Intisari Plus - Suatu hari Jeanne berencana untuk datang ke rumah suaminya demi meminta tunjangan bagi anak-anaknya. Sejak itu, ia tidak pernah kembali lagi.
----------
Jeanne berkata kepada ibunya, “Pokoknya dia harus memberikan tunjangan penuh pada anak-anakku. Tiap bulan. Dia bapak mereka. Aku tidak akan kembali tanpa kepastian bahwa dia akan membayar uang nafkah untuk anak-anaknya.” Sang ibu hendak mencegah. Ia yakin bahwa itu tidak mudah dan mustahil. Namun ia malah berkata, “Jaga dirimu baik-baik!”
Suatu nasihat yang baik namun tidak bermanfaat. Jeanne meninggalkan ibunya dan berangkat menerobos bagian Paris yang dikuasai tentara Jerman. Hari itu tanggal 28 Maret 1944.
Jeanne tidak kembali sorenya. Sang ibu tidak dapat tidur malam itu. Ia telah mengganti pakaian main kedua cucunya dengan piama. Sebagai orang yang tahu benar dengan situasi di kota, ibu Jeanne khawatir jangan-jangan anaknya ditangkap Gestapo dan dimakan hidup-hidup.
“Siapa namanya, Bu, putri Anda? Nama setelah dia menikah maksud kami,” tanya polisi keesokan harinya. Setelah Jeanne tidak kembali setelah ditunggu semalaman, ibunya pagi-pagi sekali melaporkan perihal masalah itu ke polisi.
“Putri Jeanne de Bernardi de Sigoyer,” jawabnya. Polisi sangat terkesan oleh gelar putri di depan nama Jeanne. Gelar itu mungkin menyiratkan bahwa mungkin sang Putri ketika itu bersama dengan Pangeran. Kecuali kalau, misalnya, ia berbohong pada ibunya dan sebenarnya malahan pergi dari Paris.
“Mengapa dia pergi dari Paris?” tanya sang ibu.
“Menghindari Gestapo, misalnya,” jawab polisi mengemukakan kemungkinan lain.
“Tetapi mengapa dia mesti meninggalkan anak-anaknya?” Pertanyaan ibu Jeanne tidak berjawab ketika meninggalkan pos polisi.
Tidak lama kemudian polisi sudah berhasil mendapat kepastian bahwa Jeanne tidak ditangkap oleh Gestapo atau pihak keamanan Prancis. Jadi Jeanne hilang begitu saja, singkatnya.
Tetapi detektif-detektif polisi Prancis mendatangi juga kediaman sang Pangeran. Besar dan luas, kediamannya itu berada di barat daya kota; di pangkal Boulevard de Bercy, tidak jauh dari Gare de Lyon. Menghadapi petugas-petugas polisi, sang Pangeran sangat ramah. Jawaban-jawabannya lancar. Tidak satu hal pun memberikan kesan bahwa ada yang disembunyikannya.
Kata Pangeran Alain de Bernardi de Sigoyer, dia dan istrinya tidak dapat hidup bersama dengan bahagia. Istrinya baru mengajukan permohonan pada pengadilan untuk bercerai. Sang Pangeran tidak menyetujuinya, meskipun dia juga tidak melarang atau menghalang-halanginya. Memang benar istrinya kemarin datang ke kediamannya. Ia menghampirinya untuk minta tunjangan nafkah bagi kedua anak mereka yang kini ada bersama ibu Jeanne. Sang Pangeran mengatakan dia tidak sanggup mengurusi anak-anaknya dari Jeanne.
Sang Putri kemudian pergi entah ke mana, kalau dia tidak langsung pulang kepada anak-anaknya. Polisi menyimpulkan bahwa sang Pangeran mengatakan sebenarnya. Pokoknya, apa pun yang terjadi pada diri Putri Jeanne, bukan Pangeran Alain-lah yang bertanggung jawab. Polisi sudah berniat untuk mencari sisik melik lenyapnya Jeanne ke arah lain. Namun kemudian diperoleh kisikan bahwa Pangeran Alain Jules Antoine Romain Gaspard de Bernardi de Sigoyer sebenarnya tidak berhak atas gelar kebangsawanan itu. Dia penipu dan kolaborator musuh.
Salah satu segi yang menguntungkan bagi profesinya ialah Alain sangat peka terhadap detail. Misalnya, untuk menyembunyikan tampang mukanya yang persegi dan kasar seperti petani dusun antik, Alain sengaja menumbuhkan cambang dan janggut lancip.
Sejak usia 17 tahun, Alain berurusan dengan polisi dan keluar masuk pengadilan. Namun bukan penjara. Itu karena setiap kali diadili dan divonis bersalah, Alain berhasil melarikan diri. Ia bahkan keluar dari Prancis, hingga ke Jerman, Austria, Rumania, dan Bulgaria. Alain menyamar sebagai apa saja, dari kuli, jongos hotel, sampai profesor muda dari sebuah lembaga media di Strasbourg.
Dunia Alain memang dipenuhi dengan tipuan dan khayal. Sekali Alain menyatakan dirinya sebagai keturunan langsung dari advokat yang membela suami Marie Antoinette. Tetapi yang benar ialah bahwa kaum de Bernardi berasal dari keluarga kreol yang mendiami pulau jajahan Prancis Reunion di Lautan Hindia. Alain sendiri seorang petualang yang kelicikan akalnya sejalan dengan kebejatan akhlaknya. Alain seorang manusia sadis pula.
Praktik menyiksa korban-korbannya sudah dilakukan paling tidak sejak tahun 1938. Awal tahun itu seorang lelaki yang mengaku bernama Petrov Gantcheff, dari Bulgaria, melapor pada polisi. Dia baru saja berhasil melarikan diri dari sebuah rumah pertanian di mana dia disiksa dengan kejam. Saat datang melapor, ia telanjang bulat kecuali tangannya yang masih mengenakan borgol.
Katanya kepada polisi, dia mula-mula pasang iklan dikoran untuk menjual mobilnya. Petrov diundang ke sebuah rumah pertanian. Ia mengira undangan tersebut untuk membicarakan masalah jual beli tentunya. Tetapi di rumah itu dia justru dipukuli oleh dua orang lelaki dan seorang wanita. Ketiganya merupakan tim penyiksa. Gantcheff ditelanjangi (ketika itu musim dingin) dan dirantai pada sebuah kursi di ruang bawah tanah. Dengan ancaman senjata api dan besi pengumpil, Gantcheff dipaksa untuk menulis surat pada istrinya bahwa dia pergi ke luar negeri. Tetapi karena surat itu mengandung janji-janji untuk kepentingan salah satu anggota tim, Gantcheff bersikeras tidak mau menandatangani suratnya.
Akibatnya, dia dipukuli habis-habisan oleh kedua laki-laki penyiksa. Ketika kedua laki-laki itu pergi dari rumah, Gantcheff berhasil melepaskan diri dari kursi. Tetapi untuk bisa melarikan diri, dia terpaksa memukul wanitanya hingga pingsan.
Polisi lalu menggerebek rumah pertanian itu dan menangkap penghuni-penghuninya. Pemimpin trio penyiksa itu de Bernardi. Sedangkan laki-laki yang satu lagi bernama Lucien Richard. Dia ini ternyata pelarian dari tempat penampung orang-orang yang sakit jiwa. Si wanita katanya pembantu rumah tangga di sana. Menunggu pengusutan lebih lanjut, ketiganya ditahan di dalam rumah.
Di dalam rumah itu juga polisi menemukan sejumlah barang milik seorang turis Amerika yang ada di dalam daftar orang hilang. Nama orang Amerika itu Rothumil Richnowski, dilaporkan hilang sejak November sebelummya. Sementara itu polisi mendapat laporan dari seorang wanita Polandia yang pernah berkencan dengan Richnowski. Wanita itu pernah mendapat surat yang ditanda tangani oleh Richnowski. Karena tulisannya menurut wanita Polandia tersebut bukan tulisan Richnowski, ia tidak mau memberikan uang yang diminta oleh surat tersebut.
Di rumah yang penuh rahasia di Lembah Chevreuse itu polisi juga menemukan sebuah lubang yang baru saja digali di lantai ruang bawah tanah. Dari dasarnya, polisi menemukan sejumlah kaleng bekas yang karatan dan sampah dapur. Ada laporan bahwa beberapa hari sebelumnya de Bernardi membeli asam belerang. Tetapi akan digunakan untuk apa, itu tidak diketahui. Bernardi sendiri pernah bercerita kepada seorang teman wanitanya, bahwa dia sudah mengubur turis Amerika tersebut di atas. Tetapi mengingat begitu banyaknya khayalan dalam cerita-cerita de Bernardi, cerita penguburan turis Amerika itu tidak dapat dicek kebenarannya. De Bernardi kemudian dipindahkan ke sebuah penampungan di Clermont, di tengah-tengah antara Paris dan Amiens.
4 bulan kemudian, bersama penghuni lainnya, de Bernardi berhasil melarikan diri dari tahanan dan menuju sebuah tempat parkir mobil. Keduanya ditunggu oleh seorang wanita muda yang duduk di belakang kemudi mobil yang sudah dinyalakan mesinnya. Penjaga-penjaga tempat penampungan mengatakan bahwa sehari sebelumnya de Bernardi dikunjungi oleh seorang wanita.
Hari berikutnya de Bernardi mengatakan kepada wartawan, dia melarikan diri dari tempat penampungan untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan masih waras. Menurut de Bernardi, mobilnya dikendarai oleh seorang laki-laki yang menyamar sebagai wanita.
“Saya akan terus ke Inggris atau ke Swiss,” kata de Benardi. Si wartawan belum sempat memberikan suatu reaksi apa pun ketika de Bernardi kabur kembali dengan mobilnya.
Dalam bulan-bulan pertama setelah pecah Perang Dunia II, de Bernardi memang terus dibayang-bayangi oleh Kepolisian Prancis. Tetapi dengan jatuhnya Prancis, de Bernardi muncul kembali di Paris. Kali ini ia menyamar sebagai pedagang anggur dan minuman untuk tentara pendudukan yang kantongnya tebal-tebal. Di antara pedagang-pedagang besar anggur Prancis, de Bernardi menonjol karena lagaknya bak orang yang mempunyai gelar kebangsawanan. Ia mengaku memiliki sejumlah puri dan ladang anggur.
Lewat de Bernardi, pedagang-pedagang anggur Prancis menemukan perantara yang menjual produk mereka kepada orang-orang Jerman. Tentu saja, orang-orang Jerman itu mau membeli dengan harga mahal. Sampai-sampai de Bernardi perlu membuka toko dan gudang anggur yang besar di Paris. Uang mengalir ke rekening de Bernardi secepat kotak dan tahang meninggalkan gudang-gudang anggur.
Hingga di sinilah isi berkas-berkas polisi yang digali untuk pencarian wanita yang kawin dengan Pangeran de Bernardi. April dan Mei 1944 berlalu. Di bulan Juni, terjadi perebutan daratan Normandia oleh pasukan-pasukan Sekutu. Baru 2 bulan kemudian tank-tank menderu memasuki Paris kembali.
Dalam 2 bulan itu sang Pangeran bekerja keras untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang mulai berubah dalam waktu singkat. De Bernardi berdiri di tepi Sungai Seine untuk mengelu-elukan barisan tank. Tetapi hari itu juga de Bernardi ditangkap.
Hari belum usai saat de Bernardi dinyatakan sebagai kolaborator dan pengkhianat. Ia dijebloskan ke dalam Penjara Fresnes. Mungkin penghuni penjara lainnya akan berputus asa. Tetapi de Bernardi yang pernah berpindah-pindah penampungan itu tidak patah semangat. Hari-hari itu dihabiskannya dengan menulis surat-surat yang panjang. Semua surat-surat itu dibaca polisi. Tampaknya cukup bersih dan tidak bersalah. Kecuali satu.
Surat ini ditulis oleh de Bernardi 8 bulan setelah penangkapannya. Alamatnya kepada Nona Irene Lebeau yang pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga sebelum Jeanne pergi dari rumah de Bernardi. Surat itu minta agar Nona Lebeau mengurusi barang-barang di rumah de Bernardi dan bagaimana seharusnya barang-barang itu diurus. Mengenai beberapa pakaian yang masih tergantung di lemari, de Bernardi menambahkan catatan kecil, bunyinya, “Awas dan ingat kursi merah!”
Detektif-detektif mendatangi rumah Nona Lebeau. Mereka yakin bahwa ia pasti paham mengenai catatan kecil itu. Nona Lebeau menyangkal. Tetapi ketika ditangkap dan dibawa ke markas polisi, Nona Lebeau menyatakan bersedia bekerja sama dan mengungkapkan segala pengalamannya selama bergaul dengan de Bernardi. Padahal polisi belum membeberkan soal tuduhan mereka pada Nona Lebeau.
Nona Lebeau tetap tinggal di markas polisi di Quaides Orfevres ketika petugas-petugas polisi memeriksa gudang anggur de Bernardi di Paris. Mula-mula mereka menemukan beberapa tong dan tahang. Isinya bukan anggur melainkan tanah yang berbau lumut. Polisi yakin bahwa tanah itu berasal dari penggalian semacam sumur atau lubang. Tetapi tanahnya ternyata tidak semuanya bisa dipakai untuk menimbun sumur itu lagi.
Tentu karena sumur itu pasti telah digunakan untuk menyembunyikan sesuatu. Polisi segera mencari bekas sumur. Sumur itu berhasil ditemukan di tempat yang sama. Polisi menemukan kain-kain yang ternyata membungkus sebuah mayat yang sudah hampir menjadi tanah. Karena sudah dalam keadaan terurai, maka hanya dapat diketahui bahwa itu mayat seorang wanita.
Penyelidikan lebih lanjut pada pakaian-pakaian yang sudah compang-camping juga mengungkapkan bahwa itu adalah mayat seorang wanita. Kemudian polisi mendapat kepastian bahwa itu adalah pakaian yang dikenakan oleh Jeanne de Bernardi ketika dia meninggalkan rumah ibunya pada tanggal 28 Maret 1944.
Sambil menggigit-gigit kuku jarinya, Nona Irene Lebeau mengatakan kepada pemeriksanya bahwa dia adalah kekasih de Bernardi. Mereka berhubungan sejak sebelum Jeanne meninggalkan rumah de Bernardi dan membawa anak-anak. Diceritakan pula bagaimana kejamnya Pangeran palsu itu dari waktu ke waktu menyiksa istrinya.
Lalu pada tanggal 28 Maret 1944, Jeanne de Bernardi datang di rumah de Bernardi. Ia minta tunjangan nafkah bagi kedua anaknya yang dirawat oleh ibu Jeanne. Nona Lebeau menyaksikan bagaimana kedua suami istri itu bertengkar.
“Jeanne duduk di kursi merah,” kata Nona Lebeau pada detektif-detektif yang mendengarkan dengan saksama. “Tiba-tiba Alain bangkit dari duduknya dan pergi ke belakang kursi. Ia melilitkan seutas tali ke leher Jeanne. Tali lalu ditarik dengan keras. Matilah Jeanne karena tercekik.”
Nona Lebeau mengatakan dia sudah berusaha mencegah perbuatan Alain itu.
“Tetapi saya tidak kuasa melarang dia. Tidak seorang pun bisa mencegah dia. Ketika saya mencobanya juga, dia mengatakan akan membunuh saya.”
“Mengapa Alain membunuh Jeanne?” tanya polisi.
“Entahlah,” kata Nona Lebeau. “Tetapi saya rasa, agar Jeanne tidak dapat menuntut bagian warisan untuk anak-anak mereka apabila pengadilan menjatuhkan keputusan perceraian.”
Menurut hukum Prancis, warisan itu besarnya 50%. Dengan demikian tali di leher Jeanne gunanya untuk mencegah jatuhnya kekayaan ratusan juta frank ke tangan Jeanne dan anak-anak mereka.
“Tetapi mengapa Jeanne menuntut perceraian?”
Nona Lebeau yang berusia 23 tahun itu memerah pipinya. “De Bernardi suka tidur dengan saya.”
Alain de Bernardi lalu dipanggil dari Penjara Fresnes. Apa saja yang diperbuatnya dalam masa perang bermunculan di koran-koran Prancis. De Bernardi seorang kolaborator, pengkhianat bangsa, dan manusia sadis. Khalayak ramai yakin bahwa turis Amerika itu pasti dibunuh dan disingkirkan oleh de Bernardi. Pasalnya, dia itu tidak pernah tampak hidup kembali, seperti Jeanne.
Irene Lebeau sendiri digambarkan koran-koran Prancis sebagai perempuan sundal yang merusak kebahagiaan hidup wanita Prancis yang terhormat. Koran menulis jika ia jatuh ke tangan de Bernardi yang bejat akhlaknya. Mengenai pembunuhan Jeanne, Nona Lebeau dicap sebagai pembantu yang terlibat dalam perbuatan terkutuk de Bernardi, yakni membunuh ibu dari anak-anaknya.
Natal 1946 sudah di ambang pintu ketika de Bernardi dan Nona Lebeau diajukan ke pengadilan. Nona Lebeau menjelaskan bagaimana dia pada tahun 1940 sebagai gadis desa berusia 17 tahun diterima sebagai pembantu rumah tangga de Bernardi oleh Jeanne. Ia membantu mengurusi anak-anak majikannya. 3 tahun kemudian lahir seorang de Bernardi lagi. Bukan anak Jeanne, melainkan anak Nona Irene.
Ketika itulah Jeanne pergi membawa anak-anaknya dari Alain de Bernardi dan pindah ke rumah ibunya. Ia mulai menghubungi pengacara-pengacara untuk membantu menguruskan perceraiannya dengan de Bernardi.
Cerita Irene Lebeau didengarkan dengan saksama oleh segenap hadirin yang memenuhi ruang pengadilan. Mata hadirin kadang-kadang tertuju pada sebuah kursi bercat merah yang merupakan saksi bisu kematian Jeanne de Bernardi.
“Tuan de Bernardi duduk menghadapi nyonya yang duduk di kursi merah itu,” kata Irene Lebeau lirih tapi terdengar jelas dalam pengadilan, “Tiba-tiba Tuan bertanya, sambil mengacungkan jarinya pada saya, kepada Nyonya: apakah saya kekasih kawannya. Jawab Nyonya, ‘Saya tidak mau mengatakannya.’
“Lalu, masih sambil tersenyum-senyum tuan mengeluarkan sepotong kain dari sakunya dan berkata kepada Nyonya, ‘Bagaimana seandainya engkau kucekik karena hal ini?’ Jeanne membiarkan Alain melilitkan kain itu di lehernya. Saya melonjak bangkit hendak menghampirinya. Tetapi Tuan menolak, menjauhkan saya, dan tiba-tiba ikatan di keliling leher Jeanne dikunci. Kain ditarik kuat-kuat, sambil menekankan lututnya di belakang sandaran kursi. Tangan nyonya terkulai. Tamatlah sudah. Tuan berkata kepada saya, ‘Engkau juga akan saya buat jadi begini, kalau engkau mengatakan sesuatu mengenai hal ini.’ Saya lalu membantunya membawa jenazah Nyonya ke sebuah truk kecil.”
Demikian cerita Nona Lebeau yang terus dipegangnya hingga akhir. Berlainan dengan cerita terdakwa lainnya.
De Bernardi dibela oleh Jacques Isorni yang juga membela Marsekal Petain.
“Perempuan petani inilah yang membunuh istriku,” demikian kata de Bernardi dengan tegas. “Jeanne tidak mati tercekik seperti kata dokter-dokter, melainkan ditembak oleh dia dari samping saya. Irene Lebeau membunuh istri saya. Dia menggunakan revolver yang disembunyikan dalam anjing-anjingan dari kain. Kalau kalian perlu bukti, temukanlah pelurunya dalam tubuh istriku.”
De Bernardi menceritakan, bagaimana sebenarnya (sesudah dia setuju bercerai) keduanya berniat rujuk kembali. Keadaan bahagia ini terganggu oleh kehadiran Irene Lebeau di rumah de Bernardi. Kedua wanita itu, menurut de Bernardi, mulai berselisih memperebutkan de Bernardi. De Bernardi beranjak mau pergi meninggalkan keduanya, tetapi diikuti oleh Lebeau. Untuk itu Lebeau mendapat tamparan keras di mukanya dari Jeanne. Tiba-tiba Lebeau mengeluarkan revolver dan Jeanne ditembaknya. Jenazah Jeanne kemudian disingkirkan oleh Lebeau dengan bantuan seorang iparnya yang bernama Heyraud. Entah dibawa ke mana jenazah Jeanne oleh keduanya.
Hakim ketua bertanya pada Nona Lebeau, apakah ada yang hendak dikatakannya lagi. Nona Lebeau menjawab tiga patah kata, “Itu semuanya bohong!”
Mendengar itu de Bernardi meloncat dari tempat duduknya sambil berteriak, “Hei, akuilah, akuilah saja! Kamu tahu pasti siapa yang benar!” De Bernardi lalu jatuh pingsan.
Perkembangan pengadilan selanjutnya ialah menampilkan saksi untuk menyatakan bahwa Irene Lebeau seorang perempuan jalang. Seorang serdadu bernama Marcel Cloy mengatakan bahwa Nona Lebeau pernah melahirkan bayi dan dia sendirilah bapak bayi itu. Mereka bermaksud menikah, tetapi Nona Lebeau senantiasa menunda-nunda pernikahan itu.
“Mengapa?” tanya pengadilan.
“Karena de Bernardi menghendaki demikian,” kata Nona Lebeau.
Setelah itu pembela masing-masing mempersoalkan kursi merah yang merupakan saksi bisu selama berlangsungnya pengadilan. Pembela de Bernardi menyatakan bahwa sandaran kursi terlalu rendah, sehingga de Bernardi tidak mungkin dapat berbuat seperti dikemukakan oleh Nona Lebeau. Untuk membuktikan, pembela mengundang panitera supaya duduk di kursi merah. Kemudian lehernya diikat oleh pembela.
Pembela Nona Lebeau langsung menangkis pembelaan de Bernardi. Dia berdiri di belakang kursi merah, memegang tali di leher panitera yang segera mulai merasa kesakitan sambil berkata, “Mengapa de Bernardi tidak bisa menurunkan tangannya sedikit saja?”
Sidang yang dilanjutkan hingga jauh malam itu lalu mendengarkan keterangan kedokteran forensik. De Bernardi terjebak oleh akalnya sendiri: tidak sebutir peluru pun ditemukan dalam mayat yang sudah hampir menjadi tanah. Senin 23 Desember 1946, setelah bersidang selama 30 menit, juri memutuskan bahwa de Bernardi bersalah. Irene Lebeau tidak bersalah.
De Bernardi dipertemukan dengan “Tuan Guillotine” di halaman Sante Prison pada tanggal 28 Mei 1947.
(LEONARD GBIBBLE)
Baca Juga: Pembunuhnya Suka Wanita Muda
" ["url"]=> string(56) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834090/ingat-kursi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310757000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350452" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/sepatu-tenis-ukuran-10_mike-ersk-20220629071251.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Perselingkuhan Reanne dan Jeanne tidak dipermasalahkan oleh pasangan masing-masing. Hingga suatu hari, keduanya ditemukan tewas terbunuh" ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/sepatu-tenis-ukuran-10_mike-ersk-20220629071251.jpg" ["title"]=> string(22) "Sepatu Tenis Ukuran 10" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:13:46" ["content"]=> string(31785) "
Intisari Plus - Reanne dan Jeanne masing-masing sudah memiliki suami dan istri, namun keduanya tidak sengaja bertemu dan jatuh cinta. Anehnya, pasangan keduanya tidak mempermasalahkan soal hubungan terlarang ini. Hingga suatu hari, keduanya ditemukan tewas terbunuh.
------------------
Musim semi baru saja tiba. Charente, kota kecil di antara Limoges dan Angouleme, pulau yang berjarak sekitar 80 mil dari pantai Atlantik Prancis, nampak lebih asri dari biasanya. Hampir semua pepohonan yang meranggas lantaran impitan musim gugur, kini mulai bersemi menampakkan pucuk-pucuk daun kecil di setiap dahan dan rantingnya.
Aroma musim semi itu lebih terasa lagi di sebuah tempat permakaman umum di Desa Cellefrouin, pinggiran kota. Puluhan cemara dengan ketinggian nyaris sama tumbuh teratur membatasi jajaran batu nisan, terlihat bak payung-payung alam melindungi mereka yang telah beristirahat dengan damai di situ.
Saat itu, tanggal 3 Oktober 1983, sanak keluarga Cailler berkerumun di pojok pemakaman. Dalam suasana hening yang mencekam, mereka menguburkan jenazah Rene Cailler. Sylvie Cailler (53), istri yang telah mendampingi almarhum selama 30 tahun, dipapah oleh putra bungsunya, Christian (20).
Di belakang mereka berdiri dua putranya yang lain, yakni Solange (25) yang telah menikah serta Jean-Paul (23), yang masih bujangan. Namun Paul tak lagi serumah dengan orangtuanya.
“Sayang, mereka tak bisa dimakamkan bersama," bisik salah seorang pelayat wanita yang berdiri di bagian belakang kerumunan orang tersebut.
"Tentu tidak! Itu merupakan penghinaan bagi keluarga tersebut," jawab temannya, juga dalam nada berbisik. "Pastor pasti tak akan memberi izin."
Rene Cailler meninggal dalam usia 57 tahun. Sebelumnya ia masih dalam keadaan segar bugar dan amat sehat.
Keesokan harinya, jenazah Jeanne Metayer dimakamkan, tak jauh dari liang tempat Rene terbaring.
Wanita yang masih cantik di usia 50 tahun itu pun meninggal mendadak. TPU itu terletak di desa tempat kedua jasad itu dilahirkan.
Dapur berlumuran darah
Rene tinggal di Cellefrouin hanya pada awal dan akhir hidupnya. Saat masih muda ia pergi ke Gabon, salah satu daerah koloni Prancis. Di Afrika. Di sana ia bekerja sebagai seorang perwira polisi Prancis. Semua anaknya lahir di Kota Mayumba. Setelah pensiun dari kepolisian tahun 1965, ia kembali ke Cellefrouin dan terjun ke bisnis asuransi.
Karena pintar, rajin, dan memiliki kepribadian yang menyenangkan, dalam waktu singkat Rene meraih sukses dan menjadi orang yang bisa memberikan semangat kepada orang lain. la mengombinasikan karier profesionalnya dengan peran aktif dalam politik lokal. la juga sangat konservatif.
Tahun 1968 ia menawarkan polis asuransi kepada Jeanne Metayer. Pertemuan kedua insan yang masing-masing sudah terikat perkawinan ini rupanya berbuntut panjang. Tanpa bisa dipahami di antara mereka timbul percikan rasa empati, yang dalam waktu singkat membuat mereka menjadi sepasang kekasih.
Jeanne Metayer sendiri sudah menikah dengan Bernard Metayer, yang bekerja di sebuah pabrik di La Rochefoucauld. Meskipun tidak memiliki anak, perkawinan mereka bahagia. Tak pernah terbersit keinginan untuk bercerai. Begitu pula Rene Cailler yang beristrikan Sylvie.
Namun Rene mencintai Jeanne dan begitu pun sebaliknya, dan tidak ada kenyataan yang disembunyikan. Bahkan setelah 15 tahun, keduanya seperti dua orang dewasa yang mabuk kepayang. Bak anak muda yang dimabuk asmara, mereka hampir tak dapat dipisahkan.
Tentu saja skandal ini cepat diketahui oleh setiap orang di Charente, termasuk Bernard dan Sylvie. Yang sulit dipahami, mereka tak merasa terusik. Dengan toleransi orang Prancis yang khas, mereka menerima hal itu sebagai suatu hubungan yang wajar.
Bernard bekerja sesuai shift di pabrik dan tiga kali seminggu. Rene menghabiskan malam atau siang harinya bersama Jeanne, tergantung pada shift kerja Bernard.
Hal itu tidak memengaruhi reputasi Rene ataupun Jeanne, meski terkadang Jeanne agak "terganggu". Maklum, ia dikenal sebagai wanita baik budi dan pekerja sosial yang aktif. Bahkan, pada saat kematiannya Jeanne menampung seorang wanita tua di kamar cadangannya semata-mata karena wanita tua itu terlalu miskin untuk menyewa tempat di mana pun.
Karena itu Rene dan Jeanne dihormati dan merupakan pasangan terhormat. Tak pernah terpikir oleh siapa pun bahwa mereka akan menjadi korban pembunuhan pertama di Cellefrouin. Pikiran itu pun tidak terlintas di benak Bernard Metayer, ketika ia tiba di rumah pada pukul 05.30, tanggal 28 September, dan menemukan mobil Peugeot berwarna biru metalik milik Rene terparkir di depan rumahnya.
Bagaimanapun ia merasa heran. Pasangan itu selalu berhati-hati mempertimbangkan perasaannya. Sebelumnya Rene tidak pernah ada di situ jika ia tiba di rumah.
Keheranannya segera digantikan oleh rasa kaget saat ia masuk melalui pintu depan dan melihat bingkai kaca pecah berantakan, sementara pintu berada dalam keadaan setengah terbuka.
Sambil memanggil nama istrinya, Bernard masuk ke rumah. Langkahnya tertahan di depan pintu dapur. Matanya menangkap dua sosok mayat tergeletak di lantai dekat meja. Ya, ampun! Mereka adalah Rene Cailler dan Jeanne. Keduanya berpakaian lengkap dalam keadaan tewas.
Bernard mencintai istrinya dan demikian pula Rene. Setelah 15 tahun sebagai kekasih Jeanne, Rene praktis menjadi salah seorang anggota keluarga itu.
Penyebab kematian sejoli ini nampaknya jelas. Tenggorokan mereka tersayat dari telinga ke telinga, luka di bawah dagu menganga seperti mulut besar yang sedang menyeringai.
Bagi Metayer yang demikian kaget rasanya tidak mungkin begitu banyak darah mengucur keluar dari kedua mayat itu. Seluruh dapur dipenuhi dengan darah. Dinding, lantai, mebel, dan segala benda dilumuri dengan warna merah, bahkan sampai ke langit-langit.
Tak tahan melihat pemandangan mengerikan tersebut, Metayer segera keluar dari pintu dapur, berlari ke luar rumah dan melarikan mobilnya ke jurusan Confolens, sekitar 20 mil ke arah timur laut. Sebetulnya, ia punya beberapa tetangga di sekitar rumahnya, tetapi karena didera shock, yang terpikir olehnya adalah kantor polisi Confolens.
Toh, akhirnya Metayer tidak sampai ke tempat itu. Kebiasaan latihan mengemudi memberinya efek yang menenangkan, dan ia bisa kembali mengontrol emosinya. la berhenti di rumah terdekat untuk menelepon polisi.
Tetapi polisi tidak mempercayainya. Deskripsi Metayer mengenai mayat itu dianggap terlalu dibuat-buat dan berlebihan. Merasa mengenali daerah itu dengan baik, polisi tak yakin adanya pembunuhan biadab di wilayahnya.
Persaingan atasan-bawahan
Bahkan Metayer dituduh dalam keadaan mabuk. Hal itu didukung oleh kenyataan bahwa penjelasan Metayer sulit dimengerti karena ia berada dalam keadaan kaget dan sedih.
Meskipun demikian, sersan yang sedang bertugas menanyakan alamat Metayer dan segera mengirimkan mobil untuk melakukan penyelidikan. la tidak yakin bahwa ada pembunuhan, tetapi laporan itu merupakan laporan resmi dan harus ditindaklanjuti.
Akhirnya, dua orang polisi yang berada di dalam mobil itu benar-benar yakin bahwa Metayer tidak mabuk, ketika mereka sampai di tempat kejadian perkara (TKP). Peristiwa itu memang suatu pembunuhan, bahkan pembunuhan ganda yang benar-benar mengerikan.
Sersan yang bertugas itu menanggapi laporan Metayer dengan mengirimkan 6 mobil lagi dan memberitahukan hal itu kepada departemen investigasi kriminal kepolisian Angouleme. Sebuah kota yang berpenduduk sekitar 50.000 orang, terletak di barat daya Cellefrouin, jaraknya sama dekat seperti Confolens yang terletak di timur laut.
Daerah itu merupakan pedesaan yang damai. Penduduknya yang relatif sedikit itu umumnya lebih mengutamakan bagaimana hidup dengan damai daripada membunuh orang lain.
Di departemen investigasi kriminal, yang bertugas pada malam itu hanyalah seorang detektif junior, dari pukul 21.00 sampai 08.30 keesokan harinya. Jadi, tidak ada bagian penyelidikan pembunuhan sama sekali.
Karena tak tahu harus berbuat apa, detektif junior yang sedang bertugas tidak dapat melakukan penyelidikan terhadap kasus yang merupakan salah satu kasus penting ini. la hanya menunggu sampai bagian penyelidikan pembunuhan datang satu setengah jam kemudian.
Sebenarnya, ia bisa memanggil para anggota bagian penyelidikan pembunuhan yang selalu siaga. Namun, sang Detektif takut untuk melakukan hal ini karena ia tidak tahu yang mana dari kedua orang perwira tetap yang harus dihubungi lebih dahulu. Inspektur Louis Bouton, perwira senior atau wakilnya, Sersan Paul Mougenou.
Bouton, pria berwatak lemah lembut dengan kumis dan rambut yang memutih bak salju itu merupakan bos paling populer di antara para polisi di situ, la bahkan bertindak sebagai ayah. Jadi, tak ada yang perlu ditakuti dari Inspektur Bouton.
Tidak demikian halnya dengan asistennya, Sersan Paul Mougenou, orang kedua yang memegang komando. Laki-laki tampan yang selalu berpakaian rapi ini merupakan perwira termuda yang memperoleh pangkat sersan detektif sepanjang sejarah kepolisian Angouleme.
Selain brilian, agresif, Paul Mougenou sangat ambisius. la merupakan seorang berbahaya yang kerap kali potong kompas dengan maksud untuk menjadi komandan bagian penyelidikan pembunuhan. Tapi bagaimanapun hal itu baru mungkin jika Inspektur Bouton pensiun.
Yang menjadi masalah bagi detektif yang bertugas, jika ia tidak segera memutuskan memanggil atasannya sampai pukul 09.30, Sersan Mougenou bisa gusar. Mengetahui sifat si sersan, si Polisi tidak ragu-ragu mengenai keputusan yang akan diambil.
Bagaimanapun, Inspektur Louis Bouton yang menyadari akan ambisi si asisten untuk menggantikan kedudukannya, telah mengeluarkan perintah kepada para bawahannya untuk tidak melakukan tindakan apa-apa tanpa sepengetahuannya.
Dihadapkan pada masalah yang tak terpecahkan ini, detektif tersebut melakukan hal yang biasa dilakukan oleh orang awam. la segera menggeser tanggung jawab kepada atasannya dengan menelepon si Inspektur.
Pembunuhan 4 m di bawah ranjang
Inspektur Bouton menerima informasi itu sekitar pukul 07.30, ketika ia baru saja selesai santapan, suatu pembunuhan ganda telah terjadi di Desa Cellefrouin.
la segera memerintahkan kepada asisten dan para petugas di bagian teknis untuk meluncur ke TKP. Karena tidak ada orang bagian teknis yang sedang bertugas, di TKP inspektur hanya menjumpai Bernard Metayer, 14 orang polisi dari pos Confolens, dan Sersan Mougenou, yang diberi tahu hanya beberapa saat setelah atasannya, tetapi sudah datang lebih cepat.
Para polisi segera membuat lingkaran penjagaan sekeliling rumah itu. Inspektur mendatangi Metayer yang duduk di mobilnya sambil menangis dan meletakkan tangannya di pundak pria malang itu. la bertanya apakah Metayer sudah siap membuat sebuah pernyataan. Suasananya amat tidak menguntungkan bagi Metayer. Sangat mungkin pria ini dituduh sebagai pembunuh.
Menurut Metayer, ia pulang setelah bekerja pada giliran malam dan mendapati istri dan kekasih gelap istrinya terbunuh.
Kedua orang perwira itu saling bertukar pandangan. Mereka dapat menerima kenyataan bahwa di Prancis memang sering terjadi istri dan kekasihnya dibunuh oleh para suami yang merasa sakit hati.
Dengan hati-hati para penyelidik masuk ke dalam rumah tersebut, karena mereka tidak mau mengambil risiko untuk menghancurkan barang bukti atau setiap petunjuk yang potensial.
Mereka tidak masuk ke dapur sama sekali. Untuk membuat laporan dan konfirmasi tentang pembunuhan dua orang itu sudah bisa mereka lakukan dari pintu dapur.
Inspektur Bouton kemudian kembali lagi ke dalam untuk bicara dengan Metayer, la melihat darah yang sudah mengering di berbagai tempat, memberi petunjuk bahwa pembunuhan itu sungguh-sungguh dilakukan lebih awal. Jadi, jika alasan Metayer bahwa ia bekerja pada giliran malam benar, ia bisa terhindar sebagai orang yang dicurigai.
Sersan Mougenou tetap berada di dalam rumah. la pergi melihat-Iihat ke berbagai ruangan di lantai bawah dan kemudian naik lagi ke lantai satu. Tak berapa lama ia muncul dengan wajah penuh teka-teki, bergabung dengan Inspektur dan Metayer. Yang ingin diketahuinya, siapa wanita yang tidur di kamar tidur depan di lantai atas?
Menurut Metayer, itu Ny. Paulette Vault, wanita miskin yang tidak memiliki rumah. la ditampung keluarga itu di kamar cadangan.
"la pasti berada di dalam rumah saat pembunuhan itu terjadi," kata Inspektur.
Metayer mengatakan, ia juga berharap demikian. Kemungkinan Ny. Vault pergi sangat kecil dan tentu saja tidak pada malam hari. Masalahnya, umurnya sudah 81 tahun.
"Untuk wanita seusianya, masihkah ia memiliki daya ingat yang baik?" kata Sersan. “la sedang tidur di kamarnya."
"Bahkan mungkin ia tidak tahu mengenai pembunuhan itu," kata Inspektur. "Bangunkan ia pelan-pelan dan tanyai apakah ia mendengar atau melihat sesuatu. Jangan katakan ada orang yang dibunuh."
Inspektur benar. Ny. Paulette Vault sedang tidur nyenyak, sementara dua pembunuhan berdarah terjadi hanya 4 m di bawah ranjangnya. Jika ia tidak mendengar apa-apa, bukanlah sesuatu yang aneh. Wanita tua itu benar-benar sudah hampir tuli.
"Untung, dia selamat," kata Sersan. "Si penjahat bisa membunuhnya jika ia melihat peristiwa itu. Silakan Anda kembali ke kantor, saya bisa menangani hal-hal di sini. Untuk memeriksa rumah ini hanya perlu beberapa jam dan Descroix belum ada di sini," lanjut Sersan.
Dr. Descroix adalah ahli bagian kedokteran yang harus memeriksa mayat sebelum boleh dipindahkan. Tapi sejauh ini Inspektur tidak memberikan jawaban. Meskipun demikian, para petugas dari laboratorium kepolisian, para ahli sidik jari, dan fotografer tetap sibuk bekerja di TKP.
Inspektur memandang Sersan dan memberikannya kesempatan untuk berpikir. Tanpa mengucapkan apa-apa ia menuju ke mobilnya. Hal itu dilakukan bukan karena memang tidak ada hal yang bisa dikerjakan daripada berdiri saja dan menunggu laporan dari para spesialis, tetapi ia ragu-ragu bahwa motif si Sersan semata-mata untuk menyenangkan atasannya.
Cuma jejak sepatu
Bagi Inspektur Bouton, tak disangsikan lagi, ini merupakan kasus terbesar yang pernah dihadapinya, dan hal ini mungkin akan memberikan nilai tambah kepada siapa yang paling aktif dalam memecahkan masalah itu.
Di lain pihak, tak lama lagi ia segera pensiun sebagai inspektur kepala, atau ia akan pensiun lebih cepat daripada yang diinginkannya. Artinya, setelah itu si Sersan akan menjadi Inspektur Mougenou, yang akan mengepalai bagian pembunuhan.
Descroix tidak menemukan sesuatu yang berarti pada kedua mayat tersebut, baik saat ia melakukan autopsi, maupun saat mencari bukti bahwa Bernard Metayer benar-benar tidak bersalah. Pembunuhan itu terjadi sekitar pukul 19.30 pada malam sebelumnya, saat Metayer bekerja di La Rochefoucauld.
Juga tidak mungkin untuk memastikan mana dari kedua korban itu yang dibunuh lebih dulu. Keduanya dipotong pada lengan dan tangannya. Menurut dokter, mereka dibunuh dengan pisau yang sangat tajam, berujung dua, dan berat. Setidak-tidaknya panjang pisau itu 10 inci.
Selain luka di tenggorokan, Rene juga mendapat 37 tusukan, yang paling banyak di daerah dada dan perut bagian atas. Sementara Jeanne ditikam 33 kali di daerah pusar dan perut.
Meskipun luka-luka bekas tikaman itu banyak, penyebab kematian yang sebenarnya adalah karena kedua korban kehabisan darah.
Para petugas melaporkan bahwa di dapur ditemukan tanda-tanda perlawanan mati-matian, tetapi tidak ada petunjuk yang menggambarkan bahwa pembunuhan itu terjadi di bagian lain rumah itu selain di pintu masuk dapur tersebut. Hal lain, pembunuhan itu bukan bermotif perampokan, karena uang ataupun barang-barang berharga tidak ada yang disentuh.
Jendela kaca di pintu depan dihancurkan dengan batu yang tergeletak di jalan masuk dan si pembunuh kemudian mengunci pintu dari dalam. Pegangan pintu itu sudah diseka, mungkin saat ia meninggalkan tempat itu. Mereka juga menemukan sebuah petunjuk: jejak telapak kaki si pembunuh dalam darah. Jejak sepatu tenis.
"Ukuran 10," kata Sersan. "la pasti seorang bajingan besar."
"Baiklah, ia mengenakan sepatu besar," kata Inspektur ringan. "Bagaimana besarnya kaki di dalam sepatu itu ...."
"Saya yakin hal itu juga terpikirkan olehmu," kata Inspektur. "Bagaimana hasil interogasi?"
Seluruh warga Cellefrouin sudah diinterogasi, begitu juga sebagian besar penduduk sekitar. Menurut keyakinan polisi, si pembunuh adalah salah seorang penduduk di situ juga.
"Atau seorang wanita," kata Inspektur.
"Dengan sepatu berukuran 10?" kata Sersan.
"Sepatu, bukanlah yang perlu," kata Inspektur, karena Sersan memandang dengan remeh.
"Kita tidak berhasil menemukan orang yang dicurigai," katanya. "Sejauh penyelidikan kita, Cailler tidak mempunyai musuh di Charente. Begitu juga wanita, setiap orang mencintainya."
"Beberapa lebih daripada yang lainnya," kata Inspektur. "Di mana Ny. Cailler pada malam itu?"
"la berada di rumah dan tidak sendirian," kata Sersan. "Putra bungsunya adalah satu-satunya yang berada di rumah dan ia pergi karena ada janji, tetapi kemudian para tetangga datang dan mereka main kartu sampai lewat tengah malam."
"Hal itu diatur oleh dua orang yang dicurigai," kata Inspektur sambil termenung. "Si Suami bekerja. Si Istri ada di rumah. Siapa lagi?"
"Tak ada orang lagi," kata Sersan. Jadi, tidak ada yang dicurigai."
"Juga tanpa motif," kata Inspektur.
"Pasti ada motifnya dan pasti ada orang yang dicurigai," kata Sersan. "Kita belum menemukannya sekarang ini."
“Apakah kau pikir kita akan menemukannya?" tanya Inspektur.
Sersan kelihatan tidak senang atas pertanyaan itu. Sebenarnya, ia bukan tidak senang seperti yang terlihat. Meskipun ia tidak memperlihatkannya kepada Inspektur, laporan dari laboratorium menyatakan bahwa sepatu tenis yang dikenakan oleh si pembunuh tidak baru lagi, dan jika bisa ditemukan mereka akan bisa melacaknya.
Salah seorang dari anggota tim detektifnya sekarang sedang menyusun daftar nama para lelaki di Cellefrouin dan desa-desa lain, yang memakai sepatu tenis berukuran 10. Berdasarkan kenyataan di lapangan, itu berarti si pembunuh kemungkinan laki-laki muda.
Musuh dari Gabon?
Di sisi lain, pembunuhan itu dilakukan secara sengaja. Si Pembunuh datang dengan bersenjata. la masuk ke rumah secara paksa, tapi tidak mencuri apa-apa. Selain itu sejumlah luka bekas tusukan lebih besar daripada sekadar yang dibutuhkan untuk membunuh, menunjukkan kebencian yang meluap-luap kepada korban. Motifnya jelas emosional.
Sayangnya, tak seorang pun di tempat itu tahu siapa yang membenci Rene Cailler atau Jeanne Metayer. Dua orang yang mungkin membenci mereka adalah Bernard Metayer dan Sylvie Cailler, tetapi alibi mereka kuat, dan tidak ditemukan bukti bahwa mereka yang melakukan pembunuhan.
Tetapi bukankah salah seorang dari mereka bisa menyewa seorang pembunuh?
Namun Sersan tidak berpikir demikian. Pertama, skandal itu sudah berlangsung selama 15 tahun dan sudah lama diterima oleh setiap orang. Jika Metayer dan Ny. Cailler menyewa seorang pembunuh, nampaknya hal itu akan mereka lakukan lebih awal.
Kedua, seorang pembunuh sewaan tidak punya alasan untuk membenci korban. la hanya akan menikam korban satu atau dua kali, memotong lehernya, dan meninggalkannya, dan mungkin ia akan menggondol segala barang berharga di rumah itu.
Tidak mungkin, pasti ada seseorang dari kalangan korban sendiri, orang yang membenci mereka, dan itulah yang harus diidentifikasi darinya.
Sersan merasa penuh percaya diri dan optimistis. Tak banyak pemuda yang memakai sepatu tenis berukuran 10 di tempat yang penduduknya sedikit itu. Bagaimanapun hal terpenting adalah menemukan orang yang dicurigai secepat mungkin.
Ada atau tidak, Inspektur tampaknya asyik dengan teorinya sendiri yakni menyelidiki kasus ini dari segala segi. Teorinya didasarkan pada latar belakang Rene Cailler yang tidak umum.
Rene Cailler pernah bertugas sebagai polisi di Afrika. Karena perwira tentara dan polisi sering kali menciptakan musuh dalam tugas mereka, sebagai inspektur ia punya alasan untuk mengetahuinya. Rene Cailler mungkin memiliki banyak musuh di Gabon.
Prancis sekarang dipenuhi oleh orang Afrika. Munculnya golongan sosialis yang memegang tampuk pemerintahan mengakibatkan timbulnya kelonggaran kebijaksanaan dalam hal keimigrasian. Alhasil, orang-orang Afrika berduyun-duyun datang ke Prancis, yang berusaha mengambil keuntungan dari kesejahteraan yang dibayar oleh para pembayar pajak di Prancis. Di antara mereka tentu ada beberapa orang dari Gabon.
Di antara para imigran dari Gabon mungkin salah satunya merupakan musuh lama Rene Cailler, atau mungkin, putra salah seorang musuhnya yang sudah mempelajari di mana Cailler berada dan datang untuk membuat perhitungan. Jeanne Metayer tentu saja dibunuh untuk menghilangkan saksi.
Di sebuah kota besar, seperti Marseille, orang berkulit hitam lebih banyak ditemukan daripada yang berkulit putih, tetapi seorang berkulit hitam di Desa Charente bisa kelihatan mencolok.
Inspektur mengirimkan sebuah tim untuk mencari saksi yang telah melihat seorang berkulit hitam bersepatu tenis. Memang tidak bisa ditentukan ia seorang bertubuh besar, karena tidak diketahui berapa ukuran sepatu Afrika. Bagaimanapun, terkesan bahwa sepatu orang Afrika lebih besar dibandingkan dengan sepatu di Prancis.
Karena itu baik Inspektur maupun Sersan sama-sama terdiam, dan mereka melakukan penyelidikan secara terpisah, meski ternyata tidak memberikan hasil apa-apa. Polisi Angouleme dari bagian penyelidikan kriminal tidak cukup besar untuk menyimpan berbagai rahasia. Akhirnya, Inspektur memanggil Sersan dan menanyainya apakah ia sudah menemukan sepatu tenis yang cocok dengan pola dan jejak yang terdapat pada darah itu. Sersan menjawab ia belum menemukannya, tetapi ia membuat laporan mengenai seorang laki-laki berkulit hitam yang terlihat di daerah itu pada tanggal 27 September.
Tampaknya kasus ini tidak akan terpecahkan. Di Prancis banyak orang Afrika datang secara ilegal dan tidak mungkin untuk menelusuri laki-laki itu, bahkan meskipun ia tetap berada di negara itu.
Satu-satunya deskripsi dari orang itu adalah bahwa ia berkulit hitam dan bertubuh agak kecil, tetapi tidak banyak yang bisa dikerjakan dengan petunjuk itu. Setelah sama-sama tak berhasil, kedua tim bergabung kembali, dan membicarakan lagi soal sepatu tenis. Hal itu bukan karena mereka pikir itu akan memberikan hasil, tetapi karena mereka ingin menunjukkan bahwa tak satu pun petunjuk yang tidak mereka telusuri.
Demi sang Ibu
Sersan memperoleh daftar yang komplet dari semua pemakai sepatu berukuran 10 di daerah itu dan ternyata tidak semua dari mereka adalah orang yang berperawakan besar. Bahkan Christian Cailler, yang kondisi fisiknya lemah pun mengenakan sepatu tenis berukuran 10.
"Pola sol sepatunya sama dengan yang ditemukan di TKP," kata Sersan, "tetapi tentu saja sepatunya tidak sama. Model sepatu itu umum di sekitar sini. Sekitar 80% dari sepatu tenis berasal dari pabrik yang sama."
"Tetapi bagaimanapun, kau sudah mengecek sepatunya 'kan?" kata Inspektur.
"Belum," kata Sersan. "la memiliki alibi saat pembunuhan terjadi. la sedang berkencan dengan seorang gadis berusia 17 tahun bernama Estelle Petit."
"Apakah kau juga mencari keterangan dari gadis itu?" tanya Inspektur.
"Tidak," kata Sersan dengan jengkel. "Kita tidak mempertimbangkan bocah itu sebagai seorang yang patut dicurigai. Mengapa ia harus membunuh ayah dan kekasih ayahnya?"
"Aku tidak tahu," kata Inspektur. "Tanyakanlah padanya."
Mereka tidak segera menanyai Christian Cailler, tetapi setelah Estelle menyangkal bertemu dengan Christian pada tanggal 27 September malam itu, dan setelah dipelajari bahwa Christian adalah seorang yang gemar mengoleksi pisau dan pisau belati, serta salah satu senjatanya adalah pisau berujung ganda dengan mata pisau sepanjang 10 inci, dan sepasang sepatu tenisnya hilang, mau tak mau mereka menangkapnya.
Christian berteriak, protes bahwa ia tidak bersalah, kemudian ambruk dan mengaku. Katanya, ia capek karena ayahnya meremehkannya. Angka-angka rapor sekolahnya jeblok dan ayahnya terlalu kritis.
Para penyelidik menemukan suatu kelemahan motifnya dan melanjutkan interogasi itu. Christian mengatakan bahwa motif sebenarnya adalah ia tidak bisa lebih lama lagi melihat ibunya dihina oleh skandal ayahnya dengan wanita lain. la membunuh untuk menuntut balas demi ibunya. Para penyelidik itu belum merasa puas, tetapi mereka tak bisa memperoleh pengakuan lebih lanjut.
Christian kemudian diperiksa oleh psikiater untuk melihat apakah ia mampu untuk melakukan pembunuhan, dan motif sebenamya dari pembunuhan itu adalah sedikit demi sedikit terakumulasi pada dirinya secara psikologis. Bisa saja hal itu karena rasa iri hati.
Rene Cailler adalah seorang yang kuat, mampu memimpin, dikagumi banyak orang dan dihormati, sukses dalam bisnis, dan populer di antara wanita. Sementara itu Christian lemah secara fisik. Di sekolah prestasinya sedang-sedang saja. la benar-benar anak mama, dan merasa frustrasi karena tidak pernah sukses dalam berhubungan dengan wanita. la tidak bisa dibandingkan dengan ayahnya.
Setelah melakukan pembunuhan, Christian melemparkan sepatu tenisnya yang berlumuran darah dan pisau belatinya ke dalam kolam di dekat situ, yang akhirnya ditemukan oleh polisi.
Pengadilan menyatakan bahwa Christian benar-benar ada dalam keadaan sangat stres, tetapi ketika ditemukan bahwa ia mampu untuk diperiksa dan tindak kriminal itu dilakukan dengan sengaja dan sudah direncanakan, maka ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tanggal 2 November 1984.
Seminggu setelah pengadilan usai, Inspektur Bouton pensiun dengan jabatan terakhir sebagai inspektur kepala. Kini Inspektur Paul Mougenou-lah yang mengepalai bagian pembunuhan di Angouleme. (John Dunning)