array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3400611"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/berlutut-sebelum-dibunuh_alexand-20220803021145.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(135) "Tom Cooley pengunjung setia sebuah perpustakaan. Suatu hari ia tidak datang dan ditemukan meninggal di kubangan, disusul 2 korban lain."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/berlutut-sebelum-dibunuh_alexand-20220803021145.jpg"
      ["title"]=>
      string(24) "Berlutut Sebelum Dibunuh"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-03 14:12:11"
      ["content"]=>
      string(24592) "

Intisari Plus - Tom Cooley pengunjung setia sebuah perpustakaan. Suatu hari ia tidak datang dan ditemukan meninggal di kubangan, disusul 2 korban lain.

-------------------

Tak pernah bosan Susan Marsh membereskan buku-buku di rak. Buku dan rak yang dilihatnya saban hari. Rambutnya yang merah tergerai indah, bergerak ke sana kemari. Untuk ukuran kota kecil Northfield, wajahnya lumayan ayu. Karyawati perpustakaan swasta Flora Sloan itu sangat populer di kalangan para kutu buku. Pembawaannya yang ramah dan murah senyum menjadi trademark yang membuat orang betah berlama-lama ngobrol dengannya.

Sayangnya, beberapa hari terakhir keceriaan Susan agak terganggu. Salah satu konco kutu bukunya, Tom Cooley, raib entah ke mana. Susan merasakan sesuatu telah terjadi pada anak petani berusia 17 tahun, yang biasa dipanggil Tommy itu.

“Selama ini ia tak pernah terlambat mengembalikan buku,” bilang Susan pada dirinya sendiri. Terbayang badan Tommy yang bongsor, tapi lamban seperti John, ayahnya. Juga sorot matanya yang tajam, mirip sorot mata Sarah, ibu Tommy, yang meninggal akibat pneumonia pada musim dingin tahun lalu. 

Sejak kematian Sarah, John Cooley dan Tommy hidup dalam kepedihan. Namun, Susan tahu betul, mereka saling menyayangi, melebihi apa pun yang mereka miliki. Kasih sayang itulah yang membuat mereka perlahan dapat kembali hidup normal. Tommy bahkan mengaku tidak meneruskan kuliah, karena tidak ingin meninggalkan ayahnya sendirian. “Kalaupun ayah mengizinkan, saya tak bisa begitu saja menerimanya,” cetusnya.

“Tapi suatu saat nanti, kamu harus siap meninggalkan semuanya, Tom,” ujar Susan suatu kali. “Entahlah. Untuk saat ini saya belum sanggup berpisah dari Ayah,” jawab Tom. Susan menatap bocah di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu benar-benar anak baik, Tom,” batinnya berucap.

 

Pencarian dimulai 

Biasanya, Senin pertama tiap bulan menjadi jadwal Tommy mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya, sekaligus mengambil “amunisi” yang akan dilahap sebulan ke depan. Namun, Senin pertama November lalu Tommy sama sekali tak muncul. Karena penasaran, Jumatnya Susan mendatangi rumah John Cooley. Namun, rumah pertanian itu sepi dan terkunci. Tak ada tanda-tanda keberadaan Tommy dan ayahnya.

Besoknya, dengan kekhawatiran yang makin menjadi-jadi, Susan mengabarkan lenyapnya Tommy pada Lincoln Pearce, deputi sherif Northfield. Rowland, atasan Lincoln, sudah cukup berumur, sehingga orang lebih banyak mengadu pada sang deputi. Lincoln sendiri teman main Susan sejak kecil. Mereka sebenarnya saling mengagumi, kalau tak bisa dikatakan saling mencintai. Namun lucunya, keseharian mereka bak anjing dan kucing, tak pernah akur.

Susan merasa, Lincoln tidak pernah mau mendengarkannya. Sedangkan Lincoln menganggap Susan gadis muda yang tidak pernah beranjak dewasa. “Terakhir ketemu di jalan, kamu sombongnya minta ampun. Nengok ke arahku pun enggak,” sapa Lincoln, biasa dipanggil Linc.

“Siapa bilang aku enggak nengok? Kamu aja yang cuek,” potong Susan cepat. “Kamu jangan geer. Kedatanganku ke sini tak ada hubungannya dengan kamu. Tapi Tommy Cooley!”

“Apa yang dilakukan bocah itu? Mencuri koleksi bukumu, Susie,” ucap Lincoln.

“Ini peringatan terakhir. Jangan lagi memanggil aku Susie.”

“Oke. Silakan lanjutkan.” 

“Tommy hilang. Rumahnya juga sepi.”

“Lo, memangnya kamu enggak tahu. John sedang mencari tempat tinggal baru, jauh dari Northfield. Dia ingin lepas dari bayang-bayang kematian istrinya.”

“Tapi Tommy biasanya menjaga rumah, ‘kan?” 

“lya sih. Tapi mungkin saja dia sedang pergi ke pesta atau rumah pacarnya. Umurnya sudah tujuh belas tahun, ‘kan?”

“Heh, aku lebih kenal Tommy ketimbang kamu.”

Lincoln mengangkat alisnya tinggi-tinggi, lalu menyambar jaket. “Kalau aku terus di sini, kamu pasti tidak akan pernah berhenti bicara,” ujar Linc. Di tempat parkir, dia melirik mobil “baru tapi lama” milik Susan. “Bagus juga, tapi kayaknya aku sering melihatnya,” komentar Linc.

“Mobil ini dulu punya Pak Lafont. Dua minggu lalu dibeli Bu Flora. Tapi setelah Bu Flora mendapat Chevrolet kupe, mobil yang tua dihadiahkan padaku,” jelas Susan. Linc cuma manggut-manggut.

Segera mereka menyatroni rumah John Cooley. Kali ini rumah itu tak sepi lagi. Jip Cooley parkir di halaman depan.

“Hai, John!” panggil Linc pada tuan rumah yang menunggu di beranda.

“Anakku enggak ada di rumah, Linc. Sudah sejak tiga minggu lalu,” ucap John. Suaranya berat dan parau. 

“Susan baru saja lapor,” sahut Linc. 

“Di mana kira-kira dia, Nona Marsh?” 

“Saya justru ingin bertanya pada Anda, Pak John.” Cooley terdiam sejenak sebelum dikejutkan pertanyaan berikutnya dari Linc.

“Kapan terakhir kali kamu melihatnya, John?” 

“Tanggal 2 Oktober, saat aku berangkat ke York State.” 

“Tom tak meninggalkan catatan?” 

“Tidak,” napas John tampak mulai tidak teratur.

“Jangan khawatir, John. Aku akan berusaha menemukan Tommy. Sue, kamu bilang tadi, terakhir melihat Tommy pada Senin pertama bulan Oktober?”

Susan mengangguk. “Tanggal 3 Oktober” 

“Ada barang Tommy yang hilang, John?” 

“Hanya senapan berburu.” 

Linc berpikir sejenak. 

“Kamu mau kami mengatur pencarian?” 

John tak menjawab, tapi kepalanya mengangguk.

 

Pencarian dihentikan

Kantor sherif kemudian membentuk tim yang selama beberapa hari melakukan pencarian terhadap Tommy. Hampir semua lelaki Northfield bergabung. Mereka dibagi dalam kelompok kecil, yang menyebar hingga ke tempat-tempat yang diduga didatangi Tommy. Namun, setelah berlangsung 10 hari, usaha itu tak juga membuahkan hasil. Sampai akhirnya, turun salju pertama, pertanda datangnya musim dingin.

Medan yang makin sulit membuat pencarian terpaksa dihentikan. Sebagai gantinya, Linc menyebarkan informasi hilangnya Tommy lewat koran, radio, dan televisi. FBI pun dimintai bantuan. Namun, sampai berbulan-bulan kemudian, Tommy dan senjata berburunya masih tetap tak terlacak. 

“Bahkan menetapkan kapan Tom mulai hilang saja kita tak mampu,” ujar Lincoln. “Kita hanya tahu dia menghilang antara tanggal 3 Oktober sampai sekitar awal November. Tak lebih dari itu,” tambahnya.

“Tapi dia pasti ada di suatu tempat, Linc. Setahuku, Tommy bukan anak yang suka kabur begitu saja tanpa sebab. Dia sangat bertanggung jawab,” Susan mencoba memberi semangat. Dia berharap, ucapannya tadi membuat Linc memujinya sebagai gadis yang tak mengenal kata putus asa. Tapi seperti biasa, jawaban Linc selalu bikin keki.

“Susie. Bagaimana kalau kamu saja yang mengenakan lencana dan menyandang pistol ini, sementara aku menunggui perpustakaan?” 

“Dasar lelaki tak berperasaan,” umpat Susan dalam hati.

Pertengahan Desember, Susan menyempatkan diri mengunjungi rumah Tommy lagi. Penampilan terakhir John membuatnya terenyuh. Bapak yang tak putus dirundung malang itu tampak kacau. Kulitnya yang dulu merah dan segar, kini pucat keabuan. Tubuhnya loyo. “Pak John, saya bawakan Anda blueberry pie. Saya ingat, Tommy pernah bilang, Anda sangat suka kue ini.” John memandang pie yang dibawa Susan. “Tommy memang anak baik.”

“Kami ingin Anda datang ke gereja lagi, Pak John. Jangan menyendiri terus,” bilang Susan lirih.

“Saya harus terus menunggu Tommy. Tuhan tidak akan merenggutnya dari saya tanpa tanda-tanda. Saya percaya, dia akan pulang, Susan,” suara John parau tapi tegas.

John benar, Tommy akhirnya memang “pulang”. Dingin benar-benar menyengsarakan. Banyak sarana umum rusak, sementara ribuan hektar tanah pertanian diterjang banjir. Salah satu fasilitas umum yang rusak parah adalah jalan raya Northfield - Valley. Genangannya meluas sampai beberapa mil. 

Di beberapa tempat, timbulkan lubang besar yang cukup riskan jika dilalui kendaraan. Di salah satu kubangan itulah, sekitar 2 mil dari rumahnya, Tommy ditemukan. Petugas Dinas Pekerjaan Umum yang menemukannya.

Susan yang dikabari beberapa warga langsung memacu Buick-nya. Di lokasi penemuan, warga sudah ramai. Dari jauh Susan menyaksikan pemandangan yang sangat menyayat hati, John Cooley tampak berlutut, seperti orang yang tengah berdoa, di pinggir kubangan yang selama ini menjadi kuburan sementara anaknya. Di sisi lain, Linc dan kawan-kawan membarikade kubangan dari warga yang hendak melihat mayat Tommy dari dekat.

Tak jauh dari tubuh Tommy ditemukan senapan berburunya. Mata John tampak tak hanya awas memandangi tubuh Tommy yang belepotan lumpur. Namun, juga benda-benda di sekitarnya. Dia mengambil kancing jaket, sejumput rumput, dan beberapa pecahan kaca. Linc yang mencoba mengamankan barang-barang bukti itu, ditepis John dengan kasar. Sang deputi sherif akhirnya mengalah saja. John mungkin memerlukan barang-barang itu sebagai penebus kepedihan hatinya yang tak terkira.

“Senapan itu betul milik Tommy?” tanya Susan pada Linc, setelah kerumunan orang mulai berkurang. Linc mengangguk pelan. “Senapan itu dipastikan milik Tommy. Yang belum dapat dipastikan, penyebab luka di kepalanya. Masih harus menunggu analisis dr. Buxton. Prosesnya bisa berbulan-bulan,” katanya menyebut dokter yang datang ke tempat kejadian. “Buxton juga bilang, mungkin Tommy sudah meninggal lima hingga enam bulan lalu,” imbuh Linc.

Saat ditemukan, bagian belakang kepala Tommy memang tampak terluka parah. Seperti terkena hantaman keras, sangat keras. Saking kerasnya, kepala Tom nyaris berlubang. Tampaknya, serangan dari belakang itu sama sekali tak diantisipasi anak John Cooley itu. Soalnya, senapan berburu Tommy tak menunjukkan tanda-tanda digunakan saat kejadian. 

“Linc, boleh aku membantu?”

“Dengan cara bagaimana, Susie!? Ini pekerjaan lelaki, perempuan sebaiknya enggak ikut campur,” sambung Lincoln cepat. Tak dipedulikannya wajah Susan yang cemberut. “Menyebalkan, mau membantu kok malah dibentak-bentak,” batin Susan.

 

Belum punya pacar

Tommy Cooley sudah dikebumikan di pekuburan tua Northfield, persis di sebelah makam ibunya. Namun, berminggu-minggu setelah itu, Susan masih saja membicarakan bocah kesayangannya itu. “Sudahlah, orang lain bisa kamu bohongi, tapi aku orang tua. Aku tahu, sebenarnya bukan Tommy yang membuat kamu tidak bisa melupakan kasus ini. Tapi karena Linc, ‘kan?” tegas Bu Flora, pemilik perpustakaan.

Susan tertawa renyah, “Bu, ini kasus serius. Kok malah ngomongin hal-hal romantis,” sergahnya.

“Ah, itu kilah usang!” balas Bu Flora. Di tempat terpisah, Lincoln tengah gelisah. Sejauh ini, tak satu pun petunjuk mengarah langsung pada pembunuh anak malang itu. Apalagi Tommy ditemukan dalam keadaan tertutup lumpur dan terendam air selama berbulan-bulan. Tak ada saksi mata yang melihat Tommy setelah tanggal 3 Oktober. Jadi, kapan persisnya anak itu meninggal, masih menjadi misteri besar.

Motif pembunuhan juga masih simpang siur. Tak ada unsur perampokan, karena ratusan dolar uang saku dari John masih tersimpan rapi di dompet. Linc yang menanyai kawan-kawan, guru-guru, serta beberapa anak petani yang kenal dengan Tommy mendapatkan fakta yang kurang memuaskan. Tommy tak punya musuh atau pacar. Kehidupannya benar-benar lurus.

Sampai akhirnya, suatu malam di akhir Mei, di tengah keputusasaannya, Linc mendatangi rumah Susan. Gadis manis itu hampir tak percaya, Linc mau singgah ke rumahnya. “Silakan duduk, orang asing,” sambut Susan seperti biasa, dingin.

“Bagaimana pekerjaanmu?” 

“Baik,” jawab Linc tanpa ekspresi. “Susie ....”

“Susan, bukan Susie!” 

“Kenapa sih kamu selalu bersikap seperti anak kecil?”

“Aku? Kayak anak kecil?” 

“lya, apa saja yang kukatakan selalu salah. Kenapa kamu enggak bisa bersikap lebih dewasa?” 

“Linc, aku enggak berminat bicara soal kedewasaan atau yang Iain-Iain. Aku cuma mau kita membicarakan kasus Tom. Atau kamu kutinggal tidur!”

“Oke. Harus aku akui, belum ada titik terang.”

Belum sempat Susan melanjutkan pertanyaannya, tiba-tiba telepon berdering. 

“Buat kamu, dari bartender di Frenchy Lafont,” Susan menyodorkan gagang telepon.

“Ada apa, Bib?” sapa Lincoln. 

Sejenak mereka terlibat pembicaraan. Wajah Linc terlihat serius. Mulanya Susan tak ingin tahu. Tapi ketika Linc dengan terburu-buru berkata, “Baik, aku akan segera ke sana,” Susan merasa sesuatu yang buruk baru saja terjadi. 

“Ada apa Linc?” 

“Pembunuhan lagi. Frenchy Lafont.” 

“Lafont si pemilik bar?”

“Ya. Bagian belakang kepalanya luka parah, seperti dihantam sesuatu.” 

“Seperti Tommy?” 

“Mayatnya bahkan ditaruh tepat di kubangan tempat Tommy ditemukan.” 

Susan menarik napas panjang. Tidurnya pasti tak akan nyenyak malam ini.

 

Flora Sloan menyusul

“Kawan-kawan, aku mengenal Frenchy dengan baik. Begitu juga Anda semua. Kami akan menemukan pembunuhnya, jika Anda semua tetap percaya pada karma. Sekarang saatnya untuk pulang,” Linc “berpidato” di hadapan warga kota yang terlihat risau menyaksikan dua pembunuhan dalam beberapa bulan terakhir. Apalagi dengan modus yang sama kejamnya.

“Sama seperti kau menemukan pembunuh anakku?” balas John Cooley, disambut teriakan, lebih tepatnya dukungan warga yang lain. 

“Pulanglah John,” jawab Linc tegas. 

“Ya, pulanglah John. Atau kami akan mendapatimu terbunuh seperti Tommy,” sambar Wes Bartlet sinis.

“Ocehanmu tidak membantu, Bartlet. Oke, kalau memang kalian menganggap aku tak mampu lagi menjadi deputi sherif, silakan ambil ini,” ujar Linc sembari mencopot lencananya.

Beberapa saat suasana hening. Sebelum akhirnya, satu demi satu warga mundur teratur. Celakanya, adegan tadi terulang lagi dua malam kemudian. Linc kembali harus berhadapan dengan massa yang marah, takut, dan tak sabar. Karena Frenchy ternyata bukan korban terakhir. Bu Flora Sloan mengalami nasib serupa, meninggal dengan luka yang sama, ditemukan di kubangan yang sama.

Sialnya, Linc lagi-lagi tak menemukan petunjuk berarti dari dua pembunuhan terakhir. Seperti Tommy, Lafont dan Flora tak dirampok, karena dompet mereka ditemukan utuh. Bujangan lapuk Lafont tinggal bersama ibunya yang telah renta dan tak tahu apa pun tentang aktivitas anaknya. Mobil Lafont sendiri ditemukan tak jauh dari kubangan, dalam kondisi bersih, tak ada bekas luka atau sidik jari si pembunuh. Tampaknya, Lafont mengenal baik pembunuhnya.

Sedangkan Bu Flora, aristokrat penting Northfield, dibunuh sepulang menghadiri pertemuan di gereja. Perempuan tua energik ini selalu mengemudikan sendiri Chevroletnya. Dia juga dikenal sebagai pengemudi yang tak pernah ingin ditumpangi orang lain. Jadi, kecil kemungkinan ada orang lain menumpang padanya selama perjalanan. Satu-satunya kemungkinan, Bu Flora dicegat di tengah jalan oleh orang yang dikenalnya.

Sejak pembunuhan Bu Flora, waktu berjalan begitu cepat buat Lincoln. la dituntut segera memecahkan misteri pembunuhan berantai ini. Jika tidak, teror akan membuat warga kota saling mencurigai dan tak percaya lagi pada aparat. Kemarin malam, Sanford Brown, sesepuh Northfield sempat mengumpulkan seluruh warga kota untuk mendengarkan perkembangan penyelidikan yang dilakukan kantor sherif.

Dalam pertemuan itu, bos Linc, sherif Rowland, bersikukuh mempertahankan anak buahnya di posisi sekarang. “Anak itu boleh terus jadi deputi. Tapi ketika ada pembunuhan lagi, kita harus membuat kelompok bersenjata yang berkeliling kota saban malam, sampai pembunuhnya tertangkap,” celoteh seorang warga yang marah.

 

Rahasia kantung merah

Ada satu fakta menarik yang mengganggu Linc. Tampaknya, Lafont dan Sloan dipaksa berlutut sebelum dibunuh. Terlihat jelas dari kotoran di lutut mereka. Linc jadi ingat, John selalu berdoa sambil berlutut, ketika ia beberapa kali berkunjung ke rumahnya. John juga berlutut di depan kubangan Tom. “Tampaknya, ada yang harus dikonfirmasi dari John Cooley,” kata Linc dalam hati. Meski hati kecilnya berharap, John bukan dalang dari semua kekacauan ini.

Rumah John tampak sepi. Jipnya tak ada di garasi. “Seperti warga kota lainnya, dia pasti sedang berjaga-jaga di dekat kubangan,” batin Linc. Namun, ia terkejut melihat pintu depan rumah tak terkunci. Dengan bantuan lampu senter, Linc masuk. Cukup lama ia mengamati ruang tamu, sebelum akhirnya beralih ke kamar tidur. Tak ada barang istimewa, kecuali sebuah kantung kain berwarna merah.

Dari kantung itu, Linc mendapati kancing jaket, rumput kering, dan pecahan kaca. Semuanya barang-barang yang berada di kubangan, saat Tommy ditemukan. Setelah dibersihkan, pecahan kaca itu kini bisa terlihat lebih jelas. “Sepertinya, bagian kaca lampu depan mobil tua. Bukankah lampu depan mobil Buick milik Susan juga rusak? Bahkan sampai sekarang, gadis itu tak pernah memperbaikinya. Berarti ..., Susan!” pekik Linc seperti orang kesurupan.

Pada saat bersamaan, John Cooley berdiri di ambang pintu rumah Susan, bersiap mengejutkan gadis yang sedang berbaring di ruang tamu itu. John berhasil. Susan memang kaget bukan alang kepalang. “Berlututlah, Nona Marsh! Berdoalah kepada Tuhan, mohon ampun agar semua dosa Anda diampuni,” perintah John dengan suara baritonnya. Tangannya memegang senjata berburu Tommy yang bergagang baja.

“Pak John, bukan Anda yang membunuh Tommy, ‘kan?” 

“Menurut Anda, siapa yang membunuh Tommy?” 

“Siapa, Pak John?” 

“Anda sendiri!” sambar John, sembari bersiap mengacungkan popor senapan ke bagian belakang kepala Susan yang berlutut ketakutan. 

“Aku tahu apa yang tidak diketahui sherif, Nona Marsh. Tommy korban tabrak lari sebuah mobil tua. Aku masih menyimpan pecahan kaca penutup lampu Buick Anda.” Percuma Susan menjelaskan, Buick keluaran 1940 itu dulu kepunyaan Lafont, lalu dijual pada Flora Sloan (yang hanya memakainya beberapa minggu), sebelum sampai ke tangannya. Semuanya terjadi di bulan Oktober.

“Aku tahu yang Anda pikirkan. Tapi aku tak bisa memastikan siapa pembunuh sebenarnya di antara kalian. Jadi, akan lebih adil kalau kalian semua aku bunuh.”

Susan ingin berteriak betapa sayangnya ia pada Tommy. Namun, kerongkongannya seperti tersekal batu besar. Setelah itu, ia cuma ingat, John mengangkat popor senapan, bersamaan dengan masuknya seorang lelaki bertubuh atletis dari pintu depan. Bammm, bumi pun gonjang-ganjing!

Ketika Susan terbangun dari pingsan, Lincoln sudah duduk di pinggir tempat tidur. “Aku mencintaimu, Susie, eh, Susan. Mau ‘kan kamu menikah denganku?” tembak sang deputi. Susan menutup kembali matanya, dan menjawab, “Kenapa enggak dari dulu kamu bilang itu.” Sejak itu, tak ada lagi perdebatan di antara mereka, kecuali satu hal: siapa sebenarnya pelaku tabrak lari terhadap Tommy. Frenchy Lafont atau Flora Sloan? 





" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400611/berlutut-sebelum-dibunuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659535931000) } } }