Intisari Plus - Suami istri Featon ditemukan tewas. Keduanya tampak seperti telah melakukan bunuh diri, namun polisi menduga mereka adalah korban pembunuhan.
----------
Pagi hari tanggal 12 Februari 1962, Kepolisian Melbourne bagian perkara pembunuhan mendapat laporan. Di Hillstreet 17 Blackborn sepasang suami istri ditemukan tewas di kamarnya. Regu penyelidik segera datang, dipimpin oleh Inspektur Kepala Anthony Forrester.
Tampaknya kejadian di Hillstreet itu merupakan peristiwa bunuh diri. Nyonya rumah tergeletak di tempat tidur, pelipisnya tertembus peluru revolver kaliber 7.65. Suaminya menggantung diri di kamar itu juga, setelah sebelumnya mencoba mengakhiri hidupnya dengan tembakan. Revolvernya sudah kosong, tanpa peluru — masih terletak di lantai dekat tangga yang rupanya digunakan untuk memanjat ketika lelaki itu hendak menggantung diri.
Kamar diperiksa. Di atas meja dekat tempat tidur ditemukan sepucuk surat. Dalam surat itu tertulis kata-kata, “Even in the death we will be together.” (Meski dalam kematian, kita akan selalu bersama.)
Inspektur Forrester memerintahkan supaya sidik jari para korban diambil. “Periksa juga bekas-bekas sidik jari pada revolver, untuk mengetahui siapa menembak siapa,” tambahnya.
Seluruh isi kamar kini diteliti. Dalam laci meja dekat ranjang ditemukan sepucuk revolver FN. Dengan saputangan Forrester mengambil senjata itu. Revolver yang satu ini ternyata masih penuh dengan peluru. Pelatuknya terkunci.
Aneh, pikir Forrester, bahwa tuan rumah tidak menggunakan revolver yang masih penuh ini untuk mengakhiri hidupnya. Tadinya Forrester mengira lelaki itu menggantung diri karena peluru revolvernya (yang lain) telah habis.
Kini sang inspektur menjadi curiga. Sekali lagi ia mengamati surat yang ditinggalkan almarhum. Kertasnya bergaris, sobekan dari bloknot surat. Tulisannya canggung.
Forrester mencari contoh tulisan lain dari almarhum. Dilihatnya jas tersampir pada sandaran kursi. Dalam salah satu kantongnya ia temukan dompet. Isinya beberapa lembar uang kertas dan surat identitas dengan foto almarhum. Berdasarkan surat identitas ini diketahui bahwa lelaki yang meninggal tergantung itu bernama Robert J. Featon. Lahir tanggal 28 Mei 1925 di London. Pekerjaan insinyur. Tanda tangan di bawah foto ditulis dengan gerak tangan yang lancar — tulisan orang yang terpelajar.
Jelas bahwa tulisan tangan ini berbeda dengan tulisan pada surat yang ditemukan di atas meja dekat ranjang. Tulisan pada “surat wasiat” itu menunjukkan ciri-ciri berikut. Rupanya penulis tadinya bermaksud menulis dengan huruf cetak. Huruf e pertama dalam kata “Even” ditulis dengan huruf besar cetak, tapi disusul oleh “ven” yang dengan huruf tulis. Setelah itu semua huruf-huruf adalah huruf tulis. Selanjutnya huruf t ditulis dengan coretan horisontal yang berciri khas dan sama sekali berbeda dengan huruf t pada kata-kata “Robert Featon” dalam surat identitas almarhum.
Mungkinkah surat itu ditulis oleh isteri almarhum? Lemari dalam kamar digeledah. Ditemukan beberapa tas tangan wanita. Di dalam salah satu tas tangan, Inspektur Forrester berhasil menemukan surat identitas nyonya rumah. Tanda tangan di bawah fotonya “Fritia Featon Dierck”. Tanda tangan itu juga menunjukkan jenis tulisan yang berbeda dengan tulisan pada “surat wasiat”.
Timbul dugaan kuat bahwa suami istri itu tidak bunuh diri, melainkan dibunuh oleh seseorang. Sekali lagi Forrester memeriksa luka tembakan pada Robert Featon. Rupanya peluru hanya menyerempet saja. Barangkali tembakan ini hanya membuat Featon pingsan? Dan kemudian mengatur keadaan sedemikian rupa hingga timbul kesan seolah-olah Featon dan istrinya bunuh diri?
“Nicols,” kata Inspektur Forrester kepada anak buahnya, “Pergilah ke toko dan beli lakban ukuran 2,5 cm.” Dengan ini, inspektur polisi berniat mempraktikkan suatu cara penyelidikan baru yang belum pernah dicoba di Australia saat itu.
Forrester mengetahuinya dari sebuah artikel yang ditulis Wolfson, seorang ahli kriminologi dari Universitas Cambridge. Dalam artikel itu, Wolfson mengulas suatu metode yang dikembangkan oleh orang Swiss yang bernama Frei dan Dr. Berg dari Jerman. Itu adalah metode untuk mendapatkan bukti-bukti di tempat kejadian.
Dasar pemikiran dan cara-caranya sebetulnya sederhana. Di tempat kejadian, pelaku dapat meninggalkan bekas-bekas berupa serat-serat halus yang berasal dari pakaiannya. Gesekan pakaian dengan benda-benda tertentu dapat mengakibatkan tertinggalnya serat-serat halus pada benda-benda tersebut. Serat-serat halus yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang itu dapat dikumpulkan dengan lakban. Caranya dengan menempelkan pita plastik yang berperekat pada benda-benda yang ada di tempat kejadian. Serat-serat halus itu akan menempel pada lakban dan kemudian bisa diperiksa dengan mikroskop di laboratorium.
Dalam penyelidikan kematian di Hillstreet 17, Inspektur Forrester berpendapat sebagai berikut. Apabila benar Robert Featon menggantung diri, maka di tangannya yang menyentuh tali gantung, seharusnya ditemukan serat-serat halus tali tersebut. Bila ia digantung oleh orang lain, maka di tangannya tidak akan ditemukan serat-serat halus tali tersebut.
Setelah Nicols kembali, Forrester melakukan pengambilan serat-serat halus yang mungkin tertempel pada tangan Featon dengan sistem lakban itu.
Pengambilan dilakukan secara sistematis. lakban ditempel pada jari kelingking tangan kanan, dilepaskan lagi, kemudian dilipat hingga serat2 halus (jika ini ada) tersimpan aman di dalam lipatan. Itu dilakukan pada semua jari hingga telapak tangan. Tiap potongan lakban ditandai, misalnya tangan kanan, jari kelingking, dan sebagainya.
Pencarian bukti-bukti dengan sistem lakban ini juga dilakukan pada lengan dan bagian muka piama yang dipakai korban. Tindakan ini dilakukan oleh Inspektur Forrester atas dasar pemikiran berikut. Jika Featon mati terbunuh, mungkin sebelumnya ia terlibat dalam perkelahian dengan pembunuhnya. Sehingga ia mungkin sekali ia bergumul dan bersentuhan dengan pembunuh itu. Sesuatu yang tertempel pada piama Featon kelak akan berguna dalam pembuktian, bila pembunuhnya ditemukan.
Kemudian Forrester menggarap soal tangga. Tangga ini tergeletak di lantai. Dari posisinya diperoleh kesan seolah-olah Featon menggunakan tangga tersebut untuk naik ke atas guna menggantung diri, kemudian menendangnya hingga tangga itu terjatuh di lantai.
Inspektur membayangkan apa saja yang diperbuat orang yang menggunakan tangga itu untuk gantung diri atau untuk menggantung seseorang. Ia bayangkan bagian-bagian mana dari tangga itu yang bersentuhan dengan orang yang bersangkutan dan pakaiannya. Berdasarkan perkiraan itu, kemudian Forrester melakukan sistem lakban.
Kini perlu diselidiki pula, dari mana masuknya pembunuh ke dalam kamar. Tidak ada jendela yang terbuka, yang dapat dilalui orang dari luar untuk menyelinap ke dalam kamar.
Selanjutnya, kebun dan pekarangan diperiksa. Terlihat jejak-jejak sepatu Iaki-laki. Polisi membuat tiruan dari jejak-jejak itu untuk diselidiki. Semua pintu-pintu diteliti. Ternyata pintu garasi tidak terkunci. Di dalamnya ada sebuah mobil milik tuan rumah, mereknya Morrison. Pintu yang terdapat pada tembok belakang garasi juga tidak terkunci. Pintu ini menuju ke garasi di depan dapur. Pintu dapur jarang dikunci. Melalui pintu garasi itulah rupanya pembunuh masuk ke dalam rumah.
Selesai memeriksa semua pintu rumah, Forrester menganggap perlu mengadakan penelitian sekali lagi. Yang menjadi sasarannya kini kamar kerja Robert Featon. Laci-laci dan kotak pada meja tulis almarhum semua terkunci. Forrester teringat bahwa di atas meja dekat ranjang di kamar tidur terdapat satu set kunci. Ia mengambil dan mencobanya. Ternyata cocok.
Di laci tengah tidak ditemukan hal-hal yang istimewa. Buku cek, buku kas, dan beberapa rekening bank — itulah beberapa isinya. Rekening-rekening bank itu memberi gambaran bahwa suami istri Featon orang yang berada. Sama sekali tak ada petunjuk bahwa Featon dan istrinya bunuh diri karena kesulitan finansial.
Forrester meneruskan penyelidikannya. Dibukanya semua laci dan Iemari kecil di bawah laci. Sampai akhirnya ia menemukan map besar berisi guntingan-guntingan koran yang jumlahnya banyak sekali.
Guntingan koran yang terletak paling atas mengejutkannya. Isinya tentang berita pembunuhan. Korbannya adalah seorang gadis umur 19 tahun, bernama Veronica Kriek dari Amsterdam. Veronica — demikian ditulis dalam guntingan koran itu — berkunjung ke rumah sahabatnya Fritia Dierck. Kemudian ia menghilang dan mayatnya ditemukan pada tanggal 18 Mei 1955 di dekat sebuah rumah sakit di Shotfield di Bedfordshire.
Membaca nama Fritia Dierck, Inspektur Forrester tersentak. Itu nama Nyonya Featon semasa gadis. Berita dalam guntingan koran itu dengan sensasional melukiskan peristiwa pembunuhan Veronica Kriek. Serba misterius. Pelakunya tidak pernah ditemukan. Juga senjata yang digunakan untuk membunuhnya. “Senjata tajam tidak pernah ditemukan, sekalipun para penyelidik telah menjelajahi tempat kejadian dengan detektor ranjau.”
Apa hubungan Fritia Dierck yang sekarang jenazahnya terbaring di kamar sebelah, dengan peristiwa pembunuhan dari tahun 1955 itu? Mungkin sama sekali tidak ada kecuali bahwa Veronica Kriek adalah sahabatnya. Bagaimanapun juga Inspektur Forrester merasa perlu menghubungi Scotland Yard untuk mengetahui duduk persoalan peristiwa pembunuhan Veronica Kriek.
Hanya beberapa hari kemudian laporan Scotland Yard telah sampai di meja Forrester. Dan memang ternyata mengandung beberapa unsur yang mungkin dapat memberikan titik terang.
Menurut laporan Scotland Yard, awalnya Robert Featon beristrikan seorang wanita bernama Gwen Hillier. Perkawinan mereka bertahan sampai tahun 1955 bulan Februari. Gwen Hillier kaya. Maka keluarga Featon dapat mempekerjakan seorang gadis pengasuh ketika anak perempuan mereka lahir tahun 1953. Gadis pengasuh itu bernama Fritia Dierck, berasal dari Belanda. Fritia gadis umur 19 tahun dari Amsterdam itu datang ke London untuk belajar bahasa Inggris.
Nyonya Hillier Featon segera melihat bahwa hubungan suaminya dengan Fritia itu lebih dari sekadar hubungan antara majikan dan pekerjanya. la tidak dapat membiarkan keadaan ini dan mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk bercerai. Sebelum sidang dimulai, Fritia Dierck pulang ke Belanda, atas saran pengacara Tuan Featon. Tujuannya agar ia dapat menghindari keharusan tampil di depan pengadilan sebagai saksi.
Setelah permohonan cerai dikabulkan, Fritia kembali lagi ke London, dengan membawa sahabatnya yang sebaya dengannya. Ia adalah Veronica Kriek. Veronica Kriek baru saja memutuskan pertunangannya dengan seorang pemuda bernama Henrick van der Louse setelah bertengkar dengannya. Lalu, dengan seizin orang tuanya, Veronica Kriek mengikuti Fritia Dierck ke London. Tujuannya adalah untuk menghindari kesempatan bertemu dengan bekas tunangannya.
Sementara itu Tuan Featon setelah bercerai, terpaksa meninggalkan rumah mantan istrinya. la mendapatkan pekerjaan sebagai insinyur elektronik di Shotfield. Fritia dan Veronica datang padanya. Ketiganya kemudian mencari sebuah rumah untuk ditinggali bersama. Featon dan Fritia Dierck yang berencana untuk menikah, mengaku sebagai suami istri.
Itulah situasi sebelum hilangnya Veronica Krieck yang jenazahnya kemudian ditemukan di dekat rumah sakit Shotfield pada tanggal 18 Mei 1955.
Sebagai orang yang dekat hubungannya dengan Veronica, Featon dan Fritia Dierck menimbulkan kecurigaan bagi polisi. Apakah mungkin Featon (yang ketika itu umur 30 tahun) merasa lebih tertarik kepada Veronica karena gadis ini wataknya lebih tenang daripada Fritia yang agak banyak tingkah? Dan hal ini membuat Fritia cemburu dan kalap hingga membunuh Veronica? Atau mungkin Featon dan Fritia bersekongkol untuk menyingkirkan Veronica karena motif ingin merampas harta miliknya? Itulah beberapa teori yang pernah muncul dalam pikiran pihak kepolisian Inggris
Dengan latar belakang teori itu, Featon dan Fritia diinterogasi polisi. Tetapi mereka memiliki alibi yang tidak dapat dibantah, hingga polisi mengeluarkan mereka dari daftar orang-orang yang dicurigai.
Orang lain yang rnenarik perhatian polisi ialah Henrick van der Louse, bekas tunangan Veronica. Mungkin saja lelaki ini patah hati, lalu mengikuti bekas tunangannya ke Inggris untuk mengajaknya berdamai kembali. Kemudian bertengkar dengan akhirnya Henrick membunuh Veronica. Tapi sangkaan ini pun tidak terbukti kebenarannya. Sebab Henrick van der Louse ialah seorang pelaut. Setelah putus pertunangannya dengan Veronica, ia pergi berlayar dengan sebuah kapal muatan. Pada waktu Veronica terbunuh di Shotfield, Henrick van der Louse berada di tengah lautan Atlantik.
Inspektur Forrester merenungkan keterangan-keterangan dari Scotland Yard itu. Mungkinkah Scotland Yard keliru? Mengapa Featon dan istrinya kemudian pindah ke Australia? Tidak mustahil bahwa van der Louse tetap mengira bahwa suami istri Featon telah membunuh bekas tunangannya dan kemudian ia membalas dendam.
Masuk akal bila van der Louse menaruh dendam terhadap Fritia Dierck karena wanita ini telah membujuk bekas tunangannya untuk mengikutinya ke Inggris. Seandainya Veronica tidak pergi ke London, barangkali pemuda itu masih bisa memperbaiki hubungannya dengan Veronica. Seandainya Veronica tidak pergi ke Inggris, ia tidak akan mati terbunuh.
Gagasan-gagasan seperti itu dapat mendorong van der Louse untuk merencanakan pembunuhan terhadap suami istri Featon. Namun semua itu masih berupa teori yang mengambang di awang-awang….
Inspektur Forrester kini menulis surat ke Kepolisian Amsterdam untuk minta keterangan tentang Henrick van der Louse. Di mana dia? Apakah mungkin sebagai pelaut sedang berlayar? Apakah ia bekerja pada kapal yang dalam pelayarannya mampir di Australia? Itulah beberapa pertanyaan yang dikemukakan oleh Forrester kepada polisi Amsterdam.
Sementara itu penelitian di laboratorium untuk meneliti serat-serat halus yang ditemukan di tempat kejadian sudah memberikan hasil.
Pertama, jelas bahwa di tangan Tuan Featon sama sekali tidak ditemukan serat yang berasal dari tali gantung yang mengakhiri hidupnya. Dengan ini diketahui bahwa lelaki itu pasti tidak menggantung dirinya sendiri. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil pemeriksaan dokter terhadap jenazah Tuan Featon. Luka tembakan yang menyerempet pelipisnya, bukan luka yang mematikan, tapi hanya luka yang membuat orang pingsan. Rupanya Featon tewas akibat digantung oleh pembunuhnya.
Kedua, pada piama dan tangga yang digunakan untuk menggantung Featon ditemukan serat dengan ukuran, jenis, dan warna yang sama. Serat-serat halus itu ditemukan pula pada pagar, tak jauh dari tempat ditemukannya jejak sepatu Iaki-laki di pekarangan. Data ini diperoleh dari pemeriksaan laboratorium yang saksama, dengan menggunakan mikroskop yang memperbesar gambar serat halus itu sampai 500 kali ukuran yang sebenarnya.
“Jika Henrick van der Louse berhasil ditemukan, mudah-mudahan persoalannya menjadi jelas,” kata Forrester kepada asistennya, Nicols. Pada tahap penyelidikan ini diperoleh keterangan tambahan. Beberapa tetangga korban menyatakan bahwa seorang Iaki-laki asing terlihat mondar-mandir di sekitar rumah suami istri Featon. Tingkah lakunya mencurigakan. Forrester berniat menunjukkan foto Henrich van der Louse kepada tetangga-tetangga korban itu, jika foto tersebut sudah dikirim dari Amsterdam.
Foto berikut keterangan-keterangan polisi Amsterdam memang datang tidak lama kemudian. Tapi informasi baru ini malah menggoyahkan teori Inspektur Forrester.
Foto tersebut ialah foto Henrick van der Louse 8 tahun yang lalu. la dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1932 di Amsterdam. Jadi pada tahun 1962, saat terjadinya pembunuhan suami istri Featon ia berusia 30 tahun.
Tanggal 3 Agustus 1955 — demikian keterangan polisi Amsterdam selanjutnya — ia kembali dari pelayaran ke Amerika Utara. Lalu berlayar dengan sebuah kapal muatan ke Hongkong. Di Singapura ia secara diam-diam meninggalkan kapal muatan itu dan berpindah ke kapal pesiar Joyita, milik seorang Inggris T.H. Miller dari Cardiff. Kapal ini hanya berukuran 70 ton tapi perlengkapannya modern. Joyita berlayar ke Kepulauan Samoa dan pada tanggal 3 Oktober 1955 singgah di Pelabuhan Apia. Setelah itu terjadi sesuatu yang menarik perhatian dunia pelayaran saat itu. Joyita tidak pernah sampai ke Pulau Tokelau, tujuan akhirnya.
5 minggu lamanya dilakukan pencarian, tetapi sia-sia. Usaha pencarian dihentikan dan kapal Joyita dianggap telah hilang. Tapi kemudian sebuah kapal muatan bernama Tuvala menemukan sisa-sisa kapal Joyita. Sudah kosong, beberapa balok dipotong dan dilepas dari kapal. Semua alat-alat, kompas, radio, dan buku log semuanya tidak ada. Bekal-bekal makanan tidak ada pula. Bangkai kapal itu masih terapung, berkat beberapa drum bensin yang sudah kosong di ruang bagasi.
Keadaan bangkai kapal ini awalnya menimbulkan pertanyaan. Apakah kapal ini sengaja dimusnahkan untuk memperoleh ganti rugi asuransi? Tapi ternyata tidak ada permohonan ganti rugi. Apakah barangkali kapal ini dibajak di tengah laut? Tapi tidak ada tanda-tanda terjadinya perkelahian atau pertempuran. Awak kapal Joyita yang berjumlah 25 orang pun menghilang. Delapan orang kulit putih, termasuk Henrick van der Louse. Apakah mereka berpetualang, mendarat di suatu pulau yang tidak dikenal untuk mencari sesuatu?
Pertanyaan-pertanyaan itu semua tidak terjawab. Dan sudah 7 tahun berlalu sejak peristiwa karamnya Joyita itu terjadi. Para awak kapal mungkin sudah meninggal semua. Jadi menyangka Henrick van der Louse sebagai pembunuh suami istri Featon berarti sama dengan berteori bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh orang yang telah almarhum!
Forrester seperti dihadapkan pada jalan buntu. Tetapi naluri detektifnya tidak juga mau menyerah. la tetap tergoda untuk terus mengikuti teori yang telah disusunnya.
Inspektur itu mendapat keterangan dari Scotland Yard bahwa suami istri Featon pada tanggal 22 Juli 1955 beremigrasi ke Australia. Bayangkan jika Henrick van der Louse, yang keranjingan nafsu balas dendam gara-gara kematian bekas tunangannya, mendengar hal itu. Sangat masuk akal bahwa pemuda itu lantas berusaha mengejar mereka. Demikian pikir Forrester yang — sebagai detektif tulen — berusaha menempatkan diri pada situasi tersangka.
Maka berangkat pulalah van der Louse ke Australia. Ini bukan suatu petualangan yang terlalu sulit baginya, mengingat ia seorang pelaut. la berpindah-pindah kapal dan akhirnya menumpang kapal pesiar Joyita yang menuju ke Kepulauan Tokelau. Di tengah jalan, kapal ini karam atau rusak. Atau barangkali Joyita sengaja dihancurkan karena motif tertentu? Bagaimanapun juga, setelah itu mungkin van der Louse berusaha menghilang dan menghapus identitasnya. Barangkali bersama semua rekan pelautnya, ia menuju ke salah satu dari sekian banyak pulau yang bertebaran di daerah sekitar. Setelah beberapa tahun, akhirnya van der Louse berhasil meninggalkan pulau tersebut dan mendarat di Australia. Barangkali sambil mengantongi surat identitas salah seorang rekannya.
Demikian Inspektur Forrester membayangkan. Dan berdasarkan gagasan-gagasan itu, ia mengeluarkan perintah untuk menangkap Henrick van der Louse. Fotonya yang berasal dari tahun 1955 disebarkan dengan beberapa keterangan bahwa buronan itu sekarang sudah tidak semuda fotonya. Kini ia berumur sekitar 30 tahun.
Dan benar! 4 hari kemudian, tanggal 28 Februari 1962 di Wollongong, polisi berhasil menahan seorang laki-laki yang wajah dan ciri-cirinya seperti terlihat dalam foto.
Laki-laki itu mengaku bernama Fred Soran, lahir tanggal 18 April 1924 di Helensville dekat Auckland, Selandia Baru. Tetapi malang baginya. Polisi pertama di Australia yang memeriksanya adalah orang yang saat Perang Dunia II pernah ditempatkan di Helensville. Hingga langsung saja bisa diketahui bahwa Fred Soran ternyata sama sekali tidak mengenal kota kelahirannya.
Henrick van der Louse belum pernah berurusan dengan polisi. Maka tidak tersedia sidik jarinya. Polisi tidak dapat membuktikan bahwa Fred Soran sama dengan Henrick van der Louse berdasarkan sidik jari.
“Anda mengira sudah aman dan terlindung dari kejaran petugas hukum dengan siasat Anda yang lihai. Rupanya di tempat kejadian Anda telah menggunakan sarung tangan hingga tidak terdapat bekas-bekas sidik jari. Tapi kami punya bukti-bukti lain,” kata Inspektur Forrester. Lalu bukti-bukti itu dikeluarkannya satu per satu.
Pertama, jejak sepatu laki-laki yang ditemukan di pekarangan keluarga Featon. Jejak ini persis sama dengan jejak sepatu yang dipakai Fred Soran, walaupun sepatu itu kini sudah agak aus.
Kedua, serat-serat tekstil yang dikumpulkan oleh Forrester di tempat kejadian dengan lakban. Pada waktu tertangkap, Fred Soran kebetulan mengenakan celana cokelat. Serat-serat celananya diperiksa di laboratorium. Ternyata tidak 100 persen terdiri dari katun. Ada campurannya berupa serat sintetis. Jenis, kekuatan, warna, dan susunan kimia serat-serat celana cokelat itu ternyata persis sama dengan serat-serat yang ditemukan oleh Forrester pada piama Robert Featon, tangga, pagar pekarangan, dan beberapa benda lainnya di kamar almarhum.
Akhirnya bukti ketiga adalah tulisan tangan Fred Soran ternyata persis sama dengan tulisan “Even in the death we will be together” di atas secarik kertas yang ditemukan di tempat pembunuhan ganda di Hillstreet 17, Blackborn itu.
Demikian pembunuh suami istri Featon berhasil diringkus. Siasatnya dengan mencari alibi sebagai almarhum tidak dapat bertahan terhadap pembuktian dari ruang laboratorium.
(Hanns Walther)
Baca Juga: Rahasia Sebuah Kapal
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799249/mencari-alibi-sebagai-almarhum" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565947000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726513" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/27/intisari-plus-226-1982-44-pakaia-20230327113617.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(134) "Menjelang musim dingin di Melbourne, beberapa kasus pembunuhan wanita terjadi. Pakaian semua korban selalu dicabik-cabik tidak karuan." ["section"]=> object(stdClass)#64 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/27/intisari-plus-226-1982-44-pakaia-20230327113617.jpg" ["title"]=> string(38) "Pakaian Korbannya Selalu Dicabik-cabik" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-27 11:36:26" ["content"]=> string(21641) "
Intisari Plus - Menjelang musim dingin di Melbourne, beberapa kasus pembunuhan wanita terjadi. Pakaian semua korban selalu dicabik-cabik tidak karuan.
---------
Melbourne di Australia merupakan kota yang suram pada musim gugur tahun 1942. Penduduk bersiap-siap menghadapi musim dingin yang diperkirakan akan panjang. Seperti kita ketahui, musim dingin di Australia berlangsung pada saat belahan bumi utara sedang mengalami musim panas.
Tanggal 3 Mei 1942, pukul 3 pagi, seorang pelayan bar bernama Henry Billings berjalan di Victoria Avenue, di Albert Park yang merupakan daerah pinggiran Melbourne. Letaknya kira-kira 5 km dari pusat kota. Di muka pintu sebuah toko yang terletak di samping sebuah hotel, ia melihat seorang tentara Amerika sedang membungkuk. Tentara itu mencoba berdiri ketika mendengar langkah Billings, lalu ia menjauh dan berbelok ke Beaconsfiles Parade.
Ketika Billings tiba di tempat bekas tentara itu membungkuk, ia melihat ada orang terbaring di situ. Seorang wanita dan wanita itu telanjang. Pakaiannya tersobek-sobek tidak karuan.
Billings cepat-cepat masuk ke hotel untuk menelepon polisi. Polisi merasa terkejut ketika memeriksa wanita itu. la sudah menjadi mayat. Pahanya memar sedangkan pelipis kirinya retak.
Wanita itu dikenali sebagai Ny. Ivy McLeod yang berumur 40 tahun. Teman-temannya menggambarkan sebagai wanita periang yang mudah bergaul. Malam itu ia diketahui berkunjung ke teman-temannya di Albert Park dan kemudian pergi menunggu bis di Victoria Avenue, untuk pulang ke rumahnya di Melbourne Timur.
Kalau melihat cedera yang dialami korban, polisi memperkirakan pembunuhnya pasti seorang yang kuat dan kemungkinan besar pria yang menarik.
Kisikan yang tidak karuan ujung pangkalnya
Polisi segera melakukan penyelidikan. Tidak lama kemudian polisi mendapat pemberitahuan dari markas besar tentara AS di Melbourne. Isi pemberitahuan itu ialah: Ada orang menelepon ke markas besar. Orang itu berkata begini, “Tentang wanita yang dibunuh kemarin malam, carilah pria yang berjalan dengan tangannya.” Tetapi tentu saja kisikan ini kedengarannya tidak karuan ujung pangkalnya.
Sebelum polisi sanggup menemukan petunjuk-petunjuk berarti ke arah si pembunuh, sudah terjadi pembunuhan lain.
Enam hari setelah mayat Ny. McLeod ditemukan, seorang centeng bernama Henry McGown melihat sebuah benda seperti buntalan di muka pintu masuk sebuah gedung apartemen di Spring Street, hampir di pusat kota Melbourne. Saat itu tanggal 9 Mei pukul 05.30 pagi.
McGown menghampiri buntalan itu tetapi alangkah terkejutnya ia karena ternyata benda itu tidak lain daripada tubuh seorang wanita. Pakaiannya dicabik-cabik dari tubuhnya. Ia segera memanggil polisi.
Dokter kepolisian memperkirakan wanita itu sudah meninggal kira-kira tiga jam.
Korban menunjukkan tanda-tanda bekas tamparan dan cekikan. Wajahnya memar. Menurut patolog, kematian terutama disebabkan oleh kelumpuhan saraf akibat tekanan, bukan mati lemas akibat tercekik.
Keadaan pakaian korban mengingatkan polisi pada Ny. McLeod yang tewas enam hari sebelumnya. Pakaian kedua wanita ini tampaknya dirobek-robek oleh orang yang seperti kesetanan.
Tentu saja kedua pembunuhan ini mendapat banyak tempat dalam koran-koran Melbourne. Masyarakat diperingatkan agar berhati-hati terhadap pembunuh misterius ini.
Melbourne yang biasanya tenang-tenang saja kini heboh. Wanita-wanita bersikap lebih berhati-hati kalau keluar malam hari.
Wanita yang mayatnya ditemukan di Spring Street itu dikenali sebagai Ny. Pauling Coral Thomson berumur 32 tahun. la istri polisi yang bertugas di Bendingo. Hari Jumat itu Ny. Thomson diketahui melepas suaminya pergi bertugas ke Bendingo, lalu ia tampak bersama seorang tentara Amerika.
Pada masa itu ribuan tentara Amerika berada di Melbourne dan sekitarnya.
“Baby faced”
Polisi mendapat keterangan bahwa tentara Amerika yang tampak bersama Ny. Thomson wajahnya baby faced. Walaupun demikian, mencari tentara AS yang dimaksudkan di antara beratus-ratus tentara yang berlibur pada malam itu tentu bisa disamakan dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Polisi bekerja tidak kenal waktu untuk melacak si pembunuh karena dikhawatirkan ia akan mengulangi kembali perbuatannya yang mengerikan. Sejumlah besar tentara Amerika diwawancarai. Polisi pun mendatangi pelacur-pelacur untuk bertanya kalau-kalau di antara mereka ada yang mendapat langganan yang tingkah lakunya aneh.
Polisi yakin jalan yang mereka tempuh akan membawa mereka kepada si pembunuh, tetapi jalan ini tampaknya panjang dan tidak mudah dilalui. Padahal polisi ingin cepat-cepat mengamankan si pembunuh.
Pada masa perang itu, tentara Amerika populer di kalangan wanita-wanita Melbourne tertentu. Mereka sopan, mudah bergaul, ingin bersenang-senang dan uangnya banyak. Padahal pada masa itu banyak pria Australia berperang di luar negeri. Tidak heran kalau gadis-gadis dan wanita-wanita yang ditinggalkan mencari kasih sayang dari mereka.
Pada suatu malam, detektif Adam yang termasuk salah satu anggota tim penyelidik pembunuhan terhadap Ny. McLeod dan Ny. Thomson, minum bir bersama beberapa temannya di Royal Park Hotel, Queensberry Street, Melbourne Utara.
Ketika itu ia melihat seorang anggota tentara Amerika “jual tampang”. Tentara itu mencampur wiski, bir, aspirin dan saus tomat lalu mereguknya sampai habis. Ia melakukannya sambil diawasi petugas-petugas bar yang merasa terheran-heran melihat campuran aneh ini.
Kemudian tentara Amerika itu berkeliling bar, bukan berjalan dengan kakinya, melainkan dengan tangannya. Adam memperhatikan wajah tentara itu. Alangkah terperanjatnya ia karena pemuda itu berwajah baby faced.
Adam segera menghubungi rekan-rekannya di kantor. Seorang polisi dikirim ke hotel itu. Polisi ini pernah melihat tentara AS yang dicurigai sebagai pembunuh Ivy McLeod di Albert Park tanggal 3 Mei 1942.
“Bukan, pasti bukan dia,” kata anggota polisi itu setelah melihat si tentara yang bisa berjalan dengan tangan itu.
Tentara itu tidak jadi ditangkap. Detektif Adam bukan orang yang berpengaruh dalam tim. Ia cuma bawahan yang tidak bisa berbuat apa-apa walaupun ia ingin orang Amerika itu ditahan untuk ditanyai. Kenyataan bahwa orang Amerika itu berjalan dengan tangan dianggap alasan kurang kuat untuk melakukan penahanan.
Polisi mencari lumpur kuning
Tanggal 19 Mei pagi, baru dua minggu setelah pembunuhan terhadap Ny. McLeod, ditemukan mayat seorang wanita di Royal Park yang letaknya agak keluar kota. Gladys Hosking yang berumur 40 tahun ditemukan dengan pakaian sobek-sobek sampai batas dada. Korban bekerja sebagai sekretaris di bagian kimia Universitas Melbourne. Ia mati akibat cekikan.
Tempat ia ditemukan jaraknya tidak sampai ½ km dari rumahnya. Tanggal 18 Mei malam itu hujan dan sama sekali bukan malam yang menyenangkan. Langit mengingatkan orang bahwa musim dingin sudah di ambang pintu. Tampaknya Gladys Hosking diserang tanggal 18 malam, walaupun mayatnya baru ditemukan pukul 7 pagi keesokan harinya.
Penemunya seorang sopir yang melihat sebuah topi tidak jauh dari jalan. Ketika didekati ternyata di dekat topi itu ada tubuh wanita. Cepat-cepat ia memanggil seorang tentara Australia yang ditemui tidak jauh dari sana untuk ikut melihat. Mereka segera menyadari wanita itu dibunuh orang.
Polisi bergegas datang ke tempat itu karena menduga ini pasti perbuatan si pembunuh yang sedang mereka buru. Mayat terbaring dengan wajah terbenam di lumpur. Lumpur kuning ini terbentuk oleh air hujan yang menggenangi tanah di tempat itu, yang lengket seperti tanah liat.
Mungkin pembunuhnya juga terciprat oleh lumpur, pikir polisi yang makin lama makin khawatir karena belum juga dapat menangkap si pembunuh yang selalu merobek-robek pakaian korbannya ini. Makin lama pembunuh itu berkeliaran artinya makin banyak korban yang akan jatuh.
Dari seorang tentara Australia yang berpatroli di pintu masuk taman, polisi mendapat keterangan bahwa sore itu ada tentara Amerika yang keluar dari sana dengan pakaian penuh lumpur. Katanya ia jatuh ke lumpur di taman itu. Tentara Amerika itu juga berkata ia pergi dengan seorang teman wanita. “Saya mengira saya kuat minum tetapi ternyata wanita itu lebih kuat lagi,” katanya kepada si tentara Australia.
Cepat-cepat polisi pergi ke markas tentara Amerika, Camp Pell, yang letaknya dekat kebun binatang Melbourne. Ketika itu tanggal 21 Mei dan polisi sudah tahu harus mencari siapa karena mereka sudah mendapat keterangan yang diperlukan dari seorang tentara Amerika juga.
Polisi langsung menuju ke tenda Edward Joseph Leonski, orang sipil yang sedang menjalani wajib militer. Mereka menemukan bekas-bekas lumpur kuning di tenda itu, juga pada pakaian Leonski walaupun pakaian itu sudah dicucinya. Sebenarnya Leonski bisa saja menyatakan ia jatuh ke lumpur dalam perjalanan kembali ke kamp tanggal 18 Mei malam. Tetapi polisi bertindak lebih jauh. Lumpur pada pakaian Leonski itu dalam pemeriksaan di laboratorium diketahui identik dengan lumpur di tempat Gladys Hosking ditemukan di Royal Park.
Selain itu tentara Australia yang menjaga di pintu Royal Park mengenali Leonski sebagai pria yang keluar dengan pakaian berlumpur tanggal 18 malam. Identifikasi dilakukan di kamp Amerika tanggal 22 Mei. Ada hal lain lagi yang mengeratkan jerat terhadap Leonski. Teman setendanya menceritakan kepada polisi bahwa Leonski membaca semua laporan yang bisa didapatinya mengenai pembunuhan terhadap Ny. McLeod, Ny. Thomson dan Gladys Hosking. la menangis setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan itu bahkan mengaku sebagai pembunuhnya. Tetapi ia cuma sekadar dianggap orang aneh saja oleh rekan setendanya. Baru setelah terjadi pembunuhan yang ketiga temannya melapor.
Kesayangan ibu
Setelah Leonski ditangkap, tanggal 22 Mei, memang tidak terjadi lagi pembunuhan yang serupa.
Sebelum kita dengarkan pengakuan Leonski, kita lihat dulu siapa dia.
Edward Joseph Leonski berumur 24 tahun. Orangnya tinggi besar, kuat, tampan dan cukup populer. Tetapi ia seperti mempunyai dua kepribadian. Kalau sedang tidak mabuk, ia pendiam, tidak pelagak dan agak suka menyendiri. Kalau sudah minum, ia merasa dirinya sebagai pusat perhatian. Diminta berbuat apapun, akan ia lakukan.
Salah satu hal yang paling disukainya ialah minum campuran wiski, bir dan saus tomat. Selain itu juga ia senang berjalan dengan tangan. Sebagian teman-temannya menganggap Leonski orang aneh dan ada seorang yang sudah curiga padanya sejak terjadi pembunuhan yang pertama.
Leonski mengalami masa kanak-kanak yang tidak bahagia. Ayahnya pemabuk dan tewas dalam suatu perkelahian antara pemabuk-pemabuk. Eddie menjadi kesayangan ibunya. Saudara Eddie yang seorang pernah masuk penjara dan yang seorang lagi dirawat di rumah sakit jiwa. Eddie sendiri pernah diadili di San Antonio, Texas, karena memerkosa tetapi dibebaskan.
Edward Leonski pernah melakukan bermacam-macam pekerjaan kasar. la tidak bermaksud menjadi tentara tapi kena wajib militer dan dikirim ke Australia, negara yang hampir belum pernah ia dengar namanya. Di Australia ia merasa rindu sekali pada keluarganya dan lebih suka menyendiri. Minum dilakukannya untuk menghibur diri.
Penahanan Leonski menimbulkan masalah yang peka dalam hubungan Australia-Amerika. Sebagai anggota tentara ia tidak dihadapkan ke pengadilan kriminal. Amerika memintanya untuk diadili di pengadilan militer. Untuk pertama kalinya di Australia seseorang yang melanggar hukum sipil diadili oleh pengadilan militer. Untuk pertama kalinya pula seorang warga negara asing diadili di Australia, di bawah hukum negara asalnya.
Pengadilan militer bagi Leonski diselenggarakan di sebuah gedung di Russel Street, Melbourne. Leonski tidak perlu berjalan dengan tangannya lagi untuk menarik perhatian orang sekarang karena minat orang terhadapnya banyak sekali.
Saya ingin mengambil suaranya
Leonski menjalani pemeriksaan medis maupun kejiwaan dulu dan ia dinyatakan waras. Kepada polisi ia telah menceritakan dengan mendetail mengenai penyerangan yang dilakukannya terhadap ketiga wanita korbannya. Ia mampu mengingat hal ini walaupun setiap peristiwa terjadi setelah ia minum banyak.
Menurut Leonski, ia bertemu dengan Ny. McLeod di jalan. Ia tertarik pada wanita itu karena wajahnya menyenangkan. Leonski, yang ketika itu baru saja minum, memuji tas yang dibawa Ny. McLeod lalu mereka bercakap-cakap. Waktu Ny. McLeod mundur ke arah pintu, Leonski merangkul lehernya.
“Saya mengubah posisi tangan saya sehingga kedua ibu jari saya ada di lehernya. Saya membuat ia tercekik dan ia jatuh. Saya menimpa tubuhnya. Kepalanya menghantam dinding ketika ia jatuh. Saya merobek pakaiannya, merobek lagi dan merobek lagi. Tetapi saya tidak bisa melepaskan ikat pinggangnya. Saya penasaran dan merobek lagi, merobek lagi. Saya harus merobek ikat pinggang itu.”
Kemudian ia mendengar langkah-langkah kaki. Ia berlari ke dalam gelap.
Menurut pengakuan Leonski, ia menangis setelah membunuh untuk pertama kali.
Enam hari kemudian, Ny. Thomson yang suaminya pergi bertugas ke Bendingo, tampak minum-minum dengan seorang tentara Amerika di Astoria Hotel, di dalam kota. Mereka minum secara ilegal sampai jauh malam. Kemudian mereka meninggalkan hotel untuk pergi ke Spring Street. Di tempat yang jaraknya cuma beberapa puluh meter dari tempat minum itu Leonski berkata: “Ia menyanyi untuk saya. Suaranya merdu. Kami membelok. Tidak ada orang di sana. Yang saya dengar hanya suaranya. Kami tiba di tangga. Tangga yang tinggi. Saya merangkul lehernya. Ia berhenti menyanyi. Saya katakan, ‘Nyanyi terus.’ Ia jatuh. Saya marah dan saya robek-robek pakaiannya. Kemudian ada orang datang. Saya bersembunyi di balik tembok. Saya takut. Hati saya berdebar-debar. Saya tidak berani melihatnya.”
Katanya malam itu ia menangis. Temannya melihat ia sedih dan membawanya ke kota untuk menghilangkan rasa sedih dan cemasnya. Temannya itu tidak tahu ia membantu pembunuh meredakan rasa dosanya. Keesokan harinya Leonski mengaku kepada temannya bahwa ia membunuh. Temannya itu hampir percaya tetapi tidak berbuat apa-apa.
Tanggal 18 Mei, Leonski sedang dalam perjalanan kembali ke kamp-nya ketika ia bertemu Gladys Hosking yang sedang berteduh dari hujan. Leonski bertanya apakah ia boleh menemani Gladys Hosking. Di persimpangan jalan di Royal Park, mereka harus berpisah tetapi Leonski tidak mau.
“Suaranya merdu. Saya ingin mengambil suaranya jadi ia saya cekik. la tidak mengeluarkan suara sedikit pun. la lemah lunglai. Saya pikir, apa yang sudah saya perbuat? Saya bawa dia ke pagar dan dengan memanjat pagar saya bawa dia masuk. Tidak jauh dari pagar, saya terjatuh. la mengeluarkan suara, semacam suara mendenguk. Saya pikir, saya harus menghentikan suaranya itu. Jadi saya angkat roknya untuk menutupi mukanya.”
Roosevelt tidak mengampuninya
Demikian keterangan Leonski di pengadilan. Tetapi ia tidak mengaku membunuh. Sidang tidak berjalan sedramatis yang dibayangkan orang. Cuma orang-orang yang diundang dan pers yang boleh hadir. Tetapi di luar pengadilan nama Leonski diucapkan semua mulut.
Pembela menyatakan Leonski bersikap waras kalau tidak minum tetapi hampir sebaliknya kalau sedang mabuk. Kewarasan Leonski diragukan.
30 hari lamanya tiga orang dokter jiwa (militer) memeriksa Leonski. Salah seorang dokter itu orang Australia. Hasil pemeriksaan tidak bisa menyelamatkan Leonski yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati tanggal 20 Agustus 1942. Keputusan terakhir mengenai akan dilaksanakan atau tidaknya hukuman mati ini terletak di tangan Presiden AS waktu itu, Franklin Delano Roosevelt. FDR memutuskan agar hukuman dilaksanakan.
Leonski menjalani hukuman ini tanggal 9 November 1942 di penjara Pentridge di Melbourne. Algojo-algojonya orang Amerika.
Laporan dalam Herald yang terbit di Melbourne hari itu antara lain sebagai berikut: “.... dari selnya di City Watchhouse ia dibawa dengan mobil tanpa berhenti-henti ke Penjara Pentridge. Ia langsung dibawa ke kamar yang letaknya di sebelah tempat gantungan. Algojo sudah menunggu di tempat gantungan. Di dekatnya ada dua dokter dan seorang pendeta. Setelah menjalani prosedur yang biasa berlaku pada eksekusi sipil, Leonski dibawa ke tiang gantungan, kepalanya ditutupi kain hitam. Tungkai dan tangannya dibelenggu. Ia menjalani ini semua dengan ketenangan seorang yang masa bodoh, sehingga orang-orang yang berhubungan dengannya saat itu merasa tercengang. Seingat mahasiswa-mahasiswa kriminologi Australia, tidak ada pembunuh lain yang begitu tidak peduli mengenai nasibnya seperti yang seorang ini.”
Menurut koran Truth, Leonski yang selalu sopan kepada penjaga-penjaga dan pengunjung-pengunjungnya di penjara, konon masih mempunyai rasa humor menjelang akan dihukum mati. Kepada seorang pejabat penjara, ia berkata, “Kami sedang merencanakan sebuah pesta. Mudah-mudahan Anda bisa hadir.”
“Pesta?” tanya pejabat itu dengan keheranan. “Iya, pesta jerat leher,” jawab Leonski.
Tubuh Leonski diangkut dengan kapal laut ke AS dan dikuburkan di sana.
Setelah Leonski menjalani hukumannya, ada berita-berita yang menyatakan jangan-jangan ia menderita leptomeningitis, seperti yang diderita seorang pembunuh lain yang bernama Arnold Sodeman. Penyakit ini dinyatakan bisa menyebabkan dorongan-dorongan aneh untuk membunuh wanita-wanita yang tidak berdosa. Tetapi Leonski sudah diperiksa oleh tim dokter. Memang cuma otopsi yang bisa membuktikan secara nyata adanya penyakit ini.
Sebelum itu Leonski sudah menjalani pelbagai tes untuk penyakit-penyakit organik dan tes Kline untuk mengetahui adanya penyakit kelamin. Semua tes terbukti negatif.
(Murder Australian Style)
Baca Juga: Cemburu Buta 110 Tahun Penjara
" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726513/pakaian-korbannya-selalu-dicabik-cabik" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1679916986000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3605723" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/satu-nyawa-dibayar-tiga_levi-guz-20221212090233.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(126) "William 'Babe' Kent dikenal suka membawa perempuan ke rumah. Suatu hari, terdengar kegaduhan dan Babe sudah tewas mengenaskan." ["section"]=> object(stdClass)#68 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/satu-nyawa-dibayar-tiga_levi-guz-20221212090233.jpg" ["title"]=> string(23) "Satu Nyawa Dibayar Tiga" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-12 09:02:59" ["content"]=> string(28654) "
Intisari Plus - William “Babe” Kent dikenal suka membawa perempuan ke rumah. Suatu hari, terdengar kegaduhan dan Babe sudah tewas mengenaskan
--------------------
William Kent sudah 73 tahun, sehingga oleh lingkungannya sering dipanggil “Babe” kalau menurut istilah Jakarta. Meski tua, Babe tetap doyan daun muda.
Herannya, Babe yang pengangguran itu tidak pernah kekurangan uang. Ia sering mentraktir kenalan-kenalannya makan atau minum di pub.
Memang, Babe memiliki rumah bertingkat 2, yang kamar-kamarnya ia sewakan ke beberapa pemondok. Ia sendiri menempati sebuah kamar di lantai dasar. Rumahnya tidak bagus, malah boleh dibilang agak kumuh. Letaknya di pinggiran Melbourne, kawasan Carlton yang kumuh pula.
Para penyewa tahu, uang sewa dari mereka setiap minggu tidak memungkinkan Babe hidup leluasa. Mereka pun tahu kalau Babe mempunyai sumber penghasilan lain. Ia bandar taruhan gelap yang beroperasi di luar gelanggang pacuan kuda. Tepatnya di jalan-jalan dekat University Hotel.
Tamunya tiga orang
Salah seorang penyewanya adalah Jim Conole. Bersama istrinya ia tinggal di kamar depan tingkat dua. Selasa sore, 8 November, Jim melihat Babe bersama wanita berambut cokelat kemerahan yang menggairahkan, minum-minum di University Hotel. Ia menduga, sebentar lagi si wanita pasti dibawa pulang.
Timbul niat iseng pada Jim. Kira-kira pukul 18.30 ia turun mengetuk kamar Babe, lalu menjengukkan kepala ke dalam. Benar, si rambut cokelat kemerahan sedang duduk di pangkuan Babe. Namun mereka tidak cuma berduaan. Dua pria yang tadi berada di pub juga tampak di situ.
Sambil melayangkan pandangannya ke wanita yang menggairahkan itu, Jim melangkah masuk pura-pura meminjam koran. Setelah itu ia meninggalkan ruangan untuk memenuhi janji minum-minum dengan teman-temannya di Hawthorn, pinggiran kota Melbourne.
Satu setengah jam kemudian, May Howard yang tinggal di sebelah kamar Babe merasa terganggu oleh bunyi berisik. la mendengar perabot rumah tangga digeser-geser. Yang mencemaskannya adalah bunyi gedebak-gedebuk dan suara erangan.
la tahu Babe mendapat tamu. Tadi, kira-kira pukul 18.00 ia melihat Babe pulang membawa seorang wanita berambut cokelat kemerahan dan dua pria. Lalu ia melihat wanita itu dengan salah seorang pria keluar ke lorong depan. Sebelumnya mereka mengunci pintu kamar Babe dan mengantungi kuncinya. Dari sana mereka pergi ke halaman belakang. Ia mendengar mereka berbicara di sana sebentar sebelum akhirnya kembali masuk ke kamar Babe.
Ada kejadian lain yang tidak biasa sore itu. Selama ini hampir setiap sore Ny. McWilliam yang tinggal di rumah seberang bertandang ke rumah Babe untuk minum-minum. Ia selalu diterima dengan baik. Namun, kali itu May Howard mendengar Ny. McWilliam bersitegang dengan tamu-tamu Babe. Katanya, suaminya tahu ia pergi ke mana dan ia memang biasa datang ke situ. Beberapa saat kemudian ia tampak kembali ke rumahnya. Rupanya ia ditolak masuk ke kamar Babe.
Menjelang pukul 21.00 May merasa kamar Babe sunyi. Walau keributan sebelumnya sempat merisaukannya, kesunyian sekarang malah membuatnya penasaran. Penyewa yang mengkhawatirkan keselamatan induk semangnya ini memberanikan diri mengetuk pintu kamar Babe. Tidak ada jawaban. Ia memutar tombol pintu, ternyata terkunci. Aneh. Tidak biasanya Babe mengunci pintu kalau sedang di rumah. Mungkin ia pergi dengan tamu-tamunya. Atau jangan-jangan…
May tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum yakin akan keadaan Babe. Karena penasaran ia mendekati pintu kamar Babe dan menempelkan telinganya ke lubang kunci. Samar-samar kedengaran suara orang berbicara.
Sebelumnya May sudah menyatakan rasa waswasnya kepada penyewa kamar lain, yakni William Symons, veteran perang yang tungkainya tinggal sebelah. Jadi sekarang ia mendatangi Symons yang sudah tua itu. Ia menyatakan ingin mengintip ke kamar Babe lewat jendela.
May Howard segera meIaksanakan niatnya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang yang ada di dalam, ia mengambil jalan memutar. la keluar dulu dari halaman belakang, lalu memutari blok sampai tiba dekat rumah Ny. McWilliam di seberang jalan. Ketika sedang berada di sana, ia melihat salah seorang dari dua pria tamu Babe ada di lorong menuju pintu depan yang terbuka.
Tidak lama kemudian muncul pria kedua dan perempuan yang berambut cokelat kemerahan. Pria yang keluar bersama si wanita sempat memberi salam “selamat malam” kepada Babe sebelum menutup pintu kamar.
Ketiga orang itu sempat bercakap-cakap sebentar di trotoar, sebelum akhirnya menghilang di sudut jalan. May kembali mendatangi Symons untuk melaporkan kepergian ketiga orang itu. Symons bertanya apakah Babe kedengaran menjawab salam selamat malam mereka. May tidak mendengarnya.
Lantas Symons dan May menghampiri pintu induk semang mereka. Symons mengetuk. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lebih keras lagi, kali ini dengan sebelah tongkat penyangganya. Tetap tidak ada jawaban. Akhirnya mereka menghubungi polisi.
Tewas disiksa
Yang pertama datang adalah Detektif Polisi George Crouch ditemani dua polisi berseragam. Mereka mendobrak pintu kamar Babe. Ruangan itu acak-acakan. Tubuh Babe terbujur kaku di lantai. Mengetahui korban sudah tidak bernapas lagi, mereka menelepon markas, memanggil para detektif yang bertugas mengusut pembunuhan.
Detektif Senior Cyril Currer dan Detektif Ron Kellett segera datang, disusul sejumlah petugas lain. Mereka meneliti ruangan yang berantakan, padahal beberapa jam sebelumnya William “Babe” Kent masih bercanda dan memangku si rambut cokelat kemerahan di tempat itu.
Dalam posisi tergolek miring, sebagian tubuh Babe tertutup seprai yang penuh cipratan darah. Wajahnya babak belur sampai hampir tidak bisa dikenali lagi. Karpet di ruangan itu tercabik-cabik dan pada beberapa tempat dikelupas dari lantai sehingga papan lantai terlihat. Kasurnya bekas ditusuk dan dirobek dengan pisau yang menyebabkan isinya berhamburan keluar. Lemari pakaian terguling miring, isinya berserakan. Rupanya si pelaku berusaha mencari sesuatu.
Dokter kepolisian dr. Keith Bowden menyibak seprai. Tampak kemeja Babe robek. Tubuhnya mandi darah. Ada sejumlah cedera di tubuhnya. Menurut Bowden, korban tampaknya disiksa sebelum tewas.
Pergelangan tangan Babe diikat ke belakang dengan robekan kain seprai. Kedua ibu jarinya juga diikat dengan tali dan sakunya ditarik ke luar. Polisi tahu, Babe adalah bandar gelap pacuan kuda, tetapi pria berumur itu tidak pernah tertangkap basah.
Tetangga-tetangganya menceritakan kehadiran tiga orang asing di kamar Babe sebelum ia ditemukan tewas. Polisi menarik kesimpulan, perempuan berambut cokelat kemerahan itu berperan sebagai umpan untuk merayu Babe, lalu mengajaknya minum-minum bersama dua temannya ke kamar korban. Tentu saja dengan iming-iming keintiman seksual.
Diperkirakan, para pelaku tahu Babe seorang bandar gelap dan menduga korban memiliki banyak uang yang disimpan di kamarnya. Ketika gagal menemukannya, mereka menyiksa orang tua itu agar mau menunjukkan uangnya, sebelum akhirnya membunuhnya untuk menghilangkan jejak.
Pakaian bernoda darah
Jim Conole, tetangga yang sore itu pura-pura meminjam koran kepada Babe, baru pulang ke rumah pukul 23.00. Kepada polisi ia menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya saat masuk ke kamar korban. Katanya, salah seorang pria memanggil perempuan yang dipangku Babe, “Jean”. Penampilan wanita itu memang “yahud”, kecuali hidungnya. Ada semacam borok di hidungnya. Rupanya gatal, sebab perempuan itu terus menggaruknya. la melihat keempat orang itu minum-minum sebotol anggur di kamar Babe.
Dari Jim Conole, May Howard, dan beberapa tetangga, polisi mendapat gambaran perihal ketiga tamu korban. Sebagai langkah awal penyelidikan, sebuah tim polisi dikirim ke University Hotel untuk menanyai orang-orang yang melihat Babe dengan ketiga orang itu. Pelayan bar masih ingat betul pada perempuan berambut cokelat kemerahan itu. Katanya, hidung wanita itu luka dan sekeliling lukanya memerah. Wanita itu merayu Babe. Ia juga mendengar, perempuan itu berkata kepada Babe bahwa ia dan kedua temannya datang dari Sydney.
Lekas-lekas bandara dan stasiun-stasiun kereta api diinstruksikan untuk melapor ke polisi kalau ketiga tersangka itu muncul. Namun, mereka tidak ditemukan di mana-mana. Saat itu di Melbourne sedang berlangsung pekan pacuan kuda yang memperebutkan Piala Melbourne. Mungkin hal itu yang membawa ketiga buronan itu ke kota ini. Para detektif yakin mereka masih di sekitar Melbourne sambil berharap menang bertaruh dengan uang hasil jarahan mereka.
Akhirnya polisi memeriksa beberapa hotel. Resepsionis yang bertugas malam hari di Great Southern Hotel, dekat stasiun kereta api Spencer Street, ingat bahwa trio seperti yang digambarkan polisi, tiba ke hotel ini kemarin. Yang mengaku bernama Andrews menginap di kamar untuk satu orang. Sedangkan Lee dan nyonya mengambil kamar untuk dua orang. Namun saat ini mereka sedang ke luar hotel.
Dengan membawa kunci, resepsionis itu menemani Detektif Senior William Mooney dan tiga detektif lain ke kamar Andrews dan kamar pasutri Lee. Mereka menemukan mantel dan rok bernoda darah di lemari kamar yang dihuni pasutri Lee. Juga sehelai kemeja yang pergelangan lengannya bernoda darah. Di kamar Andrews, sehelai kemeja yang terciprat darah teronggok di kursi.
Mereka kembali ke lobi hotel, sementara Mooney menelepon markas besar, meminta Currer dan Kellett datang ke hotel menunggu para buronan. Saat itu mereka sudah bekerja cukup lama sehingga lelah dan mengantuk. Beberapa di antara mereka sempat tertidur di lobi.
Menjelang pukul 04.20, suara tertawa mengejutkan mereka. Dua pria dan seorang wanita berambut cokelat kemerahan masuk ke hotel dalam keadaan mabuk. Mereka menggoda penjaga pintu. Seperti gambaran daripara saksi, perempuan itu punya luka di hidung dengan warna merah di sekelilingnya.
Keempat detektif, diikuti oleh Currer dan Kellett, segera merangsek mengelilingi tiga orang itu. Dengan hormat ketiganya diminta ikut ke markas polisi untuk membantu polisi dalam pengusutan kejahatan. Namun sebelumnya tas milik si rambut cokelat di geledah. Isinya antara lain dua tiket pesawat atas nama Clayton dan Ny. Clayton.
Meski sempat menolak, akhirnya mereka menurut juga tanpa perlawanan. Mereka diangkut dengan kendaran yang berbeda-beda. Saat itu sudah tujuh jam lewat sejak korban ditemukan tewas.
Di markas polisi, mereka ditempatkan di ruang yang berbeda pula. Mooney dan seorang temannya menanyai “Mr. Lee” yang mengaku bernama Robert Clayton. Katanya, si rambut cokelat adalah pacarnya, Jean Lee. Polisi curiga, bisa jadi perempuan itu pelacur dan Clayton yang bertubuh kecil dan berpenampilan licik itu germonya.
Katanya, mereka bertemu Norman Andrews pada awal minggu. Sejak itu ketiganya ke mana-mana selalu bersama. Suatu hari Andrews menggadaikan setelan jas karena mereka bokek. Kemudian mereka terlibat percakapan dengan seorang pria lanjut usia yang dipanggil “Babe” di tempat minum University Hotel. Menurut Clayton, Jean dan Andrews menemani Babe pulang.
“Saya sih tidak pernah ke sana,” kata Clayton. Katanya, ia menunggu di luar hotel. ‘‘Tidak mungkin,” sanggah Mooney. Ada orang-orang yang melihatnya berjalan bersama dua temannya dan Babe ke rumah korban di Dorrit Street. Tapi Clayton tetap menyangkal.
Uangnya cukup banyak
Lalu percakapan difokuskan pada kondisi keuangan trio itu. Andrews cuma menerima Rp 60.000,- saat menggadaikan setelan jasnya. Sehabis minum-minum uangnya tersisa Rp 36.000,-. Clayton mempunyai uang sekitar Rp 30 juta. Kata Clayton, uang itu tabungannya hasil bekerja serabutan di Sydney.
Keterangan mereka tidak cocok dengan kenyataan. Clayton terlihat berada di kamar Babe dan meninggalkan rumah korban kira-kira pukul 21.00. Pria lanjut usia itu didapati tewas dengan tanda-tanda bekas penganiayaan di kamarnya. Clayton yang mengaku sama sekali tidak punya uang tiba-tiba memiliki sejumlah uang. Interogasi pun diteruskan.
Clayton tetap membantah terlibat dalam kasus itu. Kemudian, ia mengakui bantahannya tidak meyakinkan. “Aku tidak ikutan dengan yang mereka lakukan,” teriaknya marah. la terus menyatakan, Jean dan Andrewslah yang ingin agar ia ikut menghabisi Babe, tetapi ia menolak. Katanya, Jean pergi ke halaman belakang untuk memberi tahu dia bahwa Babe punya banyak uang, tetapi karena celana Babe sulit diperosotkan, tak mudah bagi Jean untuk mendapat uang itu dengan ‘jalan-baik-baik’. Berarti korban harus dibunuh.
Menurut Clayton, setelah kembali sebentar ke kamar Babe, ia pulang ke Great Southern Hotel, meninggalkan Jean dan Andrews untuk melaksanakan niat mereka berdua. Ia baru bertemu lagi dengan mereka beberapa saat kemudian. Ketika ditanyakan dari mana mereka mendapat uang untuk membeli tiket pesawat ke Adelaide, Clayton menjawab bahwa Andrews dan Jean mengambil uang Babe.
Mooney mengingatkan, ada saksi mata yang melihat Clayton meninggalkan rumah Babe bersama dua temannya. Sementara itu lecet-lecet pada kepalannya menunjukkan ia telah mempergunakan tinjunya. Ketika dikatakan, ia dituduh melakukan pembunuhan atas Babe, Clayton mengulangi bantahannya dalam sebuah pernyataan tertulis.
Selanjutnya Mooney pindah ke tempat Jean Lee yang sebelumnya sudah diinterogasi oleh Currer dan Kellett. Sebelum ia masuk, Currer memberi tahu Jean orangnya sangat tenang dan tidak mau mengaku.
Mooney memberi tahu Jean pengakuan Clayton dan tentang percakapan dengannya di halaman belakang rumah Babe. Jean menjawab, ia tidak akan bicara apa-apa. Lalu Mooney berkata, Clayton sudah membuat pernyataan. Ketika pernyataan dibacakan Jean berkata, itu cuma karangan para detektif. Ia minta dipertemukan dengan Clayton. Ketika dibawa masuk, Clayton menangis sementara Jean memandangnya dengan geram tetapi tanpa bicara sekecap pun.
“Huh, mereka bilang perempuan lebih lemah!” katanya saat Clayton dibawa pergi. “Aku masih mencintai Bobby, makhluk tidak berpendirian itu. Kalau itu maunya, ya sudahlah.”
Akhirnya Jean membenarkan keterangan Clayton, kecuali bahwa Clayton tidak meninggalkan rumah Babe lebih dulu. Andrews juga ikut meninggalkan Jean sendirian. Menurut Jean, saat ia berduaan dengan Babe, “Saya pukul kepalanya dengan botol dan sepotong kayu,” katanya. Para detektif memang mencatat adanya patahan kaki meja di sebelah mayat. “Jari saya tergores pecahan botol,” kata Jean sambil menunjukkan tangannya. “Ia pun jatuh dari kursi ke lantai.”
Ketika ditanya apakah ia mengikat tangan korban, Jean menjawab, “Ya, saya mengikat jempolnya dengan tali. Saya tahu ia sudah tewas waktu kami meninggalkannya.”
“Kami?” tanya Currer.
“Cuma saya sendiri,” Jean tergagap meralat!
Meski mau mengaku, ia menolak membuat pernyataan tertulis. Ia membantah semua ucapannya dan mogok bicara. Jean Lee pun dituduh membunuh William Kent.
Sementara itu Andrews menyangkal pergi ke rumah Babe, “Mungkin mereka berdua yang melakukan. Saya tidak ikut.” Ketika diberi tahu perihal pengakuan Clayton, ia tidak percaya dan ingin melihat pernyataan itu. Ketika sudah melihatnya, ia marah. “Iya deh. Saya ada di sana,” katanya. “Tapi saya tidak membunuh. Saya bahkan tidak memukulnya.”
Menurut pengakuan Andrews, Clayton dan Jean menganiaya dan merampok korban, sedangkan dia cuma berdiri mengawasi. Currer memandang buku-buku jari Andrews. Buku-buku jari itu tidak menunjukkan kalau pemiliknya cuma berdiri mengawasi. Ketika diberi tahu ia dituduh membunuh, Andrews protes, “Saya tidak menyentuhnya.”
Salah pergaulan
Selama ketiga tersangka menunggu diadili, polisi mengusut latar belakang mereka. Di bangku sekolah, Jean Lee termasuk anak yang cerdas, agak tomboi, dan cenderung pemberontak. Sejak remaja, kecantikannya sudah menarik perhatian lawan jenis. Ia terus berpindah-pindah kerja lantaran para majikannya tidak puas dengan hasil kerjanya. Ia pernah bekerja di pabrik topi, menjadi pramusaji, karyawan administrasi di bengkel mobil, dan buruh pabrik. Tampaknya ia lebih menikmati pergaulan dengan lawan jenis daripada bekerja.
Umur 18 tahun ia menikah dengan pacarnya yang pengangguran dan tidak lama kemudian melahirkan anak perempuan. Kemudian Jean meminta cerai. Anaknya dirawat sang ibu, sedangkan Jean bekerja di Brisbane sebagai pramusaji. Ia bergaul dengan para tentara AS yang waktu itu banyak ditempatkan di sana. Lalu ia berpacaran dengan seorang penjahat yang mendominasi hidupnya selama empat tahun. Orang inilah yang membawa Jean terjun ke lembah hitam.
Akhirnya Jean bisa melepaskan diri dan pergi ke Sydney menjadi pelayan bar. Suatu hari ia bertemu Robert Clayton, penjahat kelas teri yang biasa membongkar rumah dan sering keluar-masuk penjara. Walau penampilan Clayton rapuh dan mencerminkan kelicikan, Jean amat mencintainya. Segera saja Jean dimanfaatkan oleh pasangannya untuk menjalankan tindak pemerasan.
Biasanya Jean memilih pria yang tampaknya terhormat, lalu memancingnya ke mobil curiannya. Di sana, ia merayu sang calon korban dengan daya tarik kewanitaannya. Tiba-tiba saja Clayton muncul, berpura-pura sebagai suami yang kalap. Ia mengancam akan minta cerai dan menjadikan sang korban sebagai pihak penyebab perceraiannya. Si pria yang takut istrinya tahu dan namanya tercemar biasanya lantas minta “damai” dan menyerahkan semua uang yang dibawanya. Kalau ia menolak, Clayton akan menghajar dan merampoknya.
Tidak jarang Jean ikut dipukuli. Luka di hidungnya juga akibat pukulan tangan Clayton yang bercincin. Waktu itu Clayton marah karena Jean memilih korban yang terlalu kuat bagi Clayton.
Selama ini, Clayton menghabiskan uang penghasilan mereka untuk berjudi, padahal mana ada penjudi yang beruntung. Kini tega-teganya dia mengkhianati Jean.
Sementara Norman Andrews jenis orang yang amat berbeda dari Clayton. Meski tak seberapa tinggi, ia penjahat tangguh yang tidak takut apa pun. Sempat menjadi tentara dan terlibat dalam berbagai pertempuran, akhirnya Andrews dikeluarkan dari dinas militer karena sering libur tanpa izin. Clayton pertama kali bertemu dengannya di penjara. Ketika bertemu lagi di gelanggang pacuan kuda Melbourne, mereka menggalang kembali persahabatan yang sempat terputus.
Mereka kalah taruhan habis-habisan dan berniat bekerja sama. Rencananya ia akan meminjamkan tenaga pada tim Jean dan Clayton. Mereka dua kali berhasil merampok sebelum memilih Babe sebagai korban. Korban sebelumnya adalah seorang dokter muda dan seorang koki restoran.
Menyangkal keterangan pada polisi
Siksaan yang diderita Babe diungkapkan oleh dr. Bowden dalam sidang pra-peradilan. Katanya, dua pisau lipat bernoda darah di dalam kamar Babe diperkirakan adalah alat untuk menyiksa wajah Babe. Dinding perut dan paha kiri Babe memar hebat. Selain itu, ada luka-luka lain di tubuh Babe. Babe pun dicekik dengan tangan. Ketika setiap luka disebutkan, ketiga tertuduh saling senggol dan tertawa.
Tanggal 20 Maret tahun berikutnya mereka dihadapkan ke pengadilan kriminal Melbourne. Clayton dan Jean duduk berpegangan tangan. Clayton membantah keterangannya di depan polisi. Katanya mereka bertiga meninggalkan rumah Babe pukul 19.00. Kata Jean, Kent baik-baik saja saat ditinggalkan. Katanya, ia sedang ‘histeris’ ketika membuat pengakuan di depan polisi. Sementara itu Andrews terus membantah keterlibatannya dalam pembunuhan maupun perampokan.
Dalam kesimpulannya Hakim Gaffan Duffy berkata pada para juri, “Kalau Anda menemukan tiga orang bersama-sama di sebuah ruangan di mana kemudian terjadi penganiayaan besar dan menemukan bekas-bekas kekerasan pada tangan mereka dan darah pada pakaian mereka, maka hal itu tentu bukan kebetulan, tetapi bukti kuat bahwa mereka mengambil bagian dalam penganiayaan.”
Tanggal 25 Maret, juri memerlukan waktu kurang dari tiga jam untuk memutuskan bahwa ketiga terdakwa bersalah membunuh William Kent.
“Saya tidak membunuh!... Saya tidak membunuh,” teriak Jean Lee sambil tersedu-sedu dalam pelukan pacarnya.
“Dasar orang-orang goblok!” teriak Clayton sambil menuding para juri. Andrews ditanyai apakah ia ingin menyatakan sesuatu. “Tidak. Pada kesempatan ini tidak,” jawabnya.
Ketika mereka bertiga dijatuhi hukuman mati, Clayton meludah ke arah juri dan berteriak, “Kenapa kalian tidak menggantung si Currer pembohong itu dan penipu lainnya?”
Mereka naik banding dengan dalih pengakuan dibuat di bawah tekanan saat mereka mabuk dan setengah histeris.
Tanggal 23 Juni, hakim-hakim pengadilan banding dengan suara dua lawan satu menyatakan, polisi memperoleh pengakuan dengan cara tidak benar, yaitu dengan menggunakan pengakuan tertuduh yang satu untuk memperoleh pengakuan dari tertuduh yang lain. Penghukuman dikesampingkan dan diperintahkan agar mereka diadili kembali.
Jean Lee amat senang. “Apa kubilang!” serunya sambil memeluk dan menciumi Clayton dengan penuh gairah. Kegembiraannya terlalu dini. Keputusan pengadilan banding ditolak oleh mahkamah agung. Hukuman mati dikukuhkan.
Jean Lee yang baru berumur 31 tahun jadi sering mengamuk di selnya. la kerap menyerang para sipir wanita dan sering meminta minuman keras.
Tercatat dalam sejarah
Tanggal 4 Januari tahun berikutnya, Andrews menulis surat ke inspektur jenderal lembaga pemasyarakatan, menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi di kamar Babe.
Menurut versinya, ia sedang menuangkan minuman ketika Jean berkata, “Cepat, Bobby!” Ia menoleh dan melihat Babe sedang memegangi lengan Jean. Clayton lantas meninju wajah Babe.
Andrews bertanya, “Ada apa sih?” Clayton menjawab, Jean mencoba mengambil uang Babe tetapi ketahuan. Mereka memutuskan mengikat korban ke kursi supaya mereka bisa kabur dengan aman. Kata Andrews, pada saat ia merobek seprai untuk pengikat, pintu diketuk. Ia membuka pintu sedikit. Ternyata perempuan teman Babe yang tinggal di rumah seberang ingin minum-minum. Ia melarang wanita itu masuk, sebab katanya sedang ada pesta pribadi. Lalu ia mengantar wanita itu ke jalan. Ketika masuk lagi ke kamar, Babe sudah terbujur di lantai. Jean berlutut di sebelahnya sambil menangis.
“Ada apa?” tanya Andrews. Menurut Clayton, “Waktu kamu berbicara dengan wanita itu, dia (Babe) berusaha membuat kegaduhan untuk menarik perhatian. Aku harus menghentikannya. Aku mencekal lehernya dan rupanya terlalu keras.”
Menurut surat Andrews, Babe ternyata sudah tewas. Clayton berulang-ulang berkata, “Aku cuma ingin menghentikan nyanyiannya. Aku tidak bermaksud mencekiknya.”
Surat itu, yang rupanya merupakan usaha Andrews untuk membersihkan diri, tak mampu meyakinkan pihak berwajib. Maksudnya tidak tercapai karena cedera pada Babe menunjukkan bahwa orang lanjut usia itu mengalami penyiksaan yang cukup lama.
Akhirnya, walaupun diprotes oleh orang-orang yang anti-hukuman mati, eksekusi dijalankan juga. Nyawa Babe yang terlebih dahulu melayang akhirnya harus ditebus tiga nyawa para pembunuhnya.
Jean Lee menjadi perempuan pertama sejak 56 tahun terakhir yang digantung di Negara Bagian Victoria. Sebelumnya ia berkata kepada seorang sipir perempuan, “Saya tidak mencekiknya. Saya tidak memiliki kekuatan untuk mencekik siapa pun juga. Bobby memang bodoh, tetapi siapa suruh si tua itu mau berteriak. Kami tidak bermaksud mencekiknya.”
Senin 19 Februari 1951, Jean Lee yang sudah diberi obat penenang diantar ke tiang gantungan. Ia keburu pingsan sebelum sheriff membacakan alasan ia dihukum gantung. Jean Lee tercatat dalam sejarah Australia sebagai wanita terakhir yang menjalani hukuman gantung sebelum hukuman itu ditiadakan.
Dua jam kemudian, Robert Clayton dan Norman Andrews juga diberi obat penenang, tetapi tidak sebanyak untuk Jean. Mereka bisa berjalan sendiri ke tiang gantungan masing-masing.
Selama dalam sel mereka, Clayton memanggil Andrews “Charlie”. Saat mereka berdiri berdampingan di atas pintu yang bisa menjeblak ke bawah panggung, Clayton berkata, “Goodbye, Charlie.”
Andrews menjawab, “Goodbye, Bobby.” (William Kendall)
Baca Juga: Surat Balasan Salah Alamat
" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605723/satu-nyawa-dibayar-tiga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835779000) } } }