Intisari Plus - Voni ditemukan tewas di kamar kosnya dengan 2 setrip obat tidur yang sudah terpakai. Benarkan ia tewas karena bunuh diri?
-------------------
Jam dinding di ruang penjagaan menunjukkan pukul 15.30 sewaktu Edi Richardo melangkah keluar dari ruang Kapolres. Langkahnya terlihat Iebih lesu. Wajahnya pun kusut.
Maklum, hari itu ia kurang istirahat. Sejak subuh bersama rekan satu timnya ia mengintai sebuah rumah yang dicurigai menjadi sarang transaksi narkoba. Sialnya, 10 jam lebih mereka menunggu, tak ada tanda-tanda apa pun di sana.
Edi melangkah menuju ke ruang kerjanya di Unit Reserse Kriminal. Alangkah senangnya polisi muda berpangkat Inspektur Dua itu, karena ternyata ruangan sedang kosong. “Ah, kebetulan,” pikirnya.
Jaket hitamnya dilepaskan dan ditaruh di sandaran kursi, lalu ia merebahkan diri di sebuah bangku kayu panjang. Buku petunjuk telepon yang tebal diraihnya dari meja dan dijadikannya bantal. Perlahan-lahan matanya mulai terpejam.
Tapi, belum lima menit Edi merasakan kedamaian itu, ponsel di saku celana jinsnya bergetar. Berkali-kali, seperti teror. Saat ponsel diambil dan dilirik, yang tertera di layar nama “Kapt. Valen”.
“Siap, Komandan!”
“Halo, Edi? Ada taruna di Jln. Kenanga Empat, Kampung Tiga.” Suara Kapten Valen, atasannya di Unit Reserse Kriminal, terdengar agak terputus-putus.
“Halo, ya, siap Komandan. Segera meluncur ke TKP.”
“Sebentar, Edi! Bukankah itu daerah tempat kamu tinggal?”
Edi tertegun sejenak, berusaha menyegarkan ingatan di antara rasa kantuk yang sebenarnya sudah tak tertahankan lagi.
“Betul, Komandan. Di Kampung Tiga. Tarunanya apa?”
“Mayat perempuan di kamar kos.”
Dua setrip obat tidur
Suasana Jln. Kenanga Empat sudah terlihat ramai sewaktu Edi tiba, setengah jam kemudian. Banyak orang berkerumun memenuhi jalan hingga ke depan TKP. Mereka berusaha melongok ke dalam bangunan rumah kos yang berpagar tinggi itu. Sekilas, terdengar beraneka pembicaraan tentang polisi, mayat, dan pembunuhan. Jalan itu jadi macet luar biasa.
Alis mata Edi mengernyit saat menyadari TKP memang benar berada di rumah kos, tempat tinggalnya selama dua bulan ini. la bergegas, namun terhalang kerumunan massa. Langkahnya baru leluasa setelah seorang polisi melambaikan tangan dan meminta seorang Hansip memberi jalan.
“Benar ini tempat kosmu?” Valen berbisik menyambutnya.
Edi mengangguk. Matanya mengawasi wajah orang-orang di sekitarnya.
Di hadapannya ada beberapa orang yang dikumpulkan Valen untuk dimintai keterangan. Ada lelaki pemilik kos, seorang perempuan pembantu rumah kos yang sudah dikenalnya, serta dua perempuan penghuni kos yang melaporkan bau tidak sedap dari kamar korban.
Seolah tak ingin kalah berpacu dengan matahari yang tampak mulai tenggelam, Valen segera mengajak Edi naik ke kamar korban di lantai dua. Keduanya beriringan menaiki tangga yang sempit dan curam. Seorang Hansip yang berjaga di depan sebuah kamar langsung memberi jalan begitu melihat kehadiran dua polisi itu.
Di dalam kamar, terlihat sesosok mayat perempuan muda dalam posisi terlentang di atas sebuah kasur spring bed. Mayat yang mengenakan daster itu, usianya masih tergolong muda. Sekitar 20 - 25 tahun. Sekilas, tidak terlihat tanda-tanda kekerasan terhadap korban, meski Edi tidak begitu yakin, mengingat tubuhnya mulai membengkak dan berbau.
Bersama Valen, Edi melakukan olah TKP. Jika dicermati lebih detail, di kamar 4x5 m itu tidak terdapat hal-hal yang menjurus ke arah perbuatan kriminal. Dompet korban berisi beberapa lembar uang lima puluh ribuan ditemukan tergeletak di meja. Di dekatnya ditemukan juga sebuah ponsel dalam keadaan mati dan sebuah kunci yang ternyata adalah kunci kamar.
Kesan adanya upaya korban bunuh diri tampak dengan ditemukannya dua setrip obat tidur di lantai. Obat yang setiap setrip berisi sepuluh butir itu semuanya sudah terbuka. Mungkinkah ini penyebabnya? Edi berpikir sejenak. Bunuh diri dengan minum obat tidur? Hmm, kayak di film atau sinetron saja.
Unit Reserse Kriminal yang dipimpin Komisaris Valen benar-benar menghadapi kasus pelik dengan penemuan mayat di rumah kos. Masalahnya, informasi awal yang mereka miliki amat minim. Hampir tak ada petunjuk apa-apa yang bisa menjelaskan motif peristiwa itu.
Korban diketahui bernama Voni Nirmala, gadis WNI keturunan Tionghoa, kelahiran Cilacap, berusia 23 tahun. la tinggal di rumah kos sejak empat tahun lalu, atau semasa masih berkuliah di sebuah universitas yang hanya berjarak 3 km dari tempat tinggalnya. Setelah lulus, ia bekerja sebagai penjaga perpustakaan di kampus itu.
Tapi yang menyulitkan penyelidikan polisi ternyata tidak ada penghuni lain di rumah kos yang benar-benar mengenal korban. Selain penghuni di rumah itu selalu berganti-ganti, menurut keterangan Ningsih, salah seorang saksi yang bekerja sebagai pembantu di rumah kos, korban termasuk pribadi yang tertutup.
Saksi yang baru empat bulan bekerja di rumah kos, menuturkan, Voni selalu pergi meninggalkan rumah pada pagi hari sekitar pukul 07.00 dan pulang sekitar pukul 17.00 atau 18.00. Selebihnya, korban hanya tinggal di dalam kamarnya dan hampir seakan tidak ada kontak lagi dengan dunia luar. Bahkan urusan pembayaran uang kos dilakukan lewat Ningsih.
Dalam pengamatan Edi, selain pribadi korban yang tertutup, situasi di rumah kos juga sangat mendukung terjadinya peristiwa yang tidak diharapkan. Rumah berlantai dua yang berbentuk seperti ruko itu amat tertutup. Di lantai satu ada empat kamar, di lantai atas enam kamar. Akses keluar masuk hanya melalui pintu gerbang kecil di depan rumah yang selalu terkunci. Tidak ada teras atau semacamnya.
Setiap kamar juga berdesain sama, berjendela tinggi yang sekaligus digunakan juga sebagai satu-satunya ventilasi. Kamar mandi tersedia di dalam kamar. Pada malam hari atau jika pendingin ruangan telah dinyalakan, dijamin penghuninya akan malas keluar kamar.
Di kota ini Voni tak punya sanak famili. Polisi baru berhasil menghubungi keluarganya setelah mendapat informasi dari tempat kerja korban, dua hari kemudian.
Dari pihak keluarga, polisi mendapat gambaran lebih jelas tentang pribadi korban. Sejak Voni meninggalkan kota kelahirannya, keluarga nyaris kehilangan kontak karena mereka jarang berhubungan. Kebetulan ayahnya sibuk, sedangkan ibunya sudah lama meninggal. Sesekali saja Voni menelepon ayahnya kalau perlu uang.
Menurut Alim Wijaya, ayah korban, sifat tertutup anaknya disebabkan Voni merasa bukan anak kandung, sehingga sering merasa minder dan menjauhkan diri dari pergaulan. “Kami juga tidak tahu apakah dia punya pacar atau tidak,” tutur Alim yang hanya bisa menangis di depan peti mati putrinya.
Sepeda motor berpelat “AD”
Peristiwa tragis di rumah kos di Kampung Tiga itu sebenarnya membawa berkah tersendiri bagi Inspektur Edi. Belum dua bulan ia menempati pos barunya di Unit Reserse Kriminal, sudah banyak hal yang bisa dipelajari dari senior sekaligus atasannya, Komisaris Valen.
Di mata anak buah, Kepala Unit bertubuh pendek itu terlihat begitu istimewa. la begitu dihormati karena prestasinya yang luar biasa. Selalu gigih dalam menuntaskan sebuah kasus dan tak lupa memberi motivasi kepada segenap anak buahnya untuk terus maju. Pendeknya, Valen adalah contoh polisi jempolan.
Apalagi atas perintah Kapolres, Edi diminta membantu Valen dalam penyelidikan kasus pembunuhan Voni. Ya, kasus Voni telah diubah statusnya menjadi kasus pembunuhan, setelah hasil otopsi menyatakan korban meninggal akibat arsenikum. Residu racun dalam kadar yang mematikan ditemukan dalam lambung korban.
Unsur arsenikum atau arsenik bukan berasal dari obat tidur, karena obat-obatan semacam itu tidak mengandung bahan mematikan. Malah korban sebenarnya tidak menelan obat tidur apa pun. Diduga, pembunuhnya sengaja meninggalkan kemasan kosong obat tidur agar tercipta kesan bahwa korban mati bunuh diri.
Korban meninggal tiga hari sebelum ditemukan, dengan waktu kematian tengah malam atau dini hari. Tak ada tanda-tanda kekerasan seksual, meski korban diketahui pernah bahkan sering berhubungan intim dengan lawan jenis. Tapi yang mengejutkan polisi, saat meninggal, korban sebenarnya sedang hamil tiga bulan!
Atas fakta-fakta itu, Edi mulai bergerak dan mengonsentrasikan penyelidikannya di sekitar tempat tinggal dan tempat kerja Voni. Merekonstruksi keseharian Voni sejak pagi hingga malam. Mencari berbagai kemungkinan kontak dengan orang lain yang bisa menjadi petunjuk.
Tapi, ketertutupan korban semasa hidupnya membuat penyelidikan berjalan tidak mudah. Dari sekitar 20 orang yang ditanyai di lapangan, nyaris tidak ada informasi yang cukup berarti. Umumnya, mereka mengaku tidak terlalu memperhatikan korban. Informasi sedikit berharga datang dari Rojak, 45 tahun, pedagang makanan di dekat rumah kos. Sekitar dua minggu sebelum pembunuhan, ia pernah beberapa kali melihat Voni diantar pria bersepeda motor Honda Astrea buatan tahun 1995 berpelat nomor “AD”.
“Yakin sekali, Pak. Honda Astrea tahun ‘95. Soalnya, saya pernah punya motor yang setripnya biru kayak gitu. Cuma, yang ini knalpotnya racing. Berisik bener bunyinya,” tutur Rojak mantap. Pembantu rumah kos juga mengaku pernah mendengar suara keras sepeda motor di depan rumah dan kemudian melihat korban masuk kamarnya. “Tapi saya tidak lihat orang yang naik motor.”
Walau diakui sulit, informasi tentang motor menjadi titik terang pertama kasus ini. Paling tidak, terbukti ada seseorang yang mengenal korban lebih dekat. Tapi siapa dia? Pacar atau sekadar teman? Karena jenis motor yang spesifik, informasi itu diteruskan ke bagian lalu lintas.
Penyelidikan terhadap tempat tinggal korban juga tak kalah menyulitkan. Meski ukurannya tidak terlalu besar, isi kamar itu sangat padat. Selain tempat tidur, ada meja komputer dan meja rias. Tapi yang menyita ruangan adalah dua rak berisi koleksi buku.
Awalnya, Edi cuma bisa tertegun memandang ratusan judul buku yang berjajar rapi. Koleksi buku itu kebanyakan berupa novel terjemahan setebal ratusan halaman, komik, serta bacaan fiksi lainnya. Edi agak kesulitan mencari cara yang mudah untuk menggali informasi dari sana. Selain karena ia juga tidak mau sembrono mengacak-acak buku-buku itu begitu saja.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba Edi menyadari ada sesuatu yang aneh. Ia sama sekali tidak menemukan buku yang bersifat pribadi seperti agenda, catatan harian, atau sejenisnya. Memang tidak semua orang yang suka membaca akan suka menuliskan sesuatu. Bahkan tulisan tangan Voni yang mungkin bisa menjadi kunci pembuka kasus ini juga tidak ditemukan.
Kembali ia mencoba fokus mencari-cari di rak buku di meja beserta laci-lacinya, bahkan akhirnya di seluruh kamar. Namun, hasilnya sia-sia.
Di tengah pencarian petunjuk yang melelahkan, setumpuk buku yang terletak di samping layar komputer, menarik perhatian Edi. Di antara buku-buku itu ada buku serial cerita Sersan Grung Grung, sebuah kisah petualangan seru seorang polisi dalam mengungkap peristiwa kejahatan, karya Dwianto Setyawan.
Satu judul dibacanya. Halaman demi halaman dibuka dan dibaca sekilas. Beberapa paragraf membuatnya tersenyum karena cara penuturannya sederhana sesuai sasaran pembacanya, yaitu anak-anak. Dia teringat, nama julukan Grung Grung diambil dari suara batuk si Sersan yang terdengar seperti berbunyi “grung-grung”.
Kenangan nostalgia Edi terhenti di saat ia menemukan secarik kertas biru muda berukuran kurang lebih 5x5 cm. Kertas yang biasa diikatkan pada suvenir pesta perkawinan itu rupanya dijadikan pembatas buku. Di situ tertulis pasangan Lianto - Susan, menikah 10 Desember 2005. Artinya, baru sekitar dua bulan sebelumnya!
Tengkuk Edi terasa sedikit berkeringat. la merasa menemukan satu petunjuk lain yang lebih jelas.
Diperiksa enam jam
Tidak terlalu sulit bagi polisi untuk menemukan petunjuk tentang pasangan pengantin di kertas suvenir perkawinan. Lianto, menurut catatan Valen, adalah salah satu bekas penghuni kos di lantai dua. Kamarnya hanya berjarak 6 m dari kamar Voni.
Setelah menikah, Lianto yang biasa dipanggil Anto, pindah ke rumah mertuanya. Tapi sehari-hari, pria itu masih sering terlihat di sekitar rumah kos, karena bekerja di sebuah apotek 24 jam yang letaknya di seberang jalan.
Pembantu rumah kos pun masih sering melihatnya beberapa kali muncul dalam sebulan terakhir. “Habis orangnya genit, suka ngegodain gitu,” tutur Ningsih, yang mengaku sering kesal dengan ulah pria yang disebutnya kurang ajar itu.
Polisi segera menjemput Anto di tempat kerjanya. Tapi, pemeriksaaan ternyata berjalan alot. Edi dan Valen kesulitan menemukan hubungan langsung antara Anto dan Voni. Anto bersikukuh menyatakan tidak mengenal korban. “Melihat, mungkin pernah. Tapi enggak kenal,” aku pria yang selalu membuka dua kancing atas kemejanya itu.
Saat ditunjukkan kertas suvenir perkawinannya yang ditemukan di kamar korban, ia bergeming. “Siapa tahu dia dapat dari sampah, lalu diambil jadi pembatas buku. Bisa saja ‘kan?” katanya dengan sikap agak menyebalkan.
Terlepas dari pengakuannya, Edi dan Valen mencurigai alibi Anto pada malam pembunuhan. Saat itu ia bertugas malam dan bekerja di ruang dalam apotek. Ada dua pekerja lain, seorang kasir dan seorang penjaga malam di ruangan depan, tapi keduanya tidak bisa terus-menerus memantau Anto. Apalagi saat itu hujan lebat, suasana sepi, dan tak ada pembeli yang datang.
Setelah hampir enam jam pemeriksaan berlangsung, Anto dibebaskan. Apalagi hampir bersamaan itu pula, masuk laporan dari bagian lalu lintas yang telah menemukan sepeda motor Honda Astrea mirip seperti yang dicari unit Reserse Kriminal. Karena ngebut, motor berplat nomor AD itu menabrak penjual jamu gendong hingga terluka parah.
Bagus, 23 tahun, pengendara motor yang kemudian ditahan, dihadapkan ke Edi dan Valen. Pemuda bertampang urakan ini mengaku salah dalam berlalu lintas, tapi ia tidak tahu-menahu soal Voni. Apalagi setelah dikatakan gadis itu sempat terlihat membonceng motornya sebelum meninggal, ia menjadi ketakutan. Kesaksian Rojak, pedagang makanan di dekat rumah kos, juga membenarkan bahwa sepeda motor Baguslah yang dulu dimaksudkannya.
Dengan gemetar, Bagus menyatakan, motor itu sering dipinjam Rochidi, teman satu kampungnya, untuk berbagai keperluan, antara lain untuk mengojek. “Mungkin perempuan itu penumpangnya Rochidi, Pak. Sumpah, saya tidak ada hubungannya,” tuturnya gemetar. Rochidi diketahuinya sering menarik ojek di sekitar kampus tempat Voni bekerja.
Melihat kesungguhannya, Edi meminta keluarga Bagus yang menunggu selama pemeriksaan segera menghubungi Rochidi di Wonogiri, Jawa Tengah. “Selama dia belum ditemukan, Bagus terpaksa menginap di sini,” tegas Edi.
File baru
Valen tahu benar kegusaran Edi yang mulai jenuh dengan penyelidikan kasus Voni. Karena sebenarnya tinggal selangkah lagi bagi mereka untuk mengungkapnya, yaitu jika ditemukan data atau saksi yang bisa menghubungkan di antara keduanya. Namun, justru di situlah letak kesulitannya.
Malam itu, Valen kembali mengajak Edi ke TKP. Valen hanya ingin memastikan tidak ada hal-hal yang terlewatkan selama Edi memeriksa kamar korban beberapa waktu sebelumnya. Di sanalah, sekali lagi, Edi harus memandangi ratusan buku di dalam rak tanpa tahu harus mencari apa dan mulai dari mana.
“Coba kau cari buku catatan hariannya. Biasanya, perempuan punya catatan-catatan kecil,” kata Valen memerintahkan
“Siap!” Edi tidak membantah, meski ia sudah pernah melakukannya berkali-kali tanpa hasil.
Sementara anak buahnva mencoba mencari-cari sesuatu di rak buku, mata Valen tertumbuk pada komputer di hadapannya. la mengamati benda itu cukup lama.
“Sudah kau periksa komputernya?” tanya Valen.
“Sudah. Datanya kosong. Cuma ada program-program biasa. Tidak ada data pribadi sama sekali.”
Seolah tidak mempercayai ucapan Edi, Valen menyalakan komputer berwarna putih kecokelatan yang tampak mulai diselimuti debu itu. Sistem operasi Windows XP ada di dalamnya hanya membutuhkan setengah menit untuk berproses sebelum semua bekerja sempurna. Tapi sampai beberapa saat setelah semua program terbuka, Valen hanya memandang layar monitornya dengan tatapan kosong. Entah, apa yang ada dalam pikirannya.
Tangannya kemudian terlihat menggerakan mouse. la mencoba beberapa program sebelum akhirnya berhenti pada program Microsoft Word. Di halaman baru program pengolah kata itu, jari-jarinya mengetikkan sebuah susunan huruf asal-asalan: 483qrnnf9845m saklt9-4t. Cukup singkat. Hasil ketikan itu lalu disimpan di dalam folder My Documents, dengan nama file “Test”. Valen kemudian mengarahkan kursor ke folder My Documents. Di sana, satu-satunya file, bernama “Test” tadi, dihapusnya. Sampai di situ, Edi hanya bisa menerka-nerka apa yang dilakukan atasannya.
“Bagaimana caranya supaya file yang tadi bisa muncul lagi?” tanya Valen.
Alis Edi terangkat. la berpikir keras. “Mungkin pakai unerase. Tapi caranya sudah agak lupa,” ujarnya sambil mengambil alih mouse.
Cukup lama Edi mencoba menemukan caranya. la terus mencoba berkali-kali, hingga kemudian ia membuka Recycle Bin, sebuah folder yang menampung file-file yang sudah dihapus. Di sana memang terlihat file “Test”. Tapi yang mengejutkan, masih ada dua folder lain, bertuliskan “Diary” dan “Photos”!
Sesaat kemudian, wajah Edi terlihat menegang. Tangannya sedikit basah oleh keringat. Dua folder itu kemudian di-restrore, ia kembalikan ke My Documents.
Folder “Diary” memuat sekitar 300 file, di mana setiap file dinamai dalam format tanggal. Tampaknya, setiap file dibuat di hari yang berbeda, dan semua berurutan dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir. Tak salah lagi, inilah catatan harian Voni!
Catatan harian itu begitu rinci. Lengkap memuat detail aktivitas Voni dari waktu ke waktu. Mungkin orang tidak akan menyangka, gadis itu punya begitu banyak cerita yang dituliskannya dalam penuturan menarik. Ada pula pemikiran-pemikirannya tentang banyak hal, termasuk harapan, dan impian-impiannya. Ada yang lucu, tapi ada beberapa yang mengharukan.
Tapi bagi Edi dan Valen, yang terpenting mereka sudah menemukan catatan-catatan tentang seorang pria yang sangat dekat di hatinya. Begitu gamblang dan detail. Dialah Lianto, atau dalam catatan itu dipanggilnya sebagai Bang Anto.
“Kayaknya, kita sudah dapat ikannya,” nada suara Valen terdengar bergetar.
Edi hanya bisa mengangguk.
Dikemas dalam kapsul
Catatan harian di dalam komputer Voni menguatkan tuduhan kepada Anto. Dalam catatan harian itu, Voni begitu jelas menggambarkan hubungan dirinya dengan pria penggoda itu. Sejak awal mereka berkenalan, akrab, hingga terjalin hubungan gelap yang tidak diketahui orang lain.
Yang lebih membuat polisi yakin, pada folder “Photos”, ditemukan juga puluhan foto yang menggambarkan kedekatan mereka berdua. Beberapa foto yang diambil dengan kamera digital itu bahkan memuat gambar keduanya dalam pose-pose yang amat pribadi.
Anto yang dijemput polisi dari rumahnya beberapa jam kemudian tidak bisa mengelak lagi. la mengakui telah menghabisi nyawa Voni. Namun, sikapnya di depan polisi ternyata tak berubah, yaitu tetap menyebalkan.
Dari balik kaca ruang pemeriksaan, Edi hanya bisa memandang tersangka pembunuhan itu dengan perasaan geram tidak karuan. la merasa tidak sampai hati membayangkan penderitaan Voni saat harus meregang nyawa, sementara Anto duduk-duduk tenang di sampingnya. Betapa pembunuhan itu terjadi dalam suasana hening namun begitu kejam.
Awalnya, Voni merasa patah hati karena kekasihnya ternyata menikahi gadis lain. Tapi yang lebih merisaukan hatinya, Voni mendapati dirinya tengah hamil. Anto yang tak kalah bingung kemudian mendesak Voni untuk menggugurkan kandungannya. Tapi Voni menolak.
Namun, setelah sekian lama didesak, gadis lugu itu akhirnya mau juga. Pada malam yang disepakati, Anto membawakan sebuah kapsul yang dikatakannya sebagai obat penggugur kandungan. Padahal kapsul itu berisikan arsenikum.
Hanya beberapa menit setelah diminum, zat kimia mematikan itu mulai bereaksi. Voni mengalami muntah dan diare hebat di kamar mandi. Tak sampai lima jam, Voni sudah sekarat di tempat tidur. Tubuhnya melemah, napasnya mulai terasa berat.
Sementara itu Anto mulai dengan aksinya menghilangkan segala dokumentasi yang bisa menjadi petunjuk adanya hubungan di antara mereka. Menghapus seluruh file catatan harian dan foto di komputer, mengambil seluruh catatan, buku harian, atau kertas-kertas, dan terakhir mengganti kartu SIM ponsel Voni.
Setelah membereskan seluruh ruangan dan merasa yakin tidak ada yang tertinggal, dua setrip obat tidur yang telah kosong dia tinggalkan di lantai untuk menciptakan kesan korban bunuh diri.
Anto meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar dengan kunci duplikat miliknya. Kunci yang dulu sering dipakai di saat libidonya meninggi dan melampiaskannya kepada Voni
Walau merasa yakin, pagi itu Anto telah melupakan satu hal. Kotak Recycle Bin di komputer Voni, sebenarnya tidak diset terhapus secara otomatis. Setiap file yang terhapus masih bisa ditemukan di tong sampah itu. Dan Anto lupa membuang isinya. (Tjahjo W)
Baca Juga: Korbannya Wanita Tuna Susila
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517501/lupa-buang-sampah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665345243000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3259934" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/lenyap-bersama-rasa-cemburu_davi-20220428081148.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(117) "Sejak keguguran, istrinya itu memang rapuh. Namun rupanya situasi itu dimanfaatkan seseorang untuk tujuan pribadinya." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/lenyap-bersama-rasa-cemburu_davi-20220428081148.jpg" ["title"]=> string(27) "Lenyap Bersama Rasa Cemburu" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-28 20:21:04" ["content"]=> string(44895) "
Intisari Plus - Seorang suami melapor ke polisi, telah kehilangan istrinya. Sejak keguguran, istrinya itu memang rapuh. Namun rupanya situasi itu dimanfaatkan seseorang untuk tujuan pribadinya.
-------------------------
Einar Peterson sedang terlelap ketika bajunya diguncang-guncang istrinya, Amelia.
"Einar, Einar. Ada yang tidak beres di belakang.”
"Apa? Di mana'" tanya Einar setengah sadar.
"Di belakang. Rasanya Ny. Tracy sakit lagi."
"Ny. Tracy? Kenapa dia?"
"Aku tidak tahu. Aku terbangun oleh sorotan cahaya dari jalan dan suara mobil."
"Mungkin suami Ny. Tracy."
"Ah, suaminya 'kan selalu pulang lewat gang, bukan lewat jalan besar. Lagi pula sekarang baru pukul 22.30. Bangun dong! Coba kau periksa!”
Einar melihat sorotan lampu mobil menembus jendela. Mesin mobil tidak dimatikan.
Wajahnya ketakutan
Mereka mengintip.
"Seorang laki-laki masuk ke rumah sewa itu," bisik Amelia. "Pasti dokter."
"Mengapa ia tidak mematikan mesin mobilnya?”
"Mungkin ambulans. Soalnya, di atasnya ada lampunya."
Einar membuka jendela sedikit dan dengan diam-diam menjulurkan kepalanya.
"Taksi," kata Einar sambil mundur kembali. "Ada orang datang."
Terdengar suara langkah berat seorang lelaki melintasi cahaya itu. Bayangan orang itu nampak melewati jendela. Sesaat berhenti di taksi, lalu pintu mobil dibuka.
Kemudian muncul Linda dengan wajah ketakutan berjalan tergesa-gesa ke arah lampu besar itu.
Tumit sepatunya mengeluarkan bunyi berisik. Ia masuk ke dalam taksi yang segera meluncur pergi.
"Einar, aku khawatir. Ny. Tracy 'kan tidak pernah keluar malam. Lampu di rumahnya selalu padam setelah pukul 22.00."
Einar menjawab istrinya dengan dengkuran.
Chester Tracy yang bertubuh ramping dan rambutnya mulai beruban itu duduk di hadapan Sersan Mike Shelly dengan wajah kusut. Laki-laki berumur empat puluhan itu melaporkan istrinya lenyap. Polisi yang datang bukan cepat-cepat mencari, malah menanyainya macam- macam.
"Kapan Anda pulang, Pak Tracy?" tanya Shelly.
"Seperti biasa," jawabnya. "Saya berdinas malam, mulai pukul 17.45 - 02.45. Saya membutuhkan waktu 18 menit untuk tiba di rumah. Tapi bisa juga 18,5 menit jika terhadang lampu merah di Slauson."
"Berarti Anda datang beberapa menit setelah pukul 03.00. Lampu masih menyala?" tanya Shelly. "Linda selalu membiarkan lampu itu menyala kalau ia pergi tidur."
“Segalanya terlihat biasa saja?”
"Ya, sampai saya menuju ke kamar mandi," kata Tracy. "Saya melihat pintu kamar tidur terbuka.
Biasanya pintu itu tertutup, karena cahaya dari dapur akan menyorot ke situ. Saya masuk untuk melihat apakah Linda baik-baik saja."
Saat itu rupanya Tracy tidak bisa lagi mengendalikan emosinya.
"Mengapa Anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh ini?" tanyanya sengit. "Istri saya hilang dan saya memanggil Anda untuk minta bantuan!"
Hilangnya seorang istri bisa berarti macam-macam bagi polisi. Mike Shelly sudah mencari informasi dari tetangga di seberang rumah Tracy, tetapi ia masih perlu menanyai Tracy. Sementara teman Shelly, Sersan Keonig, memeriksa tanah sekitar rumah.
Di ruang tamu yang cukup besar Shelly hanya melihat sebuah dipan dan dua buah kursi berbantal. Di meja terdapat foto close-up Linda Tracy yang berambut pirang, sedang tersenyum, cantik.
Di sisi yang lain foto Linda dalam baju renang yang minim. Linda berusia 19 tahun.
"Untuk mencarinya, foto saja tidak cukup, Pak Tracy. Saya perlu tahu bagaimana kebiasaannya sehari-hari," Shelly menjelaskan. "Ke mana ia biasa pergi. Siapa yang dikunjunginya ....”
"la tidak pernah mengunjungi siapa pun! la tidak pernah pergi ke mana-mana, ia tidak akan pergi tanpa saya! Istri saya keguguran empat bulan yang lalu. Sejak itu ia tidak pernah sehat. Ia tidak pernah keluar kalau tidak saya bawa dengan mobil."
"Ke mana?"
"Ke pasar. Sekali-kali ke bioskop drive-in."
"Tidak pernah ke rumah teman-teman?"
"Saya 'kan harus berdinas malam. Setelah Linda hamil, saya kerja lembur. Sejak itu kami tidak memiliki teman. Tanyakan saja pada keluarga Peterson di depan. Setiap pagi Linda cuma keluar tanpa saya untuk mengambil surat, karena kotak surat ada di rumah keluarga Peterson. Setiap malam saya meneleponnya pukul 22.00 pada waktu saya beristirahat minum kopi."
"Pukul 22.00," jawab Shelly. "Apakah Anda berbicara dengannya pada pukul 22.00 tadi malam?"
"Ya."
"Apakah ia terkesan tidak tenang atau bingung?"
"Seperti biasa. Ia selalu merasa tidak tenang dan bingung sejak keguguran. Itulah sebabnya mengapa saya meneleponnya setiap malam, sebelum ia menelan pil tidur."
Suara Tracy terhenti, ketika pintu depan terbuka. Ternyata Keonig.
"Saya tidak menemukan jejak kaki," katanya. "Rumah ini dikelilingi lantai semen. Di sebelah kanan yang menuju gang, lantai semen diperluas sekitar 3 m. Di situ diparkir mobil station tua."
"Itu mobil saya," kata Tracy.
"Di depan, bagian yang disemen itu bersambung dengan jalan untuk mobil keluarga Peterson lewat, yaitu yang kita lalui tadi."
"Periksa kamar mandinya," kata Shelly. "Apakah istri Anda menaruh pil tidur di kamar tidurnya, Pak Tracy?" tanya Shelly. "Saya akan memeriksa kamar tidur. Anda ikut bersama saya, Tracy. Saya memerlukan Anda."
Baju biru hilang
Di ranjang yang acak-acakan tergeletak sebuah gaun tidur merah jambu. Chester Tracy minta izin memeriksa lemari.
"Saya kira ada sebuah baju biru yang hilang," lapornya. "Baju yang dilengkapi dengan rompi."
"Apa lagi?" tanya Shelly. "Sepatu?"
"Biasanya ia mengenakan sepatu hitam tertutup dengan baju biru itu," kata Tracy. "Saya tak melihat barang-barang itu."
"Mantelnya apa?"
"Menurut keluarga Peterson warnanya muda. Mungkin itu yang disebut kashmir. Masih baru.
Saya. beli dengan uang lembur terakhir."
Shelly mengambil salah satu sepatu bertumit tinggi dari rak dan memeriksanya. Ukuran 5A. Sol sepatu itu sudah aus, terutama pada bagian jempolnya, tapi haknya yang kecil tidak.
"Ini juga baru?" tanyanya.
"Saya membelikannya untuk hari Natal," jawab Tracy
"Ada lagi yang hilang?"
Pertanyaan itu membuat Tracy sibuk mencari-cari. Sementara itu Shelly memeriksa rak sepatu lebih saksama. Ada sepasang sepatu sandal yang mencolok. Segumpal kecil lumpur kering terlepas dari sepatu sandal itu, ketika Shelly mendorongnya dengan jarinya dan jatuh ke lantai.
Sementara itu Keonig sudah menemukan obat tidur di kotak obat. Shelly membaca aturan pada labelnya dan mengerutkan dahi.
"Dr. Youngston," bacanya dengan keras. "Dua pil sebelum tidur. 10-7-59. Keonig, tanggal berapa kemarin?"
"Tanggal 12 Januari tengah malam," jawab Keonig.
"Dr. Youngston," kata Shelly pula. "Berarti istri Anda kenal orang lain di luar rumah. Siapa lagi yang bisa Anda ingat, Tracy?" tanyanya.
Tracy tampak agak terkejut. "Sudah saya katakan tak ada."
"Sebelum Anda menikah."
"Saya tidak lama mengenal Linda sebelum menikah. Waktu itu Leo mengajak saja ke pesta dan memperkenalkan kami."
"Leo? Leo siapa?"
"Leo Manfred. Dulu kami bersama-sama bekerja di Flight Research."
"Di mana saya bisa bertemu dengan Leo Manfred?" tanya Shelly.
"Di rumahnya barangkali. Saya tidak pernah bertemu lagi sejak bertugas malam. Saya juga tidak tahu apakah dia masih bekerja di Flight Research sekarang."
"Tapi ia kenal 'kan pada istri Anda?"
"Ya, tapi itu tujuh, delapan bulan yang.lalu."
"Leo Manfred dan Dr. Youngston," kata Shelly sambil memasukkan botol obat itu ke kantungnya. "Siapa lagi yang tahu bahwa istri Anda sendirian di rumah pada pukul 22.30? Dengan siapa ia akan pergi tanpa rasa takut?"
Chester Tracy menjatuhkan diri di ujung ranjang. Wajahnya seperti hendak menangis. "Saya tidak bisa berpikir!" protesnya. "Anda 'kan polisi. Cari dong, istri saya! Tolong temukan istri saya!"
Dokter kandungan
Gambaran mengenai wanita yang hilang itu segera disiarkan melalui radio polisi.
Waktu itu sudah hampir fajar dan kabut menyelimuti bumi dengan tebalnya. Di samping rumah sewaan keluarga Tracy, Shelly menemukan mobil station, yang kaca depan dan jendela-jendelanya dilapisi embun. Di luar, daerah yang beraspal berakhir di gang tak beraspal.
Shelly berjalan beberapa langkah ke gang itu dan menatap tajam ke arah lampu jalan di pojokan terdekat. Jaraknya sekitar empat rumah. Kabut mengalanginya untuk bisa melihat dengan jelas. Lewat rute inilah Chester Tracy pulang ke rumah. Jalan lain satu-satunya untuk masuk ke situ adalah lewat depan.
Polisi tahu, mereka pasti akan menemukan taksi yang mengangkut Linda Tracy, tapi penemuan ini makan waktu lama. Jadi Shelly mencari alamat Dr. Youngston di buku telepon. Waktu prakteknya: pukul 09.00 - 17.00.
Pukul 08.50 Shelly yang menanti di ruang tunggu melihat seorang lelaki muda ramping berambut pirang mendekati. Pria itu mengeluarkan kacamata dari kantungnya, lalu bertanya,
"Anda sudah membuat janji?"
Shelly memperlihatkan lencananya dan menyorongkan botol pil tidur.
"Linda Tracy," baca pria itu keras. "Dua butir setiap malam sebelum tidur. Sekarang saya
ingat padanya. la seorang wanita yang masih sangat muda." Youngston kelihatan ragu-ragu. "la sangat menarik," tambahnya.
"la pasien Anda?"
"Ya. Catatannya ada di file saya. Tapi saya sudah lama tidak melihat dia."
"Sejak ia keguguran?"
"Oh, ya. Sebelumnya, pada waktu itu, dan sesudahnya."
"Apakah ia mengalami kesulitan?"
"Setiap wanita memiliki kesulitan. Sebagian tampak tidak acuh, tetapi berpikiran pendek."
"Tetapi keguguran 'kan tidak selalu sama pengaruhnya pada setiap wanita."
Usia Dr. Youngston tidak lebih dari 35 tahun. Rambut pirangnya dipotong pendek, wajahnya yang dicukur bersih mencerminkan kewaspadaan seorang militer.
"Anda punya persoalan apa, Sersan?" tanyanya. "Apakah Ny.Tracy mengalami kesulitan?"
"Ny. Tracy diduga menjadi korban penculikan."
"Penculikan?"
"Saya belum yakin. Itulah sebabnya saya datang kepada Anda."
"Saya 'kan dokter kandungan?" protes Youngston.
"Apakah seorang ahli kandungan tidak perlu tahu sedikit mengenai psikologi wanita? Tadi malam beberapa orang yang tidak dikenal membawa Ny. Tracy dengan taksi pukul 22.30, sementara suaminya sedang bekerja. Pemilik rumah dan istrinya terbangun. Melalui kaca jendela mereka melihat sebuah taksi sedang menunggu.
Tak lama kemudian mereka mendengar langkah seorang laki-laki yang kelihatan sangat berhati-hati dan tidak mau melewati lampu besar. Laki-laki itu keluar dari rumah keluarga Tracy melalui bagian belakang."
"Saya kenal betul bagian belakang rumah keluarga Tracy," kata Dr. Youngston. "Saya ke sana ketika Ny. Tracy keguguran."
"Tak lama setelah laki-laki itu sampai di taksi, Ny. Tracy keluar dari rumah. Menurut pemilik rumah dan istrinya, Ny. Tracy tampak ketakutan. la menghampiri dan masuk ke taksi, dan taksi pun segera berangkat."
Youngston mengikuti cerita itu dengan hati-hati.
"Menurut dugaan Anda, apa yang telah terjadi tadi malam, Dokter?"
Youngston mengerutkan dahinya sambil berpikir.
"Tracy sedang bekerja, Anda katakan?"
"Giliran malam, dari' pukul 17.45 - 02.45. Tracy setiap malam menelepon istrinya pukul 22.00 pada waktu beristirahat minum kopi, untuk meyakinkan bahwa istrinya baik-baik saja."
Dr. Youngston mengambil botol obat dari tangan Shelly dan mengamati labelnya kembali.
"Mungkinkah laki-laki yang datang dengan taksi itu mengabarkan kepada Ny. Tracy bahwa suaminya cedera di tempat kerjanya?"
"Sangat mungkin sekali,"kata Shelly. "Tetapi mengapa?"
Dari Youngston, Shelly mendapat keterangan bahwa Linda Tracy datang kepadanya pada tanggal 7 Oktober, dengan keluhan gelisah dan sulit tidur. Ia memberinya resep 60 butir pil tidur, dengan pesan, jangan diminum lebih dari 2 butir setiap kali.
"Menurut perkiraan Anda, berapa butir pil yang tersisa dalam botol itu, Dok?" tanya Shelly.
"Saya. tidak mau mengira-ngira," katanya. "Saya akan balik bertanya. Berapa butir isinya, Sersan?"
"Dua puluh delapan butir," kata Shelly. "Artinya, yang sudah digunakan 32 butir, atau untuk 16 malam."
"Bukan sesuatu yang luar biasa bagi pasien untuk mengabaikan instruksi dokter," kata Youngston.
"Apakah Ny. Tracy pernah kembali lagi sejak Anda memberinya resep itu?"
"Tidak," kata Youngston. "Jika ia pernah kembali lagi, pasti akan tercatat di sini."
"Apakah ia selalu datang sendirian?"
Dr. Youngston ragu-ragu. "Tidak," jawabnya setelah berpikir. Tracy selalu bersamanya. Dialah yang membuat istrinya mau datang kemari. Suami itu selalu merasa prihatin terhadap istrinya."
"Bagaimana reaksinya ketika istrinya keguguran?"
"Agak terpukul. Keselamatan istrinyalah yang memprihatinkan dia." Youngston berhenti sejenak, "Tracy itu terlalu kebapakan ... ehm posesif."
"Apakah Ny. Tracy juga tampak mencintai suaminya?"
"Pertanyaan yang aneh, Sersan."
"Tapi perlu, Dokter. Selama beberapa bulan Anda akrab sekali dengan wanita itu. Apakah ia bahagia?"
"Sersan, seorang wanita hamil selalu bahagia campur tidak bahagia, takut, sedih."
"Dr. Youngston, selama 16 malam secara berturut-turut atau sebaliknya, Linda Tracy menelan pil tidur yang Anda berikan. Rupanya ia bisa tidur. Suaminya mengatakan kepada saya bahwa ia menelepon istrinya setiap malam pada pukul 22.00, sebelum ia menelan pil tersebut dan pergi tidur.”
“Ada yang berbohong, Dokter. Bisa Chester Tracy yang berbohong pada saya, atau Linda Tracy yang berbohong pada suaminya. Itulah sebabnya mengapa saya bertanya pada Anda, apakah wanita yang menghilang tadi malam itu mencintai suaminya."
"Tidak dapat, Sersan. Yang Anda butuhkan bukti, bukan? Tanyakanlah apa yang bisa saya jawab secara benar. Saya mau bekerja sama.
"Satu pertanyaan lagi," kata Shelly. "Bagaimana dengan kondisi Ny. Tracy, di samping tidak tenang, ketika terakhir kali Anda bertemu dengannya?"
"Secara fisik, sangat baik," jawab Youngston.
"Terima kasih, Dokter. Jika Anda punya keterangan lain, tolong beri tahu kami."
Setelah itu Shelly mendatangi Chester Tracy. Shelly tidak bisa memperoleh keterangan tambahan dari Tracy yang seperti mau mengamuk terus, gara-gara polisi belum juga bisa mengendus di mana istrinya yang menghilang 12 jam lalu.
Selanjutnya Shelly mencari Leo Manfred. Pria yang lebih tinggi sedikit daripada Tracy itu, kurus tapi tampak kuat. Rambutnya hitam berombak. Jika tersenyum, kelihatan giginya putih. Usianya sekitar tiga puluhan. Ia tinggal di sebuah apartemen kecil yang terletak di atas garasi rumah.
"Saya kira Anda sedang giliran kerja siang," kata Shelly. "Di mana?"
"Di Flight Research." Kini tidak ada lagi senyuman pada Manfred. "Saya sudah berhenti seminggu yang lalu," katanya.
"Mengapa?" "Percuma membuang-buang waktu menghadapi'pekerjaan yang tidak disukai.”
"Digaji rendah?" . tanya Shelly.
"Dibayar dengan baik," kata Manfred. "Saya cuma ingin ganti pekerjaan. Ada apa sih? Gaji karyawan dilarikan orang?"
Wajah Leo Manfred Cuma berubah sedikit. la terdiam. Maka Shelly pun menceritakan soal Linda Tracy, sama seperti kepada orang-orang lain yang ia tanyai sebelumnya.
"Mengapa Anda ceritakan hal ini pada saya?" tanyanya, ketika Shelly selesai bercerita.
"Chester Tracy menyebut-nyebut nama Anda."
"Memang dia kira saya yang melarikan Linda?"
Leo Manfred mengaku ia yang memperkenalkan Linda pada Chester Tracy.
"Linda sedang mencari calon suami dan sepertinya Tracy cocok menjadi suami, sedangkan saya tidak," kata Manfred.
Di dinding tergantung beberapa foto, di antaranya foto Manfred bersama kuda dan seorang wanita pirang berwajah cantik. Baik Manfred maupun si pirang, berkacamata hitam. Si pirang itu Linda Tracy.
"Di mana Anda tadi malam, pada pukul 22.30?" tanya Shelly.
"Saya pergi ke San Diego untuk mencari pekerjaan yang sedang saya incar dan baru kembali menjelang tengah malam."
"Sendirian?"
"Sendirian? Tentu. Sersan, saya mengenal gadis itu beberapa minggu sebelum saya memperkenalkannya pada Tracy. Kami pergi berdansa dsb. Menjodoh-jodohkannya dengan Tracy hanya sebuah lelucon. Tracy takut terhadap wanita. Saya tidak menyangka kalau ia benar-benar jatuh hati pada Linda. Dugaan saya, Linda bosan pada Tracy dan diam-diam kabur tadi malam dengan orang lain."
"Mengapa?" tuntut Shelly.
"Linda wanita yang romantis. Mungkin ia sedang jatuh cinta."
"Jika Ny. Tracy berniat kabur bersama laki-laki lain, mestinya bisa mengajak suaminya bertengkar dan kemudian menghilang."
Untuk sejenak Leo Manfred membelakangi Shelly. Ketika berbalik, ia berkata, "Saya hanya mencoba untuk menolong, Sersan.".
"Terima kasih," jawab Shelly..
"Anda bisa menolong lebih banyak lagi, jika Anda menemukan seseorang di San Diego, atau di jalan ketika pulang, yang bisa - membuktikan cerita bahwa Anda berkendaraan sendiri menuju rumah pada pukul 22.30 tadi malam.”
Seperti detektif
Don Berendo kelihatan masih mengantuk. Rambutnya yang hitam acak-acakan berjuntai di dahinya.
"Saya membawa laki-laki itu dari bandara," kata sopir taksi itu. "la keluar dari ruang tunggu Hotel Inter-Continental."
"Seperti apa tampangnya?" tanya Keonig.
Dia mengenakan jas panjang seperti detektif, topi coklat, dan kacamata hitam."
"Kira-kira seberapa tingginya?" tanya Keonig. "Berapa beratnya? Gemuk atau kurus?"
Berendo menatap Keonig, lalu Shelly, dan kemudian Chester Tracy, yang sedang melingkarkan badan di ujung kursi. Tiba-tiba mata Berendo menjadi bersinar.
"Sebesar saya," katanya. "Kira-kira ukuran medium."
"Apakah ia membawa barang-barang?" tanya Shelly.
"Tidak. Saya menanyakannya juga. 'Sudah dititipkan di bandara,' katanya. 'Saya harus pulang karena ketinggalan sesuatu.' Ia memberikan alamatnya pada saya, yaitu tempat orang ini, Tracy, tinggal. Ia minta saya agar cepat-cepat."
"Pukul berapa ketika Anda membawanya?"
"Pukul 22.10. Saya mengantarkannya ke alamat yang diberikannya sebelum pukul 22.30. Ia meminta saya menunggu dengan mesin hidup, sementara ia pergi ke belakang rumah itu. Ketika kembali sekitar dua menit, ia cuma membuka pintu belakang. Semenit kemudian atau lebih muncullah wanita itu."
"Anda melihat istri saya?" tanya Tracy. "Bagaimana rupanya?"
"Ia tampak ketakutan," kata Berendo. "Bukan, lebih baik disebut shock."
"Seperti baru saja menerima kabar buruk?" tanya Shelly memperkirakan.
"Ya, semacam itulah. Ia masuk ke dalam taksi, disusul laki-laki itu. Saya segera duduk di belakang kemudi dan melarikan mobil kembali ke bandara. Saya pikir, mereka harus mengejar pesawat. Saya heran ada orang bisa ketinggalan wanita seperti itu di rumahnya."
"Mereka mengobrol?" tanya Keonig.
Berendo ragu-ragu. "Saya benar-benar sibuk menyetir," kata Berendo. "Tunggu, saya ingat sesuatu. Rokok. Laki-laki itu memberikan sebatang rokok pada wanita itu. Wanita itu pasti gelisah, karena ia menggunakan tiga batang korek api untuk menyalakannya.”
“Ia menggunakan korek api?" Shelly mengulangi. "Laki-laki itu tidak memberinya api?"
"Tidak. Bahkan mereka pun duduk berjauhan. Masing-masing duduk di satu sisi. Saya pikir mereka habis bertengkar dan itulah sebabnya mengapa ia kembali lagi untuk menjemput wanita itu. Anda tahu dimana persimpangan Airport Boulevard dengan Century, sebelum Anda memasuki bandara?”
“Saya menambah kecepatan begitu lampu lalu lintas hijau. Tiba-tiba laki-laki itu berkata, 'Belok kiri di sini!' Saya menginjak rem. Saya pikir ia main-main. Ternyata tidak. 'Saya bilang, belok kiri di sini!' perintahnya. Karena pelanggan itu raja, saya belok ke kiri."
"Kemudian Anda pergi kemana?" tanya Shelly.
"Hanya setengah blok dari situ, ke tempat Flight Research. 'Berhenti di sini,' katanya, dan saya berhenti. Wanita itu keluar. Kemudian laki-laki itu pun keluar dan membayar ongkos."
"Apakah mereka masuk kesitu?" tanya Keonig.
"Ketika sudah akan melaju lagi, saya mencium bau terbakar. Saya berhenti dan melihat ke belakang. Rupanya wanita itu membuang rokoknya di keset sehingga terbakar. Saya berhenti dan membuka pintu belakang. Tentu saja saya menoleh ke belakang, ke tempat saya menurunkan mereka, tetapi mereka sudah menghilang."
"Apakah Anda maksudkan mereka menghilang ke dalam bangunan?" tanya Shelly.
"Tidak mungkin. Pasti kelihatan kalau mereka masuk, karena bangunan modern itu berdinding kaca. Lobi dan meja resepsionis kelihatan jelas, begitu juga pintu-pintu yang berderet di belakangnya."
"Mereka mungkin hilang ke salah satu pintu di dalam," kata Keonig.
Don Berendo tersenyum. "Jalan itu panjangnya sekitar 60 m," katanya. "Saya tidak segera pergi dari tempat itu. Apa yang mereka gunakan untuk transportasi ke gedung, roket?"
Penjagaannya ketat
Shelly dan Keonig mengecek cerita Berendo ke Flight Research. Mereka tiba pukul 23.00 lebih sedikit. Yang dikatakan Berendo benar. Jalan itu dilapisi dengan batu pipih berwarna putih, yang membentuk huruf S besar dan menikung ke dinding kaca yang mempunyai pintu masuk dari kaca pula. Seluruh lobi kelihatan jelas.
"Saat itu kelihatan gelap," kata Keonig mengingatkan.
Setengah jalan ke pintu-pintu itu, di tikungan pertama sekelompok semak tumbuh menyembunyikan kawat pembatas daerah tempat parker dari pandangan orang. Shelly turun ke rumput yang rapat dan tebal, seperti karpet tenunan yang kembali lagi ke bentuk semula begitu selesai diinjak.
Pagar tanaman tampaknya tidak mungkin ditembus, tapi ternyata ada sebuah pintu kecil, mungkin untuk tukang kebun. Shelly menghampiri pintu itu. Ternyata di belakang semak-semak terdapat lubang di rerumputan, sebuah lubang bulat sebesar mata uang penny. Satu sisinya pipih.
Di dekatnya ada sebuah alat penyiram bocor, sehingga melunakkan tanah sekelilingnya. Shelly tidak mendapatkan lubang lain.
Shelly dan Keonig ingin membuka pintu itu, tetapi ternyata terkunci. Ada sebuah papan kecil bertuliskan: "Bel kalau ingin masuk". Shelly menekan bel. Sejenak kemudian muncullah seorang satpam yang meminta kartu tanda pengenal. Begitu ia sodorkan lencana polisi, pintu pun dibuka. Shelly memeriksa kunci pintu.
"Apakah pintu ini bisa dibiarkan tidak terkunci?" tanyanya.
"Bisa, dari dalam," jawab si satpam.
Shelly memeriksa tempat itu, sampai ke tempat mobil-mobil terparkir dua-dua dalam enam deretan. Seorang petugas bernama C.H. Dawson dipanggil oleh si satpam, diminta memberi keterangan yang diperlukan Shelly.
"Berapa banyak karyawan yang bekerja di sini?" tanya Shelly.
"Kira-kira 450 orang," jawab Dawson. "Tiga ratus orang bekerja pada siang hari. Kami memperoduksi peralatan untuk angkatan udara."
"Peralatan yang penting," kata Shelly. "Jadi semua karyawan harus diperiksa kartu tanda pengenalnya di pintu gerbang."
"Betul."
"Ada apa, Sersan?"
"Tidak ada apa-apa," kata Shelly.
"Apakah Anda kenal dengan seorang karyawan bernama Chester Tracy?"
"Tentu saja. Tracy bekerja pada bagian penyimpanan peralatan, bagian malam."
"Apakah Anda melihatnya tadi malam?”
Dawson bengong, tapi kemudian menjawab, "Tracy menghabiskan seluruh malam tadi di laboratorium. Ia cuma keluar untuk minum kopi."
"Pukul berapa?" tanya Shelly. Lama juga Dawson berpikir.
"Pukul 22.00," jawabnya kemudian. "Ketika itu saya melihat jam yang terletak di atas mesin pembuat kopi sambil berpikir mungkin saya bisa pulang tengah malam. Ternyata sampai sekarang saya masih di sini."
Kata Dawson, saat itu Tracy membantu mencemplungkan gula untuk kopinya sambil menggerutu bahwa ia mengantuk.
"Apakah Tracy mengalami kesulitan?" tanya Dawson. "... atau mungkin istrinya?"
"Mengapa Anda menanyakan istrinya?" tanya Keonig.
"Karena ia kurang sehat. Saya tahu pasti bahwa Tracy selalu meneleponnya pada waktu istirahat minum kopi pada pukul 22.00. Pada suatu malam, sekitar enam minggu yang lalu atau lebih, saya mendapati Tracy kebingungan, karena telepon tidak bisa menyambung.
Malam itu angin sangat besar dan tiang telepon banyak yang tumbang. Tracy menceritakan istrinya senewen sejak keguguran. Jadi saya bilang, pulang saja diam-diam untuk melihat keadaan istrinya."
"Pulang diam-diam?" kata Shelly.
"Hal itu mungkin dilakukan oleh Tracy karena pekerjaannya cuma membutuhkan kehadirannya pada awal dan akhir shift. Di antara waktu itu ia leluasa keluar dari pemuatan barang tanpa ketahuan.”
"Lantas ia mengikuti saran Anda?"
"Benar. Saya perhatikan, sekitar 45 menit kemudian ia sudah kembali ke gudang, sampai saya berkomentar, 'Cepat betul?' Katanya, istrinya sudah tidur dan ia tidak ingin mengganggunya. Tracy seorang pekerja yang tahu kewajiban, Sersan. Saya tidak berani menyarankan hal yang sama kepada karyawan lain."
"Ia pasti harus melalui penjaga pintu gerbang," kata Shelly.
"Pasti."
"Apakah Anda kenal pada bekas karyawan yang bernama Leo Manfred?" tanya Shelly.
Dawson tersenyum. "Don Juan di bagian gambar," katanya. "Leo orang baik, tapi tidak betah bekerja lama-lama di suatu tempat. Ia pernah berhenti, tapi kembali lagi setelah keadaan mereda."
"Keadaan apa, Pak Dawson?"
"Ya, urusan wanita. Ia sering jatuh cinta, tapi tak pernah mau kawin."
Dr. Youngston ingin memberi keterangan
Ketika Shelly berada di kantornya lagi, tak disangka-sangka Dr. Youngston datang.
"Saya ingin memberi tahu Anda tentang suatu hal. Tadinya saya ragu-ragu karena dokter 'kan harus menjaga rahasia pasiennya. Ketika saya dipanggil Ny. Peterson ke rumah Tracy untuk menolong istri Tracy yang keguguran, Ny. Tracy memanggil-manggil seseorang. Setahu saya, suaminya bernama Chester, tapi nama yang ia panggil ialah Leo."
Tiba-tiba terdengar suara dari pintu. Berbarengan Youngston, Shelly, dan Keonig menoleh. Chester Tracy berdiri menatap mereka dengan mata yang menakutkan.
"Ia yang menculik Linda, Leo. Saya akan membunuhnya," kata Tracy sambil berlari pergi. la dikejar oleh yang lain, tapi ia keburu masuk ke lift yang segera turun.
Dengan wajah yang serius. Shelly mengajak Keonig mengejar ke rumah Leo. Dr. Youngston membuntuti.
Leo sedang santai, ketika Tracy menodongkan pistol kepadanya. Leo sempat menubruk sebelum Tracy melepaskan tembakan satu kali secara membabi buta. Leo segera melemparkan tubuh Tracy ke luar pintu. Setelah itu Leo berlari ke tangga, memanjat tembok untuk turun ke garasi. Tiba-tiba muncul Mike Shelly menodongkan pistol
Leo merasa bingung. Tracy yang telah menggenggam pistol kembali berada di loteng di atasnya, dan mengarahkan senjatanya ke kepala Leo.
"Saya menemukan mantel dan topi coklat!" teriak Tracy.
"Buang pistol itu!" teriak Shelly kepadanya.
"Saya menemukannya di dalam WC Leo!"
"Lemparkan senjata itu atau saya akan menembak tanganAnda!"
Keonig sudah berada di belakang Tracy. Dengan perlahan-lahan Tracy terpaksa menurunkan pistol itu dan menjatuhkannya.
"Turun," kata Shelly.Tracy turun dan berdiri dalam jarak beberapa kaki dari Leo, sementara Keonig kembali ke atas untuk mencari dan membawa kembali topi dan mantel.
"Suruh dia mengaku apa yang telah dilakukannya terhadap Linda," kata Tracy. "Suruh Leo mengaku!"
"Aku tidak melakukan apa-apa terhadap Linda," protes Leo."Aku sedang berada di San Diego."
"Kau membawanya dengan taksi! Kau tergila-gila pada Linda!"
"Aku tergila-gila pada Linda?" teriak Leo. "justru Linda yang tergila-gila padaku! Kaupikir mengapa ia mau kawin denganmu, Tracy? Karena dia tergila-gila padaku dan aku tidak ingin menikahinya. Ia menikah denganmu karena putus asa."
Chester Tracy sudah tidak memiliki pistol, tetapi ia masih memiliki tubuh. Sebelum ada yang bisa menstopnya, ia mendorong tubuh Leo ke lemari es yang terletak di antara mebel di situ. Leo mengerang dan menerjang ke depan. Mereka diringkus.
Rumah Leo diobrak-abrik
Dr. Youngston yang pertama- tama menemukan mayat Linda dan memeriksanya. Ada bekas pukulan di kepala Linda. "Pemukulnya sebuah benda tumpul yang tidak umum," katanya. "Ia tewas sekurang-kurangnya 12 jam yang lalu."
"Mungkin lebih lama sedikit," kata Shelly secara perlahan. Suara Shelly terdengar aneh di keheningan yang melingkupi garasi itu.
"Bagaimana kau bisa tahu mengenai hal itu?" tanya Keonig.
"Karena," jawab Shelly, "jika dibutuhkan 18-menit berkendaraan dari Flight Research ke rumah Tracy, berarti dibutuhkan waktu yang sama panjangnya dari rumah Tracy ke Flight Research. Sopir taksi mengatakan bahwa ia mengangkut seorang laki-laki yang mengenakan mantel, topi berwarna coklat, dan kacamata hitam pada pukul 22.10 dari depan ruang tunggu Hotel Inter-Continental, di bandara.”
“Ia menuju ke alamat Tracy, dan sampai di sana hampir pukul 22.30, menjemput Linda Tracy dan kembali lagi ke Flight Research, di mana ia menurunkan kedua penumpangnya."
"Di mana tepatnya mereka menghilang?" tanya Keonig.
"Mereka tidak menghilang,tetapi melangkah ke belakang semak-semak dan berjalan ke arah pintu gerbang yang terbuka lebar dan kemudian ...."
Shelly menyerahkan kembali mantel dan topi kepada Keonig dan menghampiri mayat Linda.
Mayat Linda masih berpakaian utuh: mantel berwarna cerah, baju biru, sepatu hitam bertumit tinggi. Shelly melepaskan sepatu Linda yang sebelah kanan dan mengamati tumitnya. Tumit sepatu itu sangat tinggi, ujungnya sebesar mata uang penny yang rata.
"Dr. Youngston, jika seorang wanita mengenakan sepatu bertumit seperti ini mendapat pukulan yang keras dari arah belakang dan sebelah kiri, bukankah berat tubuhnya akan tertahan oleh kaki kanannya?"
"Saya kira demikian," kata Youngston.
Ibu jari Shelly mengupas bekas lumpur kering di tumit sepatu itu. "Rerumputan di halaman Flight Research tidak akan meninggalkan jejak," katanya, "tetapi di situ ada sebuah lubang kecil bulat dekat alat penyiram yang bocor, yang ukurannya cocok dengan tumit sepatu ini."
Sambil memegang sepatu itu, Shelly berjalan melewati Leo yang tampak kebingungan dan Tracy yang berdiri mematung. Shelly menuju ke kotak di mobil milik Leo. Isinya: dongkrak, velg, ban serep, dan sarung jok. Shelly menarik sarung jok itu dengan sebelah tangan dan melemparkan kembali benda itu ke dalam kotak.
"Kemudian," ia melanjutkan,"soal pil tidur yang tidak diminum oleh Linda Tracy, tetapi kepada suaminya ia mengatakan meminumnya. Apa yang dilakukan Linda setelah ditelepon pukul 22.00? Ia keluar rumah berjalan menyusuri gang di belakang, dan bertemu dengan seorang pangeran ganteng, yang membawanya ke pesta.”
“Tetapi seperti Cinderella, ia mempunyai batas waktu. Sebelum pukul 03.00, ketika suaminya yang setia itu kembali, ia sudah harus berada di ranjang dalam keadaan tidur."
"Saya tidak membunuhnya," protes Leo. "Saya pernah pergi bersama Linda beberapa kali, cuma itu. Cuma ... cuma beberapa kali ...."
"Bohong ...," kata Tracy.
"Tidak," kata Shelly dengan sungguh-sungguh, "saya yakin ia tidak berbohong. Apa terpikir oleh Anda ketika mendengar bahwa Leo sudah berhenti bekerja dan akan pindah ke Selatan, Pak Tracy? Anda takut ia akan membawa serta istri Anda."
Pertanyaan itu membuat Tracy terkejut. Ia tampak bodoh, seperti seorang yang menjadi buta karena cahaya yang datangnya secara tiba-tiba.
"Ini mantel Leo," katanya dengan gagap. "Ini juga topi milik Leo ...."
"Memang. Istri Anda sudah sering melihat kedua benda itu dan mengira Leo yang menjemputnya di dalam taksi. Penjemputnya sangat berhati-hati, ia tidak banyak bicara seperti biasanya.”
“Ia duduk jauh jauh. Bukankah Anda mengamati istri Anda sejak malam Dawson menyuruh Anda pulang pada pukul 22.00? Ketika itulah Anda tahu istri Anda tidak menelan pil tidur."
"Saya bekerja!" kata Tracy."Saya bekerja pada malam hari!"
"Tetapi Dawson menunjukkan jalan kepada Anda untuk menyelinap ke luar dari tempat kerja tanpa ketahuan. Anda tahu bahwa Linda pergi dengan Manfred, dan Anda tahu bahwa Manfred akan pindah bekerja. Andalah yang membunuh istri Anda, Pak Tracy."
"Tidak!"
Mobil Chester Tracy diparkir di luar garasi yang terbuka. Shelly menghampirinya. Di dalamnya terdapat kain kanvas yang sudah butut dan kotor, yang dipenuhi dengan noda yang menarik perhatian para polisi di laboratorium.
Dalam kanvas itulah mayat Linda dibawa ke tempat parker Flight Research. Setelah itu Chester Tracy masuk ke dalam untuk minum secangkir kopi bersama Dawson sebelum menyelesaikan dinasnya.
(Helen Nielsen)
" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553259934/lenyap-bersama-rasa-cemburu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177264000) } } }