Intisari Plus - Sekelompok bandit asal Polandia meresahkan warga Prancis. Polisi memburu mereka dengan bantuan mantan perwira asal Polandia.
--------------------
Empat tahun terakhir ini sebuah gerombolan tak dikenal yang terdiri atas orang asing melakukan perampokan terhadap lima farm (areal pertanian) di Prancis Utara. Setiap kali dengan modus yang sama.
Yang jadi sasaran selalu farm yang terpencil dan dikelola oleh orang tua. Tindak kejahatan itu pun selalu terjadi pada malam hari pasaran. Korban yang diincar selalu petani yang habis panen sehingga memiliki banyak uang. Mereka membunuh siapa saja, termasuk anak-anak. Model tumpas habis itu membuat mereka sulit dikenali.
Dalam setiap kasus, para tetangga korban melihat sebuah mobil dengan bak terbuka. Seorang bocah berusia 12 tahun mengaku pernah melihat seorang laki-laki bermata satu. Yang lain bilang, mereka memakai topeng hitam. Tapi yang pasti, setiap korban digorok lehernya.
Laporan dari kelompok pekerja tambang asal Polandia di Lille pun masih kabur. Menurut para pekerja itu, mereka adalah geng Stan si Pembunuh. Namun, ketika polisi menanyai para pekerja tambang itu satu per satu, tak ada yang mengaku pernah mendengar tentang itu.
Pada peristiwa tindak kejahatan di dekat Rheims, seorang gadis pelayan yang tidur di loteng sempat lolos. la orang pertama yang selamat. Si gadis mendengar para pembunuh itu berbicara bahasa Polandia. Melalui sebuah lubang, ia sempat melihat para penjahat memakai topeng. Salah satu dari mereka matanya cuma satu, sedangkan satunya lagi - yang badannya besar - mukanya berbulu. Karena itulah polisi menjuluki mereka si “Berewok” dan “Mata Satu”.
Dua kali coba bunuh diri
Berbulan-bulan kemudian tak terjadi peristiwa apa-apa sampai salah seorang detektif dari tim pengintaian mendapat informasi penting. Di Hotel Beausejour, di sudut Jl. de Birague, ia mendapati sebuah kelompok yang mencurigakan, termasuk di dalamnya si Berewok dan Mata Satu.
Si Berewok dan istrinya menyewa sebuah kamar secara mingguan tetapi hampir tiap malam mereka memberi tumpangan menginap kepada beberapa kawan senegaranya.
Hari berikutnya sebuah koran memuat temuan itu. Sehari setelah itu Inspektur Maigret menerima surat dengan tulisan tangan: Anda tidak akan pernah menangkap Stan. Awas. Sebelum Anda mendapatkannya, ia akan membunuh banyak orang.
Maigret yakin, isi surat itu tidak bohong.
“Hati-hati,” nasihat atasannya. “Jangan buru-buru melakukan penangkapan. Orang yang sudah menggorok 16 leher dalam empat tahun, tidak akan ragu-ragu memuntahkan peluru jika terdesak.”
Itu sebabnya Janvier ditugaskan menyamar sebagai pelayan di Kedai Barrel of Burgundy, di seberang Jl. de Birague. Lukas menyamar sebagai kakek yang tinggal di seberang Hotel Beausejour. Mereka melakukan pengintaian.
Tiga bulan berlalu sampai Michael Ozep muncul. Pertemuan pertamanya dengan Maigret terjadi empat hari yang lalu. Ia mendatangi markas besar dan memaksa bertemu inspektur. Begitu masuk kantor inspektur, ia mengentakkan kaki, membungkuk, dan merentangkan tangannya, lalu berkata, “Michael Ozep, mantan perwira Angkatan Bersenjata Polandia, sekarang guru senam di Paris ....”
Si Polandia itu terus nyerocos bicara. Ia menjelaskan dirinya berasal dari keluarga kaya yang tidak dapat kembali ke negerinya untuk mengambil kekayaannya. Ia sangat putus asa karena hingga kini tak bisa menyesuaikan diri dan hidup menderita.
“Tahu tidak, Tuan Maigrette, saya telah memutuskan untuk bunuh diri.”
“Gila orang ini,” pikir Maigret dalam hati.
“Saya sudah mencobanya tiga minggu yang lalu dengan terjun ke Sungai Seine, tapi petugas memergoki lalu menarik saya keluar.”
Maigret masuk ke ruangan sebelah lalu menelepon regu penjaga sungai untuk mengecek. Ternyata cerita itu benar.
“Enam hari kemudian saya coba melakukan lagi dengan gas, tapi tukang pos datang membawa surat dan membuka pintu. Saya sungguh ingin mati saja. Saya sudah tak berharga. Karena itu saya pikir Anda perlu orang semacam saya.”
“Untuk apa?”
“Membantu menangkap Stan si Pembunuh.”
Maigret mengerutkan dahi. “Kau mengenalnya?”
“Tidak. Saya hanya mendengar. Sebagai orang Polandia saya marah kalau bangsa saya melanggar hukum di negeri orang. Saya akan senang kalau melihat Stan dan gengnya tertangkap. Dalam penangkapan pasti ada korban. Lebih baik yang mati itu saya, sebab saya memang sudah kepingin mati.”
Maigret hanya bisa mengatakan, “Tinggalkan alamatmu. Saya akan tulis surat.”
Michael Ozep tinggal di Jl. des Tournelles, tak jauh dari Jl. de Birague. Menurut laporan detektif yang melakukan pengecekan, semua cerita Ozep tentang dirinya memang benar.
Meski demikian, lewat surat resmi Maigret tetap menolak tawaran jasanya. Sejak itu masih dua kali lagi Ozep datang ke markas, minta bertemu Inspektur Maigret.
Tahu-tahu pagi itu, Ozep duduk di meja Maigret, di depan kedai Barrel of Burgundy saat sang inspektur sedang melakukan pengecekan rutin.
“Saya ingin membuktikan pada Anda, Tuan Maigrette, bahwa saya bisa dimanfaatkan. Saya telah mengikuti Anda selama tiga hari hingga saya dapat menyebut apa saja yang Anda lakukan selama itu. Saya tahu pelayan yang baru saja membawakan anggur itu anak buah Anda dan satu lagi di jendela di seberang sana.”
“Anda bukan orang Polandia, Tuan Maigrette. Saya sungguh ingin membantu Anda sebab saya tak ingin nama baik negeri saya ternoda.”
Ozep terus mengoceh, berusaha meyakinkan Maigret bahwa jasanya diperlukan, sampai akhirnya Maigret tak tahan lagi.
“Dengar, Ozep.”
“Ya, Tuan Maigrette?”
“Kalau kamu terlihat lagi di sekitar jalan ini, kamu saya tangkap!”
“Anda menolak tawaran yang saya ...?”
“Pergi atau saya tangkap sekarang juga di sini!”
Ozep berdiri, mengentakkan kaki, membungkuk, dan pergi dengan baik-baik. Maigret melirik salah satu detektif yang berada di dekatnya lalu memberi isyarat agar mengikuti si guru senam aneh.
Janvier yang sedari tadi sudah menantikan kesempatan segera menyampaikan pesan. “Lukas baru saja menelepon. la melihat ada beberapa pucuk senjata di kamar itu. Semalam ada lima orang Polandia tidur di kamar sebelah dan pintu di antara kedua kamar itu dibiarkan terbuka. Beberapa di antara mereka tidur di lantai ... siapa orang yang bercakap-cakap dengan Anda tadi?”
“Bukan siapa-siapa .... Berapa yang tidur di Iantai?”
Maigret pulang ke markas. Ternyata Ozep sudah ada di sana.
Hidup foya-foya
Maigret menambahkan berbagai informasi yang diperoleh dalam minggu pengintaian. Laporan sebelumnya menyebutkan, geng itu terdiri atas empat atau lima orang. Tapi mungkin mereka juga punya kaki tangan yang tugasnya menyelidiki farm dan pasar calon sasaran. Enam atau tujuh orang, sesuai dengan jumlah orang yang ada di Jl. de Birague itu.
Hanya tiga orang yang menyewa kamar secara teratur: Boris Soft, yang dijuluki polisi sebagai si Berewok, sepertinya ia suami wanita berambut pirang itu; Olga Tzerewski, 28 tahun, kelahiran Vilno. Sasha Vorontsov, dikenal sebagai si Mata Satu. Boris si Berewok dan Olga tinggal sekamar. Sasha si Mata Satu di kamar sebelahnya.
Wanita muda itu berbelanja setiap pagi. Si Berewok jarang keluar, sehari-hari cuma tidur-tiduran dan membaca. Mata Satu sering keluar jalan-jalan. la berhenti di bar-bar tapi tak pernah berbicara dengan siapa pun.
Sedangkan yang lain datang dan pergi dalam rombongan empat atau lima orang. Malam hari terkadang mereka tidur di lantai. Ini bukan hal aneh di banyak hotel kelas bawah. Mereka bergabung untuk menyewa kamar bersama-sama.
Tentang mereka yang datang dan pergi itu, Maigret punya beberapa catatan: si Kimia, disebut begitu karena ia pernah bekerja di pabrik bahan kimia, biasa berjam-jam menyusuri jalan-jalan di Paris untuk mencari nafkah. Si Bayam, dinamai demikian karena suka memakai topi hijau, yang keluar malam hari sekadar mendapatkan uang tip dengan membukakan pintu mobil di depan deretan bar di Montmartre. Si Gendut, laki-laki bertubuh kecil tetapi gemuk.
Maigret memandangi catatan itu lalu menuliskan lagi rincian yang penting, “Mereka seperti pendatang yang tak punya uang dan bekerja serabutan. Tapi di kamar-kamar itu selalu tersedia vodka, terkadang makanan berlimpah. Mungkin geng itu tahu sedang diawasi tapi pura-pura tak tahu. Jika salah satu dari mereka adahh Stan, tentulah si Berewok atau Mata Satu.”
la membawa laporan itu ke atasannya.
“Tidak ada yang istimewa. Saya yakin bandit itu mengenali salah satu dari kita dan mereka menikmatinya. Mereka keluar-masuk hotel dengan enaknya ....”
“Kamu punya rencana?”
“Begini. Saya sedang menunggu peristiwa penting. Kalau peristiwa itu betul terjadi, segalanya sudah siap, saya bisa mengambil manfaat.”
“Jadi, kamu menunggu sebuah ... peristiwa?” Atasannya tersenyum. la memahami anak buahnya ini.
“Saya yakin, mereka memang geng Stan si Pembunuh. Yang ingin saya ketahui, kenapa Stan menulis surat pada saya? Mungkin cuma mulut besar. Para pembunuh boleh dikata punya kebanggaan profesi. Tapi siapa di antara mereka adalah Stan? Mengapa memakai nama samaran yang lebih berbau Amerika daripada Polandia?”
“Saya butuh waktu sebelum membuat kesimpulan. Ini baru sebuah awal .... Dua atau tiga hari terakhir ini saya mulai menangkap kondisi kejiwaan mereka. Sangat berbeda dengan bandit Prancis. Mereka butuh uang, bukan untuk meninggalkan negeri ini, tapi untuk makan-minum, tidur atau tidur-tiduran, merokok, bergosip, dan minum vodka. Setelah melakukan tindak kejahatan, mereka hidup seperti itu sampai uangnya habis lalu merampok lagi. Kini saya dapat merasakan hal itu. Saya sedang menunggu. ‘Peristiwa’ itu bahkan sudah di sini.”
“Di mana?”
“Di ruang tunggu. Laki-laki yang memanggil saya ‘Maigrette’ dan ingin membantu melakukan penangkapan kendati taruhannya nyawa. Menurut dia, itu cuma cara lain untuk bunuh diri.”
“Sinting?!”
“Bisa jadi. Atau mungkin dia kaki tangan Stan yang memakai cara itu agar bisa memantau apa yang sedang kita kerjakan.”
“Akan kau terima tawarannya?”
“Saya kira begitu.” Maigret beranjak ke pintu.
Malu bertemu wanita
“Duduklah,” kata Maigret. “Langsung saja, apa kamu masih tetap dengan rencanamu untuk mati?”
“Ya.”
“Kamu mau kalau saya minta menemui Mata Satu lalu menembak kakinya?”
“Ya. Tapi saya harus dibekali pistol.”
“Bagaimana kalau saya menyuruhmu menemui si Berewok atau Mata Satu dan bilang pada mereka, kamu punya informasi penting yaitu bahwa polisi akan menangkap mereka?”
“Senang sekali. Saya akan menunggu sampai Mata Satu lewat di jalan itu dan akan saya lakukan tugas saya.”
“Baik. Saya akan memberimu tugas. Sebentar lagi kita pergi bersama ke Jl. Saint Antonie. Saya akan tunggu di luar. Kamu naik ke kamar itu dan cari saat wanita itu sedang sendirian. Katakan padanya, kamu orang Polandia, kebetulan mendengar kabar kalau polisi akan menyerbu hotel malam ini.”
Ozep terdiam.
“Kamu takut?”
“Tidak. Hanya ... saya pemalu terhadap wanita. Mereka itu pandai, jauh lebih pandai dari kita laki-laki. la akan tahu kalau saya bohong. Kalau ia tahu saya bohong, muka saya merah. Kalau muka saya merah ....”
Maigret diam, mencoba memahami penjelasan aneh itu.
“Saya lebih baik bicara dengan laki-laki saja. Dengan orang yang berewokan itu atau siapalah.”
Maigret tidak menjawab.
“Saya sedih. Anda justru minta yang ....”
“Lupakan saja.”
“Apa?”
“Kubilang, lupakan .... Di mana kamu kenal Olga Tzerewski, wanita itu?”
“Saya tidak mengerti maksud Anda ...”
“Jawab!”
“Saya tidak kenal. Andai kata kenal, saya akan mengatakannya.”
“Di mana kamu kenal dia?”
“Sumpah, Tuan Maigrette, saya…”
“Di mana kamu kenal dia?”
“Mengapa Anda tiba-tiba bersikap begitu pada saya?”
“Sudahlah, jangan banyak bicara.”
“Tuan, tolonglah!”
“Aku minta kamu pergi, temui wanita itu dan katakan padanya kami akan melakukan penggerebekan malam ini.”
“Kalau saya menolak?”
“Aku tak mau lihat tampangmu lagi.”
“Anda sungguh akan menangkap mereka malam ini?”
“Ya.”
“Oke, saya pergi!”
“Ke mana?”
“Menemui wanita itu.”
“Sebentar! Kita pergi sama-sama.”
“Lebih baik saya pergi sendiri. Kalau salah satu di antara mereka melihat kita, nanti ketahuan kalau saya membantu polisi.”
Tanpa buang waktu Maigret bergegas turun tangga dan meloncat masuk taksi.
“Sudut Jl. de Birague dan Jl. Saint-Antonie, cepat saja.”
Mengintip kehidupan orang lain
Sore itu cuaca panas. Maigret turun dari taksi lalu masuk ke rumah di sudut jalan itu. Di lantai dua ia membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Ia mendapati Lukas duduk di dekat jendela, masih sebagai orang tua.
“Ada kabar baru, inspektur?”
“Apa sudah ada orang rumah itu yang lewat?”
Kamar itu dipilih karena posisinya strategis; kedua kamar di Hotel Beausejour yang dihuni orang-orang Polandia itu mudah terlihat.
Dalam cuaca yang panas itu semua jendela dari kedua kamar itu terbuka, menampakkan pemandangan seorang gadis sedang tidur di ranjang.
“Wow, Lukas. Sepertinya kau kebagian pekerjaan yang tidak terlalu menjemukan.”
“Saat ini ada dua orang di kamar itu. Laki-laki itu sedang berpakaian. Seperti biasa ia tidur-tiduran sepanjang pagi.”
“Itu si Berewok?”
“Ya. Ada tiga orang saat makan siang: si Berewok, si wanita, dan Mata Satu. Mata Satu pergi setelah makan. Lalu si Berewok beranjak dan berpakaian ....Ya! Ia memakai baju bersih. Ini jarang terjadi.”
Maigret berjalan mendekati jendela. Si lelaki berewok itu sedang memakai dasi. Tampak bibirnya bergerak saat di depan cermin. Di belakangnya si wanita beberes, mengumpulkan kertas-kertas, mematikan kompor, membersihkan sebuah foto di dinding dari debu.
“Andai kita tahu apa yang mereka bicarakan!” Lukas mendesah.
“Seharusnya kita punya seorang pembaca bibir yang bisa berbahasa Polandia,” kata Maigret.
Sungguh pengalaman aneh berada dalam kamar seperti itu, mengintip kehidupan orang, mengamati gerak-gerik mereka.
“Sebentar! Si Berewok mau pergi.”
Tak ada cium selamat jaIan di seberang sana. Laki-laki itu menghilang dari pandangan, sesaat kemudian muncul di trotoar berjalan menuju Place de la Bastille.
Sementara wanita itu mengambil peta dari laci dan menggelarnya di atas meja.
Dari atas mereka melihat Ozep muncul. Dia tampak berjalan ragu-ragu, wara-wiri di trotoar, sementara detektif yang membuntutinya pura-pura hendak membeli ikan di kedai di Jl. Saint Antonie.
“Kamu tahu apa yang dia cari?” tanya inspektur pada Lukas.
“Laki-laki kecil itu? Tidak.”
“Ia mencari saya. Ia bilang saya harus ada di sekitar sini dan kalau berubah pikiran ....”
Terlambat. Michael Ozep sudah masuk ke hotel itu. Maigret dan Lukas bisa membayangkannya. Ozep naik tangga mencapai lantai satu…
“la masih ragu-ragu,” kata Maigret. Seharusnya pintu sudah dibuka. “Ia sampai di depan pintu. la akan mengetuk. la mengetuk ... lihat!”
Si gadis pirang beranjak lalu memasukkan peta ke laci meja sebelum berjalan ke pintu. Beberapa saat Maigret dan Lukas tidak melihat apa-apa. Kedua orang itu berada di tempat yang tak terlihat. Tiba-tiba wanita itu muncul. la buru-buru mendekati jendela, menutupnya, lalu menarik gorden.
Lukas berpaling ke inspektur dengan senyum penuh tanda tanya. “Nah, ini!” la tertawa. Tetapi senyumnya langsung pudar begitu melihat Maigret tampak tidak peduli dengan peristiwa itu.
“Jam berapa sekarang, Lukas?”
“Sepuluh lewat tiga menit.”
“Menurut kamu, apa ada kemungkinan salah satu anggota geng pulang ke hotel satu jam mendatang?”
“Saya tidak tahu pasti. Mungkin si Bayam, kalau ia tahu si Berewok pergi. Anda tampak tidak suka.”
“Saya tidak suka cara dia menutup jendela.”
“Anda mencemaskan si kecil Polandia?”
Maigret diam saja.
Tewas digorok
“Jam berapa, Lukas?”
“Dua puluh lewat tiga menit. Anda mau memeriksa apa yang terjadi?”
“Belum. Teleponlah Pak Direktur dan katakan saya minta dikirim 20 orang pasukan bersenjata, segera. Kepung Hotel Beausejour dan suruh tunggu aba-aba dari saya.”
“Anda merasa akan terjadi apa-apa?” tanya Lukas.
Pandangan Maigret terus tertuju ke jendela dengan gorden beludru merah tua itu. Ketika kembali, Lukas mendapati inspektur masih di tempat yang sama dengan dahi berkerut.
Tiba-tiba Maigret mengangkat alis matanya. “O, ya, kalau gadis itu sedang bersama laki-laki, apa ia menutup jendela?”
“Tidak pernah.”
“Kalau begitu ia tidak curiga ada kamu di sini.”
“Gadis itu mungkin menganggap saya hanya orang tua yang bodoh saja.”
“Kalau begitu, bukan gadis itu yang punya ide menutup jendela tetapi orang yang masuk itu.”
“Ozep?”
“Ozep atau siapa pun. Orang yang masuk itu pasti menyuruh dia menutup jendela dulu sebelum muncul di depan si gadis.”
Maigret tiba-tiba memungut topinya di kursi, mengosongkan kepala cangklong dengan telunjuknya.
“Mau ke mana, Bos?”
“Menunggu pasukan kita tiba di sini.... Lihat! Dua polisi ada di dekat halte bus. Beberapa di sebelah taksi yang diparkir. Kalau saya berada di kamar itu selama lima menit dan belum membuka jendela, kalian masuk saja.”
“Sudah bawa senjata ...?”
Beberapa saat kemudian Lukas melihat Maigret menyeberang jalan. la juga melihat Detektif Janvier memperhatikan Maigret. Tak berapa lama, jendela di seberang jalan itu terbuka. Maigret memberi tanda agar Sersan Lukas bergabung.
Lukas berjalan menuju hotel itu. la masuk ke kamar tetapi langkahnya terhenti ketika menemukan mayat wanita dengan kaki terpentang. Leher wanita itu digorok, seperti korban-korban Stan lainnya. Darah berceceran di mana-mana.
Gambar yang tergantung di dinding itu ternyata foto Olga.
“Apakah ini ulah Ozep?” tanya Lukas.
Maigret mengangkat bahu, diam terpaku di tengah ruangan.
“Apa ciri-ciri Ozep perlu saya beri tahukan pada kawan-kawan untuk mencegah dia meninggalkan hotel? Saya akan menaruh orang di atap, kalau-kalau ....”
“Lakukan.”
“Saya perlu menghubungi Direktur?”
“Sebentar saja.”
Bukan pekerjaan mudah untuk berbicara dengan Maigret dalam kondisi seperti ini: ia merasa tolol telah mengerahkan sejumlah besar pasukan bersenjata ketika semuanya sudah terlambat.
“Apa anggota geng yang kembali boleh saya tangkap?”
Maigret mengangguk acuh tak acuh. Lukas pun keluar.
Ada yang tidak klop
“Di mana Maigret?” tanya inspektur kepala kepada Lukas ketika turun dari mobil.
“Di kamar nomor 19 lantai dua.” Inspektur kepala itu mendapati Maigret duduk di kursi di tengah ruangan, dua langkah dari mayat wanita itu.
“Oke, Maigret! Tampaknya kita dalam kesulitan!”
“Ya.”
“Jadi, si pembunuh yang terkenal itu bukan siapa-siapa melainkan pria yang menawarkan jasanya pada kamu! Harus diakui, Maigret, kamu terlalu gampang percaya; Ozep itu mencurigakan ....”
Kening Maigret berkerut dan rahangnya menegang.
“Menurut kamu, ia tidak berusaha keluar dari hotel ini?”
“Saya yakin tidak,” kata Maigret.
“Kamu belum menyelidiki hotel ini?”
“Belum.”
“Kamu mengira ia akan membiarkan dirinya ditangkap dengan mudah?”
Maigret mengalihkan pandangannya dari jendela ke direktur.
“Ada sesuatu dalam kasus ini yang tidak klop. Kalau Ozep itu Stan, tidak ada alasan mengapa ia ....” suara Maigret bergetar.
“Saya akan menengok dulu apa yang dikerjakan orang kita di luar sana,” kata inspektur kepala. Mereka menangkap si Bayam. Ketika diberi tahu kalau Olga tewas terbunuh, mukanya langsung pucat; sebaliknya, ia cuek saat mereka bicara tentang Ozep.
Setengah jam kemudian Mata Satu pulang dan ditangkap di depan pintu hotel. Ia mengakui dengan tenang; tetapi ketika diberi tahu tentang kematian wanita itu, ia mencoba melepaskan diri dari borgol dan melompat ke tangga.
“Siapa yang melakukannya?” teriak Mata Satu. “Siapa pembunuhnya?”
“Ozep alias Stan si Pembunuh.”
Laki-laki itu langsung terdiam seperti kena sihir. Keningnya berkerut saat ia berkata, “Ozep?”
“Kau tidak ingin mengatakan kalau kau tidak tahu nama bos kamu yang sebenarnya ‘kan?” Inspektur kepala sendiri yang melontarkan pertanyaan itu di koridor.
Anggota geng yang lain, si Kimia, datang. Ia menjawab semua pertanyaan dengan nada bingung sepertinya tidak pernah mendengar tentang wanita itu, Ozep, maupun Stan.
Maigret masih di atas dengan mayat itu. Ia mencoba mencari kunci untuk memahami apa yang telah terjadi.
“Baik ....” ia bergumam ketika Lukas mengatakan si Berewok juga sudah ditangkap.
Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya. “Kamu perhatikan tidak, Lukas? Ada empat orang yang ditangkap, tapi tak seorang pun melakukan perlawanan berarti. Sedangkah orang seperti Stan ....”
“Tapi karena Stan adalah Ozep ...,”
“Kamu sudah menemukannya?”
“Belum.”
“Dengar, Lukas Mata Satu, si Bayam maupun si Berewok bukan Stan. Tapi aku yakin Stan masih ada di hotel ini.”
Lukas diam saja membiarkan inspektur bicara.
“Jika Ozep itu Stan, ia tidak punya alasan ke sini untuk membunuh kaki tangannya. Kalau ia bukan Stan…”
Tiba-tiba Maigret bangkit, menghampiri dinding dan mengambil foto Olga. Ia merobek pita yang membingkainya. Tampak sederet kalimat di atas gambar wajah itu. Bunyinya: PERKARA KRIMIMAL YANG SUNGGUH KISAH NYATA; sedang yang di bawah: SI CANTIK POLANDIA DAN TEROR KELAS TINGGI.
Maigret tersenyum. “Kebanggaan,” katanya. “Mereka membeli majalah yang memuat foto itu di kios buku, lalu perempuan itu membingkainya.”
“Saya pernah melihat wajah perempuan itu. Garis besar kasusnya saya masih ingat. Beberapa klipingnya masih saya simpan. Di Amerika Tengah bagian barat, empat atau lima tahun yang lalu sebuah geng menyerang farm yang terpencil, menggorok leher... Persis seperti kasus kita ... dan pemimpin mereka wanita. Pers Amerika senang dapat mengungkap kekejiannya.”
“Lalu Stan ...?”
“... adalah Olga. Kepastiannya, tunggu satu jam lagi. Kini saya tahu apa yang saya cari di kantor. Mau ikut, Lukas?”
“Tapi Ozep?” tanya Lukas, setelah mereka duduk di taksi.
“Saya berharap menemukan sesuatu tentang dia. Kalau ia membunuh perempuan itu, mestinya ia punya motif. Dengar, Lukas, ketika saya menyuruhnya pergi menemui anggota geng yang lain, ia segera setuju. Tetapi waktu saya suruh menemui wanita itu, ia menolak. Tapi saya paksa dia. Itu artinya, anggota geng yang lain tidak mengenalnya, tapi wanita itu mengenalnya.”
Setengah jam kemudian kliping yang mereka cari ketemu.
“Baca ini! Pers Amerika memang bombastis - Si Iblis Wanita .... Si Polandia Maut ... Gadis, 23, Geng Penggorok Kepala ....”
Pers suka dengan ulah nekat gadis Polandia itu dan banyak memuat fotonya yang menarik. Pada usia 18 tahun Stephanie Polinskaja sudah dikenal oleh polisi Warsawa. Waktu itu ia berkenalan dengan seorang pria, lalu menikah dengan dia. Suaminya mencoba meredam sifat jahat dalam dirinya. Mereka punya seorang anak. Suatu hari sepulang kerja, ia menemukan istrinya minggat, membawa semua barang berharga. Kejinya, anaknya tewas dengan leher digorok.
“Kamu tahu siapa laki-laki itu?” tanya Maigret.
“Ozep?”
“Ini foto Ozep. Paham? Stephanie, nama samarannya Stan, berkeliaran di Amerika. Bagaimana ia melarikan diri dari penjara Amerika, saya tidak tahu. Kemudian ia melarikan diri ke Prancis, hidup di tengah-tengah bandit, dan kembali ke profesi lamanya.”
“Suaminya tahu dari surat kabar kalau istrinya ada di Paris dan polisi sedang mengikuti jejaknya. Apakah Ozep ingin menyelamatkan istrinya sekali lagi? Saya ragu. Saya lebih cenderung Ozep ingin memastikan bahwa perempuan yang telah membunuh anaknya itu tidak dapat menghindar dari hukuman. Itu sebabnya Ozep menawarkan jasanya. Ia tidak berani bekerja sendiri, ia butuh polisi untuk membantu. Kemudian malam ini saya memaksa tangan dia ....”
“Bertemu muka dengan mantan istrinya. Apa yang dapat ia lakukan? Membunuh atau dibunuh! Perempuan itu tentu tidak ragu-ragu menghabisi satu-satunya orang di luar geng yang dapat menjadi saksi perbuatan kriminalnya.”
“Karena itu Ozep membunuhnya. Mau tahu apa yang saya pikirkan? Saya berani bertaruh, Ozep pasti akan ditemukan di hotel mungkin dalam keadaan terluka. Sekarang kamu boleh kembali ke hotel dan ....”
“Percuma!” ini suara Pak Inspektur Kepala. “Ozep sudah gantung diri di kamar kosong di lantai lima.” (Georges Simenon)
Baca Juga: Rambut Palsu Buka Kartu
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553606048/dihabisi-mantan-suami" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670683547000) } } [1]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355874" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-20220701064028.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Sebuah kisah yang mengerikan dari penjara koloni Prancis, Pulau Setan. Keluar dari kamp mudah, tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan ..." ["section"]=> object(stdClass)#76 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-20220701064028.jpg" ["title"]=> string(37) "Tak Ada Jalan Keluar dari Pulau Setan" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:40:40" ["content"]=> string(26743) "
Intisari Plus - Sebuah kisah yang mengerikan dari penjara koloni Prancis, Pulau Setan. Keluar dari kamp mudah, tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan ...
------------------
Di masa lampau, ribuan tahanan dari Prancis dikirim ke penjara di French Guiana, yang juga dikenal dengan nama Pulau Setan. Tokoh utama dalam cerita berikut fiktif belaka, namun semua kejadian dan situasi yang digambarkan ditulis berdasarkan kisah nyata yang benar-benar terjadi di penjara.
Baiklah, aku memang penjahat. Aku banyak melakukan pembobolan. Kami melakukan tindak kriminal di Nice pada tahun 1905. Pemiliknya sedang berlibur di atas kapal pesiar. Barang-barang yang mereka miliki ... perak, jam emas di sebuah mantel, dan lukisan-lukisan itu ... Renoir, Rembrandt, dan yang modern itu Picasso.
Aku tidak terlalu paham tentang itu, temanku Marie Jean mengerti. Dan ia tahu betul siapa yang mau membeli semua itu tanpa membuka mulut. Orang-orang yang menakutkan, kebanyakan, tapi mereka membayar dalam jumlah besar. Kami menghasilkan berjuta-juta Franc dari pekerjaan tersebut. Peristiwa itu bahkan masuk koran.
"Lukisan Berharga Hilang Dicuri" begitu bunyi judul artikel di Le Figaro,
Setelah itu kami pensiun dan menjadikannya sebagai masa lalu. Cara hidup yang nyaman. Namun, salah seorang dari grup kami mabuk di bar dan membeberkan semuanya. Selanjutnya, tahu-tahu ia sudah berada di kantor polisi. Para polisi memukulinya dan akhirnya ia menceritakan segalanya.
Pengadilan berlangsung brutal. Polisi menggambarkan kami sebagai penjahat kelas kakap, kejam sekali. Sebenarnya, kami tidak seperti itu. Memang kami penjahat, tapi kami tidak pernah membunuh siapa pun, dan kami tidak pernah mencuri dari siapa pun yang tidak terlalu kaya raya.
Mereka mengirim kami ke penjara koloni Amerika Selatan. Kau belum pernah melihat penjahat sebenarnya, jika belum pernah ke French Guiana. Sebagian orang menyebutnya Pulau Setan ... Penjara tersebut adalah penjara paling mengerikan, busuk, dan tempat paling jahat di permukaan bumi.
Di akhir persidangan, kami dijatuhi hukuman sepuluh tahun masing-masing, ditambah sepuluh tahun lagi sebagai "koloni". Begitulah hukum. Kau jalani masa hukumanmu, lalu kau tinggal di daerah itu dalam waktu yang sama persis dengan masa hukumanmu.
Tak seorang pun dari mereka yang berakal sehat mau tinggal di lubang itu dengan senang hati. Itulah sebabnya mereka mengubahnya menjadi penjara koloni. Prancis menguasai negara itu pada tahun 1817. Tak ada yang mau tinggal dan hidup di sana, jadi mereka mengirim narapidana saja.
Istriku, Bernice, aku merelakannya. Kami bercerai. Banyak pasangan yang melakukannya bila sang pria dikirim ke sana, meskipun mereka masih saling mencintai. Aku mengucapkan sampai jumpa lagi padanya tahun 1907, tepat sebelum mereka mengirimku. Kami tak pernah berpikir akan bertemu lagi.
Putra-putraku, mereka akan menjadi laki-laki dewasa saat ini ... Aku takkan berani menemui mereka. Mereka tidak akan menyerahkanku pada polisi, tapi mungkin saja seorang di antaranya akan melakukannya. Lebih baik aku bunuh diri daripada kembali ke sana.
Perjalanan ke sini hampir membunuhku. Mereka mengirimkan perahu, Martinière, dua kali setahun. Mereka mencukur rambut kami, memberikan pakaian bergaris-garis ini pada kami, dan menggiring kami ke pelabuhan dengan ujung bayonet, kemudian mengurung kami di sebuah kandang di bawah dek, sekandang sembilan puluh orang. Sangat mengerikan. Kami diberi makan dengan timba dan disiram dengan air laut setiap pagi.
'Teman-temanku" ... wah banyak! Pencuri, penipu, penjahat kejam, pembunuh. Bahkan aku ingin mengirim mereka ke alat pemenggal kepala. Aku pergi bersama René dari grup kami.
Kami saling menjaga, tidak peduli apa pun yang kami lihat. Pria di sebelah mati tadi malam, tertusuk pisau yang menembus tempat tidur gantungnya. Kami menemukannya di pagi hari dengan mata terbelalak lebar. Kata mereka, uang selundupan sejumlah dua puluh ribu Franc, telah dirampok.
Narapidana lainnya, seorang akuntan, menjadi gila. Ia mulai berteriak-teriak. Para penjaga menyemprotnya dengan air selang dan meninggalkannya menggigil sendirian. Ia jatuh sakit, tidak mau makan dan minum. Tetapi mereka tetap membiarkannya di dalam kandang. Ia meninggal di pagi hari saat kami tiba di sana.
Aku tidak akan melupakan peristiwa itu. Delapan belas hari kami habiskan di atas laut. Tidak ada apa-apa di luar sana kecuali laut yang suram. Lalu, kapal sampai di tepian. Atmosfer terasa berubah saat kami menuju kota St. Laurent.
Bukannya angin laut yang dingin yang kami hirup, melainkan sesuatu yang lebih berat dan membawa penyakit. Angin yang mengisap seluruh kekuatan dari tubuh Angin yang penuh dengan wabah penyakit. Kami segera sadar, kami tiba di neraka.
Sambil berdesak-desakan, aku mencoba melihat ke luar kandang. Sungainya sangat lebar, dan aku dapat melihat tepiannya berjarak kira-kira setengah mil. Hutannya terlihat seperti sebongkah batu emerald, dan takkan ada yang percaya betapa lebatnya hutan itu.
"Aku tidak suka membayangkan ular dan serangga jenis apa yang berkeliaran di dalamnya," kata René.
Banyak burung nuri berbulu merah dan biru yang muncul dari atas pohon dan terbang. Kami melihat seekor elang menukik dari angkasa, kemudian mencengkeram seekor nuri. Semua terjadi tak lebih dari sedetik. Kejadian itu seperti suatu pertanda.
Awak kapal kelihatan mulai sibuk saat kami mendekati St. Laurent. Di sepanjang pelabuhan, tampak kerumunan orang seakan datang untuk menjemput kami. Penjaga toko Cina, tukang rumput, istri, dan anak-anak para penjaga, semua sipir dengan seragam putihnya. Mereka semua menengok ke arah kapal, penasaran melihat siapa yang datang.
Semakin kami mendekat, aku melihat sesuatu yang membuat tubuhku gemetar. Di antara kerumunan itu ada orang-orangan untuk menakuti burung ... kurus kering, buta. Tuhan tolong aku. Mereka seperti mayat hidup dengan pakaian compang-camping itu, seluruh tubuh mereka ditato dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mereka adalah narapidana yang bertahan hidup serta sudah selesai menjalani masa hukuman, dan sekarang mereka menjalani kewajibannya sebagai koloni. Aku membalikkan tubuhku ke René dan menunjuk ke arah mereka. Ia tidak berkata apa-apa, tapi jelas bagiku ia kesulitan menelan air ludahnya.
Mereka menghalau kami keluar dari kapal dan menggiring kami ke penjara yang berada di sisi kanan pelabuhan. Kami berdiri di lapangan utama penjara, di bawah terik matahari yang panas. Ada sebuah alat pemenggal kepala di sudut lapangan. Aku bertanya-tanya dalam hati, berapa kali dalam setahun alat itu melakukan hal yang mengerikan itu.
Kepala penjara sudah menanti kedatangan kami. Ia adalah pria kecil berpakaian serba putih. Kemudian ia naik ke atas podium dan mulai berbicara.
"Kalian semua bajingan yang tak berharga," katanya, "Dikirim ke mari untuk membayar segala kejahatan yang kalian lakukan. Jika kalian bersikap baik, kalian tidak akan mendapat kesulitan. Sebaliknya, kalau kalian bertingkah, kalian ada dalam kesulitan yang tak pernah kalian bayangkan sebelumnya."
Ia berhenti dan melihat alat pemenggal kepala.
"Kebanyakan dari kalian di sini pasti sudah memikirkan rencana untuk kabur. Lupakan saja! Kalian akan punya banyak kebebasan di kamp dan di kota. Kalian akan segera tahu bahwa penjaga sebenarnya di sini adalah hutan dan laut."
Begitulah. Kami digiring ke dalam blok penjara dan dimasukkan ke semacam penampungan. Aku berpisah dengan René, dan itu membuat kami berdua sangat, sangat gelisah.
Minggu-minggu pertama sangat mengerikan, tapi aku cepat menyesuaikan diri. Aku tidak bertubuh besar, tapi kuat. Untuk mendapatkan segala sesuatu, aku harus berkelahi. Orang akan kehilangan selimut jika kau tidak mempertahankannya.
Aku tidak tahu mana yang lebih buruk, malam atau siang hari. Di siang hari para tahanan harus menjalani kerja paksa di hutan, membersihkan ranting dan tanaman menjalar untuk membuat jalan atau membuka peternakan. Sangat melelahkan.
Keringat membuat badan basah kuyup, sementara serangga memakan hidup-hidup. Para penjaga akan memukul atau menendang dengan sepatu mereka yang keras jika napi berhenti sebentar mengatur napas.
Aku juga mendengar cerita orang yang ditembak mati di tempat oleh penjaga. Mereka punya kuasa menentukan hidup atau mati. Tak akan ada yang bertindak jika mereka memutuskan menguburmu hidup-hidup.
Suatu kelompok kerja paksa lebih memilih gantung diri daripada bekerja di bawah pengawasan penjaga yang mereka sebut "Sang Bencana". Beberapa penjaga memang psikopat. Salah seorang teman di penampunganku bernama Henri Bonville, seorang profesor sejarah, yang dikirim ke tempat ini karena membunuh istrinya. Ia memberitahu aku bahwa Raja Napoleon III-lah yang membangun tempat ini pada tahun 1854.
Ketika seorang bawahannya bertanya padanya, "Siapa yang akan Tuan tempatkan untuk menjaga tahanan itu?"
Napoleon menjawab, "Untuk apa? Penduduk di sana lebih kejam dari mereka!"
Ketika malam tiba ... kami dikurung di penampungan. Ruang yang besar, panjang, dan sangat panas. Aku tidak akan bisa melupakan ketegangan orang-orang itu, tapi perkelahian antargeng itulah yang terburuk. Aku menghindari hal itu, tapi tak satu malam pun terlewati tanpa ada yang terbunuh.
Setelah enam bulan René dan aku sudah mengenali tempat ini dengan baik, saatnya kami memutuskan untuk merencanakan sebuah pelarian. St. Laurent, tempat kami berada adalah tempat yang baik untuk itu.
Orang dapat datang dan pergi dengan leluasa sepanjang hari jika tidak sedang bekerja, tapi harus kembali ke kamp di malam hari. Kamp yang paling mengerikan ada di dalam hutan. Setiap narapidana yang dikirim ke dalam sana, tidak pernah keluar lagi.
Tahun 1907, informasi yang beredar di kamp mengatakan bahwa Venezuela adalah tempat yang paling baik untuk dituju. Letaknya di dekat pantai, dan mereka tetap mengizinkan orang tinggal sekalipun mereka tahu yang bersangkutan seorang buronan.
Setidaknya, begitulah kondisinya sampai tahun 1935. Saat itu, angkatan bersenjatanya ingin menggulingkan presiden, jadi mereka membayar seorang buronan untuk membunuh presiden, tapi ia gagal. Jadi, sang presiden memerintahkan untuk memulangkan semua buronan yang ada ke kamp.
Suriname, di dekat French Guiana juga merupakan tempat yang aman, sampai suatu hari seorang buronan membakar sebuah toko yang menolak melayaninya. Sejak saat itu, siapa saja yang berasal dari kamp langsung dipulangkan kembali.
Begitu juga Brasilia, langsung mengirim buronan kembali begitu tertangkap. Namun Brasilia sangat luas, dan sangat mudah menghilang di sana. Argentina juga aman. Banyak pekerjaan untuk orang semacam kami di Buenos Aires. Hanya saja, perjalanan ke sana sangat mengerikan.
Aku dan René berpikir untuk mencoba pergi ke Venezuela. Jadi, kami mengajak dua bersaudara Marcel dan Dedé Longueville. Mereka penjahat bertubuh besar dan bertato. Bukan teman yang ideal memang, tapi sangat berguna jika kau mendapat gangguan.
Kami mengumpulkan uang yang kami bawa atau yang kami hasilkan selama di penjara untuk membeli perahu dari nelayan lokal. Seorang narapidana berkebangsaan Prancis bernama Pascal, dan temannya yang masih berumur delapan belas bergabung dengan kami.
Teman baru lainnya adalah Silvere, mantan pelaut. Ia tidak mengumpulkan uang, tapi ia akan menggunakan kemampuannya berlayar selama perjalanan sebagai gantinya.
Maka di suatu malam di bulan Desember, setelah hampir setahun kami berada di sana, kami berusaha kabur. Kami menyelinap saat jam kerja dan bersembunyi di hutan sampai malam tiba. Sebelum pemeriksaan malam, kami menyelinap ke Sungai Maroni dan naik ke perahu.
Perahunya dalam kondisi baik dengan bekal dan perlengkapan yang komplet untuk perjalanan. Tahap pertama sangat mudah. Arus sungai cukup kencang, jadi kami tidak begitu jauh lagi dari St. Laurent.
Kemudian sungai melebar. Semakin kami mendekati Samudra Atlantik, semakin kuat bau asin air laut. Baunya seperti kebebasan, dan aku sudah tak sabar lagi untuk bebas.
Namun, setiba kami di sana, segala sesuatu berubah menjadi buruk, sangat buruk. Muara Atlantik penuh dengan pasir dan kami terjebak di sana. Dedé menjadi panik dan menikam Silvere sampai mati. René dan aku sadar riwayat kami sudah tamat. Kami tak ingin membahas tentang Longueville bersaudara.
Perahu kami tak bisa bergerak, dan kami tahu sebentar lagi para penjaga akan datang mencari kami begitu mereka sadar kami menghilang. Kami sempat berdebat sengit mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya, dan semua sepakat untuk menuju hutan.
Kami turun dari perahu dan mulai menyeberang menuju tepian dengan air sepinggang. Aku berusaha meraih kotak makanan, tapi ombak besar datang dan menerpaku. Semua makanan hanyut. Dedé ingin membunuh aku di setiap kesempatan, untunglah Marcel bisa menenangkannya.
Hari-hari selanjutnya seperti mimpi buruk. Kami tak dapat menemukan apa pun yang bisa dimakan di hutan, juga terpisah jauh dengan beberapa ekor kepiting di tepi sungai.
Kami kelaparan. Kemudian Pascal berkata, ia dan temannya akan ke dalam pulau untuk mencari apa saja yang bisa dimakan. Kami menunggu, berharap mereka akan kembali dengan sesuatu yang lezat.
Keesokannya Pascal kembali sendiri. Ia mengaku telah kehilangan temannya, tapi nampaknya hal itu sama sekali tidak mengganggunya. Longueville bersaudara pasti akan membunuhmu jika kau mengecewakan mereka, anehnya kali ini mereka seperti memiliki solidaritas tinggi. Mereka pergi mencari pemuda itu. Pascal terlihat agak ketakutan dan terus mengatakan pada mereka tindakan itu sia-sia saja.
Akhirnya, kami segera tahu mengapa Pascal tidak menginginkan mereka pergi. Longueville belum pergi terlalu jauh saat mereka menemukan mayat. Pemuda itu tewas dan beberapa bagian tubuhnya telah dimakan.
Orang bodoh pun bisa menduga Pascal telah membunuhnya. Mereka kembali dan membunuh Pascal di tempat. Malam itu kami sangat kelaparan dan akhirnya memasak bagian kecil tubuhnya. Ya, kami merasa bersalah, tapi ia pantas menerimanya.
Lagipula, jika aku tidak memakannya, aku tidak akan ada di sini dan menceritakan semua ini.
Setelah itu, kami kebingungan. Kami berkeliling-keliling berhari-hari, tidak tahu apa yang harus dilakukan, sampai polisi lokal menangkap kami dan mengirim kami kembali ke kamp.
Selanjutnya aku menjalani dua tahun terburuk dalam hidupku. Keinginan kabur sudah lumrah di sini, kepala tidak akan dipenggal karenanya. Namun bisa berakibat lebih buruk. Mereka menempatkan napi di sel pengasingan. Empat dari lima orang di sana menjadi gila atau mati.
Pemenggal kepala melakukan tugasnya dengan cepat. Kepala napi dipotong hanya sekejap. Kalau tidak, sel pengasingan membunuh orang perlahan-lahan, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari. Siksaan paling kejam yang bisa di bayangkan.
Bisa jadi, seorang napi akan dikirim ke pulau St. Joseph dan dimasukkan ke dalam blok sel yang sempit. Di situ orang bahkan tak dapat merentangkan tangan.
Ada tempat tidur lipat dan pintu dengan lubang seukuran besar kepala, hingga orang bisa menengok keluar. Kesunyiannya sangat menyiksa. Tak ada seorang pun yang bisa diajak bicara. Para petugas memakai sepatu dengan alas lembut agar tidak mengeluarkan suara berisik. Hanya makanan saja yang membantu bertahan hidup. Itu saja.
René dan aku dihukum dua tahun. Ada juga yang lima tahun. Hukuman itu pasti akan membunuhmu sama seperti alat pemenggal kepala atau regu penembak.
Aku menjaga kewarasanku dengan menulis pesan pada narapidana lainnya atau mengusir kelabang yang ada di selku. Aku menghabiskan waktu dengan tidur, memimpikan gadis-gadis, dan negara yang ingin aku kunjungi, dan masa kecilku.
Aku berteman dengan narapidana yang membantu membersihkan blok, dan mungkin merekalah yang menyelamatkan hidupku. Mereka menyelundupkan sebutir kelapa, lima batang rokok setiap harinya.
Kelapa menjagaku tetap sehat, dan rokok menemaniku melewati hari. René juga mendapatkan hal yang sama, tapi ketahuan. Satu setengah tahun tak ada kelapa, tak ada rokok. Lalu ia terkena demam tinggi dan tak pernah sembuh. Ia meninggal satu bulan sebelum ia bebas.
Aku tidak akan pernah melupakan hari saat aku melangkah keluar dari tempat itu. Setelah dua tahun berada di sel sempit, aku bahkan tak sanggup berdiri di hadapan orang banyak.
Aku takut ketika mendengar orang-orang berbicara, apalagi ketika mereka berteriak. Dan ruang terbuka yang luas, sangat membingungkan. Namun, aku tetap berkeinginan kabur.
Kali ini aku lebih hati-hati, dan memilih teman pelarian dengan selektif. Setelah satu tahun, aku sudah selesai mengatur rencana pelarian. Kali ini, kami berlima. Kami membayar nelayan lokal, Bisier des Ages, untuk membawa kami ke Brasilia.
Awalnya, segalanya berjalan lancar. Des Ages menemui kami di tempat yang sudah ia janjikan, kami menyerahkan uangnya. dan kami segera berlayar. Des Ages pelaut yang cukup ulung.
Keesokan paginya kami sudah tiba di Samudra Atlantik. Kelihatannya ia orang baik, pendiam, dan menjaga jarak. la duduk di tempatnya menghisap pipanya. Selanjutnya, di pagi pertama itu, ia memberitahu kami untuk berlayar di dekat pantai, melewati daerah berpasir.
Setelah kami tiba di daerah berpasir, ia menyuruh kami keluar dan mendorong kapal. Jadi, kami turun. Kami terbenam di lumpur sampai selutut. Beberapa waktu kemudian des Ages berhasil menyalakan mesin dan menjalankan perahu beberapa meter ke depan. Kami masih di air, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
la masuk ke dalam kabin, lalu keluar lagi dengan senapan di tangannya. Semua berakhir begitu cepat ... Masih terbayang jelas dalam benakku, ia berdiri di pinggir dek, menghisap pipanya, menjemput kami, tenang, sangat profesional.
Akhirnya ia menghampiriku. Aku hanya bisa berdiri kaku, seperti kelinci yang terkepung ular. Segalanya seperti bergerak lambat.
Satu-persatu orang di sekelilingku berjatuhan di air, dan ia mengarahkan senapannya tepat di depanku dan menarik pemicunya.
Tidak terjadi apa-apa.
Des Ages agak kesal, dan ia memeriksa pengunci senapan dan mengumpat. Aku berbalik dan menyeberang secepat yang aku bisa menuju hutan yang berada di tepian. Aku mengira sebuah peluru akan menembus kepalaku dalam hitungan detik, tapi sepertinya des Ages kehabisan amunisi. Aku bisa mendengarnya tertawa. Tawa yang mengolok-olok.
"Larilah, bajingan kecil," teriaknya.
"Hutan itu cukup untuk menghabisimu."
Namun, kali ini aku beruntung. Saat berjalan di tepi pantai, aku menemukan rakit yang terbuat dari empat tong plastik yang diikatkan pada sepasang tangga.
Orang yang telah menggunakannya juga meninggalkan dayung di sampingnya. Aku segera mengetahui mengapa mereka meninggalkannya. Saat mendorongnya ke laut untuk meninggalkan French Guiana, aku langsung dikelilingi hiu. Namun, semuanya sudah telanjur jauh, aku tak mungkin menyerah.
Hiu-hiu itu mengelilingiku, toh akhirnya mereka bosan juga. Waktu malam tiba, aku hampir mencapai perbatasan Brasilia. Ada sebuah perkampungan kecil di tepi pantai. Aku mencuri sedikit makanan dari sana agar dapat bertahan. Keesokannya aku menyelinap masuk ke Brasilia dan pergi ke Bemen, kota besar terdekat.
Dengan keberuntungan, aku tiba di kota tersebut ketika karnaval tahunan sedang diselenggarakan, dan di jalan sedang ada parade kostum. Aku lewat sebagai pengemis, dan tak seorang pun yang memperhatikan diriku. Setelah itu, segalanya menjadi mudah.
Aku mencopet dompet beberapa orang, lalu memesan kamar hotel. Aku mandi dan membeli pakaian, dan segera mencari pekerjaan di kota. Setelah satu tahun, tabunganku cukup untuk membeli tiket kembali Prancis.
Jadi, di sinilah aku. Kembali ke "rumah". Aku bekerja di toko roti di Paris, di dapur, terhindar dari pelanggan. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil di Jalan St. Dennis, dekat pusat kota.
Aku suka Paris dengan segala kesibukan dan penduduknya, jauh dari rumah lamaku di daerah selatan, sehingga aku tidak akan berjumpa dengan orang yang mengenaliku.
Namun, terkadang aku berpikir bahwa aku tidak bebas sepenuhnya. Aku tidak menikah lagi, aku menjaga jarak dengan orang. Di setiap pojok jalan, aku bertanya-tanya kalau-kalau ada yang mengenaliku dan mengadukan diriku.
Jika aku mendengar suara dari luar apartemenku ketika tidur malam, aku mulai gemetar dan takut akan mendengar ketukan di pintu. Tidak akan ada orang yang datang berkunjung, jadi yang mengetuk pintu pasti polisi. Aku tidak sanggup kembali ke sana lagi.
Perjalanan di dalam Martinière, penghukuman di sel pengasingan, dan tahun-tahun mengeri kan di hutan French Guiana. Aku sudah di sana selama dua puluh dua tahun.
Setelah Pelarian
Antara tahun 1854 dan 1937, lebih dari tujuh puluh ribu narapidana dikirim ke penjara French Guiana. Dari jumlah tersebut, lima puluh ribu di antaranya mencoba untuk kabur, dan satu dari enam orang berhasil.
Pengiriman narapidana dihentikan tepat sebelum Perang Dunia II meletus. Selama perang, suplai makanan dari Prancis berkurang, sehingga para tahanan di koloni tersebut menderita kelaparan. Setelah perang pemerintah Prancis menutup penjara itu dan membawa kembali para tahanan yang bertahan hidup untuk menjalani sisa masa hukuman mereka di Prancis.
Bisier des Ages diadukan oleh buronan yang gagal ia bunuh, sehingga ia ditahan. Ia dihukum dua puluh tahun penjara.
Di sana, ia masih saja membawa sengsara bagi narapidana lainnya. Ia menjadi tahanan yang dipercaya untuk melacak tahanan yang melarikan diri.
Beberapa buku pernah menceritakan kehidupan di penjara French Guiana. Mungkin yang paling terkenal adalah Papillon. Ditulis oleh seorang mantan narapidana bernama Henri Charrière dan diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, dibintangi oleh Steve McQueen dan Dustin Hoffman. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)
" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355874/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-setan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700840000) } } [2]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355916" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/lolos-atau-matijpg-20220701063650.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(138) "Tidak lama lagi, André Devigny, seorang pejuang Prancis, akan menghadapi hukuman mati. Berbekal seutas tali, dia bertekad melarikan diri." ["section"]=> object(stdClass)#80 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/lolos-atau-matijpg-20220701063650.jpg" ["title"]=> string(15) "Lolos atau Mati" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:37:04" ["content"]=> string(18768) "
Intisari Plus - Tidak lama lagi, André Devigny, seorang pejuang Prancis, akan menghadapi hukuman mati. Di bawah kasurnya, seutas tali terkait pada sebuah jepitan yang terbuat dari tiang lampu. Cukupkah semua itu untuk membebaskan dirinya dari penjara Montluc?
---------------------------
André Devigny berbaring di atas tempat tidur dalam sel sempit di penjara militer Montluc di Lyon, Prancis. Hari itu tanggal 20 Agustus 1943. Ia menarik selimut kumalnya untuk menutupi kepalanya, berusaha mendapatkan kehangatan dari bahan tipis tersebut. Cahaya di bawah pintu selnya memberitahunya bahwa hari sudah pagi. Saatnya untuk diinterogasi dan disiksa, sama seperti hari-hari sebelumnya dalam dua minggu ini.
Dalam kantuknya, ia masih bisa mendengar suara-suara. Seisi penjara menjadi hidup. Dari kejauhan, pintu dibanting. Penjaga berteriak. Lalu, suara langkah kaki dan gemerincing kunci-kunci terdengar mendekat. Langkah kaki itu berhenti di depan selnya dan pintu pun dibuka. Saat pintu terbuka, sinar matahari menembus masuk.
Devigny menutup kedua matanya karena silau. Tiga sipir Jerman datang menjemputnya. Salah seorang di antaranya berbicara dengan kasar dalam beberapa kata-kata Prancis yang baru dipelajari di Montluc.
"Keluar. Sekarang. Cepat."
Namun, Devigny tidak dibawa untuk disiksa. Ia dibawa ke hadapan pimpinan Gestapo, Klaus Barbie, dan diberitahu bahwa ia akan ditembak mati beberapa hari lagi. Ia digiring kembali ke selnya dengan tangan diborgol, ditinggal, dan hanya ditemani oleh pikirannya. Ia masih berumur 26 tahun, tapi hidupnya akan berakhir tragis.
Sebenarnya, Devigny tidak kaget dengan kata 'mati'. la merupakan anggota French Resistance (sebuah grup yang terus berjuang melawan pasukan Jerman yang menduduki negeri mereka selama Perang Dunia II). Empat bulan sebelumnya, di bulan April 1943, karena membunuh seorang mata-mata Jerman, ia ditangkap beberapa hari kemudian.
la dibawa ke Montluc. Penjara abu-abu yang muram ini merupakan rumah yang suram bagi banyak aktivis Resistance dan orang Yahudi yang ditahan di sini sebelum mereka dipindahkan ke kamp pembasmian. Tak ada satu pun tahanan yang bisa lolos dari Montluc.
Devigny disiksa oleh Gestapo (agen rahasia Nazi), tapi tidak membocorkan rahasia apa pun. Begitu penangkapnya sadar ia tidak akan membuka mulut, sudah waktunya untuk melenyapkannya. Devigny tidak akan menyerah begitu saja. Namun, kondisinya lemah karena disiksa dan disekap dalam penjara. Bagaimana caranya ia bisa lari dari benteng sekuat itu?
*
Ketika malam tiba, ia mulai menyusun rencananya. Sebuah senyum kecil terkembang di wajahnya. Ia menguasai trik permainan tangan, dan inilah saat yang tepat untuk mempraktikkannya. Tangannya memang diborgol, tapi itu bukan masalah baginya. Ketika tiba di Montluc, seorang tahanan menyelipkan sebuah peniti untuknya, dan ia pun belajar bagaimana membuka borgol.
Sendok makan yang diberikan pun telah ia asah menjadi tajam. Dengan semua itu, ia bisa membuka kunci pintu selnya. Saat penjaga sedang tidak berpatroli, ia menyelinap keluar dari sel dan mengobrol dengan tahanan lainnya. Matanya juga cukup awas mengawasi situasi.
Sel Devigny berada di blok lantai paling atas. Di sana terdapat jendela loteng yang digunakan untuk naik ke atap. Di antara selnya dan dunia luar, terdapat sebuah halaman, blok lain, dan tembok luar. Banyak tahap yang harus dilewatinya.
Suatu kali ketika ia menyelinap keluar ke koridor, Devigny melihat bingkai lampu yang ditinggal penjaga. Bingkai lampu yang terbuat dari tiga lembar logam itu sangat cocok dijadikan jepitan. Yang diperlukannya hanyalah seutas tali.
Sayang, Devigny tidak mempunyai tali, tapi ia memiliki pisau cukur, sebuah hadiah yang tak ternilai dari seorang tahanan lain. Ia mulai memotong baju dan selimutnya menjadi helai kain panjang. Lalu, disambung dan diperkuat dengan kawat dari tempat tidurnya, supaya tali buatan itu bisa menahan berat tubuhnya.
Devigny bekerja sepanjang malam melawan rasa kantuk yang menyerangnya. Kepalanya mengangguk-angguk karena mengantuk, tapi ia terus berjuang. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa akan ada waktu yang cukup banyak baginya untuk tidur di siang hari, saat para penjaga mengawasinya lebih ketat.
Ia membuat tali tersebut sepanjang-panjangnya, dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Jika para penjaga mau repot-repot menggeledah selnya, tentu tali itu akan mudah ditemukan, tapi mereka yakin sekali tahanan yang diborgol tangannya tidak akan bisa melakukan apa-apa untuk lolos.
Pagi harinya, Devigny kelelahan dan tertidur. Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba pintu selnya dibuka, dan ia bangun tersentak. Ia membayangkan tibalah saatnya penjaga membawanya ke hadapan regu tembak. Rasa lega menghampirinya saat ia sadar bahwa penjaga hanya membawa seorang tahanan baru ke dalam selnya.
Salah seorang penjaga menyindirnya, "Hei Devigny, kau mendapat teman di saat-saat terakhirmu."
Napi remaja itu duduk di pojok dengan wajah merengut. Tak lama, keduanya melakukan percakapan yang sangat hati-hati, saling menyelidiki satu sama lain. Sedikit demi sedikit, pendatang baru itu mengaku bernama Gimenez dan ia ditahan karena berada di pihak Resistance.
Kedatangannya merupakan masalah baru bagi Devigny. Bagaimana jika Gimenez adalah seorang mata-mata yang dikirim untuk memastikan dirinya tidak melarikan diri? Bagaimana jika demi menghindari siksaan dan hukuman untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Gimenez akan mengkhianati Devigny, memberitahukan tentang tali buatannya itu?
Bahkan, jika ia bukan salah satu dari semua itu, peraturan penjara Montluc mengatakan: seorang tahanan akan ditembak mati jika ia tidak memberitahu para penjaga bahwa teman satu selnya akan melarikan diri. Jika Devigny kabur, Gimenez harus ikut serta. Tak ada jalan lain.
Devigny tidak punya pilihan lain kecuali mempercayai orang asing ini.
"Begini," bisiknya, "Aku sudah selesai di sini. Kapan saja," Ia menarik garis di lehernya dengan jarinya.
"Aku merencanakan kabur dari sini, dan aku segera mewujudkannya. Kau harus ikut denganku. Mereka akan menembakmu jika kau tinggal, dan tidak akan membiarkan aku lolos begitu saja."
Gimenez tampak begitu ketakutan.
"Aku tidak akan membiarkan engkau kabur," jawabnya cepat. Suaranya terdengar dipenuhi rasa takut dan putus asa. Tak dapatkah kau lihat, aku sudah cukup bermasalah?"
"Terserah, kawan," kata Devigny."Tetapi jangan harap mereka tidak akan menyiksa apalagi membunuhmu, hanya karena kau masih remaja. Ikutlah denganku. Kalau kau tinggal, kau akan mati. Kalau kau kabur, setidaknya kau punya kesempatan."
Gimenez menarik napas dalam-dalam, napas yang penuh masalah.
"Baiklah," jawabnya pelan. Kemudian keduanya terdiam.
*
Maka, malam hari tanggal 24 Agustus 1943, Devigny dan Gimenez berusaha melarikan diri. Tahap pertama tidak sulit. Setelah para penjaga istirahat, kedua tahanan ini menyelinap keluar melalui jeruji pintu kayu yang sudah dilonggarkan sebelumnya. Selanjutnya, jendela loteng. Devigny berdiri di atas bahu Gimenez dan berusaha membuka kaca jendela itu.
Belum apa-apa ia sudah kelelahan, dalam hati ia bertanya-tanya apakah dirinya memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan pelarian yang pastinya akan melelahkan. Untungnya, kaca jendela itu mudah dibuka. Devigny segera naik ke atap. Gimenez menyusul menggunakan tali.
Di atap, mereka menghirup udara dingin yang segar sampai ke dalam paru-paru. Keduanya bisa merasakan udara kebebasan. Malam begitu tenang dan cerah, meski tanpa sinar bulan. Dengan diterangi cahaya lampu penjara, situasi ini sangat sempurna untuk kabur.
Cahaya lampu memang jadi satu keuntungan bagi mereka, tetapi suara sepelan apa pun akan membangunkan penjaga. Keberuntungan ada di pihak mereka lagi. Sebuah kereta melintas di sisi penjara, dan setiap sepuluh menit, kereta barang melintas dengan suara bising.
Setiap kali kereta-kereta tersebut melintas, suara bisingnya menutupi gerak-gerik mereka selama satu atau dua menit.
Mereka bergerak maju ke tepi blok, lalu melempar pandang ke bawah, melihat halaman. Mata mereka sudah terbiasa dengan gelapnya malam. Posisi penjaga terdeteksi melalui nyala api di ujung rokok yang dihisapnya, atau dari kilauan mata ikat pinggang atau bayonetnya.
Sementara itu Devigny melihat seorang penjaga yang berdiri tepat di rute jalan yang harus mereka lalui. Orang itu harus mati.
"Dengar, ini yang harus kita lakukan," bisik Devigny pada Gimenez. "Pada saat yang tepat aku akan turun dan menghadapi penjaga di situ, sementara kau tunggu di sini. Kalau kita sudah bisa lewat, aku akan bersiul satu kali. Jadi perhatikan baik-baik!"
Gimenez kelihatan sangat ketakutan.
"Kalau kita membunuh penjaga, mereka akan menembak kita di tempat!" katanya.
la kesulitan menelan air ludahnya, matanya penuh dengan rasa takut. Devigny bicara dengan tegas sambil menepuk bahu kawannya itu.
"Kita memang sudah mati, Gimenez. Kecuali kalau bisa keluar dari tempat ini."
Jam di penjara membunyikan tanda waktu tengah malam ketika mereka masih berdiri di atas atap. Seiring dengan bunyi dentang jam, terjadi rotasi pergantian penjaga. Terdengar suara salam yang datar, dan penjaga baru pun menempati posisi, berjaga di malam yang panjang. Devigny mengulurkan talinya di tengah kegelapan.
Saking gelapnya, ia tidak tahu apakah tali itu bisa sampai menyentuh tanah atau tidak. Ketika tali sudah tidak bisa diulur lagi, ia mengayunkan dirinya melewati pipa dan mendarat di sisi sebelah blok. Karena tidak hati-hati, tangannya terluka terkena kawat pada talinya. Ia masih beruntung.
Talinya cukup panjang sampai menyentuh halaman. Di sana ia menunggu, berlindung di bawah bayang-bayang, dan begitu kereta api melintas, ia berlari sekuat tenaga seberang halaman. Di hadapannya berdiri seorang penjaga.
Devigny melihat sekilas pada penjaga itu dengan rasa iba. Di sana, penjaga itu berdiri, bosan, menunggu giliran jaganya habis, mungkin merindukan sarapan hangat dan kasur empuk. Tetapi, demi menyelamatkan dirinya dan kabur dari situ, Devigny terpaksa membunuhnya.
Penjaga tersebut membalikkan tubuh ke arahnya, Devigny pun muncul dari balik bayang-bayang. Ia mencekik leher penjaga itu dan membunuhnya dengan bayonetnya sendiri.
Mayat penjaga itu diseret untuk disembunyikan di balik bayang-bayang. Sepatu botnya mengeluarkan suara karena diseret. Devigny menunggu sebentar, mencoba mengetahui kalau-kalau perkelahian singkat tadi terdengar penjaga lain, tetapi malam itu masih sesunyi sebelumnya.
Ia bersiul dengan nada rendah, dalam sekejap Gimenez sudah bersamanya. Jalan menuju blok selanjutnya aman, tapi Devigny gemetar karena kelelahan dan rasa takutnya tadi, bahkan terlalu lemah untuk memanjat tembok.
“Kau pergi duluan,” bisiknya pada Gimenez.“Aku kehabisan tenaga untuk memanjat."
Setelah memanjat tembok, Gimenez mengulurkan tali itu pada Devigny yang membuatnya sadar bahwa rekan sepenanggungannya ini berperan penting dalam pelarian mereka, dan bukanlah penggangu seperti yang ia duga sebelumnya.
Mereka bergegas menyeberangi atap blok itu, lalu mengintip ke sekeliling. Mereka sudah berada di tepi luar penjara. Di depan, berdiri tembok setinggi lima meter memisahkan mereka dengan kebebasan.
*
Tetapi, ketika sedang merayap di atap, suara decit aneh menusuk telinga mereka.
"Apa itu?" tanya Gimenez.
Mereka segera tahu sumber suara tersebut. Di bawah, seorang penjaga mengendarai sepeda berkeliling di antara bangunan penjara. Ia berkeliling di antara gedung setiap tiga menit.
Begitu dekatnya mereka dengan kesuksesan, Devigny sudah tidak sabar untuk segera lolos dari penjara. Sel mereka kosong, kaca jendela loteng terbuka, dan yang paling buruk: mayat seorang penjaga terbaring di balik bayang-bayang.
Kapan saja, seorang penjaga lainnya akan menemukan bukti-bukti adanya usaha untuk kabur lalu menyalakan alarm. Dalam setiap menit yang berjalan, risiko ketahuan semakin besar. Namun, Devigny menyimpan semua itu dalam hatinya. Ia tidak ingin membuat Gimenez panik.
Kemudian, peluang mereka untuk lolos semakin buruk saja.
"Dengar," kata Devigny, "Aku bisa mendengar suara di bawah. Pasti ada dua orang penjaga tepat di bawah kita"
Tetapi, ketika sepeda dikayuh menjauh, mereka sadar bahwa penjaga itu berbicara pada dirinya sendiri tadi. Keduanya menghela napas panjang sebagai tanda kelegaan dan kesiapan mereka untuk melaksanakan langkah terakhir.
Bersamaan dengan dentang jam tiga kali, Devigny melempar tali ke luar tembok. Bingkai lampu terkait di tembok. Mereka mengikat ujung lainnya ke cerobong asap dan bersiap untuk menyeberang.
Pada waktu itu, penjaga bersepeda tadi memutuskan untuk beristirahat. Ia memarkir sepedanya tepat di bawah mereka dan berdiri di sana sambil mendesah.
Devigny dan Gimenez tak percaya mereka begitu sial. Menit demi menit berlalu, mereka menunggu alarm dibunyikan. Di ufuk timur, sinar pucat menyentuh ujung langit. Fajar tiba sebentar lagi. Untungnya penjaga itu tidak pernah menengadah ke atas dan melihat tali mereka. Ia kembali menaiki sepedanya dan pergi.
Sekarang atau tidak selamanya. Namun ketegangan terlalu jelas bagi keduanya. Devigny berbicara dengan lembut, "Kau pergi dulu Gimenez, aku menyusul.
"Tidak," sahut remaja itu ketakutan "Bagaimana jika tali itu putus? Bagaimana jika aku ketahuan dan ditembak? Bagaimana jika aku jatuh? Kau duluan, aku menyusul."
Kesabaran Devigny sampai pada batasnya. Ia mengancam, "Pergi sekarang, atau kuhabisi kau."
Bisikan percakapan berlangsung di antara mereka. Tiba tiba Devigny melompat ke tali dan menarik tubuhnya secepat mungkin. Gimenez mengikutinya tak lama kemudian. Meski sudah di luar tembok, keduanya terus menarik tubuh masing-masing, sampai mereka tiba di tempat yang cukup rendah untuk melompat.
Masing-masing jatuh dengan suara pelan. Mereka sudah bebas, Penjara tidak mempunyai seragam, jadi Devigny dan Gimenez bisa berbaur dengan para buruh yang berangkat kerja ke sebuah pabrik pagi itu. Pada saat sel kosong mereka dan mayat penjaga diketahui, dua buronan itu sudah jauh menghilang di daerah luar kota.
Selanjutnya
André Devigny kabur ke Swiss, lalu pergi ke Afrika Utara untuk bergabung dengan angkatan bersenjata Prancis. Setelah perang berakhir, Presiden Prancis Jenderal De Gaulle menganugerahinya medali Cross of Liberation, dan mengangkatnya menjadi agen rahasia senior Prancis.
Pada 1957, seorang sutradara kebangsaan Prancis bernama Robert Bresson memproduksi film yang mengisahkan pelarian dari Montluc. Film tersebut mengambil lokasi syuting di penjara, bahkan para pemerannya juga menggunakan tali yang sama seperti yang digunakan Devigny dan Gimenez. Devigny diminta menjadi penasihat produksi. Ia pensiun tahun 1971, dan meninggal tahun 1999.
Gimenez, rekan sepelariannya, tidak terlalu beruntung karena ditangkap kembali. Walau nasibnya tidak diketahui secara pasti, kemungkinan besar ia dihukum mati.
Kepala penjara, Klaus Barbie, kabur ke Bolivia setelah perang. Ia ditangkap dan dibawa ke Montluc pada 1983. Ia diadili dan dijatuhi hukuman seumur hidup atas dakwaan kejahatan perang, kemudian meninggal pada 1991. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)
Intisari Plus - Beberapa kasus pembunuhan dan perampokan terjadi di Prancis. Pelakunya, berkeliling ke beberapa tempat untuk melakukan aksinya. El Bandito sempat membuat polisi dan detektif kewalahan.
------------------
Lyon, Prancis Selatan, tanggal 18 Februari 1983, pukul 03.15. Lobi Hotel Bristol yang menghadap ke stasiun sangat lengang. Cuma ada dua orang pria di situ. Yang seorang adalah resepsionis hotel, merangkap penjaga malam dan penjaga pintu. Namanya Angelo Perret.
Pria yang seorang lagi adalah tamu hotel. la sedang menunggu pacarnya pulang bekerja di kelab malam. Pintu lift terbuka dan seorang pria berumur awal 30-an keluar. la berjalan mengeliling lobi, lalu masuk lagi ke lift.
"Penghuni kamar no. 306," kata Perret kepada tamu hotel. Tak lama kemudian pintu lift terbuka lagi. Penghuni kamar no. 306 muncul kembali. Sekali ini ia membawa koper kecil yang ditaruhnya di atas meja. Koper itu dibukanya dan tiba-tiba saja kedua pria di lobi hotel itu sudah ditodong dengan senjata api yang dikeluarkan dari koper itu. Penghuni kamar no. 306 itu memberi perintah dalam bahasa Prancis yang sangat buruk ucapannya, sehingga sulit dipahami.
Tamu hotel yang refleksnya sangat cepat, keburu menyuruk ke belakang meja paling dekat. Dari sana dilihatnya penghuni kamar no. 306 menaruh senjata apinya, lalu menghunus sebilah belati besar yang ditikamkannya ke perut Perret. Perret mengaduh dan terhuyung-huyung melarikan diri menuju ruang tempat menyimpan seprai dsb.
Kesempatan itu digunakan oleh tamu yang bersembunyi di belakang meja untuk melarikan diri ke kamarnya melewati tangga. la mengunci pintu, lalu meraih telepon. Namun, tanpa bantuan resepsionis yang menangani switchboard ia tidak bisa menelepon ke mana-mana. Saking takutnya, ia mendorong meja dan perabot apa saja yang bisa digesernya untuk mengganjal pintu.
Seperempat jam kemudian telepon di kamarnya berdering. Pacarnya marah-marah, karena ia tidak menunggu di lobi. Lobi kosong!! Tamu itu memberanikan diri untuk turun ke lobi. Betul kosong! Dari sana ia menelepon polisi. Baru setelah polisi datang ia berani pergi ke ruang yang tadi dimasuki Perret. Resepsionis hotel berbintang tiga itu ternyata sudah tewas kehabisan darah.
Tamu itu bisa menjelaskan dengan cukup rinci bagaimana rupa si pembunuh. Pria itu berumur antara akhir 20-an dan awal 30-an, katanya. Kulitnya berwarna agak gelap. Rambutnya yang hitam jatuh ke kening. Kumisnya yang tipis pun hitam. Penampilannya memberi kesan ringkih. Bahasa Prancisnya sulit dipahami, karena lafal Spanyolnya sangat kental.
Polisi memeriksa daftar tamu hotel itu. Kamar no. 306 dihuni oleh Fernando Dome. Setelah dicek, ketahuan baik nama maupun alamat yang tertera di daftar tamu itu palsu.
Memangsa penjaga malam lagi
Dua jam setelah Angelo Perret ditikam, yaitu pada pukul 05.15 itu juga, Alain Cardot (23) menata meja untuk sarapan para tamu bersama wanita pelayan bernama Yvonne Fischer (53). Cardot adalah penjaga pintu Hotel Ibis di Valence, 90 km di sebelah selatan Lyon. la sedang kebagian tugas berjaga malam.
Seorang pria berkumis hitam tipis muncul ke ruang tempat sarapan itu, meminta secangkir kopi. Sebelum wanita pelayan sempat memenuhi permintaannya, si Kumis Tipis sudah mengeluarkan sepucuk senjata api dari balik jasnya. Karena ketakutan, Cardot dan Fischer tidak melawan saat mereka diikat ke kursi. Mulut mereka disumpal dengan serbet makan.
Si Kumis Tipis mencoba membuka laci uang elektronik, tetapi tidak berhasil karena tidak tahu caranya. Dengan tenangnya ia melepaskan Cardot dari kursi, tetapi tidak membuka ikatan tangan penjaga pintu itu.
Cardot dibawa ke hadapan alat itu, lalu dada kirinya ditusuk perlahan-lahan dengan sebilah pusut. Karena tusukan ke arah jantung itu makin lama makin dalam, Cardot menjadi panik. Terpaksa ia menjelaskan cara membuka laci uang itu.
Di dalamnya cuma ada uang 300 frank. Saking mengkalnya, si Kumis Tipis menghantam wajah Cardot dan Fischer beberapa kali dengan senjata apinya.
Lima hari kemudian, tanggal 23 Februari, si Kumis Tipis muncul di tempat parkir bawah tanah Solhotel di Cannes, sekitar 250 km dari Valence. la naik lift sampai tingkat paling atas, lalu lewat atas ia melompat ke balkon dan memasuki kamar yang sedang ditiduri oleh sepasang turis Belanda, Jan dan Katarina Smidt.
Jan ditodong, tetapi ia melawan. Akibatnya, kakinya ditikam. Terpaksa Jan menyerah. Si Kumis Tipis mengambil uang mereka sebesar 700 frank dan perhiasan mereka yang cuma sedikit. Karena tidak puas, si Kumis merobek-robek paspor mereka sampai menjadi robekan kecil-kecil dan menginjak-injak kacamata Jan sampai hancur. Setelah itu ia keluar lewat pintu.
Keesokan harinya, malam-malam ia mendatangi Hotel Palma di Cannes juga. Korban sekali ini Robert Bergel (56), resepsionis hotel. Si Kumis marah karena Bergel tidak mau membuka lemari besi. Jadi, Bergel diikatnya di kursi, lalu tangannya ditikam. Ketika Bergel tetap membandel, pahanya yang ditikam. Lama-kelamaan Bergel takut mati juga. Terpaksa kombinasi kunci lemari besi ia beri tahu. Si Kumis berhasil menguras 5.000 frank.
Anjing gila
Tentu saja kasus di Solhotel dan Hotel Palma ini dilaporkan ke polisi Cannes. Penodong di dua tempat itu memiliki penampilan yang mirip, sehingga diduga orangnya sama. Polisi pun menyebarkan sketsa wajah si Kumis Tipis ke seluruh negara, lengkap dengan keterangan perihal kejahatan yang dibuatnya.
Polisi Lyon dan Valence pun menghubungi rekan mereka di Cannes. Dibentuklah suatu komisi khusus untuk menangkap si Kumis Tipis. Komisi itu dikepalai oleh Inspektur Jules Grandin dari bagian penyidikan kriminal di Cannes.
Mereka segera mendapat laporan perihal kasus baru. Tanggal 1 Maret, wanita pembersih kamar di Hotel Brice di Kota Nice, masuk ke kamar no. 7. Didapatinya lantai kamar mandi digenangi darah. Darah itu berasal dari seorang pria berumur 57 tahun, Nicolas Defeo, yang malam itu bertugas sebagai resepsionis hotel.
Kamar no. 9 yang terletak di sebelahnya dihuni oleh seorang tamu yang mengaku bernama Antonio Arrete. Saat itu Arrete sudah tidak ada di kamarnya. la digambarkan masih muda, berkulit gelap, ringkih, dan berkumis hitam tipis. Bahasa Prancisnya seperti keluar dari mulut "sapi betina Spanyol".
"Pembunuh itu bukan sapi betina, tetapi anjing gila!" komentar Inspektur Grandin. "Bayangkan saja: ia tidak mengubah penampilannya, ia sering menyerang dan selalu berpindah-pindah." Nice adalah kota pantai juga seperti Cannes dan jaraknya cuma 30 km dari Cannes.
"Kita mesti memberi tahu polisi di seluruh Prancis agar waspada dan membantu kita mencari. Kalau kita kurang cepat, pembunuh itu pasti akan makan korban jiwa lagi. Sekarang saja sudah dua orang tewas."
Karena dua kejahatan terakhir terjadi di pantai L. Tengah yang disebut Cote d'Azur, maka hotel-hotel berbintang tiga sepanjang pantai wisata itu diberi tahu agar waspada. Si Kumis Tipis biasanya mengunjungi hotel kelas itu. Untunglah saat itu belum musim liburan, sehingga tidak terlalu banyak hotel yang buka.
Ternyata sasaran si Kumis Tipis bukan Cote d'Azur, melainkan lebih ke utara, yaitu Grenoble. Korbannya penjaga pintu lagi! Brahim Mrabat (28) sedang bertugas malam di Savoie Hotel ketika disatroni si Kumis Tipis. Pria asal Aljazair itu diringkus, lalu dijejalkan ke bilik telepon di lobi. Penyerangnya meninggalkan dia dengan menggondol 2.000 frank.
Tambah kurang ajar
Walaupun gambaran tentang si Kumis cukup jelas, jati dirinya tidak seorang pun tahu. la tiba-tiba saja muncul, entah dari mana, lalu merampok, melukai, dan membunuh di pelbagai tempat. Hampir bisa dipastikan ia orang Spanyol, tetapi tanpa memiliki sidik jarinya, polisi Spanyol tidak bisa mengindentifikasi penjahat itu.
Inspektur Grandin mengirimkan tim penyidik ke Grenoble. Mereka tiba hari itu juga, pukul 20.30. Sejam kemudian, seseorang bernama Rene Foucher ditembak pahanya di tempat parkir bawah tanah milik gedung apartemen yang ditinggalinya.
Tadinya Foucher mendengar suara-suara yang mencurigakan dari tempat parkir. Karena takut mobilnya dicuri, ia turun memeriksa. Di sana ia berhadapan dengan seorang pria muda berkumis tipis. Si Kumis menyuruh Foucher enyah dengan bahasa Prancis campur Spanyol. Buru-buru Foucher menyingkir. Namun karena sayang memikirkan mobilnya, ia kembali. Saat itulah si Kumis menembak pahanya lalu pergi.
Foucher bersusah payah mencapai telepon. Beberapa menit setelah laporannya masuk, polisi sudah mengurung tempat itu. Polisi yang sedang tidak bertugas dipanggil untuk membantu menyisiri daerah itu. Rumah demi rumah didatangi. Stasiun kereta api dan terminal bus dijaga ketat. Hasilnya, 14 orang diciduk.
Sebagian besar dari 14 orang itu ketahuan melakukan pelbagai pelanggaran, tetapi si Kumis Tipis tidak ditemukan di antara mereka. Tanggal 9 Maret, pembunuh buronan polisi itu malah muncul di Toulon, pangkalan AL Prancis yang letaknya kira-kira 30 km di sebelah timur kota Marseille. Sekali ini ia menculik dan memperkosa seorang pelayan toko yang cantik, yaitu Marie-Christine Artus yang berusia 18 tahun.
Gadis pirang yang menarik itu pulang dari tempat kerjanya pukul 19.00. Di dalam lift ia bertemu dengan seorang pria bercelana jins dan kaus biru tua. Pria muda itu berkumis tipis.
Begitu pintu lift tertutup, pria itu mencabut senjata api yang ditodongkannya ke kepala Marie-Christine. Dalam bahasa Prancis yang patah-patah ia memaksa ikut ke apartemen Marie-Christine. Karena ketakutan, Marie-Christine menurut. Di dalam apartemen, Marie-Christine mencoba menakut-nakuti si Kumis. Katanya, pacarnya sebentar lagi datang, lebih baik si Kumis pergi. Di luar dugaan, pemuda ini malah menantang, "Kita tunggu dia," katanya.
Pacar Marie-Chrisitine benar-benar datang. la disambut dengan moncong senapan sampai nyalinya ciut.
"Kami ditunggu teman-teman," katanya berbohong. "Mereka pasti curiga kalau kami tidak muncul."
"Telepon mereka. Batalkan janji!" perintah si Kumis.
"Kami tidak punya telepon." Si Kumis menyatakan akan mengantar Marie-Christine ke telepon umum. Pacar gadis itu disuruh menunggu di apartemen dan diancam jangan berani melapor kepada siapa pun.
Marie-Christine menganggap ini kesempatan untuk memberi isyarat kepada orang lain perihal keadaannya. la tidak menelepon teman, sebab mereka memang tidak berjanji untuk bertemu dengan siapa pun sore itu. la menelepon orang tuanya, memberi tahu ia beralangan datang malam ini. Sebenarnya ia tidak berjanji untuk datang. la berharap mereka menangkap isyaratnya.
Orang tua Marie-Christine memang menangkap isyarat putri mereka. Buru-buru mereka pergi ke apartemen anaknya itu. Mereka menemukan pacar anaknya sedang kebingungan. Si Kumis ternyata tidak membawa sanderanya kembali ke apartemen. la mengambil kunci mobil dari tas korbannya. Marie-Christine dipaksanya menunjukkan mobilnya. Setelah itu ia menodong gadis itu agar mengemudikan kendaraannya ke arah utara.
"Mau ke mana kita?" tanya Marie-Christine sambil menangis.
"Ke mana saja!" jawab penculiknya.
"Siapa kamu?" tanya korbannya.
"Panggil saja aku El Bandito!"
Di perjalanan El Bandito membual. Katanya, ia datang dari Uruguay. Dibukanya kancing bajunya, sehingga tampak bekas luka panjang di dadanya. "Aku pelarian politik! Pejuang kemerdekaan!" bualnya. “Mereka menangkapku, menggebuki aku dengan kawat berduri. Aku kabur! Pacarmu beruntung. Kalau tadi ia berani melawan, aku kebiri dia!"
Ketika tiba di Cavaillon, El Bandito memesan sebuah kamar untuk mereka berdua di Pergola Hotel. Mereka menginap di sana. Keesokan harinya Marie-Christine disuruh mengemudi ke Saint-Raphael di Cote d'Azur. Letak tempat itu cuma 15 km dari Cannes. Dekat stasiun, Marie-Christine dilepaskan. "Ini untuk membayar bensin!" kata El Bandito seraya melemparkan uang 200 frank.
Begitu El Bandito lenyap di antara 0rang-orang dekat stasiun, Marie-Christine berlari ke sebuah kafetaria untuk menelepon polisi. Tak lama kemudian ia sudah dikelilingi polisi. Saat itu Marie-Christine baru tahu kalau penculik dan pemerkosanya itu tak lain daripada pembunuh yang sedang dicari-cari polisi.
Pak kolonel disandera
Gambaran yang dimiliki oleh polisi mengenai El Bandito bertambah lengkap berkat keterangan Marie-Christine Artus. Pembunuh itu memiliki tanda bekas luka panjang di dada dan di ibu jari tangan kanannya.
Walaupun polisi Saint-Raphael gesit menangani pengaduan dari korban El Bandito, tetapi bandit itu sendiri lolos.
Stasiun Saint-Raphael ramai karena kereta yang datang dan pergi cukup kerap. Tidak ada orang yang ingat pernah melihat pria yang mempunyai ciri sebagaimana El Bandito.
"Jangan-jangan dia tidak naik kereta, cuma pura-pura saja masuk ke stasiun. Mungkin ia masih bersembunyi di Saint-Raphael," kata Inspektur Grandin.
Dugaan Pak Inspektur keliru. Tanggal 12 Maret El Bandito muncul di Marseille. la mencoba masuk ke apartemen seorang ibu guru cantik bernama Maryse Blanc. Cara yang dipergunakannya sama dengan yang dipakainya pada Marie-Christine Artus. Cuma saja ibu guru ini lebih cerdik dan lebih cekatan. Begitu ditodong masuk ke apartemennya, ia membanting pintu dan menguncinya, sehingga El Bandito tertinggal di luar.
Korban urung itu lalu berteriak-teriak sekuat tenaga sehingga para tetangga keluar. El Bandito terpaksa mengambil langkah seribu. Namun bandit itu tidak jera. Sore itu juga ia berhasil merampok dan memperkosa Ny. Paule Lecornu tidak jauh dari sana. Polisi Marseille pun dikerahkan ke jalan-jalan, sehingga di mana-mana tampak polisi berkeliaran.
Hari itu juga El Bandito naik ke atap sebuah gedung apartemen mewah di 9 rue de la Visitation. Seperti pernah dilakukannya, ia melompat turun ke balkon sebuah apartemen. Pukul 20.00 hari itu, Kolonel (Purn.) Jean Coguillot dan istrinya, Yvette, menjadi sandera El Bandito. Karena mereka melawan, paha kolonel ditembak penyandera. Istrinya luka di bahu. Putri mereka, Therese, turun dari kamarnya di tingkat yang lebih atas, karena mendengar suara tembakan. la dipaksa menyerahkan uang 2.000 frank, arloji, beberapa cincin, dan perhiasan lain.
El Bandito meninggalkan apartemen lewat pintu. Begitu El Bandito pergi, Therese menelepon polisi. Dalam waktu beberapa menit saja, polisi sudah tiba. Namun, Elbandito sudah raib.
Kembali ke sarang harimau
“Sungguh keterlaluan," kata Inspektur Grandin. "Penjahat itu merampok, memperkosa, mencederai, dan membunuh di depan mata, tanpa kita mampu menangkapnya. Padahal kita tahu jelas bagaimana rupanya, cara kerjanya, dan bahkan kita memiliki contoh cairan maninya!"
Dokter polisi berpendapat El Bandito itu waras, karena tindakannya rasional, tujuannya jelas. Cuma saja orang ini tidak mengindahkan moral. Apa yang diinginkannya akan diambil. Apa yang mengalanginya akan dihabisi.
Polisi Uruguay tidak memiliki berkas kejahatan El Bandito, Fernando Dome, maupun Antonio Arrete. Jelas itu bukan nama aslinya atau nama yang biasa ia pakai. la berbahasa Spanyol, tetapi negara yang berbahasa Spanyol banyak.
Seakan-akan ingin menantang polisi, El Bandito datang ke Cannes. Hari itu tanggal 17 Maret. (Kemudian polisi baru tahu bahwa hari itu El Bandito berulang tahun ke-35). la naik ke atas atap gedung di 8 rue du General Ferrie.
Lewat atap ia berhasil masuk ke kamar tidur Pierre dan Paulette Cohen. Karena tamu tak diundang itu membawa senjata api dan belati, suami-istri lanjut usia itu tidak berani berkutik. Apalagi mereka takut cucu perempuan mereka yang sedang tidur di kamar sebelah dicederai.
Tanpa banyak cingcong mereka membiarkan harta mereka dikuras, berupa uang 8.000 frank dan 200.000 lira, ditambah sejumlah perhiasan dan buku cek.
Cohen disuruh menandatangani cek sebesar 20.000 frank. Lalu El Bandito berkata, ia ingin menginap supaya besok pagi bisa mencairkan uang tanpa kesulitan bersama suami-istri itu di bank. la meminta dimasakkan makan malam dan bahkan dikeramaskan karena katanya rambutnya sudah kotor. Kedua suami-istri itu terpaksa menurut.
Keesokan paginya mereka menemani El Bandito ke bank. Setelah mengambil uang, suami-istri Cohen diantarkan kembali ke apartemennya. El Bandito mengucapkan terima kasih, sambil mengancam akan mencederai kalau mereka cepat-cepat melapor ke polisi. Cohen menunggu seperempat jam sebelum menelepon yang berwajib. Polisi mengawasi dengan ketat semua jalan keluar dari Cannes.
Potret-potretan
Menjelang tengah hari, El Bandito sudah berada di Saint-Raphael lagi. la pergi ke sebuah toko perhiasan milik suami-istri Veron-Roque di rue Gounod. Sang Istri meminta El Bandito menunggu suaminya datang. El Bandito menyatakan akan kembali. Sambil menunggu ia pergi memesan kamar di hotel yang berdekatan, yaitu Hotel Geneve. Pemilik hotel, Maurice Chenaud, memberinya kamar no. 41. Sama sekali tidak terpikir oleh Ny. Veron-Roque dan Chenaud bahwa tamu mereka tidak lain daripada pembunuh yang sedang dicari-cari polisi.
Di restoran hotel, El Bandito makan dengan lahap. Lalu di kamarnya ia bercanda dengan wanita pembersih kamar yang dipotretnya beberapa kali, ia juga meminta wanita itu memotretnya beberapa kali.
Dari hotel, El Bandito kembali ke toko perhiasan Veron-Roque. Pemilik toko menaksir dua cincin mirah seharga 40.000 frank, sedangkan sebuah cincin zamrud dan dua cincin berlian dihargai di atas itu.
Esok paginya, ketika Claude Veron-Roque dan Maurice Chenaud menerima koran, jantung mereka serasa copot. Soalnya, di halaman depan terpampang sketsa El Bandito, pembunuh, perampok, dan pemerkosa yang nekat. Pelayan pembersih kamar di Hotel Geneve bahkan pingsan!
Pemilik toko perhiasan dan pemilik Hotel Geneve segera menghubungi polisi. Kamar no. 41 dikepung. Seperti yang sudah-sudah, El Bandito tidak ditemukan. Cuma saja pembunuh itu rupanya berniat kembali, sebab ia meninggalkan tiga senjata api, sebilah belati, sejumlah peralatan maling, dan juga sebagian besar perhiasan Ny. Cohen, di samping uang sebanyak 50.000 frank.
Karena ia pernah berkata akan pergi ke Marseille kepada Veron-Rogue, maka beberapa puluh polisi ditempatkan di Stasiun Saint-Raphael. Beberapa puluh lagi berjaga di hotel. Polisi Cannes diberi kamar dan mereka pun bergegas datang.
Jatuh hati
Beberapa menit sebelum pukul 20.00, seorang inspektur berpakaian preman melihat seorang pria muda berkumis hitam tipis turun dari kereta api yang baru datang dari Marseille. Ketika pria itu mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji, kelihatanlah ibu jarinya memiliki parut bekas luka.
Inspektur itu memberi isyarat kepada anak buahnya. Tiba-tiba saja El Bandito mendapatkan dirinya ditelikung, sementara moncong sebuah pistol polisi ditodongkan ke depan hidungnya. Sekelilingnya orang-orang berpakaian preman mengurung rapat. Dalam waktu beberapa detik saja, semua senjata yang dibawanya sudah dilucuti.
"Que pasa?! (Apa yang terjadi?!)" serunya kaget tapi loyo karena menyadari dirinya tidak berdaya. Inspektur membuka kancing baju El Bandito. Tampaklah bekas luka besar di dada, seperti yang digambarkan oleh Marie-Christine Artus. Identifikasi El Bandito positif. Petualangannya pun berakhir di situ.
El Bandito diangkut ke markas besar polisi di Cannes. la tidak melawan dan mengakui semua tuduhan. Perihal dirinya, ia masih mencoba mengibuli polisi. Katanya, namanya Pedro Hechauge, kelahiran Uruguay, tetapi warga negara Spanyol. Istrinya, Maria Fernandez, berada di Madrid. Padahal ia bernama Fernando Alonso de Celada, kelahiran Buenos Aires, Argentina. Tidak banyak diketahui perihal orang tuanya, tetapi ia sendiri sudah menjadi pelanggan penjara sejak berumur 13 tahun. Jarang sekali ia hidup di luar penjara selama lebih dari setahun.
Tanggal 13 Februari 1979, ia menikah dengan seorang wanita yang cuma dikenal sebagai Azbiga. Di mana Azbiga sekarang tidak diketahui. Tahun 1980 Fernando melarikan diri dari Argentina. "Tak tahan menghadapi istri," begitu alasannya. Berturut-turut ia pergi ke Brasil, Kepulauan Kanari, dan Spanyol. Di ketiga negara itu ia sempat dipenjara. Januari 1983 ia tiba di Prancis.
El Bandito dihadapkan ke meja hijau tanggal 2 November 1987. Di sini ia mungkir memperkosa. Katanya, wanita-wanita korbannya yang merayu ia untuk bercumbu. la juga menyangkal merampok keluarga Cohen. Katanya, suami-istri lanjut usia itu begitu jatuh hati kepadanya, sampai ia disuruh menginap, dimasaki hidangan malam, dan dikeramasi. Mereka juga dengan sukarela menyerahkan harta benda mereka kepadanya.
Tak diketahui apakah para juri percaya kepadanya. Namun yang jelas ia tidak bisa memberi alasan bahwa Angelo Perret dan Nicolas Defeo secara sukarela meminta disembelih olehnya.
Beberapa ahli psikologi dipanggil sebagai saksi ahli. Hampir semua menyatakan Fernando Alonso de Celada waras dan berbahaya bagi manusia lain apabila dibiarkan berkeliaran.
Juri rupanya sependapat dan hakim pun menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada pria yang menamakan dirinya El Bandito itu. (John Dunning)
" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350708/akhir-petualangan-el-bandito" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530932000) } } [4]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304480" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/pembunuhan-di-st-oswalds_tay-20220603020944.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Cheeseman merupakan guru yang paling dibenci di sekolah karena ringan tangan dan tidak adil. Hingga murid-muridnya membuat rencana pembunuhan baginya." ["section"]=> object(stdClass)#88 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/pembunuhan-di-st-oswalds_tay-20220603020944.jpg" ["title"]=> string(28) "Pembunuhan di St. Oswald’s" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:10:07" ["content"]=> string(40937) "
Intisari Plus - Cheeseman merupakan guru yang paling dibenci di sekolah karena ringan tangan dan tidak adil. Maka tidak heran jika murid-muridnya membuat rencana pembunuhan baginya. Apakah rencana ini berhasil?
-------------------------
“Kukira ia harus dihukum goreng di dalam minyak," kata Wace (11).
Temannya, Webster, mengangguk antusias. "Ya, lalu dilemparkan ke sumur penuh laba-laba dan kalajengking beracun."
Nigel Kilby mengerutkan alis tak sabar. Ia ketua kelas mereka dan juga ketua juri yang mereka bentuk sendiri itu. Kelas mereka cuma punya 12 murid.
"Tolol," katanya pedas. "Dari mana kau akan dapat minyak?”
"Dari mana pula kau akan dapatkan laba-laba dan kalajengking beracun?" tanya Marsden, si serba bisa.
"Kucuri dari kebun binatang," sahut Webster gagah.
“Minyak kuambil dari gudang," tambah Wace, "lalu memasaknya di panci besar."
Nigel Kilby masih saja mengerutkan alisnya. "Kita harus menemukan cara yang amat lihai untuk membunuhnya. "Yang tidak bisa dilacak."
“Racuni saja”
“Di majalah aku pernah baca suatu suku di hutan yang membunuh korbannya dengan panah beracun yang disemburkan dengan sumpitan. Racun itu begitu hebatnya sampai korbannya langsung mati." Usul ini datang dari Perry mi (10) dan yang terkecil di kelas.
Kilby mengangguk. "Racunlah yang paling tepat."
"Kita bisa mendorongnya jatuh dari tebing waktu berjalan-jalan," Marsden berkata. "Kita akan bilang itu kecelakaan, bahwa dia jalan terlalu dekat ke tepi, lalu terjatuh.”
"Itu bisa saja, kalau kita yakin itu akan berhasil membunuhnya,” kata Kilby. "Tapi misalnya saja ia cuma terluka. Andaikan saja ia berhasil bergayut ke sesuatu ...."
Semua diam membayangkan ngerinya bila rencana macam itu gagal. Pastilah tirani yang sudah ada sekarang bukan apa-apa lagi bila dibandingkan dengan kekejaman yang menyusul kegagalan macam itu.
Tak syak lagi, Pak Cheeseman adalah guru yang paling tidak disukai di St. Oswalds's. Pak Cheeseman adalah wali kelas mereka. Mereka lebih yakin lagi bahwa guru yang satu ini pastilah guru yang paling dibenci di seluruh SD sepanjang pantai Sussex pada tahun 1929.
Pak Cheeseman - Cheesepot kalau di belakangnya - bertubuh jangkung, berkumis lebat, dan suaranya yang dalam bisa lebih mengerikan dari guntur. la dipindah ke dunia pengajaran setelah keluar dari angkatan darat tahun 1919 dan sudah mengajar di Oswald's selama enam tahun.
Seperti banyak juga guru yang lain waktu itu, ia tak punya kualifikasi akademis. Yang dipunyainya hanyalah sekadar pengetahuan dasar tentang pelajaran yang diajarkannya dan kemampuan untuk menegakkan disiplin serta sedikit-sedikit bisa terjun dalam permainan.
Bahkan dengan memperhitungkan kecenderungan anak-anak untuk melebih-lebihkan, orang dewasa pun dapat melihat bahwa ia memang senang menyiksa murid-muridnya. Ia tak saja ringan tangan, tapi juga tidak adil. Misalnya, baru-baru ini ia menahan Webster sampai ia terlambat ikut doa pagi.
Kepada kepala sekolah ia mengatakan, tak ada alasan mengapa Webster mesti terlambat. Protes diam Webster cuma dijawabnya dengan tertawa menjengkelkan. Katanya, "Hidup itu memang tidak adil, Nak. Makin cepat kau sadar itu, makin baik."
"Kukira Bu Cheeseman tentu akan senang kalau ia mati," kata Wace memecah kesunyian.
Rumah keluarga Cheeseman ada di pinggir tanah sekolah. Bu Cheeseman membantu ibu asrama mengurusi pakaian anak-anak. Ia kecil, pucat, bicaranya lembut, dan tampaknya sama juga dikuasai oleh suaminya seperti murid-murid sekolah itu.
Bu Cheeseman membangkitkan rasa kepahlawanan mereka dan mereka yakin, ia akan sesenang mereka menyambut kematian suaminya.
"Pasti ia suka menjambak rambutnya," tambah Webster.
"Bagaimana caranya kita meracuni dia, Kilby?" Marsden bertanya, mengembalikan diskusi ke alurnya semula.
"Kita perlu," kata Kilby pelan-pelan kepada pendengarnya yang penuh perhatian, "racun yang bisa cepat dikerjakan. Maksudku, kita bisa mencampurkannya ke bubur sarapannya, tapi kita ingin supaya ia baru mati setelah beberapa saat kemudian, supaya orang tidak bisa menduga kapan ia makan racun itu."
"Seperti misalnya mati waktu ia sedang membetulkan pemangkas rumput di gudang," kata Marsden.
Salah satu tanggung jawab Pak Cheeseman adalah memelihara mesin pemotong rumput sekolah yang besar. Agaknya ia lebih merasa dekat dengan tugas-tugas permesinan daripada dengan murid-muridnya. la hampir selalu mengotak-atik mesin itu.
"Tapi di mana kau akan dapat racun itu, Kilby?" Wace bertanya.
"Aku harus melihat buku dulu. Mungkin pula kita harus membuat racun itu sendiri. Ada banyak macam racun di hutan sekolah."
"Racun itu harus tidak berasa," Marsden menyimpulkan.
"Itu tidak sulit," kata Kilby percaya diri. "Lagi pula, bubur itu sendiri sudah begitu menjijikkan, orang tidak akan tahu apakah bubur itu beracun atau tidak."
Perry mi tiba-tiba berseru tertahan, lalu bersikap seperti sedang belajar. Satu atau dua kawannya menolehkan kepala, lalu cepat menuruti teladannya.
Ternyata di gang telah berdiri Pak Cheeseman dengan sorot mata tak senang. Mereka tak tahu sudah berapa lama dan apa saja yang sudah didengarnya, tapi rasa takut dan ngeri menjalari mereka semua.
Mereka duduk dalam dua baris, tiap baris enam orang. Pak Cheeseman sendirilah yang pernah menyamakan mereka dengan sebuah juri. Kini mereka semua menatap dia dengan pandangan polos yang khawatir, sementara ia naik ke panggung rendah di depan kelas dan menghadapi mereka lewat puncak mimbarnya.
Suasana diam berlanjut menekan, sehingga Wace merasa harus memecahnya.
"Selamat pagi, Pak," katanya. Sekarang perhatian Pak Cheeseman berpindah kepada Wace. Kumisnya melintir.
"Betul, Wace?"
Wace tak tahu harus menjawab apa dan ia mengikik gugup.
"Apa yang lucu, Wace? Ayolah, ceritakan, jangan disimpan sendiri," suara dalam itu menggelegar.
"Lucu, Pak? Tak ada yang lucu, Pak."
"Tapi tadi kau ketawa, Wace. Jadi, pastilah ada yang lucu. Atau kau begitu tololnya sampai ketawa tanpa sebab?"
"Saya tak merasa ketawa, Pak," suara Wace terdengar khawatir. Ia berusaha keras membebaskan diri dari situasi yang begitu cepat jadi gawat.
"Saya tidak mendengarnya ketawa, Pak," Webster berkata setia.
"Webster dan Wace, badut kembar kita," kata Pak Cheeseman sambil memandang ke wajah-wajah yang menghadap kepadanya. Kemudian dengan nada yang paling mengerikan, ia menambahkan, "Tapi lawakan bisa jadi amat berbahaya, maka hati-hatilah!"
Ia memungut buku latihan teratas dari tumpukan buku yang tadi dibawanya. Ternyata karangan dalam bahasa Prancis kemarin sore yang telah dikoreksinya.
"Brook?"
"Ada, Pak."
"Evans?"
"Ada, Pak."
"Perry mi?"
"Ada, Pak."
Sementara tiap anak menjawab panggilannya, buku latihan masing-masing melayang di udara. Yang gagal menangkap harus berdiri dengan buku itu di kepala.
“Tiap orang sudah mendapat buku?" tanya Pak Cheeseman.
"Belum, Pak. Bapak belum memberikan buku saya," kata Wace gugup.
"Aku juga tidak hams menyerahkannya, Wace Aku menahannya untuk presentasi istimewa. Coba maju ke depan."
Wace bangkit dan pelan-pelan berjalan mengitari bangku-bangku. Wajahnya sudah paham. Di muka panggung ia berhenti.
"Berdiri di sini, Wace," Pak Cheeseman berkata sambil menunjuk lantai di sebelah mejanya, "dan menghadap ke kelas."
Pak Cheeseman bangun, lalu melangkah, dan berdiri di belakangnya. Dengan satu tangan ia memegang buku Wace, tangan yang lain mencengkeram rambut di leher belakang Wace.
"Termasuk jenis kata apa maison, Wace?"
"E ... feminin, Pak."
"Lalu kenapa kau menulis le maison?" bentaknya sambil menarik rambut itu keras-keras.
"Uh!"
"Apa bentuk jamak dari hibou?"
"Saya tak bisa berpikir, Pak. Sakit, Pak."
Rambut itu dijambak lagi dan keluh kesakitan terdengar lagi.
"Ayo, Wace, bentuk jamak dari hibou?"
"H-I-B-O-U-S." Kali ini yang terdengar adalah teriakan. Pak Cheeseman menarik kepala Wace ke belakang.
"H-I-B-O-U-X, anak lalai! Kesalahan dalam karanganmu lebih banyak daripada biji yang ada di sebotol selai raspberry. Kau malas dan tidak memperhatikan, Wace."
"Ya, Pak."
"Jangan membantah," suara Pak Cheeseman mengguntur, sambil pelan-pelan memutar tangan yang sedang menggenggam rambut Wace.
Sekarang wajah Wace sudah merah dan air mata mengalir di pipinya.
"Menangis tidak mempan bagiku, Wace. Sore ini kau tinggal dan salin sepuluh halaman pertama dari buku Tata Bahasa Prancis. Aku akan datang mendengarkanmu dan jangan sampai ada kesalahan lagi. Sekarang kembali ke bangkumu!" Sementara berkata ditamparkannya buku itu ke atas kepala Wace, lalu melemparkannya ke punggungnya.
Sunyi sepi, yang terdengar cuma isak tangis Wace. Webster berusaha menghibur kawannya dengan memungutkan buku dan mencarikan pulpennya yang menggelinding jatuh dari bangku.
Masukkan ke buburnya
Sisa jam pelajaran benar-benar dilewatkan dengan perasaan tertekan. Tak ada seorang pun berani buka suara sebelum bel berbunyi dan Pak Cheeseman berlalu.
"Jangan khawatir, Wace," Kilby berkata, "tidak akan lama lagi."
"Tak bisakah kita mengutuk dia?" tanya Perry mi.
"Kutukan macam apa?" Marsden bertanya penuh minat.
"Kutukan yang membuat dia jatuh dan kedua kakinya patah."
"Bagaimana melakukannya?"
"Aku sendiri tak begitu tahu. Tapi kalau kita berpegangan tangan membentuk lingkaran, lalu menutup mata, dan mengucapkan mantera, mungkin bisa."
"Apa itu mantera?" tanya Webster.
"Kata-kata untuk melemparkan kutukan," Kilby menyela. "Tapi aku ragu apa kita bisa melakukannya. Kupikir racun masih yang paling tepat. Coba dengar. Aku dapat izin tidak ikut olahraga, karena kacamataku baru. Jadi, aku akan ke hutan mengumpulkan bahan-bahan beracun. Aku akan membaca buku dulu untuk melihat bahan apa yang menghasilkan racun paling ampuh."
"Aku ikut," kata Perry mi. "Ibu asrama mengizinkan aku tidak ikut olahraga karena flu."
Kilby mengangguk setuju. "Setelah makan siang kita segera berangkat, waktu anak-anak berganti pakaian."
Mendengar ini, bahkan Wace pun jadi tampak gembira. Hidup tanpa Cheesepot benar-benar mendekati firdaus.
Nigel Kilby yang terakhir masuk kelas, ketika mereka berkumpul kembali sebelum pukul 16.30. la membawa kotak karton yang langsung diselipkannya di bangku.
"Kau dapat apa?" Marsden bertanya.
Kilby membuka tutupnya dan mereka semua mencondongkan badan dan melihat isinya. Yang mereka lihat adalah beberapa buah berry pucat, sebatang akar mirip wortel, dan beberapa macan dedaunan.
"Apa itu semua beracun?" tanya Webster bersemangat.
Kilby mengangguk serius. Beberapa anak menarik kepalanya dari kotak. Yarrow bahkan menahan napas, siapa tahu ada yang mengeluarkan asap beracun.
"Namun, kau toh tak dapat menaburkan begituan ke buburnya," kata Marsden
"Tentu saja tidak. Racunnya harus dibuat dulu. Daun-daun ini harus direbus, lalu akar dan buah berry yang sudah ditumbuk dimasukkan. Bentuk terakhirnya yang racun."
Kilby melirik ke pintu sebelum melanjutkan. "Aku bawa kaleng. Akan kurebus daun-daun ini di kompor di depan kamar ibu asrama waktu dia pergi makan malam bersama staf. Namun, harus ada yang jaga di gang. Siapa tahu ibu asrama muncul terlalu cepat."
"Akan kulakukan itu," kata Marsden.
"Lebih baik Perry mi saja. Ia kecil dan dapat bersembunyi di kolong meja."
"Bagaimana bentuk racun itu nantinya?" Wace bertanya.
Nigel Kilby menatap dia lewat kacamatanya. Yang benar adalah ia sendiri tak tahu, tapi tak seorang pemimpin pun akan mengaku macam itu.
"Ya, bubuk biasa saja," katanya. "Kita akan menaburkannya di buburnya besok waktu sarapan. Kita tahu kebiasaan dia mengobrol dengan Pak Saunders setelah selesai membagi kita bubur. Waktu itulah akan kulakukan."
"Bagaimana kalau besok dia tidak makan bubur?" tanya Webster.
"Kita akan tunggu besoknya lagi. Ia selalu makan bubur."
"Minggu lalu sekali ia tidak makan bubur. Aku melihat."
"Itu karena malamnya ia baru minum-minum. Ia cuma begitu pada hari Senin." Kilby memandang keliling rekan-rekannya sebelas orang itu. "Jangan lupa, kita semua terlibat. Kita harus bersumpah tidak akan buka mulut apa pun yang terjadi. Kalau kita kompak, tak akan ada orang yang tahu."
"Tidak juga detektif Scotland Yard," tambah Wace, meledak penuh percaya diri.
"Jadi apa kita semua setuju, Cheesepot harus mati?" kata Kilby menatap wajah mereka satu demi satu.
Tiap orang mengangguk, walaupun beberapa dengan rasa khawatir.
Beberapa saat kemudian objek hukuman mati mereka melangkah masuk kelas. Agaknya ia sedang asyik pada pemikiran lain. Seharusnya itu pelajaran bahasa Inggris, tapi yang dikerjakannya cuma menyuruh mereka menulis sebuah esai.
Sementara anak-anak menulis, ia hanya menatap ke luar jendela dengan sorot mata marah. Ia bahkan tidak menjerit atau menangkap Wace waktu pulpen Wace jatuh. Hampir seolah-olah ia sadar bahwa hidupnya tinggal tak lama lagi.
Waktu sarapan yang mencekam
Keesokan harinya Nigel Kilby sudah terjaga waktu bel sekolah berbunyi pukul 07.30. Dia meloncat dari tempat tidur, mengenakan kacamatanya dan lari ke radiator. Di atas radiator itu semalam ia meletakkan campuran beracun itu supaya makin matang.
Dengan puas dilihatnya campuran itu sudah berubah jadi pasta berwarna kelabu. Didekatkannya campuran itu ke hidung, ternyata baunya mirip semir sepatu.
Dua puluh menit kemudian bel pertama berbunyi, tanda makan pagi. Di aula ruang makan, anak-anak duduk berkelompok menurut kelasnya.
Sebelum meninggalkan asrama Kilby telah memindahkan campuran racun ke sebuah kantung kertas, lalu membawanya di saku celana.
"Berapa banyak akan kau beri dia?" tanya Wace.
"Racun ini begitu mematikan. Rasanya tidak akan banyak."
"Bagaimana kau bisa menaburkannya?" tanya Perry mi.
"Kelihatannya kok lengket begitu."
"Akan kutaruh sedikit saja. Kalau Cheesepot kembali terlalu cepat, kau harus menendangku di kolong meja, Marsden."
"Apa kau tak takut ada sebagian yang masuk ke piringmu sendiri?" ada lagi yang bertanya. Ia menggeleng.
"Aku akan hati-hati sekali dan akan kucuci tangan begitu makan pagi selesai.”
Mendengar itu para pendengarnya jadi terdiam. Beberapa menit kemudian bel kedua berbunyi. Mereka berlalu teratur menuju aula ruang makan.
Pak Cheeseman lambat datang. Ia muncul persis ketika kepala sekolah akan mulai mengucapkan doa. Ia mengangguk sepintas ke arah anak-anak, lalu mulai menyendok bubur. Memang waktu sarapan ia tak pernah suka mengobrol, tapi pagi ini ada yang lain padanya.
Matanya tampak seperti kalau ia baru minum-minum malam sebelumnya, tapi tak ada bau alkohol. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang gawat.
Kilby menebak-nebak apakah anak-anak lain juga melihat perbedaan itu, sementara matanya sendiri yang juga amat berbeda dari biasa. Mata algojo.
Setelah setiap anak mendapat jatahnya, Pak Cheeseman mengisi mangkuknya sendiri, lalu seperti yang mereka harapkan, menuju meja Pak Saunders.
Kilby sudah memberi instruksi keras, kalau saat ini tiba, tiap anak harus makan seperti biasa dan tidak boleh memandang ke arahnya, karena ini bisa mengacaukan segalanya. Biarpun sudah diberi peringatan keras, Wace tetap saja mencondongkan tubuh ke depan, menatap dia seperti akan menyaksikan pertunjukan sulap.
Dia melotot kepada Wace, sedangkan Webster pada waktu yang sama menendang kakinya. Wace dengan kemalu-maluan cepat memegang sendoknya.
Sambil mengambil kantung kertas kusut dari sakunya, Kilby beringsut ke ujung bangku, sehingga segala geraknya akan terlindung dari pandangan orang lain, selain kawan-kawannya sendiri yang duduk di seberang meja.
Dengan cepat ia menuangkan empat tetes pasta ke mangkuk Pak Cheeseman. Pasta itu langsung tenggelam ke bawah permukaan bubur yang juga berwarna keabu-abuan.
Ia baru menghabiskan separuh buburnya sendiri, waktu Pak Cheeseman kembali ke meja dan duduk. Sementara dua belas pasang mata berusaha keras tidak memandang ke arahnya.
Suatu saat, Cheeseman agak tertegun dan seperti merasakan sesuatu di ujung lidahnya, tapi ternyata ia terus makan tanpa komentar. Setelah bubur menyusul daging asap dan sarapan diakhiri dengan sepotong roti yang diolesi margarin dan selai.
Kemudian kepala sekolah mendorong kursinya kembali ke bawah meja sambil berkata, "Saya akan mengucapkan doa bagi yang sudah selesai makan."
Beramai-ramai anak-anak yang sudah selesai makan keluar ruangan. Yang tinggal hanyalah para tukang melamun dan yang biasa makan lama.
Pak Cheeseman juga keluar ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun waktu makan. Kilby bingung dan Perry mi mengutarakan teori bahwa tentunya pak guru itu telah melihat bayangan malaikat maut.
"Berapa lama kerjanya?" tanya Webster kepada Kilby waktu mereka berjalan ke luar aula ruang makan.
Kilby cuma angkat bahu. "Sulit ditentukan."
"Kuharap itu berarti takkan ada bahasa Prancis."
Ternyata pelajaran sejarah pun tidak ada.
Sejarah seharusnya merupakan pelajaran pertama. Pada pukul 08.40, lima menit sebelum mulai, anak-anak sudah siap di bangku masing-masing.
"Jangan-jangan kulitnya berbintik-bintik dulu," bisik Wace kepada Webster.
"Aku tak ingin lihat dia mati di sini," kata Webster bergidik.
Ia sudah mati
Suara-suara dari kelas-kelas lain yang terdengar lewat gang perlahan hilang, menandakan guru-guru sudah masuk kelas untuk memulai tugasnya. Tak ada tanda-tanda datangnya Pak Cheeseman. Pukul 08.45. Kurang sepuluh, kurang lima. Tetap Pak Cheesepot tak muncul.
"Pasti sudah bekerja," bisik Marsden serak. Kilby menelan ludah dengan gugup. "Maksudku, ia belum pernah selambat ini. Sekarang mau apa kita?"
"Kalau dia belum juga datang waktu bel pukul 09.00, aku akan pergi melihat-lihat," kata Kilby.
Rasanya cepat sekali waktu bel berbunyi pukul 09.00 menggelandang mereka semua ke rasa tegang luar biasa.
Kilby bangun. "Semua orang diam di tempat. Kalau ada yang datang bilang aku pergi mencari Cheesepot."
la menyelinap pergi, pintu kelas dibiarkannya separuh tertutup. Rasanya belum pernah kelas mereka bisa tinggal diam dan tenang sampai begitu lamanya. Bahkan Webster dan Wace pun tidak berbisik-bisik.
Seperempat jam kemudian Kilby kembali. Dari wajahnya tampak benar bahwa sesuatu telah terjadi. Wajahnya pucat dan di balik kacamatanya, kedua mata itu terus berkedip-kedip. la basahi bibirnya.
"Ia sudah mati," suaranya gemetar. “la tergeletak di lantai gudang tempat mesin pemotong rumput."
Berita itu disambut dengan diam mencekam, diiringi beberapa helaan napas. Sudah berhasil, tapi reaksi yang mereka alami tidak seperti yang telah mereka bayangkan. Tak ada keinginan bersorak atau menabuh meja. Yang ada cuma rasa khawatir dan takut.
Perry mi-lah yang pertama memecah kesunyian.
"Kau memegang nadinya?" tanyanya.
Kilby menggeleng. "Aku tidak masuk ke dalam gudang. Kuintip dari lubang kunci dan kulihat ia tergeletak."
"Bagaimana kau tahu itu Cheesepot?" tanya Marsden.
"Dari jaketnya. Kotak-kotak hitam putih yang ia pakai tadi pagi waktu makan. Mestinya ia sedang membungkuk di atas mesin itu waktu jatuh."
"Mungkin ia masih bernapas sekarang," suara Perry mi terdengar khawatir.
"Tidak, ia sudah mati. Kalau masih bernapas, pasti aku bisa melihat dadanya turun-naik."
"Mau apa kita sekarang?" Wace bertanya, nadanya panik.
Pertanyaan itu dijawab dengan munculnya Pak Repping, si kepala sekolah, di pintu.
"Sedang apa kalian?" tanyanya tajam. "Di mana Pak Cheeseman?"
"Tidak tahu, Pak," jawab Kilby. "Ia belum kelihatan."
"Belum kelihatan! Tapi ia 'kan ada waktu makan tadi."
"Ya, Pak," suara anak-anak seperti koor.
"Nah, sekarang kerjakan sesuatu, sementara kulihat ada apa dengan dia. Jangan ribut, mengerti?”
"Boleh saya usul, Pak?" kata Kilby.
"Ya, apa Kilby?"
"Pak Cheeseman sering pergi ke gudang tempat mesin pemotong rumput di antara waktu sarapan dan jam pertama, Pak."
"Aku tahu itu, Kilby."
"Maaf, Pak. Saya cuma berpikir mungkin baik juga menengok ke sana. Siapa tahu ia mengalami kecelakaan dan tak bisa bangun."
Pak Repping mengerutkan alisnya. "Rasanya itu terlalu jauh. Kau membayangkan yang tidak-tidak saja, Kilby. Sekarang mulai bekerja sementara aku mengurus soal ini."
Setengah jam kemudian kepala sekolah kembali. Setengah jam yang begitu lama dan menyiksa. Anak-anak cuma bekerja sedikit. Waktu ia kembali, mata anak-anak terhujam padanya ketakutan menanti bagaimana ia akan mengabarkan berita itu.
"Ya, kurasa untuk sementara misterinya belum juga terpecahkan," katanya singkat. "Telepon ke rumah Pak Cheeseman tidak menyahut, sehingga pastilah ia dan Bu Cheeseman sedang pergi. Pak Price bebas pada jam setelah ini. Akan kuminta ia mengajar kalian. Apa pelajaran kalian berikutnya?"
"Prancis, Pak," jawab Marsden ketika tak seorang pun menjawab.
"Baik, tetap tinggal di kelas. Aku akan bicara dengan Pak Price."
"Maaf, Pak."
"Apa Bapak tidak melihat ke gudang?"
"Aku sudah ke sana, Kilby. Sudah kukatakan kau terlalu membayangkan yang tidak-tidak. Tidak tampak tanda apa pun dari Pak Cheeseman tergeletak di sana."
Tetap kompak
Lima puluh menit pelajaran bahasa Prancis dengan Pak Price yang baik dan lembut mestinya seperti pesta saja; tapi bagi kelas itu ternyata belum pernah menit-menit berlalu begitu lamanya. Rasanya seakan istirahat pagi tak akan tiba juga.
Waktu istirahat tiba, Nigel Kilby dihujani pertanyaan yang pasti akan membuat orang grogi kalau kurang percaya diri. Namun, ia tetap pada teorinya dan kelihatan tidak terguncang. Cheesepot benar-benar tergeletak di samping mesin pemotong rumput.
Jaket kotak-kotak hitam putihnya tak salah lagi. Kalau waktu Pak Repping ke sana ia sudah tidak tampak, cuma ada satu hal. Tubuhnya telah dipindahkan.
"Tapi siapa yang memindahkannya, Kilby?"
"Kenapa?"
Untuk pertanyaan ini Kilby tidak berpura-pura punya jawaban. Kartu truf yang selalu diulang-ulangnya adalah bahwa kenyataannya Cheesepot lenyap.
"Pencurian mayat bukan barang baru," tambahnya dengan nada orang berpengalaman.
Demikianlah hari terus berjalan, sementara kedua belas juri Pak Cheeseman terombang-ambing dalam spekulasi.
Menurut Perry mi, mungkin seperti hewan liar yang mendekati ajal, Cheesepot telah pergi ke sebuah gua untuk mati di sana. Kilby meruntuhkan teori ini dengan mengatakan bahwa itu tidak cocok dengan kenyataan.
"Sekarang aku menyesal kita telah menghukum mati dia," bisik Wace kepada Webster di ranjang sebelahnya.
"Aku juga," kata Webster. "Aku takut."
Pagi berikutnya, waktu makan pagi ketua kelas duduk di ujung meja dan membagi-bagikan bubur. Kemudian itu dan Marsden melewatkan waktu dengan bicara soal sepak bola di Inggris di musim yang akan datang ini.
Waktu makan pagi selesai, tampak para guru saling berbisik. Pak Cheeseman tetap tak tampak batang hidungnya.
Dua puluh menit sebelum pukul 09.00, anak-anak duduk di bangku masing-masing sambil menebak-nebak apa yang bakal terjadi. Pelajaran pertama mereka bahasa Latin dan mungkin kepala sekolah sendiri yang akan mengajar mereka.
Kilby sudah mengingatkan mereka semua untuk tetap tidak membocorkan rahasia.
Langkah di gang yang makin mendekat, membuat mereka semua diam. Sejenak kemudian kepala sekolah mereka masuk, diikuti seorang asing.
Bukan pengadilan
Pak Repping naik ke panggung di depan kelas. Tangannya mencengkeram kedua sisi mimbar meja guru di depannya. Si orang asing berdiri di sampingnya. Matanya berkelana dengan tenang ke wajah-wajah di kelas itu.
Matanya biru dan memberi kesan tak pernah ada yang terlewat dari mata itu. Terang ia bukan tergolong jenis tiran macam Pak Cheesepot, tapi ia juga tidak tampak lemah.
Pikiran itu berkelebat di kepala beberapa anak, sementara mereka mencoba mengukur orang itu. Itulah sebabnya mereka seperti disengat listrik waktu mendengar kepala sekolah berkata,
"Anak-anak, ini Inspektur Detektif Cartwright. Ia ingin bertanya-tanya sedikit kepada kalian tentang lenyapnya Pak Cheeseman. Saya berharap kalian menjawab dengan jujur." Ia menoleh kepada polisi itu.
"Saya ada di kantor kalau Anda membutuhkan saya, Inspektur." Berpaling kembali ke wajah-wajah tengadah penuh kekhawatiran, ia menambahkan, "Inspektur Cartwright ingin bicara dengan kalian sendirian. Itu sebabnya saya akan meninggalkan kelas ini. Kalau ada yang berlaku tidak semestinya, ia pasti akan melapor kepada saya."
Inspektur memperhatikan kepala sekolah pergi dan menunggu sampai pintu ditutup. Lalu ia memandang anak-anak dan mengedipkan mata.
"Kalian tampak seperti di pengadilan saja," suaranya kedengaran senang.
Kilby menelan ludah dan beberapa anak lain tersipu-sipu. Semuanya tak luput dari perhatiannya.
"Seperti yang sudah dikatakan pak kepala sekolah, saya ingin bertanya sedikit tentang Pak Cheeseman. Kapan kalian melihat dia terakhir kali?"
"Waktu makan pagi kemarin, Pak," Kilby menjawab setelah tak seorang pun menjawab.
"Jadi, pukul 08.00. Betul? Ia tidak muncul pada pelajaran pertama pukul 08.45, betul?"
"Ya, Pak," kata Kilby, sementara yang lain menganggukkan kepala.
"Apa ada di antara kalian yang pergi mencari dia?" Inspektur Cartwright jadi sadar bahwa sekarang tak seorang pun memandang ke arahnya lagi. Semua mata tiba-tiba mengarah ke bawah. "Tak ada seorang pun yang pergi mencari dia? Bukankah itu wajar sekali?"
"Saya pergi, Pak," akhirnya Kilby berkata.
"Siapa namamu?"
"Kilby, Pak."
"Ke mana kau pergi mencari, Kilby?"
"Ke gudang tempat menyimpan mesin pemotong rumput, Pak."
"Ah! Itu sebabnya kau mendesak Pak Repping untuk melihat ke sana, ya. Apa yang kau temukan?"
Mayat siapa?
Kilby menelan ludah dengan susah, lalu memandang langsung kepada Inspektur Cartwright. "Saya melihat mayatnya, Pak, waktu saya mengintip lewat lubang kunci. Ia tergeletak samping mesin pemotong rumput. Saya mengenali jaketnya, Pak."
"Tentunya kau kaget, ya?"
"Ya, Pak."
"Tapi tidak kaget betul?"
"Pak?"
"Melihat dia mati di lantai itu?" Bahkan Kilby pun tak berdaya di depan Pak Inspektur.
“Tidak, Pak," katanya cuma berbisik.
"Bukan guru yang cukup disukai, kukira?"
"Bukan, Pak!"
"Ada yang menyukainya?" Ia memandang anak-anak satu per satu.
"Ia guru yang paling tidak disukai di seluruh Inggris, Pak," cetus Perry mi.
Inspektur Cartwright mendengarkan berita itu dengan bibir ditekan dan anggukan serius.
"Tentunya kalian lega dia tidak akan mengajar kalian lagi." la berhenti sebentar. "Ya, kukira cuma itu ... kecuali bila ada yang ingin bertanya."
Semua kepala menengok ke arah Kilby, yang tampaknya sedang mengalami perjuangan batin.
"Bapak sudah menemukan mayatnya?" akhirnya ia bicara juga.
Inspektur Cartwright kelihatan serius. "Ya di sebuah celah puncak tebing sana. Kami tak akan bisa menemukannya kalau tak ada yang memberi tahu."
"Tapi siapa yang membawanya ke sana, Pak?”
"Mayat siapa yang sekarang sedang kita bicarakan?" Nada bertanya Inspektur Cartwright bingung-bingung menggoda.
"Pak Cheeseman, Pak," setengah lusin suara menyahut.
"Oh! Oh, ia sekarang ada di kantor polisi."
"Jadi, mayat siapa yang ada di tebing, Pak?" suara Kilby benar-benar bingung.
"Bu Cheeseman."
"Cuma mayat dia yang saya ketahui."
"Tapi saya pikir Bapak tadi berkata bahwa Pak Cheeseman ...."
"Ada di kantor polisi dengan tuduhan membunuh istrinya. Kami menangkapnya di luar Kota Dover tadi malam. Ia dan kawan wanitanya baru akan menyeberangi Selat Dover menuju Prancis, tapi ia dikenali orang waktu masuk ke sebuah toko obat. Rupanya sepanjang hari itu perutnya sakit melilit-lilit. Tanpa adanya sakit itu, pastilah ia sudah lolos."
Mata Inspektur Cartwright berbinar agak aneh sementara ia meneruskan, "Dia sudah menceritakan semuanya kepada kami, termasuk bagaimana ia mendandani sebuah guling tua dengan jaket dan celananya dan meletakkannya di gudang, yang langsung diambilnya kembali begitu telah dilihatnya Kilby mengintip lewat lubang kunci.”
“Dia pikir ia dan kawan wanitanya akan dapat melarikan diri ke luar negeri dan mayat istrinya tak bakal ditemukan orang, sehingga misteri itu tak akan mungkin terungkap. Anggapan orang pasti si istrilah yang telah membunuhnya lalu menghilang, tapi sakit perutnya itu yang menggagalkan dia. Semua itu cuma karena ia meremehkan kalian dalam membuat bubur jadi lebih enak daripada biasanya."
Inspektur Cartwright turun dari panggung untuk pergi, tapi ia berhenti lagi. "Saya ingin memberi kalian dua nasihat saja. Pertama, jangan jadi hakim sendiri. Kedua, kalaupun itu kalian lakukan, yakinkan calon korban tidak sampai mencuri dengar rencana kalian."
Sampai di pintu ia berkata lagi, "Tapi dari apa yang sudah terjadi, agaknya kalian berhasil sangat baik di dua hal. Menyingkirkan guru galak dan menolong polisi menangkap seorang pembunuh.
(Michael Underwood)
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304480/pembunuhan-di-st-oswalds" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265407000) } } [5]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3106403" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/01/21/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220121072133.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(14) "H Ashton-Wolfe" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9354) ["email"]=> string(17) "intiplus@mail.com" } } ["description"]=> string(67) "Sebuah upacara pemanggilan arwah, malah membuat seseorang terbunuh." ["section"]=> object(stdClass)#92 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/01/21/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220121072133.jpg" ["title"]=> string(26) "Almarhum Menuntut Keadilan" ["published_date"]=> string(19) "2022-01-28 19:56:13" ["content"]=> string(22787) "
Intisari-Plus - Terjadinya di Neuilly, Prancis, pada awal abad XX di mana orang masih percaya pada kemungkinan untuk bertemu dengan arwah orang-orang yang sudah almarhum.
Orang yang dianggap bisa mengundang arwah almarhum disebut medium atau perantara. Pertemuan dengan arwah orang yang telah meninggal disebut seance.
Di bawah ini bunyi laporan Rousseau, seorang anggota kepolisian, kepada atasannya, Bertillon, mengenai jalannya peristiwa. "Kemarin sore, delapan orang mengadakan seance di rumah Pal Cainette, seorang medium, di Vila Plaisance, Neuilly. Seance diorganisir oleh Madame Lafargue yang rupanya sangat percaya pada kekuatan medium dan telah beberapa kali menyelenggarakan seance dengannya.
Ternyata Canette sendiri telah berulang kali menipu, tetapi masih banyak orang percaya kepadanya. "Seperti biasa lampu-lampu dipadamkan dan semua hadirin meletakkan tangan mereka di atas sebuah meja bundar. Lama tidak terjadi apa-apa. Tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dalam bahasa Spanyol. Jelas bukan suara Canette. Sebagai medium dia tidak berbicara. Nampaknya tak seorang pun di antara hadirin bisa berbahasa Spanyol."
"Setelah suara berhenti (ia berbicara sebentar saja) terdengar teriakan, kemudian suara orang jatuh. Segera lampu dinyalakan. Medium pingsan, terkulai di kursinya masih dalam keadaan terikat dengan tali seperti ketika lampu belum dipadamkan. Seorang bernama Janos tergeletak di lantai. la telah mati. Di dadanya tertancap sebuah pisau belati."
Sekian laporan Rousseau.
Segera setelah kejadian itu Madame Lafargue memanggil polisi dan dokter. Hadirin tak boleh meninggalkan ruangan.
Medium nampaknya sama sekali tak sadar dan harus dibawa ke kamar lain. Mengenai korban, ia dibiarkan tergeletak di tempat jatuhnya, demi penyelidikan oleh pihal kepolisian.
Noda tangan berdarah di dada korban
Di bawah pimpinan Bertillon polisi mengadakan penyelidikan saksama. Vila Plaisance bentuknya berbeda dengan rumah-rumah sekitarnya. Coraknya kuno, di depan rumah ada halaman luas berpagar besi kuat- Bagian belakang berbatasan dengan jalan trem. Di seberang rel terbentang hutan.
Kamar seance terletak di tingkat pertama. Di depan pintu kamar tergantung gorden beludru, hitam dan berat. Demikian pula di depan semua jendela ada gordennya dan dari bahan yang sama. Langit-langit kamar itu tinggi, dicat hitam.
Pada langit-langit itu tertempel bintang-bintang perak dan bulan sabit. Lantai dilapisi permadani tebal sehingga langkah-langkah orang takkan terdengar. Ketika polisi masuk masih tercium wewangian yang khas baunya.
Ketika seance berlangsung, katanya, semua pintu terkunci dari dalam.
Anak kunci diselidiki, ternyata tidak berlubang. Tetapi dari luar, ujung anak kunci itu bisa dicapit dengan ouistiti, sebuah tang spesial yang cocok untuk semua lubang kunci. Sistem peredaman suara di dalam ruangan seance itu demikian sempurnanya, hingga dari dalam tak mungkin orang mendengar suara "klek" kunci yang diputar.
Di dalam kamar ada beberapa lampu dinding, di samping lampu gantung di tengah ruangan. Semua lampu ini dapat dinyalakan dengan tombol-tombol pada pintu masuk.
Sepanjang dinding berderet beberapa meja, sedangkan di tengah ruangan ada meja bundar dari kayu mahoni. Di sekitar meja masih ada beberapa kursi yang dua di antaranya terbalik.
Korban menggeletak di lantai, kakinya yang satu tersangkut pada kaki kursi yang didudukinya. Tangkai pisau belati yang menamatkan hidupnya nampak mengkilap di dadanya, tepat di atas jantung. Permadani di bawahnya berlumuran darah.
Korban pembunuhan itu seorang lelaki setengah umur, mukanya bulat gemuk dan berkumis pendek. Rambutnya yang hitam mengkilap dan warna kulitnya yang kelam menimbulkan dugaan bahwa ia orang Eropa Selatan. Sebuah cincin emas mengkilap menghiasi tangannya yang berlumuran darah. Nama orang itu Kurt Janos.
Tak jauh dari tempat korban menggeletak ada kursi bersandaran tangan. Di kursi itu masih nampak tali-temali yang diputus pada beberapa tempat.
Inilah tempat duduk Canette, yang sebagai medium biasa diikat erat pada kursinya. Tali-temali diputus untuk melepaskan medium yang ternyata pingsan ketika lampu-lampu dinyalakan kembali.
Bertillon memerintahkan agar anak buahnya bekerja dengan hati-hati. Terutama meja bundar jangan disentuh permukaannya, karena benda ini akan merupakan "buku terbuka" bagi polisi. Sebab dalam séance semua hadirin meletakkan tangannya di atas meja itu. Juga kursi-kursi diperlakukan dengan hati-hati.
Ketika diperiksa ternyata di atas meja bundar itu sidik jari para hadirin nampak jelas. Dua orang yang duduk di kiri-kanan medium hanya meletakkan satu dari kedua tangan mereka di atas meja. Pada semua bekas jari di atas meja itu tidak nampak bekas jari kelingking satu pun.
Ini semua cocok dengan cara seance dilangsungkan. Para hadirin saling berpegangan dengan jari kelingkingnya. Dua orang yang duduk di samping medium memegang yang terakhir ini dengan tangannya yang satu. Maka mereka juga hanya meninggalkan bekas satu tangan.
Kurt Janos jelas ditikam dari depan. Tetapi menurut polisi, tak mungkin perbuatan ini dilakukan oleh hadirin yang duduk berhadapan dengannya. Sebab meja bundar itu bergaris tengah 1,5 m. Kini mayat korban diperiksa dengan teliti. Bertillon terkejut. Tepat pada bagian tengah kemeja putih korban nampak bekas tangan berdarah dengan jari-jari yang dikembangkan.
Seolah-olah pembunuh sengaja hendak meninggalkan petunjuk tentang identitasnya.
Bekas tangan berdarah ini menimbulkan teka-teki bagi polisi. Sebab, menurut laporan, belum lagi satu menit setelah korban jatuh, lampu-lampu sudah dinyalakan. Dalam waktu sesingkat itu di ruangan yang gelap gulita, bagaimana mungkin seseorang dapat membuat tanda bekas itu, tepat di tengah kemeja?
Bekas itu merah darah. Tetapi pada saat korban ditikam, darah belum mengalir di atas permadani. Bekas-bekas darah di atas meja juga sama sekali belum disentuh orang. Apalagi berkat kesigapan tindakan Madame Lafargue, para hadirin tak sempat meninggalkan ruangan untuk mencuci tangan mereka. Polisi melihat sendiri bahwa tak seorang pun di antara mereka yang tangannya berlumuran darah.
Bertillon selanjutnya memeriksa letak pisau belati. Jelas bahwa senjata tajam itu ditusukkan dari atas, menyerong ke bawah. Belati segera dikirim ke laboratorium untuk diperiksa, apakah ada bekas-bekas sidik jarinya. Bagian kemeja yang ada bekas tangan berdarah digunting dan juga dikirim ke laboratorium guna pemeriksaan.
Sinar hijau lemah di atas meja
Menyusul kini penyelidikan atas semua hadirin pada seance di Vila Plaisance. Keterangan yang diperoleh adalah sebagai berikut. Madame Lafargue terkenal sebagai seorang wanita yang mempunyai minat besar terhadap masalah-masalah psikologi.
la mengundang beberapa sahabat dan kenalannya untuk menghadiri seance di Vila Plaisance untuk menguji medium Canette.
Ketika untuk pertama kalinya datang di Paris,' Canette menarik perhatian besar kalangan orang-orang yang percaya kepada spiritisme, tetapi beberapa kali kemudian ia terlibat dalam penipuan, sehingga pengaruhnya berkurang. Namun masih ada juga orang yang percaya kepadanya. Dalam surat-surat kabar terjadi perdebatan mengenai dia. Sementara orang masih percaya akan kemampuannya sebagai medium sekalipun ia kadang-kadang menipu.
Tujuan Madame Lafargue dengan seance-nya adalah menyelidiki dan menentukan sejauh mana Canette bisa dipercaya.
Canette setuju. Hanya saja ia minta agar seance itu dihadiri oleh wartawan, yang diundang oleh medium untuk menyaksikan seance, kemudian membuat laporan. Dialah Kurt Jonas, seorang reporter majalah "spiritisme".
Madame Lafargue berusaha mencegah segala kemungkinan penipuan. Dia sendirilah bersama Janos yang mengikat Canette pada kursinya. Dia pulalah yang memadamkan lampu untuk kemudian duduk di samping Janos.
Medium segera "kerasukan roh" dan dalam kegelapan terdengar suara yang parau seperti orang mendengkur. Sesaat kemudian dari sudut ruangan bergema suara keras tajam yang berteriak, "Rafael Cortez, Rafael Cortez."
"Lafalnya jelas bukan lafal Prancis, terutama 'o'-nya," demikian Madame Lafargue.
Sebentar suasana sunyi senyap. "Saya kira itulah roh ', yang datang. Baru saja saya mau mengajukan pertanyaan kepadanya, tiba-tiba tangan saya yang memegang Janos diguncang-guncangkan."
"Lalu menyusul kalimat-kalimat menggeledek, saya kira bahasa Sapnyol. Saya tak dapat menangkap artinya. Yang jelas nadanya mengancam dan penuh sorak kemenangan. Setelah sorak berhenti saya melihat sinar hijau lemah di atas meja. Pada saat itu juga Janos menggeram kesakitan. Saya dengar kursinya terbentur meja sebelum orangnya jatuh terkapar di lantai."
"Semua hadirin berteriak-teriak ketakutan. 'Lampu, lampu, lekas!' teriak seseorang. Sebelum saya mencapai tombol lampu, ternyata telah ada orang lain yang berhasil mencapainya lebih dahulu. Setelah lampu menyala, jelaslah apa yang terjadi."
Cerita Madame Lafargue ini dibenarkan oleh hadirin lainnya.
Polisi diintip
Mengenai medium Paul Canette, setelah sadar kembali ia menyatakan bahwa selama terjadi keributan ia sendiri dalam keadaan trance, seperti kesurupan roh sebagaimana terjadi pada seorang medium. Dalam keadaan itu ia hanya merasa samar-samar akan apa yang sedang terjadi. Tepatnya apa, ia tak tahu.
Canette gemetar ketakutan, hampir seperti orang histeris. Dokter menyatakan bahwa jiwanya menderita guncangan hebat. Maka dokter menganggap perlu menugaskan seorang perawat untuk menjaganya bersama seorang polisi.
Setelah mengambil sidik jari dan membuat foto dari setiap hadirin, polisi meninggalkan Vila Plaisance. Hari berikutnya pemeriksaan di laboratorium memberikan data-data lebih lanjut. Pada tangkai pisau belati memang terdapat bekas jari, satu saja.
Tak dapat disangsikan bahwa bekas jari itu sama seperti yang terdapat pada kemeja korban. Yang lebih penting lagi: tak seorang pun di antara mereka yang menghadiri seance maut itu sidik jarinya sama dengan sidik jari pada belati dan kemeja Janos.
Kalau pembunuh bukan salah satu di antara hadirin, lalu siapa? Koran-koran Paris mulai membuat tafsiran-tafsiran yang penuh dengan fantasi dan khayalan tentang pertemuan dengan roh halus yang minta korban jiwa ini.
Sekali lagi petugas kepolisian menyelidiki ruangan seance, untuk melihat apakah ada kamar-kamar atau jalan-jalan rahasia.
Petugas tertarik pada langit-langit ruangan seance yang dihiasi dengan bintang-bintang dan bulan sabit. Maka ia naik ke tingkat atasnya, untuk menyelidiki apakah dari sana ada lubang-lubang rahasia yang menuju ke kamar seance.
Ruangan di atas kamar seance itu sedikit mebelnya dan lantainya yang terbuat dari papan tidak tertutup permadani. Sambungan papan-papan diperiksa satu per satu oleh petugas. Ternyata semuanya terpaku kokoh.
Petugas kemudian mengeluarkan lensa pembesar untuk dapat melihat jelas. Pada saat itu ia merasa diintip oleh seseorang.
Cepat-cepat ia berpaling. Terlihat kelebat lelaki masuk kamar di ujung gang. Kemudian terdengar seorang wanita berteriak ketakutan. Ternyata lelaki itu Paul Canette yang meninggalkan kamar tempat ia dirawat untuk mengintip polisi yang sedang menyelidiki. Wanita yang berteriak ialah perawat yang menunggui Paul Canette atas perintah dokter setelah medium itu jatuh pingsan ketika Jonas terbunuh.
Atas pertanyaan polisi, Canette menyatakan bahwa setelah terjadi peristiwa pembunuhan sarafnya terus-menerus menegang. Karena perawat tidur dan ia mendengar sesuatu, ia keluar ingin melihat apa yang terjadi demi ketenangan sarafnya.
Polisi menjadi curiga dan sejak itu penjagaan terhadap Canette diperkeras secara bergilir.
Sidik jari orang mati
Sementara itu Bertillon telah memperoleh data baru tentang Canette. Nama sebenarnya adalah Rafael Cortez, berasal dari Meksiko. Namanya tidak baik, tetapi bisa juga disebut penjahat. Sejak muda ia sahabat Janos yang dilahirkan di Hongaria dan sepanjang pengetahuan polisi belum pernah dihukum.
Hanya saja, kedua orang itu anggota sebuah perkumpulan rahasia. Beberapa tahun yang lalu mereka ditangkap bersama seorang Italia bernama Marinetti. Cortez dan Janos dibebaskan, sedangkan Marienetti dijatuhi hukuman penjara tidak begitu lama dan dibuang.
Dua tahun kemudian seorang wanita kaya bernama Yvonne d'Argent terbunuh dan perhiasannya dirampas. Saat itu Marinetti diam-diam telah kembali ke Paris. Berdasarkan petunjuk yang ada ia ditunjuk sebagai pembunuh Yvonne d'Argent. Saksi utama yang memberatkannya adalah Cortez, sahabat almarhumah.
Marinetti dijatuhi hukuman mati, tetapi keputusan ini kemudian diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup di Cayenne. Beberapa tahun kemudian Marinetti tertembak mati. Laporan kematiannya tercantum dalam kartu dan buku catatan penjara.
Dufresne, seorang petugas yang menghadiri proses Marinetti, melaporkan bahwa tertuduh sampai saat terakhirnya menyangkal kejahatan yang dialamatkan kepadanya. Ia mengatakan bahwa Cortez dan Janos-lah yang membunuh wanita itu, tetapi dengan liciknya mengusahakan Marinetti-lah yang namanya bersalah.
Ketika keputusan hakim dibacakan, Marinetti berteriak, "Hidup atau mati aku akan menemukan kalian, setan! Josetta akan menolongku!" Tidak diketahui siapa Josetta. Tetapi sidik jari pada pisau belati dan kemeja Kurt Janos adalah sidik jari penjahat almarhum.
Terjadi perdebatan antara petugas-perugas kepolisian. Pihak yang satu rupanya percaya bahwa roh masih dapat berkeliaran di dunia untuk melakukan kejahatan, sedangkan pihak lain menganggap hal itu tak masuk akal.
Yang terakhir ini berpendapat bahwa di belakang peristiwa pembunuhan di kamar séance itu tersembunyi tipu muslihat yang lihai. Siapa tahu wanita misterius "Josetta" memegang peranan penting.
Akhirnya, diputuskan untuk melakukan rekonstruksi kejahatan pada hari berikutnya. Sementara itu dari gubernur Cayenne telah diterima kawat yang menyatakan bahwa Marinetti tertembak kepalanya oleh seorang penjaga penjara, dan dikubur di tempat ia menemui ajalnya.
"Ingat pada Josetta!"
Ketika rekonstruksi seance akan dilakukan, Canette masuk ke dalam ruangan. Tetapi polisi membentaknya, "Masa lampau Anda telah kami ketahui. Jika tak mau ambil bagian dalam rekonstruksi, Anda akan kami tahan sebagai pembunuh Janos."
Meja dibersihkan dan semua yang dahulu menghadiri seance maut (Kecuali Janos tentu saja, yang kini digantikan oleh polisi Rousseau) meletakkan tangan mereka di atas meja. Segala-galanya dilakukan tepat seperti pada malam pembunuhan. Rafael Cortez diikat pada kursinya, seperti dulu juga.
Baru saja polisi mengamat-amati cara duduk dan sedang memberi komentar bahwa Janos tak mungkin ditusuk oleh orang yang berhadapan dengannya mengingat garis tengah meja yang cukup panjang, tiba-tiba lampu mati.
"Cepat! Nyalakah lagi lampunya!" perintah Dufresne kepada seorang anak buahnya.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan, "Jangan sekali-kali bergerak!"
Seketika itu juga Madame Lafargue menjerit, "Si pembunuh! Si pembunuh! Itulah suaranya!"
"Siapa kau?!" teriak Dufresne keras. Terdengar lagi, "Rafael Cortez, Rafael Cortez, La muerte esta aquil (Almarhum di sini). Ingat pada Josetta!"
Menyusul kemudian erang orang kesakitan. Semua hadirin berteriak dan menjerit. Terdengar bunyi kursi-kursi yang jatuh dan terbalik. "Gunakan lampu senter!" teriak Dufresne putus asa.
Baru setelah itu seorang hadirin sadar dan menyorotkan senternya. Nampak para peserta rekonstruksi kejahatan gemetar dan saling berpegangan tangan, sedangkan Rousseau memegang pistolnya.
Ketika berkas cahaya jatuh pada Canette, jelaslah apa yang telah terjadi. Medium itu terkulai di depan kursinya, tertahan oleh tali-temali yang mengikat tubuhnya. Di tengkuknya tertancap pisau belati dan di atas kepalannya yang botak terlihat bekas bekas merah sebuah tangan.
"Nyalakan lampu," perintah Bertillon. "Masakan cuma ada satu lampu senter," tambahnya. "Tenang! Pintu jangan dibuka sebelum segelnya diperiksa."
Lambat laun hadirin agak tenang. Dengan seorang rekan, Rousseau turun ke bawah untuk menyelidiki mengapa lampu mati. Maka diambillah lampu dari mobil polisi yang diparkir di halaman rumah. Paul Canette diperiksa lebih lanjut.
Pisau ternyata tertanam di celah-celah tulang lehernya. Dokter yang segera datang hanya dapat menyaksikan bahwa medium itu sudah tak bernyawa.
Sementara itu Rousseau dan rekannya kembali. Lapornya kepada Bertillon, "Seseorang telah mencabut stopkontak utama. Mestinya tangan orang itu terbakar karena aliran listrik besar sekali." Memang stopkontak utama itu tidak dijaga polisi. Yang dijaga hanya schakelbord di dapur.
Semua pelayan rumah diperiksa. Ternyata ada seseorang bernama Jules Ruick, yang terbakar jari tangannya. la segera dibawa ke kantor polisi. Sampai tengah malam ia "digarap" oleh polisi hingga akhirnya membeberkan seluruh latar belakang peristiwa.
Ruick bekas anggota perkumpulan rahasia yang dipimpin oleh Cortez, seperti juga Marinetti. Ia mempunyai rasa dendam terhadap Cortez yang meninggalkan anak buahnya ketika komplotan jahatnya terbongkar.
Maka ketika tiba-tiba "almarhum" Marinetti muncul kembali untuk menuntut balas pada Cortez, Ruick bersedia menolongnya. Setelah lama mencari akhirnya mereka menemukan Cortez di bawah nama Paul Canette yang menjadi medium dan dibantu Janos. Ruick melamar sebagai pelayan Canette dan diterima.
Setelah beberapa bulan, Ruick diberi tahu tentang pintu rahasia yang menuju kamar seance. Melalui pintu itulah ia diharapkan menolong "pengundang arwah-arwah" yang dilakukan oleh Canette.
Pengetahuan ini digunakannya untuk menolong Marinetti menuntut balas pada Cortez dan Janos. Melalui pintu rahasia itulah Marinetti masuk kamar seance untuk membunuh keduanya. Dari situ juga ia masuk ke kamar yang sama untuk meninggalkan bekas tangan berdarah pada kemeja Janos, yaitu setelah mayat dikunci polisi dalam kamar seance untuk diperiksa lebih teliti pada kesempatan berikutnya.
Kisah Ruick memudahkan pekerjaan polisi. Seminggu kemudian Marinetti tertangkap, yaitu ketika pembunuh itu dengan menyamar sebagai perempuan tua hendak naik perahu yang akan membawanya ke Calao.
Dikuntit terus
Riwayat hidup Marinetti, seperti yang terungkap kemudian, merupakan suatu tragedi yang menyedihkan. Orang tuanya berasal dari Palermo dan pindah ke Amerika ketika ia masih kanak-kanak. Setelah dewasa ia bekerja pada suatu peternakan sapi di Colpaz. Di sini ia berkenalan dengan Cortez dan bergabung dengan gerombolannya.
Josetta adalah istrinya yang berasal dari keluarga orang kaya berdarah Spanyol. Karena jatuh cinta pada Marinetti, gadis ini sampai-sampai meninggalkan orang tuanya untuk mengikuti lelaki yang mencintainya setulus hati.
Josetta mempunyai pengaruh baik terhadap suaminya, yang atas desakannya mau meninggalkan gerombolan Cortez. Pasangan bahagia ini meninggalkan Amerika dan pergi ke Marseille, Prancis, di mana mereka sebentar hidup tenang.
Marinetti bekerja pada sebuah perusahaan impor di kota pelabuhan itu. Tetapi Cortez yang tergila-gila pada Josetta bertekad mencari jejak bekas anak buahnya. La berhasil juga. Ditarik-tarik untuk kembali agar masuk komplotan Cortez, Marinetti tetap tak mau.
Sementara itu Cortez mencari akal agar dapat mencapai maksudnya dengan Josetta. Pertama kali ia mengusahakan agar Marinetti terlibat dalam perkelahian dengan senjata tajam. Hasilnya, Marinetti dihukum penjara dan dibuang, sekalipun ia menyatakan bahwa
ia berkelahi semata-mata untuk membela diri.
Namun Josetta tetap setia kepada suaminya. Diam-diam ia pindah ke Paris. Setelah selesai menjalani hukumannya, Marinetti menyusul istrinya yang sementara itu memakai nama lain. Sekali lagi suami-istri itu dapat mengecap kebahagiaan. Marinetti bekerja pada perusahaan pelayaran, sedangkan Josetta yang cantik itu menjadi wanita model pada sebuah sekolah seni lukis.
Cortez tetap menguntit mereka. Ia tetap memasang perangkap kedua, yaitu dengan peristiwa pembunuhan Yvonne d'Argent, kekasih Cortez sendiri dan yang dibunuhnya sendiri.
Cortez dan Janos di bawah sumpah memberikan kesaksian bahwa mereka melihat Marinetti masuk ke rumah wanita itu. Celakanya, pembantu Yvonne d'Argent pun memberikan kesaksian palsu yang sama. Marinetti dijatuhi hukuman mati yang kemudian diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup di Cayenne.
Josetta lalu lari pulang ke keluarganya di Meksiko. Di sana ia menulis surat kepada Marinetti bahwa ia akan pindah ke Pernambuco. Marinetti tahu apa maksud istrinya, yaitu akan mengusahakan agar suaminya bisa melarikan diri dan menemuinya.
Marinetti berhasil melarikan diri dengan tiga orang tahanan. Terjadi kejar-kejaran yang berakhir dengan tertembaknya salah seorang pelarian. Marinetti menukar pakaiannya dengan rekan yang tertembak mati dan memasukkan semua surat-surat keterangannya ke dalam saku pakaian yang di tinggalkannya dengan maksud agar ia disangka telah mati. Karena keteledoran para pengejar, maksud itu tercapai.
Marinetti berhasil bertemu kembali dengan istri tercinta di sebuah tempat terpencil dekat pantai. Dari sana mereka meneruskan perjalanan ke Pernambuco. Tetapi sebulan kemudian Josetta meninggal akibat segala penderitaan lahir batinnya.
Untuk beberapa lama Marinetti terganggu sarafnya hingga terpaksa dirawat di rumah sakit jiwa. Setelah sembuh, ia menjadi lelaki yang jiwanya penuh dendam kesumat. Cita-citanya hanya satu: menuntut balas pada orang-orang yang telah menghancurkan kebahagiaan
hidupnya selama-lamanya. Ini hampir-hampir sempurna andaikata Ruick tidak terbakar tangannya.
Perkara Marinetti dan Ruick disidangkan enam bulan kemudian.
Kisah hidup Marinetti yang malang itu begitu berkesan pada para hakim pengadilan Paris, sehingga ia hanya dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara. Ruick dihukum lima tahun penjara. Pembela Marinetti kemudian mengajukan permohonan kepada Presiden Republik Prancis Fallieres untuk meninjau kembali proses Marinetti.
Tetapi sayang, sebelum sempat diambil keputusan, Marinetti menjadi gila. Ia meninggal di Rumah Sakit Jiwa Charenton. (H. Ashton-Wolfe)
" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553106403/almarhum-menuntut-keadilan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643399773000) } } }