Intisari Plus - Istri pemilik toko ditemukan tewas terbunuh di tokonya. Saat kejadian, sang suami sedang pergi. Ia baru menemukan istrinya setelah pulang ke rumah dan bersiap-siap untuk tidur.
---------------
Tanggal 16 Januari 1913, pukul setengah tiga pagi, polisi diberitahu lewat telepon jika pencuri masuk ke toko penjual makanan di Fuerstenstrasse 3 dan istri pemilik toko terbunuh. Polisi yang berdinas malam segera pergi ke tempat itu, yang sudah dijaga oleh petugas-petugas keamanan setempat. Polisi bagian pembunuhan segera menyusul.
Di dalam toko mereka menemukan mayat istri pemilik toko tergeletak. Kepalanya dalam genangan darah. Mulutnya disumbat dengan saputangan sedangkan lehernya diikat dengan kain. Mayat hanya memakai pakaian tidur.
Tidak jauh dari mayat terdapat beberapa noda darah dengan ciri-ciri telah dibersihkan. Percikan-percikan darah tempat lain tidak ditemukan. Di atas keranjang sayuran terdapat kaleng tempat uang yang telah dibuka dan kosong. Di lantai ada dua karung penuh barang-barang dan beberapa dus sepatu baru. Di karung kiri didapati kira-kira 5 pon lemak babi.
Pintu toko tidak dikunci, sedangkan kunci tergeletak di lantai. Di atas meja ada dua kotak berisi prangko. Di belakang meja penjualan ada beberapa laci yang ditarik keluar. Isinya bertebaran di lantai.
Di kamar tidur, kedua tempat tidur seperti hendak dipakai. Di tempat tidur suami korban, terletak sebuah kotak karton besar yang kosong. Di lemari tempat menaruh pakaian dalam, ada laci dan tempat uang berisi sedikit uang receh.
Suami korban, F.A, adalah orang pertama yang menemukan istrinya dalam keadaan seperti ini. la memberi keterangan seperti berikut:
“Tanggal 15 Januari, pukul 7 malam saya pergi dari rumah untuk mengunjungi sebuah kabaret. Setelah pertunjukan selesai pukul 11 malam, saya pergi ke sebuah bar yang saya tinggalkan pukul 1 pagi. Kira-kira pukul 2 saya tiba di rumah. Tanpa menyalakan lampu saya naik ke ranjang. Karena tidak mendengar dengkur istri saya, saya menegurnya. Tapi sampai dua kali tidak ada jawaban. Jadi saya menyalakan korek api. Saya lihat tempat tidur kosong. Di depan lemari pakaian saya melihat barang-barang berserakan. Karena itu saya pergi ke toko. Di situ pun saya melihat barang-barang berantakan dan istri saya tergeletak di lantai.
“Segera saya bangunkan kemenakan-kemenakan saya yang serumah dan seorang penghuni lain bernama B. Kepada mereka saya ceritakan penemuan saya dan B lantas melapor ke kantor polisi setempat.”
Keadaan di tempat kejadian memberi gambaran seakan-akan korban memergoki pencuri dan ia dipukul oleh mereka. Tetapi para penjahat rupanya belum puas, karena menurut keterangan suami korban telah hilang pula buku tabungan berisi 2.800 mark dan uang tunai 600 mark.
Barang-barang lain yang sudah dibungkus masih ada di toko.
Hasil pemeriksaan pada pintu menyatakan bahwa pencuri tidak membuka pintu dari luar. Kunci tidak rusak, lagi pula debu di lubang kunci masih ada. Pelaku pasti masuk dari pintu lain atau harus dicari di antara penghuni rumah!
Di rumah itu tinggal dua orang kemenakan. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa bibi mereka tidur kira-kira pukul 21.00. Sang suami, F.A, pulang pukul 2 pagi.
Tetapi ketika tetangga-tetangga ditanyai, polisi mendapat keterangan bahwa seorang tetangga melihat F.A sudah berada di rumah pada pukul 23.00. Ketika menggunakan lampu senter, F.A naik tangga sebelah kanan bangunan padahal rumahnya di sebelah kiri. F.A kemudian datang lagi dan masuk ke rumah melalui tangga kiri. Kesaksian yang tidak menguntungkan ini dibantah oleh F.A yang menyatakan tidak mempunyai setelan pakaian seperti yang dilukiskan oleh saksi.
F.A lebih muda 18 tahun dari istrinya. Perkawinan mereka tidak dapat dikatakan bahagia. Ketika polisi datang ke tempat kejadian, F.A tampak seperti baru mandi. la memakai kemeja bersih dan pulover yang masih tampak garis-garis bekas lipatan setrikaan. Dalam kebingungan menemukan mayat istri, tidak mungkin orang memikirkan kebersihan diri.
Waktu tempat kejadian diperiksa, ditarik kesimpulan bahwa pencurian tidak benar-benar terjadi, tapi cuma pura-pura saja. Oleh karena itulah F.A ditahan sementara atas tuduhan membunuh istrinya dan dengan dasar-dasar seperti berikut:
F.A ditahan untuk menghindarkan ia menghilangkan bekas-bekas dan bukti-bukti. Kemenakan perempuannya yang tinggal serumah memberi kesaksian bahwa kedua suami istri ini kadang-kadang bertengkar, tapi tidak pernah serius. Namun pada suatu hari sang kemenakan pernah mendengar bibinya berkata, “Kini aku tahu mengapa engkau kemarin membawaku melewati Sungai Oder ketika menjemputku dari teater. Engkau ingin mencemplungkan aku ke air!”
Hal ini diakui F.A tetapi menurut F.A tuduhan istrinya itu tidak beralasan.
Kalau F.A melakukan kejahatan dan ia mandi setelah itu untuk menghilangkan noda-noda darah, maka dalam air bekas mandinya tentu harus ada darah. Ember air, saluran air serta handuk satu-satunya tidak memperlihatkan bekas-bekas darah. Di atas saluran air ada tetes-tetes air segar yang tidak mungkin sisa kemarin. Polisi lalu mengambil air dari lekukan-lekukan yang terdapat di saluran air, untuk diperiksa.
Ketika tempat pemanas dan tempat masak diperiksa, tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan.
Polisi memeriksa toko dengan saksama. Di ruang toko ada dua rak berisi deretan barang pecah belah. Di antara barang-barang itu dengan langit-langit, ada tempat kosong. Petugas pemeriksa menjengukkan kepalanya ke sana. Lengan sang petugas terkait pada paku. Dengan pertolongan lampu senter, sang petugas melihat bahwa pada paku itu tergantung sebuah bungkusan. Dalam bungkusan itu didapati buku tabungan dan uang yang katanya dicuri. Di lantai, di tempat yang tersembunyi dari pemandangan di balik rak itu, polisi melihat pakaian dan seprai. Pakaian itu diambil dengan kaitan besi. Ternyata baju dan celana bernoda darah serta kaos kaki basah.
Dihadapkan pada barang-barang bukti ini, F.A tersedu-sedu dan mengakui perbuatannya.
Katanya ia memang pulang pukul 23.00 dari kabaret, bukan pukul 2 pagi seperti pengakuan semula. Kemenakannya yang serumah tidak tahu ia pulang karena sudah tidur. Istrinya yang sudah berada di tempat tidur itu kemudian memulai pertengkaran. Si istri menuduh si suami mempunyai hubungan istimewa dengan kemenakan perempuan yang tinggal bersama mereka, padahal menurut si suami tuduhan ini tidak beralasan. Oleh karena itulah ia marah. Dalam keadaan ini ia bermaksud mengancam istrinya dengan kapak atau palu yang diambil dari kolong tempat tidur. Ternyata benda ini ia pukulkan ke kepala si istri. Dengan sangat ketakutan, ia berpura-pura seakan-akan ada pencuri masuk ke rumahnya.
Mulut istrinya ia sumbat dengan saputangan, lalu si istri digotong ke toko, ditaruh di lantai. Darah tidak terlalu banyak berceceran karena si istri memakai topi tidur yang tebal.
F.A melemparkan kunci ke lantai, mengisi karung-karung dengan barang, memberantakkan toko, mengganti seprai, dan menyembunyikan barang-barang berdarah serta uang di belakang rak.
Kemudian F.A mandi, melenyapkan air mengandung darah di saluran, dan memakai kemeja baru. Dua dompet istrinya ia lempar ke halaman depan. Benda-benda ini kemudian ditemukan polisi. Polisi juga menemukan kapak yang dipakai melakukan kejahatan.
F.A mengaku menyesal.
Mayat diperiksa oleh dokter. Pukulan pada kepala memang fatal, tetapi maut baru datang beberapa jam kemudian. Sumbat di mulut mempercepat kematian. Korban mati lemas sebab udara terhalang masuk ke pernapasan.
F.A diadili dan dijatuhi hukuman mati. Ia menulis surat berikut ini, yang juga mempunyai nilai psikologis yang menarik.
Breslau, 13 Juli 1913.
Saudara-saudaraku yang tercinta,
Aku ingin mencurahkan isi hatiku, menceritakan pernikahanku yang tidak bahagia, kehidupan rohaniku, kepekaanku yang sangat, pertentangan dalam diriku, dan segalanya.
Tahun terakhir ini aku tidak merasakan kedamaian hidup sama sekali, aku tidak bahagia.
Tetapi yang kuceritakan kepada kalian ini tidak kutulis dengan perasaan benci, melainkan untuk memberi suatu gambaran kepada kalian.
Setiap orang yang menebarkan benih, harus memanen hasilnya, maka aku juga bersedia menerima maut sebagai imbalan dengan harapan bahwa pengorbanan yang kuberikan ini menebus dosaku. Aku memohon kepada Tuhan agar Ia menyatukan aku kembali dengan istriku supaya kedamaian yang tidak kami rasakan di dunia fana, bisa kami dapatkan di dunia lain. Aku juga memohon kepada kalian agar jangan membenci istriku, karena kesalahan bukan hanya terletak pada pribadi-pribadi, tetapi pada keadaan pernikahan dan kehidupan.
Iparku dan kakakku yang tercinta, beritahukan juga isi surat ini kepada August. Pernah kukatakan kepada August bahwa barang-barang yang sudah tidak kuperlukan akan menjadi miliknya. Aku ingat bahwa August kusokong dengan uang, karena itu aku ingin agar barang-barang diberikannya kepada kalian. Pergilah ke tempatnya dan rundingkan baik-baik. Pakaian waktu aku ditahan kukirimkan dari sini dengan pos.
Saudara-saudaraku, aku tidak tahu apakah ketika kalian membaca surat ini aku masih hidup. Aku harap kalian mendapat kedamaian dan kecocokan dalam pernikahan kalian demi anak-anak kalian. Berdoalah sebab aku telah mengalami bagaimana pahitnya mendekati maut bila hanya berdoa sedikit saja selama hidup. Lagi pula rasa bersalah sangat mengganggu.
Saudara saudaraku yang tercinta,
Kalian masih ingat bahwa dulu aku bekerja di tambang di Schlegel. Keadaanku sengsara. Di pertambangan tidak ada kesempatan membersihkan diri dan di tempat pondokan aku malu berdiri telanjang dengan orang-orang lain. Gaji hanya pas-pasan dan tempat pondokan tidak membuat betah.
Sebagai bujangan, aku pernah berkenalan dengan seorang gadis yang baik ketika berada di pesta pernikahan August. Gadis itu mencintaiku, bukan karena nafsu, tetapi dengan tulus. Dialah yang menyarankan agar aku bekerja di pertambangan, agar bisa mengumpulkan uang untuk menikah. Tabiatnya yang lembut menarik sekali, tetapi aku masih terlalu muda untuk menikah, di samping upah belum mencukupi. Akhirnya kulupakan saja gadis itu. Padahal aku benar-benar mencintainya.
Ketika aku menghadiri pembaptisan anak kalian pertengahan bulan Agustus, aku berkenalan dengan calon istriku. Kalian mendesakkan wanita itu kepadaku. Wanita itu, yang sudah menjanda, mendesak pula meskipun tidak terang-terangan untuk menikah. la berkecukupan.
Mengingat kehidupan yang tidak membuat betah di pondokan, karena tidak mempunyai uang, tidak mempunyai pengalaman dalam hal seperti ini, serta ia penuh kasih sayang, aku menerimanya sebagai istriku tanggal 19 September padahal tanpa rasa cinta sedikit pun.
Hatiku tetap dingin dan setahun sesudah itu aku baru menyadari bahwa aku keliru.
Dengan upah dari pertambangan kami hidup di Eckersdorf. Istriku menganggap perlu memperbaiki taraf hidup kami. Ia bekerja membantu orang-orang di mana perlu. Waktu kemudian aku katakan bahwa ia tidak usah bekerja, ia menurut. Tetapi ia tidak bisa berdiam diri, ia merajut dan menjahit, kadang-kadang sejak pagi hingga malam tanpa berhenti.
Harus kuakui bahwa karena kesalahanku yang masih terlampau muda dan kurang bijaksana, kadang-kadang terjadi pertengkaran. Ia menganggap aku tidak memperlakukannya sebagaimana layaknya seorang istri diperlakukan.
Pada tahun pertama lahir seorang putri, tapi karena lahir terlalu dini ia meninggal. Kalau ia hidup, mungkin aku sangat mencintainya karena tidak ada cinta bagi istriku.
Aku mempunyai istri tetapi tidak bisa mencintainya, aku tidak mampu memeluknya, menciumnya dengan rasa sayang, dan tidak senang pergi bersamanya. Istriku merasakan hal ini dan menyatakannya sambil menangis. Sedikit demi sedikit aku mengerti dan menahan perasaan agar tidak melukai hatinya.
Karena merasa susah, ia lekas menjadi tua sehingga perbedaan umur menjadi nyata. Ia terlampau banyak bersusah hati dan jarang tersenyum. Aku pun tidak pernah merasa gembira.
Jika diadakan pesta triwulan di pertambangan, seluruh jiwa mudaku rindu kesenangan. Tetapi karena tidak merasa sayang kepada istriku, aku enggan berdansa dengan dia. Tetapi untuk tidak melukai hatinya, aku tidak berdansa dengan wanita-wanita lain. Kukatakan saja tidak suka berdansa.
Untuk tidak mengundang pergunjingan, aku tidak pernah bercakap-cakap dengan wanita-wanita lain yang umumnya muda-muda.
Kemudian istriku menyarankan agar kami membeli toko di Fuerstenstrasse 3, toko yang kemudian memberikan banyak untung tetapi juga menjadi tempat musibah.
Harga toko 2.000 mark. Mula-mula kami harus bersabar dengan memberi kredit kepada dua orang langganan yang membayar 3 bulan sekali.
Pukul 5 pagi aku sudah pergi ke pasar induk membeli sayur-sayuran, buah-buahan, dan sebagainya. Istriku menjaga toko yang buka sejak pukul 5 pagi.
Kemenakan kami yang perempuan menjajakan roti dan susu ke rumah-rumah langganan. Siang hari aku menjaga toko. Istriku dan kemenakan kami mencuci dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Setelah 3 bulan bersusah payah, kami melihat usaha kami berhasil dan pada kami timbul gairah baru. Hampir semua yang kami jalankan berhasil, kecuali bahwa cinta tidak mau timbul.
Perbedaan usia kini tidak begitu mencolok lagi tampaknya. Aku lebih tenang dan memakai janggut agar tampak lebih tua. Sementara itu istriku lebih gemuk dan tampak seperti 10 tahun lebih muda. Jadi tidak benar tuduhan orang bahwa aku membunuh karena perbedaan usia, karena aku menginginkan orang yang lebih muda. Usia tidak mengganggu pikiranku lagi.
Usaha kami bertambah lama bertambah baik. Tahun kedua kami membeli pemeras cucian baru yang dijalankan dengan listrik, jadi tidak usah diputar dengan tangan. Harganya memang 700 mark. Tetapi bukankah kami banyak mempunyai cucian dan mesin ini memungkinkan kami lebih santai? Memang banyak yang dikeluarkan untuk membeli alat-alat rumah tangga yang praktis, tapi semuanya memungkinkan kami hidup lebih enak.
Perusahaan kami tidak kalah dari perusahaan yang dijalankan oleh orang-orang yang ahli, dengan omzet 20.000 mark setiap tahun. Jika begini terus selama 20-25 tahun, sampai hari tua kami tidak akan kesusahan.
Tetapi karena keinginanku yang melampaui batas, semuanya tiba-tiba berubah. Pada saat peristiwa itu terjadi, toko penuh barang. Pakaian, pakaian dalam, sepatu, ya semua lemari kami penuh.
Mendung pertama sebetulnya terjadi 3 tahun yang lalu. Kemenakan perempuan kami selalu dicaci maki istriku. Aku menegur istriku. Tapi ia menyatakan bahwa aku tidak usah ikut campur. Kalau aku menyuruh kemenakan kami dengan baik-baik, istriku merasa dilampaui dan kemenakan itu dicaci-maki. Karena si kemenakan seorang gadis yang pendiam dan baik, aku jadi kasihan. Si kemenakan juga tahu perasaanku ini.
Malam Tahun Baru teman-teman datang dan tinggal sampai pagi. Kemenakan kami mengucapkan selamat Tahun Baru kepada semua yang hadir, dengan menyalami setiap orang. Ketika tiba giliranku, ia memandangku dengan dalam, seperti menembus lubuk hatiku. Jabatan ini dan pandangan kesetiaan menimbulkan rasa cinta, cinta yang sudah enyah dariku sejak aku berumur 21 tahun.
Sesudah Tahun Baru, karena sakit kemenakan itu harus berbaring saja beberapa hari. Aku pernah menanyakan keadaannya seraya mengelus pipinya. Cuma itu saja dan ia pun membiarkan. Aku tidak bermaksud berbuat lebih daripada itu.
Bulan Februari, istriku pergi ke Eckersdorf-Neurode selama 5 hari. Aku berdua saja dengan kemenakan ini siang dan malam. Tetapi tidak terjadi hal yang tidak-tidak. Hanya saja kami senang menikmati kedamaian beberapa hari. Aku bahkan mempunyai harapan untuk tidak usah berjumpa lagi dengan istriku.
Kemudian makin lama aku makin murung, segan berbicara dengan siapa pun juga. Kalau aku melihat pria lain bergurau dengan istrinya, tertawa-tawa dan bermesraan, hatiku jadi kecut. Aku tidak mencintai istriku, si kemenakan setiap hari ada, tetapi aku tidak boleh berbicara dengannya. Sementara itu aku dan istriku bertengkar terus dan selalu ada sindiran-sindiran tentang hubunganku dengan si kemenakan.
Setan membisikkan kepadaku agar kubunuh saja istriku. Rupanya dorongan ini begitu kuat sehingga kujalankan. Aku, yang selama ini mempunyai nama baik jadi merosot begitu rendah sehingga tidak ada hal yang baik lagi padaku. Dosaku pada Tuhan dan istriku tidak ada bandingannya.
Kalau aku dan istriku hidup dalam kedamaian, maka sebenarnya tidak ada yang lebih baik dari istriku. la bekerja siang malam, selalu sedia membantuku, dan berbuat baik bagiku. Semua kebaikannya, semua cintanya, kubalas bukan dengan rasa terima kasih. Sungguh pahit mengalami cinta dibalas demikian. Aku tidak akan menyembunyikan kesalahanku, agar dapat pergi dengan hati ringan dari dunia ini.
Tadinya aku ingin membunuh dengan gas, kemudian dengan mencemplungkannya dengan air, kemudian dengan racun. Tetapi semua tidak berjalan seperti yang diharapkan. Aku putuskan saja untuk melakukannya dengan kekerasan.
Kadang-kadang timbul pikiran untuk membatalkan saja maksud ini, tetapi aku jadi tidak tenang. Tanggal 14 Januari malam aku pergi dan keesokan paginya pergi lagi. Pada hari aku melakukan perbuatan itu, istriku melarang kemenakan perempuan kami untuk memasak bagi kemenakan laki-laki walaupun kemenakan laki-laki itu sudah membayar uang kosnya. Aku putuskan untuk melaksanakan niatku hari itu juga.
Kebencian kepada istriku baru hilang setelah berdoa setiap hari untuk arwah istriku dan mengaku dosa.
Saudara-saudaraku yang tercinta,
Kalian juga harus mengetahui bagaimana aku hidup di dalam penjara. Berkali-kali aku meminta kepada direktur agar diberi pekerjaan, tetapi tidak ia kabulkan. Mungkin lebih baik aku mempersiapkan diri untuk mati dengan berdoa.
Sejak Minggu Paskah sampai kini aku berdoa mulai pukul 5 pagi sampai pukul 8 malam. Aku mohon agar Tuhan masih mau mengampuni dosaku.
Perlakuan dalam penjara baik dan aku boleh makan sebanyak yang kuinginkan. Waktu Paskah aku ingin menarik kembali permintaan naik banding. Langit begitu biru dan alam merayakan saat kelahiran kembali. Sesudah menerima sakramen tanggal 8 Juni aku merasa puas walaupun tidak mendapat pengampunan karena aku merasa memang harus menerima hukuman. Aku malah berdoa agar dapat mati. Surat kalian kuterima tanggal 8 bulan ini. 2 jam kemudian dinyatakan permohonan ampun tidak dikabulkan. Hari berikutnya jam setengah enam aku harus meninggalkan dunia ini. Agak tiba-tiba datangnya, kusangka masih beberapa minggu lagi. Tetapi aku tenang menerimanya karena telah bersedia menebus kesalahan dengan jiwa.
Andai kata aku mau, imam akan tinggal denganku semalaman di dalam sel. Pagi-pagi akan diadakan misa di dalam sel. Aku akan pergi dengan damai, sambil memohon agar diberi tempat oleh Tuhan karena tidak pantas lagi menginjak dunia.
Hermann dan Agnes yang tercinta, sekali lagi kumohon agar kalian memaafkan aku dan juga istriku kalau seandainya kami tidak berlaku seperti seharusnya kepada kalian. Apalagi terhadapmu Hermann, karena ada hal kecil padamu yang tidak kusukai, yang tidak mau kukatakan, tapi kamu tahu apa itu. Semoga Tuhan membalas kasih sayang kalian kepadaku. Kalian benar-benar kawan pada saat diperlukan, padahal hal ini tidak pernah kusangka. Terima kasih kepada kalian berdua karena mengunjungi dan tidak memandang rendah kepadaku.
Kakakku yang tercinta, hendaknya engkau dengan segera menggunakan uang itu untuk membayar misa suci bagiku dan istriku. Katakan kepada Anna, aku tidak marah kepadanya, ia belum mengenal hidup dan aku tidak pantas dihargai. Salamku yang terakhir buatnya.
Hermann yang baik, katakan kepada August bahwa aku tidak menulis kepadanya. Aku masih ingin bercerita tetapi waktunya sudah terlampau pendek, sudah pukul 2 dini hari. Dalam angan-anganku, kuulurkan tangan kepada kalian, sebagai tanda perpisahan. Semoga Tuhan melimpahkan perdamaian dan kesehatan kepada kalian dan jangan lupakan aku serta istriku dalam doa.
Adik ipar kalian,
F.A
(O. Polke)
Baca Juga: Petualangan Sang Belalang
" ["url"]=> string(80) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760922/suaminya-seperti-baru-selesai-mandi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1685096927000) } } }