array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3726466"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/petualangan-sang-belalangjpg-20230406072636.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(131) "Lim Chuen, yang dijuluki sang belalang, kerap dituduh melakukan pembunuhan keji dan penyelundupan. Beberapa kali ia mampu berkelit."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/petualangan-sang-belalangjpg-20230406072636.jpg"
      ["title"]=>
      string(25) "Petualangan Sang Belalang"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-04-06 19:26:56"
      ["content"]=>
      string(25553) "

Intisari Plus - Lim Chuen, yang dijuluki sang belalang, kerap dituduh melakukan pembunuhan keji dan penyelundupan. Beberapa kali ia mampu berkelit, namun untuk yang terakhir, ia terpaksa menyudahinya sendiri.

---------

Saya terbang dari Bangkok ke Singapura untuk urusan bisnis, sebagai pengacara sebuah kiriman partai besar susu kalengan diterima oleh klien saya dalam keadaan buruk, sehingga tak mungkin bisa dijual. Ini berarti kerugian sebesar beberapa ribu ponsterling bagi pembelinya. 

Kongsi Amerika yang menjual barang itu menyatakan sangat terkejut dan heran mengenai peristiwa ini. Susu itu dalam keadaan baik dan baru saja dikalengkan ketika dikirimkan dari Singapura. Bagaimana mungkin barang itu sudah rusak dan tak bisa dipergunakan setibanya di Bangkok empat hari kemudian? Bagaimana juga ketika kami mencoba membuka sejumlah contoh, empat di antara lima kaleng meledak dan mengeluarkan bau busuk serta cairan kuning kotor.

Klien saya ini seorang Tionghoa. Ia tidak menginginkan keterlambatan yang cukup lama jika ia mengajukan tuntutan di Bangkok. Maka ia mencoba menyelesaikan persoalannya di kantor penjualnya di Singapura. Dia beranggapan bahwa suatu kunjungan mendadak tanpa pemberitahuan dulu oleh pengacara Inggris kenamaan Gerald Sparrow akan menghasilkan penyelesaian yang lebih cepat dan memuaskan. Ia memang benar. Saya membawa setengah lusin kaleng susu dan meminta agar dibuka di depan direktur perusahaan ternama yang menjualnya. Saya anggap tindakan ini memang bersifat untung-untungan. Apa yang akan terjadi kalau ternyata bahwa ada bagian yang baik dalam kiriman itu dan contoh yang saya bawa itu berasal dari bagian yang baik itu? Saya bisa membayangkan senyum kemenangan pada lawan saya. Tetapi ternyata nasib saya cukup mujur, setiap kaleng yang dibuka meledak dengan menyemburkan cairan susu rusak yang berbau busuk.

Mereka bertanya persoalan ini menyangkut uang berapa banyak. Saya menunjukkan nota pengiriman. Jumlahnya 4.890 ponsterling. Di samping itu klien saya harus membayar bea masuk sebesar 680 pon. Di samping itu pula ia kehilangan banyak langganan karena peristiwa itu.

“Berapa yang Anda tuntut?” 

“7.000 pon.” 

“Kami hanya mau bayar 5.000.” 

“Saya akan menerima 6.000, tidak kurang lagi.”

Direktur perusahaan itu, seorang Amerika yang tinggi besar berambut pirang, bercambang, sekitar umur 50-an, membuka lacinya. Ia mengambil sebuah buku cek lalu menuliskan jumlah yang diminta. 

“Terima kasih. Dan ini surat pernyataannya.”

“Baiklah. Bagaimana kalau makan siang dengan saya? Di klub saya? Anda bisa menceritakan bagaimana keadaannya di Bangkok.”

Klien saya memang cukup cerdik dalam cara menuntut kembali uang kerugiannya. Setelah membayar honor saya, masih ada 6.000 pon lebih. Ia merasa sangat puas dan ketika hari Natal tiba sebulan berikutnya, ia mengirimkan bingkisan berupa dua ekor ayam kalkun, enam botol konyak, sekotak cerutu manila dan sepuluh meter sutra Thai untuk baju nyonya.

Pada malam pertama saya di Singapura saya membalik-balikkan beberapa helai kertas catatan di kamar tidur saya di Raffles Hotel. Ternyata klien saya berpesan: “Saya menganjurkan agar Anda menemui tuan Lim Chuen, seorang tokoh bisnis yang berpengaruh. Alamatnya di Richmond Road no. 221.” 

Saya tak tahu apa maksud catatan ini tetapi karena saya tak tahu harus mengerjakan apa dan tidak tertarik dengan hiburan malam di kota itu, saya mencari nama Lim Chuen di buku telepon. Nah, ini dia. Lim Chuen, Eksportir, Prince of Wales Mansions, tingkat satu dan rumahnya, the Retreat, Richmond Road 221, nomor teleponnya 5557. Saya putar nomor itu. 

Seorang wanita menjawabnya: “Tuan Lim Chuen sedang keluar. Dia baru pulang pukul delapan. Nama Anda siapa?” 

Saya beritahukan nama saya. 

“Di mana alamat Anda?” 

“Raffles Hotel.” 

“Tuan Lim Chuen akan menelepon pukul delapan. OK?” 

“Baiklah. Terima kasih.” 

“Terima kasih kembali.”

Saya ingat bahwa Lim Chuen ini terkenal sebagai cukong yang paling kaya dan paling berpengaruh di Asia Tenggara masa itu. Apa alasan klien saya menganjurkan untuk menemui orang ini, saya tak tahu. Tetapi saya pikir mengunjungi Lim di rumahnya pasti cukup menarik dan waktu luang pasti dapat dilewatkan dengan tidak sia-sia.

Tepat jam delapan telepon berdering. Saya sedang duduk di restoran. Pelayan membawa telepon sampai ke meja saya. 

“Apa di situ ada Tuan Sparrow, pengacara Inggris dari Bangkok?” 

“Ya. Ini Tuan Lim Chuen?” 

“Betul. Saya ingin bertemu Anda...” 

“Baik. Besok..?” 

“Sekarang lebih baik, kalau bisa. Saya akan mengirimkan mobil saya. Sepuluh menit dia datang.” 

“Apa bisa dijadikan setengah jam lagi? Saya sedang makan malam.”

“Oh, tentu saja. Biarlah sopir saya menunggu.” 

Saya tak tahu mengapa saya merasakan ketegangan kecil mengingat kesempatan akan bertemu dengan Lim Chuen. Baik wanita maupun Lim Chuen itu sendiri nampaknya bukan orang sembarangan, sekalipun bahasa Inggrisnya tak terlalu istimewa. Mereka tegas dan sigap, sehingga saya kira Lim Chuen orangnya tidak biasa menunda-nunda persoalan. Tetapi apakah ia orang yang seperti digambarkan oleh koran-koran sensasi, belum dapat ditebak.

Saya menyelesaikan makan malam, ketika pelayan datang lagi. 

“Mobilnya sudah menunggu, Tuan.”

Saya menghabiskan kopi saya lalu berjalan keluar melewati gerbang berputar hotel dan menuruni undakan-undakan yang dipagari oleh pohon kamboja. Bunganya berbau harum sarat pada malam hari. Saya sendiri merasa puas dan senang hati. Pekerjaan saya pada hari itu cukup berhasil dan sekarang saya hanya ingin mencari sekadar pelepas lelah.

Sopirnya orang Tionghoa. Seperti majikannya, sopir itu sopan dan cekatan. Sebelum tangan saya mencapai pegangan pintu mobil, ia sudah mendahului membukakannya. Ia menjalankan kendaraannya dengan cepat tetapi hati-hati. Kami belok dari jalan raya ke sebuah jalan masuk. Beberapa ratus meter kemudian terlihat sebuah rumah besar yang terang benderang. Di depan pintu masuk berdiri seorang laki-laki Tionghoa yang tegap, mungkin seorang penjaga. la membawa dua ekor anjing dikendalikan dengan tali kulit. Saya rasa orang yang tidak diundang pasti tidak mudah untuk memasuki rumah no. 221.

Wanita muda itu menuju ke pintu. Saya segera mengenali suaranya. Wanita itu cukup cantik. Dia mengenakan pakaian malam gaya Eropa berwarna hitam dengan sulaman manik-manik. Dia berpotongan langsing dan cukup tinggi bagi orang Tionghoa. Bibirnya penuh dan ia tersenyum, tetapi sikapnya tenang, ramah tanpa kegenitan sedikit pun.

“Selamat datang. Paman saya sedang menunggu.” 

Paman? Saya tidak yakin. Tentunya wanita ini ‘simpanannya’. Ia bersikap begitu pasti sebagai seorang gadis yang diingini oleh seorang berkuasa. Saya mengikuti dia menuju ke kamar kerja.

Lim Chuen bangkit untuk menyambut saya, wajahnya yang tampan berseri oleh senyumnya.

“Saya sangat senang bertemu dengan Anda. Kami telah mendengar banyak tentang Anda dari teman-teman.”

la bisa memerankan seorang duta besar yang menyamankan perasaan tamunya. Saya menyadari bahwa apa juga yang dikerjakan sekarang, Lim Chuen naik ke puncak kejayaannya oleh kekuatan kepribadiannya dan daya pesona yang besar, sesuatu yang harus saya akui sekarang.

Lim Chuen bercakap tentang teman-teman yang kami kenal bersama dari Singapura, Bangkok, Hong Kong. Saya mencatat bahwa ia biasa mondar-mandir dengan mudah di antara kota-kota besar di Asia. Saya mendapat kesan bahwa ia menganggap Kota Singa, Kediaman Bidadari atau Bangkok dan Pulau Berbunga, yakni Hong Kong, sebagai bagian dari suatu rencana besar.

Setelah percakapan ringan itu berjalan selama satu jam, seorang pelayan membawa sampanye dan roti berlapis ikan salem asap, yang keduanya sukar diperoleh dan mahal di Singapura. Percakapan pun makin getol. Wanita muda itu menemani kami dan ternyata ia menanggalkan istilah “paman” yang berpura-pura itu. Ternyata itu hanya samaran sampai ia melihat siapa saya. Ketika mereka tahu bahwa saya juga punya sifat manusiawi, mereka menanggalkan samaran itu. 

Lim Chuen membelikan saya sebatang cerutu Havana yang halus dan wanita muda itu mengisap rokok Prancis. “Hadiah dari Saigon,” katanya.

Saya membuat gerak seakan-akan hendak bangkit dan akan berpamitan, tetapi tuan rumah mencegah dengan meletakkan tangannya di atas lutut saya. “Sebentar, sebentar lagi. Saya punya usul untuk Anda...” 

“Ya, bagaimana...”

“Polisi sedang menyelidiki suatu kiriman berupa separtai suku cadang kendaraan bermotor yang tiba di negeri ini seminggu yang lalu. Barang-barang itu merupakan tanggungan perusahaan kami untuk dikirimkan lagi ke Surabaya. Agaknya ada sejumlah obat bius disembunyikan dengan cerdik di antara suku cadang. Morfin. Tuan Sparrow, saya tak tahu apa-apa tentang urusan soal ini. Saya ingin Anda membela kepentingan saya. Tinggallah beberapa hari lagi sampai urusan menjadi beres. Usahakanlah agar saya tidak terlibat. Ini untuk menutup biaya-biaya Anda.”

Lim Chuen mengeluarkan segebung uang kertas 50-an dolar dari saku celananya.

“Tolong Anda menemui komisaris polisi sebagai penasihat hukum saya dan katakan kepadanya bahwa saya tak tahu apa-apa mengenai hal ini.”

Saya menghadapi sebuah dilema. Apakah saya menerima menjadi penasihat hukumnya? Surat kabar setempat sudah mencapnya sebagai penyelundup kelas kakap, bahkan menyinggung-nyinggung keterlibatannya dengan kasus pembunuhan. Tetapi haruskah dia diadili oleh pers? Bukankah dia sama seperti yang lainnya juga, berhak atas perlindungan dari seorang penasihat hukum? Ahli hukum terkenal Erskine mengatakan bahwa “dengan alasan apa pun seorang pengacara tak boleh menempatkan pendapatnya sendiri, yang mungkin tidak benar, tentang kesalahan kliennya untuk kerugian kliennya ini.” Jadi saya terima saja pekerjaan itu.

Saya menunda keberangkatan saya sampai seminggu. Saya menemui wakil komisaris polisi. Ia mengatakan, “Kami merasa pasti bahwa bahan narkotika itu memang miliknya, tetapi kami tak mempunyai bukti dan nampaknya kami juga takkan memperolehnya. Para informan tidak mau memberikan keterangan apa-apa.”

Saya melaporkan kepada Lim Chuen inti pembicaraan tadi. Agaknya ia bernapas lebih lega. la melunasi sisa honor saya. Kami mengucapkan selamat berpisah. Ia bahkan mengantarkan saya ke lapangan terbang dan pacarnya juga ikut. Wanita itu melambaikan saputangan kecil dari bahan renda ketika ia berdiri di tepi landasan.

Saya mengira saya tak akan berjumpa lagi dengan Lim Chuen. Tetapi sekitar sebulan kemudian ia muncul secara tidak terduga-duga di kantor saya di Suriwongse Road di Bangkok. Sikapnya masih tetap sopan dan pasti. Tetapi saya melihat segera bahwa ia rupanya sedang menghadapi suatu persoalan yang memusingkan, suatu sikap yang tidak pernah terlihat selama insiden ditemukannya morfin di antara suku cadang itu.

Saya mempersilakannya duduk dan pelayan membawa dua gelas kopi es.

“Tuan Sparrow, saya sedang dalam kesulitan besar. Seorang pramugara muda Imperial Airways menggantung dirinya dalam sebuah hotel di Singapura. Pada pakaiannya ditemukan sejumlah emas batangan yang dijahit di dalam lipatan bajunya. Sampai sekarang polisi belum mengambil tindakan apa-apa, tetapi surat-surat kabar, terutama dalam bahasa setempat memuat berita-berita yang tidak enak. Mereka mengatakan bahwa kaki tangan saya yang menggantung orang itu lalu mendandaninya sedemikian rupa sehingga seakan-akan dia menggantung diri. Dokter yang memeriksa mengatakan perbuatan itu sebagai bunuh diri. Sungguh tidak masuk di akal ini.”

Tuan Lim Chuen memang dalam keadaan sulit. Tampaknya ia terjerumus dalam perkara secara kebetulan. Apakah mungkin sebagai orang kaya dan berhasil, ia dijadikan korban perbuatan oleh balas dendam oleh orang yang tidak menyukainya atau yang menakuti dia?

Saya menatap mukanya dengan lebih teliti. Kalau memang ada kekejaman dan pembunuhan di situ hal itu dapat disembunyikan dengan baik sekali. Saya tidak dapat melihat apapun kecuali seorang cukong Tionghoa yang lembut dan pandai, yang sedang dirundung kesulitan dan merasa tersinggung. Apakah semuanya ini hanya pura-pura saja?

Tuan Lim Chuen menghendaki saya bertindak lagi sebagai penasihat hukumnya dan menemui komisaris polisi itu lagi.

Saya menolak. “Itu malah akan terjadi salah langkah. Jika Anda memang tak bersalah sama sekali seperti pengakuan Anda, kalau saya bergegas terbang dari Bangkok ke sana akan ditafsirkan bahwa Anda lebih bingung daripada seharusnya.”

Lim Chuen memikirkannya sebentar. “Mungkin Anda benar.”

“Memang saya benar. Jika mereka memang akan menuntut Anda, dan kalau saya mendapat pernyataan tertulis di bawah sumpah di depan nenek moyang Anda bahwa Anda tidak bersalah, maka saya akan datang untuk membela perkara Anda. Sebelum itu, tunggu dulu sajalah.”

Lim Chuen mengambil sehelai kertas dari meja lalu menuliskan “Saya, Lim Chuen, dengan ini bersumpah demi nenek moyang saya yang dimuliakan, bahwa saya tidak pernah membunuh siapa pun, atau menyebabkan siapa pun dibunuh.” Ia menandatangani pernyataan itu di depan saya.

Lebih dari sebulan kemudian datanglah panggilan. Saya terbang ke Singapura. Tuan Lim Chuen telah ditangkap dengan tuduhan membunuh.

Sehari setelah tiba, saya menemuinya dalam tahanan polisi. la masih memegang martabatnya, tenang dan berwibawa. Saya memeriksa bukti-buktinya bersama dia. Ternyata terbukti bahwa Lim Chuen mempunyai kepentingan atas emas yang ditemukan pada tubuh almarhum. Tetapi apakah itu dapat membuktikan terjadinya pembunuhan? Saya kira tidak. Dokter yang memberikan surat keterangan kematian tetap pada pendapatnya semula bahwa ini kasus bunuh diri. Tentu saja Lim Chuen tidak pernah ada di dekat-dekat tempat kejadian. Saya merasa bahwa polisi menanti-nantikan agar Lim Chuen pada suatu saat panik akan menggantung diri. Inilah yang harus saya cegah.

Pada pemeriksaan mayat ternyata bahwa pemuda itu memang mencekik lehernya sendiri dengan jalan menggantung diri. Dokter polisi mengatakan bahwa sebab kematiannya sesuai dengan teori ini. Tetapi tiada seorang pun dapat menjelaskan mengapa ada sejumlah emas pada tubuhnya. Tetapi emas itu merupakan faktor yang menguntungkan Lim Chuen. Para kaki tangan sang Belalang (julukan Lim Chuen), sekiranya mereka menjadi pembunuhnya, tentunya tidak akan meninggalkan harta sebesar itu pada jenazah korbannya. Di pihak lain, sampai saat itu belum ada bukti lain daripada pencekikan dengan penggantungan yang dilakukan oleh korban sendiri.

Peristiwa-peristiwa aneh yang menyusul sama sekali berkat ketekunan atau kekerasan kepala seorang dokter polisi. la berkeras untuk memeriksa isi perut korban dan memeriksa mayat keseluruhan sekali lagi. la menemukan bahwa di antara kuku ibu jari kiri dan kulit korban terlihat suatu tanda bekas jarum. Inilah yang dicarinya. Kemudian ia menerapkan tes terbaru pada isi perut dan dapat membuktikan bahwa korban menderita dosis lebih morfin. Dengan demikian terbukti bahwa anak muda itu mula-mula dibius dulu, kemudian digantung. Ini merupakan pola yang dicurigai dalam pembunuhan-pembunuhan yang dituduhkan kepada Lim Chuen. Jaring telah menutup. Tetapi bagaimana dengan soal emas batangan itu? Kemudian batangan-batangan itu diperiksa dengan lebih saksama. Ternyata semuanya hasil pemalsuan yang pandai. Kalau begitu apakah si korban telah menipu para cukongnya dengan emas palsu, setelah menjual emas aslinya untuk keuntungan dirinya sendiri? Agaknya ini merupakan penjelasan yang sebenarnya.

Setelah menemukan bukti-bukti yang cukup meyakinkan, polisi hendak menjemput Lim Chuen dari rumahnya yang mewah di Richmond Road 221. Mereka hendak menginterogasi dia secara langsung. Mereka mempunyai catatan yang sangat panjang tentang kegiatan-kegiatannya dan mereka yakin bahwa ia tidak dapat bertahan lama bila dihadapkan dengan bukti-bukti.

Tetapi ternyata Lim Chuen tidak ada di rumah. Ke mana perginya? Wanita muda itu mengatakan ia tidak diberi tahu. 

Polisi mulai mencari keterangan. Semua informan diberitahukan bahwa ada hadiah 5.000 dolar bagi keterangan yang dapat membantu tertangkapnya Lim Chuen. Kali ini keterangan-keterangan dari ‘dunia bawah’ berdatangan. Tetapi setiap pembawa berita mempunyai versi yang berbeda-beda. Tuan Lim Chuen ada di Swiss (ia mempunyai rekening bank di sana) untuk urusan dagang. Lim Chuen di San Fransisco. Di Australia. 

Tetapi sebenarnya Lim Chuen tidak ke mana-mana, ia bersembunyi di Singapura, di tempat yang letaknya belum 100 meter dari markas polisi pusat. Di tempat persembunyiannya itu ia mengatur harta bendanya yang berbentuk uang tunai. Ia memberikan sejuta dolar Malaya kepada wanita muda itu— yang nama belakangnya saya ketahui sebagai Chieng. Kemudian ia memberikan 200.000 dolar kepada istri tuanya yang sudah ditinggalkannya — seorang wanita yang sudah sejak muda datang bersamanya dari negeri Tiongkok. Ia meninggalkan seperempat juta dolar untuk pemeliharaan tempat permakaman keluarga dan untuk pendidikan ketiga anak laki-lakinya yang masih muda.

Ia masih sempat menulis surat kepada saya. 

Tuan Sparrow Yth., 

Polisi makin mendesak-desak saja dan saya tidak suka diwawancarai terus menerus oleh orang-orang seperti itu.

Saya telah melakukan pembagian warisan dan saya menghendaki agar Anda melaksanakannya. Anda akan mendapatkannya dilampirkan pada surat ini. Harap diterima juga honor yang terlampir, sebab saya tahu bahwa tidak mudah bagi Anda untuk menjadi wakil saya dan saya sangat berterima kasih untuk itu.

Hidup telah kehilangan artinya bagi saya. Saya tidak ingin dipenjara dan dibuat malu, maka saya lebih baik mengakhirinya saja. Saya akan menggabungkan diri dengan para nenek moyang saya, agak lebih awal, tetapi tanpa rasa penyesalan. 

Sekali lagi saya iringkan ucapan terima kasih saya dan

Hormat saya 

Lim Chuen

Ia ditemukan sudah mati di rumah Richmond Road no.221. Ia kembali dari tempat persembunyiannya lalu menidurkan dirinya di tempat tidur besar yang merupakan kebanggaannya.

Perkara ini menimbulkan perhatian besar umum. Pers Melayu menurunkan bermacam-macam kisah. Lim Chuen digambarkan sebagai manusia keji yang tidak hanya membunuh sekali tetapi berkali-kali.

Polisi telah menggulung komplotannya dan menangkap beberapa tokoh yang lebih kecil, tetapi wanita muda itu dibiarkan bebas. Rupanya ia tidak tahu apa-apa tentang kegiatan Lim Chuen. “Saya hanya perempuan kekasihnya,” katanya kepada polisi dan polisi terpaksa mengakui bahwa hal ini benar. 

Ia diperbolehkan untuk tetap tinggal di rumah no.221, tetapi setahun kemudian ia menjualnya dengan harga bagus. Dengan tiga buah garasi, empat kamar mandi, ruang bilyard dan kolam renang memang rumah itu menarik bagi orang berduit. Seorang saingan dagang Lim Chuen menuruti tradisi Tionghoa dan membelinya.

Tentu saja saya harus pergi ke Singapura dan melaksanakan tugas saya untuk menyelesaikan semua urusannya dan mengawasi agar harta kekayaan sang Belalang yang cukup besar itu dibagi-bagikan menurut kehendaknya. Ini termasuk acara menemui Chieng yang dalam kesempatan itu berpakaian serba hitam dengan bahan sangat mahal — yang sangat sesuai dengan pembawaannya dan sama sekali tidak mengurangi daya tariknya.

Saya menunjukkan dia daftar pembagian harta, lalu ia tersenyum.

“Ya, saya tahu, tetapi itu baru separuhnya saja.”

“Maksud Anda..?” 

“Setiap jumlah diulangi dengan jumlah yang sama atas nama saya di tiga bank Tiongkok. Itu uang dia. Saya hanya menyimpankan untuk dia. Dia tak ingin membayar pajak yang tidak perlu.”

“Kalau begitu warisan yang sebenarnya hampir tiga juta?”

“Agak lebih banyak lagi...” 

“Nah, kalau ada sesuatu lagi yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda, katakanlah kepada saya.’

Ia memandang saya, tetapi akhirnya tidak mengatakan apa-apa. Sejenak kemudian ia berkata: “Saya ingin diberi nasihat mengenai penanaman uang. Kita bisa berkorespondensi tentang soal itu. Anda bersedia?”

Saya jawab ya, saya bersedia. 

Pers Melayu yang paling sensasional menurunkan cerita bahwa seorang saingan Lim Chuen yang memasang bukti-bukti kesalahan untuk menjerumuskan lawannya. Orang itulah yang membeli rumah di Richmond Road no. 221. Ini memang bisa diterima, tetapi menurut hemat saya kurang mungkin. Saya kira seorang seperti Lim Chuen tidak akan menyerah begitu saja kalau difitnah lawannya. Orangnya terlalu tinggi hati dan wataknya terlalu tegas.

(Gerrald Sparrow)

Baca Juga: Misteri Potongan Mayat Wanita

 

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726466/petualangan-sang-belalang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680809216000) } } }