Intisari Plus - Terjadi pencurian di sebuah kantor pos, dan uang 500 juta sudah lenyap. Padahal yang bisa membuka lemari hanyalah bendahara dan kepala kantor pos.
--------------------
Seperti biasa pada setiap awal bulan, pukul tujuh pagi lewat Minto sudah berada di kantornya. Hari itu Senin, tanggal satu, sesuai jadwal ia harus menyerahkan sejumlah uang kepada juru bayar pensiun. Selanjutnya uang itu akan segera dimasukkan ke dalam banyak amplop yang sudah ditandai dengan nama-nama yang berhak menerimanya. Pada hari pembayaran pensiun yang dimulai tanggal 4 setiap bulannya, juru bayar uang pensiun itu sudah harus siap di loket, melayani para pensiunan.
Di depan pintu yang terbuat dari besi, Minto tenang-tenang saja mengeluarkan sebuah anak kunci berukuran panjang, alangkah kagetnya ketika diketahui pintu besi itu tidak terkunci. la tertegun sejenak dan tidak berani menguakkan daun pintu besi itu. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah kemarin lupa mengunci. Namun ia yakin benar, kemarin sebelum meninggalkan kantor, pintu besi itu sudah dikuncinya baik-baik.
Hal itu juga dilakukannya pada hari-hari sebelumnya, Minto merasa dirinya selalu berusaha menghindari keteledoran. Parto, juru bayar pensiun yang baru saja tiba di kantor melihat keraguan di wajah atasannya. “Ada masalah, Pak?” tanya Parto.
“Lihat, tidak terkunci,” jawab Minto bingung sambil menunjuk pintu besi. Untuk meyakinkan diri, mereka berdua menguakkan daun pintu yang berat itu, serta memasuki ruang khazanah. Pemandangan di dalam membuat Minto lemas. Darahnya tiba-tiba serasa kering. Betapa tidak? Pintu lemari tempat menyimpan uang tampak menganga lebar dan isinya kosong. Uang sebesar Rp 500 juta yang ada dalam tanggung jawabnya, amblas tak tentu rimbanya.
Dalam keadaan panik, Minto masih sempat berpikir untuk segera melaporkan kepada atasannya. Kebetulan Setiawan Maulana, kepala kantor pos, sudah datang. Setelah mendengar dengan saksama penuturan Minto, kepala kantor pos itu segera menghubungi polisi setempat.
Sekitar setengah jam kemudian Sersan Tehan yang disertai Inspektur Polisi (Iptu) Kimawan tiba di tempat kejadian perkara (TKP). Walaupun bintara itu telah mengenal Minto secara pribadi, ia tetap memegang teguh prosedur dalam menjalankan pekerjaannya. Himawan yang membawa tustel merekam gambar-gambar yang diperlukan. Setelah pemeriksaan fisik ruangan dirasa cukup, Iptu Himawan mengajukan beberapa pertanyaan awal.
“Siapa pemegang anak kunci lemari besi itu?”
“Saya, sebagai bendaharawan di sini, Pak,” jawab Minto.
“Ada duplikatnya?”
“Ada, Pak. Barang itu disimpan oleh bapak kepala.”
“Mengapa duplikat itu ada pada bapak kepala?”
“Sesuai aturan dari pusat, Pak,” jawab kepala kantor pos.
Polisi juga mengajukan beberapa pertanyaan tentang nama-nama penjaga malam, tenaga kebersihan, dan beberapa karyawan yang dianggap terkait dengan hilangnya uang tersebut. Semua informasi itu tercatat dalam buku saku Sersan Tehan.
“Sementara cukup sekian dulu, untuk keperluan penyidikan, sewaktu-waktu kami harap Bapak-bapak bersedia datang ke kantor kami,” kata kedua petugas itu lalu berpamitan. Semua orang yang ditinggalkan, menyanggupi permintaan itu.
Di rumah kontrakannya, malam itu Minto tidak mampu mengusir rasa gelisah dalam dirinya. Ia khawatir sesuatu yang merugikan menimpa diri dan keluarganya. Sebagai bendaharawan yang dipercaya menyimpan dan mengelola uang dinas, ia telah berusaha sebaik mungkin dalam melaksanakan pekerjaannya. Selama ini ia selalu berusaha untuk tidak teledor serta lalai. Tapi kini, ia menghadapi kenyataan pahit yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Dia yakin telah menyimpan uang itu, memasukkannya ke dalam lemari besi, lalu menguncinya. Tempat penyimpanan uang itu berada dalam sebuah khazanah, ruangan khusus yang dilengkapi pintu besi berbobot lebih dari sekuintal. Ia juga selalu mengunci pintu dengan teliti. Peristiwa ini sangat memukul mentalnya.
Di samping ditangani polisi, sesuai prosedur kasusnya dilaporkan pula ke kantor pusat. Artinya, proses hukum kepegawaian segera berlaku atas dirinya. Bisa mulai dari penurunan pangkat, penskorsan, sampai pemecatan yang diikuti oleh vonis masuk penjara. Bayangan nasib buruk yang bakal menimpa membuat Minto sedih. Dalam kesendirian, ia teringat istri dan tiga anaknya yang masih usia sekolah di kampung.
Orang lain pasti akan menganggap bodoh bila ia berharap uang itu bisa kembali lagi. Namun Minto berniat membantu petugas penyidik semampunya. Meski ia tahu, itu tidak mudah.
Teman memancing
Kabar pembobolan uang dari kantor pos itu segera tersebar luas di seluruh kota kecil Cepu, Jawa Tengah. Esok hari polisi mulai memanggil dan menanyai sejumlah orang untuk mengumpulkan informasi seputar tindak kejahatan tersebut.
Supeno, satpam kantor pos, mengaku, di malam kejadian ia tertidur karena siangnya tidak sempat beristirahat setelah membantu penguburan seorang tetangganya.
“Selain saudara, siapa lagi satpamnya?”
“Tidak ada, Pak. Hanya saya. Namun biasanya malam-malam seperti itu ditemani oleh seorang karyawan.”
“Kebetulan saudara Supardi yang dapat giliran membantu jaga malam itu?” Tehan beralih bertanya pada pria yang duduk di sebelah Supeno.
“Benar, Pak.”
“Juga tertidur malam itu?”
“Anu, Pak, sudah menjadi kebiasaan karyawan kalau mendapat giliran membantu jaga malam, pasti tidur karena keesokan harinya masuk kerja.”
“Begitu? Tapi seharusnya Anda sebagai satpam harus bisa mengatur waktu istirahat, secara bergantian tidurnya misalnya. Dengan demikian, terutama saudara satpam, bisa dianggap teledor,” Tehan menekankan.
Supeno dan Supardi hanya terdiam. Sersan Tehan sempat menaruh curiga karena melihat keringat sebesar biji-biji jagung mengalir di kening Supeno.
Parto sebagai juru bayar pensiun pun tak luput dari beberapa pertanyaan.
Nama lain yang tidak luput dari perhatian polisi tentu saja Minto, bendaharawan yang bertanggung jawab atas keamanan dan keutuhan isi lemari besi penyimpan uang. Kebetulan Sersan Tehan mengenal baik Minto.
“Saya kenal baik Mas Minto, Ip,” kata Tehan membuka percakapan dengan atasannya, Iptu Himawan.
“Bagaimana gaya hidup keluarganya?”
“Setahu saya, kehidupannya sederhana. Rumahnya pun masih mengontrak. la sudah lebih dari lima tahun di sini, sebelumnya ia ditempatkan di luar Jawa. Ia tetangga yang baik. Di lingkungan kerja pun ia dikenal jujur dan bertanggung jawab.”
“Sejak kapan kamu mengenalnya?”
“Wah, sudah sejak lebih empat tahun. Kami sama-sama hobi memancing. Di tempat memancing itulah kami berkenalan.”
“Begitu, ya. Tapi ingat, prosedur harus tetap dipegang,” Himawan mengingatkan.
“Tentu, Pak!”
Sampai saat itu pihak kepolisian belum bisa menemukan titik awal. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan siapa yang layak dijadikan tersangka. Dengan demikian polisi belum bisa melakukan penahanan terhadap seseorang, kecuali baru berupa interogasi. Berbagai kemungkinan bisa terjadi.
Secara pribadi Sersan Tehan tak yakin Minto mau bekerja sama dengan orang luar untuk berbuat jahat. Memang Minto yang berhak memegang anak kunci lemari besi itu, tapi bukan berarti dengan sendirinya ia terlibat. Begitu juga sang kepala kantor pos. Meski berhak atas duplikat anak kuncinya, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena barang itu tetap tersimpan di dalam sebuah peti besi bersegel dalam ruang khazanah. Sedangkan pintu besi ruang itu hanya Minto, sebagai bendaharawan yang bisa membukanya. Kesimpulannya, pimpinan kantor pos pun tidak bisa mengambil duplikat anak kunci tanpa saksi.
Menurut Kapolsek, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Roy Cahyadi, orang pertama yang patut dicurigai adalah Minto karena hanya dia yang bisa membuka pintu ruang tertutup khazanah dan lemari besinya.
“Ingat! Prosedur harus tetap dipegang,” peringatan Himawan masih terngiang di telinga Tehan.
Tehan melakukan pendekatan khusus terhadap Minto. Di samping untuk mencari jalan pengusutan, ia juga ingin mengorek sesuatu yang bisa menolongnya.
Mantan karyawan
Selepas maghrib, Tehan bertandang ke rumah Minto. “Mas Minto, tahu ‘kan, sebagai seorang polisi saya dibebani pekerjaan, tapi di sisi lain kita berteman.”
“Saya mengerti. Saya sendiri pun tidak ingin melihat seorang teman lalai dalam mengemban tugasnya. Malah, sebenarnya saya ingin membantu, Mas Tehan,” tanggap Minto bersungguh-sungguh.
“Silakan saja, sepanjang tidak mencampuri tata kerja polisi.”
“Tadi pagi saya dipanggil atasan untuk membicarakan kasus itu. Kami meneliti semua berkas kepegawaian. Akhirnya kami menemukan sesuatu yang bisa berguna untuk penyelidikan polisi.”
“Apa itu?” sergah Tehan tak sabar.
“Ada mantan karyawan yang telah dipecat hampir dua tahun lalu karena perbuatan tercelanya.”
Orang yang bernama Slamet, tepatnya Slamet Priyono, itu pernah beberapa kali ketahuan memalsu wesel pos dan mengambil uang tabungan orang lain hanya untuk berjudi.
Hukuman demi hukuman telah dijatuhkan kepadanya oleh atasan, namun ia tidak juga jera. Akhirnya, secara resmi ia diberhentikan secara tidak hormat alias dipecat.
“Alamatnya sudah saya catat,” Minto memberikan secarik kertas berisi alamat Slamet.
“Mengapa orang itu dicurigai?”
“Kalau menyimak beberapa kasus yang pernah terjadi, sebagian besar pencurian dan penilapan harta benda milik kantor pos, ternyata didalangi oleh mantan orang dalam.”
Tehan bisa menerima penjelasan dan kecurigaan Minto, biasanya orang dalam lebih paham cara kerja di kantornya.
“Dulu Slamet pernah diminta membantu pekerjaan staf lain, yakni membuka dan menutup pintu khazanah, termasuk membukakan pintu besi. Informasi ini saya dapat dari catatan berkas kepegawaiannya, karena waktu itu saya masih berdinas di luar Jawa.
“Meski ia tidak boleh memegang anak kunci, tapi bisa saja bendaharawan lupa untuk selalu mengantungi dua anak kunci itu. Kesempatan itu bisa langsung dimanfaatkan oleh Slamet. Ia ‘meminjam’, lalu menduplikat dua anak kunci tersebut. Sesudah maksudnya terlaksana, diam-diam barang itu dikembalikan. Dengan demikian Slamet memiliki anak kunci duplikat,” tutur Minto.
Mendengar penuturan sahabatnya, Sersan Tehan terdiam beberapa saat. Tanpa membuang waktu, Tehan segera ke rumah Himawan. Saat itu pukul 19.30. Mereka berniat menindaklanjuti informasi dari Minto. Malam ini juga Slamet Priyono harus disatroni di rumahnya.
Namun, mereka tak mau bertindak gegabah karena bisa berakibat orang itu sulit dijebak atau malah lolos. Kedua hamba hukum itu menelusuri perkampungan yang terbilang kumuh. Akhirnya mereka menemukan alamat rumah di Jl. Tegal Rejo, Kelurahan Jati Ireng, sesuai catatan dari Minto.
Karena keduanya berpakaian preman, apalagi mereka mengaku sebagai teman sang suami, istri Slamet tidak merasa kaget atau curiga.
“Mas Slamet jarang pulang, kok,” ujar istri Slamet.
“Oh, ke mana saja, Bu?” tanya Tehan pura-pura. Padahal dua aparat kepolisian itu sudah mendapat informasi bahwa Slamet memang senang menghabiskan waktunya untuk berjudi daripada mengurus keluarga.
“Ada perlu rupanya?!” tanya perempuan itu sembari beranjak ke belakang untuk membuatkan minuman.
“Tidak usah repot-repot, Bu. Kami cuma teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Kalaupun berjumpa, Mas Slamet pasti juga pangling,” tolak Tehan dengan halus.
“Ke mana, ya, kira-kira Mas Slamet?”
“Wah, susah dipastikan. Biasanya kalau sedang banyak uang, ia berjudi di luar kota.”
“Kok Mas Slamet masih judi terus?” Himawan menimpali.
Istri Slamet pun berterus terang mengaku membenci kebiasaan suaminya itu. Malah, katanya, belakangan Slamet sering berbuat kasar padanya bila sedang kalah judi. Padahal uang belanja sudah habis dan pendidikan ketiga anaknya tak pernah dicukupi. Celakanya lagi, tidak seorang pun saudaranya bisa menasihati Slamet untuk menghentikan kebiasaan buruknya.
“Apa Ibu bisa memberikan alamat beberapa temannya supaya besok kami bisa menemuinya di sana saja, sebab saya sudah kangen,” pancing Tehan.
Sayang, istri Slamet tidak dapat memenuhinya, karena konon suaminya tertutup. Bahkan alamat beberapa kawannya yang sering datang ke rumah pun perempuan itu tidak tahu. Himawan dan Tehan meninggalkan rumah itu dengan tangan hampa.
Bendaharawan sebelumnya
Kota Cepu yang biasanya panas di malam hari, kali ini terasa sejuk karena diguyur hujan sejak sore. Sampai jauh malam Setiawan Maulana masih bekerja di rumahnya. Di mejanya terlihat tumpukan kertas-kertas dan map arsip kepegawaian. Rupanya, selain arsip data tentang Slamet yang ditemukan beberapa hari sebelumnya, ia masih mencari nama lain!
Akhirnya ditemukan bundel lama yang dicarinya, yaitu yang berisi data bendaharawan lama. Dengan cermat ia membaca kata demi kata yang mencantumkan nama Sugiri, jabatan bendahara. Dari catatan diri diperoleh data, yang bersangkutan pernah mendapat hukuman indisipliner karena lalai dalam menjalankan tugasnya. Akibat kelalaiannya, dua anak kunci, yakni kunci ruang khazanah dan lemari besi hilang. Meski akhirnya dua barang itu diketemukan kembali, yang bersangkutan tetap dikenai tindakan administratif. Ini petunjuk berharga yang bisa dikembangkan untuk penyelidikan pihak berwajib, begitu pikir Setiawan.
Kini mantan bendaharawan itu telah dimutasi ke tempat lain. Itu bukan urusannya, yang penting ia mempunyai data bahwa dua anak kunci yang merupakan nyawa dari seorang bendaharawan pernah hilang, lalu diketemukan lagi.
Setiawan menduga, dua anak kunci yang kini dipermasalahkan pernah diduplikat oleh seseorang yang mencurinya. Tak ayal, kecurigaannya pada mantan seorang karyawan, Slamet Priyono, semakin kuat.
Ya, Slamet pasti telah mencuri, menduplikat, lalu diam-diam mengembalikan kedua anak kunci itu lagi. Pikiran itu melintas di benak Setiawan.
Esoknya Setiawan Maulana menelepon polisi untuk melaporkan temuannya. Kebetulan yang menerima telepon Iptu Himawan, yang sebelumnya sudah mendapat informasi awal dari Minto.
Mayat di sungai
Suatu hari sepulang dari kantor, Minto singgah di toko sepeda untuk membeli ban sepeda bagi anaknya. la begitu terperanjat saat melihat seorang pembeli sepeda membayar dengan lembaran-lembaran uang baru dari bundel berlilit ban yang amat dikenalnya. Di sebuah kota kecil peredaran uang baru mudah dikenali, terutama oleh mereka yang pekerjaan sehari-harinya berhubungan dengan uang, misalnya pegawai bank dan kantor pos. Minto pun mencari akal agar dapat keluar dari toko lebih belakang dari orang itu.
Sesudah si pembeli keluar toko dengan membawa sepeda barunya, Minto meminta izin Sumarni, pemilik toko yang sudah dikenalnya itu, untuk melihat bundelan uang tersebut. Dugaannya tidak meleset, pada ban kertas dari bundel lembaran uang baru itu terdapat parafnya di samping tulisan nama bank yang mengeluarkannya.
Dari si penjaga toko, ia tahu alamat si pembeli sepeda. Sumarni pun tidak berkeberatan saat Minto meminta ban bundel uang itu. Segera Minto menghubungi atasannya untuk melaporkan temuannya.
Setiawan sangat tanggap dan segera meminjamkan sementara sejumlah uang kepada Minto untuk bisa ditukarkan dengan uang baru yang masih berlabel di toko itu. Usaha Minto berhasil. Di kantor, lembaran-lembaran uang baru itu diteliti dengan saksama. Setelah merasa yakin, kepala kantor pos menghubungi polisi.
Dari keterangan penjaga toko pula Sersan Tehan dan Iptu Himawan mencatat nama Gito, si pembeli sepeda, dan alamatnya. Rumah orang yang mereka cari itu ada di sebuah gang sempit di bilangan kota.
Setelah pintu diketuk beberapa kali, muncullah seorang pria setengah baya. Ia mengaku sebagai ayah Gito. Katanya, sesudah membelikan sepeda untuk kemenakannya, Gito pergi lagi.
“Tadi ia disusul kawannya. Ada perlu?” ujar ayah Gito tanpa curiga karena kedua petugas tersebut tidak berseragam.
“Anu, Pak. Saya mau minta tolong pada Mas Gito untuk tukar uang ribuan baru. Kami butuh uang receh untuk hajatan.”
“Saya rasa uang barunya sudah habis dibelanjakan, sebagian pun sudah ditukar oleh teman-temannya,” sahut si empunya rumah.
“Sayang, ya, padahal saya perlu sekali. Tapi, tolonglah, Pak, di mana saya bisa mendapatkan uang baru seperti Mas Gito?” bujuk Sersan Tehan.
“Wah, saya tidak tahu persis, Nak. Mungkin, ya dari teman-teman kumpulnya.”
Teman kumpul? Benak kedua petugas itu dengan cepat menyimpulkan, pasti yang dimaksud adalah teman “berjudi”.
“Kalau begitu, mungkin kami bisa menemui Mas Gito di tempat kumpul-kumpul dengan teman lain. Kebetulan kami juga senang ‘main’, siapa tahu nanti bisa menang.”
“Em…coba saja ke Gang Sembilan, rumah di belakang warung cat hijau,” kata orang tua itu ramah. Setelah berpamitan, mereka langsung menuju rumah yang dimaksud dan berpura-pura ingin ikut berjudi.
Di sanalah mereka bertemu Gito. Berkat kepandaian para “detektif” itu, Gito terpancing menuturkan bahwa uang lembaran barunya didapat dari Slamet. Namun, sejak beberapa hari terakhir Slamet tidak pernah muncul lagi di sana.
“Katanya, ia baru menang dari penjudi kakap asal Jakarta, ia banyak uang sekarang. Selain itu ia susah dicari. Mungkin ia sudah menjadi penjudi besar, entah di mana. Yang jelas, ia tidak mau lagi main judi kecil-kecilan di kampung seperti ini,” tutur Gito.
Sementara itu di kantornya AKP Roy Cahyadi menerima laporan dari seorang anak buahnya. Ada seorang tukang kunci kawakan mengaku pernah diminta seorang anak lelaki untuk menduplikat anak kunci dengan contoh yang berbentuk aneh. Merasa kesulitan, ahli kunci itu menolak. Anak itu, katanya lagi, disuruh seorang pegawai kantor pos.
Baru saja Kapolsek Roy Cahyadi menyelesaikan catatan itu, seorang petugas piket melapor tentang penemuan sesosok mayat di Bengawan Solo.
Himawan beserta Tehan yang baru kembali di kantor, diajak serta meluncur ke tempat ditemukannya mayat. Sersan Tehan dan Iptu Himawan terkejut begitu melihat mayat itu, yang ternyata adalah Supeno, sang satpam kantor pos.
Saat itu air sungai besar bahkan hampir meluap. Dengan cepat orang menduga kematian itu kecelakaan akibat derasnya arus sungai. Tetapi menurut polisi, mayat harus diperiksa dulu oleh dokter yang berwenang untuk diketahui sebab kematiannya. Benar, dokter menemukan tanda-tanda bahwa kematian Supeno disebabkan oleh tindak penganiayaan.
Diduga sebelum diceburkan ke sungai, korban telah tewas. Himawan curiga, kematian Supeno pasti berhubungan dengan pembobolan di kantor pos.
Pencuri ceroboh
Beberapa hari kemudian Tehan mendapat kabar dari seorang informan, malam itu Slamet pulang ke rumah istrinya. Untuk menangkap tersangka, tim buru sergap Polsek segera menyusun skenario. Bharuda Saham diminta menyamar sebagai seorang wiraniaga yang menawarkan aneka pakaian anak-dnak. Saham harus datang ke rumah Slamet untuk menawarkan barang dan yang paling utama memastikan keberadaan Slamet.
Di rumahnya Slamet baru selesai mandi. Saham sempat menguping pembicaraan Slamet dengan istrinya. Saat itu tersangka Slamet sedang bersiap pergi lagi. Kendati demikian Slamet sempat menemani istri dan anaknya memilih beberapa pakaian yang kemudian mereka bayar. Tanpa membuang waktu, Saham meraih telepon genggamnya untuk menghubungi Tehan yang menunggu di warung di mulut gang.
Siang itu, Tehan sengaja menanggalkan seragam agar bisa membuntuti Slamet dengan leluasa. Mulai dari naik becak turun di pangkalan angkutan kota, terus naik minibus umum, Tehan menempel erat perjalanan Slamet.
Sementara di tempat lain Himawan langsung meneliti lembaran uang baru yang diterima Saham dari hasil berjualan pakaian anak yang dibeli istri Slamet. Selain itu Saham menyerahkan ban kertas bundel. uang yang ia pungut di rumah Slamet. Ciri-ciri ban bundel uang itu sesuai dengan penjelasan Minto. Himawan tersenyum mendapati kecerobohan Slamet. Kini bersama beberapa anak buahnya ia menunggu kontak dari Tehan.
Telepon yang ditunggunya baru berdering tiga jam kemudian. “Sekarang saya ada di Tuban. Segera siapkan operasinya,” terdengar suara Tehan dari seberang. Tuban, kota yang terletak di jalur pantai utara Jawa terasa panasnya bukan main di siang hari.
Turun di terminal, Slamet berganti angkutan kota selanjutnya masuk menuju sebuah jalan desa dengan menumpang ojek. Di pangkalan ojek itulah Tehan sempat kehilangan buruannya. Karena kehilangan jejak ia cemas kalau Slamet lolos. Ini terjadi karena kebetulan saat itu semua pengojek sedang mendapat penumpang. Terpaksa Tehan menunggu datangnya kembali pengojek itu. Sembari menunggu ia sempat menghubungi mitranya untuk secepatnya menghubungi dan berkoordinasi dengan kepolisian setempat.
Kini ia harus mengamati pengojek yang sebelumnya ditumpangi oleh Slamet. Dengan demikian pengojek itu tahu di mana Slamet turun. Tehan masih ingat benar ciri-ciri si pengojek. Motor bebeknya merah dengan helm pengemudi bergaris-garis mencolok. Ketika pengojek yang ditunggu-tunggu muncul kembali, Tehan bergegas minta diantar ke tempat Slamet diturunkan.
Pengojek berhenti di depan sebuah rumah megah berpagar tembok tinggi yang kokoh. Di muka pintu Tehan disambut oleh seorang lelaki muda berbaju kaus ketat dan rambut cepak. Untung lelaki itu tak menaruh curiga padanya, karena Tehan mengaku sebagai teman Slamet dan bermaksud ikut ‘bermain’.
Sebelum masuk ke ruangan dalam di rumah itu, Tehan terlebih dulu minta izin ke kamar kecil. Untuk kesekian kali, ia mengontak rekan-rekannya agar siap-siap bertindak. Tidak jauh dari kamar mandi Tehan melihat keranjang sampah yang berisi sejumlah robekan kertas yang mengusik ingin tahunya. Ia sempat memungut beberapa. Benar, beberapa di antaranya adalah kertas ban dengan label ban dan tulisan seperti yang dikatakan Minto. Barang itu merupakan petunjuk penting.
Selanjutnya, dengan diantar oleh penjaga, Tehan memasuki ruangan khusus yang di dalamnya banyak orang bermain kartu dengan asyik. Nampak tumpukan uang yang jauh lebih banyak daripada kartu-kartu yang mereka mainkan. Di antara tumpukan itu tampak gepokan uang yang masih dililit ban kertas baru.
Slamet kaget begitu disapa oleh Tehan sebab ia tidak merasa mengenalnya. Kegusaran Slamet tidak berlangsung lama. Pasalnya Himawan yang diiringi tim buru sergap mendadak masuk ruangan dan segera menguasai keadaan.
Slamet Priyono diringkus tanpa sempat mengadakan perlawanan. Di kantor polisi tersangka tidak bisa menyangkal semua perbuatannya, termasuk mengaku telah menghabisi nyawa Supeno.
Menurut pengakuannya, Supeno terpaksa disingkirkan sebab satpam itu sempat terbangun dan mengenal dirinya ketika pembobolan uang itu berlangsung. Maka Slamet mengancam Supeno agar tutup mulut bila ingin selamat. Belakangan ia mendapat informasi dari seorang temannya bahwa Supeno berniat berterus terang kepada pimpinannya. Rupanya, Supeno takut kehilangan pekerjaan bila kasus itu sampai terbongkar.
Kepada polisi, Slamet membeberkan tindak kejahatannya itu dilakukan bersama dua orang temannya. Handoyo, salah seorang teman Slamet, disergap di rumah perempuan simpanannya tanpa perlawanan berarti. Yang seorang lagi, pemuda bernama Sugeng, sempat melawan ketika hendak ditangkap, sehingga petugas terpaksa melepaskan tembakan ke kaki kanannya. (Sast)
Baca Juga: Masa Lalu Terekam di Kuku
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605626/petunjuknya-uang-lembaran-baru" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835926000) } } }