Intisari Plus - Seorang petani tewas tertembak sekitar dini hari. Pengusutan membawa polisi pada dua penjahat yang melakukan banyak perampokan.
---------
Istri petani itu tiba-tiba terbangun. la mendengar suaminya turun dari tempat tidur dan berlari ke gang. Kemudian terdengar suaranya berseru-seru, seperti mengusir. Istri petani memanggil-manggil dari tempat tidur, menyuruhnya masuk kembali.
“Kau bermimpi, Wilhelm!”
Petani itu memang agak sering juga mengigau dalam tidur dan kelayapan di bar.
Tapi tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Petani berteriak minta tolong, disusul dentaman bunyi tembakan beruntun. Terdengar pintu pekarangan tertutup dengan keras serta langkah bergegas di luar. Setelah itu — sepi.
Kini istri petani meloncat dari tempat tidur. la lari ke gang. Di situ dilihatnya suaminya terkapar dalam posisi menelungkup di lantai. Darah tergenang di bawah dada, makin lama semakin melebar. Istri petani terpekik melihatnya
Mendengar teriakan ibunya, anak laki-laki keluarga itu terbangun, lalu muncul bergegas dari kamarnya. Dengan cepat ia mengerti apa yang telah terjadi. Ia berbalik, hendak mengambil pistol yang disimpan di tempat tersembunyi. Maksudnya hendak mengejar penembak ayahnya. Tapi ibunya mencegah. Dalam keadaan bingung, keduanya lantas membuka pintu rumah dan bergegas ke halaman depan. Saat itu tampak seseorang lari melintas. Orang itu menembak ke arah mereka, tapi tidak mengenai sasaran.
Sementara itu wanita pelayan di pertanian itu ikut terbangun, lalu keluar dari biliknya yang menghadap ke gang. Pekerja pertanian, yang tidur dalam kandang sapi di ujung rumah, juga sudah muncul.
Anak petani berlari ke desa, memanggil dokter dan polisi desa. Sementara itu mereka yang tinggal mengangkat petani dengan hati-hati. la dibaringkan di tempat tidur. Tapi nyawanya tidak bisa diselamatkan lagi. la meninggal dalam usia 40 tahun.
Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 04.00 dini hari tanggal 31 Maret 1937, di sebuah desa pinggiran kota Bremen di Jerman Utara. Bremen merupakan kota bebas dengan wewenang kepolisian tersendiri. Tapi desa itu termasuk wilayah wewenang daerah Prusia. Karena itu kepala dinas kepolisian desa di samping melapor pada kejaksaan yang berwenang di Verden/Aller. Ia juga memberitahukan jawatan kepolisian daerah Prusia yang bertempat kedudukan di kota Hannover.
Dengan segera Komisaris Karl Kiehne, kepala dinas kriminal kepolisian di Hannover berangkat ke desa itu. la disertai petugas penyidik, juru foto serta seorang petugas pembantu. Sesampai di desa itu, ternyata di sana sudah hadir Komisaris Bollmann dari dinas kriminal kepolisian kota Bremen bersama sejumlah anak buahnya. Mereka juga diminta datang karena ada kemungkinan pelaku pembunuhan berasal dari kota itu.
Sementara itu diperoleh keterangan, telah terjadi pencurian dengan jalan paksa di beberapa desa sekitar situ, termasuk di desa itu sendiri. Karenanya kemudian diadakan pembagian tugas. Polisi Bremen bersama kepolisian desa mengadakan penyidikan di tempat-tempat peristiwa pencurian, sedang regu dari Hannover memeriksa peristiwa pembunuhan. Kedua rombongan itu berpisah, setelah bersepakat akan bertemu lagi malamnya untuk saling bertukar informasi.
Kemudian Komisaris Kiehne beserta orang-orangnya memulai pelacakan. Mula-mula sekeliling tempat pertanian yang diperiksa. Walau sebelum mereka sudah ada orang-orang lain berkeliaran di situ, sehingga jejak-jejak yang barangkali ada mungkin sudah menjadi kabur atau bahkan terhapus, tapi mereka mematuhi prinsip kriminalistik: menghampiri tempat mayat ditemukan dari arah luar. Sedapat mungkin bergerak memutar sambil menuju ke tempat kejadian.
Di depan rumah tampak jejak ban sepeda. Polanya khas, jadi bisa dipakai untuk penyidikan selanjutnya. Di belakang rumah ditemukan jejak sepatu, mengarah ke jendela berdaun dua, masing-masing dengan tiga lembar kaca. Kaca atas sebelah kiri terlepas dari bingkainya, sehingga terdapat lubang di situ berukuran 25 x 40 sentimeter. Bingkai jendela di bawahnya rusak. Di situ tampak serat benang wol hitam tersangkut. Pasti pelaku masuk lewat dari situ karena pada ambang jendela nampak jejak sepatu bertumit karet dengan tanda-tanda jelas. Petugas penyidik merekam semua jejak, termasuk sidik jari di bingkai jendela.
Jendela itu letaknya di dapur belakang. Dari situ orang bisa masuk ke gang lewat dapur. Di sisi kanan terdapat ruang duduk dan ruang keluarga. Tampak meja tulis tertutup. Tutupnya dalam keadaan terbuka. Menurut keterangan istri petani, uangnya hilang sebanyak 30 pfennig dari meja itu. Dalam kamar tidur besar yang bersebelahan dibaringkan mayat petani, hanya dalam baju tidur.
Dilihat sepintas sudah bisa dilihat dua lubang bekas tembakan di dada sebelah kiri. Satu tembakan lagi rupanya mengenai lengan kanan. Tapi pemeriksaan lebih cermat serta penetapan sebab kematian diserahkan pada petugas autopsi yang menurut rencana akan datang siang itu.
Polisi desa sebelumnya sudah menemukan empat selongsong peluru di lantai gang. Semua kaliber 9 mm. Komisaris Kiehne kini mencari lubang-lubang bekas tembakan serta proyektil, agar bisa merekonstruksi posisi penembak. Satu proyektil ditemukan dalam bak umpan hewan di gang lumbung yang bersebelahan letaknya dengan tempat kejadian. Satu lagi menancap pada ambang pintu, satu di dinding gang. Sedang proyektil keempat mengenai pohon di depan rumah, sekitar tiga meter di atas tanah. Proyektil itu rupanya yang menyebabkan lubang pada bingkai pintu rumah.
Rekonstruksi arah tembakan dilakukan dengan bantuan benang panjang. Tembakan pertama mungkin terjadi ketika petani menyalakan lampu. Ketika pencuri keluar dari kamar duduk setelah mengacak-acak isi meja tulis, tahu-tahu ia melihat jalan larinya terpotong, lalu langsung menembak. Demikian perkiraan Komisaris Kieane. Sedang tembakan-tembakan berikut mungkin menyusul dengan segera ketika korban dan pelaku kejar-mengejar mengelilingi meja yang terdapat di tengah gang. Sedang peluru keempat mungkin tembakan nyasar.
Malamnya diperoleh informasi hasil penyelidikan spesialis perkara pencurian dari regu Bremen, yang mencatat 13 pencurian di daerah desa dan sekitarnya. Kecuali di satu tempat, pencuri selalu masuk lewat lubang jendela yang sempit. Pelaku itu selalu mengincar uang tunai.
“Bagaimana dengan waktu kejadian?” tanya Komisaris Kiehne.
“Semua malam ini, sekitar puku 12.00 sampai 04.00 dini hari.”
Setelah dilakukan pencocokan cara kerja yang sama, ditarik kesimpulan bahwa pelaku pencurian itu besar kemungkinannya orang yang membunuh petani. Tapi penyelidikan selanjutnya di masing-masing bagian tidak menghasilkan apa-apa. Baik di Bremen maupun di Hannover, tidak bisa diketahui siapa pelaku itu berdasarkan file sidik jari yang ada. Karena itu keesokan harinya kedua regu bekerja sama kembali.
Dari daerah Delmenhorst-Bremen masuk laporan: terjadi sejumlah pencurian dengan jalan paksa, memakai cara kerja yang serupa. Di mana-mana yang diincar selalu uang tunai. Cuma di beberapa tempat saja diambil bahan makanan. Di satu rumah petani dilaporkan kehilangan sepeda yang masih cukup baru. Tapi di situ ditemukan pula sepeda tua yang bannya kempes. Penyelidikan yang dilakukan menunjukkan bahwa jejak ban sepeda di depan rumah tempat pembunuhan berasal dari ban sepeda tua itu. Jadi jejak pembunuh sampai ke Delmenhorst, yang rupa-rupanya berkeliaran naik sepeda.
Sementara itu pemeriksaan secara sistematis di semua tempat kejadian menghasilkan keterangan saksi yang dirasakan besar gunanya mengenai orang yang mungkin pelaku kejahatan itu. Seorang gadis berumur 16 tahun, pembantu rumah tangga di suatu tempat pertanian dalam kesaksiannya mengatakan:
“Saya melihat jam. Saat itu sekitar pukul 02.40. Saya terbangun karena mendengar bunyi menggeresek di balik jendela. Saya mendengar langkah kaki orang di luar. Dengan segera saya pergi ke kamar duduk yang letaknya di sebelah, tapi tanpa menyalakan lampu. Saya melihat seorang laki-laki yang berjalan sambil mendorong sepeda. Ia lewat di depan jendela kamar saya. la mengenakan jas yang agak panjang. Pasti tidak memakai pantalon, tapi mungkin bersepatu lars berwarna gelap ....”
Berdasarkan identifikasi itu Komisaris Kiehne lantas menyebar luaskan berita pencarian secara besar-besaran. Salinan berita juga dikirimkan ke negara-negara tetangga melewati jalan tidak resmi, yaitu melalui para komisaris daerah perbatasan. Komisaris Kiehne memutuskan untuk melakukannya, karena arah gerak pelaku menuju ke Belanda. Kesimpulan ini diperoleh, melihat tempat-tempat terjadinya pencurian, disesuaikan dengan perkiraan waktu terjadinya.
Sementara itu sudah diperoleh hasil autopsi. Di situ tertulis:
“Tiga tembakan mengenai tubuh petani. Dua masuk ke dada dari depan dan tembus ke punggung. Satu dari kedua tembakan ini menewaskannya, yaitu yang melukai bilik jantung sebelah kanan dan merobek otot jantung. Kematian terjadi karena perdarahan. Tembakan ketiga miring arahnya, menembus lengan kanan....”
Kemeja korban serta robekan kulit di tempat peluru menembus tubuh korban diserahkan pada pengadilan untuk diperiksa selanjutnya. Ini dilakukan atas permintaan Komisaris Kiehne, yang menginginkan pemeriksaan dengan mikroskop guna menentukan dari jarak mana tembakan dilepaskan. Pihak kejaksaan setuju bahwa pemeriksaan itu dilakukan oleh Profesor Mueller, direktur institut kedokteran hukum pada Universitas Goettingen, yang sudah berulang kali bekerja sama dengan Komisaris Kiehne dalam berbagai perkara pembunuhan.
Dengan pertimbangan serupa, Komisaris Kiehne juga menyarankan pada pihak kejaksaan agar proyektil dan selongsong yang dijumpai di tempat kejadian diperiksa oleh dr. Heess dari lembaga kimia daerah di Stuttgart, bagian tehnik kimia dan kriminalistik. Dengan bantuan suatu alat yang waktu itu masih baru, di situ bisa dikenali jejak-jejak khas pada peluru dan selongsong sehingga bisa ditarik kesimpulan tentang senjata yang dipakai.
Setelah itu setiap hari Komisaris Kiehne sibuk menyimak lembaran-lembaran berita kepolisian kriminal dari Berlin, baik yang baru masuk maupun yang sudah lewat. Laporan-laporan itu memuat perkara-perkara kejahatan terpenting yang terjadi di daerah negara Jerman masa itu. Komisaris Kiehne mengharapkan akan bisa menemukan jejak pembunuh yang dicari berdasarkan indikasi cara kerja serupa.
Dalam penelaahan itu ditemukannya lembaran berita Nomor 2711. Di situ dilaporkan bahwa pada malam menjelang tanggal 9 Maret 1937, jadi tiga minggu sebelum peristiwa pembunuhan, seorang polisi desa di Emsland mengalami pencurian. Kecuali uang tunai, polisi itu juga kehilangan pistol dinasnya merek Parabellum kaliber 99 mm bertanda “L.O 144”, lengkap dengan dua magasin berisi peluru 16 butir serta tas pistol. Di situ pencuri juga masuk lewat lubang jendela yang sempit.
Sayang polisi itu tidak memiliki proyektil peluru yang sudah ditembakkan serta selongsongnya untuk dijadikan bahan perbandingan. la hanya bisa mengirimkan dua butir peluru senjata itu. Peluru-peluru itu bertanda “P 24”. Pada dua selongsong peluru yang ditemukan di tempat kejadian juga tertera tanda itu.
Keesokan harinya ternyata bahwa penyebarluasan salinan sidik jari yang ditemukan di tempat pembunuhan, besar sekali gunanya. Dari Württemberg, dari daerah sekitar Dessau, dari ruang wilayah antara Berlin dan Guben, dari Westfalen dan Bergisches Land masuk keterangan mengenai kejadian-kejadian, yang melihat cara kerja serupa serta sidik jari yang berhasil ditemukan menunjukkan kemungkinan bahwa pelakunya orang yang sama. Ternyata dalam waktu tiga bulan saja ia telah melakukan pencurian sebanyak sekitar 300 kali!
Juga dari Belanda datang surat penting. Kepolisian Groningen memberitahukan bahwa di situ juga terjadi serangkaian peristiwa pencurian yang dilakukan dengan cara serupa. Sidik jari yang ditemukan juga sama dengan yang terdapat di tempat pembunuhan terjadi. Sebagai bukti dikirimkan salinan sidik jari itu. Dengan segera diminta pada kepala bagian identifikasi Hannover, Lindner, untuk menelitinya. Ternyata para rekan mereka di Belanda tidak keliru.
Dari Bremen juga masuk kabar baik. Di sana diterima laporan dari manajer sebuah hotel. Manajer itu melaporkan seorang tamu hotel yang gerak-geriknya mencurigakan. Ia sering pergi malam-malam. Juga pada malam pembunuhan. Keterangan diri tamu itu: “... mantel panjang yang dipotong, celana hitam sampai lutut serta sepatu lars berwarna hitam.” Ini persis dengan identifikasi yang diperoleh di desa tempat pembunuhan terjadi. Jadi benang wol hitam yang ditemukan tersangkut di ambang jendela rumah petani yang menjadi korban, mungkin berasal dari kain celana itu. Dan ketika seorang wanita pelayan kamar di hotel itu membenarkan keterangan atasannya sambil menambahkan, “gigi taringnya sebelah atas ompong,” dan bahwa ia melihat tamu itu memiliki pistol serta uang recehan sejumlah besar, jejak pelacakan menjadi semakin hangat.
Pihak kepolisian dinas kriminal di Bremen tidak melepaskan jejak itu lagi. Mereka berhasil mengorek keterangan bahwa tamu tak dikenal itu pernah bercerita, ia bekerja pada sebuah perusahaan Belanda dan saat itu berkunjung ke Bremen karena hendak bertunangan dengan seorang penari. Di buku tamu hotel, ia mencatatkan diri dengan nama Willie Ziegler, tenaga tehnik. Asal Dessau.
Polisi Bremen juga mendapat keterangan bahwa orang yang mengaku bernama Ziegler itu pernah mengirimkan keranjang berisi sarapan pagi serta buket kembang pada seorang penari. Polisi lantas mencari penjual kembang bersangkutan sampai ketemu. Dari penjual itu diperoleh keterangan, hadiah-hadiah yang berasal dari orang yang dicurigai itu dikirim ke alamat seorang penari yang katanya tinggal di suatu hotel tertentu. Nama hotel itu juga dilaporkan.
Ketika para petugas datang ke hotel bersangkutan, ternyata penari yang dicari sudah pergi sehari sebelumnya. Tapi untungnya, kamar yang ditempatinya belum dibenahi. Di atas meja tergeletak buket kembang yang sudah layu. Pada buket terselip kartu nama.
“Max Peter N. Inspektur Pertamanan.” Ditambah alamat yang ditulis dengan tangan “Haarlem/Nederland.”
Keesokan harinya Komisaris Kiehne menerima radiogram dari Bremen, yang memberitahukan bahwa Komisaris Wisman dari perbatasan Belanda akan datang sehari setelah itu ke Bremen, untuk berunding dengan petugas-petugas Jerman yang menangani perkara pembunuhan petani. Ketika Kiehne tiba di Bremen, ternyata kecuali Wisman yang datang dari Nieuwe Schans, desa perbatasan di rute Leer-Groningen, ikut hadir pula jaksa yang menangani perkara itu serta para petugas dinas kriminal Bremen yang waktu itu datang ke tempat pembunuhan terjadi. Semua berkumpul di kamar kerja kepala dinas kriminal kota Bremen, Bollmann.
Komisaris Wisman, yang mengenal baik wilayah kota Bremen, membawa sejumlah besar dokumen termasuk salinan sidik jari serta contoh-contoh tulisan tangan. Tapi pihak Jerman benar-benar tidak menduga kata-kata yang diucapkannya sebagai pembuka.
“Kemarin polisi kriminal di Groningen berhasil menyergap orang yang dicari di tempat tidur dan menangkapnya,” kata Wisman.
Tepat pada saat itu Inspektur Otte dari dinas kriminal kota Bremen memasuki ruang rapat. la meletakkan sepucuk kartu pos dari Belanda di atas meja di depan atasannya, disertai komentar,
“Ini baru saja saya temukan di hotel.”
Bollmann merasa jengkel karena Otte dengan seenaknya saja mengganggu rapat.
“Ada apa dengan kartu itu?” tukasnya.
“Anda tidak melihatnya? Dialamatkan pada Willi Ziegler!”
“Lalu?”
Inspektur Otte heran melihat atasannya tidak langsung mengerti.
“Bandingkan tulisan pada kartu pos dengan tulisan pada kartu nama ini,” katanya menjelaskan, sambil menyodorkan kartu nama Max Peter N. Inspektur Pertamanan, yang ada tambahan alamat ‘Haarlem/Nederland’ dengan tulisan tangan.
Atasannya membanding-bandingkan kedua tulisan tangan itu, disaksikan yang lain-lainnya. Dengan wajah berseri Bollmann akhirnya menyatakan, “Ya, besar sekali kemungkinannya kedua tulisan ini dibuat oleh orang yang sama. Rupanya orang yang mengaku bernama Ziegler mengirim kartu pos pada dirinya sendiri dari Belanda, untuk menutupi pelariannya ke sana.”
Saat itu Komisaris Wisman menyela. la menyodorkan contoh tulisan tangan orang yang ditangkap di Groningen, yang mengaku bernama Max Peter N. Setelah dibanding-bandingkan dengan cermat, ternyata tulisannya identik dengan tulisan Ziegler. Komisaris Wisman menyerahkan lembaran sidik jari tangan tersangka kepada komisaris Kiehne, agar dia ini bisa melancarkan pemeriksaan identifikasi untuk mengetahui apakah Max Peter N. merupakan nama yang sebenarnya atau tidak. Wisman juga menyarankan agar semua yang hadir saat itu juga ikut ke Groningen.
Pihak Jerman saling berpandang-pandangan. Semua mengingat adanya hambatan birokrasi yang tidak memungkinkan mereka dengan begitu saja pergi ke luar negeri untuk urusan dinas. Tapi Wisman langsung menyela.
“Biaya di Belanda, biar saya saja yang menanggung,” katanya. “Perjalanan ini ‘kan bisa diatur secara tidak resmi. Nanti di perbatasan saya akan memberitahukan dulu pada para petugas kami, sehingga Anda semua bisa memasuki wilayah kami tanpa formalitas sedikit pun.”
Dan benarlah, semua berlangsung dengan lancar, walau tidak resmi. Iring-iringan mobil mula-mula mampir di rumah Wisman yang terletak dekat perbatasan. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan mobil petugas polisi Belanda itu.
Komisaris Wisman membawa mereka ke gedung polisi bagian kriminal di Groningen. Di sana pihak yang menangani kasus itu memaparkan proses penangkapan. Mereka juga menunjukkan barang-barang yang ditemukan pada orang Jerman yang ditangkap. Semuanya terletak di atas meja. Komisaris Kiehne dengan segera mengenali dua pistol Parabellum, lalu mengambilnya. Yang satu berstempel “L.O. 144”. Rupanya itu senjata api dinas polisi desa Emsland yang hilang.
Di samping kedua pistol itu terletak empat magasin yang masih berisi peluru, sebagian di antaranya berstempel “P 24”.
Kemudian polisi Belanda yang menangani kasus itu menawarkan kesempatan pada Kiehne untuk berbicara dengan orang yang ditangkap. Dan kalau perlu, juga bisa langsung dibawa ke Jerman. Tapi mengingat orang itu disangka melakukan paling sedikit 20 pencurian di Belanda, maka ia harus diadili dulu di negara itu, sebelum menyusul penyerahannya secara resmi ke Jerman. Demikian instruksi kejaksaan Belanda.
Beberapa menit kemudian Komisaris Kiehne dengan ditemani rekannya yang bernama Elster sudah berhadap-hadapan dengan Max Peter N. alias Willi Ziegler. Begitu orang itu masuk, Kiehne langsung melihat bahwa gigi taringnya sebelah atas tidak ada lagi. Max Peter tersenyum ramah ketika masuk. Matanya terpicing.
“Saya tahu, Anda datang dari Jerman,” katanya pada Komisaris Kiehne. “Saya mengakui segala perbuatan pencurian, juga di desa di mana petani itu mati tertembak.”
Max Peter bahkan mau membuat sketsa tempat kejadiannya. la menjelaskan cara dia masuk ke rumah petani itu.
“Ini jendela tempat saya masuk,” katanya. “Dan ini pintu yang ada di samping jendela, yang saya buka supaya teman saya Albert bisa masuk. Saya menunggu di pintu sini, untuk mengamankan jalan ke luar. Sementara itu Albert masuk ke dalam untuk mencari tempat penyimpanan uang. Tapi kemudian saya mendengar suara seseorang berseru-seru menyuruh keluar disusul bunyi tembakan beberapa kali. Albert muncul sambil berlari-lari. Kami lari mengitari rumah, menuju tempat sepeda kami....”
Kedua petugas kepolisian sebelumnya sudah sepakat membiarkan Max Peter bercerita tanpa selingan pertanyaan. Soalnya, mereka tidak ingin orang itu bisa menarik kesimpulan apa saja yang belum diketahui polisi, dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sementara itu Max Peter melanjutkan pengakuannya.
“Sehabis pencurian terakhir di desa Niedersachsen itu kami lantas berpisah. Saya tidak tahu di mana Albert sekarang, walau setelah itu kami masih beberapa kali berjumpa. Kedua pistol beserta peluru dihadiahkannya pada saya sebagai tanda mata.”
Max Peter N. tersenyum lagi dengan ramah.
Barang-barang bukti diserahkan oleh Komisaris Wisman pada rekannya dari Jerman. la juga mengantarkan mereka pulang lewat jalan sama. Dalam perjalanan kembali ke Bremen, Komisaris Kiehne berunding dengan Elster mengenai kelanjutan pemeriksaan.
Kiehne mengatakan, senjata dan peluru-pelurunya akan segera dikirimkan pada dr. Heess dari lembaga kimia daerah di Stuttgart, supaya diselidiki kesamaannya dengan proyektil dan selongsong yang ditemukan di tempat pembunuhan terjadi.
“Saya ingin tahu apakah Max Peter seorang diri pada saat pembunuhan itu atau memang benar-benar ada kawannya bernama Albert,” kata Elster. “Masa dia tidak tahu siapa nama keluarga kawannya itu.”
“Anda tadi juga sempat memperhatikan bahwa dia nyaris terlanjur bicara, ketika saya bertanya dari mana dia kenal Albert?” kata Kiehne. “Ia mengatakan berkenalan dengan kawannya itu di sebuah perusahaan tanam-tanaman di L., di mana ia pernah bekerja. Mereka tinggal bersama-sama di sebuah losmen.”
“Kalau itu betul, pasti Max juga tahu namanya yang lengkap,” sela Elster.
“Kita harus segera minta informasi ke L,” kata Komisaris Kiehne. “Saya rasa mereka sungguh-sungguh pernah tinggal di sana, tapi sudah saling mengenal sebelum itu. Siapa tahu, kita bernasib mujur.”
Mereka ternyata memang mujur. Di sebuah losmen di L., berhasil diperoleh nama Albert selengkapnya. Dalam buku tamu di situ tertera nama Albert W. dari suatu desa di daerah Lausitz.
Pencarian dirinya lantas diberitahukan dalam lembaran dinas kepolisian kriminal Jerman. Sebagai jawaban masuk sejumlah kabar dari pihak kejaksaan berbagai tempat, yang mencari Albert W. dengan tuduhan melakukan sejumlah tindakan kejahatan. Di antaranya pencurian dengan jalan paksa di sebuah toko alat-alat senjata di J., di mana antara lain berhasil dicuri sebuah pistol Parabellum kaliber 9 mm. Nomor serialnya cocok dengan nomor senjata genggam yang ditemukan pada diri Max Peter di Belanda.
Jadi mungkin memang Albert terlibat dalam perkara pembunuhan itu, demikian dugaan Komisaris Kiehne.
Orang bersangkutan tidak lama kemudian tertangkap di tempat asalnya. Komisaris Kiehne lantas berangkat ke Lausitz. Albert W. ternyata penjahat yang bermental keras. la hanya mau mengakui perbuatan yang bisa dibuktikan seratus persen merupakan perbuatannya. Tapi karena polisi di Lausitz banyak memiliki bukti-bukti, dalam waktu dua hari Albert W. memberikan pengakuan pertama. Setelah itu menyusul pengakuan-pengakuan selanjutnya. la juga mengakui melakukan serentetan pencurian bersama Max Peter N. di tempat-tempat sekitar L., di mana ia tinggal bersama kawannya itu. Tapi ia membantah keikutsertaannya dalam perkara pencurian yang berakhir dengan pembunuhan di desa Niedersachsen, yang sedang diselidiki Komisaris Kiehne.
Namun Kiehne tidak lekas putus asa. Ia mendesak terus, sambil berulang kali mengemukakan keterangan Max Peter, serta pencurian pistol yang sudah diakuinya dan sangat memberatkan dirinya. Akhirnya karena bingung, Albert W. mengakui sejumlah pencurian lagi di beberapa vila di sekitar Berlin, yang dilakukannya bersama seorang kawan lain. Dan salah satu pencurian di antaranya dilakukan pada malam pembunuhan.
Albert W. berhasil membuktikan keterlibatannya dalam pencurian pada malam itu, dengan menunjukkan berbagai jejak di tempat kejadian serta tempat barang hasil curian disembunyikan. Dengan begitu ia terlepas dari kecurigaan ikut terlibat dalam pembunuhan petani. Soalnya, tempat kejadian di Niedersachsen itu terlalu jauh dari Berlin.
Jadi Max Peter N. ternyata berbohong. Ia sudah tidak bersama-sama Albert W. lagi, sejak delapan hari sebelum peristiwa pembunuhan.
Sekembalinya Komisaris Kiehne dari Lausitz, di meja kerjanya sudah ada laporan para ahli yang menyelidiki barang-barang bukti. Di antara laporan yang datang berdasarkan hasil penelitian Profesor Mueller dari institut kedokteran hukum di Goettingen ternyata korban ditembak dari jarak 120 sampai 170 sentimeter. Sedang keterangan lain-lainnya, sesuai dengan hasil pemeriksaan petugas autopsi. Laporan yang datang dari dr. Heess ternyata membenarkan dugaan Komisaris Kiehne: semua proyektil dan selongsong peluru yang dijumpai di tempat kejadian berasal dari satu pistol, yaitu pistol dinas polisi desa yang dicuri di Emsland. Pistol Parabellum 9 mm dengan stempel “L.O. 144”.
Keterangan Max Peter N. yang menyatakan bahwa Albert yang menewaskan petani dengan tembakan-tembakannya, ternyata tidak benar berdasarkan penyelidikan Komisaris Kiehne di Lausitz. Dengan mempertimbangkan kesaksian ahli-ahli, bisa dianggap pasti bahwa Max Peter N. sendiri yang melakukan tembakan yang mencabut nyawa petani malang itu.
Sementara di Belanda berlangsung perkara pengadilan terhadap orang itu, yang didakwa melakukan serentetan pencurian di sana. Komisaris Kiehne sudah tidak sabar lagi menunggu-nunggu saat ekstradisi orang itu, karena ingin bisa menyelesaikan penyelidikan perkara pembunuhan yang ditangani olehnya. Akhirnya pada akhir tahun, saat yang ditunggu-tunggu datang juga. Max Peter N. diserahkan oleh pihak Belanda pada pengemban hukum di Jerman.
Tapi mereka mengajukan persyaratan. Sebelum Max Peter menjalani hukuman yang akan dijatuhkan terhadap dirinya di Jerman, terlebih dulu ia harus dikembalikan pada pihak berwenang di Belanda. Ia dijatuhi hukuman penjara empat tahun di negara itu. Ekstradisi sementara itu merupakan tindakan kompromi yang sangat luwes dari pihak kehakiman Belanda, karena sebenarnya mereka bisa saja menahan Max Peter sampai ia selesai menjalani hukumannya di sana.
Max Peter N., beberapa hari setelah penyerahannya pada pihak Jerman kemudian diangkut ke Hannover, di mana dilanjutkan pemeriksaan terhadap dirinya oleh Komisaris Kiehne, yang dibantu oleh dua orang asisten, masing-masing Lorenz dan Thiele.
Ketika bertatapan muka kembali dengan Kiehne, Max Peter tersenyum ramah. Persis seperti dalam perjumpaan pertama di Groningen delapan bulan sebelum itu. Gigi taringnya sebelah atas juga masih tetap ompong. Ia memakai celana hitam yang panjangnya sampai lutut, serta sepatu lars yang juga berwarna hitam. Komisaris Kiehne bertanya-tanya dalam hati, itukah pakaian yang dikenakan Max Peter pada malam pembunuhan? Kenapa justru itu yang dipakainya? Mungkinkah Max Peter kini bertukar siasat? Komisaris Kiehne bersikap waspada.
Tapi ia masih sempat dibikin kagum, betapa baik ingatan orang yang duduk di hadapannya itu. Berbagai perincian kejadian diingatnya dengan baik, padahal tidak sedikit pencurian yang sudah diakuinya.
Pemeriksaan sudah berlangsung selama 14 hari. Sekitar 300 kasus pencurian berhasil dijelaskan. Selama itu Komisaris Kiehne dengan sengaja tidak menyinggung-nyinggung soal pembunuhan. Secara sistematis diurutnya rute aksi pencurian yang dilakukan oleh Max Peter. Ia ingin terlebih dulu mengenali watak orang itu dengan secermat-cermatnya. Ia juga berharap tersangka akan menaruh kepercayaan padanya.
Hari ke-15 dalam proses pemeriksaan, barulah dibicarakan perkara pencurian di rumah petani, yang berakhir dengan peristiwa penembakan yang mengakibatkan kematian petani itu. Ternyata segala-galanya berjalan lebih lancar daripada perkiraan Komisaris Kiehne sebelumnya. Max Peter N. melukiskan urut-urutan kejadian, persis seperti hasil rekonstruksi polisi berdasarkan jejak-jejak yang dijumpai. Menurut keterangan Max Peter, rupanya petani itu terbangun ketika ia sedang berada dalam kamar duduk dan mengambil uang di meja tulis, yang menimbulkan bunyi menggerincing.
“Sekali itu saya tidak berhasil lari tanpa ketahuan,” kata Max Peter dalam keterangannya. “Dalam gang saya kepergok dengan petani, tepat pada saat dia menyalakan lampu. Saya masih sempat berseru agar dia jangan maju — kalau tidak akan saya tembak. Saat itu pistol ada dalam kantong jas sebelah kanan, dalam keadaan terisi. Pistol saya ambil, lalu saya acungkan ke sosok tubuh yang datang mendekat. Picu saya tarik — tapi ternyata palang pengaman masih terpasang. Dengan tangan kiri saya geserkan palang itu. Pistol saya acungkan kembali, disusul tembakan beberapa kali ke arah orang itu.”
Ia menembak berulang kali, sampai tubuh petani tidak berkutik lagi di lantai.
“Setelah itu saya lari ke luar,” sambung Max Peter. “Saya terpaksa mengitari rumah, menuju ke sepeda saya. Saat itu saya melihat dua orang berdiri dekat pintu rumah....” Tapi ia tidak mengaku melakukan tembakan lagi saat itu. Karena juga tidak ditemukan jejak-jejak yang membantah keterangannya itu, maka harus dianggap bahwa istri petani serta anak laki-lakinya salah dengar. Hal itu tidak mengherankan. Mungkin bunyi keempat letusan pertama masih terngiang di telinga mereka.
Bulan Juni 1938, 14 bulan setelah peristiwa terjadi, Max Peter N. diajukan ke pengadilan, dengan tuduhan membunuh petani dan melakukan serentetan pencurian sebanyak 60 kali. Pihak kejaksaan membatasi jumlah tuntutan pada kasus yang berat-berat saja.
Dalam kesempatan rekonstruksi di tempat kejadian, Max Peter N. mendapat kesempatan melihat lagi gang dalam rumah petani di mana terjadi tembakan-tembakan yang membawa bencana itu. Tapi pada dirinya sama sekali tidak terlihat bekas-bekas proyektil yang membawa maut. Tapi di pihak lain ia sangat membantu pihak pengadilan dalam pengumpulan bukti-bukti. Akhirnya keputusan dijatuhkan terhadap dirinya: hukuman mati untuk pembunuhan, serta hukuman penjara 15 tahun serta kurungan preventif untuk perbuatan pencurian dengan paksa. Dalam keputusan hukuman terutama dikemukakan wataknya yang berbahaya serta itikadnya yang keras untuk melakukan kejahatan.
Seperti sudah disepakati sebelumnya, begitu hukuman dijatuhkan Max Peter N. dikembalikan pada pihak hukum Belanda, di mana ia harus menjalani hukuman penjara selama empat tahun seperti keputusan pengadilan daerah Groningen terhadap dirinya.
Awal tahun 1941 Komisaris Kiehne datang lagi ke Groningen. Sekali ini secara resmi, untuk keperluan mengambil barang-barang bukti dalam suatu perkara penipuan besar-besaran. Di sana ia berjumpa lagi dengan rekan-rekan Belanda yang sangat banyak membantu dalam perkara Max Peter N. Dan ia pun mendapat kesempatan bertemu muka dengan orang itu, yang ditunggu penyerahannya di Jerman untuk menjalani hukuman yang sudah dijatuhkan di sana. Kedua orang itu berjabatan tangan dengan sikap terbuka. Max Peter N. masih tetap tersenyum ramah seperti dulu.
Pendeta Coolsma yang mengasuh kesejahteraan rohani para narapidana di rumah penjara Groningen memanfaatkan situasi itu untuk mengajukan suatu permintaan pada Komisaris Kiehne.
“Saya ingin minta bantuan Anda,” katanya. “Sebentar lagi Max Peter harus kembali ke Jerman, di mana sudah menunggu hukuman mati terhadap dirinya.”
“Lalu apa yang bisa saya lakukan?” tanya Kiehne.
“Dia sudah menyatakan bersedia untuk dibuang dan bekerja keras seumur hidup di salah satu daerah jajahan kami,” kata pendeta itu. Yang dimaksudkannya mungkin Indonesia atau Suriname. “Pihak kami bersedia meluluskan permintaannya itu. Dengan begitu ia masih akan ada gunanya dan nyawa seseorang bisa diselamatkan.”
Max Peter N. mengangguk. Dipandangnya Kiehne dengan penuh pengharapan.
Hati nurani pejabat kepolisian Jerman itu tersentuh. Pada dasarnya ia juga bukan orang yang cenderung mendukung hukuman mati. Ia berpikir-pikir, apa yang bisa dilakukan olehnya. Akhirnya ia berjanji akan berusaha sebisanya.
Kiehne sungguh-sungguh berniat untuk membantu. Mungkin terdorong rasa bersalah, karena perjumpaannya kali itu dengan para rekan di Belanda sudah dengan kedudukan lain. Pasalnya, saat itu Belanda sudah diduduki Jerman di bawah kekuasaan Hitler. Di Groningen bahkan sudah ada kantor dinas Sicherheitspolizci, yaitu dinas sekuriti kepolisian Jerman serta dinas rahasia Nazi, SD.
Kiehne bertindak dengan hati-hati karena kedua jawatan itu tidak boleh sampai tahu bahwa ia berkunjung ke rumah penjara Groningen. Kalau salah tindakan sedikit saja, jangan-jangan kedua lembaga yang ditakuti itu malah lantas tahu bahwa dalam rumah penjara itu ada seorang pembunuh yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Jerman.
Tapi kemudian ternyata bahwa segala usaha Kiehne sia-sia belaka. Sekembalinya di tempat dinasnya yang sudah pindah ke Berlin, ia mendengar kabar bahwa Max Peter N. sudah diangkut ke Köln, beberapa hari setelah kunjungannya di Groningen. Dan pada hari kedatangannya itu di Köln, hukuman terhadapnya dilaksanakan di Halshof, tempat pelaksanaan hukuman mati yang suram dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dalam rumah penjara Klingelputz, tepat empat tahun setelah ia sendiri mencabut nyawa seorang petani yang tidak bersalah.
(Karl Kiehne)
Baca Juga: Pengakuan di Selembar Kertas
" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726473/pembunuhan-waktu-dini-hari" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680809289000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3401136" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/akibat-cinta-buta_nastuh-abootal-20220803011116.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Heinrich Bick pergi ke Hannover untuk berbisnis, untuk kemudian dia menghilang. Sehari berselang, sesosok mayat tertelungkup di mulut terusan." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/akibat-cinta-buta_nastuh-abootal-20220803011116.jpg" ["title"]=> string(17) "Akibat Cinta Buta" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 13:11:43" ["content"]=> string(36665) "
Intisari Plus - Heinrich Bick, kepala perusahaan pergi ke Hannover dalam perjalanan bisnisnya, namun setelahnya dia tidak pernah terlihat lagi. Sehari berselang, ketika para bekerja di dekat Terusan Kolenfield, mereka melihat sesosok mayat tertelungkup di mulut terusan. Setelah dilihatnya, mayat itu ialah sang kepala perusahaan!
-------------------
Tanggal 19 Desember 1956, ± pukul 21.30, Heinrich Bick (29), pemimpin sebuah perusahaan di Kota Rohrsen, menuju Hannover untuk mencari angin setelah bekerja seharian. Pada hari-hari menjelang Natal, ia berada di Gronau, dekat Hannover, untuk memberikan pengarahan mengenai cara penjualan modern. Sejak kepergiannya saat itu, ia tak pernah pulang lagi.
Pada tanggal 20 Desember 1956, Wesemann, tukang batu, dan Bruns, pekerja bangunan, bersama beberapa pekerja lainnya berada dekat Terusan Kolenfield. Mereka sedang sibuk bercocok tanam, ketika sebuah kapal penarik lewat di terusan dan pengemudinya berteriak, "Di mulut terusan ada sesosok mayat!" Wesemann dan Bruns menghentikan pekerjaan mereka dan mengambil jerat serta kayu. Mereka pergi ke Selatan. Hari itu pukul 10.00, langit tampak suram tidak sesuram hari sebelumnya.
Segera mereka melihat sesosok mayat lelaki yang tertelungkup mengambang kira-kira 2 m dari tepi terusan. Setelah mayat ditarik dan dibalikkan, tampaklah sebuah ban mobil yang disayat-sayat terikat di dadanya. Ban mobil itu dipenuhi batu. Tampaknya sang pembunuh hendak menghilangkan jejak dengan menenggelamkan korban.
Dibebaskan karena tak terbukti
Para pekerja segera melaporkan kejadian itu kepada pimpinan mereka dan polisi. Tidak lama kemudian datanglah tim penyelidik. Di tepi terusan, di tempat yang berumput, ditemukan sepatu korban. Mantel dan jas korban tak ada. Korban hanya mengenakan celana panjang dan kemeja. Jam tangan masih dipakai, namun tas kantor dan surat tanda pengenal hilang. Kepala korban yang memperlihatkan luka bekas ditembak, dililit sebuah syal.
Di tepi terusan, di tempat yang berumput, tampak ceceran darah. Dijalan yang menuju tepi terusan terdapat tapak ban truk. Pagar dan papan yang membatasi sebidang tanah milik perkumpulan kano yang ada di dekat terusan tampak baru dirusak. Rupanya dari situlah mayat dibawa ke tepi terusan.
Malam itu juga korban dapat diidentifikasi, karena istri Bick telah melaporkan kehilangan suaminya. Mayat itu memang adalah Heinrich Bick!
Setelah korban diteliti, para dokter berkesimpulan bahwa korban meninggal kira-kira tengah malam. Melalui bedah mayat diketahui korban meninggal akibat dua buah.tembakan dari jarak yang fatal dan sebuah tembakan jarak jauh.
Tiga hari kemudian, yaitu pada tanggal 23 Desember 1956, mobil VW yang digunakan Bick ditemukan oleh kepala kehutanan Quednau di sebuah jalan kecil, jalan para pemburu, di hutan Kloster dekat Danau Marien. Mobil itu berada di bawah kerimbunan pohon-pohon cemara. Kepala Kehutanan Quednau memeriksa mobil itu dan menemukan genangan darah di tempat duduk bagian depan dan cipratan darah di langit-langit mobil. Di tempat duduk belakang ditemukan topi milik Bick, surat-surat tanda pengenal beserta foto yang sudah dirobek-robek. Di semak-semak dekat mobil ditemukan mantel dan jas korban. Benda-benda itu tampak berlubang bekas tembakan. Uang korban tidak ditemukan.
Kemudian ditemukan juga rambut pirang panjang di mobil Bick. Dugaan polisi langsung jatuh pada Margot W., seorang pelacur yang pernah terlihat para saksi bersama Bick di Gronau. Margot mengaku mengenal Bick, tetapi menyangkal terlibat pembunuhan itu. Polisi tidak percaya. Margot, kekasihnya, sopir pribadinya, dan adik tirinya ditahan polisi untuk diinterogasi, tetapi mereka dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.
Polisi yang dikerahkan untuk menyelidiki kasus itu berjumlah tiga puluh orang. Jumlah tersebut kemudian bertambah menjadi enam puluh orang dan hadiah pun lebih dari DM 10.000 bagi orang yang bisa memberikan keterangan tentang kasus pembunuhan, yang kemudian bertambah satu lagi.
Doyan perempuan
Di pagi hari, tanggal 17 Januari 1957, terbetik berita tentang pembunuhan baru. Pengemudi truk bernama Freitag menemukan mobil Opel bernomor polisi RS - D 536 di pinggir jalan dekat Kota Celle, dalam sebuah lubang. Mobil yang pintunya tidak tertutup itu berlumuran darah. Keadaan mobil itu sama saja dengan mobil VW 14 milik Bick. Sekali lagi tampak darah di tempat duduk depan bagian kanan. Di bangku depan juga ditemukan sebuah mantel pria yang penuh darah. Kaca mobil depan bagian sebelah kiri tampak pecah. Pengemudi mobil tak diketahui jejaknya.
Dua belas hari kemudian, Adam, seorang buruh tani, menemukan surat izin mengemudi dan surat mobil milik Engels, korban pembunuhan sesudah Bick, di jalan di dekat hutan Muellinge. Karena Ny. Engels telah melaporkan hilangnya Engels, maka dikerahkanlah polisi untuk mencari jejak Engels di hutan. Polisi kemudian menemukan surat-surat lain: sebuah kartu pajak dan kartu perpustakaan atas nama Engels.
Kemudian terbetik berita bahwa Engels suka main perempuan di saat dinas luar kota. Beberapa gadis yang diduga menjadi pasangannya diperiksa polisi, namun pemeriksaan itu tak membawa hasil. Biarpun begitu tim penyelidikan pembunuhan melihat adanya suatu kesamaan antara kasus Bick dan Engels.
Kedua korban mempunyai pekerjaan yang mengharuskan mereka banyak bepergian sehingga mereka tampak jarang di rumah. Keduanya pun mempunyai kemiripan dalam hal berkenalan dengan gadis-gadis. Dalam kedua kasus, korban tampaknya ditembak dalam mobil mereka dari arah sebelah kiri. Untuk kedua kalinya diduga, pelaku pembunuhannya terdiri atas dua orang yang bekerja sama dan mereka berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan mayat dan mobil korban, walaupun mereka pada akhirnya tidak dapat melakukan kejahatan yang sempurna. Terlalu banyak bukti yang mereka tinggalkan dan dalam kedua kasus di atas, hanya uang tunai yang hilang. Jam tangan dan perhiasan korban tidak diambil.
Beberapa bulan sebelum peristiwa pembunuhan Bick dan Engels, tepatnya tanggal 21 September 1956, terjadi kejahatan lain. Pasangan suami istri Wichmann, pimpinan cabang sebuah perusahaan dagang di Misburg, ditembak orang. Uang kas harian yang disimpan di rumah Wichmann, yang berfungsi sebagai toko, dicoba untuk dirampas. Pasangan yang terkejut itu berteriak minta tolong sehingga sang penembak lari tanpa hasil.
Petunjuk yang diberikan kepada polisi kriminal dalam menangani kasus penyerangan terhadap pasangan Wichmann tersebut telah dijadikan pegangan dalam mencari pelaku pembunuhan atas diri Bick dan Engels. Dari cara penembakan secara ceroboh terhadap suami istri Wichmann dan dari kenyataan bahwa tempat perampokan tak jauh dari mayat Bick dan Opel Record Engels ditemukan, maka polisi berkesimpulan bahwa kasus tersebut mungkin ada hubungannya.
Menyamar jadi wanita
Tentu saja polisi tidak akan begitu mudah menangkap pelakunya, seandainya seseorang bernama Popp tidak membual. Popp dengan bangga menceritakan kepada rekannya tentang teriakan ketakutan suami-istri Wichmann.
Gerhard Popp yang dituduh membunuh Bick dan Engels ditangkap dan bulan Januari 1959 diajukan ke depan pengadilan. Tidak sendirian, tetapi Bersama-sama seorang wanita bernama Inge Marchlowitz.
Di depan pengadilan, Popp mengatakan bahwa Inge yang berusia 16 tahun menyapa korbannya sendirian, pergi bersamanya ke sebuah kota kecil di pinggir Hannover, lalu menembaknya dengan pistol yang diberikan oleh Popp. Popp sendiri baru naik ke dalam mobil, ketika mobil berada di tempat penembakan, di Jl. Karl Kellner. Popp waktu itu mengaku berpakaian biasa dan kemudian ia membantu melenyapkan korban. Pokoknya, ia menyangkal tuduhan bahwa ia menyamar sebagai wanita seperti yang diceritakan Inge.
Cerita tentang jalannya peristiwa pembunuhan versi Popp masih berubah beberapa kali, padahal tidak ada seorang pun yang dapat memberikan kesaksian, kecuali kedua pelaku tersebut. Akhirnya, dewan juri berpendapat bahwa versi Inge-lah yang benar dan versi itu akan diambil sebagai dasar keputusan. Apakah yang diceritakan oleh Inge?
Pada malam tanggal 19 Desember 1956, Inge berjalan mondar-mandir di Steintorplatz, daerah pinggiran yang menuju ke Hannover. Tempat itu terkenal sebagai tempat penjaja cinta beroperasi.
Sebuah mobil VW bernomor polisi H-DZ 228 berhenti. Pria yang memperkenalkan diri sebagai Heinz dan menjabat sebagai pedagang hasil bumi, mengajak Inge bersenang-senang. Inge tidak menolak ajakan itu, namun ia hanya berkata "ya" atau "silakan" saja.
Perjalanan malam melewati daerah pingiran Hannover dan tampak menuju ke bandara tidaklah menakutkan bagi Heinz, sang pengemudi VW itu. Mengapa harus takut terhadap gadis manis kekanak-kanakan yang rias wajahnya berat? Heinz malah telah mengenai kehidupan malam kota besar. Heinz juga tidak merasa curiga terhadap orang ketiga yang turut dalam mobilnya. Orang itu diam saja, karena takut ketahuan. la seorang laki-laki yang berpakaian wanita.
Heinz juga tidak menaruh syak wasangka, mengapa gadis yang membisu saja itu duduk di sebelahnya dan gadis lembut yang satu lagi duduk di belakangnya, karena ia tahu bahwa gadis di sebelahnya akan turun di suatu tempat lebih dulu.
Heinz atau Henrich Bick baru merasa gelisah, ketika diminta mengubah arah mobilnya dari jalan menuju ke bandara ke sebuah jalan persimpangan yang dilalui kereta api, di pinggir kota. Jalan itu adalah Karl Kellner, jalan yang sangat cocok bagi tempat kejahatan. Di sebelah kanan jalan tampak jalan kereta api tinggi yang meredam suara. Di sebelah kiri terlihat sebuah perkebunan. Rumah-rumah yang terletak di sudut perkebunan tampak teralang oleh rumah-rumah pembibitan. Pagar kayu setinggi orang melindungi tempat itu dari pencuri. Di antara pagar kayu dan jalan kereta api itu terletak jalan kecil yang sempit dan suram.
Di depan pengadilan, Inge Marchlowitz menggambarkan kejadian di Jl. Karl Kellner. Para hadirin yang ada dalam ruang pengadilan mendengarkan uraiannya sambil menahan napas.
"Aku berkata kepada laki-laki yang bernama Heinz, bahwa saudara sepupuku hendak turun, ketika kami membelok di Jl. Karl Kellner. Tiba-tiba saja Gerhard berteriak, 'Jangan bergerak atau kau akan kutembak!' Gerhard mengarahkan pistolnya kepada Heinz. Apa yang dilakukan Gerhard selanjutnya aku tidak tahu. Aku menutup mata dan telingaku, supaya tidak mendengar atau melihat apa-apa," kata Inge.
Setelah Inge bercerita, tiba giliran Gerhard Popp berbicara di mikrofon kedua yang terletak di bangku tertuduh. Suaranya tenang, seperti seseorang sedang bercerita tentang reparasi mobil. "Ketika aku berteriak, 'Jangan bergerak', Bick berusaha merebut pistolku. Ia menyangka aku seorang wanita. Aku memang tampak seperti wanita sungguhan, sebab sebelum itu Inge telah membawaku ke salon Melzer. Ketika melihat Bick hendak melawan, aku menembaknya dengan segera. Mula-mula tembakanku tidak mengenai sasaran, tapi kemudian peluru kedua mengenai dirinya. Bick jatuh tersungkur. Aku turun dari mobil dan sekali lagi menembak kepalanya. Itu tembakan jarak dekat. Aku rasa ia meninggal seketika itu juga."
Ternyata Bick membawa uang tunai sebesar DM 200. Uang itu dibelikan hadiah Natal oleh Inge. Ibunya mendapat enam gelas anggur, saudara laki-lakinya memperoleh sepasang sepatu ski, sedangkan untuk dirinya sendiri Inge membeli sebuah mantel. Gadis berusia 16 tahun yang oleh guru dan para tetangganya digambarkan sebagai gadis yang berkelakuan baik, pada kira-kira empat hari setelah pembunuhan, merayakan malam Natal yang suci bersama keluarga dan Popp, kekasihnya, yang 20 tahun lebih tua.
Pada hari-hari sesudah tanggal 20 Desember, nafsu makan Inge berkurang. Ia tampak pucat, tapi tetap tenang di sekolah. Ia duduk di deretan bangku paling depan dan menjadi murid teladan.
"Saudara sepupu" ikut
Inge memulai petualangannya kembali di Kafe Eschenbach, sebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari stasiun utama kereta api. Inge takut menjerat mangsanya di jalan. Menurutnya, ia bisa menjerat korbannya, sebagaimana yang diajarkan Popp, dalam sebuah kafe.
Heinz Engels duduk bersama seorang gadis di sebuah meja. Inge memperhatikan mereka dari meja sebelah. Segera ia tahu bahwa keduanya baru berkenalan.
Gadis yang berdandan rapi tersebut dengan mudah merebut perhatian laki-laki tinggi berdada bidang itu. Inge tentu saja sedikit merayunya, tapi bukan karena jatuh cinta kepada utusan dagang dari sebuah pabrik mesin di Hannover yang berusia 37 tahun itu, sebab seluruh cinta Inge hanya diperuntukkan bagi Gerhard Popp.
Engels yang sering bepergian, tahu banyak tentang wanita. Pandangan mata Inge begitu memikatnya, sehingga ketika Inge berdiri dari meja sebelahnya, ia pun membayar minumannya dan mohon diri dari wanita yang ada di sisinya. Ia meninggalkan kafe dan mencarj Inge. Gadis yang dicarinya itu tampak sedang berjalan perlahan-lahan di Jl. Luise, jalan yang menuju ke gedung opera.
Heinz Engels mengikuti gadis itu. Ia tidak sadar bahwa ia diperhatikan oleh wanita lain yang memakai mantel berkerah tinggi. Wanita itu bahkan mengikutinya. Orang itu ternyata Gerhard Popp yang menyamar sebagai wanita.
Mobil Engels, Opel Rekord berwarna krem, diparkir di Kroepcke. Sekali lagi gadis itu diajak dan lagi-lagi ia meminta saudara sepupu perempuannya yang tiba-tiba muncul diajak naik mobil juga dan diantarkan pulang. Jalan yang sama dengan jalan yang ditempuh Heinrick Bick pun dilalui. Di tempat yang sama, pada jam yang hampir sama, terjadilah kejahatan yang sama dengan kejadian sebelumnya.
Bagaimanakah seorang gadis berusia 16 tahun yang kelihatannya baik bisa memainkan dua watak yang berbeda? Teka-teki tersebut haruslah dipecahkan oleh para psikiater.
"Aku melakukannya, karena Popp menginginkannya!" demikian bunyi keterangan yang diberikan gadis itu, ketika ia berada di depan pengadilan. Inge bukan tipe anak cepat matang yang licik, namun ia merupakan saksi mata dan pembantu kejahatan dalam dua buah kasus pembunuhan dan penembakan terhadap sepasang suami istri. Ia merupakan kekasih Popp sejak ia berumur 16 tahun. Satu tahun sesudah pembunuhan Bick, gadis itu melahirkan seorang anak sebagai hasil hubungannya dengan Popp. Meskipun telah menjadi seorang ibu, di depan pengadilan ia tampak seperti seorang anak pemalu yang mudah terkejut
Keluarga berantakan
Prof. Dr. Hans Heintze, kepala Klinik Psikiater Remaja di Wunstorf, berusaha mencari latar belakang penjahat muda itu. Ia akhirnya sampai pada kesimpulan yang hampir tak dapat dipercaya. "Tindakan kriminal Inge tidak muncul dari pribadinya. Semua yang ia lakukan akibat pemujaannya terhadap Popp. Ia begitu mengagumi Popp dan menganggap Popp sebagai figur ayah."
Inge Marchlowitz lahir dari seorang ibu bernama Johanna dan seorang ayah yang bernama Friedrich Marchlowitz. Ibu Inge dibesarkan oleh orang tua angkat dan kemudian bekerja pada sebuah keluarga menengah sebagai pembantu. Ia digambarkan oleh Prof. Dr. Heintze sebagai seorang yang acuh tak acuh, kosong, tidak mampu mengungkapkan perasaannya. Ia tidak pernah memperlihatkan cinta kasihnya kepada anak-anak. Ayah Inge, sebelum PDII mempunyai penghasilan baik pada Firma Edelstahl di Hannover, tetapi sesudah itu, ia kehilangan pekerjaannya. Prof. Dr. Heintze menggambarkannya sebagai berikut. "Ia menjadikan dirinya musuh keluarga. Ia sering keluar-masuk penjara. Ia tak dapat menentang istrinya yang tak setia."
Inge Marchlowitz menceritakan kehidupan keluarganya kepada Prof. Heintze. "Yang merusak kehidupan keluarga kami adalah kemiskinan yang kami alami terus-menerus. Seandainya ayah tidak mencuri, ia takkan tertangkap."
Inge juga menggambarkan ayahnya sebagai seorang yang banyak maunya, tapi tidak pernah melakukan rencananya. Jika tidak berada di penjara, maka ayahnya akan berjudi di kasino atau minum minuman keras sampai uang yang dimilikinya habis. Sebaliknya, Inge menggambarkan ibunya sebagai seorang ibu yang selalu mengambil uang gaji Inge yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga Nordmann. "Kalian harus mencari uang!" itulah kata-kata yang selalu dikatakan ibunya. Jika ada di rumah, ibunya pasti sedang bersama seorang laki-laki, tetapi jika tidak ada di rumah, ia pasti mengobrol di rumah tetangga.
Inge tidak memberikan keterangan tentang keluarganya kepada dewan juri di pengadilan maupun kepada polisi. Ia hanya memberikan keterangan tersebut dalam pembicaraan empat mata dengan Prof. Dr. Heintze dan psikolognya. Keterangan itu kemudian diberikan Heintze kepada dewan juri di pengadilan.
Sebenarnya petugas sosial Hannover telah mengenal keluarga Marchlowitz sejak beberapa tahun lamanya. Mereka sering kali memberikan bantuan keuangan, tempat tinggal dan sering menangani kejahatan-kejahatan kecil yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga tersebut. Sayangnya, polisi moral tidak mengambil tindakan keras terhadap keluarga tersebut.
Inge memang dibesarkan dalam lingkungan yang tidak sehat, meskipun begitu ia tetap berkembang baik. Menurut 31 saksi yang diajukan ke depan pengadilan Hannover pada tahun 1959, Inge dikatakan sebagai seorang yang tak ada celanya, walaupun dalam kenyataannya sejak genap berusia 16 tahun ia membantu pelaku utama melakukan pembunuhan.
Kepala sekolah tempat Inge belajar mengatakan bahwa Inge seorang gadis yang gembira, sopan, penuh semangat, dan cerdas. Bahkan Inge mempunyai bakat seni. Majikan Inge berpendapat bahwa Inge seorang pembantu rumah tangga yang baik dan penjaga anak yang rajin.
"Anak-anak saya sangat bergantung kepada Inge. Ia begitu menyayangi mereka. Ia bertindak seperti orang dewasa, padahal usianya masih sangat muda," ujar majikan Inge.
Dasar bajing loncat
Bagaimanakah peranan Popp dalam keluarga Marchlowitz? Untuk bisa mengerti peranan Popp dalam keluarga tersebut, kita harus melihat ke tahun 1945, saat kelaparan melanda penduduk, sehingga pengertian halal atau tidak campur aduk.
Waktu itu kereta api pengangkut makanan untuk orang Amerika lewat kota kecil Letter, dekat Hannover. Kereta api itu datang dari Bremerhaven hendak menuju Berlin. Pada saat itu bahan makanan merupakan barang yang amat berharga dan sangat dibutuhkan penduduk. Popp bersama teman-temannya segera beraksi mengambil bahan makanan yang berharga pada saat itu.
Popp yang berusia 26 tahun telah lama memperhatikan bahwa kereta-kereta barang akan berjalan pelan sekali pada beberapa tempat yang menanjak. Popp, putra pembantu rumah tangga wanita dengan seorang juru kunci, bekerja pada Jawatan Kereta Api. Gajinya memang kecil, tapi ia mempunyai kesempatan memakai seragam dan merampok. Sebelum menjadi perampok, Popp yang menjabat sebagai masinis cadangan, bercita-cita untuk menjadi inspektur, supaya dapat melupakan masa mudanya yang susah. Cita-cita Popp hancur, ketika ia pulang setelah ditawan dan menemukan istrinya yang telah dikawininya ketika ia bekerja di Jawatan Kereta Api, menyeleweng. Ia pun menulis surat kepada ibunya dengan kata-kata sinis, "Aku memutuskan untuk menjadi penjahat."
Dalam melakukan operasinya, Popp naik ke atas gerbong kereta api dan membuat lubang dengan tang yang dibuatnya Popp menyerahkan barang-barang berupa bahan makanan kepada kawan-kawannya. Kawan-kawan Popp akan melemparkan barang-barang itu ke rel kereta api. Ayah Inge, Friedrich Marchlowitz, juga termasuk salah satu anggota kelompok Popp. Di balik semak-semak, di sepanjang rel kereta api, ayah Inge dan beberapa temannya menunggu kereta api lewat dan secepat mungkin mengambil barang-barang curian itu, terus membawanya pergi.
Inge, yang pada waktu itu berusia 7 tahun, belum dapat dipastikan terlibat dalam kejahatan, namun pada usia 8 tahun, gadis itu sudah bisa memberi tahu adanya bahaya kepada para penjahat dengan berpura-pura 21 menyanyi atau bersiul.
Ede tidak muncul
Popp sebenarnya kekasih ibu Inge. Ayah Inge jarang ada di rumah, sebab sebagai pencuri kecil, ia kerap masuk penjara. Popp menganggap ayah Inge tak berbakat dalam kejahatan, walaupun begitu ia tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap anak buahnya yang bodoh itu. Popp bahkan menjadi kepala keluarga, apabila ayah Inge masuk penjara. Jika Popp datang, keluarga Marchlowitz dapat hidup rukun, tapi bila ia tak muncul-muncul, keluarga itu menderita kelaparan dan ketidak tenteraman. Itulah permulaan dari tumbuhnya rasa kagum Inge terhadap Popp.
Ketika sudah dapat berpikir kritis, Inge pun menyadari bahwa Popp tidak mengikuti aturan-aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat umum. Inge memanggil Popp dengan sebutan "Ede". Ede adalah nama seekor serigala jahat dalam buku Miki Tikus karya Walt Disney yang selalu berusaha memakan anak babi. Inge begitu menyukai cerita itu, karena lucu dan membangkitkan fantasinya. Namun dalam cerita itu, kejahatan selalu kalah melawan kebaikan.
Tampaknya gadis cilik itu sedang berusaha menenangkan pikirannya. Ia berharap agar ayah angkatnya yang jahat dan berkuasa itu, yang selalu memerintah kedua orang tuanya dan memukul ibunya, berubah menjadi seorang yang baik.
Pada suatu saat Paman Ede tidak muncul-muncul. Rupanya Popp dipenjara, namun ketika dibebaskan, ia telah menguasai cara baru dalam menghukum orang. Ia menggunakan tang kawat, rim, dan sarung tangan robek. Barang-barang itu ditemukan Inge di lemari kue di rumahnya, di Querstrasse, di Kota Doehren. Rumah itu didiami keluarga Marchlowitz pada tahun 1950. Pada saat Paman Ede mengunjungi ibu Inge, Inge dan kakak laki-lakinya disuruh main di jalan.
Ketika sudah dapat membaca surat kabar, Inge tahu pasti tentang arti sebuah berita di surat kabar pada tahun 1950 dan 1951. Berita tersebut berbunyi, "Sebuah pencurian logam terjadi di tepi Blau See pada suatu malam. Kira-kira pukul 00.15 alarm yang dihubungkan dengan telepon pribadi pemilik penginapan yang bernama Amend, berbunyi. Tentu ia terkejut dan memperkirakan bahwa kawat tembaga yang panjangnya 450 m telah dipotong orang. Kawat itu melewati jalan-jalan di hutan, menuju ke Grabsen. Adanya bunyi alarm menyebabkan pelakunya melarikan diri. Di tempat kejadian ditemukan gulungan kawat dan sebuah tangga buatan sendiri. Inge mengenali tangga yang disebutkan dalam berita itu.
Harus menjalani tes keberanian
Popp memancing gadis berusia 16 tahun, yang kemudian menjadi kekasihnya dan pembantu kejahatannya dengan sekoper cokelat. Popp tidak memikat gadis itu dengan pakaian indah, perhiasan, atau alat-alat kosmetik sebagaimana biasa dilakukan orang untuk memikat gadis seusia Inge. Popp juga melakukan tes keberanian kepada Inge, sehingga gadis itu tak punya keinginan untuk melawannya. la akan mengikuti semua keinginan ayah angkatnya.
Inge tidak bersedia menceritakan tes keberanian yang dialaminya langsung kepada dewan juri. la meminta pembelanya, Dr. Wilke, menceritakannya.
Kejadian kejam yang dialami Inge disaksikan juga oleh ibunya. Sebuah gagang sapu bersama-sama beberapa meter tali dipalang di tangan Inge. Gadis itu dibaringkan di lantai dan diharuskan membebaskan diri. Inge tidak dapat membebaskan diri, walaupun telah berusaha sekuat tenaga. Inge berbaring di lantai tanpa daya, sampai datang Popp membebaskannya.
Popp mempunyai obat cair untuk mengobati kutil. la kemudian menyuruh Inge menggosok lidahnya dengan obat itu. Inge segera melakukannya.
Ketika Popp menempelkan sebuah bor curian ke mulut Inge, Inge harus mencabut giginya yang masih sehat.
Pada tes keberanian yang terakhir, Popp membawa Inge ke hutan. la mengikatnya dalam keadaan telanjang pada sebuah pohon. Inge yang ketakutan dibiarkan terikat di pohon berjam-jam lamanya, sehingga kedinginan. Baru keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Popp membebaskan gadis yang malang itu. Sebagai hasil dari serangkaian tes itu yang tumbuh bukannya rasa benci, tapi ... cinta!
"Seandainya Ede menyuruhku terjun ke air, maka aku akan melakukannya," kata Inge Marschlowitz. "la adalah orang satu-satunya yang mengerti aku. Jika ia baru keluar dari penjara, maka aku segera mencarinya. Aku tahu, bahkan sadar, bahwa ia jahat, tapi aku tidak bisa membencinya."
Dari cinta yang begitu besar diperlihatkan gadis itu, sehingga ia salah langkah dan turut ambil bagian dalam kejahatan, maka orang berpendapat gadis itu kemungkinan besar terganggu jiwanya. Tapi orang tidak menyalahkan dirinya yang telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Ia bahkan merebut simpati publik karena tidak mustahil cinta yang semacam itu tumbuh dalam jiwa gadis tersebut.
Tidur setelah membunuh
Ketika Inge berusia 10 tahun, ia mulai memperoleh pukulan dari orang yang dianggapnya pahlawan; sedangkan pada usia 12 tahun ia sudah menjualkan barang-barang hasil curian Popp.
Inge yang masih kecil, pada usia 13 tahun sudah bisa memanjat jendela gudang bawah tanah sebuah toko untuk mencuri. Ketika berumur 16 tahun ia terlibat dalam kasus percobaan pembunuhan dan dua kasus pembunuhan. Ia pun turut merobek-robek foto istri Bick dan mengambil cincin Bick yang bergravir "aku cinta padamu", cincin pemberian istri Bick. Inge memakai cincin itu selama bertahun-tahun sebagai "kenang-kenangan". Setelah melakukan pembunuhan, Inge bisa tidur di dalam mobil yang berlumuran darah. Kemudian ia pun membantu menenggelamkan mayat Bick. Rupanya rencana kejahatan telah. sering dibicarakan mereka berdua.
Ketika Engels, yang dianggap Inge sangat ramah, tertawa, Inge tiba-tiba saja kehilangan keinginan untuk menembak. "Ia menceritakan lelucon kotor dalam perjalanan. Aku begitu kesal kepadanya, sehingga lenyaplah keinginanku untuk menembaknya," katanya.
Itulah kelainan moral gadis berusia 16 tahun itu. Ia kehilangan nafsu untuk membunuh hanya karena laki-laki yang akan dibunuhnya bercerita tentang lelucon yang tidak sopan. Ia juga tidak punya pikiran untuk menurunkan mayat Engels dari mobil dan meletakkannya dalam bagasi, meskipun ia membantu Popp untuk menyembunyikan mayat di hutan. Ia melihat ketika Popp mencoba memenggal kepala mayat, agar tidak bisa dikenali.
Kemudian Inge bersama Popp mengendarai mobil penuh darah. Inge sekali lagi tertidur. Pada keesokan harinya ia memeriksa mobil dan menemukan uang DM 400 di dompet Engels. Ia mengambilnya, demikian juga dengan tas kantor Engels. Popp menyimpan senter, perkakas mobil, surat-surat, dan rokok korban. Kemudian Inge dan Popp berjalan kaki melewati hutan menuju stasiun. Dari sana mereka kemudian pulang ke Hannover. Dari luar gadis itu seperti tidak mengalami guncangan, tapi Inge menceritakan perasaannya kepada pembelanya dalam pembicaraan pribadi. "Mula-mula aku mencoba melupakan segalanya, tapi sampai saat ini hati nuraniku makin terganggu."
"Aku benar-benar menyesali semua perbuatanku dan aku ingin agar kejadian-kejadian di masa lalu tidak terulang kembali, sehingga aku tidak perlu dihukum lagi. Aku bermaksud untuk belajar hidup teratur, agar bisa memelihara anakku setelah selesai menjalani hukuman," kata Inge di depan pengadilan.
Mencari teman
Dewan juri mempercayainya. Ketika putusan dijatuhkan, pada tanggal 29 Januari 1959, hakim ketua berkata, "Terdakwa masih muda. Tindakannya tidak jauh berbeda dengan tindakan anak muda yang kita lihat sekarang ini, walaupun kita tidak boleh menyamaratakan. Di mana pun berada, kita selalu dapat menemukan tindak kriminal anak muda."
Inge dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara, karena telah membantu dua kasus pembunuhan dan perampokan ringan serta sebuah kasus perampokan berat. Inge Marchlowitz segera menerima hukuman yang dijatuhkan, dengan catatan selama dua tahun lamanya ia berada dalam pengawasan petugas hukum.
Gerhard Popp, sebagaimana telah diperkirakan, dijatuhi hukuman seumur hidup. Dalam keadaan terjepit, Popp berusaha menyeret orang lain dalam kasus kejahatan tersebut. Ewald Melzer, penata rambut yang pernah memberinya "pekerjaan" dan tempat menginap, disebut-sebut di depan pengadilan.
"Menurut Melzer, aku harus melakukan sesuatu yang besar. Ia menyarankan agar aku merampok dua wanita tua yang ada dalam sebuah toko bunga. Kedua wanita itu mempunyai uang di bank. Mintalah uang mereka, lalu bunuhlah," cerita Popp tentang Melzer.
Popp bercerita di depan 3 hakim, 6 orang juri, 7 orang ahli kriminal, dan publik yang tegang di pengadilan Hannover. "Menurut Melzer, cara terbaik adalah dengan membunuh korban di hutan, di sembarang waktu. Liang tidak penting bagi Melzer. Yang penting, aku harus menjalankan 'pesta mayat'. Aku tak mau menerima ajarannya. Kupikir, jika membunuh seseorang, aku harus memperoleh sesuatu dari orang itu."
Menurut Popp, korban kakap yang akan digarapnya adalah teman Melzer. Orang itu telah menjual barangnya seharga DM 500.000 dan uang sebesar itu disimpan di rumahnya di dalam lemari besi. Melzer memberikan sepucuk pistol kepada Popp untuk merampok.
"Aku membuat peredam suara pada pistol itu. Melzer juga memberiku baju wanita dan rambut palsu, supaya aku mudah masuk ke dalam rumah dan bertamu seperti tamu biasa. Wanita lebih mudah masuk ke dalam rumah orang lain untuk bertamu. Tukang masak wanita harus dijadikan kambing hitam dari pembunuhan tersebut. Aku harus membunuh pengusaha itu di luar rumah atau di luar dapur dengan memakai pisau atau benda-benda berat lainnya. Semua itu harus aku lakukan sedemikian rupa, sehingga orang menyangka bahwa tukang masaklah pelakunya. Kemudian tukang masak itu harus aku tembak, mayatnya harus dimasukkan ke dalam koper dan aku harus meninggalkan rumah itu tanpa meninggalkan jejak. Melzer masih akan menentukan soal yang tepat."
Setelah diselidiki polisi, akhirnya Ewald Melzer, penata rambut yang dikatakan Popp sebagai otak kejahatan, dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara karena terbukti telah menyembunyikan dua kasus kejahatan yang telah diketahuinya. Petugas hukum sebenarnya tidak menyukainya, sehingga pada mulanya ia dituntut sepuluh tahun penjara.
Memulai hidup baru
Ketika putusan pengadilan dijatuhkan kepada Popp, Inge menulis surat yang berbunyi, "Tolong usahakan agar aku dapat berbicara dengan Garhard Popp satu kali saja. Aku hanya akan membicarakan persoalan anak kami dan langkah-langkah yang kuambil di masa depan. Ini saat terakhirku untuk bisa bertemu dan berbicara dengannya."
Dewan juri mengabulkan permintaan Inge. Pertemuan antara Gerhard Popp dan Inge terjadi sebelum Inge dipindahkan ke Penjara Vechta.
Kemungkinan besar kedua orang itu berbicara soal pengakuan Inge di depan pengadilan. Inge tampak tidak mau mengkhianati ayah putranya.
Beberapa tahun setelah menjalani hukuman, Popp yang oleh pembela Inge dan dokter pemerintah, Dr. Kurz, dikatakan sebagai seorang yang dingin, asosial, egoistis, dan materialistis, telah mencoba untuk naik banding. Ia melemparkan semua kesalahan kepada Inge Marschlowitz yang telah membantu semua rencana jahatnya dengan kepala dingin dan cermat. Popp tidak mempedulikan kenyataan bahwa sebenarnya ia telah membunuh seseorang dengan membiarkan Inge menembak korbannya. Ia tidak mau mengakui bahwa ia memperalat gadis itu.
Ia tidak mencintai gadis pembantu kejahatannya, karena ia mempunyai banyak sekali pacar. Tetapi ia tahu bahwa ia telah membangkitkan cinta yang besar dalam diri gadis yang baru berusia 16 tahun itu.
"Jika Ede memperoleh hukuman seumur hidup, aku akan selalu memperhatikannya," kata Inge dengan wajah naif seorang kanak-kanak di depan pengadilan Hannover.
"Apa yang akan kau lakukan, seandainya kau pada suatu saat menikah dengan orang lain?" tanya hakim ketua.
"Aku akan meminta persetujuan Ede lebih dulu," jawab Inge terus terang.
Karena berkelakuan baik, Inge dibebaskan sebelum habis masa hukumannya. Ia pun diberi alamat seorang wanita yang akan menjadi pelindungnya, apabila ia berada dalam kesulitan. Setelah bebas, Inge ingin hidup di luar selama beberapa tahun dengan memakai nama samaran. Ia hidup di Jerman Barat bersama anaknya. Ia begitu rajin dan cekatan dalam melakukan pekerjaan. Orang tidak mengenalnya sebagai penjahat, sehingga ia bisa melakukan pekerjaannya dengan tenang.
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553401136/akibat-cinta-buta" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659532303000) } } }