itu semuanya sudah terbuka. Mungkinkah ini penyebabnya? Edi berpikir sejenak. Bunuh diri dengan minum obat tidur? Hmm, kayak di film atau sinetron saja.
Unit Reserse Kriminal yang dipimpin Komisaris Valen benar-benar menghadapi kasus pelik dengan penemuan mayat di rumah kos. Masalahnya, informasi awal yang mereka miliki amat minim. Hampir tak ada petunjuk apa-apa yang bisa menjelaskan motif peristiwa itu.
Korban diketahui bernama Voni Nirmala, gadis WNI keturunan Tionghoa, kelahiran Cilacap, berusia 23 tahun. la tinggal di rumah kos sejak empat tahun lalu, atau semasa masih berkuliah di sebuah universitas yang hanya berjarak 3 km dari tempat tinggalnya. Setelah lulus, ia bekerja sebagai penjaga perpustakaan di kampus itu.
Tapi yang menyulitkan penyelidikan polisi ternyata tidak ada penghuni lain di rumah kos yang benar-benar mengenal korban. Selain penghuni di rumah itu selalu berganti-ganti, menurut keterangan Ningsih, salah seorang saksi yang bekerja sebagai pembantu di rumah kos, korban termasuk pribadi yang tertutup.
Saksi yang baru empat bulan bekerja di rumah kos, menuturkan, Voni selalu pergi meninggalkan rumah pada pagi hari sekitar pukul 07.00 dan pulang sekitar pukul 17.00 atau 18.00. Selebihnya, korban hanya tinggal di dalam kamarnya dan hampir seakan tidak ada kontak lagi dengan dunia luar. Bahkan urusan pembayaran uang kos dilakukan lewat Ningsih.
Dalam pengamatan Edi, selain pribadi korban yang tertutup, situasi di rumah kos juga sangat mendukung terjadinya peristiwa yang tidak diharapkan. Rumah berlantai dua yang berbentuk seperti ruko itu amat tertutup. Di lantai satu ada empat kamar, di lantai atas enam kamar. Akses keluar masuk hanya melalui pintu gerbang kecil di depan rumah yang selalu terkunci. Tidak ada teras atau semacamnya.
Setiap kamar juga berdesain sama, berjendela tinggi yang sekaligus digunakan juga sebagai satu-satunya ventilasi. Kamar mandi tersedia di dalam kamar. Pada malam hari atau jika pendingin ruangan telah dinyalakan, dijamin penghuninya akan malas keluar kamar.
Di kota ini Voni tak punya sanak famili. Polisi baru berhasil menghubungi keluarganya setelah mendapat informasi dari tempat kerja korban, dua hari kemudian.
Dari pihak keluarga, polisi mendapat gambaran lebih jelas tentang pribadi korban. Sejak Voni meninggalkan kota kelahirannya, keluarga nyaris kehilangan kontak karena mereka jarang berhubungan. Kebetulan ayahnya sibuk, sedangkan ibunya sudah lama meninggal. Sesekali saja Voni menelepon ayahnya kalau perlu uang.
Menurut Alim Wijaya, ayah korban, sifat tertutup anaknya disebabkan Voni merasa bukan anak kandung, sehingga sering merasa minder dan menjauhkan diri dari pergaulan. “Kami juga tidak tahu apakah dia punya pacar atau tidak,” tutur Alim yang hanya bisa menangis di depan peti mati putrinya.
Sepeda motor berpelat “AD”
Peristiwa tragis di rumah kos di Kampung Tiga itu sebenarnya membawa berkah tersendiri bagi Inspektur Edi. Belum dua bulan ia menempati pos barunya di Unit Reserse Kriminal, sudah banyak hal yang bisa dipelajari dari senior sekaligus atasannya, Komisaris Valen.
Di mata anak buah, Kepala Unit bertubuh pendek itu terlihat begitu istimewa. la begitu dihormati karena prestasinya yang luar biasa. Selalu gigih dalam menuntaskan sebuah kasus dan tak lupa memberi motivasi kepada segenap anak buahnya untuk terus maju. Pendeknya, Valen adalah contoh polisi jempolan.
Apalagi atas perintah Kapolres, Edi diminta membantu Valen dalam penyelidikan kasus pembunuhan Voni. Ya, kasus Voni telah diubah statusnya menjadi kasus pembunuhan, setelah hasil otopsi menyatakan korban meninggal akibat arsenikum. Residu racun dalam kadar yang mematikan ditemukan dalam lambung korban.
Unsur arsenikum atau arsenik bukan berasal dari obat tidur, karena obat-obatan semacam itu tidak mengandung bahan mematikan. Malah korban sebenarnya tidak menelan obat tidur apa pun. Diduga, pembunuhnya sengaja meninggalkan kemasan kosong obat tidur agar tercipta kesan bahwa korban mati bunuh diri.
Korban meninggal tiga hari sebelum ditemukan, dengan waktu kematian tengah malam atau dini hari. Tak ada tanda-tanda kekerasan seksual, meski korban diketahui pernah bahkan sering berhubungan intim dengan lawan jenis. Tapi yang mengejutkan polisi, saat meninggal, korban sebenarnya sedang hamil tiga bulan!
Atas fakta-fakta itu, Edi mulai bergerak dan mengonsentrasikan penyelidikannya di sekitar tempat tinggal dan tempat kerja Voni. Merekonstruksi keseharian Voni sejak pagi hingga malam. Mencari berbagai kemungkinan kontak dengan orang lain yang bisa menjadi petunjuk.
Tapi, ketertutupan korban semasa hidupnya membuat penyelidikan berjalan tidak mudah. Dari sekitar 20 orang yang ditanyai di lapangan, nyaris tidak ada informasi yang cukup berarti. Umumnya, mereka mengaku tidak terlalu memperhatikan korban. Informasi sedikit berharga datang dari Rojak, 45 tahun, pedagang makanan di dekat rumah kos. Sekitar dua minggu sebelum pembunuhan, ia pernah beberapa kali melihat Voni diantar pria bersepeda motor Honda Astrea buatan tahun 1995 berpelat nomor “AD”.
“Yakin sekali, Pak. Honda Astrea tahun ‘95. Soalnya, saya pernah punya motor yang setripnya biru kayak gitu. Cuma, yang ini knalpotnya racing. Berisik bener bunyinya,” tutur Rojak mantap. Pembantu rumah kos juga mengaku pernah mendengar suara keras sepeda motor di depan rumah dan kemudian melihat korban masuk kamarnya. “Tapi saya tidak lihat orang yang naik motor.”
Walau diakui sulit, informasi tentang motor menjadi titik terang pertama kasus ini. Paling tidak, terbukti ada seseorang yang mengenal korban lebih dekat. Tapi siapa dia? Pacar atau sekadar teman? Karena jenis motor yang spesifik, informasi itu diteruskan ke bagian lalu lintas.
Penyelidikan terhadap tempat tinggal korban juga tak kalah menyulitkan. Meski ukurannya tidak terlalu besar, isi kamar itu sangat padat. Selain tempat tidur, ada meja komputer dan meja rias. Tapi yang menyita ruangan adalah dua rak berisi koleksi buku.
Awalnya, Edi cuma bisa tertegun memandang ratusan judul buku yang berjajar rapi. Koleksi buku itu kebanyakan berupa novel terjemahan setebal ratusan halaman, komik, serta bacaan fiksi lainnya. Edi agak kesulitan mencari cara yang mudah untuk menggali informasi dari sana. Selain karena ia juga tidak mau sembrono mengacak-acak buku-buku itu begitu saja.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba Edi menyadari ada sesuatu yang aneh. Ia sama sekali tidak menemukan buku yang bersifat pribadi seperti agenda, catatan harian, atau sejenisnya. Memang tidak semua orang yang suka membaca akan suka menuliskan sesuatu. Bahkan tulisan tangan Voni yang mungkin bisa menjadi kunci pembuka kasus ini juga tidak ditemukan.
Kembali ia mencoba fokus mencari-cari di rak buku di meja beserta laci-lacinya, bahkan akhirnya di seluruh kamar. Namun, hasilnya sia-sia.
Di tengah pencarian petunjuk yang melelahkan, setumpuk buku yang terletak di samping layar komputer, menarik perhatian Edi. Di antara buku-buku itu ada buku serial cerita Sersan Grung Grung, sebuah kisah petualangan seru seorang polisi dalam mengungkap peristiwa kejahatan, karya Dwianto Setyawan.
Satu judul dibacanya. Halaman demi halaman dibuka dan dibaca sekilas. Beberapa paragraf membuatnya tersenyum karena cara penuturannya sederhana sesuai sasaran pembacanya, yaitu anak-anak. Dia teringat, nama julukan Grung Grung diambil dari suara batuk si Sersan yang terdengar seperti berbunyi “grung-grung”.
Kenangan nostalgia Edi terhenti di saat ia menemukan secarik kertas biru muda berukuran kurang lebih 5x5 cm. Kertas yang biasa diikatkan pada suvenir pesta perkawinan itu rupanya dijadikan pembatas buku. Di situ tertulis pasangan Lianto - Susan, menikah 10 Desember 2005. Artinya, baru sekitar dua bulan sebelumnya!
Tengkuk Edi terasa sedikit berkeringat. la merasa menemukan satu petunjuk lain yang lebih jelas.
Diperiksa enam jam
Tidak terlalu sulit bagi polisi untuk menemukan petunjuk tentang pasangan pengantin di kertas suvenir perkawinan. Lianto, menurut catatan Valen, adalah salah satu bekas penghuni kos di lantai dua. Kamarnya hanya berjarak 6 m dari kamar Voni.
Setelah menikah, Lianto yang biasa dipanggil Anto, pindah ke rumah mertuanya. Tapi sehari-hari, pria itu masih sering terlihat di sekitar rumah kos, karena bekerja di sebuah apotek 24 jam yang letaknya di seberang jalan.
Pembantu rumah kos pun masih sering melihatnya beberapa kali muncul dalam sebulan terakhir. “Habis orangnya genit, suka ngegodain gitu,” tutur Ningsih, yang mengaku sering kesal dengan ulah pria yang disebutnya kurang ajar itu.
Polisi segera menjemput Anto di tempat kerjanya. Tapi, pemeriksaaan ternyata berjalan alot. Edi dan Valen kesulitan menemukan hubungan langsung antara Anto dan Voni. Anto bersikukuh menyatakan tidak mengenal korban. “Melihat, mungkin pernah. Tapi enggak kenal,” aku pria yang selalu membuka dua kancing atas kemejanya itu.
Saat ditunjukkan kertas suvenir perkawinannya yang ditemukan di kamar korban, ia bergeming. “Siapa tahu dia dapat dari sampah, lalu diambil jadi pembatas buku. Bisa saja ‘kan?” katanya dengan sikap agak menyebalkan.
Terlepas dari pengakuannya, Edi dan Valen mencurigai alibi Anto pada malam pembunuhan. Saat itu ia bertugas malam dan bekerja di ruang dalam apotek. Ada dua pekerja lain, seorang kasir dan seorang penjaga malam di ruangan depan, tapi keduanya tidak bisa terus-menerus memantau Anto. Apalagi saat itu hujan lebat, suasana sepi, dan tak ada pembeli yang datang.
Setelah hampir enam jam pemeriksaan berlangsung, Anto dibebaskan. Apalagi hampir bersamaan itu pula, masuk laporan dari bagian lalu lintas yang telah menemukan sepeda motor Honda Astrea mirip seperti yang dicari unit Reserse Kriminal. Karena ngebut, motor berplat nomor AD itu menabrak penjual jamu gendong hingga terluka parah.
Bagus, 23 tahun, pengendara motor yang kemudian ditahan, dihadapkan ke Edi dan Valen. Pemuda bertampang urakan ini mengaku salah dalam berlalu lintas, tapi ia tidak tahu-menahu soal Voni. Apalagi setelah dikatakan gadis itu sempat terlihat membonceng motornya sebelum meninggal, ia menjadi ketakutan. Kesaksian Rojak, pedagang makanan di dekat rumah kos, juga membenarkan bahwa sepeda motor Baguslah yang dulu dimaksudkannya.
Dengan gemetar, Bagus menyatakan, motor itu sering dipinjam Rochidi, teman satu kampungnya, untuk berbagai keperluan, antara lain untuk mengojek. “Mungkin perempuan itu penumpangnya Rochidi, Pak. Sumpah, saya tidak ada hubungannya,” tuturnya gemetar. Rochidi diketahuinya sering menarik ojek di sekitar kampus tempat Voni bekerja.
Melihat kesungguhannya, Edi meminta keluarga Bagus yang menunggu selama pemeriksaan segera menghubungi Rochidi di Wonogiri, Jawa Tengah. “Selama dia belum ditemukan, Bagus terpaksa menginap di sini,” tegas Edi.
File baru
Valen tahu benar kegusaran Edi yang mulai jenuh dengan penyelidikan kasus Voni. Karena sebenarnya tinggal selangkah lagi bagi mereka untuk mengungkapnya, yaitu jika ditemukan data atau saksi yang bisa menghubungkan di antara keduanya. Namun, justru di situlah letak kesulitannya.
Malam itu, Valen kembali mengajak Edi ke TKP. Valen hanya ingin memastikan tidak ada hal-hal yang terlewatkan selama Edi memeriksa kamar korban beberapa waktu sebelumnya. Di sanalah, sekali lagi, Edi harus memandangi ratusan buku di dalam rak tanpa tahu harus mencari apa dan mulai dari mana.
“Coba kau cari buku catatan hariannya. Biasanya, perempuan punya catatan-catatan kecil,” kata Valen memerintahkan
“Siap!” Edi tidak membantah, meski ia sudah pernah melakukannya berkali-kali tanpa hasil.
Sementara anak buahnva mencoba mencari-cari sesuatu di rak buku, mata Valen tertumbuk pada komputer di hadapannya. la mengamati benda itu cukup lama.
“Sudah kau periksa komputernya?” tanya Valen.
“Sudah. Datanya kosong. Cuma ada program-program biasa. Tidak ada data pribadi sama sekali.”
Seolah tidak mempercayai ucapan Edi, Valen menyalakan komputer berwarna putih kecokelatan yang tampak mulai diselimuti debu itu. Sistem operasi Windows XP ada di dalamnya hanya membutuhkan setengah menit untuk berproses sebelum semua bekerja sempurna. Tapi sampai beberapa saat setelah semua program terbuka, Valen hanya memandang layar monitornya dengan tatapan kosong. Entah, apa yang ada dalam pikirannya.
Tangannya kemudian terlihat menggerakan mouse. la mencoba beberapa program sebelum akhirnya berhenti pada program Microsoft Word. Di halaman baru program pengolah kata itu, jari-jarinya mengetikkan sebuah susunan huruf asal-asalan: 483qrnnf9845m saklt9-4t. Cukup singkat. Hasil ketikan itu lalu disimpan di dalam folder My Documents, dengan nama file “Test”. Valen kemudian mengarahkan kursor ke folder My Documents. Di sana, satu-satunya file, bernama “Test” tadi, dihapusnya. Sampai di situ, Edi hanya bisa menerka-nerka apa yang dilakukan atasannya.
“Bagaimana caranya supaya file yang tadi bisa muncul lagi?” tanya Valen.
Alis Edi terangkat. la berpikir keras. “Mungkin pakai unerase. Tapi caranya sudah agak lupa,” ujarnya sambil mengambil alih mouse.
Cukup lama Edi mencoba menemukan caranya. la terus mencoba berkali-kali, hingga kemudian ia membuka Recycle Bin, sebuah folder yang menampung file-file yang sudah dihapus. Di sana memang terlihat file “Test”. Tapi yang mengejutkan, masih ada dua folder lain, bertuliskan “Diary” dan “Photos”!
Sesaat kemudian, wajah Edi terlihat menegang. Tangannya sedikit basah oleh keringat. Dua folder itu kemudian di-restrore, ia kembalikan ke My Documents.
Folder “Diary” memuat sekitar 300 file, di mana setiap file dinamai dalam format tanggal. Tampaknya, setiap file dibuat di hari yang berbeda, dan semua berurutan dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir. Tak salah lagi, inilah catatan harian Voni!
Catatan harian itu begitu rinci. Lengkap memuat detail aktivitas Voni dari waktu ke waktu. Mungkin orang tidak akan menyangka, gadis itu punya begitu banyak cerita yang dituliskannya dalam penuturan menarik. Ada pula pemikiran-pemikirannya tentang banyak hal, termasuk harapan, dan impian-impiannya. Ada yang lucu, tapi ada beberapa yang mengharukan.
Tapi bagi Edi dan Valen, yang terpenting mereka sudah menemukan catatan-catatan tentang seorang pria yang sangat dekat di hatinya. Begitu gamblang dan detail. Dialah Lianto, atau dalam catatan itu dipanggilnya sebagai Bang Anto.
“Kayaknya, kita sudah dapat ikannya,” nada suara Valen terdengar bergetar.
Edi hanya bisa mengangguk.
Dikemas dalam kapsul
Catatan harian di dalam komputer Voni menguatkan tuduhan kepada Anto. Dalam catatan harian itu, Voni begitu jelas menggambarkan hubungan dirinya dengan pria penggoda itu. Sejak awal mereka berkenalan, akrab, hingga terjalin hubungan gelap yang tidak diketahui orang lain.
Yang lebih membuat polisi yakin, pada folder “Photos”, ditemukan juga puluhan foto yang menggambarkan kedekatan mereka berdua. Beberapa foto yang diambil dengan kamera digital itu bahkan memuat gambar keduanya dalam pose-pose yang amat pribadi.
Anto yang dijemput polisi dari rumahnya beberapa jam kemudian tidak bisa mengelak lagi. la mengakui telah menghabisi nyawa Voni. Namun, sikapnya di depan polisi ternyata tak berubah, yaitu tetap menyebalkan.
Dari balik kaca ruang pemeriksaan, Edi hanya bisa memandang tersangka pembunuhan itu dengan perasaan geram tidak karuan. la merasa tidak sampai hati membayangkan penderitaan Voni saat harus meregang nyawa, sementara Anto duduk-duduk tenang di sampingnya. Betapa pembunuhan itu terjadi dalam suasana hening namun begitu kejam.
Awalnya, Voni merasa patah hati karena kekasihnya ternyata menikahi gadis lain. Tapi yang lebih merisaukan hatinya, Voni mendapati dirinya tengah hamil. Anto yang tak kalah bingung kemudian mendesak Voni untuk menggugurkan kandungannya. Tapi Voni menolak.
Namun, setelah sekian lama didesak, gadis lugu itu akhirnya mau juga. Pada malam yang disepakati, Anto membawakan sebuah kapsul yang dikatakannya sebagai obat penggugur kandungan. Padahal kapsul itu berisikan arsenikum.
Hanya beberapa menit setelah diminum, zat kimia mematikan itu mulai bereaksi. Voni mengalami muntah dan diare hebat di kamar mandi. Tak sampai lima jam, Voni sudah sekarat di tempat tidur. Tubuhnya melemah, napasnya mulai terasa berat.
Sementara itu Anto mulai dengan aksinya menghilangkan segala dokumentasi yang bisa menjadi petunjuk adanya hubungan di antara mereka. Menghapus seluruh file catatan harian dan foto di komputer, mengambil seluruh catatan, buku harian, atau kertas-kertas, dan terakhir mengganti kartu SIM ponsel Voni.
Setelah membereskan seluruh ruangan dan merasa yakin tidak ada yang tertinggal, dua setrip obat tidur yang telah kosong dia tinggalkan di lantai untuk menciptakan kesan korban bunuh diri.
Anto meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar dengan kunci duplikat miliknya. Kunci yang dulu sering dipakai di saat libidonya meninggi dan melampiaskannya kepada Voni
Walau merasa yakin, pagi itu Anto telah melupakan satu hal. Kotak Recycle Bin di komputer Voni, sebenarnya tidak diset terhapus secara otomatis. Setiap file yang terhapus masih bisa ditemukan di tong sampah itu. Dan Anto lupa membuang isinya. (Tjahjo W)
Baca Juga: Korbannya Wanita Tuna Susila
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517501/lupa-buang-sampah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665345243000) } } }