Intisari Plus - Seorang pria ditemukan terkunci di dalam mobil di Oklahoma. Ia terlihat seperti tidur, padahal sudah tewas tertembak.
--------------------
Senin pagi, 20 November 1993. Kaca-kaca jendela mobil di Oklahoma masih tertutup lapisan es. Maklum, hari baru pukul 07.40 dan Oklahoma termasuk dingin. Tahu-tahu telepon di Departemen Sheriff Tulsa County berdering.
“Pak, ada seorang pria dalam mobil terkunci di belakang gedung kami. Mungkin saja ia cuma tidur nyenyak, tapi saya kira sih dia tewas,” kata si penelepon.
Beberapa menit kemudian Detektif Gary Ross dan Matt Palmer sudah menghidupkan mesin mobil mereka yang tidak berciri mobil polisi. Mereka pergi ke tempat yang ditunjukkan, yaitu tempat parkir Bowen’s Carpet Center di Charles Page Boulevard.
Di sebelah toko itu, teralang sebagian dari jalan oleh gedung, ada sebuah sedan Hyundai empat pintu buatan tahun 1988. Seorang pria kelihatan duduk merosot di tempat duduk sebelah pengemudi. Kepalanya menempel jendela.
Keempat pintu kendaraan itu terkunci. Ketika para detektif mengetuk-ngetuk kaca jendela, pria berumur pertengahan 20-an itu diam saja. Orang dengan rambut sebahu warna coklat muda itu terhitung jangkung, mungkin tingginya sekitar 2 m.
Tubuhnya tertutup selimut sebatas dada. Kaus putihnya bertuliskan “No Fear” di dada.
Dua lubang peluru
Kedua detektif mengamati pria itu dengan saksama. Tulisan “No Fear” di dadanya tampak agak buram. Yang mengejutkan, keburaman itu akibat noda darah, bekas-bekas terbakar mesiu, dan kemungkinan besar lubang-lubang bekas peluru.
Detektif Ross lantas mempergunakan sebuah alat yang biasa disebut “slim jim” untuk membuka pintu belakang mobil. Begitu pintu terbuka, ia memeriksa tubuh orang itu. Menurut taksirannya, pria itu sudah tewas sekitar 10-12 jam.
Di dada mayat ada dua lubang bekas peluru. Dari hangus bekas mesiu di kemeja korban, tampaknya ia ditembak dari dekat. Diperkirakan dari jarak antara dua orang yang duduk di bangku depan mobil.
Salah sebuah peluru menembus badan, juga tempat duduk, sebelum akhirnya jatuh ke lantai mobil. Sudut tembakan menunjukkan korban ada di belakang kemudi saat peluru menembusi tubuhnya.
Seluruh karyawan toko karpet ditanyai kapan mereka pertama melihat mobil itu.
“Yang kami tahu, mobil dan orang di dalamnya sudah ada di sana waktu kami datang pagi ini,” kata mereka. “Tapi hari Sabtu lalu, mobil itu belum ada. Kami tidak tahu, apakah sudah ada waktu hari Minggu, karena hari itu toko kami tutup.”
Di lantai dan dekat tempat duduk kendaraan para detektif menemukan dua kelongsong peluru berukuran .380 yang ditembakkan dari pistol semiotomatis. Di kolong tempat duduk pengemudi ditemukan sebuah pistol Llama .380 semiotomatis dari baja biru.
Dokter polisi dan petugas-petugas lain dipanggil.
“Kalibernya sama. Mestinya ini senjata si pencabut nyawa,” kata dokter polisi. “Kelihatannya bunuh diri nih.”
Tapi, Detektif Ross berpendapat lain. Sejak tadi ia memperhatikan mayat dan pistol dengan saksama.
“Ini pembunuhan,” katanya. “Senjata di kolong bukan yang membunuhnya. Lihat, senjata ini tidak meninggalkan bekas-bekas baru ditembakkan. Ada orang lain yang menembaknya dengan pistol tiga delapan puluh yang lain.”
Dia juga menunjukkan dua fakta lain untuk menyokong teorinya. Pertama, posisi tempat duduk pengemudi. Kedua, ada noda darah di tempat duduk antara mayat dengan kemudi.
“Orang ini tiba ke sini tidak menyetir sendiri,” kata Ross. “Ia dibunuh di tempat lain lalu diangkut ke sini. Mestinya, pelaku bertubuh sangat kecil. Bahkan barangkali anak-anak.”
Tungkai korban memang panjang. Bahkan Ross yang bertungkai lebih pendek kesulitan untuk masuk ke belakang kemudi. Tempat duduk itu ditarik penuh ke depan, agar pengemudi yang bertubuh kecil bisa mengemudi.
Mestinya bukan orang asing
Noda darah di kursi pengemudi ternyata sesuai dengan lubang peluru di sandaran kursi. Mestinya korban ada di belakang kemudi saat ditembak oleh orang yang saat itu duduk di sebelahnya. Lalu korban dipindahkan ke tempat duduk di sebelahnya.
Pembunuh rupanya pindah ke belakang kemudi dan mengatur tempat duduk agar tubuhnya yang kecil bisa mengemudikan dengan enak. Setelah itu mayat diangkut ke Charles Page Boulevard.
Dari penampilan korban, tampaknya pembunuh menyelimutinya sebelum meninggalkannya. Ross jadi ingat pada cara seorang ibu menyelimuti anaknya.
“Sikap seperti ini tidak biasa dilakukan oleh seorang asing pada korbannya,” komentar Ross. “Jangan-jangan pembunuh kenalan baik korban.”
Korban mengenakan celana jins. Di sakunya ada dompet namun tidak berisi uang. Kertas-kertas di mobil menunjukkan identitas korban sebagai Donald James Selige, 24 tahun. la tinggal dalam sebuah apartemen di Tulsa. Menurut berkas-berkas yang ada pada polisi, Donald James Selige punya sejarah panjang berhubungan dengan penyalahgunaan narkotika. la dicurigai sebagai bandar.
Menurut berkas itu pula, ia tinggal di sebuah apartemen dengan “istri”-nya. Meski sebenarnya ia tidak menikah secara sah dengan perempuan bernama Bernice Land itu.
Detektif Ross dan Palmer lantas menuju ke apartemen pasangan itu. Di jalan mereka menebak-nebak. Jangan-jangan wanita itu bertubuh kecil.
Bernice tidak di rumah. Kata ibunya, ia keluar mencari “D.J.”, sebutan bagi Donald Selige.
Dicari pacar
“Bernice dan D.J. sudah berpisah,” kata si ibu ketika menemani para detektif. “D.J. sekarang berpacaran dengan perempuan bernama Nita. Tadi pagi, kira-kira pukul setengah tujuh, Nita menelepon Bernice, menanyakan D.J.”
Menurut si ibu lagi, Bernice dan Nita saling membenci gara-gara D.J. Ini pertama kalinya Nita menelepon. Sayang, ia tidak tahu nama keluarga Nita dan di mana alamatnya.
Para detektif menyabarkan diri menunggu Bernice pulang. Ternyata wanita itu sedang hamil tujuh bulan. Melihat perut gendutnya, kedua detektif merasa tidak mungkin ia duduk di belakang kemudi Hyundai yang tempat duduknya disetel ke depan sampai maksimal.
Ross bertanya, apakah Bernice tahu alamat Nita. Ternyata ia tidak tahu. Untung, ia ingat telepon di rumahnya memiliki alat perekam nomor penelepon. Pembicaraannya dengan Nita terjadi setelah Nita menelepon untuk kedua kalinya. “Saat ia pertama kali menelepon, kami sedang tidak di rumah,” kata Bernice, “tapi nomor teleponnya pasti terekam.”
Benar. Dari nomor itu para detektif bisa melacak tempat Nita menelepon, sebuah rumah di West 38th Street North.
Ross menelepon ke nomor itu. Telepon diangkat oleh seorang pria yang mengaku bernama Tommy Brown.
“Saya perlu berbicara dengan Nita,” kata Ross. Lalu seorang wanita mengambil alih telepon.
“Nita, saya Detektif Gary Ross dari departemen sheriff. Saya perlu berbicara dengan Anda.”
Wanita itu tidak menjawab, tetapi telepon tidak ditaruh. Akhirnya wanita itu berbicara juga, “Saya akan berbicara di rumah saya.”
Ia memberi sebuah alamat, tidak jauh dari tempat mayat Donald Selige ditemukan. Ternyata Nita tinggal di situ dengan beberapa kerabatnya. Polisi tiba lebih dulu dari Nita.
Salah seorang saudara perempuan Nita, yang kemudian diketahui bernama Candy, sedang hamil besar pula seperti Bernice. Ross dan rekannya berpikir, Candy juga tidak muat di belakang kemudi sedan yang kursinya disetel penuh ke depan. Saat menanyai Candy, kedua detektif merasa perempuan ini bersaing keras dengan Nita.
Mengibas-ngibaskan uang
“Kami menemukan D.J. Selige dalam keadaan tewas tertembak pagi ini,” kata Ross.
“Perempuan jahanam itu!” teriak Candy.
“Siapa yang Anda maksud?” tanya Ross.
“Nita! Kemungkinan besar perempuan jahanam itu yang membunuhnya!”
Kedua detektif menanyai Candy lebih saksama. Kata Candy, kemarin sore Selige datang sekitar pukul 20.00. Pria itu dengan bangga mengibas-ngibaskan segepok uang. Lalu ia menghitung uang yang masih baru itu di depan para teman perempuannya untuk pamer. Jumlahnya AS $ 7.000. Selige dengan salah seorang dari teman perempuannya lantas mengkonsumsi ‘crank’, suatu methamphetamine yang kuat. Kemudian, kira-kira pukul 22.00, Selige meninggalkan rumah bersama Nita. Mereka mengendarai Hyundai milik Selige.
“Apakah Nita punya senjata api?” tanya salah seorang detektif.
“Punya,” jawab Candy. Namun sedetik kemudian ia tampak menyesal.
“Tapi tidak tahu, ya. Mungkin juga tidak,” katanya meralat.
“Mungkin mereka cuma membawa pistol D.J. Dia selalu membawa-bawa pistol logam biru semiotomatis.”
Dari Candy pula, dua detektif itu mendengar, Nita pulang kira-kira pukul 05.00 sambil marah-marah. Ketika masuk ke rumah ia berseru, “Aku tidak sangka si keparat itu bisa berbuat begitu. Masa dia meninggalkan aku begitu saja di Git ‘N Go di Charles Page Boulevard? Aku cari-cari, tapi tak nongol batang hidungnya.”
Menurut Candy, Nita lalu menelepon temannya. Sikap marahnya berubah jadi prihatin.
“Kamu ketemu D.J. tidak?” kata Nita di telepon. “Aku khawatir. Aku takut terjadi sesuatu padanya.”
Tidak lama kemudian Nita dijemput Tommy Brown dengan mobilnya. Kata Nita kepada teman-teman serumahnya, ia akan mencari Selige. Itu terjadi sembilan jam yang lalu.
Begitu cerita Candy kepada para detektif sementara mereka menunggu kedatangan Nita.
Sama-sama pecandu narkotika
Akhirnya Nita muncul juga, ditemani Tommy Brown. Kedua detektif saling melirik. Soalnya Nita yang berambut pirang awut-awutan itu bertubuh mungil.
Polisi menanyainya dengan cermat. Nama lengkapnya Nita Lynn Carter. Umurnya 20 tahun dengan tinggi tidak sampai 150 cm. Jadi, mestinya mudah saja ia menyelinap ke balik kemudi Hyundai yang kursinya ditarik penuh ke depan.
Maka kedua detektif itu membawa Nita ke kantor polisi. Dari berkas-berkas ketahuan ia juga sering berurusan dengan polisi soal penyalahgunaan narkotika.
Mula-mula Nita berkata, ketika mereka meninggalkan rumah pukul 22.00 hari Minggu, Selige membawa pistol semiotomatis kaliber .380, yang diselipkan di ikat pinggang. Nita tidak tahu apakah Selige membawa uang atau obat terlarang. Ia sendiri tidak membawa senjata karena memang tidak punya.
Dengan mobil mereka pergi ke Charles Page Boulevard, dekat rumah Nita. Nita diturunkan di toserba Git ‘N Go.
Menurut Nita, Selige akan menemui beberapa orang untuk melakukan transaksi obat, yaitu crank.
“Itulah terakhir kali saya melihatnya,” kata Nita mengakhiri keterangan.
Saat memberi keterangan kepada para detektif, sikap Nita sering aneh. Bila enggan menjawab, ia akan diam saja sambil memandang kosong ke para penanya. Para detektif mendapat kesan Nita seakan-akan memadamkan cahaya di matanya. Selama itu pula ia sering sekali mengendus-endus lengannya.
Kemudian para detektif memanggil Tommy Brown ke ruang lain, sementara Nita permisi ke kamar kecil dengan diantar oleh seorang gadis sekretaris. Sekretaris yang mengantarnya bergidik ngeri saat berdua saja dengan Nita. Mata Nita seperti orang kesurupan, aku si sekretaris. Dengan gegabah ia meninggalkan Nita dan memilih menunggu di lorong. Untung tidak terjadi apa-apa.
Dalam keterangan pertama pada para detektif, Tommy Brown menyatakan tidak tahu-menahu sedikit pun tentang apa yang terjadi pada Selige. Yang ia ketahui, Nita muncul ke rumahnya Senin pagi dan memberi tahu D.J. menghilang.
Di luar ruang interogasi, tampak Nita tiba-tiba menangis dan minta berbicara lagi dengan para detektif.
“Tommy tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa ini!” teriaknya.
Ia berkata akan menceritakan semua yang ia tahu. Lalu Nita mengendus-endus lagi dirinya.
“Saya mencium bau amis darah! Darahnya!”
Mendengar seruan Nita, para detektif mengira akan mendengar pengakuan pembunuhan. Ternyata Nita cuma berkata, setelah D.J. menurunkannya di Git ‘N Go, ia menunggu di toko itu selama ± 30 menit. Karena D.J. belum juga muncul untuk menjemputnya, ia menjadi tidak sabar. Ia berjalan ke gang tempat D.J. diperkirakan menemui para pembeli narkotikanya.
Di gang itu ia melihat D.J. terhenyak di atas kemudi. Nita menemukan dua lubang bekas tembakan di dadanya. Nita sangat terguncang. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Waktu ia sedang bengong, sebuah mobil berisi dua pria masuk gang itu. Nita menduga, mestinya mereka pembunuh D.J. yang kembali untuk meyakinkan diri bahwa D.J. sudah tewas.
Karena takut, Nita telungkup di tanah untuk bersembunyi. Setelah dua orang yang memeriksa D.J. itu pergi, barulah Nita berani bangun.
“Seperti apa orang-orang itu?” tanya Ross.
“Saya tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Waktu itu ‘kan sudah gelap!” jawab Nita.
“Lagipula saya telungkup ketakutan di tanah, jadi tidak bisa memperhatikan mereka. Saya juga takut ketahuan.”
“Mobilnya seperti apa?” lanjut detektif.
“Sudah saya bilang, waktu itu gelap. Saya tidak bisa melihat dengan jelas.”
Sesudah kedua orang itu pergi, Nita menarik tubuh D.J. ke tempat duduk penumpang. Lalu ia duduk di kursi pengemudi untuk membawa mobil dan tubuh D.J. ke sebelah toko karpet. Di situ ia berhenti. Lanjut Nita, “Saat itu D.J. masih hidup. Malah ia sempat memohon, ‘Nita, tolonglah saya!’”
Ia menyelimuti tubuh D.J. agar tidak kedinginan dan terus menemani sampai D.J. tewas.
“Kenapa Anda tidak membawanya ke rumah sakit?” tanya Ross.
“Saya…saya tidak tahu ... saya mencium amis darahnya di tubuh saya ...”
Berubah haluan
Para detektif merasa Nita berdusta. Namun, siapa tahu Nita benar. Para pemakai narkotika memang sering bertindak tidak masuk akal. Uang kontan AS $ 7.000 dan sejumlah narkotika bisa saja mengundang orang jadi pembunuh.
Untuk sementara Nita dilepaskan.
“Kami akan berbicara lagi dengan Anda,” kata Detektif Ross sebelum wanita itu meninggalkan kantor polisi.
Sementara itu Tommy Brown diperingatkan oleh polisi, ia bisa didakwa terlibat pembunuhan kalau berdusta demi melindungi pacarnya. Menyadari risikonya buru-buru pria ini berganti haluan.
la menyatakan ingin mengubah pernyataan. Katanya, Minggu pukul 23.30, ia ditelepon Nita yang minta dijemput di bar sebelah toko Git ‘N Go.
“Saya curiga ia baru saja melakukan sesuatu,” katanya. “Tetapi saya tidak tahu apa. Ia punya banyak uang dan obat.”
Ada satu keanehan yang dilihat Brown. “Setiba di rumah saya, ia mandi berulang kali,” katanya.
“Ia mencoba menghilangkan bau darah, tetapi tidak berhasil,” pikir Detektif Ross. Tommy Brown meneruskan cerita. Katanya, Senin pagi ia berencana berburu rusa bersama seorang temannya. Ketika temannya datang menjemput, Nita bertindak ganjil. Ia pergi ke pintu belakang dan menembakkan pistol semiotomatis kaliber .380 ke kebun.
“Senjata sialan ini macet semalam,” katanya.
Brown membungkus pistol .380 itu dengan kaos kaki dan memberikan ke temannya yang akan berburu.
“Buang ya,” pesannya.
“Anda merasa aneh ia menembak ke kebun, tetapi mengapa Anda menyuruh buang senjata itu?” tanya Ross.
“Entah mengapa, saya merasa terdorong untuk membuangnya,” jawab Brown.
Detektif Palmer dan Ross mencari teman berburu Brown. Ia mengaku diminta membuang pistol oleh Brown.
“Sudah Anda lakukan?”
“Ya.”
“Ke mana Anda buang?”
“Ke Danau Thieland.”
Kedua detektif membawa teman Brown ke Danau Thieland untuk menunjukkan tempat ia membuang pistol. Pria itu melemparkan sebuah batu ke tengah danau.
“Kira-kira di situ,” katanya. Polisi mendatangkan beberapa penyelam. Pistol itu ditemukan. Setelah diperiksa di laboratorium polisi, ketahuan bahwa memang pistol itu yang dipakai untuk membunuh Selige.
Senjata milik pacar bersama
Sementara itu, Nita sudah meminta jasa seorang pengacara. Ia membayar uang muka AS $ 1.000 dengan lembar uang kertas seratusan baru, seperti uang yang dipamer-pamerkan Selige pada malam ia dibunuh.
Lalu muncul Candy untuk menambahkan keterangannya kepada polisi. Katanya, Nita memang memiliki pistol semiotomatis kaliber .380, yang didapat dari pacar bersama mereka, Joe Todd.
Kemudian Nita belajar menembak dengan pistol itu di rumah seorang teman lain. Polisi mendatangi rumah tempat latihan itu dan menemukan peluru-peluru yang ditembakkan saat latihan. Peluru-peluru itu cocok dengan peluru yang ditembakkan dari pistol yang ditemukan di dasar danau.
Polisi juga meminta keterangan Joe Todd. Pria ini mengaku, Nita mengambil pistol dari rumahnya.
Beli satu dapat dua
Nita Carter didakwa membunuh Donald James Selige, lalu merampas uang dan obat yang dimilikinya. la terus menyangkal sebagai pelaku pembunuhan. Namun, ketika diadili bulan Juni 1994, akhirnya ia berganti haluan dan mengaku bersalah.
Nita Lynn Carter dijatuhi hukuman 25 tahun penjara. Saat ini ia sedang menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan negara di Oklahoma.
Kematian D.J. Selige dan hukuman bagi Nita Carter disebut polisi sebagai ‘a twofer’, beli satu dapat dua. Kejahatan yang dilakukan Nita menghilangkan sekaligus dua kriminal dari jalan: dirinya sendiri dan korbannya yang bandar narkotika itu.
Baca Juga: Dalang dalam Selimut Pengawalan
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605965/mayat-berselimut-rapi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670836492000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517456" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/jerat-jerat-janda-kembang_bas-ma-20221009065437.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Sandra Camille dikenal sebagai janda cantik, pintar, namun berbahaya. Tiga kali menikah, semua suaminya meninggal karena berbagai alasan." ["section"]=> object(stdClass)#60 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/jerat-jerat-janda-kembang_bas-ma-20221009065437.jpg" ["title"]=> string(25) "Jerat-jerat Janda Kembang" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 18:57:39" ["content"]=> string(21096) "
Intisari Plus - Sandra Camille dikenal sebagai janda cantik, pintar, namun berbahaya. Tiga kali menikah, semua suaminya meninggal karena berbagai alasan.
-------------------
Di Dallas, Sandra Camille Powers dijuluki janda kembang. Ya, memandangi Sandra, lelaki mana pun pasti terpana. Meski umurnya sudah kepala tiga (persisnya 36), perempuan beranak tiga itu masih terlihat seksi. Raut wajahnya cantik alami, ditopang tubuh semampai, rambut hitam tergerai, tatapan mata, dan bahasa tubuh nan menggoda. Sebagai perempuan, Sandra nyaris sempurna.
Tak aneh jika Alan Rehrig (saat itu tahun 1984, usianya 29 tahun) tertarik, dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Perbedaan umur tidak soal buat pemuda yang baru saja boyongan dari Oklahoma ini. Masalahnya, Alan yang sedang keenakan dibuai chemistry cinta (apalagi ia orang baru di Dallas) jelas belum tahu tengah berhadapan dengan siapa. Sandra Camille Powers bukan sekadar janda seksi, tapi juga perempuan pintar, licin, dan berbahaya. Hampir semua orang Dallas tahu itu.
Sarat aroma kematian
Mau di sini atau di Amerika Serikat sana, citra janda ya sami mawon. Selalu jadi sasaran gosip para tetangga. Terutama ibu-ibu rumah tangga yang khawatir suaminya jadi incaran sang janda. Tentu saja, tak semua gosip itu benar, seperti juga tak semuanya isapan jempol. Sandra misalnya, memang tak hanya piawai menggoyang iman para lajang, tapi juga jago memikat suami orang. Setelah dua suami sebelumnya meninggal, ia dikabarkan sering gonta-ganti teman kencan.
Sandra pertama kali menikah tahun 1976 dengan seorang dokter gigi, David Stegall. Saat itu umurnya baru 23 tahun. Pasangan ini lantas dikaruniai tiga anak, tinggal di rumah besar yang interiornya dirancang oleh salah seorang desainer terkenal asal Dallas. David memang jenis lelaki yang hobi mengoleksi mobil mewah, punya rumah bagus, dan istri cantik. Taste-nya terbukti oke saat memilih mobil atau rumah, tapi tidak dalam memilih istri. Lantaran Sandra doyan menghambur-hamburkan uang, David malah terlilit utang dan terancam bangkrut.
Putus asa dikejar-kejar debt collector, tahun 1975 David memutuskan mengakhiri nasib malangnya. Ia “bunuh diri”, setidaknya begitu kesimpulan polisi, setelah memeriksa jasad yang terbujur kaku di tempat tidur dengan pistol di tangan. David mati nelangsa, tapi Sandra tetap hidup dalam kemapanan. Selain mewarisi seluruh uang asuransi kematian, ia juga mendapat kocek tambahan dari hasil penjualan rumah dan tempat praktik David. Utang lunas, Sandra pun memulai hidup baru dengan bebas.
Begitu bebasnya, beberapa bulan kemudian, ia sudah termehek-mehek di pelukan Bobby Bridewell, pengusaha real estate sekaligus pemilik sebuah hotel eksklusif di Dallas. Sandra begitu menikmati kemewahan yang ditawarkan Bridewell, sehingga menerima ajakan menikah (lagi), tiga tahun setelah meninggalnya David. Sebagai Ny. Bridewell, bukan hanya kekayaan yang didapat Sandra, status sosial sebagai istri salah satu pengusaha terkaya di Dallas pun diraihnya.
Tapi masa keemasan itu cepat lewat. Tahun 1980, Bobby meninggal di usia 41 setelah 2 tahun berjuang melawan kanker. Gosip miring berembus, sebenarnya sejak awal Sandra tahu Bobby menderita kanker parah. Tapi hal itu justru menguatkan niatnya menikahi sang jutawan. Bukankah harta peninggalan Bobby lebih dari cukup untuk membuatnya bertahan di lingkar pergaulan kelas atas, meski harus hidup tanpa suami?
Sepeninggal Bobby, Sandra sempat mencoba mendekati dokter spesialis kanker langganan keluarga Bridewell, dr. Jan Bagwell. Jan dan istrinya, Betsy-lah yang selama ini membantu merawat anak-anak Sandra, pascakematian Bobby. Tapi lagi-lagi, cerita horor dan lagu kematian bak mengancam siapa pun yang dekat dengan Sandra. Dr. Jan Bagwell merasa kelakuan Sandra sudah di luar kewajaran. Sandra kerap minta Jan ke rumahnya hanya untuk hal-hal sepele, semisal mengecek kondisi mobil (yang setelah diperiksa, ternyata tidak bermasalah).
Pelan tapi pasti, Jan membatasi diri. Sebuah keputusan yang harus dibayar mahal, karena beberapa waktu kemudian, Betsy ditemukan mati mengenaskan di mobilnya, tak jauh dari bandara Dallas. Persis seperti bunuh dirinya David, di tangan Betsy terselip pistol. Polisi lagi-lagi terpaksa menyimpulkan kasus ini sebagai “bunuh diri” sebab tak ada bukti atau jejak keterlibatan orang lain di TKP, selain sidik jari dan jejak korban.
Termasuk tiadanya tanda-tanda keterlibatan Sandra. Padahal, ia disebut-sebut sebagai orang terakhir yang bertemu Betsy. Beberapa jam sebelum mayat Betsy ditemukan, Sandra menelepon korban. “Mobilku mogok di parkiran gereja. Kamu bisa tolong antarkan aku ke rental, kan?” rayu Sandra di ujung telepon. Betsy menyanggupi. Keduanya sempat bolak-balik rental dan gereja, karena Sandra mengaku SIM-nya tertinggal di mobil. Setelah itu. mereka berpisah, dan Betsy yang malang pun menghilang.
Banyak orang di Dallas meyakini, Betsy dibunuh karena mengetahui rencana Sandra merebut Jan. Persoalannya, sama seperti kasus “bunuh diri” David, polisi tak punya cukup bukti. Tak ada sidik jari atau identitas lainnya yang tertinggal. Bahkan pistol yang digunakan pun hasil curian, yang bisa dengan mudah dibeli di pasar gelap.
Belakangan, beredar kesimpulan lain, dibuat oleh seorang detektif swasta, dibantu ahli forensik independen. Mereka yakin Betsy dibunuh. Keberadaan sidik jari Betsy dan residu mesiu di tangan korban, menurut mereka, adalah bukti upaya Betsy mengalihkan pistol yang ditodongkan di kepalanya. Toh tanpa bukti nyata, polisi tetap sulit bertindak. Keterlibatan Sandra akhirnya berkembang sebatas kasak-kusuk, meski sekali lagi, sebagian besar orang Dallas percaya, sang janda kembanglah yang menebar teror.
Lambaian tangan terakhir
Kabar tentang Sandra dan Alan menyeruak, banyak orang terhenyak. Apakah Alan akan menjadi pelabuhan terakhir Sandra, atau hanya akan melengkapi “cerita horor” yang bertahun-tahun dirajut Sandra? Saat itu, tentu saja tak seorang pun percaya. Sandra dan Alan, yang selama ini tinggal di rumah sobat kentalnya, Phil Askew, pemilik bisnis pegadaian tampak seperti Romeo dan Juliet. Dekat dan mesra setiap saat.
“Alan sangat tergila-gila pada Sandra,” sebut Phil. Sohib Alan yang lain, George McKinney bercerita bagaimana suatu ketika, dia melihat Sandra bergayut mesra di pundak Alan, yang sedang menyetir. “Betul-betul kayak ABG,” sambungnya. Kebahagiaan itu memuncak saat Sandra hamil. Tanpa pikir panjang, hanya enam bulan setelah pindah dari Oklahoma, Alan menikahi Sandra.
Sialnya, dua bulan kemudian Sandra mengaku keguguran. “Alan sangat terpukul. Dia sungguh-sungguh mengharapkan hadirnya seorang anak. Sejak itu, keduanya sering bertengkar,” jelas Phil. Banyak hal yang membuat keduanya bete. Mulai dari soal anak yang batal lahir, sampai keinginan Sandra agar Alan ikut asuransi jiwa. “Padahal aku paling malas berurusan dengan perusahaan asuransi,” keluh Alan pada Phil.
Meski sudah ikut asuransi jiwa, pertengkaran terus berlanjut hingga berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Sampai akhirnya, pada November 1985, secara lisan mereka memutuskan pisah ranjang. Alan pun resmi pindah ke rumah Phil. Di masa-masa introspeksi itu, mereka sempat saling telepon. Pertikaian pun sepertinya sedikit mencair. Belakangan, Sandra bahkan minta waktu untuk bertemu Alan.
“Mereka sepakat bertemu di gudang kecil, dekat rumah Sandra,” terang Phil. Sorenya, mengendarai Ford Bronco kesayangan, Alan pamitan pada Phil. “Kami sempat bertukar lambaian tangan. Tak dinyana, itulah lambaian tangan terakhir saya dan Alan,” Phil tak kuat menahan air mata. Begitulah sekitar pukul 18.00, datang telepon dari Sandra.
“Alan sudah berangkat ‘kan Phil?” ceracau Sandra.
“Sejak sore tadi. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri.”
“Ah, kamu tahu siapa Alan. Bisa saja dia mampir dulu ke bar, lalu terlibat masalah di sana,” timpal Sandra.
Phil tak berkomentar. Tapi entah mengapa, hatinya risau. Bersama teman-temannya, dia lalu berinisiatif mencari Alan. Meski sampai dini hari, hasilnya tetap nihil. Satu hal yang diherani Phil, Sandra sama sekali tidak menampakkan kekhawatiran. Sebagai istri yang mengaku hendak merajut kembali tali perkawinan yang telanjur koyak, Sandra malah memutuskan menyewa detektif swasta. Bukan, bukan untuk ikut mencari Alan, tapi melindungi dirinya dari sang suami yang tengah raib! Phil-lah yang akhirnya melaporkan hilangnya Alan ke kantor polisi.
Hari-hari sepi kabar membuat Phil waswas. Di hari ke-4, firasat jelek mulai muncul. Benar saja. Di hari ke-4 itu pula, sobat kentalnya, Alan Rehrig ditemukan. Tubuhnya tak lagi bernyawa, tergolek di antara dua kursi depan Ford Bronco kesayangannya, tak jauh dari gardu listrik, sekitar 2 mil (3,2 km) dari lapangan terbang Oklahoma, atau 200 mil (321,8 km) dari Dallas. Malam itu, di tengah udara dingin, dua orang polisi yang sedang berpatroli menaruh curiga pada Bronco ‘84 yang parkir seenaknya di pinggir jalan.
Setelah mobil yang terkunci itu didekati, tampak dua luka dan lubang bekas peluru di kepala sebelah kanan Alan, tak jauh dari belakang telinga. Tak berapa lama, petugas medis, petugas koroner, dan polisi datang bersusulan. Jalan gelap yang tadinya sepi, kini ramai dan terang benderang.
Termotivasi uang asuransi
Hasil analisis pihak kepolisian beberapa waktu kemudian menunjukkan, korban tampaknya ditembak saat duduk di kursi sopir, ketika sedang berbincang-bincang dengan seseorang di luar kendaraan. Oleh si penembak, mayat Alan lantas digeser ke arah kursi penumpang di sebelahnya.
“Agar si pembunuh bisa duduk di kursi sopir dan bebas menyetir,” reka Steve Pacheco, polisi Oklahoma yang diserahi tugas menangani kasus pembunuhan Alan Rehrig. Steve memastikan, pembunuh Alan lebih kecil dan lebih pendek daripada korbannya. “Terlihat dari setelan kursi sopir yang diatur ulang oleh si pembunuh,” imbuh Steve.
Saat ditemukan, Alan hanya mengenakan celana pendek dan T-shirt. Padahal, saat itu di Oklahoma sedang dingin-dinginnya. “Berarti dia dibawa dari tempat yang lebih hangat. Dallas misalnya. Oklahoma sekadar pengalih perhatian,” tegas Steve.
Setelah mengumpulkan semua petunjuk, kecurigaan Steve langsung tertumbuk pada Sandra. Di mata polisi Oklahoma ini, secara materi, Sandra satu-satunya orang yang paling diuntungkan atas matinya Alan. “Menurut keterangan yang kami himpun, Alan nyaris tak punya musuh, bukan tipe pembuat onar, dan belum genap setahun tinggal di Dallas. Tapi Alan punya asuransi jiwa senilai AS $ 220.000 (sekitar Rp 2 miliar), yang akan jatuh ke tangan istrinya jika ia meninggal. Bayangkan jika mereka jadi bercerai, Sandra tidak akan mendapatkan apa-apa.
“Sambil duduk di mobil, Alan berbincang-bincang dengan Sandra yang berdiri di luar kendaraan. Di tengah-tengah percakapan itulah Sandra menembak Alan. Lalu dia mendorong jasad Alan ke kursi penumpang. Tinggi Sandra hanya 5 kaki 6 inci (hampir 170 cm), lebih pendek daripada Alan yang 6 kaki 1 inci (lebih dari 180 cm). Itu sebabnya setelan kursi harus disesuaikan,” Steve berteori. Dengan mobil itulah Sandra membawa mayat Alan ke Oklahoma. Mengapa Oklahoma? “Sandra punya reputasi kurang bagus di Dallas. Hampir semua orang, tak terkecuali polisi tahu masa lalunya.”
“Sabtu itu, Sandra mencoba merancang alibi. Dia membuat janji dengan Alan, lalu karena Alan tak muncul, dia memutuskan makan malam dan pergi nonton bersama teman-temannya sampai pukul 01.30,” urai Steve. “Tapi alibinya tidak berlaku antara pukul 01.30 - 10.00, karena tak seorang pun melakukan kontak dengan Sandra. Padahal, itulah saat ia membawa mobil Alan yang disembunyikan di suatu tempat - ke Oklahoma. Jika meninggalkan Dallas sekitar pukul 02.00, dan tiba di Oklahoma sebelum matahari terbit, ia bisa kembali ke Dallas dengan penerbangan pertama. Itu sebabnya, mengapa Ford Bronco ditinggalkan dekat bandara.”
Steve sempat memanggil Sandra ke Oklahoma. Tapi saat diinterogasi, istri Alan itu tak banyak bicara dan tetap kukuh pada alibinya. Steve tak bisa menahan Sandra, karena lagi-lagi tak ada bukti langsung yang dapat mengaitkan perempuan itu dengan terbunuhnya Alan. Ketika Steve merencanakan interogasi kedua, Sandra keburu terbang ke Dallas. Di sini Sandra menyewa seorang pengacara terkemuka, yang dengan kepintarannya bersilat lidah berhasil menjauhkan polisi dari kliennya. “Undang-undang memang menyebutkan, Anda bisa menyewa pengacara, lalu diam seribu bahasa. Tapi jika suami Anda dibunuh orang, dan Anda dapat memberi keterangan untuk membantu polisi menangkap pembunuhnya, kenapa pula harus diam seribu bahasa?” geram Steve.
Akhirnya terjerembap juga
Bulan berganti tahun, kasus kematian Alan menguap begitu saja. Sandra pun hilang bak ditelan bumi. Jejaknya baru terlacak pada 1986 di Marin County, San Francisco. Memakai nama Sandra Bridewell, sang janda “beredar” di kalangan pengusaha dan pengacara. Namun di tempat barunya itu, Sandra dikabarkan senang berutang. Dia sempat berperkara dengan seorang jaksa yang memberinya pinjaman AS $ 23.000 (Rp 200 jutaan) dan seorang pengusaha yang meminjamkan AS $ 70.000 (Rp 500 jutaan). Pasalnya, ketika ditagih, Sandra cuma berujar enteng, “Saya pikir uang itu diberikan cuma-cuma.”
Masyarakat Marin County mulai ngeh siapa Sandra, setelah sebuah majalah di Dallas memuat kisah kelam janda beranak tiga itu. Sandra yang kepepet kemudian meninggalkan kota, mengubah lagi namanya menjadi Camille Bridewell.
Di awal ‘90-an, secara mengejutkan, Sandra dikabarkan menjadi misionaris. Dia rajin berkeliling, berdakwah dari satu kota ke kota lain di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat. Pertanda sang janda (umurnya saat itu 50 tahunan) mulai insaf? Tunggu dulu. Lewat peran barunya itu, Sandra yang kali ini memakai nama Camille Bowers (pelesetan dari nama aslinya Powers) ternyata kerap mengutip uang dari jemaah. Sandra hanya memindahkan sasaran kejahatannya. Jika dulu targetnya lelaki kelas menengah ke atas, kini kelas menengah ke bawah, mengatasnamakan “bantuan untuk anak yatim piatu”!
Toh sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya terjerembap juga. Pada 2006, Camille Bowers (62) berkat kepandaiannya mencari muka dipercaya menjadi pengasuh Sue Moscley (77 tahun) yang telah renta dan sakit-sakitan, di sebuah kota kecil Southport, North Carolina. “Dia bilang, suaminya meninggal, dan kini dia hanya memikirkan Tuhan dalam kehidupannya,” cerita Jim Moseley, putra Sue.
Beberapa bulan “mengasuh” Sue, Camille menyampaikan rencananya membeli sebidang tanah di Southport. Sue pun lantas memperkenalkannya dengan Jack Vercene, seorang broker properti. Pilihan Camille jatuh pada sebuah tanah plus rumah seharga AS S 2,7 juta (sekitar Rp 15 miliar). Beruntung Jack termasuk orang yang gemar berselancar di internet. Iseng-iseng dia browsing nama Camille di dunia maya, dan mendapati sejumlah artikel tentang Camille beralias Sandra.
“Saya mendapati foto-foto Sandra di Dallas atau San Francisco sama persis dengan sosok Camille di Southport,” terawang Jack.
Jack terhenyak. la menelepon Glenna Whitley, wartawan asal Dallas yang mengikuti dari awal kiprah Sandra. Informasi Glenna membuat Jack makin yakin, Camille memang Sandra, tak salah lagi. Setelah itu, mereka bersama-sama menjelaskan persoalan ini pada Jim Moseley, yang segera mendatangi rumah ibunya. Beruntung Camille dan anak-anaknya sedang tidak di rumah.
Jim pun leluasa memeriksa dokumen keuangan Sue. Di situ dia menemukan tagihan kartu kredit atas nama Sue senilai AS $ 2.500 (Rp 20 jutaan) yang tak jelas penggunaannya. Juga cek palsu senilai AS $ 900 (Rp 8 jutaan). Yang lebih mengejutkan, Jim mendapati surat peringatan dari sebuah lembaga keuangan memberitahukan bahwa rumah ibunya tak lama lagi akan jadi barang sitaan, karena telah 6 bulan lalai membayar pinjaman. Pinjaman apa? Jim dan Sue cuma bisa geleng-geleng kepala.
Jim menceritakan semuanya pada polisi. Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 20 tahun, Camille alias Sandra berhasil dijebloskan ke bui, dengan bukti-bukti yang lengkap dan akurat. Saat ditangkap, Sandra tidak menunjukkan emosi berlebihan. Satu-satunya kalimat yang keluar dari mulut sang janda hanyalah: “I know my rights, and I want a lawyer.”
Kasus Sue sudah cukup untuk membuat Sandra dipenjara maksimal 20 tahun. Tapi dia berpeluang tinggal lebih lama lagi, jika kepolisian Dallas mengungkit kembali kasus “bunuh diri” David dan Betsy, atau kepolisian Oklahoma membawa bukti-bukti baru dari file kasus kematian Alan Rehrig. Tampaknya, penjara bakal menjadi peristirahatan terakhir sang mantan janda kembang.
Tambahan info dari kegelapan
Saat menyelidiki kematian Alan, kepolisian Oklahoma sempat mendapat sokongan informasi dari seseorang yang mengaku “perempuan asal Dallas”. Informan yang tidak ingin mengungkap identitas pribadinya itu mengaku banyak tahu soal Sandra. Steve Pacheco, mantan polisi Oklahoma yang kini telah pensiun menuturkan, “Dia minta saya tidak asal bicara atau gegabah saat menginterogasi Sandra. Karena Sandra pintar berkelit, punya kemampuan untuk memengaruhi emosi orang lain, dan punya banyak muslihat.” Peringatan itu membuat Steve berhati-hati. “Ternyata benar, Sandra betul-betul pintar dan memesona. Dia juga licin.” Dari sang informan pula, Steve tahu Sandra pembohong besar. Pengakuan hamil (sebelum menikah dengan Alan), kemudian mengalami keguguran hanyalah sandiwara. Sejak melahirkan anak ketiga, Sandra tak mungkin hamil lagi. la sudah menjalani operasi hysterectomy (operasi pengangkatan rahim). Sandra juga bohong pada Alan saat bilang umurnya 36. Yang betul, 41!
Baca Juga: Petualangan si Janda Hitam
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517456/jerat-jerat-janda-kembang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665341859000) } } }