array(4) {
  [0]=>
  object(stdClass)#61 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3806927"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#62 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/127-charles-richardson-coyjpg-20230829120013.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#63 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(134) "Charles Richardson sering melakukan tindakan kriminal. Para korban tidak ada yang berani melapor. Sayangnya ia tidak selalu beruntung."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#64 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/127-charles-richardson-coyjpg-20230829120013.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "Charles Richardson Coy"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-29 12:00:23"
      ["content"]=>
      string(30661) "

Intisari Plus - Charles Richardson sering melakukan tindakan kriminal. Karena ancaman dan kekerasan, para korban tidak ada yang berani melapor. Sayangnya ia tidak selalu beruntung.

----------

Tewasnya Thomas Homes Waldeck pada hari 29 Juni 1965 ternyata hanyalah bagian yang kecil dalam rangkaian tindakan kriminal yang dilakukan oleh Charles Richardson Coy di Inggris. Meski disebut “kecil”, itu peristiwa itu termasuk yang paling penting. Thomas Homes Waldeck adalah seorang pengusaha pertambangan di Melrose, Johannesburg, Afrika Selatan.

Dengan disebutkannya nama dua negara, bisa diketahui betapa luasnya daerah operasi aktivitas kejahatan itu. Jelasnya, perkara pembunuhan Waldeck di Afrika Selatan mulai terungkap di Welwyn, Hertfordshire, Inggris.

Pada tanggal 8 Oktober 1965, seseorang bernama James Taggart memasuki Pos Polisi Welwyn. Dalam pengakuannya yang disampaikan kepada petugas Gerald McArthur, Taggart mengemukakan bahwa ia pernah berurusan bisnis dengan Charles Richardson. 

Menurut Richardson, kata Taggart, Taggart masih berutang padanya sebanyak 1.200 pound. Di bulan Juli 1965, ia diundang oleh Richardson untuk membicarakan sesuatu. Ternyata saat bertemu, Taggart ditelanjangi, diikat pada kursi, dan dipukuli. Masih untung Taggart hidup dan selamat. Ketika penyiksaan selesai, Taggart dipaksa pula untuk membersihkan darahnya di tempat itu.

Sejak itu Taggart hidup dalam ketakutan, jangan-jangan kaki tangan Richardson akan menyerangnya lagi. Ketika itu McArthur sebenarnya sudah mendengar desas-desus mengenai adanya geng Richardson di London dan semua kejahatannya. Keterangan Taggart memperbanyak dan memperluas bahan informasi mengenai Richardson yang ada pada McArthur.

Mata rantai kejahatan Richardson di atas itu — sebut saja kasus Taggart — barulah saya ketahui ketika McArthur mengemukakan hal tersebut dalam pertemuan antara polisi dan Scotland Yard menjelang Natal 1965. Kasus Waldeck saya ketahui dari Inspektur Kepala Detektif Arthur Rees yang pernah menginterogasi orang yang terbukti membunuh Waldeck di Johannesburg.

Orang tersebut merupakan kawula Inggris bernama Laurence Johny Bradbury. Bradbury dijatuhi hukuman mati di bulan April 1966 karena membunuh Waldeck. Tetapi kemudian vonis itu diganti menjadi hukuman penjara seumur hidup.

Bradbury, demikian kata Rees, menceritakan bagaimana dia sampai terdampar di Afrika Selatan dan terlibat dalam pembunuhan Waldeck. Katanya, semua itu berawal pada tahun 1960. Saat itu dia mulai berurusan dengan Charles Richardson dalam usaha besi tua. Juga di tahun itu, Bradbury mulai menjalankan kelab minum pada jam-jam menjelang pagi untuk kepentingan Richardson. Belum lama menjalankan kedua usaha Richardson tersebut, Bradbury sudah bosan. Terutama ketika ia mengetahui bahwa Richardson berkali-kali menggunakan truk-truk Bradbury untuk mengangkut barang-barang curian.

Richardson tampak setuju dengan rencana pengunduran diri Bradbury. Bradbury boleh meninggalkan usaha Richardson malam itu juga. Tepatnya, pagi dini hari itu juga setelah kelab minum ditutup. Tetapi ketika Bradbury meninggalkan tempat kelab minum, tiba-tiba dia disergap oleh sejumlah orang. Seseorang memukul kening Bradbury dengan kerakeling. Seorang lain melucuti pakaian Bradbury sampai terbuka dan menggores tubuh Bradbury dengan pisau cukur. Seorang lain lagi mengatakan bahwa hal-hal yang lebih buruk akan menimpa Bradbury, jika Bradbury tidak mau terus menjalankan kedua usaha Richardson.

Kaki tangan Richardson sementara puas dengan kesediaan Bradbury untuk meneruskan kelab minum. Tetapi kemudian usaha kelab minum itu diserahkan kepada orang lain dan Bradbury hanya disuruh mengurusi usaha besi tua saja. Sekarang tanpa imbalan apa pun.

Pada tahun 1961 truk-truk Bradbury disita dinas pajak. Bradbury kini mendapat kesempatan untuk menyatakan kepada Richardson bahwa dia tidak bisa lagi mengangkut besi tua milik Richardson. Bradbury berpisah dari Richardson dan berhasil mendapat pekerjaan dari suatu perusahaan angkutan. Tetapi tidak lama kemudian Richardson memerlukan sebuah mobil van untuk suatu perampokan besar. Bradbury diperintahkan supaya membajak salah satu mobil perusahaan. Bradbury menolak. Akibatnya ia dikeroyok oleh anak buah Richardson. Salah satu dari mereka menyerang Bradbury dengan pecahan botol bir. Itu menyebabkan putusnya ibu jari tangan kanan Bradbury.

Kecacatannya itu menyebabkan ia tidak lagi bisa melakukan pekerjaan yang berat-berat. Bradbury lalu berdagang kelontong dengan kereta dorong. Salah satu kaki tangan Richardson mendatangi Bradbury lagi. Ia menyerahkan beberapa pasang contoh kaus kaki nilon untuk dijual lagi. Bradbury membeli kaus kaki tersebut dengan harga 3 shilling 6 penny tiap pasangnya. Bradbury mengira bahwa barang-barang tersebut berasal dari toko kelontong yang dirampok. Kembali hubungan dengan Richardson dijalin lewat kaus kaki nilon. Bahkan Bradbury untuk seterusnya boleh mengambil dulu dan bayar kemudian.

Tetapi ketika Bradbury tidak segera bisa melunasi pembeliannya yang ketiga, dia dipanggil Richardson. Sekali lagi Bradbury dikeroyok oleh kaki tangan Richardson sampai terluka. Mata Bradbury bahkan memerlukan perawatan dengan operasi berat.

Bradbury lalu diberi usaha lain, semacam bank, untuk menghimpun dana dari 'nasabah-nasabah'. Pada akhirnya, bank itu dibuat pailit. Kepailitan 'bank' tersebut terjadi sungguh pada tahun 1964. Richardson menakut-nakuti Bradbury. Sebagai manajer 'bank' yang pailit itu, Bradbury akan ditangkap polisi bila penggelapan uang 'nasabah' sampai ketahuan. 

Dikatakan kepada Bradbury, jika dia ingin menghindari kemungkinan penangkapan itu, Richardson dapat mengusahakan kepergian Bradbury ke Afrika Selatan. Pekerjaan Bradbury di Afrika Selatan hanya akan mengawasi mesin-mesin yang digunakan dalam perusahaan pertambangan yang dijalankan oleh Richardson dan Waldeck.

Bradbury akhirnya pergi ke Johannesburg dan bekerja di sana hingga setahun lamanya dan menjadi akrab dengan Waldeck. Lalu Richardson memberi tahu Bradbury bahwa Waldeck menipu dan membuat Richardon mengalami kerugian sampai 17.000 pound. Menurut Rees dalam pertemuan dengan Scotland Yard itu, apa yang terjadi selanjutnya hanyalah dugaan belaka. 

Bradbury mengakui pergi ke rumah Waldeck dan melancarkan tembakan-tembakan senapan 'sebagai peringatan'. Tetapi selama proses di pengadilan, Bradbury membantah telah membunuh Waldeck. Menurut Bradbury, kedatangannya ke rumah Waldeck pada hari 29 Juni 1965 ditemani orang lain. Orang itulah yang turun dari mobil, mengetuk pintu rumah Waldeck, dan menembak Waldeck ketika Waldeck membuka pintunya. Bradbury sendiri, katanya, tetap duduk di belakang kemudi mobil.

Hubungan Richardson dengan perusahaan pertambangan di Afrika Selatan tidak pernah jelas. Yang pasti saja, di bulan Desember 1964 di Afrika Selatan berdiri sebuah kongsi pertambangan. Pada kongsi itu, Waldeck sebagai pemilik dari 51% sahamnya menjadi direktur utamanya. Sedangkan Richardson sebagai pemilik 49% sahamnya menjadi direktur.

Di London Richardson mendirikan kongsi serupa, tetapi imbangan saham dan manajemen berbalik: Waldeck 49% saham direktur dan Richardson 51% saham direktur utama. Entah apa maksud pendirian kongsi di London ini. Tetapi yang pasti Richardson kemudian memiliki sejumlah kongsi seperti itu, tidak bersama Waldeck, tetapi dengan orang lain di Afrika Selatan. Pada bulan Mei 1965 modal yang ditanam sudah mencapai puluhan ribu pound.

Sudah barang tentu, ketika diinterogasi oleh Rees, Richardson membantah keterlibatannya dalam pembunuhan Waldeck. Argumennya adalah kematian Waldeck bisa membuat para calon investor urung bergabung. Jadi, tidak mungkin Richardson membunuh Waldeck.

Tetapi interogasi Richardson itu setidaknya mengungkapkan banyak sekali kegiatan geng Richardson di Inggris. Charles Richardson sendiri memulai hidupnya dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Charles yang lahir di Camberwell pada tanggal 8 Januari 1934 itu harus menghidupi ibunya dan membesarkan dua adik laki-laki dan satu adik perempuan. Ayahnya entah pergi ke mana. Di usia 14 tahun Charles dimasukkan ke asrama untuk anak-anak nakal. 3 tahun kemudian Charles berhasil membeli sebuah truk dan mulai berbisnis besi tua. Tampaknya saat itulah Charles bekerja baik-baik. Setelah menyelesaikan dinas militernya, Charles bisa mendirikan Peckford Scrap Metal Coy bersama adiknya Eddie.

Sayang, justru perusahaan yang jujur ini segera menjadi semacam perisai untuk menutupi perusahaan lain yang menadahi barang-barang curian. Kongsi Charles dan Eddie itu sendiri tetap berjalan lancar dan berkembang. Kemudian Charles mendirikan anak perusahaan di Brixton dan Camberwell untuk usaha barang-barang imitasi dan di Bermondsey untuk barang-barang furnitur kantor.

Tidak hanya sampai di situ, Charles Richardson terus mendirikan pelbagai macam perusahaan, terutama untuk menyalurkan hasil produksi pabrik. Mula-mula perusahaan Richardson hanya menerima sedikit, tetapi makin lama pesanan makin banyak. Richardson tidak pernah melalaikan pembayaran sampai pabriknya menaruh kepercayaan 100% padanya. Tetapi justru pada saat itulah Richardson tidak lagi mau membayar utang-utangnya. Barang-barang pabrik akhirnya dibeli dengan pemerasan dan ancaman pembunuhan. Beberapa ancaman pembunuhan bahkan sungguh-sungguh direalisasikan.

Demikianlah seterusnya pola perbuatan jahat geng Richardson. Sesekali polisi berhasil menangkap “Ali” yang menjadi perusahaan “Babah” Richardson. Tetapi karena takut akan pembalasan, “Ali” tidak menyebutkan nama sang “Babah”. Karena itu, hanya beberapa korban saja berani melaporkan kasusnya ke polisi.

Salah satu korban yang pemberani itu adalah Jack Duval. Ia mulai berkenalan dengan Richardson di tahun 1960 di Astor Club. Richardson memberinya pekerjaan di Dentous Trading Coy. Duval dikirim ke Italia untuk memesan kaus kaki nilon dengan kredit. Ternyata tidak terlalu berhasil. Ketika tiba kembali di London, Duval dibawa ke sebuah ruangan di kantor yang dipimpin oleh Laurence Bradbury. Duval dihajar mukanya. Sebelum pulang ke flatnya di Dolphin Square, Duval dibekali pukulan-pukulan dengan stik golf. Ketika ditanya mengapa Duval diperlakukan begitu. Ia mengatakan bahwa hal itu sekadar peringatan padanya agar selalu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Richardson.

Pekerjaan Duval berikutnya ialah memesan tiket pesawat terbang. Tak satu pun tiket itu dibayarnya. Duval kemudian pergi ke Italia mengumpulkan tiket lagi. Di sanalah Duval mengetahui utang pada perusahaan-perusahaan penerbangan atas namanya telah menumpuk hingga 20.00 pon nilainya. Itu membuat Duval khawatir, jangan-jangan dia tidak dapat keluar dari Italia. Sebagai ‘bos besar’ yang baik, Charles Richardson mengirimkan paspor palsu ke Italia untuk Duval.

Setibanya di London Duval dipukuli lagi oleh orang-orang Richardson. Tetapi lebih dari itu, Duval dijebloskan dalam penjara selama 3 tahun karena berkomplot menipu perusahaan-perusahan Personal Travel Services Ltd. dan Argosy Travel Ltd., tambah 12 bulan lagi karena memberikan keterangan tidak benar dalam usahanya memperoleh paspor baru. Selama itu Duval tidak pernah dikeluarkan dari penjara kecuali beberapa kali untuk menjadi saksi ketika Richardson dan anak buahnya diperiksa di pengadilan.

Korban Richardson lainnya bernama Bernard Bridges yang pernah tinggal di Brighton bersama-sama dengan Duval. Di musim panas tahun 1964 Charles Richardson menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Duval. Bridges disuruhnya mencari Duval. Ketika Bridges menyatakan tidak sanggup, dia kontan dipukul dan ditendang oleh George Cornell yang kelak tertembak dan tewas di rumah penampungan Blind Beggar.

Laurence Bradbury dan Roy Hall membawa masuk sebuah pembangkit listrik yang disebut sebagai 'kotak' di kantor itu. Mula-mula Hall mengikat Bridges dengan kawat, lalu kaki Bridges dan bagian-bagian tubuhnya yang lain dililiti dengan kabel listrik yang dihubungkan dengan 'kotak'. Lalu giliran Bradbury menggerak-gerakkan pengungkit sehingga arus listrik mengalir ke tubuh Bridges. Setelah merasakan kejutan-kejutan listrik, Bridges menyatakan kesediaannya untuk mencari dan menemukan Duval. Kawat dan kabel dilepaskan sendiri oleh Richardson. Bridges menyatakan bahwa Duval mungkin sekali pergi ke Sale, Cheshire, ke rumah bekas istrinya. Bridges diminta segera berangkat mencari Duval dengan bekal uang 15 pound. Bridges pergi meski ia hampir tidak bisa berjalan. Hasilnya tetap nihil.

Menurut desas-desus, Charles Richardson memang ahli menyiksa dan selalu menghadiri 'sidang-sidang peradilan'. Tidak jarang dia mengenakan jubah seperti hakim dan duduk di kursi besar. Sementara itu, di meja hijaunya tersedia sebilah pisau besar atau senapan yang siap untuk ditembakkan. Selain 'kotak' listrik tersebut di atas, Richardson juga menyediakan alat-alat untuk menyiksa lainnya seperti batang besi dan kawat berduri. Tidak jarang pula 'terdakwa' disiksa dengan bara api cerutu atau giginya dicabut begitu saja dengan tang.

Ancaman akan disiksa lagi ditujukan pada korban dan keluarganya. Itu menjamin kerahasiaan penyiksaan-penyiksaan oleh orang luar. Richardson malahan tidak lupa menyewa seorang dokter yang karena satu dan lain hal dilarang berpraktik. Dokter itu mengobati si terhukum, jadi ia tidak perlu ke dokter lain dan rahasia pun terjaga. Kenyataan karena Duval tidak berhasil ditemukan oleh Bridges juga menyebabkan disiksanya Derek Harris.

Harris sebenarnya sama sekali tidak tahu-menahu mengenai Duval. Tetapi dia dipukuli, ditelanjangi, dan disetrum dengan 'kotak' juga. Terakhir, satu kakinya ditusuk di lantai dengan pisau yang biasanya diletakkan di depan Richardson saat ‘persidangan’. Entah apa sebabnya, setelah itu Harris diberi banyak wiski dan uang 1.500 pound.

Seorang lelaki lain, Benyamin Coulston, dihadapkan kepada 'hakim' Richardson di 'ruang sidang' di bulan Januari 1965. Ia dituduh menipu dua orang anggota geng sebanyak 600 pound yang awalnya akan digunakan untuk membayar pesanan rokok. Coulston ditelanjangi, dipukuli mukanya oleh Frankie Fraser, lalu dimasukkan ke dalam bak mandi yang penuh dengan air dingin. Coulston kemudian dibawa ke 'ruang sidang' kembali. Siksaan diteruskan dengan cabut gigi tapi gagal. Akhirnya anggota-anggota geng Richardson yang hadir dalam 'sidang pengadilan' itu beramai-ramai menghunjamkan api rokoknya ke tubuh Coulston.

Coulston masih ingat ketika dia diikat dengan tali terpal dan mendengar anggota-anggota geng menyebut-nyebut Vauxhall Bridge sambil memasukkan Coulston ke van. Van berangkat, tetapi Coulston sudah tak sadarkan diri lagi. Ketika siuman, Coulston mendapati dirinya kembali di 'ruang sidang pengadilan'. Ia dikelilingi oleh anggota-anggota geng yang sebagian menyeringai, sebagian lagi tertawa-tawa. Ternyata berat sekali penderitaan Coulston. Ketika dia pergi berobat ke rumah sakit, dokter menemukan batok kepala yang retak dan luka berat lainnya yang memerlukan 20 jahitan.

Sementara Coulston dirawat di rumah sakit, polisi meminta contoh darah Coulston untuk dicocokkan dengan ceceran-ceceran darah yang terdapat dalam sebuah mobil van. Tetapi ketika mengetahui maksud polisi tersebut, Coulston bangkit dari tempat tidurnya. Ia menyelinap pergi dari rumah sakit, masih dalam piama dan tanpa memberitahukan siapa pun.

Itulah sebagian dari kekejaman-kekejaman yang dapat diungkapkan. Diduga lebih banyak lagi siksaan-siksaan yang tidak dapat diungkap karena menyangkut keluarga dan sanak saudara 'terdakwa' di 'pengadilan’ Richardson. Situasinya memang sulit sekali. Polisi menduga jika Richardson juga menggaji semacam detektif pribadi. Berkali-kali polisi mengurungkan operasinya untuk menjebak Richardson karena terdapat indikasi bahwa Richardson mengetahui tiap rencana yang direncanakan polisi di Scotland Yard.

Pada suatu siang musim panas tahun 1966 kami, McArthur dari Kantor Polisi Welwyn, Detektif Don Adams, dan saya sendiri, mengadakan rapat untuk merencanakan operasi baru. Kami yakin, tiap anggota geng mengira bahwa mereka tidak akan tertangkap.

Untuk mendukung perkiraan mereka itu, McArthur kami tugasi untuk libur panjang ke Austria. Kami meminta agar media massa memberitakan soal kepergian McArthur ke luar negeri itu, termasuk foto-foto liburannya.

Tetapi sebenarnya McArthur hanya beberapa hari saja berada di luar negeri. Akhir bulan Juni 1966 dia sudah tiba kembali ke London. Pukul 3 dini hari 70 orang detektif berkumpul di suatu tempat di London. Mereka mendengarkan pengarahan terakhir dari McArthur yang baru saja tiba dari luar negeri. Pukul 6 mereka disebar untuk mendatangi rumah-rumah anggota geng Richardson.

Sebelum tengah hari mereka berhasil menangkap 10 orang laki-laki dan seorang wanita anggota geng Richardson di rumahnya masing-masing. Mereka adalah Charles Richardson (32 tahun) dari Denmark Hill, istrinya Jean Richardson (29); Albert John Longman (40), direktur perusahaan; tanpa alamat tetap; Roy Hall (25), pemeriksa besi tua, dari Bromley Kent; Robert St. Leger (44), pedagang dari Woodford Green, Essex; James Thomas Fraser (24), penjaga pintu sekaligus pesuruh, dari Camberwell; James Kensitt (51), pedagang dari Croydon, Surrey; Brian Oseman alias Morse (34), penjaga pintu dan pesuruh, dari Peckham; Thomas Clark, pengangguran, dari Fulham; dan Alfred Berman (51), pedagang partai besar, dari Kenton, Middlesex.

Sedangkan yang terakhir adalah Derek Mottram (32), penjual makanan dan minuman, dari Brixton. Ia tidak ditahan karena sakit. Mottram langsung dimasukkan ke rumah sakit di Middlesex. Semuanya ditangkap dan ditahan atas tuduhan mendapatkan uang dengan ancaman, penyerangan, siksaan fisik, dan penggelapan barang-barang dagangan.

Tanggal 4 April 1967, dengan Hakim Lawton di Old Bailey, dimulailah salah satu peradilan yang terpanjang dalam sejarah kriminalitas Inggris. Tertuduhnya meliputi Charles Richardson, Edward Richardson, Jean Richardson, Roy Hall, Alfred Berman, Francis Fraser, James Moody, Thomas Clark, dan Albert Longman. Mereka bersama-sama dikenai 22 tuduhan yang meliputi perampokan, kekerasan, menuntut uang dengan ancaman, melukai, dan menyebabkan cacat fisik, serta penyerangan. Semua itu dilakukan dalam jangka waktu 2,5 tahun sejak September 1963. Semua tertuduh menyangkal dan menyatakan dirinya tidak bersalah.

Edward Richardson dari Chislehurst, Kent, dan Frankie Fraser harus diambil dulu dari penjara, di mana mereka menjalani hukuman untuk kejahatan lainnya. Keduanya dijatuhi hukuman 5 tahun karena turut serta dalam keributan dan perkelahian di Mr. Smith's Club, Catford, pada tanggal 7 Maret 1966.

Jaksa Sebag Shaw selaku wakil Mahkota menuduh bahwa geng Richardson ingin menegakkan kekuasaan mutlak untuk Charles Richardson atas sejumlah perusahaan penyalur barang-barang hasil pabrik, di mana sebagian besar utangnya tidak dibayarkan kepada yang berhak. Perusahaan-perusahaan itu sendiri sebenarnya juga hanya sebagai latar belakang dan motif untuk sejumlah perbuatan kekerasan yang dilakukan dengan kejam dan berdarah dingin. 

Setelah beberapa orang korban mengajukan kesaksian, salah satu tertuduh, Alfred Berman, tampil dengan pembelaan dirinya. Pembelaannya itu melibatkan hampir semua sesama tertuduh. Berman mengatakan bahwa sebagai pengusaha, dia menaruh minat besar pada tawaran Charles Richardson untuk menanam modalnya di bidang pertambangan di Afrika Selatan. 

Usaha Berman bergerak di bidang perhiasan rambut yang beromzet 300.000 pound setahun. Dia memberikan sahamnya sebanyak 50.000 pound, tetapi belakangan diketahuinya bahwa 30.000 pound dari sahamnya itu masuk kantong pribadi Richardson. Ketika hal ini dikemukakan, Richardson menyatakan bahwa yang benar ialah jumlah itu dipinjamkan kepada Richardson pribadi. Saat menunggu diadili di tahanan, Berman melihat bahwa tanda tangannya ada dalam surat pinjaman 30.000 pound pada Richardson pribadi.

Berman menyangkal tuduhan menuntut uang dari James Taggart dengan ancaman dan mencederai Taggart di kantor Richardson. Sebaliknya, Berman mengatakan bahwa dia hampir pingsan ketika memasuki kantor Richardson. Saat itu ia melihat pemandangan dalam kantor. Taggart dalam kondisi telanjang terikat pada sebuah kursi. Kepalanya bengkak, demikian pula telinga dan matanya. Di mana-mana tampak darah berceceran. Kata Berman, Richardson berteriak-teriak mengatakan apa yang sudah diperbuat Taggart. Berman berjalan terhuyung-huyung mau keluar dari ruangan itu, tetapi dicegah oleh Richardson.

“Belum pernah saya menyaksikan kebencian seperti ditunjukkan Richardson kepada Taggart,” kata Berman. “Frank Fraser memukuli Taggart dengan tang, Charles Richardson sendiri menyepak dan menghajar Taggart. Saya tak berdaya dan tak dapat berbuat apa pun.”

Menjelang akhir peradilan, diungkapkan bahwa ibu dari salah satu anggota juri didatangi oleh dua laki-laki. Mereka berkata jika mengetahui bahwa satu anak laki-laki dari ibu tua itu menjadi anggota juri dan satu anak laki-laki lainnya mempunyai perusahaan. Kedua tamu tidak diundang itu berkata bahwa sebaiknya ada suara lain, bila juri membicarakan keputusannya.

Ketika Hakim Lawton diberi tahu tentang hal tersebut, dia mengatakan bahwa dia sudah diminta perhatiannya untuk dua pendekatan pada dua anggota juri seperti dialami ibu tua itu. Menanggapi hal itu, pihak tertuduh dan pembela mengatakan bahwa pendekatan-pendekatan itu dilakukan oleh pihak jaksa untuk menciptakan prasangka terhadap tertuduh. Hakim Lawton menyatakan jika cukup sulit bagi tertuduh untuk bekerja sama dengan orang luar (agar mengancam anggota-anggota juri). Itu karena tertuduh semuanya sudah ada dalam tahanan sejak Juli sebelumnya. 

Hakim Lawton memerlukan 4 hari penuh untuk membuat kesimpulan dari peradilan yang mengadili perkara geng Richardson. Ketika kesimpulan diperoleh pada tanggal 6 Juni 1967, peradilan Richardson sudah mencatat 42 hari sidang. Selama waktu itu Jean Richardson dinyatakan gugur tuduhannya dan dibebaskan dari tahanan. Tim juri juga mendengarkan kesaksian untuk menunjang 22 tuduhan terhadap tertuduh.

Menurut Hakim Lawton, tiap tertuduh tidak menghadapi tuduhan yang sama. Namun perkaranya perlu dipertimbangkan tertuduh demi tertuduh. Hakim juga berpesan agar apa pun yang dikemukakan Laurence Bradbury dalam pengadilan di Afrika Selatan jangan sekali-sekali dipertimbangkan lagi dalam pengadilan di London ini.

Keputusan juri dikemukakan pada tanggal 7 Juni 1967, setelah tim penentu mengadakan rapat selama 9,5 jam. Pada pukul 20.13 hari itu juga, Charles Richardson dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya. Kejahatan-kejahatan itu antara lain merampok Jack Duval dengan kekerasan, menyiksa Derek Harris, Bernard Bridges, Benjamin Coulston, dan James Taggart sehingga mereka menderita fisik, dan menuntut uang dengan ancaman.

Edward Richardson dinyatakan bersalah karena menyerang Duval dan menyebabkan sakitnya Coulston. Roy Hall, Francis Fraser, dan Thomas Clark dinyatakan bersalah pula karena menyiksa dan meminta uang dengan ancaman. Tentang Alfred Berman dan James Moody, tim juri tidak berhasil memperoleh kata sepakat antara mereka. Berman dikembalikan ke tahanan setelah hakim melarang juri untuk membahas soal Berman sekali lagi. Namun juri yang sama diminta untuk berdiskusi kembali dan memeriksa kesaksian mengenai Moody sehubungan dengan tuduhannya menyiksa Coulston.

Setelah diskusi yang kedua selesai, tim juri memutuskan Moody tidak bersalah, tetapi Moody juga kembali ke tahanan untuk menunggu sidang atas tuduhan lain. Ia menyerang polisi sewaktu ditahan di Clerkenwell. Untuk tuduhan itu Moody pada tanggal 23 Juni 1967 dihadapkan ke meja hijau. Dia dinyatakan bersalah, tetapi hukuman kurungan yang dijatuhkan padanya sama jumlah harinya dengan lamanya dia ditahan. Maka pada tanggal 23 Juni itu Moody keluar dari pengadilan sebagai orang bebas.

Dalam vonisnya yang menghukum Charles Richardson dengan 25 tahun penjara, Hakim Lawton berkata, “Mendengar kesaksian-kesaksian dalam perkara ini, saya berkesimpulan bahwa Anda yang selama bertahun-tahun menjadi pemimpin geng yang demikian besar. Untuk memenuhi kepentingan material dan melaksanakan hasrat kriminal, Anda tidak segan untuk meneror siapa saja yang menghalangi. Teror itu dilakukan dengan cara-cara terkutuk, sadis, dan menjijikkan. Itu membuat saya malu!

“Keputusan pengadilan harus keras dengan alasan-alasan berikut: pengadilan harus menunjukkan penolakannya atas jalan pikiran Anda. Anda harus disingkirkan agar jangan terjadi kejahatan lebih jauh. Dan harus jelas pula bagi mereka yang berniat menjadi pemimpin geng, bahwa mereka akan dihancurkan oleh hukum seperti Anda sekarang ini.”

Charles Richardson juga dihukum membayar 2/3 dari biaya peradilan, sebanyak 20.000 pon. Edward Richardson dijatuhi hukuman 10 tahun penjara yang harus dimulai setelah hukuman dalam perkara Mr. Smith's Club selesai. Roy Hall juga 10 tahun penjara, dengan catatan dari hakim, bahwa Roy Hall sebenarnya lebih merupakan tokoh yang konyol. Pasalnya, dia sudah sejak masa kanak-kanak dikuasai oleh Charles Richardson. Thomas Clark yang juga dianggap oleh hakim sebagai korban Charles Richardson mendapat 8 tahun.

Vonis untuk Francis Fraser ditangguhkan, sambil menanti penyidangan perkara-perkara lain, di mana dia juga terlibat, di Central Criminal Court. Pada hari 21 Juni, Alfred Berman muncul kembali di Old Bailey. Ia dituduh menuntut uang dari Taggart dengan kekerasan dan menyerang Michael O'Connor di bulan September 1964. O'Connor diserang karena dianggap terlalu intim dengan Nyonya Berman yang sejak lama telah meninggalkan suaminya. Berman keluar dari pengadilan sebagai orang bebas karena dia sudah ditahan lebih dari 10 bulan. Namun, karena kesalahannya tidak membayar pajak dan cukai sebanyak 382 pound, Berman dihukum denda 500 pound dan harus membayar ongkos penjara. 

Tuduhan-tuduhan lain yang juga dikenakan pada Charles Richardson, Jean Richardson, Albert Longman, Roy Hall, Brian Oseman, dan James Kensitt tidak disidangkan. Jaksa Agung menganggap banyak dari peristiwanya sudah disidangkan, sehingga penyidangan lebih Ianjut akan merugikan masyarakat luas. Sidang yang mengenai penyiksaan oleh geng Richardson sendiri sudah memakan biaya lebih dari 150.000 pound. Pengadilan banding yang bersidang pada tanggal 26 Maret 1968 memperkuat keputusan hukuman atas Charles dan Edward Richardson, Roy Hall, Francis Fracer, dan Thomas Clark.

Pada 16 Juni 1967, Francis Fraser, James Thomas Fraser, dan Albert Jong Longman, muncul kembali di Old Bailey dengan tuduhan meminta uang dengan kekerasan dari Glinski (Desember 1961) dan menyerang korban pada kesempatan lain. Tom Fraser dan Longman bisa segera bebas dari tuduhannya itu karena hukumannya disamakan dengan jumlah hari keduanya ditahan untuk tuduhan itu. Francis Fraser yang dihukum 10 tahun penjara dalam pengadilan geng Richardson hanya dihukum membayar ongkos perkara Glinski itu sebanyak 2.000 pound. Robert St. Leger yang juga dituduh menyerang Glinski dan menuntut uang dari Glinski tidak dapat dibuktikan kesalahannya. Tetapi Leger tetap ditahan karena berkomplot untuk menipu Nyonya Eleanor Robertson sehubungan dengan harta milik nyonya tersebut di Pulau Canary. 

Meskipun tokoh-tokoh penting dari geng Richardson sudah berada di dalam penjara, namun pihak polisi masih juga sibuk untuk membayangi sejumlah orang yang oleh geng Richardson diwajibkan membayar semacam upeti, seperti orang-orang yang menyelenggarakan tempat parkir, dan lain-lain.

(John du Rose)

Baca Juga: Cemburu Buta Mantan Menteri

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806927/charles-richardson-coy" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310423000) } } [1]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3800294" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/08-si-tua-charles-lebih-suka-bic-20230711015450.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Charles Walton kerap berbicara dengan burung dan binatang lainnya alih-alih dengan orang lain. Hingga warga desa menganggapnya sebagai tukang tenung." ["section"]=> object(stdClass)#68 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/08-si-tua-charles-lebih-suka-bic-20230711015450.jpg" ["title"]=> string(46) "Si Tua Charles Lebih Suka Bicara dengan Burung" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-11 13:55:00" ["content"]=> string(24055) "

Intisari Plus - Charles Walton adalah penduduk Desa Lower Quinton yang ditakuti oleh warga. Ia kerap berbicara dengan burung dan binatang lainnya alih-alih dengan orang lain. Charles sering melihat hantu berwujud anjing hitam, sehingga warga desa menganggapnya sebagai tukang tenung.

----------

Musim panas tahun itu datang lebih awal dari biasanya. Desa kecil Lower Quinton mulai cerah di awal bulan Februari. Sisa-sisa salju dan kilauan es sudah menghilang. Matahari akan mulai memancarkan sinar dengan leluasa.

Tahun 1945 nampaknya akan merupakan tahun yang paling menggembirakan bagi para petani di Lower Quinton. Petani menyambut kedatangan musim panas dengan harapan yang besar. Charles Walton, petani bujangan tua, 74 tahun, juga gembira. Saat untuk mencari penghasilan sudah datang. Sebagai bujangan yang kelewat tua, Charles Walton menghabiskan hampir seluruh waktunya mendekam di desa. Ia bekerja sebagai pemotong rumput dan pagar tanaman.

Orang di desanya mengenal Charles Walton dengan sebutan Si Tua Charles. Untuk sekali membersihkan rumput halaman dan memotong pagar tanaman, Charles memperoleh upah 1 shilling 6 pence. Sebagai orang tua, dia sudah merasa gembira sekali kalau ada orang yang masih mau menggunakan tenaganya. Hari-hari tua bukan hari yang menyenangkan bagi si Tua Charles. Hampir setiap malam kekuatan tubuhnya digerogoti penyakit reumatik dan artritis. Maka tidak mengherankan kalau dia tidak pernah pergi jauh-jauh dari Lower Quinton.

Setiap desa di Inggris memiliki keunikan tersendiri. Namun Desa Lower Quinton termasuk desa yang sedikit tidak beruntung dan selalu diselimuti misteri. Walau penduduknya tidak lebih dari 500 orang, penduduknya selalu mengalami kejadian aneh.

Sebagai salah satu penduduk desa, Si Tua Charles memang bisa dibilang agak aneh. Dia lebih senang bersahabat dengan burung dan binatang lainnya, daripada bersahabat dengan tetangga atau penduduk desanya. Dia tidak mempunyai sahabat dekat atau tetangga yang akrab. Di sore hari dia sering kelihatan asyik berbicara sendiri di bawah pohon. Ternyata dia sedang berbicara dengan burung.

Penduduk Desa Lower Quinton menganggap Charles sebagai orang aneh. Orang yang bisa mengerti dan menggunakan bahasa binatang, terutama burung. Dengan kelinci, Charles juga akrab. Seakan-akan kelinci-kelinci yang selalu ditemuinya di pinggiran desa itu adalah para cucunya. Begitu akrab, begitu intim. Hampir tidak pernah Charles mengobrol dengan orang lain, kecuali dengan orang yang akan minta bantuannya untuk membersihkan halaman atau mengatur pagar tanaman.

Satu-satunya pekerjaan tambahan baginya, sehabis bekerja membersihkan rumput halaman atau memangkas pagar tanaman, hanyalah pergi ke kedai minum untuk membeli beberapa botol minuman. Itu pun ada alasannya mengapa Charles mau agak lama berbicara dengan pemilik kedai minuman. Pemilik kedai adalah kemenakan perempuannya sendiri, Edith.

Secara teratur, setiap 2 hari sekali, Charles pasti singgah di kedai. Ia kemudian pulang ke pondoknya dengan menjinjing beberapa botol minuman. Orang-orang di Desa Lower Quinton dibuatnya tercengang. Bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk membeli beberapa botol minuman yang tidak murah dan itu dilakukannya 2 hari sekali? Penduduk desa bingung sendiri menerka asal uang Si Tua Charles. Sebagai pemotong rumput, dari mana si tua itu mendapatkan uang untuk membeli beberapa botol minuman setiap 2 hari sekali?

Bagi Charles, kebingungan para tetangganya tidak diambil pusing. Penduduk desa hanya akan selalu tercengang bila melihat si Tua Charles keluar dari kedai dengan menjinjing beberapa botol minuman, berjalan sambil memilin kumisnya yang melintang itu. Wajah Charles hitam legam, tertempa usia dan cuaca. Keriput di wajahnya berderet-deret memanjang. 

Dari mana Charles memperoleh uang untuk membeli minuman? Beberapa orang mengira dari memeras orang. Ada dugaan bahwa Charles sering melakukan praktik sebagai tukang tenung. Yah, dengan aktivitas yang terakhir itu mungkin Charles mendapatkan uang pembeli minuman.

Karena keanehan, tampang seram, dan dugaan-dugaan aneh tentangnya, maka penduduk Desa Lower Quinton takut kepadanya. Ada satu hal lagi yang menyebabkan orang-orang takut kepada Charles. Kabarnya Charles adalah satu-satunya orang yang pernah melihat hantu yang berwujud seekor anjing hitam. Anjing hitam itu hanya ada di saat tertentu dan berkeliaran di Desa Lower Quinton. Hantu yang berwujud anjing hitam tersebut muncul bila di desa itu akan ada orang mati karena kekejaman. Pokoknya mati secara tidak wajar. Bila anjing itu muncul, berarti tidak lama lagi pasti akan terjadi kematian yang mengerikan.

Charles melihat hantu anjing itu pertama kali sewaktu ia berusia 15 tahun. Di senja hari ia melihat binatang misterius itu. Dan apa yang terjadi? Jam 8 malam ia kembali ke rumahnya. Suasana di rumahnya agak ramai. Banyak orang berdatangan. Ternyata di tengah rumahnya tergeletak sebujur mayat. Mayat adik perempuannya yang penyebab kematiannya tidak jelas. Gigi mencuat dan biji mata hampir keluar. Pemandangan yang menyedihkan bagi Charles.

Tidak hanya sekali itu saja Charles “dianugerahi” kemampuan melihat hantu anjing hitam. Masih ada lagi kejadian serupa. Bahkan sampai sembilan kali. Berarti sembilan kali pula terjadi kematian yang misterius di Desa Lower Quinton!

Maka tidak mengherankan kalau penduduk agak takut dengan si Tua Charles. Terjalin sudah ikatan misterius antara anjing hitam, Charles, dan maut. Tetapi bagi Charles sendiri, dia tidak begitu peduli dengan anggapan penduduk. Dia tidak pernah banyak bicara dengan orang lain, terutama mengobrol tentang dirinya sendiri. Kehidupan dan sikapnya merupakan rahasia bagi orang lain. Sekali waktu dia menceritakan rahasianya. Kepada siapa? Kepada burung-burung di ranting dahan! Sahabatnya paling tepercaya.

Hari itu tanggal 14 Februari 1945. Hari Valentine. Hari yang menggembirakan Charles. Alfred Potter, seorang petani yang bisa dibilang kaya, mengundang Charles untuk membersihkan kebunnya di Meon Hill. Dengan senang hati Charles menyanggupi kerja di kebun Alfred Potter. Dan sekali itu Charles harus berjalan agak jauh meninggalkan desanya.

Cuaca sudah benar-benar mulai terasa panas. Dan beruntunglah Charles, sebab penyakit reumatik yang lama mengidap di tubuhnya tidak banyak mengganggu lagi. Tetapi untuk berjalan sejauh itu, Charles melengkapi dirinya dengan sebuah tongkat jalan. Persiapan untuk mendaki.

Jam 9 lebih beberapa menit, dia meninggalkan pondoknya dengan membawa sabit, alat pemotong rumput, gunting dahan, pengait dahan, dan garpu rumput.

Kepada Edith, pemilik kedai minuman, Charles berkata akan kembali sekitar jam 4. Dan jam 6, Charles akan singgah di kedai beli minum.

Beberapa penduduk desa melihat Charles tertatih-tatih melewati jalan sempit di belakang gereja lalu melintasi padang ilalang. Ia kemudian mulai berjalan menanjak ke Meon Hill. Hari itu tidak terjadi hal-hal yang istimewa.

Di siang hari, Alfred Potter dan beberapa penduduk masih melihat Charles sibuk membabati rumput di tengah kebun. Lengan baju dan celananya digulung tinggi. Siang itu adalah siang terakhir bagi Charles.

Satu-satunya orang yang mengkhawatirkan diri Charles hanyalah Edith. Jam 4 sore Charles belum kembali. Jam 6 juga belum muncul di kedai. Di pondok Charles, segelas teh yang tersedia baginya juga masih utuh belum tersentuh. Biasanya sekitar jam 4, Charles biasa duduk sambil minum teh di depan pondoknya.

Rasa khawatir dan takut mencekam Edith. Apa yang terjadi atas diri pamannya? Penduduk desa biasa tidak begitu akrab, namun mereka memiliki rasa simpati meski takut kepada Charles. Mereka pun khawatir juga tentang nasib Charles. Maka malam itu dengan ditemani beberapa tetangga, Edith menuju ke rumah Alfred Potter. Ternyata Charles tidak ada di sana. Khawatir mungkin Charles mendapat kecelakaan di kebun, maka akhirnya Alfred, Edith, dan beberapa orang bersepakat untuk menerjang padang rumput di Meon Hill.

Alfred Potter dan seorang lelaki tetangga Edith berjalan di depan. Edith berada tepat di belakangnya. Dengan menggunakan obor, mereka ramai-ramai menerjang kebun di mana tadi siang Charles bekerja. Udara malam yang dingin menusuk tubuh. Angin bertiup dengan kencang. Semuanya hanya kelihatan hitam. Langit hitam pekat.

Tanah semakin menanjak dan rumput semakin menebal. Di sana sini berserakan dahan dan ranting yang masih hijau. Gundukan rumput bertebaran di sana sini. Pohon yang kian lebat pun berderak-derak karena angin malam yang kencang mengganas.

Segunduk dahan menyangkut kaki Edith. Hampir saja ia terjerembap dan terbentur pohon. Untung Potter menyambarnya dan sekaligus mendorongnya ke belakang.

“Stop! Tetap di tempatmu saja. Ah... seharusnya kau tidak ikut. Seharusnya kau tak perlu melihatnya!” teriak Alfred Potter dengan lantang. Suaranya bergema.

Sudah telanjur. Edith sempat melihat sesuatu yang melingkar di bawah pohon. Seketika kedua tangannya menutup wajah. Dia tidak tahan untuk memandangnya.

Alfred Potter dan beberapa lelaki yang membuntutinya tertegun. Di depannya terbujur sesosok tubuh. Mayat si Tua Charles. Luka besar yang masih memerah menganga di batang tenggorokan. Sebuah luka lagi ada di belakang leher. Sayatan memanjang di pipi, tampak seperti bekas goresan sabit.

Sungguh mengerikan nasib Charles. Tangan kirinya hampir putus, mungkin ia melakukan perlawanan sewaktu diserang dengan sebuah sabit.

Malam semakin mencekam. Sayup-sayup terdengar suara burung hantu di kejauhan. Sewaktu polisi datang, semakin jelaslah kondisi Charles karena lampu sorot polisi. Satu mata garpu rumput menancap pada leher Charles dan kemudian menghunjam ke tanah.

Keadaan korban dan keadaan sekeliling tidak membantu polisi untuk segera mengetahui siapakah pelaku pembunuhan itu. Tidak ada pilihan lain bagi pihak polisi Lower Quinton kecuali minta bantuan dari pihak Scotland Yard. Sehari setelah ditemukan mayat Charles, detektif tersohor di masa itu, Robert Fabian, tiba di Lower Quinton. Ini adalah tugas yang biasa baginya. Tetapi pembunuhan di kebun Meon Hill itu membuat dia benar-benar harus memutar otak.

Suatu kejadian di desa yang diselimuti oleh misteri selama bertahun-tahun, cerita tentang hantu anjing hitam, keyakinan penduduk akan peranan Charles sebagai tukang tenung, sungguh merupakan tantangan bagi Fabian. Perkara pembunuhan yang kali ini harus dihadapi bukanlah pembunuhan biasa. Ada berbagai perkara di balik pembunuhan itu sendiri. Mengapa si Tua Charles dibunuh? Bukankah penduduk Desa Lower Quinton segan dan takut kepadanya? Bukankah Charles terkenal sebagai orang yang aneh, tukang tenung? Apa hubungannya dengan cerita anjing hitam yang selalu muncul bila ada orang akan menemui ajal?

Tidak seorang pun penduduk Desa Lower Quinton yang bersedia diwawancarai. Malahan pertanyaan Fabian tidak dijawabnya. Semua mulut tertutup rapat. Semua orang berusaha menghindar dari pertanyaan-pertanyaan tentang diri Charles atau tentang misteri anjing hitam.

Satu kesimpulan yang ditarik Fabian. Pembunuh benar-benar tahu situasi daerah di mana calon korbannya tinggal. Pembunuh memanfaatkan ketakutan dan kekhawatiran yang telah bertahun-tahun menyekap penduduk Lower Quinton. Bukan tugas yang mudah bagi Fabian.

Dalam laporan yang ditulis kepada atasannya, Fabian menceritakan apa yang dilihatnya, apa yang dialaminya. Begini bunyi laporannya,

Sewaktu aku bersama dengan Albert Webb berjalan di desa, terasa suasananya sungguh aneh. Dingin yang mengerikan. Semua pintu dan jendela rumah segera ditutup bila kami lewat. Tidak mungkin rasanya aku mendapatkan seseorang yang mau memberi keterangan tentang korban. Atau orang yang bersedia menjadi saksi pada perkara pembunuhan yang penuh misteri ini.

Karena terbentur mulut-mulut yang selalu terkunci, perhatian Fabian beralih ke kamp tahanan perang di Long Marston yang berjarak 3,2 km dari batas Desa Lower Quinton. Di situ ditahan ratusan serdadu Jerman dan Italia. Dengan tekun Fabian mencari keterangan tentang aktivitas para tahanan pada tanggal 14 Februari.

Si Tua Charles dibunuh antara siang sampai jam 4 sore. Jam 4 sore seharusnya dia pulang. Tetapi usaha Fabian untuk mengorek keterangan dari kamp Long Marston tidak ada hasilnya. Malahan penghuni kamp tidak tahu-menahu tentang Charles atau cerita tentang hantu anjing hitam.

Perburuan Fabian dialihkan lagi. Sekarang ia mau mencari “keterangan” dengan melihat lokasi di sekitar di mana korban ditemukan. Untuk mengurangi jejak, sengaja Fabian pergi ke Meon Hill sendirian.

Sampai hari itu, hari ketiga setelah ditemukan mayat Charles, Fabian belum mendapatkan sedikit fakta yang bisa menjelaskan tentang motif pembunuhan dan siapa pelaku pembunuhan tersebut. Tidak ada incaran lain bagi Fabian kecuali mendatangi tempat ditemukannya Charles. Tempat itu mungkin juga menjadi tempat di mana pembunuhan dilakukan.

Sore itu cuaca tidak cerah. Tanpa orang lain, Fabian kembali ke Meon Hill. Suasana kebun setengah bukit itu sunyi senyap. Angin bertiup kencang seperti hari-hari yang lalu. Seakan-akan terbius tenung. Ranting dahan dan gundukan rumput yang dipangkas Charles sudah layu berwarna kuning kehijau-hijauan.

Fabian terus berjalan. Suasana benar-benar sunyi. Hari hampir gelap sewaktu Fabian sampai di bawah pohon di mana mayat Charles ditemukan. Beberapa saat ia tertegun di situ. Bayangan jasad Charles kembali mengawang di benaknya. Wajahnya tebersit di benak Fabian. 

Saat membayangkan wajah Charles, telinga masih menangkap suara halus dan desisan angin yang menusuk tulang. Angin mati! Angin mati tiba-tiba dan terasa sentuhan angin semakin menusuk. Sekilas mata Fabian menangkap sesuatu yang bergerak. Dia hampir melangkah mundur sewaktu ada seekor anjing hitam besar lewat dengan tenang di hadapannya. Hanya sekejap dan anjing hitam itu segera lenyap menyuruk ke semak-semak.

Fabian tidak merasakan apa-apa. Ia tidak begitu banyak mendengar tentang misteri anjing hitam. Dan sedikit banyak Fabian lebih tertarik mencari jejak pembunuh alih-alih memecahkan misteri anjing hitam.

Di pinggiran desa, Fabian berjumpa dengan seorang pemuda pencari rumput. Karena iseng, ia pun menanyai perihal anjing hitam yang dilihatnya di Meon Hill. Tetapi baru saja mendengar kata anjing hitam, pemuda itu langsung pucat pasi. Ia segera lari meninggalkan Fabian tanpa berbicara sepatah kata pun.

Yah, begitu mencekam misteri anjing hitam itu. Baru mendengar nama saja sudah ketakutan.

Misteri tetap misteri. Siapa pembunuh dan apa motifnya, belum ada tanda-tanda yang diperoleh Fabian. Malahan penduduk desa semakin santer menggunjingkan tentang misteri anjing hitam. Ketakutan semakin mencekam. Penduduk pun membahas soal kemunculan anjing hitam beberapa hari setelah kematian Charles. Itu artinya akan datang maut! Giliran siapa sekarang? Ini yang membuat semua penduduk semakin ngeri.

Orang-orang di sekitar Meon Hill tercekam, tersiar desas-desus bahwa anjing hitam tersebut berkeliaran lagi di sekitar Meon Hill. Giliran siapa sekarang yang harus menyambut maut?

Dari puluhan penduduk yang tinggal di sekitar Meon Hill, Alfred Potter yang mungkin menjadi korban berikutnya. Mungkinkah sekarang dia harus menyambut datangnya maut? Untung! Dia sendiri belum pernah bersua atau melihat anjing hitam keparat itu. Tetapi sedikit banyak, dia khawatir pula.

Yah, tetapi memang belum giliran Alfred Potter. 2 minggu setelah kematian Charles, seorang pencari rumput menemukan bangkai anjing hitam besar terkulai di semak-semak tidak jauh dari pohon di mana mayat Charles ditemukan. Hantu anjing telah mati! Bangkai anjing hitam itu terkulai dengan leher terjerat seutas tali. Benarkah itu pertanda tamatnya sebuah misteri?

Bangkai anjing hitam terkapar di semak-semak tidak jauh dari tempat ditemukan mayat Charles. Leher anjing terjerat tali. Ukuran anjing tersebut melebihi anjing biasa. Tamatkah misteri hantu anjing hitam? Siapa pembunuh hantu tersebut? Apa hubungannya dengan kematian Charles yang mengerikan itu?

Bagi Fabian, semuanya itu merupakan tumpukan persoalan yang menantang dirinya sebagai seorang detektif

Fabian ingin memulai perburuannya dengan bertolak dari perpustakaan. Buku-buku tentang pembunuhan dan tenung pun dibacanya.

Akhirnya ia mendapatkan sesuatu dari buku Warwickshire karya Clive Holland. Dalam buku tersebut dikisahkan tentang seorang pembunuh bernama John Haywood. Tahun 1875 John Haywood membunuh seorang wanita tukang tenung yang berusia 80 tahun, bernama Ann Turner alias Tennant.

Cara pembunuhan John Haywood atas diri Ann Turner mirip dengan cara pembunuhan atas diri Charles. Nasib Ann Turner sama dengan nasib Charles, mati dengan Iuka yang menyayat dan menganga di bagian muka. Pembunuhan dengan sebilah sabit dan garpu rumput.

Dalam buku karya Clive Holland tersebut juga disertakan pengakuan John Haywood. Dia seorang tukang tenung. “Semula dia saya dorong dan terjerembap ke tanah. Baru saya menggorok tenggorokannya. Tanpa disadari saya membuat luka lagi di bagian belakang leher dan luka panjang di pipi.”

Apa hubungannya dengan pembunuhan atas diri Charles? Yang jelas, Charles dibunuh dengan cara yang sama. Charles juga dipandang sebagai tukang tenung oleh penduduk desa. Suatu tantangan berat bagi Fabian. Di balik kematian Charles, tersembunyi berbagai misteri yang sulit untuk dipecahkan dengan mata dan akal sehat.

Dengan akal dan ilmu pengetahuan modern, Fabian berusaha terus untuk sedikit demi sedikit membuka tabir misteri. Dengan bantuan dari RAF, Fabian berusaha mendapatkan gambar dari daerah sekitar Meon Hill. Siapa tahu, mungkin dari gambar yang diambil dari udara bisa diperoleh sedikit data yang aneh, yang mungkin tidak akan terlihat dari daratan biasa.

Tidak tanggung-tanggung usaha Fabian. Dia juga mengumpulkan lebih dari 4.000 keterangan dan kesaksian dari para pengembara, gipsi, tukang asah sabit yang berkeliling, dan siapa saja yang pada waktu terjadi pembunuhan berada di sekitar Meon Hill.

Tetapi tidak ada sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa memberikan titik terang atas kematian Charles. Sekian lama Fabian bergelut dengan misteri Meon Hill dan tanpa hasil sama sekali. Akhirnya Fabian kembali ke London. Belum ada titik terang perihal kematian si Tua Charles.

Masalah pembunuhan Charles masih belum tersingkap. Pihak Scotland Yard telah meninggalkan Lower Quinton. Suasana ngeri mencekam pun kembali menyelimuti Lower Quinton. Penduduk mulai ribut termakan pembicaraan tentang tenung dan hantu yang berwujud sebiji mata. Kesunyian yang mencekam kembali menyekap penduduk.

Siapa pembunuh si Tua Charles? Tetap tidak diketahui. Bukan merupakan pekerjaan mudah memecahkan misteri Meon Hill. Sampai bertahun-tahun, pembunuhan tersebut merupakan misteri yang kelam. Robert Fabian menyerah!

Misteri pembunuhan di Meon Hill pun seakan membeku. Tetapi tidak berarti masalah itu dilupakan oleh dinas kepolisian. Ada seorang yang masih terus merasa ditantang oleh misteri tersebut. Alec Spooner, seorang polisi yang khusus mendokumentasikan peristiwa-peristiwa pembunuhan. Sejak semula Alec Spooner merasa tertarik. Dialah yang semula banyak membantu usaha Robert Fabian memecahkan misteri Meon Hill. Fabian menyerah, tetapi Alec Spooner tetap berusaha.

Alec Spooner, yang sudah lama bergelimang dengan kasus pembunuhan, mempunyai metode tersendiri untuk memecahkan misteri Meon Hill. Cara itu digunakan untuk menjebak pembunuh Charles. Dengan tekun, setiap tanggal terbunuhnya Charles, Alec Spooner datang ke Lower Quinton dan mendaki ke Meon Hill. Berjam-jam ia mengawasi daerah sekitar di mana mayat Charles ditemukan.

Selama 19 tahun, Alec Spooner selalu mendatangi Meon Hill setiap tanggal 14 Februari. Ia mempunyai teori untuk menjebak pembunuh. Menurutnya, seorang pembunuh yang masih jadi buronan, biasanya akan mengenang perbuatannya. Biasanya itu dilakukan pada tanggal kejadian, entah kapan pun.

Yah, berdasarkan teori tersebut, Alec Spooner bertekun menunggu selama 19 tahun di Meon Hill. Ia menunggu seseorang lelaki yang kuat, mungkin juga wanita yang perkasa. Tetapi misteri tetap misteri. Orang yang ditunggu-tunggunya tidak pernah muncul. Tidak ada seorang pun yang dijumpainya setiap tanggal 14 Februari, sejak tahun 1946 sampai 1965. Hingga akhirnya ia pun pensiun.

Orang yang dinantikannya tidak pernah kunjung tiba. Alec Spooner tidak bisa membuktikan teorinya. Yah, mungkin orang yang dinanti-nantikannya pernah datang pula ke Meon Hill. Tetapi kedatangannya tidak ingin diketahui orang lain. Seperti halnya pada tanggal 14 Februari 1945, di mana ia menghantam wajah Charles dengan sebuah sabit dan dengan garpu rumput. Misteri Lower Quinton tidak pernah terpecahkan.

(The Village of fear)

Baca Juga: Petualangan Sang Belalang

 

" ["url"]=> string(91) "https://plus.intisari.grid.id/read/553800294/si-tua-charles-lebih-suka-bicara-dengan-burung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083700000) } } [2]=> object(stdClass)#69 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635988" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#70 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/pengakuan-di-selembar-kertas_dan-20230105065843.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#71 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(107) "Sebuah keluarga yang hidup berbahagia harus menjadi korban pembunuhan lantaran kesalahpahaman di masa lalu." ["section"]=> object(stdClass)#72 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/pengakuan-di-selembar-kertas_dan-20230105065843.jpg" ["title"]=> string(28) "Pengakuan di Selembar Kertas" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 18:59:03" ["content"]=> string(32463) "

Intisari Plus - Sebuah keluarga yang hidup berbahagia harus menjadi korban pembunuhan lantaran kesalahpahaman di masa lalu.

--------------------

Pasangan Charles dan Annie Goldmark beserta dua anaknya mencerminkan sebuah keluarga bahagia. Charles (41) adalah pria cerdas, bijaksana, dan sukses sebagai pengacara. Sementara Annie (43), istrinya yang asal Prancis, cantik dan menarik. Kesuksesan mereka bukan hanya dalam ukuran materi, tapi juga kehidupan rumah tangga. Kedua anaknya menyenangkan dan cerdas. Derek (12) amat berbakat dalam permainan bridge, sedangkan Colin (10) aktif di paduan suara sekolah. Charles sudah lama berkarier di Partai Demokrat. Sebagai penasihat hukum di Washington, D.C., ia pernah memainkan peranan penting saat kampanye calon presiden Gary Hart.

Kesuksesan Charles agaknya tak jauh dari apa yang sudah dirintis orang tuanya. Ayahnya, John Goldmark, dikenal sebagai politikus ulung. Reputasinya membuat John Goldmark sering jadi sasaran kritik lawan politiknya lewat publisitas murahan. 

Tahun 1956, setelah mengabdi Partai Demokrat puluhan tahun dengan pos terakhir di kawasan peternakan Colville Indian Reservation, negara bagian Washington, John Goldmark terpilih untuk dijagokan sebagai senator. Tapi digagalkan pada pertengahan tahun ‘60-an sesudah kampanye yang kotor dan penuh intrik. Seseorang dari partai oposisi menebar isu bahwa Sally Ringe, istri Goldmark tidak bersih “lingkungan”. Sally dituduh terlibat kegiatan komunis.

Masa itu komunis sangat ditakuti. Semua orang yang berbau komunis selalu dipojokkan, ruang geraknya dibatasi, kariernya dihancurkan dengan cara yang amat tidak adil.

Sally, ibu Charles yang energik, sensitif, dan jenius sejak kecil memang suka membantu orang dan selalu memihak kaum lemah. Ia pernah bekerja di National Youth Administration di Washington tahun 1930-an. Masa itu era pemerintahan Franklin D. Roosevelt mencanangkan program kesejahteraan. Saat itu ia membuat jaringan dengan beberapa lembaga sosial masyarakat untuk membantu memulihkan perekonomian.

Memang, Sally Ringe pernah tercatat sebagai anggota partai komunis, tapi hanya ikut-ikutan. Itu pun sudah lama ketika bersama teman-teman sebayanya ia membantu masyarakat. Namun lantaran kecewa atas kinerja kelompok ia lantas keluar. Rupanya namanya yang sempat tercatat di daftar kelompok terlarang itu, dipakai sebagai kartu truf para lawan politik untuk menjatuhkan suaminya. Isu tersebut akhirnya bukan hanya mencoreng muka Goldmark sebagai kandidat senator, tetapi sekaligus meruntuhkan nama baik keluarga.

Goldmark akhirnya menuntut fitnah itu. Meski kemudian di pengadilan mereka menang, karier politik John Goldmark telanjur kandas. Akhirnya tahun 1965 mereka pindah dari Colville ke Seattle, tempat John Goldmark berpraktik sebagai pengacara. 

John Goldmark meninggal tahun 1979. Sally masih hidup sampai enam tahun kemudian. Entah, apanya yang salah kalau ternyata kebencian pada John dan Sally itu “terwariskan” pada anaknya berpuluh-puluh tahun kemudian.

 

Natal kelabu

Belum genap setahun sepeninggal Sally, sebuah tragedi dahsyat menimpa keluarga Charles Goldmark pada malam tanggal 24 Desember 1985. Warga Seattle dan segenap kenalan Charles amat terguncang.

Kasus itu dicatat dengan no. 85-551331 di kepolisian Seattle dan no. H85-365 di bagian unit pembunuhan. Sersan Sanford menugaskan Hank Gruber ke tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengusut tindak kriminal tersebut.

Rumah Charles Goldmark berada di distrik Madrona no. 36, Seattle. Suatu kawasan elite dengan pemandangan indah danau Washington terbentang di depan perumahan. Ketika tiba, Gruber melihat sudah ada unit patroli polisi. Kerlip cahaya lampu pohon Natal terlihat dari jendela depan.

Dane Bean, petugas patroli pertama yang sampai di lokasi, mengaku menerima laporan dari tetangga Charles. Di dalam, mereka menemukan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Keluarga ini dibantai oleh penjahat barbar. Para korban bergeletakan berlumuran darah, bahkan seorang meninggal dunia.

Namun ada banyak hal yang terlihat janggal, tidak seperti ajang pembunuhan. Ruang makan dan dapur, begitu juga lantai atas, semua terlihat rapi. Sersan Rudy Sutlovich yang datang belakangan segera mengikutinya.

Kamar utama yang berukuran cukup besar sedikit berantakan. Ada lipatan-lipatan kertas, pita, lem, kotak, dan bahan-bahan lain yang belum sempat dibenahi. Permadani mahal itu ternoda percikan darah, sebagian sudah mulai kering. Tampak seorang anak tergeletak. Disampingnya, Anie Goldmark terbaring, tangannya diborgol di belakang. Tali melilit sampai di bagian punggung. Tak ada tanda-tanda perkosaan. Terdapat luka cukup dalam di bagian dada. Bekas pukulan mematikan tampak di bagian kepala. Sebuah gelang emas masih melingkar di tangan Annie dan cincin berlian di jarinya.

Pembunuh rupanya memakai senjata seadanya. Setrika uap dengan pegangan plastik rusak berat, helaian rambut dan darah mengering di bagian logam. Sebuah pisau kecil panjang tergeletak di dekatnya. 14 paramedis dan anggota pemadam kebakaran bergegas menuju ke rumah Charles. Paramedis setengah putus asa menyelamatkan para korban. Mereka berpacu dengan waktu untuk menghentikan perdarahan dari luka yang mengerikan.

Rudy Sutlovich terpana menyaksikan anak-anak Charles yang terbaring dengan cairan otak keluar dari kepalanya. Kemungkinan besar mereka mengalami kerusakan otak berat. Ketika para detektif ke kamar mandi, bak masih basah, lantainya lebih basah lagi. Baju pesta wanita berada di dipan. Kemungkinan Annie baru saja menggunakan shower dan bersiap mengenakan baju pesta ketika pembunuh masuk dan melukainya.

Menjelang pukul 10.45 Sutlovich, Gruber, dan Sanford bergabung dalam penyelidikan itu bersama detektif Sonny, Davis, Duane Homan, dan Jim Yoshida. Regu penyelidik ini terus mengumpulkan bukti, baik di tempat kejadian atau di rumah sakit sampai pukul 07.00 di hari Natal. Cuma mereka belum bisa mengorek keterangan dari para korban yang masih dalam kondisi kritis.

Para detektif percaya penyerang masuk dengan leluasa. Ketika mengamati situasi rumah polisi menemukan jalan yang mungkin dipakai keluar pembunuh. Pintu belakang di lantai bawah terbuka. Kuncinya hilang. Mungkin penyerangan dilakukan beberapa saat sebelum para tetangga datang.

Dr. Michael Copass, kepala bagian medis melaporkan, Charles tidak hanya dipukul secara berulang-ulang di bagian kepala, tetapi juga dilukai dengan pisau dan mengenai otak. Sementara anaknya pun ditikam di bagian kepala. Mereka semua dalam kondisi sangat kritis.

Dari TKP Charles Sutlovich dan Gruber mengambil apa saja yang ada di kamar yang kemungkinan bisa membantu penyelidikan. Salah satunya sapu tangan yang berlumuran darah.

Motif penyerangan masih samar. Tak ada tanda perampokan. Komputer, televisi, senjata antik, lukisan, berlian, dan peralatan elektronik tak disentuh. Satu-satunya yang diambil adalah dompet Charles. Barang itu berada di lantai kamar tidur dengan isi yang sudah berserakan. Siapapun akan terpukul oleh penyerangan yang membabi buta itu. Apalagi korban adalah orang yang terpandang.

 

Pengakuan para tetangga

Kepala polisi Patrick Fitzsimmons pun berada di ruang tamu RS Harborview tempat para korban dirawat. Di situ telah berkumpul teman-teman korban. Mereka yakin, korban tidak punya musuh. Juga tak pernah ada tekanan, ancaman, ataupun dendam atas kasus hukum yang ditangani Charles.

Salah seorang di antaranya, Janet Lilly sempat mengobrol beberapa kali dengan Annie selama beberapa waktu pada 24 Desember, pukul 18.00. Allie Chambers yang sempat membantu Annie mengatur meja bersama sore itu bercerita, “Saya pulang pukul lima kurang seperempat untuk berganti pakaian. Waktu itu Charles mengenakan baju merah dan celana jin. Sementara Annie memakai jin, sweater merah, dan syal biru. Dia akan berganti dengan baju pesta setelah mandi.”

Satu jam lima belas menit sesudah Allie Chambers pulang, dia kembali lagi ke rumah Goldmark bersama keluarganya. Dia terkejut lantaran lampu beranda mati. Mereka mengetuk pintu, tetapi tak ada sahutan.

“Saya kira mereka bergurau, lalu kami duduk-duduk di luar, menunggu. Kami akhirnya pulang dan meninggalkan pesan.” Sampai di rumah, Allie menelepon Goldmark, tetapi tak pernah bisa. Chambers pun kembali ke rumah Goldmark 20 menit kemudian. la mendengar suara samar-samar lewat lubang intip yang ada di pintu dan memanggil suaminya, Leif, dan tetangganya, Ben Walkers, yang mempunyai kunci duplikat rumah Goldmark.

Dengan kunci itu mereka membuka pintu. Lalu menuju sumber suara yang berasal dari lantai atas di kamar utama. Dengan sangat terkejut mereka menemukan keluarga itu di lantai. Leif mendengar suara Charles memanggil-manggil, “Leif .... Leif .... Saya terluka .... Saya terluka,” rintihnya dengan suara gemetar.

Telepon di rumah itu mati. Chambers dan Walker berusaha menutup luka yang ada di tubuh Charles. Mereka juga melihat anaknya tertutup bantal.

Atas permintaan Homan dan Yoshida, Allie Chambers diminta mengingat-ingat sesuatu yang terjadi beberapa jam sebelum pesta. Mereka melihat sebuah pikup truk Datsun hijau tahun 1975 berpenumpang dua orang yang beberapa kali ke rumah Charles.

Serentetan pertanyaan juga diajukan pada tetangga Charles. Dia membukakan pintu untuk seorang asing malam itu. Pria itu membawa kotak putih dan mencerca dengan kata-kata, “Charles ....” Wanita itu mengatakan ia tidak mengenal pria itu. Cuma ia ingat, orang itu bertubuh pendek, berambut gelap, dengan mata yang marah.

Sebetulnya pengirim paket gampang dilacak. Namun menjadi agak rumit karena banyak orang menerima paket di hari Natal. Para penyelidik menemukan sejumlah paket dengan bungkus putih yang tak jelas dari mana asalnya.

Perayaan Natal di rumah Charles urung sudah. Yang tinggal cuma kesedihan mendalam para tetangga yang menaruh karangan bunga di pintu depan rumah. Semilir angin menambah aroma kesedihan. Polisi memasang pita kuning. Tak seorang pun diizinkan masuk.

Kabar dari RS tidaklah menggembirakan. Charles, Derek, dan Colin dalam keadaan kritis. Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan jiwanya. Otaknya mengalami trauma yang berat.

Para detektif sejauh ini belum bisa mengungkapkan motif dan dalang pembunuhnya. Polisi telah mengambil sidik jari, tetapi itu belum cukup kecuali mereka bisa membandingkan dengan sistem identifikasi otomatis sidik jari. Lantaran pembunuh menggunakan sarung tangan, teka-teki pembunuhan semakin sukar dipecahkan.

 

Ditemukan tulisan cakar ayam

Sementara itu di distrik Seattle Broadway beberapa kilometer sebelah barat TKP, sesuatu sedang terjadi. Max Stingley penghuni apartemen di Broadway District yang dikenal baik hati, sore-sore kedatangan tamu tak dikenal. Seorang pria setengah baya mengaku bernama David mengetuk pintu. Sang tamu memperkenalkan diri sebagai salah seorang anggota Fox, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dikenal beraliran bebas. Mereka sering berdiskusi untuk memperjuangkan kemurnian konstitusi AS. Max tak kuasa menolak David yang ingin menumpang. David tampak pucat dengan noda hitam di bawah matanya. Karena lelah, Stingley menyuruh David untuk segera tidur.

Ketika bangun pagi Stingley terkejut menemukan selembar kertas dengan tulisan cakar ayam yang tidak dimengerti artinya, di kamar tidur David. Tak urung tulisan itu membuat bulu kuduknya meregang.

Saya adalah orang yang dicari dalam kasus Goldmark. Saya sadar, apa yang telah saya lakukan adalah tindakan yang mengerikan. Itulah sebabnya kini Anda mencari saya.

Saya tegaskan, perbuatan ini tidak melibatkan orang Iain. Mereka yang dekat dengan saya pun tidak tidak tahu bahwa saya dicari polisi atas berbagai tuduhan. la menerima pesan di mesin penjawab, tetapi saya telah menghapusnya sebelum ia tahu.

Saya tidak menggunakan senjata yang saya beli beberapa minggu lalu. Saya telah membuang senjata itu. Saya mengelabui mereka dengan pistol mainan yang dapat Anda temukan di loker. 

Saya harap jangan membawa-bawa orang-orang tak berdosa dalam kasus ini. Apa yang saya lakukan sudah cukup. Mungkin saja saya akan mengatakan, mengapa saya lakukan hal ini. Sehingga Anda tak usah bertanya pada orang lain. Hidup saya kacau sejak ditinggal istri. Sue berusaha menguatkan diri saya, tetapi ....

Max Stingley belum mendengar kasus pembunuhan Goldmark. Selama dua hari ini ia tak sempat baca surat kabar atau melihat berita di TV. Setelah membaca tulisan aneh tersebut, ia kemudian mengamati David yang masih terkantuk-kantuk. Yang dia tahu David memang agak aneh.

David bangun dan segera duduk di depan TV ketika Stingley keluar membeli rokok. Berita pembantaian keluarga Goldmark dibacanya dari halaman depan koran Post Intelligencer yang dibelinya dari kios rokok. Seketika perut Stingley mual. Tulisan yang ia temukan di atas meja bukanlah rekaan. Ia tersadar, semalam tidur dengan pembunuh Goldmark. Lewat nomor emergency 911, Max segera mengontak kepolisian setempat. Saat itu pukul 07.00 tanggal 26 Desember.

“Saya segera ke sana,” seru Sersan Sutlovich yang menerima teleponnya. Polisi yang penasaran ini langsung meluncur ke bukit Broadway bersama Sonny Davis. “Kau yakin orang itu pembunuhnya?” tanya Sutlovich pada Davis. Yang ditanya hanya mengangkat bahu. Rupanya David Rice sudah mencium tanda bahaya. la tahu kalau sedang dikejar polisi. Sebelum petugas masuk ke apartemen, ia kabur ke arah utara menuju Avenue 11. Dalam waktu yang tidak terlalu lama para petugas bisa meringkusnya dan segera membawanya ke kantor polisi. Rudy Sutlovich dan Sonny Davis pun segera datang.

Untuk pertama kali Sutlovich melihat orang yang bernama David Lewis Rice. 

“Mengapa kamu lari?” tanya Sutlovich. 

“Saya tak bisa menjawabnya.” 

David Rice (27), masih muda, berambut hitam, berkumis, dan bercambang. Dia sebetulnya tampan, meskipun kulitnya pucat, tetapi ada sesuatu yang aneh. Gerakan dan gaya bicaranya kaku, seperti orang yang menderita gangguan psikologis. Sesampainya di kantor polisi Rice menolak didampingi pengacara dalam proses penyidikan. Justru ia sendiri yang akan menceritakan semuanya kepada polisi.

 

Obsesi antikomunis

Di depan tim penyidik Rice mengakui bahwa kertas selembar dengan tulisan cakar ayam yang ditemukan di apartemen Max Stingley adalah miliknya. Pengakuan selanjutnya direkam dalam pita kaset.

Rice lahir pada 11 November 1958 dan besar di Arizona. Dia mempunyai dua kakak laki-laki dan satu perempuan yang tak pernah cocok. Kakaknya suka mengolok-olok dan menertawakannya karena ia paling lemah. Ada beberapa kasus psikologis yang pernah dialaminya sewaktu muda. Antara lain ketika berumur 11 tahun, sang kakak pernah menemukan Rice tergantung di tali tak sadarkan diri di kamarnya. Badannya sudah membiru. Mereka memotong tali itu, membawanya ke dokter dan selamat.

Untunglah ia kemudian menikah dan mempunyai anak. Rice rupanya tidak bisa bekerja dengan orang lain dan merasa dunia semakin tak berpihak padanya. Pada awal tahun 1980 Rice pindah ke Seattle karena merasa dekat dengan kakaknya yang tinggal di Washington. Kendati saudaranya sering mengejek, tetapi ia masih peduli pada Rice. Selama beberapa waktu ia bekerja sebagai tukang las di perusahaan baja, bahkan sempat punya toko. Tetapi kemudian bisnisnya bangkrut, sementara di tempat kerja ia diwajibkan melunasi hutangnya.

Pelan-pelan-semua ketidakadilan itu memicu kebencian dalam diri Rice. Rupanya dalam kondisi emosional itu ia terpengaruh oleh buku dan bacaan yang dibacanya. Tanpa sadar ia menjadi sangat antikomunis. Menurut pemahamannya komunislah yang menyebabkan nasibnya menjadi begitu. Kemampuannya sebagai tukang las tak lagi berarti. Ia gelisah dan lebih suka menganggur. Selama 18 bulan dia cuma berkeliling di Seattle, hidupnya penuh dengan rasa fitnah dan balas dendam. Dia sangat marah pada bekas bosnya yang dianggap telah menyengsarakannya.

Tanpa sengaja, di jalanan pada awal tahun 1985, Rice berjumpa dengan dr. Suzanne Perreau, seorang ahli tulang. Pengelola LSM ini mengajak David untuk ikut serta dalam kegiatan kelompoknya. Agaknya dia sangat bersemangat dengan diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh klub itu.

Rice pun mulai akrab dengan senapan, bahan-bahan peledak, aktivitas ketentaraan, dan usaha-usaha melawan komunisme.

Pada saat menganggur itu, Rice membaca artikel yang membahas soal perubahan peta politik dunia. Dia menyimpulkan artikel-artikel itu menunjuk pada sosok politisi Charles Goldmark sebagai pemimpin komunis. Rice agaknya kurang paham sejarah. Karena sebetulnya yang bersangkut paut dengan partai komunis adalah Sally Goldmark, ibu Charles. Itu pun puluhan tahun sebelum ia lahir.

“Anda tahu siapa Goldmark?” tanya Sonny Davis di ruang pemeriksaan bagian pembunuhan. 

“Ya, lewat sejarah,” jawab Rice ragu. 

“Sejarah yang mana?”

“Dari guntingan-guntingan koran ....” Padahal Charles Goldmark adalah sosok terkemuka dari Partai Demokrat. Rupanya daya ingat Rice agak terganggu. Para detektif penyidik itu sangat sedih karena sepertinya Rice salah sasaran. “Charles Goldmark tak pernah melakukan hal itu. Anda keliru sasaran.” 

“Bagaimana Anda bisa tahu tempat tinggal Goldmark?” tanya Davis 

“Dari guntingan koran. Disitu diberitakan dia baru saja pindah ke rumah no. 36.” Rice kemudian mengatakan dia membaca berita itu di Seattle Times yang terbit bulan Maret 1983.

“Anda berbicara beberapa tahun lalu. Apakah Anda telah berpikir tentang keberadaan keluarga Goldmark, selama beberapa lama, paling tidak selama enam bulan terakhir.” Rice menjawab kalau ia telah mempersiapkan mental untuk melaksanakan rencananya.

“Apa yang akan Anda lakukan?” tanya Boatman.

“Saya akan membunuh Goldmark.” 

Pengakuan itu juga menunjukkan pada pertengahan tahun 1985 keputusan untuk membunuh Charles Goldmark telah bulat. Dia berpandangan Goldmark adalah pengikut komunis. Padahal dalam kenyataannya tidak begitu. Tetapi bagi Rice, Goldmark adalah musuh besar.

 

Pistol mainan dan karabin

Kesaksian yang diberikan dr. Perreau makin memberi gambaran betapa kondisi kejiwaan Rice semakin tidak stabil. Suatu hari lantaran mencuri dan menggadaikan televisi milik dr. Perreau, Rice diusir dari markas LSM tersebut tanggal 28 Desember.

“Saya perlu uang. TV itu tergadai sepuluh dollar,” kilahnya.

Namun lantaran menganggur, kondisi keuangannya semakin memprihatinkan. Kegiatannya cuma mengurung diri dan mencari “musuh” di perpustakaan. Ia semakin gelap mata pada komunisme.

Jawaban dari seluruh persoalannya tampaknya teramat gampang. Ia bermaksud ke rumah Goldmark dan mencuri sebanyak mungkin uang. Dalam pandangannya kesulitan keuangan itu disebabkan oleh Goldmark dan orang-orang yang sepaham dengannya.

Rice sudah bertekad membunuh Goldmark dan istrinya. Dia sangat benci kendati tak pernah bertemu. Ia cuma bermodal nekat karena tak pernah menyelidiki siapa sebenarnya Charles.

Tampaknya dunia telah menipu Rice. Pada hari Natal David pulang ke rumah dr. Perreau untuk menyiram tanaman. la mengenakan jin biru, sweater merah, sepatu bot, dan sarung tangan katun.

“Saya juga mengambil pistol mainan dan membawa senapan, tetapi saya pikir akan berisik jika ditembakkan,” begitu pengakuannya saat direkam polisi. Rice mengaku telah membeli karabin M-1 dari pasar senjata gelap. Tapi ia membuangnya dua minggu sebelum malam Natal karena dianggap terlalu besar dan berat.

“Jadi, kapan Anda membawa pistol mainan?” tanya Davis.

David mengatakan ia membelinya di toko mainan pada malam Natal, seharga tiga dolar. Dia juga membeli dua sarung tangan di toko olahraga. Dia memasukkan senapan, sarung tangan, borgol, dan dua botol obat bius pada tas hijau. Dengan bus no. 7 ia menuju kota, lalu berganti bus no. 3 ke rumah Goldmark.

Dia memasukkan dua botol obat bius karena ia pikir hanya terdapat dua orang, Tuan dan Ny. Goldmark di rumah itu. Hitung-hitung susdah enam bulan ia menyiapkan rencananya.

“Anda juga memasukkan Ny. Goldmark sebagai target?” tanya John Boatman. 

“Ya.” 

“Apakah juga termasuk orang lain yang ada di sana?” 

“Ya.” 

“Bagaimana Anda tahu bus yang menuju ke sana?” tanya Davis.

 “Saya sudah ke sana dua kali sebelumnya.”

 

Dipukul dengan setrika uap

Tanpa menyadari bahwa sebenarnya ia salah sasaran, pada minggu pertama bulan Desember dia ke rumah Goldmark dan berharap melihat calon korbannya lewat jendela. Tetapi rencananya gagal karena hari keburu gelap. Dia tetap berada di jalan selama satu jam. Ia takut ketika seseorang mengamatinya, sehingga dia segera ke belakang rumah di mana ada gang kecil dan garasi. 

Dia juga mengakui pergi ke kantor Goldmark, tetapi tak pernah mau ke ruang tamu. 

Pada hari naas itu Rice tiba di rumah Goldmark beberapa menit lewat pukul 19.00. Dia mengetuk pintu. Betapa terkejutnya ketika tahu yang membukakan pintu seorang bocah, anak Charles Goldmark.

“Saya tak menyangka mereka punya anak kecil. Saya kira di rumah itu hanya tinggal Charles dan istrinya. Tapi saya langsung bilang, ‘Saya dari Farm Cab, saya membawa paket untuk Charles.’ Anak itu lalu memanggil Charles.” Sementara itu Rice mengambil pistol yang disembunyikan di balik kotak.

“Secepat kilat Charles sudah berada di depan saya .... Saya perintahkan Charles menunduk .... Sementara anak itu berlari ke dapur.” Rice menutup pintu dengan menendangnya, sehingga tak seorang pun melihat dari luar. Goldmark sangat terkejut, karena ia kira tamu-tamu sudah datang, namun ternyata seorang bersenjata.

Rice meminta Charles memanggil anaknya dan kemudian membawanya ke lantai atas. Sesampainya di lantai atas Charles meminta istrinya yang sedang mandi keluar. 

Keluarga itu digiring ke kamar utama, tempat kedua anaknya berkumpul ketakutan. Semuanya diminta menunduk sehingga mereka tidak melihat pistol mainan yang dibawa Rice. Ia mengikat kedua tangan Charles dan istrinya ke belakang dengan muka menempel pada lantai karpet.

“Anda masih ingat baju apa yang dipakai Charles?” tanya Boatman. 

Sweater coklat dan ... baju coklat ... em ... saya pikir pantalan abu.”

Untuk kesekian kalinya Rice bingung. Dia beranggapan Charles dan istrinya sudah tua dan tak menduga mereka masih punya anak kecil. “Saya sempat menghentikan niat saya selama beberapa menit. Badan saya gemetaran. Tapi apa boleh buat, saya telanjur berada di situ. Rencana harus jalan terus.”

Mereka semua tak berdaya di lantai kamar tidur utama. Kemudian Rice mengambil obat bius dan memaksa Goldmark membauinya sehingga ia tidak sadarkan diri dan terbaring di dekat Anne.

Sementara itu Rice turun ke dapur mencari pisau. Ia mendapatkan pisau panjang 25 cm. Selanjutnya ia mencari pemukul daging, tapi tak mendapatkannya. Akhirnya diambilnya sepotong besi.

Dengan senjata seadanya tersebut, Rice membantai keluarga Charles Goldmark yang tak berdosa. Karena membabi buta, pembunuhan sadis itu telah meninggalkan sisa-sisa darah di mana-mana, termasuk celana dan jaketnya. Sepatu kirinya yang juga ada bekas darah, ia bersihkan dengan bajunya.

Pukul 19.07, ia pergi sebelum para tamu pesta Natal datang. Rice bermaksud mengambil uang, tapi tak ada waktu untuk mencarinya. Yang pasti prioritas menghabisi “pengikut komunis” telah tercapai.

Setelah mematikan lampu, ia keluar lewat gerbang belakang ke arah jalan kecil. Dia bermaksud kembali ke rumah dr. Perreau dengan berjalan kaki, meski jaraknya cukup jauh 2 km. Padahal dengan pakaian yang penuh darah pasti jadi pertanyaan banyak orang.

“Ditengah jalan saya sadar kalau sarung tangan saya ketinggalan, lalu saya segera pulang ke rumah berganti pakaian dan kembali ke rumah Charles lewat lantai dasar mengambil sarung tangan,” akunya.

“Anda kembali lagi ke rumah korban?” tanya David heran. Sangat tidak masuk akal. Yang jelas Rice kembali ke tempat pembunuhan antara pukul 20.30 - 21.00. Dia mengira tindak kejahatannya belum diketahui orang. “Saya tidak melihat mobil polisi. Yang tampak cuma sedikit cahaya lampu dan kerumunan orang.”

Gila. Itu artinya ketika para detektif sampai di TKP, mereka tidak menyadari pembunuhnya cuma berada 17 m dari tempat itu.

“Saya pikir, saya akan tertangkap ... mereka mendapatkan sidik jari di sarung tangan.” 

“Anda menyesal atas apa yang Anda lakukan pada keluarga Goldmark?” tanya Sonny Davis. 

“Ya. Tapi semuanya telah terjadi. Sudah terlambat.”

 

Pengadilan yang ternoda

Dalam pada itu informasi terakhir tentang para korban yang dirawat di rumah sakit menjadi berita buruk bagi semua orang. Colin Goldmark akhirnya meninggal pada 28 Desember 1985. Tak lama kemudian Charles pada 9 Januari 1986 dan disusul Derek Goldmark pada 30 Januari 1986. Keluarga yang baik dan menyenangkan itu akhirnya pergi meninggalkan semua orang yang dicintainya.

Pengadilan David Lewis Rice dimulai pada Mei 1986. Dia didampingi dua pembela Tony Savage dan Bill Lanning. Para pengacara membela Rice yang mereka anggap kurang waras, hingga tidak dapat didakwa bertanggung jawab pada pembunuhan yang dilakukannya. Sementara Bill Downing, penuntut perkara, menegaskan Rice telah merencanakan penyerangan itu.

Pada tanggal 10 Juni juri mengumumkan Rice divonis hukuman mati. Tetapi kisah pembunuh Goldmark belumlah berakhir. Sampai akhir tahun 1986, ia masih tetap hidup. Bahkan melalui pengacaranya ia meminta persidangannya dibuka kembali di pengadilan yang lebih tinggi.

Masyarakat pun terkejut ketika pada 6 Agustus 1993 Hakim Jack Tanner dari pengadilan distrik membatalkan hukuman mati yang dijatuhkan pada Rice. Tanner berpandangan, Rice tidak bisa dijatuhi hukuman mati karena saat keputusan itu dijatuhkan ia tidak berada di ruang sidang. 20 menit sebelum hakim menjatuhkan vonis, Rice terpaksa dilarikan ke rumah sakit. 

Selidik punya selidik, ternyata beberapa jam sebelumnya Rice menelan beberapa bungkus tembakau yang ia campur air. Ia terpaksa dibawa ke RS Harborview untuk dipompa perutnya. Suasana pengadilan pun geger. Sampai kisah ini dibukukan keputusan belum diambil. Yang jelas hukuman yang layak dijatuhkan atas diri Rice adalah penjara seumur hidup tanpa syarat. (Ann Rule)

Baca Juga: Ketemu Tersangka Ketiga

 

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635988/pengakuan-di-selembar-kertas" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945143000) } } [3]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3257411" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(95) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/kisah-keduajpg-20220428065106.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(115) "Pernikahan Pangeran Charles mendatangkan hoki bagi para penjudi. Seorang pria mencari seseorang yang mirip dirinya." ["section"]=> object(stdClass)#76 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Misteri" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "mystery" ["id"]=> int(1368) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Misteri" } ["photo_url"]=> string(95) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/kisah-keduajpg-20220428065106.jpg" ["title"]=> string(52) "Ramalan Penulis Sandiwara dan Ditangkap Saat Terbang" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-29 10:05:48" ["content"]=> string(11192) "

Intisari Plus - Seorang penjahat yang mencoba melarikan diri ke luar negeri, ternyata bertemu polisi yang hendak berlibur. Pernikahan Pangeran Charles mendatangkan hoki bagi para penjudi. Seorang pria mencari seseorang yang mirip dirinya.

---------------------------------------

Ditangkap Saat Terbang

AWAL tahun 1988, Peter Miller, detektif dari pasukan penanggulangan narkoba di Australia, menangkap Stephen Rotaru (31), yang berasal dari Cleveland, Ohio, AS, dengan tuduhan memasok dan memiliki kokain serta daun ganja. Tiga minggu setelah penahanan itu, Miller pergi berlibur. 

Di Bandara Sydney, Miller naik ke pesawat Continental Flight 16, yang akan berangkat ke Ohio lewat tujuan Miller, Hawaii. Ketika sedang berjalan di sepanjang deretan kursi, ia melihat Rotaru duduk di salah satu kursi. Segera saja Miller menangkap orang Amerika itu. 

Rotaru sebenarnya sudah menyerahkan paspornya ketika pertama ditangkap, tetapi kemudian berhasil membujuk konsulat AS untuk menerbitkan yang baru. Selain menyerahkan paspornya, Rotaru memberi uang jaminan untuk ditahan di luar dan mesti melapor ke polisi dua kali seminggu. 

Ternyata ia memanfaatkan kesempatan ditahan luar ini untuk kabur. Miller sama sekali tidak sengaja mencari Rotaru. Sepanjang pengetahuannya, Rotaru yang menyangkal keras bersalah, sungguh-sungguh berniat menghadapi meja hijau. Miller memesan tempat di pesawat yang sama tanpa maksud lain, kecuali berlibur ke Hawaii.

 

Kisikan Pembawa Rezeki

TANGGAL 9 Juli 1981, pada hari pernikahan Pangeran Charles dengan Lady Diana, seperempat pemenang pacuan kuda di Inggris adalah kuda-kuda baru yang namanya antara lain Tender King, Favoured Lady dan Wedded Bliss (Kebahagiaan Pernikahan). 

Dari 200 ekor kuda yang berpacu hari itu, sebelas di antaranya memiliki nama "royal" (yang berkenaan dengan kerajaan) atau semacam itu dan enam di antaranya menang atau tiba nomor dua dalam 17 pertandingan. Padahal kemungkinannya secara keseluruhan adalah 1 : 54.000 dan tidak ada seekor pun kuda itu yang semula difavoritkan.

 

Doppelganger

BILL Spencer, seorang prajurit, keluyuran tanpa tujuan di jalan-jalan Kota Adelaide. Bukannya menikmati 24 jam cutinya, ia malah merasa waswas, tanpa mengetahui alasannya. 

Setelah makan malam, yang dilakukannya dini, ia menunggu saat untuk bisa menonton bioskop atau berdansa, kemudian ia akan pulang ke kesatuan antiserangan udara di Outer Harbour, di pinggiran Kota Adelaide. 

Di Rundle Street, yang pada tahun 1942 merupakan pusat pertokoan, ia berhenti dan terdorong menoleh ke persimpangan jalan King William Street. Dilihatnya seorang polisi militer dengan seorang prajurit sedang bercakap-cakap sambil memandang Bill. Jelas mereka sedang membicarakan dia. 

Bill mengira polisi militer itu akan mendekati dan memeriksa surat izin cutinya. Karena suratnya beres, ia tidak khawatir dan berniat melanjutkan perjalanan. Namun yang menghampiri malah si prajurit. 

Sambil berdiri tepat di hadapan Bill, prajurit itu menyapa: 'Goodday.' Dengan ragu-ragu Bill menjawab, ' Good day. 

Prajurit itu heran karena Bill tidak tampak bersemangat menanggapinya. "Lupa ya kepada saya?" tanyanya. 

Bill menjawab, ia belum pernah bertemu dengan prajurit itu seumur hidupnya. Prajurit itu tampak bingung. "Masa tidak ingat kepada saya! Kita 'kan setenda selama enam minggu di Rottnest." Rottnest adalah sebuah pulau kecil sekali di Australia Barat. 

Bill mundur selangkah dan memberi tahu prajurit itu,"Saya tidak pernah melihatmu sebelum ini dan seumur hidup tidak pernah pergi ke Austalia Barat." 

Lalu, Bill kaget ketika orang itu berkata, "Kamu 'kan Bill Spencer?" 

Bill membenarkan. Prajurit itu lantas bersikeras. Mereka setenda. Enam minggu. Namanya sama. Kenapa dia tidak mau mengaku kenal? Apa salahnya? 

Ketika prajurit itu semakin kesal, Bill bingung. Yang bisa dilakukannya cuma mempertahankan apa yang dikatakannya. 

Akhirnya, lawan bicaranya menjadi lebih tenang dan meninggalkan Bill, sambil tetap mengira ia bertemu dengan Bill Spencer yang dikenalnya di Rottnest. 

Tahun 1948, Bill kebetulan pindah ke Australia Barat dan menetap di sana. Ia berusaha beberapa kali mencari orang yang nama maupun penampilannya sama dengan dia, tetapi tanpa hasil. 

Mula-mula ia menduga Bill Spencer yang seorang lagi itu tewas pada bulan-bulan terakhir perang atau sudah pindah entah ke mana. Namun, kemudian orang-orang mulai memberi tahu dia bahwa mereka bertemu dia di tempat-tempat yang tidak pernah dikunjunginya. "Ketemu kamu di Perth hari ini, atau Victoria Park, atau di pantai." 

Hal ini berlangsung bertahun-tahun. Bill mencoba mencari lewat pelbagai koran di Australia Barat, tetapi tanpa hasil. 

"Saya ingin menemukan Bill Spencer yang seorang lagi, yang penampilannya mirip sekali saya," kata Bill. "Tapi sekarang umur saya hampir 76, jadi harapannya tipis."

 

Betul-betul Duplikat

PADA tanggal 28 Juli 1900, Raja Umberto I dari Italia dan ajudannya, Jenderal Emilio Ponzio-Vaglia, tiba di Kota Monza, beberapa kilometer di luar Milan. Keesokan harinya, raja hams menyerahkan hadiah-hadiah pada suatu pertandingan atletik. 

Pada malam kedatangannya, ia dan ajudannya pergi ke sebuah restoran kecil untuk makan malam. Ketika pemilik restoran sedang menuliskan pesanan raja, raja menyadari bahwa ia dan sang padrone (pemilik restoran) benar-benar seperti pinang dibelah dua, baik wajah maupun bentuk tubuh mereka. 

Ia menyatakan hal ini kepada sang padrone dan mereka pun bercakap-cakap. Terungkaplah sejumlah persamaan yang mengejutkan mereka. 

Raja terheran-heran mengetahui kebetulan-kebetulan ini dan bertanya kepada pemilik restoran, bagaimana mungkin mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Padahal, kata Umberto kepada orang itu, mereka pernah diberi bintang atas keberanian mereka pada dua kesempatan, yang pertama tahun 1866, saat sang padrone menjadi prajurit dan sang raja kolonel. Yang kedua kali terjadi tahun 1870 ketika pemilik restoran naik pangkat menjadi sersan dan raja menjadi panglima. 

Setelah semua ini terungkap, sang padrone kembali melaksanakan tugasnya dan raja menoleh ke ajudannya serta berkata, "Aku bermaksud memberi orang itu Bintang Kerajaan Italia besok. Pastikan ia hadir di pertandingan." 

Keesokan harinya, raja ingin menepati janjinya. Ia bertanya, mana orang yang mirip dengannya itu. Raja diberi tahu bahwa hari itu sang padrone tewas ditembak. 

Raja terkejut. Ia meminta ajudannya mencari informasi, kapan orang itu akan dimakamkan, supaya ia bisa hadir. Saat itu juga, terdengar bunyi tembakan tiga kali. Tembakan pertama luput, tetapi yang berikutnya menembus jantung raja yang tewas seketika.

 

Dibayar Lunas

SUATU hari di tahun 1952, seorang penerbang angkatan laut, William Riordan, mengemudikan mobil dari tempat ia bertugas di pangkalan udara angkatan laut menuju ke rumahnya. Dilihatnya kendaraan-kendaraan di depannya mengurangi kecepatan. 

Ketika ia mendekat, ternyata kendaraan-kendaraan itu menghindari sesuatu yang terletak di dekat trotoar sempit. Ketika Riordan tiba di tempat itu, dilihatnya seorang pria tiarap di tanah. 

Pengendara-pengendara lain menekan klakson keras-keras karena kesal jalan macet akibat Riordan memperlambat kendaraannya lalu berhenti di tepi jalan untuk memeriksa orang yang dianggap oleh pengendara lain sebagai "pemabuk tidur". 

Riordan melihat bahwa kulit kepala orang itu cedera dan lukanya besar, tetapi tidak kelihatan dari jalan. Setelah memberi pertolongan pertama, penerbang itu memanggil ambulans. Setelah ambulans membawa orang tersebut, Riordan pulang dan melupakan peristiwa itu. 

Beberapa bulan kemudian, pilot Riordan menerbangkan pesawat di daerah yang sama, dalam badai salju yang tidak memungkinkan orang melihat apa-apa. Pipa-pipa untuk memasukkan udara pada tiga mesin pesawat tersumbat salju, sehingga mesin mati. Pesawat itu jatuh di hutan dekat pangkalan udara. 

Ketika ambulans angkatan laut tiba di tempat kejadian, mereka menemukan sang penerbang tergantung-gantung pada pahanya, yang tersangkut pada sepotong baja bergerigi. 

Tepi baja yang tajam mengiris daging pahanya sampai tulang. Namun ada seorang pria berdiri di bawah sang pilot, memegangi pilot itu supaya pahanya tidak putus karena tekanan badannya. Kata pria itu, ia sudah memegangi pilot itu kira-kira sejam. 

Sesudah regu penolong membebaskan pilot dari reruntuhan pesawat, pilot itu sadar sebentar dan menemukan bahwa pria yang menyelamatkan pahanya itu adalah orang yang pernah ditolongnya di tepi jalan.

 

Ramalan Penulis Sandiwara

TAHUN 1880-an, Arthur Law menulis sandiwara yang menceritakan bahwa satu-satunya orang yang selamat dari sebuah kapal karam adalah Robert Golding. Nama kapalnya Caroline. 

Beberapa hari setelah sandiwara itu dipanggungkan untuk pertama kalinya, Law membaca di surat kabar kisah sebuah kapal yang karam sungguhan. Korban yang selamat cuma seorang. Nama kapal itu Caroline dan nama orang yang selamat itu Robert Golding.




 

 

" ["url"]=> string(97) "https://plus.intisari.grid.id/read/553257411/ramalan-penulis-sandiwara-dan-ditangkap-saat-terbang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651226748000) } } }