Intisari Plus - Tadao dan Koichi ditawari menjadi kurir heroin. Rupanya ia gampang tergiur, meski harus dibayar dengan sesuatu yang berharga.
-------------------
Sabtu malam di Blod Alley, Amsterdam, Belanda. Dua orang bermata sipit dan berkulit putih tampak asyik mengobrol di dalam bar Blackbeard. Dari wajahnya tak sulit menduga, keduanya orang Jepang. Yang satu berwajah bersih dan terlihat sebagai orang terpelajar. Satunya lagi berpakaian perlente, tampak sangat menikmati rokok dan birnya. Dari penampilannya ia kelihatan sebagai orang yang banyak duit.
Bunyi musik irama cepat berdentum memenuhi seluruh ruangan. Tak lama kemudian, saat keduanya asyik mengobrol, seorang lelaki menghampiri mereka. Dari gayanya ia kelihatannya “penguasa” bar itu. Tanpa banyak basa-basi, ia menawarkan mariyuana. “Ini Amsterdam, Bung!” katanya. “Perkenalkan, nama saya Blackbeard!” tambahnya.
Dengan sopan, Tadao, pria berwajah bersih itu menolak. Namun, tanpa basa-basi Koichi, pria satunya lagi yang berpenampilan lebih perlente, menerima tawaran itu. “Saya memang ingin benar-benar berlibur di sini,” kata Koichi. Setelah transaksi, lelaki bernama Blackbeard itu segera meninggalkan mereka berdua.
Sementara itu, pada saat nyaris bersamaan, sepasang pria dan wanita berambut cepak, berjaket kulit, masuk ke dalam bar. Mereka menuju kursi yang letaknya cukup jauh dari kursi Koichi dan Tadao. Koichi mematikan puntung rokoknya, lalu menyalakan lintingan mariyuana yang baru ia beli. “Ini Amsterdam, Man! Bukan Kyoto!” serunya pada Tadao.
Tadao diam saja. Ia hanya memandangi temannya menikmati daun surga itu. Nun jauh di meja lain, pasangan berambut cepak itu tampak mengamati kondisi sekeliling mereka. Ia bolak-balik melirik ke arah dua pria Jepang itu. Sepertinya, mereka ragu-ragu. Sampai akhirnya, setelah beberapa kali melirik, mereka menghampiri Tadao dan Koichi.
“Kami boleh bergabung?” tanya Pierre, lelaki Prancis yang sejak tadi melirik.
“Silakan!” jawab Tadao.
Sesaat mereka terlibat dalam obrolan akrab. Pierre paling banyak mengoceh. Sedangkan Ninette, teman ceweknya, lebih banyak diam dan mengiyakan kata-kata Pierre. Koichi sendiri tampak kurang antusias. Dia asyik menikmati kepulan asap cimeng-nya. Ia baru mulai antusias ketika Pierre mengeluarkan ganja dari jaket kulitnya.
“Kita punya selera yang sama,” kata Pierre. Lalu mereka pun tertawa terbahak-bahak.
“Kita sama-sama pendatang di sini, Bung. Anda dari Jepang. Kami dari Prancis. Anda belum dianggap pergi ke Belanda jika belum mencoba heroin Amsterdam. Ini beda, Bung! Lebih murni! la akan mengantarkan Anda ke surga,” lanjutnya.
“Heroin Amsterdam? Oke! Anda jual, saya beli!” jawab Koichi mantap. “Tapi jangan coba tawari dia. Dia calon dokter,” kata Koichi kepada Pierre sambil melirik Tadao.
Mereka tertawa lagi. Lalu bersulang.
“Kita memang orang yang cocok,” seru Pierre. “Tapi kita tidak bisa mencoba heroin di sini, Kawan! Anda saya undang ke flat saya,” tambahnya.
“Oke! Saya memang ingin benar-benar berlibur di sini. Kalau bisa, tak perlu kembali lagi ke Kyoto!” jawab Koichi.
Setelah menyelesaikan isapan terakhir mariyuana masing-masing, mereka meninggalkan Blackbeard. Koichi pergi bersama kedua orang Prancis itu, sementara Tadao kembali ke hotel tempatnya menginap. “Sampai ketemu lagi, Dokter!” kata Pierre sambil tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Tadao.
“Semoga tidak tergiur amfetamina Amsterdam,” tambahnya.
Lagi-lagi mereka tertawa.
Terapung di sungai
Senin pagi, Tadao menelepon kantor Kedutaan Besar Jepang setempat, melaporkan bahwa Koichi belum kembali ke hotel sejak ia pergi bersama Pierre dan Ninette. Nama besar ayah Koichi, Prof. Suzuki, membuat pihak kedutaan segera menghubungi kepolisian setempat.
Suzuki adalah dokter kaya raya yang juga guru besar fakultas kedokteran di salah satu universitas di Kyoto. Kebetulan, duta besar Jepang di Belanda adalah salah seorang kenalannya. Dalam tempo beberapa jam, polisi sudah tiba di flat tempat Pierre dan Ninette tinggal. Namun di sini, polisi tidak menemukan petunjuk apa-apa. Polisi pun terpaksa kembali ke markas dengan tangan kosong.
Siang itu juga, Komisaris Polisi Jan de Vries menyebar anak buahnya untuk melacak keberadaan Koichi. Di Amsterdam, jumlah orang Jepang tak terlalu banyak. Wajah Jepang mudah dikenali. Namun, polisi tak menemukan petunjuk apa-apa, meskipun mereka telah menyusuri hampir semua sudut kota.
Senin sore, ketika Komisaris sedang sibuk memeriksa dokumen-dokumen Pierre, ia memperoleh berita penting: polisi menemukan mayat terpotong-potong di dalam sebuah koper yang terapung di Kanal Brewer. Sambil menunggu hasil pemeriksaan forensik, polisi segera kembali ke flat Pierre. Saat polisi datang, Pierre sedang sakau. Ketika menggeledah isi flat, mereka menemukan satu bungkus plastik bubuk berwama putih dan beberapa lembar traveler’s check American Express.
Mereka segera membawa Pierre dan Ninette ke kantor polisi.
Dari Tadao, polisi memperoleh informasi bahwa ke mana-mana ia dan Koichi membawa traveler’s check American Express sebagai alat pembayaran. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium kepolisian malam itu juga, bubuk putih di dalam plastik itu dipastikan heroin. Heroin Amsterdam!
Saat diinterogasi oleh Komisaris Jan de Vries, Pierre tidak menyangkal bahwa heroin itu memang miliknya. Namun, ia berulang-ulang menyangkal tuduhan telah membunuh Koichi. la bersumpah tak tahu-menahu dan masih pada jawabannya yang pertama: Koichi meninggalkan mereka Minggu pagi. Ia juga meyakinkan bahwa Ninette, pacarnya, tidak ikut bertanggung jawab terhadap heroin yang ia simpan. “Ini urusan laki-laki. Dia tak tahu apa-apa,” katanya tegas.
Sambil menunggu penyelidikan selanjutnya, pasangan Prancis itu ditahan di kantor polisi. Sementara itu, dari pemeriksaan forensik malam itu juga, polisi memastikan mayat yang terpotong-potong itu adalah Koichi. Ia benar-benar telah “berlibur selamanya” di Amsterdam.
Penggemar bangau
Selasa pagi, Ajun Komisaris Grijpstra pergi ke hotel tempat Tadao menginap untuk meminta keterangan. Di sana Grijpstra pun tak mendapat petunjuk apa-apa. Tadao menceritakan dirinya putus kontak dengan Koichi sejak mereka berpisah di Bar Blackbeard. Koichi ikut ke flat Pierre untuk transaksi heroin, sedangkan Tadao kembali ke hotel.
“Itu kontak saya terakhir dengan Koichi,” kata Tadao sambil mengelap foto-foto bangau yang baru ia cetak.
“Ia tidak meninggalkan pesan apa-apa?” tanya Grijpstra.
“Tidak. Saat berpisah, dia cuma bilang ingin berlibur selamanya di sini,” jawabnya.
“Anda sudah memberi tahu Profesor Suzuki?” tanya Grijpstra lagi sambil menikmati foto-foto hasil jepretan Tadao.
“Belum. Saya khawatir melangkahi pihak kepolisian,” jawabnya.
“Bagus. Keputusan Anda tepat. Biar kami yang mengabarkan berita ini. Anda tak perlu memberi tahu siapa-siapa, termasuk bangau-bangau ini,” ujar Grijpstra sambil tersenyum. “Tampaknya, kita punya hobi yang sama,” imbuhnya.
“Maksud Anda?” tanya Tadao.
“Anda suka memotret bangau. Saya hobi melukisnya,” jawabnya.
“Oh, ya? Gaya apa yang Anda sukai? Hondecoeter? Old master? Atau?”
“Old master,” jawab Grijpstra.
Gen ibunya
Karena tak memperoleh informasi apa pun dari Pierre maupun Tadao, polisi kemudian memusatkan perhatian pada koper yang dipakai membuang mayat Koichi. Meskipun kotor, koper itu tampak jelas masih baru dan diyakini belum pernah dipakai sebelumnya.
Polisi menduga kuat, pembunuhan itu terjadi pada hari Minggu. Padahal, di hari Minggu umumnya toko-toko di kota itu tutup.
Setelah menyisir toko-toko di Amsterdam, polisi menemukan satu toko yang buka pada hari itu. Dari pemilik toko, polisi mendapatkan informasi penting. Hari Minggu, toko itu melayani pembelian koper seharga seratus dolar dengan pembayaran memakai traveler’s check American Express.
Berbekal informasi itu, Komisaris Jan de Vries meminta Pierre dan Ninette dibawa kembali ke ruangnya untuk dimintai keterangan. Namun sayang, Komisaris mendapatkan berita mengejutkan: Pierre tewas di penjara setelah shock akibat putus-heroin.
Saksi kunci tinggal Ninette. Namun, wanita Prancis ini pun sakit keras. Dia menggigil dan kejang-kejang, sehingga tidak bisa diinterogasi. Dokter klinik sudah memeriksanya, tapi demamnya tak kunjung reda. Akhirnya, ia dikirim ke rumah sakit.
Rabu pagi, Komisaris Polisi Jan de Vries menghubungi Prof. Suzuki di Kyoto, mengabarkan berita tragis ini. Jumat paginya, profesor yang baru saja kehilangan anak ini sudah berada di ruang kerja Jan de Vries. Pepohonan di luar ruang kerja Komisaris membuat ruangan itu teduh, tapi pembicaraan antara Komisaris dan Suzuki terasa sedikit gerah.
Suzuki didampingi Toshiko, penerjemah bahasa Belanda. Sesekali ia bicara dalam bahasa Inggris, kali lain dalam bahasa Jepang. Berkali-kali Suzuki bicara dengan nada tinggi. Ia kesal dengan pertanyaan-pertanyaan Komisaris yang memojokkan dia. Pandangan matanya yang tajam membuat ia semakin tampak berang.
“Jadi, itu maksud Anda? Saya jauh-jauh datang dari Jepang hanya untuk Anda paksa mengaku telah membunuh Koichi, begitu, Tuan Komisaris?” ucap Suzuki dengan kesal.
“Anda tahu, saat pembunuhan itu terjadi, saya berada di Kyoto, setengah lingkar Bumi dari sini. Anda juga tahu, korban pembunuhan adalah a-nak sa-ya sen-diri! Mana mungkin saya melakukannya,” tambahnya.
“Saya akan menjawab semua pertanyaan Anda. Semua! Tapi kalau Anda menuduh, saya punya hak untuk diam,” katanya dengan mata melotot.
“Tuan Suzuki, jangan salah paham. Saya tidak menuduh. Saya hanya bertanya, apa motivasi Tuan mengirim Koichi ke Belanda?” sergah Komisaris kalem. Ia menggoyang-goyangkan kursinya, santai.
“Well, Koichi anak saya satu-satunya. Dia anak bandel. Saya profesor tapi dia pengangguran, tidak mau bekerja. Saya menyuruhnya pergi jalan-jalan ke luar Jepang supaya pikirannya terbuka. Itu saja!” jawabnya dengan nada mulai tenang, sambil memandang amat takjub pada seekor bangau yang hinggap di cabang sebuah pohon di luar jendela ruangan Komisaris.
Komisaris ikut menengok ke luar jendela.
“Anda mengamati apa?” tanya Komisaris mencairkan suasana.
“Hewan langka,” jawabnya singkat sambil matanya berisyarat ke arah bangau.
“Hewan langka? Di sini bangau hewan pengganggu,” kata Komisaris.
“So desu ka?” tanyanya heran.
“Benarkah?” Toshiko menerjemahkan.
“Di negeri kami, bangau tergolong hewan langka,” sambung Suzuki.
Suzuki tersenyum dan kagum melihat bangau itu mengibaskan sayapnya yang biru keperakan. Itu merupakan senyuman pertama sejak ia masuk ruangan. Ia seolah lupa bahwa dirinya sedang berada di ruang Komisaris Polisi.
Suzuki kemudian menjadi begitu bersemangat bicara tentang bangau. “Kyoto dulu kota yang eksotis. Setelah industrialisasi besar-besaran, langit Kyoto sekarang penuh dengan asap. Kuil Tiruan Dinasti T’ang tak indah lagi. Kyoto penuh sesak. Hewan-hewan tak mendapatkan tempat tinggal,” katanya. Matanya memandang tajam ke arah bangau.
Bangau di luar jendela meliukkan lehernya yang jenjang. Suzuki masih memandangnya dengan terpesona. Komisaris pun ikut melihat ke luar jendela.
“Di Kyoto saya membuat penangkaran bangau di Pulau Bangau, di Danau Biwa,” sambung Suzuki.
“Pantas saja Anda begitu kagum melihat bangau di sini,” kata Komisaris sambil menuangkan kopi ke cangkir Suzuki yang hampir kosong.
“Oishiiiii,” ucap Suzuki. Toshiko buru-buru menerjemahkannya, “Nikmat!”
“Anda tahu, Koichi mengonsumsi narkoba?” tanya Komisaris sambil mengamati foto-foto Koichi. Satu foto menunjukkan potongan-potongan mayatnya. Satu lagi foto sebelum ia tewas.
“Yang saya tahu, dia cuma perokok berat dan suka minum bir. Tapi saya tidak pernah tahu dia memakai heroin,” jawabnya.
“Anda suka minum bir seperti Koichi, Tuan Suzuki?” tanya Komisaris.
“What?” mata Suzuki terbelalak mendengar pertanyaan itu. “Saya dokter, Tuan Komisaris. Koichi memang suka minum bir, tapi saya tidak. Dia mewarisi gen itu dari ibunya,” jawab Suzuki. Bangau di luar jendela mengangkat sayapnya.
“Bagaimana Anda tahu dia tak mewarisi gen Anda?” tanya Komisaris.
“Saya bukan ayah kandungnya. Koichi anak angkat saya,” jawabnya.
“Tapi Anda sangat sayang pada Koichi. Anda bahkan mau menanggung semua biaya perjalanan Koichi dan Tadao, benar ‘kan?” pancing Komisaris.
Suzuki mengangguk. “Saya tidak sombong, uang saya banyak. Koichi anak saya satu-satunya. Saya ingin dia ketularan Tadao.”
“Ketularan?”
“Ya. Koichi pemalas berat. Tadao mahasiswa kedokteran yang cerdas.”
“Apakah Tadao mewarisi gen ayahnya?”
“Mungkin. Ayah Tadao, Profesor Sakai, kolega saya di kampus.”
“Dia punya empat anak laki-laki. Semuanya cerdas-cerdas. Terus terang, saya kadang iri pada Sakai,” jawabnya.
Bangau di ranting pohon membersihkan bulu-bulu sayapnya dengan paruhnya yang lancip.
“Sekarang Anda memuji Tadao. Padahal, kemarin Anda menuduh Tadao yang membunuh Koichi,” cecar Komisaris.
“Ya. Ya. Ya. Saya kemarin memang emosional. Saya tidak benci Tadao. Tapi terus terang saya curiga pada Sakai,” jawabnya.
“Sakai? Kenapa malah dia yang Anda curigai?”
“Dia baru saja bangkrut di bursa saham. Utangnya banyak. Rumahnya sampai digadaikan. Pendidikan anak-anaknya terancam putus. Jadi, saya menuduh Sakai dan Tadao merekayasa penyanderaan Koichi agar saya mengirim uang tebusan.”
“Untuk mayat yang terpotong-potong?”
“Bukan! Bukan itu maksud saya! Saya kemarin menduga Tadao menyandera Koichi, lalu ia membunuh Koichi secara tidak sengaja. Mungkin dia, emm terlalu kencang mengikat lehernya, atau emm mungkin Koichi melawan, lalu dia terpaksa membunuhnya, kemudian memotong-motong mayatnya untuk menghilangkan jejak. Dia ‘kan mahasiswa kedokteran. Sedikit banyak dia pasti tahu cara menghilangkan bukti. Dengan matinya Koichi, Sakai mungkin berpikir saya akan mengambil salah satu anaknya sebagai anak angkat sekaligus ahli waris saya dan saya pun akan melunasi utang-utangnya.”
Suzuki sedikit gugup. Ia mengambil napas sejenak, menelan ludah, lalu buru-buru melanjutkannya sebelum Komisaris angkat suara, “Tapi sekali lagi saya tegaskan: itu dugaan saya kemarin! Waktu itu saya memang sedang emosional.”
“Berarti sekarang tidak emosional lagi, ‘kan?”
Suzuki diam saja. Bangau di luar jendela melihat ke arah Suzuki.
“Kudasai, kudasai” seru Suzuki sambil menyorongkan kedua telapak tangannya ke arah bangau.
“Please ... please” Toshiko menerjemahkan.
“Aku Suzuki, sahabatmu di Kyoto! Ingat?” kata Suzuki kepada bangau, seolah ia bicara pada manusia.
“Anda bisa bicara dengan bangau?” tanya Komisaris.
“Bagi saya, bangau dan manusia tak ada bedanya.”
“Mana yang lebih Anda cintai, Koichi atau bangau-bangau Anda di Pulau Bangau itu?”
“Hmmm. Saya cinta keduanya.”
“Apakah Koichi juga menyukai bangau seperti Anda?”
“Saya tak mengerti jalan pikirannya. Dia sangat membenci bangau-bangau saya. Dia bahkan pernah mabuk dan menembaki bangau-bangau kesayangan saya di pulau itu.”
Suzuki tiba-tiba bangkit dari kursinya. Dengan beralaskan karpet oriental di ruangan itu, badannya bergerak meliuk-liuk seperti bermain teater. la menirukan gerakan orang mabuk yang menembaki burung-burung.
Dengan sangat teatrikal, dia kemudian menirukan gerakan seekor bangau yang tertembak.
Dengan kedua tangannya, Suzuki menirukan gerakan bangau yang mencoba dengan susah payah mengepak-ngepakkan sayapnya, lalu jatuh tersungkur dan mati di samping kursi Komisaris.
Komisaris dan Toshiko serentak bertepuk tangan.
“Luar biasa! Sekarang saya paham,” kata Komisaris.
“Paham? Apa yang Anda pahami?”
“Saya punya kura-kura kesayangan di rumah. Lalu anak saya yang bengal membunuhnya. Anda pasti tahu apa yang akan saya lakukan,” pancing Komisaris.
“Maksud Anda, saya sengaja membunuh Koichi karena dia membunuh bangau-bangau saya?” tukas Suzuki.
“Bukan! Bukan itu maksud saya! Maksud saya, Anda pasti tak bisa memaafkan Koichi yang telah menembaki bangau-bangau Anda,” kata Komisaris.
“Itulah sebabnya saya menyuruh dia pergi ke Belanda,” jawab Suzuki sambil kembali ke kursinya.
“Anda tahu, di Belanda ia pasti akan mati akibat overdosis heroin?” tanya Komisaris.
“Oh, jadi itu maksud Anda? Anda menuduh saya mengirim Koichi ke sini biar dia mati di tangan mafia heroin? Begitu ‘kan?” sergah Suzuki, kembali dengan nada kesal.
Bangau di ranting pohon mengepakkan sayapnya, terbang meliuk turun ke sungai di bawahnya, menyambar seekor ikan.
Mutilasi profesional
Sabtu siang, Komisaris Polisi Jan de Vries bertemu lagi dengan Prof. Suzuki. Kali ini mereka bertemu di sebuah restoran dekat Taman Vondel, selatan Amsterdam.
“Anda menyukai Amsterdam, Profesor?”
“Saya suka karena di sini bangau-bangau bisa hidup bebas, tidak seperti di Jepang. Anda lihat mereka terbang bebas di taman itu,” katanya sambil menunjuk sekelompok bangau yang terbang mengitari pepohonan di Taman Vondel di depannya.
“Mestinya, Anda bukan ayah Koichi, tapi ayah Tadao,” celetuk Komisaris.
“Maksud Anda?”
“Anda dan Tadao sama-sama penggemar bangau,” jawab Komisaris.
“Dari mana Anda tahu dia suka bangau?” tanya Suzuki.
“Dia punya banyak koleksi foto-foto bangau Amsterdam. Mungkin saja salah satu dari bangau-bangau yang Anda tunjuk tadi pernah dipotret Tadao.”
“Oh, ya? Saya baru tahu,” kata Suzuki sambi manggut-manggut.
“Apakah di Jepang, bangau begitu hebat, Tuan Profesor?”
“Ya. Dalam budaya kami, bangau melambangkan kemampuan untuk terbang tinggi, kemampuan meraih sesuatu yang telah lama diidam-idamkan,” jawabnya.
“Oh, ya? Saya baru tahu,” ganti Komisaris yang mengucapkan kata-kata itu. Ia mengucapkannya dengan enteng tapi otaknya bekerja ekstra keras.
Sabtu malam, Komisaris Polisi Jan de Vries menjadi orang yang paling pusing. Di atas meja antiknya terdapat setumpuk dokumen kasus Koichi. Ia duduk tegang di kursinya. Tangannya memegang buku Japanese Culture yang baru ia beli dari toko buku, tapi matanya menatap kosong ke potret dirinya yang tergantung di tembok. Seolah-olah potret itu sedang menertawakan dirinya.
“Orang-orang Jepang ini gila bangau semua,” batinnya. la mengangkat telepon, menghubungi dr. Hensens, ahli forensik yang memeriksa potongan mayat Koichi.
“Apakah Anda tidak menemukan petunjuk apa-apa di mayat Koichi?” tanya Komisaris.
“Maksud saya, menurut Anda, apakah pelaku mutilasi ini orang biasa atau orang yang profesional?”
“Sebuah pertanyaan yang sulit! Saya tidak menemukan petunjuk sampai sejauh itu. Mungkin saya perlu memeriksanya lagi,” jawab Hensens.
“Oke. Saya tunggu hasilnya.” la menutup telepon. Lalu membuka-buka kembali buku di tangannya. Namun, baru saja ia membuka satu halaman, telepon berdering. Di ujung sana, Ajun Komisaris Grijpstra berbicara.
“Saya punya kabar baik dan kabar buruk buat Pak Komisaris,” kata Grijpstra.
“Kabar baiknya?” tanya Komisaris.
“Saya menemukan identitas pembeli koper hari Minggu kemarin. Seorang perempuan Prancis. Huruf depan namanya N,” jawab Grijpstra. Sesaat ia diam. Tak ada suara di ujung telepon.
“Lalu kabar buruknya?” tanya Komisaris tak sabar.
“Nama wanita itu Nathalie. Dia sama sekali tak ada hubungan dengan Pierre maupun Ninette.”
“Jadi, betul-betul cuma kebetulan?” tanya Komisaris.
“Betul! Kebetulan yang nyaris sempuma!”
“Kalau begitu kebetulan juga Anda telepon. Saya butuh data pembelian alat-alat kedokteran dua minggu terakhir di Amsterdam,” pinta Komisaris.
“Akan segera Anda dapatkan!” janjinya. Telepon ditutup. Malam merayap pelan. Gelap semakin pekat, sama pekatnya dengan kasus pembunuhan Koichi. Komisaris seolah kehilangan rasa kantuknya. la terus saja termangu di mejanya.
Belanja kedokteran
Senin sore, Komisaris dan Suzuki bertemu lagi di restoran dekat Taman Vondel. Mereka duduk di tempat yang sama ketika mereka bertemu dua hari sebelumnya. “Saya punya empat berita penting buat Profesor,” kata Komisaris.
“Hmmm. Boleh saya tahu?” tanya Suzuki sambil menyesap kopi. Lewat ujung cangkirnya, ia memandang bangau-bangau yang beterbangan di Taman Vondel di depannya.
“Dokter Hensens, ahli forensik kami bilang, mayat Koichi dipotong-potong oleh orang yang mengerti anatomi tubuh manusia,” kata Komisaris.
“Benarkah?” Mata Suzuki membeliak. “Lalu?”
“Ajun Komisaris Grijpstra menemukan data pembelian seperangkat alat-alat kedokteran oleh seorang mahasiswa Jepang minggu lalu,” lanjut Komisaris.
Suzuki bangkit dari kursinya. Ia berdiri tegak seperti bangau yang melihat kelebat ikan di depannya, “Lalu?”
“Dugaan Anda benar. Kami meminta keterangan pada Tadao. Dia tidak bisa mengelak. Rupanya, dia sudah lama ingin mengepakkan sayapnya ke tempat yang lebih tinggi. Ia berharap menjadi ahli waris Anda, Profesor!”
Suzuki hampir saja memuntahkan kopi yang baru ia sesap. Ia menarik napas panjang, “Hmmm ... Dia memang mahasiswa yang cerdas. Bahkan jauh lebih cerdas dari yang saya kira. Terus?”
“Amsterdam akan mendapat tamu kehormatan lagi, seorang guru besar kedokteran dari Kyoto: Profesor Sakai. Tampaknya, dia juga ingin Anda menebus kembali rumah dan saham-sahamnya,” sambung Komisaris.
Suzuki hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya.
Komisaris diam. Ia hanya memandang kerutan di kantung mata Suzuki yang membuat dia tampak tua dan lelah.
“Bagaimana sekarang perasaan Anda, Tuan Suzuki? Tampaknya, Anda perlu lebih berhati-hati mencari ahli waris,” kata Komisaris menggoda.
Suzuki diam saja. Ia mengangkat pelan-pelan kedua lengannya. Dengan jiwa seekor bangau yang merasuk ke dalam raganya, ia mengepak-ngepakkan kedua lengan. Sementara itu di Pulau Bangau, Kyoto, ratusan bangau mengepak-ngepakkan sayapnya, terbang meliuk-liuk bebas di angkasa.
Baca Juga: Tewasnya si Bajingan
" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567710/alat-kedokteran-itu-berbicara" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668195603000) } } }