Intisari Plus - Di bulan Januari 1948, terjadi perampokan dan pembunuhan di Teikoku Bank. Pelakunya berpura-pura sebagai dokter dari kementerian sosial yang ditugaskan untuk memberi obat disentri.
----------
Tokyo pukul setengah empat sore. Tanggal 26 Januari 1948 itu salju kadang-kadang turun. Seorang pria ramping, setengah baya dan berambut pendek, memasuki Teikoku Bank cabang Shiina-machi pada saat pintu bank akan ditutup. Ia mengenakan setelan cokelat dan mantel putih longgar dengan ban lengan bertuliskan “kesehatan”. Dengan sopan ia memperlihatkan kartu nama. Segera saja ia diantar ke kantor manajer. Ketika itu penghitung-penghitung uang sedang sibuk.
Pria bersepatu bot merah yang membawa tas seperti milik dokter itu, membungkuk hormat pada penjabat manajer, Takejiro Yoshida. Mereka bertukar kartu nama. Pria itu menjelaskan bahwa ia datang dari markas besar tentara pendudukan Amerika atau MacArthur’s General Head Quarters dengan perintah untuk segera mengimunisasikan semua pegawai bank karena ada wabah disentri amuba di tempat itu. Sebentar lagi jip militer akan menyusul kedatangannya.
Penjabat Manajer Yoshida percaya. Tadi pagi seorang nasabah yang tinggal tidak jauh dari bank dikabarkan menderita disentri. Manajer bank sendiri, Senji Ushiyama tadi pagi terpaksa pulang karena tiba-tiba sakit perut. Yoshida juga tahu bahwa sekutu sangat keras dalam hal-hal yang menyangkut kebersihan dan kesehatan.
Pria bermantel putih itu menjelaskan apa yang harus dilakukan. Yoshida memerintahkan semua pegawai bank, termasuk centeng dan keluarganya untuk menghentikan pekerjaan mereka dan berkumpul di kantornya sambil membawa cangkir masing-masing.
“Semua hadir?” tanya pria bermantel putih itu. Yoshida menghitung pegawainya.
“Ya, semua hadir.”
Tamu itu menjelaskan, mereka masing-masing akan diberi dua macam obat anti disentri yang harus ditelan dengan cepat.
Ia mengeluarkan dua botol dan sebuah jarum penyedot dari tasnya.
“Obat ini sangat manjur. Telan cepat dan jaga agar jangan kena email gigi. Tutupi gigi bawah dengan lidah ketika menelan.” Ia memberi contoh dengan cangkir kosong. “Setelah itu segera telan obat kedua.”
Dengan penyedot ia mengambil cairan ungu dari sebuah botol yang diberi tanda “No 1” dan membagikannya pada setiap pegawai bank yang datang membawa cangkir. Setelah itu semua diperintahkan minum bersamaan. Lalu cepat dibagikan lagi obat kedua. Ketika itu beberapa orang terbatuk-batuk dan terengah-engah setelah minum obat pertama yang seperti membakar leher.
“Obat kedua akan membuat Anda merasa lebih enak,” katanya. Kemudian semua minum obat kedua.
“Boleh minum air?” tanya seorang pegawai pria.
“Boleh.”
Nona Masako Murata sedang antre air minum ketika orang di belakangnya tiba-tiba terjatuh. Akuntan Hidehiko Nishimura terkapar dengan mata mendelik. Masako berlari masuk ke kantor manajer sambil berteriak minta tolong. Tetapi ternyata orang lain juga tergeletak di lantai sambil merintih dan mengerang kesakitan. Masako sendiri roboh.
Tamu bermantel putih dengan tenang mengawasi korban-korbannya. Ketika semua pegawai bank sudah lumpuh, cepat-cepat disambarnya uang tunai 164.400 yen dan cek sebesar 17.405 yen. Jumlah itu kira-kira setara dengan 600 dolar. Uang sekian bagi orang Jepang masa itu cukup besar. Setelah itu ia menghilang di sore yang dingin itu.
12 jiwa melayang
Sejam kemudian Nona Murata siuman. Ia ngeri melihat keadaan di sekelilingnya. Ia merangkak melalui tubuh-tubuh tidak berdaya dan berhasil mencapai pintu belakang. Dengan suara tidak jelas ia berteriak-teriak minta tolong. Dua orang wanita yang sedang lewat mendengar teriakannya dan dengan ketakutan memberitahu polisi.
Ketika ambulans-ambulans dan mobil polisi datang, 10 korban sudah meninggal. Dua lagi meninggal kemudian. Di antara empat orang yang lolos dari maut terdapat Nona Murata dan Penjabat Manajer Yoshida.
Ketika itu keracunan makanan umum terjadi di Jepang. Maklum mereka baru kalah perang, keadaan ekonomi, sosial maupun politik masih kacau. Mula-mula diduga mereka keracunan makanan. Tetapi sisa cairan dalam cangkir korban (di antara korban masih ada yang tetap memegang cangkirnya), diperiksa juga.
Pukul setengah tujuh malam, jadi kira-kira 3 jam sesudah upacara minum obat yang menyebabkan kematian itu, pemeriksaan di rumah sakit mengungkapkan bahwa kematian yang menimpa begitu banyak orang ini bukan disebabkan oleh keracunan makanan biasa melainkan oleh kalium sianida.
Pembunuhan dan perampokan di Teikoku Bank ini merupakan kejahatan paling besar yang terjadi di Jepang sesudah perang. Inspektur Shigeki Horizaki ditunjuk untuk menangani perkara ini. Ia kepala bagian pembunuhan pada Kantor Polisi Metropolitan Tokyo. Tetapi yang akan memegang peranan penting dalam menangkap si pelaku kejahatan ialah seorang sersan detektif yang pendiam tetapi ulet bernama Tamegoro Igii. Malam itu juga polisi mendengarkan keterangan dari empat korban yang masih hidup.
Polisi tidak menemukan sidik jari “dokter” pada cangkir yang dipakai dalam demonstrasi minum, tidak juga pada kartu nama yang diserahkannya kepada Penjabat Manajer Yoshida.
Dari penyelidikan polisi, diketahui bahwa tiga bulan sebelum peristiwa ini, terjadi peristiwa yang hampir sama di Yasuda Bank cabang Ebara di Tokyo. Tanggal 14 Oktober 1947 itu seorang pria yang berpakaian seperti dokter pemerintah menyerahkan kartu nama pada manajer bank. Kartu nama itu bertuliskan: “dr. Shigeru Matsui, ahli kementerian sosial”. la menyatakan mendapat perintah dari markas besar pendudukan untuk memberikan obat anti disentri. la mengumpulkan 20 pegawai bank dan manajer bank, Toshio Watanabe. Mereka diberi obat minum tetapi tidak terjadi apa-apa. “Dokter” itu segera pergi. Mungkin ini cuma percobaan atau gladi resik saja.
Tanggal 19 Januari 1948, tujuh hari sebelum peracunan dengan kalium sianida di Taikoku Bank, ada orang yang datang ke Mitsubishi Bank cabang Nakai dengan membawa kartu nama bertuliskan “dr. Jiro Yamaguchi”, dari kementerian sosial. Tetapi ia kabur ketika manajer bank, Taizo Ogawa, dan pegawai-pegawai lain menanyakan surat tugasnya.
Dua peristiwa ini baru dilaporkan ke markas besar polisi setelah terjadi peristiwa Teikoku Bank. Menurut polisi setempat, karena tidak terjadi perampokan dan karena motif tamu tersebut tidak jelas waktu itu.
Sehari sesudah peristiwa peracunan, polisi kehilangan kesempatan menangkap si pelaku karena seorang petugas bank yang kurang cermat di Yasuda Bank cabang Itabashi membayarkan uang 17.405 yen pada pembawa cek atas nama Toyoji Goto, yaitu cek yang diambil pelaku peracunan di Teikoku Bank. Ketika manajer bank menyadari bahwa mereka ditipu, pria itu sudah lenyap.
Kartu nama
Inspektur Horisaki berpendapat bahwa satu-satunya kesempatan yang bisa mengantarkan polisi kepada si pembunuh mungkin hanya tinggal kartu nama. Ia yakin orang yang menyerahkan kartu nama berbeda pada ketiga bank itu cuma seorang.
Polisi segera bisa mengetahui bahwa kartu nama bertuliskan “dr. Jiro Yamaguchi” yang diterima manajer Mitsubishi Bank dicetak di sebuah toko kecil dekat Ginza di Tokyo. Nama Jiro Yamaguchi sangat umum di Jepang seperti nama John Smith di AS. Namun setelah diperiksa, tidak ada yang ingat lagi bagaimana rupa orang yang memesannya.
Dr. Shigeru Matsui adalah seorang dokter bereputasi baik di Sendai, di Honshu utara. Dengan sukarela ia datang ke markas besar polisi di Tokyo. Ia menyatakan bahwa kartu nama yang diserahkan ke Yasuda Bank itu betul kartu namanya tetapi bukan dia yang menyerahkannya ke bank itu. Ia juga tidak berada di dekat Tokyo ketika pembunuhan massal terjadi di Teikoku Bank.
“Saya memesan kartu seperti ini seratus lembar,” katanya. “Kartu ini dicetak di Sendai sebelum diadakan sebuah pertemuan kedokteran.” Ia sudah membagikan 96 kartu itu dan masih tersisa empat padanya.
Tukar-menukar kartu nama di Jepang masih tetap menjadi tradisi sampai kini dan dilakukan secara luas, apalagi di kalangan orang-orang bisnis dan profesional. Kartu yang disebut “meishi” ini biasanya dipertukarkan pada saat pertama kali bertemu dan sering disimpan dengan cermat untuk dijadikan referensi kalau kelak diperlukan.
Dari gambaran yang diberikan oleh saksi-saksi, polisi mengetahui bahwa orang yang mengaku “dr. Yamaguchi” sama dengan yang menyalahgunakan kartu nama dr. Matsui. Orang ini mempunyai tahi lalat di pipi kiri dan tanda bekas luka dibawah dagu. Semua saksi menyatakan ia sudah melewati umur setengah baya. Polisi mengedarkan keterangan ini ke seluruh Jepang. Polisi menanyai lebih dari 8.000 orang tetapi seorang demi seorang dibebaskan dari kecurigaan.
Inspektur Horizaki memanggil Sersan Igii yang berumur 43 tahun. Ia ahli kartu nama. Atas sarannya, dr. Matsui dipanggil kembali. Ia diminta membawa kartu-kartu nama yang diterimanya sebagai penukar kartu namanya sendiri.
Salah satu di antaranya bertuliskan nama “Sadamichi Hirasawa” yaitu seorang pelukis yang beralamat di Otaru, Hokkaido. Pada kartu itu tertulis bahwa ia ketua beberapa perkumpulan kesenian dan pelukis yang cukup terkenal.
Dr. Matsui ingat, ia bertemu dengan Hirasawa di sebuah feri antara Aomori dan Hakodate. Matsui mengaku terkesan oleh lukisan yang dibawa Hirasawa “Musim Semi Sudah Dekat”. Katanya lukisan itu akan dihadiahkan kepada putra mahkota di Tokyo.
Horizaki meminta polisi Otaru mendatangi Hirasawa di rumahnya. Polisi Otaru melapor, Hirasawa berumur 50-an, pemalu, orang baik-baik dan rasanya tidak mungkin terlibat dengan pembunuhan massal di bank. Polisi Otaru membebaskannya dari kecurigaan.
Bulldog tidak mau berhenti
Bulan April, inspektur-inspektur polisi dari seluruh Jepang berkumpul di Tokyo untuk mengkaji kembali perkara ini, yang penyelidikannya menghadapi jalan buntu. Mereka memeriksa dengan cermat data-data yang sudah diperoleh dan memeriksa lagi semua bukti dan kesaksian. Sekali lagi dikirim penyelidik ke Otaru untuk menanyai Hirasawa dan sekali lagi polisi Otaru membebaskan Hirasawa dari segala kecurigaan.
Banyak penyelidik yang sudah mau memetieskan saja perkara ini. Tetapi Sersan Igii laksana anjing bulldog yang tidak mau melepaskan lagi barang yang sudah digigitnya. Ia mulai lagi penyelidikannya dari awal, setindak demi setindak. Ia mengunjungi kenalan-kenalan dr. Matsui seorang demi seorang, yaitu yang kartu namanya ada pada dokter itu. Ia juga berkunjung ke Hirasawa, diantar oleh saudara laki-laki pelukis itu, Sadatoshi Hirasawa yang mempunyai usaha peternakan.
Igii bertanya, apa pekerjaan Sadamichi Hirasawa. Saudaranya menjawab: “Ia di rumah saja, tidak mengerjakan apa-apa.” Igii menunggu di luar ketika Sadatoski Hirasawa masuk memberitahu kedatangan mereka.
Sadamichi Hirasawa berada di rumahnya bersama kedua orang tuanya yang tampak sehat walafiat. Padahal kepada istrinya yang tinggal di rumah mereka yang lain di Tokyo dan kepada polisi ia menyatakan akan ke Otaru karena orang tuanya sakit.
Melalui pintu sorong, Igii melihat di kamar sebelah berserakan kuas dan kanvas, seakan-akan Sadamichi Hirasawa sedang melukis. Padahal lukisan pada kuda-kuda tampak kering, begitu pula kuas-kuas.
“Mengapa ia ingin memberi kesan sedang bekerja?” pikir Igii.
Sadamichi Hirasawa berumur 57 tahun tetapi kelihatan awet muda. Seakan-akan tidak lebih dari 48 tahun. Bagi Igii ia mirip betul dengan pria yang digambarkan polisi. Lagipula Igii mempunyai tahi lalat di pipi kiri dan bekas luka di bawah dagu. Dan yang lebih mencurigakan lagi: tanpa diminta ia memberi alibi dengan menceritakan ada di mana saja ia berada pada hari pembunuhan massal itu terjadi.
Hirasawa menceritakan, waktu itu ia berada di Tokyo karena setiap hari ia menjaga pameran lukisan cat air yang diselenggarakan lembaga persahabatan AS Jepang di toko serba ada Mitsukoshi di Nihonbashi mulai 21 sampai 28 Januari. Tanggal 26 pagi hari ia pergi ke pameran lalu berkunjung ke menantunya di tempat dinas lewat tengah hari. Katanya ia mendengar peristiwa pembunuhan massal itu dari radio setelah tiba di rumah sore itu.
Igii tidak menanyai Hirasawa lebih lanjut karena ia dinyatakan sudah dibebaskan dari kecurigaan oleh polisi setempat. Igii meneruskan penyelidikannya ke Hokkaido. Tetapi sebelum kembali ke Tokyo ia singgah lagi ke rumah Hirasawa. Mereka bersikap saling menghormati. Igii mengundang Hirasawa di restoran. Ia juga meminta foto Hirasawa tetapi seniman itu menjawab tidak punya. Jadi ia meminta izin memotret Hirasawa untuk “kenang-kenangan”.
Sekali Hirasawa ditanyai lagi perihal pertemuannya dengan dr. Matsui. Pelukis ini menjawab ia ingat bahwa mereka bertemu di feri dan dr. Matsui menuliskan sebuah alamat di belakang kartu namanya dengan pulpen.
Igii minta diizinkan melihat kartu nama itu. “Maaf, dompet saya yang berisi uang 11.000 yen dan kartu nama dr. Matsui hilang dicopet tidak lama setelah itu di Tokyo.”
Igii pergi ke tempat dr. Matsui di Sendai dan menyampaikan cerita Hirasawa. Dokter itu mengerutkan dahi dan tampak heran: “Saya tidak pernah membawa-bawa pulpen,” katanya.
Hal ini yang menarik perhatian Igii pada Hirasawa ialah pengetahuannya mengenai bahan-bahan kimia yang dipancing Igii dalam percakapan.
Igii menyerahkan foto-foto Hirasawa dan laporannya kepada atasan-atasannya di Tokyo. Tetapi sekali lagi Hirasawa dibebaskan dari kecurigaan. Hirasawa dinyatakan sebagai pelukis yang mempunyai reputasi baik yang tidak pernah terlibat perbuatan kriminal. Foto Hirasawa dianggap tidak mirip dengan gambaran yang diberikan saksi-saksi selama ini.
Kalau Igii masih penasaran, ia boleh meneruskan penyelidikannya asal tidak menyusahkan markas besar. Atasannya terus terang menyatakan sudah akan menghentikan saja penyelidikan dan kalau ada bukti-bukti lain terungkap barulah penyelidikan akan dilakukan lagi. Igii diberi dana 70.000 yen, cukup untuk 70 hari. Kalau setelah itu ia tidak bisa mengungkapkan bukti baru yang berarti, maka ia harus keluar uang sendiri kalau mau melanjutkan penyelidikannya.
Igii mengawasi rumah Hirasawa yang berada di Tokyo. Ia juga menghubungi teman-teman Hirasawa yang sama-sama pelukis dan meminta keterangan mengenai cara hidup pelukis ini. Ia menanyai tetangga-tetangga Hirasawa bahkan juga menanyai Ny. Hirasawa dan putrinya.
Ia juga memperoleh contoh tulisan Hirasawa dari kartu pos yang dikirimkan pelukis itu kepada orang-orang lain. Ketika tulisan itu dicek dan dibandingkan oleh ahli tulisan dengan tanda-tangan pada cek yang diuangkan sehari setelah pembunuhan, ternyata cocok. Penulisnya dianggap orang yang sama.
Punya dua “simpanan”
Igii juga mengetahui dua fakta penting. Pertama, tanggal 9 Februari Ny. Masa Hirasawa memasukkan 44.500 yen pada rekening bank suaminya. Padahal dua hari sebelum pembunuhan massal, Hirasawa tidak mampu membayar iuran 150 yen pun pada perkumpulan kesenian. Menurut istri Hirasawa, suaminya memberi uang tiga kali berturut-turut yang jumlahnya semua 69.000 yen. Kedua, Hirasawa mempunyai dua wanita simpanan dan mereka mendesak minta uang kepadanya.
Semua ini dilaporkan Igii kepada atasan-atasannya dan tanggal 20 Agustus Igii mendapat perintah resmi menangkap Sadamichi Hirasawa di Otaru. Tujuh bulan setelah pembunuhan massal di Teikoko Bank, banyak orang bergerombol di stasiun Uono di Tokyo, ingin melihat Hirasawa. Pendapat umum terbagi dua. Sebagian menganggap Hirasawa ini tidak mungkin terlibat dalam kejahatan sekejam itu dan ia merupakan korban ketidakadilan.
Tetapi bukti-bukti bertambah banyak. Di rumahnya yang di Tokyo, ditemukan mantel putih dan setelan cokelat seperti yang dipakai oleh pembunuh. Ditemukan juga tas kecil hitam dari kulit. Dua di antara korban yang masih hidup, secara positif mengenali Hirasawa sebagai pembunuh. Masako Murata sebaliknya menyatakan bahwa “dokter” yang masuk ke Teikoku Bank bukan Hirasawa.
Hirasawa bersikeras ia tidak bersalah. Di markas besar polisi Igii bertanya kepada Hirasawa, dari mana mendapat uang. Sengaja Igii tidak menyebutkan uang yang sedang dilacak.
“Dari presiden IIna Industrial Company, Tuan Uzo Hanada”, jawab Hirasawa.
“Kapan?”
“Oktober yang lalu.” Artinya tiga bulan sebelum perampokan bank. Igii mencocokkan keterangan ini dengan buku catatannya. Tiba-tiba ia berbalik menghadap Hirasawa.
“Mana mungkin? Ia meninggal bulan Agustus”.
Wajah Hirasawa pucat. la tergagap-gagap dan tidak bisa menjelaskan ketidakcocokkan ini.
Sok gengsi
Ketika berada dalam tahanan, tiga kali ia mencoba bunuh diri. Sekali dengan melukai nadinya. Alat yang dipergunakan ialah pena yang diambilnya dari meja polisi. Sekali lagi ia menelan banyak-banyak pil obat ambeien.
Akhirnya ia mengaku dan berdoa untuk korban-korban yang tewas. Katanya ia tidak bisa tidur karena dihantui terus. Ia juga minta dibunuh dengan kalium sianida. Tetapi pembela-pembelanya kemudian tidak mau menerima pengakuan itu. Kata mereka, pengakuan itu terpaksa dilakukan karena Hirasawa ditekan. Mereka menyangkal bahwa Hirasawa menyebut-nyebut setan dan kalium sianida.
Tanggal 12 Oktober 1948 Hirasawa dituduh merampok, mencoba membunuh dan memalsukan surat-surat resmi serta melakukan pembunuhan dengan dirancang lebih dulu.
Ketika itu polisi sudah mengeluarkan 6 juta yen senilai dengan 17.000 dolar, biaya yang memecahkan rekor dalam sejarah kejahatan Jepang. Polisi juga sudah menanyai dan membebaskan 8.796 orang.
Sidang pengadilan dibuka 10 Desember 1948. Hakimnya tiga orang.
Sidang yang mengadili perkara ini berlangsung 15 bulan. Hirasawa menyangkal semua tuduhan dan menyatakan dirinya tidak bersalah. Ia menyatakan pengakuan terdahulu dibuatnya karena tekanan polisi-polisi yang brutal. “Saya merasa seperti dihipnotis,” katanya.
Pengacara-pengacaranya yang juga meminta agar Hirasawa diperiksa oleh psikiater karena Hirasawa menderita korsakov syndrome yang katanya disebabkan oleh suntikan-suntikan anti rabies pada tahun 1925. Tes-tes psikiatris dilakukan dan Hirasawa dinyatakan waras.
Pengadilan menyatakan Hirasawa bersalah.
Hakim Ketua Kiyoo Eriguchi kemudian membacakan vonis: Hirasawa dijatuhi hukuman mati dengan digantung.
Seratus orang yang memadati ruang sidang terkejut ketika Hirasawa melompat dan berteriak-teriak: “Tuduhan palsu! Kalian membuat kesalahan besar!”
Hakim menyatakan bahwa karena penyakit otak yang disebut korsakov syndrome, Hirasawa yang sudah terkenal sebagai pelukis kemudian sering membohongi orang lain dan juga dirinya sendiri. Ketika karya-karyanya sudah tidak laku, ia tetap berkata kepada istri dan wanita-wanita simpanannya bahwa penghasilannya besar. Supaya bisa mempertahankan kebohongannya ini ia merampok bank dsb dengan harapan bisa cepat kaya.
Ingin menjadi anggota parlemen
Hirasawa naik banding. Tetapi pengadilan tinggi maupun mahkamah agung menyatakan Hirasawa bersalah. Tetapi entah mengapa, perintah resmi untuk melaksanakan hukuman mati terhadapnya tidak pernah ditandatangani. Sampai tulisan ini dibuat tahun 1977 ia masih hidup dalam sel penjara di Sendai.
Hirasawa melewatkan waktunya dengan mengarang puisi dan melukis benda-benda mati. Ada orang yang menyebutkan karyanya sebanding dengan karya Paul Cezanne. Tahun 1977 ia sudah menghasilkan lebih dari 850 karya yang diedarkan oleh “Perkumpulan Penyelamat Hirasawa” yang berusaha membebaskannya.
Hirasawa sendiri bersikeras ia tidak bersalah dan berharap bisa keluar dari penjara sebagai orang yang bebas. Katanya ia akan ikut dalam pemilihan umum agar bisa menjadi anggota parlemen dan membela orang-orang yang senasib dengannya, yaitu dihukum karena tuduhan palsu.
Bagaimana dengan penangkapnya? Sersan Igii naik pangkat menjadi inspektur polisi dan kemudian menjadi instruktur di akademi polisi. la pensiun dari jabatan terakhir di bagian pembunuhan Kantor Polisi Metropolitan Tokyo tahun 1964.
“Saya yakin Hirasawa bersalah,” katanya. “Ia bukan manusia yang menjijikkan. Pada saat pertama kali bertemu, saya tidak menyangka ia pembunuhnya. Hirasawa tidak bersalah di mata saya, sampai saya berhasil menggali bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ia bersalah. Saya yakin ia melakukan pembunuhan massal itu walaupun saya kasihan kepadanya.”
(The Super Sleuths)
Baca Juga: Mencari 'Mayat Hidup'
" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553725947/kartu-nama-yang-membuka-rahasia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680808772000) } } }