array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3605606"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/tumbal-rencana-perkawinan_posses-20221212085904.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(136) "Seorang ibu tua 95 tahun mendadak meninggal, terjatuh dari tangga. Pada saat itu pula seorang tunawisma di dekat lokasi juga menghilang."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/tumbal-rencana-perkawinan_posses-20221212085904.jpg"
      ["title"]=>
      string(25) "Tumbal Rencana Perkawinan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-12 08:59:23"
      ["content"]=>
      string(32364) "

Intisari Plus - Seorang ibu tua 95 tahun mendadak meninggal, terjatuh dari tangga. Pada saat itu pula seorang tunawisma di dekat lokasi juga menghilang.

--------------------

Sudah sejam bocah berumur 8 tahun itu melempari tembok apartemen dengan bola karet. Bunyi bola mencium tembok dan derit sepatu olahraga di lantai semen mewarnai suasana pagi itu.

Di seberang jalan, Edna berlutut di tamannya. Hati-hati ia menggali umbi bunga tulip dari bedeng yang terawat rapi. Dibersihkannya umbi itu lalu disodorkan ke suaminya, Barney, yang lalu menempatkannya ke kantung kertas yang berbeda-beda sesuai namanya.

Wus ... wus ... tiba-tiba bola itu melayang melintasi kepala pirang si anak, lalu tersangkut di pagar tanaman yang memisahkannya dengan rumah sebelah. 

Rumah batu dua tingkat bercat putih itu laksana gambar dalam kartu pos. Halamannya penuh bedeng bunga yang bermekaran. Untuk menutupi dinding gedung apartemen yang buruk, di halaman belakang ditanam tumbuhan merambat.

“Semoga bolanya tidak jatuh ke halaman Farley. Bisa merinding dia dimaki-maki Bu Farley dari liang kubur,” kata Edna.

“Lo, apakah Bu Farley sudah meninggal?” tanya Barney sambil menyeka tanah dari umbi.

“Minggu lalu, waktu kamu pergi mancing. Umurnya ‘kan 95.”

Barney menjatuhkan umbi yang entah apa namanya ke kantung yang bertuliskan Golden Towers. Biar saja istrinya bingung kalau nanti ternyata umbi itu Regent Red.

“Para tetangga tidak melayat ya?”

“Marcie tidak memberi kesempatan. Lagi pula siapa yang mau melayat?”

“Ya bagaimana pun dia orang tua. Kita harus menghormati dia. Setidaknya buat terakhir kali.”

Wus ... wus ... kali ini bola mental menyeberangi jalan, ke tempat John Henry mengawasi diam-diam. 

Serta merta John Henry menangkap bola dengan giginya, lalu mengibas-ngibaskan ekor tanda ingin ikut bermain. Anak laki-laki itu memandang John Henry dengan waspada. John Henry adalah anjing besar hitam yang menyeramkan. Barney mengangsurkan tangannya, “Berikan.”

Ketegasan suara itu mengisyaratkan majikannya tidak main-main. Dengan enggan ia menjatuhkan bola ke tangan Barney. Barney melemparkan bola itu kepada si anak dengan keluwesan yang tadinya ia kira sudah meninggalkan ototnya.

“Seharusnya Bu Farley dilepas dengan upacara khidmat.”

Edna menyerahkan umbi terakhir lalu bangkit sambil membersihkan celana panjangnya. “Bukan urusan kita, Barney. Selain menjengkelkan, almarhumah amat egois.”

Edna menyerahkan umbi terakhir. “Kamu yakin telah memasukkan umbi ke tempat yang tepat?”

“Yakin sekali,” Barney berdusta. “Aku pergi dulu. Aku perlu bercukur sebelum menghadiri pernikahan.”

“Lonceng hadiah untuk Denise sudah kamu selesaikan?”

“Rasanya aku tidak akan memberikannya kepada Denise. Aku tidak mau memberikan loncengku pada orang yang tidak bisa menghargai barang seni. Biar saja mereka membeli lonceng plastik di toserba.”

“Hei, Howard menunggu Marcie selama 30 tahun ‘kan? Kamu mau menunggu aku 30 tahun?” 

“Asalkan kamu tidak menanam tulip!”

 

Anak tetangga ketiga

Barney menjentikkan tangan pada John Henry. Anjing itu mengekor. Di tepi jalan, anak laki-laki yang sama memperagakan gaya melempar berbeda, seakan mencoba menembak lawan yang sedang berlari. Tahu-tahu bola itu dipantulkan oleh dinding apartemen lalu melambung melewati pagar tanaman ke halaman rumah Bu Farley. Di sana bola menghajar batang pohon ek dan memantul ke belakang rumah.

John Henry lari menyeberangi jalan untuk menangkap bola yang menggelinding. Ia sangka anak itu mengajak bermain. Namun anak itu malah minta tolong pada Barney.

Sambil mengibas-ngibaskan ekornya, anjing itu berjalan ke arah Barney, tetapi di tengah halaman ia berhenti. Kepalanya digerakkan ke kanan-kiri, moncongnya direndahkan. Lalu bola di mulut dijatuhkan. Ia kembali beberapa langkah ke belakang, mengendus-endus tanah, lalu mengikuti jejak yang tidak tampak menuju bedeng rumput di bawah jendela. Lalu ia ke belakang rumah. Bau-bau yang membangkitkan minatnya selalu membuatnya lupa dengan apa yang sedang dikerjakan.

Tiba-tiba pintu rumah itu terbuka. Seorang pria pendek gemuk dan berambut warna pasir ke luar sambil memaki-maki anak itu, membuat si bocah kabur.

John Henry masih di halaman rumput mengendus-endus tanah, ekornya mengibas-ngibas. Barney bersiul. Pria tadi menoleh ke arahnya dan melihat John Henry. Ia berteriak-teriak, tangannya dikibaskan mengusir John Henry, tepat saat John Henry hendak mematuhi siulan Barney. Pria itu sempat ketakutan saat sosok hitam berbobot 50 kg menyeringai sambil mengambil posisi di belakang Barney.

“Suruh dia keluar dari sini, Barney! Sekali lagi dia masuk, kutembak,” hardik Howard.

“Jangan begitu, Howard,” kata Barney. Howard membuka mulut, tapi begitu melihat sorot wajah Barney ia merunduk, “Kamu benar, Barney. Aku sedang risau. Marcie amat terpukul. Itu sebabnya aku di sini.”

“Aku mengerti. Kalian ‘kan sudah lama sekali akrab. Apa Bu Farley meninggal tiba-tiba?”

“Tidak. Dia terjatuh. Sebetulnya tidak dari tempat tinggi, cuma dari anak tangga ketiga dari bawah, kata Marcie. Tapi namanya orang tua. Kata dokter yang dipanggil, dia sudah meninggal. Tapi dokter bersikeras menyuruh kami membawanya ke rumah sakit.”

“Usai diautopsi, paginya jenazah dijemput Whitman, direktur rumah duka. Tadinya kukira kematian disebabkan oleh luka di kepala, ternyata karena jantung. Siang itu kami memakamkannya karena Marcie tidak mau repot.”

 

Penantian panjang

Barney berjalan perlahan-lahan sambil mengenang saat ia dan Edna membeli rumah di seberang rumah Bu Farley. Marcie masih cantik dan menyenangkan. Tahu-tahu ibunya mendapat serangan jantung. Rencana pernikahannya dengan Howard pun ditunda dan ditunda terus.

Bu Farley berhasil membuat Marcie dan Howard berjanji tidak menikah selama ia masih hidup, karena ia membutuhkan Marcie. Saat itu, janji itu masuk akal. Siapa sangka Bu Farley hidup tiga puluh tahun lagi dan tetap menuntut Marcie menepati janji.

Barney yakin, setiap tahun Marcie dan Howard menyangka itu saat-saat terakhir Bu Farley. Ketika kemudian mereka sadar, sebagian besar dari masa hidup mereka sudah lewat.

Marcie bertambah tua malah tampak lebih tua dari Edna. Tubuhnya kurus dengan tulang-tulang wajah menonjol. Rambutnya yang kelabu dipotong pendek. 

Barney melihat Howard setia datang dua kali seminggu. Kencan mereka cuma mengobrol di ruang tamu. Kalaupun keluar, cuma makan di restoran dengan dikawal Bu Farley yang rewel.

Edna sering menyanjung Howard. Mau-maunya dia menunggu Marcie sekian lama. Kalau orang lain yang mengalami, pasti nenek cerewet dan penuntut itu sudah dicekoki racun. Tidak heran Marcie dan Howard memakamkan Bu Farley secepat mungkin. Bamey merasa, kalau ia menjadi Howard, ia akan menggali liang kubur dengan wajah tersenyum. Namun Howard tidak tersenyum. Aneh, mustahil ia sedih.

Salon tukang pangkas berada di ujung gedung kecil. Di gedung itu ada toko kue, toko obat yang juga menjual barang-barang lain, binatu, dan kantor real estat. Di belakangnya ada gang kumuh, surga bagi anjing.

Tiga bulan lalu, penduduk melihat kehadiran seorang wanita setengah baya yang pendiam di gang itu. Wanita yang disebut Jessie itu tadinya menghuni rumah sakit jiwa karena perkembangan mentalnya terhenti saat ia kanak-kanak. Akhirnya ia dibebaskan bersama sejumlah penghuni lain oleh seorang hakim yang menganggap kurungan melanggar hak-hak asasi manusia.

Suatu pagi ia muncul tiba-tiba, lalu menetap di ruang mesin pemanas bagi penghuni gedung. Sepanjang hari wanita kurus itu keluyuran di daerah perumahan yang apik di pinggiran kota itu.

Sebenarnya pemerintah daerah sudah menyediakan panti sosial untuk menampung Jessie dan empat mantan penghuni lain yang sama-sama dikembalikan ke masyarakat. Namun setiap kali Sersan Corcoran membawanya ke panti, ia berhasil kembali dengan berjalan kaki ke gang kumuh itu. Padahal letaknya jauh. Beberapa tawaran tempat tinggal yang lebih layak dari orang-orang yang peduli padanya pun tidak ditanggapi.

Usaha mengeluarkannya dari ruang pemanas dihentikan setelah pemilik gedung berhasil dibujuk untuk memperbaiki ruangan itu agar layak ditempati. Warga menunjuk seorang pekerja sosial untuk merawatnya. Setidaknya agar ia mau mandi seminggu sekali, berganti pakaian, dan pergi memeriksakan kesehatan ke dokter.

Cuma sedikit yang berhasil menggugah kepedulian Jessie. Salah satunya, John Henry. Ia selalu mengelus kepala anjing itu dengan lembut walau cuma sebentar.

Karena ingin dielus, beberapa meter sebelum gang itu, John Henry sudah berlari dan mendorong pagar yang mengalanginya. Barney membuka pagar itu agar John Henry bisa lewat. Namun, anjing itu cuma berjalan hilir-mudik seperti kebingungan.

Barney bersiul memanggilnya. “Mungkin dia sedang berjalan-jalan. Nanti kita ke sini lagi.”

 

Jessie lenyap

Sal Melchiorre terbangun dari tidur siangnya. Pria gemuk berambut kelabu itu segera menyambut Barney. John Henry rebah di sebuah sudut. Pipinya ditaruh di dua kaki depannya.

“Dia tampak sedih,” kata Sal.

“Ia ingin ketemu Jessie, tapi yang bersangkutan tidak ada.”

Sal terus mengoceh sambil mengikat tali celemek di leher Barney, “Kamu pergi memancing sih, jadi kamu tidak mendengar kalau Jessie menghilang sejak sekitar seminggu lalu.”

“Apakah Corcoran mengembalikannya ke panti?”

“Pasti tidak. Kemarin dulu Corcoran datang menanyaiku, kapan terakhir kali melihat Jessie. Mana aku tahu.”

Alat cukur listrik mendengung di tengkuk Barney.

“Aneh,” kata Barney. 

“Kata pekerja sosial, itu hal biasa. Menurut psikiater, Jessie pergi mungkin karena menemukan tempat yang lebih aman.”

Gunting sibuk di sekitar telinga Barney.

“Kudengar Nenek Farley, tetanggamu, meninggal,” kata Sal.

“Aku juga baru dengar,” sahut Barney singkat.

“Kata Whitman, pemakaman Bu Farley merupakan pemakaman paling cepat yang pernah ia tangani. Sebenarnya dia bisa melaksanakannya lebih cepat lagi. Tapi dia harus menunggu surat-surat yang diperlukan. Sungguh repot meninggalkan dunia ini.”

“Mesti mengurus surat-surat yang diminta pemerintah untuk membuktikan kematian kita. Para politisi tidak membiarkan pembayar pajak pergi begitu saja. Lain kalau orang-orang seperti Jessie yang meninggal. Mereka tidak peduli. Kuharap, tidak ada orang yang mencelakakan dia,” Sal terus mengoceh.

Sal melumurkan busa hangat ke tengkuk, sekeliling telinga dan bawah cambang Barney. Bulu kuduk Barney berdiri. la selalu waswas kalau ada orang membawa-bawa pisau telanjang di dekatnya.

“Ya, mudah-mudahan. Aku kasihan melihatnya tinggal di gang itu. Manusia berhak untuk hidup lebih baik.” 

“Saat dia lewat, aku sering berpikir dari mana asalnya, tidak adakah sanak keluarga yang bisa mengurusinya?” sahut Sal sambil menyisir rambut Barney.

Barney tersenyum. Biasanya Sal cuma memikirkan skor pertandingan bisbol.

“Seperti apa dia waktu masih kecil ya, Barney?”

“Sama seperti anak lain sampai ia berhenti berkembang.”

Barney yakin, Jessie pernah mempunyai anjing hitam. Soalnya, ketika pertama kali melihat John Henry, wajahnya menjadi lembut dan berkata perlahan, “Boomer?” Lalu kelembutannya hilang. Rupanya terlalu sulit atau terlalu menyakitkan untuk mengingat masa lalunya. Wajahnya yang bergaris-garis kembali kosong.

Sal menyikat sisa-sisa rambut di bahu Barney. “Kamu tampak dua puluh tahun lebih muda.”

“Jangan ge-er. Kamu cuma tukang cukur, bukan tukang sulap.”

 

Semua data musnah

John Henry berkeliling di gang sebelum menyusul Barney. “Dia pergi. Tapi jangan putus asa. Siapa tahu Corcoran menemukannya.”

Saat mendekati rumah mereka, John Henry berlari menuju rumah Farley. Biasanya John Henry menghindari halaman rumah Farley karena Bu Farley lebih benci terhadap anjing daripada terhadap anak-anak. Tampaknya ada liang kelinci di bawah pagar sehingga John Henry tertarik mencarinya.

Barney tidak meladeni komentar Edna mengenai potongan rambutnya. “Kamu sudah bertemu Marcie sejak ibunya meninggal?”

“Tentu saja. Aku ‘kan datang menyatakan belasungkawa. Tapi dia kelihatan lebih risau daripada sedih. Kenapa, ya?”

“Howard juga begitu. Apa yang mereka risaukan?”

Tiba-tiba Edna menunjuk tempat Barney membuat lonceng di garasi. “Loncengmu. Kalau besok belum selesai, aku beli kado.”

Bagian-bagian lonceng yang dirancang Barney untuk cucu keponakan Edna yang akan menikah tergeletak di meja kerja, sudah diwarnai dan divernis, tinggal digosok sampai mengilap sebelum dirakit. Menjelang pekerjaannya selesai, pintu diketuk. Corcoran muncul dengan seorang wanita muda yang cantik, pirang, dan berpakaian biru tua.

“Maaf mengganggu. Boleh berbicara sebentar, Barney?”

“Boleh. Tidak keberatan kalau aku sambil menggosok, ya? Edna memburu-buru aku, nih.”

“Ini Miss Elliott,” Corcoran memperkenalkan. “Pekerja sosial yang menangani kasus Jessie.”

“Saya dengar dari Sal, Jessie menghilang.”

“Karena itu kami kemari. Anda dan John Henry selalu berkeliling daerah perumahan ini dua kali sehari. Mungkin Anda melihat sesuatu.”

“Kami pernah ketemu dia beberapa kali, tapi bukan beberapa minggu ini.”

“Barangkali Anda sempat memperhatikan. Apakah ia mengikuti pola tertentu saat keluyuran?” tanya Miss Elliot.

“Mengapa Anda mengira ia mengikuti pola tertentu?” tanya Barney.

“Begini, kami tidak tahu pasti mengapa Jessie dimasukkan ke rumah perawatan saat dia masih kecil. Semua catatan dirinya musnah dalam kebakaran. Kalau tahu secara pasti, kami bisa menanganinya dengan tepat.”

“Dulu ada dokter atau psikiater yang pernah menyatakan umur mentalnya tidak akan berkembang melebihi umur lima tahun. Menyedihkan, padahal dia cuma lambat belajar. Perlu waktu dan kesabaran untuk mengajarinya agar bisa mengurusi diri sendiri dan melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana.”

“Meski terbelakang, ia masih bisa merasa. Seperti anak-anak, ia tergantung pada orang-orang yang ia cintai. Bisa dibayangkan saat ia diambil dari keluarganya dan ditempatkan di rumah perawatan. Hatinya luka. Ia kehilangan pegangan. Apalagi perawat-perawat yang dekat dengannya tewas dalam kebakaran. Itu memperparah keadaannya. Sebelum kebakaran mestinya ia tahu siapa namanya dan di mana dia tinggal. Namun setelah itu semua lenyap.”

 

Mencari rumah 

“Tidak adakah anggota keluarga yang mencarinya?” 

“Ehtahlah, tapi tidak pernah ada orang menjenguk atau menanyakannya. Dia lantas disebut Jessie Doe dalam berkas-berkas dan Jessie si pendiam bagi orang-orang di sekitarnya. Waktu dikirim ke panti, dia selalu kabur. Setiap ditanya mengapa, ia hanya bergumam. Katanya, mencari sesuatu. Lalu suatu hari ia menetap di gang itu dan tidak mau beranjak lagi.

“Ia sering bergumam: ‘rumah’. Menurut psikiater, gang itu dianggapnya rumah. Tapi saya pikir, mungkin lingkungan ini mengingatkannya pada rumah di masa kecil. la pun keluyuran mencari rumahnya.”

Lonceng Barney selesai dirakit tapi belum dilem. Sisi depan lonceng setinggi hampir 45 cm itu berlekuk-lekuk luwes. Ada serambi kecilnya. Mata Miss Elliot berbinar-binar. “Wah, ini bagus sekali.”

Barney tersenyum. Ada orang-orang yang bisa menghargai keindahan tanpa harus dijelaskan.

Tiba-tiba terdengar teriakan Edna dari halaman, “Barney! John Henry di halaman Farley. Panggil dia pulang!”

Biasanya John Henry suka pada Corcoran. Apa yang lebih menarik perhatiannya? Mereka pergi ke jalan.

John Henry sedang duduk di depan pintu rumah keluarga Farley, seakan-akan berkunjung. Barney bersiul. John Henry menoleh. Begitu melihat Corcoran ia berlari menyeberang jalan. Selesai ditepuk-tepuk Corcoran, ia mengalihkan perhatian pada Miss Eliott. Setelah mengendus sepatu biru Miss Eliott ia mengelilingi wanita itu sambil mengibas-ngibaskan ekornya.

Miss Eliott melirik Barney. “Mau apa dia?”

“Entahlah. Dari mana Anda sebelum ke sini?”

“Ke tempat Jessie, mengecek kalau-kalau dia sudah pulang.”

“Ah! Teman Jessie berarti temannya juga. Mungkin Anda benar, Jessie berasal dari sini?”

Miss Eliott tersenyum. “Meski tidak mendapat pendidikan formal, saya yakin, Jessie tahu lebih banyak daripada yang diduga orang. Rupanya, intuisi wanitanya membawanya ke tempat yang tepat.”

“Masalahnya, di mana dia sekarang?”

“Ini daerah perumahan tua. Rumahnya besar dengan garasi terpisah. Karena letaknya berjauhan, keadaannya pun sepi. Dia bisa sembunyi di mana saja.”

“Berapa sih umurnya?” 

“Kira-kira 45. Kalau ada apa-apa, tolong hubungi saya,” jawab Miss Eliott sambil mengeluarkan kartu nama.

 

Masih hidup atau sudah tewas?

Barney melanjutkan pekerjaan. Sambil memasang sekrup, pikirannya melayang ke tempat lain.

la mendapat kesan, Corcoran yang pragmatis merasa Jessie sudah meninggal seminggu lalu. Cuma ia tidak tega berterus terang pada Miss Eliott.

Barney menyisihkan loncengnya, lalu memanggil John Henry, tiba saatnya berjalan-jalan siang. Sambil melewati rumah-rumah, John Henry di depannya mengendus-endus. Barney sadar, penghuni kawasan ini sejak ia pindah 30 tahun lalu kebanyakan masih itu-itu juga.

Selesai berkeliling, ia mendapatkan Edna sedang duduk memeriksa daftar belanja.

“Temanmu yang cantik itu, Bu Martino, masih bekerja di rumah sakit?”

“Masih. Kenapa?” 

“Aku mau ke sana, ada yang ingin kubicarakan dengannya.”

Rumah sakit sudah memikrofilmkan catatan-catatan paling tua. Barney menjelaskan alasannya ingin memeriksa catatan itu. Bu Martino segera mengesampingkan segala peraturan dan mempersilakan Barney membongkar catatan kelahiran. Sejam kemudian, dengan kepala pusing dan mata lelah karena lama memelototi huruf-huruf buram, Barney menemukan apa yang dicarinya.

Dengan mobil ia menuju balai kota. Dua jam kemudian, dengan kepala lebih pusing dan mata berkunang-kunang ia menelepon Miss Eliott.

Barney dan John Henry sudah menunggu ketika mobil Miss Eliott datang. “Sal si tukang cukur bercerita betapa kita terikat pada surat-surat,” kata Barney. “Saya jadi ingat, bukan hanya saat meninggal tapi saat lahir pun mesti ada surat dan catatannya. Kalau Jessie dilahirkan oleh penghuni kawasan ini, kemungkinan besar ia lahir di rumah sakit setempat. Saya mengecek ke sana dan menemukan ada bayi yang diberi nama Jessica lahir 58 tahun lalu. Sampai kini keluarganya masih tinggal di sini.”

“Tapi, saya tidak menemukan catatan kematiannya. Apa yang terjadi dengan Jessie? Apakah ia tinggal dengan kerabatnya di tempat lain?”

“Atau tinggal di rumah perawatan,” kata Miss Eliott. “Berikan alamatnya kepada saya.”

 

Ditinggal begitu saja

“Mari kita ke sana,” kata Barney. Ia menggandeng Miss Eliott ke depan pintu rumah keluarga Farley dan menekan bel.

Marcie membuka pintu. 

Barney menarik napas dalam-dalam. “Anda mempunyai saudara perempuan bernama Jessica. Apa yang terjadi padanya?”

Tak terduga, Marcie pingsan dan jatuh ke pelukan Howard.

Dada Barney terasa beku. Seminggu. Seminggu waktu yang lama. Kalau saja ia tidak pergi memancing.

Howard menengadah ke atas dengan mata kosong.

Barney menyingkir sebelum yang berwewenang tiba. Ia, Edna, dan John Henry mengawasi dari rumah seberang. Beberapa kendaraan, di antaranya mobil Corcoran, memenuhi jalan. 

“Rasanya aku belum bisa percaya,” kata Edna.

“Kata Howard, waktu Marcie baru 8 tahun, terjadi dua hal. Suatu pagi ayahnya pergi dan tidak pernah kembali. Tidak lama kemudian ibunya membawa Jessie pergi dan pulang tanpa anak itu.”

“Ibunya tidak pernah menjelaskan ke mana Jessie. Marcie cuma diberi tahu bahwa kini mereka tinggal berdua. Mereka harus menghadapi dunia bersama-sama. Itu rupanya yang membuat Marcie mau berjanji tidak menikah selama ibunya masih hidup.”

“Bu Farley melarang Marcie menyebut-nyebut ayahnya dan Jessie. Akhirnya, Marcie menganggap keduanya sudah meninggal. Barangkali kamu ingat, ketika kita baru membeli rumah ini, ia bilang ayahnya sudah lama meninggal.”

“Astaga! Bu Farley meninggalkan anaknya begitu saja setelah suaminya pergi,” seru Edna.

“Entah mengapa suaminya pergi. Tapi aku pantang menaruh bunga di makamnya yang entah di mana. Soalnya, ia membantu membentuk keadaan Bu Farley yang seperti itu. Dia lepas tanggung jawab atas dua anak perempuannya yang masih kecil.”

“Howard tentu saja tidak pernah mendengar tentang Jessie. Kira-kira seminggu lalu Jessie muncul di depan pintu rumah keluarga Farley. Mungkin dia mengenali rumah itu atau mungkin asal pilih saja. Ketika Marcie membuka pintu, Jessie langsung masuk. Marcie berteriak ketakutan. Howard berlari datang. Bu Farley sedang menuruni tangga.”

“Jessie langsung menghampiri Bu Farley dan berkata, ‘Saya pulang, Bu.’ Tak aneh Bu Farley yang selama 50 tahun hidup dengan perasaan berdosa kaget setengah mati.”

“Kuduga, saat ibunya jatuh, Marcie sadar bahwa Jessie adalah saudara perempuannya yang lama hilang. Howard merasa tidak bisa menangani semua peristiwa ini sekaligus. Jadi, Bu Farley buru-buru dikuburkan dulu. Setelah itu ia berdua dengan Marcie berpikir-pikir akan diapakan Jessie.”

 

Pura-pura tidak tahu

Corcoran dan Miss Eliott menyeberangi jalan ke arah mereka.

“Adakah penjelasan perihal apa tepatnya penyebab kematian Bu Farley dan tentang hilangnya Jessie selama seminggu?” tanya Barney.

“Serangan jantung di umur 95 bisa saja disebabkan oleh tagihan telepon yang tinggi.” 

Miss Eliott mengulurkan tangan. “Terima kasih Barney.” Barney mengangguk. Corcoran menunggu sampai Miss Eliott sudah masuk ke mobil.

“Aku pergi ke halaman belakang, Barney,” kata Corcoran perlahan. “Aku kira dia tidak perlu tahu.”

“Aku setuju. Cari saja kriminal yang sungguh-sungguh kriminal, Corcoran.”

Ketika Corcoran sudah pergi, Edna mencolek lengan Barney.

“Apa sih maksudnya?”

“Jika Miss Eliott tidak muncul dengan teori bahwa Jessie mencari rumahnya, aku akan menyangka John Henry cuma mengendus-endus liang kelinci liar, karena anjing pun tidak bisa mencium bau yang sudah berumur seminggu. Tapi terpikir olehku, siapa tahu yang dia endus itu bau Jessie. Karena itu aku memeriksa catatan-catatan kelahiran. Kalau tidak, bisa-bisa nasib Jessie tak ada yang tahu.”

Mata Edna melotot. “Ah, masa begitu?”

“Corcoran sepikiran denganku. Bayangkan, kematian Bu Parley akan membebaskan Marcie dan Howard. Tapi kedatangan Jessie akan memperpanjang beban mereka. Mereka tak akan bebas selamanya. Sekali itu mereka tidak mau diam.”

“Bu Farley bisa tetap hidup sebab mereka tidak bisa menyingkirkannya tanpa ketahuan. Namun bila Jessie lenyap, tidak akan ada orang yang menanyai mereka.”

“Lenyap? Bagaimana caranya?” bisik Edna.

“Bertahun-tahun Howard mengerjakan taman Marcie seperti aku mengerjakan tamanmu. Kamu tidak pernah memintaku menggali bedeng lebih dalam dari 20 cm. Paling-paling 30 cm. Tapi Howard menggali sedalam satu meter. Buat menanam apa, coba?”

“Mungkin mereka mau mengganti tanah,” sanggah Edna.

Memang Howard mau mengganti tanah dengan sesuatu, pikir, Barney. Istrinya yang baik hati memang tidak pencuriga. Edna juga tidak menyertainya saat ia berkeliling halaman belakang rumah keluarga Farley bersama Howard.

Waktu itu Barney mendengarkan curahan hati Howard yang selama berpuluh-puluh tahun memendam benci pada Bu Farley. Masih terngiang-ngiang di telinganya suara Howard yang tinggi.

“Kini Jessie aman di sana. John Henry pun patut mendapat hadiah,” ujar sambil mengutarakan niatnya memberikan lonceng pada Miss Eliott. “Kita beli saja kado buat Denise.”

Sambil memandang rumah di seberang jalan, Edna mengangguk. Itu caranya untuk menunjukkan bahwa Barley benar tentang lubang di kebun seberang, tanpa ia harus mengakuinya dengan terang-terangan. (Stephen Wasylyk)

Baca Juga: Revolvernya Langka

 

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605606/tumbal-rencana-perkawinan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835563000) } } }