Intisari Plus - Seorang ilmuwan trauma dengan kekerasan yang dialaminya saat terjadi pencurian. Dengan ilmunya, ia akhirnya bisa menangkap sang pelaku.
-------------------
Malam belum terlalu larut. Saat para tetangga bercengkerama dengan keluarga di rumah masing-masing, Noelleen Greenwood yang tengah sendirian di rumah justru merasakan hal sebaliknya. Jangankan bercengkerama, menarik napas saja ia harus berjuang keras. Wajahnya begitu tegang dan ketakutan. Di depannya berdiri seorang tamu tak diundang, pencuri yang diyakini Noelleen tega berbuat apa saja, termasuk mencabut nyawa orang tak berdosa. Inikah akhir karier cemerlangnya sebagai ilmuwan? “Mestinya tidak. Aku belum dan tidak akan mati dengan cara seperti ini,” jerit hati kecilnya. Perlahan Noelleen berusaha melunakkan hati pria yang telah mencuri barang-barang berharga dan menyekapnya sejak tiga jam lalu itu. “Maaf, Bung. Aku percaya, Anda orang pintar. Pekerjaan seperti ini tak pantas buat orang seperti ...,” kata-kata Noellen tak berlanjut setelah si lelaki menyela dengan kasar.
“Cukup! Aku tidak pernah menerima saran, apalagi saran perempuan pesakitan!” Usai membentak, tangan kekar sang maling melayang keras ke wajah Noelleen. Wanita yang lebih banyak menghabiskan waktu di labolatorium itu langsung limbung, menabrak sofa, sebelum akhirnya jatuh ke lantai. Bukan kali itu saja Noelleen disakiti dan dilecehkan si pencuri, yang belakangan diketahui gemar melakukan pencurian dengan kekerasan, terutama terhadap kaum hawa.
“Kamu pikir, aku akan melepas kamu begitu saja. Membiarkan kamu melenggang santai ke kantor polisi. Lalu polisi-polisi keparat itu datang menjemputku, sambil mengacungkan-acungkan pistol dan borgol?” seru si pencuri sembari memamerkan bola matanya yang nanar. Noelleen tak kuasa menjawab. Namun, dia tak berhenti memohon pada si pencuri - yang menerobos rumah tanpa topeng maupun senjata - agar tidak bertindak lebih kejam.
Sejujurnya, Noelleen merasa peluang hidupnya tak sebesar beberapa jam sebelumnya. Mata, telinganya, terlebih pikirannya mulai lelah lantaran stres melakoni drama yang tak kunjung usai. Drama yang dampaknya pasti akan terus membekas sepanjang hidup Noelleen. Tiga jam rasanya bak tiga hari, tiga bulan, bahkan tiga tahun. Sampai akhirnya dia tak mendengar lagi bentakan-bentakan menyakitkan itu bersamaan dengan lenyapnya tubuh sang pencuri sadis di tengah kegelapan malam.
Si pencuri sadis lenyap? Berkali-kali Noelleen menarik napas panjang. Dia hampir tak percaya baru saja lolos dari lonceng kematian. Noelleen hendak bergerak mencari pertolongan tapi badannya terlalu lunglai. Beberapa menit lamanya, istri Roger Franklin itu hanya bisa termangu di lantai. Seraya berdesah pada diri sendiri, “Terima kasih Tuhan. Dia akhirnya pergi ....”
Bebas dengan jaminan
Esoknya Noelleen menghabiskan waktu berjam-jam di ranjang. Baru setelah kepercayaan dirinya pulih, wanita periang itu berinisiatif mendatangi kantor polisi. Itu pun berkat dorongan kuat Roger yang tak bisa menerima perlakuan semena-mena terhadap istrinya. Meski sebelumnya Noelleen berkali-kali mengungkapkan kekhawatirannya jika kasus pencurian itu harus dilaporkan ke polisi.
“Aku merasa dia ada di mana-mana. Matanya ... matanya seperti tak pernah berhenti menatapku,” ucap Noelleen seraya menambahkan, “Firasatku mengatakan persoalan ini masih jauh dari selesai.”
“Tapi kalau kamu tidak melapor berarti memberi peluang maling nekad itu melakukan kejahatan yang sama terhadap orang lain,” tegas Roger.
Di kantor polisi, laporan pasangan suami-istri itu cepat mendapat tanggapan. Apalagi keterangan yang disampaikan Noelleen begitu lengkap. Tanpa kesulitan berarti polisi bisa mengidentifikasi sang maling. Namanya Julio Strappa (30 tahun), pencuri “langganan” hotel prodeo yang digambarkan polisi sebagai pria canggung, penyendiri, serta berdarah dingin.
Noelleen dan suaminya punya harapan besar, Strappa yang sudah berulang kali melakukan kejahatan serupa dikenai hukuman setimpal. Berdasarkan proses pemeriksaan pendahuluan di pengadilan, Noelleen, pihak kepolisian, dan jaksa wilayah sepakat, Strappa memang penjahat yang sangat berbahaya. Itu sebabnya mereka semua begitu geram ketika tahu pengadilan membebaskan Strappa dengan jaminan!
Kegeraman yang sangat beralasan karena setelah mendapat kesempatan menghirup udara segar, Strappa langsung menghilang. Orang yang paling dirugikan atas keputusan pengadilan itu tentu saja Noelleen Greenwood. Berbulan-bulan setelah Strappa kabur, wanita berotak encer itu seperti tak pernah bisa lagi menikmati hidup. Hatinya selalu waswas.
“Setiap kali berada di belakang kemudi, mataku enggak pernah bisa lepas dari spion. Takut kalau-kalau Strappa menguntit,” curhat Noelleen pada Nicole, sobat karibnya di kantor.
“Kok bisa sekhawatir itu?” sahut Nicole sekenanya.
“Sumpah. Aku merasa Strappa terus mengintai dan mengintai. Orang-orang di pengadilan betul-betul bikin sebal.”
“He-eh. Aku juga enggak habis pikir, penjahat yang harusnya dipenjara bertahun-tahun kok malah bebas berkeliaran di jalan.”
“Nic, bagaimana jika aku pindah ke California?”
“Kalau itu bisa menjauhkan kamu dari bayang-bayang Strappa, kenapa ragu? Ingat Noelleen, masa depan kamu masih panjang. Jangan cuma gara-gara Strappa dan putusan pengadilan yang ngaco itu ....”
Belum habis kalimat Nicole, Noelleen sudah bergegas keluar laboratorium, meninggalkan sahabatnya ngoceh sendirian. Noelleen berjanji dalam hati, malam nanti dia dan Roger harus segera membuat keputusan. Tawaran posisi wakil presiden dari sebuah perusahaan bioteknologi terkemuka di California yang datang beberapa hari lalu rasanya sayang dilewatkan.
Sesampai di rumah, Roger menyambut baik keputusan Noelleen pindah ke California. Pasangan itu bahkan berencana menjual rumah besar mereka, menggantinya dengan bungalo di Del Mar, untuk kemudian menjalani kehidupan “normal” di California. Akankah Noelleen tenggelam pada aktivitas di kantor barunya dan bisa melepas bayang-bayang Strappa?
Disayang sejawat
Noelleen putri tunggal Sidney Greenwood, bukan orang sembarangan. Dia ilmuwan yang tak hanya disegani tapi juga dicintai teman-teman sejawat. “Tahun 60-an, walau masih kanak-kanak, Noelleen sudah mengutarakan niatnya tinggal di Amerika. Kata dia, Amerika itu surga buat ahli biokimia,” cerita Sidney bangga.
Selama di Amerika Serikat, Noelleen memang kerap membuat Sidney bangga, sebangga-bangganya. Selain punya keluarga bahagia dan karier bagus, Noelleen juga sempat memenangkan sejumlah penghargaan, bahkan diakui sebagai salah satu peneliti terkemuka bidang biokimia.
Berbekal kepintarannya, Noelleen langsung mendapat tempat istimewa dalam bidang analisis DNA, khususnya berkaitan dengan pengembangan forensik dan alat pencari jejak, sebuah “ilmu baru” saat itu. Di perusahaannya yang lama, Noelleen sempat ditunjuk menjadi senior executive. Sedangkan suaminya sukses membangun bisnis modifikasi mobil.
Noelleen juga dianggap sebagai perintis penggunaan DNA agar suatu saat bisa digunakan sebagai basis data kepolisian di seluruh dunia. Dengan basis data itu, polisi jadi makin gampang menekuk penjahat. Cukup mencocokkan DNA tersangka dengan fakta di tempat kejadian perkara, sang penjahat pun tak bisa mungkir. Sayangnya, saat itu (tahun 1985) teknologi DNA masih sangat rumit, sehingga tak banyak ahli yang menguasainya.
DNA forensik cita-cita Noelleen itu sering juga disebut sidik jari genetik, menggabungkan teknik pemisahan, penyusunan, serta kemampuan membaca keseluruhan rantai DNA, sehingga menunjukkan lusinan kesamaan. Kemampuan itu menjadikannya seribu kali lebih efektif dibandingkan dengan teknik sidik jari tradisional. “Aneh, di tangan Noelleen, masalah teknis seberat itu bisa jadi begitu ringan,” cerita Sidney soal pentingnya penelitian DNA buat umat manusia.
Puncak karier Noelleen tentu saja ketika dia menerima tawaran bekerja sebagai wakil presiden sebuah perusahaan biokimia di California. Pencapaian yang sayangnya dinodai trauma kejahatan Strappa. “Omong-omong, kamu sudah bisa melupakan orang gila itu, ‘kan?” suara Nicole dari balik gagang telepon, terdengar khawatir. “Maksudmu Strappa?” balas Noelleen. “La iya, siapa lagi?” sergah Nicole. Noelleen membayangkan, muka Nicole pasti sedang ditekuk, cemberut.
“Terus terang, enam bulan di sini aku merasa jauh lebih tenang, Nic,” jawab Noelleen akhirnya.
“Baguslah. Tapi aku kangen nih.”
“Makanya, jalan-jalan dong ke California. Jangan ngendon di rumah terus.”
Roger sekilas melirik Noelleen yang mulai ramai cekikikan di depan gagang telepon. Lelaki yang sangat mencintai istrinya itu maklum, jika sudah kopi darat dan kopi udara dengan sobat-sobat akrabnya, Noelleen kadang suka “lupa diri”. Namun, di lubuk hati yang paling dalam dia bersyukur, keceriaan yang beberapa bulan terakhir hilang dari istrinya, kini pelan-pelan mulai kembali lagi.
Jari luluh lantak
Sampai akhirnya, suatu hari di bulan Agustus 1985, Noelleen tidak masuk kantor. Para sejawatnya merasa heran plus khawatir. Soalnya selain jarang absen, Noelleen biasanya memberi kabar jika tak masuk kantor. Karena sampai siang belum ada berita keberadaan Noelleen, rekan-rekan kerjanya sepakat menghubungi Roger. “Kami sudah telepon ke rumah tapi tidak diangkat-angkat,” cerita staf Noelleen. “Aneh. Sama sekali tidak ada tanda-tanda dia sakit,” jelas Rogers tak kalah bingung.
Tak lama setelah berbicara di telepon, Roger memutuskan pulang. “Firasatku enggak enak. Kalau sakit, harusnya dia menelepon. Semoga Noelleen baik-baik saja,” harap Roger lebih pada dirinya sendiri.
Harapan yang akhirnya hanya tinggal harapan. Betapa shock dia, ketika menemukan istrinya telah terbujur kaku di halaman belakang. Tubuhnya penuh memar sedangkan di leher terlihat beberapa bekas cekikan. Noelleen yang periang dan belum genap berusia 35 tahun telah terbunuh secara mengenaskan.
Beberapa saat kemudian, polisi berdatangan. “Para tetangga bilang mereka melihat sebuah mobil sewaan berukuran kecil diparkir di seberang jalan pada saat pembunuhan. Tapi mereka sama sekali tak curiga karena tidak ada sesuatu yang mencolok dari pengendara maupun mobilnya,” sebut seorang detektif. “Tak ada yang tahu nomor polisinya?” tanya detektif lain. “Sampai saat ini belum ada yang tahu.”
Tim penyidik sendiri sempat bergidik saat melihat kondisi jari tangan korban yang nyaris luluh lantak terutama bagian di sekitar kuku. “Kelihatannya istri Anda melakukan perlawanan sengit sebelum dibunuh,” seorang detektif memberi tahu Roger. Dalam sekejap, petugas mengambil sampel serpihan kulit yang tertinggal di bawah kuku. Siapa tahu sebagian kulit itu milik pelaku.
Sayangnya polisi sendiri tak tahu apa yang bisa diperbuat dengan sampel itu. Bahkan para ahli biokimia di tempat Noelleen bekerja pun tak tahu harus bagaimana. Teknologi berbasis DNA yang dirintis Noelleen dan kawan-kawan saat itu masih sangat prematur. Polisi akhirnya hanya mengumpulkan barang-barang bukti itu, menyegelnya, lalu menyimpannya di tempat yang aman di ruang bawah tanah.
Apakah lelaki yang beberapa bulan terakhir ini menghantui Noelleen, Julio Strappa, kembali beraksi? Setidaknya begitulah yang dipikirkan polisi. Terbukti hanya dalam bilangan jam, polisi San Diego dan San Fransisco berhasil menemukan dan menahan Julio Strappa. Namun meski berada di sekitar San Diego pada saat kematian Noelleen, Strappa menyangkal terlibat dalam pembunuhan. Dia bahkan memiliki saksi yang menguatkan alibinya.
Di satu sisi polisi yakin, Strappalah pembunuh sejati Noelleen. Jika terbukti, lelaki sadis itu bisa dipenjara lebih dari 20 tahun. Namun di sisi lain tak ada saksi-saksi dan bukti forensik yang bisa digunakan untuk menyudutkan Strappa. Tampaknya, seperti kasus pencurian dengan kekerasan terhadap korban yang sama enam bulan lalu, kali ini pun Strappa bakal kembali bebas. Atau memang bukan Strappa pelakunya?
Pembunuhnya tak ditemukan
“Sepertinya pembunuh ditemukan Noelleen tidak akan pernah ditemukan. Sama seperti korban-korban pembunuhan lain yang tidak diketahui pelakunya,” keluh Sydney Greenwood.
“Tapi setidaknya kami sudah berusaha menjerat Strappa. Kami pun tidak akan pernah menutup kasus ini, Pak Sidney,” seru seorang detektif dari kantor kepolisian San Diego.
“Strappa? Orang itu hampir membuat saya gila.”
“Kami menyesal tidak dapat menuntutnya atas tuduhan pembunuhan. Tapi kami bisa memasukkan dia ke penjara atas pasal-pasal pencurian dan tindak kekerasan,” janji sang detektif.
Belakangan, setelah serangkaian persidangan tingkat banding, Strappa memang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara enam tahun. Namun, tiga tahun kemudian dia bebas, hidup tenang di San Fransisco, berkarier di bidang analisis keuangan.
“Sekali lagi, pembunuhnya tetap tak bisa ditemukan, ‘kan?” cecar Sidney. Si detektif cuma bisa membisu seribu bahasa. Sidney merasa Noelleen seharusnya mendapat keadilan yang lebih baik dari yang didapatnya sekarang. “Karena sepanjang hidupnya dia selalu berusaha menegakkan keadilan,” imbuh kakek yang kini berusia hampir 90 tahun itu. Komentar serupa datang dari Dan Kacian, rekan kerja Noelleen di Gen-Probe. “Dia perempuan luar biasa. Tidak adil bila dia tidak memperoleh keadilan.”
Bertahun-tahun Sidney, Kacian, dan sejumlah kerabat serta kolega Noelleen menyimpan tanda tanya besar tentang siapa sebenarnya pembunuh sang wanita cendekia itu. “Berbagai pikiran berkecamuk dalam benakku. Sempat terlintas mungkin Roger yang membunuh Noelleen. Bukankah 90% pembunuhan di lingkungan keluarga dilakukan oleh orang terdekat?” sebut Sidney.
Apalagi sebagai pengumpul materi, Noelleen bisa disebut sangat berhasil. “Tapi polisi yakin, pembunuh putriku adalah orang yang telah lama mengincar nyawanya. Niat orang jahat itu cuma satu, membunuh. Walaupun begitu, pikiran-pikiran dan teori-teori tentang siapa sebenarnya pembunuh Noelleen tetap menggangguku. Aku nyaris putus asa, karena tak tahu mana yang harus dipercaya.”
“Menuduh Roger sebagai pembunuh Noelleen sungguh sebuah ide gila. Roger sendiri akhirnya menikah kembali dan memiliki dua anak. Belakangan aku tahu selama beberapa tahun Roger sempat putus asa berat. Mungkin jauh lebih berat dari aku. Syukurlah akhirnya dia bisa membangun hidupnya kembali. Aku menganggap Roger sebagai korban lain dari kejahatan yang dilakukan pembunuh Noelleen.”
Tertunda 15 tahun
Hebatnya ketika sebagian besar penegak hukum, kerabat, dan teman sejawat Noelleen mulai putus asa, “Noelleen” sendiri ternyata tak pernah menyerah. Lima belas tahun kemudian, lewat detektif muda nan enerjik (perempuan pula), Laura Heilig, arwah Noelleen bak bangkit kembali menerangi kiprah para polisi. Saat sadar bahwa Noelleen tengah merintis penelitian tentang DNA di saat menjelang kematiannya, emosi Heilig tergerak. la menekuni arsip dan barang bukti kasus pembunuhan Noelleen.
“Wanita ini betul-betul luar biasa. Sebagai peneliti DNA, dia percaya tak ada kejahatan abadi di muka Bumi. Dia juga tahu, Strappa penjahat licik yang sulit ditangkap. Itu sebabnya, dengan sadar dia melakukan perlawanan agar tersedia cukup barang bukti untuk menggiring Strappa ke penjara. Dan yang paling penting, dia yakin suatu saat penelitian yang pernah dirintisnya akan membuahkan hasil. Meski untuk itu, butuh waktu belasan tahun. Hhughh,” Heilig melenguh sekeras lembu.
Tak lama kemudian, dia meraih gagang telepon dan menghubungi Sidney Greenwood.
“Apa kabar, Pak Greenwood?” sapa Heilig.
“Kabar baik. Ada kabar apa detektif? Maaf kalau saya lupa nama Anda. Maklum, selama 15 tahun banyak sekali polisi yang menelepon ke sini.”
“Saya Heilig, Pak.”
“Ooooh, detektif Heilig. Ada apa rupanya?”
“Saya berharap berita ini bisa sedikit melegakan hati Anda. Setelah membaca arsip-arsip Nyonya Noelleen yang selama bertahun-tahun tersimpan rapi di ruang bawah tanah, saya jadi merasa sangat mengenal putri Anda. Saya sangat mengaguminya. Dia telah merintis banyak penelitian tentang DNA. Dan saya rasa, di situlah letak petunjuknya. Putri Anda dengan cemerlang mengajari saya cara menangkap pembunuh keji yang telah merenggut nyawanya. Saya sebenarnya enggan bilang ini, tapi jujur saja, arwahnya seperti menginspirasi saya, Pak.”
“He-he-he. Nak, kadang saya pun merasakan dia belum benar-benar pergi meninggalkan kita.”
“Pak Sidney, saya yakin dengan sedikit pendekatan ilmiah, sampel organik yang dulu diambil dari jari dan kuku putri Anda bisa menjadi petunjuk penting.”
“Lewat proses pemisahan DNA?”
“Anda tahu juga?”
“Dulu Noelleen suka bercerita. Dia sangat mencintai DNA-nya.”
“Dan berkat proyeknya dulu, kini kita bisa melangkah lebih maju.”
Heilig menunggu reaksi lebih lanjut dari Sidney. Namun, tak terdengar suara apa pun di seberang sana. Kakek yang tinggal di rumah besar milik Nolleen itu tampaknya tengah jatuh dalam lamunan. Tanpa sadar, Heilig pun jadi ikut melamun. Polisi yang masih duduk di sekolah menengah ketika Noelleen terbunuh itu, seperti kebanyakan polisi generasi terkini San Diego, meyakini banyak kasus bisa dipecahkan dengan pendekatan science.
Barangkali itu sebabnya dia mengkhususkan diri pada kasus-kasus lawas yang dulu tak sempat terpecahkan. Misteri kematian Noelleen menjadi kasus lawas pertama di San Diego yang arsipnya dibuka kembali. Setelah beberapa pekan bekerja keras, polisi berhasil menelurkan profil atau skema DNA utuh, seraya menampilkan 15 tanda kesamaan dengan sampel DNA dari darah Julio Strappa.
Heilig tersenyum lebar. “Mari kita jemput pembunuh yang hilang itu di apartemennya. Noelleen telah menunggu 15 tahun untuk mendapat keadilan yang pernah kita janjikan. Kali ini, arwahnya akan menyaksikan sendiri, Strappa tak bisa lagi mengelak dari ancaman hukuman mati. Keadilan memang cuma soal waktu!” (Rahartati Bambang Haryo)
Baca Juga: Penyamaran Demi Scream
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567433/masa-lalu-terekam-di-kuku" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668184074000) } } [1]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561359" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/sehelai-rambut-mengantar-ke-bui_-20221111040935.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(178) "Setelah beberapa hari menghilang, Liss Ostergaard ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di sebuah taman. Ada tanda kekerasan seksual, namun barang bukti hanyalah sehelai rambut." ["section"]=> object(stdClass)#68 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/sehelai-rambut-mengantar-ke-bui_-20221111040935.jpg" ["title"]=> string(31) "Sehelai Rambut Mengantar ke Bui" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 16:09:52" ["content"]=> string(27360) "
Intisari Plus - Setelah beberapa hari menghilang, Liss Ostergaard ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di sebuah taman. Ada tanda kekerasan seksual, namun barang bukti hanyalah sehelai rambut.
-------------------
Minggu terakhir bulan Agustus 1983, Kota Flensburg di Jerman Barat gempar. Ada wanita hilang. Meski kecil dan dingin, kota yang hanya dihuni beberapa ratus ribu penduduk itu selain kota pelabuhan, juga pangkalan armada Baltik. Memang Laut Utara sudah tak jauh lagi dari sana, hanya sejauh 35 mil ke arah barat.
Walaupun terletak di kawasan Jerman, kebanyakan penduduk kota yang, terus terang saja, kurang menarik itu adalah orang Denmark. Pantas saja kalau di sana setidaknya bisa dijumpai tujuh sekolah khusus untuk anak-anak Denmark.
Nah yang diberitakan hilang itu juga seorang wanita Denmark, guru matematika merangkap guru bahasa dan olahraga di sekolah Denmark. Nama sekolahnya Jorgensby Skolen.
Tak punya kekasih
Korban, Liss Ostergaard (46) masih lajang. Sesuai profesinya, ia bertubuh kekar dan atletis. Tapi belakangan ia agak sering mengeluh ada gangguan otot di kaki kirinya. Rupanya, akibat kegemarannya berolahraga lari.
Liss sudah sekitar 12 tahun mengajar di sekolah itu. Sebagai guru yang disiplin dan jarang sakit, ia jarang absen. Itu sebabnya ketika suatu pagi sosok Liss tidak muncul tanpa pemberitahuan apa-apa, Olaf Svensson, direktur sekolah, langsung merasa heran. Heran beralih waswas saat menelepon ke rumah Liss ternyata juga tidak ada yang menjawab. Tanpa banyak pertimbangan lagi Olaf pun segera menghubungi polisi.
Benar juga. Kekhawatiran Svensson sepertinya beralasan. Ketika detektif Juergen Bolger dari divisi penyelidikan kriminal mengetuk pintu flat kediaman liss, tidak ada orang yang menjawab ataupun membukakan pintu. Sang detektif langsung minta alamat keluarga wanita itu. Siapa tahu, malam Minggu sebelumnya Liss pulang ke rumah orang tuanya, lalu beralangan pulang tepat waktu.
Ternyata satu-satunya orang yang dapat dihubungi cuma ayah Liss yang tinggal di sebuah kota di Denmark, tidak jauh dari perbatasan dengan negara itu. Melalui telepon sang ayah mengatakan sudah berminggu-minggu tidak bertemu dengan putrinya. Juga tidak ada rencana Liss bakal mengunjunginya malam Minggu itu.
Meski belum berhasil melacak ke mana perginya Liss, sang detektif tetap melaporkan perkembangan kasus dan semua tindakan yang diambilnya ke kantor pusat.
Tindakan selanjutnya, ia mencoba membuka paksa pintu flat kediaman Liss. Ternyata, di dalam flat pun Liss tidak ditemukan. Yang menarik, berdasarkan temuannya di seputar situasi flat, diduga wanita lajang itu tidak berencana bepergian jauh.
Di meja makan masih terhidang sepotong roti beroleskan mentega di atas piring. Menemani roti itu ada segelas susu di sampingnya. Satu setel pakaian berupa celana panjang, blus, pakaian dalam lengkap dengan stocking-nya pun rapi tersusun di atas kursi. Sepertinya pakaian itu siap untuk segera dikenakan menjelang berangkat kerja.
Dugaan kuat, pasti terjadi sesuatu terhadap Liss pada pagi atau sore sebelum ia menghilang. Namun, pencarian di pelbagai rumah sakit dan klinik pun memberikan hasil nihil. Liss tetap tidak ditemukan. Sampai akhirnya penyelidikan selanjutnya diambil alih oleh Inspektur Walter Trapp, yang berperawakan tinggi, tegap, serta bersuara keras.
Penyelidikan kembali dilakukan di flat kediaman Liss. Tim forensik diminta meneliti segelas susu dan sepotong roti yang tak sempat disantap Liss. Yang ingin diketahui, sudah berapa lama kedua benda itu ditinggalkan pemiliknya. Hasil penelitian mengatakan, susu dan roti sudah disiapkan sejak Minggu sore. Terhitung hingga saat laporan diserahkan, berarti sudah hampir 24 jam Liss menghilang.
Sasaran penyelidikan selanjutnya adalah setumpuk surat pribadi Liss Ostergaard. Siapa tahu ia sering melakukan surat-menyurat dengan teman, sanak saudara, atau kekasih. Siapa tahu pula ia berencana mengunjungi salah satu di antara mereka.
Hasilnya? Nihil juga. Satu-satunya orang terdekat cuma ayahnya. Temannya hanya berkisar di tempat kerja yakni sekolah dan klub joging. Bagaimana dengan kekasih? Untuk sementara ini Walter Trapp menyimpulkan liss tidak mempunyai kekasih. Kalaupun ada Liss pasti tidak akan menaruh surat cintanya secara sembarangan.
Kesimpulan itu ternyata didukung informasi dari teman sekerjanya. Liss tidak memiliki kekasih. Ia bukan tipe orang yang suka melakukan hubungan asmara dengan lawan jenis. Meski Liss dikenal selalu bersikap hangat dan suka menolong baik terhadap teman-teman laki ataupun wanita.
Satu hal yang penting dicatat, sejak mengeluh soal cedera otot kaki, Liss belum kembali berlatih olahraga lagi bersama teman seperkumpulan. Alasannya, ia tidak mau menghambat latihan teman-temannya. Berarti selama beberapa waktu menjelang hilangnya, Liss berjoging seorang diri. Jadi dugaan sementara liss meninggalkan tempat tinggalnya dengan kostum joging.
Menurut sejumlah tetangga di sekitar flat, biasanya ia joging di Volkspark. Meski agak terpencil dan sebagian masih berupa hutan, taman itu sehari-hari cukup populer sebagai ajang berolahraga.
Walter Trapp mengakui timnya sangat kesulitan melacak jejak di daerah hutan yang penuh semak belukar dan rumput liar yang lebat dan tinggi. Biar bagaimanapun kru polisi tetap mengupayakan yang terbaik. Tak hanya bekerja sekuat tenaga, mereka pun meminta bantuan pada sejumlah petugas pemadam kebakaran, teman-teman kerja Liss, dan beberapa pelaut dari pelabuhan dekat situ.
Bajunya terkoyak-koyak
Tiba-tiba Kamis, 15 September, seorang kru pelacak menemukan baju olahraga di antara semak-semak, tidak jauh dari kawasan tempat orang biasa melakukan joging. Beberapa anggota klub joging segera diminta melihat pakaian tersebut.
Semua hampir yakin pakaian tersebut milik Liss Ostergaard. Sementara itu polisi melanjutkan menyisir daerah di sekitar pakaian tersebut ditemukan. Hanya sekitar 20 kaki dari lokasi ditemukannya baju tadi, ditemukan celana training. Malah sedikit lebih jauh lagi ada pakaian dalam yang terkoyak-koyak. Penelusuran terus dilanjutkan. Baru beberapa langkah, mereka menemukan jenazah Liss Ostergaard dalam keadaan tanpa busana.
“Sudah tidak utuh. Selain karena pengaruh cuaca yang terus berganti-ganti, sebagian besar karena dikoyak-koyak burung, serangga, dan binatang kecil lain,” tutur dr. Johan Schmidt, petugas forensik, apa adanya. Kondisi Liss memang menyedihkan. Boleh dibilang sebagian besar tubuh dan wajahnya sudah berupa tengkorak. Untungnya, beberapa teman dekatnya masih bisa mengenali bahwa itu benar jenazah Liss Ostergaard.
“Jenazah Liss sudah ditemukan. Sekarang tinggal meneliti apa penyebab kematiannya?” tanya Walter Trap.
“Kemungkinan besar pembunuhan dengan pemerkosaan,” kata Johan Schmidt. Untuk memastikan, petugas mengambil sidik jari dari ujung-ujung jari yang belum rusak.
Hasil otopsi dan pemeriksaan lab semakin memperjelas motif pembunuhan itu. Sebagaimana dugaan Johan Schmidt, penyebab kematian Liss memang pembunuhan dengan motif pemerkosaan. “Satu hal, sebelum diperkosa, dipastikan Liss masih perawan.”
“Lalu siapa ya kira-kira pelakunya?” Walter Trapp bertanya pada dirinya-sendiri.
Berdasarkan hasil otopsi dan pemeriksaan lab tersebut, Polisi membuat perkiraan. Diduga Liss Ostergaard diserang saat ia joging di sepanjang jalan setapak sempit tidak jauh dari tempat jenazahnya ditemukan. Tampaknya Liss sempat berusaha menyerang balik si pelaku lalu mencoba menghindar dari serangan lanjutan. Sayangnya, meski meski sudah berusaha lari, si penyerang mampu menghentikan Liss, dengan merenggut pakaian Liss sampai bajunya robek. Begitupun rupanya liss masih berusaha melarikan diri untuk kedua kalinya, tetapi si penyerang terlalu kuat. Malang benar, Liss berhasil dilumpuhkan.
Diduga kuat penyebab tewasnya Liss akibat dicekik dengan tangan oleh si penyerang. Sebelumnya korban sempat dipukul di bagian kepala dan mukanya karena pada bagian tersebut keluar banyak darah.
“Dengan demikian, pasti pada pakaian si pembunuh terdapat bercak-bercak darah korban,” kata Juergen Bolger.
Untungnya, banyak bukti berhasil dikumpulkan. Bukti itu antara lain robekan pakaian dan sejumlah helai rambut. Pembunuhan diperkirakan terjadi tanggal 28 Agustus 1983, sekitar pukul 17.00.
“Tapi belum ditemukan indikasi kuat siapa pemilik rambut dan robekan kain itu,” sahut Walter Trapp.
“Tidak mungkinkah kita menetapkan beberapa tersangka? Mungkin dari beberapa orang dekat yang tahu kebiasaannya?” kata Juergen lagi.
“Rasanya tidak semudah itu. Dalam kasus pembunuhan ini cukup sulit untuk menemukan tersangka. Saya menduga, korban dan si pemerkosa tidak memiliki hubungan apa-apa. Mereka tidak saling kenal satu sama lain,” Walter Trapp menyimpulkan.
Pada sejumlah kasus pemerkosaan yang terjadi di kota itu jarang ditemukan peristiwa seperti itu. Yang menyulitkan, korban pembunuhan baru ditemukan hampir sebulan kemudian. Kalaupun ada saksi mata, mungkin tidak terlalu ingat lagi peristiwa tersebut. Padahal dalam kasus demikian saksi mata memiliki peran sangat penting.
“Lalu apa yang kita lakukan?”
Makhluk aneh dari planet lain
Pihak kepolisian lantas menyebarkan berita pembunuhan tersebut lewat berbagai media informasi - surat kabar, televisi, dan radio lokal. Isinya, siapa saja yang pada 28 Agustus berada di Volkspark, diharap segera melapor ke polisi, tidak peduli apakah mereka mempunyai informasi berharga atau tidak. Apa pertimbangannya? Menurut Trapp, mungkin saja ada orang yang pada hari tersebut melihat sesuatu yang dianggap sepele, tetapi bagi polisi bisa merupakan kunci pemecahan kasus.
Ternyata sambutan masyarakat di luar dugaan. Mereka begitu antusias menanggapi pengumuman itu. Tampak benar mereka amat bersemangat untuk memecahkan kasus pembunuhan sadis itu. Polisi pun sempat merasa kewalahan untuk menampung semua informasi yang masuk. Tentu saja, karena mereka harus mengecek dan mengevaluasi sejauh mana informasi tertentu bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu, sudah pasti dibutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang tidak sedikit.
Sayangnya, tidak satu pun kesaksian di lokasi kejadian bermanfaat bagi polisi. Misalnya, sejumlah orang mengaku melihat Liss Ostergaard berjoging santai sepanjang hari. Sementara orang lain lagi mengatakan sepintas saja melihat korban. Malah ada yang mengatakan tahu Liss hanya dari namanya. Yang pasti, tidak ada yang mengatakan pernah melihat liss berjalan bersama laki-laki.
Dari sekian banyak laporan, malah ada informasi yang aneh-aneh. Di antaranya, di TKP sering terlihat sejumlah pria tak dikenal yang bertampang menyeramkan. Mereka selalu bersembunyi di antara semak-semak. Yang lebih sulit diterima akal sehat, ada yang melapor pernah melihat makhluk aneh dari planet lain yang mendarat dengan piring terbang. Meskipun sangat janggal, polisi tetap mengecek kebenaran laporan itu. Kesimpulan akhirnya, semua laporan tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kasus pembunuhan terhadap Liss.
Laporan yang masuk tidak hanya berasal dari mereka yang berada di taman pada hari kejadian. Ada pula yang melaporkan lewat telepon, merasa yakin tahu identitas si pembunuh. Umumnya, pelapor dari kelompok ini menolak menyebutkan nama. Yang lebih celaka, ada pula yang memberikan laporan dengan nada dengki sehingga malah membuat masalah makin kusut.
Pada situasi serba tidak pasti itu tiba-tiba ada seorang penelepon yang berterus terang menyebutkan namanya. Si penelepon mengaku bernama Mark Peters dari pangkalan angkatan laut yang bertugas sebagai anggota korps pelayanan kesehatan.
“Saya mempunyai informasi yang mungkin bisa memberikan petunjuk tentang ciri-ciri si pembunuh,” kata Mark Peters setelah menyebutkan dengan gamblang identitasnya.
“Terima kasih sudah menelepon kami, Mark. Untuk kelanjutannya, apakah Anda bersedia datang ke kantor polisi? Atau Anda merasa lebih aman bila kami yang datang ke tempat Anda?” tanya Walter Trapp.
Tanpa alasan berbelit, Mark segera menyanggupi untuk datang ke kantor polisi.
Menurut pengakuannya, 28 Agustus malam saat ia sedang bertugas, sekitar pukul 22.00, seorang kelasi angkatan laut dibawa ke tempatnya oleh seorang penjaga pantai. Tubuh orang itu penuh luka cakar, terutama pada bagian muka dan lengannya. Selain itu, pakaiannya penuh lumpur dan percikan darah.
Saat Mark membersihkan dan mengobati luka-lukanya, dengan nada bercanda pria itu mengatakan, “Eh tahu enggak, saya baru saja bergumul dengan seorang wanita. Kalau ada yang menemukan tubuhnya, itu hasil perbuatan saya.”
“Siapa nama laki-laki itu?” tanya polisi.
“Hans Wilhelm Hadler,” jawab Mark.
Meski nama sudah di tangan, ternyata tak mudah menemukan Hadler. Perlu waktu beberapa hari untuk memburu Hadler yang anggota militer. Begitu berhasil ditangkap, Hadler langsung ditahan.
Saat dilakukan interogasi, tentu saja, ia tidak langsung mengakui perbuatannya.
“Apa yang saya katakan kepada petugas klinik pantai itu tidak benar. Waktu itu saya sedang mabuk. Biasalah, omongan orang-mabuk ‘kan suka ngelantur,” katanya.
“Lalu, mengapa wajahmu penuh luka?” desak Trapp.
“Itu sih akibat perkelahian di bar.”
Selain Hadler, penjaga pantai ikut diinterogasi. Katanya, Hadler tertangkap ketika berusaha memanjat pagar pembatas pantai dari luar. Saat itu ia tampak lusuh dan kotor, rambutnya kusut, dan tampak bercak-bercak darah pada pakaiannya.
“Ia tidak menjawab ketika saya tanya mengapa ia tidak masuk melalui pintu masuk umum tapi malah melompati pagar. Apalagi saat itu ia tidak lagi memiliki kartu identitas militer,” tutur si penjaga gardu.
Saat Hadler ditahan bekas luka-luka di wajahnya sudah tidak tampak, tetapi polisi berharap bekas bercak-bercak darah pada sobekan pakaian masih dapat diperiksa.
Ternyata dari sobekan celana korduroi hijau dan kemeja abu-abu muda yang diduga milik Hadler terdeteksi bekas percikan dua macam golongan darah. Walaupun dua macam golongan darah pada pakaian Hadler dinyatakan sebagai golongan darah Liss Ostefgaard dan Hadler, belum berarti tuduhan bisa sepenuhnya diarahkan langsung pada Hadler. Masih perlu bukti lain untuk menyatakan bahwa memang Hadler pelakunya. Pasalnya, ada ribuan orang di Flensburg yang mempunyai golongan darah yang sama, baik dengan Liss maupun Hadler.
Kalau cerita dari Hadler benar bahwa ia terluka gara-gara berantem di sebuah bar, bisa saja golongan darah yang satunya milik lawan berantemnya.
Ketika Hadler ditanya siapa musuh berkelahinya, Hadler mengaku tidak ingat karena sebenarnya ia tak kenal orang itu. Yang jelas, lawannya itu pasti bukan dari angkatan laut.
“Jawabannya cukup cerdas,” komentar Trapp, “Ia tidak akan mengaku terus terang.” Dengan demikian belum ada saksi yang melemahkan - sekaligus juga menguatkan - alibinya. Berarti pula, hingga saat itu si pembunuh Liss belum terungkap.
Meski Hadler tidak bisa membuktikan bahwa ia pernah berkelahi dengan seseorang di bar, bukan berarti pula ia memberikan cerita bohong. Bar tempat Hadler mengaku telah berkelahi memang selalu ramai dengan “keributan dan kekacauan.” Jelas saja, para pegawai di bar yang selalu penuh pengunjung itu mengatakan tidak ingat apa yang terjadi sebulan silam. Mereka lupa apakah waktu itu ada perkelahian atau tidak. Repotnya lagi, tidak seorang pun mengenal Hadler.
Pernyataan dari petugas klinik dan penjaga pantai saja dinilai belum cukup. Laboratorium juga belum dapat memastikan bahwa sobekan bahan korduroi dan kemeja abu-abu yang mereka periksa benar milik Hadler. Tentu saja karena di kota tersebut banyak dijual celana dan kemeja dari bahan yang sama.
Mencari kartu identitas
Sepertinya tim polisi menemui jalan buntu. Lalu apa lagi yang dapat memperkuat tuduhan ini?
“Oh ya, masih ada kunci yang bisa menjadi bukti otentik yakni rambut,” kata seorang polisi.
“Benar, sebaiknya kita segera menghubungi seorang peneliti rambut dari Kiel. Semoga ia mampu memberikan informasi untuk memecahkan kasus ini.”
Untung sang ahli bisa segera menyanggupi melaksanakan tugas dari Flenburg. Tim kepolisian sempat kaget. Mereka membayangkan, sebagai ahli yang telah mendapat reputasi internasional dalam penelitian forensik bagian tubuh manusia termasuk rambut, tentunya peneliti itu telah cukup berumur. Ternyata ahli itu seorang wanita muda, cantik lagi. Sejumlah rambut baik yang ditemukan di TKP maupun yang baru diambil dari terdakwa bersama robekan pakaian yang bisa dijadikan bukti dikirimkan ke Kiel.
Pada saat bersamaan Hans Wilhelm Hadler tetap bersikukuh menolak disebut sebagi pelaku pembunuhan. Namun kengototannya mengendur manakala banyak saksi mata melihatnya berada di Volkspark sore itu. Terpaksa ia sedikit mengubah pengakuannya: “Saat itu saya memang ada di sana, tapi saya tidak melakukan apa-apa. Saya sama sekali tidak pernah membuntuti Liss Ostergaard,” kata Hadler tegas.
Perubahan pengakuan itu tentu saja mengundang kecurigaan sekaligus membangkitkan gairah anggota tim Walter Trapp untuk terus mengejarnya. Salah satu pengakuan yang bisa digunakan untuk memancing adalah cerita Hadler tentang perkelahiannya di bar. Menurutnya, perkelahian itu terpicu antara lain gara-gara ia kehilangan kartu identitas militer.
Mendengar kata-kata “kehilangan kartu identitas”, Walter Trapp seperti mendapat ilham. Ia langsung menugasi anak buahnya untuk mencari kartu itu di sekitar semak-semak dimana korban ditemukan. Walter Trapp tersenyum lebar, hasil pencarian itu menggembirakan. Mereka berhasil menemukan kartu identitas Hadler dan BH korban di bawah tumpukan dedaunan kering.
Penemuan ini membuat polisi semakin yakin. Hadler tidak bisa mungkir, ia akan segera mengakui kesalahannya.
Ternyata harapan mereka pupus. Hadler tetap menggelengkan kepala. Sekali lagi dengan tegas ia menyatakan bahwa kartu identitas itu hilang dicuri orang.
“Tembakan kita jatuh jauh dari sasaran,” komentar Juergen Bolger geram.
Jawaban Hadler membuat pengadilan masih meragukan bukti dari polisi.
“Tapi, jangan-jangan cerita pengakuannya itu memang benar,” komentar Juergen Bolger yang menjadi agak ragu begitu mendengar pengakuan Hadler. “Mungkin saja orang yang berkelahi dengan Hadler-lah yang membunuh Liss Ostergaard. Apalagi selama ini Hadler tidak pernah berurusan dengan polisi, bukan?”
“Tapi itu kebetulan yang sulit diterima. Bagaimana mungkin si pencuri kartu juga memiliki golongan darah yang sama dengan Hadler?” sanggah Trapp.
Polisi hampir saja putus asa. Masih belum ada kemajuan ketika perkara ini diajukan kembali ke pengadilan pada bulan September 1984.
Dalam sidang tersebut pengacara Hadler dengan gesit menangkis setiap bukti yang diajukan penuntut. Posisi tertuduh makin menguat dengan informasi tambahan bahwa semenjak sidang sampai petang pada hari terjadi pembunuhan, Hadler dalam keadaan mabuk. Dengan kondisi demikian Hadler tidak mungkin kuat berlari, memerkosa, apalagi membunuh seorang atlet sekuat Liss Ostergaard.
Sungguh pembelaan yang cerdik. Hadler pun mendapat peluang makin besar untuk lepas dari jeratan hukum. Apalagi pengadilan Jerman Barat bisa memberikan pengampunan bagi pelaku tindakan kriminal yang pada saat beraksi sedang dalam keadaan mabuk atau si pelaku diketahui sebagai pemakai narkoba. Tidak peduli sejahat apa pun tindak kejahatan itu, mereka pasti diampuni.
Namun, belum-belum sudah muncul protes dari kaum feminis. Mereka melakukan demonstrasi di Flensburg saat pengadilan berlangsung.
Dengan spanduk terbentang bertuliskan “Pembunuh adalah pembunuh, apakah dia mabuk atau tidak!” para wanita itu menyerukan agar Hadler mendapat hukuman. Rupanya para pendemo sudah yakin benar bahwa Hadler bersalah, walaupun sampai saat itu belum ada bukti telak yang mendukung kesimpulan itu.
Kuncinya rambut
Pada saat pengacara Hadler mulai yakin akan menang karena berhasil mementahkan semua tuduhan terhadap Hadler, tampillah si wanita cantik, sang peneliti dari Kiel. la akan bersaksi atas penelitiannya pada rambut milik korban maupun tertuduh.
“Mula-mula saya membandingkan sejumlah rambut manusia dengan sampel rambut yang diambil dari tubuh dan kepala si korban, serta tertuduh,” katanya tenang. Kemudian ia membandingkan lagi dengan sembilan helai rambut, panjang mulai 3,5 - 7,5 cm, yang ditemukan pada pakaian atas korban.
“Apakah beberapa helai rambut tersebut tercabut dari tubuh tertuduh?” tanya seorang penuntut.
“Tidak,” jawab ahli tersebut. Berikutnya adalah dua helai rambut, dengan ukuran panjang 10 dan 11,25 cm. Rambut ini rambut wanita alias milik korban, bukan si penyerang. Selanjutnya, tiga helai rambut, dua berukuran panjang 10 cm dan satu sepanjang 15 cm. Kemungkinan besar dua helai rambut pertama berasal dari kepala si penyerang.
Tak lupa diteliti pula rambut pendek berasal dari sekitar kemaluan dengan panjang kurang dari 3,75 cm. Rambut ini ditemukan dalam kaus kaki korban. Dapat dipastikan rambut ini berasal tubuh tertuduh karena persis sama dengan sampel rambut kemaluan tertuduh.
Mendengar kalimat terakhir sang peneliti, seketika itu pula sang pembela langsung menyatakan keberatan. “Mana mungkin hanya dengan sehelai rambut sependek itu dapat dibuktikan bahwa itu milik tertuduh,” serunya.
“Memang pada umumnya sulit dibuktikan. Namun pada kasus ini bisa!” tegas sang peneliti. “Kebetulan, tampak hal yang tidak wajar pada rambut tersebut yakni terjadinya proses pigmentasi sehingga memunculkan pembentukan pulau kecil pada ujung rambutnya. Formasi ini memang unik tapi tampak jelas di bawah mikroskop. Saya berani sumpah, ini adalah rambut pada daerah khusus Hadler!”
Sang pengacara bungkam, tidak berkutik. Selanjutnya, ia hanya bisa mempertahankan pembelaannya dengan mengatakan bahwa tertuduh dalam keadaan mabuk. Namun argumennya kali itu tidak berhasil. Baik petugas klinik maupun penjaga gardu mampu meyakinkan bahwa saat itu tertuduh tidak dalam keadaan mabuk.
Juri akhirnya memutuskan Hadler terbukti bersalah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan tanpa bisa diperingan lagi.
Satu helai rambut kecil ternyata mampu memaksa Hans Wilhelm Hadler, pembunuh sekaligus pemerkosa, menjalani hukuman penjara seumur hidup pada tanggal 14 September 1984. (Mindless Murders)
Baca Juga: Bayangan Pembunuh Berantai
" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561359/sehelai-rambut-mengantar-ke-bui" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668182992000) } } [2]=> object(stdClass)#69 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3456957" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#70 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/jack-the-ripper-dari-india_-tejj-20220905031947.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#71 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Pembunuhan Anitha memicu pertikaian kelompok Hindu dan Muslim. Keluarga dan pendukung mengancam akan melakukan kekerasan jika pelaku tidak ditemukan." ["section"]=> object(stdClass)#72 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/jack-the-ripper-dari-india_-tejj-20220905031947.jpg" ["title"]=> string(26) "Jack The Ripper dari India" ["published_date"]=> string(19) "2022-09-05 15:20:07" ["content"]=> string(22865) "
Intisari Plus - Pembunuhan Anitha memicu pertikaian kelompok Hindu dan Muslim di Puttur, India. Keluarga dan para pendukung mengancam akan melakukan kekerasan jika pelaku tidak ditemukan.
-------------------
Di sebuah siang yang hiruk pikuk akibat demonstrasi, kantor kepolisian Puttur menerima laporan pembunuhan. Korbannya seorang perempuan, Anitha, berusia 22 tahun. “Kami yakin Anitha dibunuh oleh kelompok Muslim,” demikian dugaan kuat keluarga Anitha. Dugaan ini cukup masuk akal karena mayat Anitha ditemukan di toilet sebuah terminal bus kota persis setelah terjadi pertikaian antara kelompok Hindu dan Islam. Namun, keluarga Anitha tak punya bukti apa-apa yang bisa disodorkan ke pihak kepolisian.
Hingga beberapa hari setelah laporan itu, tak ada kemajuan sama sekali. Polisi tak memperoleh petunjuk apa pun. Karena merasa polisi mengabaikan laporan itu, keluarga Anitha mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi di depan kantor kepolisian. Mereka membawa poster-poster yang menyudutkan kelompok Muslim dan menuntut polisi segera mengusut kasus itu sampai tuntas. “Jika polisi tidak segera bertindak, kami sendiri yang akan bertindak,” demikian bunyi ancaman salah satu poster mereka.
Merasa mendapat serangan dari kelompok Hindu, penganut Islam di kota itu pun melakukan demonstrasi tandingan. Akhir Juni 2009, kota Puttur hampir saja dilanda kerusuhan hingga akhirnya pihak kepolisian memutuskan untuk menyelidiki kasus ini dengan membentuk tim investigasi khusus.
Asisten Superintenden Chandragupta dari Kepolisian Puttur ditunjuk sebagai ketua tim investigasi. Ini bukan tugas mudah. Apalagi jika hilangnya Anitha ini benar-benar berkaitan dengan pertikaian antara kelompok Hindu dan Islam. Kota itu pasti akan benar-benar dilanda kerusuhan. Masjid-masjid dan kuil-kuil di kota Puttur pasti akan dibakar oleh massa yang sedang marah. Bahkan, bisa saja bom meledak di pusat-pusat kegiatan publik, seperti yang biasa terjadi di jika pertikaian antaragama sedang meletus.
Chandragupta memulai investigasi dengan mengumpulkan informasi dari semua anggota keluarga dan teman-teman Anitha. Tak ada yang bisa memberi petunjuk. Satu-satunya sumber informasi yang mungkin bisa membawa polisi ke pelaku kejahatan itu adalah salah satu ponsel milik Anitha. Ponsel ini tidak ia bawa pada hari ia dinyatakan hilang.
Di ponsel itu tersimpan seratusan nama dan nomor telepon. Juga nomor-nomor tanpa nama yang dihubungi oleh Anitha atau menghubunginya. Sebagian nama itu bisa dikenali oleh keluarga dan teman Anitha. Sebagian lainnya tidak. Polisi memusatkan perhatian pada nama-nama yang tidak dikenali oleh keluarga Anitha. Dari beberapa nomor telepon ini, Chandragupta menemukan informasi yang cukup penting. Salah satu nomor telepon yang dicurigai itu ternyata milik seorang perempuan dari kota lain yang sudah mati! Perempuan itu, Pushpalatha, umur 25 tahun, adalah korban pembunuhan misterius yang terjadi sebelumnya di kota lain.
Dari catatan kepolisian, mayat Pushpalatha juga ditemukan polisi di sebuah toilet umum di terminal bus kota. Hasil autopsi di Rumah Sakit Victoria menunjukkan Pushpalatha tewas karena racun sianida. Di saluran cerna mayat, ahli forensik menemukan senyawa racun ini dalam dosis mematikan. Namun, saat itu polisi menduga Pushpalatha melakukan bunuh diri dengan cara minum racun. Polisi tidak menemukan petunjuk yang mengarah kepada pelaku pembunuhan. Laporan kepolisian hanya menulis kasus itu sebagai “kematian yang tidak wajar”. Bukan pembunuhan, tapi bunuh diri.
Karena bukan dianggap pembunuhan, kasus kematian Pushpalatha pun ditutup begitu saja. Hingga hari itu pembunuh Pushpalatha belum ditemukan. Tapi tiba-tiba nomor ponselnya dipakai seseorang. Logikanya, siapa lagi yang memakai nomor itu kalau bukan si pembunuh? Namun, sampai di sini kepolisian sulit melacak keberadaan pemakai nomor ponsel itu karena catatan operator telepon menunjukkan nomor itu jarang dipakai.
Jika ada hubungan antara matinya Anitha dan Pushpalatha, berarti kasus yang dihadapi Chandragupta ini adalah kasus pembunuhan berantai. Merasa mendapatkan petunjuk, Chandragupta kemudian mengumpulkan informasi dari kantor-kantor kepolisian terdekat tentang kasus-kasus yang mirip. Ternyata ia menemukan satu kasus lain yang serupa.
Pada tanggal 22 Oktober 2005, polisi Bangalore juga menemukan mayat seorang perempuan di dalam toilet umum di sebuah terminal bus. Lagi-lagi di terminal bus kota. Mayat perempuan itu dikenali sebagai Shashikala. la dilaporkan hilang persis satu hari sebelumnya. Hasil autopsi di Rumah Sakit Victoria juga menunjukkan Shashikala tewas karena racun sianida. Di saluran pencernaannya ditemukan sianida dalam dosis mematikan. Lagi-lagi racun sianida. Tapi waktu itu polisi tidak menemukan petunjuk yang mengarahkan mereka kepada pelaku pembunuhan.
Sama seperti kasus kematian Pushpalatha, saat itu polisi pun menduga Shashikala melakukan bunuh diri dengan cara minum racun. Lagi-lagi catatan kepolisian hanya menulis kasus itu sebagai “kematian yang tidak wajar”.
Jika benar ketiga kasus ini saling berhubungan, berarti Chandragupta sedang berhadapan dengan seorang psikopat. Seorang pembunuh keji yang masih berkeliaran di Mangalore, Puttur, dan sekitarnya. la paling tidak sudah memulai aksinya sejak tahun 2005. Sangat mungkin korbannya lebih dari tiga. Selain Shashikala, Pushpalatha, dan Anitha, mungkin saja masih banyak perempuan lain yang menjadi korban.
Tiga nama korban ini membuat Chandragupta getir sekaligus lega. Getir karena itu berarti ia sedang berhadapan dengan seorang pembunuh yang keji dan licin. Lega karena itu berarti kasus ini tidak berkaitan dengan pertikaian antara umat Hindu dan Islam. Setidaknya, ia bisa meyakinkan keluarga Anitha dan para demonstran yang mengancam akan melakukan tindakan main hakim sendiri.
Korban dari kota berbeda
Berbekal dokumen kematian yang tidak wajar itu, Chandragupta kemudian mencari kasus-kasus lama yang masuk kategori “kematian tidak wajar” dari kantor-kantor kepolisian di seluruh Negara Bagian Karnataka. Hasilnya benar-benar mencengangkan sekaligus mengerikan. Chandragupta memperoleh tambahan lima kasus serupa! Korbannya selalu perempuan, belum menikah. Semua mayat perempuan ini ditemukan di dalam toilet umum terminal bus kota. Hasil autopsi menunjukkan bahwa penyebab kematian pun sama, yaitu racun sianida. Semuanya pun dimasukkan ke dalam kategori “kematian tidak wajar”. Semua korban diduga bunuh diri karena memang tak ada petunjuk yang mengarah ke pelaku pembunuhan.
Kasus-kasus kematian ini terjadi di banyak kota. Tampak sangat jelas pelaku sengaja berpindah-pindah mencari korban supaya tidak ada satu pun pihak kepolisian yang menangani korbannya beberapa kali. Dengan tipu muslihat itu, catatan korban kejahatannya tersimpan di banyak kantor kepolisian sehingga tak ada polisi yang mencurigai kasus-kasus itu berhubungan satu sama lainnya.
Dari keluarga salah satu korban tahun 2007, Poornima, umur 35 tahun, polisi mendapat informasi tambahan. Beberapa hari sebelum mayatnya ditemukan di dalam toilet bus kota, keluarga Poornima kedatangan tamu seorang laki-laki yang mengaku bernama Anand Mogera. la minta izin sekaligus menawarkan diri untuk menikahi Poornima tanpa maskawin. Bagi Poornima dan keluarganya, tawaran ini adalah sebuah kesempatan yang sangat sulit ditolak.
Dalam tradisi masyarakat Hindu di India, yang wajib memberikan maskawin adalah pihak pengantin perempuan, bukan pengantin laki-laki. Tradisi ini membuat banyak perempuan mengalami kesulitan menikah. Maka, mendapat tawaran menggiurkan itu, keluarga Poornima tak membutuhkan waktu lama untuk menjawab ya. Apalagi umur Poornima sudah 35 tahun. Namun, beberapa hari kemudian, Poornima tiba-tiba menghilang dan tak lama setelah itu polisi menemukan mayatnya di dalam toilet sebuah terminal bus kota. Sayangnya, keluarga Poornima tidak bisa memberi informasi lebih banyak tentang laki-laki itu.
Dari keluarga korban yang lain, Sharada, perempuan, umur 24 tahun, belum menikah, polisi mendapat tambahan informasi berbeda. Sebelum ditemukan tewas, Sharada beberapa kali menerima panggilan dari sebuah nomor telepon. Yang aneh, nomor telepon ini tidak pernah bisa dihubungi saat keluarga Sharada mencoba menelepon. Tampaknya nomor telepon itu hanya digunakan oleh si pemiliknya untuk melakukan panggilan dan segera dimatikan begitu pembicaraan selesai.
Berbekal nomor telepon misterius itu, Chandragupta melanjutkan penelusuran. Dari catatan operator nomor telepon itu, Chandragupta memperoleh informasi yang makin menguatkan dugaannya bahwa pelaku semua kejahatan ini adalah orang yang sama. Ternyata nomor itu milik perempuan lain yang juga sama-sama menjadi korban. Kelihatan jelas, setelah pelaku membunuh korban, ia menggunakan ponsel korban untuk berkomunikasi dengan korban berikutnya.
Dari catatan operator telepon itu juga, Chandragupta mengumpulkan nomor-nomor yang pernah dihubungi si pelaku. Dari beberapa nomor yang didapat, Chandragupta memperoleh satu nomor yang ternyata masih bisa dihubungi: seorang laki-laki. Ketika polisi menemui laki-laki itu dan meminta ia menunjukkan ponselnya, polisi kembali menemukan satu petunjuk. Ternyata pesawat telepon yang dipakai laki-laki itu punya ciri yang sama dengan pesawat telepon milik seorang korban.
Si laki-laki mengaku tak tahu-menahu tentang perempuan yang sudah mati itu. Tapi ia mengaku membeli pesawat telepon itu dengan harga yang sangat murah dari seorang laki-laki yang bernama Mohan. Mohan Kumar. Di sini Chandragupta menemukan data yang berbeda. Keluarga Poornima menyatakan bahwa laki-laki yang dicurigai membunuh Poornima itu mengaku bernama Anand Mogera. Sementara laki-laki yang menjual pesawat telepon ini bernama Mohan Kumar. Mungkin kedua nama ini milik dua orang yang berbeda. Mungkin juga milik satu orang yang menyamar dengan banyak nama.
Dengan bekal data dari pembeli ponsel itu, polisi tak kesulitan menemukan identitas Mohan. Namun, ketika Chandragupta membuka catatan tentang laki-laki ini, ia tertegun sekaligus ragu-ragu. Sejak tahun 1980, Mohan Kumar berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Apakah mungkin pelaku semua kejahatan ini adalah seorang guru? Ia melakukan tugas sebagai pendidik selama 23 tahun di beberapa sekolah yang berbeda dan pensiun tahun 2003. Catatan sipil menunjukkan dia menikah tiga kali. Istri pertama yang ia dinikahi tahun 1987 ia ceraikan. Saat ini ia hidup dengan dua orang istri yang tinggal di dua kota yang berbeda.
Telah membunuh 19 orang
Dengan masih menyisakan tanda tanya besar, polisi segera menjemput Mohan Kumar di rumahnya. Sama sekali tak ada perlawanan. Tapi ia menyangkal telah melakukan semua kejahatan itu. Tak kekurangan akal, Chandragupta kemudian mendatangkan orangtua Poornima, salah satu korban yang rumahnya sempat didatangi Mohan. Ketika melihat wajah Mohan, ayah dan ibu Poornima langsung berseru, “Ya. Itu dia!” Keduanya yakin betul laki-laki itulah yang datang ke rumah mereka dan mengajak Poornima menikah tanpa maskawin.
Setelah dihadapkan pada bukti-bukti yang tak bisa dibantah, Mohan akhirnya tidak bisa mengelak dari dakwaan polisi. Anand Mogera hanyalah nama samaran yang ia gunakan untuk mengelabui keluarga Poornima. Ia mengaku mulai melakukan aksi kejinya sejak tahun 2000. Itu berarti psikopat ini telah berkeliaran di Negara Bagian Karnataka selama sembilan tahun tanpa disadari kehadirannya oleh polisi.
Ia selalu memilih korban perempuan yang belum menikah, usia antara 22 - 35 tahun, yang ia kenal di tempat-tempat publik. Saat hendak memulai berkenalan, ia mengaku menggunakan jurus pura-pura kenal. Ia menghampiri perempuan yang diincarnya dan langsung menyapanya, seolah-olah ia sudah pernah kenal. Setelah itu kemudian memulai percakapan, lalu bertukar nomor telepon, untuk selanjutnya saling bertukar cerita hingga masalah-masalah pribadi tentang status pernikahan.
Korban pertamanya seorang perempuan, Rathna, belum menikah. Waktu itu Mohan membujuknya dengan mengatakan bahwa ia akan menikahinya. Tapi wanita ini menolak dan membuat Mohan murka. Mohan sempat mencoba membunuh Rathna dengan cara mendorongnya saat berada di jembatan di atas sungai tapi gagal. Percobaan pembunuhan yang gagal ini membuat Mohan mengubah modus tindak kriminalnya.
Korban selanjutnya, Kaveri, perempuan, umur 32 tahun, juga belum menikah. Mohan membujuknya dengan janji akan menikahi perempuan itu tanpa maskawin. Rayuan maut ini membuat Kaveri seperti terkena hipnotis. Ia langsung menyatakan bersedia menuruti apa saja kemauan Mohan. Begitu Kaveri menyatakan bersedia, Mohan kemudian mengajaknya pergi ke sebuah kota yang jauh dari rumahnya. Di sini, Mohan mengajak Kaveri menginap di sebuah motel lalu mengajak Kaveri melakukan hubungan seksual.
Setelah melampiaskan libidonya, Mohan mengajak Kaveri pergi ke kuil untuk melakukan ritual persiapan pernikahan. Sebelum berangkat, Mohan meminta Kaveri melepaskan semua perhiasan serta meninggalkan semua benda yang ia bawa di motel. Di tengah perjalanan menuju kuil, Mohan mengajak Kaveri berhenti di terminal bus kota. Di situ, Mohan meminta Kaveri minum pil berwarna putih. Pil itu ia katakan sebagai obat untuk mencegah kehamilan agar terhindar dari kemungkinan hamil akibat hubungan seksual yang baru mereka lakukan. Padahal, sebetulnya pil itu adalah racun sianida yang sangat mematikan.
Mohan meminta Kaveri minum obat itu di dalam toilet umum supaya ia tidak repot kalau perutnya terasa mulas. Segera setelah menenggak pil itu, dalam hitungan kurang dari dua menit, Kaveri langsung tewas di dalam toilet. Mohan kemudian pergi kembali ke motel untuk mengambil semua perhiasan dan barang milik Kaveri. Ketika polisi menemukan mayat Kaveri, tak ada satu orang pun yang curiga bahwa ia korban pembunuhan. Mereka menduga Kaveri melakukan bunuh diri.
Karena merasa sukses dengan cara ini, begitu selesai menghabisi Kaveri, Mohan pun mencari korban lain. Modus kejahatan yang ia lakukan tetap sama. Di tempat-tempat publik, ia mencari kenalan perempuan yang belum menikah. Kepadanya, ia menawarkan diri untuk menikahinya tanpa maskawin. Lalu ia mengulangi secara persis apa yang ia lakukan kepada Kaveri. Begitu seterusnya. Selesai membunuh satu korban, ia langsung mencari korban berikutnya. Bahkan, kadang ia mengincar dua korban pada waktu yang sama di dua kota yang berbeda.
Karena merasa tak terendus sama sekali oleh polisi, Mohan menjadi seorang maniak. Ia semakin menikmati kejahatan yang ia lakukan. Nafsu seksual dan nafsu membunuhnya tak terbendung. Selama sembilan tahun ia berkeliaran di kota-kota di Negara Bagian Karnataka sampai jumlah korbannya mencapai sembilan belas orang! Beberapa korban ditemukan oleh polisi tanpa identitas lalu dikubur sebagai mayat tak teridentifikasi karena tak ada keluarga yang mengambil jenazahnya.
Hingga akhirnya kejahatan Mohan tercium polisi ketika ia menghabisi Anitha. Kejahatan ini mendapat perhatian serius dari polisi karena terjadi persis saat meletusnya pertikaian antaragama di Puttur. Andai saja tidak terbongkar, mungkin saja setelah Anitha masih akan ada korban ke-20, 21, dan seterusnya. Pada saat ditangkap, Mohan mengaku sedang melakukan pendekatan kepada dua orang perempuan lain dari dua kota yang berbeda.
Membeli sianida dari pandai emas
Dengan pengetahuannya sebagai seorang guru, Mohan tidak mengalami kesulitan mendapatkan racun sianida dan meraciknya sendiri menjadi pil yang siap untuk diminum. la mengaku sengaja memilih sianida karena terinspirasi oleh kebiasaan yang dilakukan oleh anggota Pembebasan Macan Tamil Eelam, kelompok separatis di Sri Lanka.
Para gerilyawan pemberontak ini selalu membawa racun sianida saat mereka melakukan gerilya. Racun ini bukan digunakan untuk membunuh lawan tapi digunakan untuk bunuh diri jika tertangkap oleh tentara Pemerintahan Sri Lanka. Segera setelah ditangkap, gerilyawan akan langsung minum racun sianida sehingga ia akan segera mati dalam hitungan menit. Dengan begitu, para tentara Sri Lanka tak punya kesempatan untuk menginterogasi mereka. Cara ini mereka tempuh untuk merahasiakan informasi mengenai gerilyawan lain.
Selain karena bisa membunuh dengan cepat, Mohan sengaja memilih sianida karena racun ini bisa dibentuk menjadi pil kecil yang sekilas terlihat sebagai obat. Tak satu pun korbannya curiga. Semua percaya begitu saja ketika Mohan mengatakan itu sebagai pil kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
Racun sianida juga mudah digunakan tanpa meninggalkan jejak sama sekali ke arah pelaku pembunuhan. Sianida bisa membunuh kurang dari dua menit. Karena waktu bunuhnya cepat, korban tidak sempat minta tolong kepada orang di sekitarnya. Mohan sengaja menyuruh korban meminum sianida di dalam toilet dengan tipu muslihat yang meyakinkan, yaitu supaya si perempuan tidak repot kalau perutnya terasa mulas sehabis minum obat itu. Padahal sebetulnya ia memilih toilet supaya tak ada orang yang melihat korban saat meregang nyawa. Ia selalu memilih toilet yang jauh dari kerumunan orang. Kalaupun korban sempat mengerang atau berteriak sebelum mati, tak ada orang yang mendengarnya.
Shanta, salah satu korban yang dibunuh tahun 2006 sempat dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan sekarat. Ia tidak langsung meninggal di dalam toilet sesudah menenggak racun sianida. Tapi ia keburu meninggal di dalam ambulans sehingga identitas Mohan tak sempat terungkap.
Selama sembilan belas kali Mohan tak pernah gagal melakukan tindak kriminal. Polisi tak pernah mencium kejahatannya. Kejahatannya baru bisa dilacak karena “kekeliruannya” menggunakan ponsel milik korban untuk menghubungi orang lain dan bahkan menjual ponsel korban kepada seseorang yang mengenalnya.
Pada saat polisi menangkap Mohan, mereka menemukan barang bukti berupa empat telepon genggam dan seperangkat perhiasan milik korban yang belum ia jual. Mohan mengaku menjual ponsel dan perhiasan korban untuk membiayai dua orang istri dan empat orang anaknya. Pengakuan yang cukup melankolis untuk ukuran seorang pembunuh keji seperti dia.
Di rumahnya, polisi juga menemukan delapan pil racun sianida. Jika satu pil bisa membunuh satu orang, maka delapan pil itu masih bisa membunuh delapan korban berikutnya kalau saja polisi tidak segera menangkapnya. Mohan mengaku membeli racun sianida itu dari beberapa pandai emas supaya tidak tampak mencurigakan. Garam sianida memang salah satu bahan kimia yang diperlukan untuk melarutkan emas.
Ketika polisi mengumumkan penangkapan Mohan, Negara Bagian Karnataka, bahkan seluruh India dibuat gempar. “Saya pernah menjadi muridnya. Tapi saya sama sekali tidak menyangka dia seorang pembunuh,” begitu komentar salah seorang yang pernah diajar oleh Mohan di sekolah.
Sekalipun Mohan menikah tiga kali, tak ada satu orang pun yang menyangka dia seorang maniak seks. Semua orang yang pernah mengenalnya pun memberi kesaksian serupa. Mohan adalah seorang yang mudah bersahabat dengan orang lain. “Dia orang yang ramah,” kata orang-orang yang pernah mengenal Mohan. Tak mengherankan, dengan keramahan itu ia bisa dengan mudah memikat perempuan yang baru ia kenal di tempat umum. Licik dan mematikan. Untuk menutupi identitas yang sebenarnya, ia memberi nama samaran yang berbeda-beda kepada para perempuan itu.
“Dia guru yang pintar,” kata para guru yang pernah mengajar bersama Mohan. Dengan kecerdasan itu, tak mengherankan ia bisa meramu sianida menjadi pil yang kelihatan seperti obat. Dengan tipu muslihat itu, ia bisa mengelabui para korbannya karena mereka menyangka pil itu adalah pil kontrasepsi sungguhan.
Dia juga pandai mencari akal bulus untuk memikat perempuan dengan rayuan bahwa ia bersedia menikahi perempuan itu tanpa maskawin. Di masyarakat Hindu India, banyak perempuan yang tidak bisa menikah karena perkara maskawin. Pihak laki-laki sering kali meminta maskawin dalam jumlah yang sangat besar. Bagi para perempuan yang sulit menikah karena alasan ini, rayuan Mohan Kumar ibarat mantera yang langsung menghipnosis mereka.
“Sungguh sulit dipercaya. Ini benar-benar kisah pembunuhan berantai yang lebih menegangkan daripada film thriller Alfred Hitchcock,” demikian komentar situs berita lokal, Mangalorean. “Jack the Ripper dari India!” kata Inspektur Gopal Hosur, kolega Chandragupta di kepolisian. Ia menyamakan kasus Mohan Kumar dengan cerita pembunuhan berantai yang sangat kondang di Inggris pada akhir abad ke-19. (M Sholekhuddin)
Intisari Plus - Mayat kedua wanita yang sama cantiknya berada di ruang otopsi. Ternyata mereka adalah janda kaya, korban kekerasan dan pembunuhan.
-------------------
Kedua wanita itu tampak mirip. Keduanya cantik dan berambut pirang, memakai bayangan mata dan kukunya dicat. Keduanya memakai perhiasan dari emas dan perak yang sedang mode. Pada tubuh mereka yang berwarna agak kecoklatan, tampak bagian putih bekas ditutupi bikini yang minim.
Kedua wanita itu berbaring secara berdampingan di ruang pendingin fakultas kedokteran, keduanya mati karena kekerasan. Mereka diautopsi di pusat kedokteran kriminologi terbesar di Jerman Barat. Yang seorang ialah jutawan Karin Schubert-Konig (41), berasal dari Grünewald dekat München. Seorang lagi Sonnhilde Wienold yang berusia 35 tahun, sekretaris seorang pengacara di München. Kedua mayat itu diautopsi oleh Prof. Dr. Wolfgang Eisenmenger dan Prof. Dr. Hans Dieter Troger.
Semasa hidupnya kedua wanita ini tak pernah saling bertemu. Tidak pernah terpikir oleh bagian pemeriksa mayat bahwa nasib mereka itu saling berhubungan. Sebagai contoh, tidak ada seorang pun yang tahu bahwa kedua wanita itu iseng-iseng menjawab iklan mencari jodoh.
Beberapa hari kemudian telah dapat dipastikan bahwa Karin Schubert-Konig dan Sonnhilde Wienold yang wajahnya mirip, telah bertemu dengan pembunuh yang sama.
Prosesnya berlangsung sebagai berikut: Pada hari Sabtu, 7 Juli 1979, pukul 09.50, dua orang petugas polisi Grünewald menghubungi polisi bagian pembunuhan di München. Mereka ditelepon untuk datang ke sebuah vila dan di sana ditemukan mayat Karin SchubertKonig, pemilik rumah itu.
Mayat itu tergeletak dengan posisi telentang di atas ranjang yang tampaknya tidak digunakan, dalam posisi rapi seperti disemayamkan. Mayat itu dalam keadaan telanjang, tanpa perhiasan. Sekalipun demikian, pada hidungnya ada bekas darah.
"Di sini pasti ada mayat."
Mayat Karin dibawa ke bagian kedokteran forensik. Di sana segera diketahui bahwa korban mati karena cekikan. Ini bisa diketahui dari perdarahan khas di daerah muka.
"Detektif berbaju putih" ini mempertimbangkan apakah tidak ada kemungkinan korban meninggal karena pernapasannya teralang. Tapi ini tidak mungkin, mengingat keadaan saat orang menemukan mayat itu. Tampaknya seseorang telah memindahkan letak mayat.
Tengkorak kepala, rongga dada, dan rongga perut dibedah. Tetapi tidak ditemukan tanda-tanda kematian yang wajar. Di dalam perut dan usus ditemukan "zat-zat yang berasal dari tablet-tablet yang dicurigai" dan diserahkan kepada Dr. Ludwig von Meyer, seorang ahli kimia, bersama contoh darah dan jantung.
Selain itu dipastikan korban meninggal sekitar 6- 8 jam sebelum mayat itu ditemukan. Ini cocok dengan keterangan ibu korban kepada petugas bagian kriminal.
Pada hari itu Karin menerima kunjungan sampai larut malam dari seorang laki-laki yang telah meneleponnya, yang menyebut dirinya Dr. Herzog.
Lewat pukul 16.00 berakhirlah pemeriksaan mayat itu.
Sehari kemudian, tanggal 8 Juli, tiga orang anak muda mengunjungi reruntuhan bangunan Rottmannschohe di Danau Starnberg, sebelah barat daya Grünewald.
Dua orang pemuda dan seorang gadis dengan mempergunakan sebuah lampu senter memasuki ruangan gelap dan mereka pun sampai di sebuah pintu. Sambil bergurau mereka berkata, "Di sini tentu ada mayat."
Mereka sangat terkejut ketika benar-benar berdiri di hadapan sesosok mayat. Mayat itu berada dalam relung di balik pintu dalam keadaan telanjang dan kaku, di antara debu dan beling. Rupa-rupanya itu mayat seorang wanita muda yang dibunuh. Pada leher dan tubuhnya terdapat luka-luka. Ada darah pada matanya.
Komisi yang berwenang dalam menangani pembunuhan dihubungi. Mereka memberi kabar pada Dr. Troger, yang sehari sebelumnya masih membedah mayat Karin Schubert-Konig. Ketika ia datang mereka sepakat bahwa wanita itu terluka di bagian kerongkongannya. Celah mata yang terbuka dilihat luka yang berbentuk bilur-bilur. Darah masih menutupi kotoran di atas kepala. Rupanya mayat itu masih berdarah ketika diseret ke situ.
Pada jejak bekas menyeret masih dapat terlihat bahwa mayat itu mula-mula diseret dengan keadaan telungkup dan kemudian diletakkan dengan posisi telentang. Bagaimanapun tempat ditemukannya mayat itu bukanlah tempat korban dibunuh.
Gara-gara iklan
Dokter forensik memeriksa kekakuan mayat itu dan mengukur suhu tubuh dan suhu ruangan. Kemudian seorang pengusaha penguburan di Starnberger membawa wanita yang belum dikenal itu ke Lembaga Kriminologi München.
Daftar orang hilang pun diperiksa. Ternyata seorang laki-laki melaporkan tentang kawannya yang hilang, yaitu Sonnhilde Wienold, pada tanggal 6 Juli. Pada tanggal 8 Juli malam ia diminta datang ke pengadilan kedokteran. Ia harus lama menunggu, karena para pemeriksa mayat masih sibuk. Mereka menyimpulkan tulang tenggorokan sebelah kiri korban patah, hal itu terbukti ketika diadakan pemeriksaan dalam. Wanita itu meninggal akibat cekikan.
Bilur-bilur atau goresan pada dada tidak banyak memberikan petunjuk. Tetapi luka-luka pada leher dan mata tidak menunjukkan perdarahan di bawah kulit, suatu bukti bahwa korban dilukai setelah meninggal - mungkin karena pembunuhnya seorang yang sadis.
Kemudian tubuh mayat itu dijahit dan dibersihkan. Bekas autopsi diusahakan untuk ditutup dan dihilangkan.
Setelah itu masuklah laki-laki yang telah menunggu di luar tersebut. Ia menghampiri lebih dekat. "Ya, ini Sonny!" katanya dengan bingung.
Segera setelah dapat berbicara kembali, ia menceritakan bahwa beberapa hari sebelum menghilang, "Sonny" Wienold menjawab iklan yang bunyinya kira-kira demikian:
Seorang dokter, duda, 41 tahun, tinggi 184 cm, kulit berwama agak gelap, berat 70 kg, mempunyai klinik pribadi yang berjalan baik, rumah tinggal di Nice, tanpa anak, mencari seorang teman hidup yang cocok, untuk segera diajak menikah. Lebih disukai yang berada.
Seorang kepala polisi kriminal yang banyak bekerja dalam kasus Wienold, tertegun. Secara kebetulan ia juga mendengar bahwa menjawab iklan-iklan semacam itu merupakan salah satu hobi Karin Schubert-Konig.
Janji lewat telepon
Enam puluh jam kemudian, ketika di rumah Sonnhilde Wienold ditemukan secarik kertas catatan Sonny dengan bertuliskan nama Dr. Herzog, tim München dan Furstenfeldbuck bertemu untuk membicarakan Dr. Herzog.
Dua hari kemudian laki-laki yang penuh rahasia itu ditemukan. Namanya Elmar Scharmer. Ia tinggal di Munchen bersama teman wanitanya, Helmtrud. Nomor telepon Helmtrud tertera pada secarik kertas bertuliskan nama Dr. Herzog yang ditemukan di rumah Wienold.
Scharmer dan teman wanitanya ditangkap pada tanggal 13 Juli. Scharmer yang suka menyebut diri Dr. Herzog itu berusia 39 tahun. Ia sudah tiga kali bercerai, pernah menjadi pramugara, pemilik kafe, dan pernah dihukum. Pada waktu itu orang sudah tahu bahwa Scharmer-lah yang memasang iklan sebagai Dr. Herzog untuk mendekati sejumlah wanita. Sudah jelas Sonnhilde Wienold dan Karin SchubertKonig termasuk wanita yang ikut menjawab iklan tersebut.
Tetapi apakah Scharmer juga pembunuh mereka? Apakah polisi akan berhasil membuktikan pembunuhan itu, meskipun Scharmer bersikeras tidak melakukannya?
Biarpun anggun, si pirarig Karin Schubert yang berasal dari Grünewald ini kuat dan gesit. Diduga ia dibunuh dengan mempergunakan sebuah bantal. Dalam keadaan normal, ia tentu melakukan perlawanan sampai saat terakhir.
Meskipun demikian tidak ada satu tanda pun yang menunjukkan bekas perlawanan. Hal ini baru menjadi jelas ketika pengadilan kedokteran memperlihatkan hasil pemeriksaan darah dan organ tubuh yang mengejutkan.
Pertama, wanita ini sangat jarang minum minuman keras semasa hidupnya. Tetapi darahnya mengandung kurang lebih 1,5 per mil alkohol.
Kedua, ia tidak pernah menelan obat tidur, tetapi tak lama sebelum kematiannya ia menelan obat tidur Diphenhydramin dalam dosis yang banyak. Dosis itu kan mematikan, tetapi hanya dapat membius seseorang.
Jelaslah bahwa Karin SchubertKonig dibuat menjadi setengah mabuk lebih dulu, kemudian dibuat menjadi tidak sadar, sebelum dibunuh. Yang terakhir ini telah dilakukan dengan kekerasan atau tipuan.
Sebaliknya, dalam darah dan organ tubuh Sonnhilde Wienold hanya ditemukan sedikit alkohol dan sisa sejenis obat yang ringan dosisnya, yang tak mungkin dapat membuat orang pingsan.
Pembunuhan terhadapnya lebih keji dibandingkan dengan yang lain. Bagaimana dengan waktu pembunuhan itu? Bisa dipastikan bahwa Karin Schubert-Konig meninggal pada pagi-pagi buta tanggal 7 Juli.
Dalam kasus Sonnhilde Wienold pertanyaan ini sulit dijawab. Mayatnya sudah rusak ketika ditemukan orang di reruntuhan gudang bawah tanah. Kalau dilihat dari segi kekakuan normal, mayat itu sudah mati sekitar 60 jam. Namun sebaliknya, noda maut di tubuh mayat tersebut menunjukkan bahwa kematian maksimal terjadi 48 jam sebelumnya.
Namun kekakuan mayat dan noda maut bisa dipengaruhi oleh suhu ruangan yang 12°C. Kerusakan dapat diperlambat. Maka pada dasarnya perkiraan waktu tersebut hanya spekulasi.
Dari berbagai pernyataan saksi diketahui bahwa Sonnhilde Wienold telah membuat janji melalui telepon dengan Dr. Herzog pada tanggal 5 Juli. Menjelang sore hari tanggal 5 Juli itu ia terakhir kali terlihat dalam keadaan masih hidup.
Jangka waktu itu menunjukkan bahwa tidak mungkin wanita itu dibunuh 60 jam sebelum ditemukan. Polisi kriminal dapat bernapas lega.
Hasil penyelidikan ini cocok dengan dugaan bahwa Sonnhilde Wienold dibunuh pada sore hari tanggal 5 Juli. Elmar Scharmer untuk waktu itu mempunyai suatu alibi yang lemah. Helmtrud, teman wanitanya yang juga ditangkap, mengatakan bahwa pada sore hari itu ia ada bersama Elmar Scharmer.
Waktu kematian yang diperkirakan pada tanggal 5 Juli itu jadi cocok dengan hasil-hasil pemeriksaan kedokteran. Dengan demikian selesailah tugas pengadilan kedokteran untuk membuat proses terhadap Elmar Scharmer alias Dr. Herzog. Kemudian petunjuk tambah lengkap.
Elmar Scharmer pernah memiliki sebuah pakaian dari bulu binatang dan sebuah tas kepunyaan Sonnhilde Wienold. Ia juga memiliki cek milik Sonnhilde, yang telah diuangkan oleh teman wanitanya; selain ia juga dapat mempergunakan cek Sonnhilde.
Korban dicambuk?
Di dalam rumah Karin Schubert-Konig ditemukan bunga. Dapat dibuktikan bahwa bunga tersebut dibeli oleh Scharmer pada malam sebelum peristiwa itu. Selain itu Scharmer memiliki dompet uang dari kulit buaya (yang berasal dari rumah tempat Karin dibunuh). Ia juga telah menukarkan 217.000 lira Italia.
Di bawah secarik kertas tempat Sonnhilde menulis nama Dr. Herzog, terdapat secarik kertas lain yang berasal dari dokter itu sendiri. Di atas kertas itu tertera nama Schubert-Konig dan nomor teleponnya yang tidak umum dikenal orang.
Akhirnya, di rumah Karin Schubert-Konig di Grünewald ditemukan sebuah sarung tangan kulit milik Scharmer. Pada sarung tangan itu ada cipratan darah yang golongannya sama dengan golongan darah Karin.
Helmtrud juga mendapat tuduhan berat. Ia yang mengirimkan iklan mencari jodoh atas perintah Scharmer dan menguangkan cek milik Sonnhilde. Wanita berusia 39 tahun ini juga melakukan hubungan seksual yang menyimpang dari biasa dengan Scharmer. Pembunuhan ini mungkin demi pelampiasan seksual.
Menurut belasan wanita yang pernah melakukan hubungan intim dengan Scharmer, yaitu bekas istri-istrinya, kawan-kawan wanitanya, kenalan-kenalannya melalui surat kabar, tingkah laku dan pikiran-pikiran Scharmer itu mengerikan.
la senang melakukan hubungan seksual dalam mobil yang berkecepatan 200 km/jam, masuk dalam grup-grup seks yang sadis (sadomasochist). Yang diinginkan Scharmer bukan hanya seks, tetapi juga uang dari wanita-wanita itu. Bahkan Helmtrud, kawan wanitanya, dirugikan dalam jumlah besar.
Dengan latar belakang ini penuntut umum dengan berat hati akhirnya menuduh kawan wanita Scharmer ini sebagai tukang tadah dan juga sebagai orang yang ikut membunuh dua orang tadi.
Apakah Elmar Scharmer membunuh Sonnhilde Wienold dan Karin Schubert-Konig demi uang atau untuk melampiaskan nafsu? Pertanyaan penting ini tetap tinggal pertanyaan, ketika perkara ini diajukan ke pengadilan pada bulan Mei tahun 1981.
Empat bulan lamanya proses yang penuh sensasi ini berlangsung yaitu proses yang membicarakan banyak hal yang luar biasa: darah, seks, dan pertengkaran. Dokter pengadilan juga dipanggil. Mereka memberi keterangan bahwa luka potong atau bilur-bilur pada dada Sonnhilde Wienold itu bisa disebabkan oleh cambuk.
Janji di hari Paskah
Kemudian tibalah putusan yang dijatuhkan hampir dua tahun setelah pembunuhan itu. Hukuman penjara satu tahun untuk Helmtrud, hukuman dua kali seumur hidup untuk Scharmer.
Menurut keyakinan dewan hakim, Scharmer melakukan pembunuhan itu karena kedua motif tersebut, tidak hanya karena tamak, tetapi juga karena nafsu. Percuma ia melompat dari tempat duduknya di pengadilan sambil memaki-maki dan mengamuk, sampai ia diseret ke luar ruang sidang.
Pada saat itu orang sudah tahu bahwa perkara ini belum selesai sampai di sini dan ilmu kedokteran kriminologi masih akan memegang peranan penting.
Selama proses pengadilan itu berlangsung, sudah ada tuduhan pembunuhan lagi yang ditujukan kepada Elmar Scharmer.
Sepuluh minggu sebelum peristiwa pembunuhan terhadap Sonnhilde Wienolg dan Karin Schubert-Konig, di Grünewald - Munchen, Marianne Kapfhammer meninggal dengan cara yang aneh. Ia pengurus rumah tangga seorang jutawan di Munchen dan pernah mengadakan janji dengan Dr. Herzog.
Prof. Dr. Wolfgang Spann, pimpinan fakultas kedokteran bagian kriminologi Institut Munchen mengetahui kejadian itu. la sendiri yang telah mengautopsi mayat tersebut pada tanggal 17 April.
Tanggal 16 April 1979, sebulan sebelum pembunuhan terhadap Sonnhilde Wienold dan Karin Schubert-Konig, Hildegard Kapfhammer menemukan adiknya, Marianne (46) meninggal di sebuah vila mewah milik Fritz D., seorang industriawan terkenal di München.
Marianne sudah lama bekerja di situ. Pada hari Rabu sebelum hari Paskah, Marianne mengunjungi kakaknya. la berjanji akan kembali lagi pada hari Paskah, karena majikannya sedang berada di Prancis Selatan sejak beberapa minggu.
Tetapi pada waktu yang dijanjikan Marianne tidak datang, sehingga kakaknya segera berangkat ke München pada hari Paskah kedua. la masuk ke vila dan menemukan mayat adiknya di atas sofa. Di atas meja di depan mayat korban terdapat sebuah botol kosong bekas vodka dan sebuah botol lain yang setengahnya masih berisi wiski.
Hildegard segera menghubungi polisi. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata darah Marianne mengandung 2,5 permil alkohol, padahal Marianne bukan peminum.
Kepala dan leher sampai bagian dadanya berwarna biru lebam, pada tangannya terdapat noda-noda. Di atas ranjang terdapat 2 buah laci yang sudah dicabut dari tempatnya, kertas-kertas berharga, perhiasan dan obat-obat yang telah dibuka bungkusannya berserakan.
Obat-obat tersebut adalah untuk menghilangkan rasa nyeri, pelawan demam, obat rematik, obat lambung, obat mual, dan juga obat pelangsing tubuh. Tampaknya ada orang yang meletakkan obat-obat itu di situ. Ketika Fritz D. pulang, selain banyak barang berharga, ia juga kehilangan pistol.
Ketika Elmar Scharmer dan Helmtrud G. ditangkap di Stuttgart karena perkara Wienold dan Schubert-Konig, polisi kriminal menemukan sebuah pistol jenis 38 colt special detectic bernomor 902055 dan pakaian dari bulu binatang milik Sonnhilde Wienold di dalam mobil mereka. Pistol itu jelas milik majikan Marianne Kapfhammer.
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553401166/sasarannya-janda-kaya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659532158000) } } }