Intisari Plus - Seorang wanita menemui detektif dan minta untuk menyelidiki orang yang hendak membunuhnya. Namun di situlah detektif menemukan hal menarik.
--------------------
“Ada yang mencoba membunuh saya,” kata Patricia Ruric sambil menyodorkan kopi. “Saya minta bantuan Anda menemukan siapa orang itu dan kenapa.”
Patricia berumur dua puluhan tahun. Wajahnya panjang, rambutnya berwarna gelap, tergerai di pundaknya dengan blus berwarna kuning. Hidungnya mancung, matanya coklat, dan bibirnya agak terbuka karena bentuk giginya. Gadis itu kelihatan gelisah. Tapi itu bukan soal buat saya.
Saya taruh kopi saya dan bertanya, “Nona Ruric, kenapa punya pikiran begitu?
la memegang cuping telinga kanannya dan suaranya terdengar agak emosional. “Empat hari yang lalu, ketika sedang meluncur di jalan raya Pasadena menuju ke rumah, sebuah Cadillac biru melaju kencang di sisi kanan mobil saya. Pengemudinya mengarahkan senjata dari jendela ke arah saya. Saya menginjak rem persis ketika senjata itu meletus. Ajaib, saya bisa mengelak sehingga tembakannya meleset.”
“Anda sudah lapor polisi?”
“Tentu saja. Ke kantor patroli jalan raya terdekat. Mereka bilang akan menyelidikinya, tapi kesannya mereka tidak mau repot melakukannya.”
“Kenapa berpikir begitu?”
la menarik cuping telinganya lagi. “Saya tidak yakin mereka percaya pada cerita saya. Mereka tidak menemukan lubang peluru pada mobil saya. Saya tidak dapat bercerita banyak tentang mobil Cadillac itu, kecuali agak baru.”
“Ada saksi mata?”
la menggeleng. “Lalu ketika saya katakan kalau sopirnya itu wanita ....”
“Wanita? Anda yakin?”
la mengangguk. “Kecuali kalau si pengemudi sesungguhnya laki-laki yang memakai wig pirang dan mengecat merah kukunya.”
Sebelum saya bertanya lebih lanjut, gadis itu pamit sebentar. Saat ia berjalan, saya baru sadar kalau ternyata ia agak pincang, meski kaki kirinya sudah memakai sepatu khusus.
Belajar psikologi klinik
Patricia kembali sambil menyodorkan kliping koran bertanggal tiga minggu yang lalu dengan berita utama “Seorang Pria Terjatuh dan Meninggal di La Jolla”.
Rudy Ruric (56) asal Pasadena ditemukan tewas pada Selasa pagi di Pantai Black. Mobilnya berada di tempat parkir lapangan terbang layang di San Diego, di atas tebing tempat mayatnya ditemukan. Petugas penyelidik menduga pria itu berhenti di sana Senin petang. “Tebing itu tidak stabil,” kata Sersan Dick Milstead dari San Diego County Sherrif’s Department seperti dikutip koran itu. “Ruric mungkin berhenti di sana untuk menikmati pemandangan, tanpa memperhatikan rambu peringatan, dan berdiri terlalu dekat di bibir tebing. Tidak ditemukan petunjuk adanya tindak kriminal.”
“Rudy Ruric itu ayah saya,” kata Patricia.
“Anda menduga kematiannya dan percobaan pembunuhan terhadap Anda saling berkaitan?”
“Ayah dibujuk ke tempat itu lalu dibunuh,” katanya datar.
“Ayah Anda sedang ada acara apa di La Jolla?”
“Pemakaman Clint Macready.”
“Siapa Clint Macready?”
“Pengusaha kaya. Ayah dulu bekerja padanya selama bertahun-tahun sebagai tukang kebun. Saya lahir di estatnya di La Jolla. Dulu kami tinggal di salah satu pondok di sana.”
“Bagaimana kondisi terakhir emosional ayah Anda?”
“Para detektif dari San Diego juga menanyakan hal serupa. Ayah tidak bunuh diri.”
“Punya masalah pribadi atau keuangan?”
“Setahu saya tidak.”
“Ada yang mendapat keuntungan finansial atas kematiannya?”
“Kami hanya berdua. Ibu meninggal setahun setelah kami pindah dari San Diego. Ayah meninggalkan saya rumah dan sedikit uang. Ada polis asuransi yang jumlahnya tak seberapa, tetapi sebagian besar sudah dipakai untuk pemakaman ayah. Saya sudah memeriksa seluruh urusan keuangan ayah saya, mencoba membereskan semuanya, lalu saya menemukan hal aneh.”
“Setiap tanggal 15, ayah menyetor uang AS $ 2.000. Mungkin dari usaha bisnisnya, merawat kebun dan taman. Ternyata bukan. Uang itu ditransfer ke First National Bank melalui cabangnya di San Diego. Saya menghubungi ke sana, tetapi rupanya uang sejumlah itu selalu disetor dalam bentuk cek First National Bank. Empat hari yang lalu tanggal 15, tapi tak ada setoran.”
“Apa pekerjaan Anda?”
“Saya kuliah di UCLA,” katanya. “Saya akan mengambil program doktor di bidang psikologi klinik.”
“Sepertinya Anda sudah berkecukupan?”
la tersenyum. “Ya, lumayan, tetapi begitulah kira-kira.”
“Tarif saya AS $ 300 per hari, belum termasuk biaya lain, Nona Ruric ....”
Nampaknya ia marah. “Saya mampu membayar Anda, kalau itu yang Anda khawatirkan. Saya punya uang peninggalan Ayah.”
“Maksud saya, mungkin lebih baik kalau uang itu Anda gunakan untuk menyelesaikan studi,” saya mencoba menjelaskan.
Saya tidak meragukan kejujurannya. Tetapi nampak ia terpukul oleh kasus itu. Ia masih muda dan tiba-tiba harus hidup sendiri. Semua itu bisa membuat dia jadi ketakutan seperti itu. Mungkin sebagian juga karena kenyataan bahwa dirinya bukan gadis yang menarik dan lagi kakinya agak cacat.
“Nona Ruric, saya akan menyelidikinya. Kalau akhirnya nanti saya pikir uang Anda hanya terbuang sia-sia, saya akan kasih tahu Anda. Omong-omong, dari mana tahu nama saya?”
“Dari buku telepon.”
Karena luka dalam
Apa yang diungkapkan Patricia cukup rinci dalam laporan yang dibuat polisi. Belum ditemukan petunjuk sejak insiden itu. Saya mengawali penyelidikan dengan mendatangi kepolisian San Diego.
Setelah setengah jam menunggu, akhirnya saya bertemu Sersan Dick Milstead, yang menyelidiki kematian Rudy Ruric.
Milstead menyatakan, kematian Ruric terjadi antara pukul 22.00 hingga tengah malam, karena luka dalam, diduga akibat jatuh dari tebing. Ia tidak tahu apa yang dilakukan Ruric di sana. Juga tidak ditemukan tanda adanya tindak kriminal. Mereka sudah melacak jejaknya beberapa jam sebelum kematiannya. Tempat terakhir Ruric berada di pemakaman Macready. Di sana ia terlihat bercakap-cakap dengan putri Macready Jocasta, sekitar pukul 16.00. Ini berarti selama 6 jam Ruric berkeliaran di San Diego, bukannya pulang. Pertanyaannya, untuk apa ia melakukan itu?
Saya kembali ke jalan raya meninggalkan La Jolla. Pada km 2 saya melihat tanda arah ke Glider Airport. Saya belokkan kendaraan menuju sebuah jalan kecil yang mengarah ke pintu gerbang yang terbuka. Saya masuk dan sampai di sebuah tempat parkir yang luas dan kotor.
Embusan kuat angin pantai menyejukkan udara siang itu ketika saya keluar dari mobil. Di sisi kanan tempat parkir, di puncak sebuah bukit, sejumlah orang menonton seorang lelaki berhelm tengah bersiap-siap terbang dengan glider-nya. Saya mendaki bukit itu dan menjumpai sejumlah rambu berwarna kuning bertuliskan: TEBING INI MUDAH LONGSOR - JANGAN MENDEKAT.
Permukaan lumpur keras yang saya injak merupakan massa patahan dengan gua-gua di bawah tanah. Saya ngeri, seolah sedang berjalan di atas sarang lebah yang rapuh dan sewaktu-waktu siap meluncurkan tubuh saya ke laut. Empat langkah dari rambu-rambu itu tebing curam setinggi 500 kaki dengan laut di bawahnya.
Pemandangan ke arah laut di siang hari memang luar biasa, namun di malam yang berkabut berubah menjadi ancaman. Untuk apa Ruric ke tempat ini malam-malam? Kenapa ia tidak menghiraukan rambu-rambu itu?
Bekas luka di paha
Estat Macready terletak di bukit yang strategis menghadap ke laut, dikelilingi dinding yang tinggi sehingga tidak nampak dari jalan. Pintu gerbangnya terbuka dan saya meluncur masuk.
Wajar kalau Clint Macready membutuhkan tukang kebun yang harus tinggal di sana. Ratusan meter lapangan rumput, hamparan tanaman bunga warna-warni, dan tanaman pagar yang perlu sering dirawat, cukup membuat sepasukan tukang kebun sibuk.
Rumah bergaya burolic itu seolah-olah diboyong begitu saja dari pedesaan di Inggris. Rumah besar itu berlantai dua dengan jendela-jendela kaca berbingkai timah. Saya memarkir mobil di belakang mobil Ferrari 308GT merah di jalan halaman rumah, lalu memencet bel pintu.
Seorang wanita pelayan membukakan pintu. Saya menyodorkan kartu nama sambil mengatakan ingin bertemu Jocasta Macready. Pelayan itu lalu meninggalkan saya sebelum akhirnya kembali dan menyuruh saya mengikutinya.
Kami menelusuri jalan masuk berlantai kayu dan berlangit-langit tinggi, melewati sejumlah kamar berdinding kayu yang dipenuhi barang antik serta lukisan mahal, menuju ke deretan pintu kaca. Pintu itu menuju ruang konservatori yang dinding kacanya dikelilingi kolam renang.
Seorang gadis berambut pirang dengan bikini kuning berdiri di dekat jajaran kursi di emperan, melepaskan handuk yang melilit tubuhnya yang tinggi semampai.
Umurnya barangkali 22 tahun. la cantik. Tulang pipinya tinggi, dagunya runcing, hidungnya mungil dan mancung, mungkin sengaja dibikin begitu oleh dokter bedah plastik. Matanya biru. Kulitnya coklat kemerahan kecuali bekas luka cukup besar berwarna keputihan di paha kanannya. Karena tahu saya memandangi bagian itu, ia lalu menutupinya dengan handuk. “Saya Jocasta Macready,” katanya angkuh. “Ada apa?”
“Maaf telah mengganggu suasana berkabung Anda, Nona Macready. Saya sedang menyelidiki kematian pria yang dulu pernah bekerja pada ayah Anda. Namanya Rudy Ruric. Ia hadir di pemakaman ayah Anda. Saya percaya Anda sudah mengatakan kepada polisi bahwa Anda bercakap-cakap dengannya di sana.”
Gadis itu memegang cuping telinga kanannya. “Saya sudah ungkapkan semua yang saya ketahui tentang hal itu kepada polisi.” Ia nampak agak jengkel. “Saya hanya bicara sebentar dengannya!”
Meski belum pernah bertemu dengan Jocasta, rasanya ada sesuatu yang sangat saya kenali pada dirinya.
“Apa yang dia katakan?”
“Ia hanya mengatakan turut berduka cita atas kematian ayah dan bahwa ia pernah bekerja pada ayah beberapa tahun yang lalu.”
“Ia tidak menyebut-nyebut akan ke mana setelah penguburan itu?”
“Tidak.”
“Baru kali itu Anda bertemu dengannya?”
“Ya, tentu saja.”
“Ayah Anda menyimpan uang di First National Bank di San Diego?”
Wajahnya nampak menegang. “Ayah saya menyimpan uangnya di banyak bank. Kenapa?”
“Jadi betul ayah Anda menyimpan uang di First National?”
“Saya yakin ia punya rekening di sana.” la menarik cuping telinga kanannya lalu bertanya dengan sengit, “Sebenarnya apa hubungan rekening ayah saya dengan kematian Ruric?”
“Setahu saya tidak ada,” jawab saya, mencoba bersikap bodoh.
“Lalu kenapa Anda menyelidiki mereka?”
“Untuk itulah saya dibayar.”
la mengangkat sebelah alisnya. “Kalau boleh tahu, siapa yang membayar Anda?”
“Anak perempuan Rudy Ruric.”
la mengangguk! “Well, tolong sampaikan belasungkawa saya kepadanya. Juga, katakan kalau saya tidak tahu-menahu soal kematian ayahnya. Sekarang maafkan saya, saya ada janji ....”
“Pertanyaan terakhir, Anda punya Cadillac biru?”
“Tidak, kenapa?”
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan.”
Suka hura-hura
Saya turun dari bukit menuju La Jolla yang dipeluk sebuah teluk kecil di atas bentangan tebing curam. Saya berhenti untuk makan siang di restoran sebelum mendatangi kantor-kantor surat kabar setempat.
Clint Macready berusia 62 tahun saat meninggal akibat kelebihan dosis obat antinyeri sehingga ia tenggelam di bak mandinya. Dokter pribadi Macready mengaku memberikan resep obat-obatan itu dan merawat Macready 6 bulan terakhir karena kanker perut yang tidak bisa diatasi dengan operasi. Obituari itu juga menyatakan, Macready mewariskan estatnya senilai AS $ 21 juta kepada anak satu-satunya, Jocasta. Macready menduda sejak istrinya meninggal tahun 1977.
Selain obituari itu nama Macready tidak banyak muncul di koran-koran. Nampaknya, ia tidak suka publikasi. Berbeda dengan Jocasta.
Beberapa koran pernah memasang foto-fotonya, ketika tampil bareng dengan seorang bintang musik rock pada pembukaan pesta new hot-spot San Diego. Foto Jocasta berbusana baju dan celana dari kulit yang ketat. Empat tahun lalu, gadis itu pernah ditangkap polisi dua kali karena ketahuan mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Sekali karena mengganggu ketertiban dan sekali akibat pemilikan kokain. Dari situ nampak Jocasta menyukai gaya hidup hura-hura. Dengan uang warisan AS $ 21 juta ia bisa menuruti gaya hidupnya.
Dari telepon umum terdekat, saya menghubungi Circular Index Bureau, pusat informasi tentang kepemilikan SIM. Saya meminta petugas melakukan cek atas daftar kendaraan yang tercatat atas nama Jocasta dan Clint Macready selama tiga tahun terakhir, berikut riwayat lengkap Jocasta dalam mengemudi.
Satu-satunya mobil Jacosta yang muncul hanyalah Ferrari yang saya lihat di rumahnya. Tetapi di antara ketujuh kendaraan atas nama Clint Macready tercatat ada mobil Cadillac Seville tahun 1986. Ini kejutan. Jangan-jangan Jacosta memakai mobil itu.
Selain pernah dua kali ditangkap gara-gara mengemudi dalam keadaan mabuk, tercatat pula sejumlah pelanggaran lain yang menjurus pada tindak kriminal dalam mengemudi. Namun yang menarik perhatian saya ialah tanggal lahir Jacosta, 10 April 1965, yang samar-samar pernah saya kenali.
Saya keluarkan laporan polisi tentang penembak gelap yang mencoba membunuh Patricia Ruric dari tas dan tanggal itu tertera di sana.
Saya kembali ke San Diego mendatangi County Hall of Records. Setelah mendapatkan fotokopi kedua akte kelahiran Patricia dan Jocasta, saya check in di Hotel Circle dan memeriksa dokumen itu di kamar.
Kalau semua ini sekadar kebetulan, tentunya ini kejadian paling mengesankan yang pernah saya alami. Jocasta maupun Patricia lahir pada tanggal yang sama, di tempat yang sama - rumah Macready - dan kelahiran mereka dibantu dokter yang sama pula, dr. William Jafke.
Dalam buku telepon San Diego tidak tercantum nama dokter itu. Dua puluh dua tahun bukan waktu yang pendek. Dokter itu mungkin sudah pindah, pensiun, atau malah sudah meninggal. Menurut Dewan Pemeriksa Medis Negara Bagian, dr. Jafke masih praktik di California, tapi entah di mana.
Insiden di tempat parkir
Saya lalu menelepon Patricia Ruric di Pasadena.
“Nona Ruric? Saya Jacob Asch.”
“Anda menemukan sesuatu?” katanya cemas.
“Saya pikir begitu.” Sebentar saya ragu-ragu. “Pertanyaan ini mungkin aneh, Anda punya bekas luka di paha kiri?”
“Ya, kenapa?” jawabnya dengan nada penasaran. “Dari mana Anda tahu?”
“Anda tahu bagaimana luka itu Anda peroleh?”
Dia bilang luka itu karena kecelakaan mobil sewaktu bayi.
“Anda ingat kecelakaan itu?”
“Tidak. Ayah saya yang cerita. Kenapa? Apa hubungannya dengan yang sedang terjadi?”
Masih ada beberapa detail yang perlu ditambahkan dan saya perlu bantuan Patricia untuk itu. Saya meminta dia segera berangkat ke San Diego sambil membawa rekening bank ayahnya 6 bulan terakhir. Saya berjanji akan menjelaskan semuanya nanti.
Setelah mandi saya turun menuju bar di tepi kolam renang. Di hotel itu sedang berlangsung konvensi sebuah ormas sehingga bar itu penuh dengan lelaki yang sedang mabuk-mabukan. Ketika sedang menikmati minuman, seseorang menumpahkan vodkanya di pangkuan saya. Namun saya bisa menahan diri dan memilih pergi sebelum terjadi keributan.
Saya berjalan ke tempat parkir mobil saya hendak mencari kedai minum di dekat-dekat hotel. Tiba-tiba terdengar suara mesin mobil dihidupkan, disusul bunyi ban berdecit. Saya pikir itu peserta konvensi lain yang sedang mabuk. Ternyata bukan. Sebuah Cadillac biru melaju ke arah saya. Saya melompat menghindar ke tempat kosong di antara dua mobil yang diparkir di situ. Saya tergelincir sewaktu terdengar bunyi tembakan tiga kali. Ban berdecit lagi, saya melompat bangun dan sempat melihat bagian belakang mobil yang melaju kencang menuju jalan raya.
Saya lalu memeriksa bagian luar bagasi kedua mobil tempat saya tadi melompat di sela-selanya, tapi tak satu pun lubang peluru saya temukan. Dari seorang saksi mata, saya tahu pengemudi Cadillac itu wanita berambut pirang. Tanpa pikir panjang saya segera meluncur menuju ke estat Macready.
Menyusup ke garasi
Pintu gerbang estat itu terbuka dan saya pun meluncur masuk. Setelah mengambil lampu senter, saya menyusuri jalan halaman itu. Deburan ombak di bawah sana membuat suasana semakin lengang.
Saya melompati tanaman pagar yang tidak terlalu tinggi, kemudian berlari sambil mengendap-endap naik ke bukit menuju ke rumah itu.
Tidak ada mobil diparkir di luar rumah. Saya sampai di bagian belakang berupa halaman yang dikelilingi tembok. Di sisi kanannya terdapat bangunan panjang beratap rendah dengan empat pintu garasi. Sekilas gagang pintunya menunjukkan bahwa saya harus mencari jalan lain untuk masuk. Saya menemukannya di samping bangunan dengan sebuah pintu yang tidak terkunci. Saya masuk dengan hati-hati.
Sinar lampu senter terpantul pada cat dan krom yang mengkilat dari setengah lusin mobil sampai akhirnya mengenai bodi mobil Cadillac biru, yang diparkir di antara jip Wagoneer dan Ferrari.
Karena tidak terkunci, saya buka pintu mobil itu dan melongok ke dalam. Bersih dan kosong. Tak ada senjata, tak ada selongsong peluru, tidak ada apa-apa. Saya tutup pintunya dan menyorotkan senter ke bodinya. Bersih tanpa kotoran seperti mobil lain di situ. Kap mesinnya pun dingin.
Saya berbalik menuju ke pintu dan mematikan lampu senter sebelum keluar. Dari balik pintu, sesuatu yang dingin dan keras tahu-tahu menempel di kening saya. “Keluar. Pelan-pelan ....” Itu suara Jocasta. “Buang senter dan taruh tangan di kepala.”
Saya pun melakukannya.
“Apa yang Anda lakukan di garasi saya?”
Karena tidak dapat mengarang cerita yang masuk akal, akhirnya saya mengatakan, “Anda mencoba membunuh saya tetapi Anda bertanya apa yang saya lakukan di sini?”
“Mencoba membunuh Anda? Anda ini bicara apa?”
“Malam ini di hotel tempat saya menginap. Anda mengendarai Cadillac biru itu ....”
“Saya sungguh tidak mengerti apa yang Anda bicarakan,” katanya. “Saya di rumah sepanjang malam. Cadillac itu sudah sebulan tidak keluar garasi.”
Kembar siam
Saya mencoba tersenyum dan berlagak tolol. “Baik. Saya yang salah. Maafkan saya. Saya baru saja mau pergi ....”
Saya mulai melangkah, namun suaranya yang dingin menembus kabut. “Anda tetap di sini.” Dia diam sejenak. “Anda tahu, ‘kan?”
Saya terus berlagak seperti orang bego. “Tahu apa?”
“Saudara perempuan saya,” katanya dengan tenang.
“Saudara perempuan apa?”
“Anda sudah tahu,” katanya yakin. “Bagaimana Anda bisa mengetahuinya?”
Karena saya tidak menjawab, dia pun berkata, “Katakan atau saya tembak lutut Anda.”
Karena masih sayang pada lutut saya, akhirnya saya bicara, “Banyak yang harus saya katakan. Rambut Anda pirang dan wanita yang menembak Patricia Ruric berambut pirang. Sepertinya saya kenal Anda, namun saya tidak tahu di mana bertemunya. Lalu bekas luka di paha Anda. Kemudian saat saya melihat Anda menarik cuping telinga ....”
“Cuping telinga?” katanya heran.
“Kembar identik, bahkan andai kata mereka dipisahkan satu sama lain, masih menunjukkan kebiasaan yang sama, terutama ketika sedang cemas. Anda bisa saja mengubah warna mata dengan lensa kontak, operasi hidung, membetulkan gigi, tetapi Anda tidak bisa mengubah kebiasaan Anda.” Sebentar saya diam. “Kapan Anda mengetahuinya?”
“Kalau saya kembar? Pada malam sebelum ayah meninggal. la bercerita segalanya tentang saudara kembar siam saya, bagaimana kami lahir menyatu di bagian paha, dan bagaimana ayah menyogok dokter yang membantu kelahiran kami agar merahasiakannya dari ibu. Maklum ibu menderita gangguan saraf. Ayah takut ibu meninggal karena terkejut.”
“Lalu ayah Anda menyuap dokter itu agar memalsukan data kelahiran,” kata saya mengambil alih pembicaraan. “la juga membayar Rudy Ruric agar mengangkat saudara kembar Anda sebagai anak dan memberinya nama keluarga Ruric.”
“Betul. Karena saya dianggap tidak sanggup mengelolanya, ayah mengatakan sedang mengubah surat wasiatnya. Karena tahu akan segera meninggal, ia mengubah pendiriannya. Ia akan mengumumkan bahwa sebenarnya saya anak kembar dan akan membagi setengah warisan saya.”
“Lalu Anda memberinya obat sampai overdosis sebelum ayah Anda mewujudkan rencana itu dan menenggelamkannya di bak mandi.”
Suaranya melunak dan napasnya terdengar. “Saya pikir itu akan berhasil, tetapi tukang kebun itu muncul di pemakaman ayah dan minta uang tutup mulut.”
“Kemudian Anda bilang kepadanya agar menemui Anda di Glider Airport, lalu mendorong dia hingga jatuh dari tebing.”
“Saya tidak bisa berbuat lain, sungguh,” katanya. “la justru akan memeras saya. Gaya hidup saya akan membutuhkan banyak uang. Maka untuk apa saya mesti berbagi dengan saudara saya?” la diam sejenak. “Apakah ia (saudara kembarnya) tahu tentang kami?” Kata “ia” diucapkan dengan rasa jijik.
“Ya,” saya berbohong, mencoba mengulur waktu. “Nah, kalau Anda melakukan sesuatu yang bodoh, seperti membunuh saya, itu hanya akan menambah rumit masalah Anda.”
“Diam!” bentaknya.
“Memberi sejumlah pil pada orang tua itu satu hal, tetapi menembak orang itu hal lain,” kata saya. “Anda sudah membuktikan dengan mencoba membunuh Patricia Ruric di Pasadena dan saya pada malam ini ....”
“Pasadena? Apalagi yang Anda omongkan ini?”
“Anda mencoba menembak Patricia Ruric di jalan raya, seperti yang Anda lakukan pada saya malam ini ....”
“Anda sudah gila. Saya tidak tahu dari mana Anda peroleh cerita itu. Sudah bertahun-tahun saya tidak ke Pasadena. Saya pun tidak keluar rumah malam ini.”
Siap tertembak
Tidak ada gelagat kalau ia berbohong. Sambil memutar otak saya berucap dengan nada setengah merayu, “Kenapa kita tidak bergabung saja. Saya bisa menolong Anda ....”
Ia memotong omongan saya dengan tawa mengejek. “Anda bahkan tidak bisa menolong diri sendiri. Sekarang berbaliklah dan masuk ke rumah.”
Saya menggeleng. “Tidak.”
“Tidak? Apa maksud Anda?” suaranya makin tegang. Saya tersenyum berlagak tenang. “Sekali berada dalam rumah Anda, saya bisa disangka penyelundup. Anda sah menembak saya dan polisi tidak bisa menolong saya.” Saya terus mengoceh. “Menyerahlah, Jocasta. Anda tidak akan berhasil. Anda tidak bisa terus membunuh orang ....”
“Lakukan saja, jalan!”
Saya mulai menyusun rencana untuk merobohkannya. Mungkin ia akan melepaskan tembakan, namun pada jarak sekian ini, barangkali bidikannya meleset. Atau paling tidak saya bakal kena satu tembakan. Harapan saya, peluru tidak menghantam bagian vital. Saya menggeleng. “Kalau mau menembak saya, lakukan di sini sebab saya tidak mau masuk.”
“Anda mengira saya tidak akan melakukannya?” katanya dengan suara bergetar karena marah.
Justru itulah, saya ingin ia menjadi marah. Tangannya nampak gemetar karena geram. “Anda akan melampiaskan kemarahan sekarang?”
“Diam kamu!” Suaranya melengking. Inilah saatnya untuk bertindak. Saya tubruk tubuhnya dan terdengar suara senjata meledak memekakkan telinga. Terdengar suara mengerang dan senjata terjatuh di lantai saat tubuh saya menimpanya. Saya bekap kuat-kuat tubuhnya selama beberapa saat sebelum menyadari tubuhnya sudah tak bergerak. Saya berdiri dan menatap tangan saya. Basah dan lengket. Darah.
Saya terlompat dan dengan kalut mencari kalau-kalau ada luka di tubuh saya, tetapi tidak ada. Mata saya tertuju pada tubuh Jocasta yang sudah tak bergerak. Bagian depan bajunya berlumur darah karena peluru menembus keluar dari sana. Saya pegang urat Iehernya, tak berdenyut.
Saya mendengar langkah-langkah kaki. Saya mencari-cari pistol itu. Pemilik langkah itu ternyata Patricia Ruric. “Anda tidak apa-apa?”
Tangan Patricia masih menggenggam senjata otomatis Barreta kaliber .38 meski moncongnya sudah terarah ke lantai. Sambil beranjak berdiri saya pandangi senjata itu. “Yeah, tak apa-apa.”
Patricia menatap jasad saudara kembarnya. “Apakah ia ....”
“Mati.”
Gadis itu menangis, bahunya bergetar. “Saya masuk ke tempat parkir hotel itu dan mengikuti Anda. Apa yang saya lakukan sungguh menguntungkan. Ia akan membunuh Anda.”
Tikus percobaan
Saya tidak menanggapinya. Itu membuatnya gelisah. “Saya mendengar apa yang dikatakannya tentang ... kami.. Benarkah? Ia saudara ... perempuan saya?”
“Ya.”
“Ia membunuh ayah saya dan ... ayah kami dan ia juga mencoba membunuh saya?”
“Ia memang membunuh Rudy Ruric dan ayahnya sendiri, tetapi tidak pernah mencoba membunuh Anda.”
Wajahnya mendadak berubah. “Apa maksud Anda? Kalau bukan dia, lalu siapa?”
“Bukan siapa-siapa,” jawab saya. “Cukup cerdik. Anda sedang melakukan eksperimen kecil tentang psikologi klinik dan saya Anda jadikan tikus percobaan.”
Ia menggeleng. “Saya tidak mengerti maksud Anda.”
“Rudy Ruric bukan orang yang serakah. Selama ini ia puas menerima sedikit uang dari Clint Macready untuk menutupi rahasia itu agar tidak sampai ke telinga Anda. Namun ketika Macready meninggal, ia melihat kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak. Ia bercerita kepada Anda kalau dirinya bukan ayah Anda yang sebenarnya, lalu Anda berdua memutuskan untuk memeras Jocasta Macready. Namun agaknya Ruric salah duga terhadap saudara kembar Anda. Ia tidak tahu kalau Jocasta telah membunuh ayahnya dan ia sendiri akhirnya mati di tangan Jocasta. Karena akhirnya Ruric tidak masuk hitungan, Anda melihat kesempatan untuk memiliki semua warisan itu, bukan hanya separuh.”
“Anda tahu keluarga Macready punya mobil Cadillac, lalu Anda mengarang cerita tentang penembak gelap itu. Selanjutnya Anda menyewa dan melibatkan saya dalam kasus ini karena saya akan membuka rahasia Anda. Anda lantas menyewa Cadillac biru, memakai wig pirang, dan menembak saya dengan peluru kosong di tempat parkir hotel, karena Anda juga yakin kalau saya pasti akan mendatangi rumah ini.”
“Saya telah menyelamatkan nyawa Anda,” katanya dengan marah.
“Ya. Setelah Anda mengatur begitu rupa agar saya tidak terbunuh. Anda membutuhkan saksi mata dalam pembelaan pada kasus pembunuhan yang dapat dibenarkan. Anda tahu seorang pembunuh tidak berhak mendapat warisan. Bagaimanapun Anda telah mendapatkan semuanya.”
Merasa dicampakkan
Sebentar ia menatap saya, lalu katanya, “Kalau skenario Anda benar - tetapi itu tidak - polisi sulit membuktikan Jocasta telah membunuh ayah. Kalaupun itu terjadi, gugatan yang memperebutkan surat wasiat akan berlangsung lama dan menghabiskan banyak biaya.”
“Anda sangat membenci Jocasta, ‘kan?”
“Benci? Kata itu nampaknya tak bermutu, terlalu ... kecil. Selama ini ia memiliki segalanya. Karena ini.” Ia mengangkat kakinya yang mengenakan sepatu khusus. “Ketika kami dipisahkan pada bagian paha, kaki saya ketahuan pendek sebelah, sehingga ayah mencampakkan saya layaknya produk yang cacat. Ia merasa memelihara monster.”
“Ia memelihara dua monster.” Saya melirik senjata di tangannya. “Apa yang akan Anda lakukan terhadap saya?”
Ia mengangkat bahu bersikap cuek. “Membayar Anda. Ditambah bonus yang besar karena Anda telah melakukan pekerjaan dengan baik.”
“Anda tidak takut saya lapor polisi?”
“Saya yakin Anda akan melaporkannya,” katanya. “Itu sebabnya saya menyewa Anda. Anda akan mengatakan kepada polisi secara persis apa yang Anda ketahui, tentang bagaimana saya muncul pada saat yang tepat untuk menyelamatkan nyawa Anda. Begitu ‘kan kenyataannya?”
“Tidak persis begitu,” kata saya.
Ia meraba cuping telinganya. “Spekulasi yang lain itu urusan Anda. Biarkan polisi mencoba dan membuktikannya, tetapi saya ragu mereka akan melakukannya. Ada beberapa studi psikologis yang bagus mengangkat kegigihan dan motivasi para detektif. Mereka mudah frustrasi menghadapi skenario yang rumit. Saya tidak berpikir mereka akan terlalu pusing untuk menangani kasus ini.”
Ia memang telah berhasil membuat semuanya berjalan lancar sampai selesai. Agaknya, saya terpaksa harus mengagumi kehebatan rencananya yang begitu sempurna, dan saya mulai bertanya-tanya ada kemungkinan ia lolos dari kasus ini. “Anda tahu jalan pikiran Jocasta, bukan? Anda tahu setiap gerak-gerik yang ia lakukan.”
“Tentu saja,” katanya dengan senyuman yang aneh. “Kami adalah orang yang sama.”
“Sama-sama berdarah jahat.”
Ia mengangguk dan senyuman itu berubah menjadi kerlingan. (Arthur Lyons)
Baca Juga: Di Luar Skenario
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635641/luka-di-paha-buka-rahasia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672935384000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3308633" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/gara-gara-senter-dikira-rantai_e-20220603060301.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Seorang pria melaporkan kebisingan yang ditimbulkan tetangganya kepada polisi. Tidak berselang lama, pria itu ditemukan tewas tertembak." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/gara-gara-senter-dikira-rantai_e-20220603060301.jpg" ["title"]=> string(30) "Gara-gara Senter Dikira Rantai" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:03:33" ["content"]=> string(21413) "
Intisari Plus - Seorang pria melaporkan kebisingan yang ditimbulkan tetangganya kepada polisi. Setelah didatangi, polisi tidak menemukan keberadaan si pelapor. Tidak berselang lama, pria itu ditemukan tewas tertembak.
-------------------------
Hari Minggu, 21 Oktober 1979, pukul 22.30 tepat, polisi San Diego menerima keluhan. "Hai, di sini Dapper - Johnny Dapper - di North 34th Street," si penelepon menjelaskan. "Kuminta beberapa orang polisi segera datang kemari! Ada pesta gila dan musiknya sungguh memekakkan telingaku. Seluruh tetangga tak dapat tidur!"
North 34th Street terletak di pinggir timur Logan Heights. Logan Heights adalah sebuah daerah di mana rumah-rumahnya bobrok dan terisi oleh kemiskinan. Dari situ sudah tidak asing lagi bila terdengar keluhan. 34th Street merupakan lokasi orang berkulit hitam dan Meksiko.
Orang-orang hitam itu menyebutnya the ghetto, dan chicanos (orang Meksiko) menyebutnya the barrio. Banyak sebutan untuk daerah tersebut, tetapi yang jelas polisi menganggapnya sebagai pusat kegaduhan.
Si pelapor jadi korbannya
Polisi sudah mengetahui tentang pesta tersebut. Pesta itu dimulai pada sore hari, dan tetangga serta teman-teman penghuni rumah berdatangan. Ketika mulai senja, para undangan sudah memenuhi halaman depan. Polisi lewat di depan rumah tersebut, hanya untuk menunjukkan diri.
Pesta berlanjut sampai malam, dengan tamu yang makin padat - sampai kira-kira 200 orang berjejal-jejal di dalam rumah dan ada juga yang duduk-duduk di halaman depan. Minuman keras bir, anggur, dan tequila sudah berganti dengan mariyuana dan angel dust. Juga sudah terjadi sedikit perselisihan di antara para cholos, yaitu anak-anak muda Meksiko. Tetapi pesta masih berlangsung teratur dan tidak ada penahanan.
Pada pukul 22.30 polisi menerima keluhan pertama dari Dapper. Beberapa menit kemudian dua polisi patroli datang ke tempat tersebut. Lalu lintas tak begitu macet pada waktu itu dan kabut. tipis menyelimuti bukit dan ngarai. Mobil berderet-deret di jalan yang kecil itu. Musik rock dan Latin itu dapat terdengar dari blok sebelahnya.
Polisi tak menemukan kesulitan dalam menemukan rumah Johnny Dapper. Dapper tidak ada di rumahnya. Atau kalaupun ada, ia tidak menjawab ketukan di pintu. Polisi melangkah ke sisi rumah, dengan lampu senter di tangan, dan memeriksa kebun belakang, yang dipenuhi oleh barang-barang bekas seperti di depan: mebel-mebel tua, koran, alat-alat, dan sepeda-sepeda rusak.
Karena tidak ada tanda-tanda di mana Dapper berada, kedua polisi itu mendatangi tetangga sebelahnya. Anak-anak muda bercelana panjang longgar hitam dan T-shirt putih longgar berkumpul dalam beberapa grup, bercakap-cakap, dan saling mendorong dengan bersemangat. Beberapa orang meneguk bir. Polisi masuk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi.
Penghuni rumah ialah seorang wanita Latin berbadan gemuk dan umurnya sekitar 30-an. Dia sudah benar-benar mabuk. Jalannya terhuyung-huyung. Musik akan dikecilkan, katanya, dan ia menjaga jangan sampai para tamunya menimbulkan keributan.
"Saya yakin, Dapper-lah yang memanggil Anda!" keluhnya. "Dia seenaknya saja mengotori tempat ini dengan tumpukan barang rongsokan di kebunnya, dan tidak dikenakan sanksi apa-apa. Sedangkan saya? Kalau saya mengadakan pesta, dia selalu memanggil polisi!"
Wanita itu kembali ke dalam rumah dengan sempoyongan. Tiga jam berikutnya, pada pukul 01.30, dua orang polisi San Diego yang sedang patroli berdiri di depan rumah dan bercakap-cakap dengan wanita yang tadi juga. Anehnya, kini wanita itu bisa berdiri dengan tegak.
"Saya sudah mengusir mereka, officer," gumamnya. "Kami sedang merayakan ulang tahun anak perempuan saya. Saya jamin, mereka akan segera pulang."
Kedua polisi itu kembali ke mobilnya. Baru saja berbelok di tikungan jalan, mereka mendengar suara tembakan. Cepat-cepat mereka membelokkan kembali mobil dengan tajam. Terlihat beberapa orang berlarian.
Mobil polisi ngebut di jalan yang sepi itu, tetapi tiba-tiba terhenti oleh sebuah mobil putih penyok yang diparkir di tepi jalan. Di depannya, seorang wanita agak tua tergeletak di tanah.
Masih dalam busana lengkap, badannya menghadap ke samping, lututnya terlipat, dan tangannya terkulai ke samping. Rambutnya yang coklat kelabu panjang sampai sebahu tergerai ke belakang, menonjolkan wajah yang tirus dan keras. Kira-kira usianya 60-an atau mungkin lebih tua. Kulitnya memakai rias wajah tebal meskipun sudah berkerut-kerut.
Kabut bergulung-gulung terkena cahaya lampu, menimbulkan perasaan ngeri seperti kalau kita sedang menonton film horor. Suara pengunjung pesta bisa terdengar lewat bisingnya musik Latin. Tetapi jalan kecil itu sendiri sudah sepi, kecuali dua polisi patroli dan korban yang tergeletak di situ.
Seorang polisi menghampiri untuk memberikan pertolongan pertama. Yang satunya lagi menelepon lewat mobilnya, kemudian bergabung dengan rekannya.
Dari mobil, kelihatannya wanita itu merupakan korban penganiayaan. Ketika kedua polisi itu mendekat, jelaslah kini akan adanya kejahatan yang lebih berat. Bagian leher sweater-nya tertarik sampai ke dadanya, dengan BH yang tak terkancing dan terletak di perutnya.
Sebuah lubang karenapeluru terlihat di bawah keliman sweater-nya. Peluru itu menembus tulang rusuk yang kedua. Merupakan tembakan tunggal, tapi itu pun sudah lebih dari cukup. Polisi memeriksa gerakan pupil mata dan denyut nadi korban. Tetapi rupanya korban itu sudah mati seketika.
Pemandangan ini semakin mengerikan, ketika jelas ditemukan fakta bahwa korban bukanlah seorang wanita tua. Ia seorang laki-laki tua yang mengenakan pakaian wanita!
Tidak begitu sukar bagi para detektif untuk menyelidiki identitas laki-laki ini. Dompet di saku celananya menunjukkan namanya: Johnny Dapper, seorang penumpuk barang rongsokan yang suka bertengkar, yang tadi menelepon polisi untuk mengadukan pesta ribut itu.
Dianggap pembela rakyat
Barbara Muse, satu-satunya detektif wanita dari bagian pembunuhan di San Diego, datang pada pukul 02.00 dini hari untuk menangani penyelidikan pembunuhan ini.
Waktu dia mulai mengumpulkan juru potret polisi mulai mengambil foto-foto korban dari segala sudut di jalan itu, yaitu jarak korban yang terdekat dengan mobil yang diparkir di situ, lalu jarak ke pintu belakang rumah Dapper, dan jarak ke pintu belakang rumah pesta. Mayat itu lalu dibawa ke kantor pemeriksa mayat.
Sementara itu Detektif Muse meneliti jalan beraspal tersebut untuk mencari bukti-bukti. Permukaan jalan yang keras itu tidak menampakkan jejak-jejak kaki, tetapi dia mencatat adanya perkelahian. Ada darah di tanah yang menunjukkan bahwa korban tertembak di tempat itu. Di dekat mayat ada sebuah lampu senter. Tampaknya milik si korban.
Tepat di depan korban ada sebuah mobil ringsek. Mobil itu sudah tak punya kaca depan dan bumper, tetapi tampaknya masih digunakan. Para penyelidik memeriksa kaca penahan angin bagian depan. Ada tulisan grafiti yang kasar di situ. Huruf-hurufnya sejenis dengan yang memenuhi tembok-tembok di daerah itu.
Tulisan itu dibuat dengan cat semprot sekitar sejam yang lalu atau mungkin lebih dan hampir tertutup oleh semprotan lain. Detektif menunjukan tulisan itu pada juru potret. Dengan mempergunakan teknik lampu, juru potret tersebut berhasil menjepret gambar grafiti itu.
Setelah selesai dengan pemeriksaan di sekitar tempat kejadian, Detektif Muse masuk ke dalam rumah dan memeriksanya sebentar. Rumah yang bentuknya seperti pondok itu sarat dengan barang rongsokan.
Untuk memeriksanya diperlukan lebih banyak kecermatan pada siang hari. Jadi, pada pukul 8.30 Detektif Muse datang lagi. Kali ini ia ditemani Detektif Cher Thurston. Isi rumah tampak lebih acak-acakan lagi di siang hari.
"Untuk masuk ke situ harus seperti memasuki terowongan," komentar Thurston.
Mobil-mobil ringsek, tumpukan alat-alat yang sudah berkarat dan sepeda rusak hanyalah sebagian dari kekayaan Dapper. Masih ada lagi tong-tong berisi barang mekanik, serta tumpukan koran dan majalah tua yang tersebar di seluruh penjuru rumah kecil dan kebun belakangnya.
Menurut laporan wartawan, di dalam rumahnya telah ditemukan koleksi pakaian wanita yang banyak sekali. Pakaian dalam wanita, pakaian terusan, rok, blus, sweater, topi, dan mantel dalam berbagai mode dan ukuran. Barang-barang itu dikumpulkan dalam kotak-kotak, lalu disusun ke atas sampai menyentuh langit-langit rumah.
Johnny Dapper adalah seorang yang cukup dikenal dan merupakan salah seorang wadam yang paling aneh di daerah Logan Heights ini. Baju-baju yang menggunung itu dikumpulkan, nampaknya agar ia bisa selalu berganti-ganti pakaian.
Tetangga di kiri-kanannya sering mengeluh soal kejorokan Dapper. Mereka sudah tak tahan pada keanehannya dan kebun rongsokannya. Tetapi ada juga yang menganggap Dapper sebagai pembela rakyat. Dapper sering melawan ketentuan kotapraja dan menang.
Mobil-mobil ringsek dan tumpukan barang rongsokan itu tentu saja sudah lama menarik perhatian pejabat setempat. Dia menciptakan sarang tikus. Kalau tidak mau membersihkan tempatnya, ia akan didenda atau bahkan mungkin dipenjarakan.
Tetapi Dapper tidak mengenal kompromi. "Nama saya Dapper, dan itu artinya rapi," begitu katanya. "Saya menganggap diri saya ekolog. Sampai akhir hidup saya akan tetap seorang yang ekologis."
Barron minggat
Pada tahun 1967, Dapper menuntut kotapraja, tetapi ia kalah. Dia kemudian naik banding ke Mahkamah Agung negara bagian dan menang dengan gemilang Tiga dari lima tuntutan kotapraja terhadap Dapper dihapuskan.
Karena merasa mendapat pembelaan, dia melanjutkan perang terhadap kotapraja pada tahun-tahun berikutnya. Dia dijatuhi 6 bulan penjara dan denda AS $ 500. Tapi Dapper tidak berkeberatan. "Saya memperjuangkan hak-hak konstitusional rakyat yang menyatakan setiap orang berhak memiliki dan melindungi milik masing-masing," katanya.
Tiga hari setelah pembunuhan, polisi berhasil menyusun daftar 75 orang yang hadir pada pesta Minggu malam itu. Yang paling sulit adalah membuat mereka mau bersikap terbuka dan bercerita terus terang.
Kebanyakan saksi adalah anak-anak muda Meksiko, dan mereka amat curiga pada polisi. Tugas untuk memecahkan kebisuan dalam wawancara diserahkan kepada Detektif Hank Olais.
Hank Olais, seorang interogator yang ulung dan mengenal daerah ghetto itu. Dia lancar berbahasa Spanyol maupun logat daerah miskin pada chicanos itu. Dia mampu mendekati para saksi sedemikian rupa, meredakan kecurigaan terhadap polisi, sampai akhirnya mereka mau berbicara. Tetapi tetap saja perkembangan jalannya lambat.
Sementara itu seorang ahli senjata menyatakan bahwa Dapper dibunuh dengan senjata kaliber .38. Senjata tidak ditemukan, tetapi pelurunya dikeluarkan dari tubuh mayat dan kemudian diidentifikasi.
Baru beberapa minggu kemudian para detektif menemukan petunjuk yang berarti. Pada tanggal 14 November, mereka menerimanya dari Sersan George Guevarra, satu dari sepuluh anggota polisi yang ditunjuk mengawasi kelompok anak muda kota itu.
Dalam salah satu kontaknya dengan para pemuda ghetto itu, Sersan George mendengar bahwa yang menembak Johnny Dapper adalah Daniel Barron.
Menurut beberapa informan, Barron bersama dua orang kawannya keluar ke jalan untuk menemui Dapper. Kemudian terjadi perbantahan. Lalu Barron mengeluarkan senjatanya dan menembak satu kali ke arah dada Dapper.
Mengetahui laporan ini, Detektif Olais pergi ke sebuah rumah kecil di San Diego, di mana Daniel Barron (16) tinggal bersama keluarganya. Tetapi Daniel tidak berada di rumah. Kelihatannya dia tidak berniat untuk pulang dalam beberapa waktu.
Olais diberi tahu bahwa anak muda ini meninggalkan rumahnya dan dapat dipastikan tinggal di rumah kawannya di Tiyuana, kota yang berdebu dengan sejuta penduduk. Letaknya di seberang batas Meksiko.
Rumah di San Diego berada dalam pengawasan dan para hamba hukum di daerah itu diberi tahu untuk selalu memperhatikan Barron. Siapa tahu dia memutuskan untuk pulang.
Yang jelas Barron menetapkan untuk tinggal di Meksiko dalam waktu yang tak bisa ditentukan, di mana polisi San Diego tak punya kekuasaan hukum. Dia memiliki dua kewarganegaraan sampai ulang tahunnya ke-18. Jadi, dia punya hak tinggal dan bekerja secara sah di Meksiko. Bahkan dapat diperkirakan dia akan tinggal terus di Tiyuana dan takkan kembali ke Amerika Serikat. Tetapi rupanya si Barron tak memperhitungkan polisi Meksiko.
Dideportasi ke AS
Pada tanggal 26 November Sersan Ron Collins menyeberangi perbatasan dan menuju markas polisi dekat Revolution Avenue. Collins adalah perwira penghubung pada kepolisian San Diego. Tugasnya memelihara hubungan baik dengan polisi Meksiko, dan memberi tahu kepada mereka akan kehadiran para kriminal yang menyeberang dari AS ke Meksiko.
Berkat perwira penghubung ini terjalin hubungan yang baik antara polisi Meksiko dan polisi AS, sehingga keduanya bisa bertukar para pelaku tindak pidana tanpa birokrasi berbelit-belit.
Dalam kunjungan ini, Colins memperlihatkan foto-foto para pelaku tidak kriminal yang diperkirakan lari ke Tiyuana. Salah satunya foto Daniel barron.
Seorang perwira polisi Tiyuana meneliti foto Barron, lalu katanya, "Dia ada di penjara sini."
Lebih lanjut dia menerangkan, ada perampokan toko di sepanjang Revolution Avenue beberapa hari yang lalu. Dalam setiap kasus, para korban selalu mengatakan bahwa yang bertanggung jawab dalam berbagai perampokan adalah anggota geng anak-anak muda itu.
Geng itu menjadi masalah di Tiyuana. Mereka lalu-lalang di daerah bisnis, nongkrong di kantin-kantin dan rumah makan pada malam hari.
Setelah adanya beberapa keluhan, polisi Tiyuana mengadakan pengawasan di daerah bisnis. Di sini berbeda dengan di AS. Polisi bisa menangkap setiap anak muda yang mencurigakan dan mengirimnya ke penjara.
Langkah selanjutnya adalah membawa tersangka, satu-persatu ke hadapan para detektif untuk menandatangani pengakuan. Kemudian para tersangka dimasukkan kembali ke penjara untuk menunggu diadili.
Para penguasa Meksiko tak ingin Barron di Tiyuana. "Kalau Anda menginginkannya, ambillah dia," kata mereka kepada Collins.
Orang tua Barron ingin sekali anaknya kembali ke Amerika Serikat. Mereka tahu apa yang akan dialami seseorang yang dikirim ke penjara Meksiko. Mereka yakin,lebih baik dihukum mati di Kalifornia daripada menanggung risiko dipenjarakan di Meksiko dengan alasan perampokan.
Tanggal 26 November, pukul 13.30, Daniel barron diserahkan kepada polisi San Diego. Dengan ditemani oleh keluarganya dan Sersan Collins, tertuduh dipersilakan memasuki ruang wawancara di markas besar polisi. Di situ ia ditanyai oleh Detektif Olais dan Muse.
Di sana selama 43 menit pengakuan, Barron menceritakan kejadian sampai terjadinya penembakan tersebut. Kata Barron, ia datang ke pesta di 34th Street pukul 22.30. Dia banyak sekali minum, merokok mariyuana lumayan banyak, dan dalam keadaan stone ia meninggalkan ruang menuju jalan kecil.
Seorang dari dua kawannya mulai menulis dengan tulisan yang kasar di kaca depan sebuah mobil yang diparkir. Sedangkan dia sendiri masuk ke dalamnya dan kencing di situ.
Ketika itulah ia mendengar seseorang berteriak sampai bertanya, "Apa yang sedang kalian kerjakan di sini?! Pergi dari mobil itu!"
Barron mengakui, dia sedang mabuk sekali saat itu. Ketika dia melihat seorang berambut riap-riapan datang menghampirinya, dia bertanya, "Apakah Anda seorang laki-laki atau wanita?"
"Apa bedanya?!" bentak orang itu.
Perdebatan terjadi. Seorang teman Barron meninju Johnny Dapper. Kata Barron, Dapper melangkah maju dengan membawa sesuatu yang kelihatan seperti rantai. Sebenarnya itu bukan rantai, tapi lampu senter seperti yang ditemukan Detektif Muse pada malam hari itu. Itulah yang nampaknya jadi alasan Barron untuk bertindak.
Dia lalu melangkah mundur, mencabut pistolnya yang berkaliber .38 dari ikat pinggangnya, lalu menembak Dapper tepat di dadanya.
Setelah menandatangani pengakuan tanpa paksaan, Barron ditahan. Ia dibawa ke tempat penahanan anak-anak di bawah umur. Pada tanggal 23 Juni 1980, Barron dituduh melakukan pembunuhan yang tak direncanakan. Hakim Carlos Cazares lalu memerintahkan anak muda ini menjalani pemeriksaan kesehatan badan dan jiwa selama 90 hari.
Hakim Cazares, dalam pengadilan non-juri, menemukan bahwa kapasitas mental Daniel Barron berkurang karena alkohol dan mariyuana dan-dia tak akan mampu merencanakan pembunuhan. Jadi, ia memperoleh hukuman penjara maksimum hanya 6 tahun.
(John Dunning)
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553308633/gara-gara-senter-dikira-rantai" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654279413000) } } }