array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3761012"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/apakah-dia-jack-the-ripperjpg-20230511110430.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(123) "George Chapman dituduh membunuh tiga wanita dengan racun. Banyak orang mengaitkan pembunuh keji itu dengan Jack the Ripper."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/apakah-dia-jack-the-ripperjpg-20230511110430.jpg"
      ["title"]=>
      string(27) "Apakah Dia Jack the Ripper?"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-05-11 11:04:38"
      ["content"]=>
      string(30426) "

Intisari Plus - George Chapman dituduh membunuh tiga wanita dengan racun. Banyak orang mengaitkan pembunuh keji itu dengan Jack the Ripper yang terkenal sadis di London.

---------------

Jika seseorang akan dibunuh dengan racun, maka biasanya pembunuh memilih arsenikum. Sudah sejak beratus-ratus tahun, arsenikum merupakan “racun khas” untuk membunuh.

Pada tahun 1903 seorang pria setengah baya dihadapkan ke pengadilan di London. la dituduh membunuh tiga orang wanita dengan racun. Bukan arsenikum, melainkan antimonium. Cara-caranya pembunuhan menimbulkan sangkaan bahwa ketiga pembunuhan itu dilakukan oleh seorang penjahat saja. Apakah sangkaan ini mempunyai dasar, masih belum terjawab.

Tertuduh berusia 37 tahun, berasal dari Polandia dan bernama Severin Klosowski. Tetapi ia menamakan dirinya George Chapman dan diadili dengan nama itu. Di usia 15 tahun ia mulai belajar pada seorang mantri kesehatan di negara asalnya. Ia tamat belajar sebagai pembantu mantri dan penata rambut. Kemudian ia meneruskan pendidikan pada sebuah klinik. Sesudah mengabdi 1,5 tahun di ketentaraan, ia berimigrasi ke Inggris. Ia tiba kira-kira musim semi tahun 1887.

Di London tadinya ia mencari nafkah sebagai pembantu penata rambut, kemudian membuka salon di daerah Tottenham. Tetapi tidak lama kemudian usahanya itu gagal. la pergi ke tempat lain untuk menjadi pembantu penata rambut lagi. 

Pada bulan Agustus 1889, Klosowski menikah dengan seorang wanita Polandia bernama Lucy Barski. Tidak lama sesudah pernikahan, seorang wanita datang dari Polandia dan menyatakan bahwa dialah istri pria itu. Kedua wanita hidup bersama dengannya selama jangka waktu tertentu, lalu wanita yang datang terakhir kembali ke tanah airnya. Klosowski berimigrasi dengan istrinya yang lain ke Amerika Serikat.

Karena mereka tidak cocok, beberapa bulan kemudian si istri kembali ke Inggris. Suaminya menyusulnya tahun 1893. Di London mereka rujuk kembali dan mempunyai dua orang anak. Karena sering suaminya tidak setia, istrinya meninggalkannya. Mereka hidup terpisah.

Kini Klosowski menjalin hubungan dengan seorang wanita muda bernama Annie Chapman dan hidup bersama selama setahun. Sesudah wanita itu meninggalkannya, ia menamakan dirinya George Chapman. Dengan penukaran nama ini tampaknya ia ingin menghindari tuntutan-tuntutan banyak wanita yang telah ia hubungi selama beberapa tahun. Ia tidak mau mengaku pernah memakai nama yang terdahulu, juga kepada para petugas. Menurut undang-undang Inggris, seseorang dapat mempunyai nama baru jika sudah dipakai terus-menerus. Jika ini terjadi, maka nama lama hilang.

Sesudah berpisah dengan Annie Chapman, Chapman berkenalan dengan Nyonya Spink. Wanita tadi masih menjadi istri seorang kuli bernama Spink, yang baru saja meninggalkannya karena si istri pemabuk.

Sesudah Chapman pindah pondokan ke keluarga Ward, Nyonya Spink dan Chapman sering terlihat bersama-sama. Chapman menerangkan kepada orang lain bahwa mereka akan segera menikah. Di bulan Oktober 1895, mereka menyatakan kepada kenalan dan kawan-kawan bahwa mereka telah menikah. Padahal keterangan ini bohong, karena keduanya belum bercerai dengan pasangan masing-masing.

Nyonya Spink memiliki sedikit uang yang mereka pakai membeli salon. Ia membantu “suaminya” melayani langganan. Kadang-kadang ia juga mencukur langganan. Waktu itu belum biasa wanita mengerjakan hal itu.

Waktu usahanya tidak begitu maju, Nyonya Spink membeli piano dan bermain sambil suaminya melayani pelanggan. Karena “penataan rambut dengan musik” ini, salon itu terkenal di seluruh bagian kota dan menarik banyak langganan. Karena itulah Chapman banyak mendapat uang, sehingga ia mampu membeli perahu.

Di antara pelanggannya, ada seorang penjual obat. Chapman meminta padanya agar diberikan “tartar emetic”, racun antimonium. Si penjual obat menjual 30 gram racun yang jarang diminta itu. Ia memberikannya dalam botol dengan tulisan “racun”. Bersamaan dengan penjualan itu, ia juga menyuruh Chapman menandatangani buku racun. Chapman memberi tanda tangan dan menuliskan kata-kata yang sukar dibaca pada kolom yang isinya keterangan untuk maksud apa racun itu dibeli.

Salon kembali mengalami kemunduran, terutama karena Nyonya Spink pemabuk. Akhirnya salon terpaksa dijual.

Dalam tahun 1897, Chapman membeli restoran kecil di London dengan nama “Prince of Wales”. Nyonya Spink seorang wanita yang relatif sehat, tapi saat itu ia merasa sakit sekali jika sedang mendapat haid. Dalam waktu singkat, kesehatannya makin memburuk. Ia sering muntah-muntah hebat, bergantian dengan sakit rahim yang tidak tertahankan. Seorang tetangga yang diminta bantuan oleh Chapman, akhirnya memanggil seorang dokter. Dokter tidak begitu memedulikan keadaan si sakit. Nyonya Spink makin lama makin lemah dan meninggal pada tanggal 25 Desember 1897.

Di mata temannya, kematian ini dianggap sebagai akhir penderitaan yang teramat besar. Chapman pingsan, tidak dapat dihibur dan semua orang kasihan kepadanya. Tetapi meskipun demikian, restorannya dibuka pada hari itu juga. Dokter segera saja mengeluarkan surat kematian dengan sebab kematian ayan. Agar biayanya rendah, Chapman menyuruh menguburkan jenazah Nyonya Spink di kuburan massal.

Beberapa bulan sesudah kematian Nyonya Spink, di musim semi 1889, Chapman memasang iklan mencari seorang pramuniaga. Datanglah seorang gadis muda bernama Elisabeth Taylor, seorang anak petani yang hingga saat itu menjadi pembantu rumah tangga. Chapman melihat dan menerimanya. Segera saja gadis itu menjadi pacarnya dan sangat bahagia.

Pada suatu hari, Chapman menyatakan pada para pelanggannya bahwa ia telah menikah dengan “Bessie”. Sebenarnya ia hanya pergi ke pedesaan sehari dengan gadis itu. Karena masih saja berstatus beristri, maka ia tidak dapat menikahi gadis itu. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya, ia tidak mungkin menikahi Nyonya Spink. Tetapi Bessie ikut “bermain” dan sesudah itu enak-enak saja menyuruh orang lain memanggilnya Nyonya Chapman.

Sesudah “perkawinan”, Elisabeth Taylor yang sebelumnya sehat dan kuat, mulai sakit-sakitan. Ia menjadi kurus sekali dan makin lemah. Akhirnya harus dibawa ke sebuah klinik. Waktu ia kembali ke rumah, Chapman memperlakukannya dengan buruk.

Para dokter di klinik dan juga dokter keluarga tidak mengerti apa penyakit “Nyonya Chapman”. Waktu dokter keluarga datang menengok ke rumah, ia heran menemukan pasien sedang memainkan piano. 2 hari kemudian 13 Februari 1901, gadis tersebut meninggal. Dalam surat kematian dokter keluarga, Dr. Stoker, menuliskan sebab kematian adalah kelelahan karena terlalu banyak muntah dan mencret. 

Dokter ini pun tidak menganggap perlu untuk menyelidiki sebab-sebab kematian yang aneh tersebut. Sekali lagi Chapman seperti tidak bisa terhibur. “Bessie” disenangi semua orang dan banyak yang prihatin pada Chapman setelah “istrinya” meninggal. Chapman menyuruh membuat batu nisan yang megah dan ia menulis sendiri beberapa syair untuk diukir di nisan itu.

Orang tua gadis yang meninggal selalu menyatakan bahwa Chapman orang baik. Waktu mereka melihat batu nisan, mereka menyatakan bahwa anaknya tidak mungkin mendapatkan suami yang lebih baik darinya.

Beberapa bulan sesudah meninggalnya Elisabeth Taylor, Chapman berkenalan dengan wanita yang akan menjadi korban ketiganya.

Di bulan Agustus 1901, Chapman membaca iklan. Seorang gadis muda berusia 20 tahun, bernama Maud Marsh, mencari pekerjaan sebagai pramuniaga. Chapman menyuruhnya datang dan segera saja Maud dimintanya untuk bekerja. 

Maud Marsh anak seorang pekerja dan sebelumnya tinggal di tempat orang tuanya. Waktu ia menceritakan kepada orang tuanya bahwa ia akan memulai pekerjaan baru, ibunya pergi ke restoran Chapman untuk melihat keadaan. Pada kunjungan itu, Chapman memberikan beberapa keterangan palsu. Ia menceritakan kepada ibu tadi, bahwa ia seorang duda dan di bagian atas masih ada keluarga yang tinggal. Dengan demikian, Chapman ingin memberikan gambaran bahwa rumah di mana anaknya akan tinggal itu rumah baik-baik. Ia berhasil. Si ibu setuju anaknya bekerja di situ.

Gadis itu belum lama bekerja, waktu ia menulis kepada ibunya bahwa majikannya telah menghadiahkan jam emas dengan kalung. Tidak lama kemudian, datang sepucuk surat lagi. Maud menyatakan kepada ibunya, majikannya meminta “beberapa hal” kepadanya. Jika ia menolak maka majikan akan mengusirnya.

Berita-berita ini membuat Nyonya Marsh agak risau, dan ia menasihati anaknya untuk kembali ke rumah. Sayang sekali, gadis muda ini tidak mengikuti nasihat tadi. Malah pada suatu hari Chapman datang dengannya dan dengan resmi meminangnya. Pada kesempatan itu Chapman memperlihatkan kepada orang tua Maud, sebuah surat wasiat. Surat tersebut menyatakan bahwa jika meninggal, Chapman akan mewariskan 400 ponsterling. 

Orang tua Maud tetap kurang percaya dan menasihati agar anak mereka berhati-hati. Waktu anak ini pada suatu hari menengok ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit, ia memakai cincin di jari. Ketika ditanyai apakah ia telah menikah, ia mengangguk. Perkawinan, katanya, telah diberkati di sebuah “tempat” Katolik di Bishopsgate Street.

Seperti biasa, maka kali ini pun Chapman menipu. “Upacara perkawinan” itu hanyalah naik kereta keliling London dengan Maud, kemudian kembali ke restoran dan berpesta pora dengan tamu-tamu merayakan “perkawinan”. Akal licik Chapman ini agak diganggu oleh Nyonya Marsh. Ia datang dan tidak mau begitu saja mempercayai apa yang telah diceritakan tentang upacara “perkawinan”. Ia curiga ada sesuatu yang tidak beres. Suaminya lebih-lebih lagi. Mereka meminta Chapman agar memperlihatkan surat kawin. Akan tetapi anak mereka mencegah dengan keras permintaan si ayah.

Beberapa waktu kemudian, Maud tiba-tiba jatuh sakit. Ia muntah terus-menerus, mencret, sakit peranakan, haus, dan mual tidak karuan. Tampak sangat menderita melihat “istrinya”, Chapman dengan segala kasih sayang merawatnya. Akan tetapi karena keadaan si sakit makin hari makin memburuk, diambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit.

Para dokter di klinik tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Mereka menyangka Maud menderita kanker, reumatik, atau sakit lambung dan dengan demikian sama sekali tidak dapat memberi analisa yang tepat. Tidak ada terpikir bahwa ini disebabkan suatu kejahatan. Padahal di dalam klinik keadaan pasien dengan segera membaik.

Baru saja Maud pulang ke rumah Chapman, penyakitnya kambuh kembali. Chapman berhasil mencegah Maud dibawa ke rumah sakit lagi. la memanggil dokter keluarga, Dr. Stoker, yang dulu pernah diminta bantuannya. Dokter tidak dapat menemukan sebab penyakit dan mencoba memberikan segala macam obat yang tidak menolong. Keadaan si sakit makin memburuk setiap hari dan dokter putus asa.

Sementara itu Chapman telah berganti restoran dan pindah ke sana. Dr. Stoker masih saja merawat pasiennya dan menjadi saksi bagaimana kekuatannya makin menurun.

Waktu ibu Maud dan seorang tetangga bergantian merawat Maud, Chapman menyatakan bahwa hanya dialah yang berhak membuat semua makanan dan minuman untuk Maud. Keadaan si sakit makin menyedihkan. Akhirnya keadaan demikian buruknya sehingga Maud hanya bisa minum saja.

Pada suatu hari terjadi sesuatu yang hampir saja membahayakan Chapman. la membuatkan minuman anggur dan soda untuk Maud. Si sakit meminum minuman itu, tetapi karena terlampau lemah, sisanya sebagian besar ada dalam gelas. Beberapa waktu kemudian, Nyonya Marsh dan tetangganya meminumnya juga. Akibatnya mereka muntah-muntah dan mencret.

Meskipun hal ini sebenarnya bisa menarik perhatian, tidak ada seorang pun yang curiga. Yang paling mengherankan ialah bahwa tidak ada yang curiga bahwa mungkin racun yang menjadi sebab penyakit yang misterius ini.

Baru waktu pasien sekarat, Nyonya Marsh curiga. la membicarakan hal ini dengan suaminya dan mereka kemudian meminta dokter keluarganya, Dr. Grapel, untuk memeriksa putri mereka.

Dr. Grapel segera pergi ke restoran Chapman dan memeriksa pasien di sana. Baru sebentar saja ia sudah mengetahui bahwa Maud keracunan. Tetapi ia belum mengetahui racun apa yang masuk ke dalam tubuh gadis malang itu. Jadi baru sekali itu seorang dokter menaruh syak.

la mengirim telegram ke Dr. Stoker dan mengabarkan bahwa penyakit wanita muda itu menurut pendapatnya adalah karena racun. Jika langsung diambil tindakan, mungkin jiwa pasien masih bisa tertolong. Chapman yang takut oleh kedatangan dokter lain itu segera memberikan racun dengan dosis baru sehingga beberapa jam kemudian Maud meninggal. Waktu ia meninggal, Chapman berpura-pura sedih. Ia berteriak-teriak seperti anak-anak.

Karena keterangan rekannya, Dr. Stoker menolak untuk memberi surat keterangan kematian. Ia merasa perlu dilakukan pembedahan mayat. Chapman marah mendengarkan itu dan meminta pertanggungjawaban.

“Saya tidak dapat menemukan sebab kematian,” kata dokter.

“Karena terlampau lelah, disebabkan adanya bengkak dalam usus,” jawab Chapman. 

“Apakah yang menyebabkan bengkak tadi?” 

“Karena selalu muntah dan mencret.”

“Apa penyebab muntah dan mencret?”

Chapman tidak menjawab. Kemudian ia menyatakan bahwa kematian disebabkan karena memakan daging kelinci yang mengandung arsenikum.

Dr. Stoker kemudian memutuskan untuk melakukan pembedahan mayat sendiri dibantu oleh tiga dokter lain. 

Waktu dibedah mula-mula tidak ditemukan apa-apa yang dapat menjelaskan soal penyebab kematian wanita muda itu. Dokter kemudian mengambil lambung dan organ-organ lain untuk dianalisa. Dalam bagian-bagian badan itu ditemukan antimonium. Zat ini dapat dicairkan dalam air dan terasa agak manis dan tidak enak. 

Dulu di beberapa daerah, majikan biasa memberikan sedikit antimonium dalam makanan agar para pembantu yang mencuri dari majikan jadi jera. Kadang-kadang antimonium juga dimasukkan di dalam gelas pemabuk, agar mereka jera. Peracunan dengan “batu pemuntah” sudah jarang dilakukan. Akibat dari “batu pemuntah” sama dengan akibat racun arsenikum, yakni muntah terus menerus, tidak dapat dihentikan (oleh karena itu dinamakan “batu pemuntah”) mencret, tidak bisa menelan, sakit lambung, kejang denyut nadi tidak teratur, dan pingsan. Mayat korban jadi awet, sehingga bertahun-tahun sesudah meninggal masih dapat dikenali kembali.

Pada tanggal 23 Oktober 1902 dikeluarkan perintah penahanan terhadap Chapman. Hanya dialah yang dapat memberikan “batu pemuntah” pada almarhumah. Bulan April 1897 diketahui ia telah membeli sejumlah racun itu dan tidak ada orang lain yang mempunyai kontak dekat dengan mereka yang sudah meninggal. Waktu diadakan pemeriksaan rumah, selain daripada 300 pon emas dan uang, ditemukan kaleng-kaleng yang mencurigakan, berisikan bubuk putih. Lalu ditemukan juga surat-surat keterangan yang membuktikan bahwa Chapman sebagai seorang Polandia, mempunyai kewarganegaraan Rusia, dan bernama Severin Klosowski. Selain itu, ada beberapa buku khusus mengenai bagaimana memakai racun dan buku kehidupan algojo bernama Bary.

Polisi menganggap mayat Nyonya Spink dan Elisabeth Taylor perlu digali untuk diperiksa. Kedua mayat masih baik, meskipun sudah beberapa lama dikuburkan. Menurut patolog yang melakukan pemeriksaan, wajah dan tangan Nyonya Spink seperti baru kemarin dikuburkan. Keadaan itu saja sudah menunjukkan bahwa ada racun di dalam tubuhnya. Pembedahan mayat membenarkan dugaan itu. Seperti dikatakan seorang ahli yang memeriksa, tubuh kedua wanita tadi bagaikan dicelupkan ke dalam antimonium.

Pemeriksaan dibuka di depan pengadilan di London pada tanggal 16 Maret 1903. Yang memimpin adalah seorang hakim yang paling populer di Inggris, Justice Grantham. Yang menjadi penuntut adalah Sir Edward Carson, pernah menjadi lawan Iscar Wilde. la dibantu tiga ahli hukum lagi. Sebagai pembela tersedia tiga orang pengacara.

Publik menaruh perhatian. Orang yang datang melebihi tempat yang tersedia. Perhatian tetap besar hingga akhir persidangan. Hakim sekitar jam 11 masuk ke ruang sidang. Tertuduh dibawa masuk. Saat dibawa ke polisi, Chapman tampak tidak peduli. Tapi di pengadilan ia seakan-akan senewen dan ketakutan. Ia menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan suara perlahan, tidak tetap, dan ragu-ragu.

Penuntut utama dalam pembukaannya hanya memberikan singkatan bukti-bukti. Pembela dalam posisi sulit, ingin mencari keuntungan dari fakta bawa Chapman seorang asing. Tetapi pernyataan ini tidak dianggap serius oleh juri. Chapman selama pledoi pembelanya menangis tersedu-sedu, tetapi tidak menggerakkan perasaan juri.

Sesudah mendengar keterangan tidak kurang dari 37 saksi, maka seorang wakil penuntut dan seorang pembela memberikan pendapat dengan singkat.

Dalam penjelasannya hakim tidak memberi peluang untuk bebas sedikit pun pada tertuduh. Para dokter yang tersangkut mendapat kecaman habis-habisan dan mereka disalahkan karena begitu lama bisa dikelabui oleh tertuduh. Penuntut masih agak membela para dokter dan menerangkan bahwa untuk seorang dokter bukanlah keputusan yang mudah untuk menuduh seseorang melakukan pembunuhan. Sebab jika tidak terbukti, maka dokter pun akan terkena akibatnya. Tetapi para hakim tidak bisa menerimanya.

Para juri membutuhkan waktu 10 menit untuk perundingan mereka. Waktu Chapman diberitahu bahwa ia dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan, ia tidak mempunyai kekuatan untuk membantah. Ia juga membisu waktu para hakim menjatuhkan hukuman mati. Hukuman ini dianggap sebagai ganjaran setimpal dan tidak ada seorang pun yang setuju terhukum meminta pengampunan kepada menteri dalam negeri.

Hingga pelaksanaan hukuman ia tidak memperbolehkan seorang pun juga datang kepadanya di penjara, bahkan tidak juga istrinya yang orang Polandia yang ingin melihatnya. Satu-satunya orang yang ia izinkan adalah seorang pastor Rusia-Ortodoks.

Sampai saat terakhir, ia menyatakan dirinya tidak bersalah dan juga tidak mengakui dirinya sebagai Severin Klosowski. Pada tanggal 7 April 1903 ia dihukum gantung dan di penjara Wandsworth di London.

Pada waktu pemeriksaan terhadap Chapman sudah berakhir, dan perkara mencapai tahap pengadilan, maka di kalangan kepolisian tercetus dugaan bahwa Chapman indentik dengan seorang pembunuh yang sudah lama dicari dan diberi julukan “Jack the Ripper” oleh masyarakat.

Pembunuhan pertama yang diduga dilakukan Jack the Ripper terjadi di pagi hari tanggal 31 Agustus 1888. Korbannya seorang wanita pelacur, Mary Ann Nicholls. Tidak lama sesudah kejahatan ini dilakukan, badan korban ditemukan di Buck’s Row di Whitechapel.

Leher wanita tadi disayat dari telinga satu ke telinga yang lain dan perut bagian bawah dipotong-potong. Dokter polisi menduga bahwa mayat dibunuh kira-kira setengah jam sebelum diletakkan di tempat ia ditemukan. Dari cara menyayat diambil kesimpulan bahwa si pelaku sangat ahli menggunakan pisau, sebab sama sekali tidak terdengar jeritan apa pun. 

2 hari kemudian terjadi pembunuhan kedua yakni pada tanggal 8 September 1888, tidak jauh dari tempat kejadian yang pertama. Korban lagi-lagi seorang pelacur, dengan nama Annie Chapman. Badannya menunjukkan cedera mengerikan yang sama seperti Nicholls. Waktu diperiksa lebih lanjut ditemukan beberapa bagian dalam telah hilang. Yang menjadi pertanyaan ialah senjata apa yang dipakai si pelaku. Tidak dapat ditentukan apakah itu bayonet prajurit, pisau penjual daging, atau pisau bedah dokter. Dokter pengadilan menyatakan bahwa ini semua mungkin dipakai.

Juga kali itu tidak ditemukan si pembunuh. Polisi telah menahan beberapa penjahat yang terkenal di sekitar itu, namun mereka dapat memberikan alibi dan harus dibebaskan kembali. Akhirnya yang berwajib menjanjikan hadiah 100 ponsterling bagi orang yang berhasil menangkap pembunuh. Lagi-lagi itu tidak membuahkan hasil.

3 minggu tidak terjadi apa-apa. Lalu penduduk daerah Whitechapel di London sekali lagi dikejutkan. Seorang pelacur dibunuh lagi. Pada tanggal 30 September pagi, orang menemukan mayat Elisabeth Stride di Berners Street dengan leher yang tersayat. Kali ini pada badan wanita muda itu tidak ditemukan cedera lain. Sebelah tangannya memegang buah anggur dan di tangan lain beberapa bonbon. Kali ini pun tidak ada bekas-bekas yang dapat dijadikan petunjuk untuk menemukan si pelaku.

Pada malam itu juga dibunuh pula seorang wanita lain, Catherine Eddows, tempat kejadiannya sekitar 10 menit dari tempat pelacur sebelumnya ditemukan. Korban ini termasuk pelacur di Whitechapel.

Dari kejadian-kejadian ini terbukti bagaimana cepatnya si pelaku bekerja dan betapa pandainya ia mengelak yang berwajib. Pada jam 01.30 seorang petugas polisi masih mengelilingi tempat di mana terjadi kejahatan dan ia tidak melihat apa-apa. 15 menit kemudian seorang laki-laki menemukan mayat di tempat yang sama, leher gadis disayat dan badan dipotong-potong.

Pembunuhan ganda di Whitechapel ini menimbulkan kepanikan di antara para pelacur di Whitechapel. Dan tentu saja mengguncang London. Hadiah penangkapan dinaikkan dari 100 ponsterling menjadi 1.000 ponsterling.

Kira-kira pada waktu yang bersamaan, polisi menerima sepucuk surat dan sebuah kartu pos, yang katanya dikirim oleh si pelaku (akan tetapi mungkin dari orang lain). Di sini untuk pertama kali disebutkan nama Jack the Ripper. Dalam surat dikatakan:

“Saya masih terus mencari korban di antara pelacur, dan saya tidak akan berhenti membunuh mereka dengan keji, hingga yang terakhir. pembunuhan yang terakhir yang paling hebat. Saya tidak memberinya kesempatan untuk berteriak. Bagaimana Anda mau menangkap saya? Saya mencintai pekerjaan saya dan akan selalu mencari korban. Anda akan segera mendengar kabar dari saya. Pada pekerjaan berikutnya nanti, saya akan memotong telinga si wanita dan akan mengirimkannya ke polisi. Pisau saya begitu .... dan tajam. Mudah-mudahan Anda baik-baik saja, dengan hormat Jack the Ripper.

Pada kartu pos yang datang beberapa hari kemudian, ia mengabarkan tentang pembunuhan ganda:

“Kali ini pembunuhan ganda. Nomor satu sebentar menjerit, saya tidak dapat dengan segera membunuhnya. Tidak mempunyai waktu memotong telinga untuk polisi…… 

Jack the Ripper.

Polisi mengirimkan kopi surat-surat tersebut kepada koran-koran terpenting, dengan permintaan untuk memuatnya. Diharapkan bahwa dengan cara itu maka masyarakat bisa membantu mengenal si pelaku dari caranya menulis. Tidak ada yang melapor kepada polisi.

Penduduk London baru saja menenangkan diri kembali, waktu pada tanggal 9 November terjadi lagi suatu pembunuhan. Di sebuah rumah di Dorset Street ditemukan mayat seorang wanita yang dibunuh dengan keji. Seorang dokter yang dipanggil menerangkan bahwa ia belum pernah melihat badan yang begitu disiksa. Wanita yang bernama Mary Jane Kelly, malam itu masih terdengar menyanyi. Ia dibunuh saat sedang tidur di kamarnya.

Karena kejadian yang mengejutkan ini, menteri dalam negeri memerintahkan polisi untuk menjanjikan kebebasan bagi semua komplotan si pembunuh, jika mereka mau memberi keterangan sehingga dapat membantu polisi menangkap pembunuh. Cara ini juga tidak berhasil.

Sesudah istirahat lebih dari setengah tahun, pada tanggal 18 Juli 1889 pagi, wanita lain dibunuh dengan cara yang sama seperti yang sebelumnya. Kejahatan ini pun dilakukan cepat sekali. Seorang petugas polisi sedang makan di bawah sinar lampu jalan, seperempat jam sesudah tengah malam. 10 menit kemudian ia meninggalkan tempat itu untuk berbicara dengan seorang rekan. 50 menit sesudah tengah malam, ia kembali ke lampu tadi, di situ ada mayat seorang wanita. 40 menit sesudah tengah malam hujan turun sedikit. Karena tanah di bawah badan wanita itu kering, tetapi pakaiannya basah, maka kejahatan diduga dilakukan antara 25 menit dan 40 menit sesudah tengah malam.

Siapa Jack the Ripper itu belum pernah terungkap. Dari waktu ke waktu seseorang menyatakan telah menemukan jawaban atas teka-teki ini, akan tetapi tidak satu pun hipotesis yang diajukan dapat dipercayai sepenuhnya. Yang paling mendekati ialah dugaan bahwa George Chapman itu identik dengan Jack the Ripper, mengingat:

Jack the Ripper melakukan rentetan pembunuhan yang pertama bulan Agustus tahun 1888 di daerah kota London bernama Whitechapel. Chapman tiba di London pada tahun 1888 serta bekerja beberapa lama di daerah ini. Wanita yang waktu itu hidup bersamanya, kemudian menerangkan kepada yang berwajib, bahwa Chapman baru pulang jam 3 atau 4 pagi. Ia tidak tahu apa sebabnya.

Cara Jack the Ripper melakukan kejahatan mengungkapkan bahwa ia mempunyai pengetahuan dan keterampilan medis. Chapman berpendidikan pembantu mantri kesehatan dan telah bekerja beberapa tahun pada seorang mantri dan di sebuah klinik. Jadi ia mempunyai pengetahuan tentang anatomi dan sebagai bekas prajurit ia telah dididik di bagian pembedahan.

Salah seorang saksi yang pernah melihat Jack the Ripper dengan Kelly menerangkan bahwa orang itu berusia antara 34-35 tahun, berambut hitam, dan berkumis. Ujung kumis melengkung ke atas. Keterangan ini tepat dengan rupa Chapman, yang selalu tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.

Pada bulan Juli 1889 terjadilah pembunuhan “Ripper” yang terakhir. Pada bulan Mei 1890 Chapman membuka sebuah salon di kota Jersey City, Amerika Serikat. Menurut kabar, di situ juga terjadi pembunuhan-pembunuhan yang hampir sama. Semuanya itu tiba-tiba berhenti pada tahun 1892.

Pendapat bahwa Chapman dan Jack the Ripper itu identik, bukan saja dikatakan oleh penulis yang telah menerbitkan akta-akta tentang Chapman, akan tetapi juga oleh petugas polisi kriminal yang diberi tugas memeriksa pembunuhan-pembunuhan di Whitechapel. Petugas-petugas kriminal ini dan seseorang dari Scotland Yard bertahun-tahun mencoba mengungkapkan kejahatan ini. Namun hanya sampai pada sangkaan-sangkaan belaka. 

Banyak hal mendukung bahwa Chapman dan Jack the Ripper itu identik. Namun semua tidak bisa dibuktikan bahkan hingga Chapman dihukum mati. Dengan demikian, maka George Chapman alias Severin Klosowski dalam akta-akta sejarah kriminal hidup terus sebagai seorang yang misterius.

(Maximilian Jacta) 

Baca Juga: Suatu Tragedi Keluarga

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553761012/apakah-dia-jack-the-ripper" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683803078000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3456957" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/jack-the-ripper-dari-india_-tejj-20220905031947.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Pembunuhan Anitha memicu pertikaian kelompok Hindu dan Muslim. Keluarga dan pendukung mengancam akan melakukan kekerasan jika pelaku tidak ditemukan." ["section"]=> object(stdClass)#60 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/jack-the-ripper-dari-india_-tejj-20220905031947.jpg" ["title"]=> string(26) "Jack The Ripper dari India" ["published_date"]=> string(19) "2022-09-05 15:20:07" ["content"]=> string(22865) "

Intisari Plus - Pembunuhan Anitha memicu pertikaian kelompok Hindu dan Muslim di Puttur, India. Keluarga dan para pendukung mengancam akan melakukan kekerasan jika pelaku tidak ditemukan.

-------------------

Di sebuah siang yang hiruk pikuk akibat demonstrasi, kantor kepolisian Puttur menerima laporan pembunuhan. Korbannya seorang perempuan, Anitha, berusia 22 tahun. “Kami yakin Anitha dibunuh oleh kelompok Muslim,” demikian dugaan kuat keluarga Anitha. Dugaan ini cukup masuk akal karena mayat Anitha ditemukan di toilet sebuah terminal bus kota persis setelah terjadi pertikaian antara kelompok Hindu dan Islam. Namun, keluarga Anitha tak punya bukti apa-apa yang bisa disodorkan ke pihak kepolisian.

Hingga beberapa hari setelah laporan itu, tak ada kemajuan sama sekali. Polisi tak memperoleh petunjuk apa pun. Karena merasa polisi mengabaikan laporan itu, keluarga Anitha mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi di depan kantor kepolisian. Mereka membawa poster-poster yang menyudutkan kelompok Muslim dan menuntut polisi segera mengusut kasus itu sampai tuntas. “Jika polisi tidak segera bertindak, kami sendiri yang akan bertindak,” demikian bunyi ancaman salah satu poster mereka.

Merasa mendapat serangan dari kelompok Hindu, penganut Islam di kota itu pun melakukan demonstrasi tandingan. Akhir Juni 2009, kota Puttur hampir saja dilanda kerusuhan hingga akhirnya pihak kepolisian memutuskan untuk menyelidiki kasus ini dengan membentuk tim investigasi khusus.

Asisten Superintenden Chandragupta dari Kepolisian Puttur ditunjuk sebagai ketua tim investigasi. Ini bukan tugas mudah. Apalagi jika hilangnya Anitha ini benar-benar berkaitan dengan pertikaian antara kelompok Hindu dan Islam. Kota itu pasti akan benar-benar dilanda kerusuhan. Masjid-masjid dan kuil-kuil di kota Puttur pasti akan dibakar oleh massa yang sedang marah. Bahkan, bisa saja bom meledak di pusat-pusat kegiatan publik, seperti yang biasa terjadi di jika pertikaian antaragama sedang meletus.

Chandragupta memulai investigasi dengan mengumpulkan informasi dari semua anggota keluarga dan teman-teman Anitha. Tak ada yang bisa memberi petunjuk. Satu-satunya sumber informasi yang mungkin bisa membawa polisi ke pelaku kejahatan itu adalah salah satu ponsel milik Anitha. Ponsel ini tidak ia bawa pada hari ia dinyatakan hilang.

Di ponsel itu tersimpan seratusan nama dan nomor telepon. Juga nomor-nomor tanpa nama yang dihubungi oleh Anitha atau menghubunginya. Sebagian nama itu bisa dikenali oleh keluarga dan teman Anitha. Sebagian lainnya tidak. Polisi memusatkan perhatian pada nama-nama yang tidak dikenali oleh keluarga Anitha. Dari beberapa nomor telepon ini, Chandragupta menemukan informasi yang cukup penting. Salah satu nomor telepon yang dicurigai itu ternyata milik seorang perempuan dari kota lain yang sudah mati! Perempuan itu, Pushpalatha, umur 25 tahun, adalah korban pembunuhan misterius yang terjadi sebelumnya di kota lain.

Dari catatan kepolisian, mayat Pushpalatha juga ditemukan polisi di sebuah toilet umum di terminal bus kota. Hasil autopsi di Rumah Sakit Victoria menunjukkan Pushpalatha tewas karena racun sianida. Di saluran cerna mayat, ahli forensik menemukan senyawa racun ini dalam dosis mematikan. Namun, saat itu polisi menduga Pushpalatha melakukan bunuh diri dengan cara minum racun. Polisi tidak menemukan petunjuk yang mengarah kepada pelaku pembunuhan. Laporan kepolisian hanya menulis kasus itu sebagai “kematian yang tidak wajar”. Bukan pembunuhan, tapi bunuh diri.

Karena bukan dianggap pembunuhan, kasus kematian Pushpalatha pun ditutup begitu saja. Hingga hari itu pembunuh Pushpalatha belum ditemukan. Tapi tiba-tiba nomor ponselnya dipakai seseorang. Logikanya, siapa lagi yang memakai nomor itu kalau bukan si pembunuh? Namun, sampai di sini kepolisian sulit melacak keberadaan pemakai nomor ponsel itu karena catatan operator telepon menunjukkan nomor itu jarang dipakai. 

Jika ada hubungan antara matinya Anitha dan Pushpalatha, berarti kasus yang dihadapi Chandragupta ini adalah kasus pembunuhan berantai. Merasa mendapatkan petunjuk, Chandragupta kemudian mengumpulkan informasi dari kantor-kantor kepolisian terdekat tentang kasus-kasus yang mirip. Ternyata ia menemukan satu kasus lain yang serupa.  

Pada tanggal 22 Oktober 2005, polisi Bangalore juga menemukan mayat seorang perempuan di dalam toilet umum di sebuah terminal bus. Lagi-lagi di terminal bus kota. Mayat perempuan itu dikenali sebagai Shashikala. la dilaporkan hilang persis satu hari sebelumnya. Hasil autopsi di Rumah Sakit Victoria juga menunjukkan Shashikala tewas karena racun sianida. Di saluran pencernaannya ditemukan sianida dalam dosis mematikan. Lagi-lagi racun sianida. Tapi waktu itu polisi tidak menemukan petunjuk yang mengarahkan mereka kepada pelaku pembunuhan.

Sama seperti kasus kematian Pushpalatha, saat itu polisi pun menduga Shashikala melakukan bunuh diri dengan cara minum racun. Lagi-lagi catatan kepolisian hanya menulis kasus itu sebagai “kematian yang tidak wajar”.

Jika benar ketiga kasus ini saling berhubungan, berarti Chandragupta sedang berhadapan dengan seorang psikopat. Seorang pembunuh keji yang masih berkeliaran di Mangalore, Puttur, dan sekitarnya. la paling tidak sudah memulai aksinya sejak tahun 2005. Sangat mungkin korbannya lebih dari tiga. Selain Shashikala, Pushpalatha, dan Anitha, mungkin saja masih banyak perempuan lain yang menjadi korban.

Tiga nama korban ini membuat Chandragupta getir sekaligus lega. Getir karena itu berarti ia sedang berhadapan dengan seorang pembunuh yang keji dan licin. Lega karena itu berarti kasus ini tidak berkaitan dengan pertikaian antara umat Hindu dan Islam. Setidaknya, ia bisa meyakinkan keluarga Anitha dan para demonstran yang mengancam akan melakukan tindakan main hakim sendiri.

 

Korban dari kota berbeda

Berbekal dokumen kematian yang tidak wajar itu, Chandragupta kemudian mencari kasus-kasus lama yang masuk kategori “kematian tidak wajar” dari kantor-kantor kepolisian di seluruh Negara Bagian Karnataka. Hasilnya benar-benar mencengangkan sekaligus mengerikan. Chandragupta memperoleh tambahan lima kasus serupa! Korbannya selalu perempuan, belum menikah. Semua mayat perempuan ini ditemukan di dalam toilet umum terminal bus kota. Hasil autopsi menunjukkan bahwa penyebab kematian pun sama, yaitu racun sianida. Semuanya pun dimasukkan ke dalam kategori “kematian tidak wajar”. Semua korban diduga bunuh diri karena memang tak ada petunjuk yang mengarah ke pelaku pembunuhan. 

Kasus-kasus kematian ini terjadi di banyak kota. Tampak sangat jelas pelaku sengaja berpindah-pindah mencari korban supaya tidak ada satu pun pihak kepolisian yang menangani korbannya beberapa kali. Dengan tipu muslihat itu, catatan korban kejahatannya tersimpan di banyak kantor kepolisian sehingga tak ada polisi yang mencurigai kasus-kasus itu berhubungan satu sama lainnya.

Dari keluarga salah satu korban tahun 2007, Poornima, umur 35 tahun, polisi mendapat informasi tambahan. Beberapa hari sebelum mayatnya ditemukan di dalam toilet bus kota, keluarga Poornima kedatangan tamu seorang laki-laki yang mengaku bernama Anand Mogera. la minta izin sekaligus menawarkan diri untuk menikahi Poornima tanpa maskawin. Bagi Poornima dan keluarganya, tawaran ini adalah sebuah kesempatan yang sangat sulit ditolak.

Dalam tradisi masyarakat Hindu di India, yang wajib memberikan maskawin adalah pihak pengantin perempuan, bukan pengantin laki-laki. Tradisi ini membuat banyak perempuan mengalami kesulitan menikah. Maka, mendapat tawaran menggiurkan itu, keluarga Poornima tak membutuhkan waktu lama untuk menjawab ya. Apalagi umur Poornima sudah 35 tahun. Namun, beberapa hari kemudian, Poornima tiba-tiba menghilang dan tak lama setelah itu polisi menemukan mayatnya di dalam toilet sebuah terminal bus kota. Sayangnya, keluarga Poornima tidak bisa memberi informasi lebih banyak tentang laki-laki itu.

Dari keluarga korban yang lain, Sharada, perempuan, umur 24 tahun, belum menikah, polisi mendapat tambahan informasi berbeda. Sebelum ditemukan tewas, Sharada beberapa kali menerima panggilan dari sebuah nomor telepon. Yang aneh, nomor telepon ini tidak pernah bisa dihubungi saat keluarga Sharada mencoba menelepon. Tampaknya nomor telepon itu hanya digunakan oleh si pemiliknya untuk melakukan panggilan dan segera dimatikan begitu pembicaraan selesai.

Berbekal nomor telepon misterius itu, Chandragupta melanjutkan penelusuran. Dari catatan operator nomor telepon itu, Chandragupta memperoleh informasi yang makin menguatkan dugaannya bahwa pelaku semua kejahatan ini adalah orang yang sama. Ternyata nomor itu milik perempuan lain yang juga sama-sama menjadi korban. Kelihatan jelas, setelah pelaku membunuh korban, ia menggunakan ponsel korban untuk berkomunikasi dengan korban berikutnya.

Dari catatan operator telepon itu juga, Chandragupta mengumpulkan nomor-nomor yang pernah dihubungi si pelaku. Dari beberapa nomor yang didapat, Chandragupta memperoleh satu nomor yang ternyata masih bisa dihubungi: seorang laki-laki. Ketika polisi menemui laki-laki itu dan meminta ia menunjukkan ponselnya, polisi kembali menemukan satu petunjuk. Ternyata pesawat telepon yang dipakai laki-laki itu punya ciri yang sama dengan pesawat telepon milik seorang korban. 

Si laki-laki mengaku tak tahu-menahu tentang perempuan yang sudah mati itu. Tapi ia mengaku membeli pesawat telepon itu dengan harga yang sangat murah dari seorang laki-laki yang bernama Mohan. Mohan Kumar. Di sini Chandragupta menemukan data yang berbeda. Keluarga Poornima menyatakan bahwa laki-laki yang dicurigai membunuh Poornima itu mengaku bernama Anand Mogera. Sementara laki-laki yang menjual pesawat telepon ini bernama Mohan Kumar. Mungkin kedua nama ini milik dua orang yang berbeda. Mungkin juga milik satu orang yang menyamar dengan banyak nama.

Dengan bekal data dari pembeli ponsel itu, polisi tak kesulitan menemukan identitas Mohan. Namun, ketika Chandragupta membuka catatan tentang laki-laki ini, ia tertegun sekaligus ragu-ragu. Sejak tahun 1980, Mohan Kumar berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Apakah mungkin pelaku semua kejahatan ini adalah seorang guru? Ia melakukan tugas sebagai pendidik selama 23 tahun di beberapa sekolah yang berbeda dan pensiun tahun 2003. Catatan sipil menunjukkan dia menikah tiga kali. Istri pertama yang ia dinikahi tahun 1987 ia ceraikan. Saat ini ia hidup dengan dua orang istri yang tinggal di dua kota yang berbeda.

 

Telah membunuh 19 orang

Dengan masih menyisakan tanda tanya besar, polisi segera menjemput Mohan Kumar di rumahnya. Sama sekali tak ada perlawanan. Tapi ia menyangkal telah melakukan semua kejahatan itu. Tak kekurangan akal, Chandragupta kemudian mendatangkan orangtua Poornima, salah satu korban yang rumahnya sempat didatangi Mohan. Ketika melihat wajah Mohan, ayah dan ibu Poornima langsung berseru, “Ya. Itu dia!” Keduanya yakin betul laki-laki itulah yang datang ke rumah mereka dan mengajak Poornima menikah tanpa maskawin.

Setelah dihadapkan pada bukti-bukti yang tak bisa dibantah, Mohan akhirnya tidak bisa mengelak dari dakwaan polisi. Anand Mogera hanyalah nama samaran yang ia gunakan untuk mengelabui keluarga Poornima. Ia mengaku mulai melakukan aksi kejinya sejak tahun 2000. Itu berarti psikopat ini telah berkeliaran di Negara Bagian Karnataka selama sembilan tahun tanpa disadari kehadirannya oleh polisi.

Ia selalu memilih korban perempuan yang belum menikah, usia antara 22 - 35 tahun, yang ia kenal di tempat-tempat publik. Saat hendak memulai berkenalan, ia mengaku menggunakan jurus pura-pura kenal. Ia menghampiri perempuan yang diincarnya dan langsung menyapanya, seolah-olah ia sudah pernah kenal. Setelah itu kemudian memulai percakapan, lalu bertukar nomor telepon, untuk selanjutnya saling bertukar cerita hingga masalah-masalah pribadi tentang status pernikahan.

Korban pertamanya seorang perempuan, Rathna, belum menikah. Waktu itu Mohan membujuknya dengan mengatakan bahwa ia akan menikahinya. Tapi wanita ini menolak dan membuat Mohan murka. Mohan sempat mencoba membunuh Rathna dengan cara mendorongnya saat berada di jembatan di atas sungai tapi gagal. Percobaan pembunuhan yang gagal ini membuat Mohan mengubah modus tindak kriminalnya.

Korban selanjutnya, Kaveri, perempuan, umur 32 tahun, juga belum menikah. Mohan membujuknya dengan janji akan menikahi perempuan itu tanpa maskawin. Rayuan maut ini membuat Kaveri seperti terkena hipnotis. Ia langsung menyatakan bersedia menuruti apa saja kemauan Mohan. Begitu Kaveri menyatakan bersedia, Mohan kemudian mengajaknya pergi ke sebuah kota yang jauh dari rumahnya. Di sini, Mohan mengajak Kaveri menginap di sebuah motel lalu mengajak Kaveri melakukan hubungan seksual.

Setelah melampiaskan libidonya, Mohan mengajak Kaveri pergi ke kuil untuk melakukan ritual persiapan pernikahan. Sebelum berangkat, Mohan meminta Kaveri melepaskan semua perhiasan serta meninggalkan semua benda yang ia bawa di motel. Di tengah perjalanan menuju kuil, Mohan mengajak Kaveri berhenti di terminal bus kota. Di situ, Mohan meminta Kaveri minum pil berwarna putih. Pil itu ia katakan sebagai obat untuk mencegah kehamilan agar terhindar dari kemungkinan hamil akibat hubungan seksual yang baru mereka lakukan. Padahal, sebetulnya pil itu adalah racun sianida yang sangat mematikan.

Mohan meminta Kaveri minum obat itu di dalam toilet umum supaya ia tidak repot kalau perutnya terasa mulas. Segera setelah menenggak pil itu, dalam hitungan kurang dari dua menit, Kaveri langsung tewas di dalam toilet. Mohan kemudian pergi kembali ke motel untuk mengambil semua perhiasan dan barang milik Kaveri. Ketika polisi menemukan mayat Kaveri, tak ada satu orang pun yang curiga bahwa ia korban pembunuhan. Mereka menduga Kaveri melakukan bunuh diri.

Karena merasa sukses dengan cara ini, begitu selesai menghabisi Kaveri, Mohan pun mencari korban lain. Modus kejahatan yang ia lakukan tetap sama. Di tempat-tempat publik, ia mencari kenalan perempuan yang belum menikah. Kepadanya, ia menawarkan diri untuk menikahinya tanpa maskawin. Lalu ia mengulangi secara persis apa yang ia lakukan kepada Kaveri. Begitu seterusnya. Selesai membunuh satu korban, ia langsung mencari korban berikutnya. Bahkan, kadang ia mengincar dua korban pada waktu yang sama di dua kota yang berbeda.

Karena merasa tak terendus sama sekali oleh polisi, Mohan menjadi seorang maniak. Ia semakin menikmati kejahatan yang ia lakukan. Nafsu seksual dan nafsu membunuhnya tak terbendung. Selama sembilan tahun ia berkeliaran di kota-kota di Negara Bagian Karnataka sampai jumlah korbannya mencapai sembilan belas orang! Beberapa korban ditemukan oleh polisi tanpa identitas lalu dikubur sebagai mayat tak teridentifikasi karena tak ada keluarga yang mengambil jenazahnya.

Hingga akhirnya kejahatan Mohan tercium polisi ketika ia menghabisi Anitha. Kejahatan ini mendapat perhatian serius dari polisi karena terjadi persis saat meletusnya pertikaian antaragama di Puttur. Andai saja tidak terbongkar, mungkin saja setelah Anitha masih akan ada korban ke-20, 21, dan seterusnya. Pada saat ditangkap, Mohan mengaku sedang melakukan pendekatan kepada dua orang perempuan lain dari dua kota yang berbeda.

 

Membeli sianida dari pandai emas

Dengan pengetahuannya sebagai seorang guru, Mohan tidak mengalami kesulitan mendapatkan racun sianida dan meraciknya sendiri menjadi pil yang siap untuk diminum. la mengaku sengaja memilih sianida karena terinspirasi oleh kebiasaan yang dilakukan oleh anggota Pembebasan Macan Tamil Eelam, kelompok separatis di Sri Lanka.

Para gerilyawan pemberontak ini selalu membawa racun sianida saat mereka melakukan gerilya. Racun ini bukan digunakan untuk membunuh lawan tapi digunakan untuk bunuh diri jika tertangkap oleh tentara Pemerintahan Sri Lanka. Segera setelah ditangkap, gerilyawan akan langsung minum racun sianida sehingga ia akan segera mati dalam hitungan menit. Dengan begitu, para tentara Sri Lanka tak punya kesempatan untuk menginterogasi mereka. Cara ini mereka tempuh untuk merahasiakan informasi mengenai gerilyawan lain.

Selain karena bisa membunuh dengan cepat, Mohan sengaja memilih sianida karena racun ini bisa dibentuk menjadi pil kecil yang sekilas terlihat sebagai obat. Tak satu pun korbannya curiga. Semua percaya begitu saja ketika Mohan mengatakan itu sebagai pil kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.

Racun sianida juga mudah digunakan tanpa meninggalkan jejak sama sekali ke arah pelaku pembunuhan. Sianida bisa membunuh kurang dari dua menit. Karena waktu bunuhnya cepat, korban tidak sempat minta tolong kepada orang di sekitarnya. Mohan sengaja menyuruh korban meminum sianida di dalam toilet dengan tipu muslihat yang meyakinkan, yaitu supaya si perempuan tidak repot kalau perutnya terasa mulas sehabis minum obat itu. Padahal sebetulnya ia memilih toilet supaya tak ada orang yang melihat korban saat meregang nyawa. Ia selalu memilih toilet yang jauh dari kerumunan orang. Kalaupun korban sempat mengerang atau berteriak sebelum mati, tak ada orang yang mendengarnya.

Shanta, salah satu korban yang dibunuh tahun 2006 sempat dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan sekarat. Ia tidak langsung meninggal di dalam toilet sesudah menenggak racun sianida. Tapi ia keburu meninggal di dalam ambulans sehingga identitas Mohan tak sempat terungkap.

Selama sembilan belas kali Mohan tak pernah gagal melakukan tindak kriminal. Polisi tak pernah mencium kejahatannya. Kejahatannya baru bisa dilacak karena “kekeliruannya” menggunakan ponsel milik korban untuk menghubungi orang lain dan bahkan menjual ponsel korban kepada seseorang yang mengenalnya.

Pada saat polisi menangkap Mohan, mereka menemukan barang bukti berupa empat telepon genggam dan seperangkat perhiasan milik korban yang belum ia jual. Mohan mengaku menjual ponsel dan perhiasan korban untuk membiayai dua orang istri dan empat orang anaknya. Pengakuan yang cukup melankolis untuk ukuran seorang pembunuh keji seperti dia.

Di rumahnya, polisi juga menemukan delapan pil racun sianida. Jika satu pil bisa membunuh satu orang, maka delapan pil itu masih bisa membunuh delapan korban berikutnya kalau saja polisi tidak segera menangkapnya. Mohan mengaku membeli racun sianida itu dari beberapa pandai emas supaya tidak tampak mencurigakan. Garam sianida memang salah satu bahan kimia yang diperlukan untuk melarutkan emas.

Ketika polisi mengumumkan penangkapan Mohan, Negara Bagian Karnataka, bahkan seluruh India dibuat gempar. “Saya pernah menjadi muridnya. Tapi saya sama sekali tidak menyangka dia seorang pembunuh,” begitu komentar salah seorang yang pernah diajar oleh Mohan di sekolah. 

Sekalipun Mohan menikah tiga kali, tak ada satu orang pun yang menyangka dia seorang maniak seks. Semua orang yang pernah mengenalnya pun memberi kesaksian serupa. Mohan adalah seorang yang mudah bersahabat dengan orang lain. “Dia orang yang ramah,” kata orang-orang yang pernah mengenal Mohan. Tak mengherankan, dengan keramahan itu ia bisa dengan mudah memikat perempuan yang baru ia kenal di tempat umum. Licik dan mematikan. Untuk menutupi identitas yang sebenarnya, ia memberi nama samaran yang berbeda-beda kepada para perempuan itu.

“Dia guru yang pintar,” kata para guru yang pernah mengajar bersama Mohan. Dengan kecerdasan itu, tak mengherankan ia bisa meramu sianida menjadi pil yang kelihatan seperti obat. Dengan tipu muslihat itu, ia bisa mengelabui para korbannya karena mereka menyangka pil itu adalah pil kontrasepsi sungguhan.

Dia juga pandai mencari akal bulus untuk memikat perempuan dengan rayuan bahwa ia bersedia menikahi perempuan itu tanpa maskawin. Di masyarakat Hindu India, banyak perempuan yang tidak bisa menikah karena perkara maskawin. Pihak laki-laki sering kali meminta maskawin dalam jumlah yang sangat besar. Bagi para perempuan yang sulit menikah karena alasan ini, rayuan Mohan Kumar ibarat mantera yang langsung menghipnosis mereka.

“Sungguh sulit dipercaya. Ini benar-benar kisah pembunuhan berantai yang lebih menegangkan daripada film thriller Alfred Hitchcock,” demikian komentar situs berita lokal, Mangalorean. “Jack the Ripper dari India!” kata Inspektur Gopal Hosur, kolega Chandragupta di kepolisian. Ia menyamakan kasus Mohan Kumar dengan cerita pembunuhan berantai yang sangat kondang di Inggris pada akhir abad ke-19. (M Sholekhuddin) 



" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553456957/jack-the-ripper-dari-india" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391207000) } } }