array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3517509"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/jebakan-buat-pangeran-hitam_payt-20221009080424.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(136) "Pelaku pembunuhan adalah pengusaha bisnis ilegal yang dijuluki 'Pangeran Hitam'. Dua detektif harus menyusun jebakan untuk menangkapnya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/jebakan-buat-pangeran-hitam_payt-20221009080424.jpg"
      ["title"]=>
      string(27) "Jebakan Buat Pangeran Hitam"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-10-09 20:07:58"
      ["content"]=>
      string(31554) "

Intisari Plus - Pelaku pembunuhan adalah pengusaha bisnis ilegal yang dijuluki “Pangeran Hitam”. Dua detektif, De Gier dan Grijpstra harus menyusun jebakan untuk menangkapnya.

-------------------

Hari tengah beranjak malam. Sersan Rinus de Gier dan Ajun Komisaris Henk Grijpstra, dua detektif nyentrik dari Kantor Kepolisian Amsterdam merasa sudah saatnya pulang, mandi air hangat sembari memijat-mijat tengkuknya sendiri. Aduhai sedapnya. Namun, tiba-tiba telepon di meja de Gier berdering tiga kali. “Seorang ibu mendengar suara tembakan dari rumah tetangganya,” kata de Gier pelan.

Grijpstra langsung meraih mantelnya. Sementara de Gier langsung sibuk mengenakan tempat sarung pistol barunya. “Pistolnya kegedean. Ketiakku sampai sakit,” sungut de Gier beulang-ulang. Grijpstra memandangi mitranya sambil tersenyum. Pistol baru mereka, Walther P5, memang punya plus-minus. Di satu sisi, lebih ringan dan lebih canggih, karena daya terjang pelurunya mencapai 200 m. Namun, ukurannya itu lo, lebih besar dari pistol sebelumnya.

“Kita bukannya polisi patroli jalan raya yang memamerkan senjata di pinggang. Tapi detektif yang justru harus menyembunyikan pistol,” omel de Gier sembari tergesa-gesa masuk lift. Keluar lift, mereka berpapasan dengan beberapa polisi berseragam. Salah satunya, seorang polisi wanita berparas ayu.

“Hai, Rinus,” sapa sang polwan. 

“Hai juga, Jane,” balas de Gier. 

“Jane?” komentar Grijpstra, setelah sang polwan berlalu. 

“He-eh. Apa ada yang salah? Namanya bagus ‘kan? Orangnya juga baik.” 

“Memangnya kamu sudah kenal lama.” 

“Enggak juga,” de Gier membuka pintu, dan mempersilakan Grijpstra masuk ke dalam mobil.

“Omong-omong, mau ke mana kita?” tanya Grijpstra, sedetik setelah pantatnya menempel di jok mobil. 

“Ouborg,” jawab de Gier pendek. Tak ada kata lain, karena pikirannya masih tertanam pada Jane.

 

Dua belas bulan gaji

Ouborg adalah wilayah ekslusif di bagian selatan Amsterdam. “Ibu tadi bilang, ia bukan hanya mendengar suara letusan senjata api, tapi juga teriakan suara perempuan. Lalu sebuah mobil mewah warna perak kabur dari rumah tetangganya itu. Sayang, nomor polisi mobil tak sempat dicatat,” cerita de Gier, yang gemar memacu mobil seperti pengebut jalanan.

Tak heran kalau sejurus kemudian, dari kaca spion tiba-tiba terlihat sebuah mobil patroli polisi. Seperti biasanya, mereka memberi isyarat agar de Gier meminggirkan mobil. 

Cuekin aja” komentar Grijpstra.

De Gier melirik speedometer. “Baru” 100 km per jam! 

“He-he-he. Enggak salah nih. Biasanya, Anda marah-marah kalau aku ngebut. 

“Memangnya orang enggak boleh berubah?” sahut Grijpstra. “Lo kok malah berhenti?” protesnya kemudian.

“Ini ‘kan mobil tua. Secepat apa pun dibawa ngebut, tak akan bisa menghindar dari mobil-mobil patroli keluaran terbaru. Lihat saja, sekarang mereka sudah nongkrong di depan kita.”

Grijpstra menarik napas panjang. “Lagi-lagi teknologi modern. Ya pistol, ya mobil, sama-sama bikin masalah!”

“Ho-ho-ho, boleh kami ikut jalan-jalan?” seru salah satu dari dua polisi yang ada di mobil patroli, begitu tahu kendaraan yang hendak mereka tilang berisi dua detektif bengal. “Asal kalian tidak ribut dan menambah masalah, kenapa tidak?” balas de Gier, sedikit kesal karena perjalanannya terhambat.

Sesampai di Ouborg, tak jauh dari TKP, seorang wanita setengah baya tampak melambai-lambaikan tangan pada mereka. Kelihatannya, ia wanita yang tadi menelepon de Gier. Setelah bertukar cakap sebentar, rombongan polisi itu segera memeriksa keadaan di sekitar rumah besar, yang menjadi sumber suara letusan. “Aku rasa, tindakan kita ini ilegal,” terdengar komentar salah seorang polisi berseragam.

“Kamu benar. Detektif, kita butuh surat perintah untuk masuk ke dalam,” teriak polisi berseragam satunya lagi.

“Idiot. Seorang perempuan tergeletak tak berdaya di tempat tidur. Berbusana minim dan wajahnya belepotan darah diterjang peluru. Tapi kalian malah omong soal surat perintah,” umpat de Gier, sambil memukul-mukulkan popor pistolnya pada kaca jendela. “Heh, percuma. Peralatan modern biasanya terbuat dari plastik ringan, mana mungkin bisa memecahkan kaca. Pakai yang ini saja, kuno tapi dijamin manjur,” anjur Grijpstra, seraya memungut batu sebesar kepalan tangan dari taman.

“Jane,” pekik Grijpstra begitu masuk kamar. 

“Apa?” seru de Gier kaget. 

“Ia mirip banget dengan Jane. Ya ampun, sepertinya bunuh diri. Lihat, tangannya masih memegang pistol. Tapi sebelum bunuh diri, korban kelihatannya sempat pesta minuman keras dan obat-obatan. Masih ada gelas dan botol minuman di sini. Tapi, mengapa minum-minum dengan hanya berbusana minim?”

Semua menoleh, tapi tak ada yang menjawab pertanyaan Grijpstra. Tak juga dua polisi berseragam yang tampak menyibukkan diri dengan menelepon nomor darurat markas besar mereka. Sementara Grijpstra terus berkeliling ruangan.

“Salut. Pemilik rumah ini punya lukisan karya Edward Hopper, pelukis terkenal Amerika itu. Kamu tahu, Gier, harga lukisan ini mungkin setara dengan dua belas bulan gaji kita di kepolisian. Rumah ini pun harganya pasti miliaran,” sang Ajun Komisaris terus ngoceh.

 

Bukan bunuh diri

“Sudah dapat informasi?” tanya Grijpstra, tiga jam kemudian. “Pertama, Anda pasti tahu, wanita yang kita temukan sudah benar-benar dalam keadaan meninggal. Kedua, dokter belum bisa memastikan penyebab kematiannya sebelum melakukan autopsi. Ketiga, paling menyebalkan, tak ada sama sekali sidik jari pembunuhnya,” jawab Sersan de Gier.

De Gier menambahkan, untuk sementara, dokter curiga wanita cantik itu tidak mati lantaran bunuh diri, melainkan overdosis narkoba. Perkiraan tim medis juga sejalan dengan penemuan tim forensik kepolisian bahwa kemungkinan bukan korban yang meletuskan senjata, meski saat ditemukan, pistol terselip di tangan kanannya.

“Kalau ia sendiri yang menarik picunya, noda bekas keringat, uap yang keluar pascaletusan, dan pelumas pistol pasti bercampur jadi satu, menimbulkan jejak di telapak tangan. Padahal, saat ditemukan, tangan korban dalam kondisi bersih,” ujar de Gier menirukan kesimpulan tim forensik.

“Ajun Komisaris, kalau bukan kasus bunuh diri, tentu ada orang lain, mungkin saja pembunuhnya, yang sengaja meletakkan pistol di tangan korban,” sambung de Gier.

“Sebelum mati, korban sempat bercinta dengan pembunuhnya.” 

“Kelihatannya begitu. Lalu pelakunya kabur memakai mobil mewah warna perak.” 

“Omong-omong, siapa nama korban?”

“Cora. Cora Fischer. Sedangkan rumah yang kita datangi tadi milik pacarnya, biasa dipanggil Waver. Kata para pembantu, beberapa hari terakhir, Waver tidak ada di sana.”

“Waver? Kamu tahu Gier, harga rumahnya setara dengan 20 tahun gajiku di kepolisian,” lagi-lagi Grijpstra mengeluarkan “data statistik” yang tak terlalu dibutuhkan rekannya.

Waver sendiri bukan nama asing di kalangan detektif Amsterdam. Meski bukan pengacara, dokter gigi, atau akuntan (profesi-profesi “basah” di Belanda), Waver kaya bukan main. Sayang, kekayaannya itu diperoleh dari berbagai bisnis ilegal. Seperti rumah judi, transaksi obat-obat terlarang, dan klub seks. Waver juga bukan pembayar pajak yang baik. Pendek kata, ia layak menyandang gelar “Pangeran Dunia Hitam”.

Toh, sampai detik itu, belum pernah ada borgol polisi yang berhasil mengikat kedua tangan sang “pangeran”. Apalagi membawanya masuk bui. Waver selalu lolos, karena ia pandai memanipulasi pembukuan dan melenyapkan barang bukti. Lewat detektif yang menyamar sebagai salah satu tukang pukulnya, polisi juga tahu, setahun terakhir Waver punya pacar baru, seorang mantan model. Grijpstra yakin, pacar anyar Waver itulah yang baru saja mereka temukan tak bernyawa dalam keadaan berbusana minim.

“Ke mana kita sekarang, Ajun Grijpstra?” 

“Ke cafe. Kita perlu sedikit menenggak gin dan mengisap rokok hitam.” 

“Ho-ho-ho. Pagi yang indah!”

 

Dicekoki narkoba

Siangnya, Grijpstra dan de Gier sudah berada di ruang autopsi. De Gier yang tidak tahan menyaksikan “adegan mengerikan” di meja bedah memilih jalan-jalan di luar rumah sakit. Sedangkan Grijpstra menguatkan diri, menonton para ahli patologi membuat sayatan panjang dari bahu ke titik pusat, dan sayatan pendek dari perut ke sekitar pinggang.

Dokter yang lain menyayat kulit kepala untuk melihat tengkorak dan memeriksa luka bekas peluru. Huek! Grijpstra merasa nafsu makannya hari itu bakal merosot tajam. Meski ini bukan pengalaman pertama, ia tetap tak bisa menerima, mengapa tubuh yang sudah dirusak pembunuh, harus dirusak lagi dengan pisau bedah?

Sambil memperhatikan meja bedah, Grijpstra mencoba mereka-reka duduk perkara sebenarnya. Semasa hidupnya, Cora pasti sangat cantik. Itu sebabnya, ia menjadi model sejumlah pelukis terkenal. Setelah pensiun sebagai model, Cora jatuh ke pelukan Waver. Wanita gemulai itu dengan gampangnya menjadi bintang dan “penguasa” klub seks milik Waver di Noordwijk. Kemudian ...ufffs, Grijpstra terbangun dari lamunan.

Seorang dokter tiba-tiba sudah berdiri persis di depan hidungnya. “Kami telah melakukan serangkaian pemeriksaan,” ujar anggota tim autopsi itu. “Tampaknya tidak ada bekas suntikan. Jadi, korban dicekoki atau mencekoki dirinya dengan kokain lewat jalan normal. Korban juga merokok dan minum minuman keras terlalu banyak,” tambah sang dokter.

“Jadi, zat-zat haram itu yang membunuh Cora?” 

“Bukan. Peluru di kepala yang membuat korban meninggal.” 

“Anda yakin, Dok?” 

“Yakin sekali.” 

Tak lama kemudian, de Gier kembali dari acara jalan-jalannya. Hatinya senang melihat autopsi sudah selesai. 

“Ada hasil,” tanyanya. 

Yapp” jawab Grijpstra, “Kamu sendiri?”

“Aku sempat melihat seorang lelaki dengan sepeda motor besar, berhenti lama tak jauh dari tempat kejadian perkara. Wajahnya tertutup helm. Perawakannya seperti petinju. Tingginya sekitar enam kaki (sekitar 180 cm - Red.)” cerita de Gier. “Dari balik helmnya, aku bisa melihat tatapan mata penuh rasa ingin tahu.” 

“Kaki tangan Waver?” 

De Gier mengangkat bahu.

 

Biaya hidup tinggi

“Tuan Waver,” de Gier membuka acara tanya jawabnya dengan Waver di ruang interogasi kepolisian. “Kami punya fakta, selama ini Anda berada di belakang banyak kemaksiatan. Mulai rumah judi, pelacuran terselubung, hingga peredaran obat bius,”

“Saya juga punya fakta. Kalian tak pernah punya bukti.” 

“Bukti? Kutukan dari masyarakat, itulah buktinya. Pacar Anda mati di kamar Anda sendiri,” de Gier berhenti sebentar. 

“Hebatnya, ia dibuat seperti mati bunuh diri. Padahal kami yakin, dash! Ia ditembak persis di kepalanya,”

“Seseorang juga telah memasukkan obat bius ke dalam minumannya,” sambung Grijpstra.

“Dengar, Detektif. Semua orang tahu Cora suka minum dan mengonsumsi narkoba. Saat kejadian, saya sedang menghabiskan malam bersama wanita lain, Yvette, yang jauh lebih menggairahkan. Mungkin ia tahu itu, frustrasi, lalu nekat bunuh diri.” 

“Dengar, Waver,” potong de Gier.

“Untuk apa saya mendengarkan?” balas Waver hendak beranjak dari kursi. “Saya punya alibi dan Cora jelas bunuh diri. Semua orang tahu itu!” 

“Duduk, Waver! Kami yang menentukan jalan ceritanya. Mulanya, Anda menerima Cora dengan senang hati. Ia cantik, menggairahkan, dan ikon yang cukup dikenal di dunia seni. Ia seorang humas yang baik. Anda menjadikannya ratu di klub, membelikannya mobil mewah dan perhiasan mahal. Tapi lama-kelamaan, Anda mulai sebal dan merasakan gaya hidup Cora yang jetset sebagai beban.”

“Cukup!” 

“Masih belum cukup, orang besar. Sebagai orang bisnis, Anda concern pada masalah untung-rugi. Agar neraca ‘berimbang’, Anda memaksa Cora menyelundupkan heroin. Berbekal kemolekan tubuhnya, Cora dapat melakukan tugas itu dengan mudah. Toh petugas pabean tak akan berani memegang-megang bagian tubuhnya yang sensitif. Tapi kemudian, Cora sadar tindakannya salah. Ia sebenarnya perempuan baik-baik. Lelaki seperti Andalah yang membuatnya jadi jahat!”

“Halo?” Grijpstra melancarkan perang urat saraf. 

“Beberapa malam sebelum pembunuhan, Anda membakar mobil Camaro milik Cora. Karena Anda tahu, Cora sangat menyayangi mobilnya. Dengan cara itu, Anda mengancamnya secara halus.”

“Detektif, kalaupun Cora mati dibunuh, kalian tak akan dapat menemukan pembunuhnya. Apalagi menuduh saya. Alibi saya kuat. Saya sedang tidak di rumah saat itu!” 

“Tentu saja. Karena Anda punya si badan besar Freddy yang siap melaksanakan perintah apa saja.”

“Ngawur. Saya pergi sekarang,” Waver berdiri dan pergi begitu saja, meninggalkan ruang interogasi tanpa memedulikan Grijpstra dan de Gier yang saling berpandangan. Bang! Perang baru saja dimulai.

“Omong-omong, dari mana kamu tahu soal Freddy?” tanya Grijpstra keheranan, tak lama setelah kepergian Waver. 

De Gier tersenyum licik. 

“Waver itu penjahat kelas kakap. Ia enggak akan mengotori tangannya sendiri dengan darah Cora. Polisi menyamar yang selama ini mengamati Waver bilang, ia punya tukang pukul andalan bernama Freddy. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu apa-apa soal Freddy.

“Gertakan yang bagus. Mudah-mudahan enggak meleset.” 

“Tugas membunuh Cora banyak ‘godaannya’. Itu sebabnya, mereka sempat berhubungan intim.”

“Tapi kita masih harus membuktikan banyak hal. Kenyataannya, Waver memang tidak di rumah itu. Sedangkan Freddy, kalau betul memang dia pelakunya, tetap sulit dijangkau. Banyak saksi mata di Noordwijk yang akan memberi alibi. Freddy sedang main kartu dengan si Anu atau si Anu.”

“Eh, apa kabarnya Jane, ya?” De Gier tiba-tiba memelintir topik pembicaraan. 

Grijpstra diam, tapi jidatnya berkerut, tampak berpikir keras. Apa dia juga memikirkan Jane?

 

Mengancam kucing

Beberapa jam kemudian, bel di apartemen de Gier berbunyi. Yang datang malam-malam begini, tentu tamu istimewa, pikir De Gier. Ia segera meletakkan kucing kesayangannya di sofa, menaruh buku di meja, kemudian membukakan pintu untuk tamunya.

“Selamat malam,” seru seseorang. “Saya Freddy.” 

Amboi! Kelihatannya, pancingan pada Waver mengena. Tanpa diminta, Freddy langsung duduk di sofa. Pantatnya yang segede pantat gajah nyaris menindih kucing de Gier.

“Yang sedang Anda duduki, aslinya memang tempat duduk kucing saya,” jelas de Gier. 

“Kucing tolol!” 

“Apa?” 

“Dengar. Aku datang membawa sejumlah uang,” bilang Freddy, seraya menunjukkan sebuah amplop. “Ini baru uang muka. Anggap saja sebagai hadiah.”

“Cuma itu berita yang kamu bawa?” 

“Dasar polisi bandel. Tapi aku suka polisi begitu. Itu sebabnya bos menawari kamu uang. Asal tahu saja, sudah banyak polisi yang kami bayar. Bagus kalau polisi bandel seperti kamu mau bergabung.”

“Begitu?” 

“Ya!” Freddy menyeringai. 

De Gier menyalakan rokoknya. “Sebenarnya, aku sedang tidak butuh uang panas. Jadi, bisa saja tawaran ini membuatku tersinggung dan menembak jidatmu. Tapi aku ogah berkelahi di sini. Nanti merusak perabot,” katanya santai.

“Kalau begitu, tunggu apalagi. Bos paling benci orang sok kayak kamu. Tak tahu diri. Kamu akan merasakan akibatnya!” 

“Seperti apa?” tantang de Gier. Freddy meraih kucing kesayangan de Gier. Lalu mengeluarkan pisau lipat dari kantung jaketnya. Dalam sekejap, pisau tadi menempel di leher kucing betina yang sangat ketakutan.

“Aku bisa membedah kucing ini, persis seperti kalian membedah Cora. Bedanya, aku akan membiarkan isi perutnya berserakan. Tak ada jahitan penutup.” 

De Gier mulai geram. “Keterlaluan,” katanya dalam hati. Tapi kemarahan itu ditahannya sekuat tenaga demi keselamatan kucing tersayang. 

“Aku juga akan membunuh ibumu dan seluruh isi apartemen ini. Bos dapat melakukan apa saja dan membeli siapa saja!” ancam Freddy.

De Gier masih lebih suka mendengar ketimbang berdebat. la berharap mendapat informasi tambahan tentang Waver dari anak buahnya yang pongah ini. 

“Bisnis heroin dan kokain sedang bagus. Kamu juga bisa seperti aku, berlibur ke Bermuda, Seychelles, atau Indonesia,” ujar Freddy, sambil berjalan keluar apartemen.

De Gier lega, kucingnya selamat. “Good bye,” katanya seraya menutup pintu. “Dan rasakan nanti pembalasan Tabriz,” imbuhnya dalam hati. Tabriz adalah nama kucing de Gier. la menunggu Freddy masuk lift. Lalu turun lewat tangga. De Gier yang tiba lebih dulu di luar apartemen memberi isyarat pada Freddy, isyarat tantangan berkelahi. “Di sana,” ujarnya menunjuk ke arah taman.

Freddy yang jago karate dan bertubuh lebih besar tampaknya bakal di atas angin. Tapi soal berkelahi tangan kosong, sabuk hitam judo de Gier tak layak dipertanyakan. Dalam waktu beberapa menit saja, tendangan dan pukulan simultan sersan berpostur jangkung itu berkelebat tanpa kenal lelah. Freddy tak berdaya, tersungkur di tanah, pingsan! 

Tiga jam kemudian, tepatnya jam tiga pagi, rumah Cora Fischer didatangi tamu tak diundang. Tamu bersepeda itu kelihatannya maling profesional, karena dengan mudah menemukan kamar tidur Cora, mengumpulkan beberapa potong pakaian, membungkus sejumlah perhiasan, lalu pergi begitu saja tanpa diketahui para tetangga.

 

Pukulan mematikan

Besoknya Grijpstra dan de Gier melangkah lebih maju. Mereka langsung mendatangi sarang sang Pangeran Hitam di klubnya di Noordwijk. Keruan, kedatangan mereka “disambut ramah” oleh Waver. Pelayan cantik mengenakan rok mini (maaf, tanpa pakaian dalam) datang membawakan bir. De Gier sempat memperhatikan wajah Waver. Lelaki yang beberapa hari lalu begitu sombong itu kini terlihat pucat.

Bahasa tubuhnya menampakkan ketegangan luar biasa. Sepertinya, Grijpstra dan de Gier hanya tinggal melancarkan beberapa jab dan satu hook telak untuk membuat lawannya KO. “Saya dengar, Freddy meninggalkan sesuatu di apartemen Anda,” mata Waver mengarah pada de Gier. “Benar. Itu salah satu alasan kami ke sini. Silakan hitung jumlahnya,” jawab de Gier, mengembalikan amplop.

Tak lama setelah Waver mengambil kembali amplopnya, de Gier melancarkan jab pertama. “Anda kami tahan, Waver!” 

Sang “Pangeran Hitam” tersenyum sinis. “Ditahan untuk apa?” 

“Untuk beberapa tuduhan serius. Mengedarkan obat bius, prostitusi terselubung, dan judi ilegal,” jawab Grijpstra tegas.

“Benar-benar gila. Ini klub seks, bukan rumah bordil,” Waver hendak beranjak dari kursinya. 

“Kalem, boy. Duduklah. Sersan de Gier ‘kan sudah bilang, Anda ditahan!” 

“Sudah kubilang juga, kalian tak punya bukti.”

“Bagaimana dengan upaya menyogok kolega saya, mengancam kucing de Gier, dan terakhir, membunuh Cora Fischer?” Grijpstra melancarkan “jab” kedua. 

“Omong kosong!” Waver berteriak.

Sssst, Ajun Komisaris, permainan pianonya bagus banget. Aku mau menikmati musiknya dulu,” de Gier memalingkan wajahnya ke arah panggung.

Waver makin kesal. Apalagi ketika Grijpstra menggeledahnya dan menemukan satu gram kokain dan sebilah belati di kantung celana dan jaket. Sementara itu, pelayan-pelayan seksi bertelanjang dada bergantian mengantar minuman. “Bagaimana dengan flute-nya, Gier?” celetuk Grijpstra. De Gier seperti tersentak, lalu mengeluarkan semacam suling kecil dari balik jasnya.

Disambut tepukan meriah pengunjung klub, de Gier memainkan sebuah lagu syahdu. Suara flute-nya memenuhi ruangan. Piano dan kombo tak kesulitan mengiringi improvisasi sang detektif. Grijpstra sendiri tak menyangka, juniornya akan segila itu. Kegilaan yang makin membuat Waver stres. Bayangkan, para detektif itu tak hanya menuduhnya dengan beragam kejahatan, tapi juga “menguasai” massa klubnya.

Suasana telah terbentuk. Pikiran Waver pun sudah dibuat kacau. Kini saatnya memberi pukulan mematikan. Tak lama kemudian, dari pintu masuk klub, muncul seorang wanita bertubuh semampai. Tak diragukan lagi, paras dan lekuk tubuhnya begitu menggoda. Dandanannya tidak seronok, tapi berkelas. Rambutnya tertata dengan baik. Dibalut gaun indah dan perhiasan melingkari tangan dan leher, si wanita duduk tak jauh dari Grijpstra dan Waver.

De Gier masih asyik memainkan “senjata” melengkingnya di panggung. Sementara Grijpstra menanti dengan berdebar-debar. Waver sendiri tampak gelisah. Matanya bergerak tak fokus. Sampai akhirnya tertumbuk pada sosok perempuan yang baru saja masuk klub. Seketika air muka Waver berubah. Dari tempat duduknya, Grijpstra bisa mendengar Waver berdesah, “Cora ....”

Grijpstra segera melambaikan tangan pada detektif Cardozo dan anak buahnya. De Gier pun menghentikan alunan flute-nya. “Saatnya melakukan penggeledahan,” bisik Grijpstra pada Cardozo. Sang Ajun Komisaris menyerahkan secarik kertas pada Waver. “Surat izin melakukan penggeledahan,” ucapnya cepat. Seperti perkiraan Grijpstra, bukannya membaca “surat tipuan” itu, Waver malah mematung memandangi wanita elegan tadi, sambil terus berbisik, “Cora ..., Cora ....”

“Cepat, kita harus menemukan sesuatu di klub ini. Prioritaskan pada heroin,” sergah Grijpstra, setelah bergabung kembali dengan Cardozo dan de Gier. Jika Waver “tersadar” sebelum barang bukti ditemukan, sia-sia jebakan ini dibuat. Polisi memfokuskan penggeledahan pada heroin, agar dapat memenjarakan Waver sementara waktu, sambil menyelidiki keterlibatannya pada kasus pembunuhan Cora.

Pucuk dicinta ulam tiba. Di sebuah ruangan, Cardozo menemukan sebuah “patung dewa” berukuran sedang yang sangat dikenalnya. “Patung seperti ini pernah kami sita beberapa waktu lalu. Tapi lebih enteng, karena dalamnya sudah bolong. Kami curiga sebelumnya diisi heroin yang diselundupkan melewati perbatasan,” ujar Cardozo.

“Tapi patung yang ini beratnya lumayan,” imbuh Cardozo. 

“Kelihatannya kita telah menemukan harta karun Waver,” balas Grijpstra.

“Juga modal untuk membuka outlet narkoba,” canda de Gier. Senyum Grijpstra makin lebar, ketika seorang anak buah Cardozo melapor. “Siap, Pak. Tuan Waver mengakui keterlibatannya pada kasus pembunuhan Cora Fischer.” 

“Secepat itu?” 

“Ya, Pak, dan dia juga masih terus memandangi polwan Jane!” 

“Ho-ho-ho, malam yang indah!” (Janwillem van de Wettering)


Baca Juga: Alat Pemantau di Uang Tebusan

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517509/jebakan-buat-pangeran-hitam" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665346078000) } } }