Intisari Plus - Suatu hari sepasang suami istri menyerahkan sejumlah besar uang tunai untuk deposito bank. Saat diperiksa, ternyata semua uang itu palsu. Kasus pemalsuan uang besar-besaran ini terjadi di beberapa tempat di Eropa.
----------
Akhir April 1962 sepasang suami istri asal Wina, Austria, berdiri di depan kas sebuah bank di München, Jerman. Emilie dan Heinrich S — demikian nama suami istri itu — ingin mendapatkan kredit besar bagi usaha mereka. Sebagai jaminan mereka akan menyerahkan US $ 25.000 dalam bentuk tunai sebagai deposito.
Emilie dan Heinrich S dihubungkan dengan bagian kredit. Sementara itu kasir bank tersebut mengamati Iembaran-lembaran uang yang diajukan sebagai jaminan kredit. Semuanya masih baru, terdiri dari Iembaran-lembaran senilai 50 dolar. Tidak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Tapi demi keamanan, sang kasir lebih dulu memeriksa daftar peringatan mengenai uang palsu. Daftar seperti itu terdapat pada semua bank.
Ternyata ada catatan yang minta kewaspadaan terhadap pemalsuan uang yang terjadi pada waktu-waktu belakangan. Tanda-tanda uang palsu itu terutama lukisan yang kurang halus dan kejanggalan pada garis-garis potret serta segel Bank Negara Amerika Serikat. Nomor-nomor serinya yang diketahui sejauh itu, juga dicantumkan pada daftar peringatan itu.
Kasir membandingkan nomor seri tersebut dengan nomor seri lembaran-lembaran uang yang ada di hadapannya. Beberapa nomor yang dilihatnya itu ternyata sama. Diam-diam ia memberi isyarat kepada rekannya, lalu menyelinap pergi sambil membawa beberapa lembar uang yang dicurigai. Kasir pergi ke ruang pemeriksaan uang. Sementara itu rekannya menyita seluruh perhatian Emilie dan Heinrich S dengan berbagai urusan pengisian formulir.
Peneropongan dengan lensa membenarkan kecurigaan kasir. Garis-garis potret di bawah kaca pembesar tampak tidak jelas dan putus-putus di sana sini.
Begitu pula halnya dengan segel Bank Negara. Kecuali itu, tampak kejanggalan pada latar belakang filigran dari angka 50. Tidak diragukan lagi bahwa Iembaran-lembaran uang itu palsu. Kasir pun segera menghubungi polisi.
Usaha mengalihkan perhatian suami istri pemohon kredit berhasil baik. Mereka ini asyik mempelajari berbagai syarat kredit dan seluk-beluk formulir. Bahkan tetap tenang walaupun semua pintu dan jendela kantor bank mulai ditutup, mengingat jam kerja sudah hampir berakhir.
Maka bukan main terkejutnya suami istri dari Wina itu ketika tiba-tiba dua orang berpakaian preman memberinya salam. Kedua orang itu memperkenalkan diri sebagai polisi. “Tuan dan Nyonya, kami persilahkan ikut ke kantor polisi,” kata mereka.
Sebenarnya yang datang ke bank bukan hanya kedua polisi tersebut. Belasan rekan mereka dikerahkan demi berhasilnya operasi. Mereka ini ditempatkan pada berbagai pintu bank untuk menjaga agar orang yang dicurigai jangan sampai lolos.
Perkara pemalsuan yang meliputi US $ 25.000 memang bukan soal sepele. Lagi pula pada penangkapan seperti ini, biasanya selalu dikerahkan beberapa orang polisi secara incognito. Semua itu dikerahkan untuk mengikuti para tertuduh dalam perjalanan ke kantor polisi. Tujuannya agar mereka tidak bisa membuang barang bukti yang bisa memberatkan nanti.
Penangkapan suami istri itu berjalan lancar. Rupanya mereka tidak cukup berpengalaman dalam penipuan lewat deposito. Semua terbukti dalam interogasi. Dalam tanya jawab yang dilakukan secara terpisah, keduanya terus terang mengakui telah membeli dolar itu dengan harga 40% lebih murah dari nilai kurs yang berlaku.
Menurut penjual, demikian pengakuan suami istri S, itu dolar asli yang disembunyikan oleh kelompok Nazi di Laut Toplitz. Dolar tersebut ditemukan sesudah perang. Sebelum membeli dalam jumlah banyak, mereka lebih dulu mendapatkan dua lembar sebagai contoh. Lembaran contoh ini mereka tukarkan pada sebuah bank dan di sebuah bar.
Pembelian dolar itu terjadi di Bad Aussee di Stiermarken. Dari Wina, suami istri itu pergi ke sana untuk menerima Iembaran-lembaran uang seharga US $ 25.000.
Polisi bertanya lebih teliti tentang detail pertemuan mereka dengan penjual dolar. Juga dalam hal ini keterangan para tahanan tetap sama walaupun mereka diinterogasi secara terpisah.
Pada suatu hari mereka makan di restoran Holle di Wina. Di situ mereka ingin menukarkan beberapa mark Jerman dengan shilling. Seorang tamu yang duduk semeja dengan suami istri itu langsung menawarkan jasa. Sambil lalu tamu tersebut menyeletuk, “Sebetulnya lebih menguntungkan beli dolar. Bisa lebih banyak.”
Ucapan tamu yang tak mereka kenal itu menarik perhatian keduanya. Percakapan menjadi semakin seru. Tamu tersebut lalu mengisahkan soal harta kekayaan Nazi yang ditemukan di Laut Toplitz. Dua lembar contoh dolar “peninggalan kaum Nazi” diterima oleh suami istri S dari tamu tersebut di depan puing-puing bangunan di samping restoran Holle.
Menyusul kemudian jual beli yang berlangsung secara ilegal di suatu tempat dekat Bad Aussee. Suami istri S diberi tahu lewat telepon agar datang di tempat pertemuan pada hari dan jam yang ditentukan.
Bagaimana rupa “tamu yang tak dikenal” itu? Di sini keterangan suami istri S mulai tidak cocok satu sama lain. Mungkinkah daya pengamatan mereka sebagai lelaki dan wanita berbeda? Ataukah mereka terikat janji untuk tidak membahas soal tamu tidak dikenal itu?
Bagaimanapun, jelas bagi polisi bahwa tahanan mereka hanya “ikan teri” saja.
Beberapa hari kemudian terjadi peristiwa lain yang berkaitan dengan uang palsu, juga sebanyak US $ 25.000. Dua orang Jerman yang terlibat itu berhasil ditangkap. Peristiwa tersebut terjadi di Wina. Sama seperti sebelumnya, pengedar uang palsu berusaha mendapatkan kredit dengan jaminan deposito. Uang yang hendak didepositokan sebagian terbesar terdiri dari lembaran senilai $ 50, sebagian kecil lembaran $ 1.
Kesamaan itu menunjukkan bahwa pelakunya sama. Polisi ingat bahwa di Wina dahulu pernah terjadi pemalsuan uang. Pemalsu bekerja dengan apa yang disebut “bentuk cetak raster gelombang”. Cara kerja yang sama juga digunakan pada pemalsuan uang dolar sekarang ini.
Seorang spesialis di markas besar polisi Wina diminta jasanya. Selain itu, dilakukan upaya untuk mencari para pemalsu uang yang dulu pernah ditangkap. Dua di antara mereka kini sudah bebas kembali setelah menjalani hukuman penjara.
Yang satu berhasil ditemukan, yaitu orang yang dulu membiayai pemalsuan dan mengurus pengedarannya. la kini hidup sebagai warga negara terhormat. Hanya yang satunya lagi tidak diketahui rimbanya. Itu adalah seorang graver untuk pencetakan uang palsu lembaran 50 shilling. Si H — inilah nama sementara yang kita berikan kepadanya — 2 tahun yang lalu rupanya sudah meninggalkan Austria dan kembali ke keluarganya di Jerman.
Orang ini pertama-tama harus dicari agar penyelidikan seputar pemalsuan dolar bisa menemukan titik terang. Polisi masih mempunyai catatan tentang orang ini, sidik jari, dan fotonya. Maka mereka mengirimkan data-data ini kepada Interpol. Upayanya tanpa hasil. Mungkin si H kini sudah ganti nama dan hidup entah di mana. Itu yang dipikirkan oleh polisi Wina.
Sementara itu dari semua negara di Eropa masuk laporan tentang beredarnya Iembaran-lembaran uang dolar serupa. Hanya sekarang sudah tidak terjadi lagi usaha penipuan bank dengan “jaminan deposito”.
Agaknya para penipu sudah menyadari betapa berbahayanya usaha melemparkan uang palsu secara besar-besaran dengan taktik itu. Semua pengedar uang palsu profesional pasti akan menghindari tempat pembayaran dengan petugas loket atau kasir. Mereka adalah orang yang terlatih untuk membedakan atau mengenali uang palsu. Lebih aman melemparkan uang itu ke tangan para pedagang sendiri sambil berusaha mengalihkan perhatian mereka hingga mudah masuk perangkap.
Berita tentang beredarnya dolar palsu datang dari Jerman, Italia, dan Prancis Selatan. Semuanya dari tipe yang sama. Beberapa lembar bahkan dapat ditelusuri asal-usulnya dengan mengikuti jalan dolar itu secara terbalik. Kebanyakan penelusuran ini berakhir pada pelayan restoran atau tukang jaga pintu hotel dan restoran. Mereka membeli dolar itu dengan harga murah dari seseorang yang tidak dikenal.
Ketika laporan tentang pemalsuan dolar itu semakin mengkhawatirkan, Dinas Rahasia Amerika dikerahkan. Mereka bekerja sama dengan Interpol dan instansi yang berwenang. Segera disebar sejumlah agen rahasia di berbagai negara.
Berdasarkan Iaporan yang masuk dari bank-bank di berbagai tempat, mereka membuat peta dengan titik-titik di mana dolar palsu ditemukan.
Penyelidikan dengan cara ini menunjukkan hasil yang menarik. Daerah-daerah tempat diedarkannya uang palsu itu, praktis semuanya terletak di pinggir autobahn (jalan mobil cepat) dari Prancis Selatan yang menuju ke Italia, Swiss, dan Jerman. Ada pengecualian memang, tapi sedikit sekali.
Di kantornya di Frankfurt, Ernst Bauman, salah seorang spesialis dari Dinas Rahasia Amerika mempelajari peta dengan saksama. Titik tempat ditemukannya dolar ditandai dengan warna merah. Ternyata tak ada titik satu pun yang lebih melewati Lyon, Prancis bagian Barat, Spanyol, dan Portugal. Daerah itu tidak memberitakan adanya pemalsuan dolar. Mengapa para pemalsu mengesampingkan daerah-daerah tersebut?
Bagaimanapun juga titik tolak aksi para pemalsu dolar diduga terletak di Lyon. Pertama-tama harus dilakukan penyelidikan di kota ini. Sementara itu, daerah-daerah yang belum dijamah oleh para pemalsu pun diberitahu agar waspada.
Ernst Bauman mempelajari laporan Interpol dengan teliti. Diketahuinya dari laporan itu bahwa Dr. A dari kepolisian Wina mencurigai seseorang bernama H. Polisi Wina memiliki foto dan data tentang ciri-ciri orang ini. Ia bukan saja telah mencetak uang palsu, tapi barangkali bahkan ikut mengedarkannya. Sebab menurut pengalaman, dalam organisasi besar di bidang pemalsuan uang, biasanya pimpinan terletak di tangan beberapa oknum saja yang benar-benar tepecaya di dunia bawah tanah.
Bauman segera pergi ke Wina untuk mendapatkan petunjuk lain yang lebih jelas dari rekan-rekannya di markas besar polisi agar bisa menemukan H.
Dr. A memberikan keterangan berikut: “H menyamar sebagai pelukis dan mungkin ia memang berbakat di bidang itu. Ketika menangkapnya dulu, kami menemukan banyak buku tentang impresionisme Prancis di rumahnya. Pelukis yang keranjingan dengan suatu aliran, sering kali meniru pujaannya dalam hal penampilan juga. Mungkin itulah sebabnya, mengapa H waktu itu berambut gondrong, berkumis lebat, dan memakai kemeja dengan kancing terbuka. Barangkali sekarang pun oknum tersebut masih mempertahankan kebiasaan itu.”
Data tentang oknum yang dicurigai itu lumayan juga dan dapat digunakan sebagai pegangan. Maka berangkatlah Bauman ke Lyon. Ia tinggal di situ beberapa waktu dengan harapan bahwa suatu hari dapat berpapasan dengan pelukis tersebut.
Minggu demi minggu berlalu tapi H tidak muncul. Sementara itu dolar-dolar palsu terus mengalir masuk Italia. Bahkan di Yugoslavia uang palsu itu mulai ditemukan.
Dulu ketika untuk pertama kalinya H diadili karena pemalsuan uang di Wina, ia mengatakan perbuatan itu dilakukannya hanya agar punya uang cukup hingga bisa melukis dengan tenang. Jika demikian halnya, mungkin kali ini H membuat uang palsu dengan tujuan yang sama. Itu dilakukan agar bisa memenuhi kegemarannya melukis.
Siapa tahu, H kini berada di Paris! Demikian pikir Bauman. Dan ia segera meninggalkan Lyon menuju ibu kota Prancis. Ia tahu benar kebiasaan pelukis di Paris. Jika benar H keranjingan melukis, maka ia pasti berusaha masuk ke dalam lingkungan atau keIompok pelukis di kota seni itu. Mungkin ia suka duduk duduk di kafe Montparnasse atau nongkrong di Rotonde untuk menarik perhatian para turis.
Ternyata insting detektif itu tidak salah. Sejak sore pertama ketika berjalan-jalan di Rotonde, ia melihat H atau seseorang yang mirip dengannya.
H dengan ditemani seorang gadis, sedang duduk mengobrol di sebuah meja. Bauman beruntung dapat memilih meja yang letaknya berdekatan, hingga ia bisa mendengar percakapan antara H dan gadis tersebut. Rupanya mereka membicarakan soal uang yang diperlukan oleh nona itu untuk membeli mantel.
“Tunggu sampai minggu depan, Cherie,” kata H beberapa kali. “Saya pasti akan berhasil menjual lukisan saya yang terakhir dan dapat menyediakan uang itu.”
“Ah, kau dengan lukisan! Omong kosong,” tukas gadis Prancis itu dengan galak. “Saya belum pernah melihat kau mengerjakan sesuatu. Kau memang pelukis aneh. Hampir tak pernah ditemukan di sanggarmu!”
Pertengkaran yang menarik bagi Bauman! Pelukis itu berbicara bahasa Prancis tapi dilihat dari logatnya, rupanya ia orang asing. Pilihan kata-katanya di sana sini tidak tepat dan ungkapan-ungkapan yang digunakan menunjukkan ia bukan orang Prancis murni. Walau begitu, pria tersebut cukup fasih berbahasa Prancis.
Sebenarnya Bauman bisa minta bantuan rekan polisi Paris untuk mengenali identitas pelukis tersebut. Tapi ia berpendapat lebih baik menunggu dulu. Sebab jika benar orang ini adalah H dan sadar bila ia dibayangi polisi, usaha pembongkaran kasus pemalsuan uang akan gagal.
Tidak lama kemudian pelukis dan pacarnya bangkit dari kursi setelah membayar bir yang mereka nikmati bersama. Begitu mereka pergi, Bauman membungkus gelas bir yang dipakai si pelukis. Sambil memberi uang kepada pelayan, ia berkata, “Gelas ini untuk suvenir.” Lalu Bauman buru-buru menguntit pelukis dan gadisnya. Mereka menyusuri Boulevard St. Michel dan masuk Rue Stanislas. Kedua orang itu lalu menghilang di rumah nomor 17.
Setelah mengetahui tempat tinggal si pelukis, Bauman naik taksi menuju kantor polisi Paris bagian penyidikan jari. Sidik jari pada gelas bir diperiksa. Kerja sama dengan polisi Paris itu segera memberi hasil yang diharapkan. Memang pelukis itu tak lain tak bukan adalah H yang dicari-cari. Hanya penghuni rumah nomor 17 Rue Stanislas itu kini sudah ganti nama menjadi Jean Ferare. Dalam daftar penduduk tercatat ia dilahirkan tanggal 11 April 1921 di Luksemburg. Tak heran jika Prancisnya lancar.
Dengan bantuan dinas pengusutan uang palsu, kepolisian Prancis secara diam-diam menyelidiki tempat tinggal dan bengkel kerja Jean Ferare.
Ternyata kecaman gadis Prancis terhadap H bukan tanpa alasan. Ada lukisan pemandangan alam yang setengah selesai, tapi catnya sudah kering, pertanda sudah lama tak disentuh lagi. Ada berbagai alat lukis, jarum graver, pelat tembaga, dan cat. Terlihat pula sebuah kaca pembesar. Para polisi juga menemukan pencetakan. Menurut polisi Prancis, pencetakan itu bukan untuk mencetak uang, melainkan hanya bisa digunakan untuk mencetak lukisan.
Tetapi Bauman belum putus asa. Ia mencari ke sana kemari dan menemukan kuas tua di dalam keranjang sampah. Kuas jenis itu biasa digunakan untuk menyapu bubuk logam yang berserakan di meja kerja. Kuas itu sudah dibuang dalam keranjang sampah. Jadi tidak akan mencolok kalau Bauman membawanya pergi.
Kuas dikirim ke laboratorium untuk diselidiki. Bubuk logam yang melekat padanya diambil lalu dimasukkan ke dalam alat khusus. Terdapat bubuk logam yang berasal dari pelat lukisan tembaga. Tetapi di samping itu ditemukan pula serbuk logam. Serbuk logam ini hanya dapat berasal dari pelat untuk membuat uang palsu. Jadi sudah diperoleh bukti keterlibatan H dalam kejahatan.
Dalam percakapannya dengan gadis Prancis, H mengatakan akan memperoleh uang dari penjualan lukisan. Tapi di kamarnya tak ditemukan lukisan yang sudah selesai dan siap untuk dijual. Mungkin sekali H mengharapkan uang dari sumber lain, yaitu dengan menjual pelat pemalsuan uang.
Bauman dengan beberapa rekan terus melakukan pengintaian. Rumah di Rue Stanislas 17 hanya punya satu pintu masuk. Jadi tidak ada orang yang bisa keluar tanpa ketahuan. H rupanya tidak punya mobil, maka mudah membuntutinya. Di samping itu Bauman minta kepada kepolisian Prancis agar senantiasa siap sedia menerima panggilan via telepon agar dapat mengirim bantuan dengan cepat bila dibutuhkan.
Pada suatu pagi tampak sebuah mobil Peugeot berlalu dan berhenti dekat rumah Rue Stanislas 17. Seorang Iaki-laki keluar dari mobil lalu masuk rumah. Tidak lama kemudian orang itu keluar bersama-sama H. Sambil sibuk mengobrol, mereka pergi dengan mobil Peugeot itu.
Segera Bauman tancap gas mengikutinya. Tak lupa ia memberi laporan lewat radio kepada markas polisi Prancis. “Ferare baru saja meninggalkan rumahnya naik Peugeot putih nomor 31-425-11. Mereka menuju Stasiun Montparnasse.”
Bauman repot juga. Berkali-kali hampir kehilangan pandangan atas mobil yang dikejarnya karena ramainya lalu lintas. Tapi markas besar polisi Prancis sigap membantunya. “Kami kirim dua jip penuh polisi dari jurusan Grenelle,” bunyi pesan dari komando polisi Prancis.
Pada suatu saat Peugeot putih di depan Bauman tidak kelihatan lagi, karena tiba-tiba belok secara tajam ke kanan. Lalu mendahului mobil lain lagi. Bauman agak panik karena mangsanya hampir lepas. Dia kini ngebut, tanpa peduli akan ketahuan atau tidak oleh H yang dikejarnya.
“Kami masuk jalan satu arah. Tapi papan nama jalan tidak bisa saya baca,” lapor Bauman kepada markas polisi. Lalu Bauman melihat Peugeot putih itu berhenti dan parkir di sebelah kiri jalan. Parkir di sebelah kanan jalan dilarang. Maka Bauman segera mengambil keputusan untuk masuk halaman sebuah rumah yang pintu pagarnya kebetulan terbuka.
H alias Ferare dan rekannya berhenti di rumah nomor 20. Di depan rumah itu terpancang papan yang berbunyi “Commission Peluche”. Bauman mengambil foto dengan kamera mini ketika kedua buronannya keluar dari mobil.
Bauman tak tahu apa yang mesti diperbuat. Rekan-rekannya polisi Prancis satu pun tidak ada yang muncul. Sedangkan kini H seorang diri sudah masuk ke dalam rumah nomor 20.
Kini Bauman nekat menyeberang jalan dan diam-diam menyelinap masuk pintu rumah tersebut. Agak terkecoh rasanya, ketika di dalam ia melihat sebuah halaman luas dan dari halaman itu ada pintu keluar yang menuju ke jalan samping. Cepat-cepat Bauman keluar dari halaman. Tapi ternyata mobil Peugeot putih sudah tidak lagi. “Buset, mereka berhasil lolos,” Bauman mengumpat.
Dengan perasaan kesal ia menuju mobilnya. Terperanjat dia ketika melihat di dalamnya sudah duduk seseorang. “Saya Inspektur Begas dari bagian pemalsuan uang. Anda tak perlu gusar. Sebab rekan-rekan saya sudah menguntit mereka. Seorang diri amat sukar mengejar para penjahat itu,” kata orang Prancis yang duduk di dalam mobil Bauman.
Yang terakhir ini merasa lega. “Rekan-rekan saya sekarang sudah berada di Boulevard Raspail. Mereka minta agar kita mengikuti mereka. Mari, saya tunjukkan jalannya. Agar lebih lancar,” tambah Inspektur Begas.
3 menit kemudian Bauman dengan polisi Prancis sudah berada dekat mobil lain yang juga menguntit Ferare.
“Mereka ada di Rue Popincourt,” bunyi laporan waktu itu. Inspektur Begas melihat rekan-rekannya bersiap-siap mengepung sebuah rumah. Komandan regu mengatakan, “Di dalam sana ada percetakan. Si pelukis dan sopirnya tadi masuk ke situ.”
Bauman dan rekan-rekannya serentak menyerbu masuk. Di dalam terdapat sebuah kantor. H yang berada di situ bersama tiga orang temannya pun terperanjat tiba-tiba kedatangan polisi. Tapi segera mereka berhasil mengambil sikap tenang setelah melihat bahwa penyelidikan polisi yang amat teliti tersebut tidak membawa hasil.
Polisi tidak mau menyerah. Penyelidikan diteruskan. Dan pada sebuah silinder mesin mereka menemukan bekas cap samar-samar yang tak berwarna. Ketika diamati, ternyata mirip dengan logo pada lembaran uang kertas.
Silinder-silinder pewarna dibongkar dan ternyata masih melekat bekas-bekas tinta yang sangat tipis. Silinder-silinder pewarna itu diperiksa di laboratorium dan diperoleh kesimpulan bahwa tinta itu digunakan untuk mencetak dolar-dolar palsu yang beredar di berbagai negara Eropa.
Semua temuan menjadi bukti yang lebih dari cukup untuk membuktikan kesalahan Ferare dan rekannya. Apalagi dalam penggeledahan selanjutnya juga ditemukan pelat-pelat pencetak uang.
Para pemalsu dolar diputuskan bersalah dan meringkuk dalam penjara. Kisah pengejaran yang menjelajahi separuh dari benua Eropa dengan itu berakhir.
(Hanns Walther)
Baca Juga: Tamu di Malam Buta
" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806914/pemalsuan-uang-besar-besaran-di-eropa" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083369000) } } [1]=> object(stdClass)#113 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726829" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#114 (9) { ["thumb_url"]=> string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/tamu-di-malam-butajpg-20230406123020.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#115 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "Inspektur Maigret mendapatkan laporan soal pria yang menerobos masuk ke apartemen sebagai Bapak Natal. Apa yang dicarinya?" ["section"]=> object(stdClass)#116 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/tamu-di-malam-butajpg-20230406123020.jpg" ["title"]=> string(18) "Tamu di Malam Buta" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 12:30:29" ["content"]=> string(43773) "
Intisari Plus - Inspektur Maigret mendapatkan laporan soal pria yang menerobos masuk ke apartemen sebagai Bapak Natal. Selain memberi hadiah, tamu di malam buta itu mencungkil lantai kamar. Apa yang dicarinya?
----------
Hari Natal itu Inspektur Maigret sarapan berdua dengan istrinya di apartemen mereka di Boulevard Richard Lenoir, Paris. Walaupun hari sudah pukul 08.00, jalan masih lengang.
Dari gedung di seberang tiba-tiba muncul dua orang wanita. Yang seorang berambut pirang, temannya berambut cokelat. Si pirang tampak ragu-ragu berangkat dan akan berbalik masuk kembali, tetapi si cokelat memaksa pergi. Wanita penjaga pintu rupanya berpihak pada si cokelat, sehingga kedua wanita itu pun menyeberangi jalan.
Madame Maigret kenal pada wanita berambut cokelat itu, yaitu Mademoiselle (Nona) Doncoeur yang tinggal di salah satu apartemen di gedung seberang.
“Rasanya mereka akan ke sini,” kata Maigret, ketika kedua wanita itu menengadahkan kepala ke arah jendela apartemen Maigret di tingkat keempat. Dugaan itu benar.
Bapak Natal memberi boneka
Mademoiselle Doncoeur, si cokelat yang berumur 40-an, kelihatan gugup, tetapi temannya yang jauh lebih muda, yang cuma mengenakan daster di balik mantelnya, tenang-tenang saja. Setengah berseloroh ia berkata, “Bukan saya Iho yang mengajak ke sini.”
Akhirnya Mademoiselle Doncoeur berhasil juga mengutarakan maksud kedatangan mereka. Katanya, mereka merasa perlu melaporkan sesuatu. Ia tinggal bersebelahan dengan Madame Martin (si pirang), yang suaminya sedang bertugas ke luar kota sebagai salesman perusahaan arloji.
Tadi pagi, sehabis pulang dari gereja, Mademoiselle Doncoeur datang ke apartemen Madame Martin, membawa kado untuk anak keluarga Martin yang sudah dua bulan terbaring di ranjang karena patah kaki. Rupanya ia datang terlalu pagi sebab Madame Martin belum bangun. Lalu berdua mereka masuk ke kamar anak perempuan berumur tujuh tahun itu.
“Saya melihat Bapak Natal. Dia kemari semalam,” cerita anak itu.
“Lho, bagaimana kau bisa melihatnya. ‘Kan gelap,” kata Mademoiselle Doncoeur.
“Ia membawa senter. Lihat Mama Loraine,” katanya sambil memperlihatkan sebuah boneka besar dan bagus dari balik selimutnya kepada Madame Martin. Anak itu menyebut Madame Martin ‘Mama Loraine’, sebab ia sebenarnya kemenakan Monsieur Martin yang tinggal bersama Madame Martin setelah ibunya meninggal.
“Bukan Anda yang memberi boneka itu Madame Martin?” tanya Maigret, memotong cerita Mademoiselle Doncoeur.
“Saya memang akan memberinya boneka tetapi tidak sebagus itu,” jawab Madame Martin.
Mademoiselle Doncoeur melanjutkan ceritanya: Kata Colette, Bapak Natal berjongkok melubangi lantai. Colette menduga agar bisa masuk ke apartemen di bawah, tempat tinggal keluarga Delormes, yang mempunyai seorang anak laki-laki berumur tiga tahun. Colette bilang, mungkin cerobong asap terlalu sempit untuk dimasuki Bapak Natal. Rupanya Bapak Natal merasa diawasi karena ia bangkit mendekati Colette dan memberinya boneka besar seraya menaruh telunjuk di bibirnya.
Setelah itu, katanya, Bapak Natal itu pergi lewat pintu yang menghadap ke lorong. Kamar itu memang mempunyai dua pintu. Pintu yang menghadap ke lorong itu setiap hari dikunci. Kedua wanita itu tidak keburu memeriksa apakah pintu itu dibuka secara paksa, sebab Mademoiselle Doncoeur terburu-buru mengajak Madame Martin melapor kepada Maigret.
“Lantai kamar itu berlubang?” tanya Maigret. Madame Martin mengangkat bahu, tapi Mademoiselle Doncoeour menjawab, “Sebenarnya bukan lubang tapi beberapa papan dilepaskan dari pakunya.”
Maigret bertanya apakah Madame Martin tahu apa kira-kira yang tersembunyi di bawah lubang itu.
“Tidak Monsieur,” jawabnya.
Dari tanya-jawab dengan Madame Martin diketahui bahwa ia sudah lima tahun tinggal di apartemen itu, yaitu sejak ia menikah dengan Jean Martin. Sebelumnya Jean sudah tinggal di sana. Tak ada suatu barang pun terganggu semalam.
Mungkinkah Jean Martin yang datang semalam karena ingin membuat kejutan bagi putrinya? Entahlah, kata Madame Martin. Setahu dia, suaminya berada di Bergerac, sekitar 700 km dari Paris dan jadwal perjalanannya sudah direncanakan jauh di muka. Jean hampir tidak pernah menyimpang dari jadwal.
Ayahnya pemabuk
Madame Martin tidak mendengar apa-apa semalam sebab kamarnya dipisahkan oleh kamar makan dengan kamar Colette.
“Anda pergi semalam?”
“Tidak, Pak Inspektur,” jawab Madame Martin tersinggung.
“Anda menerima tamu?”
“Saya tidak menerima tamu kalau suami saya sedang pergi.”
Maigret melirik pada Mademoiselle Doncoeur yang air mukanya tidak berubah. Berarti Madame Martin menceritakan yang sebenarnya.
Sebelum mendatangi Maigret, Mademoiselle Doncoeur sudah bertanya kepada penjaga pintu, kalau-kalau ia membukakan pintu buat seseorang semalam. Penjaga pintu menyatakan tidak ada seorang pun yang datang.
“Dengan siapa anak perempuan itu sekarang?” tanya Maigret.
“Sendirian. Ia biasa sendirian. Saya ‘kan tidak bisa di rumah terus sepanjang hari. Saya harus belanja, pergi ke mana-mana,” jawab Madame Martin.
“Saya mengerti. Di mana ayahnya?”
Madame Martin terpaksa menceritakan bahwa kakak iparnya, Paul, setelah kematian istrinya, jadi pemabuk. Kalau sedang tidak mabuk, ia datang menengok Colette yang sejak ibunya meninggal tinggal bersama Monsieur dan Madame Jean Martin.
Kini Paul kadang-kadang keluyuran sekitar Bastille seperti peminta-minta. Kadang-kadang ia berjualan koran di jalan.
“Mungkinkah ia datang menjenguk anaknya dalam pakaian Bapak Natal?”
“Itulah yang saya katakan kepada Mademoiselle Doncoeur, tapi ia bersikeras mengajak saya menemui Anda.”
“Karena tidak ada alasan baginya untuk mencungkil papan lantai,” kata Mademoiselle Doncoeur dengan ketus.
Maigret meminta Madame Martin menelepon suaminya untuk mengecek apakah ia masih ada di Bergerac. Karena wanita itu tidak punya telepon, Maigret meminjamkan teleponnya.
Ternyata Jean Martin masih ada di Hotel Bordeaux di Bergerac. Ketika ia berbicara dengan Maigret, kentara sekali ia cemas.
“Anda yakin istri saya dan Colette tidak apa-apa?” tanyanya. “Kalau cuma boneka sih saya bisa menduga kakak saya, tetapi pasti ia tidak akan mencungkil lantai.” Ia menyatakan akan pulang saja cepat-cepat, tetapi Maigret bilang ia akan mengawasi mereka.
Istrinya juga tidak menganjurkan suaminya pulang. “Nanti bisa merusak kesempatanmu untuk dipindahkan secara permanen ke Paris,” kata si istri. “Saya berjanji akan mengabarimu kalau ada apa-apa .... Ia sedang bermain dengan bonekanya .... Belum, saya belum sempat memberi hadiahnya. Baik, saya segera pulang untuk menyerahkannya.”
Setelah itu Maigret minta izin agar boleh menemui Colette.
Seperti dengungan tawon
Setelah kedua wanita itu meninggalkan apartemennya, Maigret menelepon markas kepolisian di Quai des Orfevres. Ia meminta anak buahnya, Lucas, untuk memberinya daftar nama hukuman yang dibebaskan dari penjara tiga bulan terakhir ini.
“Yang saya inginkan hanya yang menjalani hukuman lebih dari lima tahun,” katanya. “Periksa apakah di antara mereka ada yang pernah tinggal di Boulevard Richard Lenoir. Selain itu cari Paul Martin, seorang pemabuk yang tidak punya tempat tinggal tetap, yang sering kelihatan di sekitar Place de la Bastille. Jangan ditangkap, jangan diapa-apakan. Saya cuma ingin tahu di mana dia berada pada malam Natal.”
“Masih ada lagi: Telepon Bergerac. Ada seorang salesman bernama Jean Martin, adik Paul Martin, tinggal di Hotel Bordeaux. Tolong selidiki apakah kemarin ia menerima telepon atau telegram dari Paris. Selidiki juga di mana ia melewatkan malam Natal.”
Sehabis berpikir-pikir, Maigret bercukur dan berdandan, lalu menyeberang. Mademoiselle Doncoeur mungkin sejak tadi sudah mengawasi dari jendela apartemennya, sebab begitu Maigret tiba di tingkat empat, ia sudah menunggu di kepala tangga.
Ia mempersilakan Maigret masuk ke apartemen Madame Martin. Nyonya rumah, katanya, pergi berbelanja bahan makanan sebab khawatir toko-toko keburu tutup. Jadi ia tidak menunggu Maigret lagi.
Maigret memeriksa dapur. Di sana ada mentega, telur, sayuran, daging, dan roti. Apartemen itu rapi, tapi seperti apartemen bujangan, bukan apartemen keluarga. Rupanya tidak ditambahi apa-apa lagi sejak lima tahun yang lalu.
Colette tidur di ranjang yang terlalu besar baginya. Wajahnya bertanya-tanya tetapi kelihatan ia percaya kepada Mademoiselle Doncoeur dan Maigret.
“Mama Loraine sudah pulang?” tanyanya Maigret menggigit bibirnya. Praktis anak itu adalah anak angkat Jean dan Loraine Martin, tetapi mengapa ia tidak memanggil mama saja?
“Mama Loraine tidak percaya yang datang semalam Bapak Natal,” kata Colette ketika Maigret menanyainya sambil duduk di sisi ranjang. Saat itu Mademoiselle Doncoeur sudah meninggalkan mereka.
Dari percakapan dengan Colette, ketahuan bahwa mereka tidak pernah kedatangan tamu, baik itu teman Colette, maupun teman orang tuanya. Yang datang cuma petugas pencatat meteran gas dan listrik. Lewat pintu kamar yang selalu terbuka kalau siang, Colette mengenali suara mereka. Pernah datang seorang lain dua kali. Kedatangan pertama terjadi sehari setelah kakinya patah. Ia ingat betul sebab dokter baru pulang. Ia tidak melihat wajah orang itu, cuma suaranya saja sebab Mama Loraine menutup pintu kamar.
Mereka bercakap-cakap tetapi apa yang dipercakapkan tidak kedengaran. Kemudian Mama Loraine berkata bahwa orang itu mau menjual asuransi. Lima atau enam hari yang lalu orang itu kembali lagi malam hari, pada saat lampu kamar Colette sudah dimatikan. Kedengarannya orang itu seperti bertengkar dengan Mama Loraine sehingga Colette takut. Kemudian Mama Loraine berkata kepada Colette, orang itu dari asuransi. Colette tak usah takut dan harus cepat tidur.
Colette tidak pernah melihat wajah orang itu, tapi mengenali suaranya, walaupun perlahan, sebab seperti dengungan tawon besar.
Colette bilang, Mama Loraine sekarang sedang pergi ke toko. Karena Colette sudah punya boneka bagus dari Bapak Natal, Mama Loraine akan mengembalikan boneka dari dirinya sendiri ke toko.
Maigret bangkit memeriksa lubang di bawah papan yang dicungkil oleh Bapak Natal. Tak ada apa-apa di dalamnya, kecuali debu. Pintu juga memperlihatkan tanda-tanda dibuka secara paksa. Pembukanya tampaknya bukan profesional.
Kata Colette, Bapak Natal tidak berbicara dengannya. Mungkin cuma tersenyum, tetapi tidak jelas, sebab wajahnya ditutupi janggut.
Ketika mereka masih bercakap-cakap muncullah Madame Martin. la berpakaian lebih rapi daripada sekadar untuk berbelanja tapi menenteng tas belanjaan. Tanpa senyum ia minta maaf karena tidak bisa menunggu Maigret. Katanya, ia harus belanja banyak, takut toko-toko keburu tutup.
Maigret curiga Madame Martin pergi lebih jauh dari Rue Amelot atau Rue de Chemin Vert, tempat toko-toko yang biasa dikunjungi oleh para ibu yang tinggal di daerah mereka. Ke mana?
Majikannya lenyap
Mademoiselle Doncoeur datang untuk bertanya apakah pertolongannya masih diperlukan. Madame Martin sudah mau menjawab “tidak” tetapi Maigret buru-buru memintanya menemani Colette sementara ia berbicara di ruang sebelah dengan Madame Martin.
“Mademoiselle Doncoeur repot tidak karuan. Itulah susahnya perawan tua. Apalagi perawan tua yang mengguntingi setiap berita tentang seorang inspektur polisi tertentu yang akhirnya bisa ia undang ke gedung tempat tinggalnya,” kata Madame Martin seraya mencopot topinya.
“Anda tidak bekerja, Madame Martin?” tanya Maigret.
“Sulit untuk bekerja sambil mengurus rumah tangga dan seorang anak kecil, walaupun anak itu sudah bersekolah. Lagi pula suami saya tidak mengizinkan.”
Dari tanya-jawab Maigret tahu bahwa Madame Martin sebelum menikah bekerja di toko perhiasan dan mata uang kuno milik Monsieur Lorilleux di Palais Royal. Ia melayani pembeli, merangkap pengurus buku dan sekretaris. Kalau Monsieur Lorilleux pergi, pekerjaannya ditangani Madame Martin.
Setelah menikah dengan Jean Martin, ia masih tetap bekerja. Tapi empat bulan kemudian, ketika Madame Martin pergi ke tempat kerjanya, ia dapati pintu toko masih tertutup. Ketika lama tidak dibukakan juga, ia menelepon ke rumah Monsieur Lorilleux di Rue Mazarine. Kata Madame Lorilleux, suaminya sudah berangkat ke tempat kerja pukul 08.00 seperti biasa. Ketika majikannya itu tidak muncul juga, bersama Madame Lorilleux ia pergi ke kantor polisi untuk melapor. Sejak itu mereka tidak pernah melihat Monsieur Lorilleux lagi.
Sejak itu Jean Martin yang sudah menjadi salesman melarang istrinya bekerja lagi. Saat itu suami Madame Martin sudah mengerjakan pekerjaannya yang sama dengan sekarang.
Dari tanya-jawab, Maigret tahu beberapa hal lain, yaitu: Jean Martin sedang keluar kota waktu Monsieur Lorilleux lenyap dan toko perhiasan tidak memperlihatkan tanda-tanda diganggu. Madame Lorilleux kini hidup dari mengusahakan toko bahan makanan yang kecil saja di Rue du Pas de la Mule, karena toko lama terpaksa dijual. Anak-anaknya sekarang mungkin sudah menikah.
Maigret minta Madame Martin menggambarkan Monsieur Lorilleux.
“Orangnya lebih tinggi dari Anda. Badannya gemuk dan dandanannya sembarangan. Saya tidak tahu berapa umurnya, mungkin 50-an. Kumisnya berwarna kelabu.
“Setiap pagi ia berjalan kaki ke tempat bekerja. Biasanya ia tiba 15 menit sebelum saya datang. Orangnya pendiam dan pemurung. Sebagian besar waktunya dilewatkan dengan berkurung di ruang kerjanya yang kecil di belakang toko.”
Maigret bertanya, kalau-kalau Monsieur Lorilleux mempunyai kekasih.
“Setahu saya tidak,” jawab Madame Martin yang mulai kesal ditanyai macam-macam gara-gara tetangga sebelah usil.
Tetangga usil
“Setiap kali saya keluar pintu untuk pergi, Mademoiselle Doncoeur muncul menawarkan diri untuk menemani anak itu. Jangan-jangan laci-laci saya semua dia periksa,” keluh wanita itu.
“Tapi kelihatannya Anda berhubungan baik juga dengan dia.”
“Habis mau apa? Colette minta ia menemaninya. Suami saya juga dekat dengannya, sebab waktu menderita paru-paru basah di masa bujangan, dia yang merawatnya.”
Madame Martin marah sekali ketika ditanyai apa yang ia beli di Rue de Amelot dan Rue de Chemin Vert. Ia ambil kantung barang belanjaannya untuk digabrukkan di atas meja makan.
“Lihat sendiri!” katanya.
Maigret memeriksanya. Ada tiga kaleng sardencis, mentega, kentang, ham dan daun selada.
“Mau tanya apa lagi?” tanya wanita itu menantang.
“Nama agen asuransi Anda.”
Madame Martin memandang tidak mengerti. Ketika Maigret menjelaskan agen yang ia maksudkan, Madame Martin bilang orang yang datang itu bukan agen asuransinya. Ia cuma menawarkan dan sulit sekali bagi Madame Martin untuk menyuruhnya pergi.
Wanita itu lupa nama perusahaan asuransi yang diwakili oleh salesman itu.
“Pukul berapa Colette tidur?”
“Saya mematikan lampu kamarnya pukul 19.30, tetapi kadang-kadang ia masih ngomong sendiri sampai beberapa waktu.”
“Berarti agen itu datang lewat pukul 19.30?” tanya Maigret. Madame Martin tahu ia terjebak tapi tidak mundur.
“Ya, saat itu saya sedang mencuci piring,” katanya. “Saya tidak bisa menolak sebab orang itu sudah masuk.”
“Apakah suami Anda mengasuransikan jiwanya?”
“Ya,” jawab wanita itu.
Setelah itu barulah Maigret pamit untuk menanyai Mademoiselle Doncoeur. Ia berpesan kalau Paul Martin datang, harap ia diberi tahu.
Kenapa beli mentega lagi?
Apartemen Mademoiselle Doncoeur mirip kamar di asrama biarawati. Wanita itu mengaku sudah 25 tahun tinggal di apartemen yang sekarang. Ia tahu siapa yang tinggal di apartemen sebelahnya sebelum ditempati oleh Paul Martin.
Ia menjawab tidak pernah didatangi orang asuransi selama tiga tahun ini.
“Anda tidak suka pada Madame Martin?” tanya Maigret. Dengan malu-malu Mademoiselle Doncoeur akhirnya mengaku juga.
“Kalau saya mempunyai putra, saya tidak ingin bermenantukan Madame Martin. Apalagi Monsieur Martin sangat baik, sangat menyenangkan.”
“Madame Martin itu seperti bukan wanita,” katanya. “Betul ia merawat Colette dengan baik, tetapi tidak pernah berkata yang manis-manis kepada anak itu.”
“Colette tidak suka kepadanya?”
“Colette itu penurut. Ia mencoba bertindak sesuai yang diharapkan darinya.”
Mademoiselle Doncoeur tidak kenal dengan ayah Colette, tetapi pernah bertemu di tangga dengannya. Tampaknya ia malu bertemu orang. Wanita itu yakin bukan Paul Martin yang datang semalam, kecuali kalau ia dalam keadaan sangat mabuk. Soalnya, orang seperti Paul Martin tidak cocok bertindak seperti semalam. Setelah selesai menanyai Maemoiselle Doncoeur, Maigret pulang.
Madame Maigret, yang tidak mempunyai anak, tampaknya sependapat dengan Mademoiselle Doncoeur tentang Madame Martin, walaupun Maigret tidak berkata sepatah kata pun tentang pertemuan-pertemuan di seberang.
Sementara itu Maigret mendapat keterangan baru: Penjaga pintu yang tadinya yakin bahwa semalam tak seorang pun datang tanpa ia tahu kini merasa ragu-ragu. Soalnya, ia menjamu beberapa tamu sampai lewat tengah malam. Selain itu, setelah tidur ia tidak tahu lagi siapa yang datang dan pergi.
Maigret yakin, kalau Madame Martin merupakan orang pertama yang mendengar kedatangan Bapak Natal dari Colette, ia akan menyuruh Colette untuk tutup mulut. Tapi karena Mademoiselle Doncoeur juga hadir dan mendesaknya melapor kepada Maigret, ia terpaksa menurutinya. Mengapa ia terburu-buru pergi dengan alasan harus berbelanja, padahal di rumah bahan makanan masih banyak? Kenapa ia membeli mentega, padahal masih ada 0,5 kg di lemari es?
Risau memikirkan anak-istri
Sementara itu Lucas memberi tahu, tidak seorang pun narapidana yang dibebaskan dalam empat bulan ini pernah tinggal di Boulevard Lenoir. Maigret minta keterangan itu sebab tadinya ia menduga ada penyewa apartemen yang menyembunyikan uang atau benda curian di bawah papan lantai sebelum ditangkap polisi. Setelah keluar dari penjara tentu orang itu akan berusaha mengambil barang yang disembunyikannya. Karena kamar itu ditempati siang-malam oleh Colette, ia masuk dengan menyamar sebagai Bapak Natal.
Namun, kalau benar demikian, rasanya Madame Martin tidak akan enggan melapor kepada Maigret. Ia juga tidak akan buru-buru meninggalkan apartemennya yang baru dimasuki orang.
Lucas juga melaporkan bahwa Paul Martin sudah ditemukan. Gerak-geriknya diketahui dengan jelas. Mula-mula ia antre makan malam di tempat amal, lalu pergi ke Latin Quarter untuk membuka dan menutupkan pintu mobil para pengunjung kelab malam. Setelah itu ia menenggak minuman keras sebanyak-banyaknya sampai mabuk dan tak sadarkan diri. Pukul 04.00 ia ditemukan di Place Maubert lalu dibawa ke tempat penampungan. Ia baru bangun pukul 11.00.
Jean Martin di Bergerac pun diketahui gerak-geriknya. Ia dalam perjalanan pulang ke Paris karena merasa tidak tenang setelah menerima telepon tadi pagi. Semalam, ketika sedang di kamar makan, ada seorang pria menelepon menanyakan Martin. Sebelum Martin sempat menerimanya, hubungan telepon diputuskan. Panggilan telepon itu mengkhawatirkan Martin sehingga dalam perjamuan dengan teman-temannya ia risau terus akan keadaan anak-istrinya.
Penelepon yang mencurigakan
Maigret meminta Lucas mencari alamat manajer arloji Zenith di Avenue de l’Opera. Sementara menunggu, ia mendengarkan obrolan istrinya. Tampaknya istrinya prihatin betul dengan keadaan Colette.
“Saya tidak suka wanita itu,” kata Madame Maigret tentang Madame Martin. “Saya pernah beberapa kali bertemu dia di toko. Dia jenis orang yang sangat curiga. Timbangan diawasi dengan saksama. Uang dihitung keping demi keping, seakan-akan takut ditipu.”
Ketika itu telepon berdering. Lucas memberi alamat Monsieur Arthur Godefroy, general manager arloji Zenith di Prancis. Maigret berpesan kepada Lucas agar mencari keterangan mendetail tentang lenyapnya Lorilleux lima tahun yang lalu ke kantor polisi Palais Royal. Setelah itu Maigret menelepon Godefroy. Kata Godefroy, reputasi Jean Martin tiada cela. Minggu depan ia akan diangkat menjadi asisten manajer. Kemarin pagi seseorang menelepon Godefroy, menanyakan alamat Jean Martin, karena katanya ada urusan penting. Godefroy lupa nama pria itu. la menganjurkan si penanya untuk menghubungi Martin di Bergerac.
Mungkin si penanya itulah yang menelepon Martin pada malam Natal untuk memastikan bahwa Martin ada di Bergerac, bukan di rumahnya, pikir Maigret. Apakah dia yang semalam muncul sebagai Bapak Natal di kamar Colette?
Colette sudah dua bulan berada di kamarnya. Sebetulnya dua minggu yang lalu ia harus sudah bisa berjalan, tetapi ada komplikasi. Dalam beberapa hari lagi mungkin ia sudah bisa keluar dengan Madame Martin. Artinya kamarnya bisa dimasuki orang dengan lebih leluasa. Mengapa orang yang semalam masuk ke kamarnya itu tidak bisa menunggu?
Kolektor gambar porno
Maigret buru-buru menelepon Lucas lagi. “Cari supir taksi yang mengangkut seorang wanita berumur awal 30-an, pirang, langsing tapi kekar antara pukul 09.00 - 10.00 sekitar Boulevard Richard Lenoir. Wanita itu memakai rok setelan kelabu dan topi kelabu kecokelatan. Ia membawa tas belanjaan cokelat. Tanya ke mana ia pergi. Tidak banyak taksi tadi pagi jadi tidak akan sukar dicari.”
Tidak lama setelah itu seorang anak buah Maigret, Torrence, datang membawa Paul Martin yang menunduk saja. Ia habis menangis sebab khawatir terjadi sesuatu pada Colette.
Maigret menanyakan latar belakang pertemuan Jean dengan Loraine. Kata Paul, Jean bertemu dengan Loraine di sebuah restoran kecil dekat tempat kerja Loraine. Mereka tak lama berkenalan lalu kawin.
“Jean jujur sekali. Tidak mungkin ia menaruh benda berharga di bawah papan lantai tanpa istrinya tahu. Kalau ia pulang dari tugas ke luar kota pun, istrinya tahu pengeluarannya sampai ke sen-sennya.”
“Apakah istrinya pencemburu?” tanya Maigret. Paul enggan menjawab. “Harap Anda katakan terus terang apa yang Anda tahu. Ingat bahwa putri Anda terlibat,” kata Maigret. Paul buka mulut juga. Katanya, Loraine tidak cemburu pada wanita, tetapi cemburu soal uang. Almarhum istri Paul tidak cocok dengan Loraine, karena menurut istri Paul, Loraine itu dingin dan tertutup. Ia curiga Loraine menikah dengan Jean hanya karena Jean punya pekerjaan yang baik, rumah dan perabotan.
Paul tidak mau menjawab ketika ditanyai apakah menurut pendapatnya Loraine itu dulu kekasih Lorilleux, tetapi ia mau memberi tahu alamat dan nama keluarga Loraine sebelum menikah.
Setelah itu Maigret mempersilakan Paul ke seberang menemani anaknya sampai Maigret mengizinkan ia meninggalkan apartemen Jean Martin.
Maigret menelepon Lucas lagi, untuk menyuruhnya pergi ke bekas pondokan Loraine Boitel. Lucas harus mengorek keterangan tentang wanita itu. Apakah ia kekasih Lorilleux?
Pada kesempatan itu Lucas memberi keterangan yang diketahuinya tenang Lorilleux. Katanya, penjual perhiasan itu memiliki koleksi buku dan gambar porno di tokonya, juga sebuah dipan besar yang ditutupi sutra merah di kamar belakang. Pelanggannya banyak orang terkenal. Tempat maksiat terselubung memang bukan barang langka di daerah ini. Tapi di rumahnya Lorilleux itu bertindak sebagai orang baik-baik.
Lucas menyampaikan pula bahwa Lorilleux diketahui sering bolak-balik ke Swiss pada saat banyak terjadi penyelundupan emas. Beberapa kali ia digeledah di perjalanan, tapi tidak dijumpai bukti-bukti bahwa ia menyelundupkan benda berharga itu.
Menjelang sore, Lucas kembali dari bekas pondokan Madame Martin di Rue Pernelle. Katanya, bekas induk semang Madame Martin tak bisa ditemui sebab sudah tewas tergilas trem dua tahun yang lalu. Rumahnya kini didiami oleh seorang bekas centeng yang pernah berurusan dengan polisi, sehingga tidak sulit untuk membuka mulutnya.
Kata bekas centeng itu, Loraine tinggal tiga tahun di sana. Ia tidak menyukai wanita itu sebab pelitnya minta ampun. Ia masak di kamar padahal melanggar aturan. Centeng mengenali foto Lorilleux yang dibawa oleh Lucas. Katanya, pria itu datang ke kamar Loraine dua tiga kali sebulan sambil membawa-bawa tas. Ia selalu muncul sekitar pukul 01.00 dan pergi lagi sebelum pukul 06.00.
Semua mengenalinya
Menjelang pukul 17.00 Torrence menelepon. Katanya, ia bisa menemukan pengemudi taksi yang membawa wanita seperti yang digambarkan oleh Maigret, dari pertemuan Boulevard Richard Lenoir dengan Boulevard Voltaire tadi pagi. Wanita itu diantar ke sebuah toko tas yang buka terus pada hari Minggu maupun hari raya di Rue de Maubeuge. Maigret minta supir taksi itu dikirim ke apartemen Madame Martin untuk mengenali lalu melapor ke apartemennya.
Sementara menunggu, Maigret menelepon toko tas. Ternyata wanita yang dimaksud membeli kopor murah yang dibawanya ke bar di sebelah. Dari sana wanita itu menyeberang ke sambil menjinjing kopornya.
Maigret meminta pemilik toko tas untuk pergi ke apartemen Madame Martin. Ia hanya perlu menekan bel. Kalau wanita yang membukakan pintu benar wanita yang tadi pagi membeli tas, ia harus pura-pura menyatakan salah alamat. Kalau orang lain yang membukakan pintu, ia mesti menanyakan Madame Martin. Setelah itu ia harus menyeberang untuk melapor pada Maigret. Maigret akan mengganti semua ongkos.
“Baik, Inspektur,” kata orang itu.
Torrence sementara itu sudah menemukan supir taksi lain yang membawa wanita seperti yang digambarkan dari stasiun. Wanita itu tidak pergi ke Boulevard Richard Lenoir, tapi ke pertemuan Boulevard Beaumarchais dengan Rue du Chemin Vert. Maigret meminta supir itu dikirim kepadanya.
Sementara itu ia meminta Torrence pergi ke stasiun untuk mengecek betulkah di situ ada tas seperti yang dibeli dari toko tas di Rue de Maubeuge. Torrence tidak bisa menggeledahnya tanpa surat resmi, jadi cukup ia mencatat nomor karcis penitipan. Ia mesti mencari penjaga yang pagi menerima tas itu dan membawanya ke apartemen Madame Martin.
Kemudian bel pintu berbunyi. Ada dua orang pria di sana. Yang seorang supir taksi dan yang seorang lagi penjual kopor. Mereka berdua baru saja pergi ke apartemen Madame Martin. Betul, itulah wanita yang bertemu mereka tadi pagi.
Pukul 07.30 supir taksi yang seorang lagi melapor. “Cakepan pakai baju tidur daripada pakai setelan kelabu,” katanya dengan mata nakal.
Setelah itu Maigret mengajak Lucas ke apartemen Madame Martin. Ia menugasi Lucas segera pergi menjaga Colette. Ia akan menangani Madame Martin.
Petugas tempat penitipan barang di stasiun datang bersama Torrence. Ia juga mengenali Madame Martin. Katanya, wanita itu memasukkan resi penitipan ke tas belanjaan berwarna cokelat. “Itu tasnya!” katanya, ketika diajak ke dapur Madame Martin. Tapi di tas itu resi tidak ditemukan.
Gepokan uang
Namun, Madame Martin menyangkal keras pernah melihat keempat orang itu. Ia mengaku bahwa Lorilleux memang kadang-kadang datang, tapi katanya untuk urusan bisnis.
“Bisnis pukul 01.00?”
“Ia biasa tiba dari Swiss dengan kereta malam dan takut dirampok di jalan karena membawa-bawa banyak uang. Jadi ia menunggu pagi di rumah saya.”
“Ia membawa banyak uang waktu melenyapkan diri?”
“Tidak tahu. Ia ‘kan tidak mempercayakan semua rahasianya kepada saya,” kata Madame Martin yang merokok terus-menerus. Ketika hari semakin malam, ia sering menoleh ke lonceng. Suaminya akan tiba dengan kereta malam.
“Orang yang datang semalam tidak menemukan apa-apa di bawah papan lantai, karena Anda sudah memindahkan barang yang disembunyikan di situ,” kata Maigret.
“Saya sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal itu,” jawab Madame Martin. Maigret tidak peduli pada sanggahan itu.
“Ketika tahu ia datang, Anda memutuskan untuk memindahkan benda berharga itu ke tempat penitipan barang di stasiun.”
“Saya sama sekali tidak pernah berada dekat stasiun. Di Paris ‘kan ada ribuan wanita pirang yang mirip dengan saya.”
Maigret memerintahkan Madame Martin menulis nama dan alamatnya pada sehelai kertas. Wanita itu tidak bisa menolak. Kertas itu diserahkan oleh Maigret kepada Lucas.
“Minta kantor pos mengakurkan tulisan ini dengan tulisan pada sampul semua surat yang dialamatkan ke daerah ini, yang akan tiba malam ini. Saya bertaruh akan menemukan sebuah yang tulisannya sama dengan yang di kertas ini. Mungkin dialamatkan kepada Madame Martin. Di dalamnya ada resi.”
Untuk pertama kalinya Madame Martin kelihatan gugup, tapi ia belum menyerah.
“Anda akan menceritakan kepada suami saya tentang kunjungan Monsieur Lorilleux ke pondokan saya?”
“Kalau perlu.”
“Anda manusia kurang ajar. Jean tak tahu-menahu soal ini.”
“Tapi sial baginya, ia suami Anda.”
Kemudian Lucas muncul kembali. “Janvier akan mengurus surat itu, Pak. Saya bertemu Torrence di bawah. Katanya, pria itu ada di bawah, di bar yang letaknya dua rumah dari tempat Anda.”
Madame Martin melompat. “Pria mana?” tanyanya.
“Pria yang datang ke sini semalam. Anda pasti tahu ia akan datang kembali, sebab semalam ia tidak berhasil memperoleh yang dicarinya. Mungkin ia lebih nekat sekarang.”
“Anda tahu siapa dia?”
“Saya bisa menebak. Ia Lorilleux. la ingin meminta kembali miliknya.”
“Bukan miliknya!”
“Pokoknya, ia menganggap itu miliknya. Tiga kali ia datang tanpa hasil. Kini ia akan datang lagi dan akan heran karena Anda ditemani banyak orang di sini. Ia akan lebih bersedia berbicara daripada Anda. Menurut Anda, ia datang membawa senjata atau tidak?”
“Tidak tahu!”
“Rasanya ia bersenjata. Ia sudah bosan menunggu. Entah apa yang Anda katakan kepadanya, tetapi ia sudah tidak percaya lagi. Wajahnya sudah nekat.”
“Diam!”
“Anda ingin kami pergi supaya bisa berdua saja dengannya?” tanya Maigret. Ketika itu pukul 22.38 dan Madame Martin pun terpaksa buka mulut karena khawatir dibunuh Lorilleux. Ia mau menjawab pertanyaan Maigret. Katanya, benda berharga yang tadinya tersembunyi di bawah papan dan kemudian dititipkan ke tempat penitipan barang di stasiun itu adalah gepokan uang kira-kira 1 juta frank. Uang itu bukan milik Lorilleux melainkan kepunyaan Julian Boissy yang dibunuh Lorilleux.
Lorilleux membunuh orang itu demi uangnya karena Madame Martin yang waktu itu sudah menikah dengan Jean bilang, ia mau kabur dengan Lorilleux kalau Lorilleux bisa menyediakan cukup uang kontan. Ia ingin kaya. Ia bosan hidup miskin dan dikelilingi orang-orang yang harus menghemat sesen demi sesen untuk bisa menyambung hidup.
Sebetulnya ia tidak mencintai Lorilleux seperti halnya ia tidak mencintai Jean. Ia bersedia kabur dan hidup bersama Lorilleux hanyalah untuk sementara, yaitu sampai ia bisa mendapat uang banyak.
Ditakut-takuti
Bagaimana caranya Boissy dibunuh? Boissy, duda kaya yang pelit itu, tinggal dalam kamar sewaan. Ia sering datang ke tempat Lorilleux karena Lorilleux menyediakan sarana untuk memuaskan gairah seksualnya yang tidak normal. Devaluasi frank menyebabkan Boissy ingin menukarkan uangnya dengan emas.
Monsieur Lorilleux yang biasa menyelundupkan emas dari Swiss bersedia membelikannya emas, tetapi Boissy diminta membayar lebih dulu.
Suatu hari Boissy datang membawa uang. Madame Martin disuruh pergi dari toko. Ketika ia kembali, dilihatnya Lorilleux sedang memasukkan mayat Boissy ke kotak besar. Menurut Madame Martin, ia tidak memeras majikannya, ia cuma menakut-nakuti. la bilang para tetangga curiga, jadi sebaiknya Lorilleux menitipkan uang Boissy kepadanya untuk disembunyikan di bawah papan lantai rumahnya. Hal itu bisa leluasa dikerjakan karena suaminya sering bertugas ke luar kota. Janjinya uang itu cuma dititipkan beberapa hari. Tapi ketika dua hari kemudian Madame Martin diajak kabur ke Belgia oleh Lorilleux, ia menolak. Ia menakut-nakuti lagi Lorilleux. Katanya, seseorang yang mirip inspektur polisi menanyai dia. Lorilleux ketakutan. Madame Martin memberinya sebagian dari uang Boissy supaya Lorilleux bisa kabur ke Brussel. Ia berjanji akan menyusul beberapa hari kemudian. Janji itu palsu.
“Dikemanakan jenazah Boissy?” tanya Maigret.
Lorilleux membawanya dengan taksi ke rumah peristirahatannya di tepi Sungai Marne. Mayat itu entah dikuburkan di sana, entah dibuang ke sungai, tetapi tidak pernah ada orang yang merasa kehilangan Boissy.
Selama lima tahun, Madame Martin selalu menakut-nakuti Lorilleux lewat surat. Katanya, polisi masih selalu datang menanyai Lorilleux kepadanya. Suatu kali bahkan Lorilleux sampai pergi ke Amerika Selatan saking takutnya. Karena jarang dikirimi uang, Lorilleux jadi nekat dan datang dua kali. Madame Martin memakai Colette sebagai alasan untuk tidak bisa mengambil uang, sementara ia berusaha mengenyahkan Lorilleux lagi.
“Suami Anda akan tiba di sini sepuluh menit lagi,” kata Maigret. “Saya rasa Lorilleux juga tahu, sebab ia sudah menghubungi Bergerac dengan telepon dan bisa membaca daftar kedatangan kereta. Anda ingin menunggu dua pria itu di sini?”
“Bawa saya pergi! Saya berpakaian dulu ....”
“Di mana resi Anda?”
“Di kantor pos Boulevard Beaumarchais.”
“Suami Anda dan Colette? Mereka ditinggal saja?”
“Biar saja.”
Madame Martin menggelayut ketakutan kepada Maigret dan Lucas ketika mereka menuruni tangga. Maigret kemudian bilang bahwa ia tidak akan ikut mengantar.
Ketika melihat tidak ada mobil polisi di jalanan, Madame Martin berhenti. Ia takut berjalan kaki hanya dengan dilindungi Lucas seorang.
“Jangan takut. Rorilleux tidak ada di sini, kok.”
Madame Martin pun mengamuk karena tadinya dikibuli.
Maigret menunggu kedatangan Jean Martin. Dua jam lamanya mereka berbicara. Ketika ia tiba di apartemennya di seberang pukul 01.30, didapatinya istrinya tertidur di kursi.
(Georges Simenon)
Baca Juga: Seorang Korbannya Maharaja dari India
" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726829/tamu-di-malam-buta" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680784229000) } } [2]=> object(stdClass)#117 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726637" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#118 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-293-1987-68-penipu-20230314061914.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#119 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "Seorang penipu ulung memutuskan menipu untuk terakhir kalinya usai bertemu seorang wanita dan berencana memulai hidup baru." ["section"]=> object(stdClass)#120 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-293-1987-68-penipu-20230314061914.jpg" ["title"]=> string(34) "Penipu Ulung yang Selalu Beruntung" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-14 06:19:40" ["content"]=> string(38040) "
Intisari Plus - Kid dikenal sebagai penipu ulung yang tidak pernah tertangkap oleh musuhnya. Setelah bertemu Annie, ia memutuskan menipu untuk terakhir kalinya sebelum mereka memulai hidup baru.
----------
Ia kukenal ketika masih mempunyai dua sebutan: Sunset Kid dan Moony Dan. Sebutan yang pertama muncul karena setiap sore ia naik mobil ke pantai Santa Monica untuk menyaksikan terbenamnya matahari. Membawa keberuntungan, katanya. Sunset Kid adalah penjahat yang “profesinya” menipu orang-orang dari dunia hitam.
Sasaran utamanya adalah bandar-bandar kelas kakap dan penjudi kartu profesional. Di antara mereka ia mendapat julukan “maling”. Biarpun demikian, tetap mereka membiarkan Kid datang dan menipu mereka terus dari tahun ke tahun. Biasanya mereka setuju bermain kartu dengan dia atau memasang taruhan pada pacuan kuda — walaupun selalu kalah.
Sebagai maling, Kid sukses dan kaya. Ini bukan saja melulu karena faktor keberuntungan, tetapi juga karena ia sudah menang secara psikologis. Bajingan-bajingan kelas kakap yang menjadi sasarannya biasanya sesumbar tak mungkin tertipu oleh maling mana pun. Kenyataannya Kid terus-menerus membuktikan kosongnya sesumbar itu, sehingga membuat mereka semakin gemas untuk melakukan “pertandingan balasan”. Selain itu antara Kid dan korban-korbannya sudah terjalin saling ‘pengertian’ bahwa mereka cuma perlu menangkap basah Kid sekali saja, untuk menamatkan riwayatnya. Itu sebabnya, bagi mereka cukup mengasyikkan juga, setiap kali memperhatikan orang yang menipu mereka ini menggantungkan nyawanya di ujung tombak.
Selalu salah pilih
Ia dijuluki Moony Dan karena kegemarannya akan wanita yang tak tanggung-tanggung. Padahal biasanya penjahat tak begitu suka kepada wanita. Wanita cuma mendatangkan kesulitan bagi mereka. Pada usianya yang ke-35, ia sudah membayar uang jaminan bagi dua orang bekas istrinya! Karena hal ini, orang-orang dunia hitam memandang dia lebih tolol dari orang-orang yang biasa ditipunya.
“Aku membayar uang jaminan bukan karena menuruti hukum,” kata Kid kepadaku. “Aku membayarnya karena aku berutang kepada mereka. Mereka ‘kan pernah membuatku bahagia.”
Akulah yang memperkenalkannya dengan Annie Bond. Kedua orang itu saling jatuh cinta pada pandangan pertama! Begitu cepat dan tanpa alasan sampai-sampai kukira mereka sengaja hendak menipuku. Tak hanya cinta yang duduk bersama kami waktu itu. Ternyata maut juga memperkenalkan dirinya dengan diam-diam.
Kid orang yang selalu berpakaian rapi. Tatapannya agak muram, wajahnya sedikit sarkastik, rambutnya hitam keriting. Waktu duduk bersanding dengan Annie Bond, Kid tidak saja menarik, tapi tampan luar biasa. Agaknya gejolak emosi telah menganugerahinya wajah baru.
Aku tak begitu kenal Annie. Ia bukan jenis wanita yang miskin terlunta-lunta. Ia penyanyi dan penari malam. Sebagai pekerja keras, setiap malam bisa 20-30 lagu dinyanyikannya.
Sebelum ini ia tidak begitu beruntung dalam urusan dengan pria. Selama delapan tahun sebelum ia bertatap muka dengan Sunset Kid, selalu saja ia salah memilih atau dipilih pria.
Dari Amarillo, Texas, ia datang ke Hollywood. Dengan rambut kemerahan, bentuk tubuh indah, suara yang cukup bagus dan segudang temperamen, ia sempat mencicipi pengalaman di studio rekaman. Sejak itu kariernya merosot. Di ‘waktu luangnya’, begitu yang pernah dikatakannya kepadaku, ia menyanyi di kafe-kafe kecil. Sisa waktunya dilewatkan dengan menjadi juru tulis di toko, pelayan restoran atau pemeran pengganti di film-film barat sebagai penunggang kuda. Dia memang penunggang kuda yang ahli. Rambutnya mungkin masih semerah dulu, tubuhnya masih juga seindah dulu dan kepalanya tetap tegak menantang. Namun delapan tahun telah menodai kepolosannya dan menambahkan pandangan sinis di matanya.
Itulah yang terpikir olehku waktu melihat Annie Bond menatap Sunset Kid sepuluh menit setelah mereka aku perkenalkan. Senyum Kid tidak dibalasnya dan kecerahan seperti yang tampak di wajah Kid tak nampak padanya. Sesuatu yang muram samar begitu saja muncul di wajahnya.
Empat bulan kemudian aku bertemu kembali dengan mereka. Selagi berjalan ke hotelku di Beverly Hills, ada mobil yang terus membunyikan klakson ke arahku. Di dalam mobil ternyata Kid dan Annie.
Pertaruhan besar
“Ayo, ikutlah,” kata Kid. “Kita akan ke Santa Monica.”
Kami tiba di pantai tepat pada waktunya. Matahari telah menempel santai di cakrawala. Kami memarkir mobil. Kid menatap matahari itu selekat-lekatnya, selekat tatapan Annie kepadanya. Sorot matanya penuh cinta. Kepahitan delapan tahun di Hollywood telah sirna dari wajahnya.
“Kami akan menikah,” sambung Sunset Kid. “Tanggal 15, karena 15 adalah angka keberuntunganku. Pukul 10.30. Pukul sembilan malamnya aku akan mulai dengan bisnisku. Semua tipuan kutinggalkan dan aku akan mapan sebagai warga negara umumnya.”
“Ia akan membeli separuh dari saham The Congo Room,” sambung Annie penuh semangat. Congo adalah salah satu klub malam yang terbaru di Hollywood, lengkap dengan band, sistem penerangan mutakhir dan pengunjung dari golongan terkenal. “Dan akan menjadi manajernya, sedang aku akan menyanyi di sana.”
“Dari pakaian sampai sandalnya akan gemerlapan,” kata Kid sambil mencium tangan Annie, “la akan meroket, Annie Bond, si Bulbul dari Texas.”
“Jika aku berhasil,” sahut Annie.
“Engkau sudah berhasil,” ujar Kid dengan lembut.
“Bayangkan, hal seperti ini bisa terjadi padaku!” Dan tersenyum. “Itu sebabnya akan kutinggalkan semua tipuanku. Dulu itu satu-satunya kesenanganku. Sekarang rasanya tak berarti apa-apa.”
Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan.
“Membeli saham di Congo tentunya perlu banyak uang?”
“Sepuluh ribu dolar tunai,” jawabnya.
“Sudah kau dapatkan?”
“Akan kudapat tanggal 15 nanti,” katanya tersenyum.
Menantang raja judi
Tujuh orang sedang duduk di ruang tengah Rocky Blair yang anggun. Tiga orang di antaranya adalah tukang pukul, tiga lagi teman dan asisten Rocky. Yang ketujuh adalah Rocky sendiri. Enam orang telah melepas jasnya, hanya berkemeja saja. Waktu itu pukul 13.00, siang yang amat panas.
Rocky sedang menyantap sarapannya di sebuah baki. Pakaiannya rapi dan lengkap, seperti raja saja, tak peduli pada cuaca panas ataupun waktu. Kerajaan Rocky mencakup 500 bandar taruhan — ditambah beberapa usaha pribadi maupun legal yang dikerjakannya sebagai semacam hobi saja. Salah satu dari yang terakhir, dan yang paling top, adalah Boulevard Florist Shop di pusat Hollywood. Di belakang bangunan yang berbau harum inilah terletak “kantor pusat” Rocky.
Dari ruangan yang berbau harum inilah Rocky mengendalikan 500 bandarnya: mengendalikan keuangannya, membebaskannya dari ancaman polisi dan memperlancar jalannya dengan menyuap baik di tingkat rendah maupun tinggi. Seminggunya, rata-rata Rocky berpenghasilan 100.000 dolar.
Rocky tidak bekerja dengan orang lain. Tidak ada sindikat. Yang ada hanyalah Rocky, yang sedang duduk di tengah panasnya hari ini, raja satu-satunya di wilayah antara Los Angeles dan Las Vegas.
Rocky termasuk jenis manusia rewel. Wajahnya bulat, kencang dan selalu tercukur bersih. Selagi muda dulu ia pernah terjun di arena tinju bebas selama lima tahun.
Bersama tamu-tamunya, Rocky duduk diam sambil meminum kopinya. Ketiga tukang pukul tak punya sesuatu untuk dibicarakan. Ketiga asisten, yang tentunya lebih pandai bicara, juga melakukan gerak tutup mulut seperti bos-nya.
Gong yang musikal berbunyi tiga kali. Suara bel pintu luar. Rocky tetap melanjutkan menghirup kopinya. Tak seorang pun tergerak. Gong berbunyi lagi, Rocky melihat ke arah Gil, tukang pukul yang bertubuh paling kecil, tapi yang berpistol di ketiak kirinya.
Gil bangun dan menuju pintu. Soalnya, selama bulan itu saja sudah ada dua kali percobaan untuk melenyapkan Rocky.
Keenam orang yang lain diam mendengarkan pintu luar dibuka. Tak ada suara tembakan ataupun bom yang menggelinding. Jadi pastilah ini hanya tamu biasa saja.
Gil masuk kembali.
“Si Moony Dan,” katanya.
“Mau apa si Maling itu?”
“Ketemu kau, Rocky,” sahut Gil.
“Usir dia,” kata si gemuk Tubby Fields, yang dianggap sebagai “otak” dari Rocky. “Tak usah membuang-buang waktu.”
“Tutup mulut,” kata Rocky. Semua menunggu sampai satu menit penuh, barulah Rocky menyelesaikan kalimatnya, “Persilakan tuan itu masuk.”
Gil kembali ke pintu, membuka kedua rantai pintu. Ia kembali diikuti Sunset Kid.
Tak ada yang berbicara. Rocky menengok ke luar jendela, ke arah jalan raya yang terbentang di seberang halaman rumput yang luas.
“Kau tidak naik mobil,” kata Rocky.
“Aku naik taksi,” sahut Kid.
“Oh, khusus kemari,” Rocky bersungut. “Mau apa?”
“Aku merasa sedang beruntung,” sahut Sunset Kid.
Ketujuh orang di ruangan itu menampakkan ekspresi yang sama: tidak peduli. Ketujuh-tujuhnya merasakan hal yang sama pula. Tergetar. Kid baru saja mengumumkan bahwa tujuannya datang adalah untuk mencuri uang lagi dari Rocky Blair.
Satu lawan tujuh
“Usir dia,” kata Tubby Fields.
Tak ada yang bergerak, jadi Kid duduk. Rocky menghabiskan kopinya. Matanya menyorot geram. Monyet ini sudah memperdayainya tiga kali — salah satunya dalam permainan poker di ruang ini pula. Dengan tujuh orang memperhatikan gerakan jarinya, mengganti kartu setiap 15 menit, penipu ini tetap saja berhasil menggaet 2.800 dolar dari kantungnya. Semuanya di saat terakhir. Begitulah selalu gaya permainan Kid. Kalau di tangan kita ada empat raja, di genggamannya ada empat buah as.
“Aku tidak mau bermain kartu,” kata Rocky.
“Senang mendengarnya,” kata Kid. “Bermain kartu terlalu lama untuk sampai di titik mematikan. Kadang-kadang kita harus duduk sampai empat jam.”
“Untuk ketiga kalinya aku usul,” kata Tubby Fields. “Usir dia.”
Tidak seperti biasanya, Rocky cemberut kepada “otaknya”. Tubby mempunyai “indra keempat”, begitu selalu katanya dan biasanya Rocky menuruti nasihatnya karena Tubby selalu tahu apa yang akan terjadi. Namun, kali ini Rocky tak ingin mengusir Kid. Bukankah itu pengakuan kelemahan diri? Apa lagi, mana mungkin seseorang yang berada di rumah Rocky sendiri, dan diawasi oleh tujuh orang, akan mampu untuk menipunya?
“Akan kulakukan, jadi tutuplah mulut.” Rocky menoleh kepada tamunya dan bertanya, “Permainan apa yang kau kehendaki?”
“Aku sedang merasa beruntung di pacuan kuda hari ini,” sahut Kid.
Ketujuh orang di dalam ruangan itu, termasuk Tubby Fields, merasa bersyukur bahwa orang ini tidak mereka tendang ke luar — karena permainan ini pasti bakal menarik. Kid akan menggunakan lagi akal-akal bulusnya yang sudah pernah dipakai dulu dalam bertaruh.
Ketujuh orang itu masih ingat cara-cara kerja Kid pada waktu bertaruh. Ia banyak berhasil dengan cara menetapkan taruhannya atas kuda yang sudah menang, jadi setelah pacuannya selesai. Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan menelepon tiga menit sebelum sebuah babak pacuan mulai, lalu menyatakan akan bertaruh pada babak setelah itu. Petugas yang menerima taruhan-taruhan waktu itu seorang wanita. Kid terus mengajaknya bicara, mengobrol tentang kakak wanita si petugas, lalu menawarkan bantuan untuk kakaknya yang masih dalam kesulitan itu. Kemudian tiba-tiba ia berkata, “500 Sun Up di tempat kedua.” Karena sedang bersemangat tentang pertolongan yang ditawarkan untuk kakaknya itu, wanita petugas itu lupa melihat jam. Maka ditulisnya saja: “Sun Up - $ 500 - Tempat kedua”. Waktu itu tentu saja babak kedua sudah selesai.
Pukul 17.00 Kid segera datang untuk mengambil uangnya dan wanita petugas itu pun dipecat.
Dilarang dekat jendela
Ada lagi tipuan-tipuan Kid yang lain. Rocky ingat semua, termasuk tipuan “tinta yang tidak nampak”. Waktu itu Kid menyodorkan formulir taruhan. Di situ tertulis tiga nama kuda yang dipertaruhkannya untuk menang di pacuan babak ketiga, keempat dan kelima. Di kertas itu tertulis pula nama seekor kuda yang sudah menang di babak pertama, tetapi dengan tinta yang tidak terlihat. Tentu saja petugas bandar tidak melihat ada nama itu waktu ia menerima formulir tersebut. Pukul 17.00, waktu Kid datang, tinta itu sudah muncul. Maka bandar harus membayar untuk taruhan atas kuda yang sebenarnya baru dipertaruhkan oleh Kid setelah kuda itu menang.
Tubby bisa menerka akal bulus itu. Tapi karena tak ada bukti, tak dapatlah ia mengambil tindakan terhadap Kid. Itulah hukum tak tertulis di kerajaan Rocky. Persis seperti hukum yang berlaku juga di luar kerajaannya.
Tidak cuma Rocky, yang lainnya pun sudah hafal cara-cara yang sudah pernah dikerjakan oleh Kid. Maka semua pun mulai bekerja secara serentak. Artinya semua mewaspadakan diri.
“Duduk di sini,” kata Tubby Fields. Ia menjauhkan Sunset Kid dari jendela luar, supaya tak ada kemungkinan ia menerima kode dari luar. Di aturnya sehingga kursi Kid membelakangi jendela.
Nate, bandar Rocky yang paling tua dan yang paling bijaksana pula, melongokkan kepalanya ke luar jendela, melihat ke sekelilingnya. Rumah Rocky terletak di daerah yang bangunannya jarang. Daerah pemukiman itu bakal menjadi daerah elite. Persis di kiri-kanannya tak ada bangunan. Jalannya lebar dan di seberang jalan pun tak ada rumah.
Rocky menengok pada jam di atas pendiangan. Pukul 13.10.
“Sudah punya pilihan?” tanya Rocky.
la mengedipkan mata ke Tubby. Tubby membalas mengedipkan mata juga. Yang Iain-lain juga saling mengedipkan mata.
Permisi ke WC
Kid melihat ketujuh orang itu sudah membuka mata selebar-lebarnya, menelusuri tangannya, kakinya dan wajahnya. Kid menjawab dengan tersenyum menyesal,
“Sebenarnya aku ingin memilih Count Monty untuk tempat pertama, tapi aku belum memutuskan kok.”
“Oh, kau masih butuh waktu lagi?” ejek Rocky. Count Monty baru akan bertanding pukul 13.30.
“Betul,” katanya. “Keberatan kalau aku ke kamar mandi dulu?”
“Pergilah,” kata Rocky. “Di lorong situ ada kamar mandi.”
“Ya, aku tahu,” jawab Kid. la berdiri, lalu keluar dari ruangan itu. Rocky menganggukkan kepalanya dan dua dari ketiga tamunya berdiri mengikuti Rocky. Di muka pintu WC mereka berhenti, tidak ikut masuk.
“Ia tak mungkin coba-coba lagi,” kata Gil dengan menyesal.
“Kau sudah membuatnya ngeri, Rocky.”
“Dia tetap akan mencoba,” sahut Tubby Fields.
“Tidak,” ujar Rocky dingin. “Waktu baru masuk dia bisa sombong, tapi pasti sekarang sudah tidak.”
“Sayang,” kata salah satu tukang pukul. “Kalau saja ia mencoba lagi, kita pasti bisa menangkapnya.”
“Dia memang akan mencoba lagi,” ulang Tubby.
“Baik,” kata Rocky. “Kalau begitu kita akan menangkapnya. Sudah lama aku ingin menangkap maling itu.”
Di dalam kamar mandi Sunset Kid mengunci pintu dan tersenyum. Ia tahu percakapan yang sedang terjadi setelah ia pergi dari ruangan itu. Ia tahu bahwa Tubby Fields telah menelepon gelanggang, mencocokkan waktu.
Yang lebih dinikmatinya adalah hal lain yang lebih menarik, hal yang telah ditinggalkannya di ruangan — pengaruh psikologis. Ia tahu bahwa pukul 13.33, satu menit setelah babak pertama di Gelanggang Santa Anita, Rocky akan menentukan taruhannya pada kuda yang baru saja menang.
Kid menyalakan lampu di atas lemari obat, membuka kedua kran air supaya bunyi yang ditimbulkannya tidak terdengar dari luar. Lalu bola lampu ia lepaskan dari fitingnya. Sementara bekerja ditariknya napas dalam-dalam. la senang, karena inilah tipuannya yang terakhir — hanya ini saja lagi, untuk Annie — hanya ini. Kemudian dari bungkus rokoknya ia menyobek kertas timah, yang dibentuknya menjadi seperti kepingan uang logam. Setelah memasukkan kertas timah itu ke dalam fiting, lampu bohlam dipasangnya kembali dengan kencang.
Ada letupan kecil dan Kid tahu, waktu itu ada satu sekring di basemen yang sudah putus. Bohlam dibuka lagi, kertas timah diambilnya lagi. Ia telah memutuskan aliran listrik di kamar mandi. Ia berani bertaruh dua puluh lawan satu bahwa aliran listrik di ruang tengah pasti tergabung dalam sekring yang sama.
Jika itu betul, berarti ia “dalam bisnis”. Jika tidak, paling-paling ia hanya akan bisa bermimpi untuk melakukan akal bulus yang lain. Di dalam hatinya ia ucapkan niat yang mendalam. “Annie, buatlah berhasil,” gumamnya. Lalu cepat-cepat ia mencuci tangan dan membuka pintu.
Semua radio bungkam
“Kau duduk di sini,” kata Tubby Fields ketika Kid masuk ke ruang tengah kembali diiringi kedua tukang pukul. “Kursi yang sama.”
Kid duduk.
Rocky melihat lonceng. Pukul 13.17.
“Belum juga kauputuskan?” tanyanya.
“Ah, kurasa babak pertama akan kulewatkan saja,” Kid tersenyum.
Wajah Rocky gelap dan menegang.
“Kita tidak bermain taruhan setelah pacuan mulai,” ujar Tubby Fields tenang. “Jangan coba-coba.”
“Tutup mulut,” kata Rocky. “Aku sedang konsentrasi.” Matanya menatap wajah Kid, tegang dan geram.
“Pukul 13.25,” kata Tubby setelah lama tak ada yang bersuara.
“Oke,” kata Rocky, “Setel radionya. Kita masih bisa dengar babak pertama.”
Salah satu tukang pukul yang namanya Biggy melangkah ke radio. Tak ada yang memperhatikan dia. Semua mata dipakukan pada si Maling.
“Tidak akan ada taruhan setelah pacuan mulai,” kata Rocky. “Ini kesempatan terakhirmu. Kau mau main kartu?”
“Aku tak ingin,” kata Sunset Kid.
“Sial!” Biggy mengerutu. “Tak jalan.”
Mendengar Biggy, Sunset Kid tenang. Ia sudah masuk “dalam bisnis”. Sisanya cuma permainan psikologis saja.
“Apanya yang tak jalan?” tanya Rocky jengkel.
“Radionya,” kata Biggy. “Orang itu sudah membuatnya mati.”
“Siapa?” Rocky tetap menancapkan pandangannya pada Kid.
“Kid,” kata Biggy.
“Dia tidak menyentuh radio itu sama sekali,” kata Rocky mantap. “Ambil radio lain dari kamarku. Cepat.”
Tubby Fields bangun dari duduknya sambil berteriak. “Pasti dia yang membuat radio itu mati. Sudah kukatakan! Akal bulusnya sudah berjalan! Usir dia!”
“Dia belum melakukan apa-apa. Sejak tadi sudah kuawasi. Tutup mulut sekarang.”
Biggy datang dengan radio yang lebih kecil. Kabelnya ia tancapkan ke stopkontak. Rocky melirik jam. Pukul 13.30.
“Ini juga tidak jalan,” Biggy mengomel. “Ia juga sudah mematikan yang ini.”
Kid menatap Tubby Fields. Ia sedang menunggu “otak” itu menjerit tentang sekring putus. Tetapi “otak” itu sudah terlalu sibuk mengawasi dan memperhatikan Kid sampai tak sempat lagi berpikir. Selain itu,Kid juga sudah menebak bahwa soal sekring pastilah belum dikenal di kelompok ini.
“Apakah kabelnya putus?” tanya salah seorang pembantu Rocky.
“Kabelnya tak apa-apa,” kata Biggy. “Ada yang tak beres di dalam. Berbunyi saja tidak radio ini.”
Samar-samar Rocky mulai sadar bahwa ini bagian dari tipuan Kid, maka matanya terus mengikuti setiap gerakan mata Kid.
“Wah, sayang sekali,” kata Sunset Kid. “Sebetulnya suka aku mendengarkan jalannya pacuan. Tadi aku agak condong ke Count Monty. Syukurlah tidak jadi. Karena sekarang aku punya perasaan kuat, sangat kuat, pada Blue Skies. Mau bertaruh pada Blue Skies, Tuan Blair?”
Rocky melirik jam. Pukul 13.33. Kalau pacuannya cepat, babak pertama sudah selesai satu menit yang lalu.
“Aku bertaruh 3.000 untuk kemenangan Blue Skies,” kata Sunset Kid. “Bertaruh sepuluh menit yang lalu dengan sekarang toh sama saja. Kau tak tahu, aku pun tak tahu apa yang sudah terjadi.”
Sambil berbicara Kid mengeluarkan enam lembar 500-an dan meletakkannya di baki sarapan Rocky.
“Kau terima taruhanku?” tanyanya.
Rocky meraih uang itu. “Kuterima,” katanya.
Rocky penasaran
Sepi. Tak ada petunjuk apa pun. Maling itu sejak tadi duduk di tengah ruangan dengan punggung menghadap ke jalan yang jauhnya sekitar 20 meter. Tubby beranjak ke telepon, memutar sebuah nomor. Seluruh ruangan menunggu pengumuman.
“Ini Tubby Fields,” kata Tubby di telepon. “Beri aku hasil yang pertama di Santa Anita.”
la mendengarkan lalu meletakkan gagang telepon dengan perlahan.
“Blue Skies menang nyaris,” umumnya. “Dibayar tujuh banding dua.”
“Maling jahanam,” kata Rocky. “Kau telah mencuri 10.000 dolar.”
“Aku tidak mencurinya,” kata Kid dengan tenang. “Aku memenangkannya.”
“Kau mencurinya,” ulang Rocky. Tangannya meraba ke balik jasnya dengan perlahan. la mulai lupa pada hukum tak tertulis.
“Kalau kau ingin mengingkari taruhan,” kata Kid, “silakan.”
“Kau tak usah menembakku. Tak usah bayar, itu saja.”
Tangan Rocky berhenti bergerak. Penjudi tak bisa tahan terhadap kata-kata macam itu. Ini hanya permainan psikologis saja. Dengan hati-hati Kid menjaga jangan sampai rasa puas tercermin di suaranya.
“Kau bertaruh setelah melihat jam,” katanya.
“Tapi bila kaupikir aku telah berhasil menipumu, di rumahmu sendiri dan dengan diawasi orang-orangmu, oke. Tak usah membayar. Terserah padamu, Tuan Blair.”
“Akan kubayar,” kata Rocky.
Diambilnya 10.000 dolar dari dompetnya.
“Akan kuberi 5.000 lagi,” katanya tenang. “Jika kau beri tahu bagaimana caramu tadi bekerja.”
Kid cuma tersenyum saja menanggapi perangkap itu. “Cuma feeling saja yang datangnya tiba-tiba,” katanya dengan lagak lugu. “Memang datangnya sedikit terlambat, tetapi feeling itu begitu kuat.”
Diambilnya uang 10.000 dari tangan Rocky, lalu diambilnya pula uangnya sendiri yang 3.000 tadi. Yang lain hanya memperhatikan saja dengan diam.
“Kau maling jelek,” kata Rocky tanpa emosi. “Kau tak pernah sekalipun menang dengan jujur. Aku mau membayar, karena taruhan kulakukan dengan mata terbuka. Tapi uang itu akan kuperoleh kembali. Akan kutemukan bagaimana kau mengakaliku tadi. Kalau sudah kutemukan, akan kudatangi kau. Setelah itu, kau tak akan butuh uang lagi.”
Sunset Kid menunggu pidato panjang itu selesai dengan sabar.
“Aku menyesal kau berpikir demikian, Tuan Blair,” katanya. “Tapi terima kasih untuk pembayaran ini.”
la menganggukkan kepala, lalu menambahkan, “Sampai ketemu lagi,” dan berjalan ke luar dengan tenang.
Mobil warna-warni
Di luar matahari sore bersinar cerah. Sunset Kid berjalan menuju perempatan bulevar yang dua blok jauhnya dari situ. Begitu membelok, ia melirik ke belakang untuk mengecek apakah ada yang membuntutinya. Jalan raya begitu panas dan kosong.
Ada empat mobil terparkir di pinggiran bulevar. Mobil yang berwarna-warni itu berjejer satu di belakang lainnya. Yang satu hitam, satu hijau terang, satu merah dan yang keempat kuning salmon.
Sunset Kid teringat pada mobil yang kelima, yang waktu itu sudah tak ada di situ. Warnanya biru muda. Sekilas terbayang kembali getaran jiwanya waktu kilatan warna biru itu terlihat di cermin yang ada di atas pendiangan Rocky. Bahkan waktu itu sempat pula ia melihat rambut Annie yang melambai tertiup angin dan wajahnya yang tegang. Waktu itu Annie ngebut dengan kecepatan 70 mil per jam.
Bingungnya ketujuh orang tadi dan kesederhanaan akalnya yang hampir-hampir mendekati tolol itu membuat Kid masih tetap menyeringai puas waktu ia masuk ke mobil merah. Ada lima ekor kuda yang bertanding di babak pertama. Warna-warna mobil ini mewakili tiap kuda. Annie menunggu di mobil, mengikuti jalannya pacuan babak pertama lewat radio mobil. Begitu pemenangnya disebutkan, Annie segera melompat ke mobil yang cocok dengan nama kuda yang menang itu - yang biru untuk si Blue Skies.
Kid mengembalikan mobil merah itu ke tempat penyewaan. Ia menyewanya tiga hari yang lalu. Satu jam kemudian ia kembali untuk mengembalikan mobil-mobil itu satu-persatu ke tempat penyewaannya masing-masing, yang saling berjauhan.
Hampir pukul 19.00 waktu Kid selesai mengembalikan mobil yang keempat. Lelah dan kepanasan karena banyak menyetir, ia melirik langit. Ia belum terlambat untuk ke pantai Santa Monica. Ia akan melihat matahari tenggelam bersama Annie. Pastilah Annie sudah menanti dengan memarkir mobilnya, mobil biru itu, di barisan terdepan seperti biasanya.
Di tempat parkir belum ada mobil berwarna biru. Mesin mobil ia matikan dan dipandanginya matahari yang bergerak turun.
Sebentar lagi pasti Annie datang. Mungkin ia masih membeli sesuatu — hot dog atau losion untuk mencegah kulit disengat matahari. Rasanya lama sekali matahari tenggelam. Kid berusaha untuk tetap tenang. Annie pasti muncul. Apa artinya beberapa menit saja menunggu? Toh telah terbentang hidup dengan Annie sejak sekarang. Kid menyetel radio mobil. Musik membuat waktu tidak terasa terlampau lama. Waktu itu pukul 19.30 dan Kid mengganti gelombang.
Tiba-tiba saja ia mengalihkan mata dari matahari yang sedang tenggelam. Mata itu kini tertutup, tidak melihat apa pun. Suara penyiar berita memenuhi seluruh mobil,
“Untuk Los Angeles telah jatuh lagi korban yang ke-140 karena mengendarai mobil dengan ceroboh. Sebuah mobil yang ngebut sekitar 70 mil per jam di daerah pemukiman Brenwood telah menabrak sebuah truk yang sedang diparkir. Pengemudi mobil itu tewas seketika. Namanya Annie Bond, seorang penyanyi cafe yang masih muda dan cantik dan yang dikenal sebagai di Burung Bulbul dari Texas.”
Buat beli bunga
Waktu Sunset Kid membuka matanya, Lautan Pasifik sudah tampak gelap. Kedua tangannya gemetar. Kakinya tak dapat digerakkan. Kepalanya terkulai ke atas setir mobil dan ia pun menangis.
Tiga hari kemudian, Sunset Kid melangkah masuk ke toko bunga milik Rocky. Pelayan toko diam saja, menatap ke arah Kid.
Biggy mengangkat kepalanya dari majalah bergambar yang sedang dibacanya. Ia pun tidak mengatakan apa-apa, tetapi langsung menuju sebuah pintu di bagian belakang toko. Di situ ada bel yang kemudian ditekannya tiga kali. Pintu yang terbuat dari baja itu pun membuka.
“Orang itu ada di sini,” kata Biggy. “Moony Dan.”
Rocky keluar, diikuti Tubby Fields. Rocky menuju meja toko tempat melayani langganan. Biggy dan Tubby segera mengapit Kid.
“Sudah kubaca perihal pacarmu,” kata Rocky. “Ia mati karena kecelakaan sewaktu mengendarai mobil berwarna biru lewat rumahku. Sekitar pukul 13.30.”
Kid menganggukkan kepala.
“Aku memang mencari-carimu,” kata Rocky. Ditatapnya wajah pucat dan mata yang memerah itu. Lalu tanyanya, “Kau mau apa?”
“Aku ingin membeli bunga,” kata Kid.
“Buang-buang waktu saja,” cetus Tubby. “Bawa saja dia ke kantor, Biggy.”
“Tutup mulut,” omel Rocky. “Aku sedang melayani pelanggan. Bunga apa yang kauinginkan, Kid?”
“Mawar,” kata Sunset Kid. “Aku ingin memesan mawar seharga 15 dolar untuk dikirimkan ke Nona Annie Bond. la dimakamkan di Forest Lawn. Aku ingin mengirimkan mawar setiap minggu selama 15 tahun ke makamnya. Itu berarti sekitar 10.000. Ditambah ekstra 700 dolar. Kubayar di muka.”
Kid meletakkan sepuluh lembar 1.000 dolaran dan menambahkan lagi 700 dolar.
“Cukuplah,” katanya. “Bila kau menjual bisnis ini kepada orang lain atau terjadi hal lainnya, aku ingin supaya diatur, sehingga pengiriman bunga itu akan tetap berjalan.”
Rocky Blair memandangi tangan Kid yang gemetar dan matanya yang begitu muram.
“Tuan Fields akan menuliskan ordermu,” sahutnya kaku. “Pengiriman bunga akan dilakukan seperti yang diminta.” la berhenti sejenak, sambil memberengut menambahkan, “Urus orang ini Tubby dan beri resinya,” Rocky pun berlalu kembali ke balik pintu bajanya.
Bila mengunjungi pantai Santa Monica, aku selalu mampir di sebuah bar yang menghadap ke laut. Bar itu kecil dan agak acak-acakan, seafood-nya pun tak terlalu enak; tapi aku tetap pergi ke sana kadang-kadang, karena Dan Flato menungguku. Dulu ia biasa dikenal sebagai Sunset Kid.
Kedua tangannya masih tetap gemetar dan matanya masih semuram dulu, tetapi ia tak lagi memandangi matahari tenggelam. Kid sudah mempunyai hobi baru. Bila sedang melayaniku, pandangannya dilayangkannya ke ujung jalan sana, tempat biasanya Annie Bond akan muncul untuk menemuinya — dulu.
(Ben Hecht)
Baca Juga: Demi Santunan Asuransi
" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726637/penipu-ulung-yang-selalu-beruntung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678774780000) } } [3]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3641256" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/akhir-sebuah-kolusi-ok_jose-vazq-20230105040927.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Seorang pria jujur bermasa depan cerah di Pulau Palau mendapat kepercayaan besar dalam bisnis. Namun semua itu harus selesai karena ketamakannya." ["section"]=> object(stdClass)#124 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/akhir-sebuah-kolusi-ok_jose-vazq-20230105040927.jpg" ["title"]=> string(19) "Akhir Sebuah Kolusi" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 16:09:50" ["content"]=> string(34958) "
Intisari Plus - Seorang pria jujur bermasa depan cerah di Pulau Palau mendapat kepercayaan besar dalam bisnis. Namun semua itu harus selesai karena ketamakannya.
--------------------
Beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia sempat disibukkan oleh kasus 14 nelayan yang terdampar di negara Palau. Kembali Herlina Kasim, si Pending Emas, bersama Tim Kemanusiaan LBH-Ikadin melakukan berbagai usaha untuk bisa melepaskan mereka dari tuntutan negara kepulauan itu. Usaha gigih itu pun tak sia-sia, akhirnya para nelayan itu dibebaskan dari segala tuntutan dan diizinkan kembali ke Indonesia.
Negara ini memang semakin mapan dalam posisinya sebagai salah satu objek wisata dunia. Buktinya, John Kennedy Jr., putra almarhum Presiden Kennedy, pernah menyempatkan diri berlibur bersama pacarnya di Palau. Begitu diberitakan oleh Harian Kompas awal Agustus 1993.
Palau kini merupakan tempat liburan yang sedang in bagi orang kaya. Kepulauan itu konon masih seperti surga, karena belum banyak yang tercemar. Pasirnya yang putih masih bersih, air lautnya biru jernih, dan tanahnya masih belum botak-botak digunduli.
Kepulauan itu merupakan bagian dari Kepulauan Caroline di Pasifik Barat. Letaknya cuma beberapa derajat di sebelah utara khatulistiwa, jauh di sebelah timur Nusantara.
Sebenarnya John Kennedy Jr. bukan termasuk turis pertama yang beruntung menikmati keindahan dan ketenteraman Palau. Orang Korea Selatan sudah mendahului ke sana. Dalam cerita ini pun bukan John Kennedy Jr. yang kita ikuti kisahnya, melainkan salah seorang Korea itu.
Bekas buruh bangunan
Sebelum menjadi orang kaya, Song Yang Moon pernah merasakan menjadi buruh bangunan di Jepang. Semasa menjadi buruh itu ia sangat hemat. Kalau orang lain makan enak dan pergi ke tempat-tempat hiburan, ia tidak. Ia cuma bekerja dan bekerja. Uangnya ditabung, karena ia bercita-cita menjadi kontraktor.
Ketika sudah memiliki sejumlah uang yang lumayan besarnya, ia melamar ke sebuah perusahaan Korea, meminta dijadikan subkontraktor. Di perusahaan itu ada bekas atasannya yang tahu kalau Moon itu pekerja ulet. Orang itu mengatur agar Moon mendapat kontrak.
Itulah awal dari kontrak-kontrak berikutnya. Bisnis Moon pun tumbuh menjadi salah satu kekuatan besar dalam industri konstruksi di Korea. la membangun perumahan, hotel, bahkan mengerjakan perluasan bandara.
Suatu hari, ia makan siang dengan iparnya yang baru pulang dari Palau. Iparnya itu bergerak di bidang penangkapan ikan. Seperti diketahui, banyak kapal Korea menangkap ikan di Pasifik.
Moon mendengarkan dengan penuh perhatian, ketika iparnya bercerita tentang Palau. Moon tidak tertarik untuk berlibur di sana, tetapi ia melihat kemungkinan untuk mengeduk keuntungan yang luar biasa besarnya. Untuk memperoleh keuntungan itu ia mesti datang sendiri ke sana.
Tak lama kemudian, Song Yang Moon yang jangkung dan berumur setengah baya itu tampak di Bandara Kimpoo, Seoul. Ia akan terbang ke Tokyo, lalu diteruskan ke Guam, dan akhirnya Palau.
Sekarang marilah kita mendahului Song Yang Moon ke Palau. Pada saat Moon sedang menunggu pesawat di bandara, Sammi Ngirlik sedang asyik memandang dari jembatan beton yang menghubungkan Pulau Babelthap dan Pulau Koror.
Jembatan itu merupakan salah satu dari jembatan yang menghubungkan pulau-pulau di Palau. Konstruksi itu dibiayai oleh Amerika. Seusai PD II Amerika memang menguasai ratusan pulau di Pasifik. Namun, 40 tahun kemudian, ketika pulau-pulau itu mulai resah, Amerika memberi mereka kemerdekaan. Selama beberapa tahun setelah memiliki pemerintahan sendiri, Amerika masih membiayai pengembangan infrastruktur dan pembangunan mereka. Nah, proyek-proyek konstruksi yang mendapat biaya dari AS itulah yang diincar orang-orang semacam Song Yang Moon.
Ngirlik lahir di Palau, tepatnya di Pulau Angar yang terkenal lebih banyak monyet daripada manusia. Tidak heran kalau ia sering menjadi sasaran gurauan tentang monyet. Sebenarnya Ngirlik sebal, tetapi daripada berkelahi, ia merasa lebih baik bersikap cuek saja.
Senyum Ngirlik hangat dan matanya yang dalam menunjukkan perhatian pada orang-orang sekelilingnya. Karena itulah ia cepat diterima di mana-mana.
Ngirlik yang dibesarkan di sebuah gubuk kayu beratap seng itu pernah belajar di sekolah menengah atas di Pulau Koror. Ia lulus dengan angka-angka cemerlang, sehingga mendapat beasiswa untuk belajar ke Universitas Hawaii di Honolulu.
Setelah menjadi sarjana dalam bisnis administrasi, ia kembali ke Palau dengan niat meniti karier di bidang bisnis. Ketika tiba di tanah kelahirannya, ia tercengang. Kepulauan itu dan penduduknya kelihatan berbeda daripada dulu. Ataukah ia yang berubah?
Saat itu baru ada satu jalan yang memadai, yang menghubungkan desa di Koror ke lapangan terbang bekas PD II. Keadaan lapangan terbang itu pun menyedihkan. Padahal lapangan terbang itu merupakan satu-satunya sarana untuk berhubungan dengan dunia luar.
Perairan sekelilingnya yang luas dan kaya, sejak lama menimbulkan daya tarik bagi para nelayan Jepang, Taiwan, dan Korea. Merekalah yang membawa berita ke negara mereka tentang betapa indahnya Palau dan betapa banyaknya kemungkinan untuk mengeruk keuntungan dari negara baru yang sedang berkembang itu.
Setiba dari Amerika, Ngirlik memutuskan untuk membuka bisnis yang melayani kebutuhan kapal-kapal nelayan asing itu. Mula-mula ia membuka tempat pembekuan ikan dulu, sebab kapal-kapal nelayan asing itu harus membawa ikan dalam keadaan beku ke negeri masing-masing. Tak lama kemudian ia sudah terkenal di Palau sebagai salah seorang pengusaha yang berhasil.
Ngirlik memiliki bakat memimpin. Kepribadiannya yang menarik menyebabkan ia terpilih menjadi anggota majelis rendah dan tak lama kemudian mengepalai komite keuangan dan perdagangan yang tugasnya mengendalikan pembangunan proyek-proyek infrastruktur seperti jalan raya, jaringan air bersih, listrik, sekolah, perumahan, dan sebuah bandara.
Sebagai kepala komite, ia bertanggung jawab atas semua kontrak untuk proyek yang besar-besar dan berwenang memutuskan siapa yang mendapat kontrak.
Ingin cepat kaya
Tiba-tiba Ngirlik merasa tali pancingnya tertarik. Ia menyentakkan tangkai pancing dan seekor ikan menggelepar di kailnya. Ikan itu menyadarkan Ngirlik dari lamunannya. Ia tersenyum dan memandang langit biru yang hampir tak berawan.
“Me sulang (terima kasih),” bisiknya. la senang dengan hidup ini.
Sambil menjinjing hasil pancingannya dalam ember seng, Ngirlik berjalan menuju truknya yang sudah tua. Ketika mengemudikan kendaraan reyot itu sepanjang jalan yang berkelok-kelok di tepi pantai, ia bisa melihat sebuah rumah megah di kejauhan. Rumah di atas bukit itu milik anggota majelis rendah yang juga seorang usahawan mapan, Melwert Rangul.
Rangul memiliki rangkaian toko besar di Palau. Menurut kabar-kabar angin, kekayaannya diperoleh dari mengusahakan penanaman mariyuana secara ilegal.
Ngirlik sering berangan-angan menjadi ibedul, yaitu pemimpin tinggi di Palau yang dihormati seperti Rangul. la ingin memiliki rumah besar yang megah seperti Rangul, mobil-mobil mewah, dan wanita-wanita cantik seperti yang dijumpainya ketika masih kuliah di AS. Rasanya ia tidak sabar lagi menunggu cita-citanya terwujud.
Setelah penerbangan yang lama dan melelahkan, Song Yang Moon tiba juga di Palau. Menjelang sore, ketika roda pesawat Boeing 727 menyentuh landasan, ia melihat bangunan mirip gudang beratap seng, yaitu Bandara Palau. Moon membayangkan sebuah bangunan beton yang baru di tempat itu, bangunan yang ramai oleh turis.
Moon melewati pemeriksaan imigrasi dan bea cukai, lalu menumpang pikap ke sebuah hotel kecil. Pulau itu sungguh indah tetapi primitif.
Moon ingin mendirikan lapangan terbang, lalu melaksanakan proyek-proyek lain di situ. Tentu saja dengan biaya yang diberikan oleh Amerika kepada Palau. Yang perlu ia peroleh sekarang ialah kontrak. Ia perlu mencari tahu siapa yang berwenang memberikan kontrak dan akan berusaha mendekati orang itu.
Moon tahu ia memiliki kesanggupan meyakinkan orang lain, bahwa kontrak itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Pukul 10.00 keesokan harinya, telepon di kantor Ngirlik berdering. Suara seorang pria Korea yang aksennya medok menyapanya.
“Pak Ngirlik, Anda tidak mengenal saya. Namun saya sengaja datang dari Korea untuk membicarakan masa depan Palau dengan Anda. Nama saya Moon. Saya kira kita memiliki tujuan yang sama dan bisa saling membantu. Kalau Anda bisa meluangkan waktu, saya ingin bertemu dengan Anda sambil makan siang, untuk membicarakan masa depan Palau.
Sammi Ngirlik tidak berkeberatan. Bukankah ia dipilih rakyat untuk memikirkan masa depan mereka? Sudah sepatutnya ia melayani orang yang menaruh perhatian pada masa depan Palau.
“Saya tidak ada acara hari ini, Pak Moon. Bagaimana kalau kita bertemu di restoran setempat yang namanya Nanyo Ocean?”
Tepat pukul 12.00 siang hari itu Ngirlik masuk ke Nanyo Ocean. Dilihatnya seorang pria Korea duduk di sebuah meja di pojok. Tak pelak lagi, pasti itu orang yang ingin bertemu dengannya. Keduanya bertukar sapa. Ngirlik memperhatikan lawan bicaranya. Mata orang itu sipit dan ujung-ujung dekat pelipisnya seperti tertarik ke atas. Wajahnya panjang dan giginya memakai kawat penahan. Di antara kawat itu masih terselip bekas-bekas sashimi (makanan Jepang terbuat dan irisan ikan mentah). Bahasa Inggrisnya terbata-bata.
“Apa yang Anda inginkan?” tanya Ngirlik. Moon menjelaskan.
“Saya datang karena mendengar ada peluang besar untuk perusahaan-perusahaan konstruksi besar seperti yang saya miliki. Saya ingin berusaha di sini dan mengharapkan Anda memberi pengarahan dan informasi perihal jenis-jenis proyek yang diperlukan.”
Melempar pancing
Dalam percakapan selanjutnya, kedua orang ini ternyata merasa cocok dalam banyak hal. Mereka lantas merasa santai.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap itu, masuklah seorang gadis Palau berkulit coklat. Perhatian Ngirlik lantas beralih ke gadis cantik itu. Moon pun tersenyum. Tahulah dia salah satu kelemahan Ngirlik. Sampai saat itu Sammi Ngirlik belum mempunyai kesempatan untuk menikmati hidup dikelilingi gadis-gadis cantik.
Moon nekat melempar pancing.
“Sammi, kau pernah ke Manila?”
“Belum. Kenapa memang?”
“Wah, kau mesti ke sana. Wanita Filipino termasuk yang paling cantik di dunia. Banyak pilihan di sana. Kehidupan malamnya hebat dan makanannya lezat.”
Moon melihat wajah Ngirlik berseri-seri. Jadi ia memberanikan diri untuk melangkah lagi. Moon pandai menjajaki kapan mesti melangkah, kapan mesti berhenti.
“Kebetulan aku ada urusan bisnis di Manila. Kenapa kau tidak ikut aku ke sana? Cutilah sebentar. Masa kau mesti kerja terus? Kau jadi tamuku di sana. Nanti aku antar kau ke mana-mana. Aku jamin kau bakal terkenang-kenang seumur hidup.”
Ngirlik sangat tertarik. la tahu, orang Korea itu mempunyai maksud tertentu. Pasti ada udang di balik batu. Namun keinginan untuk bersenang-senang dengan para gadis Filipino yang cantik membuat akal sehatnya terdesak. Ah, pasti aku bisa mengendalikan dia, pikir Ngirlik. Jadi ia setuju untuk pergi ke Manila.
Moon masih tinggal beberapa hari lagi di Palau. Selama itu, setiap sore ia dan Sammi Ngirlik mengobrol lama sekali perihal masa depan Palau dan apa yang bisa dikerjakan. Di sela-sela percakapan itu, Moon menyelipkan cerita perihal apa saja yang bisa mereka peroleh dari para gadis Filipina kelak. Sikap Moon yang hangat dan meyakinkan membuat Ngirlik merasa sudah berkawan lama.
Duit Amerika, bukan rakyat!
Setelah Moon meninggalkan Palau, ia masih sering menelepon Ngirlik. Mereka berjanji akan bertemu beberapa minggu lagi di Filipina.
Pada waktu yang ditentukan, Ngirlik mendarat di Manila dan dijemput dengan mobil hotel yang membawanya ke hotel paling mewah di Manila. Moon sudah menunggu. Setelah menaruh kopernya, mereka pergi ke daerah Del Pilar di Mabini yang terkenal dengan bar dan gadis-gadis penarinya.
Setelah mengguyur tenggorokan mereka dengan cukup banyak alkohol, keduanya merasa sangat santai. Kemudian Moon mengusulkan agar mereka pindah ke tempat yang lebih tenang di belakang panggung. Katanya, karena ia ingin membicarakan sesuatu.
Moon sudah memperhitungkan, kalau Ngirlik marah menanggapi usulnya, ia bisa berdalih bahwa ia terlalu banyak minum sehingga mengusulkan yang bukan-bukan. Tapi kalau umpannya mengena, berarti ia akan untung besar.
Mereka masuk ke sebuah ruang di sudut. Seorang gadis cantik menghampiri, tetapi Moon memberi isyarat agar gadis itu menjauh. Setelah itu ia menatap mata Ngirlik.
“Sammi, kupikir-pikir kita memang cocok. Sebetulnya kecocokan ini bisa kita manfaatkan untuk bekerja sama. Kerja sama yang bisa membuat kita sama-sama kaya.”
Ngirlik yang tadi memandang dengan penuh minat pada penari yang mendekat, merasa menyesal sekali karena Moon menghalau gadis itu. Kini ia memusatkan perhatiannya pada kata-kata sahabat barunya. Musik dari kebisingan serasa lenyap dari pikirannya.
Moon melanjutkan. “Kalau aku bisa mendapat kontrak untuk membangun lapangan terbang dan beberapa proyek besar di Palau, untungnya bisa kita bagi.”
Ngirlik tidak terkejut mendengarnya. Ia sudah menduga bahwa orang Korea itu mempunyai maksud tersembunyi ketika mengajaknya ke tempat ini. Usahawan memang biasa menyediakan insentif terselubung untuk mendapatkan kontrak atau demi kepentingan bisnisnya. Sebenarnya pernah terpikir oleh Ngirlik bahwa ia bisa saja memanfaatkan posisinya. Cuma bagaimana caranya supaya tidak ketahuan?
Di Palau, biaya pembangunan disediakan oleh Amerika. Berarti AS akan menyelidiki kalau-kalau ada ketidakberesan. Dalam hal menyidik ketidakberesan, AS jagonya.
Kemudian Sammi Ngirlik teringat pada rumah Melwert Rangul yang besar, megah, dan bagus di atas bukit. Alangkah nikmatnya tinggal di rumah semacam itu dan bisa memanjakan diri dengan kekayaan yang besar. Umpan yang dilontarkan oleh kontraktor Korea itu sangat kuat menggoda nurani laki-laki yang dibesarkan di gubuk beratap seng, di pulau yang cuma terkenal monyetnya.
Ngirlik ragu-ragu.
“Mana mungkin?” katanya. “Aku tak tahu bagaimana caranya bisa memberimu kontrak. Lagi pula itu ‘kan sama juga dengan mencuri uang rakyatku?”
“Aku bisa memberi tahu caranya,” jawab orang Korea itu. “Kita ‘kan mengambil uang dari Amerika, bukan dari rakyat Palau. Rakyat tetap akan mendapat yang dijanjikan,” begitu ia meyakinkan.
Ngirlik belum bisa meyakinkan dirinya, tetapi ia ingin tahu cara apa yang diusulkan Moon.
Umpan dicaplok atau tidak?
Orang Korea itu tahu bahwa saat itu Ngirlik sedang berada di persimpangan jalan. Sekali Ngirlik melangkah ke arah yang diinginkan Moon, mudahlah bagi orang Korea itu untuk mengendalikannya. Moon yakin, keserakahan akan mengalahkan niat baik Ngirlik untuk mengabdi kepada bangsanya.
Moon melangkah lagi. “Sammi, kau ‘kan mengendalikan dan bertanggung jawab atas semua proyek besar. Banyak cara yang memungkinkan aku mendapat kontrak. Salah satu di antaranya ialah dengan mengadakan tender, tetapi waktu yang kau berikan sangat sempit, sehingga cuma aku sendiri yang bisa memenuhi syarat. Para pesaingku tak akan mampu.”
“Cara lain ialah dengan mengumumkan bahwa proyek itu mendesak, sehingga memerlukan tindakan segera. Karena tak ada waktu untuk mengadakan proses penawaran yang lama, kau bisa mengusahakan agar presidenmu menunjuk perusahaanku untuk melaksanakan proyek itu.”
“Cara ketiga adalah mempergunakan kekuasaan dan pengaruhmu untuk memaksa orang lain ikut memilih aku. Kau membuka kesempatan kepada semua pihak untuk mengajukan tawaran. Pada saat terakhir, aku bisa mengubah penawaranku agar paling rendah dibandingkan dengan yang lain. Gampang saja Sammi, lagi pula ini duit Amerika, bukan duit Palau. Kenapa kita tidak bisa ikut menikmatinya? Kalau kita tidak, orang lain yang akan kebagian.”
Ngirlik berpikir-pikir. Si Korea ini benar juga pikirnya. Saat ini ia berada dalam posisi yang basah. Beberapa politikus pernah mengusulkan hal yang sama kepadanya sambil tak lupa menambahkan bahwa hasilnya nanti dibagi-bagi di antara mereka. “Apa usulmu?” tanya Sammi Ngirlik. “Aku tahu kau memang bisa diandalkan, Sammi! Kita akan menjadi kaya.”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku dengar pembangunan bandara mendapat prioritas pertama. Aku akan memberimu ketentuan-ketentuan tender yang akan membuat para kontraktor lain tidak bernafsu mengikutinya. Setidak-tidaknya kontraktor yang berani ikut sangat sedikit. Pengumuman tender itu kau muat di koran lokal saja, supaya tidak banyak yang tahu. Batas waktu untuk menyerahkan penawaran kau buat sangat pendek, sehingga orang lain sulit ikut. Penawaran harus disegel. Penawaranku kau buka paling akhir.”
“Aku akan memberi dua penawaran dalam sampul yang serupa bentuknya. Di sampul yang kedua, penawaranku lebih rendah. Kalau ada orang lain yang memberi harga lebih rendah daripada yang kutawarkan dalam sampul pertama, sampul itu kau tukar diam-diam dengan sampul kedua. Sederhana saja ‘kan?”
“Tapi bagaimana kau bisa menjamin bahwa penawaranmu paling rendah?”
Moon menyeringai. “Kau tak perlu pusing-pusing memikirkannya. Itu urusanku. Kau cuma perlu memberi kontrak-kontrak dan kita berdua akan kaya!”
Ngirlik percaya. Namun ia bingung memikirkan uang yang akan diterimanya dari Moon. Di mana mesti ia sembunyikan?
“Bagaimana caranya pembagian keuntungan itu diberikan kepadaku?”
Moon tertawa. “Aku punya teman di Amerika yang bisa membelikan real estate yang baik. Aku akan mendirikan perusahaan di luar negeri untuk bertindak sebagai pembeli. Properti itu akan dibeli dengan nama perusahaan itu. Kau akan diberi akta yang namanya quick claim deed atas nama salah seorang anggota keluargamu atau orang yang bisa kau percaya.”
“Akta itu akan ditandatangani oleh pihak-pihak yang diperlukan, tetapi tidak diberi tanggal. Kalau suatu ketika kau merasa perlu, kau bisa menggali akta itu dan menjual propertimu. Uangmu akan datang dari pihak ketiga yang tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Sederhana tetapi efektif.”
Namun Ngirlik masih tetap ragu-ragu. Kok, begitu mudahnya, pikirnya.
Hati nurani terganggu
Kembali ke Palau, Ngirlik berpikir lama sekali. Ia merasa perbuatan itu salah dan nekat. Hati nuraninya mengganggu ketenangan hidupnya.
Namun penduduk setempat mendesak meminta pembangunan cepat-cepat dilaksanakan. Dengan pembangunan mereka mengharapkan harga tanah mereka naik dan tingkat hidup mereka meningkat.
Mudah saja bagi Ngirlik untuk mengundang para kontraktor mengajukan tender bagi pembangunan lapangan terbang. Bukankah Moon sudah memberi persyaratannya? Ia tinggal mengetik kembali persyaratan itu dan mengajukannya kepada presiden dan badan legislatif. Mereka setuju. Para politikus bukan merupakan masalah, sebab mereka kegirangan memikirkan keuntungan yang akan mereka terima.
Akhirnya Ngirlik memutuskan untuk menjalankan rencananya. Ia menawarkan tender di surat kabar setempat di Guam. Oplah surat kabar itu termasuk besar untuk kawasan itu, tetapi daya jangkaunya sempit. Banyak kontraktor yang tertarik, tetapi sebagian besar mundur teratur ketika membaca batas waktu dan ketentuan-ketentuannya. Soalnya, tak mungkin bagi mereka untuk memenuhinya.
Waktu yang pendek pun tidak memungkinkan para peminat lain untuk mengajukan penawaran yang bersaing, sebab mereka tak sempat mengenal daerah itu dan memecahkan masalah yang berkenaan dengan buruh impor.
Akhirnya cuma ada tiga penawaran yang masuk. Pembukaan sampul penawaran dilakukan di muka umum pada suatu hari Jumat sore, pada saat kebanyakan karyawan di Palau sudah menuju rumah masing-masing untuk makan malam. Tak heran kalau yang hadir cuma beberapa gelintir orang.
Ketika membuka sampul penawaran, Ngirlik ingat pesan Moon: kalau ada penawar yang lebih rendah, sampul Moon harus diam-diam ditukarkan dengan sampul cadangan.
Penawaran pertama yang dibuka oleh Ngirlik berasal dari Jepang. Ngirlik menarik napas panjang.
“Dua puluh dua juta dolar.”
Penawaran kedua berasal dari sebuah perusahaan di Guam.
“Tujuh belas juta dolar.”
Penawaran terakhir berasal dari Moon. Ngirlik merasa lega, sebab ia sudah tahu berapa yang ditawarkan oleh Moon.
“Lima belas juta dolar.”
Nah, bereslah sudah! Moon menang tender dan yang harus dilakukan oleh Ngirlik tinggal ongkang-ongkang menunggu pembagian keuntungan.
Bandara baru
14 bulan kemudian, Palau International Terminal yang baru diresmikan. Upacaranya megah. Bandara itu memiliki gedung yang puncaknya beratap lancip seperti arsitektur Palau asli. Pokoknya, rakyat Palau yang sedang berkembang itu bangga. Mereka berdatangan dengan truk-truk kecil untuk mengagumi bangunan megah itu. Itulah gerbang bagi Palau untuk pergi ke bagian lain dunia.
Ketika Moon dan Ngirlik berdiri berdekatan di tempat parkir, di antara rakyat yang berpesta, Moon menyerahkan sebuah sampul coklat.
“Kuharap isinya memuaskan,” kata si orang Korea. Di rumah, Ngirlik membuka sampul itu dan menemukan bahwa ia menjadi pemilik tiga properti di daerah perdagangan yang baik sekali di California.
Itu baru permulaan dari serentetan kerja sama lain. Perusahaan Moon berkembang dan Ngirlik mendirikan rumah megah di atas bukit, lebih tinggi dari rumah Melwert Rangul.
Kira-kira setahun kemudian musim hujan tiba. Sekali ini hujan turun lebih sering dan lebih lebat daripada biasanya. Pada suatu hari salah seorang manajer di bandar udara baru itu, Chuck Taal, berjalan sepanjang terminal udara. Didapatinya beberapa retak dalam di dinding-dinding terminal. Ketika salah satu retakan itu diusapnya, sebagian tembok luruh ke tanah.
Taal berpikir, retak-retak itu mungkin normal saja terjadi pada bangunan baru, dalam rangka pemantapan fondasi. Namun, ketika hujan terus juga turun, retak-retak bertambah banyak. Taal menjadi khawatir.
la menelepon temannya yang bekerja di sebuah perusahaan konstruksi besar di Guam, untuk menceritakan perihal keadaan gedung.
Jawaban temannya sederhana saja. “Kurang semen.”
Dalam usaha menekan biaya, agar cocok dengan harga yang ditawarkannya dan agar masih banyak untungnya, Moon membangun struktur beton itu dengan semen yang tidak memadai. Sebagai pengganti semen, dipakainya pasir banyak-banyak. Hujan lebat menyerap ke tembok yang banyak pori-porinya dan gedung itu pun mulai runtuh seperti istana pasir!
Bau korupsi
Taal merasa prihatin memikirkan keselamatan masyarakat. Jadi dengan berbekal informasi ini, ia menghubungi surat kabar setempat. Dalam waktu beberapa hari saja, terminal udara itu dinyatakan tidak aman dan ditutup. Bangunan besar berwarna putih yang puncaknya menjulang ke langit itu kini tidak lebih daripada benda rongsokan yang membahayakan orang-orang di dekatnya.
Berita di surat kabar itu membuat pemerintah mengendus adanya kemungkinan korupsi. Tak lama kemudian satu tim penyidik dan para akuntan tiba dari Amerika Serikat. Para akuntan itu tidak memerlukan waktu lama untuk menemukan ketidakberesan dalam proses tender. Antara lain waktunya yang sangat terbatas. Semua invoice ditandatangani oleh Sammi Ngirlik dan dibayar luar biasa cepatnya. Hal ini tak umum terjadi pada badan pemerintah.
Dari hasil penelitian di terminal diketahui, konstruksi itu dibuat dengan materi yang menyalahi ketentuan. Tembok terminal boleh dikatakan cuma dibuat dari pasir.
Sementara itu Moon sudah berulang-ulang menelepon Ngirlik dalam usaha menenangkan dan membungkam mulut orang Palau itu.
Udara agak panas dan lembap di Palau, ketika telepon Ngirlik berdering. Lulusan Universitas Hawaii itu sangat menderita akhir-akhir ini. Beratnya sampai turun 3 kg. Dengan gugup ia mengangkat gagang telepon.
“Saya agen khusus Jerry Van dari Federal Bureau of Investigation di Guam,” kata peneleponnya. “Saya ditugasi oleh Kejaksaan Agung Amerika Serikat untuk menyelidiki beberapa penyimpangan yang menyangkut terminal udara dan beberapa proyek lain di Palau. Dasar yurisdiksi saya adalah pembiayaan proyek-proyek itu dilakukan oleh Amerika Serikat. Saya ingin berbicara dengan Anda besok pukul 12.00 di kantor Anda.”
Begitu Jerry Van menaruh gagang teleponnya, Ngirlik menelepon Moon di Korea.
“FBI mengusut kita! Mereka akan mewawancarai saya besok. Apa yang harus kita lakukan?”
“Tenang saja,” bujuk Moon. “Mereka ‘kan tidak mempunyai bukti-bukti kuat. Pasti beres deh!”
Moon selalu bisa lolos dari kesulitan dengan mengecilkan risiko sambil bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sekali ini pun ia bertindak demikian. Ia memindahkan sebagian besar harta pribadinya ke luar negeri, sedangkan harta tak bergeraknya diatasnamakan anggota keluarganya.
Ia sudah membeli bungalo di Puerto Galera di Filipina dan kini sudah tiba saatnya untuk bersembunyi di sana sampai keadaan mereda. Ia akan memimpin usahanya dari tempat itu. Ia sudah mengeduk keuntungan jutaan dolar dari proyek-proyek di Palau. Hasil dari situ pun sudah cukup untuk bersenang-senang seumur hidup. Yang perlu ia lakukan kini hanyalah menghindari ditangkap dan diadili. Filipina merupakan surga yang aman dan murah baginya. Biar saja si Ngirlik yang ketiban sial.
Ngirlik merasa jarum lonceng merayap lambat sekali. Ia tidak bisa tidur. Ia menyesal semua ini terjadi. Rasanya belum lama ia masih berpredikat orang jujur yang bisa menikmati hidup dengan memancing dari jembatan.
Keesokan harinya waktu terus merayap. Akhirnya tiba juga orang Amerika itu. Pria jangkung itu berumur 40-an. Celananya dari bahan poliester, bukan wol mahal. Bajunya berlengan pendek dan berkembang-kembang.
“Saya agen khusus Van dari Federal Bureau Investigation. Anda pasti tahu maksud kedatangan saya.”
Ngirlik mengangguk. “Ya, saya tahu. Saya sudah menunggu Anda. Saya sudah tidak tahan lagi diganggu nurani ....”
Van menyela. “Saya terpaksa memutuskan pembicaraan Anda dan mengingatkan Anda pada hak-hak konstitusional Anda.”
Ngirlik tercengang. Agen Van meneruskan. “Anda mempunyai hak untuk tidak menjawab. Semua yang Anda katakan bisa dipakai untuk memberatkan Anda. Anda mempunyai hak untuk didampingi oleh pengacara. Anda paham apa yang saya katakan?”
Orang Palau itu mengangguk. Ia berdiri dari kursinya dan melalui kaca jendela melihat ke arah tanaman lebat yang tumbuh sampai menjelang laut biru. Alam di luar sangat indah. Sesaat ia teringat pada masa kanak-kanaknya di Pulau Angar. Masa itu hidup rasanya damai-damai saja.
Terlalu serakah
“Di mana letak kesalahan Moon dan saya?” tanya Ngirlik. “Semuanya tampak mulus saja dan saya tak mengira bisa ketahuan.”
Van memandang pria yang tadinya merupakan tokoh masyarakat yang dihormati dan memiliki masa depan yang cemerlang itu.
“Dalam melakukan kejahatan, ada yang tidak bisa Anda atur, yaitu hal-hal yang tak terduga.”
“Melakukan kejahatan sama dengan berjudi. Makin besar taruhannya, makin besar kemungkinannya untuk habis-habisan. Dewi Keberuntungan cuma jarang-jarang saja tersenyum pada pencuri.”
“Apa kesalahan utama kami?”
“Moon sangat serakah. la bukan cuma mengambil keuntungan dari kontrak, tetapi juga menipu dalam pemakaian bahan. Kalau seandainya terminal udara itu tidak terancam roboh, mungkin kami juga tidak tahu Anda ada main dengannya.”
Sammi Ngirlik mengaku bersalah menerima suap. la dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan diperbolehkan menjalaninya di Palau.
Song Yang Moon menjadi buronan karena menyuap pejabat dan karena bersekongkol menyelewengkan uang pemerintah. Namun ia lebih lihai dari Sammi Ngirlik yang dirusaknya. Ia bersembunyi di Filipina dan pemerintah AS tidak berhasil mengekstradisinya. (William Hei & Zarin Steven-Iohan)
Baca Juga: Bermodal Asuransi
" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553641256/akhir-sebuah-kolusi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672934990000) } } [4]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3605822" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/demi-santunan-asuransi_rodnae-pr-20221212090727.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Sebuah sungai di Bogor dikenal sering menelan korban jiwa. Namun polisi curiga, korban kali itu sepertinya terkait penipuan santunan asuransi." ["section"]=> object(stdClass)#128 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/demi-santunan-asuransi_rodnae-pr-20221212090727.jpg" ["title"]=> string(22) "Demi Santunan Asuransi" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-12 09:07:43" ["content"]=> string(35018) "
Intisari Plus - Sebuah sungai di Bogor dikenal sering menelan korban jiwa. Namun polisi curiga, korban kali itu sepertinya terkait penipuan santunan asuransi.
--------------------
Untuk kesekian kali Sungai Gadok di timur Bogor menelan korban. Kali ini sebuah sedan merah Mercedes Tiger 280E tahun ‘89. Untung hujan semalam tidak deras, sehingga sungai itu tidak banjir. Airnya pun tetap bening.
Mercedes itu dalam posisi menukik di dasar sungai berbatu-batu, dekat turap sisi kiri jembatan. Kap mesinnya melesak, sebab bumpernya menghantam batu sebesar kerbau. Posisinya agak miring ke kiri, pintu kanan depan lepas. Pengemudinya terikat sabuk pengaman dengan kepala tergolek ke kiri. Tanpa tanda kehidupan.
Saat itu hari Sabtu. Petugas Polantas yang berdinas jumlahnya terbatas. Mau tak mau Lettu Tatan Arkanda, Kapolsek di wilayah tersebut, turun tangan.
Sertu Uky Safikri, wakil Kapolsek, segera meminta mobil derek dan ambulans untuk mengevakuasi korban. Paramedis di bawah pimpinan dr. Willem Darmawan tiba disusul mobil derek kepolisian.
Korban seorang laki-laki muda, berkulit bersih, berambut pendek. Bajunya lengan panjang hijau dengan setrip kuning merek terkenal. Begitu juga celana dan sepatunya. Meski butut dan terlalu sempit untuk kaki kirinya - kaki kanannya tak bersepatu - sepatu kulit itu buatan luar negeri. Tampak kaus kaki hitam murahan berlubang besar di ujung jempol dan tumit.
Setelah korban dibaringkan di brankar, dr. Willem mulai memeriksa. “Korban kena benturan keras di kepala.”
“Itukah penyebab meninggalnya, Dok?” sahut Lettu Tatan.
“Tampaknya begitu, karena tidak ada luka lain,” kata sang dokter.
Sepintas tampak kepala korban yang bercukuran crew cut bagian belakang atas retak.
Lettu Tatan mengambil dompet korban. Di dalamnya terdapat KTP, ID card, beberapa lembar kartu nama, serta uang Rp 87.500,-.
Korban bernama Herman Sanyoto, pekerjaan wiraswasta, beralamat di daerah elite Jakarta. Di ID card Herman tertulis sebagai direktur sebuah perusahaan ekspor-impor, sama seperti beberapa lembar kartu namanya.
Pengusaha sederhana
Di kantor polisi Kopral Daman yang pendek gemuk tampak menggerutu. Telepon kantor maupun rumah Herman Sanyoto tak ada yang menjawab.
“Terpaksa, hari ini kita bertiga ke Jakarta,” kata Lettu Tatan. Bila bertugas ke wilayah lain, polisi seharusnya melakukan koordinasi dengan aparat setempat. Berhubung ini cuma bersifat pemberitahuan tentang kecelakaan kepada keluarganya, Lettu Tatan mengambil sikap nonformal.
Rumah itu besar bermodel kuno dengan halaman luas. Di kiri gerbang, ada warung rokok yang juga menjual minuman. Pemiliknya wanita gemuk yang ramah. Dari logat bicaranya, ia pasti berasal dari Tegal.
Sesampai di teras, seorang pria menyambut dengan senyum kaku. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanyanya.
“Apa ini rumah Pak Herman Sanyoto?” jawab Lettu Tatan.
“Kami aparat kepolisian dari Bogor,” sambung Sertu Uky tegas. Begitu mendengarnya, laki-laki itu menyilakan masuk. Di ruang tamu ada pria lain, bertubuh jangkung, rambut ikal dengan tahi lalat di kening, dan berkacamata minus.
“Kami hendak memberi tahu, Bapak Herman Sanyoto mendapat kecelakaan,” kata Lettu Tatan.
Hampir berbarengan, dua laki-laki itu terkejut. “Sekarang di rumah sakit. Dia sudah meninggal,” kata Lettu Tatan pelan.
Dari dalam kamar keluar seorang wanita cantik berkulit putih yang langsung pingsan ketika mendengar berita itu.
“Itu Rosliana, istri Herman. Mereka baru dua tahun menikah, dengan satu anak,” kata pria berkacamata, sementara pria satunya buru-buru memapah Rosliana kembali ke kamar.
“Siapa pemuda itu?” tanya Sertu Uky.
“Roswanto, adik Rosliana, ipar Herman. Saya Dhani Suwito, sepupu Herman.”
“Pak Dhani, ini uang Rp 87.500,- dari dompet Pak Herman, harap diterima. Tapi KTP dan ID card-nya saya tahan sementara,” kata Lettu Tatan sambil memperhatikan dari samping, tahi lalat di kening Dhani tampak menonjol pas di bingkai atas kacamatanya.
“Sebenarnya Pak Herman mau ke mana?” sela Sertu Uky.
“Dia mau memberi penataran ke Bandung, beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.”
“Cuma berbekal Rp 87.500,-?” tanya Lettu Tatan curiga, “padahal di dompetnya tidak ada kartu kredit atau kartu ATM.”
“Itu cuma untuk membeli bensin dan makan di jalan. la akan mengambil uang di kantor cabang Bandung. Herman memang sederhana. la tidak merasa butuh kartu kredit dan ATM. Mobil pun, dia memilih mobil tua asal kuat.”
Ketiga aparat itu manggut-manggut.
“Nanti ada surat keterangan dari polisi dan surat visum dokter. Surat dari polisi menerangkan sebab kecelakaan, sedangkan surat dokter berisi penyebab korban meninggal,” kata Lettu Tatan.
Terkecoh
Senin pagi, sepuluh hari kemudian. Telepon di ruang kerja Lettu Tatan berdering.
“Oh, dokter Willem. Jenazah Herman belum diambil? Padahal semua surat sudah diminta. Surat dari kepolisian juga sudah diambil Selasa silam. Baik, akan kami periksa ke rumahnya.”
Lettu Tatan meminta anak buahnya menghubungi Dhani. Lima belas menit kemudian, “Lapor! Saudara Dhani dan keluarga sudah pindah. Kata Pak Munandar, si pemilik rumah, Dhani cuma kontrak bulanan. Munandar tidak tahu ke mana Dhani pindah. Listrik dan teleponnya pun menunggak dua bulan.”
“Celaka!” seru Lettu Tatan. Hari itu juga Lettu Tatan dan Sertu Uky ke Jakarta. Saat mereka baru melangkah melewati gerbang, seorang pria setengah baya keluar dari rumah besar itu.
“Selamat siang. Apa Anda Pak Munandar, pemilik rumah ini?” sapa Lettu Tatan sambil menyalami orang tua itu. Begitu tahu kedua tamunya polisi dari Bogor, Munandar mempersilakan tamunya masuk.
“Sudah berapa lama rumah ini dikontrak Dhani?” tanya Lettu Tatan.
“Sejak Maret, jadi sudah sembilan bulan,” jawab Munandar kalem.
“Bapak tahu keluarga Dhani?” sela Sertu Uky.
“Tidak. Saya cuma berhubungan dengan Herman, alias Herman Dhani Suwito, seperti tertera di kuitansi kontrak. Orangnya berkacamata.”
“Lalu perempuan dan lelaki satunya?”
“Itu istri dan adik iparnya. Mereka baru punya anak satu.”
Lettu Tatan dan Sertu Uky merasa terkecoh. Lettu Tatan pun menyodorkan selembar KTP ke Munandar, “Bapak kenal orang di KTP ini?”
“Oh, ini tukang kebunnya. Entah siapa namanya. Selain jarang keluar rumah, IQ-nya rendah. Istilah Jakartanya, bego, kalau diajak bicara suka tidak nyambung,” katanya, “mungkin Ibu pemilik warung itu lebih kenal, tampaknya mereka sedaerah.”
“Apa Bapak punya berkas yang bisa jadi petunjuk untuk mencari Dhani?”
“Sayangnya, yang mereka tinggal cuma beberapa kartu nama.”
Setelah meneliti, Lettu Tatan segera mengambilnya. Sebelum pergi, dua polisi itu sempat membeli minuman di warung rokok.
“Ibu kenal orang di foto KTP ini?” tanya Lettu Tatan.
“Lo, ini ‘kan Bejo. Wah gagahnya, pakai dasi kayak direktur,” serunya ramai, “dia suka utang rokok di sini. Sebenarnya bosnya tidak membolehkannya keluar. Tapi dia suka nyolong-nyolong.”
“Benarkah Ibu sedaerah dengan Bejo?”
“Betul. Kami sekelurahan, cuma beda kampung. Di Lebaksiu, Tegal”
“Sebelumnya, Bejo bekerja di mana?”
“Ikut kakaknya, berjualan martabak di seberang terminal Cililitan.”
“Kapan Ibu melihat Bejo terakhir kalinya?”
“Jumat pagi. la naik mobil merah yang dikemudikan tuannya. Bajunya bagus, pakai dasi segala. Katanya, mau kerja kantoran di Bandung.”
“Kok tahu kalau dia mau kerja kantoran?”
“Kamis malam, waktu majikannya pergi, dia nongkrong di sini. Dia cerita kalau besok akan ke Bandung, Seninnya kerja di kantor. Ada apa to Pak, sejak tadi kok cuma tanya soal Bejo?” si ibu mulai curiga.
“Bejo dapat kecelakaan.”
Ibu gendut itu terduduk lemas di bangku.
Selasa pagi. Seorang anak buah Lettu Tatan melapor, alamat kantor ekspor-impor di kartu nama korban, ternyata rumah kosong yang dijual.
Dengan penasaran Letnan Tatan menuju halaman tempat parkir mobil-mobil rusak karena kecelakaan. la menghampiri sedan merah itu. Di kabin atas, di atas kepala sopir, tidak ada barang keras yang dapat mencederai kepala pengemudi. Kunci kontak tidak di tempat. Tuas persneling dalam keadaan nol. Jadi, mungkin mobil didorong.
Mungkin saja, karena alur jalan menuju jembatan agak menurun. Meski mobil itu berat, cuma didorong oleh dua orang pun bisa meluncur cepat. Mobil terjun ke sungai sebab mulut jembatan sedikit berbelok. Pantas, mobil jatuh dekat turap jembatan. Kalau mobil berjalan kencang, tentu jatuhnya lebih ke tengah, pikir Lettu Tatan.
Di jok pengemudi tidak banyak darah tercecer. Lalu ia mencoba membuka kap bagasi yang terkunci rapat. Lettu Tatan meminta linggis. Sekali congkel, kap bagasi terbuka. Seketika, anyir darah menyergap. Di karpet bagasi, ada noda darah yang sudah kering. Di pojok kiri bagasi, teronggok ransel hitam, dan sepatu kulit sebelah kanan. Lettu Tatan yakin sepatu itu pasangan sepatu Bejo. “Celaka. Ini pembunuhan!” gumamnya.
Di salah satu kantung ransel hitam terselip lipatan kertas dibungkus plastik bening. Ternyata, fotokopi beberapa STNK, baru maupun lama. Mobil itu milik Pak Taslim di Pasar Minggu.
Lettu Tatan meminta dokter Willem untuk memeriksa darah itu. Tapi, ia penasaran, apa motif pembunuhan ini? Apa untungnya membunuh Bejo, si tukang kebun?
Taksi gelap
Hari itu juga Lettu Tatan dan Sertu Uky ke Jakarta menemui pemilik mobil. Pak Taslim yang Urang Awak menyambut ramah.
“Jadi mobil Pak Taslim disewakan? Taksi gelap, dong?” goda Sertu Uky.
“Betul,” jawab Pak Taslim malu-malu, “yang membawa keponakan saya, Marjuki. Dia tinggal di Condet.”
Pak Taslim kaget ketika diberi tahu mobilnya jatuh ke sungai. Dengan suara lirih ia menanyakan nasib keponakannya. Kedua polisi itu tak bisa menjawab, baru sekarang mereka mendengar nama Marjuki.
Dengan diantar Pak Taslim, kedua polisi itu ke rumah Marjuki. Tampak istri Marjuki menggendong anaknya, “Bang Juki enggak ada. Katanya, dua minggu narik ke Jawa, jadi belum bisa setor ....”
“Kapan Pak Marjuki berangkat ke Jawa?” sela Lettu Tatan.
“Kamis sore sebelum magrib. Katanya, mobilnya dicarter orang kaya, keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk urusan bisnis. Dia senang. Hariannya utuh, enggak mikir makan atau bensin. Ada apa, Pak?” tanyanya curiga.
“Tidak ada apa-apa, Bu. Ibu punya foto Pak Marjuki?”
Wanita itu mengangguk.
“Di mana Pak Marjuki biasa mangkal?” tanya Sertu Uky.
“Daerah Kebon Kacang, dekat HI.”
Di pangkalan taksi, keterangan yang diperoleh menguatkan informasi sebelumnya. Para sopir hanya tahu, Marjuki dapat langganan kakap yang mengajak keliling Jawa. Salah satu pelanggannya, berbadan tinggi dan berkacamata.
Kasus ini makin rumit. Lalu Lettu Tatan dan Sertu Uki menuju kantor asuransi jiwa.
Direktur utama perusahaan asuransi patungan swasta Indonesia dengan asing itu Daniel Pitter, pria kulit putih yang lancar berbahasa Indonesia itu tampak sedang stres.
“Apakah Anda kenal orang di ID Card ini, Mr. Daniel?” tanya Lettu Tatan.
“Ya. la baru saja meninggal. Istrinya sebagai ahli waris sudah mengambil pertanggungan asuransi jiwanya,” tutur pria berkumis dan cambang rapi itu.
“Apakah Anda mempunyai foto istrinya?” tanya Lettu Tatan.
Daniel mengambil foto berwarna ukuran 3R dari laci meja kerjanya.” Di baliknya tertulis: RINAWATI SUNYOTO.
“Orangnya sama tetapi namanya beda.Di tempat lain namanya ganti lagi,” kata Lettu Tatan geleng-geleng kepala, “Boleh pinjam foto ini?”
Daniel mengangguk, sekaligus memberikan fotokopi KTP Rinawati. “Saya juga punya KTP Herman Sanyoto,” sambung Daniel.
Lettu Tatan kaget. Rasanya ia yang menyimpan KTP Herman Sanyoto alias Bejo.
“Boleh. Saya juga perlu itu,” jawab Lettu Tatan. Tanggal pembuatan KTP itu masih baru, sekitar seminggu sebelum Bejo tewas.
“Berapa nilai pertanggungannya?” tanya Lettu Tatan.
“Delapan ratus juta. Jangka waktu sepuluh tahun, dengan premi lima juta per bulan. Pemegang polis baru lima bulan jadi nasabah,” jawab Daniel, “enam bulan lalu, cabang di Surabaya juga kena klaim sebesar enam ratus juta. Pemegang polisnya direktur utama, meninggal tenggelam saat berenang di laut.”
“Apakah Anda tidak curiga terhadap klaim ini?”
“Ya. Tapi bagaimana lagi, semua persyaratan lengkap. Tiga hari lalu Nyonya Rinawati datang dengan dua saudaranya.”
“Dua laki-laki, yang satu tinggi?” tanya Lettu Tatan.
“Benar.”
“Yang tinggi berkacamata?” desaknya lagi.
“Tidak.”
Siapa lagi dia, gumam Lettu Tatan. Mungkinkah Herman Dhani memakai lensa kontak? Ataukah ada orang lain?
“Pak Daniel, saya minta tolong. Harap dikabarkan ke seluruh cabang kantor Bapak, bila ada nasabah baru yang mengambil polis asuransi melebihi batas kewajaran, harap menghubungi kami. Penjahat yang sama biasanya punya modus operandi sama. Mungkin usai beroperasi di Jakarta, akan pindah ke Medan, Makasar, atau mana saja,” kata Lettu Tatan sambil menyodorkan kartu nama.
Lettu Tatan pun meminta Sertu Uki merepro foto Marjuki dan mencetak cukup banyak untuk dikirim ke seluruh Polsek se-Jabotabek, untuk mencari informasi tentang Marjuki.
Temannya kleptomania
Pukul 17.15 kedua polisi itu menuju toko kacamata di Blok M. Dari data komputer, muncul nama Herman Dhani. Empat hari silam ia membeli lensa kontak minus dua. Ia juga mengganti kacamata lama dengan yang baru. Sedangkan Rinawati membeli lensa kontak normal warna biru.
Selanjutnya, mereka menuju salon kecantikan langganan Rinawati. Salon itu ramai, sebagian pegawainya waria.
Seorang waria menegur genit, “Perlu apa, Oom? Gunting? Creambath? Apa hair light model uban?” Lettu Tatan segera menjelaskan siapa dirinya dan apa keperluannya. Waria itu memanggil pemilik salon, wanita berumur 40-an yang cantik.
“Ini memang Rinawati,” katanya sambil mengamati foto berwarna dari Lettu Tatan. “Empat tahun lalu ia bekerja di salon saya di Senen. Tapi dia keluar, mau buka usaha sendiri. Baru lima bulan lalu, saya bertemu lagi dengannya di Mal Mangga Dua. Dia sudah kawin dan sudah kaya. Sejak itu dia sering kemari. Dua hari lalu dia datang. Rambutnya dipirang tipis, memakai lensa kontak biru. Cantik sekali.”
Lettu Tatan yakin tujuan semua tindakan Rinawati adalah untuk penyamaran. Sayangnya, dua aparat itu tak mendapat informasi tempat tinggal Rinawati.
Hampir pukul 19.00. Mobil dipacu ke arah Cililitan, menemui tukang martabak, kakak Bejo. Mereka tidak kesulitan mencari.
“Siapa namamu?” tanya Lettu Tatan.
“Untung, Pak. Ada apa dengan adik saya?” tanyanya gugup, “lama saya tidak ketemu dia.”
“Kapan terakhir ketemu Bejo?”
“Dua bulan lalu, itu pun cuma sebentar, di luar pagar. Waktu itu tuannya pergi.”
“Berapa lama Bejo bekerja di sana?”
“Lima bulan lebih. Sebelumnya ia ikut saya berjualan martabak.”
“Siapa yang mengajaknya bekerja di tempat Pak Herman?”
“Lik Sukarni. Orang sekampung, pembantu Pak Herman,” lanjutnya, “Bejo itu rajin. Saya ajak dia bantu jualan martabak, daripada saya mengupah orang lain. Waktu pulang kampung Lebaran dulu, Bejo ketemu Lik Sukarni. Katanya, majikannya butuh tukang kebun. Saya izinkan, biar tambah pengalaman.”
“Sekarang di mana Lik Sukarni?”
“Sudah dua bulan di kampung. Dia dipecat karena suka nyolong,” jawab Untung polos.
“Apa Bejo bisa menyetir mobil?”
“Boro-boro, naik sepeda aja sering jatuh, nabrak.”
“Terima kasih, tolong besok pagi ke kantor saya. Ini alamat saya dan sekadar ongkos transpor,” kata Lettu Tatan.
Esoknya pukul 07.00 Lettu Tatan sudah di kantor. Tidak lama kemudian, dr. Willem menelepon.
“Bercak darah di karpet karet, golongan darahnya AB. Sedangkan korban di mobil jenisnya B. Jadi ada dua jenis darah dalam mobil.”
Lettu Tatan sudah menduga. Ada dua korban yang ditaruh di bagasi, meski tidak bersamaan waktu. Kamis sore atau malam Jumat, Marjuki dibunuh. Mayatnya ditaruh di bagasi mobilnya, lalu dibuang di suatu tempat.
Sedangkan Bejo dibunuh Jumat malam. Mayatnya pun ditaruh di bagasi sedan itu, lalu dibawa ke Jembatan Gadok. Dekat jembatan, mayat Bejo dipindah ke kursi pengemudi, dipasangi sabuk pengaman. Kesannya, Bejo yang mengemudi. Karena jalur itu termasuk jalur padat mereka bertindak sesudah tengah malam. Mungkin karena buru-buru, sebelah sepatu korban tertinggal di bagasi.
Mobil pun didorong, meluncur kencang, terjun ke sungai. Tapi, di mana para penjahat itu? Masih di dalam atau sudah keluar Jakarta?
“Lapor. Ada tamu ingin bertemu Bapak,” seru anak buah Lettu Tatah.
“Persilakan masuk!” jawab Lettu Tatan.
“Selamat pagi, Pak,” salam Untung.
Lettu Tatan mencoba tenang, “Untung, harap jangan kaget. Bejo sudah meninggal.”
Untung lunglai, “Lalu di mana jenazahnya, Pak?”
“Di rumah sakit. la mengalami kecelakaan mobil, Sabtu seminggu silam di Jembatan Gadok. Nanti dari pihak kepolisian, ada surat dispensasi memakai mobil jenazah untuk membawa adikmu ke kampung.”
“Terima kasih,” sahut Untung menunduk.
“Tapi, saya ikut. Saya ingin berkenalan dengan Lik Sukarni. Setuju?” desak Lettu Tatan. Untung mengangguk.
Hari itu juga, Lettu Tatan bersama Untung ke Lebaksiu, Tegal.
Sesudah pemakaman, Lettu Tatan diantar ke rumah Sukarni. Sukarni orangnya tinggi kurus, berkulit agak gelap. Matanya tajam dan selalu curiga.
“Lik Kami! Ini saya, Untung,” teriak Untung.
“Hei, apa kabar? Kok Bejo malah kena musibah. Apa dia sudah enggak ikut Pak Herman?”
“Enggak, Lik. Oh ya, bapak ini ada perlu dengan sampeyan.”
“Bapak siapa?” tanya Sukarni. “Saya kawan Untung dari Cililitan,” jawab Lettu Tatan. “Berapa lama Ibu bekerja di sana?”
“Delapan bulan kurang. Dua bulan lalu saya dipecat,” jawabnya malu-malu, “Jangan bilang siapa-siapa, ya? Ketika mengambil barang itu, saya tidak sadar. Saya menyesal tapi saya takut mengembalikan. Sekarang saya takut menjadi pembantu, bisa-bisa penyakit nyolong saya kambuh.”
“Itu namanya kleptomania, mengambil barang tanpa sadar. Entah barang itu berharga atau tidak, pokoknya ibu senang. Lalu mana barangnya?” desak Lettu Tatan.
Diambilnya kotak karton. Ketika dibuka, isinya bermacam-macam, tapi umumnya tidak menarik bagi kebanyakan orang. Salah satunya album foto berukuran kabinet. Selain foto-foto lama, di album itu ada selembar amplop kosong, surat untuk Rinawati di Menteng Jakarta. Di baliknya tertulis, “Dari ayahanda: Sudarsono, RT sekian, RW sekian, nomor sekian, Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah”.
Lettu Tatan mengamati cap prangko. Dari Klaten, dengan tanggal belum begitu lama. Amplop itu ia minta.
Adiknya pun perempuan
Jumat pagi. Lettu Tatan mendapat laporan, warga Mauk, Tangerang, menemukan mayat tak dikenal terdampar di pinggir sungai sepuluh hari lalu. Mayat itu sudah dikubur. Tetapi setelah Kapolsek setempat menerima foto Marjuki, kuburan tadi akan digali kembali.
“Pak Uky dan dokter Willem ke lokasi mayat, tetapi mampirlah ke Jakarta, menjemput Haji Taslim dan istri Marjuki. Mungkin mereka bisa mengenali ciri-ciri Marjuki.”
Sabtu pagi Lettu Tatan menghadap Kapolres, Letkol Dadang Yulianto. Sang Kapolres tersenyum, “Jadi Pak Tatan bermaksud mengajak Sertu Polwan Dewi Arimbi, ke rumah orang tua Rinawati di Klaten?” Lettu Tatan mengiyakan.
Sesampai di Klaten, dan setelah melapor ke Polsek setempat, kedua polisi itu mulai bertindak. Mereka menuju Kampung Jatinom, rumah orang tua Rinawati. Rumah itu mudah dicari, letaknya di pinggir jalan kampung yang halus diaspal. Seorang wanita tua menyongsong begitu mobil mereka berhenti.
“Aduh, maaf, Nak. Saya kira Rinawati, anak saya, dan suaminya,” kata ibu itu malu.
“Tak apa, Bu. Saya Dewi, kawan Rina,” sahut Dewi.
“Wah, silakan masuk, Nak,” katanya sambil memanggil suaminya.
“Ini suami saya, Tatan. Saya kawan Rinawati saat masih bekerja di salon di Senen. Sejak Rina keluar empat tahun lalu, saya belum pernah ketemu lagi.”
“Kok Nak Dewi tahu alamat kami?” tanya bapak Rina.
“Dulu saya dapatkan dari Rinawati,” jawab Dewi, “kalau Rina di mana sekarang, Bu?”
“Sekarang masih di Jakarta. Tapi bulan depan pindah ke Medan.”
“Apa suaminya asal Medan, Bu?”
“Bukan, dari Pontianak. Sudah dua tahun berumah tangga, tapi belum juga dapat momongan. Terpaksalah mengadopsi dari yayasan. Untung mereka cukup sukses. Kemarin ibu dikirimi uang untuk memperbaiki rumah,” jawabnya bangga.
Lalu, “Sebelum ke Medan, minggu depan mereka mau kemari. Maka tadi saya sangka mereka yang datang.”
“Oh ya Bu, di mana alamat Rinawati sekarang?” kata Dewi sambil mengambil buku alamat dan bolpoin.
Tanpa curiga, ibu Rinawati mengambil amplop dengan alamat Rinawati. Cepat Dewi menyalin, sebuah kompleks perumahan mewah di bilangan Cibubur, Jakarta Timur.
“Rinawati itu putri keberapa?” sela Lettu Tatan mengalihkan perhatian.
“Nomor dua. Yang pertama juga perempuan, di Surabaya. Lalu Rina, baru Sisca yang kuliah di Yogya.”
Dalam hati Lettu Tatan menyumpah, beraninya Roswanto mengaku sebagai adik Rinawati.
“Maaf, Pak. Apa di sini ada telepon? Saya ingin menghubungi tante saya, sebab belum pamit kalau mau kemari,” sahut Lettu Tatan
“Maaf, bapak endak punya telepon. Tapi kalau penting sekali, di depan sana ada wartel,” saran bapak Rina.
Setengah jam kemudian, di jalan besar. “Kenapa tadi Pak Tatan pura-pura pinjam telepon? Apa Pak Tatan punya saudara di sini?”
“Cuma ingin mengecek. Bisa bahaya kalau mereka punya telepon. Rinawati bisa segera tahu. Bisa-bisa dia kabur dari Jakarta sebelum kita bertindak.”
Penyamaran gagal
Rumah mewah di Cibubur itu tampak sepi, seperti tak berpenghuni. Sudah dua hari rumah bertingkat itu diam-diam diawasi oleh anak buah Lettu Tatan.
Pagi itu Kopral Daman yang bertopi anyaman pandan, karena menyamar sebagai tukang loak, melapor, “Letnan, saya mendengar tangis bayi dari kamar atas. Rumah itu berpenghuni. Bagaimana kalau langsung kita sergap?”
“Tunggu dulu. Ta, kalau itu sasaran kita, bagaimana kalau bukan? Kita bisa dituntut.”
“Kan ada surat perintah, Let?”
“Tetapi ini bukan wilayah kita.”
Tiba-tiba dari gerbang rumah itu keluar seorang perempuan, pembantunya. Lettu Tatan buru-buru menghampiri dan berpura-pura mencari alamat orang.
“Numpang tanya, Bu. Apa Ibu pembantu Nyonya Shinta?”
“Bukan, saya pembantu Ibu Rinawati,” akunya.
“Ooh. Ibu Rinawati yang dari Bali itu ya?”
“Waaah, buuukaan. Ibu Rinawati itu orang Jawa, dari Klaten.”
“Oh, ya! Saya ingat sekarang, nama suaminya Pak Sujono, dari Kediri ‘kan?”
“Wadduuh. Sampeyan kok tambah ngawur to,” katanya sambil tertawa, “suaminya orang Kalimantan. Namanya Pak Herman. Mereka sedang nonton TV di kamar atas,” jawabnya merasa hebat.
Lettu Tatan tersenyum. la yakin, orang di rumah itu memang buruannya. Dengan isyarat tertentu, enam anak buahnya bergerak. Kurang dari setengah jam, aparat telah menangkap tiga tersangka pembunuhan dan penipuan.
Tapi, Lettu Tatan sempat sangsi. Salah satu pria yang ditangkapnya berambut pirang dan bermata abu-abu. Bahkan, ia memaki dengan bahasa asing. Cuma sayang, tahi lalat di kening kiri, dan Rinawati yang belum berdandan, membuat semua penyamaran sia-sia. (Riady B. Sarosa)
Baca Juga: Transaksi Jadi Bukti Kunci
" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605822/demi-santunan-asuransi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670836063000) } } [5]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3608954" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/10/rencana-kaya-berbuah-petakajpg-20221210030336.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(117) "Dua pria berupaya mengakali penarikan nomor lotere berhadiah. Namun semua rencana berantakan akibat ketamakan mereka." ["section"]=> object(stdClass)#132 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/10/rencana-kaya-berbuah-petakajpg-20221210030336.jpg" ["title"]=> string(27) "Rencana Kaya Berbuah Petaka" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-10 15:03:42" ["content"]=> string(24411) "
Intisari Plus - Dua pria berupaya mengakali penarikan nomor lotere berhadiah. Namun semua rencana berantakan akibat ketamakan mereka.
--------------------
Suatu pagi di kedai milik George Aiken di Monroeville, di pinggiran Kota Pittsburgh. Tiga pria tampak berbincang akrab. Nick Perry, yang bernama asli Nicholas Kastafanas, benar-benar menikmati kopi dan sarapannya sembari ngobrol dengan Maragos bersaudara.
Tiba-tiba, “Pete, ada yang hendak kukatakan, kamu jangan bilang ke siapa pun, ya. Termasuk ke istrimu! Aku juga tak bilang pada istriku. Ini rahasia besar!” bisik Nick Perry.
Peter (51 tahun) dan Jack Maragos (57 tahun) berhenti mengunyah. Mereka saling bertatapan, lalu mengarahkan pandangan kembali kepada Nick.
Mereka sudah hafal benar watak Nick yang senang membual. Bahkan terus terang, kadang-kadang sulit membedakan, apakah Nick sedang bercanda atau serius.
“Aku serius. Percayakah kalian, jika kukatakan, Nomor Harian bisa diatur?” tanya Nick.
Mendengar kalimat itu Jack nyaris tersedak, sampai terbatuk-batuk.
Sementara Pete tampak lebih tenang. “Ah masa?” tanya Pete ragu, tetapi penasaran juga.
“Kalian tertarik?”
“Kalau kamu benar-benar bisa mengatur nomor lotre yang akan keluar, tentu aku tertarik,” sahut Pete antusias.
Lebih dari dua puluh tahun Nick telah mengenal kedua bersaudara, Pete dan Jack. Nick memimpin kelompok paduan suara di Katedral Santo Nicholas, sebuah gereja ortodoks Yunani di Pittsburgh. Sementara Pete menjadi anggotanya. Ketiganya juga bermitra bisnis sejak 1967, ketika Nick bergabung dalam Forbes Vending, bisnis jual-beli mesin penyedia makanan ringan, minuman, dan rokok yang pertama di wilayah Pittsburgh.
Dalam kerja sama itu, Maragos bersaudara mengurus bagian bisnisnya, sementara Nick, yang memiliki banyak minat, bekerja di bagian humas. la memang cocok menjadi “corong perusahaan”, yang memastikan bahwa citra usaha mereka selalu baik di hadapan publik. Baginya, tugas itu tidaklah sulit. Apalagi didukung oleh suara sejuk di telinga, wajah tampan menawan, dan rambut ikalnya, Nick Perry melejit menjadi salah seorang tokoh yang dikenal dan disukai di bagian barat Pennsylvania.
Nyatanya Nick Perry juga berhasil sebagai pembawa acara Bowling for Dollars dan Championship Bowling di stasiun televisi WTAE sejak 1958. Selama lebih dari dua puluh tahun sejak lahirnya stasiun televisi itu, ia berhasil mengangkat kedua acara tersebut menjadi acara paling digemari kaum “kerah biru” di Pennsylvania.
Tak hanya itu. Pada 1977, ketika lembaga lotre Pennsylvania menambahkan acara pengundian Nomor Harian, permainan menebak tiga angka yang keluar, acara itu juga menjadi acara kegemaran kaum senior alias para lansia di segala penjuru negara bagian itu.
Lotre bola
Nah, diam-diam ternyata selama lebih dari tiga tahun, Nick telah mempelajari sistem yang digunakan untuk memilih Nomor Harian. Di bawah pengawasan seorang manajer penarikan lotre, tiga buah mesin dipasang di studio sekitar satu jam sebelum siaran langsung ditayangkan. Setiap mesin dihubungkan ke peniup udara (blower) yang menghubungkan gelas penampung dengan pipa pemilih bola. Lalu, sepuluh bola pingpong, yang bernomor dari 0 hingga 9, diletakkan di setiap mesin oleh sang manajer.
Ketika mesin dihidupkan, bola-bola bergerak dan berlompatan di gelas penampung karena tertiup oleh aliran udara dari blower. Bola-bola itu saling menggelinding satu sama lain dan bersentuhan dengan dinding gelas. Dalam beberapa detik, sebuah bola dari setiap mesin masuk ke pipa pemilih dan menggelinding ke tempat peluncuran.
Permainan Nomor Harian menjadi program acara untuk kalangan senior. Termasuk “mempekerjakan” mereka yang bertugas di rumah perawatan dan panti jompo. Setiap malam seorang penduduk berusia lanjut mengambil bola dari tempat peluncuran lalu menyebutkan nomor yang menang.
Lalu Nick Perry menyudahi pertunjukan enam puluh detik itu dengan kalimat, “Kalau Anda mendapatkannya, datang dan ambillah. Kalau tidak ... semoga besok Anda lebih beruntung.”
Untuk satu menit masa tayang acara itu, Nick memperoleh seratus dolar semalam, enam ratus dolar seminggu. Kalau dibandingkan saat ini, jumlah itu sangat kecil. Acara penarikan lotre semacam itu kini dapat bernilai setengah juta dolar untuk satu kali penayangan.
Dari apa yang ia pelajari, Nick menyimpulkan, nomor yang keluar bisa diatur. Dan itulah yang menjadi topik pembicaraan di kedai Aiken pada pagi di bulan Februari tersebut. Sesungguhnya, melihat kedua rekannya percaya, membawa tantangan tersendiri bagi Nick. Ia harus mampu membuktikan ucapannya!
Rencana dijalankan
Menurut peraturan, tak seorang pun boleh menyentuh mesin pemilih Nomor Harian, kecuali di saat pengawas penarikan lotre hadir di sana. Nick, yang sudah dikenal dan telah lama bekerja untuk acara itu, diperbolehkan mengatur mesin tersebut oleh Edward Plevel, manajer distrik barat dari Biro Lotre Pennsylvania. Agar rencananya berjalan mulus, Nick mengajak Edward dalam persekongkolan itu. Bahkan sebelum berbicara dengan Maragos bersaudara pagi itu, mereka telah bersepakat bahwa Edward akan mendapat bagian sebesar AS $ 2.500.
Selanjutnya, yang perlu diatur adalah mengganti bola pingpong asli dengan bola, serupa yang lebih berat. Bola palsu, yang lebih berat, akan gagal untuk naik dan digerakkan oleh tiupan udara untuk jatuh ke dalam tempat peluncuran. Jadi, hanya bola yang ringan - beserta nomornya - yang akan keluar sebagai pemenang.
Maka, Nick menyiapkan satu set bola tiruan yang identik, kecuali beratnya. Rencananya, bola-bola di dalam mesin akan diganti beberapa saat sebelum acara dimulai. Setelah acara selesai, bola-bola itu ditukarkan kembali dengan aslinya. Sedangkan semua bola tiruan segera dihancurkan. Rencana yang terdengar sempurna itu akan berhasil jika setiap orang yang terlibat tetap rapat menutup mulut. Kalau tidak terlalu serakah, mereka akan dapat mengulanginya lagi, misalnya setiap enam bulan. Karena Nick yakin, akal-akalan ini tak akan pernah diketahui siapa pun.
“Kalian harus membeli tiket lotre dan ikut menjadi peserta acara ini,” kata Nick kepada dua rekan, Maragos bersaudara. Dengan turut menjadi peserta serta bekal catatan angka yang bakal keluar, mereka pasti memenangkan uang hadiah malam itu. Tentu saja, setelah itu mereka harus membagi kebahagiaan alias berbagi hadiah.
“Oke!” seru kompak Maragos bersaudara, apalagi peran mereka cukup mudah.
Nick Perry memerlukan dua kaki tangan lagi. Orang yang ahli membuat bola pingpong palsu dan seorang lagi untuk menukarkannya dengan yang asli. Untuk pekerjaan kedua, ia memilih Frederick Luman, salah seorang petugas di balik layar, kru WTAE senior.
Sementara untuk pekerjaan yang lebih sulit, yakni membuat bola-bola tiruan, Nick merekrut Joseph Bock, petugas di belakang layar yang bekerja paruh waktu. Joseph sebenarnya seniman berbakat yang pernah menjadi pengarah seni di stasiun televisi itu. Sudah barang tentu untuk membungkam mulut mereka, ada harganya pula. Mereka harus mendapat bagian keuntungan.
Joseph membuat bola-bola pingpong biasa, dari merek yang sama dengan yang selama ini digunakan. Nomor yang dicantumkan pun dibuat semirip mungkin dengan bola yang asli. Dengan jarum suntik ia memasukkan cat lateks ke dalam bola yang akan dibuat lebih berat. Melalui sebuah lubang yang sangat kecil tersembunyi di bagian angka, cat di dalam bola itu lalu tersebar merata.
Beberapa minggu setelah persiapan dilakukan, Nick dan Peter bertemu di gereja untuk latihan paduan suara. Pada saat itu Nick menyampaikan kesulitan Joseph untuk menimbang bola.
“Tak ada masalah. Kakakku punya timbangan yang sangat sensitif, bahkan untuk menimbang sehelai prangko,” jawab Pete tenang. Timbangan itu biasanya untuk menimbang kopi instan di dalam mesin penjual.
Joseph masih menguji bola-bola buatannya untuk mengetahui bobot yang benar-benar tepat agar bola tidak terpilih. Setelah berkali-kali mencoba, ia menyimpulkan dibutuhkan 4,5 gram cat untuk tiap bola. Setelah persiapan selesai, mereka memilih tanggal 24 April 1980, hari keempat dalam minggu keempat pada bulan keempat, sebagai hari H untuk menjalankan rencana dan memenangkan lotre itu.
Supaya sip, Nick ingin menguji coba salah satu mesin untuk memastikan apakah sistemnya berjalan baik. Pada hari Sabtu 20 Maret, hari senggangnya di stasiun WTAE, Nick bersama Frederick mengatur agar salah satu mesin bisa disingkirkan sementara dengan alasan untuk “diperbaiki”. Lalu Nick dan Joseph menguji ketiga set bola palsu. Semua berjalan sempurna! Tak ada bola palsu yang bisa naik cukup tinggi ke gelas penampungan untuk masuk ke tabung pemilih.
Untuk memperkecil kemungkinan pemirsa televisi menemukan keganjilan gerakan bola selama beberapa detik penayangan acara itu, Nick memutuskan untuk hanya memberati delapan bola dari 10 bola setiap setnya. Nomor “4” dan “6” tetap menggunakan bola asli. Sehingga, ada delapan kemungkinan kombinasi angka yang akan muncul, yaitu 6-6-6, 6-6-4, 6-4-4, 6-4-6, 4.4-4, 4-6-4, 4-4-6, dan 4-6-6.
Karena sudah mengetahui bahwa nomor kemenangan merupakan kombinasi angka empat dan enam, Nick dan rekan-rekannya cukup memilih satu dari kombinasi angka tersebut.
Mereka siap mempertaruhkan beribu-ribu dolar untuk satu dari delapan kombinasi tiga angka itu. Peluang untuk meraihnya tersebar di sejumlah tempat penjualan karcis lotre di tiga dari empat kota. Angka sejumlah AS $ 5.000 yang dipertaruhkan empat orang - Bock, Luman, dan Maragos bersaudara - apabila dibelanjakan di banyak tempat tentu tak akan mencolok, tidak akan menarik perhatian.
Ada alasan lain bagi mereka berempat agar bertaruh secara hati-hati. Selain menghindari masalah hukum tentang perjudian, mereka juga tidak ingin membangunkan harimau tidur alias menarik perhatian gerombolan mafia Pennsylvania yang menguasai permainan ini.
Keserakahan yang membawa bencana
Nafsu serakah memang tak pernah bisa dinyana kapan datangnya. Terbukti, meski telah disepakati untuk membatasi jumlah tiket yang dipertaruhkan, ada saja dari mereka berempat yang serakah. Selain itu, rencana pembelian tiket juga tidak berjaIan semestinya. Mereka seharusnya membeli tiket secara acak dan tersebar, yakni membeli di satu lingkungan se-RT dan membeli sejumlah tiket lain di lingkungan RT/RW yang lain. Yang terjadi adalah ada di antara mereka yang membeli tiket dalam jumlah besar hanya di satu daerah.
Pete Maragos pergi ke Philadelphia, hampir tiga ratus mil jauhnya dari sudut lain negara bagian itu. Pukul 09.00 esok harinya, ia, adiknya - James - dan istri adiknya, Jean Ella, memasang taruhan di Snyder Avenue, selatan Philadelphia.
Dengan Cadillac putih milik James, perhentian pertama mereka pagi itu adalah penginapan Dew Drop Inn. Di sana Pete membeli 904 tiket lotre dengan berbagai kombinasi angka empat dan enam.
Tanpa mereka sadari, data pembeli lotre di semua loket penjualan tiket itu dikirim ke komputer di kantor pusat lotre di Harrisburg. Celakanya lagi, kemudian Pete menghubungi Nick di Pittsburgh lewat telepon. Mereka berbicara dalam bahasa Yunani.
Bayangkan, seorang pria dalam Caddy putih, berbicara dalam bahasa Yunani, membelanjakan lebih dari AS $ 900 untuk tiket lotre dengan kombinasi hanya dua nomor pada pukul sembilan pagi di selatan bar Philly. Bukankah itu sangat mencolok?
Apa pun hasil akhirnya, baik menang atau kalah, sang pemilik penginapan itu pasti ingat pembelinya, Maragos bersaudara.
Bodohnya lagi, kemudian Pete pergi ke seberang jalan. Di toko cerutu milik Herman ia membeli lagi tiket seharga $1,143. Tanpa sadar, lagi-lagi ia membuat sang pemilik toko selalu ingat akan dirinya.
Tak hanya berhenti di situ. Tiga anggota keluarga Maragos masih melanjutkan “perburuannya” membeli ribuan tiket lagi dengan kombinasi empat dan enam di toko dan kedai pengecer koran dan majalah, tempat bercukur, dan pasar daging di sepanjang daerah itu.
Jelas saja perilaku itu menimbulkan kecurigaan!
Di tempat lain, Jack Maragos justru memberikan komisi kepada kawan baiknya yang mau membantu untuk membelikan tiket sebesar AS $ 4.000 di setiap toko yang menjual tiket lotre.
Belum lagi Jack dan Pete memberikan petunjuk juga kepada James dan ketiga anaknya di Maryland. Masing-masing berburu di wilayah Berks, Lancaster, dan York di selatan Pennsylvania dan membeli ribuan tiket dengan kombinasi empat dan enam. Pete sendiri mengerahkan teman-temannya untuk bertaruh pada kedua angka itu.
Akibatnya, banyak peserta yang tak dinyana ikutan bermain memasang kombinasi dua angka itu. Bisa dibayangkan akibatnya!
Hari itu, 24 April 1980, jauh sebelum tengah hari. Di kota itu telah terdengar bahwa angka yang akan keluar adalah kombinasi empat dan enam. Sebelum permainan berakhir pada pukul 19.00, para “pemeras” yang anggota mafia di kota itu memaksa setiap penjual lotre untuk membayar asuransi.
Klimaks terjadi malam itu. Violet Lowery (68 tahun) menarik angka dari mesin yang diudarakan di WTAE, yang keluar “6-6-6”. Seperti biasa, Nick Perry mengakhiri acara itu dengan, “Kalau Anda mendapatkannya, datang dan ambillah ....”
Kalimatnya disambut banjir tiket lotre dengan angka yang tepat. Kali itu pihak penyelenggara di Negara Bagian Pennsylvania harus membayar sebanyak AS $ 3,5 juta kepada para pemenang, dari sekitar AS $ 1 juta hasil penjualan tiket pada hari itu. Tekor, deh!
Makin runyam
Beberapa hari setelah malam itu, Pete menemui Nick di kuburan pekarangan gereja. la menyerahkan AS $ 35.000, bagian pertama dari kemenangan berjumlah lebih dari AS $ 1,2 juta, dalam sebuah kantung cokelat.
Pada saat bersamaan, berita bahwa lotre telah dicurangi beredar di surat kabar. Manajer lotre di Distrik Barat, Edward Plevel - bukan saja salah- satu konspirator, tetapi juga memegang jabatan penting di wilayah Monessen - menemui atasannya. Ia berusaha meyakinkan mereka bahwa proses penarikan Nomor Harian tanggal 24 April itu berjalan secara jujur. la menjamin, mesin dan bola-bolanya tidak pernah lepas dari pengawasannya.
Ed juga menandatangani surat yang menyatakan bahwa tidak mungkin penarikan lotre dicurangi. Berdasarkan surat pernyataan itu, Howard Cohen, Sekretaris Pajak Pennsylvania memberikan pernyataan kepada wartawan, meyakinkan para pemasang taruhan bahwa tak ada bukti yang meragukan hasil penarikan Nomor Harian. “Benar-benar penarikan yang jujur,” katanya.
Masalah tak hanya berakhir di situ. Di luar arena acara malam itu, bos mafia Anthony M. “Tony” Grosso, sudah curiga ketika angka “6-6-6” keluar. Tony, sang pemilik kerajaan judi yang menjalankan AS $ 30 juta perjudian di wilayah Pennsylvania itu menolak untuk membayarkan hadiah kepada para pemenang. la tetap yakin bahwa penarikan itu telah dicurangi.
Persoalan ini menjadi bertambah pelik. Penolakan Tony membuat Cohen berang. la menyerang balik lewat media. la menyatakan bahwa Grosso menyebarkan berita bohong tentang kecurangan penarikan lotre hanya untuk menghindari kewajiban membayar pajak kalau ia memberikan uang hadiah kepada pemenang.
Di bulan Juni, Gubernur Pennsylvania, Dick Thornbourgh, yang juga Jaksa Agung di Negara Bagian, menuntut Grosso. Ia memerintahkan Departemen Kehakiman untuk melakukan penyidikan dan membawa hasil penyidikan itu kepada para juri.
Beberapa minggu kemudian, senat negara bagian membentuk komisi khusus untuk menyelidiki kemungkinan adanya kecurangan dalam penarikan lotre. Senat Pennsylvania dikendalikan oleh Partai Demokrat. Sementara gubernur dan sebagian besar kepala departemen adalah orang-orang dari Partai Republik. Tak ayal lagi, tiba-tiba soal lotre menjadi ajang sepak bola politik!
Asisten Jaksa Penuntut, Henry G. Barr, mengambil tindakan. Sebagai langkah pertama ia menguji jalannya mesin pengocok bola di stasiun WTAE. Pada penarikan pertama, tiga nomor 6-6-6 keluar. Ironisnya, kombinasi itu tidak pernah keluar lagi pada beberapa lusin penarikan berikutnya. Henry cukup dipusingkan oleh kondisi itu, bukankah kemungkinan kombinasi angka tersebut bisa saja keluar? Berarti, permainan kala itu mungkin saja jujur.
Gara-gara manula
Sampai akhirnya tabir itu tersingkap. Tiba-tiba Violet Lowery, warga lansia yang juga menarik angka kemenangan pada 24 April itu, menyanggah pernyataan Ed Plevel. Tidak benar Plevel selalu mengawasi mesin pemilih nomor tersebut.
Menurut Lowery, sekitar setengah jam sebelum penarikan, Plevel mengantarkan dirinya dan Theresa DeSanders, pengganti pengambil bola kalau ia beralangan, ke studio lain untuk menonton siaran berita. Tentu saja, Ed meninggalkan mesin itu selama beberapa waktu.
Tak lama kemudian, diam-diam penyidik mendatangkan wakil presiden Metro Game Manufacturing, perusahaan pembuat mesin permainan bingo di New York. Ia memperlihatkan pengujian mesin yang normal. Pada kesempatan itu, ia juga menyampaikan bahwa bola pemilih bisa saja dicurangi dengan penambahan beban. “Cukup dengan lima gram air,” katanya.
Untuk menguji hipotesis itu, video yang merekam acara penarikan Nomor Harian pada 23, 24, dan 25 April diputar kembali. Gerakan lambat tayangan video itu menunjukkan, pada tanggal 24, hanya bola bernomor empat dan enam yang melonjak cukup tinggi di dalam mesin, dan akhirnya terpilih.
Dari situ Barr mengetahui, seseorang telah mengakali bola itu. Namun, ia hanya punya bukti tak langsung berupa rekaman video. Belum ada bukti yang lebih kuat mengarah kepada Nick, Maragos bersaudara, Plevel, dan yang lain. Mereka belum diusik.
Mafia tidak pernah mengikuti peraturan. Itu sudah jadi rahasia umum. Mereka tak peduli dengan prosedur hukum. Orang yang terjerat dalam suatu sindikat bisa merasakan akibat yang jauh lebih berat ketimbang sekadar hukuman kurungan penjara. Barangkali menimbang risiko yang lebih berat, yang bisa-bisa nyawa bakal jadi taruhannya, Maragos bersaudara tergopoh-gopoh segera menunjuk William C. Costopoulos sebagai pengacara mereka.
Kemunculan mendadak William Costopoulos mewakili Maragos bersaudara membuat media bertanya-tanya mengenai kaitan mereka dengan kejahatan terorganisasi seputar lotre itu. Majalah Philadelphia menulis bahwa daerah eksklusif tempat usaha mesin penjual makanan dan minuman milik Maragos identik dengan wilayah serupa yang pernah dikelola keluarga sindikat lain. Berita yang dilansir tersebut tidak ditanggapi Keluarga Maragos.
Selama beberapa minggu berikutnya, pengacara mereka secara diam-diam bolak-balik antara Pittsburgh dan Harrisburg. Akhirnya, September 1980, para juri mengajukan dakwaan terhadap Nick Perry, Ed Plevel, Frederick Luman, dan Joseph Bock.
Sementara waktu Maragos bersaudara boleh bernapas lega. Mereka telah bertindak kooperatif dengan mengatakan semua yang mereka ketahui tentang Nick Perry dan rencananya.
Ingkar sendiri
Berkat kesaksian dan kerja sama untuk membantu penangkapan Nick dan Ed, Keluarga Maragos bersepakat hanya membayar denda dan menjalani lima bulan masa percobaan. Mereka juga mengembalikan AS $ 600.000 dari hasil kemenangan lotre dan sejumlah yang sama untuk kemenangan yang belum dibayar. Ketiga anak James tidak dihukum walaupun mereka juga mendapat sekitar AS $ 125.000 dari hasil lotre.
Berbeda dengan kesaksian Maragos, Bock dan Luman diputuskan bersalah. Mereka diganjar hukuman kurungan penjara satu hingga lima tahun penjara.
Ed Plevel dan Nick Perry menjalani tuduhan persekongkolan kriminal, kejahatan kriminal, pencurian dengan penipuan, dan bertindak curang dalam taruhan publik. Perry juga dituntut karena lima sumpah palsu. la dihukum tiga hingga tujuh tahun penjara, denda AS $ 3.000, dan harus membayar AS $ 35.000, sama dengan yang diperolehnya dari Pete Maragos.
Plevel kehilangan kemungkinan dipilih lagi sebagai anggota dewan di kotanya, selain juga dipecat dari jabatannya. la masih harus menghabiskan dua sampai tujuh tahun di penjara negara bagian, membayar denda AS $ 1.000, dan harus membayar AS $ 2.500, sama dengan yang ia terima, kepada pemerintah negara bagian. Yang jelas, Perry dan Plevel juga harus menanggung semua biaya pengadilan.
Itulah, judi sendiri sudah mengandung risiko besar, apalagi bila “dimainkan”. Petaka sebagai buah “permainan” sudah pasti menghadang. Rasanya, serapi-rapi menyimpan bangkai, bau busuknya pasti tercium juga.
(Perfect Crimes)
Baca Juga: Perawan Gadungan
" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553608954/rencana-kaya-berbuah-petaka" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670684622000) } } [6]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3608893" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/10/lelaki-di-antara-mei-dan-juni_ma-20221210025037.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Dua bulan sebelum rencana pernikahan, seorang kekasih tidak pulang ke rumah. Pasangannya justru malah akhirnya jatuh cinta dengan calon adik ipar." ["section"]=> object(stdClass)#136 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/10/lelaki-di-antara-mei-dan-juni_ma-20221210025037.jpg" ["title"]=> string(29) "Lelaki di Antara Mei dan Juni" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-10 14:50:53" ["content"]=> string(24980) "
Intisari Plus - Dua bulan sebelum rencana pernikahan, seorang kekasih tidak pulang ke rumah. Pasangannya justru malah akhirnya jatuh cinta dengan calon adik ipar.
--------------------
Orang tua mereka menamakan kedua anak gadis itu Mei dan Juni, sesuai dengan nama bulan kelahiran mereka. Meski usia dan jarak kelahirannya tidak terpaut jauh, kedua gadis ini memiliki sifat yang amat berbeda. Barangkali itu pengaruh zodiak mereka yang berlainan meski ada sebagian yang masih bersinggungan.
Yang jelas, perangai si sulung Mei begitu mudah berubah. Terkadang hangat dan bersahabat, tapi bisa pula tiba-tiba merengut, namun segera memperlihatkan rasa cinta. Semuanya begitu cepat berubah. Sebaliknya, sifat ini tidak dimiliki sang adik, Juni.
Di tahun 1930, ketika Mei mencapai usia 20 tahun, Nyonya Thrace, ibunya, begitu mengkhawatirkan putri sulungnya dibandingkan sang adik. Selain penampilannya tidak terlalu menarik, sebagai wanita Mei memang kurang anggun, apalagi otaknya biasa-biasa saja. Oleh karena penampilannya yang demikian itu, hampir tak ada seorang pria pun yang mau dekat dengannya.
Namun, kekhawatiran Nyonya Thrace seakan lenyap begitu putri sulungnya bertemu seorang pemuda bernama Walter Symonds. Pengacara tampan ini datang dari keluarga terpandang dan berpenghasilan cukup. Mimpikah Mei mendapatkan Walter Symonds? Tidak. Hanya dalam beberapa kali pertemuan ternyata pemuda ini betul-betul menyatakan cinta pada Mei. Bagai mendapatkan durian runtuh, tanpa pikir panjang Mei segera membalas cinta Walter dengan menggebu-gebu. Bahkan terasa amat berlebihan.
Mei seakan tak bisa menyembunyikan ekspresi cintanya setiap menanti kekasihnya datang. la juga tak menutup-nutupi gairahnya yang meletup-letup saat menyambutnya. Nyonya Thrace merasa sikap Mei tak pantas diperlihatkan oleh anak gadis sebuah keluarga pegawai negeri. Tapi barangkali begitulah memang sifat putri sulungnya. “Toh, saya akan menikah dengannya dan ia ingin aku cintai,” begitulah ia selalu menjawab setiap kali diperingatkan oleh ibunya.
Sementara saat itu, sang adik, juni yang cerdas dan rupawan sedang berada di kota lain menuntut ilmu sebagai seorang calon guru. Memang, keputusan keluarga Thrace cukup bijaksana untuk membiarkan Mei tetap tinggal di rumah. Selain kurang pandai, ia pun bisa membantu sang ibu. Bahkan rupanya, dengan tinggal di rumah pun Mei cukup beruntung “menangkap” seorang calon suami yang tampan, kaya, dan sukses.
Dua bulan sebelum pernikahan Mei, sang adik pulang untuk liburan musim panas. Drama keluarga pun berawal dari sini. Betapa tidak? Kepulangan Juni ternyata mendatangkan “musibah”, sebagaimana selalu dikatakan Nyonya Thrace.
Memang, ini bukan salah siapa-siapa. Kalau mau mencari kambing hitam, ya barangkali Dewi Amor yang punya ulah. Begitu melihat Juni, rupanya Walter Symonds berubah pikiran. Kemolekan dan kecerdasan Juni segera saja merebut perhatiannya serta memadamkan api cintanya kepada Mei.
Kini setiap kali apel, yang dicari Walter bukan lagi si sulung, melainkan si bungsu. Tak terbayangkan betapa hancurnya hati Mei menghadapi kenyataan ini. Sementara kedua orang tuanya tidak bisa berbuat apa-apa.
Bersumpah tidak akan menikah
Hari-hari berikutnya berlalu bagaikan sinetron dramatis. Malam-malam, Mei sering berteriak dan hampir menghunjamkan pisau ke badan adiknya. “Kami turut prihatin, Mei. Tapi apa yang bisa kita perbuat? Kau tentu tak mau menikah dengan pria yang tidak lagi mencintaimu?” demikian hibur Nyonya Thrace pada si sulung.
“Tidak! Walter mencintaiku! Ini pasti guna-guna Juni! Karena kecantikannya! Semoga Juni meninggal dan Walter kembali mencintaiku!” teriak Mei histeris.
“Aku akan mendapatkannya! Aku tidak akan menikah dengan siapa pun! Juni, kau menghancurkan hidupku!” begitulah Mei selalu meratapi nasibnya. Kedua orang tua gadis ini hanya termangu dalam kegalauan. Sekali lagi, Thrace dan istrinya tidak bisa berbuat banyak.
Dengan tetap menjaga perasaan Mei, beberapa bulan kemudian Juni dan Walter memutuskan untuk menikah. Sebagai hadiah perkawinan, ayah Walter membelikan mereka rumah di Surrey. Sedangkan Mei tetap di rumah bersama ibunya. Dalam pada itu di Eropa meletus perang. Walter, masuk angkatan bersenjata dan berhasil menjadi kolonel. Sedangkan Mei masuk angkatan bersenjata di bagian penyediaan pangan selama lima tahun. Namun, seteIah itu ia kembali ke rumah orang tuanya lagi.
Hari demi hari berlalu, demikian pula bulan demi bulan sudah lewat. Mei tetap tak bisa memaafkan adiknya.
“Ia mencuri suamiku!” sesal Mei pada sang ibu.
“Begini, Nak. Saat itu Walter ‘kan belum menjadi suamimu! Selain itu kita diajarkan untuk memaafkan orang yang berbuat jahat kepada kita seperti kita mengharapkan orang lain berlaku demikian juga terhadap kita,” sang ibu mengingatkan.
“Ibu! Saya bukan seorang yang religius! Saya gadis biasa yang masih punya perasaan!” sungut Mei kesal.
Tak pelak, akibat ulah Dewi Amor yang sembarangan memainkan panah cintanya, hubungan kakak beradik antara Mei dan Juni berantakan. Mereka tidak mau lagi bertegur sapa seperti dulu. Apabila Walter dan Juni datang berkunjung ke rumah keluarga Thrace, Mei memilih keluar rumah. la tidak mau menemui mereka sama sekali. Namun, dengan indera keenamnya ia tampaknya mengetahui semua hal yang terjadi di rumah, kecuali satu hal.
Ayah dan ibunya amat berhati-hati jika berbicara tentang Juni di hadapan kakaknya. Di lain pihak, terdorong rasa penasaran Mei sering mencuri dengar segala cerita tentang Juni dari balik jendela rumah. Biarpun secara diam-diam, ia juga membaca surat Juni untuk ibunya. Jika nama Walter disebut di surat, tubuhnya serasa bergetar.
Mei tahu kalau Juni dan Walter pindah ke rumah yang lebih besar agar bisa menampung koleksi mebel dan lukisan. Ia juga tahu ke mana kedua pasangan itu pergi berlibur dan menjamu teman-temannya. Namun, yang tidak ia ketahui adalah bagaimanakah perasaan Walter terhadap Juni. Benar-benar cintakah Walter pada adiknya? Apakah ia kecewa pada pilihannya? Mei berharap, setelah lewat masa tergila-gila Walter pada Juni, ia akan kembali kepadanya. Namun, karena telah lama tak berjumpa dengan keduanya, ia ingin tahu perasaan Walter terhadap Juni.
Barangkali keingintahuannya itulah yang membuat Mei bertahan. Ia ingin membuktikan bahwa Walter menyesal atas pilihannya. Apalagi sampai saat itu pun tak terdengar suara tangis bayi meramaikan kehidupan mereka, padahal usia Juni sudah hampir empat puluh tahun.
Semua yang dicintainya meninggal
Mei yang tak punya keahlian lain akhirnya harus puas bekerja sebagai pengawas kantin di sebuah hostel wanita. Ia tetap tinggal bersama orang tuanya sampai keduanya meninggal dunia. Kepergian orang tuanya hanya berselang enam bulan. Sang ibu meninggal di bulan Maret, sementara ayahnya meninggal bulan Agustus.
Pada saat kremasi ibunya, kebetulan Mei sakit, sehingga tak bisa hadir di tempat kremasi. Sekaligus ia beruntung, bisa menghindari perjumpaannya dengan sang adik dan mantan kekasihnya. Namun, saat pemakaman sang ayah, mau tak mau mereka harus ketemu.
Ketika melihat Walter masuk ke gereja, tubuh Mei bergetar. la berpegang erat-erat pada bangku tempatnya duduk. Wajahnya ditutup dengan kedua telapak tangannya, seolah tengah khusuk berdoa. Waktu semua orang berlalu, Walter tahu-tahu telah duduk di sampingnya. Tangan Mei diraihnya sambil memandang matanya. Ketika kedua pasang mata itu bertemu, Mei merasa pandangan itu masih sama seperti dulu meskipun status mereka sekarang berbeda. Rasanya, Mei ingin mati saat memegang tangannya dan terus memandang wajah yang dulu amat dikenalnya. “Kau tidak mau berbicara dengan adikmu?” kata Walter dengan suara dalam, “Maukah kau melupakan masa lalu?”
Tubuh Mei terus bergetar. la pun menepis tangan Walter dan berlari ke belakang gereja. la menjauhkan diri, meskipun dari tempatnya ia tetap mengamati kedua orang itu.
Dari kejauhan Mei melihat, Junilah yang menggamit tangan kiri Walter dan bukan sebaliknya. Juni pula yang memandang wajah Walter dengan penuh cinta, sementara Walter tetap kaku dan dingin. Jelas terlihat adiknya menggelayutkan tubuh ke Walter, sementara sang pria diam-diam saja menerima semua itu. “Walter pasti berperilaku begitu bukan karena aku ada di sini! Tapi, ia pasti tidak suka pada Juni!” jerit hati Mei menyaksikan pemandangan yang menyakitkan itu.
Setelah peristiwa di gereja itu berlalu, Mei dikejutkan oleh kabar tentang meninggalnya Walter. Ia membaca iklan duka cita di surat kabar. Peristiwa meninggalnya Walter merupakan berita duka yang menderanya begitu dalam, melebihi saat ibunya memberi tahu keputusan Walter hendak menikahi Juni dulu.
Di lain pihak, hikmah dan peristiwa ini adalah terjadinya rekonsiliasi antara dirinya dengan sang adik, Juni. Sebagai tanda ikut berbelasungkawa, Mei mengirimkan buket bunga mawar berwarna putih yang harganya menguras habis gajinya selama setengah minggu bekerja. Ia pun memutuskan untuk menghadiri pemakamannya, tak peduli apakah Juni suka atau tidak.
Ternyata Juni sangat mengharapkan kedatangannya. Mungkin ia menyangka bunga mawar putih itu untuk dirinya, bukan untuk Walter. Juni langsung menyongsong Mei begitu sang kakak datang. Ia memeluk dan menangis di bahunya. Untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun, Mei mau berbicara dengan adiknya.
“Kini kau merasakan bagaimana nyerinya kehilangan dirinya,” kata Mei.
“Mei, Mei, jangan kejam padaku! Jangan musuhi aku lagi! Marilah kita bina kembali hubungan baik di antara kita. Aku sudah tak punya apa-apa! Aku juga tak lagi punya siapa-siapa!” kata Juni miris.
Mei duduk di samping adiknya saat pemakaman sang ipar. Setelah pemakaman usai, ia mengantar sang adik ke rumahnya. “Tak punya apa-apa” buat Juni pastilah bermakna emosional. Karena tempat tinggalnya begitu megah. Mei tak pernah membayangkan dirinya berada di rumah seperti itu. Ia bahkan tengah mempersiapkan masa pensiunnya yang sebulan lagi di sebuah flat berkamar satu.
Dua hari setelah itu surat Juni datang. “Mei sayang, jangan marah jika aku memanggilmu demikian. Karena kau tetaplah orang yang kusayangi meskipun aku bersalah menyakitimu dan kau pun membenciku. Aku tidak menyesal atas nasib yang telah terjadi karena aku bahagia. Namun aku turut sedih karena kau jadi menderita. Aku ingin memperbaiki kisah masa lalu kita. Seandainya kau tidak keberatan, sudilah kiranya kau tinggal bersamaku, berbagi kebahagiaan yang pernah hilang. Katakanlah ya sebagai ungkapan kau memaafkan aku. Adik yang selalu menyayangimu, Juni.”
Rasanya tawaran ini amat menarik. Cukup pantas bagi Mei menerima undangan ini sebagai imbalan atas “pencurian kekasih” yang telah dilakukan Juni. Meskipun demikian Mei baru memberikan jawaban seminggu sesudahnya.
“Dear Juni, saranmu sungguh ide yang bagus. Aku telah memikirkannya dan menerima ajakanmu untuk tinggal bersama. Kebetulan barang-barang yang kumiliki tidak banyak, sehingga kepindahanku tidaklah terlalu merepotkan. Jika kau merasa siap, katakan saja waktunya. Yours, Mei.” Yang jelas, di surat balasan ini Mei sama sekali tidak menyinggung-nyinggung pemberian maaf atas kesalahan yang telah dilakukan Juni di masa lalu.
Toh, dengan tinggalnya Mei di rumah Juni setidaknya sudah menunjukkan upaya Mei untuk mencoba memaafkan adiknya. Padahal dalam hati yang paling dalam sebenarnya Mei masih penasaran, ingin tahu bagaimana kehidupan perkawinan saudaranya yang telah merebut kebahagiaannya.
“Kau boleh bercerita tentang Walter jika kau mau,” kata Mei pada malam pertama kedua bersaudara yang berseteru itu duduk bersama. “Jika itu meringankan bebanmu, aku tak keberatan mendengarkannya.”
“Apa yang bisa kuceritakan selain kami telah menikah selama 20 tahun dan kini ia telah meninggal?” kata Juni dengan sedih.
“Kau bisa memperlihatkan barang-barang yang ia hadiahkan misalnya,” kata Mei sambil memegang sebuah hiasan dan matanya memandang beberapa lukisan yang tergantung di dinding, “Apakah ia memberimu ini sebagai hadiah?”
“Oh, itu bukan hadiah! Aku atau dia yang membelinya sendiri-sendiri,” jawab Juni.
Mei tampak semakin tertarik. “Pantas kau takut ada pencuri. Rumahmu seperti gua Aladin. Apakah kau menyimpan banyak perhiasan juga?”
“Tidak banyak,” jawab Juni mulai kurang senang dengan berbagai pertanyaan kakaknya yang bernada menyelidik.
Dengan ekor matanya Mei mencuri pandang ke jari manis Juni. Saat itu adiknya hanya mengenakan cincin pertunangan dari emas sembilan karat dengan hiasan berlian kecil-kecil. Cincin itu jelas lebih murah dari cincin pertunangan yang lebih dulu diberikan Walter kepada Mei. Padahal, kalau mau, Walter pasti dapat membelikan cincin perkawinan yang lebih mahal.
Tapi mengapa hal itu tidak dilakukannya?
“Seharusnya engkau memiliki cincin perkawinan yang abadi,” celetuk Mei.
“Tidak ada perkawinan yang abadi,” jawab Juni. “Sudahlah, kita tak usah membicarakan semua ini.”
Mei tidak mengerti mengapa adiknya tak mau membicarakan Walter. Meski begitu, ia melihat perubahan air mukanya setiap nama Walter disebut. Juni menyimpan foto-foto Walter yang ada di atas piano dan di dekat gantungan mantel. Mei jadi penasaran ingin tahu. Pernahkah Walter mengirim surat romantis kepada istrinya? Mereka memang jarang berpisah, tapi sungguh tak masuk akal apabila Juni tak pernah memperoleh surat selama mendampinginya.
Terjerat khayalan manis
Saat pertama kali Mei ditinggal sendirian di rumah sang adik, ia mencoba menyelidiki apa saja yang tersimpan di rumah ini. Ia mulai dengan membuka laci meja tulis. Laci itu dikunci. Sementara laci di kamar pakaian Juni yang tak terkunci hanya ditemukan dua kartu ucapan selamat ulang tahun yang isinya “biasa” saja. Sedangkan satu-satunya “surat” Walter untuk istrinya tertera di balik bon pembayaran yang terselip di antara buku masak, “Tukang roti tadi telepon. Aku telah memesan roti putih besar untuk hari Sabtu.”
Pada malam harinya, Mei kembali membaca dua buah surat yang pernah dikirim Walter untuknya. Sudah berpuluh tahun surat itu terabaikan. Namun pada malam ini ia membacanya kembali dengan penuh kepuasan!
“Mei sayang, ini adalah surat cinta pertama yang aku tulis. Jika tak bagus, buang saja. Anggap saja sebagai latihan. Aku rindu sekali padamu dan berharap seandainya aku tidak berlibur bersama orang tuaku saat ini ...” bunyi surat Walter yang pertama.
“Mei sayang, terima kasih untuk dua suratmu. Maaf aku lambat membalasmu, karena aku agak nervous jika isi surat tak berkenan di hatimu. Meskipun begitu aku merasa beruntung karena sebentar lagi kita tak akan berjauhan. Aku berharap kau kini berada di sisiku ..” tulis surat kedua Walter.
Mei merasa bahagia. Ternyata Walter menulis surat cinta hanya kepadanya dan bukan surat pesanan roti seperti yang ditulisnya untuk Juni. Di dalam kamarnya Mei berkhayal lagi.
la memakai kembali cincin pertunangan dulu. Tentu saja di jari kelingking, karena jari manisnya sudah membesar. Bagaimana kalau Juni melihatnya? “Ah, ia pasti, tak akan bertanya,” kata hati Mei.
Pada suatu siang, kedua kakak beradik ini terlibat pembicaraan serius. “Apakah kau atau Walter yang tidak menginginkan anak?” tanya Mei penuh rasa ingin tahu.
“Kami memang tidak dikaruniai anak,” jawab yang ditanya.
“Walter pasti mendambakannya! Ketika kami masih bertunangan, Walter ingin mempunyai tiga orang anak,” kata Mei lagi.
Juni tampak sedih, tapi Mei seakan tak bisa berhenti bicara tentang Walter sepanjang hari.
“Walter baru berusia 35 tahun. Terlalu muda untuk meninggal. Kau tak pernah bercerita penyebab kematiannya, Juni!” tanya Mei lagi.
“Kanker,” terdengar jawaban bernada pahit. “Dokter telah mengoperasinya, tapi setelah itu ia tak pernah sadar lagi.”
“Persis seperti Mama,” gumam Mei. Lalu pikirannya melayang. Seandainya yang meninggal Juni, ia pasti akan kembali padaku. Ia masih ingat pandangan Walter saat di pemakaman ayahnya. Ia pun memandang cincin pertunangan di jari kelingkingnya.
Sekarang ini Mei begitu bahagia. Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 20 tahun ia merasa bahagia. Sementara itu, Juni justru sebaliknya. Ia lebih sering menangis dan merasa lemah.
“Kau amat kuat Mei. Ternyata aku tak bisa menanggung kepergiannya,” kata Juni dengan derai air mata.
“Aku juga merasa kehilangan dia,” jawab Mei.
“Ia selalu mengagumimu, Mei. la turut prihatin saat melihatmu tak bahagia. Ia sering sekali membicarakan dirimu,” kata Juni lagi. “Maukah engkau memaafkan aku, Mei?”
“Ya, aku telah memaafkanmu,” kata Mei. Apalah artinya perkawinan jika sang suami selalu menyebut-nyebut nama perempuan lain. “Kau pasti sudah cukup menderita juga Juni.”
Kini Mei merasa puas. Ia pun rajin membersihkan rumah, merapikan segala hiasan. Kadang kala ia membayangkan Walter duduk atau berdiri di dekat jendela.
Maaf, saya terlalu panik
Benar. Akulah yang terkuat dan Juni si lemah. Kata-kata itu diingat Mei terus, terutama saat tengah malam ia terbangun. Malam itu di rumah Juni terjadi pencurian. Pada kira-kira pukul 22.00 terdengar suara langkah kaki berlarian dan suara pintu dibuka paksa. Merasa bahwa ada tamu tak diundang, Mei cepat-cepat memakai jubah penutup baju tidurnya. Pelan-pelan ia menuju kamar Juni untuk membangunkannya.
Melihat tempat tidur Juni kosong, Mei lari ke jendela. Dengan bantuan cahaya buIan, ia dapat melihat sebuah mobil kuning terparkir di jalanan. Cahaya kuning terlihat memancar keluar dari dalam ruang kerja di bawah. Rasa takut sempat menyergap batinnya, tetapi Mei berusaha menguatkan dirinya.
Belum lagi ia menuruni tangga, terdengar suara benturan benda keras menghantam dinding. Ada suara tangis dan langkah berlari seseorang. Mei sampai di pintu masuk ditutup dengan suara berdebam keras. Suara mobil distarter terdengar.
Tetesan darah membimbing Mei menuju ruang kerja. Terlihat Juni berdiri di depan meja kerja. Rupanya, si pencuri membuka laci meja dengan paksa. Isinya bertebaran. Juni tampak terhuyung-huyung, dengan air mata berderai dan teriakan histeris. Tangannya menunjuk ke botol-botol yang pecah di sekitarnya.
“Aku melempar botol-botol itu kepadanya, Mei! Aku berhasil melukainya!” kata Juni dengan napas terengah-engah.
“Kau baik-baik saja?” tanya Mei.
“Ia tidak menyentuhku! la mengarahkan senapan itu padaku ketika aku masuk ruangan ini. Aku tak peduli! Aku tak tahan melihat orang lain mengobrak-abrik barang-barang pribadiku! la tak membawa apa-apa kecuali beberapa hiasan perak! Aku berani ‘kan, Mei?” cerita Juni masih dengan napas tersengal-sengal.
Tapi kata-kata Juni tak didengar sang kakak. Mata Mei justru tertarik pada sebuah surat yang terbuka di atas segala tumpukan kertas yang dikeluarkan sang pencuri. Tampak di situ tulisan bulat-bulat, tulisan tangan Walter. Tentunya surat itu dibuat Walter saat-saat ia menderita sakit. “Kekasihku ]uni, Surat ini kubuat begitu kau meninggalkan rumah sakit. Tapi aku harus menulisnya untukmu. Aku tak dapat menahan diri untuk tidak menulis surat dan menyatakan betapa bahagianya aku bersamamu selama ini. Seandainya terjadi sesuatu yang buruk setelah operasi, aku ingin kau tahu bahwa kaulah satu-satunya wanita yang aku cintai ...”
“Mei, aku tak menyangka ia seberani ini. Senapan itu mungkin tak ada isinya. Pencuri itu masih remaja. Mei, tolong hubungi polisi.”
“Ya, Juni,” kata Mei. Tak ada yang tahu, sadar atau tidak, Mei pun mengambil senapan.
Inilah yang terjadi. Lima belas menit kemudian polisi tiba. Mereka membawa seorang dokter, tapi Juni sudah keburu meninggal. Tertembak senapan tepat di jantungnya dalam jarak dekat.
“Kami berjanji akan menangkapnya, Nona Mei! Jangan khawatir,” kata inspektur polisi. “Sayang Anda memegang senapan itu. Apakah Anda tidak menyadarinya?”
“Oh, saya begitu shock,” kata Mei, “Belum pernah saya begitu terpukul seperti saat ini!” (Ruth Rendell)
Baca Juga: Korban ke-13
" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553608893/lelaki-di-antara-mei-dan-juni" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670683853000) } } [7]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3606057" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(101) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/10/penghuni-terakhirjpg-20221210024620.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(144) "Saat merenovasi sebuah kamar, pekerja menemukan sejumlah perhiasan dan uang. Penemuan itu membawa pada kasus lain yakni penipuan dan pembunuhan." ["section"]=> object(stdClass)#140 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(101) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/10/penghuni-terakhirjpg-20221210024620.jpg" ["title"]=> string(17) "Penghuni Terakhir" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-10 14:46:26" ["content"]=> string(35149) "
Intisari Plus - Saat merenovasi sebuah kamar, pekerja menemukan sejumlah perhiasan dan uang. Penemuan itu membawa pada kasus lain yakni penipuan dan pembunuhan.
--------------------
Sebagai pekerja kasar, Fred Jury dan Johnny Tredgett selalu siap melakukan pekerjaan apa pun terutama yang lebih mengandalkan otot daripada otak. Mandor-mandor bangunan setempat tahu kalau mereka rajin dan tahan bekerja di tempat tinggi.
Pada pagi bulan April yang cerah itu kedua orang tersebut tampak bertengger di sisa sebuah dinding bangunan setinggi 20 m di atas trotoar. Mereka sedang meruntuhkan sebuah kamar di puncak semacam menara, di atas bangunan bekas kantor yang terletak di pertemuan Endless Street dan Barton Street.
“Hati-hati, jangan sampai pecah!” kata Fred. “Bagus buat di ruang tamuku tuh.” Johnny menyelipkan ujung beliungnya ke celah di antara dinding dan cermin. Sebongkah plester rontok tapi di baliknya ada dinding bata dan kaca itu menempel erat ke bata.
“Memasang kaca kok begini,” kata Johnny. Ia mencukil lagi dan plester berjatuhan, tetapi cerminnya tetap bergeming. “Kalau tidak bisa dicukil, kita hancurkan saja.”
“Boleh saja. Kalau mau ketiban sial selama tujuh tahun.”
“Ah, itu cuma takhayul,” jawab Johnny meski dalam hati ia gentar juga. Setelah dicukil-cukil, ketahuan cermin itu dipasang pada bingkai baja. Bingkainya ditempelkan pada bata dengan engsel seperti pintu lemari. Kemudian sepotong kayu yang sewarna dengan plester terlepas. Di bawahnya tampak lubang kunci pada bingkai baja. Saat mereka berhasil mengungkit bingkai itu, mandor muncul dari belakang mereka.
“Hayo, kerja yang bener! Mestinya ‘kan seluruh tembok itu sudah runtuh sekarang. Astaga! Apa itu?” Kata terakhir itu terlontar ketika si mandor melihat benda yang dikeluarkan Fred dari lubang berlapis bata di balik pintu cermin.
Segepok duit
Ketika Detektif Inspektur Kepala Patrick Petrella tiba di tempat kerjanya, kantor polisi Patton Street, sudah ada tiga orang tamu menunggu. Dua di antaranya pemuda berpakaian kerja yang kelihatan kasar tapi ceria. Seorang lagi lebih tua. Petrella menduga pria itu mandor. Di meja terdapat setumpuk dus!
“Mungkin Anda harus memeriksa isi dus-dus ini,” kata Sersan Gove. “Kedua pemuda itulah yang membawanya ke sini.”
Dus yang paling besar adalah sebuah kotak sepatu penuh dengan gepokan-gepokan uang pecahan £ 1 dan £ 5. Tiap gepok terikat erat. Fred dan Johnny memandang dengan tergiur.
“Jumlahnya bisa tiga sampai empat ribu,” kata Petrella setelah menghitung satu gepokan. Kotak-kotak lain berisi sejumlah kalung emas, cincin bermata intan dan mirah kecil-kecil, pelbagai arloji, pulpen dan bolpoin emas, pemantik api, pemotong cerutu. Semuanya kelihatan belum pernah dipakai. Juga ada kalung dari untaian mata uang emas yang rasanya tidak asing di mata Petrella.
Ia berkata-kepada si mandor, “Kami harus mencocokkan barang-barang ini dengan daftar barang curian. Rasanya kalung ini termasuk salah satu perhiasan yang diambil dari Toko Adamsons bulan lalu. Tindakan Anda membawanya ke sini tepat sekali. Kami akan memberi Anda tanda terima.”
Mandor itu berkata, “Kalau ada yang tidak diambil pemiliknya, harap Bapak ingat pada pemuda-pemuda yang menemukannya ini. Mereka sedang merobohkan dinding ruangan di puncak menara bangunan itu.”
“Lebih baik kita lihat bersama-sama,” kata Petrella.
Sebetulnya Petrella tidak takut ketinggian, tetapi di tempat ini tidak ada tempat berpegangan sehingga ia merasa gamang.
Akhirnya berhasil juga ia mengintip ke dalam lubang di atas perapian. Fred menunjukkan potongan kayu yang ditempelkan ke plester untuk menutupi lubang kunci. “Kalau punya kuncinya sih tinggal angkat saja kayu ini lalu masukkan kunci, putar dan daun pintu cermin ini akan terbuka.”
Pintu rahasia itu dibuat dengan rapi dan bingkai bajanya kelihatan baru. “Milik siapa kantor ini?” tanya Petrella.
“Rasanya ini kamar di menara. Lantai lima. Penghuninya Leo Hinn. Katanya dia agen perusahaan ekspor.”
Beberapa hari setelah menerima laporan itu Petrella berhasil menemui pengacara Leo Hinn yang bernama Tasker dari Oval. Menurut Tasker, Hinn bukan pelanggan tetapnya. Ia pernah meminta jasa Tasker kira-kira dua tahun yang lalu. Sepengetahuannya, Hinn mengaku berdagang kulit dan bulu.
Setelah mencari-cari, Tasker menemukan map tipis berisi dua helai kertas bertulisan tangan yang pendek saja. Kertas itu ditandatangani dengan semacam tulisan Hieroglif yang tampaknya terdiri atas aksara L dan H.
“Dia selalu menandatangani surat-suratnya seperti itu,” kata Tasker. “Setengah mati saya mencari tempat tinggalnya. Akhirnya ketemu juga. Dia menyewa sebuah kamar dari Ny. Tappin di Pardoe Street nomor 46.”
Menurut Tasker, Hinn memegang surat dari pemilik gedung yang menyatakan ia boleh memakai ruangan di menara itu dengan tarif tertentu. Tasker yang diminta mengarangkan surat itu. Waktu itu pemilik gedung masih keluarga Fullbright. Orang baik-baik. Ketika Charlie Fullbright meninggal tahun lalu, mereka menjualnya ke Lempard.
“Lempard mengincar gedung itu untuk dibongkar. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga. Rancangan gedung itu luar biasa buruknya. Banyak lorong-lorong dan menara-menara yang cuma menyita lahan. Ia berniat mendirikan bangunan baru yang memiliki lahan dua kali lipat dari yang lama, untuk disewakan.”
“Kalau ia ingin merobohkannya, berarti penyewa mesti dienyahkan terlebih dahulu,” kata Petrella.
“Betul,” jawab Tasker.
“Itulah yang dilakukannya. Ada tekniknya. Mula-mula penyewa lantai bawah ‘dibeli’ supaya keluar. Lalu tempat yang sudah kosong dibiarkan kumuh terlantar dengan harapan para penyewa lain jadi tidak betah. Memang, ada juga penyewa yang keluar. Hal ini jadi alasan untuk menutup jalan masuk utama. Penyewa yang tersisa disuruh lewat pintu samping saja. Kemudian lift direkayasa agar mogok. Janji untuk membetulkannya tinggal janji. Orang tua yang tinggal di lantai atas mana tahan turun naik tangga beberapa kali sehari. Tak lama kemudian semua tidak betah dan keluar.”
“Oh begitu,” kata Petrella. “Lempard itu culas tapi sulit dikatakan kriminal. Ternyata ia memang berhasil mengenyahkan semua penyewa.”
“Ia mengira demikian. Tetapi ia ternyata salah duga terhadap Pak Hinn yang bersikeras mempertahankan diri di puncak menara itu. Hinn memang mudah luput dari perhatian. Maklum, sosoknya mungil, paling-paling 1.5 m. Kurus, lagi. Sam Lempard melupakannya. Ketika perjanjian dengan pemborong sudah ditandatangani, uang sudah dipinjam, dan gedung akan dirobohkan, ada yang berkata, “Tunggu sebentar. Bagaimana dengan Hinn? Kita tidak bisa mulai bekerja kalau ia masih di sana. Wah, Lempard naik pitam. Ia memecat semua pengacaranya, Mellors dan Rapp. Katanya mereka teledor melupakan penyewa yang satu ini.”
“Ia mencoba menggertak Hinn, tapi tidak mempan. Lempard mencoba menawarkan uang, tidak digubris. Lantas ia meminjam tangan agen pemeriksa kelayakan gedung untuk memberitahu bahwa gedung tersebut sudah tak layak huni, harus dikosongkan. Waktu itulah Pak Hinn datang kepada saya. Saya menyarankan agar ia mengabaikan pemberitahuan itu. Pengadilan tidak bisa memaksanya untuk meninggalkan tempat itu. Hinn bukan cuma merobek pemberitahuan itu, tetapi juga mengirim pemberitahuan balasan kepada Sam Lempard, menuntut perpanjangan sewa yang dimungkinkan oleh undang-undang sewa-menyewa. Ha! Saya mengerjakannya dengan suka hati.”
“Kata Anda, Lempard memecat Mellors. Siapa yang menggantikannya?”
Tasker menyeringai. “Eric Duxford. Siapa lagi yang mau berbuat begitu? Pembongkaran ditunda tapi upah buruh tetap mesti dia bayar. Bunga pinjaman juga. Penundaan itu merugikan Lempard ± £ 1.000 seminggu. Paling cepat pengadilan akan bertindak tiga bulan kemudian dan bisa-bisa tuntutan Hinn untuk menperpanjang sewa dikabulkan.”
“Jadi apa yang dilakukan Lempard?”
“Satu-satunya yang bisa dia lakukan, memberi uang yang jumlahnya terlalu besar untuk ditolak.”
“Itu dugaan Anda. Anda tidak tahu apa tepatnya yang terjadi ‘kan?”
“Saya tidak tahu sebab saya tidak pernah bertemu Pak Hinn lagi. Kalau bertemu dengannya, tolong Anda sampaikan bahwa dia belum membayar tagihan dari saya.”
Gampang naik darah
Samuel Lempard menamakan dirinya konsultan properti. Ia memiliki sejumlah ruang perkantoran bagus di Kentledge Road yang menembus ke Kentledge Mews, tempat ia menaruh satu dari tiga mobilnya. Ini memungkinkannya untuk menghindar dari klien yang menjengkelkan atau mengancam.
Ia tidak terkejut didatangi Detektif Inspektur Kepala Petrella. Pasti kejadian pagi tadi sudah dibacanya dari surat kabar. “Aneh sekali. Apa pendapat Anda, Inspektur?”
“Terlalu dini untuk bisa menilai,” jawab Petrella. “Kami belum sempat mengecek barang-barang yang ditemukan itu. Sedikitnya ada satu yang tercantum dalam Daftar Barang Curian. Jika semua ternyata barang curian, kami harus menyimpulkan bahwa Pak Hinn tidak membatasi usahanya pada kulit dan bulu.”
“Tukang tadah tuh,” kata Lempard. “Saya sih tidak terlalu heran. Ia bajingan licin.”
“Dan susah dipindahkan,” kata Petrella. Wajah Lempard menjadi merah padam. Nadi di lehernya menggembung. Kata Petrella dalam hati, “Astaga, alangkah mudahnya orang ini naik pitam. Sekarang pun kalau ingat pada Hinn darahnya mendidih.” Kemarahan Lempard perlahan-lahan surut.
Ia bergumam, “Kenapa polisi mesti ikut campur urusan saya?” Ia masih marah.
“Bukan urusan Anda, urusan Pak Hinn.”
Sam Lempard berpikir, Petrella menduga ia akan meminta harta di balik kaca itu.
Akhirnya Lempard berkata, “Baik. Anda sudah mendengarkan bahwa ia memeras saya? Dikompori Geoff Tasker pasti. Akhirnya saya bayar dia £ 2.000. Kontan. Dia menandatangani juga dokumen yang diperlukan.”
“Untuk mengakhiri sewa-menyewa dan meninggalkan rumah itu.”
“Betul. Duxford yang membuatkan. Hinn datang ke sini malam itu juga untuk menandatanganinya.”
“Apa yang terjadi kemudian?”
Lempard kelihatan tercengang. “Mana saya tahu. Setelah itu ia keluar begitu saja.”
“Tapi bagaimana tepatnya? Dia mengeluarkan semua barangnya dan menyerahkan kunci?”
“Keesokan harinya, Duxford dan saya datang ke tempatnya. Aneh. Pintu ruangannya terkunci.”
“Lantas?”
“Kami dobrak. ‘Kan dia sudah dibayar. Kami boleh berbuat sesuka hati dong dengan tempat itu.”
“Perabotnya?”
“Yaah, cuma barang rongsokan. Kami jual. Buat apa membayar ongkos simpan?” Untuk sementara hanya itu saja informasi yang bisa diperoleh dari Lempard.
Di kantor, Sersan Ambrose berkata, “Kita sudah tahu asal barang-barang itu. Sebagian hasil pembongkaran dari tiga toko. Adamsons di Hingh Street, Alpha Jewellery Sales di Cut dan Hingstons.”
Petrella berpikir, lantas siapa pelaku pencurian benda-benda ini? Menurut laporan yang ada pada polisi, modus operandi pembongkaran mengarah pada Mick si Irlandia, tapi tidak cukup bukti untuk melakukan penahanan. la berkata, “Mick si Irlandia memang bengis, tetapi rasanya dia bukan jenis orang yang mau membunuh.”
“Jadi, menurut Anda, Hinn sudah tewas?” tanya Sersan Blenkowe yang sejak tadi menyimak pembicaraan.
“Kemungkinan besar begitu. Mula-mula dia diduga minggat. Tetapi tidak cocok dengan kenyataan yang kita temui. la menadah barang-barang Mick. Itu sudah jelas. Kalau ia merasa gerah dan ingin melarikan diri, barang-barang Mick bisa saja dia tinggalkan, tetapi uangnya pasti dia bawa.”
“Kecuali ia harus cepat-cepat angkat kaki sehingga tidak sempat mengambil uangnya.”
“Tidak mungkin,” kata Petrella. “Uang itu tidak dikubur di kedalaman 2 m di tengah belantara yang berbahaya. Ia tinggal membuka lemarinya yang berdaun pintu cermin dan memasukkan uangnya ke tas. Lebih baik kita pergi ke alamatnya yang terakhir yang kita ketahui. Ayo ikut, Sersan.”
Pardoe Street diapit rumah-rumah petak kumuh. Setelah diketok beberapa kali, pintu No. 46 dibuka oleh seorang wanita kurus, Ny. Tappin. Petrella memperkenalkan diri dan berkata, “Saya dengar Pak Hinn menyewa kamar di sini. Ia ada di rumah?”
“Sudah sebulan dia tidak pulang,” jawab Bu Tappin.
“Anda menyewakan kamarnya kepada orang lain?”
“Tidak. Dia sudah bayar di muka untuk tiga bulan.”
“Jadi selama sebulan kosong saja.”
“Paling-paling teman-temannya datang.”
“Temannya yang mana?”
“Yang tinggi besar. Dua pria tinggi besar.”
“Rasanya lebih baik kita melihat kamarnya.”
“Kalau begitu, silakan,” jawab wanita itu. Bu Tappin mendahului mereka mendaki tiga anak tangga dan mengeluarkan kunci untuk membuka pintu.
“Teman-temannya kelihatannya bukan orang yang rapi,” kata Petrella ketika mereka melongok ke dalam. Tempat itu kacau-balau, bekas diaduk-aduk.
“Wah, apa-apaan nih teman-temannya?” kata Bu Tappin. “Rupanya mereka mencari sesuatu.”
“Rasanya begitu,” kata Petrella. la mengeluarkan sebuah foto dari dompetnya. “Dia salah seorang dari mereka?”
“Mungkin saja,” jawab Bu Tappin. “Saya tidak begitu memperhatikannya.”
“la berbicara dengan aksen Irlandia?”
“Mungkin saja. Tapi saya tidak mau disumpah di pengadilan.”
“Wanita itu sepertinya mengenalinya,” kata Sersan Blenkowe saat mereka sudah kembali ke Patton Street. “Cuma dia tidak mau mengaku, takut pembalasan Mick.”
“Banyak yang mesti kamu lakukan untuk mengecek Hinn. Datangi semua bekas tempat kerjanya, teman-temannya, tempat ia biasa makan dan minum, dan petugas kesejahteraan sosial. Coba datangi Gereja Rusia Ortodoks di Little Baltic. Kata Tasker, keluarga Hinn berasal dari Lithuania atau sekitar itulah.”
Tamu tak terduga
Beberapa hari kemudian, tanpa diduga datanglah Mick si Irlandia ke kantor polisi Patton Street. Petrella pernah beberapa kali berurusan dengannya. Tubuh Mick tinggi besar. Meskipun demikian ia bisa masuk lewat celah yang kecil.
Sersan Roughead mengantarnya. Dia berkata, “Mick ingin bertemu Anda, Bos. Dia mengira kita menyimpan barang miliknya.”
“Kalau yang saya dengar betul, uang saya tuh yang Anda temukan di tempat Pak Hinn,” ujar Mick tanpa basa-basi.
“Betul kami menemukan uang di sana. Cukup banyak. Anda bilang uang Anda?”
“Dia menyimpankannya buat saya.”
“Dia menyimpankan barang-barang Anda yang lain juga?”
“Barang apa memang?” Mick menatap Petrella dengan mata biru Irlandianya yang cerdik.
“Satu dua barang kecil. Rupanya ada yang mengambilnya dari toko perhiasan tanpa membayar alias mencuri.”
“Dunia memang penuh dengan makhluk yang tidak jujur,” kata Mick. “Saya tidak punya sangkutan dengan hal-hal seperti itu. Saya cuma tertarik pada uangnya.”
“Anda mempunyai bukti bahwa Anda pemiliknya?”
“Bukti tertulis maksud Anda? Pak Hinn tidak bisa menulis, bahkan juga namanya sendiri. Semua orang juga tahu.”
“Kalau tidak ada bukti tertulis ...” kata Petrella. Mick membuat gerakan kepala yang samar saja, tetapi Petrella mengerti. la berkata, “Tugasmu sudah selesai, Sersan.” Dengan enggan Sersan Roughead pergi.
Waktu pintu sudah tertutup, Mick mencondongkan tubuhnya ke arah Petrella. Dengan berbisik ia berkata, “Anda mau mengeluarkan £ 500 dari uang itu?”
“Untuk membeli apa?” jawab Petrella sama perlahannya.
“Saya akan menjual si Polandia.”
Kata Superintendent Detektif Watterson, “Gila dia. £ 500 !” Perlu diketahui, si Polandia yang dimaksud adalah preman pentolan dan penjahat kambuhan yang sudah lama dicari-cari polisi. Watterson dan Petrella pun belum pernah melihatnya. Oleh karena itu wajar kalau pihak polisi berani “membeli” mahal informasi tentang bandit kakap ini. Ia warga Little Baltic. Seorang penjahat yang amat dibenci dan ditakuti. Pemilik toko dan restoran harus membayar uang perlindungan kalau tidak mau diganggu olehnya. Bila meminta perlindungan polisi, tahu-tahu beberapa bulan kemudian istri atau anak mereka dicederai. Si Polandia sendiri tidak pernah muncul. la cuma mengirim anak buahnya.
“Kalau Mick bisa menunjukkan dan memberi bukti kuat, tidak rugi untuk membayarnya,” kata Petrella.
“Tapi £ 500!”
Seperti diketahui, biasanya informan cuma dibayar £ 10 - 20. Paling banyak yang pernah dibayarnya cuma £ 25. “Tidak usah dikeluarkan dari dana polisi,” kata Petrella.
“Tapi lambat atau cepat pasti datang orang yang akan mengeklaim uang itu. Kita tidak bisa menghamburkannya seakan-akan uang itu milik kita.”
Ny. Hinn menuntut warisan
Betul saja, menjelang sore, datang seseorang yang mengakui isi lemari rahasia di puncak menara itu sebagai miliknya. Wanita itu pendek gemuk, memakai pakaian hitam ketat yang sudah ketinggalan zaman. la sudah membaca penemuan Fred Jury dan Johnny Tredgett. Sambil membeberkan surat-surat identitas diri, ia mengatakan bahwa dirinya adalah istri sah dan satu-satunya istri Leopold Hinn. Tampaknya cukup menjelaskan identitasnya.
Meskipun sudah berpisah dari Leopold beberapa tahun sebelumnya, mereka tidak pernah bercerai. Jadi, kalau Leopold meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat, semua harta bendanya jatuh ke tangannya.
Kata Petrella, “Ada dua kesulitan. Pertama, kami tidak tahu apakah ia sudah meninggal atau masih hidup. Kedua, kami tidak mempunyai kepastian apakah uang yang Anda sebutkan itu miliknya atau bukan.”
“Tentu saja miliknya,” kata Ny. Hinn. ‘Kan ditemukan di belakang cermin di kantornya. Kata koran begitu.”
“Betul. Tapi ia menyewa tempat itu kurang dari dua tahun. Bisa saja itu peninggalan penyewa sebelumnya.”
“Mustahil. Mana ada orang mau meninggalkan uang di situ kalau ia belum meninggal. Saya mau menghubungi pengacara. Ia akan memaksa Anda menyerahkan uang itu kepada saya.”
Keesokan paginya Samuel Lempard menelepon.
“Saya sudah berbicara dengan pengacara saya. Ia ada di sini bersama saya. Katanya, ketika Hinn menyerahkan hak sewanya, secara khusus ia juga menyerahkan seluruh isi kantornya. Karena itu dulu kami bisa menjual perabotnya.”
“Dokumen yang ditandatanganinya menyatakan hal itu secara khusus?”
“Hitam di atas putih. Sekarang ada di meja saya.”
“OK! Saya akan datang melihatnya,” kata Petrella.
la sudah siap berangkat ketika Sersan Blenkowe muncul menyerahkan kertas dekil dalam sampul dekil pula. Kata-kata di kertas itu ditulis dengan huruf besar cetak dan tintanya ungu. Bunyinya, “Mick menaruh barangnya di rumah ibunya di Gosport Lane. Letaknya di bawah batu bara di bedeng di ujung kebunnya.”
Sambil memegang kertas itu, Petrella mengambil sebuah map dari lemari berkas. Dalam map itu ada beberapa surat. Semuanya berupa kertas dekil, ditulis dengan huruf besar cetak dan tinta-ungu. Semuanya surat ancaman yang dibawa penerimanya ke Pattern Street.
“Dari si Polandia. Betul,” kata Sersan Blenkowe. “Jika dia ingin menjual Mick, tentunya dia tahu Mick pun ingin menjual dirinya. Dasar, maling berhadapan dengan maling.”
“Periksa dulu bedeng batu bara itu. Kamu perlu berbekal surat perintah penggeledahan. Kalau barangnya ketemu, seret si Mick.” Ia teringat pada kekekaran Mick. “Lebih baik kamu bawa sopir dan rekan lain.”
“Mick bukan masalah. Tapi kalau barang-barang itu ada di tanah ibunya, bukan di tanahnya, bagaimana kita bisa menahan si Mick?”
“Dia tidak akan membiarkan ibunya dituduh melakukan kejahatan. Dia menyayangi ibunya.”
Tak cocok dengan data
Di Kentledge Mews, mobil yang ditumpangi Petrella diparkir di belakang station wagon biru besar, di depan sebuah pintu yang menurut dugaan Petrella menuju ke kantor Lempard. Namun pintu itu terkunci. Petrella berjalan memutar ke depan gedung dan memakai lift ke lantai pertama. Di sini ia menemukan Lempard. Sementara itu pengacaranya, Eric Duxford, berselonjor di kursi dekat perapian listrik.
“Mau minum?” Lempard menawarkan.
“Jangan sekarang.”
“Tunjukkan suratnya, Duxford.”
Eric Duxford menegakkan tubuhnya. Wajahnya yang putih panjang itu kelihatan lebih panjang lagi karena janggutnya yang lancip. la tersenyum tipis kepada Petrella. Sudah dua puluh tahun ini ia merupakan duri dalam daging polisi London Selatan.
“Saya rasa kata-katanya sudah cukup jelas,” katanya. “Di atas halaman dua.”
Petrella membawa dokumen itu ke dekat jendela dan membacanya perlahan-lahan. Ia terutama tertarik pada halaman tiga yang beberapa sentimeter lebih pendek dari dua halaman sebelumnya. la mengabaikan uluran tangan Duxford saat berjalan mendekati Lempard sambil menunjukkan halaman terakhir.
“Anda bilang Pak Hinn menandatangani ini di kantor Anda pada suatu malam.”
“Betul.”
“Anda menyaksikan sendiri dia menuliskan namanya dan menandatanganinya.”
“Betul”
“kenapa kenyataannya tidak begitu?”
Sejenak suasana hening. Kata Duxford, “Saya tidak mengerti yang Anda maksudkan Inspektur.”
Petrella berbalik dan berkata dengan garang, “Saya sarankan Anda jangan ikut campur.” Lalu ia berbalik lagi kepada Lempard.
“Saya sarankan Anda berhati-hati menjawab. Apakah Pak Hinn menandatangani dokumen ini di hadapan Anda?”
Lempard tampak sesak. Akhirnya ia berkata dengan susah-payah, “Tentu saja ia menandatanganinya. ‘Kan sudah saya bilang.”
Petrella menunjuk ke huruf-huruf yang acak-acakan “L. Hinn”, yang ditulis seperti oleh orang yang tidak terpelajar. Ia berkata, “Saya kira Anda anggap begitulah cara Pak Hinn menulis namanya.”
“Bagaimana sih Inspektur,” kata Eric Duxford. “Anda memancing-mancing apa nih? Semua orang tahu, dia buta huruf.”
“Yang diketahui tentang dia,” kata Petrella, “Hinn selalu menandatangani dokumen dengan inisial yang dibuat seperti gambar, suatu praktik yang umum di beberapa negara. Kalau ia benar-benar mesti menuliskan namanya, pada dokumen resmi umpamanya, ia mampu melakukannya dengan baik.”
Sambil berbicara, ia meletakkan di meja pengacara itu surat-surat dari Bu Hinn: formulir permintaan naturalisasi ke departemen luar negeri yang ditulis dua tahun yang lalu, paspor berumur sepuluh tahun atas nama Hinn bersama istrinya, dan surat kawin. Duxford memelototi surat-surat itu. Wajahnya hampir sama pucatnya dengan wajah kliennya.
“Coba Anda lihat,” kata Petrella, “ia bukan hanya menulis namanya dengan tulisan yang khas tetapi juga sangat bisa dibaca. Ia juga mengejanya dengan cara Norwegia, Hynn.”
Kedua orang itu memandang Petrella tanpa bisa berkata apa-apa.
Kata Petrella, “Saya harus memperingatkan bahwa Anda bisa didakwa melakukan kejahatan yang serius, pemalsuan. Pak Duxford akan memberitahu Anda perihal hak-hak Anda.”
Bibir Lempard bergerak-gerak, tetapi suaranya tidak bisa keluar.
Dua titik mencurigakan
“Apa yang mula-mula membuat kamu menduga Hinn dibunuh?” tanya Watterson.
“Sederhana saja,” kata Petrella. “Ketika saya memberitahu dia bahwa dia bisa didakwa melakukan pemalsuan, ia kelihatan lega.”
“Bagaimana juri mau menerima alasanmu Itu?”
“Kenapa dia memotong bagian bawah kertas itu? Pasti karena ada noda darahnya.”
“Kalau dia memotongnya. Kalau tidak?”
“Lihat dua bercak kecil ini, dekat tanda tangan. Nih. Yang satu kelihatan seperti titik. Tapi kalau bagian belakangnya dihadapkan ke cahaya, kelihatan kemerah-merahan.” Watterson mengangkat kertas itu ke arah lampu. “Kalau memang titik-titik darah itu ada, laboratorium akan bisa cepat mengenalinya. Tapi bisa saja ‘kan darah itu berasal dari jari yang luka atau hidung mimisan. Tidak menunjuk ke pembunuhan.”
“Saya duga Lempard sudah menyiapkan dokumennya, tetapi malam itu Hinn meminta uang lebih banyak lagi. Lempard bertubuh tinggi besar dan penaik darah. Mungkin saja ia memukul Hinn, tetapi terlalu keras sehingga yang dia dapat justru sesosok mayat dan dokumen yang belum ditandatangani.”
Watterton menanggapi dengan sinis. “Karena kamu bisa melihat ke bola kristal ahli nujum, mungkin kamu bisa memberitahu, diapakan mayat itu?”
“Kalau bagian pertama betul, bagian berikutnya pasti begini: dia gendong mayat itu melewati tangga pribadinya, lalu dia masukkan ke station wagon-nya. Malam hari ‘kan daerah itu gelap dan sepi. Lalu diceburkannya ke kali, dibuang ke hutan Epping, atau dikubur di kebunnya.”
“Ceritamu terlalu banyak ‘kalau’ dan dugaan, tetapi sedikit bukti kuatnya. Mana mau direktur mengeluarkan tuduhan membunuh hanya dengan dukungan dua titik darah.”
Petrella diam saja. Akhirnya Watterton mendengus dan berkata, “Baik. Kalau laboratorium bilang dua titik itu darah manusia, kita mungkin bisa minta Haxtell untuk mengawasi Lempard.”
Sebulan kemudian, ketika dakwaan melakukan pemalsuan oleh Lempard sedang diproses dengan mengemukakan laporan-laporan dari ahli tulisan tangan, pernyataan Bu Hinn, dan Iain-lain, Lempard mengendarai mobilnya ke Bandara Heathrow di malam yang hujan. la tidak sadar sebuah mobil membuntutinya. la juga tidak tahu, di bandara pun sejumlah petugas sudah siap beraksi “melumpuhkannya”.
Di Heathrow, dalam lapisan kopernya ditemukan uang Swiss senilai £ 10.000. Sementara itu dalam kantong alat riasnya ditemukan intan-intan bernilai tinggi yang ditancapkan ke dalam dua potong sabun. Ia tidak bisa memberi alasan yang meyakinkan perihal benda-benda itu.
Kini dengan mudah polisi bisa mengeluarkan perintah penggeledahan. Semua kedoknya terbongkar sudah. Mayat Pak Hinn yang malang ditemukan kira-kira 120 cm di bawah tanah, di ujung taman yang terawat rapi di rumah Lempard. Di atasnya tumbuh tanaman-tanaman mawar. Lempard lantas didakwa melakukan pembunuhan.
Pengadilan akhirnya mengabulkan klaim yang diajukan oleh Bu Hinn pada uang yang ditemukan di belakang cermin. Setelah ditekan kiri-kanan, dengan berat hati ia mau juga menyerahkan 10% uang itu kepada penemu-penemunya, Fred Jury dan Johnny Tredgett. (Michael Gilbert)
Baca Juga: Lupa Buang Sampah
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553606057/penghuni-terakhir" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670683586000) } } [8]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3567420" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/korban-ke-13_-pixabayjpg-20221111042027.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(126) "Seorang sekretaris menemukan surat berantai untuk bosnya. Surat itu memerintahkan bosnya mengirim 13 pucuk surat dalam 5 hari." ["section"]=> object(stdClass)#144 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/korban-ke-13_-pixabayjpg-20221111042027.jpg" ["title"]=> string(12) "Korban ke-13" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 16:20:42" ["content"]=> string(24272) "
Intisari Plus - Adelia, seorang sekretaris menemukan surat berantai untuk bossnya. Surat itu memerintahkan bossnya mengirim 13 pucuk surat dalam 5 hari. Apa yang harus dilakukannya?
-------------------
Sret, sret, ... pluk! Jari-jari Adelia Quirk bergerak gesit menyortir surat-surat yang datang pagi itu. Dengan cepat terbentuk dua tumpukan. Satu berada di tengah meja Harry Fendley terdiri atas tagihan dan pemberitahuan lelang. Tumpukan lain berada di dasar tempat sampah, berupa beberapa selebaran serta undangan ke acara jamuan makan malam yang diadakan seorang anggota Kongres, yang fotonya tergantung di dinding sedang memeluk bahu Harry Fendley.
Biar saja Harry kecewa berat karena merasa tidak diundang, pikir Bu Quirk puas. Tangan wanita kurus dengan rambut keriting tipis berwarna kelabu itu lalu mendorong kacamata bacanya yang melorot. Dahinya berkerut ketika melihat surat terakhir. Alamatnya diketik rapi tetapi tidak ada nama pengirimnya. Surat semacam itu sudah sering dilihatnya selama 30 tahun menjadi sekretaris di Sekolah Menengah Umum Endicott, sebelum ia pensiun musim semi lalu.
Dengan sebal diremasnya surat itu lalu dilemparkannya ke tempat sampah.
Tiga belas nama
“Bu Quirk!” Teriakan Fendley membuat Quirk bak kena setrum. Jantungnya serasa berhenti beberapa detik. “Bu Quirk, tolong jangan buang surat-surat dari pemilih. Siapa tahu warga negara baik itu sedang menghadapi masalah.” Harry Fendley, ketua Dewan Pengawas Daerah dan tokoh politik setempat, menggali keranjang sampah dengan terengah-engah karena perutnya yang sebesar gentong itu tertekan.
la menarik napas lega ketika menemukan surat yang baru saja diremas Quirk.
“Bu Quirk,” kata Fendley. “Anda ‘kan sekretaris yang baik. Jangan pernah membuang surat sebelum saya membacanya, tidak peduli dari orang sinting sekalipun.” Fendley menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan sedang memberi tahu anak idiot. Wajahnya memperlihatkan keprihatinan sementara alis matanya bertemu di atas hidung, seperti dua ulat sedang berciuman.
“Anda kelihatan pucat. Anda tidak apa-apa ‘kan? Bekerja untuk membayar utang-utang George mungkin terlalu berat buat Anda. Memang bukan salah Anda George jadi penjudi. Saya sudah sering memperingatkan, tapi dia tidak mau mendengarkan. Sayang, asuransi jiwanya tidak bisa menutup semua utang kalian. Kalian berdua kurang melihat masa depan sih,” imbuh Fendley setengah mengejek.
“Saya betul-betul prihatin, Bu Quirk. Kenapa Anda begitu keras kepala? Tiga setengah hektar tanah terlalu berat untuk diurus seorang janda seperti Anda. Saya bukan ingin menakut-nakuti tetapi sebaiknya jangan sendirian di sana. Kenapa tidak Anda serahkan saja rumah dan tanah itu kepada saya? Sebagai gantinya, saya akan menyerahkan surat-surat utang George kepada Anda.”
Diolok-olok dan diintimidasi seperti itu, Bu Quirk cuma bisa menyumpah dalam hati. Fendley sendiri kemudian mengalihkan perhatiannya pada surat yang baru saja diselamatkannya dari tempat sampah. Matanya bergerak mengikuti beberapa baris lalu memandang Bu Quirk dengan senyum senang.
“Bu Quirk, Anda tahu apa yang Anda buang?” Fendley lalu membacakan isi surat itu: “Jangan anggap enteng. Surat ini dapat membawa keberuntungan besar atau sebaliknya, musibah besar bagi Anda. Kirim salinannya sebanyak 13 pucuk dalam waktu lima hari ....”
“Tapi itu ‘kan surat berantai, Fendley,” potong Bu Quirk.
“Buatkan 13 salinannya, Bu Adelia! Kita harus berbagi keberuntungan dengan teman-teman kita,” tegas Fendley menyorongkan kertas itu ke sekretarisnya. “Kirim satu pada Robert Barnes.”
“Lawan Anda pada pemilihan yang lalu?”
“Betul. Kirim juga pada James Hollingshead, walikota kita. Pastikan juga jatah Leroy Jacobs dan istrinya, Evelyn ....”
Bu Quirk mencatat nama-nama lawan politik, musuh-musuh pribadi serta bekas sekretaris bosnya itu. Fendley betul-betul menjijikkan.
Rayuan pedagang mobil
Bu Quirk sendiri tak punya banyak teman karena ia tak banyak menyukai orang. Begitu pun sebaliknya. Hanya para tetangganya yang kadang-kadang memberi perhatian. Suami-istri Anderson, tetangga Bu Quirk yang memiliki 1,24 ha tanah berhutan di antara tanahnya dan Red Mound National Forest misalnya, selalu memperlakukan Quirks seakan-akan dia bibi mereka yang eksentrik.
Tetangganya yang lain, keluarga Efferson, tinggal di lahan yang ditumbuhi pohon pinus seluas 2 ha dan sering kebanjiran. Mereka selalu memberinya selai buatan sendiri yang tidak jelas selai apa, keju kambing, ketimun yang diolah entah bagaimana caranya lalu mereka beri nama “acar”. Mereka sulit ditolak kedatangannya, sesulit menjauhkan anak-anak anjing yang selalu melibat di sekitar kaki.
Tanah keluarga Efferson berbatasan dengan Sungai Chicasaw yang memisahkan tanah mereka dari hutan nasional. Di seberang tanah keluarga Anderson terdapat Sungai Wooten. Lalu di sebelahnya ada tanah luas tak berpenghuni yang berseberangan dengan jalan bebas hambatan. Di belakang tanah milik Bu Quirk dan tetangga-tetangganya terdapat hutan sepanjang beberapa kilometer, milik Acme Paper, Inc. yang dikenal sebagai tukang caplok tanah.
Dari tiga bidang tanah yang dimiliki perorangan itu, tanah Bu Quirk paling bagus. Letaknya tinggi di atas punggung bukit yang indah, tidak pernah kebanjiran dan berpemandangan indah. Bu Quirk merasa Fendley mempunyai rencana atas tanah dan rumahnya. la tahu, pedagang mobil bekas yang pandai merayu itu menawarkan pekerjaan sekretaris bukan agar ia dapat membayar utang George. Tapi untuk membujuknya agar mau melepas tanah warisan sebagai penebus utang.
Bu Quirk pernah melihat wakil dari Brooks Brothers datang ke kantor Fendley membawa tabung-tabung cetak biru, yang isinya mungkin saja peta survei tanah. la mencoba mendapat informasi dengan menempelkan telinganya ke pintu ruang kerja Fendley. Namun, yang kedengaran cuma suara kresek ... kresek. Fendley pasti sudah mengantisipasi ulah sekretaris usilnya dengan memasang peredam suara.
Fendley di mata Bu Quirk tak beda dengan ular. Bayangkan, seusai pemakaman ia baru tahu kalau selama bebeberapa minggu terakhir setiap Rabu malam George bukannya pergi ke persekutuan doa seperti yang dikatakannya melainkan berjudi. Itu sebabnya, Fendley bisa memegang surat-surat utang yang ditandatangani George di hadapan sejumlah saksi. Fendley sendiri tidak secara langsung terlibat dalam permainan judi itu.
Bu Quirk tahu, menurut hukum ia wajib membayar utang George. Tapi ia juga tahu, secara hukum Fendley tidak bisa mengambil rumahnya begitu saja. Dalam hati, Bu Quirk berjanji akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan, agar tanah warisan George tidak jatuh ke tangan orang busuk seperti Harry Fendley.
Ketinggalan berita
Adelia Quirk memandang langit yang menaungi kota berpenduduk 25.000 jiwa itu dari depan pintu kantornya. Sejak cuaca memburuk beberapa hari lalu dan musim gugur hendak beranjak ke musim dingin, si bos makin giat menyuruhnya membeli koran ke seberang kantor. Padahal, suhu dingin bisa memperparah penyakit artritisnya. Walaupun sudah mengenakan mantel wol tebal, toh angin tetap saja menyusup.
Saat itulah Quirk menyaksikan tabrakan hebat antara sebuah minivan cokelat dan sedan Lincoln, tak jauh dari lampu merah. Lincoln yang dikemudikan James Hollingshead, walikota Endicott, saat itu sedang ngebut. Sebagai walikota, sudah bertahun-tahun Hollingshead mengabaikan peraturan lalu-lintas tanpa pernah dihukum. Namun, kali ini ia tidak bisa menghindar dari hukum alam. Bersama Robert Barnes, si pengemudi minivan, ia meninggal dunia di tempat.
Sampai malam, peristiwa itu masih terbayang di benak Bu Quirk. Kedua korban kecelakaan dikenalnya dengan baik, walaupun ia menganggap mereka bukan manusia baik. Polisi sendiri bilang kecelakaan itu mungkin disebabkan rem minivan itu blong.
Kriiing!!! Tiba-tiba telepon berdering. Dengan sebal Bu Quirk mengangkat benda yang membuyarkan lamunannya itu.
“Halo, Virginia,” katanya tanpa semangat setelah tahu yang menelepon ternyata iparnya. “Kamu pasti mau membicarakan kecelakaan itu,” sambung Quirk.
“Kecelakaan apa? Oh, maksudmu yang menimpa suami-istri Jacobs, ya? Itu sih bukan kecelakaan. Leroy memang sengaja menembaknya!”
Tulalit. Namun Quirk lega berarti ia tak harus bercerita tentang tabrakan mobil yang menimpa walikota.
“Menembak siapa?”
“Evelyn. Dia menembak Evelyn dan salesman asuransi yang tidur dengan istrinya itu. Rupanya setiap kali Leroy pergi bekerja, orang asuransi itu datang. Tadi pagi, Leroy tiba-tiba kembali.”
“Jangan ceritakan apa yang dikatakan Leroy saat ia ditahan ....”
“Leroy tidak menunggu polisi datang,” Virginia memotong. Lalu dengan suara berubah lunak ia berkata, “Ia menembak dirinya sendiri.”
Bu Quirk mendengarkan cerita Virginia sambil memandang jauh ke langit-langit. Mengapa begitu banyak orang mati hari ini?
“Dan Johnny Hovatter, dalam keadaan mabuk, terjatuh dari salah satu kudanya. Lehernya patah,” lanjut iparnya.
“Hah? Kapan?”
“Aduuuh, Adelia. Kamu betul-betul tidak menaruh perhatian pada sekelilingmu. ‘Kan ada di koran pagi ini.”
Quirk ingat, koran pagi Fendley basah tak bisa dibaca setelah dipakai melindungi kepala dari hujan. Sedangkan korannya, Clarion Herald, mendarat di kubangan air di halaman rumahnya karena si loper salah lempar.
“Oh ya, maksudku menelepon kamu sebenarnya ingin menanyakan kapan keluarga Efferson akan pindah?”
“Keluarga Efferson? Mereka tidak mau menjual tanahnya, kok. Anak Frieda Wilson yang bekerja di pengadilan, waktu bertemu di kapsalon bilang, ada cacat hukum dalam jual-beli tanah itu 60 tahun lalu. Keluarga Efferson kemudian menawarkan sedikit uang dengan imbalan persoalan diselesaikan ....”
Penasaran, setelah selesai berbicara dengan Virginia, Quirk menelepon keluarga Efferson. Mereka membenarkan, petani tua bekas pemilik tanah mereka, 60 tahun lalu menjual tanahnya pada sebuah perusahaan penebangan kayu. Namun karena kesulitan uang, pembayaran terhenti setengah jalan. Petani itu lalu mengambil kembali tanahnya tanpa melunaskan hak kepemilikannya di pengadilan. Belakangan, perusahaan penebangan kayu itu hidup lagi, berganti nama menjadi Acme Paper.
“Kapan kamu tahu ada yang tidak beres?” tanya Quirk.
“Saya mulai curiga beberapa bulan lalu, waktu sekelompok petugas survei dari perusahaan kayu mengukur melewati pagar belakang,” cerita Gary Efferson. “Mandornya menunjukkan gambar yang membuat perut saya mual ....”
Bu Quirk meletakkan telepon dengan marah.
Kena setrum
Keesokan harinya, perasaan Bu Quirk makin tak keruan. Ia merasa seperti sedang naik pesawat yang tiba-tiba oleng, ketika tukang pos memberi tahu jika anggota dewan kotapraja yang bertugas menyusun perundang-undangan tewas kena setrum saat membetulkan antena TV tadi pagi. Seorang pengendara mobil yang kebetulan lewat bermaksud menolongnya. Namun, si pengendara malah ikut kena setrum sekaligus gagal menyelamatkan nyawa sang anggota dewan.
Bu Quirk sadar, korban-korban meninggal dalam beberapa hari terakhir adalah orang-orang yang terdapat dalam daftar surat berantai Fendley. Mungkinkah hal ini terjadi secara kebetulan? Mengirimkan surat berantai kepada seseorang mestinya tidak akan membuat si penerima meninggal. Tapi kalau bukan lantaran surat berantai, mengapa orang-orang itu meninggal? Tiba-tiba Quirk teringat pada penjualan mobil Fendley yang belakangan meningkat pesat.
Sulit dipercaya, Fendley tiba-tiba menjadi orang paling mujur di tengah berbagai kemalangan yang menimpa orang lain. Apakah nasib sial memang bisa berpindah ke orang-orang yang dikirimi surat berantai oleh Fendley?
“Fendley, kita punya masalah besar,” bilang Quirk, yang tiba-tiba saja menyerobot masuk kamar kerja bosnya. Fendley melotot dan menaruh telepon buru-buru, tanpa mengucapkan salam kepada lawan bicaranya.
“Fendley, saya tidak tahu bagaimana mengatakannya. Banyak orang meninggal.”
“Bu Quirk, setiap hari selalu ada orang meninggal.”
“Maksud saya, orang-orang yang Anda kirimi surat berantai. Tujuh, Fendley, tujuh orang meninggal.”
“Ah, itu ‘kan cuma kebetulan,” sebut Fendley dengan mata berbinar-binar.
“Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi cobalah bertindak!”
Alis mata Fendley merayap naik. “Bertindak apa?” tanyanya. “Bu Quirk, Anda sakit? Saya sudah berbicara dengan adik Anda beberapa waktu lalu dan dia juga khawatir.”
Dengan mata sama sekali tidak memperlihatkan kepikunan, Bu Quirk menatap tajam. Beberapa menit setelah percakapan tadi, Bu Quirk meninggalkan kantor sambil membawa sebuah kotak berisi barang-barang pribadinya. Tangannya yang lain menenteng pot berisi tanaman geranium. Dalam perjalanan keluar ia berpapasan dengan seorang wanita seksi berambut pirang. “Anda tahu ada lowongan sekretaris di sini?” tanya si wanita. Alih-alih menjawab, Quirk malah menjatuhkan pot geranium ke kaki si wanita. Gabrukk!
Dalam 24 jam berikutnya, Bu Quirk berada di ruang duduk rumahnya sambil minum bercangkir-cangkir teh. Tiba-tiba saja Coleen Anderson meneleponnya. Katanya, sudah sebulan ini ia sering menerima telepon gelap yang kian menakutkan. Malam hari sering kelihatan orang gentayangan di luar rumah. Malam kemarin, tiga anjingnya tewas disembelih di halaman, entah oleh siapa. Coleen mengakhiri ceritanya dengan menangis terisak-isak.
Bu Quirk sadar, keserakahan Harry Fendley-lah biang keladi semua malapetaka ini. Tapi bagaimana cara menghentikannya?
Tinggal dua nyawa
Esok paginya, Bu Quirk mendengar kabar, restoran Emilio terbakar. Restoran itu tempat makan favorit di Endicott. Saat api berkecamuk, di dalam sedang banyak orang makan. Api meminta tujuh korban. Ketika penyiar teve menyebutkan nama-nama korban, Bu Quirk mengambil daftar penerima surat berantai yang dikirimkannya atas perintah Fendley. la mendapati empat dari tujuh korban tercatat dalam daftar.
Kini total korban, entah akibat surat berantai atau ulah Fendley sendiri, mencapai sebelas orang. Tinggal dua nama dalam daftar yang masih hidup. Yakni John McLean, sesama pedagang mobil, dan bekas sekretaris Fendley. Dengan tergesa-gesa Bu Quirk menyambar tas dan mantelnya, lalu pergi ke Hartley dan McLean Auto Sales yang terletak di tempat strategis, dekat jalan bebas hambatan. Bu Quirk menemukan McLean sedang melempari poster kampanye Fendley dengan baut di ruang kerjanya.
“Bu Quirk! Saya kira Anda sudah meninggal!”
“Dan kamu masih tetap berandal kecil yang seminggu sekali dikirim ke kepala sekolah untuk disabet,” balas Bu Quirk cepat.
“Anda lebih menakutkan daripada kepala sekolah,” McLean tertawa. “Ada perlu apa?” sambungnya.
“Kamu akan mati kecuali kamu segera bertindak.”
McLean duduk membisu ketika Bu Quirk menceritakan apa yang terjadi. Air mukanya berubah dari terkejut menjadi tidak percaya. Bu Quirk tahu, ia cuma menyia-nyiakan waktu.
“Ya, saya ingat menerima surat semacam itu. Sekretaris saya membuangnya. Jadi, apa yang harus saya lakukan? Mengirim 13 surat lagi?” tanyanya.
Dada Bu Quirk sesak. Mengapa jawaban itu tidak terpikir olehnya? Bagaimana kalau 13 orang itu mengirimkannya kepada 13 orang lain, begitu seterusnya. Apakah semuanya akan mati tiba-tiba juga?
McLean tergelak-gelak. “Beri tahu Fendley, saya tidak tahu lelucon apa yang dirancangnya, tetapi dia memilih orang yang tepat untuk memerankannya. Quirk, Anda patut mendapat Oscar.”
Tanpa basa-basi lagi, Quirk meninggalkan ruangan. Dia tak ingin menyaksikan gaya McLean tertawa. Tapi ia bisa mendengar dengan sangat jelas suara keras yang timbul saat tengkorak McLean menghajar sudut lemari file. Seorang salesman yang sedang lewat di depan pintu berteriak. Quirk langsung kabur tanpa menengok.
Berbalik sasaran
Fendley menahan senyum ketika bertemu dengan Bu Quirk lagi di kantornya. “Dua belas tewas, Fendley. Apa yang sebenarnya telah Anda lakukan?” Rasanya ingin ia menampar Fendley.
“Yang saya lakukan?” Fendley membuka pintu sebuah lemari. Di dalamnya tertempel sehelai poster yang ditulisi huruf besar-besar, nama 13 orang yang dikirimi surat berantai. Dipandanginya “karyanya” itu dengan puas. “Cuma ini, Quirk. Saya juga ingin tahu kenapa begitu manjur ....”
Bu Quirk melihat nama terakhir yang belum dicoret: Becky Ward.
“Bagaimana dengan Becky?” Fendley mengangkat bahu.
“Terkutuk. Anda bertanggung jawab atas semua ini.”
Senyum Fendley berubah kejam dan mata sipitnya bertambah sipit berpayung alis tebal. “Becky kurang menghormati saya ketika ia bekerja di sini,” ucapnya sembari mendelik dengan sikap mengancam. Quirk merasa kepalanya melayang. Untunglah telepon berdering sehingga perhatiannya mengarah pada gagang telepon.
“Bilang pada anggota Kongres itu, aku akan meneleponnya beberapa menit lagi,” jawab Fendley kepada seseorang di seberang sana.
“Beri tahu Haroldson perihal kemajuan yang sudah Anda peroleh untuk mendapat tanah-tanah kami,” pancing Quirk.
“Kok Anda tahu?”
“Teman saya Gary Efferson pelahap berita finansial. Ia membaca bahwa istri Haroldson mendapat posisi menentukan di Acme Paper. Istri Haroldson juga yang mengepalai perusahaan pembangunan perumahan, perusahaan yang dipimpin suaminya sebelum terpilih menjadi anggota Kongres. Tanah keluarga Anderson, Efferson, dan saya, jadi penghalang untuk membangun jalan bebas hambatan. Kalau Anda memperoleh tanah kami, jarak dari Acme Land ke kota besar cuma 45 menit, harga tanah Acme Land pun akan melonjak.”
Merasa mendapat angin, Quirk melanjutkan, “Anggota Kongres itu membayar Anda cukup besar untuk membeli tanah dan menjualnya langsung ke Acme, tetapi Anda serakah. Anda ingin mendapat tanah kami tanpa keluar banyak uang, kalau perlu gratis.”
“Hampir betul,” jawab Fendley. “Sebenarnya, ini saran Haroldson. George suami Anda sudah mulai kalah berjudi sebelum saya mengikat janji dengan Haroldson. Sayang, ia keburu mati sebelum menyerahkan tanahnya. Kini sudah terlambat bagi Anda dan siapa pun untuk bertindak,” Fendley tertawa geli. “Asal tahu saja, saya sudah minta adik Anda mengajukan permohonan ke pengadilan, agar Anda dinyatakan tidak waras.”
Diancam begitu, Quirk malah tersenyum. “Maaf, ada yang lupa saya poskan,” kata Quirk kepada si pirang, penggantinya di kantor Fendley. Ia segera mengambil surat berantai ketiga belas dari laci, lalu memasukkannya ke tas. Ya, surat ketiga belas yang tak terkirimkan mestinya berbalik menyerang si pengirim. Beberapa waktu kemudian, dia mendengar ada kegaduhan di kantor Fendley.
“Korban ketiga belas sudah jatuh. George pasti senang, tanahnya tak jadi terjual,” bisik Quirk pelan. (Vicki Dubois)
Baca Juga: Perawan Gadungan
" ["url"]=> string(57) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567420/korban-ke-13" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668183642000) } } [9]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561316" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/bermodal-asuransi_vlad-deepjpg-20221111034605.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(120) "Dua penjahat punya jenis kejahatan penipuan asuransi. Namun ketika mereka memalsukan kematian, polisi jadi turun tangan." ["section"]=> object(stdClass)#148 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/bermodal-asuransi_vlad-deepjpg-20221111034605.jpg" ["title"]=> string(17) "Bermodal Asuransi" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 15:46:21" ["content"]=> string(28641) "
Intisari Plus - Dua penjahat punya jenis kejahatan penipuan asuransi. Namun ketika mereka memalsukan kematian, polisi jadi turun tangan.
-------------------
Suatu pagi yang dingin tahun 1985 di Manhattan, Gene Hanson dan John Hawkins hendak pindah dari apartemen mereka di Lexington Avenue. Mereka menyewa orang untuk mengepak dan memindahkan perabotan bergaya Victoria, berbagai barang seni patung dan lukisan yang mahal. Semua barang itu hati-hati dibungkus terpal, lalu dimuat ke dalam sebuah truk besar tertutup.
Pada saat istirahat siang, dan tinggal sedikit barang yang akan dimuat, Hanson mengajak para pekerja itu untuk makan siang di sebuah restoran. Hawkins tidak ikut makan karena punya urusan penting.
Begitu para pekerja tidak lagi kelihatan, Hawkins membawa truk itu ke suatu tempat, beberapa blok dari sana. Di tempat itu sudah menunggu truk lain yang sangat mirip bentuk dan ukurannya. Dia meninggalkan truk pertama dengan muatan berharganya, lalu membawa truk kedua kembali ke apartemennya. Truk kedua, yang disewa dari tempat penyewaan lain oleh seorang teman yang tidak menaruh prasangka apa-apa, berisi sampah. Dengan bentuk, ukuran, dan terpal penutup yang sangat mirip, para pekerja sedikit pun tidak curiga sekembali dari makan siang.
Truk pertama menuju ke tempat penyewaan perabot - yang disewa Hanson dan Hawkins beberapa bulan sebelumnya dan telah diasuransikan. Sedangkan truk kedua dikemudikan oleh Hawkins ke New Jersey, lalu sampah muatannya dibuang ke sebuah tempat pembuangan sampah.
Truk kedua yang sudah kosong muncul di Harlem keesokan harinya, setelah seseorang yang kebetulan lewat, menelepon polisi karena mendengar ketukan dan teriakan dari dalam sebuah truk yang diparkir di tepi jalan.
Begitu polisi membebaskannya, Hanson menyatakan, mereka dibajak oleh beberapa orang Amerika Latin yang bersenjata api. Para pembajak membawa truk itu ke sebuah gudang, mengosongkan isinya, menguncinya di dalam truk, dan meninggalkannya di jalan.
Gambaran dari Hanson dinilai Detektif John Miles dari Kepolisian New York kurang meyakinkan dan malah aneh. Namun, John Miles yang telah menjalani profesi selama puluhan tahun menduga semua itu karena Hanson masih kaget dan stres.
Kepolisian New York mencatat semuanya, kecuali kenyataan bahwa sebenarnya semua barang berharga itu hanya barang sewaan.
Dengan melampirkan salinan keterangan polisi sewaktu mengajukan klaim, Hanson dan Hawkins dapat dengan mudah menembus sistem yang rumit dalam Chubb Insurance. Pemeriksaan yang dijalaninya pun sederhana saja.
Beberapa minggu kemudian, mereka berdua telah menerima cek senilai lebih dari AS $ 109.000. Penipuan yang sempurna.
Modal ganteng
John Hawkins lahir di St. Louis, Missouri, tahun 1963. Orang tuanya bercerai kurang dari dua tahun kemudian. Ibunya yang cantik tidak mengalami kesulitan untuk segera mendapatkan pekerjaan pada sebuah kasino di Las Vegas.
Hawkins sudah tampan sejak masih kecil. Matanya biru tua, kulit kecokelatan, dengan rambut hitam berombak. Di usia sangat muda dia sudah sadar bahwa ketampanannya memikat banyak orang, terutama wanita. Dia pun memanfaatkannya untuk memanipulasi banyak orang. Bukan hanya merayu gadis sebayanya, melainkan juga wanita sepantaran ibunya. Hawkins menjalani kehidupan yang bebas dari aturan mana pun.
Ketika tinggal dengan ayahnya di Florida yang bekerja sebagai tukang las, dia belajar mengelas. Namun, pekerjaan itu dirasanya sangat berat juga kotor. Sebelum berusia 17 tahun, ia telah yakin tidak akan sanggup hidup demikian bersahaja. Dia pun pergi ke tempat yang dianggapnya lebih menjanjikan di California Barat.
Di sana dia mencoba menjadi pemain film. Celakanya, banyak sekali pemuda tampan yang menjadi pesaingnya. Rupanya, Hawkins tidak cukup sabar untuk “belajar” selama bertahun-tahun sebelum meraih kesuksesan.
Kembali ia menggunakan keahliannya. Hawkins pun terjun sebagai gigolo, menemani wanita tua kaya, kadang pria juga, menembusi kehidupan malam California Barat yang gemerlapan. Ia berpindah dari satu pesta ke pesta lain, bergaul dengan banyak insan Hollywood, termasuk orang-orang kaya baru dan para penipu ulung. Pada sebuah pesta tahun 1981 dia bertemu Gene Hanson.
Pekerja keras
Melvin Eugene Snowden lahir Ocala, Florida, tahun 1941. Orang tuanya bercerai kala ia masih bayi. Saat berusia lima tahun, ibunya menikah lagi dengan Cecil Hanson dan namanya pun berubah menjadi Gene Hanson. Pada 1965 Hanson mengikuti wajib militer, catatan sidik jarinya terarsip di Pentagon.
Usai menjalani wajib militer, Hanson sempat berganti-ganti pekerjaan tidak tetap sebelum akhirnya pindah ke Atlanta awal 1970-an. Di sana ia bekerja di perusahaan pakaian jadi. Kerja keras dan kemampuannya memahami dunia mode membuat kariernya melesat. Selain itu, pada masa-masa itu Hanson mulai menjalani perilaku homoseksual secara sembunyi-sembunyi.
Setelah pertemuan pertama pada 1981 - yang membuat Hanson dan Hawkins saling tertarik - keduanya segera memutuskan pindah ke New York.
Dengan pengalamannya, Hanson dapat bekerja di sebuah perusahaan sepatu di bagian suplai untuk berbagai toko mewah di New York. Karena tugasnya, ia sering bepergian ke Eropa. Dengan pekerjaan itu ia mendapat penghasilan cukup besar. Sedangkan Hawkins, dengan bantuan beberapa temannya di Hollywood, bekerja sebagai bartender di bar eksklusif. Kariernya meroket, dalam arti ia cepat populer. Ia pasti diundang dalam pesta-pesta penting. Penghasilannya pun tidak kalah dibandingkan dengan Hanson, apalagi bila ia juga melayani urusan ranjang.
Yang pasti, uang milik Hawkins juga berasal dari mengedarkan narkoba - baik di tempat kerja maupun dalam pesta-pesta pribadi. Obat terlarang itu diperolehnya dari seorang dokter, Richard Boggs.
Richard Peter Boggs lahir di Hot Springs, Dakota Selatan, tahun 1933. Segera setelah menjadi dokter, Boggs menikah dengan Lola Cleveland pada 1961. Ironisnya, pada saat yang sama ia baru sadar akan ketertarikannya secara seksual kepada sesama jenis. Selanjutnya, keluarga Boggs mengadopsi dua bayi, laki-laki dan perempuan. Sayangnya, pada 1976 rumah tangganya bubar. Semenjak itu ia lebih bebas menjalani kehidupan seksualnya.
Walaupun ia dokter yang hebat, masa krisis menghampiri pula. Awal tahun 1980-an ruang praktik pribadinya mulai sepi. Biar begitu, Boggs tetap menghamburkan uang untuk mencari kepuasan seksual dan menikmati narkoba. Untuk memenuhi kebutuhan keuangannya, Boggs mulai menjual obat terlarang. Salah satu pelanggannya Gene Hanson dan John Hawkins yang dijumpainya di bar khusus untuk kaum homo.
Doyan asuransi
Selain tampan, Hawkins pun berotak encer, terutama melakukan penipuan asuransi. Suatu ketika Hawkins membeli sebuah mobil jelek seharga AS $ 5.000, lalu membakarnya di sebuah jalan sepi. Kemudian ia melapor ke polisi bahwa dia menjadi korban perampasan mobil. Perusahaan asuransi membayar klaimnya sebesar AS $ 9.000. Maka ia pun mendapatkan keuntungan AS $ 4.000 untuk satu hari kerja.
Kali lain dia terbang ke Los Angeles, lalu meminta seorang teman untuk menyewa mobil dan pura-pura melakukan tabrak lari terhadap dirinya. Hawkins mengalami “kecelakaan” di sebuah jalan sepi. Dokter yang memeriksanya, Richard Boggs, menyatakan Iuka-lukanya cukup parah sehingga dia tidak dapat bekerja selama sedikitnya tiga bulan. Perusahaan asuransi pun mengganti kerugian itu sebesar AS $ 25.000.
Pada 1985 Gene Hanson dan John Hawkins meninggalkan New York, alasannya karena rezeki Hawkins di klub itu memudar. Klub tersebut sepi semenjak merebaknya virus HIV-AIDS. Dengan membawa uang hasil klaim asuransi perabotan antik dan barang seni, mereka pindah ke Lexington, Kentucky.
Juni 1985 Hanson dan Hawkins membuka perusahaan pakaian sendiri. Pengalaman Hanson sebagai karyawan yang baik ternyata tidak bisa banyak digunakan untuk pengusaha yang baik. Terbukti ia tidak mampu mengontrol berbagai aspek dalam usahanya. Pun setali tiga uang dengan Hawkins yang ketahuan hanya berbakat menyalurkan kenikmatan seksual dan menggunakan narkoba.
Dalam dua tahun perusahaan mereka bangkrut. Hawkins berinisiatif untuk kembali menerjuni kegemarannya bermain asuransi. Segera Hawkins dan Hanson membeli polis asuransi yang jumlahnya cukup berarti. Jika salah satu dari mereka meninggal dunia, yang lainnya akan memperoleh uang sebanyak hampir AS $ 1,5 juta dari dua perusahaan asuransi, Farmer’s New World Insurance dan Golden Rule Insurance.
Tidak lama setelah membayar premi pertamanya, Gene Hanson mulai mengeluh kepada beberapa orang bahwa dadanya sering sakit. Dia belum berusia 50 tahun tetapi rupanya stres telah mengganggu jantungnya, komentar teman-temannya.
Desember 1987 Hanson meninggalkan California untuk beristirahat dari pekerjaan karena kondisi kesehatannya memburuk. Sebelum pergi Hanson memperbarui surat wasiat yang menyatakan, bila dia meninggal, semua miliknya diwariskan kepada John Hawkins. Dia juga ingin tubuhnya dikremasi serta tidak seorang pun kerabatnya yang perlu diberi tahu. Surat wasiatnya itu dinyatakan sah secara hukum.
Jenazahnya kaku
Pukul 07.00, 16 April 1988, telepon 911 berdering. Rupanya dari dr. Richard Boggs.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya operator.
“Eh ... pasien saya menelepon, mengeluh nyeri di dada. Dia datang ke tempat praktik saya, lalu tiba-tiba pingsan. Saya berusaha menyadarkannya.”
Petugas kesehatan segera tiba di 540 North Central Avenue, tempat praktik Boggs. Namun, mereka tidak dapat masuk karena pintu depan terkunci. Beberapa saat kemudian Boggs muncul sambil marah-marah karena mereka begitu lama tiba.
Para petugas kesehatan segera masuk dan menemukan seseorang berjanggut terbaring di lantai ruang pemeriksaan. Pria itu sudah meninggal. Rupanya, inilah alasan Boggs marah-marah.
Para petugas kesehatan sempat heran, jika korban meninggal beberapa menit lalu seharusnya tubuhnya masih hangat. Namun jenazah ini menunjukkan tanda-tanda kematian yang sudah lebih lama: kulit keunguan karena pengendapan darah di bagian-bagian tubuh yang lebih rendah, juga kakunya jari-jari, rahang, dan leher mayat.
Dua polisi yang sedang berpatroli, Tim Spruill dan James Lowrey, datang membantu. Dari dompet korban, mereka menemukan kartu kredit dan fotokopi akte kelahiran atas nama Melvin Eugene Hanson, tetapi tanpa foto.
Kepada kedua polisi itu Boggs menjelaskan, sekitar pukul 03.00, Gene Hanson menelepon Boggs yang sedang tidur di rumah. Ia mengeluhkan nyeri di dada. Mereka berjanji untuk bertemu di tempat praktik Boggs. Hanson tiba sekitar pukul 05.00.
Setelah memeriksa, Boggs menemukan kondisinya cukup parah. Dia pun menyarankan Hanson untuk segera ke rumah sakit. Namun, Gene Hanson menolak karena takut dengan rumah sakit.
Sementara Hanson berbaring di meja pemeriksaan, Boggs membuat beberapa catatan. Tiba-tiba Hanson terjatuh dari meja. Ia sudah tidak bernapas, jantungnya telah berhenti berdetak.
Boggs berusaha memberikan pernapasan buatan, tapi gagal. Ia segera menelepon 911, tetapi hanya ada nada sibuk. Kembali dia mencoba memberikan pernapasan buatan, lalu menelepon lagi ke 911, tetap nada sibuk. Usahanya menelepon baru memberikan hasil pada kali ketiga. Secara keseluruhan usahanya itu membutuhkan waktu sekitar 45 menit.
Lowrey melihat beberapa kejanggalan. Ia menghubungi 911, terbukti langsung tersambung dalam beberapa detik. Boggs pun tampak terlalu segar untuk seorang yang baru saja melakukan pernapasan buatan selama 45 menit.
Lowrey yakin ada yang salah. Namun sebagai petugas patroli, bukan tugasnya untuk membuat kesimpulan. Dia memasukkan pengamatannya ke dalam laporan, selanjutnya Detektif James Peterson yang akan menyelidiki.
Peterson mencari informasi dari pemeriksa jenazah, Craig Harvey. Craig mendapati hal aneh tentang penetapan waktu kematian. Menurut dia, kematian terjadi sekitar pukul 03.00, tetapi Boggs mengatakan sekitar pukul 06.00.
Pendapat Craig sejalan dengan Lowrey. Kekakuan mayat menunjukkan kematian berlangsung lebih awal dari waktu yang dikatakan Boggs. Setelah melakukan pemotretan, mengambil sidik jari, menimbang, dan mengukur, Craig memasukkan jenazah itu ke kamar mayat.
Otopsi dilakukan oleh dr. Evancia Sy. Dia mendapati tidak ada patah atau memar, tidak ada bukti kematian akibat kekerasan. Namun, ia juga tidak menemukan tanda jatuh dari meja pemeriksaan beberapa saat sebelum kematian, sebagaimana pula tidak ada tanda telah dilakukan pernapasan buatan.
Dia mengambil contoh jaringan, darah, dan Iain-lain. Ditemukan, kadar alkohol dalam darah jenazah sangat tinggi, kira-kira tiga kali lipat dari batas maksimal hukum di California. Itu sesuai dengan kondisi hati yang menunjukkan kecanduan alkohol yang menahun.
Evancia agak bingung karena tidak menemukan secara pasti penyebab kematian. Namun, ia juga tidak punya alasan untuk terus menahan mayat itu. Akhirnya, dia melepaskan jenazah untuk dimakamkan.
Seminggu kemudian Boggs menghubungi Evancia untuk menanyakan penyebab kematian, Evancia berterus terang, belum membuat kesimpulan karena masih ada keraguan. Dengan ramah Boggs memberikan riwayat pemeriksaan kesehatan Hanson, bahwa sudah bertahun-tahun dia mengalami gangguan jantung.
“Apakah Hanson menderita infeksi virus?” tanya Evansia.
“Ya, beberapa hari sebelum kematiannya,” jawab Boggs.
Ini dia! Dalam foto jaringan jantung terdapat noda kecil di sekitar pembuluh darah yang mengalirkan darah ke jantung. Itu pasti infeksi yang baru saja terjadi. Segera ia mengeluarkan surat kematian. Isinya, jenazah yang dikenal sebagai Gene Hanson meninggal karena penyebab yang wajar, serangan jantung.
Akhir April 1988 John Hawkins datang untuk mengkremasi jenazah Gene Hanson. Abunya dia buang ke laut.
Bukan Gene
Kecurigaan kuat tentang siapa yang sebenarnya tewas di ruang praktik Boggs justru menghinggapi Norman Mac Rae, penyelidik swasta yang bekerja untuk Farmer’s New World Insurance. Walau meninggal secara wajar, kematian Hanson sangat dekat dengan waktu dia mulai diasuransikan. Ada kecurigaan, Hanson menyembunyikan penyakitnya. Jika benar, pihak asuransi bisa tidak membayar atau setidaknya klaim yang dibayarkan tidak sebesar perjanjian.
Mac Rae memperoleh riwayat kesehatan Hanson dari Boggs plus surat kematian dari Evancia. Hal itu belum memberikan petunjuk apa-apa. Di sisi lain John Hawkins - sebagai ahli waris Hanson - terus mendesak Farmer’s untuk segera mencairkan uang klaim asuransi sebanyak AS $ 1 juta.
Sebagaimana umumnya perusahaan asuransi yang memiliki prosedur atas klaim asuransi, Farmer’s pun meminta kepada Detektif Peterson untuk mendapatkan foto mayat itu dan fotokopi SIM Hanson. Butuh waktu lima minggu bagi Peterson untuk memperoleh fotokopi SIM Hanson dari Sacramento. Sekilas, data dalam SIM itu persis sama dengan orang yang meninggal: tinggi dan bobot badan, warna mata dan rambut, juga kumis dan janggut. Namun, gambar di dua foto itu berbeda. Korban yang meninggal terlihat lebih muda dari Hanson yang 46 tahun.
Polisi selalu mencocokkan sidik jari orang yang meninggal karena penyebab yang meragukan, tetapi tidak pada orang yang meninggal secara wajar. Karena “Hanson” meninggal di tempat praktik dokter yang mengenalnya dengan baik, semula tidak ada keraguan akan identitas jenazah. Namun, Peterson meragukan kesamaan antara foto jenazah dengan foto di SIM Hanson. la pun memerintahkan untuk membandingkan sidik jari jenazah dengan yang tercantum pada SIM. Memang tidak cocok!
Untuk lebih memastikan, Peterson meminta arsip sidik jari Hanson di Pentagon. Perlu beberapa minggu sebelum data itu tiba. Kini Peterson yakin, mayat itu bukan Gene Hanson.
Peterson segera menghubungi kedua perusahaan asuransi untuk menunda pembayaran klaim kepada John Hawkins. Beruntunglah Golden Rule Insurance hampir mengirimkan AS $ 450, tetapi sempat dibatalkan. Berbeda dengan Farmer’s New World Insurance yang sudah membayarkan AS $ 1 juta.
Kepolisian Los Angeles menugaskan Karl Stoutsenberger (29) untuk memeriksa kasus itu. Polisi patroli yang pertama tiba di TKP, Spruill dan Lowrey, juga para petugas kesehatan, memberinya informasi, pada hari kejadian Boggs tampak aneh. Sementara petugas kamar mayat memberi tahu Karl, betapa saat itu Boggs sangat mendesak untuk segera mengeluarkan mayat Hanson guna dikremasi. Selain itu ada juga perbedaan waktu kematian antara perhitungan pemeriksa jenazah dengan laporan Boggs.
Jika bukan Gene Hanson yang meninggal di ruang pemeriksaan Boggs, lalu siapa? Jika dia meninggal bukan karena serangan jantung, lantas karena apa?
Mayat siapa?
Stoutsenberger segera menghubungi Peterson. “Apakah penyelidikan pembunuhan sudah dilakukan?” tanyanya.
“Belum,” jawab Peterson tenang. “Surat kematian yang dikeluarkan oleh dokter yang mengautopsi menyatakan kematian secara wajar, mana mungkin diadakan penyelidikan pembunuhan?”
Stoutsenberger menemui dokter yang mengautopsi, Evancia. Setelah mereka berbincang panjang lebar, Evancia mulai merasa tidak yakin akan pernyataannya tentang penyebab kematian yang wajar itu. Ia pun kembali mempelajari arsip-arsipnya.
Pada 25 Augustus 1988 dikeluarkan perintah pengadilan yang melarang John Hawkins menggunakan uang hasil klaim asuransi sampai kasus ini tuntas diselidiki. Sayangnya terlambat, Hawkins sudah mencairkan semua uang itu dan raib.
Stoutsenberger bekerja sama dengan Mike Jones, polisi yang khusus menangani kejahatan asuransi. Keduanya berusaha membuat janji bertemu dengan Boggs, tetapi selalu gagal. Baru dengan ancaman panggilan pengadilan akhirnya Boggs bersedia ditemui. Namun, keterangan yang dia berikan sangat kacau dan berubah-ubah. Dia mengaku tidak mengenali foto Hanson yang asli, tetapi yakin foto pria yang meninggal di tempat praktiknya itu adalah Hanson.
“Anda berbohong,” kata Jones.
“No comment” jawab Boggs sambil membuang muka.
Stoutsenberger dan Jones yakin bahwa Boggs berbohong. Namun, sebelum menuntut Boggs lebih jauh, Jones lebih memprioritaskan untuk mencari tahu identitas sebenarnya dari mayat itu.
Dengan data dari National Crime Information Center, Jones menyelidiki orang-orang yang dilaporkan hilang pada bulan saat ditemukannya mayat di tempat praktik Boggs. Akhirnya muncul satu nama, Ellis Greene (32). la terlihat terakhir kali malam tanggal 15 April 1988, malam sebelum pembunuhan, di sebuah bar khusus untuk kaum homo. Jones membandingkan sidik jari mayat itu dengan sidik jari Greene di Angkatan Darat, tempat Greene pernah bertugas. Ternyata cocok.
Stoutsenberger dan Jones mencari informasi tentang malam terakhir Greene. Bartender mengatakan, melihat Greene mabuk dan memanggil taksi untuk mengantarkannya pulang. Supir taksi bernama Russel Leek ingat membawa penumpang itu sekitar tengah malam, tapi tidak ingat di mana Greene turun.
Pada 30 September 1988 Jones ke rumah Boggs. Penggeledahan menghasilkan penemuan cukup banyak narkoba ilegal. Boggs ditahan dengan tuduhan mengedarkan narkoba. Untung, ia dapat dibebaskan dengan jaminan oleh keluarganya. Ia belum dapat dituduh terlibat kasus tewasnya Ellis Greene karena masih terganjal satu hal, yakni surat kematian yang ditandatangani oleh Evancia yang menyatakan Greene meninggal secara wajar.
Evancia bekerja keras memeriksa kembali semua contoh jaringan dan darah yang diambil, juga mempelajari berbagai buku tentang penyakit jantung. Pada November 1988 dia membuka kembali kasus itu dengan mencantumkan pada surat kematian, “penyebab belum dapat ditentukan”.
Modalnya besar
Gene Hanson yang tentu masih hidup, hidup berpindah-pindah antara Florida dan California selama beberapa bulan setelah kematian Greene. Sejak identitas asli Ellis Greene terungkap, Hanson mengikuti terus perkembangan kasus itu lewat surat kabar. Dia terus waspada dengan berkali-kali mengganti alamat dan identitas.
Gene Hanson punya alasan kuat untuk khawatir. Ia yakin dirinya dibayangi oleh kepolisian California, FBI, juga sekelompok detektif pimpinan Vince Volpi, yang disewa oleh Farmer’s New World Insurance.
Volpi berhasil menemukan Erik De Sando, salah seorang kekasih John Hawkins. Dari tempat sampah De Sando ditemukan sebuah nomor telepon di Miami atas nama Wolfgang von Snowden. Volpi ingat, Gene Hanson terlahir denga nama Melvin Eugene Snowden. Sayangnya, ketika tempat tinggal itu didatangi, Gene Hanson sudah lama pergi.
Mike Jones yang menyelidiki rumah dan tempat praktik Boggs menemukan nomor telepon yang pernah dihubungi Boggs tidak lama sebelum dan setelah kematian Greene. Nomor telepon ini membawa Jones pada sebuah rumah yang disewa atas nama Ellis Greene, tapi penyewanya juga sudah tidak ada.
Nama Hanson dan nama-nama samarannya yang diketahui dimasukkan ke dalam data komputer sebagai “Orang yang Dicari” ke seluruh Amerika.
Pada 29 Januari 1989 petugas di bandara Dallas, Dave Berry, mencurigai seorang calon penumpang yang tampak gugup. Pria itu bernama George Soule. Naluri mendorong Berry untuk menggunakan haknya memeriksa tas milik Soule. Di dalammya ditemukan beberapa dokumen atas nama Wolfgang von Snowden dan Ellis Greene, juga sebuah buku dengan judul “Cara Membuat Identitas Baru”. Berry yakin, orang ini Gene Hanson.
Segera Mike Jones, Vince Volpi, dan Iain-lain menginterogasi, tetapi pria itu tetap menolak memperkenalkan identitasnya. “Soule” alias Hanson ditahan di Texas. Ketika ditanya apakah dia sanggup membayar AS $ 5 juta sebagai uang jaminan pembebasan, pria itu menjawab, “Sanggup, asal saya diizinkan untuk ‘mati’ beberapa kali lagi”. Nah ‘kan!
Setelah Hanson, giliran Boggs mendapat pengawasan 24 jam. Pada 3 Februari 1989 Boggs ditangkap ketika keluar dari tempat praktiknya dengan membawa koper. Dalam tahanan Boggs menyatakan dirinya tidak bersalah. la mengatakan bahwa penghasilannya yang lebih dari AS $ 200.000 dolar per tahun tidak perlu membuat dia melakukan penipuan asuransi, apalagi membunuh. Namun, dia tetap dikenai tuduhan pembunuhan terhadap Ellis Greene.
John Hawkins ternyata lebih sulit ditangkap. Dengan sejumlah besar uang tunai di tangan, ia punya modal untuk menghilang. Ia memasang iklan di surat kabar menawarkan pinjaman uang. Orang yang berminat diminta menelepon ke kamar hotel tempatnya menginap. Dia akan menanyakan tempat dan tanggal lahir, nomor SIM, serta berbagai data lainnya.
Dengan data-data itu dia membuat berbagai dokumen palsu: akte kelahiran, SIM, dan paspor. Berbekal sangat banyak uang dan setidaknya enam identitas palsu, Hawkins bepergian hampir ke seluruh dunia.
Meski berusaha untuk tidak menarik perhatian pihak kepolisian, jejak keberadaannya sedikit demi sedikit mulai terendus. Juli 1991 seorang wanita Belanda yang menonton tayangan televisi tentang kasus ini menginformasikan bahwa dia mengenal seorang pria bernama Bradley Bryant, yang kemungkinan adalah John Hawkins, berada di Italia.
Tanpa perlawanan pria itu langsung ditahan, tetapi dia menolak menyebutkan namanya. Setelah menjalani pemeriksaan yang teliti, didapati dia telah berusaha untuk mengubah wajahnya. Tetapi sidik jarinya telah membuka rahasianya, yang memang John Hawkins. Tanda pengenal lain yang cukup aneh - tetapi sangat dikenal pasangan Hawkins - adalah bagian kelaminnya yang kekurangan pigmen.
Karena Italia tidak mengenal hukuman mati, disepakati John Hawkins akan dipindah ke Amerika. Juli 1992 Hawkins diekstradisi ke California. Ia dihadapkan pada tuntutan membunuh demi keuntungan materi, penipuan asuransi, dan pencurian besar-besaran.
Dr. Michael Baden dari Kepolisian New York yang sudah lebih dari 20.000 kali melakukan otopsi yakin, Greene meninggal karena mati lemas, meski tidak terungkap cara yang dilakukan Boggs untuk menghabisi korbannya.
Boggs dihukum penjara seumur hidup tanpa ada kemungkinan mendapatkan pembebasan bersyarat. Sedangkan Gene Hanson dan John Hawkins dijatuhi hukuman mati yang eksekusinya berlangsung pada tahun 1996.
Baca Juga: Investigasi Lewat Buku Akuntansi
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561316/bermodal-asuransi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668181581000) } } [10]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561138" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/beda-nasib-sejak-bayi_-pixabayj-20221111034140.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(126) "Tomy Sutomo mendapat rezeki nomplok berupa sejumlah uang. Tapi di dalam amplop itu juga ada pesan yang akan mengubah hidupnya." ["section"]=> object(stdClass)#152 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/beda-nasib-sejak-bayi_-pixabayj-20221111034140.jpg" ["title"]=> string(21) "Beda Nasib Sejak Bayi" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 15:41:53" ["content"]=> string(26871) "
Intisari Plus - Tomy Sutomo mendapat rezeki nomplok berupa sejumlah uang. Tapi di dalam amplop itu juga ada pesan yang akan mengubah hidupnya.
-------------------
Udara menjelang siang di Pantai Kuta itu masih menyisakan sedikit kesejukan.
Tomy Sutomo merasa hari itu adalah miliknya. Ketika membuka tasnya yang sudah lusuh, ia nyaris tak percaya, sebuah amplop secara misterius ada di dalamnya. Isinya dua lembar uang ratusan ribu rupiah. “Wah, rezeki nomplok,” pikirnya.
Berbulan-bulan sejak peristiwa bom yang meluluhlantakkan dua kafe dan menewaskan ratusan orang serta mematikan denyut kehidupan di kawasan Pantai Seminyak itu, ia hidup seperti gembel. Gara-gara kehilangan pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih di sebuah bar, ia menganggur berkepanjangan.
Selama itu pula julukan tunawisma, pengembara dekil, atau gelandangan menempel pada dirinya. Demi mendapat sesuap nasi, ia rela menebalkan muka melakukan pekerjaan apa pun. Bahkan meminta-minta, mengemis, atau menipu dia lakukan. Padahal sebenarnya ia tidak ingin menjalani hidup seperti itu.
Sekarang, untuk sementara, ia bisa tertawa lebar. Amplop itu terus dirogoh-rogohnya sekadar untuk meyakinkan, uangnya masih aman di tempatnya. Tapi bersamaan dengan itu tangannya menyentuh barang lain. Begitu diambil, ternyata secarik kertas yang bertuliskan, Harap uang ini diterima. Tak ada niat buruk apa pun terhadap Anda. Tolong datang ke sebuah rumah yang letaknya tertera dalam peta di balik kertas ini. Di sana Anda akan menerima nasib yang lebih baik. Ingat, hanya Anda yang tahu semua ini. Selamat menikmati mimpi indah.
Kening Tomy berkerut. la tak mengerti. Teka-teki apa ini?
Tampangnya yang semula ceria kini pudar begitu saja. Di saat seperti itu, uang Rp 200.000,- membuat dirinya merasa kaya. Namun, isi surat yang menantang itu mengusik hatinya. la tahu, dirinya sudah terjebak. Tomy curiga, jangan-jangan ini satu mata rantai dari sebuah skenario kejahatan besar. Ledakan bom lagi?
Sebegitu murahkah orang seperti dirinya sehingga orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu memanfaatkannya?
Baginya, uang Rp 200.000,- begitu berharga. Tuntutan perut tidak bisa ditawar-tawar. Namun, di sisi lain akal sehatnya mengatakan ia harus mengembalikan surat itu beserta isinya. Cuma, kepada siapa? Ataukah ia harus melapor ke polisi?
Belum juga ia mengambil keputusan, perutnya terus menggedor minta segera diisi. Sambil menghela napas dalam-dalam, Tomy meninggalkan gundukan pasir yang tadi didudukinya.
Tanpa ragu-ragu Tomy lalu masuk ke sebuah warung makan yang ditata ala kafe. Sekaleng minuman ringan yang dingin dan dua potong donat mengusir rasa lapar dan dahaganya. Ditambah sepotong pastel ayam, energi dan semangat hidupnya pulih kembali.
Sampai siang itu Tomy tidak tahu entah ke mana kaki akan melangkah. Ketika berjalan sambil mengisap rokok dalam-dalam, ia teringat ucapan temannya, “Sebenarnya, hidup ini tak ubahnya berjudi.”
“Sekarang saatnya bagiku untuk membuktikan ucapan temanku itu,” bisiknya dalam hati.
Bukan mimpi
Hari sudah di ambang petang. Tomy menguak pintu gerbang dari besi di sebuah rumah tua. Jalan setapak berbatu kerikil membelah halaman luas dengan banyak tanaman yang tumbuh tak beraturan.
“Kiranya ini rumah yang dimaksud,” gumamnya sembari memperhatikan gambar petunjuk dalam kertas tadi. Ia masih termangu ketika suara dari dalam rumah itu tiba-tiba menyapanya. “Oh, Tuan Muda Jimy! Silakan masuk!” sapa seorang perempuan tua berpunggung bungkuk.
“Akhirnya Tuan datang juga,” kata perempuan tua itu dengan mata berkaca-kaca.
“Duduklah dulu! Tante Ndari sedang tidur. Saya tidak berani membangunkan sebab beberapa hari ini penyakitnya kambuh lagi.”
Sandiwara apa pula ini? Tomy merasa heran, sejak lahir sampai kini tak pernah sekalipun ia punya nama lain, sekalipun nama samaran untuk gagah-gagahan.
Belum habis keheranannya, perempuan renta itu datang membawakan segelas air jeruk dingin. Diteguknya minuman itu setelah perempuan tua itu meninggalkan dirinya.
Ketika hendak membuka kembali tasnya untuk memastikan isi pesan dalam kertas itu, perempuan itu muncul lagi. “Ndara Putri belum bangun. Tapi beliau sudah berpesan untuk menyiapkan makan malam dan kamar untuk Tuan Muda.”
Tomy hanya bisa menjawab dengan senyum yang dipaksakan.
Kamar di lantai tiga itu sungguh terasa mewah untuknya. Meski tubuhnya letih, Tomy tidak bisa cepat tertidur. Pikirannya terus melayang, mencoba memahami peristiwa “aneh” yang terus mengiringinya sejak siang hingga malam ini.
Karena baru bisa terlelap setelah lewat tengah malam, Tomy bangun kesiangan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 08.35.
“Ini namanya ‘kere munggah bale’ (gembel jadi raja),” batinnya ketika menyaksikan hidangan sarapan berupa beberapa iris roti panggang berisi daging asap plus apel. Namun, Tomy ingat pepatah, sepandai-pandai menyimpan bangkai, baunya toh akan tercium juga. Itu yang dia khawatirkan.
Ternyata buron
Selamat tinggal Tomy, selamat datang Jimy. Eh ... Jimy siapa? Tomy benar-benar ingin tahu dan harus mencari kesempatan untuk menyelidiki. Tapi tidak saat ini, sebab tiba-tiba Bi Sum, nama perempuan tua itu, muncul kembali.
“Rupanya, Tuan terlalu capek karena perjalanan panjang sehingga tidurnya pulas sekali,” sapa Bi Sum.
“Aku harus hati-hati bicara,” pikir Tomy. Makanya, ia hanya menanggapinya dengan senyum.
“Tante biasa bangun pagi sekali. Tadi ia menanyakan Tuan, tapi ia melarang kami membangunkan Tuan,” sambungnya. “Sekarang Ndara sudah tidur lagi. Bangunnya nanti setelah sekitar dua jam. Maklum, sudah sakit-sakitan.”
Tomy menanggapi dengan mengerutkan kening serta memasang ekspresi prihatin. “Sakit apa sih, Bi?” ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Ya, sakit yang dulu juga. Macam-macamlah, ya rematik, pusing-pusing, juga kencing manis yang membuatnya harus selalu disuntik kalau makan.”
Tomy mendengarkan sambil mengangguk-angguk. “Lalu, apa kata dokter?”
Bi Sum menggeleng. “Dokter keluarga memberi macam-macam obat. Juga nasihat untuk diet dan berolahraga ringan. Tapi, Tuan tahu sendiri, Ndara itu sulit, suka mau-maunya sendiri.”
Kesempatan mengobrol dengan Bi Sum itu tampaknya dimanfaatkan betul oleh Tomy untuk mengorek informasi awal. Selanjutnya, selama sekitar dua jam sebelum Tante Sundari bangun, ia harus berjuang mencari informasi tentang jati diri Jimy.
Semalam, saat berjalan menuju ke kamarnya, Tomy sempat melihat ada sebuah kamar kosong tak berpenghuni di lantai dua. Kini terlihat pintu kamar itu terbuka. Mungkin Sri, pelayan yang membantu Bi Sum, baru saja membersihkan kamar itu dan lupa menutup pintu. Di dalamnya berjajar rak buku, sebuah meja tulis besar dengan lampu baca, foto-foto di dinding, dan lemari tempat menyimpan arsip keluarga.
Saat yang dinanti itu pun tiba. Kebetulan tidak terlihat bayangan seorang pun di sekitarnya. Ia hanya mendengar bunyi dengung mesin cuci. Dari lantai dua itu Tomy bisa melongok ke bawah. Tampak Bi Sum dan Sri sedang sibuk bekerja di dapur dan ruang cuci.
Di kamar itu ia menemukan album foto tua. Di setiap bagian bawah foto selalu tertera keterangan berupa tulisan. Ada potret wanita muda cantik dengan tulisan yang mulai pudar: R.A. Retno Sundari - Solo, 19 Desember 1951. Ada juga sejumlah foto keluarga.
Yang paling menarik perhatian Tomy adalah foto seorang lelaki muda berwajah mirip sekali dengan dirinya. Bedanya, kulit lelaki itu kelihatan lebih terang. Di halaman lain, terpasang foto telanjang bayi montok dengan tulisan, R. jimy Sugiharto lengkap dengan hari, tanggal, bulan, dan tahun kelahiran yang ... “Sama dengan hari kelahiranku?”
Pada album lain, di antara sekian banyak foto keluarga, terpampang foto Jimy berpose gagah di punggung seekor kuda besar. Ia merasa senyuman Jimy di foto itu seolah mencibir dirinya, “Jimy Sugiharto palsu!”
Tomy tersadar, ia dikejar waktu. Dengan hati-hati ia mengembalikan semua album itu pada tempatnya. Saat menaruh sebuah album, selembar kertas koran meluncur dari dalamnya dan jatuh ke lantai.
Jantung Tomy berdegup kencang saat membaca judul berita di halaman koran yang mulai menguning itu. “Jimy Sugiarto Kini Buron”. Lelaki gagah dan kaya itu ternyata kabur dari sel penjara. Berita itu juga menyebutkan, ada pihak yang bersedia memberi hadiah uang bagi siapa saja yang dapat memberikan informasi tentang keberadaan Jimy. Pasalnya, pihak tersebut merasa telah dirugikan oleh ulah Jimy. Foto-foto Jimy pun dimuat tersebar hampir di setiap halaman koran.
Tomy cepat-cepat mengembalikan koran usang itu. Kakinya masih gemetar. “Aku harus cepat-cepat meninggalkan kamar dan rumah ini,” pikirnya. la tidak mau menjadi korban, menanggung perbuatan Jimy - orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Namun, ... terlambat. Saat ia melangkah mendekati pintu kamar, selintas bayangan mengadang jalan.
Bi Sum muncul bagaikan hantu di siang bolong bagi Tomy.
Celaka, apa yang akan dilakukan si nenek bungkuk ini?
Perempuan tua itu tersenyum dan menyapanya dengan ramah. “Maaf, saya lupa kalau Tuan Jimy ada di rumah.”
Tomy terdiam. Bi Sum juga diam, tapi sepasang mata tuanya menatap sebuah amplop di genggaman tangannya.
“Ada apa, Bi?”
Bi Sum tak menjawab, lalu mengulurkan amplop itu pada Tomy.
“Ada uang di dalamnya. Tante memberikannya pada saya tadi pagi. Bila sampai jam setengah sepuluh Tante belum juga bangun, saya diminta menyampaikannya pada Tuan Jimy.”
Katanya lagi, Tante Ndari meminta supaya Jimy secepatnya meninggalkan rumah ini. “Uang itu cukup untuk biaya perjalanan ke Lombok. Di sana aman. Pagi buta tadi Tante mendapat telepon dari orang kepercayaannya. Katanya, rumah ini sudah diawasi, Tuan bisa tertangkap.”
“Terima kasih, Bi! Saya pamit, sampaikan salam saya pada Tante!”
Gelandangan kaya
Pergi ke Lombok? Buat apa? Bukankah di luar rumah ini Tomy sudah menjelma menjadi dirinya sendiri kembali?
“Selamat tinggal Jimy Sugiharto, semoga nasibmu bukan nasibku!” kata Tomy dalam hati.
Walaupun tanpa tempat tinggal dan pekerjaan tetap, kini Tomy merasa berbeda dengan para tunawisma lainnya. Itu semua gara-gara segepok uang dari Tante Ndari.
Di sudut sebuah kafe dengan penasaran Tomy membuka amplop itu. Isinya ternyata tak kurang dari seratus lembar uang seratusan ribu rupiah. Sepuluh juta rupiah! Seumur-umur baru kali ini ia memegang uang sebanyak itu.
Dengan uang itu, Tomy ingin menutup sejarah masa lalunya yang buram. Tak ada lagi Tomy yang pengangguran. Tak ada lagi Tomy yang senantiasa dikejar-kejar orang karena utang. Tak ada lagi Tomy pengutil yang senantiasa berkucing-kucingan dengan satpam mal. Bahkan tak ada lagi lelaki bernama Tomy yang ditinggal pergi istrinya seperti lima tahun lalu.
Sambil melahap nasi goreng dari gerobak dorong di lapangan parkir Pasar Kumbasari, ia memikirkan bagaimana caranya agar bisa segera kabur dari pulau ini. Setelah itu ia berharap bisa merasa tenang saat menggunakan uangnya.
Gara-gara uang Rp 10 juta itu, di pulau ini ia harus selalu waspada pada setiap orang asing yang ada di dekatnya. Siapa tahu, dia itu aparat atau pemburu hadiah untuk menangkap Jimy.
Gagal kabur
Malam itu Tomy masih harus mempertahankan gaya hidup lamanya menjadi “gelandangan”. Ia tidur di emperan toko. Makanya, ia terkejut ketika pagi-pagi sekali dibangunkan oleh seorang tukang parkir.
Untuk menghangatkan tenggorokannya, ia menuju ke sebuah warung kopi yang mulai ramai pengunjung. la memesan segelas kopi kental dan tiga potong pisang goreng yang masih hangat. Sambil sesekali mengisap rokoknya, pikirannya terus berputar mencari jalan untuk segera meninggalkan pulau ini.
Akhirnya, ia memilih suatu daerah di Jawa sebagai tempat yang ideal untuk bersembunyi. Setelah menyeruput habis sisa kopinya, Tomy segera beranjak menuju ke terminal bus di Ubung dengan naik angkutan kota.
Ia merasa lebih aman naik bus ketimbang naik pesawat untuk mencapai Surabaya. Menurut perhitungannya, berbagai urusan di bandara bisa menyulitkannya. Bukan tidak mungkin hal itu justru membawa dia masuk ke perangkap para pemburu hadiah.
Setiba di terminal, belum ada bus yang akan segera berangkat menuju Pulau Jawa. Untunglah, ada sebuah minibus yang sudah mulai penuh penumpang bersedia mengangkutnya.
Sesampai di Pelabuhan Gilimanuk, sebuah feri baru saja meninggalkan dermaga menuju Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Mau tak mau ia harus menunggu feri berikutnya. Selama menunggu keberangkatan, hati Tomy terus dihantui rasa waswas. Ia tak sabar ingin segera meninggalkan Pulau Dewata itu.
Untuk membunuh waktu, ia berjalan-jalan di sepanjang pantai. Hamparan air laut yang biru kehijauan, semilir angin pantai, dan panorama alam Pulau Menjangan yang tampak malu-malu di balik kabut mengurangi ketegangan perasaannya.
Di lidah pantai yang paling menjorok ke laut, ia melihat seseorang sedang asyik memancing. Sesekali pancingnya berhasil menggaet ikan yang lumayan besar.
Seorang pengemis menadahkan tangan, membuyarkan konsentrasi Tomy. Tanpa banyak pikir, ia mencabut dua lembar uang seribuan. Pengemis itu sejenak melongo sebelum menerima pemberiannya. Setelah berulang kali mengucapkan terima kasih, peminta-minta itu pun pergi meninggalkan Tomy.
Sambil mengisap rokoknya, Tomy mengarahkan pandangannya kembali pada pemancing itu. Saat mengganti umpan dan menoleh kepada Tomy, ia menyapa dengan senyuman.
Saat itu seorang lelaki bertopi dan berkacamata hitam berjalan mendekati Tomy. Tampaknya ia juga sedang menikmati suasana pantai pagi itu.
“Di sini tenang, ya?” sapa lelaki itu.
Tomy menoleh pada lawan bicaranya. “Yah,” jawabnya pendek. Setelah menawari permen karet, lelaki itu meninggalkan Tomy bersama sang pemancing.
“Banyak ikannya?” iseng-iseng Tomy menegur.
“Lumayan! Di tempat ini jarang ada orang memancing, padahal cukup banyak ikannya.”
Feri yang ditunggu-tunggu masih melaju di tengah Selat Bali. Rasa bosan bercampur waswas makin membelitnya. Tomy lalu berjalan menuju ke deretan warung di depan pintu masuk halaman pelabuhan untuk sarapan.
la menyusuri jalan sepanjang pantai yang banyak ditumbuhi ketapang. Beberapa perahu nelayan yang sedang ditambatkan tampak bergoyang-goyang dipermainkan ombak tepi pantai.
Ketika hendak menyulut rokok di bibirnya, seseorang tiba-tiba mendekat. Tomy terkejut. Rupanya, lelaki itu hanya mau meminjam korek api buat merokok juga. Namun, saat ia menyodorkan korek api, tiba-tiba orang tak dikenal itu dengan cepat meringkus tangannya.
“Lo, ada apa ini?”
Lelaki itu diam saja. Sebuah benda keras menekan perutnya.
“Jangan berteriak, kalau tak ingin perutmu ditembus peluru!”
Tomy tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali patuh pada perintah lelaki itu. Ia menurut saja ketika didorong masuk ke dalam mobil yang - entah kapan datangnya - tiba-tiba sudah ada di dekatnya.
Setelah masuk ke dalam mobil, lagi-lagi Tomy terhenyak. Lelaki bertopi dan berkacamata hitam - yang tadi memberinya permen karet - sudah ada di jok belakang.
Perlahan-lahan lelaki itu melepas topi dan kacamatanya. Sama sekali dia tak menduga, di hadapannya kini muncul seseorang yang selama ini selalu menghantuinya. Lelaki itu Jimy. Jimy Sugiharto.
“Kamu tentu sudah tahu siapa aku. Betul ‘kan?” tegur Jimy asli ramah. Namun, pistol di tangannya bukan pertanda ia punya niat baik.
“Seperti rencana kita ‘kan, Bos?” kata lelaki di balik kemudi sembari menoleh ke belakang.
Sekali lagi Tomy terkejut, lelaki itu rupanya si tukang mancing di pantai itu.
“Ya, di sana aman.”
Tomy merasa dirinya bak kelinci yang dengan mudah terperangkap masuk dalam jebakan pemburu. Nyawanya kini di ujung tanduk.
Tak sampai satu jam kemudian, dalam perjalanan menuju entah ke mana, mobil yang membawa Tomy menyusuri jalan yang membelah hutan di kawasan Bali Barat. “Daripada mati konyol, aku harus berbuat sesuatu,” katanya dalam hati. Nyalinya yang mulai mengembang menciut seketika manakala sebuah kendaraan lain menyusul mobil yang ditumpanginya. “Itu pasti komplotan mereka,” pikirnya.
Di sebuah jalan yang tampak makin sepi, Jimy memperketat tali yang mengikat kedua tangan Tomy. Seperti dikomando, si pengemudi membawa mobil menerobos semak belukar. Tomy tampak pasrah dengan moncong pistol yang sepertinya siap menyalak. Jimy tersenyum. Namun, senyuman itu bagi Tomy lebih mirip seringai serigala lapar. “Aku tak mau ada yang mengaku-ngaku sebagai diriku!” hardik Jimy sambil menarik picu senjata apinya.
Terdengar suara ledakan memecah keheningan. “Matilah aku!” pikir Tomy. Namun anehnya, ia tidak merasakan apa-apa. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat pistol di tangan Jimy terlempar. Rupanya, sebutir timah panas menembus lengan kanan Jimy. Dengan lengan yang berdarah, Jimy masih mencoba menguasai dirinya. Tapi Tomy berhasil melepaskan diri.
Sebaliknya, sepucuk moncong pistol lain kini menempel di pelipis Jimy. Aparat rupanya sudah merencanakan semuanya.
Sewaktu kawanan Jimy digiring ke mobil polisi, kembali Tomy dibuat terkejut. Sri, salah satu pembantu rumah tangga Tante Ndari ada di mobil itu.
“Jadi?” kata Tomy terbata-bata.
“Ya, saya Sri. Cuma sekarang saya sudah kembali ke pekerjaan semula.”
“Jadi, Anda ini Polwan?” Sri mengangguk.
Ternyata sedarah
Esok harinya koran pagi memuat berita tentang keberhasilan aparat polisi menangkap kembali seorang buronan. Setengah halaman lainnya menampilkan foto Jimy Sugiharto dan Ajun Inspektur Polisi I Gde Sutaba - pimpinan operasi.
AIP Sutaba, dalam suatu jumpa pers singkat mengatakan telah berhasil menemukan seseorang yang mirip dengan Jimy. Lalu, ia merancang sebuah operasi yang unik untuk menjebak buronan itu.
Belum selesai membaca surat kabar itu di ruang tunggu khusus, Tomy dipanggil menghadap petugas penyidik. Di ruang itu ia disambut dua orang petugas dengan ramah.
“Terima kasih!” kata I Gde Sutaba dan Sri sambil menjabat tangan Tomy.
“Jadi, Pak Gde yang memasukkan amplop berisi surat dan uang itu ke dalam tas saya?”
I Gde Sutaba hanya tersenyum. Sri, yang ternyata bernama Savitri, menuturkan hasil pelacakannya tentang riwayat Jimy Sugiharto dan Tomy.
“Jangan takut! Skenario ini tidak akan membawa Anda masuk penjara,” Savitri mencoba menenangkan Tomy yang tampak mulai cemas.
Savitri lahir di sebuah desa di Palur, Solo, wilayah yang sama dengan tempat kelahiran Jimy Sugiharto. Tak heran, orang tua Savitri mengenal baik orang tua Jimy.
Savitri kecil banyak tahu tentang kisah keluarga itu dari penuturan ibunya yang masih hidup dan beberapa sesepuh di daerah itu. Makanya, ia tak mendapat kesulitan berarti saat mengumpulkan data yang diperlukan untuk menangani kasus pelarian Jimy dari penjara.
Dulu ada pasangan suami-istri muda usia yang cukup bahagia. Suprapto, sang suami, bekerja sebagai pegawai negeri biasa. Setelah mendapat kesempatan belajar dan dipromosikan, ia lalu ditempatkan di Jakarta. Karena pertimbangan biaya hidup di ibukota yang tinggi, untuk sementara istrinya tetap tinggal di desa.
Sampai suatu hari istrinya yang sudah hamil tua melahirkan bayi kembar. Yang lahir pertama diberi nama Jimy Sugiharto, bayi kedua dinamai Wien Sarwana. Rupanya, si ibu mengalami kesulitan saat akan melahirkan bayi keduanya. Menurut kepercayaan, bayi kedua itu dapat mendatangkan kesulitan hidup keluarga di kemudian hari. Maka, Wien Sarwana diputuskan untuk diasuh oleh orang lain agar keluarganya terhindar dari kesulitan.
Ketika Jimy duduk di kelas 3 SD, Suprapto memboyong keluarganya pindah ke Jakarta. Kehidupan mereka makin membaik. Suprapto berhasil menjalin hubungan dengan kalangan orang penting di negeri ini. Setelah pensiun pun ia dipercaya mengelola beberapa perusahaan besar.
Sayang, anak-anaknya terlalu dimanja sehingga menjadi orang yang manja pula. Sebagai anak tertua, Jimy pun dipercaya memimpin salah satu perusahaan. Namun, usahanya terancam bangkrut. Lebih-lebih setelah ayahnya meninggal. Tindakan Jimy mulai menyerempet-nyerempet hukum. Ia menjadi salah seorang yang menggelapkan uang negara. Belakangan ia menjadi buronan setelah meloloskan diri dari penjara.
Berbagai upaya petugas untuk menangkapnya selalu gagal. Karena itu dibuatlah sebuah operasi untuk menjebak dan menangkap Jimy dengan melibatkan seseorang yang diyakini sebagai saudara kembar Jimy, yaitu Tomy Sutama alias Wien Sarwana.
Kisah hidup yang belum pernah didengarnya itu membuat Tomy sedih. Bukan hanya orang tuanya yang ingin menyingkirkannya, saudara kembarnya pun tak menginginkan dirinya. (Sast)
Baca Juga: Seorang Korbannya Maharaja dari India
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561138/beda-nasib-sejak-bayi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668181313000) } } [11]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448552" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/investigasi-lewat-buku-akuntansi-20220831012320.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(0) "" ["section"]=> object(stdClass)#156 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/investigasi-lewat-buku-akuntansi-20220831012320.jpg" ["title"]=> string(32) "Investigasi Lewat Buku Akuntansi" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:23:37" ["content"]=> string(23118) "
Intisari Plus - Seorang ahli forensik akuntansi, Markopolos diminta menganalisa perusahaan saingannya. Selama dua dasawarsa, Madoff Investment terus laba. Di mana kejanggalannya?
-------------------
Boston, Amerika Serikat, suatu siang di tahun 1999.
Hari itu Markopolos mendapat tugas penting dari bosnya. Ini adalah tugas paling sulit yang pernah ia terima sepanjang kariernya di Rampart Investment Management. Sang bos ingin Markopolos meneliti sedetail-detailnya, bagaimana perusahaan saingannya, Bernard L. Madoff Investment Securities bisa terus membukukan laba tanpa pernah merugi selama dua dasawarsa. Jika rahasia perusahaan Madoff berhasil mereka curi, maka ini akan menjadi lompatan besar bagi Rampart Investment untuk meniru kesuksesan rival mereka itu.
Markopolos memang ahli di bidang forensik akuntansi yang biasa melakukan investigasi keuangan. Meski begitu, ini tetaplah tugas sulit. Madoff Investment terkenal sebagai perusahaan sekuritas yang menjaga rahasia bisnis seperti menjaga aib perusahaan. Tak banyak yang diketahui oleh publik mengenai strategi investasi perusahaan ini. Madoff Investment sangat tertutup dalam perkara ini.
Meski sangat tertutup, Madoff Investment adalah perusahaan sekuritas yang paling diminati di Amerika Serikat, bahkan di dunia. Para nasabah datang dari seluruh penjuru dunia. Tak ada yang mengherankan dengan fakta ini karena memang Madoff Investment menjanjikan keuntungan besar yang konstan sepanjang waktu. Tak ada kata rugi di perusahaan investasi ini. Seolah-olah di sini tak berlaku hukum investasi: makin besar untungnya, makin besar pula risikonya.
Kapan pun seorang nasabah datang menanamkan modalnya, maka ia akan mendapatkan keuntungan tahunan yang konstan sebesar minimal 10-17% sepanjang tahun. Tak peduli apakah perekonomian AS atau bahkan dunia sedang dilanda krisis. Markopolos berusaha mencari informasi tentang Madoff Investment dari berbagai sumber informasi pasar modal. Tapi tak satu pun sumber resmi yang bisa memberi informasi mengenai strategi investasi yang dijalankan oleh pemiliknya, Bernard Madoff. Strategi itu dianggap sebagai rahasia perusahaan yang tidak akan dibocorkan kepada pihak mana pun. Sebab, katanya, khawatir dijiplak.
Bahkan para penanam modal pun tak pernah tahu strategi yang dijalankan Madoff. Mereka hanya tahu bahwa uang mereka terus beranak-pinak. Bagi para penanam modal yang semata-mata mengharapkan keuntungan, strategi investasi mungkin tidak begitu penting. Tapi bagi seorang ahli forensik akuntansi seperti Markopolos, ini adalah fakta yang sungguh aneh. Di era keterbukaan seperti lazimnya bisnis lain di dunia modern, mestinya para penamam modal mendapat penjelasan gamblang mengenai uang yang mereka tanam.
Skema Ponzi
Berbekal informasi resmi maupun tak resmi, Markopolos menyimulasikan semua bentuk strategi investasi yang dikenal di perusahaan pasar modal dengan berbagai kemungkinan. Teori mosaik memungkinkan ia mengolah informasi tak resmi menjadi bahan analisis. Berdasarkan simulasi yang ia lakukan, tak satu pun bentuk instrumen keuangan bisa memberikan keuntungan konstan sepanjang tahun seperti yang ditawarkan oleh Madoff.
Kemungkinan yang tersisa tinggal dua. Kemungkinan pertama, Madoff menjalankan skema investasi yang melibatkan insider trading — perdagangan dengan memanfaatkan informasi rahasia dan ilegal dari orang dalam.
Kemungkinan kedua, Madoff menjalankan strategi investasi tipu-tipu ala skema Ponzi atau skema model lain yang tidak dikenal di dunia keuangan modern. Berdasarkan simulasi matematis yang dilakukan oleh Markopolos, kemungkinan kedua ini jauh lebih besar daripada kemungkinan pertama. Yang kelihatan sangat janggal bagi Markopolos adalah bahwa keuntungan Madoff Investment selalu naik sepanjang tahun secara konstan, mengikuti kurva garis lurus 45 derajat. Ini adalah hal yang mustahil di dunia keuangan.
Markopolos sempat dianggap tidak becus oleh bosnya di Rampart Investment. Bosnya beralasan, Markopolos ditugasi untuk menyelidiki strategi pesaing, tapi ia malah menuduh pesaing itu melakukan penipuan. Markopolos tak keberatan dianggap kurang becus karena memang ia yakin betul Madoff melakukan penipuan.
Tapi apakah mungkin Madoff mempraktikkan penipuan ala skema Ponzi? Ini merupakan bentuk penipuan kuno yang dipratikkan oleh Charles Ponzi, seorang penjahat AS asal Italia pada awal abad ke-20.
Ponzi menawari para pemilik modal untuk menanamkan uang di perusahaan miliknya. Untuk menarik minat mereka, Ponzi menawarkan keuntungan sebesar 50% hanya dalam tempo 45 hari! Jika seseorang menyimpan uang sebesar AS$ 100,- maka dalam tempo satu setengah bulan uangnya akan menjadi AS$ 150,-. Lalu dalam tempo satu setengah bulan lagi, uangnya akan menjadi AS$ 200,-!
Ini jelas sebuah janji yang menggiurkan. Tak ada satu pun perusahaan keuangan yang bisa memberikan keuntungan sebesar itu. Untuk meyakinkan para penanam modal, Ponzi mengatakan bahwa uang itu ia putar dalam bisnis kupon perangko balasan luar negeri.
Menurut bualannya, orang AS bisa memperoleh uang dalam jumlah sangat besar dengan cara menukarkan kupon perangko balasan luar negeri. Cara ini mirip perdagangan valuta asing yang lazim dikenal sekarang tapi dengan cara ilegal.
Caranya, Ponzi menyuruh orang di luar negeri, misalnya Italia, mengirim surat kepadanya berisi kupon perangko balasan yang dibeli di Italia dengan mata uang lokal, yaitu lira. Begitu surat itu sampai di AS, penerima surat bisa menjual kupon itu dengan nilai yang lebih tinggi dalam mata uang dolar. Cara ini, menurut bualan Ponzi, bisa memberi keuntungan hingga 400%.
Bualan ini ternyata berhasil mengelabui banyak orang, terutama para imigran Italia, negara asal Ponzi. Mereka berbondong-bondong menanamkan uang mereka di Old Colony Foreign Exchange Company, perusahaan yang didirikan Ponzi di akhir tahun 1919.
Dalam tempo beberapa bulan, Ponzi sudah berhasil mengumpulkan AS$ 5.000,-. Jumlah ini kira-kira setara dengan AS$ 50.000,- zaman sekarang. Di bulan berikutnya, dana yang berhasil ia himpun meningkat enam kali lipatnya. Ia sampai kewalahan menerima nasabah lalu mempekerjakan pegawai untuk menjadi agen pencari klien dari berbagai wilayah di AS. Para investor itu memang benar-benar memperoleh keuntungan seperti yang ia janjikan. Dalam tempo tiga bulan, mereka menerima keuntungan 100%!
Ponzi selalu menegaskan bahwa keuntungan itu ia peroleh dari jual beli kupon perangko balasan surat luar negeri. Tak ada satu pun nasabah yang curiga. Mereka percaya begitu saja dengan bualan Ponzi. Tak satu pun yang menyangka bahwa “keuntungan” yang diberikan kepada nasabah lama itu sebetulnya adalah uang yang disetorkan oleh nasabah baru.
Skema ini tetap berjalan dengan baik karena memang jumlah nasabah baru terus meningkat setiap bulan. Ponzi sama sekali tidak memutar uang itu dalam bisnis apa pun. la menyimpan kelebihan dana dalam bentuk deposito di Hannover Trust Bank of Boston. Hanya dalam tempo kurang dari satu tahun sejak ia mendirikan perusahaannya, Ponzi telah menjadi seorang jutawan.
Namun kebusukannya tidak berlangsung lama. Jumlah nasabah yang begitu banyak dan keuntungan fantastis yang ia tawarkan membuat para analis keuangan curiga. Tak mungkin ada sebuah mekanisme investasi sehebat itu. Seorang analis keuangan menulis sebuah artikel di koran lokal Boston Post yang menyimpulkan bahwa Ponzi telah menjalankan praktik keuangan ilegal. Tapi Ponzi tak kalah akal. Dia menuntut balik penulis itu dan ia menang. Kebetulan undang-undang pada saat itu lebih berpihak kepada Ponzi karena si penuduh diharuskan mengajukan bukti. Ponzi tak diharuskan melakukan pembuktian terbalik.
Tapi sejak saat itu, sebagian nasabah mulai menaruh curiga. Bagaimana mungkin Ponzi, seorang mantan narapidana, yang semula hanya seorang penerjemah surat itu tiba-tiba menjadi jutawan dalam tempo beberapa bulan. Sebagian dari mereka memutuskan untuk menarik dana yang sudah mereka tanam. Untuk meredam kepanikan itu, Ponzi mengembalikan uang mereka.
Akhir bulan Juli 1920, Boston Post menurunkan liputan investigatif atas skema Ponzi. Saat itu kebanyakan bank hanya bisa menawarkan keuntungan 5% setahun, tapi Ponzi bisa menawarkan keuntungan 100% hanya dalam tempo tiga bulan. Sehari setelah artikel ini terbit, kantor perusahaan Ponzi didatangi ribuan nasabah yang meminta kembali uang mereka.
Para ahli keuangan menyatakan skema Ponzi pasti mengandung unsur ilegal. Logikanya, jika Ponzi benar-benar memutar uang itu di bisnis kupon perangko balasan, mestinya kupon perangko yang beredar di AS jumlahnya jutaan mengingat uang yang dihimpun oleh Ponzi mencapai angka ratusan juta. Dengan perhitungan kasar, aset perusahaan Ponzi mestinya setara dengan jumlah kupon perangko sebanyak 160 juta. Tapi jawatan Pos AS hanya mencatat adanya 27.000 kupon perangko balasan yang beredar.
Laporan investigatif Boston Post ini memicu kepanikan di kalangan nasabah Ponzi. Dalam tempo tiga hari, Ponzi harus mengeluarkan AS$ 2 juta untuk menenangkan nasabah yang panik dan menarik uang mereka. Kepanikan ini sampai mengundang perhatian pemerintah. Setelah keuangan perusahaan Ponzi diaudit, barulah kebusukan Ponzi berhasil diungkap. November 1920, Ponzi masuk penjara, sedangkan namanya masuk buku teks akuntansi: skema Ponzi.
Dilindungi para kroni
Akuntan yang hidup di tahun 1999 seperti Markopolos mungkin bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa sebuah skema investasi mengikuti cara Ponzi. Tapi kini yang dihadapi Markopolos bukan seorang penipu kacangan seperti Ponzi, melainkan Bernard Madoff, mantan kepala pasar modal NASDAQ, salah satu pasar modal terbesar di dunia. Bukan hanya mantan kepala pasar modal, ia juga pialang terbesar ketiga di NASDAQ.
Bedanya lagi, Ponzi sudah terkenal sebagai penipu yang beberapa kali masuk penjara sebelum menjalankan skema keuangan tipuannya. Ia menawarkan keuntungan yang terlalu besar sehingga modus penipuannya dengan mudah dikenali. Madoff sama sekali berbeda. Ia tidak punya catatan sebagai penipu. Ia juga tidak menawarkan keuntungan sebesar skema Ponzi, melainkan hanya 10-17% setahun. Tapi Markopolos tahu ada sesuatu yang tak beres dengan skema Madoff.
Markopolos semakin curiga ketika menemukan fakta bahwa lembaga keuangan itu sepenuhnya dikelola oleh keluarga dekat Madoff. Posisi-posisi penting dikuasai oleh keluarganya, mulai dari istri, saudara, anak, keponakan, hingga sepupu. Bahkan, lembaga yang mengaudit keuangan Madoff Investment pun ternyata milik seorang kerabat dekat Madoff.
Karena belum bisa mengajukan bukti yang cukup kuat untuk dipakai di pengadilan, Markopolos hanya bisa menulis laporan kepada Securities & Exchange Comission (SEC), Badan Pengawas Pasar Modal AS. la menyarankan SEC melakukan investigasi untuk menyelidiki kemungkinan penipuan oleh Madoff. Di dalam laporannya itu, ia meminta agar identitasnya dirahasiakan karena alasan keamanan. Jika Madoff mengetahui identitas pembuat laporan itu, sangat mungkin Markopolos dan keluarganya akan menjadi sasaran tembak Madoff.
Sekalipun laporannya sudah cukup lengkap untuk digunakan sebagai awal penyelidikan, Markopolos tidak berhasil menarik perhatian pejabat SEC. Mereka malah meledek Markopolos agar lebih berhati-hati dalam memberikan laporan. Bisa-bisa ia dijerat pasal pencemaran nama baik.
Terungkap lewat anaknya
Selama bertahun-tahun, Markopolos menyempurnakan laporannya itu dan membawanya ke berbagai lembaga yang bisa mengambil inisiatif penyelidikan atas Madoff. Tapi tak ada satu pun yang tertarik dengan laporan itu. Sekalipun Markopolos seorang ahli forensik akutansi yang kredibel, hasil investigasinya kalah oleh nama besar Madoff di dunia pasar modal AS.
Ia membawa laporannya ke Meaghan Cheung, seorang kepala cabang SEC. Tapi Cheung tak berminat sama sekali membaca laporannya. Ia juga mengirimkan laporannya kepada wartawan investigatif Wall Street Journal, tapi si wartawan juga tidak tertarik untuk melakukan investigasi. Markopolos juga mengirimkan memonya kepada beberapa orang jaksa. Tapi mereka juga tidak menganggap laporan itu cukup layak dipercaya.
Sebagian jaksa yang ia kirimi memo itu malah ternyata penanam modal di Madoff Investment. Sebagian lainnya ternyata masih punya hubungan kekerabatan dengan Madoff. Seorang staf SEC, Eric Swanson, diketahui ternyata adalah suami dari keponakan Madoff. Markopolos juga menemukan fakta bahwa saudara kandung dan beberapa kerabat Madoff menduduki posisi-posisi penting di lembaga pengawasan pasar modal.
Selama bertahun-tahun Markopolos tak putus asa membawa memonya ke berbagai lembaga dan individu. Sebagai ahli forensik akuntansi, ia tahu betul ada kejanggalan dengan skema investasi Madoff. Markopolos sempat berharap banyak ketika tahun 2003 SEC mengaudit keuangan Madoff Investment. Tapi harapan Markopolos itu sirna ketika SEC menyimpulkan, tidak ada indikasi penipuan.
Hingga akhirnya di penghujung tahun 2008, Markopolos mendengar kabar penting yang kemudian menjadi titik terang penyelidikannya. Dua anak Madoff, Mark Madoff dan Andrew Madoff, terlibat skandal penggelapan pajak dan harus berurusan dengan pengadilan. Kebetulan keduanya menjadi pejabat penting di lembaga keuangan milik ayahnya.
Pada tanggal 10 Desember 2008, anak-anak Madoff memberi kesaksian bahwa aset Madoff Investment sebetulnya tidak sebesar angka yang diklaim di dalam laporan keuangan resmi perusahaan itu. Kesaksian ini menyadarkan para pejabat SEC bahwa laporan Markopolos yang selama bertahun-tahun diabaikan itu ternyata memang benar. Tak butuh waktu lama, sehari setelah kesaksian kedua anaknya, Madoff ditangkap oleh agen FBI dengan dakwaan penipuan.
Di pemeriksaan awal ini, Madoff tak bisa mengelak dari dakwaan. Aset perusahaannya memang tidak sebesar angka yang ditulis di laporan keuangan yang diumumkan ke publik. la mengaku aset itu hilang karena dicuri. Tapi analisis Markopolos membuktikan bahwa pencurian itu hanya bualan.
Penangkapan Madoff ini menjadi berita menggegerkan. Selain Markopolos, tak satu orang pun menyangka bahwa Bernard Lawrence Madoff, pialang kelas dunia, mantan kepala pasar modal NASDAQ, ternyata adalah seorang penipu ulung. Selama tiga dekade terakhir ia menjalankan tipuan kuno ala Ponzi tapi dengan kamuflase gaya baru.
Beberapa hari setelah penangkapan Madoff, FBI juga berhasil menggagalkan usaha Ruth Alpern, istri Madoff, yang hendak mengalihkan kekayaannya ke luar negeri. Pada bulan Maret 2009, pengadilan membuktikan bahwa Madoff terbukti bersalah karena telah menipu ribuan investor dengan nilai miliaran dolar AS. Para nasabah yang telah menanamkan uang hanya bisa mengumpat Madoff karena keputusan pengadilan ini berarti memastikan lenyapnya uang mereka.
Madoff mengaku mulai menjalankan skema Ponzi tahun 1990-an. Tapi tim investigasi federal menemukan bukti bahwa Madoff telah melakukan kejahatan ini sejak 1980-an. Pada akhir Juni 2009, pria kelahiran New York 29 April 1938 ini divonis dengan hukuman 150 tahun penjara.
Sebelum tertangkap, Madoff tak punya rekam jejak melakukan kejahatan. la seorang miliuner yang dermawan. la dan keluarganya hidup dengan standar kaum jetset Amerika, rumah mewahnya bertebaran di mana-mana. la juga seorang filantropis yang punya yayasan amal Madoff Family Foundation. la bahkan menjadi direktur di lembaga sosial dan pendidikan Yahudi. Keluarga Madoff juga donatur Partai Demokrat. Anak-anak Madoff bahkan menjadi penyandang dana lembaga nirlaba yang melakukan penelitian mengenai kanker.
Steven Spielberg pun jadi korban
Setelah Madoff dipenjara, publik baru sadar bahwa semua kebaikan Madoff itu tak lain adalah topeng untuk menutupi kejahatannya. Mereka baru sadar kenapa Madoff Investment sepenuhnya dikelola oleh keluarga dekat Madoff. Mereka bersedia menutupi kebohongan perusahaan itu seperti menutupi aib keluarga.
Madoff juga sengaja menggunakan jasa lembaga pengaudit yang dimiliki oleh keluarganya supaya kejahatannya tidak terbongkar. Madoff Investment seperti sebuah kerajaan bisnis yang dilindungi oleh dinding benteng di semua penjuru angin. Lembaga keuangan yang selalu melaporkan laba tinggi setiap tahun itu ternyata hanya sebuah skema Ponzi dalam skala besar.
Ketika kejahatan Madoff terbongkar, masyarakat AS mencela SEC yang dinilai tidak layak dipercaya. Tahun 2003 mereka pernah melakukan audit tapi hasilnya menunjukkan tak ada yang salah dengan bisnis Madoff. Hasil investigasi ini dicela karena dianggap dilakukan dengan asal-asalan. Sungguh tidak masuk akal bagaimana mungkin kejahatan sebesar itu tidak berhasil diungkap lewat investigasi yang dilakukan oleh badan pengawas pasar modal AS yang biasanya menjadi rujukan dunia.
Terbongkarnya kejahatan Madoff membuat masyarakat dunia tercengang. Sejarah selalu berulang. Di awal abad ke-20, Charles Ponzi menipu dengan modus yang sangat mudah dikenali. Lalu di akhir abad, Bernard Madoff kembali melakukan penipuan serupa dalam skala yang jauh lebih besar. Korbannya tidak hanya warga Amerika, tapi juga bank-bank dan lembaga keuangan multinasional di Eropa dan Asia.
la memanfaatkan kedekatannya dengan para rabbi untuk memikat para pemodal dari kalangan Yahudi. Para miliuner AS berhasil ia kelabui. Sutradara film Steven Spielberg pun berhasil ia bujuk untuk menanamkan modal lewat yayasan amalnya, Wunderkinder Foundation.
Secara cerdik, Madoff tidak menawarkan keuntungan 100% dalam tempo tiga bulan seperti Ponzi, tapi hanya 10-17% selama setahun. Ini adalah kamuflase yang sangat licik karena keuntungan yang ditawarkan sebesar ini tidak begitu mencurigakan. la bisa membayar para nasabah lama dengan uang setoran nasabah baru lalu menyimpan sisanya sebagai deposito di bank, salah satunya Chase Manhattan Bank.
Dengan janji keuntungan yang “hanya” 10-17% itu, lembaga keuangan miliknya bisa bertahan selama tiga dasawarsa. Jauh berbeda dari lembaga keuangan Ponzi yang hanya bertahan beberapa bulan.
Madoff mendirikan Bernard L. Madoff Investment Securities tahun 1960-an. la menakhkodai sendiri perusahaan itu hingga hari penangkapannya. la seorang pekerja keras yang memulai perusahaannya dari nol dengan modal awal AS$ 5.000,- yang ia peroleh dari bekerja sebagai penjaga pantai dan pemasang instalasi penyiram air.
Modal itu ia gunakan untuk jual beli saham dalam skala kecil. Pelan-pelan usahanya tumbuh sampai akhirnya ia bisa menarik perhatian para investor kelas kakap. Karena prestasinya di dunia pasar modal, ia pernah terpilih sebagai salah satu kepala pasar modal NASDAQ.
Awalnya Madoff menjalankan skema investasinya dengan cara yang legal. Tapi sejak tahun 1980-an, ia mulai melakukan praktik penipuan gaya Ponzi. Skema Ponzi ini telah menjadi modus umum yang banyak dipraktikkan oleh para penipu di semua negara di seluruh penjuru dunia, dengan berbagai bentuk kamuflase. Namun tak ada yang sanggup bertahan sampai tiga dasawarsa seperti Madoff Investment.
Ini tak lain karena kepiawaian Madoff menciptakan kamuflase yang semirip mungkin dengan skema yang lazim dipraktikkan oleh manager investasi. Tapi secerdik apa pun Madoff menciptakan kamuflase, seorang ahli forensik akuntansi seperti Markopolos tak bisa dibohongi. Madoff bisa berbohong tapi angka-angka di buku akuntansi tak pernah berdusta.
Sebelum berita tentang skandal Madoff memenuhi siaran-siaran televisi AS, Markopolos bukan orang yang terkenal. Tapi begitu ia berhasil mengungkap skandal Madoff, seketika ia menjadi pesohor. Pria keturunan Yunani ini lulus Master di bidang keuangan dari Boston College tahun 1997.
Ketika ia memberi kesaksian di hadapan Senat, semua kawan lama Markopolos bersaksi bahwa integritas Markopolos memang tak perlu diragukan. Sejak dulu ia bersedia bekerja tanpa dibayar jika menyangkut sesuatu yang berkaitan dengan keyakinannya. Faktanya ia memang menginvestigasi kejahatan Madoff selama sembilan tahun dengan biayanya sendiri.
Bulan Maret 2010, Harry Markopolos, yang kemudian dijuluki media massa AS sebagai pahlawan Amerika dari Yunani itu menerbitkan hasil investigasinya dalam buku setebal 361 halaman yang ia beri judul “No One Would Listen: A True Financial Thriller”. Judul ini menggambarkan secara persis perjuangannya membawa hasil investigasi ke mana-mana. Selama lebih dari sembilan tahun, tak ada satu orang pun yang bersedia mendengarkan.
Intisari Plus - Sebagai kepala bagian kredit yang baru diangkat, Fandi harus mencari penyebab aliran dana yang cukup besar untuk kredit. Di tengah itu, anaknya tiba-tiba diculik dan ia dimintai sejumlah uang tebusan.
-------------------
Badai reformasi yang diawali taifun krismon akhirnya menerpa Bank Pembangunan Negara (BPN) juga. Namun bagi sebagian orang, ini peluang untuk maju. Fandi baru saja diangkat sebagai kepala bagian kredit di Bank PN, cabang Jl. Sudirman, Jakarta. Sebagai karyawan yang baru 2 tahun bekerja di bank pemerintah ini (3 tahun lamanya ia pernah bekerja di sebuah bank swasta), itu lonjakan besar. Namun, siapa peduli dengan lama masa jabatan? Bukankah sekarang saatnya bicara prestasi, bukan gengsi atau kolusi?
Sarjana perbankan yang tengah menyelesaikan studi Magister Manajemennya di UI ini memang tipikal anak muda masa depan: daya pikirnya tajam, bicaranya lugas, gerak-geriknya tangkas. Sebagai atlet yudo, kewaspadaannya juga cukup terlatih. Kelebihannya yang terakhir ini sering kali berfungsi sebagai alarm bagi Fandi, di tengah himpitan pekerjaan dan aneka kegiatan.
Pagi itu, hari pertama ia masuk sebagai kepala bagian. Sedan 1.000 cc yang dibeli kredit saat ia masih di bank swasta itu, diparkirnya di bawah kerindangan pohon angsana. Meski sudah cukup tua, kendaraan itu kebanggaannya, hasil jerih payahnya yang pertama. Karena dirawat baik, kondisinya juga masih lumayan bagus.
Pikirannya terus menerawang sambil secara otomatis menarik rem tangan, mematikan mesin, menyambar tas, keluar dari mobil, menghidupkan alarm mobil, dan bergegas ke gedung. Sekilas ia melirik sebuah sedan 1.600 cc yang diparkir di sebelah kanan mobilnya. “Ah, siapa tahu, sebentar lagi, gue bisa punya mobil baru ....” gumamnya sambil tersenyum kecil. Pembawaannya yang optimistis terkadang melarutkannya dalam mimpi yang kurang menginjak realita.
“Menginjak bumi” lagi, terbayang di ruang matanya wajah lucu seorang bayi 8 bulan, dengan bandana melibat kepalanya. Itu Raisa. Kemudian wajah wanita muda yang cantik meski kadang-kadang terlalu ceriwis .... Vina, ibu anak itu.
Didorongnya pintu kaca tebal. Baru ada satpam dan bagian kebersihan. Belum satu pun teller yang tampak.
Ditengoknya sekilas arloji. Baru 07.30. Jam kerja resmi dimulai pukul 08.00, meski layanan kepada nasabah baru pukul 08.30. Tapi, Fandi tidak suka membuang waktu bermacet-macet di jalan. la lebih suka datang kepagian, dengan kepala masih segar. Apalagi, banyak yang harus dikerjakan hari ini. Maklum, pos baru, bos baru, lingkup pekerjaannya juga baru.
Password baru
la terus naik tangga ke lantai dua mezanine. Di sana berderet ruang para manajer menengah dan puncak. Dari sana pula bisa dilihat kesibukan para nasabah dan layanan garis depan di bawah. Sampai di pintu yang bertuliskan Kepala Bagian Kredit, ia berhenti, lalu mendorong pintunya.
Serentak ia terhenti. Di dalam sudah ada Bram yang sedang sibuk bebenah. Bram, teman sekelasnya di Akademi Perbankan, sudah 5 tahun bekerja di bank ini. Sampai sekarang mereka masih berteman baik, bahkan lewat Bram juga Fandi dulu mengetahui ada lowongan penyelia teller di sini. Pagi itu Bram tampak agak gugup.
“Hai, Fan, gimana kabar baru, nih?”
“Ah, biasa-biasa saja,” Fandi menjawab asal-asalan. Ada sedikit rasa kikuk harus menjawab apa. Siapa pun akan demikian karena pos yang dijabatnya sekarang, sebelumnya dipegang Bram. Bram sendiri diturunkan ke tingkat penyelia dan diperbantukan ke kabag akunting.
Setelah ngobrol sebentar, Bram beranjak ke luar. Fandi meletakkan tasnya di meja samping. Diputarnya arah duduknya sehingga menghadap komputer.
Di mana pun bekerja, sarana inilah yang pertama kali ia tengok. Kelengkapan kecanggihan programnya memberikan gambaran akan pemakai sebelumnya. Fandi sendiri bukan maniak komputer tetapi termasuk orang yang berusaha memanfaatkan segala kecanggihan komputer dalam pekerjaannya. Sekadar untuk pengamanan, password segera diubahnya. Lalu ia meng-install program pengaman tambahan. Dalam soal uang, kehati-hatian tidak akan pernah merugikan.
Setelah melewatkan sekitar 15 menit berkenalan dengan program-program yang ada di komputer itu, terdengar pintu dibuka seseorang. Terdengar suara renyah, “Ai, Pak Fandi, pagi amat? Mau kopi?” Fandi menengok sekilas. Wajah kenes Ayu muncul dari balik pintu. Sekretaris serba bisa yang sejak krismon “dipaksa” untuk membantu dua kabag sekaligus, bagian kredit dan akunting.
“Thanks, Yu. Air sajalah. Ada berita untuk saya hari ini?”
“Nanti saya cek dulu, Pak,” sahut Ayu.
Dimintai tolong
Selain pesan e-mail dari Ayu, yang bunyinya, “Welcome to your new post” ada e-mail lain: “Fandi, nanti siang pukul 13.00 di Kafe Komodo. Ada sesuatu yang kita perlu bicarakan.” Pengirimnya Pak Binsar, mantan kepala cabang yang setelah digeser kabarnya akan berbisnis restoran. Karena rasa ingin tahu bercampur rasa segan pada mantan kepala cabang, ia langsung meng-OK-kan ajakan itu.
Hari itu agenda utama Fandi adalah konsolidasi dengan kepala cabang baru, dan manajer-manajer menengah lain. Ibu Ros sebelumnya mengetuai komisi kredit macet, dinilai cukup berhasil dalam membuat terobosan sehingga likuiditas bank terselamatkan. Kini dalam kondisi keruwetan perbankan semakin kusut, perempuan tegar ini dipercaya untuk memimpin kantor cabang yang dipandang oleh kantor pusat sebagai salah satu mesin uang mereka.
Mengitari meja kayu di ruang rapat Ibu Ros, lima orang pria dan satu perempuan siap dengan berkas masing-masing.
“Sesuai agenda rapat, saya mau dengar dulu laporan dari kalian semua,” ujar Ibu Ros sambil membetulkan letak kacamatanya yang modis. Ibu Ros sebenarnya cukup manis juga, asalkan tidak sedang membahas masalah, pikir Fandi. Usianya sekitar 45 tahun. Dengan dandanan anggun dan setelan hijau lumut, hari itu ia tampak lebih manis dari biasa.
Bagian akunting melaporkan neraca hari kemarin yang secara keseluruhan tidak menampakkan gejolak berarti. Kegiatan nasabah akhir-akhir ini memang berkurang. Perputaran dana tidak seberapa. Kalau di beberapa bank lain nasabah besar sudah mentransfer dananya ke bank di luar negeri, Bank PN beruntung memiliki beberapa nasabah besar yang masih “setia”.
Barangkali karena kinerja bank ini sejak dulu memang lebih condong low profile dan konservatif. Kesetiaan mereka sebagian juga berkat usulan terobosan Ibu Ros sebelum menjadi kepala cabang yang telah mengusulkan beberapa konsesi bagi para nasabah yang menahan dana mereka di bank itu.
Apalagi dengan suku bunga yang mencekik leher, segala alternatif usaha untuk sementara dimasukkan ke file dulu. Mereka lebih suka memarkir dana dalam bentuk deposito.
Akhirnya, Ibu Ros menengok ke Fandi. “Bagaimana dengan kredit?” tanyanya.
Fandi berterus terang, ia baru sampai pada tahap mengumpulkan informasi. Hanya, sekilas ia melihat ada aktivitas dana dalam jumlah besar selama beberapa bulan terakhir yang tidak disangkanya terjadi dalam kondisi resesi begini. Tapi, ia berjanji akan mengamati lebih lanjut. Rapat selesai dalam waktu 40 menit tetapi Ibu Ros telah membagi-bagikan “PR” kepada semua anak buahnya yang sifatnya masih pengumpulan data dan informasi.
Siang itu Fandi memenuhi undangan Pak Binsar di Kafe Komodo. Penampilan pria yang sudah mendekati usia pensiun ini tetap perlente meski arogansinya masih tetap membayang. Maklumlah, walau telah terjegal udara reformasi, selama 15 tahun terakhir ia bertahan di manajemen puncak. Ada desas-desus, manajemen pusat mencurigainya telah memanfaatkan jabatannya untuk berkolusi sehingga perusahaan dirugikan.
“Bagaimana kabarnya, Fan? Apa teman-teman baik?” tanyanya sambil menjabat tangan Fandi dan tangan kirinya mempersilakan duduk. Setelah basa-basi bicara soal situasi politik dan ekonomi mutakhir, tibalah saat yang dinantikan Fandi.
Transfer ke Singapura
“Begini Fan. Kita ‘kan sudah kenal lama. Dulu you bisa diterima di Bank PN juga dengan persetujuan saya ‘kan? Sekarang saya butuh bantuan you sedikit. Saya rasa tidak akan merepotkan dan dijamin saya tidak akan melupakan jasa baik you.”
“Kalau bisa, tentu saya tidak keberatan, Pak,” jawab Fandi.
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba Pak Binsar mendorong secarik kertas di meja ke arahnya. Di situ tertera: 125 juta rupiah, nomor rekening atas nama Koeswarjito. Lalu nama Anthony Chew dan nomor rekening lain di sebuah bank di Singapura.
“Saya minta tolong supaya you transfer dana ini, dari rekening yang tercatat di situ ke Singapura.”
“Lo, Pak, kenapa tidak langsung saja ke teller?”
“Ah, saya tidak mau menarik perhatian.” Sejenak ia diam, lalu melanjutkan, “Bagaimana, bisa ‘kan?”
Fandi mengiyakan. Kertas ia masukkan ke saku kemejanya.
“Ini surat kuasanya, just in case,” ujar Pak Binsar lagi sambil menyerahkan map berisi surat bermeterai.
“Famili Bapak?” tanya Fandi tak kuasa menahan rasa ingin tahu.
“Ah, tidak. Cuma teman baik saja. Teman baik ‘kan biasa saling menolong,” Pak Binsar menebar senyum.
Balik ke kantor, Fandi kembali menghadapi komputernya. la sudah bertekad akan menyajikan laporan lengkap tentang kondisi bagian kredit keesokan harinya karena tahu, dengan Ibu Ros orang harus tanggap dan bekerja cepat.
Salah satu yang membangkitkan minatnya, ya, lalu lintas dana cukup besar beberapa bulan terakhir ini. Intuisinya membisikkan ada sesuatu yang tidak beres.
Semakin lama menekuni data-data di layar monitor, semakin kentara tampilnya sebuah nama yang sering sekali muncul. Haseline Hasibuan tercatat menerima fasilitas kredit sebesar 15 miliar rupiah (Oktober), 30 miliar rupiah (Desember), 10 miliar rupiah (Februari) dan 5 miliar rupiah lagi pada bulan Mei.
Dari data nasabah, Haseline Hasibuan beralamatkan Jakarta Selatan, tercatat sebagai dirut PT Permata Lestari, pengembang real estate. Fandi termenung sambil bertopang dagu. la teringat keluh-kesah Hertanto, seorang nasabah yang kontraktor. “Susah Pak Fandi, tidak ada proyek.” Bahkan adiknya sendiri yang bekerja di sebuah kantor pengembang bercerita, betapa perusahaannya sudah banting harga tetapi orang malah membatalkan niat mengkredit rumah.
Sesuai peraturan, ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat memperoleh kucuran kredit. Terlebih di musim kredit macet begini. Prasyarat itu berupa bukti yang menunjukkan perusahaan masih produktif. Selain itu, ada mekanisme kontrol untuk menjamin fasilitas kredit benar-benar digunakan untuk memajukan usaha.
Dalam situasi resesi berat ini, bisnis pengembang termasuk yang paling telak terpukul. Maka ia tidak habis pikir, bagaimana PT Permata Lestari masih bisa bertahan. Sebab kalau tidak, tentu Bank PN tidak akan mengucurkan kredit bukan? Namun, nalurinya lebih condong pada kemungkinan lain. la mencium bau kolusi, dan di mana-mana kolusi selalu ditemani oleh korupsi.
Pernah naksir Vina
Mengingat narasumber yang bisa ditanyai toh tidak jauh dari situ, Fandi segera bangun, keluar menuju ruangan Bram di ujung koridor. “Omong-omong mungkin lu bisa kasih gue info tentang ini.” Disodorkannya lembar print out data kredit untuk Haseline Hasibuan.
Bram membaca lembaran-lembaran itu.
“O, Haseline Hasibuan. Salah satu nasabah kita yang terlama. Catatan angsurannya bersih, lancar sehingga diputuskan, komitmen kita yang sudah digolkan pertengahan tahun lalu, tetap dilaksanakan. Dia memang perempuan jago. Orang lain kelenger, dia masih berjaya. Jangan khawatir, sudah kita cek semua.”
“Apa sih proyek-proyeknya?” desak Fandi.
“RSS di Semarang dan Surabaya. Juga beberapa mal di kota-kota kecil,” jawab Bram.
“Bukannya itu malah berisiko tinggi macet di masa sekarang?” Fandi mempertanyakan.
“Nyatanya tidak. Buktinya, angsurannya tetap lancar,” tukas Bram santai.
Fandi kembali ke ruangannya dengan informasi lebih dari cukup tentang proses pemberian kredit kepada Haseline Hasibuan berikut segala macam keterangan, formal maupun informal, termasuk latar belakang wanita itu dan betapa menariknya wanita itu. Di komputernya ia membuat catatan-catatan temuannya, sembari menuliskan juga langkah-langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Untuk sementara, ia masih menganggap kawannya itu sumber info yang dapat dipercaya.
Keesokan paginya saat ia masuk ke kantornya lagi, ada hal remeh yang sempat mengganggunya. Foto Vina bersama Raisa yang ia taruh di meja, jatuh ke lantai. Meski berkarpet, kacanya pecah berkeping-keping. Sejak kapan di sini ada kucing, pikirnya. Di luar, sepasang mata memandang pintu yang tertutup.
Penyusup
Rapat pagi dengan Ibu Ros ditunda hingga sore hari karena ia mendadak dipanggil ke kantor pusat sehingga Fandi dapat langsung bekerja di depan komputer. Begitu komputernya dihidupkan, saat hendak mengetik password, ada kedap-kedip di sebelah kanan atas layarnya. Jantungnya berdetak keras. Program pengaman yang di-install-nya kemarin, memberikan fasilitas “penjaga pintu” yang akan melaporkan bila terjadi sesuatu di luar kebiasaan. Kedip-kedip itu pertanda file -nya sudah dikunjungi penyusup.
Darahnya mulai mengalir kencang. Jari-jemarinya menari cepat di atas keyboard. Program satpamnya itu mencatat, usaha pembobolan yang gagal itu terjadi pada pukul 21.18. Berarti sekitar 1/4 jam setelah ia pulang kemarin.
Pikirannya mengilas balik apa yang ia kerjakan kemarin, data apa saja yang ia masukkan yang kira-kira diinginkan oleh sang penyusup. Siapa dan mau apa bajingan itu?
Tangannya terus bermain, hampir seperti otomatis. Sampai suatu ketika setelah menekan tombol “enter”, jari-jarinya terpaku, matanya terpentang lebar.
Di layar terpampang nama-nama dan angka-angka. Disambarnya kertas print out yang ia tunjukkan Bram kemarin. Ada sesuatu yang menggugah. Matanya beralih dari layar ke kertas, dari kertas ke layar. Ada empat tanggal di kertas yang persis lebih awal 3 hari dari 4 tanggal di layar. Di belakang masing-masing tanggal tercatat nama nasabah, nomor rekening dan sejumlah dana yang besarnya antara 125-375 juta rupiah. Ini suatu kebetulan yang keterlaluan.
Ketika dilihat pada data transfer, ternyata tiga dari keempat tanggal itu adalah hari dilakukannya transfer dana dari nama-nama itu ke sebuah rekening di bank Singapura atas nama Anthony Chew. Yang belum ditransfer tinggal jumlah 125 juta rupiah dari rekening atas nama Koeswarjito. Ia bersiul.
Maka dapat disimpulkan, setiap kali terjadi pengucuran kredit bagi Haseline Hasibuan, 3 hari kemudian ada transfer dana ke rekening atas nama Anthony Chew di Singapura. Setelah kredit sebesar 15 miliar rupiah (Oktober) mengucur yang ditransfer sejumlah 375 juta rupiah. Menyusul kredit sebesar 30 miliar rupiah (Desember), ditransfer sebesar 750 juta rupiah. Demikian pula di bulan Februari, setelah 10 miliar rupiah cair, 3 hari kemudian ditransfer sejumlah 250 juta rupiah ke rekening Anthony Chew. Semuanya langsung dikurskan ke dolar Amerika, sebelum ditransfer.
Jumlah dana yang ditransfer persis 2,5% dari jumlah dana kredit yang cair. Dana 125 juta rupiah yang belum ditransferkan itupun persis 2,5% dari kredit 5 miliar rupiah yang cair di bulan Mei untuk Haseline Hasibuan. Bukankah ini jelas suatu prosedur pemberian komisi? Tetapi siapakah keempat orang pemilik rekening ini dan siapakah Anthony Chew, dan bagaimana kaitannya dengan Pak Binsar? la mengaku berteman baik dengan Koeswarjito.
Telepon berdering. Ternyata dari Pak Binsar. la menanyakan apakah permintaan transfernya sudah dikerjakan.
“Oh, baru akan saya kerjakan hari ini,” jawab Fandi.
“Please, jangan meleset. Jangan lupa, begitu dilaksanakan, saya tidak lupa pada jasa you.”
Jantungnya berdebar-debar. “Tampaknya, intuisiku tidak keliru,” gumamnya dalam hati. Tapi bagaimana melacaknya?
Esok paginya, kembali ada tanda kedap-kedip di layar monitornya, saat ia hendak mengetikkan password. “Bangsat ini mesti kubekuk,” gumamnya. Program satpamnya masih cukup canggih atau si penerobos kurang ilmu. Ia pastikan harus dapat membongkar apa di balik semua ini secepat mungkin.
Sedikit demi sedikit terungkap juga kaitan segala data yang membuatnya penasaran itu. Ia temukan suatu hal yang lebih menarik lagi. Setiap kali Haseline Hasibuan mencairkan dana kreditnya, 2 hari kemudian empat nasabah (Sita Lestari, Tino Baharudi, Donna Kusuma, dan Koeswarjito) menerima transfer dana dari Bank Inrama. Pada hari berikutnya, dana sebesar itu ditransfer lagi ke Singapura ke rekening atas nama Anthony Chew, kecuali transfer terakhir ke rekening Koeswarjito.
Si penerobos yang gagal itu pasti menginginkan akses ke dana Koeswarjito ini yang belum sempat ditransferkan. Apakah dia Koeswarjito sendiri? Atau, suruhan pihak lain? Mengapa yang satu ini tertinggal? Mengapa saatnya bertepatan dengan digantinya (secara agak mendadak) Pak Binsar dan beberapa pejabat lain di bawahnya, termasuk Bram?
Diculik
Fandi seperti melihat secercah cahaya. Tiba-tiba telepon berdering. la sama sekali tidak siap mendengar suara Vina terbata-bata sambil menangis.
“Fan, Fan, Raisa ... Raisa ... dicul... diculik!”
“Hah!?”
Fandi akhirnya dapat memahami alur cerita istrinya yang sedang panik. Pagi itu, sekitar pukul 08.00 ia berangkat ke pasar. Raisa ditinggalkan di rumah bersama pengasuhnya. Sekitar 1 jam kemudian, ketika pulang ia menemukan pengasuh anaknya terduduk lemas sambil menangis di tangga rumah. Secara naluriah matanya langsung mencari kereta bayi anaknya. Keretanya ada tetapi terjungkir di sudut pekarangan.
“Raisa!! Mana Raisa ....?!”
Si pengasuh mengatakan, “Saat Ibu pergi, saya menyuapi Raisa bubur di teras karena makannya ‘kan lebih lancar bila dilakukan sambil memandang burung atau kupu-kupu. Kemudian datang mobil boks. Kata pria berseragam yang mengetuk pagar, mereka mengantarkan paket titipan kilat. Karena paketnya besar, ia minta dibukakan pintu pagar. Begitu pintu dibuka, dari balik mobil menerjang masuk seorang wanita muda yang lalu menyambar Raisa, melompat kembali ke dalam boks yang lalu ditutup. Orang yang tadi bicara dengannya juga ikut naik ke mobil dan kabur.”
Fandi mengambil napas dalam-dalam. Lalu dengan suara tenang ia berkata,
“Kamu tetap tenang di rumah. Saya kira sebentar lagi kamu akan menerima telepon.”
Dua puluh menit kemudian, Vina menelepon Fandi. Seseorang menelepon, mengaku membawa anak mereka (bahkan tangis Raisa pun diperdengarkan di telepon). Orang itu hanya mengatakan, jangan coba menelepon polisi, akibatnya bisa fatal. Begitu selesai mendengarkan laporan Vina di telepon, ia bergegas ke luar, ke meja Ayu. Tapi yang ada Dewi, salah seorang dari bagian administrasi. “Ayu sakit bulanan,” katanya.
“Wi, mana katalog data bank?” ujarnya.
Dewi mengambilkan dan menyerahkannya tanpa bersuara. Seingat Fandi, Bank Inrama itu salah satu bank kecil yang baru didirikan sekitar 2 tahun lalu.
Dalam katalog data tentang bank itu tercatat besarnya aset dan ekuitas, kemudian nama para pemegang saham, juga alamat kantor-kantornya. Jarinya mengikuti nama-nama yang berjajar. Ini dia. Johnson Hasibuan.
Tidak lama telepon di ruang sekretaris preskom Bank Inrama berdering. “Bank Inrama, selamat siang,” ujar si sekretaris. “Mbak, saya dari toko bunga Melati. Bapak Hasibuan memesan bunga untuk ucapan selamat ulang tahun bagi istrinya tapi kami lupa menanyakan nama Ibu Hasibuan. Boleh saya tahu nama beliau?”
“Oh, tentu dong. Ibu Haseline.”
Tukar di bandara
Ketika Fandi masuk ke ruangannya lagi, terdengar bunyi “brak!” dari pintu tembus ke ruang sebelah. Diliriknya komputer yang tadi tak sempat dimatikan. Untung ia selalu berhati-hati menutup file dulu setiap akan meninggalkan ruangan. Segera dibukanya pintu tembus, masuk ke dalam ruang rapat. Sekelebat ia melihat seseorang berlari menuju koridor. Saat dikejar, orang itu memilih tangga darurat.
“Bagus,” desis Fandi. Ia tak pernah menyangsikan staminanya, meski harus naik tangga ke lantai atas sekalipun. Orang itu memilih turun, menuju basement. Fandi tidak mau menyerah. Ketika tiba di basement, didengarnya deru mobil menjauh. Ia terlambat. Fandi meninju dinding di dekatnya, gemas.
Kembali ke ruang kantor, Dewi telah menunggu dengan informasi dan berita yang ditulis di kertas.
“Pesan dari Bu Vina, Pak,” katanya.
Fandi membaca pesan itu. “Kita harus menebus anak kita dengan AS$ 10.000 tunai, dalam pecahan AS$ 100, 50, dan 20, dibawa sendiri nanti malam pukul 19.00 ke Bandara Soekarno-Hatta, terminal internasional. Jangan menghubungi polisi dan mesti tunggu di depan Gate 1. Jika tidak, anak kita akan tidak jelas nasibnya.”
Fandi mengecek ke komputernya lagi. Terlihat ada usaha memberikan perintah transfer dan dari rekening atas nama Koeswarjito. Tapi, usaha itu gagal. Setelah melacak cukup dalam, tahulah ia mengapa rekening itu tidak dapat diakses dari teller di bawah. Ia dimasukkan dalam file khusus yang hanya dapat diakses oleh kabag kredit. Jadi bukan karena “tidak mau menarik perhatian” Pak Binsar tidak langsung ke teller, tetapi karena memang tidak bisa.
Mekanisme lewat teller itu diciptakan entah untuk menjaga kerahasiaan atau keamanan. Lagipula, bila ada apa-apa, bukankah ia tinggal menuding kabag kredit yang waktu itu dipegang Bram? Sial bagi Pak Binsar, Fandi memberlakukan pengamanan lebih, dengan kode otorisasi khusus pula, bagi semua file kabag kredit yang dipegangnya. Akibatnya, Bram tidak dapat lagi mengakses dana atas nama Koeswarjito yang tertinggal belum ditransfer itu.
Diduganya, Bram-lah orang yang selama ini berkali-kali mencoba membobolnya. Namun, ia curiga, kini Bram bekerja untuk kepentingan sendiri. Kalau tidak, untuk apa Pak Binsar menghubunginya langsung, bahkan secara terselubung menjanjikan hadiah kepadanya?
Diliriknya arloji. Pukul 14.30. Dari kantor ke Cengkareng butuh waktu sekitar 40 menit sehingga masih ada waktu sekitar 4 jam. Sebaiknya, memang berkonsultasi dengan Ibu Ros karena ini menyangkut dana dalam jumlah banyak. Juga sudah terbukti ada seseorang yang berusaha melakukan tindakan ilegal di banknya.
Ibu Ros ternyata sedang mencarinya karena kantor pusat hari itu mendesak agar ketidakberesan di bagian kredit yang semakin tercium oleh mereka, segera dibereskan. Mereka sepakat menelepon Polda Metro Jaya.
Dengan Letkol (Pol) Jajang Suwarman, disepakati, tuntutan penculik akan pura-pura dipenuhi. Fandi akan memenuhi perjanjian dengan pergi ke tempat pertemuan, membawa bungkusan “uang” dalam kantung plastik belanjaan. Sementara itu, ia akan dibayang-bayangi aparat. Ia diinstruksikan untuk melakukan pertukaran, hanya bila anaknya sudah ada di tangan.
Pukul 18.40 Fandi sudah di terminal 2, diantar sopir perusahaan. Dengan gerak dibuat sewajar mungkin ia melangkah masuk ke lobi. Matanya mencari-cari nama “Gate 1”. Sekilas pandangannya menyapu orang-orang yang lalu-lalang di sana. Perhatiannya khusus pada orang-orang yang membawa bayi. Ia menyesal tidak menanyakan kepada Vina, pakaian apa yang dikenakan Raisa ketika diculik. Membawa bayi dalam operasi semacam ini tentu tidak mudah.
Ada main
Di tengoknya arloji. Pukul 18.55. Belum waktunya. Ketika matanya sedang nyalang melihat ke sana-kemari, sebuah tepukan keras menerpa punggungnya.
“Hai, Fan, ngapain ke mari?” Suara yang familiar. Ia menoleh dan berhadapan dengan wajah ceria Bram. “Lu sendiri, ngapain?” ia balik bertanya.
“Ah, gue mau ke Singapura, paman yang ngundang. Sekalian lihat-lihat kemungkinan di sana. Masa krisis begini, mesti kreatif, Fan.”
“Oh,” kecurigaan Fandi semakin meningkat. Bram pasti berada di balik ini semua. Ia tidak punya waktu dan kesabaran untuk berbasa-basi. Segera dihentaknya kerah kemeja Bram.
“Jangan main-main. Mana anak gue?”
“Anak? Anak apa?” Saat itu berkelebat wanita yang berlari di jarak sekitar 10 m. Ia segera menggendong sesuatu. Secara refleks Fandi melepaskan cengkeramannya lalu mengejar wanita itu. Tetapi aparat yang mengawalnya lebih cepat. Dalam sekejap wanita itu sudah terhadang, lalu digandeng menuju ke arahnya.
Fandi terbengong-bengong memandang Ayu yang kebingungan hendak menaruh wajah di mana. “Benarkah ini anak Bapak?” tanya sang petugas. “Ya,” sambil diambilnya Raisa.
Ayu hanya menunduk. Saat aparat memborgol tangan mereka, Bram protes keras, “Apa-apaan ini? Apa salah saya?” Tapi Ayu memohon, “Tolong, Pak, jangan tangkap dia. Dia tidak tahu apa-apa.” Tapi aparat tegas berkata, “Saudara-saudara ditangkap atas tuduhan penculikan dan pemerasan.”
Kepada polisi, Bram bercerita sudah lama ia berpacaran dengan Ayu, sejak ia masih menjadi kabag kredit. Namun karena keinginan Ayu sendiri, mereka sepakat tidak mengumumkan hal itu dulu. Soalnya, khawatir cepat-cepat disuruh kawin oleh orang tuanya, sementara kondisi keuangan belum memungkinkan. Janji Pak Binsar akan memberi Bram pekerjaan tidak kunjung dipenuhi, maka ia memutuskan akan melihat-lihat kemungkinan kerja di Singapura. Kebetulan, seorang pamannya bekerja di konsulat RI di negeri jiran itu.
Ayu sendiri menjadi elemen kejutan bagi Fandi. Terus terang diakuinya, selama ini dialah yang mencoba membobol file Fandi. Dari Bram, ia mengetahui dana di rekening Koeswarjito yang belum ditransfer ke Singapura itu. Tapi, kalau Bram menganggapnya sebagai bagian dari masa lalu yang pahit, Ayu melihatnya sebagai peluang untuk membebaskan diri dari himpitan ekonomi keluarga. Apalagi, ia sudah cepat-cepat ingin membina mahligai bersama kekasihnya itu.
Dihubunginya Pak Binsar untuk menawarkan jasa, tetapi ditolak karena Binsar berniat menghubungi Fandi langsung. Maka, ia pun berinisiatif berlomba dengan waktu untuk menyikat dana itu. Sebagai sekretaris, dari komputernya ia tidak dapat mengakses file untuk tingkat manajer ke atas sehingga terpaksa setiap kali ia harus mencuri kesempatan menggunakan komputer Fandi. Tidak kunjung berhasil, ia nekat menculik anak Fandi, untuk minta tebusan yang jumlahnya kira-kira 125 juta rupiah, tergantung kurs yang berlaku. Dengan uang cukup, tinggal di mana pun oke, meski tidak di tanah air sendiri. Demikian pikirnya.
Pak Binsar sendiri malam itu juga diciduk dari rumahnya di pemukiman elite Pondok Indah. Bersamanya ditahan juga Haseline Hasibuan yang ternyata ada main dengan dia. Keduanya diajukan ke meja hijau dengan tuduhan sedikit berbeda. Haseline dituduh melakukan penipuan karena meminta fasilitas kredit untuk perusahaan yang ternyata fiktif sehingga merugikan kepentingan umum.
Pak Binsar dituduh melanggar hukum karena menciptakan empat rekening fiktif, korupsi, membantu penipuan, serta menyalahgunakan kepercayaan dan jabatan. Mereka dinyatakan bersalah. Haseline Hasibuan diganjar 6 tahun, sedangkan Pak Binsar 5 tahun penjara. Namun, belum berarti urusan Pak Binsar selesai karena ia pun dinantikan oleh aparat keamanan Singapura dengan tuduhan memalsukan identitas dan membuat rekening di bank berdasarkan data palsu.
Malam itu, ketika bertemu dengan istrinya, baru Fandi teringat untuk bertanya, suara penculik di telepon itu pria atau wanita? “Wanita,” kata Vina. “Kenapa?”
Fandi hanya menggelengkan kepala. “Andaikan saya tidak beranggapan dia pria,” desahnya. (Lily Wibisono)
" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400890/ingin-cepat-kaya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659534643000) } } [13]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350088" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/28/seorang-korbannya-maharaja-dari-20220628020227.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "Setahun menjadi sekjen Interpol, Sicot menangani kasus penipuan permata. Pelakunya sangat cerdik dan mampu menipu seperti tukang sulap." ["section"]=> object(stdClass)#164 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/28/seorang-korbannya-maharaja-dari-20220628020227.jpg" ["title"]=> string(37) "Seorang Korbannya Maharaja dari India" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-28 14:03:22" ["content"]=> string(39039) "
Intisari Plus - Setahun setelah memangku jabatan sebagai sekjen Interpol, Sicot menangani kasus penipuan permata. Penipuan ini terjadi di berbagai negara selama lima tahun. Pelakunya sangat cerdik dan mampu menipu seperti tukang sulap.
------------------
Dari jendela kantornya Marcel Sicot memandang ke langit kelabu yang memayungi Kota Paris. Cuaca sedang sesuram hatinya. Sudah hampir setahun ia memangku jabatan sebagai sekretaris jenderal Interpol, namun yang mengesankan cuma nama jabatannya itu, selebihnya serba morat-marit. Kantornya sempit dan penyekat-penyekatnya dibuat dari karton. Setiap ada orang bersin agak keras, ia khawatir semua dinding penyekat itu ambruk.
Sebelum memangku jabatan baru ini Sicot adalah direktur dan inspektur jenderal Surete Nationale, yaitu Kepolisian Nasional Prancis. Kadang-kadang Sicot berpikir, apakah ia tidak salah pilih ketika meninggalkan Surete untuk memegang jabatan baru ini?
Kantornya terletak dalam gedung darurat, yang dibangun terburu-buru setelah perang selesai. Letaknya di Porte Mailot, jauh dari pusat kota. Di kantor yang disediakan oleh Kementerian Dalam Negeri itu ia hanya mempunyai tiga lemari arsip. Mana mungkin ia bisa membentuk sistem arsip di tempat itu? Padahal ia memiliki sekitar sepuluh ribu perangkat sidik jari.
Anggaran yang diperolehnya pun kecil. Bagaimana Interpol akan dianggap serius, kalau pesan-pesan mereka ke-35 negara anggota cuma dikirim dengan pos biasa?
Pikiran-pikiran semacam itu terus mengganggu Sicot, karena ia bukan polisi yang biasa-biasa saja. Ia memiliki visi dan sangat cerdas.
Penipunya sama terus
Pagi ini ia merasa risau, karena mengingat serangkaian kejahatan internasional yang seharusnya ditangani oleh Interpol. Ketika itu terjadi penipuan permata di pelbagai negara dan setiap kali penipu yang mempunyai kecekatan tangan seperti sulap itu lenyap tanpa bisa diketahui ke mana perginya.
Cara penipu mendekati pedagang permata memberi kesan ia paham betul seluk-beluk bidang benda berharga itu.
Laporan yang tertera pada kartu-kartu indeks Interpol hanya singkat. Laporan pertama datang dari Zurich. Kejahatan itu dilakukan bulan Oktober 1947. Jadi, sudah lima tahun yang lalu. Di situ dijelaskan bahwa seseorang yang mengaku bernama Wyeber berhasil menukarkan permata asli dengan permata palsu, sehingga seorang pedagang permata dirugikan.
Dari berbagai laporan berikutnya, diperoleh gambaran yang sama mengenai rupa si penipu. Ia berumur kira-kira 35 tahun, bertubuh pendek tetapi kekar. Rambutnya yang coklat itu berombak dan kumisnya terpelihara baik. Ia mengenakan kacamata. Tingkah lakunya menunjukkan ia bukan orang sembarangan dan juga terpelajar. Ia bisa berbahasa Spanyol, Hongaria, Ibrani, Rusia, Jerman, dan Yiddish. Cirinya yang lain ialah: ia sangat pandai menarik hati orang lain.
Korban mula-mula tertarik pada si penipu berpakaian rapi itu, karena sikapnya yang tidak tercela dan tampak terpelajar. Pokoknya, ia memberi kesan seorang manusia yang sama sekali tidak perlu dicurigai. Kemudian ia akan lenyap dengan membawa serta sekantung permata milik korban.
Mungkinkah penipuan-penipuan yang polanya mirip itu dilakukan oleh satu orang saja?
Marcel Sicot merenung. Tiba-tiba ia menegakkan kepala dan mengetuk penyekat tipis di belakang tempat duduknya. Sesaat kemudian muncul sekretarisnya yang tampak kelelahan, karena harus mengerjakan pekerjaan yang mestinya dilaksanakan oleh beberapa sekretaris.
"Saya ingin meminjam tiga tenaga yang cakap dari Surete Nationale untuk menangkap penipu," katanya. Sicot pun mendiktekan surat yang isinya bertujuan meyakinkan polisi akan pentingnya permintaan itu. Suratnya itu tidak bertele-tele, namun fakta-fakta dikemukakan secara cermat.
Seperti tukang sulap
Beberapa hari kemudian muncul tiga detektif yang diminta: Raymond Brigandat, Roger Haffa, dan Maurice Renault. Mereka harus berdesak-desakan dalam kantor Sicot, karena tempat itu sempit. Sicot segera memberi keterangan yang diketahuinya mengenai si penipu.
"Ia sangat profesional," katanya. "Untuk mengerti bagaimana ia beraksi, kalian harus mengerti cara kerja pasaran intan internasional."
Menurut Sicot, pasaran intan dikuasai oleh orang Yahudi ortodoks. Hanya dengan menjadi bagian dari mereka, si penipu bisa berhasil mengakali korbannya. Di pasaran itu tidak ada kontrak-kontrak berdasarkan hukum ataupun tanda terima. Semuanya dilaksanakan atas dasar kepercayaan.
"Intan berlainan dengan emas. Ia tidak mempunyai harga yang pasti. Setiap calon pembeli bisa mempunyai penilaian yang berbeda tentang sebutir intan. Jadi, harganya tergantung pada selera si pembeli.
"Selain itu bisnis intan merupakan dunia yang penuh rahasia. Jual-beli dirahasiakan dari petugas pajak dan polisi. Biasanya pembelian dilakukan dengan uang kontan atau tukar tambah. Penjual maupun pembeli harus mengandalkan naluri dan intuisinya, supaya jangan tertipu."
"Bisa diduga bahwa penipuan-penipuan di dunia perdagangan intan jarang dilaporkan kepada yang berwajib. Kejahatan yang akan kita usut ini biasanya dilaksanakan setelah batu-batu permata diperiksa dan tercapai kesepakatan harga. Menurut kebiasaan, batu-batu yang akan dijual itu ditaruh di atas dua lapis kertas intan.”
“Kertas itu dilipat dengan cara yang khas beberapa kali dan pada sebuah ujungnya dituliskan jumlah karat dari batu itu. Bungkusan itu dimasukkan ke sebuah sampul yang kemudian dilipat. Harga yang sudah disetujui ditulis di sampul itu. Kedua pihak, yaitu pembeli dan penjual, menaruh inisialnya di sampul dan sampul itu pun disegel dengan lilin."
"Penipu yang ingin kita tangkap itu ternyata pandai menukarkan batu yang asli dengan barang yang palsu di depan hidung pemilik batu asli. Ia sudah berbekal sampul yang sama dengan yang asli. Sampul itu juga sudah ditandatangani dan disegel dengan lilin. Kalau ia bertindak sebagai penjual, amplop yang dibekalnya itu berisi permata palsu. Kalau ia bertindak sebagai pembeli, amplop itu isinya uang-uangan."
Sampul itu ditukarnya dengan yang ada di meja. Jadi, ia membeli intan asli dengan uang palsu dan mendapat uang asli untuk intan palsu.
"Menurut perjanjian, sampul itu baru boleh dibuka kalau penjual dan pembeli bertemu kembali, umpamanya keesokan harinya. Si penipu bisa saja memberi alasan bahwa ia masih memiliki intan lagi atau uang di rumah untuk ditambahkan dan benda itu akan ia bawa keesokan harinya. Kalau keesokan harinya ia tidak muncul, barulah korban curiga dan bergegas membuka amplop. Saat itulah biasanya mereka baru insaf bahwa mereka ditipu," demikian keterangan Sicot.
Satu set sidik jari di jendela
Sicot juga menjelaskan bahwa menurut perkiraannya, penipuan itu dilakukan oleh satu orang, karena Interpol menerima keterangan yang sama terus mengenai si pelaku dari para korban di pelbagai tempat. Penipu itu ahli Talmud, bahasa Ibraninya baik sekali dan murni.
Ia ahli intan dan biasanya berkenalan dengan korban di sinagoga. Rasanya tidak mungkin ada sejumlah orang yang mempunyai gambaran yang sama dengan gambaran itu. Sicot juga menambahkan kepada para detektif itu bahwa mereka harus bepergian jauh untuk melacak si penipu.
Minggu berikutnya Renault pergi ke London, Zurich, dan Wina untuk meneliti lebih saksama dokumen-dokumen polisi mengenai peristiwa itu. Brigandat dan Haffa melakukan penyelidikan di gang-gang kecil di Montmartre, Paris, tempat bisnis intan dilakukan.
Pada saat menerima laporan tebal dari tiga detektif itu, Marcel Sicot juga sudah mendapat kabar perihal beberapa pencurian intan yang dilakukan secara nekat di pelbagai bagian dunia. Dengan cermat dibacanya laporan para detektif untuk lebih memahami lagi dunia perdagangan intan dari cara penipu menjelaskan kejahatannya. Sayangnya, tidak ada satu sidik jari si penipu pun yang tiba ke tempatnya.
Sicot merasa hatinya bergejolak, ketika bulan Juli 1952 Detektif Haffa melaporkan satu kasus penipuan intan lagi. "Caranya, sama dan dilakukan oleh dua orang," lapor Haffa. Penipuan itu dilakukan di Meksiko dan salah seorang dari penipu itu meninggalkan satu set sidik jari!"
Haffa bercerita kepada Sicot:
"Dua orang pria masuk ke toko permata di kota kecil Baja California. Mereka ingin membeli sejumlah permata. Seorang di antaranya mengaku bernama Fabian Blas Chandey Rossano. Sebelum pergi ia meninggalkan seperangkat sidik jari di kaca meja tempat ia dilayani. Ketika kemudian ternyata mereka menipu, polisi yang menyelidiki peristiwa itu mengambil sidik jari tersebut."
Haffa membawa contoh sidik jari itu dan anak buah Sicot pun repot mengukurnya dengan sidik jari yang ada dalam arsip mereka. Karena pada masa itu belum dipakai peralatan secanggih sekarang, baru beberapa jam kemudian mereka menemukan sidik jari yang cocok. Ternyata sidik jari itu sama dengan yang dimiliki seseorang bernama Hersz Chazan.
Sicot lantas memanggil tiga orang detektif andalannya dan secara bersama-sama memeriksa berkas tentang Chazan. Ternyata pria itu pertama kali tercatat melakukan kejahatan tahun 1949. Di Lisboa, Portugal, ia menipu seorang pemilik toko permata dan membawa kabur intan seharga AS $ 20.000.
Diketahui pula ia beberapa kali melakukan kejahatan dengan nama Chande. Ia baru tertangkap tahun itu di Israel, di bawah nama Pedro Cambo. Untuk kejahatan melakukan penipuan kecil di Israel itu ia mendapat hukuman ringan, namun sidik jari dan fotonya dikirimkan ke Interpol.
Dari keterangan itu diketahui bahwa Cambo itu sama dengan Chande dan nama aslinya Chazan. Sejak waktu itu tidak ada lagi laporan kejahatan yang dibuatnya.
Apakah ia berhenti berbuat kejahatan selama itu ataukah kejahatannya luput dari berkas Interpol? Apakah ia orang yang dicari oleh Sicot ataukah ia cuma sekadar membantu?
Orang sekampung
Ternyata penipuan yang dijalankan oleh dua orang yang berpasangan itu makin sering terjadi, paling sedikit satu penipuan besar mereka lakukan setiap bulan dan mereka selalu lolos.
Bulan September 1952 dua pria yang mirip dengan gambaran Chazan dan temannya melarikan permata senilai AS $ 2.000 dari sebuah toko di Jenewa. Setelah membaca detail tentang mereka, Sicot yakin bahwa teman Chazan yang mengaku sebagai Goldberg itu tidak lain dari orang yang ia cari.
Menurut laporan, seorang penjual permata bernama Moshe Gross pergi bersembahyang ke sinagoga pada suatu sore. Tahu-tahu ia didekati seorang asing yang menyatakan baru datang ke tempat itu. Orang itu mengaku bernama Goldberg, berasal dari Khust di daerah yang sekarang merupakan bagian dari Ukraina.
Mereka ternyata mengenal beberapa orang yang sama dari Khust, sehingga asyiklah keduanya mengingat-ingat masa lalu. Gross begitu terpesona oleh Goldberg, sehingga ketika mengetahui orang asing itu tidak mempunyai kenalan di Jenewa, ia dengan tulus mengajak Goldberg makan malam di rumahnya.
Sesudah menikmati makanan lezat yang dimasak oleh istri Gross, keduanya mengobrol lagi. Ternyata Goldberg itu tahu betul hukum Yahudi, sehingga Gross lebih terpukau lagi. Gross kemudian berkata bahwa ia menjual arloji dan kain halus buatan Swiss.
Ia memperlihatkan beberapa contoh dan berdua mereka mengaguminya. Kata Goldberg, temannya, Horowitz, yang akan tiba di Jenewa keesokan harinya, mungkin mau membeli barang dagangan Gross. Kalau Gross tidak keberatan, ia akan membawa Horowitz ke tempat Gross. Tentu saja Gross mau.
Setelah mengobrol lagi, Goldberg menyatakan ia membawa sejumlah besar dolar Amerika. Uang itu pernah hilang, tetapi berhasil kembali utuh, padahal ia sudah tidak berani mengharapkannya lagi. Sesuai dengan tradisi, ia ingin menyumbangkan sebagian sebagai tanda terima kasih.
Kini, karena tinggal di hotel kecil, ia khawatir uang itu lenyap untuk kedua kalinya. Ia bertanya apakah malam itu uangnya bisa dititipkan kepada Gross. Gross tidak keberatan. Belum pernah ia bertemu orang yang menaruh kepercayaan begitu besar kepadanya.
Gross merasa mendapat kehormatan besar dari tamunya. Goldberg menyerahkan uang itu - yang ternyata asli - tanpa menghitung jumlahnya yang tepat dan tanpa meminta tanda terima.
Ketawa yang mahal
Keesokan paginya Goldberg kembali membawa Horowitz. Horowitz ternyata ingin membeli beberapa arloji yang dijual Gross, tetapi ia ingin menjual dulu tiga butir intan lepas dan dua cincin intan.
"Saya bukan ahli intan," kata Gross. "Saya tidak mungkin memberi tahu nilai intan itu, tapi dengan senang hati saya bisa menanyakan kepada teman saya."
Goldberg dan Horowitz setuju. Mereka meninggalkan intan itu pada Gross dengan janji akan kembali kemudian. Gross menanyakan harga intan itu kepada temannya, yang memberi harga AS $ 12.000.
Ketika Goldberg, Horowitz, dan Gross bertemu lagi di apartemen Gross, Horowitz berkata bahwa harga yang disebutkan itu cukup pantas, tetapi ia ingin berpikir dulu.
"Sebaiknya memang dipikirkan dulu baik-baik," kata Gross. "Jangan terburu-buru."
Horowitz perlu berbelanja. "Apakah Anda tidak keberatan untuk memberi uang muka dulu sedikit?" tanyanya kepada Gross. "Sebagai jaminan, intan itu saya tinggalkan dan juga sebuah cek."
Horowitz menulis cek untuk AS $ 2.000 dan Gross memberinya uang dalam bentuk franc Swiss. Ia juga mengundang dua orang itu untuk datang nanti malam ke rumahnya, menikmati masakan istrinya.
Mereka setuju dan Goldberg menganjurkan agar sebelumnya mereka bertemu dulu di sinagoga. Gross setuju. Gross menunjukkan bahwa ia menaruh intan dan cek dalam sebuah jambangan dekat dinding di kamar makan.
"Uang Anda saya taruh di sini juga," katanya. Tempat itu tidak akan dikira maling sebagai tempat menaruh barang berharga. Goldberg dan Horowitz berdiri juga dekat jambangan itu, ketika Goldberg membuat lelucon yang membuat mereka bertiga tertawa terbahak-bahak.
Setelah itu dua tamu tersebut minta diri untuk pergi ke sinagoga. Ia menunggu-nunggu kedatangan tamu-tamunya, tetapi mereka tidak muncul. Pukul 20.30 ia pulang dengan waswas. Diperiksanya jambangan. Ternyata intan dan uang titipan sudah lenyap. Rupanya dicomot penipu pada saat Gross terbahak-bahak mendengar lelucon. Cek yang ditinggalkan sudah tentu cek kosong.
Sebulan sesudah peristiwa penipuan di Jenewa itu, Sicot menerima laporan dari Scotland Yard. Chazan dan mitranya melarikan intan seharga £ 600 di Leeds, Inggris. Bagaimana ia bisa malang melintang di pelbagai negara, walaupun Interpol sudah berulang-ulang memberi peringatan kepada yang berwajib di pelbagai bagian dunia?
Dicegat di Belgia
Tidak lama setelah itu Komisaris Jenderal Kepolisian Belgia Firmin Franssen (kemudian ia menjadi ketua Interpol) menerima bisikan bahwa dua maling intan yang terkenal kelicinannya sedang dalam perjalanan menuju ke Belgia.
Antwerpen di Belgia merupakan salah satu pusat intan terpenting di dunia. Di sana uang dalam jumlah besar berganti tangan setiap hari dalam dunia perdagangan intan. Polisi Belgia pun menyiapkan pengawasan dan perlindungan khusus di kota itu.
Menurut desas-desus, salah seorang maling itu bernama Chande. Yang seorang lagi bernama Simonetti. Simonetti itu bertubuh kecil dan berkacamata. Ia terpelajar, pandai bicara. Jadi, cocok dengan gambaran yang diberikan Interpol. Konon keduanya pernah melakukan kejahatan di Meksiko dan New York.
Cepat-cepat Franssen menyurati J. Edgar Hoover, direktur FBI di Washington, D.C. sambil melampirkan foto Chande dan gambaran tentang Simonetti. Franssen mengharapkan Hoover bisa memberi keterangan lebih banyak tentang kedua orang itu, karena ketika itu FBI mempunyai arsip sidik jari yang paling baik.
Tanggal 23 Desember Hoover menjawab. Ia memberi keterangan mendetail tentang kejahatan yang dilakukan dua orang itu di Meksiko dan New York, namun menyatakan tidak mempunyai sidik jari Simonetti.
Seandainya punya pun mereka sudah terlambat memberi tahu Franssen, sebab sebelum surat itu datang, kedua penipu itu sudah berhasil menggaet batu permata di Antwerpen.
Tanggal 10 Desember seorang pria yang mengaku bernama Benyamin Rabinowitz masuk ke sinagoga yang penuh orang. Mula-mula ia cuma menjadi pendengar diskusi mengenai hukum-hukum Yahudi seperti yang termuat dalam Talmud. Lalu dengan cara yang simpatik ia ikut menyuntikkan pendapatnya.
Tidak lama kemudian ia sudah terlibat dalam diskusi itu. Lama-kelamaan orang lain asyik menjadi pendengarnya. Mereka terpesona akan pengetahuannya mengenai isi Talmud. Dari caranya berbicara Yiddish, salah seorang di antara mereka merasa yakin ia berasal dari Hongaria, dekat perbatasan Rumania.
Sesudah diskusi selesai, Rabinowitz diundang minum teh ke rumah Pincus Rubin. Mereka ternyata mengenal beberapa orang yang sama di kamp Nazi, sehingga mereka mengobrol tentang nasib teman-teman tersebut kemudian.
Setelah mengobrol kira-kira satu jam, Rabinowitz secara sambil lalu berkata bahwa ia mempunyai beberapa intan dan perhiasan yang ingin ia jual. Ia bertanya, apakah tuan rumah mengenal orang yang bisa dipercaya, yang berniat membeli benda-benda itu?
Rubin memandang batu-batu yang diperlihatkan Rabinowitz, lalu mengusulkan beberapa nama. Ia bahkan memberikan kartu namanya untuk dipakai sebagai pembuka pintu.
Rabinowitz kembali ke sinagoga. Ketika itu kepandaiannya sudah diketahui teman-teman Pincus Rubin. Jadi, mudah saja baginya mendapat kepercayaan seseorang bernama Sieberstein.
Kepada orang itu Rabinowitz menyatakan ingin menjual dua buah intan dan ingin membeli seuntai kalung permata untuk istrinya. Ephraim Silberstein mengundang Rabinowitz ke apartemennya yang sempit di Large Kievitstraat no. 5.
Silberstein seperti banyak orang lain yang kena tipu sebelumnya, bukanlah pedagang besar intan, melainkan pedagang kecil yang umumnya hidup dari komisi.
Seperti halnya pembicaraan bisnis lain, mula-mula mereka mengobrol dulu tentang hal lain. Rabinowitz mengaku pedagang tekstil di Negeri Belanda. Setelah itu barulah ia mengeluarkan kedua intannya yang diperiksa di bawah lup oleh Silberstein.
Kedua intan yang besarnya di atas dua karat itu dinilai bagus dan Silberstein menawarkan diri untuk membawanya pada Beurs untuk dinilai harganya. Ia juga akan sekalian membawa kalung permata untuk dilihat oleh Rabinowitz. Silberstein merasa mendapat kehormatan, karena Rabinowitz begitu percaya padanya.
Wanita memang susah
Menurut Beurs, harga intan-intan Rabinowitz itu sekitar 250.000 franc Belgia atau kira-kira AS $ 5.000 waktu itu.
Silberstein memilih dari temannya seuntai kalung yang anggun, bukan yang mencolok, sebab orang terpelajar seperti Rabinowitz diperkirakannya tidak suka barang-barang yang norak. Kalung itu terdiri atas seratus intan kecil dan sedang yang diikat dengan platina. Kalau kalung itu laku dijual pada Rabinowitz, ia akan menerima komisi dari penjual.
Rabinowitz datang ke apartemen Silberstein sekitar pukul 14.00. Tamu itu membawa seorang teman yang diperkenalkan sebagai Blas. Mereka disambut hangat. Nyonya rumah, Esther, dan pembantunya yang bernama Rosa, sibuk menyediakan suguhan.
Silberstein menyerahkan dua intan Rabinowitz dan mengeluarkan juga kalung permata yang anggun. Esther dan Rosa yang kebetulan ada dekat pintu ruangan sampai terpukau melihat keindahannya. Rabinowitz membawanya ke dekat jendela untuk dipandangi dan berkata kepada temannya, Blas: "Ah, cantiknya! Bagaimana pendapatmu? Apakah Rebecca akan menyukainya?"
"Wanita memang susah," jawab Blas. "Diberi topi dia ingin sepatu. Diberi sepatu, dia ingin mantel."
"Ah, mustahil barang seindah ini tidak ia sukai," kata Rabinowitz.
"Eh, rasanya Rebecca tidak pernah memakai kalung. Apa kau ingat ia pernah memakai kalung? Dia senang bros 'kan?"
Wajah Rabinowitz tiba-tiba berubah. "Kau benar," katanya seperti orang kecewa. "Ia selalu memakai bros." Lalu ia berkata kepada Silberstein. "Tuan Silberstein, saya minta maaf, karena merepotkan Anda. Bisakah saya dibawakan bros saja? Bros yang seindah kalung ini?"
Silberstein agak kecewa juga, namun ia menyanggupi. Ia bilang ia akan buru-buru pergi ke kantornya untuk mengambil beberapa bros. Ia minta tamu-tamu itu bersabar menunggunya.
Rabinowitz sekali lagi minta maaf, karena merepotkan dan Silberstein luluh hatinya, karena sikap Rabinowitz yang tampak betul-betul menyesal. Silberstein bermaksud membawa pergi kalung permata yang sudah ditolak itu, tetapi Rabinowitz meminta agar kalung itu ditinggal dulu agar keindahannya bisa ia nikmati lebih lama. "Ini benar-benar hasil seni," katanya. Silberstein senang, karena pilihannya dihargai begitu tinggi. Jadi, benda berharga itu ditinggalkannya di atas meja.
Agar Silberstein merasa tidak curiga, Rabinowitz menawarkan diri untuk menemani Silberstein pergi ke kantornya dengan Blas. "Bagaimana, Blas?" tanyanya. Blas menguap dan menyatakan ia lelah sekali. Jadi, mereka berdua tidak jadi ikut dengan Silberstein.
Hampir semaput
Silberstein sendiri merasa senang kedua tamu itu tidak jadi ikut. Ia tidak mau keduanya tahu bahwa ia cuma pedagang kecil yang hidup dari komisi. Sebelum berangkat dicomotnya dua intan milik Rabinowitz, untuk dimasukkan ke dompetnya.
Namun ketika ia akan melangkah ke luar, Rabinowitz bertanya apakah Silberstein tidak takut dicopet? Silberstein berpikir bahwa intan itu masih milik Rabinowitz. Jadi, ia tidak bisa lain daripada mengeluarkannya lagi dari dompet untuk ditinggalkan di meja bersama kalung.
Sesudah suaminya pergi, Esther minta diri untuk meneruskan pekerjaannya di dapur. Rabinowitz mengikutinya dan berdiri mengalangi pintu untuk bercerita mengenai bisnis tekstilnya di Negeri Belanda.
Ia juga minta nasihat Esther perihal kalung dan bros. Kemudian Blas minta izin pergi ke WC. Di apartemen seperti itu WC hanya bisa dicapai lewat dapur. Rabinowitz pun kembali duduk di dekat meja makan, tempat intan dan kalung ditaruh.
Waktu Blas kembali dari WC ia berdiri agak lama di dapur dan mengalangi pandangan Esther ke kamar makan.
Kemudian Rabinowitz berkata kepada Esther bahwa tampaknya Silberstein pergi agak lama. Ia minta izin untuk berbelanja sebentar. "Maklum kalau saya pulang anak-anak biasanya bukan menyambut karena rindu, tetapi karena ingin oleh-oleh," katanya.
Kedua orang itu pun pergi. Setelah mereka keluar dari apartemen, Esther merasa waswas. Jangan-jangan nanti suaminya marah, karena ia membiarkan tamu-tamu itu pergi.
Benar saja! Tidak lama kemudian Silberstein yang kembali membawa bros merasa kaget sekali mendapati kedua tamunya sudah lenyap. "Esther, Esther, mana mereka? Mana kalung itu?" Kalung dan intan-intan di meja sudah lenyap!
Silberstein terhenyak di kursi. Ia tidak bisa berbicara apa-apa lagi, walaupun diguncang-guncang oleh istrinya. "Polisi! Cepat, polisi!" teriak Esther. Bertiga dengan Rosa mereka berlari ke jalan.
Yang diperoleh polisi dari rumah Silberstein hanyalah sidik jari kedua maling itu. Sidik jari itu tertera dengan jelas di gelas minum mereka. Sore itu foto sidik jari mereka dikirim ke Marcel Sicot di Interpol. Blas tidak lain dari Chazan. Chazan kita ketahui dikenal sebagai Fabian Blas Chandey Rossano.
Menurut FBI, Rabinowitz mungkin Luis Simonetti. la memiliki paspor dengan nama Simonetti dan pernah masuk AS dengan visa atas nama itu. Nama aslinya mungkin Weider. la mempergunakan juga banyak alias, antara lain Shapiro.
Nama Shapiro dipakainya di Meksiko untuk menggaet intan dan perhiasan senilai AS $ 6.000. Di New York dengan nama Weider ia pergi bersama Chande ke toko perhiasan untuk menjual enam buah intan yang dihargai AS $ 6.000. Pemilik toko setuju membelinya, namun hanya memiliki uang kontan AS $ 4.000.
Weider dan Chande bersedia meninggalkan intan itu dan akan kembali mengambil sisanya AS $ 2.000 lagi. Intan itu dimasukkan ke amplop dan disegel menurut cara yang biasa. Saat itu Weider minta rokok dan ketika ditinggal sebentar, ia menukarkan isi amplop itu dengan beling biasa.
Dibantu FBI
Marcel Sicot senang sekali mendapat keterangan yang berharga itu. Setelah memeriksa foto, sidik jari, dan sebagainya, ia dan rekan-rekannya sependapat bahwa Simonetti adalah pria yang mereka cari dan Chanzan merupakan pembantunya. Sicot yakin, kalau saja Simonetti masuk ke Prancis, ia akan tertangkap.
Sicot menunggu laporan dari tempat-tempat pemeriksaan paspor di perbatasan. Beberapa minggu kemudian ia menerima laporan, tetapi bukan yang diharapkannya. Simonetti sudah masuk Prancis, tetapi sudah keluar lagi dengan selamat.
Di Nice, Simonetti menipu petugas gadai. Ia mengaku bernama Basel Horowitz dan mendapat pinjaman 1 juta franc dengan jaminan kalung yang gambarannya mirip sekali dengan kalung yang dicuri dari Silberstein. Ketika keesokan harinya petugas gadai memeriksa kalung, ternyata benda itu cuma replika.
Beberapa hari kemudian Simonetti muncul di Paris dengan nama Steimer dan mengeduk intan seharga 600.000 franc.
Berapa banyak paspor dimiliki Simonetti? Pikir Sicot. Ia merasa tidak berdaya.
Laporan berikutnya datang dari Pretoria di Afrika Selatan. Tanggal 17 Maret 1953 dua pria yang digambarkan mirip betul Simonetti dan Chazan berhasil membawa kabur intan seharga £ 5.500. Sicot tambah sibuk menghubungi seluruh dunia.
Ternyata di Port Louis, ibu kota Mauritius, Chazan tertangkap. Simonetti lolos. Sicot mengirim berita ke pelbagai bandara di Eropa, untuk meminta mereka waspada, namun Simonetti lenyap entah ke mana.
Sepatunya ada di depan pintu
Hari Minggu pagi, tanggal 29 Maret, ketika Sicot sedang tidur ia ditelepon oleh Detektif Haffa. Orang yang mereka cari ada di Paris! Haffa dan Brigandat kini sedang memeriksa daftar tamu hotel-hotel. Masa itu tiap tamu hotel di Paris harus mengisi formulir dari polisi.
Semenit kemudian Sicot sudah selesai berpakaian. Ia melompat ke mobilnya untuk pergi ke kantornya. Ketika ia masuk teleponnya sedang berdering-dering. Brigandat memberi tahu bahwa Simonetti terdaftar di Hotel St. Germain. Hotel itu diamat-amati sejak pukul 06.00.
Menurut petugas hotel, Simonetti ada di kamarnya. Lama ia ditunggu-tunggu, tidak juga keluar. Akhirnya, Brigandat menghubungi manajer hotel. Mereka diberi tahu bahwa Simonetti menempati kamar no. 101. Seorang wanita pelayan tadi pagi membawakan teh baginya dan gelasnya masih belum dicuci.
Gelas itu diambil polisi. (Kemudian ternyata gelas itu memperlihatkan sidik jari Simonetti). Pelayan itu yakin Simonetti masih di kamarnya, sebab sepatu mahal milik pria itu masih belum diambil dari muka pintu setelah disemir oleh petugas penyemir sepatu tadi pagi.
Simonetti tidak keluar-keluar juga. Pukul 12.30 petugas yang berjaga di luar sudah biru karena kedinginan. Tahu-tahu muncullah seorang pria bertubuh kecil, bertopi anggun, bersetelan mahal, dan bersepatu kulit buaya yang baru disemir. Di kancing jasnya terselip sekuntum anyelir merah.
Mula-mula Simonetti tampaknya ragu-ragu melangkah, tetapi kemudian berjalan cepat ke arah rue Bonaparte. Ia tidak curiga. Tahu-tahu Detektif Renault sudah ada di sebelah kanannya dan Haffa di sebelah kirinya. Para polisi kedinginan yang mengenakan pakaian preman pun siap.
"Monsieur Simonetti?" sapa Haffa.
"Oui? Anda perlu pertolongan saya?" tanya dengan agak tercengang.
"Anda ditangkap."
Tidak lama kemudian Sicot mendapat telepon.
"Orang yang kita buru sudah tertangkap, Pak," lapor Brigandat.
Menipu maharaja
Seperti yang sudah diduga, paspor Simonetti palsu. la mengaku bernama Belaargas. la mengeluarkan paspor Bolivia untuk membuktikannya. Katanya, ia lahir tahun 1918 di Milan. Ternyata tidak ada catatan di Milan yang menyokong keterangannya.
Lalu ia mengaku lahir tahun 1917. Saat itu Odenburg, Austria. Ternyata itu pun tidak bisa dibuktikan, karena di daerah yang kini namanya Sopron dan termasuk wilayah Hongaria itu catatan lama sudah lenyap akibat perang. Kata Bela, ia mengganti namanya menjadi Simonetti, karena ibunya menikah kembali dengan seseorang bernama Simonetti di La Paz, Bolivia, tahun 1922. Ketika dilacak ke sana, ternyata keterangannya bohong.
Lalu Bela mengaku membeli paspor itu dari orang Bolivia bernama Rodguez, seorang penyelundup emas.
Selama sepuluh bulan diinterogasi, Bela memaksa polisi mondar-mandir ke pelbagai penjuru dunia. Pokoknya, ia sangat mempersulit polisi.
Silberstein dan Gross yang dihadapkan sebagai saksi mengenalinya sebagai orang yang menipu mereka, tetapi Simonetti tenang saja. Ia juga terbukti penghibur yang pandai.
Ia menggoda polisi yang mengawalnya dengan cara mencuri arloji polisi itu tanpa sang polisi sadar, lalu mengembalikannya lagi. Ia mencopet isi amplop di depan hidung para detektif, lalu mengembalikannya lagi. Sicot dan para detektif menikmati percakapan dan gurauannya.
Nama asli Simonetti tetap tidak diketahui. Menurut salah satu pengakuannya yang dianggap paling masuk akal, ia lahir sebagai Bela Weinberger di Satu-Mare, Rumania Utara. Ayahnya pedagang tekstil yang kaya bernama Abraham Weider. Ibunya bernama Drezel Weinberger. Karena orang tuanya hanya menikah menurut upacara keagamaan, Bela dua belas bersaudara memakai nama ibunya.
Bela sangat cerdas. Ia bisa menjadi rabbi, namun tidak memilih jabatan itu. Karena tinggal di Eropa Tengah yang menjadi jalan persimpangan pelbagai bangsa, ia menguasai bermacam-macam bahasa. Waktu perang hidupnya sangat sengsara di kamp, namun ia sempat belajar bahasa Rusia, Ceko, Polandia, dan sulap dengan mengandalkan keterampilan dan menipu penjaga.
Sesudah keluar dari Kamp Auschwitz, ia kembali ke Satu-Mare, menunggu anggota keluarganya yang lain. Ternyata tak ada seorang pun dari mereka yang muncul. Mereka sudah tewas di kamp. Kesedihan Bela tidak terhiburkan.
Ia pergi mengembara tanpa paspor. Perbatasan demi perbatasan berhasil dilaluinya dengan menipu penjaga. Ia pergi ke Wina dan menggaet permata dari orang-orang yang dicurigainya memperoleh permata itu secara tidak sah dari orang-orang Yahudi.
Tahun 1948 ia ganti nama dan beremigrasi ke Argentina, yang sedang mencari tenaga pekerja. Di sanalah ia bertemu konconya, Hersz Chazan, ahli memalsukan cek. Mereka merasa cocok dan saling membutuhkan dan mulailah petualangan mereka keliling dunia.
Di Bombay mereka menipu seorang maharaja, lalu pergi ke Austria, Hongkong, Afrika Selatan, dan tempat-tempat lain.
Sering ketemu lagi
Bela tidak menyimpan uangnya. Uang itu segera habis untuk pakaian mewah, makanan di restoran mahal, ongkos menginap di hotel mewah, dan berjudi di kasino. Sebagian ia kirimkan untuk keluarga-keluarga miskin di Israel dan tempat-tempat lain. Ia menipu, karena merasa nikmat bisa mengecoh orang-orang yang tidak menaruh curiga kepadanya. Demikian antara lain pengakuan Bela.
Tanggal 1 Februari 1954 pengadilan Prancis menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun kepadanya ditambah denda. Bela naik banding dan hukumannya dikurangi menjadi tiga puluh bulan penjara, sedangkan dendanya juga dikurangi.
Begitu selesai menjalani hukumannya, ia sudah ditunggu pengadilan negara-negara lain. Mula-mula ia diekstradisi ke Belgia dan mendapat ganjaran tiga tahun penjara ditambah denda karena mencuri kalung dari Silberstein. Setelah itu ia diekstradisi ke Swiss, sedangkan Inggris, Afrika Selatan, AS, dll. memutuskan untuk tidak minta ekstradisi.
Sesudah selesai menjalani hukuman Bela tinggal dengan tenang selama enam tahun di Israel. Rupanya ia berubah menjadi orang baik-baik. Namun dasar maling, kemudian ia mencuri lagi.
Sekali ini pencurian-pencurian yang dilakukannya hanya kecil-kecilan, tetapi cukup berarti untuk membawanya ke pelbagai penjara di banyak negara. Setelah tertangkap oleh Sicot dkk. memang ia tidak bisa selicin belut lagi.
Bulan Agustus 1980 ia kembali harus berhadapan dengan pengadilan Prancis, karena mencuri intan di sebuah toko kecil di Paris. Ia mendapat hukuman dua tahun penjara. Nama resminya kini Berl Farcas. Menurut pengakuannya, ia sudah menjadi warga negara Uruguay.
Interpol yakin masih akan sering bertemu dengannya, walaupun kini kelincahannya mungkin sudah berkurang karena dimakan usia. (Polly Toynbee)
" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350088/seorang-korbannya-maharaja-dari-india" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656425002000) } } [14]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304034" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/sascha-wronsky-ingin-biola-strad-20220603014313.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Seorang pemain biola tidak sengaja melihat biola Stradivarius-nya itu di apotek. Ia menawarkan harga fantastis untuk biola pengamen tua tersebut." ["section"]=> object(stdClass)#168 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/sascha-wronsky-ingin-biola-strad-20220603014313.jpg" ["title"]=> string(39) "Sascha Wronsky Ingin Biola Stradivarius" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 19:06:30" ["content"]=> string(12798) "
Intisari Plus - Seorang pengamen tua mempertunjukkan kemampuannya setiap hari di depan sebuah apotek. Hingga suatu hari, seorang pemain biola tidak sengaja melihat biola Stradivarius-nya itu di apotek. Ia menawarkan harga fantastis untuk biola pengamen tua tersebut.
-------------------------
Di depan Apotek Saint George, London, yang terletak di sebuah jalan kecil di pusat kota itu, ada seorang pengamen. Pada waktu itu boleh hampir dikatakan belum ada musik di radio-radio, sehingga orang akan senang sekali bila ia lewat di jalan itu, karena sambil berjalan mereka dapat menikmati musik.
Demikianlah setiap siang para karyawan kantor, pedagang kelontong, dan wanita singgah di tempat di mana si tua memainkan biolanya. Mereka meletakkan uang sen ke dalam topinya di atas kursi lipat yang ada di sampingnya. Si tua itu dengan ramah menganggukkan kepalanya yang sudah dipenuhi uban dengan rasa terima kasih.
la mengenakan sebuah mantel panjang berwarna hitam dengan dasi yang terikat rapi pada kerah bajunya. Wajahnya yang jenaka selalu tercukur rapi dengan sedikit bedak di sekitar dagunya.
Sedikit pun tidak tampak bahwa ia seorang pengamen miskin, yang mengharapkan sedekah. Seakan-akan ia hanyalah seorang pemain biola yang ingin mempertunjukkan kemampuannya dan ingin sekadar menyemarakkan kota suram yang penuh pabrik itu.
Pemilik Apotek Saint George menikmati lagu-lagu yang dibawakan si tua dengan samar-samar melalui jendela toko. Dalam waktu singkat ia mulai menyukai lagu-lagu itu, bahkan mulai merasa kesepian bila si pengamen kebetulan tidak muncul.
Si pengamen ini merasa gembira dan menyambut dengan tangan terbuka ketika pemilik apotek menyatakan keinginannya untuk berkenalan.
Pada suatu saat si tua ini menerima hadiah dari Bala Keselamatan, yaitu selama seminggu ia boleh ikut makan siang di dapur umum. Karena itulah ia minta kepada pemilik apotek agar boleh menitipkan biola, topi, serta kursi lipatnya di apotek sampai ia kembali.
Si apoteker merasa gembira bila ia dapat berbuat sesuatu untuk sahabatnya ini, sehingga dengan senang hati ia mau menyimpankan peralatan sahabatnya ini selama ia sedang makan siang.
Sebuah Stradivarius
Pada suatu hari datanglah seorang pria bersama wanita ke apotek itu. Sang laki-laki rapi dan bersikap sebagai orang baik-baik, tapi tampaknya sangat gugup. Ia minta obat penenang dan segelas air. Kawan wanitanya cantik, tampaknya khawatir akan keadaan laki-laki itu.
Waktu ia minum obat, terlihat olehnya biola yang terletak di belakang meja. Dengan aksen bahasa asing ia bertanya, "Mengapa alat ini berada di sini?" Si pemilik apotek itu pun tanpa berpikir apa-apa segera menceritakan tentang pengamen di apoteknya.
Biola itu dipegangnya. Tentu saja tak ada alasan bagi si pemilik apotek untuk mencegahnya. Dengan sekali gesekan dapat diketahui bahwa orang asing itu pandai memainkannya. Pemilik apotek itu menyaksikan bagaimana wanita dan laki-laki itu saling berpandangan dengan terkejut setelah mendengar suara biola itu.
Cepat-cepat ia membuka rompi serta topinya dan membenarkan letak biola di dagunya dan mulai memainkannya. Ia bermain double string dengan penuh gaya seni. Wajahnya memperlihatkan keseriusan. Pemilik apotek berdiri terpukau, sedangkan wanita itu memandang laki-laki kawannya dengan kagum.
Para karyawan apotek itu terpukau dengan alunan musiknya. Setelah si pemusik mengakhiri permainannya ia melemparkan pandangannya ke arah sang wanita. Keduanya melihat ke dalam badan biola. Sambil mendekap biola tersebut di dadanya laki-laki itu bertanya,
"Di mana pemilik biola ini?"
"Di Bala Keselamatan, ia boleh makan siang gratis di sana."
"Saya harus memiliki biola ini! Orang itu harus mau menjualnya kepada saya. Ia tidak tahu betapa berharganya biola ini. Ia pasti tidak mengetahui hal ini, kalau tidak mana mau ia mengamen. Bagaimana mungkin? Sebuah Stradivarius Cremonensis tua! Suaranya lebih bagus dan lebih bersih daripada biola saya. Saya ingin membelinya. Bagaimana pendapat Anda? Apakah mungkin ia mau menjual biolanya kepada saya?!"
Si pemilik apotek mengangkat bahunya tinggi-tinggi.
"Saya akan membayar berapa saja sebanyak yang dimintanya."
Tiba-tiba si wanita nyeletuk, "Hati-hati Sascha. Kalau dia tahu siapa kamu sebenarnya maka boleh jadi tuntutannya takkan kira-kira."
Wanita itu pun menjelaskan pada orang-orang di sana siapa sebenarnya yang sudah mempersembahkan konser gratis itu. Sascha Wronsky. Esok malam ia akan bermain dalam konser di hadapan Duke of Wellington. Sebelum ia meneruskan ceritanya, laki-laki itu menyuruhnya diam.
Dia tampaknya sudah menemukan ide bagaimana agar penjualan itu dapat berhasil. Si pemilik apoteklah yang harus membeli terlebih dahulu biola itu dari si pengamen. Itu usul yang dipandangnya sebagai satu-satunya jalan yang terbaik.
“Jangan sebut-sebut nama saya. Katakanlah saja saya ini seorang penggemar musik yang ingin membeli biolanya. Pemiliknya tak akan ditipu ataupun dipermainkan. Tentu saja saya akan membayarnya dengan harga yang fantastis. Atau boleh dikatakan harga yang hebat. Saya 'kan tidak ingin merugikan kawan yang miskin. Saya harap Anda percaya kepada saya atau…”
"Tidak! Tidak!" potong si pemilik apotek. “Tetapi sampai batas berapa penawaran Anda?"
Si ahli musik berpikir sejenak. Diambilnya lagi biola itu dan ditimang-timangnya seakan ingin menyesuaikan berat dengan harga biola itu. "Sampai £ 250."
"Sebanyak itu?!" seru si pemilik apotek dengan terkejut. Direktur apotek itu juga terkejut. "Sampai £ 260 juga boleh! Yang penting jangan sampai penjualan ini gagal. Saudara akan memperoleh 10% dari penjualan ini."
Pemilik apotek menolak. "Tentu saja tak bisa. Saudara pikir saya ini apa? Saya seorang apoteker dan bukan pedagang barang antik!"
"Saya rasa ini bukan hal yang dapat menyinggung harga diri," kata wanita itu. "Anda hanya menjadi perantara dalam pembelian biola ini, berilah harapan pada suami saya, si anak beruntung yang sudah biasa memperoleh apa saja yang diinginkannya."
Wanita itu pun tertawa. "Selain itu Saudara akan menolong seorang kawan yang miskin, yang sangat membutuhkan uang. Ayo, terima saja."
"Kembalikan biola saya!"
Pemilik apotek ternyata setuju. la berjanji akan melakukan sedapat mungkin apa yang dapat dikerjakannya demi memperoleh biola tersebut dari orang tua itu. Kemudian mereka pun pergi. Sampai di pintu si ahli musik masih melemparkan pandangannya pada biola yang berharga itu.
Pemilik apotek menunggu kembalinya pengamen itu dan ia mengisyaratkan pegawainya agar membiarkan ia sendiri menyelesaikan persoalan itu. Betapa terkejutnya ia ketika ternyata pengemis itu menolak uang kertas yang akan diberikan kepadanya.
Tidak, tidak, biola ini adalah segalanya, kawannya yang paling baik, yang menolong mencari sesuap nasi setiap hari dan juga merupakan anggota keluarganya. Tidak, tidak, uang bukan segalanya. Dengan jengkel pemilik apotek memaksa. "Dengan uang ini Saudara dapat membeli biola sebanyak yang Saudara kehendaki, ayolah mau apalagi?"
"Kembalikan biola saya, saya mau pergi!" Dengan agak keras pengamen ini meminta biolanya kembali. Biola itu pun dikempitnya, seakan ingin melindunginya dan bergegas ingin meninggalkan apotek itu.
"Dua ratus enam puluh," kata pemilik apotek itu. Sambil berjalan menuju pintu orang tua itu mengeluh, "Mengapa tidak Saudara biarkan saya membawa biola ini? Mengapa saya harus menukarkannya dengan uang? Apakah Saudara memiliki uang sebanyak itu? Apa yang Saudara kehendaki dari saya? Dengan biola inilah dulu kakek saya bermain di Zarskoje Selo di depan kaisar. Ayah saya di Petersburg, dan saya sendiri pertama kalinya menjadi dirigen delapan tahun yang lalu di Beograd." Ia terdiam dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"£ 270," kata pemilik apotek itu dan yakin bahwa dengan jumlah ini penolakan makin mengendur. Orang tua itu duduk di atas kursi lipatnya. "£ 270, Saudara tak perlu lagi ngamen di jalan. Setiap hari dan di mana saja Saudara dapat makan kenyang seperti 'di dapur umum'. Baju baru, alat pemanas, kurang senangkah hidup demikian? Apakah Saudara tak gembira dapat bermain pada suatu orkes, memiliki kedudukan yang lebih terjamin?"
Si pengamen tua ini memandangnya. "Apakah Saudara yakin mereka mau menerima saya? Dengan umur saya yang sudah setua ini?"
"Jika Saudara mau, sekarang pun bisa. Saudara akan tampak sejajar dengan para pemain Pilharmoni. Ayolah, tandatangani kuitansi ini sebagai tanda bahwa telah menerima uang kontan £ 270 untuk biola ini. Bergembiralah dengan peristiwa tak terduga yang menggembirakan ini."
Pengamen itu menandatanganinya dengan nama Angelino Sky. Dengan hati-hati ia membeberkan uang kertas itu di mukanya dan menghitungnya.
Diusap-usap dulu
Pemilik apotek menasihatinya agar sebaiknya ia masukkan saja uangnya itu ke bank, karena berbahaya membawa-bawa uang sebanyak itu. "Rekening koran di bank? Apakah Saudara yakin mereka mau memberikannya kepada saya?"
"Dengan uang orang dapat memperoleh semuanya, kawan." Pemilik apotek tertawa dan mengantar kepergian orang tua itu, yang sekali lagi mengambil biolanya, mengusap-usapnya seperti akan berpisah dengan seorang kawan lama tercinta dan tak akan bertemu lagi selamanya. Setelah itu ia meletakkannya kembali dengan sedih dan meninggalkan apotek itu.
Pemilik apotek menyimpan biola berharga itu dalam lemari besi dan meletakkan juga kuitansinya. Sambil menunggu diambil si ahli musik yang demikian keras keinginannya untuk memiliki biola itu.
Pemilik apotek itu menunggu berhari-hari, bahkan sampai beberapa lama lagi ia menunggu si ahli pemain biola Sascha Wronsky. Pencarian oleh polisi ternyata sia-sia saja. Biola itu hanya sebuah biola murahan belaka. Tidak ada konser untuk Duke of Wellington.
Tidak ada bank yang memberikan rekening koran atas nama Angelino Sky yang miskin dan Bala Keselamatan tak pernah mengundang seorang pengamen bernama begitu.
Penipuan semacam ini selanjutnya menjalar di seluruh Inggris. Mereka muncul di Selatan, mereka juga muncul di pantai utara dan kemudian ke Prancis. Mereka selalu lepas dari incaran dan tak pernah meninggalkan jejak, sehingga pencarian terlambat.
Beberapa lama kemudian orang menduga bahwa para penipu ini dibekingi oleh badut musik "Romeo-Plump dan Julia".
Tetapi grup ini sudah lama tidak mengadakan pertunjukan lagi dan kini sudah dilupakan orang.
(Robert A. Stemmle)
" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304034/sascha-wronsky-ingin-biola-stradivarius" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654283190000) } } [15]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3306293" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/perawan-gadungan_gil-ribeirojpg-20220603054943.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(121) "Seorang nyonya di Berlin mengangkat gadis dari desa menjadi pelayan. Tetapi baru dua pekan bekerja, gadis itu menghilang." ["section"]=> object(stdClass)#172 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/perawan-gadungan_gil-ribeirojpg-20220603054943.jpg" ["title"]=> string(16) "Perawan Gadungan" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 17:50:12" ["content"]=> string(25766) "
Intisari Plus - Seorang nyonya di Berlin mengangkat gadis dari desa menjadi pelayan. Tetapi baru dua pekan bekerja, gadis itu menghilang dan membawa barang-barang majikannya. Setelah lapor polisi, gadis itu ternyata penipu ulung.
-------------------------
Seorang nyonya di Berlin mendapat pelayan baru. Ia sangat puas melihat kerajinan pelayan itu. "Seorang gadis desa sederhana, yang kalau berbicara selalu dengan logat rakyat," katanya. Tapi setelah 14 hari bekerja, pelayan yang dipuji-puji itu menghilang, dengan menggondol seprai, taplak meja, pakaian, serta barang-barang emas dan perak milik majikannya.
Seorang kenalan nyonya itu menyarankan kepadanya untuk melaporkan kejadian tersebut pada polisi bagian kriminal. Di kantor polisi langsung disodorkan album penjahat golongan "Wanita Pencuri" padanya. Peristiwa ini terjadi sekitar seabad yang lalu, tetapi waktu itu pun cara kerja polisi di sana sudah cukup modern.
Senang menyamar
“Saya rasa pelayan yang minggat itu Emma Schubel," kata petugas yang dihadapi. Di halaman 6 ada fotonya. Ciri-ciri yang Anda sebutkan cocok dengan dia."
"Tapi pelayan saya namanya Auguste Pechow," jawab sang nyonya. Dengan sikap tak acuh, petugas itu terus membalik-balik halaman album.
"Mungkin saja ia memakai nama itu," katanya. "Masih banyak lagi nama lain yang dipakainya. Ada sekitar selusin, di antaranya bergelar kebangsawanan. Coba Anda lihat ini! Ini 'kan orangnya?'
Nyonya yang kecurian itu menggeleng. "Bukan, bukan dia! Pelayan saya itu gadis sederhana." Sedangkan foto itu menunjukkan wajah wanita terpandang, dengan gaun malam yang anggun.
"Ya, dalam foto ini ia mengaku dirinya penyanyi," kata polisi menjelaskan. "Ia memakai nama Alice Barbi. Foto ini kami peroleh dari salah seorang kekasihnya, yang kemudian menjadi korban pencurian habis-habisan olehnya. Emma Schubel senang sekali menyamar. Hari ini menjadi wanita bangsawan, besok pelayan, lalu seniwati. Kemudian menjelma menjadi janda yang ditinggal suami. Pokoknya, ia bisa menjadi apa saja, sesuai dengan keadaan. Kami masih memiliki foto lain dari dia. Nah, ini dia!"
Polisi menunjuk foto gadis pelayan yang cantik, dengan rambut terbelah rapi.
"Ya, ini dia Auguste!" seru nyonya itu. Polisi yang bertugas tersenyum sekilas.
"Ya, ia memang senang main-main seperti begini," katanya. "Tapi sekarang kita harus bergegas menangkapnya. Kalau tidak, mungkin barang-barang milik Anda lenyap. Emma Schubel mengenal banyak penadah. Coba saya lihat sebentar. Alamatnya yang terakhir di Kaiser-Wilhelm-Bruecke 16, mondok pada keluarga Tucholer."
Tapi sesampai di alamat itu, mereka menjumpai pintu terkunci. Sementara pintu diketuk-ketuk, seorang wanita setengah umur datang dari toko yang terletak di tingkat dasar rumah itu. Ia langsung naik pitam, ketika mengetahui siapa yang datang itu.
Ternyata wanita yang dicari sudah pergi tanpa pamit dan tanpa membayar sewa. Agak lama juga polisi disibukkan oleh wanita yang marah-marah itu. Tapi dari keterangan yang bisa diperoleh di tengah semprotan caci maki, ternyata Emma Schubel minggat secara diam-diam malam sebelumnya, setelah mengaku bepergian selama 14 hari.
"Rupanya ia menunggu sampai aku berjalan-jalan dengan kedua anjingku," kata wanita setengah tua itu, setelah perasaannya agak tenang. "Tapi tak mungkin ia mengangkuti sendiri barang-barang miliknya. Pakaiannya begitu banyak, mustahil bisa dimasukkan ke dalam satu koper saja."
Petugas polisi langsung waspada. "Apakah Anda kebetulan tahu, mungkin ada kenalannya yang membantu?" tanyanya. Wanita setengah umur itu mengingat-ingat sebentar.
"Ada sesuatu yang aneh, meski aku tidak tahu apakah ini ada artinya," katanya kemudian. "Pada suatu siang, ketika sedang berjalan-jalan dengan anjing-anjingku, aku melihat dia berbicara dengan tukang ikan yang berjualan di bawah salah satu lengkung jembatan. Orang itu tidak begitu disukai di sini. Kabarnya ia pernah dipenjarakan. Penyewa kamarku yang minggat itu justru mengobrol dengannya. Mungkinkah tukang ikan itu yang membantunya?"
"Baiklah, kami akan mengusutnya," kata polisi.
Kejadian ini sebenarnya merupakan kasus kecil. Tapi walau begitu, polisi tetap mengadakan pengusutan. Pada nyonya bekas majikan Emma Schubel dipesankan agar tempat tinggalnya dijaga baik-baik setiap saat. Seorang petugas bagian kriminal mengamat-amati tukang ikan dengan cermat. Tapi Emma Schubel tidak pernah muncul di rumah orang itu.
Pengantar yang baik hati
Kasus ini sudah nyaris dipetieskan. Pada suatu pagi yang suram di bulan Februari 1886, seorang petugas pengusutan secara kebetulan melihat Emma Schubel dekat Stasiun Stettin. Wanita yang dicari-cari itu mengambil sekaleng susu dari tukang susu yang tiap hari lewat di situ, lalu masuk ke sebuah restoran.
Restoran itu sering disinggahi orang yang sedang bepergian. Soalnya, stasiun yang ada di dekat situ merupakan stasiun ujung. Jadi, orang yang datang dari Berlin dan hendak melanjutkan perjalanan, dari situ harus pindah ke stasiun lain. Naik kereta atau bus yang ditarik kuda.
Kesibukan para penumpang yang mencari-cari kendaraan unntuk melanjutkan perjalanan dimanfaatkan kalangan penjahat dari segala macam corak. Mereka berlagak seakan-akan orang baik-baik. Penumpang dari dusun yang nampak kebingungan menghadapi keramaian kota besar, mereka sapa untuk menunjukkan jalan. Mereka bahkan bersedia mengantar, agar orang dusun itu tidak tersasar.
Selanjutnya gampang. Pengantar yang baik hati itu menawarkan diri untuk menjadi penunjuk jalan, melancong di Berlin sebentar sebelum perjalanan dilanjutkan. Si pelancong akhirnya tentu capek. Apalagi yang lebih logis, daripada mampir sebentar di restoran. Nah, di situlah pelancong tadi dikerjai.
Polisi bisa membayangkan bahwa Emma Schubel pasti sengaja memilih tempat kerja di lingkungan hitam itu. Dalam penelitian lebih lanjut, ternyata ia bahkan tinggal di restoran itu. Tapi tanpa terdaftar secara resmi.
Emma Schubel tidak langsung ditangkap. Ia diamat-amati terus, untuk mengetahui apakah ia ada hubungannya dengan para penjahat lain. Ternyata tukang ikan temannya mengobrol di bawah jembatan dulu, kadang-kadang datang ke restoran itu untuk mengantar ikan: Namanya Fritz Neuss.
Di situ ia bercakap-cakap juga dengan Emma. Sering apabila tempat minum di restoran sudah ditutup, keduanya pergi ke kedai minum Letzter Hieb yang izin bukanya dua jam lebih panjang, karena letaknya di dekat stasiun. Apa yang mereka kerjakan di sana tidak bisa diketahui, karena di tempat itu para petugas kriminal sudah terlalu dikenal.
Petugas bagian kriminal yang menangani kasus itu, Inspektur Kramer, menyarankan pada atasannya, agar sekretaris bagian kriminal Brandt, seorang rekan yang baru dipindahkan dari Postdam ke Berlin, ditugaskan untuk melakukan penyelidikan di situ.
Agar para penjahat yang sangat kompak tidak merasa curiga, ia dimasukkan ke dalam tahanan. Lalu dibebaskan kembali dengan beberapa tahanan lain yang terjaring dalam suatu penggerebekan.
Polisi tahu bahwa dua di antara mereka merupakan tamu tetap di Letzter Hieb. Keduanya tidak curiga ketika Brandt menggabungkan diri dan ikut ke kedai minum tempat penjahat berkumpul itu. Brandt hendak mentraktir mereka minum di situ.
Mereka minum-minum sampai malam. Akhirnya, Brandt duduk sendiri di situ. Kedua teman setahanannya sudah pergi lagi. Brandt pura-pura tertidur karena terlalu banyak minum. Padahal ia mengamati sekelilingnya dengan waspada.
Di depannya duduk seorang yang sudah tua. Dari kejauhan pun sudah bisa ditebak bahwa orang itu pencuri. Orang itu asyik membaca berkala pengadilan. Rupanya ia hendak mempelajari teknik- teknik terbaru. Atau mungkin juga memperkirakan hukuman yang ditimpakan padanya, apabila ia sampai tertangkap.
Dibuntuti tanpa sadar
Malam itu Emma Schubel muncul agak lebih cepat daripada biasa. Ia ditemani Fritz Neuss, si tukang ikan. Kebetulan saat itu hanya di meja Brandt yang masih ada kursi kosong.
Kedua pendatang baru itu duduk di situ, lalu langsung berunding dengan sibuk. Kemudian datang seseorang menggabungkan diri. Tapi Brandt tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena mereka berbicara dalam logat penjahat daerah Berlin. Sedangkan ia sendiri orang baru.
Brandt melakukan satu-satunya tindakan yang tepat dalam menghadapi situasi demikian. Dengan langkah terhuyung-huyung ia membayar, lalu pergi ke luar. Di depan kedai ia menunggu petugas polisi lain yang ditempatkan beberapa rumah lebih jauh sebagai pengaman kalau terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Rekan itu orang setempat, dan menguasai logat penjahat daerah situ.
Dari rekan itu Brandt mendapat keterangan bahwa orang ketiga yang tadi menggabungkan diri dengan Emma dan Fritz ternyata membawa perkakas bongkar rumah. Jadi, bisa ditarik kesimpulan, ketiga orang itu sedang merencanakan hendak membongkar rumah orang. Kedua petugas polisi kemudian bermaksud akan membuntuti apabila mereka pergi dari kedai. Siapa tahu, ketiga penjahat itu bisa tertangkap basah ketika mencuri!
Namun, walau ditunggu-tunggu sampai pukul 01.30, Emma Schubel beserta kedua kawannya tidak muncul.
"Jangan- jangan ada jalan lain untuk keluar," kata Brandt gelisah.
"Kami sudah beberapa kali melakukan pemeriksaan teliti," kata rekannya. "Tapi tidak ada jalan lain kecuali yang satu itu. Bahkan jendela kamar kecilnya pun diberi berterali oleh pemilik kedai, supaya tidak ada tamu yang bisa lari tanpa membayar dulu. Mereka pasti masih ada di dalam."
Ternyata memang begitu. Setengah jam kemudian kedai minum ditutup. Para tamu terakhir keluar, di antaranya terdapat Emma beserta kedua kawannya. Mereka dibuntuti oleh Brandt serta rekannya dari jarak yang cukup aman. Tapi mereka sebetulnya sama sekali tidak perlu berhati-hati.
Emma dan kedua kawannya tidak sekali pun menoleh ke belakang. Dengan santai ketiga orang itu berjalan ke Friedrichstrasse, menyeberang jalan dan terus ke arah Weidendammer Bruecke. Akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah bangunan besar. Sebuah rumah sewaan yang ditinggali sejumlah penyewa. Saat itu Brandt serta rekannya belum tahu, di situ tinggal bekas majikan Emma Schubel.
"Ada apa Auguste?"
Teman Emma yang membawa perkakas pencuri yang dikenal dengan julukan Husaren-Willy dengan gampang berhasil membuka pintu depan gedung. Lalu ia beserta kedua kawannya menyelinap masuk, disusul oleh kedua petugas polisi.
Dari bunyi pelan yang terdengar, mereka mengetahui bahwa ketiga penjahat itu sedang menaiki tangga. Diterangi lampu gas yang remang-remang nampak bahwa Emma Schubel berjalan paling belakang. Pada suatu tingkat ia berhenti, sementara kedua kawannya berjalan terus.
"Pintu yang tengah, tingkat berikut," terdengar Emma berbisik. Kedua petugas polisi berhenti sambil menahan napas. Mereka menengadah. Tahu-tahu tempat itu menjadi gelap gulita.
"Lampu gas mereka padamkan," bisik petugas polisi yang satu pada rekannya. Tapi sesaat kemudian terdengar bunyi korek api, disusul nyala terang. Rupanya salah seorang penjahat menyalakan lilin. Kemudian terdengar bunyi aneh.
"Mereka membor kunci pintu," bisik rekan Brandt. "Cepat nyalakan lampu, lalu kita tangkap mereka!"
Emma Schubel masih sempat berteriak, ketika kedua petugas itu tahu-tahu muncul. Tapi detik berikutnya ia sudah diringkus sementara polisi yang satu lagi terus lari menaiki tangga sambil berteriak, "Angkat tangan! Polisi!"
Lilin yang dipegang penjahat terjatuh. Husaren-Willy hanya bisa melongo, menatap cahaya lentera menyilaukan yang dipegang polisi. Sementara itu Brandt yang meringkus Emma Schubel ikut naik. ke atas. Barulah ketiga penjahat itu sadar bahwa mereka masuk perangkap.
"Saya rasa ini sudah cukup untuk menangkap mereka," kata rekan Brandt. "Tapi sebelumnya, kita bangunkan dulu penghuni tempat tinggal ini.”
Tapi walau diketuk dengan keras berulang-ulang, tidak ada orang datang membukakan pintu. Akhirnya, malah pintu tempat tinggal sebelah yang terbuka. Seorang wanita mengenakan topi tidur menjengukkan kepalanya ke luar.
"Ada apa, Auguste?" tanya wanita itu dengan heran pada Emma Schubel. Saat itu barulah Brandt sadar bahwa yang hendak suki tiga sekawan pencuri itu tempat tinggal bekas majikan Emma. Rupanya wanita tetangga itu belum tahu bahwa Emma tidak bekerja lagi di situ.
"Anda Ikan tahu, keluarga Schelling sedang bepergian, karena ada seorang sanaknya yang meninggal dengan tiba-tiba."
Kedua petugas polisi yang menangkap tercengang. Dari mana trio penjahat itu mengetahui hal itu. Dari mana mereka juga tabu bahwa pada pintu itu dipasang kunci khusus atas saran polisi? Karenanya Husaren-Willy terpaksa membor.
Ketiga penjahat yang sedang naas itu digiring ke pos polisi. Lalu keesokan harinya diangkut dengan kendaraan tahanan ke kantor pusat.
Serat di bawah kuku
Ketika dilakukan penggeledahan di rumah Fritz Neuss di Schildhorn, di situ ditemukan beraneka barang curian. Rupanya tukang ikan itu berfungsi sebagai penyalur hasil curian untuk dijual pada para penadah, antara lain seorang pemilik rumah gadai di Grenadierstrasse. Di tempat itu ditemukan barang-barang curian pula.
Husaren-Willy, yang nama sebenarnya Wilhelm Obenauf, ternyata seorang resedivis. Ia dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Fritz Neuss diganjar dua tahun, begitu pula Emma Schubel yang harus mendekam dalam waktu yang sama di Penjara Moabit.
Pada tanggal 1 November 1895 ditemukan mayat seorang wanita berumur kira-kira 30 tahun. Mayat itu terkapar dalam belukar, dekat Haverberg. Kematiannya diduga disebabkan karena cekikan.
Pada dirinya sama sekali tidak dijumpai surat-surat keterangan atau barang lain yang memungkinkan polisi melakukan identifikasi. Tapi ketika dilakukan analisis dengan mikroskop terhadap kotoran yang terdapat di bawah kuku jari si mati, ditemukan beberapa serat benang wol jenis tertentu yang dicelup pewarna merah. Wol jenis ini berasal dari tekstil wol yang sudah bekas, lalu diolah kembali menjadi benang wol.
Anehnya, serat-serat yang ditemukan di bawah ujung kuku mayat sebelah bawahnya berwarna biru kehitaman, sedangkan sebelah atasnya merah. Ini merupakan indikasi bahwa serat itu berasal dari bahan pakaian dengan pola tertentu.
Misalnya saja rompi dengan pola bergaris-garis, yang waktu itu sedang mode. Kaum wanita juga biasa memakai baju kaus dengan pola serupa. Tapi pada mutu yang murahan, pola itu hanya dicap dan tidak dicelup.
Untuk mengetahuinya secara jelas, dilakukan pemeriksaan lebih teliti. Apabila dilihat dengan mikroskop, serat celupan menampakkan penyebaran warna merata, sedangkan pada bahan yang dicap tidak.
Ternyata yang ditemukan di bawah kuku si mati, serat celupan. Warna merahnya berasal dari bahan warna benzopurpurin, seperti terbukti dari sifatnya yang larut dalam air serta perubahan menjadi biru ketika dicelupkan dalam larutan air keras. Dengan begitu diketahui bahwa serat itu tidak berasal dari bahan pakaian murahan.
Menurut keterangan yang diperoleh dari pabrik-pabrik tekstil, serat yang diwarnai dengan cara begitu, terutama yang bagian bawahnya berwarna biru kehitaman, diolah menjadi bahan rompi dengan pola bergaris-garis.
Jadi bisa. ditarik kesimpulan, pelaku ketika melaksanakan pembunuhan memakai rompi dengan pola begitu. Sang korban ketika dicekik melawan, sehingga beberapa lembar serat tercakar lepas. Kini polisi harus mencari seseorang yang memakai rompi seperti itu!
Tukang ikan digeledah
Tetapi sementara itu dipertimbangkan kemungkinan bahwa si mati pernah berurusan dengan polisi, dan karenanya tercatat dalam buku. Data tubuhnya diukur dan dicocokkan dengan daftar yang ada. Ternyata ia Emma Schubel, "perawan desa" yang pemah dihukum penjara!
"Sekarang kita setidak-tidaknya mempunyai pegangan, mencari siapakah di antara kenalan penipu ini yang memiliki rompi demikian," kata kepala bagian kriminal, Polizeirat von Meerscheidt. "Siapa yang akan menduga ia akan berpindah menjadi urusan bagian pembunuhan!"
Von Meerscheidt merenung sejenak. Kemudian ia menginstruksikan Inspektur Arndt yang menangani kasus itu, agar mempelajari akte-akte penjahat bernama Wilhelin Obenauf serta kawannya.
"Tiga tahun yang lalu Emma Schubel pernah terlibat dalam suatu kasus penipuan dan pembongkaran. Jadi mungkin saja ini merupakan tindakan balas dendam di antara oknum-oknum yang terlibat waktu itu. Sepanjang ingatan saya, Schubel waktu itu banyak membantu kita dengan kesaksiannya, yang dilakukan olehnya untuk mendapat keringanan hukuman."
Inspektur Arndt menuruti instruksi atasannya. Minatnya terutama tertarik pada hubungan antara Emma Schubel dengan Fritz Neuss. Tukang ikan itu bertempat tinggal di Schildhorn, persis di pinggir Sungai Havel.
Inspektur Arndt mengerutkan kening. Bukankah tempat mayat Emma Schubel ditemukan, letaknya tidak jauh dari Schildhorn? Dengan segera ia berangkat ke Schildhorn. Nasibnya sedang mujur, tukang ikan yang dicari ternyata masih ada di rumah. Tapi kelihatannya sudah rapi. Rupanya ia hendak pergi ke kota.
Perhatian Arndt langsung tertarik pada rompi bergaris-garis orang itu. Bahannya seperti yang disebutkan dalam laporan hasil pemeriksaan kimia di laboratorium kepolisian. Jadi, arah pelacakan itu sudah benar!
Kini tim melakukan perbandingan wujud serat dengan mikroskop. Apabila di situ pun terdapat persesuaian, maka itu merupakan indikasi penting - walau bukan merupakan bukti yang 100%. Soalnya, rompi seperti itu pasti ada banyak di Berlin. Jadi, masih diperlukan barang bukti selanjutnya.
Dengan bantuan Dittmannn, seorang asisten, Arndt menggeledah pondok tukang ikan itu. Tapi ia tidak menemukan apa pun yang bisa dijadikan indikasi bahwa Emma Schubel pernah berada di situ.
Potongan tali yang hilang ditemukan
Walau begitu Arndt tak gampang putus asa. Ia melanjutkan pemeriksaannya ke dalam gudang tempat penyimpanan alat kerja serta perkakas penangkapan ikan. Di pojok ruangan ditemukannya sejumlah tali dan tambang. Paling atas terletak segulung tali. Dilihat dari wujud seratnya, nampak bahwa belum lama berselang ada sebagian dari tali itu yang dipotong.
Inspektur Arndt menatap gulungan tali yang sedang dipegangnya. Tebalnya kira-kira sama dengan bekas jeratan pada leher Emma Schubel. Tali itu diserahkan pada Dittmann untuk disimpan. Sedangkan Neuss digiring ke kantor pusat untuk diperiksa.
Frits Neuss menolak keras dakwaan bahwa ia ada hubungannya dengan pembunuhan terhadap Emma Schubel. Ia bahkan masih tetap membantah, ketika dikatakan menurut hasil pemeriksaan dengan mikroskop, ternyata serat wol dari rompinya identik dengan serat yang ditemukan di bawah ujung kuku si mati.
"Rompi seperti itu ada ratusan," katanya membela diri. "Kalau rompiku pada bagian tertentu kelihatannya agak aus, itu karena banyak dipakai!"
Inspektur Arndt merasa jengkel. Dengan cara begitu bekas komplotan si mati tidak bisa didesak supaya mengaku. Apalagi karena tidak diketahui alasan pembunuhan itu.
Kalau hanya karena dendam, Neuss takkan mau melakukan kejahatan berat seperti itu. Lagi pula sudah setahun waktu berlalu sejak keduanya dibebaskan dari penjara. Jadi kalau ia menaruh dendam pada Emma Schubel, pasti ia takkan menunggu lama-lama dulu. Jadi, mestinya ada alasan lain.
Inspektur. Arndt sibuk memutar pikiran, mencari-cari kemungkinan yang bisa mendorong Fritz Neuss membunuh bekas kawannya itu.
Yang jelas, kejahatan itu dilakukan dengan persiapan baik. Korban berhasil dipancing untuk ikut ke daerah berhutan yang terpencil. itu saja sudah merupakan indikasi bahwa pembunuhan tidak terjadi tanpa persiapan.
Inspektur Arndt memperhatikan gulungan tali yang terletak di samping meja kerjanya. Coba ia bisa menemukan bagian tali selebihnya yang dipotong! Soalnya, ketika tali itu dicocokkan dengan bekas luka jeratan di leher si mati, ternyata pembunuhan dilakukan dengan tali setebal itu. Tapi bukan dengan gulungan yang ada di kantor polisi!
Arndt berusaha membayangkan terjadinya peristiwa itu.
Dengan gulungan tali ditirunya proses pencekikan dengan sandaran kursi sebagai pengganti leher korban. Setelah itu dilepaskannya jeratan dan ia pergi ke pintu, sementara tali masih dipegang terus. Tapi kemudian diletakkannya tali di atas meja.
Saat itu juga ia tertegun. Ya, pasti itulah jawaban yang dicari-carinya selama itu! Potongan tali yang dicari tidak ada di lokasi pembunuhan maupun di rumah tersangka. Jadi, kalau begitu Neuss - jika memang dia pelakunya - telah membuangnya di tengah jalan.
Keesokan paginya Arndt beserta dua polisi lagi menyusuri jalan hutan, mulai dari Schildhorn menuju ke lokasi mayat ditemukan. Hal itu dilakukan berdasarkan dugaan bahwa setelah melakukan pembunuhan, Neuss langsung pulang ke rumahnya atau menuju ke Wannsee. Jadi, ke situ pun mereka harus mencari, kalau ternyata perlu.
Tapi Arndt kembali bernasib mujur! Tidak sampai 100 m dari lokasi pembunuhan, ditemukan sepotong tali di bawah semak. Arndt buru-buru membawanya ke laboratorium di kantor pusat.
Ternyata kedua bagian potongan pas sekali, sampai-sampai seratnya pun cocok. Jadi, tidak ada keragu-raguan lagi, potongan tali yang ditemukan itu berasal dari gulungan yang ditemukan di rumah tukang ikan.
Berdasarkan bukti-bukti itu Neuss dijatuhi hukuman mati, yang kemudian diperingan menjadi hukuman seumur hidup. Ia meninggal dunia tahun 1917 dalam penjara, karena penyakit TBC.
(HansWalter Gaebert)
" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553306293/perawan-gadungan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278612000) } } }