array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3567676"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/509-2005-70-vonis-mati-buat-peng-20221111074351.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(143) "Para ibu bergerombol menunggu warung Animei dibuka. Namun, Animei malah ditemukan terkapar. Punggung, kuduk, dan lehernya dibacok dengan sadis."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/509-2005-70-vonis-mati-buat-peng-20221111074351.jpg"
      ["title"]=>
      string(26) "Vonis Mati Buat Penggerutu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 19:44:09"
      ["content"]=>
      string(25554) "

Intisari Plus - Seperti biasa, para ibu bergerombol menunggu warung Animei dibuka. Alih-alih melayani pembeli, Animei ditemukan terkapar di warungnya. Punggung, kuduk, dan lehernya dibacok dengan sadis.

-------------------

Warung Animei belum juga buka. Ibu-ibu yang hendak membeli tempe, tahu, cabe, dan ikan asin terpaksa bergerombol di buk jembatan sebelah kanan warung. Mereka gelisah karena pagi itu harus segera menyiapkan menu sarapan. Berkali-kali mereka melirik ke arah warung. Dalam hati mereka bertanya-tanya meski tampak asyik mengobrol.

Saat itu, semuanya hanya punya satu harapan: pintu depan warung segera dibuka dan tingkap geser yang menyekat seluruh etalase kotak dagangan diturunkan, sehingga mereka dapat serentak menyerbu.

Sepeda motor Animei, yang sarat dengan barang belanjaan, seperti biasanya terparkir di depan warung. Pintu samping warung sendiri terbuka tetapi tingkap geser dan pintu depannya belum dibuka. Ibu-ibu yang sedang berkumpul itu berpikir. Animei masih di rumah - bagian belakang warung ada di teras rumah - dan karenanya mereka masih terus menunggu. Siapa tahu Animei masih ada di belakang warung atau di rumahnya, menuntaskan kebutuhan mendadak.

Namun, rasanya kok lama sekali. Benar-benar lama sekali. Kenapa? Ada apa? 

“Bisa-bisa enggak masak, bisa-bisa Tarsih enggak sarapan,” kata salah satu di antara mereka, Umplung, sambil menuju pintu samping warung. 

“Ni! Ni!” katanya tak sabar memanggil Animei, sambil melongok ke dalam warung yang nyaris gelap tanpa lampu. Namun tak ada sahutan dari dalam. Umplung lalu melirik ke rumah yang lampunya sudah dimatikan, mengawasi pintu depan yang terbuka dan juga jendela-jendelanya. “Niii ...!” seru Umplung lagi, kali ini lebih kuat.

 

Hilangnya patokan waktu

Entah benar entah tidak, kata orang-orang, Animei tidak pernah tidur. Konon, ia biasa menjaga tokonya sampai pukul 21.30 dan masih terjaga bila pintu rumahnya digedor orang yang sekadar ingin membeli rokok, susu, dan tetek bengek lainnya. Bahkan ada orang yang bilang, ia menghitung uangnya sebelum tengah malam. Gosip yang beredar, sebelum teng pukul 00.00, Animei bergegas memasukkan uangnya ke dalam peti khusus, di mana prewangan-nya (sejenis makhluk halus, Red.) akan menambahi duit penghasilan hari itu secara mistis.

Sekitar pukul 02.00, dengan mengendarai sepeda motor, ia sudah berangkat ke pasar Caruban - sekitar 10 km di sebelah utara kampungnya - untuk membeli sayur, ikan segar, ayam potong, dan terutama jajan pasar. Setelah itu, sekitar pukul 05.15 ia sudah buka warung, siap untuk diserbu ibu-ibu yang mau menyiapkan sarapan untuk anak dan suami masing-masing atau menimbun sayur untuk lauk makan siang nanti. 

Ia menjaga warung sendirian sampai Seguwon, pegawainya, datang sekitar pukul 06.30, untuk membongkar drum minyak tanah dan menyiapkan penjualan eceran. Persiapan warung itu dilakukannya serentak dengan aktivitas membeli nasi pecel yang dijajakan Lik Genah, dengan tempe dan dua bungkus peyek kacang. Menu sarapan itu untuk dirinya, satu pembantu yang berstatus sebagai penjaga toko, suaminya yang guru SD, dan Tiko - anaknya yang masih SMA. Animei memiliki tiga anak, dua orang di antaranya sudah kuliah dan tidak tinggal bersamanya.

Kebiasaan dagang Animei itu menjadi semacam patokan waktu bagi ibu-ibu yang sedang mempersiapkan anak-anaknya pergi sekolah atau melayani suami yang hendak pergi bekerja. Namun, pagi itu segala sesuatunya berjalan di luar kebiasaan. Warung Animei belum juga buka, meski ia sudah pulang belanja serta pintu samping warung dan pintu rumahnya sudah dibuka. Jadi ke mana Animei?

 

Banjir darah

Imanga - suami Animei - yang sudah mengenakan seragam guru SD bergegas muncul. “Nyi-nya mana, Kang?” tanya Umplung. Imanga tentu saja ternganga. “Lha, harusnya sudah pulang dari pasar to. Lha itu ...,” jawabnya sambil menunjuk sepeda motor yang dipenuhi keranjang belanjaan. Sepeda motor itu diparkir di samping warung di depan teras. Tegak di antara drum-drum minyak tanah.

“Ke mana orang itu. Kok bisa hilang ya. Rasanya ia belum balik ke rumah kok,” katanya sambil bergerak ke pintu samping warung yang terbuka. Ia kemudian menyeru memanggil istrinya. Melongokkan kepala, menjenguk keremangan yang tertutup di pagi hari. Tangannya meraih saklar dan menyalakan lampu. Ruang warung pun mendadak benderang menyilaukan. Imanga segera masuk.

Namun sebentar kemudian, ia tersurut sambil berteriak. Di salah satu sudut warung tergeletak tubuh Animei. Darahnya membanjir di lantai, yang tampaknya berasal dari bacokan di punggung, kuduk, dan leher. 

Umplung ikut melongok. Tatapannya menyapu lantai dan tidak lurus ke depan. Ia langsung berbalik sambil menjerit-jerit. Ibu-ibu lain mendekat dan, seperti Umplung, juga menjerit-jerit. Seorang lelaki yang pulang buang hajat di hilir terpancing untuk menengok, tapi setelah melihat pemandangan mengerikan itu, langsung berbalik dan memukul kentongan di Pos Kamling, dalam isyarat ada musibah dan panggilan berkumpul.

Dalam hitungan menit, penghuni kampung telah berkumpul! 

 

Genius matematika

Kematian Animei yang begitu mendadak dengan cara mengerikan pula, sungguh mengejutkan. Orang kampung pun mulai ramai bergosip atau sekadar membicarakan aktivitas sehari-hari sang pemilik warung. “Kapan kira-kira dia tidur?” bahas mereka, bila sedang bercerita tentang Animei. Ternyata tidak ada yang tahu. Kabarnya, pukul 11.00, biasanya Animei menanak nasi, menggoreng tempe, dan sesekali ditambah ikan asin, atau sayur sisa yang tak laku dijual.

Lepas tengah hari, kalau Imanga sudah pulang, barulah makan siang diselenggarakan, ditambah sambel dan kerupuk. Malamnya, ia lebih sering mencegat tukang bakso atau membeli heci-pecel, menghabiskan nasi sisa siang hari, dengan ditambah kerupuk atau peyek. Rutin.

Orang-orang juga ramai bergunjing, berapa kira-kira penghasilan warung Animei sesungguhnya? Apa benar labanya habis untuk makan, sementara gaji suaminya utuh disimpan di bank, hanya sesekali dikeluarkan buat membeli sawah, sepeda motor, dan ongkos kuliah anaknya? Lantas, ke mana hasil sawahnya? Ke mana juga larinya bunga dari uang warung yang dipinjamkan kepada orang-orang kampung? 

Animei sepertinya memang tak pernah tidur karena tak banyak yang pernah melihatnya tidur. lmanga, suaminya, terkadang kelepasan bicara, menyatakan jarang melihat istrinya tertidur ketika ia terjaga di malam hari. Maksudnya, setelah berseranjang sebagai suami-istri, ia terlelap sementara istrinya masih terjaga. Seterusnya, ketika ia terbangun, istrinya sudah bangun juga, sedang bersiap-siap akan berangkat ke pasar. Bahkan sering kali, Animei sudah berangkat ke Pasar Caruban.

“Ia genius matematika murni,” kata lmanga, guru SD yang mengajar segala bidang studi di kelas 3. “Ia tahu dan selalu ingat hitungan uang sampai ke sennya. Bahkan dengan cermat ia bisa menjabarkan pembelian dan penjualan dalam rentang enam tahun. Luar biasa!”

Meski seperti sedang memuji, lmanga sebenarnya sedang mengeluh. Gajinya - tidak ada potongan karena segala kebutuhannya dicukupi oleh Animei - selalu diserahkan utuh dan kemudian ditabung Animei di bank. Sesekali gaji itu diambil kalau ada orang yang meminjam uang. Atau ada yang menggadaikan sawah atau sepeda motor. Atau membayar ijon hasil sawah atau kebun. Kebutuhan sehari-hari dicukupinya dengan uang dari laci warung, yang agak besar dari laci lemari rumah. 

Karenanya, orang-orang percaya kalau tabungan Animei lebih besar dari sekadar gaji Imanga yang ditabung. Tambahannya bisa saja berasal - gosipnya - dari laba warung pracangan-nya. Karena berapa pun orang meminjam uang, Animei selalu bisa memenuhinya. Seperti uang yang datang secara gaib.

Meski berbulan-bulan kemudian, Imanga bilang, Animei (sebenarnya) meminjam uang dari bank. Uang bank itu kemudian dipinjamkannya kembali dengan bunga yang lebih besar kepada mereka yang membutuhkan. “Ia betul-betul genius matematika murni,” Imanga mengulangi kalimat pujiannya kepada polisi. 

 

Seribu tanda tanya

Selain menanyai Imanga, polisi juga meneliti situasi sekitar warung Animei. Di depan warung, agak ke timur dan terletak di tanah kontrol irigasi, ada Pos Kamling RT 15. Sampai lewat tengah malam, beberapa anak muda kampung itu - para lulusan SMA atau STM yang menganggur, drop-out SMA atau STM, dan anak-anak SMP - berkumpul di sana. Mereka bermain gitar secara ngawur, bernyanyi secara liar, dan berteriak-teriak sampai tersungkur karena mabuk.

Sampai pagi kadang masih ada anak muda yang tergeletak karena mabuk. Di sana-sini terdapat ceceran muntah, yang kemudian dibersihkan oleh salah satu dari anak-anak muda itu, di bawah komando Pak Westren, ketua RT, pensiunan ABRI yang selalu petentengan dengan gaya koboinya. Kotoran itu digelontor air yang ditimba dari saluran irigasi. Namun yang paling rajin membersihkan muntahan itu sebenarnya Jumparto, orang yang memanfaatkan Pos Kamling sebagai tempat usaha. 

Beberapa orang menyarankan agar anak-anak muda itu dilaporkan saja ke polisi, biar kapok. Namun, Westren menolak. la tak keberatan pada kebiasaan mereka, anggap saja mereka sedang jaga. Setidaknya, selama mereka membeli minuman sendiri dan tidak mabuk di siang hari. Namun, orang-orang kampung mengerti mengapa Westren tidak berani tegas. Salah satu anak muda itu anaknya sendiri. Selebihnya, Santoso, kemenakan Pak Lurah, serta Alimin yang anak orang paling kaya di kampung.

Kabarnya, mereka terkadang minta jatah rokok dan duit pada Animei. Animei memang pernah bilang, anak-anak muda itu dikasih rokok dan duit sepanjang mereka ikut menjaga warung, terutama drum-drum minyak tanahnya. Meski, kata sebagian orang lagi, Animei murah hati karena ia diam-diam ternyata suka menagih uang rokok dan uang modal mabuk yang diminta Alimin kepada orangtua pemuda itu. Tanpa banyak cingcong, orangtua Alimin biasanya langsung menggantinya.

Jika melihat aktivitas di sekitar warung, wajar kalau kejahatan terhadap Animei dilakukan di pagi hari. Karena setidaknya sampai tengah malam, anak-anak muda masih berkumpul sambil mabuk-mabukan di situ. Sedangkan dari petang para lelaki berkumpul di buk jembatan, untuk sekadar mengobrol maupun mencegat tukang bakso dan tukang bakmi di malam hari.

Mereka juga saling bertukar cerita, saling bertukar tembakau rokok lintingan dan terkadang berdiskusi menebak nomor togel. Sementara Jumparto, sampai pukul 17.45, berjualan kupon putih di Pos Kamling. Di siang hari, ia membayar angka yang jitu, di Pos Kamling itu juga.

Nah, di tengah suasana damai dan agak ramai itu, siapa yang tega membunuh Animei? Kenapa membunuhnya, kalau uang dan barang dagangannya - semisal rokok-rokok dan seterusnya - sama sekali tidak disentuh? Apa karena dendam? Apa karena piutang yang ditagih Animei secara kasar setelah berkali-kali gagal ditagih secara halus?

 

Interogasi nihil

Yang paling dicurigai polisi sesungguhnya Imanga, suami Animei, yang dijatah karena seluruh penghasilannya dikuasai sang istri. Namun, di hari kejadian itu, Fajriah, tetangganya bersaksi bila Imanga - seperti biasanya - sedang mencuci di belakang. Kemudian terlihat sedang menjemur pakaian. Mereka bahkan sempat omong-omongan. Lalu mandi, sebelum bersiap sarapan nasi bungkus dan berangkat mengajar.

Kegiatan rutin Imanga itu - pada hari H - tidak lampias, karena Animei dibantai orang. Menurut analisis pihak kepolisian, seseorang mencegat Animei dengan berpura-pura membeli rokok. Seseorang yang dikenal baik sehingga dibiarkan bebas mengikuti masuk ke warung. Seseorang itu mungkin diajaknya bercakap, sehingga ia tak siaga akan datangnya bacokan dari belakang - tiga kali - dan empat bacokan lagi ketika ia sudah jatuh ke lantai.

“Seseorang yang pasti dikenalnya,” kata polisi. Anjing pelacak pun didatangkan. Namun anjing itu cuma menyalak-nyalak resah, berputar-putar gelisah dan tak bisa menjejaki bau sang pembantai. Mungkin karena TKP itu sudah terlalu banyak didatangi oleh orang-orang kampung yang bebas melongok dan masuk. Yang alih-alih membubarkan diri, malah menonton secara aktif. Mereka memberi komentar ngawur dan membuat kesaksian asal-asalan. 

Setelah dipusatkan pada bau darah Animei, anjing pelacak bergerak menjauhi warung Animei. Dengan mengendus-ngendus cermat, anjing pelacak itu menjejaki sampai di ujung buk jembatan. Dari sana si anjing berlari menyusuri jalan kontrol saluran irigasi ke tengah sawah. Dua ratus meter kemudian anjing pelacak itu berputar-putar kehilangan jejak karena si pelaku tampaknya masuk ke saluran irigasi.

Si pelaku, entah jalan ke hilir, lalu menyeberang tanpa bau, jejaknya hilang di tengah sawah. Seperti terbang ke titik zenit langit atau tenggelam menembus lewat titik nadir bumi. Raib begitu saja. 

Untuk memecahkan kasus pembunuhan sadis ini, interogasi dilakukan oleh polisi secara maraton. Tak hanya Imanga, Tiko, anak Animei juga ditanyai. Bahkan dua anaknya yang sedang kuliah di Malang pun diinterogasi. Anak-anak muda, yang biasa mabuk di Pos Kamling, diinterogasi. Juga para lelaki yang biasa cangkruk (nongkrong), tukang bakso, dan tukang bakmi yang berjaja di malam hari.

Semua diselidiki alibinya. Namun, sampai suatu titik, tak jua membuahkan hasil. Hasilnya nihil. Di tengah keputusasaan, polisi lantas menggerakkan orang-orang untuk menyisir daerah pesawahan dan pelosok kampung, untuk mencari senjata pembantai Animei, dalam radius 1 km. Hasilnya lagi-lagi nihil. Jadi, masih belum juga terjawab pertanyaan besar, siapa yang telah membantai Animei?

 

Amuk prewangan?

Polisi menduga pelakunya hanya satu orang. Tunggal. Kata polisi juga, si pelaku merupakan orang profesional yang bisa membunuh dengan darah dingin. Buktinya, ia bisa melarikan diri secara rahasia, sehingga jejak dan alat pembantainya tak ditemukan sama sekali, termasuk oleh anjing pelacak. “Padahal, tanpa bukti dan saksi, jelas kita tidak dapat berbuat apa-apa,” kata Kapolsek, setengah frustrasi.

Polisi bahkan pernah menggelar razia senjata tajam mendadak untuk menjebak si pembunuh. Siapa tahu, pelaku lupa membersihkan bercak darah Animei di senjata tajam yang digunakannya. Atau pelaku berusaha menyembunyikan barang bukti, tapi ketahuan tanpa sengaja. Namun lagi-lagi, razia senjata tajam tak mampu menuntun polisi pada si pembunuh. Hasilnya lagi-lagi nihil dan sia-sia.

Senjata yang dicurigai digunakan dalam pembantaian Animei juga tidak ditemukan pada orang-orang kampung. Karenanya kami percaya, tak ada orang kampung yang terlibat, bahkan sekadar pantas untuk dicurigai. Meski polisi yakin, pelakunya pasti salah seorang dari penduduk. “Setidaknya,” kata polisi yang masih suka mampir ke rumah warga sekitar TKP untuk mencari informasi tambahan, “Mbah Kawanti bilang pelakunya orang dekat. Antara lingkaran keluarga dan tetangga.” Mbah Kawanti orang pintar di kampung itu.

Ada juga orang yang tak mencurigai manusia sebagai pelaku pembantaian Animei tapi menyalahkan roh halus. Aliran ini, seperti diungkap Kodansah, salah seorang penduduk kampung itu, percaya prewangan Animei sendiri yang muncul menagih tumbal yang tidak pernah ditunaikan si pemilik warung. Namun prewangan yang mana? Dari pesugihan apa?

Berkali-kali warga membuat acara memanggil roh, menghadirkan Animei serta bertanya bagaimana ia mati. Momennya selalu sama: ia pulang dari pasar, memarkir sepeda motor, dan didatangi seseorang. Lalu diikuti masuk ke warung lewat pintu samping dan dibacok di kuduk dan di punggung. Jatuh ke lantai dan dibacok lagi. Dengan gerakan cepat dan tebasan kuat sehingga tulang punggung ikut tertoreh.

“Siapa dia, Ani?” 

“Hhhh ....” 

“Siapa dia?” Tak ada jawaban. Hanya teriakan roh Animei dan gelepar tubuh yang dirasuki. Berkelojot. Sekaratnya dipercepat dengan tebasan yang berikutnya hingga menjebol tulang punggung. Pada pemanggilan yang terakhir terungkap pengakuan Animei yang mengaku tidak berani mengatakan siapa pelakunya. “Aku takut! Aku takut!” katanya. 

Apa ada yang ditakuti di dunia roh halus?

 

Berendam di saluran

Sampai bulan kesembilan di tahun ketujuh pascapembunuhan Animei, polisi tak pernah bisa mengungkap kasus pembantaian itu. Bahkan kelihatannya sampai kapan pun pembunuhan mengerikan itu tak akan terbongkar, ditemukan pelakunya, dan disimpulkan motifnya. Setidaknya bila Menawa tidak membuat pengakuan di tengah sakitnya yang bagai tak akan sembuh lagi.

Menawa mengalami sekarat yang berulang-ulang dengan teriakan takut dan lolongan tangis sesal, yang tak bisa ditenangkan hanya dengan pembacaan doa. 

“Tolong panggilkan polisi,” kata buruh tebas tebu, tukang sabit rumput, dan penganyam gedeg (dinding anyaman bambu) yang masih bujangan itu berkali-kali. Setelah rembukan, warga akhirnya meminta Kapolsek datang. Di saat sakit itulah, luka yang lama terpendam bak menganga kembali. Di tengah keluarga dan tetangga, Menawa membuat pengakuan. la - saat pembantaian baru sembuh dari penyakit malaria - memaksakan diri kerja borongan sebagai penebas tebu, mengaku menyesal telah membantai Animei.

Pagi itu, dalam kondisi sangat lapar dan limbung lantaran sisa demam malaria, ia bertemu dengan Animei di depan warung. Sebelumnya, ia sempat minta maaf karena belum sanggup membayar lunas utang-utangnya. Menawa menjelaskan, ia baru bisa bekerja kembali setelah beberapa lama diserang malaria, sekalian menyampaikan maksudnya ngebon beras untuk makan hari itu.

Namun, Animei menyambutnya dengan menggerutu. Perempuan itu masuk ke warung sambil menerangkan rincian utang Menawa dan mengatakan tak akan ada pinjaman lagi bila lelaki miskin itu belum bisa mencicil. “Memangnya kamu ini kakangku, apa!” hardik Animei. Pada saat itulah - dalam nanar lapar dan sisa deman malaria - Menawa tanpa pikir panjang menghunjamkan sabitnya ke kuduk dan punggung Animei.

“Seperti saya menebas bambu atau tebu! Maaf, saat itu saya marah sekali. Marah yang benar-benar marah. Tubuh saya seperti terbakar dan kepala seperti mau meledak. Karena itulah, sehabis membunuh, saya kungkum (berendam) di saluran!”

“Terus?” 

Ngintir (hanyut) di saluran. Naik di seberang. Lewat pematang aku bergegas ke Wonoasri. Saya langsung kerja menebas tebu, seperti biasa, menyusunnya dalam ikatan dan menaikkannya ke dalam truk. Saya kerja sampai jam lima sore. Kemudian mulih (pulang). Menggerombol. Tidur. Esok paginya, saya kembali kerja nebas tebu. Terus sampai hari ketiga belas. Bangun pagi untuk keliling menyabit rumput, mencucinya, dan menjualnya pada Lik Jarano. Begitu selalu. Tidak ada seorang pun peduli pada orang yang jungkir balik pagi hari agar bisa makan sore hari. Sampai saat ini,” katanya.

Mendengar cerita itu, orang yang berada di sekitarnya melengos (buang muka). Selama ini, kami memang tak pernah mempedulikannya. Rumah gedeg-nya nyaris ambruk. Letaknya terpencil di pinggir sawah, jauh dari warga lainnya. Menawa baru diingat kalau butuh untuk disuruh ini-itu, tapi kadang-kadang dilupakan kalau ada warga yang bikin kenduri. Warga bahkan tak pernah tahu, apakah ia sudah makan atau belum, apakah ia sakit atau kasmaran ingin kawin, dan seterusnya. 

Termasuk untuk kasus kematian Animei, warga sama sekali tak meliriknya. Lebih tepatnya, tak menganggapnya ada. la lama hidup sebagai “yang selalu dicemoohkan”, dan karenanya ia lama juga tersiksa oleh penderitaan, merasa bersalah telah membantai Animei. Siksaan batin itu terjadi di tengah tak seorang pun orang kampung bisa dijadikannya pusat keluhan dan tempat berbagi rasa. Siksaan yang berlangsung selama tujuh tahun.

Pembantaian Animei, menyusul pengakuan Menawa di saat-saat menjelang ajalnya, telah membuat orang-orang di kampung itu berpikir. Siapa sesungguhnya yang menyebabkan terbantainya Animei? Siapa pula sesungguhnya yang telah menyiksa batin Menawa selama tujuh tahun ini?

Bahkan, makanan kenduri yang selenggarakan demi tuntutan adat, agar Menawa tenang di alam kematiannya, hanya dibagi-bagi di antara warga. Tak pernah sampai pada lambungnya yang lebih sering dipakai untuk menangkis lapar berkepanjangan saat masih hidup. Memang! (Beni Setia)


Baca Juga: Surat Cinta Menguatkan Sangkaan

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567676/vonis-mati-buat-penggerutu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668195849000) } } }