Intisari Plus - Suatu hari Nyonya Holzmann dilaporkan menghilang. Saat diselidiki, beberapa barang berharganya pun turut raib. Penyelidikan menuntun polisi pada pelaku yang ternyata penyewa rumahnya.
---------------
Tahun 1821 di kota Augsburg, seorang buruh harian bernama Maria Anna Holzmann yang berusia 55 tahun, menyewa sebagian rumah tukang sepatu Schicht. Bagian rumah itu disewakan lagi oleh wanita ini kepada orang lelaki bernama Georg Rauschmaier dan Joseph Steiner. Di sana mereka hanya tidur saja.
Pada hari Jumat sebelum Paskah Nyonya Holzmann menghilang tanpa memberitahu ke mana ia pergi kepada kedua pria tadi. Juga kepada pemilik rumah yang tinggal di seberang jalan. Rauschmaier memberi keterangan bahwa beberapa hari kemudian ia membereskan kamar-kamar yang ditinggalkan hari Jumat pagi-pagi sekali oleh nyonya rumah. Semua kunci rumah ditinggalkan.
Baru pada tanggal 17 Mei pemilik rumah melapor pada polisi bahwa penyewa rumah tidak ada di tempat. Diadakanlah penggeledahan rumah bersama dengan abang dan ipar orang yang dicari. Maka menurut kerabat Nyonya Holzmann, beberapa barang milik wanita itu tidak ada. Kemudian terbukti bahwa yang hilang kebanyakan yang paling berharga. Nyonya Holzmann meskipun mendapat tunjangan dari pemerintah, memiliki pakaian yang baik dan barang-barang lain.
Orang menyangka bahwa ia mempunyai uang tabungan berjumlah bresar tetapi ini tidak benar. Mereka yang ikut membuat inventaris diganggu oleh bau tidak sedap. Bau itu terbukti datang dari pispot-pispot penuh di kamar kedua penyewa.
Baik penyelidikan polisi dan juga pemeriksaan pengadilan tidak membawa hasil. Abang kandung Nyonya Holzmann menyatakan bahwa mungkin adiknya pergi ke tempat lain lalu bunuh diri. Mungkin karena ia telah meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi dan tidak mendapatkan uang kembali untuk membayar sewa rumah. Pada waktu itu orang jarang memikirkan pembunuhan.
Rauschmaier, yang pada tanggal 23 Juni didengar kesaksiannya menyatakan di bawah sumpah, bahwa wanita itu telah pergi pada hari Jumat sebelum Paskah. Menurutnya, ia ditemani seorang wanita yang tidak dikenal dan tidak kembali lagi. Rauschmaier tidak tahu ke mana keduanya pergi atau apa yang terjadi dengan kedua wanita itu.
Perkara itu didiamkan hingga tanggal 2 Januari 1822 yaitu sampai tukang cuci Therese Beltler yang menjanda, yang tinggal di rumah tukang sepatu Schicht, memberikan keterangan berikut polisi. “Tadi waktu saya bersama anak saya yang berusia 18 tahun akan menggantungkan jemuran di loteng bekas kediaman Nyonya Holzmann, kami menemukan tulang paha dan badan atas seorang manusia. Itu mungkin orang yang sudah lama dicari, Nyonya Anna Holzmann.”
Segera pengadilan mengirimkan petugas. Pertama ditemukan tulang paha kiri di bawah rumput kering, kemudian tungkai dan kaki. Lalu enam langkah dari penemuan itu, di antara genteng dan cerobong asap, ditemukan badan manusia tanpa kepala, tanpa lengan dan tungkai. Di sudut lain ada sepotong baju dalam wanita dan syal merah. Semuanya penuh darah. Semua pakaian dikenali oleh seorang pencuci lain sebagai pakaian yang dipakai Anna Holzmann sehari-harinya.
Waktu diadakan penyelidikan lebih lanjut, ditemukan sebuah lengan kanan dekat cerobong. Lantai di kamar kedua pria dibongkar. Di sana tidak hanya ditemukan tungkai yang dibengkokkan pada lutut dengan kaki tetapi lengan kiri Nyonya Holzmann dibungkus kemeja tua.
Hanya kepala tidak ditemukan meskipun telah dicari dengan teliti. Kemudian terungkapkan bahwa seorang petugas di kanal Sungai Lech, yang bekerja di sebuah pabrik yang dekat dengan rumah tukang sepatu Schicht, pada hari Pantekosta tahun sebelumnya telah menemukan tengkorak manusia yang sudah tidak berdaging. Karena tengkorak tampak seperti diambil dari makam tua, sesudah diperlihatkan kepada abangnya, maka tengkorak itu dibuangnya kembali ke air. Karena kanal Sungai Lech hanya beberapa meter dari rumah tukang sepatu dan tengkorak yang ditemukan dikatakan kecil dengan hanya dua atau tiga geraham di rahang, maka diambil kesimpulan bahwa itu adalah tengkorak Nyonya Holzmann. Arus kanal telah membawanya ke dalam sungai. Pada tengkorak yang ditemukan, katanya tidak terdapat kelainan atau bekas luka.
Kaki, tangan, dan badan yang ditemukan telah mengecil dan sangat berubah karena letaknya yang terjepit. Oleh karena itu yang berwajib merendamnya beberapa hari di dalam air dan kemudian dibungkus dengan alkohol agar bentuknya kembali seperti semula.
Hasil penyelidikan disimpulkan sebagai berikut: Peninggalan-peninggalan yang dikumpulkan bukan peninggalan dari beberapa badan, akan tetapi dari sebuah badan manusia yaitu badan wanita. Orangnya mempunyai tulang belulang halus dan tidak lebih tinggi dari 1,5 meter, berbadan semampai. Pada bagian badan dan anggota badan lainnya tidak ada bekas luka-luka.
Pembunuhan harus terjadi pada bagian badan atas. Lengan dan tungkai lepas dari tempatnya dengan demikian baiknya. “Seperti dilakukan oleh seorang ahli,” kata dokter pengadilan. Pasalnya, pada lengan dan tungkai tidak ada bekas-bekas cedera.
Akan tetapi pada pemeriksaan ini terungkap sesuatu yang tidak diduga. Waktu dokter pengadilan meluruskan lengan kiri, maka terjatuhlah di lantai sebuah cincin dari lekukan siku. Menurut dugaan, cincin ini milik si pembunuh, yang pada waktu memisah-misahkan anggota badan telah “menitipkan” cincinnya pada mayat.
Nyonya Holzmann yang hilang, dilukiskan oleh kerabat dan teman-temannya sebagai seorang wanita yang kecil langsing, yang kaki kanannya jauh lebih besar dari pada kaki kiri. Tulang ibu jarinya pernah dioperasi. Semua ciri-ciri itu tepat pada mayat yang ditemukan. Selain itu, abang dan ipar Nyonya Holzmann mengenali mayat yang dijadikan satu kembali itu sebagai badan Maria Anna Holzmann.
Penemuan mayat yang dirusak di rumah Nyonya Holzmann menyebabkan tuduhan jatuh pada kedua pria yang juga tinggal di rumah itu. Tidak ada kemungkinan seorang yang asing yang melakukannya. Salah seorang atau kedua pria penyewa telah melakukan pembunuhan yang membutuhkan waktu yang lama itu. Keduanya tinggal begitu lama tinggal di rumah itu, padahal di mana-mana berserakan tubuh nyonya rumah. Mustahil mereka tidak menemukannya.
Tidak lama kemudian, diketahui oleh pengadilan, bahwa Rauschmaier sudah pada hari Sabtu sebelum Paskah dan pada hari Rabu berikutnya, menjual beberapa surat-surat berharga kepunyaan Nyonya Holzmann. Rauschmaier dibantu oleh seseorang yang bernama Nyonya Ditscher. Ia adalah pacarnya. Beberapa barang milik Nyonya Holzmann pun telah dibawa keluar rumahnya dan dijual.
Pada tanggal 2 Januari, yaitu saat ditemukan mayat yang sudah terpotong-potong, Georg Rauschmaier ditangkap. Di antara milik pribadinya ditemukan dompet yang sudah usang. Di dalam dompet itu ada sebuah surat keterangan yang aneh, yang dicetak di kota Köln dan dihiasi dengan beberapa gambar Santa.
Katanya surat ini merupakan “surat jalan” yang membebaskan semua kejahatan, apakah itu membunuh, mencuri, dan dipakai sebagai jimat oleh para penjahat.
Waktu didengar kesaksiannya, Rauschmaier memberikan banyak tambahan. Seperti bagaimana induk semangnya pergi pada hari Jumat sebelum Paskah (pagi-pagi sekali) dan kemudian tidak kembali lagi. la santai saja dan tidak tampak gugup waktu diperlihatkan mayat. Katanya ia tidak mengenal orang yang sudah meninggal itu.
Pada tanggal 22 Januari, ia menyatakan ingin memberi keterangan tetapi ternyata hanya ingin meminta kebebasannya. Hari berikutnya ia melapor kembali. Bukan untuk mengaku telah membunuh, akan tetapi katanya ia telah menggaet barang-barang induk semangnya beberapa hari setelah wanita itu pergi. Ia menyuruh pacarnya untuk menjual barang-barang itu.
Hakim tidak memberi komentar. Tertuduh minta melihat beberapa pakaian kepunyaan Holzmann. Ia mengakui bahwa pakaian itu milik induk semangnya. Kemudian ia diperlihatkan dua anting-anting, dua gelang emas, dan juga cincin dari tembaga yang ditemukan di lengan mayat.
Karena menginginkan barang-barang tadi, maka Rauschmaier menyatakan, “Anting-anting yang diperlihatkan kepada saya tadi, juga gelang-gelang, dan cincin tembaga kepunyaan saya. Cincin tembaga selalu saya pakai, sampai 4-5 minggu sesudah Paskah. Kemudian saya menggantikannya dengan kedua gelang emas. Cincin tembaga pas pada kelingking tangan kanan saya.” Ketika dicoba, memang agak pas, meski sedikit longgar. Jadi memang benar bahwa cincin itu miliknya.
Pada tanggal 11 Maret 1822, pengadilan mengadakan pemeriksaan khusus pada Rauschmaier, Steiner, dan Elisabeth Dietscher.
Pada pemeriksaan pertama, Rauschmaier mengaku bahwa ia telah mencuri barang-barang milik induk semangnya 14 hari sesudah sang induk semang menghilang. Waktu diperiksa untuk kedua kalinya, pengakuannya tetap sama akan tetapi sudah tidak begitu yakin. Ia menjawab dengan terbata-bata, kadang-kadang wajahnya merah, kadang-kadang pucat.
Akan tetapi sesudah diperiksa untuk ketiga kalinya, ia menangis dan berlutut. “Tuan Komisaris, saya mengetahui bahwa Anda ingin melindungi saya. Waktu itu Anda telah berbicara baik-baik dengan saya. Kini saya akan mengaku apa yang sebenarnya terjadi.” Ia pun benar-benar melakukannya.
Georg Rauschmaier, sejak kecil tinggal di kota Augsburg. Dia anak sah seorang penjual roti, yang istrinya merangkap menjadi bidan. Waktu melakukan kejahatan Rauschmaier berusia 34 tahun. Saat memberi kesaksian, Ibu dan kakaknya menyatakan bahwa sudah sejak kecil ia memiliki tabiat yang berbeda dengan kakaknya. Ia kasar, cepat marah, dan tidak jujur. Rauschmaier juga pemalas dan kerap menghabiskan uang.
Rauschmaier menerangkan bahwa ia bertabiat demikian karena pendidikannya diabaikan orang tuanya. la tidak disuruh pergi ke sekolah dan tidak diberi pelajaran apa pun. la tidak dapat membaca ataupun menulis. Ia bahkan tidak mengetahui apa-apa tentang agama. Sehingga pada waktu perkaranya berakhir, ia harus diberi pelajaran agama dahulu oleh seorang pastor agar boleh menerima komuni.
Segera sesudah usia 7 tahun, ia menjadi pembantu tukang batu. Di musim dingin ia bekerja sebagai pembantu tukang cat di pabrik-pabrik. Waktu berusia 13 tahun, ia belajar memahat selama 3 tahun. Pada umur 16, ayahnya meninggal dunia. Ia masuk tentara Austria. Sesudah Perang Dunia berakhir dan kesatuannya dilebur, ia pergi kembali ke Augsburg dan bekerja di beberapa tempat. Para majikan berkata, ia tidak begitu rajin dan berkelakuan kasar. Karena itu ia tidak pernah lama di satu tempat.
Pada tahun 1807 ia menjadi kusir dalam ketentaraan Bavaria di Augsburg. Tidak lama kemudian ia melarikan diri. Ia masuk ketentaraan Austria dan melawan tanah airnya sendiri di medan perang. Di tahun yang sama, ia berbalik lagi ke tentara Jerman di Bavaria. Di sana ia dituduh mencuri kereta dorong. Akhirnya dalam kesatuan tadi, ia mengalami kesukaran-kesukaran dan bahaya di waktu berperang di Rusia. Perlakuan di rumah-rumah sakit menyebabkan ia berlaku lebih kasar. Waktu kesatuannya sedang dalam perjalanan pulang, ia sempat mencuri barang atasannya seharga 109 mark. Untuk itu, ia dihukum 15 bulan penjara. Sesudah keluar dari penjara, ia berdiam kembali di Augsburg. Beberapa tahun ia bekerja, kadang-kadang di perusahaan batu, penebang kayu atau sebagai kuli pengerjaan jalan.
“Dari sejarah hidup saya, Anda dapat melihat bahwa saya diabaikan,” begitu katanya kepada hakim, “dan karena itu saya jatuh begini rendah dalam kehidupan. Saya selalu membutuhkan uang dan akhirnya tidak mengetahui dari mana saya harus mengambil uang itu.
“Saya ingin membeli baju dan juga ingin makan enak. Akhirnya saya mendapat gagasan untuk membunuh induk semang saya, Maria Anna Holzmann. Ia memiliki banyak barang bagus dan tampak mempunyai uang simpanan. Saya memutuskan untuk mencekiknya, itu memang cara yang termudah. Selain itu, mencekik tidak menimbulkan keributan dan tidak meninggalkan bekas-bekas darah.
“Di rumah sakit di Rusia, saya sering mendengar para dokter berkata bahwa badan yang dicekik dan kehabisan napas, tidak banyak mengeluarkan darah jika dipotong-potong. Saya telah membuat keputusan membunuh sejak 8 hari sebelum Jumat terakhir sebelum Paskah.
“Sejak hari itu saya sudah tidak tenang lagi. Kadang-kadang saya lupakan gagasan itu, kadang-kadang saya ingin melakukannya. Karena pada hari Jumat sebelum Paskah, pagi-pagi semua orang sedang di gereja dan juga Steiner sedang bepergian. Maka di antara jam 8 dan 9, saya hanya berdua di rumah dengan Nyonya Holzmann. Segera saya menggunakan kesempatan ini. Tanpa berkata apa-apa saya masuk ke dalam kamarnya dan menerkamnya waktu ia menuju ke tempat tidur. Saya mencekiknya 4 hingga 5 menit. Ia meninggal tanpa dapat melawan. Ia juga tidak menderita sakit karena ia memang seorang yang lemah dan tidak mengeluarkan suara apa pun. Waktu saya lihat bahwa ia sudah meninggal, saya jatuhkan badannya di lantai.
“Di dalam lemari yang terbuka, saya cari uang dan juga barang-barang perhiasan. Saya kecewa sekali. Selain barang-barang yang sudah saya sebut, uang tunainya tidak lebih 8 Kreuzer 2 Pfenig.
“Kira-kira setelah seperempat jam dan mayat sudah dingin, saya menyeretnya dari kamar. Saya membawanya ke ruang yang terletak di depannya.
“Saya mengambil keputusan untuk memotong-motongnya dalam beberapa bagian agar bisa memusnahkan mayat. Pisau besar yang saya pakai kemudian saya buang ke Sungai Lech.
“Ketika berada di rumah sakit di Rusia, saya melihat bagaimana mayat dipotong-potong. Pertama-tama saya letakkan Nyonya Holzmann di lantai dan menelanjanginya. Kemudian, bahu kanan saya potong. Diikuti dengan pinggul kanan, pinggul kiri, dan tungkai kiri. Akhirnya saya memotong leher. Karena kepala tidak dapat ditarik maka saya menekannya keras-keras agar lepas. Masih tersisa beberapa tulang-tulang leher. Pemotongan telah selesai. Saya tidak memerlukan waktu lebih dari satu jam.”
Ia menyembunyikan bagian-bagian mayat di beberapa tempat. Kira-kira jam 10 malam, ia membuang kepala yang dibungkus dalam serbet ke Sungai Lech. Anting-antingnya diambil dulu. Ia juga membuang pakaian Nyonya Holzmann.
Setelah melakukan kejahatan di hari Jumat sebelum Paskah, antara jam 10 dan 11 pagi, ia pergi ke gereja St. Moriz. Menurut pengakuannya, ia tidak dapat berdoa karena malu dan ketakutan.
“Saya tahu,” begitu katanya, “bahwa pembunuhan ini adalah kejahatan besar. Akan tetapi saya kekurangan uang. Keinginan untuk mendapatkannya demikian besar sehingga saya tidak memikirkan akibat kejahatan tadi. Lagi pula tidak begitu sukar rasanya mendapatkan uang dengan cara membunuh induk semang. Bahwa mayat dipotong-potong baru terpikir sesudah membunuh. Sementara memotong-motong dan menyembunyikan bagian-bagian mayat, saya sangat ketakutan. Sejak itu saya tidak bisa senang kembali.”
Tentang cincin tembaga ia menjelaskan bahwa cincin itu mungkin terlepas sewaktu memotong-motong. Waktu hakim berkata bahwa cincin itu ditemukan di sela lengan kiri korban maka ia enak saja menjawab, “Ya, ya. Mestinya begitu. Cincin itu tentu tertinggal di sela-sela siku Nyonya Holzmann karena pada waktu itu saya memakainya di jari kelingking tangan kanan.”
Sesudah mengaku tertuduh tetap tenang. Agaknya ia ingin bertobat dan sering menangis keras.
Meskipun tertuduh telah mengaku membunuh Nyonya Holzmann, masih diperlukan keterangan medis mengenai sebab-sebab kematian korban. Keterangan itu berbunyi, “Kejahatan yang dilakukan pada Nyonya Holzman dengan pencekikan leher dan tekanan pada bagian dada. Semua itu cukup untuk membunuh orang yang lemah ini dalam jangka waktu 4 sampai 5 menit.”
Rauschmaier membuktikan bahwa di Eropa masih ada orang-orang yang hidup dan berlaku seperti orang-orang yang tidak beradab. Tertuduh kedua Joseph Steiner, tukang kayu berusia 34 tahun yang dilahirkan di Augsburg juga. Ia juga memiliki pendidikannya sama dengan Rauschmaier. Tukang kayu itu adalah contoh yang lebih parah lagi.
Pada waktu ditanya mengenai hilangnya Nyonya Holzmann, ia tidak bisa mengucapkan sumpah. Pasalnya, ia sama sekali tidak mengerti arti sumpah itu. Sesudah keterangan diberikan, hakim menyatakan bahwa, “Saksi sepertinya berada pada tingkat kebudayaan yang terendah dan hampir-hampir tidak dapat menyelami arti sesuatu. Ia bodoh dan jawaban diberikan dengan bersusah payah.”
Sesudah ditangkap, ia bukan hanya menyatakan dirinya tidak bersalah akan tetapi juga mengaku tidak mengetahui sama sekali bahwa Nyonya Holzmann menghilang.
Mendengar itu hakim memberi pernyataan, “Kelakuannya membuktikan kebodohannya. Ia harus ditanyai dengan cermat, baru dapat menjawab.”
Pada tanggal 15 Januari ia dimintai keterangan perihal keluarga dan keadaan keuangannya. Dengan tidak diminta ia memberikan keterangan yang panjang lebar.
“Pada hari Jumat sebelum Paskah, saya pulang antara jam 10 dan 11 malam. Biasanya saya masih mengucapkan selamat tidur kepada induk semang saya. Tapi waktu itu ia tidak saya temukan di tempat tidur. Karena saya menyangka bahwa ia tidak akan pulang, malam itu, saya sendirilah yang tidur di situ.
“Tengah malam saya sepertinya mendengar pukulan atau sesuatu jatuh di kamar sebelah, lalu seperti ada yang ditarik ke sana kemari. Hari Sabtu sebelum Paskah saya pulang jam 10 malam. Teman saya Rauschmaier membukakan pintu. Ia tidak memperbolehkan saya masuk ke kamar induk semang. Ia memberikan lampu kepada saya dan menganjurkan saya tetap di kamar saja. Baru saja saya berbaring di tempat tidur, dari atas hidung dan punggung saya terkena tetesan sesuatu.
“Pagi-pagi baru saya ketahui bahwa tetesan itu darah. Saya tanyakan hal ini kepada teman saya Rauschmaier. Ia menjawab bahwa ia tidak mengetahui dari mana tetesan darah itu berasal. Tidak perlu diacuhkan, katanya.
“Mula-mula saya tidak memusingkan hal itu, akan tetapi waktu saya disuruh melihat mayat induk semang, maka segera terpikir bahwa ia dibunuh oleh Rauschmaier. Saya sendiri tidak pernah berbuat apa-apa terhadap induk semang saya.”
Hakim pada akhir keterangan Steiner menyatakan bahwa Steiner telah bersusah payah bercerita dengan baik. Ia berbicara tanpa malu-malu dan membuktikan bahwa pikirannya tidak seperti yang diperkirakan hakim.
Pada tanggal 4 Februari sekali lagi Steiner melapor. Waktu ditanyakan apa yang akan dilaporkan, ia menjawab, “Kini saya ingat hal lain. Memang saya suka lemah ingatan. Mungkin saya salah memberi kesaksian dahulu itu. Kalau kuda bisa terpeleset, apalagi saya.”
Ia kemudian meralat kesaksiannya. Ia bukan pada hari Jumat malam tidur di tempat tidur Nyonya Holzmann, akan tetapi pada hari Sabtu sebelum Paskah. Darah bukan menetes pada hidung dan punggung pada hari Jumat akan tetapi pada hari Kamis.
Pada hari Jumat pagi ia berkata pada Rauschmaier, “Kamu tidak membunuh induk semang kita, ‘kan?” Si Rauschmaier mengancam akan memukulnya sampai mati, jika ia berkata tentang darah ataupun induk semang.
Rauschmaier memperlihatkan tongkat besar dan berkata, “Nah, lihatlah, dengan tongkat ini saya akan memukulmu sampai mati, jika engkau menceritakan sesuatu.”
“Karena ia mengancam saya dan saya takut, maka saya tidak mengatakan apa-apa pada siapa pun. Tetapi Anda, Tuan Komisaris, boleh percaya bahwa teman saya yang kuat itu yang berada di penjara, membunuh induk semang. Kini saya ingat juga, bahwa pada hari Minggu Paskah, darah dibersihkan dengan baik. Mungkin membersihkannya dengan kemeja saya yang tua karena saya menemukannya di sudut kamar tidur dalam keadaan penuh darah. Teman saya Rauschmaier tentu mengerjakan hal ini agar saya disangka sebagai pembunuh. Saya ingat bahwa Rauschmaier 8 atau 14 hari sebelumnya bercanda bergulat dengan induk semang. Ia hanya melakukan hal itu untuk mengetahui apakah induk semang itu kuat. Mungkin waktu itu ia mempunyai pemikiran untuk membunuhnya. Sebab bercanda semacam itu tidak lazim dilakukan orang. Orang baru melakukan sesuatu, jika hasil latihan baik.”
Sesudah itu sekali lagi Steiner mengulangi dengan teliti apa yang telah diceritakan. Ia masih menambahkan hal baru, “18 hari sesudah Paskah, saya pergi ke restoran Zum blauen Kruegel dengan Rauschmaier. Waktu kami berdua saja, ia ingin memberikan cincin perak dan sepasang anting-anting. Tujuannya agar saya tidak menceritakan apa-apa tentang darah dan induk semang. Akan tetapi saya tidak mau menerima apa-apa dari dia.”
Keterangan-keterangan Steiner ini besar kemungkinan mendekati kebenaran. Apa yang diceritakannya hampir semua cocok dengan fakta-fakta penting, selama Rauschmaier belum mengaku benar-benar.
Waktu Rauschmaier untuk pertama kali mengaku bersalah, ia ditanya apakah masih ada orang lain yang mengetahui tentang perbuatannya. Ia menjawab, “Tidak, tidak ada orang lain yang mengetahui. Saya sendiri yang bertekad dan saya sendiri yang menjalankannya hingga akhir. Karena saya tidak mempercayai siapa pun. Jika Joseph Steiner ataupun Elisabeth Ditscher dituduh terlibat, maka dengan ini saya menyatakan bahwa mereka tidak bersalah. Saya juga tidak percaya bahwa Steiner mengetahui sesuatu tentang perbuatan saya. Ia tidak berkata apa-apa pada saya.”
Pada kesempatan lain diberitahukan bahwa Steiner telah memberi kesaksian tentang penemuan bekas-bekas pembunuhan induk semang mereka.
“Bohong,” kata tertuduh. “Ia tidak berkata apa-apa. Dia itu terus berbohong. Jika ia mengetahui sesuatu, tentu ia akan segera melapor. Mengapa saya akan berbohong jika memang demikian?”
Pada waktu Steiner didengar kembali, maka ketidakcocokan keterangan Steiner dengan pengakuan Rauschmaier dipecahkan Steiner dengan mudah.
“Ya, memang saya dungu dan banyak berbicara yang tidak-tidak. Saya mohon maaf jika saya berbohong. Saya hanya berpikir, mungkin teman saya itu yang membunuh induk semang dan saya yang dituduh. Meskipun saya sama sekali tidak bersalah. Lalu saya mengatakan saja yang kebetulan terlintas dalam pikiran saya. Itu untuk memperkuat tuduhan terhadap teman saya itu dan meyakinkan bahwa saya tidak bersalah.
“Jadi semua mulai dari menetesnya darah di atas hidung dan kemeja saya, mendengar diseretnya sesuatu ke sana kemari, pembicaraan saya dengan Rauschmaier dan ancamannya, pemberian hadiah dan Iain-lain, semua itu bohong.
“Saya sendiri heran, bagaimana saya dapat berbohong demikian. Saya tidak mendengar maupun melihat apa-apa. Namun saya hanya menyangka bahwa induk semang dibunuh, ia mungkin tergeletak di ruangan atas dan ia dibunuh oleh Rauschmaier. Saya hanya memikirkan bagaimana semuanya mungkin terjadi. Bagaimana saya dapat berpikiran demikian! Hampir-hampir saya percaya sendiri. Maafkanlah kebodohan saya. Saya kerbau, saya keledai. Lihatlah sebodoh apa saya ini! Kini baru saya sadari bahwa dengan segala keterangan bohong tadi, saya malah melibatkan diri. Tetapi saya berharap bahwa tidak akan ada akibatnya, karena saya tidak melakukan apa-apa pada si induk semang.
“Saya kira, saya akan menyenangkan pengadilan jika saya memberi kesaksian melawan Rauschmaier. Namun semua kesaksian hanya khayalan saya. Karena saya memang menganggap dia itu pelakunya.”
Pembela Rauschmaier, mempunyai pengertian yang dalam untuk keadilan dan etika, maka ia tidak mengulangi kisah mengerikan tertuduh dalam pembelaannya. Kebanyakan ia hanya menekankan pendidikan yang diabaikan di waktu tertuduh masih kanak-kanak.
Pengadilan di Neuburg akhirnya membuat keputusan. Karena terbukti melakukan pembunuhan, maka Georg Rauschmaier dihukum mati. Setengah jam sebelum dilakukan hukuman, ia akan dipertontonkan pada tiang hukuman oleh pembantu algojo. Kemudian hukuman akan dijalankan dengan penggalan kepala. Karena tidak dianggap bersalah melakukan pembunuhan, maka Joseph Steiner dibebaskan dari hukuman. Nyonya Ditscher dianggap bersalah melakukan pencurian dan dihukum 8 hari penjara.
“Dalam hal ini,” begitu isi keputusan, “semua fakta telah dibuktikan, meskipun kepala korban tidak ditemukan. Pembunuhan yang atas dasar pengakuan-pengakuan harus dianggap telah terbukti. Art. 269, 270, 271, II Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
“Hanya keserakahan yang dapat menjadi sebab pembunuhan. Hanya tertuduhlah yang memiliki surat-surat berharganya, yang sebagian sudah dijualnya sehari sesudah Nyonya Holzmann dinyatakan hilang. Sedangkan sebagian lagi masih disimpan dan belum dijual.
“Sebagai seorang yang menyewa di rumah Nyonya Holzmann, ia mempunyai kesempatan baik untuk memotong-motong mayat sesudah melakukan pembunuhan. Sebagian besar potongan-potongan disembunyikan di rumah.
“Abang, ipar, dan seorang teman dekat korban, telah bersumpah mengenal mayat yang dipotong-potong sebagai mayat Nyonya Holzmann. Itu diketahui dari siluet badan, kecilnya anggota badan, dan kaki kanan yang bengkak. Korban selalu kesakitan waktu ia masih hidup dan ibu jarinya telah dibuang.
“Steiner juga memberi keterangan yang sama. Lagi pula, pakaian yang dipakai untuk membungkus sebagian dari mayat adalah milik korban, begitu juga yang penuh darah dan disembunyikan dekat bagian badan. Tidak mungkin bahwa kebetulan ada mayat perempuan lain di rumah itu yang dibungkus dengan pakaian Nyonya Holzmann.
“Pada anggota-anggota badan dapat diperhitungkan pemotongan sesudah ajal dan tidak ditemukan bekas penganiayaan. Keterangan dokter yang pertama menyatakan bahwa luka yang menyebabkan kematian hanya pada bagian di atas bagian badan, karena tusukan di leher atau pengikatan pada leher atau lemas karena mendapat pukulan di atas kepala.
“Tertuduh mengaku bahwa ia pada hari Jumat sebelum Paskah 1821 menyergap Nyonya Holzmann, mendekap dengan seluruh badannya, mencekiknya 4 hingga 5 menit dan sesudah seperempat jam memotong-motong mayat. Keterangan kedua dari dokter menyatakan bahwa kekerasan tadi cukup untuk mengakhiri nyawa seorang yang tua, kurus, dan lemah saraf.
“Pengakuan tertuduh telah diulangi beberapa kali di depan pengadilan dan dibubuhi dengan semua tambahan. Semuanya tepat sama dengan keadaan, juga karena sebuah cincin tertuduh ditemukan pada mayat yang dipotong-potong. Tertuduh mengaku telah menyembunyikan badan yang dipotong-potong serta pakaian apa saja yang digunakan untuk membungkus potongan mayat. Tertuduh bermaksud untuk membunuh Nyonya Holzmann dan mengambil uang dan surat-surat berharga 5 hari sebelum ia melakukan kejahatan. Ia telah melakukannya dengan kejam dan hati-hati.
“Oleh karena itu, menurut Art. 146 dan 147 Nr. IV Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ia dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan. Menurut hukum tadi, tidak dapat dipertimbangkan untuk meringankan hukuman, dan ia harus dijatuhi hukuman mati.”
Kementerian Kehakiman membiarkan keadilan berlaku. Hanya saja karena pengampunan raja, maka terhukum tidak usah dipertontonkan pada tiang hukuman sebelum hukuman dilakukannya.
(Ansehn von Feuerbach)
Baca Juga: Ternyata Tidak Ada Jalan Kembali
" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760997/cincin-yang-mengungkapkan-rahasia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683802801000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448522" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/awas-rokok-bisa-membunuhmu_and-20220831011727.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Di musim panas, sebuah gudang terbakar. Pemuda lontang-lantung yang hobi berbuat onar jadi korbannya. Sebuah pembunuhan yang disengaja?" ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/awas-rokok-bisa-membunuhmu_and-20220831011727.jpg" ["title"]=> string(28) "Awas, Rokok Bisa Membunuhmu!" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:18:04" ["content"]=> string(23830) "
Intisari Plus - Di musim panas, sebuah gudang di tengah ladang terbakar. Pemuda lontang-lantung yang hobi berbuat onar jadi korbannya. Sebuah pembunuhan yang disengaja?
-------------------
Tak ada yang bisa diselamatkan dari bangunan gudang yang terbakar itu. Truk pemadam kebakaran memang datang, tapi api lebih cepat melumatkan segalanya yang mudah terbakar. Apalagi didukung musim panas yang kering bulan Agustus itu. Bangunan berlantai panggung yang sebagian besar terbuat dari kayu itu juga berisi mebel, mesin perontok biji jagung, peralatan perbengkelan, beberapa kamar di ruang besar yang biasa diinapi pegawai, sepeda dan sepeda motor, gerobak dorong, dan banyak lagi perkakas dan alat rumah tangga.
Kepala tim pemadam, Karl Heinz Aloffs, sementara menyimpulkan, api berasal dari rokok yang menyulut serpihan rambut jagung yang lembap oleh ceceran minuman keras dari botol-botol yang berserakan. Kaleng-kaleng bir penyok menghitam, begitu pula seperangkat peralatan tata suara.
Meski ada kemungkinan kebakaran akibat arus pendek listrik, Aloffs yakin betul bahwa sistem kelistrikan setiap bangunan di Augsburg, kota kecil di Jerman bagian selatan, sekitar 90 km di barat laut Muenchen, itu sangat bagus. Hampir tak ada kasus kebakaran berpangkal dari masalah listrik. la seratus persen yakin, gudang besar yang terletak di pinggir kota itu musnah oleh keteledoran manusia.
Korban berseragam militer
Tapi laporan polisi masih harus dikembangkan karena kebakaran itu memakan korban. Ya, seorang pria botak berbadan tegap tewas terpanggang di ruang depan gudang. Badannya yang gosong dan melepuh di sana-sini masih bisa dikenali sebagai Kurt Waltsheimer. la pemuda lontang-lantung yang sering bikin onar karena mabuk. Suka berseragam loreng ala pasukan tempur di gurun dengan aneka wing dan lencana, bersepatu lars, mengenakan rim kopel, kadang menyelipkan pisau rimba di pinggang.
la anak tunggal dari orangtua yang mengelola usaha perontokan biji jagung. Gudang itu milik orangtuanya meski saat itu belum musim panen. Pernah menikah dan bekerja di kota lain, selama ini Kurt tak diketahui mendapat jaminan hidup dari orangtuanya atau warisan. Teman-temannya yang sering dia ajak berpesta percaya omongannya bahwa ia mendanai konsumsi rokok dan alkoholnya dengan tunjangan penganggur € 900 bulan dan pemerintah.
Malam itu Kurt rupanya berpesta. Jumlah botol, kaleng bir, sisa puntung rokok yang tak sempat hangus di asbak-asbak memberi petunjuk bahwa malam itu cukup banyak orang yang datang. Bahwa kemudian hanya Kurt yang jadi korban, kemungkinan besar kebakaran terjadi setelah semua tamu pulang dengan menyisakan Kurt sendirian.
Telepon dari seorang warga yang masuk ke kantor pemadam kebakaran berdering pukul 02.15, waktu yang tidak lazim bagi kegiatan pesta di kota kecil itu. Semabuk apa pun orang, mereka pulang sekitar tengah malam. Atau lewat-lewat sedikit, tapi musik biasanya tak lagi disetel keras selewat pukul satu dini dari. Kalaupun tidak pulang, para alkoholik itu pasti sudah terkapar sampai pagi.
Mayat sang tentara gadungan tergolek bersama dengan sisa serpihan baju loreng. Kalung aluminium ala tentara masih menggantung di lehernya. Dompet meleleh bertali rantai ditemukan di kantong celananya, dan satu kantong berisi korek api Zippo yang panas logamnya melelehkan kulit paha Kurt. Inspektur Kepala Stefan Wadowski akan melacak para peserta pesta dan menanyainya, meski hasilnya mudah diterka: para saksi tak tahu asal-muasal api karena tak mengetahui, dan kebakaran terjadi akibat keteledoran semata.
Kombinasi antara rokok, minuman keras, barang-barang flammable alias mudah terbakar, plus cuaca kering musim panas adalah sumber petaka. Tak banyak yang menangisi kematian Kurt; kedua orangtuanya pun tak menampakkan kesedihan yang mendalam.
“Pulang ke negerimu sana!”
Moustafa terbangun oleh suara tangis istrinya. Segera dia tahu, kejadian yang sama berulang di pagi itu. la langsung memakai celana, menyahut kaos kotor untuk dikenakan, dan turun menuju lantai bawah.
Di sudut kios sayuran dan buah-buahan miliknya, Aliya, istrinya, duduk menangis sesenggukan. Segera ia mendekap tubuh Aliya yang gemetar. “Maafkan aku, sayang. Kamu seharusnya tetap tinggal di atas, tak perlu bergiliran jaga dengan saya. Biarlah, biarlah saya yang jaga kios ini,” kata Moustafa.
“Tidak Mous, kita tidak disukai di sini. Kita pulang saja. Sebaiknya kita memang tidak pergi dari negeri kita,” kata Aliya.
Dalam beberapa saat Moustafa juga melihat, Aysha, putri mereka yang berusia lima tahun, terduduk di bawah rak kayu berisi tumpukan apel. Ia juga menangis meski tak tahu alasannya.
Tapi Moustafa tahu sebab itu semua. Dia tahu seseorang telah membuat istri dan putrinya menangis. Dia seorang laki-laki yang suka mengenakan seragam ala tentara. Dua bulan lalu, tak lama setelah ulang tahunnya yang ke-27, Moustafa dianiaya orang itu hingga luka-luka dan satu giginya tanggal.
la menutupi peristiwa itu dari istrinya dengan mengarang cerita kecelakaan. Aliya pura-pura percaya dan tak berani mengajukan pertanyaan macam-macam. Di tanah kelahirannya, Turki, seorang polisi pernah memukul kakak laki-lakinya. Di Jerman, Aliya tak punya pengalaman berurusan dengan pihak berwenang, dan dia tidak mau.
Bertelanjang kaki Moustafa keluar dari kiosnya, dan dari kaki lima ia mencoba menghapus tulisan cat yang disemprotkan ke kaca jendela: “Pulang ke negaramu sana!” Tersusun dari huruf blok berwarna merah, tulisan itu bagai menohok ulu hatinya.
Ketika ia kembali ke dalam kios, Aliya masih bergeming di tempat yang sama, tak mampu berdiri. Sambil bicara pelan, Moustafa menggandeng istri dan putrinya ke lantai atas. Ia ambil sereal dan menuangkan susu di atasnya dan diberikan kepada Aysha. Setelah yakin istri dan anaknya tak lagi terguncang, Moustafa turun dan mengurusi warungnya.
Saat membenahi kotak-kotak berisi kacang, kentang, dan terong yang diletakkan di bagian luar kios, ia merasa ada seseorang yang memperhatikannya. Benar saja. Di seberang jalan, tatapan mata seseorang menyebabkan perutnya terasa mual. Mentalnya jatuh. Ia ingin segera sembunyi seperti anak kecil, tapi ia merasa terlalu tua untuk main petak umpet.
Ya, laki-laki botak berbaju ala tentara itu berdiri di sana, menatapnya. Umurnya mungkin beberapa tahun lebih tua daripada dirinya, tapi badannya besar dan makin terlihat besar dengan baju militer dan sepatu bot. Sambil merokok ia melihat dengan tatapan mata yang menciutkan nyali. Apalagi bau rokok tercium hingga ke dalam warung. Moustafa makin merasa pening kepala.
Dulu, di tanah kelahirannya, ia memang perokok. Tapi ia menghentikan kebiasaan itu sejak bulan ketiga tinggal di Augsburg. Rokok sangat mahal di Jerman dan dia ingin menabung demi masa depan dirinya, Aliya, dan terutama Aysha. Tapi, karena masih menjaga gengsi, ia selalu beralasan bahwa ia ingin hidup sehat. “Rokok bisa membunuhmu,” katanya kepada setiap orang yang menanyakan sebab dia berhenti merokok.
Jantung Moustafa berdetak kencang saat melihat si kepala botak menyeberang jalan menuju ke arah dirinya. Ia tak tahu harus berbuat apa, mau menunggu apa, namun satu hal yang melegakannya, istri dan anaknya tetap di lantai atas. Si pria botak melangkahkan kaki beralas sepatu bot penuh debu. la melihat ke seluruh ruangan, kemudian mata birunya kembali menatap dirinya. Sayuran, buah-buahan, bumbu-bumbu, dan aneka dagangan digantung dan disusun rapi di rak-rak kayu yang dibuat sendiri oleh Moustafa.
“Hmm ... banyak kayu ya?” kata si botak dengan suara serak. “Kalian tinggal di atas kan? Mesti hati-hati, setiap saat kayu kering ini bisa terbakar,” sambungnya sambil membuang puntung rokok yang menyala ke lantai lantas keluar.
Moustafa terpaku di tempatnya sambil gemetar. la berharap agar si botak berbaju tentara itu segera pergi dari warungnya sambil matanya tak lepas dari puntung rokok yang masih menyala. la benar-benar takut bila api menyambar kayu kering dan menyebabkan kebakaran. Maka, begitu si botak sampai di luar pintu, Moustafa segera mengambil puntung rokok dan mematikannya.
Moustafa tidak melapor ke polisi. Soal ancaman dan teror yang didapatnya dari si botak, juga soal tulisan di jendela. Sama dengan Aliya, ia tak percaya kepada polisi. Ia tertekan tapi tak bisa apa-apa. Untuk mengalihkan beban, ia bekerja makin keras. Tapi tak dia sadari, ia sering marah-marah kepada istri dan putrinya. Ia menjadi begitu posesif. Melarang Aysha main di bawah, dan Aliya pun hanya boleh seperlunya kalau pergi ke luar.
Berulang tiga kali
Kali lain semprotan di jendela terjadi lagi. Bahkan saat Moustafa membersihkannya, ia menekan terlalu kuat menyebabkan kaca retak. Ancaman juga datang lagi. Si botak berseragam militer melongok ke dalam kios, melemparkan puntung rokok yang menyala, lalu pergi.
Kejadian yang sama bahkan berulang sekali lagi. Moustafa tetap membersihkan jendela dari cat semprot. Kali ini lebih hati-hati.
Ketika si kepala plontos menyatroninya, rupanya Moustafa terlambat menyembunyikan Aysha. “Gadis lucu,” kata si botak dengan suara parau setelah akhirnya Aysha naik ke lantai atas. “Hati-hati, cuaca panas begini bisa menyebabkan kebakaran, dan kamu bisa kehilangan orang-orang yang kamu kasihi,” kata dia sambil - lagi-lagi - membuang puntung rokok menyala ke lantai. Seperti biasa, sepeninggal si teroris Moustafa langsung mengambil puntung itu, mematikannya, dan membuangnya ke tempat sampah.
Moustafa ingin sekali melawan. Memukul laki-laki itu, kalau perlu menusuknya dengan pisau. Betapa dia telah mengancam dirinya, istrinya, dan terutama Aysha, gadis mungil yang amat berharga bagi dirinya, yang diberi nama sama dengan nama ibunya.
Tapi Moustafa terlalu takut untuk melawan. la takut cara itu malah akan mendatangkan masalah bagi dirinya, membahayakan keluarganya, dan ujung-ujungnya, memusnahkan cita-citanya memperbaiki kehidupan di negara baru. Melapor ke polisi? Ia tak berani.
Maka setiap kali teror datang, ia berusaha menghadapi dengan upaya maksimal yang bisa dia lakukan namun tak membawa dampak bagi keluarganya. Tapi Aliya sudah tak tahan. Ia setiap kali mengajak suaminya pulang ke Turki. Tapi cita-cita yang kuat untuk memberi masa depan bagi putrinyalah Moustafa selalu bisa menolak desakan Aliya itu.
Tapi setelah teror tulisan bernada mengusir berlangsung tiga kali, entah kenapa, dalam diri Moustafa timbul sedikit keberanian. Sepeninggal si botak, ia terus mengamati, bahkan mengikuti jejak sang teroris tanpa diketahui. Ia meminta istrinya bergantian menjaga kios, memastikan bahwa untuk sementara Aliya tak akan diganggu.
Moustafa mengendap-endap di sepanjang trotoar dan dinding toko, mengikuti lelaki berseragam tentara itu dari kejauhan. Rupanya dia berjalan menjauh dari keramaian. Dalam 20 menit ia sampai di ladang jagung yang ketinggian pohonnya melebihi badannya sehingga ia mudah bersembunyi. Ia membungkuk, kadang harus tiarap kalau si botak berhenti.
Tangan dan bahkan pipinya tergores ujung daun jagung yang tajam, tapi Moustafa tak peduli. Tanah pertanian yang diinjaknya bagaikan surga jika dibandingkan dengan kampung halamannya yang tandus dan banyak batu.
Napasnya memburu, keringat mengucur deras hingga memedihkan matanya. Moustafa tak tahu atas dorongan apa keberanian itu tiba-tiba muncul, dan dia juga tak tahu untuk apa dia melakukan itu. Memukulnya? Membunuhnya? Pakai apa? Menyembelih ayam pun dia belum pernah.
Si lelaki botak masuk ke sebuah gudang besar. Dari dalam terdengar suara musik. Moustafa mencari semak yang lebih dekat. Pria berseragam tentara itu masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya cukup ramai. Beberapa saat ia menyaksikan orang keluar masuk. Ada laki-laki yang keluar sekadar buang air di rerumputan, ada pasangan muda-mudi yang baru datang, ada juga beberapa yang keluar untuk mencari udara segar. Kebanyakan pria berambut pendek, sebagian botak serupa dengan si teroris keluarga Moustafa. Sedangkan perempuannya pakai rok mini. Rata-rata merokok.
Perubahan suasana akhirnya bisa menurunkan ketegangan Moustafa. Meski tetap bingung karena tak tahu tujuannya apa, ia sedikit lega sebab kali ini berada di pihak yang berbeda: mengawasi orang yang selama ini mengawasi - dan kemudian menganiaya - dirinya. Karena yakin aktivitas di gudang itu akan berlangsung sampai malam, Moustafa pun pulang. Tetap dengan cara mengendap-endap.
Saat tepat untuk menghabisi si botak
Moustafa kembali ke rumah-kiosnya dengan macam-macam pikiran. Semua berkecamuk jadi satu. Ia merasa malam itu saat tepat untuk melawan. Tapi ia juga bingung caranya. Apalagi nyalinya tak ada. Suara hatinya juga mengatakan, masa depan keluarga - dan terutama anaknya - lebih berharga ketimbang membuat keributan.
Aliya terbangun - tapi sebetulnya dia tidak tidur. Bagaimanapun kepergian suaminya pasti berhubungan dengan si teroris botak. Dari kotoran dan bulu-bulu bunga jagung yang menempel di baju, juga goresan tipis di pipi suaminya, dia tahu, Moustafa habis “melakukan sesuatu” di ladang jagung. Maka ia tak berani bertanya. Yang pasti, suaminya sudah pulang dengan selamat. Hatinya curiga, tapi lega. Rasa aman yang tiba-tiba timbul sejak suaminya pulang mampu menghapuskan segala kecemasannya.
Tapi kelegaan itu tak berlangsung lama. Beberapa saat setelah lonceng tengah malam berbunyi, suaminya pamit pergi lagi. Kesimpulan Aliya tadi, bahwa suaminya “melakukan sesuatu di ladang jagung”, rupanya belum selesai. la hanya bisa melepas dan berharap tak terjadi sesuatu yang buruk. la yakin, suaminya telah memilih cara paling tepat untuk menyelesaikan deritanya dari teror si botak.
Sambil menggenggam pisau dapur, Moustafa jalan kaki kembali ke gudang. Ya, dugaannya tepat, keriaan masih berlangsung di sana. la mengendap-endap, mendekat sampai bisa melongok aktivitas manusia-manusia kulit putih di dalamnya. Ada yang tertawa-tawa, ada yang bergerak sekenanya, ada pasangan yang berpelukan sambil joget. Musik berdentam keras, asap rokok mengepul. Sesekali terdengar bunyi dentingan gelas dan botol beradu. Juga desis alkohol saat kaleng bir dibuka. Yang sudah kosong pun asal dilemparkan ke sisi ruangan atau ke luar hingga menciptakan bunyi nyaring.
Setiap kali Moustafa menundukkan badannya di semak-semak. Malah ketika ada seseorang yang keluar, Moustafa harus tiarap. Posisi itu dipertahankannya saat makin banyak orang keluar. Ada yang saling bicara, tertawa, dan beberapa di antaranya kemudian pergi.
Saat musik dimatikan, tawa dan canda makin jelas terdengar. Yang langsung membuat dada Moustafa berdegup keras adalah suara serak sang teroris. Lama-lama tamu habis.
Keringat mengucur deras dari dahi dan badannya menyebabkan bajunya makin kotor saja. Moustafa masih bingung harus berbuat apa. Ada satu kekuatan yang menahan nyalinya tapi dia tak tahu apa. Napasnya terhenti saat si botak yang tinggal sendiri sepeninggal tamu-tamunya keluar dan berjalan ke arah dirinya. Entah kenapa, sikap siaga yang harusnya dilakukan Moustafa tak muncul. Sambil tetap menggenggam pisau dapur, ia malah membenamkan mukanya ke tanah. Napasnya berhenti.
Cipratan air kencing si botak mengenai rambut, tangan, dan pundak Moustafa, tapi ia diam membatu. Untung ia tidak ketahuan. Napasnya terasa tersambung lagi saat lelaki yang lega sehabis membuang hajat itu menjauh. Dengan sudut mata yang mulai terbuka Moustafa melirik sepatu militer berdebu itu bergerak ke dalam gudang.
Tetap tak tahu harus berbuat apa, Moustafa bangkit dari tiarap. Napas yang pelan-pelan mulai terasa, malah berubah jadi berirama cepat seiring dengan munculnya keberanian Moustafa untuk melangkah mendekati bangunan itu. Si botak merebahkan dirinya di sofa di dekat perangkat pemutar lagu yang tak lagi bersuara. Ia menenggak lagi minuman langsung dari botol yang berbentuk kotak panjang. Ritual selanjutnya, ia mengambil rokok lantas menyulutnya. Sisa rokok di dalam kotak dia biarkan di atas sofa, namun korek Zippo dimasukkan kembali ke kantong celana lorengnya.
Moustafa bimbang. Apa yang harus dilakukannya? Menyerangnya sekarang? Menyeruduk dengan tiba-tiba dan menusuknya? Ia yakin mampu melakukannya. Meski badannya kalah besar, kondisi setengah sadar si botak menyebabkan dia mudah dijatuhkan. Atau menunggu dia terkapar sendiri tanpa sadar lantas menghabisinya?
Tawar-menawar dengan diri sendiri pun terjadi. Moustafa bukanlah orang jahat, dan dia tak ingin mencari masalah di negeri barunya itu. Tapi makhluk menyeramkan berkepala plontos itu menjadi ancaman amat besar bagi cita-citanya dan keluarga kecilnya. Dialah orang yang selama ini menerornya, menyakitinya, dan menyiksanya. Kalau dia lenyap, cita-cita itu niscaya akan terwujud.
Tapi, apakah sesimpel itu masalahnya? Bukankah pembunuhan, apa pun alasannya, memiliki konsekuensi berat? Apalagi di negara yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan seperti Jerman?
Kebimbangan tak juga berakhir ketika Moustafa mendapati si teroris berseragam tempur itu jatuh tertidur. Puntung rokok sudah mati, sebagian menggosongkan lantai kayu di dekat ujung tangan kanannya yang menjulur ke lantai. Hanya dalam beberapa saat terdengar bunyi dengkur. Moustafa mencoba mengatur napasnya, tapi tak bisa. Tapi ia bisa mengatur langkahnya untuk mendekat. Sambil menundukkan badan ia bergerak ke arah belakang lelaki Jerman itu. Maksudnya, bila tiba-tiba dia terbangun, ia tak langsung melihat Moustafa.
Sekarang, apa yang akan dia lakukan? Memukul kepalanya dengan apa saja? Menggorokkan pisau dapur ke lehernya atau menancapkannya di dada? Tapi, astaga ... “Pisau ini begitu licin oleh keringat di telapak tangan,” kata Moustafa dalam hati.
Belum ada keputusan. Moustafa cemas dan mencoba mengatur irama napasnya yang menderu. Adrenalin terpompa ke otak hingga badannya gemetar. Ia takut? Atau justru yakin ini saat yang tepat untuk menghabisinya? Tapi, bagaimana kalau ...?
Sebagai bekas perokok - yang berhenti karena terpaksa - Moustafa yakin, nikotin bisa menenangkannya. “Tapi rokok bisa membunuhmu!” Ah, itu ‘kan alasan yang dia buat-buat?
la mengambil bungkus rokok bergambar onta di samping si tentara gurun gadungan yang dengkurnya makin keras. Diambilnya satu batang dan diciumnya. Hmmm ... masih sangat nikmat baunya. Ia mencari-cari korek api tapi tak ada. Dengan gemetar ia mencoba mencari korek di saku si botak. Kantong baju kiri-kanan, tak ada. Saat Moustafa meraba tonjolan keras di saku celana, dengkur berhenti. Sebentar.
Yakin bahwa itu korek api, Moustafa melanjutkan penggerayangannya. Pelan, sedikit-sedikit diselingi usapan keringat di kening, korek pun didapat. Ia bergeser menjauh, dengan hati-hati membuka tutup agar bunyi “Ting”-nya yang khas tak terdengar, lantas menyalakan rokok. Sedotan yang sangat dalam tak cuma menciptakan kenikmatan, tapi juga menandai kelegaan hati Moustafa. Satu kemenangan kecil dari “peperangan” melawan penjahat, pikirnya.
Dasar orang baik, setelah merasa meminjam, Moustafa mengembalikan korek Zippo itu ke tempatnya semula, dengan kehati-hatian yang sama.
Sambil menikmati rokok ia berpikir lagi soal rencananya, tujuannya datang ke tempat itu ... dan mau diapakan pisau dapur yang tetap terhunus itu? “Mau saya apakan dia?” pikirannya terarah kepada si plontos.
Cukup lama Moustafa bergulat dengan perasaannya. Irama napasnya naik-turun, keringat terus mengucur, rokok yang diisapnya pun sebagian basah oleh jari-jarinya yang lembap.
Ia sadar bahwa ia tak mampu membunuh meski orang yang pantas mati tak berdaya ada di hadapannya. Ia membalikkan badan, dan tetap dengan mengendap-endap menuju pintu keluar. Ia tak ingat apakah batang rokok tadi dinikmatinya sampai habis atau tidak, tahu-tahu ia sudah sampai di ladang jagung sambil dengan tangan kanan masih menggenggam pisau dapur. Bajunya basah dan kotor. Dengan langkah lunglai ia pulang. Tak lagi segemetar waktu datang tadi, tapi ia tetap bingung apa yang akan dia lakukan besok jika si teroris menyatroninya lagi.
Matahari baru menampakkan ujung sinarnya ketika Moustafa terbangun oleh kegaduhan kota. Truk pemadam kebakaran berseliweran, mobil polisi, semua dengan sirene yang meraung-raung. Dari pembicaraan antarwarga berembus cerita, gudang jagung milik keluarga Waltsheimer terbakar. Kurt, putra tunggal yang suka bikin onar, tewas karena tak sempat menyelamatkan diri. Pesta alkohol dan rokok di luar kontrol diduga menjadi penyebab kebakaran, apalagi di musim panas kering bulan Agustus itu. Orang makin yakin akan seruan kepada para perokok, “Hati-hati, rokok bisa membunuhmu!” (Frauke Schuster)