Intisari Plus - Perbuatan bejat seorang ayah terhadap anaknya membuat ia terkapar diterjang peluru dari pistolnya sendiri. Pelakunya? Tentu saja si anak tersebut.
-------------------------
Serentetan letusan membangunkan si pelayan Omar Demir dari tidur siangnya yang tenang. Hari Sabtu itu waktu menunjukkan pukul 15.30.
Merasa heran dan kebingungan, dia melompat turun dan berlari memeriksa restoran tempatnya bekerja. Restoran itu kosong sama sekali. Waktu makan siang sudah lewat dan para pengunjung sudah pulang semua. Lengang. Rasanya seperti mimpi, tapi tidak mungkin, karena seingatnya dalam mimpinya tidak ada letusan apa-apa.
Omar Demir panik
Melewati beberapa meja, dia mendekati pintu dan melihat-lihat ke jalan. Hari itu tanggal 22 Juni 1974. Di kota kecil Adana, di Turki, setelah selesai waktu makan siang tidak ada lagi aktivitas apa-apa.
Suara letusan tadi sepertinya tidak berasal dari luar gedung. Jadi, mestinya di dalam gedung itu sendiri. Mungkin ada sesuatu yang pecah. Gedung itu adalah sebuah restoran. Pemiliknya bernama Kadir Karayigit ( 42).
Omar Demir bermaksud melapor sekarang juga, meskipun mungkin majikannya itu sedang tidur. Dia merasa ini suatu kewajiban.
Kantor Karayigit kecil, terletak di sebelah dapur. Omar melihat sesuatu yang lebih serius lagi.
Hari agak panas. Karayigit terbaring di dekat sofa tanpa mengenakan apa-apa, kecuali pakaian dalamnya. Warna merah di sana-sini menodai pakaian dalam dan sekitarnya, dan bisa dilihat jelas semuanya berpusat di sela kedua pahanya. Tampaknya ada banyak peluru ditembakkan di bagian itu, dan sebuah lagi di dahinya.
Omar Demir terpana untuk beberapa saat lamanya. Sejak kematian istrinya enam tahun yang lalu, Karayigit memasak sendiri dan tidak begitu sedap. Dia terlalu miskin untuk dijadikan korban perampokan, terlalu miskin untuk punya musuh yang menghendaki kematiannya. Yang dimilikinya hanya tiga orang anak perempuan yang cantik-cantik.
Ketiga anaknya itu sekarang sedang tak berada di rumah. Tuerkin (17) dan Labdi (13) sedang piknik dengan bibi mereka di tepi Danau Seishun, di utara kota. Sedangkan Guei Sultan (18) tinggal dengan sepupu yang sudah menjadi suaminya, Fahri Guenzel (22) sejak enam hari yang lalu.
Jadi, di gedung itu pasti yang tinggal hanya tiga orang: Omar Demir, mayat Karayigit, dan pembunuh itu sendiri. Omar Demir menjadi panik, berlari menuruni tangga dan lorong, melewati ruang restoran, dan keluar ke jalan.
"Pembunuhan!" teriaknya. "Tolong! Pembunuhan. Panggil polisi!" Tak terpikir olehnya bahwa dia sendiri bisa dicurigai polisi Turki yang terkenal tidak ramah. Dia ditahan dan diperiksa oleh Inspektur Mustapha Keroglu dari Bagian Pembunuhan.
Beberapa saat kemudian dr. Mahmet Degali, pemeriksa mayat dari Adana, tiba dan memeriksa tubuh korban. Karayigit ditembus tujuh peluru di sela-sela pahanya dan sebuah lagi tembakan yang fatal di dahinya. Tampaknya dia ditembak selagi tidur. Tak ada tanda-tanda dia melawan ketika akan dibunuh. Peluru-peluru itu ditembakkan dari senjata otomatis kaliber 7.65.
“Dia mati tertembak,” kata dr. Degali kepada Inspektur. “Anda bisa melihatnya sendiri. Menurut saya, motifnya adalah kecemburuan seksual. Sebetulnya tembakan tujuh peluru di sela pahanya tak perlu, karena tembakan di dahinya itu saja sudah mematikan. Pembunuh itu merusakkan bagian yang dianggap melukai perasaannya.”
“Atau wanita pembunuh,” kata Inspektur sambil berpikir. “Pistol kaliber 7.65 tidak berat dan seorang wanita pun mudah menggunakannya.”
Dr. Degali cuma mengangkat bahu, tidak menjawab apa-apa.
“Harus ada pemeriksaan mayat," kata Inspektur. "Saya akan menyuruh membawa mayat itu ke kamar jenazah begitu selesai diperiksa di laboratorium.”
Kemudian dokter dan Inspektur masuk ke dalam ruangan restoran, ketika Sersan Ali sedang mengawasi Omar Demir yang begitu senewen.
Omar Demir mengaku tidak membunuh majikannya. Tak ada yang dapat diharapkan dari majikannya yang tak berharta itu, selain pekerjaan. Kini dia malah jadi penganggur.
Mereka memutuskan untuk menunggu laporan sidik jari. Omar Demir tak mungkin bisa menyangkal, kalau terbukti sidik jarinya ada pada senjata itu. Temyata memang tidak ada. Bahkan tidak ada bekas sidik jari sama sekali!
“Ini menunjukkan bahwa pembunuh itu tahu apa arti sidik jari,” kata Inspektur, “juga menunjukkan bahwa dia bukan orang yang asing lagi di gedung ini,” kata Sersan. “Menurut Ny. Guenzel, Karayigit menyimpan senjatanya di dalam laci meja malam di sebelah kursi tempat dia dibunuh. Tidak ada yang tahu senjata itu disimpan di tempat tersebut.”
Senjata makan tuan
Senjata yang dipergunakan si pembunuh, oleh ketiga putri Karayigit diakui sebagai milik ayah mereka, dan bagian balistik melaporkan bahwa peluru yang ditembakkan berasal dari senjata tersebut.
“Sepertinya pembunuhnya memang seorang wanita,” kata Inspektur. “Karayigit sudah menduda selama enam tahun. Dia seorang laki-laki normal. Wajar kalau dia berkencan dengan kawan-kawan wanitanya, dan untuk satu alasan tertentu dia mencoba memutuskan hubungan dengan mereka. Sang wanitanya tidak setuju, lalu membunuhnya.”
Inspektur memperkirakan tak mungkin Omar Demir bisa berbuat secerdik seperti membunuh, kemudian lari ke jalan, dan memberitahukan pembunuhan itu. Omar Demir lalu dibebaskan.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?” tanya Sersan.
“Banyak,” kata Inspektur. “Pertama-tama kumpulkan empat atau lima orang yang tinggal dekat gedung itu. Mungkin mereka juga mendengar suara tembakan atau melihat seseorang datang dan pergi waktu peristiwa itu terjadi.”
“Kalau dengan cara ini masih gagal juga, bagaimana?”
“Bicaralah dengan polisi-polisi wanita untuk menyusup di antara para istri yang tinggal di situ. Dengarkan gosip mereka, tanpa memancing rasa curiga. Kalau Karayigit punya affair dengan tetangganya, tak mungkin bisa disimpan sebagai rahasia ....”
Hasilnya ternyata mengherankan: tidak kurang dari tiga orang yang tinggal tepat di depan pintu restoran bersumpah tidak melihat seorang pun keluar-masuk pada waktu penembakan sampai polisi
"Di pintu belakang?" tanya lnspektur Keroglu yang kecewa. Sebab, kalau tidak ada orang lain, jelaslah si Omar Demir pembunuhnya, padahal dia yakin sekali pemuda itu tidak bersalah.
“Pintu belakang dipalang dari dalam ketika kami masuk ke sana,” kata Sersan. “Ketiga anak perempuannya dan bahkan si dungu, pelayan itu, semua mengatakan bahwa pintu-pintu selalu dipalang dari dalam.”
“Dia tidak dungu,” kata Inspektur, “cuma saja dia miskin dan sederhana dan bahkan kini tak punya pekerjaan.”
“Dia orang dungu, karena tidak berpikir untuk membuka pintu belakang saja,” kata Sersan, “sekarang dialah satu-satunya yang bisa dicurigai membunuh Karayigit. Apa saya tahan saja dan saya buatkan berita acaranya?”
“Baiklah,” kata Inspektur dengan enggan, “meskipun saya sulit yakin bahwa dialah pembunuhnya. Mungkin pembunuhnya masih menunggu di situ sampai keadaan tenang.”
“Tidak mungkin,” kata Sersan, “saya sendiri yang melakukan pencarian setelah Anda kembali ke kantor. Tidak ada seorang pun di sana, kalaupun ada takkan lolos.”
Inspektur itu menghela napas. Katanya, "Ya, kalau begitu memang Demir. Lagi pula jelas tidak mungkin Karayigit bunuh diri.”
Pertama, untuk apa dia bersusah payah melenyapkan sidik jari di senjatanya. Kedua, buat apa dia menembakkan tujuh peluru di sela-sela pahanya, baru kemudian yang fatal di kepalanya. Jelasnya, kalau Omar Demir yang melakukan perbuatan ini akan lebih bisa diterima akal daripada Karayigit bunuh diri.
Inspektur penasaran
Ketika dicek kembali, tidak ada satu sen pun uang Karayigit yang hilang. Omar Demir dibawa ke kantor polisi dan diperiksa. Dia hampir tak punya sepeser pun, kecuali untuk pembeli dua bungkus sigaret.
Omar Demir memberikan penyangkalan yang sangat meyakinkan Inspektur Mustapha.
“Buat apa saya menembak Karayigit, lalu lari ke jalan dan berteriak memanggil polisi?” tanyanya. “Saya belum gila. Kalau saya membunuh dia, saya sudah pasti mencuri hartanya dan lari lewat pintu belakang. Apa Anda pikir saya suka ditanyai polisi seperti ini?”
Pertanyaan itu memang susah dijawab, tetapi yang lebih penting adalah motifnya. Kadir Karayigit tak pemah punya skandal dengan wanita lain, baik sebelum maupun sesudah istrinya meninggal. Kesetiaannya mengherankan banyak orang. Bukankah sebagai duda dia punya kebebasan? Lalu ada spekulasi bahwa dia seorang homo.
Terkilas di benak Inspektur, ada apa-apa di balik kesetiaan yang menjadi motif pembunuhannya. Sasaran-sasaran peluru menunjukkan motif seksual, dan meskipun Omar Demir tak memiliki daya tarik fisik, dia masih muda. Mungkin saja Kadir Karayigit memandang dia dari sudut itu.
Hal seperti itu sudah umum di Turki. Tak heran kalau Karayigit tak ambil pusing dengan wanita-wanita di sekitarnya. Karena Omar Demir tak bisa tertarik pada majikannya, dia segera membunuhnya demi kebebasannya sendiri.
Tetapi semua tuduhan itu disangkal oleh Omar Demir. Kalaupun Omar Demir tak setuju gajinya yang sedikit atau karena alasan lain, bukankah dia bisa pergi dari situ dengan mudah?
Karena Omar Demir tak punya motif kuat dan tak ada orang lain lagi, maka mereka menempuh cara lain. Mereka menanyai tetangga Karayigit, tetapi masing-masing mempunyai alibi yang membebaskan mereka dari tuduhan.
“Ini membuat penasaran,” kata Inspektur, “siapa yang pertama-tama sampai di restoran itu setelah penembakan?”
“Orang-orang kita sendiri,” kata Sersan Ali. “Hassan dan Mulazim. Anda ingin bicara dengan mereka?”
Hassan dan Mulazim datang ke markas. Di sana mereka mengulangi dengan persis apa yang mereka tulis dalam laporan pada situasi penahanan Omar Demir.
“Waktu kau tiba di sana, menurut laporanmu Omar Demir sedang berdiri di sebelah luar pintu depan,” kata Inspektur. “Apa ada orang lain di restoran itu atau orang yang berdiri di dekat Omar Demir?”
“Tidak ada,” kata Mulazim, yang lebih senior daripada Hassan. “Tetangga di sekitarnya berkumpul di sisi lain dari jalan itu, tapi mereka takut mendekat.”
“Takut karena ada pembunuhan atau karena polisi?” tanya Inspektur. “Saya tidak tahu,” kata Mulazim. “Mungkin takut dua-duanya. Omar Demir begitu senewen, sampai ketika akan kami bawa dia mulai menangis.”
“Kalian masuk ke dalam gedung dan melihat mayatnya?” tanya Inspektur.
“Tidak,” kata Mulazim. “Kata Ny. Guenzel, dia sudah mati dan tak ada yang bisa kita perbuat lagi. Dia pikir lebih baik menunggu sampai polisi datang.”
“Ny. Guenzel?” tanya Inspektur. “Maksudmu putri sulung Karayigit yang baru saja menikah? Di mana dia?”
“Di dalam restoran, duduk di meja dekat pintu,” kata Mulazim. “Dia tengah minum anggur dan tampak gelisah.”
“Fantastis!” Inspektur itu berseru. “Ali, saya ingin segera bicara dengan Demir. Apa pernah dia menyebut-nyebut Ny. Guenzel berada di restoran pada saat pembunuhan?”
“Tidak,” kata Sersan.
“Ny. Guenzel sedang ada di sana ketika kami datang ke restoran,” kata Inspektur. “Saya pikir dia terpaku mendengar teriakan tetangga atau seseorang. Saya tidak sadar bahwa dia sudah lama berada di sana. Saya khawatir kehadirannya ini bisa memecahkan misteri pembunuhan ini.”
“Khawatir?” tanya Sersan, “saya tak paham mengapa khawatir?”
“Saya khawatir jangan-jangan Ny. Guenzel-lah yang membunuh ayahnya sendiri,” kata Inspektur. “Ini belum pernah terpikirkan oleh kita. Kita cuma menyalahkan Demir, bukan? Inilah kuncinya. Tak ada satu pun yang mencurigai keluar-masuknya Ny. Guenzel, karena memang sampai seminggu yang lalu dia masih tinggal di sini.”
Luar biasa hangat!
Menurut Omar Demir, Ny. Guenzel berada di situ pada hari naas itu, tetapi tidak tahu waktunya yang tepat, karena dia sendiri sedang sibuk melayani pengunjung restoran.
“Dr. Degali menyatakan motifnya seksual,” kata Sersan. “Apa hubungannya dengan gadis ini?”
“Gadis itu baru saja menikah,” tutur Inspektur. “Enam hari setelah pernikahannya, ayahnya terbunuh. Ini jelas bukannya suatu kebetulan. Mungkin dialah pembunuhnya, tapi alas perintah orang lain.”
“Siapa?” tanya Sersan yang sekarang benar-benar ingin tahu.
“Suaminya, Fahri Guenzel,” kata Inspektur. “Mungkin pada malam perkawinannya suaminya mendapatkan Guel sudah tidak murni lagi. Ayahnya tak berterus terang pada pemuda itu. Sedangkan ayahnyalah yang harus bertanggung jawab atas kesucian putri-putrinya sampai mereka menikah. Tentu saja mereka merasa Karayigit telah menipunya.”
“Saya pernah mendengar kasus-kasus semacam itu,” kata Sersan, “tetapi mengapa Fahri tidak menggunakan tangannya sendiri?”
“Karena akan cepat ketahuan,”'. kata Inspektur. “Tidak seperti istrinya yang memang penghuni gedung itu, munculnya Fahri akan cepat jadi perhatian.”
“Bagaimana, sekarang?” tanya Sersan.
“Tangkap wanita itu bersama suaminya,” ucap Inspektur. “Tanyai mereka dalam ruangan terpisah dan cocokkan pengakuan mereka satu sama lain. Tak akan makan waktu lama untuk memancing kejadian yang sebenarnya.”
Dugaan Inspektur Mustapha tidak meleset. Bahkan Guel Sultan Guenzel mengakui membunuh ayahnya sebelum ditanyai di markas. Pengakuan Guel, .bagaimanapun, tidak seperti yang diduga polisi.
“Dia seorang monster!” kata Guel menangis tersedu-sedu, duduknya melingkar seperti seekor binatang kecil yang sedang ketakutan, di depan meja Inspektur. “Kematian pun terlalu ringan buat dia! Seharusnya dia membusuk saja seribu tahun di neraka!”
Inspektur itu tercengang, bingung.
“Tetapi menurut semua orang yang mengenal keluarga Anda, hubungan ayah dan Anda, putri-putrinya, benar-benar hangat,” kata Inspektur.
“Luar biasa hangat! Jauh terlalu hangat!” jerit Guel. “Dia merusak saya! Saya sudah curiga, tetapi baru yakin setelah mengetahui ketidaksucian saya pada malam pertama perkawinan saya. Dia yang mengambil kesucian saya. Apa yang bisa saya perbuat kecuali membunuhnya?”
“Suami Anda yang menyuruh?” tanya Inspektur. “Apa yang diperbuat ayah Anda? Menjual Anda pada para pelanggan?”
“Fahri tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan saya lakukan,” kata Guel. “Sekarang tentu saja dia curiga. Saya belum bercerita apa-apa padanya. Ayah tidak menjual saya pada para pelanggan. Tapi lebih hina dari itu. Dia sendiri yang menodai saya!”
Ketika ditanyai Inspektur yang tercengang itu, mengapa tidak lapor pada polisi, Guel mengaku ia tidak begitu yakin dan takut hukum karma. Dia ingin lari dari kenyataan.
Ketiganya jadi korban
Tidak lama setelah kematian istrinya, Karayigit mulai melatih Guel menikmati satu dua gelas anggur manis yang keras setelah selesai makan malam. Karena pada saat itu umurnya baru 13 tahun, dia mudah jatuh mabuk dan tidak sadarkan diri.
Kemudian beberapa kejadian membuat Guel bertanya-tanya dan sadar. Kecurigaan pada ayahnya muncul.
“Saya rasa saya menyadari perbuatannya ini sudah sejak lama,” katanya pada Inspektur. “Tetapi saya tidak mau menerima itu sebagai satu kenyataan.”
“Mungkin bukan ayah Anda yang menodai Anda, tetapi salah satu kawan laki-laki tetangga Anda. Tetapi karena tidak tahu harus mengatakan apa pada suami Anda, Anda menuduh ayah Anda. Untuk lebih meyakinkan, Anda membunuhnya.”
Dengan wajah sedih Guel Sultan menggelengkan kepalanya. “Itu tidak benar. Saya akan lebih senang seandainya itu benar. Tetapi nyatanya tidak, karena sepertinya bukan saya saja yang harus menanggung derita karena kelainan ayah. Sebaiknya Anda juga memeriksakan Labdi dan Tuerkin ke dokter. Saya khawatir mereka juga sudah tidak suci lagi.”
Betul, mereka tidak suci lagi! Mereka mengaku mendapat perlakuan yang sama seperti yang diterima Guel dari ayah mereka.
Kini Inspektur yakin akan kebenaran kata-kata Guel. Pengadilan pun harus diyakinkan. Laki-laki di daerah sekitarnya ditanyai apakah mereka pernah mengadakan hubungan seksual dengan putri-putri Karayigit?
Ternyata putri-putri ini boleh berbangga karena punya reputasi nama yang baik. Ayah mereka sendiri ketat sekali dalam menjaga hubungan putri-putrinya dengan laki-laki di luar lingkungan kerabat sendiri.
Pada bulan September 1974, Guel Sultan Guenzel dibawa ke pengadilan dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Guel dihukum lima tahun. Suaminya yang setia menungguinya selama proses pengadilan, tetap menerima Guel ketika diperbolehkan pulang ke rumah. Kini Guel dan saudara-saudaranya pindah ke bagian lain Turki, yang tidak seorang pun mengetahui kisah mereka.
(John Dunning)
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553306315/tembakan-di-siang-bolong" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654279300000) } } [1]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3258538" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/lawrence-dari-arabia_middle-east-20220428082134.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(119) "T.E. Lawrence menumpas bangsa Turki di gurun. Namun, inikah yang menjadi tujuan pahlawan Perang Dunia I yang gagah ini?" ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/lawrence-dari-arabia_middle-east-20220428082134.jpg" ["title"]=> string(20) "Lawrence dari Arabia" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-28 20:21:54" ["content"]=> string(25295) "
Intisari Plus - T.E. Lawrence menumpas bangsa Turki di gurun. Namun, inikah yang menjadi tujuan pahlawan Perang Dunia I yang gagah ini?
-----------------------
Para pemirsa di London duduk terkesima, menyimak kata per kata.
"Anak-anak liar Ishmael itu menganggap pemimpin mereka yang tenang dan adil sebagai sosok supranatural yang dikirim dari surga untuk membebaskan mereka dari penjajah," jurnalis itu mengatakan kepada para pemirsa. "Ia berpakaian seperti penguasa Oriental. Di sabuknya terselip sebilah pedang emas bengkok yang hanya digunakan keturunan langsung Nabi Muhammad."
Pemirsa tersebut menahan napasnya. Siapa gerangan pahlawan Inggris yang mencengangkan dan romantis ini? Di manakah ia sekarang berada?
"Anak muda itu sekarang terbang dari satu tempat di London ke tempat lain, berusaha menjauhi perempuan," sang jurnalis meyakinkan para pemirsa.
Saat itu, September 1919. Perang Dunia I sudah berakhir, dengan dampak yang menakutkan. Di Eropa, jutaan warga Inggris, Prancis, dan Jerman tewas di jalan buntu menakutkan dan melelahkan di parit-parit perlindungan yang berlumpur.
Inggris dan Prancis telah mengalahkan Jerman, tapi kemenangan itu tampaknya tidak terlalu dirayakan karena kisah tentang pertempuran parit sedemikian menyeramkan untuk dikenang.
Tapi, di sini ada yang berbeda—jenis peperangan yang berbeda, dengan pahlawan yang berbeda: Lawrence dari Arabia—yang, seperti diyakini jurnalis itu, memimpin penduduk Arab seorang diri dalam sebuah revolusi melawan Turki, berperang dengan penuh keagungan untuk meraih kemenangan mengarungi gurun pasir, dengan jubahnya yang berkibar-kibar ketika ia sedang bertempur dari untanya.
Jauh dari London yang hiruk-pikuk 'berusaha terbebas dari perempuan', Thomas Edward Lawrence—nama lengkap pria itu—sedang duduk di Oxford. Ia amat terpukul, karena kegagalannya memberikan sesuatu yang dianggapnya pantas didapatkan rakyat Arab. Beberapa tahun kemudian, ia berusaha menghindar dari publisitas Lowell Thomas, jurnalis Amerika yang bermaksud baik itu.
Lawrence masuk Angkatan Udara Kerajaan dengan pangkat yang sangat rendah, dengan nama palsu John Hume Ross. Sewaktu pers mencium identitas aslinya, ia mengubah namanya lagi, kali ini menjadi Thomas Edward Shaw, dan bergabung dengan Korps Tank di angkatan bersenjata. Ia kembali ke Angkatan Udara dengan nama Shaw, masih dengan pangkat yang lebih rendah, dan menghabiskan 12 tahun berikutnya dalam penyamaran. Rekan kerjanya tak pernah menduga siapa dirinya.
Jadi, mana yang benar? Apakah 'Lawrence dari Arabia' hanya mitos yang diciptakan seorang jurnalis yang tahu betapa Inggris sangat membutuhkan dorongan moral? Atau adakah sesuatu yang sangat luar biasa dari pria kalem yang menghabiskan sisa hidupnya bersembunyi dari pers?
Hal yang sebenarnya berada di antara mitos dan kenyataan. T.E. Lawrence memulai kariernya dengan meraih gelar sarjana sejarah dari Universitas Oxford. Pada saat itulah ia tertarik pada Timur Tengah. Ia menulis tesis tentang kastel-kastel dari masa perang salib di Palestina dan Suriah, melakukan perjalanan ke kedua negara itu untuk melakukan riset, dan mulai mempelajari bahasa Arab.
Pada 1910, setelah menyelesaikan tesisnya, ia kembali ke Suriah, bekerja di sebuah penggalian arkeologis di kota kuno Karkamış. Ia tinggal di Suriah sampai awal Perang Dunia I, tahun 1914, untuk mendalami pengetahuan tentang wilayah itu dan mulai menyukai orang-orang di sekitarnya.
Saat itu, hampir seluruh Timur Tengah dikuasai bangsa Turki. Kekaisaran mereka (disebut kekaisaran Utsmaniah) membentang dari Turki hingga wilayah yang sekarang menjadi Irak. Meskipun secara resmi bangsa Turki menguasai Mesir, penguasa Mesir sebenarnya adalah Inggris, yang sedang mengincar Terusan Suez—sebuah rute penting bagi pelayaran.
Ketika Perang Dunia I meletus, Turki, Austria, dan Jerman bergabung melawan Rusia, Prancis, dan Inggris. Di Mekah, Sharif Hussein, pemimpin yang tersingkir, mempertimbangkan keputusannya. Ia dapat menyokong para pemimpin Turki; atau mendekati Inggris dengan harapan Inggris mau menolongnya meraih kemerdekaan bagi seluruh penduduk Arab—yang membentang dari semenanjung Arabia sampai Irak dan Suriah.
Inggris menyukai gagasan bahwa warga Arab berada di sisinya. Mereka akan membantu Inggris dalam pertempuran melawan bangsa Turki. Mereka setuju dengan Sharif Hussein bahwa bila revolusi Arab berhasil, Inggris akan menjamin kemerdekaan Arab setelah perang. Maka, pada 10 Juni 1916, Hussein secara simbolis membidikkan senapannya ke barak-barak Turki di Mekah. Revolusi Arab pun dimulai.
Jelas, Sharif Hussein tak mampu mengalahkan Turki sendirian. Turki memiliki angkatan bersenjata yang besar, sedangkan Sharif hanya didukung suku-suku yang tidak bersatu. Inggris harus melancarkan serangan besar sendirian dan memberikan bantuan apa pun kepada penduduk Arab. Maka, angkatan bersenjata Inggris mengirimkan perwakilan ke Mekah untuk menyelidiki segala yang diperlukan—salah seorang di antaranya adalah T.E. Lawrence.
Pada awal peperangan, Lawrence ditempatkan di bagian Intelijen Inggris di Kairo. Serta merta ia tertarik pada Revolusi Arab. la menilai revolusi itu tidak memiliki seorang pemimpin. Sharif sendiri adalah seorang tua yang suka membantah. Lawrence lantas menemui empat putra Sharif untuk mengetahui seperti apakah mereka.
Lawrence berpendapat, putra ketiga Sharif, namanya Emir Feisal, mempunyai kualitas yang dibutuhkan. Keduanya lalu berkawan baik, dan tak lama Lawrence terlibat, membantunya merencanakan kampanye gurun pasir.
Revolusi Arab mungkin tak akan menang jika pertempuran dilaksanakan secara umum, selayaknya angkatan bersenjata yang disiplin. Suku Beduin Arab adalah prajurit bengis, tapi mereka terdiri dari banyak suku yang berbeda yang cenderung berakhir dengan saling berperang.
Karena ingin memahami mereka dan mempelajari adat istiadat gurun pasir, Lawrence lalu mengamati Feisal. Lawrence terkesan pada cara Feisal menangani masalah-masalah kesukuan, yang memerlukan kesabaran luar biasa. Lambat-laun, ia mula memahami cara sebaik-baiknya memanfaatkan sumber daya penduduk Arab yang terbatas.
Tak lama kemudian, Lawrence membantu mengembangkan sebuah strategi untuk revolusi itu. Mereka akan menggunakan taktik perang gerilya untuk menyerang jalur kereta api Hejaz, yang melalui gurun pasir, dari Damaskus di Suriah, langsung ke kota suci Madinah. Ada banyak jalur kereta di gurun pasir yang tidak mungkin dapat dikawal bangsa Turki.
Dengan mengacaukan sistem transportasi mereka, orang Arab akan menghalangi usaha perang Turki, dan pada saat yang sama korban yang jatuh di pihak mereka sangat sedikit. Tentara Inggris yang lain menyetujui strategi ini dan memasok bahan peledak serta artileri lain untuk Lawrence.
Tak lama, Lawrence sendiri terlibat dalam serangan terhadap jalur kereta api itu. Ia mengerti cara menggunakan bahan peledak dan—tidak seperti kebanyakan tentara Inggris lainnya—tampaknya ia cocok dengan perang gurun pasir.
Kini ia lancar berbahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi; ia belajar menunggang unta dan ia bangga karena mampu menahan tuntutan fisik kehidupan di gurun pasir yang keras. Feisal-lah yang menyarankan agar Lawrence memakai jubah Arab. Feisal memberinya sepasang jubah indah terbuat dari sutra putih murni, yang menjadi bagian dari 'citra' Lawrence; jubah itu membantunya menyatu lebih efektif dengan para suku-suku tersebut.
Dalam perjalanannya, Lawrence sering ditemani orang Arab yang berasal dari suku atau bahkan negara yang berbeda. Sebagai seorang tentara Inggris yang berada di tengah-tengah mereka, ia harus bertindak sebagai mediator, mengatasi masalah kesukuan yang muncul sepanjang perjalanan.
Pada salah satu awal ekspedisi, seorang Maroko membunuh seorang anggota suku Beduin. Lawrence mengetahui bahwa pembunuhan ini dapat memicu pertumpahan darah, di mana teman-teman si korban diwajibkan membunuh sebagai tindak balasan. Lawrence pun sadar bahwa satu-satunya pemecahan adalah ia sendiri harus menghukum orang Maroko itu.
Karena jemu dengan kemarahan serta hasutan, dan lesu karena keganasan padang pasir, ia hampir tak mampu menembak dengan jitu. la menembak tiga kali untuk mematikan pria Maroko itu. Peristiwa itu merupakan uji coba dari permasalahan yang bermunculan kemudian.
Sementara itu, Rusia, Prancis, dan Inggris diam-diam membahas tentang pembagian kekuasaan bila mereka memenangkan perang. Siapa akan menguasai apa, dan di mana? Prancis ingin membagi bekas kekaisaran Utsmaniah dengan Inggris. Meskipun telah melakukan kesepakatan dengan Sharif Hussein, Inggris merasa berkewajiban untuk menyetujui hal itu. Hasilnya adalah perjanjian Sykes-Picot, Mei 1916.
Menurut perjanjian ini, Prancis akan menguasai Libanon, Suriah, dan bagian Turki, sementara Inggris akan menguasai Irak dan, wilayah yang sekarang menjadi Yordania. Dengan kata lain, seluruh wilayah yang berpenduduk padat dan kaya akan menjadi milik Inggris dan Prancis, sementara bangsa Arab hanya akan mendapatkan semenanjung Arabia, yang terutama terdiri dari gurun pasir.
Apakah Lawrence mengetahui isi perjanjian itu? Di kemudian hari, ia menyangkal, tapi bantahan itu sepertinya tidak meyakinkan. Ia tentu memiliki lebih banyak kecurigaan terhadap isi perjanjian itu. Bagaimanapun perjanjian itu diumumkan setelah Revolusi Rusia tahun 1917, kala Rusia menerbitkan seluruh perjanjian lama mereka.
Posisi Lawrence tampaknya bersandar pada harapan bahwa bila perang usai, Inggris akan bertindak adil untuk melindungi kepentingan-kepentingan Arab. Lawrence amat setia pada Inggris, dan yakin pada keadilan Inggris. Ia tidak mengerti mengapa Prancis harus mendapat bagian di Timur Tengah walaupun negara itu tidak melakukan pertempuran. Jika bangsa Arab sendiri yang mengalahkan Turki dan menduduki Damaskus, Inggris tak mungkin membiarkan Prancis merebut wilayah mereka bukan?
Demikianlah Revolusi Arab berlanjut. Lawrence berusaha mempengaruhi rencana angkatan bersenjata Arab untuk bergerak ke utara menuju Semenanjung Arab ke Aqaba, di Laut Merah—pelabuhan strategis penting yang dikuasai bangsa Turki. Pelabuhan itu dikawal dari laut, satu-satunya harapan untuk merebutnya adalah dari darat, melalui gurun pasir, dengan serangan bersenjata.
Lawrence mendapat bantuan yang ia perlukan, berupa seorang pemimpin suku bernama Auda abu Tayi, prajurit veteran padang pasir. Lawrence menyarankan agar mereka mendekati Aqaba melalui rute darat.
Dengan cara ini mereka dapat merekrut dukungan suku-suku yang ada di sepanjang rute, dan mereka tak akan pernah ditemukan oleh bangsa Turki. Auda setuju, rencana itu layak, dan serombongan kecil berangkat dari kota Al Wajh, 9 Mei 1917.
Perjalanan itu sulit dan melelahkan. Lawrence kembali jatuh sakit panas dan demam yang tinggi, tapi ia terus berjuang. Mereka menyeberangi jalur kereta api Hejaz, meledakkannya sebagian ketika sedang berjalan. Kemudian mereka menghabiskan pagi harinya menyeberangi padang lumpur tandus di Biseita, yang luas di gurun pasir. Tiba-tiba mereka sadar salah satu kelompok hilang. Untanya masih ada dalam rombongan—penunggangnya jelas tertidur dalam panas yang membakar dan terjatuh.
Gasim, pria yang hilang itu, adalah anggota tim Lawrence. Lawrence merasa tertekan dan harus kembali mencarinya sendiri atau kehilangan rasa hormat dari anggotanya. Maka ia membalikkan untanya dan mengarahkannya kembali ke padang lumpur.
Gasim hampir mengigau karena terik padang pasir ketika Lawrence menemukannya. Lawrence dan Gasim bertemu anggota lainnya, tapi keduanya nyaris kelelahan. Yang lebih buruk, salah satu pemimpin suku memukul pembantu Lawrence karena membiarkannya pergi sendiri.
"Memikirkan nanti malam adalah yang terburuk dari pengalaman saya," tulis Lawrence di buku hariannya.
Setelah kesulitan melalui perjalanan di padang pasir, Lawrence bertugas membujuk suku Arab lain untuk bergabung dalam revolusi itu. Karena takut Inggris akan menegakkan perjanjian Sykes-Picot, Lawrence merasa tidak enak. "Kami mengajak mereka berperang untuk kami dalam kebohongan, dan saya tidak tahan." la menulis ke salah satu teman tentaranya.
Tetapi, sudah terlambat untuk mengubah rencana itu. Suku-suku Arab mengabaikan kepentingan mereka sendiri karena terkobar dengan gagasan revolusi. Awal Juli, mereka mendekati Aqaba.
Pertemuan pertama berlangsung di utara Aqaba, di Abu el Lissan. Karena terkejut, orang-orang Turki itu tidak tahu cara mengatasi para penembak Arab yang bersembunyi di bukit. Ketika orang Arab tiba-tiba menyerang dengan kawanan untanya, orang-orang Turki itu benar-benar panik. Beberapa hari kemudian, Aqaba jatuh dan kini berada di tangan Arab.
Inggris sangat terkesan. Serangan itu membuat mereka sadar bahwa bangsa Arab cukup kuat untuk mendukung mereka mengalahkan bangsa Turki. Setelah ini, Revolusi Arab bekerja lebih erat dengan angkatan bersenjata Inggris, bergerak ke arah utara di bawah arahan Kepala Komando Inggris Jenderal Edmund Allenby. Angkatan darat Inggris maju ke utara melalui Palestina, dan Yerusalem direbut Desember 1917.
Secara keseluruhan, bangsa Arab memainkan peran penting dengan terus-menerus mengacaukan jalur kereta api ke Timur Jauh, sehingga mengalihkan bangsa Turki dari serangan utama Inggris, dan membingungkan bangsa Turki terhadap kekuatan musuhnya.
Sekarang, Lawrence mempunyai dua tugas utama. Ia terus menemani Allenby dan tentara Inggris lain, menuntut pasokan dan membahas strategi, tapi ia juga amat berkomitmen dengan pertempuran gerilya bersama bangsa Arab.
la mencintai padang pasir, terutama wilayah seperti Wadi Rum, yang bentuk-bentuk cadas padang pasirnya merupakan sebagian dari yang paling memukau di dunia. Selanjutnya, Lawrence menuliskan gambaran yang membangkitkan kenangan tentang bentangan alam yang tandus tapi indah itu.
Kenyataan perang memberikan sedikit romansa pada tempat itu. Lawrence mengalami gangguan fisk sampai pada batasnya. Meksi Lawrence seorang pemimpin terkenal, dia tidak selalu berada di garis depan. Kenyataannya, serangan ke Aqaba yang terkenal itu berlangsung tanpanya. Dalam kebingungan, Lawrence menembak untanya di kepala, dan unta pun terkulai lalu rebah.
Pada saat kampanye berlalu, Lawrence sendiri mulai merasa letih dan muak. Setelah serbuan ke kereta Turki yang menewaskan 70 orang Turki, ia menulis pada seorang teman, "Pembunuhan ini dan pembunuhan orang Turki ini mengerikan ... Kau menyerang sampai akhir dan mendapati mereka semua hancur bergeletakan."
Lebih dari itu, bangsa Turki ternyata adalah petempur yang brutal, kasar, serta bengis dalam memperlakukan musuh mereka yang luka, kadang-kadang membakarnya hidup-hidup. Akibatnya, orang Arab setuju untuk saling membunuh bila mereka terlalu terluka parah.
April 1918, Lawrence sendiri harus memberlakukan peraturan itu. Pada sebuah misi penyelidikan di belakang garis musuh, salah seorang pembantunya yang setia, Farraj, terluka parah. Ketika Lawrence dan beberapa orang lain berusaha menggotongnya, ada peringatan bahwa sekelompok orang Turki mendekat. Tak ada yang dapat diperbuat. Lawrence menggapai pistolnya dan mengarahkan ke kepala Farraj.
"Tuhan akan memberi kedamaian," Farraj bergumam sewaktu Lawrence menarik pelatuknya.
Setelah tahun 1918 berlalu, akhirnya rencana Inggris-Arab berhasil. Setelah berhasil dengan Aqaba dan Yerusalem, kadang-kadang kampanye itu tampak seperti terantuk. Tapi, pada September, orang Arab berhasil menghancurkan jalur kereta api Deraa di utara dan selatan, salah satu jalur komunikasi Turki. Pada bulan yang sama, perlawanan Inggris menyikat angkatan bersenjata Turki di Palestina.
Sekarang ini cuma masalah menjaring sisa angkatan bersenjata Turki sebelum mereka mundur ke Damaskus. Tanggal 26 September 1981, Lawrence menerima kabar bahwa dua divisi Turki menuju ke utara mengikutinya, satu rombongan terdiri dari enam ribu tentara dan rombongan yang lain terdiri dari dua ribu tentara. Ia dan teman-teman pemimpinnya menganggap pasukan mereka sudah cukup untuk mengalahkan divisi yang lebih kecil.
Mereka bertemu prajurit Turki di utara pedesaan Tafas dekat Deraa, yang memaksa mereka berbalik, dan mengikuti orang-orang Turki itu menyusuri desa Tafas sendiri. Mereka menyaksikan pemandangan yang menakutkan. Bangsa Turki telah membunuh semua perempuan dan anak-anak, Lawrence sendiri melihat perempuan hamil yang dihunus dengan sebuah bayonet.
Sheik desa itu, prajurit bernama Talal, bertempur bersama Lawrence. Sewaktu melihat yang menimpa penduduk desanya, ia meraung dalam kedukaan dan menyerang orang Turki. Kini semua orang Arab mengamuk. Lawrence dan pemimpin lain sedemikian muak sehingga mereka memberi perintah "jangan membawa tawanan"—berarti harus membunuh semua orang Turki, baik yang menyerah atau tidak.
Orang-orang Arab menyambar orang Turki dengan geram karena perbuatan mereka itu, dan akibatnya, tak lama, mereka menguasai Deraa. Selanjutnya, mereka menjadi liar, menjarah dan menyembelih orang Turki sebagai balas dendam atas pembunuhan di Tafas. Lawrence kemudian menggambarkannya sebagai "salah satu malam saat manusia kehilangan akal."
Sementara itu, sebagian angkatan darat Arab menyikat divisi Turki yang lebih besar. Dalam beberapa hari, sekitar lima ribu orang Turki dibunuh dan delapan ribu ditawan. Akhirnya, mereka ditawan di Damaskus.
Inggris mengizinkan angkatan darat Arab berpawai ke Damaskus di depan mereka, sebagai pengakuan terhadap hak-hak bangsa Arab atas wilayah itu. Lawrence ikut dan menyaksikan sambutan masyarakat yang meriah. Sheik Hussein diangkat menjadi Raja Arab, dan Feisal memasuki kota sebagai wakilnya dengan kemenangan. Untuk sementara, perjanjian Sykes-Picot dilupakan.
Setelah terburu-buru membantu para pemimpin Arab menciptakan ketertiban di Damaskus, Lawrence pergi secepatnya. Tampaknya ia tertekan. Ia tahu bahwa posisi Arab genting, dan satu hal: perjuangan Feisal baru saja dimulai. Karena letih, Lawrence baru terbang ke London empat hari kemudian.
Hampir dipastikan, tuntunan Prancis segera menghapus impian Feisal. Pada akhir tahun 1920, hasil penyelesaian damai menyerahkan Libanon dan Suriah pada Prancis. Untuk menenangkan orang Arab, Inggris menjadikan Feisal raja di Irak di bawah pengaruh tak langsung mereka; mereka memberikan wilayah yang disebut Trans-Jordan (sekarang Yordania) kepada Abdullah, saudara laki-laki Feisal, dalam sebuah perjanjian serupa. Satu-satunya wilayah yang langsung dikuasai orang Arab adalah Arabia itu sendiri. Seorang lawan setempatnya, Ibnu Saud, segera menyingkirkan Hussein dari kekuasaan. Keluarga Ibnu memberi nama wilayah itu Saudi Arabia.
Kemudian
Lawrence memainkan bagian penting dalam perundingan pascaperang, memperjuangkan hak Arab untuk merdeka. Meskipun hasil akhir lebih baik dari yang ia takuti, hasil itu sangat berbeda dari pandangan yang mengobarkan Revolusi Arab. Jelas, Lawrence merasa Inggris mengkhianati bangsa Arab.
la diberi banyak penghargaan dan medali atas dinas kemiliterannya, termasuk Distinguished Service Order. Ia memulangkan semuanya kembali. Yang menambah kekecewaan banyak orang, ia mulai menarik diri dari masyarakat.
Tapi, legenda 'Lawrence dari Arabia' mulai tumbuh, sebagian besar berkat jasa jurnalis dan pembicara Lovell Thomas yang melangsungkan serangkaian tur untuk mengangkat moralitas. Lawrence sendiri menganggapnya tak masuk akal bahwa ia diistimewakan; mengingat banyak tentara Inggris lain yang terlibat dalam revolusi itu, dan ia sendiri pasti tak akan pernah menjadi pemimpin Arab. Ia mengakui bahwa Lovell Thomas menyebarkan "kebohongan panas".
Namun, Lawrence mulai menuliskan sendiri kisahnya tentang revolusi itu dalam Seven Pillars of Wisdom. Kisah itu memberikan sumbangan bagi legenda, dan sebagian sejarawan mengakui bahwa kisah itu memelintir dan membesar-besarkan fakta.
Seven Pillars of Wisdom banyak berisi gambaran romantis tentang gurun pasir, pandangan yang diidealkan tentang Emir Feisal, dan kisah-kisah pertempuran yang dramatis. Buku itu juga menganggap tidak penting peran Inggris dalam mengalahkan bangsa Turki. Akibatnya, perdebatan tentang Lawrence terus berlanjut dan ia tetap menjadi sosok yang membingungkan.
Baru diketahui bahwa pada tahun 1934, Lawrence didekati sutradara film Alexander Korda yang ingin membuat film dengan judul Lawrence of Arabia. Lawrence jengkel. "Mungkin yang ia maksud saya, dan saya punya pandangan yang kuat mengenai keengganan film seperti itu. Maka, saya menjawabnya bahwa ia mungkin harus mendiskusikan niatnya itu sebelum membuka mulutnya yang bodoh itu" tulisnya.
T.E. Lawrence tetap bekerja di Angkatan Udara hingga tahun 1935, ketika ia berusia 46 tahun. Baru tiga bulan setelah pensiun, ia tewas dalam kecelakaan sepeda motor di dekat rumahnya di Dorset.
Tapi, gagasan itu terus mengalir. Tahun 1962, 27 tahun setelah kematian Lawrence, sutradara film yang lain, David Lean, benar-benar membuat film berjudul Lawrence of Arabia, yang dibintangi Peter O'Toole sebagai Lawrence. Film itu menjadi film klasik dan memastikan bahwa gambaran romantis perang di gurun pasir, dengan heroismenya, jubah sutra yang berkibar-kibar dan unta-unta yang menyerang, dihidupkan untuk memikat imajinasi jutaan orang.
(Gill Harvey)
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258538/lawrence-dari-arabia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177314000) } } [2]=> object(stdClass)#69 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246989" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#70 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/21/9_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220421060226.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#71 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Awalnya hanya seorang sopir, lalu menjadi penyaji makanan dan minuman. Di kemudian hari, segenap rahasia pemerintah Inggris di Turki bocor." ["section"]=> object(stdClass)#72 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/21/9_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220421060226.jpg" ["title"]=> string(21) "Sang Pelayan Perlente" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:54:58" ["content"]=> string(22265) "
Intisari Plus - Awalnya hanya seorang sopir, lalu menjadi penyaji makanan dan minuman. Di kemudian hari, segenap rahasia pemerintah Inggris di Turki bocor ke pihak Jerman. Atasannya menuliskan ke dalam sebuah buku, yang kemudian menjadi titik pijak film Hollywood.
---------------------------------------
Ludwig Moyzisch bukanlah orang yang menawan. Suatu malam, ketika sedang tidur lelap, dia dibangunkan dan dipanggil untuk segera menuju ke rumah Sekretaris Pertama Kedutaan Jerman di Ankara, Turki. Di tengah malam seperti ini, seberapa pentingkah urusannya?
Saat itu, Oktober 1943. Eropa terlibat dalam Perang Dunia II. Turki yang merupakan wilayah netral berada dalam posisi yang tidak nyaman, di antara negara Eropa yang dikuasai Nazi dan Soviet Rusia yang penuh mata-mata. Moyzisch, anggota Dinas Rahasia Jerman, SD (Sicherheitsdienst), adalah salah satu mata-matanya. Dia menyamar sebagai perwakilan dagang kedutaan Jerman, dan dia sering diminta untuk melakukan hal-hal aneh, yang tidak diharapkan dan pada waktu-waktu yang tidak biasa.
Walaupun begitu, dia semakin merasa jengkel ketika sampai di rumah tersebut, Sekretaris Kedutaan sendiri sudah tidur. Hanya istrinya yang menyambut Moyzich di pintu depan.
"Ada orang dengan sikap yang aneh di sana," katanya sambil menunjuk ke ruang gambar. Dia punya sesuatu untuk dijual pada kita."
Wanita itu juga segera menuju ke tempat tidurnya sambil berpesan untuk menutup pintu ketika dia pergi nanti.
Dengan kejengkelan yang semakin memuncak, Moyzisch berjalan dengan cepat menuju ke ruang gambar. Dia ingin menyingkirkan tamu itu segera. Matanya melihat kekacauan di sekeliling ruangan, dia juga memperhatikan hiasan-hiasan di dalam ruangan itu, sampai beberapa saat kemudian dia melihat sosok yang pucat dalam kegelapan, duduk diam tak bergerak di sofa, wajahnya tertutup bayangan. Sesuatu dalam diri lelaki ini memunculkan kecurigaan Moyzisch. Emosinya diturunkan dan dia mulai berkonsentrasi untuk menjernihkan pikiran.
Tamu itu berdiri. Dia kecil dan pendek, dengan rambut hitam yang tebal, serta dahi yang lebar. Moyzisch kemudian menyebut wajahnya sebagai "orang yang biasa menyembunyikan perasaannya", tapi saat ini, sorotan matanya yang kelam terlihat mencoba menutupi kegelisahan.
Orang itu berjalan ke arah pintu, dan tiba-tiba menyentakkan daun pintunya keluar, melihat apakah ada seseorang yang bersembunyi di belakangnya. Kemarahan Moyzisch muncul kembali. Dia adalah seorang mata-mata, bukan salah satu dari Marx Bersaudara, dan ini bukanlah film picisan. Tapi dia tetap diam, dan membiarkan tamu itu memulai pembicaraan.
"Aku punya tawaran untukmu," orang itu mulai berbicara dengan logat Prancis yang lancar namun berat. "Tapi pertama-tama aku ingin jaminan bahwa yang kukatakan saat ini tidak akan sampai pada orang lain ataupun atasanmu. Jika kau mengkhianati aku, hidupmu akan kehilangan arti seperti hidupku. Dan mungkin aku akan mempertimbangkan untuk melakukan ini sebagai pilihan terakhir," kata pria itu sambil meniru gerakan menggorok leher dengan tangannya.
Moyzisch memandang lelaki itu dengan dingin. Dia tidak ingin menanggapi ancaman itu dengan serius. Tapi dia adalah seorang mata-mata profesional, dan dia dilatih untuk melihat dan menunggu apa lagi yang akan dikatakan oleh orang asing itu. Ini sangat menarik...
"Aku dapat mengirimkan foto-foto yang berisi informasi rahasia untukmu—informasi yang sangat —dari Kedutaan Besar Inggris. Tapi jika kau menginginkannya, kau harus memberikan bayaran yang sangat besar. Aku mengorbankan diriku untukmu, jadi aku juga memi harga yang senilai dengan pengorbananku."
Moyzisch angkat bicara untuk pertama kalinya. "Berapa jumlah yang Anda inginkan?"
"Aku ingin £20.000 sterling—tunai."
Moyzisch membuka topengnya, dia tidak tahan untuk mencemooh. "Itu sangat tidak mungkin," katanya. "Barang apakah di dunia ini yang senilai dengan uang sebesar itu?"
Pada 1943, uang sebanyak itu bisa membuat orang sungguh-sungguh kaya.
"Well, silakan kau pertimbangkan," kata orang asing itu, "Aku akan memberikan waktu tiga hari untuk memutuskan, lalu aku akan meneleponmu di Kedutaan Jerman dan menyebut diriku sebagai Pierre. Aku akan menanyakan apakah kau punya surat untukku. Jika jawabannya 'ya", aku akan datang dan menemuimu. Jika 'tidak', maka kau tidak akan mendengar apapun dariku. Jika kau tidak tertarik, ada banyak pihak lain yang pasti menginginkannya."
Ada sesuatu dalam diri orang ini yang membuat Moyzisch ragu untuk mengabaikannya. Dia hampir yakin orang ini akan membawa informasi rahasia itu ke Kedutaan Soviet di Ankara jika pihak Jerman menolaknya, dan dia melakukan itu sungguh hanya untuk urusan bisnis. Moyzisch menyetujui rencana yang diajukan dan lelaki itu bersiap pergi. Begitu sampai di pintu, dia berbalik dan tersenyum licik. "Aku bertaruh, kau pasti sedang berpikir siapakah aku ini. Well, aku akan memberitahu. Aku adalah pelayan Duta Besar Inggris.
Sebelum Moyzisch sempat berkata-kata, pintu dihempaskan dan orang asing itu menghilang.
Pagi berikutnya, Moyzisch berencana menemui Duta Besar Jerman, Franz von Papen. Jumlah uang yang diminta orang itu sangat besar, sehingga mereka memerlukan izin langsung dari Sekretaris Luar Negeri Jerman, Joachim von Ribbentrop. Mereka yakin dia akan menolak, tapi surat balasan datang dan ternyata tawaran itu diterima. Kurir khusus akan dikirimkan untuk membawa uang itu dari Berlin.
Moyzisch memberikan nama pada orang asing itu—Cicero, seperti nama seorang orator terkenal Romawi—dan membuat persiapan untuk menyambut kedatangannya. Sudah dapat dipastikan, telepon dari "Pierre" akhirnya datang, dan mereka membuat janji untuk bertemu di kedutaan pada pukul 22.00 malam itu.
Moyzisch sudah mempersiapkan segalanya. Dia menyiapkan sebuah kamar gelap, lengkap dengan teknisi fotografi, sehingga dia dapat memeriksa film-film tersebut saat itu juga. Orang asing itu datang tepat pada waktunya, dan keduanya mulai mencoba melakukan pertukaran, dengan masih disertai rasa saling curiga. Cicero menginginkan uangnya terlebih dahulu, kemudian baru dia akan menyerahkan film. Sementara Moyzisch ingin filmnya diperiksa dulu apakah benar-benar asli, baru dia akan menyerahkan uang. Mereka melakukan kompromi. Moyzisch menghitung uang sebesar £20.000 di depan Cicero, kemudian mengembalikan ke tempatnya dan membawa film tersebut ke kamar gelap.
Hasilnya sangat spektakuler. Dokumen sangat rahasia yang tidak diragukan keasliannya, lengkap dengan tanggalnya. Cicero mendapatkan uangnya, dan rencana selanjutnya dibuat, di mana pihak Jerman akan membayarnya £15.000 untuk setiap informasi yang diantarkan. Jumlah uang yang diberikan memang cukup besar, tapi informasi yang diberikan memang sangat luar biasa.
Pada malam yang lain, Cicero datang lagi membawa lebih banyak film. Ketika dia ingin pulang, dia meminta Moyzisch untuk mengantarkannya kembali ke Kedutaan Besar Inggris, Pihak Jerman menjadi heran.
"Kenapa tidak?" kata Cicero dengan tenang. "Di sanalah aku tinggal."
Film-film berikutnya terus menyusul, masing-masing mengungkapkan dokumen-dokumen yang berisi informasi sensitif. Pihak Jerman tidak bisa percaya begitu saja dengan keberuntungannya. Cara Cicero memperoleh dokumen rahasia itu tampak terlalu mudah, dan mereka menyangka dia tengah mempermainkan mereka, memberikan informasi-informasi palsu untuk membingungkan dan menyesatkan pihak Dinas Rahasia Jerman.
Moyzisch diperintahkan untuk mengungkapkan semua hal tentang penghubung mereka di Kedutaan Inggris, dan kemudian membuat gambaran tentang Cicero. Nama sebenar nya adalah Eleyza Bazna. Dia adalah seorang Albania yang memutuskan untuk pergi ke Turki dan menetap di Ankara. Di situ dia mendapat pekerjaan sebagai sopir, kemudian menjadi pelayan yang menyajikan makanan dan minuman, lalu akhirnya menjadi pelayan untuk diplomat-diplomat tingkat tinggi. Dia pernah bekerja untuk Duta Besar Yugoslavia dan diplomat Jerman yang memecatnya karena ketahuan telah membaca surat-surat mereka. Akhirnya, dia menemukan pekerjaan di Kedutaan Besar Inggris sebagai pelayan para pejabat tinggi di sana.
Bazna mengerjakan tugasnya dengan sangat baik Di rendah hati, mampu melakukan tugasnya dengan efisien, dan memiliki kemampuan khusus untuk menebak apa yang diinginkan tuannya. Dia juga sangat pandai, mampu berbicara dalam berbagai bahasa asing dengan lancar. Ketika posisi pelayan di kediaman Duta Besar Sir Hughe Knatchbull Hugeson kosong, Bazna mendapatkan pekerjaan itu.
Apa yang tidak diketahui oleh Sir Hughe adalah bahwa pelayan barunya memiliki beberapa ketertarikan. Yang pertama adalah fotografi, yang kedua adalah Mara, pelayan wanita di kedutaan, dan yang ketiga adalah mengintip file-file rahasia kedutaan. Ketika Bazna mengetahui betapa mudahnya melakukan semua itu, dia semakin bersemangat
Bazna mengetahui bahwa bos barunya adalah seorang dengan kebiasaan hidup yang teratur. Segala hal dalam kehidupan Sir Hughe berjalan seperti mesin waktu. Dia mandi di pagi dan sore hari, bermain piano setelah makan siang, dan makan pada waktu yang sama setiap hari. Ketika dia keluar dengan Rolls-Royce ungunya, Bazna mengetahui dengan pasti kapan bosnya pergi dan kembali
Kebiasaan lain Sir Hughe yang sangat mengakomodasi keinginan Bazna adalah dia suka membaca dokumen-dokumen yang sangat rahasia di kediamannya, dan menyimpannya di situ.
Pada suatu sore, ketika Sir Hughe sedang mandi, Bazna masuk ke dalam ruang tidur, dengan alasan meletakkan pakaian tidur tuannya, lalu membuat cetakan kunci tempat penyimpanan dokumen dari lilin. Du kemudian membuat tiruan kunci itu dengan bantuan temannya. Setelah itu, semua dokumen yang disimpan Sir Hughe di tempat penyimpanan dokumen itu dibaca oleh pelayannya.
Rutinitas itu memang sempurna! Dan semakin banyak Bazna membaca dokumen-dokumen itu, dia semakin nekat untuk mendapatkannya. Pada suatu kesempatan, setelah Sir Hughe diberi pil tidur, Bazna bahkan membaca dan memfoto surat-surat rahasia itu di meja yang berada tepat di sisi tempat tidur.
Betapa hebat semua rahasia itu! Rencana serangan udara dari Turki melawan sekutu Nazi, Rumania... Rincian pertemuan antara Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan pemimpin Soviet Joseph Stalin... dan yang terhebat di antara semuanya untuk pihak Jerman adalah Bazna menyampaikan berita penyerangan pihak sekutu Eropa berikutnya dari Inggris ke Prancis. Bazna bahkan memberikan pada pihak Nazi kode penyerangan itu "Operasi Overlord".
Tapi anehnya, pihak Nazi masih melihat bahwa bebes informasi itu tampak terlalu 'hebat'. Meskipun mereka tetap menganggap Bazna tidak berbohong, mereka mengatakan bahwa informasi yang disampaikannya palsu—sengaja disisipkan oleh pihak intelijen Inggris agar ditemukan oleh Bazna dan diteruskan pada pihak Jerman.
Bazna tidak terlalu peduli dengan yang dilakukan Jerman terhadap informasinya, apalagi dengan apa yang mereka pikirkan tentang informasi itu —asalkan, uangnya terus mengalir dan menumpuk. Dia tidak perlu berusaha keras untuk menyembunyikannya, dia hanya perlu menyimpan di bawah karpet kamar tidurnya.
Tapi, seperti biasa, ketika orang sedang berlimpah harta, mereka lupa menyimpan sebagian hartanya untuk persiapan jika keadaan tidak sebaik sekarang. Bazna mulai berfoya-foya dengan uangnya. Dia menyewa sebuah pondok penginapan di luar kota lengkap dengan peralatan modern. Satu hal mengkhawatirkan yang melanggar asas kerahasiaan adalah dia menyebut pondok itu dengan "Villa Cicero"—sesuai dengan nama kode jermannya, bahkan dia memasang plakatnya di pintu. Dia dan teman wanitanya, Mara, menjadi pelanggan tetap ABC Store di Ataturk Boulevard, toko paling bergengsi di seluruh Turki. Pakaian dan perhiasan mereka bisa membuat malu para tokoh masyarakat kelas atas
Moyzisch mulai terganggu dengan cara Bazna memamerkan kekayaannya, terutama ketika dia mulai memakai jam tangan emas. Bahkan Mara, yang memercayai bahwa dia bekerja untuk Turki, mulai mengejeknya.
"Orang mulai bertanya-tanya bagaimana kita mampu membeli baju-baju yang indah ini. Bagaimanapun kau tetaplah seorang pelayan."
"Jangan khawatir," dia tersenyum pada Mara. "Mereka semua terlalu bodoh."
Tapi orang-orang itu tidak bodoh.Anehnya, pihak Turki lah yang pertama kali memperhatikan Bazna. Mereka mengambil posisi netral dalam perang. Ketika konflik semakin meluas, mereka mulai bertanya-tanya pihak mana yang paling cocok dengan kepentingan mereka untuk didukung, Suatu malam, setelah Bazna menyerahkan film ke Kedutaan Jerman, dan Moyzisch mengantarkannya pulang, mereka menyadari ada sebuah mobil hitam yang mengikuti mereka. Ketika Moyzisch memperlambat mobilnya, mereka juga melambat, ketika kecepatan d naikkan, mereka juga mempercepat laju kendaraannya. Setelah lelah mempermainkan mereka, Moyzich menginjak pedal gas dan dengan kecepatan penuh melintasi bulevar Ankara dengan kecepatan 190 km/jam.
Di akhir minggu itu, Moyzisch menabrak mobil seorang pejabat Turki.
"Hei, bung!" kata orang Turki itu. "Anda benar-benar pengemudi yang ceroboh. Anda harus lebih berhati-hati terutama di malam hari."
Ini adalah sebuah peringatan, karir Bazna sebagai mata mata hampir berakhir.
Tanda-tanda bahaya terus mengikuti. Di Kedutaan Besar Inggris, satu tim ahli keamanan datang untuk memasang sistem keamanan dokumen-dokumen rahasia milik duta besar. Tapi Bazna mendengar Sir Hughe mendiskusikan sistem itu bersama dengan salah satu anggota tim, dan mencoba cara untuk melewati sistem tersebut.
Rahasia itu terus mengalir dari Kedutaan Inggris ke pihak Jerman, tapi Bazna sedang mempertimbangkan untuk membuka rahasianya pada seorang mata-mata yang jauh lebih berani darinya, untuk meneruskan tugasnya. Di Kementerian Luar Negeri Jerman bekerja seorang bernama Fritz Kolbe, seorang Jerman yang membenci Nari. Kolbe memiliki akses langsung ke semua bahan rahasia yang disuplai oleh Cicero pada pihak Jerman di Ankara, dan dia mendapat perhatian dari Amerika. Pihak Amerika mengatakan pada Inggris bahwa mereka pasti memiliki seorang mata-mata yang lepas dari pengawasan di dalam lingkungan kedutaan mereka.
Tapi pihak intelijen Inggris tidak dapat menemukan identitas Cicero. Rahasianya justru terungkap dari dalam Kedutaan Jerman. Moyzisch memiliki seorang sekretaris yang sangat tidak cakap dan selalu berwajah muram bernama Nellie Kapp. Berambut pirang, perempuan berusia 20 tahun itu selalu mencibir serta menggerutu selama bekerja. Dia juga sangat malas, Moyzisch sangat ingin memecatnya—satu satunya alasan kenapa dia tidak melakukannya adalah karena ayahnya seorang diplomat Jerman tingkat tinggi.
Yang mengherankan, Nellie, dengan segala kesalahannya, menunjukkan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang dikerjakan Moyzisch. Alasannya adalah karena dia juga seorang mata-mata. Dia bekerja untuk American Office for Strategic Service (OSS) dan dia memiliki kunci brankas Moyzisch. Dia juga membuat foto semua dokumen yang melaluinya. Tidak lama kemudian, dia mempunyai ide bag bahwa Cicero adalah Eleyza Bazna.
Di akhir Maret 1944, Nellie telah menyelesaikan tugasnya, dan memutuskan bahwa ini adalah saat untuk melarikan diri. Bagaimanapun jika staf Kedutaan Jerman mengetahui kalau dia sudah memata-matai mereka, dia akan disiksa dan kemudian ditembak. Nellie kemudian memotong rambut nya, dicat warna hitam, lalu menumpang pesawat keluar dan Turki, Sementara itu Dinas Rahasia Inggris membuat jebakan, karena tidak terlalu yakin dengan kemampuan orang-orang mereka. Suatu malam, seorang petugas keamanan Inggris, Sir John Dashwood, duduk diam di kantor Sir Hughe dengan segelas wiski. Dia mematikan lampu dan menunggu. Tidak lama kemudian, pintu dibuka, dan lampu dinyalakan. Di ujung pintu berdiri Bazna, dengan kunci di tangan. Kedua laki-laki itu saling memandang. Tidak ada sepatah kata pun terucap. Bazna membalik badannya dan pergi. Semua sudah berakhir.
Bazna tidak dapat ditahan, karena dia tidak melanggar satu pun hukum Turki. Setelah mendengarkan kemarahan Sir Hughe yang amat sangat, Bazna mengumpulkan semua harta miliknya, termasuk semua uang yang ada di bawah karpetnya. Dia kemudian meninggalkan kedutaan untuk selamanya, dan berdiam di wilayah yang lebih eksklusif di Ankara.
Sementara itu, datanglah saat-saat yang tidak menyenangkan bagi Moyzisch. Sekretarisnya menghilang secara mencurigakan, dan sekarang rahasia agen terbaiknya telah terbongkar. Pimpinannya di Berlin tentu saja sangat tidak suka, dan mengirimkan telegram yang memintanya untuk segera kembali ke Jerman. Moyzisch mengkhawatirkan hidupnya. Untuk mengulur waktu, dia mengirimkan telegram balasan yang mengatakan bahwa dia sedang sakit, sehingga tidak dapat melakukan perjalanan. Tidak lama kemudian, dia menerima telepon di rumahnya.
"Saya menghubungi Anda atas nama Inggris," terdengar sebuah suara yang misterius. "Jika Anda kembali ke Jerman, Anda akan ditembak. Datanglah pada kami, selamatkan dirimu."
Ini adalah sebuah dilema. Moyzisch enggan meng khianati negaranya. Dia adalah seorang yang loyal terhadap Nazi, bahkan sudah bergabung dengan partai ini sebelum Hitler berkuasa. Sekarang, dia tetap percaya pada paham yang dianut Nazi. Untunglah, dia tidak harus mengambil keputusan, karena tidak lama kemudian negara-negara sekutu betul-betul menyerang Prancis, seperti yang diprediksi Cicero, dan perang tidak berpihak pada Jerman. Pihak Turki melihatnya sebagai petunjuk untuk bergabung dengan negara sekutu. Semua diplomat Jerman, termasuk Moyzisch, ditangkap dan ditahan hingga akhir masa perang.
Kelanjutannya
Bazna sangat puas dengan hidupnya. Dia tetap hidup, dan sangat kaya. Dia pergi ke Portugal, membawa £300,000 bersamanya, kemudian ke Amerika Selatan. Tapi di sinilah jalan hidupnya berubah. Seorang bankir datang ke vila mewah yang disewa Bazna, dan mengatakan padanya bahwa semua uang kertasnya palsu.
Bazna menerima berita itu dengan tenang. Menyadari dirinya telah ditipu pihak Jerman, dia bahkan tertawa keras. Jerman memutuskan bahwa informasi yang diberikan Bazna tidak berguna, dan mereka tidak akan membayarnya dengan uang asli. Tapi yang terjadi kemudian jauh dari sebuah guyonan yang layak ditertawakan, khususnya bagi Bazna. Dia ditangkap dan dikirim ke penjara dengan dakwaan memalsu uang. Setelah dibebaskan, dia menuju ke Jerman dan meminta pada pemerintah Jerman Barat untuk memberikan kompensasi atas 'kerugiannya'. Tidaklah mengejutkan, permintaannya ditolak. Dia meninggal dunia dalam kesepian dan miskin di Istanbul, pada 1971.
Nasib Ludwig Moyzisch lebih baik setelah perang. Dia memberikan bukti-bukti dalam pengadilan penjahat perang Nazi di Nuremberg, dan kemudian kembali menjalani kehidupan sipil di Austria. Di sana dia melakukan pekerjaan samarannya di kedutaan dalam kehidupan nyata—menjadi manajer ekspor untuk perusahaan tekstil. Dia menulis sebuah buku berjudul Operation Cicero yang berkisah tentang aktivitas spionasenya, yang kemudian dibuat menjadi film berjudul Five Fingers, yang dibintangi James Mason.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246989/sang-pelayan-perlente" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650819298000) } } [3]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246981" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/21/7_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220421054600.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(103) "Pengakuannya sebagai mata-mata ganda ternyata tak bisa menyelamatkan Kolonel Uni Soviet Oleg Penkovsky." ["section"]=> object(stdClass)#76 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/21/7_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220421054600.jpg" ["title"]=> string(28) "Pedagang dan Mata-Mata Hebat" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:51:05" ["content"]=> string(24092) "
Intisari Plus - Pengakuannya sebagai mata-mata ganda ternyata tak bisa menyelamatkan Kolonel Soviet Oleg Penkovsky. Menentang pemerintahnya bukan karena dia anasionalis, tapi karena alasan anti-komunis.
---------------------------------------
Menjadi mata-mata adalah permainan dalam kesendirian; dibutuhkan keberanian serta kesabaran yang sangat tinggi. Banyak mata-mata menghabiskan malam yang panjang tanpa bisa tidur nyenyak, terus bertanya-tanya kapan penyamarannya akan terbongkar, dan nasib buruk apa yang akan menimpanya jika dia berkhianat atau menyerahkan diri. Seorang mata-mata yang dikirim untuk membuka rahasia negara musuh, punya masalah besar. Tapi mata-mata yang meninggalkan negaranya sendiri dan bekerja untuk negara asing dapat dipastikan menerima siksaan bahkan sampai pada kematian jika ketahuan.
Oleg Penkovsky sama seperti orang lainnya. Dia bertubuh tinggi dan tampan, dengan sikap serta kesopanan aristokrat yang tidak biasa di kalangan komunis Uni Soviet. Pada 1960 dia adalah seorang Kolonel di GRU—Dinas Intelijen Militer Soviet. Karena pangkatnya, dengan mudah dia bepergian ke sekitar Kremlin, benteng Moskwa—seperti markas beir pemerintah, dan memiliki akses yang tak terhitung jumlahnya ke rahasia-rahasia militer.
Penkovsky memandang dunianya dengan menganggap remeh rahasia. Ayahnya dulu adalah pegawai di dinas ketentaraan Czar, dan berperang melawan komunis dalam perang sipil Rusia. Perlawanan keluarganya terhadap peraturan baru Rusia tampaknya menurun padanya. Lebih dari tiga tahun dia mulai membenci rezim yang dilayaninya, dan menjuluki pemimpin Soviet, Nikita Krushchev, sebagai seorang petani bodoh.
Saat itu dunia tengah memasuki era yang dikenal sebagai Perang Dingin. Meskipun sesungguhnya tidak berperang, ada ketegangan antara komunis Uni Soviet dan negara-negara kapitalis barat, macam Amerika Serikat dan Persemakmuran Inggris, yang menimbulkan rasa saling curiga. Kedua belah pihak membangun kekuatan nuklirnya dan berperang lewat propaganda dan ancaman. Penkovsky yakin negaranya merencanakan meluncurkan senjata nuklir untuk melawan musuh kapitalisnya; dan semakin dia memikirkannya, semakin dia mencari cara untuk menjatuhkan pemimpinnya.
Bagaimanapun, sebagai orang muda, Penkovsky adalah contoh produk dari sistem Soviet. Dia mengikuti pendidikan di Frunze Military Academy di Moskwa, tempat dia diangkat menjadi anggota GRU—organisasi yang hanya menerima orang-orang terbaik. Misi pertamanya menjadi mata-mata di Ankara, Turki, pada 1955. Dia menyamar sebagai atase militer di Kedutaan Besar Uni Soviet. Turki adalah sekutu dari musuh terbesar Uni Soviet, yaitu Amerika Serikat.Turki bersebelahan dengan wilayah selatan Uni Soviet, dan pihak Soviet ingin mengetahui sebanyak-banyaknya tentang perlengkapan militer yang dimiliki Turki dan pangkalan militer Amerika yang beroperasi di sana. Penkovsky adalah seorang agen yang teliti dan dapat diandalkan. Dia melaksanakan instruksi yang disampaikan padanya melalui surat.
Penkovsky kembali ke Moskwa setelah setahun, untuk pelatihan lebih lanjut. Karena catatan sejarah keluarganya yang antikomunis, pada 1960 dia dipromosikan sebagai kolonel, meskipun dia lolos promosi untuk pangkat yang lebih tinggi. Walaupun demikian, dia tetap dipercaya untuk memimpin delegasi perdagangan Soviet ke London, dan di sana dia diharapkan dapat membentuk jaringan mata-mata Soviet.
Selama mengatur perjalanannya ke London, Penkovsky bertemu dengan seorang yang nantinya memberikan pengaruh besar terhadap hidupnya. Namanya Greville Wynne, seorang pengusaha Inggris.
Wynne, yang mewakili perusahaan pembuatan alat-alat elektronik Inggris, mengingat dengan jelas pertemuan dengan Penkovsky. Pada suatu sore di musim dingin, di ruang atas sebuah bangunan di Gorky Street 11, dekat Red Square Moskwa, Wynne mencoba membujuk agar mengizinkan kelompok pengusaha Inggris mengunjungi negara mereka. Ini bukanlah tugas mudah. Pada saat itu hubungan antara dua negara sangat tegang. Inggris adalah sekutu dekat Amerika. Kecurigaan yang sangat tinggi ada d kedua belah pihak. Bagaimanapun, hidup terus berjalan. Jika perdagangan—meskipun dalam skala kecil dapat dilakukan. mungkin akan memberikan keuntungan bagi kedua pihak. Di samping itu, baik perdagangan maupun delegan perdagangan, semua memberikan kesempatan bagi kedua pihak untuk melakukan operasi mata-mata.
Wynne sebenarnya bukanlah mata-mata, tapi seperti pengusaha barat lainnya yang mengunjungi negara-negara komunis, dia diminta untuk memperhatikan segala hal yang mungkin berguna untuk Dinas Rahasia Inggris. Wynne merasa senang dapat membantu sebagai intelijen Inggris selama Perang Dunia II.
Pertemuan yang tampaknya berjalan dengan baik itu terjadi pada suatu hari saat musim dingin di Moskwa. Wynne telah menghabiskan lima tahun hidupnya menjual alat elektronik di Uni Soviet dan negara-negara komunis lain di bagian utara Eropa. Dia dikenal banyak orang yang sedang berunding di tempat itu, dan menurutnya, mereka memercayainya. Menjelang malam, kesepakatan dicapai. Dalam tradisi Rusia, sebotol vodka dikeluarkan, mereka melakukan toast untuk merayakan kesepakatan tersebut.
Setelah orang-orang selesai minum, mereka bersantai dalam percakapan yang penuh canda. Tapi perhatian Wynne tertuju pada satu orang yang tidak dikenalnya—pakaiannya lebih rapi dari yang lain, dan tampaknya memiliki kewibawaan yang mengagumkan. Dia minum sedikit dan tidak bergabung bersama dengan orang-orang lain yang sedang bersenda gurau di sekeliling meja. Orang itu adalah Oleg Penkovsky.
Penkovsky mungkin menjaga jarak dengan koleganya yang lebih junior, tapi sikapnya yang tidak tenang itu berhubungan dengan kecemasan yang sedang dirasakannya. Pada Agustus tahun itu, dia mengirimkan surat kepada Kedutaan Besar Amerika di Moskwa, menawarkan jasanya sebagai mata-mata. Empat bulan sudah berlalu, dan tidak ada respons. Tentu saja dia khawatir, bagaimana jika KGB—dinas polisi rahasia Soviet yang ditakuti—melakukan kegiatan mata-mata di kedutaan, dan pengkhianatannya ketahuan? Sebelumnya, pihak Amerika sangat senang dengan penawarannya, tapi mereka tidak menemukan cara yang aman untuk menghubunginya. Mungkin, pikir Penkovsky, Wynne atau salah satu koleganya dapat memberikan kesempatan untuk berhubungan dengan pihak barat.
Sebulan kemudian, Desember 1960, Wynne dan serombongan pengusaha Inggris tiba di Moskwa dalam rangka perjalanan bisnis seperti yang sudah diatur di Gorky Street. Penkovsky adalah pejabat pemerintah yang akan mendampingi mereka dan dia sedang menunggu untuk menyambut mereka.
Di waktu-waktu yang mereka habiskan bersama, Wynne mengamati Penkovsky dengan cermat. Dia yakin orang Rusia itu tengah memikirkan sesuatu, tapi Sang Kolonel memilih untuk tidak menceritakan padanya. Sebagai gantinya, da mendekati pengusaha Inggris lainnya yang selalu menolak untuk membawa pesan-pesan yang disampaikan Penkovsky.
Ini tidaklah mengejutkan—orang-orang barat yang bersamanya dalam perjalanan itu telah diperingatkan untuk berhati-hati terhadap pendekatan yang dilakukan orang-orang Rusia yang kelihatan ramah, karena dikhawatirkan mereka terjebak dalam rencana Rusia dan menjadi korban pemerasan. Penkovsky harus menunggu orang lain.
Wynne kembali ke Uni Soviet pada April 1961 untuk mengatur kunjungan balasan ke Inggris bagi pengusaha Soviet. Sekali lagi Penkovsky terlibat dalam perundingan, dan memberikan daftar nama pengusaha yang akan ikut serta dalam perjalanan tersebut pada Wynne. Namanya sendiri berada di urutan paling atas.
"Jadi Anda juga ikut, Kolonel?" tanya Wynne. Nada pertanyaannya meminta penjelasan lebih lanjut.
"Ya, Mr. Wynne," kata Sang Kolonel. Dia kemudian melihat sekeliling untuk melihat apakah ada orang lain yang mendengarkan, kemudian dia menurunkan suaranya, dan berbisik. "Tapi saya pergi ke London bukan untuk bersenang-senang. Saya ingin mengatakan banyak hal pada Anda."
Setelah itu, Penkovsky memberikan sebuah amplop tebal pada Wynne. Ketika dia kembali ke hotelnya, Wynne membuka paket itu, yang ternyata berisi penjelasan rinci mengenai Penkovsky dan kariernya, serta beberapa rahasia militer Soviet.
Penkovsky sudah memilih orang yang tepat. Ketika mereka bertemu di hari berikutnya, Wynne memberikan jalan. "Aku tahu orang yang bisa Anda ajak bicara," kata Wynne. "Aku akan mengatur pertemuan dengan mereka ketika Anda datang ke London."
Beberapa minggu kemudian Penkovsky tiba di London dengan delegasinya. Mereka dijamu oleh Organisasi Perdagangan Inggris lengkap dengan makan malam dan anggur. Mereka sangat menikmati perjalanan mereka, berbelanja, serta mengunjungi tempat-tempat wisata. Wynne bertindak sebagai pendamping mereka. Setiap malam, setelah semua koleganya pergi tidur, Penkovsky akan dibawa ke sebuah kamar di hotel tersebut. Di situ dia akan diperiksa oleh sebuah tim yang beranggotakan pejabat intelijen Inggris dan Amerika dari CIA dan MI6.
Mereka sungguh-sungguh percaya ini adalah keberuntungan. Di akhir minggu pertama, Penkovsky telah memberikan banyak informasi, mulai dari proyek persenjataan Uni Soviet hingga isi buku petunjuk telepon Kremlin. Dia juga terbuka tentang alasan keinginannya menjadi mata-mata untuk pihak barat, dan dia meyakinkan mereka bahwa motif utamanya adalah karena kekecewaannya terhadap rezim Soviet. Penkovsky mengatakan pada para interogator bahwa dia merasa punya tugas untuk ikut menciptakan perdamaian dunia. Dia juga mengatakan ingin menjadi warga negara Inggris Raya atau Amerika Serikat dan diterima sebagai kolonel dalam dinas ketentaraan mereka.
Baik pihak Inggris maupun Amerika sangat bersedia membantu. Dalam sebuah upacara yang khusus disiapkan untuknya, Penkovsky disumpah menjadi warga negara sekaligus kolonel dalam dinas ketentaraan Amerika maupun Inggris. Mereka semua berpikir Penkovsky adalah tangkapan yang luar biasa. Dia adalah penyusup di Kremlin dengan pangkat tinggi. Tampaknya dia lebih termotivasi oleh hati nuraninya dibandingkan ketamakan. Dia memang meminta bayaran untuk pekerjaannya, tapi sebenarnya semua itu hanya untuk mempersiapkan kehidupan barunya, yang setelah dipertimbangkan akan dihabiskan di Amerika Serikat, setelah masa tugasnya sebagai mata-mata selesai. Dia tidak meminta jumlah yang besar untuk informasi sensitif yang diberikan.
Bagaimanapun di balik semua keuntungan yang dapat diberikan, baik CIA maupun M16 memiliki ketidakcocokan dengannya. Tidak ada yang meragukan kesungguhan hatinya, atau menyangka dia adalah agen ganda untuk Soviet, tapi beberapa idenya berisiko tinggi, bahkan tampak menggelikan. Contohnya, dia menyarankan untuk memasang beberapa bom atom berukuran kecil di Markas Militer Moskwa.
Karakternya juga mengkhawatirkan. Penkovsky tampak secara jelas memandang dirinya sebagai seorang pahlawan yang dapat mengubah sejarah dengan tangannya sendiri. Lebih dari semua itu, dia mengatakan pada mereka bahwa dia ingin diingat sebagai 'mata-mata terhebat sepanjang sejarah' Kesombongan bukanlah sebuah tanda yang baik.
Penkovsky dan delegasi perdagangannya kembali ke Moskwa pada Mei 1961, dan dia mulai menjalankan tugas sebagai mata-mata dengan sungguh-sungguh. Di Bandar Udara Moskwa, barang-barang bawaannya tidak digeledah. Da terhitung sebagai penumpang yang sangat penting, sehingga tidak perlu diganggu dengan penggeledahan yang bisa dianggap sebagai penghinaan. Semua berjalan baik. Pada suatu saat, dia menyembunyikan kamera Minox kecil dan gulungan film yang cukup untuk membuat ribuan jepretan foto.
Setelah menemukan akses menuju rahasia Uni Soviet yang paling sensitif, Penkovsky merencanakan perjalanan dagang lain untuk dirinya sendiri. Dia tiba di London pada Juli dan mengunjungi Paris pada September. Pada kedua kesempatan itu dia menemui pejabat Dinas Rahasia negara negara barat, untuk mencetak filmnya. Bersama dengan foto-foto itu, dia mengirimkan sekitar 5.000 dokumen yang sangat rahasia. Dia juga mengatakan pada penghubungnya, secara terinci, semua yang telah dipelajari selama hampir 25 tahun melayani tentara Soviet dan juga Dinas Intelijen. CIA dan MI6 tidak pernah tahu.
Selain perjalanan pribadi ke luar negri, Penkovsky secara rutin juga mengunjungi Wynne di Moskwa. Pengusaha Inggris ini bertindak sebagai kurir, mengirimkan film dari atau untuk Penkovsky dan tim CIA/MI6, dan membawa beberapa rol film baru untuk kamera Minox. Ketika Wynne tidak ada, Penkovsky diminta untuk menghubungi Janet Chisholm, istri pejabat Kedutaan Besar Inggris di Moskwa. Sebuah pertimbangan keamanan yang mengejutkan. Seperti semua pejabat kedutaan besar, suami Janet Chisholm berada di bawah pengawasan KGB, tapi Janet tidak dianggap memiliki risiko keamanan, sehingga bebas datang dan pergi.
Janet bertemu Penkovsky di sebuah taman di Moskwa dengan membawa tiga anaknya yang masih kecil. Mereka pura-pura bertemu secara kebetulan, Penkovsky berbincang dengan biasa dan ramah bersama Janet dan anak-anaknya, kemudian memberikan sekantung permen rasa buah untuk mereka. Jika ada orang dari KGB yang mengawasi mereka, akan terlihat sebagai pertemuan dan canda tawa yang tidak berbahaya, tapi sebenarnya, kantong itu berisi film dari kamera Minox yang siap diproses.
Permainan yang berisiko ini terus berlanjut hingga musim dingin lewat. Penkovsky bertemu Janet Chisholm lebih dari sepuluh kali, tapi pada akhir Januari 1962 dia menyadari bahan dirinya sedang diikuti. Yang tidak diketahuinya ialah bahwa seorang Amerika bernama Jack Dunlap, yang bekerja untuk National Security Agency, gabungan organisasi intelijen di Amerika, sedang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan (lihat "Sersan Playboy", di halaman lain buku ini). Dunlap melaporkan pada KGB bahwa Penkovsky telah membocorkan rahasia pada Amerika.
Dalam perjalanan Wynne berikutnya ke Moskwa, dengan sangat khawatir Penkovsky mengatakan bahwa dia yakin KGB mengetahui sesuatu tentang dirinya. Wynne menyampaikan informasi ini. Baik CIA maupun MI6 memutuskan, inilah saatnya untuk mengeluarkan Penkovsky dari Moskwa. Tapi bagaimana mereka melakukannya? Ada rencana untuk mengeluarkannya dari bandara Moskwa dengan memasukkannya dalam sebuah paket. Bahkan sempat juga diusulkan untuk menjemputnya dengan kapal selam di perairan Baltic. Sementara dinas keamanan barat sibuk memikirkan cara mengeluarkannya, Penkovsky semakin cemas, terutama ketika permohonannya untuk bepergian ke luar negeri ditolak, sebuah tanda yang meyakinkan bahwa dia sedang dicurigai.
Wynne terbang ke Moskwa untuk misi perdagangan yang lain. Pada suatu malam ketika baru sampai di hotel, dia menyadari kopornya telah digeledah. Ternyata KGB mencurigainya juga. Tiga hari kemudian, dia merencanakan pertemuan dengan Penkovsky, makan malam di sebuah restoran. Ketika dia sampai di restoran itu, dia sadar tengah diawasi oleh dua orang. Tidak lama kemudian Penkovsky sampai di tempat itu, tapi mereka tidak menemukan meja kosong. Penkovsky berbalik dan pergi, menunggu Wynne di luar. Kedua orang ini segera memberikan laporan singkat dalam percakapan yang sangat terburu-buru.
"Kau sedang diikuti. Kau harus pergi besok, dengan penerbangan pertama," kata Penkovsky, yang kemudian menghilang.
Wynne berbalik kembali ke hotelnya, dan dengan tergesa-gesa berjalan ke arah dua lelaki yang mengawasi dirinya. Dua orang itu terkejut ketika menyadari tengah berhadapan dengan orang yang sedang diburu, dan mereka segera menjauh. Pagi harinya, Wynne segera menuju ke bandara. Dia sama sekali tidak mengerti. Ini adalah sebuah situasi yang sangat aneh baginya sebagai seorang pengusaha yang memutuskan untuk menceburkan diri ke dalam kegiatan mata-mata kecil-kecilan. Penkovsky juga ada di sana untuk melepas kepergiannya, dan menyampaikan permohonan dengan suaranya yang terdengar sangat putus asa.
"Katakan pada teman-temanku, aku harus segera keluar dari sini, sangat segera. Aku akan terus mencoba bergerak tapi ini sangat berbahaya."
Wynne memutuskan bahwa kembali ke Uni Soviet sangatlah berbahaya untuknya, tapi di musim gugur tahun 1962 dia mengikuti iring-iringan truk gandeng yang mengangkut mobil-mobil yang akan dipamerkan berkeliling di beberapa pusat pameran perdagangan di negara-negara komunis di Eropa Barat. Pada 2 November dia berada di Budapest, ibukota Hungaria. Dia menghabiskan malam yang indah dengan mengajak calon-calon pelanggan makan malam di restoran mahal, lalu kembali ke truknya. Di sinilah hidupnya tiba-tiba berubah.
Empat laki-laki keluar dari kegelapan. Semuanya gemuk dan pendek, menggunakan pakaian dan topi yang sama berwarna gelap. Mereka terlihat seperti pemain teater, tapi yang mereka lakukan jauh dari menghibur. Mereka mencengkeram lengan Wynne dan mendorongnya ke kursi belakang mobil. Wynne berteriak minta tolong, tapi sebuah tinju yang keras menghantam ginjalnya, seolah mengambil seluruh napas dari tubuhnya. Sebuah tongkat besi dihantamkan ke kepalanya dan dia merasa selembar kain hitam jatuh menutupinya.
Saat Wynne siuman, dia sudah berada di kantor polisi. Dunia seolah-olah berputar di depan matanya, dan dia kembali jatuh pingsan selama beberapa hari. Dia lalu dibawa ke Lubyanka, Markas Besar KGB di Moskwa, penjara yang paling ditakuti di Uni Soviet.
Di sini, KGB berusaha menghancurkan nyali Wynne. Dia diberi sebuah tempat tidur tanpa kasur dan selimut. Sebuah drum dari besi diletakkan di sisi lain dalam selnya, untuk digunakan sebagai toilet. Meskipun saat itu sedang musim dingin, penjaga penjara sesekali mengambil selimutnya. Begitu dinginnya sehingga tubuhnya serasa membeku jika menyentuh kerangka tempat tidurnya yang terbuat dari besi.
Tapi ternyata semua acara makan siang bisnis dan malam malam yang dilaluinya dengan menghibur klien, tidak membuat mantan intelijen di masa perang ini menjadi lemah. Wynne terbentuk sebagai orang yang keras, dan sungguh mengerti apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang yang menangkapnya. Dia terus bertahan mengatakan tidak melakukan kesalahan apapun, dan tetap menjaga cerita karangannya, dengan menyatakan bahwa dia adalah korban penipuan, yang tidak menyadari bahwa selama ini dia sudah menolong Dinas Rahasia Inggris. Meskipun telah melewati semua siksaan yang menyakitkan, dia tetap menolak untuk menandatangani surat pengakuan.
KGB sudah menangkap Penkovsky pada Oktober 1962, sebulan sebelum Wynne diculik. Kedua orang itu saling berpandangan untuk terakhir kali dalam persidangan mereka pada Mei 1963. Persidangan ini dimaksudkan sebagai pameran keadilan Soviet. Diselenggarakan di ruang pengadilan yang sangat luas, sang hakim duduk di bawah palu dan sabit berwarna merah dan emas yang sangat besar—lambang Uni Soviet. Kamera berputar dan para wartawan menulis dengan cepat ketika Penkovsky dan Wynne berdiri di tempat saksi.
Hakim memberikan keputusan. Wynne dijatuhi hukuman delapan tahun penjara. Sebagai warga negara Soviet dan seorang pengkhianat, Penkovsky tentu akan dijatuhi hukuman yang jauh lebih berat.
"Oleg Vladimirovich Penkovsky," sang hakim mengumumkan dengan suara lantang di tengah keheningan pengunjung sidang yang menunggu keputusannya, "dinyatakan bersalah atas pengkhianatannya terhadap ibu pertiwi. Dijatuhi hukuman mati, dan semua harta miliknya disita oleh negara."
Siksaan berat yang diberikan para interogator pada Penkovsky di hari terakhir hidupnya hanya dapat dibayangkan. Bagaimana nasib Penkovsky sebenarnya, sampai sekarang tetap menjadi sebuah misteri. Terdengar desas-desus, ketika KGB berusaha menguras semua informasi darinya, mereka membawa kolonel itu ke ruang bawah tanah dan memasukkannya secara perlahan-lahan ke dalam ruang pembakaran, dimulai dari kakinya. Mungkin itu hanyalah sebuah cerita untuk menakut-nakuti pejabat tinggi Soviet yang mulai berpikir untuk mengkhianati negaranya. Tapi, bisa juga cerita itu benar...
Kelanjutannya
Setelah persidangan, Wynne dikembalikan ke Lubyanka yang menyeramkan. Perlakuan para petugas di sana sangatlah kejam, hingga suatu saat dia pernah harus dibawa ke rumah sakit akibat kelaparan. Kemudian, pada April 1964, tiba-tiba dia diseret keluar dari selnya dan dinaikkan ke kereta-api, kemudian dilanjutkan dengan pesawat. Dia tidak tahu akan dibawa ke mana.
Suatu pagi, pukul 05.15. pada 22 April 1964, sebuah mobil Mercedes berwarna kuning membawa Wynne ke Checkpoint Heerstrasse, di sisi timur perbatasan antara Berlin Barat dan Timur. Pada saat yang sama, sebuah Mercedes hitam berhenti di sisi bagian barat. Seseorang melangkah keluar, Konon Molody, mata-mata Soviet yang dikenal dengan nama samara Gordon Lonsdale (baca juga "Lelaki Penuh Pesona" halaman lain dalam buku ini). Dia juga tertangkap dan dipenjara, dan sekarang akan ditukarkan dengan Greville Wynne. Dua orang ini berjalan melintasi perbatasan, ke arah berlawanan, menuju kebebasan masing-masing.
Pemerintah Inggris menolak mengakui Wynne sebagai mata-mata, dan tidak melakukan apapun untuk mengembalikan kehidupannya. Pihak Amerika memperlakukannya dengan lebih baik, mereka membayarnya $213.700 sebagai kompensasi atas penderitaan yang dia rasakan. Sayangnya, dia kehilangan sebagian besar uangnya dalam bisnis properti yang kurang berhasil.
Wynne menulis dua catatan tentang petualangannya. Kedua buku itu (The Man from Moscow, terbit 1967, dan The Man from Odessa, 1981), dikatakan mengandung banyak ketidaksesuaian cerita. Ia meninggal dunia pada 1990.
---
Nukilan dari buku:
TRUE SPY STORIES
Kisah Nyata Mata-Mata Dunia
Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming
" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246981/pedagang-dan-mata-mata-hebat" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650819065000) } } }