Intisari Plus - Pasangan suami istri Waltraut B melaporkan putri mereka yang hilang. Setelah pencarian dilakukan, anak berusia 6 tahun itu ditemukan tewas di dalam karung. Siapa yang tega membunuh anak kecil itu?
---------------
Pada tanggal 29 Oktober 1952, kira-kira pukul 22.00 datanglah Nyonya Waltraut B ditemani oleh suaminya ke kantor polisi di H.N. Mereka melaporkan bahwa anaknya yang berusia 6 tahun bernama Renate telah hilang. Anak perempuan itu pagi-pagi pergi ke sekolah dan meninggalkan sekolah pada pukul 13.00. la masih dilihat oleh penjual ikan di depan rumah orang tuanya pada pukul 14.00. Kira-kira pukul 17.00 Nyonya B kembali dari kota sambil membonceng anak lelakinya yang berusia 2,5 tahun dengan sepeda. Sesudah suaminya kembali dari tempat kerja, mereka mencari Renate di rumah tetangga-tetangga. Tetapi si anak tidak ditemukan.
Mulailah pencarian diadakan. Semua kantor polisi diberitahu lewat telepon. Orang tua si anak diminta pulang.
Pada tanggal 30 Oktober 1952 mobil-mobil polisi yang dilengkapi dengan pengeras suara, berkeliling mengumumkan pencarian Renate serta ciri-ciri anak itu. Pada waktu itu juga beratus-ratus polisi dikerahkan untuk memeriksa daerah sekitar tempat tinggal anak itu.
Pada pukul 17.00 mayat anak tadi ditemukan di dalam karung yang diletakkan tegak pada sebuah pohon. Mayat diikat dengan tali mulai dari leher ke pergelangan tangan, terus ke pergelangan kaki. Di dalam karung, di bawah mayat terdapat tas sekolah dan mantel si anak. Mayat dimasukkan ke karung dengan kaki dulu sehingga kepalanya berada di atas. Kepala ini ditutupi dengan tali-temali putih.
Tempat mayat ditemukan terletak kira-kira 400 meter dari rumah orang tuanya dan hanya dipisahkan oleh sebuah ladang tembakau.
Karung dan pakaian mayat kering meskipun pada tanggal 29 Oktober 1952 turun hujan hingga pukul 23.58. Dapat diambil kesimpulan bahwa mayat diletakkan di tempat tadi sesudah hujan berhenti.
Karena noda-noda pada mayat terlihat jelas di sebelah kiri badan dan tanda-tanda bekas berbaring juga jelas, dapat ditentukan bahwa mayat diletakkan 4 hingga 6 jam di dalam ruangan tertutup sebelum dimasukkan ke dalam karung dan diletakkan di tempat penemuan.
Anak itu tewas karena dicekik. Tidak ditemukan ciri-ciri perkosaan dan juga tidak ada tanda-tanda bahwa anak itu cedera. Pakaiannya tetap rapi. Tidak didapati bekas-bekas sperma.
Tuduhan pertama dijatuhkan kepada seorang tidak dikenal, yang memakai sepeda bercat biru, yang berada tidak jauh dari tempat penemuan mayat.
Pencarian dengan bantuan media massa berhasil. Lelaki tadi melapor kepada polisi dan menerangkan mengapa ia pada tanggal 29 Oktober 1952 berada di dekat tempat mayat. Katanya sepulang dari tempat kerja ia ingin buang air kecil dan mencari tempat yang cocok. Alibinya tidak dapat digugat dan lelaki itu dibebaskan dari tuduhan.
Waktu guru Renate menanyakan kepada murid-muridnya apakah ada yang melihat Renate. Seorang bocah berumur 6 tahun berkata, “Saya melihat Renate hari ini (30 Oktober 1952), pukul 10 pagi di depan toko makanan dan minuman. Seorang laki-laki bersepeda membawanya pergi.”
Keterangan ini pasti tidak benar, sebab pada waktu itu Renate sudah mati. Bocah yang memberi keterangan memang agak bodoh dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara. Saat itu ia melihat kesempatan untuk menonjolkan diri dan oleh karena itu ia berbohong. Di hadapan ayah ibunya ia mengaku bahwa yang dikatakannya tentang Renate kepada pak guru sama sekali tidak benar.
Sejumlah 248 orang yang pernah dihukum karena memerkosa pun diperiksa, tetapi tidak memberi hasil yang memuaskan.
Nyonya B lalu menuduh ayah Renate yang tinggal di Düsseldorf sebagai orang yang melakukan kejahatan ini. Renate adalah anak di luar pernikahan yang dibawa si ibu ketika ia menikah dengan pria lain. Si ibu mendasarkan tuduhannya pada fakta bahwa ayah Renate hanya membayar 8 mark setiap bulannya untuk hidup Renate dan pembayaran ini tidak diberikan lagi sejak 6 bulan yang lalu.
Ayah Renate didengar keterangannya akan tetapi dapat memberikan alibi yang tidak dapat disangsikan. Pada waktu didengar keterangannya ini, ia menceritakan kepada polisi bahwa ia pernah meminta kepada Nyonya B agar Renate dijaga lebih baik, jangan sampai masuk ke rawa. Tetapi Nyonya B malah menjawab, “Dengan demikian si keparat itu akan lenyap.”
Sebelum itu, polisi mencari keterangan tentang ayah Renate yang sebenarnya di jawatan anak-anak yatim piatu. Seorang pegawai mengatakan bahwa Nyonya B yang sering muncul pada saat pembayaran tunjangan pemeliharaan anak. Ia pernah berkata begini, “Jika uang itu tidak segera datang, akan terjadi musibah. Saya ‘kan tidak dapat selalu meminta agar suami saya memelihara anak yang bukan anaknya.”
Kemudian di dalam kompleks tempat mereka tinggal, tidak habis-habisnya dipergunjingkan orang bahwa Nyonya B pembunuh anaknya.
Sehelai rambut pada tali yang dipakai mengikat karung dikenal kembali sebagai rambut dari kepala Renate. Asalnya karung dapat diperiksa melalui pembuat dan penjual karung. Diketahui bahwa karung semacam itu biasa dipakai untuk sayur-sayuran dan kentang di toko sayur-mayur teman Nyonya B. Karung-karung seperti itu masih banyak didapati di teman Nyonya B meskipun ia sudah tidak menjual sayur-mayur lagi. Pemilik bekas toko sayur-mayur menerangkan bahwa ia pernah memberikan enam karung seperti itu kepada Nyonya B. Nyonya B menyatakan bahwa karung-karung tersebut sudah membusuk dan tidak ada lagi padanya. Kecurigaan terhadap teman Nyonya B tidak dapat dipertahankan karena ia mempunyai alibi yang tidak dapat disangsikan serta pada waktu itu tidak berada di H.N.
Kini kecurigaan jatuh pada tunangan pemilik toko sayur-mayur. Wanita ini mempunyai anak lelaki di luar pernikahan, berumur 7 tahun. Si tunangan ini dahulu pacar si B (suami Nyonya B). Akan tetapi karena soal anak-anak, pertunangan dibatalkan.
Anak tunangan pemilik toko serta anak Nyonya B pernah ditemukan di dalam gua sedang bermain suami istri. Kedua ibu saling menuduh bahwa anak yang lain yang bersalah.
Waktu petugas membaca kembali laporan tentang anak hilang, maka ia menemukan bagian yang menyatakan bahwa ada dua petugas polisi yang datang ke rumah keluarga B tengah malam untuk menanyakan apakah Renate sudah pulang. Pada waktu itu B dan istrinya sudah tidur nyenyak.
Pemijat di rumah sakit universitas yang setiap hari memijat Nyonya B menerangkan kepada polisi bahwa Nyonya B mempunyai reaksi aneh terhadap kematian anaknya. Kata Nyonya B, “Karena kesempatan ini, saya akhirnya dapat membeli mantel dan topi baru untuk penguburan.”
Nyonya B juga pernah mengatakan bahwa Renate itu anak yang sukar dididik dan bersedia mengikuti setiap orang. Nyonya B sama sekali tidak menunjukkan kesedihan ketika anaknya hilang.
Beberapa tetangga melukiskan kejanggalan kelakuan Nyonya B. Misalnya sesaat sesudah mayat anaknya ditemukan, semua orang khawatir memikirkan kemungkinan hal yang sama menimpa pula anak-anak mereka. Tetapi Nyonya B enak-enak saja datang dari toko makanan sambil memakan cokelat. Pergunjingan ini menyebabkan Nyonya B diamat-amati. Meskipun telah berlaku cermat, para petugas tidak berhasil memergoki hal-hal yang bisa membuktikan kesalahan Nyonya B walaupun tuduhan terhadapnya makin lama makin kuat.
Nyonya B mengaku bahwa yang diceritakan si pemijat benar. la juga tidak mungkir bahwa ia makan di jalan meskipun anaknya baru saja ditemukan mati. Ia hanya membantah makan cokelat, ia makan kue cokelat, katanya. Waktu dikatakan bahwa itu bukan kelakuan yang pantas bagi seorang ibu, ia hanya menjawab, “Apakah saya harus menangis? ‘Kan kenyataan tidak bisa diubah lagi.”
Waktu didengar keterangannya, Nyonya B diberi peringatan agar tidak menyimpang dari peristiwa yang terjadi, soalnya ia memberi keterangan tentang dirinya sendiri sampai ke hal yang sekecil-kecilnya, yang sama sekali tidak diminta petugas. Antara lain ia menceritakan bahwa ia masih berhubungan dengan ayah Renate dan bahwa kesempatan berdansa dengan pria lain sering diteruskannya dengan hubungan-hubungan intim.
Suaminya konon sama sekali tidak keberatan jika ia berhubungan seksual di luar perkawinan asal saja ia memakai alat pencegah kehamilan.
Waktu petugas menyatakan bahwa ia tidak mau mendengarkan keterangan-keterangan yang tidak senonoh itu, Nyonya B malah menjawab enak, “Jika memberi keterangan kepada polisi katanya tidak boleh berbohong, jadi saya ceritakan semua.”
Tuduhan-tuduhan tidak dibantahnya satu pun juga sehingga para petugas makin yakin bahwa ia telah membunuh anaknya sendiri.
Tidak lama kemudian datanglah surat kaleng kepada petugas polisi yang berisi pengakuan pembunuhan terhadap Renate B. Si pelaku mengatakan dalam surat itu bahwa ia tidak mungkin melepaskan hawa nafsunya dengan jalan biasa karena ia tidak mempunyai uang oleh karena itu ia melakukannya kepada anak-anak.
Si pelaku juga menuduh beberapa orang-orang penting yang tidak butuh melakukan hal seperti itu dan masih mengancam akan melakukan pembunuhan lagi. Di dalam surat itu juga dibicarakan detail-detail yang hanya diketahui oleh petugas polisi. Beberapa perkataan mirip dengan pernyataan khas Nyonya B. Namun perbandingan tulisan di surat kaleng dengan tulisan Nyonya B tidak menunjukkan persamaan. Mungkin saja ia menyuruh orang lain menulis surat itu. Menurut surat, si pelaku sudah melarikan diri ke Republik Demokrasi Jerman.
Karena semua kecurigaan dan tuduhan tidak cukup untuk menahan Nyonya B, maka polisi harus mencari bukti-bukti yang objektif. Tetapi itu sama sekali tidak mudah karena kejadian sudah berlalu beberapa minggu. Selain itu, Nyonya B mempunyai banyak kesempatan untuk menghilangkan semua jejak.
Kini para petugas mulai dari fakta bahwa karung berisi mayat baru setelah pukul 23.58 dibawa ke tempat ditemukannya. Tempat ini hanya terpisah oleh sebuah ladang tembakau kira-kira 400 m dari rumah keluarga B. Jarak ini dengan sepeda dapat dijangkau dalam waktu 1 menit. Orang yang membawa mayat ke tempat itu tidak usah takut-takut terlihat meskipun ada orang lain yang lewat di jalan itu. Pasalnya, ia masih akan sempat menyembunyikan diri di antara tanaman tembakau yang setinggi orang. Jika Nyonya B membawa mayat itu dari rumahnya ke tempat itu, maka inilah jalan satu-satunya yang aman. Jika ia mengambil jalan lain, ia harus melewati rumah-rumah yang ada penghuninya.
Para petugas mengambil tanah sedikit dari kandang ayam Nyonya B dan mengirimkannya ke laboratorium.
8 minggu kemudian datanglah keterangan laboratorium. Contoh tanah itu sama dengan tanah yang ada di dalam karung tempat mayat. Debu dari karung pun disertakan dalam bentuk foto yang dibesarkan 400 kali.
Tetapi jaksa masih saja tidak mau mengeluarkan surat penahanan. Katanya mungkin saja persamaan itu hanya kebetulan karena tanah di sekeliling tempat itu semuanya sama.
Kini diambil sebelas contoh tanah dari kandang ayam di sekeliling tempat penemuan mayat dan di dekat kandang ayam keluarga B, lalu dikirimkan ke laboratorium.
Ternyata bahwa setiap contoh tanah tidak ada yang sama dengan debu karung mayat. Hanya contoh tanah dari dekat kandang ayam Nyonya B yang agak sama.
Di dalam laporan polisi akhirnya dapat ditemukan 140 hal yang bisa menunjukkan bahwa Nyonya B itu pelakunya. Meskipun demikian masih saja tidak dikeluarkan surat penahanan.
“Bawalah saja pengakuan Nyonya B dan saya akan mengeluarkan surat penahanan,” kata jaksa.
Meskipun dicoba oleh beberapa petugas, Nyonya B tidak mau mengaku. Semua bukti dan tuduhan ditangkisnya dengan perkataan, “Kebetulan saja. Saya tidak bersalah!”
Kepada para tetangga Nyonya B menyatakan bahwa celana dalam Renate ditemukan darah. Polisi bertanya betulkah ia berkata demikian dan mengapa hal itu dikatakannya meskipun ia tahu tidak benar.
“Saya hanya mengatakan begitu saja,” jawabnya.
Biasanya setiap malam Nyonya B memanggil-manggil anaknya jika anaknya itu tidak ada di rumah. Panggilannya selalu sangat keras sehingga didengar tetangga. Pada waktu Renate hilang ia tidak berbuat demikian dan mengaku memang tidak memanggil-manggil. Ia tidak dapat memberikan alasannya.
Berdasarkan penyelidikan polisi kriminal, Renate masih dilihat orang di dekat rumah pada pukul 15.30. Menurut keterangan dokter, anak itu meninggal antara pukul 17 dan 20.
Kematian anaknya sama sekali tidak memengaruhi perasaan Nyonya B. Ia malah senang bisa menghadiri pemakaman karena ada alasan untuk membeli mantel dan topi baru. Dan pada kesempatan itu, ia mungkin dapat berjumpa dengan seorang pacar lama.
Kehidupannya yang tidak mengenal moral masih saja dilanjutkan. Dengan beberapa teman, suami istri B ini bertukar pasangan.
Si penulis surat tidak dapat ditemukan, walaupun tulisan dari orang-orang yang dicurigai yaitu teman-teman dan sanak saudara Nyonya B diperiksa.
Petugas polisi kriminal sudah tidak meragukan lagi bahwa Nyonya B telah membunuh anaknya. Meskipun demikian kejahatan itu tidak dapat dihukum karena tidak pernah dikeluarkan surat penahanan. Sementara dilakukan penelitian, banyak hal yang tidak diperiksa lebih lanjut atau baru dikerjakan sangat terlambat, sebab tuduhan terhadap ibu si anak baru dilakukan beberapa lama kemudian.
Tanah di tempat mayat ditemukan demikian banyak terinjak-injak sehingga tidak dapat dilakukan penemuan jejak dan anjing polisi pun tidak dapat mencium apa-apa. Ladang dekat tempat penemuan pun diinjak-injak sehingga rata seperti lapangan tenis. Para petugas polisi kriminal tidak dapat melakukan apa-apa terhadap mereka yang telah “menghilangkan jejak” karena mereka ini sebagian besar terdiri dari pejabat tinggi.
(Herbert Kosyra)
Baca Juga: Huruf V yang Misterius
" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760931/renate-ditemukan-di-dalam-karung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1685097010000) } } [1]=> object(stdClass)#117 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3761005" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#118 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/hanya-satu-korban-masih-hidupjp-20230511105842.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#119 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(120) "Di daerah perbatasan Jerman Timur dan Jerman Barat kerap terjadi pembunuhan sadis. Polisi akhirnya menemukan satu saksi." ["section"]=> object(stdClass)#120 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/hanya-satu-korban-masih-hidupjp-20230511105842.jpg" ["title"]=> string(29) "Hanya Satu Korban Masih Hidup" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 10:58:56" ["content"]=> string(27056) "
Intisari Plus - Di daerah perbatasan Jerman Timur dan Jerman Barat kerap terjadi pembunuhan sadis. Sempat kesulitan mendapatkan jejak pembunuh keji itu, polisi akhirnya menemukan satu saksi. Ia adalah korban yang berhasil selamat.
---------------
Pada tahun 1946 dan 1947 banyak terjadi pembunuhan di daerah tidak bertuan pada perbatasan Jerman Timur dan Jerman Barat. Korban biasanya orang-orang yang menyeberang atau ingin mengunjungi sanak saudara dari Jerman Timur ke Jerman Barat. Di daerah-daerah perbatasan ini muncullah jenis penjahat baru, yakni orang yang mengaku kenal daerah perbatasan dan menawarkan jadi penunjuk jalan. Malam hari di jalan-jalan yang sepi, mereka menjadi pembunuh yang kejam.
Sejak bulan Maret 1946 hingga bulan April 1947, terjadi serentetan pembunuhan. Karena tempat dan caranya sama, diduga pelakunya sama. Semua korban menunjukkan luka yang sama pada kepala.
Pada bulan Maret 1946 ditemukan mayat seorang perempuan setengah baya di danau kecil dekat Roklum. Tampaknya ia dipukuli dengan alat yang berat, mungkin sebuah batu besar. Tidak ditemukan jejak si pelaku sedikit pun. Oleh karena itu jaksa menghentikan pemeriksaan.
4 bulan kemudian, di antara Walkenried dan Ellrich ditemukan mayat orang berusia antara 25-30 tahun. Korban dibunuh dengan martil. Barang bukti ditinggalkan pada mayat. Kepala yang rusak parah ditutupi selimut abu-abu.
Di bulan Agustus, jadi 2 bulan kemudian, di stasiun kota perbatasan Hof ditemukan bekas-bekas darah dan sepatu wanita. 20 meter dari sana, di dalam sumur dengan penutup, ditemukan mayat wanita muda. Pukulan-pukulan yang mematikan tampak di kepala. Ada juga bekas-bekas tusukan di muka serta di leher sampai ke tulang punggung. Sebuah jari dipotong dari tangan mayat.
Di semak-semak dekat jalan Quartze-Clenze pada tanggal 4 September 1946 ditemukan mayat seorang wanita muda. la dikenali sebagai Irene H. yang hidup di restoran dan hotel orang tuanya. Restoran itu letaknya dalam sebuah gubuk di jalan Quartze-Clenze, kira-kira 1.500 meter dari tempat mayat ditemukan. Pada mayat terdapat luka-luka bekas pukulan. Di tempat itu ditemukan sebuah batu besar yang berlumuran darah, yang mungkin digunakan sebagai alat pembunuhan.
Pada bulan November tahun itu juga, di perbatasan ditemukan lagi mayat yang telah membusuk. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa mayat lagi-lagi seorang wanita yang berumur 25 tahun. Kaki kanannya telah dimakan binatang-binatang liar. Pada mayat ditemukan koran Schwaebische Tageszeitung bertanggal 10 September 1946.
Tanggal 12 Desember 1946, di hutan kecil dekat Ilfeld seorang janda berusia 55 tahun bernama Lydia Sch, siuman sesudah ia pingsan dipukul. Semua barangnya dirampok. Beberapa petani menemukannya dan membawanya ke Ilfeld. Ia diberi pertolongan pertama oleh seorang dokter. Kepalanya luka-luka berat, tangan kanannya pun luka. Nyonya Sch dimasukkan ke rumah sakit dekat kota Nordhausen.
7,5 minggu kemudian barulah ia pulang ke kota asalnya, di dekat Holstein. Bulan Desember ditemukan dua jenazah wanita di dalam sebuah sumur yang dalamnya 8 meter, dekat rumah penjaga kereta api Vienenburg.
Wanita yang satu berusia kira-kira 37 tahun. Kepalanya di sebelah kiri hancur. Wanita yang lain berusia kira-kira 44 tahun. Kepalanya hancur juga.
Di dalam kali kecil yang mengalir dekat hutan di Abbenrose, bulan Januari 1947 ditemukan mayat seorang wanita berusia 20 tahun. Tengkorak dan otak sebelah kiri hancur.
Pertengahan bulan Februari ditemukan lagi mayat di bawah batang-batang pohon dalam hutan di daerah Dudersleben. Mayat itu seorang wanita berusia 49 tahun, di atas mata kiri dan tengkorak sebelah kanan tampak bekas pukulan. Sebuah besi yang tebalnya 3 sentimeter dan panjangnya 30 sentimeter ditemukan di tempat kejadian.
Tidak jauh dari perbatasan, di dekat kota Zorge ditemukan tengkorak manusia. Bagian dekat pelipis berlubang sebesar telur ayam. Karena badannya tidak ditemukan, tidak dapat diadakan pemeriksaan apakah telah terjadi pembunuhan. Mula-mula penduduk menyangka tengkorak itu diseret babi-babi hutan dari kuburan yang berada di dekat situ. Tengkorak ini pun milik seorang wanita muda. Tengkorak ini kelak akan berperan penting di sidang pengadilan yang kemudian diadakan di Braunschweig.
Sampai pada musim semi 1947 polisi kriminal tidak mendapat jejak pembunuh, tidak pula mendapat keterangan dari saksi yang dapat membantu mereka mengungkapkan dan membekuk si pelaku.
Pada bulan April 1947 seorang lelaki menawarkan diri untuk jadi pandu pada seorang pedagang bernama B dari Hamburg yang ingin masuk secara tidak sah ke daerah yang diduduki oleh Rusia. Si calon pembunuh ini akhirnya mabuk sesudah mendapat uang persekot dan oleh karena itu mereka tersesat. Di tengah-tengah hutan, B marah-marah padanya dan lelaki tadi marah juga.
Dengan kapak yang dibawanya ia memukul B berkali-kali sehingga B akhirnya terkapar mati. Si pembunuh merampok uang dan barang berharga dari korbannya dan melarikan diri ke Jerman Tengah. Beberapa hari kemudian si penjahat kembali lagi ke tempat kejadian. Agaknya seperti banyak penjahat lain, ia tidak dapat melepaskan diri dari daya tarik yang menggeretnya kembali ke tempat kejadian.
Ia ditahan. Namanya Rudolf Pleil, pelayan restoran berusia 22 tahun. Sesudah ditahan 7 bulan lamanya, Pleil dihukum penjara oleh Pengadilan Braunschweig karena melakukan pembunuhan kepada B disertai perampokan. Hukumannya 12 tahun 3 bulan. Ia juga dimasukkan rumah sakit jiwa.
Pada tahun 1949 ia diperiksa di poliklinik jiwa di kota Goettingen, Pleil menyatakan bahwa ia mengetahui tentang pembunuhan yang 3 tahun yang lalu terjadi di Mattierzoll. Pleil telah membuat catatan tentang pembunuhan ini dan menjahitkannya di jasnya. Pengakuan ini baru boleh dibacakan sesudah ia meninggal. la mengaku bahwa ialah si pembunuh. Pleil segera diperiksa oleh polisi kriminal. Lalu 11 pembunuhan yang tadinya tidak terungkap dapat dibuktikan. Pleil mengaku dalam pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya bahwa sebagian banyak kejahatan dilakukannya bersama kawan-kawannya: Karl Hoffmann dan Konrad Schuessler.
Hoffman ditahan di Jerman Timur dan pada tahun 1950 dikembalikan ke Jerman Barat. Pada tahun yang sama juga, Schuessler ditahan di Hamburg.
Sidang utama hakim ketuanya Luettig dan jaksanya Fuhrmann.
G.H. Mostar menyaksikan sidang pengadilan yang paling mengerikan sesudah perang dan ia menulis tentang pelaku-pelaku pembunuhan itu.
Rudolf Pleil dilahirkan beberapa kilometer dari perbatasan Jerman dengan Cekoslowakia. Ia baru berusia 7 tahun ketika Nazi berkuasa dan mengusir keluarganya karena mereka berasal dari Ceko. Di wilayah Ceko, hanya beberapa kilometer dari rumahnya yang lama, ayahnya membuat rumah baru dan hidup dari penyelundupan. Ayah dan ibunya memanfaatkannya untuk menyelundup, sebab tidak ada orang yang lebih mudah keluar masuk perbatasan dari pada seorang anak. Tiga kali ia dimasukkan penjara sewaktu masih kanak-kanak dan tiga kali ia tidak naik kelas meskipun sebetulnya ia bukan anak bodoh. Sesudah tiga tahun menjalankan penyelundupan, ia dapat mendirikan sebuah toko kecil untuk orang tuanya. Kini ia sudah malas menyelundup. Ia mencuri uang dari toko. Ibunya selalu memergoki ia mencuri tetapi pura-pura tidak melihat. Ayahnya jarang melihat dan memukulnya jika ia memergokinya. Akhirnya ayahnya menjadi pemabuk. Rudolf yang berumur 14 tahun membawa uang yang dicurinya dari toko ke wanita-wanita tunasusila. Tapi hal ini tidak memengaruhi hidup selanjutnya.
Ia kembali ke Jerman. Di situ ia berganti-ganti pekerjaan, karena tidak biasa bekerja keras. Penghasilannya sedikit. Ia sempat menjadi saksi yang berguna bagi polisi pada waktu ada penyerbuan orang-orang Ceko ke daerah Jerman.
Kemudian ia disuruh menjadi kacung kapal. Tadinya di kapal-kapal sungai. Ketika musim dingin kapal-kapal tidak bisa berlayar. Ia diusir kembali. Waktu ia berusia 14 tahun dan mengalami malam Natal yang sangat menyedihkan. Hal ini tidak bisa ia lupakan.
Kemudian ia ikut berlayar dengan kapal laut. Waktu Perang Dunia II meletus ia segera diberi kepercayaan sebagai penembus blokade. Ia melihat bagaimana kapal-kapal tenggelam. Ia mencari-cari kesempatan melaporkan kehilangan barang-barang yang sebenarnya tidak pernah dimilikinya. Konon pencurian-pencurian ini dilakukannya sesudah ia menderita penyakit ayan. Perpisahan dengan dunia perairan diakhiri dengan sidang pengadilan yang diadakan di atas geladak sebuah kapal. Semuanya yang sedang berdinas di pelabuhan di mana kapalnya sedang berlabuh harus ikut mendengarkan hukuman yang dijatuhkan kepadanya, agar mereka itu takut menjalankan kejahatan seperti dia. Pleil menceritakannya bahwa dengan bangga ia melihat perkaranya mengundang cukup perhatian dari kalangan media massa dan penonton.
Waktu ia meninggalkan penjara, Perang Dunia II hampir selesai dan ia sudah berusia lebih dari 20 tahun. Ia terjerat dalam birokrasi Jawatan Kesehatan Nazi. Sebagai penderita ayan, ia akan dibuat mandul. Hal itu tidak sampai terjadi karena pesawat-pesawat pembom Amerika keburu menghancurkan bangsal-bangsal operasi pemandulan di kota-kota Dresden dan Chemnitz.
la dibawa ke kamp kerja Gelobtland dan di situ dipekerjakan sebagai mandor. Wah, kamp kerja itu benar-benar tempat idamannya dan Pleil masih saja senang jika mengingat keadaan di situ. Makan disediakan untuk 200 orang sedangkan tahanan hanya ada 150 orang. Mereka diberi minuman keras siang malam. “Kami minum banyak sekali,” ceritanya di ruang sidang sambil membuat gerakan minum.
la setengah mabuk waktu sekelompok tahanan wanita dan laki-laki digiring melalui Globtland ke kamp konsentrasi Dachau. Beratus-ratus tahanan, terutama perempuan, mati kelaparan. Mayat-mayat ditumpuk sesudah pakaian mereka yang kumal diambil, lalu dikuburkan begitu saja. Dari jendela kamarnya, Pleil melihat tumpukan mayat wanita. Tetapi Pleil tidak merasa ngeri, ia malah tertarik oleh sesuatu yang tidak ia pahami. 5 tahun kemudian ia menulis di buku hariannya di penjara: “Waktu itu saya merasa bahwa saya ini terpanggil untuk membunuh.”
Lalu ia kembali mencari nafkah di perbatasan, sekali ini perbatasan Jerman Timur-Jerman Barat dan disertai pelanggaran perbatasan nilai-nilai rohani.
Bagi Pleil, adanya perbatasan Jerman Timur-Jerman Barat memunculkan kenang-kenangan masa kanak-kanak. Itu adalah kenang-kenangan penyelundupan dan mendapatkan uang dengan cara mudah. Ia mondar-mandir lagi melanggar perbatasan, menghasilkan uang dari kesedihan dan kebingungan sesama manusia. Ia berjualan di seberang perbatasan Jerman Barat, apa yang didapatnya di Jerman Timur. Sekali ini lebih mengasyikkan, sebab bukan barang saja yang menjadi bahan penyelundupan, akan tetapi juga manusia. Beribu-ribu jumlahnya.
Kini ia bukan anak-anak lagi, ia seorang laki-laki dewasa. Ia telah menikah, menjadi pembantu petugas polisi. Tetapi pekerjaan itu tidak memuaskan baginya. Suatu kali tidak sengaja ia melukai seorang asing. Orang ini menggerung dan berdarah. Waktu itu Pleil merasa gairah aneh yang dialaminya di kamp kerja timbul kembali. Gairah yang memuaskan. Wanita tidak memberinya kepuasan. Mereka tidak suka bergaul dengannya. Ia sedih. Akhirnya ia berkenalan dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua dan keji. “Mereka itu harus dibuat tidak bergerak,” saran orang itu, “Saya akan membantumu.” Lalu pembunuhan yang tiada hentinya di perbatasan dimulai.
Biasanya kawan Pleil yang dinamakan “si diplomat” memulai perkenalan. Sering ia menyediakan senjata, kapak atau pisau, kadang-kadang belati juga sudah cukup. Kadang-kadang yang memukul dari belakang kawannya itu, kadang-kadang Pleil. Si kawan tadi biasanya mengambil hasil perampokan yang tidak seberapa, yang kemudian mereka bagi. Tetapi wanitanya selalu untuk Pleil. Adakalanya Pleil juga berani melakukan pembunuhan sendiri saja. Sekali dalam keadaan mabuk yang sangat, ayannya kambuh. Ketika tersadar ia melihat di sebelahnya sesosok mayat wanita berpakaian ski.
Sekali waktu seorang wanita berkata padanya, “Saya tidak bergairah untuk hidup.”
Pleil berkata, “Kalau demikian saya bisa membunuh Anda!”
Wanita itu tertawa mendengar “olok-olok” itu dan waktu ia merasakan pukulan martil yang pertama ia hanya tampak keheranan-heranan....
“Dorongan yang memaksa untuk membunuh sangat kuat,” begitu kata Pleil pada petugas-petugas dan hakim yang memeriksa. Waktu mereka tidak percaya akan apa yang diceritakannya, maka ia meminta agar matanya diikat. Dan dari tujuh martil, ia memilih yang dipakainya sebagai alat pembunuh.
“Tetapi,” kata Pleil, “saya hanya bertindak karena saya tidak bisa berbuat lain. Orang yang satunya tadi hanya mau merampok dan keji. Saya tidak pernah keji. Si diplomat memotong kepala korban dengan pisau penerjun payung. Saya tidak tahan. Sampai kini saya masih memimpikan peristiwa itu.”
“Oleh karena itu saya berpisah dengannya.” Orang itu menurut keterangan Pleil bernama Karl Hoffmann, berusia 37 tahun dan penyelundup seperti dirinya. Hoffmann, yang tidak lebih besar namun lebih kekar dari pada Pleil yang mengarah ke gemuk, berdiri tegak di depan juri dan tidak mau mengaku melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Ia berkenalan dengan Pleil waktu mereka bersama-sama menjadi penjual berkeliling di sesuatu perayaan Natal di rumah Pleil, katanya. Tetapi ia tidak pernah melakukan pembunuhan, sendiri maupun bersama-sama Pleil. Ia tidak pernah berada di Hof, di tempat menurut Pleil telah terjadi pembunuhan.
Di ruang sidang kemudian terjadi duel kata yang menegangkan antara hakim ketua dan Hoffmann.
“Pada mulanya Pleil tidak menyebut-nyebut Anda,” kata ketua. “Ia mengaku berbuat kejahatan yang tidak mungkin dilakukan sendiri.”
“Kalau begitu, maka orang lain yang ikut berbuat, bukan saya,” kata Hoffmann.
“Anda dikenal kembali orang oleh lima orang saksi di Hoff yang telah melihat Anda pada hari dan tempat kejadian.”
“Kalau demikian, saksi-saksi itu salah,” kata Hoffmann.
“Anda telah menawarkan pisau penerjun payung Anda kepada salah seorang saksi,” kata ketua, “dan kepada yang lain yang juga telah diminta kesaksiannya, Anda telah menawarkan jam bekas seorang korban.”
“Saya tidak pernah memiliki pisau penerjun payung, meskipun di Italia pernah hidup bersama sekelompok penerjun dan mengetahui bagaimana rupa pisau itu. Jamnya tidak pernah saya lihat.”
“Dalam mimpi menurut kesaksian seseorang, Anda pernah berteriak-teriak ‘Rudolf, mengapa kamu mengkhianatiku?’”
“Si Pleil berdusta,” kata Hoffmann.
Hakim ketua memutuskan tanya jawab yang tanpa guna.
“Ia babi kotor,” kata Pleil, “Akan tetapi si Schuessler adalah orang baik.” Dan ia melihat dengan penuh rasa persahabatan, ya hampir-hampir mesra ke arah tertuduh ketiga, orang yang tertampan dan termuda dari kelompok tiga penjahat itu.
Konrad Schuessler baru saja berusia 18 tahun waktu Pleil berkenalan dengannya. Kini ia berusia 22 tahun dan pernah berdinas 2 tahun di legiun asing. Badannya langsing dan berotot, mukanya tampan dengan hidung yang terlampau besar dan matanya bening. Keningnya yang rendah, yang ditutupi oleh rambut hitam lebat, memberi kesan kurang cerdik. Mungkin dulu ia tampak lebih tampan. Ia jenis orang yang disukai wanita dan jenis lelaki seperti inilah yang ingin dikuasai Pleil.
Pada saat Pleil mencoba untuk meloloskan diri dari kekuasaan Hoffmann, ia mencari seseorang yang disukai wanita, untuk umpan begitulah.
Mula-mula Pleil membujuknya untuk melakukan pencurian mantel, yang mengakibatkan anak berusia 18 tahun ini diganjar 9 bulan penjara.
Ketika Schuessler dikeluarkan dari penjara, Pleil menunggunya di depan pintu. Ia meyakinkan Schuessler bahwa ia tidak bisa pulang pada hari-hari Natal tanpa hadiah. Nah, hadiah “kecil-kecil” itu mudah didapat dengan memukul dan merampok orang yang ingin melalui perbatasan. Schuessler mulai terlibat.
Pleil memukuli seorang wanita setengah baya. Schuessler mendengar perempuan itu berteriak dan ikut memukulinya agar diam. Keduanya kemudian merampok wanita itu, yang 4 tahun kemudian, akan menjadi saksi satu-satunya dari semua korban dan dapat hadir pada sidang pengadilan. Pada waktu itu kedua penjahat ini menyangka perempuan itu sudah meninggal.
Bersama dengan Schuessler, Pleil dapat menjalankan kejahatan-kejahatannya. Di dekat Vienenhurg, mereka menemukan rumah penjara kereta api yang kosong. Jendela dan pintunya sudah rusak. Mereka membuat api di dalam rumah itu. Apinya tampak dari jauh di malam musim dingin 1947. Dua orang wanita yang tertarik oleh kehangatan api menyala, datang ke rumah tadi. Si Schuessler yang tampan segera saja mendapat kepercayaan wanita-wanita yang mencari perlindungan itu dan mereka masuk tanpa curiga. Oleh Pleil keduanya dipukul mati dengan tongkat besi yang berat. Meskipun demikian, Pleil masih memberikan alat pemukul pada Schuessler, yang sekali lagi memukul. Kemudian kedua wanita dirampok dan dilemparkan ke dalam sumur. Apa yang sebelumnya dikerjakan Pleil tidak tampak oleh Schuessler, yang diharuskan berdiri di luar untuk menjaga.
Kemudian sementara Pleil meneruskan membunuh, Schuessler pergi ke Maroko, ke legiun asing, ke Oran di Aljazair dan ke Vietnam. Ibunya menyurati bahwa ia dicari-cari oleh polisi. Schuessler menyatakan bahwa ia tidak dikeluarkan dari legiun dan bahwa di legiun ia dinasihati agar berganti nama dan melupakan semuanya. Akan tetapi ia melarikan diri untuk kembali ke Hamburg.
Ia ditangkap dan akhirnya mengaku waktu dihadapkan dengan Pleil yang menyatakan, “Kamu boleh menceritakan yang sebenarnya, Konrad!” Selama sidang ia mengakui kesalahannya. Sesudah itu jiwanya tidak pernah tenang. Ia membenci Hoffmann seperti Pleil. Pleil tidak hentinya menyatakan bahwa Schuessler sebenarnya tidak bersalah bahwa pemuda itu dipaksa. Apakah Pleil takut menjadi orang seperti Hoffmann?
“Apa yang telah saya kerjakan memang itu seharusnya saya kerjakan,” kata Pleil. “Setiap orang berhak untuk berlaku seperti yang sudah ditakdirkan. Tetapi Hoffmann tidak boleh berlaku demikian dan Schuessler juga tidak. Tapi Hoffmann memaksa saya sedangkan saya memaksa Schuessler. Hoffmann bersalah terhadap saya dan saya bersalah terhadap Schuessler.”
Hanya beberapa kali selama 3 minggu persidangan, Pleil si pembunuh menangis. Sekali ia tertawa. Ia menangis lama dan terisak-isak, sedangkan tertawanya sebentar dan keras.
Ia menangis pada waktu seorang saksi menceritakan tentang masa kecilnya dan orang tuanya. Tentang ayahnya yang selalu mabuk. Tentang ibu yang bersikap mesra, yang selalu menyembunyikan pencurian-pencurian kecil yang dilakukan anaknya. Ia terharu mendengar cerita bagaimana ia pada waktu kecil membagi-bagikan hasil curian kepada kawan-kawan, bagaimana ia selalu ingin menjadi pemimpin kelompok dan mempertanggungjawabkan segala kejahatan orang lain.
Mungkin si penjahat menangis karena ia pernah menjadi seorang anak yang tidak berdosa. Ataupun mungkin karena sebagai anak kecil bernama Rudi ia sebenarnya tidak jahat, tapi berubah menjadi pembunuh sesudah Perang Dunia berakhir.
Ia tertawa waktu seorang tahanan lain yang dungu diperiksa karena berhasil ia tipu. Tadinya para petugas menyangka bahwa Pleil melakukan beberapa pembunuhan lain (terbukti bukan dia yang melakukan) di perbatasan Niedersachten pada tahun-tahun sesudah Perang Dunia berakhir. Waktu itu hilang lebih dari 200 orang dan hingga kini tidak pernah ditemukan kembali. Pleil membujuk orang dungu tadi untuk mengakui sembilan dari sejumlah pembunuhan yang tidak terungkap (detail-detail pembunuhan ia ketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan). Katanya, “Bila diperiksa, mengaku saja. Mungkin engkau akan mendapat rokok yang dapat kita bagi.”
Jika dibacakan hasil pemeriksaan mayat-mayat korbannya yang mengerikan, ia segera memberi keterangan seadanya, seakan-akan penuh kepuasan. Jika para anggota keluarga korban menangis, ia menundukkan kepala, tetapi ini ia kerjakan karena begitulah perbuatan yang patut. Jika diterangkan bahwa ia sangat cepat mengingat kembali tempat-tempat kejadian, ia tersenyum bangga. Tidak, ia tidak mempunyai perasaan takut, akan tetapi ia punya rasa humor. Pernah sekali ia dikeluarkan dari sebuah restoran, ia kembali dengan menggunakan jenggot palsu. Ia minum bir dengan para petugas polisi yang mengeluarkannya dan senang bahwa mereka tidak mengenalnya kembali. Waktu jaksa mengusirnya keluar, untuk melunakkan hati jaksa mengirimkan bunga yang ditemukannya di penjara dan menulis, “Biarlah bunga berbicara.” Ia dapat membuat lelucon yang berani tetapi baik.
Sebenarnya ia cocok bergaul dalam lingkungan lelaki saja. Ia disenangi di sana. Tidak ada seorang pun dari sekian banyak saksi yang menyangka bahwa orang gemuk, berkaki pendek, dan selalu melucu itu dapat melakukan pembunuhan. Sedangkan Hoffmann, yang mukanya keji, gaya jalannya khas dan suaranya sangat tinggi, tampak seperti penjahat. Orang yang hanya melihatnya sekali saja mengenalnya kembali sesudah beberapa tahun karena ciri-ciri khasnya yang tidak bisa dilupakan.
Pleil tidak mempunyai ciri khas. Orang tidak akan mengenalnya kembali dengan mudah. Tetapi ada juga yang ingat akan kerapiannya berbusana, (waktu menghadap pengadilan setiap hari ia berganti dasi), keramahan, dan selera humornya.
Dua orang ahli mencoba menerangkan tabiat Pleil. Yang seorang ahli psikiatri dan yang seorang lagi ahli kedokteran pengadilan. Sang psikiater menemukan empat komponen yang menyebabkan Pleil melakukan pembunuhan. Itu adalah ia berpenyakit ayan ringan, seorang peminum kuat, dan ada gejala sadis dalam tabiatnya dan masa perang (di mana Pleil dibesarkan) serta masa sesudah perang (di mana ia membunuh).
Semuanya tadi menyebabkan si anak perbatasan menjadi angin topan dalam bentuk manusia, yang lari melewati perbatasan negaranya, merusak apa yang ditemukannya di perjalanan.
Ahli kedokteran pengadilan melihat Pleil dari sudut lain. Pleil sangat cerdas, katanya, sebenarnya ia cukup cerdas untuk melihat bahwa perbuatannya sangat jahat. Lagipula ia mempunyai kemauan yang cukup kuat untuk berbuat sesuai dengan kecerdasannya tadi. Akan tetapi ia tidak memiliki perasaan sama sekali. Itu benar. Hanya beberapa kali selama persidangan Pleil mencoba untuk berpura-pura kasihan pada para korban. Ia tidak berhasil meskipun sebenarnya ia aktor yang baik. Akhirnya tidak dicobanya lagi. Jadi apakah seorang manusia yang tidak punya perasaan sama sekali mempunyai pengertian untuk keagungan jiwa dan hidup manusia? Inilah yang tidak normal dalam jiwa Pleil, kata ahli.
Sidang menjatuhkan hukuman yang sama bagi Pleil, Hoffmann, dan Schuessler. Ketiga lelaki itu harus menjalankan sisa hidupnya di belakang tembok penjara karena telah melakukan pembunuhan-pembunuhan yang sangat keji. Pembunuhan-pembunuhan itu tidak bisa diampuni.
Karena penjahat-penjahat seperti Pleil, tidak akan dikejutkan oleh hukuman yang diberikan manusia dan mereka tidak akan dapat diperbaiki.
Pada tanggal 18 Februari 1958, Rudolf Pleil mengadili dirinya di Penjara Celle. la ditemukan tergantung di dalam selnya. Sebagian orang menyatakan jika ia membebaskan diri.
(Gerhart Herrmann Mostar dan Robert A Stemmle)
Baca Juga: Salah Hitung
" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553761005/hanya-satu-korban-masih-hidup" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683802736000) } } [2]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400934" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/jejak-porche-yang-mengecoh_greg-20220803014205.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Komisaris Bert Dusch diwarisi kasus pembunuhan keji sepuluh tahun lalu. Ribuan orang diselidiki namun pembunuh seakan hilang tanpa jejak." ["section"]=> object(stdClass)#124 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/jejak-porche-yang-mengecoh_greg-20220803014205.jpg" ["title"]=> string(27) "Jejak Porsche yang Mengecoh" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 13:42:24" ["content"]=> string(20745) "
Intisari Plus - Komisaris Bert Dusch diwarisi kasus pembunuhan keji sepuluh tahun lalu. Ribuan orang diselidiki namun pembunuh seakan hilang tanpa jejak.
-------------------
Ruang kerja Komisaris Bert Dusch di salah satu sudut kantor kepolisian Kota Tuebingen tidaklah terlalu besar. Ukurannya sama seperti ruang kerja penyelidik kepolisian di Jerman pada umumnya. Sebuah meja kerja mendominasi bagian tengah ruangan. Satu lemari kaca berukuran sedang diletakkan merapat ke dinding, bersebelahan dengan dua filing cabinet di sisinya.
Beberapa pekan terakhir, ruangan itu terasa semakin sesak oleh tumpukan arsip di atas meja. Arsip yang tampak mulai lusuh itu berisikan catatan-catatan penyelidikan pembunuhan, seperti laporan dari TKP, keterangan saksi, hasil tes laboratorium, termasuk foto-foto korban. Semuanya hanya memuat satu kasus yang masih misterius, yaitu pembunuhan Andrea Bergmeir.
Dusch memang baru saja mendapat "warisan", sebuah kasus pembunuhan keji yang terjadi sepuluh tahun lalu, dan belum terpecahkan hingga kini. Kasus yang benar-benar menguras energi para detektif sejawatnya di wilayah kepolisian kawasan Jerman bagian selatan. Bahkan sempat ikut merepotkan polisi di kota-kota besar lain, Munich misalnya. Dusch sendiri yang minta ditugasi menuntaskan X-file itu. "Kalau saja aku bisa memecahkan teka-teki ini," cetusnya dalam hati.
Sejak saat itu, di sela-sela tugas rutinnya, sang detektif muda bak tak kenal lelah itu menekuni fakta demi fakta dari setiap laporan yang dibacanya. Matanya mencoba menelusuri celah-celah dari penyelidikan. Mengamati lembar demi lembar setiap foto. Terus membaca dan menganalisis, untuk mendapatkan kemungkinan adanya sesuatu yang terlewatkan dari para penyelidik sebelumnya.
Rencana ke Munich
Satu hari di penghujung 1992 mungkin merupakan hari yang tidak akan pernah dilupakan Dietmar U. sepanjang hidupnya. Kala itu, sekitar pukul 14.00, pemuda asal Munich ini menjemput kekasihnya, Andrea, di apartemennya di Tuebingen. Pasangan muda yang tengah dimabuk cinta itu sudah janjian akan merayakan malam tahun baru bersama di pondokan teman mereka di Danau Starnberg.
Sesampainya di apartemen Andrea, Dietmar tidak menaruh curiga atau membayangkan sesuatu bakal terjadi terhadap pacarnya. Namun, ia mulai bertanya-tanya dan khawatir, saat ketukannya berkali-kali tidak mendapat jawaban dari sang empunya apartemen. Tidak pernah ia mendapat sambutan sedingin ini. Apalagi sebelumnya mereka sudah berjanji untuk bertemu. Tidak mungkin Andrea pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan.
Karena sudah sering berkunjung ke tempat itu, Dietmar tak mendapat kesulitan masuk. Namun, ia begitu terkejut dan sejenak terbengong, tak tahu harus berbuat apa, begitu mendapati kekasihnya sudah menjadi mayat. Kondisi Andrea sangat mengenaskan.
Lehernya nyaris putus akibat sayatan benda tajam. Darahnya menggenang di lantai, seperti pemandangan yang lazim ditemui di rumah pemotongan hewan.
Bajunya terbuka di beberapa bagian. Awam sekalipun akan mudah menebak, selain dibunuh, korban tampaknya juga diperkosa secara brutal. Sebelum tewas, Andrea diduga melakukan perlawanan keras. Ini terlihat dari beberapa goresan benda tajam di tangannya. Sialnya, hampir tidak ada bukti-bukti yang mengindikasikan siapa pelaku kejahatan biadab itu. Tak ada kerusakan di sekitar TKP. Pintu pun tidak tampak dijebol.
Dietmar terlihat terduduk lesu sembari menangis di salah satu sudut apartemen, ketika polisi mendatangi tempat kejadian perkara (TKP). Mereka langsung melakukan proses pemeriksaan awal dan mengamankan tempat itu dari kerumunan orang banyak dengan menempatkan garis polisi.
Meski masih dirundung sedih, tak pelak Dietmar adalah orang pertama yang dicurigai. Polisi mengembangkan dugaan, seandainya saja pasangan itu telah bertengkar. Dugaan yang sebenarnya tidak begitu kuat, karena tiga hari sebelumnya mereka baru saja berlibur di Teneriffa, salah satu pulau terbesar di Canary Island.
"Tak mungkin, sama sekali tak mungkin. Hubungan kami selama ini baik-baik saja. Saya sangat mencintainya," tegas Dietmar dengan mata nanar. Dietmar juga bercerita, Andrea sebenarnya sudah berencana pindah ke Munich. Sayang, rencana besarnya itu keburu gagal karena kejadian mengerikan ini.
"Atas dasar apa kami harus mempercayai keterangan Anda?" potong seorang detektif.
"Sebab, saya memang tidak melakukannya," balas Dietmar, yang tampak mulai kesal.
Pemeriksaan memang berjalan sangat menjemukan. Berjam-jam Dietmar harus menjawab pertanyaan para detektif dengan pola pertanyaan yang nyaris selalu berulang. Polisi berharap, Dietmar tidak konsisten dan membuka kebohongannya. Bahkan kuku jarinya ikut diperiksa. Penyelidik juga menanyai kenalan-kenalan Andrea dan Dietmar di Munich. Keterangan mereka rata-rata membenarkan pengakuan Dietmar.
Selain memeriksa Dietmar, hanya berselang 40 menit sejak penemuan mayat, polisi juga menahan seorang pemuda berusia 22 tahun, bernama Oliver Zelt. Pemuda ini dicurigai karena berkeliaran di sekitar TKP dan saat digeledah, polisi menemukan sebilah pisau di sakunya. Yang membuat polisi setempat lebih curiga, bajunya ternyata penuh dengan noda-noda mirip dengan noda darah.
Zelt memang sempat diinterogasi, tapi hanya sekitar tujuh jam, sebelum akhirnya dibebaskan. Noda-noda di baju, yang diduga polisi sebagai noda darah itu, ternyata hanyalah kotoran bekas tanah. Zelt yang memang suka membawa pisau ke mana-mana sedang apes, karena kebetulan berada di sekitar apartemen Andrea.
Jejak Porsche
Selain berpenampilan menarik, Andrea Bergmeir dikenang oleh para tetangganya sebagai perempuan baik-baik dan tidak pernah berbuat macam-macam. Satu lagi yang diingat para tetangga, Andrea juga doyan berolahraga. Beberapa orang mengaku mengenal Andrea dengan baik, karena ia sering joging di kawasan sekitar tempat tinggalnya di daerah Nehren.
Perempuan yang bekerja sebagai arsitek itu sudah berhubungan dengan Dietmar setahun lebih. Tepatnya sejak November 1991, ketika keduanya bertemu di Munich. Sepengetahuan teman-temannya, hubungan kedua sejoli itu baik-baik saja. Malah kelihatannya sudah menjurus ke arah yang lebih serius, karena - seperti dituturkan juga oleh Dietmar - dalam waktu dekat Andrea berencana pindah ke kota tempat tinggal kekasihnya itu, Munich.
Karena kesenangannya berolahraga, Andrea juga menjadi anggota klub kebugaran Pegasus, tak jauh dan tempat tinggalnya.
Dari tempat itu pula, polisi menemukan informasi tentang keberadaan mobil Porsche. Sebuah petunjuk yang kemudian menjadi rangkaian besar pada kasus ini. Tiba-tiba saja, banyak orang merasa pernah melihat Andrea dan mobil mewah itu di mana-mana.
Seorang perempuan penjaga kafetaria, misalnya, mengaku pernah melihat sebuah Porsche diparkir di depan klub kebugaran pada malam pembunuhan. Perempuan yang kebetulan juga kenal dengan Andrea itu begitu yakin bercerita tentang ciri-ciri mobil itu, karena ia sempat melewatinya. "Porsche 944, saya yakin sekali itu Porsche 944. Catnya putih dengan nomor polisi Munich," jelas si penjaga kafetaria yang enggan disebut namanya.
Polisi berusaha mengembangkan informasi ini. Tetangga di sekitar pun ditanyai, kalau-kalau ada yang mendapat kunjungan seseorang bermobil Porsche.
Namun, tak ada yang mau membuka mulut. Ketika polisi menyebarkan perintah penyelidikan terhadap mobil Porsche, khususnya yang berasal dari Munich, tiba-tiba banyak orang yang menyatakan "pernah melihatnya".
Para saksi yang sempat memberi keterangan pada polisi setidaknya membenarkan keberadaan mobil itu di sekitar Nehren pada hari pembunuhan. Bahkan salah satu saksi terkuat, yaitu rekan kerja Andrea, pernah melihat rekannya itu di Tuebingen, di dalam sebuah Porsche 911 berwarna hitam dengan pelat nomor Munich.
Seorang pengunjung di Pegasus juga ingat, pada malam peristiwa itu ia sepertinya melihat sebuah Porsche diparkir di depan klub kebugaran. Setelah itu, salah seorang tetangga mengaku, pada awal Desember melihat Andrea turun dari sebuah Porsche berpelat nomor Munich. Warna mobilnya cokelat tua.
Para detektif saat itu yakin sekali, keberadaan mobil mewah bikinan Jerman itu tampaknya akan menjadi kunci penyelidikan. Sebuah keyakinan yang sangat beralasan. Sampai saat itu, sudah ada sekitar 31 petunjuk yang mengarah ke mobil itu, meski ada kesimpangsiuran soal warnanya. "Kami tidak menyangka, bahwa di kota itu (Munich) ternyata ada banyak sekali mobil Porsche," kata Wolfgang Wenzel, juru bicara kepolisian dalam pernyataannya.
Dari rangkuman keterangan para saksi mata, polisi kembali mengembangkan informasi tentang Porsche. Menurut data yang diperoleh dari Departemen Transportasi Jerman diketahui, sedikitnya ada sekitar 3.664 pemilik Porsche. Merasa "kesaksian" si mobil Porsche amat sangat dibutuhkan, polisi bertekad menanyakan alibi setiap pemiliknya satu per satu. Di mana dan apa yang mereka lakukan pada saat peristiwa pembunuhan. Tentu saja, sebuah pekerjaan besar!
Tolak periksa DNA
Niat polisi untuk membongkar kasus Andrea memang begitu besar. Buktinya, setiap pemilik Porsche di Munich tak luput dari pemeriksaan. Tanpa pandang bulu. Jika mendapati hal-hal yang mencurigakan atau muncul keraguan, mereka tak segan-segan melakukan tes DNA dari sampel darah. Hasilnya, tak kurang dari 900 pemilik Porsche menjalani tes darah. Saat itu tes DNA melalui air liur belum dilakukan.
Karena Porsche tergolong kendaraan mewah yang hanya dimiliki kalangan tertentu, orang-orang yang dicurigai pun banyak yang berasal dari kalangan atas, termasuk sejumlah selebriti. Salah satunya, bintang film Claude-Oliver Rudolph, yang sering berperan antagonis dalam film-film kriminal.
"Saat saya dipanggil pihak penyelidik, saya langsung menelepon pengacara saya, dan dia bilang, 'Oliver itu kewajibanmu sebagai warga negara'," kata bintang film itu kepada wartawan, sambil tertawa-tawa. Buat sebagian orang, tindakan polisi terhadap Oliver dirasa keterlaluan. Sementara di mata Oliver sendiri, tindakan itu sungguh menggelikan, kalau tak mau dibilang sangat lucu. Karena belakangan ketahuan, ia sebenarnya tidak memiliki Porsche, tapi Ferrari.
Tindakan polisi yang berlebihan itu tak pelak mendapat reaksi keras dari masyarakat. Seorang pakar kendaraan dari Munich bahkan menolak diperiksa. Ia tidak melihat adanya alasan harus dilibatkan dalam masalah itu. Pengacara sang pakar, Walter Sattler, bahkan melakukan naik banding ke pengadilan pusat untuk menghindari tes darah yang diminta pengadilan Kota Tuebingen. Dalam vonisnya, pengadilan pusat menyatakan polisi tidak berhak melakukan analisis DNA dalam kondisi kecurigaan sekecil apa pun.
Orang penting lain yang tak luput dari pemeriksaan adalah mantan Menteri Perhubungan negara bagian Baden-Wuerttemberg, Herman Schauffler. Schauffer didatangi polisi, karena laporan seorang teman pria Andrea, yang mengaku pernah melihat adanya hubungan khusus antara Andrea dengan tokoh politik itu pada suatu pameran di Kota Hannover.
Dengan jumlah saksi mencapai ribuan orang, kasus Andrea begitu menyita energi polisi. Sampai Januari 1999, telah dilakukan sebanyak 1.114 tes darah dan hampir 4.000 orang diperiksa alibinya. Arsip-arsip penyelidikan, jika ditumpuk dapat mencapai sepuluh map tebalnya. Belum termasuk map-map lain yang berisi catatan jejak-jejak tersangka pembunuh.
Tapi semua itu ternyata belum cukup. Pada 22 Januari 1999, dengan perasaan kecewa, Kepala Komisaris Kriminalitas Tuebingen memutuskan untuk menutup kasus itu. Tak seorang pun berani mengecam komisaris yang telah kehabisan akal itu. Pasalnya, mereka yang hendak mengecam juga ikut habis akal.
Petunjuk air liur
Kini, tumpukan arsip-arsip lama itu berdiri tegak di depan Dusch. Setelah berminggu-minggu mengencani kertas-kertas berdebu itu, Dusch akhirnya menemukan titik terang kasus Andrea. Dari catatan ia menemukan fakta, pada saat pembunuhan, pintu apartemen Andrea ternyata tidak dijebol. Bisa jadi Andrea mengenal pembunuhnya. Jika tidak, si pembunuh dipastikan orang yang memiliki kunci apartemen.
Sebenarnya, dalam arsip termuat juga catatan pemeriksaan polisi terhadap pemilik apartemen. Di situ antara lain disebutkan, pemilik pernah memberikan kunci kepada wanita bernama Ute M., seorang petugas kebersihan tangga apartemen, yang bekerja seminggu sekali. April 2002, Dusch melangkahkan kakinya ke rumah Ute M., yang terletak di pinggiran kota.
Rumah itu tampak sangat sederhana, bergaya kuno dengan cat tembok yang sudah kusam, tapi tetap terlihat bersih. Ia disambut baik oleh Juergen, suami Ute. Saat itu, Ute sedang tidak berada di rumah.
"Ya, tentu saja saya ingat kasus Andrea Bergmeir," kata Juergen, tak lama setelah keduanya mulai membuka pembicaraan sembari duduk di teras. Suara televisi dari ruang tengah yang menyiarkan siaran olahraga, tampaknya sepak bola, terdengar keras.
"Dia pribadi yang baik dan menarik," lanjut pria yang sudah tidak bekerja ini. "Saya mengenalnya karena sering membantu Ute. Tugas saya membersihkan tangga." Saat berbicara dengan Dusch, Juergen tampak begitu tenang, dengan sebatang rokok tak henti-hentinya bermain-main di tangan.
"Apakah Anda bersedia menjalani tes air liur untuk kepentingan pemeriksaan DNA?" tanya Dusch. Untuk membantu membongkar jalan buntu, ia memang bermaksud memanfaatkan teknologi terkini, seperti pemeriksaan air liur ini. Siapa tahu, cocok dengan DNA tersangka.
"Apakah saya dicurigai?"
"Oh, ini hanya prosedur saja. Anda tahu kami melakukan tes seperti ini kepada semua orang," Dusch berkata apa adanya.
"Baik," kata Juergen, sambil mengisap rokoknya kembali. Tak sedikit pun perasaan waswas terlihat di wajahnya. Di alamat yang ditunjuk Dusch, Juergen lalu melakukan tes air liur secara suka rela. Ia cukup patuh melakukan semua proses pemeriksaan yang diminta Dusch. Dusch sendiri sebenarnya tidak berharap banyak pada tes-tes seperti itu. Sudah ribuan tes dilakukan, tapi tetap saja tidak menghasilkan apa-apa.
Namun, kesabaran Dusch belakangan berbuah manis. Hasil tes air liur Juergen sungguh di luar dugaan. Tanggal 8 Juli 2002, Dusch mendapat kabar yang diimpi-impikannya selama ini. Kantor polisi Tuebingen resmi mendapat pemberitahuan, hasil tes air liur terhadap Juergen ternyata identik dengan "jejak pembunuh" dengan rekomendasi "sangat mungkin!"
Mendengar berita itu, Dusch sedikit bergetar. Perasaannya saat itu betul-betul tak keruan. Mirip orang menemukan jarum yang terselip di antara tumpukan jerami selama sepuluh tahun. Apalagi peluang keberhasilan tes itu adalah satu dibanding lima miliar! Tanpa banyak membuang waktu, malam itu juga Juergen ditangkap tanpa perlawanan berarti. Esok harinya, tanpa pemeriksaan yang berbelit, pembunuh yang sukses buron selama bertahun-tahun itu mengakui perbuatannya.
Ketika Dusch masih tak percaya pada apa yang terjadi, berita penahanan Juergen telah menjadi berita besar di Jerman!
Hilang nafsu makan
Bulan Mei 2003, kasus Juergen mulai disidangkan di pengadilan Kota Tuebingen. Persidangan itu mendapat perhatian besar dari media cetak maupun elektronik. Maklum, selama ini pers juga ikut berspekulasi tentang kemungkinan pembunuh Andrea, sehingga beberapa sempat diisukan terlibat, bahkan telanjur dicurigai secara tak resmi. Inilah saatnya menyaksikan sang pembunuh yang sebenarnya.
Di ruang pengadilan, sosok pembunuh keji yang selama ini dicari bisa disaksikan dengan jelas. Juergen yang kini berusia 44 tahun terlihat jauh lebih kurus dibandingkan dengan sebelum ditangkap. Berat badannya susut sampai tinggal 41 kg. Lelaki pensiunan itu rupanya sangat terpukul. Dia nyaris tidak makan apa pun sejak masuk bui. Hakim juga sempat prihatin melihat kondisinya.
"Saya sudah tidak punya selera makan lagi, Pak Hakim," katanya singkat.
Tak jauh dari posisi Juergen, seorang wanita duduk memperhatikannya dengan berurai air mata. Perempuan berusia 54 tahun itu adalah Christel Bergmeir, yang ingin sekali melihat langsung wajah pembunuh anaknya. Dia menatap dalam-dalam tubuh kurus kering yang selalu memalingkan muka saat ditatap itu.
"Dia yang memulainya," cerita Juergen perihal awal hubungannya dengan Andrea. "Dia yang mengajak berkenalan. Sebagai lelaki, saya tentu tidak bisa menolak. Apalagi harus saya akui, dia cantik dan menarik."
Masih menurut Juergen, setelah perkenalan itu, keduanya jadi sering bertemu. Bahkan kemudian terjadi hubungan gelap antar keduanya. Gadis muda itu digambarkannya sebagai perempuan haus seks, selalu ingin melakukan hubungan intim dengan lelaki mana pun.
Suatu hari, entah apa alasannya, Andrea hendak membeberkan semua perbuatan mereka kepada Ute. Tentu saja Juergen panik. "Apalagi saat itu Andrea terus mengancam. Hari itu saya benar-benar kehilangan akal. Terpaksa saya membunuhnya," tutur Juergen sambil berlinang air mata.
Sebuah cerita yang aneh. Namun, itulah kisah yang dipercayai pengadilan Tuebigen. Cerita yang membuat Juergen hanya dijatuhi hukuman penjara 11 tahun, yang langsung diterima tanpa mengajukan banding. Hakim mengesampingkan cerita versi lain yang berkembang di luar pengadilan bahwa pria itu diduga menyelinap masuk, lalu memerkosa Andrea.
Versi mana yang lebih mendekati kejadian sebenarnya, tentu hanya Juergen yang tahu. Selama bertahun-tahun ia luput dari penyelidikan polisi, cuma karena para detektif sangat terpengaruh oleh cerita tentang pengendara Porsche misterius. Beruntung Dusch akhirnya dapat membuktikan, pembunuh Andrea bukanlah pengendara Porsche, tapi hanyalah seorang pemilik VW Golf.
Teman-teman Juergen bahkan ingat, terdakwa sempat berkomentar saat media massa gencar memberitakan soal pembunuhan Andrea. "Saya tidak yakin, kalau pembunuhnya menggunakan Porsche." Komentar yang baru terbukti sepuluh tahun kemudian. (Philipp Mausshardt)
" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400934/jejak-porsche-yang-mengecoh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659534144000) } } [3]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355897" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/pelarian-mussolini-di-puncak-gun-20220701063900.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Komandan Jerman membebaskan Mussolini, sang diktator Italia, dari penjaranya di Apennine. Apakah pesawat yang membawanya terlalu kecil untuk dirinya?" ["section"]=> object(stdClass)#128 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/pelarian-mussolini-di-puncak-gun-20220701063900.jpg" ["title"]=> string(35) "Pelarian Mussolini di Puncak Gunung" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:40:01" ["content"]=> string(22040) "
Intisari Plus - Komandan Jerman membebaskan Mussolini, sang diktator Italia, dari penjaranya di Apennine. Apakah pesawat yang membawanya terlalu kecil untuk dirinya?
---------------
Diktator Nazi, Adolf Hitler, duduk di ruang rapat di markas rahasianya yang disebut "Sarang Serigala" di Rastenburg, tersembunyi jauh di dalam hutan Prusia Timur. Pemimpin Jerman itu sangat geram. Dia baru mendengar kabar bahwa teman dan sekutunya, Benito Mussolini, seorang diktator Italia yang kejam selama dua puluh tahun ini, baru saja digulingkan dan ditangkap pengikutnya sendiri.
Kabar yang baru diterimanya itu memang kurang lengkap, tapi cukup dalam untuk memperingatkan Hitler dan sekutu Nazi-nya. Mussolini sangat terkenal di Italia, hingga membawa pasukannya bertempur dalam Perang Dunia II berdampingan dengan Nazi Jerman.
Diktator Italia itu ingin menaklukkan daerah baru untuk membangun Kerajaan Italia baru yang diharapkannya dapat menandingi kemegahan Kerajaan Romawi dua ribu tahun yang lalu. Namun, hal itu tidak dapat terwujud. Rakyat Italia tidak ingin peperangan, dan banyak prajurit Italia menolak untuk berperang.
Sejak awal perang meletus, segala sesuatu tidak berjalan baik di Italia. Koloni Italia sebelum perang—Afrika—mengalami kekalahan. Pasukan Italia yang dikirim untuk membantu Jerman menginvasi Rusia, menderita luar biasa. Lalu, di musim panas tahun 1943, Inggris, Amerika, dan sekutu lainnya menginvasi Italia selatan dan memperluas kekuasaan mereka mencapai Roma.
Pada 25 Juli 1943, Mussolini diundang menemui raja Italia, Victor Emmanuel III. Sang raja memberitahunya bahwa karena Italia kalah perang, Mussolini menjadi "orang yang paling dibenci di seluruh Italia". Marshall Pietro Mussolini diangkat menjadi kepala negara bagian di tempat ia tinggal. Kemudian Mussolini ditahan dan dimasukkan ke dalam ambulans, dan dibawa ke tempat rahasia.
Hitler tidak hanya mengkhawatirkan temannya. Ia prihatin jika Mussolini tidak lagi menguasai Italia. Mereka mungkin akan berdamai dengan musuh Jerman, atau lebih buruk lagi, memihak lawan. Ratusan dari ribuan tentara Jerman di negara itu harus menguasai Italia sebagai musuhnya, bukan sekutu, tetapi hal tersebut sama sekali tidak membantu Jerman.
Pemimpin Nazi itu sadar, masalah tersebut hanya dapat diselesaikan dengan menemukan Mussolini dan membantunya meloloskan diri. Begitu ia bebas, Jerman bisa menggunakan tentaranya untuk menyatakan dirinya sebagai pemimpin Italia.
Namun, Italia yakin Jerman akan memikirkan segala cara untuk membebaskan Mussolini, jadi mereka menyembunyikannya dengan sangat hati-hati. Yang diperlukan Hitler adalah misi penyelamatan yang nekad. Ia mengumpulkan para ajudannya dan membagikan apa yang ada di benaknya. Siapa yang akan mereka tunjuk untuk melaksanakan misi tersebut?
"Führer," kata sang ajudan, "Aku tahu siapa yang cocok untuk tugas itu."
*
Maka, pagi itu 26 Juli, SS Sturmbannführer Otto Skorzeny berdiri dengan gugupnya di luar kantor "Sarang Serigala". Skorzeny pernah melihat pemimpin Jerman itu sebelumnya, tapi hanya dari kejauhan, di sebuah parade akbar militer. Sekarang ia akan bertemu muka dengannya.
Hal pertama yang menjadi pusat perhatian orang ketika melihat Skorzeny adalah tubuhnya yang besar. Dengan tubuh yang sangat tinggi dan kekar seperti seekor banteng, sosoknya sangat mengesankan.
Hal kedua yang jadi titik perhatian adalah bekas luka di pipi kirinya. Luka itu didapatnya saat ia masih menjadi mahasiswa di Viena. Pada 1920-an, berduel adalah hal yang populer di kalangan mahasiswa perguruan tinggi.
Skorzeny turut ambil bagian dalam 15 duel. Walaupun Nazi melarang kegiatan tersebut, ia tetap memegang teguh filosofi Nazi Hitler sejak 1920-an.
Skorzeny terpilih dari antrean panjang pasukan militer, dan memiliki bakat menjadi seorang pemimpin yang nekad. Sepertinya ia kecanduan bahaya. Ketika Nazi akhirnya berkuasa dan melarang kegiatan duel, ia pindah haluan ke balap motor.
Pada waktu Perang Dunia II meletus, ia bergabung dengan SS (cabang militer Jerman yang terdiri dari pasukan elite Nazi). Ia bertempur dengan penuh keberanian bersama divisi Totenkopf (Death's Head) di Yugoslavia dan Rusia.
Namun, ia dijangkiti penyakit dan diperintahkan untuk kembali ke Jerman, dan ia selanjutnya diberi tugas membentuk satu unit pasukan komando SS (unit khusus yang akan melaksanakan misi yang berbahaya dan berisiko tinggi).
Skorzeny telah memperkenalkan pusat pelatihan komando miliknya sendiri, dan kini ia diberi kesempatan untuk membuktikan apa yang dapat dilakukan anak buahnya.
Hitler memberi salam Skorzeny dengan formalitas tinggi, dan memberitahukannya berita tertangkap serta hilangnya Mussolini.
Pemimpin Nazi itu menggarisbawahi kekhawatirannya tentang kemungkinan Italia akan menyerah. Ia memerintahkan Skorzeny segera terbang ke Italia untuk menyelamatkan temannya. Kode rencana itu adalah Operation Eiche (Operasi Pohon Ek).
Tak ada risiko yang tak dapat ditangani. Begitu Mussolini bebas, Italia dan Jerman dapat segera bekerjasama dalam perang.
Pertemuan pun selesai. Skorzeny membungkuk penuh rasa hormat dan memberi salam Nazi, lalu diantar keluar. Ia meyakinkan Hitler bahwa ia mampu membebaskan Mussolini, atau tewas dalam misi.
Sambil berjalan keluar, ia sadar bahwa dirinya akan melaksanakan misi yang akan mengubah nasib seluruh bangsa. Pikirannya bekerja cepat memikirkan cara mewujudkan misi yang kelihatannya tidak mungkin dilaksanakan.
Jika ia tahu lokasi Mussolini berada, ia bisa segera menyusun rencana pelarian. Namun, untuk sementara ini ia harus menahan dirinya, sampai berita mengenai pemimpin Italia yang digulingkan itu sampai ke telinganya.
*
Penantian dimulai. Mata-mata Jerman menyusup ke mana saja mereka bisa. Diam-diam, teknisi radio Jerman menyadap segala kegiatan komunikasi untuk mendapatkan informasi. Situasi saat itu sangat sulit.
Bagi kebanyakan rakyat Italia, khususnya mereka yang kehilangan ayah atau anak laki-laki, Mussolini memang orang yang paling dibenci di seluruh Italia, tapi masih banyak orang Italia, khususnya di kalangan militer yang masih mendukungnya.
Suasana pengadilan naik turun. Pertama-tama, Mussolini dibawa ke kepulauan Ponza, dekat Roma. Lalu, ia dipindahkan ke sebuah markas Angkatan Laut Italia di La Maddalena, sebuah pulau di kepulauan Sardinia.
Di sana, Skorzeny merencanakan melakukan penyelamatan berbahaya dengan perahu motor berkecepatan tinggi, tapi sebelum ia sempat melaksanakannya, Mussolini sudah dipindah lagi. Butuh beberapa minggu lamanya untuk mendapatkan petunjuk baru yang menginformasikan lokasi Mussolini.
Sementara itu, ada peristiwa baru terjadi di Italia. Pada 8 September 1943, pemerintahan Badolio memerintahkan semua pasukan untuk berhenti melawan Inggris dan Amerika, dan Italia berhenti berperang.
Pasukan Jerman di Italia segera menduduki basis utama militer dan melucuti pasukan Italia sebisa mereka, dan berusaha mencapai Roma. Namun, masih ada kemungkinan Italia berbalik melawan mantan sekutunya itu.
Skorzeny diuntungkan dengan semua kejadian tersebut. la segera mengetahui bahwa Mussolini ditahan oleh seorang Jenderal Italia bernama Gueli. Ketika pesan rahasia Gueli berhasil disadap, mereka mendapatkan lokasi Mussolini disekap, dan Skorzeny segera beraksi.
*
Mussolini telah diterbangkan ke sebuah tempat peristirahatan musim dingin, yaitu sebuah hotel bernama Albergo-Rifugio, dekat Gran Sasso yang merupakan puncak tertinggi gunung Apennine.
Di sana, seratus tiga puluh kilometer dari Roma, ia dijaga ketat oleh dua ratus lima puluh pasukan Italia. Lokasi tersebut merupakan pilihan yang paling tepat, karena terpencil dan akses ke dunia luar hanya melalui kereta gantung.
Skorzeny menimbang-nimbang pilihannya. Mustahil menyerang dari bawah, terlalu berbahaya mengirim pasukan parasut karena akan terbawa arus angin dan hancur berkeping-keping terhantam tebing gunung.
Satu-satunya pilihan yang ada adalah pesawat layang. Pesawat layang pun juga sangat berbahaya. Pesawat layang memang barang yang licin, tapi tidak akan mengeluarkan suara apa pun. Semakin dipikirkan, sepertinya ide tersebut semakin bagus. Bahkan, pesawat layang adalah alat yang sempurna.
Mereka akan mendarat diam-diam di hotel sebelah, dan anak buahnya dapat bergegas mencari Mussolini sebelum pasukan Italia sadar apa yang sedang terjadi. Setidaknya, begitulah harapannya.
Tanggal 10 September, Skorzeny naik pesawat dan terbang di atas hotel, memotret titik-titik di mana ia akan mendaratkan pesawat layangnya, dan rencana pun segera dilaksanakan.
Tanggal 12 September dipilih sebagai hari penyerangan, dibantu seorang Jendral Italia bernama Soleti, pendukung setia Mussolini. Skorzeny menyuruh Soleti memerintahkan pasukan Italia untuk tidak menembak mereka.
*
Jadi, pada serangan pagi tersebut, pasukan komando SS milik Skorzeny bersama sejumlah tentara parasut Luftwaffe, berkumpul di landasan markas Angkatan Udara Practica di Mare, Roma.
Mereka berdiri menunggu pesawat layang mereka dipersiapkan sambil makan sebanyak-banyaknya, siapa tahu itu adalah makanan terakhir yang mereka makan.
Namun, sebelum mereka terbang dengan pesawat layang tersebut, pesawat Amerika terbang di atas mereka dan menjatuhkan bom di landasan. Para prajurit terkejut. Walaupun tak ada yang terluka, ada beberapa lubang bom di landasan.
Setelah inspeksi singkat, Skorzeny tetap memutuskan bahwa pesawat layangnya masih bisa lepas landas dalam kondisi tersebut, dan penyerangan tetap dilaksanakan sesuai rencana.
Semuanya ada dua belas pesawat layang yang diterbangkan anak buah Skorzeny, lengkap dengan para pembom. Tetapi, pada pukul setengah satu siang, saat mereka mulai lepas landas satu persatu, kejadian buruk menimpa mereka. Dua pesawat menabrak lubang dan jatuh saat akan lepas landas, termasuk pesawat yang tadinya diperintahkan Skorzeny untuk memimpin penyerangan tersebut.
Sekarang harus ia sendiri yang memimpin. Di pesawat layangnya yang sempit, ia berdesakan dengan perlengkapannya sendiri, bahkan tak dapat bergerak dan tak dapat melihat arah ke mana mereka terbang. Maka, dengan bayonet ia membuat lubang di sayap pesawatnya yang terbuat dari kain kanvas tipis, untuk memperluas pandangannya.
Dalam perjalanan, dua pesawat layang lainnya terpisah dari rombongan dan hilang di balik awan. Sekarang hanya ada mereka berdelapan. Satu jam kemudian, pesawat hampir mendekati targetnya, maka mereka melepaskan para pembom yang segera membelok supaya suara mesin mereka tidak terdengar oleh pasukan Italia di bawah sana.
Pesawat layang mendarat tanpa suara di hotel bagaikan burung asing yang menakutkan. Namun, saat mereka semakin dekat dengan tempat pendaratan yang telah ditentukan Skorzeny, ia baru sadar ternyata tempat tersebut lebih sempit dan lebih berbahaya daripada yang ia duga sebelumnya. Tempat tersebut dipenuhi batu-batu, sangat landai dan curam sampai ke jurang yang dalam.
Sudah terlambat untuk mundur. Skorzeny telah berjanji pada Hitler akan membebaskan Mussolini, apa pun risikonya. Dengan kasar ia memerintahkan pilotnya untuk mendarat, kemudian pesawatnya menabrak padang rumput berbatu. Ia bernasib sial. Sehabis pendaratan yang penuh guncangan, pesawatnya berhenti kira-kira delapan belas meter dari hotel.
Berharap tidak diadang oleh rentetan tembakan senapan, Skorzeny dan anak buahnya segera keluar dari pesawat layang dan menuju pintu masuk hotel. Herannya, tak satu pun peluru yang ditembakkan.
Mungkinkah pasukan Italia telah diringkus? Atau mungkin Jenderal Soleti yang telah berkomplot dengan Skorzeny telah memerintahkan pasukan untuk tidak menembak serta membujuk mereka untuk tidak menjaga hotel?
Di dalam hotel, Skorzeny melihat dua orang perwira Italia sedang mengoperasikan radio komunikasi. Ia menendang radio itu, membantingnya hingga hancur berkeping-keping, kemudian lari menuju tangga utama hotel.
Di lantai pertama, ia beruntung langsung melihat Mussolini di kamar pertama yang ia masuki. Dua orang perwira Italia yang menjaganya langsung dilumpuhkan. Kini pemimpin Italia itu ada di tangannya la segera memerintahkan pasukan Italia agar menyerah.
Situasi sempat hening beberapa saat, tapi akhirnya perwira tinggi Italia menerima kekalahan itu. Sepotong kain putih digantung di jendela hotel, dan seorang kolonel Italia memberikan segelas anggur merah.
Herannya, tak satu pun peluru yang ditembakkan selama penyerangan yang berlangsung kira-kira empat menit itu. Malah, saat pasukan Italia menyerah, pesawat layang terakhir mendarat di luar hotel. Satu-satunya satunya pasukan yang terluka hanyalah pasukan pesawat layang Jerman yang gagal lepas landas tadi.
*
Sejauh ini segalanya berjalan mulus. Mussolini kini berada di tangan Jerman, Skorzeny masih harus membawanya pergi jauh sebelum alarm berbunyi dan pasukan Italia tambahan datang untuk menghentikan segala usaha mereka.
Hal itu sama berbahayanya dengan penyerangan awal. Tadinya ia berniat membawa pemimpin Italia itu dengan kereta gantung yang ada di samping hotel, tapi sekarang cara terbaik untuk itu adalah terbang.
Di atas sana, sudah ada pesawat mata-mata yang digunakan untuk tugas memata-matai misi ini. Pesawat dengan dua tempat duduk ini bisa lepas landas dan mendarat di lahan yang sempit. Pesawat inilah yang bisa membawa Mussolini keluar dari Italia.
Skorzeny menyuruh pilot membawa pesawat itu turun. Anak buahnya segera membersihkan padang rumput dari batu batu dan potongan-potongan pesawat layang yang hancur, supaya tempat mendarat pesawat tersebut lebih aman.
Pesawat kecil itu mendekat lalu mendarat di hadapan mereka. Mussolini masuk dan duduk di samping pilot, sementara Skorzeny menyelinap di belakangnya.
Sang pilot bersikeras penumpang pesawat tidak boleh lebih dari tiga orang, tapi Skorzeny merasa bertanggungjawab atas Mussolini dan tidak akan melepaskannya dari pandangannya sampai mereka berdua kembali dengan aman di Jerman.
Pesawat itu benar-benar kelebihan beban. Sang pilot menyetel mesin pada kondisi kekuatan penuh sekaligus menginjak rem. Anak buah Skorzeny memegangnya dari luar untuk menjaga kestabilan pesawat.
Lalu, pedal rem diangkat, para prajurit melepaskan pegangannya, dan pesawat kecil itu berguncang mencoba naik. Sebelum sempat benar-benar mengudara, pesawat itu menukik ke pinggir gunung dan terjerembab di lembah. Kondisi di bawah nampak mengkhawatirkan, untunglah sang pilot berpengalaman tinggi.
Ia berhasil membuat pesawat itu naik, melayang di atas gunung dan terbang menuju Roma.
Kram di kokpit yang sempit, Skorzeny mengalami penerbangan yang tidak nyaman, dan tertekan mendengar suara pemimpin Italia ini mengutuki penangkapnya melawan kebisingan suara mesin pesawat.
Hanya pada saat roda pesawat ini menyentuh landasan markas Angkatan Udara Jerman di Roma-lah, Skorzeny bisa tenang. Ia telah berjanji pada Hitler untuk membebaskan temannya. Sekarang, di sinilah dirinya, duduk di samping diktator Italia itu, aman di tangan Jerman, dan keduanya masih hidup untuk menceritakan kejadiannya.
Selanjutnya
Begitu mereka tiba di Roma, Skorzeny dan Mussolini nak pesawat yang lebih besar menuju Viena, dan melanjutkan perjalanan menuju "Sarang Serigala" di Prusia Timur. Hitler sudah berada di bandara menunggu untuk memberi salam saat mereka tiba nanti. Ia sangat bersemangat bertemu dengan temannya lagi.
Kaburnya Mussolini seperti memperpanjang nasib sial Italia dalam peperangan, dan tidak menghentikan pemerintahan Marshal Badogio untuk berpindah pihak pada tahun 1943. Ironisnya, pelarian itu menentukan nasib Mussolini.
Ketika mereka bertemu di Prusia Timur, Hitler terkejut dengan penampilan diktator Italia itu. Sepertinya ia telah menyusut dan tidak dapat dikenali lagi.
Hitler juga kecewa melihat Mussolini kehilangan nafsu atas kekuasaan. Yang diinginkannya hanyalah pulang ke rumahnya di Romagna, bertemu dengan keluarganya lagi, dan pensiun. Tetapi Hitler tidak menginginkan semua itu.
Dengan jumlah pasukan yang besar di Italia, khususnya di utara, Jerman mampu menguasai sebagian besar Italia, dan Mussolini tetap dijadikan sebagai pemimpin di daerah utara.
Rasa bencinya terhadap Hitler mulai tumbuh, dan selama perang ia tak lebih dari hanya sekadar boneka Jerman. Saat perang berakhir, ia ditangkap pasukan gerilya Italia.
Pada waktu ia dihadapkan pada regu penembak, ia mendapatkan kembali semangat yang mendorongnya untuk menjadi penguasa selama dua puluh tahun. Ia membuka kancing bajunya dan meminta mereka menembaknya di dada.
Mayatnya dibawa ke Milan dan digantung terbalik di alun alun kota. Hitler bersumpah bahwa ia tidak akan mengalami hal yang sama. Dalam kondisi hampir terkalahkan, ia menembak dirinya sendiri dan meninggalkan pesan agar mayatnya dibakar.
Serangan di Gran Sasso mengantar Skorzeny pada ketenaran. Di Jerman, penyelamatan yang dilakukannya membuat dirinya dianggap sebagai pahlawan, tetapi bagi musuhnya ia dianggap sebagai pria cerdik yang paling kejam di Jerman.
Skorzeny memimpin misi berbahaya lainnya sebelum perang berakhir, termasuk di bagian utara Eropa di mana pasukan Jerman yang berbahasa Inggris memakai seragam Amerika, lalu mengendarai tank dan jip membuat garis depan tentara Sekutu panik dan kocar kacir.
Setelah perang, Skorzeny menyewakan bakat khususnya pada tentara yang jahat. Sama seperti mantan anggota Nazi, ia pergi ke Amerika Selatan dan ia membantu polisi Argentina menjadi pasukan paling brutal di seluruh Amerika Selatan.
Ia juga disebut-sebut terlibat dalam gerakan organisasi Odessa yang menyelundupkan kriminalis mantan anggota Nazi ke Amerika Selatan, agar mereka tidak dihukum atas kejahatan yang mereka lakukan.
Kemudian ia menetap di Spanyol, yang pada saat itu merupakan salah satu negara yang bersimpati pada mantan anggota Nazi. Di sana ia menjadi konsultan mesin yang sukses. Ia meninggal pada 1975, setelah mengalami penyakit menyiksa yang berkepanjangan. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)
" ["url"]=> string(80) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355897/pelarian-mussolini-di-puncak-gunung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700801000) } } [4]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355935" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/buruh-pelabuhan-yang-kotorjpg-20220701063610.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Seorang pilot Jerman harus menghadapi berbagai lika-liku dalam pelariannya, namun pengalamannya sebagai prajurit selalu menyelamatkannya. " ["section"]=> object(stdClass)#132 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/buruh-pelabuhan-yang-kotorjpg-20220701063610.jpg" ["title"]=> string(26) "Buruh Pelabuhan yang Kotor" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:36:22" ["content"]=> string(27026) "
Intisari Plus - Seorang pilot Jerman yang selalu tampil rapi selama Perang Dunia I di Inggris, harus rela menyamar sebagai buruh pelabuhan kumal yang putus asa berharap bisa mandi. Berbagai lika-liku pelarian kemudian harus dihadapinya, namun pengalamannya sebagai prajurit selalu menyelamatkannya.
-----------------
Jika saja para penjaga penjara Donington Hall mengetahui lebih banyak tentang Kapitänleutnant Gunther Plüschow, mereka pasti akan lebih mengawasi dirinya. Bagi orang yang melihatnya, ia adalah seorang yang ramah, berpenampilan rapi, dan fasih berbicara Inggris.
Ia memiliki senyuman yang ramah, dan pandai bermain hoki (ia selalu main setiap kali punya kesempatan untuk main). Pendek kata, ia cukup menawan.
Kalau mau menggunakannya, ia tidak akan lama tinggal di penjara Donington.
Latar belakang Plüschow sangat cemerlang. Sejak berusia 10 tahun ia telah menjadi seorang kadet di sekolah militer Munich yang menguasai apa pun yang ia kerjakan. Setelah kariernya yang gemilang sebagai anggota korps Angkatan Laut Kerajaan Jerman, ia menjadi sukarelawan pilot dari Angkatan Udara pertama Jerman.
Setelah belajar terbang, ia dikirim ke Tsingtao di negeri tirai bambu, yang merupakan koloni Jerman pada saat itu. Ketika Perang Dunia I meletus pada 1914, Tsingtao diserang tentara Inggris dan Jepang.
Masa itu, Plüschow mendapat predikat penerbang nekad. Ketika di Tiongkok, ia mempunyai tato naga (dragon) di lengan kirinya, sehingga anak buah nya memanggilnya dengan sebutan "The Dragon Master".
Pada waktu Tsingtao sepertinya akan runtuh, Plüschow diperintahkan kembali ke Jerman. Ia ditangkap oleh pasukan Tiongkok, tapi berhasil lolos dan kabur ke San Francisco, Amerika Serikat, dengan menumpang kapal dari Shanghai.
Setelah berhasil mencapai New York, ia naik kapal ke Italia. Sayangnya, kapal tersebut dihentikan di Gibraltar, sebuah pelabuhan Inggris di Lautan Mediterania. Plüschow ditahan sebagai tahanan perang, dan dibawa ke Inggris.
la dibawa ke penjara Donington Hall, sebuah bangunan kuno yang dijadikan kamp tahanan.
Hidup di sana sebenarnya agak menyenangkan. Plüschow yang tiba dengan bagasi-bagasinya, diizinkan menerima surat dan paket paket dari keluarganya. Ia juga dapat menghabiskan waktunya bercakap-cakap dengan penjaga penjara dan berolahraga.
Rutinitas di penjara cukup santai. Ada kegiatan memeriksa seluruh tahanan dua kali seminggu. Juga ada ketentuan bahwa setiap orang harus melakukan jalan keliling satu kali di siang hari dan satu kali di malam hari. Jalan keliling siang hari lebih banyak dilakukan di dekat bangunan, termasuk di taman yang dibatasi dengan pagar listrik.
Selama siang hari, setiap tahanan dibebaskan berjalan-jalan di sana. Namun, pada malam harinya, para tahanan hanya diperbolehkan berada di sekitar pondok mereka, itulah yang disebut jalan keliling di malam hari.
*
Salah seorang teman Plüschow bernama Oberleutnant Trefftz. Sama seperti Plüschow, ia juga fasih berbahasa Inggris. la bahkan mengenal seluk beluk Inggris dengan baik, karena sudah beberapa kali berkunjung ke Inggris.
Lantaran sudah menjadi teman karib, Plüschow mengajaknya kabur bersama. Trefftz setuju, lalu keduanya mulai merencanakan pelarian mereka.
Mereka berdua tahu bahwa keluar dari kamp adalah hal yang mudah, tapi apa yang akan dihadapi selanjutnya merupakan kesulitan besar. Donington dekat dengan kota Derby yang terletak beberapa mil di utara.
Dari sana mereka bisa naik kereta menuju London, lalu berlayar ke Belanda, negara netral yang memudahkan mereka melanjutkan perjalanan ke Jerman.
Plüschow dan Trefftz memiliki rencana sederhana, tapi jenius, yang disusun berdasarkan pengetahuan mereka akan rutinitas penjaga. Mereka juga minta bantuan tahanan lainnya meminjamkan uang pada mereka untuk membeli makanan dan membiayai perjalanan mereka.
Pada 4 Juli 1915, keduanya mengaku sakit, sehingga dokter di kamp mencantumkan nama mereka di daftar orang sakit. Ini artinya mereka diizinkan untuk tidak menjalani rutinitas pemeriksaan.
Jam empat sorenya, setelah seharian beristirahat, mereka bangun dan mengenakan pakaian penduduk biasa. Plüschow mengenakan pakaian yang telah dibelinya di Tiongkok, baju hangat biru dan jas abu-abu. Para tahanan diwajibkan mengenakan seragam penjara, jadi mereka harus mengenakan pakaian orang biasa, lengkap dengan topi dan jas hujan.
Selesai berpakaian, mereka mengambil semua kue gulung yang ada di pondok. Padahal seharusnya itu merupakan makanan ringan buat tahanan di sore hari. Bisa jadi, mereka baru bisa makan lagi dalam beberapa hari kemudian.
Mereka bersiap-siap untuk pergi, meskipun di luar hujan deras sekali. Biasanya mereka akan mengutuk cuaca seperti ini yang sering terjadi di Inggris, tapi seperti apa yang dikatakan Plüschow, cuaca seperti inilah yang paling sempurna untuk pelarian mereka.
"Trefftz, sobatku," katanya, "Yang Maha Kuasa berada di pihak kita. Para penjaga akan menggigil dan berteduh di pos penjagaan yang sempit. Mereka tidak akan terlalu memperhatikan kita!"
"Pos penjagaan adalah tempat paling sempurna untuk menghabiskan empat jam ke depan, daripada melakukan apa yang kita rencanakan," kata Trefftz yang tidak ingin menghancurkan tulangnya.
Keduanya berjalan keluar dari pondok. Mereka seenaknya dan agak berat karena mengenakan beberapa lapis pakaian, dan segera tiba di taman. Di sana, dekat pagar listrik itu, terdapat kursi-kursi dek. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, keduanya berhenti dan sembunyi di kursi-kursi tersebut.
Satu jam kemudian hujan reda. Di tempat persembunyiannya, Plüschow dan Trefftz menggigil sambil mengumpat. Keduanya mulai merasa khawatir dengan aksi kabur yang mereka lakukan, dan masa penantian ini membuat jantung mereka berdebar kencang.
Jam di kamp berbunyi enam kali, dan para tahanan keluar dari pondok untuk berjalan keliling malam.
"Tahap satu," kata Plüschow. "Jika ini gagal, berharaplah untuk melihat kelakuan buruk para penjaga dengan bayonetnya, menyodok-nyodok tanah."
Keduanya keluar dari tempat persembunyian dan bergabung dengan tahanan lainnya. Ritual jalan keliling malam diarahkan ke seberang taman. Setiap tahanan menyahut saat namanya dipanggil. Tentu saja tidak ada yang menjawab ketika nama Plüschow dan Trefftz dipanggil, karena mereka dilaporkan sedang sakit.
Setelah pemeriksaan selesai, dua orang penjaga yang telah berkomplot dengan Plüschow dan Trefftz bergegas pergi ke tempat tidur mereka. Jadi, ketika penjaga lainnya memeriksa Plüschow dan Trefftz, ia akan melihat bentuk orang tidur, dan berasumsi bahwa itu adalah kedua tahanan tersebut.
Sementara itu Plüschow dan Trefftz menunggu bunyi alarm atau teriakan penjaga, yang mengartikan rencana mereka gagal berantakan. Namun, sepertinya semua berjalan sesuai rencana.
*
Setelah pemeriksaan malam, rutinitas selanjutnya jalan keliling siang hari, lalu jalan keliling malam. Jadi, yang harus dilakukan Plüschow dan Trefftz sekarang hanyalah memanjat pagar listrik yang tidak dijaga. Tetapi, ada satu masalah rutinitas dalam kamp yang harus diatasi.
Malam musim panas menyelimuti Donington Hall perlahan-lahan, lalu malam gelap tanpa sinar bulan tiba. Saat istirahat malam, seorang sipir memeriksa setiap tempat tidur, dan sekali lagi petugas penjara komplotan Plüschow akan membantu mereka.
Karena semua tahanan sudah hapal rutinitas para sipir, mereka tahu persis urutan pondok yang akan diperiksa. Dua orang dari pondok yang selalu diperiksa pertama kali, menyelinap ke tempat tidur Plüschow dan Trefftz.
Lagi-lagi, dari tempat bersembunyi yang sempit, lembab dan basah, dua orang tahanan yang melarikan diri ini terdiam. menanti sebuah tanda kalau-kalau mereka ketahuan melarikan diri. Tapi, rutinitas Donington Hall yang tidak ketat sepertinya tidak berubah sama sekali.
"Sejauh ini lancar-lancar saja," kata Plüschow. "Ayo jalan!"
"Demi Tuhan, jangan pikir segalanya sudah selesai," kata Trefftz sambil menahan senyum. "Satu suara saja, maka kita akan digonggong anjing dan alarm akan berbunyi, habislah kita."
Layaknya bayangan gelap, keduanya bangkit dari kursi-kursi dan berjalan menuju pagar.
"Hati-hati dengan garis yang keempat," kata Plüschow. "Itu ada listriknya. Jika tersentuh, otomatis alarm di kamp akan menyala."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Trefftz.
"Aku menguping!" kata Plüschow. "Aku tak sengaja mendengar percakapan penjaga mengenai pagar ini."
Perlahan-lahan, satu demi satu, keduanya memanjat pagar tersebut. Kalau mereka hati-hati dan memperhatikan agar pakaian mereka tidak terbelit di pagar, mereka bisa keluar dengan mudah. Tetapi, celana Plüschow sobek ketika ia melakukan loncatan ke tanah.
*
Jauh dari pagar, di dalam hutan yang berada di pinggir jalan, mereka mengubur pakaian dan topi mereka di bawah dedaunan dan ranting-ranting.
"Sekarang, mana jalan menuju Derby?" tanya Trefftz. Ketika ia berbicara, pada saat yang bersamaan seorang prajurit muncul dari kegelapan dan berjalan ke arah mereka. Plüschow segera menarik Trefftz dan memeluknya erat-erat, lalu menciumnya!
Trefftz terlalu kaget untuk melakukan sesuatu, selain daripada menuruti "kesenangan" itu. Saat sang prajurit yang lewat di depan mereka sudah menyingkir karena merasa malu, Trefftz harus menggigit giginya untuk menahan tawanya.
Bahaya telah berlalu, Plüschow melepaskan pelukannya sambil menyeringai.
"Perbuatan yang tidak pantas bagi seorang perwira dan seorang pria," ledek Trefftz.
Mereka berjalan cepat-cepat, menghindar sejauh mungkin dari penjara atau dari orang yang dapat mengenali mereka. Kira-kira satu jam kemudian, mereka tiba di jalan besar.
Sebuah rambu berdiri di depan mereka, tapi malam terlalu gelap sehingga tulisannya tidak terbaca. Plüschow memanjati rambu itu dan meraba tiap huruf dengan tangannya.
"D... E... R... B..." "
"Derby Ya, benar. Ayo jalan!"
*
Mereka berjalan sepanjang malam, dengan pemikiran bahwa begitu mereka ketahuan kabur, stasiun adalah tempat pertama yang dituju polisi dan tentara.
Pagi harinya, mereka berhenti untuk merapikan diri. Plüschow membetulkan celananya dengan jarum dan benang yang selalu dibawanya. Keduanya mencukur kumis dan janggut menggunakan ludah mereka sebagai ganti busa untuk bercukur. Sedikit banyak hal tersebut menjijikkan, tapi segala kemungkinan yang akan memberikan petunjuk pada polisi bahwa mereka adalah buronan, harus dihindari bagaimanapun caranya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di stasiun kereta dan membeli tiket ke London. Berdiri di pelataran bersama-sama dengan orang-orang yang berangkat kerja membuat Plüschow merasa tidak enak.
"Begini teman," katanya pada Trefftz, "Kalau berdua, kita terlalu ketahuan. Kita berpisah dulu. Aku akan menemuimu di London, di tangga Katedral St. Paul, jam tujuh malam ini."
Trefftz bisa merasakan sesuatu dalam saran Plüschow. la mengedip pada temannya itu, lalu berjalan menuju sisi lain pelataran.
Kereta tiba. Keduanya pun naik ke dalam. Selama perjalanan, Plüschow tertidur. Setibanya di London, ia segera pergi ke Katedral St. Paul, tapi Trefftz tidak muncul. Plüschow menunggu selama sejam, lalu pergi menuju Taman Hyde, tempat yang ia pikir bisa untuk tidur dan sembunyi.
Sayangnya, taman sudah ditutup, jadi Plüschow meringkuk di bawah semak-semak di sebuah rumah dekat taman, dan bersembunyi di sana. Tidak seperti musim panas sebelumnya, musim panas kali ini kering dan hangat, hingga membuat Plüschow mengantuk dan tertidur. Kemudian suara bising membangunkannya.
Rumah tersebut sedang mengadakan sebuah pesta. Beberapa orang tamu keluar untuk menikmati angin malam. Plüschow terdiam di balik semak-semak, bahkan menahan napasnya.
Beberapa meter darinya, para pria dan wanita anggun yang mengenakan gaun panjang bercakap-cakap. Begitu Plüschow terbiasa dengan situasi tersebut, ia mendengar mereka bergosip atau mengeluh tentang pelayan-pelayan mereka.
Ketika ia mulai santai kembali, suara piano dan merdunya suara nyanyian seorang biduanita terdengar dari jendela bergaya Prancis. Para tamu masuk kembali ke dalam untuk menikmati hiburan tersebut, kemudian Plüschow pun tertidur lagi, dininabobokan alunan musik yang lembut.
Waktu berlalu, dan suara langkah kaki membangunkannya kembali. Kali ini ia mendengar suara sepasang polisi yang sedang patroli di sisi lain tembok. Fajar menyingsing, dan Plüschow memutuskan taman ini bukan tempat yang untuk bersembunyi. Kemudian ia kembali ke Hyde yang sudah dibuka di pagi hari.
Di sana, ia menemukan bangku taman untuk berbaring, lalu tidur sampai jam sembilan. Selanjutnya ia pergi ke Kesington untuk sarapan. Sambil makan roti lapis daging dan telur, ia merasa rencana pelariannya berjalan cukup lancar. Tetapi ia mendengar sebuah jeritan yang membuat darahnya membeku.
"Bacalaaaaaahhh!" teriak tukang koran.
"Seorang tahanan Jerman kabur dari kamp!" Di samping tukang koran itu, ada poster besar yang memuat berita tentang pelariannya.
Plüschow membeli sebuah koran dan beringsut ke bawah tanah untuk membacanya. Trefftz berhasil ditangkap sehari sebelumnya, jadi polisi berkonsentrasi mengerahkan segala daya untuk menemukan Plüschow sekarang. Gambaran yang diberikan bahkan membuatnya lebih tidak nyaman:
"Orang ini sangat pintar dan terlihat cukup rapi, memiliki gigi yang bagus yang selalu terlihat ketika berbicara atau tersenyum, sangat fasih berbahasa Inggris, dan cukup baik mengenali negara ini."
Dalam keadaan biasa, ia akan merasa tersanjung dengan pujian-pujian tersebut, tapi semuanya terlalu akurat. Sadar bahwa dirinya mudah dikenali membuat Plüschow sangat gugup. Ia harus segera mengganti penampilannya.
*
Pertama-tama, jas hujannya. Plüschow sangat menyukainya sehingga ia merasa sayang membuangnya. Jadi, ia pergi ke tempat penggantungan jasa dan baju di stasiun Blackfriars. Sang pelayan menanyakan namanya ketika ia menyerahkan jasnya. Waktu itu ia benar-benar kebingungan dan takut ditangkap. Saat ia sudah lebih tenang, ia menjawab dalam bahasa Jerman.
"Meinen?" (Nama saya?)
"Oh, ya," kata pelayan salah dengar. "Tuan Mine. M.I.N.E. Baiklah," katanya sambil menyerahkan tanda terima.
Dua orang polisi di dekatnya melirik ke arahnya, mereka merasa heran mengapa pemuda modis itu terlihat begitu ketakutan. Plüschow berjalan ke pintu keluar dan pergi menuju Thames. Berjalan di sepanjang trotoar pinggir sungai, ia melepaskan topi, ban leher, dasi, dan menjatuhkan semuanya ke sungai.
Selanjutnya ia mampir di toko dan membeli vaseline dan semir sepatu hitam. Lalu, ia pergi ke toko topi membeli sebuah topi pekerja. Di sebuah lorong yang sepi, ia mencampur vaseline dan semir sepatu hitam tadi dengan abu batubara yang ia temukan di jalan, lalu mengoleskannya pada rambut pirangnya. Kemudian ia mengotori baju, sepatu, dan topi barunya.
Setelah mengenakan topi, ia berkaca di jendela. Kapitän Gunther Plüschow telah lenyap. Di hadapannya berdiri George Mine, seorang buruh pelabuhan yang membutuhkan mandi. Plüschow tertawa melihat dirinya sendiri, tapi masih terlihat gagah seperti prajurit. Ia pikir kelakuannya harus agak berandal.
la memasukan tangannya ke dalam sakunya, lalu meludah seperti yang dilakukan oleh buruh pelabuhan dalam bayangannya. Penyamarannya sempurna. Kemudian ia pun kembali ke Taman Hyde, sambil berusaha keras menghilangkan kesan gagah ala prajurit yang sudah menjadi hidupnya selama bertahun-tahun sebelumnya.
Plüschow punya cukup banyak waktu untuk menemukan tempat persembunyian yang aman sebelum Taman Hyde ditutup. Keesokan harinya, di dalam bus, ia mendengar dua orang pedagang membicarakan kapal bernama Mecklenburg yang berlayar dari Pelabuhan Tilbury menuju Belanda setiap hari jam 8 malam.
Ia segera naik kereta menuju Tilbury yang terletak di luar kota London. Hampir dapat dipastikan, itu dia—sebuah kapal ferry yang berlayar setiap hari dari London ke Belanda. Plüschow segera bersembunyi di kapal tersebut dan menunggu sampai malam datang. Ia mencoba tidur untuk mengumpulkan energinya. Berlayar bukanlah hal yang mudah.
Sekitar jam sepuluh, malam itu Plüschow pergi ke sungai. Sayangnya, ia tercebur ke dalam lumpur sampai sepinggang. la berusaha menyelamatkan dirinya, keluar dari lumpur tersebut. Setelah berjuang keras keluar dari lumpur, ia tidak mempunyai tenaga lagi untuk berjalan mencapai kapal. Plüschow membersihkan noda lumpur yang ada di pakaiannya, lalu duduk di tepi sungai, menggigil dalam kegelapan.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Mecklenburg berlayar tanpa dirinya. Tak dapat tidur karena kedinginan, Plüschow melihat bayangan kapal tersebut menghilang di kejauhan. Sepanjang hidupnya tak pernah merasa begitu menderita seperti saat itu.
Hari selanjutnya benar-benar panas, bahkan bajunya cepat kering terkena sinar matahari pagi. Pakaiannya mengeluarkan bau busuk yang luar biasa. Plüschow memberi selamat dirinya sendiri karena penyamarannya sebagai buruh pelabuhan kotor jadi semakin sempurna!
Kemudian ia ke kota untuk membeli roti isi sosis dan secangkir teh manis. Duduk di bawah sinar matahari sambil menikmati sarapannya, ia merasa dipenuhi harapan kembali. Hari ini, katanya pada diri sendiri, ia akan meninggalkan Inggris selamanya.
Malam itu Plüschow berusaha naik ke Mecklenburg lagi. Dalam perjalanannya ke sungai, ia melihat sebuah perahu kecil dengan dayungnya tertinggal tanpa pengawasan. Saat malam tiba, ia menyusup ke tepi sungai dan mendorong perahu ke sungai. Tetapi masalahnya belum berakhir. Baru setengah jalan menuju Mecklenburg, perahu kecilnya tenggelam karena penuh dengan air.
Saat itu ia mendengar suara orang yang sedang mengumpat kasar. Lalu ia melepaskan jaketnya dan berenang ke arah kapal. Keberuntungan ada di pihaknya, arus sungai searah dengannya. Seorang pria yang tidak atletis pasti sudah tenggelam dalam aksi ini, untunglah olahraga hoki di penjara tetap menjaga kondisinya tetap prima.
la mencapai kapal ferry dalam sepuluh menit, dan berpegangan pada rantai jangkar untuk mengatur napasnya kembali. Lalu, dengan sisa tenaga yang ada, ia naik ke atas kapal.
Dewi fortuna masih di pihaknya. Tidak ada yang melihatnya naik ke kapal. Plüschow segera menyelinap ke kapal penyelamat yang ditutupi kain kanvas. Ketika pakaiannya kering, malam yang hangat membuatnya tertidur,
"Tuuuuuuuttt!!!"
Plüschow tersentak. Apakah itu bunyi peluit polisi? Apakah mereka sudah berhasil menemukannya? Lalu terdengar sekali lagi.
"Tuuuuuuuuttt!!!"
Oh, bukan, itu suara kapal. Ia mengintip keluar dan melihat Mecklenburg sudah hampir mencapai pelabuhan Rotterdam, Belanda. Ia berhasil!
Karena merasa terlalu senang, Plüschow mengeluarkan pisaunya dan memotong kain kanvas di atas kepalanya, kemudian keluar perlahan, dan menampakkan dirinya. Herannya, tak seorang pun yang memperhatikannya. Para awak kapal terlalu sibuk bekerja di dek, sementara para penumpang berlalu-lalang dengan barang bawaan mereka.
Mungkin ini adalah hal yang baik. Penampilan Plüschow yang sangat dekil pasti mudah membangkitkan rasa curiga orang-orang. Kalau saja mereka tidak terlalu sibuk, mungkin saja ia sudah ditangkap dan dikirim kembali ke Inggris.
Merasa bodoh dengan tindakannya, Plüschow menyelinap kembali ke dalam kain kanvas, dan menunggu sampai penumpang terakhir turun dari kapal. Ia membaur dengan mereka supaya orang mengira ia adalah salah satu awak kapal yang kotor. Sesampai di dermaga, ia langsung menuju pintu bertanda 'Dilarang lewat'. Selanjutnya, ia bebas.
Di dalam kota, ia memesan sebuah kamar hotel, mandi sepuas-puasnya dan melahap makanan yang porsinya cukup untuk tiga orang. Besoknya, ia naik kereta pulang ke Jerman. Sembilan bulan lamanya terhitung sejak ia lolos dari Tiongkok, Gunther Plüschow siap berjuang kembali untuk negaranya.
Setelah Pelarian
Plüschow tampak seperti pahlawan yang ada di dalam buku komik, dan anehnya beberapa tahun kemudian ia memang mati seperti pahlawan. Setibanya dari Inggris, ia mendapat medali Iron Cross karena keberaniannya, yang diberikan secara pribadi oleh Kaiser Wilhelm II.
Ia selamat dari perang dan menulis kisah yang dialaminya di Inggris dalam sebuah buku berjudul My Escape from Donington Hall (Pelarianku dari Donington Hall) yang banyak memberikan informasi dalam penulisan cerita ini.
Setelah perang, ia melakukan petualangan lagi. Semasa kecilnya, ia terpesona oleh Tierra del Fuego (The Land of Fire) di Amerika Selatan. Alamnya yang liar dan daratan yang bertebing-tebing menjadikannya sebagai salah satu bagian bumi yang belum dijelajahi.
Plüschow adalah orang pertama yang terbang melintasinya dan melanjutkan penjelajahannya di daerah tersebut, serta membuat dokumentasinya dalam bentuk foto dan film hingga Januari 1931.
Di bulan yang sama ia dan kopilotnya, Ernest Dreblow, terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah danau yang dikelilingi gletser. Pendaratan yang buruk itu merusak salah satu pelampung yang diperlukan untuk mendarat. Di tengah tengah kondisi yang sangat dingin dan menakutkan itu, Plüschow dan Dreblow berjuang selama tiga hari untuk memperbaiki pelampung itu.
Mereka memang bisa terbang lagi, tapi tak lama kemudian sayap pesawat patah. Plüschow loncat dengan parasut, sayangnya parasutnya tidak bisa mengembang. Ia jatuh dan tewas. Pesawatnya jatuh ke danau yang lainnya. Derblow tidak kehilangan nyawanya dalam kecelakaan itu, namun ia tewas ketika berenang ke tepian. Buku harian Plüschow yang ditemukan di tubuhnya menceritakan pengalaman seru mereka untuk bertahan hidup selama kejadian tragis tersebut. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)
" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355935/buruh-pelabuhan-yang-kotor" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700582000) } } [5]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355972" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/menyamar-sebagai-ivan-bagerovjp-20220701063449.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(144) "Seorang perwira Angkatan Laut Inggris mempersiapkan jalan untuk kabur dari penjara Jerman. Padahal dia tidak bisa berbicara dalam bahasa Jerman." ["section"]=> object(stdClass)#136 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/menyamar-sebagai-ivan-bagerovjp-20220701063449.jpg" ["title"]=> string(29) "Menyamar sebagai Ivan Bagerov" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:35:05" ["content"]=> string(23817) "
Intisari Plus - Pada tahun 1943, seorang perwira Angkatan Laut Inggris mempersiapkan jalan untuk melarikan diri dari penjara Jerman. Dia tidak dapat berbicara dalam bahasa Jerman, namun penyamarannya sebagai perwira Angkatan Laut Bulgaria sangat membantunya.
---------------------
"Keluar dari sini, itu sangat mudah. Keluar dari negara ini, itu bagian yang tersulit."
Perwira Angkatan Laut Inggris, Letnan David James, sedang menjelaskan rencananya untuk kabur kepada tahanan lainnya, Kapten David Wells. Keduanya merupakan penghuni penjara tahanan perang, Marlag und Milag Nord, dekat Bremen, Jerman. Waktu itu, awal musim dingin tahun 1943, empat tahun setelah dimulainya Perang Dunia II.
James telah memikirkan dua penyamaran untuk mengeluarkan dirinya dari kamp menuju Swedia, tempat ia bisa kembali ke Inggris.
Kedua pria tersebut duduk di depan tungku batu bara. Pondok mereka sangat dingin, tapi untunglah api menjaga mereka tetap hangat. Di luar jendela, hujan yang dingin turun sepanjang hari. Musim dingin di Jerman utara turun bagaikan balas dendam.
James mulai merinci rencananya untuk lari.
"Begini...Aku adalah orang asing yang hanya bisa berbicara sedikit bahasa Jerman. Jadi, aku akan tetap menyamar sebagai orang asing. Penjaga dan perwira yang akan kutemui telah terbiasa melihat kartu identitas setiap hari. Mereka bisa mengenalinya seperti punggung telapak tangan mereka sendiri dan mampu melihat apapun yang palsu hanya dengan jarak dua puluh langkah. Jadi, aku akan tampil dengan identitas yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Aku akan menyamar sebagai orang Bulgaria!"
Wells terbengong-bengong sesaat, lalu matanya membelalak.
"Kenapa?"
James melanjutkan, "Seperti yang kau tahu, Bulgaria adalah sekutu Jerman, tapi tak seorang pun di sini yang tahu banyak tentang mereka. Mereka tidak akan bisa mengenali jika ada seorang Bulgaria yang datang dan menonjok hidung mereka. Lagipula, aku pikir jika aku bisa membuat seragamku tampak seperti seragam Angkatan Laut Bulgaria, tidak akan ada yang bisa membedakannya. Setidaknya, aku tidak bisa."
Wells tertawa.
"Angkatan Laut Bulgaria. Mereka hanya punya kira-kira tiga kapal. Kau ada di pihak yang menang, Bung. Apa yang ada padamu?"
James menunjukkan bukti-bukti padanya. Seorang teman di kamp yang bekerja sebagai penjahit sebelum perang telah membuatkan untuknya sebuah lencana berwarna keemasan dan biru berinisial KBVMF yang merupakan inisial dari Angkatan Laut Bulgaria.
"Huruf-huruf itu kelihatan aneh. Itu inisial Rusia kan?" tanya Wells.
"Bukan, ini inisial Bulgaria," jawab James. "Mereka menggunakan alfabet yang sama dengan Rusia. Itulah langkah selanjutnya dalam rencanaku. Bahkan aku telah memiliki setumpuk dokumen yang dipalsukan teman kita di pondok D. Ia biasa bekerja sebagai ilustrator buku, dan menyelesaikan pekerjaannya yang brilian. Lihat ini!"
James menuju lokernya dan mengeluarkan sebuah map yang penuh dengan kertas-kertas, surat-surat, kartu pas, dan sebuah foto berukuran besar.
"Ini kartu identitasku. Letnan Ivan Bagerov— Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria. Semua tulisan Bulgaria itu tidak akan dimengerti oleh penjaga."
Wells tertawa.
"Siapa laki-laki tampan di foto itu? Pastinya itu bukan kau!"
James tersenyum.
"Coba perhatikan. Kami menemukannya di majalah Jerman. Ia adalah pahlawan Jerman. Kelihatannya agak mirip denganku, tapi karena kami membubuhkan stempel Bulgaria di atas setengah wajahnya, jadi tidak akan terlihat dengan jelas!
Aku sudah memastikan segala sesuatu di koporku terlihat seperti milik orang Bulgaria, setidaknya orang akan beranggapan itu milik orang Bulgaria. Bahkan, aku telah mengelupas tulisan Inggris di merk sabunku dan menggantinya dengan tulisan Bulgaria."
"Yang besar itu foto siapa?" tanya Wells."Sepertinya ia penari balet. Siapa namanya?"
James tertawa lagi.
"Itu sayangku Margot Fonteyn. Cantik kan! Aku akan mengaku pada siapa saja yang menggeledah koporku bahwa ia adalah tunanganku. Itu akan jadi pengecoh yang efektif. Kau kenal Robert di pondok E? Ia bisa berbicara dalam bahasa Rusia, jadi aku memintanya menuliskan sebuah surat cinta untukku. Kita bahkan bisa menipu malaikat! Dan ... aku telah mengganti semua merk pakaianku yang buatan Inggris.
Aku tidak bisa mendapatkan merk Bulgaria atau Rusia. Tetapi, beberapa teman asal Yunani di kamp telah memberikan yang mereka punya. Merk-merk tersebut cukup terlihat berbeda. Dan di atas segalanya, Bulgaria juga kerajaan monarki, jadi ukiran mahkota di kancing seragam Angkatan Laut Inggris milikku tidak perlu diganti."
"Dan, ini dia!"
James mengeluarkan dokumen palsu lainnya.
"Ini sebuah surat pengantar dari Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria. Surat itu tertulis dalam bahasa Jerman, akan kutunjukkan kepada siapa saja yang menghalangiku.Aku pikir surat itu akan banyak membantuku. Bunyinya : Letnan Bagerov bertanggung jawab di bidang teknik yang mengharuskan dirinya banyak bepergian.
Karena ia hanya berbicara sedikit bahasa Jerman, maka setiap perwira Jerman dimohon untuk membantunya.”
Wells menertawakan rencana nekad tersebut. Dia terkesan, tapi nampak khawatir.
"Oh, kabar buruk, James. Beberapa perwira Angkatan di sini telah pergi ke Bremen beberapa minggu lalu mengunjungi rumah sakit di sana. Seragam Angkatan Lautmu mungkin terlihat agak berbeda, tapi tidak terlalu berbeda. Aku yakin seseorang akan mengetahui dan menangkapmu."
"Aku telah memikirkannya juga. Aku akan memulai pelarianku dalam samaran yang lain! Kancing seragamku akan kubungkus dengan perca sutra, aku punya topi kain, scarf, dan celana kanvas tua. Aku akan menjadi Christof Lindholm, seorang tukang listrik Denmark! Aku juga sudah punya kartu pasnya."
"Wah, kau benar-benar sibuk selama ini, ya!" kata Wells. "Lalu, apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan identitas aslimu bila kau berhasil mencapai Swedia, atau bahkan Inggris?"
"Aku juga sudah memikirkan hal itu. Aku telah memasukkan semua identitas asliku di lapisan dalam jaketku, jadi aku bisa menjadi diriku lagi kapan saja bila diperlukan."
"Kalau begitu, semoga sukses, sekalipun dengan semua itu aku pikir kau tidak memerlukannya," kata Wells.
James terlihat agak sakit.
"Sebenarnya, duduk di depan api ini dibandingkan hujan di luar sana, aku tidak yakin aku ingin kabur. Tetapi, banyak orang yang sudah bersusah-payah membantuku dalam hal ini, jadi aku harus mencobanya."
*
Dan ia memang mencobanya. Pagi hari, 8 Desember 1943, James berjalan menuju tempat pemandian di kamp. Tak diduga! Sebuah jendela di sana terbuka, jadi yang perlu dilakukan James adalah langsung memakai kostum tukang listrik Denmark, dan menyelinap keluar saat tak ada yang melihat.
Berjalan keluar dalam penyamarannya, ia sama seperti pekerja lokal yang ada di sana. Tetapi, masalah muncul tak lama setelah ia keluar dari kamp. Dia dihentikan oleh seorang polisi yang mencurigainya. Dalam hatinya, James sangat panik. Setelah susah payah kerja kerasnya selama ini, di sinilah dirinya, jauh dari kamp, hampir tertangkap.
Polisi itu memeriksa kopornya. Untunglah hanya ada beberapa potong pakaian di dalamnya. James sudah menyembunyikan semua dokumen Ivan Bagerov dengan hati-hati, semuanya diikat di kakinya dengan perban.
Polisi mulai mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Apa yang dilakukannya, siapa dirinya, dengan siapa ia tinggal. Benar-benar mimpi buruk. James hanya bisa berbicara sedikit bahasa Jerman, dengan tak jelas ia mengatakan bahwa ia tinggal bersama seorang pendeta lokal. Ia bahkan tidak tahu siapa namanya, hanya menyebutnya "Bapa."
Polisi masih tetap curiga dan bertanya seperti apa perawakan sang pendeta. James nekad berspekulasi. Pendeta itu berambut abu-abu, dan ternyata memang benar. Ia menambahkan beberapa cerita dengan harapan polisi tersebut tidak mempermasalahkan logat pekerja Denmark yang aneh ini.
Ternyata cerita karangannya tidak berguna. Polisi membawanya ke kantor polisi. Untunglah James punya akal lain. la menunjukkan surat penugasan palsu dari sebuah rumah sakit yang mengharuskan dirinya untuk melapor ke sana siang ini.
Surat palsu itu meyakinkan sang polisi bahwa James memang seorang tukang listrik Denmark. Akhirnya, polisi itu memperbolehkan James pergi dengan salam selamat siang yang kaku. James segera pergi dari hadapannya, dan berusaha keras agar kakinya tidak terlalu gemetaran selama ia berjalan.
*
James berhasil sampai di stasiun Bremen tanpa kesulitan baru, dan langsung masuk ke sebuah kamar mandi kecil. Di sana, ia melepaskan samarannya dan menyembunyikan pakaian, topi dan celana tukang listrik itu di belakang tangki air. Sekarang, James merasa aman untuk melakukan penyamarannya sebagai orang Bulgaria.
Di dalam kamar mandi yang sempit itu ia melepaskan perca kain sutra yang membungkus kancing seragamnya, menjahitkan lencana ke pundaknya, dan menggelapkan warna rambutnya dengan tata rias teater supaya ia lebih terlihat seperti orang Eropa timur.
Christof Lindholm lenyap, muncullah Ivan Bagerov. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, lalu berjalan mendekati seorang petugas di stasiun dan menunjukkan surat pengantar palsunya.
Petugas tersebut membacanya dan tersenyum pada James.
"Ke mana tujuan Anda, Tuan?" tanyanya.
James memberitahunya bahwa ia hendak menuju ke pelabuhan Lübeck di Laut Baltic. Itu adalah titik yang sangat baik untuk perjalanan selanjutnya ke Swedia.
"Silakan ikuti saya, Tuan," kata petugas tersebut. Mereka pun berjalan menuju loket karcis.
Surat palsu James bekerja seperti jimat saja. Petugas itu memberitahu kereta apa yang harus ia naiki, menuliskan rinciannya untuknya, dan memberikan karcis untuknya. Lalu, mengantar James ke ruang tunggu dan membelikannya bir!
James sampai harus menahan dirinya untuk tidak tertawa terbahak-bahak, atau menjaga wibawanya. Sebenarnya ia ingin memeluk petugas itu, tapi ia tetap menjaga dirinya bersikap formal, layaknya seorang perwira Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria.
Keretanya tiba, dan tak lama kemudian James sudah dalam perjalanan menuju pantai. Semua petugas yang dijumpai selama dalam perjalanan (petugas pemeriksa karcis, polisi, da sebagainya), semua tertipu oleh surat pengantar palsunya, da mereka memberi salam hormat dengan anggukan kepala yang sangat sopan.
Beberapa jam kemudian, kereta tiba di Hamburg, di mana James harus berganti kereta. Ia harus menghabiskan satu jam menunggu di ruang tunggu. Di sana ia ditatapi dengan rasa penuh curiga oleh seorang prajurit Jerman.
James merasa prajurit itu mengetahui samaran dan mengenali seragam Angkatan Lautnya, tapi ia memutuskan untuk menggertaknya. Pikirnya, "Apa yang akan aku lakukan jika aku memang seorang Ivan Bagerov, pada waktu seseorang sedang menatapku? Ya, tatap kembali!"
James melihatnya sekilas dengan penuh keramahan, hingga prajurit tersebut merasa malu dan membuang pandangannya ke lantai. Beberapa saat kemudian, ia meninggalkan ruang tunggu. James bertanya-tanya, jangan-jangan ia melapor pada polisi. Namun, sampai kereta selanjutnya tiba, tak seorang pun yang mengganggu dirinya.
Perjalanan terasa lambat. James harus turun untuk ganti kereta lagi, dan melewati malam yang tak nyaman di ruang tunggu Bad Keinen. Ia telah menempuh 320 km dalam sehari. Pelariannya ternyata berjalan lebih lancar dari yang ia duga.
Keesokan harinya, kereta melaju menuju Stettin, stasiun lainnya di Laut Baltic. James berpikir ia harus mencoba peruntungannya di sana, karena nampaknya di Stettin juga ada kapal Swedia, sama seperti di Lübeck.
Ternyata, tidak. James tidak melihat satu kapal Swedia pun di pelabuhan. Sambil mengumpat, ia pergi ke kota dan mengunjungi beberapa bar dengan harapan akan mendengar suara orang Swedia.
Sorenya, James baru menyadari bahwa singgah di Stettin merupakan kesalahan besar. Tak ada yang bisa dilakukannya selain melanjutkan perjalanan. Jadi, ia kembali ke stasiun dan naik kereta menuju Lübeck. Lagi-lagi, ia harus turun dari kereta dan menghabiskan malam yang tak nyaman di ruang makan di sebuah kamp militer yang sesak.
Ketika ia mencoba untuk tidur di meja pojok ruangan, beberapa perwira Angkatan Laut Jerman bergabung dengannya. Teman semeja yang baginya buruk, mungkin saja mengenali seragam Kerajaan Inggrisnya. Namun, sepertinya mereka lebih letih daripada dirinya, karenanya mereka tidak berkata sepatah kata pun pada James, apalagi memperhatikannya.
Keesokan hari, ia bergegas pergi ke stasiun dan tiba di Lübeck siangnya. Saat itu, penampilannya sebagai seorang letnan mulai terlihat agak kumal, apalagi dengan janggut berumur dua hari di dagunya. James segera pergi ke tukang pangkas rambut terdekat dan minta supaya janggutnya dicukur. Tukang pangkas di sana memandangnya heran.
"Tidakkah Anda tahu?" tanyanya dengan agak sinis. "Anda tidak mengetahui tentang distribusi sabun? Tidak seorang pun yang mencukur janggutnya di tempat seperti ini selama dua tahun!"
James mengangkat bahunya dan meninggalkan tempat tersebut diliputi rasa panik. Pasti setiap orang di jalan melihat dirinya.
Dengan perasaan bingung, ia memesan sebuah kamar di hotel la meninggalkan kopornya di sana, lalu pergi ke pelabuhan. Di sini tampak secercah harapan. Hal pertama yang dilihat nya adalah dua kapal Swedia. Sebuah gerbang tampak di antara dirinya dan kapal-kapal tersebut.
Seorang penjaga berdiri di satu sisi jalan, jadi James mengikuti sebuah truk besar yang berjalan menuju pelabuhan, bersembunyi di sisi yang berseberangan dengan penjaga tadi. Begitu tiba di sisi pelabuhan, ia berjalan menuju kapal Swedia dan menghampiri awak kapalnya. Kapal tersebut memuat batubara. Debu batu bara ditambah dinginnya udara musim dingin membuatnya batuk.
James mendengar suara orang Swedia dari dalam kabin, maka ia mengetuk pintunya. Ia masuk ke dalam dan melihat dua orang sedang duduk di meja kopi. Mereka melihat James. Salah satu di antaranya menyapa James dengan bahasa Inggris yang sangat baik.
"Pasti Anda perwira Angkatan Laut. Aku mengenali seragam Anda dari jauh!"
James tertawa. Ia lega dua orang tersebut ternyata sangat ramah.
"Ya," jawab James. "Ini hanyalah samaran. Aku menyamar sebagai Ivan Bagerov, perwira Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria!"
Selanjutnya mereka mengundang James bergabung dengan mereka. Lalu James menceritakan kisahnya pada mereka, dan bertanya apakah mereka mau membawanya ke Swedia.
Pria yang berbicara dalam bahasa Inggris itu mengangkat bahunya dan meminta maaf.
"Begini kawan, aku ingin membantu, tapi sepertinya tidak mungkin. Ketika batu bara ini dimuat, kami akan kedatangan beberapa petugas Jerman yang akan ikut di dalam kapal ini. Mereka pasti akan melihatmu. Jika mereka curiga kau adalah buronan, pasti kita semua akan ditahan. Lihatlah, kapal begitu kecil untuk menyembunyikan dirimu."
James sangat kecewa. Padahal ia merasa orang itu sangat ramah dan pasti mau menolongnya. Ia berpikir keberuntungannya pasti sudah berakhir.
"Tolonglah," pintanya. "Aku telah lari tiga hari, dan ini satu-satunya saat aku merasa aman. Pasti ada tempat di mana aku bisa sembunyi."
Namun, orang Swedia itu telah menetapkan keputusannya. la berbicara tegas dengan nada datar yang berarti tak ada lagi yang perlu didiskusikan.
"Aku ingin menolongmu, tapi aku juga tidak ingin berakhir di kamp konsentrasi. Lihat ke sana," katanya sambil menunjuk ke arah utara kabin. "Kapal itu juga menuju Swedia dan akan berangkat beberapa menit lagi. Cobalah peruntunganmu."
James berterimakasih pada mereka dan pergi. Berdiri di dek, ia melempar pandang ke kapal lainnya. Beberapa menit yang lalu, ia merasa aman dan sukses.
Perjalanan dari tangga kapal ini ke kapal lainnya sepertinya amat sangat berbahaya, dan nampak seperti jarak yang tak dapat ditempuhnya. James diliputi kecemasan yang besar.
Ketika ia menuruni anak tangga kapal, ia seperti melihat mimpi buruknya: kapal lainnya segera berangkat. James bergegas lari mencapainya, tapi sudah terlambat. Tadinya ia sempat berpikir loncat saja ke kapal tersebut, tapi ia pasti akan menjadi pusat perhatian dan kapal akan diberhentikan sebelum sempat meninggalkan perairan Jerman.
*
"Ya," katanya pada diri sendiri, "Kembali ke hotel, dan coba lagi besok." Kali ini James yang putus asa agak ceroboh.
la tidak berusaha sembunyi dari pandangan penjaga di pintu masuk pelabuhan, akibatnya ia terlihat dan diberhentikan. Mungkin karena penampilannya yang agak kumal, samaran Ivan Bagerov-nya tidak berguna. Penjaga itu bersikeras agar James ikut dengannya ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Tak ada yang dapat dilakukan James, kecuali ikut dengannya Selain itu, ia tidak terlalu khawatir. Masih ada kemungkinan sang polisi nantinya (sama seperti yang lainnya) akan tertipu oleh surat Bulgaria miliknya.
Tak lama kemudian, James sudah berdiri di hadapan petugas senior di kantor polisi Lübeck. Polisi di sana memeriksa kartu identitasnya dengan kaca pembesar, lalu berkata santai dalam bahasa Inggris, "Jadi, Anda kabur dari mana?"
James, yang sejak tadi menahan napasnya, menghela napas panjang. Ia menerima kenyataan bahwa segalanya sudah berakhir.
*
Tak diduga, sang polisi bersikap cukup sopan. Ia menawarkan kursi pada James, lalu memanggil beberapa rekannya masuk ke dalam ruangan. Salah satu di antara mereka mengolok-olok kartu identitas palsunya, tapi yang lainnya salut pada James dengan pemalsuan tersebut, apalagi James hanya memiliki sumber yang sangat terbatas di dalam penjara.
Ia bahkan mengatakan James seharusnya memakai kata Polizei Präsident di kartu identitas, bukannya Polizei Kommissar.
Setiap orang nampaknya terkesima oleh kisahnya, dan itu membuat James agak lega. Ia sering mendengar bahwa seorang buronan langsung ditembak bila tertangkap. Petugas yang mengantarnya ke penjara lokal bahkan menyampaikan rasa prihatinnya terhadap James yang peruntungannya tidak begitu baik.
Setelah Pelarian
James dikirim kembali ke penjara Marlag und Milag Nord dan dikurung sendiri selama sepuluh hari di sel hukuman. Keinginannya untuk kabur tidak pernah padam. Lima minggu berikutnya, ia menghilang lagi, kali ini dalam penyamaran sebagai nelayan. Dengan rute yang sama, ia sukses mencapai Swedia dan berhasil kembali ke Inggris dengan aman.
Setibanya di kampung halamannya, ia menulis buku berjudul An Escaper's Progress (Kemajuan Seorang Buron), sebuah catatan petualangannya di Marlag und Milag Nord. la menulis, kabur dari penjara sama seperti bertemu dengan seseorang di pesta yang namanya tidak kita ingat.
Kita harus menemukan petunjuk selama percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengarah. Dengan demikian, ia belajar bagaimana caranya untuk lolos, tanpa membuat dirinya menjadi pusat perhatian di tempat dan situasi ia berada.
Setelah perang, James menjadi seorang penjelajah Antartika dan menjadi anggota parlemen pada tahun 1959-1964 dan 1970-1979. Ia juga turut membantu mempersiapkan berdirinya Biro Investigasi Loch Ness, sebuah organisasi yang dedikasikan untuk menemukan bukti keberadaan monster Loch Ness. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)
" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355972/menyamar-sebagai-ivan-bagerov" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700505000) } } [6]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350556" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/pemerkosanya-ternyata-impoten_ma-20220629072058.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Di Jerman, beberapa wanita ditemukan tewas dengan tangan dan kaki terikat tali BH serta stocking. Tubuh mereka penuh dengan tikaman dan irisan sadis." ["section"]=> object(stdClass)#140 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/pemerkosanya-ternyata-impoten_ma-20220629072058.jpg" ["title"]=> string(29) "Pemerkosanya Ternyata Impoten" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:21:23" ["content"]=> string(23617) "
Intisari Plus - Di Jerman, beberapa wanita ditemukan tewas dengan tangan dan kaki terikat tali BH serta stocking. Tubuh mereka penuh dengan tikaman dan irisan sadis. Anehnya, tidak ditemukan tanda-tanda perkosaan.
------------------
Pagi itu Kaltenbrunn, desa di kawasan Nuremburg, Jerman, geger. Salah satu warganya, Sieglinde Hubner, seorang gadis cantik berambut cokelat dan periang, dikabarkan hilang. Semalam, 15 November 1959, putri keluarga Fritz Hubner ini meninggalkan rumahnya pukul 19.00 lebih sedikit.
Dengan bus ia pergi memenuhi undangan pesta ke rumah salah seorang temannya di Rossach. Ketika Sieglinde belum juga pulang pada tengah malam, ayahnya menelepon teman anaknya tersebut. Diperoleh jawaban, putrinya belum sampai di situ. Ternyata, Siegliende memang tidak pernah datang ke pesta itu. Alias raib!
Penasaran Fritz segera menelepon kantor polisi distrik Coburg, yang jaraknya 10 mil ke arah utara, melaporkan kejadian itu.
Pisau setan
Hilangnya Sieglinde, tak ayal membuat masyarakat sekitarnya kembali dicekam ketakutan. Maklum, tahun belakangan ini banyak gadis cantik di Jerman raib tak berbekas. Tahu-tahu beberapa bulan kemudian mayatnya ditemukan dalam keadaan mengerikan.
Tahun lalu dua gadis cantik hilang. Tubuh mereka ditemukan telanjang dengan leher terpotong, sementara tangan dan kakinya diikat BH dan stocking-nya. Tubuh mereka penuh tikaman dan irisan yang sangat sadis.
Anehnya, tidak ditemukan tanda-tanda pemerkosaan pada organ seks mereka. Karena tempat kejadian perkara (TKP) di Oberfranken, akhirnya si pelaku yang masih buron itu dijuluki si Jahanam dari Oberfranken.
Peristiwa mengagetkan ini membuat panik masyarakat setempat. Sejak itu banyak orang tua tidak mengizinkan putri remajanya keluar rumah setelah hari gelap. Bahkan Inspektur Karl Messing dari seksi kriminal polsek Coburg melarang wanita dari segala macam tingkat usia, keluar rumah tanpa ditemani laki-laki.
Itulah sebabnya, Fritz Hubner kini memaki dirinya sendiri karena tidak mengindahkan peringatan itu. Menurutnya, membiarkan seorang gadis berjalan sendiri ke tempat perhentian bus yang jaraknya tak sampai satu blok dari rumah mereka, tentu tidak berbahaya. Tapi, nyatanya penyelidikan polisi kemudian menunjukkan bahwa di malam naas itu Sieglinde tidak pernah sampai di halte bus.
Karl Messing yang bertubuh jangkung dan bermuka persegi sejak itu memegang tanggung jawab penuh atas penyelidikan kriminal di Coburg dan sekitarnya. Tapi sejauh ini penyelidikan yang dilakukan Messing dan asistennya, Sersan Detektif Peter Vovel, belum juga memperoleh hasil atau petunjuk berarti. Hanya sedikit informasi tentang si pelaku pembunuhan yang diketahui polisi. Salah satunya, si pelaku berusia sekurang-kurangnya 25 tahun.
Diduga, si Jahanam penduduk kawasan itu juga. Masalahnya tak ada laporan tindak kriminal sejenis dengan apa yang dilakukannya di tempat lain di negara itu. Menurut para ahli dari laboratorium polisi, senjata yang digunakan adalah sebuah pisau tajam dan bergerigi yang panjangnya sekitar 25 cm.
Pisau itu dikenal sebagai pisau setan. Ciri pelaku dan kesamaan senjata yang dipakai menunjukkan bahwa si Pelaku adalah orang yang menyerang Irmgard Feder (19) pada hari Natal 1949, hampir sepuluh tahun lalu. Untung, gadis ini berhasil lolos. Yang jadi pertanyaan, apakah ada hubungan antara si Jahanam dari Oberfranken dengan hilangnya Sieglinde? Tak ada yang bisa menjawab.
Pemuda gemuk
Peristiwanya terjadi ketika Irmgard pulang dari nonton bioskop di kota kecil Staffelstein, tidak sampai 2 mil dari tempat Sieglinde terbunuh. Malam itu ia naik bus pukul 20.30. Saat itu hari sudah gelap dan turun salju, tetapi Irmgard tidak merasa takut. Di samping rumah orang tuanya hanya beberapa ratus meter dari halte bus, jalan di situ cukup terang meski amat sunyi.
Saat diserang pada bagian belakang kepalanya, Irmgard sudah menempuh setengah jarak itu. la jatuh terjerembab ke tanah, bengong, dan terkejut tetapi tidak mengalami luka yang serius. Di bawah cahaya lampu jalan, dari balik topi wolnya gadis ini sempat mencuri pandang wajah penyerangnya, seorang pemuda bertubuh gemuk pendek.
Laki-laki itu memegang erat-erat sebuah payung yang mungkin digunakan untuk memukul Irmgard. Setelah menjatuhkan payung, laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau panjang.
“Buka baju!" katanya singkat sambil berbisik.
Di tengah rasa takut, Irmgard sadar kalau akan diperkosa. Untung, akal sehatnya masih mampu bicara. Mengingat kejadian ini tak jauh dari rumahnya ia memberanikan diri menghadapi ancaman bahaya. Irmgard tidak lupa pada nasihat orang tua dan gurunya: jangan pernah melawan seorang pemerkosa, terutama jika tangannya menggenggam pisau.
Dengan sadar ia lalu melonggarkan bajunya. Sambil telentang di atas tanah berbalut salju, gadis ini membuka topi wol dan kaus kakinya dengan tetap waspada. Tubuhnya agak gemetar sedangkan kedua matanya tertutup membayangkan aib yang bakal menimpanya.
Anehnya, meski dengusan nafsunya terdengar ngos-ngosan, si penyerang tidak bergerak sama sekali. la hanya duduk di atas tubuh gadis itu sambil menggesek-gesekkan bagian depan celananya. Kejadian ini berlangsung cukup lama, sebelum akhirnya dengan kasar ia menerkam tubuh telanjang itu sekuat tenaga sehingga Irmgard sulit bernapas.
Ternyata perkiraan Irmgard meleset. Rasa nyeri yang timbul bukan di bagian bawah tubuh, seperti dugaannya. Samar-samar dilihatnya pisau bergerigi yang tergenggam di tangan lelaki itu terayun-ayun beberapa kali, menembus daging lunak di lehernya. Kesakitan yang amat sangat itu segera menggugah rasio Irmgard bahwa dirinya bukan diperkosa. Tapi akan dibunuh!
Barangkali doa Irmgard terkabul, karena tiba-tiba beban di atas tubuhnya hilang dan si penyerang pun kabur tanpa sebab. Seperti ikan kesakitan terkena pancing di leher, gadis ini berguling menggunakan tangan dan dengkul serta mulai merangkak pulang ke rumahnya.
Darahnya tercecer sepanjang jalan. Dengan tenaga tersisa ia menggedor pintu rumah sebelum kehilangan kesadaran. Untung, nyawa Irmgard masih bisa tertolong.
Kehilangan jejak
Usaha Inspektur Messing melacak pelaku penyerangan Irmgard belum membuahkan hasil. Penyelidikannya atas TKP dan noda darah di sepanjang jalan tak menghasilkan petunjuk apa pun untuk mengidentifikasi jati diri si Buronan.
Sementara itu kesehatan Irmgard Feder yang lolos dari maut, berangsur-angsur pulih kembali meski lukanya tidak bisa hilang. Karena keajaiban saja, tak satu pun pembuluh nadi utama pun yang putus. Dalam wawancaranya dengan polisi penyidik, ia tidak bisa mengidentifikasi penyerangnya.
Yang sempat diingat hanya gambaran bahwa si Pelaku bertubuh pendek, gemuk, dan berwajah bundar. Karena si Penyerang membelakangi lampu, ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Dr. Gunther Heinemann, dokter kriminologi yang ikut mendengarkan rekaman pernyataan Irmgard Feder hanya berkomentar, "Mungkin ia seorang laki-laki dewasa," katanya. "Tapi bisa jadi pemuda tanggung yang punya masalah dengan teman-teman wanitanya. Pada sejumlah orang dewasa dorongan seksual cukup kuat. Jika tidak memperoleh jalan keluarnya, mereka terpaksa melakukan tindak kriminal seperti perkosaan.”
"Nyatanya ia 'kan tidak memperkosa Irmgard," kata Inspekstur.
"Memang. Saya sendiri tidak tahu mengapa," kata Gunther Heinemann. "Biasanya, seorang lelaki yang tidak tahan menghadapi frustrasi akan mengambil jalan keluar dengan melampiaskan nafsu pada wanita. Tapi dalam kasus ini kenapa ia tidak melakukannya? Mungkinkah ia merasa tidak mampu? Dapatkah Anda lebih memastikannya?"
"Tak ada seorang pun," kata Inspektur. "Aku kira pelakunya orang daerah sini, karena ia begitu berani melakukan hal itu di tempat seperti Freiberg. Atau bisa jadi si gadis sudah kenal dengannya. Bahkan kita tidak bisa menentukan bagaimana ia meninggalkan tempat itu."
"Apakah dia membawa senjata?" tanya Dokter.
"Tampaknya demikian," kata Inspektur. "Sekurang-kurangnya kita mendapat gambaran tentang senjata itu. Rumah sakit membuat beberapa cetakan lilin dari luka-luka itu dan menurut para petugas di laboratorium, senjata yang digunakan adalah pisau multifungsi. Pisau itu bergerigi, bermata satu, dan berujung lancip."
Dokter mengangguk. "Anda bisa membeli senjata semacam itu di setiap toko yang menjual peralatan logam," katanya. "Mungkin ia mengambil benda itu dari dapur ibunya." Toh, si dokter tidak bisa memberikan keterangan tentang identitas si pelaku, apakah pelakunya anak laki-laki gemuk, seperti yang diduganya.
"Saya seorang dokter, bukan tukang ramal, Karl," katanya. "Hal itu tergantung pada bagaimana abnormalnya orang itu."
Dari kesimpulan sementara itu, polisi mengharapkan pelaku yang dianggap abnormal itu akan muncul lagi untuk beraksi kembali. Sayang, meski sudah menunggu dan berjaga berbulan-bulan, tak ada satu pun laporan terjadinya lagi serangan sejenis. Setahun kemudian kasus itu ditutup.
Namun, pada tanggal 19 Desember, sembilan tahun kemudian, peristiwa keji itu terjulang kembali. Seorang gadis kecil berumur 14 tahun, Nora Wenzl, hilang. Nora adalah gadis rajin yang praktik kerja di salon Staffelstein, sekitar 1 mil dari Welsburg, desa tempat ia tinggal bersama orang tuanya. Inspektur Messing berjanji untuk menyelidiki kasus ini, tetapi tidak berhasil.
Dua bulan kemudian mayatnya ditemukan dalam keadaan mengenaskan, tertelungkup di Sungai Main di Viereth, 25 mil ke arah selatan Staffelstein. Tangan dan kakinya diikat dengan tali BH dan stocking-nya, sementara tubuhnya dipenuhi luka tusukan pisau serta lehernya terpotong. Satu lagi petunjuk penting, Nora tewas dalam keadaan masih perawan.
Yang terpukul dengan peristiwa ini tentu Insepektur Messing. Meski mukanya seakan tertampar, sedikitnya polisi terhibur dengan ditemukannya petunjuk penting menyangkut senjata yang sama.
"Senjata yang sama, pisau setan," kata dr. Heinemann. Para petugas di laboratorium polisi bisa menentukan, pisau yang digunakan untuk membunuh Nora Wenzl sama dengan yang ditusukkan ke leher Irmgard Feder.
"Saya yakin," kata dokter itu sambil mengernyitkan dahinya. "Berbagai petunjuk memperlihatkan bahwa si pembunuh itu menyakiti dulu korbannya dalam waktu cukup lama sebelum memotong lehernya."
Sersan Vogel menjelaskan si pembunuh hampir bisa dikatakan orang yang takut menampilkan diri, dan terus-menerus mengganggu orang. Tetapi ia amat teliti, berpengalaman, serta tahu soal penyelidikan polisi.
Beraksi kembali
"Kami sudah menyebarkan berita kepada semua stasiun teleks di seluruh Jerman, tapi tidak ada laporan mengenai peristiwa yang mirip," ujar Inspektur. Selain digambarkan sebagai maniak remaja yang sedang tumbuh dewasa, si pelaku ini juga sangat ahli dalam menutupi jejaknya. Polisi yang menyelidiki semak-semak pinggir jalan menuju Welsburg menemukan bangkai sepeda yang sama dengan milik Nora Wenzl. Tapi bisa saja sepeda itu ditinggalkan oleh orang lain.
"Ada selang waktu 9 tahun antara dua kasus itu," kata Sersan. "Mungkin akan makan waktu sekitar 9 tahun lagi, sebelum ia muncul kembali."
Di lain pihak, Inspektur tidak sependapat dengan anak buahnya. Menurutnya, tidak perlu harus menunggu 9 tahun lagi sebelum si Jahanam dari Oberfranken beraksi kembali. Ternyata dugaan Inspektur benar.
Delapan bulan lebih sedikit, tepatnya tanggal 27 Agustus 1969, si Jahanam memakan korban lagi. Helga Luther, seorang gadis cantik berusia 16 tahun berambut pirang warga Desa Lichtenfels raib dalam perjalanan pulang dari Coburg. TKPnya kira-kira 15 mil sebelum rumahnya.
Setelah menerima laporan polisi yang kini menjadi sangat sensitif dengan hilangnya para gadis, segera meningkatkan operasi pencarian secara besar-besaran. Keesokan harinya, Helga ditemukan di dalam parit dalam keadaan telanjang, tangan dan kakinya diikat dengan stocking dan BH-nya. Tubuhnya dipenuhi luka akibat pisau dan lehernya dipotong sampai ke tulang belakang.
Hasil penyelidikan polisi, modus operandi dan alat pembunuhnya tidak berbeda dengan yang dipakai pada kasus-kasus pembunuhan sebelumnya. Fakta tentang korban pun sama, ia tidak diperkosa. Hanya saja, Helga Luther tidak dibunuh di lokasi ia ditemukan, melainkan di sebuah ladang yang berjarak 1 mil dari situ. Baik pakaian maupun rumput di ladang itu dipenuhi darah dan urine korban. Menurut bagian autopsi, korban disiksa sekurang-kurangnya sejam sebelum menemui ajalnya.
Dari para teman korban diperoleh informasi, Helga sudah berpengalaman dalam masalah seksual dan menyukai hal yang sadis. la sering kali gembar-gembor bahwa baginya tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menggoda seorang pria.
Satu-satunya informasi yang tidak bisa diperoleh, bagaimana cara Helga meninggalkan Mohrenkeller Tavern, sebuah diskotek yang sangat populer di Coburg, sekitar pukul 20.15. la hanya mengatakan akan pulang dengan cara menumpang mobil lewat.
Tak ada satu pun saksi mata yang melewati jalan antara Coburg dan Lichtenfels pada malam pembunuhan itu mengaku ditumpangi atau melihat Helga Luther.
"Itu berarti, si pembunuh membawa korban langsung dari Coburg," komentar Inspektur. Kejadian terakhir ini sekaligus memberi gambaran bahwa selang waktu beraksinya si Jahanam itu semakin pendek; sedangkan waktu penderitaan korban pun semakin panjang.
Nah, bagaimana dengan nasib Sieglinde Hubner? Kalaupun gadis ini berada dalam tangan si Jahanam yang sama, tampaknya hampir mustahil kalau ia masih hidup.
Sekali lagi Inspektur Messing mencoba segala hal yang bisa dilakukannya. Seluruh Departemen Penyelidikan Kriminal dikerahkan. Anggota yang sedang bebas tugas dari bagian lain pun diikutsertakan. Begitu juga sukarelawan dari bagian pemadam kebakaran diorganisasikan ke dalam beberapa regu pencarian.
Tapi jejak Sieglinde Hubner tak bisa ditelusuri.
"Masih ada satu harapan," kata Inspektur. "Mudah-mudahan ia melarikan diri dengan beberapa orang lelaki muda."
"Jadi, kita harus menunggu?" kata Sersan.
"Karena korban menghilang di Kaltenburnn, kita harus mengecek setiap penduduk," perintah Inspektur.
Yang sudah bisa dibuktikan, Sieglinde tidak naik bus ke Rossach. Paling tidak, sopir bus yang ikut dalam pencarian itu yakin. Sama seperti para sopir lain di daerah itu, ia bisa mengenali secara pasti setiap penumpangnya hanya dengan memandangnya.
Dari kesempatan itu, Inspektur menyimpulkan: si Jahanam dari Oberfranken adalah penduduk Kaltenbrunn, tapi malam itu di desa tersebut ada orang asing masuk.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" kata Sersan. "Kami siap mewawancarai setiap orang di Kaltenbrunn."
Takut pada wanita
"Kita akan menyebarkan desas-desus sebagai perangkap," kata Inspektur. "Kita buat penduduk di sini berpikir bahwa seseorang telah memberi informasi kepada polisi dan dalam waktu singkat kita akan menangkap seseorang. Kabar ini tentu akan segera menyebar dari mulut ke mulut."
Benar saja. Seorang wanita yang ingin namanya dirahasiakan, secara sukarela memberi informasi kepada Messing bahwa ia melihat Sieglinde Hubner menumpang Audi 60 berwarna abu-abu pada malam hari tanggal 15 November.
"Ia sangat yakin hanya ada satu mobil seperti itu di Kaltenbrunn," kata Inspektur.
Adalah Manfred Wittmann seorang yang sebelumnya dicurigai. Buruh berusia 26 tahun ini bekerja di pabrik aspal dekat Grossheirath. la tinggal bersama orang tuanya di Kaltenbrunn dan memiliki sebuah Audi 60 berwarna abu-abu.
Pemuda lajang ini berat tubuhnya sekitar 95 kg dan tingginya kira-kira 168 cm. la sangat populer di Kaltenbrunn, karena juga menjadi asisten kepala bagian pemadam kebakaran dan pendiri klub tenis meja. Kebetulan Fritz Hubner juga menjadi anggota klub tersebut.
Hampir setiap malam Wittmann bisa ditemukan di Kafe Gehrlich yang merupakan suatu klub sosial kaum lelaki di desa itu. Menurut pernyataannya kepada polisi, pada tanggal 15 November malam ia berada di kafe. Tapi harap diketahui, di tempat seperti itu orang selalu datang dan pergi silih berganti. Hampir pasti tak ada orang yang mengamati siapa datang pukul berapa dan pergi pukul berapa.
Bagaimanapun, dalam pemusatan penyelidikan terhadap diri Wittmann, diperoleh informasi mengenai keganjilan latar belakangnya, yang tidak mungkin diuji kebenarannya. Seorang teman Wittmann bercerita, pemuda gemuk dan berwajah bundar itu takut terhadap wanita. Sekitar lima tahun lalu, ia dan Wittmann pergi pelesir bersama dengan dua orang wanita tuna susila.
Kedua wanita itu membawa mereka ke flat untuk berkencan bersama. Malam itu, ketika wanita itu sudah membuka pakaian, Wittmann menjadi sangat malu dan menolak untuk telanjang. Ketika keduanya mencoba untuk menelanjanginya, Wittmann mendorong mereka dengan kasar dan segera meninggalkan flat itu.
Kini Messing punya alasan untuk menangkap Wittmann dan menahannya. "Kita memiliki cukup bukti untuk melakukan penangkapan," kata Inspektur. "Tetapi belum cukup untuk mengadili dan mungkin tidak cukup untuk menuntut.
“Aku tak bisa melakukannya!”
Kenyataannya ternyata tidaklah sesulit yang dikhawatirkan Inspektur. Pemeriksaan fisik secara rutin yang dilakukan dr. Heinemann menyatakan bahwa perkembangan organ seksual Wittmann tidak beres. Alat vitalnya hanya mirip milik bocah berusia 10 tahun pada umumnya.
"Akulah yang memotong gadis Feber pada waktu itu di Freiberg," katanya. "Aku tidak ingin melukainya. Aku hanya ingin melakukan hubungan seksual. Tetapi kemudian, ketika ia terbaring dalam keadaan telanjang, aku tidak bisa melakukannya. Aku tak bisa, Anda mengerti?"
Inspektur memahami hal itu karena telah diberi tahu dokter bahwa Wittmann tidak bisa ereksi. Alias tidak perkasa atau impoten.
"Nora Wenzl?!" desaknya.
"Aku mengenalnya," kata Wittmann. "Hari itu aku melihatnya mengayuh sepeda menuju sebuah bukit di jalan menuju Welsburg. Aku segera menyusulnya, memarkir mobil, dan kembali lagi. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencari pertolongan. Aku tidak ingin membunuhnya, tetapi apa boleh buat."
"Helga Luther?" kata Inspektur.
"Ia bukan orang baik," kata Wittmann. "Ketika itu aku berada di Mohrenkeller. Kudengar ia ingin ikut menumpang pulang. Jadi, aku ikuti dan menawari dia untuk ikut menumpang. Dia segera masuk ke mobil dan berkata, karena aku telah melakukan sesuatu untuknya, maka ia pun akan melakukan sesuatu untukku dan ia segera melepaskan bajunya, menanggalkan celananya. la ingin aku mencumbunya. Tapi aku tidak bisa melakukan hal itu."
Inspektur menarik napas dalam-dalam. "Di manakah Sieglinde Hiibner?" katanya.
Mayat gadis remaja itu tergeletak di sebuah kolam di hutan sekitar 5 mil dari Kaltenbrunn. Sieglinde ada dalam keadaan telanjang, tangan dan kakinya diikat dengan BH dan stocking-nya. Tubuhnya dipenuhi luka yang dalam karena pisau yang tak terhitung banyaknya. Lehernya dipotong.
Setahun kemudian, Manfred Wittmann diadili. la mengulangi pengakuannya secara mendetail dan dijatuhi hukuman seumur hidup.
Detail pengakuannya sangat mengerikan, sehingga pengadilan terhadap dirinya tidak terbuka untuk umum. Pernyataan Wittmann yang paling mengerikan, apa yang dilakukannya dengan pisau itu setelah digunakan untuk membunuh Sieglinde.
"Pisau itu aku simpan di laci tokoku,"kata Manfred Wittmann. "Aku menggunakan pisau itu untuk memotong roti dan sosis untuk makan siang." (John Dunning)
Intisari Plus - Mayat-mayat perempuan ditemukan dalam keadaan mengenaskan, tampak ada bekas gigitan di leher atau paha. Apakah ini ulah drakula atau seseorang yang sakit jiwa?
------------------
Gumpalan awan gelap melayang rendah, seakan-akan menyapu wajah bulan yang pucat. Mendekati tengah malam, angin kencang meratap di antara batu-batu nisan Permakaman Hamburg-Ohlsdorf di Jerman Barat. Sementara itu titik-titik hujan menampari jendela-jendela kamar mayat yang gelap.
Bangsal tempat mayat-mayat dibaringkan tidak diberi penerangan maupun pemanasan. Toh jasad-jasad yang sedang menunggu dimakamkan tidak memerlukannya. Bahkan bangsal itu pun tidak dikunci, apalagi dijaga. Soalnya, penghuninya takkan melarikan diri. Tidak ada pula manusia yang mau masuk ke sana, kecuali orang gila.
Namun, ketika lonceng gereja berdentang 12 kali, ada sesuatu yang bergerak di bangsal yang gelap dan dingin itu. Kedengaran bunyi korek api digesekkan, lalu cahaya lilin yang kekuning-kuningan menyebabkan bayang-bayang aneh di dinding seakan-akan menari-nari.
Terdengar tutup peti-peti jenazah didorong, disusul gemeresek kertas penutup mayat. Jasad-jasad yang ada di sana masih telanjang, belum didandani. Salah satu di antaranya ialah jasad Kathe Bauer, seorang gadis berumur 12 tahun. Ban belakang sebuah mobil telah menggilas wajahnya yang cantik. Karena itulah peti jenazahnya tidak akan dibuka pada upacara pemakamannya hari Minggu.
Mayat-mayat bangun
Keesokan harinya, 15 April 1971, petugas kamar mayat bernama Gerd Fröhlich, datang ke tempatnya bekerja pukul 08.15. Fröhlich bukanlah manusia penakut atau penjijik. Tapi begitu masuk ke bangsal tempat menaruh mayat, ia terkejut setengah mati.
Beberapa peti jenazah terbuka. Mayat-mayat duduk bersandar di peti masing-masing. Yang paling mengerikan ialah jenazah Kathe. Pergelangan tangan kirinya luka dalam. Cairan kental kehitam-hitaman dari nadinya menodai luka itu dan juga pelbagai bagian tubuhnya: bibirnya, payudaranya .... Seakan-akan ada makhluk yang mengisap nadinya lalu menciumnya. Ada juga bekas-bekas gigitan di paha dan lehernya.
Di nadi kirinya terdapat pula darah makhluk hidup yang kelihatan relatif masih segar, berbeda dengan darah mayat yang menggumpal kecokelatan.
Sementara itu di tepi-tepi peti didapati sisa-sisa lilin yang habis terbakar. Lilin itu milik kamar jenazah.
Fröhlich segera berlari ke WC dan muntah-muntah. Setelah menyeka mulutnya, ia terhuyung-huyung ke kantornya untuk menelepon polisi. la mampu menggambarkan keadaan di bangsal secara jelas, sehingga Inspektur Frank Luders dari Departemen Penyidikan Kriminal merasa perlu datang sendiri.
Luders ditemani asistennya, Sersan Detektif Max Peters dan dr. Ludwig Strauβ. Strauβ segera memeriksa mayat Kathe Bauer, sementara Peters menaburi tepi-tepi peti jenazah dengan bubuk khusus untuk mencari sidik jari.
"Banyak sekali sidik jari di sini," katanya. "Mereka merampok benda-benda dalam peti barangkali."
"Huh! Merampok? Mayat-mayat ini dipakaikan baju pun belum! Boro-boro dibekali barang berharga," jawab dr. Strauβ.
"Mungkin mereka tidak tahu kalau mayat-mayat ini belum dibekali apa-apa," komentar Inspektur.
Dr. Strauβ berpendapat lain. la merasa kamar mayat ini kedatangan pemakan mayat yang nekrofili, yaitu seorang yang memiliki dorongan untuk menyetubuhi mayat.
Ada sebagian kecil daging mayat yang hilang di tempat yang memperlihatkan bekas gigitan. Selain itu nadi di pergelangan tangan jenazah menunjukkan bekas diisap.
"Di luka pergelangan kiri ini terdapat darah makhluk hidup. Tampaknya ia mencoba bertukar darah dengan mayat," tambah dr. Strauβ. "Ada hal lain yang tidak berhasil dilakukannya, walaupun ia sudah berusaha, yaitu memerkosa mayat."
"Berarti ia penderita penyakit jiwa yang berbahaya," komentar Inspektur Luders.
"Ya!”
"Kalau begitu, kita harus segera menangkapnya, supaya ia tidak mempraktikkannya pada manusia hidup."
Luders pun segera mengerahkan orang-orangnya untuk mengusut. Namun, mereka tidak mampu menemukan petunjuk sedikit pun perihal identitas si pengunjung kamar mayat yang ganjil itu.
Semua kantor polisi di Jerman dikirimi keterangan perihal peristiwa aneh tersebut, tetapi Desa Bisselmark yang terletak ± 60 km di sebelah timur Hamburg tidak mendapat keterangan itu, sebab di desa yang sangat kecil itu tidak ada kantor polisi.
Tanggal 17 April 1971 pagi, pemilik perusahaan pengurus jenazah di desa itu merasa kaget sekali ketika membuka ruang tempat jenazah disemayamkan. Saat itu cuma ada satu jenazah di sana, yaitu seorang wanita umur 40-an, yang meninggal karena kanker dua hari sebelumnya.
Wanita itu didapati dalam keadaan duduk bersandar di petinya dengan lutut tertekuk. Pakaian dalamnya tergunting. Kedua matanya melek, karena diganjal dengan batang korek api. Di sekeliling peti terdapat sisa lilin yang dipasang membentuk lingkaran. Terdapat pula bekas-bekas sepatu, seakan-akan seseorang melakukan tarian aneh di situ. Bekas lumpur itu jelas, sebab semalam turun hujan.
Saking terkejut dan juga karena takut disangka sebagai pelaku perbuatan yang tidak senonoh itu, buru-buru mayat dirapikannya. Dibersihkannya lantai sampai tidak tertinggal bekas sedikit pun. la tidak berani menceritakan peristiwa itu kepada siapa pun.
Pencuri kepala
Pulau Sylt di Laut Utara terkenal sebagai perkampungan nudis terbesar di Jerman, bahkan di Eropa.
Tanggal 4 Mei 1971, belum banyak turis nudis berlibur ke sana. Westerland, kota utama di pulau itu, masih sepi pengunjung. Pukul 08.00 Pendeta Harold Segel masuk ke gerejanya. Didapatinya peti jenazah Ny. Gertraud Frankle terbuka. Wanita berumur 52 tahun itu meninggal dua hari sebelumnya akibat gangguan pembuluh darah. Jenazahnya masih terbaring rapi dengan mata terkatup. Namun, dari dadanya menonjol hulu pisau berburu.
Buru-buru Pendeta Segel memanggil polisi. Menurut dokter dari Departemen Penyidikan Kriminal, itu adalah pisau cendera mata khas Sylt, mirip pisau berburu zaman dahulu. Benda tajam itu dihujamkan dengan keras ke dada kiri mayat, menembus jantungnya, lalu diputar 180°.
Polisi tidak menduga ini perbuatan pemakan mayat. Mereka menyangka, ini tentu ulah musuh keluarga almarhumah. Sampai berbulan-bulan mereka tidak mampu menemukan petunjuk ke arah si pelaku.
Tanggal 30 Mei tahun itu juga, terjadi peristiwa yang menggemparkan di Flensburg, sebuah kota Jerman yang berbatasan dengan Denmark.
Kota itu oleh sebagian orang dijuluki Kota Maksiat, karena merupakan markas penjualan barang-barang yang biasa dijumpai di sex-shop.
Peristiwa yang menggemparkan itu bukan terjadi di markas penjualan barang-barang maksiat, melainkan di Permakaman Mühlen.
Malam itu bulan hampir purnama. Keesokan paginya, seorang wanita muda bernama Marion Steiger berlari terbirit-birit di jalan dekat kuburan, lalu pingsan di trotoar. Untung, sekitar kuburan itu ada rumah-rumah.
Seorang ibu rumah tangga cepat-cepat menelepon polisi dan ambulans. Ketika wanita muda itu siuman kembali, kelihatan benar ia sangat terguncang. Ceritanya kacau.
Akhirnya, polisi membiarkan petugas ambulans membawa wanita itu ke rumah sakit. Mereka sendiri pergi ke jurusan yang ditunjukkan oleh nyonya rumah sebagai tempat kedatangan sang Wanita Muda.
Di jurusan itu cuma ada kuburan. Ketika polisi menjenguk ke permakaman itu, mereka menemukan tas tidak jauh dari pintu gerbang. Di dalam tas itu ada kartu identitas wanita muda itu dan beberapa barang pribadi. Tak jauh dari sana mereka menemukan sebelah sepatu wanita. Lebih jauh kemudian ditemukan sepatu yang sebelah lagi. Setelah itu mereka menemukan bunga yang rupanya rontok dari karangannya. Dengan mengikuti rontokan bunga, mereka tiba di suatu tempat yang tidak menunjukkan keanehan apa-apa.
"Coba, cari makam seseorang bernama Steiger," kata polisi yang paling senior dari ketiga petugas patroli. "Jangan-jangan ada binatang menggali makam itu."
Ternyata makam Helga Steiger baik-baik saja. Namun, ketika mereka menoleh ke barisan makam yang bersebelahan, terlihat bekas tanah galian.
"Perampok makam!" seru seorang di antara mereka seraya berlari untuk memeriksa. Temannya secara otomatis mencabut pistol untuk berjaga-jaga. Namun, bukan perampok makam yang mereka jumpai.
Sebuah makam digali sampai seluruh petinya kelihatan. Salah satu ujung peti dijebol dan mayat di dalamnya ditarik sampai bersikap duduk. Tangan mayat terletak di bagian tutup peti yang utuh, seperti posisi tangan murid SD yang sedang menyimak. Mayat itu mestinya laki-laki, sebab mengenakan setelan jas. Namun, kepalanya lenyap dipancung. Tidak heran kalau Marion Steiger semaput!
Menurut dr. Theodore Fichtenbauer yang diperbantukan ke Departemen Penyidikan Kriminal di Kepolisian Flensburg, jangan-jangan ada orang yang memerlukan tengkorak. Mungkin seorang pemuja setan, atau orang yang menuntut ilmu gaib, atau bisa juga seorang mahasiswa kedokteran.
"Kalau mahasiswa kedokteran," kata Fichtenbauer, "paling-paling ia baru duduk di tingkat satu. Soalnya, leher ini dipotong kasar, mungkin dengan pisau daging."
Dua hari kemudian, seorang bernama Karl Konzemius menemukan daging tengkorak itu dalam gubuk di kebunnya, tetapi tengkoraknya tidak ada.
Drakula atau pemuja setan?
Inspektur Richard Brinkmann menduga perbuatan keji ini dilakukan oleh pemuja setan, yang beberapa tahuh terakhir bermunculan di pelbagai tempat. Jadi selama satu setengah tahun ia melakukan penyidikan yang cermat di kalangan pemuja setan. Hasilnya nihil.
Seperti polisi Hamburg, Inspektur Brinkmann pun mengirimkan edaran ke semua kantor polisi di Jerman. la segera mendapat tanggapan dari polisi Hamburg dan Westerland. Pengurus mayat di Bisselmark pun membaca berita di koran tentang peristiwa-peristiwa aneh yang keji itu. Diam-diam ia mengirim keterangan pada polisi mengenai pengalamannya sendiri. Cuma ia meminta agar identitas mayat yang diceritakannya itu dirahasiakan.
Inspektur Brinkmann yakin, pemuja setan ini memiliki jaringan luas, sedikitnya di Hamburg, Sylt, dan Flensburg. Asistennya mempunyai pendapat yang berbeda.
"Peristiwa-peristiwa ini tidak memiliki pola yang sama," katanya. "Flensburg merupakan tempat satu-satunya di mana ada bagian tubuh yang dibawa pergi dan ada indikasi seksual yang jelas. Di Bisselmark korbannya wanita dan juga menunjukkan indikasi seksual, walaupun dalam derajat yang kurang dibandingkan dengan di Hamburg. Di Westerland korban tidak diganggu, kecuali ditikam di bagian jantung."
"Hal ini bisa menunjukkan bahwa insiden-insiden ini dilakukan oleh pelaku yang berbeda-beda, atau oleh satu orang yang tidak mengikuti pola yang rasional. Saya cenderung menduga yang terakhir," kata asisten itu.
"Saya kira selama cuma mengganggu mayat, ia tidak berbahaya bagi manusia hidup, walaupun perbuatannya itu keji dan menyusahkan," kata asisten itu pula.
"Menurut Theodore, orang itu cerophile, pencinta mayat," kata bosnya. "Tapi kalau mencintai mayat, mengapa ia menikam dan bahkan memancung mayat? Selain itu, apa betul ia tidak berbahaya bagi manusia hidup? Coba lihat laporan ini. Apakah ini bukan perbuatannya?”
Menurut laporan itu, pada tanggal 27 Juni 1971, serombongan penduduk Feucht berjalan-jalan di hutan, di barat daya kota mereka. Feucht terletak ± 8 km dari Nürnberg, sebuah kota besar di Jerman Selatan. Tahu-tahu mereka menemukan mayat seorang wanita dekat jalan setapak.
Kemudian wanita itu dikenali sebagai Martha Krüger, seorang ibu rumah tangga berumur 36 tahun. Penduduk Feucht itu tewas akibat peluru senapan kaliber .22 yang menembus pelipis kirinya. Selain itu di tubuhnya terdapat 14 bekas tusukan pisau yang dalam dan lebarnya bervariasi. Beberapa di antara luka itu memperlihatkan bekas gigitan dan sidik bibir manusia. Diperkirakan pembunuh menggigit dan meminum darah korbannya.
"Itu sih Drakula, bukan pemakan bangkai!" seru asisten Inspektur Brinkmann.
Menurut laporan itu pula, di atas mayat Martha Krüger dijumpai anaknya yang berumur 3 tahun, Lydia Krüger. Gadis itu menangis ketakutan dan tubuhnya berlumur darah ibunya. Lydia ternyata tidak diganggu sedikit pun. Menurut keterangannya kepada para penemunya dan kemudian kepada polisi, "Ibu jatuh. Bapak itu menusuknya dengan pisau. Terus, bapak itu mau memakan Ibu."
"Pembunuh itu pasti orang gila yang mengira dirinya Drakula," komentar-sersan yang menjadi asisten Inspektur Luders.
Drakula-drakulaan itu tidak meninggalkan jejak, kecuali bekas gigitan yang ternyata sama dengan gigitan pada mayat Kathe Bauer di Hamburg.
"Mustahil!" kata sersan itu. "Baru sekali ini saya mendengar ada pemakan mayat merangkap vampir. Vampir 'kan pengisap darah. Darah mayat 'kan tidak diisap."
"Bisa," jawab atasannya. "Asal belum lama meninggalnya. Menurut Theodore, darah mayat mula-mula mengental, lalu menjadi cairan kekuning-kuningan.”
Drakula membaca koran
Tanggal 7 November 1971, untuk pertama kalinya pemakan mayat/vampir/pencinta mayat atau orang gila itu beraksi di tempat yang sama dengan yang pernah dikunjunginya.
Beberapa hari sebelumnya, yaitu tanggal 3 November, George Weichert (40) dan putrinya Steffi (15), menumpang sebuah mobil. Di perjalanan, pengemudi mobil tidak bisa menguasai kemudi. Mobil nyelonong ke luar dari jalan, lalu terguling-guling beberapa kali sebelum terjatuh ke hutan yang letaknya ± 30 m dari jalan.
Kecelakaan itu terjadi di persimpangan jalan ke Feucht, ± 1 km dari hutan tempat Martha Krüger ditikam.
Anehnya, sopir mobil itu hanya memar-memar, tetapi George Weichert tewas seketika. Putrinya luka parah dan meninggal di rumah sakit keesokan harinya. Tanggal 6 November, mereka dimakamkan bersebelahan di Permakaman Nürnberg.
Tanggal 7 November 1971 pagi, seorang pemuda bernama Horst Weber bermaksud mengunjungi makam salah seorang kerabatnya. Ketika itulah ia menyaksikan pemandangan yang paling menyeramkan dalam hidupnya.
Steffi Weichert sudah digali dari kuburnya. la duduk telanjang bulat di samping lubang kuburnya, dengan bersandar ke tumpukan tanah. Kepalanya menengadah dan matanya yang tidak bersinar lagi itu melotot.
Darah segar menitik dari bibirnya ke dagu dan dada gadis cantik ini. Ketika angin bertiup, rambutnya yang pirang itu berkibar, seakan-akan mayat itu bergerak.
Horst Weber sebenarnya tidak percaya cerita Drakula. Saat itu matahari baru mengintip di langit November yang kelam. Menyaksikan adegan yang mengerikan itu, segera saja Horst Weber mengambil langkah seribu.
Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, ia langsung berlari ke arah kantor polisi yang lumayan jauh dari sana. Untunglah di perjalanan ia berpapasan dengan polisi yang sedang patroli.
"Ada vamp ...! Ada yang tidak beres di kuburan!" katanya. Tadinya ia ingin memberi tahu ada vampir, tetapi takut polisi tidak percaya. Salah-salah ia diangkut ke kantor polisi untuk diperiksa oleh psikiater. Ternyata polisi malah berseru.
"Astaga! Vampir mendapat mangsa lagi! Eh, Bung! Tolong cepat beri tahu rekanku di kantor. Aku butuh bantuan. Sekarang aku akan mengejar ke kuburan."
Polisi itu mengeluarkan pistolnya sebelum berlari ke arah kuburan. Horst Weber, seperti layaknya orang Jerman yang taat pada peraturan, melaksanakan pesan polisi itu, walaupun ada rasa waswas keterangannya akan dianggap isapan jempol seorang sinting. Ternyata polisi yang menerima kedatangannya segera percaya.
Beberapa orang polisi segera berangkat dengan mobil, sementara sersan yang bertugas di kantor menelepon Inspektur Julius Misner yang menangani kasus Krüger. Minggu pagi itu Inspektur ada di rumahnya. la menjemput asistennya, Sersan Detektif Hans Bohm dan dr. Jurgen Platt.
"Ini sih bukan vampir. Ini gadis yang tewas akibat kecelakaan hebat. Mungkin karena kecelakaan lalu lintas," kata dokter.
"Orang yang menemukannya, melapor melihat vampir. Mungkin karena ia ketakutan," jawab Inspektur. "Anda dulu memeriksa jenazah Martha Krüger dan Anda pernah diberi tahu perihal pemakan mayat atau vampir yang terjadi di Jerman Utara. Apakah jenis kasusnya sama?"
Dokter mengangguk dan memeriksa jenazah dengan saksama.
"Darah di mulutnya bukan darahnya," katanya. "Orang itu mencium mayat ini dengan mulut penuh darah. Mungkin darahnya sendiri. Kejadiannya kira-kira tengah malam. Di payudara kiri ada sayatan. la mengisap darah korbannya yang sudah tidak segar lagi karena gadis muda ini sudah meninggal 3 atau 4 hari. Ada bagian daging di sayatan ini yang dikunyah."
"Dalam kasus di Hamburg, ia melukai dirinya sendiri dan menekankan lukanya ke pergelangan tangan mayat gadis itu."
"Di sini prinsipnya sama. Seperti di Hamburg ia berusaha memerkosa mayat, tetapi tidak berhasil. Pelakunya mestinya sama."
"Seorang nekrofil dan seorang pemakan mayat hanya akan mengganggu mayat. Tapi kalau orang itu menganggap dirinya vampir, kita akan menemukan kasus seperti Martha Krüger. Mungkin ia mengisap darah mayat hanya karena tidak berhasil memperoleh darah manusia hidup." Begitu pendapat dr. Platt.
"Saya bukan ahli psikologi abnormal," kata Inspektur Misner. "Tapi saya mempunyai banyak pengalaman menangani kejahatan seksual. Biasanya pelakunya mula-mula cuma sekadar mempertontonkan hal yang tidak perlu diperlihatkannya kepada wanita dan anak-anak, ada pula yang makin lama makin parah, sampai memperkosa dan membunuh."
"Kalau kasus-kasus di Jerman Utara dan Selatan ini dilakukan oleh satu orang, berarti cuma dari pengganggu mayat, ia berkembang Iebih parah sampai menjadi pembunuh manusia, lalu merosot menjadi pembongkar mayat lagi," komentar sersannya. "Apakah mungkin hal seperti itu terjadi? Ataukah ia sekadar orang gila?"
"Saya tidak tahu. Pemakan mayat ataupun orang gila, ia tidak meninggalkan jejak, kecuali darahnya, telapak sepatu, dan bekas gigitan. Mungkin ia licin sekali, mungkin pula ia cuma beruntung," jawab atasannya.
"Oh, ya, masih ada hal lain," sambung Misner. "Ia pasti pembaca koran, sebab ia tahu siapa yang baru dikubur dan di mana. la tidak mengganggu makam lain."
Petugas permakaman dimata-matai
Mulai hari itu, diam-diam polisi Nürnberg menghadiri pemakaman gadis-gadis muda yang meninggal. Dengan berpakaian preman mereka mengawasi para pelayat.
Tugas itu tidak berat. Yang berat ialah tugas menunggui makam pada malam hari yang dingin dan gelap. Biasanya polisi yang paling muda dan paling barulah yang harus melakukan hal ini. Tidak jarang mereka pura-pura sakit supaya terhindar dari kewajiban itu.
Akhirnya pekerjaan yang sia-sia itu dihentikan.
"Jangan-jangan pemakan mayat keparat itu sudah kembali ke Utara," kata Inspektur Misner.
la keliru. Si pemakan mayat masih berkeliaran di Selatan. Cuma saja ia lebih berhati-hati.
Pada awal Mei 1972, George Warmuth, petugas tempat penitipan mayat di Permakaman Nürnberg Barat, mengeluh kepada istrinya.
" Ellie, aku curiga, ada yang menggerayangi jenazah-jenazah. Tapi mana mungkin sih, ya?"
"Mustahil! Siapa sih yang mau berbuat demikian?" jawab Ellie.
Mereka belum pernah mendengar tentang mayat Steffi Weichert. Soalnya, polisi Jerman tidak membeberkan kejadian itu kepada umum, supaya orang yang dicurigai tidak bisa berkata bahwa mereka mengetahui hal itu dari koran.
Warmuth bahkan tidak tahu bahwa selama 5 bulan tempat kerjanya dan ia sendiri pernah diamat-amati polisi. Begitu pula rekan-rekannya.
"Siapa ya, yang iseng?" tanya Warmuth kepada istrinya. "Jangan-jangan salah seorang dari penggali kubur. "Kan mereka sudah terbiasa dengan mayat. Orang lain sih boro-boro mau dekat-dekat."
"Apa untungnya menggerayangi mayat?" tanya istrinya yang bekerja sebagai pembersih kamar mayat. "'Kan mereka belum dipakaikan perhiasan dsb."
"Malam ini aku ingin mengintip, supaya bisa menangkap basah orang itu," jawab suaminya.
Kalau saja George Warmuth tahu ada pemakan mayat di Nürnberg, pasti dia agak gentar, walaupun sebagai veteran perang ia merasa dirinya tidak takut kepada apa pun.
Malam itu, selesai makan, ia tidak menonton acara TV kegemarannya. la menyelinap ke kantornya dan duduk menunggu dengan sabar di dalam gelap.
Tanggal 5 Mei 1972 itu cuaca menyenangkan, sebab sudah awal musim semi. Beberapa saat sebelum pukul 22.00, didengarnya derit pintu menuju ke ruang tempat peti jenazah biasa diletakkan sebelum dibawa ke makam. Pintu itu terbuka dan tertutup dengan perlahan. Warmuth berdiri. la tahu ke mana tujuan orang yang membuka dan menutup pintu itu. Pasti ke ruang bawah tanah, tempat mayat-mayat ditaruh.
la berniat mendahului orang itu. Tangga memang berada dekatnya. Rencananya, Warmuth akan bersembunyi di salah sebuah relung yang ada di ruang bawah tanah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika tiba, karena ruang itu terang. Apakah orang itu mampu mendahuluinya secara gaib lalu menyalakan lampu?
Lalu Warmuth teringat bahwa istrinya tadi membersihkan ruang itu. Walaupun sudah terbiasa dengan pekerjaannya, Ellie tidak berani berada di sana dalam keadaan gelap. Jadi setiap kali selesai bekerja, ia membiarkan lampu menyala. Maklum tombol lampu berada di tengah, bukan dekat tangga. la takut berjalan dalam gelap sepanjang setengah ruangan.
Cepat-cepat Warmuth mematikan lampu, lalu masuk ke salah sebuah relung. Tak lama setelah itu kedengaran bunyi langkah menuruni tangga. Orang itu berjalan tanpa ragu-ragu ke tengah, lalu menyalakan lampu. Tampaknya ia hafal di mana ada tombol lampu. Begitu lampu menyala, Warmuth tercengang, sebab itu bukan karyawan tempat penitipan mayat. Bahkan Warmuth belum pernah melihatnya. Kalau saja Warmuth tahu, bahwa orang itu adalah pemakan mayat yang dicari-cari polisi Nürnberg, ia pasti lebih tercengang lagi.
Orang cebol
Orang itu jauh dari menyeramkan. Tubuhnya agak kontet dan tidak kekar. Rambutnya gelap, bergelombang, dan hidungnya bulat. Pria itu mengenakan kacamata berbingkai metal, yaitu jenis kacamata murah yang bisa dibeli dengan asuransi kesehatan.
Walaupun penampilannya begitu, tetapi dengan tidak ragu-ragu ia mendekati peti jenazah berisi seorang wanita berumur 37 tahun yang baru dibawa ke tempat penitipan mayat itu sehari sebelumnya.
Warmuth mengira pria itu membuka mulut mayat untuk mencari gigi emas. Ternyata ia keliru. Si Cebol memegang pipi mayat dan mencium bibir mayat itu. Saking tidak menduga, Warmuth sampai melompat dan kaki celananya tersangkut sesuatu sampai ia terjerembab ke lantai.
Warmuth mengira si Cebol akan terkejut dan kabur. Ternyata pria itu tetap menekankan bibirnya ke bibir mayat, seakan-akan tidak terjadi sesuatu di dekatnya.
Warmuth bangkit, lalu menjambret pundak si Cebol.
"Hei! Apa-apaan kau!" seru Warmuth.
Si Cebol berbalik dan mencabut pistol otomatis dari balik jasnya. Sebelum Warmuth yang tinggi besar sempat bereaksi, perutnya sudah kena tembak. la terjatuh kembali. Sementara itu si Cebol dengan tenangnya menyimpan kembali pistolnya, lalu berlari menaiki tangga.
Dengan bersusah payah Warmuth merangkak ke kantornya dan menelepon ambulans yang khusus disediakan untuk keadaan gawat darurat. Setelah menelepon Warmuth pingsan.
Untung saja ambulans datang dengan segera, kalau tidak Warmuth pasti tewas kehabisan darah. Peluru 7.65 mm menembus usus besar, usus kecil, dan kandung kemihnya. Berkat penanganan yang cepat, 48 jam kemudian ia sudah mampu menggambarkan tamu aneh yang menembaknya itu. Saat itu hari Minggu, 6 Mei 1972, Inspektur Misner khusus datang ke rumah sakit.
Di kantor polisi, pelukis mencoba melukiskan si penembak berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Warmuth. Keterangan itu direkam dalam kaset. Belum lagi lukisan rampung, Inspektur Misner sudah ditelepon dari Desa Lindelburg ± 20 km di sebelah timur Nürnberg. Peneleponnya penjaga hutan bernama Werner Baranek.
Keterangan Baranek tidak keruan, karena ia belum pulih dari rasa kaget.
"Tenang. Coba tenangkan diri dulu," kata Inspektur. "Siapa menembak siapa?" Baranek yang baru berlari 3 km mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Pasangan muda itu memarkir Mercedesnya, ± 100 m dari belokan di Wolkersdorf. Saya datang dari Lindelburg, kira-kira setengah jam yang lalu. Saya lihat mobil itu. Pintu-pintunya terbuka. Saya lihat pria bertubuh kecil, berkacamata, dan bertopi kulit sedang melakukan entah apa dekat mobil itu. Ketika melihat saya, ia kabur. la menunggang sepeda motor merahnya dan melaju ke Wolkersdorf.
"Karena merasa curiga, saya hampiri mobil itu. Saya lihat seorang remaja pria di bangku depan dan seorang gadis muda di bangku belakang. Keduanya berselubung selimut di mobil. Ketika saya tarik selimut mereka, ternyata keduanya penuh darah. Mereka sudah tewas. Saya segera melepaskan tiga tembakan pemberi isyarat ke udara, tetapi tidak ada orang yang mendengarnya. Akhirnya, saya berlari ke Lindelburg untuk menelepon."
"Tinggallah di tempat Anda berada sekarang. Kami segera berangkat ke sana," jawab Inspektur.
Misner memerintahkan anak buahnya agar mengerahkan kendaraan ke Lindelburg.
"Kita bawa gambar yang dibuat berdasarkan keterangan Warmuth. Kita cari pria kecil berkacamata yang mengendarai sepeda motor merah."
Sore itu, dr. Platt menyatakan bahwa peluru yang berhasil dikeluarkan dari jenazah Marcus Adler (24) dan Ruth Lissy (18), sama dengan yang diambil dari perut George Warmuth. Adler adalah pemilik perusahaan transportasi di Bruchsal, 75 km dari Nürnberg. la datang mengunjungi tunangannya, Ruth Lissy, lalu rupanya mereka berpacaran di tempat sepi. Setelah itu mereka tidur di mobil. Seorang di depan seorang di belakang. Menurut rekonstruksi kemudian, si Cebol mendekati dan menembak kepala mereka. Keduanya tewas seketika. Si Cebol menembak Ruth sekali lagi di bawah payudara kiri dan mengisap darahnya. Sidik bibirnya dijumpai juga di kepala Adler.
Pada saat ia mulai menggerayangi mayat Ruth, muncullah Baranek.
"Pria itu sangat berbahaya," kata Inspektur Misner. "Soalnya, ia bukan cuma merupakan ancaman bagi orang mati, tetapi juga bagi manusia hidup."
Karena itulah polisi Nürnberg melakukan patroli gencar. Setiap pengendara sepeda motor merah dihentikan, sedangkan gambar yang dibuat berdasarkan keterangan Warmuth dipasang di tempat-tempat umum. Menurut Warmuth dan Baranek, gambar itu mirip dengan pria kecil yang mereka lihat. Stasiun-stasiun radio dan TV pun berulang-ulang meminta bantuan masyarakat untuk membantu polisi.
Mustahil dia
Empat hari lewat sejak poster-poster dipasang oleh polisi. Radio dan TV belum berhenti menyiarkan permintaan bantuan. Namun, belum juga ada hasilnya.
Sementara itu Helmut Kostan, seorang karyawan perusahaan transportasi yang sudah setengah umur merasa gundah. Pria bertubuh kekar itu belasan kali ingin melapor kepada polisi, tetapi ia ragu-ragu.
"Mustahil rekan sekerjaku bisa berbuat keji begitu?" pikirnya. Kostan dengan saksama membaca berita mengenai kasus pembunuhan atas Marcus Adler dan Ruth Lissy. Menurut Baranek, pria yang diduga keras sebagai pembunuh kedua orang muda itu mengenakan topi kulit dan mengendarai sepeda motor merah. Rekan sekerja di sebelahnya, Kuno Hofmann yang biasa memuat barang ke truk bersama dia, kadang-kadang memakai topi kulit dan sepeda motor merah. Hofmann pun bertubuh kecil, berambut gelap bergelombang, berhidung bulat, dan memakai kacamata berbingkai logam dari asuransi kesehatan.
Kata George Warmuth, penembaknya mengenakan setelan jas bergaris-garis kelabu dan cokelat, sweater hitam atau biru tua, dan sepatu hitam bergesper logam berkilat. Sebulan sebelumnya, Helmut Kostan pernah melihat Kuno Hofmann mengenakan pakaian seperti itu.
Menurut Warmuth, orang itu tidak terkejut ketika ia jatuh keserimpet. Hal itu tidak mengherankan bagi Kostan, sebab Kuno Hofmann bisu tuli!
Walaupun gambaran itu tepat sekali dengan gambaran Kuno Hofmann, Kostan masih ragu-ragu. la takut menuduh orang yang tidak bersalah. Kuno Hofmann boleh bisu tuli, tetapi kerjanya cekatan. la juga disukai rekan-rekannya di perusahaan Demerag Transport. Soalnya, ia tidak mungkin cekcok mulut dengan siapa pun.
Namun, tanggal 10 Mei 1972, Kostan terdorong untuk melapor juga. Soalnya, ketika tiba di kantor pagi-pagi, ia melihat Kuno Hofmann memakai setelan kelabu yang rapi, bukan pakaian kerja. Menurut mandor, Kuno Hofmann minta berhenti. Pada secarik kertas, Hofmann menulis bahwa ia akan ke Hamburg.
Dua menit kemudian, Kostan sudah berada di telepon umum. la berbicara dengan Sersan Bohm di markas besar polisi.
"Mungkin ia bukan orang yang Anda cari," katanya. "Tapi kok penampilannya sama. Lebih baik Anda cepat datang, sebab sebentar lagi ia akan pergi. la tinggal menunggu gajinya dibayarkan."
Kurang dari 2 menit kemudian, sersan dan tiga rekannya sudah ngebut di jalan dalam mobil polisi yang sirenenya meraung-raung. Ketika mereka tiba, seorang pria kecil berkacamata melangkah ke luar dari kantor sambil memegang sampul gajinya.
Sering digebuki
Kuno Hofmann bukanlah orang yang pandai. la bukan pula pemberani. Penampilannya mencerminkan dirinya: pemalu dan terbelakang mental.
Begitu mobil polisi masuk halaman Demerag Transport dan para detektif melompat ke luar, ia segera kabur. Namun, mana mungkin langkahnya yang pendek itu bisa mengalahkan langkah para polisi yang lebih muda, lebih kuat, dan lebih gesit. Sekejap saja ia sudah dibekuk.
Tak lama kemudian mobil-mobil patroli tiba dan Hoffmann dibawa dengan salah sebuah di antaranya ke kantor Departemen Penyidikan Kriminal. Sementara itu Sersan Bohm dan beberapa rekannya menuju ke kediaman Hofmann, yang alamatnya mereka peroleh dari Demerag.
Di kamar sewaan Hofmann, mereka menemukan sebuah pistol otomatis Czech VZOR 7.65 mm, Penelitian balistik kemudian membuktikan bahwa itulah pistol yang dipakai membunuh Marcus Adler dan Ruth Lissy serta melukai George Warmuth. Dijumpai pula tengkorak yang dicuri di Flensburg. Tengkorak itu sudah licin digosok.
Selain itu dijumpai pelbagai buku saku tentang ilmu gaib, vampir, dan setan. Hofmann rupanya menganggap isinya serius.
Di kantor polisi, Hofmann yang berumur 41 tahun itu mengakui sebagian besar kejahatan yang dituduhkan kepadanya. la bahkan menambahkan sejumlah lagi yang tidak diketahui oleh polisi.
Ternyata ia putra seorang penjahat profesional. Ayahnya yang pernah dihukum 19 kali itu sering menggebuki Kuno dan kakak laki-lakinya ketika mereka masih kecil, sampai keduanya menjadi bisu tuli. Pernah kedua lengan Kuno sampai patah. Gebukan di luar batas yang diterimanya semasa kecil itu memengaruhi juga kecerdasannya. IQnya cuma 70.
la juga menghadapi masalah seksual, sampai kakak perempuannya pernah menyarankan agar ia membeli boneka karet yang dijual di sex shop untuk mengendalikan dorongan yang tidak normal.
Ternyata Hofmann bukan orang baru untuk polisi. Cuma saja bukan karena melakukan kejahatan seksual. la sering kali mencuri dan dijatuhi hukuman penjara. Kalau dijumlahkan, hukuman itu seluruhnya mencapai 9 tahun penjara.
Sebenarnya ia mampu mencari nafkah secara memadai. Hidupnya pun tidak kesepian, sebab ia mempunyai kakak laki-laki dan perempuan dan sering tinggal bersama mereka. la juga disukai oleh kaum pria rekannya bekerja.
Masalah besar yang dihadapinya adalah seks. la tidak mendapat kepuasan di rumah-rumah pelacuran, sebab yang dicarinya adalah cinta. la ingin mempunyai keluarga. Pernah ia jatuh cinta pada seorang gadis bisu tuli pula. Rencana pernikahan mereka berantakan, ketika orang tua gadis itu mengetahui Hofmann pernah masuk penjara.
Tak lama setelah itulah ia senang membaca buku-buku sihir kuno. Hofmann minum darah mayat dan berusaha berhubungan intim dengan jasad-jasad tidak bernyawa, karena ia yakin hal itu akan mengubahnya menjadi besar, kuat, dan tampan. Pria yang besar, kuat, dan tampan bisa menikah dan memiliki keluarga.
Ketika darah mayat yang sudah meninggal beberapa hari ternyata tidak mempan, ia beralih ke darah segar dengan membunuh Adler - Lissy. Waktu itu ia sedang lewat di dekat tempat mereka memarkir mobilnya. Keduanya sedang tidur. Ternyata darah mereka pun tidak mempan. la menarik kesimpulan bahwa hal itu disebabkan karena Ruth Lissy bukan perawan lagi.
Di penjara ia tetap yakin bahwa darah perawan bisa mengubahnya menjadi besar, kuat, dan tampan. Jadi ia rajin menulis surat ke pihak yang berwenang, agar sudi mengirimkannya beberapa liter darah segar yang diambil dari perawan. la tidak pernah diadili karena dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya. la dikirim ke rumah perawatan untuk penderita penyakit jiwa dan akan tinggal di sana sampai akhir hayatnya.
Sejak itu tak ada lagi kuburan dibongkar dan orang dibunuh untuk diisap darahnya. (John Dunning)
Intisari Plus - Sudah sebulan Ny. Elsie Beier mencium bau tidak sedap di dapurnya. Bersamaan dengan itu, beberapa pelacur tua mendadak hilang. Uniknya, pelacur yang hilang ini memiliki kesamaan yaitu ompong.
-------------------------
Di dapurnya yang kecil dan gelap, Ny. Elsie Beier mengendus-endus. Heran, sudah sebulan ini dapurnya bau. Cepat-cepat dijerangnya air, lalu ia menyingkir ke kamar duduk. Di sini pun agak bau, tetapi cuma samar-samar, sehingga bisa tertahankan.
"Wah, si Heinz mesti ditegur lagi nih," pikirnya. "Kalau ia tidak berbuat apa-apa untuk menghilangkan sumber bau ini, aku akan pindah dari sini.”
Heinz adalah pengurus rumah tua di Jl. Zeiss 74 itu. Rumah tua bertingkat di bagian Kota Hamburg yang disebut Ottensen itu dijadikan beberapa flat kecil. Heinz bertugas sebagai pengurusnya dengan imbalan sebuah kamar sempit di bagian belakang gedung.
Rumah tua memang sering berbau, tetapi uang sewanya biasanya rendah, sehingga janda berpensiunan kecil seperti Ny. Beier bisa tinggal di situ. Namun, baunya tidak seperti ini. Entah bau apa.
Tempat WTS tua beroperasi
Ny. Beier sudah tinggal di rumah itu sejak bulan Januari 1962 dan kini akhir bulan Agustus 1974. Sebetulnya ia berniat melewatkan sisa hidupnya di situ. Namun, kalau terus ada bau seperti ini ia tidak tahan. Bisa-bisa umurnya jadi pendek.
Sebenarnya sudah sejak awal Agustus Ny. Beier mengadu kepada Heinz. Heinz lantas meminta Fritz Honka, si peronda malam yang tinggal di flat atas, dan Klaus Kienzle, si tukang sapu yang tinggal di flat bawah, untuk memeriksa WC mereka. Tindakannya cuma sampai di situ.
Permintaannya entah dilaksanakan entah tidak dan Ny. Beier juga tidak tahu, apakah kedua orang yang tinggal di bagian atas dan bawah flatnya itu melakukan sesuatu untuk memperbaiki WC mereka. Yang diketahuinya hanya Honka pernah pulang membawa tablet-tablet penghilang bau.
Rupanya tablet itu, tidak mempan dan malah memperburuk keadaan, karena sekarang tercium dua macam bau yang kontras, bau aneh busuk yang memuakkan dan bau tablet.
Setelah setiap hari mengeluh tanpa digubris seorang pun, akhirnya tanggal 1 November 1974 Ny. Elsie Beier pindah dari Jl. Zeiss 74.
Di tempat baru ia harus membayar sewa lebih mahal, tetapi ia bersedia mengeluarkan jumlah itu dengan senang hati, sebab di tempat yang lama baunya sudah keterlaluan.
Tidak lama setelah ia pindah, flatnya disewa oleh seorang pelaut Norwegia bernama John Fordal. Ia tidak pernah mengeluh perihal bau dan bahkan mungkin tidak tahu kalau flatnya berbau. Soalnya, pria berumur 46 tahun itu biasanya dalam keadaan mabuk kalau sedang berada di darat.
Jangankan mencium, mendengar atau melihat pun mungkin ia serba kacau. Bagi Fordal, tempat itu cocok, karena Ottensen letaknya tidak jauh dari tempat hiburan St. Pauli yang terkenal itu, dengan Reperbahn sebagai jalan utamanya.
Di ‘pusat asmara’ itu bukan cuma banyak bar dan panti pijat dengan wanita-wanita muda dan pelaut pelbagai bangsa, tetapi juga para pelacur tua, para pelayan bar yang mabuk dan manusia-manusia lain yang membuang-buang sisa hidupnya di sana.
Dekat tempat itu juga ada Monumen Bismarck, yang ironisnya dipenuhi gelandangan mabuk pada malam hari. Para pelacur tua juga banyak di sini. Kadang-kadang mereka tidak bisa mengharapkan imbalan yang lebih dari sebungkus rokok atau segelas bir.
Kejahatan tidak jarang terjadi di daerah-daerah itu. Saling cekik atau saling gebuk sampai minta pertolongan polisi dianggap sudah lumrah. Sering kali polisi Hamburg tampak menjemput mayat dengan alat pengangkut mayat dari metal. Kadang-kadang juga dengan karung.
Tiga tahun sebelum Ny. Beier pindah, umpamanya, dua anak keluarga Ernst Schmidt yang tinggal di lantai dasar Jl. Zeiss 74 menemukan kepala manusia di sebuah halaman pabrik coklat yang sudah berhenti berproduksi. Tempat itu letaknya tiga blok dari rumah mereka.
Diperkirakan kepala itu sudah menggeletak cukup lama, namun anehnya keadaannya cukup baik dan juga tidak dimangsa tikus yang banyak di Ottensen. Polisi memeriksa halaman pabrik itu dan menemukan dua lengan, dua tungkai, dan dua payudara. Keadaannya cukup baik.
Dr. Ludwig Strauss dari Bagian Pengusutan Kejahatan di Kepolisian Hamburg merendam bagian-bagian mayat itu di pelbagai cairan kimia atau setidak-tidaknya dalam usaha mengembalikan mayat ke bentuk semula, ke bentuk yang bisa dikenali.
Digebuki dengan kaki kursi
Beberapa bulan kemudian kepala itu dipotret dan sidik jari tangan mayat bisa diambil. Walaupun wajah kepala mayat tidak bisa kembali ke bentuk semasa masih hidup, namun sidik jari mayat memungkinkan polisi mengenali korban sebagai Gertraude ‘Susi’ Braeuer yang lahir dekat Dresden pada tahun 1929.
la mengungsi dari Jerman Timur tahun 1956 dan sejak itu, kecuali selama beberapa tenggang waktu, ia menjadi pelacur berizin. Polisi memiliki sidik jarinya, karena ia pernah berurusan dengan yang berwajib akibat mabuk pada tanggal 6 Juli 1969. Ia juga sedang dicari-cari, karena melakukan kejahatan.
Pada akhir tahun 1969 diketahui ia meninggalkan profesinya untuk hidup bersama penggali sumur bernama Burkhard Stern. Mereka tinggal di Groot Osterfeld, serumah dengan ayah Burkhard Stern, yang umurnya sudah 80 tahun. Stern berniat menikahi bekas wanita penghibur itu.
Di sebelah rumah tempat mereka tinggal, hiduplah seorang penjaga pintu bernama Winfried Schuldig. Namanya aneh juga, sebab schuldig dalam bahasa Jerman artinya berdosa atau bersalah.
Tanggal 20 Januari 1970, penjaga pintu yang beratnya hampir 100 kg itu mengundang Burkhard Stern dan Gertraude Braeuer untuk minum-minum di rumahnya. Tahu-tahu Schuldig dan Gertraude bermesraan secara di luar batas di depart mata Stern.
Tentu saja Stern marah. Mereka berkelahi. Keesokan paginya Stern dijumpai remuk kepalanya di depan pintu rumahnya. Schuldig mengaku ia membela diri, sedangkan Gertraude yang sudah sadar dari mabuk mengaku menggebuki kepala Stern dengan kaki kursi yang copot.
Ketika sedang menunggu perkara disidangkan di pengadilan, Gertraude mencuri uang pensiun ayah Burkhard Stern dan menghilang. Schuldig dibebaskan dari hukuman, karena tidak ada orang yang bisa menyangkal bahwa ia membela diri.
"Akhirnya, kini kita tahu juga apa yang terjadi pada Gertraude Braeuer," kata Inspektur Frank Luders dari Bagian Penyidikan Kejahatan. "Coba periksa Schuldig, dia mempunyai alasan untuk membunuh Gertraude Braeuer." Ternyata Schuldig juga tidak tahu perihal nasib Gertraude dan tidak ada indikasi bahwa ia tahu.
Dr. Strauss tidak bisa memastikan kapan Gertraude tewas. Ia memperkirakan wanita itu dibunuh pada akhir tahun 1970, tetapi tidak dapat memastikan bulannya. "Kalau tubuhnya ditemukan, saya bisa tahu lebih banyak. Kalau seperti sekarang, saya tidak tahu sebab kematiannya," katanya.
Kemudian seorang polisi yang ditugaskan melacak menemukan seorang saksi yang bertemu Gertraude setelah tanggal 7 September 1970. Jadi, setelah Schuldig dibebaskan. Berarti tidak ada motif bagi Schuldig untuk membunuh wanita bekas tetangganya itu.
Mulai bulan Agustus 1974 polisi Hamburg mulai menerima laporan perihal wanita-wanita yang lenyap. Berbarengan dengan itu Ny. Elsie Beier tidak henti-hentinya mengeluh rumahnya bau.
Sebenarnya di masa itu wanita lenyap bukanlah masalah langka di dunia Barat. Banyak gadis remaja ketika itu meninggalkan keluarga mereka untuk hidup di komune atau untuk mencari kebebasan. Banyak di antara mereka jatuh ke dalam jaringan pelacuran.
Sebagian masuk ke bordil atau harem di Afrika Utara dan Timur Tengah. Ribuan gadis yang lenyap dan tidak pernah ditemukan lagi itu mempunyai persamaan mereka muda, cantik, dan bodoh. Namun, para wanita yang dilaporkan lenyap pada polisi Hamburg menjelang akhir 1974 itu bukanlah wanita muda atau cantik, tetapi memang bukan wanita yang cerdas.
Anna Hahn dilaporkan lenyap pada tanggal 3 Agustus 1974. Ia lahir di Thuringen tahun 1920. Ketika tentara Amerika memasuki Jerman pada akhir PD II umurnya 25 tahun. Tidak lama kemudian ia mendapat ‘pelindung’ bangsa Amerika dan sembilan bulan kemudian melahirkan putra kembar.
Ketika pria AS itu akan kembali ke negerinya, ia setuju kedua putranya itu dibawa dengan pertimbangan mereka akan lebih sejahtera hidup di sana daripada hidup bersamanya di Jerman. Maklum saat itu ia dijuluki pelacur oleh orang-orang senegaranya.
Tidak lama kemudian Anna Hahn muncul di St. Pauli sebagai pelacur berizin. Seiring dengan menanjaknya umur, kariernya merosot. Hal itu terlihat dari tarifnya. Mula-mula bayarannya senilai AS $ 25, lalu $ 10, $ 5, dan akhirnya berapa saja.
Tempat tinggalnya juga ikut berubah, dari apartemen di studio, lalu ke kamar sewaan, dan akhirnya ia terdampar di Monumen Bismarck. Karier yang menyedihkan, tetapi merupakan ciri khas dari pelacur St. Pauli itu tercatat rapi di berkas polisi bagian pemberi izin dan penginspeksi pelacur.
Menurut berkas itu pada akhir tahun 1968, Anna Hahn yang hampir berumur 49 tahun menderita pelbagai penyakit dan kecanduan alkohol. Jelas tidak lama lagi penyakit atau alkohol akan merenggut hidupnya yang menyedihkan itu.
Sebetulnya jaminan sosial di Jerman baik sekali. Kalau saja ia mengajukan permohonan untuk ditolong, ia akan diberi tempat berteduh, dirawat, diobati, diberi makanan yang baik, dan diajarkan keterampilan. Syaratnya cuma satu: berpisah dari alkohol.
Justru itulah yang dirasakan sangat berat olehnya dan oleh rekan-rekannya. Hidup rasanya terlalu berat tanpa minuman keras. Jadi, mereka lebih suka mati di bar daripada hidup di tempat yang layak.
Jadi penjaga WC
Anehnya, di bar pula terjadi mukjizat pada Anna. Beberapa saat sebelum hari Natal tahun 1970, ia bertemu dengan orang ‘sekampung’ di Bar Sarung Tangan Emas. Thomas Beuschel yang berasal dari Thüringen juga bekerja sebagai pelayan.
Umurnya 34 tahun. Orangnya kekar dan tampan. Ia membawa Anna pulang dan di rumahnya Anna mendemonstrasikan keahliannya yang diperoleh berkat kariernya yang lama dan memasakkan bebek gaya Thüringen.
Mungkin Beuschel doyan betul bebek, sebab bulan April 1971 mereka menikah. Ketika itu Anna berumur 51 tahun dan berpenyakitan. Beuschel berhasil menyelamatkannya. Namun tunggu dulu: betulkah pria tampan yang masih muda itu berhasil?
Beuschel pelayan yang baik, karena ia lekas mendapat pekerjaan di sebuah restoran yang baik di Hamburg. Ia berusaha agar istrinya mendapat pekerjaan sebagai penjaga kebersihan WC wanita. Usahanya itu berhasil.
Rupanya Anna tidak tertarik pada WC. Persenan dari para pemakai kamar kecil dibelikannya minuman keras murahan. Dalam keadaan mabuk ia bertingkah laku kurang senonoh di depan restoran. Tidak ayal lagi ia dipecat dan celakanya, suaminya juga, padahal Beuschel tidak tahu-menahu.
Setelah itu Thomas Beuschel tidak berusaha mencarikan lagi pekerjaan bagi istrinya. Anna jadi kesepian. Kalau suaminya bekerja, ia pergi ke Bar Sarung Tangan Emas. Kadang-kadang kalau Beuschel tidak mendapati istrinya di rumah, ia pergi ke bar untuk menengok apakah istrinya ada di sana, apakah istrinya sedang mabuk atau sadar.
Siang tanggal 3 Agustus ia singgah di bar itu. "Pergi sana," gumam istrinya yang sedang setengah sadar. "Tinggalkan aku sendiri." Itulah terakhir kalinya ia melihat istrinya.
Keesokan harinya istrinya tidak ada di sana. Ia mencari ke beberapa bar. Tidak ada juga. Akhirnya, ia melapor kepada polisi.
"Barangkali Anda mempunyai dugaan mengenai apa yang mungkin terjadi pada diri istri Anda?" tanya polisi yang bertugas di Bagian Orang Hilang. Thomas Beuschel kelihatan gelisah. "Sungai Elbe?" gumamnya.
Petugas merasa dugaan Beuschel itu mungkin benar, sebab sungai besar itu sering dijadikan tempat mengakhiri kebosanan hidup oleh para pelacur St. Pauli. Namun, sekali ini polisi tidak berhasil menemukan mayat Anna Beuschel di sungai maupun di darat.
Seperti kasus Gertraude Braeuer, kasus ini pun masuk ke dalam berkas Kasus Tidak Terpecahkan.
Malam Natal 1974 Frieda ‘Rita’ Roblick lenyap setelah terakhir kali tampak di Bar Sarung Tangan Emas pukul 16.00. Wanita itu berumur 57 tahun, pemabuk dan pemegang surat izin untuk bekerja sebagai pelacur.
Catatan mengenai Frieda Roblick di kantor polisi sudah banyak, karena ia jarang bisa menahan diri untuk tidak merampok pelanggannya sebelum meninggalkan mereka. Pada saat lenyap itu sebetulnya ia sedang menjalani hukuman percobaan. Jadi, ia wajib lapor pada hari-hari tertentu.
Petugas yang mencatat kewajibannya melapor itulah yang mengadu bahwa Frieda tidak muncul-muncul.
Minta bantuan ‘burung kenari’
Kasusnya pun masuk ke berkas Kasus TidakTerpecahkan, tetapi tidak lama kemudian ada yang menyodorkan berkas itu kepada Inspektur Luders dengan catatan kasus itu ada persamaannya dengan kasus Anna Beuschel, yang terjadi empat setengah bulan sebelumnya.
Kedua wanita itu sudah agak lanjut usianya dan pelacur yang sudah sangat merosot kariernya. Kedua-duanya pemabuk. Mereka bertubuh kecil dan ... ompong. Gigi penting untuk identifikasi. Kedua-duanya tampak terakhir kali di Bar Sarung Tangan Emas.
"Persamaan itu menarik, siapa tahu ada artinya," kata Inspektur Luders. Polisi yang mempunyai gagasan memberi catatan itu kepada Luders, yang tidak mengatakan apa-apa. Ia pergi membongkar berkas Kasus Tidak Terpecahkan dan kembali membawa kasus Gertraude Braeuer
"Ini juga ada persamaannya. Cuma saja wanita itu lebih muda," katanya. "Namun, ia ditemukan terakhir kali bukan di Sarung Tangan Emas."
"Atau siapa tahu di situ juga," kata Luders. "Apakah sebaiknya kita menempatkan petugas untuk memasang mata dan telinga di sana?" tanya Inspektur Luders.
"Jangan, Pak. Mereka akhirnya jadi pemabuk juga. Lebih baik minta tolong pada salah satu ‘burung kenari’ yang sudah telanjur jadi pemabuk," jawab anak buahnya. Yang dimaksud dengan burung kenari ialah para pelacur yang sering dimintai bantuan oleh polisi untuk menjadi mata dan telinga mereka di tempat-tempat semacam itu. Para burung kenari itu mendapat upah untuk keterangan mereka yang membantu polisi.
Pada bulan Januari 1975 seorang pelayan restoran terkemuka merasa agak cemas, ketika tidak melihat Ruth Schult muncul. la bukan pacar wanita itu dan sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan wanita bertubuh kecil yang umurnya 52 tahun itu. Cuma saja Ruth Schult setiap siang pasti duduk di bangku taman seberang restoran untuk memakan bekalnya berupa roti dengan sedikit sosis.
Selama bertahun-tahun wanita itu seperti bagian dari pemandangan di tempat itu pada siang hari, sehingga ketidakhadirannya terasa oleh si pelayan. "Jangan-jangan wanita itu sakit," pikirnya.
Pelayan itu tahu bahwa wanita itu bernama Ruth Schult. Jadi ketika sudah beberapa hari ia tidak muncul, pelayan itu melapor pada polisi. Polisi memberi perhatian yang lebih dari biasanya, karena Ruth Schult memiliki kualifikasi fisik maupun moral yang sama seperti korban-korban langganan Sarung Tangan Emas.
Anehnya, orang-orang yang bekerja dan biasa mengunjungi Sarung Tangan Emas seperti Anna Beuschel dan Frieda Roblick, Ruth Schult pengunjung tetap bar itu.
Diketahui Ny. Schult itu tidak mempunyai gigi asli lagi. Ia sudah memulai profesinya sebagai pelacur pada umur muda tahun 1948. Kemudian ia bertemu dan menikah dengan seorang duda kaya bernama Schult. Cuma saja karena tidak bisa mengekang diri dalam menghadapi alkohol dan bersikap komersial pada seks, ia diceraikan tidak lama setelah menikah.
Ia pun menjadi pelacur di Koln, Dusseldorf, dan kemudian kembali lagi ke St.Pauli di Hamburg. Makin lama giginya makin sedikit, sementara kariernya makin suram. Tanggal 9 Maret 1974 yang dingin ia ditangkap, karena secara demonstratif berbuat tidak senonoh di muka umum di Monumen Bismarck. Setelah menjalani hukuman singkat, ia kembali melaksanakan pekerjaannya dan berkunjung lagi ke Sarung Tangan Emas.
Beberapa hari sebelum lenyap, ia bercerita di bar itu bahwa ia tidak lama lagi akan menikmati ‘padang rumput yang lebih hijau’. Teman-temannya menafsirkan ia akan hidup bersama seorang pria.
Setelah sebulan kasusnya diselidiki, polisi menghadapi jalan buntu. Walaupun demikian, polisi cerdas yang bekerja di bawah Inspektur Luders tetap penasaran.
"Tidak mudah menyembunyikan mayat di Kota Hamburg," katanya. "Biasanya identitas jelas dari korban mengantar kita pada si pembunuh. Ini kita ketahui dengan jelas dari identitas semua korban, tetapi ...."
"Namun, kita 'kan tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati, kecuali Braeuer," kata Luders.
"Yang jelas mereka tidak akan dikirim ke Afrika Utara atau Timur Tengah. Bisa-bisa penyalurnya disate orang sana," jawab bawahannya.
Lantas dikemanakan keempat wanita itu? Apakah kasus mereka saling berhubungan?
Banyak potongan mayat
Tanggal 17 Juni 1975 lonceng-lonceng pemadam kebakaran berbunyi di Stasiun Pemadam Kebakaran Altona dan St. Pauli. Di Jl. Zeiss 74 terjadi kebakaran. Api dilaporkan tampak di flat yang disewa pelaut John Fordal di tingkat dua, pukul 03.37.
John rupanya tertidur, sementara lilin menyala terus sampai habis dan api itu menyambar ranjangnya. Pelaut itu sendiri enak saja tidur sampai sebagian ranjangnya dan peralatan lain terbakar. la terbangun karena kepanasan dan merangkak ke luar jendela sampai berhasil mencapai tangga darurat.
Ketika tiba di jalan ia masih belum sadar betul dari mabuknya. Ia didapati duduk di tepi jalan, ketika barisan pemadam kebakaran datang.
Api di flatnya cepat bisa dipadamkan, namun sudah keburu merambat ke flat yang lebih atas, bahkan sampai membakar atap. Sebagian besar atap sempat terbakar sebelum api berhasil ditaklukkan kira-kira pukul 06.30.
Seisi rumah no. 74 itu tentu saja diungsikan. Penghuni flat paling atas, Fritz Honka, saat itu sedang bekerja, sebab ia penjaga malam, sehingga anggota barisan pemadam kebakaran mendobrak pintu flatnya. Mereka tak tahu di dalam tidak ada orang.
Ketika Walter Aust yang berumur 31 tahun berada dalam kegelapan di ruang gudang di sebelah kamar Honka, ia hampir muntah, karena selain bau asap dan kain-kain terbakar, juga bau busuk. Tangannya yang bersarung memegang benda panjang hangus, yang semula dikiranya kayu.
Namun, alangkah kagetnya ia ketika di ujung benda itu ada sepatu sandal berwarna keemasan. Ia baru sadar kalau benda itu tungkai wanita.
"Mein Gott, Erwin!" teriaknya kaget memanggil rekannya. "Ada orang terkurung sampai hangus di sini. Wanita." Pemimpin barisan pemadam kebakaran, Erwin Schuen, cepat-cepat muncul bersama anak buahnya, Wilfrid Harz.
Harz menyorotkan lampu senternya. Tungkai itu cuma berupa kulit pembungkus tulang yang sudah kering, coklat, dan keriput. Rupanya seperti tungkai mumi dan baunya busuk. Sesaat ketiga petugas pemadam kebakaran itu berpandangan.
"Mestinya potongan mayat itu sudah lama ada di sini,"kata Schuen. Ia berjongkok dan menyingkapkan setumpuk kain-kainan dari sebuah sudut, sementara Harz mengarahkan lampu senternya ke sana. Di bawahnya tergolek mayat kering.
Mayat itu cuma memakai pullover warna merah anggur. Wajahnya seram, sebab bagian matanya sudah bolong, sedangkan rahangnya tidak bergigi.
"Panggil polisi, Walter," perintah Schuen. "Ini bukan wewenang kita."
Polisi segera tiba, namun sebelum itu Schuen dan teman-temannya sudah menemukan sebuah kantung plastik biru menggembung di bawah tumpukan batu bara. Kantung plastik itu meletus waktu batu bara mereka gali. Gas berbau busuk segera membuat mereka berlarian ke tangga dan berhenti memeriksa sampai bau busuk banyak berkurang.
Karena polisi mendapatkan keterangan bahwa gudang itu boleh dimasuki oleh semua penghuni rumah no. 74 dan bahwa api berasal dari flat John Fordal, pelaut itu ditahan dengan dugaan ia menyebabkan kebakaran untuk menyembunyikan pembunuhan.
Inspektur Luders dan Sersan Detektif Max Peters ikut datang dan memerintahkan penyelidikan di seluruh tingkat.
Pukul 07.45 Fritz Honka pulang dari tempat kerjanya. Saat itu polisi sudah menemukan empat mayat. Mereka menarik kesimpulan bahwa hanya Honka seorang yang bisa menyembunyikan mayat itu di sana. Di kamar Honka, polisi menemukan kartu tanda pengenal dua orang wanita, yaitu Irmgard Albrecht dan Anni Wachtmeister. Diperkirakan kedua wanita itu termasuk dua mayat yang ada di sana.
Tukang cekik
Honka terbengong-bengong melihat bekas-bekas kebakaran.
"Kami polisi kriminal. Apa yang Anda ketahui mengenai dua wanita ini?" tanya Inspektur Luders seraya memperlihatkan kartu tanda pengenal kedua wanita itu. Honka melirik kartu itu.
"Mereka pernah hidup bersama saya," katanya. "Tetapi mereka pergi dan tidak pernah kembali mengambil kartu mereka. Kalau ingin bertemu mereka, cari saja di Sarung Tangan Emas."
Luders kecewa lagi. Ia sudah yakin Honka pembunuh, tahu-tahu sikapnya sama sekali tidak memperlihatkan kesan yang menguatkan dugaan itu.
Honka ditahan juga. Sementara dokter polisi memeriksa mayat, polisi pergi menyelidiki ke Sarung Tangan Emas.
Fritz Honka, yang biasa dipanggil Fiete, dilahirkan pada tahun 1940. Bulan Juli 1971 ia merayakan ulang tahunnya berbarengan dengan pelacur bernama Erika Kynast yang genap berusia setengah abad. Ketika itu mereka hidup bersama di di rumah no. 74 tersebut.
Erika bertubuh kecil dan ompong. Karena Honka menyakiti dia, ia melawan. Honka menjeratnya dengan kaus kaki nilon sampai matanya melotot, tetapi ia berhasil menendang selangkangan bujangan itu dan kabur ke kantor polisi dengan kaus kaki nilon masih melilit lehernya.
Honka ditahan, tetapi ia menyatakan penyesalannya. Katanya, ia mabuk ketika itu. Karena peristiwa semacam itu sering terjadi di Ottensen dan St. Pauli, ia dibebaskan.
Setelah itu wanita-wanita silih berganti tinggal di flatnya. Umumnya mereka ditemukannya di Sarung Tangan Emas atau di Elbschloss Keller. Karena ia tidak kikir mentraktir minum, termasuk pada polisi, ia cukup populer di kedua tempat itu dan selalu ada wanita yang berhasil diajaknya ikut. Kebanyakan cuma tinggal dua tiga hari di flatnya.
Teman yang menginap untuk jangka waktu lama baru diperolehnya bulan April 1972. Irmgard Albrecht yang berumur 47 tahun bertubuh kecil dan ompong, biasa bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Ia bosan menyikat lantai, tetapi doyan betul minum. Ajakan Honka berarti liburan dari membersihkan rumah orang lain, selain mendapat makanan, alkohol, dan penginapan gratis. Ternyata Honka itu kejam dan pencemburu.
Irmgard Albrecht dikuncikan di kamar, kalau ia sedang bekerja atau pergi dari rumah. Irmgard sebetulnya tidak terlalu terganggu, cuma saja kadang-kadang di situ tercium bau busuk. Ketika ia mengeluh, Honka ikut mengendus-endus. "Betul bau busuk," katanya.
Jadi, ia membeli satu peti berisi beberapa kaleng obat semprot untuk menghilangkan bau. (Saat itu Ny. Elsie Beier yang tinggal di flat di bawah flat Honka belum mencium bau busuk, sebab flatnya juga lebih luas dan tidak sesumpek flat Honka).
Persis di hadapan tangga, bersebelahan dengan flat Honka, ada gudang yang bisa dimasuki siapa saja. Namun, tidak ada orang lain yang merasa perlu memakai gudang itu, kecuali Honka yang menaruh batu bara dan barang-barang yang tidak terpakai lagi di situ.
Bulan Agustus, ketika suhu udara naik, Irmgard Albrecht mencium bau lebih busuk lagi, tetapi Honka sendiri tidak peduli.
Namun, suatu malam Honka bertengkar dengan wanita lain yang diundangnya ke flat itu. Wanita itu dicekiknya, tetapi berhasil kabur untuk melapor kepada polisi. Sekali lagi Honka ditahan, tetapi dibebaskan lagi setelah mendapat peringatan keras dari polisi.
Bulan Mei 1973 hubungan Honka dengan Irmgard Albrecht putus dan wanita itu meninggalkan rumah no. 74 secara baik-baik. Katanya, ia tidak tahan bau busuk di situ.
Hampir dua tahun kemudian baru ada wanita lain yang menetap di flat Honka, yaitu Annie Wachtmeister (52), ompong, bertubuh kecil, pelacur. Saat itu tanggal 16 Maret 1975. Pada bulan Agustus 1974 polisi sudah menghadapi teka-teki lenyapnya beberapa wanita yang sudah melewati umur setengah baya, bertubuh kecil, ompong, pelacur.
Tanggal 12 Juni Annie Wachtmeister secara tiba-tiba meninggalkan flat tanpa membawa barang-barangnya. Katanya, nanti saja kapan-kapan ia ambil. Kepada setiap orang yang mau mendengarkan ocehannya di Sarung Tangan Emas, ia menyatakan bahwa ia tidak tahan karena dua hal: Honka itu kasar dan flat itu bau setengah mati.
Ia pernah mengeluh perihal bau itu kepada Honka dan pria itu membelikan obat penghilang bau, yang ternyata tidak mempan.
Dari pemeriksaan polisi diketahui tubuh yang ditemukan petugas pemadam kebakaran di bawah kain-kainan cuma terdiri atas tubuh dan bagian bawah tungkai. Lengan, paha, dan payudara ditemukan di dalam kantung plastik dalam keadaan membusuk.
Kemungkinan besar mayat itu tidak bisa dikenali. Dari empat mayat, hanya satu yang bisa langsung dikenali, yaitu tubuh tanpa lengan, tungkai, kepala, dan payudara yang dianggap sebagai tubuh Gertraude Braeuer. Seperti diketahui, kepala dan anggota badan wanita itu ditemukan di halaman pabrik coklat pada bulan November 1971.
Di atas tubuh mayat itu ada mayat lain yang tidak rusak, yang mengering dan kemudian dinyatakan sebagai tubuh Frieda Roblick. Mayat lain yang terpotong-potong dan ditumpukkan di belakang pintu dinyatakan sebagai Anna Beuschel. Fritz Honka mengaku bahwa mayat yang satu lagi ialah Ruth Schult. Wanita-wanita yang hilang dari Sarung Tangan Emas sudah ditemukan.
Menurut Honka, wanita-wanita itu ia bunuh dengan dicekik, karena tidak mau menuruti keinginannya. Mereka ortodoks, katanya. Ia mengaku pada saat itu berada di bawah pengaruh alkohol. Pemotongan mayat ia lakukan agar mudah untuk menyembunyikannya.
Fritz Honka dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
(John Dunning)
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304523/baunya-bukan-main" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265610000) } } [9]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304234" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/monyet-edan_anastasia-ereminajp-20220603020104.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Wolfgang Ihns yang hidupnya teratur itu makan siang seperti biasa, turun ke gudang bawah tanah tokonya untuk tidur siang. Ia tidak pernah bangun lagi." ["section"]=> object(stdClass)#152 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/monyet-edan_anastasia-ereminajp-20220603020104.jpg" ["title"]=> string(11) "Monyet Edan" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:01:41" ["content"]=> string(34492) "
Intisari Plus - Wolfgang Ihns yang hidupnya teratur itu makan siang seperti biasa, lalu turun ke gudang bawah tanah tokonya untuk tidur siang. Ia tidak pernah bangun lagi. Ia ditemukan tewas dengan tragis. Di sana, polisi menemukan pisang yang memperunyam pemeriksaan hingga terbesit dugaan adanya “monyet edan.”
-------------------------
Seperti biasa, tanggal 13 Maret 1973 itu Wolfgang Ihns bangun pukul 04.30, lalu pergi ke pasar induk sayur-mayur dan buah-buahan. Ketika pintu tokonya dibuka pukul 07.00, buah-buahan dan sayur-mayur segar sudah menanti pelanggan.
Wolfgang Ihns sangat rajin. Seluruh pikirannya tercurah ke tokonya itu. Beberapa toko serupa di daerah itu di Kota Hamburg, Jerman Barat, kalah bersaing dengannya, sebab pemiliknya lebih santai.
Ihns berumur 38 tahun dan istrinya, Marion, 35 tahun. Mereka mempunyai seorang putri berumur 5 tahun. Keluarga Ihns tinggal di tingkat tiga gedung yang bersebelahan dengan toko mereka.
Toko itu seperti toko-toko tetangganya, tutup mulai sekitar tengah hari sampai pukul 14.00, lalu buka kembali sampai pukul 19.00. Siang hari Marion yang sudah selesai dengan pekerjaannya di rumah, ikut membantu di toko.
Supaya bisa tetap segar melayani pembeli sampai pukul 19.00, Wolfgang Ihns biasa tidur siang. Cuma saja sejak anaknya bisa gerayangan, ia merasa terganggu tidur siang di rumah. Maka itu dipasangnya sebuah veldbed besi di sebuah sudut gudang bawah tanah di tokonya.
Bulan Maret itu udara masih sangat dingin. Salju masih berserakan di jalan-jalan dan angin yang menusuk bertiup dari laut.
Wolfgang Ihns yang hidupnya teratur itu makan siang seperti biasa, lalu turun ke gudang bawah tanah tokonya untuk tidur siang. Ia tidak pernah bangun lagi.
Pukul 14.00 Marion Ihns turun untuk membangunkan suaminya. Biasanya Wolfgang bangun sendiri. Namun kadang-kadang kalau terlalu lelah ia perlu dibangunkan. Wolfgang marah kalau dibiarkan tidur terus, sebab berarti tokonya tidak dibuka tepat pada waktunya. Ia sangat tertib dalam hal waktu buka.
Dari apartemen mereka di tingkat tiga rumah sebelah tidak ada jalan langsung untuk masuk ke toko. Jadi Marion harus turun ke jalan dulu, lalu masuk ke dalam toko lewat pintu depan. Ia berbekal kunci, sebab Wolfgang tidak pernah lupa mengunci pintu tokonya.
Namun siang itu Marion merasa heran, pintu tidak dikunci. Marion memanggil-manggil suaminya. Tidak ada jawaban. Teriakannya terdengar oleh tetangga sebelah, seorang penjual barang-barang elektronik yang baru membuka tokonya.
Sambil memanggil, Marion turun ke gudang. Sebenarnya ia jarang masuk ke gudang bawah tanah yang dalam dan tangganya sempit itu. Entah mengapa ia selalu merasa ngeri di sana. "Saya pikir Wolfgang mungkin sudah bangun dan setelah membuka pintu toko itu teringat untuk mengambil sesuatu di Gudang,” kata Marion kemudian pada polisi.
Tiba-tiba ia berhenti memanggil. Cahaya bola lampu yang telanjang menerangi veldbed tempat suaminya telentang. Tangan kanan suaminya yang terjuntai dari ranjang, tampak merah darah dan dari ujung jari-jarinya menetes cairan merah. Di lantai semen menggenang cairan sewarna.
Marion berteriak ketakutan. Ia tersandung-sandung menaiki tangga, lalu berlari ke luar toko untuk masuk ke toko sebelah. Dengan tergagap ia berkata bahwa suaminya cedera di gudang bawah tanah. "Tolong panggilkan dokter," pintanya.
Pemilik toko sebelah kaget, tetapi otaknya cukup jernih. Ia memanggil ambulans. Namun usaha pertolongan itu sia-sia. Wolfgang Ihns itu sudah tewas. Petugas ambulans menasihati Marion agar menelepon polisi, sebab kematian suaminya jelas tidak wajar.
Marion Ihns menjadi histeris, sehingga terpaksa petugas ambulans yang menelepon polisi dari radio telepon di ambulansnya. Tadinya ia juga berniat membawa Ny. Ihns ke rumah sakit, tetapi wanita itu ternyata masih bisa menguasai dirinya.
Katanya, ia harus buru-buru pulang, karena anaknya yang masih kecil sendirian saja di apartemennya. Petugas itu mengantar Marion dan memberinya suntikan obat penenang.
Siapa yang menginginkan nyawa tukang sayur?
Pada awal tahun '70-an itu kekerasan sering terjadi, sehingga polisi bagian pembunuhan repot.
Siang itu ke toko sayur Wolfgang Ihns datanglah Inspektur Wilhelm Krause dari bagian pembunuhan, ditemani oleh Sersan Detektif Peter Hartmann dan dokter ahli forensik Walter Reichauer.
Tugas mereka pertama-tama menentukan apakah betul Wolfgang Ihns korban pembunuhan, sebab tidak semua mayat yang dilaporkan sebagai korban pembunuhan benar-benar mati terbunuh.
Namun, Wolfgang Ihns rupanya memang dibunuh. Dokter Reichauer yang masih muda tetapi serius itu berkata, "Pelipis kirinya pecah. Ini luka yang mematikan. Mungkin akibat sekali pukul dengan martil yang berat atau punggung kapak.
Masih ada satu luka yang mematikan lagi, tikaman pisau besar di dada kiri, yang mungkin menembus jantung atau memutuskan beberapa pembuluh darah besar sekitar jantung."
"Dipukul kepalanya dulu, baru ditikam?" tanya Inspektur Krause yang jangkung, atletis, tampan, bercambang panjang, dan berumur 40-an itu.
"Kemungkinan besar begitu," jawab dokter. "Tidak ada tanda-tanda ia mencoba mempertahankan diri atau bahkan curiga akan diserang. Mungkin sekali pembunuhnya datang pada saat ia tertidur. Tusukan di dada tentunya dimaksudkan untuk meyakinkan diri bahwa korban benar-benar tewas."
Sersan Hartmann yang bertugas menanyai janda korban memberi laporan bahwa Wolfgang memang mempunyai kebiasaan tidur siang di veldbed itu setiap hari.
"Aneh," kata Inspektur. "Orang ini tampaknya sengaja dibunuh dengan cara cukup profesional. Namun, siapa yang mau membunuh seorang tukang sayur?"
"Mungkin para suami yang istrinya terlalu akrab dengan si tukang sayur," jawab sersan yang masih muda dan wajahnya polos itu.
"Mungkin saja," jawab sang inspektur. "Bagaimana rupa istrinya sendiri?"
"Wow!" seru sersan seraya membuat gerakan tangan yang melukiskan tubuh yang seksi. "Tetapi sekarang seperti Zombie, karena disuntik obat penenang oleh petugas ambulans."
"Apakah ia mempunyai dugaan siapa kira-kira yang menghendaki nyawa suaminya?" tanya Inspektur yang nada suaranya memperlihatkan bahwa ia tidak suka sikap main-main. Maklum ia termasuk generasi lama, sedangkan asistennya tergolong generasi baru yang senang bercanda, walaupun kerjanya baik sekali.
"Dia bilang, ia tidak bisa menduga seorang pun. Dia menyangka perampok. Katanya, sekarang banyak punk yang minum obat bius. Mereka siap membunuh, walaupun hanya untuk mendapat sedikit uang, yaitu kalau sedang ketagihan di saat tongpes."
"Dugaannya sangat beralasan, tapi biasanya pecandu obat bius tidak mampu melaksanakan pembunuhan seapik itu. Sudah kau periksa kasa di toko?"
"Saya periksa sekarang, Pak."
Laci kasa ternyata penuh uang hasil penjualan tadi pagi. Ihns tertib menyimpan bon-bon transaksinya untuk keperluan pajak, sehingga dengan mudah polisi menentukan bahwa tak satu pfennig pun yang hilang.
Barang lain pun tak ada yang hilang. Malamnya, ketika Marion sudah tidak berada di bawah pengaruh obat bius lagi, ia diajak sersan detektif ke gudang bawah tanah untuk memeriksa kalau-kalau ada barang yang hilang. Menurut Marion, seingat dia tak ada benda yang lenyap.
"Tambah misterius lagi," kata Inspektur.
Tidak punya pacar
Menurut hasil autopsi keesokan paginya, Ihns diperkirakan meninggal sekitar pukul 13.45. Petugas sidik jari sibuk sebab di toko dan di gudang ditemukan 172 sidik jari yang berlainan, belum termasuk sidik jari Ihns suami-istri. Maklum toko sayuran.
Beberapa di antara pemilik sidik jari itu tercatat pernah melakukan kejahatan. Mereka diselidiki, namun tak ada yang dihubungkan dengan pembunuhan itu. Bukankah penjahat pun perlu belanja sayuran seperti orang Iain?
Pintu toko pun tidak dibuka dengan kekerasan. Pintu itu dibuka baik-baik dengan kunci. Atau mungkin memang tidak terkunci ketika penjahat datang.
"Namun menurut Ny. Ihns, tidak mungkin suaminya lupa mengunci pintu," lapor Sersan. la tidak akan begitu lalainya meninggalkan pintu tak terkunci, karena kasa penuh uang."
“Kini selidiki latar belakang suami-istri Ihns. Siapa musuh mereka? Apa pernah ada orang yang mengancam? Siapa tahu mereka punya pacar.”
"Bagaimana kesan Bapak tentang Ny. Ihns?" tahya Sersan.
"Wow?" jawab Inspektur, tapi tanpa nada bergurau. Asistennya jadi heran sendiri, karena atasannya yang serius itu bisa mengeluarkan pernyataan demikian. Ny. Ihns mencolok kecantikannya dan potongan tubuhnya seksi.
Penyelidikan mengenai latar belakang Wolfgang Ihns tidak menghasilkan apa-apa. la betul-betul tukang sayuran sejati. la tidak punya pacar, tidak pernah main mata dengan istri orang lain, tidak masuk perkumpulan seks.
Bahan pembicaraannya pun cuma soal selada dan kol. Kesempatan untuk bertemu kaum wanita selain istrinya sendiri, hanyalah kalau wanita itu datang berbelanja ke tokonya. Di toko yang laku itu mana mungkin ia sempat bermesraan berdua.
"Kalau begitu jandanya perlu dicurigai. Dagangan suaminya 'kan laris. Jadi, jandanya mendapat banyak warisan."
"Kenyataannya tidak," jawab Sersan. "Mereka memang mendapat penghasilan lumayan dari toko. Tetapi nilai perusahaan itu sendiri di bawah DM 10.000. Kebanyakan barang persediaan mereka cepat membusuk dan tidak seberapa nilainya. Perusahaan itu mati bersama Ihns. Ny. Ihns sudah mencari pekerjaan."
"Tambah sulit," kata Inspektur. "Tapi mungkin ia bisa menemukan suami lain yang cocok. Tarik orang-orangmu yang sedang menyelidiki Wolfgang Ihns. Suruh mereka menyelidiki jandanya. Siapa tahu ia sudah punya calon sebelum suaminya tewas."
"Yang naksir sih pasti banyak, Pak. Daftar orang yang ingin menjadi suaminya kini mungkin lebih dari setengah lusin, termasuk saya."
"Bersyukurlah kau, karena tidak termasuk yang harus diselidiki. Kalau pembunuhnya tidak mau uang, tentu ia menginginkan istri Ihns."
Ternyata Inspektur harus garuk-garuk kepala lagi, sebab Marion Ihns yang cantik itu ternyata juga tidak mempunyai kekasih. Bahkan setelah menjadi janda pun ia tidak mempunyai pacar. Tampaknya ia tidak mempunyai hubungan sedikit pun dengan pria lain, kecuali suaminya. Teman-temannya semua perempuan.
Kulit pisang
“Sayang ya, walaupun penampilannya cantik dan seksi, jangan-jangan ia wanita dingin," kata Sersan.
"Sulitnya, tak mungkin ia bisa dituduh membunuh suaminya sendiri. Orang-orang di toko sebelah melihat ia keluar dari gedung apartemennya untuk masuk ke toko tepat pukul 14.00. Mereka bisa memastikan hal itu, sebab mereka baru saja membuka toko mereka sendiri.
"Ihns dibunuh sekitar seperempat jam sebelum pukul 14.00. Kalau Ny. Ihns yang membunuhnya berarti ia harus masuk toko tanpa kelihatan orang, turun ke gudang, membunuh suaminya, membuang alat pembunuh, kembali ke apartemennya, lalu keluar lagi untuk masuk ke toko. Mana mungkin semua itu ia lakukan dalam waktu 20 menit."
"Memang tak mungkin. Kata Ny. Ihns, suaminya baru mengunci toko kira-kira pukul 13.30. Ia berada di rumah sekitar 15 menit, lalu pergi ke tokonya untuk tidur. Jadi, mungkin ia baru terlelap 5 menit ketika pembunuh mencabut nyawanya."
"Berarti pembunuh masuk ke gudang sebelum pukul 07.00, karena Ihns ada di toko sepanjang pagi sampai saat makan siang. Kalau saat itu ada orang masuk ke gudang, pasti ketahuan olehnya."
“Mungkin saja. Aku jadi teringat pada kulit pisang yang ditemukan di gudang."
Para teknisi dari laboratorium kepolisian menemukannya dan tidak tahu apakah kulit pisang itu bisa jadi petunjuk atau tidak. Kulit pisang itu terletak di lantai sebuah ceruk di gudang. Menurut hasil analisis di laboratorium, kulit pisang itu dikupas enam jam sebelum kematian Ihns.
Ketika itu dipertanyakan siapa yang mengupas dan makan pisang itu? Pasti bukan Wolfgang Ihns, sebab isi perutnya menurut hasil autopsi, tidak menunjukkan bekas-bekas pisang. Lagi pula Ihns bukan orang yang akan membuang kulit pisang di lantai gudangnya. la sangat pembersih. Lantai gudang itu tersapu bersih.
Si pembunuh barangkali lapar ketika menunggu korbannya. Namun, para ahli penyelidikan ketika itu menganggap mana mungkin calon pembunuh bisa cukup santai untuk bisa merasa lapar segala.
"Kecuali ia pembunuh profesional," kata Inspektur. "Makin lama saya makin yakin pembunuhnya profesional. Soalnya, sangat efisien, berdarah dingin. Pasti ada orang yang ingin menyingkirkan Ihns dan ia menyewa pembunuh profesional."
Sersan detektif sependapat.
"Tapi siapa yang ingin melenyapkan dia? Tak ada orang yang menarik manfaat keuangan dan manfaat lain dari kematiannya. Ia tidak punya musuh. Lagi pula tak ada bukti sedikit pun ia melakukan hubungan intim dengan wanita lain, kecuali dengan istrinya. Tak pula ada bukti bahwa istrinya pernah main mata dengan pria lain. Pembunuhnya mungkin monyet edan."
"Monyet edan?" tanya Inspektur.
"Ya, itu kulit pisang. Pisangnya siapa yang makan?"
Inspektur menarik napas panjang.
Menyadap telepon
“Bagaimana Ny. Ihns sekarang? Apa gerak-geriknya tak alpa kauikuti?"
"Tidak. Ia sekarang tinggal di Schenefeld dengan seorang gadis Denmark bernama Judy Andersen.
Mereka teman lama, walaupun gadis Denmark itu sepuluh tahun lebih muda. Ny. Ihns pindah segera setelah suaminya terbunuh dan ia sudah mencari pekerjaan, tetap belum memperolehnya. Ia tak mempunyai pengalaman lain, kecuali bekerja di toko sayur-mayur."
"Apakah ia suka pergi dengan pria?"
"Kelihatannya ia tidak mempunyai kenalan pria seorang pun. Kami mengawasinya 24 jam sehari. Ia tidak pernah meninggalkan apartemennya, kecuali untuk berbelanja bahan makanan dan melamar pekerjaan."
"Temannya, si Judy Andersen, itu dikunjungi teman-teman pria atau tidak? Ia bekerja atau di rumah terus?"
"Sejak Ny. Ihns pindah ke apartemen itu setahu kami mereka tidak pernah dikunjungi pria. Andersen itu operator derek. Gajinya lumayan. Pokoknya, lebih besar daripada gaji detektif polisi."
"Mungkin kerjanya pun lebih keras. Bagaimana rupanya? Besar?"
"Langsing, periang, manis. Mungkin saja ia membunuh Ihns supaya Ny. Ihns mau pindah ke rumahnya untuk memasakkan makanan."
"Teorimu sekali ini lebih masuk akal daripada teori monyet edanmu," jawab Inspektur. "Sudah kausadap telepon Nona Andersen?"
"Belum. Perlu, Pak? Bapak curiga kepadanya?"
"Setiap kemungkinan mesti kita selidiki. Secara statistik Ny. Ihns paling patut dicurigai. Sampai sejauh ini kita tahu bahwa ia satu-satunya orang yang paling kenal dengan suaminya. Mustahil orang yang tidak mempunyai motif sama sekali merencanakan dan melaksanakan pembunuhan terhadap orang yang hampir tak dikenalnya? Kecuali orang gila."
Sersan detektif sebetulnya sudah kehilangan harapan untuk bisa memecahkan misteri pembunuhan itu. Mereka sudah banyak membuang waktu dan tenaga tanpa hasil. Namun, karena atasannya menyuruh ia menyadap telepon, ia pun terpaksa melaksanakannya, walaupun sangsi akan ada hasilnya.
Ternyata beberapa hari kemudian ia tercengang, ketika mendengar hasil rekaman pembicaraan telepon jarak jauh yang dilakukan dalam bahasa Denmark oleh Judy Andersen dengan seorang remaja atau mungkin pria muda bernama Denny yang tinggal di Kopenhagen.
Polisi meminta jasa seorang penerjemah. Dari cara bicaranya bisa ditarik kesimpulan bahwa Denny kenal baik dengan Judy.
Percakapan itu tidak panjang. Denny menanyakan kapan ia bisa mendapatkan sisa uang. Judy menjawab agar Denny sabar, karena warisan belum bisa diterima. Begitu warisan diterima, Denny pasti akan dibayar. Denny tampaknya kurang yakin.
"Coba periksa apakah Nona Andersen akan menerima warisan?" perintah Inspektur. Ternyata tidak. Kalau begitu yang dimaksudkan dalam pembicaraan telepon itu adalah warisan Wolfgang Ihns untuk jandanya, Marion.
"Cepat hubungi polisi Kopenhagen secara resmi. Minta tolong mereka melacakkan orang yang melakukan pembicaraan jarak jauh dengan Nona Judy Andersen di Schenefeld, Hamburg, pada waktu dan tanggal yang kita ketahui. Mudah-mudahan Denny bukan menelepon dari telepon umum."
Suaranya genit
Denny ternyata menelepon dari rumahnya. Setiap sambungan telepon ke negara lain ada catatannya di kantor telepon.
Dalam waktu dua jam polisi Kopenhagen sudah mengetahui latar belakang Denny yang mereka sampaikan lewat teleks ke Hamburg. Denny Svend Pederson berumur 24 tahun.
"la bukan pacar Ny. Ihns. la pelacur," lapor Sersan Detektif Peter kepada Inspektur Wilhelm Krause.
"Pelacur? Kau maksudkan ia mempunyai wanita-wanita pelanggan? Kalau itu 'kan namanya gigolo."
"Ah, polisi Kopenhagen bilang pelacur. Pelanggannya bukan wanita, tapi kaum pria."
"Oooh! Pantas suaranya agak genit di rekaman. Ia tercatat pernah melakukan kejahatan?"
"Hanya melacur dan mencuri kecil-kecilan."
Dari hasil pemeriksaan polisi diketahui Denny yang tampan kewanita-wanitaan itu memang pembunuh Wolfgang Ihns, yaitu pria yang tak ia kenal dan yang tak pernah ia lihat sebelum hari naas itu. Ihns dipukulnya di bagian pelipis dengan bagian belakang kapak dan ditikamnya dengan pisau dapur di bagian jantung.
Itu kejahatan besar pertama yang ia lakukan dan polisi tidak memerlukan waktu lama untuk membuat ia mengaku.
Katanya, perbuatan itu ia lakukan atas suruhan Judy Andersen dengan imbalan uang. Menurut Denny, suatu kali Judy bertanya kepadanya apakah Denny perlu uang.
Denny memang memerlukannya. Judy memberi tahu bahwa di Hamburg ada pria jahat sekali yang harus dibunuh. Denny harus datang dari Denmark untuk membunuhnya. Tidak ada orang yang akan mencurigainya, sebab pria jahat itu tidak mengenal siapa pun di Denmark.
Denny Pederson setuju. Judy tidak memberi tahu nama orang yang harus dibunuhnya. Denny diberi tahu suatu alamat di Hamburg.
Ia harus datang ke sana tepat pukul 06.30, tanggal 13 Maret, dan memijat bel. Seorang wanita cantik, berambut gelap akan keluar dan memberi tahu apa yang harus ia lakukan. Begitu pekerjaan Denny selesai, ia harus segera pulang ke Denmark.
Semuanya berjalan lancar. Denny tiba di Hamburg dengan kereta malam. Ketika ia pergi ke alamat yang diberikan kepadanya, seorang wanita menyambutnya. Wanita itu kemudian ia kenali sebagai Marion Ihns.
Ketika itu Marion tidak memperkenalkan diri dan tidak menyebut hubungannya dengan korban. Denny baru tahu bahwa korban bernama Wolfgang Ihns dan Marion itu istri korban dari surat kabar.
Pagi itu Marion mengantarnya ke toko sayur-mayur di sebelah dan membawanya ke gudang bawah tanah. Ia diberi ember berisi pisau dan kapak. Marion juga menunjukkan veldbed tempat suaminya biasa tidur siang seraya memberi tahu pria itu akan datang antara pukul 13.00 - 13.30.
Denny disuruh bersembunyi. Begitu tahu calon korbannya terlelap, ia harus membunuhnya dengan memukulkan kapak ke kepala korban, lalu menikam jantung korban. Ia dipesan tak boleh salah. Pria itu mesti mati.
Denny memberi tahu Marion bahwa ia lapar, karena belum sarapan, padahal ia harus menunggu di situ sampai lewat tengah hari. Jadi Marion memberinya sebuah pisang dan dua buah apel dari toko.
Istri penjual sayuran dan buah itu mengambilkan pisang yang sudah terlalu masak dan apel yang paling jelek. Buah apel itu dimakan Denny dengan biji-bijinya, tetapi kulit pisang terpaksa dibuang.
Setelah lama sekali menunggu, Ihns turun dan begitu reban ia segera mendengkur. Denny muncul dari tempat persembunyiannya untuk melaksanakan tugasnya.
Sesuai dengan instruksi, kapak dan pisau ia taruh lagi di ember dan dibawanya naik ke toko. Pintu toko dikunci, tetapi ia sudah diberi tahu bahwa kuncinya ada di saku jas kanan korban. Kunci itu harus ia tinggalkan di lubangnya.
Denny meninggalkan toko sayur-mayur korbannya. Toko-toko di tempat itu semua sedang tutup. Ia segera pulang ke Kopenhagan dan menunggu upahnya.
Denny tidak terlalu merasa bersalah membunuh Ihns. Katanya, ia tidak kenal pada korban dan bukankah menurut Judy pria itu sangat jahat? Menurut Denny, ia perlu uang untuk hari tua. Tidak lama lagi mungkin ia tidak laku. Jadi ia perlu modal untuk membuat kafe atau bar.
Supaya bisa menikah
Pengakuan itu sudah memenuhi semua yang diperlukan oleh Inspektur, kecuali satu hal: mengapa Judy Anderson dan Marion Ihns menyewa Pederson untuk membunuh suami Marion?
Inspektur menaruh suatu kecurigaan. Namun, untuk lebih meyakinkan dirinya ia meminta rekan-rekannya di Kopenhagen menanyakan kepada Denny kalau-kalau Denny tahu motifnya.
Menurut Denny, Judy dan Marion ingin menyingkirkan Wolfgang Ihns supaya mereka bisa kawin!
Karena Denny Svend Pederson berterus terang dan bersikap kooperatif, maka tanggal 10 Mei 1974 ia cuma dijatuhi hukuman 14 tahun penjara.
Di Hamburg, tugas Inspektur Wilhelm Krause belum selesai. Memang betul Pederson yang mengayunkan kapak dan menikamkan pisau, tetapi Judy Anderson dan Marion Ihns-lah yang menyuruhnya. Merekalah pembunuh-pembunuh yang sebenarnya.
Mereka sudah ditahan sejak pengakuan Denny Pederson muncul di koran-koran. Sebelum keduanya ditahan, apartemen Judy Andersen diamat-amati. Polisi menyangka begitu tahu Pederson mengaku, kedua wanita itu akan kabur.
Diduga mereka akan memanggil taksi (karena tak mempunyai mobil) untuk pergi ke stasiun atau bandara. Dugaan polisi benar. Dari telepon yang disadap diketahui Judy memanggil taksi.
Ia tak menyebutkan tujuannya. Polisi segera mengirimkan taksi dengan seorang detektif sebagai sopirnya.
Judy Andersen keluar membawa dua koper, diikuti Marion Ihns yang menggendong anaknya dan menenteng satu koper. Mereka kelihatan terburu-buru.
Di taksi Judy menyuruh sopir taksi meluncur ke stasiun pusat. Taksi meluncur ke arah stasiun, tetapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan ke halaman markas besar polisi. Sebuah mobil preman yang sejak tadi mengikuti, ikut berhenti.
Sersan Hartmann keluar, membuka pintu taksi, dan memberi tahu kedua wanita itu bahwa mereka ditahan sehubungan dengan pembunuhan Wolfgang Ihns. Apa pun yang mereka katakan akan dicatat dan bisa digunakan untuk memberatkan mereka.
Judy Andersen minta pengacara. Marion mengajukan permintaan serupa. Kata Marion, kalau akan ditahan lama, ia ingin menelepon keluarganya untuk datang dan membawa pergi putrinya.
Permintaan-permintan itu tentu saja dikabulkan. Judy mengaku mengenal Denny Pederson, tetapi cuma kenal sekadarnya, sebab mereka kebetulan sering berkunjung ke bar-bar yang sama di Kopenhagen.
Ia menyangkal menyewa pria itu untuk membunuh. "Dari mana seorang operator derek mempunyai uang untuk mengupah pembunuh bayaran?" katanya.
Celakanya, Denny tak pernah bisa mengingat berapa bayaran yang sudah dan akan ia terima.
Marion Ihns menyatakan tak kenal pada Denny dan baru tahu ada orang yang namanya demikian dari surat kabar.
Ketika ditanya mengapa mereka kabur kalau tidak merasa bersalah, mereka menjawab bahwa mereka tidak mau diserbu wartawan yang pasti menginginkan berita dari mereka. Logis juga.
Judy dan Marion bersumpah bahwa mereka cuma kawan lama. Judy sering berkunjung ketika suami Marion masih hidup. Wajar saja kalau ia mengundang Marion untuk tinggal bersamanya setelah suami Marion meninggal. Bukankah saat itu Marion juga perlu menghemat uang sewa?
Ditemani polwan judes
Polisi memang mempunyai cukup wewenang untuk memanjangkan waktu pemeriksaan. Tetapi kedua wanita itu konsekuen pada keterangan mereka yang logis, yang rupanya sudah mereka siapkan lebih dulu.
Mereka menyangkal semua dan polisi tak bisa membuktikan apa-apa. Polisi mengira kalau hasil pemeriksaan mereka cuma mencapai taraf seperti sekarang ini, kemungkinan besar kedua wanita itu dibebaskan oleh pengadilan.
Inspektur Krause tahu bahwa orang-orang lesbian sangat pencemburu, kadang-kadang melebihi orang-orang heteroseksual, sebab hubungan mereka yang tak bisa dikukuhkan secara legal membuat mereka lebih merasa tak aman. Ia bermaksud memanfaatkan kelemahan ini.
Judy Anderson dan Marion Ihns ditahan di seksi yang berlainan, tetapi di gedung yang sama. Secara teoritis mereka tidak mempunyai kesempatan berkomunikasi.
Namun, Inspektur tahu cuma sedikit penjara di dunia yang keamanannya begitu kuat, sehingga kemungkinan berkomunikasi bisa ditiadakan. Kamar-kamar tahanan di kepolisian Hamburg jelas tidak termasuk salah satu di antaranya. Sekali ini bahkan Inspektur berniat untuk membuatnya lebih tidak ketat lagi.
Para polwan yang ditugaskan menjaga bagian yang ditempati Judy dan Marion diganti dengan yang lebih muda, lebih cantik, dan mereka juga diperintahkan agar menaruh lebih banyak simpati pada kawan sejenis.
Tak lama kemudian para polwan ini mendapat titipan surat. Surat-surat gelap itu cepat-cepat difotokopi sebelum diserahkan ke tujuan. Namun, Judy dan Marion tidak ikut main dalam surat-suratan.
"Baiklah! Kita maju selangkah lagi," kata Inspektur. Ia menempatkan seorang tahanan palsu, yaitu seorang polwan yang jauh dari cantik dan yang setahun lagi akan mencapai usia pensiun di sel Marion. Biasanya polwan itu lemah lembut. Kini ia diperintahkan agar berlaku sejudes mungkin.
Judy sebaliknya, mendapat teman sesel Inge Schultz, seorang tahanan lesbian berumur 15 tahun. Ia bukan polisi, tetapi ingin membantu polisi supaya hukumannya melakukan sejumlah kesalahan kecil diringankan.
Setiap kali Marion Ihns dipanggil untuk pemeriksaan, ia diajak melewati sel yang ditempati Judy Andersen bersama Inge Schultz.
Seminggu tidak ada hasilnya. Tahu-tahu tanggal 10 Juli Marion Ihns menulis: "Aku sudah melakukan segalanya untukmu. Aku mohon jangan lagi kau berhubungan dengan Inge. Aku sudah mengorbankan semuanya untukmu. Ingatlah pada cintaku. Tulislah surat. Aku akan bunuh diri kalau kau meninggalkan aku. Aku tidak tahan lagi ...."
" Bagus! " kata Inspektur, "mengakunya sih cuma teman biasa, padahal ... ."
Disebarkanlah kabar perihal kelakukan tak pantas Nona Andersen dengan Nona Schultz di lingkungan tempat tahanan. Mereka memang berlaku tidak senonoh. Kabar itu tiba ke telinga Marion Ihns, tetapi ia tak percaya, karena dalam surat balasannya Judy bersumpah hubungannya dengan teman seselnya dingin dan formal. Isi suratnya lebih hati-hati daripada surat Marion.
Karena merasa surat-surat mereka lolos dari perhatian yang berwajib, Marion lebih terbuka lagi. Ketika itu sudah empat bulan mereka ditahan. Dari isi surat-suratnya jelas Marion sangat mencintai Judy. Ia tidak cukup hati-hati seperti Judy. Dari suratnya terungkap bahwa Judy bertanggung jawab atas pembunuhan Wolfgang Ihns.
Lama-kelamaan Marion tidak tahan menghadapi kabar-kabar perihal ketidaksetiaan Judy yang berbulan madu di sel dengan Inge Schultz. Ia meminta diperbolehkan bicara dengan Inspektur, namun ada hal mencengangkan yang tak ia diduga-duga.
Judy Andersen, kata Marion, adalah suaminya. Mereka menikah di Denmark delapan bulan sebelum Wolfgang Ihns dibunuh. Pengakuannya direkam. Ketika rekaman diputar di hadapan Judy Andersen, ia mengaku bahwa semua keterangan Marion Ihns benar, kecuali bahwa bukan Judy yang ingin Wolfgang dibunuh, melainkan Marion. Judy mengaku cuma jadi perantara dengan meminta jasa Denny Svend Pederson.
Cinta antara Judy Andersen dan Marion Ihns ternyata tidak bertahan. Mereka muncul di pengadilan sebagai dua orang yang saling membenci, karena merasa dikhianati orang yang dicintainya.
Tanggal 2 Oktober 1974 kedua-duanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
(John Dunning)
" ["url"]=> string(56) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304234/monyet-edan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654264901000) } } [10]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3258519" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/dua-lelaki-dan-anjingnya_go2afri-20220428081944.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Selama Perang Dunia II, dua ahli geologi Jerman bersembunyi di belantara Gurun Pasir Namib. Tujuan mereka—sekadar bertahan hidup." ["section"]=> object(stdClass)#156 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/dua-lelaki-dan-anjingnya_go2afri-20220428081944.jpg" ["title"]=> string(24) "Dua Lelaki dan Anjingnya" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-28 20:20:05" ["content"]=> string(23096) "
Intisari Plus - Selama Perang Dunia II, dua ahli geologi Jerman bersembunyi di belantara Gurun Pasir Namib. Tujuan mereka—sekadar bertahan hidup.
----------------------
Tampaknya dunia akan gila. Ketika itu tahun 1940, Perang Dunia II baru saja meletus, dan tentara Jerman berada di seantero Eropa. Nun jauh di Afrika, dua warga Jerman, Henno Martin dan Hermann Korn, mendengarkan berita di radio dengan ketakutan. Hawa panas peperangan itu bahkan dapat dirasakan sampai di Windhoek, ibukota Namibia, tempat mereka menetap.
Warga Jerman ditangkapi, khawatir kalau dianggap anggota Nazi, kemudian dijebloskan di kamp tawanan. Mungkin saja giliran Henno dan Hermann tidak lama lagi tiba ....
Suatu sore, di beranda, Henno dan Hermann berpikir keras. Mereka adalah ahli geologi dan tidak mau terlibat dalam peperangan yang tidak beralasan dan menumpahkan darah. Mereka pun tidak terima jika mereka ditawan hanya karena berwarga negara Jerman.
"Kau tahu apa yang dapat kita lakukan," kata Hermann dengan suara pelan.
"Apa?" tanya Henno penasaran.
"Kita selalu bilang jika perang meletus, kita akan bersembunyi di gurun."
Henno menatapnya. Benar—mereka pernah mengumbar lelucon itu. Tapi, bisakah mereka melakukannya? Mereka tidak tahu sampai kapan perang akan berakhir, mungkin saja berlangsung tahunan.
"Bagaimana dengan Otto?" tanya Henno.
"Otto?"Hermann memandang anjing mereka, yang balik menatap seperti biasa dengan mata berbinar dan ekor yang dikibas-kibaskan. "Tentu kita akan mengajaknya."
Sepanjang perjalanan ke gurun, Otto menjadi teman setia mereka. Sampai saat itu, tak ada alasan untuk mengurungkan niat mereka ke gurun. Keputusan segera diambil. Mereka memuati truk dan berangkat. Gurun Pasir Namib menawarkan banyak tempat persembunyian. Mereka mempercayakan nasib baik mereka pada gurun yang ganas itu sampai perang usai.
Dalam empat hari, mereka sudah mengumpulkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Mereka membawa makanan pokok—makanan kering dan makanan kaleng, teh, kopi, gula pasir, dan selai, ditambah dengan perbekalan mewah seperti cokelat dan brandy. Mereka membawa beberapa peralatan dapur—pisau yang tajam dan belanga.
Mereka perlu kantung tidur, selembar terpal, dan beberapa lembar pakaian; Hermann dan Henno menambahkan peralatan jahit dan perlengkapan P3K. Untuk truk, mereka butuh banyak bahan bakar, suku cadang, dan perkakas. Apa lagi?
"Biolaku," kata Hermann dengan tegas. "Aku tak akan meninggalkannya."
Yang terpenting dari semua perlengkapan itu adalah radio dan senjata. Melalui radio mereka bisa mendengar berita penting dari dunia luar dan perkembangan perang. Radio menyala dari baterai di truk dan akan mengabarkan saat yang aman untuk keluar dari gurun, sementara senjata adalah nyawa mereka.
Cadangan makanan harus dijatah dengan cermat, dan mungkin tidak akan cukup untuk menghidupi mereka. Jika ingin bertahan hidup, mereka harus berburu. Senapan adalah alat berburu yang terbaik, sayangnya semua sudah disita pada awal perang. Mereka hanya memiliki sepucuk senapan laras panjang dan pistol—tidak ideal, tapi harus berfungsi.
Dengan truk sarat muatan, mereka bergerak sepanjang rute yang mereka ketahui sulit ditelusuri. Tidak banyak orang kulit putih yang mengenal gurun pasir sebaik mereka. Mereka berjalan menuju sebuah ngarai rahasia di jantung Gurun Pasir Namib.
Gurun Namib membentang di sebelah barat Namibia, sebuah daratan yang panjang berbatasan dengan laut. Bagian utara pantai itu dikenal dengan nama Skeleton Coast (Pantai Kerangka). Nama itu berasal dari korban kecelakaan kapal laut di masa lalu—mereka yang beruntung mencapai pantai tapi tidak menemukan air dan makanan untuk bertahan hidup, akhirnya tewas di gurun pasir yang kejam.
Sebagian gurun terdiri dari beberapa bukit pasir yang amat menakjubkan di dunia, bergelombang naik dan turun dalam corak warna kuning tua dan oranye. Bukit pasir ini memberi sedikit tempat bernaung atau kehidupan bagi kedua pelarian ini, sementara daerah lain bercadas dan dialuri ngarai yang dalam. Di sini, terdapat mata air—dan bila ada air, berarti ada kehidupan.
Dengan truk, Henno dan Hermann menempuh rute berbahaya, menerobos ke puncak ngarai Kuisib. Di situ, mereka berhenti dan mengamati pemandangan—sebuah bentangan darat yang sepi dan liar dengan batu-batu cadas menjulang dan jurang kecil yang dalam, tebing terjal, dan—jauh di bawah—palung ngarai berpasir.
"Mereka tidak bakal menemukan kita di sini," ujar Hermann.
Lega rasanya menyadari hal itu, tapi juga sedikit menakutkan. Tempat ini seluruhnya belantara, hewan paling kuat sekalipun harus berjuang untuk bertahan hidup. Bagaimana mereka yakin bisa mengatasinya?
Sudah terlambat untuk kembali. Henno dan Hermann meninggalkan truk di atas jurang, lalu menelusuri jejak zebra ke dalam ngarai, mencari air dan tempat tinggal. Palung sungai kering menandakan hujan tidak turun pada tahun itu. Tapi, masih terdapat cukup mata air.
Yang menggembirakan mereka, ada ikan di salah satu kolam mata air—ikan mas yang gemuk dan sehat. Hermann berhasil menangkapnya dengan tangan kosong. Itulah tangkapan pertama! Mereka segera membuat api unggun, memasak, dan menyantapnya.
Mereka terus menyusuri ngarai hingga tiba di semacam gua, sebuah batu cadas menggantung yang memberikan perlindungan memadai. Hermann dan Henno memutuskan gua itu menjadi rumah mereka.
Selama dua hari berikutnya, mereka mengeluarkan bekal dari truk, dan menjadikan gua itu senyaman mungkin. Selanjutnya, mereka menyembunyikan truk di bawah sebuah tebing yang menggantung sehingga tidak terlihat dari udara.
Henno dan Hermann merasa sangat lapar. Mereka telah menghabiskan sebagian bekal pasta, tapi tidak mau makan lagi. Setiap hari mereka menjatahkan secangkir terigu untuk sarapan pagi, yang dicampur dengan air dan satu sendok teh selai. Selain itu, tidak ada lagi yang dapat dikerjakan kecuali mencari makanan lebih banyak.
Menangkap lebih banyak ikan adalah jalan keluar yang nyata, meski tak mudah. Keberuntungan mereka pada hari pertama tidak terulang lagi. Henno dan Hermann membuat alat pancing dengan kabel, tapi mereka hanya mendapat katak. Lalu, dengan perut keroncongan, mereka memutuskan berburu. Perjuangan untuk bertahan hidup pun dimulai.
Dalam perjalanan ke ngarai, mereka mendapati jejak kawanan ternak liar—seekor banteng jantan, seekor lembu, dan anak sapi. Yang lebih menyenangkan, tak lama kemudian mereka melihat seekor banteng jantan sedang merumput di dasar ngarai. Tapi, bagaimana bisa mendekat untuk menembak?
"Aku akan kembali kemari dengan Otto dan senapan," kata Henno. "Kau terus siap dengan pistolmu. Bau badanku akan menggiring banteng jantan itu ke arahmu."
Ide yang bagus. Henno beranjak dengan hati-hati, tak ingin mengusik makhluk besar ini. Ia merangkak lebih dekat, dan semakin dekat ... Kemudian banteng jantan itu menengok. Sapi itu memandang Henno dan menyerang. Henno menembakkan senapan langsung ke wajah sang banteng. Banteng itu tetap maju.
Pada menit terakhir, Henno melompat ke bukit bercadas, keluar dari kejarannya. Banteng jantan itu menatapnya. Peluru kecil yang dilontarkan dari senapan Henno (yang biasanya dipakai untuk perburuan ringan seperti berburu burung) sedikit menggoresnya.
Tapi, sekarang Hermann berlari dan menembak dengan pistolnya. Peluru itu mengenai belakang telinga banteng, dan hewan besar itu pun terkulai ke tanah seperti batu.
"Sudah mati?" tanya Hermann terengah-engah.
Henno menyambit kepala banteng jantan itu dengan batu, hanya untuk memastikan. Secepat itu pula, banteng kembali berdiri tegak—benar-benar hidup! Sekarang, Otto—sangat girang—menyergap banteng itu dan mencengkeram hidungnya. Hermann mendekat, dan menembak dahinya. Tak ada pengaruh. Sang banteng cuma menggoyang-goyangkan kepalanya, sambil melempar Otto ke udara.
Otto kembali berdiri tapi kini ia menyeringai. Berburu tidak seasyik perkiraannya. Sekali lagi Hermann menembak belakang telinga banteng itu. Seperti sebelumnya, tembakan itu membuatnya kelengar dan terjatuh ke tanah lagi—hanya bangun bila sudah pulih.
Sekarang jelas si banteng makin lemah, hanya dapat memandang Hermann dan Henno dengan kesal. Mereka kelelahan dan kehabisan peluru karena tidak menyangka akan menjalani pertempuran sesengit itu.
"Kita harus pulang dan mengambil peluru lagi," ujar Hermann. "Dan merencanakan cara menghabisinya."
Henno mengangguk. "Kita juga harus membawa kantung tidur, dan segala sesuatu yang diperlukan. Banteng itu terlalu besar untuk diseret ke gua. Kita harus tinggal di sini sampai habis memakannya."
Mereka tertatih-tatih kembali ke gua, mengambil pisau, tali, kuali, dan alat-alat lain. Banteng jantan itu sekarang terkulai, tapi tetap berjuang untuk bangun dan menyerang lagi sewaktu Henno dan Hermann mendekat. Dua peluru lagi masih belum bisa mematikannya.
Mereka tahu, mereka harus jantungnya. "Tapi, di mana letak jantung makhluk sebesar itu?" tulis Henno kemudian. "Baik Hermann atau aku belum pernah menyembelih lembu jantan dan kami tidak tahu caranya ... Ketika itu, Hermann dan aku agak terguncang. Peristiwa ini mengejutkan, dan kami jadi malu karena tidak mampu membereskan persoalan ini."
Akhirnya, mereka punya ide untuk mengikatkan seutas tali di sekeliling tanduknya dan mengikatkan tali itu ke sebatang pohon, sehingga banteng itu tidak dapat bergerak. Kemudian, dengan rasa lega yang luar biasa, mereka menebas tenggorokannya.
Malam itu mereka melahap daging. Tapi, setelah itu mereka harus mulai mengawetkan sisa daging banteng itu. Daging cepat membusuk di bawah terik matahari. Mereka pun memotongnya, tapi tak satu pun peluru menembus tengkorak keras makhluk itu. Hermann dan Henno memotong daging menjadi irisan-irisan tipis untuk dikeringkan, menjadi biltong, sebutannya di penjuru Afrika Selatan.
Sisa daging harus diasapi di atas api kecil. Teknik itu cukup rumit sehingga kedua pria itu harus berusaha berkali-kali sebelum berhasil. Selanjutnya daging banteng liar itu menjadi hidangan sarapan pagi, makan siang, dan makan malam pada hari-hari selanjutnya.
Membunuh banteng jantan adalah kesulitan utama dan pertama yang mereka temui ketika berburu. Mereka segera tahu bahwa pembunuhan seperti itu merupakan cara hidup yang brutal dan putus asa. Dengan sumber daya yang terbatas, mereka harus memikirkan kepentingan sendiri dan tidak bisa bersikap belas kasih.
Sering kali, peluru mereka hanya melukai seekor hewan, dan mereka harus menyeret hewan itu berjam-jam untuk menghabisinya. Terkadang sang hewan benar-benar kabur. Bila si hewan terluka cukup parah, Henno dan Hermann hanya perlu menunggunya sampai melemah dan terkulai. Mereka tidak boleh membuang-buang peluru yang berharga agar sang hewan mati dengan bersih dan cepat.
Makan daging terus-terusan segera jadi membosankan, dan mereka berusaha mencari cara baru untuk menangkap ikan mas di kolam mata air. Akhirnya, mereka menemukan ide cemerlang untuk membuat jaring dari batang tanaman tamarisk dan celana dalam, yang kemudian mereka jadikan semacam pukat yang diletakkan di air di antara mereka. Usaha itu berhasil—dan untuk sementara, mereka memiliki banyak ikan untuk makan malam.
Tapi, kolam mata air itu lama-kelamaan mengering. Jelas, sumber makanan ini tidak akan tersedia selamanya. Lebih-lebih mereka memergoki ada pihak lain yang memanfaatkan kolam itu. Ikan mas di kolam itu dijarah pada malam hari. Jejak kaki menunjukkan pelakunya—seekor hiena.
Henno kesal. "Aku tak akan membiarkan hiena menjarah ikan kita!" cetusnya. "Aku akan mengintai dan menembaknya."
"Jangan bodoh," ujar Hermann. "Jika kau berada di sekitar sini, ia akan mengendusmu. Dan bagaimana pun, kau tak bisa menembaknya dalam gelap."
Tapi, Henno nekat. Ia mengambil kantung tidurnya menuju kolam mata air dan berdiam di situ menunggu. Pada malam pertama, tak terjadi apa-apa. Paginya Henno kembali ke gua dengan tangan hampa.
Hermann menyambutnya dengan senyum mengejek serta secangkir kopi. Hermann jelas tidak menyangka temannya itu akan berusaha lagi. Tapi Henno jengkel karena sikap Hermann. Ia pun kembali berjaga pada malam berikutnya.
la baru tidur sejenak sewaktu mendengar lolongan hiena yang menakutkan dari dekat. Ia menggapai senapan sewaktu hiena terus melolong dan mengaum. Mengerikan; tidak ada hewan lain di gurun pasir yang bersuara seperti itu. Tapi, cuma suara itu yang diperlukan Henno. Meskipun ia tidak dapat melihat makhluk seram itu, ia cuma mengarahkan senapan ke asal suara. Yang menggembirakannya, lolongan itu terhenti dan berganti dengan tangis kesakitan.
"Kena kau!" pikirnya, dan Henno meringkuk kembali di kantung tidurnya, lalu mendengkur sampai pagi hari.
Siang harinya, ia bangun dan mengamati tempat itu. Terdapat jejak yang ganjil, yang menunjukkan hiena tersebut tidak bisa lagi menggunakan kaki belakangnya. Ia mereka-reka seberapa jauh hiena itu dapat menyeret badannya. Henno mengikuti jejak tersebut sampai akhirnya ia menemukan hewan itu gemetar ketakutan di bawah pohon akasia.
la tidak mau menyia-nyiakan sisa pelurunya. Sebagai gantinya, Henno mulai memukuli belakang kepala hiena dengan batu-batu. Sebuah perjuangan lagi yang panjang dan mengerikan sebelum sang hiena akhirnya rubuh. Lelah, tapi entah bagaimana ia merasa menang. Henno menguliti hiena itu dan membawa kulitnya ke gua. Kali ini Hermann tidak menertawakannya.
Hari-hari berlalu, merajut satu sama lain. Henno dan Hermann mengamati musim yang berganti, dan harus membuat penyesuaian. Kolam ikan mas mereka mengering, dan mereka mulai menderita sakit kepala karena kekurangan vitamin.
Mereka sadar, untuk mengatasi hal itu, mereka perlu minum darah lebih banyak dan makan daging mentah. Mereka menjadi kreatif. Mereka membuat sosis dari darah gemsbok dan memakai ususnya sebagai kulit.
Hermann dan Henno juga mulai kehabisan garam dan air—dua unsur penting untuk bertahan hidup. Seperti hewan-hewan di sekelilingnya, mereka pun harus berpindah untuk mencari kedua unsur itu.
Rezeki tak akan mendatangi mereka di gua. Maka, mereka pun berjalan melalui ngarai yang tandus, di menahan rasa dahaga dan lapar, sampai menemukan cadangan garam dan mata air tawar.
Dalam salah satu pencarian itu, mereka beristirahat sejenak di bawah batu cadas untuk meneduhkan diri. Tanah yang mereka duduki dipenuhi kutu pasir, karena sebelum mereka duduk di situ sudah banyak hewan berada di tempat itu.
"Menurutku, aku baru saja digigit kutu," kata Hermann tiba-tiba sambil menggoyang-goyangkan tangannya. Kutu itu menggigit telapak tangannya—tidak mengejutkan, di lingkungan seperti itu. Tapi, dalam beberapa detik, ia mulai melunglai.
"Hermann!" seru Henno merasa khawatir sewaktu Hermann terkulai ke tanah. "Kau tidak apa-apa?"
"Kepalaku ..., "Hermann merintih. Henno memandangnya. Dari sekujur tubuh Hermann keluar bercak yang aneh. Henno segera mencari-cari kutu yang telah menggigit Hermann.
"Lihat ini!" Henno berseru, sewaktu menemukannya. Kutu itu penuh dengan darah yang sudah menghitam dan lama. Darah Hermann jelas keracunan akut karena gigitan itu—dan ia tidak dapat melihat apa pun. Ia muntah banyak.
"Aku tidak bisa melihat," ia berguman. "Aku buta."
Karena panik, Henno mengiris gigitan kutu itu dan membubuhkan sedikit kalium permanganat (semacam antiseptik) ke dalam lukanya. Tak ada lagi yang dapat ia lakukan. Hermann hampir tidak bisa berdiri, dan sekarang nyaris buta, tapi Henno menggiringnya ke gua kecil di dekat situ. Mereka menghabiskan sisa hari dan malam di sana, menunggu racun surut.
Belum sampai petang berikutnya, Hermann merasa cukup kuat untuk bergerak lagi. Musibah itu merupakan kejadian menakutkan, yang menunjukkan betapa rapuhnya kehidupan mereka di alam belantara.
Sewaktu musim demi musim berlalu perlahan-lahan, keberuntungan mereka pun berubah. Saat kering, mereka terpaksa meninggalkan rumah pertama mereka untuk mencari air; mereka menetap di beberapa tempat, berkemah di tempat yang tersedia cukup air untuk mempertahankan hidup.
Ada juga saat kelimpahan setelah hujan musiman, yang mengembalikan kehidupan gurun pasir secara dramatis. Henno selanjutnya menceritakan kekuatan dahsyat banjir bandang, dan pemandangan indah saat empat ribu ekor springbok merumput bersama-sama setelah hujan.
Otto melalui semua peristiwa itu bersama mereka. Anjing itu tak pernah lelah berburu, meskipun dua kali diseruduk tanduk gemsbok. Ia mempelajari cara bertahan hidup seperti halnya manusia, dan Henno serta Hermann dibuat takjub oleh cara hewan-hewan, bahkan hewan peliharaan, beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang berubah.
Namun, secara keseluruhan, Hermann dan Henno melemah, dan terus-menerus merasa lapar. Sewaktu musim kering kedua datang menyengat, mereka merasa terlalu lemah untuk berburu.
Mereka putus asa. Suatu hari, seekor tokek sedang melata, dan Henno menyergapnya. Ia menangkap ekornya saat setengah badan tokek itu masuk ke dalam batu cadas. "Daging tokek itu memberi kami dua porsi hidangan enak," tulis Henno. "Dagingnya kenyal dan putih, rasanya campuran antara daging ayam dan ikan salmon."
Tak lama, Hermann mulai jatuh sakit parah. Ia menderita nyeri punggung, yang bertahap menyebar ke tungkainya, dan akhirnya ke leher dan kepalanya. Henno berusaha keras untuk merawatnya, menembak hewan buruan segar, yang mereka makan mentah-mentah. Tapi, tampaknya tak ada yang menolong.
Hermann jelas perlu ke dokter. Ia tak mampu berburu lagi, dan bahkan hanya bisa merangkak. Hanya ada satu yang dapat mereka lakukan, meninggalkan gurun pasir, meskipun mereka sudah penat. Dengan berat hati, Henno mempersiapkan truk dan berjalan melalui jalan yang tandus kembali ke Windhoek.
Henno tidak menyerah begitu saja. Ia mengantar Hermann dan kembali lagi ke gurun pasir bersama Otto. Tapi, teman-teman membujuk Hermann untuk mengatakan tempat persembunyian Henno, dan tak lama polisi menemukannya.
Seperti yang sudah mereka duga, kedua warga Jerman itu ditahan di penjara; tapi sebentar. Mereka dipindahkan ke rumah sakit, tempat Hermann mulai pulih dari sakitnya. Ia menderita kekurangan vitamin B.
Selanjutnya keduanya harus menghadapi persidangan. Mereka dikenai banyak dakwaan, besar dan kecil, termasuk tidak membayar perizinan anjing mereka. Tapi mereka beruntung. Petualangan Hermann dan Henno sedemikian luar biasa sehingga mereka bebas dari hukuman dengan sedikit denda.
Tragisnya, setelah benar-benar sembuh, Hermann Korn tewas dalam sebuah kecelakaan mobil, tahun 1946. Otto hidup selama beberapa tahun, kemudian menghilang secara misterius. Henno Martin melanjutkan hidup di Namibia, dan menulis buku tentang perjuangan dua setengah tahun mereka di Gurun Pasir Namib. Buku itu berjudul The Sheletering Desert. Cerita ini ditulis berdasarkan kisahnya.
(Gill Harvey)
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258519/dua-lelaki-dan-anjingnya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177205000) } } [11]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246990" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/21/10_thumbnail-intisariplus-sejara-20220421060644.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Bogdan Stashinsky adalah seorang anggota komunis dan pembunuh terbesar dari Uni Soviet. Perjumpaannya dengan seorang wanita telah mengubah segalanya." ["section"]=> object(stdClass)#160 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/21/10_thumbnail-intisariplus-sejara-20220421060644.jpg" ["title"]=> string(31) "Ada Apa dengan Cinta Mata-Mata?" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:56:24" ["content"]=> string(8048) "
Intisari Plus - Bogdan Stashinsky adalah seorang anggota komunis dan pembunuh terbesar dari Uni Soviet. Perjumpaannya dengan seorang wanita telah mengubah segalanya.
---------------------------------------
Sesuatu yang luar biasa terjadi. Pada 12 Agustus 1961, Bogdan Stashinsky, pembunuh terbesar Uni Soviet di masa Perang Dingin, datang ke Markas Besar Kepolisian Jerman Barat untuk menyerahkan diri. Malam itu juga, Stashinsky ditanyai oleh sebuah tim yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dinas intelijen. Cerita yang diungkapkannya malam itu bukanlah yang terhebat.
Stashinsky dilahirkan di Ukraina, 1931, ketika Ukraina masih menjadi bagian Uni Soviet. Banyak warga Ukraina yang menginginkan kebebasan dan berjuang melawan peraturan Soviet. Di antara mereka juga ada anggota keluarga Stashinsky, Tapi Bogdan berbeda. Dia bergabung dengan komunis, dan untuk menunjukkan dedikasinya dia menyerahkan saudara-saudaranya.
Para penguasa terkesan, dan Stashinsky direkrut oleh KGB, dinas intelijen Uni Soviet. Setelah menjalani pelatihan selama dua tahun, dia mendapatkan berbagai tugas penyamaran untuk mengejar orang-orang antikomunis di negara jajahan Soviet di Eropa Timur. KGB mengawasi kemajuan anggota baru mereka dengan senang. Dia dinilai cukup baik untuk mendapat tugas-tugas yang dianggap sangat berisiko. Tahun 1957 dia menerima tugas yang sangat sesuai dengan kemampuannya pembunuhan terhadap pemimpin perlawanan Ukraina, Lev Rebet.
KGB menyebut Rebet sebagai "Rubah yang Licik" dan dia adalah lawan yang hebat. Hanya sedikit hal yang diketahui tentang dirinya. Informasi yang harus dikembangkan Stashinsky adalah bahwa Rebet menjalankan kelompok perlawanannya itu dari Munich, sebuah wilayah yang berada di Jerman, di luar kekuasaan Uni Soviet. Markas rahasianya berada di sebuah gedung yang disebut 'bunker'. Rebet adalah sosok dengan sikap yang sangat berkuasa, berjalan dengan cepat, berkacamata, dan menyembunyikan kepalanya yang gundul di bawah topi baret. Dia menjalankan organisasinya dengan tangan besi. Siapa saja yang diduga menjadi mata mata Soviet akan ditembak mati tanpa ragu.
Dengan tenang. Stashinsky terbang ke Munich dan siap menjalankan tugas. Dia mulai mencari tahu tempat pertemuan para pelarian Ukraina, dan dalam beberapa hari dia yakin telah dapat mengidentifikasi Rebet, Sekarang yang harus dilakukan adalah membunuhnya.
Senjata yang akan dipakai Stashinsky adalah sebuah produk baru pengembangan dari pistol gas. Senjata ini berupa tabung dari logam ringan untuk menyemprotkan cairan beracun yang dapat membunuh orang dalam waktu 90 detik. Semprotan itu tidak akan meninggalkan jejak, dan jika digunakan dengan benar akan menimbulkan kesan bahwa korbannya terkena serangan jantung. Gas beracun itu sangat berbahaya sehingga Stashinsky harus menelan pil penangkal racun sebelum dia menggunakan senjatanya, kalau-kalau dia ikut menghirup gasnya.
Tugas ini selesai dengan cepat, seperti mimpi. Stashinsky bertemu Rebet di tangga menuju kompleks kantor. Dia berjalan mendahului Rebet, menyembunyikan senjatanya dalam sekantong sosis, dan menyemprotkannya dengan gerakan yang sangat cepat. Rebet terhuyung-huyung ke belakang, lalu jatuh di tangga. Pada saat tubuhnya ditemukan. Stashinsky sudah pergi jauh.
Stashinsky dielu-elukan sebagai seorang pahlawan dan dimu dengan makan malam istimewa oleh KGB. Setahun kemudian, penguasa Soviet memutuskan untuk membunuh pelarian Ukraina lain yang ada di Munich. Namanya Stefan Bandera, dan Stashinsky adalah orang yang tepat untuk pekerjaan ini.
Pada suatu hari di musim gugur, Bandera kembali ke apartemennya, kedua tangannya membawa kantung-kantung besar berisi bahan-bahan makanan. Ketika dia kesulitan mengunci pintunya, seorang asing mendekat. Dia adalah Stashinsky: Dia tersenyum dan bertanya pada Bandera apakah kunci pintunya berfungsi dengan baik. Bandera terlihat bingung, dan dia terlambat melihat senjata berisi gas beracun itu, sehingga tidak sempat bereaksi. Stashinsky menembakkan senjata itu langsung ke mukanya, kemudian berjalan pergi dengan tenang. Tapi pembunuhan ini tidak berjalan dengan mulus. Bandera masih sempat berjalan sempoyongan mencari bantuan, dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Pihak kepolisian Jerman Barat tidak ragu mengatakan bahwa ini adalah pembunuhan.
Lancar ataupun tidak, Stashinsky telah melakukan tugasnya. Sekali lagi, dia dielu-elukan sebagai pahlawan, dan mendapatkan medali tanda jasa. Tapi ketika kariernya mulai bersinar, Stashinsky merusaknya sendiri. Saat menjalankan tugas sebagai pengawas Soviet di Berlin Timur, dia jatuh cinta pada seorang gadis penata rambut Jerman berusia 21 tahun. Namanya Inge Pohl.
KGB sangat terkejut. Menurut mereka, jodoh yang tepat untuk bintang pembunuh mereka seharusnya berasal dari dalam KGB sendiri. Tapi Stashinsky sudah membuat keputusan. Pasangan itu menikah dan dia membawa pengantin wanitanya untuk tinggal bersamanya di Moskwa.
Cinta tampaknya mampu melunakkan Stashinsky. Dia mengakui semuanya pada Inge dan mengatakan bahwa yang dikerjakannya saat ini membuatnya muak. Inge sangat terkejut dan mendorong suaminya untuk mundur dari pekerjaan yang sangat mengerikan itu. Dia juga mengatakan pada suaminya bahwa dia tidak suka tinggal di Moskwa dan menyarankan agar mereka menyeberang ke Jerman Barat.
Sialnya, salah seorang anggota KGB, mengawasi Stashinsky dan istrinya dengan sangat dekat—begitu dekat bahkan, sampai mereka memasang alat penyadap di apartemen pasangan itu, dan membuka surat-surat mereka. Ketika Stashinsky menyadarinya, dia sangat marah. Perselisihan dengan atasannya akan membuat karier Stashinsky berakhir.
Inge hamil. Dia kembali ke rumah orangtuanya di Berlin Timur. Permintaan izin Stashinsky untuk mengikuti istrinya ditolak, dan dia diperintahkan untuk tetap tinggal di Uni Soviet selama tujuh tahun ke depan. Anak itu akhirnya lahir, tapi meninggal enam bulan kemudian. Dalam situasi yang tragis itu, KGB mengizinkan Stashinsky mengunjungi istrinya di Berlin, dan menghadiri pemakaman anaknya.
Ini adalah kesempatan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Selama kunjungan itu Stashinsky dan Inge melarikan diri. Dengan menggunakan surat-surat palsu, mereka memasuki wilayah Jerman Barat, dan Stashinsky menyerahkan dirinya pada polisi. Di sini dia juga mengakui pembunuhan yang telah dilakukannya atas Rebet dan Bandera, yang diikuti dengan persidangan tingkat tinggi. Pada 1962 dia divonis hukuman penjara selama 13 tahun. Tapi ternyata seorang mata-mata yang telah meninggalkan pekerjaannya demi cinta sekali lagi harus mengalami guncangan: Inge Pohl menceraikannya pada 1964.
Kelanjutannya
Stashinsky dibebaskan dari penjara hanya setelah menjalani empat tahun dari masa tahanannya. Dia segera menghilang. Diperkirakan dia dibawa ke Amerika, dan tinggal di sana dengan identitas baru, jauh dari pembunuh KGB yang pasti akan dikirim untuk memburunya. Muncul juga spekulasi bahwa bekas istrinya juga bersamanya di Amerika, dan perceraian mereka hanyalah sebuah tipu muslihat.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246990/ada-apa-dengan-cinta-mata-mata" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650819384000) } } [12]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246983" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/21/8_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220421055125.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(126) "Ayahnya juragan topi, ibunya asal Jawa, Indonesia. Awalnya, dia hanyalah seorang penari, lalu menjadi mata-mata kelas amatir. " ["section"]=> object(stdClass)#164 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/21/8_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220421055125.jpg" ["title"]=> string(24) "Mata-Mata Keturunan Jawa" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:53:20" ["content"]=> string(24750) "
Intisari Plus - Ayahnya juragan topi, ibunya asal Jawa, Indonesia. Awalnya, dia hanyalah seorang penari, lalu menjadi mata-mata kelas amatir. Di kemudian hari, aktivitasnya sebagai spionase membawanya menjadi profesional.
---------------------------------------
Popularitas dan spionase tampaknya merupakan kombinasi yang tidak mungkin bersatu. Siapa yang mengira Margaretha Zelle yang cantik, seorang penari kelahiran Belanda, yang telah membuat seluruh Eropa terpesona di awal abad ke-20, dapat melakukan kegiatan mata-mata dengan baik? Faktanya, siapa yang akan mengira bahwa dia akan diingat sebagai salah satu mata-mata terkenal sepanjang masa?
Saat kepopulerannya sebagai penari sedang menanjak, dia mengadakan tur keliling ibu kota negara-negara Eropa, dari London ke Roma, Vienna ke Berlin. Di Paris, karena kepopulerannya, polisi dikerahkan untuk menjaga ketertiban orang orang yang ingin melihatnya. Ada juga sederetan orang terkenal yang menjadi penggemarnya, termasuk putra Kaisar Jerman, Putra Mahkota Wilhelm. Tapi kepopuleran Margaretha tidak seperti kepopuleran saat ini. Dulu, sebelum televisi, koran, dan majalah terobsesi dengan kehidupan selebritis, wajahnya cepat sekali memudar dari ingatan orang-orang.
Latar belakang kehidupan Margaretha sangatlah biasa. Dia dilahirkan pada 1876 dari keluarga pembuat topi yang cukup kaya dari Belanda dengan seorang istri dari Jawa. Dia dimanjakan dengan perlakuan istimewa, karena dianggap sebagai anak cantik yang luar biasa. Tetapi ibunya meninggal ketika dia baru berusia 14 tahun, lalu Margaretha dikirim ke sebuah biara. Pada usia 19 tahun, dia menikah dengan seorang tentara Belanda bernama Rudolph MacLeod. Pasangan ini meninggalkan negerinya untuk tinggal di Jawa, yang kemudian menjadi daerah jajahan Belanda.
Menjalani kehidupan pernikahan bagi Margaretha ternyata tidak mudah. MacCleod adalah orang yang kasar, sering bermabuk-mabukan, dan tidak setia. Dia juga mencoba menipu kenalannya dengan membuat mereka berada dalam situasi yang membahayakan dengan istrinya, dan kemudian memeras mereka.
Seorang putra lahir dari pasangan ini pada 1896, kemudian lahir pula seorang putri. Anak lelaki itu diracuni seorang pem bantu yang pernah disiksa MacCleod, dan kemudian meninggal. Tidak lama setelah kejadian yang tragis itu, Margaretha menceraikan suaminya dan kembali ke Belanda bersama dengan anak perempuannya.
Saat usia Margaretha mendekati 30, dia sendiri dan tidak punya uang sepeser pun. Dia juga tidak punya jalan yang pasti untuk membangun hidupnya. Yang dimilikinya adalah tubuh yang lemah gemulai dan ingatan yang samar-samar tentang tarian Jawa yang pernah dipelajarinya pada masa penjajahan, serta kecantikan yang memesona.
Margaretha Zelle menitipkan anak perempuannya pada keluarganya, dan dia bertekad menemukan kembali kehidupannya. Dia menuju Paris, dan dia datang sebagai penari oriental eksotik. Namanya kemudian menjadi Mata Hari, yang diartikan sebagai "mata di pagi hari". Dia segera mendapatkan pekerjaan di klub malam bergengsi, dan menjadi bahan pembicaraan di setiap penjuru kota. Margaretha juga seorang penari balet yang hebat, dan tampaknya dia mendapat tanggapan positif dari dunia balet. Sembilan tahun lamanya dia merasakan hidup sebagai selebritis, dengan penggemar-penggemar dari kalangan orang terkenal dan kaya-raya yang menaburinya uang dan perhiasan.
Tapi pada 1914, Perang Dunia I dimulai, kehidupan penuh kebahagiaan yang dirasakan Margaretha tiba-tiba berakhir. Saat itu dia berada di Berlin, dan secepatnya kembali ke Belanda.
Di masa perang, kehidupan sangatlah suram. Margaretha kala itu berusia hampir 40 tahun, dan untuk pertama kali dalam hidupnya dia merasa bosan. Kini dia sangat mendambakan kesenangan, setelah menghabiskan waktu dua tahun selama masa perang di Belanda yang merupakan wilayah netral, diam di rumah tanpa melakukan apapun.
Karena itu, ketika seorang tamu asing mengetuk pintu, di suatu malam pada Mei 1916, dia menyambutnya secara istimewa. Dia adalah Karl Kramer, atase pers untuk Konsulat Jerman di Belanda, dan dia memiliki permintaan yang luar biasa, Karl duduk bersamanya di meja makan. Setelah yakin mereka hanya berdua, Kramer mulai berbicara.
"Di masa-masa ketenaran Anda," Kramer menjelaskan dengan lembut. "Anda mengenal beberapa orang paling berkuasa di Eropa. Maukah Anda mempertimbangkan untuk kembali ke Paris saat ini juga dan bergaul kembali dengan orang-orang berpengaruh itu? Dan selama Anda mengerjakan itu, mungkin Anda dapat terus memberikan informasi tentang segala hal menarik yang mereka katakan?"
Margaretha terlihat sangat ingin tahu, tapi dia tidak memberikan tanggapan.
Kramer melanjutkan. "Kami akan memberikan bayaran yang cukup besar untuk informasi itu katakanlah 24.000 franc."
Margaretha membiarkan dirinya memperlihatkan sedikit ketertarikan. "Mungkin saja, Herr Kramer, mungkin saja. 24.000 franc tampaknya sangat cukup."
Tapi sebenarnya, Margaretha sangat bergairah. Adakah yang lebih menyenangkan daripada menjadi seorang mata-mata?
Kramer kembali datang ke rumahnya beberapa hari kemudian, membawa sebuah tas kecil dari kulit. Di dalamnya tersimpan uang 24.000 franc dan tiga botol kecil. Dua di antaranya berisi cairan transparan yang berwarna pucat, sementara yang lain berwarna cerah, biru kehijauan.
Kramer menjelaskan. "Madame Zelle sayang, ini adalah tinta yang tidak terlihat. Sekarang, perhatikan baik-baik. Pertama-tama, basahi lembaran kertas ini dengan cairan dari botol pertama, kemudian tuliskan informasi penting untukku dengan cairan dari botol kedua. Lalu oleskan cairan biru kehijauan ini di atasnya dan biarkan mengering..."
Margaretha memperhatikan dengan sangat tertarik. Kramer terlihat seperti seorang pesulap yang sedang mementaskan trik sulapnya.
"Kemudian Anda dapat menuliskan surat di atasnya, menceritakan tentang pertunjukan balet yang Anda tonton di malam sebelumnya, atau anjing poodle kesayanganmu, atau hal-hal lainnya. Kemudian, ketika surat ini sampai padaku, aku akan memerciki cairan kimia lain di atasnya, pesan di bawahnya akan muncul dan terbaca dengan jelas."
Kramer hampir saja menambahkan. "Pastikan Anda melakukannya dengan benar. Jika tertangkap, Anda mungkin saja ditembak."Tapi dia merasa ini akan menjadi ukuran realitas yang sulit diterima dalam dunia Margaretha. Bagaimanapun Karl tetap memberinya sebuah nama sandi—dia akan disebut sebagai "H21".
Margaretha kembali ke Paris hanya dengan sedikit kesulitan. Pada masa itu, perbatasan antara Prancis dan Belanda, yang merupakan wilayah netral, dijaga sangat ketat, dan polisi perbatasan hanya mengizinkan orang-orang dengan surat jalan khusus untuk melintas di antara dua negara. Pada saat itulah Margaretha menunjukkan betapa penting dirinya. Dia mengenal banyak orang penting di Prancis. Dia juga membawa beberapa surat penting dari politisi serta pejabat tinggi di dinas ketentaraan yang harus disampaikannya pada Konsulat Prancis di Amsterdam dan nantinya akan digunakan untuk membujuk para pejabat di sana untuk mengeluarkan surat jalan yang ampuh.
Margaretha tidak melakukan pekerjaannya sebagai mata-mata dengan serius. Baginya, pekerjaan itu hanyalah sebuah permainan, kesempatan untuk menghabiskan uang 24.000 franc. Beberapa laporan dengan tinta tak terlihat memang dikirimkan ke Kramer, tapi Margaretha menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berhubungan lagi dengan teman-teman lama dan mendatangi tempat-tempat yang sering dikunjungi saat kejayaannya dulu. Sebenarnya, dia sedang menikmati hidupnya.
Sementara Margaretha tidak serius menjalankan tugasnya sebagai mata-mata, tidak demikian Dinas Rahasia Prancis dan Inggris. Mereka telah menerima laporan bahwa Margaretha mungkin adalah mata-mata Jerman, dan mereka mengawasinya dengan cermat. Tapi tidak ada tindakan yang dapat menjadi alasan untuk percaya bahwa kecurigaan mereka benar.
Di Paris, Margaretha bertemu dengan seorang tentara muda Rusia bernama Vladimir de Masloff—dan mereka saling jatuh cinta. Suatu saat, Vladimir yang sedang bertempur di sepanjang perbatasan Prancis, terluka di Front Barat. Margaretha sangat ingin bertemu dengannya, tapi Vladimir dikirim ke rumah sakit dekat front, yang tertutup untuk kalangan sipil. Margaretha segera menemui Menteri Urusan Perang, untuk meminta izin menemui kekasihnya. Sampai di sana, dia harus berbaris sampai ke pintu pertama yang dituju. Di depannya duduk seorang petugas dengan meja tulis besar yang terlihat seperti milik pejabat penting, dan Margaretha mulai menjelaskan maksud kedatangannya.
Margaretha tidak tahu kalau gedung Kementerian Urusan Perang juga adalah Markas Dinas Keamanan Prancis. Dengan perasaan canggung, dia menyadari sedang duduk berseberangan dengan Kapten Georges Ladoux, Kepala Dinas Counterintelligence Prancis—badan yang dibentuk untuk menginvestigasi mata-mata asing.
Dia mengetahui semua hal tentang Margaretha Zelle, dan sangat menyadari adanya kemungkinan bahwa Margaretha adalah seorang mata-mata. Margaretha sekarang ada di sini, tepat di hadapannya, mengatakan ingin mengunjungi wilayah yang terlarang. Ini adalah sebuah keberuntungan. Dia mencoba untuk menggiringnya, dan mengatakan akan segera memberikan surat izin. Ketika Margaretha pergi, dia segera memanggil dua agennya dan menyuruh mereka mengikuti serta mengawasi Margaretha.
Tentu saja, Margaretha meminta izin dengan tujuan hanya untuk mengunjungi Vladimir. Agen-agen Ladoux tidak menemukan satu pun hal mencurigakan yang dapat dilaporkan. Maka, setelah kembali, Ladoux memanggil Margaretha ke kantor. Sama seperti Karl Kramer, dia juga mengetahui bahwa Margaretha memiliki banyak teman di kalangan atas, dia menawarkan apakah bersedia melakukan perjalanan kembali ke Jerman dan melakukan kegiatan spionase kecil-kecilan untuk Prancis.
Nasib sedang menawarkan lembaran keberuntungan lain padanya. Tapi dengan sangat tenang, dia memandang tepat ke mata Ladoux dan meminta bayaran satu juta franc. Ladoux berusaha keras untuk menjaga ekspresi wajahnya tidak berubah. Jumlah yang diminta itu lebih besar dari jumlah yang mampu dibayarkan untuk selusin agen terbaiknya. Dia kemudian berkata terus terang pada Margaretha.
"Madame Zelle....Anda sama sekali tidak kami kenal. Kami tidak tahu apakah kami dapat memercayaimu, dan bahkan ketika kami dapat memercayaimu, aku hanya dapat membayarmu tidak lebih dari 25.000 franc untuk pekerjaan ini."
Margaretha tidak menghiraukan. Tampaknya situasi ini akan menjadi lebih buruk. Dia membuat kesalahan fatal, dia sudah menandatangani surat kematiannya sendiri. Karena ingin menunjukkan betapa berharga dirinya, dia menyombongkan diri. "Aku kenal seseorang yang dapat mengatur segalanya untukku di Jerman ini. Namanya Kramer."
Ladoux mengenal orang ini. Jika Margaretha Zelle akrab dengannya, maka sangat besar kemungkinan kalau dia adalah mata-mata Jerman. Dia meminta Margaretha untuk kembali ke Belanda dan menunggu perintah.
Margaretha kembali ke rumah lewat jalur laut, tapi dalam perjalanan, kapalnya dihentikan oleh kapal Inggris di Terusan Inggris. Pihak Inggris sedang mencari seorang agen Jerman berbahaya bernama Clara Benedict, dan mereka membawa foto wanita yang mereka cari. Malang bagi Margaretha karena dia dilahirkan sangat mirip dengan Clara. Karenanya, dia segera ditangkap lalu dibawa ke Inggris.
Selama dua minggu dia harus menjalani interogasi. Setelah melewati hari-hari yang penuh dengan suara-suara kasar dan situasi yang tidak menyenangkan, Margaretha akhirnya meyakinkan pihak Inggris bahwa dia adalah Mata Hari, dan bukan Clara Benedict. Meskipun demikian, dia tidak dibebaskan. Interogatornya, Sir Basil Thomas, berkata padanya, "Aku sangat senang jika dapat membebaskanmu, tapi ada hal mencurigakan yang terjadi. Kami telah dihubungi oleh orang-orang kami di Belanda, mereka mengatakan bahwa Madame Zelle, atau Mata Hari dicurigai sebagai agen Jerman."
Kedok Margaretha tampaknya hampir terbongkar. Dia berpikir dengan serampangan, kemudian berteriak, "Aku bukan agen Jerman. Aku bekerja untuk Kapten Ladoux di Paris."
Thomas segera menghubungi Ladoux. "Aku tidak pernah mendengar tentang dia," begitu jawabannya dengan nada heran. Ladoux tentu saja tidak ingin mengakui bahwa dia meminta Margaretha menjadi mata-mata untuk kepentingan Prancis.
Akhirnya, pihak Inggris melepaskan Margaretha. Thomas mencarikan tempat di sebuah kapal yang menuju ke wilayah netral di Spanyol, dan memperingatkannya untuk meninggalkan apa yang dilakukannya sekarang, karena ini adalah permainan yang sangat berbahaya. Tapi ternyata mengirim Margaretha ke Spanyol adalah pilihan yang keliru. Madrid adalah sebuah kota yang penuh dengan mata-mata dari berbagai negara.
Sekali lagi Margaretha jatuh miskin, dia tak punya uang sepeser pun, tapi kali ini dia berada di negeri asing. Dia memutuskan untuk bekerja keras dan melakukan pekerjaan mata-mata secara serius.
Karena tidak yakin akan bekerja untuk pihak Prancis atau pihak Jerman, Margaretha memutuskan menjadi mata-mata untuk kedua pihak—bagaimanapun, dia beralasan, mereka pernah melakukan hal bodoh dengan menyuruhnya melakukan hal yang sama sebelumnya. Kepada pihak Prancis, dia memberikan laporan mengenai mendaratnya seorang agen Jerman yang menumpang sebuah kapal di pantai Maroko. Kepada pihak Jerman, dia menyampaikan berita rencana penyerangan pasukan Prancis dan Inggris.
Tapi semua informasi itu tidak penting, dan tidak lebih dari informasi yang sudah diyakini masing-masing pihak sebagai informasi yang sudah diketahui pihak lain. Dinas rahasia Prancis dan Jerman mencoba mengujinya, dan hampir yakin bahwa dia bekerja untuk kedua pihak. Akhirnya pihak Jerman kehilangan kesabaran. Mereka sudah membuang 24.000 franc, dan itu sudah cukup. Mereka dengan sengaja membocorkan informasi untuk pihak Prancis, untuk menegaskan keyakinan mereka bahwa Margaretha juga bekerja untuk Prancis.
Margaretha dipanggil ke Paris. Sesampainya di sana, dia segera ditangkap, lalu dibawa ke Dinas Rahasia Prancis, agar menghadap Kapten Bouchardon untuk diwawancarai lebih lanjut. Bouchardon berharap dapat melihat kembali kecantikan yang legendaris itu, tapi dia sangat terkejut ketika melihat Mata Hari yang terlihat lelah dan kurus kering.
Margaretha mungkin merasa lelah, tapi dia tidak ingin menyerah tanpa memberikan perlawanan. Selama mereka berbicara, dia menyangkal semuanya. Dalam kekalutan dia mencoba memberikan penjelasan tentang perjanjiannya dengan Dinas Rahasia Jerman. Dia bahkan mencoba menipu dengan mengatakan bahwa pembayaran 24.000 franc itu adalah kompensasi untuk beberapa pakaian bulu yang ditinggalkannya di Berlin.
Bouchardon memperhatikan Margaretha Zelle dan menarik napas dalam-dalam. Dia mengingatnya sebagai seorang penari eksotik terkenal sebelum masa perang yang di Paris. Betapa dia telah berubah. Sangat jelas terlihat, dia tidak lagi memiliki kecantikan eksotis yang telah memukau seluruh dunia, tapi dia tetaplah wanita yang penuh pesona dan Bouchardon pun tidak kebal dengan pesonanya.
Bouchardon menyadari, segala hal tentang Margaretha menunjukkan bahwa dia hanyalah seorang amatir yang kebingungan. Apapun informasi yang disampaikan pada pihak Jerman dapat dipastikan sebagai informasi yang tidak berguna. dan dia juga bekerja untuk Prancis. Di waktu lain, mereka dapat saja menyuruhnya kembali ke Belanda dengan peringatan keras untuk tidak kembali ke Paris. Tapi perang semakin memburuk untuk pihak Prancis. Jutaan orang terbunuh dan rakyat membutuhkan seseorang untuk dikorbankan. Mata-mata, dikatakan, berada di mana-mana. Maka dibutuhkan sebuah contoh. Maka bahwa Margaretha diadili seba, i seorang mata-mata—kejahatan yang layak untuk dijatuhi hukuman mati.
Pada 24 Juli 1917, Margaretha Zelle berdiri di hadapan pengadilan tertutup militer. Persidangan untuk memutuskan nasib hidupnya. Pengacaranya adalah seorang pengagum lama yang tidak dapat memercayai kalau dia adalah pengkhianat Prancis, berharap dapat menghubungi teman-temannya di masa lampau sebagai saksi yang cukup berkarakter untuk membelanya. Tapi tampaknya semua orang berbalik melawannya. Tidak ada yang ingin diketahui umum sebagai teman seorang wanita yang sekarang dikenal sebagai mata-mata Jerman yang berbahaya.
Persidangan itu berjalan buruk sejak awal, meskipun Margaretha berusaha membela dirinya dengan sangat berani. Seperti yang dilakukannya terhadap Bouchard, dia mencoba untuk memutarbalikkan bukti pembayaran dari pihak Jerman sebagai kompensasi atas barang miliknya yang hilang atau pemberian dari para penggemar. Semuanya tampak semakin tidak masuk akal. Yang sama tidak masuk akalnya adalah bahwa penuntut mendeskripsikan Margaretha sebagai "salah satu mata-mata besar di abad ini", dan dia juga dikatakan "bertanggungjawab untuk kematian puluhan dari ribuan prajurit". Margaretha mendengarkan tuntutan itu dengan tegar. Tapi ketika penuntut mengungkapkan kode nama rahasianya dari pihak Jerman, H21, kekuatan dan ketenangannya runtuh. Dia mulai panik dan seluruh badannya gemetar.
Seluruh proses persidangan ini berlangsung kurang dari dua hari. Margaretha dinyatakan bersalah melakukan kegiatan mata-mata terhadap Prancis dan dia dijatuhi hukuman mati. Margaretha sangat terguncang, dia masih tidak percaya, kehidupannya yang dulu indah kini berubah menjadi sangat buruk.
"Ini tidak mungkin. Tidak mungkin." kata-kata itu diulangnya terus menerus.
Margaretha menyaksikan musim panas yang berubah menjadi musim gugur dari jendela selnya. Permohonan naik bandingnya ditolak, dan hari ini adalah hari eksekusi untuknya—15 Oktober. Dia akan dibawa ke Vincennes, sebuah bangunan besar di perbatasan Paris, di sana dia sudah menunggu regu penembak.
Margaretha tidur dengan nyenyak malam sebelumnya, dan dibangunkan oleh Kapten Bouchardon pada pukul 4.00 pagi. Di dalam selnya ada dua biarawati yang menemani.
"Ini tidak mungkin," katanya lagi pada mereka. Kemudian dia meneruskan, "Jangan khawatir, saudariku. Aku tahu bagaimana aku harus meninggalkan dunia ini. Kau akan melihat kematian yang indah."
Dia telah memutuskan akan meninggalkan dunia ini seperti hidupnya selama ini—dengan segala macam kemewahan. Dia menyiapkan pakaian mewah, sepasang sepatu yang indah, selendang, topi, dan sarung tangan panjang. Dia terlihat sangat tenang.
"Kenapa kalian memiliki kebiasaan mengeksekusi orang di saat fajar?" dia berkata pada kedua biarawati itu. "Di India dan di negara lain, eksekusi biasa dilakukan pada sore hari. Aku lebih suka pergi ke Vincennes sekitar pukul 15.00, setelah makan siang yang lezat."
Margaretha telah melewati dua jam terakhir hidupnya. Dengan mantap dia melangkah keluar dari mobil yang membawanya ke Vincennes. Dengan penuh percaya diri pula dia berjalan menuju ke depan regu tembak. Dia menolak ditutup matanya dan tidak ingin diikat di tiang pancang saat dieksekusi.
Semua berlangsung dengan sangat cepat. Dua belas tembakan terdengar, dan dia merosot ke tanah. Bersama dengan hilangnya kabut pagi, tubuh yang telah membuat dunia terpesona itu dimasukkan ke dalam peti mati, lalu dibawa pergi.
Kelanjutannya
Mata Hari masih terus menjadi objek yang memesona dalam dunia spionase. Banyak fotografer yang tetap menampilkan foto-foto penari itu di masa kejayaannya, dan memastikan bahwa dia tetap dikenal setelah lebih dari 80 tahun kematiannya. Nama panggungnya dijadikan deskripsi untuk segala hal yang berhubungan dengan wanita cantik yang menjadi mata-mata. Di Belanda didirikan Mata Hari Foundation, organisasi yang dibentuk untuk membuktikan bahwa Margaretha tidak bersalah atas tuduhan yang diajukan padanya, dan anggotanya tetap berharap bahwa suatu hari nanti Margaretha akan menerima pengampunan resmi.
Kisahnya menjadi sumber beberapa film, bahkan untuk kreasi film James Bond, dia menjadi simbol klasik dan kemewahan dunia spionase. Greta Garbo memerankannya tahun 1931 dalam film berjudul Mata Hari. Sama seperti banyak film lainnya, kebenaran cerita ini terkubur dalam kisah dramanya, yang memfokuskan pada hubungan cinta Mata Hari dengan Vladimir de Masloff. Dalam film itu, dia mengirimkan berita pada kekasihnya bahwa dia meningga. di rumah sakit, bukan ditembak mati. Film lain tentang hidupnya dibuat pada 1985, kali ini dibintangi oleh Sylva Kristel.
Di akhir 1990, Margaretha kembali menjadi berita, untuk alasan yang sangat aneh. Setelah eksekusi, kepalanya disimpan di sebuah museum pribadi, tapi kemudian dicuri dan lama tidak ditemukan kembali.
Daya pikat Mata Hari terus ada sampai abad ke-21, dan baru-baru ini sebuah paket software untuk mengeluarkan informasi internet yang sulit ditemukan, diberi nama sesuai namanya: Mata Hari.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246983/mata-mata-keturunan-jawa" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650819200000) } } [13]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246688" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/6_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420082412.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Richard Sorge, reporter surat kabar Jerman sekaligus mata-mata komunis, menjalani hidupnya hingga sampai ke lingkaran diplomatik tertinggi di Tokyo." ["section"]=> object(stdClass)#168 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/6_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420082412.jpg" ["title"]=> string(30) "Terlahir untuk Kehidupan Ganda" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:45:31" ["content"]=> string(22974) "
Intisari Plus - Richard Sorge, reporter surat kabar Jerman sekaligus mata-mata komunis, menjalani hidupnya hingga sampai ke lingkaran diplomatik tertinggi di Tokyo.
---------------------------------------
Adakah mata-mata yang lebih licik dari Richard Sorge? Dikenal sebagai salah satu agen rahasia terbesar abad ke-20, dia menjalani kehidupan ganda sejak lahir. Ibunya seorang Rusia dan ayahnya seorang Jerman; dia dilahirkan di Baku, Rusia, tapi dibesarkan di Jerman.
Sorge adalah seorang anak Jerman dengan jiwa patriot yang tinggi, dan ketika Perang Dunia I terjadi, tahun 1914, dia meninggalkan sekolahnya dan menjadi tentara sukarelawan. Dia dikirim ke Front Utara tempatnya bertempur dengan gagah berani, dan menerima Iron Cross (tanda jasa tingkat pertama) untuk usahanya. Tapi dia juga mendapatkan. luka di kaki akibat pecahan peluru yang membuatnya pincang sepanjang sisa hidupnya.
Selama masa penyembuhan luka, dia kembali ke Berlin: Saat itu pandangan Sorge tentang dunia berubah. Dia kehilangan keyakinan terhadap patriotisme, dan tampaknya Sorge menemukan ideologi yang lebih cocok. Setelah membaca buku Karl Marx, dia yakin filosofi ini adalah jalan untuk menuju kesatuan dan kedamaian dunia. Melalui sebuah kebetulan yang mengherankan, ternyata ada hubungan keluarga—paman ayahnya ternyata pernah menjadi sekretaris pribadi Marx.
Setelah keluar dari rumah sakit, Sorge melanjutkan sekolahnya. Dia lulus dari University of Hamburg deng gelar Ph.D di bidang ilmu politik. Sekarang dia menjadi anggota komunis dan bekerja keras merekrut para pelajar untuk kepentingan politiknya. Namun, kepolisian Jerman yang mencurigainya sebagai mata-mata komunis berencana menangkapnya. Dengan berpura-pura akan memberikan informasi rahasia, Sorge terbang ke Moskwa. Tahun 1917, Rusia sudah menjadi negara komunis pertama dan mengganti namanya sendiri menjadi Uni Soviet. Pemimpin Rusia nyambut dan merekrutnya karena kepandaian serta ketekunannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Rusia. Mereka juga terpesona dan kagum ketika mengetahui hubungan keluarganya dengan Karl Marx, yang saat itu menjadi figur yang sangat dijunjung tinggi di negara itu. Di Moskwa, Sorge dilatih menjadi seorang mata-mata dan diajari bahasa Prancis, Rusia, dan Inggris. Selama sisa hidupnya, dia mengabdi pada negara asal ibunya dengan loyalitas dan ketaatan.
Sorge memulai tugasnya dengan dikirim untuk menjalankan misi sebagai mata-mata ke seluruh dunia. Misi yang paling sukses dikerjakannya adalah tugas selama empat tahun di sebuah pelabuhan di Shanghai, Tiongkok. Di situ dia mendapat pekerjaan sebagai seorang jurnalis freelance untuk sebuah surat kabar Jerman—penyamaran yang sangat cocok untuk seorang mata-mata. Uni Soviet sangat ingin menjadikan Tiongkok negara komunis, dan mereka memutuskan bahwa Shanghai, dengan jumlah penduduk pendatang yang besar, perkembangan industri yang pesat dan komunitas kriminal yang paling terkenal di dunia, akan menjadi titik awal yang paling bagus untuk mengadakan revolusi.
Sorge bukanlah tipe pemalu dan tidak percaya diri. Dia bertubuh tinggi, berwajah garang, suka minum, dan sangat bebas dalam berpakaian serta bersikap. Suaranya keras, kasar, bahkan menjengkelkan. Namun dia juga punya pesona, dan banyak yang tertarik padanya. Dia mudah mendapat teman, bahkan di tempat asing sekalipun. Sorge segera mempunyai jaringan teman-teman dan kenalan yang siap direkrut untuk membantunya. Dia juga memilih sekelompok pendatang dari Amerika dan Jepang yang tinggal di Shanghai, termasuk Hotsumi Ozaki, seorang jurnalis dari Tokyo yang akan menjadi teman sepanjang hidupnya.
Selama dua tahun, jika tidak bisa dibilang menggemparkan, Sorge sangat berjasa dengan informasi yang diberikannya, dan membuktikan bahwa dia dapat bekerja dengan efisien. Tapi keagresifan serta keefektifan tentara Jepang ketika menyerbu dan menguasai provinsi di bagian timur Tiongkok, Mansyuria, yang berada di perbatasan tenggara Uni Soviet, menimbulkan ketakutan besar untuk Uni Soviet. Sorge dipanggil kembali ke Moskwa. Komandanga memberitahu bahwa mereka sangat senang atas hasil kerja di Shanghai, tapi dia kini akan dikirim ke tempat jauh yang lebih penting: Tokyo. Misinya adalah untuk mengetahui apakah Jepang berniat menyerang Uni Soviet.
Bagi orang Eropa seperti Sorge, Jepang adalah salah satu bangsa di dunia yang sangat sulit dimata-matai. Orang yang tinggal di sana sangat sedikit sehingga sangat mudah menarik perhatian. Mereka juga harus mempelajari secara lengkap bahasa yang sangat asing, dan menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan masyarakat yang sangat berbeda. (Di Jepang, contohnya, menunjuk hidung orang lain di depan umum adalah sikap yang sangat tidak sopan). Halangan yang paling berat adalah orang Jepang memiliki kecurigaan yang sangat tinggi terhadap aktivitas yang mengarah pada spionase. Ini adalah tugas berat dan membutuhkan strategi jangka panjang.
Sorge mulai membuat penyamaran. Dia kemudian menjadi jurnalis Jerman, dan untuk melakukannya secara efektif dia harus kembali ke tempat asalnya. Tapi saat itu di Jerman, Adolf Hitler dan Nazi sedang sangat berkuasa. Mereka sangat fanatik dengan paham anti-komunis, dan Sorge yakin bahwa Gestapo (polisi rahasia Nazi) akan mengetahui riwayatnya sebagai mahasiswa komunis di Hamburg.
Dengan sangat berani, dia memutuskan untuk kembali. Keberuntungan ada padanya. Entahlah, mungkin sisa-sisa catatan dirinya tidak dapat terjangkau karena berada jauh di tara tumpukan dokumen polisi yang berdebu? Atau mungkin mata-mata komunis di dalam Gestapo secara rahasia sudah merusak bukti-bukti yang memberatkan dirinya? Dia shik pernah tahu kenapa dia tidak ditangkap.
Sorge meminta referensi dari editor tempatnya bekerja dan membuat identitas yang masuk akal untuk dirinya sendiri sebagai jurnalis Nazi yang sangat ingin bekerja untuk kepentingan Jerman dan pemimpin baru Nazi. Ternyata penyamarannya sangat meyakinkan, Abwehr (Dinas rahasia Jerman) bahkan memintanya menjadi mata-mata kecil-kecilan untuk mereka. Dia segera memperoleh paspor Jerman dan menuju Jepang pada Agustus 1933.
Sorge menyadari dia akan tinggal di Jepang untuk jangka waktu lama. Dia menghabiskan dua tahun pertamanya hanya untuk membiasakan diri dengan negara baru yang asing dan kebudayaannya yang tidak biasa. Dia menyewa sebuah rumah kecil dan meleburkan diri dalam kehidupan Jepang: memenuhi rumahnya dengan buku-buku dan kerajinan Jepang, tidur di lantai dengan kasur Jepang yang disebut futon, dan meninggalkan sepatunya di pintu depan, serta mengenakan pakaian tradisional Jepang. Untuk melengkapi pengetahuan, dia belajar dari beberapa teman wanitanya. Sementara melakukan itu semua, dia menuli artikel-artikel yang bagus untuk surat kabarnya, yang meningkatkan reputasinya sebagai salah satu koresponden luar negeri Jerman yang hebat. Teman-temannya di surat kabar Jerman memberikan surat perkenalan pada orang-orang penting di Tokyo, dan dalam waktu singkat Sorge sudah sangat populer dalam perkumpulan-perkumpulan sosial Jerman di Tokyo, yang kecil namun bergengsi. Dengan kepercayaan yang terus meningkat dari masyarakat sekitarnya, dia lalu membuat kontak dengan orang-orang yang mungkin akan berguna dalam kegiatan spionasenya.
Sorge secara istimewa diterima di Kedutaan Jerman, yang pejabatnya ingin bertemu dengan orang senegaranya yang tahu banyak tentang negeri Timur Jauh. Ketika Sorge akan mengatakan semua yang diketahui tentang Tiongkok, mereka menceritakan sejarah lama Jepang dan kebijakan luar negerinya. Secara signifikan, Sorge dapat membuat hubungan persahabatan dengan seorang atase militer di kedutaan, Letnan Kolonel Ott yang bahkan mengizinkan Sorge untuk melakukan perjalanan bersamanya dalam sebuah misi pencarian fakta di Mansyuria.
Sebagai mata-mata, Sorge telah mengatur pekerjaan sendiri dan hidupnya dengan sangat baik, tapi atasannya di Soviet memintanya untuk membuat jaringan mata-mata. Dia merekrut anggota. Kandidat yang pertama dan pasti adalah Ozaki Hotsumi. Teman lamanya dari Shanghai itu sekarang kembali ke Tokyo, dan masih menjadi jurnalis. Hotsumi tidak mengikuti keyakinan Sorge pada komunisme, tapi dia tidak senang dengan serangan yang dilakukan negaranya terhadap Mansyuria dan juga usaha-usaha agresif terhadap bagian Tiongkok lainnya, yang dilihatnya sebagai ancaman terhadap kedamaian dunia. Sama seperti Sorge, dia kenal banyak orang yang berguna dan berpengaruh.
Dalam tim itu juga ada seorang komunis Yugoslavia, namanya Branko Vukelic, yang bekerja sebagai teknisi fotografi dan jurnalis—dua hal yang berguna untuk menjadi mata-mata. Dia juga merekrut seorang Jepang-Amerika, Miyagi Yotoku, yang kembali ke Tokyo dari California, dan menjadi seniman yang hidup sederhana dengan menjual lukisannya. Yang terakhir, Max Klausen, seorang Jerman yang juga disertakan dalam tim. Dia sudah bekerja dengan Sorge sejak di Shanghai, dan akan menjadi operator radio, yang mengirimkan laporan langsung ke Uni Soviet.
Jaringan mata-mata ini memiliki kelemahan. Kebanyakan teman-teman yang bekerjasama dengan Sorge adalah orang asing. Bahkan Miyagi, yang dilahirkan sebagai orang Jepang, dibesarkan sebagai seorang Amerika, meskipun dia sering menemukan adat dan tingkah orang Jepang yang menimbulkan kekagumannya. Hotsumi sangat tidak ternilai harganya. Dia yang mengatur perekrutan informan di kalangan pemerintahan. Dengan pekerjaannya sebagai jurnalis dia menjadi konsultan khusus untuk Prince Konoye, perdana menteri Jepang. Selama bekerja dengan Konoye, dia mendapat akses untuk mengumpulkan informasi rahasia.
Sorge, pada gilirannya, diterima di Kedutaan Jerman hampir seperti seorang staf. Mereka memintanya untuk menulis laporan, dan memberinya kantor kecil tempat untuk bekerja sebagai sekretaris atase militer. Dengan privasi di dalam kantornya, dia dapat memotret dokumen-dokumen yang menarik untuk pihak Uni Soviet. Posisinya menjadi semakin kuat ketika temannya, Eugen Ott, diangkat menjadi duta besar Jerman. Dalam suatu kesempatan, Sorge membuat rencana kunjungan ke Hong Kong untuk mengirimkan setumpuk dokumen rahasia pada agen Soviet. Ketika Ott mengetahui dia akan pergi ke Hong kong, Ott memberikan dokumen rahasia yang sama untuk dibawa ke Kedutaan Jerman di sana. Sorge tidak percaya dengan keberuntungannya ini.
Menjadi mata-mata adalah permainan yang sulit dan berbahaya. Suatu saat, Sorge melakukan kecerobohan. Tidak lama setelah kembali dari Hong kong, dia mendapat undangan keluar pada suatu malam. Pengundangnya seorang pejabat penting Jerman di Tokyo, Prince Albert von Urbach. Dua orang ini pergi ke beberapa bar di kota itu. Pada pukul dua dini hari, Sorge sudah sangat mabuk dan ingin pulang. Dengan terburu-buru, dia menaiki sepeda motor yang bisa digunakannya berkeliling Tokyo dan melaju di tengah sepinya malam.
Tidak lama, dia sampai di sebuah tikungan; karena terlalu cepat, dia menabrak tembok di dekat Kedutaan Besar Amerika. Penjaga keamanan kedutaan segera berlari mendekat, dan melihat Sorge berdarah, dan tidak sadarkan diri. Mereka kemudian memanggil pihak kedutaan Jerman. Yang datang pertama kali adalah von Urbach. Sorge mulai sadar, dan dia teringat bahwa di sakunya ada beberapa dokumen yang dicuri dari Kedutaan Jerman. Dengan terbata-bata dia berkata, "Panggil Klausen ke sini". Untunglah von Ubach melakukan seperti yang diminta. Sorge memberikan dokumen itu pada Klausen dan kembali tak sadarkan diri.
Kecelakaan itu menimbulkan luka yang serius di kepalanya. Dia juga sulit menggerakkan beberapa otot di wajahnya. Akibatnya, ekspresi wajahnya tetap, tampak selalu seperti orang marah dan cemberut. Mirip topeng Jepang—begitu kata seorang teman.
Ketika berangsur-angsur sembuh, kehidupan Sorge sebagai mata-mata memasuki fase yang paling vital. Pada September 1999, Jerman menyerang Polandia—dan Perang Dunia II dimulai. Ini adalah berita penting bagi pemerintah Jepang sebagai sekutu Jerman.
Atasan Sorge merasa putus asa setelah mendengar informasi tentang rencana Jepang. Uni Soviet telah menandatangani pakta bersama dengan Jerman sebulan sebelum perang dimulai, dan semua pihak berjanji untuk tidak saling menyerang. Tapi pihak Soviet masih sangat curiga terhadap Jepang di perbatasan Mansyuria. Sorge memberikan jawaban yang menenangkan. Jepang, katanya pada mereka, tidak tertarik dengan Uni Soviet. Tujuan sebenarnya adalah untuk menguasai Tiongkok dan mencegah masuknya kekuasaan negara barat—Amerika, Inggris, Prancis, dan Belanda—yang memiliki angkatan perang dan koloni di Timur Jauh.
Tapi kemudian Sorge memberikan informasi penting lain yang sangat mengganggu. Dia melihat bahwa Jerman tidak berniat menjaga pakta perjanjian dengan pihak komunis. Hitler berencana menyerang dan mengirimkan tentaranya ke jantung Uni Soviet. Tinggal menunggu waktu yang tepat.
Berita itu sangat tidak menyenangkan, terutama untuk seseorang yang memiliki komitmen terhadap komunis seperti Sorge, tapi keadaan semakin buruk—pemegang otoritas di Moskwa tidak percaya padanya. Ini sangat menakutkan. Sorge mengumpulkan potongan-potongan bukti untuk mendukung klaimnya. Pada Mei 1941, dia punya bukti yang sangat meyakinkan—Jerman sudah menempatkan 19 divisi di perbatasan Soviet. Mereka berencana menyerang dalam bulan ini. Sorge bahkan memberikan tanggal pastinya pada Moskwa: 22 Juni. Tapi bagaimanapun, pimpinan mata-mata, dan terutama pimpinan Soviet, Joseph Stalin, segera menolak laporannya dan diberi tanda "informasi yang sangat diragukan dan menyesatkan".
Penyerangan terjadi tepat seperti yang diprediksikan. Ketika Sorge mendengar berita itu, bersama-sama dengan semua orang di dunia, dari koran dan laporan di radio, dia sangat bersedih dan menangis. Teman wanitanya yang berasal dari Jepang, Miyake, yang tidak mengetahui kalau dia adalah mata-mata, melihatnya menangis tersedu-sedu ketika sedang belajar. Dia bertanya kenapa Sorge begitu sedih.
Sorge yang merasa sangat lemah, berusaha menjawab dengan sejujurnya.
"Karena aku sendirian. Aku tidak punya teman sejati." katanya sedih.
"Tapi bukankah kau punya Duta Besar Ott dan teman teman dari Jerman lainnya?" kata wanita itu.
"Oh, tidak. Tidak. Mereka bukan teman sejati."
Wajahnya kembali murung dan mulai menangis lagi. Miyake menunggu dengan penuh harap, tapi Sorge tidak berkata-kata lagi. Wanita itu sangat mengenalnya, sehingga dia tidak menanyakan lebih lanjut.
Tapi ketika dia merasa sudah sangat terpuruk, Sorge berencana memberikan informasi terpenting sepanjang karirnya sebagai mata-mata. Jerman melakukan penyerangan terus menerus, divisi tentaranya terus mengalir ke Soviet dalam jumlah yang besar. Pasukan Soviet hampir putus asa menghadapi mereka. Tapi masih banyak pasukan Soviet yang bermarkas di Siberia, di perbatasan utara Soviet. Ini dikarenakan pemimpin Soviet yakin pasukan Jepang yang dekat dengan Mansyuria akan bergabung dengan sekutu Nazi dalam penyerangan ke Soviet. Sorge dan Hotsumi sekali lagi mencoba menghubungi sumber-sumber mereka untuk mencari bukti adanya rencana serangan tersebut.
Pada awal Oktober, Sorge mengirim laporan ke Moskwa. Jepang, katanya, tidak akan menyerang Soviet. Ini adalah berita paling baik yang mereka dengar sejak penyerangan Jerman. Ribuan pasukan digerakkan dari Siberia ke bagian barat negara itu untuk bertempur melawan Jerman. Keputusan ini menyelamatkan pihak Soviet dari kekalahan.
Tapi Sorge juga mengatakan pada Moskwa bahwa Jepang merencanakan sebuah langkah yang lebih berani. Jepang akan menyerang Angkatan Laut Amerika yang bermarkas di Pearl Harbor. Dia bahkan memberikan tanggalnya: 6 November—diubah sebulan lebih awal dari tanggal sebenarnya.
Ini adalah isyarat terakhir yang dikirim Sorge. Bulan sebelumnya, polisi rahasia Jepang telah menahan beberapa komunis Jepang, yang dicurigai menyusun rencana revolusi melawan pemerintah. Salah satu nama tersangka yang diumumkan adalah Miyagi Yotoku, yang ditangkap sekitar seminggu kemudian. Ini adalah operasi rutin, yang dilakukan hampir setiap saat untuk mendapatkan hasil yang besar. Miyagi berhasil ditangkap dan apartemennya digeledah.
Miyagi bukanlah orang yang tangguh. Dia berhasil melewati babak pertama interogasi yang penuh dengan penyiksaan tanpa mengeluarkan satu pun rahasia, tapi dia tahu dia takkan mampu bertahan. Hari berikutnya, ketika polisi sudah siap melakukan interogasi, dia melompat ke jendela. Sungguh malang nasib seluruh anggota jaringan mata-mata Sorge, niat Miyagi untuk bunuh diri terhalang oleh sebatang pohon, dia hanya mengalami patah tulang kaki. Hari berikutnya, dalam kesakitan yang amat sangat, bahkan ketika interogasi belum dimulai, Miyagi mengakui semuanya. Nama Hotsumi, Klausen, dan Sorge disebutkan sebagai teman temannya.
Bagi Dinas Polisi Rahasia Jepang, ini adalah masalah yang sulit. Sorge adalah teman seorang duta besar, orang yang terlalu penting untuk ditangkap. Hubungan Jerman-Jepang mungkin akan rusak, dan bagaimanapun ini adalah masa yang kritis bagi sejarah Jepang.
Sorge dan Klausen diabaikan, tapi penangkapan terhadap Hotsumi tetap dilangsungkan. Dia ditangkap dan disiksa. Hotsumi juga menyerah; dia menyangkutkan nama Sorge, Klausen, dan seorang Yugoslavia:Vukelic.
Sorge sangat menyadari sesuatu sedang terjadi. Dia tak dapat menghubungi Miyagi atau Hotsumi untuk beberapa hari, dan mengkhawatirkan hal buruk akan terjadi. Dia menemui Klausen dan Vukelic untuk memperingatkan mereka, tapi mereka memutuskan untuk tetap tinggal. Apakah kesukses sebelumnya membuat mereka sangat arogan dan berpikir akan berhasil juga kali ini? Atau mungkin mereka sudah menyerah pada nasib?
Sorge menjalankan bisnisnya seperti biasa. Dia tetap menemui Duta Besar Ott, tetap mengerjakan artikel surat kabarnya, dan tetap minum di bar-bar di Tokyo pada malam hari. Tapi ketegangan yang dirasakan mempengaruhi kesehatan mentalnya, yang terlihat dari keadaan rumahnya yang sangat berantakan, sehingga terlihat seperti baru saja dirampok. Tumpahan whisky di lantai membuat ruangan itu berbau seperti sarang pemabuk yang kotor.
Suatu malam, setelah Sorge menghabiskan waktunya di kota, dia ditangkap. Sekitar pukul lima pagi, Sorge tiba di rumah dengan mobil Kedutaan Besar Jerman, sementara sepasukan polisi rahasia Jepang mengawasinya. Mobil kedutaan meninggalkannya, Sorge masuk, dan tidak lama kemudian polisi mendobrak pintu rumahnya. Sorge ditahan dalam pakaian tidur, dan segelas whisky di tangannya. Klausen dan Vukelic dijemput pagi itu juga. Ketiga orang itu meninggalkan bukti-bukti penting dari aktivitas mereka sebagai mata-mata di sekitar rumah, yang membuat semua penyangkalan mereka sia-sia.
Teman-temannya dari Jepang dan Jerman tidak percaya dengan yang sedang terjadi. Sorge sendiri juga mencoba untuk memutar cerita pada interogatornya dengan mengatakan dia adalah double agent yang berpura-pura menjadi mata-mata Soviet, sementara sebenarnya dia menjadi mata-mata untuk Jerman. Tapi setelah enam hari disiksa, Sorge mengakui semuanya. Selanjutnya pengadilan rahasia untuk semua anggota jaringan mata-mata Sorge dilangsungkan. Klausen dan Vukelic dijatuhi hukuman seumur hidup. Sorge dan Hotsumi dijatuhi hukuman mati. Ini adalah pertama kalinya pengadilan Jepang menjatuhkan hukuman pada orang-orang Eropa.
Setelah disidang, Sorge harus menjalani masa pembuangan. Selama beberapa tahun dia berada di penjara Sugamo, menghabiskan waktunya dengan menulis surat pengakuan sebanyak 50.000 kata. Kemudian, pada 7 November 1944, hampir tiga tahun setelah hukuman mati dijatuhkan, Sorge dan Hotsumi dikirim ke tiang gantungan. Tanggal yang dipilih bertujuan untuk mengejek Moskwa, yaitu pada peringatan 27 tahun revolusi Rusia.
Kelanjutannya
Sorge dikubur di sebuah makam tanpa nama, tapi wanita Jepang temannya, Miyake Hanako, mengambil jenazahnya dan menguburkan di samping makam sahabatnya, Ozaki Hotsumi. Miyake tetap setia pada Sorge, dan bahkan memiliki cincin yang dibuat dari gigi emas yang diambilnya dari tengkorak Sorge.
Pihak Soviet tetap menjaga rahasia Sorge dan juga kesuksesan misi spionasenya selama lebih dari 20 tahun. Kemudian, tahun 1964, dia diberi gelar 'pahlawan Uni Soviet'. Sebuah jalan di Moskwa diberi nama sesuai namanya dan wajahnya bahkan dicetak dalam prangko. Buku-buku dan artikel tentang kariernya diterbitkan. Dua dekade setelah kematiannya, dia diakui sebagai mata-mata ulung, dan tidak ada orang yang meragukannya.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246688/terlahir-untuk-kehidupan-ganda" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650818731000) } } [14]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246667" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/5_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420081533.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Yang satu agen Inggris yang canggung, satunya tampak senantiasa murung. Keduanya bertugas menghabisi Hitler dan Gestapo Nazi yang sangat kejam." ["section"]=> object(stdClass)#172 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/5_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420081533.jpg" ["title"]=> string(20) "Penangkapan di Venlo" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:43:57" ["content"]=> string(17215) "
Intisari Plus - Yang satu agen Inggris yang canggung, satunya tampak senantiasa murung. Keduanya bertugas menghabisi Hitler dan Gestapo Nazi yang sangat kejam.
---------------------------------------
Saat itu, 21 Oktober 1939, Perang Dunia II baru saja mulai. Di Zutphen, sebuah kota di Belanda, hujan turun mengetuk-ngetuk atap sebuah limosin Buick. Di belakang stir, Sigismund Best menyesuaikan posisi kaca spion dan melirik lewat kaca jendela mobilnya. Tiba-tiba mobil lain datang. Seorang pria melompat. Best memiringkan tubuhnya untuk membuka pintu dan pria itu duduk di sebelahnya. Suara limousin itu menderu dan mulai berjalan, wiper-nya bergerak ke kiri dan ke kanan.
Best terlihat seperti tipe gentleman Inggris. Tubuhnya tinggi, dengan sikap seorang aristokrat, dia menggunakan spat (kain yang dahulu digunakan oleh para pria di atas sepatu, untuk menutupi pergelangan kaki, dengan kancing di sisinya dan dikaitkan di bawah sepatu), dia bahkan menggunakan monocle (alat yang berfungsi seperti kacamata tapi hanya untuk satu mata). Tapi itu semua adalah tipu daya. Best sebenarnya separuh berdarah India. Dia juga seorang mata-mata. Dia tinggal di Belanda dengan seorang istri Belanda, dan menjalankan bisnis kecil-kecilan meng sepeda, tapi sebenarnya dia adalah anggota cabang Z—kelompok independen yang dibentuk sebagai bagian dari Dinas Intelijen Khusus Inggris (Special Intelligence Service—SIS).
Rasa percaya diri Best sangatlah mengesankan. Dia dapat berbicara dalam empat bahasa, dan selama Perang Dunia dia berhasil membuat jaringan mata-mata yang sukses di belakang garis musuh. Saat ini dia sedang mencoba membuat kontak dengan seorang Jerman yang kecewa dan ingin melawan Hitler dan Nazi. Sejauh yang dapat dia sampaikan, segala sesuatu berjalan dengan baik.
Best telah dihubungi beberapa minggu yang lalu oleh salah seorang agennya, seorang pengungsi yang melarikan diri dari penyiksaan di Jerman. Orang ini mengenal banyak pegawai tingkat tinggi dalam ketentaraan Jerman dan dia telah meyakinkan Best bahwa di sana ada banyak orang yang diam-diam tidak suka pada Hitler. Orang-orang ini tengah membangun kekuatan untuk melakukan gerakan perlawanan. Best telah menyelidiki secara mendalam dan dia dapatkan nama seorang tentara yang juga terlibat dengan gerakan perlawanan tersebut—Hauptmann Schaemell. Orang inilah yang sekarang duduk bersamanya di dalam mobil.
Best fasih berbahasa Jerman, dan dua orang ini bercakap-cakap dalam bahasa Jerman tentang musik klasik sepanjang perjalanan di luar kota. Di Arnhem, mereka menjemput dua orang kolega Best, seorang tentara Inggris bernama Mayor Seven dan seorang tentara Belanda bernama Kapten Klop. Meskipun Belanda mengambil sikap netral saat itu, Klop membantu pihak Inggris. Dia ingin merahasiakan kebangsaannya, jadi dia berpura-pura menjadi seorang Kanada dan menggunakan nama Coppens. Itu adalah nama samaran yang sangat meyakinkan. Klop pernah tinggal beberapa tahun di Kanada, dan negara itu adalah sekutu Inggris.
Best terus mengendarai mobil itu. Schaemell, pikirnya, sebuah tangkapan yang bagus. Selama dalam perjalanan, orang Jerman itu membuat daftar tentara yang sangat ingin melihat kejatuhan Hitler dan menandai nama seorang jenderal penting yang dipersiapkan untuk memimpin perlawanan. Schaemell berjanji membawa jenderal itu dalam pertemuan mereka berikutnya, yang akan diadakan pada 30 Oktober.
Yang tidak diketahui Best adalah bahwa pihak Jerman sudah selangkah lebih maju darinya. Pengungsi yang memperkenalkannya pada Schaemell sebenarnya adalah seorang mata-mata Jerman—Franz Fischer namanya. Informasi tentang gerakan perlawanan yang didengar Best sebenarnya tidak ada. Bahkan Schaemell sendiri juga ada. Dia sebenarnya adalah Walter Schellenberg—29 tahun bekas pengacara yang sekarang memimpin Dinas Intel Luar Negeri Jerman. Selain memata-matai Best, dia juga ingin menghabisinya.
Rencana Schellenberg sangatlah sederhana. Setelah minggu depan, dia ingin membuat agen Inggris dan Belanda merasa aman, dengan berpura-pura menjadi teman kerjasama Dia kemudian akan memikat mereka dalam pertemuan yang akan memudahkannya menembus SIS dan mengetahui bagaimana operasi mereka.
Pertama-tama Schellenberg harus meyakinkan Best bahwa dia sungguh-sungguh bekerja melawan Nazı. Ketika dia kembali ke Belanda dari Jerman pada 30 Oktober, dia membawa dua orang teman tentaranya. Salah satunya berambut perak, dengan ketampanan model lama yang membuatnya seolah-olah seperti seorang aristokrat yang merasa kecewa dan menunggu waktu untuk menjatuhkan Nazi. Itu memang penyamaran yang masuk akal—banyak orang dari kalangan atas Jerman yang memandang Hitler sebagai orang biasa yang baru saja menjadi kaya.
Mereka menyeberang perbatasan, menuju Arnhem, tempat yang disetujui Best untuk pertemuan mereka. Tapi Best tidak ada di sana. Mereka menunggu. Setelah tiga per empat jam, ketika mereka mulai berpikir untuk pergi, mereka melihat dua bayangan mendekati mobil mereka. Tapi mereka bukanlah agen Inggris yang mereka tunggu. Mereka adalah petugas kepolisian Belanda. Mereka masuk ke dalam mobil Schellenberg dan dengan kasar memerintahkan untuk berjalan menuju ke kantor polisi.
Ini sama sekali bukan rencana Schellenberg. Dia bermaksud menipu mereka, tapi sekarang tampaknya mereka justru menangkapnya. Kepala Dinas Intelijen Luar Negeri tentu sangat berharga.
Di kantor polisi, Schellenberg dan teman-teman tentara nya diperiksa dengan teliti. Pakaian dan barang-barang mereka diperiksa dari atas sampai bawah. Di dalam saku tas salah satu teman Schellenberg yang terbuka dan siap diperk terdapat sekantung kecil aspirin. Sayangnya, itu bukan aspirin biasa. Aspirin itu adalah tipe khusus yang dikeluarkan untuk SS (schutzstaffel), korps militer elite Nazi, dan berlabel SS Sanitaetschauptamt (obat dinas utama khusus untuk SS) Ketika Schellenberg melihat pil-pil itu, wajahnya pucat pasi.
Schellenberg berpikir cepat, dia melihat ke sekeliling ruangan. Beruntunglah dia, karena petugas polisi yang memeriksa barang-barang sedang sibuk dengan tas lainnya. Dengan tangkas Schellenberg mengambil bungkusan aspirin itu dan menelan semuanya bersama dengan bungkusnya. Rasa pahit masih terasa di mulutnya ketika terdengar ketukan di pintu. Yang datang adalah Klop alias Coppens, teman agen Best. Schellenberg hanya dapat mengkhawatirkan hal terburuk yang akan datang.
Ternyata Klop datang untuk menyelamatkan mereka. Dia meminta maaf yang sedalam-dalamnya untuk ketidaknyamanan yang harus mereka rasakan. Dia meyakinkan mereka bahwa itu semua terjadi karena kesalahpahaman. Tapi Schellenberg tidak bodoh. Dia sangat mengerti apa yang sedang terjadi. Pihak Inggris dan Belanda masih mencurigai mereka, dan yang baru saja terjadi adalah sebuah ujian untuk mengungkapkan siapa sebenarnya mereka. Jika polisi berhasil menemukan sesuatu yang mencurigakan, seperti aspirin SS, mereka akan ditahan.
Schellenberg sangat beruntung. Kertas perak pembungkus aspirin mencegah penyerapan obat itu dalam perutnya, yang jika terjadi dapat merusak tubuhnya.
Sejak saat itu, semua berjalan mulus bagi pihak Jerman. Mereka menuju ke markas besar SIS di Hague, dan dijamu dengan minuman anggur dan makan malam secara mewah. Hari berikutnya, Schellenberg dan teman-temannya diberi sebuah radio set dan nama panggilan. Mereka diminta untuk terus berhubungan melalui radio itu, dan pertemuan berikutnya akan segera diatur. Mereka saling berjabat tangan dan segera kembali ke perbatasan Jerman.
Setelah beberapa minggu, Schellenberg melakukan kontak harian dengan kelompok Best. Dua pertemuan berikutnya dijalankan, dan dia sekarang sangat yakin bahwa mereka menerimanya secara penuh.
Tapi kemudian hal yang tidak diharapkan terjadi. Gangguan itu tidak lain datang dari Heinrich Himmler kepala SS. Ada sebuah rencana pembunuhan yang ditujukan untuk Hitler—sebuah bom meledak tidak lama setelah dia meninggalkan sebuah perayaan di Munich. Hitler yakin bahwa SIS ada di balik rencana itu, dan meminta agar Best dan teman-temannya segera ditangkap.
Schellenberg memprotes keras. Ini dapat merusak rencana yang sudah dipikirkannya dengan hati-hati.
"Pihak Inggris sudah dapat kita bodohi," dia berdalih. "Coba pikirkan, berapa banyak informasi yang dapat aku pancing keluar dari mereka."
Tapi Himmler berucap pendek, "Sekarang, dengarkan aku. Tidak ada tetapi, yang ada hanya perintah Fuhrer—yang akan kau kerjakan."
Jadi, itulah yang terjadi.
Karena tidak ada pilihan, Schellenberg membuat rencana. Dia sudah menyusun agenda pertemuan berikutnya dengan pihak Inggris—di Venlo, sebuah kota kecil di perbatasan Belanda-Jerman. Dia sekarang menghubungi Alfred Naujocks dari SS dan membentuk satu pasukan yang terdiri dari 12 anggota SS untuk bergabung dengannya. Schellenberg memberi penjelasan singkat dan segera menuju perbatasan dengan orang-orang tersebut.
Naujocks berkarakter kejam, yang dikenal sebagai "orang yang memulai Perang Dunia II". Dua bulan sebelumnya, dia dan satu pasukan yang berisi orang-orang pilihan menggunakan seragam petugas kepolisian. Mereka berpura-pura melakukan penggerebekan pada sebuah stasiun radio milik Jerman di perbatasan Jerman-Polandia. Situasi ini memberikan kesempatan pada pihak Nazi untuk mengklaim bahwa mereka telah diserang Polandia, dan menjadi sebuah alasan untuk meyakinkan bangsa mereka sendiri, juga masyarakat dunia, untuk menyerang Polandia yang ingin mereka jadikan koloni Jerman.
Anehnya, Naujocks tidak terkesan pada Schellenberg, dan kemudian menjulukinya "si kecil bermuka pucat". Dia bertanya-tanya apakah dia sanggup menjalankan tugas mereka yang pasti sangat berbahaya ini.
Pertemuan dengan Best dilaksanakan pada pukul 02.00, di Cafe Backus, yang disituasikan sebagai wilayah netral, tidak dikuasai pihak manapun, di perbatasan Jerman-Belanda. Schellenberg merasa sangat gelisah dan memesan sebuah brandy untuk mengurangi ketegangan.
Akhirnya, pada pukul 15.20, hampir terlambat setengah jam, mobil Buick milik Best muncul. Mobil itu berbelok menuju gang di samping cafe. Best dan Klopk tapi Steven tetap tinggal di dalam mobil. Schellenberg berjalan seolah-olah akan menyambut mereka, tapi saat itu juga terdengar suara tembakan dan deru sebuah mobi ujung jalan. Itu adalah pasukan SS yang sejak tadi mengintai dari sisi jalan lain. Mobil itu mengarah tepat ke tengah-tengah arena tembak-menembak itu. Situasi ini melanggar semua peraturan tentang keadaan netral— Belanda tidak dalam keadaan perang dan pasukan Jerman tidak punya hak untuk melintas perbatasan.
Kekacauan terjadi begitu cepat. Klop menarik pistol dan menembak ke arah Schellenberg yang berlari ke sisi yang lain. Mobil pasukan SS berhenti di ujung gang. Ada prajurit yang tergantung di pintunya dan dua senapan mesin bertengger di spatbor depan. Klop menunduk dan mengubah arah bidikannya. Dia melepaskan tembakan, dan sekali lagi menembak, nyaris mengenai Naujocks di kursi depan. Dia melompat dan membalas tembakan dari balik pintu mobil yang terbuka, sementara anak buahnya berpencar untuk melindunginya, senjata mereka terus menyalak.
Naujocks berlari ke arah Schellenberg dan berteriak di depannya "Pergi dari sini! Setelah ini, giliranmu kena tembak!"
Schellenberg menunduk mengitari sudut untuk menghindari tembakan dan berlari mendekati seorang prajurit SS. Sayangnya, orang ini tidak mendapat briefing dan tidak mengenali Schellenberg. Orang itu mengira dia adalah Best, karena keduanya sama-sama memakai kacamata. Prajurit itu menangkapnya dan menodongkan pistol ke wajahnya.
Jangan bodoh," kata Schellenberg. "Jauhkan senjata itu dariku!"
Terjadilah pertarungan dan prajurit SS itu menarik pelatuk pistolnya. Schellenberg memegang tangannya dan merasa sebutir peluru berdesing di atas kepalanya. Saat itu Naujocks berlari dan memberitahu prajurit tersebut bahwa dia menangkap orang yang salah untuk kedua kalinya dalam satu hari, dia mungkin telah menyelamatkan nyawa "si kecil bermuka pucat".
Schellenberg memandang ke sekeliling sudut dan melihat Klop sudah terjatuh. Dia tertembak dan sekarang mencoba menyeberang jalan, dia menembakkan sisa-sisa peluru yang masih ada di pistolnya, tapi itu semua tak berguna. Senapan mesin ditembakkan dan mengenai lututnya, dia beringsut hingga akhirnya tak sadarkan diri. Saat juga pasukan SS menyeret Best dan Steven masuk ke dalam mobil mereka. Dua orang anggota SS berhenti untuk mengangkut Klop juga, mengikatnya ke mobil seperti sekarung kentang, tapi dia sudah mati. Mobil Jerman itu dijalankan memasuki wilayah mereka sendiri dengan deru mesin yang sangat keras dan jejak karet yang terbakar di atas aspal.
Setelah mereka meninggalkan lokasi, terasa ada keheningan yang aneh. Orang-orang yang akan melintas perbatasan dan para penjaga bermunculan dari pintu dan rumah-rumah, dan berdiri dengan mulut terbuka—tak bergerak. Asap mobil, karet yang terbakar, dan bau sisa-sisa selongsong peluru menyengat tajam. Genangan darah di mana-mana, kilauannya menambah suramnya suatu sore di musim gugur yang hampir lewat.
Operasi ini menghasilkan sukses besar untuk Schellenberg. Dia banyak belajar tentang metode SIS dan memusnahkan cabang kelompok Z di Belanda. Ancaman besar bagi Nazi telah dihapuskan oleh operasi ini dan perang baru berlangsung selama dua bulan.
Kelanjutannya
Insiden Venlo itu merupakan kesalahan besar yang memalukan pihak Dinas Rahasia Inggris dan menimbulkan reaksi hebat. Hitler memanfaatkan momen ini sebagai alasan untuk menyerang Belanda, tahun 1940, dengan mengklaim bahwa peristiwa ini membuktikan Belanda tidak netral sama sekali. Selanjutnya, ketika warga Jerman yang sungguh-sungguh bertentangan dengan Hitler mencoba untuk menghubungi agen intelijen Inggris, mereka diperlakukan dengan penuh kecurigaan dan pendekatan ini tidak pernah berhasil.
Setelah penangkapan, Best dan Steven diinterogasi oleh pihak Jerman dalam waktu yang sangat lama, dan mereka memberikan banyak informasi, Steven bahkan membawa daftar seluruh agen Inggris di Belanda saat dia masuk dalam perangkap Jerman.
Kedua orang ini dikirim ke kamp konsentrasi Sachsenhausen sampai akhir masa perang. Mereka bebas ketika kamp itu berhasil direbut pasukan Amerika pada April 1945. Steven meninggal pada 1965 dan Best tahun 1978.
Karir Schellenberg terus menanjak. Dia menjadi Kepala Intelijen Luar Negeri Nazi. Setelah perang, dia menetap di Italia, dan meninggal pada 1952. Naujocks juga selamat dari perang dan meninggal pada 1960.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246667/penangkapan-di-venlo" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650818637000) } } [15]=> object(stdClass)#173 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246657" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#174 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/3_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420075936.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#175 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Dusko Popov, aristokrat Yugoslavia, menipu Dinas Rahasia Jerman di Lisbon. Ada yang menganggap sosok konkretnya menjadi ilham sosok rekaan James Bond." ["section"]=> object(stdClass)#176 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/3_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420075936.jpg" ["title"]=> string(25) "Kehidupan Mewah di Lisbon" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:40:07" ["content"]=> string(21127) "
Intisari Plus - Dusko Popov, aristokrat Yugoslavia, menipu Dinas Rahasia Jerman di Lisbon. Ada yang menganggap sosok konkretnya menjadi ilham sosok rekaan James Bond.
---------------------------------------
Kebanyakan mata-mata itu tidak bernama, laiknya orang orang biasa yang mengaburkan latar belakangnya, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka yang mematikan tanpa diketahui dan tanpa diingat. Seperti yang dikatakan William Colby, kepala CIA selama tahun 1970-an, "Mata mata yang ideal adalah orang berkulit abu-abu yang sulit menarik perhatian seorang pelayan di restoran."
Tidak begitu dengan Dusko Popov. Dia adalah pria tampan yang dikelilingi gadis-gadis, bergaya hidup mewah, dan gemar berjudi. Gaya hidup ini ditiru oleh peran mata-mata fiksi terkenal yang dibuat lan Fleming, James Bond alias agen rahasia 007.
Sebagian besar hidup Popov mirip seperti isi novel. Pada suatu malam tahun 1941, misalnya, dia berdiri di samping meja roulette di tengah kemewahan Estoril Casino di Portugal yang penuh asap rokok. Seorang wanita berambut pirang di sampingnya menyelipkan tiga kepingan ke meja berwarna hijau. Angka yang dipilihnya adalah 22, 18, dan 15. Wanita itu memandang dan menatap matanya. Popov mengangguk. Wanita itu kemudian menempatkan keping keempat pada angka nol. Popov kembali mengangguk. Roda roulette berputar dan keheningan meliputi orang-orang di sekitar meja ketika bola itu terus bergerak di antara slot-slotnya.
Popov tidak terlalu peduli pada angka berapa bola akan berhenti. Aktivitas yang lebih penting sudah dilaksanakannya sebelum roda berputar. Wanita itu, dialah sekretaris pribadi pemimpin intelijen militer Jerman di Portugal, tidak sang sungguh berjudi. Dia sedang mengatur pertemuan Popov dan bosnya. Angka pertama mengacu pada tanggal, angka kedua mengacu jam, dan ketiga menunjukkan menit 18:15 tanggal 22. Angka keempat memberitahu Popok lokasi pertemuan akan diadakan. Sesuai dengan perjanjian sebelumnya: nol berarti Lisbon.
Sama seperti yang biasa dilakukannya, Popov menunggu untuk melihat di mana bola akan berhenti. Dia tahu dari pengalaman sebelumnya, wanita itu bukan pemain beruntung, dan saat ini bukan perkecualian. Dia tersenyum pada diri sendiri dan meninggalkan gedung, melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada seorang pun yang mengikutinya.
Popov menjalani kehidupan rumit yang membutuhkan kecerdasan serta kecepatan mengingat dengan tepat dia harus menjadi sapa, saat berhubungan dengan beberapa orang yang berbeda. Malam itu dia mengadakan pertemuan dengan pihak Jerman. Mereka mempekerjakannya untuk -mata pihak Inggris dan Amerika selama Perang Dunia II. Popov sebenarnya agen ganda. Jerman membarnya untuk menjadi mata-mata. Dia harus selalu waspada dan siap bertindak.
Dia dilahirkan di tengah-tengah keluarga aristokrat di pelabuhan Yugoslavia, Dubrovnik, yang sekarang berada di Kroasia. Popov adalah seorang playboy. Meskipun tidak bekerja, dia cukup kaya. Dia menghabiskan hari-harinya keluar-masuk hotel dan tempat peristirahatan mewah di Eropa, berkumpul bersama orang-orang terkaya dan paling berpengaruh di seluruh dunia. Tapi ada hal lain yang dimiliki Popow selain klub malam, kasino, dan banyak teman wanita. Dia mampu berbicara dalam sebagian besar bahasa Eropa, memiliki jiwa petualang, dan memiliki kemampuan yang kuat untuk menilai apa yang benar dan apa yang salah. Sejauh ini, Popov menilai Nazi adalah pihak yang paling bersalah Ketika Perang Dunia II terjadi pada 1939, dia berada di Sekolah Dasar.
Abwehr (dinas rahasia Jerman) adalah pihak pertama yang mendekati Popov. Hubungannya dengan organisasi iin melalui Johnny Jebsen, temannya, seorang Jerman yang sangat kaya. Dia dan Popov sudah saling mengenal sejak mereka bersama. Setelah sebuah aksi penghinaan terhadap pemerintah yang dilakukan oleh mahasiswa. Jebsen memberi sebuah rencana untuk membebaskan Popov dari tahanan polisi, dan sekarang Jebsen sangat mengharapkan balas dari Popov. Jebsen memintanya untuk membuat sebuah daftar politisi Yugoslavia yang bersedia bekerja dengan Nazi, jika Jerman menyerang negaranya.
Ini adalah pendekatan yang salah, mengingat pandangan Popov terhadap Nazi. Meskipun dia menyetujui permintaan temannya, dia segera pergi ke beberapa kenalannya yang memiliki koneksi dengan dinas rahasia Inggris. Dia menjalani hubungan dengan mereka, melaporkan apa yang sedang diminta, dan menawarkan diri untuk bekerja pada mereka. Pihak Inggris mengetahui adanya kesempatan emas, dan semakin bersemangat untuk memanfaatkan Popov menjadi agen di sistem XX (Double Cross), yang dijalankan oleh John Masterman, pemimpin mata-mata, dan diberi nama sandi. "Tricycle".
Sekarang giliran Popov melakukan pendekatan terhadap Jebsen. Dia mengatakan pada Jebsen, dia punya seorang teman di London yang mau menjadi mata-mata untuk Jerman. Popov juga menyarankan agar dia ditempatkan di posisi netral di Portugal, berperan sebagai usahawan di pusat kota, Lisbon. Dari Lisbon dia dapat melakukan perjalanan rutin ke London, untuk mengumpulkan materi-materi rahasia dari agennya di sana, dan bahkan mungkin merekrut orang lain untuk menjadi mata-mata di Inggris. Pihak Jerman merasa itu adalah ide yang bagus. Inilah awal mula bagaimana dia mengatur pertemuan rahasianya via kepingan roulette di Estoril Casino dekat Lisbon.
Keseluruhan skema ini, tentu saja, merupakan rangkaian kebohongan yang rumit. Yang diinginkan Popov sebenarnya adalah mengambil informasi dari Jerman, mengantarkannya ke London, kemudian membawa kembali informasi yang menyesatkan untuk dinas rahasia Jerman.
Ini adalah permainan yang sangat berbahaya, namun dilakukan dengan sangat memesona. Popov menempatkan diri di Lisbon pada 1940 dan dia berhubungan dengan pemimpin intelijen Jerman, von Karsthoff. Dia—sebagaimana—seharusnya pergi ke London, dan kembali dengan setumpuk dokumen palsu dari mata-mata yang sebenarnya tidak ada. Semua dibuat dengan hati-hati untuk menyesatkan dinas rahasia Jerman. Pada salah satu perjalanan dari London ke Lisbon, Popov ditemani Ian Fleming, yang bekerja untuk Dinas Intelijen Inggris. (Pertemuan inilah yang membuat orang yakin Fleming mendasarkan karakter James Bond pada Popov sebagai sumber idenya, namun Fleming selalu menyangkal).
Saat pimpinan von Karsthoff di Berlin membaca dokumen yang dibawanya dari London, mereka sangat senang. Popov segera dihadiahi $10,000, yang saat itu sangatlah besar nilainya. Popov menjalankan permainan ini selama satu setengah tahun, dan pihak Jerman menerima semua yang dibawanya.
Tapi Popov tidak secerdas yang dibayangkannya. Johnny Jebsen, temannya, mengetahui Popov juga bekerja untuk pihak Inggris. Jika Jebsen mengungkapkan hal ini, Popov akan disiksa dan dihukum mati. Namun Popov sangat beruntung, hubungan persahabatannya dengan Jebsen lebih kuat dari loyalitas politik atau negara manapun, dan Jebsen tidak mengkhianatinya. Lagi pula Popov merasa temannya ini semakin menjadi anti-Nazi seperti dirinya, meskipun mereka tidak pernah mendiskusikannya secara terbuka.
Jebsen mulai memperingatkan Popov jika koleganya di Abwehr melakukan pengecekan rutin terhadap aktivitas Popov. Dia juga menyampaikan pada Popov beberapa berita menarik yang didengarnya di Berlin. Salah satu isu yang disampaikan Jebsen adalah bahwa salah satu sekutu Jerman, yakni Jepang, berencana melakukan serangan udara mendadak di pangkalan Angkatan Laut Amerika. Informasi ini masih samar-samar, tapi cukup mengherankan. Banyak orang memang sudah mengira Jepang berencana menyerang Amerika, dan tampaknya ini menegaskan bahwa mereka memang berniat melakukannya.
Laporan ini semakin tampak mendekati kebenaran ketika von Karsthoff memanggil Popov untuk mengatakan bahwa dia akan dikirim ke Amerika untuk membentuk lingkaran mata-mata di sana. Pada saat itu Jerman dan Amerika tidak sedang berperang, tapi Amerika adalah pendukung kuat Inggris, salah satu musuh terbesar Jerman. Di antara sekian banyak tugas yang diberikan, salah satunya adalah mencari tahu sejauh mana kesiapan Angkatan Laut Amerika untuk berperang. Salah satunya dengan mengunjungi Kepulauan Pasifik di Hawaii untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang Pearl Harbor, pangkalan Angkatan Laut yang ada sana.
Von Karsthoff juga menunjukkan sesuatu yang menarik.
"Lihatlah ini," katanya berseri-seri dengan penuh kebanggaan."Ini, Herr Popov, adalah sesuatu yang belum pernah teradi sebelumnya dan sangat luar biasa."
Dia kemudian mengeluarkan kotak kecil penuh dengan segi empat hitam, yang panjangnya masing-masing tidak lebih dari 2 mm.
"Ini adalah microdots, Herr Popov. Anda adalah agen pertama yang dilengkapi dengan ini. Anda harus mengambilnya dengan penjepit, dan ini berisi berlembar-lembar informasi, yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Satu lembur dokumen difoto dan filmnya diperkecil hingga ukuran tang sangat kecil. Anda dapat menyembunyikannya, tentu saja, dengan sangat mudah—di bawah prangko surat, bahkan di bawah kulit—lihatlah, titik ini tidak lebih besar dari sebuah bintik di wajah."
Popov terpesona, dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan pihak Inggris dan Amerika terhadap teknologi baru yang mengagumkan ini. Von Karsthoff menyuruhnya meninggalkan ruangan dengan sebuah tepukan mantap di punggung Popov.
"Saat Anda berada di Amerika, Herr Popov, kami akan mengirimkan semua perlengkapan yang Anda butuhkan untuk membuat microdots ini," katanya.
Saat terbang ke Amerika pada Agustus 1941, Popov dibekali $20.000 (sekarang senilai $400.000) untuk membangun jaringan mata-mata. Perang terus berlanjut. Baru dua bulan sebelumnya Jerman menyerang Uni Soviet. Tentara Soviet hancur, dan sekarang tentara Jerman bersiap menghadapi Moskwa.
Berita ini mengejutkan Popov. Kesedihan ini juga dirasakan setiap orang yang membenci Nazi, tapi dia menghibur diri dengan berpikir bahwa perjalanan ini dilakukan untuk memberikan masalah yang tidak pernah berakhir bagi pihak Jerman. Berita yang didengarnya tentang Pearl Harbor tidak terlalu sensasional. Dia juga memberikan kesempatan emas pada pihak Amerika untuk membuat dan mengontrol lingkaran mata-mata Jerman di negara mereka sendiri. Dengan demikian, mereka dapat mengawasi dengan lebih dekat, dan memberikan informasi yang salah untuk membingungkan pihak Jerman. Dan dengan microdots, dia membawa perlengkapan paling mutakhir mata-mata Nazi berteknologi tinggi. Apakah Amerika akan menerima dengan tangan terbuka?
Ternyata, tidak—mengeja nama 'Popov' bagi orang Amerika sudah memberikan kesulitan tersendiri. Segera setelah sampai di Amerika, dia menghubungi FBI (Federal Bureau of Investigation), sebuah cabang pemerintah Amerika yang salah satu di antara sekian banyak tugasnya adalah mengawasi kegiatan anti-mata-mata. Mereka tidak mengizinkan Popov merekrut mata-mata. Mereka sangat curiga terhadap Popov dan ingin mengontrol segala macam jaringan mata-mata palsu yang ada. Mereka mengancam akan menangkapnya jika dia mencoba pergi ke Hawaii dalam rangka misi mata-mata palu untuk Jerman. Yang terburuk adalah mereka menolak mempercayai peringatannya tentang rencana Jepang menyerang Pearl Harbor.
"Informasi Anda sangat tepat," kata mereka. "Anda mengatakan dengan rinci di mana, kapan, bagaimana, dan oleh siapa kami akan diserang. Bagaimanapun ini seperti jebakan."
Orang yang paling tidak menyukai Popov adalah J. Edgar Hoover, direktur FBI. Hoover adalah orang yang aneh, menekan, dan sangat sopan, yang senantiasa menilai dengan cara yang sangat suram tentang personal immorality orang lain. Popov, dengan cara hidupnya yang tidak wajar, telah memasuki masyarakat New York dengan gaya hidup mewah, membeli apartemen mewah, mengunjungi klub-klub terkenal, dan memperoleh teman-teman wanita yang sangat mempesona.
Hoover membuat sebuah penghinaan dengan jelas:
"Aku menjalankan organisasi polisi yang paling bersih di seluruh dunia. Kemudian Anda datang, entah dari mana, dan dalam waktu enam minggu Anda menempatkan diri Anda di Park Avenue dan mulai berburu bintang film. Kukatakan padamu, aku sama sekali tidak suka."
Apa yang ingin dilakukan Hoover sebenarnya adalah memanfaatkan Popov sebagai pancingan untuk memikat mata-mata yang sebenarnya. Dia tidak mengetahui bahwa orang seperti Popov terlalu berguna jika hanya digunakan untuk hal seperti itu.
Popov menetap di Amerika dalam waktu yang lama untuk melihat bahwa prediksinya menjadi kenyataan. Jepang benar-benar menyerang Amerika di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Akhirnya, FBI mengizinkan Popov untuk merekrut seorang mata-mata palsu. Orang ini kemudian mengirimkan informasi yang tidak benar pada pihak Jerman. Namun, pihak FBI tidak akan mengatakan isi pesan tersebut pada Popov. "
Ketika Jerman mengirimkan kurir ke Amerika untuk membawa perlengkapan microdots, Popov harus meminta dan memohon dengan sangat pada FBI agar tidak menangkap orang ini sebagai mata-mata karena hal itu dapat membuka kedok Popov. Ini merupakan usahanya yang terakhir. Popo meminta dikirim kembali ke Lisbon.
Koneksi Popov di Inggris tidak senang dengan perkembangan ini, terutama karena Popov tidak tahu isi pesan yang dikirimkan mata-mata palsu itu atas izin FBI. Jika Jerman menanyakan kepadanya tentang pesan ini, mereka akhirnya nanti akan sangat curiga. Jika mereka menyadari Popov selama ini adalah seorang agen ganda, dia akan disiksa dan dibunuh. Tapi Popov bertekad untuk kembali ke Lisbon. Koneksi rahasia Popov di Inggris, Letkol Ewen Montagu, menamainya "Contoh terbesar orang yang sangat berani dan berdarah dingin" yang pernah dikenalnya.
Saat kembali ke Portugal, von Karsthoff sangat marah. Apa yang dapat ditunjukkan Popov dengan semua uang yang telah diberikan padanya? Di mana jaringan mata-mata yang harus dibuatnya? Bagaimanapun Popov mencoba memberikan yang terbaik: dengan marah dia mengatakan pada von Karsthoff dia tidak diberi uang yang cukup untuk menjalankan misinya dengan sempurna.
Tapi ada berita gembira juga. Johnny Jebsen datang dari Berlin untuk menemuinya. Di saat pertama, Jebsen secara terus terang menjelaskan bahwa dia sudah berbalik melawan Nazi. Selama Popov berada di Amerika, pihak Jerman menyerang Yugoslavia, dan Jebsen sekarang mengusulkan agar mereka berdua membantu membuat rute pelarian untuk warga Yugoslavia yang ingin melarikan diri dari Nazi. Mereka ingin diam-diam membawa orang-orang Yugoslavia menyeberangi Laut Mediterania ke Lisbon, dan dari sana menuju London. Ini adalah rute perjalanan yang sangat panjang dan berputar-putar, apalagi karena sebagian besar wilayah Eropa berada di bawah kekuasaan Nazi.
Rencana itu dapat dijalankan dengan sangat sukses, sekitar 150 orang dapat diselundupkan keluar. Tetapi ketika salah seorang pelarian menghilang di antara Lisbon dan London, Popov dan Jebsen takut kalau-kalau Nazi telah mengirimkan salah satu mata-matanya dalam rute pelarian mereka, dan bertanya-tanya apakah mereka sedang dikhianati.
Dalam salah satu perjalanannya ke London, Popov mengetahui bahwa memang hal itulah yang tengah terjadi meskipun mereka tidak tahu apakah kedoknya dan Jebsen terbongkar. Koneksi Popov di Inggris memintanya untuk tidak kembali ke Lisbon, tapi sekali lagi dia mengambil risiko besar dan kembali. Dia tertarik kembali ke Lisbon terutama karena ingin merekrut Jebsen menjadi mata-mata untuk Inggris.
Ketika Popov sampai di Lisbon, pertama-tama dia pergi ke kantor Karsthoff untuk menyampaikan laporan sebagaimana biasanya. Ketika sampai di sana, Karsthoff sedang keluar dan dia diminta menunggu. Popov langsung curiga, ada sesuatu yang salah. Saat itu dia membawa pistol, dan siap dipakai jika dia melihat tanda-tanda ada masalah. Dia tegang menunggu, melihat keluar jendela. Dia kemudian mendengar suara Karsthoff di belakangnya.
"Berputar perlahan-lahan, Popov, dan jangan membuat gerakan apapun yang tiba-tiba."
Popov merasa tubuhnya membeku. Dia sudah dikhianati. Saat dia hendak mengambil pistol untuk menembak dirinya sendiri, dia melihat bayangan Karsthoff di jendela. Ada seekor monyet di pundaknya.
"Seorang agen dari Afrika memberikan ini untukku," kata von Karsthoff sambil tertawa. "Dia belum jinak dan mungkin menggigitmu jika dia ketakutan."
Berhasil lolos atau tidak, insiden itu dirasakan sebagai suatu pertanda. Tampaknya keberuntungan Popov mulai menjauh. Da menemui Jebsen lagi dan berhasil merekrutnya sebagai mata-mata Inggris. Tapi seminggu berikutnya, ada petunjuk yang sangat jelas bahwa pihak Jerman mulai mengejarnya. Suatu sore, mobil Popov meledak tidak lama setelah dia memarkirnya di pantai. Lalu, setelah kesuksesan besar di sebuah kasino, dia melihat teman wanitanya menggeledah barang barang miliknya. Tapi dia masih selamat.
Akhirnya, dia mendengar bahwa Jebsen telah dikhianati koleganya, dan ditahan. Popov tidak bisa lagi bermain-main dengan takdir. Dia segera naik pesawat pertama ke London, tempat dia tinggal selama masa perang.
Kelanjutannya
Johnny Jebsen meninggal di tangan Gestapo, takdir yang dengan mudah dihindari oleh Dusko Popov. Setelah perang. Popov menetap di Inggris dan menjadi warga negara Inggris. Dia melanjutkan hidupnya, sama seperti yang biasa dilakukan. Dia menjadi usahawan dengan bisnis internasional, menang dan kalah, dengan serangkaian keberuntungan dalam keperluan bisnis dari Eropa hingga Afrika Selatan. Pada 1974, da menerbitkan buku pengalamannya selama masa perang Judulnya "Spy/Counter Spy". Istri keduanya, yang memberikan empat orang anak, tidak tahu apa yang dilakukan suaminya selama masa perang sampai dia membaca bukunya. Dia kemudian menetap di Prancis Selatan dan meninggal dunia di sana pada 1981. Saat itu, usianya 70 tahun.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246657/kehidupan-mewah-di-lisbon" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650818407000) } } [16]=> object(stdClass)#177 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246648" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#178 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/2_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420075334.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#179 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Yevno Azef, mata-mata untuk polisi rahasia Rusia, menyamar di antara kelompok revolusionis di St. Petersburg. Sampai kapan dia dapat dipercaya?" ["section"]=> object(stdClass)#180 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/2_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420075334.jpg" ["title"]=> string(21) "Agen Ganda untuk Czar" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:37:00" ["content"]=> string(20700) "
Intisari Plus - Yevno Azef, mata-mata untuk polisi rahasia Rusia, menyamar di antara kelompok revolusionis di St. Petersburg. Sampai kapan dia dapat dipercaya?
---------------------------------------
Pada dekade sebelum masa revolusi komunis tahun 1917, Rusa memiliki andil yang lebih besar. Banyak revolusionis fanatik yang bersedia mengorbankan hidupnya untuk mengembangkan apa yang mereka anut. Ada dukungan dari Kerajaan Rusia, yang juga bersiap menghadapi segala ancaman bagi posisi mereka.
Dalam situasi seperti ini selalu ada orang berdarah dingin yang mencoba mengambil keuntungan. Sosok seperti Yevno Azev dideskripsikan seorang penulis biografi sebagai "orang dengan karakter yang paling menyedihkan dalam sejarah revolusi Rusia", dia suka mengkhianati dan menghancurkan orang-orang yang menghalangi langkahnya. Tidak seperti mata-mata lainnya, yang termotivasi oleh moral atau pendirian yang kuat, Azev hanya memperhatikan satu hal: uang.
Kisahnya berawal dari Provinsi Grodniensky, Rusia—pada tahun 1869. Lahir dari orangtua Yahudi yang miskin, Azev, seperti semua Yahudi-Rusia, menghadapi hidup penuh siksaan. Meskipun hidup dalam kemiskinan, Azev muda sangat cerdas dan berhasil di sekolahnya. Tapi sejak dia meninggalkan rumah pada 1890, hidupnya jadi tidak menentu, dan dia berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Seperti anak muda yang lain, dia menceburkan diri dalam politik sayap kiri, dan pada 1892 dia menandatangani manifesto politik yang mencela penguasa Rusia, The Czar. Hal sampai ke telinga Okhrana, dinas polisi rahasia yang ditakuti. Ketika Okhrana mulai menangkapi semua orang yang menandatangani dokumen tersebut, Azev terpaksa melarikan diri. Tujuan akhirnya adalah Karlsruhe, Jerman, tempat dia melanjutkan pendidikannya di universitas lokal di jurusan teknik elektro.
Banyak teman kuliah Azev yang juga pelarian dari Rusia Dia bergabung dengan sebuah kelompok yang bergerak di bidang politik, namanya Social Democratic Society. Di perkumpulan inilah dia bertemu dengan para pemuda yang berseberangan keras dengan rezim Czar, yang bersiap menyerahkan hidup mereka dalam perjuangan menjatuhkan Czar.
Karena kemiskinan dan penderitaan, Azev melakukan segala hal untuk mendapatkan uang. Dia menulis surat kepada Dinas Kepolisian Rahasia Okhrana, menawarkan diri untuk mata-matai para mahasiswa revolusionis ini. Pihak Okhrana menguvestigasi Azev dan menyukainya. Laporannya berbunyi:
"Dia cerdas dan pandai membuat tipuan. Dapat diasumsi kan bahwa kerakusannya terhadap uang dan kebutuhannya saat ini membuatnya sangat bersemangat menjalankan tugasnya."
Penilaian yang sangat tepat. Azev mulai menerima gaji—50 rouble dalam sebulan—yang dapat membuatnya hidup dalam kenyamanan. Pintarnya, dia menimbun sebagian besar pendapatannya dan tetap menjalani hidup dengan sangat sederhana. Ketika menggunakan uang itu, dia mengatakan pada teman-teman mahasiswanya bahwa dia menerima bantuan dari yayasan Yahudi untuk membiayai pendidikannya.
Dengan berada di dua pihak yang berbeda, karir Azev terus meningkat. Dalam perkumpulannya, dia mengambil posisi penting tentu saja dibayar tinggi—mengorganisasi dan mengkoordinasi berbagai kelompok revolusionis yang anti-Czar yang mengasingkan diri hingga ke Eropa. Dalam perjalanannya dia menyeberang ke organisasi lain yang bahkan lebih radikal, namanya Union of Social Revolutionaries, dan dia bergabung dengan mereka. Selama perjalanan dan s negara ke negara lain, dia mengirimkan berkas-berkas informasi yang cukup banyak kepada Okhrana tentang musuh-musuh Czar yang mengasingkan diri ke Eropa
Karena sangat terkesan dengan laporan Azev, kepala Okhrana, namanya S.V. Zubatov, memberikan perhatian khusus. Dia mengakui Azev adalah orang yang sangat lick dan tidak bermoral—banyak orang yang seperti dia, sebenarnya—dan dia ingin membuat lebih banyak lagi agen-agen bernilai tinggi seperti dia. Yang ada dalam pikirannya adalah menggunakan Azev sebagai agen provokator—seorang yang bekerja dalam kelompok revolusionis, membujuk mereka untuk melakukan aksi kekerasan, sehingga mereka dapat didiskreditkan atau dihukum. Zubatov akan membayar Azev lebih dari yang lain sehingga dia merasa sangat aman dengan loyalitasnya.
Atas perintah Zubatov, Azev kembali ke Rusia pada 1901 dan diberi uang untuk pindah ke Moskwa agar dapat bergaul dengan revolusionis anti-Czar. Dia menjadi anggota yang terkenal dan dipercaya dalam kelompok yang disebut Social Revolutionaries, dan segera memberikan informasi terinci kepada Okhrana tentang pemimpin-pemimpin kelompok ini, dan lokasi percetakan rahasia yang digunakan untuk mencetak pamflet dan juga poster revolusionis. Percetakan itu disita, dan perangkapan mulai dilakukan, tapi tidak ada kecurigaan pada Azev. Social Revolutionaries justru menyalahkan manajemen yang buruk sebagai penyebab kesialan ini dan mengangkat Azev untuk memperbaikinya. Pihak Okhrana sangat puas dan mereka melipatgandakan gajinya. Azev membalasnya dengan mengkhianati pimpinan organisasi ini. Setelah pimpinannya ditangkap, gaji Azev dinaikkan sepuluh kali lipat.
Social Revolutionaries memilih pemimpin baru, seorang muda yang berapi-api bernama Gershuni. Dia sangat mempercayai Azev, dan mereka bersama-sama membuat formasi pasukan teroris, yang dinamai Combat Section. Di sinilah Azev berperan sebagai agen provokator dengan sangat serius. Tugas pertama yang diberikan pada pasukan ini adalah pembunuhan terhadap Dimitri Sipyagin, Menteri Dalam Negeri Rusia.
Meskipun pada kenyataannya Azev adalah pegawai pemerintahan Czar, dia tidak menyesal sedikitpun ketika merencanakan pembunuhan terhadap salah satu menteri yang paling penting dalam pemerintahan. Lagi pula, cara apa yang dapat dilakukan untuk membuktikan loyalitasnya pada teman-teman revolusionis? Namun, dia tetap membayangkan bahwa pihak Okhrana pasti tidak akan terlalu suka jika salah agennya membunuh seorang menteri. Dia harus menipu mereka juga.
Jadi, dalam minggu ketika pembunuhan terhadap Sipyagin direncanakan, Azev melakukan perjalanan keluar Moskwa. Dengan cara ini dia dapat mengatakan pada Okhrana bahwa rencana diubah dan dia tidak punya waktu untuk mengubah alur cerita.
Pada 5 April 1902, seorang anggota Combat Section, seperti yang telah direncanakan sebelumnya, menuju ke kantor Menteri Dalam Negeri. Dia berpakaian seragam, lengkap dengan pedang dan pistol, dan membawa amplop yang dikatakannya harus diserahkan secara pribadi kepada menteri. Dia diantarkan ke kantor Sipyagin dan menyerahkan surat tersebut. Ini adalah 'surat kematian'. Seiring dengan ketakutan yang memuncak saat membaca surat tersebut, saat itu juga dia ditembak di belakang mejanya. Segera setelah pembunuhan itu, Azev memberikan nama pembunuh itu kepada polisi, dan orang itu ditangkap.
Azev meneruskan permainannya yang luar biasa berbahaya. Teman-teman revolusionisnya menginginkan lebih banyak pembunuhan, dan Azev bersedia membantu. Pemerintah yang mempekerjakan Azev mengharapkan adanya
peringatan akan terjadi aksi kejahatan untuk kepentingan revolusi. Azev memberikan beberapa nama untuk membuat mereka senang, tetapi menyembunyikan informasi yang cukup untuk dapat tetap melanjutkan aktivitas terornya sendiri.
Pengkhianatan yang dilakukan Azev dipilih dengan hati hati—orang-orang yang berpotensi menghalangi otoritasnya dalam Combat Section, atau orang yang mungkin akan mengetahui kerjasamanya dengan pihak Okhrana. Tentu saja Gershuni dipilih. Dia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di penjara Siberia. Combat Section hancur karena kesialan ini dan memilih Azev untuk menggantikan pemimpin mereka. Promosi yang sangat bagus, sekarang ini Azev juga mengatur dana organisasi. Seperti gajinya dari pihak Okhrana, sebagian besar dana organisasi ini juga disimpannya untuk masa depan.
Meskipun keberanian dan kehebatan Combat Section berangsur-angsur menurun, kelompok ini meraih sukses yang spektakuler—beberapa beritanya tersiar ke seluruh penjuru dunia. Dengan petunjuk dan juga jadwal yang terinci yang dibuat Azev, mereka berencana membunuh Menteri Pendidikan Nicolai Bogolepov, Gubernur Ufa N.M. Bodganovich, dan Gubernur Finlandia N. I. Bobrikov. Azev selalu meminta maaf kepada Okhrana karena tidak memberitahukan beberapa serangan sebelumnya, tapi dia selalu memberikan nama pembunuh setelah kejadian. Tetap menghilangkan kecurigaan pihak Okhrana, dia merencanakan pembunuhan Dimitri Trepov, Kepala Polisi Moskow, sebanyak tiga kali. Setiap kali dia mengirimkan orang untuk membunuh Trepov, dia memberitahu pihak Okhrana terlebih dahulu dan pembunuhnya ditangkap sebelum mereka berhasil melakukan pembunuhan.
Pada 1904, Azev merencanakan gerakan Combat Section yang paling berani: pembunuhan terhadap Vyacheslav Plehve, pengganti Sipyagin dalam Kementerian Dalam Negeri. Saat menteri melintasi jalan St. Petersburg dengan kereta kuda, seorang pria kecil berkulit hitam berlari menyeberangi jalan dan memasukkan bungkusan kecil ke pangkuan Plehve. Peristiwa yang terjadi kemudian disaksikan oleh seorang jurnalis London yang mengirimkan laporan ini ke surat kabar tempatnya bekerja
"Tiba-tiba tanah di belakangku bergetar, suara gemuruh yang sangat dahsyat menulikan telingaku, jendela-jendela di kedua sisi jalan bergoyang-goyang, dan kacanya berhamburan di jalan yang berbatu. Seekor kuda yang mati, kubangan darah, potongan-potongan kereta kuda, dan sebuah lubang di tanah adalah pemandangan yang segera dapat kulihat."
Plehve adalah target yang tepat. Dialah menteri yang kejam dan dibenci banyak orang. Dia bertanggung jawab atas kekejamannya membunuh banyak musuh Czar, selain dia melarang semua perkumpulan dan pertemuan politik di Rusia. Dia juga adalah penganut paham anti-Yahudi fanatik yang kejam, dan telah melakukan banyak hal untuk melarang keberadaan orang Yahudi Rusia pada pekerjaan-pekerjaan dan pemukiman yang layak
Azev, tentu saja, punya sedikit keterlibatan dalam catatan perjalanan karir politik Plehve, meskipun anti-Yahudi, hanya selama dia memperoleh uang dari kedua pihak. Sekali lagi da meminta maaf pada Okhrana karena tidak dapat mencegah pembunuhan, tapi dia memberikan nama pelakunya.
Pembunuhan-pembunuhan lain terus berlanjut—Kepala Polisi Moskwa, pemimpin politik Yahudi, bahkan Grand Duke Sergei, Gubernur Jenderal Moskwa, yang juga paman Czar. Azev juga tetap merencanakan menjalankan pembunuhan yang akan diungkap di saat-saat terakhir, sehingga dia mendapat ucapan terimakasih untuk informasi yang dia berikan.
Segalanya mulai berubah. Tahun 1905 surat tanpa nama dikirimkan pada anggota Combat Section, yang isinya melaporkan bahwa Azev adalah mata-mata polisi Revolutionaries membuat pengadilan rahasia yang dihadiri Azev. Dia mencoba mencari jalan keluar dengan tenang. Teman-teman revolusionisnya berbaris untuk membela dirinya, memberitahu pada sidang bahwa sangat aneh jika seorang yang bertanggung jawab terhadap kematian seorang menteri Czar, Plehve, dan Grand Duke Sergei dituduh sebagai mata-mata polisi. Tuduhan ditolak.
Azev beruntung dapat bebas, tapi kepercayaan dirima mulai runtuh. Pengirim surat tanpa nama itu masih sebuah misteri. Dia merasa mendapat keamanan dari kelompok Social Revolutionaries, jadi dia menduga pengkhianatnya pasti bekerja untuk pihak Okhrana. Malapetaka berikutnya mengikuti. Pembuat bom terbaik Combat Section meledakkan dirinya sendiri. Okhrana kemudian merampas seluruh persediaan dinamit. Dia sangat yakin tidak pernah memberitahu pihak Okhrana tentang ini, akhirnya dia menyimpulkan ada agen lain yang bekerja di antara mereka. Mungkin dia juga tengah dimata-matai. Yang terburuk dari semua, seorang agen Okhrama kemudian menyeberang ke Social Revolutionaries, dengan membawa dua nama anggotanya yang menjadi mata-mata untuk Okhrana.
Salah satu nama itu adalah orang yang diduga dikirim untuk memata-matainya. Dia sudah dibunuh dengan segera. Nama yang lain adalah Azev. Sekali lagi dibutuhkan keberuntungan, dan dia berusaha meyakinkan teman-teman sejawatnya bahwa dia berada di pihak mereka.
Segera setelah itu, Azev diserang di jalan oleh dua orang penjahat. Mereka menikamnya, tapi dia dapat melarikan diri. Sekalipun mantel bulunya yang tebal itu mampu menahan pisau agar tak terlalu dalam menghunjam, tetap saja lukanya terhitung parah. Azev cukup cerdas untuk menyadari bahwa adalah peringatan dari Okhrana, untuk mengingatkan loyalitasnya. Hubungan dengan pihak Okhrana semakin buruk setelah kelompok revolusionis lain mencoba membunuh Perdana Menteri Rusia, Peter Stolypin. Ketegangan menjalani kehidupan ganda semakin besar, dan dia membubarkan Combat Section, lalu terbang ke Prancis.
"Hidupku selalu dalam ketakutan sejak penangkapan Gershuni," katanya. "Aku punya hak untuk beristirahat."
Kehidupan terlalu indah bagi Azev untuk dilewatkan. Pada awal 1907, Gershuni kembali ke St. Petersburg, melarikan diri dari penjara Siberia dengan bersembunyi di dalam tong asinan kubis. Dia bekerja dengan nama samaran, dan mulai mengampanyekan teror Social Revolutionaries. Okhrana memohon pada Azev untuk kembali bekerja. Sebuah kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dan keyakinannya pada keberuntungan, menghapus keinginannya untuk bertahan.
Ketika kembali ke Rusia, Azev berhasil menemukan rencana Gershuni untuk membunuh Czar. Dia melaporkan ini pada Okhrana, yang segera menangkap 28 orang konspirator. Sementara itu, Gershuni meninggal. Kesehatannya menurun selama berada di Siberia dan kehidupan yang pend tekanan serta ketegangan sebagai revolusionis keras memperpendek hidupnya.
Azev kembali mengatur jalannya organisasi. Dia memperingatkan teman-teman revolusionisnya bahwa merencanakan dan mempersiapkan pembunuhan tingkat tinggi sangatlah mahal. Social Revolutionaries sepatutnya menyusun sebuah usaha untuk mendapatkan dana. Azev menyedot uang ini ke rekening pribadinya dan memberikan nama para revolusionis ini pada Okhrana.
Beberapa rencana dibuat. Seorang pemuka agama bergabung dengan para revolusionis dan menjadi sukarelawan untuk membunuh Czsar. Sekelompok pengebom mengatakan bahwa mereka dapat meledakkan kereta pribadi Czar. Sebuah rencana dibuat untuk membunuh Czar saat dia pergi ke Glasgow. Czar berencana ke Skotlandia untuk meresmikan sebuah kapal pesiar Rusia yang dibuat di sebuah galangan kapal yang ada di sana. Rencana ini tampaknya yang terhebat, dan Azev bahkan pergi ke Glasgow untuk mengawasi jalannya rencana pembunuhan itu. Tapi, seorang pelaut muda yang menjadi sukarelawan untuk melakukan pembunuhan berubah pikiran di saat-saat terakhir.
Hari ajal bagi Azev bersama Social Revolutionaries semakin dekat. Seorang anggota mereka, ahli sejarah yang berwatak halus bernama Vladimir Burtzev, mencurigai Azev sebagai mata-mata polisi. Dia melakukan penyelidikan sendiri, dan menemukan kekayaan Azev yang mencurigakan. Burtzev menghubungi pegawai pensiunan Okhrana, yang kemudian mengatakan bahwa Azev adalah informan utama mereka, saat itulah permainan dimulai.
Burtzev menyerahkan bukti ini sebelum pengadilan Social Revolutionaries, yang diadakan di Paris. Azev yang masih enggan meninggalkan sumber keberuntungan yang memberikan hasil secara cepat, tetap berani menghadiri persidangan itu. Sekali lagi diajukan bukti-bukti yang melawan Azev, tapi kali ini alibi dan alasannya justru membuktikan bahwa dia bersalah. Azev diperintahkan untuk kembali menghadiri persidangan di hari berikutnya untuk mendengarkan bukti-bukti lain yang memberatkannya, tapi dia mengetahui bahwa saat ini hidupnya dalam masalah besar. Azev diam-diam melarikan diri dari Paris, meninggalkan revolusi yang dijalankannya dengan sangat mengagumkan, dan pengkhianatan yang juga dilakukannya tanpa ampun, dengan harapan serta adanya isyarat untuk menikmati pensiun dengan sejahtera.
Kelanjutannya
Pada 1909, Azev terbang ke Jerman membawa segenggam paspor palsu— hadiah seumur hidup dari Okhrana. Dia datang bersama penyanyi kabaret Jerman yang dikenalnya di Rusia, Heddy de Hero.
Pasangan ini menetap dengan menggunakan salah satu dari banyak identitas palsu yang mereka miliki di tempat tinggal yang indah di Berlin. Azev menjadi anggota bursa saham Berlin dan menginvestasikan uangnya, juga uang milik orang lain—sesuatu yang dilakukannya dengan sangat sukses. Selama beberapa tahun semuanya berjalan baik. Azev dan Heddy begitu sempurna berbaur dengan masyarakat Berlin. Mereka menjamu teman-teman baru di rumah mereka yang dipenuhi perangkat perak, ukiran kaca, dan setidaknya satu buah grand piano.
Di musim panas 1912, saat berkunjung ke Frankfurt, Azev sedang duduk di bangku taman, secara kebetulan Vladimir Burtzev duduk di sampingnya. Setelah Azev berhasil menghilangkan kekagetannya, dua pria ini mulai bercakap cakap. Azev berusaha meyakinkan Burtzev bahwa dia bukan pengkhianat, dan berkata, "Jika kau tidak melaporkan hubunganku dengan Okhrana, aku akan berhasil membunuh Czar."
Azev tahu kalau Burtzev tidak mempercayainya, dan akan segera melaporkan pertemuan mereka pada teman-teman revolusionis. Tidak lama lagi akan segera dikirim seseorang ke Jerman untuk membunuhnya. Azev dan Heddy dipaksa untuk meninggalkan kehidupan mewah mereka sebagai penjual saham dan bersembunyi. Dua tahun kemudian mereka kembali ke Berlin, tapi Rusia dan Jerman sedang berperang. Azev telah menginvestasikan semua uangnya ke kurs dan saham Rusia, semua itu tidak ada nilainya sekarang. Para pelarian bangkrut. Hanya Heddy yang masih bertahan di sisinya, tapi keadaan terus memburuk. Tahun 1915, Azev ditangkap sebagai tersangka teroris dan dijebloskan ke dalam penjara selama dua setengah tahun. Ketika perang antara Jerman dan Rusia selesai, Azev dibebaskan, tetapi kondisi kesehatannya sangat menurun. Pada April 1918, dia pergi ke rumah sakit dengan keluhan pada ginjalnya, dan meninggal dunia seminggu kemudian.
Azev adalah salah satu agen ganda yang paling suk sepanjang sejarah. Dia menjalankan kedua pihak untuk saling melawan dan menang. Bagaimanapun, akhirnya kehebatannya tidak dikenang orang. Dia dikuburkan pada 26 April 1918 di pemakaman Berlin. Heddy de Hero adalah satu-satunya orang yang berduka atas kematiannya.
Setelah revolusi Rusia tahun 1917, file-file Okhrana diperiksa oleh pemimpin komunis Rusia yang baru. Lenin dan banyak orang lain mengakui Azev sebagai salah satu pemimpin revolusi yang hebat pada 1900-an, dan sangat terkejut saat mempelajari pengkhianatan ganda yang telah dilakukannya.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246648/agen-ganda-untuk-czar" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650818220000) } } }