Intisari Plus - Keluarga Jackson ditemukan tewas mengenaskan. Pencarian pelaku pun menuntun polisi ke beberapa kasus pembunuhan lainnya.
----------
Keluarga Jackson tinggal di sebuah rumah mungil dan asri dekat Apple Grove di Virginia, AS. Carroll Vernon Jackson, Jr., yang berusia 29 tahun, hidup rukun dengan istrinya Mildred. Ia berusia dua tahun lebih muda dari suaminya. Mereka memiliki dua orang putri, Susan Anne yang berusia lima tahun dan Janet Carol yang berusia 18 bulan. Menurut tetangga, kehidupan mereka sehari-hari penuh dengan canda ria.
Jackson bekerja di toko makanan di Louisa County yang letaknya cuma beberapa kilometer dari rumahnya. Ia diketahui tidak mengalami kesulitan keuangan.
Hari Minggu, 11 Januari 1959, keluarga yang bahagia itu berkendara ke Bucker, Virginia, untuk mengunjungi orang tua Ny. Jackson, yaitu Tuan dan Nyonya B.L. Hill. Jaraknya kira-kira 20 km dari rumah mereka. Pukul 21.40, Janet, si bayi, agak rewel karena mengantuk, sehingga keluarga Jackson memutuskan untuk pulang saja.
Keesokan harinya Carroll Jackson tidak muncul di tempat kerjanya. Agak siang, pemilik toko menelepon ke rumah Jackson untuk menanyakan mengapa karyawan andalannya itu tidak masuk. Tidak ada jawaban.
Hari Senin petang itu juga, Ny. Hill singgah ke toko makanan tempat menantunya bekerja. la ingin berbicara sebentar dengan Jackson, tetapi diberi tahu bahwa menantunya itu tidak masuk. Jadi si mertua menelepon ke rumah menantunya itu. Ternyata telepon tidak diangkat.
Nyonya Hill kebetulan bertemu dengan salah seorang bibi Jackson. Wanita itu sambil lalu berkata, ia melihat sebuah mobil yang mirip mobil Jackson di tepi jalan raya Route 609 ketika ia mengendarai mobil menuju Richmond. Ny. Hill heran, mengapa mobil menantunya ada di sana? Mestinya ia tidak mengambil jalan itu.
Ketika hal itu ia utarakan kepada suaminya, mereka sependapat: jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres. Tuan Hill mengajak seorang putranya, George, untuk pergi ke Route 609.
Di sana memang mereka menemukan mobil keluarga Jackson, sedan Chevrolet 1958, dalam keadaan kosong. Mobil itu tampak jelas ditinggalkan dalam ketergesaan. Kunci kontak masih di tempatnya. Dompet Ny. Jackson yang berisi uang kertas 1 dolar dan beberapa recehan, tergeletak di atas dashboard. Dua buah bantal ada di tempat duduk belakang bersama-sama dengan boneka milik anak perempuan keluarga Jackson. Boneka itu berpakaian seperti pemiliknya, yaitu memakai celemek berwarna merah dan putih. Ada juga popok yang sudah kotor dan sebuah botol susu yang isinya tinggal beberapa tetes.
Roda kiri belakang Chevrolet itu berada pada permukaan yang keras di jalan sempit Route 609. Kedua roda depannya sebagian masuk ke lumpur. Beberapa meter di depannya terlihat bekas tapak roda mobil yang direm mendadak, berbentuk setengah lingkaran, seakan dibentuk sebuah mobil yang harus berhenti mendadak di depan mobil Jackson. George Hill menghubungi polisi setempat pada pukul 19.20, kurang dari 20 jam setelah keluarga Jackson meninggalkan kediaman keluarga Hill.
Polisi Virginia memeriksa seluruh keadaan di sekitar sana. Suatu keluarga yang tinggal 100 m dari tempat kejadian menceritakan jika kemarin ia mendengar pintu mobil dibanting beberapa kali. Ia juga melihat sinar lampu senter beberapa kali mengarah ke jendela mereka dan mendengar sebuah mobil pergi meninggalkan tempat itu sekitar pukul 22.00.
Seorang pemuda yang Minggu malam berkendara menyusuri Route 609 untuk mengantar pulang kekasihnya dari bioskop, melihat sebuah mobil diparkir di tempat mobil Jackson ditinggalkan. Mobil yang diparkir itu mirip Chevrolet, katanya. Ia dan kekasihnya juga sempat melihat lampu belakang mobil lain yang meluncur di muka mereka. Waktu itu kira-kira pukul 22.00.
Seorang ibu rumah tangga yang tinggal dekat Route 618, dari arah mana keluarga Jackson seharusnya berbelok untuk dapat mencapai arah rumah mereka, masih mengingat bahwa kedua mobil tersebut melewati rumahnya sekitar pukul 21.55. Katanya, salah satu mobil memiliki knalpot yang suaranya berisik.
Kemudian polisi mendapat keterangan lain. Sepasang suami-istri yang bermobil malam itu menceritakan bahwa pengendara sebuah mobil Ford, model tahun 1951 atau 1954, memaksa kendaraan mereka supaya berhenti di dekat jalan kecil kira-kira 30 km dari tempat mobil keluarga Jackson ditemukan.
Keluarga itu berhasil menghindari pengganggu mereka. Salah seorang di antara mereka mengatakan bahwa mobil orang itu mempunyai knalpot yang berisik. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 19.30 atau 20.00.
Pak mandor menangis
Senin malam itu, 200 sukarelawan sipil bergabung dengan polisi dalam usaha pencarian. Hari berikutnya, beberapa agen FBI datang dari Richmond karena menduga kasus itu kasus penculikan. Mereka bermaksud membantu kepolisian setempat.
Hari berikutnya lebih banyak sukarelawan mengajukan diri dan ruang lingkup pencarian diperluas. Sebuah pesawat udara polisi terbang rendah di atas perladangan dan hutan cemara Louisa County.
Sehari kemudian, kelompok pencarian itu dibantu oleh dua helikopter korps marinir yang diawaki petugas FBI dan kepolisian setempat. Polisi juga minta bantuan penduduk untuk ikut mencari di sekitar tempat tinggal mereka. Tempat bekas penggalian batu, gedung-gedung yang terbengkalai dan tempat penggergajian dalam radius 75 km semuanya ditelusuri. Termasuk juga tempat pacaran yang terkenal. Telaga, sungai dan anak sungai seakan diaduk-aduk.
Seorang kerabat keluarga Jackson yang tak mau disebut namanya menawarkan hadiah sebesar $ 5.000 bagi informasi yang dapat membantu penemuan keluarga yang hilang itu, baik hidup maupun mati.
Hampir dua bulan berlalu tanpa hasil. Tanggal 4 Maret, dua orang laki-laki dari Fredericksburg, Virginia, mengendarai mobil menuju suatu tempat penggergajian yang sudah terbengkalai, di luar Route 631. Laki-laki itu, James Beach, seorang mandor pada American Viscose Corporation di Fredericksburg dan John Scott, seorang pemangkas rambut, ingin menggali serbuk gergaji yang akan digunakan untuk tanaman mawarnya.
Truk pick-up mereka terperosok ke dalam lumpur dan bekas serbuk gergajian. Beach dan Scott mengumpulkan jerami dan mengonggokkannya di bawah roda. Ketika Beach sedang menyentak sebuah cabang besar dari sebuah gundukan, ia melihat kaki manusia menyembul ke luar.
“Scott,” Beach berseru, “ada mayat manusia di dalam situ!”
Ketika Scott mendatanginya, Beach mengatakan, “Jangan sentuh apa pun. Sebaiknya kita panggil polisi.”
Beach berjalan sejauh 3 km ke tempat telepon untuk menghubungi polisi kehutanan Francis Boggs, yang kemudian memanggil polisi. Setelah mengangkat tumpukan jerami dengan hati-hati, polisi menemukan mayat seorang laki-laki jangkung, berbadan tegap dan seorang gadis cilik. Laki-laki itu terbaring telungkup, tangannya diikat ke arah depan. Tubuh gadis cilik itu sebagian terhimpit mayat lelaki di bagian kiri, seakan-akan ia mendekapnya supaya tetap hangat. Lelaki itu tertembak pada pelipis kirinya dan ada luka memar di bagian kepala. Sedikit luka memar juga ditemukan di bagian atas kepala gadis cilik itu, tetapi tampaknya ia bukan tewas karena memar itu melainkan mati lemas.
Mayat laki-laki itu untuk sementara dianggap sebagai Carroll Vernon Jackson, sebab ada kartu tanda pengenalnya di kantung jasnya yang berwarna biru bergaris-garis. Kedua mayat kemudian dikenali oleh Curtis Jackson, paman Carroll, sebagai mayat Carroll dan putrinya yang berusia 18 bulan. Janet Carroll berpakaian warna biru dan celemek merah putih, pakaian yang dipakainya ketika berangkat dari rumah kakek-neneknya. Beach yang baru saja mendapat cucu, sampai mencucurkan air mata melihat mayat gadis cilik dan ayahnya itu.
Dua Johnny
Kemudian datang William R. Smith, salah seorang anggota regu penyidik dari Fredericksburg, Virginia. Ia menemukan benda yang beratnya lebih ringan daripada sebuah daun yang sudah kering, terbuat dari plastik, beberapa meter dari tempat itu. Seorang agen FBI mengenali benda itu sebagai sepasang grip (lapisan pegangan) pistol.
“Oh begitu?” kata Smith. “Tampaknya grip itu cocok dengan senjata genggam yang cukup besar, mungkin yang berkaliber 38.”
Beberapa jam kemudian, di laboratorium FBI di Washington, George Berley sependapat dengan Smith. Berley, seorang ahli senjata, mengambil gambar mikroskopis dari grip itu dan kemudian membesarkannya. la menemukan tanda-tanda pada grip yang menunjukkan grip dicopot secara paksa dari senjata genggam itu.
Berley mempunyai dugaan yang kuat bahwa bekas-bekas itu disebabkan karena pistol itu digunakan sebagai alat pemukul. Kedua mayat itu memang menderita memar yang bisa jadi akibat dari pukulan pistol. “Sudah pasti, kita harus mencari senjata sejenis itu, kalau perlu kita harus mencarinya di mana saja,” kata Berley.
Di samping itu, ada kemungkinan, walaupun kecil, Jackson memegang dan menggunakan senjata itu untuk melawan pihak penyerang dalam usaha yang sia-sia untuk melindungi diri dan putrinya.
17 hari setelah penemuan mayat ayah dan putrinya, dua bocah laki-laki yang sama-sama bernama Johnny, keduanya berusia 13 tahun, menemukan mayat Ny. Jackson dan anaknya yang lain, 160 km jauhnya dari tempat mayat Jackson dan putrinya ditemukan.
Johnny Paddy dan Johnny Bolin tinggal di pedusunan Gambrills, Maryland, tidak jauh dari ibu kota negara bagian Annapolis. Suatu hari keduanya ingin berlatih menembak di hutan.
Johnny Bolin menemukan gundukan yang tampaknya mirip dengan sarang tikus. Mereka berganti-ganti berlatih menembak gundukan kecil pasir dan jerami itu. Kemudian mereka ingin memeriksa hasil tembakan mereka. Jadi Johnny Bolin mengorek sebagian dari pasir. Tiba-tiba saja ia melihat bagian belakang kepala manusia.
“Benar-benar manusia, bukan boneka atau apa pun!” kata Bolin. Kedua bocah itu pun berlari ke rumah Bolin.
“Ibu, Ibu, saya menemukan mayat,” teriak Johnny Bolin.
“Kalau engkau main-main saya akan menghajarmu,” kakaknya memperingatkan.
Johnny menangis. “Jika yang saya katakan tidak benar saya bersedia dipukul,” jeritnya.
Kakak Johnny, Ralph Bolin, yang berumur 16 tahun, menggali gundukan pasir itu dengan gagang senapan. Ketika ia menemukan mayat wanita dan gadis cilik, ia berlari kembali pulang untuk memberi tahu ibunya. Ibunya memanggil polisi.
Nyonya Jackson ditemukan dalam keadaan telentang dan putrinya berada di atas tubuhnya dengan kaki mengarah ke kepala ibunya. Ibu dan putrinya dipukul secara kejam. Kepala Ny. Jackson penuh dengan luka memar dan luka bekas goresan, dan ada juga luka memar di bagian lututnya. Stoking sutera melilit di lehernya, rupanya untuk “menyelesaikan” pekerjaan yang menakutkan ini.
Susan Anne mati karena tulang tengkoraknya retak. Keduanya diduga mati bukan akibat kejahatan seksual. Dari hasil pemeriksaan medis oleh dr. Russel E. Fisher, kepala bagian pemeriksaan medis Maryland, dilaporkan, “Saya mohon maaf, saya hanya dapat mengatakan bahwa yang digunakan adalah senjata tumpul biasa.”
Sepatu Ny. Jackson yang berwarna biru hilang. la ditemukan dalam keadaan telanjang kaki. Stoking yang satunya lagi, yang diduga miliknya, ditemukan pada tumpukan jerami, tidak jauh dari kuburan dangkal itu.
Tempat angker
Tampaknya jelas bahwa pembunuhan ayah dan putri serta ibu dan putrinya yang lain terjadi hanya selang beberapa jam. Sisa makanan ditemukan di dalam perut Carroll dan Janet, tetapi tidak ditemukan pada dua korban lainnya. Petugas kepolisian dan FBI menyimpulkan bahwa ayah dan anaknya dibunuh terlebih dahulu dan pembunuh menguburkan mayat mereka sebelum membunuh ibu dan anak beberapa waktu kemudian dan menimbunnya hampir 160 km jauhnya dari tempat kejadian yang pertama.
Dalam masalah ini, pembunuh mengetahui secara pasti ke mana, ia harus pergi ketika ia angkat kaki dari tempat pertama. Tempat itu adalah sebuah rumah kosong di pinggir jalan pedesaan yang jarang dilalui kendaraan. Bangunan dari papan itu atapnya sudah agak ambruk, lantainya bobrok dan serambinya roboh.
Rumah itu jaraknya hanya sekitar 90 m dari tempat kedua Johnny menemukan ibu dan anak. Para penyelidik mengetahui kalau pembunuhnya membawa Ny. Jackson dan putrinya ke dalam rumah itu, karena ditemukan sebuah kancing gaunnya di sana oleh seorang agen FBI, John C. Bonner.
Mereka juga menemukan bekas tapak ban mobil pada jalan yang agak becek di sekeliling rumah itu, seakan-akan sang pembunuh mengerem pada tempat itu.
Tidak ada cara untuk mengetahui apakah Ny. Jackson dan putrinya, Susan Anne, dibunuh di dalam rumah itu atau di luar. Bekas lumuran darah ditemukan di dalam rumah dan di pekarangannya. Ada pula yang berpendapat sang anak telah mati ketika mobil pembunuh sampai di rumah itu.
Kapan ayah dan putrinya dibunuh tentu merupakan hal penting yang perlu diketahui. Rute yang paling langsung dari tempat kejadian pembunuhan pertama adalah ke utara melalui Route 301, melewati jembatan tol yang merentang di atas Sungai Potomac di Dhalgren, Virginia. Apakah pembunuh itu benar-benar nekat untuk berhenti membayar tol sambil membawa beberapa korban di dalam mobilnya?
“Ia dalam keadaan tergesa-gesa,” seorang agen FBI mencoba menjelaskan dengan datar. “Pembunuh biasanya mempunyai ego yang tinggi. Mereka menganggap bahwa mereka dapat lolos dan sampai saat ini memang demikian.”
Si pembunuh mempunyai peluang yang amat baik di rumah yang bobrok itu yang keadaannya terpencil. Pembunuh berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada orang yang akan nekat masuk jalan kecil yang seram dan ditumbuhi tanaman merambat itu.
Apalagi kira-kira 1 km dari rumah yang ditinggalkan itu pernah terjadi pembunuhan dua tahun yang lalu. Ketika itu seorang pengemudi mobil Chrysler atau De Soto mendekati pasangan yang sedang memarkir kendaraannya di sebuah jalan kecil yang rusak dan kemudian menembak Ny. Margaret V. Harold hingga tewas.
Polisi menemukan bukti, seseorang menggunakan rumah kosong itu untuk menyembunyikan diri tidak lama setelah melakukan pembunuhan di tempat parkir mobil. Dia pasti orang yang mengetahui persis daerah di sekitar sana.
Mobil hijau muda
Pencarian terhadap pembunuh keluarga Jackson dipusatkan terutama di negara bagian Virginia dan Maryland, dalam radius 75 km dari Washington, DC. Bukan berarti tempat-tempat lain bisa diabaikan begitu saja, tetapi petunjuk yang diperoleh oleh Detektif Kapten Elmer Hagner dari Anne Arundel County, Maryland, menguatkan dugaan bahwa pelakunya bukan orang luar daerah itu.
Sejak saat itu, FBI menangani kasus ini dengan mengerahkan 75 orang agen, didukung laboratorium dan ahli lain. Kasus pembunuhan masal itu masuk urusan pemerintah federal, karena tapal batas negara bagian dilampaui.
Karena melihat kesamaan antara beberapa tragedi keluarga yang terjadi di beberapa bagian, FBI bekerja sama dengan satuan tugas polisi dari Virginia, Maryland dan District of Columbia, untuk mencari seorang penjahat, pembunuh dan pemerkosa yang dalam melakukan kejahatannya menjelajahi daerah yang luas. Para agen FBI yakin bahwa pasti ada orang yang mengenali tampang pembunuh itu dari pengalaman pribadinya. Mereka menemukan orang-orang macam itu, dari arsip yang ada, dari kesabaran dan kadang-kadang melalui pengintaian dari rumah ke rumah.
Para agen berusaha mendapat keterangan lebih lengkap dari Keith Waldrop dari Montpelier, Virginia. Waldrop itu adalah orang yang menyatakan pada malam yang naas itu ia dengan istrinya bermobil kira-kira 30 km dari tempat penculikan keluarga Jackson. Katanya, sekitar pukul 19.30 - 20.00 seorang laki-laki yang bermata jalang dan mengendarai Ford warna hijau atau biru muda, model tahun 1952 atau 1954, mencoba menggulingkan mereka ke luar dari jalanan.
“Kami sangat ketakutan,” kata Waldrop. “Ia mirip seorang maniak. Ketika ia akan bangkit dari kursi, seakan-akan akan keluar dari mobil, istri saya berteriak agar saya segera tancap gas dan menyingkir.”
Beberapa bulan sebelumnya, Agustus 1958, sebuah sedan Ford dengan bentuk yang mirip seperti yang dijelaskan, digunakan untuk menghadang sepasang suami-istri pada jalan kecil dekat Laurel, Maryland. Sang suami ditodong dengan senjata oleh penyerang dan kemudian dipaksa untuk masuk ke dalam mobil si penyerang. Selama setengah jam berikutnya istrinya diperkosa, si penyerang kemudian membawa mereka berkeliling dengan mobilnya. Pada salah satu ruas jalan, pasangan ini dibebaskan.
Setahun sebelum itu, pada bulan Juni 1957, seorang laki-laki bermobil mendekati mobil lain yang isinya sepasang tunangan. Mobil itu diparkir di Lake Waterford, 30 km sebelah utara di mana Ny. Jackson dan putrinya dikubur, Seperti halnya dengan kasus yang terjadi di Laurel dan terjadi pada keluarga Jackson, tangan si pria diikat. Tetapi ketika si penyerang memaksa laki-laki itu untuk masuk ke dalam bagasi, korbannya bergulat dan penyerang pun kabur dengan menggunakan mobil Chrysler atau De Soto yang berwarna hijau.
12 jam kemudian, pengemudi mobil yang sama menyerang pasangan yang sedang memarkir mobilnya. Peristiwa itu berakhir dengan terbunuhnya sang wanita karena tembakan.
Sementara itu, Johnny Paddy dan Johnny Bolin, yang menemukan mayat Ny. Jackson dan Susan Anne, ditanyai agen FBI, apakah ada tempat pacaran sekitar kediaman mereka. Kedua anak itu tidak tahu. Mereka juga tidak melihat satu mobil pun di sekitar tempat itu pada hari mereka menemukan kuburan Ny. Jackson dan anaknya.
“Mobil terakhir yang kami lihat,” kata Johnny Bolin, “adalah mobil Ford yang sedang diparkir di pinggir jalan sehari sebelumnya ketika kami sedang berada di atas bus sekolah.”
“Apakah mobil itu bagus?”
“Tidak jelek,” kata mereka. “Mobilnya masih cukup baru,” tambah Johnny Paddy. “Buatan sekitar tahun 1957. Warna hijau muda.”
Mencari orang yang cocok
Menyimpulkan dari apa yang telah mereka pelajari, FBI menyebarkan pertanyaan yang diajukan kepada para pembaca surat kabar di Virginia, Maryland dan District of Columbia, perihal mobil-mobil yang dicurigai itu, kalau-kalau mereka tahu siapa yang menggunakannya pada tanggal-tanggal tertentu.
Pada saat yang sama, FBI mempelajari seluruh pemilik Ford yang terdaftar di Maryland, Virginia dan District of Columbia, untuk memastikan pemiliknya berada di mana dengan mobil mereka pada tanggal 11 Januari 1959.
Dari informasi yang dilengkapi oleh para saksi yang diwawancarai, para petugas FBI dan polisi setempat membuat gambaran rekaan dari pembunuh yang dicurigai. Tokohnya digambarkan sebagai yang berkulit putih, tingginya sekitar 182 cm, berat 79 kg, berusia antara 25 - 30 tahun, rambut coklat tua atau hitam, mata coklat tua, rambut dibelah pinggir kiri dan disisir ke belakang. Ada segumpal rambut yang sering jatuh ke bagian depan kepala sebelah kanan yang selalu harus diusap untuk dikembalikan lagi ke belakang. Orangnya rapi dan bersih, dengan kefasihan berbicara di atas rata-rata, dikenal sebagai orang yang mengalami penyimpangan seks dan orang yang suka sekali memperlihatkan kemampuannya. la membawa pistol laras pendek kaliber 32 atau 38 dan harus dimasukkan daftar sebagai orang yang sangat berbahaya.
Salinan gambaran orang tersebut dibuat oleh markas besar FBI dan tidak hanya disebarkan di Virginia, District of Columbia dan Maryland, tetapi juga di seluruh negeri melalui jaringan FBI di 55 kantor operasional.
Lukisan itu dibuat dengan tekun oleh Kopral Vyrl Couperthwaite dan Detektif Walter Evanoff dari Kepolisian Washington. Tiga hari setelah gambar itu diedarkan, seorang wanita menghubungi FBI dari Montpelier, Virginia. “Itulah dia orangnya,” kata wanita itu melaporkan bahwa beberapa minggu yang lalu, suaminya dan dua anaknya sedang naik mobil, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan mereka sehingga mereka pun terpaksa berhenti.
la mengatakan, mobil itu dikemudikan oleh seorang laki-laki berkulit putih dengan rambut gelap panjang. “Mobilnya Ford,” katanya. “Ia telah mengikuti kami dari jarak yang sangat rapat 3 atau 4 menit. Ketika membuka pintu kanan mobil, ia tersorot lampu mobil kami dan saya dapat melihat dengan jelas wajahnya.” Suaminya, katanya, berusaha menghindar dan mereka lolos.
Anggota masyarakat yang lainnya banyak yang menulis surat dan menelepon untuk mengatakan bahwa si tersangka terlihat di Washington, DC, Kansas City, Memphis, Dallas, Los Angeles, Chicago, Miami, dan bahkan di sebuah dusun atau kota kecil. Setiap agen FBI mengikuti petunjuk yang diberikan dari kantor operasional walaupun tidak membawa hasil.
Bulan-bulan yang panjang berlalu, penyelidikan yang dipusatkan di Virginia, Maryland dan District of Columbia terus berjalan. Agen-agen FBI dari sektor operasional mencari juga sampai di 50 negara bagian. Mereka dengan sabar, hati-hati dan mendengarkan dengan saksama untuk mencocokkan jawaban yang sering jauh dari yang diharapkan.
Ke mana pun mereka pergi, agen-agen itu selalu mengajukan pertanyaan: “Apakah Anda mengetahui adanya pasangan yang didekati seseorang di tempat parkir atau diculik atau berusaha diculik dengan tujuan diperkosa dan hal itu tidak dilaporkan ke polisi?”
Secara berkala, agen-agen FBI mengorek keterangan dari para tersangka yang sudah pernah menjadi langganan polisi, yaitu penjahat dengan spesialisasi kejahatan seks dan berbagai tindak kekerasan, bekas penghuni rumah sakit jiwa, “orang-orang jalanan” yang mengetahui situasi daerah-daerah hitam. Sampai bulan Juni 1959, mereka telah mewawancarai lebih dari 1.400 tersangka.
Harus memilih satu dari 1.331 tersangka
Bulan itu mereka mendapat petunjuk pertama yang mantap.
Sebuah surat dikirimkan ke kantor polisi di Prince George’s County, Maryland. Pemberi informasi itu menulis bahwa ia mencurigai seorang bekas kenalannya terlibat dalam pembunuhan Ny. Margaret V. Harold (36).
Nyonya Harold adalah wanita yang ditembak mati pada bulan Juni 1957, ketika ia duduk di dalam mobil bersama seorang sersan tentara dekat Gambrills, Maryland, tidak jauh dari tempat di mana mayat Ny. Jackson dan putrinya ditemukan hampir dua tahun kemudian.
Pemberi informasi itu menyebutkan nama si tersangka yang berusia sekitar 29 tahun, yaitu seorang pemain piano pada sebuah klub kecil di Washington, DC. Surat itu diserahkan kepada FBI oleh kepolisian Prince George dan kemudian para agen mewawancarai informan itu.
Ia tidak tahu di mana tersangka tinggal. Tersangka itu ternyata sulit dicari. Orang tuanya pun tidak dapat memberikan petunjuk ke mana FBI harus mencarinya. Sementara itu, para agen mulai menelusuri kehidupan masa lampau tersangka. Terbukti ia terlibat beberapa kejahatan.
Mereka mengetahui bahwa pada tanggal 12 Maret 1955 ia dikenakan tuduhan menyerang seorang wanita berusia 36 tahun dekat tempat perhentian bus. Wanita itu ia tarik ke dalam mobilnya.
Pihak FBI juga berhasil mengetahui pemain musik itu pernah menggunakan atau memiliki sebuah mobil yang cocok dengan penjelasan dari mereka yang dekat dengan lokasi pembunuhan Ny. Harold, yaitu tempat yang letaknya tidak berjauhan dengan tempat keluarga Jackson diculik. Tidak lama setelah penembakan terhadap Ny. Harold, seorang pengemudi truk melaporkan kepada polisi bahwa ia menolong pengendara mobil Chrysler berwarna hijau tahun 1948 untuk mengeluarkan mobilnya dari sebuah selokan tidak jauh dan lokasi pembunuhan.
Penyelidikan yang terpisah menunjukkan bahwa ia mungkin saja pengemudi dari mobil-mobil lain yang digunakan untuk memotong jalan beberapa pasangan lain dan paling tidak di dalam suatu kasus, memerkosa wanita yang sedang berada di tempat parkir mobil.
Pada hari ketika surat yang penting itu diserahkan kepada FBI, instansi itu telah “memilih” 1.331 orang tersangka yang dicurigai. 146 lainnya dimasukan ke dalam daftar yang diduga punya potensi. Sekarang, nama Melvin Davis Rees Jr. masuk dalam daftar itu. Dalam beberapa jam saja ia telah menjadi orang yang paling dicari setelah para agen mewawancarai kawan kencan Ny. Harold. Tentara AS itu diminta melihat beberapa potret dan ia memastikan bahwa Rees adalah orang yang membunuh Ny. Harold.
Surat di kotak akordeon
Seorang agen FBI di Little Rock, Arkansas, melakukan penyusupan ke dunia hitam. Dalam penyamarannya ia mendapat keterangan bahwa ada seorang musisi yang hidup dalam ketakutan. Siang hari ia bekerja pada sebuah toko musik dan malam hari ia bersembunyi. Namanya Melvin. Entah Melvin apa, agen FBI itu tidak berhasil mendapat keterangan. Ia pun menyampaikan informasinya ke kantor FBI di Memphis. Setelah itu beberapa agen FBI beberapa kali pergi ke toko musik itu untuk berbelanja. Pada tanggal 25 Juni 1960, 17 bulan setelah keluarga Jackson dibunuh, Melvin Rees ditangkap di depan toko musik di West Memphis, tempat ia bekerja sebagai salesman dan guru piano.
Sersan tentara, kawan kencan Ny. Harold, kemudian diterbangkan ke Memphis. Ia mengenali Rees yang dijajarkan dengan beberapa penjahat sebagai pembunuh Ny. Harold. Rees ditangkap dengan tuduhan melarikan diri untuk menghindari tuntutan hukum atas pembunuhan Ny. Harold.
Beberapa waktu kemudian ia dituduh sebagai pembunuh keluarga Jackson. Seorang agen FBI, Francis X. Jhan, dari kantor operasional Hyattsville memimpin suatu tim yang terdiri atas enam agen lainnya menuju rumah orang tua Rees di Hyattsville, setelah mendapatkan izin tertulis untuk menggeledah tempat itu. Dalam pemeriksaan itu, agen Gene S. Weimer memanjat ke atas loteng dan melihat ada lubang pada tembok di dalam WC. Lewat lubang itu, di belakang dinding, Weimer menemukan sebuah kotak akordeon yang berisi sebuah revolver Cobra kaliber 38 dan dokumen tulisan tangan yang berbau cabul. Terdapat juga foto dan berita dari surat kabar tentang Ny. Jackson dan Susan Anne.
“Si Brengsek itu menceritakan ia membunuh keluarga Jackson,” kata Weimer kepada Jhan, setelah Weimer membaca tulisan Rees pada kertas yang bunyinya: “Tertangkap pada jalanan sepi, setelah menyandera mereka ke luar dan kemudian masuk ke dalam mobilku. Bagasi tersedia untuk suami dan kedua anaknya. Berjalan menuju daerah yang sudah dipilih dan membunuh suami dan bayinya. Sekarang ibu dan putrinya adalah milik saya sepenuhnya.” Rees memberi penekanan pada “milik saya sepenuhnya”.
Di sana diikuti kata-kata cabul, ia bercerita pula tentang suatu perbuatan yang tidak wajar. Pada akhirnya Rees menulis: “Kemudian mengikat, menyumbat dan membawanya ke tempat eksekusi dan menggantungnya.”
Seorang ahli dari FBI mempelajari dokumen itu kurang dari 30 menit sebelum menyimpulkan bahwa tulisan itu cocok betul dengan contoh yang ada di tangan Rees.
Orang baik-baik
Rees, pria ramping yang tingginya 188 cm dan berambut hitam tebal itu tampak lebih muda dari usianya yang 32 tahun. Tingkah lakunya dalam persidangan mirip dengan orang yang menderita. Tetapi ia tenang, suaranya tegas dan keras ketika menyatakan dirinya tidak bersalah. Seorang penangkapnya mengatakan bahwa ia seorang yang sangat gentleman.
Seorang gitaris pada perusahaan piano West Memphis, di mana Rees selama ini bekerja, menjelaskan kepada wartawan bahwa Rees adalah seorang yang rapi, pendiam, suka menyendiri dan berkelakuan baik. “Kami terkejut mendengar bahwa ia ditangkap. Sama saja seperti mendengar bahwa ibu kita terlibat kejahatan. Kami tidak pernah mendengar ia mengucapkan kata kotor atau cabul. Ia pemain piano yang mahir. Ia juga bisa memainkan instrumen lainnya, termasuk klarinet. Ia juga guru yang menarik. Murid-muridnya senang padanya.”
Orang tua Rees di Hyattsville sangat sedih. Para tetangga menjelaskan bahwa mereka adalah keluarga baik-baik, taat beragama, tetangga yang menyenangkan.
Ayah Rees adalah seorang montir telepon, aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan tekun memelihara kebunnya. la membangun sebuah rumah besar berwarna hijau di belakang rumah temboknya yang bertingkat dua. Pasangan Rees mempunyai dua orang putri yang telah menikah, keduanya lebih tua daripada Melvin.
Elaine Rees, istri tersangka yang telah diceraikan bulan Maret 1959, menjelaskan pada pers bahwa Rees tidak pernah berlaku kasar terhadap dirinya maupun putranya, Phillip, yang berusia enam tahun. “Suatu ketika ia pernah hampir semaput ketika Phillip memukulnya dengan palu.”
Rees menyewa sebuah apartemen di Memphis selama lima bulan dan kumpul kebo dengan seorang penyanyi profesional yang pernah melakukan pertunjukan di berbagai kota, termasuk Washington. Wanita itu mengaku sebagai istri Rees dan menuduh orang memberikan informasi keliru tentang Rees karena iri hati atas kemampuan musik yang dimiliki Rees.
Rees diajukan ke pengadilan federal di Baltimore dengan tuduhan membunuh Ny. Jackson dan putrinya pada tanggal 25 Januari 1961, tujuh bulan setelah ia ditangkap di Tennessee.
Saksi bernama William Bage, seorang agen asuransi dari Hyattsville, menyatakan ia menjual pistol Cobra kaliber 38 melalui iklan yang dipasangnya pada sebuah surat kabar di Washington, kepada seorang laki-laki yang menandatangani cek atas nama Melvin D. Rees. Pistol itu dilengkapi dengan grip yang terbuat dari tulang ketika ia menjualnya, tapi ia memberikan juga sepasang grip dari plastik dan sekotak peluru. Cek yang diberikan oleh Rees ternyata kosong, kata saksi itu, tetapi akhirnya ia berhasil juga memperoleh uang tunai dari Rees.
Kemudian seorang ahli FBI membuktikan grip pistol bekas milik agen asuransi itu adalah grip yang sama seperti yang ditemukan dekat mayat Jackson. Pistol itu bisa saja merupakan senjata yang digunakan oleh Rees untuk memukul Jackson.
Buku harian cabul yang ditemukan di rumah Rees di Hyattsville ditampilkan pula sebagai bukti di pengadilan.
Pada tanggal 23 Februari 1961 Rees dinyatakan bersalah melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap Mildred Jackson dan putrinya, Susan Anne.
16 hari kemudian, Hakim Thomsen menjatuhkan hukuman seumur hidup pada Rees, hukuman yang dapat memberinya kemungkinan menerima pembebasan setelah menjalani hukuman selama 15 tahun.
Virginia kemudian mengadilinya untuk pembunuhan terhadap Carroll Vernon Jackson.
Setelah kesaksian yang diberikan oleh 60 orang dalam waktu sembilan hari persidangan di Spotsylvania, juri hanya membutuhkan kurang dari sejam untuk mengeluarkan putusan bahwa Rees bersalah dan hakim mengirim Rees ke kursi listrik.
Hakim John D. Butzner menentukan tanggal 6 April 1961 sebagai tanggal eksekusi untuk Rees.
la tidak mati di kursi listrik, karena psikiater menyatakan bahwa ia mengalami gangguan mental. Tetapi itu juga berarti ia tidak bisa mengajukan banding.
Ia diserahkan kepada penguasa federal untuk tetap ditahan sampai kematian membebaskan.
(Andrew Tully)
Baca Juga: Penghuni Terakhir
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726635/ibu-saya-menemukan-mayat" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678774371000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448556" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/31-tahun-tak-tersentuh-hukum_mal-20220831012411.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Tahun 60-an, banyak teror terhadap orang kulit hitam di AS. Salah satunya adalah pembunuhan Medgar Evers yang baru terpecahkan 30 tahun kemudian." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/31-tahun-tak-tersentuh-hukum_mal-20220831012411.jpg" ["title"]=> string(28) "31 Tahun Tak Tersentuh Hukum" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:24:28" ["content"]=> string(21937) "
Intisari Plus - Sekitar tahun 1960-an, banyak teror pembunuhan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Salah satu kasus yang terkenal adalah pembunuhan Medgar Evers yang baru terpecahnya 30 tahun kemudian.
-------------------
Semak Honeysuckle menutupi siapa pun yang berdiri di baliknya. Bunga merahnya mulai mekar penuh. Semak-semak ini tak mencolok dan di tempat inilah sesosok lelaki bersenjata itu berdiri. Menunggu.
Pada saatnya nanti, moncong senjata kaliber 303 Enfield 1917 menyalak. Lelaki bermata tajam yang ada di balik semak-semak nyaris tak berkedip. Tangannya sudah gatal menarik pelatuk. Dia menunggu saat-saat bersejarah ketika peluru mencelos cepat dari senjatanya. Dia merasa seperti komandan sekaligus algojo di medan perang.
Ini perang, perang sesungguhnya. Karena itu, dia tak perlu khawatir akan tuntutan. Dia justru tengah membayangkan pandangan kagum “pasukannya”.
Meski ingin segera melakukan eksekusi paling besar dalam hidupnya, sosok tegap ini sudah sangat terlatih. Maklum, dia pernah bergabung dengan Korps Marinir Amerika Serikat pada 1942 sebagai penembak jitu. Kesabaran hingga buruan tepat pada sasaran adalah tips untuk menang.
Ketika sebuah mobil berhenti di jalan masuk sebuah rumah, tepat di seberang semak-semak Honeysuckle Vine, senjata langsung diangkat. Tak perlu terburu-buru karena target sudah ada dalam bidikan. Tak mungkin meleset.
Bahunya hanya bergeser sedikit mengikuti orang berkulit hitam yang keluar dari mobil. Orang itu berjalan bergegas. Sepintas, sosok yang memegang senjata ingat hari itu Presiden John F. Kennedy sedang berpidato tentang hak-hak sipil. Mungkin orang itu ingin segera masuk rumah dan ikut mendengarkan pidato presiden di televisi.
“Aku akan mengantarmu. Secepatnya,” lenguh lirih sosok bersenjata itu.
Hanya beberapa langkah setelah keluar dari mobil, tangan kekar di balik semak-semak menarik pelatuk. Desing keras dan sangat cepat melesat ke sasaran. Tepat menembus dada. Sosok tinggi besar itu langsung ambruk di dekat mobil.
Perjuangan berisiko
Sore di bulan Juni 1963, seperti biasa Medgar Evers menghadiri pertemuan pekerja hak-hak sipil di sebuah gereja di Jackson, Mississippi. Pada saat yang sama Presiden John F. Kennedy juga berpidato tentang hak-hak sipil.
Pulang dari pertemuan di Jackson, Evers mengendarai mobil dengan puas ke rumahnya. Perjuangan sepertinya akan segera memunculkan hasil. Sebentar lagi hak-hak sipil diberlakukan. Ini berarti tak ada lagi penindasan dan pembunuhan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Juga berarti, orang dari ras mana pun bebas menikmati pendidikan.
Evers masih ingat betul betapa sakit hatinya ketika ditolak masuk di Fakultas Hukum University of Mississippi. Bukan karena otaknya tidak encer. Jika otaknya tidak encer, mana mungkin dia diangkat sebagai sekretaris pada National Association for the Advancement of Colored People (NAAC). Penolakan itu hanya karena warna kulitnya hitam. Universitas ini hanya menerima orang kulit putih. Ini tamparan paling keras yang memicu semangat Evers untuk memperjuangkan kesempatan meraih pendidikan bagi siapa saja.
Saat itulah Evers terbakar dan mulai menata langkahnya sebagai pemimpin kulit hitam. Dia dikenal gigih memperjuangkan hak-hak sipil. Nama Medgar Evers menjadi terkenal. Akan tetapi, dia juga harus menanggung risiko besar. Salah satu yang mengincarnya adalah Ku Klux Klan, organisasi paling radikal yang menentang pemberian hak bagi orang berkulit hitam, orang Yahudi, dan penganut Katolik di Amerika.
Pada waktu itu - dari tahun 1954 hingga 1960-an Ku Klux Klan mengobarkan perang terbuka. Organisasi yang meletup di Tennessee ini terang-terangan menentang pemberian hak sipil bagi orang kulit hitam. Mereka melarang orang kulit hitam naik bus yang sama dengan orang kulit putih. Kalau pun masuk dalam kendaraan yang sama, orang kulit putih mendapat tempat terbaik di depan. Keran air minum pun harus dipisah. Orang kulit putih tak pernah mau menyentuh keran air minum yang pernah dipegang orang kulit hitam.
Itu baru urusan bus dan keran air minum.
Pembedaan dalam urusan pendidikan juga berlaku. Dan itu juga dialami Evers. Padahal Evers tahu, dari pendidikanlah perjuangan mendapatkan hak-hak sipil ini akan cepat diperoleh.
Membela kepentingan orang kulit hitam berarti siap berhadapan dengan Ku Klux Klan. Ini sama dengan mengantongi tiket kematian. Tetapi Evers tetap yakin dengan pilihannya. Sama seperti ketika dia menjalani wajib militer pada 1943 di Prancis. Pulang dari wajib militer, semangat Evers terpompa. Dia ingin melakukan yang terbaik untuk Amerika. Tetapi melihat situasi makin menyudutkan orang kulit hitam, dia mengambil jalur tegas, membela hak sipil orang kulit hitam.
Evers sadar betul akan tiket kematian yang ada di tangannya. Beberapa kali dia mendapat serangan ... dan selalu lolos. Yang paling hebat adalah serangan pada tahun 1963. Ini tahun penuh kekerasan. Pada 28 Mei 1963, ada orang yang melempar bom molotov ke garasinya. Sepuluh hari kemudian, 7 Juni 1963, seseorang mencoba menabraknya dengan mobil polisi. Dua serangan itu dilaporkan. Dua-duanya mentah karena tidak ada tersangka.
Agaknya, musuh Evers tak ingin menunggu aksi ayah tiga anak itu makin menguat. Mereka ingin segera menghabisi Evers. Lima hari kemudian, 12 Juni 1963, Evers ditembak. Dadanya ditembus peluru.
Merangkak menuju pintu
Ditempa dua tahun dalam perang di Prancis membuat Evers menjadi sosok pantang menyerah. Peluru yang menembus dadanya memang langsung membuatnya ambruk, tetapi kesadarannya masih utuh. Di tengah rasa nyeri yang luar biasa, Evers menyeret tubuh mendekati pintu rumahnya. Dia tidak ingin mati sia-sia di jalan, dia ingin istrinya tahu. Dia ingin ... hidup.
Pintu rumah tinggal beberapa langkah. Dari dalam masih terdengar pidato Kennedy yang menyerukan pemberian hak-hak sipil bagi seluruh warga Amerika. Dia hanya melihat pintu rumahnya.
Curiga dengan suara benda diseret dan merasa sudah waktunya suaminya pulang, Myrlie Evers membuka pintu. Di depan pintu dia menyaksikan suaminya sudah bersimbah darah. Satu jam setelah penembakan dan dibawa ke rumah sakit, Medgar Evers meninggal.
Jejak darah yang terseret ketika Evers berusaha menyelamatkan nyawa masih jelas terlihat di pintu masuk.
Tak mungkin mengabaikan pembunuhan kali ini meski dua percobaan pembunuhan bisa dianggap angin lalu dengan alasan tak ada tersangka. Kali ini harus ada tersangka. Darah Evers masih membekas samar ketika 11 hari kemudian Byron de la Beckwith ditangkap. Dia dituduh membunuh aktivis NAAC itu.
Byron tak bisa mengelak ketika saksi-saksi melapor bahwa mereka melihat mobil Byron, sebuah Plymouth Valiant putih, ada di dekat rumah Evers pada hari pembunuhan itu. Mereka melihat lelaki itu mengemudikan mobil di sekitar rumah Evers. Polisi juga akhirnya menemukan senjata yang disembunyikan di semak-semak Honeysuckle Vine. Sidik jari Byron yang biasa disapa Delay ini, jelas-jelas tercetak pada senjata itu.
Tetapi Delay tetap tenang. Dia hanya menyerahkan proses itu sepenuhnya ke tangan polisi. Semua menunggu dan ... Delay dibebaskan. Pembebasan ini karena ada tiga polisi yang mengaku melihat Byron de la Beckwith alias Delay ada di Greenwood, 95 mil dari rumah Evers. Delay punya alibi.
“Tentang senjata itu, hm ... itu memang milik saya. Senjata itu dicuri orang. Saya memang lupa melaporkan kehilangan senjata itu,” kata Delay. Selesailah sudah.
Akan tetapi, situasi di luar makin memanas setelah kematian Evers. Delay pun diseret ke pengadilan. Juri yang memutuskan terdakwa membebaskan Delay pada sidang pertama. Para juri ini seluruhnya laki-laki dan seluruhnya berkulit putih. Mereka menganggap sah-sah saja orang kulit hitam dibunuh, apa pun alasannya. Hakim pun agaknya setali tiga uang. Russell Moore, sang hakim, menganggap kelakuan Delay tak ada yang menyimpang.
Kongkalikong di pengadilan
Tentu saja Myrlie Evers, berang. Dia merasa ada yang tak beres dalam sidang ini. Mantan Gubernur Mississippi pun didatangkan. Ross Barnett, sang mantan gubernur, hanya mendekati Delay dan memberi kode dengan menggerakkan tangan. Banyak yang mengira itu kode supaya Delay tak perlu khawatir. Apalagi juri yang dihadirkan semuanya berkulit putih. Hakimnya sendiri adalah teman dekat Delay.
Bisa ditebak, sidang dibatalkan. Moore dan juri menganggap alibi Delay cukup kuat. Kesaksian tiga polisi yang melihat Delay ada di sebuah pompa bensin di Greenwood membuat juri tak bisa memutuskan sidang. Delay pun melenggang.
Keputusan ini membuat Delay makin percaya diri. Dia sudah membuktikan bahwa dalam “perang” melawan orang kulit hitam, dia akan selalu menang. Polisi saja bisa diatur. Delay pun resmi bergabung dengan White Knights dalam Ku Klux Klan. Ini termasuk kelompok elite dalam organisasi itu.
Merasa mendapat posisi hebat, Delay mulai membual supaya anggota Klan makin hormat. Delay berkali-kali mengungkapkan pembunuhan yang dilakukannya pada Evers. Melihat sebagian orang Klan tidak percaya - toh Delay beralibi berada di 95 mil jauhnya dari rumah Evers — Delay menunjukkan bukti bahwa dia adalah pembunuh Evers. Delay mengatakan bahwa dialah yang menelepon polisi sesaat setelah menembak Evers supaya polisi menemukan senjatanya di semak-semak Honeysuckle Vine di seberang rumah Evers.
Delmar Dennis, salah satu anggota Klan mendengarkan cerita Delay. Dennis menganggap Delay membual supaya disegani anggota organisasi itu. Makin sadis dan makin banyak membunuh orang kulit hitam, agaknya makin terang pamornya dalam organisasi. Delay tengah berusaha mendapatkan pamor itu. Bukankah dia bisa menembak mati Sekretaris NAAC yang paling disegani?
Darah biru
Byron de la Beckwith lahir dari keluarga elite di Colusa, California pada 1920. Ketika berusia lima tahun ayahnya meninggal. Dalam catatan kematian hanya tertulis pneumonia dan kecanduan alkohol. Setelah kematian ayahnya, keluarga ini pulang ke Greenwood, Mississippi.
Ibu Byron, Susan Southworth Yerger adalah juga keturunan keluarga papan atas di Mississippi. Keluarga Yerger selalu mendapat tempat terbaik dalam acara resmi di Mississippi. Baru tujuh tahun tinggal di Greenwood, Susan meninggal. Dalam catatan kematian, Susan yang menderita kelainan mental disebutkan meninggal karena penyakit kanker paru-paru.
Byron pun tinggal bersama pamannya, William Yerger. Dia selalu mengikuti pamannya. William bisa dikatakan agak kurang waras. Dia sangat hobi memancing ikan lele tetapi hasil pancingannya tidak ada satu pun yang dimakan. Setelah memancing, ikan-ikan itu malah disimpan di laci meja rias dan dibiarkan berhari-hari hingga membusuk. Bau busuk itu begitu mengerikan.
Byron baru berpisah dengan keluarga pamannya itu ketika masuk wajib militer dan bergabung dengan korps marinir sebagai penembak jitu pada 1942. Empat tahun kemudian dia menikah dengan Mary Louise Williams. Byron yang lebih suka menyebut dirinya dengan sapaan Delay ini menjadi juragan tembakau di Mississippi.
Pernikahan ini benar-benar seperti badai. Begitu sering bertengkar, bercerai, rujuk, menikah lagi, bertengkar lagi, rujuk. Begitu seterusnya.
Reed Massengill, keponakan istri Delay yang tinggal bersama mereka, menulis buku tentang sosok pamannya itu. Dia menyatakan pamannya itu seorang yang rasis, brutal, dan tak segan menganiaya istrinya.
Saat itu Delay sudah bergabung dengan Ku Klux Klan. Delay paling garang menyerukan kebencian pada kulit hitam, Yahudi, dan Katolik. Dia bisa mengusir orang kulit hitam yang menyentuh keran air minum di tempat umum. Makin hari kebrutalan Delay makin terpupuk. Dia menganggap Ku Klux Klan adalah pasukan yang harus membinasakan semua musuh. Delay merasa kembali pada masa wajib militer. Ini perang. Artinya, semua musuh harus dihabisi.
Posisi Delay makin kokoh dalam Klan. Merasa mendapat angin segar, Delay pun menggalang pendukung. Tidak tanggung-tanggung, dia mencalonkan diri menjadi wakil gubernur melalui Partai Demokrat di Mississippi. Dalam sebuah wawancara sebelum pencalonannya, Delay berkata, “Saya sadar akan konspirasi jahat internasional terhadap hak-hak negara dan integritas rasial.”
Delay tidak masuk nominasi. Orang masih ingat bagaimana dia melenggang keluar dari jeratan hukum ketika berhasil mengelak tuduhan membunuh Evers, empat tahun sebelum wawancara itu.
Abaikan perubahan
Pada 1970, kondisi di Mississippi mulai membaik. Sekolah dan universitas mulai membuka diri untuk warga Afro Amerika. Ketika Evers ditembak mati, hanya ada 28.000 pemilih di Mississippi, pada 1971 jumlahnya membengkak menjadi 250.000 orang yang diakui, dan pada 1982 lebih dari 500.000 orang Afro Amerika menikmati hak-hak sipilnya.
Ini yang tidak dipahami Delay. Seumur hidupnya, dia merasa Mississippi adalah medan perang. Aktivitasnya di Ku Klux Klan tak berkurang. Gosokan untuk tetap menghidupkan insting membunuh itu juga didapat dari buku karya Hoskins, anggota Klan, yang menyebut bahwa orang-orang pilihan Tuhan adalah orang kulit putih. Jadi sah-sah saja menghabisi orang selain orang kulit putih. Ini mengobarkan insting membunuh.
Gosokan ini juga yang membuatnya menerima tantangan untuk membunuh pemimpin Anti-Defamation League di New Orleans yang dianggap sering mengeluarkan pernyataan kritis tentang orang kulit putih. Ini membuat Klan terbakar. Delay punya alasan untuk membunuh. Dia membayangkan pandangan kagum orang-orang ketika dia bebas dari jerat hukum saat membunuh Evers. Dia dengan bangga menyebut dirinya penembak jitu, menembak apa saja.
Delay benar-benar tidak tahu di luar sana dunia sudah berubah. Sesumbar ini dicatat FBI. Ketika Delay berangkat menunaikan tugas membungkam selamanya mulut orang yang telah menghina orang-orang pilihan, orang kulit putih, FBI membuntuti.
Saat melewati Lake Ponchartrain Causeway Bridge, tiba-tiba saja mobil polisi mengikuti dari belakang. Delay tak menyangka hingga dia melihat lampu polisi berkedip-kedip dari spionnya. Dia menepi. Polisi New Orleans mendekat dengan senjata siap menyalak. Di mobil Delay ditemukan tiga senjata, setumpuk dinamit dengan timer dan detonator, serta ... petunjuk tertulis ke rumah pemimpin Anti-Defamation League.
Kali ini Delay dituduh berkomplot melakukan pembunuhan. Juri terdiri dari 10 orang kulit putih dan dua perempuan kulit putih. Delay diam-diam tersenyum melihat komposisi itu. Dia bisa membayangkan akan lolos lagi seperti sidang kasus pembunuhan Evers. Tetapi tunggu dulu, ini di Negara Bagian Louisiana. Delay terbukti bersalah mengangkut bahan peledak tanpa izin. Dia dipenjara tiga tahun.
Dia dikirim ke Angola Prison, menempati kamar tersendiri. Dia dipisahkan supaya tidak diserang tawanan yang mendendam karena kasus kematian Evers. Ketika di penjara, Delay jatuh sakit. Tetapi keturunan ningrat yang satu ini memang keras kepala. Dia sama sekali tidak mau dirawat oleh perawat pembantu yang berkulit hitam. “Aku bisa membunuh Medgar Evers, aku juga bisa dengan mudah membunuhmu!” sumbar Evers.
Januari 1980, Delay dibebaskan. Dia kembali ke Greenwood dan menjadi penjual pupuk. Keluar dari penjara, dia justru makin rajin datang ke pertemuan Ku Klux Kan. Disanalah ia berkenalan dengan Richard Kelly Hoskins, penulis sebuah buku yang jadi inspirasi Delay. Menurut Hoskins, orang yang membasmi “pengkhianat ras” adalah sebenarnya seorang prajurit yang membela kebesaran Tuhan! Dia mengirim surat kepada Hoskins tentang pembunuhan yang dilakukannya atas Evers. Dia ingin namanya dikenang lewat pembunuhan itu. Toh, sidang untuknya tak pernah menemukan bukti.
Jika Delay menganggap kisah itu menjadi kenang-kenangan, tidak demikian dengan jaksa di zaman yang sudah berubah. Tulisan-tulisan yang diterbitkan Hoskins membuat luka orang-orang Afro Amerika menjadi bernanah lagi. Mereka marah membaca newsletter yang disebarkan Hoskins. Terbayang kembali masa-masa tahun 1960-an ketika pembunuhan menjadi teror.
Ditebus uang Yahudi
Ini membuat masyarakat menuntut diungkapnya semua kasus masa lalu. Delay pun ditangkap. Untuk kali ketiga dia disidang untuk kasus yang sama: pembunuhan Medgar Evers. Sebagai jaminan, Delay harus menyediakan 100.000 dollar AS. Meski dari keluarga ningrat, dia tak punya uang sebanyak itu. Dia hanya penjual pupuk. Ketika ada yang memberi bantuan AS $ 12.000, Delay menolak karena itu uang dari orang Yahudi, salah satu kelompok yang harus dihabisi. Akan tetapi, akhirnya dia ambil juga karena tak ada lagi uang untuk jaminan.
Banyak yang pesimistis akan sidang ini setelah dua kali Delay lolos. Harus ada saksi baru yang menjerat Delay. Tetapi alibinya tentang posisinya yang jauh dari rumah Evers ketika pembunuhan terjadi masih kuat. Tiga polisi mengatakan alibi itu. Delay masih bisa mengelak kali ini.
Akan tetapi jaksa tidak ingin pembunuh yang diyakini telah menembak Evers ini lolos kembali. Mereka mencari saksi baru. Dan saksi itu pun muncul. Dialah Delmar Dennis, anggota Klan yang rajin mencatat kisah Delay ketika membunuh Evers. Dennis bersaksi lengkap dengan kenyataan bahwa yang menelepon polisi tentang penemuan senjata setelah pembunuhan itu adalah Delay. Karena Delay berulang-ulang menceritakan hal itu pada semua orang yang ditemui di Ku Klux Kan, Dennis mencatat itu sebagai kebenaran.
Saksi lain adalah perawat pembantu saat Delay dipenjara. Perawat pembantu ini mengungkapkan kisah Delay yang membunuh Evers, sama persis dengan apa yang diceritakan Dennis. Bukti terakhir yang tak bisa dielakkan adalah surat Delay untuk Hoskins yang diterbitkan dalam newsletter. Salah satu jaksa, Bobby Delaughter, menunjukkan senjata 1917 Enfield yang digunakan Delay menembak Evers. Senjata itu diambil dari rumah Russell Moore, teman sekaligus hakim saat Delay disidang kali pertama.
“Itu memang saya berikan pada Moore untuk kenang-kenangan,” aku Delay. Tak ada lagi yang percaya pada alibi yang disodorkan tiga polisi yang terbukti pendukung Ku Klux Klan. Pada 5 Februari 1994 Byron de la Beckwith divonis bersalah. Saat itu usianya 74 tahun. Dia tampak linglung. Hukuman seumur hidup harus dijalani tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.
Dia sempat mengajukan banding tetapi ditolak. Pada 21 Januari 2001 Delay mengalami gagal jantung dan tekanan darah tinggi. Kematian Delay menyisakan kebencian.
Myrlie Evers-Williams harus menunggu 31 tahun untuk mencari pembunuh suaminya. Begitu Delay divonis bersalah, Myrlie yang menikah lagi dengan aktivis kemanusiaan Walter Williams, dipilih menjadi ketua dewan NAACP. Tiga anak Evers yang langsung dipindah ke California setelah tragedi pembunuhan Medgar Evers kini telah dewasa. Darrell menjadi artis, Reena bekerja di penerbangan, dan Van menjadi fotografer. (Randy Radic)