Intisari Plus - Ketika mengunjungi anak dan menantunya, Teresa mendapati pintu apartemen tidak terkunci. Ia pun menuju ke kamar dan menemukan putri dan suaminya itu sudah meninggal terbunuh. Pelakunya meninggalkan bukti berupa jaket putih.
------------------
Mengunjungi anak dan menantu yang tinggal di luar kota setelah sekian lama tidak bertemu, tentu merupakan kesempatan yang menyenangkan bagi seorang ibu. Itulah yang diangan-angankan Ny. Teresa Ambruzzi ketika ia menjenguk putrinya, Margherita di Turin, Italia, Minggu, 25 November 1979.
Sebagai ibu, ia amat berbahagia sudah berhasil mengentaskan putrinya. Meski tidak kaya, Paolo Nardin (27) sang Menantu Tampan, mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Yang penting, Margherita (23) sangat mencintai suaminya.
Raut muka gembira tak bisa disembunyikan Ny. Ambruzzi begitu ia menginjakkan kaki di depan apartemen kecil yang terletak di 53 via Pascolo, Turin, di Barta, sekitar pukul 11.00. Terdorong rasa kangen pada anaknya, ia buru-buru mengetuk pintu. Namun tidak segera terdengar jawaban.
Memang sebelumnya Margherita telah menelepon, mengabarkan kalau Sabtu ini, menjelang kedatangan sang ibu, dia dan Paolo mendapat undangan perkawinan temannya. Jadi, harap maklum kemungkinan ia masih tidur sewaktu ibunya datang.
Ny. Ambruzzi mengetuk pintu lebih keras lagi. Tapi tidak ada jawaban. la menggedor panel pintu dan memanggil nama putrinya dengan suara melengking. Dari jendela apartemen sebelah terdengar suara protes, “Astaga, Nyonya!”
Dengan agak kebingungan Ny. Ambruzzi memegang handel pintu. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Emosi Ny. Ambruzzi berubah dari perasaan bahagia menjadi khawatir dan bingung, bahkan tiba-tiba berubah menjadi takut. Hanya orang nekat saja yang berani tidur dengan pintu rumah tak terkunci. Apalagi Turin bukan salah satu kota yang dianggap aman.
Jantung wanita paruh baya ini mulai berdegup kencang. Setelah mendorong pintu ia segera masuk. Sejenak ia merasa lega. Di rumah yang sempit ini kado-kado perkawinan anaknya masih terserak di ruang tamu. Ruang keluarga dalam keadaan terbuka dan ia bahkan bisa melihat hadiah perkawinan darinya, seperangkat alat minum kopi dan teh dari perak yang hampir membuatnya bangkrut, dipajang di atas bufet. Tetapi tak ada tanda-tanda kehadiran penghuni rumah.
Firasat buruk segera menyergap benaknya. Perasaan khawatir, takut dan gelisah muncul begitu tahu rumah ternyata kosong. Ada apa gerangan yang terjadi? Ambruzzi melintas ruang keluarga dengan berjingkat-jingkat, seakan-akan ia takut membangunkan seseorang dan sesuatu. la mendorong pintu kamar tidur.
Kakinya tiba-tiba terasa lemas dan ia jatuh terkulai di lantai, pingsan. Inilah peristiwa mengerikan yang menjadi bukti kekhawatirannya sejak ia menemukan pintu apartemen tidak terkunci. Rasa kaget yang amat sangat serasa seperti pukulan palu yang menghantamnya dengan kekuatan penuh.
Ambruzzi tak bisa memastikan berapa lama ia pingsan di kamar tidur putrinya, tetapi menurut data pihak rumah sakit, telepon permintaan untuk dikirimi ambulans diterima tepat pada pukul 11.37. Rupanya Ny. Ambruzzi masih sempat memanggil ambulans daripada polisi karena dorongan naluri keibuannya yang tidak bisa menerima bahwa putri tercintanya sudah tewas, meskipun alam bawah sadarnya sudah mengetahui hal itu.
Kru ambulans menyadari hal itu begitu mereka memasuki kamar tidur tempat kejadian perkara (TKP). Meskipun demikian mereka tetap memeriksa denyut nadi dan jantung mayat. Tentu saja sudah tidak ada. Kedua mayat tersebut sudah dingin dan kaku. Kru ambulans pun mundur, meninggalkan kedua mayat itu tanpa mengusiknya sama sekali. Mereka mencurahkan perhatian untuk menenangkan Ny. Ambruzzi sambil menunggu kedatangan polisi.
Korban perkosaan
Tak lama kemudian polisi datang, tetapi unit pertama yang muncul hanya sebuah mobil patroli dan para petugas tidak bisa bertindak lebih selain mengonfirmasikan laporan terhadap kru ambulans bahwa pembunuhan itu terjadi di 53 via Pascolo di Barta.
Petugas bagian pembunuhan sedang dalam perjalanan. Tak lama setelah pukul 12.00 Inspektur Luciano Cavallo, Sersan detektif Mario Brisetti, dan dr. Roberto Andreotti memasuki kamar tidur di apartemen kecil itu.
Terlepas dari ketampanan dan kecantikan tubuh-tubuh mulus tak bernyawa tadi, pemandangan di depan polisi ini terkesan amat mengerikan bagi siapa pun yang melihatnya. Paolo dan Margherita Nardin adalah orang-orang muda yang menarik, bahkan setelah mereka meninggal. Paolo berada dalam posisi telentang di lantai di samping ranjang. Lengan kanannya menjulur ke arah Margherita, seakan-akan ia tetap berusaha menjangkau istrinya bahkan dalam keadaan mati.
Meski pakaian Paolo lengkap, tetapi robekan dan kusut di sana-sini menyiratkan seolah-olah ia baru saja berkelahi. Bagian depan kemejanya yang berwarna biru muda dipenuhi bercak cokelat tua dari darah kering dan sedikit cairan mengalir dari kedua sudut mulutnya. Kedua matanya terpejam.
Sementara istrinya tergeletak di ranjang dalam keadaan telanjang bulat dengan posisi klasik, orang yang menjadi korban perkosaan. Kedua kakinya ada dalam keadaan tertekuk ke belakang pada bagian lutut. Di paha dan lengannya terdapat luka hitam karena memar, tetapi hanya ada sedikit darah yang mengalir, sekitar 1 inci dari celah di antara kedua payudaranya.
"Ini bekas tusukan pisau lipat otomatis," kata dr. Andreotti yang bertubuh tinggi besar, berkulit kecokelatan, dan berpenampilan rapi dengan bibir terkatup. "Kena jantung atau sebuah pembuluh darah besar. Semua perdarahan terjadi secara internal."
Mata hitamnya yang tampak tanpa emosi menatap dari balik kacamata berbingkai emas, menunjukkan tingkat profesionalismenya. "Waktu kematiannya sekitar tengah malam tadi," sambungnya. "Penyebab kematian keduanya sebuah luka di dada akibat pisau bermata satu. Pisaunya pisau lipat otomatis, karena pisau belati akan menimbulkan luka dua sisi dan pisau yang lain akan meninggalkan luka lebih lebar."
"Aku pikir Margherita diperkosa," kata Inspektur yang bertubuh pendek kurus, berkulit gelap, berjanggut lebat dan punggung lengannya dipenuhi bulu-bulu hitam.
Dokter memeriksa organ seksual Margherita. "Positif," katanya. "la melawan dengan hebat sehingga si pemerkosa merusak organ seksualnya dengan cara penetrasi yang kasar. Di dalam vagina didapati bekas sperma."
"Pastilah si Pelaku seorang psikopat seks," kata Sersan setelah mengamati. Sama seperti orang-orang Italia dari daerah selatan, si Sersan berambut pirang, bermata biru, dan tampak santai. "Apakah saya harus menghubungi bagian data untuk mengumpulkan berbagai file mengenai para pelaku pelanggaran seksual?"
"Ya," kata Inspektur, "tetapi pertama-tama lihat dulu apakah kita bisa memperoleh gambaran mengenai apa yang terjadi di sini. Mungkin ada beberapa petunjuk yang bisa diolah komputer untuk menggambarkan profil pelakunya."
Hal ini perlu karena profil tersebut merupakan satu-satunya petunjuk bagi polisi untuk mengidentifikasi siapa kira-kira orang yang patut dicurigai melakukan tindak kriminal seksual yang menyimpang ini. Tak sama seperti berbagai tindak kriminal dengan motif-motif lain, sering kali tidak ada hubungan antara si Pembunuh dan korbannya.
Para ahli dari laboratorium polisi akan mencoba hal yang sama, tetapi Inspektur Cavallo lebih suka melakukan rekonstruksinya sendiri tanpa tergantung pada siapa-siapa.
Suaminya sedang pergi
“Tengah malam," demikian menurut analisis Cavallo. "Mereka mungkin sedang bersiap-siap pergi tidur. Bisa jadi Margherita dalam keadaan telanjang, menilik pakaiannya sudah terlipat rapi di atas kursi. Paolo masih berpakaian. Amati jika ada tanda-tanda masuk secara paksa, Marion."
Sersan kembali melaporkan, tidak terdapat tanda-tanda di pintu yang menyatakan ada orang masuk secara paksa.
"Baiklah," desak Inspektur. "Sederhananya si Pembunuh mengetuk pintu dan Paolo menjawabnya. Tapi apakah keduanya dihabisi di sini?"
“la pasti mendorong Paolo masuk ke kamar tidur dengan todongan pisau," kata Sersan, "tetapi saya tidak melihat bagaimana ia memerkosa dan menikam si Istri tanpa perlawanan dari suaminya. Tampaknya keduanya terlibat perkelahian."
"Mengingat terjadi perlawanan, si Istri tentu tidak akan diam saja di ranjang sementara si Pembunuh menghabisi suaminya," kata dokter. "Setidak-tidaknya, Margherita akan berteriak.”
“Mungkin si Suami tidak bisa berbuat apa-apa karena si Pembunuh mengancam leher istrinya dengan pisau," kata Inspektur.
"Tapi bagaimana caranya si istri melawan?" kata dokter. "la tidak akan dipaksa di bawah ancaman pisau karena ia seorang wanita muda yang kuat. Pembunuh itu pasti harus menggunakan kedua tangannya untuk menaklukkannya."
Setelah menganalisis itu suasana hening sejenak, sampai kemudian raungan sirene mobil van polisi memecah suasana. Mobil itu membawa para ahli dan teknisi.
“Satu-satunya kemungkinan yang bisa menjelaskan adalah, si Suami sedang keluar dari apartemen karena alasan tertentu. Saat itulah si pelaku masuk rumah. Dalam usaha memerkosa, Margherita berusaha mengadakan perlawanan. Pembunuh itu menikamnya. Berbareng dengan itu si Suami kembali. Maka terjadilah perkelahian antara si pembunuh dan Paolo. Untuk menghilangkan jejak akhirnya si Pembunuh menghabisi Paolo juga."
"Artinya, pelaku pasti mengenal mereka," kata Sersan. "Paling tidak ia sudah mengamati saat si Suami pergi dan ia tahu di apartemen itu ada seorang wanita muda sendirian."
"Kedengarannya masuk akal," kata Inspektur. "Jika memang demikian itu akan membuat pekerjaan kita lebih mudah."
Inspektur mengatakan itu dengan membuat perbandingan. Nyatanya pekerjaan itu tidak menjadi lebih mudah. Mungkin si Pembunuh sudah tahu siapa yang menjadi korbannya dan sesuatu mengenai mereka, tetapi itu tidak mesti berarti bahwa ia melakukan kontak yang bisa dilacak. Mungkin dia berada di dalam apartemen tidak lebih dari 20 menit atau setengah jam, dan ia takut menyentuh apa pun di situ. Meskipun jika ditemukan sidik jari, itu baru ada manfaatnya jika polisi memiliki data dirinya. Kelihatannya senjata yang digunakan dibawa pergi oleh si Pembunuh.
Petunjuk jaket putih
Tetapi menurut para teknisi di laboratorium, si Pembunuh telah meninggalkan sesuatu. Sebuah jaket kulit imitasi putih dengan tulisan merah AMERICA tercetak melintang di bagian punggung, ditemukan tergeletak di lantai dekat ranjang.
"Jaket itu bukan milik Nardin," kata ketua teknisi dalam laporan kepada Inspektur. "Ukurannya dua nomor lebih besar.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 lebih dan saat itu para penyelidik sudah mengumpulkan segala data yang diperlukan tentang kedua korban. Tapi tidak banyak. Paolo dan Margherita berasal dari keluarga kelas menengah dan keduanya sudah menyelesaikan pendidikan SMTP-nya dan Paolo sudah memiliki pekerjaan dengan hasil lumayan di sebuah perusahaan pergudangan. Mereka telah bertunangan selama dua tahun sebelum menikah.
Sebagai warga asli Turin, khususnya Barta, mereka memiliki banyak teman. Sepasang pasutri, yang sempat bertandang di rumah korban sebelum terjadi peristiwa pembunuhan ini memberikan kesaksian mereka kepada Sersan Brisetti. Sulit dipercaya bahwa hal itu ternyata memberi banyak masukan berharga untuk langkah penyelidikan selanjutnya. Yang mengejutkan, terpecahkan satu misteri utama: mengapa Paolo Nardin meninggalkan apartemen setelah para tamu itu tiba.
Mereka meninggalkan tempat itu kira-kira tengah malam dan dengan sopan Paolo menemani tamunya turun ke halaman di depan rumah sekalian mau melihat motornya. Ternyata motor Paolo yang diparkir di depan rumah saat mereka tiba sekitar pukul 20.00, telah hilang.
Paolo menduga motor itu dicuri. la nampak bingung, tetapi mereka menenangkannya, dengan berkata mungkin motor itu diambil oleh beberapa anak tetangga yang akan meninggalkannya jika bensinnya habis. Meski agak terhibur, Paolo mengaku akan segera mencari motor itu. Maklum, bensin motor tersebut tinggal sedikit dan akan segera habis. Terakhir kalinya mereka melihat Paolo turun ke arah via Pascolo.
“Lalu ke atas ke arah apartemennya, tentu saja, tidak dikunci," kata Sersan, "karena ia tidak berharap untuk pergi ke mana-mana. la segera kembali."
"Tak masuk akal," guman Inspektur. "Apakah hal itu secara sederhana bisa dibilang nasib buruk? Kenapa pembunuh itu hanya masuk ke satu-satunya pintu yang tidak dikunci di seluruh bangunan ini?"
"Tentu saja karena si Pembunuh tahu, di rumah itu ada wanita muda dan cantik," tambah Sersan. "Saya tidak melihat bagaimana hal itu bisa terjadi."
“Aku pun demikian," kata Inspektur. "Si Pembunuh tahu siapa yang tinggal di apartemen itu dan ia tahu bahwa Nardin akan keluar dan meninggalkan istrinya sendiri, karena ia sudah merancangnya. Dialah yang mengambil motor itu. Keluarkan perintah pada semua bagian untuk mencari motor itu. Kau harus berhasil memperoleh nomor lisensi dan deskripsi mengenai pendaftaran motor tersebut."
"Baiklah," kata Sersan. "Yang lain memeriksa dengan teliti lingkungan tetangga, siapa yang terlihat mengenakan jaket kulit imitasi berwarna putih yang bertuliskan kata AMERICA. Berapa lama Anda akan melanjutkannya?"
"Sampai mereka menemukan sesuatu," kata Inspektur dengan wajah muram.
Malam itu setelah mempelajari hasil autopsi yang dilakukan oleh dr. Andreotti, Inspektur bertambah yakin akan analisis yang mereka diskusikan. Hasilnya, Margherita telah diperkosa. la meninggal karena ditikam pada jantung dan paru-paru kirinya. Jarak waktu antara dua pembunuhan itu sangat pendek, sehingga sulit untuk mengatakan mana yang tewas lebih dulu. Senjata yang digunakan adalah sebuah pisau lipat otomatis.
"Tetap selidiki jaket dan motor itu," kata Inspektur. Aku ingin memperoleh hasilnya. Anak itu terlalu berbahaya jika sampai menghilang."
Pria gila seks
Tak ada jejak pencurian motor Paolo Nardin yang bisa ditelusuri, tetapi pada siang harinya Sersan datang bersama dua orang saksi potensial yang bisa memberi keterangan soal jaket putih itu.
Kedua orang itu adalah wanita yang sudah menikah, usianya masing-masing 31 dan 32 tahun. Mereka minta identitasnya tidak diumumkan, selain karena soal kesopanan, mereka takut pada si Pembunuh gila itu akan menghabisi mereka jika pernyataan mereka sampai ke telinganya.
Hari Sabtu siang, 24 November, menurut kedua wanita yang pernyataannya dibuat secara terpisah tetapi sama pada setiap detailnya, mereka mengunjungi Ny. Maria de Ronzo, seorang ibu rumah tangga berusia 29 tahun yang tinggal tidak jauh dari TKP.
Kedua wanita itu kawan lama Ny. de Ronzo, yang sudah mereka kenal sebelum menikah. Namun mereka tidak begitu kenal dengan suami Ny. de Ronzo, yang biasa mereka sebut "monster".
Jika cerita kedua wanita itu benar, laki-laki tersebut layak dicurigai. Sementara mereka mengobrol dengan Maria yang modis, suaminya tiba-tiba muncul di pintu dan dengan kasar menyuruh istrinya ikut dengannya.
Dengan segan dan takut Maria menuruti. Sang Suami membawanya ke sebuah meja di ruang sebelah, menelentangkannya di meja itu, dan serta-merta, maaf, menggaulinya dengan sangat brutal di mata para tamunya. Lantaran de Ronzo tidak peduli dengan keadaan sekeliling dan tidak sempat menutup pintu ruangan, sehingga kedua wanita itu bisa melihat apa yang terjadi.
De Ronzo kemudian pergi entah ke mana dan Maria kembali untuk melanjutkan pembicaraan. Setelah melihat peristiwa yang menakutkan tersebut, kedua wanita itu tidak merasa tenteram dan tak lama kemudian mereka pamit pulang.
Menurut kedua saksi itu, de Ronzo memakai jaket kulit imitasi berwarna putih dengan tulisan AMERICA berwarna merah di bagian punggungnya.
"Keluarga de Ronzo tinggal di 56 via Pascolo," kata Sersan. "Tempat itu langsung berseberangan dengan apartemen Nardin dan mereka tinggal setingkat lebih tinggi."
"Baiklah, aku harap dialah yang kita cari," kata Inspektur. "Kecuali kalau kedua wanita itu mempunyai dendam pribadi terhadap de Ronzo. Awasi dia dan amati apa yang bisa kau pelajari mengenai dirinya di lingkungan tetangga. Apakah ada data mengenai dirinya?"
Tidak ditemui data apa-apa mengenai de Ronzo, tetapi menurut apa yang dipelajari oleh Sersan dari lingkungan tetangganya, pasti ada data tentang de Ronzo. la dianggap sebagai iblis seks oleh hampir setiap wanita yang kenal dengannya. Beberapa wanita melaporkan bahwa ia beberapa kali gagal memerkosa mereka atau anak mereka. Dalam melampiaskan hawa nafsu, rupanya de Ronzo tak pernah membedakan usia calon korbannya. la berusaha untuk memerkosa korban dari segala tingkatan usia.
"Jika dibutuhkan percobaan," kata Sersan, "masih ada belasan pernyataan yang menyebutkan ia biasa memakai jaket kulit imitasi berwarna putih dengan tulisan AMERICA berwarna merah. Tapi kini ia tidak mengenakannya lagi."
"Bawa dia ke sini," kata Inspektur singkat.
Salah korban dan penyiar TV
De Ronzo, seorang laki-laki bertubuh pendek tetapi sangat berotot, ditahan dengan tuduhan membunuh Margherita dan Paolo Nardin.
Selain menyangkal semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, de Ronzo pun mengaku tidak tahu-menahu saat dihadapkan dengan jaket kulit imitasi berwarna putih dengan tulisan AMERICA di bagian punggungnya. Menurutnya, jaket itu bukanlah miliknya. la tidak pernah melihat jaket itu dan tak pernah memiliki jaket seperti itu.
Saat berbagai pernyataan dari para tetangganya dibacakan, ia menuduh mereka berusaha melibatkannya dalam kesulitan. Menurutnya, setiap orang di lingkungan tetangga membencinya, karena dia miskin.
Kenyataannya, de Ronzo tidaklah terlalu miskin daripada tetangganya, tetapi ia benar bahwa setiap orang membencinya. Selain sering bertengkar dan berlaku kasar, de Ronzo ditakuti sebagai tukang tinju dan bahkan istrinya sendiri memberikan kesaksian yang memberatkannya, dengan mengatakan bahwa ia ingin minta cerai sejak lama, tetapi takut suaminya akan membunuhnya jika ia mengatakan hal itu.
Menurut istrinya, de Ronzo terobsesi oleh seks dan selalu memanjakan dirinya terbawa oleh khayalan-khayalan seks yang tidak wajar. Maria juga memastikan bahwa suaminya telah memerkosa wanita-wanita di lingkungan tetangga yang tidak berani melapor kepada polisi, seperti yang disombongkannya kepada dirinya. Maria tidak tahu apa-apa mengenai pembunuhan keluarga Nardin, tetapi ia tidak meragukan kemampuan suaminya melakukan hal itu kepada pasangan tersebut. la tidak tahu di mana suaminya berada pada malam kejadian itu.
De Ronzo akhirnya mengaku setelah motor Paolo Nardin ditemukan di garasinya dan sebuah pisau lipat otomatis masih berlumuran darah ditemukan dari lubang gorong-gorong di belakang rumahnya.
Memang benar ia telah membunuh keluarga Nardin, tetapi itu bukan salahnya. Menurutnya, itu sebagian karena kesalahan keluarga Nardin sendiri dan sebagian lagi karena kesalahan program televisi. Lo, apa hubungannya? Penyiar di salah satu program TV malam itu berpakaian seksi dan wanita itu membuat dirinya gelisah. Dorongan nafsu setannya menggelegak, minta penyaluran.
Dalam keadaan gelisah ini ia melihat suami-istri Nardin tidak menutup gorden saat mereka telanjang sebelum bersiap tidur. Apalagi malam-malam sebelumnya de Ronzo sempat mengamati Margherita dalam keadaan telanjang atau setengah telanjang. Margherita adalah wanita yang sangat cantik dan penyiar televisi itu membuat de Ronzo teringat pada Margherita.
Saat melihat ke seberang jalan, de Ronzo memperoleh ide untuk mengalihkan perhatian Nardin dari apartemen dengan menyembunyikan motornya. Dipikirnya Nardin akan pergi mencari motornya. Perkiraannya ternyata tidak meleset.
Pada saat itu, sementara Nardin menemani tamunya turun dan akan melihat motornya, Margherita masuk ke kamar tidur dan menanggalkan pakaian sampai telanjang sebelum naik ke ranjang untuk menunggu Paolo.
De Ronzo mengamati hal ini dari jendelanya sendiri dan saat Paolo tidak kelihatan lagi, ia segera berlari menyeberangi jalan dan menaiki apartemen keluarga Nardin.
Pintu apartemen itu tidak dikunci. Margherita mendengar ia masuk dan memanggil, "Paolo? Cepat. Aku menunggumu."
De Ronzo masuk ke kamar tidur dan melepaskan jaketnya, karena ia pikir jaket itu akan mengganggu apa yang ada di benaknya.
Margherita, yang tidak mengenalnya saat ia dan Paolo pindah ke apartemen itu sebulan lebih awal, sangat heran dan marah sehingga ia tidak bisa berbuat apa-apa selain bertanya dengan tergagap, "Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?" sebelum laki-laki itu menindih tubuhnya dan tangannya dibekapkan ke mulut sehingga wanita itu tidak bisa berteriak.
Menyadari maksud laki-laki itu, Margherita menyerang seperti seekor singa betina dan berusaha mencakar lehernya. Karena tak sanggup harus membekap mulut wanita itu dengan sebelah tangannya dan menelikung kedua tangan Margherita, de Ronzo hilang kesabaran. la menghunus pisau lipat otomatisnya dan menikamnya. Kemudian Marherita masih berbaring dan tidak ada masalah lagi, kata de Ronzo dengan perasaan puas.
Sialnya, saat ia baru menyelesaikan hasratnya, Nardin kembali dan menerjangnya. Maka terjadilah perkelahian yang mengerikan, tetapi de Ronzo lebih kuat dan lebih berpengalaman dalam berkelahi. la segera mengarahkan lengan atasnya, menjepit Nardin ke lantai dan menghunjamkan pisau lipatnya ke dada korban.
De Ronzo merasa yakin sekarang polisi sudah mengetahui apa yang terjadi dan mereka setuju bahwa pembunuhan itu terjadi bukan karena kesalahannya. Jika Margherita tidak membuat kegaduhan dan bisa menahan diri satu menit saja, de Ronzo tidak akan membunuhnya. Begitu pula bila Nardin tidak menyerangnya, ia juga tidak akan menghabisi nyawanya. Menurutnya, pada dasarnya, hal itu adalah sesuatu yang sah untuk mempertahankan diri.
Polisi tentu saja tidak sependapat dengan de Ronzo. Begitu pun pengadilan. Tanggal 5 September 19890, Arturo de Ronzo yang pemarah itu dinyatakan bersalah melakukan percobaan perkosaan dengan kekerasan dan melakukan pembunuhan tanpa hal-hal yang meringankan. Karena itulah ia dijatuhi dua kali hukuman secara berbarengan yang panjangnya dua kali seumur hidup. (John Dunning)
" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350825/tergoda-penyiar-tv" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656531365000) } } }