Intisari Plus - Roxanne Pavageau, sudah dua hari tidak pulang ke rumah. Anaknya merasa khawatir dan mencarinya. Ia ternyata menemukan mobil ibunya di rumah mantan suami yang sudah bercerai. Apa yang terjadi?
-------------------
Banyak kejahatan tak terungkap. Bisa karena korbannya membisu, pelakunya mendadak amnesia, atau tak ada saksi mata. Seperti pada kasus kematian Roxanne Pavageau, perempuan asal Amerika Serikat yang tinggal di Prancis. Meski pelakunya telah dibui, misteri di balik kematiannya tetap menyelimuti.
Kamis, 30 September 1993, remaja belasan tahun Marc Pavageau tampak galau. Sudah dua hari - sejak Selasa 28 September 1993 lalu - ia mencari ibunya yang tak kunjung pulang. Dia telah menelepon sekolah tempat ibunya bekerja sebagai guru. Juga dua kakaknya - Laurent (23 tahun) dan Elizabeth (21 tahun) - serta teman-teman dan kenalan. Tapi tidak ada satu pun yang melihat, bersua, atau mendengar kabar tentang Roxanne.
Sejak pamit terakhir kali, ibunda Marc tidak pernah pulang ke rumah mereka di Fourgueux, sekitar sembilan mil (15 km) dari Versailles, Prancis. Roxanne Pavageau (52 tahun), yang sudah berpisah dari suaminya, Philippe Pavageau, akhirnya dilaporkan ke polisi sebagai orang hilang oleh Marc. Roxanne yang berkampung halaman di Washington, DC, Amerika Serikat, sehari-hari bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah atas multibangsa, Lycee International, di Kota St. Germain-en-Laye.
Sedangkan mantan suaminya, Philippe Pavageau, 50 tahun, bekerja sebagai konsultan pemasaran internasional, tinggal di Versailles. Philippe tinggal di rumah mewah yang pernah ditinggali bersama Roxanne dan anak-anaknya itu - bersama kekasih barunya, Barrie Taylor, 43, juga seorang perempuan asal Amerika Serikat. Kepada sahabat dan kenalan, Barrie mengaku sebagai pengacara yang memiliki kantor pusat di Amerika Serikat. Ketika Marc sibuk mencari-cari Roxanne yang bak lenyap ditelan Bumi, Philippe sedang ada urusan bisnis di New York.
Marc juga sudah berusaha menelepon rumah sakit-rumah sakit terdekat, tapi tetap tidak ada jawaban memuaskan. Tak ada laporan kecelakaan yang melibatkan seorang wanita Amerika Serikat bernama Roxanne. Setengah putus asa, Marc akhirnya berkendara mendatangi bekas rumah mereka di Rue de la Republique no 20, di Versailles, sebuah rumah megah berlantai tiga. Marc hendak menanyakan keberadaan ibunya kepada pacar baru ayahnya, Barrie Taylor.
Ketiga kota satelit itu, Fourgueux (tempat tinggal Marc), St Germain-en-Laye (tempat Roxanne bekerja), dan Versailles (tempat tinggal Philippe) memang berdekatan. Semuanya terletak di barat daya Paris, hanya sekitar setengah jam berkendara dari ibukota Prancis itu. Pintu rumah Philippe saat itu tertutup rapat dan tak ada tanda-tanda kehidupan.
Namun Marc merasa menemukan titik terang, setelah mendapati mobil Fiat Panda berwarna hitam milik ibunya terparkir tak jauh dari rumah itu. Sayang, bunyi bel dan ketukan Marc di pintu rumah Philippe tak disambut seorang pun. Padahal, ini yang membuat keinginannya kian kuat menanyai Barrie, Marc jelas-jelas melihat mobil hitam Fiat Panda milik ibunya terparkir tak jauh dari rumah! Ibunya pasti ada di sekitar sini.
Penasaran dan curiga bercampur jadi satu, menggiring kaki Marc melangkah ke kantor polisi terdekat. Apakah hilangnya Roxenne berkaitan dengan percintaan Philippe dan Barrie?
Pengacara tanpa ijazah
Perceraian Philippe dan Roxanne sendiri sebenarnya disayangkan banyak orang. Sebab mereka terlihat sangat serasi pada awalnya. Keduanya sama-sama terpelajar, cocok tinggal di kawasan Versailles yang terpandang. Philippe bertemu Roxanne Foley pada tahun 1960-an, saat keduanya masih menjadi mahasiswa dan mahasiswi di University of Chicago. Acara pacaran di kampus itu kemudian keterusan, mereka seriusi hingga ke jenjang pernikahan, pada 1968. Sayang, setelah puluhan tahun berjalan lancar, rumah tangga mereka akhirnya bubar.
Sementara Barrie Taylor lahir di Orange County, California, pada Maret 1950. Menurut catatan, dia meraih gelar sarjana muda di UCLA pada tahun 1972. Meski mengeklaim sebagai pengacara, Barrie ternyata tidak pernah kuliah di fakultas hukum atau lulus dari fakultas hukum.
la pertama kali menikah dengan Hewitt, juragan perusahaan konstruksi di Stinson Beach, sebelah utara San Francisco pada 1982. Usia mereka terpaut jauh, sekitar 30 tahun. Tampaknya ini menjadi penyebab berbagai ketidakcocokan terjadi di kemudian hari. Tahun 1989, ketidakcocokan itu kian meruncing dan berujung pada perceraian. Hewitt kemudian meninggal di rumahnya di Topanga Canyon pada tahun 1991. Saat Hewitt meninggal, Barrie sudah berada di Paris. Sebagai mantan istri, Barrie sempat menerima uang tunjangan perwalian.
Pada tahun 2000, saat diwawancarai harian Los Angeles Times, Barrie pernah berujar, “Fakta bahwa saya tidak berada di Amerika Serikat saat Hewitt meninggal, sungguh menyakitkan dan menimbulkan rasa bersalah. Tidak ada orang lain yang saya cintai seperti dia.” Toh, banyak orang menganggap ucapan itu hanya sekadar basa-basi dan gombal belaka. Karena Barrie sendiri saat itu sudah sangat jauh meninggalkan Hewitt di Amerika Serikat, terbang menuju kota impiannya, Paris.
Ya, Barrie berangkat ke Paris pada 1989, saat berusia 39 tahun, tak lama setelah dokumen perceraiannya dengan Hewitt keluar. Di Paris, seperti disebut di atas, Barrie selalu menggembar-gemborkan dirinya sebagai pengacara untuk sebuah firma yang bermarkas di Amerika Serikat. Dia menyewa sebuah apartemen kecil yang dibayar bulanan. Namun Barrie yang pandai bicara kerap tak konsisten dan sulit dipegang omongannya.
Khusus tentang titel pengacara di kartu namanya, misalnya, dia selalu punya jawaban berbeda setiap kali ditanya soal almamaternya. Barrie pernah bilang ijazah sarjana hukumnya berasal dari Monterey College of Law, meski kenyataannya ia hanya kuliah dua setengah tahun di situ, sebelum drop-out. Dia juga menyebut sejumlah sekolah hukum di Inggris sebagai tempatnya belajar, hal yang juga masih harus dibuktikan kebenarannya.
Faktanya, antara 1982-1989, pekerjaan Barrie bisa dibilang serabutan. Ia pernah buka toko di Boulder Creek, California. Ia juga pernah menjadi manajer gedung bioskop Santa Cruz Mountains. Itu sebabnya, banyak orang meragukan: dari mana dia mendapat penghasilan selama di Paris, setelah bercerai dari Hewitt? Apalagi ia memutuskan mengais rezeki di salah satu kota berbiaya hidup paling tinggi di Eropa (bahkan mungkin dunia). Pada 1991, ia memang mewarisi dana perwalian dari Hewitt, tapi selama dua tahun sebelumnya (1989-1991) penghasilannya betul-betul tak jelas.
Versi laporan pihak Kepolisian, Barrie sebenarnya memang bukan pengacara, tapi pelacur kelas atas yang biasa menjajakan diri di Avenue des Champs-Elysees, tak jauh dari Menara Eiffel. Nah lo! Barrie, tentu saja, menolak tuduhan polisi. Sayangnya, ia tak bisa membuktikan tuduhan itu cuma sekadar tuduhan. Justru pihak Kepolisian yang mengaku mempunyai daftar mantan klien yang selama ini secara teratur mem-booking janda cantik itu. Polisi sendiri memperkirakan, pada 2008, ada sekitar 200 hingga 300 orang seperti Barrie di tempat tersebut. Suplai yang subur, karena demand-nya juga banyak.
Saat sedang “menjalankan tugas” itulah, banyak orang menduga, Barrie bertemu dengan Philippe Pavageau. Pertemuan mereka berlangsung tak jauh dari Menara Eiffel, Paris, tahun 1991. Barrie yang saat itu berambut pirang, langsing, dan beraksen manja membuat Philippe kepincut. Konon, untuk memikat Philippe, saat itu Barrie “bersandiwara” dengan menyamar sebagai orang asing yang sedang tersasar. Tangannya menenteng peta Kota Paris.
Saking kepincutnya Philippe, hanya dalam waktu sebulan kemudian, persisnya pada April 1992, ia diundang pindah ke rumah Philippe di Versailles. Rumah yang bertahun-tahun sebelumnya menjadi kenangan indah Roxanne.
Lubang di belakang kebun
Kembali kepada Marc yang tengah gamang di depan Rue de la Republique no 20. Pemuda itu akhirnya mengurungkan niatnya untuk menerobos masuk ke bekas rumahnya. Meski yakin betul ibunya ada di dalam. Ia memilih untuk pergi ke kantor polisi terdekat, melaporkan mobil ibunya yang terparkir tak jauh dari rumah.
Beberapa waktu kemudian, Marc kembali ke rumah Philippe bersama beberapa polisi. Pintu sudah diketuk-ketuk dengan keras, namun tetap tak ada jawaban. “Jangan panik, mari kita lihat dan mencoba masuk bersama-sama,” seorang polisi berusaha menenangkan Marc, yang lagi-lagi mengingatkan soal mobil ibunya yang terparkir tak jauh dari rumah. “Ibuku pasti ada di dalam,” serunya.
Karena pintu depan tak kunjung dibuka, polisi berusaha mengintip lewat celah lubang kunci, jendela, dan pintu belakang. Di belakang rumah tampak sebuah taman kecil dengan pepohonan yang cukup lebat. Namun belum sempat polisi masuk paksa, sebuah siluet perempuan tampak bergerak dari belakang rumah menuju koridor depan. Polisi yang sayup-sayup menangkap bayangan siluet itu langsung menggedor pintu.
Yuppp, berhasil masuk kali ini, mereka langsung berhadapan dengan Barrie Taylor. Perempuan paruh baya itu tampak berantakan. Wajahnya berlumuran keringat. la mengenakan celana panjang cokelat dan kemeja pria. Tangannya masih menggenggam tanah segar. Kelihatannya, dia baru selesai atau sedang menyelesaikan pekerjaan di kebun.
Saat ditanya, Barrie tak banyak bicara soal keberadaan Roxanne. Dia hanya menjawab tidak tahu, dengan mengangkat bahu. Polisi tak gampang percaya, dan bertanya apakah mereka bisa melihat-lihat sekeliling rumah. Barrie awalnya keberatan, namun akhirnya dia mempersilakan polisi masuk, meski mereka sama sekali tak membawa surat perintah penggeledahan. Sampai di sini, masih belum ada tanda-tanda keberadaan Roxanne. Polisi kemudian minta diizinkan melihat-lihat kebun dan gudang bawah tanah. Hampir setiap rumah di Prancis mempunyai bangunan bawah tanah, biasanya digunakan untuk menyimpan anggur.
Di kebun belakang, tampak jelas Barrie sedang mengerjakan sesuatu, sepertinya membuat lubang. Ada tanda untuk membuat lubang yang belum rampung, tampaknya sepanjang 2 m dengan kedalaman sekitar 50 cm. Ada juga sekop di atas tanah yang masih basah. Meski bertanya-tanya hendak diisi apa lubang tadi oleh Barrie, polisi lebih memilih tak banyak bertanya. Mereka mencari dan terus mencari. Bukankah membuat lubang di kebun itu biasa? Siapa tahu Barrie bermaksud memindahkan pohon dari pot, atau menanam rumput?
Suasana makin tegang ketika beberapa polisi turun memeriksa ruang bawah tanah. Ini tempat terakhir yang belum digeledah. Bukan ruangan gelapnya yang bikin takut, tapi onggokan besar di tangga batu menuju ruang bawah tanah yang menarik perhatian. Kali ini kesabaran dan ketelitian polisi berbuah. Mereka berhasil menemukan apa yang mereka cari. Sesuatu yang cukup besar untuk ditutupi hanya oleh dua buah kantung plastik sampah berwarna biru. Polisi meminta Marc untuk mundur, tetapi pemuda itu bersikeras untuk tetap dalam barisan.
“Jika itu tubuh Ibu, saya harus melihatnya sekarang,” tandas Marc tak sabar. Marc akhirnya memang berhasil menemukan ibunya, tapi dalam kondisi mengenaskan.
Tak lama setelah menemukan Roxanne Pavageau dalam keadaan tidak bernyawa, polisi mengamankan Barrie. Beberapa menit kemudian, serombongan polisi dalam jumlah lebih besar tiba di pekarangan, bersama patolog, psikolog, ahli forensik, dan tentu saja tak ketinggalan tukang potret tempat kejadian perkara. Saat ditemukan, kepala Roxanne seperti baru saja mengalami banyak benturan, tampaknya dengan benda tumpul. Untuk sementara, saking banyaknya, tak terhitung berapa banyak benturan tersebut.
Menempati sel kelas berat
Kali ini Barrie tak bisa mengelak. la terduduk lunglai di kursi ruang tamu, diawasi seorang polisi. Matanya sayu menyaksikan sejumlah polisi lalu-lalang mengurus TKP. Ada yang mencatat posisi barang, ada yang sibuk memagari rumah dengan police line. Entah apa yang ada di benak perempuan yang bertubuh lebih kecil daripada Roxanne itu. Entah tenaga dari mana pula yang membuatnya bisa menggotong tubuh besar Roxanne ke pintu gudang bawah tanah. Raganya diam, tapi hatinya bergejolak.
Saat diperiksa di kantor polisi, Barrie mencoba membela diri, “Dia datang pada saya sambil marah-marah. Membawa palu! Dia bilang ingin membunuh Philippe, lalu membunuh saya. Jadi, ini soal hidup atau mati. Makanya saya memukulnya. Sekali lagi, ini bela diri. Saya tidak membunuh siapa pun!” Pernyataan ini kelak diulangi oleh Barrie di pengadilan. Barrie boleh saja berdalih, tapi jika dalihnya tak kuat, ia bisa dihukum minimal 30 tahun penjara atau hukuman seumur hidup, untuk kasus pembunuhan yang direncanakan.
Belum jelas tujuan Roxanne menyambangi rumah Philippe saat itu. Juga tak pasti apakah Roxanne datang atas inisiatif sendiri atau dipancing Barrie. Satu yang pasti, Roxanne tidak menyukai kehadiran Barrie di rumah yang bertahun-tahun menyimpan kenangan keluarga besar Pavageau itu. Roxanne pun kelihatannya tak menyukai kehadiran Barrie dalam kehidupan pribadi Philippe. Mungkin, di mata Roxanne, citra Barrie lebih mirip perempuan simpanan, mengingat latar belakangnya yang tak jelas.
Tinggal di Versailles, buat Barrie, memang bak mimpi yang jadi nyata. Kawasan itu bisa disebut sebagai daerah tempat tinggal kaum borjuis, dekat dengan Paris, dan dipenuhi bangunan-bangunan dan rumah-rumah berarsitektur indah. Tak hanya itu, dengan pindah ke Versailles, Barrie tak harus susah payah mencari uang untuk membayar sewa apartemen, problem yang sebelum ini menderanya saban bulan.
Kenekatan Roxanne bukan kali itu saja. Sebelum peristiwa mengenaskan itu terjadi, Roxanne pernah masuk rumah Philippe tanpa izin. Peristiwa ini sempat dilaporkan ke pihak kepolisian, dan Roxanne diberi peringatan. Bahkan beberapa hari sebelum terjadinya pembunuhan, seorang saksi mata sempat melihat keduanya saling salip dengan mobil masing-masing di jalan raya, lalu di sebuah traffic light, Barrie membuka kaca jendela dan mengejek Roxanne: “Kamu tahu, aku sangat menikmati apa pun yang ada di rumahmu. Apa pun!”
Kini, rumah besar yang nikmat itu berganti dengan hotel prodeo. Di Versailles, Barrie menempati sel yang pernah ditempati oleh mantan perampok asal Jerman, Eugene Weidman, yang dihukum guillotine di Prancis karena terlibat dalam pembunuhan lima orang korbannya. Orang terakhir di Prancis yang dihukum dengan guillotine adalah Hamida Djandoubi, narapidana kelahiran Tunisia yang dinyatakan bersalah membunuh teman gadisnya. Uniknya, Hamida juga menempati sel yang sama di Versailles, seperti juga pembunuh berantai Henri Desire Landru yang dihukum mati pada 1922.
Apakah dengan menempati sel yang sama, nasib Barrie bakal sama juga dengan mereka? Sampai menjelang proses pengadilan yang memakan waktu cukup lama ini, Barrie masih kekeuh aksinya sekadar bela diri.
Lupa ingatan sementara
Barrie tampaknya punya strategi tersendiri untuk menghadapi dakwaan berat yang tengah dibuat polisi dan jaksa. Setidaknya, ia bisa mengulur proses pengadilan lebih lama lagi. Tak lama setelah pembunuhan itu, ia mengeklaim dirinya mengalami amnesia terbatas. Menurut para psikolog yang kemudian memeriksa Barrie, hal itu mungkin saja terjadi akibat trauma kejadian pembunuhan Roxanne. Amnesia terbatas ini bisa berlangsung dan sembuh hanya dalam hitungan jam, hitungan hari, hitungan bulan, sampai hitungan tahun. Apa boleh buat, polisi dipaksa bersabar menunggu ingatan Barrie pulih kembali.
Setelah ingatannya mulai pulih, pelan-pelan Barrie dipaksa bercerita. Konon, dia sempat berlari keluar rumah menuju boks telepon umum terdekat, untuk menelepon ke nomor 17, nomor darurat di Prancis. Namun sebelum nyambung, dia keburu takut, sehingga langsung menutup telepon. Dia lalu pergi ke seorang teman pria. Bersama-sama mereka menuju rumah Barrie. Barrie lalu meminta lelaki tadi masuk ke dalam rumah, sementara dia sendiri menunggu di dalam mobil. Ketika Barrie ahirnya memberanikan diri masuk rumah, dia melihat Roxanne sudah tergeletak di lantai. “Laki-laki itu sudah tidak ada. Saya hanya bisa menangis dan menutup muka Roxanne dengan sebuah syal sutra,” kisah Barrie.
Namun cerita di atas dianggap terlalu absurd oleh polisi, sehingga mereka bahkan sama sekali tidak berniat merespons, dengan mencari lelaki yang disebut-sebut Barrie terlibat dalam pembunuhan itu. Pada Rabu, 20 Mei 1998, empat tahun dan delapan bulan setelah penangkapan, pengacara Barrie mengajukan pembebasan bersyarat, dengan alasan kliennya menderita sakit berat. Berat badan Barrie memang turun drastis menjadi hanya 39 kg saja. la juga beberapa kali dikabarkan mencoba bunuh diri karena tak tahan stres menunggu persidangan yang tak kunjung selesai.
Barrie akhirnya mendapat pembebasan bersyarat. Supaya tak kabur ke luar negeri, paspornya ditahan pihak kepolisian. la pun diwajibkan melapor tiap hari. Namun hal itu hanya berlangsung beberapa minggu. Suatu hari, Barrie mendatangi Konsulat Amerika Serikat di Place de la Concorde, Paris. Kepada petugas di Konsulat, Barrie mengaku berencana menuntut Kepolisian Prancis karena menahan paspornya tanpa alasan yang jelas. Dia juga minta paspor pengganti.
Setelah itu, bisa ditebak, Barrie kabur ke kampung halamannya, California, Amerika Serikat. Dari Amerika Serikat, ia sempat menulis surat untuk Pengadilan Versailles, “Roxanne Pavageau kehilangan nyawanya setelah ia masuk ke rumah saya dalam keadaan marah dan mencoba membunuh saya. Tidak ada pembunuhan. Saya hanya membela diri.”
Prancis segera menuntut ekstradisi Barrie. Mereka mencoba meyakinkan pemerintah Amerika Serikat, dengan mejelaskan: “Dia ditemukan di rumah itu bersama tubuh Roxanne yang telah menjadi mayat. Dia juga berupaya membuat lubang di kebun belakang untuk mengubur mayat itu.” Namun di Amerika Serikat, Taylor berusaha memberikan perlawanan. Dia bahkan meminta pembelaan dari seorang guru besar hukum, Prof. Anthony D’Amato dari Northwestern University.
Sementara di Prancis, polisi dan jaksa terus berusaha melengkapi bukti-bukti. Pada Jumat, 23 Juni 2000, hampir tujuh tahun sejak kematian Roxanne, hakim Pengadilan Versailles memutuskan Barrie bersalah dan dia dijatuhi hukuman 30 tahun penjara secara in absentia. Sidang dihadiri oleh tiga anak korban, tetapi tidak oleh ayah mereka. Pengadilan juga menolak pembelaan Barrie. “Roxanne Pavageau terkena setidaknya 20 kali, mungkin 21 atau 22 kali pukulan. Mungkin 25 kali. Itu jelas pembunuhan, bukan bela diri.”
Prof D’Amato mengakui, Barrie sulit berkelit dari perbuatannya. “Sebenarnya dia hanya ingin meyakinkan, dia telah melakukan segala sesuatunya dengan benar. Awalnya, dia hanya ingin membela diri. Namun setelah pertengkaran hebat itu terjadi, ia ingin Roxanne betul-betul tak mengganggu hidupnya lagi. Dia marah, dan akhirnya kebablasan.” Pada 20 November 2003, Barrie dijemput dan dijebloskan ke dalam penjara Dublin oleh pihak yang berwenang di San Fransisco. Sampai akhirnya, pada bulan Oktober 2007, Barrie tiba di Paris untuk mengikuti proses pengadilan, untuk pertama kalinya.
Pada bulan April 2008, pengadilan terhadap Barrie digelar. Jaksa Anne-Marie Chapelle dalam tuntutannya menyatakan, “Hingga detik itu, belum jelas kapan, mengapa, dan bagaimana Roxanne tewas. Namun setidaknya ada waktu satu jam sebelum Roxanne menghembuskan napas terakhir.” Dengan kata lain, jika Barrie memang tidak bermaksud membunuh Roxanne, dia sebenarnya masih bisa menyelamatkan nyawa ibu tiga anak itu, setelah si ibu babak belur. Di akhir persidangan, Barrie divonis 18 tahun penjara.
Berdasarkan bekas darah yang berceceran di ruang tamu, polisi menduga, Roxanne sedang duduk ketika getokan palu bertubi-tubi menghantam kepala dan mukanya. Namun seperti dibilang jaksa, Philippe pun tak habis mengerti, apa yang sebenarnya terjadi di hari pembunuhan itu. Terlalu banyak hal yang disembunyikan Barrie, sehingga cuma sedikit episode pembunuhan itu yang terungkap di pengadilan, selain fakta-fakta yang terekam kamera dan tercatat di TKP.
Jika rahasia pertengkaran itu kelak dibawa mati oleh Barrie, berarti hanya Rue de la Republique no. 20 yang bisa bercerita: mengapa tiba-tiba Roxanne bertandang ke rumah Philippe, soal apa sebenarnya yang diributkan Barrie dan Roxanne, serta bagaimana kronologis pertengkaran Barrie dan Roxanne.
Sayangnya, rumah tak bisa bicara ‘kan? (Marylin Z Tomlins)