Intisari Plus - Orang berpikir bahwa penjara Alcatraz di San Francisco tidak akan pernah bisa dijebol. Frank Morris membuktikan bahwa mereka salah. Namun sampai hari ini nasib mereka tidak pernah diketahui.
--------------------
Pada tahun 1930, Alcatraz, sebuah pulau berbatu di teluk San Francisco, merupakan sebuah penjara yang terkenal kejam. Dikenal sebagai "The Rock", karena tidak mungkin ada yang bisa lolos dari sana, dan rumah yang suram bagi bandit-bandit seperti "Creepy" Karpis dan "Machine Gun" Kelly. Bahkan, seorang mafia yang terkenal seperti Al Capone pun secara perlahan menjadi gila ketika menghabiskan sisa hidupnya di ruang penatu penjara ini.
Pada tahun 1950, Alcatraz menjadi bayangan yang meremukkan. Walaupun sering kali bertindak brutal, namun para penjahat yang berada di sana tidak lagi kejam. Pulau Alcatraz menjadi tanah lembab yang terus menerus menghantui para tahanan yang dipindah dari penjara lainnya di Amerika barat.
*
Frank Morris, seorang perampok bank dan pembobol rumah, memang hebat. Serangkaian hukuman, pelarian, dan penangkapan membawanya ke pulau ini. Ia tiba pada 1960, dan menolak anggapan bahwa tidak ada yang dapat lolos dari Alcatraz. Sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di pulau ini, ia telah merencanakan pelariannya.
Morris, seorang yang kurus, tampan, sama sekali tidak terlihat seperti Clint Eastwood yang memerankannya di film produksi Hollywood. Wajahnya yang simpatik serta perangainya yang kalem, menyamarkan sifat kasar dan pikiran tajamnya.
Seiring dengan berlalunya hari pertamanya di Alcatraz, Morris langsung terbiasa dengan rutinitas di penjara. Setiap harinya para tahanan bisa pergi ke bengkel untuk memperoleh penghasilan dengan membuat sikat atau sarung tangan. Ada rutinitas penggeledahan badan, absensi selama setengah jam, dua jam "rekreasi" berputar-putar di lapangan olahraga. Tiga kali makan di kantin penjara.
Kantin dianggap tempat yang paling berbahaya di penjara. Untuk menghindari terjadinya keributan, di dinding kantin sudah ada lubang tempat menembak, dan bom air mata telah terpasang di langit-langit kantin.
Setelah makan malam, para tahanan dikunci di sel masing masing. Mereka mempunyai waktu empat jam untuk melakukan hobi mereka, sampai lampu dimatikan pada jam sembilan malam. Waktu itu bisa mereka gunakan untuk melukis, membaca, memainkan alat musik, atau apa saja di dalam sel masing-masing.
Ada beberapa di antara mereka yang bermain catur dengan tahanan di sel sebelahnya, ada juga yang mengancam tahanan lain yang akan mereka serang keesokan harinya pada saat jam olahraga.
Karena mudah bergaul, dengan cepat Morris mendapatkan teman. Di sel sebelahnya ada Allen West, seorang pencuri mobil dari New York. Mereka cukup akrab. Di kantin, tempat para tahanan bisa duduk di bangku panjang di mana saja mereka suka, Morris juga berkenalan dengan kakak beradik Anglin, John, dan Clarence. Mereka adalah pemuda desa yang meninggalkan pekerjaannya di peternakan Florida—dan menjadi perampok bank. Sel mereka berada di lantai yang sama dengan sel Morris, sekalipun letaknya agak jauh.
Setelah Morris berada di Alcatraz selama satu tahun, seorang tahanan memberitahunya bahwa sebuah kipas besar telah dipindah dari terowongan ventilasi atap tiga tahun sebelumnya, dan tidak pernah diganti. Pikiran tajam Morris langsung membayangkan sebuah pelarian yang nekad di malam hari melalui terowongan tersebut. Ada jalan keluar dari "The Rock", sembilan meter di atas kepalanya.
Pelarian tersebut akan sangat sulit, tetapi bukan tidak mungkin. Satu yang pasti, hal itu memerlukan waktu yang tidak sedikit dan rencana yang matang. Waktu adalah satu-satunya kemewahan yang dimiliki seseorang selama di penjara, dan Morris akan menggunakannya dengan baik.
Yang harus dilakukan Morris adalah mencari jalan untuk keluar dari sel yang terkunci menuju atap. Para tahanan diawasi dengan ketat saat mereka keluar dari sel, jadi hal itu tidak mungkin dilakukan pada saat itu.
Suatu hari, muncul sebuah inspirasi. Di bawah di setiap sel, tepat di bawah tempat cuci piring, terdapat sebuah ventilasi udara kecil. Di belakangnya terdapat sebuah koridor sempit tempat air mengalir, listrik, dan pipa saluran pembuangan. Seandainya Morris dapat memindahkan ventilasi itu, lalu membuat sebuah lubang yang cukup besar baginya, maka ia dapat memanjat ke terowongan dan keluar ke atap. Di malam hari, ia hanya sendirian di dalam sel selama sembilan jam. Ini adalah waktu yang tepat untuk mencobanya.
Seberapa mudahkah membuat lubang itu? Morris membungkuk dan menggores tembok baja itu dengan sebuah gunting kuku. Sebuah percikan api kecil muncul. Tembok tersebut bisa dilubangi, tapi memerlukan waktu berabad-abad untuk melakukannya. Membuat lubang bukanlah masalah. Bagaimana menyembunyikan lubang yang semakin membesar itulah yang harus dipertimbangkan.
Morris memutuskan untuk membeli sebuah akordion, seperti milik West, dengan uang yang diperolehnya dari bengkel, untuk menutupi lubang galiannya. Seiring bertambah besarnya lubang galiannya sehingga tidak dapat ditutupi dengan akordion lagi, Morris mendapat ide untuk membuat tembok tiruan dengan papan yang dilukis lengkap dengan ventilasi udaranya.
Semakin dipikirkan, Morris semakin sadar bahwa rencana ini akan lebih baik dilakukan dengan bantuan orang lain. West dan kakak beradik Anglin pun direkrut. Keberadaan mereka di blok sel yang sama sangat membantu. Empat serangkai ini pun menjadi kompak.
Langkah pertama yang diambil adalah menjadikan melukis sebagai hobi mereka. Hal ini tentu tidak akan memudahkan mereka untuk memesan kuas, kanvas, dan papan lukis yang akan mereka gunakan untuk membuat tembok palsu yang mereka perlukan.
Sementara West mengawasi patroli para sipir dari selnya, Morris mulai menggali tembok dengan gunting kukunya. Setelah satu jam, ia hanya bisa mendapat kepingan-kepingan kecil tembok, dan jarinya sangat kesakitan.
la berbisik pada West, "Aku rasa kita pasti masih akan menggali pada saat kita mendapatkan pembebasan bersyarat." "Kita harus bicara dengan Anglin pada saat sarapan nanti," kata West. Lalu keduanya pun tidur.
"Jadi ..."
Clarence Anglin selalu membiarkan kalimatnya menggantung, tidak selesai. Namun kalimat selanjutnya merupakan kalimat yang pantas untuk disimak. West dan Morris menunggu kata-kata selanjutnya.
"Lihat sendok ini? Aku rasa bisa kita jadikan alat penggali yang pantas. Lekatkan gunting kukumu di pegangannya, maka kau akan menggali lebih mudah."
Morris memasukkan sendoknya ke dalam sakunya.
"Ide bagus, Clarence," katanya. "Dan aku tahu bagaimana caranya melekatkan sendok dan pisau! Sampai ketemu lagi ..."
Malam itu, saat tahanan lain melukis, atau memainkan ala musik mereka, Morris mempersiapkan aktivitas sesuai rencana Pertama, ia mematahkan pegangan sendok yang diselundupkannya, lalu memindahkan salah satu mata pisau dari gunting kukunya.
"Hei, Westy," bisiknya, "Kau punya koin?"
"Ya, siapa yang bertanya?"
"Berikan padaku, akan kuganti saat kita lolos dari tempat ini! Sekarang, berjagalah untukku."
Morris mulai mengerat koin sampai ia mendapatkan gundukan kecil serpihan logam di atas mejanya. Kemudian ia mengikat sekitar lima puluhan batang korek api menjadi satu Lalu ia mengambil beberapa buku dan disusun seperti dua menara yang berdekatan dan memosisikan pegangan sendok dan gunting kuku hingga saling menyentuh.
Selanjutnya ia membubuhkan serpihan logam tadi di atas sendok dan mata pisau tersebut.
"Ada yang datang? Bagus. Ini saatnya!"
Wuuush... Morris menyalakan ikatan korek api yang ada di bawah pegangan sendok dan mata pisau itu. Dalam hitungan satu atau dua detik, keduanya menjadi panas.
"Hore!" ia bersorak pada dirinya pelan. Ketika apinya sudah cukup panas melelehkan logam tadi, dia menyatukan pegangan sendok dan mata pisau.
"Bau apa itu, Frank? Apa kau memelihara setan di dalam sana?" tanya West yang mencium bau korek api terbakar. Morris memastikan tidak ada penjaga yang mendekat, lalu lewat jeruji selnya ia memberikan peralatan barunya pada West.
"Sungguh," kata West. "Aku akan membuat satu untuk diriku!"
*
Segera, keempat tahanan tersebut membuat peralatan menggali yang sama. Namun mereka masih kesulitan untuk menggali tembok tersebut, bagaimana pun juga tebalnya 20 sentimeter.
"Pasti ada cara yang lebih baik dari ini," pikir Morris. Dan ternyata memang ada.
Allen West menikmati pekerjaannya sebagai tukang bersih bersih di penjara. Ia bebas berjalan ke sana ke mari bercakap-cakap dengan tahanan lain, pada saat yang sama ia tetap dianggap bekerja. Pekerjaannya ini juga membawa kemujuran yang tidak disangka-sangka, misalnya akses menuju ruang elektronik. Mengenai kesulitan menggali tembok, kepada Morris ia berkata, "Yang kita perlukan adalah mesin yang terdapat di dalam alat pengisap debu, dan aku tahu di mana kita bisa mendapatkannya. Ambil dinamonya, lekatkan dengan mata bor, dan yang kita dapat adalah sebuah bor!"
"Berikan dinamonya, maka kau kubuatkan sebuah bor" kata Morris.
West menyelundupkan sebuah dinamo ke selnya, lalu Morris memasangnya dengan mata bor yang didapatnya dari bengkel penjara. Mereka tahu apa yang dikerjakan akan mengeluarkan suara yang ribut. Maka mereka menunggu sampai 'jam musik', saat para tahanan diizinkan memainkan alat musik di dalam sel.
Morris mencolok kabel dinamo ke colokan lampu yang ada di selnya.
"Ini saatnya ..."
Ia menyalakan saklarnya dan dinamo tersebut pun berputar. Itu saja sudah menimbulkan suara cukup keras, namun suara saat mengebor lebih bising. Morris mengebor selama ia berani, lalu berhenti. Hasilnya cukup menjanjikan. Dua lubang tembus sampai sisi di sebelahnya. Pekerjaannya memang lebih cepat dikerjakan dengan alat tersebut.
Keesokan paginya, saat sarapan, Morris menghampiri Anglin.
"Kita akan menggilir pemakaian bor ini di antara kita berempat, tapi kita harus hati-hati menggunakannya," katanya. "Buatlah beberapa lubang selama tahanan lain memainkan alat musik mereka. Ini akan menghemat waktu kita dalam menggali. Pada saat kita memperoleh lubang di dinding, gali sisanya dengan mata pisau di malam hari, maka kita akan bebas,"
Mata Clarence membesar. Jari-jarinya sudah penuh kapalan.
*
Dengan rencana pelarian yang kelihatannya semakin nyata, pikiran mereka tertuju pada cara keluar dari pulau tersebut. Sambil makan malam, mereka duduk bersama memikirkan masalah yang mengadang di depan.
"Airnya bisa membekukan kita. Pulau ini pun selalu berkabut sepanjang tahun. Aku tidak ingin melalui segala kesulitan untuk keluar dari sini hanya untuk mati membeku di air," kata Clarence dengan mulut penuh.
"Itu sudah pernah dilakukan," kata West."Aku dengan tiga orang gadis perenang pernah melakukannya tahun 1933."
Morris lebih realistik. "Tetapi mereka atlet. Mereka di selama berbulan-bulan, bahkan tubuh mereka dihangatkan oleh pakaian selam, dan pastinya mereka tidak hidup dengan standar makanan di penjara, sehingga mereka kuat untuk berenang ... lagi pula aku yakin, mereka pasti dikawal dengan perahu. Yang kita perlukan adalah bantuan kecil, rakit, jaket pelampung, sesuatu yang membuat kita tetap terapung, atau keluar dari air."
John Anglin menyambung. "Aku melihat jas hujan plastik di bengkel. Kita dapat mencurinya, memotong lengannya, lalu meniupnya menjadi seperti pelampung. Bahkan kita bisa melekatkannya menjadi satu dan menjadikannya rakit."
Senyuman Morris mengembang. "Begitu kita bisa menembus tembok itu, kita mulai mengumpulkan barang barang."
*
Lubang di tembok semakin besar setiap harinya. Keempat serangkai pun cepat-cepat menyelesaikan lukisan tembok palsu mereka yang akan digunakan untuk menutupi pekerjaan tangan mereka. Mereka melukis tembok sama persis seperti tembok di dalam sel, lengkap dengan ventilasi udaranya. Lalu dengan hari-hati mereka menyingkirkan potongan tembok di sekitar ventilasi, supaya tembok palsunya bisa terpasang pas dan tidak jatuh.
Di cahaya yang terang, tembok palsu itu pasti akan langsung ketahuan, namun di cahaya remang-remang dalam sel, perpaduan tembok palsu dan asli cukup sempurna. Kini mereka bisa menggali dengan rasa aman, dan akhirnya mereka memperoleh lubang yang cukup besar bagi mereka untuk menyusup keluar.
Menyusup keluar di malam hari juga masalah yang besar. Semua pintu di penjara Alcatraz terbuat dari jeruji besi, ini artinya seorang penjaga bisa melihat ke sel mana saja, kapan saja, untuk mengawasi tahanan mana pun. Namun Morris mempunyai jalan keluar yang brilian. Halaman majalah yang disobek, dihancurkan di tempat cuci piring di selnya. Kemudian kertas tersebut dijadikan bubur kertas, dan dikeringkan dengan bentuk kepala orang.
Setelah kira-kira satu minggu, kepala palsu itu sudah cukup kering untuk dicat. Clarence Anglin yang bekerja sebagai pemangkas rambut di penjara menyelundupkan rambut-rambut untuk Morris, Rambut yang jenisnya sama dengan model rambut Morris itu memberikan sentuhan akhir yang sempurna.
Morris juga menambahkan alis. Bila ditutup dengan selimut, dalam sel yang gelap, kepala itu akan terlihat sama seperti aslinya. Buntalan baju di balik selimut akan terlihat seperti bentuk tubuh. Akhirnya, prototipe kepala Morris selesai. Allen dan Anglin juga mulai membuat kepala palsu mereka .
Akhirnya, malam pun tiba, saatnya bagi mereka untuk naik ke atap. Morris menghabiskan sehari sebelumnya dengan mencoba mengatasi rasa khawatirnya. Bagaimana jika jalan ke atas atap ternyata telah ditutup? Bagaimana jika dinamo ventilasi telah diganti? Segala jerih payah mereka akan menjadi sia-sia. Hukuman dua belas tahun pun terbentang dalam benaknya.
Lalu bayangan buruk lainnya pun muncul. Lubang di dalam sel akhirnya tersingkap, artinya sekian tahun hukuman akan ditambahkan padanya.
Akhirnya, malam tiba, dan aktivitas dalam penjara perlahan-lahan mulai terhenti. Dengan penjagaan West, Morris meletakkan kepala palsu di atas bantalnya dan menyusup ke lubang yang telah dibuatnya, lalu menggeser tembok palsu dengan hati-hati.
Koridor di belakang tembok adalah tempat yang sempit dan lembap, dan dipenuhi bau busuk air laut yang mengalir di sepanjang pipa pembuangan kotoran. Di sekelilingnya adalah pipa saluran dan kabel-kabel, sementara debu dan kotoran ada di setiap tempat yang disentuhnya. Namun, berdiri di sebuah koridor sempit, ada rasa gembira besar di hati Morris, seperti seorang murid melakukan sesuatu yang dilarang keras oleh guru yang dibenci.
Ia harus menunggu beberapa saat, agar matanya terbiasa dengan keremangan ruangan. Kemudian ia memanjat ke atas, melewati pipa-pipa dan kabel-kabel yang berantakan untuk mencapai terowongan ventilasi. Terowongan itu ada di depannya, setinggi 1,5 meter dari atas atap, dengan sudut tajam berukuran 30 sentimeter.
Hal pertama yang disadarinya adalah ia memerlukan seseorang untuk mengangkatnya masuk ke dalam.
la pun memberi selamat pada dirinya karena telah memikirkan konsep lebih baik untuk melaksanakan rencana ini dalam sebuah tim daripada sendirian. Morris juga memperhatikan ada ruang yang cukup untuk beberapa orang di atas atap tersebut. Di tempat yang tidak terpantau penjaga penjara inilah yang merupakan tempat paling sempurna untuk menyembunyikan segala perlengkapan yang mereka perlukan untuk berenang ke daratan.
Malam berikutnya, Morris dan Clarence Anglin naik ke atap bersama. Clarence mengangkatnya masuk ke terowongan Namun, apa yang dilihat Morris di dalam sana membuat perutnya mulas. Memang, baling-baling kipas dan dinamonya telah dipindahkan, tetapi di sana telah dipasang palang dan terak besi sebagai gantinya. Penghalang yang tak terduga ini terbuat dari besi yang sangat kuat.
Pagi harinya, mereka memberitahukan kabar tersebut pada West."Kau pikir, apa yang akan kau temukan di atas sana?" katanya sinis. "Dua buah tiket ke Brasilia? Kita berhasil menjebol tembok tebal itu, tetapi beberapa jeruji jangan sampai menghentikan rencana kita."
West betul. Selama beberapa hari Morris berpikir memecahkan masalah tersebut, dan datang dengan solusinya Dua palang itu bisa dilekukkan dengan pipa yang ditinggalkan oleh tukang di koridor. Namun, terali besi merupakan masalah lainnya. Bor yang mereka miliki mungkin bisa membantu, tetapi suara yang ditimbulkannya akan sangat bising.
Yang mereka perlukan adalah sesuatu yang bisa memotong jeruji tersebut. Di bengkel ada sejenis senar karborundum (tali tipis dengan bubuk ampelas) yang digunakan untuk menggergaji benda logam. Akan dibutuhkan kerja keras beberapa jam memotong dengan senar itu, namun masih mungkin dilakukan.
Jadi, selama beberapa malam, secara berpasangan, keempat serangkai ini naik ke atas untuk menggergaji dan menggergaji. Tidak mudah, dan sangat menyakitkan, tapi akhirnya terali besi tersebut bisa disingkirkan. Morris pun terpikir untuk mengganti jeruji tersebut dengan sabun batangan yang dicat hitam. Ia tidak ingin ada penjaga yang memperhatikan bahwa jeruji itu sudah tidak ada.
*
Sekarang sudah pertengahan musim panas, tahun 1962. Segalanya sudah pada tempatnya, dan tidak ada waktu yang lebih baik untuk kabur sepanjang tahun itu. Tingkat kedinginan suhu air laut di sekeliling penjara merupakan yang paling mematikan dibanding waktu lainnya. Di kantin, mereka duduk bersama, berdiskusi kapan waktu yang terbaik bagi mereka untuk kabur.
"Aku rasa sekarang, dan John setuju denganku," kata Clarence Anglin. "Suatu saat, jas hujan yang kita simpan di atas akan ketahuan, dan lubang di sel pun tidak mungkin menjadi rahasia selamanya."
"Itu betul," kata West. "Tembok palsuku selalu bergeser di malam hari. Aku harus memperbaikinya dengan semen, jadi mari kita tetapkan sebuah tanggal, supaya aku punya cukup waktu untuk memperbaikinya."
"Kita akan berangkat kira-kira sepuluh hari lagi," kata Morris. "Aku akan berkunjung ke perpustakaan, dan meminjam buku tentang pasang surut laut. Air di teluk sangat berbahaya, jadi kita harus pergi pada saat yang tepat, kalau tidak kita akan mati."
Apa yang terjadi seminggu setelahnya sangat mengkhawatirkan. Setelah jam makan, sekembali ke sel masing-masing, para tahanan mendapati beberapa perbedaan. Posisi handuk dan buku yang berubah. Ini artinya sel mereka telah digeledah. Mungkin itu hanya pemeriksaan rutin, atau mungkin saja penjaga penjara telah mencium sebuah rencana pelarian.
Tiga hari setelah percakapan terakhir mereka dengan West, kakak beradik Anglin tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Sekitar jam sembilan malam tanggal sebelas Juni, Morris mendengar suara di balik temboknya. Itu suara John Anglin yang memberitahunya bahwa ia dan Clarence kabur SEKARANG.
Sebelum Morris sempat mengutarakan pendapat, John sudah meninggalkan koridor. Sementara itu, di sel sebelah, West diserang rasa panik yang luar biasa. Tak siap, dan tersedak oleh rasa marah dan terkejut, ia mulai mengorek pinggiran dinding palsu yang dilapisi semen.
Morris membantunya mengawasi selama yang ia bisa. Saat itu lampu belum dimatikan, dan para tahanan masih belum bersiap untuk istirahat malam.
Sementara ini, dengungan percakapan dan aktivitas di sana masih bisa menenggelamkan suara yang ditimbulkan galian West. Namun, Morris tidak bisa tinggal lebih lama.
Saat lampu dimatikan, Morris harus pergi. Ia naik ke atas atap, meninggalkan West yang masih terus menggali. Kakak beradik Anglin sudah berada di atas sana menantinya. Tak ada gunanya berdebat tentang apa yang telah mereka lakukan terhadap West, pokoknya mereka harus melanjutkan rencana ini tanpa West.
John mengangkat Morris ke dalam terowongan. Saat ia memindahkan jeruji palsu yang terbuat dari sabun itu, wajahnya tersorot seberkas cahaya dari menara penjaga yang menyapu atap.
Secara perlahan Morris memindahkan murnya. Tetapi angin meniupnya sampai jatuh ke lantai dan mengeluarkan suara. Seketika itu juga Morris diam membeku di dalam ventilasi. Ia sangat tegang sampai tak dapat bergerak.
Ketiga pria itu diam dalam kegelapan malam, menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Mereka mengira akan mendengar bunyi alarm, penjaga-penjaga yang datang memeriksa. Sementara, di bawah sana, seorang petugas patroli cepat-cepat melapor pada petugas piket.
"Jangan khawatir," katanya. "Banyak sampah di atas atap. Mungkin itu sebuah kaleng cat yang tertiup angin."
Sepuluh menit berlalu sebelum Morris dan Anglin bersaudara memutuskan situasi telah aman untuk bergerak lagi. Setiap orang menyusup ke luar atap secara perlahan dengan tiga atau empat jas hujan di pinggang mereka.
Mereka mengedipkan mata karena cahaya yang menyilaukan dari mercusuar. Jauh dari ruang yang panas di penjara, udara malam terasa sangat dingin, dan kebekuan air laut yang asin tercium.
Rute yang harus dilalui dari atap menuju pantai disinari oleh lampu sorot dan diawasi oleh menara penjaga. Banyak yang harus dilakukan sebelum mereka bisa lolos dengan aman. Ketiga serangkai berlindung di bawah bayang-bayang, dan merayap ke atap.
Morris naik ke pinggiran dinding ke atas pipa. Di bawahnya terbentang jarak 15 meter untuk sampai ke tanah. Ia bergerak sangat pelan, menghindari gerakan tiba-tiba yang bisa menjadi perhatian penjaga di menara. Lalu, ia turun dengan meluncur pelan di pipa, dan menunggu Anglin bersaudara di bawah.
Jauh dari blok penjara, ketiga pria ini kabur melewati beberapa pagar dan tebing yang curam untuk sampai ke tepi pantai. Di seberang lautan, daratan hanya sejauh 2,5 kilometer.
Merayap di pasir yang lembap, menggigil karena angin laut, mereka mulai meniup jas hujan mereka dan membuat rakit, lalu menyeberangi teluk San Francisco yang dingin ...
Akhirnya, lewat tengah malam, West berhasil melepaskan tembok palsunya. la bergegas naik ke atas atap, namun Morris dan Anglin bersaudara telah jauh. Saat ia menjulurkan kepalanya keluar ventilasi, ia diganggu oleh sekawanan burung camar yang sangat berisik.
Ia terpaksa kembali ke dalam sel diselimuti rasa panik. Ia menjalani masa tahanannya dengan rasa penasaran apa yang akan terjadi jika saja Anglin bersaudara terlebih dahulu memberitahunya tentang keberangkatan mereka. Mungkin ia sudah berada di sebuah bar dengan minuman dingin dan gadis cantik. Mungkin ia terbaring di dasar teluk San Francisco, sementara kepiting memakan tulang pipinya yang putih.
Setelah Pelarian
Pagi harinya, para penjaga yang bertugas membangunkan, mereka hanya menemukan kepala palsu di tempat tidur kosong. Penjaga lainnya teringat akan suara yang mencurigakan pada malam sebelumnya, dan memperkirakan mereka melarikan diri sekitar pukul sepuluh malam. Itu memang waktu yang paling baik untuk kabur.
Air teluk tenang, arusnya pun tepat. Jika buronan itu selamat dari dinginnya air laut, mereka punya banyak kesempatan untuk mencapai daratan.
Perahu, tentara dan penjaga dengan anjing pelacak dikerahkan untuk mencari mereka. Setelah dua hari penuh, mereka kembali membawa satu plastik yang penuh dengan foto keluarga milik Clarence Anglin.
Setelah itu, nihil. Tidak seorang pun. Tidak sehelai pakaian pun. Tidak seberkas bayangan pun. Tiga serangkai tersebut mungkin saja terseret arus dan tenggelam ke dasar laut, tapi mungkin pula mereka telah berhasil lolos. Bahkan mungkin mereka masih hidup sampai hari ini.
Kisah pelarian dari Alcatraz langsung menjadi berita nasional, dan merupakan hal yang memalukan bagi pihak berwenang Alcatraz. Kepala penjaga Olin Blackwell harus mengakui bahwa struktur tembok beton memang bisa ditembus, dan ini memungkinkan tahanan untuk menggalinya dari dalam sel.
Pada saat pelarian, banyak perwira pemerintah merasa bahwa penjara itu telah dipakai lebih lama daripada seharusnya, maka pada tahun 1963 seluruh tahanannya dikeluarkan dari pulau dengan kapal dan dibubarkan atas dasar hukum Amerika.
Pada 1979, Clint Eastwood memerankan Frank Morris dalam film Escape from Alcatraz, yang kebanyakan adegannya diambil di pulau Alcatraz. Perusahaan film menghabiskan dana sebesar USD 500.000 untuk mendekor ulang penjara yang telah ditutup selama 16 tahun.
Kebanyakan aktor film tersebut menjadi sakit yang malah membuat akting menjadi mereka begitu nyata. Film tersebut membawa cerita Morris dan Anglin bersaudara ke mata dunia. Sampai hari ini, Alcatraz masih merupakan objek wisata yang terkenal.
Keluarga Anglin mengaku mereka menerima kartupos dari saudara mereka yang dikirim dari Amerika Selatan, namun tidak pernah memberikan bukti nyata. Morris yang tidak memiliki keluarga dekat, menghilang tanpa jejak. Allen West tidak pernah memperoleh kebebasannya. Ia meninggal di penjara di Florida, tahun 1978. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)
Intisari Plus - Seorang hakim di San Francisco berhasil memerintahkan hujan. Jam weker milik Paus berdering di saat kematian tuannya. Perampok berhasil ditemukan menjelang batas kedaluwarsa kasusnya.
---------------------------------------
Getaran Sayap
PENULIS novel Inggris, J.B. Priestley, yang menikah dengan arkeolog ternama Jaquetta Hawks, menceritakan pengalamannya ini kepada Arthur Koestler dalam surat bertanggal 7 Februari 1972:
Istri saya membeli tiga litograf besar karya Graham Sutherland. Ketika lukisan pada logam itu tiba di London, istri saya membawanya ke kamar, dengan niat menggantungkannya keesokan paginya. Litograf itu disandarkan ke sebuah kursi. Sebuah yang terletak paling luar, menggambarkan seekor belalang.
Ketika malam itu naik ke ranjang, Jaquetta merasa ada getaran-getaran, sehingga ia turun dari ranjang dan menyingkapkan selimut. Ternyata ada seekor belalang di ranjang. Tidak pernah ada belalang di kamar itu sebelum dan sesudahnya. Tidak pernah ada belalang di rumah ini.
Jeritan Angsa Liar
KETIKA Noel McCabe dari Derby, Inggris, sedang mendengarkan nyanyian Frankie Laine, Cry of the Wild Goose (Jeritan Angsa Liar) dari piringan hitam tahun 1974, seekor angsa Kanada jatuh melewati jendela kamarnya dan dua ekor lagi jatuh ke tanah di luar.
Saat Kematian
PAUS Paulus VI mendapat hadiah weker tahun 1923. Weker itu berfungsi dengan setia selama 55 tahun, membangunkannya pukul 06.00 tepat setiap pagi. Hari Minggu 6 Agustus 1978, weker itu - tampaknya dengan inisiatif sendiri - berdering pukul 21.40, berbarengan dengan saat kematian Paus.
Hujan Berhenti
SAMUEL King, seorang hakim di San Francisco, merasa jengkel karena para juri beralangan datang akibat hujan lebat yang terus-menerus. la mengeluarkan perintah: "Dengan ini saya perintahkan agar hujan berhenti mulai Selasa." Hal itu terjadi tahun 1986 dan kemarau melanda Kalifornia selama lima tahun berikutnya.
Tahun 1991, rekan-rekannya mengingatkan dia akan perintah yang pernah dibuatnya. la mengumumkan: "Dengan ini saya batalkan perintah saya bertanggal 18 Februari 1986 dan memerintahkan agar hujan segera turun di Kalifornia mulai 27 Februari."
Pada hari itu, badai yang dahsyat melanda Samudra Pasifik, mengguyur negara bagian Kalifornia dengan hujan lebih dari 100 mm. Dua hari berikutnya, badai yang lebih kecil membawa hujan lagi. Badai berlangsung selama dua minggu berikutnya.
Buku Untung-untungan
DAME Rebecca "West, seorang penulis dan ahli sejarah sedang berada di Royal Institute of International Affairs (Institut Kerajaan untuk Hubungan Internasional) di London, untuk mencari suatu informasi tertentu.
Setelah lama mencari-cari tanpa hasil, akhirnya ia menyerah. "Tidak ada gunanya mencari!" katanya kepada petugas perpustakaan, sambil menunjuk ratusan buku berisi laporan pengadilan. "Informasi yang saya inginkan mestinya ada di salah satu buku ini!" Untuk menekankan apa yang dikatakannya, ia mencabut salah satu buku dari rak dan membukanya. Di situlah, di hadapannya, terdapat informasi yang dicari-carinya!
Tatonya Identik
DINI hari tanggal 20 Mei 1988, kereta api menabrak seorang remaja laki-laki berumur 19 tahun, ketika ia sedang berjalan di rel. Polisi memeriksa pakaian korban yang robek-robek untuk mencari identitasnya dan menemukan alamat seorang perempuan muda. Karena mengira perempuan muda itu pacar korban, polisi mendatangi alamat itu, yang letaknya tidak jauh dari tempat kecelakaan.
Mereka meminta wanita itu menggambarkan seperti apa pacarnya. Wanita itu menjelaskannya dengan saksama, termasuk menyebutkan tinggi, warna rambut, tato, dan tanda-tanda lain pada tubuh pacarnya itu. "Ia menggambarkannya sampai pada yang sekecil-kecilnya," kata seorang polisi. la juga memberi alamat anak laki-laki itu.
Ketika polisi mendatangi alamat itu, kata orang tua anak laki-laki itu, putranya sedang tidur nyenyak di ranjangnya. Sungguh suatu kebetulan yang mencengangkan: putra mereka mempunyai tato yang identik dengan tato korban tabrakan kereta. Inilah sebuah kasus di mana angin kebetulan meniupkan isyarat keberuntungan maupun kesialan.
Kisah yang Aneh
KEJADIAN-KEJADIAN berikut ini menambah aneh cerita serupa yang dituturkan Arthur Keostler ketika ia menulis suatu artikel tentang berbagai kebetulan dalam Sunday Times. Sebagai kelanjutan tulisan itu, surat kabar tersebut menawarkan hadiah £ 100 kepada pembaca yang menyerahkan kisah kebetulan yang paling bagus.
Pemenangnya ternyata Nigel Parker yang berumur 12 tahun. Ia mengisahkan cerita yang bisa dibandingkan dengan kisah yang dituturkan oleh Law bertahun-tahun yang silam. Parker menceritakan perihal sepupu kakek buyutnya, seorang cabin boy, pelayan kamar, di sebuah kapal, Mignonette, yang tenggelam tahun 1884.
Anak laki-laki yang menjadi pelayan kamar itu bersama tiga awak seniornya berhasil menyelamatkan diri dengan sebuah perahu tanpa atap. Dari seluruh penumpang kapal itu, hanya merekalah yang selamat. Ketiga pria dewasa itu kemudian memakan anak laki-laki itu, yang bernama Richard Parker.
Kasus itu diberitakan di The Times 28 Oktober 1884. Pada tahun 1834, Edgar Allan Poe pernah menulis cerita yang disebut "The Narrative of Arthur Gordon Pym of Nantucket" (Penuturan Arthur Gordon Pym dari Nantucket). Poe menceritakan kisah yang mirip tentang kapal yang karam dan seorang cabin boy yang selamat, tetapi juga dimakan oleh orang-orang lain yang selamat. Nama anak laki-laki itu Richard Parker!
Penting
ANGKA 7 memainkan peran penting dalam keluarga Dianne Randall. Mereka tinggal di rumah nomor 7. Keluarga itu terdiri atas 5 anak, 2 orang tua, jumlahnya 7. Abang Dianne yang sulung lahir 7 Juli 1943, yang kedua lahir 7 Mei 1945, yang ketiga lahir 7 Agustus 1948, dan Dianne sendiri lahir 7 Maret 1950. Adik laki-lakinya yang bungsu lahir bersamaan tanggalnya dengan abangnya yang nomor tiga, 7 Agustus 1952.
Highway 94
TAHUN 1987, seorang Amerika keturunan Meksiko, Francisco Sandoval (46) tewas ketika mobilnya terbalik di sebuah tikungan tajam di Highway (jalan raya) 94, antara San Diego, Kalifornia, dan perbatasan Meksiko.
Tiga puluh enam jam kemudian, kereta yang membawa jenazahnya mengalami tabrakan di belokan yang sama.
Pertemuan yang Menentukan
PRATT Whitfield (55), seorang veteran awak kapal dagang, sedang asyik duduk di sebuah bangku taman di daerah Bronx yang rawan kekerasan, ketika mendengar seseorang yang sedang duduk di bangku juga berbicara dengan temannya perihal rencana mereka merampok malam itu. Mereka menyebut-nyebut akan mempergunakan senjata api yang dibawa oleh salah seorang dari mereka.
Whitfield memasang telinga. Lalu ia bangkit dan dengan sesantai mungkin berjalan ke pos polisi terdekat. Whitfield bukan cuma sekadar melaporkan rencana perampokan. Lima tahun sebelumnya, dua orang masuk ke rumahnya. Yang seorang menodongkan pisau ke lehernya, yang seorang lagi menodongkan senjata api ke istrinya. Kedua penjahat itu merampok mereka dan tidak pernah tertangkap. Namun, Whitfield tidak pernah melupakan suara para perampok yang mengancam itu. Ketika kembali ke bangku taman bersama dua orang polisi, ia menghadapi mereka.
"Kamu ingat saya?" tanyanya kepada James King yang berumur 33 tahun. "Kamu merampok saya dan istri saya lima tahun yang lalu, dengan mempergunakan pistol itu!"
Suara King tidak mengancam ketika ia berhadapan dengan Whitfield sekali ini. King bahkan diam saja. Ia menyerah tanpa melawan dan diadili dengan tuduhan melakukan sejumlah perampokan, termasuk terhadap Whitfield. Daftar kejahatan yang dituduhkan kepadanya panjang.
Kisah ini belum berakhir di sini. Perampok hanya bisa diadili kalau ia ditemukan dalam jangka waktu lima tahun setelah kejahatan itu terjadi. Pertemuan yang menentukan dengan Whitfield di bangku taman terjadi sehari sebelum batas kedaluwarsa.
Kumis Hitler dan Chaplin
SEORANG pengamat menemukan kebetulan-kebetulan yang signifikan antara Hitler dan Charlie Chaplin! Profesor Harry Geduld dari Indiana University menunjukkan berbagai kebetulan antara sang diktator dan sang pelawak, dimulai dari saat kelahiran mereka yang berdekatan. Chaplin dilahirkan 16 April 1889 di London dan Hitler empat hari kemudian di Braunauam-Inn, Austria.
Geduld, seorang penulis yang produktif dan guru besar susastra perbandingan, menunjukkan bahwa keduanya lahir dalam keluarga berpenghasilan rendah. Keduanya mempunyai ayah yang galak, yang mereka benci dan mempunyai ibu yang sakit-sakitan, yang memanjakan mereka dan yang sangat mereka cintai.
Sebagai orang muda, mereka mempunyai aspirasi seni. Chaplin ingin menjadi aktor drama Inggris paling terkenal, Hitler ingin menjadi pelukis besar. Keduanya tumbuh menjadi orang dewasa yang mudah sekali tergugah, yang tidak bisa diramalkan dan kadang-kadang kemarahannya menakutkan.
Namun, kata Geduld, kebetulan yang paling menarik perhatian adalah kumis mereka yang termasyhur. Dalam hal ini, Hitler meniru Chaplin, entah ia sadar atau tidak. Chaplin mulai memakai kumis itu di filmnya yang kedua, Kid's Auto Race (1914), sedangkan Hitler baru menggunting kumisnya dalam bentuk yang terkenal itu setelah PD I. Saat itu Chaplin sudah muncul dalam puluhan film dengan kumisnya yang khas. Kata Geduld, motivasi Hitler untuk meniru ciri paling khas dari seseorang yang menunjukkan semua tingkah laku yang paling dia benci merupakan suatu misteri.
Anggota King's College
DALAM Majalah Locus edisi Agustus 1991, Arthur C. Clarke menulis tentang suatu kebetulan yang mestinya membantu menghibur hatinya dalam masa pemulihan setelah pembedahan kandung kemihnya yang merabesar dan prostatnya. Pembedahan itu dijalaninya di University College Hospital di London. Pembedahan yang sulit itu berlangsung dua setengah jam dan ia kehilangan darah lebih dari 2,5 I. Ketika ia sadar, didapatinya dirinya dipasangi tiga selang di tempat-tempat yang strategis.
Beberapa minggu setelah pulang ke Kolombo, Sri Lanka, ia menemukan suatu bagian dalam JBS: The Life of JBS Haldane (JBS: Riwayat JBS Haldane/1968) yang ditulis oleh Ronald Clark.
Haldane kembali ke London pada awal November (1963). Dengan agak enggan, ia masuk University College Hospital diperlukan suatu pembedahan ... ketika ia sadar dari anestesi, tulis Haldane kepada Arthur Clarke, penulis science fiction terkenal itu, ia mendapati dirinya dipasangi tiga selang.
"Saya diberi makan lewat yang satu ke sebuah pembuluh nadi, satu lagi melalui hidung masuk ke lambung saya ... yang ketiga sebuah kateter ke ureter, yang saya anggap sebagai suatu kemewahan besar. Dinilai dari beberapa S.E (science fiction,) ini mendahului masa depan. Yang tersisa dari tubuh alamiah kita, disambung ke pelbagai alat.
Kata Clark, ia sudah betul-betul melupakan surat itu. Membaca bagian itu 27 tahun kemudian membuat ia "merasa aneh". Katanya, "Tersadar di tempat yang sama, dengan jumlah selang yang sama dengan JBS, jelas menyimpang dari batas probabilitas.Tidak mungkin pemilihan lokasi merupakan ramalan yang terwujud sendiri secara tidak sadar. UCH dipilih oleh ahli bedah saya ... dan, nyatanya, sebagai Fellow (Anggota) dari King's College, saya merasa bersalah karena membelot ke lembaga pesaing.
" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553257753/jeritan-angsa-liar-dan-kisah-yang-aneh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651227299000) } } [2]=> object(stdClass)#69 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246384" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#70 (9) { ["thumb_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/penelepon-gelapjpg-20220420043655.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#71 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(109) "Seorang detektif disewa oleh Jud Canale untuk mencari identitas penelepon gelap yang selalu meneror putrinya." ["section"]=> object(stdClass)#72 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/penelepon-gelapjpg-20220420043655.jpg" ["title"]=> string(15) "Penelepon Gelap" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 14:40:34" ["content"]=> string(40111) "
Intisari Plus - Seorang detektif disewa oleh Jud Canale untuk mencari identitas penelepon gelap yang selalu meneror putrinya. Pencarian pun dilakukan, dimulai dari teman-teman terdekat sang putri. Apakah identitas penelepon gelap yang bersuara menakutkan itu dapat terungkap?
---------------------------------------
Rabu pagi di akhir Januari itu, saya pergi ke Montgomery Street, sebuah pusat keuangan di San Francisco. Seorang pengacara bernama Jud Canale, meminta saya menemuinya di kantornya di daerah itu.
Ternyata kantor pengacara Teilmark, Graham, Canale, dan Isaacs berpenampilan anggun. Maklum, mereka bukan pengacara kelas kacang.
Canale menerima saya di ruang kerjanya. la sebaya dengan saya, berumur awal 50-an.
"Semalam, setelah menelepon Anda, saya menelepon putri saya, Lynn," katanya. "Ketika didesak, ia mau juga mengaku bahwa penelepon gelap menghubunginya lagi, untuk mengulangi ancamannya. Namun, Lynn tetap tidak mau menceritakan secara rinci apa yang dikatakan penelepon itu."
"Bagaimana keadaan putri Anda?" tanya saya.
"Menurut dia baik-baik saja, tetapi saya tidak yakin. Dia ... dia ... 'kan baru berumur 20."
"Dia tidak sendirian 'kan hari ini?"
"Tidak. Salah seorang teman wanitanya menginap di apartemennya.
Pasti orang dekat
Saya terdiam beberapa detik.
"Pak Canale, Anda bersungguh-sungguh meminta jasa saya? Kemarin sudah saya katakan lewat telepon, saya mungkin tidak bisa berbuat banyak dalam kasus seperti ini. Setiap tahun polisi dan kantor telepon mengusut ratusan pengaduan perihal penelepon gelap ...."
"Saya tahu ...," potongnya.
"... bahkan mereka yang memiliki fasilitas, cuma bisa menangkap atau mengenali beberapa penelepon gelap saja. Lagi pula hampir tak seorang pun dari mereka benar-benar mewujudkan ancaman untuk mencemari wanita yang mereka telepon.”
"Saya tahu. Polisi pun berkata begitu ketika saya lapori dua hari yang lalu. Namun, pria yang terus-menerus meneror Lynn bukan asal memilih nama. Saya kira ia kenal dengan putri saya dan Lynn pun mengenalnya. Saya yakin."
Saya berniat membuka mulut, tetapi Canale mencegah dengan mengangkat tangannya.
"Saya yakin perlu meminta jasa detektif," katanya pula. "Orang itu menelepon Lynn tadi malam, padahal nomor teleponnya sudah saya ganti kemarin siang. Nomor itu tidak tercantum di buku telepon!".
"Oh!"
"Mungkinkah orang iseng bisa menemukan nomor telepon yang tidak terdaftar hanya dalam waktu kurang dari 12 jam?"
"Rasanya memang tidak. Kecuali kalau ia bekerja di kantor telepon atau mempunyai teman yang bekerja di kantor telepon."
"Rasanya bukan demikian," sahut Canale. "Saya yakin orang itu kenal baik dengan Lynn. Ia mendapat nomor itu dari Lynn atau dari salah seorang teman baik Lynn."
"Barangkali Anda mempunyai dugaan, siapa orangnya?"
"Tidak!"
"Apa kata putri Anda?"
"Ia bersikeras, pasti orang itu bukan kenalannya."
"Apakah Anda diberi tahu putri Anda, siapa saja yang ia beri nomor telepon barunya?"
"Tidak. Ia tidak mau memberi tahu."
"Mengapa?"
Canale tersenyum kecut.
"Hubungan kami agak renggang beberapa bulan ini. Sejak ia bertunangan dengan Larry Travers."
"Anda tidak merestui hubungan mereka?"
"Memang. Tentu saja Lynn memberontak ketika saya menyatakan pendapat saya."
"Barangkali ada hal tertentu yang menyebabkan Anda tidak menyukai Travers?"
"Saya pikir, ia tidak akan bisa membahagiakan putri saya. Lagi pula Lynn masih terlalu muda untuk menikah."
Kemudian Canale berdehem.
"Hubungan seorang ayah dengan putrinya kadang-kadang bisa sulit. Saya bercerai ketika Lynn berumur setahun."
Karena tidak pernah menikah maupun menjadi ayah, saya merasa tidak berwenang memberi komentar. Sementara itu Canale mengawasi saya sejenak.
"Jadi Anda menerima tawaran saya untuk mengusut hal ini?"
"Baik, Pak. Cuma saja, saya harap Anda maklum. Kemungkinan berhasil sangat terbatas. Saya cuma bisa berusaha sedapat-dapatnya."
"Memang itu yang saya minta. Anda ingin segera menemui Lynn?'
"Ya!"
Pantas jadi model
Lynn Canale tinggal di salah sebuah apartemen di Parkmerced, dekat kampus San Francisco State College, sejak ia menjadi mahasiswi dua tahun yang lalu. Tadinya ia tinggal di rumah ayahnya di daerah Forest Hill. Ketika Lynn ketahuan diganggu penelepon gelap, ayahnya membujuknya agar mau kembali ke Forest Hill, tetapi Lynn bersikeras menolak.
Penelepon gelap mulai mengganggu Lynn dua minggu yang lalu. Pada minggu pertama, Lynn ditelepon tiga kali. Setelah itu hampir setiap hari ia diganggu. Ayahnya baru tahu tiga hari yang lalu, gara-gara Lynn tampak resah dalam sebuah perjamuan keluarga. Setelah didesak-desak, Lynn akhirnya mengaku bahwa ia mendapat gangguan dari seseorang yang mengancamnya lewat telepon. Suara pria penelepon itu menakutkan dan kata-katanya cabul.
Saya memarkir mobil di Grijalva Drive, tak jauh dari tempat tinggal Lynn. Apartemen gadis itu berada di tingkat IE. Saya memperkenalkan diri di interkom yang terletak di atas kotak suratnya di lantai dasar. Ia segera memijat tombol yang memungkinkan saya masuk ke lift. Di apartemen C-l itu saya berhadapan dengan seorang gadis semampai yang anggun. Wajahnya pasti menarik para juru potret dan pelukis. Rambutnya panjang, lebat, lurus, dan berwarna coklat. Matanya coklat keemasan dan bulu matanya yang panjang lentik itu asli.
Sinar matanya menunjukkan bahwa sebenarnya ia sama khawatirnya dengan ayahnya. Cuma saja ia berusaha untuk menyembunyikannya.
"Anda tidak sendirian 'kan Nona Canale? Kata ayah Anda, Anda ditemani seseorang."
"Ya. Connie Evans, teman kuliah saya. Tapi ia ada kuliah pukul 10.00."
"Ia segera akan kembali ke sini, 'kan?"
"Ya. Tapi saya tidak takut sendirian, kok!" jawabnya. Lalu Lynn berkata bahwa ayahnya terlalu berlebihan, sampai menyewa detektif segala. Ia menduga peneleponnya orang sinting.
Suaranya suka selip
Menurut Lynn, ia tidak mengenal suara peneleponnya. Mungkin suara remaja pria, karena nada suaranya tinggi dan suka selip. Lynn sependapat dengan saya bahwa penelepon itu sengaja mengubah suaranya.
Kepada saya pun Lynn menolak menceritakan bunyi ancaman yang diterimanya. Pokoknya, isinya menyangkut seks, nadanya mendirikan bulu roma. Lynn ingin sekali teror ini segera berakhir.
"Kepada siapa saja Anda berikan nomor telepon baru Anda?" tanya saya.
"Cuma ayah saya, Connie, Larry, Tim Downs ...."
“Tunggu! Satu-satu! Siapa Larry?"
"Larry Travers, tunangan saya. Kami akan menikah bulan Juni."
"Selamat! Anda sudah lama mengenalnya?"
"Kami pertama bertemu tiga bulan yang lalu, waktu ia masih berpacaran dengan Connie. Entah mengapa hubungan mereka putus. Setelah saya berpacaran dengan Larry, barulah saya bersahabat dengan Connie."
Larry mahasiswa University of California, tetapi tidak tinggal di Berkeley, melainkan di Missouri Street, Potrero Hill.
"Tadi Anda menyebut Tim Downs. Siapa dia?"
"Teman Larry."
Tim Downs ternyata pembantu tukang leding. la tetangga Larry. Mereka bersahabat gara-gara keduanya sama-sama gila olahraga.
"Mengapa Anda memberi nomor telepon Anda kepada Downs?" tanya saya.
"Karena ia sahabat Larry."
"Ia memintanya?"
"Tidak. Semalam ia dan Larry singgah untuk mengajak saya menghadiri pesta kemenangan The Forty-niners, tetapi saya masih belum selesai ujian. Ketika itulah saya memberi nomor telepon kepada Larry. Karena Downs hadir, saya memberinya juga."
Saya mencatat alamat rumah dan tempat kerja Downs. Menurut Lynn, selain mereka, tidak ada orang lain yang tahu nomor telepon barunya.
"Apakah Anda kedatangan tamu yang melihat nomor di pesawat telepon Anda?"
"Tidak. Tidak ada tamu. Eh… ada! Kemarin Joel Reeves datang pada saat petugas telepon berada di sini. Tapi cuma sebentar. Saya rasa sih tidak mungkin dia melihat nomor telepon saya."
"Reeves itu teman Anda?"
"Ya. Kenalan. Ia asisten dosen di jurusan sejarah dan tinggal di tingkat 5-E."
"Untuk apa ia datang?"
"Meminjam buku puisi zaman Victoria."
"Ia pernah naksir, Anda?"
Lynn tertawa. "Joel? Dia sih cuma berminat pada buku tua dan sejarah!"
"Anda pernah melihat petugas kantor telepon yang kemarin kemari?"
"Tidak. Tidak pernah."
"Anda kenal seseorang yang bekerja di kantor telepon?"
"Tidak. Anda menduga ...."
Bel pintu berbunyi. Lynn melirik arlojinya.
"Mungkin Connie. Katanya, ia akan segera kembali begitu selesai ujian."
Memang benar Connie.
"Pukul berapa sih sekarang?" begitu kedengaran suaranya ketika pintu dibukakan oleh Lynn.
"Sialan! Arlojiku mati lagi!" sambungnya.
"Pukul 12.55. Kau tidak perlu ke universitas lagi 'kan hari ini?" tanya Lynn.
"Tidak. Aku ingin menonton Another World di TV. Ujian ternyata lebih lama dari yang kuduga."
Saat itu keduanya masuk ke ruang duduk.
"Oh! Anda pasti detektif yang disewa ayah Lynn," kata gadis berambut pendek pirang yang sebaya dengan Lynn itu. Ia permisi mengambil Coca-Cola ke dapur sementara saya melanjutkan wawancara dengan Lynn.
"Selain Anda, siapa lagi yang memiliki kunci apartemen ini?"
"Tidak ada."
"Tunangan Anda?" Wajah Lynn berubah merah. Menarik juga melihat ada gadis masih bisa tersipu-sipu di zaman serba boleh ini.
"Tidak!" jawabnya. "Hubungan Larry dan saya bukan jenis demikian."
Ketika Connie yang kurus itu muncul sambil menghirup Coca-Cola dari kaleng, saya bertanya kepada teman Lynn itu. "Apakah Anda memberikan nomor telepon Lynn kepada orang lain?"
"Tidak! Tentu saja tidak!"
"Apakah Anda menceritakan kepada orang lain bahwa Lynn mempunyai nomor telepon baru?"
"Tidak."
"Apakah Anda pernah meneleponnya pada saat Anda bersama orang lain?"
"Tidak. Saya 'kan di sini terus sejak ...."
Pengumpul buku porno
Saat itu telepon berdering. Lynn menggigit bibirnya. Saya bersikap waspada. Connie tidak jadi mereguk Coca-Colanya.
"Mungkin Larry. Atau ayah," kata Lynn sambil beranjak ke telepon. Saya membuntutinya. Setelah ragu-ragu sejenak, Lynn mengangkat gagang telepon.
"Halo."
Setelah itu wajahnya pucat. Saya menyambar gagang telepon, tetapi yang saya dengar cuma desiran dan bunyi "klik", disusul bunyi sambungan lenyap.
"Dia?" tanya Connie setengah berbisik. Lynn mengangguk.
"Apa dia bilang?" Lynn menggelengkan kepala. Rasa takut membuat matanya tampak lebih besar.
"Lynn, apa dia bilang?"
“Dia bilang...." Kata-katanya seperti menyangkut di leher. Baru beberapa detik kemudian bisa keluar.
"Dia bilang, dia akan membunuh saya." Kata Lynn, pria itu berkata, "Kalau aku tidak bisa memperolehmu, orang lain pun tidak."
Saya tinggal beberapa menit lagi di apartemen itu, sebelum meninggalkan Lynn dengan Connie Evans. Ancaman itu mungkin saja sekadar omong kosong, tetapi bisa juga si pengancam itu cukup gila untuk melaksanakannya. Adalah tugas saya untuk menganggapnya serius.
Saya tidak bisa segera menghubungi Jud Canale, sebab ia sudah memberi tahu bahwa sepanjang siang itu akan berada di ruang sidang pengadilan. Jadi saya pun naik ke tingkat V untuk mengetuk apartemen 5-E.
"Siapa?" tanya Joel Reeves dari dalam. Saya beri tahu nama, pekerjaan, dan perihal saya sedang mengusut telepon gelap yang baru diterima Lynn.
"Sebentar," sahut Reeves. Kedengaran kunci dibuka, kemudian pintu menganga sedikit, tetapi rantainya tetap tercantel.
"Perlihatkan dulu kartu identitas Anda," katanya. Setelah puas mengamati fotokopi kartu identitas dan mengamati saya juga, barulah ia membuka cantelan rantai.
"Mesti hati-hati. Soalnya, sudah beberapa kali ada maling masuk ke gedung ini. Saya 'kan punya sejumlah buku berharga," katanya.
Reeves, berumur 25-an. Tubuhnya tambun dan rambutnya jarang. Matanya yang hijau itu mengintip dari balik kacamatanya yang bundar kuno. Penampilannya mencerminkan ia kutu buku.
Apartemennya sama dengan apartemen Lynn, cuma jendelanya menghadap ke Danau Merced dan Lapangan Golf Harding Park. Perabotnya sederhana dan tanpa imajinasi, tetapi rapi. Dua dinding ruang duduknya ditutupi rak berisi buku. Kebanyakan novel zaman Victoria yang konon diperolehnya dari lelang buku-buku antikuariat di London.
Ketika saya perhatikan, ternyata novel-novel itu bukan cuma tua, tetapi juga ... porno!
"Mestinya Anda cukup berada, sampai bisa membeli buku kuno di London," kata saya.
"Ah, tidak," katanya.
"Saya mendapat warisan kecil dari ayah saya tujuh tahun yang lalu. Lumayanlah untuk mengongkosi sekolah, pergi ke London, dan membeli buku," jawabnya.
Orang ini jauh dari menarik. Ia sangat berminat pada buku-buku porno. Sementara itu Lynn gadis yang sangat menarik. Siapa tahu minat Reeves terhadap buku-buku porno bukan semata-mata karena alasan akademis. Lagi pula ceritanya tentang buku memberi kesan bahwa ia jenis orang yang obsesif. Bayangkan, ke London pun dikejar!
"Lynn ditelepon lagi, ya?" tanyanya.
"Dua kali. Sekali semalam. Sekali lagi pagi ini. Yang terakhir tidak porno, tapi mengancam akan membunuh."
Reeves kelihatan kaget.
"Jadi Anda paham mengapa saya harus menemukan si penelepon secepat mungkin?'
"Paham. Tapi apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda?"
"Tolong Anda jawab pertanyaan-pertanyaan saya."
Kemarin, katanya, ketika ia singgah ke tempat Lynn, di sana memang sedang ada petugas telepon. Ia tidak melihat nomor telepon baru Lynn, tetapi ia bisa menduga apa yang kira-kira sedang dikerjakan petugas itu.
Reeves pernah bertemu dengan tunangan Lynn. Ia tidak suka kepada Larry Travers, sebab orangnya sok, cuma memikirkan kepentingannya sendiri dan tidak pandai. Yang dibualkannya cuma olahraga dan bir. Padahal Lynn cerdas dan belajar dengan serius. Reeves heran mengapa Lynn memilih Travers untuk menjadi tunangannya. Reeves tidak kenal pada Tim Downs.
"Mengapa Anda begitu memperhatikan orang-orang yang dikenal oleh Lynn?" tanya Reeves. "Anda menduga penelepon itu salah seorang temannya?"
"Kemungkinan besar demikian. Orang-orang yang diberi tahu nomor telepon barunya cuma teman-temannya. Saat ini sudah dua kali ia ditelepon, padahal telepon baru dipasang kemarin siang."
"Oh!" kata Reeves. Ia menghela napas. "Kasihan Lynn. Tentu ia sangat tegang."
"Seorang teman wanita mendampinginya saat ini."
"Siapa?"
"Connie Evans."
"Oh, si Wanita Komputer! Saya tidak suka komputer karena dingin, tidak manusiawi," komentar Manusia Sejarah itu.
Saya memberinya kartu nama saya, lalu meninggalkannya.
Saat ini rasanya cuma ada tiga orang yang pantas dicurigai: Reeves, Travers, dan Downs. Untuk mengetahui apakah ada orang lain lagi, saya harus mencari Travers dan Downs dulu.
Tukang leding sangar
Pukul 15.30 saya berada di muka pintu apartemen Travers. Sia-sia saja saya menekan tombol belnya. Menurut tetangganya, seorang wanita setengah baya yang tinggal tepat di bawah apartemen Travers, tunangan Lynn itu kelihatan mengangkuti barang-barangnya tadi pagi. Jangan-jangan ia pindah. Entah ke mana.
Wanita itu mengeluh. Katanya, Travers sering mengadakan pesta liar yang ingar bingar di apartemennya. Travers dan para tamunya minum-minum sampai subuh. Gadis yang dibawanya menginap pun berganti-ganti terus.
Wanita itu dan suaminya tidak suka kepada Travers, karena keluhan mereka selalu diabaikan. Mengapa Lynn tidak memberi tahu tunangannya akan pindah? pikir saya. Apakah ia sengaja tidak mau memberi tahu, ataukah ia memang tidak tahu? Apakah Lynn tahu tunangannya kerap mengadakan pesta-pesta liar dan mengajak para wanita menginap? Mungkin Tim Downs bisa mengungkapkannya.
Saya mendatangi apartemen Tim Downs. Nama yang tertera di situ bukan namanya, tapi nama seorang wanita, Pam Scott. Keadaan apartemen itu lebih buruk lagi daripada apartemen Travers. Tidak ada orang di apartemen itu. Pada saat saya akan meninggalkannya, muncullah seorang pria muda bertubuh kekar seperti pemain American football. Rambutnya hitam, tergerai ke bahu, dan kumisnya yang lebat bersambung dengan cambangnya. Pria itu mengenakan pakaian kerja tukang leding. Ia Tim Downs, yang baru pulang kerja.
Dengan mata galak ia memandang saya. Sinar matanya tidak banyak berubah, ketika saya memperlihatkan fotokopi kartu identitas saya.
"Siapa yang menyewa Anda? Ayah Lynn?" tanyanya.
"Ya."
"Pantas! Orang mapan memang suka berlebihan. 'Kan bukan anaknya sendiri saja yang pernah ditelepon yang jorok-jorok. Apa anehnya! Di San Francisco 'kan banyak manusia sinting!"
"Tapi tidak banyak yang jiwanya diancam."
"Memang pria itu mengancam akan membunuh?"
"Ya, pagi ini."
"Astaga! Menurut Anda, dia serius?"
Tim Downs berubah galak, ketika diberi tahu bahwa orang yang mendapat nomor telepon baru Lynn cuma ayah Lynn, Larry Travers, dan dia.
"Anda menuduh saya, ya?" katanya.
"Siapa menuduh Anda? Saya datang ke sini untuk bertanya."
"Bertanya apa?"
"Anda memberikan nomor telepon Lynn kepada orang lain?"
Downs mengaku tidak memberikannya kepada siapa-siapa, bahkan juga kepada Pam Scott, wanita yang hidup bersamanya. Downs tidak tahu apakah Travers memberikan nomor telepon Lynn kepada orang lain.
"Tanya saja kepadanya!" katanya.
"Ia tidak ada di apartemennya.”
Akhirnya, setelah digertak, mau juga Downs memberi tahu tempat-tempat yang sering dikunjungi Larry Travers. Travers, katanya, biasa ada di rumah minum Elrod sekitar pukul 17.00. Kemungkinan ia juga masih akan kembali ke apartemennya atau menginap di kapal Hidalgo.
Menurut Downs, Larry Travers akan segera pindah ke San Diego, karena pada semester yang lalu ia drop-out dari University of California. Ia akan berangkat bersama seorang temannya, membawa kapal Hidalgo ke Diego. Entah Lynn sudah tahu atau belum.
"Dia 'kan akan menikah dengan Lynn," kata saya.
Downs tertawa.
"Dia bukan jenis pria yang berniat menikah. Lynn 'kan gadis cantik yang agak membosankan, karena gagasannya kuno. Mana mau dia tidur dengan Larry kalau tidak dijanjikan akan dinikahi!"
Leher saya serasa tercekik oleh amarah. Kurang ajar Larry Travers! Rupanya janjinya kepada Lynn cuma sekadar gombal. Setelah merasa cukup mengisap madu seorang gadis baik-baik, dengan seenaknya saja ia akan pergi meninggalkan korbannya. Saya tidak heran kalau makhluk seperti itu bisa menjadi penelepon gelap!
Kalah gesit
Saya mencari Travers di Elrod. Dia tidak ada. Menurut bartender, Travers belum datang. Katanya, Travers minum bir seperti minum air. Bahkan cereal-nya untuk sarapan pun bukan disiram dengan susu, melainkan dengan bir.
Saat itu pukul 17.00. Saya meninggalkan Elrod sebentar untuk menelepon Jud Canale. Saya laporkan semua yang saya ketahui, termasuk bahwa Larry Travers sering mengadakan pesta liar dan mengajak pelbagai wanita menginap. Namun, saya tidak memberi tahu alasan Larry Travers untuk bertunangan dengan Lynn. Kehidupan seks Lynn adalah urusannya sendiri.
Jud Canale marah sekali mendengar tingkah laku Larry Travers. Sekarang juga ia akan berangkat memberi tahu Lynn. Saya memberi tahu bahwa saya akan mencari Travers. Jud Canale memberi saya nomor telepon rumahnya, supaya bisa menghubungi dia setiap saat.
Sampai pukul 18.30 Travers tidak muncul di Elrod. Jadi saya kembali ke apartemennya di Missouri Street. Jendelanya di tingkat III terang. Sementara itu di tempat parkir ada mobil Triumph TR-3 yang sudah butut. Seorang pria muda bertubuh atletis sedang memuat barang ke bagasi mobil itu.
Travers segera tahu bahwa saya detektif yang disewa ayah Lynn, karena Downs sudah meneleponnya. Berlainan dengan Downs, ia tidak bersikap bermusuhan. Ia memberi kesan sebagai orang yang lurus hati. Wajahnya tampan dan tubuhnya yang atletis itu mirip remaja. Rambutnya panjang dan pirang. Kumisnya pun pirang. Pantas banyak wanita yang jatuh hati! Padahal hatinya busuk!
"Di mana Anda pukul 13.00 siang ini?" tanya saya.
"Pada saat Lynn menerima telepon gelap, ya?"
"Di mana Anda?"
"Bukan saya yang menelepon. Lynn gadis yang istimewa buat saya. Menyakitkan dia adalah hal yang paling tidak saya inginkan di dunia ini. Mengapa Anda merecoki saya, bukan mencari penelepon itu?"
Saya maju selangkah.
"Jawab pertanyaanku, Travers. Di mana kau pukul 13.00 ini?"
Ia tidak menjawab, cuma menggabrukkan pintu bagasi dan menjauhi saya. Ketika ia masuk ke mobilnya, saya bergegas menghampiri, tetapi terlambat. Ia keburu menghidupkan mesin dan kabur. Saya menjemput mobil saya di tempat parkir, lalu pulang. Soalnya, percuma saja saya menyusul ke tempat kapal-kapal ditambat. Saya tidak akan bisa masuk tanpa kunci dan tanpa ada yang membukakan pintu.
Malam itu saya telepon Jud Canale untuk memberi laporan terakhir.
Lynn lenyap
Pagi-pagi Jud Canale menelepon. Suaranya terdengar lelah dan risau. Katanya, semalam Lynn menolak diajak menginap di Forest Hill. Malah ia pergi dengan Connie ke pertemuan drama, karena tidak betah dikurung di apartemennya. Hari itu penelepon gelap tidak mengganggu.
Lynn tidak mau mempercayai keterangan negatif tentang tunangannya. Ia yakin Travers mencintainya. Pagi ini, ketika Canale menelepon lagi, putrinya tetap pada pendapatnya.
Canale berpesan, agar saya menyampaikan ancamannya kepada Travers. Kalau Travers berani mendekati putrinya lagi, Canale akan membunuhnya!
Mendengar ancaman Canale, saya meninggalkan sarapan untuk memacu mobil saya ke tempat Hidalgo ditambat di China Basin.
Ketika berkeliling mencari tempat parkir, saya melihat Triumph TR-3 tersembunyi di balik traktor. Sulit juga mencari Hidalgo di tempat sebesar itu. Untung saya bertemu dengan seorang pria berpotongan petinju, yang memberi tahu tempat kapal itu ditambatkan. Katanya, Larry tidak tampak sejak pagi.
Kapal fiberglass sepanjang 10 m itu sepi saja. Geladak dan kokpitnya kosong. Saya melompat naik dan menuju ke sebuah ruangan di bawah yang diterangi lampu.
"Travers!" panggil saya. Tetapi sunyi. Akhirnya saya tiba di dapur yang memperlihatkan sisa-sisa hamburger McDonald dan botol-botol bir kosong serta kaleng-kaleng bekas minuman ringan. Saat itu saya merasa bulu kuduk saya merinding. Saya mempunyai firasat ada sesuatu yang tidak beres.
Dengan hati-hati saya singkapkan tirai ke ruang sebelah. Di sana menggeletak Travers dengan sebelah kaki menggantung ke geladak. Pelipis kirinya berlubang. Lubang itu hitam oleh darah kering. Sebelah tangannya memegang pistol otomatis Smith & Wesson kaliber .38. Namun, saya yakin ia tidak bunuh diri. Ada yang membunuhnya!
Saya pulang ke kantor. Rasanya saya memerlukan secangkir kopi untuk mengembalikan semangat. Ketika sedang menunggu air mendidih, saya memeriksa alat penjawab telepon. Apakah selama saya pergi ada orang menelepon saya? Ternyata cuma seorang dan tidak mau berbicara dengan mesin, sebab ia tidak meninggalkan pesan apa-apa.
Mesin .... Tiba-tiba saja otak saya bekerja, menghubung-hubungkan segala macam informasi yang saya peroleh selama ini.
Lima belas menit kemudian, saya memperoleh gambaran lengkap. Saya yakin tahu siapa pembunuh Travers. Saya pun tahu siapa penelepon yang mengganggu Lynn. Saya merasa khawatir. Saya harus bergegas menyelamatkan Lynn. Jangan-jangan saya sudah terlambat.
Saya ngebut ke apartemen Lynn. Walau berulang-ulang menekan bel di dekat namanya, panggilan saya tidak dijawab. Saya menjadi panik. Lalu saya teringat pada Joel Reeves. Saya tekan tombol 5-E. Reeves menjawab. Setelah saya memperkenalkan diri, ia membiarkan saya masuk.
Untuk menghemat waktu, saya berlari menaiki tangga ke tingkat III. Rasanya dada saya hampir pecah ketika tiba di depan pintu apartemen C-l. Pintunya terkunci. Percuma saja saya memanggil-manggil dan menggedor-gedor pintu. Akhirnya ada wanita tetangga Lynn menjengukkan kepala dengan wajah khawatir. Untuk menghemat waktu, saya mengaku bahwa saya polisi. Apakah ia melihat Lynn hari ini?
"Tidak," jawabnya.
Pada saat saya mencari penjaga apartemen, Reeves muncul. Ia sudah menduga saya pergi ke apartemen Lynn.
Ketika saya bertanya apakah ia bertemu Lynn pagi ini, ia menjawab bahwa tadi pagi ia berpapasan dengan Lynn di lobi. Lynn kelihatan sangat risau. Saat itu Lynn bersama Connie Evans. Mereka berniat meninggalkan gedung sambil membawa koper. Mereka tidak memberi tahu akan ke mana.
"Di mana Connie Evans tinggal?" tanya saya.
Reeves cuma tahu Wanita Komputer itu tinggal di daerah Sunset dekat Great Highway. Tanpa mempedulikan Reeves lagi, saya berlari turun. Connie Evans adalah pembunuh Travers dan penelepon gelap itu!
Di bilik telepon umum, pada buku telepon saya temukan nama C. Evans. Alamatnya Forty-seventh Avenue. Itulah satu-satunya Evans dekat Great Highway.
Lima belas menit kemudian saya tiba di depan rumah itu. Di halamannya yang dipenuhi tanaman layu, saya melihat ada mobil. Telapak tangan saya berkeringat ketika tidak ada orang keluar setelah bel pintu ditekan. Waktu saya akan memijat bel lagi, pintu dibuka oleh Connie Evans.
"Mana Lynn?" tanya saya.
"Di kamar," jawab Connie dengan wajah dan suara datar saja.
Lynn Canale terbaring di ranjang. Ia bergerak sedikit ketika saya memeriksa denyut nadinya yang ternyata jelas terasa. Lynn masih hidup! Tapi wajahnya sembap dan bibirnya yang kering itu pecah-pecah.
"Apa yang kauberikan kepada Lynn?" tanya saya kepada Connie.
"Obat tidur," jawab gadis kurus itu acuh tak acuh, diselingi menghirup Coca-Cola dari kaleng.
"Berapa banyak?"
"Paling-paling tiga. Dia sangat sedih, karena. ... Larry tewas."
"Dari mana dia tahu? Kau memberi tahu?"
"Bukan. Ayahnya menelepon. Ayahnya ingin membawa Lynn pergi, tapi dia tidak mau. Dia minta menginap di sini. Dari mana Anda tahu soal ...."
Saya tidak segera menjawab. Di sebuah sudut ruang duduk terdapat pelbagai peralatan elektronik: radio, video, cassette recorder, komputer, dan macam-macam lagi. Sebuah mesin penjawab dikaitkan ke telepon.
"Kemarin," jawab saya, "ketika Lynn menerima ancaman dari telepon, kita bertiga ada di apartemennya. Waktu saya mengambil gagang telepon dari Lynn, saya mendengar desiran dan bunyi 'klik' sebelum hubungan putus. Bunyi 'klik' selalu terdengar kalau seseorang memutuskan hubungan telepon, tetapi desiran hanya ada kalau kita mempergunakan mesin. Saya baru sadar tadi pagi, ketika memeriksa mesin penjawab telepon saya."
Connie Evans cuek saja sambil menghirup Coca-Colanya. "Ada mesin lain yang menghasilkan bunyi desiran dan 'klik', yaitu mesin untuk menyampaikan pesan seperti cassette-recorder milikmu itu. Kau ahli elektronik, Connie. Kau merekam pesan di kaset dan menghubungkan rekaman ke telepon dan ke komputer. Lalu kau memprogram komputer supaya menelepon pada saat detektif yang disewa ayah Lynn ada di apartemen Lynn dan kau juga nadir di sana. Maksudmu, agar kau tidak dicurigai sebagai si penelepon gelap. Atau mungkin kau ingin melihat wajah Lynn pada saat kau mengancam akan membunuhnya?"
"Saya tidak berniat membunuhnya. Saya cuma ingin menyakiti dia, lebih daripada ia menyakiti saya dengan merebut Larry dari saya. Saya mencintai Larry dan Larry dulu pun mencintai saya. Kami akan menikah lalu Lynn mengambilnya. Saya ingin Larry kembali, tetapi ia tidak mau. Ia malah selalu menjemput Lynn ke universitas. Saya benci Lynn."
"Mengapa kau pura-pura nenjadi pria dan berkata yang jorok-jorok di telepon?"
"Karena Lynn bilang dia takut dan benci kepada pria yang berbicara begitu."
Ancaman itu masih ada di kaset, belum dihapus.
Ditolak mentah-mentah
Ternyata kemarin malam Connie diam-diam mendengarkan Jud Canale memberi tahu bahwa Travers akan meninggalkan Lynn dan bahwa Travers bukan pemuda baik-baik. Connie seperti Lynn, tidak percaya Travers pemuda hidung belang. Harapan Connie timbul bahwa Travers akan kembali kepadanya. Ia pergi ke apartemen Travers. Pemuda itu tak ada. Ia menyusul ke China Basin, tetapi tidak diperkenankan masuk. Ketika ia sudah putus asa, Travers datang dengan Triumph-nya. Ia ikut masuk dengan Travers.
Sesudah tidur bersama, Connie minta diperkenankan ikut ke San Diego. Larry Travers menolak betapapun Connie memohon-mohon. Travers malah menertawakannya. Connie, Lynn, dan para wanita lain sama saja baginya, kata Larry Travers. Karena merasa dipermalukan, Connie mengambil pistol penembak hiu yang ada di kapal itu dan menembak kepala Travers.
"Kini saya tidak ingin menyakiti Lynn lagi," katanya. "Apakah Anda akan memanggil polisi sekarang?"
"Ya," jawab saya dengan berat hati.
"Silakan."
(Bill Pronzini)
" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246384/penelepon-gelap" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650984034000) } } [3]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246439" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/pagar-makan-binatangjpg-20220420050356.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(147) "Seorang detektif partikelir menyamar sebagai centeng kebun binatang untuk mengusut kasus pencurian. Hingga suatu malam ia mendengar suara tembakan." ["section"]=> object(stdClass)#76 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/pagar-makan-binatangjpg-20220420050356.jpg" ["title"]=> string(20) "Pagar Makan Binatang" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 14:36:58" ["content"]=> string(27731) "
Intisari Plus - Pencurian binatang kian merebak. Seorang detektif partikelir menyamar sebagai centeng kebun binatang untuk mengusut kasus pencurian. Hingga suatu malam ia mendengar suara tembakan yang berasal dari kandang binatang.
---------------------------------------
Suasana malam di Kebun Binatang Fleishhacker, San Francisco, sama seramnya dengan kuburan. Apalagi pada musim dingin yang berkabut seperti ini. Arloji saya di kegelapan yang jarum-jarumnya bersinar menunjukkan pukul 11.45. Berarti saya masih harus berkeliling mencentengi tempat ini lebih dari enam jam lagi.
Rasanya tubuh sudah hampir beku, meskipun memakai pakaian berlapis-lapis, bermantel, bersarung tangan tebal dan berpenutup kepala. Mudah-mudahan saya tidak terserang radang paru-paru gara-gara angin dingin mengiris-iris ini.
Kadang-kadang ada binatang yang bersuara. Dua malam yang lalu, ketika baru mulai menjadi centeng, saya sampai melompat terkejut mendengar suara-suara seperti itu. Sekarang saya sudah terbiasa. Saya tidak mengerti mengapa Dettlinger dan Hammond, sesama centeng, bisa betah bekerja di sini. Saya sendiri rasanya tidak tahan, walaupun baru tiga hari bertugas.
Sering kemalingan
Saya berjalan menuju tempat burung-burung. Pohon-pohon cemara di sebelah kiri saya meliuk-liuk ditiup angin, seperti raksasa hitam menari. Kebanyakan burung sedang tidur, tapi ada juga di antara mereka yang nampak bergerak-gerak. Empat hari yang lalu, tiga ekor burung bunting yang langka lenyap digondol maling. Sebelumnya maling sudah mengambil dua ekor elang Harris asal Amerika Selatan, tiga burung pemakan kepiting dan juga setengah lusin ular Crotalus pricei.
Pencurian beruntun itu tentu saja merisaukan. Pada malam ular Crotalus pricei dicuri, salah seorang rekan saya, Sam Dettlinger, sempat melihat orang berlari. la mengejar, tetapi maling itu berhasil lolos. Karena hanya melihat dari kejauhan, Dettlinger tidak bisa menggambarkan bagaimana rupa si pencuri. la bahkan tidak tahu apakah orang yang dikejarnya itu pria atau wanita.
Polisi tentu saja sudah dimintai bantuannya, tetapi tampaknya mereka tidak berdaya. Pengurus kebun binatang lantas memperketat penjagaan dengan menambah seorang centeng lagi, Al Kirby, untuk membantu sementara waktu. Apalah artinya penambahan seorang centeng, mengingat kebun binatang ini luasnya lebih dari 28 ha. Ditambah seratus orang pun percuma saja. Mana mungkin bisa mencegah orang memanjat pagar pada malam hari? Apalagi di dalam kebun binatang ini ada macam-macam hutan, gua, dan kolam yang tepinya ditumbuhi semak-semak, meniru habitat asli penghuninya.
Saya menjadi centeng di sini gara-gara seorang pengacara bernama Lawrence Factor. la pencinta binatang dan salah seorang pengurus kebun binatang ini. Saya pernah membantu dia memecahkan suatu perkara di masa yang silam. Factor meminta saya pura-pura mencari pekerjaan sebagai centeng di sana. Pekerjaan saya sebenarnya detektif partikelir.
Buat apa sih orang mencuri binatang?
"Binatang-binatang itu berharga," kata Factor. "Para kolektor dan pemilik kebun binatang pribadi berani membayar mahal untuk hewan-hewan langka itu. Soalnya, mereka tidak bisa memperolehnya lewat jalan yang legal."
Ternyata di pasar gelap ular pricei harganya 250 dolar dan elang Harris paling murah 500 dolar. Elang itu bisa dididik untuk berburu.
Menurut Factor, biasanya maling tidak mau mengganggu kebun binatang besar seperti Fleishhacker, sebab risikonya besar. Namun, kalau ada orang yang berani menawarkan harga tinggi sekali, maling jadi nekat.
Factor menduga maling di Fleishhacker ini profesional, sebab ia tahu betul binatang mana yang mahal. Caranya membuka pintu kandang pun ahli betul.
"Orang dalam?" tanya saya.
"Bisa saja, tetapi mudah-mudahan bukan," kata Factor.
Begitulah ceritanya sampai saya berada di kebun binatang pada malam dingin yang menyebalkan ini. Setiap siang, saya melakukan penyelidikan di luar. Selain itu diam-diam saya mengorek keterangan dari para karyawan. Hasilnya tidak menggembirakan.
Saya sungguh berharap agar maling cepat-cepat bereaksi lagi, sebab saya sudah sebal mencentengi kebun binatang, walaupun mendapat bayaran tinggi dari Factor.
Saya mendekati kandang burung-burung dan memeriksa pintunya. Masih terkunci. Walaupun demikian, saya menyorotkan lampu senter saya untuk memeriksa.
Semua beres. Malam ini seperti biasa, kami bertugas berempat: Dettlinger, Hammond, Kirby, dan saya. Kami masing-masing berbekal walkie-talkie dan berangkat dari empat sudut yang berbeda. Arah jalan kami sudah ditentukan, yaitu menuruti jarum jam. Jadi kami bisa meliput seluruh kebun binatang, tidak berkumpul di satu tempat saja.
Setelah mengelilingi tempat burung saya menuju ke tempat monyet-monyet. Mereka tinggal di sebuah pulau yang dihuni oleh sekitar 60 - 70 ekor monyet. Tidak jauh dari sana ada tempat gajah, tetapi karena kabut turun, tempat itu tidak kelihatan. Tahu-tahu suara merak jantan mengagetkan saya. Kurang ajar burung itu! Rasanya saya ingin memanggangnya dengan bumbu bawang putih. Mungkin enak dimakan panas-panas.
Pangeran Charles terbangun
Saya maju terus, melewati jalan di antara kandang kuda nil dan gua-gua tempat beruang coklat dan melewati sebidang tanah yang cukup luas di muka Rumah Singa.
Bagian depan Rumah Singa itu berupa kandang-kandang kaca dan kawat untuk memamerkan singa dan harimau. Di antara mereka terdapat binatang paling berharga yang dimiliki oleh kebun binatang itu, yaitu harimau putih berumur setahun. Di dunia ini sekarang paling-paling cuma ada lima puluh ekor harimau putih. Namun, orang waras rasanya tidak akan mencuri binatang itu. Soalnya, beratnya hampir 250 kg.
Harimau putih itu dinamai Pangeran Charles, tetapi biasa dipanggil si Charley. la sedang tidur nyenyak bersama rekannya, seekor harimau benggala betina bernama Whiskers. Saya memandang mereka beberapa saat lalu beranjak dari sana.
Saat itulah ada orang mendekati saya dari arah tempat kandang lingsang. Karena ada kabut, saya tidak bisa melihatnya dengan jelas. Sebelah tangan saya segera menarik lampu senter dari saku dan sebelah lagi siap dengan walkie-talkie. Ternyata kewaspadaan saya berlebihan, sebab orang itu memanggil nama saya dengan suara yang saya kenal.
"Ada apa, Sam?" tanya saya kepada Sam Dettlinger. "Mestinya 'kan kau ada di daerah kandang gorila sekarang."
"Betul," jawabnya. "Tapi kira-kira lima belas menit yang lalu rasanya aku melihat sesuatu di balik gua-gua tempat harimau."
"Apa yang kaulihat?"
"Ada orang mengendap-endap di semak-semak."
"Mengapa kau tidak memanggil kami?"
"Aku tidak yakin betul. Kabut sialan ini mengganggu pemandangan. Jadi aku ingin memeriksa dulu. Ternyata tidak ada apa-apa."
"Baiklah. Aku akan mengecek lagi supaya kita yakin."
"Perlu kutemani?"
"Tidak perlu. Sudah hampir giliranmu beristirahat 'kan?"
la memandang arlojinya. "Eh, ya. Hampir pukul 24.00."
Tahu-tahu di dalam Rumah Singa, dari balik kandang-kandang kaca, terdengar ledakan, seperti tembakan. Kami berdua terperanjat.
"Apa tuh?" kata Dettlinger.
"Tidak tahu. Ayo kita lihat!"
Kami berlari sekitar 20 m ke pintu Rumah Singa. Bunyi keras tadi membangunkan Pangeran Charles dan temannya. Saya mengguncang pintu, ternyata masih terkunci.
"Kau punya kunci?" tanya saya kepada Dettlinger.
"Ya."
la mengeluarkan rencengan kunci kandang. Saya menyorotkan lampu senter untuk membantunya mencari kunci yang tepat. Saat itu sunyi sekali di sekitar kami maupun di dalam Rumah Singa. Dettlinger membuka pintu dan saya menerobos masuk ke sebuah ruangan kecil. Lewat pintu yang tidak terkunci di ruangan itu saya masuk ke ruang utama bangunan itu. Ruangan itu tidak berjendela. Di langit-langitnya beberapa lampu menyala. Di sana ada beberapa pintu untuk masuk ke ruangan tempat binatang-binatang makan dan beberapa pintu lain untuk ke semacam taman tropis yang beratap. Tiba-tiba Dettlinger berteriak terkejut.
"Lihat!" serunya. Saat itu kebetulan saya pun sedang melihat ke arah yang ia tunjukkan. Lewat pintu terali sebuah kandang tempat makan yang kosong, seorang pria kedapatan terbaring telentang. Di mantelnya yang tebal kelihatan noda darah, sebuah revolver tergenggam di tangannya.
Saya melihat wajahnya. Kirby! Si penjaga malam sementara yang baru dipekerjakan beberapa minggu yang lalu. Ia sudah menjadi mayat.
Saya memeriksa pintu-pintu. Semua terkunci. Kirby tampaknya ditembak dari jarak dekat. Di mantelnya, di bagian dada, ada noda mesiu. Saya merasa mual. Memang begitulah yang terjadi setiap saya menyaksikan kematian akibat kekerasan. Apalagi di sini samar-samar bau binatang.
"Kau punya kuncinya?" tanya saya.
"Tidak," katanya. "Buat apa membawa-bawa kunci ke tempat ini? Cuma pengurus binatang-binatang buas ini yang memilikinya."
Dettlinger menggeleng-gelengkan kepala. "Bagaimana caranya Kirby bisa masuk?" tanyanya. Tak ada yang tahu. Saya minta Dettlinger menunggu di sana sementara saya berlari ke luar memeriksa pintu lain yang memungkinkan orang keluar dari Rumah Singa pada saat Dettlinger dan saya masuk dari pintu yang sebuah lagi. Ternyata pintu itu terkunci. Lagi pula jarak waktu antara bunyi tembakan dan saat kami memasuki ruangan paling-paling cuma 30 detik. Mana sempat orang kabur dari pintu lain?
Tiada jalan keluar
Saya kembali ke tempat Dettlinger. Kelihatannya ia senewen menemani mayat. Ia membelakangi jenazah Kirby dan kelihatan sedang bersiap-siap hendak merokok.
Saya meneriaki dia, agar jangan merokok di tempat seperti ini. Saya memeriksa ruangan-ruangan di sana, sambil menanyakan keterangan kepada Dettlinger. Di belakang kandang-kandang, katanya, ada ruangan tempat para pemelihara binatang menaruh daging dan peralatan mereka. Ada juga gang untuk menuju ke gua-gua. Untuk masuk ke sana, kita harus melewati sebuah pintu. Kita cuma bisa keluar-masuk lewat pintu itu atau lewat gua, tetapi di gua-gua itu ada binatang buasnya.
Pintu yang ditunjukkan oleh Dettlinger terkunci, tetapi ia mempunyai kuncinya. Saya minta ia membukanya dan menunggu di mulut pintu sementara saya masuk. Dengan lampu senter saya cari tombol lampu dan menyalakannya. Di dalam saya dapati pintu ke salah sebuah tempat menyimpan daging terbuka, tetapi tidak ada orang di sana. Di tempat lain pun tak ada manusia.
Saya meminta Dettlinger menelepon polisi dari bilik telepon di dekat kios makanan. "Sambil ke sana tolong panggilkan Hammond lewat walkie-talkie," pesan saya.
"Tidak perlu, saya sudah di sini," jawab Gene Hammond yang muncul di pintu masuk. Hammond yang tingginya 2 m dan beratnya lebih dari 100 kg itu wajahnya rata seperti pantat bus. Ia memandang seperti tidak percaya ke arah jenazah Kirby.
Hammond juga heran bagaimana Kirby bisa berada di situ. Ia melihat Kirby terakhir kali pukul 21.00, yaitu pada awal dinas hari ini.
Kami pikir, Kirby tidak mungkin berada di dekat tempat ini, kecuali kalau ia melihat atau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Soalnya, kalau menuruti jadwal ia baru akan tiba ke tempat ini setengah jam lagi.
"Barangkali ia bunuh diri," kata Hammond. Soalnya, Kirby sendirian saja dalam ruangan yang terkunci dan revolver berada di tangannya. Sebaliknya, saya yakin Kirby dibunuh. "Siapa yang bisa kabur lewat gua tempat binatang buas?" kata Hammond. "Penjaga binatang-binatang itu saja tidak berani. Bisa dirobek-robek mereka!"
Inspektur Branislaus datang menanyai kami di kantor kebun binatang, sementara anak buahnya memeriksa Rumah Singa. Setelah itu saya menelepon Lawrence Factor. Betapapun ia yang membayar saya, sehingga saya pikir sebaiknya ia tahu apa yang terjadi di kebun binatang ini.
Ia kenal pembunuhnya
Ketika Factor datang, Branislaus mengajaknya berdiskusi di ruang lain, lalu saya dipanggil masuk. Rupanya Factor sudah memberi tahu siapa saya, sebab Branislaus segera memberi informasi Kirby tewas oleh peluru revolver 32. Sudah diketahui pula cara Kirby bisa masuk ke kandang terkunci itu. Dekat tubuhnya ditemukan kunci masuk. Kunci itu bisa saja dilemparkan lewat terali oleh si pembunuh setelah Kirby menjadi mayat. Kemungkinannya kecil sekali Kirby bunuh diri, sebab hampir tidak pernah ditemukan orang bunuh diri dengan menembak dada.
Saya juga mengaitkan kematian Kirby dengan pencurian-pencurian yang terjadi di kebun binatang.
"Mungkinkah Kirby memergoki si pencuri di Rumah Singa?" tanya Branislaus. "Kalau hal itu terjadi, mengapa ia mesti dibunuh? Mengapa ia tidak dipingsankan saja?"
"Mungkin orang yang ia pergoki itu ia kenal," kata saya.
"Taruhlah ia kenal pada si pencuri, tetapi mengapa mesti susah-susah dibawa ke kandang itu?"
Kami juga bingung, bagaimana mungkin si pembunuh bisa melarikan diri lewat pintu lain, padahal jarak waktu dari suara tembakan sampai Dettlinger dan saya berada di sana cuma kira-kira 30 detik. Mustahil ia sempat mengunci lagi pintu itu? Satu-satunya jalan ialah kabur lewat gua, tetapi baik Dettlinger maupun Hammond berpendapat itu tidak mungkin dilakukan. Binatang-binatang buas akan mencabik-cabiknya.
Kunci-kunci di Rumah Singa sudah diperiksa. Semua mulus. Pasti Kirby berada di dalam bukan dengan membongkar kunci, tetapi memakai kunci yang tepat untuk membuka pintu.
"Branny," kata saya kepada Inspektur Branislaus. "Saya yakin ini pembunuhan dan pelakunya ingin mengecoh kita."
Saya pergi ke luar dan memberi tahu Dettlinger bahwa sekarang giliran dia ditanyai inspektur. Saya sendiri mencari angin di antara kandang-kandang.
Walaupun sekarang dinginnya lebih daripada tadi malam, saya pergi juga ke Rumah Singa. Polisi-polisi yang berjaga rupanya mengenali saya, sebab mereka diam saja ketika saya pergi ke belakang tembok yang mengelilingi tiga gua tempat binatang buas itu. Polisi memasang lampu portable di tempat itu.
Ketika gua itu baru saja dipugar, diberi tanaman dan pepohonan meniru habitat asli binatang-binatang itu. Gua tengah dipisahkan dengan tembok yang tinggi, yang tidak bisa dipanjat dari kedua gua di sampingnya. Parit yang memisahkannya dari jalan tidak mungkin dilompati oleh hewan maupun manusia, sebab lebarnya lebih dari 15 m. Apalagi parit itu berbatasan dengan tembok tinggi yang tidak bisa dipanjat. Hammond dan Dettlinger memang benar, tidak mungkin orang melarikan diri lewat tempat ini.
Saya bengong saja di situ. Tiba-tiba saja terpikir oleh saya apa yang telah terjadi.
Dikira kotak rokok
Cepat-cepat saya kembali ke tempat Branislaus. la sedang bercakap-cakap dengan Factor. Hammond masih merokok seperti tadi dan Dettlinger juga masih duduk di sana.
"Branny, saya tahu jawaban teka-teki yang kita bicarakan tadi."
"Oh, ya?" katanya seraya meluruskan punggung. "Al Kirby tidak bunuh diri. la dibunuh. Saya tahu siapa pembunuhnya."
Saya mengharapkan reaksi, tetapi Branislaus, Factor, Hammond, dan Dettlineger tampaknya tidak terkesan.
"Siapa?" tanya Branislaus. Saya tidak berniat menyebutnya dulu. "Dia si pencuri burung dan binatang lain. Dia bukan pencuri profesional seperti yang selama ini kita yakini dan dia juga tidak perlu memanjat pagar untuk masuk ke tempat ini. Dia ada di sini pada malam-malam pencurian dan malam ini, sebab dia bekerja sebagai centeng. Orang yang saya maksudkan tidak lain daripada Dettlinger.”
Kini barulah saya mendapat reaksi.
"Saya tidak percaya," kata Hammond.
"Masya Allah!" seru Factor.
Branislaus memandang saya dan Dettlinger berganti-ganti. Cuma Dettlinger yang tidak bereaksi. Air mukanya biasa saja.
"Kau pembohong!" katanya kemudian dengan suara nyaring.
"Pembohong? Kau sudah bekerja cukup lama di sini. Kau tahu binatang-binatang mana yang langka dan mahal. Mudah saja kau masuk ke mana pun dengan kunci yang kaumiliki pada saat kau bertugas jaga. Kemudian kau menyerahkan binatang curianmu kepada teman yang sudah menunggu di balik pagar!"
"Tapi 'kan kata polisi kunci-kunci pintu dibuka dengan paksa," kata Hammond.
"Ah, itu 'kan cuma untuk menyesatkan. Dettlinger juga mengarang cerita tentang ia mengejar seseorang pada malam ular dicuri."
Dettlinger gelisah di kursinya. "Saya akan menuntut bajingan ini ke pengadilan," katanya kepada Factor. "Boleh 'kan Pak Factor?"
"Boleh saja kalau yang ia katakan itu tidak benar," jawab Factor.
"Memang tidak benar. Saya tidak pernah mencuri, saya tidak membunuh Al Kirby. Mana mungkin? Saya 'kan bersama dia di luar Rumah Singa, ketika Al tewas di dalam."
"Tidak," kata saya. "Al tewas ditembak dengan revolver kaliber 32. Senjata itu tidak mengeluarkan bunyi keras. Dettlinger dan saya berada kira-kira 15 m dari ruang tempat Kirby atau 20 m dari pintu masuk, ketika kami mendengar ledakan jelas dan keras. Padahal Rumah Singa tebal dindingnya, lalu masih ada ruang kecil berukuran 3 m dan masih ada jarak lebih dari 10 m ke kandang tempat Al."
"Jadi bagaimana hal itu bisa terjadi?" tanya Branislaus.
Saya menoleh kepada Dettlinger. "Kau merokok?" tanya saya. la kelihatan bingung.
"Apa?"
"Kau merokok?"
"Apa urusanmu menanyakan hal itu?"
"Gene terus-menerus merokok selama kita di sini. Kau tak pernah kulihat menyalakan rokok sekali pun. Sam, kau perokok atau bukan?"
"Bukan. Puas kau?"
"Puas," jawab saya. "Jadi apa yang kaupegang di Rumah Singa, ketika aku masuk sehabis memeriksa pintu-pintu dari luar?"
Dettlinger mengatupkan bibirnya erat-erat.
"Apa yang ia pegang waktu itu?" tanya Branislaus.
"Tadinya saya pikir sebungkus rokok, sebab saya melihatnya dari kejauhan. Lagi pula saya pikir ia perlu nikotin untuk meredakan ketegangannya. Tetapi kemudian saya sempat melihatnya dari dekat. Benda itu tape-recorder kecil."
"Apa?"
“Tape-recorder kecil. Saat itu pikiran saya tertuju pada Kirby. Saya alpa untuk menaruh perhatian lebih banyak pada benda yang cepat-cepat ia sembunyikan ke sakunya itu."
"Kaumaksudkan suara tembakan yang kau dengar bersama Dettlinger di luar Rumah Singa itu keluar dari tape-recorder?"
"Ya. Saya duga ia merekamnya tidak lama setelah ia menembak Kirby di Rumah Singa."
Pemerasan
"Siapa pemilik revolver itu, Kirby?"
Saya mengangguk. "Saya kira Kirby mengetahui Dettlinger mencuri binatang, tetapi ia tidak melaporkannya. Ia memeras Dettlinger. Karena sadar bahwa Dettlinger lebih besar dan lebih kuat daripadanya, ia berbekal senjata. Ia juga berbekal tape-recorder untuk merekam pembicaraan mereka. Mungkin untuk dipakai memeras lagi di kemudian hari.
"Saya duga ia menunggu Dettlinger di dekat Rumah Singa dan mereka berdua masuk ke dalam untuk berbicara. Saya kira Dettlinger memergoki adanya tape-recorder itu lalu marah. Kirby mengeluarkan pistol dan mereka bergulat. Kirby tertembak. Begitulah kira-kira skenarionya.
"Setelah melihat Kirby menjadi mayat, Dettlinger kebingungan. Kalau ia menyeretnya ke luar untuk memberi kesan seakan-akan Kirby dibunuh orang yang memanjat dari pagar, ia khawatir Hammond kebetulan lewat dan memergokinya. Ia mendapat akal. Ia menciptakan misteri yang akan membingungkan kita semua, seraya menciptakan alibi bagi dirinya.
"Saya rasa ia menghapus isi pita rekaman, lalu merekam bunyi ledakan revolver dengan menembakannya pada apa, ya? Katakan saja setumpuk daging di ruang penyimpanan makanan harimau. Lalu ia mengatur agar bunyi tembakan itu bisa kedengaran cukup lama kemudian. Tubuh Kirby diseretnya ke kandang, yang menurut pengakuannya tidak ia miliki kuncinya. Karena Kirby mengenakan mantel tebal, darah yang keluar terserap, sehingga tidak berceceran di mana-mana. Sebetulnya salah besar ia memasukkan Kirby ke kandang karena keadaannya jadi sangat aneh. Kalau dibiarkan saja di tempat Kirby ditembak mungkin malah lebih baik.
"Ia menunggu dekat-dekat tempat lingsang dan begitu saya muncul ia mendekati, saksi yang menguatkan alibinya.
"Saya juga ingat, tidak mencium mesiu ketika menemukan Kirby, padahal waktu itu bunyi tembakan baru kira-kira 30 detik berlalu. Bau mesiu yang ditembakkan Dettlinger beberapa waktu sebelumnya sudah hilang."
Mulut saya rasanya meniran setelah berbicara panjang-lebar begitu. Dettlinger tentu saja menyangkal. Namun, polisi menemukan tape-recorder-nya yang ia kubur buru-buru di dalam kandang kuda nil. Di tape-recorder itu ada sidik jari Dettlinger. Polisi juga menemukan peluru yang ia tembakkan untuk menciptakan suara dalam pita rekaman. Seperti saya duga, peluru itu ada di dalam potongan daging yang ditumpuk di tempat penyimpanan daging.
Dari penggeledahan di rumah Dettlinger, polisi mengetahui Dettlinger mempunyai hubungan dengan pencuri binatang yang sudah terkenal, Gerber, yang biasa menjual barang curiannya kepada para kolektor di Florida. Tugas saya sudah selesai. Kini saya tidak perlu lagi mencentengi binatang di kebun binatang, tetapi bisa bersenang-senang dengan pacar saya, Kerry, yang ingin tahu bagaimana caranya gorila pacaran.
(Bill Pronzini)
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246439/pagar-makan-binatang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650983818000) } } }