Intisari Plus - Wong diminta untuk mengerjakan feng shui sebuah theme park yang bisnisnya terhenti. Singa-singa di sana memangsa dan memakan pemiliknya.
-------------------
Singapura, suatu siang. Mentari menjilatkan kilau cahaya ke sekujur hamparan gedung kaca yang menjulang ke langit ketika telepon berdering. Wong menutup buku geomancy-nya sekali sentak.
“Halo!”
Rupanya sahabat lama, Sinha, astrolog asal India.
“Wong, kau pasti tertarik pada tugas ini. Kau pernah mengerjakan hong shui kebun, taman, dan padang golf, kan? Nah, kali ini hutan!”
“Ha? Hutan kan tempat liar. Aku memakai feng shui hanya untuk tempat yang didiami manusia,” tukas Wong.
“Ssst ... dengar dulu,” Sinha memotong. “Mereka menyebutnya theme park. Sebagian hutan hujan alami, sebagian buatan manusia. Mereka impor beberapa singa dengan biaya cukup mahal. Sudah tiga bulan ini taman yang terletak di Serawak itu beroperasi. Tapi kini mereka butuh sedikit bantuan.”
“Bisnisnya kurang lancar?”
“Bahkan berhenti. Singa-singa memakan para pemiliknya.”
“Tapi apa aku mampu?”
“Seluruh biaya ditambah 50%, dibayar lewat transfer bank. Kontrak akan dikirim via faks. Oke?”
Bertemu pria aneh
Dua hari kemudian, Sinha, Wong si pakar hong shui, dan Joyce asisten Wong, meluncur menuju Tambi’s Trek, sebuah tempat wisata di pinggiran “Kota Minyak” Miri. Tempat terpencil di Malaysia Timur itu bisa dicapai lewat perjalanan darat selama beberapa jam.
Di gerbang taman, mereka disambut lelaki yang wajahnya ditumbuhi bulu halus dan mata berbinar, Icksan Dubeya.
“Naik ke rumah dulu,” sapanya, “Sulim Abeya Tambi, pemilik tempat ini, akan menjelaskan keinginannya.”
Wong sedikit heran, “Lalu apa posisi dua orang yang telah meninggal?”
“Mereka sama-sama pemilik. Tuan Tambi bermitra dengan Tuan Gerry dan Nyonya Martha Legge. Suami-istri itu memang telah mati dimakan singa,” orang itu menyeringai.
Dengan kasar ia menunjuk persimpangan jalan di depan mereka, meminta mereka belok kiri dan mengikuti rambu.
Wong menghidupkan mobil. Di sebelah kiri terbentang pagar tinggi membatasi hamparan hutan lebat, pastilah batas luar suaka para binatang. Mereka melewati beberapa bangunan kecil, ada gudang, garasi, sesuatu seperti kandang kuda, sebelum jalanan berbelok lagi. Pandangan menumbuk sebuah rumah rendah, dibangun dengan batu kuning, bergaya kolonial kuno tapi agak lebih modern.
Wong membelok masuk ke halaman. Model gedung ini mirip vila perkebunan pada masa awal Singapura. Walau arsitekturnya bergaya Melayu, bangunan itu memiliki beranda gaya Eropa yang panjang. Jendelanya memiliki penutup bergaya Portugis.
“Raksasa” bermata tajam
Di beranda, Salim Ubeya Tambi, lelaki gemuk yang selalu berkeringat, dengan rambut hitam keriting dan wajah cokelat kehitaman telah menunggu. la memakai jubah katun putih warna terang. Badannya tinggi dua meter lebih.
“Masuk. Terima kasih sudah datang. Ayo masuk, anggap rumah sendiri,” suaranya tinggi, dengan aksen Inggris yang kental. Para tamu dibawa ke sebuah hall bergaya kuno dan terbuat dari kayu hitam.
Sementara Tambi mencari pembantu laki-laki untuk menyediakan beberapa kelapa besar, Wong dan kawan-kawan duduk di atas mebel rotan yang kurang nyaman. Kesunyian rimba kembali menyungkup. Kadang terdengar suara burung memanggil. Joyce memandang ke lautan hijau di hadapannya. Ada bunyi kaw-kaw di kejauhan.
Tiga menit kemudian, tuan gendut itu muncul lagi, langsung duduk di kursi anyaman.
“Senang bertemu Anda sekalian. Kami ingin memulai segalanya kembali dan kami butuh nasihat Anda.”
Dahinya mengernyit, suaranya berubah sedih, “Impian itu hampir terwujud tiga minggu lalu, dengan 25 orang staf full-time. Kami punya banyak binatang, termasuk lima ekor singa. Iklan telah dimuat di banyak majalah, para agen perjalanan telah menerima banyak pesanan wisata yang memasukkan program Tambi’s Trek dalam kunjungan ke Malaysia.”
Ia meminum air kelapa dari sedotan yang tampak terlalu kecil bagi tubuh raksasanya. “Sayang, kematian teman-teman dan mitra saya berarti pula kematian impian saya. Siapa yang mau berkunjung ke taman safari jika para petugasnya sendiri tak merasa tidak aman?”
Tiba-tiba ia membuka mata dan menatap para tamunya.
“Semua staf saya melarikan diri, kecuali sepupu saya Dubeya, yang sudah Anda temui tadi. Saya mengenal mitra saya, suami-istri Gerry dan Martha Legge selama bertahun-tahun. Mereka pencinta binatang, seperti juga saya.”
la menatap langsung ke mata Wong, “Itulah yang harus Anda kerjakan untuk saya. Buatlah supaya aman. Buatlah semua orang datang kemari dan merasa inilah tempat teraman di dunia. Jika harus menghabiskan uang, tak jadi masalah. Perubahan apa yang Anda ingin saya lakukan, akan saya lakukan.”
Wong mengangguk-angguk. Ditatapnya Tambi tepat di matanya.
“Anda akan dapat banyak keajaiban. Tapi kami minta 20% tambahan biaya.”
“Hmm,” Tambi tersenyum puas.
“Sesuatu” di bawah taman
Sudah empat jam Wong duduk di meja makan besar - untuk 30 orang - dengan buku tabelnya, sebuah peta tanah theme park, dan sebuah peta daerah setempat. la menggambar sesuatu, melakukan kalkulasi, menggambar tabel-tabel di kertas transparan, menumpuk helai demi helai kertas, melihat buku-buku yang penuh trigram, bicara dengan diri sendiri, lalu menarik-narik jenggotnya.
Sedangkan Joyce berjalan-jalan di sekitar rumah, mengintip hutan dari jendela. la mendengar burung berkicau aneh, ada sejumlah sosok makhluk tak tampak seperti berbicara tak jelas, dan ia merasa mendengar singa mengaum. Eksotis! Berjalan pelan ke koridor, Joyce hanyut dalam fantasinya. Sampai suatu ketika, muncul Dubeya. Matanya liar. Joyce ketakutan. Setengah berlari ia kembali ke ruang makan.
Sinha datang menyusul setelah tidur beberapa lama di ruang tamu. “Ada beberapa masalah,” Wong memecah kesunyian. “Terlalu banyak air di arah barat, dekat pegunungan Ini dikenal sebagai bintang gunung jatuh ke air. Itu tanda kurang bagus. Harus dibetulkan.”
Joyce menyela polos, “Jadi, kita akan memindahkan danau dan gunung?”
Wong menggeleng. “Diganti cara lain. Ada juga tanda bagus di peta ini. Lihatlah deretan pegunungan ini, hampir mirip jalan membentuk pelukan. Jalan kasih sayang. Jalan yang melengkung pertanda bagus. Lihat juga garis yang memeluk daerah ini. Ini berarti Tambi’s Trek berada dalam wilayah sarang naga.”
Wong membandingkan kedua peta itu. “Ada lengan dari deretan pegunungan ini yang mengarah ke sini, menuju ke taman. Ia membentuk tepi datar yang terangkat.”
“Sebuah plateau,” potong Sinha.
“Ya. Sekarang kekuatan baik akan mengarah ke sini tapi dikacaukan angin. Kita membutuhkan air untuk mencegahnya. Ada air tepat di sini, perlu diperbesar sampai mendekati plateau. Kita akan meminta mereka memperbesarnya. Atau dibuat sebuah sumber air atau air terjun. Atau mungkin sebuah keran air.”
Tambi yang mondar-mandir di pintu, memasuki ruangan dan mengintip lewat pundak Wong. “Saya senang Anda katakan ini daerah menarik. Bisakah dari peta ini Anda memberi tahu apa yang ada di bawah sini? Beberapa pengunjung, pelaku bisnis pertambangan menyatakan, kemungkinan terdapat biji besi di bawah sini. Benarkah itu?”
Wong diam sejenak. “Saya kira begitu. Bentuk pegunungan ini serta airnya sangat cocok dengan logam bawah tanah. Lihat, chi tanah ini mengarah ke daerah tepi yang datar. Tapi chi tanah dan chi air tak bisa berdampingan. KecuaIi ada chi logam di antara keduanya. Chi tanah merusak chi air. Tapi tanah-logam-air adalah apa yang kita sebut dengan siklus pendukung Langit Berikutnya. Ini daerah bagus, mungkin karena ada logam tersembunyi di bawah sini.”
“Sangat menarik,” mata Tambi agak berseri.
Kematian mengerikan
Makan malam, Tambi bercerita tentang mitranya, almarhum Gerry Legge, “la mencintai semua singa yang ada di sini dan singa-singa itu pun mencintainya.”
“Tapi mereka memakannya,” potong Joyce.
“Itu karena mereka salah menilai. Singa binatang yang perilakunya berdasar insting. Mereka makan daging selama satu hari dan siap tidak makan apa pun untuk lima hari berikutnya. Mereka umumnya jinak, terutama setelah makan. Anda jangan keluar dari mobil saat mereka belum makan berhari-hari.”
“Itu yang dilakukan pasangan itu?” tanya Sinha.
“Tak seorang pun bersama mereka waktu itu. Mereka memasuki trek pagi hari karena mendengar salah seekor singa lumpuh. Siang harinya jadwal makan singa, jadi pasti mereka lapar sekali. Walau begitu, selama tetap berada di dalam mobil, Anda aman. Kami memberi makan dengan cara melempar daging ke tanah, lalu kami panggil mereka dengan menekan klakson berkali-kali.”
“Suami-istri itu keluar dari mobil mereka?” Joyce penasaran.
“Ya, entah kenapa. Keluar dari mobil saat mereka kelaparan, menurut saya tidak bijaksana.”
Tambi melipat tangan. “Sepupu saya Dubeya menemukan serpihan jenazah mereka, berserakan dekat mobil.”
“Singa selalu merobek perut korbannya untuk memakan jeroan lebih dulu, sebelum melahap dagingnya.”
Tambi menggigil. “Semua staf melarikan diri. Kini tinggal saya dan Dubeya, dengan lima ekor singa di sana.”
Sunyi. Semua hanyut dalam pikiran masing-masing.
Wong memecah sunyi. “Kita ke taman besok. Saya harap singa-singa itu sudah diberi makan.”
“Sebenarnya, waktu makan mereka besok malam. Tapi Dubeya akan menyertai Anda. Saya juga ikut. Jangan khawatir, jeroan Anda akan aman.”
Ruang rahasia
Pagi hari Wong tidak kelihatan di meja makan. Lelaki Cina tua itu bangun pagi sekali, sarapan di dapur, lalu keliling rumah menggambar peta. “Ada perubahan kecil mesti Anda lakukan, Tuan Tambi. Rumah ini panjang dan sempit, dari selatan ke utara. Jadi, ada ketidakseimbangan energi chi mengenai arah.”
“Bagaimana dengan hutan kecil kita yang bermasalah?”
“Ada masalah air dan penyebaran chi. Tapi bisa diperbaiki. Saya lihat ada pagar baru yang tak ada di peta. Ke arah barat. Di sana, di belakang pepohonan.”
“Oh ya, kami buat beberapa perbaikan setelah kematian Legge. Ada tanah berawa yang dikeringkan. Areal hutan dikurangi tapi masih banyak ruang untuk singa.”
“Tapi mengurangi areal, buruk bagi aliran energi, juga untuk feng shui.”
“Baiklah. Sekarang kita ke bawah minum teh.”
Sambil menuruni tangga lebar, Wong menunjuk ke koridor lantai tanah di sebelah kiri. “Ruang rahasia itu juga masalah bagi saya. Tak terdapat dalam peta rumah.”
“Ruang rahasia apa?” Tambi tak enak hati.
“Ruang di antara kamar Anda dan ruang di sebelah barat.”
“Oh, itu sarana keamanan. Saya menyimpan uang dan barang di sana. Peti utama untuk menyimpan penghasilan taman ini.”
“Saya tak melihat peti di sana. Hanya surat-surat dan peralatan berlumpur.”
Tambi terkejut. “Anda masuk? Bagaimana caranya?”
“Pintunya terkunci tapi saya bisa membukanya. Anda minta saya membaca feng shui rumah ini secara detail inci demi inci, bukan?”
“Oh ya, saya tidak keberatan.”
“Saya tak melihat adanya peti.”
“Oh, petinya belum datang. Ngomong-ngomong, sudah waktunya kita ke hutan. Kumpulkan teman-teman Anda. Kita bertemu 20 menit lagi di belakang rumah.”
Masuk sarang singa
Kendaraan sewaan Wong sudah diparkir dekat mobil multime dan milik Tambi, dekat pagar kawat tinggi. Tambi memberi briefing, “Jalan masuk ini hanya untuk staf. Kita akan lebih cepat sampai ke bagian timur danau ketimbang jalan biasa, jalan ini juga membawa kita ke tempat teman-teman saya terbunuh. Tuan Wong, Anda ingin melihatnya, bukan? Ceceran darahnya sudah dibersihkan tapi saya tak bisa melupakannya,” Tambi menggeleng pelan.
Namun mendadak ia berubah girang, “Oke, Anda semua naik mobil Anda, saya dan Dubeya akan naik yang ini.”
“Kita semua tidak naik mobil yang sama?” tanya Wong.
Tambi menyeringai, “Anda bercanda? Mana bisa dengan perut buncit ini saya masuk mobil Anda yang kecil itu. Saya sudah memodifikasi mobil saya dengan kursi khusus berukuran dobel. Tenang saja, kami akan berjalan pelan di depan Anda.”
Wong masih khawatir, “Tapi apa mobil kami mampu di jalan berlumpur?”
“Ah, tak masalah. Hanya ada sedikit lumpur di sini. Saya sudah membeli kamera video. Saya akan memberi Anda suvenir berupa kaset tentang diri Anda di hutan. Ini pelayanan yang rencananya akan ditawarkan pada customer terbaik.”
Wong duduk di belakang setir. Joyce di sebelahnya dan Sinha di kursi belakang.
Pintu gerbang ganda terbuka otomatis. Mobil bergerak pelan. Wong menyetir mobilnya sejalan dengan jejak roda kendaraan di depannya. Dalam kecepatan 20 km/jam, mobilnya berguncang pelan di atas jalan berlumpur dan berbatu.
“Aneh, Tambi tak tahu nama-nama binatang,” Wong memancing percakapan.
“Ya, aku juga memperhatikan,” sahut Sinha.
“Mungkin pasangan yang telah meninggal itu pakarnya,” sambung Joyce, “la hanya punya uang.”
Ular misterius
Setelah seperempat jam, mata mereka terbiasa melihat kegelapan di bawah bayangan kanopi dedaunan lebat. Berbagai jenis kupu dan burung warna-warni mengisi ruang antara semak-semak dan kanopi.
Sinha berbisik, “Dengar, suara apa itu?”
“Maksud Anda singa atau apa?” Joyce memandang sekeliling.
“Bukan. Suara di mobil ini. Sssh, seperti udara keluar dari balon.”
Wong terpaku pada jalanan, “Aku punya firasat jelek. Tambi berjalan terlalu cepat.”
“Joyce,” bisik Sinha, lebih keras dan mendesak.
Joyce membalikkan badan. la lihat wajah Sinha tegang, matanya terbuka lebar.
“Aku tahu mengapa Martha dan Gerald Legge keluar dari mobil,” Sinha bicara pelan, “Karena ada penumpang lain di dalam mobilnya. Joyce, jangan bergerak sedikit pun. Ada seekor ular besar di bawah tempat dudukmu. la melingkar. Sekarang ini kepalanya menghadap ke belakang mobil melihatku.”
Wanita muda itu kaget dan terperangah.
“Wong, kau dengar apa yang kukatakan?” tanya Sinha.
Wong mengangguk. la memang takut ular. Tampaknya ia berhenti bernapas, “Aku akan berputar ke arah pintu gerbang.”
“Jangan,” cegah Sinha. “Jalannya sempit. Menyetirlah selembut mungkin, jangan bikin mobil berguncang. Ular itu akan merasa terganggu.”
“Tapi kita harus keluar dari hutan ini, supaya bisa keluar dari mobil. Di sini banyak singa kelaparan.”
“Oooh,” Joyce memekik panik. “Sedang apa ular itu sekarang?”
“Awas tanjakan,” seru Wong. Joyce mengangkat kedua kakinya ketika mobil itu sedikit terguncang,
“Ular itu tak menyukai guncangan,” bisik Sinha. “Kepalanya terbentur bagian bawah kursi. Ia memandang ke arah posisi kakimu sebelumnya, Joyce. Hentikan mobil. Wong, pelan-pelan.”
“Bisakah ia diusir keluar?” Joyce hampir menangis.
Wong hati-hati menghentikan mobil, “Jangan-jangan Tambi yang menaruh ular itu di sini.”
Sinha terus mengawasi ular, “Ular yang sangat berbahaya. King Cobra. Ia mudah marah.”
Dubeya juga menghentikan mobilnya di depan mereka. la membunyikan klakson berulang-ulang.
Joyce masih menggantungkan kakinya. “Kenapa dia lakukan itu? Belum waktunya memberi makan, ‘kan?”
Wong memandang tajam lalu menelan ludah. “Ia belum juga mengeluarkan daging segar. Mungkin ... kitalah daging segarnya.”
Menuju kematian
Tiga ekor singa dewasa muncul dari semak semak menuju mobil Wong. Mereka menjulurkan lidahnya yang berwarna pink, permukaannya kasar, ukurannya sepanjang lengan anak kecil. Mereka berhenti empat meter dari mobil. Seekor singa jantan menjilatkan lidahnya ke ban.
“Mungkin mereka memercikkan mobil kita dengan darah segar atau memasukkan daging mentah di ban mobil,” suara Wong penuh dendam.
Joyce semakin pucat, “Tolong panggil Tambi.”
“Ia sedang sibuk,” Wong mengawasi mobil Tambi, “Mengambil gambar kita dengan kamera videonya.”
Ada suara garukan ketika ular itu bergerak.
Sinha makin cemas, “Di depan ada mobil Tambi. Bagaimana kalau aku jalankan mundur?”
“Jangan,” sergah Sinha, “Jangan bergerak. Ular itu bergerak ke depan, sangat pelan.” Sunyi mencekam. Tiba-tiba singa jantan mengaum.
Wajah Joyce memelas, “Tolong lakukan sesuatu.”
Wong menjejalkan disc ke dalam audio mobil, lalu menurunkan kaca jendela mobil sekitar 10 cm. la menekan tombol yang ada panahnya, kemudian menekan tombol volume hingga mencapai angka tertinggi.
Singa-singa tampak terkejut, tiba-tiba melompat menjauh, pergi sejauh 30 m dari mobil mereka.
“Selera musik mereka bagus juga.”
“Bagaimana ular di bawahku?” pekik Joyce.
“Ular itu juga menyukainya. la mulai tertarik,” teriak Sinha. “Sayangnya, ia bergerak ke arahmu, mungkin ada speaker di dekatmu.”
Joyce meratap, kepala ular itu menyembul dekat kursinya. Joyce bergerak ke pojok tengah mobil. Pelan-pelan, ular itu naik ke sisi yang lain, mengarah ke speaker bas yang berdenyut di pintu.
“Ia merasakan iramanya,” kata Sinha. Tiba-tiba ia membuka pintu, melangkah ke luar, menyentakkan antena radio mobil di sayap belakang mobil, mencoba menarik perhatian ular itu.
“Wong, turunkan jendelanya. Beri tahu aku jika singa-singa itu datang kembali.”
Wong menurunkan kaca jendela di sisi Joyce. Gerakan tarian antena itu menarik perhatian ular. Pelan-pelan, Sinha menjauhi posisi Joyce, sambil membujuk ular itu agar mengikutinya. Kepala ular itu mengikuti gerakan antena, lain mulai bergerak keluar dari mobil melalui jendela. Gadis berkulit putih itu menghentikan napas, terdiam kaku ketika tubuh ular itu melewatinya.
Satu menit berlalu, ular itu setengah keluar dari mobil.
“Wong, tunggu sampai kepalanya keluar mobil kemudian tutup jendelanya,” teriak Sinha.
Mulut Joyce tiba-tiba kelu, ia menunjuk dengan jarinya. Singa-singa itu mulai bergerak kembali ke arah mobil mereka.
“Sinha, Singa-singa itu mendekat. Cepatlah masuk ke mobil.” kata Wong.
“Saya tahu. Tunggu sebentar.”
la membuat gerakan menarik dengan batang logam tipis itu. Beberapa sentimeter lagi tubuh ular itu keluar dari jendela. Sementara singa-singa bergerak sangat cepat. Wong tak bisa menunggu lebih lama lagi. Ketika separuh dari tubuh ular itu keluar dari jendela, ia menekan tombol window up. Kaca pun meluncur naik. Ketika menyentuh tubuh ular, secepat mungkin ular itu berusaha menarik tubuhnya kembali ke dalam mobil.
Joyce berteriak, melihat kobra itu menarik dirinya dengan cepat ke belakang. Joyce membayangkan ular itu mengarah tepat ke pangkuannya. Namun, kaca terus bergerak naik dan menekan ular itu di sekitar lengkungan bagian belakang kepalanya. Si ular menggeliat, berusaha melepaskan diri, tetapi kaca terus naik, dan ular itu pun gagal menarik kepalanya.
Ketika tengkoraknya hancur terjepit kaca mobil yang terus naik, bagian tengah tubuh dan ekornya tiba-tiba menggeliat ke belakang, menghantam lengan Joyce. Joyce memekik lagi. Sementara Sinha cepat melompat masuk mobil, membanting pintu tepat ketika singa-singa itu mencapai mobil.
Sinha menangkap bagian bawah lengan Joyce. Dengan satu sentakan keras, ia menariknya ke belakang lewat sela-sela di antara kursi depan, menjauh dari ular yang menggeliat-geliat, sampai ia terjengkang di bagian belakang mobil. Singa-singa itu mengintip ke dalam mobil. Di jendela depan, salah satu dari singa-singa itu mulai mengendusi kepala ular, di mana cairan hitam menetes menuruni jendela.
“Oke, sekarang semua aman.” kata Wong. Tubuh ular itu terus menggeliat dari atas jendela kemudian bergetar dan berhenti. Sinha memegangi pundak Joyce.
Senjata makan tuan
Dengan napas tersengal, Wong memutar mobil, mendorong pelan singa-singa itu keluar dari jalan.
“Sekarang kita pergi!” teriaknya.
“Lupakan saja pelunasan pembayaran kita.”
“Aku setuju,” sahut Sinha geram.
Mobil mereka bergerak kembali ke arah pintu gerbang, mobil Tambi mengikuti di kejauhan.
“Mengapa Tambi melakukan ini. Dengan tiga kematian lagi, bukankah itu iklan buruk bagi tamannya?” sungut Sinha.
“Ia tidak tertarik mencari uang dari taman suaka binatang,” sahut Wong, sambil mengecilkan musiknya. “Ia hanya berpura-pura mengambil bagian. la membuat singa-singa itu memakan mitranya. la selesaikan dua masalah sekaligus. Membuang mereka dan punya alasan bagus untuk tidak meneruskan taman ini. Lebih banyak kematian, jauh lebih baik. la ingin membuat penambangan. Ada banyak logam di bawah tanah ini.”
“Bangsat benar orang itu!” Sinha sangat marah. la menengok ke belakang. “Mobil Tambi berhenti. Punya rencana apa lagi dia?”
Wong terbatuk kecil, “Mungkin karena saya mengeluarkan semua bensinnya pagi tadi.”
“Apa yang kau lakukan Wong?”
“Kuhisap keluar bensinnya dengan sepotong selang.”
“Oh, pantas. Pagi tadi napasmu sedikit berbau bensin. Bagaimana ia dan sepupunya bisa keluar dari hutan ini?”
“Mereka bisa berjalan kaki. Tapi mereka tentu tahu, singa-singa itu belum diberi makan.”
Wong memperlambat mobilnya ketika seekor kupu-kupu berwarna pink terbang zig-zag menyeberangi jalan. Kemudian ia membalikkan badan ke arah Joyce yang sudah mulai pulih.
“Kau tahu, Joyce? Mungkin sekarang aku mulai menyukai musikmu.”
Wong menaikkan volume CD player saat melewati gerbang. (Nurry Vitachi)
Baca Juga: 'Nyanyian' sang Putri
" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567691/hutang-nyawa-dibalas-singa" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668195686000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3567456" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/lagu-palsu-alat-penipu_-neosiam-20221111043817.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "Seorang master fengshui menghadapi kasus pembunuhan di dalam taksi. Apakah keahliannya itu membantu dalam mengungkap kasus?" ["section"]=> object(stdClass)#60 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/lagu-palsu-alat-penipu_-neosiam-20221111043817.jpg" ["title"]=> string(22) "Lagu Palsu Alat Penipu" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 16:38:31" ["content"]=> string(27074) "
Intisari Plus - Seorang master fengshui menghadapi kasus pembunuhan di dalam taksi. Apakah keahliannya itu membantu dalam mengungkap kasus?
-------------------
Telepon di depan Winnie Lim berbunyi nyaring. Dengan hati-hati dia mengangkat gagang telepon itu supaya manicure di jemari kukunya tidak rusak. “Untukmu, dari Madam Fu,” bisik Winnie. Yang diajak bicara tampak ragu. “Bilang saya tidak ada,” jawab C.F. Wong sekenanya. “Saya sudah bilang kamu enggak ada. Tapi dia ingin sekali bicara padamu,” balas Winnie.
C.F. Wong sang master feng shui akhirnya menyerah. “Hai, Madam Fu,” ucapnya begitu mengambil alih telepon. “Wong? Saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya,” balas sang Madam. “Kapan?” sambut Wong rada enggan. “Siang ini atau paling lambat besok pagi. Tapi lebih baik lagi kalau kamu datang sekarang.”
“Wah, memangnya ada apa?”
“Ada sesuatu di kebunku.”
“Sesuatu?” Winnie Lim yang ikut mendengarkan di telepon satunya, menaruh jari telunjuk di mulutnya dan berkata pada Wong, “Sudahlah Ikuti saja.” Sang master lagi-lagi mengalah.
Asistennya, Joyce McQuinnie, yang sedang asik membaca sebuah buku melirik pada Wong, sebelum akhirnya menukas, “Mengapa tidak Nyonya Fu saja yang membereskan sendiri kebunnya?”
Wong menatap Joyce. Wanita muda ini kadang menyebalkan. Itu sebabnya Wong tak ingin berdebat dengannya. “Saya akan pergi ke Madam Fu. Kamu mau ikut?” Wong bertanya pada Joyce sambil berdoa agar mendapat jawaban negatif. Tapi yang keluar malah sebaliknya, “Iya dong. Saya tidak akan melewatkan kesempatan ini.” Ah, betul-betul menyebalkan.
Mayat di kebun
Suasana di jalan mencerminkan Singapura di musim panas. Lalu lintas macet, tapi semakin jauh dari pusat bisnis, jalan semakin lengang. Langitnya biru dihiasi hamparan awan cirro cumulus nan indah.
Madam Fu adalah orang kaya yang rutin meminta bantuan Wong. Rumahnya, meski bagus, adalah “yang terjelek” di kawasan mewah Jln. Meyer, yang dikenal juga sebagai Condo Valley. Kebun belakang rumahnya menghadap jalan desa nan sunyi sering dijadikan tempat membuang sampah. Itu karena kesalahan Madam Fu yang membiarkan begitu saja kebunnya tak terpelihara, sehingga orang lewat mengiranya lahan umum.
Wong sendiri kadang merasa sejumlah kerjanya buat Madam Fu tak sesuai dengan keahliannya sebagai master feng shui. Apalagi Madam Fu sendiri agak aneh, eksentrik, kadang mirip orang terganggu mental. Sebagai ahli feng shui, Wong tahu energi yang mengalir memasuki rumah Madam Fu sebetulnya nyaris sempurna. Namun semua itu tak akan menghasilkan rumah tangga bahagia jika penghuninya dalam keadaan “terganggu”.
Sesampai di kediaman Madam Fu, seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia tampak membukakan pintu. “Aku ingin tahu pendapatmu tentang kesialanku kali ini,” sambut Madam Fu. Mereka berjalan menuju taman belakang, dekat pagar dan rerumputan tinggi. Di dekat situlah Madam Fu menunjuk sesuatu yang tergeletak, terbungkus jas hujan dengan noda hitam. Tak salah, mayat! Lalat-lalat menandakan mayat itu sudah cukup lama berada di sana.
Tampaknya mayat seorang laki-laki berambut hitam, matanya terbuka dan mendelik. Wong menghela napas dalam-dalam. “Saya pikir Anda benar, Madam Fu. Ini kesialan besar. Butuh perlakuan khusus dan tidak boleh ada kesalahan sama sekali,” ucap Wong setelah berhasil menenangkan diri. “Aku tahu,” ucap Madam Fu bangga. “Apakah Anda yang melakukannya?” sambung Wong. “Tentu saja tidak. Masak aku membunuh orang di kebun sendiri?” tandas Fu. Benar juga.
Wong segera menelepon polisi. Mengurus penemuan mayat ini jelas bukan wewenangnya. Tugasnya hanya mengatur ulang keberuntungan Madam Fu, dengan menempatkan benda-benda feng shui di pintu belakang, yang berhadapan dengan lokasi mayat ditemukan. Atau menaruh cermin segi delapan pa-kua pada dinding di atas jendela rumah. Buat dia, mengenyahkan gangguan setan bukanlah tugas yang sulit.
Lucunya, detektif yang kemudian datang, Gilbert Kwa ternyata punya masalah dengan “kegilaaan” Madam Fu. Kwa menganggap omongan Fu tidak logis dan membingungkan. Sepertinya hanya Wong yang bisa memahami perkataan Madam Fu. Mau tak mau, Wong akhirnya diperbantukan sebagai detektif perantara, si pengorek informasi yang berkaitan dengan Madam Fu.
Mayat itu ternyata Tuan Ramli, pengusaha asal Indonesia yang pindah ke Singapura empat tahun lalu. Koleganya, orang Singapura bernama Emma Esther Sin dan seorang Amerika bernama Jeffery Alabama Coles, menyatakan Ramli baik-baik saja saat mereka melihat terakhir kali. “Dia hanya minum sedikit,” jelas mereka, yang mengaku sempat mengantarkan Ramli naik taksi. “Sopir taksinya mirip orang India dengan rambut dan kumis hitam,” cerita Emma Sin.
Dibuang sopir taksi
Polisi yang melakukan pencarian ke berbagai perusahaan taksi akhirnya mendapatkan keterangan tentang taksi yang dicurigai. Mereka juga berhasil membekuk Motani, sopir taksi yang ciri-cirinya sangat cocok dengan gambaran yang disebutkan Emma. Sepertinya, kasus Ramli bakal segera terungkap ketika Motani mengaku sengaja membuang tubuh Ramli di kebun Madam Fu. Namun, dia menolak mengakui membunuh Ramli.
“Tas dan barang-barang milik korban tidak ada yang hilang. Di rumah Motani, kami juga tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan alat membunuh Ramli,” jelas Kwa, sembari membetulkan letak bahunya yang agak tegang. “Omong-omong, bos saya bilang, Anda boleh menanyai Motani. Itu kalau Anda mau,” ujar Kwa. Wong tahu dia sudah telanjur terlibat di kasus ini. Jadi mengapa tak sekalian saja menceburkan diri?
“Saya tidak melakukannya!” sanggah Motani, yang bernama lengkap Nanda Motani, dengan nada tinggi ketika bertemu Wong.
“Saya tidak bilang Anda melakukannya. Saya C.F. Wong, konsultan. Saya cuma ingin mengetahui kejadian sebenarnya.”
“Dia sudah mati ketika saya menoleh ke belakang,” tegas Motani. “Saya sampai di Jln. Orchard sekitar pukul 22.30, ketika melihat tiga orang di ujung jalan. Mereka baru keluar dari bar. Saya melihat seorang pria tengah bersandar pada seorang wanita yang tertawa keras. Lelaki satunya, orang asing, menyangga pria yang di tengah. Saya pikir mereka habis minum-minum,” tandas Motani.
“Anda kemudian menghentikan mobil?”
“Ya, si orang asing menaruh tas ke dalam taksi dan membantu si mabuk masuk, sambil menyebut alamat tujuan, di Katong, Jalan East Coast, dekat Red House,” kata Motani lagi.
“Red House? Toko roti kuno itu?” sergah Wong.
“Sepertinya begitu. Saya putar balik menuju Jalan Orchard.”
“Ke Timur?”
“Ya, ke Timur. Ke Stamford Road, Raffles Avenue, menyeberang jembatan. Karena tidak begitu pasti letak jalannya, saya sempat berhenti dan bertanya pada sopir taksi lain. Ternyata saya kelewatan.”
“Penumpang Anda diam saja?”
“Dia mabuk berat. Saya mencoba ramah padanya dengan bercerita tentang wilayah Katong yang katanya nyaman. Tapi dia tidak menjawab.”
“Dia mengatakan sesuatu?”
“Hanya sedikit bernyanyi. Sebenarnya lebih mirip bergumam. Ia seperti menyanyikan lagu pop Barat kuno. Tapi saya tidak tahu lagu apa.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Tidak ada sama sekali. Saya berhenti, melihat dia terbungkuk, hampir jatuh. Separuh badannya hampir menyentuh kaki, sisanya masih di kursi. Saya lalu meneruskan nyetir.”
“Kenapa?”
“Begini, Pak Polisi. “
“Saya bukan polisi.”
“Begini, Tuan yang baik. Jika Anda jadi sopir taksi dan bekerja shift malam, Anda akan sering membawa orang yang tertidur pulas, mabuk, atau tak sadarkan diri. Anda hanya perlu membawanya pulang. Tanya saja sopir taksi lain di seluruh Singapura kalau tidak percaya.”
“Tapi Anda sampai di alamatnya?”
“Ya. Saya mencoba membangunkannya, mengguncang-guncangnya. Lucu, dia malah roboh. Saya keluar, mencoba mengeluarkannya dari mobil. Tapi ketika saya lihat ada noda di jaketnya, saya pikir dia sakit.”
“Itu noda darah,” sela Wong.
“Ya, dan saat menyadari dia mati, saya hampir berteriak. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Rasanya ada ribuan pasang mata mengamati. Sempat terpikir untuk menghubungi polisi, tapi polisi nanti mengira saya pembunuhnya.”
“Lalu apa yang Anda lakukan?”
“Saya tutup pintu mobil kemudian mengemudi secepat mungkin.”
“Ke mana?”
“Ke arah Jalan Meyer. Di sebuah tempat yang gelap, saya melemparkan mayat itu beserta tas-tasnya ke balik pagar.”
“Anda membuka tasnya?”
“Tidak. Hanya mengangkatnya. Kemudian saya pulang dan membersihkan mobil. Esoknya, saya begitu takut untuk berangkat kerja. Entah berapa lama saya melakukannya. Sampai akhirnya polisi datang ke rumah. Sejak itulah saya di sini.” Saya percaya padamu, bisik Wong dalam hati. Setelah terdiam sebentar, Wong lalu melanjutkan pertanyaan. “Jendela mobilnya, apakah terbuka?”
“Tidak,” jawab Motani yakin. Semua tertutup. Saya menyalakan AC supaya tetap dingin.”
“Oke, finish-lah,” kata Wong akhirnya.
Tak ada pisau
Beberapa waktu kemudian, Wong dan Joyce duduk-duduk di kantin kantor polisi sembari menyeruput teh hijau. “Aneh. Siapa yang membunuh Ramli, kalau si sopir bukan pelakunya? Kuncinya mungkin pada penyebab pembunuhan itu,” ucap Joyce. Wong mengangguk-angguk. Soal warisan? Tampaknya bukan. Ramli tidak memiliki kerabat di Singapura dan Malaysia. Warisannya pun tidak besar. Dia juga tidak memiliki jaminan asuransi.
Bagaimana kalau soal bisnis? Ramli, Emma Sin, dan Cole baru saja menandatangani perjanjian kerja sama untuk meneliti kemungkinan mengadakan pengeboran dan penambangan di Kalimantan. Ramli bertindak sebagai tenaga ahli, sedangkan Emma Sin dan Coles menjalankan bisnis, pendanaan, dan pemasaran. Terbunuhnya Ramli membuat perjanjian bisnis itu harus dikaji ulang.
“Adakah hal lain yang menarik perhatian?”
“Dia membawa dua tas ketika naik taksi. Sebuah koper kecil dan satu koper agak besar. Tas kecil berisi contoh batuan dan mata uang asing. Sedangkan tas besar dipenuhi batu bata. Sepertinya dari sebuah gedung.”
“Mungkin ditukar. Seperti adegan film Hollywood. Dua tas masing-masing berisi barang berharga dan barang tak bernilai, ditukar untuk tujuan tertentu. Tidak ketahuan karena bentuk dan modelnya sama. Ya, saya ingat, film Dumb and Dumber,” urai Joyce.
“Tapi siapa yang menukar tasnya?” tanya Wong.
“Mungkin sopirnya, mungkin juga bukan.”
Joyce lalu memerinci isi koper Ramli dan mencocokkannya dengan daftar bikinan polisi. Ada dokumen teknis mengenai analisis tanah dan batuan, sepotong kue donat di kantong kertas, novel karangan Michael Crichton, majalah Penthouse, dan sekantong kacang dari penerbangan Silk Air. Di dompetnya polisi menemukan telepon genggam, bon dengan stempel lunas laundry setempat, serta struk mesin ATM di Jln. Orchard.
“Ada pesan di telepon genggamnya?”
“Tidak,” jawab Joyce seraya mencentang daftar barang pribadi korban. Tiba-tiba ia bersiul. “Wow, canggih betul tape recorder ini. Bentuknya seperti korek api. Kelihatannya asyik, ada ekstra bas, built in speaker, auto reverse.”
“Polisi sudah mendengarkan isi tape-nya. Tampaknya seperti suara orang bernyanyi. Dan kelihatannya kawan kita ini sangat suka bernyanyi,” jelas Wong.
“Persisnya berkaraoke. Emma Sin pernah bilang kalau dia dan Ramli sering datang ke karaoke,” bilang Joyce, sambil menambahkan, “Kini apa yang akan Anda lakukan? Meneliti bed pan dan feng shui taksinya?”
“Astaga, bukan bed pan, tapi lo pan. Yang pasti, kompas tidak bisa jadi patokan di mobil. Karena mobil selalu berubah arah. Dalam kasus ini, kita tidak bisa menggunakan lo pan. Hanya diagram lo shu, semacam pilar nasib. Coba kita lihat milik Tuan Ramli,” ajak Wong.
Sang master lalu membuka catatannya. Ramli berelemen api dan lahir di akhir musim semi, musim yang dipengaruhi kayu. Dengan kata lain, Ramli punya api dan kayu. Layaknya api, jika ditambahkan kayu akan semakin berkobar. Tapi jika diberi air, akan mati. Jika diberi logam atau tanah, api akan sulit menyala. “Nah, malam kematian Ramli berunsur logam,” jelas Wong. Peluru logam pula yang membuat Ramli tak berdaya.
Motani juga punya unsur api. Namun, menurut hitung-hitungan Wong, apinya Motani tidak kuat. Tak lama kemudian detektif Kwa datang. “Masalahnya sudah agak jelas, Detektif,” seru Joyce sambil tersenyum ke arah Wong. Kwa tampak berseri-seri mendengarnya. “Si sopir tidak bersalah. Seseorang telah menembaknya lewat jendela taksi. Menggunakan senjata jarak jauh berperedam,” ucap Joyce lagi.
“Tapi sopirnya bilang jendelanya selalu tertutup.”
“Motani bilang, dia sempat memberhentikan taksi untuk bertanya alamat Ramli pada seseorang. Saat itu, dia pasti menurunkan kacanya dan berteriak. Saat itulah seseorang menembaknya. Pelurunya mengenai sasaran tanpa disadari oleh si sopir, bagaimana menurut Anda?”
“Menurut saya, Anda terlalu banyak nonton film, Joyce,” kata Kwa sambil tersenyum. “Faktanya, dia tidak ditembak. Tetapi ditikam. Kita memang melihat lubang dan darah, tetapi tidak ada pisau yang menancap. Awalnya memang kami mengira dia ditembak, tapi dokter meyakini Ramli ditikam dengan pisau dapur atau pisau buah, pendek tetapi tajam,” jelas Kwa.
“Fakta terbaru ini kelihatannya memporakporandakan teori Anda, Tuan Wong,” seru Joyce.
“Tentu saja tidak. Yang penting ada logam di sistem pernapasan. Peluru atau pisau ‘kan sama-sama logam,” jawab Wong.
“Saya punya pendapat lain,” kata Joyce. “Bagaimana kalau ada seseorang bersembunyi di bagasi, lantas menikam Ramli dari belakang?” Seperti teori pertama Joyce, kali ini pun Kwa menjawabnya dengan senyum lebar, “Lagi-lagi Anda terlalu banyak nonton film, Joyce. Korban ditikam dari depan, persisnya di sebelah kanan, sampai menembus jantung.” Melihat Joyce dan Kwa saling serang, Wong cuma bisa tersenyum.
Sinergi api dan kayu
Malam harinya Joyce mencoba mengingat kembali wawancaranya dengan keluarga Motani. Namun ia tidak punya informasi penting yang pantas dicatat. Soalnya cuma ada satu topik pembicaraan selama di rumah itu. Yakni ucapan berulang-ulang bahwa Motani tidak bersalah serta pertanyaan mengapa para dewa membawa anak baik seperti Motani ke situasi sulit seperti itu.
Akhirnya dengan menguatkan hati, wanita berparas cantik itu mengumpulkan serpihan hasil wawancara yang dianggapnya mengecewakan. Kemudian menelepon guru Wong.
“C.F? Ini saya, Jo.”
“Kamu menemukan tempat tinggalnya?” balas suara di seberang sana.
“Ya.”
“Kamu menemukan sesuatu?”
Joyce agak ragu, sebelum melanjutkan, “Well, dia punya keluarga besar. Ayahnya sudah meninggal. Dia sekarang menjadi tulang punggung keluarga, punya banyak saudara lelaki dan perempuan. Mereka sangat sedih, dan ...,” Joyce berhenti untuk mencari kata-kata tambahan.
“Dan apa lagi?”
“Dan ... hanya itu. Saya tidak menemukan apa-apa untuk memecahkan misteri ini. Saya tidak tahu lagi apa yang mesti saya tanyakan. Saya lebih banyak ngobrol dengan mereka.”
“Oke, tidak masalah.”
“Tapi ada satu hal, saya kira.”
“Apa?”
“Kita harus membebaskannya. Saya pikir ia tidak melakukannya.”
“Mengapa Anda pikir begitu?”
“Tak ada alasan. Saya hanya pikir begitu.”
“Saya mengerti. Saya juga berpikir begitu. Sekarang walk-walk slowly-lah.”
“Yah. Kamu walk-walk slowly juga.”
Keesokan harinya, Wong menemui detektif Kwa di lorong gedung pengadilan. Kwa tampak bete lantaran jadwal pengadilan yang terus molor. “Saya punya pertanyaan penting buat Anda,” kejar Wong. “Lebih cepat lebih baik. Pengadilan Motani akan segera dimulai,” jawab Kwa. Tak lama kemudian, seorang juru tulis muncul di depan pintu ruang pengadilan, tangannya menenteng berkas perkara bertuliskan: Kasus 12/768-F, Motani, N.
“Wah, kelihatannya sudah akan dimulai, nanti saja ya ngobrolnya,” ucap Kwa.
“Harus sekarang. Cuma satu pertanyaan, apakah malam saat kejadian turun hujan?” tanya Wong. Meski aneh, pertanyaan tadi dijawab juga oleh Kwa. “Tidak, seingat saya hujan hanya turun di siang hari. Cukup Wong, saya harus masuk ruang pengadilan sekarang.”
“Tunggu, ada satu hal yang tak kalah penting.” Wong menarik napas panjang. “Motani mempunyai unsur api lemah sehingga butuh kayu untuk membuat dirinya kuat. Pada malam pembunuhan itu, ada benturan antara logam dan kayu, juga kayu dan tanah. Tapi untungnya, saat pembunuhan berlangsung, unsur kayu Motani sedang bagus sehingga dapat memperkuat unsur apinya. Jika malam itu turun hujan, bisa menjadi pertanda buruk buat dia. Tapi Anda bilang malam itu tidak hujan ....”
“Aaaah, sudahlah Wong. Jangan bikin kepala saya makin pusing.”
“Tapi saya rasa, Ramli sudah mati sebelum bertemu Motani.”
Kali ini, langkah Kwa terhenti. “Apa buktinya?”
“Ramli ditikam di jalan. Dia tidak mabuk, tapi mati. Si jangkung Amerika memasukkannya ke taksi dan menyokongnya agar tetap tegak.”
“Tapi di taksi Ramli sempat bernyanyi lagu Barat.”
“Si Amerika menyalakan tape recorder hasil rekaman di kantong Ramli. Suaranya bergumam seperti menyanyikan lagu kuno New York, New York.”
“New York, New York?”
“Ya.” Wong melanjutkan penjelasannya, “Semua dilakukan untuk membuat orang berpikir dia mati di taksi. Bahkan sopir taksi pun percaya. Tape-nya mati, lalu auto rewind. Saat Anda memutar kasetnya di kantor polisi, terdengar suara orang bernyanyi, ‘kan? Jelas bukan kebetulan karena Emma Sin pencinta berat karaoke.
“Bagaimana dengan tas?”
“Tidak ada tas yang ditukar. Tas berisi penuh batu bata sengaja disiapkan untuk menopang korban, sehingga duduk tegak di taksi.”
“Jadi, Anda pikir, rekan bisnis Ramli yang melakukannya? Untuk apa? Ramli bukan orang yang punya banyak duit.”
“Mereka pemodal besar, sedangkan Ramli pencetus ide. Tampaknya, mereka cuma ingin idenya tapi tak berniat membayar Ramli.”
Kwa terdiam sejenak. Lalu seperti orang yang menemukan mood-nya kembali, dia menoleh ke asistennya. “Temui jaksa dan hakim. Sidang harus ditunda, kita belum siap. Sekali lagi, belum siap!!” (Nurry Vitachi)
Baca Juga: Gara-gara Patah Hati
" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567456/lagu-palsu-alat-penipu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668184711000) } } }