Intisari Plus - Tom Cooley pengunjung setia sebuah perpustakaan. Suatu hari ia tidak datang dan ditemukan meninggal di kubangan, disusul 2 korban lain.
-------------------
Tak pernah bosan Susan Marsh membereskan buku-buku di rak. Buku dan rak yang dilihatnya saban hari. Rambutnya yang merah tergerai indah, bergerak ke sana kemari. Untuk ukuran kota kecil Northfield, wajahnya lumayan ayu. Karyawati perpustakaan swasta Flora Sloan itu sangat populer di kalangan para kutu buku. Pembawaannya yang ramah dan murah senyum menjadi trademark yang membuat orang betah berlama-lama ngobrol dengannya.
Sayangnya, beberapa hari terakhir keceriaan Susan agak terganggu. Salah satu konco kutu bukunya, Tom Cooley, raib entah ke mana. Susan merasakan sesuatu telah terjadi pada anak petani berusia 17 tahun, yang biasa dipanggil Tommy itu.
“Selama ini ia tak pernah terlambat mengembalikan buku,” bilang Susan pada dirinya sendiri. Terbayang badan Tommy yang bongsor, tapi lamban seperti John, ayahnya. Juga sorot matanya yang tajam, mirip sorot mata Sarah, ibu Tommy, yang meninggal akibat pneumonia pada musim dingin tahun lalu.
Sejak kematian Sarah, John Cooley dan Tommy hidup dalam kepedihan. Namun, Susan tahu betul, mereka saling menyayangi, melebihi apa pun yang mereka miliki. Kasih sayang itulah yang membuat mereka perlahan dapat kembali hidup normal. Tommy bahkan mengaku tidak meneruskan kuliah, karena tidak ingin meninggalkan ayahnya sendirian. “Kalaupun ayah mengizinkan, saya tak bisa begitu saja menerimanya,” cetusnya.
“Tapi suatu saat nanti, kamu harus siap meninggalkan semuanya, Tom,” ujar Susan suatu kali. “Entahlah. Untuk saat ini saya belum sanggup berpisah dari Ayah,” jawab Tom. Susan menatap bocah di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu benar-benar anak baik, Tom,” batinnya berucap.
Pencarian dimulai
Biasanya, Senin pertama tiap bulan menjadi jadwal Tommy mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya, sekaligus mengambil “amunisi” yang akan dilahap sebulan ke depan. Namun, Senin pertama November lalu Tommy sama sekali tak muncul. Karena penasaran, Jumatnya Susan mendatangi rumah John Cooley. Namun, rumah pertanian itu sepi dan terkunci. Tak ada tanda-tanda keberadaan Tommy dan ayahnya.
Besoknya, dengan kekhawatiran yang makin menjadi-jadi, Susan mengabarkan lenyapnya Tommy pada Lincoln Pearce, deputi sherif Northfield. Rowland, atasan Lincoln, sudah cukup berumur, sehingga orang lebih banyak mengadu pada sang deputi. Lincoln sendiri teman main Susan sejak kecil. Mereka sebenarnya saling mengagumi, kalau tak bisa dikatakan saling mencintai. Namun lucunya, keseharian mereka bak anjing dan kucing, tak pernah akur.
Susan merasa, Lincoln tidak pernah mau mendengarkannya. Sedangkan Lincoln menganggap Susan gadis muda yang tidak pernah beranjak dewasa. “Terakhir ketemu di jalan, kamu sombongnya minta ampun. Nengok ke arahku pun enggak,” sapa Lincoln, biasa dipanggil Linc.
“Siapa bilang aku enggak nengok? Kamu aja yang cuek,” potong Susan cepat. “Kamu jangan geer. Kedatanganku ke sini tak ada hubungannya dengan kamu. Tapi Tommy Cooley!”
“Apa yang dilakukan bocah itu? Mencuri koleksi bukumu, Susie,” ucap Lincoln.
“Ini peringatan terakhir. Jangan lagi memanggil aku Susie.”
“Oke. Silakan lanjutkan.”
“Tommy hilang. Rumahnya juga sepi.”
“Lo, memangnya kamu enggak tahu. John sedang mencari tempat tinggal baru, jauh dari Northfield. Dia ingin lepas dari bayang-bayang kematian istrinya.”
“Tapi Tommy biasanya menjaga rumah, ‘kan?”
“lya sih. Tapi mungkin saja dia sedang pergi ke pesta atau rumah pacarnya. Umurnya sudah tujuh belas tahun, ‘kan?”
“Heh, aku lebih kenal Tommy ketimbang kamu.”
Lincoln mengangkat alisnya tinggi-tinggi, lalu menyambar jaket. “Kalau aku terus di sini, kamu pasti tidak akan pernah berhenti bicara,” ujar Linc. Di tempat parkir, dia melirik mobil “baru tapi lama” milik Susan. “Bagus juga, tapi kayaknya aku sering melihatnya,” komentar Linc.
“Mobil ini dulu punya Pak Lafont. Dua minggu lalu dibeli Bu Flora. Tapi setelah Bu Flora mendapat Chevrolet kupe, mobil yang tua dihadiahkan padaku,” jelas Susan. Linc cuma manggut-manggut.
Segera mereka menyatroni rumah John Cooley. Kali ini rumah itu tak sepi lagi. Jip Cooley parkir di halaman depan.
“Hai, John!” panggil Linc pada tuan rumah yang menunggu di beranda.
“Anakku enggak ada di rumah, Linc. Sudah sejak tiga minggu lalu,” ucap John. Suaranya berat dan parau.
“Susan baru saja lapor,” sahut Linc.
“Di mana kira-kira dia, Nona Marsh?”
“Saya justru ingin bertanya pada Anda, Pak John.” Cooley terdiam sejenak sebelum dikejutkan pertanyaan berikutnya dari Linc.
“Kapan terakhir kali kamu melihatnya, John?”
“Tanggal 2 Oktober, saat aku berangkat ke York State.”
“Tom tak meninggalkan catatan?”
“Tidak,” napas John tampak mulai tidak teratur.
“Jangan khawatir, John. Aku akan berusaha menemukan Tommy. Sue, kamu bilang tadi, terakhir melihat Tommy pada Senin pertama bulan Oktober?”
Susan mengangguk. “Tanggal 3 Oktober”
“Ada barang Tommy yang hilang, John?”
“Hanya senapan berburu.”
Linc berpikir sejenak.
“Kamu mau kami mengatur pencarian?”
John tak menjawab, tapi kepalanya mengangguk.
Pencarian dihentikan
Kantor sherif kemudian membentuk tim yang selama beberapa hari melakukan pencarian terhadap Tommy. Hampir semua lelaki Northfield bergabung. Mereka dibagi dalam kelompok kecil, yang menyebar hingga ke tempat-tempat yang diduga didatangi Tommy. Namun, setelah berlangsung 10 hari, usaha itu tak juga membuahkan hasil. Sampai akhirnya, turun salju pertama, pertanda datangnya musim dingin.
Medan yang makin sulit membuat pencarian terpaksa dihentikan. Sebagai gantinya, Linc menyebarkan informasi hilangnya Tommy lewat koran, radio, dan televisi. FBI pun dimintai bantuan. Namun, sampai berbulan-bulan kemudian, Tommy dan senjata berburunya masih tetap tak terlacak.
“Bahkan menetapkan kapan Tom mulai hilang saja kita tak mampu,” ujar Lincoln. “Kita hanya tahu dia menghilang antara tanggal 3 Oktober sampai sekitar awal November. Tak lebih dari itu,” tambahnya.
“Tapi dia pasti ada di suatu tempat, Linc. Setahuku, Tommy bukan anak yang suka kabur begitu saja tanpa sebab. Dia sangat bertanggung jawab,” Susan mencoba memberi semangat. Dia berharap, ucapannya tadi membuat Linc memujinya sebagai gadis yang tak mengenal kata putus asa. Tapi seperti biasa, jawaban Linc selalu bikin keki.
“Susie. Bagaimana kalau kamu saja yang mengenakan lencana dan menyandang pistol ini, sementara aku menunggui perpustakaan?”
“Dasar lelaki tak berperasaan,” umpat Susan dalam hati.
Pertengahan Desember, Susan menyempatkan diri mengunjungi rumah Tommy lagi. Penampilan terakhir John membuatnya terenyuh. Bapak yang tak putus dirundung malang itu tampak kacau. Kulitnya yang dulu merah dan segar, kini pucat keabuan. Tubuhnya loyo. “Pak John, saya bawakan Anda blueberry pie. Saya ingat, Tommy pernah bilang, Anda sangat suka kue ini.” John memandang pie yang dibawa Susan. “Tommy memang anak baik.”
“Kami ingin Anda datang ke gereja lagi, Pak John. Jangan menyendiri terus,” bilang Susan lirih.
“Saya harus terus menunggu Tommy. Tuhan tidak akan merenggutnya dari saya tanpa tanda-tanda. Saya percaya, dia akan pulang, Susan,” suara John parau tapi tegas.
John benar, Tommy akhirnya memang “pulang”. Dingin benar-benar menyengsarakan. Banyak sarana umum rusak, sementara ribuan hektar tanah pertanian diterjang banjir. Salah satu fasilitas umum yang rusak parah adalah jalan raya Northfield - Valley. Genangannya meluas sampai beberapa mil.
Di beberapa tempat, timbulkan lubang besar yang cukup riskan jika dilalui kendaraan. Di salah satu kubangan itulah, sekitar 2 mil dari rumahnya, Tommy ditemukan. Petugas Dinas Pekerjaan Umum yang menemukannya.
Susan yang dikabari beberapa warga langsung memacu Buick-nya. Di lokasi penemuan, warga sudah ramai. Dari jauh Susan menyaksikan pemandangan yang sangat menyayat hati, John Cooley tampak berlutut, seperti orang yang tengah berdoa, di pinggir kubangan yang selama ini menjadi kuburan sementara anaknya. Di sisi lain, Linc dan kawan-kawan membarikade kubangan dari warga yang hendak melihat mayat Tommy dari dekat.
Tak jauh dari tubuh Tommy ditemukan senapan berburunya. Mata John tampak tak hanya awas memandangi tubuh Tommy yang belepotan lumpur. Namun, juga benda-benda di sekitarnya. Dia mengambil kancing jaket, sejumput rumput, dan beberapa pecahan kaca. Linc yang mencoba mengamankan barang-barang bukti itu, ditepis John dengan kasar. Sang deputi sherif akhirnya mengalah saja. John mungkin memerlukan barang-barang itu sebagai penebus kepedihan hatinya yang tak terkira.
“Senapan itu betul milik Tommy?” tanya Susan pada Linc, setelah kerumunan orang mulai berkurang. Linc mengangguk pelan. “Senapan itu dipastikan milik Tommy. Yang belum dapat dipastikan, penyebab luka di kepalanya. Masih harus menunggu analisis dr. Buxton. Prosesnya bisa berbulan-bulan,” katanya menyebut dokter yang datang ke tempat kejadian. “Buxton juga bilang, mungkin Tommy sudah meninggal lima hingga enam bulan lalu,” imbuh Linc.
Saat ditemukan, bagian belakang kepala Tommy memang tampak terluka parah. Seperti terkena hantaman keras, sangat keras. Saking kerasnya, kepala Tom nyaris berlubang. Tampaknya, serangan dari belakang itu sama sekali tak diantisipasi anak John Cooley itu. Soalnya, senapan berburu Tommy tak menunjukkan tanda-tanda digunakan saat kejadian.
“Linc, boleh aku membantu?”
“Dengan cara bagaimana, Susie!? Ini pekerjaan lelaki, perempuan sebaiknya enggak ikut campur,” sambung Lincoln cepat. Tak dipedulikannya wajah Susan yang cemberut. “Menyebalkan, mau membantu kok malah dibentak-bentak,” batin Susan.
Belum punya pacar
Tommy Cooley sudah dikebumikan di pekuburan tua Northfield, persis di sebelah makam ibunya. Namun, berminggu-minggu setelah itu, Susan masih saja membicarakan bocah kesayangannya itu. “Sudahlah, orang lain bisa kamu bohongi, tapi aku orang tua. Aku tahu, sebenarnya bukan Tommy yang membuat kamu tidak bisa melupakan kasus ini. Tapi karena Linc, ‘kan?” tegas Bu Flora, pemilik perpustakaan.
Susan tertawa renyah, “Bu, ini kasus serius. Kok malah ngomongin hal-hal romantis,” sergahnya.
“Ah, itu kilah usang!” balas Bu Flora. Di tempat terpisah, Lincoln tengah gelisah. Sejauh ini, tak satu pun petunjuk mengarah langsung pada pembunuh anak malang itu. Apalagi Tommy ditemukan dalam keadaan tertutup lumpur dan terendam air selama berbulan-bulan. Tak ada saksi mata yang melihat Tommy setelah tanggal 3 Oktober. Jadi, kapan persisnya anak itu meninggal, masih menjadi misteri besar.
Motif pembunuhan juga masih simpang siur. Tak ada unsur perampokan, karena ratusan dolar uang saku dari John masih tersimpan rapi di dompet. Linc yang menanyai kawan-kawan, guru-guru, serta beberapa anak petani yang kenal dengan Tommy mendapatkan fakta yang kurang memuaskan. Tommy tak punya musuh atau pacar. Kehidupannya benar-benar lurus.
Sampai akhirnya, suatu malam di akhir Mei, di tengah keputusasaannya, Linc mendatangi rumah Susan. Gadis manis itu hampir tak percaya, Linc mau singgah ke rumahnya. “Silakan duduk, orang asing,” sambut Susan seperti biasa, dingin.
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Baik,” jawab Linc tanpa ekspresi. “Susie ....”
“Susan, bukan Susie!”
“Kenapa sih kamu selalu bersikap seperti anak kecil?”
“Aku? Kayak anak kecil?”
“lya, apa saja yang kukatakan selalu salah. Kenapa kamu enggak bisa bersikap lebih dewasa?”
“Linc, aku enggak berminat bicara soal kedewasaan atau yang Iain-Iain. Aku cuma mau kita membicarakan kasus Tom. Atau kamu kutinggal tidur!”
“Oke. Harus aku akui, belum ada titik terang.”
Belum sempat Susan melanjutkan pertanyaannya, tiba-tiba telepon berdering.
“Buat kamu, dari bartender di Frenchy Lafont,” Susan menyodorkan gagang telepon.
“Ada apa, Bib?” sapa Lincoln.
Sejenak mereka terlibat pembicaraan. Wajah Linc terlihat serius. Mulanya Susan tak ingin tahu. Tapi ketika Linc dengan terburu-buru berkata, “Baik, aku akan segera ke sana,” Susan merasa sesuatu yang buruk baru saja terjadi.
“Ada apa Linc?”
“Pembunuhan lagi. Frenchy Lafont.”
“Lafont si pemilik bar?”
“Ya. Bagian belakang kepalanya luka parah, seperti dihantam sesuatu.”
“Seperti Tommy?”
“Mayatnya bahkan ditaruh tepat di kubangan tempat Tommy ditemukan.”
Susan menarik napas panjang. Tidurnya pasti tak akan nyenyak malam ini.
Flora Sloan menyusul
“Kawan-kawan, aku mengenal Frenchy dengan baik. Begitu juga Anda semua. Kami akan menemukan pembunuhnya, jika Anda semua tetap percaya pada karma. Sekarang saatnya untuk pulang,” Linc “berpidato” di hadapan warga kota yang terlihat risau menyaksikan dua pembunuhan dalam beberapa bulan terakhir. Apalagi dengan modus yang sama kejamnya.
“Sama seperti kau menemukan pembunuh anakku?” balas John Cooley, disambut teriakan, lebih tepatnya dukungan warga yang lain.
“Pulanglah John,” jawab Linc tegas.
“Ya, pulanglah John. Atau kami akan mendapatimu terbunuh seperti Tommy,” sambar Wes Bartlet sinis.
“Ocehanmu tidak membantu, Bartlet. Oke, kalau memang kalian menganggap aku tak mampu lagi menjadi deputi sherif, silakan ambil ini,” ujar Linc sembari mencopot lencananya.
Beberapa saat suasana hening. Sebelum akhirnya, satu demi satu warga mundur teratur. Celakanya, adegan tadi terulang lagi dua malam kemudian. Linc kembali harus berhadapan dengan massa yang marah, takut, dan tak sabar. Karena Frenchy ternyata bukan korban terakhir. Bu Flora Sloan mengalami nasib serupa, meninggal dengan luka yang sama, ditemukan di kubangan yang sama.
Sialnya, Linc lagi-lagi tak menemukan petunjuk berarti dari dua pembunuhan terakhir. Seperti Tommy, Lafont dan Flora tak dirampok, karena dompet mereka ditemukan utuh. Bujangan lapuk Lafont tinggal bersama ibunya yang telah renta dan tak tahu apa pun tentang aktivitas anaknya. Mobil Lafont sendiri ditemukan tak jauh dari kubangan, dalam kondisi bersih, tak ada bekas luka atau sidik jari si pembunuh. Tampaknya, Lafont mengenal baik pembunuhnya.
Sedangkan Bu Flora, aristokrat penting Northfield, dibunuh sepulang menghadiri pertemuan di gereja. Perempuan tua energik ini selalu mengemudikan sendiri Chevroletnya. Dia juga dikenal sebagai pengemudi yang tak pernah ingin ditumpangi orang lain. Jadi, kecil kemungkinan ada orang lain menumpang padanya selama perjalanan. Satu-satunya kemungkinan, Bu Flora dicegat di tengah jalan oleh orang yang dikenalnya.
Sejak pembunuhan Bu Flora, waktu berjalan begitu cepat buat Lincoln. la dituntut segera memecahkan misteri pembunuhan berantai ini. Jika tidak, teror akan membuat warga kota saling mencurigai dan tak percaya lagi pada aparat. Kemarin malam, Sanford Brown, sesepuh Northfield sempat mengumpulkan seluruh warga kota untuk mendengarkan perkembangan penyelidikan yang dilakukan kantor sherif.
Dalam pertemuan itu, bos Linc, sherif Rowland, bersikukuh mempertahankan anak buahnya di posisi sekarang. “Anak itu boleh terus jadi deputi. Tapi ketika ada pembunuhan lagi, kita harus membuat kelompok bersenjata yang berkeliling kota saban malam, sampai pembunuhnya tertangkap,” celoteh seorang warga yang marah.
Rahasia kantung merah
Ada satu fakta menarik yang mengganggu Linc. Tampaknya, Lafont dan Sloan dipaksa berlutut sebelum dibunuh. Terlihat jelas dari kotoran di lutut mereka. Linc jadi ingat, John selalu berdoa sambil berlutut, ketika ia beberapa kali berkunjung ke rumahnya. John juga berlutut di depan kubangan Tom. “Tampaknya, ada yang harus dikonfirmasi dari John Cooley,” kata Linc dalam hati. Meski hati kecilnya berharap, John bukan dalang dari semua kekacauan ini.
Rumah John tampak sepi. Jipnya tak ada di garasi. “Seperti warga kota lainnya, dia pasti sedang berjaga-jaga di dekat kubangan,” batin Linc. Namun, ia terkejut melihat pintu depan rumah tak terkunci. Dengan bantuan lampu senter, Linc masuk. Cukup lama ia mengamati ruang tamu, sebelum akhirnya beralih ke kamar tidur. Tak ada barang istimewa, kecuali sebuah kantung kain berwarna merah.
Dari kantung itu, Linc mendapati kancing jaket, rumput kering, dan pecahan kaca. Semuanya barang-barang yang berada di kubangan, saat Tommy ditemukan. Setelah dibersihkan, pecahan kaca itu kini bisa terlihat lebih jelas. “Sepertinya, bagian kaca lampu depan mobil tua. Bukankah lampu depan mobil Buick milik Susan juga rusak? Bahkan sampai sekarang, gadis itu tak pernah memperbaikinya. Berarti ..., Susan!” pekik Linc seperti orang kesurupan.
Pada saat bersamaan, John Cooley berdiri di ambang pintu rumah Susan, bersiap mengejutkan gadis yang sedang berbaring di ruang tamu itu. John berhasil. Susan memang kaget bukan alang kepalang. “Berlututlah, Nona Marsh! Berdoalah kepada Tuhan, mohon ampun agar semua dosa Anda diampuni,” perintah John dengan suara baritonnya. Tangannya memegang senjata berburu Tommy yang bergagang baja.
“Pak John, bukan Anda yang membunuh Tommy, ‘kan?”
“Menurut Anda, siapa yang membunuh Tommy?”
“Siapa, Pak John?”
“Anda sendiri!” sambar John, sembari bersiap mengacungkan popor senapan ke bagian belakang kepala Susan yang berlutut ketakutan.
“Aku tahu apa yang tidak diketahui sherif, Nona Marsh. Tommy korban tabrak lari sebuah mobil tua. Aku masih menyimpan pecahan kaca penutup lampu Buick Anda.” Percuma Susan menjelaskan, Buick keluaran 1940 itu dulu kepunyaan Lafont, lalu dijual pada Flora Sloan (yang hanya memakainya beberapa minggu), sebelum sampai ke tangannya. Semuanya terjadi di bulan Oktober.
“Aku tahu yang Anda pikirkan. Tapi aku tak bisa memastikan siapa pembunuh sebenarnya di antara kalian. Jadi, akan lebih adil kalau kalian semua aku bunuh.”
Susan ingin berteriak betapa sayangnya ia pada Tommy. Namun, kerongkongannya seperti tersekal batu besar. Setelah itu, ia cuma ingat, John mengangkat popor senapan, bersamaan dengan masuknya seorang lelaki bertubuh atletis dari pintu depan. Bammm, bumi pun gonjang-ganjing!
Ketika Susan terbangun dari pingsan, Lincoln sudah duduk di pinggir tempat tidur. “Aku mencintaimu, Susie, eh, Susan. Mau ‘kan kamu menikah denganku?” tembak sang deputi. Susan menutup kembali matanya, dan menjawab, “Kenapa enggak dari dulu kamu bilang itu.” Sejak itu, tak ada lagi perdebatan di antara mereka, kecuali satu hal: siapa sebenarnya pelaku tabrak lari terhadap Tommy. Frenchy Lafont atau Flora Sloan?
Intisari Plus - Tom dan Sonya pergi melihat gua sejauh satu kilometer dari rumahnya. Ternyata mereka tak pernah kembali pulang.
-------------------
Minggu cerah di Eschweiler, 30 Maret 2003. Tom bersama Sonya - adiknya - meninggalkan rumah mereka.
Sehari sebelumnya, untuk pertama kalinya ia diperbolehkan bermain agak jauh bersama temannya, Sebastian. Bukan hanya agak jauh dari rumah dan kawasan Inde, anak-anak itu pergi ke Schwarzer Berg, sebuah lereng pertambangan yang jaraknya kurang dari satu kilometer dari rumah orang tua Tom di Patternhof.
"Di sana kami menemukan gua," cerita anak laki kecil itu. la merasa harus berbagi. Maka ia pun menunjukkan gua itu kepada adiknya tersayang, Sonya.
Tom (11) dan Sonya (9) diasuh orang tua mereka dengan penuh perhatian. Ibu dan bapak mereka, Gudrun dan Uwe Spreeberg - seorang insinyur - sangat memperhatikan keduanya. Salah satu bentuknya, bila Tom akan berlatih taekwondo, sang ibu mengantarnya dengan mobil sampai ke gedung olahraga. Padahal, jaraknya hanya 500 m dari rumah mereka.
Telat pulang
Minggu petang itu, untuk pertama kalinya, Sonya juga diizinkan keluar bermain bersama kakaknya.
"Jangan lama-lama ya, setengah jam saja. Jadi, pukul setengah enam sudah pulang," begitulah si ibu mewanti-wanti anak-anak itu. Pukul 17.00 keduanya menghambur keluar bersepatu karet.
Namun, saat waktu yang disepakati tiba, mereka belum juga pulang.
Sekitar pukul 18.00, Gudrun dan Uwe mulai gelisah. Mereka menelepon teman-teman bermain anak mereka. Namun, tak seorang pun melihat Tom dan Sonya.
Pasangan suami-istri Spreeberg tak bisa lagi tinggal diam di rumah. Dengan dibantu sejumlah teman, mereka mencari ke segala pelosok Schwarzer Berg - lereng gunung seluas 15 hektar. Tom dan Sonya belum juga ditemukan.
Maka, pukul 20.45 Gudrun dan Uwe melaporkan kepada polisi tentang hilangnya kedua anak mereka.
Satuan pencari yang terlatih berdatangan. Polisi, pemadam kebakaran, dan bantuan teknis menelusuri setiap jengkal kawasan itu. Di wajah Uwe tercermin sikap optimis. Anaknya pasti ditemukan, mengingat kian banyak tenaga bantuan penolong yang datang.
Namun Uwe terpaksa menelan kekecewaan. Ketika malam kian larut, mereka belum juga dapat menemukan jejak kedua anaknya.
Pukul 05.00 satuan petugas terpaksa menghentikan upaya pencarian yang tanpa hasil itu.
Tang bernomor
"Lubang nyamuk" dekat Kota Zweifall merupakan bekas tempat penghancuran bebatuan. Tempat yang tidak terpakai di sebuah pertambangan itu terletak di tepi hutan Huert, sekitar 12 km dari Eschweiler. Senin pagi, 31 Maret, di lahan parkir tempat ini seorang pejalan kaki menemukan sesuatu yang mengerikan. Sesosok mayat anak lelaki.
Kepala anak lelaki itu terbungkus kantung plastik. Jelas, anak itu disiksa sedemikian kejam. Hari berikutnya, setelah penyelidikan kriminologis, baru bisa dipastikan, identitas mayat anak itu.
Benar, itu Tom.
Setelah menyisir tempat itu, pakar kriminologi menemukan tang dengan cetakan nomor 637. Tang bernomor khusus bergagang merah itu dibuat dalam jumlah sedikit untuk tukang pembuat alat-alat mekanik. Ada dugaan, pemilik tang itulah si pembunuh Tom. Kalau dugaan itu benar, tampaknya si pembunuh sangat ceroboh. la begitu saja meninggalkan barang bukti yang mudah dilacak di lokasi kejahatan. Atau, jangan-jangan itu dilakukan dengan sengaja untuk maksud tertentu?
Entahlah.
Yang pasti, di bagian kriminologi kepolisian Duesseldorf, tang itu diperiksa untuk mencari jejak DNA.
Pencarian terhadap adik Tom dilanjutkan. Gadis cilik itu kemungkinan masih hidup. Lima ratus polisi melacak semua kawasan hutan di sekitar Eschweiller. Anjing-anjing pelacak dilibatkan. Sejumlah organisasi bantuan ikut serta. Juga regu penolong dari ordo Maltese di Eschweiller.
Gemuruh pesawat terbang angkatan bersenjata Jerman melayang-layang di atas kawasan sekitar Eschweiller dengan kamera khusus jarak jauh. Pihak kepolisian mengambil sejumlah gambar, mencari tempat-tempat yang dicurigai. Lebih dari 1.400 petunjuk dari penduduk diterima.
Antara lain, berupa temuan tang dengan cetakan nomor 1083.
Informasi lain, seorang pejalan kaki di Stolberg mengaku pernah melihat mobil kecil hitam, di dalamnya ada seorang anak sedang memukul-mukul kaca mobil. Si pengemudi tidak tampak berupaya menghentikan mobil di jalan raya. Saksi mata itu masih ingat, mobil itu membunyikan klakson terus-menerus dengan ban mendecit-decit. Sangat menarik perhatian.
Seminggu berlalu sejak hilangnya Tom dan Sonya. Hari itu Minggu yang dingin di Kota Eifel. Ratusan kilometer jalan tol arah ke selatan Eschweiler di hutan Bucher Wald dekat Blankeheim, tergeletak sesosok tubuh manusia diikat plester. Wajah seorang gadis kecil yang semasa hidupnya menampakkan keceriaan. Para pejalan kaki menemukan mayat itu sekitar pukul 14.00.
Sejumlah pakar kriminologi kembali membutuhkan waktu seharian penuh untuk bisa memastikan, bahwa mayat itu memang Sonya. Bagai seonggok sampah, tubuhnya dibuang begitu saja di hutan. Polisi sama sekali tak menyebutkan, apakah gadis itu telah mengalami pelecehan seksual.
"Bagaimana gambaran kondisi mayat itu?" tanya seorang reporter keras kepala kepada polisi di komisi pembunuhan.
"Pokoknya jangan membayangkan kondisi mayat yang lebih baik," saran polisi itu sebagai jalan tengah.
Delapan puluh orang bekerja di komisi pembunuhan di Kota Zweifall untuk mengungkap kasus ini. Tanggal 8 April para pakar di kantor kriminal setempat di Duesseldorf mendapatkan titik terang. Mereka memastikan menemukan tiga jejak DNA yang jelas pada tang yang ditemukan di dekat mayat Tom. DNA dari Sonya dan dua pria. Ini di luar dugaan.
Awalnya, polisi berpikir pelakunya satu orang seperti umumnya terjadi pada kejahatan seksual. Para penyelidik mengetahui, itu memang kejahatan seksual.
Karena tak seorang pun bisa dicurigai, polisi berniat melakukan penjaringan besar-besaran. Sebuah uji air liur dilakukan pada 2.000 pria di Eschweiller yang berusia antara 20 - 40 tahun. Biasanya ini menjadi upaya terakhir polisi dalam memecahkan kasus-kasus sulit.
Dari internet
Tanggal 11 April, jenazah dua kakak beradik Keluarga Spreeberg dibawa ke permakaman Katolik di Eschweiller. Mungkin itulah upacara pemakaman terbesar dalam sejarah kota kecil itu, karena hampir semua penduduk kota menghadirinya.
Lama sesudah upacara pemakaman selesai pun, para pengunjung pemakaman tetap berdiri dan terus bercakap-cakap. Mereka tak habis mengerti, mengapa di kota kecil itu terjadi pembunuhan ganda terhadap anak-anak. Apalagi diduga, para pembunuhnya warga Eschweiler seperti mereka.
Di antara dengung percakapan itu terdengar komentar marah salah seorang pelayat. "Babi-babi jahanam itu harus disembelih jadi empat bagian," ucap marah seorang pria kurus bertubuh sedang berusia awal tiga puluh, Markus Lewendel. Ucapan itu berulang kali ia katakan kepada hampir semua kenalannya. la memang tampak prihatin dengan kejadian menyedihkan itu. Tak heran bila ia hadir dalam setiap rangkaian upacara pemakaman Tom dan Sonya.
Apa hubungan Markus dengan korban? Tidak ada. la hanya warga biasa yang pekerjaan sehari-harinya menjadi induk semang dan tukang bersih-bersih gedung. la pun bukan warga masyarakat yang dianggap sukses. Mungkin ia mewakili kemarahan serupa dari warga Eschweiler.
Titik terang mulai muncul. Petugas yang mengelola situs kepolisian Kota Aachen melihat suatu hal aneh. Ada seseorang yang telah sebanyak 36 kali mengunjungi situs tersebut. Rupanya, orang tersebut tak menyadari, bahwa siapa pun yang mencari situs di bagian pembunuhan itu akan dicatat. Siapa yang berulang kali mengeklik, akan ketahuan.
Diincar polisi
Pria muda Markus Wirtz (28) mengendarai Fiat Punto, mobil kecil berwarna hitam, seperti terlihat oleh saksi mata di Stolberg. Sebagai ahli elektronika dan gemar mengutak-atik komputer, ia memerlukan jenis peralatan tang yang pernah ditemukan di dekat mayat Tom. Selain itu, wajah Markus cocok dengan gambar dari raut-raut pelaku yang telah dibuat gambarnya oleh kantor kriminal setempat. Pria berwajah biasa-biasa saja, ramah, berusia antara dua puluh lima sampai lima puluh tahun.
Wirtz hidup sendiri di sebuah apartemen Souterrain di Jalan Nordstrasse Eschweiler. la tak mempunyai, dan memang tak pernah memiliki, teman wanita. la baru saja pindah dari rumah orang tuanya. la memang anak mami. Setiap malam sepulang dari Bar Pflaumenbaum, ibunya sudah menanti dan menyiapkan roti mentega. Ibunya masih selalu mencucikan bajunya dan hampir tiap hari membuat masakan untuk Wirtz.
Pada saat yang sama, Markus Wirtz merasakan dorongan yang menggebu-gebu untuk menjadi orang menonjol. Di Bar Pflaumenbaum, ia pernah bercerita tentang sejumlah wanita "yang pernah ditidurinya." Teman-temannya menertawai Wirtz karena tahu ceritanya bohong belaka.
la juga bercerita berapa banyak orang di organisasi ordo Maltese yang hidupnya sudah ia selamatkan. Sudah enam tahun ini Wirtz bertugas sebagai penolong di bagian bencana ordo Maltese. Bukan dari panggilan hatinya yang dermawan, tapi lebih untuk menghindari wajib militer.
Namun, tiap orang di bar tahu pula bahwa jam-jam dinasnya dihabiskan dengan nongkrong di bangku-bangku pertandingan sepak bola antarkota dan pertemuan-pertemuan persiapan arak-arakan.
Hanya sekali-sekali pria pendek itu menjadi orang terkemuka. Ketika organisasi Junge Union (Serikat Pemuda) di Ewschweiler pada November 2002 tidak bisa menemukan seorang pengganti untuk jabatan ketua, Wirtz yang anggota partai CDU, Partai Kristen Demokratik, lantas memperkenalkan dirinya sendiri. "Saya sanggup. Saya pantas menjadi ketua." Jadi, Wirtz dipilih menjadi ketua, karena tiadanya pilihan lain.
Pada malam pemilihan ketua, wajah si anak bawang ini berseri-seri, matanya berbinar-binar. Bagai tambah tinggi sepuluh sentimeter, pria bertubuh 1,65 m itu menjadi panutan bagi teman-eman separtainya. Bahkan, ketua bertubuh pendek itu diwawancarai koran lokal.
Namun, kepemimpinannya tidak berjalan mulus. la sering bertengkar dengan anggota-anggota muda di Junge Union mengenai pengiriman bir dan harga karcis masuk untuk pesta Junge Union. "Mereka tidak mau mendengarkan saya," keluhnya selalu kepada para pendahulunya.
Februari 2003, ia meletakkan jabatan karena putus asa. "Karena urusan kerja dan pribadi," kilahnya. la juga keluar dari CDU. Diduga, karena tak mampu ikut mendukung arah politik ketua partai CDU pusat, Angela Markel.
Para penyelidik dari komisi pembunuhan segera bertindak ketika kecurigaan jatuh pada Markus Wirtz. Mereka tidak menemukan bujang lapuk itu di rumahnya, maupun di tempat kerjanya. Mobil Fiat hitamnya pun tidak ada di garasi bawah tanah.
Dengan surat perintah pemeriksaan, para petugas kepolisian masuk ke apartemen Wirtz. Mereka menemukan sebuah tang yang sama dengan tang nomor 637. Sebuah analisis kilat yang dilakukan pihak kepolisian membuktikan, Markus Wirtz juga pernah memiliki tang yang digunakan untuk menyiksa si kecil Sonya. Titik terangnya makin jelas.
Di mana Wirtz? Pihak kepolisian menanyai para tetangganya. Salah seorang tetangga ingat, terakhir kali melihat Wirtz beberapa hari sebelum Paskah. la pergi dengan mobil. Di sebelahnya duduk temannya, Markus Lewendel. Si induk semang yang melambaikan tangan, menampakkan wajah gembira.
Suka berkaus oblong
Markus Lewendel (33) tinggal berhadap-hadapan pintu apartemen dengan Wirtz. la hidup membujang, bahkan ia sama sekali tak pernah punya teman wanita. la memang sangat mirip dengan sosok pelaku seperti halnya Wirtz.
Markus Lewendel berasal dari keluarga berantakan. Orang tuanya bercerai ketika ia baru berusia 3 tahun. Dengan saudara lelaki dan perempuannya, Markus tumbuh di rumah ibunya. Namun, ibunya tidak punya waktu untuk si kecil Markus. Tiap malam ibunya menjadi pelayan di Bar Em Joldene Klomp, bar terjelek di Eschweiler. Kadang-kadang ia membawa tamu langganannya ke rumah.
Kakaknya yang berusia 15 tahun lebih tua mencoba menggantikan peran ayah dan ibu bagi Markus, tapi tidak berhasil. Markus membawa nilai-nilai rapor yang jelek ke rumah, pernah mendapat larangan keluar rumah, dan sering punya rasa takut terhadap orang asing.
Selulus SMU, Lewendel tidak berhasil mendapatkan pekerjaan. la jadi penganggur. Meski sempat bekerja beberapa bulan di sebuah dinas pertamanan, untuk mengumpulkan sampah-sampah di taman-taman, pekerjaan itu ia tinggalkan. Lewendel juga mengelak dari wajib militer di angkatan bersenjata Euskirchen. Selanjutnya ia menjadi tukang cat, lalu kembali menganggur. Kemudian, ia mencoba bekerja sebagai pembantu gudang.
Pria muda itu tak pernah punya SIM, tetapi keinginannya muluk-muluk. la ingin mengendarai mobil sport. Dengan lamaran ke sebuah perusahaan Swis di koper dokumennya, ia pergi dari Eschweiler. Tentu saja lamaran si pengangguran tak terdidik itu tak mendapat perhatian selayaknya. Harapannya kandas.
Lewendel melupakan rasa putus asanya di Bar Pflaumenbaum di lorong jalan bersama Wirtz dan beberapa orang gagal dari Eschweiler. Lewendel merupakan pria pemurung dan aneh.
Kepada pelayan bar, ia bercerita mengenai tumor otak yang tumbuh sedemikian cepat dan tidak bisa dioperasi. Katanya, itu hasil diagnosis dokter spesialis di klinik Kota Aachen. la selalu mengeluh sakit kepala dan punya gangguan mata. la hanya ingin dilihat dengan topi baseball, orang-orang menduga itu upaya untuk menutupi tumornya. Namun, tidak seorang pun tahu, dan peduli, apa sebenarnya penyakit Lewendel.
Status Lewendel yang paling dikenal adalah menjadi induk semang sebuah apartemen keluarga yang dibangun tahun 1990-an di Jalan Nordstrasse. la mengurus mesin otomatis pencuci baju, menawarkan jasa untuk urusan tetek-bengek. Selain itu, tidak ada informasi jelas mengenai pekerjaannya di luar Nordstrasse.
Sikapnya sering kali menjadi sedemikian keras. Terutama bila berurusan dengan anak-anak tetangga, ia sering bertengkar. Mereka tidak boleh berisik dan membuang sampah sembarangan. Anak-anak juga tidak boleh bermain bola di lapangan rumput belakang apartemen. Si Centeng - demikian julukannya - suka memakai kaus oblong polisi warna hijau. Kepada seorang tetangga ia bercerita, dahulu pernah jadi polisi.
Lewendel punya banyak waktu luang. Berjam-jam lamanya mengawasi anak-anak yang bermain di belakang apartemennya di lapangan sekolah dasar. Kadang-kadang ia berdiri di depan jendela dengan sebuah teropong mengawasi anak-anak kecil itu.
Kemudian ia lebih banyak tertarik kepada para wanita penyewa apartemen. Listrik di apartemen seorang wanita muda ia putus. Ketika wanita itu hendak menyampaikan keluhannya ke Lawendel, ia diterima si tuan rumah dalam keadaan tanpa busana. Si penyewa memprotes dan mengadukan kejadian itu kepada polisi sebagai pelecehan seksual. Lewendel berkilah, "Itu cuma bercanda, Saya takkan melakukannya lagi."
Teman satu-satunya si induk semang adalah Markus Wirtz. Kedua pria itu senang duduk bersama di depan komputer dan bermain balap mobil, duduk-duduk di bangku taman dan memandangi anak-anak saat bermain bola.
Jadi, karena kecurigaan juga mengarah kepadanya, komisi urusan pembunuhan kota Zweifall mencari Lewendel di apartemennya, mengambili benda-benda yang bisa digunakan untuk pemeriksaan DNA. Ketika uji dengan jejak-jejak yang ditemukan di mayat Tom juga sesuai, keraguan pun hilang.
Pengakuan dua Markus
"Dicari Markus Wirtz dan Markus Lewendel dari Eschweiler, karena dugaan pembunuhan bersama terhadap Tom dan Sonya." Hanya selang sehari, pada hari Kamis, mobil Fiat Punto hitam Wirtz bisa dikenali di jalan tol A2 di Swis antara Zurich dan Basel. Di kaca spion mobil bergelantung sepatu bayi putih. Polisi lalu menangkap kedua pria bernama depan sama itu.
Kembali ke Aachen, di malam menjelang Jumat Agung kematian Yesus Kristus, Wirtz dan Lewendel mengaku telah membunuh kedua anak Spreeberg, secara bersama-sama. Banyak orang mencoreti tembok apartemen di Jalan Nordstrasse itu dengan tulisan "Hanya kematian yang pantas bagi pembunuh-pembunuh Sonya dan Tom."
Hari Jumat Agung di Eschweiler.
Matahari pagi memancar di kawasan Inde. Sungai kecil mengalir di antara semak-semak rerumputan hijau melewati kawasan itu. Burung-burung merpati bersiul-siulan di dahan pepohonan di tepi sungai. Beberapa orang berjalan sambil menggiring anjing mereka. Penggemar joging mengitari lintasan.
Pasangan suami-istri Spreeberg yang meninggalkan kediaman nyaman mereka di Inde tak cocok dengan gambaran suasana pagi musim semi itu. Mengenakan baju berkabung hitam, mereka menyusuri sungai dengan wajah menampakkan rasa kehilangan dan bingung. Wajah mereka pucat dan mata sembap karena kebanyakan menangis.
Di tepi sungai di seberang, permakaman St. Peter-Paul menjadi tempat peristirahatan terakhir anak-anak mereka, Sonya dan Tom. Dua tanda salib kayu berada di lautan bunga yang mulai melayu. Seorang wanita tua menyalakan lagi sinar-sinar abadi dari lilin-lilin yang padam. Semuanya lima puluh lilin.
"Musang berbulu domba," desahnya. Markus Wirtz, bersama teman-temannya dari organisasi ordo Maltese, ikut mencari mayat anak-anak itu. Sedangkan Markus Lewendel, dapat dengan tenang menghadiri pemakaman sambil mengeluarkan sumpah serapah.
Para penegak hukum tidak mengeluarkan rincian mengenai jalannya pemeriksaan dan hasilnya tentang kejahatan yang ternyata telah direncanakan tiga minggu sebelum kejadian. Semuanya itu mempertimbangkan perasaan orang tua anak-anak itu. Bahkan para psikolog, yang dimintai komentar dan diagnosis kilat, memilih bungkam seribu bahasa. Apakah Tom dan Sonya disiksa dan dibunuh karena nafsu sadis?
"Semoga saja peristiwa sadis ini tak terjadi lagi," ujar seorang pria pensiunan, yang bersepeda melewati permakaman itu. (Stern)