array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3605746"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/gara-gara-killing-me-softly_davi-20221212090025.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(110) "Vonny Putra Atmaja ditemukan tewas di rumahnya. Dengan ujung lidah membiru, diduga ia diracuni oleh seseorang."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/gara-gara-killing-me-softly_davi-20221212090025.jpg"
      ["title"]=>
      string(27) "Gara-gara Killing Me Softly"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-12 09:00:40"
      ["content"]=>
      string(36325) "

Intisari Plus - Vonny Putra Atmaja ditemukan tewas di rumahnya. Dengan ujung lidah membiru, diduga ia diracuni oleh seseorang.

--------------------

Jam baru menunjukkan pukul 10.30 ketika telepon di ruang kerja Lettu Agus Wahono berdering nyaring.

“Ya, halo ... oh, dr. Budi. Apa kabar, Dok?”

“Pak Letnan, Anda bisa datang ke kediaman Bu Vonny Putra Atmaja di Jln. Prahasto 4? Beliau meninggal secara mendadak,” suara dr. Budi di ujung telepon terdengar gugup.

“Serangan jantung, Dok?” 

“Bukan, saya curiga beliau kena racun,” sanggah dr. Budi.

Lettu Agus didampingi wakilnya Sertu Basuki meluncur ke TKP. Rumah itu terletak di kompleks perumahan mewah di Jakarta Selatan. Banyak orang tahu, di masa muda selain dikenal sebagai gadis model paling top, Bu Vonny juga perenang hebat. Setelah menikah dengan Putra Atmaja, seorang pengusaha, Vonny mengundurkan diri dari dunia catwalk. Belakangan ia membuka usaha di bidang periklanan serta memasok barang-barang kebutuhan hotel berbintang.

Rumahnya dilengkapi kolam renang yang letaknya di belakang rumah induk. Saat itu tampak sejumlah orang mengerumuni korban yang dibaringkan di atas ubin kolam yang dialasi tikar plastik.

Sementara Sertu Basuki sibuk memotret lokasi dan korban, Lettu Agus mengamati korban. “Ujung lidahnya membiru, seperti keracunan,” bisik Lettu Agus kepada dr. Budi.

Dokter berkacamata tebal itu mengangguk. “Tadi sempat mengambang di kolam, jadi tidak mungkin ada busa di mulutnya yang bisa diteliti di laboratorium.”

“Apakah Anda tahu bagaimana asal peristiwanya?”

“Saya sebagai dokter pribadi korban diberi tahu lewat telepon oleh Sudarman. Ibu mendapat kecelakaan, katanya. Sesampai di sini, beliau sudah diangkat dari kolam, sudah meninggal. Padahal saat minggu lalu beliau check-up, kondisi kesehatannya bagus. Itu sebabnya saya cepat-cepat menghubungi Anda.”

“Siapa yang pertama kali menemukan jenazahnya?” 

“Sudarman, tukang kebun. Saat itu ia hendak mengambil gunting rumput di gudang, yang harus melewati kolam renang. Ia melihat Bu Vonny mengambang di kolam renang. Ia curiga, posisi berenang Ibu tidak wajar. Ia memanggil Sutinah, pembantu bagian dapur. Ketika diangkat ke pinggir, semua sudah terlambat,” jawab dr. Budi sambil menarik tangan Sudarman agar mendekat.

“Ada berapa orang di rumah ini?” tanya Lettu Agus pada Sudarman.

“Selain Ibu ada lima orang lagi, Pak. Dua perempuan di bagian dapur dan cuci, dua laki-laki bagian kebun dan kolam. Satu lagi, kepala rumah tangga, Pak Subagia. Sekarang dia baru ke pasar swalayan, belanja keperluan sehari-hari,” kata Sudarman pelan.

Lettu Agus kembali memeriksa jenazah Bu Vonny. Mulutnya sedikit terbuka, sehingga ujung lidahnya yang membiru kelihatan nyata, pupil matanya ke atas, mimik wajahnya seperti orang tercekik.

Di meja taman yang berpayung terpal putih, terletak gelas tinggi berisi jus jeruk yang tinggal separuh. Di sampingnya ada piring perak berisi buah anggur dan pir. Di atas kursi malas, tergeletak sebuah buku novel karya Duncan Palmer, Killing Me Softly dalam edisi bahasa Inggris, sepertinya belum rampung dibaca.

Untuk bahan penyelidikan, Sertu Basuki memasukkan buah-buahan dan novel itu ke kantung plastik. Ketika akan menuangkan sisa jus jeruk ke plastik berikutnya, buru-buru Lettu Agus menukas, “Pak, sekalian gelasnya. Untuk meracuni seseorang, terkadang racun tidak dicampur dalam minuman, kecuali berupa serbuk. Racun berupa cairan lebih sering dioleskan di bibir gelas bagian luar. Selain bisa langsung kena bibir, lidah, dan saraf korban, juga bisa mengecoh petugas.”

Subagia yang baru pulang dari berbelanja tampak syok begitu mengetahui apa yang terjadi. Sampai beberapa saat ia belum bisa diajak berkomunikasi. Bi Ranti, perempuan setengah baya teman Sutinah yang biasa melayani sarapan Bu Vonny, dimintai keterangan.

“Apa saja yang dikonsumsi Bu Vonny pagi ini?” tanya Lettu Agus.

“Seperti biasa, Pak, nasi goreng dengan telur ceplok. Roti bakar mentega dan minumnya susu segar. Kira-kira pukul 09.00, Ibu berenang. Seperti biasa, sebelum masuk kolam Ibu membaca buku. Sudah seminggu ini Ibu cuti, jadi rutin berenang setiap pagi.”

Kamar pribadi Bu Vonny cukup besar. Selain meja kerja dengan latar belakang rak-rak kaca besar yang dipenuhi koleksi barang antik dan guci bernilai seni tinggi, juga terdapat dua tempat tidur king-size. Di meja kerja terdapat patung Ganesha dari tembaga berlapis emas dengan permata zamrud di tengah kening.

“Pak Sudarman, tolong katakan pada Pak Subagia, agar besok sekitar pukul 10.00 datang ke kantor. Saya perlu informasinya,” pesan Lettu Agus ketika akan meninggalkan ruang pribadi Bu Vonny.

 

Menantunya nyentrik

Kamis, 2 Juli, sekitar pukul 10.00 Subagia memenuhi panggilan polisi. Bujangan berumur 30 tahun itu tampak tenang dan banyak senyum, seperti sudah berhasil mengatasi syoknya.

“Berapa lama Anda bekerja pada Bu Vonny?” Lettu Agus membuka percakapan.

“Hampir delapan tahun sebelum Pak Putra Atmaja, suami pertama Bu Vonny, meninggal karena serangan jantung.”

“Suami pertama? Jadi, ada suami kedua?”

“Ya, namanya Pak Sularto. Sekarang beliau di luar negeri, baru minggu lalu berangkat.”

“Apa Pak Sularto sudah diberi tahu?”

“Belum. Entah sekarang beliau ada di mana, tapi Wenny, sekretarisnya yang sering berkomunikasi, sudah saya kabari.”

Setelah hening sejenak, Lettu Agus melanjutkan, “Apa perkawinan dengan Pak Sularto membuahkan anak?” 

“Belum, padahal sudah empat tahun menikah. Tapi dengan Pak Putra Atmaja ada dua anak. Yang pertama perempuan, Putri Pratiwi, sudah menikah. Yang kedua laki-laki, Aditya, sekarang kuliah di luar negeri.”

“Bagaimana Bu Vonny bisa kenal Pak Sularto?”

“Dulu ia tangan kanan Pak Putra Atmaja. Ketika usaha Pak Putra nyaris bangkrut, Pak Sularto yang menyelamatkan. Bahkan perusahaan itu makin besar berkat Pak Sularto. Saat Pak Putra mulai sakit-sakitan, Pak Sularto diminta tinggal di rumahnya. Selain memudahkan berkonsultasi, juga membantu Bu Vonny yang mengambil alih bisnis suaminya.”

“Waktu menikah dengan Bu Vonny, apa Pak Sularto masih bujangan?”

“Ya, usianya baru 35 tahun, lima tahun lebih muda dari Ibu.”

“Anda pernah mendengar mereka cekcok atau bertengkar?” selidik Lettu Agus.

“Tidak. Pak Sularto jarang di rumah.”

“Lo, lalu tidur di mana?”

“Kabarnya beliau beristri lagi,” sambil tersenyum misterius.

“Dari mana Anda tahu?” tanya Lettu Agus antusias.

“Dari Sarijan, sopir Pak Sularto.”

“Sekarang di mana Sarijan?” 

“Sudah dipecat Ibu,” jawab Subagia tenang.

Telepon di meja kerja Lettu Agus berdering.

“Ya? dr. Budi, apa ada perkembangan?”

“Dugaan saya benar, korban keracunan. Tapi belum pasti jenisnya, mungkin dari jenis arsenik. Sedangkan buah-buahan, minuman, dan gelasnya bersih, tidak ada apa-apanya. Tadi jenazah Bu Vonny sudah diambil putrinya,” ujar dr. Budi.

“Menurut dr. Budi, Bu Vonny meninggal karena serangan jantung. Selain itu, jenazahnya sudah diambil putrinya,” kata Lettu Agus sambil memperhatikan reaksi Subagia yang kalem-kalem saja.

“Kalau begitu, boleh saya minta izin untuk mempersiapkan segala sesuatunya di rumah. Jenazah Ibu tidak mungkin dibawa ke rumah Putri. Selain jauh, rumah kontrakannya juga kecil.”

“Ha? Anak orang kaya kok ngontrak rumah kecil?” Lettu Agus kaget.

“Sebenarnya, perkawinan Putri dengan Bambang Sekutrem tidak disetujui Ibu. Bambang itu nyentrik, suka hal-hal berbau klenik. Selain itu orangnya malas tapi maunya hidup mewah. Akhirnya, ya cuma menggerogoti kekayaan ibu mertuanya. Dia punya koleksi keris yang selalu dihormati dan tidak boleh sembarangan dipegang. Katanya, nanti kualat.”

“Dulu dia bekerja di kantor Ibu. Tetapi berhubung malas, ya dipecat. Ibu enggak pilih kasih meski menantu sekalipun,” ungkap Subagia.

“Di mana Putri kenal Bambang?”

“Di kampus. Putri kuliah di ekonomi, Bambang di seni rupa. Putri lulus, Bambang mogok. Saya duga, Putri lengket dengan Bambang karena guna-guna, bapaknya Bambang ‘kan dukun,” ujar Subagia sinis.

Jumat, 3 Juli, Lettu Agus dan wakilnya ke kantor Bu Vonny yang juga terletak di Jakarta Selatan. Gedung berlantai lima itu menjadi kantor periklanan sekaligus kantor perusahaan supplier. Mereka menemui Aryani, sekretaris korban. Dari Aryani, Lettu Agus mendapat keterangan, Pak Sularto yang sedang ada di Korea Selatan akan segera pulang. Juga tentang Sarijan yang ternyata dipindah ke bagian gudang.

Iseng-iseng Sertu Basuki bertanya tentang Bambang Sekutrem. “Sebelum mengundurkan diri Mas Bambang bekerja di bagian akunting. Dengar-dengar sekarang ia mendirikan sanggar lukis di rumahnya,” jawab Aryani.

Aneh, keterangan Aryani berbeda dengan keterangan Subagia, pikir Lettu Agus.

“Kalau gudang, di mana letaknya?” tanya Sertu Basuki.

“Di lantai dasar gedung ini.”

Sekeluar dari pintu lift di lantai dasar, kedua hamba hukum itu berbelok kiri ke arah gudang. Tampak Sarijan tengah sibuk memasukkan barang pecah belah ke dalam mobil boks.

“Pak Sarijan, betul Anda dulu supir Pak Sularto?” sapa Lettu Agus ramah. Sarijan mengangguk.

“Anda tidak dendam karena dipecat Bu Vonny?”

“Wah, enggak, Pak. Saya malah untung.”

“Lo, kok?”

“Iya, Pak. Kalau supir pribadi berangkat dari rumah pukul lima pagi, baru kembali ke rumah sedikitnya pukul sembilan malam. Nah, kalau di sini, persis orang kantoran, hari Sabtu saja setengah hari,” katanya sembari tersenyum.

“Boleh tahu kenapa Anda dipecat?”

Orang tua itu tampak ragu-ragu menjawab, “Gara-gara saya bilang pada Pak Subagia kalau Pak Sularto punya bini muda. Lalu Pak Subagia lapor sama Ibu ....”

“Siapa sih istri muda Pak Sularto?”

“Wah, kalau soal itu, saya takut memberi tahu, Pak.”

“Siapa yang Anda takuti? Bu Vonny ‘kan sudah meninggal?” desak Sertu Basuki. 

“Betul, Pak, tapi ...,” katanya ragu.

 

Warangan pembersih keris

Sertu Basuki kembali ke kantor tanpa hasil. Di kantor Kopral Nanang yang giliran piket tampak serius membaca laporan yang masuk di sebuah buku berukuran folio.

Diam-diam Lettu Agus mengamati semua gerak-geriknya. Tiba-tiba, “Yaak!” Letnan Satu yang berputra dua itu berteriak keras.

Buru-buru Lettu Agus membuka laci mejanya. Diambilnya buku Killing Me Softly milik Bu Vonny. Dengan sebuah pinset, hati-hati ia membuka halaman demi halaman. Di bawah kaca pembesar, tampak halaman-halaman buku itu bernoda tipis, seperti bintik-bintik kecil mengilat. Tapi Lettu Agus belum yakin kalau yang dilihat itu benar-benar butiran racun yang amat mematikan.

Menjelang sore Lettu Agus menemui dr. Budi di rumah sakit. 

“Dokter tahu kebiasaan orang kita kalau membaca buku?” Lettu Agus berteka-teki. dr. Budi menggeleng dengan dahi mengernyit.

“Halaman berikut dikebet dengan ujung jari yang dijilat lebih dulu. Bayangkan bagaimana kalau setiap halaman bagian kanan atas diolesi racun yang kemudian dikeringkan?”

Dokter Budi manggut-manggut. la mengerti, buku itu harus dia periksa. Sabtu, 4 Juli pukul 10.00 Lettu Agus menemui dr. Budi di salah satu ruang laboratorium.

“Dugaan Anda benar, Let. Hampir seperempat lembar dari setiap halaman bagian atas novel ini dilumuri racun dari jenis arsenik. Karena jenis kertasnya bagus dan mengilap, yaitu counted paper dari Swedia, noda racun itu hampir tidak kelihatan. Lain halnya kalau buku novel ini dari kertas koran, noda akan tampak jelas. Orang-orang tua, di Jawa menyebut arsenik sebagai racun warangan, yang biasa untuk membersihkan bilah keris, kepala tombak, dan mata anak panah yang di Jawa disebut bedor.”

“Dulu alat-alat itu menjadi senjata perang. Mula-mula keris, kepala tombak, dan bedor dibersihkan dengan asam jawa atau jeruk nipis. Sesudah bersih dan pamornya kelihatan, senjata itu direndam dalam larutan warangan. Kalau dipakai untuk berperang, jangankan tertusuk, tergores saja sudah- membuat korban teracuni. Kalau tidak cepat ditolong ....,” papar dr. Budi tanpa melanjutkan kalimatnya.

“Di mana kita bisa mendapatkan arsenik, Dok?” 

“Dulu memang susah, tapi sekarang ‘kan banyak toko bahan kimia.”

 

Diminta kawin lagi

Minggu, 5 Juli, Lettu Agus dan wakilnya datang ke sebuah rumah di kompleks perumahan mewah di daerah Jakarta Timur. Seorang pria berusia 40-an menyambut kedatangan mereka dengan ramah.

Pria itu tidak lain Sularto. “Kapan Anda tiba di Jakarta dan siapa yang mengabari Anda?” Lettu Agus memulai percakapan.

“Baru tadi malam saya sampai. Saya mendapat kabar dari Aryani, sekretaris saya,” jawabnya tegas.

“Baik, langsung ke pokok masalahnya. Saya membawa buku novel berjudul Killing Me Softly. Buku ini masih baru, label harganya menggunakan dolar Singapura. Anda yang membeli buku ini untuk Bu Vonny?”

“Benar. Malah masih ada dua buku lainnya. Ketiganya saya beli waktu check-in di sebuah hotel di Singapura. Di lobi hotel itu ada toko buku, langsung saya ingat pesanan Ibu. Segera saya beli dan kirim ke Jakarta, ke kantor Ibu, hari itu juga.”

“Anda sempat membaca atau setidaknya membuka halaman-halamannya?” sela Sertu Basuki.

“Tidak. Semua buku dibungkus plastik wrapping. Saya tidak mau Ibu berprasangka dikirimi buku bekas.”

“Anda menyimpan bon pembelian buku dan resi dari agen jasa pengiriman di Singapura?” selidik Lettu Agus.

“Seingat saya ada. Sebentar..,” katanya sambil beranjak masuk. Sularto keluar sambil membawa dua lembar kertas carbonnice yang langsung diserahkan kepada Lettu Agus.

Keheningan pecah oleh suara Lettu Agus, “Anda tahu penyebab meninggalnya Bu Vonny?”

“Jantung?” ucap Sularto lirih.

“Bukan. Kemungkinan karena racun.”

Mendengar kata “racun”, wajah Sularto seketika pias dan pucat.

“Maaf, Pak. Ini soal Sarijan. Benarkah ia dipecat karena mengatakan pada Subagia bahwa Anda ....” pertanyaan tak berlanjut, Lettu Agus mengangguk dan tersenyum, yang dibalas pula dengan senyum oleh Sularto.

“Betul. Tapi, ceritanya panjang,” sahut Sularto.

“Tidak mengapa. Ceritakan saja,” kata Lettu Agus.

“Begini, karena sakit-sakitan, Pak Putra Atmaja khawatir, bila ia meninggal dan perusahaan dipegang oleh Ibu yang belum berpengalaman, bisa-bisa perusahaan bangkrut. Maka saya diminta mendampingi Ibu. Setahun setelah Pak Putra Atmaja meninggal, kami bekerja keras. Syukurlah perusahaan itu bertahan dan malah berkembang. Suatu ketika Ibu bilang, sebelum Pak Putra meninggal, beliau berpesan agar kami - Ibu dan saya - menikah saja. Sebab, kurang baik kalau relasi atau pegawai di kantor melihat kami, yang bujangan dan janda, ke mana-mana berdua. Setahun sesudah menikah, Ibu menjalani operasi kista, yang diikuti dengan pengangkatan indung telur. Kami pun tidak selayaknya suami-istri, karena Ibu menderita menopause dini.”

Sularto menghela napas. 

“Jadi, meski sekamar, tempat tidur kami terpisah. Walaupun otoriter, Ibu sebenarnya baik. la tahu kebutuhan saya, maka ia meminta saya untuk menikah lagi. Sebenarnya saya menolak, tapi ia bersikeras dan malah menjodohkan saya dengan adik sepupunya, istri saya sekarang. Rumah ini pun, Ibu yang membeli. Ia mencarikan rumah yang aman dan nyaman, tapi lokasinya jauh dari Jln. Prahasto. Agar orang-orang tidak tahu kalau saya punya keluarga di sini, setiap Senin sampai Kamis saya tidur di Jln. Prahasto, sedangkan hari lainnya saya di sini. Biasanya, kepada orang-orang Ibu beralasan bahwa saya tugas ke luar kota. Jadi, ketika Sarijan bilang pada Subagia, tentu saja Ibu marah,” ujar Sularto, matanya menerawang.

“Selain Sarijan, apa ada orang lain yang tahu soal ini?”

“Bambang Sekutrem.” 

“Bagaimana pendapat Anda tentang Bambang?” desak Lettu Agus.

“Ya, ia orang baik. Tapi maunya hidup enak tanpa kerja keras. Dulu ia bekerja di kantor Ibu di bagian akunting, tapi sering tidak masuk dan datang terlambat. Akhirnya, dipecat oleh Ibu.”

“Lo, katanya, mengundurkan diri.”

“Itu bahasa halusnya, diminta paksa oleh manajemen.”

“Lalu sekarang apa pekerjaannya?”

“Saya dengar ia punya sanggar lukis di rumah, sedangkan istrinya ‘kan bekerja di kantor Ibu juga. Bakat seninya mungkin diturunkan dari kakeknya, seorang empu, ahli pembuat keris di zamannya. Sedangkan ayahnya selain kolektor keris juga jual-beli tosan aji atau pusaka. Malah, katanya, ayahnya punya toko barang antik, di daerah mana saya kurang tahu.”

“Jadi, mungkin saja Bambang punya koleksi keris, ya, Pak?”

“Memang, saya pernah melihatnya. Tapi cuma ada beberapa, tidak banyak.”

“Kalau Subagia, bagaimana?” selidik Lettu Agus.

“Ia sangat tertutup, terkadang malah apatis. Sepertinya, ia kurang setuju ketika Ibu menikah dengan saya.”

“Apa pasalnya?” 

“Maklumlah, dia ‘kan adik tiri Pak Putra. Dulu ia kerja di kantor, tapi karena cuma lulusan SMP, ya, begitulah. Akhirnya, Ibu meminta dia kerja di rumah saja sebagai housekeeper. Tapi akhir-akhir ini Ibu curiga padanya.”

“Kenapa?” 

“Banyak keramik Ibu yang hilang. Tapi Ibu diam saja, tidak main tuduh karena tidak punya bukti.”

“Mungkin Bambang yang mengambil?” 

“Rasanya tidak. Bambang takut pada Ibu. Kalau bukan untuk urusan penting sekali, ia segan datang ke Jln. Prahasto.”

 

Patung Ganesha hilang

Selasa, 7 Juli, sekitar pukul 11.00, Lettu Agus dan Kopral Nanang mendatangi kantor agen jasa pengiriman di Jln. Gatot Subroto. Lettu Agus menemui kepala bagian paket. Setelah melihat komputer, pria itu mengambil secarik kertas dari map plastik. 

“Dari Mr. Sularto di Singapura tanggal 19 Juni pukul 14.00 waktu setempat. Kepada Mrs. Vonny di Jakarta. Diterima hari Sabtu 20 Juni pukul. 10.00 oleh Putri. Ini paraf dan nama terangnya,” katanya tanpa ekspresi.

Putri Pratiwi, anak pertama mendiang Bu Vonny, mengakui menerima paket dari Singapura untuk ibunya. Ia ingat, hari itu Sabtu. Ia dijemput Bambang, suaminya. Sebelum pulang ia bermaksud mengantar paket ke Jln. Prahasto. Sayang, ibunya tidak di rumah. Waktu itu Subagia yang menjaga rumah. Kata Subagia, ibunya pergi ke Bogor dan terus berlibur ke vilanya di Puncak. Paket itu dia titipkan saja pada Subagia.

Selama perjalanan kembali ke kantor, Lettu Agus mengolah semua informasi yang didapat. Ia seperti menghadapi jaring laba-laba. Benang yang satu diurai, yang lain akan kusut dan lengket.

Di suatu perempatan jalan di kawasan Ciputat, mobil yang dikemudikan Kopral Nanang berhenti karena lampu merah. Dari arah kiri, tak sengaja Lettu Agus melihat seorang laki-laki berbaju merah bata turun dari taksi menjinjing tas hitam. Pria itu masuk ke sebuah art shop yang berderet di daerah itu.

“Kopral Nanang, tolong buntuti pria berbaju merah bata itu, sebab kalau saya, sudah dikenalnya,” perintah lettu Agus.

Kopral Nanang segera beranjak sesudah memarkir mobil. Tiga puluh menit kemudian Kopral Nanang melapor, orang itu menjual patung Ganesha berlapis emas dengan permata zamrud di keningnya.

“Mereka akrab sekali, sepertinya ia sudah langganan. Uangnya saja baru dibayar sebagian,” ujar Kopral Nanang.

“Kalau begitu, segera meluncur ke Jln. Prahasto,” perintah Lettu Agus tak sabar.

Sekitar pukul 15.30 ketika mereka tiba di tempat tujuan. Di teras Bambang Sekutrem baru saja menyelesaikan lukisannya. Sesudah berkenalan, Lettu Agus mulai membuka percakapan, “Sebenarnya sudah lama saya mendengar nama Anda, tapi baru sekarang bisa bertemu.”

“Tentu dengan kesan yang buruk, ya, Letnan,” sahut Bambang kecut.

“Ah, tidak. Pak Subagia ada di tempat?” Lettu Agus mengalihkan pembicaraan.

“Wah, baru saja pergi.” 

“Apa Anda sekarang tinggal di sini?”

“Ya, di paviliun,” katanya sambil menunjuk bangunan kecil di samping garasi.

“Kenapa tidak di kamar Bu Vonny? Kamarnya ‘kan besar.”

“Kamar itu dikunci Om Subagia. Katanya, disegel atas perintah polisi. Sampai sekarang kuncinya tidak diserahkan ke saya.”

“Eh, omong-omong, Anda punya keris pusaka, ya?”

“Ah, siapa bilang pusaka, itu keris biasa. Tapi dua bulan lalu saya jual karena ada yang berminat.”

“Kok dijual, untuk apa?” 

“Untuk modal bikin sanggar lukis. Meski punya mertua kaya, saya malu minta-minta sama dia,” kata Bambang pelan.

“Ini soal lain. Selama keris itu di tangan, apa Anda pernah memberi obat kimia atau warangan, agar kerisnya tampak bagus, keluar pamornya, dan menarik peminat kalau dijual?”

“Tidak, tidak pernah saya warangi. Kalau kusam, cukup saya cuci dengan jeruk nipis atau asam jawa, lalu dikeringkan pakai lap biasa.”

Bersamaan dengan itu telepon genggam Bambang berdering.

Lima menit kemudian. 

“Wah, penyakit Subagia kumat lagi,” Bambang berbicara sendiri. 

“Lo, apa penyakit Pak Subagia?” desak Lettu Agus. 

“Nyolong! la menjual barang itu ke toko milik paman saya di Ciputat.”

“Paman Anda punya toko apa?”

“Paman dan ayah saya bekerja sama membuka toko barang antik. Subagia baru saja menjual patung Ganesha berlapis emas bermata zamrud. Milik siapa saya tidak tahu, mungkin milik mendiang mertua saya. Dulu Ibu memang sering kehilangan benda koleksinya. Karena saya pengangguran, saya sering kena tuding. Akhirnya, kami pindah ke rumah kontrakan, biar kecil tapi aman dari sangkaan. Oh ya, kata paman saya, pembayaran patung itu baru sebagian, sebab paman khawatir barang itu curian.”

“Apa Subagia tidak tahu kalau pemilik toko itu paman Anda?”

“Tidak, tapi paman saya tahu kalau Subagia kepala rumah tangga di sini.”

“Anda pernah masuk ke kamar pribadi Bu Vonny?”

Bambang Sekutrem menggeleng. 

“Benar, barang itu memang milik Bu Vonny. Saya tadi sempat membuntutinya dan masuk salah satu art shop di Ciputat,” tutur Kopral Nanang.

“Ha, jadi Anda sudah tahu?” seru Bambang gugup.

 

Untuk meracuni tikus

Hari makin gelap. Sekitar pukul 18.30 tampak seorang laki-laki mondar-mandir di depan pintu gerbang rumah di Jln. Prahasto, sepertinya menunggu seseorang.

“Anda mencari siapa?” tanya Kopral Nanang. 

Lelaki yang disapa dengan tiba-tiba itu tampak terkejut. 

“Eh, anu, Pak. Tidak ada apa-apa,” jawabnya gagap. 

“Betul? Anda tidak mencari siapa-siapa?” 

“Anu ... saya mencari Pak Subagia,” jawabnya takut-takut.

“Wah, dia pergi sejak tadi. Ada urusan apa dengannya? Apa urusan ganja, narkoba? Sudah lama jadi pengedar, ya?” gertak Kopral Nanang.

Pria berambut gondrong berumur 30-an itu semakin pucat.

“Bu-bukan, Pak. Saya cuma mau menagih utang,” jawabnya dengan suara gemetar.

“Utang? Subagia utang apa?”

“Utang obat, tapi bukan narkoba. Obat seperti ini lo, Pak,” ujarnya sambil mengeluarkan sebotol obat batuk dari saku celana.

“Obat apa ini? Memangnya dia utang obat batuk?”

“Bukan. Tempatnya memang bekas obat batuk, tapi isinya warangan, racun, Pak. Dua bulan lalu Pak Subagia membeli sebotol kecil. Katanya, untuk percobaan dulu. Nanti kalau manjur, mau pesan lagi. Kemarin dia telepon minta yang botol besar. Jadi, saya bawakan ini.”

“Jadi, Anda mau menagih utang sambil membawa ini? Untuk apa Subagia pesan racun?”

“Katanya, untuk meracun tikus-tikus tanah yang merusak taman. Banyak tanamannya rusak karena tanahnya penuh liang tikus.”

“Maksudnya, umpannya diolesi dengan racun ini?”

“Benar. Biar tidak membahayakan diri, mengoleskannya pakai kuas.”

“Berapa utang Subagia?” 

“Yang botol kecil lima puluh ribu.”

“Begini saja, racun ini saya beli. Soal lainnya, nanti saya yang memberi tahu. Oh ya, di mana alamat Anda, siapa tahu nanti saya butuh lagi?”

Laki-laki itu menuliskan alamatnya, lengkap dengan nomor telepon. Setelah menerima uang, orang itu keluar dari gerbang tanpa menoleh lagi ke belakang.

Dokter Budi memastikan bahwa racun dalam botol obat batuk itu sama persis formulanya dengan arsenik di buku Duncan Palmer yang menyebabkan tewasnya Bu Vonny, Lettu Agus pun bernapas lega.

Malam sudah larut ketika Lettu Agus, Sertu Basuki, Kopral Nanang, dan Bambang Sekutrem mendobrak pintu kamar Subagia. Di dalam tampak Subagia tersandar di sofa dalam keadaan fly. Kamarnya berantakan. Di meja tergeletak beberapa bungkusan kecil dari kertas aluminium yang belakangan diketahui berisi bubuk sabu. Selain itu ada bong, alat pengisap dari kaca bening, korek api, dan kertas timah.

Dalam keadaan linglung, malam itu juga Subagia digiring ke kantor polisi. Penyelidikan lebih lanjut membuktikan, selain pengguna, Subagia juga “peluncur”, istilah untuk pengecer kecil-kecilan dengan sasaran masyarakat kelas bawah dan para ABG yang banyak nongkrong di mal.

Dari penyidikan diketahui, banyak benda antik koleksi Bu Vonny raib dicuri Subagia. Ketika mencium gelagat kalau Subagia pencandu narkotik, Bu Vonny lantas mengusirnya. Tapi sayang, sebelum Subagia pergi, nyonya yang tegas itu telah “dipaksa” mendahuluinya pergi! (Riady B. Sarosa)

Baca Juga: Terilhami Buku Kriminal

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605746/gara-gara-killing-me-softly" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835640000) } } }