Intisari Plus - Sepasang suami istri imigran Hongaria punya dua anak perempuan cantik, Ethel dan Veronica. Pada hari raya Paskah, mereka merencanakan pesta, tetapi justru yang ditemukan adalah tiga mayat korban pembunuhan, termasuk Veronica.
----------
Joseph dan Mary Gedeon adalah sepasang suami istri imigran dari Hongaria, yang telah lama menetap di Amerika. Mereka mempunyai dua orang anak perempuan yang luar biasa cantik. Yang pertama, Ethel telah menikah dan tinggal dengan suaminya Joseph Kudner di pinggiran kota New York. Yang kedua, Veronica atau “Ronnie”, umur 21 tahun dan masih gadis.
Ronnie menjadi model bagi para pelukis dan juru potret. Ia sangat laku, bukan saja karena kemolekan tubuhnya, tetapi lebih-lebih karena gadis ini tak berkeberatan berpose dalam keadaan telanjang.
Ketika perkara “Gedeon” yang akan diceritakan di bawah ini terjadi, Joseph dan Mary Gedeon telah bercerai. Ronnie tinggal bersama ibunya dalam sebuah apartemen di East 50th Street, sedangkan Joseph Gedeon tinggal di East 34th Street di mana ia mengusahakan sebuah toko bekleding. Walaupun telah bercerai, namun hubungan Joseph dan Mary masih baik. Pada waktu-waktu tertentu, terutama pada hari raya-raya besar, mereka dan kedua anak mereka berkumpul untuk bersantap bersama-sama.
Ketika itu bulan Maret 1937. Joseph dan Mary Gedeon membuat rencana pesta pada hari raya Paskah, Minggu tanggal 28 Maret. Pesta akan berlangsung di rumah Mary. Ronnie dan ibunya akan menyiapkan masakan. Seluruh keluarga menurut rencana akan berkumpul pada jam 3 siang. Tetapi secara tak terduga-duga hari pesta itu menjadi hari duka.
Joseph Gedeon dan Ethel serta Kudner suaminya yang saling bertemu di tengah jalan dan bersama-sama menuju ke rumah Mary dan Ronnie, tidak menjumpai masakan yang telah siap sedia, tetapi tiga mayat korban pembunuhan.
Ronnie terkapar di ranjang, sama sekali tanpa pakaian, sedangkan ibunya menggeletak di kolong. Korban ketiga adalah Frank Byrnes, seorang Inggris setengah usia yang menyewa salah satu kamar apartemen Mrs Gedeon.
Mayat Ronnie dan ibunya tak memperlihatkan luka-luka senjata. Lain halnya dengan mayat Frank Byrnes. Ia berlumuran darah menggeletak di ranjang, hanya berpakaian celana dalam. Tubuhnya sebagian tertutup selimut. Mr Gedeon segera lari ke kantor polisi yang kebetulan letaknya dekat sekali.
Sesaat kemudian apartemen Mrs. Gedeon telah penuh detektif, di bawah pimpinan komandan John A. Lyons yang membawa serta Dr. Thomas Gonzales untuk mengadakan pemeriksaan. Kedatangan mereka disambut oleh anjing piaraan Mrs. Gedeon. Binatang ini mengamuk dan menyalak dengan ganasnya, hingga terpaksa disingkirkan ke lain tempat agar tidak mengganggu jalannya pemeriksaan. “Jika ada orang yang tak dikenalnya, anjing ini selalu demikian”, kata Ethel dengan nada maaf atas terjadinya gangguan ini.
Peristiwa kecil ini dan pernyataan seorang tetangga dekat, bahwa sekitar jam 11 Sabtu malam dari arah apartemen Mrs. Gedeon ia mendengar seorang wanita berteriak tetapi sama sekali tak mendengar anjing menyalak, memungkinkan polisi membuat kesimpulan berikut: Pembunuh pastilah seseorang yang tidak asing di rumah Mrs. Gedeon.
Sementara itu penyelidikan Dr. Gonzales menghasilkan gambaran berikut. Di antara ketiga korban, yang meninggal pertama-tama adalah Mrs. Gedeon. Pukul 11 Sabtu malam sangat cocok dengan hasil penyelidikan dokter mengenai keadaan mayat Mrs. Gedeon.
Ia mati dicekik dengan sepasang tangan yang luar biasa kuat. Sebelum mati lemas, wanita itu mengadakan perlawanan. Di sela-sela kukunya terdapat sebitan-sebitan daging dari penyerangnya. Pelipisnya menunjukkan tanda-tanda dipukul keras sekali dengan tinju, yang tentu membuatnya tak sadar. Tanda-tanda jamahan seksual sama sekali tak terlihat padanya.
Juga Ronnie bukan korban pemerkosaan. Sementara itu tampak jelas bahwa Sabtu malam ia melakukan hubungan kelamin dengan secara sukarela. Ronnie meninggal kira-kira 6 jam setelah kematian ibunya, sekitar jam 6 pagi hari Minggu. Seperti Mrs Gedeon, Ronnie pun mati karena dicekik lehernya.
Sepotong pita perekat terjerat antara rambutnya. Rupanya pembunuh sebetulnya bermaksud memberangus Ronnie dengan pita itu agar tak dapat berteriak-teriak minta tolong. Tapi ini tak jadi ia lakukan. Celana dalamnya terletak dekat kaki ranjang. Otopsi menunjukkan bahwa dalam otak gadis itu banyak terdapat alkohol. Ini memberi kesimpulan bahwa pada waktu meninggal, Ronnie sedang mabuk berat.
Cara kematian Byrnes lain sekali dengan dua korban terdahulu. Rupanya ia sedang tidur ketika diserang. Ia tidak dicekik, tetapi ditusuki kepalanya dengan sebuah benda runcing. Seperti Ronnie, Byrnes pun meninggal sekitar jam 6 Minggu pagi, kemungkinan besar beberapa saat setelah gadis itu. Sebab seandainya pembunuh menyerang Ronnie setelah menganiaya Byrnes senjata runcing tentunya ia akan menodai ranjang Ronnie dengan darah Byrnes. Tidak terdengarnya kegaduhan oleh Byrnes sewaktu pembunuh mencekik Ronnie, mudah diterangkan, yaitu karena Byrnes sangat tuli.
Motif pembunuhan pasti bukan pencurian. Tak ada benda-benda berharga yang dibawa kabur dari kamar Ronnie. Satu-satunya yang hilang hanyalah sebuah jam beker di dapur. Di tempat kejadian selebihnya ditemukan sarung tangan kiri milik pembunuh, tetapi tak ada sidik jarinya. Kecuali itu di lantai dapur ada lapisan sejenis tanah liat rupanya berasal dari telapak sepatu pembunuh. Tanah liat itu dikirim oleh polisi ke laboratorium untuk diselidiki.
Pemeriksaan seluruh apartemen tidak menambah kejelasan. Di kamar mandi terdapat noda-noda darah, yaitu di bak mandi dan pada sebuah handuk yang tergantung di situ. Rupanya pembunuh mencuci tangan setelah menikam Byrnes.
Selebihnya di tempat yang sama ditemukan pakaian yang dikenakan Ronnie menjelang dibunuh: sepatu, kaos kaki, gaun, topi, notes kecil. Semua benda itu terletak dalam keranjang cucian. Rupanya gadis itu dalam keadaan mabuk menanggalkan seluruh pakaiannya di situ, terkecuali celana dalam yang ditemukan dekat ranjang. Atau barangkali pembunuhnyalah yang menaruh semua benda-benda itu di kamar mandi.
Selagi para pemeriksa berada di kamar mandi, tiba-tiba telepon berdering. Seorang lelaki menanyakan Ronnie. Katanya, ia membuat perjanjian sore itu akan ke gereja bersama gadis itu. “Terjadi sesuatu dengan Ronnie”, jawab polisi yang kemudian minta agar lelaki itu segera menuju ke rumah Ronnie.
Sepuluh menit setelah itu, lelaki tersebut sudah datang. Ternyata ia masih muda, kira-kira sebaya dengan Ronnie. Ketika diberitahu polisi tentang apa yang terjadi, pemuda itu terkejut sekali. Ia tak memperlihatkan kesan bersalah. Dengan jujur dan terus terang ia menceritakan hubungannya dengan Ronnie.
Pemuda itu masih bujangan dan bekerja di Wall Street. Ia bukan tunangan Ronnie, tetapi bergaul dengannya secara intim. Sabtu malam Minggu menjelang terjadinya peristiwa, pemuda itu masih mengajak Ronnie ke apartemennya. Di sana makan spaghetti, minum-minum dan sekitar tengah malam bermesra-mesraan di ranjang.
Ronnie takut dimarahi ibunya jika pergi semalam suntuk. Maka pemuda itu mengantarkannya pulang jam 3 pagi. Sebelum berpisah, mereka berjanji akan ke gereja bersama-sama hari berikutnya. "Ya, tingkah laku kami sebetulnya bertentangan dengan penunaian ibadat agama di gereja. Tapi itulah kenyataannya”, pemuda itu menambahkan dengan jujur.
Jam 3 pagi Ronnie pulang. Jam 6 ia telah mati. Rupanya pembunuh telah menunggunya di kamar. Dalam jangka waktu 3 jam antara jam 3 dan 6 pagi, apa yang terjadi antara Ronnie dan pembunuhnya? Barangkali yang terakhir ini berusaha melakukan pemerasan terhadapnya atau minta sesuatu janji? Dengan menyelidiki riwayat hidup Ronnie, barangkali saja pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab.
Gadis ini ternyata pernah kawin, yaitu pada usia 16 tahun. Tetapi bekas suaminya jelas tak mempunyai sangkut paut dengan pembunuhan Ronnie. Telah 4 tahun lelaki itu tak pernah melihat bekas istrinya. Dan pada saat kejadian ia berada ditempat lain.
Dari buku catatan Ronnie, ternyata bahwa ia mempunyai banyak kekasih. Salah seorang di antaranya adalah seorang lelaki yang sudah berkeluarga dan mempunyai 3 orang anak. Lelaki ini pernah mengongkosi Ronnie ketika memerlukan pertolongan dokter karena “kesulitan ginekologis” rupanya istilah lain untuk menyebut kehamilan. Tetapi lelaki inipun dapat memberikan alibi yang meyakinkan kepada polisi.
Lelaki lain yang menurut laporan Mr. Gedeon menaruh minat kepada Ronnie adalah seorang jutawan dari Boston. Jutawan itu bermaksud memungut Ronnie sebagai kekasihnya. Ia akan menempatkannya dalam sebuah apartemen mewah di Park Avenue lengkap dengan mobil segala. Tetapi tawaran ini ditolak oleh Ronnie. Akibatnya jutawan itu marah sekali. Tidak mustahil ia menaruh dendam terhadap Ronnie, karena cintanya tak terbalas.
Mendengar cerita ini, polisi malah menjadi curiga. Diangan-angan Gedeon sendiri terlibat dalam pembunuhan Ronnie dan ibunya. Penyelidikan menunjukkan bahwa Mrs. Gedeon seorang wanita yang penuh gairah. Sebelum bercerai dengan suaminya, wanita itu mempunyai banyak sahabat lelaki. Dan menjelang matinya, Mrs. Gedeon kerap kali terlihat bersama-sama dengan seorang lelaki tampan. Kepada setiap orang, Mrs. Gedeon memperkenalkan sahabatnya ilu sebagai “suami saya yang kedua”. Tidak mustahil Mr. Gedeon menjadi cemburu karenanya.
Polisi teringat pada senjata runcing yang digunakan untuk membunuh Frank Byrnes. Tak mustahil senjata itu besi pengait yang sering digunakan pekerja-pekerja Gedeon di gudang tempat penyimpanan barang-barang dagangannya. Jika benar Gedeon pembunuhnya, maka sudah barang tentu anjing Mary Gedeon tak akan menyalak sewaktu orang itu datang di rumah majikannya. Penggeledahan yang dilakukan polisi di rumah Mr. Gedeon menghasilkan penemuan sebuah pistol yang berisi sejumlah peluru.
Tanggal 1 April Gedeon ditahan polisi, di samping karena menyimpan senjata tanpa izin, juga untuk diinterogasi mengenai kematian Mrs. Gedeon, Ronnie dan Byrnes.
Tentang pistol yang ditemukan di rumahnya, Gedeon mengatakan bahwa senjata itu titipan dari seorang teman. Lebih jauh diperoleh keterangan bahwa Sabtu malam Minggu menjelang terjadinya pembunuhan, Gedeon dari jam 7 sore sampai jam 3 malam berada di sebuah cafe minum-minum bir. Setelah itu langsung pulang ke rumah dan tidur.
Sementara itu perkembangan penyelidikan menyebabkan polisi beranggapan tak perlu menahan Gedeon lebih lama lagi. Tanggal 3 April ia sudah dilepaskan. Perkara pistol yang disimpannya tanpa izin, untuk sementara ditangguhkan pengusutannya.
Perubahan arah penyelidikan itu disebabkan oleh hasil penelitian tanah liat yang ditemukan di tempat pembunuhan. Apa yang mirip tanah liat itu ialah plastisin, bahan yang biasa digunakan oleh para pembuat patung. Dan di rumah Mrs. Gedeon pernah tinggal seorang seniman pembuat patung. Ia mendiami kamar yang belakangan dihuni oleh Frank Byrnes.
Orang itu ialah Robert Irwin, umur 29 tahun. Ia pernah menyewa kamar di apartemen Mrs. Gedeon, yaitu dari bulan Mei sampai Desember tahun 1934. Setelah itu ia pindah tempat tinggal, tapi kadang-kadang masih sering mampir di rumah Mrs. Gedeon.
Robert Irwin ketika indekos di rumah Mrs. Gedeon, jatuh cinta pada Ethel, yang waktu itu belum menikah. Tetapi Ethel tak menaruh perasaan yang sama. Namun sikapnya terhadap Robert tetap baik, ramah. Kadang-kadang ia bahkan mau menemaninya mengunjungi museum-museum setempat.
Ronnie yang suka mencatat pengalaman-pengalaman pribadinya, pernah menulis kalimat berikut tentang Robert Irwin atau “Bobby”: Jelas bahwa Bobby berusaha merebut hati Ethel. Tapi sejauh tergantung dari saya, saya tak rela ia menikah dengan Ethel. “Maksud itu akan saya cegah melalui ibuku”. Bulan berikutnya Ronnie menulis: “Saya takut kepada Bobby. Ia kerap kali datang ke rumah sejak Ethel menolak cintanya".
Robert Irwin pernah mengalami gangguan psikis hingga perlu dirawat di rumah sakit negara di Rockland. Tingkah lakunya kadang-kadang memang aneh. Setelah Ethel menikah misalnya, Irwin sering mengira bahwa wanita idamannya ini telah bercerai dari suaminya. Dan ia berusaha mendekatinya.
Tetapi semua peristiwa itu sudah berlalu. Dan Ethel sudah lama tak mendengar lagi tentang Irwin dan tak dapat memberikan alamatnya ketika polisi menanyakannya.
Komandan Lyons kini menyuruh orang-orangnya mencari data-data tentang Robert Irwin di rumah sakit Rockland yang dulu merawatnya. Di sana mereka memperoleh semua dokumentasi tentang lelaki ini dan diagnosa dokter tentang penyakitnya dan latar belakangnya.
Robert lahir di California. Ketika ibunya melahirkannya, sama sekali tak ada bidan, jangankan dokter yang menolongnya. Tak lama kemudian suaminya meninggalkan wanita malang itu dan anaknya. Riwayat hidup Robert setelah itu berupa rentetan perpindahan dari rumah piatu yang satu ke yang lain. Pendidikan sekolah sewaktu kecil terputus-putus dan tanpa arah, namun prestasi Robert cemerlang.
Ketika Robert berumur 22 tahun, seorang pemahat terkenal di waktu itu, Lorado Taft, melihat bakat-bakatnya sebagai seniman ukir. Ia memberi Robert bukan saja pendidikan di bidang seni, tetapi juga persahabatan dan lingkungan keluarga.
Sebagai seniman Robert mengembangkan sebuah teori aneh, yang ia namakan “visualisasi”. Dengan visualisasi, demikian katanya, ia dapat menghidupkan kembali suatu pengalaman fisik di masa lampau. Setelah melihat suatu sandiwara misalnya, ia kemudian setiap kali dapat “mengundang kembali” pengalaman itu. Dalam visualisasi semua aktor dan aktris akan tampil di depannya hidup-hidup.
Berkat kemampuannya melakukan visualisasi, Irwin percaya akan dapat mencapai puncak prestasi artistik. Sebab dengan “filsafatnya” itu ia dapat menampilkan semua karya-karya besar dari segala zaman di hadapannya.
Dalam mempraktikkan visualisasi, Irwin sering berjam-jam duduk dalam posisi seperti pada praktik juga. Pada saat itu segala-galanya lenyap dari kesadarannya, tetapi ia masih merasakan gerak nafsu seksual.
Hal ini sangat ia sayangkan. Sebab seks dianggapnya dapat mengancam cita-citanya ke alam visualisasi. Anggapan ini pada suatu hari mendorongnya melakukan operasi atas dirinya sendiri untuk menghilangkan kejantanannya. Dalam keadaan berlumuran darah ia diangkut ke rumah sakit.
Di sana ia minta kepada dokter untuk menyelesaikan operasinya. Tetapi permintaan ini tidak dikabulkan. Setelah dijahit luka-lukanya, Robert Irwin dibawa ke rumah sakit jiwa. Di sana ia dirawat beberapa bulan. Kemudian dikirim ke rumah sakit di Rockland. Diagnosa dokter mengatakan bahwa Irwin dihinggapi demensia praecox.
Tahun 1934 ia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. la pergi ke New York dan indekos di rumah Mrs. Gedeon. Cintanya yang tak terbalas oleh Ethel, membuatnya murung sekali. Atas nasehat seorang ahli jiwa ia kembali ke rumah sakit Rockland. Pertengahan tahun 1936 ia dinyatakan sembuh dan boleh keluar dari rumah sakit.
Kini Robert belajar teologi di St. Lawrence University. Di samping itu ia menjadi guru seni patung.
Polisi kini menuju ke Universitas St. Lawrence Robert ternyata bukan lagi mahasiswa teologi. Ia telah dikeluarkan karena menyerang seorang rekan mahasiswa yang tak sengaja merobohkan sebuah patungnya. Jumat tanggal 26 Maret 1937 dua hari sebelum terjadinya pembunuhan ia meninggalkan lingkungan universitas.
Tetapi, untung Robert meninggalkan jejak yang berharga. Seperti Ronnie, ia pun suka membuat catatan harian. Dan buku hariannya ketinggalan di kamarnya di St. Lawrence.
Salah satu kalimat dalam harian itu memberi harapan kepada polisi. Bunyinya sebagai berikut: ”Ya, Tuhan. Betapa aku memuja Ethel. Kesempurnaan. Aku bisa menjadi gila kalau mengingat bahwa Ethel telah menikah dengan lelaki lain. O, seandainya dulu Ronnie dan ibunya tak menghalangi maksudku untuk memperistri Ethel. Aku menjadi sampah tak berharga karenanya. Gadis impianku, tidakkah kau mendengar bisikanku di malam hari ini? Betapa aku benci kepada Ronnie dan ibunya karena perbuatan mereka terhadap diriku.”
Komandan Lyons dan anak buahnya berusaha mengikuti jejak Irwin sejak ia pada hari Jumat meninggalkan St. Lawrence. Pada hari yang sama, demikian hasil penyelidikan polisi, Irwin telah sampai di New York. Di sini menyewa sebuah kamar lengkap dengan perabotnya, letaknya tak jauh dari apartemen Mrs. Gedeon.
Hari berikutnya, Sabtu, Irwin makan dengan seorang gadis terhormat, tunangan seorang rekannya di St. Lawrence University. Selesai makan-makan mereka berdua mengunjungi beberapa museum. Di sana sini Irwin menanyakan lowongan pekerjaan baginya.
Menjelang sore Irwin kelihatan murung. Rupanya tidak hanya tak berhasil mendapatkan pekerjaan, tetapi lebih-lebih karena “cinta yang hilang”. Yang ia maksud rupanya Ethel Gedeon, sekalipun ia tidak menyebut namanya. Jam 6 sore Irwin dan gadis temannya berpisah.
Sejak saat itu sampai hari Minggu pagi, urutan gerak gerik Irwin sukar direkonstruksi. Yang jelas, Minggu pagi ia muncul di apartemen yang disewanya. Dan hari berikutnya, Senin pagi, ia mengakhiri sewa kamarnya. Ia pergi dengan membawa dua koper. Bagasi ini ia titipkan di stasiun kereta api Grand Central.
Dalam salah satu di antara kedua koper tersebut, ditemukan jam beker yang hilang dari dapur Mrs. Gedeon. Di samping itu polisi menemukan pula pasangan sarung tangan yang tertinggal di tempat pembunuhan. Kini tak ada kesangsian lagi siapa pembunuh ketiga korban di Fast 50th Street.
Polisi New York segera menyebarkan publikasi keseluruh penjuru Amerika tentang buronan yang mereka cari. Publikasi itu antara lain berupa surat edaran sebanyak 200.000 lembar dengan foto dan gambaran tentang ciri-ciri Robert Irwin.
Bulan Juni tanggal 25 surat selebaran polisi membawa hasil. Henrietta Kcsianski, seorang pekerja di dapur Hotel Statler di Cleveland, Ohio, melihat gambar Robert Irwin di surat kabar. Mukanya mirip sekali dengan rekan sekerjanya, Robert Murray. Henrietta bertanya kepada Murray apakah ia pernah memakai nama Irwin. Murray menjawab “tidak”. Beberapa menit kemudian Murray Keluar ruangan.
Henrietta memberi tahu manager hotel dan yang terakhir ini segera memberitahukan polisi. Tetapi ketika alat negara datang, Robert Murray alias Robert Irwin telah melarikan diri.
Tetapi lolosny Robert Murray tidak berlangsung lama. Hari berikutnya ia tiba di Khicago dan mendatangi kantor sebuah surat kabar. Disita ia mengakui identitas dan namanya yang sebenarnya. Kepada pemimpin surat kabar Robert Murray alias Irwin menawarkan kisah eksklusif tentang pembunuhan yang ia lakukan di New York. Pemimpin surat kabar itu bersedia membeli ceritanya. Selama kisah Robert Irwin ditulis dan dicetak, surat kabar tersebut merahasiakan pengarangnya. Setelah itu ia menyerahkan Irwin kepada polisi.
Anak buah komandan Lyons cepat-cepat pergi ke Chicago dan membawa pulang Irwin kembali ke New York. Irwin menyatakan tak mau membuka mulut jika tidak didampingi oleh Dr. Wertham yang pernah merawatnya sebagai pasien jiwa, Ahli psikiatri itu segera datang. Setelah berunding dengannya, Irwin menyalakan bersedia memberikan pengakuan seluruhnya tentang terjadinya pembunuhan.
Hari sabtu menjelang Minggu Paskah, katanya ia merasakan siksaan batin karena cintanya yang tak terbalas kepada Ethel. Dalam keadaan putus asa hampir saja ia menceburkan diri disungai East River, yang letaknya tak jauh dari East 50th Street.
Pulang dari East River ia melihat sebatang besi runcing dalam sebuah got. Diambilnya benda itu yang ternyata alat pemecah es. Kini timbul pikiran padanya, bahwa penderitaannya akan berakhir jika ia membunuh Ethel.
“Kesulitan saya adalah karena tekanan-tekanan seksual. Untuk memecahkan masalah ini, saja hanya melihat satu jalan, jaitu dengan membunuh Ethei. Saya jakin bahwa setelah itu saja akan dapat menempatkan diri saya pada tingkat kesempurnaan spiritual. Segala-galanya akan beres”, kata Irwin.
Dengan gagasan itu ia menuju berumah Mrs. Gegeon karena ia beranggapan bahwa Ethel tinggal disitu. Satu-satunya sasaran yang ia incar adalah Ethel. Ternyata rumah kosong. Akhirnya Mrs. Gedeon sampai dirumah. Wanita ini kelihatan capai sekali. Irwin keluar sebentar berjalan-jalan dengan membawa anjing Mrs. Gedeon, Ketika ia kembali Frank Byrnes telah pulang pula. Mrs Gedeon memperkenalkan Irwin dengan Byrnes, yang tak lama kemudian masuk kamarnya dan tidur.
Setelah itu Irwin mendesak-desak Mrs. Gedeon untuk boleh bertemu dengan Ethei. Mrs. Gedeon akhirnya habis kesabarannya. Katanya: “Bob, Ethel tidak ada di sini. Dan sekarang sudah larut malam. Silahkan pergi.”Tidak”, jawab Irwin. “Saya akan tetap di sini sampai berhasil melihat Ethel.” Pada saat itu tiba-tiba Mrs. Gedeon meledak amarahnya dan menyergap Irwin sambil berteriak: “Enyah, kau dari sini. Saya panggilkan Byrnes nanti jika kau tak mau keluar.”.
Setelah itu Irwin menghantam Mrs. Gedeon dan mencekiknya. Mrs. Gedeon mengadakan perlawanan ganas. Irwin baru berani melepaskan, leher Mrs. Gedeon setelah mencekiknya selama 20 menit. Wanita itu jatuh terkulai di lantai. Mayatnya dilempar kan Irwin di bawah kolong tempat tidur.
“Kemudian Ronnie datang”, Robert Irwin melanjutkan ceritanya. Saya berada di kamar lain. Ronnie masuk, kamar mandi. Disitu lama sekali, hingga saya bertanya-tanya apakah ia masih akan keluar. Tiba-tiba ia muncul lagi. Langsung ia saya dekap. Tenggorokannya saya cekam. Ronnie saya bawa ke kamar ibunya.
“Saya tak tahu apa yang mesti saya perbuat dengan Ronnie. Ia hanya saya dekap kuat sekali, tetapi demikian rupa hingga ia masih bisa bernafas. Ia minta jangan saya gauli. sebab ia baru saja dioperasi karena suatu penyakit.
“Akhirnya Ronnie berkata: Bob, saya tahu kau mencari Ethel. Jika kau laksanakan niatmu, kau akan mendapat kesulitan. Kata-kata ini membuat saya naik darah. Ia saya cekik. Sehelai pakaian yang masih menutupi tubuhnya, saya lepaskan.”.
Kemudian Robert menceritakan, bahwa waktu itu bukanlah untuk pertama kalinya ia melihat Ronnie dalam keadaan tanpa pakaian. Namun ia belum pernah melakukan hubungan seks dengannya. “Ronnie menggauli banyak lelaki. Tetapi terhadap saya ia tak menaruh minat. Perhatian nya kepada saya hanyalah sejauh saya berminat terhadap Ethel” Irwin menambahkan.
Ketika Robert menyewa kamar di apartemen Mr. Gedeon, Ronnie yang merasa kesepian pernah memintanya tidur dengannya. Pada lain kesempatan gadis itu melakukan “striptease” di hadapannya seorang diri. Satu kali pernah Irwin memandikannya. Ketika Mrs. Gedeon dan Ethel suatu ketika meninggalkan rumah tiga hari lamanya, Irwin menemui Ronnie seorang diri. Selama itu Ronnie di rumah berkeliaran setengah telanjang.
Tetapi kesemuanya itu tak pernah menyebabkan Irwin menginginkannya. Perhatian pemuda itu hanya terpusat pada Ethel. Ronnie memiliki tubuh yang menggairahkan. Tetapi tingkah lakunya yang terlalu menekankan ke kelaminnya, memuakkan, kata Irwin.
Setelah membunuh Ronnie, Irwin menuju ke kamar Frank Byrnes. Pelipisnya ia tusuk dengan alat pemecah es, “Sebetulnya saya tidak bermaksud membunuhnya”, Irwin menerangkan perbuatannya. “Saya tak pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Saya tak menaruh perasaan dendam apapun terhadapnya. Tetapi Ia melihat saya di rumah Mrs. Gedeon malam itu dan mengetahui nama saya. Maka saya terpaksa menyingkirkannya.
Setelah menamatkan hidup Byrnes, Irwin mengambil jam wekker di dapur, la tak tahu apa yang mendorongnya berbuat demikian. Kemudian ia meninggalkan rumah. Di tengah jalan ingat bahwa salah satu sarung tangannya tertinggal, tetapi ia tak menaruh minat untuk kembali dan mengambilnya. Alat pemecah es ia campakkan entah dimana Mengenai pakaian Ronnie, ia tak ingat lagi ia masukkan ke dalam bakul cucian atau tidak.
Robert Irwin pada akhir keterangannya masih menyinggung “filsafat visualisasi”nya. Katanya: “Saya membunuh Mrs. Gedeon karena saya naik pitam. Ronnie saya bunuh karena terpaksa. Demikian pula Byrnes. Satu-satunya orang yang saya incar hanyalah Ethel, karena saya, cinta dan benci kepadanya.”.
“Saya hanya bermaksud mengambil hidup satu orang. Kini saya akan mengganti hidup para korban saya dengan mengembangkan daya visualisasi yang merupakan langkah lanjutan dari evolusi umat manusia.”.
Dalam sidang pengadilan Irwin dibela oleh pengacara termasyhur Samuel Leibowitz. Berdasarkan masa lampau kliennya dan diagnosa para dokter jiwa, ia menyalakan Robert Irwin sebagai orang gila. Namun jaksa William C. Dodge menentangnya.
Sementara itu dibentuk suatu komisi untuk menyelidiki kesehatan jiwa Irwin. Tetapi yang bersangkutan sama sekali tak mau membantu pekerjaan panitia tersebut Irwin bungkam, tak mau memberi kesaksian apapun juga walaupun ia berhak untuk itu.
Tanggal 25 Maret 1938 panitia mengeluarkan pendapatnya bahwa Irwin sehat menurut hukum. Ia tahu “hakekat dan sifat perbuatan-perbuatannya dan bahwa perbuatan-perbuatan itu salah”.
“Tanggal 8 November Robert Irwin diajukan di depan pengadilan Leibo- witzbertahan pada pembelaan bahwa Robert Irwin hanya melakukan pembunuhan yang tak direncanakan. Jaksa Dodge menerima pendapat ini. Hakim James Wallace menjatuhkan hukuman 139 tahun penjara.
Robert Irwin dimasukkan di penjara Sing Sing, Tapi tak lama kemudian la terpaksa dipindahkan ke lembaga untuk merawat tahanan-tahanan yang sakit jiwa. Kesehatan mentalnya semakin mundur hingga ia tak mungkin lagi dibebaskan.
(Charles Boswell & Lewis Thompson)
Baca Juga: Ekor Pembunuhan Nona Kwitang
" ["url"]=> string(93) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835274/seorang-di-antara-tiga-korban-adalah-gadis-model" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691170032000) } } }