array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3561113"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/korek-apinya-tertinggal-di-losme-20221111033311.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(130) "Dua gadis dilaporkan telah dua hari menghilang. Teman-teman curiga mereka diculik karena menjadi aktivis. Apa penyebab sebenarnya?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/korek-apinya-tertinggal-di-losme-20221111033311.jpg"
      ["title"]=>
      string(33) "Korek Apinya Tertinggal di Losmen"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 15:33:43"
      ["content"]=>
      string(22353) "

Intisari Plus - Dua gadis dilaporkan telah dua hari menghilang. Teman-teman curiga mereka diculik karena menjadi aktivis. Apa penyebab sebenarnya? 

-------------------

Siang itu, langit di atas Bandung terlihat mendung. Di kantornya, Iptu Toni tampak sibuk melayani rombongan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tunas Bangsa (STIETB), yang mendatangi kantor polisi untuk melaporkan kasus penculikan dua rekan mereka. Wakil mahasiswa, Arga dan Randy menuturkan, sudah dua hari dua rekan mereka tidak muncul. “Semula kami pikir Ervina pulang kampung, tapi ayahnya di Lampung bilang, Ervina tidak ada. Begitu juga Mona, kami telah mencarinya ke mana-mana,” jelas Arga.

“Mengapa kalian pikir mereka diculik?” selidik Toni. “Selama ini Ervina tidak pernah mangkir tanpa alasan jelas. Kami curiga, hilangnya mereka ada hubungannya dengan aktivitas kami,” tambah Arga. “Belakangan ini, kami sering menggelar demonstrasi di kampus dan Ervinalah motor penggeraknya,” timpal Randy. Menurut Randy, kekompakan para pengunjuk rasa di kampus mereka terjalin tidak hanya lantaran kesadaran, tapi juga jerih payah Ervina yang rajin memengaruhi mereka untuk bangkit.

“Kami menekan yayasan untuk membenahi dan memperbaiki berbagai kekurangan di kampus. Mulai kepastian status kelulusan, perbaikan sarana, prasarana, manajemen yang amburadul hingga penggantian dosen-dosen yang tidak kredibel,” jelas Randy, ketua Himpunan Mahasiswa Peduli Kampus (Himaka). 

“Itu sebabnya kalian mencurigai yayasan sebagai dalang penculikan Ervina dan Mona? Apa kalian punya bukti, semacam ancaman misalnya?” tanya Toni serius.

“Kalau ancaman sih belum, tapi tekanan sering kami rasakan. Terutama Ervina, dia sering mengeluhkan sikap Pak Berry, salah satu dosen kami. Dia merasa terintimidasi,” jawab Arga. Drs. Berry Demrius, M.Sc. sendiri dikenal sebagai orang kepercayaan dan punya hubungan sangat dekat dengan Pak Muchtar, ketua yayasan STIETB. 

Toni mengangguk kecil lalu berkata, “Bagaimana dengan Mona?” Randy dan Arga cuma saling pandang. “Setahu kami, Pak Berry sangat baik pada Mona,” jawab mereka serentak. “Apa kalian curiga, hilangnya Mona juga didalangi Pak Berry?” cecar Toni. “Justru karena itu kami datang ke sini, Pak,” sambut keduanya. Lagi-lagi, Toni cuma mengangguk kecil.

 

Intimidasi dosen

Kedatangan Sersan Dani, anak buah Toni ke STIETB cukup mengejutkan Ir. Tinton, wakil ketua sekolah tinggi itu. Apalagi Drs. Muchtar Mulyono, M.Sc, sang ketua yayasan sedang di luar negeri, sedangkan ketua STIETB Drs. Rusdiyo sudah dua hari dirawat di rumah sakit, kena serangan jantung. “Baru hari ini kami tahu mereka hilang. Asal Bapak tahu, kami selalu memberi mereka kebebasan untuk menyampaikan unek-uneknya. Kami diam bukannya menutup mata. ‘Kan perlu waktu dan biaya untuk meluluskan permintaan mereka,” terang Tinton.

Pukul 08.00 keesokan harinya, giliran Drs. Berry Demrius, M.Sc. datang ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Dosen berusia 46 tahun yang dicurigai para mahasiswa itu tampak tenang menjawab setiap pertanyaan Toni. “Saya mengenal Ervina dan Mona, keduanya mahasiswi saya. Saya juga tahu keduanya aktivis, terutama Ervina. Tapi pengaduan anak-anak bahwa saya yang menculik mereka sungguh menggelikan. Untuk apa?” kilah Berry. “Menurut mereka, Anda tidak suka Ervina dan suka mengintimidasinya,” pancing Toni. Berry cuma tersenyum.

“Saya mengerti kesalahpahaman ini. Sejujurnya, saya tidak membenci Ervina. Jauh di lubuk hati, saya mengagumi semangat dan daya juang anak itu,” ujar Berry. Berry menambahkan, apa yang dilakukannya terhadap Ervina semata-mata ingin membentuk gadis itu agar kuat dan mampu bertahan dalam tekanan. “Anak itu punya potensi, IQ dan EQ-nya juga tinggi. Dia bisa memimpin, memengaruhi serta mengendalikan orang lain,” imbuh Berry. “Tapi Mona agak beda. Dia bukan gadis tangguh. Jika ditekan, dia akan down dan kehilangan motivasi belajar,” tegasnya.

 

Mayat di hotel

Hari menjelang siang ketika Toni mendengar kabar dari Polresta Bandung Timur tentang penemuan mayat perempuan muda di sebuah penginapan di daerah Cileunyi. Dia kaget bukan main, mayat perempuan muda itu, berdasar KTP yang ditemukan, ternyata Mona Triyandini, 22 tahun, mahasiswi STIETB. Polisi menerima laporan penemuan mayat itu pukul 09.40 dari Rustam, si pemilik motel. Mona check in bersama seorang pria berpakaian rapi, berusia sekitar 30 tahun, Kamis pukul 17.30.

Sersan Rio yang melakukan observasi lapangan menambah penjelasan. “Tampaknya korban meninggal karena dibekap pakai bantal. Kami juga menemukan luka memar di kedua lengan korban. Mungkin saat menekan wajah korban dengan bantal, kedua lutut pelaku ikut menekan lengan korban,” analisis Rio. “Tidak ada tanda-tanda perkosaan, tapi kami menemukan kondom yang sudah dipakai. Foto TKP dan analisis sidik jari tinggal menunggu hasil lab, Pak,” tutup anak buah Toni itu. “Siapa nama laki-laki yang membawa korban?” tanya Toni. “Atna, Pak,” jawab Rio. “Hanya Atna?” lanjut Toni. “Ya, Pak!”

Berita kematian Mona cepat tersebar. Para wartawan berlomba mengungkap kisah mengenaskan itu. Kasus hilangnya Mona dan Ervina pun mulai jadi pembicaraan hangat di banyak kalangan. Toni sendiri tak menyangka, hilangnya dua aktivis perempuan itu berkembang demikian rumit. “Jadi, Anda tidak tahu aktivitas Mona di luar kampus?” kejar Iptu Toni pada Arga, yang kembali dipanggil untuk dimintai keterangan. “Tidak, Pak. Saya bahkan tidak menyangka dia ditemukan meninggal di motel,” jelas Arga, kali ini ditemani Randy dan Diki.

Menurut Arga, Mona gadis top di kampus. Banyak lelaki menaruh hati dan berusaha mendekatinya. “Termasuk Anda?” pancing Toni. “Ah, saya tahu diri, kok. Mana mau dia dengan saya. Lagi pula, dia sudah punya pacar, Beno namanya.” Lain Arga, beda Diki. Mahasiswa tampan yang selalu menenteng kamera ini agak ceriwis. “Mona itu cewek gaul. Makanya saya kaget waktu dia bergabung di Himaka. Lain dengan Ervina. Saya yakin Ervina hilang karena ambisinya, sedangkan Mona karena terlalu bersenang-senang,” urai Diki.

Diki lalu mengeluarkan sejumlah foto dari tas kucelnya. 

“Foto-foto ini saya ambil saat berdemonstrasi. Yang sedang orasi itu Ervina,” jelasnya. Toni memperhatikan foto-foto tersebut. “Ini siapa?” tanyanya tiba-tiba. “Oooh, yang di samping Mona, Pak Priatna,” sebut Diki. “Apa panggilannya Atna?” sergah Toni. “Di kampus sih biasa dipanggil Pak Pri,” balas Diki. “Apa mereka punya hubungan khusus?” tanya Toni lagi. “Saya pikir mereka saling memanfaatkan. Mona mau nilai bagus, sedangkan Pak Pri ingin mendapatkan kesenangan,” tukas Diki. Percakapan mereka terus berlanjut.

“Lo, bagaimana dengan Beno?” 

“Wah, di otaknya cuma ada Mona. Kalau ada orang menceritakan kejelekan pacarnya, dia selalu marah. Dia juga pernah bersitegang dengan Ervina yang menegur Mona supaya lebih serius memberikan sumbangan pikiran dalam rapat. Sejak itu hubungan ketiganya tak lagi harmonis.” 

“Ervina sendiri sudah punya pacar?”

“Setahu saya belum. Teman-teman cowok segan mendekatinya. Entah kalau di luar kampus.” 

Sayang, pacar Mona, Beno, belum bisa dimintai keterangan. Sersan Dani mencoba menghubunginya lewat telepon, tapi pembantunya bilang Beno sedang masuk angin. Hari itu juga, Toni membawa foto yang dipinjamnya dari Diki untuk ditunjukkan pada Rustam. “Benar Pak, ini orangnya yang membawa Mona,” ujar Rustam mantap. Hasil penelitian lab juga memberatkan Priatna. Sidik jari dosen STIETB itu tersebar merata di TKP, terutama di tempat tidur dan tubuh Mona. Namun Toni tak mau terlalu percaya diri.

 

Profesi ganda?

Priatna terduduk lesu, wajahnya gelisah. “Kami memang bermalam bersama. Tapi saya tidak membunuhnya,” bantah dosen berusia 38 tahun itu. “Percuma menyangkal. Di tubuh korban cuma sidik jari Anda yang kami temukan,” desak Toni. “Tapi berani sumpah, Pak. Saya tidak membunuhnya,” ulang Priatna. “Lalu mengapa Anda kabur, meninggalkan Mona begitu saja?” kejar Toni. “Saya tidak kabur. Saya pulang ke rumah saat dia masih tidur. Bapak seharusnya mencari pelakunya, bukan menyalahkan saya,” pekik Priatna.

“Jangan mengajari saya, Pak Dosen. Saya tahu siapa yang harus dihukum. Tidak seperti Anda yang tega-teganya meniduri mahasiswi sendiri, benar-benar tidak bermoral! Apa jadinya negeri ini jika dosen-dosennya berperilaku kotor seperti Anda?” Toni menatap tajam Priatna yang langsung terdiam. Sia-sia dia mencoba menceritakan semuanya; semua bukti tetap memberatkan dan menunjuknya sebagai tersangka. Terbayang sudah rumah tangga, masa depan, dan kariernya bakal hancur. Istrinya yang tengah mengandung anak keempat pun pasti shock berat.

Saat itulah, Sersan Dani menghampiri Toni. Interogasi terhadap Priatna pun terhenti sejenak. “Ada mahasiswi yang bisa membawa kita ke tempat kos Ervina,” bisik Dani. “Oke, kita jemput dia,” sambut Toni, tanpa berpikir lagi. Tania, juga aktivis Himaka, adalah satu dari sedikit orang yang tahu tempat kos anyar Ervina. Di perjalanan, gadis manis ini berkali-kali mengeluhkan berita surat kabar tentang kedua teman kuliahnya.

“Mereka menulis seolah-olah Mona itu wanita panggilan dan Ervina sama dengan Mona. Mestinya mereka investigasi lebih dulu. Masa mereka dijuluki aktivis berprofesi ganda?” ujarnya gemas.

Padahal, kata Tania, Ervina itu gadis mandiri, sederhana, pintar, punya prinsip, dan pantang menyerah. “Kalau tentang Mona, apakah yang dibilang koran-koran itu benar semua?” pancing Dani. “Memang sih Mona agak matre. Reputasinya juga sedikit negatif, tapi saya rasa dia bukan wanita panggilan. Tapi sudahlah, enggak baik ngomongin orang yang sudah meninggal,” penggal Tania. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah gang. Setelah berjalan beberapa belas meter menyusuri gang sempit itu, Tania berhenti di sebuah rumah sederhana berlantai dua. Seorang wanita setengah baya menyambut mereka.

“Saya baru tahu Non Ervina hilang, itu pun dari wartawan yang datang ke sini. Padahal, setahu saya dia pulang kampung,” tutur wanita tadi. “Kami sudah menelepon ayahnya di Lampung. Dia bilang, Ervina tidak ada,” jelas Tania. Ibu Tiyah, si pemilik kos menuturkan, Ervina pergi diantar temannya. “Ibu tahu namanya?” tanya Toni. “Kalau namanya tidak tahu. Tapi ciri-cirinya saya ingat. Mata besar, kulit sawo matang, rambutnya cepak. Pakai kacamata gaya, hidung dan telinganya beranting,” sebut Tiyah. “Apa di pipinya ada bekas luka?” selidik Tania. “Betul, seperti luka bekas jahitan,” sambung Tiyah. “Pasti Idi,” gumam Tania.

“Nama lengkapnya Samidi, bekas mahasiswa STIETB, yang dipecat karena menghajar Pak Priatna,” jelas Tania. Tanpa diminta, cewek manis berambut pendek itu kembali menambahkan, “Mereka saling benci. Pak Pri tak pernah meluluskan Samidi, sedangkan Samidi sepertinya alergi melihat Pak Pri.”

“Mengapa bisa begitu?” potong Toni. “Dulu Mona itu pacarnya Samidi. Karena Pak Pri dosen killer, Mona berusaha mendekatinya dengan berbagai cara. Mengira pacarnya diganggu, Samidi mengamuk. Pak Pri dihajar sampai babak belur. Setelah itu, Mona pacaran dengan Diki, kemudian Beno.”

“Masalahnya, apa hubungan Samidi dengan Ervina? Setahu saya, mereka tidak terlalu akrab,” timpal Tania. Setelah itu, mereka bertiga larut dalam diam. Malamnya, Toni mendapat fakta baru dari Lukas, koleganya di kepolisian Lampung. Konon, rumah kediaman ayah Ervina kosong sejak tiga hari lalu. Pak Osdiko dan istrinya sedang ke Padang, membesuk ibu mertuanya yang sakit. Ervina sendiri putri istri pertama Osdiko yang kini tinggal di Belitung.

 

Kamar bersebelahan

Keesokan harinya, Sersan Karim melaporkan kasus perkelahian dua anak muda semalam. “Kami mengamankan seorang pemuda yang menyerang pemuda lainnya bernama Bernanto Prawiro alias Beno. Tapi katanya, Beno akan datang siang ini untuk mencabut tuntutannya,” jelas Karim. Toni yang penasaran, langsung meminta Karim membawa lawan berkelahi Beno. Pucuk dicinta ulam tiba, yang dibawa Karim ternyata Samidi. Tanpa membuang waktu, Toni langsung mencecarnya dengan pertanyaan seputar Ervina.

“Setahu saya Ervina pulang kampung,” tegas Idi. Versi Samidi, dia mendapat titipan telegram dari ibu kos Ervina yang lama yang juga tetangganya. “Itu sebabnya saya mendatangi Ervina ke tempat kosnya yang baru. Lalu dia minta saya mengantar sampai terminal. Kalau enggak percaya, silakan cek ke Belitung,” tantang Idi. “Kalau Ervina tidak ada di sana, kamu mau bertanggung jawab?” balas Toni. “Kenapa saya yang harus bertanggung jawab?” elak Idi ketus. Ah, pantas saja Priatna sebel banget sama pemuda satu ini, gumam Toni dalam hati.

“Lalu mengapa kamu berkelahi dengan Beno?” 

“Dia yang menyerang duluan, eh yang ditangkap malah saya. Ini enggak adil!” 

“Saya tanya, apa yang menyebabkan kamu berkelahi dengan Beno!”

“Saya sendiri tidak tahu. Saya menyapa dia dan bilang Mona titip salam, eh dia malah menyerang saya.” 

“Padahal, saya ‘kan cuma bercanda. Mungkin dia kebanyakan bergaul dengan Diki si tukang kompor.”

“Dulu Diki juga yang mengompori saya dengan berita perselingkuhan Mona dan Pak Priatna. Dia mengompori Mona agar mendekati Priatna untuk mendapat nilai bagus, sekaligus menyebar isu bahwa Mona itu cewek yang bisa dipakai.”

Sayang, saat pembicaraan mulai menarik, Beno masuk ke ruangan. Seperti dilaporkan Sersan Karim, dia datang untuk mencabut tuntutan. “Saya enggak mau memperpanjang urusan,” kilah pemilik sedan BMW terbaru itu. “Tidak perlu, saya senang di sini. Atau kamu baru sadar, sebenarnya kamu yang salah?” hardik Idi. “Terserah. Yang jelas, saya enggak mau urusan ini diperpanjang,” ulang Beno. Pertengkaran mereda, seiring masuknya Sersan Dani dan Rustam. Rustam sengaja dijemput untuk dipertemukan langsung dengan Priatna, calon tersangka pembunuh Mona.

Namun saat melihat Beno, dia berhenti melangkah. “Maaf, Andakah yang menginap di motel saya beberapa hari lalu?” tanya Rustam. Beno sekilas menatap Rustam, kemudian menukas, “Tidak, Bapak salah menuduh orang.” Tapi Rustam malah mendekat. “Maaf, saya hanya mau mengembalikan barang Anda yang tertinggal,” sambungnya. “Heh, saya tidak pernah menginap di tempat Bapak!” pekik Beno, mengagetkan semua yang hadir. “Tapi ini milik Anda ‘kan?” Rustam menyodorkan pemantik api bergambar naga berlapis emas. “Bagaimana barang ini bisa sampai ke tangan Bapak? Saya sudah lama mencarinya,” tanya Beno. “Pemantik ini ketinggalan di kamar yang Anda sewa,” tegas Rustam. “Terima kasih. Tapi saya tidak pernah menginap di losmen Bapak,” tegas Beno lagi.

“Kenapa ia mengenali Anda sebagai orang yang menginap di motel?” pancing Toni, setelah Rustam pergi. 

“Saya tidak tahu. Bukan menyombongkan diri, seumur hidup, saya tidak pernah menginap di tempat seperti itu,” kilah Beno.

“Anda tidak pernah mendengar gosip tentang Mona dan Priatna?” 

“Saya pernah mendengar gosip seperti itu, tapi selama ini saya pikir, sayalah laki-laki yang dia inginkan.”

“Kapan terakhir Anda melihat Mona dan Ervina?” 

“Senin, saat kami berdemontrasi. Esoknya, saya tidak lagi melihat keduanya.”

“Lalu, di mana Anda berada saat Mona terbunuh?” 

“Saya ada di rumah. Silakan tanya kakak saya, ia ikut mengantar saya sekarang.”

Beninta, kakak Beno, membenarkan ucapan adiknya. Hari Kamis itu dia tidak melihat adiknya keluar rumah. “Anda yakin dia tidak keluar rumah?” desak Toni. Beninta mengangguk. “BMW-nya terparkir rapi di garasi. Sejak dulu Beno tak pernah pergi keluar rumah tanpa mobil. Apalagi malam hari. Tubuhnya rentan, bisa-bisa ia sakit,” jelas Benin.

Selesai menanyai Beno, Toni kembali memintai keterangan Rustam, yang bersikukuh Beno dan seorang temannya menginap di motelnya beberapa hari lalu. “Bapak yakin tidak salah orang?” tegas Toni. “Penginapan saya kecil. Setiap tamu yang datang pasti saya ingat,” jawab Rustam. “Pakai BMW merah?” balik Toni bertanya. “Tidak. Dia dan temannya naik motor.” Fakta tambahan ini membuat Toni berpikir keras. Priatna sudah hampir menyerah, tapi motifnya lemah. Sedangkan Beno? Kalau memang dia datang ke motel pakai motor, tubuh rentannya pasti terganggu. Cocok dengan keterangan pembantunya yang bilang, sang majikan sedang masuk angin. Artinya? Toni tetap tak mau berspekulasi.

 

Kalah cepat

Saat “dijemput” Toni di rumahnya, Beno yang hendak berangkat melanjutkan kuliah ke Australia langsung menangis tersedu-sedu. Ah, Toni tak menyangka bisa semudah ini. Tapi dia bisa mengerti perasaan berdosa yang mungkin terus memburu Beno. “Awalnya saya bangga jadi pacarnya. Tapi ternyata saya hanya tameng untuk menutupi hubungannya dengan Priatna. Diki-lah yang selama ini membantu saya memata-matai Mona. Di Cileunyi, kami menyewa kamar persis di sebelah mereka. Semula kami hanya ingin membuat Mona dan Priatna malu. Tapi Diki, mestinya ....” tangis Beno akhirnya pecah.

“Ada apa dengan Diki?” 

“Dia bilang, saya laki-laki pengecut. Seharusnya saya mengambil tindakan tegas. Kami akhirnya merencanakan pembunuhan itu. Tak lama setelah Priatna pulang, kami masuk dan membekap wajah Mona pakai bantal. Diki lalu menukar bantal tadi dengan bantal Priatna. Diki berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini,” kata Beno, sembari menutup wajahnya. 

Toni menarik napas panjang. Kini dia bisa berkonsentrasi pada hilangnya Ervina. Setiba di kantor, rasa penat mendorongnya menyalakan teve. Lagi-lagi infotainment, batinnya memprotes. Untungnya dia belum sempat mengganti channel, karena sejurus kemudian matanya melotot, bak melihat setan. Puluhan reporter tampak mengerubungi seorang gadis manis berwajah pucat. “Saya mohon maaf kepada teman-teman, tidak memberi kabar atau titip pesan saat melayat nenek saya di Belitung, sehingga kekacauan ini terjadi,” katanya penuh sesal. Ervina telah ditemukan. Toni tak tahu lagi, harus menarik napas lega atau sebal. Untuk kesekian kalinya, dia kalah cepat dari wartawan! (R. Yuliantina)

Baca Juga: Mafia 3 Salah Culik

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561113/korek-apinya-tertinggal-di-losmen" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668180823000) } } }