array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3605779"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/rahasia-angka-17_matt-hearnejpg-20221212090152.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(138) "Mayat hangus terbakar ditemukan di Lover’s Wood. Dengan bukti yang sangat terbatas, polisi berusaha mencari identitas korban malang itu."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/rahasia-angka-17_matt-hearnejpg-20221212090152.jpg"
      ["title"]=>
      string(16) "Rahasia Angka 17"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-12 09:02:06"
      ["content"]=>
      string(30268) "

Intisari Plus - Mayat hangus terbakar ditemukan di Lover’s Wood. Dengan bukti yang sangat terbatas, polisi berusaha mencari identitas korban malang itu.

--------------------

Pagi itu, 2 Mei 1974, cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar cerah di ufuk timur. Bagi Franz-Josef Faust, seorang pensiunan, cuaca macam ini tentu menggembirakan. Apalagi setiap hari, tak peduli cuaca, penduduk pinggiran hutan Dunkelstein ini selalu menjelajahi hutan, yang oleh banyak orang dikenal sebagai Lover’s Wood. Hari itu sebelum masuk hutan, ia menyiapkan sarapan sendiri dan mengemas bekal untuk makan siang. Seperti tak mau buang-buang waktu, ia segera berangkat pagi-pagi.

Lover’s Wood membentang dan pinggir Kota St. Polten sepanjang Sungai Danube sejauh 32 km ke utara. Kota tua St. Polten telah berdiri sejak abad ke-13. Letaknya sekitar 64 km barat Wina, ibu kota Austria, dan 1,5 km ke utara yang mengarah ke barat menuju perbatasan Jerman. Walaupun telah menjadi kota industri, udara kota ini masih relatif bersih.

Bagi banyak orang, menjelajahi hutan itu tentu menyeramkan. Tapi tidak buat Franz-Josef Faust. Bahkan ketika ia tak sengaja menemukan korban tindak kejahatan di hutan itu. Tepat pukul 07.26 dia menemukan onggokan gosong tak bergerak yang dikerubuti lalat. Sejenak ia memperhatikan dengan saksama, pemandangan mengerikan sesosok mayat.

Dan ukurannya, itu mayat seorang pria. Tubuhnya mulai tampak membengkak, sehingga lebih mirip raksasa. Wajahnya hitam terbakar, sementara kulitnya terbungkus lepuhan amat besar. Ototnya terkoyak di beberapa bagian dan tak sehelai rambut atau pakaian pun tersisa. Dari aroma bau busuk yang menyengat, mudah ditebak kalau pria itu sudah cukup lama meninggal.

Franz-Josef Faust tidak mendekat, tapi mencoba mengenali tanda-tanda di sekitarnya agar dapat menemukan tempat itu kembali. Lalu dia mencari telepon umum terdekat. Pukul 08.30 dr. Julius Stengler tiba di tempat mayat mengerikan itu ditemukan. Dokter forensik berkacamata dengan bingkai dari bahan tanduk binatang ini bertugas di kantor polisi St. Polten. Dia datang bersama petugas ahli dari departemen investigasi kriminal.

“Dia sudah mati beberapa minggu dan sudah tak bernyawa ketika seseorang membakarnya di sini,” tutur dokter Stengler.

“Kapan dia dibakar?” tanya Inspektur Anton Hochbauer, yang berbadan besar dengan bahu lebar, kumis pirang, dan kepala botak sambil mengamati detailnya.

“Baru saja,” kata dokter itu. “Mungkin dua hari lalu, tapi saya baru bisa memberi penjelasan lebih rinci setelah membawanya ke kamar jenazah.”

“Ini telapak roda mobil,” teriak Detektif Sersan Max Friedman, asisten inspektur dan anggota ketiga dari tim tadi.

Inspektur polisi berjalan menuju tempat sersan bertubuh langsing dan berambut pirang yang sedang jongkok di samping sepasang jejak roda di tanah yang lembek itu.

“Mereka tidak menggotongnya jauh-jauh,” kata Inspektur.

Mayat itu digeletakkan sekitar 1,8 m dari salah satu jalan di hutan yang biasa digunakan pekerja hutan, tapi tidak dilalui tim polisi saat menuju tempat kejadian perkara (TKP).

“Mereka?” ujar Sersan itu. “Berarti lebih dari seorang?”

Inspektur mengangguk. “Menurut saya, ini pembunuhan profesional. Semua ciri-cirinya dihilangkan. Saya yakin, setiap bagian penting dari tubuh yang diperlukan untuk identifikasi telah dirusak. Beruntung kalau kita berhasil menemukan identitasnya.”

Perkiraan pesimistis Inspektur itu menunjukkan akurasinya.Tak ada petunjuk penting yang dapat ditemukan untuk mengidentifikasi mayat, walau beberapa bagian pakaian terbakar ditemukan dekat tubuh korban, dan jari korban cukup lengkap untuk diambil sidik jarinya. Wajahnya pun terlalu rusak sehingga percuma kalau difoto atau sulit dibuat sketsa gambarnya yang detail oleh polisi. Pakaiannya asli orang Austria, tapi tanpa petunjuk di mana pakaian itu dibeli. Bekas ban mobil di tanah pun terlalu samar untuk bisa dilacak jejaknya.

 

Bidai buatan RSU

“Menurut Stengler, dia tewas sekitar pertengahan April akibat dua pukulan sangat keras di pelipis kiri. Diduga alat pemukul itu mirip palu godam atau benda sejenis,” ujar Inspektur, terlihat muram melihat tumpukan laporan di meja kerjanya. “Korban seorang pria berusia sekitar tiga puluh hingga empat puluh tahun. Secara umum kondisi kesehatannya baik, kecuali satu ruas jari kirinya cedera.”

“Cedera saat dia dibunuh?” tanya Sersan. 

“Sebelumnya dan hampir sembuh. Dia mengenakan bidai ini di bagian yang cedera,” ujar Inspektur. Dari mejanya ia mengambil sebuah bidai gepeng panjang, biasa digunakan untuk membalut tulang yang patah. Bidai itu terbuat dari bahan khusus, yang lalu diperlihatkan kepada mitra kerjanya.

Sersan mengamati benda itu lalu meletakkannya kembali ke atas meja.

“Apa Anda masih berpikir ini pembunuhan profesional?” ia bertanya.

“Apa lagi?” tutur Inspektur. “Tidak ada laporan adanya orang hilang di seluruh Austria yang berhubungan dengan mayat ini. Tidak pula ada orang hilang atau seseorang yang menghilang dari negara tetangga.”

“Bisa saja korban itu orang asing,” tutur Sersan dengan serius. “Tapi kenapa harus dibawa sampai ke St. Polten? Saya pikir, komplotan profesional yang ingin membuang tubuh itu ke luar negeri akan melakukannya sedekat mungkin dengan perbatasan. Perbatasan terdekat di sini adalah Cekoslovakia, yang negara komunis (saat itu -. Red.). Saya tidak pernah mendengar ada geng atau pembunuh profesional di sana. Kalaupun ada, bagaimana cara mereka melintasi perbatasan? Bagi mereka, akan lebih mudah untuk melarikan diri dari penjara ketimbang keluar Cekoslovakia dengan seonggok mayat berusia dua minggu!”

“Kurang dari dua minggu mungkin,” kata Inspektur. “Stengler mengatakan korban dibakar pada 1 Mei. Mereka menggunakan campuran bensin dan oli.”

“Mengapa mereka tidak membakarnya sampai ludes? Itu juga mengesankan pelakunya tidak profesional,” kata Sersan.

Inspektur tak segera menjawab. Setelah beberapa saat, dia mengambil sebatang cerutu racikan tangan yang berukuran pendek, membuang ujungnya, dan menyelipkannya di sudut bibirnya. Inspektur Hochbauer cuma merokok ketika dihadapkan pada masalah rumit atau sulit terpecahkan. la yakin cerutu bisa membantunya berpikir.

“Anda benar,” akhirnya dia berujar. “Ini tidak dapat dikatakan pembunuhan profesional. Tak seorang pun mau membopong mayat busuk menyeberangi perbatasan Ceko, atau perbatasan lainnya, cuma untuk membuang mayat. Pembunuh profesional tidak bakalan menunggu sampai dua minggu untuk membuang tubuh korbannya. Pembunuh profesional tidak bakal menyiramkan bensin untuk membakarnya. Ini pasti perbuatan pembunuh biasa.”

“Tapi dia sudah mati lebih dari dua minggu dan tak ada yang melapor kehilangan. Mungkinkah itu?” tanya Sersan.

“Ya. Ada orang hilang untuk waktu yang lama tanpa seorang pun mengetahuinya. Salesman di jalan, perantau yang mencari pekerjaan, orang dalam perjalanan ke kota lain, atau yang tinggal sendirian. Kadang-kadang tidak ada orang yang melaporkan kehilangan itu,” ujar Inspektur sambil melumat cerutunya di asbak.

“Hanya orang yang kenal dekat dengannya yang akan membunuh,” kata Sersan.

“Tak selalu begitu. Ambil contoh, seorang salesman. Saat sedang mengendarai mobil di jalan, dia dihentikan oleh seseorang atau beberapa orang yang hendak menumpang tapi lalu ia dirampok dan dibunuh oleh ‘penumpangnya’. itu. Mayatnya di bagasi dibawa berkeliling selama beberapa minggu. Setelah busuk, mayat itu dibuang di hutan dan dibakar. Mobilnya mereka jual ke pedagang gelap atau dibuang begitu saja. Modus semacam itu cukup sering terjadi,” kata Inspektur.

Sersan mengambil data-data dari meja. “Bagaimana kalau kita serahkan semua data ini ke seksi kejahatan tak terungkap?”

Inspektur terdiam, dia tidak suka mengirimkan data investigasi ke seksi itu jika masih ada kemungkinan untuk mengungkapnya. Tapi, apa lagi yang bisa ia lakukan? Rasanya, semua informasi telah didapat, kecuali tubuh tak bernyawa yang tidak mungkin dikenali itu.

“Saya ingin tahu berapa banyak pria cedera ruas jari kirinya di Austria belakangan ini?” gumamnya sambil memutar-mutar bidai jari di jemarinya.

Namun, tiba-tiba dia berdiri, meletakkan bidai ke atas meja dan meraih gagang telepon. “Tunggu dulu, mungkin Stengler dapat menjelaskan kapan pria itu mendapat cedera tangannya.”

Ternyata dr. Stengler bisa menjawab, “Kira-kira tiga minggu sebelum dia dibunuh. Sekitar minggu terakhir di bulan Maret. Kenapa? Apakah sudah ada titik terang?”

“Memang belum. Tapi kuharap ini bisa mengungkap identitas korban,” kata Inspektur sambil meletakkan gagang telepon dan menyerahkan bidai kepada Sersan.

“Ada penyelidikan yang belum kita lakukan. Ambil bidai ini, lalu cari tahu di semua rumah sakit sekitar sini, karena mungkin setiap rumah sakit membuat bidai sendiri. Jika tidak ada yang sama, kita akan mengecek rekaman medis rumah sakit untuk mengetahui siapa yang mengalami cedera di ruas jari kiri di bulan Maret, lalu menelusurinya satu per satu. Jika ada orang yang tidak kita temukan, bisa jadi korban itulah orangnya.”

“Akan ada banyak pemeriksaan, karena jari yang cedera bisa saja dibidai di tempat praktik dokter bedah. Jadi, saya butuh banyak tenaga bantuan,” kata Sersan.

“Lakukan saja apa yang Anda mau. Yang penting, informasi itu bisa segera sampai ke tangan saya,” kata Inspektur yakin, langkah ini akan menjadi pembuka atas penyelesaian kasus.

 

Penelepon misterius 

Kurang dari empat jam kemudian, dan dengan upaya jauh lebih ringan dari yang dikhawatirkan Sersan, bidai itu sudah diketahui asalnya. Ternyata dari Rumah Sakit Umum St. Polten.

Seminggu kemudian, Sersan dan empat pembantunya menyeleksi 5.382 kartu pasien dari data rekaman medis rumah sakit itu. Hasilnya, ditemukan tiga nama pria yang cedera ruas jari kiri selama periode pertengahan Februari pertengahan April.

“Sekarang kita masuk ke tahap berikut. Cari ketiga orang itu,” kata Inspektur.

Sersan dengan cepat menemukan dua dari tiga orang itu, dalam keadaan hidup dan sehat. Tapi, orang ketiga belum ditemukan.

Beberapa waktu kemudian ada telepon masuk ke kantor polisi.

“Suami saya tidak hilang. Dia di Wina mencari kerja. Dia baru menelepon saya dua minggu lalu,” ujar si penelepon yang mengaku bernama Ny. Anneliese Madler berusia 35 tahun.

“Ada yang tidak beres,” gumam Inspektur. “Informasi Friedrich Madler mirip dengan data korban. Pertama ukuran tubuhnya sama dengan korban. Usianya 39 tahun, mirip perkiraan usia korban. Lalu, Madler kehilangan ruas jari kirinya pada 24 Maret. Lukanya dibidai di RSU dengan bidai yang sama dengan bidai korban. Ny. Madler berbicara via telepon dengan Madler sekitar seminggu setelah korban diperkirakan dibunuh. Apakah mungkin dia salah dengar?”

“Setelah 20 tahun menikah dan memiliki empat anak, masa dia tidak mengenal suara suaminya?” tanya Sersan. “Bagaimana dengan anaknya, Johann? Bukankah Johann juga bicara dengan Madler. Mestinya mereka berdua tidak salah dengar. Tapi, seandainya pengakuan mereka benar, lalu siapa yang menelepon dan apa tujuannya? Madler bukan orang kaya. Dia cuma pekerja biasa yang lebih banyak menganggur ketimbang bekerja. Jika Ny. Madler tidak punya pekerjaan yang bagus, keluarganya bakal sengsara.”

Dengan empat anak remaja -Johann (17), Hubert (16), Lotte (14), dan Josef (13) - keluarga ini hampir tergantung sepenuhnya pada gaji Anneliese Madler sebagai sekretaris sebuah perusahaan asuransi di St. Polten.

“Ada informasi dia tidak mendaftarkan diri di kantor tenaga kerja di Wina. Jadi, lebih besar kemungkinannya dia pergi hanya untuk melepas tanggung jawab ketimbang mencari kerja,” kata Sersan.

“Tidak terdaftar? Lalu apa polisi sudah menemukan jejaknya?” desak Inspektur.

“Mereka sudah memeriksa sejumlah hotel murah dan rumah kontrakan. Sejauh ini nol. Tidak ada indikasi Madler berada di Wina.”

“Mungkin ia memang ada di St. Polten,” kata Inspektur. “Bisa saja dia mengaku menghubungi anak dan istrinya dari Wina. Tapi, benar-tidaknya, sulit dibuktikan.”

“Jadi, bagaimana?” tanya Sersan.

“Sebelum terbukti korban itu bukan Friedrich Madler, kita tetap mencarinya. Hubungi wartawan, lalu minta mereka memuat imbauan kepada Madler untuk melaporkan diri kepada polisi.”

Satu-satunya yang dihasilkan dari seruan itu hanya tiga telepon. Dua dari orang iseng, dan satu dari orang gila yang mengatakan telah membunuh dan memakan Madler karena dia penganut sekte tertentu.

Sementara itu, investigasi yang berlangsung tanpa henti telah menghasilkan fakta yang memberi harapan. Pencocokan sidik jari dari rumah Madler membuktikan, tubuh terbakar di Lover’s Wood adalah Friedrich Madler.

“Identifikasi itu justru membuat kasus ini menjadi lebih sulit dipahami,” keluh Inspektur. 

“Ada orang menelepon Ny. Madler dan anaknya dengan mengaku sebagai Madler. Itu terjadi saat Madler telah tewas,” ucap Sersan.

“Jelas, penelepon itu pembunuhnya. Tapi, bagaimana dia memperdaya seorang istri dan anaknya hingga mereka percaya bahwa suami atau ayahnyalah yang berbicara?”

“Ini mungkin saja terjadi karena kelalaian. Bisa dimengerti karena orang biasa menyangka suara seseorang akan berbeda bila didengar melalui telepon. Apalagi jika tema pembicaraannya benar, maka keluarga Madler tak menyangsikan bahwa si penelepon adalah Madler. Yang lebih membingungkan saya, apa tujuan si penelepon? Keuntungan apa yang ia harapkan? Malah, Ny. Madler berucap tidak akan mau melaporkan bahwa suaminya hilang, meskipun suaminya tidak menelepon. Yang membuatnya kaget justru ketika Madler menelepon.”

“Mungkin pembunuhnya tidak mengetahui,” kata Sersan.

“Setidaknya, ia tahu benar situasi keluarga itu, yakni bahwa Madler sedang ke Wina, sehingga ia bisa menyamar sebagai Madler,” kata Inspektur.

“Mungkin benar, tapi yang kita tahu sebatas bahwa ‘Madler’ palsu telah menelepon keluarganya. Repotnya, Madler tidak punya keluarga besar, teman dekat, bahkan juga musuh yang bisa dicurigai,” tutur sersan.

“Tidak ada dalam pikiran saya, seorang buruh biasa bisa memiliki musuh,” sahut Inspektur.

“Dia benar-benar tidak punya musuh. Rasanya, tidak masuk akal ada orang tega membunuh Madler hanya karena dia pemalas?” jawab Sersan.

“Kecuali jika Anda kebetulan menjadi istrinya,” kata Inspektur.

“Ya, saya sependapat,” kata Sersan. “Tapi, ada hal yang membuatnya tidak mungkin. Ny. Madler bisa saja berbohong tentang telepon, tapi bagaimana dengan Johann? Bukankah dia juga berbicara dengan pria pembunuh ayahnya itu. Bahkan, anak lainnya ada di sekitarnya ketika telepon berbunyi?”

“Meski Ny. Madler yang bertubuh mungil punya kekuatan untuk membunuh suaminya, rasanya ia akan kesulitan mengangkat mayat suaminya ke hutan itu. Dia tidak dapat melakukannya tanpa bantuan orang lain.”

“Jangan-jangan memang ada bantuan. Siapa tahu si istri mempunyai pacar yang dianggap lebih baik dari Madler. Jadi, dia mengenyahkan Madler agar dapat menikah lagi.”

“Sejauh ini pemeriksaan, terhadap Ny. Madler tidak menunjukkan tanda-tanda ia mempunyai kekasih. Biar bagaimana pun itu satu-satunya asumsi yang masuk akal, jadi perlu ada pemeriksaan lebih lanjut,” kata Sersan.

 

Teka-teki angka 17

Setelah investigasi intensif pada minggu berikutnya, teori itu masih sebatas teori, tak didapatkan fakta pendukung.

“Jika benar Ny. Madler punya kekasih, dia telah sukses menyembunyikannya. Tapi, memang ada waktu-waktu yang tidak jelas apa kegiatannya. Dia sering mengendarai sedan Sunbeam warna silver. Tapi, kita tak pernah melihatnya bersama pria lain. Kita telah memeriksa semua bar dan hotel mesum, namun tak seorang pun mengendli fotonya. Jadi, entah di mana dia berkencan dengan ‘kekasih’-nya itu,” tutur Sersan.

“Sederhana, dia menjemput kekasihnya dengan mobilnya. Lalu mereka menuju Lover’s Wood. Di sanalah tempat mereka berkencan, sekaligus menjadi tempat membuang mayat Madler.”

“Tapi, di mana mereka membunuhnya? Di mana pula mereka menyembunyikan mayat itu sejak dibunuh hingga dibawa ke hutan untuk dibakar? Menurut Stengler, ia dibawa ke sana hanya beberapa saat sebelum dibakar.”

“Ketika dibawa ke hutan, mayat itu sudah membusuk. Selama berhari-hari baunya pasti tak tertahankan. Kemungkinan, tempat persembunyian yang tidak diperhatikan orang adalah lantai dasar rumah,” kata Inspektur.

“Itu berisiko besar. Jika salah seorang anaknya masuk ke sana ...,” kata Sersan.

Diskusi mereka terhenti sejenak oleh dering telepon.

Inspektur mengangkat dilanjutkan dengan terus mendengarkan suara di seberang selama satu atau dua menit. Kemudian ia memberi kode kepada Sersan untuk mengangkat pesawat teleponnya. Sersan mendengar suara pria berkata, “Kalian tidak akan pernah menemukan saya!” diikuti bunyi gagang telepon dibanting.

“Siapa dia?” tanya Sersan.

“Pembunuh Friedrich Madler,” kata Inspektur. 

“Coba turun dan lihat apakah mesin perekam otomatis sedang berfungsi?” 

Untung percakapan itu terekam dengan baik. Pita kaset itu segera diperdengarkan di kantor Inspektur.

Bunyi isi rekaman itu, “Ini pembunuh Friedrich Madler. Anda hanya buang-buang waktu. Tak seorang pun yang tahu kalau Madler mengenal saya atau nama saya. Dia telah mencurangi saya tujuh belas tahun lalu dan sekarang dia mendapatkan apa yang dia harapkan. Tapi kalian tidak akan pernah menemukan saya!”

“Ia berbicara dengan saputangan yang dibekapkan di mulut untuk mengaburkan suaranya. Saya punya kesan, dia bukan pria terlalu tua,” tutur kepala teknisi dari laboratorium polisi yang telah mendengarkan rekaman itu.

“Berapa usianya kalau Madler melakukan suatu kecurangan tujuh belas tahun lalu atau jangan-jangan dia orang gila?” kata Sersan Friedmann.

“Semua kemungkinan selalu bisa terjadi. Kasus pembunuhan misterius memang akan mengundang berbagai macam orang aneh untuk menelepon. Tapi yang mengesankan bagi saya adalah angka tujuh belas. Mengapa orang gila akan memilih sebuah angka waktu yang pasti seperti itu? Orang gila biasanya mengatakan, ‘beberapa waktu lalu’ atau ‘suatu ketika’, tapi tidak ‘tujuh belas tahun lalu’. Angka itu mengartikan sesuatu.”

“Johann Madler berusia 17 tahun,” kata Sersan. 

Suasana hening sejenak. 

“Mungkinkah seorang anak laki-laki berlagak meniru ayah yang dia benci?” tutur Inspektur.

“Mungkin saja,” kata teknisi itu. “Ini pernyataan dramatis yang mungkin dibuat oleh seorang pemuda. Tapi apa inti permasalahannya?” 

“Panggilan telepon atau pembunuhannya?” kata Inspektur. “Telepon itu bertujuan mengalihkan sasaran investigasi yang telah kita tempuh, yakni Ny. Madler.”

“Tapi kupikir, anak laki-laki itu bisa jadi tersangka. la sudah cukup besar, dia dapat menghantam kepala ayahnya ketika sedang tidur atau mabuk. Lalu sang ibu membantunya menyembunyikan dan membawa mayat korban menuju hutan dengan mobil ibunya.”

“Hal itu juga dapat menjelaskan adanya telepon dari Madler ‘dilakukan’ dari Wina. Mereka memalsukannya demi anak-anak lainnya,” tutur Inspektur.

“Jangan-jangan anak-anak lainnya terlibat juga. Madler bukan suami atau ayah yang baik. Mungkin seluruh keluarganya telah lama merencanakan untuk mengenyahkan dia. Masalahnya, bagaimana cara kita membuktikan? Ny. Madler dan anak lelaki sulungnya pasti menolak bicara. Kita pun akan kesulitan dalam memeriksa anak yang lebih muda.”

“Untuk masalah terakhir, kita bisa meminta bantuan petugas bagian anak-anak. Selain itu, kita harus mencari bukti fisik di TKP. Jika benar Madler dibunuh di dalam rumah lalu tubuhnya disimpan di sana pula, sampai akhirnya membusuk sehingga harus buang, pasti kita masih bisa mencari bekas-bekasnya. Cepat, minta surat penggeledahan dari pengadilan, lalu kita periksa seluruh rumah Madler. Jika kita tak menemukan apa pun, kita boleh menyerah. Maka kasus ini akan menjadi kasus pembunuhan yang sempurna,” kata Inspektur.

Di bawah tempat tidur besar di ruang tidur utama rumah Madler, detektif menemukan darah manusia yang telah mengering. Rupanya, Friedrich Madler dihabisi di ranjangnya. Penemuan itu membuat Anneliese Madler terpukul.

 

Perilaku seksual menyimpang

la akhirnya mengaku, “Saya berniat melapor ke kantor polisi sehari setelah pembunuhan terjadi. Tapi Johann mengatakan, ‘Mengapa Mama harus masuk penjara demi pria brengsek itu? Gara-gara dia, sekian lama Mama menderita!’ Jadi, saya mengurungkan niat. Maaf, saya telah membuat banyak kerepotan.”

Menurut pengakuan Ny. Madler, selama 20 tahun perkawinan ia tak henti mengalami penderitaan. Selama itu dia harus menopang seluruh keluarga. Tapi imbalan yang didapatkan dari suaminya hanya pukulan, siksaan, dan perilaku seksual yang menyimpang.

Menurut beberapa kenalannya, Friedrich Madler telah menjadikan istrinya objek dari berbagai bentuk perlakuan tak wajar. Sebagai seorang sadis, dia membangkitkan nafsunya melalui penyiksaan istri. Pemeriksaan medis menunjukkan, tubuh Ny. Madler penuh bekas luka bakar, sayatan, dan cambukan. Pernyataannya didukung oleh anak-anaknya. Mereka mengatakan sering mendengar rintihan dan teriakan ibu mereka.

Pada 18 April malam, Friedrich Madler pulang dalam keadaan setengah mabuk. la lalu memaksa istrinya melakukan kegiatan seksual tak wajar disertai pukulan. Siksaan itu baru berakhir pada pukul 03.00, ketika dia mengantuk.

Dengan tertatih-tatih dan menahan kesakitan Ny. Madler turun dari ranjang, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan luka-lukanya. Di kamar mandi ia melihat palu godam tergeletak. Memang sehari sebelumnya di kamar mandi itu dilakukan perbaikan. Bagi wanita yang hampir histeris ini, palu itu tampak sebagai dewa penolong.

“Gara-gara perlakuan Madler, saya merasa tidak pernah dapat berpikir waras lagi. Benda itu seperti memanggil-manggil saya, ‘Kamu harus membunuhnya sekarang! Kamu harus membunuhnya sekarang!’ Tanpa pikir panjang saya mengambil palu itu dan kembali ke ruang tidur.”

Anneliese Madler mengangkat palu itu dengan kedua tangannya, lalu sekuat tenaga memukulkannya ke pelipis kiri suaminya yang tidur pulas. Madler sempat tersentak satu kali, tapi setelah itu ia tergeletak dan tak bergerak sama sekali.

Ny. Madler memukulnya sekali lagi untuk memastikan bahwa suaminya benar-benar tewas. Kemudian dia pergi ke ruang tamu dan duduk beristirahat sampai saat Johann menemukannya di pagi hari.

Johann menyarankan ibunya agar tidak melapor ke polisi. Jadi, selama tiga hari tubuh itu tergeletak di ruang tidur, tanpa diketahui anak-anak lainnya. Rupanya, selama itu darah terkumpul di bawah ranjang.

Tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap mayat Madler, maka di malam harinya Ny. Madler dan Johann mengangkat dan meletakkannya di bagasi mobil. Selama dua minggu mayat itu selalu bersama Ny. Madler, baik ketika pergi bekerja, ke gereja, dan berbelanja. Untuk menutupi bau busuk, ia menggunakan disinfektan dan deodoran.

Pada akhirnya bau busuk tidak mungkin lagi ditutupi. Pada 1 Mei malam Ny. Madler dan Johann menuju Lover’s Wood untuk membuang mayat itu. Mereka mencoba membakarnya dengan campuran bensin dan oli.

Saat terbakar, mayat yang membusuk itu mulai menggeliat. Ibu-anak pun panik dan lari ketakutan.

Pada musim semi tahun 1975 dijatuhkan hukuman pada Anneliese Madler yakni empat tahun penjara atas tuduhan melakukan pembunuhan tidak direncanakan.

Namun, beberapa waktu sebelumnya Johann Madler telah lebih dulu digiring ke pengadilan anak. Dia diganjar hukuman lima tahun penjara dalam sebuah LP anak-anak atas perbuatannya sebagai kaki tangan ibunya setelah terjadi pembunuhan, serta membantu dan bersekongkol dalam penyembunyian tindak kejahatan.

Meski vonis telah dijatuhkan, masih ada pertanyaan tersisa tentang identitas orang yang menelepon Inspektur Hochbauer. Kalau Johann Madler membantah, lalu siapa?

Baca Juga: Kekasihnya Tewas di Jalanan

 

" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605779/rahasia-angka-17" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835726000) } } }